31 III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Pengertian dan Teori Daya Saing Daya saing adalah suatu konsep komparatif dari kemampuan dan pencapaian dari suatu perusahaan, subsektor atau negara untuk memproduksi, menjual dan menyediakan barang-barang dan jasa kepada pasar. Daya saing diterapkan pada pasar yang mengarah pada pasar persaingan sempurna. Konsep daya saing bisa juga diterapkan pada suatu komoditas, sektor atau bidang, wilayah dan negara. Daya saing merupakan suatu konsep yang menyatakan kemampuan suatu produsen untuk memproduksi suatu komoditas dengan mutu yang cukup baik dan biaya produksi yang cukup rendah, sehingga pada harga-harga yang terjadi di pasar internasional dapat diproduksi dan dipasarkan oleh produsen dengan memperoleh laba yang mencukupi sehingga dapat mempertahankan kelanjutan biaya produksinya (Simanjuntak, 1992). Konsep daya saing pada tingkat nasional adalah produktivitas. Produktivitas adalah nilai output yang diproduksi oleh suatu tenaga kerja atau modal. Produktivitas adalah penentu utama dari standar hidup negara yang berjangka panjang. Produktivitas adalah akar penyebab pendapatan per kapita nasional (Cho dan Moon, 2003). Daya saing diidentikkan dengan produktivitas atau tingkat output yang dihasilkan untuk setiap input yang digunakan dalam proses produksi. Pendekatan yang sering digunakan untuk mengukur daya saing suatu komoditas adalah tingkat keuntungan yang dihasilkan dan efisiensi dalam pengusahaan komoditas tersebut. Keuntungan dapat dilihat dari dua sisi yaitu
32 keuntungan privat dan keuntungan sosial. Keuntungan dari pengusahaan tanaman lada putih diperoleh melalui penjulan hasil produksi (penerimaan) yang dikurangi dengan biaya total selama berproduksi. Sementara itu, efisiensi pengusahaan komoditas dapat dilihat dari dua indikator yaitu keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif. Konsep daya saing berpijak pada konsep keunggulan komparatif yang diperkenalkan oleh Ricardo sekitar abad ke-18 (1823) yang selanjutnya dikenal dengan Model Ricardian Ricardo atau Hukum Keunggulan Komparatif (The Law of Comparative Advantage). Ricardo menyatakan bahwa meskipun sebuah negara kurang efisien dibandingkan (memiliki kerugian absolut terhadap) negara lain dalam memproduksi kedua komoditas, namun masih tetap terdapat dasar untuk melakukan perdagangan yang menguntungkan kedua belah pihak. Negara pertama harus melakukan spesialisasi dalam meproduksi dan mengekspor komoditas yang memiliki kerugian absolut lebih kecil (memiliki keungguian komparatif) dan mengimpor komoditas yang memiliki kerugian absolut lebih besar atau memiliki kerugian komparatif (Salvatore, 1997). Teori keunggulan komparatif Ricardo kemudian disempurakan oleh Haberler (1936) yang mengemukakan konsep keunggulan komparatif yang berdasarkan Teori Biaya Imbangan (Opportunity Cost Theory). Haberler menyatakan bahwa biaya dari satu komoditas adalah jumlah komoditas kedua terbaik yang harus dikorbankan untuk memperoleh sumberdaya yang cukup untuk memproduksi satu unit tambahan komoditas pertama (Salvatore, 1997). Teori keunggulan komparatif yang lebih moderen adalah teori Heckscher - Ohlin (1933), yang menekankan pada perbedaan bawaan faktor (produksi) antar
33 negara sebagai determinasi perdagangan yang paling penting. Teori Heckscher - Ohlin (H-O) menganggap bahwa setiap negara akan mengekspor komoditas yang relatif intensif menggunakan faktor produksi yang melimpah karena biayanya akan cenderung murah, serta mengimpor komoditas yang faktor produksinya relatif langka dan mahal. Perbedaan dan perubahan pada sumberdaya yang dimiliki suatu negara atau daerah mengakibatkan keunggulan komparatif secara dinamis akan mengalami perkembangan. Pearson dan Gotsch (2004) menyebutkan beberapa faktor yang mempengaruhi keunggulan komparatif, yaitu : (1) perubahan dalam sumberdaya alam, (2) perubahan faktor-faktor biologi, (3) perubahan harga input, (4) perubahan teknologi, dan (5) biaya transportasi yang lebih murah dan efisien. Keunggulan kompetitif (Competitive Advantage) merupakan alat untuk mengukur daya saing suatu aktivitas berdasarkan pada kondisi perekonomian aktual. Adanya konsep keunggulan kompetitif didasarkan pada asumsi bahwa perekonomian yang tidak mengalami distorsi sama sekali sulit ditemukan di dunia nyata, dan keunggulan komparatif suatu aktivitas ekonomi dari sudut pandang atau individu yang berkepentingan langsung (Salvator, 1994). Pada awalnya konsep keunggulan kompetitif dikembangkan oleh Porter pada tahun 1980 dengan bertitik tolak dari kenyataan - kenyataan perdagangan internasional yang ada. Menurut Porter, keunggulan perdagangan antar negara didalam perdagangan internasional sebenarnya tidak ada. Pada kenyataannya yang ada adalah persaingan antara kelompok - kelompok kecil industri di satu negara dengan negara lainnya, bahkan antar kelompok industri yang ada dalam satu negara.
