DASAR SINUSOIDAL SEBAGAI REFLEKTOR GELOMBANG

dokumen-dokumen yang mirip
Bab 4 DINDING SINUSOIDAL SEBAGAI REFLEKTOR GELOMBANG

Persamaan SWE Linier untuk Dasar Sinusoidal

DASAR LAUT SINUSOIDAL SEBAGAI REFLEKTOR GELOMBANG

1 BAB 4 ANALISIS DAN BAHASAN

Bab 2 LANDASAN TEORI. 2.1 Penurunan Persamaan Air Dangkal

Reflektor Gelombang 1 balok

PEMECAH GELOMBANG BERUPA SERANGKAIAN BALOK

Bab 2 TEORI DASAR. 2.1 Linearisasi Persamaan Air Dangkal

Bab 4 Diskretisasi Numerik dan Simulasi Berbagai Kasus Pantai

RESONANSI BRAGG PADA ALIRAN AIR AKIBAT DINDING SINUSOIDAL DI SEKITAR MUARA SUNGAI

Reflektor Gelombang Berupa Serangkaian Balok

Bab 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Bab 2. Landasan Teori. 2.1 Persamaan Air Dangkal Linier (Linier Shallow Water Equation)

Bab 1. Pendahuluan. 1.1 Latar Belakang Masalah

Bab 2. Landasan Teori. 2.1 Persamaan Air Dangkal (SWE)

BAB 3 PERAMBATAN GELOMBANG MONOKROMATIK

BAB IV SIMULASI NUMERIK

BAB II KAJIAN TEORI. homogen yang dikenal sebagai persamaan forced Korteweg de Vries (fkdv). Persamaan fkdv yang dikaji dalam makalah ini adalah

BAB V PERAMBATAN GELOMBANG OPTIK PADA MEDIUM NONLINIER KERR

BAB II PENGANTAR SOLUSI PERSOALAN FISIKA MENURUT PENDEKATAN ANALITIK DAN NUMERIK

Catatan Kuliah FI1101 Fisika Dasar IA Pekan #8: Osilasi

BAB III PEMBAHASAN. dengan menggunakan penyelesaian analitik dan penyelesaian numerikdengan. motode beda hingga. Berikut ini penjelasan lebih lanjut.

Bab 3 MODEL DAN ANALISIS MATEMATIKA

Gelombang FIS 3 A. PENDAHULUAN C. GELOMBANG BERJALAN B. ISTILAH GELOMBANG. θ = 2π ( t T + x λ ) Δφ = x GELOMBANG. materi78.co.nr

BAB 4 BAB 3 HASIL DAN PEMBAHASAN METODE PENELITIAN. 3.2 Peralatan

I. PENDAHULUAN. dan kotoran manusia atau kotoran binatang. Semua polutan tersebut masuk. ke dalam sungai dan langsung tercampur dengan air sungai.

Gambar 1. Bentuk sebuah tali yang direnggangkan (a) pada t = 0 (b) pada x=vt.

3.11 Menganalisis besaran-besaran fisis gelombang stasioner dan gelombang berjalan pada berbagai kasus nyata. Persamaan Gelombang.

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN. analitik dengan metode variabel terpisah. Selanjutnya penyelesaian analitik dari

GETARAN DAN GELOMBANG

Teori Dasar Gelombang Gravitasi

MATERI PERKULIAHAN. Gambar 1. Potensial tangga

PEMBAHASAN. (29) Dalam (Grosen 1992), kondisi kinematik (19) dan kondisi dinamik (20) dapat dinyatakan dalam sistem Hamiltonian berikut : = (30)

Pengantar Metode Perturbasi Bab 1. Pendahuluan

Gelombang Stasioner Gelombang Stasioner Atau Gelombang Diam. gelombang stasioner. (

GETARAN DAN GELOMBANG

FUNGSI DAN GRAFIK FUNGSI

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Pengantar Gelombang Nonlinier 1. Ekspansi Asimtotik. Mahdhivan Syafwan Jurusan Matematika FMIPA Universitas Andalas

Pengantar Metode Perturbasi Bab 4. Ekspansi Asimtotik pada Persamaan Diferensial Biasa

Mata Kuliah GELOMBANG OPTIK TOPIK I OSILASI. andhysetiawan

Powered By Upload By - Vj Afive -

1 BAB 1 PENDAHULUAN. tegak lurus permukaan air laut yang membentuk kurva atau grafik sinusodial.

BAB II KAJIAN TEORI. pada penulisan bab III. Materi yang diuraikan berisi tentang definisi, teorema, dan

Fisika Dasar I (FI-321)

BAB I PENDAHULUAN. terbagi dalam berberapa tingkatan, gelombang pada atmosfir yang berotasi

Persamaan Di erensial Orde-2

II LANDASAN TEORI. dengan, 1,2,3,, menyatakan koefisien deret pangkat dan menyatakan titik pusatnya.

1. Jarak dua rapatan yang berdekatan pada gelombang longitudinal sebesar 40m. Jika periodenya 2 sekon, tentukan cepat rambat gelombang itu.

