TAJEN & DESAKRALISASI PURA : STUDI KASUS DI DESA PAKRAMAN SUBAGAN, KECAMATAN KARANGASEM, BALI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "TAJEN & DESAKRALISASI PURA : STUDI KASUS DI DESA PAKRAMAN SUBAGAN, KECAMATAN KARANGASEM, BALI"

Transkripsi

1 TAJEN & DESAKRALISASI PURA : STUDI KASUS DI DESA PAKRAMAN SUBAGAN, KECAMATAN KARANGASEM, BALI Ida Bagus Gede Eka Diksyiantara, I Nengah Punia, Gede Kamajaya Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Diksyiantara@unud.ac.id, Punia@unud.ac.id, Kamajaya@unud.ac.id ABSTRACT Tajen is a Balinese folk game which exists since a long time ago, however by throwing a bet in this game; it makes tajen very identical to gambling. Moreover it is performed in the temple and this effort will certainly give unfavorable impact on the sanctity of the temple in which it is used as a place to hold tajen, although tajen conducted at the Jaba Sisi (part the outer temple in the concept of tri mandala)still,itwillcause thetemplesuffereddesacralization. On the concept of Kekeran or Concept of the radius of the sanctity of the temple, Kekeran has three approach methods to determine the radius of the sanctity of the temple such as Apeneleg, Apenimpug, Apenyengker in which the most clearly measure as already stated by building a wall around the temple.for Pura Desa, it will usually use apenyengker method (wall boundary), it means the territory of Jaba sisi of the temple is the area that belongs to the sanctity of the temple area therefore for any reason, tajen which is performed in Jaba sisi temple area can reduce the sanctity of its temple. Keywords: Tajen,Temple,Kekeran,Desakralisasi. 1. Pendahuluan Pulau Bali merupakan salah satu pulau yang dikenal dengan beragam tradisi yang dimilikinya. Hal tersebut menjadikan Bali memiliki daya tarik tersendiri di mata pariwisata dunia, salah satu tradisi yang menarik untuk dikupas lebih lanjut adalah tajen. Namun dewasa ini marak tajen yang dilakukan di dalam areal pura yang dapat mengakibatkan pura mengalami desakralisasi atau penurunan nilai-nilai sakral pada pura tersebut. Konsep pembangunan pura sebagai tempat suci, pada umumnya di Bali menggunakan struktur atau bentuk pembagian wilayah berlandaskan atas konsep pura Tri mandala, yakni terbagi atas tiga bagian halaman, yaitu jaba pura (Nista mandala), jaba tengah(madya mandala), dan jeroan(utama mandala). Pembagian atas tiga halaman tersebut mempunyai dasar pemikiran filosofis agama Hindu, yaitu pura dianggap sebagai simbol makrokosmos yang melambangkan tiga tingkatan dunia, yaitu bhurloka, dimana jaba pura melambangkan bhurloka yaitu dunia bawah tempat kehidupan manusia. bhuwarloka yang menjadi lambang jaba tengah yaitu dunia tengah tempat kehidupan manusia yang sudah disucikan, dan berikutnya adalah swarloka yang melambangkan keadaan utama mandala yaitu dunia atas tempat kehidupan para dewa. Pura merupakan tempat suci bagi agama hindu. Kata pura berasal dari Bahasa 1

2 Sansekerta yang artinga kota atau benteng yang berasal dari urat kata Pur. (Sandiarsa.1985:9) menyebutkan bahwa kata pura memiliki pergeseran makna menjadi tempat suci yang terdiri dari beberapa buah palinggih yang dikelilingi tembok panyengker guna memisahkan dunia yang sakral dan yang tidak sakral. Lalu bagaimana tajen dapat menyebabkan terjadinya desakralisasi pada pura? Ada baiknya kita mengenal apa itu tajen terlebih dahulu. Tajen merupakan sabung ayam yang disertai dengan atau bertaruh dengan menggunakan uang (Mertha, 2010 : 7 ). Biasanya sebelum pertarungan dimulai, dua pakembar (Petugas yang melepaskan ayam) terlebih dahulu memperkenalkan ayam dengan menghadapkan kedua ayam yang akan bertarung sehingga akan tampak mana ayam yang akan pantas diunggulkan ataupun tidak. Setelah seekor ayam dinyatakan sebagai petarung unggulan maka pakembar yang meneriakan cok berarti memegang ayam yang menjadi unggulan yang berarti sistem taruhannya adalah tiga lawan empat dalam artian jika ayam unggulan menang berarti ayam yang kalah akan membayar tiga akan tetapi jika ayam unggulan kalah berarti ayam yang tidak diunggulkan akan mendapatkan bayaran empat. Terkadang pakembar juga akan berteriak pade (seimbang) hal tersebut diartikan ayam yang akan diadukan memiliki kekuatan yang sebanding sehingga taruhannya harus dalam jumlah yang sama. Teriakan lain yang juga dilakukan oleh pakembar adalah gasal (sistem taruhan dengan perbandingan lima banding empat), talude (taruhan tiga berbanding dua), apit (taruhannya satu berbanding dua), kadapang (taruhannya sembilan banding sepuluh). Di setiap tajen ada empat saye (juri) yang bertugas yakni sayekemong, ketek, garis dan lap. Sayekemong biasanya selalu didampingi gong kecil yang disebut kemong, Ia menentukan kapan memulai dan mengakhiri pertarungan, sayeketek adalah juri yang bertugas untuk memberikan hitungan kepada ayam yang sudah terkapar layaknya sebuah dalam pertandingan tinju, sayegaris adalah saye yang bertugas untuk menjaga garis batas permainan, bila ayam dilihat lari keluar garis batas maka ayam tersebut akan dinyatakan kalah, dan sayelap adalah juri yang bertugas untuk mengumpulkan uang taruhan serta membagikannya kepada babotoh yang menang. Desa Subagan yang merupakan lokasi untuk melakukan penelitian yang dipilih oleh peneliti karena di Desa pakraman Subagan intensitas kegiatan tajendisana cukup tinggi, lokasi juga ditetapkan disana mengingat penulis juga tinggal disana sehingga memudahkan dalam proses pencarian datanya. Tajen kerap dijadikan sebagai alat penggalian dana dalam rangka pembangunan pura maupun bale banjar. Hal inilah yang menyebabkan polisi di Bali kesulitan untuk menanggulangi tajen karena kuatnya kekuatan desa pakraman jika ditentang maka menciptakan permusuhan yang berujung pada bentrok, Pimpinan babotoh biasanya adalah orang yang memiliki posisi tawar yang kuat sehingga disebut dengan cukong. Tajen dikategorikan sebagai tindak kejahatan dengan ancaman hukuman pidana. Dalam prakteknya para cukong kerap menggunakan tabuh rah sebagai topeng untuk dapat melaksanakan kegiatan tajen. Skema yang diciptakan adalah bermula dari kegiatan tabuh rah yang bersifat legal dan hanya dilakukan di areal pura. Sebuah wawancara yang dimuat dalam sebuah media elektronik, Kabid Humas polda Bali, Kombes Pol Herry Wiyanto mengatakan pihaknya memberikan kesempatan bagi masyarakat menggelar kegiatan tabuh rah dalam kaitannya dengan kegiatan agama dan objek pariwisata (Tribun News : 2015). Lebih lanjut Kombes Pol Herry Wiyanto juga menegaskan, hal yang salah jika ritual tabuh rah dijadikan media perjudian oleh masyarakat, kesempatan menggelar tabuh rah sebagai bagian dari objek wisata dapat diartikan sebagai komitmen pembangunan Bali berdasarkan kebudayaan yang bersumber dari agama Hindu, Komitmen ini memiliki implikasi yang luas, termasuk dalam upaya untuk memahami dan menempatkan persoalan tajen dalam proses pembangunan lainnya. Fakta yang ada di masyarakat Desapakraman Subagan adalah masyarakat 2

