BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Hasil Uji Pembedaan Segitiga Ikan Teri (Stolephorus sp.) Kering

dokumen-dokumen yang mirip
Uji Pembedaan Ikan Teri Kering pada Lama Pengeringan Berbeda dengan Ikan Teri Komersial dari Desa Tolotio Kabupaten Bone Bolango Provinsi Gorontalo

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. batok sabut kelapa (lunggabongo). Sebelum dilakukan pengasapan terlebih dahulu

OPTIMASI KECUKUPAN PANAS PADA PASTEURISASI SANTAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP MUTU SANTAN YANG DIHASILKAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. mengunakan ikan nike sebanyak 3 kg, fluktuasi suhu yang diperoleh pada ruang pengering antara

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Rendemen merupakan suatu parameter yang penting untuk mengetahui nilai

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar belakang, (2) Identifikasi

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Morfologi dan Rendemen Tubuh Cangkang Kijing Lokal (Pilsbryoconcha sp.)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5. Rataan Nilai Warna (L, a, b dan HUE) Dendeng Sapi dengan Metode Perlakuan Curing yang Berbeda

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang

HASIL DAN PEMBAHASAN. Karakteristik Fisik Sosis Sapi

HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian Tahap Pertama. Tabel 6. Komposisi Kimia TDTLA Pedaging

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil sidik ragam kadar protein kecap manis air kelapa menunjukkan

4. PEMBAHASAN 4.1. Aktivitas Antioksidan

molekul kasein yang bermuatan berbeda. Kondisi ph yang asam menyebabkan kalsium dari kasein akan memisahkan diri sehingga terjadi muatan ion dalam sus

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Sifat Fisik Meatloaf. Hasil penelitian mengenai pengaruh berbagai konsentrasi tepung tulang

HASIL DAN PEMBAHASAN. Nilai Rendemen Kerupuk Kulit Kelinci dengan Berbagai Konsentrasi Garam

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

DAYA TERIMA DAN KUALITAS PROTEIN IN VITRO TEMPE KEDELAI HITAM (Glycine soja) YANG DIOLAH PADA SUHU TINGGI. Abstrak

5.1 Total Bakteri Probiotik

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB III METODE PENELITIAN. 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan Juli 2013 di

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pembuatan Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) Asap. Pengolahan ikan tongkol (Euthynnus affinis) asap diawali dengan

PEMANFAATAN Gracilaria sp. DALAM PEMBUATAN PERMEN JELLY

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kadar Air dan Aktivitas Air

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Kadar Air (%) Tempe Dengan Penambahan Tepung Belut dan Variasi Konsentrasi Usar Tempe

rv. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Bakteri memerlukan Aw relatif tinggi untuk pertumbuhan > 0,90

BAB V PEMBAHASAN 5.1. Sifat Fisikokimia Kadar Air

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.2. Kadar Abu Kadar Metoksil dan Poligalakturonat

4. PEMBAHASAN 4.1. Penelitian Pendahuluan Penentuan Konsentrasi Mikroenkapsulan

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Karakterisasi Bahan Baku Karet Crepe

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Kandungan Protein Kasar. Tabel 4. Rataan Kandungan Protein Kasar pada tiap Perlakuan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh Jenis dan Konsentrasi Larutan Perendam terhadap Rendemen Gelatin

PENGARUH TEKNIK PENGERINGAN TERHADAP KADAR GIZI DAN MUTU ORGANOLEPTIK SALE PISANG (Musa paradisiaca L.) Fery Indradewi A

I PENDAHULUAN. Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka

BAB V PEMBAHASAN 5.1 Kadar Air

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

PENGARUH SUHU DAN LAMA PENGOVENAN TERHADAP KARAKTERISTIK CUMI-CUMI (Loligo sp) KERTAS

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa dosis ragi dan frekuensi pengadukan

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan Oktober Januari 2013.

HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. dan dikenal dengan nama latin Cucurbita moschata (Prasbini et al., 2013). Labu

HASIL DAN PEMBAHASAN Pembuatan Adonan Kerupuk

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. pengkukusan kacang hijau dalam pembuatan noga kacang hijau.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Tekstur biasanya digunakan untuk menilai kualitas baik tidaknya produk cookies.

Pengeringan Untuk Pengawetan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. kriteria yaitu warna, kenampakan, tekstur, rasa, dan aroma. Adapun hasil

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3)

PENGARUH WAKTU PEMANASAN DAN JENIS SUSU TERHADAP SIFAT ORGANOLEPTIK PERMEN KARAMEL SUSU. (Laporan Penelitian) Oleh. Yuni Noviyanti

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA Pengasapan Ikan. Pengasapan adalah salah satu teknik dehidrasi (pengeringan) yang dilakukan

III. TINJAUAN PUSTAKA

PENGARUH PENAMBAHAN SUKROSA DAN GLUKOSA PADA PEMBUATAN PERMEN KARAMEL SUSU KAMBING TERHADAP SIFAT KIMIA, MIKROBIOLOGI DAN ORGANOLEPTIK

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Data hasil penelitian pengaruh penambahan garam terhadap nilai organoleptik

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Perbandingan Tepung Tapioka : Tepung Terigu :

HASIL DAN PEMBAHASAN

MUTU ORGANOLEPTIK DAN KIMIAWI STIK RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii DENGAN FORTIFIKASI TEPUNG UDANG REBON (Mysis sp.) ARTIKEL JURNAL OLEH

HASIL DAN PEMBAHASAN. 1.1 Pengaruh Perlakuan Terhadap Total Bakteri Daging Sapi

I PENDAHULUAN. Pada pendahuluan menjelaskan mengenai (1) Latar Belakang, (2)

HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. Hasil sidik ragam pada lampiran 3a, bahwa pemberian KMnO 4 berpengaruh terhadap

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 2. Karakteristik menir segar Karakteristik. pengujian 10,57 0,62 0,60 8,11 80,20 0,50 11,42 18,68.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mineral. Susu adalah suatu cairan yang merupakan hasil pemerahan dari sapi atau

Karakteristik mutu daging

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENENTUAN LAJU RESPIRASI DENGAN PERLAKUAN PERSENTASE GLUKOMANAN

4. PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Fisik Mi Kering Non Terigu Cooking Time

1989).Sampel sebanyak 2 g dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer 500ml. balik. Didihkan selama 30 menit dan kadang kala digoyang- goyangkan.

BAB III METODE PENELITIAN. Laboratorium Pembinaan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan (LPPMHP)

PAPER BIOKIMIA PANGAN

STUDI PENGOLAHAN CUMI-CUMI (Loligo sp.) ASIN KERING DIHUBUNGKAN DENGAN KADAR AIR DAN TINGKAT KESUKAAN KONSUMEN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4. PEMBAHASAN 4.1.Sifat Fisik Kimia Minyak Goreng

PEMBAHASAN 4.1.Karakteristik Fisik Mi Jagung Cooking loss

I. PENDAHULUAN. Buah naga (Hylocereus polyrhizus) merupakan buah yang saat ini cukup populer

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

I PENDAHULUAN. Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka

BAB I PENDAHULUAN. perikanan yang sangat besar. Oleh karena itu sangat disayangkan bila. sumber protein hewani, tingkat konsumsi akan ikan yang tinggi

Transkripsi:

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Uji Pembedaan Segitiga Ikan Teri (Stolephorus sp.) Kering Uji pembedaan segitiga dilakukan untuk melihat perbedaan ikan teri hasil perlakuan dengan ikan teri komersial. Atribut sensori yang dibedakan meliputi tekstur, aroma dan warna. 4.1.1 Tekstur ikan teri kering Hasil uji pembedaan segitiga ikan teri kering (Lampiran 2). untuk atribut tekstur dapat dilihat pada Tabel 3. Perlakuan A1 A2 A3 Tabel 1. Hasil uji pembedaan segitiga pada tekstur ikan teri kering Jumlah panelis yang menyatakan beda 17 18 18 Syarat jumlah minimal panelis yang menyatakan beda pada taraf kepercayaan 5% 1% keterangan: A1= lama pengeringan 24 jam;a2=lama pengeringan 28 jam; A3=lama pengeringan 32 jam; N = jumlah panelis. Berdasarkan Tabel 3, dapat dinyatakan bahwa jumlah panelis yang menyatakan terdapat perbedaan pada ikan teri kering hasil perlakuan A1, A2 dan A3 berturut-turut adalah 17, 18 dan 18 panelis. Jumlah panelis yang menyatakan beda pada tiap perlakuan telah memenuhi syarat minimal jumlah penelis pada taraf 1%. Hal ini menunjukan bahwa tekstur ikan teri kering pada semua perlakuan berbeda sangat nyata dengan ikan teri kering komersial. Tekstur ikan teri kering hasil perlakuan lebih keras sehingga ikan teri mudah dipatahkan, sedangkan tekstur ikan teri komersial bersifat liat sehingga N 29

panelis telah dapat menyatakan perbedaan yang sangat nyata di antara keduanya. Tekstur bahan pangan termasuk ikan erat kaitannya dengan kandungan air di dalamnya yang membuat tekstur lembek, kenyal maupun keras. Tekstur ikan teri kering hasil perlakuan yang kering terjadi akibat ikan kehilangan banyak air. Berdasarkan pengujian kadar air diperoleh hasil uji sangat rendah dengan kisaran 8,83-11,4% jika dibandingkan dengan SNI 01-2708-1992 yang maksimal 40%, diduga hal tersebut yang membuat tekstur dari ikan teri menjadi keras. Berdasarkan Sedjati (2006) yang melakukan penelitian mengenai mutu ikan teri kering dengan penambahan kitosan, menyatakan bahwa tekstur suatu produk termasuk ikan teri kering, dipengaruhi oleh kadar air yang terdapat dalam ikan teri. Kadar air relatif kecil akan membuat konsistensi tekstur ikan teri asin kering lebih keras. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan pada metode pengeringan tradisional bahwa tekstur ikan teri kering komersial sedikit lebih liat sebab ikan dikeringkan dengan penjemuran langsung di bawah sinar matahari dan sepenuhnya tergantung pada cuaca (kondisi lingkungan) sehingga pengaruh lingkungan belum dapat dikontrol. Pengaruh lingkungan yang dimaksud adalah pada saat terjadi perubahan cuaca, hal ini menyebabkan perpindahan air dari lingkungan dapat masuk ke dalam tubuh daging ikan teri kering, masuknya air kedaging ikan membuat tekstur ikan teri komersial lebih liat. Hal yang berbeda dapat terlihat jelas pada ikan teri kering hasil perlakuan yang menggunakan alat pengeringan, panas yang diterima dari matahari terpusat dalam alat sehingga suhu pengeringan optimum. Suhu pengeringan dikontrol dengan pengaturan ventilasi 30

pada alat pengeringan. Dengan suhu yang terkontrol maka ikan menjadi lebih kering karena penguapan air terjadi secara merata. Perbedaan tekstur ikan teri hasil perlakuan diduga pula ada kaitannya dengan protein yang terdapat dalam ikan teri. Ikan teri tergolong ikan berprotein tinggi yaitu 68,7 % (BKKP, 2012). Protein memiliki kemampuan untuk mengikat komponen lain seperti air dan lemak. Kemampuan mengikat air ini dikarenakan oleh sifat gugus asam amino yang hidrofilik (suka air) dan ikatan hidrogen. Kusnandar (2011), menyatakan bahwa sifat fungsional protein bergantung pada keterikatan protein dengan air. Interaksi antara keduanya akan menentukan sifat pangan seperti tekstur, daya ikat air, daya gel, viskositas dan sineresis. Pada saat ikan teri segar, protein di dalamnya banyak mengikat air, namun ketika dikeringkan maka jumlah air yang terikat akan terlepas dan ikatan hidrogen antar asam-asam amino akan terlepas. Kondisi rantai-rantai polipeptida yang menjadi lebih pendek atau telah terdenaturasi membuat tekstur ikan teri menjadi lebih padat atau terkoagulasi. Berdasarkan Winarno (2002), koagulasi protein terjadi jika protein yang ada dalam tubuh ikan mengalami denaturasi akibat suhu tinggi dan asam. 4.1.2 Aroma ikan teri kering Hasil uji pembedaan segitiga ikan teri kering (Lampiran 3) untuk atribut aroma secara ringkas dapat dilihat pada Tabel 4. 31