BAB II LANDASAN TEORI

PD Orde 2 Lecture 3. Rudy Dikairono

DERET FOURIER DAN APLIKASINYA DALAM FISIKA

TEOREMA SISA 1. Nilai Sukubanyak Tugas 1

Soal-Jawab Fisika Teori OSN 2013 Bandung, 4 September 2013

BAB 5 TEOREMA SISA. Menggunakan aturan sukubanyak dalam penyelesaian masalah. Kompetensi Dasar

Ringkasan Kalkulus 2, Untuk dipakai di ITB 1. Integral Lipat Dua Atas Daerah Persegipanjang

Refleksi dan Transmisi

BAB I DASAR-DASAR PEMODELAN MATEMATIKA DENGAN PERSAMAAN DIFERENSIAL

Persamaan dan Pertidaksamaan Linear

Pertemuan Ke 2 SISTEM PERSAMAAN LINEAR (SPL) By SUTOYO,ST.,MT

BAB GEJALA GELOMBANG I. SOAL PILIHAN GANDA. C. 7,5 m D. 15 m E. 30 m. 01. Persamaan antara getaran dan gelombang

BAB 2 PDB Linier Order Satu 2

III PEMBAHASAN. 3.1 Analisis Metode. dan (2.52) masing-masing merupakan penyelesaian dari persamaan

Catatan Kuliah MA1123 Kalkulus Elementer I

II LANDASAN TEORI. Besaran merupakan frekuensi sudut, merupakan amplitudo, merupakan konstanta fase, dan, merupakan konstanta sembarang.

BAB II KAJIAN TEORI. syarat batas, deret fourier, metode separasi variabel, deret taylor dan metode beda

perpindahan, kita peroleh persamaan differensial berikut :

matematika PEMINATAN Kelas X SISTEM PERTIDAKSAMAAN LINEAR DAN KUADRAT K13 A. Pertidaksamaan Linear B. Daerah Pertidaksamaan Linear

LIMIT KED. Perhatikan fungsi di bawah ini:

GERAK HARMONIK. Pembahasan Persamaan Gerak. untuk Osilator Harmonik Sederhana

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV DERET FOURIER

Gejala Gelombang. gejala gelombang. Sumber:

GERAK HARMONIK SEDERHANA

Fisika I. Gelombang Mekanik 01:26:19. Mampu menentukan besaran-besaran gelombang yaitu amplitudo,

SISTEM BILANGAN RIIL DAN FUNGSI

DASAR LAUT SINUSOIDAL DAN DINDING SUNGAI SINUSOIDAL SEBAGAI REFLEKTOR GELOMBANG

HAND OUT FISIKA DASAR 2/GELOMBANG : Gelombang Tali, Gelombang berdiri, superposisi

PROPOSAL TUGAS AKHIR PENGARUH JUMLAH SUKU FOURIER PADA PENDEKATAN POLAR UNTUK SISTEM GEOMETRI KARTESIAN OLEH : IRMA ISLAMIYAH

INTERFERENSI GELOMBANG

Fungsi dan Limit Fungsi 23. Contoh 5. lim. Buktikan, jika c > 0, maka

KALKULUS BAB II FUNGSI, LIMIT, DAN KEKONTINUAN. DEPARTEMEN TEKNIK KIMIA Universitas Indonesia

λ = = 1.grafik simpangan waktu dan grafik simpangan-posisi ditunjukan pada gambar dibawah ini.

III PEMBAHASAN. Berdasarkan persamaan (2.15) dan persamaan (2.16), fungsi kontinu dan masing-masing sebagai berikut : dan = 3

I. Sistem Persamaan Diferensial Linier Orde 1 (Review)

PERSAMAAN SCHRÖDINGER TAK BERGANTUNG WAKTU DAN APLIKASINYA PADA SISTEM POTENSIAL 1 D

BAB 4 ANALISIS DAN BAHASAN

PENYELESAIAN PERSAMAAN DIFFERENSIAL ORDE 1 - I

BAB III KONDUKSI ALIRAN STEDI - DIMENSI BANYAK

B. LANDASAN TEORI Getaran adalah gerak bolak balik melalui titik keseimbangan. Grafik getaran memiliki persamaan: y= A sin ( ωt +φ o)

PERSAMAAN DIFERENSIAL LINIER NON HOMOGEN

Metode Beda Hingga pada Persamaan Gelombang

DERET FOURIER. n = bilangan asli (1,2,3,4,5,.) L = pertemuan titik. Bilangan-bilangan untuk,,,, disebut koefisien fourier dari f(x) dalam (-L,L)

KELAS XII FISIKA SMA KOLESE LOYOLA SEMARANG SMA KOLESE LOYOLA M1-1

Osilasi Harmonis Sederhana: Beban Massa pada Pegas

Husna Arifah,M.Sc :Ayunan (osilasi) dipakai.resonansi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Perumusan Masalah

METODE BENTUK NORMAL PADA PENYELESAIAN PERSAMAAN DUFFING

PARTIKEL DALAM SUATU KOTAK SATU DIMENSI

Transkripsi:

h Bab 3 DASAR SINUSOIDAL SEBAGAI REFLEKTOR GELOMBANG 3.1 Persamaan Gelombang untuk Dasar Sinusoidal Dasar laut berbentuk sinusoidal adalah salah satu bentuk dasar laut tak rata yang berupa fungsi sinus atau cosinus. Dasar laut berbentuk sinusoidal ini biasanya terdiri dari beberapa gundukan (bar) bahkan ada yang terdiri dari berlusin-lusin bar. Amplitudo dari gundukan dapat mencapai ukuran meter. 0 z x h0 h(x) z = -h0 z = -h(x) Gambar 3.1: Skema lapisan fluida pada dasar laut sinusoidal. Perhatikan Gambar 3.1. Misalkan domain pengamatan pada dasar sinusoidal ini 16