34 Menurut Halwani (2002), keunggulan kompetitif suatu negara ditentukan oleh empat faktor yaitu: (1) keadaan faktor - faktor produksi, (2) permintaan dan tuntutan mutu, (3) industri terkait dan pendukung yang kompetitif dan strategi, (4) struktur dan sistem penguasaan antar perusahaan. Selain dari empat faktor penentu tersebut, keunggulan kompetitif juga ditentukan oleh faktor eksternal, yaitu sistem pemerintahan dan terdapatnya kesempatan. Faktor - faktor ini secara bersama - sama akan membentuk sistem dalam peningkatan keunggulan kompetitif suatu negara. Suatu komoditas dapat mempunyai keunggulan komparatif dan kompetitif sekaligus, yang berarti komoditas tersebut menguntungkan untuk diproduksi atau diusahakan dan dapat bersaing di pasar intemasional. Akan tetapi, apabila komoditas yang diproduksi di suatu negara hanya mempunyai keunggulan komparatif namun tidak memiliki keunggulan kompetitif, maka di negara tersebut dapat diasumsikan terjadi distorsi pasar atau terdapat hambatan - hambatan yang mengganggu kegiatan produksi sehingga merugikan produsen seperti prosedur administrasi, perpajakan dan lain - lain. Untuk itu pemerintah perlu melakukan deregulasi yang dapat menghilangkan hambatan (distorsi pasar tersebut). Keunggulan kompetitif merupakan perluasan dari konsep keunggulan komparatif yang menggambarkan kondisi daya saing suatu aktivitas pada kondisi perekonomian aktual. Keunggulan kompetitif digunakan untuk mengukur kelayakan suatu aktivitas atau keuntungan privat, yang dihitung berdasarkan harga pasar dan nilai uang yang berlaku (resmi) atau berdasarkan analisis finansial. Harga pasar adalah harga yang benar-benar dibayar produsen untuk membeli faktor produksi dan harga yang benar - benar diterima dari hasil penjualan output.
35 3.2. Analisis Ekonomi Dalam analisis ekonomi suatu kegiatan investasi dilihat dan sudut pandang masyarakat atau perekonomian secara keseluruhan. Didalam analisis penting diperhatikan hasil total, produktivitas atau keuntungan yang diperoleh dari semua - sumber yang digunakan dalam suatu bisnis. Disini tidak dilihat siapa yang menyediakan sumberdaya yang dipakai dan siapa dalam masyarakat yang menerima hasil dari bisnis. Dalam analisis ini perhitungan nilai yang dihasilkan disebut Social Returns atau Economic Returns. Keuntungan dalam analisis ekonomi terutama didefinisikan sebagai kemampuan untuk memaksimumkan sumberdaya yang bersifat nasional didalam menghasilkan pendapatan nasional. Pada dasarnya, perhitungan dalam analisis financial atau privat dan analisis ekonomi berbeda menurut beberapa hal yaitu, dalam penggunaan harga input dan output, pembayaran transfer (perhitungan pajak, subsidi) serta bunga. 1. Harga Dalam analisis finansial harga yang digunakan adalah harga aktual yang terjadi di pasar (harga privat) baik untuk input maupun output. Sedangkan dalam analisis ekonomi harga yang digunakan adalah harga bayangan (shadow price) atau disebut harga sosial yaitu harga yang sebenarnya akan terjadi dalam suatu perekonomian jika pasar dalam keadaan persaingan sempurna. 2. Pembayaran Transfer Pembayaran transfer atau transfer payment yang diperhitungkan disini adalah pajak dan subsidi. a. Pajak
