INDUKSI KALUS DAN REGENERASI TIGA GENOTIPE TOMAT (Solanum lycopersicum L.) MELALUI KULTUR ANTERA RATNA NINGSIH

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "INDUKSI KALUS DAN REGENERASI TIGA GENOTIPE TOMAT (Solanum lycopersicum L.) MELALUI KULTUR ANTERA RATNA NINGSIH"

Transkripsi

1 INDUKSI KALUS DAN REGENERASI TIGA GENOTIPE TOMAT (Solanum lycopersicum L.) MELALUI KULTUR ANTERA RATNA NINGSIH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016

2

3 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Induksi Kalus dan Regenerasi Tiga Genotipe Tomat (Solanum lycopersicum L.) melalui Kultur Antera adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Oktober 2016 Ratna Ningsih NIM A

4 RINGKASAN RATNA NINGSIH. Induksi Kalus dan Regenerasi Tiga Genotipe Tomat (Solanum lycopersicum L.) melalui Kultur Antera. Dibimbing oleh BAMBANG SAPTA PURWOKO, MUHAMAD SYUKUR dan ISWARI SARASWATI DEWI. Tomat merupakan salah satu komoditas unggulan di Indonesia yang masih memiliki produktivitas rendah dibandingkan dengan potensi hasil yang dapat diperoleh. Oleh karena itu, upaya perakitan varietas unggul tomat untuk meningkatkan produktivitas melalui kegiatan pemuliaan tanaman perlu dilakukan. Kegiatan pemuliaan yang umum digunakan adalah persilangan yang diikuti dengan seleksi, sehingga memerlukan waktu yang panjang. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu metode yang dapat membantu mempercepat proses tersebut. Paduan teknologi haploid dan pemuliaan konvensional dapat mempersingkat waktu seleksi dalam proses pemuliaan tanaman. Kultur antera merupakan salah satu metode dalam teknologi haploid yang paling banyak digunakan, termasuk pada tanaman tomat. Keberhasilan kultur antera tomat dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya genotipe, media, fase perkembangan mikrospora, pra perlakuan sebelum kultur, dan kondisi lingkungan kultur. Saat ini, belum ada media dan fase perkembangan mikrospora yang baku dalam kultur antera sehingga upaya untuk mendapatkan media perlu dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui fase perkembangan mikrospora berdasarkan panjang antera dan kuncup bunga pada percobaan 1 dan mengetahui tanggap androgenesis tiga genotipe tomat melalui kultur antera pada berbagai media induksi kalus dan regenerasi tanaman pada percobaan 2. Percobaan 1 menggunakan kuncup bunga dengan ukuran 1 mm hingga 10 mm untuk mendapatkan nilai panjang antera dan 2 hingga 7 mm untuk mendapatkan fasefase perkembangan mikrospora. Tiap pengamatan panjang kuncup diulang sebanyak 6 kali. Tiap kuncup diambil 3 antera untuk diukur panjangnya dan diamati fase perkembangan mikrosporanya. Fase perkembangan mikrospora diamati sebanyak 2 kali untuk tiap antera per kuncup. Ratarata panjang antera genotipe Tora, Ratna dan hibrida Permata adalah 2.3±0.2 mm, 2.3±0.3 mm, dan 2.5±0.2 mm. Fase meiosis pada genotipe Tora, Ratna dan Permata berada pada panjang kuncup berturutturut 2 mm hingga 4 mm, 2 mm hingga 5 mm dan 2 mm hingga 4 mm. Fase tetrad pada genotipe Tora, Ratna dan Permata berada pada panjang kuncup berturutturut 5 mm hingga 6 mm, 5 mm dan 4 mm hingga 5 mm. Fase mikrospora pada genotipe Tora, Ratna dan Permata berada pada panjang kuncup berturutturut 7 mm, 7 mm, dan 6 mm hingga 7 mm. Percobaan 2 menggunakan rancangan acak lengkap dua faktor dengan lima ulangan. Perlakuan terdiri dari 3 genotipe dan enam media induksi kalus pada percobaan 2a dan tiga genotipe serta dua media regenerasi pada percobaan 2b. Genotipe yang digunakan adalah Tora, Ratna dan hibrida Permata. Media induksi kalus yang digunakan adalah M1 (DBMI + 5 mg L 1 Kinetin + 2 mg L 1 NAA), M2 (DBMII + 1 mg L 1 Kinetin + 2 mg L 1 NAA), M3 (DBMIII mg L 1 Kinetin + 5 mg L 1 NAA), M4 (MS + 1 mg L 1 2ip + 2 mg L 1 IAA), M5 (MS mg L 1 2.4D + 2 mg L 1 Kinetin) dan M6 (MS mg L 1 Zeatin mg L 1

5 IAA). Media regenerasi yang digunakan adalah R1 (MS + 1 mg L 1 Zeatin mg L 1 IAA) dan R2 (MS mg L 1 Zeatin). Hasil penelitian menunjukkan bahwa inisiasi kalus terjadi setelah 25.0 hingga 28.0 hari dan inisiasi tunas terjadi setelah 57.0 hari hingga 68.0 hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tomat varietas hibrida Permata memiliki tanggap androgenesis yang lebih baik dibandingkan genotipe lainnya. Permata memiliki persentase jumlah kalus paling tinggi (27.3%), kemudian diikuti oleh genotipe Tora (14.0%) dan Ratna (12.0%). Persentase induksi kalus paling tinggi ditunjukkan oleh media DBMI + 5 mg L 1 Kinetin + 2 mg L 1 NAA (39.7%) dan DBMII + 1 mg L 1 Kinetin + 2 mg L 1 NAA (33.0%). Baik genotipe maupun media yang digunakan menghasilkan jumlah tunas yang rendah. Persentase induksi tunas varietas hibrida Permata (4.2%) lebih tinggi dari Tora (2.1%) dan Ratna (0.0%). Persentase induksi tunas Media MS + 1 mg L 1 Zeatin mg L 1 IAA sebesar 2.8% sedangkan MS mg L 1 Zeatin sebesar 1.4%. Kata kunci Auksin, fase perkembangan mikrospora, media kultur, sitokinin, tomat

6 SUMMARY RATNA NINGSIH. Callus Induction and Regeneration of Three Tomato Genotypes (Solanum lycopersicum L.) through Anther Culture. Under supervision of BAMBANG SAPTA PURWOKO as chairman, MUHAMAD SYUKUR and ISWARI SARASWATI DEWI as members of the advisory commitee. Tomato is the one of horticulture crop in Indonesia which had low productivity. Therefore, breeding need to be conducted. Generally, crossing and selection used in plant breeding need a long time. Bredeers need a simple method to help them to quicken the process. Haploid technology is the best tools to speed time for selection in breeding process. Anther culture is the most promising method in haploid technology. However, the success of tomato anther culture depends on many factors, among others genotype, media, stage of microspore, pre treatment before culture, and environment condition of culture. Culture media and microspore development stage are two factors in anther culture which have not been estabilished. The aim of this research were to evaluate anther and microspore development stage based on anther and bud length in the first experiment and to evaluate androgenesis response of three tomato genotypes in callus induction and regeneration media in the second experiment. Ten buds length from 1 mm to 10 mm were used to evaluate anther length and 2 mm to 7 mm of buds were used to evaluate microspore development stage in the first experiment with six replications. Three anthers on every bud were used to measure anther length and microspore development stage. The result showed that anther length of Tora, Ratna and Permata were 2.3±0.2 mm, 2.3±0.3 mm, and 2.5±0.2 mm respectively. Meiosis stage of all genotypes showed in 2 mm to 4 mm of bud length, while Ratna in 2 mm to 5 mm. Tetrad stage of Tora, Ratna and Permata showed in 5 to 6 mm, 4 mm, and 4 to 5 mm respectively. Microspore stage of Tora, Ratna and Permata showed in 7 mm, 7 mm, and 6 to 7 mm respectively. Completely randomized design with factorial arrangement and 5 replications were used in the second experiment. Treatments consisted of three genotypes of tomato, six callus induction media in the 2a experiment and three genotypes and two regeneration media in the 2b experiment. Tora, Ratna and Permata genotypes were used in this experiment. Callus induction media consisted of six media M1 (DBMI + 5 mg L 1 Kinetin + 2 mg L 1 NAA), M2 (DBMII + 1 mg L 1 Kinetin + 2 mg L 1 NAA), M3 (DBMIII mg L 1 Kinetin + 5 mg L 1 NAA), M4 (MS + 1 mg L 1 2ip + 2 mg L 1 IAA), M5 (MS mg L 1 2.4D + 2 mg L 1 Kinetin) and M6 (MS mg L 1 Zeatin mg L 1 IAA) and two regeneration media R1 (MS + 1 mg L 1 Zeatin mg L 1 IAA) and R2 (MS mg L 1 Zeatin). The result showed that callus initiation started at 25.0 to 28.6 days after planting and bud initiation started at 57.0 to 68.0 days after planting. Hybrid variety Permata had the highest anther culture ability than other genotypes. Permata had the highest percentage of callus induction (27.3%) followed by Tora (14.0%) and Ratna (12.0%). The highest percentage of callus induction was shown in DBMI + 5 mg L 1 Kinetin + 2 mg L 1 NAA medium (39.7%) followed by DBMII + 1 mg L 1 Kinetin + 2 mg L 1 NAA medium (33.0%). Both genotypes and media gave low percentage of shoot induction. The high percentage of shoot induction in

7 hybrid variety Permata was 4.2% while in Tora was 2.1% and Ratna was 0.0%. The high percentage of shoot induction in MS + 25 mg L 1 Zeatin was 2.8% while in MS + 1 mg L 1 Zeatin mg L 1 IAA was 1.4%. Keywords Auxin, cytokinin, media culture, tomato microspore development stage,

8 Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi UndangUndang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

9 INDUKSI KALUS DAN REGENERASI TIGA GENOTIPE TOMAT (Solanum lycopersicum L.) MELALUI KULTUR ANTERA RATNA NINGSIH Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains Pada Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016

10 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis Dr Diny Dinarti, SP MSi

11

12 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan karunianya sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Penelitian yang berjudul Induksi Kalus dan Regenerasi Tiga Genotipe Tomat (Solanum lycopersicum L.) melalui Kultur Antera dilaksanakan sejak bulan April 2015 hingga April Penulis menyampaikan terima kasih kepada Prof Dr Ir Bambang Sapta Purwoko, MSc, Prof Dr Muhamad Syukur, SP MSi dan Dr Iswari Saraswati Dewi selaku pembimbing tesis dan Dr Dini Dinarty selaku dosen penguji luar komisi. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibunda, Ayahanda, Kakakkakak (Irma, Rian, Rahma, Nur, Ismail, Yanti, Risal, Faldi, dan Indri) dan Adikadik (Sarah, Dhana dan Lia), serta ponakan tersayang (Abdul, Sahadia, Ezza, Mirzha, dan Haikal) atas dukungan, perhatian, doa, kasih sayang, nasihat dan bimbingan yang tiada hentinya kepada penulis. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi atas kesempatan melanjutkan studi melalui Beasiswa Pendidikan Pascasarjana Dalam Negeri (BPPDN). Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Kepala Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian (BB BIOGEN) yang telah mengizinkan penelitian di Laboratorium Biologi Sel dan Jaringan, Laboratorium Mikrobiologi dan Rumah Kaca Cikeumeuh Cimanggu, serta kepada teknisi yang turut serta membantu kelancaran jalannya penelitian. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh staf dan pegawai Pascasarjana khususnya Departemen Agronomi dan Hortikultura atas segala kemudahan bantuan dan arahannya. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada temanteman seperjuangan program studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman angkatan 2013, serta sahabatsahabat terbaik berbagai daerah (Aqlima, Yudia, Ami, Umi, Eny, Budi, Desi, Arin, dan Arina) atas doa, kerja sama dan kebersamaan selama ini. Semoga tesis ini bermanfaat. Bogor, Oktober 2016 Ratna Ningsih

13 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN vi vi vi 1 PENDAHLUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian Hipotesis Ruang Lingkup Penelitian 3 2 TINJAUAN PUSTAKA Biologi dan Manfaat Tanaman Tomat Pemuliaan Tanaman Tomat Kultur Antera Kultur Antera Tomat 7 3 IDENTIFIKASI FASE PERKEMBANGAN MIKROSPORA PADA ANTERA TOMAT (Solanum lycopersicum L.) 10 Abstract 10 Abstrak Pendahuluan Bahan dan Metode Hasil dan Pembahasan Kesimpulan Saran 16 4 INDUKSI PEMBENTUKAN KALUS DAN REGENERASI TUNAS 17 Abstract 17 Abstrak Pendahuluan Bahan dan Metode Hasil dan Pembahasan Kesimpulan 29 5 PEMBAHASAN UMUM 30 6 KESIMPULAN UMUM DAN SARAN Kesimpulan Saran 34 DAFTAR PUSTAKA 35 LAMPIRAN 39 RIWAYAT HIDUP 47

14 DAFTAR TABEL 1 Panjang antera tiga genotipe tomat saat panjang kuncup 1 mm hingga 10 mm 13 2 Panjang antera dan fase perkembangan mikrospora tiga genotipe tomat berdasarkan panjang kuncup 13 3 Hasil analisis ragam pengaruh genotipe dan media terhadap jumlah kalus, diameter kalus, dan jumlah tanaman pada kultur antera tomat 21 4 Perbedaan respon lamanya inisiasi kalus, jumlah kalus dan persen jumlah kalus tomat pada genotipe yang berbeda 22 5 Perbedaan respon lamanya inisiasi kalus, jumlah kalus dan persen jumlah kalus pada media tomat yang berbeda 23 6 Pertambahan diameter tunas, lamanya inisiasi tunas, jumlah tunas dan persen jumlah tunas terhadap jumlah kalus pada tiga genotipe tomat dan dua media regenerasi 26 DAFTAR GAMBAR 1 Diagram alir penelitian 3 2 Fase perkembangan mikrospora tomat yang diamati 14 3 Fase perkembangan mikrospora tomat Tora 14 4 Fase perkembangan mikrospora tomat Ratna 15 5 Fase perkembangan mikrospora tomat Permta 15 6 Induksi pembentukan kalus tomat 21 7 Modus data jumlah responding antera berespon per kuncup pada tiap genotipe tomat 24 8 Penampilan kalus yang berkembang pada media induksi tunas tomat 24 9 Penampilan kalus yang berhadapan dengan media induks tunas tomat Pertumbuhan tunas tomat Permata pada media R pertumbuhan tunas tomat Permata pada media R Pertumbuhan tunas tomat Tora pada media R Penampilan jaringan daun yang abnormal hasil kultur antera tomat Permta 29 DAFTAR LAMPIRAN 1 Komposisi media MS1, MS2, MS dan B Komposisi media defined basal medium (DBM) I, II dan III 42 3 Deskripsi tomat varietas Tora IPB 43 4 Deskripsi tomat varietas Ratna 45 5 Deskripsi tomat varietas Permata F1 46

15 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tomat merupakan salah satu tanaman dari famili Solanaceae selain cabai dan terung yang memiliki nilai ekonomi penting di dunia (SeguìSimarro et al. 2011). Tomat menempati peringkat ke2 dalam produksi komoditas hortikultura dunia setelah kentang dengan produksi mencapai ton (FAO 2015). Di Indonesia, tomat menempati peringkat ke lima setelah kubis, kentang, cabai besar dan bawang merah. Produksi tomat di Indonesia tahun 2015, yaitu ton dengan luas panen ha. Angka ini tergolong rendah bila dilihat dari produktivitasnya, yaitu 16.4 ton ha 1 (BPS 2015), sedangkan potensi hasilnya dapat mencapai 45 hingga 65 ton ha 1 (FAO 2015). Perlu adanya upaya peningkatan produksi yang efektif dan berkesinambungan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan menggunakan varietas unggul. Umumnya teknik yang digunakan untuk menghasilkan varietas unggul adalah persilangan yang diikuti dengan seleksi (Carsono 2010). Persilangan yang diikuti dengan seleksi membutuhkan waktu lama dan biaya besar (Syukur et al. 2012) sehingga dibutuhkan metode yang cepat dan mudah dalam menghasilkan varietas unggul. Perakitan suatu varietas dapat dipercepat melalui penerapan kombinasi antara metode pemuliaan konvensional dengan metode pemuliaan modern. Salah satu teknologi pemuliaan modern yang menjanjikan untuk perakitan varietas adalah teknologi tanaman haploid (Purwoko et al. 2007). Teknologi tanaman haploid adalah teknologi in vitro yang memanfaatkan antera, mikrospora dan ovul sebagai eksplan untuk mendapatkan tanaman haploid dan dihaploid melalui androgenesis dan ginogenesis (Poehlman dan Sleeper 1995). Teknologi haploid dapat mengurangi siklus pemuliaan dari 7 hingga 8 generasi menjadi 1 generasi saja sehingga waktu yang diperlukan untuk mendapatkan varietas unggul lebih cepat (Purwoko et al. 2007). Kultur antera menjadi pilihan yang paling banyak digunakan dalam androgenesis karena aplikasinya mudah dan respon androgenik sering terjadi saat mikrospora masih berada di dalam antera. Tanaman haploid maupun dihaploid hasil kultur antera bersifat homozigot sehingga dapat membentuk populasi galur murni yang sangat bermanfaat dalam pemuliaan tanaman. Tanaman dihaploid yang dihasilkan dapat digunakan sebagai tetua dalam persilangan atau diuji lebih lanjut untuk mendapatkan varietas baru (Dewi dan Purwoko 2011). Perakitan varietas dengan memanfaatkan kultur antera di Indonesia telah dimanfaatkan pada tanaman padi (Dewi dan Purwoko 2001; Purwoko 2004; Purwoko et al. 2007; Dewi et al. 2009; Safitri et al. 2010). Pengembangan penelitian kultur antera juga dilakukan pada tanaman lain seperti cabai (Muswita 2013), jeruk (Dorliana 2011), dan anturium (Rachmawati 2005), sedangkan untuk tanaman tomat, kultur antera belum dimanfaatkan. Penelitian kultur antera tomat telah berkembang di berbagai negara seperti Australia (Gresshoff dan Doy 1972), Amerika (Zamir et al.1980), Bulgaria (Zagorska et al. 1998), Spanyol (Seguì Simarro dan Nuez 2005; 2006; 2007), hingga Rusia (MotallebiAzar 2010a; 2010b). Penelitian kultur antera tomat telah berlangsung sekitar 43 tahun lalu

16 2 (Gresshoff dan Doy 1972; Sharp et al. 1972) namun hingga saat ini belum ada panduan kultur antera yang tepat untuk semua jenis tomat. Keberhasilan kultur antera tomat ditentukan oleh genotipe yang digunakan, media kultur, fase perkembangan mikrospora, pra perlakuan kuncup, kondisi fisiologi tanaman donor, dan kondisi lingkungan kultur (Summers et al. 1992; Shtereva et al. 1998; Zagorska et al. 2004; MotallebiAzar 2010a; 2010b). Kegiatan kultur antera tomat terdiri atas dua tahap yaitu tahap induksi kalus dan regenerasi tanaman. Masalah yang dihadapi dalam kultur antera tomat adalah belum ada media induksi kalus maupun regenerasi yang baku. Hal ini disebabkan karena genotipe tomat bersifat rekalsitran in vitro, sehingga tanggap androgenesis sangat bervariasi tergantung genotipe yang digunakan. Selain media, fase perkembangan mikrospora yang optimal untuk menginduksi kalus dan regenerasi tanaman juga masih belum stabil. Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa induksi kalus dan regenerasi optimal bila menggunakan antera pada fase meiosis, tetrad dan uninukleat (Gresshoff dan Doy 1972; Summers et al 1992; Segui Simarro dan Nuez 2005). Tantangan yang dihadapi dalam kultur antera tomat, yaitu rendahnya jumlah kalus dan tanaman yang dihasilkan (Gresshoff dan Doy 1972; Zagorska et al. 1998; Asoliman et al. 2007; MotallebiAzar 2010a, 2010b). Walaupun kendala yang dihadapi cukup besar, namun penelitian kultur antera tomat terus dilakukan hingga saat ini, karena tomat merupakan komoditas yang bernilai ekonomi penting di dunia (FAO 2015). Upaya yang dapat dilakukan saat ini adalah menemukan media yang sesuai dengan genotipe yang digunakan, kemudian menghasilkan sebanyakbanyaknya individuindividu homozigot hasil kultur antera. Informasi mengenai tanggap androgenesis genotipe tomat di Indonesia akan menambah pengetahuan dalam program pemuliaan tanaman tomat melalui kultur antera. Genotipe Tora, Ratna dan Permata merupakan genotipe yang memiliki keunggulan berupa potensi produksi yang tinggi dan beradaptasi baik di dataran rendah hingga menengah. Penggunaan ketiga genotipe dalam penelitian kultur antera akan memberikan informasi yang bermanfaat bagi kegiatan pemuliaan untuk perakitan variteas baru yang bersumber dari ketiga genotipe tersebut. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh MotallebiAzar (2010a) bahwa genotipe yang memiliki tanggap androgenesis baik akan memiliki keturunan yang juga memiliki tanggap androgenesis yang baik, sehingga informasi tanggap androgenesis ketiga genotipe dapat memberi rekomendasi bagi pemanfaatan keturunan yang berasal dari selfing maupun hasil persilangan dari ketiga genotipe. Penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi mengenai tanggap kultur antera tomat yang digunakan melalui percobaan pengamatan fasefase perkembangan mikrospora dan respon terhadap media induksi kalus dan regenerasi tanaman. Diagram penelitian disajikan pada Gambar Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan 1. Mengetahui fase perkembangan mikrospora berdasarkan panjang antera dan kuncup bunga. 2. Mengetahui tanggap androgenesis dari genotipe tomat yang digunakan.

