VI HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
IV METODE PENELITIAN

VI. ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH PADA USAHATANI JAMBU BIJI

ANALISIS DAYASAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS KENTANG

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

VI. ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF USAHA PEMBENIHAN IKAN PATIN SIAM DEDDY FISH FARM

HASIL DAN PEMBAHASAN

ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP JERUK SIAM

IV METODOLOGI PENELITIAN

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pendekatan Penelitian Sistem Usaha Pertanian dan Agribisnis

Lampiran 1. Perhitungan Premium Nilai Tukar dan Nilai Tukar Bayangan Tahun 2009

IV. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN. untuk mendapatkan data yang akan dianalisis sehubungan dengan tujuan

METODE PENELITIAN. A. Metode Dasar Penelitian

VI. ANALISIS DAYASAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS BELIMBING DEWA DI KOTA DEPOK

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

IV. METODE PENELITIAN. Kelurahan Kencana, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor. Pemilihan lokasi

III. METODOLOGI PENELITIAN. Konsep dasar dan definisi operasional ini mencakup pengertian yang. jagung per musim tanam yang, diukur dalam satuan ton.

IV. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN

Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijakan Terhadap Beras Organik Ekspor (Suatu Kasus di Gapoktan Simpatik Kabupaten Tasikmalaya)

III KERANGKA PEMIKIRAN

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan tujuan penelitian dan hasil analisis, maka pada penelitian ini

III METODE PENELITIAN. Daya saing adalah suatu konsep yang menyatakan kemampuan suatu produsen

VIII. DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KEUNTUNGAN DAN DAYA SAING RUMPUT LAUT

III. METODE PENELITIAN

METODE PENELITIAN. 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

VII. DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KEUNTUNGAN DAN DAYA SAING LADA PUTIH

METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian

3.5 Teknik Pengumpulan data Pembatasan Masalah Definisi Operasional Metode Analisis Data

IV. METODE PENELITIAN

ANALISIS SENSITIVITAS

Lampiran 1. Syarat Mutu Lada Putih Mutu I dan Mutu II. binatang

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF BERAS SOLOK ORGANIK Mardianto 1, Edi Firnando 2

METODOLOGI PENELITIAN

DAYA SAING KEDELAI DI KECAMATAN GANDING KABUPATEN SUMENEP

ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS KEDELAI VS PENGUSAHAAN KEDELAI DI KABUPATEN LAMONGAN, JAWA TIMUR

sesuaian harga yang diterima dengan cost yang dikeluarkan. Apalagi saat ini,

BAB IV METODE PENELITIAN

VII. DAMPAK PERUBAHAN KEBIJAKAN PEMERINTAH DAN FAKTOR LAINNYA TERHADAP KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF PADA USAHATANI JAMBU BIJI

Jurnal Agribisnis dan Ekonomi Pertanian (Volume 2. No 1 Juni 2008)

III. METODE PENELITIAN. peneliti menggunakan konsep dasar dan batasan oprasional sebagai berikut:

Lampiran 1. Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Tanaman Ubi Jalar Seluruh Provinsi Tahun 2009

III KERANGKA PEMIKIRAN

Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Daya Saing Komoditas Kelapa di Kabupaten Flores Timur

ANALISIS DAYA SAING APEL JAWA TIMUR (Studi Kasus Apel Batu, Nongkojajar dan Poncokusumo)

VII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI KEDELAI EDAMAME PETANI MITRA PT SAUNG MIRWAN

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Harga Gula Domestik

EFISIENSI DAN DAYA SAING SISTEM USAHATANI PADI

.SIMULASI KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP DAYA SAING TEMBAKAU MADURA. Kustiawati Ningsih

VII. ANALISIS DAYA SAING USAHATANI JAGUNG

IV. METODE PENELITIAN. Fish Farm) dilaksanakan di lokasi usaha yang bersangkutan yaitu di daerah

Pengkajian Daya Saing dan Dampak Kebijakan Terhadap Usahatani Padi dan Jeruk Lahan Gambut Kabupaten Barito Kuala Kalimantan Selatan

Jurnal Agribisnis dan Ekonomi Pertanian (Volume 3. No 2 Desember 2009)

MACAM-MACAM ANALISA USAHATANI

ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP PRODUKSI KAKAO DI JAWA TIMUR

