HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENGARUH SUHU DAN WAKTU PENGGORENGAN VAKUM TERHADAP MUTU KERIPIK DURIAN Pada tahap ini, digunakan 4 (empat) tingkat suhu dan 4 (empat) tingkat waktu dalam proses penggorengan buah durian. Sehingga akan menghasilkan 16 (enam belas) perlakuan suhu dan waktu yang berbeda-beda. Kemudian dilakukan beberapa analisis fisik dan organoleptik terhadap keripik durian hasil penggorengan vakum. Produk keripik durian dapat dilihat pada Gambar 13. Keterangan: A1 : 75 C B1 : 55 menit A2 : 80 C B2 : 70 menit A3 : 85 C B3 : 85 menit A4 : 90 C B4 : 100 menit Gambar 13. Keripik durian hasil penggorengan vakum kombinasi perlakuan suhu dan waktu yang berbeda 1. Rendemen Rendemen rata-rata keripik durian yang dihasilkan pada penelitian ini berkisar antara %. Produk dengan rendemen terkecil diperoleh pada suhu penggorengan 90 C dengan waktu 100 menit sedangkan suhu penggorengan 75 C dengan waktu 55 menit menghasilkan rendemen produk terbesar. Hubungan pengaruh perlakuan penggorengan terhadap rendemen keripik durian disajikan pada Gambar 14.

2 Rendemen (%) suhu 75 C suhu 80 C suhu 85 C suhu 90 C Waktu Penggorengan (menit) Gambar 14. Grafik hubungan pengaruh perlakuan penggorengan terhadap rendemen keripik durian Secara umum, dari Gambar 14 dapat dilihat bahwa semakin tinggi suhu dan waktu penggorengan, rendemen yang dihasilkan cenderung menurun. Namun berdasarkan analisis sidik ragam (Lampiran 2a) menunjukkan bahwa hanya faktor waktu saja yang berpengaruh secara nyata (p<0.05) terhadap nilai rendemen keripik durian. Sedangkan faktor suhu serta interaksi antara faktor suhu dan waktu penggorengan tidak berpengaruh nyata (p>0.05) terhadap nilai rendemen keripik durian. Uji lanjut Duncan (Lampiran 2b) menunjukkan bahwa keripik durian yang digoreng selama 55 menit menghasilkan produk dengan rendemen terbesar dan tidak berbeda nyata dengan produk yang digoreng selama 70 menit. Sedangkan produk yang digoreng selama 100 menit menghasilkan produk dengan rendemen terkecil dan tidak berbeda nyata dengan produk yang digoreng selama 70 menit dan 85 menit. Nilai rendemen produk yang digoreng lebih lama semakin kecil nilainya. Hal ini dikarenakan panas dari minyak goreng yang diserap oleh bahan yang digoreng akan menguapkan sejumlah air yang terkandung dalam bahan yang digoreng. Semakin lama waktu yang digunakan untuk menggoreng, maka semakin banyak jumlah air yang dikeluarkan dari bahan tersebut. Nilai rendemen berbanding lurus dengan kadar air, dimana semakin kecil rendemen maka kadar air suatu produk akan semakin kecil karena jumlah air yang keluar semakin banyak (Winarti, 2000). 2. Kadar Air Kadar air rata-rata keripik durian yang dihasilkan pada penelitian ini berkisar antara % basis basah. Gambar 15 menunjukkan bahwa produk dengan kadar air terbesar diperoleh pada suhu penggorengan 75 C dengan waktu 70 menit sedangkan suhu penggorengan 90 C dengan waktu 100 menit menghasilkan kadar air produk terkecil. Hubungan pengaruh perlakuan penggorengan terhadap kadar air keripik durian disajikan pada Gambar

3 1 Kadar Air (%) Waktu Penggorengan (menit) suhu 75 C suhu 80 C suhu 85 C suhu 90 C Gambar 15. Grafik hubungan pengaruh perlakuan penggorengan terhadap kadar air keripik durian Gambar 15 menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu dan semakin lama waktu penggorengan maka kadar air keripik durian relatif semakin rendah. Hasil uji statistik (Lampiran 3a) menunjukkan bahwa faktor suhu dan waktu penggorengan mengakibatkan kadar air keripik durian menurun secara nyata (p<0.05). Sedangkan interaksi antara faktor suhu dan waktu penggorengan tidak berpengaruh nyata (p>0.05) terhadap penurunan kadar air keripik durian. Uji lanjut Duncan (Lampiran 3b) memperlihatkan bahwa keripik durian hasil penggorengan pada suhu 75 C memiliki nilai rata-rata kadar air tebesar dan tidak berbeda nyata dengan keripik durian hasil penggorengan pada suhu 80 C. Sedangkan produk hasil penggorengan selama 90 C memiliki nilai rata-rata rendemen terkecil dan berbeda nyata dengan semua produk yang digoreng pada suhu 75 C, 80 C, dan 85 C. Sementara itu, uji lanjut Duncan (Lampiran 3c) memperlihatkan bahwa produk yang digoreng selama 55 menit memiliki nilai rata-rata kadar air terbesar dan tidak berbeda nyata dengan produk yang digoreng selama 70 menit dan 85 menit. Sedangkan produk yang digoreng selama 100 menit menghasilkan nilai ratarata kadar air terkecil namun tidak berbeda nyata dengan produk yang digoreng selama 85 menit. Penurunan kadar air pada produk hasil penggorengan terjadi akibat panas yang disalurkan melalui minyak goreng akan menguapkan sejumlah air yang terkandung dalam bahan yang digoreng. Umumnya makin besar perbedaan suhu antara medium pemanas dengan bahan pangan, makin cepat pemindahan panas ke dalam bahan dan makin cepat pula penghilangan air dari bahan (Muchtadi, 2008). Semakin lama waktu penggorengan berarti semakin banyak pula jumlah air yang dikeluarkan dari bahan. 3. Kadar Lemak Kadar lemak rata-rata keripik durian pada penelitian ini berkisar antara %. Kadar lemak terbesar dimiliki produk yang digoreng pada suhu 90 C selama 100 menit, sedangkan produk yang digoreng pada suhu 75 C selama 55 menit memiliki kadar lemak terkecil. Hubungan pengaruh perlakuan penggorengan terhadap kadar lemak keripik durian disajikan pada Gambar

4 38.00 Kadar Lemak (%) suhu 75 C suhu 80 C suhu 85 C suhu 90 C Waktu Penggorengan (menit) Gambar 16. Grafik hubungan pengaruh perlakuan penggorengan terhadap kadar lemak keripik durian Gambar 16 menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu penggorengan dan semakin lama waktu penggorengan, maka kadar lemak produk akan semakin meningkat. Hasil uji statistik (Lampiran 4a) menunjukkan bahwa faktor suhu dan waktu penggorengan berpengaruh nyata (p<0.05) terhadap naiknya kadar lemak keripik durian. Sedangkan interaksi antara kedua faktor tersebut tidak berpengaruh nyata (p>0.05) terhadap kadar lemak keripik durian. Uji lanjut Duncan (Lampiran 4b) memperlihatkan bahwa keripik durian yang digoreng pada suhu 75 C memiliki nilai rata-rata kadar lemak terkecil dan tidak berbeda nyata dengan produk yang digoreng pada suhu 80 C. Produk hasil penggorengan pada suhu 80 C tidak berbeda nyata dengan produk yang digoreng pada suhu 85 C. Produk dengan nilai rata-rata kadar lemak tertinggi dimiliki oleh produk hasil penggorengan pada suhu 90 C dan berbeda nyata dengan semua produk hasil penggorengan pada suhu 75 C, 80 C, dan 85 C. Sementara itu, uji lanjut Duncan (Lampiran 4c) menunjukkan bahwa nilai rata-rata kadar lemak terkecil dimiliki keripik durian hasil penggorengan selama 55 menit dan berbeda nyata dengan keripik durian hasil penggorengan selama 70 menit, 85 menit dan 100 menit. Sedangkan nilai rata-rata kadar lemak terbesar dimiliki oleh produk hasil penggorengan selama 100 menit dan tidak berbeda nyata dengan produk hasil penggorengan selama 85 menit. Muchtadi (2008) menyatakan bahwa suhu penggorengan yang terlalu tinggi serta waktu penggorengan yang terlalu lama dapat menyebabkan lebih banyak minyak mengisi ruang kosong pada produk gorengan sehingga jumlah minyak yang terbawa lebih banyak. Besarnya presentase kadar lemak yang dikandung keripik durian ini (lebih dari 36%), diduga karena lemak/minyak mengisi ruang kosong yang ditinggalkan oleh air. Selain itu bentuk keripik durian yang tidak beraturan mengakibatkan sejumlah minyak ikut terbawa dan tetap menempel pada produk meskipun sudah dilakukan penirisan. Faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah minyak yang ikut terserap ke dalam bahan pangan selama penggorengan antara lain: kualitas minyak, suhu dan lama proses, bentuk dan porositas produk, komposisi produk, dan pra-perlakuan bahan (Muchtadi, 2008). 4. Kekerasan Nilai rata-rata kekerasan keripik durian hasil penelitian ini berkisar antara kg/mm. Kekerasan dengan nilai tertinggi dimiliki produk yang digoreng pada suhu 85 C selama 29

5 55 menit, sedangkan nilai kekerasan terendah dimiliki produk yang digoreng pada suhu 75 C selama 55 menit dan 80 C selama 85 menit. Hubungan pengaruh perlakuan penggorengan terhadap nilai kekerasan keripik durian disajikan pada Gambar Kekerasan (kg/mm) suhu 75 C suhu 80 C suhu 85 C suhu 90 C Waktu Penggorengan (menit) Gambar 17. Grafik hubungan pengaruh perlakuan penggorengan terhadap nilai kekerasan keripik durian Dapat dilihat pada Gambar 17 bahwa untuk produk yang digoreng pada suhu 75 C dan 80 C, nilai kekerasan produk relatif semakin meningkat. Hasil uji statistik (Lampiran 5a) menunjukkan bahwa faktor suhu penggorengan berpengaruh nyata (p<0.05) terhadap nilai kekerasan keripik durian. Sedangkan faktor waktu dan interaksi antara fakor suhu dan waktu penggorengan tidak berpengaruh nyata (p>0.05) terhadap nilai kekerasan keripik durian. Pada uji lanjut Duncan (Lampiran 5b) menunjukkan bahwa keripik durian yang digoreng pada suhu 75 C dan 80 C tidak berbeda nyata, namun berbeda nyata dengan keripik durian yang digoreng pada suhu 85 C dan 90 C. Kekerasan berkaitan dengan kerenyahan, dimana semakin rendah nilai kekerasan produk, maka gaya yang dibutuhkan untuk memecahkan produk semakin kecil sehingga produk semakin renyah. Berfluktuasinya nilai kekerasan pada keripik durian ini disebabkan bentuk, ukuran, dan ketebalan keripik durian yang tidak seragam sehingga pada saat pengukuran menggunakan rheometer hasilnya menjadi tidak memiliki tren tertentu. Merujuk pada beberapa hasil penelitian sebelumnya, kekerasan produk cenderung menurun dengan semakin tingginya suhu dan waktu penggorengan. Hal ini berkaitan dengan jumlah air yang menguap lebih banyak dengan semakin tingginya suhu dan waktu penggorengan sehingga kadar air produk semakin rendah dan produk semakin renyah. 5. Warna Nilai L pada pengukuran warna secara objektif digunakan untuk menyatakan kecerahan warna. Parameter L ini mempunyai dari 0 (hitam) sampai 100 (putih). Nilai L keripik durian yang dihasilkan dari penelitian ini berkisar antara Berdasarkan hasil analisis sidik ragam (Lampiran 6a) diperoleh bahwa nilai L dipengaruhi secara nyata (p<0.05) oleh faktor suhu dan waktu penggorengan. Namun nilai L tidak dipengaruhi secara nyata (p>0.05) oleh interaksi antara suhu dan waktu penggorengan. 30

