BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA"

Transkripsi

1 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kesiapan Menikah Pada latar belakang, penulis telah menjelaskan seberapa penting kesiapan menikah untuk individu memasuki jenjang pernikahan. Hal ini dijelaskan oleh Olson dan Olson (1999) bahwa individu yang memasuki pernikahan kadang terlalu sibuk mempersiapkan upacara dan acara pernikahan sehingga melupakan hal lain yang penting untuk mempertahankan pernikahan itu sendiri, yaitu kemampuan-kemampuan yang dibutuhkan dalam pernikahan. Kemampuan-kemampuan dasar yang dibutuhkan dalam pernikahan seperti kemampuan berkomunikasi, kemampuan dalam finansial, dan kemampuan-kemampuan lain sangatlah penting dalam menentukan keberhasilan pada awal pernikahan sebuah pasangan (Fowers& Olson, 1992). Kurangnya kemampuankemampuan tersebut dapat terlihat dari tingkat perceraian yang tinggi pada pasangan individu yang belum lama menikah pada saat studi dilakukan yaitu, 50% (Olson& DeFrain, 1997, dalam Olson & Olson). Dengan permasalahan tersebut, pada tahun 1978, inventori PREPARE/ENRICH dikembangkan berdasarkan indikator-indikator teoritis dan empiris dari permasalahan-permasalahan dan konflik-konflik yang umum terjadi pada pernikahan. Indikator ini terdiri dari 4 kelompok utama yaitu personality issues, intrapersonal issues, interpersonal issues, dan external issues. Pada studi yang dilakukan Fowers dan Olson (1992) disimpulkan bahwa kepuasan dan keberhasilan pernikahan dapat diprediksi dari kualitas hubungan sebelum menikah dan pernikahan dapat ditingkatkan dan distabilisasi melalui intervensi sebelum pernikahan. Intervensi yang dilakukan akan lebih sesuai, efektif dan efisien bila sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh pasangan yang akan menikah. Maka dari itu, Fowers dan Olson (1992) mengembangkan tipologi pasangan bertunangan berdasarkan inventori PREPARE agar dapat membantu dalam menemukan intervensi yang sesuai. Mereka pun menemukan adanya 4 tipe pasangan yaitu, vitalized couples, harmonious couples, traditional couples, dan conflicted couples. Karakteristik dari tipe-tipe di atas dijabarkan, sebagai berikut: 1. Vitalized couples adalah pasangan yang memiliki tingkat kepuasan yang tinggi pada keseluruhan 9

2 10 hubungannya. Pasangan ini memiliki nilai yang tinggi pada kenyamanan dalam mendiskusikan hubungannya masing-masing, dan menyelesaikan masalahnya bersama-sama. Mereka juga senang dengan bagaimana mereka menghabiskan waktu bebasnya bersama dan menyatakan kesepakatan bersama mengenai masalah finansial dan pola asuh. Pasangan tipe ini, melihat agama sebagai hal yang penting, dan mengindikasikan preferensi yang kuat untuk pola peran egalitarian. 2. Harmonious couples memiliki tingkat kepuasan yang sedang pada keseluruhan hubungannya. Pasangan ini menyatakan bahwa secara relatif mereka puas akan kepribadian dan perilaku pasangannya, merasa dimengerti oleh pasangannya, dapat mendiskusikan perasaanperasaannya, dapat menghadapi perbedaan-perbedaan pada pasangannya, dan merasa nyaman dengan teman-teman dan keluarga pasangannya. Tapi bagaimanapun, pasangan ini memiliki pandangan yang tidak relaistis terhadap pernikahan, dan belum mencapai kesepakatan dalam permasalahan yang berhubungan dengan anak. Mereka juga mengindikasikan bahwa agama bukan merupakan hal yang penting dalam hubungannya. 3. Traditional couples memiliki ketidakpuasan pada area interaksional hubungan mereka, tapi memiliki kekuatan dalam area-area yang melibatkan pengambilan keputusan dan perencanaan masa depan. Pasangan ini menyatakan ketidakpuasan dalam kebiasaan-kebiasaan pasangannya, membicarakan perasaan-perasaannya, dan menghadapi konflik. Pasangan ini memiliki pandangan realistis terhadap pernikahan dan menganggap agama sebagai hal yang sangat penting. 4. Conflicted couples mengindikasikan kesulitan pada semua skala PREPARE. Pasangan ini menyatakan ketidakpuasannya terhadap kepribadian dan kebiasaan-kebiasaan pasangannya. Terdapat masalah dalam kemampuan mereka untuk berkomunikasi dan mendiskusikan masalah, juga dalam hubungan seksual mereka, dan hubungan dengan teman-teman dan keluarga pasangan satu dengan lainnya. Pada tahun 2003, Risnawaty mengadaptasi PREPARE/ENRICH ke dalam bahasa Indonesia, yang kemudian dinamakan Inventori Kesiapan Menikah. Inventori Kesiapan Menikah lebih banyak mengadaptasi pada kategori interpersonal issues, hal ini

3 11 dikarenakan inventori tersebut tidak hanya mengevaluasi individu itu sendiri tapi bagaimana hubungannya dengan pasangannya. Inventori Kesiapan Menikah pun diadaptasi lebih dalam oleh Wiryasti pada tahun 2004, yang kemudian berubah nama menjadi Modifikasi Inventori Kesiapan Menikah. Menurut Wiryasti sendiri (2004), kesiapan menikah adalah kemampuan individu untuk siap menjalankan peran barunya sebagai suami atau istri dengan adanya kematangan pribadi, yaitu adanya komitmen pada masing-masing individu yang masuk ke dalam hubungan pernikahan sehingga tidak mengganggu minat-minat. Selanjutnya, sebaiknya individu sudah berpengalaman dalam menjalin hubungan interpersonal, sehingga individu mengetahui dan mengerti aturan dan tuntunan dalam suatu hubungan. Individu pun minimal berada pada tahap dewasa muda yang menjadikan pernikahan sebagai salah satu tugasnya pada tahap tersebut yaitu tugas mencari jati dirinya. Kesiapan lainnya adalah kesiapan penunjang seperti memiliki sumber finansial, dan telah selesainya studi yang dijalani. Bila studi individu belum selesai dijalani, takutnya akan berdampak kurang baik dikarenakan adanya peran ganda yang dimiliki individu, yaitu sebagai pelajar dan sebagai suami/istri. Arnett (2004) menyatakan bahwa keputusan kapan dewasa awal akan menikah ditentukan oleh diri mereka sendiri bukan lagi ditentukan oleh norma kebudayaan mereka. Untuk menilai kesiapan mereka akan menikah, individu pada tahap dewasa awal melihat ke dalam diri mereka sendiri dan bertanya kepada diri mereka sendiri mengenai kesiapan diri mereka, seberapa cukup kedewasaan mereka, dan apa mereka cukup mengetahui diri mereka sendiri. Adapula kesiapan menikah yang dijelaskan oleh Larson (dalam Ghalili, dkk., 2012) sebagai evaluasi subjektif akan kesiapan individu untuk melakukan tanggung jawabtanggung jawab dan tantangan-tantangan pernikahan. Kefalas dan kawan-kawan (dalam Papalia, Olds, dan Feldman, 2009) menyatakan bahwa individu dewasa awal kini sudah tidak lagi melihat pernikahan sebagai langkah yang tidak dapat terelakkan ke tahap kedewasaan, tapi lebih meyakini bahwa untuk menikah, individu sebaiknya sudah menjadi seseorang yang dewasa. Kebanyakan merencanakan untuk menikah, tapi hanya bila mereka sudah merasakan diri mereka sendiri siap, dan mandiri secara finansial dan memiliki pekerjaan yang tetap.

