Bab VI: Kesimpulan. 1 Pemilih idealis mengaktualisasikan suaranya berdasarkan ideologi untuk memperjuangkan nilai-nilai

dokumen-dokumen yang mirip
BAB VI PENUTUP. Dominasi politik Dinasti Mustohfa di Desa Puput telah dirintis sejak lama

BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Pada Bab Penutup ini melihat kesimpulan dari data yang diperoleh di

BAB V KESIMPULAN. Dari penelitian tersebut, bisa disimpulkan bahwa, kekuatan sumber daya

PERANAN KPU DAERAH DALAM MENCIPTAKAN PEMILU YANG DEMOKRATIS

Bab 4 PENUTUP. Semenjak berakhirnya kekuasaan Orde Baru (negara) akibat desakan arus

BAB V KESIMPULAN Identitas Nasional dalam Imajinasi Kurikulum kurikulum Konstruksi tersebut melakukan the making process dalam

I. PENDAHULUAN. diperlukan sikap keyakinan dan kepercayaan agar kesulitan yang kita alami. bisa membantu semua aspek dalam kehidupan kita.

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENGUATAN SISTEM DEMOKRASI PANCASILA MELALUI INSTITUSIONALISASI PARTAI POLITIK Oleh: Muchamad Ali Safa at (Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya)

Para filsuf Eropa menyebut istilah akhir sejarah bagi modernisasi yang kemudian diikuti dengan perubahan besar.

8 KESIMPULAN DAN REFLEKSI

BAB VI PENUTUP. Adanya penyelewengan terhadap pelaksanaan khittah Tarbiyah yang lebih

BAB IV KESIMPULAN. Talempong goyang awalnya berasal dari Sanggar Singgalang yang. berada di daerah Koto kociak, kenagarian Limbanang, kabupaten

SYARIAT ISLAM DAN KETERBATASAN DEMOKRASI

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI

Menuju Pemilu Demokratis yang Partisipatif, Adil, dan Setara. Pusat Kajian Politik (Puskapol) FISIP Universitas Indonesia Jakarta, 16 Desember 2015

BAB I PENDAHULUAN. dinamika yang harus dimainkan dalam ranah yang terus berubah tadi.

BAB VI PENUTUP 1. Kesimpulan

BAB V PENUTUP. 1. Indonesia merupakan sebuah negara multikultural dan plural, yang terdiri dari

MEMAKNAI ULANG PARTISIPASI POLITIK WARGA: TAHU, MAMPU, AWASI PUSAT KAJIAN POLITIK FISIP UNIVERSITAS INDONESIA 28 JANUARI 2015

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

BAB VI PENUTUP. Meskipun perpustakaan oleh masyarakat secara umum disadari sebagai

BAB V KESIMPULAN. A. Melihat Pola Relasi Rentenir dan Pedagang Pasar Tradisional dalam. Rentenir pasar merupakan sebuah fenomena yang nyata adanya di

BAB VI PENUTUP. Dari berbagai deskripsi dan analisis yang telah penulis lakukan dari bab I

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Setelah Perang Dunia II, demokrasi menjadi salah satu wacana sentral di

BAB 6 KESIMPULAN, REFLEKSI, DAN REKOMENDASI. Bab ini akan mendiskusikan kesimpulan atas temuan, refleksi, dan juga

BAB 1 PENGANTAR Latar Belakang. demokrasi sangat tergantung pada hidup dan berkembangnya partai politik. Partai politik

I. PENDAHULUAN. akuntabilitas bagi mereka yang menjalankan kekuasaan. Hal ini juga

BAB VI. Penutup. pengangkatan seseorang atau sekelompok orang untuk melaksanakan sejumlah

publik pada sektor beras karena tidak memiliki sumber-sumber kekuatan yang cukup memadai untuk melawan kekuatan oligarki politik lama.

BAB IV ANALISIS TERHADAP FAKTOR PENYEBAB TIDAK TERPILIHNYA 11 ORANG CALEG PEREMPUAN

I. PENDAHULUAN. pelayanan kepada masyarakat. Di samping itu, Kampung juga. demokrasi dalam suatu masyarakat negara. (Jurnal Humaniora Volume 14,

PENDAHULUAN. merupakan bentuk kelompok sedangkan budaya berararti nilai yang berlaku dalam kelompok tersebut.