EFISIENSI DAN DAYA SAING USAHATANI HORTIKULTURA

KERANGKA PEMIKIRAN. berupa derasnya arus liberalisasi perdagangan, otonomi daerah serta makin

VI. ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI UBI JALAR DI DESA CIKARAWANG

III. METODE PENELITIAN. Definisi operasional dan konsep dasar ini mencakup semua pengertian yang

ANALISIS DAYA SAING AGRIBISNIS BAWANG MERAH DI KABUPATEN PROBOLINGGO

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. METODE PENELITIAN. untuk mendapatkan dan menganalisis data sesuai dengan tujuan penelitian.

DAMPAK KEBIJAKAN PEMBATASAN IMPOR BAWANG MERAH TERHADAP USAHATANI BAWANG MERAH DI KABUPATEN PROBOLINGGO

VIII. KESIMPULAN DAN SARAN

VIII. ANALISIS KEBIJAKAN ATAS PERUBAHAN HARGA OUTPUT/ INPUT, PENGELUARAN RISET JAGUNG DAN INFRASTRUKTUR JALAN

JIIA, VOLUME 1, No. 4, OKTOBER 2013

14,3 13,1 11,1 8,9 27,4 26,4 4. 1,0 1,0 9,9 6. 7,0 15,6 16,1 6,5 6,2 8,5 8,3 10,0

Pendapatan Rata-Rata Peternak Sapi Perah Per Ekor/Bulan

VII. ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI UBI KAYU. Umumnya petani ubi kayu Desa Pasirlaja menggunakan seluruh lahan

ANALISIS DAYA SAING DAN STRUKTUR PROTEKSI KOMODITAS PALAWIJA

Keunggulan Komparatif dan Kompetitif dalam Produksi Padi di Kabupaten Lampung Tengah Propinsi Lampung

VI ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI KEMBANG KOL

VII. ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI PADI VARIETAS CIHERANG

KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN DAMPAK KEBIJAKAN PENGURANGAN SUBSIDI INPUT TERHADAP PENGEMBANGAN KOMODITAS KENTANG DI KOTA BATU

VIII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI UBI JALAR

DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP PENGEMBANGAN USAHATANI BAWANG MERAH DI KECAMATAN BULAKAMBA KABUPATEN BREBES

VII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI PADI SEHAT

DAMPAK DEPRESIASI RUPIAH TERHADAP DAYA SAING DAN TINGKAT PROTEKSI KOMODITAS PADI DI KABUPATEN BADUNG

Volume 12, Nomor 1, Hal ISSN Januari - Juni 2010

VIII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI BAWANG MERAH

VII. ANALISIS DAMPAK PERUBAHAN KEBIJAKAN PADA USAHA PEMBENIHAN IKAN PATIN Kerangka Skenario Perubahan Harga Input dan Output

KEUNGGULAN KOMPARATIF KOMODITAS JAGUNG DI KABUPATEN KEDIRI

BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN. menembus dengan volume 67 ton biji gelondong kering (Direktorat Jenderal

ANALISIS DAYASAING USAHATANI JAGUNG DI KABUPATEN BOLAANG MONGONDOW PROPINSI SULAWESI UTARA

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Empiris Ubi Jalar

DAYA SAING DAN PERAN PEMERINTAH DALAM MENINGKATKAN DAYA SAING KOMODITI KAKAO DI SULAWESI TENGAH

ANALISIS DAYA SAING USAHATANI KOPI ROBUSTA (COFFEA CANEPHORA) DI KABUPATEN REJANG LEBONG

Universitas Sumatera Utara

DAMPAK KEBIJAKAN KREDIT DAN SUBSIDI PUPUK TERHADAP KEUNTUNGAN USAHATANI PADI. I Made Tamba Ni Luh Pastini

ANALISIS DAYA SAING KOMODITAS KELAPA DI KABUPATEN FLORES TIMUR

Jurnal Ekonomi Pembangunan Vol. 12 No. 2, Agustus 2007 Hal: namun sering harganya melambung tinggi, sehingga tidak terjangkau oleh nelayan. Pe

BAB VII ANALISIS PERBANDINGAN USAHATANI

DAFTAR TABEL. 1. Produksi manggis di Pulau Sumatera tahun Produksi manggis kabupaten di Provinsi Lampung tahun