4 12 Jadi dapat disimpulkan bahwa kesiapan menikah merupakah evaluasi individu terhadap diri individu, pasangan individu, dan hubungan individu dengan pasangannya. Evaluasi yang dilakukan individu adalah evaluasi mengenai aspek-aspek kesiapan menikah yaitu komunikasi, keuangan, anak dan pengasuhan, pembagian peran suamiistri, latar belakang pasangan dan relasi dengan keluarga besar, agama, minat dan pemanfaatan waktu luang, dan perubahan pada pasangan dan pola hidup Aspek-Aspek Kesiapan Menikah Pada penelitiannya, Wiryasti (2004) menemukan adanya aspek-aspek pada kesiapan menikah yaitu: 1. Komunikasi. Pernikahan menggabungkan dua individu yang berbeda dimana dibutuhkannya komunikasi untuk mengakomodasikan perbedaan-perbedaan yang ada. Pada sebuah komunikasi terdapat dua hal yaitu, isi dan maksud, yang kadang dapat menjadi sumber terjadinya masalah bila tidak disampaikan dengan baik. Maka dari itu, dalam komunikasi sebaiknya dilakukan dengan terbuka, jujur, percaya, empati, dan keahlian dalam mendengarkan. 2. Keuangan. Permasalahan sering terjadi bila sebuah pasangan tidak memiliki sumber-sumber pendapatan yang mencukupi dan juga sering berkaitan dengan kesepakatan pengaturan keuangan oleh kedua indvidu yang ada pada hubungan tersebut. 3. Anak dan pengasuhan. Hal ini lebih ke kesepakatan dalam perencanaan memiliki anak atau tidak nantinya, dan juga perencanaan pola pengasuhan bila nantinya memiliki anak. 4. Pembagian peran suami-istri. Terdapat dua peran yaitu, peran domestik atau peran yang ada dalam rumah tangga dan peran publik atau peran di luar rumah tangga. Pada suatu pernikahan, terdapat dua tipe bagaimana sebuah pasangan berperan. Tipe pertama yaitu tipe tradisional dimana pembagian peran berdasarkan gender masing-masing. Lalu, ada tipe egalitarian dimana suami dan istri memiliki peran yang setara baik pada peran domestik maupun publik. 5. Latar belakang pasangan dan relasi dengan keluarga besar. Pada aspek ini, individu diharapkan untuk mengevaluasi pengetahuannya tentang latar belakang pasangan, dan juga hubungan individu dengan keluarga besar pasangan dan juga

5 13 sebaliknya. Penting pula untuk mengetahui persamaan dan perbedaan nilai-nilai yang ada pada masing-masing pasangan. 6. Agama. Pada aspek ini akan dilihat cara-cara individu menyepakati bersama dalam kehidupan beragama, dikarenakan ada kemungkinan individu yang memiliki agama yang berbeda dengan pasangannya. Ditemukan pula bahwa individu yang memiliki kesepakatan bersama dengan pasangan untuk berkomitmen tinggi pada agamanya terbukti memiliki pernikahan yang lebih berhasil dan memuaskan. 7. Minat dan pemanfaatan waktu luang. Pada aspek ini, individu diharapkan untuk menghargai dan menyepakati bersama mengenai minat-mintat individu dan pasangan, dan kegiatan bersama yang akan dilakukan untuk mengisi waktu luang. Pasangan yang memiliki minat dan kepentingan yang serupa atau sama lebih dapat saling menyesuaikan dirinya ke pasangan. 8. Perubahan pada pasangan dan pola hidup. Individu yang berada dalam suatu hubungan jangka panjang akan mendapatkan dirinya memiliki perubahanperubahan tertentu. Dengan pernikahan yang dilaksanakan, akan terjadi pula perubahan pola hidup yang drastis pada pasangan. Maka dari itu, individu yang hendak menghadapi pernikahan sebaiknya mendiskusikan perubahan-perubahan yang mungkin akan terjadi, tetap bersifat positif dan selalu berpartisipasi terhadap perubahan-perubahan yang terjadi Faktor-Faktor Lain Beberapa faktor-faktor penting lain dalam transisi ke pernikahan yang menentukan kesiapan dalam pernikahan (Holman& Li, 1997): 1. Usia. Usia merupakan salah satu dari faktor-faktor penting dalam menentukan kesiapan menikah. Pernikahan yang terjadi pada saat indivdu dalam tahun remajanya sering dikarenakan kehamilan dan hal tersebut dapat menyebabkan mereka meninggalkan pendidikannya dan dapat lebih merumitkan pernikahannya. 2. Tingkat kedewasaan. Tingkat kedewasaan individu yang juga merupakan hal yang penting yang harus diperhatikan. Seperti pada faktor usia, remaja seringkali

6 14 kurang cukup dewasa untuk mengatasi hubungan pernikahan. Hal ini disebabkan kurangnya keahlian dalam komunikasi, kecemburuan, atau kurangnya kesetiaan. 3. Waktu individu memasuki pernikahan. Berbeda dengan usia, waktu lebih ditentukan oleh individu itu sendiri, karena pada beberapa orang, mereka tidak menikah hanya karena mereka memang belum siap bukan karena ditentukan oleh usia. 4. Motif untuk menikah. Motif kebanyakan orang untuk menikah adalah untuk cinta, persahabatan dan keamanan, tapi tidak hanya itu beberapa orang juga ada yang memiliki motif untuk melarikan diri dari situasi kehidupan yang tidak menyenangkan. 5. Kesiapan individu untuk sexual exclusiveness. Hal ini juga merupakan faktor penting dalam menentukan siap atau tidaknya individu dalam menghadapi pernikahan. 6. Emansipasi emosional dari orangtua. Individu harus siap untuk memberikan loyalitas dan kasih sayang utamanya ke pasangannya bukan ke orangtuanya lagi. 7. Tingkat pendidikan individu dan aspirasi vokasional dan tingkat pemenuhan. Jika individu memiliki aspirasi yang tinggi, individu tersebut akan menunggu lebih lama untuk menikah setelah menyelesaikan pendidikannya atau kuliahnya dan akan menunggu lebih lama setelah menikah untuk memiliki anak. Adapula faktor lain yang berhubungan dengan kesiapan menikah individu. DeGenova (2008) menyatakan bahwa keluarga merupakan salah satu faktor yang memiliki pengaruh besar dalam kehidupan individu. Hal in dikarenakan menurut G. W. Peterson dan Rollins (dalam DeGenova, 2008) terdapat yang disebut dengan transmisi generasi dimana keluarga merupakan pentransmisi atau penurunan prinsip-prinsip dari pengetahuan-pengetahuan, nilai-nilai, sikap-sikap, peran-peran dan kebiasaan-kebiasaan dari satu generasi ke generasi lainnya. Pentransmisian tersebut antara lain didapatkan dengan observational modelling dimana generasi selanjutnya mengobservasi, mengimitasi dan mencontoh perilaku-perilaku di sekitar mereka yaitu generasi sebelumnya. Apa yang orangtua katakan merupakan hal yang penting, tapi apa yang anak persepsikan sebagai sesuatu yang orangtua percaya dan lakukan merupakan hal yang paling penting. Dalam berhubungan dengan orang lain, secara tidak sadar, hubungan individu saat ini juga dipengaruhi oleh asal keluarga mereka (DeGenova,

