STUDI TAHAP PERKEMBANGAN KUNCUP BUNGA, MIKROSPORA DAN OVUL Dianthus chinensis L.

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "STUDI TAHAP PERKEMBANGAN KUNCUP BUNGA, MIKROSPORA DAN OVUL Dianthus chinensis L."

Transkripsi

1 17 STUDI TAHAP PERKEMBANGAN KUNCUP BUNGA, MIKROSPORA DAN OVUL Dianthus chinensis L. Abstrak Stadia perkembangan mikrospora dan ovul yang tepat sangat menentukan keberhasilan mendapat tanaman haploid melalui androgenesis dan ginogenesis. Tujuan penelitian ialah mendapatkan penanda morfologi bunga dan stadia yang tepat dari perkembangan mikrospora dan ovu. Studi biologi bunga meliputi studi tahap perkembangan bunga, penghitungan jumlah dan ukuran mikrospora, rasio tahap perkembangan mikrospora, viabilitas mikrospora dan seleksi stadia mikrospora dan ovul yang tepat untuk inisiasi kultur mikrospora dan ovul.. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ukuran kuncup bunga dan warna antera merupakan indikator waktu dilakukan pengambilan donor eksplan. D. chinensis Dchi-11 memiliki jumlah dan viabilitas mikrospora tertinggi (60,36%). Tahap perkembangan mikrospora dengan persentase late-uninucleate tertinggi (44,64%) pada saat ukuran kuncup bunga T2 (ukuran kuncup antara 1,31 1,50 cm, warna antera putih, umur 5 hari, pencoklatan antera paling rendah). Tahap perkembangan ovul T7 (ukuran kuncup antara 1, cm, panjang petal 30% lebih panjang dari panjang sepal, umur 10 hari) merupakan tahap yang tepat untuk induksi kultur ovul berdasarkan persentase pembentukan kalus (59,375%) dengan tipe kalus remah dan agak remah dan berwarna hijau. Kata kunci: indikator morfologi, viabilitas mikrospora, tahap perkembangan, mikrospora, ovul.

2 18 STUDY OF FLOWER BUD DEVELOPMENT, MICROSPORE AND OVULE OF Dianthus chinensis L. Abstract The study of anther or microspore and ovule critical development were important to determine the successfull of obtaining haploid plants through androgenesis and gynogenesis. The aim of the research was to determine mophological indicator of bud, dominan uninucleate microspore and the right ovule development stage for. Flower biological study comprised study of flower development, the number and size of microspore, ratio of microspore development stage, microspore viability and selection of the right microspore and ovule stage for culture initiation of microspore and ovul. The research showed that bud size and anther color are indicators for isolating donor explants. D. chinensis Dchi-11 has the highest microspore number and viability (60.36%). Bud size of T2 stage (44,64%, cm, white anther color, 5 days old, and the lowest browning anther) produce the highest late uninucleate microspore. Ovule development of T7 (1.81 2,00 cm, the length of petals are 30% longer than sepals length, 10 days old) was the right stage for ovule culture based on percentage of callus formation ((59,375%) and friable green callus. Key words: morphology indicator, microspore viability, flower bud development, microspore, ovule.

3 19 Pendahuluan Aplikasi teknologi kultur antera dan ovul pada tanaman anyelir masih jarang, oleh karena itu pengembangan penelitian ini dimulai dari studi tanaman donor, kajian khusus mengenai biologi bunga dan perkembangannya (morfologi maupun mikroskopi), studi perkembangan mikrospora, metode kultur; pemilihan pra-perlakuan yang optimal; pengembangan media inisiasi, regenerasi dan pemasakan embrio; analisis ploidi; penggandaan kromosom yang menjadi bagian penting dalam pengembangan teknologi haploid pada anyelir. Dari berbagai kajian mendasar tersebut pada akhir studi diharapkan dapat ditemukan teknologi haploid anyelir yang efektif, efisien, mudah diproduksi (reproducible) dan mudah diulang (repeatable). Induksi tanaman haploid melalui kultur in vitro antera, ovul dan ovari yang tidak diserbuki menjadi pendekatan yang biasa dilakukan untuk mendapatkan tanaman haploid pada beberapa tanaman. Pada beberapa spesies tanaman, efisiensi induksi haploid sangat bervariasi dan terdapat banyak kendala yang dapat mengurangi keberhasilan protokol yang telah dihasilkan (Musial et al. 2005). Tahap perkembangan eksplan merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi induksi haploid (Yang & Zhou 1982). Namun studi yang berkaitan dengan tahap perkembangan eksplan sedikit dipublikasi. Pada androgenesis tahap perkembangan serbuk sarinya mudah diamati, sedangkan pada ginogenik tahap perkembangan dalam kantong embrio lebih sulit diamati. Hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan pada umumnya tahap perkembangan megagametofit yang digunakan untuk induksi ginogenik ialah pada tahap kantong embrio masak (Musial et al. 2005). Namun menurut Bhojwani dan Thomas (2001) pada tahap kantong embrio muda lebih sesuai untuk diinduksi karena sel gamet betina melanjutkan perkembangannya sampai sel-sel yang ada dalam kantong embrio telah berdiferensiasi. Pada tahap awal studi ini diarahkan untuk mengungkap perkembangan kuncup bunga secara morfologi terkait dengan penampilan morfologi bunga (ukuran panjang, lebar diameter bunga, dan waktu bunga mekar), jumlah serbuk sari, ukuran dan viabilitas serbuk sari, rasio tahap perkembangan serbuk sari serta anatomi ovul. Aktivitas tahap ini memiliki tujuan utama untuk menyediakan data dasar terkait dengan pemanfaatannya dalam pengembangan kultur antera dan ovul anyelir.

4 A B C D E

5 21 antera, serbuk sari dan ovul dari tanaman donor, diamati dan diukur. Studi biologi ini melibatkan aplikasi anatomi sederhana (baik irisan lintang maupun membujur) dan pewarnaan (haematoxilin, fuchsin, Metilen-blue, aceto-orcein dan acetocarmin) untuk membantu memperjelas pengamatan. Studi ini akan dibandingkan langsung dengan studi tahap perkembangan serbuk sari dan ovul untuk menentukan tahap yang tepat untuk pengambilan tanaman donor. Perkembangan antera dan serbuk sari Penghitungan jumlah dan ukuran serbuk sari Untuk penghitungan jumlah serbuk sari, 2-3 antera dipanen, seluruh serbuk sarinya dikeluarkan dari kotak spora, kemudian dilarutkan dalam 1 ml media cair embriogenesis. Suspensi serbuk sari dibuat sehomogen mungkin melalui pengocokan menggunakan vortex. Setelah dirasa cukup homogen, sampel dipipet dan diletakkan di atas haemacytometer, dan ditutup dengan gelas penutup, diamati di bawah mikroskop. Serbuk sari dihitung menggunakan rumus A = (n x B)/N (Godini 1979), n : jumlah serbuk sari dalam setiap kotak, B = /jumlah kotak yang dihitung dan N = jumlah antera yang digunakan. Ukuran serbuk sari diukur menggunakan mikrometer okuler yang telah dikalibrasi. Pengukuran dilakukan sebanyak mungkin mewakili jumlah serbuk sari secara keseluruhan. Hasil penghitungan dan pengukuran selanjutnya ditampilkan dalam bentuk data rata-rata dan standar deviasinya untuk setiap tanaman donor. Studi rasio tahap perkembangan serbuk sari Tahap perkembangan serbuk sari diamati melalui pewarnaan inti sel menggunakan 4,6-diamidino-2-phenylindole (DAPI) (Custers et al, 2001) yang dilakukan pada Dianthus chinensis. Sebanyak 25 µl larutan serbuk sari dimasukkan dalam Eppendorf kecil kemudian disentrifugasi pada 4000 rpm selama 2-4 menit. Supernatan dipipet hingga hanya tersisa pelet dan sesedikit mungkin supernatan ditambah larutan kerja DAPI dengan konsentrasi 1 µg/ml, dan diaduk merata menggunakan ujung pipet. Campuran serbuk sari dan larutan DAPI dipipet dan letakkan di atas kaca obyek ditutup dengan gelas penutup, dan dibiarkan minimal 4 jam (1 malam) pada suhu 4ºC. Setelah inkubasi, serbuk sari diamati di bawah mikroskop UV pada perbesaran 200 dan 400x. Tahap-tahap perkembangan serbuk sari dihitung jumlahnya dan dibagi dengan jumlah seluruh