STUDI KEUNGGULAN KOMPARATIF USAHATANI TEBU ABSTRACT ABSTRAK

VII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI JAGUNG MANIS

ANALISIS DAYASAING KOMODITI TEMBAKAU RAKYAT DI KLATEN JAWA TENGAH PENDAHULUAN

TINJAUAN PUSTAKA. Budidaya tebu adalah proses pengelolaan lingkungan tumbuh tanaman

VI. ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI

Lampiran 1. Produksi dan Luas Areal Kopi Arabika di Kabupaten Tapanuli Utara Periode Perkembangan (%) Luas Areal (Ha) Perkembangan (%)

Transkripsi:

VI HASIL DAN PEMBAHASAN Pengusahaan ubi jalar di Kabupaten Sumedang dipusatkan di daerah pengembangan yaitu di Desa Cilembu (Pamulihan) sebagai penghasil ubi Cilembu dan Desa Nagarawangi (Rancakalong) yang memiliki ekotype tanah yang sama. Pada umumnya petani di kedua desa menanam beberapa jenis ubi yang ditanam, ubi ungu, merah dan kuning, tetapi mayoritas menanam ubi kuning yaitu ubi Cilembu. 6.1 Struktur Penggunaan Biaya, Penerimaan dan Pendapatan dalam Pengusahaan Ubi Jalar di Kabupaten Sumedang Pada pengusahaan ubi jalar di Kabupaten Sumedang, komponen input yang digunakan adalah pupuk kandang dan bibit (non tradable) dan input tradable seperti Furadan, Urea, SP-36, KCL, Phoska, satuannya adalah Kg, dan Curacron adalah per botol. Terdapat perbedaan komponen penggunaan input pada kedua desa tersebut, petani di Desa Nagarawangi tidak menggunakan pupuk SP- 36 dan KCL. Tenaga kerja dikonversi menjadi Hari Orang Kerja (HOK) yang setara dengan Hari Kerja Pria (HKP), sedangkan tenaga kerja wanita (HKW) dikonversi dengan mengalikan 0,8 agar menjadi setara dengan HOK. Upah tenaga kerja di Nagarawangi relatif lebih murah yaitu Rp 25.000 ditambah dengan makan, rokok, dan kopi untuk laki-laki dan di Desa Cilembu, upah tenaga kerja lebih mahal, Rp 30.000 ditambah uang makan untuk laki-laki sedangkan untuk wanita di kedua desa mendapatkan upah yang sama yaitu Rp 15.000,00. Aktivitas yang dilakukan oleh petani adalah melakukan pengolahan tanah, penanaman, pemupukan, penyemprotan, penyiangan dan pemanenan. Pada kegiatan pengolahan tanah, menggunakan tenaga kerja pria yang paling banyak diantara kegiatan lainnya, penanaman dan penyiangan biasanya dilakukan oleh tenaga kerja wanita. Tenaga kerja untuk pemanenan yaitu pria untuk menggali ubi, sedangkan wanita membersihkan ubi dari akar-akarnya dan memasukkan ke dalam wadah yang terbuat dari bambu dapat dilihat pada Gambar 6. 40

Gambar 6. Pemanenan yang Dilakukan oleh Tenaga Kerja Pria dan Wanita Pada Tabel privat bujet, terdapat penerimaan yang merupakan hasil ratarata di kedua desa yaitu harga jual (P) dikali dengan jumlah produksi (Q), biaya produksi yang terdiri dari input tradable dan non tradable dan keuntungan yang bisa diperoleh petani dengan mengurangkan antara penerimaan dan biaya serta semuanya dihitung pada harga aktual (sebenarnya) dan dapat dijadikan untuk mengisi kolom yang pertama pada Tabel PAM. Perhitungan pada Tabel privat bujet menggunakan rata-rata di kedua desa dikarenakan ubi Cilembu untuk ekspor merupakan hasil produksi Desa Cilembu dan Nagarawangi. Keuntungan yang diperoleh petani (masa panen 5 bulan) dengan harga jual Rp 2.770,00 per kilogram yaitu sebesar Rp 12.333.129,00 yang berarti setiap bulan petani di Kabupaten Sumedang mendapatkan Rp 2.466.626,00 dan dengan menanam padi hanya mendapatkan Rp 2.394.036 per hektar. Nilai R/C yang didapat adalah 1,01 menunjukkan bahwa setiap satu rupiah yang dikeluarkan untuk biaya produksi ubi jalar sama dengan penerimaan untuk satu kilogram ubi Cilembu denagn kata lain usahatani ubi di Cilembu berada pada titik impas. Pada Tabel 13 dapat dilihat keuntungan rata-rata produksi Ubi Cilembu di Kabupaten Sumedang. 41