36 Pajak merupakan transfer payment dari masyarakat terhadap pemerintah, sehingga dalam analisis finansial unsur pajak dihitung sebagai biaya yang dibayarkan kepada pemerintah. Sedangkan dalam analsis ekonomi pajak merupakan transfer dari produsen kepada pemerintah, sehingga unsur pajak tidak dihitung sebagai biaya. b. Subsidi Subsidi adalah transfer payment yang perhitungannya merupakan kebalikan dari pajak. Dalam analisis finansial, penerima subsidi berarti pengurangan biaya produksi atau dengan kata lain subsidi mengurangi biaya. Dalam analisis ekonomi subsidi dianggap sebagai sumber - sumber yang dialihkan dari masyarakat untuk digunakan dalam proses produksi. Oleh sebab itu subsidi yang diterima produsen adalah beban masyarakat, jadi dari segi perhitungan sosial (ekonomi) tidak mengurangi biaya. 3. Bunga Modal Dalam analisis finansial bunga pinjaman yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri dimasukkan sebagai biaya. Sedangkan dalam analisis ekonomi (sosial) bunga atas pinjaman dalam negeri tidak dimasukkan sebagai biaya, karena modal tersebut dianggap sebagai modal masyarakat, sehingga bunganya merupakan bagian dari benefit masyarakat. Namun untuk bunga atas pinajamn dari luar negeri diperhitungkan sebagai biaya. 3.3. Analisis Dampak Kebijakan Ekonomi Kebijakan pemerintah ditetapkan dengan tujuan untuk meningkatkan ekspor ataupun sebagai usaha untuk melindungi produk dalam negeri agar dapat bersaing dengan produk luar negeri. Kebijakan tersebut biasanya diberlakukan
37 untuk input ataupun output yang menyebabkan terjadinya perbedaan harga input dan harga output yang diminta produsen (harga privat) dengan harga yang sebenarnya terjadi jika dalam kondisi perdagangan bebas (harga sosial). Kebijakan yang ditetapkan pemerintah pada suatu komoditas ada dua bentuk berupa subsidi dan hambatan perdagangan. Kebijakan subsidi terdiri dari subsidi dan pajak sedangkan hambatan perdagangan berupa tarif dan kuota. 3.3.1. 3 Kebijakan Harga Output Kebijakan harga output diterapkan pada produsen yang menghasilkan komoditas yang merupakan barang subsitusi impor dan barang yang berorientasi ekspor. Gambar 3 (a) menjelaskan bentuk subsidi untuk produsen pada barang impor. P S P S Pd A Pw A F E G C B B H Pw Pd D Q1 Q2 Q3 Q Q2 Q1 Q3 Q4 (a) S+PI (b) S+CI Sumber : Monke and Pearson (1989) dimana : Pw = harga di pasar dunia pada kondisi pasar bebas Pd = harga di pasar domestik S + CI = subsidi kepada konsumen untuk barang impor S + PI = subsidi kepada produsen untuk barang impor D Q Gambar 3. Dampak Subsidi terhadap Konsumen dan Produsen pada Barang Impor Berdasarkan Gambar 3 (a), sebelum ada kebijakan subsidi, harga didalam negeri sama dengan harga dunia Pw. Pada tingkat harga Pw jumlah produksi domestik sebesar Q1, sedangkan jumlah permintaan konsumen sebesar Q3.