3 memiliki pemikiran bahwa tajen dan tabuh rah adalah hal yang serupa. Pemikiran tersebut muncul akibat keduanya menggunakan ayam sebagai sarana/alat pelaksanaannya. Padahal tajen dan tabuh rahadalah 2 hal yang sangat berbeda baik dari segi pelaksanaannya, aturannya, filosofi serta tujuan pelaksanaannya. Berbeda dengan tajen, tabuh rah atau perang sata dalam masyarakat Hindu Bali mensyaratkan adanya darah ayam yang menetes sebagai simbol atau syarat guna mensucikan umat manusia dari ketamakan, keserakahan terhadap nilai-nilai materialistis dan duniawi (Mertha, 2010 : 13). Tabuh rah juga memiliki makna sebagai ritual Buthayadnya (pengorbanan suci kepada butha kala) yang mana darah yang menetes ke bumi disimbolkan sebagai permohonan umat manusia kepada Sang Hyang Widhi Wasa agar terhindar dari marabahayanya. Pelaksanaan tabuh rah dilakukan ditempat upacara pada saat mengakhiri upacara tersebut. Dalam proses pelaksanaan tabuh rah selain menggunakan ayam,tabuh rah juga diiringi dengan adu tingkih, adu pangi, adu taluh, adu kelapa serta upakaranya, tabuh rah juga dilakukan maksimal tiga sehet dengan tidak disertai taruhan apapun. Pelaksanaan tabuh rah dalam rangka upacara yadnya tidak boleh dilakukan dengan sembarangan, melainkan harus mentaati ketentuan yang bersumber pada sastra. Dalam Keputusan Seminar Tafsir Aspek-aspek Agama Hindu ke IX, menyatakan bahwa tidaklah semua jenis upacara yadnya harus disertai dengan tabuh rah, melainkan hanya jenis upacara tertentu saja, seperti Panca kelud, Balik sumpah, Tawur agung, Tawur labuh gentuh, Tawur panca wali krama, dan Tawur eka dasa rudra.tabuh rah yang semula merupakan bagian dari ritual Dewa yadnya yang bersifat sakral. Dalam pemaparan antara tajen dan tabuh rah diatas dalam pengertian sempitnya tajen memiliki sifat yang profan atau tidak sakral dan tabuh rah memiliki sifat yang sakral. Masyarakat memiliki pikiran yang menyamakan arti serta makna antara tabuh rah dan tajen, dengan didukung fakta bahwa tabuh rah adalah sesuatu yang bersifat legal, memberikan celah kepada oknum-oknum yang ingin mengadakan tajen. Skema yang diciptakan guna mengakali fakta bahwa tajenmerupakan aktivitas yang ilegal adalah dengan mengadakan tajen di areal puraitu berarti tajen yang bersifat profan jika dilakukan didalam areal pura dapat menyebabkan terjadinya desakralisasi pada pura. Pemisahan antara dunia yang sakral dan tidak tidak sakraldalam konsep pura adalah menggunakan batas panyengker. ini dapat diartikan sebagai upaya mencegah sesuatu yang bersifat tidak sakral untuk memasuki areal pura, termasuk pada upaya pemanfaatan pura pada hal-hal yang bersifat sakral guna mempertahankan nilai sakral yang terdapat pada pura tersebut. Ketika tajen yang bersifat tidak sakral dilakukan di areal pura walaupun dengan kedok, tajen yang dilakukan disana adalah tabuh rahtentu saja hal tersebut dapat menyebabkan puramengalami desakralisasiatau hilangnya nilai-nilai sakral dalam sebuah pura. Dari pengertian diatas desakralisasi yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah ketika pura tidak lagi berkaitan dengan agama maupun tujuan keagamaan, tidak suci lagi karena sifat keduniawian telah masuk kedalamnya. Hal tersebut berarti mengakibatkan terjadinya pengurangan terhadap nilai-nilai sakral yang terkandung dalam pura tersebut. Menurut Durkheim sulit untuk membedakan mana yang murni agama dengan mana yang merupakan hasil interpretasi agama (Nurdinah.2013:268). Hilangnya nilai-nilai sakral pada upacara tabuh rah akibat tajen sangat sulit untuk dikemukakan, pemikiran masyarakat hanya terarah pada satu pandangan yaitu tabuh rah dan tajen sama-sama merupakan sabung ayam, padahal dalam makna filosofinya keduanya memiliki fungsi serta cara yang berbeda dalam pelaksanaannya. Pada konsep desakralisasi ini yang ditemukan oleh penulis adalah dimana ketika suatu pura yang secara umum memiliki fungsi untuk menjalankan ritual keagamaan tapi pelataran pura juga digunakan oleh masyarakat untuk 3

4 melakukan tajen, sehingga pura mengalami desakralisasi akibat tajen Dalam proses hilangnya nilai-nilai sakral pada sebuah pura, indikator utama yang digunakan peneliti adalah ketika tajen yang bersifat profan atau tidak sakral dilakukan di dalam areal pura. Pemanfaatan pura sebagai arena tajen tetap melibatkan desa pakraman sebagai penyungsung pura ini, sehingga diharapkan dalam penelitian ini penulis dapat mendalami apakah desakralisasi yang terjadi dikarenakan ketidaktegasan penerapan aturan-aturan adat sehingga nantinya penulis dapat menyimpulkan hal yang sebenarnya terjadi dan dapat memberikan solusi kepada masyarakat di Desa Pekraman Subagan agar dapat menjaga kesakralan dari sebuah pura tersebut. 2. KAJIAN PUSTAKA Berbagai penelitian sudah dilakukan mengenai tajen di Bali, seperti Hidayat (2011) dengan judul penelitian Sabung ayam Tabuh rah dan Tajen dibali. Penelitian Hidayat ini meneliti tentang sabung ayam dalam persfektif hukum islam dan hukum positif. Pada penelitian ini Hidayat menjelaskan pemaparan bagaimana tradisi sabung ayam masa sekarang yang melanggar hukum. Dijelaskan juga kajian dan pandangan para ahli terkait tradisi sabung ayam, baik ahli dari cendekiawan hukum maupun kalangan budayawan. Hidayat juga mengkaji tentang sejarah tradisi sabung ayam berdasarkan beberapa prasasti. Namun sudut pandang penelitian ini berbeda meskipun objek yang diteliti sama. Penelitian Hidayat mengkaji tentang bagaimana perspektif hukum islam dan hukum positif dalam mengkaji sabung ayam di Bali, sedangkan penelitian ini akan mengkaji proses profanisasi pemanfaatan pura sebagai tempat tajen, selain itu perbedaan juga akan terlihat dikarenakan penelitian ini akan membahas juga bagaimana hukum adat mengatur penyelenggaraan tajen. Penelitian yang dilakukan oleh Herdani (2014) dengan judul penelitian Tradisi Aci Keburan Sebagai Legitimasi Adat terhadap Sabung Ayam di Desa pakraman Kelusa, Kecamatan Payangan, Kabupaten Gianyar menjelaskan bahwa aci keburan merupakan suatu tradisi yang harus dilaksanakan karena ada keyakinan apabila tidak dilaksanakan maka Desa pakraman kelusa akan terserang wabah penyakit (grubug), adapun nilai yang terkandung dalam tradisi aci keburan pada masyarakat desa pakramankelusa berbeda dengan tabuh rah karena tradisi keburan lebih menekankan pada nilai religius dan nilai sosial. Penelitian yang dilakukan oleh Kairavani (2013) dengan judul penelitian Judi Versus Sarana Pemasukan Bagi Desa pakraman& Masyarakat Di Kabupaten Tabanan menyebutkan bahwa penyelenggaraan tajen yang dilakukan di lokasi yang sejatinya adalah milik dari suatu Desa pakraman digunakan alat atau sarana pemasukan bagi Desa pakraman dan masyarakat. Desa pakraman akan mendapatkan pemasukan dari sewa tempat, parkir, karcis masuk dll kemudian masyarakat akan mendapatkan pemasukan dari berjualan serta menawarkan jasanya di sekitar areal tajen. Penelitian yang dilakukan oleh Winarta (2014) dengan judul penelitian Tabuh rah Pada Masyarakat Hindu Bali Dalam Implikasinya Pada Kehidupan Masyarakat Hindu (Studi Kasus Di Dusun Gubug Bali, Kecamatan Lembar, Lombok Barat). Dalam Jurnal yang diterbitkan oleh Fakultas Hukum Universitas Mataram, dia menjelaskan bahwa masyarakat Bali mempunyai corak yang spesifik dan erat pertaliannya dengan hukum adat, dalam jurnal ini lebih banyak memuat bagaimana hukum adat mengatur tabuh rah dan juga bagaimana undang-undang mengatur tabuh rah yang mengarah ke perjudian. Sabung ayam yang sering dilaksanakan di dusun Gubug merupakan suatu tindak pidana karena dibarengi dengan judi serta dalam pelaksanaannya tidak memperoleh izin dari pemerintah atau pejabat yang berwenang. Sabung ayam yang dilaksanakan disana diselenggarakan oleh pihak perorangan sehingga dapat dikatan itu telah melanggar hukum. Selain itu dalam jurnal ini juga disebutkan upaya yang telah dilakukan Kepolisian dalam menanggulangi tindak pidana perjudian sabung ayam ada 4