Tabel 13. Penerimaan, Biaya dan Keuntungan privat Usahatani Ubi Cilembu di Kabupaten Sumedang per musim Tahun 2011 (Rp/Ha) Input/Output Jenis Input Jumlah Harga Nilai Input Tradable Input tradable Output R/C non Furadan 11 17.731 195.041 Urea 146 1.878 274.188 KCL 135 2.103 283.905 TSP 131 2.073 271.563 Phonska 265 2.506 664.090 Curacron 7 26.683 186.781 Bibit Pupuk Kandang 1.804 835 1.506.340 5.644 196 1.106.224 Pengolahan lahan 176 27.250 4.796.000 Penanaman 20 24.188 483.760 Pemupukan 15 24.188 362.820 Penyiangan 38 24.188 919.144 Pemanenan 39 27.188 1.060.332 Cangkul 4 74.750 20.289 Sabit 4 40.833 11.083 Sprayer 5 305.000 54.900 Parang 4 40.750 11.061 Sewa Lahan (Ha) 1 6.000.000 6.000.000 Total Penerimaan 11.225 2.720 30.532.000 Total Biaya (tidak termasuk lahan) 12.207.521 Keuntungan (tidak termasuk lahan) 18.324.479 Keuntungan bersih (termasuk lahan) 12.324.479 1,01 42

Langkah berikutnya dilakukan untuk mengisi baris kedua yaitu membuat Tabel bujet sosial dengan perhitungan berdasarkan harga bayangan. Harga bayangan ubi jalar dapat diperoleh dari harga ubi jalar per kilogram di perbatasan yaitu US$ 1,23 per kg dikalikan dengan SER tahun 2010 yaitu Rp 9.354,00 dikurangi dengan biaya tataniaga sebesar Rp 2.180,00/kg sehingga harga bayangan ubi jalar Cilembu sebesar Rp 9.325,00/kg. Harga f.o.b ubi Jalar Cilembu tahun 2010 terdiri dari biaya ongkos kontainer, bongkar muat, bea cukai, biaya pengangkutan kapal, biaya administrasi lainnya dan harga di lingkungan proyek sebesar Rp 11.087,50 yang dikonversi dengan nilai tukar rupiah (Rp 8.980,00) menjadi US$ 1,23 per kg. Untuk biaya tataniaga terdiri dari biaya pencucian (Rp 130,00), transportasi (Rp 125,00), pengemasan (Rp 75,00), lakban (Rp 900,00), kardus (Rp 700,00) dan bongkar muat (Rp 250,00) sebesar Rp 2.180,00 per kg. Adapun proses pencucian dan contoh kemasan dapat dilihat pada Gambar 7 dan 8. Gambar 7. Pencucian Ubi Cilembu Gambar 8. Contoh Kemasan Ubi Cilembu Tujuan Ekspor Malaysia 43

Dalam proses produksi, harga bayangan pupuk ditentukan berdasarkan harga border price (free on board). Perhitungan harga bayangan pupuk Urea, FOB US$ 0,39 per kg dikalikan dengan SER tahun 2010 (Rp 9.354,00) dikurangi dengan biaya tataniaga sebesar Rp 240,00/kg (Dinas Pertanian Kabupaten Sumedang), sedangkan untuk CIF KCL US$ 0,35/kg dan CIF SP-36 US$ 0,4/kg 9 dikalikan dengan SER tahun 2010 dan ditambah dengan biaya tataniaga. Untuk pupuk NPK Phonska memiliki harga bayangan yaitu Rp 6.650 yang merupakan harga non subsidi. Perbedaan rasio antara subsidi dan non subsidi yaitu 3-5 kali dari Harga Eceran Tertinggi (HET). Dikarenakan NPK Phonska lebih banyak digunakan untuk produksi di domestik dibandingkan untuk diekspor dan hanya diproduksi oleh satu perusahaan yaitu PT Petrokimia Gresik. Harga Rp 6.650,00 diperoleh dari 3,8 dikalikan dengan Harga Eceran Tertinggi (HET) untuk Pupuk NPK Phonska yaitu Rp 1.750 per kg. Sedangkan untuk insektisida menggunakan harga aktual, dengan asumsi pasar persaingan sempurna.tabel perhitungan Bujet Sosial untuk Usahatani Ubi Cilembu di Kabupaten Sumedang dapat dilihat pada Tabel 14. 9 World Bank. 2010. Commodity Price Data Pinksheet http://www.worldbank.org/prospect 44