38 Akibatnya kelebihan permintaan sebesar Q3-Q1, sehingga untuk memenuhi kebutuhan tersebut dilakukan impor. Untuk mengurangi impor dan memotivasi peningkatan produksi dalam negeri, pemerintah menetapkan kebijakan subsidi kepada produsen (domestik barang) impor. Kebijakan subsidi sebesar Pp-Pw akan a meningkatkan produksi domestik dari Q1 ke Q2, dan menurunkan jumlah impor dari Q3-Q1 menjadi Q3-Q2. Hal ini menunjukkan adanya transfer total dari pemerintah kepada produsen (domestik) barang impor sebesar Q2 x (Pp Pw) atau sebesar PpABPw. Kebijakan ini menyebabkan hilangnya efisiensi ekonomi sebesar selisih antara biaya sumberdaya untuk meningkatkan sumberdaya domestik sebesar Q1CAQ2, dan biaya imbangan berproduksi Q1CBQ2 atau seluas CAB. Selanjutnya Gambar 3 (b) menunjukkan subsidi untuk konsumen barang impor. Kondisi awal sebelum ada kebijakan, harga di dalam negeri sama dengan harga dunia Pw, pada tingkat harga Pw, jumlah produksi domestik sebesar Q1 sedangkan jumlah yang diminta sebesar Q3. Untuk meningkatkan konsumsi domestik diterapkan kebijakan subsidi pada konsumen (domestik) barang impor. Kebijakan subsidi sebesar (Pw-Pd) akan mengurangi produksi domestik dari Q1 ke Q2 dan meningkatkan konsumsi domestik dari Q3 ke Q4, dan impor meningkat dari (Q3-Q1) menjadi (Q2-Q4). Terdapat transfer S + CI yang mencakup dua bagian yaitu dari pemerintah ke konsumen (Pw-Pd)(Q4-Q2) atau luas AGBH dan transfer dari produsen ke konsumen sebesar PwABPd. Efisiensi yang hilang terjadi pada dua sisi, yaitu produksi dan konsumsi. Pendapatan bersih yang hilang sebesar AFB dan efesiensi konsumen yang hilang sebesar EGH.
39 Kebijakan selain subsidi pada output adalah kebijakan restriksi (hambatan) perdagangan pada barang impor. Pada Gambar 4 (a) menunjukkan adanya hambatan perdagangan pada barang impor dimana terdapat tarif sebesar Pd-Pw sehingga menaikkan harga di dalam negeri baik untuk produsen maupun konsumen. Output domestik meningkat dari Q1 ke Q2 dan turunnya konsumsi dari Q3 ke Q4. Dengan demikian impor turun dari Q3 - Q1 menjadi Q4 - Q2. Terdapat transfer penerimaan dari konsumen sebesar PdABPw yaitu kepada produsen sebesar PdEFPw dan kepada pemerintah sebesar FEAB. Efisiensi ekonomi yang hilang dari konsumen adalah perbedaan antara opportunity cost konsumen dalam merubah konsumsi sebesar Q4BCQ3 dengan kemampuan membayar pada tingkat yang sama Q4ACQ3. Efisiensi ekonomi yang hilang pada konsumen sebesar ABC dan pada produsen sebesar EFG. Gambar 4 (b) kebalikan dari Gambar 4 (a) P S Pw P C B F G S Pd Pw G E F A B C Pd A E Q1 Q2 Q4 Q3 (a) TPI D Q Q1 Q2 Q4 Q3 (b) TCE D Q Sumber : Monke and Pearson (1989) dimana : TPI = hambatan perdagangan pada produsen untuk barang impor TCE = hambatan perdagangan pada konsumen untuk barang ekspor Gambar 4. Restriksi Perdagangan pada Komoditas Impor dan Ekspor 3.3.2. Kebijakan Harga Input Kebijakan pemerintah juga diberlakukan pada variabel input tradable maupun non tradable. Pada kedua input tersebut, kebijakan dapat berupa subsidi
40 dan pajak, sedangkan kebijakan hambatan perdagangan tidak diterapkan pada input domestik (non tradeble) karena hanya diterapkan pada komoditas yang diproduksi dan dikonsumsi di dalam negeri. 3.3.2.1. Kebijakan Input Tradable Kebijakan pada input tradable dapat berupa kebijakan subsidi atau pajak dan kebijakan hambatan perdagangan. Pengaruh subsidi dan pajak pada input tradable dapat ditunjukan pada Gambar 5 (a) menunjukkan efek pajak terhadap input tradabel yang digunakan. Dengan adanya pajak menyebabkan biaya produksi meningkat sehingga pada tingkat harga output yang sama, output domestik turun dari Q1 ke Q2 dan kurva supply bergeser ke atas. Efisiensi konomi yang hilang adalah ABC, merupakan perbedaan antara nilai output yang hilang Q1CAQ2 dengan biaya produksi dari output Q2BCQ1. P S S P C S S Pw C A B Q2 Q1 Q3 D A Pw B Q Q1 Q2 Q3 a. S-N b. S+N Q D Sumber : Monke and Pearson (1989) dimana : S - II = pajak untuk input impor S + II = subsidi untuk input impor Gambar 5. Subsidi dan Pajak pada Input Tradable
