VI. DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN TERHADAP PENGUSAHAAN SUSU SAPI LOKAL

dokumen-dokumen yang mirip
HASIL DAN PEMBAHASAN

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

ANALISIS DAYASAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS KENTANG

VI. ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH PADA USAHATANI JAMBU BIJI

VIII. DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KEUNTUNGAN DAN DAYA SAING RUMPUT LAUT

METODE PENELITIAN. 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

VI. ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF USAHA PEMBENIHAN IKAN PATIN SIAM DEDDY FISH FARM

VI. ANALISIS DAYASAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS BELIMBING DEWA DI KOTA DEPOK

ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP JERUK SIAM

III. METODE PENELITIAN

DAYA SAING KEDELAI DI KECAMATAN GANDING KABUPATEN SUMENEP

III KERANGKA PEMIKIRAN

I. PENDAHULUAN. khususnya bagi sektor pertanian dan perekonomian nasional pada umumnya. Pada

IV METODOLOGI PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN

Volume 12, Nomor 1, Hal ISSN Januari - Juni 2010

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan tujuan penelitian dan hasil analisis, maka pada penelitian ini

sesuaian harga yang diterima dengan cost yang dikeluarkan. Apalagi saat ini,

.SIMULASI KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP DAYA SAING TEMBAKAU MADURA. Kustiawati Ningsih

VII. ANALISIS DAMPAK PERUBAHAN KEBIJAKAN PADA USAHA PEMBENIHAN IKAN PATIN Kerangka Skenario Perubahan Harga Input dan Output

III. METODE PENELITIAN

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Harga Gula Domestik

VII. ANALISIS DAYA SAING USAHATANI JAGUNG

ANALISIS DAYA SAING APEL JAWA TIMUR (Studi Kasus Apel Batu, Nongkojajar dan Poncokusumo)

ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF BERAS SOLOK ORGANIK Mardianto 1, Edi Firnando 2

III. METODE PENELITIAN. untuk mendapatkan data yang akan dianalisis sehubungan dengan tujuan

3.5 Teknik Pengumpulan data Pembatasan Masalah Definisi Operasional Metode Analisis Data

Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Daya Saing Komoditas Kelapa di Kabupaten Flores Timur

METODE PENELITIAN. A. Metode Dasar Penelitian

IV METODE PENELITIAN

VII. DAMPAK PERUBAHAN KEBIJAKAN PEMERINTAH DAN FAKTOR LAINNYA TERHADAP KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF PADA USAHATANI JAMBU BIJI

III. METODOLOGI PENELITIAN. Konsep dasar dan definisi operasional ini mencakup pengertian yang. jagung per musim tanam yang, diukur dalam satuan ton.

Jurnal Agribisnis dan Ekonomi Pertanian (Volume 2. No 1 Juni 2008)

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN. Kelurahan Kencana, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor. Pemilihan lokasi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Jurnal Agribisnis dan Ekonomi Pertanian (Volume 3. No 2 Desember 2009)

KERANGKA PEMIKIRAN. berupa derasnya arus liberalisasi perdagangan, otonomi daerah serta makin

ANALISIS SENSITIVITAS

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting

MACAM-MACAM ANALISA USAHATANI

DAYA SAING USAHA TERNAK SAPI PERAH RAKYAT DI KECAMATAN PUJON KABUPATEN MALANG JAWA TIMUR

Jurnal Ekonomi Pembangunan Vol. 12 No. 2, Agustus 2007 Hal: namun sering harganya melambung tinggi, sehingga tidak terjangkau oleh nelayan. Pe

Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijakan Terhadap Beras Organik Ekspor (Suatu Kasus di Gapoktan Simpatik Kabupaten Tasikmalaya)

I. PENDAHULUAN. sektor pertanian yang memiliki nilai strategis antara lain dalam memenuhi

ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS KEDELAI VS PENGUSAHAAN KEDELAI DI KABUPATEN LAMONGAN, JAWA TIMUR

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Faktor-Faktor Penting yang Memengaruhi Dayasaing Suatu Komoditas

KERANGKA PEMIKIRAN Struktur Biaya Produksi Usahaternak Sapi Perah

VIII. KESIMPULAN DAN SARAN

ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR

Pendapatan Rata-Rata Peternak Sapi Perah Per Ekor/Bulan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Peternakan Sapi Perah di Indonesia

METODOLOGI PENELITIAN

VII. DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KEUNTUNGAN DAN DAYA SAING LADA PUTIH

TINJAUAN PUSTAKA Pembagian Skala Usahaternak Sapi Perah

DAYA SAING USAHA TERNAK SAPI RAKYAT PADA KELOMPOK TANI DAN NON KELOMPOK TANI (suatu survey di Kelurahan Eka Jaya)

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. Budidaya tebu adalah proses pengelolaan lingkungan tumbuh tanaman

II. TINJAUAN PUSTAKA

III METODE PENELITIAN. Daya saing adalah suatu konsep yang menyatakan kemampuan suatu produsen

DAYA SAING JAGUNG, KETELA POHON, DAN KETELA RAMBAT PRODUKSI LAHAN KERING DI KECAMATAN KUBU, KABUPATEN KARANGASEM PROVINSI BALI

DAFTAR PUSTAKA. Aak Petunjuk Praktis Beternak Sapi Perah. Kanisius, Yogyakarta.

ANALISIS DAYA SAING AGRIBISNIS BAWANG MERAH DI KABUPATEN PROBOLINGGO

ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP PRODUKSI KAKAO DI JAWA TIMUR

III. KERANGKA PEMIKIRAN

dan produktivitasnya sehingga mampu memenuhi kebutuhan IPS. Usaha

III. METODE PENELITIAN. untuk mendapatkan dan menganalisis data sesuai dengan tujuan penelitian.

I. PENDAHULUAN. Sumber : BPS (2009)

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Studi Empiris Tentang Jeruk

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dede Upit, 2013

Lampiran 1. Perhitungan Premium Nilai Tukar dan Nilai Tukar Bayangan Tahun 2009

Analysis of Competitiveness and Marketing Channels Ikan Kembung ( Rastrelliger sp.) in Rembang Regency, Central Java Effect

III. KERANGKA PEMIKIRAN

(The analysis of profitability, comparative advantage, competitive advantage and import policy impact on beef cattle fattening in west java)

Susu : Komoditi Potensial Yang Terabaikan

III KERANGKA PEMIKIRAN

VIII. ANALISIS KEBIJAKAN ATAS PERUBAHAN HARGA OUTPUT/ INPUT, PENGELUARAN RISET JAGUNG DAN INFRASTRUKTUR JALAN

DAMPAK KEBIJAKAN KREDIT DAN SUBSIDI PUPUK TERHADAP KEUNTUNGAN USAHATANI PADI. I Made Tamba Ni Luh Pastini

IV. METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

DAFTAR ISI. Halaman Judul... Lembar Pengesahan... Lembar Pernyataan... Kata Pengantar... Daftar Isi...

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pendekatan Penelitian Sistem Usaha Pertanian dan Agribisnis

JIIA, VOLUME 1, No. 4, OKTOBER 2013

Pengkajian Daya Saing dan Dampak Kebijakan Terhadap Usahatani Padi dan Jeruk Lahan Gambut Kabupaten Barito Kuala Kalimantan Selatan

STUDI KELAYAKAN BISNIS ( Domestic Resource Cost )

PERSUSUAN INDONESIA: KONDISI, PERMASALAHAN DAN ARAH KEBIJAKAN

ANALISIS DAYA SAING KOMODITAS KELAPA DI KABUPATEN FLORES TIMUR

III. KERANGKA PEMIKIRAN

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

7.2. PENDEKATAN MASALAH

DAMPAK DEPRESIASI RUPIAH TERHADAP DAYA SAING DAN TINGKAT PROTEKSI KOMODITAS PADI DI KABUPATEN BADUNG

III. KERANGKA PEMIKIRAN

I. PENDAHULUAN. pengekspor jagung (net exporter), namun situasi ini secara drastis berubah setelah

III. KERANGKA PEMIKIRAN

IV. METODE PENELITIAN. Fish Farm) dilaksanakan di lokasi usaha yang bersangkutan yaitu di daerah

KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF USAHA AGRIBISNIS AYAM RAS PEDAGING DI KABUPATEN LAMONGAN JAWA TIMUR

POLICY BRIEF DAYA SAING KOMODITAS PADI, JAGUNG, DAN KEDELAI DALAM KONTEKS PENCAPAIAN SWASEMBADA PANGAN. Dr. Adang Agustian