Perlakuan A1 A2 A3 Tabel 2. Hasil uji pembedaan segitiga pada aroma ikan teri kering Jumlah panelis yang menyatakan beda 12 12 Syarat jumlah minimal panelis yang menyatakan beda pada taraf kepercayaan 5% 1% keterangan: A1= lama pengeringan 24 jam;a2=lama pengeringan 28 jam; A3=lama pengeringan 32 jam; N = jumlah panelis. Berdasarkan Tabel 4, terlihat bahwa aroma ikan teri kering hasil perlakuan A1 dan A3 belum dapat dibedakan dengan teri komersial oleh panelis sebab jumlah panelis yang menyatakan beda pada semua perlakuan A1 dan A3 belum memenuhi standar jumlah minimal panelis hipotesis berekor dua. Namun, aroma untuk perlakuan A2 telah dapat dibedakan secara nyata oleh panelis, sebab jumlah panelis yang menyatakan beda telah memenuhi syarat minimal jumlah panelis berekor dua pada taraf 5 %. Aroma merupakan parameter yang sulit dibedakan dari satu produk yang sama jenisnya. Ikan teri hasil perlakuan menimbulkan aroma yang tidak berbeda nyata pada A1 diduga karena reaksi penguraian komponen molekul volatile belum berlangsung secara optimal sehingga aroma yang timbul masih belum dapat dibedakan, sedangkan aroma ikan teri hasil perlakuan dengan lama pengeringan 32 jam (A3) mengalami proses pengeringan yang terlalu lama sehingga telah mengurangi senyawa volatile. Namun perlakuan A2 yang menghasikan aroma ikan teri yang berbeda diduga karena reaksi penguraian senyawa protein dan lemak menjadi senyawa volatile telah berlangsung pada kondisi optimum. Menurut Winarno (2002), aroma pada ikan teri kering merupakan akibat yang ditimbulkan dari aktivitas penguraian senyawa- N 32

senyawa makromolekul (protein dan lemak) yang terdapat pada ikan menjadi senyawa-senyawa yang bersifat mudah menguap ( volatile). Penguraian senyawa makromolekul disebabkan pengeringan yang terkontrol, sehingga memicu reaksi terutama reaksi oksidasi lemak dan penguraian protein optimum untuk menghasikan molekul-molekul tak jenuh pembentuk aroma. Reaksi oksidasi lemak, terutama lemak tak jenuh pada ikan teri terjadi lebih cepat pada suhu pengeringan yang terkontrol. Kusnandar (2011), menyatakan bahwa golongan lemak tak jenuh akan teroksidasi dengan adanya panas, menjadi senyawa-senyawa turunan peroksida dan aldehida yang bersifat volatile sehingga berkontribusi untuk membentuk aroma. Berdasarkan Hadiwiyoto (1993), p emecahan senyawa-senyawa protein dari polipetida menjadi asam-asam amino hingga membentuk senyawa komponen terkecil seperti hidrogen sulfida dan amonia. Metabolit-metabolit hasil penguraian ini pada akhirnya akan mempengaruhi penilaian sensori yang salah satunya adalah aroma bahan pangan. 4.1.3 Warna Ikan Teri Kering Hasil uji pembedaan segitiga ikan teri kering (Lampiran 4) untuk atribut warna secara ringkas dapat dilihat pada Tabel berikut Perlakuan A1 A2 A3 Tabel 3. Hasil uji pembedaan segitiga pada warna ikan teri kering Jumlah panelis yang menyatakan beda 16 16 Syarat jumlah minimal panelis yang menyatakan beda pada taraf kepercayaan 5% 1% keterangan: A1= lama pengeringan 24 jam; A2 = 28 jam; A3 = 32 jam; N = jumlah panelis. N 33