BAB 3. DASAR SINUSOIDAL SEBAGAI REFLEKTOR GELOMBANG 17 adalah {z h(x) z η(x, t)}, dengan h adalah fungsi satu peubah yang merepresentasikan kedalaman air laut dan η adalah fungsi dua peubah yang merepresentasikan simpangan gelombang permukaan air laut dari keadaan setimbang. Fungsi kedalaman air pada dasar laut sinusoidal adalah dengan h 0 h(x) = h 0 (1 + εd cos Kx), (3.1.1) menyatakan kedalaman air laut pada keadaan setimbang atau ketika dasar laut rata, h 0 εd menyatakan amplitudo gundukan dasar sinusoidal, K menyatakan bilangan gelombang dasar sinusoidal, dan ε adalah bilangan yang sangat kecil sekali. Parameter εd adalah parameter tak berdimensi yang menyatakan perbandingan antara amplitudo gundukan dasar sinusoidal dengan kedalaman air laut pada keadaan normal (h 0 ). Persamaan awal yang akan digunakan untuk memodelkan persamaan gelombang air pada dasar sinusoidal adalah persamaan air dangkal (SWE). Persamaan air dangkal yang dilinearkan diberikan oleh η t = (h(x)u), (3.1.2) u η = g t, (3.1.3) dengan h(x) diberikan oleh (3.1.1), η(x, t) menyatakan simpangan permukaan air laut dari keadaan setimbang, u(x, t) menyatakan kecepatan horizontal partikel fluida yang ada di permukaan air laut, dan g adalah konstanta gravitasi bumi. Selanjutnya, dari (3.1.2) dan (3.1.3), u(x, t) dapat dieliminasi untuk mendapatkan 2 η t = g [ h(x) η ]. (3.1.) 2 Perhatikan (3.1.) dengan h(x) diberikan oleh (3.1.2) atau secara eksplisit dapat dituliskan sebagai berikut 1 2 η g t = h 2 0 [ (1 + εd cos Kx) η ]. (3.1.5) Persamaan (3.1.5) merupakan persamaan gelombang satu dimensi pada dasar sinusoidal.

BAB 3. DASAR SINUSOIDAL SEBAGAI REFLEKTOR GELOMBANG 18 3.2 Resonansi Bragg untuk Dasar Sinusoidal Pada bagian ini akan dibahas suatu fenomena yang akan terjadi apabila suatu gelombang datang melewati dasar sinusoidal khususnya dasar sinusoidal yang memiliki bilangan gelombang sebesar dua kali lipat bilangan gelombang permukaan air laut. Perhatikan bahwa jika ε = 0, maka persamaan (3.1.6) merupakan persamaan gelombang satu dimensi yang mempunyai solusi D Alembert. Sedangkan jika ε 0, maka persamaan (3.1.6) mengandung parameter yang memiliki orde sangat kecil sekali yaitu ε sehingga hampiran solusinya dapat diperoleh secara analitis dengan menerapkan metode ekspansi asimtotik. Misalkan ekspansi asimtotik untuk η(x, t) adalah η(x, t) = η 0 (x, t) + εη 1 (x, t) + ε 2 η 2 (x, t) + ε 3 η 3 (x, t) +... (3.2.1) Substitusikan (3.2.1) ke dalam persamaan (3.1.6), maka [ ( )] η0 h 0 (1 + εd cos Kx) + ε η 1 +... = 1 ( ) 2 η 0 g t + η 1 2 ε 2 t +.... (3.2.2) 2 Persamaan (3.1.6) akan dipenuhi oleh η(x, t) seperti pada (3.2.1) jika η 0 (x, t), η 1 (x, t), η 2 (x, t), dan seterusnya secara bersama-sama memenuhi (3.2.2). Suku-suku yang memiliki O(1) pada persamaan (3.2.2) adalah 2 η 0 t 2 η 0 2 c2 = 0, (3.2.3) 2 dengan c = gh 0 = ω k, (3.2.) dimana c menyatakan cepat rambat gelombang, ω menyatakan frekuensi gelombang, dan k menyatakan bilangan gelombang yang datang. Jika kita hanya memperhatikan solusi gelombang monokromatik, maka dapat diperoleh bahwa solusi persamaan (3.2.3) adalah η 0 = A 2 eikx iωt + A 2 e ikx+iωt. (3.2.5)