BAB III PENUTUP. permasalahan dalam bab- bab sebelumnya, dapat diambil kesimpulan,

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan

DOMINASI PENUH MUSLIHAT AKAR KEKERASAN DAN DISKRIMINASI

BAB I. PENDAHULUAN. kepala eksekutif dipilih langsung oleh rakyat. Sehingga kepala eksekutif tidak

BAB V P E N U T U P. bahwa dalam komunitas Kao, konsep kepercayaan lokal dibangun dalam

BAB V KESIMPULAN. didukung berbagai sumber lainnya, menunjukkan bahwa terjadinya kontinuitas

Teori Kritikal mulai berkembang tahun 1937 (pengkajiannya dimulai tahun 1930) Teori Kritikal eksis sebagai ciri dari Institut Marxisme

CITA-CITA NEGARA PANCASILA

More-Than-Human Sociology: Pentingnya Peran Materi dalam Kehidupan Sosial

BAB 5 KESIMPULAN. Faktor-faktor kemenangan..., Nilam Nirmala Anggraini, FISIP UI, Universitas 2010 Indonesia

TUGAS ILMUWAN POLITIK DALAM PENGAWALAN POTENSI RESIKO JELANG PEMILUKADA 2015

BAB I PENDAHULUAN. pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyikapi RUU. tentang Keistimewaan Yogyakarta. Kurang lebih

KERTAS DISKUSI Nomor 02 Tahun 2010

BAB I PENDAHULUAN. Pada Juni 2005, rakyat Indonesia melakukan sebuah proses politik yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memungkinkan terjadinya integritas sosial, merupakan hubungan-hubungan yang

BAB I PENDAHULUAN. Budaya politik kampus dilakukan dan diperoleh dari sebuah pemikiran-pemikiran

GAMBARAN UMUM. Bergesernya paradigma penyelenggaraan pemerintahan dari government ke

I. PENDAHULUAN. Otonomi Daerah dibawah undang undang ini tidak sekedar memindahkan

DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL... i. HALAMAN PENGESAHAN... ii. LEMBAR PERNYATAAN... iii. PERSEMBAHAN... iv. KATA PENGANTAR... v. DAFTAR ISI...

BAB VIII KESIMPULAN. kesengsaraan, sekaligus kemarahan bangsa Palestina terhadap Israel.

TEORI-TEORI POLITIK. P. Anthonius Sitepu. Edisi Pertama Cetakan Pertama, 2012

DEMOKRASI DAN RADIKALISME

Pemberdayaan KEKUASAAN (POWER)

Indonesian Journal of Sociology and Education Policy

BAB V. Kesimpulan. A. Pengantar. B. Karakter Patronase di Alun-Alun Kidul Yogyakarta

BAB I PENDAHULUAN. untuk mewujudkan pemekaran kabupaten Simalungun. Adanya pergantian anggota dewan untuk 5 tahun ke depan pasca

DEMOKRASI & POLITIK DESENTRALISASI

BAB V. Penutup. pengaruh kapitalisme guna mewujudkan revolusi sosialis di Indonesia, berangkat dari

BAB I PENDAHULUAN. Disertasi ini mengkaji tentang relasi gender dalam keterlibatan perempuan. minoritas seperti pemuda, petani, perempuan, dan

PENDAHULUAN Latar Belakang

A. Kesimpulan BAB V PENUTUP

PROBLEM POLITIK REPRESENTASI DALAM DEMOKRASI LOKAL DI INDONESIA. Oleh: Heru Nugroho Guru Besar Sosiologi UGM

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan wujud dari proses imajinatif dan kreatif pengarang.

