6 KEBIASAAN BAYI YANG MASIH TERBAWA SAMPAI BATITA

dokumen-dokumen yang mirip
Psikologi Terapan UI ini.

TOILET TRAINING. C. Faktor-Faktor Yang Mendukung Toilet Training Pada Anak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Keluarga dalam hubungannya dengan anak diidentikkan sebagai

Merawat Bayi Prematur

PENDIDIKAN SEKS ANAK* (Pendekatan Praktis Bentuk dan Antisipasi Penyimpangan seks anak)


BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Dusun Ngelo. Tengah dengan luas wilayah ha/m 2

BAB I PENDAHULUAN. keluarga lain, pengalaman dini belajar anak khususnya sikap sosial yang awal

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, KERANGKA TEORI

BAB II TINJAUAN TEORI DAN KONSEP

TOILET TRAINING. 1) Imam Rifa i 2) Rut Aprilia Kartini 3) Sukmo Lelono 4) Sulis Ratnawati

BAB I PENDAHULUAN. etika-moral. Perkembangan anak sangat penting untuk diperhatikan karena akan

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan anak selanjutnya (Nursalam dkk, 2008).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya, manusia dalam kehidupannya mengalami tahapan

BAB I PENDAHULUAN. Masa bayi adalah periode dalam hidup yang dimulai setelah kelahiran dan

Dibalik perjuangan seorang "PAPA"

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Dinamika kepribadian / Prinsip Motivasional. Ego cemas karena tuntutan id dan superego. 1. Dorongan-dorongan a. Seks b. Agresi 2.

DISIPLIN PADA ANAK SERI BACAAN ORANG TUA

LATIHAN KEBERSIHAN (TOILET TRAINING) OLEH IBU PADA ANAK USIA DINI DI KENAGARIAN MUNGO KECAMATAN LUAK KABUPATEN 50 KOTA

BAB I PENDAHULUAN. anak melakukan kegiatan tersebut disitu anak akan mempelajari anatomi. tubuhnya sendiri serta fungsinya.(hidayat Alimul,2005)

STRATEGI PELAKSANAAN 1 (SP1) PADA KLIEN DENGAN KEHILANGAN DAN BERDUKA. No. MR : 60xxxx RS Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor

PENANGANAN ANAK BERMASALAH DENGAN KASIH SAYANG

KARAKTERISTIK GURU SEBAGAI PEMBIMBING DI TAMAN KANAK-KANAK

Bab 4 Kecakapan Komunikasi Dasar

BAB I PENDAHULUAN. air besar dan bladder control atau kontrol buang air kecil. Saat. yang tepat melakukan toilet training setelah anak mulai bisa

BIMBING SI KECIL UNGKAPKAN EMOSI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KARAKTERISTIK TAHAPAN PERKEMBANGAN MASA BAYI (0 2 TAHUN)

Lampiran 1 Hasil uji reliabilitas variabel kemandirian emosi, kemandirian perilaku, kemandirian nilai, kemandirian total, penyesuaian diri, dan

Psikologi Kepribadian I. Psikologi Psikologi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

2015 IMPLEMENTASI PENDIDIKAN SEKSUAL UNTUK ANAK USIA DINI

Erikson berpendapat bahwa perkembangan manusia melalui tahap tahap. psikososial dan tahap tahap perkembangan tersebut terus berlanjut sampai

BAB I PENDAHULUAN. 1 tahun), usia bermain/toddler (1-2,5 tahun), pra sekolah (2,5-5 tahun), sekolah

BAB I PENDAHULUAN. ini melalui Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), yaitu pendidikan yang ditujukan

BAB V PERKEMBANGAN MASA BAYI. Terbagi 2 tahap : - Neonatal (0 atau baru lahir sd ± 2minggu) -Bayi (setelah 2 minggu sd 2 tahun)


BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Asupan makanan pada bayi setelah lahir adalah ASI (Roesli, 2005). WHO