BAB 3. DASAR SINUSOIDAL SEBAGAI REFLEKTOR GELOMBANG 19 Perhatikan bahwa pada (3.2.5), gelombang monokromatik dituliskan dalam bentuk fungsi kompleks mengingat cos(kx ωt) = 1 2 (ei(kx ωt) + e i(kx ωt) ). Suku-suku yang memiliki O(ε) pada persamaan (3.2.2) adalah 2 η 1 h 0 1 ( 2 η 1 2 g t = h 0D (e ikx + e ikx ) η ) 0, 2 2 dengan η 0 seperti pada (3.2.5) atau secara eksplisit dapat dituliskan sebagai berikut h 0 2 η 1 2 1 g 2 η 1 = h [ ( 0D ika (e ikx + e ikx ) t 2 2 2 eikx iωt + ika )] 2 e ikx+iωt, = h 0D 2 [ ika 2 ei(k+k)x iωt ika 2 ei(k k)x+iωt + ika 2 ei( K+k)x iωt ika ] 2 e i(k+k)x+iωt. (3.2.6) Perhatikan bahwa ruas kanan persamaan (3.2.6) memuat suku-suku e i(k k)x+iωt dan e i( K+k)x+iωt. Jika K = 2k, maka suku-suku tersebut merupakan solusi homogen dari (3.2.6). Hal ini mengindikasikan akan terjadinya resonansi pada solusi η 1. Resonansi ini disebut resonansi Bragg. Selanjutnya, akan ditinjau jika bilangan gelombang dasar laut sinusoidal hampir dua kali lipat bilangan gelombang permukaannya atau dapat ditulis sebagai berikut : K = 2k + δ, (3.2.7) dengan δ suatu bilangan yang kecil (δ k). Untuk mengilustrasikan terjadinya resonansi, akan diamati pengaruh dari satu suku di ruas kanan persamaan (3.2.6) yaitu e i(k k)x+iωt, sehingga h 0 2 η 1 2 1 g 2 η 1 t 2 = Eeiφ 0 e iδx, (3.2.8) dengan E suatu konstanta, φ 0 = kx + ωt, dan δ = K 2k.

BAB 3. DASAR SINUSOIDAL SEBAGAI REFLEKTOR GELOMBANG 20 Persamaan tak homogen (3.2.8) dapat diselesaikan dengan menerapkan metode koefisien tak tentu sehingga solusinya adalah η 1 = Ee iφ 0 h 0 ((k + δ) 2 k 2 ) Ee iφ0 e iδx h 0 ((k + δ) 2 k 2 ), η 1 = Eeiφ 0 (1 e iδx ) h 0 ((k + δ) 2 k 2 ) = Eeiφ0 (1 e iδx ). h 0 δ(2k + δ) Perhatikan bahwa η 1 O( 1) karena pembilang η δ 1 berorde satu, sedangkan penyebutnya berorde δ. Jika δ = O(ε), maka η 1 O( 1) sehingga εη ε 1 = O(1). Ini berarti bahwa suku kedua pada ruas kanan persamaan (3.2.1) memberikan pengaruh yang signfikan terhadap suku pertama di ruas kanan persamaan (3.2.1) yaitu η 0 (x, t) sehingga persamaan (3.2.1) menjadi tidak berlaku lagi. 3.3 Amplitudo Gelombang Transmisi dan Gelombang Refleksi Pada Subbab 3.2 telah diuraikan bahwa jika η 1 O( 1) maka εη ε 1 = O(1). Ini berarti O(η 0 ) = O(εη 1 ). Sedangkan hampiran solusi yang diinginkan adalah apabila suku-suku kedua, ketiga dan seterusnya pada ruas kanan persamaan (3.2.1) memiliki orde yang jauh lebih kecil dari suku-suku sebelumnya, atau dapat dituliskan sebagai berikut : O(η 0 ) >> O(εη 1 ) >> O(ε 2 η 2 ) >>... Oleh karena itu, metode asimtotik biasa tidak dapat diterapkan pada masalah ini sehingga persamaan (3.2.1) menjadi tidak berlaku. Metode yang sesuai untuk menghampiri solusi pada masalah ini adalah metode asimtotik multi skala. Mula-mula akan diperkenalkan variabel cepat dan lambat, yang dapat dituliskan secara berturut-turut sebagai berikut x dan x = εx. (3.3.1)

BAB 3. DASAR SINUSOIDAL SEBAGAI REFLEKTOR GELOMBANG 21 Kita asumsikan bahwa gelombang datang memiliki frekuensi ω + εω, dengan εω merepresentasikan sedikit gangguan pada frekuensi dan memberikan kenaikan yang cukup kecil pada komponen waktu. Oleh karena itu, variabel waktunya adalah t dan t = εt, (3.3.2) sehingga turunan parsialnya menjadi : Selanjutnya, misalkan + ε t t + ε t. (3.3.3) η(x, x; t, t) = η 0 (x, x; t, t) + εη 1 (x, x; t, t) + ε 2 η 2 (x, x; t, t) +... (3.3.) Substitusikan (3.3.3) dan (3.3.) ke (3.1.6) sehingga diperoleh: [ 2 η 0 h 0 + 2ε 2 η 0 2 + η 1 ε 2 +... + ( ( ))] η0 εd cos Kx 2 +... = [ ] 1 2 η 0 g t + η 0 2 2ε 2 t t + η 1 ε 2 t +.... (3.3.5) 2 Suku-suku yang memiliki O(1) pada persamaan (3.3.5) adalah h 0 2 η 0 2 1 g 2 η 0 = 0. (3.3.6) t2 Solusi persamaan (3.3.6) adalah η 0 = A(x, t) e ikx iωt + c.c + 2 B(x, t) e ikx iωt + c.c, (3.3.7) 2 dengan c.c adalah konjugat kompleksnya, A dan B adalah fungsi dua peubah yang bergantung pada x dan t. Perhatikan bahwa A(x,t) 2 dan B(x,t) 2 secara berturut-turut merupakan envelope bagi gelombang yang menjalar ke kanan dan ke kiri. Besar kecilnya amplitudo gelombang yang menjalar ke kanan dan ke kiri secara langsung dapat diperoleh melalui besar kecilnya A(x, t) dan B(x, t).