II TINJAUAN PUSTAKA. Juni 2010] 6 Masalah Gizi, Pengetahuan Masyarakat Semakin Memprihatinkan. [10

Transkripsi:

VI. DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN TERHADAP PENGUSAHAAN SUSU SAPI LOKAL 6. 1. Efisiensi dan Daya Saing Pengusahaan Susu Sapi Lokal Efisiensi dan daya saing susu sapi perah lokal di ketiga lokasi penelitian dianalisis dan diukur melalui keuntungan finansial, keuntungan ekonomi, analisis keunggulan kompetitif dan komparatif dengan menggunakan Matriks Analisis Kebijakan (Policy Analysis Matrix). Matriks PAM ini disusun berdasarkan data penerimaan, biaya produksi, dan biaya tataniaga yang terbagi dalam dua bagian yaitu harga finansial (privat) dan harga ekonomi (bayangan atau sosial). Perhitungan dan uraian finansial dan sosial dapat dilihat pada Lampiran 6 sampai 11. Masing-masing biaya produksi pada harga privat dan ekonomi dibagi menjadi tradable (asing), non tradable (domestik), dan pajak. Berdasarkan analisis yang dilakukan dengan menggunakan matriks PAM akan diperoleh informasi mengenai efisiensi dan daya saing kegiatan usahaternak sapi perah untuk menghasilkan susu sapi segar. Melalui informasi hasil tersebut akan diperoleh informasi apakah sebaiknya pemerintah mengimpor atau memproduksi kebutuhan susu dalam negerinya, serta melihat dampak kebijakan pemerintah terhadap pengelolaan usahaternak sapi perah tersebut. Simulasi terhadap perubahan kebijakan pemerintah juga dilakukan untuk melihat pengaruh kebijakan tersebut pada pengusahaan usahaternak. Simulasi tersebut juga bertujuan untuk memberikan rekomendasi kebijakan terhadap upaya peningkatan daya saing peternak sapi perah di Provinsi Jawa Barat dalam menjalankan kegiatan usahaternaknya. Hasil analisis berdasarkan perhitungan PAM dapat dilihat pada Tabel 17.

109 Tabel 17. Matriks Analisis Kebijakan Pengusahaan Susu Sapi Perah Lokal di Kecamatan Lembang, Kecamatan Pangalengan, dan Kecamatan Cikajang Uraian Penerimaan Output (Rp/liter) Biaya Input (Rp/liter) Input Non Tradable Tradable Keuntungan (Rp/liter) Kec. Lembang, Kabupaten Bandung Barat Nilai Finansial (Privat) 3 134.40 228.90 2 295.70 609.90 Nilai Ekonomi (Sosial) 3 757.20 137.50 2 268.00 1 351.60 Dampak Kebijakan dan Distorsi Pasar -622.80 91.30 27.70-741.80 Kec. Pangalengan, Kabupaten Bandung Nilai Finansial (Privat) 3 228.20 251.50 2 806 170.80 Nilai Ekonomi (Sosial) 3 839.00 142.90 2 765.20 930.90 Dampak Kebijakan dan Distorsi Pasar -610.70 108.60 40.80-760.10 Kec. Cikajang, Kabupaten Garut Nilai Finansial (Privat) 2 889.20 156.60 2 428.30 304.40 Nilai Ekonomi (Sosial) 3 833.70 128.80 2 164.00 1 541.00 Dampak Kebijakan dan Distorsi Pasar -944.50 27.80 264.30-1 236.60 Secara keseluruhan, analisis privat dan ekonomi menunjukkan bahwa pengusahaan susu sapi perah lokal di Kecamatan Lembang di Kabupaten Bandung Barat, Kecamatan Pangalengan di Kabupaten Bandung, dan Kecamatan Cikajang di Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat menguntungkan. Hal ini dikarenakan memiliki penerimaan privat dan sosial yang positif. Untuk memudahkan pembahasan maka hasil matriks PAM juga akan disajikan dalam tabel-tabel yang lebih sederhana untuk menjelaskan secara rinci pembahasan. Berdasarkan Tabel 17 dapat dilakukan perhitungan-perhitungan untuk mengetahui daya saing dan dampak kebijakan pemerintah terhadap komoditas susu sapi perah lokal di ketiga lokasi sentra penghasil susu sapi perah di Jawa Barat. Tabel-tabel pembahasan tersebut terdiri dari: indikator daya saing dapat dilihat dari keunggulan kompetitif dan komparatif, sedangkan dampak

110 kebijakan pemerintah dibedakan menjadi kebijakan output, kebijakan input, dan kebijakan input-output. 6.1.1. Keunggulan Kompetitif Keunggulan kompetitif suatu komoditas ditentukan oleh nilai Keuntungaan Privat (KP) dan nilai Rasio Biaya Privat (PCR). Harga yang digunakan dalam analisis ini adalah harga pasar (harga aktual) yang terjadi pada tingkat peternak dimana harga tersebut telah dipengaruhi oleh intervensi pemerintah. Keuntungan finansial usaha ternak sapi perah merupakan selisih antara penjualan susu dan kotoran sapi dengan biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi susu dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah. Pada Tabel 18 dapat dilihat nilai KP dan PCR susu sapi perah lokal. Keuntungan privat bernilai positif dan ada pada kisaran harga Rp. 304.40-Rp. 609 per liter susu sapi perah yang dijual, besarnya keuntungan privat yang lebih besar dari nol atau positif tersebut. Artinya, peternak yang menjalankan usaha ternak sapi perah di ketiga lokasi tersebut memperoleh profit di atas normal. Tabel 18. Keuntungan Privat dan Rasio Biaya Privat Pengusahaan Susu Sapi Perah Lokal di Kecamatan Sentra Provinsi Jawa Barat No Indikator Kec. Lembang Kec. Pangalengan Kec. Cikajang 1 Keuntungan Privat /KP (Rp/l) 609.00 170.80 304.40 2 Rasio Biaya Privat/PCR 0.79 0.94 0.89 Keuntungan privat yang diperoleh dari pengusahaan susu sapi perah lokal di Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat sebesar Rp. 609 per liter susu.

111 Artinya, bahwa keuntungan yang diterima peternak sapi perah dengan adanya kebijakan pemerintah pada saat dilakukan penelitian adalah sebesar Rp. 609.00 per liter susu. Penerimaan produsen/peternak berdasarkan nilai privat lebih besar dari pengeluaran biaya input tradable maupun input domestik. Keuntungan privat yang diperoleh peternak di Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung sebesar Rp. 170.80 per liter susu, sedangkan keuntungan privat yang diterima oleh peternak sapi perah di Kecamatan Cikajang, Kabupaten Garut sebesar Rp 304.40 per liter susu, lebih kecil bila dibandingkan dengan keuntungan privat peternak Kecamatan Lembang dan lebih besar dari Kecamatan Pangalengan. Perbedaan yang terdapat dari ketiga lokasi tersebut dikarenakan adanya perbedaan harga yang diterima oleh peternak berdasarkan dari nilai susu sapi perah yang diperoleh, disisi lain adanya perbedaan nilai jumlah penerimaan dari produk lain (kotoran sapi) yang menjadi tambahan pendapatan peternak yakni di Kecamatan Lembang dan Kecamatan Pangalengan. Peternak di Kecamatan Cikajang, petani tidak menjual kotoran sapi (kotoran dibuang) kalaupun dimanfaatkan untuk pupuk kandang bagi peternak yang memiliki lahan pertanian. Perbedaan lain juga terdapat pada perbedaan nilai biaya-biaya yang dikeluarkan biaya tradable dan faktor domestik di ketiga wilayah penelitian. Nilai keuntungan privat yang lebih besar dari nol tersebut menunjukkan bahwa usaha ternak sapi perah untuk menghasilkan komoditi susu sapi perah lokal menguntungkan secara privat dan dapat bersaing pada tingkat harga privat. Hal ini karena harga yang relatif lebih rendah, menunjukkan adanya kemampuan produk susu sapi perah yang dihasilkan peternak dapat bersaing terhadap produk impor

