HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Guludan dan Tunggul Tebu Sisa Panen

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Guludan dan Tunggul Tebu Sisa Panen"

Transkripsi

1 HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Guludan dan Tunggul Tebu Sisa Panen Kondisi lahan di PG Jatitujuh setelah penebangan umumnya tertutup oleh serasah atau pucuk-pucuk tebu sisa pemanenan. Serasah tersebut mengakibatkan guludan, tunggul tebu, dan batang tebu yang tertinggal di lahan cenderung tidak terlihat (Gambar 44a). Penutupan lahan dengan serasah sisa-sisa penebangan (Lampiran 7) sengaja dilakukan dengan harapan agar setelah serasah tersebut kering dapat dibakar dengan mudah. Pembakaran serasah dimaksudkan agar tunggul tebu sisa panen yang ketinggiannya mencapai 15- cm dari permukaan guludan (Gambar 44b) mati terbakar sehingga tidak perlu dilakukan pengeprasan. (a) (b) 15 Gambar 44 Serasah sisa penebangan yang menutupi lahan di PG Jatitujuh (a), tunggul tebu sisa penebangan yang relatif masih tinggi (b). Tunggul tebu sisa penebangan di PG Jatitujuh dan PG Jatiroto memiliki ketinggian yang relatif sama yakni sekitar 15- cm dari permukaan guludan. Hal tersebut mengindikasikan bahwa penebangan manual cenderung menyisakan tunggul tebu yang masih tinggi, meskipun dalam kegiatan penebangan tebu tersebut sudah diberlakukan pemberian insentif dan pengawasan. Beberapa tahun terakhir ini PG Jatitujuh tidak melakukan pengeprasan tebu dalam budidaya tebu keprasan. Kegiatan pengeprasan digantikan dengan cara membakar serasah dan sisa penebangan yang menutupi lahan tebu setelah penebangan. Metode tersebut oleh PG Jatitujuh sering disebut dengan istilah cut and go. Penerapan metode cut and go dilakukan dengan pertimbangan bahwa mata tunas tunggul tebu yang terdapat di atas permukaan tanah menjadi kering dan mati akibat panas yang dihasilkan dari pembakaran serasah dan sisa-sisa penebangan, sehingga tunas tanaman keprasan tumbuh dari mata tunas tunggul tebu yang terdapat di bawah permukaan tanah. Kondisi tersebut oleh PG Jatitujuh dianggap identik dengan melakukan pengeprasan.

2 57 Beberapa kelemahan dari metode tersebut diantaranya adalah (1) apabila terjadi hujan yang terus menerus maka serasah atau sisa-sisa penebangan yang menutupi lahan sulit dibakar karena tidak kering, () asap dan abu yang dihasilkan dari pembakaran dapat menimbulkan masalah pencemaran lingkungan, dan (3) pembakaran tersebut membutuhkan pengawasan dan penjagaan yang baik agar pembakaran tidak merambat ke sekitar areal tebu yang belum ditebang. Metode cut and go yang diterapkan di PG Jatitujuh masih banyak menyisakan batang tebu yang berserakan di lahan, pertumbuhan tebu keprasan yang cenderung tidak seragam, dan tunggul-tunggul tebu yang telah dibakar masih terlihat cukup tinggi (Gambar 45a). Kondisi tersebut apabila dibandingkan dengan kondisi lahan di PG Jatiroto yang menerapkan kegiatan pengeprasan secara manual menunjukkan bahwa kegiatan pengeprasan dapat menghasilkan lahan yang bersih dari serasah sisa penebangan (Gambar 45b) dan memiliki pertumbuhan tebu keprasan yang relatif baik dibandingkan dengan di PG Jatitujuh yang tidak melakukan kegiatan pengeprasan (Gambar 45c). (a) (b) (c) Gambar 45 Kondisi lahan dan pertumbuhan tebu hasil cut and go di PG Jatitujuh (a), hasil kepras manual di PG Jatiroto (b), dan pertumbuhan tebu setelah satu bulan kepras manual di PG Jatiroto (c). Profil Guludan Tebu Keprasan Lisyanto et al. (5) mengungkapkan bahwa guludan tebu untuk keprasan pertama (R 1 ), kedua (R ), dan ketiga (R 3 ) di lahan PG Jatitujuh memiliki bentuk dan ukuran yang tidak jauh berbeda. Perbedaannya hanya terletak pada ukuran lebar guludan, yakni guludan untuk R 3 memiliki lebar yang sedikit lebih besar (85 cm) dibandingkan dengan guludan untuk R 1 dan R yang memiliki lebar 8 cm (Gambar 46). Jarak pusat ke pusat (PKP) guludan untuk ketiga tanaman keprasan tersebut sebesar 135 cm, ketinggian guludan dari permukaan juringan cm, dan lebar daerah tunggul yang harus dikepras sebesar 4 cm.

3 58 Gambar 46 Profil guludan tebu R 3 (a) dan untuk R 1 dan R (b) di PG Jatitujuh. Profil guludan untuk tanaman keprasan pertama (R 1 ) di PG Jatiroto memiliki ukuran yang lebih kecil dibandingkan dengan guludan untuk R 1 di PG Jatitujuh. Guludan untuk R 1 di lahan PG Jatiroto memiliki jarak pusat ke pusat 1 cm, lebar guludan 5 cm, tinggi guludan 3 cm, dan lebar area tunggul yang harus dikepras sebesar 3 cm (Gambar 47). Dimensi guludan terutama lebar daerah tunggul yang harus dikepras merupakan hal yang sangat penting untuk perancangan pisau dan alat pengeprasan tebu. (a) (b) Gambar 47 Profil guludan tebu untuk R 1 di PG Jatiroto (a) dan di PG Jatitujuh (b). Tahanan Penetrasi Tanah Tahanan penetrasi merupakan salah satu parameter yang dapat digunakan untuk menunjukkan kekerasan tanah yang dinyatakan dengan cone index (CI) tanah. Lahan tebu di PG Jatitujuh memiliki jenis tanah mediteran atau alvisol. Tabel 1 memperlihatkan data tahanan penetrasi dan cone index guludan tebu untuk R 1, R, dan R 3 di lahan tebu PG Jatitujuh. Guludan untuk R 1 memiliki tahanan penetrasi yang lebih rendah dibandingkan dengan guludan untuk R dan R 3. Pada kedalaman 1 dan 15 cm, guludan untuk R memiliki tahanan penetrasi rata-rata yang lebih tinggi dibandingkan dengan untuk R 1 dan R 3 (Gambar 48). Pada kedalaman 1 cm, tahanan penetrasi atau CI rata-rata untuk guludan R adalah 4.7 kg cm -, sedangkan untuk R 1 sebesar 3.6 kg cm - dan R 3 sebesar 4.5

4 59 kg cm -. Cone index rata-rata untuk guludan R pada kedalaman 15 cm adalah 7.3 kg cm -, untuk R 1 sebesar 4.1 kg cm -, dan untuk R 3 adalah 6.3 kg cm -. Hal tersebut mengindikasikan bahwa pada kisaran kedalaman antara 5 dan 15 cm, kondisi lahan tebu tersebut semakin padat seiring dengan bertambahnya kedalaman tanah. Tabel 1 Tahanan penetrasi (kg) dan cone index (kg cm - ) untuk R 1, R, dan R 3 di lahan tebu PG Jatitujuh, Cirebon TAHANAN PENETRASI DAN CONE INDEX RATOON KE-1 RATOON KE- RATOON KE-3 Dalam Ulangan ke: Ulangan ke: Ulangan ke: Tanah X CI Dalam X CI Dalam 1 3 Tanah 1 3 Tanah 1 3 X CI 5 cm cm cm cm cm cm cm cm cm Cone index (CI) ditentukan menggunakan persamaan berikut: CI = F A k ; F = tahanan penetrasi (kg) dan A k = luas kerucut yang digunakan ( cm ). Cone Index (kg cm - ) Kedalaman (cm) R-1 R- R-3 Gambar 48 Cone index pada lahan R 1, R, dan R 3 di PG Jatitujuh, Cirebon. Cone index tanah dapat digunakan untuk pendugaan terhadap kemudahan pengoperasian traktor untuk membajak tanah. Pengoperasian traktor dikatakan mudah apabila pada kedalaman 5-15 cm, CI lebih dari 6.5 kg cm - dan dikatakan memungkinkan apabila CI berkisar antara 4. dan 6.5 kg cm -, kemudian dikatakan sulit apabila CI kurang dari 4. kg cm - (Kisu 197; Pitoyo 3). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pemanfaatan alat dan mesin pertanian pada lahan PG Jatitujuh sangat memungkinkan karena pada kedalaman 15 cm lahan tersebut memiliki CI rata-rata 5.9 kg cm -.

5 6 Tahanan Geser Tanah Tahanan geser (shear resistance) tanah diukur menggunakan penetrometer SR-, yakni dengan gelang geser (shear ring). Tabel memperlihatkan bahwa pada beban 1-3 kg dengan kedalaman 5 cm, tahanan geser (S) rata-rata untuk R 1 adalah 34.7 kg cm -, R sebesar 3.6 kg cm -, dan R 3 sebesar 3.3 kg cm -. Tabel Tahanan geser (kg cm - ) untuk R 1, R, dan R 3 di lahan tebu PG Jatitujuh pada kedalaman 5 cm TAHANAN GESER PADA KEDALAMAN 5 CM RATOON KE-1 RATOON KE- RATOON KE-3 Beban Torsi ke: Beban Torsi ke: Beban Torsi ke: (kg) X S 1 3 (kg) X S 1 3 (kg) 1 3 X S Nilai tahanan geser (S) dihitung mengunakan rumus sebagai berikut: 3T S = 3 π ( r r 3 1 S = tahanan geser (kg cm - ) T =torsi maksimum (kg cm) r =jari jari luar shear ring (5 cm) r 1 =jari jari dalam shear ring (3 cm) ) Tabel 3 menunjukkan bahwa pada beban 1-3 kg dengan kedalaman 1 cm, tahanan geser (S) rata-rata untuk R 1 adalah 34.1 kg cm -, R sebesar 34.9 kg cm -, dan R 3 sebesar 33.3 kg cm -. Tabel 3 Tahanan geser (kg cm - ) untuk R 1, R, dan R 3 di lahan tebu PG Jatitujuh pada kedalaman 1 cm TAHANAN GESER PADA KEDALAMAN 1 CM RATOON KE-1 RATOON KE- RATOON KE-3 Beban Torsi ke: Beban Torsi ke: Beban Torsi ke: (kg) X S 1 3 (kg) X S 1 3 (kg) 1 3 X S Tahanan geser rata-rata guludan tebu pada beban 1-3 kg dengan kedalaman 5 dan 1 cm untuk tanaman keprasan (R 1, R, dan R 3 ) di PG Jatitujuh pada kadar air rata-rata saat pengukuran 7.4% sebesar 3.98 kg cm -.

6 61 Pengukuran tahanan geser dilakukan hanya pada dua kedalaman yakni 5 cm dan 1 cm dikarenakan pengeprasan secara mekanis akan dilakukan dengan kedalaman pemotongan antara 5 dan 1 cm di bawah permukaan guludan. Telah dikemukakan bahwa pengeprasan tebu merupakan pemotongan sisa-sisa tunggul tebu setelah penebangan yang dilakukan pada posisi tepat atau lebih rendah dari permukaan guludan. Apabila pengeprasan di lapang dilakukan pada posisi lebih rendah dari permukaan guladan dengan kedalaman 5-1 cm, maka parameter tahanan geser tanah tersebut perlu ditambahkan dalam menentukan gaya atau torsi pengeprasan. Gaya Cabut Rumpun Tunggul Tebu Tabel 4 menunjukkan hasil pengukuran gaya yang diperlukan untuk mencabut satu rumpun tunggul tebu pada R 1, R, dan R 3 di lahan PG Jatitujuh. Besarnya gaya cabut tersebut bervariasi dan kemungkinan besar bergantung pada kondisi perakaran, kepadatan tanah, dan jumlah tunggul yang terdapat pada satu rumpun tebu. Rumpun tebu yang memiliki jumlah tunggul antara 5 dan 1 buah membutuhkan gaya cabut dari 5.96 sampai N. Rumpun tebu dengan jumlah tunggul buah membutuhkan gaya cabut sebesar N. Pada lahan untuk ratoon ketiga (R 3 ), rumpun tebu dengan jumlah tunggul 8 buah memiliki gaya cabut yang berbeda yakni N dan N. Perbedaan tersebut diduga disebabkan oleh kondisi tanah dan perakaran tebu, sehingga meskipun memiliki jumlah tunggul yang sama tetapi besar gaya cabutnya berbeda. Tabel 4 Nilai gaya cabut tunggul tebu pada satu rumpun untuk R 1, R, dan R 3 di lahan tebu PG Jatitujuh, Cirebon Jumlah Tunggul RATOON KE-1 RATOON KE- RATOON KE-3 Strain (µs) Gaya Cabut (N) Jumlah Tunggul Strain (µs) Gaya Cabut (N) Jumlah Tunggul Strain (µs) Gaya Cabut (N) Gaya cabut tunggul tebu tersebut dapat digunakan sebagai acuan dalam perancangan mesin kepras agar metode pemotongannya menghasilkan gaya dorong yang lebih kecil dari 5.96 N.

7 6 Gerakan Mata Piring Bentuk Rata (Bajak Piring) Persamaan (15), (16), dan (17) merupakan persamaan gerakan dari sebuah titik pada mata bajak piring yang diputar dengan melibatkan parameter kecepatan putar sudut (ω ), radius bajak piring (R), disk angle (D A ), dan tilt angle (T A ) pada bidang tiga dimensi (XYZ). Persamaan tersebut ditulis kembali secara berurutan sebagai berikut: X = R sinα sinθ cosφ + R cosθ sinφ Y = R cosθ cosφ R sinα sinθ sinφ Z = R cosα sinθ Hasil simulasi dari persamaan tersebut apabila digambarkan dalam bidang dua dimensi yakni XY (dilihat dari atas), bidang XZ (pandangan depan), dan bidang YZ (dilihat dari samping) merupakan sebuah garis mata bajak piring yang berbentuk lingkaran atau elips. Garis mata bajak piring memiliki bentuk lingkaran apabila bajak piring tersebut dilihat dari depan (bidang XZ) dengan posisi T A = o dan D A = o (Gambar 49a). Di samping itu, garis mata bajak piring juga memiliki bentuk lingkaran jika dilihat dari samping (bidang YZ) dengan posisi T A = o dan D A = 9 o, sedangkan pada bidang XY dan XZ garis mata bajak piring digambarkan oleh satu garis lurus (Gambar 49b). (a).3 (b) Bidang XY Bidang YZ Bidang XZ -.3 Bidang XY Bidang YZ Bidang XZ Gambar 49 Garis mata bajak piring berbentuk lingkaran untuk bidang XZ pada T A = o dan D A = o (a) serta untuk bidang YZ pada T A = o dan D A =9 o (b). Garis mata bajak piring memiliki bentuk elips apabila bajak piring tersebut diposisikan pada T A dan D A lebih besar dari o namun kurang dari 9 o (9>T A > dan 9>D A >). Gambar 5 memperlihatkan contoh hasil simulasi bentuk garis