Berdasarkan Tabel 5, terlihat bahwa jumlah panelis yang menyatakan perbedaan telah memenuhi persyaratan jumlah minimal panelis pada taraf 1% hipotesis berekor dua, hal ini menandakan bahwa warna ikan teri kering hasil perlakuan telah berbeda sangat nyata dengan teri komersial. Warna ikan teri kering hasil perlakuan kecoklatan mengkilap sedangkan ikan teri komersial memiliki warna yang agak gelap. Perbedaan ini diduga karena ikan komersial mengalami reaksi pencoklatan lebih lama sebab waktu pengeringan dalam metode tradisional lebih lama atau waktu pengeringan tidak dibatasi seperti pada ikan teri komersial. Lama pengeringan yang tidak dikontrol pada metode tradisional membuat reaksi pencokelatan pada ikan teri komersial berlangsung secara terus menerus sehingga warna ikan teri komersial menjadi lebih gelap Hal tersebut membuat ikan teri komersial berwarna cokelat kusam dibandingkan dengan ikan teri kering hasil perlakuan. Setyoko dkk (2008) yang melakukan penelitian mengenai pengeringan ikan teri dengan metode vakum, menyatakan bahwa ikan teri yang dikeringkan mengalami reaksi pencoklatan non-enzymatis (maillard). Reaksi maillard membentuk pigmen coklat (melanoidin) yang terjadi pada bahan makanan hasil perlakuan pemanasan seperti pengeringan. Pengaruh panas selama pengeringan dapat menyebabkan terjadinya reaksi antara senyawa amino dengan gula pereduksi. Gula pereduksi pada ikan merupakan hasil pemecahan glikogen sesaat setelah ikan mati sedangkan asam amino merupakan komponen penyusun protein ikan. Reaksi antara asam amino dan gula pereduksi tersebut menghasilkan pigmen melanoidin (pigmen warna coklat) yang dapat menurunkan nilai kenampakan produk. Menurut Jay, (1992) dalam Sedjati (2006) bahwa reaksi 34

Maillard ini mudah terjadi pada bahan pangan yang berkadar air lebih besar dari 2%. 4.2 Rendemen Ikan Teri (Stolephorus sp.) Kering Rendemen ikan teri kering merupakan jumlah ikan teri kering yang dihasilkan dibandingkan dengan berat per jumlah awal sebelum pengeringan dan dinyatakan dalam persentasi. Nilai rendemen ikan teri hasil dari berbagai perlakuan pengeringan dapat dilihat pada Gambar 6. Rendemen (%) 42 41 40 39 38 37 36 35 a a b A1 (24 jam) A2 (28 jam) A3 (32 jam) Lama pengeringan Gambar 6. Histogram rendemen ikan teri kering dengan lama pengeringan berbeda (Keterangan : lama pengeringan 24 jam, : lama pengeringan 28 jam, : lama pengeringan 32 jam,,dan huruf-huruf berbeda pada puncak diagram menunjukan pengaruh yang berbeda) Gambar 6 menunjukan bahwa nilai rendemen ikan teri kering mengalami penurunan seiring dengan semakin lamanya waktu pengeringan. Rendemen tertinggi terlihat padaa hasil perlakuan dengan lama pengeringan 24 jam (A1) yaitu 41,16% sedangkan rendemen terendah terlihat pada hasil perlakuan dengan lama pengeringan 32 jam (A3), yaitu 37,68 %. 35