6 22 sel yang diamati dikalikan 100 untuk mengetahui persentasenya. Rasio perkembangan dihitung dengan membandingkan frekuensi perkembangan serbuk sari early uninucleate,mid uninucleate, late uninucleate, early binucleate dan binucleate yang ada dalam satu bidang pandang pengamatan. Frekuensi setiap tahap perkembangan serbuk sari dihitung dan dibagi total serbuk sari yang diamati pada tahap kuncup yang sama. Pengamatan dilakukan minimal pada 5 bidang pandang dan diulang minimal 5 kali untuk mendapatkan data yang valid. Uji viabilitas serbuk sari Pengujian viabilitas atau vitalitas sel serbuk sari atau polen menggunakan larutan kerja 10 µm fluorescein diacetate (FDA) (Custers et al. 2001). Larutan serbuk sari (90 µl) ditempatkan dalam Eppendorf yang telah dibungkus dengan aluminium ditambah 10 µl larutan stok FDA ke dalam larutan kultur serbuk sari dan diaduk rata, ditempatkan dalam gelap 10 menit. Sebanyak µl kultur serbuk sari yang telah diberi perlakuan FDA dipipet dan ditetes di atas kaca obyek dan ditutup dengan kaca penutup, dan segera dilakukan pengamatan di bawah mikroskop fluoresen. Jumlah serbuk sari yang memendarkan warna hijau diamati dan dihitung. Pengamatan diulang minimal pada 5 bidang pandang pengamatan. Viabilitas atau vitalitas sel (%) dihitung dengan membagi jumlah total sel yang fluoresen dengan jumlah total sel yang diamati pada satu bidang pandang dikalikan dengan 100%. Seleksi tahap perkembangan kuncup bunga pada berbagai media inisiasi double layer untuk kultur antera Percobaan faktorial terdiri atas dua faktor, disusun dalam Rancangan Acak Kelompok. Faktor pertama ialah tahap perkembangan kuncup bunga dan faktor ke dua ialah media induksi. Empat tahap perkembangan kuncup bunga yang diuji dalam kegiatan ini yaitu (1) kuncup 1 (T2), dominan mikrospora berada dalam kondisi tetrad, (2) kuncup 2 (T3), dominan mikrospora berada dalam tahap early dan middle uninucleate, (3) kuncup 3 (T4), dominan mikrospora berada pada tahap late uninucleate, dan (4) kuncup 4 (T5), dominan mikrospora berada pada tahap early binucleate. Masing-masing tahap ditanam dalam lima media yang diuji responnya dalam induksi pembentukan kalus dan/atau embrio adalah (1) M1 (Winarto et al. 2011), (2) M2 (Nontaswatsri et al. 2007), (3) M3 (Mosquera et al.

7 ), (4) M4 (Sato et al, 2000) dan (5) M5 (Fu et al. 2008). Setiap unit perlakuan diulang 10 kali. Setiap ulangan terdiri atas 1 cawan petri yang berisi 10 antera. Isolasi antera dilakukan dengan cara membersihkan kuncup bunga dengan kapas yang dibasahi alkohol 70%, kemudian dilewatkan di atas api sekilas. Antera diisolasi dengan cara membuka kuncup bunga, kemudian antera dan filament dipisahkan, dan ditanam dalam media induksi. Metode kultur sebar mikrospora antera (anther shed microspore culture) pada media double layer digunakan dalam penelitian ini. Prosedur penelitian menggunakan prosedur standard dari Dolcet-Sanjuan et al Media embriogenesis yang digunakan disusun dengan sistem double layer yang tersusun atas dua lapisan yaitu lapisan padat di bawah dan cair di atas. Media padat ditambahkan 0,5% arang aktif, dengan ph 5,8. Pengamatan dilakukan terhadap persentase pencoklatan dan kontaminasi. Perkembangan ovari atau ovul Pembuatan sayatan kuncup bunga D. chinensis Bahan difiksasi di dalam larutan FAA (formali : asam asetat glasial : alkohol 70% (v/v) = 5 :5 :90) selama 24 jam. Selanjutnya didehidrasi secara bertahap menggunakan alkohol 50% 100% masing-masing selama 30 menit. Kemudian dilakukan dealkoholisasi secara bertahap menggunakan campuran alkohol-xylol, dilanjutkan dengan xylol murni 1 dan 2 masing-masing 30 menit. Parafin diinfiltrasi sedikit demi sedikit sampai jenuh dan disimpan dalam oven dengan suhu 60 o C selama 3 jam. Parafin diganti dengan parafin baru dan disimpan dalam oven dengan suhu o C selama 3 hari. Sampel dimasukkan dalam parafin, kemudian blok sampel disayat dengan ketebalan µm menggunakan mikrotom putan (Yamato RV-240). Sayatan parafin yang berrbentuk pita di rekatkan pada gelas objek yang telah diolesi dengan larutan albumin-gliserin dan dikeringkan di atas hot plate dengan suhu 40 o C selama 3-5 jam. Sampel diwarnai dengan safranin 2% (b/v) dan fastgreen 0,5% (b/v). Seleksi tahap perkembangan kuncup bunga untuk kultur ovula tau ovari Percobaan merupakan faktor tunggal yang disusun dengan Rancangan Acak Kelompok. Tiga tahap perkembangan kuncup bunga yang diuji dalam kegiatan ini yaitu (1) kuncup bunga tahap T5, (2) kuncup bunga tahap T7, (3) kuncup bunga tahap T9. Kuncup bunga disimpan pada suhu 4 o C selama 1 hari

8 24 sebelum diisolasi. Masing-masing tahap tersebut ditanam dalam media MS + 4,52 µm 2,4-D µm BAP + 20 g L -1 sukrosa (Mosquera et al. 1999), yang diuji responnya dalam induksi pembentukan kalus. Setiap unit perlakuan diulang 8 kali. Setiap ulangan terdiri atas 1 cawan petri yang berisi 4 potongan ovul. Semua kultur diinkubasi pada kondisi gelap ± selama 7 hari pada suhu 4 o C dilanjutkan dengan inkubasi terang pada suhu 25 o C dengan lama penyinaran 16 jam di bawah lampu fluoresen (13 µmol.m -2.s -1 ) hingga kalus terbentuk. Peubah yang diamati dalam percobaan ini ialah persentase eksplan membentuk kalus (%), dan pengamatan kalus secara visual. Pengamatan dilakukan 1 bulan setelah inisiasi kultur. Analisis statistik Data pengamatan yang diperoleh dari hasil seleksi tahap perkembangan kuncup bunga untuk kultur ovul atau ovari, dianalisis menggunakan analisis ragam (ANOVA) dengan program SAS Release window 9.1. Data dalam bentuk persen ditransformasi ke dalam Arcsin. Untuk nilai 0% sebelum ditransformasi diganti dengan 1/4n, di mana n adalah jumlah satuan percobaan dari data persentase yang diperoleh. Jika terdapat perbedaan nilai rata-rata perlakuan maka dilakukan uji lanjutan menggunakan uji jarak berganda Duncan pada taraf kepercayaan 5%. Hasil Perkembangan kuncup bunga Inisiasi bunga ditandai dengan munculnya daun-daun kecil pada ujung tunas. Hari ke empat setelah inisiasi bunga ditentukan sebagai tahap perkembangan kuncup bunga T1. Pada tahap tersebut mikrospora didominasi oleh pollen mother cell (PMC) dan tetrad. Hari ke lima setelah inisiasi bunga ditentukan sebagai tahap perkembangan kuncup bunga T2 yang didominasi oleh mikrospora mid uninukleat. Tahap T3 yang didominasi oleh mikrospora late uninukleat pada hari ke enam setelah inisiasi bunga dan seterusnya sampai bunga mekar sebagai tahap T10 pada hari ke 13 setelah inisiasi kuncup bunga. Hasil studi ini diketahui bahwa dari lima genotipe Dianthus chinensis yang digunakan memiliki kecepatan antesis yang. Pada tahap T3 bagian pucuk kuncup sedikit terbuka, dan pada tahap T4 ujung petal yang berwarna putih mulai

9

10 26 Tabel 1. Rata-rata jumlah antera dan warna antera pada setiap tahap pertumbuhan bunga lima genotipe Dianthus chinensis Warna antera Rata-rata jumlah antera per bunga pada tahap Genotipe pada satu pertumbuhan kuncup bunga T1 T2 T3 T4 T5 T6 T7 (4 hr) (5 hr) (6hr) (7 hr) (8 hr) (9 hr) (10 hr) putih 10,0 10,0 10,0 3,9 0,9 0,0 0,0 Dchi-11 Ungu muda 0,0 0,0 0,0 6,1 9,0 1,0 0,0 Ungu tua 0,0 0,0 0,0 0,0 0,1 9,0 10 putih 10,0 10,0 10,0 10,0 5,2 0,0 0,0 Dchi-12 Ungu muda 0,0 0,0 0,0 0,0 4,8 2,4 0,0 Ungu ttua 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 7,6 10,0 putih 10,0 10,0 10,0 8,9 4,5 0,3 0,0 Dchi-13 Ungu muda 0,0 0,0 0,0 1,1 5,5 8,8 0,0 Ungu tua 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,7 10,0 putih 10,0 10,0 9,6 7,25 3,2 0,0 0,0 Dchi-14 Ungu muda 0,0 0,0 0,4 2,75 4,1 0,0 0,0 Ungu tua 0,0 0,0 0,0 0,0 2, ,2 putih 10,0 10,0 10,0 9,33 5,0 0,0 0,0 Dchi-15 Ungu muda 0,0 0,0 0,0 0,67 5,0 0,5 0,0 Ungu tua 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 9,5 12 Keterangan: Data dihitung dari rata-rata 10 sampel kuncup bunga yang diambil secara acak. T1, T2.T7 = tahap perkembangan kuncup bunga pertama, ke dua..ke tujuh, 4 hari, 5 hari 10 hari setelah inisiasi bunga. Warna antera berubah dari warna putih menjadi ungu muda, dan pada saat masak menjadi berwarna ungu tua. Perubahan warna antera ini merupakan karakter yang stabil yang terjadi pada tahap pertumbuhan kuncup bunga T3 pada semua genotipe yang diamati. Perubahan warna ini dapat digunakan sebagai penanda dengan pembandingan perkembangan serbuk sari untuk mendapatkan ciri spesifik pada saat yang tepat untuk pengambilan eksplan tanaman donor. Pengamatan tahap perkembangan serbuk sari dilakukan dengan mewarnai serbuk sari dengan berbagai macam pewarnaan yaitu aceto-orcein, metilene blue, fuchsin dan campuran metilene blue dan fuchsin (1:1). Pewarnaan terbaik yang dapat mewarnai inti dalam serbuk sari adalah campuran metilene blue dan fuchsin. Hasil pewarnaan serbuk sari dengan campuran antara metilene blue dan fuchsin pada serbuk sari diperoleh bahwa tahap perkembangan T1 banyak didominasi oleh tahap pollen mother cell (sel induk mikrospora) dan tetrad. Pada tahap perkembangan T2 didominasi oleh mid uninucleat (tahap serbuk sari berinti tunggal di tengah) dan tahap perkembangan T3 didominasi oleh late uninucleate. Sedang tahap perkembangan T4, tahap di mana terjadi perubahan warna antera menjadi ungu, bentuk binucleate (tahap inti awal tunggal membelah menjadi 2