BAB VII PENUTUP. sebelumnya, dapat ditarik beberapa kesimpulan mengenai penelitian dengan judul

BAB VI KESIMPULAN. instrumentnya meraih legitimasi-legitimasi, namun juga menelisik kehidupan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Studi Aktor Dalam Perspektif Demokrasi Lokal. penting untuk dilakukan mengingat dua hal : Pertama, dalam kaitannya

PARTAI POLITIK DAN KEBANGSAAN INDONESIA. Dr. H. Kadri, M.Si

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB II KAJIAN TEORI. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teori Elite Lokal untuk

BAB 5 Penutup. dalam ciri-ciri yang termanifes seperti warna kulit, identitas keagamaan

BAB IV PENUTUP. mengambil posisi di ranah perbukuan Indonesia pasca-orde Baru. Praktik

BAB VI KESIMPULAN. masyarakat hidup bersama biasanya akan terjadi relasi yang tidak seimbang. Hal

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

Learning Day. TIK (Teknologi Informasi & Komunikasi) Hadir Dalam Mengatasi Masalah Komunitas. Edisi 22 Maret 2013

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dewasa ini kehidupan politik di Indonesia sangat dinamis. Ini dapat

RELASI ANTARA SISTEM PEMILU + SISTEM KEPARTAIAN+ LATAR BELAKANG SOSIAL+ JARAK IDEOLOGI = POLITICAL ORDER ( STABILITAS POLITIK). ADA DUA TESIS UTAMA

Guru Sebagai Pemimpin Konstruktivis Tuesday, 27 December :59

BAB I PENDAHULUAN. adalah melalui kegiatan pendidikan. Sebagai bagian dari masyarakat, kegiatan

International IDEA, Strömsborg, Stockholm, Sweden Phone , Fax: Web:

Penguatan Partisipasi dan Perbaikan Keterwakilan Politik Melalui Pembentukan Blok Politik Demokratik

BAB V. Penutup. Transformasi institusi yang terjadi di Papua merupakan konsekuensi dari

BAB V PENUTUP. ekonomi, kultural, sosial, dan modal simbolik. mampu untuk mengamankan kursi Sumenep-1 kembali.

The Public Administration Theory Primer (Sebuah Kesimpulan)

BAB I PENDAHULUAN. Penelitian ini berfokus pada penggunaan sistem pengukuran kinerja dan

BAB I. PENDAHULUAN. oleh rakyat dan untuk rakyat dan merupakan sistem pemerintahan yang. memegang kekuasaan tertinggi (Gatara, 2009: 251).

TEORI MODAL SOSIAL (2)

BAB I PENDAHULUAN. faktor penggerak gerakan sosial. Sebagai suatu bentuk tindakan kolektif yang

BAB VI PENUTUP. ditemukannya teknologi pencitraan tiga dimensi. Video game memiliki efek

Konstitusi Rancangan Rusia untuk Suriah: Pertimbangan tentang Pemerintahan di Kawasan Tersebut

PARTAI POLITIK OLEH: ADIYANA SLAMET. Disampaikan Pada Kuliah Pengantar Ilmu Politik Pertemuan Ke-15 (IK-1,3,4,5)

Imaji Vol. 4 - No. 2/ Februari 2009 RESENSI BUKU

TINJAUAN PUSTAKA. A. Politik Identitas. Sebagai suatu konsep yang sangat mendasar, apa yang dinamakan identitas

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

BAB IX PENUTUP IX.1. Kesimpulan

RELEVANSI TEORI MARHAENISME DALAM MENJAWAB TANTANGAN ZAMAN DI ERA KAPITALISME GLOBAL SKRIPSI ANWAR ILMAR

BAB 6 PENUTUP. Berebut kebenaran..., Abdil Mughis M, FISIP UI., Universitas Indonesia 118

Transkripsi:

Bab VI Kesimpulan Studi ini telah mengeksplorasi relasi dari kehadiran politik klan dan demokrasi di Indonesia dekade kedua reformasi. Lebih luas lagi, studi ini telah berupaya untuk berkontribusi terhadap pemahaman dan penjelasan tentang budaya politik, dan dampak politik klan pada tatanan politik lokal di Indonesia. Beberapa uraian sebelumnya, saya telah menjelaskan kekuatan informal organisasi sosial dan kultural yang cukup sulit dipahami dalam logika prosedural, tetapi secara konseptual penting dalam memahami demokrasi Indonesia. Tesis umum studi ini adalah meskipun sebagai proses global, demokrasi bukanlah komponen yang dapat dimasukkan dengan sempurna ke dalam proses politik di Indonesia. Terdapat beberapa titik dalam perkembangannya telah menyesuaikan diri dengan nilai dan budaya politik yang dimiliki oleh masyarakat lokal. Hingga pada akhirnya, hadirnya politik klan dalam demokrasi lokal sulit untuk terbantahkan. Klan politik adalah konsekuensi dari mekanisme prosedural demokrasi yang menekankan suara terbanyak dan pemilihan langsung atau kurang lebih sebagai praktik populisme. Populisme disini berdasarkan kesadaran palsu atau taken for granted (doxa). Kita juga perlu memahami bahwa budaya dan jaringan tradisional yang kuat dapat mempengaruhi tatanan politik, dan menunjukkan perlunya kita memikirkan kembali dan memperluas pendekatan teoritis untuk mempelajari proses demokratisasi kontemporer. Mekanisme demokratisasi tersebut telah menjadikan optimalisasi modal dalam segala bentuknya untuk mereproduksi kuasa politik oleh aktor lokal. Klan Qahhar Mudzakkar kemudian hadir dari reproduksi modal sosial dan simbolik, sebagaimana dalam bahasa Pierre Bourdieu. Modal sosial tersebut berupa identitas dan jaringan sosial dan politik yang berkarakteristik Islam, sedangkan modal simbolik adalah transformasi modal kultural yang kemudian mereproduksi kuasa simbolik. Keduanya masih lekat dengan warisan dari Qahhar Mudzakkar.

157 Setidaknya terdapat tiga hal pokok dari keberhasilan cara reproduksi modal bekerja Klan Qahhar Mudzakkar dalam politik lokal di Sulawesi Selatan. Pertama, warisan simbolik Qahhar Mudzakkar berupa karisma, mitos, romantisme, dan Syariat Islam, terkonversi menjadi kuasa simbolik yang melekat kepada keturunannya. Kedua, warisan Qahhar Mudzakkar berupa transformasi jaringan terlembaga dan tidak terlembaga yang identik dengan DI/TII, Muhammadiyah, dan ke-luwu-an, terkonversi menjadi modal sosial. Ketiga, kedua hal tersebut akan bekerja dan terlegitimasi secara politik, apabila terdapat dukungan habitus dan budaya politik secara doxical. Islam, siri dan pesse, serta patro-klien adalah habitus yang memberikan legitimasi berupa tindakan kolektif masyarakat Sulawesi Selatan berkesesuaian dengan doxa rekrutmen kepemimpinan yang selama ini telah bertahan lama dan menjadi tradisi. Akan tetapi, saya tidak menafikan bahwa kekuatan jaringan para klan juga memiliki pengaruh terhadap keberhasilan mereka dalam ranah politik. Qahhar Mudzakkar adalah sosok fenomenal yang telah memberikan warisan bagi keberhasilan para keturunannya dalam politik di Sulawesi Selatan. Warisan tersebut berupa modal sosial dan modal simbolik yang kemudian menjadi momentum napak tilas politik para anggota klan untuk mereproduksi kuasa dalam arena politik elektoral. Pertanyaannya kemudian apakah rezim klan memiliki prospek bertahan dan berlanjut dalam konteks yang berbeda? Saya mengajukan pendekatan kulturalis untuk menjawab pertanyaan ini. Dikarenakan ini menyangkut budaya politik, maka bagaimanapun masalah kebiasaan (habitus) dan kesadaran palsu (doxa) berdiri sebagai salah satu kontribusi utama untuk kekuasaan dalam masyarakat demokrasi saat ini. Oleh sebab itu, budaya telah mengaburkan kekuatan kelas dan menyediakan alat untuk perbedaan sosial, sehingga dalam konteks apapun klan sebagai kelas sosial akan terus ada dan dilegitimasi oleh masyarakat. Akan tetapi, disisi lain budaya adalah praktik sosial yang dinamis. Sebuah ruang pergumulan kepentingan dan rasionalitas individu, yang pada akhirnya ia dapat berganti kedalam bentuk yang berbeda. Oleh karena itu, dinamika dan durabilitas adalah keniscayaan fenomena politik klan, yang tergantung pada tujuan dari praktik sosial tertentu. Apa yang bisa dipelajari dari kasus ini? Pertama, terdapat empat elemen kunci untuk memahami politik klan yakni struktur peluang politik (political opportunity structure), kekerabatan, kepercayaan (ideologi), dan jaringan. Mengenai