BAB 3. DASAR SINUSOIDAL SEBAGAI REFLEKTOR GELOMBANG 22 Suku-suku yang memiliki O(ε) pada persamaan (3.3.5) adalah 2 η 0 2h 0 + h 2 η 1 0 + h 0D ( cos Kx η ) 0 = 2 2 η 0 2 g t t + 1 2 η 1 g t, 2 2 η 1 h 0 1 2 η 1 2 g t = 2 2 η 0 2 g t t 2h 2 η 0 0 h 0D [ 1 2 (eikx + e ikx ) η ] 0. (3.3.8) Kemudian, substitusikan K = 2k dan persamaan (3.3.7) ke (3.3.8), lalu sederhanakan sehingga diperoleh h 0 2 η 1 2 1 g 2 η 1 t 2 = 1 g [ A t ( iω)eikx iωt + c.c + B ] t ( iω)e ikx iωt + c. [ A h 0 (ik)eikx iωt + c.c + B ] ( ik)e ikx iωt + c.c h 0D [ (e 2ikx + e 2ikx ) (Aeikx iωt + c.c +Be ikx iωt + c.c) ]. (3.3.9) Suku terakhir pada ruas kanan persamaan (3.3.9) dapat disederhanakan menjadi h 0D (k2 Be ikx iωt + c.c + k 2 Ae ikx iωt + c.c 3k 2 Ae 3ikx iωt + c.c 3k 2 Be 3ikx iωt + c.c). Untuk menghindari resonansi yang tidak terbatas dan untuk menjamin adanya solusi bagi η 1, maka koefisien-koefisien e ±i(kx ωt) dan e ±i(kx+ωt) pada ruas kanan (3.3.9) harus dibuat nol sehingga diperoleh A(x, t) A(x, t) c + t B(x, t) t B(x, t) c = ikcd B(x, t), (3.3.10) = ikcd A(x, t). (3.3.11) Persamaan (3.3.11) dan (3.3.12) menunjukkan bahwa A(x, t) dan B(x, t) saling terkait. Melalui eliminasi dan manipulasi aljabar, persamaan (3.3.11) dan (3.3.12) dapat dituliskan menjadi persamaan-persamaan bagi A(x, t) dan B(x, t) yang saling

BAB 3. DASAR SINUSOIDAL SEBAGAI REFLEKTOR GELOMBANG 23 terpisah. Persamaan yang diperoleh disebut persamaan Klein-Gordon. Persamaan Klein-Gordon untuk amplitudo simpangan gelombang diberikan oleh 2 A(x, t) t 2 c 2 2 A(x, t) 2 + (Ω 0 ) 2 A(x, t) = 0, (3.3.12) dengan Ω 0 kcd yang memiliki dimensi (satuan) frekuensi. = ωd, (3.3.13) 3. Koefisien Transmisi dan Refleksi Untuk Dasar Laut Sinusoidal Perhatikan Gambar 3.2. Bayangkan suatu gelombang monokromatik datang dari sebelah kiri dasar sinusoidal (x < 0) kemudian merambat ke kanan dan melewati dasar sinusoidal yang panjangnya L. Ketika gelombang melewati dasar sinusoidal (0 < x < L), maka pada daerah ini akan terjadi banyak sekali transmisi (perambatan yang searah dengan arah datang gelombang) dan refleksi (pemantulan yaitu perambatan yang berlawanan dengan arah datang gelombang) gelombang. Ketika keluar dari daerah dasar sinusoidal (x > L), gelombang akan terus merambat ke kanan. Kemudian kita asumsikan bahwa di sebelah kanan dasar sinusoidal terdapat pantai yang dapat menyerap semua gelombang sehingga setelah keluar dari daerah dasar sinusoidal, maka gelombang akan terus ditransmisikan ke kanan tanpa ada bagian yang direfleksikan ke kiri. Sekarang akan ditinjau mengenai pengaruh dasar sinusoidal terhadap amplitudo gelombang transmisi dan refleksi melalui koefisien transmisi dan refleksi. Koefisien transmisi adalah perbandingan antara amplitudo gelombang transmisi dengan amplitudo gelombang monokromatik, sedangkan koefisien refleksi adalah perbandingan antara amplitudo gelombang refleksi dengan amplitudo gelombang monokromatik. Melalui kedua koefisien tersebut, kita juga akan melihat apakah dasar sinusoidal

BAB 3. DASAR SINUSOIDAL SEBAGAI REFLEKTOR GELOMBANG 2 Gelombang datang refleksi transmisi 0 L Gambar 3.2: Gelombang datang, gelombang transmisi dan gelombang refleksi. ini dapat berperan sebagai reflektor gelombang atau tidak. Dasar sinusoidal dapat berperan sebagai reflektor gelombang jika nilai koefisien refleksi yang dihasilkan cukup besar atau koefisien transmisinya cukup kecil. Mula-mula, pada subbab ini akan dibahas suatu kondisi ketika gelombang datang memiliki bilangan gelombang yang sedikit berbeda dengan gelombang datang penyebab resonansi. Gelombang datang dimisalkan memiliki bilangan gelombang k + εk dan frekuensi ω + εω, dimana Ω = O(ω) dan K = O(k). Karena k + εk dan ω + εω harus memenuhi hubungan (3.2.), maka Ω = Kc. (3..1) Dengan demikian, gelombang monokromatik yang datang dimisalkan sebagai berikut ζ = A 0 e [i(k+εk)x (ω+εω)t] + c.c, x < 0, atau dapat ditulis sebagai dengan ζ = A(x, t)e ikx iωt, (3..2) A(x, t) = A 0 e ik(x ct), (3..3) dimana A 0 menyatakan amplitudo gelombang datang.