Tabel 14. Penerimaan, Biaya dan Keuntungan Sosial Usahatani Ubi Cilembu di Kabupaten Sumedang per musim Tahun 2011 (Rp/Ha) Input/Output Jenis Input Jumlah Harga Nilai Input Tradable Input tradable Output non Furadan 11 17.731 195.041 Urea 146 3.408 497.568 KCL 135 3.514 474.390 TSP 131 3.982 521.642 Phonska 265 6.650 1.762.250 Curacron 7 26.683 186.781 Bibit Pupuk Kandang 1.804 835 1.506.340 5.644 196 1.106.224 Pengolahan lahan 176 24.798 4.364.448 Penanaman 20 22.011 440.220 Pemupukan 15 22.011 330.165 Penyiangan 38 22.011 836.418 Pemanenan 39 24.741 964.899 Cangkul 4 74.750 20.289 Sabit 4 40.833 11.083 Sprayer 5 305.000 54.900 Parang 4 40.750 11.061 Sewa Lahan (Ha) 1 5.931.375 5.931.375 Total Penerimaan 11.225 9.325 104.673.125 Total Biaya (tidak termasuk lahan) 13.283.719 Keuntungan (tidak termasuk lahan) 91.389.406 Keuntungan bersih (termasuk lahan) 85.458.031 45

Berdasarkan tabel tersebut biaya pada harga sosial menjadi lebih besar dikarenakan pada input tradable menggunakan harga dunia sehingga menjadi lebih tinggi, tetapi penerimaan yang didapatkan lebih besar menjadi Rp 9.325,00 sehingga mengakibatkan keuntungan menjadi lebih besar. Hal tersebut mengindikasikan bahwa harga dunia untuk ubi jalar lebih tinggi dibandingkan dengan harga domestik. 6.2 Analisis Daya saing Ubi Jalar di Kabupaten Sumedang Analisis daya saing menggunakan Matriks Analisis Kebijakan (PAM) bisa mengukur daya saing melalui pendekatan keunggulan kompetitif, komparatif dan dampak kebijakan terhadap input maupun output. Matriks PAM terdiri dari penerimaan, biaya input (tradable dan non tradable) dan keuntungan berdasarkan harga finansial (privat) dan harga ekonomi (sosial). Matriks PAM yang diperoleh dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15. Matriks Analisis Kebijakan Pengusahaan Ubi Jalar Cilembu di Kabupaten Sumedang per musim Tahun 2011 (Rp/kg Ubi Jalar) Keterangan Penerimaan Biaya Input Keuntungan Tradable Non Tradable Harga Privat 2.720,00 167,00 1.455,00 Harga Sosial 9.325,00 324,00 1.388,00 Dampak Kebijakan 1.098,00 7.613,00-6.605,00-157,00 67,00-6.515,00 Dari Tabel tersebut dapat diperoleh nilai sebagai indikator-indikator matriks kebijakan yang bisa menentukan keunggulan komparatif maupun kompetitif serta kebijakan pemerintah terhadap pengusahaan ubi jalar di Kabupaten Sumedang (Tabel 16). 46