17 3 3. Mendapatkan media yang dapat menginduksi kalus dan meregenerasikan tanaman. 1.3 Hipotesis Hipotesis dari penelitian ini adalah 1. Terdapat paling sedikit satu genotipe yang dapat menghasilkan kalus dan meregenerasikan tanaman. 2. Terdapat paling sedikit satu media yang dapat menginduksi pembentukan kalus dan meregenerasikan tanaman. Penanaman tanaman Tomat Percobaan 1 Identifikasi fase perkembangan mikrospora \ Fase meiosis, tetrad dan mikrospora Percobaan 2a Induksi kalus pada enam media kalus Kalus dari tiga genotipe dan enam media Percobaan 2b Induksi tunas pada dua media regenerasi Induksi tunas dari tiga genotipe dan dua media 1. Mendapatkan panjang kuncup dengan antera yang mengandung fase meiosis, tetrad dan mikrospora 2. Mendapatkan media induksi kalus dan media regenerasi yang paling baik 3. Mendapatkan genotipe yang paling baik menginduksi kalus dan meregenerasikan tanaman melalui kultur antera Gambar 1 Diagram alir penelitian 1.4 Ruang Lingkup Penelitian Dalam upaya mencapai tujuan dan menjawab hipotesis, penelitian ini dilaksanakan dalam 2 percobaan. Percobaan 1 bertujuan untuk menentukan panjang kuncup dengan antera pada fase perkembangan mikrospora yang sesuai untuk

18 4 digunakan sebagai eksplan dalam kultur antera pada percobaan selanjutnya. Percobaan 2 bertujuan mengetahui tanggap androgenesis genotipe yang digunakan pada berbagai media kultur antera tomat dan mendapatkan media terbaik untuk induksi kalus dan regenerasi tanaman. Nilai panjang antera diperoleh dari ratarata tiga antera per kuncup yang diulang sebanyak 6 kali. Kuncup yang digunakan berukuran 1 hingga 10 mm, sedangkan pengamatan fase perkembangan mikrospora menggunakan panjang kuncup 2 hingga 7 mm. Percobaan 2 terdiri atas dua percobaan yaitu induksi kalus (percobaan 2a) dan regenerasi tanaman (percobaan 2b). Percobaan induksi kalus menggunakan enam media yaitu M1(DBMI + 5 mg L 1 Kinetin + 2 mg L 1 NAA), M2 (DBMII + 1 mg L 1 Kinetin + 2 mg L 1 NAA), M3 (DBMIII mg L 1 kinetin + 5 mg L NAA), M4 (MS + 1 mg L 1 2ip + 2 mg L 1 IAA), M5 (MS mg L 1 2.4D + 2 mg L 1 Kinetin) dan M6 (MS mg L 1 Zeatin mg L 1 IAA). Kalus yang diperoleh selanjutnya dipindahkan pada media induksi tunas untuk menginduksi pembentukan tunas. Percobaan 2b adalah induksi pembentukan tunas pada 2 media regenerasi yaitu media MS + 1 mg L 1 Zeatin mg L 1 IAA (R1) dan MS mg L 1 Zeatin (R2).

19 5 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi dan Manfaat Tanaman Tomat Tomat merupakan tanaman setahun yang tumbuh dengan ketinggian mencapai 0.52 meter serta memiliki batang yang padat dan besar. Akarnya berupa akar tunggang dengan kedalaman mencapai 3 meter. Tanaman tomat memiliki bulu yang terdapat pada batang, daun dan tangkai bunga dengan aroma yang khas. Sifat pertumbuhan tanaman berkisar dari tak terbatas (indeterminate) hingga sangat terbatas (determinate). Bunga tumbuh berlawanan di antara daun. Jumlah bunga per tandan adalah 412 bunga dan beberapa kultivar dapat mencapai 30 bunga per tandan. Bunga tomat adalah bunga sempurna, berdiameter sekitar 2 cm dan menggantung dengan mahkota bunga berbentuk bintang berwarna kuning. Kepala sari menyatu membentuk tabung. Benang sari berjumlah 6 dengan warna kuning cerah. Bunga membuka pada siang hari dan putik reseptif selama 4 hari sampai 7 hari. Organ kelamin jantan (stamen) terletak di bagian dalam kelopak, tersusun melingkar mengitari organ kelamin betina (pistil). Setiap satu stamen memiliki dua tabung mikrospora (antera) yang panjang. Organ betina (carpel) berwarna hijau, memiliki ruang atau lokus dengan jumlah bervariasi tergantung varietasnya (Rost 1996). Tomat Tora memiliki tipe pertumbuhan determinate. Tinggi tanaman mencapai 60.9 hingga 91.9 cm. Bunga berwarna kuning dengan bentuk seperti bintang. Putik dan benang sari berwarna kuning. Buah berbentuk agak lonjong dengan bentuk ujung buah datar menuju lancip. Warna buah saat muda adalah hijau muda dan jingga kemerahan saat buah matang. Umur mulai berbunga yaitu 23 hingga 21 hari setelah tanam. Umur mulai panen yaitu 46 hingga 61 hari setelah tanam. Tomat Tora memiliki keunggulan dalam produksi yaitu potensi produksi dapat mencapai 28 ton ha 1, serta tumbuh baik pada dataran rendah. Tomat Ratna memiliki tipe pertumbuhan determinate. Tinggi tanaman mencapai 80 cm. Bunga berwarna kuning dengan bentuk seperti bintang. Warna buah muda putih polos dan warna buah saat matang jingga sampai merah. Bobot per buah mencapi 45 g. Jumlah buah per tanaman 45 buah. Umur berbuah 70 hingga 80 hari setelah semai. Umur panen seluruhnya 130 hingga 140 hari setelah semai. Tomat Ratna memiliki keunggulan produksi dengan potensi hasil mencapai 20 ton ha 1 buah segar serta tumbuh baik pada dataran rendah dan dataran tinggi. Tomat Permata F1 memiliki tipe pertumbuhan determinate. Tinggi tanaman mencapai 150 cm. Bunga berwarna kuning dengan bentuk seperti bintang. Bobot per buah mencapai 50 g. Bobot buah per tanaman mencapai 4 kg. Tomat Permata memiliki keunggulan produksi dengan potensi hasil mencapai 50 hingga 70 ton ha 1, serta tumbuh baik pada dataran rendah (Direktorat Perbenihan Hortikultura 2012). Buah tomat dikonsumsi dalam bentuk segar, campuran sayur, bumbu masak, juga dalam bentuk olahan seperti saos tomat, pasta tomat, pure tomat, sari tomat dan jus tomat (Kailaku et al. 2007). Buah tomat mengandung vitamin C, A dan E, juga mengandung senyawa kimia lain seperti polifenol, asam folat dan likopen (Mataram dan Wahyuniari 2013). Kandungan likopen yang terdapat pada buah tomat dapat menurunkan tekanan darah pada wanita postmenopause (Lestari dan Wahyuningsih 2012), mencegah penyakit kanker prostat dan jantung koroner (Rao

20 6 dan Agarwal 2000, Levi dan Sharoni 2004), serta menjaga kesehatan tulang (Rao et al. 2003). 2.2 Pemuliaan Tanaman Tomat Kegiatan pemuliaan tomat diarahkan untuk mendapatkan varietas unggul dengan produksi tinggi, resisten terhadap hama penyakit dan memiliki kualitas unggul (Ardisela 2012). Tomat merupakan tanaman menyerbuk sendiri dengan jumlah kromosom 24 (2n= 2x= 24). Bentuk populasi tanaman yang dituju adalah homogen homozigot untuk galur murni dan heterogen homozigot untuk varietas multilini. Kegiatan pemuliaan tomat meliputi kegiatan pemuliaan konvensional dan pemuliaan nonkonvensional atau pemuliaan modern. Secara konvensional untuk menghasilkan galur murni dapat diperoleh setelah 7 sampai 8 generasi selfing dengan tingkat homozigotitas 98.4% sampai 99.2%. Untuk mencapai generasi F8 diperlukan waktu 2 sampai 3 tahun. Lebih dari satu pasang gen heterozigot, akan meningkatkan persentase homozigotitas sehingga memerlukan waktu yang lebih lama karena fiksasi gengennya memerlukan lebih banyak generasi selfing. Galur murni yang dihasilkan dapat dilepas sebagai varietas baru atau dijadikan tetua dalam persilangan (Syukur et al. 2012). Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bidang kultur jaringan dan biologi molekuler sangat mendukung program pemuliaan tanaman untuk merakit varietas baru. Pemuliaan nonkonvensional memanfaatkan bioteknologi dan rekayasa genetika dalam kultur jaringan untuk mengatasi masalahmasalah yang dijumpai dalam kultur jaringan. Masalah yang dapat diatasi antara lain, melalui teknologi fusi protoplas pada jenis tanaman yang berbeda. transformasi gen antar spesies maupun genus, penyelamatan embrio pada persilangan interspesifik, kultur sel dan kultur protoplas pada tanaman yang steril, serta androgenesis melalui kultur antera untuk mendapatkan tanaman homozigot dalam waktu singkat (Syukur et al. 2012). Kegiatan pemuliaan tomat non konvensional meliputi kegiatan evaluasi pengaruh zat pengatur tumbuh terhadap morfogenesis in vitro (Devi et al. 2008), seleksi in vitro sifat toleran kekeringan (AbdelRaheem et al. 2007), evaluasi in vitro karakter toleran salinitas (Liza et al. 2013), dan transformasi genetik (Purnamaningsih 2010). 2.3 Kultur Antera Kultur antera adalah salah satu metode dalam teknologi haploid untuk menghasilkan individu haploid maupun dihaploid. Antera yang dikulturkan secara in vitro akan menunjukkan respon androgenesis terhadap kondisi kultur yang diberikan. Androgenesis merupakan suatu proses pembentukan tanaman dari sel mikrospora menjadi tanaman lengkap. Prinsip dari androgenesis adalah menghentikan perkembangan dari mikrospora dalam lintasan gametofitik dan mengubahnya ke arah lintasan sporofitik sehingga tidak akan menjadi selsel gamet melainkan membentuk selsel somatik. Ketika antera atau mikrospora dikulturkan secara in vitro, mikrospora diinduksi untuk menghasilkan agregatagregat kecil yang akan menjadi kalus atau embrio (Dewi dan Purwoko 2011). Tanaman yang dihasilkan dari kultur antera bersifat haploid yaitu tanaman yang mengandung jumlah kromosom sama dengan kromosom gametnya atau tanaman dengan jumlah kromosom setengah dari jumlah kromosom somatiknya.

21 7 Tanaman haploid menunjukkan pertumbuhan yang tidak lebih baik dari tanaman diploidnya. Tanaman dihaploid mempunyai dua set kromosom yang identik dengan bentuk haploidnya serta dapat membentuk alat kelamin jantan dan betina seperti tanaman diploid, sedangkan tanaman haploid jarang dapat menghasilkan sel kelamin jantan yang digunakan dalam fertilisasi. Tanaman dihaploid bersifat homozigot penuh dan breed true. Tanaman haploid dan dihaploid dapat dibedakan pada generasi awal melalui pengamatan bentuk tanaman, warna daun, bentuk daun, serta jumlah dan ukuran stomata (Dewi dan Purwoko 2011). Kultur antera memiliki kelebihan dan kekurangan dalam mendukung program pemuliaan tanaman. Kelebihan kultur antera adalah lebih mempersingkat siklus pemuliaan untuk mendapatkan varietas baru dan mendapatkan galur murni dalam waktu singkat dibandingkan secara konvensional (Syukur et al. 2012). Tanaman dihaploid yang dihasilkan dari kultur antera adalah homozigot dan breed true karena tidak ada sifat yang tersembunyi akibat dominansi maka penggunaan dihaploid pada pemuliaan tanaman meningkatkan efisiensi identifikasi genotipe superior (Croughan 1995). Melalui tanaman haploid sejumlah sifat unggul yang merupakan karakter resesif dapat dideteksi secara dini. Karakter tersebut antara lain toleransi terhadap kondisi lingkungan yang kurang menguntungkan seperti, kekeringan, suhu rendah, kandungan logam berat, hara rendah didalam tanah ataupun serangan penyakit. Teknologi tanaman haploid dapat menghasilkan tanamantanaman homozigot hanya dalam waktu satu generasi, sedangkan secara konvensional tanaman homozigot dapat diperoleh setelah 7 sampai 8 generasi. Kekurangan kultur antera adalah rendahnya jumlah tanaman yang dihasilkan, serta tingkat keberhasilan induksi kalus dan regenerasi tanaman yang dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor tersebut antara lain genotipe yang digunakan, status fisiologi tanaman donor, tahap perkembangan mikrospora, perlakuan terhadap eksplan (pra perlakuan), media yang digunakan, kondisi kultur, lingkungan kultur, serta umur dan ukuran kalus (Dewi dan Purwoko 2011). 2.4 Kultur Antera Tomat Sejak awal pengembangan kultur antera tomat, banyak pendapat berbeda mengenai fase perkembangan mikrospora yang optimal dalam menginduksi kalus (Summers et al. 1992; Gresshoff dan Doy 1972; Sharp dan Raskin 1972). Summers et al. (1992) melaporkan bahwa fase yang optimal adalah fase profase I, walaupun menurutnya semua fase dapat menginduksi kalus. Menurut Gresshoff dan Doy (1972) fase yang optimal adalah fase awal meiosis yaitu metafase I, sedangkan fase uninukleat tidak terbentuk kalus atau pun planlet. Walaupun demikian, banyak peneliti yang menggunakan fase profase sampai metafase sebagai eksplan dalm kultur antera (Zagorska et al. 1998; MotallebiAzar 2010a. 2010b; MotallebiAzar dan Panahandeh 2010). Keberhasilan kultur antera tomat dipengaruhi oleh berbagai faktor di antaranya adalah genotipe yang digunakan, media kultur, fase perkembangan mikrospora, pra perlakuan antera, kondisi lingkungan kultur, dan kondisi fisiologis tanaman donor (Jaramillo dan Summers 1991; Zagorska et al. 1998; Asoliman et al. 2007; SeguìSimarro dan Nuez 2007). Genotipe merupakan faktor utama yang menentukan keberhasilan kultur antera tomat (Zagorska et al. 1998; MotallebiAzar 2010a). Setiap spesies tanaman bahkan individu dari spesies yang sama dapat memberikan respon yang berbeda

22 8 satu sama lain terhadap kondisi kultur yang diberikan. Pengaruh genotipe pada proliferasi sel dapat dilihat pada kemampuan regenerasinya (Zulkarnain. 2009). Genotipe berperan penting dalam menginduksi dan meregenerasikan kalus pada kultur antera tomat (Summers et al. 1992; Zagorska et al. 1998; MotallebiAzar 2010a). Zagorska et al. (1998) melaporkan bahwa dari 80 genotipe tomat yang digunakan dalam kultur antera hanya 53 yang berhasil menginduksi kalus dan hanya 15 genotipe yang berhasil diregenerasikan. Asoliman et al. (2007) juga melaporkan bahwa dari 4 kultivar tomat yang digunakan hanya 1 kultivar yang memberi respon yang baik. MotallebiAzar (2010a) menunjukkan bahwa tetua yang potensial dalam menginduksi kalus dan regenerasi tunas akan menghasilkan keturunan yang juga potensial dalam menginduksi dan meregenerasikan kalus. Genotipe dengan konstitusi gen heterozigos lebih responsif terhadap androgenesis dibandingkan dengan genotipe yang homozigot. Menurutnya individu dengan heterosis tinggi memiliki kemampuan androgenesis yang baik. Asoliman et al. (2007) melalui penelitiannya turut mendukung penelitian sebelumnya oleh Zagorska et al. (1998) dan Shtereva et al. (1988) bahwa kemampuan induksi kalus dan organogenesis pada kultur antera tomat dikendalikan oleh gen resesif yaitu gen yang mengendalikan mandul jantan pada tanaman tomat. Antera dari genotipe yang steril atau mandul jantan lebih responsif dalam morfogenesis dibandingkan anter dari genotipe yang fertil. Media kultur merupakan faktor yang sangat mempengaruhi keberhasilan kultur antera tomat. Media kultur meliputi media induksi kalus dan regenerasi tanaman. Komponen penyusun media kultur adalah garamgaram anorganik, zat pengatur tumbuh, vitamin, asam amino, sumber karbon, osmotika, dan air (Gamborg dan Phillips 1995). Media dengan komposisi dan ph yang sesuai bukan saja menyediakan hara bagi pertumbuhan dan perkembangan mikrospora, namun juga mengarahkan lintasan perkembangan eksplan terutama saat awal perkembangannya menjadi embrio. Kebutuhan nutrisi antara jaringan yang berasal dari bagian yang berbeda akan berbeda kebutuhan nutrisinya. Oleh karena itu, tidak ada satu pun media dasar yang berlaku universal untuk semua jenis jaringan dan organ. Media yang paling luas penggunaannya adalah media MS (Murashige dan Skoog 1962) (Zulkarnain 2009). Selain media MS, media lain yang juga digunakan dalam kultur antera adalah media N6 pada kultur antera padi (Dewi et al. 2004), modifikasi media MMS yang merupakan media modifikasi MS pada kultur antera anturium (Rachmawati 2005), dan DBM serta B5 pada kultur antera tomat (Gresshoff dan Doy 1972). Fase perkembangan mikrospora merupakan salah satu faktor yang juga menentukan keberhasilan kultur antera (Summers et al. 1992; Dewi et al. 2001). Mikrospora adalah alat kelamin (gamet) jantan yang bersifat haploid yaitu hanya mempunyai ½ set kromosom dari kromosom somatiknya (Dewi dan Purwoko 2011). Menurut Summers et al. (1992) semua fase perkembangan mikrospora tanaman tomat mampu menginduksi kalus, namun fase yang optimal adalah pada fase profase I. Gresshoff dan Doy (1972) mengemukakan bahwa tahap awal meiosis adalah tahap terbaik untuk menginduksi kalus, sedangkan fase uninukleat dan binukleat menghasilkan induksi kalus yang rendah. Perkembangan mikrospora sejalan dengan pertambahan panjang kuncup dan antera, namun demikian antara satu genotipe dengan genotipe tomat yang lain memiliki panjang antera dan kuncup yang berbeda pada fase perkembangan

23 mikrospora yang sama. MotallebiAzar (2010b) menunjukkan bahwa fase profase I sampai metafase II berada saat kuncup bunga berukuran 4 sampai 5 mm dengan panjang antera 1.7 sampai 2 mm. Zagorska et al. (1998) menunjukkan bahwa fase profase sampai metafase II berada saat ukuran kuncup bunga berukuran 2 sampai 3 mm (Jaramillo dan Summers 1990; Asoliman et al. 2007; MotallebiAzar et al. 2010). Zagorska et al. (1998). mengemukakan bahwa kuncup bunga dengan ukuran 2 sampai 3 mm mengandung mikrospora pada fase profase sampai metafase II mampu menginduksi kalus 2.5 hingga 100%, tergantung varietasnya. Ukuran 4 sampai 6.5 mm mengandung antera dengan panjang 13 mm (SeguìSimarro dan Nuez 2006), 4 sampai 5 mm mengandung antera dengan panjang 1.7 hingga 2.5 mm dengan tahap perkembangan mikrospora pada tahap profase I hingga metafase (MotallebiAzar 2010a). Induksi dan pertumbuhan kalus maksimum terjadi pada tahap perkembangan profase I yaitu saat ukuran antera kurang dari 1.6 mm (Summers et al. 1992). Asoliman et al. (2007) mengemukakan bahwa ukuran kuncup 4 mm menghasilkan induksi kalus terbaik, kemudian diikuti oleh kuncup dengan ukuran 6 mm. Kuncup dengan ukuran 2 mm tidak memberikan respon induksi kalus. Pra perlakuan sebelum kultur merupakan salah satu faktor yang menentukan keberhasilan kultur antera tomat (MotallebiAzar dan Panahandeh 2010). Cekaman suhu dingin merupakan salah satu pra perlakuan dalam kultur antera tomat yang paling banyak digunakan. Cekaman suhu dingin dimaksudkan untuk membuat degradasi dinding sel dan tapetum melambat, serta mendorong terbukanya lokul antera sehingga butir tepung sari dapat keluar lebih cepat (Dewi dan Purwoko 2011). MotallebiAzar dan Panahandeh (2010) menunjukkan bahwa lama inkubasi pada suhu 4 0 C selama 36 dan 72 jam tidak bepengaruh pada induksi kalus dan induksi tunas, namun berpengaruh terhadap jumlah tanaman yang diregenerasikan dan jumlah tanaman dihaploid. Persentase induksi kalus berkisar dari 28% sampai 53%. Sebaliknya inkubasi kultur pada 4 0 C selama 48 jam tanpa kolkisin dapat menghasilkan persentase kalus sebesar 85%. Kondisi kultur berupa keadaan gelap dan terang signifikan terhadap keberhasilan kultur antera (Summers et al. 1992). Zagorska et al. (1998) menginkubasi kultur antera tomat dalam kondisi gelap selama 2 minggu menghasilkan kalus berwarna kuning kehijauan. Ukuran kalus meningkat 3 sampai 4 kali setelah 30 sampai 40 hari dalam kondisi terang. Beberapa kalus berwarna hijau, tumbuh lambat dan tidak beregenerasi. MotallebiAzar (2010a) menggunakan 4 minggu periode gelap dan 4 sampai 7 minggu periode terang. Jaramillo dan Summers (1991) khusus mengamati pengaruh gelap dan terang terhadap induksi dan pertumbuhan kalus pada 3 kulitvar tomat. Kultur yang diinkubasi pada kondisi gelap selama 2 hingga 10 minggu menunjukkan bahwa jumlah dan diameter kalus meningkat seiring dengan meningkatnya periode gelap dan kualitas kalus menurun setelah 8 minggu. Jaramillo (1988) melaporkan bahwa perlakuan gelap dapat menginduksi pembentukan kalus lebih banyak dibanding kondisi terang. Tiga kultivar yang diuji menunjukkan pertumbuhan maksimal baik jumlah maupun diameter kalus setelah diberi perlakuan gelap. 9