PERTUMBUHAN & PERKEMBANGAN. disampaikan dalam kuliah IKD 2 oleh nurul aini

FASE PENGEMBANGAN KEPRIBADIAN MANUSIA

POLA ASUH MELALUI KOMUNIKASI EFEKTIF AUD. Zumrotus Sholichati PPL PLS UNY

KISI KISI ANGKET. : RAHMI YULIA : AID : Dr.Drs. H.Hendra Sofyan, MSi : Dr. K.A. Rahman, M.Pd.I

BAB 1 PENDAHULUAN. perencanaan atau penataan pembangunan bangsa (Hidayat, 2008 ) Peningkatan dan perbaikan upaya kelangsungan, parkembangan dan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Periode penting dalam tumbuh kembang anak terjadi

BAB V PERKEMBANGAN MASA BAYI

INFORMASI PERKEMBANGAN ANAK (Diisi oleh Orang tua)

Teori Sigmund Freud. Sejarah hidup, Struktur Kepribadian dan Perkembangan Psikoseksual. Fitriani, S. Psi., MA. Modul ke: Fakultas PSIKOLOGI

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah

Enaknya Bukuku

Peran Guru dalam Melatih Kemandirian Anak Usia Dini Vanya Maulitha Carissa

BAB 1 PENDAHULUAN. dengan pembangunan kesehatan. Pembangunan kesehatan sebagai bagian dari

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Berpikir Benar, Berpikir Positif Oleh Elsa Sakina

PERKEMBANGAN MASA BAYI

Mendampingi Perkembangan Mental Anak

Rentang perhatian pada anak pra-sekolah sangat dipengaruhi oleh banyak faktor, misalnya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dapat diukur secara kuantitas dari waktu ke waktu, dari satu tahap ke tahap

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Disusun oleh: Ummu Abdillah al-buthoniyyah. Desain Sampul: Ummu Zaidaan al-atsariyyah. Disebarluaskan melalui:

Daftar Isi. Kata Pengantar : Tiga Hal Penting Yang Diharapkan Dari Para Peserta Pelatihan Praktek Kerja Teknis 2

BAB 1 PENDAHULUAN. namun saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan. (Hidayat dalam Ernawati

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV ANALISIS DATA. A. Faktor-Faktor Penyebab Anak Terkena Epilepsi di Gubeng

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang masalah. Pendidikan merupakan faktor utama yang sangat penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengetahuan adalah merupakan hasil tahu, dan ini terjadi setelah

BAB V PERKEMBANGAN MASA BAYI. Oleh: Prof.Dr. Siti Partini Suardiman Drs. Hiryanto, M.Si

PSIKOLOGI UMUM 1. Aliran Psikoanalisa

PAUD yang Selaras dengan Prinsip Tumbuh Kembang Anak. Nurul Malika

Perkembangan dari Attachment (kelekatan) Kita harus memakai orang yang khusus di dalam kehidupan yang dapat membimbing anak-anak untuk merasakan rasa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2005). Pada periode ini anak akan mulai berjalan dan mengekplorasi rumah dan

STRATEGI PELAKSANAAN TINDAKAN KEPERAWATAN PADA KLIEN ANSIETAS

BAB I PENDAHULUAN. anak yang sudah mulai memasuki fase kemandirian (Wong, 2004). Dalam

LAMPIRAN A. A-1 Skala Penelitian Tingkah Laku Menolong

Setiap individu berhak mendapatk:an pendidikan yaitu dengan cara. orangtua tentang pentingnya sekolah, banyak orangtua memasukkan anak mereka

BAB I PENDAHULUAN. 40 tahun dimana terjadi perubahan fisik dan psikologis pada diri individu, selain itu

HABIS-HABISAN SETELAH LEBARAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

PENANGANAN TEPAT MENGATASI DEMAM PADA ANAK

Proses Adaptasi Psikologi Ibu Dalam Masa Nifas

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kemandirian anak dalam melakukan aktivitas merupakan bagian yang teramat penting dalam upaya mendidik

SATUAN ACARA PENYULUHAN TOILET TRAINING PADA ANAK

Pengaruh Perceraian Pada Anak SERI BACAAN ORANG TUA

BAB I PENDAHULUAN. Setiap individu mengalami proses perkembangan semasa hidupnya, mulai

ANGKET UJI COBA PENELITIAN. 1. Identitas Siswa Nama : Kelas : Jenis Kelamin : Alamat :...