112 susu, dengan kualitas yang sama (harga susu impor yang relatif tidak terlalu beda dengan harga susu lokal). Keunggulan kompetitif secara spesifik ditunjukkan oleh nilai rasio biaya privat (PCR) dari pengusahaan suatu komoditi. PCR merupakan rasio antara biaya input non tradable dengan nilai tambah atau selisih antara penerimaan dan input tradable pada tingkat harga aktual. Nilai PCR menunjukkan bagaimana alokasi sumberdaya diarahkan untuk mencapai efisiensi finansial dalam memproduksi susu segar lokal. Suatu aktivitas usaha akan efisien secara finansial jika nilai PCR yang diperoleh lebih kecil dari satu (<1). Semakin kecil nilai PCR yang diperoleh, maka semakin tinggi tingkat keunggulan kompetitif yang dimiliki. Berdasarkan nilai indikator PCR untuk menunjukkan keunggulan kompetitif yang diperoleh peternak yang ditunjukkan oleh matriks analisis kebijakan sebesar 0.79 di Kecamatan Lembang, Kecamatan Pangalengan sebesar 0.94, dan Kecamatan Cikajang sebesar 0.89, yang mana nilai tersebut lebih kecil dari satu. Hal ini mempunyai arti bahwa untuk mendapatkan nilai tambah output sebesar satu satuan pada harga privat di ketiga lokasi penelitian pengusahaan susu sapi perah di Jawa Barat, diperlukan tambahan biaya faktor domestik masingmasing sebesar 0.79, 0.94, dan 0.89 atau kurang dari satu-satuan. Artinya bahwa pengusahaan ternak sapi perah di Kecamatan Lembang, Pangalengan, dan Cikajang efisien secara finansial dan memiliki keunggulan kompetitif. Namun, nilai PCR di Kecamatan Lembang yakni sebesar 0.79 yang lebih kecil dibandingkan dengan dua lokasi lainnya, ini mengindikasikan bahwa pengusahaan sapi perah untuk menghasilkan susu segar lebih efisien dan lebih memiliki keunggulan kompetitif bila dibandingkan Kecamatan Pangalengan dan

113 Cikajang. Kecamatan Pangalengan yang memiliki nilai PCR sebesar 0.94 yang menunjukkan bahwa usahaternak dilokasi peternak sapi perah ini memiliki keunggulan kompetitif yang relatif rendah pada pengusahaan usahaternak sapi perah. Nilai PCR yang mendekati satu menunjukkan bahwa usahternak sapi perah di daerah ini relatif tidak efisien bila dibandingkan Kecamatan Lembang, dan Cikajang. Hal ini disebabkan, biaya yang dikeluarkan di Kecamatan Pangalengan untuk usahaternak sapi perah lebih tinggi tinggi bila dibandingkan dengan Kecamatan Lembang, terutama dalam biaya pakan. Keunggulan kompetitif yang dihasilkan oleh peternak usaha sapi perah yang dilakukan oleh peternak dari waktu ke waktu mengalami penurunan. Penurunan tersebut dilihat dari hasil penelusuran literatur hasil penelitian sejenis. Penurunan tingkat efisiensi finansial dan keunggulan kompetitif ini dikarenakan harga yang diterima oleh peternak walaupun secar nominal naik, namun secara ril mengalami penurunan. Kondisi lain yang menyebabkan terjadinya penurunan daya saing adalah rendahnya tingkat penyerapan teknologi, sehingga menyebabkan produksi dan kualitas yang rendah pada susu sapi yang dihasilkan. Hal ini akan berimplikasi pada rendahnya daya tawar yang dimiliki oleh peternak terhadap IPS sebagai pembeli susu. Rendahnya penyerapan teknologi ini juga didasarkan bahwa rendahnya tingkat pendidikan peternak, 60 persen hanya memperoleh pendidikan tingkat SD. Serta kondisi ini diperparah dengan rendahnya kepemilikan sapi laktasi (1-3 ekor), hal ini dibuktikan bahwa jumlah kepemilikan sapi laktasi sebanyak 1-3 ekor 66.70-90 persen.

114 6.1.2. Keunggulan Komparatif Keunggulan komparatif adalah indikator untuk menilai apakah komoditas susu sapi perah yang diusahakan di ketiga lokasi penelitian memiliki daya saing (keunggulan komparatif), mampu beroperasi tanpa bantuan pemerintah, dan memiliki peluang yang besar sebagai produk subtitusi impor. Keunggulan komparatif dapat diukur dengan menggunakan nilai kentungan sosial atau Social Profitability (SP) dan Rasio Biaya Sumberdaya Domestik atau Domestic Resource Cost Ratio (DRC). Nilai indikator DRC, juga dapat dilihat apakah sebaiknya pemerintah mengimpor atau memproduksi sendiri kebutuhan protein hewani yang berasal dari susu sapi segar. Tabel 19. Keuntungan Sosial dan Rasio Biaya Sumberdaya Domestik Pengusahaan Susu Sapi Perah Lokal di Kecamatan Sentra Provinsi Jawa Barat No Indikator Kec. Lembang Kec. Pangalengan Kec. Cikajang 1 Keuntungan Sosial/SP (Rp/l) 1 351.60 930.90 1 541.00 2 Biaya Sumberdaya Domestik/DRC 0.63 0.75 0.58 Berdasarkan Tabel 19 nilai keuntungan sosial (SP) menggambarkan keuntungan yang diperoleh jika terjadi pasar persaingan sempurna. Nilai SP di Kecamatan Lembang, Kecamatan Pangalengan, dan Kecamatan Cikajang beruturut-turut sebesar Rp. 1 351.60, Rp. 930.90, dan Rp. 1 541.00 per liter susu. Nilai SP yang bernilai positif untuk ketiga lokasi penelitian yang lebih besar dari nol (positif), dapat dijelaskan bahwa pengusahaan susu sapi perah lokal di lokasi penelitian dapat menghasilkan keuntungan dengan kondisi tanpa adanya campur tangan dari kebijakan pemerintah. Nilai SP yang berbeda jumlahnya di ketiga lokasi penelitian disebabkan karena adanya perbedaaan biaya yang dikeluarkan

115 oleh masing-masing peternak, terutama dalam penggunaan komponen pakan (konsentrat dan hijauan), obat-obatan dan penggunaan tenaga kerja (uraian penerimaan dan pengeluaran untuk setiap daerah dapat dilihat pada Lampiran 6 sampai 11). Nilai SP dan indikator DRC dapat dilihat pada Tabel 19. Nilai SP di Kecamatan Cikajang yang lebih besar bila dibandingkan dengan daerah lain, dikarenakan biaya yang dikeluarkan peternak dilokasi penelitian ini lebih rendah bila dibandingkan dengan daerah penelitian lain. Rendahnya biaya ini disebabkan peternak di Kecamatan Cikajang, tidak menggunakan sama sekali obat-obatan yang umumnya digunakan di daerah lain, serta komposisi penggunaan tenaga kerja, yang juga tidak menggunakan tenaga kerja dari luar keluarga. Sedangkan peternak di Kecamatan Lembang dan Pangalengan menggunakan obat-obatan (mineral, vaselin, dan obat celup puting), dan penggunaan konsentrat, serta tenaga kerja yang berasal dari tenaga kerja dari dalam keluarga dan luar keluarga. Berdasarkan informasi yang telah disampaikan mengenai nilai keuntungan privat (KP), usaha ternak sapi perah yang menghasilkan susu sapi perah lokal yang nilainya lebih kecil bila dibandingkan dengan nilai keuntungan sosial (SP). Hal ini dapat disebabkan karena harga sosial dari susu segar tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan harga privatnya. Artinya, kebijakan pemerintah yang diterapkan saat ini seperti kebijakan harga impor (tarif impor) belum mampu mengoptimalkan keuntungan pengusahaan susu sapi perah. Namun, praktis sampai saat ini kebijakan pemerintah untuk input tidak ada lagi, baik untuk subsidi pakan dan obat-obatan bagi peternak.

116 Selain dari keuntungan ekonomi, keunggulan komparatif usaha ternak sapi perah dalam menghasilkan susu sapi perah juga dapat dilihat dari rasio biaya sumberdaya domsetik (DRC). Nilai DRC juga menggambarkan efisiensi ekonomi suatu pengusahaan komoditas. Berdasarkan Tabel 19 nilai DRC untuk Kecamatan Lembang sebesar 0.63, Kecamatan Pangalengan sebesar 0.75, dan Kecamatan Cikajang sebesar 0.58. Nilai DRC yang masing-masing kurang dari satu di ketiga wilayah penelitian menunjukkan bahwa pengusahaan sapi perah efisien secara ekonomi dan mempunyai keunggulan komparatif serta mampu beroperasi tanpa bantuan atau intervensi pemerintah. Nilai DRC untuk Kecamatan Cikajang sebesar 0.58 yang merupakan nilai DRC yang terkecil bila dibandingkan dengan dua lokasi penelitian lainnya. Nilai sebesar 0.58 menjelaskan bahwa untuk memproduksi atau menghemat satu unit nilai tambah output di Kecamatan Cikajang membutuhkan biaya sumberdaya domestik yang kurang dari satu-satuan, yakni sebesar 0.58. Kecamatan Lembang memiliki nilai DRC sebesar 0.63, yang nilainya tidak terlalu jauh seperti yang terdapat di Kecamatan Cikajang, walaupun hanya memiliki selisih sebesar 0.05. Sedangkan, untuk nilai DRC terbesar ada di Kecamatan Pangalengan yakni sebesar 0.75. Jika dibandingkan dengan lokasi penelitian lain maka kondisi keunggulan komparatif di Kecamatan Pangalengan tidak sebesar di Kecamatan Cikajang dan Kecamatan Lembang. Biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi atau menghemat satu nilai tambah output di lokasi Kecamatan Pangalengan membutuhkan biaya yang lebih besar (yang dihemat lebih kecil), walaupun nilainya tetap kurang dari satu.