8 63 mata bajak piring pada posisi (9>T A > dan 9>D A >). Pada posisi T A = 15 o dan D A = 35 o garis mata bajak piring untuk ketiga bidang yakni XZ, YZ, dan XY menghasilkan bentuk elips (Gambar 5a). Garis mata bajak piring pada bidang XY untuk T A = 5 o dan D A = 35 o (Gambar 5b) memiliki bentuk elips dengan ukuran yang lebih lebar dibandingkan dengan elips mata bajak pada posisi T A = 15 o dan D A = 35 o. Hal tersebut disebabkan pada T A yang lebih tinggi menghasilkan sumbu minor elips yang lebih besar. Sumbu minor elips pada T A = 15 o adalah.78 m, sedangkan pada T A = 5 o sebesar.19 m. Penyajian gambar pandangan dari bentuk kurva mata bajak piring tersebut ditunjukkan pada Lampiran 8. (a).3 (b) Bidang XY Bidang YZ Bidang XZ -.3 Bidang XY Bidang YZ Bidang XZ Gambar 5 Bentuk elips pada bidang XY, YZ, dan XZ untuk T A = 15 o dan D A = 35 o (a) serta T A = 5 o dan D A = 35 o (b). Gerakan bajak piring yang diputar dan digerakkan maju dengan sudut kemiringan disk angle (D A ) dan tilt angle (T A ) tertentu memiliki kurva gerakan berbentuk spiral atau helicoid. Persamaan yang digunakan untuk mensimulasikan bentuk gerakan sebuah titik pada mata bajak piring tersebut dalam bidang XY pada prinsipnya hampir sama dengan persamaan (15) dan (16), namun karena adanya faktor kecepatan maju (V) maka persamaan tersebut dimodifikasi menjadi sebagai berikut: X = [ R sin α sin( ωt) cos φ + R cos( ωt) sin φ ]+ Vt (31) Y = R cos( ωt ) cos φ R sin α sin( ωt) sin φ (3) Simulasi dari persamaan (31) dan (3) apabila digabungkan dengan hasil simulasi persamaan (15), (16), dan (17) menghasilkan garis mata bajak piring berbentuk elips dan kurva gerakan yang memiliki bentuk spiral. Gambar 51

9 64 menunjukkan salah satu contoh hasil simulasi bentuk gerakan sebuah titik pada mata bajak piring yang digambarkan dalam bidang XY untuk jenis bajak piring bentuk rata, T A = 15 o, D A = 35 o, N = 6 rpm, dan V =.15 m s -1. Kombinasi parameter tersebut menunjukkan bahwa dalam waktu satu detik, bajak piring berputar satu kali dengan feed (f) sebesar.15 m per putaran. Feed merupakan jarak linier yang ditempuh oleh mata bajak piring dalam satu putaran P. Atas Mata Bajak (XY) P. Depan M ata Bajak (XZ) P S.Kanan M ata Bajak (YZ) Locus Mata Bajak (XY) Gambar 51 Bentuk kurva dari gerakan sebuah titik pada mata bajak piring (piring bentuk rata) dalam bidang XY dengan T A = 15 o, D A = 35 o, N = 6 rpm, dan V =.15 m s -1. Feed dalam pemotongan dipengaruhi oleh beberapa faktor yakni: kecepatan maju pemotongan (V), jumlah putaran bajak piring (N), dan jumlah mata bajak piring (k). Secara matematis feed (f) dapat dituliskan dengan persamaan (33), sedangkan hasil perhitungan untuk beberapa kombinasi antara V dan N untuk sebuah titik pada mata bajak piring bentuk rata disajikan dalam Tabel 5. 6V f = (m per putaran) (33) kn Tabel 5 menunjukkan bahwa pada kecepatan maju yang lebih tinggi (.3 m s -1 ) dan jumlah putaran pisau (N) yang rendah (5 rpm) menghasilkan f pemotongan yang lebih besar yakni.36. Sebaliknya pada kecepatan maju yang

10 65 lebih rendah (.15 m s -1 ) dan jumlah putaran pisau (N) yang tinggi (1 rpm) menghasilkan f pemotongan yang lebih kecil (.9). Di samping itu, pada dua atau beberapa kombinasi V dan N yang memiliki nilai perbandingan antara V 1 dan V yang sama dengan nilai perbandingan antara N 1 dan N maka menghasilkan f pemotongan yang sama. Perbandingan antara V 1 dan V (.15 dan.3 m s -1 ) dengan N 1 dan N (5 dan 1 rpm) sama yakni.5 sehingga kedua kombinasi tersebut memiliki besar f yang sama yakni.18 m per putaran. Tabel 5 Nilai feed (f) pemotongan dari sebuah titik pada mata bajak piring (piring bentuk rata) untuk dua tingkat peubah kecepatan maju (V) dan jumlah putaran (N) Kecepatan maju alat (V) (m s -1 ) Feed (f) (m per putaran) Jumlah putaran piring (N) (rpm) Besarnya nilai f tersebut juga dapat ditentukan menggunakan gambar hasil simulasi model matematika kurva gerakan pisau (Gambar 5) f = P. Atas Mata Bajak (XY) P. Depan M ata Bajak (XZ) P S.Kanan M ata Bajak (YZ) Locus Mata Bajak (XY) Gambar 5 Feed pemotongan dari sebuah titik pada mata bajak piring sebesar.18 m per putaran untuk T A = 15 o, D A = 35 o, N = 5 rpm, dan V =.15 m s -1.

11 66 Gambar 5 menunjukkan bahwa pada T A = 15 o, D A = 35 o, N = 5 rpm, dan V =.15 m s -1 bajak piring berputar sebanyak 8.3 kali per detik dengan kecepatan sudut (ω ) = 5.36 rad s -1 dan feed (f) sebesar.18 m per putaran. Selanjutnya pada T A =5 o, D A = 45 o, N = 1 rpm, dan V =.15 m s -1 memperlihatkan bahwa bajak piring tersebut berputar sebanyak 16.7 kali per detik atau dua kali lebih besar dari sebelumnya, sedangkan untuk feed (f) memiliki nilai dua kali lebih kecil dari sebelumnya yakni.9 m per putaran (Gambar 53). Hal tersebut terjadi karena pada kecepatan maju (V) yang sama namun N lebih besar maka feed (f) lebih kecil sebagaimana diekspresikan oleh hubungan antara V dan N pada persamaan (33). Di samping itu, besar kecilnya disk angle (D A ) dan tilt angle (T A ) tidak berpengaruh terhadap feed namun memiliki efek terhadap dimensi elips dari mata bajak piring dalam pemotongan. Penyajian gambar pandangan dari bentuk kurva mata bajak piring tersebut (Gambar 53) ditunjukkan pada Lampiran f = P. Atas Mata Bajak (XY) P. Depan M ata Bajak (XZ) P S.Kanan M ata Bajak (YZ) Locus Mata Bajak (XY) Gambar 53 Feed pemotongan dari sebuah titik pada mata bajak piring sebesar.9 m per putaran untuk T A = 5 o, D A = 45 o, N = 1 rpm, dan V =.15 m s -1. Terdapat beberapa pertimbangan mengapa simulasi kurva gerakan mata bajak piring hanya dilakukan untuk bidang XY (tampak atas). Pertama, pada bidang XY tersebut kurva penampang tunggul tebu yang diasumsikan berbentuk

12 67 lingkaran dan penampang garis mata bajak piring yang berbentuk elips tersebut dapat terlihat dengan jelas. Kedua, penentuan titik potong antara kedua kurva pada bidang XY tersebut dapat dilakukan secara mudah. Ketiga, dengan diketahuinya titik potong antara dua kurva maka luas pemotongan setiap saat dapat ditentukan, sehingga model matematika untuk gaya atau torsi pemotongan dapat diselesaikan. Gerakan Mata Piring Bentuk Coak (Garu Piring) Piring bentuk coak atau garu piring yang digunakan memiliki 1 coakan. Persamaan gerakan sebuah titik pada mata garu piring tersebut pada prinsipnya sama dengan persamaan gerakan untuk mata bajak piring (piring bentuk rata) yakni persamaan (15), (16), dan (17). Feed (f) pemotongan untuk tiap mata garu juga ditentukan menggunakan persamaan (33) namun pada kecepatan maju (V) dan jumlah putaran (N) yang sama, kedua jenis piring pengolah tanah tersebut menghasilkan feed (f) yang berbeda. Bajak piring yang melakukan pemotongan secara kontinyu menghasilkan feed yang lebih kecil (mendekati nol) jika dibandingkan dengan garu piring (piring bentuk coak) yang melakukan pemotongan secara bertahap (Tabel 6). Hal tersebut disebabkan pada mata bajak piring memiliki jumlah titik potong yang tak terhingga, sedangkan untuk garu piring atau piring bentuk coak, pemotongan hanya dilakukan oleh 1 coakan yang terdapat pada mata garu piring tersebut. Tabel 6 Nilai feed (f) dari tiap mata garu piring atau piring bentuk coak (k =1) pada dua tingkat peubah kecepatan maju (V) dan jumlah putaran (N) Kecepatan maju (V) dalam m s -1 Jumlah putaran (N) dalam rpm Feed (f) tiap mata garu (m/put) x x x x 1-3 Persamaan yang digunakan untuk mensimulasikan gerakan sebuah titik pada mata garu piring yang berjumlah 1 (k =1) dalam bidang XY pada prinsipnya hampir sama dengan persamaan (31) dan (3). Penentuan urutan mata garu ke-i dengan i = 1 sampai k merupakan langkah penting untuk simulasi kurva gerakan dari setiap mata garu tersebut. Mata garu ke-1 ditentukan dari posisi awal X=, Y=R, dan Z =, sehingga pada kondisi tersebut garu piring memiliki kemiringan T A o dan D A = 9 o. Mata garu yang ke-, ke-3, dan seterusnya ditentukan

13 68 setelah mata garu ke-1 dengan cara menghitung ke arah berlawanan jarum jam. Jadi persamaan untuk simulasi kurva gerakan sebuah titik pada mata garu piring ke-i sampai ke-k untuk bidang XY secara umum dapat dituliskan sebagai berikut: ( i 1) ( i 1) π π X = R sin α sin [ ωt] + R [ t] + Vt k cos φ cos ω k sin φ (34) ( i 1) ( i 1) π π Y = R cos [ ω t] cos φ R sin α sin [ ω t] sin φ (35) k k Gambar 54 menunjukkan contoh hasil simulasi persamaan (34) dan (35) yang digabungkan dengan hasil simulasi persamaan (15), (16), dan (17). Simulasi tersebut dilakukan dengan peubah masukan T A =15 o, D A =45 o, N= 6 rpm, V =.15 m s -1, dan jumlah coakan (k) sebesar 1 buah (Lampiran 1). Feed (f) hasil simulasi yang digambarkan dengan jarak antara kurva gerakan mata garu yang satu dengan yang lainnya sangat kecil yakni sebesar.15 m per mata garu piring P.Atas M ata Garu (XY) P.Depan M ata Garu (XZ) PS.Kanan M ata Garu (YZ) M ata Garu ke-1 M ata Garu ke- M ata Garu ke-3 M ata Garu ke-4 M ata Garu ke-5 M ata Garu ke-6 M ata Garu ke-7 M ata Garu ke-8 M ata Garu ke-9 M ata Garu ke-1 M ata Garu ke-11 M ata Garu ke-1 Gambar 54 Feed pemotongan sebesar.15 m per putaran dari garu piring atau piring bentuk coak, T A = 15 o, D A = 45 o, N = 6 rpm, V =.15 m s -1, dan jumlah coakan pada mata garu piring (k) = 1. Hasil simulasi lainnya dengan N yang lebih besar yakni: T A = 15 o, D A = 45 o, N = 5 rpm, V =.15 m s -1, dan jumlah coakan pada mata garu piring (k) sebesar 1 menghasilkan f yang lebih kecil yakni.15 m per mata garu (Gambar 55).

14 P.A tas M ata Garu (XY) P.Depan M ata Garu (XZ) P S.Kanan M ata Garu (YZ) M ata Garu ke-1 M ata Garu ke- M ata Garu ke-3 M ata Garu ke-4 M ata Garu ke-5 M ata Garu ke-6 M ata Garu ke-7 M ata Garu ke-8 M ata Garu ke-9 M ata Garu ke-1 M ata Garu ke-11 M ata Garu ke-1 Gambar 55 Feed pemotongan sebesar.15 m per putaran dari garu piring atau piring bentuk coak, T A = 15 o, D A = 45 o, N = 5 rpm, V =.15 m s -1, dan jumlah coakan pada mata garu piring (k) =1. Gaya Pemotongan Spesifik Tunggul Tebu Nilai gaya pemotongan spesifik tunggul tebu (σ) sangat bergantung pada kondisi tunggul tebu terutama kadar air, ketajaman dari mata bajak piring atau garu piring, dan kinematika pemotongan. Pendugaan σ dilakukan berdasarkan hubungan antara luas (A T ) atau panjang pemotongan (L T ) dan gaya hasil pengukuran pada pemotongan satu tunggul tebu (F UT ). Luas pemotongan (A T ) dihitung berdasarkan titik potong antara kurva mata bajak piring dan garu piring yang berbentuk elips (R P ) dan kurva tunggul tebu berbentuk lingkaran yang digeser (R T ). Persamaan parametrik untuk mendeskripsikan kurva mata bajak piring dan garu piring yang memiliki bentuk elips dapat diuraikan sebagai berikut: x a + b y = 1 (36) Dalam hal ini x = cosθ dan y = sinθ, sehingga substitusi x dan y ke R P R P persamaan (36) dapat diuraikan sebagai berikut:

15 7 ( R b b P ( R cos θ ) a P cosθ ) ( R + a P + a b sin θ ) b ( R P = 1 sinθ ) = 1 ( RP cosθ ) + a ( RP sinθ ) = a b ( b cos θ + a sin θ ) a b R P = a b R P = ( b cos θ + a sin θ ) 1 a b R P = (37) ( b cos θ + a sin θ ) Persamaan (37) tersebut baru mendeskripsikan kurva elips dengan sumbu mayor berada pada posisi horisontal tanpa disk angle (D A = o dan φ = 9 o ). D A diperoleh dengan cara memutar sumbu Z atau bidang XY dari kurva mata bajak dan garu piring tersebut. Referensi pemutaran kurva elips yang digunakan adalah φ = 9 o - D A, sehingga pada saat D A = 9 o maka φ = o dan pada saat D A = o maka φ = 9 o. Persamaan kurva elips yang diputar menggunakan sistem koordinat polar ditentukan dengan cara mengganti parameterθ pada persamaan (37) dengan parameter λ ( λ D θ ) yang dinyatakan sebagai bertikut: = A 1 a b R P = (38) ( b cos λ + a sin λ a b R P = (39) ( b cos ( DA θ ) + a sin ( DA θ ) Persamaan untuk mendeskripsikan posisi penampang satu tunggul tebu ditentukan berdasarkan persamaan lingkaran yang digeser. Gambar 56 mengilustrasikan referensi posisi penampang satu tunggul tebu sebelum digeser dan setelah digeser beserta beberapa parameter yang relevan. Persamaan untuk lingkaran sebelum digeser (a) yang berpusat di O dan berjari-jari r dinyatakan dengan di C dinyatakan dengan: x + y = r 1, sedangkan untuk lingkaran setelah digeser (b) yang berpusat

16 71 + Y r (4) X = X = x h Y = k ( y) atau Y = y k, sehingga persamaan (4) dapat dituliskan sebagai berikut: X + Y = r ( x h) + ( y k) = r (41) Y (a) O r x P (x,y) y (b) C r P (x,y) Y y k X h x Gambar 56 Referensi posisi penampang satu batang tunggul tebu sebelum digeser (a) dan setelah digeser (b) serta beberapa parameter yang relevan. Dalam penentuan luas pemotongan satu tunggul tebu (Gambar 37), parameter yang terlibat dalam penyusunan persamaan radius lingkaran tunggul tebu dengan sistem polar tersebut diantaranya adalah (1) jarak antara titik referensi (O) dan pusat lingkaran tebu pada sumbu X yang dinotasikan dengan h, () jarak antara titik referensi (O) dan pusat lingkaran tebu pada sumbu Y dinotasikan dengan k, (3) radius batang tunggul tebu (r), (4) sudut antara X dan radius maksimum (β), dan sudut putaran jari-jari (θ ) dengan posisi o dimulai dari sumbu X positif. Ditambahkan bahwa,θ bernilai positif apabila pergeseran dari posisi o memiliki arah berlawanan dengan jarum jam, sebaliknyaθ bernilai negatif jika pergeserannya searah dengan jarum jam. Persamaan radius kurva tunggul tebu menggunakan pendekatan lingkaran yang digeser dengan sistem koordinat polar tersebut secara rinci diuraikan pada Lampiran 11, sedangkan hasilnya adalah sebagai berikut: X R T R T ( h cosθ + k sin θ ) + ( h + k r ) = (4)