7 ). Tidak hanya dalam hubungan saja tapi dalam pernikahan, Synder, Velasques, dan Clarck (dalam DeGenova, 2008) menyatakan bahwa sikap kita terhadap pernikahan dan peran-peran orangtua berhubungan erat dengan sikap-sikap pernikahan dan peran orangtua yang ada pada orangtua kita. Bila memang adanya transmisi generasi yang terjadi, dimana adanya penurunan prinsip-prinsip dari pengetahuan-pengetahuan, nilai-nilai, sikap-sikap, peran-peran dan kebiasaan-kebiasaan dari satu generasi ke generasi lainnya, maka dari itu penulis berpendapat bahwa hal-hal yang diturunkan tersebut dapat mempengaruhi semua aspekaspek yang terdapat dalam kesiapan menikah yaitu aspek komunikasi, keuangan, anak dan pengasuhan, pembagian peran suami-istri, latar belakang pasangan dan relasi dengan keluarga besar, agama, minat dan pemanfaatan waktu luang, dan perubahan pada pasangan dan pola hidup. 2.2 Persepsi mengenai Konflik Interparental Konflik interparental merupakan konflik antara pasangan yang merupakan hal normal yang terjadi antara dua orang. Konflik muncul di saat motif-motif, tujuan-tujuan, keyakinan-keyakinan, pendapat-pendapat atau perilaku-perilaku seseorang bersinggungan atau tidak sesuai dengan orang lain (Miller, Perlman, & Brehm, 2007). Dua orang tidak akan pernah setuju akan segala hal. Sejumlah keputusan yang harus diambil sebuah pasangan dan kekecewaan, frustrasi dan penyesuaian yang harus mereka hadapi, kadang akan ditunjukkan dalam bentuk pandangan yang menyakitkan, kata-kata kemarahan atau sebuah pertengkaran yang terlihat (DeGenova, 2008). Cummings dan Davies (2010) mendefinisikan konflik pernikahan sebagai interaksi interparental baik besar maupun kecil yang menyertakan perbedaan pendapat, entah apakah interaksi tersebut negatif ataupun positif. Definisi di atas juga dapat mendefinisikan konflik interparental karena konflik pernikahan sendiri didefinisikan sebagai interaksi interparental. Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, disimpulkan bahwa konflik interparental merupakan sebuah interaksi interparental yang terjadi dikarenakan adanya ketidaksamaan pendapat antara kedua orangtua. Konflik interparental tidak hanya berdampak pada pasangan yang berkonflik tapi juga dapat berdampak terhadap anak dari pasangan yang berkonflik tersebut.

8 16 Dalam penelitian ini, penulis tidak hanya mendalami konflik interparental yang terjadi, tetapi lebih mendalam kepada persepsi anak pada pasangan yang bertengkar mengenai konflik interparental yang disaksikan atau didengarkan. Grych dan Fincham (1990) menyatakan bahwa kita tidak bisa mengetahui dampak dari konflik interparental hanya dari karakteristik konflik yang terjadi tapi juga harus mengetahui bagaimana anak mengiterpretasikan konflik tersebut. Pada penelitian mengenai hubungan persepsi anak terhadap konflik interparental dengan penyesuaian anak yang dilakukan oleh 222 anak-anak berusia 9-12 tahun, ditemukan domain-domain dalam konflik interparental yang perlu diperhatikan yaitu frekuensi, intensitas, konten, dan resolusi dari konflik yang terjadi, domain-domain ini dikelompokkan ke dalam faktor konflik pernikahan (Grych, Seid, & Fincham, 1992). Frekuensi yang dimaksud adalah frekuensi atau seberapa sering konflik interparental yang terjadi. Frekuensi dari konflik memiliki hubungan dengan kesulitan atau penderitaan, ketidakamanan dan kemarahan yang lebih besar pada anak (Cummings, Davies, & Simpson, 1994). Intensitas dari konflik sendiri memiliki hubungan dengan kemarahan, kesedihan, kekhawatiran, ketidakberdayaan pada individu yang menyaksikan dan juga lebih tingginya tingkat perilaku bermasalah (Grych, Fincham, Jouriles, & McDonald, 2000). Konten atau isi dari konflik sendiri dapat mempengaruhi individu yang menyaksikan. Konflik yang berhubungan langsung dengan individu sebagai anak dapat lebih memiliki dampak negatif pada pengasuhan dan perkembangan individu tersebut (DeGenova, 2008). Konflik yang terselesaikan dapat mengurangi kesulitan atau penderitaan dan kemarahan pada diri individu yang menyaksikan. Terdapat pula domain-domain yang menggambarkan reaksi dan interpretasi individu terhadap konflik pernikahan yaitu menyalahkan diri sendiri (self-blame) dimana individu sering menyalahkan diri sendiri atas konflik yang terjadi pada orangtuanya, ancaman yang dirasakan (perceived threat) menunjukkan perasaan terancam akan tersakiti di saat orangtuanya berkonflik, kemampuan menangani (coping efficacy) dampak-dampak konflik orangtua pada diri individu, dan stabilitas (stability) dimana konflik yang terjadi berulang terus-menerus dengan sebab atau konten yang sama. Terdapat tambahan domain yaitu triangulation dimana domain ini bertujuan untuk menggambarkan perasaan tertekan pada individu yang mempersepsikan dirinya diharuskan untuk memihak salah satu di antara kedua orangtuanya.

9 17 Hasil dari penelitian Grych, Seid, dan Fincham (1992) menghasilkan suatu alat ukur bernama Children s Perception of Interparental Conflict Scale. Alat ukur ini juga telah terbukti dapat digunakan untuk melihat persepsi individu terhadap konflik interparental dalam tahap perkembangan remaja dan dewasa awal (Moura, Santos, Rocha, & Matos, 2010). Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa dimensi-dimensi yang terdapat dalam persepsi mengenai konflik interparental juga berlaku pada tahap perkembangan dewasa awal. Pada penelitian Moura, dkk. (2010) dibentuk penyusunan baru pada faktorfaktor dan subskala pada perspesi mengenai konflik interparental yang lebih reliabel dan valid untuk digunakan pada dewasa awal. Hal ini dapat dijabarkan, sebagai berikut: 1. Faktor Properti-Properti Konflik (Conflict Properties), terdiri dari lima subskala, yaitu: a. Frekuensi. Persepsi anak mengenai seberapa seringnya orangtuanya berkonflik. b. Intensitas. Persepsi anak mengenai sebarapa parah atau intens konflik yang terjadi antara orangtunyanya. c. Resolusi. Persepsi anak mengenai ada atau tidaknya penyelesaian konflik yang berlangsung. d. Triangulation. Anak memiliki persepsi bahwa dirinya berada di tengahtengah konflik orang tuanya. e. Stabilitas. Konflik yang terjadi dipersepsikan anak berulang-ulang dengan hal yang sama. 2. Ancaman (Threat), terdiri dari dua subskala, yaitu: a. Ancaman yang dirasakan. Persepsi anak terhadap adanya ancaman yang dirasakan di saat menyaksikan atau mendengarkan konflik yang teradi antara orangtuanya. b. Coping Efficacy. Adanya cara tersendiri pada anak untuk mengatasi ketidaknyamanan yang dirasakan di saat konflik yang terjadi di antara orangtuanya. 3. Menyalahkan Diri Sendiri (Self-Blame), terdiri dari dua subskala, yaitu: a. Menyalahkan diri sendiri. Anak menyalahkan diri sendiri atas konflik yang terjadi di antara orangtuanya.