158 peluang politik, berkaitan dengan transisi rezim dan lahirnya demokratisasi dan desentralisasi. Sementara kekerabatan adalah menyangkut dengan politik identitas berdasarkan pada hubungan keluarga, etnis, dan daerah. Terbangun melalui habitus berupa siri dan pesse. Sementara, kepercayaan adalah menyangkut ideologi. Terdapat dua hal berkaitan dengan reproduksi kepercayaan yakni habitus berupa agama dan patron-klien, serta kekuatan doxa. Sedangkan jaringan adalah menyangkut organisasi sosial dan politik, baik itu terlembaga maupun tidak yang cenderung bekerja secara kultural. Pointnya adalah memahami politik klan berarti memahami aktor (individu) secara sosiologis, yakni mereka harus dianggap sebagai bagian dari jaringan sosial yang lebih luas dan terbentuk oleh kepentingan dan preferensi masyarakat, sesuai dengan nilai-nilai kultural. Kasus politik klan di Sulawesi Selatan membutuhkan pendekatan yang berbeda untuk sampai pada penjelasan mengenai mengapa klan politik dapat hadir, dibandingkan sebagian besar politik klan di Indonesia pada umumnya. Pergeseran pendekatan aktor ke pendekatan masyarakat. Kedua, bahwa proses kelahiran Klan Qahhar Mudzakkar cenderung oleh budaya doxical yang kemudian menciptakan populisme. Oleh karena adanya populisme Qahhar Mudzakkar, maka masyarakat dengan kesadaran palsu kemudian merepresentasikan politiknya dalam hal rekrutmen kepemimpinan, hanya pada tradisi mereka kepada para keturunan dari Qahhar Mudzakkar. Oleh karena itu, kesimpulan bahwa populisme juga dapat membawa potensi untuk membangun demokrasi karena dasar dari populisme, seperti halnya dalam demokrasi, dimana rakyat melalui tuntutan kolektif yang pada gilirannya berarti masyarakat yang mendefinisikan apa yang harus dimaksud dengan urusan populer (dikutip dalam Pratikno dan Lay, 2011: 54-55) sifatnya ambigu. Dalam konteks proses keputusan politik (kebijakan publik) mungkin harapan itu berjalan sebagaimana mestinya, akan tetapi dalam hal rekruitmen kepemimpinan harapan tersebut cenderung tidak akan berjalan. Budaya, bagaimanapun akan menentukan seperti apa populisme itu diaktualisasikan dalam rekrutmen kepemimpinan. Pelajaran ketiga berkaitan dengan patron-klien. Modal yang terbatas menghasilkan kepemilikan yang terbatas pula, sementara disisi lain kepemilikan modal adalah kebutuhan bagi seluruh individu. Klan Qahhar Mudzakkar dalam