BAB 3. DASAR SINUSOIDAL SEBAGAI REFLEKTOR GELOMBANG 25 Di sebelah kiri dasar laut sinusoidal, yaitu ketika x < 0, berlaku hubungan berikut dan A t + c A = 0, B t c B = 0. Hubungan ini berlaku karena pada x < 0, gelombang yang merambat ke kanan tidak berinteraksi dengan gelombang yang merambat ke kiri sehingga A dan B tidak saling mempengaruhi. Gelombang A dan B masing-masing bergerak mengikuti persamaan transport sehingga gelombang A bergerak ke kanan dan gelombang B bergerak ke kiri. Di sebelah kanan dasar laut sinusoidal, yaitu ketika x > L, berlaku hubungan berikut A t + c A = 0, dan B = 0 karena pada daerah ini tidak ada lagi gelombang yang menjalar ke kiri, mengingat semua gelombang terserap di sisi kanan. Sedangkan di daerah dasar laut sinusoidal (0 < x < L) berlaku persamaan (3.3.11) dan (3.3.12) atau persamaan Klein-Gordon. Pada domain ini dimisalkan solusinya berbentuk A(x, t) = A 0 T (x)e iωt, B(x, t) = A 0 R(x)e iωt, (3..) dengan T (x) menyatakan koefisien transmisi dan R(x) menyatakan koefisien refleksi. Untuk lebih jelasnya, persamaan yang berlaku pada setiap daerah diberikan oleh Tabel 3.1. Karena A(x, t) dan B(x, t) harus memenuhi persamaan Klein-Gordon, maka substitusikan nilai A(x, t) dan B(x, t) yang diberikan oleh (3..) ke persamaan Klein- Gordon untuk memperoleh persamaan berikut ( ) 2 T (x) Ω 2 Ω 2 0 2 + T (x) = 0 c 2 untuk 0 < x < L, (3..5)

BAB 3. DASAR SINUSOIDAL SEBAGAI REFLEKTOR GELOMBANG 26 Daerah Persamaan x < 0 A t + c A = 0, B t c B = 0. A(x, t) A(x, t) 0 < x < L c + t B(x, t) t B(x, t) c = ikcd B(x, t), = ikcd A(x, t). x > L A t + c A = 0, B = 0. Tabel 3.1: Skema persamaan A dan B beserta daerah keberlakuannya. dengan Ω 0 diberikan pada (3.3.1). Dengan cara yang sama dapat ditunjukkan bahwa persamaan (3..5) juga berlaku untuk R(x). Lebih jauh lagi, A(x, t) dan B(x, t) harus kontinu di x = 0 dan x = L sehingga A 0 T (0)e iωt = A 0 e ikct atau T (0) = 1, dan karena B(x, t) = 0 untuk x > L, maka B(x, t) = A 0 R(L)e iωt = 0 atau R(L) = 0. Selain itu, substitusikan nilai A(x, t) dan B(x, t) yang diberikan oleh (3..) ke persamaan (3.3.10) untuk memperoleh hubungan berikut : T (x) iωt (x) + c = iω 0 R(x). (3..6) Persamaan (3..6) digunakan untuk mencari syarat batas bagi T dan R di x = L yang akan digunakan dalam mencari solusi T (x) dan R(x). Perhatikan (3..5). Solusi (3..5) akan berbeda-beda bergantung pada tanda (positif

BAB 3. DASAR SINUSOIDAL SEBAGAI REFLEKTOR GELOMBANG 27 atau negatif) dari Ω 2 Ω 2 0. Oleh karena itu, penyelesaian solusi (3..5) akan dibagi menjadi beberapa kasus yaitu : Kasus 1 : Subcritical Detuning Subcritical Detuning terjadi jika 0 < Ω < Ω 0. Tuliskan Qc Ω 2 0 Ω 2, (3..7) kemudian selesaikan persamaan (3..5) dan substitusikan syarat batas T (0)=1 untuk memperoleh solusi umum T (x) = cosh Qx + M sinh Qx, T (x) = Q(sinh Qx + M cosh Qx), dengan M adalah suatu konstanta yang bisa diperoleh apabila terdapat satu buah syarat batas lagi. Syarat batas tersebut dapat diperoleh dengan mengevaluasi persamaan (3..6) di titik L dengan R(L) = 0. Pada akhirnya akan diperoleh solusi khusus untuk koefisien transmisi T (x) yaitu : T (x) = iqc cosh Q(L x) + Ω sinh Q(L x). (3..8) iqc cosh QL + Ω sinh QL Untuk memperoleh koefisien refleksi R(x), substitusikan persamaan (3..8) ke persamaan (3..6), untuk menghasilkan R(x) = Ω 0 sinh Q(L x) iqc cosh QL + Ω sinh QL. (3..9) Kasus 2 : Supercritical Detuning Supercritical Detuning terjadi jika Ω > Ω 0. Tuliskan P c Ω 2 Ω 2 0, (3..10)