11

12 28 ukuran >20 µm, sedang dengan ukuran µm, dan ukuran kecil <15 µm. Semua genotipe yang diamati memiliki ukuran serbuk sari yang bervariasi. Tabel 2. Jumlah serbuk sari per antera lima genotipe Dianthus chinensiss Genotipe Dchi-11 Dchi-12 Dchi-13 Dchi-14 Dchi-15 Jumlah serbuk sari per anteraa kisaran Rata-rata* ± ± ± ± ± 8044 Keterangan: Data dihitung dari rata-rata 10 kali isolasi pada 5 bidang pengamatan. *Rata-rata ± standard deviasi Rasio tahap perkembangann serbuk sari Seleksi tahap perkembangan serbuk sari didasarkan penanda morfologi dan antera. Panjang sepal, dan petal kuncup bunga serta morfologi kuncup sangat berguna untuk menentukann tahap awal sebagai indikator seleksi kuncup bunga yang tepat. Hasil pengamatan pada serbuk sari tahap T2 merupakan tahap dengan serbuk sari late uninukleat tertinggi (44,64%), dan tidak terjadi perubahan warna antera dari putih menjadi ungu (Tabel 3). Tahap T2 ini bentuk kuncup masih tertutup rapat, dan akan mulai terbuka pada tahap T3 (Gambar 5A). Tahap T3 mulai terjadi perubahan warna antera yang didominasi serbuk sari pada tahap early binukleat (Gambar 3, Tabel 3). Penggunaan kriteria warna pada antera merupakan kriteria yang paling efektif sebagai indikator seleksi bahan dasar yang lebih sesuai dibandingkan dengan ukuran kuncup, karena adanya keragaman yang disebabkan oleh pengaruh lingkungan. A B C Gambar 5. Karakteristik kuncup bunga dan antera pada 5 tahap perkembangann bunga Dianthus chinensis. (A) ujung kuncup tahap T1-T2 belum terbuka, tahap T3 mulai terbuka, tahap T4 petal terlihat 30% dan T5 terjadi perubahan warna petal (B) Kuncup tahap T1-T2 warna petal putih, T3 petal sedikit ungu (C) Warna antera dalam satu bunga putih tahap T1-T2, warna antera dalam satu bunga 30% putih, 30% ungu muda dan 40% ungu tua pada T3, warna antera dalam satu bunga > 50% ungu tua pada tahap T4, dan semua antera berwarna ungu tua pada tahap T5.

13 Umur kuncup (hari) Tahap antera Ukuran kuncup (cm) Karakteristik Rasio tahap perkembangan serbuk sari Warna antera EU MU LU EB B 4 T1 1,21-1,30 Antera putih 5,10 67,35 27,55 0,00 0,00 5 T2 1,31-1,50 Antera putih 3,57 33,93 44,64 17,86 0,00 6 T3 1,51-1,60 Antera putih 6,76 10,81 29,73 35,14 17,57 7 T4 1,61-1,70 8 T5 >1,71 30% antera ungu muda, Ujung kuncup muncul petal warna putih > 50% ungu muda, petal berubah warna sesuai warna bunga 1,30 19,48 20,78 20,78 37,66 0,00 16,67 20,00 21,67 41,67 Panjang kuncnup (cm) 2 1,5 1 0,5 0 y = -0,020x 2 + 0,376x + 0,001 R² = 0,988 PMC-tetrad Uninu cleate Binucleate Umur kuncup (hari) Polen/serbuk sari

14 Genotipe Viabilitas serbuk sari (%) Viabel Non viabel Dchi-11 60,36 ± 10,73 39,64 ± 10,73 Dchi-12 56,72 ± 36,15 43,28 ± 36,15 Dchi-13 57,85 ± 7,93 42,15 ± 7,93 Dchi-14 44,91 ± 21,51 55,09 ± 21,51 Dchi-15 55,02 ± 22,26 44,98 ± 22,26

15 31 Hasil uji viabilitas serbuk sari terlihat bahwa rata-rata serbuk sari viabel berkisar 44 60% (Tabel 4). Persentase viabilitas tertinggi ditunjukkan oleh genotipe Dchi-11 dan Dchi-13. Uji viabilitas ini terkait dengan jumlah antera yang harus ditanam. Seleksi tahap perkembangan kuncup bunga pada berbagai media inisiasi double layer untuk kultur antera Hasil seleksi tahap perkembangan kuncup bunga tidak dapat dianalisis secara statistik, karena hasil pengamatan tidak diperoleh embrio. Hasil yang disajikan bersifat observatif dengan mengamati pencoklatan dan kontaminasi. Hasil observasi peroleh bahwa pada tahap T2 yang memiliki antera dengan pencoklatan terkecil (Tabel 5) dan pencoklatan tertinggi yaitu tahap T4. Makin lanjut tahap kuncup bunga, makin tinggi pencoklatan. Tabel 5. Respon empat tahap perkembangan mikrospora genotipe Dchi-11 pada berbagai media induksi embrio/kalus. Tahap kuncup Media Rata-rata bunga M1 M2 M3 M4 M5 Pencoklatan (%) T T T T rata-rata Tahap kuncup Media Rata-rata bunga M1 M2 M3 M4 M5 Kontaminasi (%) T T T T rata-rata Keterangan: data merupakan rata-rata dari 10 ulangan. T1= 4 hari setelah inisiasi bunga, T2 = bunga mekar 5 hari setelah inisiasi bunga, dst. T= tahap perkembangan. Komposisi media di lampiran 3. Kontaminasi disebabkan oleh munculnya bakteri pada minggu ke dua setelah tanam. Pencoklatan terjadi mulai minggu ke dua terutama pada tahap T4 dan T5. Tahap T4 dan T5 mengandung antera dengan warna ungu, yang pada umumnya paling cepat mengalami degenerasi. Dari 5 macam media yang diuji, tidak ada satu media yang sesuai. Pada media yang mengalami kontaminasi, menyebabkan pencoklatan pada eksplan (Gambar 8A), sehingga kondisi ini dapat mengaburkan hasil, apakah pencoklatan terjadi karena media yang tidak sesuai atau karena pengaruh kontaminasi.

16 32 A B Gambar 8. Eksplan kultur antera 4 minggu setelah kultur; (A) Pencoklatan pada antera yang banyak terjadi pada tahap T3-T5; (B) antera tahap T2 yang sedikit terjadi pencoklatan. Bar 1 mm Dari hasil pengamatan, tahap perkembangan mikrospora T2 dengan inti dominan mid-late uninucleate memiliki potensi untuk diuji lebih lanjut, karena memiliki persentase pencoklatan yang paling rendah. Selanjutnya tahap T2 ini yang digunakan untuk penelitian selanjutnya, sementara media lain perlu diuji lagi karena dengan sistem kultur sebar menggunakan media double layer (dua lapis padat cair) tidak berhasil. Untuk mengetahui tidak responnya antera atau mikrospora terhadap media induksi, maka dilakukan pemeriksaan sampel kultur antera setiap minggu kemudian dianalisis histologi pada eksplan antera. Hasil yang diperoleh disajikan pada Gambar 9. Gambar 9. Histologi kultur antera. (A-C) 2 minggu setelah kultur; (D-F) 3 minggu setelah kultur; (B) pembelahan sel dari jaringan penghubungg ke dalam lokus dalam antera (tanda panah), (C) sel jaringan penghubung yang meristimatik dan (F) Sel-sel dinding antera yang meristematik. M= mikrospora, Ld=lokus dalam antera, Tp=tapetum Hasil histologi padaa kultur antera pada media double layer terlihat bahwa pada 2 minggu setelah kultur, serbuk sari masih terlihat ada di dalam lokus dalam antera, tetapi tidak mengalami pertumbuhan (Gambar 9A dan B). Sel yang