117 Indikator DRC yang diperoleh kurang dari satu, mengindikasikan bahwa pemenuhan kebutuhan domestik akan kedua komoditas tersebut lebih baik diproduksi di dalam negeri daripada harus mengimpor susu dari negara lain. Sebab biaya untuk memproduksi susu segar relatih murah bila dibandingkan mengimpor susu bubuk, hal ini tentunya akan mampu menghemat devisa negara. Walaupun berdasarkan analisis PAM, indikator DRC menunjukkan akan lebih efisien untuk memproduksi susu segar di dalam negeri, namun kenyataannya usahaternak nasional hanya mampu memenuhi 30 persen dari total kebutuhan nasional. Sehingga denga demikian diperlukan keseriusan pemerintah dan pihak terkait untuk dapat meningkatkan produksi susu segar nasional agar pemenuhan susu domestik dapat terealisasi. Peningkatan produksi melalui perbaikan dari sistem hulu sampai hilir agribisnis perah menjadi keharusan, sehingga dengan demikian dituntut tanggung jawab berbagai pihak, terutama pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan yang mendukung program ini. Nilai DRC yang lebih kecil dari nilai PCR (DRC<PCR) menunjukkan bahwa tidak terdapat kebijakan pemerintah yang meningkatkan efisiensi produsen/peternak dalam memproduksi susu segar. Hal ini terjadi, karena sejak tahun 2000 pemerintah telah menghapus subsidi atas pakan ternak dan obatobatan. Selain itu, kebijakan pemerintah yang diduga sangat signifikan dalam mengurangi efisiensi usaha ternak adalah dengan adanya penghapusan tarif impor dari lima persen menjadi nol persen yang efektif diterapkan sejak 1 Juni 2009 sampai dengan 1 Juli 2009. Setelah 1 Juli 2009, ditetapkan kembali tarif lima persen karena banyak keluhan dan protes dari peternak (perhitungan terdapat di subbab berikutnya). Adanya kebijakan-kebijakan tersebut mengakibatkan

118 pengusahaan sapi perah mengalami penurunan efisiensi jika dibandingkan apabila pemerintah tidak menghapus subsidi terhadap pakan ternak maupun obat-obatan dan menghapus tarif impor susu. Besarnya nilai keuntungan sosial bila dibandingkan dengan keuntungan privat yang diperoleh peternak sapi perah serta nilai DRC yang lebih kecil dari PCR mampu menjelaskan bahwa adanya pengaruh intervensi pemerintah atau distorsi pasar yang tidak memberikan insentif yang baik kepada peternak sapi perah sehingga keuntungan privat yang dihasilkan menjadi lebih rendah dibandingkan keuntungan yang diperoleh tanpa adanya intervensi pemerintah terhadap input produksi dan distorsi pada pasar output. Distorsi pada pasar output diindikasikan oleh adanya fenomena IPS yang lebih cenderung menggunakan susu impor walaupun harga susu impor lebih mahal. Akan tetapi kebijakan pemerintah terhadap output berupa peningkatan tarif impor menjadi sangat penting dapat memberikan insentif yang baik kepada peternak, karena peningkatan tarif impor akan menaikkan harga susu lokal. Distorsi pasar yang terjadi dengan dibuktikan nilai DRC<PRC juga mengindikasikan bahwa hal ini akan memberikan penurunan daya saing pada saat ini. Sama halnya pada keunggulan kompetitif, penurunan keunggulan komparatif juga dialami usahaternak sapi perah. Tahun 2001 keunggulan komperatif usahaternak sebesar 0.57 (Ilham dan Swastika, 2001) dan hal ini mengalami penurunan tahun 2009 menjadi sebesar 0.75 untuk peternak di Kecamatan Pangalengan. Hal ini diduga, karena rendahnya jumlah kepemilikan sapi laktasi yakni sebesar 66.70-90 persen peternak hanya memiliki 1-4 ekor sapi laktasi, dan harga yang jual susu yang sangat rendah sebesar 30-40 persen dari harga

119 internasionalnya. Penyebab lain adalah rendanya posisi tawar peternak dikarenakan tidak terdapatnya alternatif saluran pemasaran lain, selain menjual ke IPS. Jumlah susu yang dijual ke IPS melalui koperasi mencapai 90 persen lebih dari total susu yang dihasilkan. 6.2. Dampak Kebijakan Pemerintah Kebijakan pemerintah dalam suatu aktivitas ekonomi dapat memberikan dampak positif maupun negatif terhadap pelaku ekonomi dalam sistem tersebut. Dampak kebijakan juga dapat menurunkan atau meningkatkan produksi maupun produktivitas dari suatu aktivitas ekonomi. Dampak kebijakan pemerintah tersebut dapat dihitung dengan menggunakan matriks analisis kebijakan yang akan menghasilkan beberapa indikator dampak kebijakan. Tujuan dari kebijakan pemerintah dalam perdagangan biasanya adalah untuk melindungi produsen dalam negeri. Apabila harga produk impor komoditi serupa lebih rendah dari produksi dalam negeri, maka akan melemahkan daya saing dari produksi domestik karena konsumen akan cenderung membeli produk dengan harga yang lebih murah. Akibatnya, permintaan terhadap produk domestik akan menurun dan berimplikasi terhadap penurunan produksi dalam negeri dan pendapatan produsen lokal. Permasalahan mengenai susu impor berbeda dari permasalahan perdagangan internasional komoditi lainnya. Apabila harga susu impor yang relatif tinggi daripada susu lokal, tetapi IPS cenderung lebih banyak menggunakan susu impor dan berimplikasi menurunkan harga susu di tingkat peternak. Berdasarkan hukum permintaan dan penawaran, ketika terdapat produk substitusi

120 yang lebih banyak dikonsumsi maka jumlah produk utama, yakni susu lokal menjadi lebih rendah (supply lebih besar dari demand). Kebijakan pemerintah yang seharusnya lebih memihak kepada produsen susu sapi lokal dihapus satu per satu termasuk didalamnya adalah kebijakan penghapusan subsidi atas pakan dan obat-obatan serta yang terakhir penghapusan impor susu menjadi nol persen, walaupun sejak 1 Juli 2009 ditetapkan kembali tarif impor lima persen yang tentunya akan melemahkan daya saing komoditi susu sapi lokal. Dampak kebijakan pemerintah terhadap output, input, dan input-output akan dijelaskan pada subbab berikut ini. 6.2.1. Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Output Tingkat ukuran intervensi (campur tangan) pemerintah pada output dapat dilihat dari nilai Transfer Output (OT) dan Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO). Bentuk distorsi pemerintah tersebut dapat berupa subsidi atau kebijakan hambatan perdagangan berupa tarif dan pajak ekspor/impor. Nilai dari masingmasing indikator tersebut dapat dilihat pada Tabel 20. Tabel 20. Nilai Transfer Output dan Koefisien Proteksi Output Nominal Pengusahaan Susu Sapi Perah Lokal di Kecamatan Sentra Provinsi Jawa Barat No Indikator Kec. Lembang Kec. Pangalengan Kec. Cikajang 1 Transfer Output /TO (Rp/l) -622.80-610.80-944.50 2 Koefisien Proteksi Output Nominal/NPCO. 0.80 0.80 0.75 Berdasarkan Tabel 20 Nilai TO yang negatif tersebut menunjukkan adanya divergensi yakni bahwa harga privat output susu segar lebih rendah dibandingkan