10 18 Konten. Persepsi anak mengenai keterlibatan dirinya dalam konflik yang berlangsung. 2.3 Dewasa awal Tahap dewasa awal atau disebut juga dengan emerging adulthood merupakan tahap transisi dari tahap remaja ke kedewasaan. Tahap ini dimulai dari usia 18 tahun sampai 29 tahun (Arnett, Emerging Adulthood: The Winding Road from Late Teens Through The Twenties, 2015). Beberapa ilmuwan perkembangan menyatakan bahwa periode dari remaja akhir sampai melewati akhir usia 20an telah menjadi periode tersendiri. Periode ini disebut dengan periode eksploratori, waktu adanya kemungkinankemungkinan, sebuah kesempatan untuk mencoba cara-cara baru dan berbeda dalam menjalani kehidupan dimana individu-individu muda bukan lagi remaja tapi juga belum secara tetap menjalani peran-peran dewasa (Papalia, Olds, & Feldman, 2009). Pada tahap ini, bila berkaitan dengan hubungan romantis, individu sudah mulai berubah dalam berbagai bentuk yang membuat mereka lebih siap mengahadapi pernikahan. Perubahan-perubahan yang dimaksud berupa seperti mereka lebih menghargai pernghargaan yang didapatkan dari menetap dengan satu orang dalam jangka waktu yang panjang dan mengembangkan emosi yang lebih dalam akan kedekatan. Mereka juga memiliki keinginan akan keamanan dan komitmen yang lebih dalam hubungan mereka. Dewasa awal pada masa kini, dalam mengahadapi suatu pernikahan, lebih memiliki kebebasan akan waktu mereka menikah. Keputusan kapan mereka akan menikah ditentukan oleh diri mereka sendiri bukan lagi ditentukan oleh norma kebudayaan mereka. Untuk menilai kesiapan mereka akan menikah, individu pada tahap dewasa awal melihat ke dalam diri mereka sendiri dan bertanya kepada diri mereka sendiri mengenai kesiapan diri mereka, seberapa cukup kedewasaan mereka, dan apa mereka cukup mengetahui diri mereka sendiri (Arnett, 2004).

11 Kerangka Berpikir Gambar 2.1 Kerangka Berpikir Hubungan Persepsi mengenai Konflik Interparental dengan Kesiapan Menikah pada Individu Dewasa awal Kesiapan menikah pada individu dewasa awal sangatlah dibutuhkan untuk individu tersebut menghadapi pernikahan. Hal ini dikarenakan pernikahan merupakan salah satu tugas penting individu dalam tahap perkembangan dewasa muda (Wiryasti, 2004). Wiryasti (2004) menyatakan bahwa terdapat aspek-aspek yang penting dalam menentukan individu siap atau tidak dalam menghadapi pernikahan, yaitu komunikasi, keuangan, anak dan pengasuhan, pembagian peran suami-istri, latar belakang pasangan dan relasi dengan keluarga besar, agama, minat dan pemanfaatan waktu luang, dan perubahan pada pasangan dan pola hidup. Aspek latar belakang menurut DeGenova (2008) merupakan aspek yang sangat mempengaruhi seorang individu dimana terjadinya proses diteruskannya pengetahuanpengetahuan, nilai-nilai, sikap-sikap, peran-peran, dan kebiasaan-kebiasaan ke generasi berikutnya. Hal-hal yang diteruskan disebut dengan transmisi generasi, hal ini didapatkan dari keluarga individu, terutama orangtua. Transmisi generasi didapatkan dari observational modelling. Observational modelling dapat terjadi di saat anak-anak mengobservasi, mengimitasi dan mencontoh perilaku-perilaku di sekitar mereka. Dinyatakan pula bahwa perkataan orangtua merupakan hal yang penting, tapi persepsi anak terhadap hal-hal yang orangtua percaya dan lakukan merupakan hal yang paling penting. Bila memang terdapat transmisi generasi melalui observational modelling pada seorang individu, hal ini dapat berhubungan dengan bagaimana keadaan pada orangtua

12 20 yang merupakan orang terdekat atau dapat disebut model individu sendiri. Individu yang memiliki orangtua yang berkonflik dapat memliki kesiapan menikah yang berhubungan dengan konflik yang terjadi antara orangtuanya yang dihasilkan dari observational modelling yang dilakukannya. Hal ini juga dapat diperkuat dengan pernyataan Synder, Velasques, dan Clarck (dalam DeGenova, 1997) bahwa sikap kita terhadap pernikahan dan peran-peran orangtua berhubungan erat dengan sikap-sikap pernikahan dan peran orangtua yang ada pada orangtua kita. Kesimpulannya, di saat orangtua mengalami konflik dengan individu menyaksikan dan mendengarkan, individu tersebut membentuk persepsi sendiri mengenai konflik yang terjadi. Persepsi dari observasi yang dilakukan individu dapat membentuk pengetahuan-pengetahuan, nilai-nilai, sikap-sikap, peran-peran, dan kebiasaankebiasaan. Hasil dari observational modelling tersebut dapat berhubungan dengan aspek-aspek kesiapan menikah yang terdapat pada individu. 2.5 Asumsi Penelitian Asumsi penelitian ini adalah adanya hubungan antara faktor-faktor persepsi mengenai konflik interparental dengan kesiapan menikah pada individu dewasa awal.

BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI, SARAN

BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI, SARAN BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI, SARAN 5.1 Simpulan Berdasarkan analisa hasil yang sudah dijabarkan pada bab sebelumnya, secara keseluruhan, hanya faktor conflict properties pada persepsi konflik interparental

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini akan dibahas beberapa teori yang berkaitan dengan variabel-variabel yang akan diteliti pada penelitian ini. 2.1 Pernikahan Pernikahan merupakan awal terbentuknya kehidupan

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI MENGENAI KONFLIK INTERPARENTAL DENGAN KESIAPAN MENIKAH PADA INDIVIDU DEWASA AWAL DI JAKARTA

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI MENGENAI KONFLIK INTERPARENTAL DENGAN KESIAPAN MENIKAH PADA INDIVIDU DEWASA AWAL DI JAKARTA HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI MENGENAI KONFLIK INTERPARENTAL DENGAN KESIAPAN MENIKAH PADA INDIVIDU DEWASA AWAL DI JAKARTA Puti Saraswati Universitas Bina Nusantara, putisaras@gmail.com Pingkan C. B. Rumondor

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kesiapan Menikah 2.1.1 Pengertian Kesiapan Menikah Konsep kesiapan menikah Wiryasti didapatkan melalui studi penelitian dari Fowers & Olson (1992). Kemampuan-kemampuan dasar

Lebih terperinci

BAB 2. Tinjauan Pustaka

BAB 2. Tinjauan Pustaka BAB 2 Tinjauan Pustaka 2.1 Resolusi Konflik Setiap orang memiliki pemikiran atau pengertian serta tujuan yang berbeda-beda dan itu salah satu hal yang tidak dapat dihindarkan dalam suatu hubungan kedekatan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kompetensi Interpersonal Sebagaimana diungkapkan Buhrmester, dkk (1988) memaknai kompetensi interpersonal sebagai kemampuan-kemampuan yang dimiliki seseorang dalam membina hubungan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini akan dijelaskan beberapa teori yang terkait dengan variabel yang akan diteliti pada penelitian ini. 2.1 Kesiapan Menikah 2.1.1 Sejarah Konstruk Kesiapan Menikah Konsep

Lebih terperinci

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pernikahan adalah tahap yang penting bagi hampir semua orang yang memasuki masa dewasa awal. Individu yang memasuki masa dewasa awal memfokuskan relasi interpersonal

Lebih terperinci

GAMBARAN KEPUASAN PERNIKAHAN PADA ISTRI YANG TELAH MENIKAH TIGA TAHUN DAN BELUM MEMILIKI ANAK KEUMALA NURANTI ABSTRAK

GAMBARAN KEPUASAN PERNIKAHAN PADA ISTRI YANG TELAH MENIKAH TIGA TAHUN DAN BELUM MEMILIKI ANAK KEUMALA NURANTI ABSTRAK GAMBARAN KEPUASAN PERNIKAHAN PADA ISTRI YANG TELAH MENIKAH TIGA TAHUN DAN BELUM MEMILIKI ANAK KEUMALA NURANTI ABSTRAK Penelitian deskriptif ini berdasar pada fenomena bahwa kehadiran anak memiliki peran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. perkembangan dan menyelesaikan tugas-tugas perkembangan dimulai dari lahir, masa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. perkembangan dan menyelesaikan tugas-tugas perkembangan dimulai dari lahir, masa 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial. Manusia mengalami berbagai proses perkembangan dan menyelesaikan tugas-tugas perkembangan dimulai dari lahir, masa kanak-kanak,

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kesiapan Menikah 2.1.1 Definisi Kesiapan Menikah Kesiapan menikah merupakan suatu kemampuan yang dipersepsi oleh individu untuk menjalankan peran dalam pernikahan dan merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembagian tugas kerja di dalam rumah tangga. tua tunggal atau tinggal tanpa anak (Papalia, Olds, & Feldman, 2008).