BAB 3. DASAR SINUSOIDAL SEBAGAI REFLEKTOR GELOMBANG 28 kemudian selesaikan persamaan (3..5) dan substitusikan syarat batas T (0)=1 untuk memperoleh solusi umum T (x) = cos P x + N sin P x, T (x) = P sin P x + NP cos P x, dengan N adalah suatu konstanta yang bisa diperoleh apabila terdapat satu buah syarat batas lagi. Syarat batas tersebut dapat diperoleh dengan mengevaluasi persamaan (3..6) di titik L dengan R(L) = 0.. Pada akhirnya akan diperoleh solusi khusus untuk koefisien transmisi T (x) yaitu : T (x) = P c cos P (L x) iω sin P (L x). (3..11) P c cos P L iω sin P L Untuk memperoleh koefisien refleksi R(x), substitusikan persamaan (3..11) ke persamaan (3..6), sehingga diperoleh R(x) = iω 0 sin P (L x) P c cos P L iω sin P L. (3..12) Kasus 3 : Resonansi Sempurna Resonansi sempurna terjadi ketika K = 2k dan Ω = 0. Jika Ω = 0, maka persamaan (3..8) dan (3..9) menjadi dan T (x) = A A 0 = R(x) = B A 0 = cosh Ω 0(L x) c cosh Ω, (3..13) 0L c i sinh Ω 0(L x) c cosh Ω. (3..1) 0L c

BAB 3. DASAR SINUSOIDAL SEBAGAI REFLEKTOR GELOMBANG 29 3.5 Simulasi dan Pembahasan 3.5.1 Resonansi Sempurna Misalkan suatu gelombang monokromatik yang memiliki panjang gelombang 2 m, merambat melalui dasar laut sinusoidal yang memiliki panjang gelombang 1 m dan memiliki panjang L = 10m. Dengan demikian, bilangan gelombang monokromatik adalah k = 2π/2 = π dan bilangan gelombang dasar sinusoidal adalah K = 2π/1 = 2π. Karena pada contoh ini K = 2k, maka gelombang tersebut mengalami resonansi sempurna ketika melewati dasar sinusoidal. Oleh karena itu, fungsi R dan T yang digunakan adalah fungsi yang diberikan oleh (3..13) dan (3..1). Fungsi R yang diberikan oleh (3..1) adalah fungsi dengan peubah x. Fungsi R yang akan diamati adalah fungsi R pada variabel fisis yaitu fungsi R dengan peubah x. Persamaan (3.3.1) memberikan x = εx sehingga (3..1) dapat disederhanakan menjadi R(x) R(εx) = εkd(l x) i sinh cosh εkdl. (3.5.1) Berdasarkan nilai-nilai konstanta yang diketahui, maka fungsi R(x) dari (3.5.1) dapat disederhanakan menjadi : R(x) = επd(10 x) i sinh cosh 10επD. (3.5.2) Kemudian plot grafik R(x) pada (3.5.2) untuk berbagai nilai εd, dimana εd merepresentasikan perbandingan antara amplitudo gundukan dasar sinusoidal dengan kedalaman air laut pada keadaan setimbang (h 0 ). Perhatikan Gambar 3.3. Pada daerah x L = 10, diperoleh bahwa R = 0 untuk setiap nilai εd dan x. Hal ini terjadi karena di daerah tersebut tidak ada lagi gelombang yang direfleksikan ke kiri. Semua gelombang terserap di sisi kanan sehingga

BAB 3. DASAR SINUSOIDAL SEBAGAI REFLEKTOR GELOMBANG 30 0.8 0.6 R 0. 0.2-5 0 0 5 x 10 15 Epsilon D = 0.08 Epsilon D = 0.1 Epsilon D = 0.12 Epsilon D = 0.1 Gambar 3.3: Grafik R(x) pada dasar laut sinusoidal untuk beberapa nilai εd. hanya ada gelombang yang merambat ke kanan. Pada daerah 0 x < L = 10, kurva R(x) tidak konstan. Hal ini terjadi karena pada daerah tersebut terjadi banyak sekali interaksi antara gelombang yang merambat ke kiri dan ke kanan sehingga nilai R selalu berbeda-beda di setiap titik. Pada daerah ini juga dapat dilihat bahwa untuk setiap εd, kurva R(x) tidak pernah saling berpotongan. Jadi, nilai R juga selalu berbeda untuk nilai εd yang berbeda. Selain itu, Gambar 3.3 menunjukkan bahwa semakin besar nilai εd, maka nilai R juga selalu semakin besar untuk setiap x. Juga dapat dilihat bahwa R(x) merupakan fungsi yang menurun pada interval 0 x < L = 10. Pada daerah x 0, diperoleh bahwa nilai R berbeda-beda untuk setiap nilai εd. Tetapi dapat dilihat bahwa untuk nilai εd yang sama, kurva R(x) selalu berupa garis horizontal. Hal ini terjadi karena pada daerah x 0, sudah tidak ada lagi interaksi antara gelombang yang menjalar ke kanan dengan gelombang yang direfleksikan ke kiri, sehingga R bernilai konstan untuk x 0