BERBAGAI PENDEKATAN DALAM PSIKOLOGI

Hesti Lestari Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK Unsrat RSUP Prof dr R.D. Kandou Manado

BAB I PENDAHULUAN. adalah aktifitas untuk mencapai tugas perkembangan melalui toilet training.

para1). BAB I PENDAHULUAN

LAMPIRAN A. Skala Penelitian (A-1) Beck Depression Inventory (A-2) Skala Penerimaan Teman Sebaya (A-3) Skala Komunikasi Orangtua-Anak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. tidak tahu kehidupan macam apa yang akan dihadapi nanti (Rini, 2008). Masa

BAB I PENDAHULUAN. kondisi yang ditandai dengan adanya kesulitan dalam berkomunikasi atau ketrampilan

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI INTERPERSONAL PADA PENYANDANG TUNA DAKSA SKRIPSI

NEGERI PRAYOGI. Sudah dua hari aku libur semester ganjil. Tidak sampai enam bulan lagi aku akan menempuh

KATA PENGANTAR. Penulis. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. Bandung saat ini telah menjadi salah satu kota pendidikan khususnya

Transkripsi:

6 KEBIASAAN BAYI YANG MASIH TERBAWA SAMPAI BATITA Tiap tahapan perkembangan pastilah ada hal-hal baru yang dipelajari anak. Namun tak jarang kebiasaankebiasaan di tahap perkembangan sebelumnya masih terus terbawa. Contohnya kebiasaan-kebiasaan semasa bayi yang seringkali masih terbawa sampai anak berusia batita. Beberapa kebiasaan tersebut masih bisa dikategorikan normal, namun beberapa lainnya sudah harus diwaspadai. Seberapa jauh orang tua mencermati hal ini? "Yang terpenting, orang tua paham betul mana yang masih boleh dilakukan anak dan mana yang sebaiknya tidak," jelassani B. Hermawan, Psi., dari Yayasan Bina Ananda.

1.NGENYOT JARI, NGEMPENGDANNGEDOT Menurut teori psikoseksual yang dikemukakan Sigmund Freud, sejak bayi lahir sampai usia 18 bulan, anak mendapatkan kepuasaan melalui fase oral. Kepuasan itu didapat anak lewat sensasi di sekitar daerah mulutnya, baik itu berupa aktivitas makan, minum, ngedot, ngempeng, ngenyot jari dan sebagainya. Hal ini wajar karena semua anak pastilah melewati tahapan yang satu ini. Dikatakan tidak wajar bila selewat usia 18 bulan, anak masih mempertahankan kebiasaan-kebiasaan tersebut. Upaya pencegahan tentu saja bisa dilakukan orang tua supaya anak tidak kebablasan dengan kebiasaan tersebut. Salah satunya dengan tidak membiasakan anak ngempeng dan ngenyot jari sejak bayi. Tapi kalau sudah telanjur terjadi, beberapa langkah berikut bisa dilakukan. * Kenalkan cara minum menggunakan gelas. * Jelaskan kebiasaannya itu dapat berakibat buruk. Seperti mengganggu pertumbuhan gigi, kuman bisa masuk