24 10 3 IDENTIFIKASI FASE PERKEMBANGAN MIKROSPORA PADA ANTERA TOMAT (Solanum lycopersicum L.) Abstract The aims of this research were to evaluate anther and microspore development stage based on anther and bud length. Anther length was measured from 3 anthers on every bud and 6 replications were used. The results showed that Tora, Ratna and Permata have the same anther length but not for stage of micropsore development. Tora and Permata had meiosis stage in 2 mm until 4 mm in bud size with 0.5 mm till 1.5 mm in anther size, whereas Ratna genotype had meiosis stage in 2 mm till 5 mm in bud length or 0.5 mm till 2.0 mm in anther length. Tetrad stage of Tora, Ratna and Permata was in 5 till 6 mm, 5 mm and 4 till 5 mm respectively. Microspore stage of Tora, Ratna and Permata was in 7, 7 and 6 till 7 mm respectively. Keywords Anther and bud length, anther culture, microspore, tomato Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi fase perkembangan antera dan mikrospora berdasarkan panjang antera dan kuncup. Nilai panjang antera diperoleh dengan mengukur 3 antera per kuncup bunga yang diulang sebanyak 6 kali. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, genotipe Tora, Ratna dan Permata memiliki panjang antera yang hampir sama namun berbeda pada fase perkembangan mikrosporanya. Fase meiosis pada genotipe Tora dan Permata berada pada saat panjang kuncup 2 mm hingga 4 mm dengan panjang antera 0.5 mm hingga 1.5 mm, sedangkan fase meiosis pada genotipe Ratna berada pada panjang kuncup 2 mm hingga 5 mm. Fase tetrad pada genotipe Tora, Ratna dan Permata berada pada panjang kuncup berturutturut 5 hingga 6 mm, 5 mm dan 4 hingga 5 mm. Fase mikrospora pada genotipe Tora, Ratna dan permata berada pada panjang kuncup berturutturut 7, 7, dan 6 hingga 7 mm. Kata kunci Mikrospora tomat, kultur antera, panjang antera, panjang kuncup 3.1 Pendahuluan Kultur antera merupakan salah satu teknik dalam kultur jaringan tanaman yang dimanfaatkan dalam bidang pemuliaan tanaman untuk mempercepat proses pembentukan galur murni. Proses seleksi yang panjang pada pemuliaan konvensional dapat disingkat menjadi 1 hingga 2 generasi saja, sehingga lebih menghemat waktu dan biaya. Pemanfaatan kultur antera oleh pemulia tanaman digunakan untuk menghasilkan sebanyakbanyaknya galur murni yang akan dilepas sebagai varietas baru atau dijadikan tetua dalam persilangan untuk perbaikan karakter tanaman (Dewi dan Purwoko 2011). Pemanfaatan teknik kultur antera untuk menghasilkan tanaman haploid maupun dihaploid telah digunakan pada banyak tanaman, namun teknik ini belum digunakan secara luas pada tanaman tomat. Kultur antera tomat mengalami

25 keterbatasan dalam pengembangannya karena efisiensi produksi kalus yang dinyatakan sebagai persentase jumlah kalus terhadap jumlah antera pada tanaman tomat hanya < 0.7% (Zamir et al. 1980), sedangkan pada tanaman padi efisiensi produksi kalus dapat mencapai 76.6% (Purwoko et al. 2010) hingga 96.4% dan produksi tanaman mencapai 5.0% (Safitri et al. 2010). Rendahnya produksi kalus dan regenerasi tanaman pada kultur antera tomat dipengaruhi oleh genotipe (Zagorska et al. 1998; MotallebiAzar 2010), media kultur (Gresshoff dan Doy 1972; Jaramillo dan Summers 1990), kondisi lingkungan tumbuh tanaman donor (Shtereva et al. 1998), pra perlakuan (MotallebiAzar 2010), dan fase perkembangan mikrospora (Summers et al. 1992; SeguìSimarro dan Nuez 2005). Penggunaan fase mikropsora yang tepat dalam kultur antera tomat dapat meningkatkan jumlah kalus dan jumlah tanaman yang dihasilkan (Summers et al. 1992; Shtereva et al. 1998; Asoliman et al. 2007). Menurut Summers et al. (1992) semua fase dapat menginduksi kalus, namun fase yang optimal adalah fase profase I, sedangkan menurut Gresshoff dan Doy (1972) fase yang optimal adalah fase metafase I. Menurut SeguìSimarro dan Nuez (2005) fase yang optimal adalah fase metafase I sampai telofase II. Oleh karena itu, dalam melakukan kultur antera pada genotipe tomat yang berbeda para peneliti umumnya melakukan pengamatan fase perkembangan mikrospora sebelum menentukan ukuran kuncup dan antera yang akan digunakan sebagai eksplan (Summers et al. 1992; Zagorska 1998; Asoliman 2007; MotallebiAzar 2010a). Fase perkembangan mikrospora yang optimal untuk mengindukai kalus dan regenerasi tanaman berbeda antar tiap genotipe. Kultur antera padi dan jeruk menggunakan antera yang berada pada fase uninukleat (Dewi et al. 2001; Dorliana 2011). Kultur antera terung menggunakan antera pada fase akhir uninukelat (Basay dan Ellialtioglu, 2013), sedangkan pada kultur antera tomat menggunakan antera yang mengandung fase berbedabeda. Perkembangan mikrospora dari satu fase ke fase ke fase berikutnya sejalan dengan pertambahan panjang antera dan panjang kuncup bunga. Hal ini berarti bahwa semakin panjang ukuran kuncup bunga maka ukuran antera juga semakin bertambah panjang, begitu pula fase perkembangan mikrosporanya. Korelasi panjang kuncup dan panjang antera serta fase perkembangan mikrospora memberi kemudahan dalam pemilihan eksplan karena untuk memilih antera sebagai eksplan dapat menggunakan panjang kuncup sebagai indikator, namun hasil penelitian terdahulu menunjukkan bahwa fase meiosis diwakili oleh panjang kuncup yang berbedabeda (Summers et al. 1992; Gresshoff dan Doy 1972; Sharp et al. 1972). Summers et al. (1992) menunjukkan bahwa fase meiosis pada kultivar A. Craig adalah < 3 mm hingga 4.5 mm, sedangkan pada kultivar Licato < 3.5 mm hingga 7 mm. Penelitian ini menggunakan 3 genotipe tomat, yaitu Tora, Ratna, dan Permata. Genotipe ini memiliki keunggulan dalam produksi dan adaptasi di dataran rendah, sehingga pengembangannya dalam program pemuliaan tanaman perlu mendapatkan prioritas. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan panjang kuncup dan antera yang akan digunakan sebagai eksplan dalam kultur antera melalui identifikasi fase perkembangan mikrospora. 11

26 Bahan dan Metode Penilitian dilaksananakan di Laboratorium Mikrobiologi, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Genetika Pertanian (BB Biogen) dan Rumah Kaca Cikeumeuh, Cimanggu, Bogor dari bulan Januari hingga Juni Bahan tanam yang digunakan adalah tomat Tora, Ratna dan varietas hibrida Permata. Benih tomat disemai pada tray persemaian selama 3 minggu kemudian dipindahkan pada polibag yang berisi 8 kg media campuran tanah dan sekam dengan perbandingan 2 banding 1. Tiap polibag berisi satu bibit, dimana setiap genotipe ditanam sebanyak 5 tanaman, sehingga terdapat 15 tanaman. Pemeliharaan tanaman yang dilakukan berupa penyiraman, pemupukan dan pengendalian organisme pengganggu tanaman dilakukan sesuai teknik budidaya tomat di rumah kaca. Kuncup bunga dipetik secara berangkai menggunakan gunting, kemudian dimasukkan ke dalam Coolbox. Kuncup diukur menggunakan milimeter blok dan dipisahkan berdasarkan ukuran dari 1, 2, 3, 4, 5, 6,7 8, 9, dan 10 mm. Variabel yang diamati adalah panjang antera dan fase perkembangan mikrospora. Nilai panjang antera diperoleh dari ratarata tiga antera per kuncup yang diulang sebanyak enam kali. Identifikasi fase perkembangan mikrospora dilakukan pada panjang kuncup 2 hingga 7 mm dengan alasan bahwa kuncup 1 mm memiliki ukuran antera yang sangat kecil yaitu kurang dari 0.5 mm, sehingga sulit untuk melakukan isolasi anteranya, sedangkan ukuran 8 hingga 10 mm tidak digunakan karena fase mikrospora pada ketiga genotipe yang digunakan telah terdapat pada panjang kuncup 7 mm, maka setelah ukuran tersebut fase yang teramati adalah fase mikrospora dewasa. Pengamatan fase perkembangan mikrospora menggunakan metode squash dengan perwarna Orcein 2% (Syukur et al. 2012). Pengamatan dilakukan menggunakan mikroskop pada tiga bidang pandang dengan dua perbesaran, yaitu 40x dan 100x. Data yang diperoleh ditampilkan dalam bentuk Gambar dan Tabel. 3.3 Hasil dan Pembahasan Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa panjang kuncup, panjang antera dan fase perkembangan mikrospora pada genotipe yang digunakan tidak banyak berbeda (Tabel 1). Saat panjang kuncup 1 mm hingga 5 mm panjang antera ketiga genotipe hampir tidak berbeda, begitu pula saat panjang kuncup 5 mm hingga 7 mm. Saat panjang kuncup 5 mm ketiga genotipe Tora, Ratna dan Permata memiliki panjang antera berturutturut 1.8±0.3 mm, 2.0±0.3 mm dan 2.0±0.0 mm. Saat panjang kuncup 7 mm ketiga genotipe memiliki panjang antera berturutturut 3.0±0.0 mm, 2.9±0.1 mm dan 3.2±0.2 mm. Perbedaan panjang antera terlihat sedikit lebih tinggi pada ketiga genotipe saat panjang kuncup 9 mm (Tabel 1). Adanya perbedaan panjang antera pada panjang kuncup yang sama pada genotipe Tora, Ratna dan Permata disebabkan karena faktor genetik dan lingkungan tumbuh tanaman. Genotipe Tora, Ratna dan permata menunjukkan fase perkembangan mikrospora yang tidak banyak berbeda di antara ketiganya. Genotipe Tora memiliki fase meiosis pada saat panjang kuncup 2 mm hingga 4 mm. Fase tetrad berada pada panjang kuncup 5 hingga 6 mm dan fase mikrospora muda berada panjang kuncup 7 mm. Genotipe Ratna memiliki fase meiosis pada saat panjang

27 13 kuncup 2 mm hingga 5 mm, fase tetrad berada pada panjang kuncup 6 mm dan fase mikrospora berada pada panjang kuncup 7 mm. Genotipe Permata menunjukkan fase meiosis pada panjang kuncup 2 mm hingga 4 mm, fase tetrad pada panjang kuncup 5 mm dan fase mikrospora pada panjang kuncup 6 mm hingga 7 mm (Tabel 2). SeguiSimarro dan Nuez (2005) menunjukkan bahwa fase meiosis pada genotipe yang digunakan berada pada panjang kuncup 3.8 hingga 7.0 mm. Tabel 1 Panjang antera tiga genotipe tomat saat panjang kuncup 1 hingga 10 mm Panjang Kuncup Standar deviasi (Stdev) Panjang Antera (mm) (mm) Tora Ratna Permata 1 0.3± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ±0.4 Ratarata 2.3± ± ±0.2 Tabel 2 Panjang antera dan fase perkembangan mikrospora tiga genotipe tomat berdasarkan panjang kuncup Genotipe Panjang Kuncup Tora Ratna Permata (mm) PA PA PA FM FM (mm) (mm) (mm) FM 2 0.5±0.0 Meiosis 0.50 Meiosis 0.50 Meiosis 3 1.0±0.0 Meiosis 1.07 Meiosis 1.00 Meiosis 4 1.5±0.1 Meiosis 1.53 Meiosis 1.50 Meiosis 5 1.9±0.2 Awal tetrad 1.97 Meiosis 2.00 Awal tetrad 6 2.6±0.2 Akhir tetrad 2.44 Tetrad 2.50 Mikrospora 7 3.0±0.1 Mikrospora 2.94 Mikrospora 3.23 Mikrospora PA=panjang antera, FM= fase mikrospora Fase meiosis ditandai dengan penampilan kromosom yang memendek dan menebal, serta terlihat adanya dinding antar sel (Gambar 2a). Fase awal tetrad ditandai dengan proses berpisahnya kromosom sel anak sebelum pembelahan sitoplasma (Gambar 2b), kemudian diikuti dengan pemisahan sitoplasma sehingga terlihat jelas pemisahan antara sel (Gambar 2c). Fase selanjutnya dari fase tetrad adalah fase akhir tetrad yaitu fase dimana telah terbentuk empat sel anak yang saling terpisah (Gambar 2d) dan menjauhi poros tengah sel. Terlihat empat sel dengan kromosom dan sitoplasma yang jelas, memiliki bentuk dan ukuran yang hampir sama serta dinding sel mulai menghilang (Gambar 2ef). Mikrospora muda yang

28 14 baru terbentuk (Gambar 2g) memiliki bentuk yang sedikit berbeda dengan mikrospora dewasa (Gambar 2hi). a b c d e f g h i Gambar 2 Fase perkembangan mikrospora tomat yang diamati. Fase meiosis (a), fase awal tetrad hingga akhir tetrad (bf), fase mikrospora muda (g), fase mikrospora (h, i) Fase perkembangan mikrospora tomat Tora ditunjukkan pada Gambar 3. Fase meiosis terdapat pada saat panjang kuncup 2 hingga 4 mm (Gambar 3ac). Fase tetrad terdapat pada panjang kuncup 5 mm hingga 6 mm (Gambar 3de). Fase mikrospora terdapat pada panjang kuncup 7 mm (Gambar 3f). Fase meiosis pada genotipe Ratna terdapat pada panjang kuncup 2 mm hingga 5 mm (Gambar 4ad). Fase tetrad terdapat pada panjang kuncup 6 mm (Gambar 4e) dan fase mikrospora terdapat pada panjang kuncup 7 mm (Gambar 4f). Fase meiosis pada genotipe Permata terdapat pada panjang kuncup 2 mm hingga 3 mm (Gambar 5ab) dan fase tetrad terdapat pada panjang kuncup 4 mm hingga 5 mm (Gambar 5cd). Fase mikrospora berada pada panjang kuncup 6 mm hingga 7 mm. a b c d e f Gambar 3 Fase perkembangan mikrospora tomat Tora. Fase meiosis pada panjang kuncup 2, 3, 4 dan 5 mm (a, b, dan c). Fase tetrad pada panjang kuncup 5 dan 6 mm (d dan e) dan fase mikrospora berada pada panjang kuncup 7 mm (f)

29 15 a b c d e f Gambar 4 Fase perkembangan mikrospora tomat Ratna. Fase meiosis pada panjang kuncup 2, 3, 4 dan 5 mm (a, b, c dan d). Fase tetrad pada panjang kuncup 6 mm(e) dan fase mikrospora berada pada panjang kuncup 7 mm (f) a b c d e f Gambar 5 Fase perkembangan mikrospora tomat Permata. Fase meiosis pada panjang kuncup 2, 3 dan 4 mm (a, b dan c). Fase tetrad pada panjang kuncup 5 mm (d) dan fase mikrospora berada pada panjang kuncup 6 dan 7 mm (f) Fase uninukleat pada pengamatan ini tidak ditemukan, namun diyakini bahwa fase tersebut berada setelah fase tetrad. Hal ini karena dalam pengamatan pembelahan sel sering ditemukan dua atau tiga fase sekaligus dalam sebuah jaringan sel. Tidak mudah untuk mengamati fase uninukleat disebabkan karena dinding mikrospora telah lebih tebal sehingga penetrasi Orcein tidak dapat menembus dinding antera. Walaupun semua fase perkembangan mikrospora dapat digunakan untuk kultur antera tomat, namun fase yang optimal untuk menginduksi kalus dan meregenerasikan tanaman diusulkan berbedabeda. Menurut Summers et al. (1992) fase yang optimal adalah fase profase 1, sedangkan menurut Segui Simarro dan Nuez (2005) fase yang optimal adalah fase metafase I hingga telofase II. Di sisi lain, Zamir et al. (1980) menunjukkan bahwa fase yang optimal adalah fase tetrad. 3.4 Kesimpulan Genotipe Tora, Ratna dan Permata memiliki panjang antera yang hampir sama saat panjang kuncup 1 mm hingga 10 mm. Fase meiosis pada genotipe Tora, Ratna dan Permata berada pada panjang kuncup berturutturut 2 mm hingga 4 mm, 2 mm hingga 5 mm dan 2 mm hingga 4 mm. Fase tetrad pada genotipe Tora, Ratna dan Permata berada pada panjang kuncup berturutturut 5 mm hingga 6 mm, 5 mm

30 16 dan 4 mm hingga 5 mm. Fase mikrospora pada genotipe Tora, Ratna dan Permata berada pada panjang kuncup berturutturut 7 mm, 7 mm, dan 6 mm hingga 7 mm. 3.5 Saran Berdasarkan hasil penelitian ini, maka dapat disarankan penggunaan ukuran kuncup untuk penelitian selanjutnya yaitu menggunakan ukuran kuncup 2 mm hingga 6 mm untuk genotipe Tora, dan 2 mm hingga 5 mm untuk genotipe Ratna dan Permata.

31 17 4 INDUKSI PEMBENTUKAN KALUS DAN REGENERASI TUNAS Abstract The aims of this research were to evaluate culture ability of three tomato genotypes through their androgenesis response in callus induction and regeneration media. Completely randomized design with factorial arrangement and 5 replications were used. Treatments consisted of three genotypes of tomato (Tora, Ratna and hybrid variety Permata), six callus induction media in the first experiment and three genotypes and two regeneration media in the second experiment. The result showed that hybrid variety Permata had the highest anther culture ability then other genotypes. Permata had the highest percentage of callus induction (27.3%) followed by Tora (14.0%) and Ratna (12.0%). The highest percentage of callus induction was shown in DBMI + 5 mg L 1 Kinetin + 2 mg L 1 NAA medium (39.7%) followed by DBMII + 1 mg L 1 Kinetin + 2 mg L 1 NAA medium (33.0%). Both genotype and media gave low percentage of shoot induction. The high percentage of shoot induction in hybrid variety Permata was 4.2% while in Tora was 2.1% and Ratna was 0.0%. The high percentage of shoot induction in MS + 25 mg L 1 Zeatin was 2.8% while in MS + 1 mg L 1 Zeatin mg L 1 IAA was 1.4%. Keywords Callus, culture media, plant growth regulator, tomato anther culture Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kemampuan kultur antera tiga genotipe tomat melalui respon androgenesis pada percobaan induksi pembentukan kalus dan regenerasi tunas. Percobaan dirancang menggunakan Rancangan Acak Lengkap faktorial dengan lima ulangan. Perlakuan terdiri dari tiga genotipe (Tora, Ratn a dan Permata), enam media induksi kalus pada percobaan pertama dan dua media regenerasi pada percobaan ke dua. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tomat varietas hibrida Permata memiliki kemampuan kultur antera yang lebih baik dibandingkan genotipe lainnya. Permata memiliki persentase jumlah kalus paling tinggi (27.3%), kemudian diikuti oleh genotipe Tora (14.0%) dan Ratna (12.0%). Persentase induksi kalus paling tinggi ditunjukkan oleh media DBMI + 5 mg L 1 Kinetin + 2 mg L 1 NAA (39.7%) dan DBMII + 1 mg L 1 Kinetin + 2 mg L 1 NAA (33.0%). Baik genotipe maupun media yang digunakan menghasilkan jumlah tunas yang rendah. Persentase induksi tunas varietas hibrida Permata 4.2% lebih tinggi dari Tora (2.1%) dan Ratna (0.0%). Persentase induksi tunas media MS + 1 mg L 1 Zeatin mg L 1 IAA sebesar 2.8% sedangkan MS mg L 1 Zeatin sebesar 1.4%. Kata kunci Kalus, kultur antera tomat, media kultur, ZPT

32 Pendahuluan Penggunaan kultur antera dalam program pemuliaan tomat saat ini belum mendapat perhatian karena terbatasnya informasi mengenai daya kultur antera tomat di Indonesia. Berbagai hasil penelitian kultur antera tomat yang dilaporkan dari tahun 1972 (Sharp et al. 1972) hingga 2010 (MotallebiAzar) masih terkait respon genotipe terhadap kondisi kultur dan kajian mengenai faktorfaktor pembatas keberhasilannya. Belum ada metode yang baku hingga saat ini disebabkan karena besarnya pengaruh genotipe yang digunakan. Keberhasilan kultur antera tomat juga dipengaruhi oleh komposisi media kultur, fase perkembangan mikrospora (SeguìSimarro dan Nuez 2005), kondisi fisiologi tanaman donor, pra perlakuan sebelum kultur (MotallebiAzar dan Panahandeh 2010), dan kondisi lingkungan kultur. Media kultur merupakan faktor yang sangat mempengaruhi keberhasilan kultur antera tomat. Komponen penyusun media kultur adalah garamgaram anorganik, zat pengatur tumbuh, vitamin, asam amino, sumber karbon, osmotika, dan air (Gamborg dan Phillips 1995). Komposisi media dan ph selain menentukan keberhasilan tanaman juga menentukan arah perkembangan eksplan pada awal perkembangannya. Kebutuhan nutrisi antara jaringan yang berasal dari bagian yang berbeda akan berbeda kebutuhan nutrisinya. Oleh karena itu, tidak ada satu pun media dasar yang berlaku universal untuk semua jenis jaringan dan organ. Media yang paling luas penggunaannya adalah media MS (Murashige dan Skoog 1962) (Zulkarnain 2009). Selain media MS, media lain yang juga digunakan dalam kultur antera adalah media B5 pada kultur antera padi (Dewi et al. 2004), media Dumas De Vaulx et al. (1981) pada kultur cabai (Irikova et al. 2011) dan modifikasi media MMS yang merupakan media modifikasi MS pada kultur antera anturium (Rachmawati 2005). Media kultur antera tomat meliputi media induksi kalus dan regenerasi tanaman. Media induksi kalus maupun regenerasi pada kultur antera tomat belum baku sehingga belum ada media yang dapat digunakan secara universal. Media yang telah berhasil menginduksi kalus dan regenerasi tunas bervariasi sesuai dengan genotipe yang digunakan. Media dasar yang digunakan adalah MS (Murashige dan Skoog 1962) dan MS1 (Gamborg dan Eveleigh 1968; Gresshoff dan Doy 1972) dan MS2 (Gresshoff dan Doy 1972; Blaydes 1996;). Media MS1 dan MS2 digunakan oleh Gresshoff dan Doy (1972) dalam penelitian kultur antera tomat dan menemukan bahwa media MS1 dengan tambahan ZPT kinetin dan NAA yang kemudian diberi nama DBM1 menginduksi kalus secara optimal. Media ini juga berhasil menginduksi kalus pada penelitian Summers et al. (1992) dan MotallebiAzar (2010a). Selain media DBM1, terdapat juga media DBM2 dan DBM3 yang merupakan media buatan Gresshoff dan Doy dengan tambahan zat pengatur tumbuh Kinetin dan NAA. Media DBM memiliki beberapa perbedaan konsentrasi dan komposisi dengan media MS (Murashige dan Skoog 1962). Media MS (Murashige dan Skoog 1962) juga digunakan oleh MotallebiAzar (2010a) dan berhasil menginduksi kalus dan meregenerasikan tanaman. Kombinasi ZPT yang digunakan pada media MS untuk kultur antera tomat antara lain Zeatin dan IAA, 2.4 D dan Kinetin, serta 2ip dan IAA. Penggunaan genotipe yang responsif akan meningkatkan efisiensi produksi kalus dan tanaman masingmasing 85% dan 46% (MotallebiAzar 2010a),