17

18 34 sel tunggal yang merupakan hasil pembelahan mitosis sel induk megaspora pada tahap T7. Sel induk megaspora yang lengkap ada delapan inti yang terdiri atas dua inti polar, tiga inti sel antipodal, satu inti sel telur dan dua inti sel sinergid. Jaringan-jaringan lain selain 8 inti tersebut merupakan jaringan dengan level ploidi 2n yaitu jaringan nuselus, integumen, dan funikulus. Pada tahap T5 didominasi oleh sel nuselus (Gambar 9C). Pada tahap T7 di dalam ovul telah terbentuk dua inti (Gambar 9F). Seleksi tahap perkembangan kuncup bunga untuk kultur ovul/ovari Hasil penelitian menunjukkan bahwa tahap perkembangan kuncup bunga mempengaruhi terbentuknya kalus pada eksplan. Tahap kuncup T5 memiliki ratarata persentase terbentuknya kalus terendah dan lebih rendah dari pada tahap kuncup T7 dan T9 (Tabel 6). Tahap kuncup T7 merupakan tahap kuncup yang paling banyak membentuk kalus, tetapi tidak berbeda dengan tahap kuncup T9. Tabel 6. Pengaruh tahap kuncup terhadap terbentuknya kalus pada ovula atau ovari Dchi-11, 8 minggu setelah tanam. Perlakuan Umur kuncup bunga (hari sejak inisiasi bunga) Rata-rata persentase terbentuknya kalus * (%) Warna dan tipe kalus Tahap kuncup T5 8 9,375 b kalus hijau agak remah Tahap kuncup T ,375 a kalus hijau remah dan kalus hijau agak remah Tahap kuncup T ,875 ab kalus hijau agak remah Keterangan : * rata-rata persentase terbentuknya kalus dihitung dari rata-rata setiap unit perlakuan. Angka rataan yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji wilayah berganda Duncan pada taraf kepercayaan 5%. T5= 8 hari setelah inisiasi bunga, T7 = 10 hari setelah inisiasi bunga, T9 = bunga mekar 12 hari setelah inisiasi bunga. Pembahasan Perkembangan kuncup bunga Hasi penelitian menunjukkan bahwa setiap tahap perkembangan bunga terdapat variasi ukuran kuncup bunga antar genotipe yang kemungkinan disebabkan oleh faktor internal (genotipe) tanaman dan faktor eksternal (lingkungan). Variasi ukuran kuncup bunga ini akan menyulitkan penetapan

19 35 stándar untuk seleksi tanaman donor. Panjang kuncup bunga Dianthus chinensis untuk donor antera menurut Fu et al. (2008) adalah antara 7,5-8 mm. Pada ukuran kuncup bunga tersebut, tahap serbuk sari adalah uninukleat. Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Fu et al. (2008). Apabila dikaitkan dengan pengamatan serbuk sari setiap tahap pada penelitian ini, tahap uninukleat dominan dicapai pada ukuran kuncup bunga 1,31-1,5 cm. Hasil ini menunjukkan bahwa ukuran kuncup bunga kemungkinan dipengaruhi oleh perbedaan genotipe, umur kuncup, lingkungan tempat tumbuh dan iklim, serta budidaya tanaman, sehingga ukuran kuncup bunga pada penelitian ini hanya berlaku untuk genotipe yang sedang diamati. Perkembangan antera dan serbuk sari Pengamatan antera dan serbuk sari Penanda lain yang dapat diamati dan dijadikan sebagai standar adalah mulai sedikit terbukanya kelopak di bagian ujung kuncup (tahap T3), di mana pada kondisi itu mulai terjadi perubahan warna antera dari putih menjadi ungu, dan pada tahap ini, kuncup bunga tidak dapat dijadikan sebagai donor antera, karena pada tahap ini serbuk sari berada pada tahap dominan binukleat. Pengamatan ini tidak dilakukan Fu et al. (2000), sehingga hasil penelitian Fu et al. (2000) berdasarkan ukuran bunga tidak dapat dijadikan acuan. Seleksi tanaman donor didasarkan pada perubahan warna antera juga dilakukan pada tanaman cabe yang merupakan penanda morfologi yang penting (Supena 2004). Penghitungan jumlah serbuk sari dan ukurannya Penghitungan jumlah serbuk sari dilakukan untuk menentukan kepadatan antera atau serbuk sari yang harus dikultur. Kepadatan antera dalam kultur akan menentukan keberhasilan. Antera cenderung untuk melekat satu sama lain sehingga kepadatan tertentu akan melindungi antera menempel pada dinding cawan petri pada kultur media cair (Keller 1984; Hoekstra et al dan Arnison et al. 1990). Setiap tanaman akan memiliki kepadatan antera atau serbuk sari yang berbeda-beda. Pada tanaman Brassica jumlah 6 antera per ml media merupakan kepadatan yang optimal (Keller 1984), sedang pada tanaman padi kepadatan antera yang diperlukan adalah 3 antera per ml media. Menurut Huang et al. (1990) kepadatan kultur serbuk sari pada Brassica napus adalah 3-4 x 10 4

20 36 mikrospora per ml dan pada jagung 6-8 x 10 4 mikrospora per ml (Gaillard et al. 1991). Kepadatan antera yang sesuai untuk kultur juga tergantung pada kualitas materi yaitu persentase serbuk sari yang viabel. Rasio tahap perkembangan serbuk sari Tahap uninucleate sampai tahap early binucleate pada banyak kasus merupakan tahap paling responsif untuk menginduksi perubahan serbuk sari dari perkembangan gametofit (membentuk polen) ke perkembangan sporofit (membentuk embrio atau kalus) akibat stres lingkungan pada beberapa perlakuan yang diberikan (Palmer & Keller 2005). Penelitian androgénesis pada tanaman Dianthus sp sebagian besar regeneran yang diperoleh melalui tahap kalus yang diaplikasikan pada tahap late uninucleate sampai tahap early binucleate (Mosquera et al. 1999; Nontaswatsri et al. 2008; Fu et al. 2008). Tahap ini dikatakan merupakan tahap yang kompeten di mana sel-sel serbuk sari memiliki respon yang tinggi terhadap induksi stres yang diberikan. Karena pada tahap uninucleate ini sel serbuk sari mengalami peningkatan síntesis protein dan berkurangnya laju síntesis DNA serta RNA (Cordewener et al. 1995; Saunders & Saunders 1988) yang berkorelasi dengan perkembangan embriogenik. Pada tahap uninucleate akhir sampai tahap awal binucleate perkembangan embriogenik dimulai dengan pembelahan asimetris pertama yang dengan adanya sinyal yang berasal dari induksi stres yang diberikan, dirubah menjadi pembelahan simetris. Jika tahap induksi awal menggunakan tahap biselular sebagai donor awal perkembangan embriogenik dimulai dengan masuknya kembali ke siklus sel G1 dari vegetatif sel. Pembelahan sporofitik berlanjut untuk membentuk embrio (Binarova et al. 1997). Hasil pengamatan antara morfologi kuncup bunga dan tahap perkembangan serbuk sari dapat digambarkan dalam bentuk grafik hubungan antara panjang kuncup bunga dengan tahap perkembangan serbuk sari (Sunderland & Wick 1971). Studi mengenai hubungan antara panjang kuncup dengan tahap perkembangan serbuk sari sangat penting untuk menentukan tahap perkembangan polen pada saat akan dilakukan isolasi, karena tidak mungkin semua antera satu persatu dianalisis sitologis (Sopory & Maheswari 1976). Walaupun penentuan morfologi kuncup bunga ini bukan merupakan kriteria utama penentuan materi donor, tetapi kuncup bunga mewakili tahap seleksi awal tanaman donor.

21 37 Uji viabilitas serbuk sari Viabilitas serbuk sari Dianthus sp pada umumnya rendah. Menurut Galbally & Galbally (1997) anyelir memiliki viabilitas yang sangat rendah dengan persentase perkecambahan kurang dari 10%. Pengamatan viabilitas serbuk sari diperlukan untuk menentukan kepadatan antera dalam kultur. Kepadatan suatu kultur tergantung dari kualitas materi yaitu persentase serbuk sari yang embriogenik (Sopory & Munshi 1996). Apabila rata-rata viabilitas 50%, maka jumlah antera yang harus di tanam dua kali jumlah prediksi optimalnya. Mengacu pada kepadatan serbuk sari Brassica optimal yaitu per ml (Sopory & Munshi 1996), maka dengan jumlah serbuk sari per antera rata-rata Dchi-11 ± (Tabel 2), viabilitas serbuk sari Dchi-11 50%, maka dengan cawan petri berdiameter 6 cm berisi 5 ml media, jumlah antera Dianthus yang harus ditanam adalah antera. Selain itu dengan melihat morfologi atau ciri unik dari Dianthus chinensis yang memiliki dua inti identik yang diduga merupakan gamet 2n menurut Fu et al. (2008), maka penentuan donor polen untuk kultur antera atau serbuk sari sangat menentukan karena apabila serbuk sari ini yang berkembang maka dipastikan tanaman tersebut adalah heterosigot. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa genotipe Dchi-11, Dchi-13 dan Dchi-15 memiliki serbuk sari berukuran besar, sehingga apabila genotipe ini disertakan, kemungkinankemungkinan di atas harus diantisipasi. Seleksi tahap perkembangan kuncup bunga pada berbagai media inisiasi padat cair untuk kultur antera Tahap perkembangan mikrospora sejalan dengan perubahan warna antera. Pada tahap perkembangan T3 (30% antera ungu muda) pencoklatan mulai meningkat sejalan dengan makin lanjutnya tahap perkembangan mikrospora. Pencoklatan kemungkinan terjadi karena adanya akumulasi komponen fenolik pada eksplan dimana terjadi proses perubahan adaptif bagian tanaman akibat adanya pengaruh fisik dan biokimia (memar, pengupasan, pemotongan, serangan penyakit, atau kondisi yang tidak normal), bisa juga merupakan gejala alamiah dari proses penuaan yang terjadi pada antera. Menurut Sheeler dan Bianchi (1987), bagian sel tanaman yaitu vakuola sebagai tempat untuk penyimpanan air dan produk-produk sel khususnya metabolit sekunder termasuk fenol. Didalam pemotongan jaringan, vakuola

