BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kompetensi Interpersonal Sebagaimana diungkapkan Buhrmester, dkk (1988) memaknai kompetensi interpersonal sebagai kemampuan-kemampuan yang dimiliki seseorang dalam membina hubungan interpersonal. Kompetensi interpersonal ditinjau dari 5 dimensi, yaitu: kemampuan memulai suatu hubungan (initiation), kemampuan menegaskan ketidaksenangan kepada orang lain (negative assertion), kemampuan mengungkapkan informasi pribadi (self disclosure), kemampuan memberikan dukungan kepada orang lain (emotional support), dan kemampuan mengelola konflik (conflict management). 2.1.1 Dimensi-dimensi kompetensi interpersonal Beberapa dimensi kompetensi interpersonal menurut Burhmester, dkk (1988) yaitu: 1. Kemampuan untuk memulai sebuah hubungan atau kemampuan berinisiatif. Menurut Buhrmester (1988) inisiatif adalah suatu usaha untuk memulai bentuk interaksi dan hubungan dengan orang lain, atau dengan lingkungan sosial yang lebih besar. Inisiatif merupakan usaha pencarian pengalaman baru yang lebih banyak dan luas tentang dunia luar, juga tentang dirinya sendiri dengan tujuan untuk mencocokkan sesuatu atau informasi yang telah diketahui agar dapat lebih memahaminya. Contohnya: membuka diri untuk berkenalan dengan bahasa yang dapat dipahami serta sopan, menunjukkan kesan baik untuk pertama kali kepada orang lain. 5
6 2. Kemampuan bersikap asertif atau mengekspresikan ketidaksenangan terhadap orang lain. Menurut Pearlman dan Cozby (dalam Lukman, 2000) asertivitas adalah kemampuan dan kesediaan individu untuk mengungkapkan perasaanperasaan secara jelas dan dapat mempertahankan hak-haknya dengan tegas. Dalam konteks komunikasi interpersonal seringkali seseorang harus mampu mengungkapkan ketidaksetujuannya atas berbagai macam hal atau peristiwa yang tidak sesuai dengan alam pikirannya. Contohnya: menginformasikan kepada lawan bicara tentang perilaku tersebut tidak menyenangkan, menyanggah keinginan yang tidak masuk akal dari lawan bicara. 3. Kemampuan untuk menyampaikan informasi tentang diri (Self Disclosure), yaitu kemampuan membuka diri merupakan kemampuan untuk membuka diri, menyampaikan informasi yang bersifat pribadi dan penghargaan terhadap orang lain. Kartono dan Gulo (dalam Lukman, 2000) mengungkap bahwa pembukaan diri adalah suatu proses yang dilakukan seseorang hingga dirinya dikenal oleh orang lain. Sears dan Peplau (1991) menyatakan bahwa kemampuan membuka diri diwujudkan dengan perilaku orang yang melakukan kegiatan membagi perasaan dan informasi yang akrab dengan orang lain. Contoh: menyampaikan sesuatu hal yang bersifat intim tentang diri kita, menyampaikan kepada lawan bicara siapa diri kita sebenarnya. 4. Kemampuan untuk memberi dukungan kepada orang lain (Emotional Support), yaitu Kemampuan memberikan dukungan emosional sangat berguna untuk mengoptimalkan komuniksi interpersonal antar dua pribadi. Baker dan Lemie (dalam Buhrmester, dkk, 1988) dukungan emosional mencakup kemampuan untuk menenangkan dan memberi rasa nyaman kepada orang lain ketika orang tersebut dalam keadaan tertekan dan bermasalah. Kemampuan ini lahir dari adanya empati dalam diri seseorang. Contoh: menolong lawan bicara ketika sedang mengalami kesulitan, menjadi pendengar yang baik serta sabar. 5. Kemampuan untuk mengatasi konflik (conflict management), yaitu menurut Grasha (dalam Buhrmester dkk, 1988) adalah kemampuan mengupayakan agar konflik-konflik yang timbul dalam hubungan interpersonal dengan sikap yang dewasa dan penuh pertimbangan. Menyusun strategi penyelesaian masalah adalah bagaimana individu yang bersangkutan merumuskan cara untuk