6 Semakin tinggi suhu yang digunakan untuk menggoreng, maka kecerahan produk semakin berkurang. Begitu juga semakin lama waktu yang digunakan untuk menggoreng, maka kecerahan produk semakin berkurang. Artinya warna produk yang dihasilkan semakin gelap. Hubungan pengaruh perlakuan penggorengan terhadap nilai L (kecerahan) keripik durian disajikan pada Gambar Nilai L Waktu Penggorengan (menit) suhu 75 C suhu 80 C suhu 85 C suhu 90 C Gambar 18. Grafik hubungan pengaruh perlakuan penggorengan terhadap nilai L (kecerahan) keripik durian Pada Gambar 18 terlihat bahwa produk yang digoreng pada suhu 75 C selama 55 menit memiliki tingkat kecerahan tertinggi. Sedangkan tingkat kecerahan produk terendah terdapat pada keripik yang digoreng pada suhu 90 C selama 100 menit. Uji lanjut Duncan (Lampiran 6b) memperlihatkan bahwa suhu penggorengan 75 C menghasilkan produk dengan rata-rata nilai L terbesar dan tidak berbeda nyata dengan produk yang digoreng pada suhu 80 C. Sedangkan suhu penggorengan 90 C menghasilkan produk dengan rata-rata nilai L terkecil dan berbeda nyata dengan semua perlakuan suhu 75 C, 80 C, dan 85 C. Sementara itu, uji lanjut Duncan (Lampiran 6c) memperlihatkan bahwa waktu penggorengan selama 55 menit menghasilkan produk dengan rata-rata nilai L terbesar dan tidak berbeda nyata dengan produk yang digoreng selama 70 menit. Produk yang digoreng selama 70 menit tidak berbeda nyata dengan produk yang digoreng selama 85 menit. Sedangkan waktu penggorengan 100 menit menghasilkan produk dengan rata-rata nilai L terkecil dan tidak berbeda nyata dengan waktu penggorengan selama 85 menit namun berbeda nyata dengan perlakuan waktu 55 menit dan 70 menit. Berkurangnya kecerahan produk hasil penggorengan ini disebabkan oleh reaksi pencokelatan non-enzimatis. Menurut Paramita (1999), Interaksi antara gugus amina primer atau gugus amino dari protein dengan karbonil (gula pereduksi) menjadi melanoidin (warna cokelat) dapat dipercepat prosesnya oleh panas. Nilai a menunjukkan kemerahan atau kehijauan dengan nilai a positif (0 sampai +100) menunjukkan intensitas kemerahan dan nilai a negatif (0 sampai -80) menunjukkan intensitas kehijauan. Nilai a keripik durian berkisar antara (Gambar 19). Nilai tersebut menunjukkan bahwa produk keripik durian cenderung netral (antara hijau dan merah). 31

7 Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 7a) menunjukkan bahwa faktor suhu dan waktu berpengaruh secara nyata (p<0.05) terhadap nilai a keripik durian. Namun interaksi antar faktor suhu dan waktu penggorengan tidak berpengaruh secara nyata (p>0.05) terhadap nilai a keripik durian. Nilai a Waktu Penggorengan (menit) suhu 75 C suhu 80 C suhu 85 C suhu 90 C Gambar 19. Grafik hubungan pengaruh perlakuan penggorengan terhadap nilai a keripik durian Uji lanjut Duncan (Lampiran 7b) memperlihatkan bahwa produk hasil penggorengan pada suhu 75 C menghasilkan produk dengan rata-rata nilai a terkecil dan tidak berbeda nyata dengan produk hasil penggorengan pada suhu 80 C. Sedangkan suhu penggorengan 90 C menghasilkan produk dengan rata-rata nilai a terbesar yang berbeda nyata dengan produk hasil perlakuan suhu 75 C, 80 C, dan 85 C. Sementara itu, uji lanjut Duncan (Lampiran 7c) memperlihatkan bahwa keripik durian hasil penggorengan selama 55 menit menghasilkan produk dengan rata-rata nilai a terkecil dan tidak berbeda nyata dengan produk hasil penggorengan selama 70 menit. Sedangkan produk hasil penggorengan selama 100 menit menghasilkan produk dengan nilai a tertinggi yang tidak berbeda nyata dengan produk yang digoreng selama 85 menit. Nilai b mengukur kekuningan atau kebiruan. Nilai b positif (0 sampai + 70) menunjukkan intensitas warna kekuningan, sedangkan nilai b negatif (0 sampai 70) menunjukkan intensitas warna kebiruan. Nilai b keripik durian berkisar antara yang menunjukkan bahwa intensitas warna kekuningan lebih dominan. Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 8a) menyatakan bahwa faktor suhu dan interaksi antara faktor suhu dan waktu penggorengan berpengaruh secara nyata (p<0.05) terhadap nilai b keripik durian. Sedangkan faktor waktu penggorengan tidak berpengaruh secara nyata (p>0.05) terhadap nilai b keripik durian. Hubungan pengaruh perlakuan penggorengan terhadap nilai b keripik durian disajikan pada Gambar

8 Nilai b Waktu Penggorengan (menit) suhu 75 C suhu 80 C suhu 85 C suhu 90 C Gambar 20. Grafik hubungan pengaruh perlakuan penggorengan terhadap nilai b keripik durian Uji lanjut Duncan (Lampiran 8b) memperlihatkan bahwa produk hasil penggorengan pada suhu 90 C menghasilkan produk dengan rata-rata nilai b terkecil dan tidak berbeda nyata dengan produk hasil penggorengan pada suhu 75 C. Sedangkan suhu penggorengan 85 C menghasilkan produk dengan rata-rata nilai b terbesar yang berbeda nyata dengan produk hasil perlakuan suhu 75 C, 80 C, dan 90 C. Sementara itu, uji lanjut Duncan (Lampiran 8c) memperlihatkan bahwa keripik durian hasil penggorengan 90 C selama 100 menit menghasilkan produk dengan rata-rata nilai b terkecil dan tidak berbeda nyata dengan produk hasil penggorengan 75 C selama 55 menit, 75 C selama 85 menit, 80 C selama 55 menit, 90 C selama 70 menit, dan 90 C selama 85 menit. Sedangkan produk hasil penggorengan pada suhu 85 C selama 85 menit menghasilkan produk dengan nilai b tertinggi yang tidak berbeda nyata dengan produk yang digoreng pada suhu 75 C selama 70 menit, 75 C selama 100 menit, 80 C selama 70 menit, 80 C selama 85 menit, 80 C selama 100 menit, 85 C selama 55 menit, 85 C selama 70 menit, 85 C selama 100 menit dan 90 C selama 55 menit. 6. Uji Organoleptik a. Kerenyahan Nilai rata-rata kesukaan panelis terhadap kerenyahan keripik durian berkisar antara (netral sampai mendekati suka). Hasil pengujian organoleptik terhadap kerenyahan disajikan pada Gambar

9 Nilai rata-rata kerenyahan Kombinasi perlakuan suhu dan waktu penggorengan Keterangan: A1 = suhu 75 C B1 = waktu 55 menit A2 = suhu 80 C B2 = waktu 70 menit A3 = suhu 85 C B3 = waktu 85 menit A4 = suhu 90 C B4 = waktu 100 menit Gambar 21. Grafik hubungan pengaruh perlakuan penggorengan terhadap penerimaan kerenyahan keripik durian Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 15a) menunjukkan bahwa faktor suhu dan interaksi antar faktor suhu dan waktu penggorengan berpengaruh nyata (p<0.05) terhadap kesukaan panelis terhadap kerenyahan keripik durian. Sedangkan faktor waktu tidak mempengaruhi secara nyata (p>0.05) kesukaan panelis terhadap kerenyahan. Uji DMRT (Lampiran 15b) memperlihatkan bahwa produk hasil penggorengan pada suhu 75 C menghasilkan produk dengan rata-rata nilai penerimaan panelis terbesar dan tidak berbeda nyata dengan produk hasil penggorengan pada suhu 85 C. Sedangkan suhu penggorengan 90 C menghasilkan produk dengan rata-rata nilai penerimaan panelis terkecil dan tidak berbeda nyata dengan produk hasil perlakuan suhu 80 C. Sementara itu, uji lanjut Duncan (Lampiran 15c) memperlihatkan bahwa keripik durian hasil penggorengan 80 C selama 100 menit menghasilkan produk dengan rata-rata nilai penerimaan panelis tertinggi dan tidak berbeda nyata dengan produk hasil penggorengan 75 C selama 55 menit, 75 C selama 70 menit, 75 C selama 85 menit, 75 C selama 100 menit, 80 C selama 70 menit, 80 C selama 85 menit, 85 C selama 55 menit, 85 C selama 70 menit, 85 C selama 85 menit, 85 C selama 100 menit, dan 90 C selama 100 menit. Sedangkan produk hasil penggorengan pada suhu 80 C selama 55 menit menghasilkan produk dengan nilai penerimaan panelis terendah dan tidak berbeda nyata dengan produk yang digoreng pada suhu 75 C selama 70 menit, 75 C selama 100 menit, 80 C selama 55 menit, 80 C selama 85 menit, 85 C selama 70 menit, 85 C selama 100 menit, 90 C selama 55 menit, 90 C selama 70 menit, 90 C selama 85 menit dan 90 C selama 100 menit. Gambar 21 menunjukkan bahwa penerimaan panelis terhadap kerenyahan produk hampir sama untuk setiap perlakuan. Tidak ada korelasi antara penerimaan panelis terhadap kerenyahan dengan kandungan kadar air keripik durian. Kemungkinan hal ini terjadi karena masing-masing panelis memiliki selera tersendiri dalam menilai kerenyahan suatu produk. 34

10 Apabila dilihat hubungannya dengan nilai kadar air, keripik durian yang paling disukai panelis adalah keripik durian dengan kadar air 6.52% basis basah, sedangkan yang tidak disukai adalah keripik durian dengan kadar air 7.67% basis basah. b. Rasa Nilai uji organoleptik rata-rata terhadap rasa keripik durian berkisar antara (agak tidak suka sampai suka). Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 16a) menunjukkan bahwa faktor suhu dan interaksi antara suhu dan waktu penggorengan berpengaruh nyata (p<0.05) terhadap penerimaan rasa keripik durian. Sedangkan faktor waktu tidak mempengaruhi secara nyata (p>0.05) kesukaan panelis terhadap rasa keripik durian. Hasil pengujian organoleptik terhadap rasa disajikan pada Gambar 22. Nilai rata-rata rasa Kombinasi perlakuan suhu dan waktu penggorengan Keterangan: A1 = suhu 75 C B1 = waktu 55 menit A2 = suhu 80 C B2 = waktu 70 menit A3 = suhu 85 C B3 = waktu 85 menit A4 = suhu 90 C B4 = waktu 100 menit Gambar 22. Grafik hubungan pengaruh perlakuan penggorengan terhadap penerimaan rasa keripik durian Uji DMRT (Lampiran 16b) memperlihatkan bahwa produk hasil penggorengan pada suhu 75 C menghasilkan produk dengan rata-rata nilai penerimaan panelis tertinggi dan berbeda nyata dengan produk hasil penggorengan pada suhu 80 C, 85 C, dan 90 C. Sedangkan suhu penggorengan 90 C menghasilkan produk dengan rata-rata nilai penerimaan panelis terendah dan berbeda nyata dengan produk hasil perlakuan suhu 75 C, 80 C, dan 85 C. Sementara itu, uji lanjut Duncan (Lampiran 16c) memperlihatkan bahwa keripik durian hasil penggorengan 75 C selama 85 menit menghasilkan produk dengan rata-rata nilai penerimaan panelis tertinggi dan tidak berbeda nyata dengan produk hasil penggorengan 75 C selama 55 menit, 75 C selama 70 menit, 80 C selama 100 menit, 85 C selama 85 menit, dan 85 C selama 100 menit. Sedangkan produk hasil penggorengan pada suhu 90 C selama 85 menit menghasilkan produk dengan nilai penerimaan panelis terendah dan tidak berbeda nyata dengan produk yang digoreng pada suhu 80 C selama 55 menit, 80 C selama 70 menit, 90 C selama 70 menit, dan 90 C selama 100 menit. 35