BAB I PENDAHULUAN. pembagian tugas kerja di dalam rumah tangga. tua tunggal atau tinggal tanpa anak (Papalia, Olds, & Feldman, 2008). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pernikahan merupakan peristiwa penting dalam siklus kehidupan manusia. Setiap orang berkeinginan untuk membangun sebuah rumah tangga yang bahagia bersama orang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN Pernikahan merupakan komitmen yang disetujui oleh dua pihak secara resmi yang dimana kedua pihak tersebut bersedia untuk berbagi keitiman emosional & fisik, bersedia

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Lemme (1995) kepuasan pernikahan adalah evaluasi suami dan istri terhadap

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Lemme (1995) kepuasan pernikahan adalah evaluasi suami dan istri terhadap BAB II LANDASAN TEORI A. Kepuasan Pernikahan 1. Definisi Kepuasan Pernikahan Menurut Lemme (1995) kepuasan pernikahan adalah evaluasi suami dan istri terhadap hubungan pernikahan yang cenderung berubah

Lebih terperinci

BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN

BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN Pada bab ini akan dijelaskan mengenai kesimpulan dari hasil penelitian yang dilakukan. Selain itu, bab ini juga berisikan saran, baik saran metodologis maupun saran praktis

Lebih terperinci

BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Pernikahan merupakan awal terbentuknya kehidupan keluarga. Setiap pasangan yang mengikrarkan diri dalam sebuah ikatan pernikahan tentu memiliki harapan agar pernikahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehidupannya senantiasa membutuhkan orang lain.kehadiran orang lain bukan hanya untuk

BAB I PENDAHULUAN. kehidupannya senantiasa membutuhkan orang lain.kehadiran orang lain bukan hanya untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setiap Manusia diciptakan sebagai makhluk sosial yang dalam menjalankan kehidupannya senantiasa membutuhkan orang lain.kehadiran orang lain bukan hanya untuk

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Bab ini akan membahas tentang landasan teori berupa definisi, dimensi, dan faktor yang berpengaruh dalam variabel yang akan diteliti, yaitu bahasa cinta, gambaran tentang subjek

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadinya aktivitas-aktivitas sosial. Interaksi sosial tidak akan mungkin terjadi

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadinya aktivitas-aktivitas sosial. Interaksi sosial tidak akan mungkin terjadi 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Setiap makhluk hidup didunia memiliki keinginan untuk saling berinteraksi. Interaksi social yang biasa disebut dengan proses sosial merupakan syarat utama terjadinya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kualitas Perkawinan. Definisi lain menurut Wahyuningsih (2013) berdasarkan teori Fowers dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kualitas Perkawinan. Definisi lain menurut Wahyuningsih (2013) berdasarkan teori Fowers dan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kualitas Perkawinan 1. Pengertian Kualitas Perkawinan Menurut Gullota (Aqmalia, 2009) kepuasan pernikahan merupakan perasaan pasangan terhadap pasangannya mengenai hubungan pernikahannya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masa beralihnya pandangan egosentrisme menjadi sikap yang empati. Menurut Havighurst

BAB I PENDAHULUAN. masa beralihnya pandangan egosentrisme menjadi sikap yang empati. Menurut Havighurst BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial. Perkembangan sosial masa dewasa awal (young adulthood) adalah puncak dari perkembangan sosial masa dewasa. Masa dewasa awal adalah

Lebih terperinci

Lampiran 1. Data Penunjang dan Kuesioner Self Esteem dan Jealousy. Frekuensi bertemu dengan pasangan : Sering ( setiap hari )

Lampiran 1. Data Penunjang dan Kuesioner Self Esteem dan Jealousy. Frekuensi bertemu dengan pasangan : Sering ( setiap hari ) Lampiran 1. Data Penunjang dan Kuesioner Self Esteem dan Jealousy DATA PRIBADI Nama ( inisial ) : Jenis Kelamin : Usia : Fakultas : Frekuensi bertemu dengan pasangan : Sering ( setiap hari ) Kadang-kadang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak pernah terlepas dari

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak pernah terlepas dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak pernah terlepas dari hubungannya dengan orang lain. Keberadaan orang lain dibutuhkan manusia untuk melakukan suatu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORITIS. A. Kepuasan Pernikahan

BAB II TINJAUAN TEORITIS. A. Kepuasan Pernikahan BAB II TINJAUAN TEORITIS A. Kepuasan Pernikahan 1. Pengertian Kepuasan Pernikahan Pernikahan didefinisikan sebagai hubungan yang diakui secara sosial antara pria dan wanita yang didalamnya terdapat hubungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan menjadi prioritas dalam hidup jika seseorang sudah berada di usia yang cukup matang dan mempunyai

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. interpersonal sebagai kemampuan-kemampuan yang dimiliki seseorang dalam

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. interpersonal sebagai kemampuan-kemampuan yang dimiliki seseorang dalam BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kompetensi Interpersonal 2.1.2 Definisi Kompetensi Interpersonal Sebagaimana diungkapkan Buhrmester, dkk (1988) memaknai kompetensi interpersonal sebagai kemampuan-kemampuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penting. Keputusan yang dibuat individu untuk menikah dan berada dalam

BAB I PENDAHULUAN. penting. Keputusan yang dibuat individu untuk menikah dan berada dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pernikahan bagi beberapa individu dapat menjadi hal yang istimewa dan penting. Keputusan yang dibuat individu untuk menikah dan berada dalam kehidupan yang

Lebih terperinci

BAB 2 Tinjauan Pustaka

BAB 2 Tinjauan Pustaka BAB 2 Tinjauan Pustaka Pada bab ini akan dibahas mengenai teori-teori yang berhubungan dengan variabel-variabel yang terdapat dalam penelitian ini, antara lain pengetahuan tentang pasangan, kesiapan menikah,

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kepuasan Pernikahan Clayton (1975) dan Snyder (1979) menjelaskan bahwa kepuasan perkawinan merupakan evaluasi secara keseluruhan tentang segala hal yang berhubungan dengan kondisi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepuasan Pernikahan 1. Pengertian kepuasan pernikahan Fowers dan Olson (1993) mendefinisikan kepuasan pernikahan sebagai sebuah evaluasi menyeluruh mengenai hubungan pernikahan

Lebih terperinci

(Elisabeth Riahta Santhany) ( )

(Elisabeth Riahta Santhany) ( ) 292 LAMPIRAN 1 LEMBAR PEMBERITAHUAN AWAL FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS INDONUSA ESA UNGGUL JAKARTA Saya mengucapkan terima kasih atas waktu yang telah saudara luangkan untuk berpartisipasi dalam penelitian