121 dengan harga sosialnya. Kondisi tersebut dapat menjelaskan bahwa dengan adanya kebijakan atau intervensi pemerintah terhadap output susu segar tersebut lebih menguntungkan konsumen, karena konsumen membeli output susu dengan harga yang lebih rendah dari harga sebenarnya. Artinya, terdapat pengalihan surplus dari produsen ke konsumen (IPS). Berdasarkan nilai TO tersebut diperoleh bahwa kerugian terbesar dialami oleh peternak yang berada di Kecamatan Cikajang, Kabupaten Garut yakni sebesar Rp. 944.50 per liter susu, sedangkan kerugian terendah dialami oleh peternak di Kecamatan Pangalengan yakni sebesar Rp. 610.80 per liter susu yang dihasilkan. Divergensi (dampak kebijakan dan distorsi pasar) untuk penerimaan output ketiga lokasi penelitian ini bernilai negatif yakni sebesar Rp. 622.80 per liter susu di Kecamatan Lembang, Rp. 610.80 per liter susu di Kecamatan Pangalengan, dan Rp. 944.50 per liter susu di Kecamatan Cikajang, hal ini terjadi karena harga sosial susu yang diterima dimasing-masing lokasi lebih tinggi dari harga yang diterima oleh peternak. Kondisi ini terjadi, karena harga sosial susu diperhitungkan berdasarkan harga susu impor yang lebih tinggi daripada harga susu lokal dengan standar dan kualitas yang sama. Disisi lain lebih rendahnya harga susu yang ditawarkan oleh peternak, menjadi keunggulan yang dimiliki oleh peternak dalam menghadapi masuknya susu impor yang diminati oleh IPS. Tingginya nilai distorsi penerimaan output yang bernilai negatif di Kecamatan Cikajang, karena harga susu yang diterima oleh peternak lebih rendah bila dibandingkan dengan dua wilayah lainnya, dimana besarnya perbedaan sebesar Rp. 250-Rp. 300 per liter. Hal ini juga disebabkan jumlah susu yang

122 diminta oleh IPS dari daerah ini relatif lebih kecil dan adanya perbedaan kualitas susu yang dihasilkan oleh masing masing peternak. Nilai koefisien proteksi output nominal (NPCO) adalah rasio antara penerimaan yang dihitung berdasarkan harga finansial dengan penerimaan yang dihitung berdasarkan harga bayangan. NPCO merupakan indikasi dari transfer output (TO), dimana NPCO menunjukkan seberapa besar harga privat berbeda dengan harga sosial (Pearson dan Gotsch, 2004). Nilai NPCO yang lebih kecil dari satu (NPCO<1), menunjukkan bahwa harga domestik lebih rendah dari harga internasional/dunia. Berdasarkan Tabel 20 menunjukkan nilai NPCO pada ketiga lokasi ini bernilai lebih kecil dari satu, yakni sebesar 0.80 untuk Kecamatan Lembang dan Kecamatan Pangalengan, sedangkan Kecamatan Cikajang memiliki nilai NPCO sebesar 0.75 (lebih kecil dari dua lokasi sebelumnya). Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat kebijakan pemerintah yang menyebabkan harga privat susu lebih rendah bila dibandingkan dengan harga ekonomi (sosial). Nilai yang diperoleh kurang dari satu, dapat dijelaskan bahwa seluruh peternak di ketiga wilayah penelitian bahwa kebijakan pemerintah untuk peternak sapi perah belum berjalan efektif sehingga terjadi pengurangan penerimaan produsen/peternak. 6.2.2. Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Input Kebijakan pemerintah tidak hanya diterapkan dan berlaku untuk harga output namun berlaku pula untuk harga input dari usaha ternak yang dijalankan oleh peternak. Bentuk kebijakan pemerintah seperti subsidi atau hambatan perdagangan (penetapan tarif ataupun non tarif) diterapkan dengan harapan agar

123 produsen dapat memanfaatkan sumberdaya secara optimal dan dapat melindungi produsen dalam negeri. Namun, untuk kasus peternakan sapi perah, tidak ada kebijakan pemerintah dalam hal ini yang dapat memacu peningkatan produksi peternak. Adapun dampak kebijakan pemerintah terhadap input ditunjukkan oleh nilai Transfer Input (IT), Transfer Faktor (FT), dan Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI). Indikator dampak kebijakan pemerintah terhadap input dapat dilihat pada Tabel 21. Tabel 21. Nilai Transfer Input, Koefisien Proteksi Input Nominal, dan Transfer Faktor Pengusahaan Susu Sapi Perah Lokal di Kecamatan Sentra Provinsi Jawa Barat No Indikator Kec. Lembang Kec. Pangalengan Kec. Cikajang 1 Transfer Input/TI (Rp/l) 91.30 108.60 27.80 2 Koefisien Proteksi Input Nominal/NPCI 1.70 1.80 1.20 3 Transfer Faktor/TF (Rp/l) 27.70 40.80 263.30 Nilai transfer input merupakan selisih antara biaya privat input tradable dengan biaya bayangannya. Transfer input (IT) yang bernilai positif mengindikasikan adanya kebijakan subsidi negatif atau pajak pada unsur input tradable yang akan mengurangi tingkat keuntungan produsen atau dengan kata lain produsen tidak mendapat insentif. Kerugian produsen tersebut disebabkan adanya divergensi/distorsi pasar. Sebaliknya, transfer input yang bernilai negatif menunjukkan adanya kebijakan subsidi pada input karena subsidi pada harga input akan mengakibatkan biaya yang dikeluarkan untuk input pada tingkat privat lebih rendah daripada tingkat harga sosial. Hal tersebut menunjukkan bahwa kebijakan subsidi pada input tradable akan menguntungkan produsen lokal.

124 Berdasarkan Tabel 21 diperoleh nilai transfer input yang ditunjukkan dengan nilai divergensi yang positif pada input tradable untuk ketiga wilayah dengan perhitungan per liter susu sebesar Rp. 91.30, Rp. 108.60, dan Rp. 27.80 untuk masing-masing Kecamatan Lembang, Pangalengan, dan Cikajang. Nilai divergensi yang positif untuk input tradable karena harga sosial dari input-input tradable yaitu konsentrat dan obat-obatan lebih rendah dari harga yang diterima peternak. Informasi tersebut mengindikasikan bahwa adanya kebijakan pemerintah atau distorsi pasar yang mengakibatkan harga sosial pakan dan obatobatan lebih tinggi daripada harga finansialnya. Tingginya harga sosial ini disebabkan karena tidak adanya lagi kebijakan subsidi untuk komponen input (konsentrat dan obat-obatan) dan pajak yang dikenakan untuk komponen input tersebut. Dengan demikian, terdapat transfer pendapatan dari peternak kepada produsen input asing sekitar Rp 27.80-Rp. 108.60 per liter susu. Selain itu, berdasarkan informasi yang diperoleh dari kegiatan wawancara dengan pengurus koperasi (KPSBU, KPBS, dan KPGS) adanya praktik monopoli terhadap bahan baku utama yaitu polar yang hanya didistribusikan oleh PT. Indofood Sukses Makmur Bogasari diduga juga merupakan salah satu penyebab adanya transfer pendapatan dari peternak kepada produsen input asing. Hal ini karena praktik monopoli menyebabkan kegagalan pasar pada pasar input yang menyebabkan mekanisme pasar dalam pembentukan harga tidak bekerja. Koefisien proteksi input nominal (NPCI) merupakan rasio antara biaya input tradable yang dihitung berdasarkan harga privat dengan input tradable yang dihitung berdasarkan harga bayangan dan merupakan indikasi adanya transfer

125 input. Nilai NPCI menunjukkan tingkat proteksi atau distorsi yang dibebankan pemerintah pada input tradable bila dibandingkan bila tanpa ada kebijakan. Nilai NPCI yang lebih besar dari satu (NPCI>1) mengindikasikan adanya kebijakan proteksi terhadap produsen input tradable selain terdapat pajak pada input tersebut, sedangkan sektor yang menggunakan input tersebut dirugikan dengan tingginya biaya produksi yang dikeluarkan. Sebaliknya, jika nilai NPCI lebih kecil dari satu (NPCI<1) maka mengindikasikan adanya subsidi atas input tersebut. NPCI yang diperoleh dari ketiga lokasi penelitian menunjukkan nilai yang positif atau lebih besar dari satu, yakni 1.70, 1.80, dan 1.20 untuk masing-masing Kecamatan Lembang, Kecamatan Pangalengan, dan Kecamatan Cikajang. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat kebijakan proteksi terhadap terhadap konsumen input (peternak) berupa bantuan yang menyebabkan harga finansial input lebih rendah dibandingkan harga bayangannya. Usaha ternak sapi perah tidak mendapat subsidi input (pakan dan obat-obatan) dikarenakan adanya upaya dari koperasi untuk memberikan subsidi harga pakan/konsentrat dan obat-obatan dengan harga yang lebih rendah, dengan biaya yang ditanggung bersama oleh peternak melalui koperasi berdasarkan iuran dan kuntungan usaha yang diperoleh koperasi. Nilai NPCI yang lebih kecil untuk Kecamatan Cikajang bila dibandingkan dua lokasi penelitian lain. Hal ini tidak berarti peternak di Kecamatan Cikajang lebih dilindungi atau mendapatkan harga yang lebih rendah dari koperasinya (KPGS). Hal tersebut, dikarenakan penggunaan konsentrat sedikit jumlahnya dan menggantinya dengan pakan hijauan (rumput-rumputan), begitu juga dengan penggunaan obat-obatan. Ada beberapa obat-obatan yang tidak digunakan seperti