17 7 R T 1, = ( h cosθ + k sinθ ) ± ( h cosθ + k sinθ ) 4( h + k r ) R T 1, = ( h cosθ + k sinθ ) ± ( h cosθ + k sinθ ) ( h + k r ) R T = ( h cosθ + k sinθ ) ± ( h cosθ + k sinθ ) ( h + k r 1, ) + R T R T = ( h cosθ + k sin θ ) + ( h cosθ + k sin θ ) ( h + k r ) (43) = ( h cosθ + k sin θ ) ( h cosθ + k sin θ ) ( h + k r ) (44) Gambar 57 memperlihatkan contoh gabungan hasil simulasi persamaan (39) yang mendeskripsikan kurva elips untuk mata bajak piring atau garu piring dan persamaan (43) dan (44) yang menghasilkan kurva lingkaran untuk penampang tunggul tebu. Parameter masukan dalam simulasi tersebut adalah D A =45 o, T A =15 o, R=.35 m, r =.15 m, h =.4 m, dan k = -.75 m (Lampiran 1)..3 Kurva mata piring (elips) Kurva tunggul tebu (lingkaran) -.3 Gambar 57 Contoh hasil simulasi persamaan kurva bentuk elips untuk mata bajak piring atau garu piring dan kurva lingkaran tunggul tebu menggunakan sistem koordinat polar. berikut: Nilai parameter keluaran dari simulasi tersebut dapat diuraikan sebagai

18 73 k.75 tan β = = = ; β = tan 1 ( 1.875) = h.4 sinα = r /[ h + k = [ / 1 ] = 1/ α sin 1 1 = (.1765) = (.75) θ 1 = β + α1 = = θ = β α = = 7.9 ].1765 θ 1 dan θ merupakan batas sudut maksimum dan minimum posisi tunggul tebu dalam sistem koordinat polar. Hal tersebut dapat digunakan sebagai acuan bahwa titik potong antara kurva mata bajak atau garu piring dan kurva tunggul tebu terletak dalam kisaran sudut tersebut. Kurva mata piring yang berbentuk elips tersebut kemudian hanya digambarkan dengan garis kurva yang berpotongan dengan kurva tunggul tebu (Gambar 58). Titik potong antara kedua kurva tersebut ditentukan dengan cara membandingkan besarnya nilai radius kurva mata piring (R P ) dan kurva tunggul tebu (R T ). Titik potong antara dua kurva dalam sistem koordinat polar terjadi apabila R P dan R T tersebut memiliki nilai yang mendekati atau sama. Titik potong yang dihasilkan dari contoh simulasi tersebut terletak pada sudut o yang digunakan sebagai batas atas (θ a ), dan o yang digunakan sebagai batas bawah (θ b) dalam proses integrasi (Lampiran 13)..15 Titik potong kedua kurva.1 Kurva tunggul tebu (-) Garis kurva mata piring Luas potong setiap saat Kurva tunggul tebu (+) Kurva mata piring Garis kurva tunggul tebu Gambar 58 Garis kurva mata piring yang memotong kurva tunggul tebu setiap saat untuk menentukan posisi titik potong kedua kurva.

19 74 Luas pemotongan (A T ) yang dibatasi oleh kurva mata piring yang berbentuk elips (R P ) dan kurva tunggul tebu berbentuk lingkaran (R T ) dapat dihitung melalui pendekatan integrasi sebagai berikut: θ 1 AT = P θ 1 ( R R ) dθ T (45) R P = b cos ( D A a b θ ) + a sin ( D A θ ) 1 = θ θ θ θ 1/ R T ( 1,) ( h cos + k sin ) ± [( h cos + k sin ) ( h + k r )] A T 1 a b θ b DA θ a DA θ 1 cos ( ) + sin ( ) = θ 1 1 ( hcosθ + ksinθ ) ± ( hcosθ + ksinθ ) ( h + k r )) dθ (46) Hasil pendugaan menggunakan persamaan (19) menunjukkan bahwa pada pemotongan satu tunggul tebu varietas PA 198 berdiameter 3. cm menggunakan mata bajak piring, T A = 15 o, D A = 45 o, N = 1 rpm, V = 15 cm s -1, dan kadar air.8% membutuhkan gaya pemotongan spesifik per luas lintasan pemotongan (σ A ) sebesar 1.15 N mm -, C =.99 N, dan koefisien determinasi (R ) sebesar.94. Dengan metode pemotongan yang sama seperti pada varietas PA 198, nilai σ A, C, dan R untuk varietas yang diuji ditunjukkan pada Tabel 7. Tabel 7 Nilai gaya pemotongan spesifik tunggul tebu (σ A ), konstanta (C), dan koefisien determinasi (R ) untuk PA 198, PA 183, Triton, dan PA Varietas tebu Diameter tunggul (cm) σ A dalam (N mm - ) C dalam (N) R PA PA Triton PA Pendugaan terhadap gaya pemotongan spesifik per panjang mata bajak piring yang memotong satu tunggul tebu (σ L ) menggunakan persamaan () menunjukkan bahwa pada pemotongan satu tunggul tebu varietas PA 198 berdiameter 3. cm menggunakan mata piring bentuk rata, T A = 15 o, D A = 45 o, N =

20 75 1 rpm, V = 15 cm s -1, dan kadar air.8% membutuhkan σ L sebesar.94 N mm -1, C=1.7 N, dan koefisien determinasi (R ) sebesar.99. Dengan metode pemotongan yang sama seperti pada varietas PA 198, nilai (σ L ), C, dan R untuk varietas yang diuji ditunjukkan pada Tabel 8. Tabel 8 Nilai gaya pemotongan spesifik tunggul tebu (σ L ), konstanta (C), dan koefisien determinasi (R ) untuk PA 198, PA 183, Triton, dan PA Varietas tebu Diameter tunggul (cm) (σ L ) dalam (N mm -1 ) C dalam (N) R PA PA Triton PA Hasil peneltian tersebut memperlihatkan bahwa gaya pemotongan spesifik tunggul tebu per satuan luas (σ A ) dan per satuan panjang (σ L ) memiliki nilai yang berbeda berdasarkan jenis varietas tebu. Varietas PA 198 memiliki nilai σ A dan σ L yang lebih tinggi dibandingkan dengan tiga varietas uji lainnya. Perbedaan tersebut diduga disebabkan oleh kondisi struktur mikro pada tunggul tebu tersebut, terutama yang berkaitan dengan banyaknya ikatan pembuluh kayu yang terdapat pada tunggul tebu serta banyaknya sklerenkim yang mengelilingi pembuluh pengangkutan tersebut. Gaya pemotongan spesifik per satuan luas (σ A ) yang dihasilkan dari penelitian tersebut memiliki nilai yang berbeda jika dibandingkan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Hutasoit (1978). Hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, yakni (1) pada penelitian sebelumnya, bagian yang digunakan untuk percobaan adalah ruas ke empat batang tebu dari permukaan tanah, () varietas tebu yang digunakan juga bebeda, dan (3) alat potong yang digunakan pada uji kekerasan tersebut adalah jarum mesin jahit berdiameter.9 mm. Hasil pendugaan gaya pemotongan spesifik pada pemotongan satu tunggul tebu varietas PA 198 berdiameter 3. cm menggunakan mata garu piring (piring bentuk coak), T A = 5 o, D A = 4 o, N = 1 rpm, V = 15 cm s -1, dan kadar air.8% membutuhkan gaya pemotongan spesifik per luas lintasan pemotongan (σ A ) sebesar.8 N mm -, C=. N, dan koefisien determinasi (R ) sebesar.93. Gaya pemotongan spesifik per panjang mata garu piring yang memotong satu tunggul tebu (σ L ) untuk piring bentuk coak tersebut adalah.73 N mm -1, C=.95

21 76 N, dan koefisien determinasi (R ) sebesar.99. Nilai gaya pemotongan spesifik tersebut diperoleh dengan menggunakan selang waktu pergeseran atau pergerakan mata bajak piring dan garu piring pada setiap.4 detik. Dari hasil pendugaan tersebut terbukti bahwa tahanan potong spesifik tunggul tebu (σ) pada pemotongan yang menggunakan garu piring atau piring bentuk coak memiliki nilai yang lebih rendah (.8 N mm - atau.73 N mm -1 ) dibandingkan dengan pemotongan yang menggunakan bajak piring atau piring bentuk rata (1.15 N mm - atau.94 N mm -1 ). Perbedaan nilai tahanan potong spesifik tersebut disebabkan pada pemotongan menggunakan bajak piring, mata bajak tersebut memotong secara kontinyu sehingga menghasilkan gesekan yang lebih besar dibandingkan dengan pemotongan menggunakan garu piring yang melakukan pemotongan secara bertahap atau bergantian sesuai dengan posisi urutan mata garu piring tersebut. Torsi dan Gaya Pemotongan Satu Tunggul Tebu Pola torsi hasil pengukuran dalam pemotongan satu tunggul tebu varietas PA 198 dapat diuraikan menjadi beberapa bagian dalam proses percobaan (Gambar 59a), sedangkan pola gaya pemotongan hasil pengukuran dan hasil pendugaan ditunjukkan pada Gambar 59b. Pada selang waktu percobaan dari sampai.68 detik komputer mulai merekam data, namun motor listrik sebagai sumber gerakan putar belum dihidupkan sehingga torsi masih mendekati nol (a). Pada saat motor listrik dihidupkan dan piring mulai berputar, torsi meningkat secara tajam (81.98 N m) yang kemudian menurun dengan cepat (b). Hal tersebut terjadi akibat dari beban kejut pemutaran piring. Piring yang berputar tersebut kemudian digerakkan maju melalui kereta pembawa yang ditarik oleh traktor. Gerakan luncur yang kurang stabil dari kereta pembawa mengakibatkan torsi sebelum pemotongan berfluktuasi meskipun relatif kecil (c). Fluktuasi tersebut disebabkan oleh kurang presisinya pemasangan rel dan roda kereta pembawa. Pemotongan satu tunggul tebu terjadi ketika mata bajak piring atau garu piring mulai menyentuh tunggul tebu, sehingga torsi kembali meningkat dengan tajam (d). Torsi pemotongan tersebut membentuk kurva normal (setangkup) karena tunggul tebu yang dipotong memiliki penampang mendekati lingkaran, sehingga pada saat mata piring mencapai sekitar garis tengah lingkaran, torsi pemotongan berada pada posisi maksimum. Kereta pembawa masih terus ditarik maju meski-

22 77 pun tunggul tebu tersebut sudah terpotong sehingga torsi pengukuran berfluktuasi kembali (e). Setelah kereta pembawa tersebut berhenti motor listrik baru dimatikan, namun piringan masih memiliki putaran sisa sehingga komputer masih merekam torsi meskipun sangat kecil (f). Gaya pemotongan maksimum hasil pengukuran pada pemotongan satu tunggul tebu varietas PA 198 berdiameter 3. cm menggunakan piring bentuk rata (bajak piring), T A = 15 o, D A = 45 o, N= 1 rpm, dan V = 15 cm s -1 adalah 97.9 N (Gambar 59b). Torsi (N m) a d b c e f Waktu (detik) (a) Gaya Pemotongan (N) 1 (b) Waktu Tempuh (detik) Gambar 59 Pola torsi pengukuran (a) dan gaya pemotongan (b) satu tunggul tebu varietas PA 198 berdiameter 3. cm menggunakan bajak piring, T A = 15 o, D A = 45 o, N= 1 rpm, dan V = 15 cm s -1. Gaya pemotongan satu tunggul tebu untuk varietas yang lain yakni PA 183, Triton, dan PA, ditentukan menggunakan cara yang sama dengan varietas PA 198. Gaya pemotongan maksimum hasil pengukuran untuk varietas PA 183 adalah N (Gambar 6a), sedangkan untuk varietas Triton adalah sebesar N (Gambar 6b). Gaya Pemotongan (N) (a) Waktu Tempuh (detik) Gaya Pemotongan (N) Waktu Tempuh (detik) (b) Gambar 6 Pola gaya pemotongan satu tunggul tebu untuk varietas PA 183 (a) dan Triton (b) menggunakan bajak piring, T A = 15 o, D A = 45 o, N = 1 rpm, V =.15 m s -1, dan kadar air.8%.

23 78 Gambar 61 menunjukkan pola gaya pemotongan hasil pengukuran untuk satu tunggul tebu varietas PA. Gaya pemotongan maksimum hasil pengukuran untuk varietas PA tersebut adalah 59.8 N. 7 Gaya Pemotongan (N) Waktu Tempuh (detik) Gambar 61 Pola gaya pemotongan satu tunggul tebu untuk varietas PA menggunakan bajak piring, T A = 15 o, D A = 45 o, N = 1 rpm, V =.15 m s -1, dan kadar air.8%. Torsi Pengeprasan Rumpun Tunggul Tebu Pengukuran torsi pengeprasan rumpun tunggul tebu dilakukan berdasarkan susunan kombinasi peubah percobaan (Lampiran 14). Varietas tebu yang digunakan dalam percobaan pengeprasan tersebut adalah PA 198 yang memiliki diameter antara dan 4 cm. Torsi pengeprasan rumpun tebu memiliki pola yang mirip dengan torsi pemotongan pada satu tunggul tebu, namun torsi pengeprasan rumpun tebu tersebut merupakan gabungan dari torsi pemotongan beberapa tunggul tebu yang terdapat pada rumpun tersebut sesuai dengan posisi tunggul tebu. Gambar 6 menunjukkan contoh pola torsi hasil pengukuran pada percobaan pengeprasan empat rumpun tebu dengan masing-masing rumpun terdiri atas tiga tunggul tebu. Tunggul tebu dalam rumpun tersebut diasumsikan dalam posisi tegak, sehingga apabila dilihat dari atas memiliki penampang potong berbentuk lingkaran. Kombinasi perlakuan untuk percobaan tersebut adalah J P1 V N 1 D A3 T A1. Susunan tersebut mengandung pengertian bahwa piring yang digunakan untuk pemotongan tersebut adalah piring pengolah tanah bentuk rata atau bajak piring (J P1 ), kecepatan maju pemotongan.3 m s -1 (V ), putaran bajak piring 5 rpm (N 1 ), disk angle 45 o (D A3 ), dan tilt angle 15 o (T A1 ). Pada saat motor listrik mulai

24 79 berputar torsi awal melonjak hingga mencapai N m yang disebabkan oleh kecepatan putar yang digunakan dalam percobaan relatif rendah yakni N 1 = 5 rpm. Diameter, posisi, dan jumlah tunggul tebu dalam setiap rumpun memiliki efek yang signifikan terhadap besarnya torsi pengeprasan rumpun tunggul tebu. Torsi Pengeprasan (N m) Rumpun ke-1 Rumpun ke- Rumpun ke-3 Rumpun ke Waktu (detik) Gambar 6 Pola torsi pengeprasan rumpun tebu varietas PA 198 menggunakan bajak piring, T A = 15 o, D A = 45 o, N = 5 rpm, dan V =.3 m s -1. Gambar 63 memperlihatkan contoh pola torsi pengeprasan rumpun tunggul tebu menggunakan piring pengolah tanah bentuk coak (garu piring) pada kecepatan maju alat.15 m s -1 (V 1 ), putaran garu piring 1 rpm (N ), disk angle 4 o (D A ), dan tilt angle 5 o (T A3 ). Rumpun tunggul tebu yang digunakan dalam percobaan tersebut terdiri atas empat rumpun. Jumlah tunggul tebu pada rumpun pertama adalah 4 tunggul, rumpun kedua 3 tunggul, rumpun ketiga hanya satu tunggul, dan rumpun keempat berjumlah 6 tunggul. Torsi Pengeprasan (N m) 8 Rumpun Rumpun 7 ke-1 ke Rumpun Rumpun ke- ke Waktu (detik) Gambar 63 Pola torsi pengeprasan rumpun tebu varietas PA 198 menggunakan garu piring (k =1), T A =5 o, D A =4 o, N=1 rpm, dan V=.15 m s -1.