5 dalam dua macam yaitu upaya preventif dan upaya represif. Berbeda dengan penelitian sebelumnya, penelitian yang dilakukan oleh penulis akan lebih membahas bagaimana proses kenapa tabuh rah bisa menjadi tajen padahal esensi tabuh rah adalah upakara, yang mengakibatkan opini masyarakat mengarah pada opini tajen adalah profanisasi tabuh rah sehingga pemikiran tersebut dapat mengancam kesakralan dari sebuah upacara yadnya, dimana hilangnya nilai-nilai sakral pada upacara tabuh rah sama dengan mereka menodai kepercayaan mereka sendiri sehingga penting untuk menjelaskan arti atau makna yang sesungguhnya dari pelaksanaan tabuh rah tersebut,selain itu dikarenakan aktifitas tajen di Desa pakraman subagan tergolong kronis dan berkelanjutan dari satu generasi ke generasi selanjutnya maka penelitian ini lebih menarik untuk diteliti dengan melihat bagaimana pola interaksi yang tercipta antar peserta tajen. Selain itu Peneliti juga akan membahas dampakdampak tajen pada kehidupan sosial ekonomi masyarakat Desa pakraman Subagan, Karangasem, sehingga peneliti dapat menawarkan solusi dalam upaya menanggulangi tajen di Desa pakraman subagan. 2.1 TEORI SAKRAL DAN PROFAN (Durkheim) Menurut Durkheim seluruh keyakinan keagamaan manapun memperlihatkan satu karakteristik umum yaitu memperlihatkan antara yang sakraldan yang Profan. Durkheim mengatakan hal-hal yang bersifat sakralselalu diartikan yang berada dalam kondisi normal, sedangkan hal yang bersifat profan merupakan bagian keseharian dari hidup dan bersifat biasa saja (Kamirudin.2011:164). Durkheim mengatakan konsentrasi utama agama terletak pada yang sakralkarena memiliki pengaruh yang luas, menentukan kesejahteraan dan kepentingan seluruh anggota masyarakatnya, sedangkan yang profan tidak memiliki pengaruh yang besar dan hanya merupakan refleksi keseharian dari setiap individu. Dikotomi tentang yang sakral dan yang profan hendaknya tidak diartikan sebagai konsep pembagian moral, artinya kita seharusnya tidak menganggap yang sakral sebagai Kebaikan dan yang profansebagai Keburukan. Menurut Durkheim, kebaikan dan keburukan sama-sama ada dalam yang sakral danyang profan, akan tetapi yang sakraltidak dapat berubah menjadi sesuatu yang profan, begitupun sebaliknya yang profantidak dapat berubah menjadi yang sakral. Pada konteks kehidupan sehari-hari, terkadang sulit untuk membedakan antara sesuatu yang murni agama dan hasil pemikiran atau interpretasi dari agama. Sesuatu yang murni adalah agama, berasal dari tuhan, absolut dan mengandung nilai sakralitas, sedangkan interpretasi dari agama, berarti berasal dari manusia dalam menerjemahkan agamanya, bersifat temporal, berubah, dan tidak sakral. Sesuatu yang sakraltidak dapat berubah menjadi sesuatu yang profan dan yang profantidak dapat berubah menjadi sesuatu yang bersifat sakral. Namun jika dilihat melalui sudut pandang Agama Hindu, melalui konsep ruwa bineda melihat selalu adanya 2 hal hang bertentangan tetapi saling memiliki pengaruh, misalkan baik-buruk,besar-kecil,bersih-kotor dan juga sakral-profan. Sesuatu yang bersifat sakral dapat mengalami perubahan nilai akibat mendapatkan pengaruh dari sesuatu yang bersifat profan, misalkan purayang mengandung nilai magis dan makna spiritual dapat mengalami perubahan nilai diakibatkan ketika tajenyang merupakan suatu budaya yang bersifat profan. SehinggaTeori sakral danprofandurkheim dalam penelitian ini berguna untuk melihat bagaimana proses terjadinya desakralisasipada sebuah pura. 3. METODELOGI PENELITIAN Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan menggunakan pendekatan deskriptif. Menurut Creswell (Sugiyono,2013:347) dalam penelitian kualitatif berarti proses eksplorasi dan memahami makna perilaku individu serta kelompok, menggambarkan masalah sosial atau masalah kemanusiaan. Dalam pengertian yang lainnya penelitian kualitatif merupakan penelitian yang 5

6 menghasilkan penemuan-penemuan yang tidak dapat dicapai dengan menggunakan prosdur statistik atau dengan kuantifikasi (Djunaidi & Fauzan, 2012:25). Penelitian kualitatif harus mempertimbangkan metodologi kualitatis itu sendiri. Metodologi kualitatif adalah prosedur yang menghasilkan data deskriptis berupa data tertulis atau lisan di masyarakat (Djajasudarma, 2006: 11). Selanjutnya dapat dijelaskan bahwa pendekatan kualitatif menggunakan data lisan yang di dapat melalui informan, pendekatan ini melibatkan masyarakat yang diarahkan pada latar dan individu secara holistik sebagai bagian dari satu kesatuan yang utuh. Oleh karena itu dalam penelitian ini jumlah informannya ditentukan sesuai dengan keperluan penelitian, sehingga penelitian ini diharapkan dapat dianalisis secara objektif melalui fakta dan data yang dikumpulkan dilapangan. Pada analisis data penelitian kualitatif peneliti menggunakan model yang dikembangkan Miles dan Hubermas yaitu, pada proses penelitian kualitatif akan meliputi tiga tahapan yaitu tahap reduksi (Data Reduction), tahap penyajian data ( Data Display) dan tahap seleksi (Verification). Reduksi data adalah merangkum, memilih hal-hal pokok yang memfokuskan pada hal-hal yang penting, mencari tema dan juga polanya, dengan demikian data yang telah tereduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas serta memudahkan peneliti untuk melakukan pengumpulann data selanjutnya, semakin lama peneliti kelapangan maka jumlah data akan semakinn banyak, kompleks, dan rumit, untuk itulah maka penting untuk proses reduksi data dilakukan dengan segera. Data yang telah ditemukan dalam kegiatan reduksi data dilapangan maka selanjutnya akan melalui proses penyajian data. Penyajian data adalah mengumpulkan susunan data yang diperoleh dalam bentuk uraian singkat. Dalam hal ini menurut Miles dan Hubermas (Sugiyono, 2013:249) lebih sering menggunakan penyajian data dalam bentuk teks yang bersifat naratif, dengan mendisplay data maka akan memudahkan memahami apa yang akan dikerjakanberdasarkan apa yang telah dialami tersebut. Langkah Ketiga menurutt Miles dan hubermas adalah penarikan kesimpulan atau verifikasi yang sebelumnya dilakukan berdasarkan hasil dari reduksi data serta penyajian data, kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat sementara dan akan berubah bila tidak ditemukan bukti-bukti yang kuat yang mendukung pada tahap pengumpulan data berikutnya 4. Hasil dan Pembahasan 4.1 Gambaran Umum Penelitian Kelurahan Subagan merupakan gabungan dari dua desa pakraman, dua desa pakraman yang dimaksud adalah desa pakraman jasri dan desa pakraman Subagan. Secara etimologis Subagan berasal dari kata su + baga yang kemudian menjadi kata Subagan yang artinya tempat yang sangat bahagia. Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun 1980 tertanggal 31 Maret 1980 dan Peraturan Daerah Kabupaten Karangasem Nomor 17 Tahun 1981 tertanggal 24 Oktober 1981 Subagan yang semula merupakan kedesaan/ perbekelan di bentuk menjadi Kelurahan. Kelurahan Subagan memiliki tingkat kepadatan penduduk mencapai jiwa/km2 dan pada tahun 2014 mencapai jiwa/km2. Secara administrasi Kelurahan Subagan memiliki batas-batas wilayah diantaranya disebelah utara desa pakraman subagan yakni Desa Bungaya Kangin, lalu disebelah timur desa pakraman subagan yakni Kelurahan Karangasem, lalu disebelah selatan desa pakraman subagan yakni Selat Lombok, terakhir di sebelah barat desa subagan berbatasan dengan Desa Pertima dan Desa Perasi, Pada Tahun 2014 jumlah populasi kelurahan Subagan mencapai , dengan penduduk laki-laki dan penduduk perempuan dari jumlah penduduk tersebut pada tahun 2014 terdapat kepala keluarga di kelurahan Subagan. 4.2 Gambaran Umum Pura Penataran Agung. 6