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Saat seseorang memutuskan untuk menikah, maka ia akan memiliki harapan-harapan yang tinggi atas pernikahannya (Baron & Byrne, 2000). Pernikahan merupakan awal terbentuknya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pernikahan merupakan salah satu tahapan dalam kehidupan manusia. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pernikahan merupakan salah satu tahapan dalam kehidupan manusia. Hal ini 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pernikahan merupakan salah satu tahapan dalam kehidupan manusia. Hal ini sering terjadi di belahan bumi manapun dan terjadi kapanpun. Pernikahan itu sendiri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. lazimnya dilakukan melalui sebuah pernikahan. Hurlock (2009) menyatakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. lazimnya dilakukan melalui sebuah pernikahan. Hurlock (2009) menyatakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia sebagai makhluk sosial ditakdirkan untuk berpasangan yang lazimnya dilakukan melalui sebuah pernikahan. Hurlock (2009) menyatakan bahwa pernikahan adalah salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menjaga hubungan romantis dengan pasangan romantis (romantic partner) seperti

BAB I PENDAHULUAN. Menjaga hubungan romantis dengan pasangan romantis (romantic partner) seperti 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menjaga hubungan romantis dengan pasangan romantis (romantic partner) seperti saat masih menjadi teman dekat atau pacar sangat penting dilakukan agar pernikahan bertahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perubahan dan menyelesaikan tugas-tugas perkembangan dari lahir, masa kanakkanak,

BAB I PENDAHULUAN. perubahan dan menyelesaikan tugas-tugas perkembangan dari lahir, masa kanakkanak, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Setiap manusia dalam perkembangan hidupnya, akan mengalami banyak perubahan dan menyelesaikan tugas-tugas perkembangan dari lahir, masa kanakkanak, masa remaja, masa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. Seiring dengan berkembangnya zaman manusia untuk mempertahankan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. Seiring dengan berkembangnya zaman manusia untuk mempertahankan BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Seiring dengan berkembangnya zaman manusia untuk mempertahankan hidup adalah dengan peningkatan ekonomi. Didalam orang yang sudah berkeluarga tentunya mempunyai berbagai

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. A. Kepuasan Pernikahan. 1. Pengertian Kepuasan Pernikahan

BAB II LANDASAN TEORI. A. Kepuasan Pernikahan. 1. Pengertian Kepuasan Pernikahan 13 BAB II LANDASAN TEORI A. Kepuasan Pernikahan 1. Pengertian Kepuasan Pernikahan Pernikahan merupakan suatu istilah yang hampir tiap hari didengar atau dibaca dalam media massa. Namun kalau ditanyakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hakikatnya Tuhan menciptakan manusia berpasang-pasangan, antara pria dan

BAB I PENDAHULUAN. hakikatnya Tuhan menciptakan manusia berpasang-pasangan, antara pria dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia merupakan makhluk sosial, dimana mereka tidak dapat hidup seorang diri. Manusia selalu membutuhkan orang lain, baik untuk saling membantu, bekerja sama, bahkan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. A. Desain Penelitian. merupakan penelitian kuantitatif yang bersifat deskriptif komparatif, yakni jenis

BAB III METODE PENELITIAN. A. Desain Penelitian. merupakan penelitian kuantitatif yang bersifat deskriptif komparatif, yakni jenis 19 BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Menurut Arikunto (2002) desain penelitian merupakan serangkaian proses yang diperlukan dalam perencanaan dan pelaksanaan penelitian. Penelitian ini merupakan

Lebih terperinci

LAMPIRAN I GUIDANCE INTERVIEW Pertanyaan-pertanyaan : I. Latar Belakang Subjek a. Latar Belakang Keluarga 1. Bagaimana anda menggambarkan sosok ayah

LAMPIRAN I GUIDANCE INTERVIEW Pertanyaan-pertanyaan : I. Latar Belakang Subjek a. Latar Belakang Keluarga 1. Bagaimana anda menggambarkan sosok ayah LAMPIRAN I GUIDANCE INTERVIEW Pertanyaan-pertanyaan : I. Latar Belakang Subjek a. Latar Belakang Keluarga 1. Bagaimana anda menggambarkan sosok ayah bagi diri anda sendiri? 2. Bagaimana anda menggambarkan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Penyesuaian Perkawinan 1. Pengertian Penyesuaian Perkawinan Konsep penyesuaian perkawinan menuntut kesediaan dua individu untuk mengakomodasikan berbagai kebutuhan, keinginan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pernikahan. Berdasarkan Undang Undang Perkawinan no.1 tahun 1974,

BAB I PENDAHULUAN. pernikahan. Berdasarkan Undang Undang Perkawinan no.1 tahun 1974, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada umumnya, setiap individu pada tahap perkembangan dewasa awal menjalin suatu hubungan dengan lawan jenis yang berujung pada jenjang pernikahan. Berdasarkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. terbatas berinteraksi dengan orang-orang seusia dengannya, tetapi lebih tua,

BAB 1 PENDAHULUAN. terbatas berinteraksi dengan orang-orang seusia dengannya, tetapi lebih tua, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial yang senantiasa memerlukan interaksi dengan orang lain. Saat berinteraksi dengan orang lain dan lingkungan sekitarnya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. adalah masa dewasa muda. Pada masa ini ditandai dengan telah tiba saat bagi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. adalah masa dewasa muda. Pada masa ini ditandai dengan telah tiba saat bagi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Individu memiliki beberapa tahap dalam kehidupannya, salah satunya adalah masa dewasa muda. Pada masa ini ditandai dengan telah tiba saat bagi individu untuk

Lebih terperinci

BAB 5 Simpulan, Diskusi, dan Saran

BAB 5 Simpulan, Diskusi, dan Saran BAB 5 Simpulan, Diskusi, dan Saran Pada bab ini peneliti akan membahas mengenai simpulan yang digunakan untuk menjawab pertanyaan penelitian berdasarkan hasil analisis data yang telah dilakukan pada bab

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri tanpa kehadiran manusia lainnya. Kehidupan menjadi lebih bermakna dan berarti dengan kehadiran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Berpacaran sebagai proses dua manusia lawan jenis untuk mengenal dan

BAB I PENDAHULUAN. Berpacaran sebagai proses dua manusia lawan jenis untuk mengenal dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Fenomena berpacaran sudah sangat umum terjadi dalam masyarakat. Berpacaran sebagai proses dua manusia lawan jenis untuk mengenal dan memahami lawan jenisnya

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Gambaran Kepuasan..., Dini Nurul Syakbani, F.PSI UI, 2008

1. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Gambaran Kepuasan..., Dini Nurul Syakbani, F.PSI UI, 2008 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada umumnya, orang dewasa menginginkan hubungan cintanya berlanjut ke jenjang perkawinan. Perkawinan memberikan kesempatan bagi individu untuk dapat memenuhi berbagai

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN SOSIO-EMOSIONAL PADA MASA DEWASA AWAL

PERKEMBANGAN SOSIO-EMOSIONAL PADA MASA DEWASA AWAL PSIKOLOGI PERKEMBANGAN DEWASA DAN LANSIA PERKEMBANGAN SOSIO-EMOSIONAL PADA MASA DEWASA AWAL Oleh: Dr. Rita Eka Izzaty, M.Si Yulia Ayriza, Ph.D STABILITAS DAN PERUBAHAN ANAK-DEWASA TEMPERAMEN Stabilitas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Alasan Pemilihan Teori Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being menurut Diener (2005). Teori yang dipilih akan digunakan untuk meneliti gambaran

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Saat ini salah satu fenomena yang semakin sering muncul di Jakarta adalah perceraian. Fakta yang ada tidak semua pernikahan berjalan dengan lancar, tidak sedikit

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Berikut kutipan wawancara yang dilakukan peneliti dengan seorang wanita

BAB 1 PENDAHULUAN. Berikut kutipan wawancara yang dilakukan peneliti dengan seorang wanita BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berikut kutipan wawancara yang dilakukan peneliti dengan seorang wanita yang bernama Mimi, usia 21 tahun, sudah menikah selama 2 tahun dan memiliki 1 orang anak, mengenai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 40 tahun. Pada masa ini, orang-orang mencari keintiman emosional dan fisik

