TINJAUAN PUSTAKA Proses Adopsi dan Difusi Inovasi

dokumen-dokumen yang mirip
PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dirasa baru oleh individu atau unit adopsi lain. Sifat dalam inovasi tidak hanya

TINJAUAN PUSTAKA. Pengaturan Pola Tanam dan Tertib Tanam (P2T3) pola tanam bergilir, yaitu menanam tanaman secara bergilir beberapa jenis

TINJAUAN PUSTAKA Peternakan Sapi Potong di Indonesia

PENDIDIKAN. Oleh : Suyantiningsih, M.Ed. Jur. KTP FIP

X. REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN BERKELANJUTAN BERBASIS PETERNAKAN SAPI POTONG TERPADU DI KABUPATEN SITUBONDO

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian, pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan

BAB II TINJAUAN TEORITIS

I. PENDAHULUAN. kontribusi positif terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia.

PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Data Perkembangan Koperasi tahun Jumlah

Edisi Agustus 2013 No.3520 Tahun XLIII. Badan Litbang Pertanian

program yang sedang digulirkan oleh Badan Litbang Pertanian adalah Program Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian yang

PENDAHULUAN. bagi masyarakat peternak di Kabupaten Pandeglang. Usaha peternakan kerbau di

BAB II PENDEKATAN TEORITIS

PEMERINTAH KABUPATEN SAMPANG

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB VII FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN TINGKAT KEINOVATIFAN PETANI DAN LAJU ADOPSI INOVASI

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Dasar Teori Teori Adopsi dan Difusi Inovasi

TINJAUAN PUSTAKA. komunikasi informasi secara sadar dengan tujuan membantu sasarannya

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kecamatan Wonosari merupakan salah satu dari 7 kecamatan yang ada di

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN SISTEM INTEGRASI SAWIT-SAPI DI KABUPATEN ROKAN HULU PROVINSI RIAU

PENDAHULUAN Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gambaran Umum Pengembangan Usaha Ternak Ayam Buras di Indonesia

PENDAHULUAN Latar Belakang

Pembibitan dan Budidaya ternak dapat diartikan ternak yang digunakan sebagai tetua bagi anaknya tanpa atau sedikit memperhatikan potensi genetiknya. B

VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI PENELITIAN. penelitian, sedangkan pada bagian implikasi penelitian disajikan beberapa saran

PENGANTAR. Latar Belakang. merupakan keharusan untuk memenuhi kebutuhan pangan, papan, dan bahan

PROGRAM AKSI PERBIBITAN DAN TRADISI LOKAL DALAM PENGELOLAAN TERNAK KERBAU DI KABUPATEN SUMBAWA, NUSA TENGGARA BARAT

KAJIAN TINGKAT INTEGRASI PADI-SAPI PERAH DI NGANTANG KABUPATEN MALANG

BAB I PENDAHULUAN. dimanfaatkan untuk membajak sawah oleh petani ataupun digunakan sebagai

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dibagikan. Menurut Alim dan Nurlina ( 2011) penerimaan peternak terhadap

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

V. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

KAJIAN PERSEPSI DAN ADOPSI PETERNAK SAPI TERHADAP TEKNOLOGI BUDIDAYA SAPI UNGGUL DI KABUPATEN REJANG LEBONG PROVINSI BENGKULU

I PENDAHULUAN. pedesaan salah satunya usaha ternak sapi potong. Sebagian besar sapi potong

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting

Lampiran 1. Kuisioner Penelitian Desa : Kelompok : I. IDENTITAS RESPONDEN 1. Nama : Umur :...tahun 3. Alamat Tempat Tinggal :......

SISTEM PEMULIAAN INTI TERBUKA UPAYA PENINGKATAN MUTU GENETIK SAPI POTONG. Rikhanah

PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG

PENDAHULUAN Latar Belakang

HASIL DAN PEMBAHASAN. Karakteristik Peternak

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN PERTANIAN. Kredit Usaha. Pembibitan Sapi. Pelaksanaan. Pencabutan.

III KERANGKA PEMIKIRAN

PEDOMAN PELAKSANAAN OPTIMALISASI FUNGSI UNIT PEMBIBITAN DAERAH TAHUN 2015

PEDOMAN PELAKSANAAN KREDIT USAHA PEMBIBITAN SAPI

BAB I PENDAHULUAN. dekade ini termasuk di Indonesia. Berdasar Undang-undang Nomor 18 tahun 2012

KAPASITAS PETERNAK PADA TEKNOLOGI PENGOLAHAN JERAMI PADI SEBAGAI PAKAN DALAM MENDUKUNG INTEGRATED FARMING SYSTEM POLA SAPI POTONG DAN PADI

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. terpadu dan melanggar kaidah pelestarian lahan dan lingkungan. Eksploitasi lahan

BAB I PENDAHULUAN. efetivitas rantai pemasok. Menurut Wulandari (2009), faktor-faktor yang

PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

I. PENDAHULUAN. pasokan sumber protein hewani terutama daging masih belum dapat mengimbangi

Praktikum Perilaku Konsumen

ALTERNATIF KEBIJAKAN PERBIBITAN SAPI POTONG DALAM ERA OTONOMI DAERAH

I. PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

PENGEMBANGAN SISTEM INTEGRASI SAPI PERKEBUNAN SEBAGAI UPAYA PEMBANGUNAN PETERNAKAN SAPI MENUJU SWASEMBADA DAGING 2010

BAB VI LANGKAH KE DEPAN

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA PEMIKIRAN

KERANGKA PENDEKATAN TEORI. seperti industri, jasa, pemasaran termasuk pertanian. Menurut Rogers (1983),

TINJAUAN PUSTAKA. manusia sebagai sumber penghasil daging, susu, tenaga kerja dan kebutuhan manusia

DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN

TINJAUAN PUSTAKA. lokal adalah sapi potong yang asalnya dari luar Indonesia tetapi sudah

BUPATI BADUNG PERATURAN BUPATI BADUNG NOMOR 62 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PENGELUARAN BIBIT SAPI BALI SENTRA TERNAK SOBANGAN

Potensi Kota Cirebon Tahun 2010 Bidang Pertanian SKPD : DINAS KELAUTAN PERIKANAN PETERNAKAN DAN PERTANIAN KOTA CIREBON

I. PENDAHULUAN. rumahtangga yang mengusahakan komoditas pertanian. Pendapatan rumahtangga

PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG

PERATURAN DAERAH PROVINSI RIAU NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG PENGENDALIAN TERNAK SAPI DAN KERBAU BETINA PRODUKTIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEDOMAN PELAKSANAAN UJI PERFORMAN SAPI POTONG TAHUN 2012

II. KERANGKA PENDEKATAN TEORI. ilmu usahatani merupakan ilmu yang mempelajari cara-cara petani menentukan,

Samarinda, 29 Februari 2012 DIREKTORAT PERBIBITAN TERNAK DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN KEMENTERIAN PERTANIAN

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 48/Permentan/OT.140/9/2011 TENTANG PEWILAYAHAN SUMBER BIBIT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu dari 21 program utama Departemen Pertanian terkait dengan

HASIL DAN PEMBAHASAN. profil Desa Sukanegara, Kecamatan Carita, Kabupaten Pandeglang tahun 2016.

I. PENDAHULUAN. Sumber : BPS (2009)

PENDAHULUAN Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. Sektor peternakan adalah sektor yang memberikan kontribusi tinggi dalam

STRATEGI USAHA PENGEMBANGAN PETERNAKAN YANG BERKESINAMBUNGAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. didalamnya Bos taurus dan Bos indicus. Sapi potong adalah sapi yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

OPERASIONAL PROGRAM TEROBOSAN MENUJU KECUKUPAN DAGING SAPI TAHUN 2005

I PENDAHULUAN. tabungan untuk keperluan di masa depan. Jumlah populasi kerbau pada Tahun

DUKUNGAN TEKNOLOGI PENYEDIAAN PRODUK PANGAN PETERNAKAN BERMUTU, AMAN DAN HALAL

III KERANGKA PEMIKIRAN

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB VII KESIMPULAN DAN IMPLIKASI PENELITIAN. penelitian, sedangkan pada bagian implikasi penelitian disajikan beberapa saran

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERDAYAAN PETERNAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PENDAHULUAN. Sentra Peternakan Rakyat (yang selanjutnya disingkat SPR) adalah pusat

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Usaha sektor peternakan merupakan bidang usaha yang memberikan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERDAYAAN PETERNAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 48/Permentan/OT.140/9/2011 TENTANG PEWILAYAHAN SUMBER BIBIT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERTANIAN,

Lingkup Kegiatan Adapun ruang lingkup dari kegiatan ini yaitu :

HUBUNGAN PERILAKU KOMUNIKASI IBU RUMAH TANGGA DENGAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN INOVASI PENGGEMUKAN SAPI POTONG DI KECAMATAN DANAU TELUK KOTA JAMBI

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

POLITIK KETAHANAN PANGAN MENUJU KEMANDIRIAN PERTANIAN

KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS. Kerangka Berpikir

METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Populasi dan Sampel

MOTIVASI PETANI DALAM MENGGUNAKAN BENIH PADI HIBRIDA PADA KECAMATAN NATAR DI KABUPATEN LAMPUNG SELATAN. Oleh: Indah Listiana *) Abstrak

PEMBIBITAN SAPI BRAHMAN CROSS EX IMPORT DIPETERNAKAN RAKYAT APA MUNGKIN DAPAT BERHASIL?