7 Lokasi penelitian ini dilakukan di Pura Penataran Agung yang terletak di Banjar Gede, Desa Pakraman Subagan, Kelurahan Subagan, Kecamatan Karangasem, Kabupaten Karangasem, Provinsi Bali. Konsep pura sebagai tempat suci pada umumnya di Bali, adalah berdasarkan atas konsep pura Tri mandala, yakni terbagi atas tiga bagian halaman, yaitu jaba pura (Nista mandala), jaba tengah (Madya mandala), dan jeroan (utama mandala). Namun pada pura penataran agung di desa pakraman Subagan menggunakan konsep dwi mandala yaitu membagi areal pura menjadi 2 wilayah, pada bagian pertama yang di sebut dengan jabaan adalah merupakan gabungan konsep antara Nista dan Madya mandala sedangkan pada bagian berikutnya disebut dengan Jeroan atau Utama mandala. Untuk memasuki pura Penataran Agung kita harus melewati Candi utama yang berada disebelah selatan pura. Karena pura Penataran Agung menggunakan konsep dwi mandala maka setelah melewati candi tersebut kita akan memasuki bagian jabaan pura. Jabaan pura dalam konsep dwi mandala memiliki fungsi untuk areal untuk melakukan berbagai jenis kegiatan untuk persiapan upakara yang akan dilakukan di pura. Pada areal utama mandala terdapat bangunan pesimpenan atau bangunan yang difungsikan untuk menyimpan segala keperluan upakara dalam rangka upacara (pujawali) pura misalkan, jempana, kober, senjata dll. Didepan tempat penyimpenan juga biasanya digunakan sebagai tempat untuk meletakan gambang saat sedang ada pujawali. Pada areal Utama mandala ini terdapat pelinggih Ida Betara Ayu Mas Maketel, Ida Betare Manik Angkeran, Ida Betara Ngerurah, Ida Betara Ayu Mas Muter, Ida Betara Gunung Agung, Ida Betara Luhiring Akasa, Ida Betara Bukit, Ida Betara Majahapit, Ida Betare Lembu Srenggana, Pelinggih yang paling utama di pura ini adalah gedong yang merupakan linggih dari Ida Betara Lingsir 4.3 Proses Terjadinya Desakralisasi Paradigma berfikir masyarakat lokal sebagai pendukung kebudayaan dan pemilik nilai budaya lokal mendapatkan pengaruh akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan didukung dengan industri pariwisata global yang mendunia sehingga konsepsi tentang nilai-nilai kesucian pura bergeser dan menjadi terfokus pada nilai-nilai materialistis, dimana religiusitas pura mengalami perubahan nilai secara dramatis. Kesakralan suatu pura harus tetap terpelihara dan terjaga untuk keberadaan kesucian pura tersebut, dengan adanya konsepsi tentang kesucian pura yang harus terjaga dan terpelihara kesakralannya, baik di dalam maupun di luar pura, maka pura penataran harus tetap sakral baik di bagian terdalam ataupun terluar pura itu sendiri. Tanpa disadari kita telah membawa budaya lokal yang memiliki efek negatif kedalam sebuah pura, dalam konteks ini tajen sebagai salah budaya lokal kita telah membawa efek negatif kepada kesakralan pura, darah yang menetes didalam areal pura merupakan salah satu faktor yang akan mengancam kesucian pura tersebut, berikutnya kebebasan masyarakat untuk memasuki areal pura disaat tajen sedang berlangsung bahkan tanpa menggunakan busana adat juga dapat menjadi penyebab kesucian pura tersebut terganggu, belum lagi jika ada seseorang yang pergi ke sebuah tajen yang dilakukan dalam lingkungan pura dengan keadaan cuntaka. Secara sadar ataupun tidak sadar, masyarakat lokal sebagai pemilik warisan budaya ini telah menciptakan bentuk ruang profan yang beradaptasi dengan praktik kapitalis atas pemanfaatan pura sebagai tempat untuk melakukan tajen sehinggga hal tersebut menggeser bentuk ruang sakral di pura penataran agung yang terdapat di desa Subagan, Karangasem. Menurut data yang di peroleh dari informan MS yang merupakan pemangku di pura penataran agung menyebutkan bahwa pura penataran agung pertama kali di bangun pada tahun 1972 oleh banjar adat gede yang merupakan pengempon pura penataran agung saat ini. Terkait tajen yang dilakukan di dalam pura penataran agung. Menurut berbagai sumber di desa pakraman subagan terdapat banyak versi terkait kapan dimulainya tajen yang di adakan di pura penatan agung, namun 7