ke dalam mulut kalau tangannya tidak bersih dan sebagainya. * Mintalah anak memberikan dotnya pada anak yang kurang mampu. Atau karena sudah rusak maka minta anak untuk membuang sendiri dot-nya. * Alihkan perhatiannya pada hal lain yang juga mendatangkan kepuasan. Contohnya dengan memperkenalkannya pada beberapa jenis mainan baru, bunyi-bunyian dan sebagainya. * Kalau sudah diberi penjelasan, anak masih saja melanjutkan kebiasaan ngenyot jari, bisa saja orang tua mengakalinya dengan memberikan sesuatu yang pahit di jarinya. Namun lakukan hal ini sebagai upaya terakhir agar anak tidak merasa "ditipu" oleh orang tuanya sendiri. Beberapa dampak buruk akan muncul bila anak dibiarkan lekat dengan kebiasaannya ini. Selain pertumbuhan giginya jadi tidak bagus, secara psikologis anak juga akan kehilangan rasa aman (secure feeling) bila meninggalkan kebiasaan yang sudah berubah menjadi kebutuhan ini. Padahal bila terus terbawa sampai besar, bukan tidak mungkin ia akan jadi bahan ejekan temantemannya yang pada akhirnya akan berpengaruh pada pembentukan konsep dirinya. 2. NGOMPOL DAN PUP DI CELANA Masih menurut Freud, di usia batita anak sedang memasuki fase anal. Anak akan mendapat kepuasan saat menahan BAK (buang air kecil) maupun BAB (buang air besar) sebelum melepaskannya. Untuk fase anal, sampai usia 3 tahun pun masih bisa dikategorikan wajar. Walau

begitu, ketika anak sudah bisa duduk, orang tua sebaiknya mulai mengajarkan toilet training. Mungkin lebih mudah kalau diawali dengan latihan BAB di kloset, dibanding mengajari anak BAK. Berikut beberapa hal yang bisa dilakukan orang tua untuk menyetop kebiasaan BAK dan BAB di celana. * Biasakan tiap bangun pagi segera mengajak anak BAK di kamar mandi. * Tiap 3 jam sekali dudukkan anak di kloset, meski ia terlihat tidak kebelet BAK. Begitupun menjelang tidur malam atau kala terbangun. Meski mungkin saat itu anak belum ingin BAK, kebiasaan ini bisa membantunya tidak ngompol lagi. * Jangan terbiasa menolerir kebiasaan anak BAB di celana yang akan membuat anak mendapat kepuasan/pleasure. Bila dari mimiknya anak terlihat mau BAB, segera angkat dan dudukkan di kloset. Sebab kalau dibiarkan saja BAB di celana, lamakelamaan anak akan merasa keenakan dan akhirnya malah tidak bisa BAB di kloset. * Waspadai juga anak yang sudah lama tidak ngompol, tapi kemudian mendadak ngompol lagi. Mungkin saja ada masalah psikologis yang sedang dialaminya, seperti traumatic event dan sejenisnya. Tapi kalau hanya sesekali dalam jangka waktu sekian lama tak perlu dikhawatirkan karena bisa jadi anak hanya kecapekan atau mengalami mimpi buruk. Lalu bagaimana cara orang tua bisa mendeteksi adanya gangguan psikologis yang berakibat ia

ngompol lagi? Salah satunya kalau selama 6 bulan terakhir anak sudah tidak ngompol lagi namun kemudian secara berturut-turut mulai ngompol lagi, besar kemungkinan ia mengalami gangguan psikologis. * Jangan anggap remeh kebiasaan anak BAK dan BAB di celana. Sebab masalah ini akan mendatangkan serangkaian dampak buruk kalau terus terbawa sampai tahapan usia selanjutnya. Dalam pergaulannya, sosialisasinya akan terganggu karena ia akan jadi bahan ledekan teman-temannya. 3. MEMAINKAN ALAT KELAMIN Satu lagi kebiasaan bayi yang masih terbawa sampai batita menurut teori Freud adalah kenikmatan memainkan alat kelamin. Dalam bahasa psikologinya, tahapan ini diistilahkan sebagai fase phallic. Kebiasaan ini masih dianggap normal, bahkan sampai anak berusia balita. Walau dianggap normal, orang tua sebaiknya mengarahkan anak untuk tidak melakukannya. Beri pemahaman begitu anak bisa diajak berkomunikasi. Jelaskan bahwa kebiasaannya ini bisa menyebabkan alat kelaminnya terluka, lecet, kotor, bahkan infeksi bila ada kuman masuk. Anak perlu tahu kalau area di sekitar alat kelamin itu sangat sensitif. Kalau cara tersebut tidak berhasil, maka orang tua bisa mengalihkannya dengan kegiatan lain yang juga bisa memberikannya kepuasan. Misalnya dengan mengajak anak bermain tetabuhan dan sebagainya. Tapi yang harus diingat, orang tua jangan panik bila menemukan anak