BAB I PENDAHULUAN. 40 tahun. Pada masa ini, orang-orang mencari keintiman emosional dan fisik BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Masa dewasa awal merupakan waktu perubahan dramatis dalam hubungan personal. Hal tersebut dikarenakan banyaknya perubahan yang terjadi pada individu di masa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Intimacy (Keintiman) 2.1.1 Definisi Intimacy Menurut Erikson (dalam Valentini, & Nisfiannoor, 2006) intimacy sebagai kemampuan untuk berkomunikasi dan juga berperan penting

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kekuatan seseorang dalam menghadapi kehidupan di dunia ini berawal dari keluarga. Keluarga merupakan masyarakat terkecil yang sangat penting dalam membentuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tahap perkembangan psikososial Erikson, intimacy versus isolation, merupakan isu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tahap perkembangan psikososial Erikson, intimacy versus isolation, merupakan isu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tahap perkembangan psikososial Erikson, intimacy versus isolation, merupakan isu utama bagi individu yang ada pada masa perkembangan dewasa awal. Menurut Erikson,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ini adalah bagian dari jenjang atau hierarki kebutuhan hidup dari Abraham Maslow, yang

BAB I PENDAHULUAN. ini adalah bagian dari jenjang atau hierarki kebutuhan hidup dari Abraham Maslow, yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pernikahan menjadi hal yang paling penting dalam fase kehidupan manusia. Tahapan ini adalah bagian dari jenjang atau hierarki kebutuhan hidup dari Abraham Maslow,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORI. dalam perkawinan. Bradbury, Fincham, dan Beach (2000) mengatakan. sehingga pernikahan dapat terus bertahan.

BAB II TINJAUAN TEORI. dalam perkawinan. Bradbury, Fincham, dan Beach (2000) mengatakan. sehingga pernikahan dapat terus bertahan. BAB II TINJAUAN TEORI A. Kepuasan Perkawinan 1. Pengertian Kepuasan Perkawinan Setiap pasangan suami istri tentu mendambakan kehidupan rumah tangga yang harmonis dan bahagia atau dengan kata lainmerasakan

Lebih terperinci

BAB 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang

BAB 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang BAB 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Pacaran adalah istilah yang sudah tidak asing lagi didengar oleh masyarakat. Hampir seluruh masyarakat dapat melihat atau menjadi subjek dalam fenomena pacaran ini

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. penurunan kondisi fisik, mereka juga harus menghadapi masalah psikologis.

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. penurunan kondisi fisik, mereka juga harus menghadapi masalah psikologis. BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lanjut usia merupakan suatu proses berkelanjutan dalam kehidupan yang ditandai dengan berbagai perubahan ke arah penurunan. Problematika yang harus dihadapi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. A. Desain Penelitian. Penelitian ini termasuk penelitian korelasi yang melihat Hubungan

BAB III METODE PENELITIAN. A. Desain Penelitian. Penelitian ini termasuk penelitian korelasi yang melihat Hubungan BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian ini termasuk penelitian korelasi yang melihat Hubungan Antara Penyesuaian Perkawinan dengan Kepuasan Perkawinan. B. Identifikasi Variabel Variabel

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang terlahir di dunia ini pasti akan mengalami pertumbuhan dan proses

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang terlahir di dunia ini pasti akan mengalami pertumbuhan dan proses 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia tercipta sebagai mahkluk sosial. Sebagai mahkluk sosial manusia harus saling berinteraksi, bertukar pikiran, serta berbagi pengalaman. Setiap manusia

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia tidak terlepas dari interaksi dengan orang

BAB 1 PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia tidak terlepas dari interaksi dengan orang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagai mahluk sosial, manusia tidak terlepas dari interaksi dengan orang lain. Interaksi sosial membuat manusia bertemu dan berhubungan dengan berbagai macam orang.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. normal dan sehat, bekerja me nyajikan kehidupan sosial yang mengasyikkan dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. normal dan sehat, bekerja me nyajikan kehidupan sosial yang mengasyikkan dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bekerja mencerminkan kondisi manusia yang sehat lahir dan batin, sedangkan tidak bekerja sama sekali, mengindikasikan kondisi macet atau sakit atau adanya suatu

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. lain. Sejak lahir, manusia sudah bergantung pada orang lain, terutama orangtua

BAB 1 PENDAHULUAN. lain. Sejak lahir, manusia sudah bergantung pada orang lain, terutama orangtua BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia adalah makhluk sosial, artinya manusia memiliki kebutuhan untuk berinteraksi dan membentuk hubungan sosial dengan orang lain, karena pada dasarnya manusia tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (Papalia, 2009). Menurut Undang-Undang Republik Indonesia nomor 1 pasal 1

BAB I PENDAHULUAN. (Papalia, 2009). Menurut Undang-Undang Republik Indonesia nomor 1 pasal 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pernikahan adalah salah satu tahap penting dalam siklus kehidupan individu di samping siklus kehidupan lainnya seperti kelahiran, perceraian, atau kematian

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pernikahan 2.1.1 Pengertian Pernikahan Secara umum, pernikahan merupakan upacara pengikatan janji nikah yang dilaksanakan dengan menggunakan adat atau aturan tertentu. Sedangkan

Lebih terperinci

BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI, SARAN

BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI, SARAN BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI, SARAN Pada bab ini peneliti akan membahas mengenai kesimpulan yang digunakan untuk menjawab pertanyaan penelitian, diskusi mengenai hasil penelitian berdasarkan hasil analisis

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. PERNIKAHAN 2.1.1. Definisi Pernikahan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pengertian pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemenuhan hasrat seksual, dan menjadi lebih matang. Pernikahan juga

BAB I PENDAHULUAN. pemenuhan hasrat seksual, dan menjadi lebih matang. Pernikahan juga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pernikahan merupakan ikatan yang terbentuk antara pria dan wanita yang di dalamnya terdapat unsur keintiman, pertemanan, persahabatan, kasih sayang, pemenuhan hasrat

Lebih terperinci

PEDOMAN WAWANCARA. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi penyesuaian dengan

PEDOMAN WAWANCARA. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi penyesuaian dengan PEDOMAN WAWANCARA I. Judul Faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian dengan pihak keluarga pasangan pada pria WNA yang menikahi wanita WNI. II. Tujuan Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Perceraian adalah puncak dari penyesuaian perkawinan yang buruk,

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Perceraian adalah puncak dari penyesuaian perkawinan yang buruk, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Fenomena perceraian merupakan hal yang sudah umum terjadi di masyarakat. Perceraian adalah puncak dari penyesuaian perkawinan yang buruk, yang terjadi apabila

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. komunikasi menjadi lebih mudah untuk dilakukan. Teknologi yang semakin

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. komunikasi menjadi lebih mudah untuk dilakukan. Teknologi yang semakin BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini perkembangan teknologi semakin canggih membuat komunikasi menjadi lebih mudah untuk dilakukan. Teknologi yang semakin canggih dan berbagai sosial

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tidak tinggal bersama (Long Distance Relationship) dalam satu rumah karena

BAB I PENDAHULUAN. tidak tinggal bersama (Long Distance Relationship) dalam satu rumah karena BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pernikahan adalah sebuah komitmen legal dengan ikatan emosional antara dua orang untuk saling berbagi keintiman fisik dan emosional, berbagi tanggung jawab,

Lebih terperinci

BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Kasus kenakalan remaja menjadi masalah yang diresahkan oleh banyak masyarakat. Tingginya kasus kenakalan remaja sangat memprihatinkan, terutama yang terjadi di kota