41 Berdasarkan Gambar 5 (b) memperlihatkan dampak subsidi input menyebabkan harga input lebih rendah dan biaya produksi lebih rendah sehingga kurva supply bergeser ke bawah dan produksi naik dari Q1 ke Q2. Efisiensi ekonomi yang hilang dari produksi adalah ABC, perbedaan antara biaya produksi yang bertambah dengan meningkatkan output dengan peningkatan nilai input. 3.3.2.2. 3 Kebijakan Input Non Tradable Pada input non tradable, intervensi pemerintah berupa hambatan perdagangan tidak tampak karena input non tradable hanya diproduksi dan dikonsumsi didalam negeri. Intervensi pemerintah adalah subsidi dan pajak dapat dilihat pada Gambar 6. P Pc C P S Pd Pp B D A S Pp Pd A C B D Pc D D Q2 (a) S-N Q1 Q1 (b) S+N Q2 Q Sumber : Monke and Pearson (1989) dimana : Pd = harga domestik sebelum diberlakukan pajak dan subsidi Pc = harga di tingkat konsumen setelah diberlakukan pajak dan subsidi Pp = harga di tingkat produsen setelah diberlakukan pajak dan subsidi S N = pajak untuk barang non tradable S + N = subsidi untuk barang non tradable Gambar 6. Dampak Subsidi dan Pajak terhadap Input Non Tradable
42 Berdasarkan Gambar 6 (a) dengan adanya pajak (Pc-Pp) menyebabkan produk yang dihasilkan turun Q2. Efisiensi ekonomi dari produsen yang hilang sebesar BCA dan dari konsumen yang hilang sebesar DBA. Pada subsidi, Gambar 6 (b) adanya subsidi menyebabkan produk meningkat dari Q1 ke Q2, harga yang diterima produsen naik menjadi Pp dan harga yang diterima konsumen turun menjadi Pc. Kehilangan efisiensi dapat dilihat dari perbandingan antara peningkatan nilai output dengan meningkatnya ongkos produksi dan meningkatnya keinginan konsumen untuk membayar. 3.4. Matrik Analisis Kebijakan Policy Analysis Matriks (PAM) adalah suatu alat analisis yang digunakan untuk menganalisis pengaruh intervensi pemerintah dan dampaknya pada sistem komoditas. Empat aktivitas yang terdapat dalam sistem komoditas yang dapat dipengaruhi terdiri dari tingkat usahatani, distribusi dari usahatani ke pengolah, pengolahan dan pemasaran. Metode analisisi ini merupakan metode baru yang dikemukakan oleh Eric A Monke dan Scott R. Pearson pada tahun 1989. Matriks PAM dapat mengidentifikasi tiga analisis. Ketiga analisis tersebut adalah analisis keuntungan (privat dan sosial), analisis daya saing (keunggulan kompetitif dan komparatit) dan analisis dampak kebijakan yang mempengaruhi sistem komoditas. Selain itu, Pearson et al, (2005), menjelaskan bahwa di dalam metode PAM pun dapat membantu pengambilan keputusan baik di pusat maupun di daerah untuk menelaah tiga isu sentral kebijakan pertanian : 1. Berkaitan dengan daya saing suatu sistem usahatani pada tingkat harga dan teknologi yang ada. Isu ini dapat ditelaah melalui perbedaan harga privat sebelum dan sesudah kebijakan diterapkan.
43 2. Dampak investasi publik, dalam bentuk pembangunan infrastruktur yang berpengaruh pada tingkat efisiensi suatu sistem usaha. Efisiensi sistem usaha tersebut dapat diukur melalui keuntungan sosial. 3. Dampak investasi baru dalam bentuk riset dan teknologi terhadap efisiensi suatu sistem usaha. Dibandingkan dengan perhitungan - perhitungan yang konvensional, dengan menggunakan matrik analisis kebijakan, perhitungan dapat dilakukan secara keseluruhan, sistematis dan dengan output yang sangat beragam, sedangkan kekurangan dari alat analisis ini tidak membahas masing-masing analisis secara mendalam. Sementara itu output yang keluar selain nilai efisiensi ekonomi dan besarnya insentif intervensi pemerintah, juga nilai keuntungan dan efisiensi privat dan sosial, besarnya transfer input, transfer faktor, transfer bersih, transfer output diantara produsen dan pedagang perantara. Asumsi yang digunakan adalah : 1. Perhitungan berdasarkan harga privat (private cost) yaitu harga yang benarbenar terjadi dan diterima oleh produsen dan konsumen atau harga yang terjadi setelah adanya kebijakan pemerintah. 2. Perhitungan berdasarkan harga sosial (social cost) atau harga bayangan (shadow price) yaitu harga pada kondisi pasar persaingan sempurna atau harga yang terjadi bila tidak ada kebijakan pemerintah. Pada komoditi tradable harga bayangan adalah harga yang terjadi di pasar internasional. 3. Output bersifat tradable sedangkan input dapat dipisah berdasarkan komponen tradable (asing) dan non tradable (faktor domestik). 4. Eksternalitas positif dan negatif dianggap saling meniadakan.