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sub sektor peternakan merupakan bagian dari pembangunan

Transkripsi:

9 TINJAUAN PUSTAKA Proses Adopsi dan Difusi Inovasi Teknologi IB diperkenalkan di Indonesia pada tahun limapuluhan. Kemudian mulai dilakukan uji-coba dan disosialisasikan ke daerah-daerah pada tahun 1969. Namun kebijakan penerapan IB oleh Pemerintah c.q Direktorat Jenderal Peternakan baru dimulai tahun 1976 bersamaan dengan diresmikannya Sentra Inseminasi Buatan Lembang. Sebagai suatu inovasi teknologi di bidang reproduksi ternak, IB tidak langsung diterima oleh peternak. Inovasi menurut Rogers (2003:11) adalah suatu gagasan, tindakan atau obyek yang dianggap baru oleh suatu individu atau beberapa individu. Inseminasi Buatan sebagai salah satu teknologi reproduksi, masuk pada kategori technological innovation. Menurut Rogers (2003:12-15, 35) setiap teknologi terdiri dua komponen, yaitu (1) suatu perangkat keras (hardware) yang terdiri dari peralatan dan (2) suatu perangkat lunak (software) yang merupakan informasi ataupun pengetahuan dasar dari peralatan tersebut dan cara penggunaannya. Dalam konteks IB, yang termasuk perangkat keras seperti frozen semen, container, insemination gun dan lain-lain, yang berwujud benda atau fisik. Sedangkan yang termasuk perangkat lunak adalah selain pengetahuan dasar dari peralatan tersebut dan cara penggunaannya, juga pengetahuan peternak tentang apa yang harus dilakukan untuk memperoleh pelayanan IB serta pasca pelayanan IB. Ada banyak faktor yang mempengaruhi seseorang dalam mengambil keputusan inovasi mulai dari pengenalan sampai dengan mengambil keputusan apakah menerima inovasi tersebut ataupun menolaknya. Begitu juga setelah mengambil keputusan, diperlukan waktu untuk konfirmasi apakah akan diteruskan menerima ataupun berhenti. Bagi yang menolak, mungkin akan terus menolak ataupun pada akhirnya menerima setelah melihat banyak bukti yang berhasil (Rogers & Shoemaker 1995:102). Proses individu mengambil suatu keputusan inovasi, dapat dilihat pada Gambar 1.

10 (LATAR BELAKANG) (PROSES) (KONSEKUENSI) PEUBAH PENERIMA 1. Sifat-sifat pribadi 2. Sifat-sifat sosial 3. Kebutuhan akan inovasi 4. Dan lain-lain SUMBER KOMUNIKASI ADOPSI TERUSKAN HENTIKAN a. Ganti b. Kecewa INFORMASI PENGENALAN PERSUASI KEPUTUSAN KONFIRMASI SISTEM SOSIAL SIFAT INOVASI MENOLAK 1. Norma-norma sistem 2. Toleransi terhadap perubahan 3. Kesatuan komunikasi 4. Dan lain-lain 1. Keuntungan relatif 2. Kompatibilitas 3. Kompleksitas 4. Trialabilitas 5. observabilitas ADOPSI LAMBAT TERUS MENOLAK W A K T U Gambar 1. Model proses keputusan inovasi (Rogers & Shomaker 1995: 102). Dalam Gambar 1 tersebut jelas terlihat setidak-tidaknya ada beberapa faktor yang berpengaruh terhadap tingkat maupun kecepatan proses adopsi inovasi, yaitu latar belakang peternak, baik yang berkaitan dengan individu (karakteristik internal) maupun sistem sosial (karakteristik eksternal), proses komunikasi dan sifat dari inovasinya serta dimensi waktu. Proses Adopsi Inovasi Adopsi adalah suatu keputusan untuk menerima sepenuhnya suatu inovasi (gagasan, tindakan dan/atau obyek) sebagai pilihan terbaik yang tersedia untuk bertindak atau melakukan sesuatu (Rogers 2003:21). Menurut Lionberger dan Gwin (1982:60-62), sebelum sampai pada adopsi, proses yang dilalui oleh individu adalah kepedulian, ketertarikan, penilaian, mencoba dan menerima (awareness, interest, evaluation, trial dan adoption). Tahapan proses adopsi oleh individu dapat dilihat pada Gambar 2 berikut.

11 AWARENESS INTEREST EVALUATION TRIAL ADOPTION Gambar 2. Tahapan proses adopsi oleh individu (Lionberger & Gwin 1982:61) Pada tahap awareness, seseorang menjadi peduli terhadap gagasan, produk, ataupun cara baru ketika melihatnya untuk pertama kali. Orang tersebut hanya memiliki sedikit pengetahuan ataupun informasi tentang hal baru tersebut. Pada tahap interest, muncul ketertarikan terhadap hal yang baru tersebut. Pada tahap ini, informasi yang bersifat umum tidak cukup, tetapi dia mulai ingin mengetahui apa yang sesungguhnya tentang hal tersebut, bagaimana hal itu akan bekerja dan sebagainya. Orang tersebut membutuhkan informasi lebih lanjut dan secara aktif mencari informasi tambahan yang lebih rinci. Pada tahap evaluation, sebagai calon adopter yang sudah mengumpulkan informasi, maka orang tersebut mulai menimbang-nimbang antara pro dan kontra dari gagasan baru tersebut, dan ini terkait pada keadaan mental dari orang yang bersangkutan, dikarenakan dia harus memutuskan dua hal, yaitu (1) apakah ini sesuatu yang baik dan (2) apakah ini baik untuk saya. Pada tahap trial, seseorang mulai mencoba gagasan ataupun cara baru tersebut. Hasil penelitian membuktikan bahwa pola yang umum yang dilakukan pada tahap ini adalah seseorang pada awalnya mencoba sedikit demi sedikit, dan jika semuanya berjalan dengan baik, maka dia akan mencoba lebih banyak. Akhirnya, jika percobaan permulaan berhasil, yang biasanya dilakukan oleh seseorang pada usahanya sendiri dan sering setelah mengamati atau berkonsultasi dengan yang lain, maka dia akan mengadopsi inovasi tersebut untuk digunakan seterusnya. Atau, bisa juga dia sama sekali tidak menggunakan inovasi tersebut. Pada tahap adoption, seseorang memutuskan bahwa suatu inovasi cukup baik untuk digunakan dalam skala penuh, dan akan dipertahankan sampai ada inovasi lagi (Lionberger & Gwin 1982:61-62). Namun, tidak ada kesepakatan di antara para peneliti bahwa keputusan untuk mengadopsi suatu inovasi merupakan hasil dari sekuens pengaruh yang bekerja saat itu atau sebagai sesuatu yang terjadi secara instan. Lebih jauh dikatakan, ada variasi dalam proses adopsi, yaitu tidak semua orang mengalami semua tahapan secara persis urutannya dalam mengambil keputusan (Lionberger & Gwin 1982:62).