7 menyelesaikan konflik dengan sebaik-baiknya. Contoh: dapat membawa diri bila lawan bicara sedang marah atau kesal, menahan diri untuk tidak melakukan hal yang dapat memicu kembali timbulnya konflik. Berdasarkan yang telah dipaparkan diatas, pengertian kompetensi interpersonal dapat dimaknai sebagai kemampuan untuk melakukan komunikasi secara efektif yang meliputi komponen yang berupa kemampuan untuk memulai suatu hubungan, kemampuan bersikap asertif, kemampuan membuka diri, kemampuan untuk memberikan dukungan emosional, dan kemampuan mengelola konflik. 2.1.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi kompetensi interpersonal Beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi kompetensi interpersonal menurut Nashori (dalam Indah, 2012) mengemukakan bahwa kompetensi interpersonal dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu: a. Faktor Internal 1) Jenis Kelamin Nashori (2008) mengemukakan bahwa anak-anak dan remaja laki-laki memiliki tingkat gerakan-gerakan yang aktif yang lebih tinggi dibanding dengan anak perempuan. Selanjutnya, gerakan-gerakannya yang aktif tersebut menjadi modal untuk berinisiatif dalam melakukan hubungan sosial-interpersonal, bersikap asertif, dan aktif menyelesaikan masalah atau konflik yang dihadapi. 2) Tipe Kepribadian Adler (Nashori, 2008) mengungkapkan bahwa ada individu yang berorientasi ke dalam (intrinsik) dan ada pula yang berorientasi ke luar (ekstrinsik). Individu yang berorientasi keluar cenderung selalu berusaha untuk berkomunikasi dengan orang lain.
8 3) Kematangan Nashori (2008) mengemukakan bahwa kematangan beragama berkorelasi positif dengan kompetensi interpersonal. Orang yang matang dalam beragama memiliki kesabaran terhadap perilaku orang lain dan tidak mengadili atau menghukumnya. Ia dapat menerima kelemahan-kelemahan manusia dengan mengetahui bahwa ia punya kelemahan yang sama. 4) Konsep Diri Nashori (2008) menemukan bahwa konsep diri berkorelasi positif dengan kompetensi interpersonal. Orang yang konsep dirinya positif merasa dirinya setara dengan orang lain dan peka terhadap kebutuhan orang lain. b. Faktor Eksternal 1) Kontak dengan Orangtua Menurut Hetherington dan Parke (Nashori, 2008), kontak anak dengan orangtua banyak berpengaruh terhadap kompetensi interpersonal anak. Adanya kontak anak dengan orangtua, dapat menjadikan anak belajar dari lingkungan sosialnya dan pengalaman bersosialisasi tersebut dapat mempengaruhi perilaku sosial anak dalam lingkungan sekitarnya. 2) Interaksi dengan Teman Sebaya Kramer dan Gottman (Nashori, 2008) mengungkapkan bahwa individu yang memiliki kesempatan untuk berinteraksi dengan teman sebaya memiliki kesempatan yang lebih besar untuk meningkatkan perkembangan sosial, perkembangan emosi, dan lebih mudah dalam membina hubungan interpersonal. 3) Aktivitas Aktivitas yang dilakukan oleh setiap individu dapat mempengaruhi pada tingkat kompentensi interpersonal yang dimiliki. Penelitian yang dilakukan oleh Danardono (Nashori, 2008) membuktikan bahwa mahasiswa yang aktif dalam kegiatan
9 kepecintaalaman memiliki perbedaan kompetensi interpersonal yang signifikan dengan mahasiswa yang tidak aktif dalam kegiatan kepecintalaman. Mahasiswa pecinta alam lebih tinggi kompetensi interpersonalnya dibanding dengan mahasiswa bukan pecinta alam. 4) Partisipasi Sosial Kompetensi sosial, termasuk kompetensi interpersonal dapat dipengaruhi oleh partisipasi sosial dari individu. Oleh karena itu, semakin besar partisipasi sosial, maka semakin besar pula kompetensi interpersonalnya. Selain itu,diketahui bahwa perlakuan khusus pada individu dapat meningkatkan kompetensi interpersonal, seperti pelatihan asertivitas, pelatihan inisiatif sosial, dan lain sebagainya (Nashori, 2008). 