8 diperkirakan bahwa tajen yang dilakukan di pura penataran agung sudah dimulai sekitar tahun 1980, sehingga dapat dikatakan bahwa tajen di pura penataran agung sudah cukup lama dilakukan walaupun mengalami pasang surut dalam artian tajen yang dilakukan disana tidak menetap secara terus menerus diadakan di pura penataran agung karena tajen yang dilakukan disana merupakan tajen branangan. Pro-kontra tajen sebenarnya tidak akan mencapai kata final, ada yang menyukainya dan ada juga yang menolak keberadaan tajen, baik tajen yang dilakukan di wantilan dan bale banjar maupun tajen yang dilakukan didalam areal pura karena bukan hanya akan berdampak pada kehidupan sosial ekonomi masyarakat, tajen yang dilakukan di dalam areal pura juga akan berpengaruh terhadap nilai kesakralan sebuah pura, seperti data yang diperoleh dari informan GA yang merupakan seorang babotoh berikut ini Dimanapun, yang penting tajen tetap ada Secara tegas GA berpendapat dia setuju saja jika tajen dilakukan diareal pura, yang penting tajen tetap ada. GA tidak sadar bahwa tajen dapat merusak kesakralan sebuah pura jika dilakukan di areal pura, akan tetapi seperti yang di katakan penulis sebelumnya yaitu akan selaku ada pro dan kontra terhadap tajen baik yang dilakukan di dalam areal pura maupun yang dilakukan di Bale banjar, wantilan dan lain-lain. Bersebrangan dengan pendapat GA, melalui data yang diperoleh dari NS yang merupakan masyarakat di desa pakraman Subagan, menyatakan bahwa Tajen kalau dilakukan di pura, karena banyak babotoh yang tidak dapat menjaga sikap, misalkan berkata kasar saat kalah, belum lagi jika ada babotoh yang baru datang dari nyango, pasti hal itu akan berpengaruh di kesucian pura, sehingga pemangku pura harus membersihkan pura dengan menggunakan banten pratista kalau sampai ada yang cuntaka memasuki areal pura Dalam data tersebut dapat diketahui masyarakat merasa jika tajen dilakukan di areal pura, hal tersebut dapat menyebabkan dampak yang kurang baik terhadap kesucian pura jika babotoh berkata kasar di dalam pura dan terlebih lagi jika ada babotoh yang cuntaka karena baru datang dari melayat dapat masuk ke dalam pura untuk metajen, maka pemangku harus membersihkan pura dengan membuatkan banten pratista kalau sampai ada yang cuntaka memasuki areal pura. Dengan berpatokan pada ajaran agama Hindu, tajen merupakan sesuatu yang dilarang, karena mengandung unsur judi di dalamnya, Agama Hindu melarang perjudian, termasuk tajen. Gagasan ini terlihat pada kitab suci kitab Rg Weda ( ) yang menyatakan sebagai berikut. Aksair ma divyah krsimitkrsasva vite ramasva bahu manyamanah tatra gavah kitavahtatra java tanme vi caste savitaymaryah, Artinya, Wahai pejudi jangan bermain judi, lebih baik menjadi petani disanalah kekayaan berlimpah ruah, disanalah sapi perahanmu, disanalah kebahagian istrimu, demikian yang disampaikan oleh Dewa Savita (Rg Weda Windia dalam Atmadja, 2015:19) Selain itu tajen juga sangat bertentangan dengan ajaran agama Hindu yaitu Ahimsa atau nonkekerasan yakni larangan untuk menyakiti makhluk hidup, tidak saja manusia, tetapi juga binatang dan tumbuhan. Menurut Durkheim seluruh keyakinan keagamaan manapun memperlihatkan satu karakteristik umum yaitu memperlihatkan antara yang Sakraldan yang Profan. Durkheim mengatakan hal-hal yang bersifat sakralselalu diartikan yang berada dalam kondisi normal, sedangkan hal yang bersifat profan merupakan bagian keseharian dari hidup dan bersifat biasa saja (Kamirudin ). Jika dilihat melalui sudut pandang Agama Hindu, melalui konsep ruwa bineda melihat selalu adanya 2 hal yang bertentangan tetapi saling memiliki pengaruh, 8

9 misalkan baik-buruk, besar-kecil, bersih-kotor dan juga sakral-profan. Tajen dapat mengakibatkan proses desakralisasi pada nilai-nilai religius pura karena tajen merupakan sesuatu yang bersifat profan. Tajen adalah sebuah budaya negatif yang telah melekat pada kehidupan masyarakat, karena tajen membawa unsur yang negatif maka seharusnya tajen tidak dilakukan di areal pura karena hal tersebut dapat mengakibatkan pura mengalami desakralisasi. Aktivitas tajen seperti yang disebutkan diatas, telah menyebabkan pura mengalami Desakralisasiatau hilangnya nilai-nilai sakral yang terkandung di dalamnya. Banyak hal yang jika dilihat dari sudut pandang agama Hindu yang menjelaskan bahwa terjadinya desakralisasi pada pura jika pura digunakan sebagai tempat untuk melakukan tajen. 4.4 Pemaknaan Salah Mengenai Ida Betara Manik Angkeran Tajen di dalam kehidupan masyarakat Desa Pakraman Subagan memang sudah ada sejak dulu dantelah melekat pada aspek kepercayaan masyarakat, karena pada pura Bale Agung maupun Penataran Agung terdapat pelinggih dari Ida Betara Manik Angkeran atau Ida Betara Bagus Babotoh yang dikatakan sebagai dewanya babotoh, terkait hal tersebut GT mengatakan. Setau saya menurut kepercayaan masyarakat disini ada dewa yang disebut dewa babotoh yaitu ida betara manik angkeran, sehingga sulit untuk menghapuskan tajen baik yang dilakukan diareal pura maupun yang dilakukan diluar areal pura, itu yang menyebabkan mengapa tajen begitu melekat pada aspek kehidupan masyarakat (Wawancara 16 November 2015) Memang benar di dalam Pura Bale Agung dan Pura Penataran Agung terdapat linggih Ida Betara Manik Angkeran (Lihat Gambar 4.2) akan tetapi hal tersebut seharusnya tidak dapat dijadikan sebagai dasar mengapa tajen dapat dilakukan didalam areal pura Dalam kisah Manik Angkeran memang dijelaskan bahwa Manik Angkeran adalah seorang babotoh hal tersebut yang mungkin menjadikan dasar pemikiran masyarakat yang menganggap bahwa Manik Angkeran merupakan dewanya babotoh. Pemberian makna yang salah kepada Manik Angkeran oleh masyarakat layak untuk dibongkar, namun perlu diingat membongkar sebuah model berpikir yang salah bukan berarti harus menghilangkan model berpikir tersebut. Pemberian makna kepada Ida Betara Manik Angkeran sebagai dewanya babotoh adalah sesuatu yang perlu di luruskan karena memang pada dasarnya Manik Angkeran sesuai yang diceritakan dalam lontar Pamancangah adalah seorang babotoh namun dalam lontar tersebut juga diceritakan bahwa Manik Angkeran telah berubah dan meninggalkan sifat-sifatnya yang dulu sehingga ia dipercaya untuk menjaga pura besakih dengan berstana di pura bangun sakti yang merupakan bagian dari pura besakih. Dalam agama Hindu terdapat pula ajaran yang menyoroti sifat-sifat manusia. Namun ajaran Hindu lebih dominan menyoroti unsur kecenderungan sifat manusia sifat manusia yang muncul dari dalam diri manusia yaitu Daiwa Sampat (sifat kedewataan) dan Asuri Sampat (sifat keraksasaan). Dimulai dengan sifat Asuri Sampat, sifat ini melahirkan sifat yang dalam ajaran agama Hindu sebagai dijelaskan sebagai berikut : 1. Kama (keinginan memuaskan nafsu secara berlebihan) 2. Loba (Rakus) 3. Kroda (Marah-marah) 4. Mada (Mabuk-mabukan dan suka berjudi) 5. Moha (sombong) 6. Matsarya (dengki) Sedangkan daiwa sampat atau sifat kedewataan berarti memiliki jiwa yang murni, giat untuk mencapai kebijaksanaan dan yoga, berderma, menguasai indria, berkorban, mempelajari ajaran-ajaran kitab suci, taat berpantangan dan jujur. 9

