BAB VII PENUTUP. sebelumnya, dapat ditarik beberapa kesimpulan mengenai penelitian dengan judul

Transkripsi

1 BAB VII PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan pemaparan data dan analisis yang telah dibahas pada bab bab sebelumnya, dapat ditarik beberapa kesimpulan mengenai penelitian dengan judul ekonomi politik pembangunan industri tambak udang di Desa Lapa Daya diantarnaya sejak berdirinya industri tambak udang di Desa Lapa Daya telah berdampak pada aspek ekonomi, sosial maupun lingkungan. Dampak ekonomi di satu sisi meliputi terbukanya akses lapangan kerja bagi masyarakat setempat, namun di sisi yang lain juga menciptakan proletarisasi terhadap eks pemilik lahan. Kemudian, dampak sosial yang terjada adalah konflik antara masyarakat pro versus masyarakat kontra pembangunan tanbak udang dan adanya ekslusi nelayan terhadap akses ke laut lantaran kawasan lahan menuju pesisir telah diprivatisasi oleh pihak PT. AIL sebagai korporasi tambak udang. Dampak lingkungan yang terjadi akibat limbah dari beroperasinya industri tambak adalah tercemarnya air laut, matinya pohon cemara udang, serta bau yang menyengat. Pelbagai permasalahan yang ditimbulkan pembangunan industri tambak oleh PT. AIL pun sempat memancing perlawanan dari kelompok masyarakat yang sama-sama berhimpun dalam suatu aliansi bernama BATAN. Ironisnya hingga kini, pemkab masih abai dan terkesan melakukan pembiaran terhadap permasalahan ini. Pembiaran Pemkab terhadap permasalahan ini rupanya dilatar belakangi oleh adanya relasi bisnis dan politik yang melibatkan pihak PT. AIL,

2 elit-elit desa dan Pemkab sendiri. Mereka berelasi satu sama lain dengan pola rent-seeking. Dalam proses pembebasan lahan misalnya; PT AIL memanfaatkan elit-elit desa untuk merayu masyarakat agar mau menjual tanahnya. Pemanfaatan elit-elit desa itu sendiri rupanya tidak gratis, PT AIL harus memberi previllege seperti jabatan di perusahaanya serta sejumlah rente kepada elit-elit desa guna memuluskan apa yang menjadi kepentingan PT. AIL. Sedangkan dalam proses perizinan, terdapat pola rent seeking yang melibatkan PT. AIL, Bupati dan BPPT. Bupati dengan terang-terangan telah melakukan malaadminstrasi dengan mengeluarkan izin lokasi kepada PT. AIL padahal secara legal formal telah melanggar RTRW dan Perbup. Izin lokasi ini diberikan salah satu sebabnya karena PT. AIL bersama tokoh masyarakat yang menjadi kroni PT. AIL aktif meloby Bupati. Sementara itu, terdapat rent seeking saat PT. AIL memberikan sejumlah uang sebagai pelicin kepada BPPT agar semua dokumen perizinan segera diterbitkan. Adanya fenomena tersebut membuktikan bahwa dengan segala otoritas formal maupun informal yang dimiliki, mereka dapat menyukseskan pembangunan tambak udang meskipun dalam praktiknya menuai protes dari masyarakat lantaran menimbulkan dampak negatif dan melanggar prosedur administrasi. Sampai di titik ini, penyelenggaraan pemerintahan daerah di Sumenep masih jauh dari praktik good governance lantaran gagal membuka ruang lebih luas bagi tumbuhnya prakarsa masyarakat lokal untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan. Praktik rent seeking dalam pembangunan industri