11 Dapat dilihat bahwa keripik durian hasil penggorengan pada suhu 90 C memiliki nilai rata-rata penerimaan panelis terendah, hal ini kemungkinan terjadi akibat adanya penyimpangan rasa yang timbul akibat proses penggorengan pada suhu tinggi. Penyimpangan rasa tersebut dapat berupa timbulnya rasa sedikit pahit akibat produk yang gosong. c. Aroma Nilai rata-rata kesukaan terhadap aroma keripik durian berkisar antara (agak tidak suka sampai agak suka). Grafik hasil pengujian aroma dapat dilihat pada Gambar 23. Nilai rata-rata aroma Kombinasi perlakuan suhu dan waktu penggorengan Keterangan: A1 = suhu 75 C B1 = waktu 55 menit A2 = suhu 80 C B2 = waktu 70 menit A3 = suhu 85 C B3 = waktu 85 menit A4 = suhu 90 C B4 = waktu 100 menit Gambar 23. Grafik hubungan pengaruh perlakuan penggorengan terhadap penerimaan aroma keripik durian Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 17a) menunjukkan bahwa nilai aroma keripik durian dipengaruhi secara nyata (p<0.05) oleh faktor suhu dan interaksi antara faktor suhu dan waktu penggorengan. Sedangkan faktor waktu tidak mempengaruhi secara nyata (p>0.05) kesukaan panelis terhadap aroma keripik durian. Uji DMRT (Lampiran 17b) memperlihatkan bahwa produk hasil penggorengan pada suhu 75 C menghasilkan produk dengan rata-rata nilai penerimaan panelis tertinggi dan berbeda nyata dengan produk hasil penggorengan pada suhu 80 C, 85 C, dan 90 C. Sedangkan suhu penggorengan 90 C menghasilkan produk dengan rata-rata nilai penerimaan panelis terendah dan berbeda nyata dengan produk hasil perlakuan suhu 75 C, 80 C, dan 85 C. Sementara itu, uji lanjut Duncan (Lampiran 17c) memperlihatkan bahwa keripik durian hasil penggorengan 75 C selama 85 menit menghasilkan produk dengan rata-rata nilai penerimaan panelis tertinggi dan tidak berbeda nyata dengan produk hasil penggorengan 75 C selama 55 menit, 75 C selama 70 menit, 80 C selama 100 menit, 85 C selama 70 menit, 85 C selama 100 menit, dan 90 C selama 55 menit. Sedangkan produk hasil 36

12 penggorengan pada suhu 90 C selama 85 menit menghasilkan produk dengan nilai penerimaan panelis terendah dan tidak berbeda nyata dengan produk yang digoreng pada suhu 80 C selama 55 menit, 85 C selama 55 menit, 90 C selama 70 menit, dan 90 C selama 100 menit. Semakin tinggi suhu dan semakin lama waktu penggorengan relatif menurunkan penerimaan panelis terhadap aroma keripik durian. Hal ini disebabkan pada suhu tinggi dan waktu penggorengan yang lama mengakibatkan produk agak berbau menyimpang seperti bau gosong. d. Warna Warna bagi sebagian produk pangan merupakan atribut mutu yang penting. Meskipun warna tidak mencerminkan nilai gizi atau nilai fungsional, namun warna berhubungan dengan preferensi konsumen terhadap produk yang dihasilkan (Paramita,1999). Nilai ratarata kesukaan panelis terhadap warna keripik durian berkisar antara (agak tidak suka sampai agak suka). Hasil pengujian warna keripik durian secara subyektif dapat dilihat pada Gambar 24. Nilai rata-rata warna Kombinasi perlakuan suhu dan waktu penggorengan Keterangan: A1 = suhu 75 C B1 = waktu 55 menit A2 = suhu 80 C B2 = waktu 70 menit A3 = suhu 85 C B3 = waktu 85 menit A4 = suhu 90 C B4 = waktu 100 menit Gambar 24. Grafik hubungan pengaruh perlakuan penggorengan terhadap penerimaan warna keripik durian Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 18a) menunjukkan bahwa kesukaan panelis terhadap warna keripik durian dipengaruhi secara nyata (p<0.05) oleh faktor suhu dan interaksi antara faktor suhu dan waktu penggorengan. Sedangkan faktor waktu tidak mempengaruhi secara nyata (p>0.05) kesukaan panelis terhadap warna keripik durian. Penerimaan panelis terhadap komponen warna keripik durian ini berbanding lurus dengan kecerahan (nilai L) yang dihasilkan. Semakin tinggi suhu dan semakin lama waktu penggorengan, maka produk yang dihasilkan akan semakin berkurang nilai kecerahannya. Hal ini terjadi akibat adanya reaksi pencokelatan non enzimatis pada produk yang diolah akibat perlakuan panas yang selama penggorengan berlangsung. 37

13 Uji DMRT (Lampiran 18b) memperlihatkan bahwa produk hasil penggorengan pada suhu 80 C menghasilkan produk dengan rata-rata nilai penerimaan panelis tertinggi dan tidak berbeda nyata dengan produk hasil penggorengan pada suhu 85 C. Sedangkan suhu penggorengan 90 C menghasilkan produk dengan rata-rata nilai penerimaan panelis terendah dan berbeda nyata dengan produk hasil perlakuan suhu 75 C, 80 C, dan 85 C. Sementara itu, uji lanjut Duncan (Lampiran 18c) memperlihatkan bahwa keripik durian hasil penggorengan 90 C selama 55 menit menghasilkan produk dengan rata-rata nilai penerimaan panelis tertinggi dan tidak berbeda nyata dengan produk hasil penggorengan 75 C selama 70 menit, 75 C selama 85 menit, 80 C selama 55 menit, 80 C selama 70 menit, 80 C selama 100 menit, 85 C selama 55 menit, 85 C selama 70 menit, 85 C selama 85 menit, dan 85 C selama 100 menit. Sedangkan produk hasil penggorengan pada suhu 90 C selama 85 menit menghasilkan produk dengan nilai penerimaan panelis terendah dan tidak berbeda nyata dengan produk yang digoreng pada suhu 75 C selama 55 menit, 75 C selama 100 menit, 90 C selama 70 menit, dan 90 C selama 100 menit. Keripik durian hasil penggorengan pada suhu 90 C memiliki nilai penerimaan terendah. Hal ini terjadi kemungkinan akibat proses pemanasan yang terlampau tinggi. Sehingga produk yang dihasilkan berwarna semakin gelap. Untuk produk buah-buahan, kemungkinan panelis lebih menyukai produk keripik buah hasil penggorengan vakum yang memiliki warna buah asli seperti sebelum digoreng. Sehingga ketika warna buah yang dihasilkan menyimpang, maka konsumen akan cenderung kurang menyukai produk dengan penyimpangan warna tersebut. 7. Uji Pembobotan Berdasarkan hasil pengujian organoleptik, perlakuan suhu dan waktu penggorengan yang menghasilkan keripik durian terbaik ditentukan dengan uji pembobotan. Panelis diberi kuesioner mengenai parameter organoleptik keripik yaitu kerenyahan, warna, rasa, dan aroma. Selanjutnya panelis diminta untuk mengurut tiap parameter berdasarkan tingkat kepentingannya. Pengurutannya adalah sebagai berikut: 4 = sangat penting, 3 = penting, 2 = agak penting, dan 1 = tidak penting. Hasil dari kuesioner menunjukkan bahwa panelis cenderung mengurutkan kerenyahan pada urutan pertama (32.20%), rasa pada urutan kedua (29.38%), aroma pada urutan ketiga (20.34%), dan warna pada urutan keempat (18.08%). Selanjutnya nilai rata-rata kesukaan tiap parameter dikalikan dengan bobotnya masing-masing. Hasil perkalian tiap parameter kemudian dijumlahkan untuk mendapatkan skor perlakuan. Perlakuan dengan skor tertinggi adalah yang terbaik (Lampiran 19). Lampiran 19 memperlihatkan bahwa perlakuan pada suhu 75 C selama 85 menit (A1B3) memiliki skor tertinggi. Perlakuan tersebut menghasilkan produk keripik durian terbaik, terutama disebabkan oleh nilai rata-rata kesukaan terhadap kerenyahan dan rasa keripik yang cukup tinggi yaitu 4.67 (mendekati suka). Sedangkan perlakuan yang memiliki skor terendah adalah perlakuan pada suhu 90 C selama 85 menit (A4B3). 38

14 B. PENGARUH JENIS KEMASAN TERHADAP MUTU KERIPIK DURIAN Suhu dan waktu terbaik yang diperoleh dari hasil pembobotan pada tahap pertama digunakan untuk memproduksi keripik durian pada tahap ini. Selanjutnya sebelum dikemas, diamati karakteristik fisikokimia dari keripik durian tersebut sebagai kondisi awal. Karakteristik keripik durian yang diamati meliputi kadar air, kadar asam lemak bebas, warna, dan kekerasan. Gambar 25 menunjukkan produk keripik durian hasil penggorengan vakum. Gambar 25. Keripik durian hasil penggorengan vakum Kadar air keripik durian hasil penggorengan vakum yaitu 7.28% bb. Kadar air keripik durian yang dihasilkan lebih tinggi dari syarat maksimum kadar air beberapa produk keripik buah berdasarkan SNI seperti keripik nangka dan sukun 5% bb, dan keripik pisang 6% bb. Meskipun pada tahap pertama terdapat produk yang memenuhi syarat maksimum kadar air SNI untuk produk keripik buah, namun dari hasil pembobotan tahap pertama perlakuan suhu dan waktu tersebut bukanlah produk dengan nilai pembobotan tertinggi. Salah satu penyebab tingginya kadar air keripik durian yang dihasilkan adalah kualitas minyak goreng yang digunakan sudah tidak begitu baik. Kemungkinan, minyak tersebut sudah mengalami kerusakan akibat akumulasi penggunaan minyak pada kombinasi suhu dan waktu penggorengan vakum yang cenderung meningkat. Kadar asam lemak bebas keripik durian yang digoreng dengan mesin vacuum fryer adalah 1.09%, nilai ini merupakan nilai kadar asam lemak bebas awal produk. Selama penyimpanan, kadar asam lemak bebas produk keripik durian akan diamati hingga 28 hari. Selain itu diamati pula nilai asam lemak ketika terjadi ketengikan. Nilai asam lemak pada saat produk sudah tengik merupakan batas mutu kritis kandungan asam lemak produk keripik durian. Nilai kekerasan awal produk keripik durian yang digoreng vakum adalah 2.40 kg/mm. Kekerasan produk keripik durian terus diamati 7 hari sekali selama 28 hari. Nilai kekerasan yang semakin besar dapat berarti bahwa produk semakin sulit untuk dipatahkan, sebaliknya apabila nilai kekerasan semakin kecil berarti bahwa produk semakin mudah dipatahkan. Nilai kecerahan warna (L) keripik durian hasil penggorengan vakum adalah Nilai L menunjukkan nilai obyektif kecerahan produk yang diamati. Semakin besar nilai L maka produk semakin cerah, sebaliknya semakin kecil nilai L maka produk semakin gelap. Selama penyimpanan, kecerahan keripik wortel diamati 7 hari sekali selama 28 hari. 39