2.2 Persepsi Kesiapan Menikah Persepsi kesiapan menikah didefinisikan Larson (1988, dalam Badger, 2005) sebagai evaluasi subjektif individu terhadap kesipan dirinya untuk memenuhi tanggung jawab dan tantangan dalam pernikahan. Selain itu, Stinnett (1969, dalam Badger, 2005) mempercayai bahwa kesiapan menikah berhubungan erat dengan kompetensi pernikahan, dimana kompetensi pernikahan diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk menjalankan peranya untuk dapat memenuhi kebutuhan pasangan dalam kehidupan pernikahan. Dari kedua definisi kesiapan menikah yang dikemukakan oleh Stinnett dan Larson tersebut, Holman dan Li (1997) menyimpulkan bahwa kesiapan menikah sebagai berikut: a perceived ability of an individual to perform in marital roles, and see it as an aspect of mate selection/relationship development.. Dari definisi tersebut dapat diartikan bahwa kesiapan menikah merupakan kemampuan yang dipersepsi oleh individu untuk menjalankan peran dalam pernikahan dan merupakan bagian dari proses memilih pasangan atau perkembangan hubungan. Kesiapan menikah ini dapat menjadi prediktor kepuasan pernikahan (Larson, 2007, dalam Badger, 2005), dimana semakin tinggi tingkat kesiapan menikah, maka diharapkan setelah menikah tingkat kepuasan pernikahan individu juga semakin tinggi, begitupun sebaliknya. Selain itu, kesiapan menikah pun dapat menjadi prediktor dari kesuksesan dan stabilitas pernikahan (Fowes & Olson, 1986; Holman, Larson, &
10 Harmer, 1994). DeGenova (2008) memaparkan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kesiapan menikah pada individu, seperti usia saat menikah, level kedewasaan dari pasangan yang akan menikah, waktu menikah, motivasi untuk menikah, kesiapan untuk eksklusivitas seksual, emansipasi emosional dari orang tua, tingkat pendidikan dan pekerjaan. Selain itu, beberapa aspek demografi, seperti pendidikan, pendapatan dan usia berkolerasi dengan kesiapan untuk menikah (Holman & Li, 1997). 2.2.1 Area-area dalam Persepsi Kesiapan Menikah Kesiapan menikah memiliki alat ukur yang paling sering digunakan untuk menguji kesiapan individu yang hendak melaksanakan pernikahan. Kedua alat ukur tersebut adalah Holman, Busby, dan Larson (1989, dalam Holman, Larson, & Harmer, 1994) dalam alat ukur PREP-M; serta Olson, Larson, dan Olson (2009) dalam alat ukur PREPARE. PREParation for Marriage (PREP-M) yang dibuat oleh Holman dan Li (1997), merupakan alat ukur kesiapan menikah yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini. Pada penelitian ini inventory kesiapan PREP-M yang di gunakan hanya dimensi readiness for marriage. Dimensi readiness for marriage pada inventori kesiapan menikah PREP-M yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia yang terdiri dari empat area, yaitu terdapat kesiapan secara emosional untuk menikah, kesiapan keintiman seksual untuk menikah, kesiapan keuangan secara keseluruhan untuk menikah, dan kesiapan menikah secara keseluruhan. 2.2.2 Faktor yang Mempengaruhi Persepsi Kesiapan Menikah Holman dan Li (1997) menemukan beberapa faktor lain yang mempengaruhi kesiapan menikah. Faktor-faktor tersebut antara lain: 1. Kualitas komunikasi dan level persetujuan antara individu. 2. Penerimaan dari significant other (orang tua dan peer) mengenai hubungan yang dijalani oleh individu. 3. Pendapatan, pendidikan dan usia. Ketika individu telah memiliki pendapatan (bekerja) dan telah menyelesaikan pendidikan maka individu