25 8 Pada kecepatan putar piring 1 rpm, torsi awal untuk percobaan tersebut jauh lebih kecil (75.83 N m) dibandingkan dengan torsi awal untuk kecepatan putar piring 5 rpm (133.7 N m). Hasil percobaan tersebut juga menunjukkan bahwa setiap rumpun tunggul tebu memiliki satu atau lebih puncak torsi yang selanjutnya disebut dengan torsi maksimum. Rataan dari sejumlah torsi maksimum dalam setiap percobaan tersebut kemudian digunakan sebagai data torsi pengeprasan rumpun tunggul tebu. Rataan torsi pengeprasan pada percobaan yang memiliki kombinasi perlakuan J P V 1 N D A T A3 tersebut adalah sebesar 9.84 N m, sedangkan untuk percobaan dengan kombinasi perlakuan J P1 V N 1 D A3 T A1 (Gambar 6) adalah N m. Beberapa contoh pola torsi untuk percobaan pengeprasan rumpun tunggul tebu secara lengkap ditunjukkan pada Lampiran 15. Efek Parameter Pemotongan terhadap Torsi Pengeprasan Tebu Beberapa parameter pemotongan yang digunakan dalam percobaan pengukuran torsi pengeprasan rumpun tunggul tebu terdiri atas (1) jenis mata piring, () kecepatan maju pemotongan, (3) kecepatan putar piring, dan (4) sudut kemiringan piring yang terdiri atas disk angle dan tilt angle. Efek Jenis Mata Piring Pengeprasan rumpun tunggul tebu menggunakan piring pengolah tanah dengan mata piring bentuk coak atau garu piring menghasilkan torsi yang lebih rendah dibandingkan dengan pengeprasan menggunakan piring pengolah tanah dengan mata piring bentuk rata atau bajak piring (Gambar 64). Torsi pengeprasan rumpun tunggul tebu menggunakan garu piring memiliki nilai hampir 3 kali lebih kecil dibandingkan dengan torsi pengeprasan menggunakan bajak piring. Rendahnya torsi pengeprasan tunggul tebu yang dihasilkan oleh garu piring tersebut disebabkan oleh pola pemotongan secara bertahap yang dilakukan oleh mata garu piring yang memiliki bentuk coak. Pola pemotongan yang identik dengan menggergaji tersebut membutuhkan gaya tekan atau gaya penetrasi yang lebih rendah dibandingkan dengan pemotongan secara kontinyu menggunakan bajak piring. Coakan pada mata garu piring tersebut juga mengakibatkan gesekan antara mata piring dan permukaan potong tunggul tebu pada saat pemotongan semakin kecil, sehingga torsi pemotongannya juga lebih rendah.

26 Mata Piring Bentuk Rata (Bajak Piring) Mata Piring Bentuk Coak (Garu Piring) Torsi Pengeprasan (N m) V1N1DA1TA1 V1N1DA1TA V1N1DA1TA3 V1N1DATA1 V1N1DATA V1N1DATA3 V1N1DA3TA1 V1N1DA3TA V1N1DA3TA3 V1NDA1TA1 V1NDA1TA V1NDA1TA3 V1NDATA1 V1NDATA V1NDATA3 V1NDA3TA1 V1NDA3TA V1NDA3TA3 VN1DA1TA1 VN1DA1TA VN1DA1TA3 VN1DATA1 VN1DATA VN1DATA3 VN1DA3TA1 VN1DA3TA VN1DA3TA3 VNDA1TA1 VNDA1TA VNDA1TA3 VNDATA1 VNDATA VNDATA3 VNDA3TA1 VNDA3TA VNDA3TA3 Keterangan: Komb. Perlakuan V1N1DA1TA1 V1N1DA1TA V1N1DA1TA3 V1N1DATA1 V1N1DATA V1N1DATA3 V1N1DA3TA1 V1N1DA3TA V1N1DA3TA3 Torsi bajak piring Torsi garu piring Komb. Perlakuan V1NDA1TA1 V1NDA1TA V1NDA1TA3 V1NDATA1 V1NDATA V1NDATA3 V1NDA3TA1 V1NDA3TA V1NDA3TA3 Torsi bajak piring Torsi garu piring Komb. Perlakuan VN1DA1TA1 VN1DA1TA VN1DA1TA3 VN1DATA1 VN1DATA VN1DATA3 VN1DA3TA1 VN1DA3TA VN1DA3TA3 Torsi bajak piring Torsi garu piring Komb. Perlakuan VNDA1TA1 VNDA1TA VNDA1TA3 VNDATA1 VNDATA VNDATA3 VNDA3TA1 VNDA3TA VNDA3TA3 Torsi bajak piring Torsi garu piring Gambar 64 Besarnya torsi pengeprasan rumpun tunggul tebu yang dihasilkan oleh mata piring bentuk rata atau bajak piring ( ) dan mata piring bentuk coak atau garu piring ( ) pada sejumlah kombinasi perlakuan.

27 8 Efek Kecepatan Maju Kecepatan maju memiliki efek yang signifikan terhadap torsi pengeprasan rumpun tebu. Semakin tinggi kecepatan maju pemotongan maka torsi yang dihasilkan juga semakin besar. Gambar 65 menunjukkan bahwa pada kecepatan maju.3 m s -1, piring bentuk coak atau garu piring menghasilkan torsi pengeprasan yang lebih tinggi dibandingkan dengan torsi pengeprasan pada kecepatan maju.15 m s -1. Hal tersebut disebabkan pada kecepatan maju yang lebih tinggi menghasilkan feed pemotongan yang lebih besar sehingga gaya dan torsi yang diperlukan untuk pengeprasan juga meningkat. Torsi Pengeprasan (N m) JPN1DA1TA1 JPN1DATA1 JPN1DA1TA JPN1DA1TA3 JPN1DATA JPN1DATA3 JPN1DA3TA3 JPN1DA3TA1 JPN1DA3TA JPNDA1TA1 JPNDATA1 JPNDA1TA JPNDA1TA3 V=.15 m/det JPNDATA JPNDATA3 V=.3 m/det JPNDA3TA3 JPNDA3TA1 JPNDA3TA Gambar 65 Besarnya torsi pengeprasan rumpun tunggul tebu menggunakan mata piring bentuk coak (garu piring) dengan kecepatan maju.15 m s -1 ( ) dan.3 m s -1 ( ) pada sejumlah kombinasi perlakuan. Pada piring bentuk rata, efek kecepatan maju pemotongan terhadap torsi pengeprasan memberikan hasil yang kurang konsisten (Gambar 66). Contoh hasil percobaan yang tidak konsisten tersebut diantaranya adalah percobaan dengan kombinasi perlakuan JP 1 V 1 N 1 D A1 T A1 yang menghasilkan torsi pengeprasan lebih tinggi (5.54 N m) dibandingkan dengan kombinasi perlakuan JP 1 V N 1 D A1 T A1 yang menghasilkan torsi pengeprasan sebesar (36.55 N m). Torsi pengeprasan untuk kombinasi perlakuan yang lain yakni JP 1 V 1 N D A3 T A3 adalah N m, sedangkan untuk JP 1 V N D A3 T A3 sebesar N m. Data tersebut menunjukkan bahwa pada kecepatan maju yang lebih rendah (V 1 =.15 m s -1 ) justru menghasilkan torsi pengeprasan yang lebih tinggi. Hal tersebut diduga akibat kurang konsistennya kecepatan maju traktor pada saat percobaan berlangsung dan kurang seragamnya ukuran dan posisi tunggul tebu yang terdapat pada setiap rumpun tebu

28 83 pada percobaan yang menggunakan bajak piring tersebut. Rendahnya tingkat keseragaman antar rumpun tunggul tebu tersebut diindikasikan oleh tingginya nilai simpangan baku (standard deviation) data torsi hasil percobaan. Simpangan baku rata-rata untuk data torsi pengeprasan menggunakan mata piring bentuk rata atau bajak piring adalah 5.5, sedangkan untuk mata piring bentuk coak atau garu piring adalah.9. Torsi Pengeprasan (N m) JP1N1DA1TA1 JP1N1DA1TA JP1N1DA1TA3 JP1N1DATA1 JP1N1DATA JP1N1DATA3 JP1N1DA3TA1 JP1N1DA3TA JP1N1DA3TA3 JP1NDA1TA1 V=.15 m/det JP1NDA1TA JP1NDA1TA3 JP1NDATA1 JP1NDATA V=.3 m/det JP1NDATA3 JP1NDA3TA1 JP1NDA3TA JP1NDA3TA3 Gambar 66 Besarnya torsi pengeprasan rumpun tunggul tebu menggunakan mata piring bentuk rata (bajak piring) dengan kecepatan maju.15 m s -1 ( ) dan.3 m s -1 ( ) pada sejumlah kombinasi perlakuan. Efek Kecepatan Putar Pisau Gambar 67 memperlihatkan bahwa pada kecepatan putar piring 1 rpm (N ) menghasilkan torsi pengeprasan yang lebih rendah dibandingkan dengan torsi pengeprasan pada kecepatan putar piring 5 rpm (N 1 ). Torsi Pengeprasan (N m) JPV1DA1TA1 JPV1DA1TA JPV1DA1TA3 JPV1DATA1 JPV1DA3TA1 JPV1DATA JPV1DATA3 N1=5 rpm N=1 rpm JPVDA1TA1 JPV1DA3TA JPV1DA3TA3 JPVDATA1 JPVDA1TA JPVDA1TA3 JPVDA3TA1 JPVDATA JPVDATA3 JPVDA3TA JPVDA3TA3 Gambar 67 Besarnya torsi pengeprasan rumpun tunggul tebu menggunakan piring bentuk coak (garu piring) dengan kecepatan putar piring 5 rpm ( ) dan 1 rpm ( ) pada sejumlah kombinasi perlakuan.

29 84 Hasil penelitian tersebut memperkuat penelitian Suharyatun () dan Suastawa et al. (3) yang mengungkapkan bahwa pada kecepatan putar pisau yang yang lebih tinggi menghasilkan torsi pemotongan yang semakin rendah. Hal tersebut disebabkan pada kecepatan putar pisau yang lebih tinggi menghasilkan feed pemotongan yang semakin kecil sehingga torsi yang diperlukan untuk pengeprasan tunggul tebu juga semakin rendah. Efek Disk Angle Disk angle merupakan sudut kemiringan piring terhadap arah gerakan maju pemotongan (bidang XY). Gambar 68 menunjukkan efek disk angle terhadap rataan torsi pengeprasan rumpun tunggul tebu pada beberapa kombinasi parameter kecepatan maju (V) dan kecepatan putar (N) untuk tiga level tilt angle (T A ) yakni 15 o, o, dan 5 o. Data rataan torsi tersebut secara lengkap disajikan pada Lampiran 16. Pada ketiga tingkatan tilt angle tersebut torsi pengeprasan rumpun tunggul tebu cenderung meningkat seiring dengan meningkatnya disk angle. Pada disk angle yang lebih tinggi menghasilkan lebar pemotongan yang lebih besar sehingga gaya dorong piring ke arah maju juga semakin besar. Hal tersebut mengakibatkan torsi dan gaya pemotongan juga meningkat. 18 Torsi Pengeprasan (N m) TA=15 TA= TA= Disk Angel (derajad) Gambar 68 Efek disk angle terhadap torsi pengeprasan rumpun tunggul tebu pada tiga level tilt angle. Hasil tersebut memperkuat penelitian Persson (1987) yang mengungkapkan bahwa pada sudut kemiringan pisau (ANO) yang lebih besar mengakibatkan gaya pemotongan spesifik juga meningkat. ANO tersebut memiliki posisi sudut referensi yang sedikit berbeda dengan disk angle, meskipun kedua sudut

30 85 kemiringan tersebut (ANO dan disk angle) mengandung pengertian yang sama. Referensi ANO pada penelitian yang dilakukan Persson (1987) menempatkan sudut o pada sumbu Y (vertikal), sedangkan untuk disk angle sudut o dimulai dari sumbu X (horisontal). Efek Tilt Angle Tilt angle merupakan sudut kemiringan piring terhadap sumbu vertikal (bidang XZ). Gambar 69 menunjukkan efek tilt angle terhadap torsi pengeprasan rumpun tunggul tebu pada beberapa kombinasi parameter kecepatan maju (V) dan kecepatan putar (N) untuk tiga level disk angle (D A ) yakni 35 o, 4 o, dan 45 o. Data rataan torsi tersebut secara lengkap disajikan pada Lampiran 17. Pada ketiga tingkatan disk angle tersebut torsi pengeprasan rumpun tunggul tebu cenderung meningkat seiring dengan meningkatnya tilt angle. Pada tilt angle yang lebih tinggi menghasilkan permukaan kontak antara bagian belakang piring dan permukaan potong tunggul tebu yang semakin besar sehingga gaya untuk mengatasi gesekan juga meningkat. Hal tersebut mengakibatkan torsi dan gaya pemotongan juga semakin meningkat seiring dengan besarnya tilt angle. 18 Torsi Pengeprasan (N m) DA=35 DA=4 DA= Tilt Angel (derajad) Gambar 69 Efek tilt angle terhadap torsi pengeprasan rumpun tunggul tebu pada tiga level disk angle. Hasil tersebut memperkuat temuan Gordon (1941) diacu dalam Kepner et al. (197) yang mengungkapkan bahwa pada pemotongan tanah menggunakan bajak piring dengan disk angle 45 o draft mengalami peningkatan secara linier seiring dengan meningkatnya tilt angle dari 15 o sampai 5 o. Draft yang tinggi mengindikasikan bahwa reaksi tanah untuk melawan gerakan maju dari bajak

31 86 piring tersebut juga tinggi. Hal tersebut dapat ditafsirkan bahwa apabila bajak piring tersebut diputar maka gaya putar yang diperlukan juga semakin meningkat sehingga torsi yang dibutuhkan juga semakin besar. Model Matematika Gaya Pemotongan Satu Tunggul Tebu Model matematika untuk menduga gaya pemotongan satu tunggul tebu (F MT ) varietas PA 198 menggunakan piring bentuk rata (bajak piring) yang diputar terdiri atas F MT berdasarkan luas lintasan pemotongan (A T ) dan panjang mata bajak piring yang memotong tunngul tebu (L T ). Persamaan untuk pendugaan gaya tersebut secara lengkap dinyatakan sebagai berikut: F MT 1 a b 1 cos ( ) sin ( ) θ 1.15 b DA θ + a DA θ = +.99 dθ θ1 1 ( cos sin ) ( cos sin ) ( )) h θ + k θ ± h θ + k θ h + k r (47) F = (48) MT L T Model matematika untuk pendugaan gaya pemotongan satu tunggul tebu varietas PA 198 yang dipotong menggunakan piring bentuk coak atau garu piring dapat dituliskan sebagai berikut: F MT 1 a b θ 1 cos ( ) sin ( ).8 b DA θ + a DA θ = +. dθ θ1 1 ( cos sin ) (( cos sin ) ( )) h θ + k θ ± h θ + k θ h + k r (49) F = (5) MT L T Dalam persamaan tersebut a = sumbu mayor elips (mm), b = sumbu minor elips (mm), h = jarak pergeseran pusat penampang tunggul tebu sejajar sumbu X (mm), k = jarak pergeseran pusat penampang tunggul tebu sejajar sumbu Y (mm), dan r = radius penampang tunggul tebu (mm).