44 Matriks PAM terdiri dan tiga baris dan empat kolom (Tabel 4). Baris pertama mengestimasi keuntungan privat yaitu perhitungan penerimaan dan biaya berdasarkan harga yang berlaku, yang mencerminkan nilai-nilai yang dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah. Baris kedua mengestimasi keunggulan ekonomi dan daya saing (komparatif), yaitu perhitungan penerimaan dan biaya berdasarkan harga sosial (shadow price) atau nilai ekonomi yang sesungguhnya terjadi di pasar tanpa adanya kebijakan pemerintah. Sedangkan baris ketiga merupakan selisih antara baris pertama dan kedua yang menggambarkan divergensi. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Tabel Matriks Analisis Kebijakan Uraian Nilai finansial (harga privat) Penerimaan A Input tradable B Biaya Faktor domestik C Pendapatan D 1 Nilai Ekonomi (harga sosial) E F G H 2 Dampak kebijakan dan I 3 distorsi pasar Sumber : Monke and Pearson (1989) J 4 K 5 L 6 dimana : 1. Keuntungan Privat : D = A-B-C 2. Keuntungan Sosial : H = E-F-G 3. Transfer Output : I = A-E 4. Transfer Input, Untuk Input Tradable : J = B-F 5. Tranfer Faktor, Untuk Non Tradable : K = C-G 6. Tranfer Bersih : L = D-H atau I-J-K 7. Rasio Biaya Privat atau PCR : = C/(A-B) 8. Rasio Biaya Sumberdaya Domestik atau DRC : = G/(E-F) 9. Koefisien Proteksi Output Nominal atau NPCO : = A/F 10. Koefisien Proteksi Input Nominal atau NPCI : = B/F 11. Koefisien Proteksi Efektif atau EPC : = (A-B)/(E-F) 12. Koefisien Keuntungan atau PC : = D/H 13. Rasio Subsidi Bagi Produsen atau SRP : = L/E
45 3.5. Metode Penentuan Harga Bayangan Analisis keunggulan komparatif dalam konsep daya saing menggunakan harga bayangan, sedangkan analisis keunggulan kompetitif menggunakan harga pasar. Dalam Gittinger (1986), harga bayangan adalah suatu harga yang lebih dekat menggambarkan biaya imbangan terhadap masyarakat. Langkah - langkah yang dikemukakan untuk mengubah atau menyesuaikan harga pasar (harga finansial) menjadi harga bayangan (nilai ekonomi) yaitu : 3.5.1. Penyesuaian Pembayaran Tranfer Langsung Pembayaran tansfer langsung adalah pembayaran yang bukan penggunaan sumberdaya nyata tetapi hanya transfer dari klaim pada sumber nyata seseorang dan transaksi kredit yang mencakup pinjaman, penerimaan, pembayaran kembali modal, dan bunga. Dua transaksi kredit yang mungkin luput dari pengawasan adalah jumlah - jumlah yang dapat dibayar dan dapat diterima. Semua pembukuan ini harus dikeluarkan sebelum neraca finansial disesuaikan untuk mengambarkan nilai ekonomi. 3.5.2. Penyesuaian untuk Penyimpangan Harga pada Barang yang Diperdagangkan Barang yang diperdagangkan adalah barang yang apabila diekspor harga fob (free on board) lebih besar dari biaya produksi domestik atau barang-barang yang boleh diekspor melalui campur tangan pemerintah dengan menggunakan subsidi ekspor dan sebagainya. Apabila diimpor, biaya produksi domestik lebih besar dari harga cif (cost insuransce freight). Pertama - tama, penilaian dilakukan dengan menetapkan harga batas yaitu harga cif untuk barng impor dan fob untuk barang ekspor. Harga batas kemudian disesuaikan untuk memperhitungkan biaya