10 Pola pikir dan kepercayaan masyarakat yang mengatakan bahwa Manik Angkeran sebagai dewanya babotoh sejatinya salah, pada pola pikir yang salah tersebut ada celah yang dapat dimanfaatkan bagi masyarakat untuk melakukan aktivitas tajen didalam areal pura yang didalamnya terdapat pelinggih Ida Betara Manik Angkeran, sehingga pemaknaan yang salah terhadap Ida Betara Manik Angkeran dapat menyebabkan terjadinya desakralisasi pada nilai-nilai religius yang terdapat di dalam pura penataran agung. 4.5 Peran Desa Pakraman Sebagai Penyungsung Pura Desa pakraman memiliki peranan yang sangat penting agar tajen dapat terlaksana baik itu dilakukan di dalam areal pura maupun yang diadakan di bale banjar dan wantilan, namun tak banyak yang dapat penulis sampaikan mengenai bagaimana tajen dapat berlangsung di pura Penataran Agung di Desa Subagan, Karangasem karena minimnya informasi yang penulis dapatkan dari pihak Desa Pakraman yang merupakan pengempon pura Penataran Agung di Desa Subagan, Karangasem. Namun dalam keterangan yang disampaikan oleh Sengkok selaku cukong yang mengadakan tajen di areal pura Penataran Agung, adalah sebagai berikut; Ada kerjasama antara Desa pakraman dengan cukong tajen, Desa pakraman yang menghadap kepolisian tapi yang mengelola disana adalah cukong tajen, nanti keliang Desa pakraman hanya cukup mengetahui mau dicarikan surat permakluman Dalam keterangan informan diatas dia menjelaskan bahwa adanya kerjasama antara Desa Pakraman dengan cukong tajen. Untuk mencari ijin di kepolisian cukong menghadap ke kepolisian atas nama dari pihak desa Pakraman, pihak Desa Pakraman yang di wakili oleh keliang adat ataupun keliang banjar hanya cukup mengetahui akan dicarikan surat permakluman. Surat permakluman yang dimaksud adalah surat permakluman akan melakukan tabuh rah, karena pihak kepolisian tidak pernah memberikan ijin untuk melakukan tajen. Desa pakraman memiliki wewenang untuk membuat aturan dan dedosan (sanksi/hukuman) guna mengatur kehidupan masyarakatnya, termasuk pula salah satunya adalah mengenai tajen yang dilakukan di dalam areal pura. Desa pakraman sesuai dengan konsep kerangka dasar kehidupan umat Hindu, memiliki fungsi untuk menjalankan tatwa (filsafat), susila (Etika), dan upakara (Ritual). Desa adat yang memiliki tanggung jawab sebagai pengempon pura sebenarnya telah menjalankan tugasnya dengan baik. Menurut keterangan PT yang bertugas sebagai ulun desa Subagan Terkait masalah tajen di pura bagi kami Desa pakraman Subagan tetap berpegangan pada sastra agama dan awig-awig yang tidak membolehkan terlaksananya tajen di dalam areal pura. Kalau terjadi sementara orang melakukan kegiatan tajen di dalam areal pura, itu jelas-jelas suatu pelanggaran (Wawancara 19 November 2015) Dalam keterangan tersebut dapat diketahui jika Desa pakraman tidak menyetujui jika tajen dilakukan di dalam areal pura, namun sesuai fakta yang ditemukan dilapangan bagaimana tajen dapat dilakukan di dalam areal pura penataran agung di desa pakraman Subagan jika Desa pakraman telah melarang untuk melakukan hal tersebut, terkait masalah yang termasuk kedalam areal pura PT menyatakan jika. Yang dimaksudkan di dalam areal pura itu kan di jeroan itu sendiri, kalau diluar itu kan beda (Wawancara 19 November 2015) Disini penulis melihat adanya kesalahan pada Desa pakraman untuk mendeskripsikan konsep areal pura. Sesuai dengan konsep Tri Mandala, yang termasuk kedalam pembagian wilayah areal pura di bagi menjadi 3 wilayah yaitu Utama Mandala (Jeroan), Madya Mandala (Jaba tengah), dan Nista Mandala (Jaba sisi), sedangkan untuk konsep Dwi mandala yang termasuk kedalam areal pura adalah Utama mandala (Jeroan) dan Jaba sisi (Konsep penggabungan antara Madya mandala dan Nista mandala). 10

11 Bhisama Parisada Hindu Dharma Indonesia mengenai kesucian pura nomor 11/kep/I/PHDI/1994 tertanggal 25 Januari 1994, menyatakan bahwa tempat-tempat suci memiliki radius kesucian yang disebut dengan daerah kekeran, dengan ukuran Apeneleg, Apenimpug dan Apenyengker. Bhisama ini mengatur pemanfaatan ruang di sekitar pura yang berbunyi sebagai berikut, di daerah radius kesucian pura (daerah kekeran) hanya boleh ada bangunan yang terkait dengan kehidupan beragama Hindu, misalnya didirikan Darmasala, Pasraman dan lain-lain, bagi kemudahan umat Hindu melakukan kegiatan keagamaan (misalnya Tirtayatra, Dharmawacana, Dharmagita, Dharmasadana dan lain-lain). Artinya, dalam radius kesucian pura hanya diperbolehkan untuk pembangunan fasilitas keagamaan dan kegiatan yang terkait dengan aktivitas keagamaan. Apa itu Kekeranpura?Kekeran itu artinya kita sudah bisa melihat pura itu dari tempat kita berada. Pada konsep wilayah Kekeran, metode yang digunakan untuk menentukan wilayah Kekeran adalah Apeneleg atau wilayah yang bisa diteleng (dilihat) dari pura sehingga yang dipandang bisa kita ketahui wujudnya. Konsep ini digunakan untuk pura Kahyangan Jagat (Kelompok ini dibagi menjadi dua yaitu Sad Kahyangan dan Dhang Kahyangan). Apenimpug adalah wilayah yang bisa diukur sejauh seseorang bisa melemparkan sesuatu dari pura, konsep ini agak sulit batasannya karena tergantung sesuatu itu dan siapa yang melempar, konsep ini diterapkan untuk pura yang umumnya ada di lereng gunung yang tidak ada penyengkernya. Konsep terakhir adalah Apenyengker ini paling jelas ukurannya karena sudah dinyatakan dengan membangun tembok pura. Pura Tri Kahyangan semuanya berpenyengker. Pura penataran agung di desa pakraman Subagan jelas menggunakan konsep Apenyengker sebagai konsep untuk menyatakan radius kesucian puranya, hal itu berarti untuk menjaga kesucian pura penataran agung wilayah Jaba sisi (Nista mandala) pada pura penatarn agung harus difungsikan sebagai tempat untuk kegiatan keagamaan (misalnya Tirtayatra, Dharmawacana, Dharmagita, Dharmasadana dan lain-lain) Dalam bhisama PHDI tersebut kita ketahui jika yang termasuk kedalam areal Pura Penataran Agung di Desa Pakraman Subagan adalah apenyengker atau sebatas tembok, itu artinya wilayah jaba sisi pura Penaaran Agung adalah wilayah yang termasuk kedalam wilayah radius kesucian pura sehingga dapat menyimpulkan jika tajen yang dilakukan di dalam areal pura walaupun dilakukan di areal jaba sisi pura dapat mengurangi kesucian pura tersebut, karena tajen bukan termasuk dalam kegiatan keagamaan, disini pecampur adukan makna antara tabuh rah dan tajen kembali berperan dan dapat mengancam kesucian pura. 4.6 Dampak dan Makna Tajen Bagi Masyarakat Dampak desakralisasi merupakan dampak yang dimunculkan akibat tajen yang bersifat profan memasuki areal pura yang bersifat sakral sehingga berpengaruh terhadap masyarakat lokal dalam segala aspek kehidupannya yang dapat pula melahirkan makna-makna baru yang tersirat didalamnya. Tajen merupakan kegiatan yang secara langsung menyentuh dan melibatkan masyarakat. Terkait hal tersebut, maka dampak dan makna desakralisasi Pura Penataran Agung, di desa Pakraman Subagan yang difungsikan sebagai tempat untuk mengadakan tajen tentu akan membawa dampak serta makna dalam seluruh aspek kehidupan sosial, ekonomi dan budaya di masyarakat Dampak Kesucian Pura Pandangan tentang makna kesucian pura sebagai tempat suci yang sakral adalah bermakna sebagai tempat suci yang memiliki unsur-unsur kesucian serta dapat menggetarkan kesucian Sang Hyang Atman yang bersemayam di dalam jiwa setiap individu. Kesucian Pura tidak hanya perlu dijaga pada saat adanya upacara-upacara keagamaan saja, melainkan setiap hari, baik oleh pengurus pura, maupun masyarakat lokal sebagai pengempon atau penyungsungnya. Jika terjadi sesuatu yang melanggar kesucian pura tersebut, maka 11