32 87 Perbedaan dari keempat model pendugaan gaya pemotongan tersebut terletak pada nilai tahanan potong spesifik tunggul tebu (σ) dan intersep (C). Pada model pendugaan gaya pemotongan berdasarkan luas pemotongan, piring bentuk rata atau bajak piring memiliki nilai σ = 1.15 N mm - dan C =.99 N, sedangkan yang menggunakan piring bentuk coak atau garu piring nilai σ =.8 N mm - dan C =. N. Model pendugaan gaya pemotongan berdasarkan panjang mata piring yang memotong tunggul tebu (L T ) untuk bajak piring memiliki nilai σ =.94 N mm -1 dan C = 1.7 N, sedangkan yang menggunakan garu piring memiliki nilai σ =.73 N mm -1 dan C =.95 N. Validasi Model Pendugaan Gaya Pemotongan Satu Tunggul Tebu Model matematika untuk menduga gaya pemotongan satu tunggul tebu berdasarkan luas pemotongan (persamaan 47 dan 49) dan panjang mata piring yang memotong tunggul tebu (persamaan 48 dan 5) kemudian digunakan untuk menduga gaya pengeprasan rumpun tunggul tebu (F MR ) yang terdiri atas beberapa tunggul dengan diameter dan posisi yang berbeda. Pada model pendugaan gaya pengeprasan rumpun tungul tebu, luas potong rumpun tunggul tebu (A R ) merupakan gabungan dari luas sejumlah tunggul tebu yang secara bersamaan terpotong oleh mata piring, sedangkan panjang mata piring yang memotong rumpun tebu (L R ) merupakan gabungan dari panjang garis mata bajak piring atau garu piring yang secara bersamaan memotong tunggul tebu. Gambar 7 mengilustrasikan contoh posisi garis mata bajak piring atau garu piring yang berbentuk elips dan posisi penampang tiap-tiap tunggul tebu pada saat pemotongan satu rumpun tunggul tebu. Rumpun tebu tersebut terdiri atas enam tunggul tebu dengan diameter tunggul I= 3.3 cm, II= 3. cm, III = 3.1 cm, IV= 3. cm, V=.5 cm, dan VI= 1.8 cm. Posisi pusat penampang tunggul tebu terhadap titik referensi atau pusat piring diindikasikan oleh nilai h dan k. Posisi tiap-tiap tunggul tebu tersebut dinyatakan sebagai berikut: (1) tunggul I h=89 mm dan k=55 mm, tunggul II h=84 mm dan k=9 mm, tunggul III h=19 mm dan k=5 mm, tunggul IV h=119 mm dan k=9 mm, tunggul V h=163 mm dan k=59 mm, dan tunggul VI h=184 mm dan k=75 mm.

33 88 Y Garis mata piring Posisi garis mata piring saat mulai memotong X Posisi garis mata piring saat pemotongan terakhir Gambar 7 Posisi garis mata piring dan penampang tunggul tebu pada saat pengeprasan rumpun tunggul tebu yang terdiri atas enam tunggul tebu. Hasil pendugaan gaya pemotongan pada pengeprasan rumpun tebu yang terdiri atas tiga tunggul tebu dengan menggunakan piring bentuk rata (bajak piring) berdasarkan luas pemotongan menunjukkan bahwa gaya hasil pendugaan memiliki pola yang mendekati dengan gaya hasil pengukuran (Gambar 71). 14 Garis mata piring 1 Gaya Pemotongan (N) Hasil Pengukuran Hasil Pendugaan Waktu Tempuh (detik) Gambar 71 Pola gaya hasil pendugaan berdasarkan luas pemotongan dan hasil pengukuran pada pengeprasan rumpun tebu varietas PA 198 yang terdiri atas tiga tunggul tebu menggunakan bajak piring.

34 89 Diameter tunggul tebu yang digunakan pada pengukuran gaya pemotongan tersebut adalah tunggul pertama 3.5 cm, kedua 3.1 cm, dan ketiga sebesar.7 cm. Pada saat pemotongan hampir melewati tunggul tebu yang pertama, gaya pemotongan tersebut mengalami penurunan. Turunnya gaya tersebut disebabkan oleh semakin kecilnya luas pemotongan pada bagian pinggir tunggul tebu. Namun demikian, penurunan gaya tersebut tidak sampai mendekati nol karena pada saat mata pirring hampir melewati tunggul pertama, mata bajak piring tersebut juga mulai memotong tunggul kedua. Pada saat mata bajak piring melewati setengah (separoh) dari tunggul kedua, mata bajak tersebut mulai memotong tunggul tebu yang ketiga sehingga luas pemotongannya semakin besar dan mengakibatkan gaya pemotongan meningkat secara tajam. Gaya pemotongan mengalami penurunan lagi setelah mata bajak piring melewati tunggul tebu yang kedua dan ketiga. Hasil pendugaan gaya pemotongan pada pengeprasan rumpun tebu yang terdiri atas tiga tunggul tebu dengan menggunakan piring bentuk rata (bajak piring) berdasarkan panjang mata piring yang memotong rumpun tebu menunjukkan bahwa gaya hasil pendugaan memiliki pola yang mendekati dengan gaya hasil pengukuran (Gambar 7). 14 Garis mata piring 1 Gaya Pemotongan (N) Hasil Pengukuran Hasil Pendugaan Waktu Tempuh (detik) Gambar 7 Pola gaya hasil pendugaan berdasarkan panjang pemotongan dan hasil pengukuran pada pengeprasan rumpun tebu varietas PA 198 yang terdiri atas tiga tunggul tebu menggunakan bajak piring. Hasil pendugaan gaya pemotongan berdasarkan luas pemotongan pada pengeprasan rumpun tebu yang terdiri atas enam tunggul tebu juga menunjukkan

35 9 pola yang mendekati dengan gaya hasil pengukuran (Gambar 73a). Plot antara gaya hasil pendugaan (x) dan gaya hasil pengukuraan (y) menunjukkan bahwa data (x,y) tersebut memiliki sebaran yang mendekati garis y=x (Gambar 73b). ) Gaya Pe moto ng an ( N (a) Garis mata piring Susunan 1 tunggul tebu Gaya Hasil Pengukuran Gaya Hasil Pendugaan Waktu Tempuh (detik) Gaya Hasil Pengukuran (N) (b) y = x Gaya Hasil Pendugaan (N) Gambar 73 Pola gaya hasil pendugaan berdasarkan luas pemotongan dan hasil pengukuran (a) dan perbandingan antara gaya hasil pendugaan dan hasil pengukuran (b) pada pengeprasan rumpun tunggul tebu varietas PA 198 yang terdiri atas enam tunggul tebu. Pendugaan gaya pemotongan berdasarkan panjang mata piring yang memotong tunggul tebu pada pengeprasan rumpun tebu yang terdiri atas enam tunggul tebu tersebut juga menunjukkan pola yang mendekati dengan gaya hasil pengukuran (Gambar 74). Gaya Pemotongan (N) Garis mata piring Hasil Pengukuran Hasil Pendugaan Waktu Tempuh (detik) Susunan tunggul tebu Gambar 74 Pola gaya hasil pendugaan berdasarkan panjang pemotongan dan hasil pengukuran pada pengeprasan rumpun tebu varietas PA 198 yang terdiri atas enam tunggul tebu menggunakan bajak piring.

36 91 Dari hasil pendugaan gaya pemotongan berdasarkan luas lintasan dan panjang mata bajak piring yang memotong rumpun tunggul tebu tersebut dapat ditafsirkan bahwa model matematika yang telah dikembangkan dapat menduga dengan baik terhadap gaya pengeprasan rumpun tebu yang terdiri atas sejumlah tunggul tebu dengan diameter dan posisi yang berbeda. Hal tersebut diindikasikan oleh pola sebaran data gaya hasil model matematika dan hasil pengukuran yang mendekati garis y=x (Gambar 73b). Namun demikian model matematika tersebut masih kurang presisi karena plot antara gaya hasil model dan hasil pengukuran tidak terletak pada posisi satu garis dengan garis y=x. Pendugaan gaya pemotongan berdasarkan luas pemotongan dan panjang pemotongan pada pengeprasan rumpun tebu menggunakan mata piring bentuk coak atau garu piring dilakukan menggunakan persamaan (49) dan (5). Hasil pendugaan berdasarkan luas lintasan pemotongan memiliki pola yang mendekati dengan hasil pengukuran (Gambar 75a), sedangkan pendugaan dengan panjang pemotongan menghasilkan gaya yang lebih rendah dibandingkan dengan hasil pengukuran (Gambar 75b). Rumpun tunggul tebu yang digunakan pada pengukuran tersebut terdiri atas tiga tunggul tebu dengan diameter tunggul pertama.9 cm, kedua 3. cm, dan ketiga sebesar 3.1 cm. Gaya Pemotongan (N) (a) Garis mata piring Hasil Pengukuran Hasil Pendugaan Waktu Tempuh (detik) III II I Gaya Pemotongan (N) Gambar 75 Pola gaya hasil pendugaan berdasarkan luas (a) dan panjang pemotongan (b) dibandingkan dengan gaya hasil pengukuran pada pengeprasan rumpun tebu varietas PA 198 yang terdiri atas tiga tunggul tebu menggunakan piring bentuk coak (garu piring). Pendugaan berdasarkan luas pemotongan pada pengeprasan rumpun tebu yang terdiri atas empat tunggul tebu juga memperlihatkan pola yang mendekati (b) Garis mata piring Hasil Pengukuran Hasil Pendugaan Waktu Tempuh (detik) III II I

37 9 antara gaya pemotongan hasil model matematika dan hasil pengukuran (Gambar 76a), sedangkan pendugaan menggunakan panjang pemotongan menghasilkan gaya yang lebih rendah dibandingkan dengan hasil pengukuran (Gambar 76b). Diameter tunggul tebu yang digunakan pada pengukuran tersebut adalah 3.6 cm untuk tunggul pertama, kedua, dan ketiga, sedangkan tunggul tebu yang keempat memiliki diameter sebesar 3. cm. Gaya Pemotongan (N) 9 Garis mata piring 8 I II 7 III IV Hasil Pengukuran 1 Hasil Pendugaan Gaya Pemotongan (N) Garis mata piring Hasil Pengukuran 1 Hasil Pendugaan III I IV II (a) Waktu Tempuh (detik) (b) Waktu Tempuh (detik) Gambar 76 Pola gaya hasil pendugaan berdasarkan luas (a) dan panjang pemotongan (b) dibandingkan dengan gaya hasil pengukuran pada pengeprasan rumpun tebu varietas PA 198 yang terdiri atas empat tunggul tebu menggunakan piring bentuk coak (garu piring). Gaya pemotongan hasil pendugaan berdasarkan panjang pemotongan untuk rumpun tebu yang terdiri atas tiga dan empat tunggul tebu memiliki pola yang lebih rendah dibandingkan dengan hasil pengukuran (Gambar 75b dan 76b). Hal tersebut disebabkan oleh nilai gaya pemotongan spesifik yang digunakan dalam pendugaan tersebut (.73 N mm -1 ) sedikit berbeda dengan nilai gaya pemotongan spesifik yang dibutuhkan oleh tunggul tebu dalam rumpun tersebut. Dalam kasus tersebut hasil pendugaan gaya pemotongan dapat mendekati hasil pengukuran apabila gaya pemotongan spesifik yang digunakan sebesar.99 N mm -1. Gaya pemotongan hasil pendugaan berdasarkan luas lintasan pemotongan pada pengeprasan rumpun tebu varietas PA 198 yang terdiri atas enam tunggul tebu menggunakan piring bentuk coak atau garu piring juga memiliki pola yang mirip dengan gaya hasil pengukuran (Gambar 77a). Hasil pendugaan tersebut juga menunjukkan bahwa model matematika gaya pemotongan menghasilkan nilai

38 93 dugaan yang lebih besar dibandingkan dengan hasil pengukuran (Gambar 77b). Diameter tunggul tebu yang digunakan pada pengukuran tersebut adalah: tunggul I=3.1 cm, II=.9 cm, III=3. cm, IV=.6 cm, V=.8 cm, dan VI=.5 cm. Gaya Pemotongan (N) Garis mata piring 1 Gaya Hasil Pengukuran Gaya Hasil Pendugaan I II III IV V VI Gaya Hasil Pengukuran (N) 6 y = x (a) Waktu Tempuh (detik) (b) Gaya Hasil Pendugaan (N) Gambar 77 Pola gaya hasil pendugaan berdasarkan luas pemotongan dan hasil pengukuran (a) dan perbandingan antara gaya hasil pendugaan dan hasil pengukuran (b) pada pengeprasan rumpun tunggul tebu menggunakan piring bentuk coak (garu piring). Pendugaan gaya pemotongan berdasarkan panjang mata piring yang memotong tunggul tebu pada pengeprasan rumpun tebu yang terdiri atas enam tunggul tebu menggunakan garu piring juga menunjukkan pola yang mendekati dengan gaya hasil pengukuran (Gambar 78). Gaya Pemotongan (N) Garis mata piring 1 Gaya Hasil Pengukuran Gaya Hasil Pendugaan I II III IV V VI Waktu Tempuh (detik) Gambar 78 Pola gaya hasil pendugaan berdasarkan panjang pemotongan dan hasil pengukuran pada pengeprasan rumpun tebu varietas PA 198 yang terdiri atas enam tunggul tebu menggunakan garu piring.

39 94 Hasil validasi tersebut menunjukkan bahwa model pendugaan gaya pemotongan tunggul tebu berdasarkan luas lintasan pemotongan (persamaan 47 dan 49) dan panjang mata piring yang memotong tunggul tebu (persamaan 48 dan 5) yang telah dikembangkan dapat digunakan untuk menduga gaya pemotongan dengan baik pada pengeprasan rumpun tunggul tebu yang terdiri atas sejumlah tunggul tebu dengan posisi dan diameter tunggul yang berbeda. Namun demikiaan model tersebut belum menghasilkan pendugaan yang presisi karena plot antara gaya hasil pendugaan dan hasil pengukuran tidak terletak pada satu garis dengan garis y=x (Gambar 73b dan 77b). Garis y=x ditafsirkan sebagai posisi data gaya pemotongan hasil pendugaan sama dengan hasil pengukuran. Kurang presisinya model matematika tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya (1) bentuk penampang tunggul tebu dalam model diasumsikan lingkaran sempurna, sedangkan dalam pengukuran tidak demikian, () parameter-parameter lain dalam pemotongan seperti ketajaman, kecepatan maju, dan kecepatan putar masih dianggap sebagai konstanta dan belum diuraikan secara terperinci dalam model matematika tersebut, dan (3) kadar air dan posisi kemiringan tunggul tebu belum dimasukkan sebagai parameter dalam model matematika tersebut. Di samping beberapa kekurangan tersebut, model matematika yang dikembangkan berdasarkan luas pemotongan juga memiliki kelebihan, di antaranya: (1) model pendugaan tersebut mudah diterapkan, yakni dengan diketahuinya diameter, jumlah, dan susunan tunggul tebu maka gaya pengeprasan tunggul tebu sudah dapat ditentukan, () model tersebut telah menjabarkan secara rinci mengenai kinematika dari bajak piring yang diputar dengan melibatkan parameter radius mata piring (R), kecepatan maju pemotongan (V), kecepatan putar piring (N), tillt angle (T A ), disk angle (D A ), jumlah mata atau coakan pada garu piring (k). Identifikasi Hasil Uji Pengeprasan Tunggul Tebu Hasil pengeprasan tunggul tebu menggunakan piring pengolah tanah bentuk rata (bajak piring) yang diputar pada kecepatan maju yang lebih tinggi dan ketinggian potong di atas permukaan guludan menghasilkan permukaan potong yang pecah pada bagian tepi tunggul tebu (Gambar 79). Pecahnya bagian tepi tunggul tebu tersebut disebabkan oleh batang atau tunggul tebu yang terdorong atau terseret oleh gerakan maju bajak piring. Fenomena tersebut hampir identik

40 95 dengan patahnya bagian tepi dari suatu material yang getas pada saat pemotongan dengan cara menggergaji hampir selesai. Gambar 79 Hasil pengeprasan tunggul tebu menggunakan bajak piring pada kecepatan maju yang lebih tinggi (V =3 cm s -1 ) dengan posisi ketinggian potong di atas permukaan guludan. Pengeprasan tunggul tebu menggunakan bajak piring yang diputar dengan kecepatan maju yang lebih rendah (V 1 =15 cm s -1 ) pada posisi ketinggian potong rata dengan permukaan guludan menghasilkan permukaan potong tunggul tebu yang relatif halus dan tidak pecah (Gambar 8). Hal tersebut disebabkan pada kecepatan maju yang lebih rendah tunggul tebu tersebut tidak terseret oleh gerakan maju bajak piring. Gambar 8 Hasil pengeprasan tunggul tebu menggunakan bajak piring pada kecepatan maju yang lebih rendah (V 1 =.15 m s -1 ) dengan posisi ketinggian potong rata dengan permukaan guludan. Hasil pengeprasan rumpun tunggul tebu menggunakan piring pengolah tanah bentuk coak (garu piring) yang diputar secara umum menghasilkan permukaan potong yang tidak pecah namun tidak sehalus yang dihasilkan oleh piring bentuk rata atau bajak piring (Gambar 81). Dalam percobaan pengeprasan

41 96 menggunakan piring bentuk coak atau garu piring tersebut memang terdapat beberapa tunggul tebu yang pecah, tetapi pecahnya tunggul tebu tersebut diduga lebih disebabkan oleh kondisi bahan percobaan yang sebagian sudah terlalu getas. Pengeprasan menggunakan garu piring tersebut pada prinsipnya identik dengan menggergaji sehingga membutuhkan gaya pemotongan yang relatif rendah dan menghasilkan permukaan potong tunggul tebu yang tidak pecah. Gambar 81 Contoh hasil pengeprasan tunggul tebu menggunakan piring bentuk coak atau garu piring dengan jumlah mata garu (coakan) 1 buah. Pertumbuhan Tebu Hasil Uji Pengeprasan Pada umur tanam dari 4 sampai 14 minggu setelah tanam, tebu hasil uji pengeprasan menggunakan piring pengolah tanah yang diputar memiliki laju perkembangan jumlah tunas atau anakan yang relatif rendah, sedangkan pada saat umur tanam mencapai lebih dari 14 minggu, tanaman tersebut menunjukkan laju perkembangan jumlah tunas yang cukup meningkat (Gambar 8). Lambatnya laju pertambahan jumlah tunas tersebut disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya: (1) rumpun tunggul tebu yang diambil dari lahan PG Jatitujuh masih perlu penyesuaian iklim dan lingkungan tumbuh yang lebih lama terhadap lingkungan di daerah Darmaga, Bogor, () pada saat uji pengeprasan, rumpun tebu tersebut mendapat cekaman yang sangat kuat dari pengikat tunggul sehingga memungkinkan terjadi kerusakan pada mata tunas tunggul tebu, (3) rumpun tunggul tebu tersebut merupakan hasil keprasan ketiga di PG Jatitujuh, sehingga setelah pengeprasan di Laboratorium tanaman tebu tersebut merupakan keprasan yang keempat (R 4 ), dan (4) pemupukan pada tanaman tebu tersebut hanya dilakukan satu kali pada saat tebu berumur 4 minggu setelah tanam.