15 1. Penentuan Titik Kritis a. Kadar Air Kritis Kerenyahan suatu produk dipengaruhi oleh kadar air produk tersebut. Penentuan kadar air kritis keripik durian ini dilakukan melalui uji penerimaan panelis terhadap keripik durian yang disimpan. Kadar air kritis keripik durian yang diperoleh adalah 11.05%. Keripik durian yang kadar airnya melebihi 11.05% berarti keripik tersebut sudah tidak diterima lagi oleh konsumen. b. Kerenyahan Kritis Kerenyahan berkaitan dengan kadar air yang dikandung oleh suatu produk pangan. Penentuan titik kritis parameter kerenyahan ini dilakukan menggunakan uji penerimaan panelis. Hasil uji penerimaan panelis menunjukkan bahwa nilai kerenyahan kritis keripik durian adalah 7.88 kg/mm. Keripik durian yang memiliki nilai kerenyahan melebihi 7.88 kg/mm berarti keripik tersebut dikategorikan tidak renyah lagi. c. Kadar Asam Lemak Bebas Kritis Nilai kadar asam lemak bebas kritis keripik durian ditentukan berdasarkan uji penerimaan panelis terhadap keripik durian yang disimpan. Kadar asam lemak bebas yang diperoleh adalah 3.19%. keripik durian yang memiliki nilai kadar asam lemak bebas melebihi nilai tersebut, sudah tidak diterima oleh panelis. 2. Perubahan Mutu Produk Selama Penyimpanan Selama penyimpanan pada berbagai suhu, keripik durian mengalami perubahan mutu seperti penurunan kecerahan, kerenyahan dan timbulnya ketengikan. Menurut Catala dan Gavara (1997), permeabilitas uap air dan oksigen merupakan parameter kritis pada banyak produk awetan. Kadar air pada bahan makanan mempengaruhi stabilitas fisikokimia (perubahan tekstur dan degradasi warna) dan stabilitas mikrobiologi, dan kehadiran oksigen dapat menghasilkan ketengikan, browning enzimatis, dan atau oksidasi vitamin C. Berdasarkan pernyataan tersebut, maka parameter penurunan mutu yang diamati meliputi kadar air, kadar asam lemak bebas, kerenyahan, dan kecerahan warna (nilai L). a. Perubahan kadar air Selama penyimpanan pada berbagai macam suhu dan jenis kemasan, kadar air keripik durian mengalami perubahan. Kadar air pada bahan makanan mempengaruhi stabilitas fisikokimia (perubahan tekstur dan degradasi warna) dan stabilitas mikrobiologi, dan kehadiran oksigen dapat menghasilkan ketengikan, browning enzimatis, dan atau oksidasi vitamin C (Catala dan Gavara, 1997). Perubahan kadar air keripik durian pada berbagai jenis kemasan yang disimpan pada suhu 40 C, 50 C, dan 60 C dapat dilihat pada Lampiran 23. Grafik hubungan antara lama penyimpanan dengan kadar air dapat dilihat pada Gambar 26, 27, dan

16 kadar air (%) penyimpanan (hari) suhu 40 C suhu 50 C suhu 60 C Gambar 26. Grafik hubungan antara lama penyimpanan (hari) dengan kadar air (%) keripik durian dalam kemasan aluminium foil 70 µm pada suhu 40 C, 50 C, dan 60 C kadar air (%) penyimpanan (hari) suhu 40 C suhu 50 C suhu 60 C Gambar 27. Grafik hubungan antara lama penyimpanan (hari) dengan kadar air (%) keripik durian dalam kemasan PP 80 µm pada suhu 40 C, 50 C, dan 60 C kadar air (%) penyimpanan (hari) suhu 40 C suhu 50 C suhu 60 C Gambar 28. Grafik hubungan antara lama penyimpanan (hari) dengan kadar air (%) keripik durian dalam kemasan HDPE 25 µm pada suhu 40 C, 50 C, dan 60 C 41

17 Dari Gambar 26, 27, dan 28 terlihat bahwa kadar air cenderung mengalami kenaikan selama penyimpanan. Kenaikan kadar air ini dipengaruhi oleh suhu dan kelembaban relatif pada ruang penyimpanan. Ruang penyimpanan dengan kelembaban relatif tinggi akan menyebabkan bahan pangan menyerap sejumlah air dari lingkungan untuk mencapai keseimbangan. Akibatnya kadar air pada bahan akan meningkat. Ruang penyimpanan dengan suhu 40 C memiliki kelembaban relatif paling tinggi diantara suhu lainnya, hal ini cenderung membuat kadar air keripik durian yang disimpan dalam kemasan aluminium foil, PP, dan HDPE pada suhu 40 C lebih tinggi dibandingkan keripik durian yang disimpan pada suhu 50 C dan 60 C. Selain faktor suhu dan kelembaban relatif ruang penyimpanan, transmisivitas uap air (WVTR) kemasan juga menjadi faktor lain yang mengakibatkan naiknya kadar air pada bahan dalam kemasan tersebut. Selama penyimpanan, terjadi kenaikan kadar air keripik durian yang berbeda pada masing-masing kemasan. Grafik hubungan antara lama penyimpanan (hari) dengan kadar air (%) pada masing-masing suhu penyimpanan untuk ketiga jenis kemasan dapat dilihat pada Gambar 29, 30, dan 31. kadar air (%) penyimpanan (hari) alufo pp hdpe Gambar 29. Grafik antara lama penyimpanan (hari) dengan kadar air (%) pada suhu 40 C untuk tiga jenis kemasan kadar air (%) penyimpanan (hari) alufo pp hdpe Gambar 30. Grafik antara lama penyimpanan (hari) dengan kadar air (%) pada suhu 50 C untuk tiga jenis kemasan 42

18 kadar air (%) penyimpanan (hari) alufo pp hdpe Gambar 31. Grafik antara lama penyimpanan (hari) dengan kadar air (%) pada suhu 60 C untuk tiga jenis kemasan Dari ketiga gambar diatas dapat dilihat bahwa kadar air keripik durian pada kemasan aluminium foil cenderung selalu berada di bawah kadar air keripik durian yang disimpan dalam kemasan PP dan HDPE. Hal ini terjadi karena aluminium foil memiliki nilai transmisivitas uap air yang lebih rendah dibandingkan PP dan HDPE. Laju peningkatan kadar air yang rendah pada keripik durian dalam kemasan aluminium foil menunjukkan bahwa kemasan ini memiliki kemampuan untuk menahan lebih besar jumlah uap air yang akan masuk ke dalam kemasan. Semakin sedikit uap air yang dapat menembus ke dalam kemasan, maka produk yang tersimpan di dalamnya akan terlindungi dan tahan lama. Kemasan PP dan HDPE memiliki nilai transmisivitas uap air yang lebih tinggi daripada kemasan aluminium foil, sehingga kemampuan menahan uap air yang masuk ke dalam kemasan lebih rendah. Akibatnya, produk yang tersimpan di dalamnya menjadi kurang awet. Kadar air produk yang disimpan pada kemasan PP cenderung selalu lebih tinggi daripada kadar air produk dalam kemasan HDPE. Hal ini terjadi karena kemasan PP yang digunakan memiliki nilai transmisivitas uap air yang lebih tinggi dibanding kemasan HDPE. b. Perubahan kerenyahan Perubahan kerenyahan merupakan salah satu perubahan fisik yang terjadi selama penyimpanan. Kerenyahan suatu produk selama penyimpanan dipengaruhi oleh suhu dan kelembaban relatif ruang penyimpanan. Kerenyahan suatu produk biasanya diukur menggunakan alat pengukur kekerasan. Semakin besar nilai kekerasan suatu produk, artinya produk tersebut semakin tidak renyah. Sebaliknya, semakin rendah nilai kekerasan suatu produk, artinya produk tersebut semakin renyah. Kerenyahan suatu produk berkaitan dengan peningkatan kadar air selama penyimpanan. Semakin banyak uap air yang terserap ke dalam bahan pangan menyebabkan semakin berkurangnya nilai kerenyahan. Perubahan kekerasan keripik durian dalam kemasan aluminium foil, PP, dan HDPE selama penyimpanan pada suhu 40 C, 50 C, dan 60 C dapat dilihat pada Lampiran 24. Grafik hubungan antara lama penyimpanan dengan kekerasan dapat dilihat pada Gambar 32, 33, dan

19 kekerasan (kg/mm) penyimpanan (hari) suhu 40 C suhu 50 C suhu 60 C Gambar 32. Grafik hubungan antara lama penyimpanan (hari) dengan kekerasan (kg/mm) keripik durian dalam kemasan aluminium foil 70 µm pada suhu 40 C, 50 C, dan 60 C 6.00 kekerasan (kg/mm) penyimpanan (hari) suhu 40 C suhu 50 C suhu 60 C Gambar 33. Grafik hubungan antara lama penyimpanan (hari) dengan kekerasan (kg/mm) keripik durian dalam kemasan PP 80 µm pada suhu 40 C, 50 C, dan 60 C 6.00 kekerasan (kg/mm) penyimpanan (hari) suhu 40 C suhu 50 C suhu 60 C Gambar 34. Grafik hubungan antara lama penyimpanan (hari) dengan kekerasan (kg/mm) keripik durian dalam kemasan HDPE 25 µm pada suhu 40 C, 50 C, dan 60 C 44

20 Kerenyahan merupakan sifat tekstur yang sanagt penting untuk makanan ringan yang digoreng (fried snack foods), dan apabila kerenyahan ini hilang terutama disebabkan oleh penyerapan kelembaban menjadikan produk makanan ringan ini ditolak oleh konsumen (Robertson, 1993). Hubungan antara lama penyimpanan dengan kekerasan pada masingmasing suhu penyimpanan untuk ketiga jenis kemasan dapat dilihat pada Gambar 35, 36, dan kekerasan (kg/mm) penyimpanan (hari) alufo pp hdpe Gambar 35. Grafik antara lama penyimpanan (hari) dengan kekerasan (%) pada suhu 40 C untuk tiga jenis kemasan 6.00 kekerasan (kg/mm) penyimpanan (hari) alufo pp hdpe Gambar 36. Grafik antara lama penyimpanan (hari) dengan kerenyahan (%) pada suhu 50 C untuk tiga jenis kemasan 45