33 19 sedangkan seleksi media yang tepat dapat meningkatkan efisiensi pembentukan kalus dan tanaman masingmasing 13% dan 18% (Jaramilllo dan Summers 1990). Antera yang dikulturkan pada media akan menyerap zatzat dari dalam media sehingga akan menghentikan lintasan gametofitik pada mikrospora dan memaksanya ke arah lintasan sporofitik agar menghasilkan selsel kalus (Dewi dan Purwoko 2011). Keberhasilan induksi kalus dan regenerasi tanaman selain dipengaruhi oleh media juga dipengaruhi oleh fase perkembangan mikrospora (Shtereva et al. 1998). Hal ini karena pembentukan kalus atau embrio pada tahap awal kultur antera sangat bergantung pada fase perkembangan mikrospora. Upaya yang dapat dilakukan dalam penelitian ini adalah menggunakan media kultur antera tomat yang telah berhasil menginduksi kalus dan meregenerasikan tanaman, serta menggunakan fase perkembangan mikrospora yang diketahui dari berbagai hasil penelitian dapat menginduksi kalus dan meregenerasikan tunas. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui tanggap androgenesis genotipe Tora, Ratna dan Permata dan memperoleh media induksi kalus dan regenerasi yang paling baik untuk kultur antera tomat yang digunakan. 4.2 Bahan dan Metode Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biologi Sel dan Jaringan, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetika Pertanian (BB Biogen), dan Rumah Kaca Cikeumeh, Cimanggu, Bogor pada bulan Juni 2015 hingga April Bahan tanaman yang digunakan terdiri atas tiga genotipe yaitu, Tora, Ratna dan hibrida Permata. Tora dan Ratna diperoleh dari koleksi Laboratorium Pemuliaan Tanaman, Departemen Agronomi dan Hortikultura, IPB. Hibrida Permata, milik PT Panah Merah diperoleh dari toko pertanian Tani Jaya, Dramaga. Media tanam yang digunakan terdiri atas 6 media induksi kalus (M1, M2, M3, M4, M5, M6) dan 2 media induksi tunas (R1 dan R2). Semua kalus yang diperoleh terlebih dahulu dipindahkan ke media proliferasi kalus, tanpa memperhatikan asal media. Kalus yang telah berproliferasi selanjutnya dipindahkan pada media regenerasi. Media induksi kalus M1, M2, dan M3 berasal dari penelitian Gresshoff dan Doy (1972). Media M4 dan M5 berasal dari penelitian MotallebiAzar (2010a) dan media M6 berasal dari penelitian Zagorska et al. (2005). Komposisi ke enam media tersebut adalah sebagai berikut M1 (DBMI + 5 mg L 1 kinetin + 2 mg L 1 NAA), M2 (DBMII + 1 mg L 1 kinetin + 2 mg L 1 NAA), M3 (DBMIII mg L 1 kinetin + 5 mg L 1 NAA, M4 (MS + 1 mg L 1 2ip + 2 mg L 1 IAA), M5 (MS mg L 1 2.4D + 2 mg L 1 kinetin), dan M6 (MS mg L 1 Zeatin mg L 1 IAA). Media induksi tunas R1 (MS + 1 mg L 1 Zeatin mg L 1 IAA) berasal dari penelitian MotallebiAzar (2010a), dan media R2 (MS mg L 1 Zeatin) berasal dari penelitian SeguìSimarro dan Nuez (2005) Induksi Pembentukan Kalus pada Enam Media Kultur Percobaan dirancang menggunakan Rancangan Acak Lengkap dua faktor. Faktor pertama yaitu genotipe yang terdiri dari 3 genotipe (Tora, Ratna, dan Permata). Faktor kedua yaitu media yang terdiri atas 6 media (M1, M2, M3, M4, M5, dan M6), sehingga terdapat 18 kombinasi perlakuan. Tiap kombinasi perlakuan

34 20 diulang sebanyak 5 kali, sehingga terdapat 90 satuan percobaan. Satu satuan percobaan adalah satu petri yang berisi 20 antera. Kuncup yang digunakan untuk semua genotipe pada percobaan dua berukuran 3 hingga 7 mm yang mengandung antera pada fase meiosis, tetrad hingga mikrospora. Hal ini didasarkan pada penelitian sebelumnya bahwa induksi kalus pada kultur antera tomat dapat dihasilkan pada semua fase mikrospora, yaitu fase meiosis (Zagorska et al. 1998; Summer et al. 1992; Gresshoff dan Doy 1972), tetrad (Zamir et al. 1980), uninukleat (Gulshan et al. 1981) hingga mikrospora (Sharp et al. 1972). Hasil percobaan 1 digunakan sebagai indikator untuk mengetahui letak ke tiga fase tersebut berdasarkan panjang kuncup. Kuncup diambil pada pagi hari selama 25 hingga 30 hari masa berbunga (MotallebiAzar 2010). Kuncup yang telah diambil, selanjutnya disimpan pada suhu 5 0 C selama 48 jam. Kuncup yang telah diberi pra perlakuan selanjutnya disterilisasi di dalam Laminar Air Flow Cabinet. Kuncup direndam dalam larutan Clorox 20% selama 10 menit, kemudian dibilas dengan air steril sebanyak 3 kali dan ditiriskan pada kertas saring steril. Antera kemudian dipisahkan dari kuncup bunga menggunakan pinset lalu diinokulasi pada petri yang berisi 25 ml media induksi kalus. Tiap petri berisi 20 antera yang berasal dari 4 kuncup bunga. Petri yang telah berisi antera diinkubasi gelap selama 6 minggu pada suhu 26 ± 2 0 C kemudian dipindahkan pada kondisi penyinaran 16/8 jam dengan suhu yang sama (MotallebiAzar 2010a). Pengamatan dilakukan terhadap lamanya inisiasi kalus dalam hari setelah tanam (HST), jumlah kalus yang terbentuk dan jumlah antera berespon per kuncup. Data primer yang diperoleh digunakan untuk menghitung persentase kalus terhadap jumlah antera. Antera berespon dihitung dengan membuat modus data jumlah antera yang menghasilkan kalus yang diperoleh dari lima kuncup pada tiap genotipe. Data dianalisis menggunakan analisis ragam dan akan dilanjutkan dengan uji DMRT pada taraf α= 5% bila terdapat pengaruh pada perlakuan. Jumlah kalus Persentase (%) kalus terhadap jumlah antera = x 100% Jumlah total antera Induksi Pembentukan Tunas pada Dua Media Regenerasi Penelitian dirancang menggunakan Rancangan Acak Lengkap dua faktor. Faktor pertama adalah kalus dari 3 genotipe (Tora, Ratna dan Permata) yang berasal dari percobaan 1. Faktor kedua adalah media induksi tunas yang terdiri atas 2 media (R1 dan R2), sehingga terdapat 6 kombinasi perlakuan. Tiap kombinasi perlakuan diulang sebanyak 8 kali sehingga terdapat 48 satuan percobaan. Satu satuan percobaan adalah satu botol yang berisi 3 kalus. Kalus dari tiap genotipe yang telah berukuran sekitar 2 mm dipindahkan pada media proliferasi kalus yaitu MS mg L 1 NAA + 3 BAP mg L 1. Kalus yang telah memiliki ukuran sekitar 5 hingga 10 mm dipindahkan pada media regenerasi. Kalus yang sudah dipindahkan ke media regenerasi, selanjutnya diinkubasi pada suhu 26 ± 2 0 C dengan penyinaran 16/8 jam. Pengamatan dilakukan terhadap diameter kalus pada minggu ke empat dan ke enam, lamanya inisiasi tunas dalam hari setelah tanam (HST) dan jumlah tunas. Data primer jumlah tunas digunakan untuk menghitung persentase jumlah tunas terhadap jumlah kalus dan data primer diameter kalus digunakan untuk menghitung pertambahan diameter kalus. Efisiensi pembentukan tunas dari setiap genotipe yang dikulturkan pada dua media induksi tunas dinyatakan dengan persentase jumlah tunas terhadap jumlah kalus. Data

35 21 dianalisis menggunakan analisis ragam dan akan dilanjutkan dengan uji DMRT pada taraf α= 5% bila terdapat pengaruh pada perlakuan. jumlah tunas Persentase (%) jumlah tunas terhadap jumlah kalus= x 100% Jumlah total kalus Pertambahan diameter kalus= diameter kalus minggu ke enam diameter kalus minggu ke empat. 4.3 Hasil dan Pembahasan Induksi Pembentukan Kalus pada Enam Media Kalus Pembentukan kalus merupakan salah satu tahapan dalam pembentukan tanaman pada kultur antera tomat (Gresshoff dan Doy 1972; Zagorska et al. 1998; SeguiSimarro dan Nuez 2005; MotallebiAzar 2010) yang juga ditemukan pada berbagai kultur antera tanaman seperti cabai (Muswita 2003), terung (Khatun et al. 2006) dan padi (Dewi et al. 2001; Dewi et al. 2007, 2009; Safitri et al. 2010). Antera ditanam pada petri yang berisi 25 ml media, kemudian diinkubasi gelap selama 6 minggu untuk menginduksi pembentukan kalus (Gambar 6a). Kalus yang terbentuk memiliki morfologi yang sama. Kalus berwarna putih kekuningan, transparan dengan struktur remah, kompak (Gambar 6b) dan lunak (Gambar 6c). a b c Gambar 6 Induksi pembentukan kalus tomat. Inokulasi antera pada media induksi kalus (a), struktur kalus kompak, berwarna putih (b), struktur kalus lunak, transparan dan berwarna putih kekuningan (c). Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa media yang digunakan mempengaruhi lamanya inisiasi kalus, sedangkan genotipe maupun interaksi keduanya tidak mempengaruhi lamanya inisiasi kalus. Genotipe dan media secara tunggal mempengaruhi jumlah kalus yang dihasilkan, sedangkan interaksi keduanya tidak mempengaruhi jumlah kalus. Genotipe, media, maupun interaksi keduanya tidak mempengaruhi pertambahan diameter kalus dan jumlah tunas yang dihasilkan (Tabel 3). Tabel 3 Hasil analisis ragam pengaruh genotipe dan media terhadap jumlah kalus, diameter kalus, dan jumlah tanaman pada kultur antera tomat Sumber Keragaman Lamanya Inisiasi Kalus (HST) Percobaan 1 Percobaan 2 Kuadrat Tengah Jumlah Diameter Kalus per Kalus (mm) petri Jumlah Tunas Genotipe ** Media ** Genotipe x Media KK **= berbeda nyata pada taraf α 1%

36 22 Perbedaan respon genotipe terhadap lamanya inisiasi kalus, jumlah kalus dan persentase jumlah kalus pada genotipe yang berbeda disajikan pada Tabel 4. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa kalus pertama terbentuk setelah kultur diinkubasi selama 26.4 hari (Tora) dan 27.7 hari (Ratna dan Permata). Jumlah kalus paling tinggi dihasilkan oleh genotipe Permata sebesar 5.5 berbeda dengan genotipe Tora dan Ratna yaitu 2.8 dan 2.4, sedangkan jumlah kalus genotipe Tora dan Ratna tidak berbeda diantara keduanya. Efisiensi pembentukan kalus dari setiap genotipe yang dikulturkan pada enam media induksi kalus dinyatakan dengan persentase jumlah kalus terhadap jumlah antera. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa genotipe Permata memiliki efisiensi pembentukan kalus paling tinggi yaitu sebesar 27.3%, kemudian genotipe Tora 14.0% dan Ratna 12.0%. Perbedaan jumlah kalus antara genotipe tomat hasil kultur antera juga dilaporkan oleh Zamir et al. (1980), Zagorska et al. (1998), Asoliman et al. (2007), dan MotallebiAzar et al. (2010). Tabel 4 Perbedaan respon lamanya inisiasi kalus, jumlah kalus dan persentase jumlah kalus pada genotipe tomat yang berbeda Genotipe Lamanya inisiasi Jumlah kalus per Persentase jumlah kalus (HST) petri kalus (%) Tora b 14.0 Ratna b 12.0 Permata a 27.3 = Data tidak dianalisis. Angka yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom yang sama adalah berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf α 5%. Berdasarkan perbedaan respon lamanya inisiasi kalus, jumlah kalus dan persen jumlah kalus pada media yang berbeda disajikan pada Tabel 5. Tidak ada perbedaan yang nyata dalam inisiasi kalus antara media M1, M2, M3, M4 dan M5, kecuali media M6, dimana media M6 tidak menginduksi kalus sama sekali. Kalus pertama terbentuk setelah kultur diinkubasi selama 25.0 hari, yaitu terjadi pada media DBMI + 5 mg L 1 Kinetin + 2 mg L 1 NAA (M1), dan kalus paling lama terbentuk setelah 28.6 hari, yaitu pada media DBMI + 1 mg L 1 Kinetin + 2 mg L 1 NAA (M2), sedangkan pada media M6 kalus tidak terbentuk sama sekali. Pembentukan kalus pada kultur antera tomat yang dilaporkan oleh Asoliman et al. (2007) dan MotallebiAzar (2010) terjadi setelah 4 minggu atau 28 hari kultur. Jumlah kalus yang dihasilkan oleh media DBMI + 5 mg L 1 Kinetin + 2 mg L 1 NAA (M1) tidak berbeda dengan DBMII + 1 mg L 1 Kinetin + 2 mg L 1 NAA (M2) yaitu berturutturut 7.9 dan 6.6, namun keduanya berbeda dengan media lainnya. Respon beragam yang ditunjukkan oleh media terhadap jumlah kalus menunjukkan bahwa media menentukan keberhasilan induksi kalus. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Zagorska et al. (1998), bahwa komposisi media merupakan faktor yang menentukan keberhasilan induksi kalus.

37 23 Tabel 5 Perbedaan respon lamanya inisiasi kalus, jumlah kalus dan persen jumlah kalus tomat pada media yang berbeda Media induksi kalus (M) Lamanya inisiasi kalus (HST) Jumlah kalus Persentase jumlah kalus (%) M a 39.7 M a 33.0 M b 16.0 M bc 9.0 M bc 9.0 = Data tidak dianalisis. Angka yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom yang sama adalah berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf α 5%. Media M6 tidak menginduksi kalus dapat disebabkan karena kombinasi dan konsentrasi ZPT yang digunakan belum sesuai dengan genotipe yang digunakan. Shtereva et al. (1998) menyatakan bahwa bahwa kombinasi 2ip dan IAA lebih baik dibanding kombinasi Zeatin dan IAA dalam induksi kalus maupun organogenesis dalam kultur antera tomat. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian ini, bahwa Media M4 dengan kombinasi 2ip dan IAA menghasilkan kalus 1.8 sedangkan M6 dengan kombinasi Zeatin dan IAA tidak menghasilkan kalus sama sekali. Efisiensi pembentukan kalus paling tinggi dihasilkan oleh media DBMI + 5 mg L 1 kinetin + 2 mg L 1 NAA (M1) dan DBMII + 1 mg L 1 Kinetin + 2 mg L 1 NAA (M2) berturutturut sebesar 39.7% dan 33.0%. Media DBMI + 5 mg L 1 Kinetin + 2 mg L 1 NAA juga dilaporkan menginduksi kalus secara optimal pada berbagai genotipe yang digunakan dalam penelitianpenelitian sebelumnya (Gresshoff dan Doy 1972; Summers et al. 1992; MotallebiAzar 2010). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa media DBMI + 5 mg L 1 Kinetin + 2 mg L 1 NAA dapat digunakan untuk berbagai genotipe tomat. Beragamnya jumlah kalus dan efisiensi pembentukan kalus ketiga genotipe pada media yang digunakan menunjukkan bahwa genotipe yang berbeda membutuhkan media yang berbeda. Kondisi ini mengakibatkan sulitnya memperoleh media yang universal untuk kultur antera tomat. Gambar 7 menunjukkan modus data jumlah antera berespon yang berkalus per kuncup pada masingmasing genotipe. Modus data menunjukkan bahwa dalam satu kuncup bunga yang terdiri atas lima antera, paling banyak hanya 1 hingga 2 antera yang berespon menghasilkan kalus. Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan jumlah kalus tidak hanya terjadi pada tingkat genotipe, namun terjadi pada tingkat yang lebih rendah yaitu antar antera dalam satu kuncup yang sama.

38 24 MODUS Modus DATA Data ;2 2; ;4 4;5 45 Jumlah Antera Berespon Per Kuncup RANGE JUMLAH ANTERA BERESPON PER KUNCUP Tora Ratna Permata Gambar 7 Modus data jumlah antera bersepon per kuncup pada tiap genotipe tomat Induksi Pembentukan Tunas pada Dua Media Regenerasi Kalus yang berkembang pada media induksi tunas memiliki morfologi yang bervariasi. Kalus lunak, mengandung banyak air, berkembang lambat, kemudian mencokelat dan akhirnya mati (Gambar 8a). Kalus remah, berwarna hijau, berkembang lebih cepat dengan tipe perkembangan kalus ke arah vertikal. Kalus seperti ini memiliki bagian yang mudah dipisahkan dan bagian yang sulit dipisahkan. Kalus yang berada paling atas dari permukaan kalus lebih mudah terpisah dibandingkan kalus yang mendekati permukaan media (Gambar 8bc). Kalus seperti ini terus berkembang hingga menembus dasar media, kemudian mencokelat dan mati. Kalus kompak, dengan arah perkembangan lebih dominan melebar kesamping memiliki struktur yang kompak dan sulit dipisahkan. Terdapat struktur halus berwarna putih yang menutupi permukaan kalus (Gambar 8d). Kalus seperti ini lebih lama mengalami pencokelatan. Struktur halus berwarna putih yang terbentuk bila diamati menyerupai serabut atau bulu yang mengandung banyak air. a b c d Gambar 8 Penampilan kalus yang berkembang pada media induksi tunas tomat. Kalus lunak, mengandung banyak air (a), kalus kompak, remah (b dan c), dan kalus kompak, memiliki sturktur bulu halus berwarna putih (d) Kalus yang tidak menginduksi tunas, namun terus berproliferasi dapat disebabkan karena faktor genetik dari tanaman tomat maupun faktor eksternal berupa zat pengatur tumbuh. Menurut Davies (2004), zat pengatur tumbuh dalam mempengaruhi perkembangan jaringan tanaman dipengaruhi oleh hormon endogen yang tersedia, letak zat pengatur tumbuh dari jaringan target, serta sensitivitas dan responsivitas dari jaringan tanaman. Tomat merupakan spesis rekalsitran in vitro, yang diduga menjadi penyebab rendahnya respon jaringan tanaman terhadap media kultur khususnya zat pengatur tumbuh. Rekalsitran in vitro adalah keadaan dimana eksplan yang dikultur memberi respon yang sangat rendah terhadap lingkungan kultur yang diberikan atau sulit merespon. Hal ini dipengaruhi oleh faktor utama yaitu genotipe. Rekalsitran in vitro pada tomat dapat disebabkan karena rendahnya

39 25 sensitivitas dan responsivitas dari jaringan tanaman sebagai akibat pengaruh faktor genetik dari tanaman tomat. Rendahnya sensitivitas dan responsivitas tomat juga dapat menyebabkan pergerakan zat pengatur tumbuh menjadi lambat untuk mencapai jaringan target. Kalus yang berhadapan dengan media kultur memiliki bagian berwarna hijau lebih banyak dibanding dengan bagian lainnya (Gambar 9a dan c), serta tidak terdapat serabut putih seperti pada bagian permukaan kalus (Gambar 9b dan d). Kalus yang berwarna hijau menunjukkan adanya proses pembentukan klorofil pada masa sel kalus, yang lama kelamaan membesar dan menjadi kalus kompak. Bagian kalus yang berwarna putih mengandung banyak air dan terlihat seperti serabutserabut halus. Kalus tipe ini menjadi sebuah ciri khas pada kalus tomat yang tidak ditemui pada kalus dari tanaman lain. Hal ini diduga menjadi salah faktor yang menghambat morfogenesis kalus menjadi tunas. a b c d Gambar 9 Penampilan kalus tomat yang berhadapan dengan media kultur. Penampilan kalus dari bagian permukaan atas (a dan c) dan permukaan bagian bawah (b dan d) Pertambahan diameter kalus, lamanya inisiasi tunas, jumlah tunas dan persen jumlah tunas terhadap jumlah kalus pada tiga genotipe tomat dan dua media regenerasi disajikan pada Tabel 6. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa pertambahan diameter kalus Tora, Ratna dan Permata selama 2 minggu, yaitu berturutturut sebesar 2.8 mm, 1.4 mm dan 2.0 mm. Pertambahan diameter kalus pada media MS + 1 mg L 1 Zeatin mg L 1 IAA dan MS mg L 1 Zeatin berturutturut adalah 2.0 dan 2.1 mm. Bertambahnya diameter kalus pada media induksi tunas dapat disebabkan oleh faktor genetik, dimana genotipe yang digunakan memiliki daya regenerasi yang rendah, sehingga kalus terus berproliferasi tanpa adanya inisiasi tunas. Selain itu, diduga keseimbangan konsentrasi dan jenis ZPT dalam penelitian ini belum sesuai dengan genotipe yang digunakan sehingga belum mampu menginduksi munculnya tunas secara optimal. Hal ini seperti yang dikemukan oleh Zagorska et al. (2004), bahwa jenis dan konsentrasi ZPT yang digunakan menentukan respon kultur antera tomat. Pembentukan tunas pertama kali muncul setelah berumur 57.0 hari, yaitu ditunjukkan oleh genotipe Tora, kemudian 60.0 hari pada genotipe Permata. Genotipe Ratna tidak menghasilkan tunas sama sekali. SeguiSimarro dan Nuez (2005) melaporkan bahwa tunas pertama kali muncul setelah 42 hari. Hal ini