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setiap manusia tidak ada yang sempurna, begitu pula dengan pernikahan, tidak ada pernikahan yang sempurna. Setiap individu yang memiliki pasangan untuk berbagi waktu,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Masalah Pernikahan merupakan salah satu bentuk interaksi antar manusia, yaitu antara seorang pria dengan seorang wanita (Cox, 1978). Menurut Hurlock (1999) salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam tiga tahun terakhir angka perceraian di Indonesia meningkat secara

BAB I PENDAHULUAN. Dalam tiga tahun terakhir angka perceraian di Indonesia meningkat secara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam tiga tahun terakhir angka perceraian di Indonesia meningkat secara drastis. Dari dua juta pernikahan dalam setahun, terdapat sekitar 200.000 kasus perceraian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berketetapan untuk tidak menjalankan tugas dan kewajiban sebagai suami-istri. Pasangan

BAB I PENDAHULUAN. berketetapan untuk tidak menjalankan tugas dan kewajiban sebagai suami-istri. Pasangan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perceraian merupakan suatu perpisahan secara resmi antara pasangan suami-istri dan berketetapan untuk tidak menjalankan tugas dan kewajiban sebagai suami-istri.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sosial yang disebut keluarga. Dalam keluarga yang baru terbentuk inilah

BAB I PENDAHULUAN. sosial yang disebut keluarga. Dalam keluarga yang baru terbentuk inilah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam rumah tangga sudah tentu terdapat suami dan istri. Melalui proses perkawinan, maka seseorang individu membentuk sebuah miniatur dari organisasi sosial

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perkembangan sosial yang semakin kompleks menuntut keluarga untuk dapat beradaptasi secara cepat (Sunarti 2007). Duvall (1971) menjelaskan bahwa perubahan ini berdampak pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Pada umumnya, masyarakat mengganggap bahwa keluarga tersusun atas ayah, ibu dengan anak-anak. Seiring berjalannya waktu, terjadi perubahan pada struktur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa dewasa adalah masa awal individu dalam menyesuaikan diri terhadap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa dewasa adalah masa awal individu dalam menyesuaikan diri terhadap BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa dewasa adalah masa awal individu dalam menyesuaikan diri terhadap pola-pola kehidupan baru dan harapan-harapan sosial baru. Pada masa ini, individu dituntut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia sebagai makhluk sosial membutuhkan hubungan dengan manusia yang lain. Kebutuhan itu antara lain saling berkomunikasi, kebersamaaan, membutuhkan pertolongan

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA KEPUASAN SEKSUAL DENGAN KEPUASAN PERNIKAHAN SKRIPSI

HUBUNGAN ANTARA KEPUASAN SEKSUAL DENGAN KEPUASAN PERNIKAHAN SKRIPSI HUBUNGAN ANTARA KEPUASAN SEKSUAL DENGAN KEPUASAN PERNIKAHAN SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam mencapai Derajat S-1, Sarjana Psikologi Disusu Oleh: NUR ZULAIKAH F 100 030 010 FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tentang orang lain. Begitu pula dalam membagikan masalah yang terdapat pada

BAB I PENDAHULUAN. tentang orang lain. Begitu pula dalam membagikan masalah yang terdapat pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Wanita merupakan individu yang memiliki keterbukaan dalam membagi permasalahan kehidupan maupun penilaian mereka mengenai sesuatu ataupun tentang orang lain.

Lebih terperinci

2015 HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI PARENTAL ATTACHMENT DAN RELIGIUSITAS DENGAN KESIAPAN MENIKAH PADA MAHASISWA MUSLIM PSIKOLOGI UPI

2015 HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI PARENTAL ATTACHMENT DAN RELIGIUSITAS DENGAN KESIAPAN MENIKAH PADA MAHASISWA MUSLIM PSIKOLOGI UPI BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagian besar mahasiswa strata satu adalah individu yang memasuki masa dewasa awal. Santrock (2002) mengatakan bahwa masa dewasa awal adalah masa untuk bekerja

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Sepanjang sejarah kehidupan manusia, pernikahan merupakan

BAB 1 PENDAHULUAN. Sepanjang sejarah kehidupan manusia, pernikahan merupakan 1 BAB 1 PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Sepanjang sejarah kehidupan manusia, pernikahan merupakan salah satu peristiwa penting yang terjadi dalam kehidupan setiap individu. Hal tersebut menjadi suatu kabar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sindhi Raditya Swadiana, 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sindhi Raditya Swadiana, 2014 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada usia dewasa awal tugas perkembangan yang harus diselesaikan adalah intimacy versus isolation. Pada tahap ini, dewasa muda siap untuk menjalin suatu hubungan

Lebih terperinci

Bab 2. Landasan Teori

Bab 2. Landasan Teori Bab 2 Landasan Teori 2.1 Dewasa Muda Istilah adult atau dewasa awal berasal dari bentuk lampau kata adultus yang berarti telah tumbuh menjadi kekuatan atau ukuran yang sempurna atau telah menjadi dewasa.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Kesiapan menikah

TINJAUAN PUSTAKA Kesiapan menikah 7 TINJAUAN PUSTAKA Kesiapan menikah Duvall (1971) menyatakan bahwa kesiapan menikah adalah laki-laki maupun perempuan yang telah menyelesaikan masa remajanya dan siap secara fisik, emosi, finansial, tujuan,

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses pengambilan keputusan untuk mempertahankan pernikahan setelah perselingkuhan suami. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berpasang-pasangan. Allah SWT telah menentukan dan memilih jodoh untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berpasang-pasangan. Allah SWT telah menentukan dan memilih jodoh untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Allah SWT menciptakan manusia yaitu laki-laki dan perempuan secara berpasang-pasangan. Allah SWT telah menentukan dan memilih jodoh untuk setiap masing-masing

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORITIS

BAB II TINJAUAN TEORITIS BAB II TINJAUAN TEORITIS A. Komitmen Perkawinan 1. Pengertian Komitmen Perkawinan Dalam menjalani suatu hubungan, individu tidak lepas dari rasa ketergantungan satu dengan yang lainnya, sehingga akan muncul

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. serta tanggung jawab sosial untuk pasangan (Seccombe & Warner, 2004). Pada

BAB I PENDAHULUAN. serta tanggung jawab sosial untuk pasangan (Seccombe & Warner, 2004). Pada BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pernikahan adalah suatu hubungan yang sah dan diketahui secara sosial antara seorang pria dan seorang wanita yang meliputi seksual, ekonomi dan hak serta tanggung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. istri adalah salah satu tugas perkembangan pada tahap dewasa madya, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. istri adalah salah satu tugas perkembangan pada tahap dewasa madya, yaitu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Membangun sebuah hubungan senantiasa menjadi kebutuhan bagi individu untuk mencapai kebahagiaan. Meskipun terkadang hubungan menjadi semakin kompleks saat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. rentang kehidupan seseorang. Individu pada masa ini telah melewati masa remaja

BAB I PENDAHULUAN. rentang kehidupan seseorang. Individu pada masa ini telah melewati masa remaja BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Masa dewasa awal merupakan awal dari suatu tahap kedewasaan dalam rentang kehidupan seseorang. Individu pada masa ini telah melewati masa remaja dan akan memasuki

Lebih terperinci

PEDOMAN WAWANCARA. Universitas Sumatera Utara

PEDOMAN WAWANCARA. Universitas Sumatera Utara 166 PEDOMAN WAWANCARA Untuk Suami Wawancara yang akan dilakukan pada penelitian ini meliputi: I. Pandangan responden terhadap pernikahan dengan pariban - Bagaimana pendapat responden terhadap pernikahan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring dengan berkembangnya zaman banyak perubahan yang terjadi, salah satunya adalah perubahan dalam pandangan orang dewasa mengenai pernikahan. Hal ini didukung

Lebih terperinci