22 38 terpotong dan mengeluarkan fenol yang akan bereaksi dengan enzim fenol oksidase di dalam sitosol sehingga terbentuk kuinon yang menyebabkan warna coklat dan beracun. Eksplan pada penelitian ini tidak dilakukan pemotongan, sehingga apabila terjadi pencoklatan kemungkinan berkaitan dengan penggunaan eksplan tahap perkembangan kuncup yang makin lanjut. Makin lanjut tahap perkembangan kuncup bunga, pencoklatan makin tinggi. Apabila pencoklatan bersumber dari hasil pemotongan eksplan, kemungkinan bersumber dari pemotongan fillamen dari antera. Perkembangan ovari atau ovul Anatomi kuncup bunga, ovari dan ovul D. chinensis Tanaman D. chinensis memiliki ovul yang terbentuk dari satu poros bunga. Poros bunga menyatu membentuk satu ruangan (loculus) (Gambar 10E). Ovul melekat pada plasenta yang dihubungkan oleh funikulus. Sel induk mikrospora dalam ovul akan membelah secara meiosis menghasilkan empat megaspora yang masing-masing mempunyai set kromosom haploid. Hanya satu megaspora yang bertahan dan berkembang menjadi kantong embrio, sedangkan tiga yang lain gugur. Inti dalam kantong embrio mengalami pembelahan tiga kali membentuk satu inti sel telur, dua inti sel sinergid, tiga inti antipodal dan dua inti polar. Pola perkembangan megasporogenesis D. chinensis termasuk tipe polygonum (Sniezko 2006). Dua inti pada tahap perkembangan T7 pada Gambar 10F diduga merupakan hasil pembelahan pertama yang berasal dari satu inti hasil meiosis yang masih bertahan. Seleksi tahap perkembangan kuncup bunga untuk kultur ovul atau ovari Biasanya tahap serbuk sari late-uninucleate merupakan target yang responsif untuk mengubah gametofitik menjadi sporofitik. Pada ginogenesis kisaran tahap perkembangan ovul untuk diinduksi sangat lebar. Gametofit jantan dan betina tanaman Dianthus chinensis tidak masak bersamaan. Pada tanaman bit gula kuncup bunga diisolasi pada umur 1-3 hari sebelum antesis (Ferrant & Bouharmont 1994), tanaman bawang merah 3-5 hari sebelum antesis (Martinez et al. 2000). Pada penelitian ini donor ovul terbaik berasal dari kuncup bunga pada tahap T7 (umur 10 hari setelah munculnya bunga).

23 39 Simpulan 1. Ukuran, bentuk kuncup bunga dan warna antera merupakan indikator waktu dilakukan pengambilaan donor eksplan. 2. Tahap perkembangan kuncup T2 (LU tertinggi (44,64%), ukuran kuncup antara 1,31 1,50 cm, warna antera putih, umur 5 hari, pencoklatan terendah) merupakan tahap yang tepat untuk kultur antera. 3. Tahap perkembangan kuncup T7 (ukuran kuncup antara 1, cm, panjang petal 30% lebih panjang dari panjang sepal, umur 10 hari) merupakan tahap yang tepat untuk kultur ovul dan ovari berdasarkan persentase terbentuknya kalus dan tipe kalus.

TINJAUAN PUSTAKA Morfologi Bunga Kedelai Induksi Androgenesis

TINJAUAN PUSTAKA Morfologi Bunga Kedelai Induksi Androgenesis 4 TINJAUAN PUSTAKA Morfologi Bunga Kedelai Bunga tanaman kedelai termasuk bunga sempurna dengan tipe penyerbukan sendiri yang terjadi pada saat mahkota bunga masih menutup, sehingga kemungkinan kawin silang

Lebih terperinci

HASIL Hubungan ciri morfologi malai jantan dan stadia mikrospora

HASIL Hubungan ciri morfologi malai jantan dan stadia mikrospora 3 HASIL Hubungan ciri morfologi malai jantan dan stadia mikrospora Morfologi malai jantan kelapa sawit dalam penelitian ini dibedakan berdasarkan ukuran pembukaan spata, posisi spikelet pada malai, dan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Kondisi Umum Percobaan

HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Kondisi Umum Percobaan 25 HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Kondisi Umum Percobaan Sejumlah faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan kultur adalah suhu, cahaya, karbondioksida, oksigen, etilen, dan kelembaban

Lebih terperinci

INDUKSI HAPLOID Dianthus chinensis MELALUI ANDROGENESIS SECARA IN VITRO

INDUKSI HAPLOID Dianthus chinensis MELALUI ANDROGENESIS SECARA IN VITRO 41 INDUKSI HAPLOID Dianthus chinensis MELALUI ANDROGENESIS SECARA IN VITRO Abstrak Komposisi media mempengaruhi kemampuan antera membentuk kalus dan/atau embrio serta regenerasi tanaman. Pada tanaman Dianthus

Lebih terperinci

Kultur Invitro untuk Tanaman Haploid Androgenik. Yushi Mardiana, SP, Msi Retno Dwi Andayani, SP, MP

Kultur Invitro untuk Tanaman Haploid Androgenik. Yushi Mardiana, SP, Msi Retno Dwi Andayani, SP, MP Kultur Invitro untuk Tanaman Haploid Androgenik Yushi Mardiana, SP, Msi Retno Dwi Andayani, SP, MP Pendahuluan Tanaman haploid ialah tanaman yang mengandung jumlah kromosom yang sama dengan kromosom gametnya

Lebih terperinci

3 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat

3 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat 15 Tabel 8 Daftar komposisi media pada kultur mangga Komponen A B C D E Unsur makro ½ MS B5 B5 B5 ½B5 Unsur mikro MS MS MS MS MS Fe-EDTA ½MS MS MS MS MS Vitamin dan asam amino MS MS MS MS MS Asam askorbat

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilakukan pada bulan Januari-April Penelitian ini

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilakukan pada bulan Januari-April Penelitian ini 28 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini telah dilakukan pada bulan Januari-April 2013. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Botani Jurusan Biologi Fakultas MIPA. B.

Lebih terperinci

II. METODE PENELITIAN

II. METODE PENELITIAN II. METODE PENELITIAN A. Materi dan Deskripsi Lokasi 1. Bahan Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian adalah daun jambu air (Syzygium aqueum). Kemikalia yang digunakan yaitu larutan alkohol 96%, ethanol,

Lebih terperinci

bio.unsoed.ac.id MATERI DAN METODE PENELITIAN

bio.unsoed.ac.id MATERI DAN METODE PENELITIAN III. MATERI DAN METODE PENELITIAN A. Materi, Lokasi, dan Waktu Penelitian 1. Materi Penelitian 1.1 Bahan Bahan yang digunakan antara lain daun salak [Salacca zalacca (Gaertn.) Voss] kultivar Kedung Paruk,

Lebih terperinci

II. METODE PENELITIAN

II. METODE PENELITIAN II. METODE PENELITIAN A. Materi dan Deskripsi Lokasi 1. Bahan Bahan yang diperlukan dalam penelitian ini adalah daun 10 kultivar kacang tanah ( kultivar Bima, Hypoma1, Hypoma2, Kancil, Kelinci, Talam,

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Materi, Lokasi dan Waktu Penelitian 1. Materi Alat dan bahan tercantum dalam Lampiran 1. 2. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Struktur dan Perkembangan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 2,4-D terhadap induksi pembelahan sporofitik mikrospora anggrek bulan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 2,4-D terhadap induksi pembelahan sporofitik mikrospora anggrek bulan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh perlakuan hormon 2,4-D terhadap induksi pembelahan sporofitik mikrospora anggrek bulan Phalaenopsis amabilis L. (Bl.) dan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Materi Alat dan Bahan Materi yang digunakan dalam penelitian yaitu sampel daun jambu semarang Buah Pink, Hijau Bulat, Unsoed, Merah Lebar', Kaget Merah, Camplong Putih, Irung

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini termasuk jenis penelitian eksperimental menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial dengan 3 ulangan. Faktor pertama, konsentrasi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan Tumbuhan

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan Tumbuhan BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan Tumbuhan Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Maulana

BAB III METODE PENELITIAN. Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Maulana 38 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan di laboratorium Plant Physiology and Culture Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Maulana Malik

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 2.1 Brokoli (Brassica oleracea L. var. italica Plenck) Struktur morfologi brokoli berupa akar, tangkai, daun dan bunga (Gambar

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 2.1 Brokoli (Brassica oleracea L. var. italica Plenck) Struktur morfologi brokoli berupa akar, tangkai, daun dan bunga (Gambar 22 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Brokoli (Brassica oleracea L. var. italica Plenck) 2.1.1 Morfologi Brokoli Struktur morfologi brokoli berupa akar, tangkai, daun dan bunga (Gambar 2.1). Bunga terdiri atas