126 speciorlac, vaseline, dan obat celup puting dengan alasan untuk mengurangi tingkat antibiotik yang terkandung dalam susu segar. Selain menggunakan input tradable, peternak sapi perah dalam menjalankan usaha ternaknya menggunakan input non tradable (faktor domestik) seperti tenaga kerja, air, peralatan, lahan/kandang, biaya modal dan input domestik lainnya. Nilai transfer faktor (TF) mampu menggambarkan intervensi pemerintah terhadap input non tradable. Nilai transfer faktor pada pengusahaan susu sapi perah lokal di Kecamatan Lembang (Rp. 27.70), Kecamatan Pangalengan (Rp. 40.80), dan Kecamatan Cikajang (Rp. 264.30) memiliki nilai yang positif. nilai ini menunjukkan bahwa harga input non tradable yang dikeluarkan oleh pemerintah pada tingkat harga privat lebih tinggi dibandingkan dengan biaya input non tradable yang dikeluarkan pada harga ekonomi (sosial). Artinya, adanya kebijakan pemerintah yang melindungi produsen input domestik, misalnya melalui subsidi yang diberikan. Kondisi ini mengakibatkan peternak harus membayar input domestik lebih mahal daripada harga sosialnya. Disamping itu, produsen input domestik mendapatkan tambahan keuntungan sebesar Rp. 27.70 (Kecamatan Lembang), Rp. 40.80 (Kecamatan Pangalengan), dan Rp. 264.30 (Kecamatan Cikajang) untuk setiap susu liter susu yang dihasilkan oleh peternak. Salah satu penyebab adanya transfer faktor tersebut adalah karena penilaian harga sosial. Hal ini diperkuat oleh Suryana (1980) yang menyatakan bahwa tenaga kerja yang digunakan peternak dalam membantu usahanya adalah tenaga kerja tidak tetap dan umumnya juga tidak terdidik sehingga harga bayangan tenaga kerja tersebut adalah 80 persen dari tingkat upah yang berlaku di

127 ketiga daerah penelitian (dimana rata-rata upah harian kerja pria dibayarkan Rp. 25 000). Selain itu komponen pajak tidak diperhitungkan sebagai biaya pada analsis ekonomi sedangkan pada analisis finansial komponen tersebut dihitung sebagai biaya. 6.2.3. Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Input-Output Dampak kebijakan pemerintah terhadap input-output dapat dijelaskan melalui indikator-indikator seperti nilai Koefisien Proteksi Efektif (EPC), Transfer Bersih (TB), Koefiesien Keuntungan/Profit Coefisien (PC), dan Rasio Subsidi bagi Produsen (SRP). Hasil Perhitungan indikator dampak kebijakan pemerintah terhadap input-output pada pengusahaan susu sapi perah di Provinsi Jawa Barat yang dilihat dari ketiga lokasi penelitian ditunjukkan pada Tabel 22. Tabel 22. Nilai Koefisien Proteksi Efketif, Transfer Bersih, dan Koefisien Keuntungan, dan Rasio Subsidi bagi Produsen Pada Pengusahaan Susu Sapi Perah Lokal di Kecamatan Sentra Provinsi Jawa Barat No Indikator Kec. Lembang Kec. Pangalengan Kec. Cikajang 1 Koefisien Proteksi Efektif/EPC 0.80 0.80 0.70 2 Transfer Bersih/TB (Rp/l) -741.80-760.10-1 236.80 3 Koefisien Keuntungan/PC 0.50 0.20 0.20 4 Rasio Subsidi bagi Produsen/SRP -0.20-0.20-0.30 Nilai EPC merupakan indikator dari dampak keseluruhan kebijakan input dan output terhadap sistem produksi suatu komoditas dalam negeri. Nilai ini menggambarkan sejauh mana kebijakan pemerintah bersifat melindungi atau menghambat produksi domestik. Nilai EPC untuk kedua produk susu sapi perah lokal sebesar 0.80 untuk Kecamatan Lembang, dan Kecamatan Pangalengan, serta

128 Kecamatan Cikajang memiliki nilai EPC sebesar 0.74 (hampir sama dengan Kecamatan Lembang). Nilai EPC di ketiga lokasi penelitian yang kurang dari satu, menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah terhadap input-output tidak berjalan dengan efektif atau menghambat produsen/peternak dalam pengusahaan menghasilkan susu sapi segar. Nilai EPC di Kecamatan Cikajang yang lebih kecil bila dibandingkan dari Kecamatan Lembang dan Kecamatan Pangalengan menunjukkan bahwa pengusahaan sapi perah di lokasi ini kurang efektif bila dibandingkan di Lembang dan Pangalengan. Hal ini dimungkinkan, karena di kedua lokasi ini akses peternak untuk mendapatkan inputnya mudah, begitupun pemasaran susu dengan harga yang lebih tinggi. Transfer bersih (TB) menggambarkan dampak kebijakan pemerintah secara keseluruhan terhadap penerimaan peternak, apakah merugikan atau menguntungkan peternak. Nilai transfer bersih merupakan selisih dari nilai keuntungan privat dengan nilai keuntungan sosial. Nilai transfer bersih untuk pengusahaan susu sapi perah diketiga lokasi bernilai negatif. Nilai transfer bersih sebesar Rp. 741.80 per liter (Kecamatan Lembang), Rp. 760.10 per liter (Kecamatan Pangalengan), dan Rp. 1 236.80 per liter (Kecamatan Cikajang). Surplus produsen yang hilang untuk peternak di Kecamatan Cikajang lebih besar, bila dibandingkan di Kecamatan Lembang dan Pangalengan. Hal ini juga dapat menunjukkan bahwa belum terlihatnya insentif ekonomi untuk meningkatkan produksi susu sapi segar lebih transfer bersih yang diperoleh di masing-masing lokasi penelitian, yakni Rp. 741.80 untuk Kecamatan Lembang, Rp. 760.10 untuk Kecamatan Pangalengan, sebesar Rp. 1 236.80 untuk Kecamatan Cikajang dibandingkan keuntungan apabila tidak ada intervensi pemerintah.

129 Koefisien keuntungan adalah perbandingan antara keuntungan bersih privat dengan keuntungan bersih sosial. Koefisien keuntungan merupakan indikator yang menunjukkan dampak insentif dari semua kebijakan output, kebijakan input asing, dan input domestik (net policy transfer) Nilai PC yang dihasilkan pada penelitian ini adalah sebesar 0.50 (Kecamatan Lembang), 0.20 (Kecamatan Pangalengan dan Cikajang). Secara keseluruhan memiliki nilai lebih kecil dari satu yang berarti keuntungan produsen dengan intervensi dan distorsi sebesar 50 persen untuk Kecamatan Lembang, 20 persen untuk Kecamatan Pangalengan dan Kecamatan Cikajang. Nilai PC tersebut juga menunjukkan bahwa produsen di masing-masing lokasi penelitian harus mengeluarkan dana kepada konsumen (IPS) sebesar 50 persen dan 80 persen, sehingga secara keseluruhan kebijakan pemerintah tidak memberikan insentif kepada produsen dan membuat keuntungan yang diterima oleh produsen lebih rendah dibandingkan dengan tanpa ada kebijakan. Nilai rasio subsidi bagi produsen merupakan indikator yang menunjukkan tingkat penambahan dan pengurangan penerimaan atas pengusahaan suatu komoditas karena adanya kebijakan pemerintah. Nilai SRP untuk ketiga lokasi penelitian bernilai negatif yakni sebesar 0.20 (Kecamatan Lembang dan Pangalengan), dan 0.30 (Kecamatan Cikajang). Hal ini menunjukkan kebijakan pemerintah yang berlaku saat ini, menyebabkan produsen susu mengeluarkan biaya produksi lebih besar 20 persen (Kecamatan Lembang dan Pangalengan), dan 30 persen untuk Kecamatan Cikajang dari oppurtinity cost untuk produksi. Nilai keseluruhan yang negatif menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah berpengaruh negatif terhadap struktur biaya produksi, karena biaya yang diinvestasikan