21 kekerasan (kg/mm) penyimpanan (hari) alufo pp hdpe Gambar 37. Grafik antara lama penyimpanan (hari) dengan kerenyahan (%) pada suhu 60 C untuk tiga jenis kemasan Dari Gambar 35, 36, dan 37 dapat dilihat bahwa pada kemasan aluminium foil pada suhu 40 C, keripik durian memiliki nilai kekerasan yang lebih rendah dibanding keripik durian pada kemasan PP dan HDPE. Namun pada suhu 50 C dan 60 C, nilai kekerasannya cenderung lebih tinggi daripada nilai kekerasan keripik durian dalam kemasan PP dan HDPE. Hal ini kemungkinan terjadi akibat aluminium foil merupakan kemasan berbahan utama logam aluminium yang mampu menghantarkan panas. Akibatnya pada suhu lingkungan penyimpanan yang tinggi, kemasan aluminium foil akan dengan cepat menghantarkan panas dari luar kemasan ke dalam kemasan. Hal ini mengakibatkan pelunakan pada keripik durian akibat adanya perlakuan panas yang tinggi. Sementara pada kemasan PP dan HDPE, bahan penyusunnya berupa plastik yang bersifat isolator, sehingga panas yang berasal dari lingkungan akan dengan sangat lambat diteruskan ke dalam kemasan, sehingga kenaikan suhu di dalam kemasan cenderung lebih kecil. c. Perubahan kadar asam lemak bebas Selama penyimpanan terjadi perubahan berupa kerusakan lemak yang mengakibatkan terjadinya ketengikan. Ketengikan timbul akibat adanya komponen cita rasa dan bau yang mudah menguap yang terbentuk akibat kerusakan oksidatif dari lemak dan minyak yang tak jenuh. Komponen-komponen ini menyebabkan bau dan cita rasa yang tidak diinginkan dalam lemak dan minyak dan produk-produk yang mengandung lemak dan minyak tersebut (Buckle, 1988). Perubahan kadar asam lemak keripik durian pada berbagai jenis kemasan yang disimpan pada suhu 40 C, 50 C, dan 60 dapat dilihat pada Lampiran 25. Grafik hubungan antara lama penyimpanan dengan kadar asam lemak bebas dapat dilihat pada Gambar 38, 39, dan

22 kadar asam lemak bebas (%) suhu 40 C suhu 50 C suhu 60 C penyimpanan (hari) Gambar 38. Grafik hubungan antara lama penyimpanan (hari) dengan kadar asam lemak bebas (%) keripik durian dalam kemasan aluminium foil 70 µm pada suhu 40 C, 50 C, dan 60 C kadar asam lemak bebas (%) suhu 40 C suhu 50 C suhu 60 C penyimpanan (hari) Gambar 39. Grafik hubungan antara lama penyimpanan (hari) dengan kadar asam lemak bebas (%) keripik durian dalam kemasan PP 80 µm pada suhu 40 C, 50 C, dan 60 C kadar asam lemak bebas (%) suhu 40 C suhu 50 C suhu 60 C penyimpanan (hari) Gambar 40. Grafik hubungan antara lama penyimpanan (hari) dengan kadar asam lemak bebas (%) keripik durian dalam kemasan HDPE 25 µm pada suhu 40 C, 50 C, dan 60 C 47

23 Dari Gambar 38, 39, dan 40 terlihat bahwa kadar asam lemak bebas mengalami peningkatan selama penyimpanan. Peningkatan kadar asam lemak pada keripik durian ini ditandai juga dengan peristiwa off-flavor berupa bau tengik pada produk yang dikemas. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi ketengikan ini adalah suhu, cahaya, tersedianya oksigen, dan adanya logam-logam yang bersifat sebagai katalisator pada proses oksidasi. Hubungan antara lama penyimpanan dengan kadar asam lemak bebas keripik durian dalam kemasan aluminium foil, PP, dan HDPE dapat dilihat pada Gambar 41, 42, dan 43. kadar asam lemak bebas (%) alufo pp hdpe penyimpanan (hari) Gambar 41. Grafik antara lama penyimpanan (hari) dengan kadar asam lemak bebas (%) pada suhu 40 C untuk tiga jenis kemasan kadar asam lemak bebas (%) alufo pp hdpe penyimpanan (hari) Gambar 42. Grafik antara lama penyimpanan (hari) dengan kadar asam lemak bebas (%) pada suhu 50 C untuk tiga jenis kemasan 48

24 kadar asam lemak bebas (%) alufo pp hdpe penyimpanan (hari) Gambar 43. Grafik antara lama penyimpanan (hari) dengan kadar asam lemak bebas (%) pada suhu 60 C untuk tiga jenis kemasan Pada Gambar 41, 42, dan 43 menunjukkan bahwa laju peningkatan kadar asam lemak bebas keripik durian pada kemasan aluminium foil lebih rendah dibandingkan dengan kemasan PP dan HDPE. Hal ini disebabkan kemasan aluminium foil lebih mampu menahan masuknya gas dan uap air sehingga ketengikan yang disebabkan reaksi oksidasi dan hidrolisis dapat diminimalkan. Ketengikan oleh oksidasi adalah ketengikan yang terjadi karena proses oksidasi oleh oksigen udara terhadap asam lemak tidak jenuh dalam lemak. Sedangkan ketengikan oleh proses hidrolisa adalah kerusakan yang terjadi pada minyak atau lemak karena terdapatnya sejumlah air dalam minyak atau lemak tersebut. Ketengikan oleh oksidasi berkaitan dengan kemampuan bahan kemasan melewatkan gas, khususnya oksigen, atau biasa disebut transmisivitas oksigen (O 2 TR). Nilai O 2 TR kemasan aluminium foil lebih rendah dibanding kemasan PP dan HDPE. Sedangkan ketengikan oleh proses hidrolisis berkaitan dengan kemampuan bahan kemasan melewatkan uap air, biasa disebut transmisivitas uap air (WVTR). Nilai WVTR kemasan aluminium foil pun lebih rendah dibanding kemasan PP dan HDPE. Akibatnya produk yang disimpan dalam kemasan aluminium foil akan lebih lama mengalami ketengikan dibandingkan produk yang disimpan dalam kemasan PP dan HDPE. d. Perubahan kecerahan warna (nilai L) Perubahan kecerahan warna pada keripik durian dalam kemasan aluminium foil, PP, dan HDPE yang disimpan pada suhu 40 C, 50 C, dan 60 C dapat dilihat pada Lampiran 26. Grafik antara lama penyimpanan dengan tingkat kecerahan (L) dapat dilihat pada Gambar 44, 45, dan

25 Kecerahan (nilai L) penyimpanan (hari) suhu 40 C suhu 50 C suhu 60 C Gambar 44. Grafik hubungan antara lama penyimpanan (hari) dengan kecerahan (nilai L) keripik durian dalam kemasan aluminium foil 70 µm pada suhu 40 C, 50 C, dan 60 C Kecerahan (nilai L) penyimpanan (hari) suhu 40 C suhu 50 C suhu 60 C Gambar 45. Grafik hubungan antara lama penyimpanan (hari) dengan kecerahan (nilai L) keripik durian dalam kemasan PP 80 µm pada suhu 40 C, 50 C, dan 60 C Kecerahan (nilai L) penyimpanan (hari) suhu 40 C suhu 50 C suhu 60 C Gambar 46. Grafik hubungan antara lama penyimpanan (hari) dengan kecerahan (nilai L) keripik durian dalam kemasan HDPE 25 µm pada suhu 40 C, 50 C, dan 60 C 50

26 Selama penyimpanan terjadi kecenderungan penurunan kecerahan (nilai L) pada keripik durian. Pada Gambar 44, 45, dan 46 menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu penyimpanan maka nilai L akan semakin rendah atau dengan kata lain kecerahannya semakin menurun. Peristiwa ini terjadi diduga akibat adanya reaksi pencokelatan nonenzimatis yang terjadi karena suhu yang tinggi. Pada Gambar 47, 48, dan 49 dapat dilihat bahwa keripik durian yang dikemas dalam aluminium foil pada suhu 50 C memiliki nilai kecerahan yang lebih rendah dari keripik durian dalam kemasan HDPE. Sedangkan pada suhu 60 C cenderung lebih rendah daripada keripik durian dalam kemasan PP dan HDPE. Hal ini kemungkinan terjadi akibat kemasan aluminium foil yang berbahan dasar logam bersifat sebagai penghantar panas yang baik, akibatnya kenaikan suhu dalam kemasan akan lebih cepat. Kondisi ini menyebabkan produk mengalami reaksi pencokelatan non-enzimatis akibat perlakuan suhu yang tinggi. Kecerahan (nilai L) penyimpanan (hari) alufo pp hdpe Gambar 47. Grafik antara lama penyimpanan (hari) dengan kecerahan (nilai L) pada suhu 40 C untuk tiga jenis kemasan Kecerahan (nilai L) penyimpanan (hari) alufo pp hdpe Gambar 48. Grafik antara lama penyimpanan (hari) dengan kecerahan (nilai L) pada suhu 50 C untuk tiga jenis kemasan 51

27 Kecerahan (nilai L) penyimpanan (hari) alufo pp hdpe Gambar 49. Grafik antara lama penyimpanan (hari) dengan kerenyahan (nilai L) pada suhu 60 C untuk tiga jenis kemasan 3. Uji Organoleptik Selama Penyimpanan Uji kesukaan atau uji hedonik merupakan salah satu jenis uji penerimaan. Keripik durian yang digunakan pada uji kesukaan merupakan produk yang disimpan dalam beberapa kombinasi perlakuan jenis kemasan (aluminium foil, PP, dan HDPE) dan suhu penyimpanan (40 C, 50 C, dan 60 C). Uji hedonik bertujuan untuk mengetahui respon panelis terhadap sifat mutu seperti: warna, aroma, kerenyahan, dan rasa. Tingkat skala hedonik yang digunakan adalah 5 skala, yaitu 1 = tidak suka, 2 = agak tidak suka, 3 = netral, 4 = agak suka, dan 5 = suka. Batas kritis parameter organoleptik yang digunakan adalah 2 (agak tidak suka). Merujuk pada Kusnandar (2001) dalam Latifah (2010) yang menyatakan bahwa batas agak tidak suka merupakan batas awal produk mulai tidak diterima oleh konsumen. a. Rasa Penerimaan terhadap rasa dideteksi dengan indera pengecap. Penilaian organoleptik terhadap rasa berkaitan erat dengan penurunan mutu produk keripik durian, yaitu kenaikan kadar asam lemak bebas.. Selain itu, perubahan pada produk akibat perlakuan panas juga menjadi penyebab munculnya penyimpangan rasa selama penyimpanan. Perubahan penerimaan terhadap rasa keripik wortel dapat dilihat pada Gambar 50. Data hasil uji kesukaan terhadap rasa dapat dilihat pada Lampiran 28, 29, dan

28 Skor Penerimaan terhadap Rasa AL 40 AL 50 AL 60 PP 40 PP 50 PP 60 PE 40 PE 50 Hari PE 60 Keterangan: AL : Aluminium foil 40 : Suhu penyimpanan 40 C PP : PP 50 : Suhu penyimpanan 50 C PE : HDPE 60 : Suhu penyimpanan 60 C Gambar 50. Diagram penerimaan panelis terhadap rasa selama penyimpanan b. Aroma Penilaian terhadap aroma berkaitan erat dengan kemunculan bau yang menyimpang dari produk keripik durian yang disimpan. Bau yang timbul berupa bau tengik dari produk keripik durian akibat teroksidasinya sejumlah minyak/ lemak pada produk tersebut. Hal ini ditandai dengan naiknya kadar asam lemak bebas pada keripik durian selama penyimpanan. Data hasil uji kesukaan panelis terhadap aroma dapat dilihat pada Lampiran 28, 29, dan 30. Diagram skor penerimaan panelis terhadap aroma keripik durian disajikan pada Gambar 51. Skor Penerimaan terhadap Aroma AL 40 AL 50 AL 60 PP 40 PP 50 PP 60 PE 40 PE 50 Hari PE 60 Keterangan: AL : Aluminium foil 40 : Suhu penyimpanan 40 C PP : PP 50 : Suhu penyimpanan 50 C PE : HDPE 60 : Suhu penyimpanan 60 C Gambar 51. Diagram penerimaan panelis terhadap aroma selama penyimpanan 53