42 Rataan Jumlah Tunas Umur Tanaman (Minggu) Gambar 8 Perkembangan jumlah tunas atau anakan pada tanaman tebu hasil uji pengeprasan menggunakan piring pengolah tanah yang diputar. Parameter laju pertumbuhan tanaman tebu yang yang lain seperti panjang batang, panjang daun, dan tinggi tanaman tebu hasil uji pengeprasan hingga mencapai umur 16 minggu setelah tanam menunjukkan pola perkembangan yang terus meningkat (Gambar 83) Tinggi Tebu Panjang Daun Panjang Batang Satuan Pengukuran (cm) Minggu Setelah Tanam Gambar 83 Perkembangan panjang batang, panjang daun, dan tinggi tanaman tebu hasil uji pengeprasan hingga umur 16 minggu setelah tanam. Gambar 84 menunjukkan kondisi tanaman tebu hasil uji pengeprasan pada saat berumur 6 dan 16 minggu setelah tanam. Pada saat berumur 6 minggu, tanaman tebu tersebut memiliki tinggi yang cenderung tidak seragam (Gambar

43 98 84a). Tinggi tanaman yang relatif seragam terjadi pada saat tebu tersebut telah mencapai umur 16 minggu setelah tanam (Gambar 84b). (a) (b) Gambar 84 Kondisi lapang tanaman tebu hasil uji pengeprasan pada saat berumur 6 minggu (a) dan 16 minggu (b) setelah tanam. Secara umum, terdapat beberapa kombinasi parameter pemotongan yang menghasilkan torsi pemotongan yang relatif rendah dengan permukaan potong tunggul tebu yang tidak pecah. Torsi pemotongan terendah (6.79 N m) pada pengeprasan tebu menggunakan piring pengolah tanah yang diputar dihasilkan oleh kombinasi parameter pemotongan yang terdiri atas jenis mata piring bentuk coak (garu piring), kecepatan putar (N) 1 rpm, kecepatan maju (V).15 m s -1, disk angle (D A ) 35 o, dan tilt angle (T A ) o. Tabel 9 menunjukkan beberapa kombinasi parameter pemotongan yang menghasilkan torsi pemotongan yang relatif rendah pada pengeprasan tebu menggunakan garu piring yang diputar. Tabel 9 Kombinasi parameter pemotongan dari piring bentuk coak (garu piring) yang menghasilkan torsi pemotongan relatif rendah No Uji Kombinasi Parameter Torsi Pemotongan Pemotongan (N m) 47 V 1 N D A1 T A V 1 N D A3 T A V 1 N D A T A V 1 N D A3 T A V N D A3 T A V N D A1 T A 8.9 Apabila dikaitkan dengan kemungkinan penerapannya di lapangan, hasil penelitian tersebut memiliki kapasitas lapangan pengeprasan yang cukup tinggi. Kapasitas lapangan pada pengeprasan tebu tersebut sangat dipengaruhi oleh

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Alat dan Bahan Penelitian Alat dan Bahan untuk Penelitian Pendahuluan

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Alat dan Bahan Penelitian Alat dan Bahan untuk Penelitian Pendahuluan 37 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian pendahuluan mengenai bentuk dan dimensi guludan tanaman keprasan, tahanan penetrasi dan tahanan geser tanah, gaya cabut satu rumpun tunggul tebu

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Tanaman tebu untuk keperluan industri gula dibudidayakan melalui tanaman pertama atau plant cane crop (PC) dan tanaman keprasan atau ratoon crop (R). Tanaman keprasan merupakan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Budidaya Tanaman Tebu Ratoon

TINJAUAN PUSTAKA Budidaya Tanaman Tebu Ratoon TINJAUAN PUSTAKA Budidaya Tanaman Tebu Ratoon Saat ini proses budidaya tebu terdapat dua cara dalam penanaman. Pertama dengan cara Plant Cane dan kedua dengan Ratoon Cane. Plant Cane adalah tanaman tebu

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan pada bulan Nopember 2010 September 2011. Perancangan dan pembuatan prototipe serta pengujian mesin kepras tebu dilakukan di Laboratorium Teknik

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Konstruksi Mesin Secara keseluruhan mesin kepras tebu tipe rotari terdiri dari beberapa bagian utama yaitu bagian rangka utama, bagian coulter, unit pisau dan transmisi daya (Gambar

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Simulasi putaran/mekanisme pisau pemotong tebu (n:500 rpm, v:0.5 m/s, k: 8)

METODE PENELITIAN. Simulasi putaran/mekanisme pisau pemotong tebu (n:500 rpm, v:0.5 m/s, k: 8) III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret sampai Juli 2011 di Laboratorium Lapangan Departemen Teknik Mesin dan Biosistem. Pelaksanaan penelitian terbagi

Lebih terperinci

EVALUASI PARAMETER DESAIN PIRING PENGOLAH TANAH DIPUTAR UNTUK PENGEPRAS TEBU LAHAN KERING

EVALUASI PARAMETER DESAIN PIRING PENGOLAH TANAH DIPUTAR UNTUK PENGEPRAS TEBU LAHAN KERING EVALUASI PARAMETER DESAIN PIRING PENGOLAH TANAH DIPUTAR UNTUK PENGEPRAS TEBU LAHAN KERING LISYANTO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2 0 0 7 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Tanaman Tebu

TINJAUAN PUSTAKA. A. Tanaman Tebu II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tanaman Tebu Tebu (Saccharum officinarum) merupakan tumbuhan monokotil dari famili rumputrumputan (Gramineae) yang merupakan tanaman untuk bahan baku gula. Batang tanaman tebu memiliki

Lebih terperinci

PENGUJIAN PROTOTIPE ALAT KEPRAS TEBU TIPE PIRINGAN BERPUTAR. Oleh : FERI F

PENGUJIAN PROTOTIPE ALAT KEPRAS TEBU TIPE PIRINGAN BERPUTAR. Oleh : FERI F PENGUJIAN PROTOTIPE ALAT KEPRAS TEBU TIPE PIRINGAN BERPUTAR Oleh : FERI F14103127 DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 PENGUJIAN PROTOTIPE ALAT KEPRAS

Lebih terperinci

EVALUASI PARAMETER DESAIN PIRING PENGOLAH TANAH DIPUTAR UNTUK PENGEPRAS TEBU LAHAN KERING

EVALUASI PARAMETER DESAIN PIRING PENGOLAH TANAH DIPUTAR UNTUK PENGEPRAS TEBU LAHAN KERING EVALUASI PARAMETER DESAIN PIRING PENGOLAH TANAH DIPUTAR UNTUK PENGEPRAS TEBU LAHAN KERING LISYANTO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 0 0 7 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

PENDEKATAN DESAIN Kriteria Desain dan Gambaran Umum Proses Pencacahan

PENDEKATAN DESAIN Kriteria Desain dan Gambaran Umum Proses Pencacahan PENDEKATAN DESAIN Kriteria Desain dan Gambaran Umum Proses Pencacahan Mengingat lahan tebu yang cukup luas kegiatan pencacahan serasah tebu hanya bisa dilakukan dengan sistem mekanisasi. Mesin pencacah

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Simulasi Putaran Pisau Simulasi dilakukan untuk menduga bentuk putaran yang akan terjadi pada saat melakukan pengujian. Di samping itu dari hasil simulasi ini dapat diketahui

Lebih terperinci

KINEMATIKA GERAK 1 PERSAMAAN GERAK

KINEMATIKA GERAK 1 PERSAMAAN GERAK KINEMATIKA GERAK 1 PERSAMAAN GERAK Posisi titik materi dapat dinyatakan dengan sebuah VEKTOR, baik pada suatu bidang datar maupun dalam bidang ruang. Vektor yang dipergunakan untuk menentukan posisi disebut

Lebih terperinci

UJI KINERJA ALAT KEPRAS TEBU TIPE PIRINGAN BERPUTAR (KEPRAS PINTAR) PROTOTIPE-2 RIKKY FATURROHIM F

UJI KINERJA ALAT KEPRAS TEBU TIPE PIRINGAN BERPUTAR (KEPRAS PINTAR) PROTOTIPE-2 RIKKY FATURROHIM F UJI KINERJA ALAT KEPRAS TEBU TIPE PIRINGAN BERPUTAR (KEPRAS PINTAR) PROTOTIPE-2 RIKKY FATURROHIM F14104084 2009 DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR vii UJI

Lebih terperinci

Dinamika Rotasi, Statika dan Titik Berat 1 MOMEN GAYA DAN MOMEN INERSIA

Dinamika Rotasi, Statika dan Titik Berat 1 MOMEN GAYA DAN MOMEN INERSIA Dinamika Rotasi, Statika dan Titik Berat 1 MOMEN GAYA DAN MOMEN INERSIA Dalam gerak translasi gaya dikaitkan dengan percepatan linier benda, dalam gerak rotasi besaran yang dikaitkan dengan percepatan

Lebih terperinci

KINEMATIKA. Fisika. Tim Dosen Fisika 1, ganjil 2016/2017 Program Studi S1 - Teknik Telekomunikasi Fakultas Teknik Elektro - Universitas Telkom

KINEMATIKA. Fisika. Tim Dosen Fisika 1, ganjil 2016/2017 Program Studi S1 - Teknik Telekomunikasi Fakultas Teknik Elektro - Universitas Telkom KINEMATIKA Fisika Tim Dosen Fisika 1, ganjil 2016/2017 Program Studi S1 - Teknik Telekomunikasi Fakultas Teknik Elektro - Universitas Telkom Sasaran Pembelajaran Indikator: Mahasiswa mampu mencari besaran

Lebih terperinci

BAB 3 DINAMIKA GERAK LURUS

BAB 3 DINAMIKA GERAK LURUS BAB 3 DINAMIKA GERAK LURUS A. TUJUAN PEMBELAJARAN 1. Menerapkan Hukum I Newton untuk menganalisis gaya-gaya pada benda 2. Menerapkan Hukum II Newton untuk menganalisis gerak objek 3. Menentukan pasangan

Lebih terperinci

Soal-Jawab Fisika Teori OSN 2013 Bandung, 4 September 2013

Soal-Jawab Fisika Teori OSN 2013 Bandung, 4 September 2013 Soal-Jawab Fisika Teori OSN 0 andung, 4 September 0. (7 poin) Dua manik-manik masing-masing bermassa m dan dianggap benda titik terletak di atas lingkaran kawat licin bermassa M dan berjari-jari. Kawat

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. DESAIN PENGGETAR MOLE PLOW Prototip mole plow mempunyai empat bagian utama, yaitu rangka three hitch point, beam, blade, dan mole. Rangka three hitch point merupakan struktur

Lebih terperinci

DESAIN DAN PENGUJIAN ALAT KEPRAS TEBU TIPE PIRINGAN BERPUTAR. Oleh : HAMZAH AJI SAPUTRO F

DESAIN DAN PENGUJIAN ALAT KEPRAS TEBU TIPE PIRINGAN BERPUTAR. Oleh : HAMZAH AJI SAPUTRO F DESAIN DAN PENGUJIAN ALAT KEPRAS TEBU TIPE PIRINGAN BERPUTAR Oleh : HAMZAH AJI SAPUTRO F14103078 DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007 KATA PENGANTAR Puji

Lebih terperinci

III HASIL DAN PEMBAHASAN

III HASIL DAN PEMBAHASAN Fungsi periodizer kutub tersebut dapat dituliskan pula sebagai: p θ, N, θ 0 = π N N.0 n= n sin Nn θ θ 0. () f p θ, N, θ 0 = π N N j= j sin Nj θ θ 0 diperoleh dengan menyubstitusi variabel θ pada f θ =

Lebih terperinci

UJI KINERJA ALAT KEPRAS TEBU TIPE PIRINGAN BERPUTAR (KEPRAS PINTAR) PROTOTIPE-2 RIKKY FATURROHIM F

UJI KINERJA ALAT KEPRAS TEBU TIPE PIRINGAN BERPUTAR (KEPRAS PINTAR) PROTOTIPE-2 RIKKY FATURROHIM F UJI KINERJA ALAT KEPRAS TEBU TIPE PIRINGAN BERPUTAR (KEPRAS PINTAR) PROTOTIPE-2 RIKKY FATURROHIM F141484 29 DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR vii UJI KINERJA

Lebih terperinci

SOAL DINAMIKA ROTASI

SOAL DINAMIKA ROTASI SOAL DINAMIKA ROTASI A. Pilihan Ganda Pilihlah jawaban yang paling tepat! 1. Sistem yang terdiri atas bola A, B, dan C yang posisinya seperti tampak pada gambar, mengalami gerak rotasi. Massa bola A, B,

Lebih terperinci

KINEMATIKA. A. Teori Dasar. Besaran besaran dalam kinematika

KINEMATIKA. A. Teori Dasar. Besaran besaran dalam kinematika KINEMATIKA A. Teori Dasar Besaran besaran dalam kinematika Vektor Posisi : adalah vektor yang menyatakan posisi suatu titik dalam koordinat. Pangkalnya di titik pusat koordinat, sedangkan ujungnya pada

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. TRAKTOR TANGAN Traktor tangan (hand tractor) merupakan sumber penggerak dari implemen (peralatan) pertanian. Traktor tangan ini digerakkan oleh motor penggerak dengan daya yang

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Kondisi Serasah dan Lahan Setelah Panen Tebu

HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Kondisi Serasah dan Lahan Setelah Panen Tebu HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Kondisi Serasah dan Lahan Setelah Panen Tebu Berdasarkan hasil survey lapangan di PG. Subang, Jawa barat, permasalahan yang dihadapi setelah panen adalah menumpuknya sampah

Lebih terperinci

GERAK MELINGKAR. = S R radian

GERAK MELINGKAR. = S R radian GERAK MELINGKAR. Jika sebuah benda bergerak dengan kelajuan konstan pada suatu lingkaran (disekeliling lingkaran ), maka dikatakan bahwa benda tersebut melakukan gerak melingkar beraturan. Kecepatan pada

Lebih terperinci

Kinematika Gerak KINEMATIKA GERAK. Sumber:

Kinematika Gerak KINEMATIKA GERAK. Sumber: Kinematika Gerak B a b B a b 1 KINEMATIKA GERAK Sumber: www.jatim.go.id Jika kalian belajar fisika maka kalian akan sering mempelajari tentang gerak. Fenomena tentang gerak memang sangat menarik. Coba