40 26 menunjukkan bahwa lamanya inisiasi tunas dapat dipengaruhi oleh genotipe yang digunakan. Genotipe maupun media yang digunakan menunjukkan respon yang sama dalam menghasilkan tunas. Genotipe Permata menghasilkan tunas paling banyak, yaitu 0.04 sedangkan genotipe Ratna tidak menghasilkan tunas sama sekali (Tabel 6). Tunas hanya muncul sekali pada tiap kalus, dimana tidak terjadi inisiasi tunas baru selama pertumbuhan tunas pertama. Media MS + 1 mg L 1 Zeatin IAA mg L 1 dan MS mg L 1 Zeatin dapat menginduksi tunas berturutturut sebanyak 0.03 dan 0.01 tunas. Rendahnya pembentukan tunas dapat disebabkan karena pengaruh genotipe, juga karena kombinasi jenis dan konsentrasi ZPT yang belum sesuai dengan genotipe yang digunakan. Zamir et al. (1980) melaporkan bahwa kombinasi Zeatin dan IAA dapat menghasilkan tanaman melalui kultur antera tomat. Sebaliknya, meunurut Shtereva et al. (1998), kombinasi 2ip dan IAA lebih baik dari kombinasi Zeatin dan IAA. Tabel 6 Pertambahan diameter kalus, lamanya inisiasi tunas, jumlah tunas dan persen jumlah tunas terhadap jumlah kalus pada tiga genotipe tomat dan dua media regenerasi Perlakuan Pertambahan diameter kalus (mm) Lamanya inisiasi tunas (HST) Jumlah tunas Persentase jumlah tunas terhadap jumlah kalus (%) Genotipe Tora Ratna Permata Media R R Efisiensi pembentukan tunas paling tinggi mencapai 4.2% yaitu dihasilkan oleh genotipe Permata. Efisiensi pembentukan tunas genotipe Tora dan Ratna lebih rendah yaitu berturutturut 2.1% dan 0.0%. Efisiensi pembentukan tunas paling tinggi dihasilkan oleh media MS mg L 1 Zeatin yaitu sebesar 2.8%, sedangkan media MS + 1 mg L 1 Zeatin mg L 1 IAA menghasilkan efisiensi pembentukan kalus 1.4% (Tabel 6). Penelitian MotallebiAzar (2010) menggunakan media MS + 1 mg L 1 Zeatin mg L 1 IAA dan SeguìSimarro (2005) pada media MS mg L 1 Zeatin mampu menghasilkan tanaman hingga aklimatisasi. Walaupun menurut Shtereva et al. (1998) bahwa kombinasi IAA dan Zeatin menghasilkan organisasi yang rendah bila dibandingkan dengan kombinasi 2ip dan IAA, namun hasil penelitian ini menunjukkan kebalikannya bahwa Zeatin tunggal maupun kombinasinya dengan IAA dapat menghasilkan tunas. Hal ini mendukung hasil penelitian terdahulu, bahwa keberhasilan kultur antera tomat sangat ditentukan oleh genotipe yang digunakan (Gresshoff dan Doy 1972; Zagorska et al. 1998; MotallebiAzar 2010). Pertumbuhan tunas genotipe Permata pada media MS + 1 mg L 1 Zeatin mg L 1 IAA (R1) ditunjukkan pada Gambar 10. Tunas berasal dari kalus yang telah berwarna kecokelatan. Tunas yang muncul berwarna hijau muda

41 27 (Gambar 10a). Bakal daun muncul dari permukaan kalus, memanjang membentuk daun, namun tidak terlihat adanya batang (Gambar 10bd). a b c d Gambar 10 Pertumbuhan tunas tomat Permata pada media R1. Bakal tunas muncul pertama kali setelah 68 hari dikultur (a). Pertumbuhan bakal daun setelah 8 hingga 46 hari dikultur (b). Perkembangan daun setelah 67 hari dikultur (c). Tunas mengalami pencokelatan setelah 3 bulan dikultur (d) Bakal tunas pada media MS + 1 mg L 1 Zeatin mg L 1 IAA tumbuh cepat di harihari pertama pertumbuhan yaitu saat berumur 8 hingga 46 hari (Gambar 10ab), kemudian pertumbuhan melambat setelah tunas mencapai umur 67 hari atau 2 bulan. Tangkai daun memanjang dari permukaan kalus tanpa adanya batang. Daun tidak membuka sempurna dan urat serta tulang daun tidak begitu jelas terlihat (Gambar 10c). Tunas kemudian mengalami pencokelatan setelah 3 bulan dikultur (Gambar 10d). Pencokelatan pada tunas diawali pada bagian pangkal tunas, kemudian menyebar ke seluruh bagian tunas yang menandai akhir pertumbuhan tunas. Tunas ini tidak diregenerasikan pada media perakaran karena daun tidak terbentuk sempurna. Terdapat spot cokelat pada beberapa bagian daun yang menandai matinya jaringan. Bakal tunas genotipe Permata pada media MS mg L 1 Zeatin juga menunjukkan pertumbuhan yang baik diharihari pertama kemunculan (Gambar 11). Tunas yang terbentuk juga abnormal. Daun memanjang, runcing pada bagian ujung, tepi daun menggulung ke bagian dalam, serta bentuk daun bengkok. Tunas pertama muncul berwarna hijau agak tua (Gambar 11a). Tunas menunjukkan pertumbuhan yang cepat setelah 11 hingga 28 hari disubkultur (Gambar 11bc). Pertumbuhan tunas akhirnya terhenti setelah tunas berumur 106 hari atau sekitar 3 bulan (Gambar 11d). Bagian ujung daun mengalami pencokelatan, sedangkan permukaan daun mulai berubah dari hijau menjadi kuning.

42 28 a b c d Gambar 11 Pertumbuhan tunas tomat Permata pada media R2. Pembentukan tunas 60 HST (a), pertumbuhan tunas selama 11 hari setelah sub kultur (b), tunas berumur 28 hari setelah disubkultur (c), keseluruhan tunas mengalami pencokelatan setelah berumur 138 hari atau 3 bulan (d) Pertumbuhan tunas genotipe Tora pada media MS mg L 1 Zeatin (R2) ditunjukkan pada Gambar 12. Tunas yang tumbuh berasal dari kalus yang remah dan telah berwarna cokelat tua kehitaman. Tunas yang tumbuh berwarna hijau dan terlihat lunak(gambar 12a). Tunas tumbuh baik setelah 14 hari disubkultur (Gambar 12bc), kemudian mengalami pencokelatan setelah berumur 91 hari atau 13 minggu (Gambar 12d). Bentuk tunas yang abnormal mengakibatkan pertumbuhan tunas melambat dan akhirnya mati. Tunas yang abnormal juga ditemukan dalam penelitian Zagorska et al. (1998) dan SeguìSimarro dan Nuez (2005). Tunas yang abnormal hanya mampu bertahan hingga 6 minggu kemudian mati. Kalus yang tidak menghasilkan tunas terus berproliferasi dan akhirnya mati. a b c d Gambar 12 Pertumbuhan tunas tomat Tora pada media R2. Bakal tunas muncul pertama kali setelah 57 hari dikultur (a), tunas setelah 14 hari disubkultur (b, c). Tunas mengalami pencokelatan setelah berumur 91 hari atau 13 minggu (d) Penampilan jaringan daun yang abnormal ditunjukkan pada Gambar 13. Tepi daun menggulung ke arah permukaan daun sehingga terlihat menyerupai tabung, berukuran panjang, bengkok serta berwarna hijau muda (Gambar 13a). Daun memiliki jaringan palisade dan parenkim yang belum terbentuk sempurna, serta

43 29 jumlah stomata sedikit (Gambar 13b). Stomata saat diamati berada dalam bentuk yang normal dengan beberapa sel penjaga (Gambar 13c). Hal ini menunjukkan bahwa ketidaknormalan daun yang terbentuk disebabkan juga karena pembentukan jaringannya yang tidak optimal. Hal ini dapat menjadi dugaan bahwa tunas yang dihasilkan adalah haploid dengan melihat jumlah stomata dan pertumbuhan tunas yang abnormal, dimana jumlah stomata yang teramati hanya sebanyak 3 stomata, sedangkan jumlah stomata pada daun tanaman tomat diploid adalah 18 stomata per cm 2 (Gaswanto et al. 2009). a b c Gambar 13 Penampilan jaringan daun yang abnormal hasil kultur antera tomat Permata. Bentuk daun yang diamati di bawah mikroskop (a), jaringan palisade dan stomata (b), stomata dan selsel penjaga (c) Dari segi jumlah stomata, ukuran stomata, bentuk dan ukuran daun pada penelitian ini, maka dapat diduga bahwa tunas yang dihasilkan melalui kultur antera tomat adalah haploid. Salah satu ciri penampilan tanaman haploid adalah memiliki jumlah stomata lebih sedikit dibandingkan tanaman diploidnya. Selain itu, tanaman haploid juga memiliki penampilan morfologi yang berbeda dengan tanaman diploidnya. Tanaman haploid hasil kultur antera padi misalnya, memiliki tinggi yang lebih rendah dari tanaman diploidnya (Dewi et al. 2010), ukuran daun lebih kecil dan sempit, serta jumlah anakan lebih banyak. Tanaman tomat haploid hasil kultur antera ditunjukkan oleh Zagorska et al. (1998), dimana tanaman memiliki bentuk yang abnormal, kerdil, dan memiliki ukuran daun yang lebih sempit. 4.4 Kesimpulan Tomat Permata memiliki daya kultur antera yang lebih baik dibandingkan genotipe Tora dan Ratna dalam jumlah kalus maupun jumlah tunas. Media yang paling baik menginduksi kalus adalah media M1 DBMI + 5 mg L 1 kinetin + 2 mg L 1 NAA (39.7%). Media yang paling baik menginduksi tunas adalah media R2 MS mg L 1 Zeatin (2.8%).

44 30 5 PEMBAHASAN UMUM Pemanfaatan buah tomat di Indonesia selain dikonsumsi dalam bentuk segar juga Produktivitas tomat di Indonesia masih tergolong rendah (BPS 2015), bila dibandingkan dengan potensi hasil yang dapat diperoleh (FAO 2015). Oleh karena itu program pemuliaan tomat terus dilakukan untuk mendapatkan varietas unggul yang memiliki produksi tinggi dan sifatsifat unggul lainnya. Pemanfaatan teknik kultur antera dalam program pemuliaan tomat diharapkan dapat mempercepat perakitan varietas unggul baru. Pemanfaatan kultur antera pada tanaman tomat menemui beberapa kendala yaitu keberhasilan yang sangat ditentukan oleh genotipe, fase perkembangan mikrospora, komposisi media kultur, konsentrasi dan jenis zat pengatur tumbuh, pra perlakuan sebelum kultur, kondisi fisiologi tanaman donor, dan kondisi lingkungan kultur. Walaupun memiliki banyak faktor pembatas keberhasilan, namun penelitian kultur antera tomat terus berkembang hingga saat ini dikarenakan tomat merupakan komoditas yang memiliki nilai ekonomi penting di dunia. Penelitan kultur antera di Indonesia belum banyak dilakukan. Hal ini karena fase perkembangan mikrospora dan media kultur antera tomat yang sesuai hingga saat ini belum diketahui, sehingga penelitian ini adalah penelitian awal untuk mengetahui tanggap androgenesis tomat yang ada di Indonesia. Terdapat dua percobaan dalam penelitian ini yaitu percobaan identifikasi fase perkembangan mikrospora hubungannya dengan pemilihan antera sebagai eksplan dalam kultur antera dan percobaan induksi kalus dan regenerasi tanaman. Perbedaan mendasar dari penelitian ini adalah genotipe dan media yang digunakan belum pernah digunakan dalam kultur antera tomat di Indonesia. Hasil percobaan identifikasi fase perkembangan mikrospora menunjukkan bahwa genotipe yang berbeda menunjukkan perbedaan panjang kuncup dan antera yang mengandung fase meiosis, tetrad dan mikrospora. Percobaan 1 menggunakan antera yang mengandung fase meiosis, tetrad hingga mikrospora sebagai eksplan dalam kultur antera tomat. Fase ini merupakan fasefase perkembangan mikrospora yang terbukti dapat menginduksi kalus pada penelitianpenelitian sebelumnya. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa kalus dapat diinduksi pada fase meiosis, tetrad hingga mikrospora. Namun, fase yang paling optimal dalam penelitian ini tidak diamati. Hal ini karena penelitian ini adalah penelitian pendahuluan untuk mengetahui secara garis besar respon antera pada berbagai fase mikrospora tersebut pada masingmasing genotipe terhadap kemampuan induksi kalus dan regenerasi tanaman, dengan alasan bahwa penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa semua fase mikrospora dapat menginduksi kalus. Penelitian lebih lanjut dapat ditujukan untuk mengetahui fase yang paling optimal di antara ketiga fase tersebut pada tiap genotipe yang digunakan, sehingga perlu dilakukan inokulasi antera secara terpisah berdasarkan panjang kuncup dan genotipe yang digunakan untuk dapat menghitung antera berespon per panjang kuncup pada masingmasing genotipe. Dengan demikian dapat diketahui fase yang optimal pada masingmasing genotipe. Percobaan 2 terdiri atas dua percobaan yaitu percobaan induksi kalus pada enam media kalus dan percobaan induksi tunas pada dua media regenerasi. Eksplan yang digunakan pada percobaan ini berasal dari kuncup bunga yang berukuran 3 mm hingga 7 mm. Hal ini didasarkan karena panjang kuncup 2 mm pada percobaan

45 pendahuluan tidak menginduksi kalus sama sekali, sedangkan ukuran 6 hingga 7 mm digunakan untuk membandingkan jumlah antera yang berespon pada ukuran tersebut dengan panjang kuncup 3, 4 dan 5 mm. Pemilihan panjang kuncup sebagai eksplan pada percobaan dua didasari oleh pendapat Summers et al. (1992) bahwa semua fase dalam perkembangan mikrospora dapat menginduksi kalus. Selain fase meiosis, fase tetrad dan uninukleat juga dapat menginduksi kalus pada percobaanpercobaan sebelumnya (Zamir et al. 1980). Umumnya induksi kalus pada tomat terjadi setelah 4 hingga 10 minggu dan tergantung pada genotipe yang digunakan. Namun demikian, waktu yang lebih optimal adalah 3 hingga 4 minggu. Pada penelitian ini dipilih enam minggu dengan alasan bahwa pada penelitian pendahuluan, induksi kalus mulai terjadi minggu ketiga, dengan puncaknya pada minggu ke empat hingga minggu ke enam. Setelah enam minggu tanggap antera yang berkalus semakin berkurang. Hasil percobaan induksi kalus menunjukkan bahwa genotipe hibrida Permata memiliki jumlah kalus paling banyak dibandingkan genotipe Tora dan Ratna. Hal ini dapat disebabkan karena tomat Permata yang ditanam sebagai tanaman donor akan menyumbang kuncup yang mengandung antera sebagai gamet untuk membentuk keturunan F2 yang memiliki tingkat heterozigositas tinggi. Banyaknya kombinasi heterozigositas yang mungkin terjadi membentuk kombinasi gengen yang memiliki responsivitas tinggi terhadap media maupun zat pengatur tumbuh yang digunakan. Dengan demikian akumulasi jumlah antera berespon yang menghasilkan kalus akan lebih banyak pada antera dari tanaman F1. Hal ini juga dibuktikan oleh penelitian MotallebiAzar 2010a menunjukkan bahwa jumlah kalus, diameter kalus dan jumlah tanaman paling banyak dihasilkan oleh antera yang berasal dari tanaman F1 dibandingkan dengan tetuanya. Hasil yang sama juga dilaporkan Safitri et al. (2010) pada tanaman padi yaitu F1 hasil penelitiannya memiliki jumlah kalus dan jumlah tanaman total yang lebih banyak dibandingkan dengan tetuanya. Jumlah kalus dan tunas genotipe Tora dan Ratna tidak lebih tinggi dibandingkan Permata dapat dikarenakan genotipe Tora dan Ratna adalah galur murni, sehingga kemampuan induksi kalus dan regenerasi tanaman yang rendah menjadi referensi bahwa kedua genotipe memiliki respon yang rendah sehingga perlu dilakuan persilangan terlebih dahulu untuk mendapatkan keragaman genetik yang lebih lanjut akan mendapatkan keragaman respon induksi kalus dan regenerasi tanaman. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa antera dari tanaman galur murni akan menyumbang antera yang juga mengandung susunan genetik galur murni, sehingga hasil induksi kalus dan regenerasinya merupakan jawaban kemampuan genotipe tersebut terhadap kultur antera. Hasil penelitian ini turut membuktikan bahwa genotipe menjadi faktor penting yang menentukan keberhasilan induksi kalus maupun regenerasi. Tomat termasuk ke dalam kelompok rekalsitran in vitro selain cabai dan terung, sehingga respon terhadap kultur in vitro sangat bervariasi (SeguiSimarro dan Nuez 2005; 2007). Genotipe yang responsif akan memberikan respon yang baik pada karakter yang diamati begitu pula sebaliknya. Pengaruh genotipe dalam menentukan keberhasilan induksi kalus dan regenerasi tanaman dalam kultur antera tomat juga dilaporkan oleh beberapa peneliti sebelumnya (Gresshoff dan Doy 1972; Shtereva et al. 1998; Zagorska et al. 2004; Asoliman et al. 2007; MotallebiAzar 2010a). 31

46 32 Media merupakan faktor yang juga sangat menentukan keberhasilan kultur antera tomat. Kandungan zat pengatur tumbuh di dalam media memegang peranan penting dalam menentukan arah morfogeneisis dari eksplan yang dikultur. Zat pengatur tumbuh dalam mempengaruhi morfogenesis tanaman, paling tidak dipengaruhi oleh salah satu faktor diantaranya jumlah hormon endogen yang tersedia, lokasi dari zat pengatur tumbuh, dan sensitivitas dari jaringan tanaman (Davies 2004). Sensitivitas jaringan merupakan salah satu faktor yang menentukan keberhasilan transduksi sinyal dari zat pengatur tumbuh ke dalam jaringan target. Hal ini melibatkan keberadaan reseptor dan komponen rantai transduksi signal (Davies 2004). Tomat dikenal sebagai tanaman yang rekalsitran in vitro, karena memberikan respon yang rendah terhadap kultur in vitro. Hal ini dapat diduga karena sensitivitas atau respon dari jaringan tanaman tomat tidak baik, yang diduga dipengaruhi oleh ketidakstabilan reseptor dan komponen rantai transduksi sinyal, namun hal ini perlu diteliti lebih jauh. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa media M1 dengan kombinasi dan konsentrasi zat pengatur tumbuh 5 mg L 1 Kinetin + 2 mg L 1 NAA mampu menghasilkan jumlah kalus paling banyak pada ketiga genotipe yang digunakan. Media M2 yang juga mengunakan kombinasi zat pengatur tumbuh yang sama namun dengan konsentrasi berbeda menunjukkan jumlah kalus yang tidak berbeda. Media lainnya yang menggunakan kombinasi zat pengatur tumbuh Zeatin + IAA, 2ip + IAA, 2.4D + Kinetin memberikan hasil yang lebih rendah pada ketiga genotipe yang digunakan. Hasil penelitian ini turut membuktikan bahwa kombinasi dan konsentrasi zat pengatur tumbuh yang tepat dapat mendukung proses morfogenesis. Menurut Shtereva et al. (1998) pengaruh zat pengatur tumbuh terhadap keberhasilan induksi kalus dan regenerasi tanaman tergantung dari genotipe yang digunakan. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kombinasi 2ip + IAA adalah kombinasi yang paling baik untuk induksi kalus dan organogenesis pada kultur antera tomat dibandingkan dengan kombinasi Zeatin + IAA. Berbeda dengan hasil penelitian ini yang menunjukkan bahwa Zeatin tunggal maupun kombinasi Zeatin dan IAA ialah kombinasi yang dapat menginduksi tunas dibandingkan dengan kombinasi zat pengatur tumbuh lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa kebutuhan zat pengatur tumbuh baik jenis maupun konsentrasi dapat berbedabeda pada tiap genotipe yang digunakan. Dibandingkan media MS, media DBM memiliki konsentrasi hara makro yang lebih tinggi dibandingkan dengan media MS (Lampiran 1). Perbedaan konsentrasi yang cukup tinggi pada media DBM menunjukkan bahwa tomat mungkin saja menghendaki konsentrasi yang cukup tinggi untuk dapat merangsang dan mengarahkan pertumbuhannya secara in vitro. Dapat dikatakan bahwa untuk tanaman yang rekalsitran in vitro seperti tomat membutuhkan konsentrasi hara yang cukup tinggi untuk dapat merangsang dan mengaktifkan prosesproses fisiologi selama proses pertumbuhannya membentuk kalus. Morfologi kalus yang sangat lunak dan mengandung banyak air mungkin menjadi alasan mengapa konsentrasi hara yang tinggi pada DBM dapat merangsang pembentukan kalus yang optimal, karena akumulasi nutrisi yang banyak akan terserap oleh kalus yang berair. Tunas yang diperoleh pada hasil penelitian ini seluruhnya menunjukkan bentuk yang abnormal dan tidak dapat dipindahkan pada media perakaran karena tunas telah mengalami senesen setelah kurang lebih 3 bulan diinkubasi. Tunas yang

47 33 terbentuk memiliki daun yang abnormal seperti ujung daun meruncing, ukuran daun kecil, urat dan tulang daun tidak jelas, serta tidak memiliki batang. Senesen pada daun dimulai dari bagian pangkal daun kemudian menyebar ke seluruh bagian daun. Senesen pada daun tomat yang terbentuk adalah ditandai dengan perubahan warna daun menjadi kuning. Warna kuning merupakan indikator senesen pada banyak tanaman. Senesen terjadi akibat degradasi protein pada kloroplas, yang kemudian diikuti dengan degradasi nukleus pada tahap akhir senesen. Faktor internal penyebab senesen pada adalah umur tanaman, level hormon endogen, substansi pertumbuhan dan proses perkembangan tanaman (Gan 2004). Level hormon merupakan salah satu penyebab senesen karena hormon merupakan regulator alami tanaman yang berperan dalam mengatur pertumbuhan tanaman dari awal hingga akhir sehingga kehadirannya menentukan berjalannya proses pertumbuhan. Auksin merupakan hormon yang berperan dalam pembentukan jaringan vaskular pada tanaman. Seperti yang dijelaskan Aloni (2004) bahwa secara alami auksin yang disintesis pada ujung primordia daun akan berdifusi secara terus menerus sehingga membentuk saluran yang membentuk jaringan vaskular. Produksi auksin pada ujung daun mengendalikan pembentukan pembuluh pada daun yaitu urat dan tulang daun, dimana bagian ujung daun adalah lokasi utama sintesis auksin. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa jaringan mesofil pada tunas yang terbentuk tidak sempurna begitu juga urat dan tulang daun. Hal ini mengindikasikan tidak bekerjanya sintesis maupun transportasi auksin secara normal. Konsentrasi auksin sangat menentukan kinerjanya, sehingga konsentrasi yang tepat akan mendukung pertumbuhan yang optimal. Oleh karena itu, penelitian lebih lanjut perlu mengkaji zat pengatur tumbuh yang dapat mengarahkan pertumbuhan yang normal, yaitu melalui pengujian kombinasi dan konsentrasi zat pengatur tumbuh yang tepat. Akhir penelitian ini adalah diperoleh tunastunas abnormal hasil kultur antera yang diduga bersifat haploid berdasarkan morfologi tunas yang terbentuk dan pengamatan jumlah stomata serta susunan jaringan palisade daun.