12 perlu segera diadakan upacara pembersihan atau penyucian dengan melaksanakan upakara Pecaruan. Kesucian pura juga akan mendapat pengaruh dari cara berprilaku masyarakat di dalam pura misalnya berkata kasar, berkelahi dll Dampak Sosial Mengutip pernyataan Windia dalam buku Tajen di Bali Perspektif Homo Complexus yang menyatakan bahwa kajian terhadap tajen sebaiknya tidak lagi terpaku pada pendekatan agama dan hukum, tetapi dari sudut pandang lain, misalnya ekonomi, budaya, politik, dll. Gagasan ini tidak saja sangat menarik, tetapi juga amat penting,sebab pendekatan agama dan hukum lebih bersifat normatif, yakni melihat tajen dari segi yang salah dan dosa. Penjelasan seperti ini tidak memberikan pemahaman pada aspek mengapanya, padahal pemahaman terhadap suatu tindakan manusia aspek mengapa adalah sangat penting (Atmadja,2015:25). Bertolak dari pemikiran itu maka kajian terhadap tajen tersebut dicoba memakai pendekatan lain, yakni dari dampak sosial masyarakat. Tajen yang merupakan warisan budaya masyarakat lokal dapat menciptakan suatu ruang publik yang berfungsi untuk meningkatkan keharmonisan dalam masyarakat. Konsep ruang publik pada umumnya digunakan untuk merujuk pada diskursus dan debat umum, dimana setiap individu bisa mendiskusikan isu-isu yang menjadi perhatian bersama. Pihak yang menolak tajen tentu tidak akan menerima jika tajen memiliki dampak yang positif bagi kehidupan sosial masyarakat karena dari awal mereka sudah memberikan pandangan tajen merupakan sesuatu yang salah, namun kenyataannya tajen sebagai media berkomunikasi dan berkomunikasi masyarakat Bali, disanalah para babotoh menghabiskan energinya, menumpahkan tindihan batin, jiwa, berbagi pikirannya dengan orang lain, hal ini tentunya dapat kita lihat kalau kita merupakan suatu bagian dari tajen tersebut Dampak Perubahan Pola Pikir Tajen dapat bertahan sampai sekarang tidak bisa dilepaskan dari peran keluarga, ayah merupakan aktor paling penting dalam mewariskan tajen kepada generasi berikutnya. Internalisasi budaya tajen dilakukan dengan berbagai cara antara lain ayah meminta istri dan atau anaknya untuk ikut memilihara ayam aduan (Admadja,2015:175). Tidak bisa dipungkiri ahwa tajen memiliki dampak yang sangat luas bagi kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat, apalagi tajen bukan hanya dilakukan oleh orang dewasa saja, bahkan ada anak-anak juga yang sudah biasa mengikuti tajen sejak kecil, bukan hanya untuk menikmati permainannya tetapi juga untuk mencari uang tambahan melalui pekerjaan sebagai tukang cabut bulu ayam. Sehingga tajen yang dilakukan didalam pura tentu akan dapat merubah pola pikir masyarakat. Selain merubah pola pikir tentang konsep pura sebagai tempat yang sakral menjadi tempat untuk bersenangsenang dan mencari uang tambahan, tajen yang dilakukan dipura juga dapat merubah pola pikir masyarakat khususnya anak-anak karena yang seharusnya menjadi konsentrasi anak-anak ketika disekolah adalah untuk belajar terganggu karena anak-anak masih memikirkan tajen Dampak Susila atau Etika Susila/etika merupakan hal-hal tentang yang baik dan yang buruk tentang hak dan kewajiban moral atau akhlak (Alwi,2001:309). Sehubungan dengan pengertian tersebut, maka makna susila/etika dalam hal ini, bagaimana menjaga hubungan dengan baik antara agama, budaya, dan masyarakat, sehingga tetap terjaga kesucian pura agar terpelihara dengan baik, saling memberi pengertian, dan menumbuhkan toleransi terhadap norma adat dan budaya masyarakat lokal, serta tidak melanggar larangan agama dan adat istiadat setempat. Kaitan dengan Desakralisasi Pura dengan dampak susila/etika adalah tajen yang dilakukan di dalam areal pura tanpa disertai dengan aturan yang jelas tentang berbusana dapat menmberikan dampak yang negatif bagi masyarakat. Seharusnya untuk memasuki areal pura kita harus berbusana yang sopan dan pantas, rapi dan bersih. Sesuai dengan apa yang ditemukan dilapangan, ketika masyarakat masuk ke 12

13 pura penataran agung untuk mengikuti tajen, masyarakat memasuki areal pura dengan menggunakan celana dan baju biasa yang dianggap tidak pantas dan juga tidak tepat untuk memasuki areal pura walaupun itu bagian jaba sisi pura sekalipun Dampak Ekonomi Tajen yang merupakan budaya negatif di masyarakat tentunya akan memberikan dampak yang negatif bagi bagi kehidupan masyarakatnya, salah satu dampak negatif yang ditimbulkan oleh tajen tentu saja akan berdampak secara ekonomi bagi pelakunya Setiap orang yang pergi ke matajen pasti ada tujuan yang ingin diraih, tentunya tujuan yang ingin diraih adalah mendapatkan kemenangan. Pada kenyataannya realitas sosial dalam masyarakat yang tidak dapat kita pungkiri menunjukan bahwa sebagian masyarakat kecil hidup dalam mimpi-mimpi dan juga iming-iming menjadi kaya melalui perjudian Dalam tajen ada seseorang yang berperan dan memanfaatkan ketidakpuasan babotoh yang kalah dalam permainan yang disebut tukang gade sehingga seringkali babotoh ada yang terlilit hutang karena tajen. Memang benar pikiran babotoh sangat kacau, bukan saja saat kalah bahkan saat menang karena merasa mendapatkan uang yang banyak, mereka langsung berpoyapoya, uang kemenangannya digunakan untuk membeli minuman keras untuk berpesta dengan teman-temannya apalagi pada saat menang babotoh akan mendapatkan be cundang Makna Religius Dalam bukunya yang berjudul Jangan Mati di Bali Gede Aryantha menyebutkan belakangan ini predikat lucu bagi orang bali kian melebar dan beragam. Tidak ada lagi lucu dalam arti sesungguhnya, tetapi lucu sebagai sindiran. Misalnya, orang bali dikenal sangat suntuk dan khusuk kalau ada upacara di pura atau kegiatan adat dan keagamaan lalu tak lama kemudian, mereka juga asik untuk mengikuti kegiatan ceki, domino termasuk juga kegiatan tajen Setidaknya itu yang ada didalam benak orang asing yang dia temui, namun tidak dapat dapat dipungkuri bahwa memang seperti itu adanya namun perlu juga ditekankan bahwa emosi keagamaan tidak dapat selalu muncul, sehingga memerlukan sebuah ritual dan sebuah motivasi baru untuk memunculkannya. Banyak orang yang tidak dapat setiap hari dan setiap waktu untuk memunculkan emosi keagamaannya, tiap hari mereka tidak melakukan persembahyangan tapi ketika ada sebuah ritual yang dilakukan, emosi keagamaan tersebut tiba-tiba muncul karena ada faktor yang mempengaruhinya baik itu faktor lingkungan, gengsi, serta faktor yang menyebabkan seseorang merasa berdosa jika hanya dia yang tidak datang ke tempat upacara tersebut dan juga faktor adanya hiburan seperti tari-tarian dan juga tajen di pura ataupun di suatu lokasi upacara Makna Kesejahteraan Makna kesejahteraan yang dimaksud disini adalah mengacu kepada kesejahteraan sosial kehidupan manusia, yaitu segala kebutuhan material dan non-material, dalam istilah umum, kesejahteraan menunjuk kepada keadaan yang baik, kondisi manusia dimana orang-orangnya dalam keadaan makmur, dalam keadaan sehat dan damai, dalam hal ini kesejahteraan berhubungan dengan hal-hal atau keadaan sejahtera, keamanan, keselamatan,kemakmuran, dan ketentraman (Alwi,2001:1001).Dalam ekonomi, kesejahteraan dihubungkan dengan keuntungan benda atau materi yang menghasilkan uang, kesejahteraan memiliki arti khusus secara ekonomi. Berpandangan terhadap hal tersebut, maka tidak berlebihan apabila tajen yang dilakukan di dalam areal pura penataran agung menghadirkan kesejahteraan dengan kaidah ekonomi bagi masyarakat di desa pakraman subagan. Didalam areal tajen sendiri terjadi perputaran uang yang cukup besar hal ini terkait dengan jumlah taruhan besar yang terdapat didalam permainan, kalaupun jumlah nominal taruhannya sedikit tetapi hal tersebut tetap saja menjadikan tajen sebagai tempat perputaran uang yang 13