159 berbagai modal yang dimilikinya tentu menjadikannya sebagai patron dalam arena sosial dan politik, sementara mereka yang tersingkirkan akan menjadi klien. Dalam ranah elektoral, kepemilikan modal sosial berupa jaringan berbasis agama dan etnisitas, serta modal simbolik berupa karisma, tentunya pola patron-klien yang terjadi akan berbeda dengan modal ekonomi yang sifatnya mengikat. Dalam pola ini, individu sebagai klien dapat bebas dan aspiratif. Tindakan individu bergantung pada konsepsinya walaupun seringkali berupa kesadaran palsu (doxa) dalam menilai patron sebagai representasinya dalam politik. Misalnya, mitos dan karisma memberi pengaruh yang kuat bagi terpilihnya para keturunan Qahhar Mudzakkar. Pemilih secara ideologis memilih tanpa adanya transaksi politik seperti yang digambarkan dalam pola klientalisme baru (new clientelism). Akan tetapi, sifatnya cenderung durable seperti dalam klientelisme lama. Begitu halnya dalam modal sosial berupa jaringan organisasi sosial, mobilisasi pemilih bergerak secara ideologis dikarenakan basis etno-religius yang menjadi pondasi gerakan. Para pemilih ini dapat bergerak secara ideologis. Realitas inilah yang menjadikan Klan Qahhar Mudzakkar memiliki para pemilih idealis. 1 Artinya bahwa pemilih menggunakan hak pilihnya diluar dari logika ekonomi ataupun kekuasaan/birokrasi (post-clientelist). Berdasarkan uraian diatas, kita dapat mengajukan refleksi teoritik bahwa proses demokratisasi yang terjadi di Indonesia menyebabkan pluralisasi patronase politik di tingkat lokal. Konsepsi dari klientalisme lama dan klientalisme baru bergantung pada karakteristik dari relasi sosial yang ada terkait dengan modal yang dikelola. Modal ekonomi dan budaya cenderung menciptakan pola klientalisme lama, sedangkan modal sosial dan simbolik menciptakan pola klientalisme baru. Hanya saja, konsepsi transaksional dalam klientalisme baru dapat saja tidak berlaku, walaupun pemilih secara bebas dapat menentukan pilihannya. Hal ini ketika pemilih berdasarkan ideologinya. Keempat, refleksi selanjutnya berkaitan dengan relasi terhadap demokrasi, dimana didalamnya terdapat kesimpulan yang sifatnya paradoksional dalam 1 Pemilih idealis mengaktualisasikan suaranya berdasarkan ideologi untuk memperjuangkan nilai-nilai tertentu, dilakukan secara sukarela (voluntarisme), dan mampu menjadikan pemilu berlangsung secara murah (lihat Sigit Pamungkas (2010), Pemilu, Perilaku Pemilih dan Kepartaian, Yogyakarta: Institute for Democracy and Welfarism, halaman 98). Inilah alasan mengapa para klan tidak banyak menghabiskan modal ekonomi dalam proses kampanya politik, bahkan salah satu klan telah menyatakan tidak mengeluarkan modal ekonomi milik pribadi sama sekali.

160 menjelaskan masa depan demokrasi Indonesia. Kasus dalam studi ini adalah contoh bahwa demokrasi berjalan tidak sebagaimana mestinya, yang selama ini diharapkan dalam demokrasi prosedural mashab Schumpeterian. Studi ini telah memberikan simpulan perlunya memeriksa kembali arah kebijakan dan studi demokrasi kedepannya. Akan tetapi, saya menyimpulkan realita kultural seperti dalam studi ini, tidaklah secara signifikan akan menghambat masa depan demokrasi Indonesia secara nasional gagalnya demokrasi dan hadirnya reotoritarian. Demokrasi akan terus menemukan wajah Indonesia-nya yang kemungkinan akan berbeda dengan demokrasi yang menjunjung liberalisme ala Barat (adjective democracy). Dengan kata lain, berbicara demokrasi Indonesia, sebaiknya kita harus menjelaskan bahwa demokrasi lokal adalah an engaging blend of modernity and traditionalism. Terakhir, studi transisi demokrasi yang saat ini banyak diadopsi untuk menjelaskan oligarki politik di Indonesia, diperlukan perspektif lain untuk sampai pada kesimpulan tersebut. Masyarakat dengan tradisi budayanya, terbukti memiliki pengaruh besar akan kehadiran oligarki-oligarki tersebut. Lebih luas lagi, kesimpulan dominan yang didasarkan pada beberapa asumsi utama bahwa negara-negara bergerak menjauh dari otoritarianisme cenderung mengikuti proses tiga bagian dari demokratisasi yang terdiri dari pembukaan, terobosan, dan konsolidasi, ataupun peluang suatu negara untuk keberhasilan demokratisasi terutama tergantung pada niat politik dan tindakan elit politik. Sebaliknya, studi ini menegaskan bahwa adalah layak untuk kembali ke literatur klasik dalam menganalisis demokratisasi dari sudut pandang multidimensi dengan mempertimbangkan faktor-faktor budaya politik. Keberhasilan menjadi tanda kutip ketika kita ingin menyimpulkan bahwa rezim Indonesia dalam konteks lokal menjauh dari otoritarianisme dan mendekati demokrasi. Kita masih harus bertanya tentang konsepsi rezim tersebut. Mungkinkah kita dapat mengatakan bahwa rezim politik lokal adalah rezim tersendiri? Dapatkah kita menyebutnya hybrid regime untuk mengklasifikasikannya sebagai rezim yang ambigu? Apakah rezim lokal dan nasional berbeda ataukah setali tiga uang? Ini adalah sekian banyak pertanyaan-pertanyaan yang penting diajukan berdasarkan fenomena politik lokal kontemporer. ***