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Kota Yogyakarta (lokasi 1) dari pusat kota ke arah Gunung Merapi sebagai lokasi yang relatif tercemar dan di Kota Solo

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terutama di negara-negara berkembang dan yang sedang berkembang baik di

BAB I PENDAHULUAN. terutama di negara-negara berkembang dan yang sedang berkembang baik di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Cabai rawit (Capsicum frutescens L.) merupakan tanaman hortikultura semusim yang mempunyai nilai ekonomi. Cabai rawit memiliki nilai tinggi untuk industri makanan dan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu 14 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Balai Penelitian Tanaman Hias (Balithi) Segunung dengan ketinggian 1 100 m dpl (di atas permukaan laut). Penelitian dilakukan pada Februari

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. eksplan hidup, persentase eksplan browning, persentase eksplan kontaminasi,

HASIL DAN PEMBAHASAN. eksplan hidup, persentase eksplan browning, persentase eksplan kontaminasi, IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengamatan terhadap proses induksi akar pada eksplan dilakukan selama 12 minggu. Pengamatan dilakukan untuk mengetahui pertumbuhan dan pengaruh pada setiap perlakuan yang diberikan.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga. Untuk analisis sitologi

BAB III METODE PENELITIAN. Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga. Untuk analisis sitologi BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini akan dilaksanakan selama lima bulan, mulai bulan Januari 2011 sampai Mei 2011 di Laboratorium Kultur Jaringan, Departemen Biologi,

Lebih terperinci

PROSES PEMBENTUKAN BIJI PADA ANGIOSPERMAE

PROSES PEMBENTUKAN BIJI PADA ANGIOSPERMAE PROSES PEMBENTUKAN BIJI PADA ANGIOSPERMAE DISUSUN OLEH: PREKDI S. BERUTU NIM: 160301034 Mata Kuliah : Teknologi Benih Dosen Pengampu : Risky Ridha, SP., MP PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan. Penelitian ini dimulai pada bulan

BAHAN DAN METODE. Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan. Penelitian ini dimulai pada bulan BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini akan dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan Fakultas Pertanian, Medan. Penelitian ini dimulai pada bulan Maret 2010 sampai dengan Juni 2010.

Lebih terperinci

BIOTEKNOLOGI TERMINOLOGI DAN MACAM KULTUR JARINGAN

BIOTEKNOLOGI TERMINOLOGI DAN MACAM KULTUR JARINGAN BIOTEKNOLOGI TERMINOLOGI DAN MACAM KULTUR JARINGAN PEMBAGIAN KULTUR JARINGAN Kultur organ (kultur meristem, pucuk, embrio) Kultur kalus Kultur suspensi sel Kultur protoplasma Kultur haploid ( kultur anther,

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan tempat 3.2 Alat dan Bahan 3.3 Metode Penelitian pendahuluan

3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan tempat 3.2 Alat dan Bahan 3.3 Metode Penelitian pendahuluan 12 menjadi planlet/tanaman. Hormon NAA cenderung menginduksi embrio somatik secara langsung tanpa pembentukan kalus. Embrio somatik yang dihasilkan lebih normal dan mudah dikecambahkan menjadi planlet/tanaman,

Lebih terperinci

DUNIA TUMBUHAN. Plant 1. 1/24

DUNIA TUMBUHAN. Plant 1. 1/24 DUNIA TUMBUHAN CIRI-CIRI TUMBUHAN PENGELOMPOKAN TUMBUHAN A.TUMBUHAN TIDAK BERPEMBULUH B.TUMBUHAN BERPEMBULUH B.1.TIDAK BERBIJI B.2.BERBIJI B.2.1.GYMNOSPERMAE B.2.2.ANGIOSPERMAE Plant 1. 1/24 CIRI-CIRI

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Proliferasi Kalus Embriogenik Kalus jeruk keprok Garut berasal dari kultur nuselus yang diinduksi dalam media dasar MS dengan kombinasi vitamin MW, 1 mgl -1 2.4 D, 3 mgl -1 BAP, 300

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Padi

TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Padi TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Padi Padi (Oryza sativa L.) adalah tanaman yang termasuk dalam famili Gramineae dan genus Oryza (Grist, 1959). Padi dapat tumbuh pada berbagai lokasi dan iklim yang berbeda.

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Materi, Lokasi dan Waktu Penelitian 1. Materi Penelitian a. Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah jamur yang memiliki tubuh buah, serasah daun, ranting, kayu

Lebih terperinci

TATA CARA PENELITIAN. A. Waktu dan Tempat Penelitian. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kultur In Vitro Fakultas

TATA CARA PENELITIAN. A. Waktu dan Tempat Penelitian. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kultur In Vitro Fakultas III. TATA CARA PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kultur In Vitro Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Penelitian dimulai pada bulan April

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan mulai bulan Januari 2009 sampai dengan bulan Agustus 2009 di Laboratorium Bioteknologi Tanaman, Departemen Agronomi dan Hortikultura,

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Laboratorium terpadu Kultur jaringan Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Laboratorium terpadu Kultur jaringan Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari bulan April sampai bulan Agustus 2016 di Laboratorium terpadu Kultur jaringan Fakultas Sains dan Teknologi,

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilakukan di Laboratorium Penyakit Tanaman, Fakultas Pertanian,

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilakukan di Laboratorium Penyakit Tanaman, Fakultas Pertanian, 16 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Penyakit Tanaman, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung dan penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni 2014

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di laboratorium Kultur Jaringan Tumbuhan Jurusan

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di laboratorium Kultur Jaringan Tumbuhan Jurusan BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan di laboratorium Kultur Jaringan Tumbuhan Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim

Lebih terperinci

BAHA DA METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian

BAHA DA METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian BAHA DA METODE Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Bioteknologi Tanaman Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dimulai

Lebih terperinci

II. MATERI DAN METODE PENELITIAN

II. MATERI DAN METODE PENELITIAN 8 II. MATERI DAN METODE PENELITIAN 1. Materi, Lokasi, dan Waktu Penelitian 1.1 Materi Penelitian 1.1.1 Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah jamur yang bertubuh buah, serasah daun, batang/ranting

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Kehutanan dan di Laboratorium Hama dan Penyakit Tanaman Program Studi

METODE PENELITIAN. Kehutanan dan di Laboratorium Hama dan Penyakit Tanaman Program Studi 23 METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Bioteknologi Program Studi Kehutanan dan di Laboratorium Hama dan Penyakit Tanaman Program Studi Agroekoteknologi,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 14 HASIL DAN PEMBAHASAN Hubungan viabilitas diperlukan untuk menduga keberhasilan proses fertilisasi atau viabilitas suatu polen yang ditunjukkan oleh diameter polen pepaya, daya berkecambah polen pepaya,

Lebih terperinci

PETUNJUK PRAKTIKUM BIOLOGI MODUL 3 BIOPSIKOSOSIOKULTURAL FAKULTAS KEDOKTERAN

PETUNJUK PRAKTIKUM BIOLOGI MODUL 3 BIOPSIKOSOSIOKULTURAL FAKULTAS KEDOKTERAN PETUNJUK PRAKTIKUM BIOLOGI MODUL 3 BIOPSIKOSOSIOKULTURAL FAKULTAS KEDOKTERAN BAGIAN BIOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG 2012 TATA TERTIB PRAKTIKUM BIOLOGI 1. Saat praktikum berlangsung

Lebih terperinci

IV. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. Air leri merupakan bahan organik dengan kandungan fosfor, magnesium

IV. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. Air leri merupakan bahan organik dengan kandungan fosfor, magnesium IV. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN Air leri merupakan bahan organik dengan kandungan fosfor, magnesium dan vitamin B1 yang efektif bila dimanfaatkan sebagai bahan tambahan pada proses perbanyakan tanaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan di Indonesia merupakan sumber plasma nutfah yang sangat potensial

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan di Indonesia merupakan sumber plasma nutfah yang sangat potensial 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Indonesia dikenal sebagai negara dengan tingkat keanekaragaman sumber daya hayati yang tinggi, khususnya tumbuhan. Keanekaragaman genetik tumbuhan di

Lebih terperinci

HASIL. Rasio Panjang Panjang. Varietas

HASIL. Rasio Panjang Panjang. Varietas 14 HASIL Hubungan Morfologi Kuncup Bunga dengan Perkembangan Mikrospora Fase perkembangan mikrospora pada bunga dapat ditandai dengan perubahan morfologi bagian bunga. Pada bunga kedelai, perkembangan

Lebih terperinci

II. METODELOGI PENELITIAN

II. METODELOGI PENELITIAN II. METODELOGI PENELITIAN 2.1 Metode Pengumpulan Data 2.1.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di UPT Laboratorium Biosain dan Bioteknologi Universitas Udayana. Penelitian ini berlangsung

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. RANCANGAN PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen yang dilaksanakan dengan Rancangan Acak Lengkap Faktorial dua faktor yaitu faktor kombinasi larutan enzim

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu. Bahan Tanaman dan Media

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu. Bahan Tanaman dan Media BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Bioteknologi Tanaman, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan 2

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan 2 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan 2 perlakuan, yaitu pemberian zat pengatur tumbuh BAP yang merupakan perlakuan pertama dan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Dianthus chinensis L.