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI 2.1 Konsep Perencanaan 2.2 Motor 2.3 Reducer

BAB II DASAR TEORI 2.1 Konsep Perencanaan 2.2 Motor 2.3 Reducer BAB II DASAR TEORI 2.1 Konsep Perencanaan Konsep perencanaan komponen yang diperhitungkan sebagai berikut: a. Motor b. Reducer c. Daya d. Puli e. Sabuk V 2.2 Motor Motor adalah komponen dalam sebuah kontruksi

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS TEKNIK MESIN

BAB IV ANALISIS TEKNIK MESIN BAB IV ANALISIS TEKNIK MESIN A. ANALISIS PENGATUR KETINGGIAN Komponen pengatur ketinggian didesain dengan prinsip awal untuk mengatur ketinggian antara pisau pemotong terhadap permukaan tanah, sehingga

Lebih terperinci

Jika resultan dari gaya-gaya yang bekerja pada sebuah benda sama dengan nol

Jika resultan dari gaya-gaya yang bekerja pada sebuah benda sama dengan nol HUKUM I NEWTON Jika resultan dari gaya-gaya yang bekerja pada sebuah benda sama dengan nol ΣF = 0 maka benda tersebut : - Jika dalam keadaan diam akan tetap diam, atau - Jika dalam keadaan bergerak lurus

Lebih terperinci

DRAFT SPESIFIK PENGOLAHAN TANAH : TERMINOLOGI DAN KEGUNAANNYA. Santosa 1

DRAFT SPESIFIK PENGOLAHAN TANAH : TERMINOLOGI DAN KEGUNAANNYA. Santosa 1 1 DRAFT SPESIFIK PENGOLAHAN TANAH : TERMINOLOGI DAN KEGUNAANNYA Santosa 1 PENDAHULUAN Draft spesifik tanah merupakan sifat mekanik tanah yang sangat terkait dengan besarnya gaya untuk mengolah tanah tersebut,

Lebih terperinci

θ t = θ t Secara grafik θ-t : kecepatan sudut dapat ditentukan menggunakan tangen sudut kemiringan grafik terhadap sumbu t dθ dt d dt Gerak Melingkar

θ t = θ t Secara grafik θ-t : kecepatan sudut dapat ditentukan menggunakan tangen sudut kemiringan grafik terhadap sumbu t dθ dt d dt Gerak Melingkar Gerak Melingkar Posisi dari suatu titik yang mengalami gerak melingkar dinyatakan dengan θ yaitu besar sudut yang telah ditempuh dari awal perhitungan. Kecepatan sudut ω Adalah besar sudut yang ditempuh

Lebih terperinci

DINAMIKA ROTASI DAN KESETIMBANGAN BENDA TEGAR

DINAMIKA ROTASI DAN KESETIMBANGAN BENDA TEGAR DINAMIKA ROTASI DAN KESETIMBANGAN BENDA TEGAR Fisika Kelas XI SCI Semester I Oleh: M. Kholid, M.Pd. 43 P a g e 6 DINAMIKA ROTASI DAN KESETIMBANGAN BENDA TEGAR Kompetensi Inti : Memahami, menerapkan, dan

Lebih terperinci

(A) 3 (B) 5 (B) 1 (C) 8

(A) 3 (B) 5 (B) 1 (C) 8 . Turunan dari f ( ) = + + (E) 7 + +. Turunan dari y = ( ) ( + ) ( ) ( + ) ( ) ( + ) ( + ) ( + ) ( ) ( + ) (E) ( ) ( + ) 7 5 (E) 9 5 9 7 0. Jika f ( ) = maka f () = 8 (E) 8. Jika f () = 5 maka f (0) +

Lebih terperinci

BAB III PERENCANAAN DAN GAMBAR

BAB III PERENCANAAN DAN GAMBAR BAB III PERENCANAAN DAN GAMBAR 3.1 Diagram Alir Proses Perencanaan Proses perencanaan mesin pembuat es krim dari awal sampai akhir ditunjukan seperti Gambar 3.1. Mulai Studi Literatur Gambar Sketsa Perhitungan

Lebih terperinci

GERAK LURUS Standar Kompetensi Menerapkan konsep dan prinsip dasar kinematika dan dinamika benda titik.

GERAK LURUS Standar Kompetensi Menerapkan konsep dan prinsip dasar kinematika dan dinamika benda titik. GERAK LURUS Standar Kompetensi Menerapkan konsep dan prinsip dasar kinematika dan dinamika benda titik. Kompetensi Dasar Menganalisis besaran fisika pada gerak dengan kecepatan dan percepatan konstan.

Lebih terperinci

SP FISDAS I. acuan ) , skalar, arah ( ) searah dengan

SP FISDAS I. acuan ) , skalar, arah ( ) searah dengan SP FISDAS I Perihal : Matriks, pengulturan, dimensi, dan sebagainya. Bisa baca sendiri di tippler..!! KINEMATIKA : Gerak benda tanpa diketahui penyebabnya ( cabang dari ilmu mekanika ) DINAMIKA : Pengaruh

Lebih terperinci

(D) 2 x < 2 atau x > 2 (E) x > Kurva y = naik pada

(D) 2 x < 2 atau x > 2 (E) x > Kurva y = naik pada f =, maka fungsi f naik + 1 pada selang (A), 0 (D), 1. Jika ( ) (B) 0, (E) (C),,. Persamaan garis singgung kurva lurus + = 0 adalah (A) + = 0 (B) + = 0 (C) + + = 0 (D) + = 0 (E) + + = 0 = ang sejajar dengasn

Lebih terperinci

Bab 4 Perancangan Perangkat Gerak Otomatis

Bab 4 Perancangan Perangkat Gerak Otomatis Bab 4 Perancangan Perangkat Gerak Otomatis 4. 1 Perancangan Mekanisme Sistem Penggerak Arah Deklinasi Komponen penggerak yang dipilih yaitu ball, karena dapat mengkonversi gerakan putaran (rotasi) yang

Lebih terperinci

1. (25 poin) Sebuah bola kecil bermassa m ditembakkan dari atas sebuah tembok dengan ketinggian H (jari-jari bola R jauh lebih kecil dibandingkan

1. (25 poin) Sebuah bola kecil bermassa m ditembakkan dari atas sebuah tembok dengan ketinggian H (jari-jari bola R jauh lebih kecil dibandingkan . (5 poin) Sebuah bola kecil bermassa m ditembakkan dari atas sebuah tembok dengan ketinggian H (jari-jari bola R jauh lebih kecil dibandingkan dengan H). Kecepatan awal horizontal bola adalah v 0 dan

Lebih terperinci

BAB III PERENCAAN DAN GAMBAR

BAB III PERENCAAN DAN GAMBAR BAB III PERENCAAN DAN GAMBAR 3.1 Diagram Alur Perencanaan Proses perancangan alat pencacah rumput gajah seperti terlihat pada diagram alir berikut ini: Mulai Pengamatan dan Pengumpulan Perencanaan Menggambar

Lebih terperinci

BAB I TEGANGAN DAN REGANGAN

BAB I TEGANGAN DAN REGANGAN BAB I TEGANGAN DAN REGANGAN.. Tegangan Mekanika bahan merupakan salah satu ilmu yang mempelajari/membahas tentang tahanan dalam dari sebuah benda, yang berupa gaya-gaya yang ada di dalam suatu benda yang

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan Januari 2010 sampai dengan bulan Agustus 2010. Tempat penelitian dilaksanakan dibeberapa tempat sebagai berikut. 1) Laboratorium

Lebih terperinci

Intensitas spesifik Fluks energi Luminositas Bintang sebagai benda hitam (black body) Kompetensi Dasar: Memahami konsep pancaran benda hitam

Intensitas spesifik Fluks energi Luminositas Bintang sebagai benda hitam (black body) Kompetensi Dasar: Memahami konsep pancaran benda hitam RADIASI BENDA HITAM Intensitas spesifik Fluks energi Luminositas Bintang sebagai benda hitam (black body) Kompetensi Dasar: Memahami konsep pancaran benda hitam Teori Benda Hitam Jika suatu benda disinari

Lebih terperinci

GAYA GESEK. Gaya Gesek Gaya Gesek Statis Gaya Gesek Kinetik

GAYA GESEK. Gaya Gesek Gaya Gesek Statis Gaya Gesek Kinetik GAYA GESEK (Rumus) Gaya Gesek Gaya Gesek Statis Gaya Gesek Kinetik f = gaya gesek f s = gaya gesek statis f k = gaya gesek kinetik μ = koefisien gesekan μ s = koefisien gesekan statis μ k = koefisien gesekan

Lebih terperinci

BAB 3 DINAMIKA. Tujuan Pembelajaran. Bab 3 Dinamika

BAB 3 DINAMIKA. Tujuan Pembelajaran. Bab 3 Dinamika 25 BAB 3 DINAMIKA Tujuan Pembelajaran 1. Menerapkan Hukum I Newton untuk menganalisis gaya pada benda diam 2. Menerapkan Hukum II Newton untuk menganalisis gaya dan percepatan benda 3. Menentukan pasangan

Lebih terperinci

MATEMATIKA. Sesi TRANSFORMASI 2 CONTOH SOAL A. ROTASI

MATEMATIKA. Sesi TRANSFORMASI 2 CONTOH SOAL A. ROTASI MATEMATIKA KELAS XII IPA - KURIKULUM GABUNGAN 14 Sesi NGAN TRANSFORMASI A. ROTASI Rotasi adalah memindahkan posisi suatu titik (, y) dengan cara dirotasikan pada titik tertentu sebesar sudut tertentu.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia sebagai salah satu negara yang berbasis pertanian umumnya memiliki usaha tani keluarga skala kecil dengan petakan lahan yang sempit. Usaha pertanian ini terutama

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. WAKTU DAN TEMPAT Penelitian akan dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan bulan Desember 2009 bertempat di Bengkel Teknik Mesin Budidaya Pertanian, Leuwikopo, Departemen

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISA SISTEM

BAB 4 ANALISA SISTEM 52 BAB 4 ANALISA SISTEM 4.1 Analisa Input Seperti yang dijelaskan pada bab sebelumnya, variabel - variabel input yang digunakan dalam program disesuaikan dengan rumus yang sudah didapat. Hal ini dimaksudkan

Lebih terperinci

Tekanan Dan Kecepatan Uap Pada Turbin Reaksi Perbandingan Antara Turbin Impuls Dan Turbin Reaksi

Tekanan Dan Kecepatan Uap Pada Turbin Reaksi Perbandingan Antara Turbin Impuls Dan Turbin Reaksi Turbin Uap 71 1. Rumah turbin (Casing). Merupakan rumah logam kedap udara, dimana uap dari ketel, dibawah tekanan dan temperatur tertentu, didistribusikan disekeliling sudu tetap (mekanisme pengarah) di

Lebih terperinci

SISTEM KOORDINAT SISTEM TRANSFORMASI KOORDINAT RG091521

SISTEM KOORDINAT SISTEM TRANSFORMASI KOORDINAT RG091521 SISTEM KOORDINAT SISTEM TRANSFORMASI KOORDINAT RG091521 Sistem Koordinat Parameter SistemKoordinat Koordinat Kartesian Koordinat Polar Sistem Koordinat Geosentrik Sistem Koordinat Toposentrik Sistem Koordinat

Lebih terperinci

IV. PENDEKATAN RANCANGAN

IV. PENDEKATAN RANCANGAN IV. PENDEKATAN RANCANGAN 4.1. Rancang Bangun Furrower Pembuat Guludan Rancang bangun furrower yang digunakan untuk Traktor Cultivator Te 550n dilakukan dengan merubah pisau dan sayap furrower. Pada furrower

Lebih terperinci

A. Pendahuluan. Dalam cabang ilmu fisika kita mengenal MEKANIKA. Mekanika ini dibagi dalam 3 cabang ilmu yaitu :

A. Pendahuluan. Dalam cabang ilmu fisika kita mengenal MEKANIKA. Mekanika ini dibagi dalam 3 cabang ilmu yaitu : BAB VI KESEIMBANGAN BENDA TEGAR Standar Kompetensi 2. Menerapkan konsep dan prinsip mekanika klasik sistem kontinu dalam menyelesaikan masalah Kompetensi Dasar 2.1 Menformulasikan hubungan antara konsep

Lebih terperinci

Analisis Kecepatan Maju Traktor dan Putaran Pisau Pemotong Pada Pengeprasan Tebu Ratoon

Analisis Kecepatan Maju Traktor dan Putaran Pisau Pemotong Pada Pengeprasan Tebu Ratoon Analisis Kecepatan Maju Traktor dan Putaran Pisau Pemotong Pada Pengeprasan Tebu Ratoon Analysis on Forward Speed of Tractor and The Spin of Cutter Knife on Ratoon Sugarcane Stubble Shaver Syafriandi *1)

Lebih terperinci

Gambar 41 Peragaan pengukuran tahanan pemotongan kulit tanaman tua. Cara memegang alat ukur pada saat menggiris kulit pohon karet tanaman muda terlihat pada Gambar 42. Bagian atas maupun bawah ring tidak

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan April hingga bulan September 2012 di Laboratorium Lapang Siswadhi Soepardjo, Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, Fakultas

Lebih terperinci

K 1. h = 0,75 H. y x. O d K 2

K 1. h = 0,75 H. y x. O d K 2 1. (25 poin) Dari atas sebuah tembok dengan ketinggian H ditembakkan sebuah bola kecil bermassa m (Jari-jari R dapat dianggap jauh lebih kecil daripada H) dengan kecepatan awal horizontal v 0. Dua buah

Lebih terperinci

IV. ANALISA PERANCANGAN

IV. ANALISA PERANCANGAN IV. ANALISA PERANCANGAN Mesin penanam dan pemupuk jagung menggunakan traktor tangan sebagai sumber tenaga tarik dan diintegrasikan bersama dengan alat pembuat guludan dan alat pengolah tanah (rotary tiller).

Lebih terperinci

Gambar 7.1 Sebuah benda bergerak dalam lingkaran yang pusatnya terletak pada garis lurus

Gambar 7.1 Sebuah benda bergerak dalam lingkaran yang pusatnya terletak pada garis lurus BAB 7. GERAK ROTASI 7.1. Pendahuluan Gambar 7.1 Sebuah benda bergerak dalam lingkaran yang pusatnya terletak pada garis lurus Sebuah benda tegar bergerak rotasi murni jika setiap partikel pada benda tersebut

Lebih terperinci

momen inersia Energi kinetik dalam gerak rotasi momentum sudut (L)

momen inersia Energi kinetik dalam gerak rotasi momentum sudut (L) Dinamika Rotasi adalah kajian fisika yang mempelajari tentang gerak rotasi sekaligus mempelajari penyebabnya. Momen gaya adalah besaran yang menyebabkan benda berotasi DINAMIKA ROTASI momen inersia adalah

Lebih terperinci

Pilihlah jawaban yang paling benar!