29 Dari gambar di atas terlihat bahwa, produk yang disimpan pada suhu penyimpanan 40 C relatif lebih tinggi nilai penerimaannya dibanding produk yang disimpan pada suhu 50 C dan 60 C. Pada suhu 60 C, skor penerimaan panelis terhadap aroma disetiap pengamatan untuk keripik durian yang dikemas menggunakan PP dan HDPE cenderung lebih tinggi dari produk yang dikemas menggunakan aluminium foil. c. Kerenyahan Kerenyahan merupakan sifat tekstur yang sanagt penting untuk makanan ringan yang digoreng (fried snack foods), dan apabila kerenyahan ini hilang terutama disebabkan oleh penyerapan kelembaban menjadikan produk makanan ringan ini ditolak oleh konsumen (Robertson, 1993). Data hasil uji kesukaan panelis terhadap kerenyahan dapat dilihat pada Lampiran 28, 29, dan 30. Diagram skor penerimaan panelis terhadap kerenyahan keripik durian disajikan pada Gambar 52. Skor Penerimaan terhadap Kerenyahan AL 40 AL 50 AL 60 PP 40 PP 50 PP 60 PE 40 PE 50 Hari PE 60 Keterangan: AL : Aluminium foil 40 : Suhu penyimpanan 40 C PP : PP 50 : Suhu penyimpanan 50 C PE : HDPE 60 : Suhu penyimpanan 60 C Gambar 52. Diagram penerimaan panelis terhadap kerenyahan selama penyimpanan Secara umum, skor peneriman panelis terhadap kerenyahan pada produk yang dikemas menggunakan PP dan HDPE cenderung selalu lebih tinggi daripada produk keripik yang dikemas dalam aluminium foil. d. Warna Perubahan warna secara subyektif dapat diketahui melalui uji organoleptik. Data hasil uji kesukaan panelis terhadap warna dapat dilihat pada Lampiran 28, 29, dan 30. Diagram skor penerimaan panelis terhadap warna disajikan pada Gambar

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN A. Bahan dan Alat Keripik wortel sebagai bahan yang digunakan dalam penelitian ini merupakan hasil produksi sendiri yang dilakukan di laboratorium proses Balai Besar Industri

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. TEMPAT DAN WAKTU Proses penggorengan keripik durian dengan mesin penggorengan vakum dilakukan di UKM Mekar Sari di Dusun Boleleu No. 18 Desa Sido Makmur Kecamatan Sipora Utara

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 18 HASIL DAN PEMBAHASAN Perubahan Mutu Organoleptik Biskuit Selama Penyimpanan Uji kesukaan dan mutu hedonik merupakan salah satu cara untuk uji sensori suatu produk. Uji kesukaan dan mutu hedonik dilakukan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENGARUH SUHU DAN LAMA PENGGORENGAN HAMPA TERHADAP MUTU DAN ORGANOLEPTIK KERIPIK IKAN LEMURU Penelitian tahap satu ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh suhu dan lama penggorengan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. batok sabut kelapa (lunggabongo). Sebelum dilakukan pengasapan terlebih dahulu

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. batok sabut kelapa (lunggabongo). Sebelum dilakukan pengasapan terlebih dahulu BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Ikan tongkol (Euthynnus affinis) segar diperoleh dari TPI (Tempat Pelelangan Ikan) kota Gorontalo. Bahan bakar yang digunakan dalam pengasapan ikan adalah batok sabut kelapa

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN Penelitian dilakukan di Desa Sido Makmur, Kec. Sipora Utara, Kab. Kep.Mentawai untuk proses penggorengan keripik ikan lemuru. Dan dilanjutkan dengan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Permen Jelly Pepaya Karakteristik permen jelly pepaya diketahui dengan melakukan analisis proksimat dan uji mikrobiologis terhadap produk permen jelly pepaya.

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2011-Februari 2012. Proses penggorengan hampa keripik ikan tongkol dilakukan di UKM Mekar Sari,

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1. Karakteristik teh hijau No Parameter SNI Menurut Nasution dan Tjiptadi (1975) 1 Keadaan - Rasa

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1. Karakteristik teh hijau No Parameter SNI Menurut Nasution dan Tjiptadi (1975) 1 Keadaan - Rasa IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISASI PRODUK Karakteristik produk diketahui dengan melakukan analisis proksimat terhadap produk teh hijau. Analisis proksimat yang dilakukan adalah kadar air, kadar

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Cabai Merah (Capsicum annuum L.) Karakteristik awal cabai merah (Capsicum annuum L.) diketahui dengan melakukan analisis proksimat, yaitu kadar air, kadar vitamin

Lebih terperinci

ABSTRAK. Keripik pisang merupakan makanan ringan yang mudah mengalami ketengikan. Salah

ABSTRAK. Keripik pisang merupakan makanan ringan yang mudah mengalami ketengikan. Salah 1 KAJIAN LAMA SIMPAN KERIPIK PISANG KEPOK PUTIH (Musa acuminate sp.) BERDASARKAN TINGKAT AROMA, RASA DAN KERENYAHAN ORGANOLEPTIK DALAM BERBAGAI JENIS KEMASAN DENGAN MODEL PENDEKATAN ARRHENIUS Citra Ratri

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Sifat Fisik Alumunium Fil Pengujian sifat fisik dilakukan terhadap bahan kemasan alumunium fil dengan tiga ketebalan yang berbeda, yaitu 50µm, 80µm, dan 100µm. Pengujian ini

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penelitian Pendahuluan Pengamatan suhu alat pengering dilakukan empat kali dalam satu hari selama tiga hari dan pada pengamatan ini alat pengering belum berisi ikan (Gambar

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Cassava stick adalah singkong goreng yang memiliki bentuk menyerupai french fries. Cassava stick tidak hanya menyerupai bentuk french fries saja, namun juga memiliki karakteristik

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Hasil Uji Pembedaan Segitiga Ikan Teri (Stolephorus sp.) Kering

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Hasil Uji Pembedaan Segitiga Ikan Teri (Stolephorus sp.) Kering BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Uji Pembedaan Segitiga Ikan Teri (Stolephorus sp.) Kering Uji pembedaan segitiga dilakukan untuk melihat perbedaan ikan teri hasil perlakuan dengan ikan teri komersial.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Nilai Rendemen Kerupuk Kulit Kelinci dengan Berbagai Konsentrasi Garam

HASIL DAN PEMBAHASAN. Nilai Rendemen Kerupuk Kulit Kelinci dengan Berbagai Konsentrasi Garam 44 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pengaruh Konsentrasi Garam Terhadap Rendemen Kerupuk Kulit Kelinci Hasil penelitian pengaruh konsentrasi garam terhadap rendemen kerupuk kulit kelinci tercantum pada Tabel

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

BAB I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, (7) Tempat dan Waktu Penelitian. BAB I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan Total Fenolat Senyawa fenolat merupakan metabolit sekunder yang banyak ditemukan pada tumbuh-tumbuhan, termasuk pada rempah-rempah. Kandungan total fenolat dendeng sapi yang

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Jenis makanan basah ataupun kering memiliki perbedaan dalam hal umur simpan

1. PENDAHULUAN. Jenis makanan basah ataupun kering memiliki perbedaan dalam hal umur simpan 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Parameter sensori sangat penting pada tahap penelitian dan pengembangan produk pangan baru. Produk baru yang dihasilkan harus memiliki penanganan yang tepat agar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Bab ini menjelaskan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi

I. PENDAHULUAN. Bab ini menjelaskan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi I. PENDAHULUAN Bab ini menjelaskan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dantempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di UKM Mekar Sari di Dusun Boleleu No. 18 Desa Sidomakmur Kecamatan Sipora Utara Kabupaten Kepulauan Mentawai. Sementara

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. mengunakan ikan nike sebanyak 3 kg, fluktuasi suhu yang diperoleh pada ruang pengering antara

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. mengunakan ikan nike sebanyak 3 kg, fluktuasi suhu yang diperoleh pada ruang pengering antara BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penelitian Pendahuluan Berdasarkanpenelitian pendahuluan, suhu yang diperoleh dalam alat pengeringan tanpa ikan berfluktuasi antara 35 º C - 41 º C selama 1 jam. Selanjutnya

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian. I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian dan (7)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berjalan berdampingan. Kedua proses ini menjadi penting karena dapat

BAB I PENDAHULUAN. berjalan berdampingan. Kedua proses ini menjadi penting karena dapat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan dan perkembangan merupakan dua proses yang berjalan berdampingan. Kedua proses ini menjadi penting karena dapat mempengaruhi seseorang di saat mereka dewasa.

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Perubahan Konsentrasi O dan CO dalam Kemasan mempunyai densitas antara.915 hingga.939 g/cm 3 dan sebesar,9 g/cm 3, dimana densitas berpengaruh terhadap laju pertukaran udara

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan meliputi pembuatan tepung jerami nangka, analisis sifat fisik dan kimia tepung jerami nangka, serta pembuatan dan formulasi cookies dari

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISTIK PRODUK Karakteristik produk diketahui dengan melakukan analisis proksimat dan uji mikrobial terhadap produk kopi instan formula. Analisis proksimat yang dilakukan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Proses Pengolahan Bumbu Pasta Ayam Goreng Proses pengolahan bumbu pasta ayam goreng meliputi tahapan sortasi, penggilingan, penumisan, dan pengentalan serta pengemasan. Sortasi

Lebih terperinci

PENGARUH JENIS KEMASAN DAN LAMA PENYIMPANAN TEHADAP SIFAT KIMIA, MIKROBIOLOGI, DAN ORGANOLEPTIK PERMEN KARAMEL SUSU KAMBING. (Laporan Penelitian) Oleh

PENGARUH JENIS KEMASAN DAN LAMA PENYIMPANAN TEHADAP SIFAT KIMIA, MIKROBIOLOGI, DAN ORGANOLEPTIK PERMEN KARAMEL SUSU KAMBING. (Laporan Penelitian) Oleh PENGARUH JENIS KEMASAN DAN LAMA PENYIMPANAN TEHADAP SIFAT KIMIA, MIKROBIOLOGI, DAN ORGANOLEPTIK PERMEN KARAMEL SUSU KAMBING (Laporan Penelitian) Oleh PUTRI CYNTIA DEWI JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PETANIAN

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN 17 METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian (TPPHP) Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, Fateta-IPB.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Proses Pengolahan Kerupuk Jagung 4.1.1 Pencampuran Adonan Proses pencampuran adonan ada dua kali yaitu dengan cara manual (tangan) dan kedua dengan menggunakan mixer. Langkah

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Perubahan Parameter Fisik dan Organoleptik Pada Perlakuan Blansir 1. Susut Bobot Hasil pengukuran menunjukkan bahwa selama penyimpanan 8 hari, bobot rajangan selada mengalami

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Uji Organoleptik Yoghurt Sapi Dan Yoghurt Kambing

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Uji Organoleptik Yoghurt Sapi Dan Yoghurt Kambing Tingkat Kesukaam (Warna) BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Uji Organoleptik Yoghurt Sapi Dan Yoghurt Kambing 4.1.1. Warna Warna merupakan salah satu parameter fisik suatu bahan pangan yang penting. Kesukaan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Organoleptik Bakso Ikan Nila Merah Uji organoleptik mutu sensorik yang dilakukan terhadap bakso ikan nila merah yang dikemas dalam komposisi gas yang berbeda selama