12 Proses adopsi adalah bersifat individual, dan hal ini akan menyebar ke anggota masyarakat yang lain dalam proses yang dikenal sebagai difusi inovasi. Proses Difusi Inovasi Difusi adalah suatu proses di mana suatu inovasi dikomunikasikan sepanjang waktu melalui saluran tertentu kepada anggota dari suatu sistem sosial. Unsur utama dari difusi ini adalah (1) suatu inovasi, (2) menggunakan saluran komunikasi tertentu, (3) dalam suatu jangka waktu dan (4) di antara para anggota sistem sosial (Rogers 2003:10-37; Nasution 2002:124). Inovasi. Dari unsur inovasi, beberapa aspek yang perlu diperhatikan adalah (1) inovasi teknologi, informasi dan ketidakpastian, (2) klaster teknologi dan (3) karakteristik inovasi. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, bahwa yang dimaksud dengan inovasi adalah suatu gagasan, tindakan atau obyek yang dianggap baru oleh suatu individu atau beberapa individu. Anggapan kebaruan suatu gagasan, tindakan atau obyek akan menentukan bagaimana orang bereaksi. Sebagai suatu technological innovation, inovasi menciptakan semacam ketidakpastian dalam pikiran seorang adopter potensial (Rogers 2003:13). Oleh karena itu dibutuhkan banyak informasi untuk mengurangi ketidakpastian tersebut. Suatu klaster teknologi terdiri dari satu atau lebih unsur teknologi yang dapat dibedakan dan dianggap mempunyai kemiripan dengan inovasi lain. Klaster teknologi adalah batas-batas sekitar suatu inovasi teknologi. Hal ini penting karena menyangkut suatu konsep dan metodologi dari inovasi teknologi tersebut. Karakteristik inovasi, sebagaimana mereka persepsikan, akan menjelaskan perbedaan kecepatan proses adopsi. Beberapa hal yang terkait dengan ini adalah (1) kelebihan/keutamaan relatif (relative advantages), (2) kesesuaian (compatibility), (3) kerumitan (complexity), (4) dapat dicoba (trialability) dan (5) dapat dilihat (observability). Penjelasan berikut adalah dari Nasution (2002:125): 1. Keuntungan relatif (relative advantages), yaitu apakah inovasi tersebut memberikan sesuatu keuntungan relatif bagi mereka yang menerima inovasi tersebut. 2. Keserasian (compatibility), yaitu apakah inovasi yang hendak diadopsi sesuai dengan nilai-nilai, sistem kepercayaan, gagasan yang lama, kebutuhan, selera, adat-istiadat dan sebagainya dari masyarakat yang bersangkutan; 3. Kerumitan (complexity), yaitu apakah inovasi tersebut dirasakan rumit. Pada umumnya masyarakat tidak atau kurang berminat pada hal-hal yang rumit,

13 sebab selain sukar dipahami, juga cenderung dirasakan sebagai tambahan beban baru. 4. Dapat dicobakan (trialability), yaitu suatu inovasi akan lebih cepat diterima, bila dapat dicobakan terlebih dahulu dalam ukuran kecil sebelum orang terlanjur menerimanya secara menyeluruh. Ini adalah hal yang wajar, karena seseorang akan selalu berupaya menghindari resiko yang besar terhadap hal baru. 5. Dapat dilihat (observability), jika suatu inovasi dapat disaksikan dengan mata, dapat terlihat langsung hasilnya, maka orang akan lebih mudah untuk mempertimbangkan untuk menerimanya, ketimbang bila inovasi itu berupa sesuatu yang abstrak, yang hanya dapat dibayangkan. Saluran komunikasi. Komunikasi adalah suatu proses, di mana anggota masyarakat menciptakan dan berbagi informasi satu dengan yang lainnya, dalam rangka mencapai pemahaman yang saling menguntungkan. Difusi adalah suatu jenis komunikasi khusus di mana isi pesan yang saling dipertukarkan adalah berkaitan dengan gagasan baru. Prosesnya melibatkan (1) suatu inovasi, (2) individu atau satuan lain adopsi yang mempunyai pengetahuan tentang inovasi atau berpengalaman menerapkan inovasi tersebut, (3) individu lain atau satuan lain yang belum berpengalaman menerapkan inovasi tersebut dan (4) saluran komunikasi yang menghubungkan kedua satuan tersebut. Jadi, saluran komunikasi adalah suatu tindakan dimana pesan diperoleh dari satu individu ke individu yang lain. Dimensi waktu. Waktu adalah unsur ketiga utama dari suatu proses difusi. Dimensi waktu tidak bisa diabaikan, hal ini terkait (1) dalam innovation process, individu melewati dari pengetahuan awal tentang inovasi sampai kepada menerima atau menolak inovasi, (2) bisa diperbandingkan antara yang relatif cepat atau lambat dalam mengadopsi suatu inovasi dan (3) kecepatan mengadopsi suatu inovasi dalam suatu sistem, biasanya diukur dari jumlah anggota yang mengadopsi inovasi tersebut dalam periode waktu tertentu. Anggota sistem sosial. Penyebar-serapan (difusi) inovasi terjadi secara terus-menerus dari suatu tempat ke tempat yang lain, dari suatu waktu ke kurun waktu yang berikutnya, dan dari bidang tertentu ke bidang lainnya melalui anggota sistem sosial. Difusi inovasi sebagai suatu gejala kemasyarakatan berlangsung berbarengan dengan perubahan sosial yang terjadi. Bahkan kedua hal itu merupakan sesuatu yang saling menyebabkan satu sama lain (Nasution

14 2002:123). Rogers (2003:24) menyatakan bahwa difusi terjadi di dalam suatu sistem sosial. Struktur sosial dari sistem akan mempengaruhi difusi inovasi dengan beberapa cara. Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap proses adopsi inovasi adalah proses komunikasi dan ketersediaan sumber-sumber informasi. Oleas et al. (2010:43) menambahkan peran dari opinion leaders. Proses Komunikasi Seperti dinyatakan oleh Rogers (2003:17), bahwa komunikasi adalah suatu proses dimana peserta (participants) menciptakan dan berbagi informasi satu dengan yang lain dalam rangka untuk memperoleh pemahaman bersama. Dalam proses pengambilan keputusan inovasi, terlihat bahwa informasi dari sumber komunikasi sangat diperlukan sejak proses pengenalan, persuasi dan pengambilan keputusan. Begitu juga ketika proses konfirmasi berlangsung. Ross (1979:12) mendefinisikan komunikasi dengan banyak pendekatan, yaitu (1) suatu proses saling berhubungan, mengendalikan satu dengan yang lainnya dan saling memahami, (2) interaksi sosial yang menggunakan lambang dan pesan, (3) pengetahuan tentang perilaku mengirimkan pesan kepada penerima dengan maksud menyadarkan dan merubah perilaku penerima, (4) kemampuan berbahasa dengan banyak lambang dan berhubungan dengan perilaku dalam suatu sistem sosial, (5) fungsi sosial tentang perilaku, (6) komunikasi terjadi kapan saja dimana seseorang menunjukkan pesan yang berhubungan dengan perilaku dan (7) komunikasi manusia melibatkan segala sesuatu yang mengandung arti. Ditambahkan kemudian, bahwa semua komunikasi terdiri hanya 35% verbal dan sisanya 65% adalah bahasa nonverbal. Dalam konteks nonverbal ini, peranan budaya sangat besar. Bahkan tiap-tiap komunitas mungkin mempunyai sistem komunikasi nonverbal sendiri. Di sini pentingnya untuk mengamati secara langsung proses komunikasi suatu komunitas. Saluran komunikasi (communication channel) adalah cara (the means) dimana pesan-pesan diperoleh dari seseorang ke orang lainnya. Beberapa contoh saluran komunikasi adalah media massa, seperti radio, televisi, suratkabar dan lain-lain, yang memungkinkan satu sumber atau sedikit sumber dapat mencapai banyak pendengar (Rogers 2003:18). Di lain pihak, saluran antar pribadi (interpersonal channels), adalah lebih efektif dalam mempengaruhi seseorang untuk menerima suatu gagasan baru, khususnya jika saluran antar pribadi menghubungkan dua atau lebih individu yang memiliki status sosial-

15 ekonomi, pendidikan dan pandangan yang sama. Saluran-antar-pribadi melibatkan pertukaran melalui pertemuan langsung antara dua individu atau lebih. Dalam penyuluhan pertanian di Indonesia, hampir semua saluran komunikasi tersebut di atas pernah digunakan. Sistem Sosial dan Perubahan Sosial Ada dua pendekatan dalam melihat suatu kelompok di masyarakat, yaitu (1) dari sudut psikologi sosial yang sering disebut dengan istilah dinamika kelompok dan (2) dari sudut ilmu sosiologi, yang sering disebut sebagai pendekatan sistem sosial. Menurut Rogers (2003:23), sistem sosial adalah a set of interrelated units that are engaged in joint problem-solving to accomplish a common goal (suatu susunan satuan yang saling terkait, bergabung dalam pemecahan masalah untuk mencapai tujuan bersama). Anggota atau satuan dari suatu sistem sosial bisa bersifat individu-individu, kelompok informal, organisasi dan/atau subsistem sosial. Menurut Loomis (1960:5) unsur-unsur pokok sistem sosial adalah (1) tujuan (goal), (2) keyakinan (belief/knowledge), (3) sentimen/perasaan (sentiment/ feeling), (4) norma (norm), (5) sanksi (sanctions), (6) peranan/kedudukan (status/roles), (7) kewenangan/kedudukan (power/authority), (8) jenjang sosial (social rank), (9) fasilitas (facility) dan (10) tekanan dan ketegangan (stress and strain). Lebih jauh dikatakan, bahwa secara teoritis, kelompok sebagai suatu sistem sosial harus mempunyai kesepuluh unsur ini. Jika ada yang kurang atau tidak ada, maka itu merupakan kelemahan kelompok tersebut, karena masingmasing unsur tersebut adalah sebagai peubah yang mempunyai pengaruh pada interaksi anggota dalam kelompok, juga akan berpengaruh pada perilaku individu dan perilaku kelompok. Dengan pendekatan proses, maka masing-masing unsur menjelaskan proses (1) pencapaian sasaran dan menyertai aktivitas yang bersifat laten, yang mengartikulasikan unsur tujuan (end, goal atau objective) dan mempunyai fungsi pencapaian (achieving), (2) pemetaan cognitive dan validasi sebagai artikulasi unsur keyakinan (belief/knowledge) yang mempunyai fungsi mengetahui (knowing), (3) manajemen tegang dan komunikasi sentimen, yang mengartikulasikan unsur sentimen/perasaan (sentiment) yang mempunyai fungsi perasaan (feeling), (4) evaluasi, yang mengartikulasikan unsur norma (norm), yang mempunyai fungsi penormaan, penstandaran dan pemolaan (norming, standardizing, patterning), (5) penerapan sanksi, yang mengartikulasikan unsur