TINJAUAN PUSTAKA. Dianthus chinensis L. TINJAUAN PUSTAKA Dianthus chinensis L. Dianthus termasuk dalam tanaman dikotil dari family Caryophyllaceae (Bunt & Cockshull 1985). Famili Caryophyllaceae terdiri atas 80 genera dan 2000 spesies baik tanaman

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE 24 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Ilmu Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Lampung, dimulai dari Maret sampai dengan Mei 2013. 3.2 Bahan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di laboratorium Plant Physiology and Culture

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di laboratorium Plant Physiology and Culture BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan di laboratorium Plant Physiology and Culture Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Maulana Malik

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Padi

TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Padi 3 TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Padi Padi merupakan tanaman yang termasuk ke dalam genus Oryza Linn. Terdapat dua spesies padi yang dibudidayakan, yaitu O. sativa Linn. dan O. glaberrima Steud.

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PEELITIA 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Balai Pengkajian Bioteknologi, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Serpong, Tangerang. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitaian ini di lakukan di Laboratorium Kultur Jaringan Tumbuhan

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitaian ini di lakukan di Laboratorium Kultur Jaringan Tumbuhan BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tepat Penelitaian ini di lakukan di Laboratorium Kultur Jaringan Tumbuhan Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Eksplorasi Eksplan Terubuk

HASIL DAN PEMBAHASAN Eksplorasi Eksplan Terubuk 22 HASIL DAN PEMBAHASAN Eksplorasi Eksplan Terubuk Bahan tanam awal (eksplan) merupakan salah satu faktor penting dalam keberhasilan perbanyakan tanaman secara in vitro. Eksplan yang baik untuk digunakan

Lebih terperinci

PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA KULTUR ANTHERA PEPAYA SECARA IN VITRO UNTUK MENGHASILKAN TANAMAN HAPLOID. Jenis Kegiatan PKM Artikel Ilmiah

PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA KULTUR ANTHERA PEPAYA SECARA IN VITRO UNTUK MENGHASILKAN TANAMAN HAPLOID. Jenis Kegiatan PKM Artikel Ilmiah PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA KULTUR ANTHERA PEPAYA SECARA IN VITRO UNTUK MENGHASILKAN TANAMAN HAPLOID Jenis Kegiatan PKM Artikel Ilmiah Diusulkan oleh : Miftah Faridzi A34070042 (2007) Vicky Saputra A24050609

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Jurusan Biologi

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Jurusan Biologi 13 III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lampung. Penelitian

Lebih terperinci

II. BAHAN DAN METODE 2. 1 Rancangan penelitian 2.2 Persiapan wadah 2.3 Penyediaan larva ikan patin

II. BAHAN DAN METODE 2. 1 Rancangan penelitian 2.2 Persiapan wadah 2.3 Penyediaan larva ikan patin II. BAHAN DAN METODE 2. 1 Rancangan penelitian Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan acak lengkap dengan 4 perlakuan dan 5 kali ulangan. Rancangan perlakuan yang diberikan pada larva ikan

Lebih terperinci

INDUKSI PEMBELAHAN SPOROFITIK MIKROSPORA KEDELAI MELALUI KULTUR ANTERA PADA SISTEM MEDIA DUA LAPIS BUDIANA

INDUKSI PEMBELAHAN SPOROFITIK MIKROSPORA KEDELAI MELALUI KULTUR ANTERA PADA SISTEM MEDIA DUA LAPIS BUDIANA INDUKSI PEMBELAHAN SPOROFITIK MIKROSPORA KEDELAI MELALUI KULTUR ANTERA PADA SISTEM MEDIA DUA LAPIS BUDIANA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. 1. Pengaruh konsentrasi benziladenin dengan dan tanpa thidiazuron terhadap

III. BAHAN DAN METODE. 1. Pengaruh konsentrasi benziladenin dengan dan tanpa thidiazuron terhadap III. BAHAN DAN METODE Penelitian ini terdiri atas 2 percobaan, yaitu: 1. Pengaruh konsentrasi benziladenin dengan dan tanpa thidiazuron terhadap multiplikasi tunas pisang Kepok Kuning (genom ABB) eksplan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial yaitu pemberian

BAB III METODE PENELITIAN. menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial yaitu pemberian BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Rancangan Percobaan Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental yang menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial yaitu pemberian zat pengatur tumbuh 2,4-D (1

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni 2010 sampai dengan bulan Oktober 2010 di Laboraturium Bioteknologi Tanaman, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas

Lebih terperinci

SET 5 REPRODUKSI SEL 2 (GAMETOGENESIS) Gametogenesis adalah pembentukan gamet pada tubuh makhluk hidup. a. GametOGenesis pada manusia dan hewan

SET 5 REPRODUKSI SEL 2 (GAMETOGENESIS) Gametogenesis adalah pembentukan gamet pada tubuh makhluk hidup. a. GametOGenesis pada manusia dan hewan 05 MATERI DAN LATIHAN SBMPTN TOP LEVEL - XII SMA BIOLOGI SET 5 REPRODUKSI SEL 2 (GAMETOGENESIS) Gametogenesis adalah pembentukan gamet pada tubuh makhluk hidup. a. GametOGenesis pada manusia dan hewan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilaksanakan mulai bulan Maret sampai Juli 2014 di

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilaksanakan mulai bulan Maret sampai Juli 2014 di III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini telah dilaksanakan mulai bulan Maret sampai Juli 2014 di Laboratorium Genetika dan Pemuliaan Tanaman Fakultas Pertanian dan Peternakan Universitas

Lebih terperinci

TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Yogyakarta, GreenHouse di Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah

TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Yogyakarta, GreenHouse di Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah III. TATA CARA PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di lahan kering, Desa Gading PlayenGunungkidul Yogyakarta, GreenHouse di Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Yogyakarta,

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian tentang populasi bakteri dan keberadaan bakteri gram pada

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian tentang populasi bakteri dan keberadaan bakteri gram pada 10 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian tentang populasi bakteri dan keberadaan bakteri gram pada pellet calf starter dengan penambahan bakteri asam laktat dari limbah kubis terfermentasi telah dilaksanakan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 26 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan 3, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, IPB selama sembilan minggu sejak Februari hingga

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 22 HASIL DAN PEMBAHASAN Percobaan I. Induksi Kalus Awalnya percobaan ini menggunakan rancangan percobaan RAL 2 faktorial namun terdapat beberapa perlakuan yang hilang akibat kontaminasi kultur yang cukup

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Rancangan Acak Lengkap (RAL) Faktorial yang terdiri dari 2 faktor. Faktor

BAB III METODE PENELITIAN. Rancangan Acak Lengkap (RAL) Faktorial yang terdiri dari 2 faktor. Faktor BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) Faktorial yang terdiri dari 2 faktor. Faktor yang pertama

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini di lakukan di Laboratorium Kultur Jaringan Tumbuhan Jurusan

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini di lakukan di Laboratorium Kultur Jaringan Tumbuhan Jurusan BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini di lakukan di Laboratorium Kultur Jaringan Tumbuhan Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan usaha komersil pada mulanya hanya dikenal di negara-negara maju, namun

BAB I PENDAHULUAN. dan usaha komersil pada mulanya hanya dikenal di negara-negara maju, namun BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Budaya menggunakan tanaman hias dan bunga bagi tujuan kesenangan dan usaha komersil pada mulanya hanya dikenal di negara-negara maju, namun akhirnya meluas hingga

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Kultur Jaringan Tanaman Eksplan

TINJAUAN PUSTAKA Kultur Jaringan Tanaman Eksplan TINJAUAN PUSTAKA Kultur Jaringan Tanaman Kultur in vitro merupakan suatu budidaya dalam botol. Salah satu kegiatan dalam kultur in vitro adalah kultur jaringan yaitu budidaya in vitro yang menggunakan

Lebih terperinci

Uji Sitotoksik Analisis Statistik HASIL DAN PEMBAHASAN Uji Sitotoksik Analisis Siklus Sel dengan Flow Cytometry

Uji Sitotoksik Analisis Statistik HASIL DAN PEMBAHASAN Uji Sitotoksik Analisis Siklus Sel dengan Flow Cytometry 8 serta doxorubicin 1 µm. Penentuan nilai konsentrasi pada flow cytometry berdasarkan daya penghambatan yang dimungkinkan pada uji sel hidup dan rataan tengah dari range konsentrasi perlakuan. Uji Sitotoksik

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Rancangan acak lengkap (RAL) faktorial dengan 2 faktor yaitu:

BAB III METODE PENELITIAN. Rancangan acak lengkap (RAL) faktorial dengan 2 faktor yaitu: BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini termasuk penelitian eskperimental yang menggunakan Rancangan acak lengkap (RAL) faktorial dengan 2 faktor yaitu: 1. Faktor pertama: konsentrasi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. rancangan penelitian yang digunakan adalah acak lengkap dengan lima kelompok,

BAB III METODE PENELITIAN. rancangan penelitian yang digunakan adalah acak lengkap dengan lima kelompok, BAB III METODE PENELITIAN A. Rancangan dan Desain Penelitian Penelitian yang dilaksanakan merupakan penelitian eksperimen, rancangan penelitian yang digunakan adalah acak lengkap dengan lima kelompok,

Lebih terperinci

Sampel air panas. Pengenceran 10-1

Sampel air panas. Pengenceran 10-1 Lampiran 1. Metode kerja Sampel air panas Diambil 10 ml Dicampur dengan media selektif 90ml Di inkubasi 24 jam, suhu 50 C Pengenceran 10-1 Di encerkan sampai 10-10 Tiap pengenceran di tanam di cawan petri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi tinggi karena memiliki warna dan tampilan yang memikat dengan ukuran