11 akan memiliki kesiapan menikah yang lebih baik dibanding dengan individu yang tidak memiliki pendapatan dan pendidikan yang rendah. 4. Kemenarikan fisik, jika individu merasa dirinya menarik secara fisik maka kesiapan menikah yang dimiliki oleh individu tersebut akan menurun. 2.3 Emerging Adulthood Emerging adulthood adalah suatu tahapan perkembangan yang muncul setelah individu mengalami melewati masa remaja (adolescene) dan sebelum memasuki masa dewasa awal (young adulthood), dengan rentang usia antara 18-25 tahun (Arnett, 2004, Black, 2010). Ada banyak tugas-tugas perkembangan yang harus dipenuhi individu pada masa transisi menuju dewasa ini, antara lain tinggal terpisah dari orang tua, terdapat peningkatan dalam karier dan akademis, membangun interpersonal yang intim dan mendalam, membuat keputusan-keputusan sendiri serta memiliki kematangan emosional (Miller, 2011). Pada tahap emerging adulthood, perencanaan masa depan menjadi semakin sulit dan kompleks. Masing-masing individu akan menggunakan strateginya sendiri untuk menentukan arah mana yang akan mereka ambil untuk masa depan. Banyak kesempatan yang tersedia namun individu justru semakin bingung dan kerap dihinggapi keraguan. Sehingga, status sebagai orang dewasa dimaknai sebagai tantangan yang sangat besar bagi individu di tahap emerging adulthood (Lanz & Tagliabue, 2007). 2.3.1 Ciri-ciri Emerging Adulthood Menurut Arnett (dalam Gallo, 2011) terdapat 5 (lima) ciri utama yang dapat ditemui pada individu di tahap emerging adulthood. Ciri-ciri tersebut antara lain : 1. Identity exploration. Individu pada tahap emerging adulthood akan mencoba segala macam kemungkinan-kemungkinan, terutama dalam hal pekerjaan dan percintaan. Walaupun proses eksplorasi diri ini kerap membuat individu disibukkan dengan mencari pengalaman-pengalaman baru, namun tidak selalu dianggap sebagai kegiatan yang menyenangkan. Akibatnya ada berbagai macam emosi menjadi satu, mulai dari perasaan bebas dan optimis
12 hingga rasa takut akan eksplorasi diri yang tidak membawa mereka kea rah yang jelas (Arnett, 2004). 2. Instability. Beberapa diantara individu memasuki masa perkuliahan namun ternyata menyadari bahwa mereka menekuni bidang yang salah. Dalam hal pekerjaan, mereka merasa bahwa apa yang mereka kerjakan tidak sesuai dengan minat mereka atau membutuhkan kemampuan lain sehingga mereka perlu melanjutkan sekolah. Individu juga mengalami ketidakstabilan dalam hal percintaan dimana mereka mulai menjalin hubungan yang serius dengan pasangan mereka namun baru belakangan menyadari ada ketidakcocokan. 3. Self-focus. Individu mulai membangun kompetensi untuk menjalani aktivitasnya sehari-hari, menggali pemahaman yang lebih dalam mengenai siapa diri mereka dan apa yang mereka inginkan dalam hidup, serta mulai membangun pondasi untuk masa dewasa mereka. Selain itu, dengan diperolehnya kebebasan yang lebih dibandingkan saat masih anak-anak, individu dituntut untuk selalu mampu mengambil keputusannya sendiri dan bertanggung jawab terhadap keputusan tersebut. 4. Feeling in-between. Individu merasakan tahap dimana ia tidak ingin lagi dianggap sebagai remaja namun merasa belum siap untuk masuk ke kelompok usia dewasa. Perasaan ini juga ditandai dengan belum adanya pendirian yang tetap mengenai kehidupan personal hingga karier yang dipilih. 5. The age of possibilities. Harapan-harapan individu dalam tahap emerging adulthood berkembang besar. Mereka melihat diri mereka memiliki banyak kemungkinan untuk menjadi sosok yang besar dan mampu bertransformasi. Segala kesempatan untuk berkembang sangat terbuka lebar bila dibandingkan dengan tahapan perkembangan lainnya, seperti misalnya kesempatan untuk melanjutkan sekolah, meniti karier di bidang tertentu hingga memulai hubungan yang baru.