130 peternak lebih besar daripada nilai tambah keuntungan yang diterima peternak sendiri (kebijakan pemerintah merugikan peternak susu di Provinsi Jawa Barat). Berdasarkan dampak divergensi kebijakan pemerintah terhadap inputoutput menunjukkan bahwa pengusahaan usahaternak ini dalam jangka panjang akan memberikan kerugian pada produsen, karena produsen mengeluarkan biaya dari yang seharusnya. Hal ini tentunya menjadi salah satu faktor penyebab mengapa investor tidak tertarik untuk menginvestasikan modalnya pada usahaternak sapi perah. Disamping usahaternak tersebut menghadapi risiko usaha yang cukup tinggi (dilihat dari karakteristik produk), membutuhkan modal yang besar (peternak yang mampu memproduksi susu secara langsung, dan rendahnya teknologi. Sehingga dengan demikian usahaternak menjadi kurang menarik, sehingga yang menjalankan usahaternak adalah peternak rakyat dengan modal terbatas. Kondisi tersebut juga karena keharusan untuk meneruskan usaha yang diwariskan oleh orang tuanya, sehingga tidak terdapat pilihan lain. Hal ini dapat dibuktikan bahwa mayoritas peternak memiliki usia di bawah 50 tahun dan 20-57.70 persen peternak memiliki pengalaman rata-rata selama 1-12 tahun untuk mengelola usahaternaknya. 6.3. Perubahan Keuntungan dan Daya Saing Pengusahaan Susu Sapi Perah Lokal Akibat Perubahaan Harga Output dan Input di Provinsi Jawa Barat Nilai keuntungan privat dan PCR (Privat Cost Ratio) pada keunggulan kompetitif, serta nilai keuntungan sosial dan DRC (Domestic Resource Ratio) pada keunggulan komparatif dapat berubah apabila harga output dan komponen biaya untuk pengusahaan susu segar berubah. Sehingga untuk mengamati

131 perubahan tersebut digunakan analisis sensitivitas. Analisis sensitivitas perlu dilakukan mengingat matriks analisis kebijakan atau PAM mempunyai keterbatasan yaitu merupakan analisis yang bersifat statis, sehingga memerlukan simulasi kebijakan untuk mengantisipasi setiap perubahan yang terjadi dalam setiap situasi ekonomi yang dinamis. Kasus pengusahaan susu sapi perah ini memiliki beberapa indikator utama yang secara signifikan akan mempengaruhi struktur biaya dan penerimaan, yakni perubahan harga pakan (konsentrat) dan harga susu sapi segar. Perubahanperubahan pada kenaikan harga pakan ternak, penurunan dan kenaikan harga susu dan analisis gabungan yang secara langsung akan berpengaruh terhadap perubahan keuntungan yang diterima peternak dan daya saing pengusahaan susu sapi perah. Oleh karena itu diperlukan simulasi kebijakan (analisis sensitivitas) guna melihat besarnya perubahan indikator daya saing baik pada keunggulan komperatif maupun keunggulan kompetitif pada suatu sistem komoditi. 6.3.1. Perubahan Keuntungan Pengusahaan Susu Sapi Perah Akibat Perubahaan Harga Output dan Input di Provinsi Jawa Barat Analisis sensitivitas yang dilakukan berdasarkan 11 skenario kebijakan, memberikan hasil yang menunjukkan adanya perubahan terhadap keuntungan yang diperoleh setiap peternak dalam pengusahaan susu sapi perah di ketiga lokasi penelitian. Nilai keuntungan privat dan sosial dari pengusahaan sapi perah di ketiga lokasi menunjukkan nilai positif, kecuali Kecamatan Pangalengan pada kondisi jika terjadi kenaikan harga pangan sebesar 30 persen (skenario ke-5), kondisi dimana terjadi penurunan tarif impor menjadi nol persen dan pada saat

132 bersamaan harga pakan naik sebesar 20 dan 30 persen (skenario ke-6 dan 7) keuntungan privatnya bernilai negatif, namun keuntungan sosialnya positif. Secara umum dapat dikatakan bahwa dari seluruh skenario yang ada mengindikasikan bahwa pengusahaan susu sapi perah masih tetap layak untuk dijalankan oleh peternak terutama di Kecamatan Lembang dan Kecamatan Cikajang. Nilai keuntungan baik privat dan sosial pengusahaan sapi di ketiga lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 23. Tabel 23. Nilai Keuntungan Pengusahaan Susu Sapi Perah Berdasarkan Analisis Sensitivitas di Kecamatan Lembang, Kecamatan Pangalengan, dan Kecamatan Cikajang. Indikator Profitabilitas (Rp/liter) No Skenario Perubahan Privat Sosial A B C A B C 1 Tarif impor nol persen. 454.00 9.60 159.90 1 253.50 739.20 1 349.30 2 Tarif impor 10 persen. 765.70 331.90 448.90 1 636.80 1 122.60 1 732.70 3 Tarif impor 15 persen 921.60 493.10 593.40 1 828.50 1 314.30 1 924.40 4 Harga Pakan naik 20 persen. 468.60 7.80 205.60 1 310.00 771.40 1 351.80 5 Harga Pakan naik 30 persen. 397.90-73.70 157.70 1 242.50 691.70 1 246.00 6 Tarif impor nol persen dan Harga pakan naik 312.70-153.40 61.10 1 118.40 579.70 1 160.10 20 persen. 7 Tarif impor nol persen dan Harga pakan naik 242.10-234.90 13.30 1 050.80 500.00 1 054.30 30 persen. 8 Tarif impor 10 persen dan Harga pakan naik 624.50 168.90 350.10 1 501.70 963.10 1 543.40 20 persen. 9 Tarif impor 10 persen dan Harga pakan naik 553.80 87.40 302.20 1 434.20 883.30 1 437.70 30 persen. 10 Tarif impor 15 persen dan Harga pakan naik 780.30 330.10 494.50 1 693.40 1 154.80 1 735.10 20 persen. 11 Tarif impor 15 persen dan Harga pakan naik 30 persen. 709.70 279.20 446.70 1 625.90 1 171.30 1 629.40 Keterangan: A : Lokasi penelitian Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat. B : Lokasi penelitian Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung. C : Lokasi penelitian Kecamatan Cikajang, Kabupaten Garut.

133 Kondisi yang menguntungkan peternak, berdasarkan ke-11 skenario kebijakan adalah jika pemerintah menetapkan tarif impor sebesar 15 persen (sesuai dengan usulan GKSI), dengan kondisi tarif sebesar itu baik keuntungan privat dan sosial memiliki nilai keuntungan yang tertinggi untuk seluruh lokasi penelitian. Nilai keuntungan privat terbesar terdapat di Kecamatan Lembang yakni Rp. 921.60 per liter susu sedangkan nilai keuntungan sosial tertinggi terdapat di Kecamatan Cikajang sebesar Rp. 1 828.50 per liter susu (jika tarif impor 15 persen). Hal ini dapat menjelaskan, bahwa dukungan pemerintah dalam hal peningkatan tarif, sebagai bentuk melindungi produk dalam negeri akan memberikan insentif bagi peternak. Insentif tersebut akan menjadi stimulan bagi peternak melakukan ekspansi terhadap usaha sapi perahnya, yakni dengan menambah jumlah sapi laktasi yang dimilikinya sehingga dengan demikian akan semakin besar jumlah susu yang dihasilkan oleh peternak. Kebijakan yang merugikan peternak berdasarkan analisis sensitivitas tersebut jika pemerintah menetapkan tarif impor susu turun menjadi nol persen dan harga BBM naik (114 persen seperti tahun 2008) yang mengakibatkan keuntungan yang diterima oleh peternak akan turun pula, bahkan merugikan peternak. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 23 bahwa dengan adanya kebijakan pemerintah untuk menurunkan tarif impor dan menaikkan BBM keuntungan privat yang diperoleh peternak di Kecamatan Pangalengan bernilai negatif atau dengan kata lain peternak di lokasi penelitian ini mengalami kerugian dalam memperoduksi setiap liter susu yang dihasilkan. Kondisi ini menunjukkan bahwa peternak di Kecamatan Lembang lebih sensitif atau peka terhadap perubahan