48 34 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Genotipe Tora, Ratna dan Permata memiliki panjang antera yang hampir sama saat panjang kuncup 1 mm hingga 10 mm. Fase meiosis pada genotipe Tora, Ratna dan Permata berada pada panjang kuncup berturutturut 24 mm, 25 mm dan 24 mm. Fase tetrad pada genotipe Tora, Ratna dan Permata berada pada panjang kuncup berturutturut 56 mm, 5 mm dan 45 mm. Fase mikrospora pada genotipe Tora, Ratna dan Permata berada pada panjang kuncup berturutturut 7, 7, 67 mm. Tomat Permata memiliki respon kultur antera yang lebih baik dari genotipe Tora dan Ratna dalam jumlah kalus maupun jumlah tunas. Media yang paling baik menginduksi kalus adalah media M1. Media yang paling baik menginduksi tunas pada genotipe yang digunakan adalah media R2 (MS mg L 1 zeatin). 6.2 Saran Penggunaan lebih banyak genotipe sangat dianjurkan untuk memperoleh genotipegenotipe responsif. Keunggulan media M1 dan R2 perlu didukung melalui penelitian lebih lanjut pada berbagai genotipe tomat.

49 35 DAFTAR PUSTAKA AbdelRaheem AT, Ragab AR, Kasem ZA, Omar FD, Samera AM In vitro selection for tomato plants for drought tolerance via callus culture under polyetylene glycol (PEG) and manitol treatments. African Crop Sci Aloni R The induction of vascular tissues by auxin. In Davies PJ, editor. Plant Hormones Biosynthesis, Signal Transduction, Action. London (GB) Kluwer Academic Publisher. p Asoliman SS, Ismail TA, Zaki MA, Amer ES Genetic studies on tomato anther culture. Factors affecting induction of androgenesis in tomato anther culture. African Crop Sci Ardisela D Identifikasi karakter terpilih pada tanaman tomat tipe apel dan tipe ranti. J Univ Islam 45 Bekasi. 10 (1) Basay S, Ellialtioglu Effect of genotypical factors on the effectiveness of anther culture in eggplant (Solanum melongena L.). Turkish J Biol [BPS] Badan Pusat Statistik Produksi sayuran di Indonesia tahun [Internet]. [diunduh 2014 September 4]. Tersedia pada http// Carsono N Peran pemuliaan dalam meningkatkan produksi pertanian di Indonesia. Disampaikan dalam kajian terbatas bidang produksi tanaman di Tokyo. [Internet]. [diunduh 2015 Maret 12]. Tersedia pada httpwww.pustakaunpad.co.id. Clinton SK [Review]. Lycopene chemistry, biology, and implication for human health and disease. Nut Rev. 56 (2) Croughan TP Anther culture for double haploid production. In Gamborg OL, Phillips GC, editor. Plant Cell Tissue and Organ Culture. Jerman (DE) Springer. p Davies PJ. Plant Hormones Biosynthesis, Signal Transduction, Action. London (GB) Kluwer Academic Publisher. p 134. Dewi IS. Purwoko BS Kultur in vitro untuk produksi tanaman haploid androgenik. Di dalam Wattimena GA. Nurhajati AM. Wiendi NMA. Purwito A. Efendi D. Purwoko BS. Khumaida N, editor. Bioteknologi dalam Pemuliaan Tanaman. Bogor (ID) IPB Pr. hlm Dewi IS, Purwoko BS Kultur antera untuk mendukung program pemuliaan tanaman padi. Bul Agron Dewi IS, Purwoko BS. Aswidinnoor H, Somantri IH, Chozin MA Plant regeneration from anther cultures of several genotypes of indica rice tolerant to aluminum toxicity. Indonesia J Agric. 2 (1) 15. Dewi IS, Purwoko BS, Aswidinnoor H, Somantri IH Regenerasi tanaman pada kultur antera padi pengaruh persilangan dan aplikasi putresin. Bul Agron. 35 (2) Devi M, Dhaliwal MS, Kaur A, Gossal SS Effect of growth regulators on in vitro morphogenic response of tomato. Indian J Biotech Direktorat Perbenihan Hortikultura Database Varietas Tomat Tora IPB, Ratna dan Permata F1. [Internet]. [diunduh pada 2016 Oktober 13]. Tersedia pada http/

50 36 Dorliana K Induksi kalus haploid melalui kultur antera pada beberapa spesies jeruk (Citrus sp). [Tesis]. Bogor (ID) Institut Pertanian Bogor. [FAO] Food and Agricultural Organization Crop Water Information Tomato. [Internet]. [diunduh 2015 Maret 4]. Tersedia pada http// nr/water/cropinfo_tomato. [FAO] Food and Agricultural Organization Food and Agricultural Commodities Production/Commodities by Ranking. [Internet]. [diunduh 2015 Maret 4]. Tersedia pada http// Gamborg OL, Phillips GC, editor. Plant Cell Tissue and Organ Culture. Jerman (DE) Springer. p Gan S The hormonal regulation of senescence. In Davies PJ, editor. Plant Hormones Biosynthesis, Signal Transduction, Action. London (DE) Kluwer Academic Publisher. p Gaswanto R, Gunaeni N, Duriat AS Seleksi tanaman tomat berdasarkan ketahanan pasif dan aktif terhadap CMV. J Hort. 19 (4) Gresshoff PM, Doy CH Development and differentiation of haploid Lycopersicon esculentum (tomato). Planta (Berl.) Gulshan Y, Vargeshe TM, Sharma DR Studies on anther culture of tomato Lycopersicon esculentum Mill. Biol Plant. 23 (6) Harliani EN, Palupi ER, Wahyudin DS Potensi penyimpanan serbuk sari dalam produksi benih hibrida mentimun (Cucumis sativus L) varietas KE014. J Hort. 5(2) Jaramillo J Anther culture in the tomato (Lycopersicon esculentum Mill) callus and planlet production studies. [Disertasi]. Amerika Serikat (US) Iowa State University. Jarmillo J, Summers WL Darklight treatments influence induction of tomato anther callus. HortScience. 26 (7) Jose M, Simarro S, Martınez P, Corral V Androgenesis in recalcitrant Solanaceous crops. Plant Cell Rep Lestari AP, Rahyuningsih HM Pengaruh pemberian jus tomat (Lycopersicum commune) terhadap tekanan darah wanita postmenopause hipertensif. J Nut College. 1(1) Levy J, Sharoni Y The function of tomato lycopene and its role in human health. [Internet]. [diunduh 2014 September 28]. Tersedia pada Liza NL, Nasar ANM, Zinnah KMA, Chowdhury AN, Ashrafuzzaman M In vitro growth media effect for regeneration of tomato (Lycopersicon esculentum) and evaluation of the salt tolerance activity of callus. J Agric Suistain. 3(2) Kartikaningrum S, Purwito A, Wattimena GA, Marwoto D, Sukma D Induksi tanaman haploid Dhiantus sp. melalui pseudofertilisasi menggunakan polen yang diiradiasi dengan sinar gamma. J Hort Indonesia 4(1) MotallebiAzar A. 2010a. Androgenic response of tomato (Lycopersicon esculentum Mill.) lines and their hybrids to anther culture. Russian Agric Sci MotallebiAzar A. 2010b. Androgenic potential of different tomato genotypes induced by colchicine and cold pretreatments. Russian Agric Sci

51 MotallebiAzar A, Panahandeh J Effects of colchicine and cold duration pretreatments on androgenesis responses of tomato (Lycopersicon esculentum Mill.) via anther culture. Russian Agric Sci Muswita Kultur antera dan analisis tanaman Cabai (Capsicum annuum L.) haploid dan dihaploid. [Tesis]. Bogor (ID) Institut Pertanian Bogor. Poehlman JM, Sleeper DA, Breeding Field Crops. 4 th edition. Ames USA. Iowa State Univ. Press. Purnamaningsih R Introduksi gen DefH9iaaM dan DefH9RIiaaM ke dalam genom tanaman tomat menggunakan vektor Agrobacterium tumefaciens. J Agro Biogen Purwoko BS Penggunaan spermin dalam regenerasi tanaman pada kultur antera beberapa aksesi padi gogo. Bul Agron. (32) (2) Purwoko BS, Dewi IS, Sasmita P, Rumanti IA, Abdullah B Pengembangan galurgalur padi baru melalui teknik kultur antera untuk mendukung ketahanan pangan nasional. [Internet]. [diunduh 2015 Maret 12]. Tersedia pada http//repository.ipb.ac.id. Rachmawati F Kultur anter pada Anthurium (Anthurium andreanum Linden ex Andre). [Tesis]. Bogor (ID) Institut Pertanian Bogor. Rao AV, Agarwal S [Review]. Role of antioxidant lycopene in cancer and heart disease. J American Collage Nut. 19 (5) Rao LG, Guns E, Rao AV Lycopene its role in human health and disease. In Special Highlight Lycopene. AGROFood Industry Hitech. p Rost TL Tomato Anatomy Flower Anatomy. Section of Plant Biology Division of Biological Science. Davis Universitas of California.. [Internet]. [diunduh 2014 November 02]. Tersedia pada http//wwwplb.ucdavis. edu/labs/rost/tomato/reproductive/flranat html. Safitri H, Purwoko BS, Wirnas D, Dewi IS, Abdullah B Daya kultur antera beberapa persilangan padi gogo dan padi tipe baru. J Agron Indonesia. 38 (2) SeguìSimarro JM, CoralMartinez P, ParraVega V, GonzalesGarcia B Androgenesis in recalcitrant Solanaceous crops. Plant Cell Rep SeguìSimarro JM, Nuez F Embryogenesis induction, callogenesis and plant regeneration by in vitro culture of tomato isolated microspores and whole anthers. J Exp Bot SeguìSimarro JM, Nuez F Androgenesis induction from tomato anther cultures callus charaterization. COMAV SeguìSimarro JM, Nuez F Meiotic metaphase I to telophase II as the most responsive stage during microspore development for callus induction in tomato (Solanum lycopersicum L.) anther cultures. Acta Physiol Plant Sharp WR, Raskin RS, Sommer HE The use of nurse culture in the development of haploid clones in tomato. Planta Shtereva LA, Zagorska NA, Dimitrov BD, Kruleva MM, Oanh HK Induced androgenesis in tomato (Lycopersicon esculentum Mill). II. Factors affecting induction of androgenesis. Plant Cell Rep Summers WL, Jaramillo J, Bailey T Microspore developmental stage and anther length influence the induction of tomato anther callus. HortScience. 27 (7)

52 38 Syukur M, Sastrosumarjo S Sitogenetika Tanaman. Bogor (ID) IPB Pr. Syukur M, Sujiprihati S, Yuniarti R Teknik Pemuliaan Tanaman. Jakarta (ID) Penebar Swadaya. Touraev A, Pfosser, HeberleBors E The microspore a haploid multipurpose cell. Adv Bot Res Zagorska NA, Shtereva B, Dimitrov D, Kruleva MM Induced androgenesis in tomato (Lycopersicon esculentum Mill.) I. Influence of genotype on androgenetic ability. Plant Cell Rep Zagorska NA, Shtereva B, Dimitrov D, Kruleva MM, Sotirova VG, Baralieva DL, Dimitrov BD Induced androgenesis in tomato (Lycopersicon esculentum Mill.). III. Charaterization of regenerants. Plant Cell Rep Zamir D, Jones RA, Kedar M Anther culture of malesterile tomato (Lycopersicon esculentum Mill.) mutants. Plant Sci Letters Zulkarnain H Kultur Jaringan Tanaman. Jakarta (ID) Bumi Aksara.

53 LAMPIRAN 39

54 40

55 41 Lampiran 1 Komposisi media MS1, MS2, MS dan B5. Komposisi media dasar MS1 (Gamborg dan Eveleigh, 1968; Gresshoff dan Doy 1972), MS2 (Blaydes, 1996; Gresshoff dan Doy, 1972), MS (Murashige dan Skoog, 1962) dan B5 (Gamborg et al. 1968) Komponen Hara makro NaH2PO4.2H2O NaH2PO4.H2O Na2HPO4 KCl (NH4)2SO4 MgSO4. 7H2O KNO3 CaCl2.2H2O KH2PO4 NH4NO3 Ca(NO3)2 KCl NH4H2PO4 Hara mikro KI H3BO3 MnSO4. 4H2O MnSO4. H2O ZnSO4. 7H2O NaMoO4.2H2O CuSO4. 5H2O CoCl2.6H2O FeSO4. 7H2O Na2.EDTA Vitamin Nicotinic Acid Thiamine HCl Pyridoxine HCl Myoinositol Glycine Konsentrasi standar (mg L 1 ) MS 1 MS 2 MS B Sukrosa 20 g 20 g 30 g 20 g ph MS mineralt salt Sumber Gamborg OL dan Phillips GC, editor Plant Cell Tissue and Organ Culture. p 301; Gresshoff PM dan Doy CH Development and differentiation of haploid Lycopersicon esculentum (tomato). Planta (Berl.)

56 42 Lampiran 2 Komposisi media defined basal medium (DBM) I, II dan III Nama media DBMI DBMII Komponen penyusun media 200 mg L 1 MS mg L 1 vitamin + 5 mg L 1 FeEDTA + 1 mg L 1 hara mikro mg L 1 phytagel + 20 g Sukrosa, ph mg L 1 MS mg L 1 vitamin + 5 mg L 1 FeEDTA + 1 mg L 1 hara mikro mg L 1 phytagel + 20 g Sukrosa, ph 5.8 DBMIII 200 mg L 1 MS1 + 2 µg/ml biiotin + 10 mg L 1 vitamin (tanpa glisin) + 5 mg L 1 FeEDTA + 1 mg L 1 hara mikro mg L 1 phytagel + 20 g Sukrosa, ph 5.8 DBM defined basal medium. Media kultur antera tomat hasil modifikasi oleh Gresshoff dan Doy (1972) Sumber Gresshoff PM dan Doy CH (1972). Development and differentiation of haploid Lycopersicon esculentum (tomato). Planta (Berl.)

57 43 Lampiran 3 Deskripsi tomat varietas Tora IPB Asal Silsilah Golongan Tipe tanaman Tinggi tanaman Bentuk penampang batang Diameter batang Warna batang Warna daun Bentuk daun Ukuran daun Bentuk bunga Warna bunga Warna mahkota bunga Warna kelopak bunga Warna kepala putik Warna benang sari Umur mulai berbunga Umur mulai panen Bentuk buah Depresi ujung tangkai buah Bentuk ujung buah Ukuran buah Warna buah muda Warna buah intermediat Warna buah tua Jumlah rongga buah Kekerasan buah Tebal daging buah Rasa daging buah Bentuk biji Warna biji Berat biji Berat per buah Jumlah buah per tanaman Daya simpan buah pada suhu C Hasil buah per hektar Populasi per hektar Kebutuhan benih per hektar Penciri utama Dalam Negeri Seleksi Populasi Bersegregasi ( ) Bersari Bebas Determinate Cm Segiempat Mm Hijau Muda (5 GY 7/10) Hijau Gelap (2.5 GY 7/10) Tipe 3 UPOV Panjang Cm; Lebar Cm Seperti Bintang Kuning (5Y 8.5/12) Hijau Muda (5 GY 7/10) Kuning (5Y 8.5/12) Kuning (2.5 Y 7.5/15) 2331 Hari Setelah Tanam 4661 Hari Setelah Tanam Agak Lonjong Sangat Kuat Datar Menuju Lancip Panjang Mm Diameter Mm Hijau Muda (2.5 Gy 7.5/10) Orange (2.5 YR 7/12 Orange Kemerahan (5 YR 7/12) 23 Rongga Kg/Cm Cm Tidak Asam Pipih Cokelat Muda (10 YR 6/6.5) Gram Gram 2436 Buah 711 Hari Setelah Panen Ton Ha Tanaman 6470 Gram Bentuk Buah Agak Lonjong, Warna Buah Muda Hijau Muda, Warna Buah Matang Orange Agak Kemerahan, Tidak Ada Lekukan Pada Punggung Buah

58 44 Lampiran 3 (Sambungan) Keunggulan varietas Wilayah adaptasi Pemohon Pemulia Peneliti Bobot Buah Sedang, Potensi Produksi Tinggi Dataran Rendah Pusat Kajian Tropika Hortikultura IPB Dan Departemen Hortikultura, IPB M Syukur, Sobir, Awang Maharijaya, Arya Widura Ritonga, Abdul Hakim Yudilastari, Sri Wahyuni, Helfi Eka Saputra, Marlina Mustafa, Supryanti Martia Dewi, Oktaviana Shinta Risty Sumber Direktorat Perbenihan Hortikultura (2016).

59 45 Lampiran 4 Deskripsi tomat varietas Ratna Asal Nomor asal Umur mulai berbunga Umur mulai berbuah Umur panen seluruhnya Tinggi tanaman Bentuk tanaman Bentuk percabangan Bentuk penampang Bentuk daun Permukaan buah Warna batang Warna daun Permukaan bawah daun Warna utama urat daun Warna helai bunga Warna benang sari Warna putik Warna buah muda Warna buah tua Jumlah tandan bunga Jumlah bunga per tandan Jumlah rongga buah Jumlah buah per pohon Bobot per buah Potensi hasil Kualitas buah Ketahanan terhadap penyakit Kepekaan terhadap penyakit Sesuai untuk Persilangan antara Nagcarlan/Anahu (introduksi dari BPI Philipina) VC hari setelah semai 7080 hari setelah semai hari setelah semai 6080 cm Determinate Horizontal Bulat Berbentuk apel Halus atau sedikit bergelombang Hijau tua Hijau tua Berbulu Hijau Kuning Kuning Putih Putih polos Jingga sampai merah 1022 buah 49 buah 25 buah 54 buah 3545 g 12 (520) ton ha 1 buah segar Cukup baik Tahan terhadap layu bakteri (Pseudomona solanacearum) Peka terhadap busuk daun (Phytoptora infenstant) Dataran rendah dan dataran tinggi Sumber Direktorat Perbenihan Hortikultura (2016).

60 46 Lampiran 5 Deskripsi tomat varietas Permata F1 Asal tanaman Golongan Tipe pertumbuhan Umur berbunga Umur awal panen Umur akhir panen Tinggi tanaman awal panen Diameter batang Bentuk daun Kedudukan daun Panjang tangkai daun Ukuran daun (P x D) Warna daun Warna mahkota bunga Jumlah bunga per tandan Jumlah bunga per tanaman Jumlah buah per tandan Frekuensi panen Berat buah per buah Berat buah per tanaman Ukuran buah (P x D) Tebal daging buah Jumlah rongga buah Bentuk buah Warna buah muda Warna pundak buah Warna buah masak Rasa buah Tekstur daging buah Jumlah biji per buah Potensi hasil Ketahanan terhadap penyakit Daerah adaptasi Peneliti/pengusul Persilangan antara TO 5186/TO 4142 Hibrida F1 Determinate 25 hari setelah tanam 7080 hari setelah tanam 100 hari setelah tanam cm 23 cm Immun Datar cm 40 x 25 cm Hijau sedang Kuning hari sekali 50 g 34 kg 4.5 x 5.6 cm cm, kekerasan buah keras (skor 7.5 uji manual) 2 Obovoid Hijau keputihan Hijau keputihan (Seragam) Merah Manis (4.5% brix) Renyah ton ha 1 Tahan Fusarium oxiporum ras 0, Fusarium oxiporum ras 1, Tmv dan Pseudomonas solanacearum dan toleran Altenaria soloni Dataran rendah PT. East West Seed Indonesia Sumber Dierktorat Perbenihan Hortikultura (2016).

61 47 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kecamatan Oransbari, Kabupaten Manokwari Selatan pada tanggal 19 Januari 1988 dari Ayahanda Ibrahim Muhamad Saleh dan Ibunda Khadija Mansa. Penulis merupakan anak ke sepuluh dari tiga belas bersaudara. Pendidikan SMA ditempuh di SMA Negeri 02 Manokwari dan lulus pada tahun Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan sarjana pada Program Studi Pemuliaan Tanaman, Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Negeri Papua, dan lulus pada tahun Tahun 2013 Penulis mendapatkan kesempatan melanjutkan pendidikan magister melalui Beasiswa Pendidikan Pascasarjana Dalam Negeri (BPPDN) pada Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Induksi Kalus dan Regenerasi Tiga Genotipe Tomat (Solanum lycopersicon L.) melalui Kultur Antera

Induksi Kalus dan Regenerasi Tiga Genotipe Tomat (Solanum lycopersicon L.) melalui Kultur Antera Induksi Kalus dan Regenerasi Tiga Genotipe Tomat (Solanum lycopersicon L.) melalui Kultur Antera Callus Induction and Regeneration of Three Tomato Genotypes (Solanum lycopersicon L.) through Anther Culture

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan di Indonesia merupakan sumber plasma nutfah yang sangat potensial

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan di Indonesia merupakan sumber plasma nutfah yang sangat potensial 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Indonesia dikenal sebagai negara dengan tingkat keanekaragaman sumber daya hayati yang tinggi, khususnya tumbuhan. Keanekaragaman genetik tumbuhan di

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Padi

TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Padi TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Padi Padi (Oryza sativa L.) adalah tanaman yang termasuk dalam famili Gramineae dan genus Oryza (Grist, 1959). Padi dapat tumbuh pada berbagai lokasi dan iklim yang berbeda.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terutama di negara-negara berkembang dan yang sedang berkembang baik di

BAB I PENDAHULUAN. terutama di negara-negara berkembang dan yang sedang berkembang baik di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Cabai rawit (Capsicum frutescens L.) merupakan tanaman hortikultura semusim yang mempunyai nilai ekonomi. Cabai rawit memiliki nilai tinggi untuk industri makanan dan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Padi

TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Padi 3 TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Padi Padi merupakan tanaman yang termasuk ke dalam genus Oryza Linn. Terdapat dua spesies padi yang dibudidayakan, yaitu O. sativa Linn. dan O. glaberrima Steud.