Tabel 16. Indikator-Indikator Analisis PAM pada pengusahaan Ubi Jalar Cilembu di kabupaten Sumedang Tahun 2011 Indikator Nilai Keuntungan Privat (KP) 1.098,00 Keuntungan Sosial (KS) 7.613,00 Rasio Biaya Privat (PCR) 0,57 Rasio Sumberdaya Domestik (DRC) 0,15 Transfer Output (OT) -6.605,00 Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO) 0,29 Transfer Input (IT) -157,00 Transfer faktor (TF) 67,00 Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI) 0,52 Koefisien Proteksi Efektif (EPC) 0,28 Transfer Bersih (NT) -6.515,00 Koefisien Keuntungan (PC) 0,14 Rasio Subsidi Produsen (SRP) -0,70 6.2.1 Analisis Keunggulan Kompetitif Keunggulan kompetitif suatu komoditas dapat dilihat berdasarkan indikator-indikator Keuntungan Privat (KP) dan Rasio Biaya Privat (PCR). Indikator tersebut menunjukkan tingkat keuntungan secara finansial dan tingkat efisiensi penggunaan sumberdaya. Nilai KP yang didapat dari Tabel 15 yaitu Rp 1.098,00 dan PCR 0,57. Keuntungan Privat merupakan selisih antara penerimaan dengan biaya input tradable dan domestik per satuan kilogram ubi jalar pada harga aktual. Berdasarkan Tabel, penerimaan petani secara finansial yaitu Rp 2.720,00 per kilogram sedangkan biaya input yang terdiri dari biaya tradable sebesar Rp Rp 167,00 dan biaya domestik sebesar Rp 1.445,00 sehingga keuntungan yang diperoleh yaitu Rp 1.098,00 per kilogram ubi jalar. Nilai keuntungan privat yang positif (KP>0) menunjukkan bahwa secara finansial pengusahaan ubi jalar di Kabupaten Sumedang menguntungkan. 47

Indikator tersebut menunjukkan bahwa petani sebagai pemilik bisa memenuhi kebutuhan keuangannya dengan melakukan usahatani ubi Cilembu. Tingkat efisiensi alokasi sumberdaya dapat diukur dengan menggunakan rasio biaya privat (PCR) yang merupakan rasio antara biaya faktor domestik dengan selisih antara penerimaan dan biaya input tradable pada harga privat. Nilai PCR menunjukkan bahwa setiap satu Dollar Amerika yang diperoleh dari ekspor ubi jalar di kedua desa hanya dibutuhkan biaya input domestik sebesar 0,57. Dengan nilai PCR lebih kecil dari satu (PCR<1) maka usahatani efisien secara finansial dan memiliki keunggulan kompetitif serta petani mampu membiayai faktor domestiknya pada harga privat. 6.2.2 Analisis Keunggulan Komparatif Keunggulan komparatif dapat diukur dengan menggunakan nilai keuntungan sosial (KS) dan rasio biaya domestik (DRC) yang merupakan indikator menganalisis pengusahaan ubi jalar tetap memiliki daya saing tanpa bantuan pemerintah. Keuntungan sosial adalah selisih antara penerimaan dengan biaya input pada saat persaingan sempurna dan tidak ada efek divergensi baik kebijkan pemerintah maupun distorsi pasar. Keuntungan sosial diperoleh dari selisih penerimaan Rp 9.352,00 per kilogram dengan biaya input tradable sebesar Rp 324,00 dan biaya input domestik sebesar Rp 1.388,00 sehingga diperoleh keuntungan Rp 7.613,00 Keuntungan Sosial yang positif (KS>0) menunjukkan bahwa usahatani ubi di kedua desa menguntungkan secara ekonomi dan layak untuk diusahakan meskipun tanpa ada intervensi pemerintah. Usahatani ubi Cilembu di Kabupaten Sumedang bisa bermanfaat untuk masyarakat maupun pemerintah, dengan ekspor ubi Cilembu mendapatkan devisa sebagai tambahan penerimaan negara. Selain Keuntungan Sosial (KS), keunggulan komparatif bisa dilihat dari indikator DRC yang merupakan rasio antara biaya domestik dengan selisih penerimaan dikurangi biaya asing pada harga tanpa intervensi pemerintah (harga bayangan). Suatu usahatani akan efisien secara ekonomi jika DRC diperoleh 48