134 kebijakan yang terjadi, terutama perubahan tarif impor dan harga pakan (konsentrat). Kerugian yang dialami oleh peternak di Kecamatan Pangalengan, karena disebabkan penggunaan input (pakan ternak) berupa konsentrat sangat tinggi bila dibandingkan di dua lokasi penelitian yang lain. Berdasarkan perhitungan terhadap persentasi biaya yang dikeluarkan peternak untuk menghasilkan satu liter susu. Peternak di Kecamatan Lembang mengeluarkan biaya sebesar 55 persen biaya pembelian konsentrat dari total biaya pakan yang digunakan, dan harga pakan yang diterima oleh peternak di daerah ini sebesar Rp. 1 750 per kilogram. Sedangkan peternak di Kecamatan Lembang hanya mengeluarkan biaya konsentrat sebesar 42 persen dari total biaya pakan (harga konsentrat Rp. 1 400- Rp. 1 600 untuk setiap kilogram), serta peternak di Kecamatan Cikajang mengeluarkan biaya konsentrat sangat rendah yakni sebesar 39 persen dari total biaya pakan dengan biaya harga pakan per kilogram adalah Rp. 1 400. Pada dasarnya perubahan harga pakan yang disebabkan oleh naiknya BBM, terutama konsentrat tidak berdampak kepada tingkat keuntungan peternak jika peternak mampu menghasilkan sendiri pakan konsentrat. Penyuluhan dan pelatihan pembuatan konsentrat sudah sangat sering dilakukan, namun karena keterbatasan pemahaman dan kesadaran peternak, maka sebagian besar peternak menggantungkan kebutuhan usahaternaknya kepada koperasi. Harga yang relatif rendah di Kecamatan Lembang dan Cikajang, lebih disebabkan koperasi di Lembang memberikan bantuan dengan potongan harga pakan sebesar Rp. 200-Rp. 300/kg bagi anggotanya dan di Cikajang-Garut peternak hanya menggunakan pakan konsentrat dengan kualitas rendah. Sedangkan peternak di

135 Pangalengan tidak mendapat potongan harga dalam mendapatkan konsentrat dengan alasan tidak memiliki dana yang mencukupi. Disamping usaha lain yang dilakukan oleh peternak di Lembang yang meramu sendiri konsentrat dengan bahan yang ada yakni dari bahan ampas tahu, dedak, ampas singkong, maupun bungkil kedelai. Rendahnya tingkat pendidikan peternak yang ada di Kecamatan Pangalengan yakni sebesar 80 persen tidak lulus atau hanya lulus SD dan jumlah kepemilikan 1-2 ekor sebanyak 50 persen responden yang merupakan skala yang sangat tidak efisien. Hal ini diduga menjadi kendala dalam hal pembuatan pakan konsentrat sendiri. Kondisi peternak responden tersebut mengindikasikan bahwa rendahnya pemahaman untuk tidak tergantung kepada koperasi dapat diatasi dengan memproduksi pakan ternak dan lainnya dengan bantuan dan pendampingan dari dinas dan koperasi. Kebijakan yang juga menurunkan keuntungan peternak sehingga peternak mendapatkan insentif yang kecil jika pemerintah menurunkan tarif impor menjadi nol persen (zerro tariff). Apabila pada kondisi ini harga susu akan turun, dan posisi tawar peternak terhadap IPS juga akan bertambah lemah, karena dengan dihapusnya tarif masuk maka akan menyebabkan IPS memiliki alternatif sumber bahan baku yang lebih murah dan banyak, kondisi ini tentunya sangat merugikan peternak sapi perah. Kebijakan yang berupaya untuk melindungi produk dan produsen dalam negeri hendaknya harus terus diupayakan oleh pemerintah, karena selain menghemat devisa juga akan mampu memberikan multiplier effect ekonomi terutama ditingkat perdesaan dengan membuka kesempatan kerja dan

136 menggerakan kegiatan ekonomi lainnya. Kebijakan yang berupaya untuk melindungi produk susu dan peternak dalam negeri merupakan tanggung jawab dari pemerintah agar kesejahteraan peternak dapat ditingkatkan. Negara-negara maju sekalipun masih tetap melindungi peternak dan usahaternak sapi perah mereka dengan menetapkan kebijakan tarif dan non tarif, sebagai contoh Amerika Serikat yang menetapkan tarif bea masuk sebesar 17.50-18.50 persen, dan Austrlia yang menetapkan kebijakan non tarif dalam bentuk sanitary certificate komoditas susu yang ketat. Kondisi yang relatif menguntungkan peternak jika terjadi kenaikan pakan sebesar 20 dan 30 persen harus diikuti dengan kenaikan tarif impor yang sesuai dengan kondisi sekarang (lima persen), sehingga keuntungan privat dan sosial dapat dinikmati peternak. 6.3.2. Perubahan Daya Saing Pengusahaan Susu Sapi Perah Akibat Perubahaan Harga Output dan Input di Provinsi Jawa Barat Analisis sensitivitas yang sama dilakukan untuk melihat kondisi daya saing pengusahaan susu sapi perah di Provinsi Jawa Barat. Berdasarkan analisis sensitivitas tersebut diharapkan ada informasi yang tepat untuk meningkatkan daya saing pengusahaan susu sapi perah di Provinsi Jawa Barat. Analisis ini juga akan menunjukkan apakah aktivitas ekonomi yang dilakukan masih tetap efisien secara privat atau ekonomi ataupun sebaliknya. Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan nilai PCR dan DRC yang dihasilkan di tiga lokasi penelitian adalah kurang dari satu (<1), kecuali Kecamatan Pangalengan bahwa nilai PCR pada kondisi tarif impor nol persen (PCR=1.00), pada kondisi harga pakan naik 20 persen dan 30 persen (PCR sebesar 1.00 dan 1.03), serta skenario ke-6 dan 7 kombinasi jika tarif impor nol

137 persen dan harga pakan naik sebesar 20 dan 30 persen maka nilai PCR berturutturut sebesar 1.06 dan 1.09 (PCR>1). Perubahan nilai indikator daya saing akibat analisis sentivitas pada usahaternak sapi perah dapat dilihat pada Tabel 24. Tabel 24. Indikator Daya Saing Pengusahaan Susu Sapi Perah Berdasarkan Analisis Sensitivitas di Kecamatan Lembang, Kecamatan Pangalengan, dan Kecamatan Cikajang. Indikator Daya Saing No Skenario Perubahan PCR DRC A B C A B C 1 Tarif impor nol persen. 0.83 1.00 0.94 0.63 0.79 0.62 2 Tarif impor 10 persen. 0.75 0.89 0.84 058 0.89 0.56 3 Tarif impor 15 persen 0.71 0.85 0.80 0.55 0.68 0.53 4 Harga Pakan naik 20 persen. 0.84 1.00 0.92 0.65 0.79 0.63 5 Harga Pakan naik 30 persen. 0.86 1.03 0.94 0.66 0.81 0.66 6 Tarif impor nol persen dan Harga pakan naik 20 persen. 0.88 1.06 0.98 0.68 0.83 0.67 7 Tarif impor nol persen dan Harga pakan naik 30 persen. 0.91 1.09 0.99 0.70 0.86 0.69 8 Tarif impor 10 persen dan Harga pakan naik 20 persen. 0.79 0.95 0.88 0.61 0.75 0.60 9 Tarif impor 10 persen dan Harga pakan naik 30 persen. 0.82 0.97 0.89 0.63 0.77 0.62 10 Tarif impor 15 persen dan Harga pakan naik 20 persen. 0.75 0.90 0.84 0.58 0.80 0.57 11 Tarif impor 15 persen dan Harga pakan naik 30 persen. 0.78 0.91 0.85 0.60 0.71 0.59 Keterangan: A : Lokasi penelitian Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat. B : Lokasi penelitian Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung. C : Lokasi penelitian Kecamatan Cikajang, Kabupaten Garut. Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa dengan adanya penurunan tarif (nol persen) dan terjadi kenaikan pakan menyebabkan usahaternak di Kecamatan Pangalengan-Kabupaten Bandung tidak memiliki keunggulan kompetitif, namun masih memiliki keunggulan komparatif. Keunggulan komparatif, diimiliki oleh peternak di Kecamatan Pangalengan diduga disebabkan bahwa secra iklim mendukung usahaternak, serta secara sosial dan ekonomi dimana cikal bakal pengembangan usahaternak sapi perah Indonesia berasal dari daerah Pangalengan. Nilai yang kurang dari satu baik PCR dan DRC di Kecamatan Lembang, dan