Lebih terperinci

Kultur Invitro untuk Tanaman Haploid Androgenik. Yushi Mardiana, SP, Msi Retno Dwi Andayani, SP, MP

Kultur Invitro untuk Tanaman Haploid Androgenik. Yushi Mardiana, SP, Msi Retno Dwi Andayani, SP, MP Kultur Invitro untuk Tanaman Haploid Androgenik Yushi Mardiana, SP, Msi Retno Dwi Andayani, SP, MP Pendahuluan Tanaman haploid ialah tanaman yang mengandung jumlah kromosom yang sama dengan kromosom gametnya

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Morfologi Bunga Kedelai Induksi Androgenesis

TINJAUAN PUSTAKA Morfologi Bunga Kedelai Induksi Androgenesis 4 TINJAUAN PUSTAKA Morfologi Bunga Kedelai Bunga tanaman kedelai termasuk bunga sempurna dengan tipe penyerbukan sendiri yang terjadi pada saat mahkota bunga masih menutup, sehingga kemungkinan kawin silang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Tomat

TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Tomat 3 TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Tomat Tomat (Lycopersicum esculantum MILL.) berasal dari daerah tropis Meksiko hingga Peru. Semua varietas tomat di Eropa dan Asia pertama kali berasal dari Amerika Latin

Lebih terperinci

INDUKSI PEMBELAHAN SPOROFITIK MIKROSPORA KEDELAI MELALUI KULTUR ANTERA PADA SISTEM MEDIA DUA LAPIS BUDIANA

INDUKSI PEMBELAHAN SPOROFITIK MIKROSPORA KEDELAI MELALUI KULTUR ANTERA PADA SISTEM MEDIA DUA LAPIS BUDIANA INDUKSI PEMBELAHAN SPOROFITIK MIKROSPORA KEDELAI MELALUI KULTUR ANTERA PADA SISTEM MEDIA DUA LAPIS BUDIANA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA KULTUR ANTHERA PEPAYA SECARA IN VITRO UNTUK MENGHASILKAN TANAMAN HAPLOID. Jenis Kegiatan PKM Artikel Ilmiah

PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA KULTUR ANTHERA PEPAYA SECARA IN VITRO UNTUK MENGHASILKAN TANAMAN HAPLOID. Jenis Kegiatan PKM Artikel Ilmiah PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA KULTUR ANTHERA PEPAYA SECARA IN VITRO UNTUK MENGHASILKAN TANAMAN HAPLOID Jenis Kegiatan PKM Artikel Ilmiah Diusulkan oleh : Miftah Faridzi A34070042 (2007) Vicky Saputra A24050609

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jaman Romawi (Stephens, 2009). Brokoli masuk ke Indonesia sekitar 1970-an dan

BAB I PENDAHULUAN. jaman Romawi (Stephens, 2009). Brokoli masuk ke Indonesia sekitar 1970-an dan 17 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Brokoli (Brassica oleracea L. var. italica Plenck) merupakan salah satu tanaman sayuran dari suku kubis- kubisan atau Brassicaceae yang berasal dari dataran tinggi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Pisang merupakan salah satu jenis tanaman asal Asia Tenggara yang kini sudah tersebar luas ke seluruh dunia, termasuk Indonesia. Tanaman pisang memiliki ciri spesifik

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kacang tanah (Arachis hipogea L.) merupakan salah satu komoditas pertanian

I. PENDAHULUAN. Kacang tanah (Arachis hipogea L.) merupakan salah satu komoditas pertanian 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kacang tanah (Arachis hipogea L.) merupakan salah satu komoditas pertanian yang cukup penting. Komoditas kacang tanah diusahakan 70% di lahan kering dan hanya 30% di

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L] Merr.) adalah salah satu komoditas utama kacangkacangan

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L] Merr.) adalah salah satu komoditas utama kacangkacangan 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Kedelai (Glycine max [L] Merr.) adalah salah satu komoditas utama kacangkacangan yang menjadi andalan nasional karena merupakan sumber protein nabati penting

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN DAN TOLERANSI MELASTOMA TERHADAP ANTIBIOTIK KANAMISIN DAN HIGROMISIN SECARA IN VITRO NANI SUMARNI

PERTUMBUHAN DAN TOLERANSI MELASTOMA TERHADAP ANTIBIOTIK KANAMISIN DAN HIGROMISIN SECARA IN VITRO NANI SUMARNI PERTUMBUHAN DAN TOLERANSI MELASTOMA TERHADAP ANTIBIOTIK KANAMISIN DAN HIGROMISIN SECARA IN VITRO NANI SUMARNI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kacang tanah (Arachis hypogaea L.) memiliki peran strategis dalam pangan

I. PENDAHULUAN. Kacang tanah (Arachis hypogaea L.) memiliki peran strategis dalam pangan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kacang tanah (Arachis hypogaea L.) memiliki peran strategis dalam pangan nasional sebagai sumber protein dan minyak nabati, dalam setiap 100 g kacang tanah mentah mengandung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi tinggi karena memiliki warna dan tampilan yang memikat dengan ukuran

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi tinggi karena memiliki warna dan tampilan yang memikat dengan ukuran BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Lili (Lilium sp.) merupakan tanaman hias yang banyak diminati serta bernilai ekonomi tinggi karena memiliki warna dan tampilan yang memikat dengan ukuran bunga yang

Lebih terperinci

PENAMPILAN HIBRIDA, PENDUGAAN NILAI HETEROSIS DAN DAYA GABUNG GALUR GALUR JAGUNG (Zea mays L.) FAHMI WENDRA SETIOSTONO

PENAMPILAN HIBRIDA, PENDUGAAN NILAI HETEROSIS DAN DAYA GABUNG GALUR GALUR JAGUNG (Zea mays L.) FAHMI WENDRA SETIOSTONO PENAMPILAN HIBRIDA, PENDUGAAN NILAI HETEROSIS DAN DAYA GABUNG GALUR GALUR JAGUNG (Zea mays L.) FAHMI WENDRA SETIOSTONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Jagung

TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Jagung TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Jagung Jagung merupakan tanaman semusim yang menyelesaikan satu siklus hidupnya selama 80-150 hari. Bagian pertama dari siklus tersebut merupakan tahap pertumbuhan vegetatif

Lebih terperinci

BIOTEKNOLOGI TERMINOLOGI DAN MACAM KULTUR JARINGAN

BIOTEKNOLOGI TERMINOLOGI DAN MACAM KULTUR JARINGAN BIOTEKNOLOGI TERMINOLOGI DAN MACAM KULTUR JARINGAN PEMBAGIAN KULTUR JARINGAN Kultur organ (kultur meristem, pucuk, embrio) Kultur kalus Kultur suspensi sel Kultur protoplasma Kultur haploid ( kultur anther,

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Metode Penelitian 14 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan Oktober 2009 sampai dengan bulan Juni 2011 di Laboratorium Kultur Jaringan Kelompok Peneliti Biologi Sel dan Jaringan, Balai

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Botani Tanaman Kelapa Sawit Tanaman kelapa sawit disebut dengan nama latin Elaeis guineensis Jacq. Elaeis berasal dari Elaion yang dalam bahasa Yunani berarti minyak. Guineensis

Lebih terperinci

INDUKSI KERAGAMAN GENETIK DENGAN MUTAGEN SINAR GAMMA PADA NENAS SECARA IN VITRO ERNI SUMINAR

INDUKSI KERAGAMAN GENETIK DENGAN MUTAGEN SINAR GAMMA PADA NENAS SECARA IN VITRO ERNI SUMINAR INDUKSI KERAGAMAN GENETIK DENGAN MUTAGEN SINAR GAMMA PADA NENAS SECARA IN VITRO ERNI SUMINAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 i ABSTRACT ERNI SUMINAR. Genetic Variability Induced

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan usaha komersil pada mulanya hanya dikenal di negara-negara maju, namun

BAB I PENDAHULUAN. dan usaha komersil pada mulanya hanya dikenal di negara-negara maju, namun BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Budaya menggunakan tanaman hias dan bunga bagi tujuan kesenangan dan usaha komersil pada mulanya hanya dikenal di negara-negara maju, namun akhirnya meluas hingga

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. di dunia setelah gandum dan jagung. Padi merupakan tanaman pangan yang

I. PENDAHULUAN. di dunia setelah gandum dan jagung. Padi merupakan tanaman pangan yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Padi (Oryza sativa L.) merupakan tanaman pangan yang sangat penting di dunia setelah gandum dan jagung. Padi merupakan tanaman pangan yang sangat penting karena beras masih

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBERIAN ZPT 2,4 D TERHADAP PERTUMBUHAN DAN METABOLIT KALUS KEDELAI PADA PROSES HYPOXYDA SKRIPSI OLEH:

PENGARUH PEMBERIAN ZPT 2,4 D TERHADAP PERTUMBUHAN DAN METABOLIT KALUS KEDELAI PADA PROSES HYPOXYDA SKRIPSI OLEH: PENGARUH PEMBERIAN ZPT 2,4 D TERHADAP PERTUMBUHAN DAN METABOLIT KALUS KEDELAI PADA PROSES HYPOXYDA SKRIPSI OLEH: Elita Kumianjani A B 100301159 PEMULIAAN TANAMAN PROGRAM STUDI PEMULIAAN TANAMAN DEPARTEMEN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN UMUM Latar Belakang

I. PENDAHULUAN UMUM Latar Belakang I. PENDAHULUAN UMUM Latar Belakang Pepaya merupakan salah satu komoditi buah penting dalam perekonomian Indonesia. Produksi buah pepaya nasional pada tahun 2006 mencapai 9.76% dari total produksi buah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. secara signifikan. Melalui proses seleksi tanaman yang diikuti dengan penyilangan

I. PENDAHULUAN. secara signifikan. Melalui proses seleksi tanaman yang diikuti dengan penyilangan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemuliaan tanaman telah menghasilkan bibit unggul yang meningkatkan hasil pertanian secara signifikan. Melalui proses seleksi tanaman yang diikuti dengan penyilangan dihasilkan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Kondisi Umum Percobaan

HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Kondisi Umum Percobaan 25 HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Kondisi Umum Percobaan Sejumlah faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan kultur adalah suhu, cahaya, karbondioksida, oksigen, etilen, dan kelembaban

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. dalam kelas Liliopsida yang merupakan salah satu tumbuhan berbunga lidah dari

TINJAUAN PUSTAKA. dalam kelas Liliopsida yang merupakan salah satu tumbuhan berbunga lidah dari TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Menurut Jones dan Luchsinger (1979), tumbuhan anggrek termasuk ke dalam kelas Liliopsida yang merupakan salah satu tumbuhan berbunga lidah dari sekian banyak tumbuhan berbunga

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBERIAN BAP (Benzil Amino Purin) DAN NAA (Naftalen Asam Asetat) TERHADAP MORFOGENESIS DARI KALUS SANSEVIERIA (Sansevieria cylindrica)

PENGARUH PEMBERIAN BAP (Benzil Amino Purin) DAN NAA (Naftalen Asam Asetat) TERHADAP MORFOGENESIS DARI KALUS SANSEVIERIA (Sansevieria cylindrica) PENGARUH PEMBERIAN BAP (Benzil Amino Purin) DAN NAA (Naftalen Asam Asetat) TERHADAP MORFOGENESIS DARI KALUS SANSEVIERIA (Sansevieria cylindrica) SKRIPSI OLEH : SRI WILDANI BATUBARA 050307041/PEMULIAAN

Lebih terperinci

ORGANOGENESIS TANAMAN BAWANG MERAH (ALLIUM ASCALONICUM L.) LOKAL PALU SECARA IN VITRO PADA MEDIUM MS DENGAN PENAMBAHAN IAA DAN BAP ABSTRACT

ORGANOGENESIS TANAMAN BAWANG MERAH (ALLIUM ASCALONICUM L.) LOKAL PALU SECARA IN VITRO PADA MEDIUM MS DENGAN PENAMBAHAN IAA DAN BAP ABSTRACT ` ORGANOGENESIS TANAMAN BAWANG MERAH (ALLIUM ASCALONICUM L.) LOKAL PALU SECARA IN VITRO PADA MEDIUM MS DENGAN PENAMBAHAN IAA DAN BAP Anna Rufaida 1, Waeniaty 2, Muslimin 2, I Nengah Suwastika 1* 1 Lab.Bioteknologi,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Masalah mengenai tebu yang hingga kini sering dihadapi adalah rendahnya

I. PENDAHULUAN. Masalah mengenai tebu yang hingga kini sering dihadapi adalah rendahnya 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Masalah mengenai tebu yang hingga kini sering dihadapi adalah rendahnya produktivitas tebu dan rendahnya tingkat rendemen gula. Rata-rata produktivitas tebu

Lebih terperinci

`PENGARUH IAA DAN BAP TERHADAP INDUKSI TUNAS MIKRO DARI EKSPLAN BONGGOL PISANG KEPOK ( Musa paradisiaca L) SKRIPSI OLEH :

`PENGARUH IAA DAN BAP TERHADAP INDUKSI TUNAS MIKRO DARI EKSPLAN BONGGOL PISANG KEPOK ( Musa paradisiaca L) SKRIPSI OLEH : `PENGARUH IAA DAN BAP TERHADAP INDUKSI TUNAS MIKRO DARI EKSPLAN BONGGOL PISANG KEPOK ( Musa paradisiaca L) SKRIPSI OLEH : MUHAMMAD SAJALI SADAT 120301016 PEMULIAAN TANAMAN PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kacang tanah (Arachis hypogaea L.) merupakan salah satu tanaman palawija yang

I. PENDAHULUAN. Kacang tanah (Arachis hypogaea L.) merupakan salah satu tanaman palawija yang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kacang tanah (Arachis hypogaea L.) merupakan salah satu tanaman palawija yang berguna untuk bahan pangan, pakan, dan bahan baku industri. Selain itu, kacang tanah merupakan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. terutama India dan Birma. Terung dapat tumbuh dengan baik pada ketinggian

II. TINJAUAN PUSTAKA. terutama India dan Birma. Terung dapat tumbuh dengan baik pada ketinggian 9 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terung Ungu 2.1.1 Klasifikasi Tanaman Terung Ungu Terung merupakan tanaman asli daerah tropis yang diduga berasal dari Asia, terutama India dan Birma. Terung dapat tumbuh dengan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Kebutuhan terhadap pangan khususnya beras, semakin meningkat sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk, sedangkan usaha diversifikasi pangan berjalan lambat. Jumlah penduduk

Lebih terperinci

Keragaman Somaklonal. Yushi Mardiana, SP, MSi Retno Dwi Andayani, SP, MP

Keragaman Somaklonal. Yushi Mardiana, SP, MSi Retno Dwi Andayani, SP, MP Keragaman Somaklonal Yushi Mardiana, SP, MSi Retno Dwi Andayani, SP, MP Mekanisme Terjadinya Keragaman Somaklonal Keragaman somaklonal adalah keragaman genetik tanaman yang terjadi sebagai hasil kultur

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. stroberi modern (komersial) dengan nama ilmiah Frageria x ananasa var

PENDAHULUAN. stroberi modern (komersial) dengan nama ilmiah Frageria x ananasa var PENDAHULUAN Latar belakang Tanaman stroberi telah dikenal sejak zaman Romawi, tetapi bukan jenis yang dikenal saat ini. Stroberi yang dibudidayakan sekarang disebut sebagai stroberi modern (komersial)

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Kedudukan krisan dalam sistematika tumbuhan (Holmes,1983)

TINJAUAN PUSTAKA. Kedudukan krisan dalam sistematika tumbuhan (Holmes,1983) TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Kedudukan krisan dalam sistematika tumbuhan (Holmes,1983) diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom : Plantae Subkingdom : Spermatophyta Superdivisio : Angiospermae Divisio

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Cabai Lingkungan Tumbuh

TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Cabai Lingkungan Tumbuh TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Cabai Capsicum annuum L. merupakan tanaman annual berbentuk semak dengan tinggi mencapai 0.5-1.5 cm, memiliki akar tunggang yang sangat kuat dan bercabang-cabang.

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN POPULASI SIPUT SETENGAH CANGKANG (Parmarion sp.) DAN UMUR TANAMAN TERHADAP KERUSAKAN DAN PRODUKSI KUBIS BUNGA

PERKEMBANGAN POPULASI SIPUT SETENGAH CANGKANG (Parmarion sp.) DAN UMUR TANAMAN TERHADAP KERUSAKAN DAN PRODUKSI KUBIS BUNGA 1 PERKEMBANGAN POPULASI SIPUT SETENGAH CANGKANG (Parmarion sp.) DAN UMUR TANAMAN TERHADAP KERUSAKAN DAN PRODUKSI KUBIS BUNGA SKRIPSI OLEH: DHIKY AGUNG ENDIKA 060302029 HPT DEPARTEMEN HAMA DAN PENYAKIT

Lebih terperinci

PENGARUH UMUR FISIOLOGIS KECAMBAH BENIH SUMBER EKSPLAN

PENGARUH UMUR FISIOLOGIS KECAMBAH BENIH SUMBER EKSPLAN 0 PENGARUH UMUR FISIOLOGIS KECAMBAH BENIH SUMBER EKSPLAN (Leaflet) TERHADAP INDUKSI EMBRIO SOMATIK DUA VARIETAS KACANG TANAH (Arachis hypogaea L.) SECARA IN VITRO Oleh Diana Apriliana FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

RESPON PERTUMBUHAN STUMPKARET

RESPON PERTUMBUHAN STUMPKARET 1 RESPON PERTUMBUHAN STUMPKARET (Hevea brassiliensis Muell Arg.)TERHADAP PEMBERIAN ASAM ASETIK NAFTALEN 3,0 % DENGAN CARA PENGOLESAN DI LUKA PEMOTONGAN AKAR TUNGGANG PADA BEBERAPA KOMPOSISI MEDIA TANAM

Lebih terperinci

KULTUR JARINGAN TANAMAN

KULTUR JARINGAN TANAMAN KULTUR JARINGAN TANAMAN Oleh : Victoria Henuhili, MSi Jurdik Biologi victoria@uny.ac.id FAKULTAS MATEMATIKA DA/N ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2013 1 Kultur Jaringan Tanaman Pengertian

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sejarah Tanaman Cabai Botani Tanaman Cabai

TINJAUAN PUSTAKA Sejarah Tanaman Cabai Botani Tanaman Cabai 3 TINJAUAN PUSTAKA Sejarah Tanaman Cabai Cabai ditemukan pertama kali oleh Columbus pada saat menjelajahi Dunia Baru. Tanaman cabai hidup pada daerah tropis dan wilayah yang bersuhu hangat. Selang beberapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang produknya digunakan sebagai bahan baku industri serta sangat penting

BAB I PENDAHULUAN. yang produknya digunakan sebagai bahan baku industri serta sangat penting 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Vanilla planifolia Andrews atau panili merupakan salah satu tanaman industri yang produknya digunakan sebagai bahan baku industri serta sangat penting peranannya

Lebih terperinci

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2013

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2013 UJI BATANG BAWAH KARET (Hevea brassiliensis, Muell - Arg.) BERASAL DARI BENIH YANG TELAH MENDAPAT PERLAKUAN PEG DENGAN BEBERAPA KLON ENTRES TERHADAP KEBERHASILAN OKULASI MELINSANI MANALU 090301106 PROGRAM

Lebih terperinci

INDUKSI TUNAS PISANG BARANGAN (Musa acuminata L.) DENGAN PEMBERIAN NAA DAN BAP BERDASARKAN SUMBER EKSPLAN

INDUKSI TUNAS PISANG BARANGAN (Musa acuminata L.) DENGAN PEMBERIAN NAA DAN BAP BERDASARKAN SUMBER EKSPLAN INDUKSI TUNAS PISANG BARANGAN (Musa acuminata L.) DENGAN PEMBERIAN NAA DAN BAP BERDASARKAN SUMBER EKSPLAN TESIS Oleh HARDI YUDHA 127030024/BIO PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

Lebih terperinci

Topik VI. METODE BIOTEKNOLOGI TANAMAN

Topik VI. METODE BIOTEKNOLOGI TANAMAN MK. BIOTEKNOLOGI (SEM VI) Topik VI. METODE BIOTEKNOLOGI TANAMAN Paramita Cahyaningrum Kuswandi (email : paramita@uny.ac.id) FMIPA UNY 2015 16 maret : metode biotek tnmn 23 maret : transgenesis 30 maret

Lebih terperinci

No. 02 Hasil Penelitian Tahun Anggaran 2010

No. 02 Hasil Penelitian Tahun Anggaran 2010 No. 02 Hasil Penelitian Tahun Anggaran 2010 Perakitan Varietas dan Teknologi Perbanyakan Benih secara Massal (dari 10 menjadi 1000 kali) serta Peningkatan Produktivitas Bawang merah (Umbi dan TSS) (12

Lebih terperinci

SKRIPSI. PENGARUH PEMBERIAN 2,4-D DAN BAP TERHADAP PERTUMBUHAN EKSPLAN BAWANG PUTIH (Allium sativum L.) Oleh Nurul Mufidah H

SKRIPSI. PENGARUH PEMBERIAN 2,4-D DAN BAP TERHADAP PERTUMBUHAN EKSPLAN BAWANG PUTIH (Allium sativum L.) Oleh Nurul Mufidah H SKRIPSI PENGARUH PEMBERIAN 2,4-D DAN BAP TERHADAP PERTUMBUHAN EKSPLAN BAWANG PUTIH (Allium sativum L.) Oleh Nurul Mufidah H0709085 PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

Lebih terperinci

SKRIPSI PENGARUH APLIKASI UNSUR FE PADA KONDISI CEKAMAN KEKERINGAN TERHADAP TANAMAN TOMAT. Oleh Aprilia Ike Nurmalasari H

SKRIPSI PENGARUH APLIKASI UNSUR FE PADA KONDISI CEKAMAN KEKERINGAN TERHADAP TANAMAN TOMAT. Oleh Aprilia Ike Nurmalasari H SKRIPSI PENGARUH APLIKASI UNSUR FE PADA KONDISI CEKAMAN KEKERINGAN TERHADAP TANAMAN TOMAT Oleh Aprilia Ike Nurmalasari H0709011 PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kedelai (Glycine max [L.] Merrill) merupakan salah satu tanaman

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kedelai (Glycine max [L.] Merrill) merupakan salah satu tanaman II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kedelai 2.1.1 Taksonomi dan Morfologi Tanaman kedelai (Glycine max [L.] Merrill) merupakan salah satu tanaman pangan dari famili Leguminosae yang berumur pendek. Secara

Lebih terperinci

MIKROPROPOGASI TUNAS KANTONG SEMAR (Nepenthes gracillis Korth.) DENGAN PEMBERIAN NAA DAN BAP SECARA IN VITRO