16 sanksi (sanctions) yang mempunyai fungsi memberi sanksi (sanctioing), (6) performans status-peran, yang mengartikulasikan unsur peranan/kedudukan (status/roles), yang mempunyai fungsi pembagian fungsi (dividing of functions), (7) pembuat keputusan dan inisiasi tindakan, yang mengartikulasikan unsur kewenangan/kedudukan (power/authority), yang mempunyai fungsi pengendalian (controlling), (8) evaluasi pelaku dan alokasi status-peran, yang mengartikulasikan unsur jenjang sosial (social rank), yang mempunyai fungsi penetapan tingkatan (ranking) dan (9) pemanfaatan fasilitas, yang mengartikulasikan unsur fasilitas (facility), yang mempunyai fungsi fasilitasi (facilitating); Rogers (2003:30-31), menyatakan bahwa setiap inovasi akan mempunyai konsekuensi. Konsekuensi adalah perubahan-perubahan yang terjadi terhadap individu ataupun sistem sosial sebagai hasil dari penerimaan (adopsi) ataupun penolakan (rejeksi) suatu inovasi. Menurutnya, setidaknya ada tiga klasifikasi konsekusensi inovasi, yaitu (1) antara konsekuensi diinginkan dan tidak diinginkan. Ini tergantung apakah suatu inovasi di dalam suatu sistem sosial, berfungsi atau tidak, (2) antara konsekuensi langsung dan tidak langsung. Hal ini tergantung apakah perubahan individu ataupun sistem sosial terjadi segera setelah diresponsnya suatu inovasi (direct consequence), atau merupakan hasil tidak langsung (second-order) dari konsekuensi langsung suatu inovasi dan (3) antara konsekuensi dapat diantisipasi dan tidak dapat diantisipasi. Hal ini tergantung apakah perubahan ini dikenali dan yang dimaksud oleh anggota dari sistem sosial atau tidak. Menurut van den Ban dan Hawkins (1999:140-141), sebagian besar studi difusi inovasi menekankan pada perubahan teknis yang kecil dan khusus. Sedikit saja perhatian diberikan terhadap perubahan yang besar dalam struktur sosial atau cara hidup masyarakat. Dengan demikian perhatian lebih banyak ditujukan pada inovasi bagian pinggir (periferal) daripada yang di pusat dari suatu sistem sosial. Lebih jauh, dinyatakan, bahwa perubahan individu dan kelompok merupakan pusat perhatian pada penelitian difusi inovasi. Perubahan kelembagaan dan masyarakat jarang diteliti, padahal perubahan sosial yang demikian sangat penting, khususnya di kalangan masyarakat pedesaan. Perubahan sosial secara konseptual adalah sebagai suatu proses, terencana ataupun tidak direncanakan secara kualitatif ataupun kuantitatif perubahan di dalam fenomena sosial, yang dapat digambarkan dalam suatu susunan kontinum enam bagian dari keterkaitan antar komponen-komponen

17 identitas, level, durasi, arah, magnitut dan tingkat kecepatan perubahan (Vago 1989:24). Menurut Rogers (2003:6) difusi adalah sejenis dengan perubahan sosial, yang didefinisikan sebagai proses perubahan yang terjadi pada struktur dan fungsi dalam suatu sistem sosial. Menurut Vago (1989:10-14) beberapa faktor yang mempengaruhi perubahan sosial, yaitu (1) Penduduk. Perubahan dalam ukuran (jumlah), komposisi, distribusi penduduk akan mempengaruhi perubahan sosial, (2) Konflik. Banyak perubahan sosial dihasilkan oleh terjadinya konflik antar kelompok dalam masyarakat. Konflik dapat muncul antar kelas sosial, penduduk dari daerah yang berbeda, dan rasial serta kelompok-kelompok etnis, (3) Determinasi ekonomi. Kepemilikan modal, akan menentukan organisasi dari masyarakat bukan pemilik modal. Struktur kelas dan susunan kelembagaan, juga nilai-nilai budaya, keyakinan, agama, dogma dan gagasan sistem yang lain, adalah benar-benar merefleksikan dasar ekonomi masyarakat, (4) Inovasi. Inovasi merujuk kepada suatu cara baru dalam melakukan sesuatu, (5) Difusi. Diffusi adalah proses di mana suatu inovasi dan sifat-sifat budaya lain menyebar dari suatu masyarakat ke masyarakat lainnya dan (6) The Legal System. Melalui proses berkelanjutan, regulasi, deregulasi dan penegakan hukum secara selektif, legal system adalah suatu instrumen dalam perubahan sosial. Berkenaan dengan inovasi, Vago (1989:12-13) menyatakan bahwa ada tiga tipe dasar inovasi yang sering menyebabkan perubahan sosial, yaitu (1) teknologi baru, (2) budaya baru dan (3) bentuk baru dari struktur sosial. Dalam konteks ini, IB merupakan inovasi teknologi. Pengaruh teknologi ini mempunyai akibat yang besar terhadap kehidupan individu-individu dalam masyarakat, terhadap nilai-nilai sosial, terhadap struktur dan fungsi dari kelembagaan sosial, dan terhadap organisasi politik dalam masyarakat (Vago, 1989:87). Latar belakang peternak, sistem sosial, proses komunikasi dan sifat suatu inovasi di atas akan menentukan tingkat penerapan maupun kecepatan adopsi suatu inovasi. Tingkat Penerapan dan Kecepatan Adopsi Inovasi Keputusan seseorang untuk menerima ataupun menolak suatu inovasi dan berapa lama waktu yang dibutuhkan, menurut Lionberger dan Gwin (1982:5) dipengaruhi oleh (1) sebagian dari faktor individu, (2) sebagian dari situasi dimana dia berada dan (3) sifat dari inovasi tersebut. Faktor individu yang mempengaruhi adalah merupakan kombinasi dari sifat-sifat yang diturunkan

18 (inherited characteristics) dan pengalaman belajar (learned experiences) (Lionberger & Gwin 1982:8). Beberapa faktor individu (personality variables) yang mempengaruhi adopsi suatu inovasi (perubahan), menurut Rogers (2003:272-274), mencakup (1) rasa empati, (2) sikap dogmatis, (3) kemampuan melakukan abstraksi, (4) rasionalitas, (5) kecerdasan, (6) sikap terhadap perubahan, (7) sikap terhadap ketidakpastian, (8) sikap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, (9) fatalisme dan (10) aspirasi. Faktor situasi di mana individu tersebut berada, menurut Lionberger dan Gwin (1982:10-13) terdiri dari (1) family, (2) friendship groups, (3) locality groups, (4) religious groups, (5) reference groups dan (6) special interest groups. Hasil penelitian Ginting (1984: 84) tentang respons peternak sapi perah terhadap IB di Kecamatan Pujon Malang menyimpulkan bahwa persepsi peternak - yang mencerminkan tingkat adopsi inovasi IB- adalah 35,33% sangat setuju dan 43,33% setuju. Sedangkan hasil penelitian Amrawati dan Nurlaelah (2008:92) yang menganalisis tingkat adopsi IB oleh peternak sapi Bali di Kecamatan Bontonompo, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan menyimpulkan tingkatan adopter sebagai berikut: inovator 10%, early adopter 20%, early majority 30%; late majority 23,33% dan laggard 16,67%. Khusus untuk waktu yang dibutuhkan dimana suatu inovasi diadopsi oleh sebagian anggota dari suatu sistem sosial, Rogers (2003:206-207) menyebutnya sebagai rate of adoption. Tingkat kecepatan adopsi inovasi ini dipengaruhi oleh (1) sifat-sifat yang melekat pada inovasi (relative advantage, compatibility, complexity, trialability dan observability), (2) jenis keputusan inovasi (optional, collective atau authority), (3) saluran komunikasi (misal: media massa, interpersonal), (4) sistem sosial dan (5) intensitas upaya promosi oleh agen perubahan (penyuluh). Sebagai contoh, Lionberger dan Gwin (1982:63) menyatakan bahwa dibutuhkan waktu lima tahun bagi petani di Iowa untuk mau menggunakan (mengadopsi) benih jagung hibrida, dan dibutuhkan waktu sekitar 12-14 tahun untuk semua petani menggunakan benih jagung hibrida tersebut. Adapun hasil penelitian Ali-Olubandwa et al. (2010:26) tentang perbaikan teknologi produksi jagung pada petani skala kecil di Kenya, menunjukkan bahwa terendah 17,2% (Busia District) dan tertinggi 56,7% (Lugari District) responden yang mengadopsi paket teknologi tersebut secara penuh (100%). Menurut Nasution (2002:125), perbedaan kecepatan proses adopsi, antara lain dapat dijelaskan dengan persepsi mereka terhadap karakteristik inovasi.

