4 TINJAUAN PUSTAKA Morfologi Bunga Kedelai Bunga tanaman kedelai termasuk bunga sempurna dengan tipe penyerbukan sendiri yang terjadi pada saat mahkota bunga masih menutup, sehingga kemungkinan kawin silang alami sangat kecil. Bunga terletak pada nodus, determinate, dan majemuk tandan. Struktur bunga terdiri dari, kelopak bunga berjumlah lima, mahkota bunga berjumlah lima yang terdiri dari satu mahkota posterior, dua mahkota lateral, dan dua mahkota anterior dengan warna mahkota ungu atau putih. Sepasang braktea terletak didasar dan melingkupi disisi samping kuncup bunga. Benang sari berjumlah sepuluh, sembilan diantaranya saling berlekatan dan hanya satu yang bebas, tetapi semua antera saling bebas satu sama lain. Antera berwarna hijau atau kuning. Putik terdiri dari satu bakal buah, satu tangkai putik, dan satu kepala putik, tetapi dengan 1-5 bakal biji. Pada waktu bunga masih kuncup antera lebih rendah daripada kepala putik, selanjutnya antera menjadi lebih tinggi daripada putik pada saat bunga hampir mekar (Fehr 1980). Induksi Androgenesis Tanaman haploid dapat diperoleh secara in vitro melalui induksi embriogenesis dari proses androgenesis, ginogenesis, dan eliminasi kromosom. Teknik induksi androgenesis merupakan cara yang banyak dipakai karena lebih efisien dalam menghasilkan tanaman haploid (Ferrie et al. 1994). Embriogenesis mikrospora secara in vitro dilakukan dengan cara menginduksi sel gamet jantan baik yang belum dewasa dalam bentuk mikrospora ataupun yang telah dewasa dalam bentuk polen menjadi embrio (Touraev et al. 1997). Embrio yang diinduksi dari mikrospora ini pada umumnya akan menjadi individu haploid karena hanya mengandung jumlah kromosom yang sama dengan sel gamet, dan dapat menjadi tanaman haploid ganda secara spontan karena proses endomitosis (de Moraes et al. 2004). Jose et al. (2005) menyatakan bahwa terbentuknya kalus mixoploid pada kultur antera tomat diduga akibat terjadinya penggandaan kromosom secara spontan pada sel haploid awal. Aplikasi kultur mikrospora dalam skala besar untuk menghasilkan tanaman haploid dan haploid ganda masih terbatas pada beberapa tanaman sayuran. Hal ini
5 disebabkan rendahnya frekuensi pembentukan embrio dan masih kurangnya pengetahuan tentang mekanisme dasar induksi embriogenesis mikrospora (Indrianto et al. 1999). Embriogenesis mikrospora dilakukan dengan cara membelokkan proses perkembangan gametofitik ke arah pembelahan dan perkembangan sporofitik untuk menghasilkan embrio. Untuk membelokkan jalur perkembangan ini diperlukan perlakuan cekaman, karena tanpa cekaman mikrospora akan tetap berkembang pada jalur gametofitik menjadi polen dewasa (Heberle-Bors 1999). Cekaman untuk induksi androgenesis dapat berupa temperatur (rendah atau tinggi), osmotik, starvasi nitrogen, dan starvasi karbohidrat. Cekaman dapat diaplikasikan pada level tanaman utuh atau kuncup bunga in vivo, pada antera atau langsung pada mikrospora in vitro (Touraev et al. 1997). Palmer dan Keller (1997) menyebutkan bahwa temperatur tinggi dapat mempengaruhi embriogenesis mikrospora tembakau, Datura, Brassica, dan cabai. Menurut Touraev et al. (1996a) starvasi karbohidrat dan nitrogen dapat meningkatkan mikrospora yang embriogenik pada tembakau. Kombinasi cekaman panas dengan starvasi karbohidrat terbukti dapat meningkatkan induksi embriogenesis mikrospora gandum (Touraev et al. 1996b) dan cabai (Indrianto et al. 2004). Cekaman temperatur yang dapat menginduksi terjadinya androgenesis antara lain suhu dingin 6 o C selama 4 hari pada kultur mikrospora Brassica juncea (Ali et al. 2008), cekaman suhu panas (35 o C) maupun cekaman suhu dingin (4 o C) pada Brassica oleracea (Krzyzanowska & Gorecka 2008). Modifikasi komposisi media dengan mengganti sumber karbon sukrosa dengan maltosa dapat menginduksi embriogenesis pada kultur mikrospora barley (Hordeum vulgare) (Kasha et al. 2003). Pada kultur mikrospora Nicotiana tabacum, kombinasi perlakuan suhu 33 o C dan starvasi sumber karbon dengan manitol pada minggu pertama kultur terbukti dapat menghasilkan embrio haploid (Touraev & Herberle- Bors 2003). Teknik embriogenesis dari mikrospora pada umumnya dilakukan melalui kultur antera secara keseluruhan dalam media padat atau kultur mikrospora pada media cair (Thomas & Davey 1975). Kultur sebar mikrospora merupakan salah satu teknik untuk mendapatkan tanaman haploid dengan cara mengkulturkan