46 pengangkutan dalam negeri dan biaya pemasaran antara pelabuhan impor atau ekspor ke lokasi proyek. 3.5.3. Penyesuaian untuk Penyimpangan Harga pada Barang - Barang yang Tidak Diperdagangkan Barang-barang yang tidak diperdagangkan adalah barang - barang yang harga cifnya lebih besar dari biaya produksi domestik dan lebih besar dari harga free on board (fob). Barang-barang yang tidak diperdagangkan adalah barang - barang yang memakan tempat dan cepat rusak. Kadariah (1999) menyatakan bahwa harga bayangan dapat dianggap semacam penyesuaian yang dibuat oleh peneliti proyek terhadap harga pasar dari beberapa faktor produksi atau hasil produksi tertentu. Hal ini disebabkan karena harga dari unsur-unsur atau hasil produksi tersebut. Penyimpangan-penyimpangan harga pasar dari biaya imbangan sosial terutama disebabkan oleh kebijakan - kebijakan pemerintah berupa pajak tidak langsung, subsidi maupun pengaturan harga. Sequire dan Van der Tak (1982) yang diacu dalam Gittinger (1986) mengemukakan dua hal yang penting dalam penggunaan harga bayangan. Pertama, harga bayangan bukan harga - harga keseimbangan yang akan terjadi dalam perekonomian dimana tidak terdapat gangguan - gangguan. Perkiraan dari harga bayangan ini akan memberikan informasi penting yang dapat digunakan sebagai landasan untuk merancang kebijakan yang dapat menghilangkan gangguan - gangguan. Kedua, perlunya pendefinisian yang jelas terhadap tujuan - tujuan sosial ekonomi dari kebijakan pembangunan sosial. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penggunaan harga bayangan pada analisis kebijakan berdasarkan pada alasan: (1) harga yang berlaku di pasar
47 tidak mencerminkan apa yang sebenarnya diperoleh masyarakat melalui produksi yang dihasilkan dari aktivitas tersebut, dan (2) harga pasar tidak mencerminkan apa yang sebenarnya dikorbankan seandainya sejumlah sumberdaya yang dipilih dipakai dalam aktivitas tertentu, tetapi tidak digunakan dalam aktivitas lain yang masih memungkinkan bagi masyarakat. 3.6. Analisis Sensitivitas Analisis sensitivitas bertujuan untuk melihat bagaimana perubahan hasil suatu kegiatan ekonomi jika terdapat kesalahan dalam perhitungan biaya dan manfaat. Analisis ini merupakan suatu teknik analisis untuk menguji perubahan kelayakan suatu kegiatan ekonomi (proyek) secara sistematis jika terjadi kejadian - kejadian yang berada dalam perkiraan yang telah dibuat dalam perencanaan. Analisis sensitivitas (kepekaan) membantu menentukan unsur-unsur kritikal yang berperan dalam menentukan hasil proyek. Analisis kepekaan mengubah suatu variabel kemudian menentukan pengaruh dari perubahan tersebut terhadap hasil analisis. Kelemahan dari analisis sensitivitas adalah : (1) tidak digunakan untuk pemilihan proyek karena merupakan analisis parsial yang hanya mengubah satu parameter pada saat tertentu, dan (2) hanya mencatat apa yang terjadi jika variabel berubah - ubah dan bukan untuk menentukan layak atau tidaknya suatu proyek. Menurut Kadariah (1999) analisis sensitivitas dilakukan dengan cara : (1) mengubah besarnya variable - variabel yang penting, masing - masing terpisah atau beberapa dalam kombinasi dengan suatu persentase dan menentukan seberapa besar kepekaan hasil perhitungan terhadap perubahan - perubahan
48 tersebut, dan (2) menentukan seberapa besar variabel yang berubah sehingga hasil perhitungan membuat proyek tidak dapat diterima. Perubahan - perubahan yang bisa terjadi dalam menjalankan proyek (bisnis) umumnya dikarenakan oleh : (1) perubahan harga, (2) keterlambatan pelaksanaan, (3) kenaikan dalam biaya (Cost Over Run), dan (4) hasil produksi. Faktor - faktor perubahan tersebut tentunya akan mempengaruhi kelayakan suatu aktivitas bisnis. Oleh karena itu, diperlukan analisis dan identifikasi kondisi yang memungkinkan terjadi informasi - informasi yang sesuai dengan bisnis yang dijalankan. 