sedang melakukan kegiatan ini. Jangan marahi anak apalagi bila disertai ancaman, karena tiap anak pasti mengalami fase ini. Menjadi masalah bila kebiasaan ini terus terbawa sampai anak besar. Selain lingkungan akan menganggapnya melakukan tindakan tak pantas, anak pun sebaiknya tahu bahwa kepuasan/kesenangannya bisa diperoleh dengan cara lain, selain dengan memainkan alat kelamin. 4.NGECES Ngeces atau mengeluarkan air liur tanpa kontrol lazim dilakukan bayi karena kemampuan mereka mengontrol air liur memang belum sempurna. Apalagi pada anak yang memang produksi air liurnya relatif banyak, hingga dalam tenggang waktu sebentar saja air liurnya menetes tanpa disadarinya. Kebiasaan ini masih dikategorikan wajar di usia batita awal, atau sampai usia 1,5 tahunan. Setelah usia itu, orang tua sudah harus aware karena biasanya batita di usia tersebut sudah bisa diajak berkomunikasi dan melakukan imitasi atau peniruan pada orang dewasa. Melalui komunikasi orang tua bisa menginstruksikan anak, misalnya, "Hayo, Adek ngeces lagi ya. Coba dilap dong." Pada fase imitasi, orang tua dapat menyontohkan bagaimana menelan dan menghapus air liurnya. Melalui latihan terus-menerus, diharapkan anak bisa belajar bagaimana mengelola produksi air liurnya. Memang sih proses ini butuh waktu alias tidak bisa bersifat instan. Setelah berhasil pun, orang tua tetap harus memperhatikan

dan mengingatkannya. Semisal saat anak sedang asyik melakukan sesuatu, tanpa disadari ia ngeces lagi, padahal sebelumnya kebiasaan ini sudah ditinggalkannya. Kalau hanya sesekali ngeces karena ada sesuatu yang mengasyikkannya masih bisa dikategorikan wajar. Tapi bisa dibilang tidak wajar bila sampai usia 3 tahunan anak belum lepas dari kebiasaan ini. "Sebaiknya dicek ke dokter, siapa tahu memang ada kelainan." 5.NANGISMINTA SESUATU Menangis adalah suatu hal yang wajar. Namun menangis di usia batita bisa dikategorikan tidak wajar bila masih digunakan sebagai cara berkomunikasi. Di usia 2 tahunan, anak seharusnya sudah bisa berkomunikasi dengan orang lain. Saat haus, lapar, sakit, dan sebagainya, anak seharusnya sudah bisa mengungkapkannya tanpa menangis. Jadi di usia tersebut kalau tangis masih digunakan sebagai cara untuk menarik perhatian sekelilingnya, itu dapat dikategorikan tidak wajar. Beberapa hal berikut perlu dilakukan orang tua sehubungan dengan kebiasaan anak ini: * Tekankan pada anak untuk mengungkapkan apa yang diinginkannya, tapi tidak dengan tangis. Kalau haus, anak harus bilang haus untuk minta minum, bukannya dengan menangis atau merengek. * Orang tua harus tegas, tangisan hanya boleh digunakan untuk mengungkapkan perasaan sedih, sakit, melepaskan emosi dan sejenisnya. Namun tangis bukan cara berkomunikasi untuk mendapatkan sesuatu seperti halnya yang dilakukan bayi.