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Rendemen merupakan suatu parameter yang penting untuk mengetahui nilai

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Rendemen merupakan suatu parameter yang penting untuk mengetahui nilai BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Tepung Tulang Ikan Tuna 4.1.1 Rendemen Rendemen merupakan suatu parameter yang penting untuk mengetahui nilai ekonomis dan efektivitas suatu produk atau bahan. Perhitungan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 31 HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Keju Lunak Rendah Lemak Karakterisasi keju lunak rendah lemak dilakukan sesuai dengan parameter atribut mutu yang diamati selama masa penyimpanan. Untuk satu produk,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. yang optimum untuk gum arabika dan tapioka yang kemudian umur simpannya akan

HASIL DAN PEMBAHASAN. yang optimum untuk gum arabika dan tapioka yang kemudian umur simpannya akan IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakterisasi Enkapsulasi Minyak Cengkeh Penelitian pendahuluan dilakukan untuk menentukan perbandingan konsentrasi yang optimum untuk gum arabika dan tapioka yang kemudian

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Formulasi Tepung Bumbu Ayam Goreng Pada proses pengolahan tepung bumbu ayam goreng, formula dasar diperoleh dari hasil survei dari internet dan buku yang kemudian dimodifikasi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5. Rataan Nilai Warna (L, a, b dan HUE) Dendeng Sapi dengan Metode Perlakuan Curing yang Berbeda

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5. Rataan Nilai Warna (L, a, b dan HUE) Dendeng Sapi dengan Metode Perlakuan Curing yang Berbeda HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Warna Dendeng Sapi Warna merupakan salah satu indikator fisik yang dapat mempengaruhi konsumen terhadap penerimaan suatu produk. Derajat warna menunjukkan tingkat warna

Lebih terperinci

Tekstur biasanya digunakan untuk menilai kualitas baik tidaknya produk cookies.

Tekstur biasanya digunakan untuk menilai kualitas baik tidaknya produk cookies. Force (Gf) V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.2 Tekstur Tekstur merupakan parameter yang sangat penting pada produk cookies. Tekstur biasanya digunakan untuk menilai kualitas baik tidaknya produk cookies. Tekstur

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 DESAIN ALAT CETAK PUFFED Desain yang dihasilkan untuk membuat alat cetak puffred agar mampu menghasilkan produk akhir yang tidak bergelombang dan flat dari hasil perhitungan

Lebih terperinci

PAPER BIOKIMIA PANGAN

PAPER BIOKIMIA PANGAN PAPER BIOKIMIA PANGAN BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ilmu kimia terkait erat dengan kehidupan manusia sehari-hari. Mulai dari urusan sandang dan pangan, bahan bakar, obat-obatan sampai bahan konstruksi

Lebih terperinci

molekul kasein yang bermuatan berbeda. Kondisi ph yang asam menyebabkan kalsium dari kasein akan memisahkan diri sehingga terjadi muatan ion dalam sus

molekul kasein yang bermuatan berbeda. Kondisi ph yang asam menyebabkan kalsium dari kasein akan memisahkan diri sehingga terjadi muatan ion dalam sus Populasi Kultur Starter HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Pendahuluan Perhitungan populasi dilakukan untuk mendapatkan kultur starter yang terbaik dari segi jumlah maupun kualitasnya. Pada tahap pendahulan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kabupaten Lampung Barat merupakan salah satu kabupaten penghasil sayuran

I. PENDAHULUAN. Kabupaten Lampung Barat merupakan salah satu kabupaten penghasil sayuran 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Kabupaten Lampung Barat merupakan salah satu kabupaten penghasil sayuran terbesar di Provinsi Lampung. Terdapat 4 kecamatan yang merupakan penghasil sayuran

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kadar Air dan Aktivitas Air

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kadar Air dan Aktivitas Air HASIL DAN PEMBAHASAN Kadar Air dan Aktivitas Air Kadar air dendeng hasil penelitian adalah 19,33%-23,82% dengan rataan 21,49±1,17%. Aktivitas air dendeng hasil penelitian sebesar 0,53-0,84 dengan nilai

Lebih terperinci

rv. HASIL DAN PEMBAHASAN

rv. HASIL DAN PEMBAHASAN rv. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kadar Air Rata-rata kadar air kukis sagu MOCAL dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Hasil uji lanjut DNMRT terhadap kadar air kukis (%) SMO (Tepung sagu 100%, MOCAL 0%) 0,331"

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pembuatan Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) Asap. Pengolahan ikan tongkol (Euthynnus affinis) asap diawali dengan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pembuatan Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) Asap. Pengolahan ikan tongkol (Euthynnus affinis) asap diawali dengan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pembuatan Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) Asap Pengolahan ikan tongkol (Euthynnus affinis) asap diawali dengan melakukan preparasi ikan. Selanjutnya diberi perlakuan penggaraman

Lebih terperinci

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. OPTIMASI FORMULA 1. Penentuan Titik Maksimum Tahap awal dalam penelitian ini adalah penentuan titik maksimum substitusi tepung jagung dan tepung ubi jalar. Titik maksimum

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENENTUAN LAJU RESPIRASI DENGAN PERLAKUAN PERSENTASE GLUKOMANAN

HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENENTUAN LAJU RESPIRASI DENGAN PERLAKUAN PERSENTASE GLUKOMANAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENENTUAN LAJU RESPIRASI DENGAN PERLAKUAN PERSENTASE GLUKOMANAN Proses respirasi sangat mempengaruhi penyimpanan dari buah melon yang terolah minimal, beberapa senyawa penting

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENGUKURAN LAJU RESPIRASI Setelah dipanen ternyata sayuran, buah-buahan, dan umbi-umbian masih mengalami proses respirasi oleh karena itu sayuran, buah-buahan dan umbiumbian

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. kriteria yaitu warna, kenampakan, tekstur, rasa, dan aroma. Adapun hasil

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. kriteria yaitu warna, kenampakan, tekstur, rasa, dan aroma. Adapun hasil Nilai Organoleptik BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Organoleptik Ikan Tongkol Asap Uji organoleptik/mutu hedonik ikan tongkol asap dinilai berdasarkan pada kriteria yaitu warna, kenampakan, tekstur,

Lebih terperinci

Karakteristik mutu daging

Karakteristik mutu daging Karakteristik mutu daging Oleh: Elvira Syamsir (Tulisan asli dalam Kulinologi Indonesia edisi Maret 2011) Mutu merupakan gabungan atribut produk yang dinilai secara organoleptik dan digunakan konsumen

Lebih terperinci

MODUL 4 PRESTO IKAN. Standar Unit Kompetensi: Setelah mempelajari materi ini, mahasiswa mampu membuat presto ikan yang bercita rasa enak.

MODUL 4 PRESTO IKAN. Standar Unit Kompetensi: Setelah mempelajari materi ini, mahasiswa mampu membuat presto ikan yang bercita rasa enak. MODUL 4 PRESTO IKAN Standar Unit Kompetensi: Setelah mempelajari materi ini, mahasiswa mampu membuat presto ikan yang bercita rasa enak. Indikator Keberhasilan: Mutu presto ikan yang dihasilkan utuh, bersih,

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Tepung Tulang Ikan Rendemen tepung tulang ikan yang dihasilkan sebesar 8,85% dari tulang ikan. Tepung tulang ikan patin (Pangasius hypopthalmus) yang dihasilkan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. PENELITIAN PENDAHULUAN Penelitian pendahuluan diawali dengan melakukan uji terhadap buah salak segar Padangsidimpuan. Buah disortir untuk memperoleh buah dengan kualitas paling

Lebih terperinci

5.1 Total Bakteri Probiotik

5.1 Total Bakteri Probiotik V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Total Bakteri Probiotik Berdasarkan hasil pengamatan (Lampiran 3) menunjukkan bahwa perlakuan penambahan bakteri L. acidophilus pada perbandingan tepung bonggol pisang batu

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian Tahap Pertama. Tabel 6. Komposisi Kimia TDTLA Pedaging

HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian Tahap Pertama. Tabel 6. Komposisi Kimia TDTLA Pedaging TDTLA Pedaging HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Tahap Pertama Penelitian tahap pertama adalah pembuatan tepung daging-tulang leher ayam yang dilakukan sebanyak satu kali proses pembuatan pada waktu yang

Lebih terperinci

PENENTUAN KADALUWARSA PRODUK PANGAN

PENENTUAN KADALUWARSA PRODUK PANGAN PENENTUAN KADALUWARSA PRODUK PANGAN HANDOUT MATA KULIAH : REGULASI PANGAN (KI 531) OLEH : SUSIWI S JURUSAN PENDIDIKAN KIMIA F P M I P A UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA 2009 Handout PENENTUAN KADALUWARSA

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengemasan Buah Nanas Pada penelitian ini dilakukan simulasi transportasi yang setara dengan jarak tempuh dari pengumpul besar ke pasar. Sebelum dilakukan simulasi transportasi,

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Perbandingan Tepung Tapioka : Tepung Terigu :

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Perbandingan Tepung Tapioka : Tepung Terigu : 28 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Analisis Sensoris Pengujian sensoris untuk menentukan formulasi terbaik kerupuk goring dengan berbagai formulasi penambahan tepung pisang kepok kuning dilakukan dengan cara

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Lampung dan Laboratorium Teknologi

III. METODE PENELITIAN. Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Lampung dan Laboratorium Teknologi III. METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan Biomassa, Laboratorium Analisis Hasil Pertanian di Jurusan Teknologi Hasil

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Jenang adalah salah satu hasil olahan dari tepung ketan. Selain tepung ketan, dalam pembuatan jenang diperlukan bahan tambahan berupa gula merah dan santan kelapa. Kedua bahan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dalam rangka pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Minyak goreng berfungsi

I. PENDAHULUAN. dalam rangka pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Minyak goreng berfungsi I. PENDAHULUAN Minyak goreng adalah salah satu kebutuhan pokok masyarakat Indonesia dalam rangka pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Minyak goreng berfungsi sebagai medium penghantar panas, menambah rasa

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Ikan Tongkol Ikan tongkol adalah jenis ikan pelagis yang merupakan salah satu komoditas utama ekspor Indonesia. Akan tetapi akibat pengelolaan yang kurang baik di beberapa perairan

Lebih terperinci

HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. Hasil sidik ragam pada lampiran 3a, bahwa pemberian KMnO 4 berpengaruh terhadap

HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. Hasil sidik ragam pada lampiran 3a, bahwa pemberian KMnO 4 berpengaruh terhadap IV. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Pengaruh Konsentrasi KMnO 4 Terhadap Susut Berat Hasil sidik ragam pada lampiran 3a, bahwa pemberian KMnO 4 berpengaruh terhadap susut berat cabai merah berbeda nyata

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan Laboratorium Analisis Hasil Pertanian, Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas

Lebih terperinci

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. pengkukusan kacang hijau dalam pembuatan noga kacang hijau.