kurang dari satu (DRC<1), semakin kecil nilai DRC maka keunggulan komparatif yang dimiliki semakin besar, dan jika DRC lebih dari satu (DRC>1) menunjukkan pemborosan sumberdaya domestik. Nilai DRC yang diperoleh adalah 0,15, nilai tersebut mengindikasikan usahatani ubi efisien secara ekonomi dan memiliki keunggulan komparatif (daya saing). Dengan nilai DRC yang diperoleh maka komoditas ubi jalar lebih efisien apabila diproduksi di dalam negeri dibandingkan impor atau memiliki peluang ekspor yang tinggi. Nilai DRC yang lebih kecil dari PCR (DRC<PCR) menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah tidak meningkatkan efisiensi dalam usahatani ubi jalar di Kabupaten Sumedang dan tanpa adanya kebijakan usahatani ubi Cilembu masih menguntungkan dan layak untuk dijalankan. 6.3 Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah Kebijakan pemerintah bisa memberikan dampak positif dan negatif serta bisa mengatur kuantitas input maupun output suatu aktivitas ekonomi. Berdampak positif jika kebijakan bisa membantu produsen dalam negeri meningkatkan keuntungan dengan bisa memasarkan produknya untuk diekspor dan berdampak negatif jika kebijakan tersebut menghambat usahatani suatu komoditi. Indikator kebijakan usatahatani ubi jalar di Kabupaten Sumedang bisa dibagi menjadi tiga yaitu dampak kebijakan terhadap output, input, dan input-output. 6.3.1 Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Output Kebijakan pemerintah terhadap output bisa dilihat dari dua nilai yaitu Transfer Output (OT) dan Koefisien Proteksi Output Nasional (NPCO). Transfer Output (OT) adalah selisih dari penerimaan privat dan penerimaan sosial. Nilai OT yang diperoleh adalah negatif (OT<0) yaitu Rp 6.605,00 yang mengindikasikan bahwa tidak ada insentif konsumen terhadap produsen, sehingga harga yang dibayarkan oleh konsumen lebih rendah dari seharusnya sehingga terjadi transfer output dari produsen ke konsumen. Dengan kata lain, tidak ada subsidi output yang menyebabkan harga sosial lebih tinggi 49

daripada harga privat. Harga ubi Cilembu domestik yaitu Rp 2.720,00 sedangkan harga dunia sebesar Rp 9.325,00. Perbedaan harga tersebut menjadikan penerimaan produsen menjadi lebih rendah pada saat ada kebijakan pemerintah (harga aktual). Indikator lain yang bisa digunakan untuk melihat dampak kebijakan pemerintah yaitu Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO) yang menunjukkan tingkat proteksi pemerintah terhadap output. Nilai NPCO yang diperoleh yaitu 0,29 yang mengindikasikan bahwa ada hambatan kebijakan pemerintah untuk melakukan ekspor diantaranya pungutan-pungutan liar dan biaya bea cukai yang lebih tinggi apabila ekspor dilakukan pada hari libur sehingga tidak ada penambahan penerimaan. Petani hanya memperoleh 29 persen dari harga yang seharusnya yang menyebabkan petani tidak memperoleh insentif untuk meningkatkan produksi. Dengan tidak adanya transfer output dari konsumen ke produsen maka menyebabkan harga yang diterima oleh konsumen lebih rendah dari yang seharusnya dan terjadi kebijakan pemerintah yang melindungi konsumen domestik. 6.3.2 Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Input Kebijakan pemerintah terhadap input bisa berupa subsidi dan hambatan impor untuk melindungi produsen. Untuk mengetahui adanya insentif pemrintah terhadap input bisa dilihat dari indikator Transfer Input (IT), Transfer Faktor (FT), dan Koefisien Proteksi Input Nasional (NPCI). Nilai Transfer Input (IT) merupakan selisih Biaya Input Tradable Privat dan Sosial. Jika nilai IT positif (IT>0), maka harga sosial input asing lebih tinggi dan produsen membayar lebih mahal. Nilai IT yang diperoleh untuk petani di Kabupaten Sumedang yaitu negatif Rp 157,00 menunjukkan adanya subsidi pemerintah terhadap input asing, sehingga produsen tidak membayar penuh untuk membeli input. Dari harga dunia yang berlaku petani hanya membayar 55 persen dari harga yang seharusnya, sehingga subsidi yang diberikan pemerintah sebesar 45 persen. 50