BAB 3. DASAR SINUSOIDAL SEBAGAI REFLEKTOR GELOMBANG 31 R0 εd Gambar 3.: Grafik R(0) sebagai fungsi dari εd. Perhatikan Gambar 3.. Sumbu x menyatakan nilai εg dan sumbu y menyatakan nilai R(0). Untuk εd = 0.1, diperoleh bahwa R(0) = ±0.8. Ini berarti bahwa amplitudo gelombang yang direfleksikan ke kiri adalah sebesar 0.8 kali amplitudo gelombang yang datang. Kurva R(0) adalah fungsi yang terus naik sebanding dengan bertambahnya nilai εd. Dengan demikian, semakin besar amplitudo dasar sinusoidal, maka semakin besar nilai R(0). Artinya, semakin besar perbandingan antara amplitudo dasar sinusoidal dengan kedalaman air laut, maka semakin besar amplitudo gelombang yang direfleksikan ke kiri. Dengan demikian, dasar sinusoidal dapat menyebabkan terjadinya refleksi gelombang yang cukup besar. Semakin besar amplitudo gundukan dasar sinusoidal, maka dasar sinusoidal sebagai reflektor gelombang semakin baik. Sekarang, akan dilihat perbandingan antara solusi yang diperoleh secara analitik dengan solusi yang diperoleh secara numerik. Perhatikan bahwa persamaan (3.3.11) dan (3.3.12) dapat ditulis sebagai berikut : c A + A t = kcεd B, (3.5.3) B t B c = kcεd A, (3.5.) dengan B = ib. Solusi numerik diperoleh dengan menggunakan metode beda hingga untuk mendiskritisasi persamaan (3.5.3) dan (3.5.).

BAB 3. DASAR SINUSOIDAL SEBAGAI REFLEKTOR GELOMBANG 32 0.7 0.6 Epsilon D = 0.08 Epsilon D = 0.1 Epsilon D = 0.12 Epsilon D = 0.1 0.5 0. R 0.3 0.2 0.1 0 0 2.5 5 7.5 10 12.5 x Gambar 3.5: Grafik R(x) pada dasar laut sinusoidal untuk beberapa nilai εd yang diperoleh secara numerik. Solusi numerik untuk berbagai nilai εd dapat dilihat pada Gambar 3.5. Secara kualitatif, solusi numerik untuk dasar sinusoidal memberikan kesimpulan yang sama dengan solusi analitik yaitu semakin besar perbandingan antara amplitudo dasar sinusoidal dengan kedalaman air, maka semakin besar amplitudo gelombang yang direfleksikan menjauhi pantai. Ini berarti bahwa secara kualitatif, solusi numerik dan solusi analitik telah memberikan hasil yang sesuai. 3.5.2 Perbandingan Resonansi Sempurna, Subcritical Detuning, dan Supercritical Detuning Untuk melihat perbandingan antara resonansi sempurna, subcritical detuning, dan supercritical detuning, maka diambil beberapa konstanta yang diketahui seperti pada Subbab 3.5.1, yaitu panjang gelombang monokromatik yang datang adalah 2 m dengan bilangan gelombang k = π, dan panjang gelombang dasar sinusoidal 1 m dengan L = 10 m. Kemudian, misalkan cepat rambat gelombang monokromatik c = 200 dan D = 0.05. Untuk kasus subcritical detuning dipilih Ω < Ω 0, sedangkan untuk kasus supercritical detuning dipilih Ω > Ω 0.

BAB 3. DASAR SINUSOIDAL SEBAGAI REFLEKTOR GELOMBANG 33 Epsilon D = 0.08 Epsilon D = 0.1 Epsilon D = 0.12 Epsilon D = 0.1 Epsilon D = 0.08 Epsilon D = 0.1 Epsilon D = 0.12 Epsilon D = 0.1 Gambar 3.6: Grafik R(x) dasar laut sinusoidal (subcritical detuning). Gambar 3.7: Grafik R(x) dasar laut sinusoidal (supercritical detuning). Subcritical detuning Supercritical detuning Resonansi sempurna Subcritical detuning Supercritical detuning Resonansi sempurna Gambar 3.8: Grafik R(x) dasar laut sinusoidal untuk εd = 0.1 pada tiga kasus. Gambar 3.9: Grafik R(x) dasar laut sinusoidal untuk εd = 0.08 pada tiga kasus. Perhatikan Gambar 3.3, Gambar 3.6, dan Gambar 3.7. Berdasarkan ketiga gambar tersebut dapat dilihat bahwa kasus subcritical detuning dan kasus supercritical detuning memberikan hasil yang serupa dengan kasus resonansi sempurna yaitu

BAB 3. DASAR SINUSOIDAL SEBAGAI REFLEKTOR GELOMBANG 3 besarnya amplitudo gelombang refleksi berbanding lurus dengan amplitudo dasar sinusoidal. Kemudian perhatikan Gambar 3.8 dan Gambar 3.9. Berdasarkan kedua gambar tersebut dapat dilihat bahwa untuk perbandingan antara amplitudo dasar sinusoidal dengan kedalaman air laut (εd) yang sama, maka besarnya amplitudo gelombang refleksi untuk kasus subcritical detuning selalu lebih kecil atau sama dengan amplitudo gelombang refleksi pada kasus resonansi sempurna. Sedangkan untuk kasus supercritical detuning, besarnya amplitudo gelombang refleksi selalu lebih besar atau sama dengan amplitudo gelombang refleksi pada kasus resonansi sempurna. Catatan : Jika diambil nilai εg berapun, akan selalu diperoleh hasil yang sama walaupun disini hanya diberikan Gambar 3.8. dan Gambar 3.9.