Pilihlah jawaban yang paling benar! Pilihlah jawaban yang paling benar! 1. Besarnya momentum yang dimiliki oleh suatu benda dipengaruhi oleh... A. Bentuk benda B. Massa benda C. Luas penampang benda D. Tinggi benda E. Volume benda. Sebuah

Lebih terperinci

Arzal Bili 1, Syafriandi 1, Mustaqimah 2 Program Studi Teknik pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Syiah Kuala

Arzal Bili 1, Syafriandi 1, Mustaqimah 2 Program Studi Teknik pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Syiah Kuala Pengaruh Kedalaman Keprasan Tebu dengan Menggunakan Mesin Kepras Traktor Roda Dua Terhadap Kualitas Keprasan dan Pertumbuhan Tunas Effect of Stubble Cane Cutting Depth by Using Cutting Machine Two Wheel

Lebih terperinci

RANCANG BANGUN ALAT PEMOTONG KABEL ROBOTIK TIPE WORM GEAR

RANCANG BANGUN ALAT PEMOTONG KABEL ROBOTIK TIPE WORM GEAR RANCAN BANUN ALAT PEMOTON KABEL ROBOTIK TIPE WORM EAR Estiko Rijanto Pusat Penelitian Tenaga Listrik dan Mekatronik (Telimek) LIPI Kompleks LIPI edung 0, Jl. Cisitu No.1/154D, Bandung 40135, Tel: 0-50-3055;

Lebih terperinci

Jumlah serasah di lapangan

Jumlah serasah di lapangan Lampiran 1 Perhitungan jumlah serasah di lapangan. Jumlah serasah di lapangan Dengan ketinggian serasah tebu di lapangan 40 cm, lebar alur 60 cm, bulk density 7.7 kg/m 3 dan kecepatan maju traktor 0.3

Lebih terperinci

BAB III PERENCANAAN DAN GAMBAR

BAB III PERENCANAAN DAN GAMBAR BAB III PERENCANAAN DAN GAMBAR 3.1 Flowchart Perencanaan Pembuatan Mesin Pemotong Umbi Proses Perancangan mesin pemotong umbi seperti yang terlihat pada gambar 3.1 berikut ini: Mulai mm Studi Literatur

Lebih terperinci

IV. PENDEKATAN DESAIN A. KRITERIA DESAIN B. DESAIN FUNGSIONAL

IV. PENDEKATAN DESAIN A. KRITERIA DESAIN B. DESAIN FUNGSIONAL IV. PENDEKATAN DESAIN A. KRITERIA DESAIN Perancangan atau desain mesin pencacah serasah tebu ini dimaksudkan untuk mencacah serasah yang ada di lahan tebu yang dapat ditarik oleh traktor dengan daya 110-200

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Pengukuran Titik Berat Unit Transplanter Pengukuran dilakukan di bengkel departemen Teknik Pertanian IPB. Implemen asli dari transplanter dilepas, kemudian diukur bobotnya.

Lebih terperinci

BAB III PERANCANGAN DAN PERHITUNGAN. Mulai

BAB III PERANCANGAN DAN PERHITUNGAN. Mulai BAB III PERANCANGAN DAN PERHITUNGAN 3.1 Diagram Alur Proses Perencanaan Proses perencanaan mesin pemotong kerupuk rambak kulit ditunjukan pada diagram alur pada gambar 3.1 : Mulai Pengamatan dan pengumpulan

Lebih terperinci

SISTEM KOORDINAT SISTEM TRANSFORMASI KOORDINAT RG091521

SISTEM KOORDINAT SISTEM TRANSFORMASI KOORDINAT RG091521 SISTEM KOORDINAT SISTEM TRANSFORMASI KOORDINAT RG091521 SISTEM KOORDINAT SISTEM TRANSFORMASI KOORDINAT RG091521 Sistem Koordinat Parameter SistemKoordinat Koordinat Kartesian Koordinat Polar Sistem Koordinat

Lebih terperinci

Berdasarkan lintasannya, benda bergerak dibedakan menjadi tiga yaitu GERAK MELINGKAR BERATURAN

Berdasarkan lintasannya, benda bergerak dibedakan menjadi tiga yaitu GERAK MELINGKAR BERATURAN 3 GEAK MELINGKA BEATUAN Kincir raksasa melakukan gerak melingkar. Sumber: Kompas, 20 Juli 2006 Berdasarkan lintasannya, benda bergerak dibedakan menjadi tiga yaitu benda bergerak pada garis lurus, gerak

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Analisis Perhitungan Sebelum mendesain mesin pemotong kerupuk hal utama yang harus diketahui adalah mencari tegangan geser kerupuk yang akan dipotong. Percobaan yang dilakukan

Lebih terperinci

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA LPORN KHIR Insentif Riset SINas 2014 Desain dan Pengujian lat Pemanen dan Pengepras Tebu dengan Memodifikasi dan Memanfaatkan Tenaga Traktor Roda Dua RT-2014-1137 Bidang Prioritas Iptek: 10. Teknologi

Lebih terperinci

Mulai. Studi Literatur. Gambar Sketsa. Perhitungan. Gambar 2D dan 3D. Pembelian Komponen Dan Peralatan. Proses Pembuatan.

Mulai. Studi Literatur. Gambar Sketsa. Perhitungan. Gambar 2D dan 3D. Pembelian Komponen Dan Peralatan. Proses Pembuatan. BAB III PERANCANGAN DAN GAMBAR 3.1 Diagram Alur Proses Perancangan Proses perancangan mesin pemipil jagung seperti terlihat pada Gambar 3.1 seperti berikut: Mulai Studi Literatur Gambar Sketsa Perhitungan

Lebih terperinci

LAMPIRAN I (Preliminary Gording)

LAMPIRAN I (Preliminary Gording) LAMPIRAN I (Preliminary Gording) L.1. Pendimensian gording Berat sendiri gording dapat dihitung dengan menggunakan atau dengan memisalkan berat sendiri gording (q), Pembebanan yang dipikul oleh gording

Lebih terperinci

Bab 3 (3.1) Universitas Gadjah Mada

Bab 3 (3.1) Universitas Gadjah Mada Bab 3 Sifat Penampang Datar 3.1. Umum Didalam mekanika bahan, diperlukan operasi-operasi yang melihatkan sifatsifat geometrik penampang batang yang berupa permukaan datar. Sebagai contoh, untuk mengetahui

Lebih terperinci

FISIKA XI SMA 3

FISIKA XI SMA 3 FISIKA XI SMA 3 Magelang @iammovic Standar Kompetensi: Menerapkan konsep dan prinsip mekanika klasik sistem kontinu dalam menyelesaikan masalah Kompetensi Dasar: Merumuskan hubungan antara konsep torsi,

Lebih terperinci

Koordinat Kartesius, Koordinat Tabung & Koordinat Bola. Tim Kalkulus II

Koordinat Kartesius, Koordinat Tabung & Koordinat Bola. Tim Kalkulus II Koordinat Kartesius, Koordinat Tabung & Koordinat Bola Tim Kalkulus II Koordinat Kartesius Sistem Koordinat 2 Dimensi Sistem koordinat kartesian dua dimensi merupakan sistem koordinat yang terdiri dari

Lebih terperinci

Tabel 1 Sudut terjadinya jarak terdekat dan terjauh pada berbagai kombinasi pemilihan arah acuan 0 o dan arah rotasi HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 1 Sudut terjadinya jarak terdekat dan terjauh pada berbagai kombinasi pemilihan arah acuan 0 o dan arah rotasi HASIL DAN PEMBAHASAN sudut pada langkah sehingga diperoleh (α i, x i ).. Mentransformasi x i ke jarak sebenarnya melalui informasi jarak pada peta.. Melakukan analisis korelasi linier sirkular antara x dan α untuk masingmasing

Lebih terperinci

DAYA DAN KUALITAS PEMOTONGAN TUNGGUL TEBU PADA BEBERAPA BENTUK PISAU DAN PITCH PEMOTONGANNYA SKRIPSI

DAYA DAN KUALITAS PEMOTONGAN TUNGGUL TEBU PADA BEBERAPA BENTUK PISAU DAN PITCH PEMOTONGANNYA SKRIPSI DAYA DAN KUALITAS PEMOTONGAN TUNGGUL TEBU PADA BEBERAPA BENTUK PISAU DAN PITCH PEMOTONGANNYA SKRIPSI ICHSAN GANTINA F14070046 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011 CUTTING POWER AND

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan pada bulan Desember 2010 sampai dengan April 2011. Tempat perancangan dilakukan di Laboratorium Teknik Mesin Budidaya Pertanian IPB. Pengambilan

Lebih terperinci

GEOMETRI ANALITIK PERTEMUAN2: GARIS LURUS PADA BIDANG KOORDINAT. sofyan mahfudy-iain Mataram 1

GEOMETRI ANALITIK PERTEMUAN2: GARIS LURUS PADA BIDANG KOORDINAT. sofyan mahfudy-iain Mataram 1 GEOMETRI ANALITIK PERTEMUAN2: GARIS LURUS PADA BIDANG KOORDINAT sofyan mahfudy-iain Mataram 1 Sasaran kuliah hari ini 1. Mahasiwa dapat menjelaskan konsep kemiringan garis/gradien 2. Mahasiswa dapat menentukan

Lebih terperinci

I. Pendahuluan Listrik Magnet Listrik berkaitan dengan teknologi modern: komputer, motor dsb. Bukan hanya itu

I. Pendahuluan Listrik Magnet Listrik berkaitan dengan teknologi modern: komputer, motor dsb. Bukan hanya itu I. Pendahuluan Listrik Magnet Listrik berkaitan dengan teknologi modern: komputer, motor dsb. Bukan hanya itu 1 Muatan Listrik Contoh klassik: Penggaris digosok-gosok pada kain kering tarik-menarik dengan

Lebih terperinci

UJI KUAT GESER LANGSUNG TANAH

UJI KUAT GESER LANGSUNG TANAH PRAKTIKUM 02 : Cara uji kuat geser langsung tanah terkonsolidasi dan terdrainase SNI 2813:2008 2.1 TUJUAN PRAKTIKUM Pengujian ini dimaksudkan sebagai acuan dan pegangan dalam pengujian laboratorium geser

Lebih terperinci

Fisika Umum (MA101) Kinematika Rotasi. Dinamika Rotasi

Fisika Umum (MA101) Kinematika Rotasi. Dinamika Rotasi Fisika Umum (MA101) Topik hari ini: Kinematika Rotasi Hukum Gravitasi Dinamika Rotasi Kinematika Rotasi Perpindahan Sudut Riview gerak linear: Perpindahan, kecepatan, percepatan r r = r f r i, v =, t a

Lebih terperinci

BAB 4 PEMBAHASAN DAN ANALISA DATA HASIL PERCOBAAN

BAB 4 PEMBAHASAN DAN ANALISA DATA HASIL PERCOBAAN BAB 4 PEMBAHASAN DAN ANALISA DATA HASIL PERCOBAAN 4.1 Data Hasil Percobaan Pada bab ini akan dibahas secara sistematis parameter-parameter yang ditentukan sehingga menghasilkan data dari proses percobaan

Lebih terperinci

Bab 5 Puntiran. Gambar 5.1. Contoh batang yang mengalami puntiran

Bab 5 Puntiran. Gambar 5.1. Contoh batang yang mengalami puntiran Bab 5 Puntiran 5.1 Pendahuluan Pada bab ini akan dibahas mengenai kekuatan dan kekakuan batang lurus yang dibebani puntiran (torsi). Puntiran dapat terjadi secara murni atau bersamaan dengan beban aksial,

Lebih terperinci

Gerak Melingkar Pendahuluan

Gerak Melingkar Pendahuluan Gerak Melingkar Pendahuluan Gerak roda kendaraan, gerak CD, VCD dan DVD, gerak kendaraan di tikungan yang berbentuk irisan lingkaran, gerak jarum jam, gerak satelit mengitari bumi, dan sebagainya adalah

Lebih terperinci

ALTERNATIF DESAIN MEKANISME PENGENDALI

ALTERNATIF DESAIN MEKANISME PENGENDALI LAMPIRAN LAMPIRAN 1 : ALTERNATIF DESAIN MEKANISME PENGENDALI Dari definisi permasalahan yang ada pada masing-masing mekanisme pengendali, beberapa alternatif rancangan dibuat untuk kemudian dipilih dan

Lebih terperinci

1. Tujuan 1. Mempelajari hukum Newton. 2. Menentukan momen inersia katrol pesawat Atwood.

1. Tujuan 1. Mempelajari hukum Newton. 2. Menentukan momen inersia katrol pesawat Atwood. 1. Translasi dan rotasi 1. Tujuan 1. Mempelajari hukum Newton. 2. Menentukan momen inersia katrol pesawat Atwood. 2. Alat dan ahan Kereta dinamika : 1. Kereta dinamika 1 buah 2. eban tambahan @ 200 gram

Lebih terperinci

BAB II PEMODELAN MATEMATIS SISTEM INVERTED PENDULUM

BAB II PEMODELAN MATEMATIS SISTEM INVERTED PENDULUM BAB II PEMODELAN MATEMATIS SISTEM INVERTED PENDULUM Model matematis diturunkan dari hubungan fisis sistem. Model tersebut harus dapat menggambarkan karakteristik dinamis sistem secara memadai. Tujuannya

Lebih terperinci

3. ORBIT KEPLERIAN. AS 2201 Mekanika Benda Langit. Monday, February 17,

3. ORBIT KEPLERIAN. AS 2201 Mekanika Benda Langit. Monday, February 17, 3. ORBIT KEPLERIAN AS 2201 Mekanika Benda Langit 1 3.1 PENDAHULUAN Mekanika Newton pada mulanya dimanfaatkan untuk menentukan gerak orbit benda dalam Tatasurya. Misalkan Matahari bermassa M pada titik

Lebih terperinci

Fisika Dasar 9/1/2016

Fisika Dasar 9/1/2016 1 Sasaran Pembelajaran 2 Mahasiswa mampu mencari besaran posisi, kecepatan, dan percepatan sebuah partikel untuk kasus 1-dimensi dan 2-dimensi. Kinematika 3 Cabang ilmu Fisika yang membahas gerak benda

Lebih terperinci

KINERJA DITCHER DENGAN PENGERUK TANAH UNTUK BUDIDAYA TEBU LAHAN KERING. Oleh : ARI SEMBODO F

KINERJA DITCHER DENGAN PENGERUK TANAH UNTUK BUDIDAYA TEBU LAHAN KERING. Oleh : ARI SEMBODO F KINERJA DITCHER DENGAN PENGERUK TANAH UNTUK BUDIDAYA TEBU LAHAN KERING Oleh : ARI SEMBODO F14101098 2006 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR KINERJA DITCHER DENGAN PENGERUK TANAH

Lebih terperinci

SOAL DAN PEMBAHASAN UJIAN NASIONAL SMA/MA IPA TAHUN PELAJARAN 2007/2008

SOAL DAN PEMBAHASAN UJIAN NASIONAL SMA/MA IPA TAHUN PELAJARAN 2007/2008 SOAL DAN PEMBAHASAN UJIAN NASIONAL SMA/MA IPA TAHUN PELAJARAN 7/8. Diketahui premis premis : () Jika Badu rajin belajar dan patuh pada orang tua, maka Ayah membelikan bola basket () Ayah tidak membelikan

Lebih terperinci

PERHITUNGAN DAYA DAN PENGUJIAN MESIN PENGEPRESS SANDAL

PERHITUNGAN DAYA DAN PENGUJIAN MESIN PENGEPRESS SANDAL PERHITUNGAN DAYA DAN PENGUJIAN MESIN PENGEPRESS SANDAL Oleh : FIDYA GHANI PUTRA 08 030 06 DOSEN PEMBIMBING: Ir. Suhariyanto, MT. PROGRAM STUDI D3 TEKNIK MESIN FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI INSTITUT TEKNOLOGI

Lebih terperinci

BAB III PERENCANAAN DAN PERHITUNGAN

BAB III PERENCANAAN DAN PERHITUNGAN BAB III PERENCANAAN DAN PERHITUNGAN 3.1. Diagram Alur Perencanaan Proses perencanaan pembuatan mesin pengupas serabut kelapa dapat dilihat pada diagram alur di bawah ini. Gambar 3.1. Diagram alur perencanaan

Lebih terperinci

Uji Kompetensi Semester 1

Uji Kompetensi Semester 1 A. Pilihlah jawaban yang paling tepat! Uji Kompetensi Semester 1 1. Sebuah benda bergerak lurus sepanjang sumbu x dengan persamaan posisi r = (2t 2 + 6t + 8)i m. Kecepatan benda tersebut adalah. a. (-4t

Lebih terperinci

Bagian pertama dari pernyataan hukum I Newton itu mudah dipahami, yaitu memang sebuah benda akan tetap diam bila benda itu tidak dikenai gaya lain.

Bagian pertama dari pernyataan hukum I Newton itu mudah dipahami, yaitu memang sebuah benda akan tetap diam bila benda itu tidak dikenai gaya lain. A. Formulasi Hukum-hukum Newton 1. Hukum I Newton Sebuah batu besar di lereng gunung akan tetap diam di tempatnya sampai ada gaya luar lain yang memindahkannya, misalnya gaya tektonisme/gempa, gaya mesin

Lebih terperinci