3 tambak udang di Sumenep adalah bukti bagaimana penyelenggaraan pemerintahan daerah di era otonomi daerah belum sepenuhnya terlepas dari patologi birokrasi (perilaku koruptif dan menerabas aturan). Adanya otonomi daerah bukan malah memperbaiki jalannya pemerintahan daerah, namun sebaliknya peralihan wewenang dari pusat ke daerah justru telah memberikan berkah tersendiri bagi penguasa yang berwatak predatory di tingkat lokal. Sebab dengan membajak institusi pemerintahan daerah, mereka dapat lebih leluasa mengontrol jalannya pemerintahan demi mengeruk keuntungan melalui transaksi jual-beli kebijakan dengan aktor-aktor lain yang mempunyai modal besar, Kecenderungan perilaku korup elit lokal inilah yang coba dimanfaatkan oleh investor dalam hal ini PT AIL untuk mendekati beberapa aktor elit lokal, diharapkan kemudian elit lokal dapat membantu menyukseskan tujuan perusahaan untuk melakukan akumulasi kapital di Sumenep. Alhasil berkat membangun kedekatan dengan elit lokal, kemudahan akses akan sumberdaya pun diperoleh pihak PT. AIL. Akibat adanya jual-beli otoritas dengan Pemkab dan elit desa merupakan indikasi yang jelas bagaimana praktik rent-seeking pun berkembang menjadi corrupt exchanges, dimana rente menjadi media sekaligus tujuan utama pertukaran atau transaksi timbal balik antara elit lokal dan investor. Fenomena perburuan rente dalam konteks penelitan ini sekaligus menegaskan konsep yang diajukan Vedi Hadiz (2010) dalam memotren fenomena politik lokal pasca Orde Baru yang menyebutkan dominannya elit lokal dan pengusaha dalam menguasai arena ekonomi-politik daerah demi meraup

4 keuntungan (rente) sebanyak-banyanya. Alih-alih menciptakan tata kelola pemerintahan yang lebih baik dan menguntungkan publik, desentralisasi justru dibajak oleh elit lokal dan pengusaha. Aliansi elit lokal dan pengusaha yang membajak pemerintahan lokal membentuk suatu kelas yang bernama The Rulling Elite, kelas tersebut memaanfatkan kekuasaanya untuk mengontrol jalannya pemerintahan agar senantiasa melayani kepentingan kelasnya sendiri. Alhasil kebijakan yang ada lebih banyak berpihak dan menguntungkan The Rulling Elite dibandingkan kepada masyarakat. Pada titik inilah argumen yang menyatakan bahwa otonomi daerah akan membawa demokratisasi dan penyelenggaraan pemerintahan lokal dapat berjalan ke arah yang lebih baik menemukan tantangannya. Meskipun desentralisasi telah dibajak, bukan berarti tak ada kesempatan sama sekali untuk memperbaikinya. Salah satu agen yang dapat menggagalkan dominasi The Rulling Elite dalam arena politik lokal adalah membangun gerakan pro demokrasi. Otonomi daerah sebagai arena kontestasi di tingkat lokal memberikan peluang bagi gerakan pro demokrasi rakyat untuk mulai bereksperimen menjajal arena kontestasi tersebut. Tentunya dengan catatan gerakan pro demokrasi di tingkat lokal dapat memperkuat dan mengonsolidasikan gerakan di satu sisi untuk mulai menjadi pressure group kepada penguasa, di sisi lain juga untuk mulai belajar memahami seluk beluk pemerintahan itu sendiri guna mempersiapkan diri mereka untuk merebut kekuasaan.

5 B. Keterbatasan Penelitian Penggunaan rent seeking sebagai konsep utama dalam membaca praktik gelap relasi bisnis dan politik di balik pembangunan tambak udang sukses memotret pembangunan tambak udang dari perspektif ekonomi-politik per se tanpa adanya konsep patron-klien atau state capture yang kerap digunakan oleh para ilmuwan sosial politik sebagai konsep arus utama. Sebab dalam kasus ini relasi bisnis dan politik yang terjalin terlihat lebih bersifat transaksional yakni rent exchange antara aktor penguasa dan pengusaha. Akan tetapi disadari konsep rentseeking dalam konteks penelitian ini masih ditemukan banyak kelemahan. Salah satunya adalah penelitan ini belum dapat leluasa untuk menjelaskan lebih jauh seperti apa dan bagaimana proses lobying, interaksi dan pertukaran yang terjadi antara Pemkab, PT. AIL dan elit-elit desa. Di sisi lain penelitian ini juga kurang menjangkau dan memotret kemungkinan adanya aktor di luar yang telah diteliti ikut bermain. Sebab, interaksi yang terjadi masih sangat buram dan bias karena kompleksitas aktor yang bermain di dalamnya.