19 Persepsi Persepsi adalah pemberian makna pada stimuli inderawi. Persepsi juga mempengaruhi keberhasilan suatu komunikasi, sebab dalam prosesnya persepsi mempengaruhi rangsangan (stimulus) pesan yang diterima dan makna yang diberikan (DeVito 2000: 75). Menurut Tubb dan Moss (2005:34), sebagai komunikator, kita bergantung pada persepsi dalam hampir semua aspek kehidupan sehari-hari. Hal ini berati, bahwa dalam proses mengadopsi inovasi IB, peternak juga dipengaruhi oleh persepsi mereka tentang IB dan hal-hal lain terkait dengan IB. Menurut van den Ban dan Hawkins (1999:83-85), persepsi adalah proses menerima informasi atau stimuli dari lingkungan dan mengubahnya ke dalam kesadaran psikologis. Dijelaskan, bahwa ada beberapa prinsip umum persepsi, yaitu (1) Relativitas, setiap persepsi bersifat relatif, walaupun suatu obyek tidak dapat diperkirakan bagaimana yang tepat, tetapi dapat dikatakan bahwa yang satu melebihi yang lainnya. (2) Selektivitas, persepsi sangat selektif. Panca indra menerima stimuli dari sekelilingnya dengan melihat obyek, mendengar suara, mencium bau dan sebagainya. Karena kapasitas memproses informasi terbatas, maka tidak semua stimuli dapat ditangkap, tergantung pada faktor fisik dan psikologis seseorang. (3) Organisasi. Setiap persepsi terorganisir. Seseorang cenderung menyusun pengalamannya dalam bentuk yang memberi arti, dengan mengubah yang berserakan dan menyajikannya dalam bentuk yang bermakna, antara lain berupa gambar dan latar. Dalam sekejap panca indera melakukan seleksi dan sosok yang menarik akan menciptakan pesan. (4) Arah. Melalui pengamatan, seseorang dapat memilih dan mengatur serta menafsirkan pesan. Lebih jauh van den Ban dan Hawkins (1999:90) menjelaskan, bahwa persepsi seseorang bisa berlainan satu sama lain dalam situasi yang sama karena adanya perbedaan kognitif. Setiap proses mental, individu bekerja menurut caranya sendiri tergantung pada faktor-faktor kepribadian, seperti toleransi terhadap ambiguitas, tingkat keterbukaan atau ketertutupan pikiran, sikap otoriter dan sebagainya. Dalam penelitian Ginting (1984:51) menyatakan, bahwa persepsi terhadap IB adalah pemberian arti/makna yang diberikan berdasarkan proses pengamatan ataupun pengalaman dalam diri peternak terhadap IB dalam pernyataan setuju atau tidak setuju. Dalam hal ini, terdapat 62% jawaban peternak yang

20 menyatakan setuju tentang IB, ini berarti peternak memberikan makna yang positif terhadap gagasan tersebut. Penelitian Terkait Adopsi Inovasi dan Implementasi IB Untuk meningkatkan kesahihan (validitas) instrumen yang akan digunakan sebagai alat pengumpul data sesuai dengan yang diharapkan, maka selain menyandarkan kepada kajian-kajian pustaka yang berkaitan dengan konsep teoritis mengenai karakteristik internal dan eksternal peternak, persepsi dan proses adopsi inovasi terkait dengan penerapan IB, juga pada hasil penelitian yang relevan, yang pernah dilakukan peneliti sebelumnya sebagai pembanding. Partisipasi petani peternak dalam penerapan IB pada ternak sapi di Kabupaten Lombok Barat, NTB, Yasin (1994: 80-81), menyimpulkan: (1) secara rata-rata tingkat partisipasi petani peternak termasuk dalam kategori sedang. (2) pendidikan petani peternak berhubungan positif dan nyata dengan semua aspek partisipasi; dan (3) tingkat partisipasi petani peternak yang berdomisili di daerah dominan lahan persawahan, secara absolut lebih tinggi dibandingkan petani peternak yang berdomisili di daerah dominan lahan kering. Karakteristik yang dominan peternak adalah (a) 48% telah berumur di atas 45 tahun; (b) 50% tidak tamat SD; (c) 44% mempunyai tanggungan keluarga antara 4-5 orang; (d) 55% pengusahaan ternak sapi antara 1-2 ekor; (e) 50% mengusahakan lahan garapan antara 0,25-0,50 hektar; (f) 54% berpenghasilan kurang dari Rp. 500.000,-/tahun; (g) 68% berpengalaman sebagai peserta IB kurang dari tiga tahun; (h) 56% mempunyai pengetahuan tentang IB tergolong rendah. Sedangkan Ginting (1984: 84) dalam penelitiannya tentang respons petani peternak sapi perah terhadap IB di Kecamatan Pujon Malang menyimpulkan bahwa persepsi peternak sapi perah terhadap IB adalah (1) 35,33% sangat setuju, (2) 43,33% setuju, (3) 14% ragu-ragu dan (4) 7,34% tidak setuju (menolak). Sedangkan hasil penelitian Amrawati dan Nurlaelah (2008:92) yang menganalisis tingkat adopsi IB oleh peternak sapi Bali di Kecamatan Bontonompo, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan menyimpulkan tingkatan adopter sebagai berikut: Innovator 10%, early adopter 20%, early majority 30%; late majority 23,33% dan laggard 16,67%. Tingkat adopsi inovasi IB oleh peternak sapi Bali di Kecamatan Bontonompo Kabupaten Gowa ini dinilai Amrawati dan Nurlaelah cukup tinggi.

21 Ada banyak faktor yang berpengaruh terhadap tingkat adopsi suatu inovasi. Penelitian Akhsan tentang proses adopsi dan difusi pemberian makanan tambahan bayi, menyimpulkan tingkat adopsi ditentukan oleh aspek: (1) pendidikan, (2) pendapatan rumah tangga, (3) pengetahuan tentang gizi dan (4) keterampilan pangan ibu-ibu (Akhsan 1998: 214). Penelitian Nelly tentang hubungan antara karakteristik sosial ekonomi dan perilaku petani mengadopsi rumput unggul di daerah aliran sungai (DAS) Cimanuk, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat yang bertujuan untuk: (1) mengetahui distribusi petani berdasarkan karakteristik sosial ekonomi, (2) menentukan distribusi petani berdasarkan perilaku menanam rumput dan mengadopsi domba, dan (3) mengukur derajat hubungan antara karakteristik sosial ekonomi dan perilaku menanam rumput dan mengadopsi domba, menyimpulkan bahwa karakteristik sosial ekonomi petani adalah: (1) laki-laki, (2) berumur tua, (3) tidak tamat sekolah dasar, (4) bekerja sebagai buruh tani, (5) jumlah keluarga kecil, (6) memiliki radio, (7) tidak pernah kontak dengan penyuluh dan (8) mendapat informasi pertama dari ketua kelompok (Nelly 1988: 79). Hasil penelitian Lestari tentang hubungan status sosial ekonomi petani dengan tingkat adopsi inovasi sapta usaha pertanian, menunjukkan status sosial ekonomi petani adalah: (1) tingkat adopsi 80% tinggi, (2) 91% mempunyai luas lahan 0,1-0,9 ha, (3) 93% mempunyai pendapatan kurang dari Rp. 1 juta, (4) 57% petani mempunyai tanggungan keluarga 3-5 orang, (5) 50% berumur 46-60 tahun, (6) lulus SD 38% dan tidak lulus SD 25% dan (7) pengalaman berusahatani: 38% antara 1-20 thn; 39% antara 21-40 thn (Lestari, 1994: 97-98). Sedangkan penelitian Hanafi tentang keefektivan jaringan komunikasi dalam adopsi inovasi teknologi pengembangan agribisnis: Kasus ternak kambing PE di Kabupaten Sleman DI Yogyakarta, menyimpulkan bahwa tingkat adopsi dipengaruhi oleh (1) tingkat pendidikan peternak dan (2) keterdedahan terhadap media massa untuk kelompok yang relatif maju. Karakteristik peternak di kelompok yang relatif maju, yang berpengaruh nyata terhadap tingkat adopsi inovasi teknologi, yaitu (1) tingkat pendidikan peternak, (2) status kepemilikan ternak, (3) keterdedahan terhadap media massa dan (4) komitmen peternak (Hanafi 2002: 134-135). Penelitian Kaliky tentang intensitas komunikasi dan persepsi peternak terhadap keberlanjutan adopsi teknologi perbaikan pakan sapi perah periode kering di Kecamatan Cangkringan Kabupaten Sleman DI Yogyakarta,