3.7. Kerangka Pemikiran Konseptual Indonesia sebagai negara produsen lada putih mempunyai peran penting dalam perdagangan lada putih dunia, dimana dalam lima tahun terakhir ekspor lada putih Indonesia mengalami penurunan, hal ini dimanfaatkan oleh negara - negara produsen lada putih untuk memasok kebutuhan lada putih di pasar international. Penurunan ekspor lada putih Indonesia ini, dikarenakan pada daerah sentra - sentra produksi lada putih di Indonesia (khususnya provinsi Bangka Belitung) mengalami penurunan produksi dan luas areal tanaman lada putih. Kondisi ini menyebabkan secara keseluruhan terjadinya penurunan ekspor lada putih Indonesia di pasar Internasional. Penurunan produksi dan luas areal tanaman lada putih di provinsi Bangka Belitung disebabkan beberapa faktor berikut: (1) tingkat produktivitas tanaman rata - rata 0.8-1 ton per hektar dan mutu yang rendah, (2) tingkat harga lada putih yang relatif rendah rata-rata sebesar Rp 37 000 per kilogram tahun 2009 dan pada tahun 2010, harga lada putih sebesar Rp 46 979 per kilogram, sementara harga sarana produksi (pupuk dan
49 pestisida) relatif tinggi atau mahal, (3) tingginya kehilangan hasil akibat serangan hama dan penyakit, (4) masih rendahnya usaha peningkatan diversifikasi produk, (5) sumberdaya petani baik pengetahuan maupun permodalan masih lemah atau terbatas ketersediaannya, dan (6) semakin menurunnya luas areal pertanaman lada putih karena adanya persaingan dengan pertambangan timah rakyat dan peluang usaha komoditas lainnya seperti kelapa sawit. Berdasarkan faktor - faktor tersebut pemerintah pusat bersama dengan pemerintah daerah melaksanakan program revitalisasi perkebunan lada putih yaitu gerakan pengembangan lada putih (Gerbang Latih) dengan menerpkan konsep budidaya anjuran sesuai dengan Good Agriculture Practies (GAP). Gerakan pengembangan lada putih di provinsi Bangka Belitung terdiri dari kebijakan input melaui subsidi, subsidi benih dan kebijakan hambatan perdagangan melaui kuota ekspor dan tarif. Dengan adanya kebijakan gerakan pengembangan lada putih di provinsi Bangka Belitung ini, maka salah satu pendekatan untuk melihat dampak dari suatu kebijakan adalah dengan menganalisis perbedaan antara harga - harga input baik domestik maupun asing (tradable) dan output (penerimaan) secara finansial dan ekonomi. Dengan menganalisis perbedaan harga - harga finansial dan ekonomi dapat diketahui tingkat daya saing suatu komoditas serta dampak kebijakan pemerintah terhadap daya saing komoditas tersebut. Apabila dengan kebijakan yang ada mampu memberikan keunggulan kompetitif terhadap komoditas yang dianalisis, maka kebijakan tersebut dapat tetap dipertahankan. Namun sebaliknya, dengan adanya kebijakan menghambat atau mengurangi nilai kompetitifnya maka perlu adanya deregulasi kebijakan.
50 Trend Ekspor Lada Putih Indonesia Menurun Menurunnya Kontribusi Ekspor Lada Putih Asal Bangka Belitung Tingkat produktivitas tanaman berkisar 0.8 1 ton per hektar dan mutu yang rendah. Tingkat harga lada yang relatif rendah kisaran Rp. 37 000 - Rp. 46 979 per kilogram, sementara harga sarana produksi (pupuk dan pestisida) relatif tinggi/mahal. Rendahnya usaha peningkatan diversifikasi produk. Menurunnya luas areal pertanaman lada putih karena adanya persaingan dengan pertambangan timah rakyat dan peluang usaha komoditas lainnya seperti kelapa sawit. SDM petani baik pengetahuan maupun permodalan masih terbatas. Tingginya kehilangan hasil akibat hama dan penyakit. Kebijakan Gerbang Latih : ( GAP/GFP) Kebijakan Input : Subsidi Pupuk Subsidi Benih Kebijakan Output Kuota Ekspor Tarif Keunggulan Komparatif Keuntungan Sosial Biaya Sumberdaya Domestik Keunggulan Kompetitif Keuntungan privat Rasio Biaya Privat Dampak Kebijakan Transfer input/output Transfer Faktor/Bersih Koefisien Proteksi/Profit Rasio subsidi produsen Revitalisasi Perkebunan Lada Analisis Finansial dan Ekonomi Analisis PAM (Policy Analysis Matrix) Daya Saing Lada Putih Implikasi Kebijakan Gambar 7. Kerangka Pemikiran Operasional