Hasil analisis ragam (ANSIRA) menunjukan bahwa perlakuan lama pengeringan berpengaruh nyata pada nilai rendemen ikan teri kering yang dihasilkan (Lampiran 5). Uji lanjut BNT menunjukan bahwa perlakuan A1 dan A2 berbeda nyata dengan perlakuan A3 sedangkan perlakuan A1 dan A2 tidak berbeda nyata. Rendemen ikan teri kering merupakan persentasi berat akhir ikan teri kering yang dibagi dengan bobot ikan teri basah. Perbedaan rendemen ikan teri kering diduga karena semakin lama pengeringan menyebabkan semakin banyaknya air bebas yang menguap dari tubuh ikan. Tubuh ikan disusun oleh sebagian besar air, dengan kata lain sebagian bobot dari ikan tersebut merupakan bobot dari air. Pada saat ikan dikeringkan (mendapat perlakuan fisik), maka sejumlah air akan ikut menguap. Lama waktu pengeringan yang singkat hanya menguapkan air lebih sedikit jika dibandingkan dengan lama waktu pengeringan yang lebih lama dapat menguapkan air yang lebih banyak. Hal ini terlihat pada rendemen hasil perlakuan A3 yang lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan A1 dan A2. Ikan mengandung air tipe III atau air bebas yang tinggi dan ketika dikeringkan ikan mengalami kehilangan banyak air tipe ini. Air tipe III merupakan jenis air bebas yang mudah diuapkan ketika mendapat pemanasan. Berdasarkan Adawyah (2007), ikan mengandung 60-80% kandungan air yang menyusun total tubuh ikan, sehingga jika kandungan air tersebut hilang maka ikan akan mengalami penyusutan berat. 4.3 Kadar Air Ikan Teri (Stolephorus sp.) Kering Ikan teri kering merupakan produk dari kegiatan pengeringan, yang telah kehilangan kandungan air bahan dalam jumlah tertentu. Kadar air pada ikan teri dapat dilihat pada Gambar 7. 36

Kadar air (%) 12.00 10.00 8.00 6.00 4.00 2.00 0.00 a a b A1 (24 jam) A2 (28 jam) A3 (32 jam) Lama pengeringan Gambar 7. Histogram kadar air ikan teri kering dengan lama pengeringan berbeda (Keterangan : lama pengeringan 24 jam, : lama pengeringan 28 jam, : lama pengeringan 32 jam,dan huruf-huruf berbeda pada puncak diagram menunjukan pengaruh yang berbeda). Gambar 7 memberikan informasi bahwa semakin lama waktu pengeringan, maka kadar air ikan teri kering akan semakin menurun. Kadar air tertinggi merupakan hasil perlakuan lama pengeringan 24 jam yaitu 11.40%, sedangkan kadar air terendah merupakan hasil perlakuan lama pengeringan 32 jam yaitu 8.83 %. Kadar air ikan teri hasil perlakuan masih memenuhi standar oleh SNI 01-2708- 1992 yaitu maksimal 40%. Hasil analisis sidik ragam (ANSIRA) menunjukan bahwa a perlakuan lama pengeringan memberikan pengaruh nyata terhadap kadar air ikan teri kering (Lampiran 6). Uji BNT menunjukan bahwa perlakuan A1 dan A2 berbeda nyata dengan perlakuan A3, sedangkan antara perlakuan A1 dan A2 tidak berbeda nyata. Ikan teri ketika dikeringkan akan mengalami kehilangan komponen airnya. Komponen air yang menyusun tubuh ikan terdiri atas beberapa jenis. Kadar air 37