MIKROPROPOGASI TUNAS KANTONG SEMAR (Nepenthes gracillis Korth.) DENGAN PEMBERIAN NAA DAN BAP SECARA IN VITRO MIKROPROPOGASI TUNAS KANTONG SEMAR (Nepenthes gracillis Korth.) DENGAN PEMBERIAN NAA DAN BAP SECARA IN VITRO SKRIPSI Oleh : ARIANI SYAHFITRI HRP 060307031 DEPARTEMEN BUDIDAYA PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Morfologi dan Agroekologi Tanaman Kacang Panjang. Kacang panjang merupakan tanaman sayuran polong yang hasilnya dipanen

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Morfologi dan Agroekologi Tanaman Kacang Panjang. Kacang panjang merupakan tanaman sayuran polong yang hasilnya dipanen II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Morfologi dan Agroekologi Tanaman Kacang Panjang Kacang panjang merupakan tanaman sayuran polong yang hasilnya dipanen dalam bentuk polong muda. Kacang panjang banyak ditanam di

Lebih terperinci

Pedoman Penilaian dan Pelepasan Varietas Hortikultura (PPPVH) 2004

Pedoman Penilaian dan Pelepasan Varietas Hortikultura (PPPVH) 2004 Pedoman Penilaian dan Pelepasan Varietas Hortikultura (PPPVH) 2004 KENTANG (Disarikan dari PPPVH 2004) Direktorat Perbenihan Direktorat Jenderal Bina Produksi Hortikultura I. UJI ADAPTASI 1. Ruang Lingkup

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kedudukan kacang tanah dalam sistematika (taksonomi) tumbuhan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kedudukan kacang tanah dalam sistematika (taksonomi) tumbuhan 9 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taksonomi dan Morfologi Kacang Tanah Kedudukan kacang tanah dalam sistematika (taksonomi) tumbuhan diklasifikasikan sebagai berikut : Divisi Sub divisi Kelas Ordo Famili Genus

Lebih terperinci

RESPONS PEMBERIAN COUMARIN TERHADAP PRODUKSI MIKRO TUBER PLANLET KENTANG (Solanum tuberosum L.) VARIETAS GRANOLA SKRIPSI

RESPONS PEMBERIAN COUMARIN TERHADAP PRODUKSI MIKRO TUBER PLANLET KENTANG (Solanum tuberosum L.) VARIETAS GRANOLA SKRIPSI RESPONS PEMBERIAN COUMARIN TERHADAP PRODUKSI MIKRO TUBER PLANLET KENTANG (Solanum tuberosum L.) VARIETAS GRANOLA SKRIPSI OLEH: VIVI ULFIA HASNI / 090301191 BUDIDAYA PERTANIAN DAN PERKEBUNAN PROGRAM STUDI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mudah diperbanyak dan jangka waktu berbuah lebih panjang. Sedangkan

BAB I PENDAHULUAN. mudah diperbanyak dan jangka waktu berbuah lebih panjang. Sedangkan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Perbanyakan tanaman dapat dilakukan dengan cara generatif dan vegetatif. Perbanyakan tanaman secara generatif biasanya dilakukan melalui biji dan mengalami penyerbukan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 47 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa respons pertumbuuhan tertinggi diperoleh pada eksplan biji panili yang ditanam dalam medium tomat. Pada perlakuan tersebut persentase rata-rata

Lebih terperinci

Pemanfaatan Teknik Kultur In Vitro Untuk Mendapatkan Tanaman Pisang Ambon Tahan Penyakit Fusarium

Pemanfaatan Teknik Kultur In Vitro Untuk Mendapatkan Tanaman Pisang Ambon Tahan Penyakit Fusarium Pemanfaatan Teknik Kultur In Vitro Untuk Mendapatkan Tanaman Pisang Ambon Tahan Penyakit Fusarium Pisang merupakan salah satu komoditas buah-buahan yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia karena

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBERIAN NAA DAN KINETIN TERHADAP PERTUMBUHAN EKSPLAN BUAH NAGA (Hylocereus costaricensis) MELALUI TEKNIK KULTUR JARINGAN SECARA IN VITRO

PENGARUH PEMBERIAN NAA DAN KINETIN TERHADAP PERTUMBUHAN EKSPLAN BUAH NAGA (Hylocereus costaricensis) MELALUI TEKNIK KULTUR JARINGAN SECARA IN VITRO PENGARUH PEMBERIAN NAA DAN KINETIN TERHADAP PERTUMBUHAN EKSPLAN BUAH NAGA (Hylocereus costaricensis) MELALUI TEKNIK KULTUR JARINGAN SECARA IN VITRO Delfi Trisnawati 1, Dr. Imam Mahadi M.Sc 2, Dra. Sri

Lebih terperinci

PENAMPILAN MORFOFISIOLOGI AKAR BEBERAPA HASIL PERSILANGAN (F1) JAGUNG (Zea mays L.) PADA DUA MEDIA TANAM DI RHIZOTRON SKRIPSI OLEH:

PENAMPILAN MORFOFISIOLOGI AKAR BEBERAPA HASIL PERSILANGAN (F1) JAGUNG (Zea mays L.) PADA DUA MEDIA TANAM DI RHIZOTRON SKRIPSI OLEH: PENAMPILAN MORFOFISIOLOGI AKAR BEBERAPA HASIL PERSILANGAN (F1) JAGUNG (Zea mays L.) PADA DUA MEDIA TANAM DI RHIZOTRON SKRIPSI OLEH: DESY MUTIARA SARI/120301079 AGROEKOTEKNOLOGI PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI

Lebih terperinci

INDUKSI MUTASI KROMOSOM DENGAN KOLKISIN PADA TANAMAN STEVIA (Stevia rebaudiana Bertoni) KLON ZWEETENERS SECARA IN VITRO

INDUKSI MUTASI KROMOSOM DENGAN KOLKISIN PADA TANAMAN STEVIA (Stevia rebaudiana Bertoni) KLON ZWEETENERS SECARA IN VITRO INDUKSI MUTASI KROMOSOM DENGAN KOLKISIN PADA TANAMAN STEVIA (Stevia rebaudiana Bertoni) KLON ZWEETENERS SECARA IN VITRO Oleh: ASEP RODIANSAH A34302032 PROGRAM STUDI HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

sehingga diharapkan dapat menghasilkan keturunan yang memiliki toleransi yang lebih baik dibandingkan tetua toleran (segregan transgresif).

sehingga diharapkan dapat menghasilkan keturunan yang memiliki toleransi yang lebih baik dibandingkan tetua toleran (segregan transgresif). PEMBAHASAN UMUM Sorgum merupakan salah satu tanaman serealia yang memiliki toleransi yang tinggi terhadap kekeringan sehingga berpotensi untuk dikembangkan di lahan kering masam di Indonesia. Tantangan

Lebih terperinci

INDUKSI TUNAS PISANG ROTAN [Musa sp. ( AA Group.)] DARI EKSPLAN BONGGOL ANAKAN DAN MERISTEM BUNGA SECARA IN VITRO

INDUKSI TUNAS PISANG ROTAN [Musa sp. ( AA Group.)] DARI EKSPLAN BONGGOL ANAKAN DAN MERISTEM BUNGA SECARA IN VITRO SKRIPSI INDUKSI TUNAS PISANG ROTAN [Musa sp. ( AA Group.)] DARI EKSPLAN BONGGOL ANAKAN DAN MERISTEM BUNGA SECARA IN VITRO Oleh: Erni Noviana 11082200690 PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN DAN

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 17 HASIL DAN PEMBAHASAN Deskripsi Kualitatif Karakter kualitatif yang diamati pada penelitian ini adalah warna petiol dan penampilan daun. Kedua karakter ini merupakan karakter yang secara kualitatif berbeda

Lebih terperinci

KULTUR ANTERA DAN EVALUASI GALUR HAPLOID GANDA UNTUK MENDAPATKAN PADI GOGO TIPE BARU HENI SAFITRI

KULTUR ANTERA DAN EVALUASI GALUR HAPLOID GANDA UNTUK MENDAPATKAN PADI GOGO TIPE BARU HENI SAFITRI KULTUR ANTERA DAN EVALUASI GALUR HAPLOID GANDA UNTUK MENDAPATKAN PADI GOGO TIPE BARU HENI SAFITRI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis

Lebih terperinci

PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA

PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA Pengaruh Konsentrasi Paclobutrazol dalam Induksi Pembungaan (Flowering) Mawar Mini Hibrida Varietas Rosmarun dan Yulikara secara In Vitro PROGRAM KEGIATAN PKM Penelitian Ketua

Lebih terperinci

PENGGUNAAN IAA DAN BAP UNTUK MENSTIMULASI ORGANOGENESIS TANAMAN Anthurium andreanum DALAM KULTUR IN VITRO

PENGGUNAAN IAA DAN BAP UNTUK MENSTIMULASI ORGANOGENESIS TANAMAN Anthurium andreanum DALAM KULTUR IN VITRO PENGGUNAAN IAA DAN BAP UNTUK MENSTIMULASI ORGANOGENESIS TANAMAN Anthurium andreanum DALAM KULTUR IN VITRO Oleh : SITI SYARA A34301027 PROGRAM STUDI HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

Pembelahan Sel Muhammad Ridha Alfarabi Istiqlal, SP MSi

Pembelahan Sel Muhammad Ridha Alfarabi Istiqlal, SP MSi Pembelahan Sel Muhammad Ridha Alfarabi Istiqlal, SP MSi Tujuan Instruksional Khusus : Setelah mengikuti kuliah ini mahasiswa akan dapat menjelaskan mitosis dan meiosis pada tanaman Sub Pokok Bahasan :

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN STUMP KARET PADA BERBAGAI KEDALAMAN DAN KOMPOSISI MEDIA TANAM SKRIPSI OLEH : JENNI SAGITA SINAGA/ AGROEKOTEKNOLOGI-BPP

PERTUMBUHAN STUMP KARET PADA BERBAGAI KEDALAMAN DAN KOMPOSISI MEDIA TANAM SKRIPSI OLEH : JENNI SAGITA SINAGA/ AGROEKOTEKNOLOGI-BPP PERTUMBUHAN STUMP KARET PADA BERBAGAI KEDALAMAN DAN KOMPOSISI MEDIA TANAM SKRIPSI OLEH : JENNI SAGITA SINAGA/100301085 AGROEKOTEKNOLOGI-BPP PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Nanas merupakan tanaman buah berupa semak yang memiliki nama ilmiah Ananas comosus. Nanas berasal dari Brasilia (Amerika Selatan) yang telah didomestikasi sebelum masa

Lebih terperinci

TEKNIK PERSILANGAN BUATAN

TEKNIK PERSILANGAN BUATAN MODUL II TEKNIK PERSILANGAN BUATAN 2.1 Latar Belakang Keragaman genetik merupakan potensi awal di dalam perbaikan sifat. Salah satu upaya untuk memperluas keragaman genetik ialah melalui persilangan buatan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Kelapa sawit merupakan tanaman penghasil minyak nabati utama di

PENDAHULUAN. Kelapa sawit merupakan tanaman penghasil minyak nabati utama di 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Kelapa sawit merupakan tanaman penghasil minyak nabati utama di Indonesia, dan memegang peranan penting diantaranya iklim, tenaga kerja, dan kesediaan lahan yang masih cukup

Lebih terperinci

PENDUGAAN NILAI DAYA GABUNG DAN HETEROSIS JAGUNG HIBRIDA TOLERAN CEKAMAN KEKERINGAN MUZDALIFAH ISNAINI

PENDUGAAN NILAI DAYA GABUNG DAN HETEROSIS JAGUNG HIBRIDA TOLERAN CEKAMAN KEKERINGAN MUZDALIFAH ISNAINI PENDUGAAN NILAI DAYA GABUNG DAN HETEROSIS JAGUNG HIBRIDA TOLERAN CEKAMAN KEKERINGAN MUZDALIFAH ISNAINI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

LAPORAN PELAKSANAAN PENELITIAN

LAPORAN PELAKSANAAN PENELITIAN LAPORAN PELAKSANAAN PENELITIAN KAJIAN KONSENTRASI NAA DAN KINETIN TERHADAP PERTUMBUHAN KALUS DARI KOTILEDON SAMBILOTO (Andrographis paniculata Ness.) SECARA IN VITRO Oleh: Ir. Veronica Krestiani, MP. Ir.

Lebih terperinci

KULTUR MERISTEM PUCUK STROBERI (Fragaria chiloensis dan F. Vesca) DENGAN PEMBERIAN BEBERAPA ZAT PENGATUR TUMBUH SKRIPSI OLEH:

KULTUR MERISTEM PUCUK STROBERI (Fragaria chiloensis dan F. Vesca) DENGAN PEMBERIAN BEBERAPA ZAT PENGATUR TUMBUH SKRIPSI OLEH: KULTUR MERISTEM PUCUK STROBERI (Fragaria chiloensis dan F. Vesca) DENGAN PEMBERIAN BEBERAPA ZAT PENGATUR TUMBUH SKRIPSI OLEH: LYDIA R SIRINGORINGO 060307026 BDP- PEMULIAAN TANAMAN PROGRAM STUDI PEMULIAAN

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kedelai merupakan tanaman pangan berupa semak yang tumbuh tegak. Kedelai

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kedelai merupakan tanaman pangan berupa semak yang tumbuh tegak. Kedelai II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kedelai 2.1.1 Klasifikasi tanaman kedelai Kedelai merupakan tanaman pangan berupa semak yang tumbuh tegak. Kedelai jenis liar Glycine ururiencis, merupakan kedelai yang

Lebih terperinci

STERILISASI DAN INDUKSI KALUS Aglaonema sp PADA MEDIUM MS DENGAN KOMBINASI 2,4-D DAN KINETIN SECARA IN VITRO SKRIPSI

STERILISASI DAN INDUKSI KALUS Aglaonema sp PADA MEDIUM MS DENGAN KOMBINASI 2,4-D DAN KINETIN SECARA IN VITRO SKRIPSI STERILISASI DAN INDUKSI KALUS Aglaonema sp PADA MEDIUM MS DENGAN KOMBINASI 2,4-D DAN KINETIN SECARA IN VITRO SKRIPSI Oleh : Devy Monika Hamzah 20030210011 FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

Lebih terperinci

Sesuai Prioritas Nasional

Sesuai Prioritas Nasional Hibah Kompetitif Penelitian Sesuai Prioritas Nasional Peningkatan Effisiensi Pengisian Dan Pembentukan Biji Mendukung Produksi Benih Padi Hibrida id Oleh Dr. Tatiek Kartika Suharsi MS. No Nama Asal Fakultas

Lebih terperinci

Kultur Jaringan Menjadi Teknologi yang Potensial untuk Perbanyakan Vegetatif Tanaman Jambu Mete Di Masa Mendatang

Kultur Jaringan Menjadi Teknologi yang Potensial untuk Perbanyakan Vegetatif Tanaman Jambu Mete Di Masa Mendatang AgroinovasI Kultur Jaringan Menjadi Teknologi yang Potensial untuk Perbanyakan Vegetatif Tanaman Jambu Mete Di Masa Mendatang Tanaman jambu mete (Anacardium occidentale. L.) merupakan salah satu tanaman

Lebih terperinci

HUBUNGAN TRANSPIRASI DENGAN HASIL DAN RENDEMEN MINYAK BIJI JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) CHARLES YULIUS BORA

HUBUNGAN TRANSPIRASI DENGAN HASIL DAN RENDEMEN MINYAK BIJI JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) CHARLES YULIUS BORA HUBUNGAN TRANSPIRASI DENGAN HASIL DAN RENDEMEN MINYAK BIJI JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) CHARLES YULIUS BORA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBERIAN NAA DAN KINETIN TERHADAP PERTUMBUHAN EKSPLAN BUAH NAGA (Hylocereus costaricensis) MELALUI TEKNIK KULTUR JARINGAN SECARA IN VITRO

PENGARUH PEMBERIAN NAA DAN KINETIN TERHADAP PERTUMBUHAN EKSPLAN BUAH NAGA (Hylocereus costaricensis) MELALUI TEKNIK KULTUR JARINGAN SECARA IN VITRO PENGARUH PEMBERIAN NAA DAN KINETIN TERHADAP PERTUMBUHAN EKSPLAN BUAH NAGA (Hylocereus costaricensis) MELALUI TEKNIK KULTUR JARINGAN SECARA IN VITRO Imam Mahadi, Sri Wulandari dan Delfi Trisnawati Program

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Cabai merupakan salah satu komoditi hortikultura yang memiliki nilai ekonomi penting bagi beberapa negara di dunia, termasuk Indonesia. Cabai dimanfaatkan sebagai bumbu

Lebih terperinci

INDUKSI HAPLOID Dianthus chinensis MELALUI ANDROGENESIS SECARA IN VITRO

INDUKSI HAPLOID Dianthus chinensis MELALUI ANDROGENESIS SECARA IN VITRO 41 INDUKSI HAPLOID Dianthus chinensis MELALUI ANDROGENESIS SECARA IN VITRO Abstrak Komposisi media mempengaruhi kemampuan antera membentuk kalus dan/atau embrio serta regenerasi tanaman. Pada tanaman Dianthus

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Tanaman karet merupakan komoditi perkebunan yang penting dalam

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Tanaman karet merupakan komoditi perkebunan yang penting dalam 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Tanaman karet merupakan komoditi perkebunan yang penting dalam industri otomotif dan merupakan salah satu komoditas perkebunan yang memberikan sumbangan besar bagi perekonomian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) merupakan tanaman yang dikenal sebagai sumber utama penghasil minyak nabati sesudah kelapa. Minyak sawit kaya akan pro-vitamin

Lebih terperinci

PENGGUNAAN KOMPOSISI MEDIA DASAR DAN BAP UNTUK INDUKSI ORGANOGENESIS ANTHURIUM WAVE OF LOVE (Anthurium plowmanii) SECARA IN VITRO

PENGGUNAAN KOMPOSISI MEDIA DASAR DAN BAP UNTUK INDUKSI ORGANOGENESIS ANTHURIUM WAVE OF LOVE (Anthurium plowmanii) SECARA IN VITRO PENGGUNAAN KOMPOSISI MEDIA DASAR DAN BAP UNTUK INDUKSI ORGANOGENESIS ANTHURIUM WAVE OF LOVE (Anthurium plowmanii) SECARA IN VITRO Oleh Riyanti Catrina Helena Siringo ringo A34404062 PROGRAM STUDI PEMULIAAN

Lebih terperinci

Dasar Selular Reproduksi dan Pewarisan Sifat

Dasar Selular Reproduksi dan Pewarisan Sifat Dasar Selular Reproduksi dan Pewarisan Sifat A. Siklus sel dan siklus hidup organisme B. Prinsip dasar reproduksi dan pewarisan material genetik: mitosis, meiosis dan fertilisasi C.Pola pewarisan sifat:

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada awalnya kedelai dikenal dengan beberapa nama botani yaitu Glycine soja

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada awalnya kedelai dikenal dengan beberapa nama botani yaitu Glycine soja 8 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani dan Morfologi Kedelai Pada awalnya kedelai dikenal dengan beberapa nama botani yaitu Glycine soja atau Soja max, tetapi pada tahun 1984 telah disepakati nama botani yang

Lebih terperinci

PENGARUH JENIS EKSPLAN DAN KOMPOSISI ZAT PENGATUR TUMBUH TERHADAP PRODUKSI BIOMASSA KALUS DAN ANTOSIANIN TANAMAN ROSELLA (Hibiscus sabdariffa Linn.

PENGARUH JENIS EKSPLAN DAN KOMPOSISI ZAT PENGATUR TUMBUH TERHADAP PRODUKSI BIOMASSA KALUS DAN ANTOSIANIN TANAMAN ROSELLA (Hibiscus sabdariffa Linn. 1 PENGARUH JENIS EKSPLAN DAN KOMPOSISI ZAT PENGATUR TUMBUH TERHADAP PRODUKSI BIOMASSA KALUS DAN ANTOSIANIN TANAMAN ROSELLA (Hibiscus sabdariffa Linn.) SKRIPSI OLEH : SUCI KHAIRANI SAFITRI / 120301054 PEMULIAAN

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Trustinah (1993) sistematika (taksonomi) kacang tanah diklasifikasikan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Trustinah (1993) sistematika (taksonomi) kacang tanah diklasifikasikan 7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taksonomi dan Morfologi Menurut Trustinah (1993) sistematika (taksonomi) kacang tanah diklasifikasikan sebagai berikut. Kingdom Divisi Sub-divisi Class Ordo Famili Genus Spesies

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. anggrek yang mendominasi pasar adalah anggrek impor, yaitu Dendrobium dan

BAB I PENDAHULUAN. anggrek yang mendominasi pasar adalah anggrek impor, yaitu Dendrobium dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Anggrek merupakan jenis tanaman hias yang digemari konsumen. Jenis anggrek yang mendominasi pasar adalah anggrek impor, yaitu Dendrobium dan Phalaenopsis dari Negara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Terung (Solanum melongena L.) merupakan salah satu produk tanaman

I. PENDAHULUAN. Terung (Solanum melongena L.) merupakan salah satu produk tanaman 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Terung (Solanum melongena L.) merupakan salah satu produk tanaman hortikultura yang sudah banyak tersebar di Indonesia. Tanaman terung berasal dari Sri Lanka

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil 4.1.1. Percobaan I: Persilangan dialel lengkap dua tetua anggrek Phalaenopsis. Perkembangan Ovari menjadi buah (polong buah). Teknik penyilangan anggrek mudah dipelajari,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ubi kayu merupakan tanaman perdu yang berasal dari Benua Amerika, tepatnya

I. PENDAHULUAN. Ubi kayu merupakan tanaman perdu yang berasal dari Benua Amerika, tepatnya 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ubi kayu merupakan tanaman perdu yang berasal dari Benua Amerika, tepatnya Brasil (Lingga dkk., 1986 ; Purwono dan Purnamawati, 2007). Ubi kayu yang juga dikenal sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Nanas atau Pineapple bukan tanaman asli Indonesia Penyebaran nanas di Indonesia pada mulanya hanya sebagai tanaman pengisi di lahan pekarangan, lambat laun meluas

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Kultur Jaringan Tanaman Eksplan

TINJAUAN PUSTAKA Kultur Jaringan Tanaman Eksplan TINJAUAN PUSTAKA Kultur Jaringan Tanaman Kultur in vitro merupakan suatu budidaya dalam botol. Salah satu kegiatan dalam kultur in vitro adalah kultur jaringan yaitu budidaya in vitro yang menggunakan

Lebih terperinci