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. pengkukusan kacang hijau dalam pembuatan noga kacang hijau. IV HASIL DAN PEMBAHASAN Bab ini akan menjelaskan mengenai : (4.1) Penelitian Pendahuluan, dan (4.2) Penelitian Utama. 4.1. Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan bertujuan untuk menentukan lama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan manusia. Dalam kehidupan keseharian manusia tidak bisa lepas

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan manusia. Dalam kehidupan keseharian manusia tidak bisa lepas BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Dalam kehidupan keseharian manusia tidak bisa lepas dari pangan. Oleh karena

Lebih terperinci

PENGARUH PENGGUNAAN PEWARNA ALAMI, WAKTU PENGUKUSAN DAN SUHU TERHADAP PEMBUATAN SNACK MIE KERING RAINBOW

PENGARUH PENGGUNAAN PEWARNA ALAMI, WAKTU PENGUKUSAN DAN SUHU TERHADAP PEMBUATAN SNACK MIE KERING RAINBOW JURNAL TEKNOLOGI AGRO-INDUSTRI Vol. 3 No.1 ; Juni 2016 ISSN 2407-4624 PENGARUH PENGGUNAAN PEWARNA ALAMI, WAKTU PENGUKUSAN DAN SUHU TERHADAP PEMBUATAN SNACK MIE KERING RAINBOW *RIZKI AMALIA 1, HAMDAN AULI

Lebih terperinci

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG V. HASIL DAN PEMBAHASAN.1 Analisis Kimia.1.1 Kadar Air Hasil analisis regresi dan korelasi (Lampiran 3) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang sangat erat antara jumlah dekstrin yang ditambahkan pada

Lebih terperinci

MUTU ORGANOLEPTIK DAN KIMIAWI STIK RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii DENGAN FORTIFIKASI TEPUNG UDANG REBON (Mysis sp.) ARTIKEL JURNAL OLEH

MUTU ORGANOLEPTIK DAN KIMIAWI STIK RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii DENGAN FORTIFIKASI TEPUNG UDANG REBON (Mysis sp.) ARTIKEL JURNAL OLEH MUTU ORGANOLEPTIK DAN KIMIAWI STIK RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii DENGAN FORTIFIKASI TEPUNG UDANG REBON (Mysis sp.) ARTIKEL JURNAL OLEH WINAWANTI S. AMRULLAH NIM. 632 410 030 UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN MBAHASAN A. SUSUT BOBOT Perubahan susut bobot seledri diukur dengan menimbang bobot seledri setiap hari. Berdasarkan hasil pengukuran selama penyimpanan, ternyata susut bobot seledri mengalami

Lebih terperinci

Uji Pembedaan Ikan Teri Kering pada Lama Pengeringan Berbeda dengan Ikan Teri Komersial dari Desa Tolotio Kabupaten Bone Bolango Provinsi Gorontalo

Uji Pembedaan Ikan Teri Kering pada Lama Pengeringan Berbeda dengan Ikan Teri Komersial dari Desa Tolotio Kabupaten Bone Bolango Provinsi Gorontalo Uji Pembedaan Ikan Teri Kering pada Lama Pengeringan Berbeda dengan Ikan Teri Komersial dari Desa Tolotio Kabupaten Bone Bolango Provinsi Gorontalo 1.2 Rimin Lasimpala, 2 Asri Silvana aiu 2 Lukman Mile

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian (TPPHP), Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, Fakultas Teknologi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Karakteristik Fisik Sosis Sapi

HASIL DAN PEMBAHASAN. Karakteristik Fisik Sosis Sapi HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Fisik Sosis Sapi Nilai ph Sosis Sapi Substrat antimikroba yang diambil dari bakteri asam laktat dapat menghasilkan senyawa amonia, hidrogen peroksida, asam organik (Jack

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. WARNA KULIT BUAH Selama penyimpanan buah pisang cavendish mengalami perubahan warna kulit. Pada awal pengamatan, buah berwarna hijau kekuningan dominan hijau, kemudian berubah

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENGERINGAN BEKATUL Proses pengeringan bekatul dilakukan dengan pengering rak karena cocok untuk bahan padat, suhu udara dapat dikontrol, dan terdapat sirkulator udara. Kipas

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Untuk mengetahui mutu kerupuk ikan Selais (Crytopterus bicirhis) hasil

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Untuk mengetahui mutu kerupuk ikan Selais (Crytopterus bicirhis) hasil IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Untuk mengetahui mutu kerupuk ikan Selais (Crytopterus bicirhis) hasil Fortifikasi dengan penambahan Jamur Tiram Putih (Pleurotus Ostreatus) selama penyimpanan, dilakukan analisa

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Wortel Wortel (Daucus carota L.) merupakan tumbuhan yang biasanya ditanam setiap satu tahun sekali atau setiap dua kali setahun, terutama di daerah pegunungan yang memiliki suhu

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Marshmallow merupakan salah satu produk aerated confectionary yang dalam pembuatannya ada pemerangkapan udara sehingga menghasilkan tekstur yang lembut dan ringan. Marshmallow

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Perubahan Ion Leakage Ion merupakan muatan larutan baik berupa atom maupun molekul dan dengan reaksi transfer elektron sesuai dengan bilangan oksidasinya menghasilkan ion.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penyangraian bahan bakunya (tepung beras) terlebih dahulu, dituangkan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penyangraian bahan bakunya (tepung beras) terlebih dahulu, dituangkan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Proses Pengolahan Cookies Tepung Beras 4.1.1 Penyangraian Penyangraian bahan bakunya (tepung beras) terlebih dahulu, dituangkan pada wajan dan disangrai menggunakan kompor,

Lebih terperinci

PENDUGAAN UMUR SIMPAN KERIPIK WORTEL DALAM KEMASAN POLIPROPILEN. Oleh : IFAH LATIFAH F

PENDUGAAN UMUR SIMPAN KERIPIK WORTEL DALAM KEMASAN POLIPROPILEN. Oleh : IFAH LATIFAH F PENDUGAAN UMUR SIMPAN KERIPIK WORTEL DALAM KEMASAN POLIPROPILEN Oleh : IFAH LATIFAH F14052971 DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010 i Ifah Latifah. F14052971.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Perubahan Kandungan β-karoten dan Aktivitas Vitamin A Selama Penyimpanan Metode pertanian mempengaruhi komposisi kandungan gizi pada produk buah dan sayuran segar (Worthington 2001),

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Buah-buahan merupakan komoditas pertanian yang banyak dibudidayakan di Indonesia. Buah-buahan banyak mengandung vitamin, mineral, dan serat yang bermanfaat bagi tubuh.

Lebih terperinci

Pengeringan Untuk Pengawetan

Pengeringan Untuk Pengawetan TBM ke-6 Pengeringan Untuk Pengawetan Pengeringan adalah suatu cara untuk mengeluarkan atau mengilangkan sebagian air dari suatu bahan dengan menguapkan sebagian besar air yang di kandung melalui penggunaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kabupaten Kendal terkenal dengan sentra pertanian, salah satunya adalah

BAB I PENDAHULUAN. Kabupaten Kendal terkenal dengan sentra pertanian, salah satunya adalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kabupaten Kendal terkenal dengan sentra pertanian, salah satunya adalah budidaya jambu biji. Jambu biji jenis getas merah (Psidium guajava Linn) merupakan jenis jambu

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Pemanfaatan tepung beras ketan hitam secara langsung pada flake dapat menimbulkan rasa berpati (starchy). Hal tersebut menyebabkan perlunya perlakuan pendahuluan, yaitu pregelatinisasi

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pembuatan yang dibuat pada riset ini dibuat dari kitosan dengan penambahan ekstrak bawang putih sebagai bahan aktif. Kitosan dilarutkan dengan menggunakan asam asetat 1% sedangkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Minyak Goreng 1. Pengertian Minyak Goreng Minyak goreng adalah minyak yang berasal dari lemak tumbuhan atau hewan yang dimurnikan dan berbentuk cair dalam suhu kamar dan biasanya

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Bawang merah (Allium ascalonicum L.) adalah jenis tanaman sayur umbi

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Bawang merah (Allium ascalonicum L.) adalah jenis tanaman sayur umbi I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Penelitian, (6) Hipotesis Penelitian

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Penentuan perbandingan berat jamur merang dengan dry ice dan lama pembekuan Jumlah dry ice yang digunakan dalam proses pembekuan berpengaruh terhadap laju pembekuan. Semakin

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. permen soba alga laut Kappaphycus alvarezii disajikan pada Tabel 6.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. permen soba alga laut Kappaphycus alvarezii disajikan pada Tabel 6. 4.1 Angka Lempeng Total (ALT) BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Angka lempeng total mikroba yang diperoleh dari hasil pengujian terhadap permen soba alga laut Kappaphycus alvarezii disajikan pada Tabel 6. Tabel

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Kadar Air (%) Tempe Dengan Penambahan Tepung Belut dan Variasi Konsentrasi Usar Tempe

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Kadar Air (%) Tempe Dengan Penambahan Tepung Belut dan Variasi Konsentrasi Usar Tempe 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kadar Air (%) Tempe Dengan Penambahan Tepung Belut dan Variasi Purata kadar air (% ± SE) tempe dengan penambahan tepung belut dan variasi usar tempe berkisar antara 60,37 ±

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kualitas Telur

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kualitas Telur Kedalaman Kantung Udara HASIL DAN PEMBAHASAN Kualitas Telur Pembesaran kantung udara telur ayam ras dengan pengolesan minyak kelapa dapat ditekan sampai umur simpan 35 hari (Tabel 6). Kedalaman kantung

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil sidik ragam kadar protein kecap manis air kelapa menunjukkan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil sidik ragam kadar protein kecap manis air kelapa menunjukkan IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. L Kadar Protein Hasil sidik ragam kadar protein kecap manis air kelapa menunjukkan bahwa penambahan gula aren dengan formulasi yang berbeda dalam pembuatan kecap manis air kelapa

Lebih terperinci

OPTIMASI KECUKUPAN PANAS PADA PASTEURISASI SANTAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP MUTU SANTAN YANG DIHASILKAN

OPTIMASI KECUKUPAN PANAS PADA PASTEURISASI SANTAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP MUTU SANTAN YANG DIHASILKAN OPTIMASI KECUKUPAN PANAS PADA PASTEURISASI SANTAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP MUTU SANTAN YANG DIHASILKAN Oleh : Ermi Sukasih, Sulusi Prabawati, dan Tatang Hidayat RESUME Santan adalah emulsi minyak dalam

Lebih terperinci

Pengalengan buah dan sayur. Kuliah ITP

Pengalengan buah dan sayur. Kuliah ITP Pengalengan buah dan sayur Kuliah ITP Kompetensi Mahasiswa memahami teknologi pengalengan atau pembotolan sederhana dan mutakhir, prinsip dan perubahan yang terjadi serta dampak pengalengan atau pembotolan

Lebih terperinci

PENGERINGAN PENDAHULUAN PRINSIP DAN TUJUAN PENGOLAHAN SECARA PENGERINGAN FAKTOR-FAKTOR PENGERINGAN PERLAKUAN SEBELUM DAN SETELAH PENGERINGAN

PENGERINGAN PENDAHULUAN PRINSIP DAN TUJUAN PENGOLAHAN SECARA PENGERINGAN FAKTOR-FAKTOR PENGERINGAN PERLAKUAN SEBELUM DAN SETELAH PENGERINGAN PENGERINGAN PENDAHULUAN PRINSIP DAN TUJUAN PENGOLAHAN SECARA PENGERINGAN FAKTOR-FAKTOR PENGERINGAN PERLAKUAN SEBELUM DAN SETELAH PENGERINGAN EFEK PENGERINGAN TERHADAP PANGAN HASIL TERNAK PERLAKUAN SEBELUM

Lebih terperinci

Gambar 1. Wortel segar

Gambar 1. Wortel segar II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tanaman Wortel Wortel (Daucus carota) adalah tumbuhan sayur yang ditanam sepanjang tahun, terutama di daerah pegunungan yang memiliki suhu udara dingin dan lembab, kurang lebih

Lebih terperinci