22 menyimpulkan bahwa karakteristik peternak mencakup aspek: (1) berumur muda, (2) pendapatan dari sapi perah relatif rendah, (3) berpengalaman (lebih besar dari 5 tahun) dan (4) tingkat kekosmopolitan rendah (Kaliky 2002: 88-89). Penelitian Buana tentang adopsi teknologi budidaya padi sawah bagi petani penduduk asli di sekitar pemukiman transmigrasi: kasus di Kecamatan Lambuya, Kabupaten Kendari, menyimpulkan bahwa (1) karakteristik internal petani, mencakup aspek: (a) tingkat pendidikan formal, (b) jumlah tanggungan keluarga, (c) luas lahan garapan dan (d) pendapatan. Karakteristik eksternal petani, mencakup aspek: (a) keadaan sarana prasarana, (b) keanggotaan dalam kelompok tani dan (c) frekuensi penyuluhan (Buana 1997: 84). Penelitian Sadono tentang tingkat adopsi inovasi pengendalian hama terpadu oleh petani: kasus di Kabupaten Karawang Jawa Barat, yang bertujuan untuk mengetahui: (1) tingkat persepsi petani terhadap pengendalian hama terpadu (PHT); (2) tingkat penerapan PHT dan (3) faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat penerapan PHT, menyimpulkan bahwa karakteristik internal petani mencakup aspek: (a) tingkat pendidikan formal dan (b) persepsi terhadap PHT. Sedangkan karakteristik eksternal petani, mencakup aspek: (a) keanggotaan dalam kelompok dan (b) sebagai pemandu (Sadono 1999: 85-86). Novarianto, yang meneliti tentang adopsi inovasi teknologi Tabela bagi petani padi sawah: Kasus petani padi sawah di Kecamatan Tapa, Kabupaten Gorontalo Sulawesi Utara, yang salah satu tujuannya untuk mengetahui karakteristik internal dan eksternal petani, menyimpulkan karakteristik internal petani mencakup aspek: (1) umur di atas 45 tahun, (2) lama pendidikan 0-6 tahun, (3) pengalaman berusahatani di atas 11 tahun, (4) jumlah tanggungan 3-5 orang dan (5) penghasilan di bawah 5 juta rupiah. Sedangkan karakteristik eksternal petani, mencakup aspek: (1) ketersediaan informasi, (2) intensitas penyuluhan dan (3) ketersediaan saprodi (Novarianto 1999: 92-93). Sedangkan Simanjuntak meneliti beberapa faktor yang berhubungan dengan adopsi agribisnis ikan air tawar: Kasus Desa Pulau Gadang, Kecamatan XIII Koto Kampar, Kabupaten Kampar Riau, menyimpulkan bahwa faktor internal petani mencakup aspek: (1) pendapatan petani dan (2) motivasi meningkatkan usahatani, mempunyai hubungan yang nyata dengan tingkat adopsi. Sedangkan umur petani, pendidikan formal dan pengalaman bertani, memiliki hubungan yang tidak nyata. Faktor eksternal petani, yang mencakup aspek: (1) luas kolam dan (2) informasi dari radio/tv, mempunyai hubungan yang nyata dengan tingkat

23 adopsi. Sedangkan sumber informasi dari sesama teman, brosur/liptan dan penyuluh, memiliki hubungan yang tidak nyata (Simanjuntak 2000: 56). Purnaningsih dalam penelitiannya tentang adopsi inovasi pola kemitraan agribisnis sayuran di Provinsi Jawa Barat, menyimpulkan bahwa (1) pihak yang berperan dalam adopsi inovasi pola kemitraan adalah: (a) petugas pendamping, (b) koperasi, (c) pedagang pengumpul, (d) teman sesama petani dan (e) keluarga petani. (2) faktor-faktor yang berpengaruh terhadap keputusan bermitra adalah: (a) tingkat kebutuhan bermitra, (b) kepastian pasar, (c) pengalaman berusahatani dan (d) pinjaman modal (Purnaningsih 2006: 189-190). Berdasarkan studi pustaka dan hasil-hasil penelitian tentang proses adopsi suatu inovasi, dapat disimpulkan beberapa faktor peubah dan dimensinya, yaitu (1) faktor internal petani, (2) faktor eksternal petani, (3) sifat dari inovasi (4) persepsi terhadap suatu obyek inovasi dan (5) faktor lain yang terkait dengan pola ataupun skala usaha dan obyek inovasi, seperti kebijakan pemerintah. Faktor internal petani dan usahanya antara lain adalah umur, tingkat pendidikan, pengalaman, tingkat kekosmopolitan, keanggotaan dalam kelompok, jumlah pemilikan lahan atau ternak, motivasi meningkatkan skala usaha, pendapatan keluarga/rumah tangga, jumlah tanggungan keluarga, tingkat kebutuhan terhadap IB dan tujuan pemeliharaan (Ginting 1984; Nelly 1988; Yasin 1994; Lestari 1994; Buana 1997; Akhsan 1998; Sadono 1999; Novarianto 1999; Simanjuntak 2000; Kaliky 2002; Hanafi 2002). Faktor eksternal petani antara lain adalah norma sistem sosial, ketersediaan informasi, keadaan sarana prasarana, intensitas penyuluhan, kepastian pasar, kelembagaan, sumber-sumber informasi dan jaringan komunikasi (Ginting 1984; Buana 1997; Sadono 1999; Novarianto 1999; Simanjuntak 2000; Hanafi 2002; Rangkuti 2007). Sifat inovasi terdiri dari keuntungan relatif, keserasian, kerumitan, dapat dicobakan dan dapat dilihat (Simanjuntak 2000 dan Rangkuti 2007). Persepsi peternak tentang IB pada sapi perah ditunjukkan dengan kategori sangat setuju, setuju, ragu-ragu dan tidak setuju (Ginting 1984). Sedangkan aspek kebijakan, secara implisit terdapat dalam penelitian Ginting (1984), Lestari (1994), Yasin (1994), Sadono (1999), Katharina (2007), Rangkuti (2007). Untuk mengetahui sejauh mana relevansi hasil penelitian terkait di atas dengan penelitian yang dilakukan ini, khususnya aspek internal dan eksternal peternak sapi portong serta usahanya sebagai variabel anteseden, maka perlu dieksplorasi karakteristik peternakan sapi potong di Indonesia.

24 Karakteristik Peternakan Sapi Potong Untuk mengetahui karakteristik peternakan sapi potong (biasanya termasuk kerbau) di Indonesia dapat dilihat dari berbagai aspek, yaitu teknis, sosial ekonomi dan tipologi usaha. Dari aspek teknis, tujuan budidaya dapat dibedakan menjadi (1) produksi susu (sapi perah); (2) pembibitan; (3) penggemukan/kereman; dan (4) campuran dari dua atau tiga tujuan tersebut. Populasi ternak sapi potong tahun 2008 berjumlah 12,26 juta ekor. Sebagian besar berada di pulau Jawa, yaitu 44,44%. Data statistik rumah tangga (RT) peternakan berjumlah 5,63 juta (22,51% dari RT Pertanian). Sebanyak 81,0% (4,6 juta) dari RT peternakan adalah peternak sapi potong, dan sekitar 53,3% dari peternak sapi potong, berada di pulau Jawa (Ditjennak 2009b:76 dan 178). Jenis sapi yang paling banyak dibudidayakan secara berturut-turut adalah sapi Bali, PO/Putih, Limousin, Simental, Brahman, Madura dan sapi lokal lainnya (Ditjennak 2010:13). Dari aspek sosial ekonomi, dibedakan menjadi dua, yaitu (1) berorientasi subsisten dan (2) berorientasi kepada keuntungan (Suhaji 1994:38). Aspek pertama, juga biasa disebut sebagai peternakan rakyat atau sistem usahatani tradisional. Lebih dari 95% merupakan peternakan rakyat yang bersifat subsisten, yang mempunyai karakteristik, yaitu (a) jumlah pemilikan relatif kecil, yaitu rata-rata sekitar 2,17 ekor (b) sebagai tabungan (rojo koyo) dan akan dijual atau dipotong untuk memenuhi kebutuhan tertentu seperti kebutuhan pendidikan, upacara perkawinan, upacara adat atau keagamaan dan lain-lain, (c) berfungsi sebagai ternak kerja (bajak dan transportasi) untuk mendukung usaha pertanian, (d) mencakup beberapa tujuan budidaya, (e) teknologinya sederhana, (f) pakannya berasal dari rumput lapangan atau limbah hasil pertanian dan (g) menunjukkan tingkat status sosial-ekonomi tertentu. Aspek kedua, yang berorientasi keuntungan, mempunyai karakteristik (a) jumlah pemilikan secara ekonomis memenuhi skala usaha yang menguntungkan, (b) mempunyai tujuan usaha yang jelas, seperti penggemukan dan/atau pembibitan, dan (c) dikelola menurut kaidah-kaidah teknis dan ekonomis (efisiensi), baik sistem perkandangan, pemberian pakan, kesehatan dan pemasarannya (Pane 1993:vii; Suhaji 1994:38; Wiryosuhanto 1997:7; Sudardjat & Pambudy 2003:17-35). Suhaji (1994:25) membagi usaha peternakan menjadi empat tipologi usaha, yaitu (1) sebagai usaha sambilan: sapi sebagai pendukung usaha pertanian digunakan sebagai tenaga kerja untuk membajak sawah ataupun penarik