Transfer Faktor (FT) menunjukkan besarnya subsidi terhadap input non tradable dan diperoleh dari selisih biaya input non tradable privat dan sosial. Jika nilai TF positif (TF>0) maka terjadi subsidi negatif dan nilai TF negatif (TF<0) maka terjadi subsidi positif. Nilai yang diperoleh yaitu 67,00 per kilogram mengindikasikan bahwa terjadi subsidi negatif dari pemerintah. Petani dirugikan karena membayar input non tradable lebih tinggi dari seharusnya dikarenakan pajak untuk kepemilikan tanah sebesar Rp 86.100,00 per hektar per musim tanam dan perhitungan upah tenaga kerja tidak terdidik pada harga sosial sebesar 91 persen dari upah yang sebenarnya. Dalam teorinya, harga bayangan untuk tenaga kerja tidak terdidik adalah 0, tetapi dengan melihat penelitian terdahulu, maka harga yang digunakan adalah tingkat pengangguran di Kabupaten Sumedang yaitu 9 persen. Koefisien proteksi input nominal (NPCI) adalah rasio dari biaya input tradable privat dan sosial dan merupakan indikator yang menunjukkan tingkat proteksi pemerintah terhadap harga input domestik. Dari hasil yang didapat NPCI kurang dari satu (NPCI<1) yaitu 0,51. Kebijakan pemerintah bersifat protektif terhadap input asing dan produsen menerima subsidi atas input asing sehingga produsen membeli dengan harga yang lebih murah. Petani Cilembu menerima harga input yang lebih murah sebesar 51 persen dari yang seharusnya 6.3.3 Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Input-Output Kebijakan terhadap input dan output merupakan gabungan antara kebijakan input dan kebijakan output. Indikator dampak kebijakan input-output bisa dilihat dari Koefisien proteksi efektif (EPC), Nilai rasio subsidi bagi produsen (SRP), koefisien keuntungan (PC) dan Transfer bersih (NT). Koefisien Proteksi Efektif (EPC) adalah rasio antara penerimaan privat dikurangi biaya input tradable dengan penerimaan sosial dikurangi biaya input tradable dan menggambarkan sejauh mana kebijakan pemerintah melindungi atau menghambat produksi domestik. Nilai EPC yang diperoleh yaitu 0,28 (EPC<1) menggambarkan kebijakan terhadap output maupun subsidi input bersifat 51

menghambat (tidak efektif) dan tidak memberikan insentif terhadap petani untuk berproduksi. Transfer bersih (NT) merupakan selisih antara keuntungan Privat dan keuntungan sosial (asumsi pasar persaingan sempurna) yang menggambarkan dampak kebijakan pemerintah terhadap penerimaan apakah menguntungkan atau merugikan. Nilai NT yang diperoleh bernilai negatif yaitu Rp 6.515,00 menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah tidak memberikan insentif untuk meningkatkan produksi. Keuntungan yang diperoleh ketika ada kebijakan pemerintah lebih rendah Rp 6.515,00 per kilogram dibandingkan dengan tidak adanya campur tangan pemerintah. Dengan kata lain, apabila ada kebijakan pemerintah, penerimaan lebih rendah, hal ini bisa terlihat dari harga jual ubi Cilembu yang lebih tinggi dibandingkan dengan harga privat. Pengaruh kebijakan secara keseluruhan dicerminkan oleh Koefisien keuntungan (PC) yang menyebabkan keuntungan privat berbeda dengan keuntungan sosial dan diperoleh dari rasio penerimaan privat dengan sosial. Nilai PC yang diperoleh yaitu 0,14 yang mengindikasikan bahwa keuntungan yang diperoleh petani hanya 14 persen dan kehilangan 86 persen keuntungan yang seharusnya diperoleh. Nilai rasio subsidi bagi produsen (SRP) menggambarkan tingkat penambahan dan pengurangan penerimaan karena adanya kebijakan pemerintah dan merupakan rasio antara transfer bersih dengan penerimaan berdasarkan harga bayangan. SRP yang negatif (<0) menyebabkan kebijakan pemerintah menyebabkan produsen mengeluarkan biaya produksi lebih besar dari biaya sosial untuk berproduksi. Nilai yang diperoleh yaitu -0,78 yang menyebabkan petani mengeluarkan biaya produksi lebih besar 78 persen dari biaya sosialnya. 52