ikan teri kering sangat rendah seiring dengan lama waktu pengeringan, hal ini diduga disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor pertama diduga karena suhu dalam ruang pengering yang berkisar 50ºC - 68ºC pada waktu cuaca cerah dinilai sangat optimal untuk menguapkan komponen air bahan, semakin lama waktu pengeringan maka diduga suhu yang terdapat semakin meningkat, hal ini menimbulkan perbedaan antara suhu lingkungan dan suhu ikan. Jika perbedaan suhu bahan dan lingkungan semakin tinggi, maka proses pemindahan uap air dari bahan berlangsung lebih cepat. Hal ini dipicu pula dengan penggunaan alat pengeringan yang membuat suhu pengeringan relatif lebih stabil karena panas suhu dalam alat pengeringan terjadi optimum. Husni dkk (2005) yang melakukan uji coba pengering teri tipe tunnel, menyatakan bahwa kadar air pada ikan teri akan mengalami penurunan seiring dengan lamanya waktu pengeringan ikan, lama waktu pengeringan mempengaruhi perpindahan panas dari tubuh ikan. Faktor kedua adalah ukuran ikan teri yang kecil yang membuat pengeringan berlangsung dengan cepat sehingga uap air yang ikut menguap dari bahan pangan lebih banyak. Dalam penelitian ini bahan (sampel) ikan teri yang digunakan berukuran 4-6 cm. Berdasarkan Adawyah (2007), luas permukaan ikan mempengaruhi kecepatan penguapan air dari tubuh ikan. Ikan yang berukuran kecil lebih cepat mengering dibandingkan dengan ikan yang berukuran besar. 4.4 Jumlah Kapang Pada Ikan Teri (Stolephorus sp.) Kering Analisis mikrobiologi kapang dalam mutu ikan teri sangat penting untuk memperoleh informasi keamanan terhadap produk pangan ini. Jumlah kapang disajikan pada Tabel 6. 38

Tabel 4. Jumlah Log Kapang Ikan Teri Kering Hasil Perlakuan Perlakuan Jumlah log kapang (CFU/g) A1 negatif A2 negatif A3 3 Keterangan : A1 : 24 jam, A2: 28 jam, A3:32 jam Tabel 6 menunjukan jumlah koloni kapang yang dihitung sesuai prosedur SNI 2332.7:2009. Syarat jumlah koloni kapang yang dapat dihitung berkisar 10-0 koloni. Perlakuan A3 pada pengenceran 10-2 dengan jumlah koloni 10 (Lampiran 7) telah dapat dihitung dalam rumus kapang dengan kata lain perlakuan A3 terindikasi positif akan keberadaan kapang yaitu log 3. Namun, untuk perlakuan A1 dan A2 yang memiliki jumlah koloni kurang dari 10, sehingga tidak dapat dimasukan dalam perhitungan dan keberadaan kapang dianggap negatif sehingga ikan teri kering hasil perlakuan A1 dan A2 telah memenuhi syarat SNI 01-2708-1992 tentang mutu ikan asin kering yakni jumlah kapang negatif. Keberadaan kapang yang positif pada perlakuan A3 diduga akibat kontaminasi. Kapang merupakan jasad renik yang dapat hidup pada panganpangan kering namun keberadaan kapang identik dengan masa simpan suatu produk. Ikan teri perlakuan A3 merupakan ikan teri yang paling lama berada di dalam ruang pengering sehingga diduga spora kapang dari lingkungan masuk ke ruang pengeringan saat pengambilan sampel ikan teri kering untuk perlakuan lama pengeringan sebelumnya. Berdasarkan Fardiaz (1993), kapang dapat hi dup pada kadar air minimal kurang dari 10%. Kadar air ikan teri hasil perlakuan A3 pada Tabel 6 berada di bawah 10%. Kondisi ini memungkinkan untuk membuat kapang bertumbuh namun dalam bentuk spora. Dari beberapa jenis kapang tertentu sangat 39

resisten terhadap jumlah a w minimal (0,60) (Fardiaz, 1993), sehingga diduga jenis kapang yang terkontaminasi dalam ikan teri merupakan spora kapang yang dapat tumbuh pada a w minimal seperti jenis kapang Aspergilus sp. A w berhubungan dengan kadar air dalam bahan pangan. Winarno (2002) menyatakan bahwa jika air bebas yang menguap seluruhnya dalam bahan pangan, maka nilai a w sekitar 0,8. 40