25 gerobak dan mempunyai kontribusi pendapatan petani kurang dari 30% dari usaha pertaniannya; (2) cabang usaha: budidaya sapi sebagai usaha selain usaha budidaya pertanian (campuran), kontribusi pendapatannya antara 30% sampai 70% dari usaha pertaniannya ; (3) usaha pokok: budidaya sapi sebagai usaha pokok (tunggal) dan pertanian sebagai usaha sambilan. Kontribusi pendapatan usahaternaknya diatas 70% hingga 100%; dan (4) industri, adalah budidaya sapi dalam skala besar sebagai pilihan dan murni berorientasi kepada pasar dan keuntungan. Namun demikian, menurut Pane (1993:vii) peternakan sapi di Indonesia sejak zaman dahulu telah berkembang sebagai suatu usaha sambilan. Upaya-upaya pengembangan usaha peternakan sapi potong telah dilakukan oleh Pemerintah, yaitu melalui antara lain (1) Intensifikasi sapi potong (INSAP) tahun 1996, (2) Panca usaha ternak potong (PUTP), (3) Program sentra pengembangan agribisnis komoditi unggulan (SPAKU), (4) model transmigrasi (5) Pendekatan kemitraan (pola PIR), (6) Kawasan industri peternakan (KINAK), (7) Kawasan usaha peternakan (KUNAK), (8) Gerakan pembangunan areal peternakan pedesaan (Gerbang Anak Desa) dan (9) Gerakan pengembangan sentra baru pembibitan di pedesaan (Gerbang Serba Bisa). Juga Village Breeding Center (VBC) dan penyebaran sapi betina eks-impor Brahman Cross kemitraan (Wiryosuhanto 1997:62; Hardjosubroto et al.,1997:247). Pengamatan penulis di lapangan, masalah-masalah sosial-ekonomi terkait usaha budidaya sapi potong antara lain adalah (a) jasa sewa sapi untuk bekerja (membajak) di sawah; (b) jasa sapi pejantan sebagai pemacek dalam proses kawin alam, (c) sistem gaduhan: paroh (Jawa: paron), kontrak sumba dan lainlain, (d) fungsi ternak sebagai tabungan, rojo-koyo dan kriteria status sosial, (e) fungsi ternak sebagai sarana atau media acara adat dan/atau keagamaan dan (f) ternak sebagai kesenangan (hobi) dan kebanggaan. Saat ini juga banyak berkembang usaha penggemukkan sapi, tetapi menghadapi kendala sulitnya mencari sapi bakalan untuk digemukkan karena sedikitnya peternak yang berkecimpung di bidang perbibitan. Sistem perkawinan ternak sapi sebelum adanya teknologi IB, adalah menggunakan sistem perkawinan secara alami, yang sering disebut sebagai kawin alam. Kawin alam dapat terjadi (1) tanpa sengaja di tempat pangonan sapi ataupun di padang-padang penggembalaan, (2) sengaja dibawa ke pasar hewan untuk memperoleh pejantan, (3) peternak pemilik sapi betina akan

26 memilih sapi pejantan unggul yang dimiliki oleh tetangganya atau (4) model kelompok: 10 sapi betina satu pejantan (proyek IFAD, ADB dll). Tidak semua peternak memiliki sapi jantan dan tidak semua sapi jantan menjadi pemacek. Dalam sistem kawin alam ini, berbagai macam bentuk transaksi dan interaksi sosial terjadi antara pemilik sapi betina dan pemilik pemacek. Ada kalanya pemilik pemacek dibayar dengan uang tunai untuk sekali kawin, ada kalanya dibayar dengan hasil bumi (natura), ada pula dalam bentuk lain, seperti pemberian beberapa telur ayam dan gula merah sebagai obat kuat bagi pemacek. Kebijakan Perbibitan Kebijakan Publik Kebijakan publik adalah apapun yang telah dipilih pemerintah untuk dilakukan ataupun tidak dilakukan (Dye 1976:1). Jadi gagasan tentang kebijakan publik harus termasuk semua tindakan pemerintah, bukan hanya maksud yang dinyatakan (secara eksplisit) oleh pemerintah ataupun oleh aparat pemerintah. Lubis (2007:9) setelah mengutip beberapa definisi dari berbagai referensi, merumuskan kebijakan publik adalah serangkaian tindakan yang ditetapkan dan dilaksanakan pemerintah dengan tujuan tertentu untuk kepentingan masyarakat. Lebih jauh dikatakan, bahwa jika pemerintah melakukan pelayanan dengan berorientasi kepada public interest atau public need, maka yang harus dilakukan oleh pemerintah itu ialah how to serve the public, sehingga pemerintah bertindak sebagai public servant (pelayanan masyarakat) yang menyelenggarakan public service (layanan publik). Gambar 3 menunjukkan salah satu model implementasi suatu kebijakan. Menurut Wibawa et al., (1994:15) setiap kebijakan sekurang-kurangnya mengandung tiga komponen dasar, yaitu (1) tujuan yang luas, (2) sasaran yang spesifik dan (3) cara mencapai sasaran tersebut. Komponen terakhir biasanya belum dijelaskan secara rinci. Hal ini harus diterjemahkan dalam programprogram aksi dan proyek. Lebih lanjut dinyatakan, bahwa dalam cara tersebut terkandung beberapa komponen kebijakan yang lain, yaitu siapa pelaksananya, berapa besar dan dari mana dana diperoleh, siapa kelompok sasarannya, bagaimana program dilaksanakan, bagaimana sistem manajemennya dan bagaimana keberhasilan atau kinerja kebijakan diukur. Dari perspektif kebijakan, respons masyarakat terhadap dampak suatu kebijakan dapat bersifat skeptis, kritis dan analitis. Skeptis, tidak yakin apa yang akan dicapai oleh kebijakan

27 tersebut. Kritis, mempertanyakan dukungan dan hambatan bagi pelaksanaannya dan Analitis, memberikan sumbangan saran bagi pelaksanaan yang lebih baik. Karakteristik Masalah 1. Ketersediaan teknologi dan teori teknis 2. Keragaman perilaku kelompok sasaran 3. Sifat populasi 4. Derajat perubahan perilaku yang diharapkan Daya Dukung Peraturan 1. Kejelasan/konsistensi tujuan/sasaran 2. Teori kausal yang memadai 3. Sumber keuangan yang mencukupi 4. Integrasi organisasi pelaksana 5. Diskresi pelaksana 6. Rekruitmen pejabat pelaksana 7. Akses-formal pelaksana ke organisasi lain Variabel Non-Peraturan 1. Kondisi sosio-ekonomi dan teknologi 2. Perhatian pers terhadap masalah kebijakan 3. Dukungan publik 4. Sikap dan sumberdaya kelompok sasaran utama 5. Dukungan kewenangan 6. Komitmen dan kemampuan pejabat pelaksana Proses Implementasi Keluaran kebijakan dari organisasi pelaksana Kesesuaian keluaran kebijakan dengan kelompok sasaran Dampak aktual keluaran kebijakan Dampak yang diperkirakan Perbaikan peraturan Gambar 3. Model implementasi kebijakan menurut Sabatier dan Mazmanian (Wibawa et al., 1994:26) Lebih lanjut dikatakan, respons secara individual terhadap dampak kebijakan bisa bersifat reaktif-konfrontatif, adaptif-komformistis atau di antara keduanya. Secara politis, respons tersebut bisa dikemukakan secara legal konstitusional ataupun illegal-inkonstitusional (Wibawa et al. 1994:60-62). Konsep Perbibitan Tugas Pemerintah c.q Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Departemen Pertanian adalah menyusun dan melaksanakan kebijakan, membuat norma, standar, pedoman dan kriteria di bidang perbibitan ternak. Maksud perbibitan dalam hal ini adalah semua hal yang terkait dengan bibit/ benih ternak.