* Konsistensi menjadi penting di sini. Sekali orang tua mengatakan tidak, besok lagi untuk tangisan yang sama orang tua harus tetap mengatakan tidak yang tentu saja harus disertai penjelasan. Sekali saja orang tua tidak konsisten, anak akan belajar memanfaatkan kesempatan dan mencari-cari celah. * Reward dan punishment juga bisa digunakan dalam kasus ini. Bila anak sudah bisa minta sesuatu tanpa menangis, orang tua bisa melontarkan pujian. Sedangkan bila anak kembali menangis untuk minta sesuatu, anak bisa "dihukum" sesuai kesepakatan yang dibuat bersama. 6. KELEKATAN YANG BERLEBIHAN Kelekatan bayi dengan orang tuanya, terutama ibu adalah suatu hal yang wajar. Di usia ini anak belum bisa menerima keberadaan orang lain karena tidak aman (insecure) bila tidak bersama orang tua, atau significant other seperti pengasuh, kakek-nenek, om-tante yang sering dilihatnya. Menurut teori Erik Erikson, pada masa ini sedang terbentuk trust and distrust terhadap lingkungan. Namun bila kelekatan ini terus dibawa sampai batita, menjadi tidak wajar lagi. Saat anak sudah bisa berkomunikasi dengan orang lain, maka pada saat itu pula anak mestinya sudah belajar bahwa lingkungannya itu tidak hanya orang tua, pengasuh dan kakek/neneknya, melainkan ada juga orang lain di luar mereka. Anak yang mempunyai kelekatan berlebihan dengan orang tuanya, akan "takut" berhadapan dengan orang lain.

Padahal ini seharusnya tidak terjadi. Ada beberapa langkah yang bisa dilakukan orang tua untuk menyiasatinya: * Mulai kenalkan anak pada lingkungan yang lebih luas, bahwa dunia ini tidak hanya berisi orang tua dan significant other lainnya. * Ajak anak bermain tanpa perlu ada attachment langsung. * Ajarkan anak untuk memberikan salam pada orang-orang yang ditemuinya. Dengan begitu anak bisa melihat bahwa orang lain pun tidak "berbahaya" baginya. * Minta anak menjawab pertanyaan orang lain yang diajukan padanya agar akan tumbuh perasaan trust. * Bisa juga sesekali anak ditinggal untuk waktu yang agak lama. Dengan begitu anak akan belajar, kalaupun ditinggal orang tuanya, pasti nanti akan kembali lagi. Bila dibiarkan saja, kelekatan yang berlebihan akan merusak kemampuan sosialisasi anak. Anak jadi tidak berani bergaul dengan lingkungan yang lebih luas dan ke depannya kehidupan sosialnya pun akan terganggu. TIPS UNTUK ORANG TUA Beberapa hal berikut disarankan Sani sehubungan dengan kebiasaan bayi yang masih terbawa sampai batita. * Begitu orang tua tahu batasan usia dimana anak harusnya sudah mulai belajar halhal tertentu, harusnya orang tua mulai aware. Makin dini usia anak saat diajarkan, makin kecil kemungkinan kebiasaan tersebut terbawa

sampai batita. * Konsistensi adalah kunci dalam mengajarkan segala sesuatu pada anak. Sekali orang tua mengambil sikap A, seharusnya sikap itu dipertahankan saat menghadapi keadaan yang sama. * Beri penguatan kala anak berhasil melakukan perilaku yang diajarkan. Bila perlu beri reward atau pujian, sehingga anak merasa yakin bahwa perbuatannya benar. * Jangan bosan memberi penjelasan mengapa ia harus melakukan ini dan itu. Jangan hanya sekali memberitahu, setelahnya hanya mengatakan, "Kemarin Mama sudah bilang. Adek kok enggak ngerti juga?" Ingat kemampuan anak usia ini mengingat sesuatu masih terbatas. * Orang tua harus yakin dengan dirinya sendiri bahwa apa yang diajarkannya pada anak akan mendatangkan manfaat. Ingat, orang tua adalah fasilitator yang membentuk tingkah laku anak. Marfuah Panji Astuti. Foto: Iman/nakita