6 antera secara utuh pada media dua lapis, yaitu media cair di atas media padat (Supena et al. 2006). Antera dalam kultur akan membuka dindingnya sehingga mikrospora tersebar ke media cair yang selanjutnya terinduksi dan berkembang menjadi embrio dan tanaman haploid maupun haploid ganda. Kultur Jaringan Tanaman Kedelai Kultur jaringan adalah suatu metode yang digunakan untuk menumbuhkan jaringan pada kondisi steril (Bhojwani & Razdan 1983), sehingga bagian-bagian tersebut dapat memperbanyak dan beregenerasi menjadi tanaman utuh kembali (Gunawan 1992; George & Sherrington 1984). Menurut George (1993) kultur jaringan tanaman terbagi dalam dua kelompok besar, yaitu kultur unorganized tissue dan kultur organized tissue. Kultur unorganized tissue terdiri atas beberapa sistem kultur seperti kultur kalus, kultur suspensi, kultur protoplas, dan kultur antera, sedangkan kultur organized tissue terdiri atas kultur maristem, shoot tip culture, node culture, kultur embrio, dan kultur akar. Kultur antera telah digunakan dalam program pemuliaan tanaman sejak keberhasilan yang dicapai para peneliti Cina pada tahun 1970. Tanaman yang telah dihasilkan melalui kultur antera antara lain, padi, gandum, jagung, rye, triticale, tembakau, kapas, karet, kubis, dan cabai (Hu & Zeng 1984). Pengembangan kultur antera kedelai pada media padat di Indonesia telah dicoba oleh Zulkarnain (2005) namun belum berhasil mendapatkan embrio karena hanya mencapai fase kalus. Penggunaan gelling agent telah mampu mendorong pembelahan sel secara simetri maupun sel multinukleat pada kultur antera kedelai (Cardoso et al. 2007). Kaltchuk-Santos et al. (1997) menggunakan praperlakuan suhu dingin sebagai induksi embriogenesis untuk percepatan pembelahan sel mikrospora, sehingga terbentuk struktur multiseluler. Struktur multiseluler menandakan adanya pembelokan jalur gametofitik menjadi sporofitik dan merupakan tahap awal proses terjadinya embriogenesis mikrospora. Beberapa media yang telah dipakai untuk induksi embriogenesis dari mikrospora kedelai adalah media B5 (Gamborg et al. 1968) oleh de Moraes et al. (2004), dan B5 long oleh Kaltchuk-Santos et al. (1997). Yin et al. (1982) menguji beberapa media dasar untuk kultur antera kedelai yaitu: MS (Murashige & Skoog
7 1962), Nitsch (Nitsch & Nitsch 1969), N6 (Chu 1978), dan B5 (Gamborg et al. 1968), dan media yang terbaik untuk induksi kalus adalah media B5. Fase perkembangan mikrospora yang tepat juga merupakan tahap awal yang menentukan keberhasilan induksi embriogenesis dari mikrospora pada kedelai. Antera yang memiliki mikrospora pada fase berinti tunggal akhir dan berinti dua awal merupakan fase yang responsif untuk induksi embriogenesis kedelai (Hu et al. 1996). Menurut da Silva Lauxen et al. (2003) kuncup bunga dengan panjang 3-3,5 mm merupakan penciri tahap perkembangan mikrospora pada fase berinti tunggal akhir. Perkembangan Mikrospora Tanaman tingkat tinggi seperti kedelai, generasi haploidnya tidak tampak dan bergantung pada bentuk generasi diploidnya. Gametofit sebagai bagian dari tahapan seluruh hidup tanaman akan menghasilkan gamet dengan jumlah kromosom haploid yang digunakan untuk repoduksi seksualnya. Mikrospora merupakan awal dari generasi gametofit jantan dari tanaman. Pada gametofit jantan, proses terbentuknya mikrospora dalam mikrosporangia pada antera disebut dengan mikrosporosis. Mikrosporosis dimulai dengan sel sporogen mengalami pembelahan secara meiosis menghasilkan mikrosporofit dalam bentuk tetrad. Tetrad akan tumbuh dan berkembang menghasilkan mikrospora yang bersifat haploid. Selanjutnya mikrospora akan berkembang menjadi mikrogametofit atau butir polen yang diawali pembelahan secara mitosis menghasilkan sel vegetatif dan sel generatif (Raven et al. 1992). Berdasarkan pembelahan awal mulai dari mikrospora, ada empat model lintasan androgenesis yang menghasilkan embrio atau tanaman secara in vitro yaitu: (1) mikrospora membelah sama besar (simetris) dan menghasilkan dua sel yang identik yang akan berkembang menjadi sporofit, sehingga pada lintasan ini tidak terjadi pembentukan sel generatif maupun sel vegetatif, (2) mikrospora dalam bentuk berinti tunggal membelah tidak sama besar (asimetris) dan sporofit terbentuk karena perkembangan lebih lanjut dari sel vegetatif, sedangkan sel generatifnya tidak mengalami pembelahan atau hanya akan membelah satu kali sampai dua kali sebelum mengalami degenerasi, (3) sporofit dihasilkan hanya oleh sel generatif, dalam hal ini sel vegetatif tidak akan membelah atau hanya
8 mengalami pembesaran, dan (4) terbentuk sel vegetatif dan generatif, kedua sel ini akan berkembang lebih lanjut dan ikut berperan dalam perkembangan sporofit (Bhojwani & Razdan 1983).