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi tinggi karena memiliki warna dan tampilan yang memikat dengan ukuran BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Lili (Lilium sp.) merupakan tanaman hias yang banyak diminati serta bernilai ekonomi tinggi karena memiliki warna dan tampilan yang memikat dengan ukuran bunga yang

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada Rimpang Kencur (Kaempferia galanga L) telah dilaksanakan di

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada Rimpang Kencur (Kaempferia galanga L) telah dilaksanakan di 22 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Pengaruh Auksin (2,4 D) Dan Air Kelapa Terhadap Induksi Kalus Pada Rimpang Kencur (Kaempferia galanga L) telah dilaksanakan di Laboratorium Terpadu Universitas

Lebih terperinci

TATA CARA PENELITIAN. A. Waktu dan Tempat Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kultur In Vitro Fakultas

TATA CARA PENELITIAN. A. Waktu dan Tempat Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kultur In Vitro Fakultas III. TATA CARA PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kultur In Vitro Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Yogyakarta pada bulan Januari April 2016.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 1.1 Pengaruh Pembentukan Kalus Pada Media MS Kombinasi ZPT BAP dan 2,4-D.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 1.1 Pengaruh Pembentukan Kalus Pada Media MS Kombinasi ZPT BAP dan 2,4-D. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 1.1 Pengaruh Pembentukan Kalus Pada Media MS Kombinasi ZPT BAP dan 2,4-D. Selama masa inkubasi, kalus mulai terlihat tumbuh pada minggu ke-5. Data hari tumbuhnya kalus seluruh

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. 1. Percobaan 1: Pengaruh konsentrasi 2,4-D terhadap proliferasi kalus.

III. BAHAN DAN METODE. 1. Percobaan 1: Pengaruh konsentrasi 2,4-D terhadap proliferasi kalus. 18 III. BAHAN DAN METODE 3.1 STUDI 1: REGENERASI TANAMAN TEBU (Saccharum officinarum L.) DARI KALUS YANG TIDAK DIIRADIASI SINAR GAMMA Studi ini terdiri dari 3 percobaan yaitu : 1. Percobaan 1: Pengaruh

Lebih terperinci

HASIL. Tingkat perubahan warna, panjang kedalaman zona perubahan warna serta tingkat wangi dinyatakan dalam nilai rata-rata ± simpangan baku.

HASIL. Tingkat perubahan warna, panjang kedalaman zona perubahan warna serta tingkat wangi dinyatakan dalam nilai rata-rata ± simpangan baku. 4 Tabel 1 Rancangan pemberian MeJA 750 mm secara berulang. Induksi / Pengamatan Perlakuan (hari ke-) Induksi 0 10 25 50 75 M1 * * * * M2 * * * M3 * * M4 * Keterangan : = pemberian * = pengamatan M1= Perlakuan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan Peremajaan Aktinomiset dari Kultur Penyimpanan Perbanyakan Sclerotium rolfsii dari Kultur Penyimpanan

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan Peremajaan Aktinomiset dari Kultur Penyimpanan Perbanyakan Sclerotium rolfsii dari Kultur Penyimpanan BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB) mulai Maret 2011 sampai

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan / Ilmu Tanaman Fakultas

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan / Ilmu Tanaman Fakultas III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan / Ilmu Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Penelitian dilaksanakan mulai Maret 2013

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan dari Bulan April sampai dengan Juni 2013, di

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan dari Bulan April sampai dengan Juni 2013, di 17 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan dari Bulan April sampai dengan Juni 2013, di Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE. Percobaan dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan Teknologi

BAB III BAHAN DAN METODE. Percobaan dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan Teknologi BAB III BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Percobaan Percobaan dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan Teknologi Benih, Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran, Jatinangor. Penelitian dilakukan

Lebih terperinci

MISKONSEPSI PADA BUKU PELAJARAN BIOLOGI KELAS 3 SLTP POKOK BAHASAN PERKEMBANGBIAKAN TUMBUHAN

MISKONSEPSI PADA BUKU PELAJARAN BIOLOGI KELAS 3 SLTP POKOK BAHASAN PERKEMBANGBIAKAN TUMBUHAN Seminar Nasional Pendidikan, Penelitian, dan Penerapan MIPA. Hotel Sahid Raya, 8 Februari 2005 MISKONSEPSI PADA BUKU PELAJARAN BIOLOGI KELAS 3 SLTP POKOK BAHASAN PERKEMBANGBIAKAN TUMBUHAN Oleh : Budiwati

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kacang tanah (Arachis hypogaea L.) memiliki peran strategis dalam pangan

I. PENDAHULUAN. Kacang tanah (Arachis hypogaea L.) memiliki peran strategis dalam pangan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kacang tanah (Arachis hypogaea L.) memiliki peran strategis dalam pangan nasional sebagai sumber protein dan minyak nabati, dalam setiap 100 g kacang tanah mentah mengandung

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada awalnya kedelai dikenal dengan beberapa nama botani yaitu Glycine soja

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada awalnya kedelai dikenal dengan beberapa nama botani yaitu Glycine soja 8 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani dan Morfologi Kedelai Pada awalnya kedelai dikenal dengan beberapa nama botani yaitu Glycine soja atau Soja max, tetapi pada tahun 1984 telah disepakati nama botani yang

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian mengenai penambahan starter ekstrak nanas dengan level berbeda

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian mengenai penambahan starter ekstrak nanas dengan level berbeda 15 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian mengenai penambahan starter ekstrak nanas dengan level berbeda pada pollard terhadap kandungan total bakteri, Gram positif/negatif dan bakteri asam laktat telah

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2 Alat dan Bahan 3.3 Jenis Data Data Primer

BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2 Alat dan Bahan 3.3 Jenis Data Data Primer 21 BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Kota Yogyakarta sebagai kota yang terkena dampak langsung erupsi Gunung Merapi dan di lokasi yang relatif tidak terlalu

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juni sampai dengan bulan Agustus

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juni sampai dengan bulan Agustus III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juni sampai dengan bulan Agustus 2014 di Laboratorium Botani (ruang penelitian in vitro) dan Laboratorium Mikrobiologi,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian 3.1.1. Tempat dan waktu pengambilan sampel Sampel diambil di Pantai Timur Surabaya, tepatnya di sebelah Timur Jembatan Suramadu (Gambar 3.1).

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN 22 METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Januari 2010 sampai dengan Pebruari 2011. Tempat pelaksanaan kultur jaringan tanaman adalah di Laboratorium Kultur Jaringan

Lebih terperinci

bio.unsoed.ac.id III. METODE PENELITIAN A. Materi 1. Materi Penelitian

bio.unsoed.ac.id III. METODE PENELITIAN A. Materi 1. Materi Penelitian III. METODE PENELITIAN A. Materi 1. Materi Penelitian Materi penelitian berupa benih ikan nilem (Osteochilus hasselti C.V.) berumur 1, 2, 3, dan 4 bulan hasil kejut panas pada menit ke 25, 27 atau 29 setelah

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Ilmu Penyakit Tanaman Fakultas

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Ilmu Penyakit Tanaman Fakultas III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Ilmu Penyakit Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Pelaksanaan penelitian dimulai dari September

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Tanaman cabai rawit (Capsicum frutescens L.) varietas Dewata F1

BAB III METODE PENELITIAN. Tanaman cabai rawit (Capsicum frutescens L.) varietas Dewata F1 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari sampai Juni 2012 di Laboratorium Fisiologi Tumbuhan, Departemen Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi,

Lebih terperinci

III. TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kultur In vitro Fakultas

III. TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kultur In vitro Fakultas III. TATA CARA PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kultur In vitro Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, pada Bulan November 2015 hingga

Lebih terperinci

KULTUR PROTOPLAS Berkembang pada tahun1960, setelah diketemukan cara menghilangkan dinding sel secara enzimatis

KULTUR PROTOPLAS Berkembang pada tahun1960, setelah diketemukan cara menghilangkan dinding sel secara enzimatis BIOTEKNOLOGI Victoria Henuhili, MSi *)., Jurdik Biologi FMIPA UNY Sub Topik : FUSI PROTOPLAS KULTUR PROTOPLAS Berkembang pada tahun1960, setelah diketemukan cara menghilangkan dinding sel secara enzimatis

Lebih terperinci

Teknologi Haploid Anyelir: Studi Tahap Perkembangan Mikrospora dan Seleksi Tanaman Donor Anyelir

Teknologi Haploid Anyelir: Studi Tahap Perkembangan Mikrospora dan Seleksi Tanaman Donor Anyelir Kartikaningrum et al.: Teknologi Haploid Anyelir: Studi Tahap Perkembangan Mikrospora... J. Hort. 21(2):101-112, 2011 Teknologi Haploid Anyelir: Studi Tahap Perkembangan Mikrospora dan Seleksi Tanaman

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Kondisi Umum Lokasi Penelitian

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Kondisi Umum Lokasi Penelitian IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Umum Lokasi Penelitian Tanaman salak yang digunakan pada penelitian ini adalah salak pondoh yang ditanam di Desa Tapansari Kecamatan Pakem Kabupaten Sleman Yogyakarta.

Lebih terperinci