13 2.4 Kerangka Berpikir EMERGING ADULTHOOD KOMPETENSI INTERPERSONAL PERSEPSI KESIAPAN MENIKAH Kerangka berpikir dalam penelitian ini diawali oleh fenomena tentang kenaikan kasus perceraian yang terjadi di Indonesia. Coleman dan Cressey (dalam Pujiastuti, Reny Dyah dan Sri Lestari, 2008) mengungkapkan, masalah-masalah yang muncul dalam perkawinan yang sering menjadi penyebabnya perceraian antara lain kondisi ekonomi rumah tangga, ketidaksepahamanan suami istri tentang tugas-tugasnya sesuai peran masing-masing, dan ketidaksiapan suami istri dengan perubahan peran dalam rumah tangga. Hal itu merupakan perlunya adanya persiapan-persiapan sebelum menikah seperti yang diungkapkan Holman dan Li (1997) mengungkapkan bahwa variabel komunikasi dan kesepakatan menikah yang dirasakan individu yang berpacaran atau yang telah bertunangan. Di Indonesia rata-rata usia menikah pertama penduduk pria adalah pada usia 25,7 tahun, sedangkan pada wanita rata-rata usia menikah pertama pada usia 22,3 tahun berdasarkan hasil sensus yang dilakukan (Badan Pusat Statistik, 2010). Rentang usia tersebut termasuk ke dalam rentang usia emerging adulthood. Di masa tersebut, seorang emerging adulthood dihadapkan pada tugas perkembangan seperti hidup mandiri, menentukan gaya hidup, pilihan karir, membangun hubungan romantik dan membina rumah tangga (Papalia, Olds, & Feldman, 2001). Dalam suatu pernikahan seharusnya ada keterbukaan antar pasangan. Melihat dari variabel yang berhubungan signifikan yang sebagaimana diungkapkan oleh Holman dan Li ( 1997)
14 yaitu variabel komunikasi dan kesepakatan kepada pasangan dan penyebab terjadinya perceraian karena adanya konflik dalam pernikahan. Hal tersebut menandakan pentingnya individu memiliki kemampuan untuk berkomunikasi agar individu mendapatkan kesepakatan dengan pasangan sehingga dapat mengatasi konflik dengan baik. Kemampuan-kemampuan tersebut menandakan adanya kompetensi interpersonal, hal ini sebagaimana diungkap Buhrmester, dkk (1988) memaknai kompetensi interpersonal sebagai kemampuan-kemampuan yang dimiliki seseorang dalam membina hubungan interpersonal. Kompetensi interpersonal ditinjau dari 5 dimensi, yaitu: kemampuan memulai suatu hubungan (initiation), kemampuan menegaskan ketidaksenangan kepada orang lain (negative assertion), kemampuan mengungkapkan informasi pribadi (self disclosure), kemampuan memberikan dukungan kepada orang lain (emotional support), dan kemampuan mengelola konflik (conflict management). Selain kompetensi interpersonal peneliti ingin mengetahui tentang persepsi individu tentang kesiapan menikah. Kesiapan menikah merupakan kemampuan yang dipersepsi oleh individu untuk menjalankan peran dalam pernikahan dan merupakan bagian dari proses memilih pasangan atau perkembangan hubungan ( Holman dan Li, 1997). Dalam penelitian ini peneliti ingin mengetahui apakah terdapat hubungan antara dimensi kompetensi interpersonal dan kesiapan menikah pada emerging adulthood di Jakarta. 2.5 Hipotesis Didalam penelitian ini memiliki dua hipotesis yaitu hipotesis ilmiah dan hipotesis statistika. Hipotesis ilmiah dalam penelitian ini adalah ada hubungan yang signifikan antara kompetensi interpersonal dan kesiapan menikah pada emerging adulthood diwilayah Jakarta. Berikut ini merupakan hipotesis statistika yang digunakan dalam penelitian ini: 1. Ho : Tidak ada hubungan antara Initiation dengan kesiapan menikah pada emerging adulthood diwilayah Jakarta.
15 Ha : Ada hubungan antara Initiation dengan kesiapan menikah pada emerging adulthood diwilayah Jakarta.. 2. Ho : Tidak ada hubungan antara Negative Assertion dengan kesiapan menikah pada emerging adulthood diwilayah Jakarta. Ha : Ada hubungan antara Negative Assertion dengan kesiapan menikah pada emerging adulthood diwilayah Jakarta. 3. Ho : Tidak ada hubungan antara Self Disclosure dengan kesiapan menikah pada emerging adulthood diwilayah Jakarta. Ha : Ada hubungan antara Self Disclosure dengan kesiapan menikah pada emerging adulthood diwilayah Jakarta. 4. Ho : Tidak ada hubungan antara Emotional Support dengan kesiapan menikah pada emerging adulthood diwilayah Jakarta. Ha : Ada hubungan antara Emotional Support dengan kesiapan menikah pada emerging adulthood diwilayah Jakarta. 5. Ho : Tidak ada hubungan antara Conflict Management dengan kesiapan menikah pada emerging adulthood diwilayah Jakarta. Ha : Ada hubungan antara Conflict Management dengan kesiapan menikah pada emerging adulthood diwilayah Jakarta.
16