28 Pengertian perbibitan tertuang dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Sumber Daya Genetik Hewan dan Perbibitan Ternak, yaitu suatu sistem di bidang benih dan/atau bibit ternak yang paling sedikit meliputi pemuliaan, pengadaan, perbanyakan, produksi, peredaran, pemasukan dan pengeluaran, pengawasan mutu, pengembangan usaha serta kelembagaan benih dan/atau bibit ternak. Dalam peraturan Menteri Pertanian Nomor 36/Permentan/OT.140/8/2006 tentang Sistem Perbibitan Ternak Nasional (SITBITNAS) dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan sistem perbibitan adalah tatanan yang mengatur hubungan dan saling ketergantungan antara pengelola sumberdaya genetik, pemuliaan, perbanyakan, produksi, peredaran, pemasukan dan pengeluaran benih dan atau bibit unggul, pengawasan penyakit, pengawasan mutu, pengembangan usaha dan kelembagaan (Ditbit 2006:5). Sedangkan pemuliaan ternak, sebagai bagian dari sistem perbibitan, tertuang dalam undang-undang No. 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, diartikan sebagai rangkaian kegiatan untuk mengubah komposisi genetik pada sekelompok ternak dari suatu rumpun atau galur guna mencapai tujuan tertentu. Tujuan tertentu tersebut adalah (1) pemurnian/ konservasi, (2) persilangan dan (3) penciptaan bangsa (breed) baru (Ditbit 2003:16). Menurut Hardjosubroto et al., (1997:255) arah/tujuan pembibitan ada tiga, yaitu (1) pemurnian, (2) persilangan, baik dalam rangka untuk memperoleh bangsa (breed) baru, ataupun sebagai final stock untuk dipotong dan (3) konservasi. Menurut Payne dan Hodges (1997:210), tujuan dari program genetik (genetic programmes) sapi adalah untuk menghasilkan generasi pengganti yang lebih sesuai dengan kebutuhan ekonomi dan sosial dari suatu masyarakat, sementara itu juga mempertahankan atau memperbaiki genetiknya agar dapat beradaptasi dengan lingkungan dan sumberdaya yang digunakan. Proses ini menuntut perubahan genome (total kromosom dalam inti sel) sapi melalui seleksi dan melipatgandakan gene yang lebih disukai, yang secara positif mengarah kepada sifat-sifat yang diharapkan. Sasaran gene bisa terdapat dalam populasi sapi, gene baru bisa diintroduksi dari populasi lain, atau gene yang tidak diharapkan dihapus atau dikurangi frekuensinya. Dalam pembibitan, diperlukan populasi dasar, yang terbagi menjadi tiga kategori ternak bibit, yaitu (1) bibit dasar (foundation stock), yang merupakan bibit hasil dari suatu proses pemuliaan dengan spesifikasi tertentu yang

29 mempunyai silsilah, untuk menghasilkan bibit induk. Ini juga yang akan menjadi elite group; (2) bibit induk (breeding stock) yang merupakan bibit dengan spesifikasi tertentu yang mempunyai silsilah, untuk menghasilkan bibit sebar dan (3) bibit sebar/niaga/komersial (commercial stock) yang merupakan bibit dengan spesifikasi tertentu untuk digunakan dalam proses produksi. Sejauh ini, klasifikasi dan struktur bibit seperti tersebut di atas untuk ternak potong belum ada (Ditbit 2003:3; Ditbit 2006:11). Menurut Wiener (1994:87-88) struktur bibit menyerupai bentuk piramid yang mempunyai hirarki berikut: (1) ellite group (nucleus) di puncak; (2) multiplier group di tengah dan (3) commercial group di bagian dasar. Lebih lanjut dikatakan bahwa aliran genes secara dominan adalah dari atas ke arah bawah, jadi perbaikan genetik dilakukan di kelompok atas (elite group) dan kemudian disebarkan ke bawah. Secara lebih operasional, sistem perbibitan sapi potong lokal, baik skala peternakan rakyat maupun skala komersial, melalui teknik perbaikan mutu genetik dan teknik peningkatan efisiensi reproduksi, menurut Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan (PUSLITBANGNAK, 2007) meliputi (1) Seleksi bibit: memilih sapi yang mempunyai sifat yang dikehendaki dan membuang sapi yang tidak mempunyai sifat yang dikehendaki. Oleh karena itu, dalam melakukan seleksi harus ada kriteria yang jelas tentang sifat apa yang akan dipilih, bagaimana cara mengukurnya dan berapa standar minimal dari sifat yang diukur tersebut. Sifat seleksi yang dipilih harus yang bersifat menurun dan biasanya berhubungan dengan tujuan yang akan dicapai, yaitu sifat-sifat yang bernilai ekonomis tinggi; (2) Tahapan seleksi: (a) pembentukan kelompok dasar (foundation stock). Kelompok dasar merupakan kumpulan sapi potong terpilih dari hasil seleksi yang memiliki tampilan luar tertentu (misal tinggi gumba, berat badan, dan sebagainya) yang terbaik dari populasi yang ada di suatu wilayah atau di suatu kelompok pembibitan. Tujuan utama pembentukan kelompok dasar adalah mendapatkan sapi-sapi (jantan dan betina) pilihan yang nantinya mampu menghasilkan keturunan sapi-sapi bibit dan dikembangkan sebagai bibit sumber; (b) penjaringan (screening). Penjaringan adalah tindakan seleksi yang dilakukan di suatu populasi (biasanya di peternakan rakyat atau di pasar hewan), untuk langsung mendapatkan sapi yang terbaik penampilan luar dari sifat tertentu yang dikehendakinya; (c) seleksi keturunan. Seleksi keturunan adalah seleksi yang dilakukan selama beberapa generasi terhadap sapi-sapi yang dihasilkan di tahapan kelompok dasar. Sapi-sapi F1 yang terpilih dalam seleksi saling

30 dikawinkan untuk mendapatkan sapi-sapi anakannya (F2), kemudian sesama sapi F2 yang terpilih dalam seleksi saling dikawinkan untuk mendapatkan sapisapi F3, dan seterusnya sampai mendapatkan sapi dengan kriteria performans yang dikehendaki untuk dijadikan sebagai sapi bibit sumber; (d) pembentukan kelompok inti (elite). Kelompok elit adalah tahapan akhir dari rangkaian program seleksi. Populasi di kelompok inti adalah sapi-sapi bibit sumber, yiatu sapi dengan produktivitas yang tinggi dan keragaman genetiknya kecil. Di kelompok elit, dilakukan dua kegiatan, yaitu perbanyakan bibit sumber dan menghasilkan sapi-sapi unggul untuk siap disebarkan ke kelompok dasar dan kelompok pengembang. Mekanisme seleksi dan pengaturan perkawinan yang dilakukan di tahap kelompok elit ini hampir sama dengan di tahap kelompok dasar, tetapi materi sapinya sudah berupa bibit sumber dan sekecil mungkin memasukkan sapi-sapi baru untuk digunakan sebagai tetuanya. Di tahapan kelompok elit ini sangat dibutuhkan pencatatan yang lengkap, berurutan dan jelas tentang silsilah/asal usul dan performans produktivitas dari masing-masing sapi bibit sumber, karena keturunannya akan disebarkan sebagai sapi bibit unggul untuk memperbaiki genetik sapi-sapi di peternak rakyat, atau dijadikan sebagai perbanyakan bibit sumber yang ada; dan (e) pembentukan kelompok pengembang (breeding stock). Kelompok pengembang adalah tahapan terakhir dari tahapan rangkaian program-program. Kelompok pengembang dibentuk untuk menghasilkan sapi-sapi bakalan yang akan digemukkan dan akhirnya dipotong sebagai sumber penghasil daging. Saat ini, pembibitan sapi potong untuk tujuan pemurnian adalah (1) sapi Bali: di pulau Bali, Sumbawa, Timor, Flores dan beberapa kabupaten di Sulawesi Selatan; (2) sapi Ongole di pulau Sumba (Ditbit 2006:10); dan sapi Madura di Pulau Sapudi. Hal ini berarti bahwa untuk jenis sapi lain atau sapi Bali, Onggole dan Madura di luar daerah tersebut dapat disilangkan. Talib (2002:105) menyarankan, persilangan antara sapi Bali dengan Bos Taurus dan Bos Indicus diarahkan untuk menghasilkan final stock. Namun, menurut Pane (1993:2) sejauh ini arah kebijakan di bidang perbibitan sapi potong tidak jelas, karena tidak ada data yang lengkap hasil pemurnian maupun persilangan tersebut. Sejarah Kebijakan Perbibitan di Indonesia Merujuk pengertian yang dikemukakan oleh Dye (1976:1) dan Lubis (2007:9), kebijakan publik adalah apapun yang telah dipilih pemerintah untuk dilakukan ataupun tidak dilakukan oleh Pemerintah, dan tidak harus dinyatakan