14 besar karena sedikit dikali banyak akan berjumlah cukup besar, harga-harga makanan yang dijual disana menjadi 2 kali lipat dibanding dengan harga biasanya. Pada kehidupan Mek Mentis yang merupakan pedagang di arealtajen, tajen dapat memberikan makna kesejahteraan ekonomi karena jika berjualan di tajen barang-barang yang dijualnya dapat laku walaupun dengan harga yang di lipat gandakan. Selain para pedagang keberadaan tajen juga memberikan manfaat kepada orang yang mencadi tukang cabut bulu di areal tajen Selain itu dalam keterangannya Cecayang bekerja sebagai tukang cabut bulu ayam di areal tajen, dia menjelaskan bahwa setiap kali dia mencabuti bulu ayam dia mendapatkan upah sebesar 15rb dan mendapatkan 1 potong paha ayam, Ceca juga menjelaskan mengenai sistem kerja dan pembagian upah, semua upah kerjanya dikumpulkan menjadi satu terlebih dahulu baik uang dan potongan paha ayam baru kemudian dibagi secara merata ke sesama tukang cabut bulu ayam. Khususnya masyarakat yang terlibat secara langsung dalam kegiatan tajen tersebut meski tidak banyak akan tetapi mereka dapat merasakan adanya pemasukan tambahan yang dapat mereka peroleh. 5. Simpulan Tajen yang merupakan budaya negatif di masyarakat Bali jika dilakukan di areal pura tentu saja dapat memberikan dampak yang negatif pada pura tersebut khususnya pura penataran agung di desa pakramansubagan dan juga pada kehidupan masyarakat secara luas. Pada aspek kesucian pura tajen dilakukan di dalam areal pura menyebabkan pura dapat mengalami desakralisasi karena tajen merupakan sesuatu yang bersifat profan. Masyarakat mencoba mengakali hukum dengan melakukan tajen di dalam pura dengan tujuan menggunakan tabuh rah sebagai tamengnya. Desakralisasi dapat terjadi di areal pura jika masyarakat salah memberikan konsep mengenai areal pura. Konsep pura di Bali biasanya menggunakan konsep Tri Mandala namun ada juga pura yang menggunakan konsep Dwi Mandala termasuk pula di pura penataran agung di desa pakraman subagan. Sesuai dengan konsep Tri Mandala, yang termasuk kedalam pembagian wilayah areal pura di bagi menjadi 3 wilayah yaitu Utama Mandala (Jeroan), Madya Mandala (Jaba Tengah), dan Nista Mandala (Jaba Sisi), sedangkan untuk konsep Dwi Mandala yang termasuk kedalam areal pura adalah Utama Mandala (Jeroan) dan Jabaan (Konsep penggabungan antara Madya Mandala dan Nista Mandala). Konsep yang menjadi dasar bagi masyarakat untuk membangun pura telah diterapkan secara tepat namun masyarakat khususnya masyarakat di desa pekraman subagan keliru dalam hal memanfaatkan jaba sisi pura yang merupakan wilayah paling luar pura. Jaba sisi pura sejatinya memiliki fungsi untuk segala kegiatan yang berhubungan dengan kegiatan keagamaan misalnya menyiapkan sarana dan prasarana upacara, mejejaitan, dll. Kesalahan yang dilakukan masyarakat di desa subagan adalah menggunakan areal jabaan pura penataran agung sebagai tempat untuk melakukan tajen. Pada konsep kekeran dalam agama hindu menurut Bhisama Parisada Hindu Dharma Indonesia mengenai kesucian pura nomor 11/kep/I/PHDI/1994 tertanggal 25 Januari 1994, menyatakan bahwa tempattempat suci memiliki radius kesucian yang disebut dengan daerah kekeran, dengan ukuran Apeneleg, Apenimpug dan Apenyengker. Karena pura penataran agung merupakan pura yang diusung oleh desa maka dalam hal radius kesucian pura, pura penataran agung menggunakan konsep apenyengker dalam menentukan radius kesucian puranya. Sesuai dengan konsep apenyengker berarti radius kesucian pura penataran agung telah ditetapkan seluas panyengker pura (Tembok pura), karena tajen merupakan budaya negatif masyarakat yang dapat mengganggu kesucian pura jika dilaksanakan di dalam areal pura sudah seharusnya tajen tidak dilakukan di areal pura walaupun itu dilakukan di areal jaba sisi pura karena jaba sisi pura termasuk kedalam radius kesucian pura karena jaba sisi atau jabaan pura penataran agung termasuk dalam wilayah apenyengker pura. 14

BAB I PENDAHULUAN. pariwisata dunia, salah satu tradisi yang menarik untuk dikupas lebih lanjut adalah

BAB I PENDAHULUAN. pariwisata dunia, salah satu tradisi yang menarik untuk dikupas lebih lanjut adalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau Bali merupakan salah satu pulau yang dikenal dengan beragam tradisi yang dimilikinya. Hal tersebut menjadikan Bali memiliki daya tarik tersendiri di mata pariwisata

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, DESKRIPSI TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN. Tinjauan pustaka merupakan uraian tentang beberapa penelitian sebelumnya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, DESKRIPSI TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN. Tinjauan pustaka merupakan uraian tentang beberapa penelitian sebelumnya BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, DESKRIPSI TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN. 2.1 TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan pustaka merupakan uraian tentang beberapa penelitian sebelumnya mengenai permasalahan serupa dengan yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Etnis Bali memiliki kebudayaan dan kebiasaan yang unik, yang mana kebudayaan

I. PENDAHULUAN. Etnis Bali memiliki kebudayaan dan kebiasaan yang unik, yang mana kebudayaan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Etnis Bali memiliki kebudayaan dan kebiasaan yang unik, yang mana kebudayaan dan kebiasaan tersebut dapat dijadikan sebagai identitas atau jatidiri mereka. Kebudayaan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu arena atau wilayah tertentu. Aktivitas sabung ayam sejatinya tidak dapat

BAB I PENDAHULUAN. suatu arena atau wilayah tertentu. Aktivitas sabung ayam sejatinya tidak dapat BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Penelitian Sabung ayam merupakan tradisi pertarungan antara dua ayam jantan pada suatu arena atau wilayah tertentu. Aktivitas sabung ayam sejatinya tidak dapat dipisahkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bali sebagai bagian dari Kebudayaan Indonesia yang bersifat Binneka Tunggal Ika (Berbedabeda

BAB I PENDAHULUAN. Bali sebagai bagian dari Kebudayaan Indonesia yang bersifat Binneka Tunggal Ika (Berbedabeda BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Provinsi Bali merupakan salah satu provinsi yang cukup terkenal di Indonesia karena merupakan salah satu asset devisa Negara Indonesia yang cukup tinggi di bidang

Lebih terperinci

PENYELENGGARAAN TAJEN: JUDI VERSUS SARANA PEMASUKAN BAGI DESA ADAT DAN MASYARAKAT

PENYELENGGARAAN TAJEN: JUDI VERSUS SARANA PEMASUKAN BAGI DESA ADAT DAN MASYARAKAT PENYELENGGARAAN TAJEN: JUDI VERSUS SARANA PEMASUKAN BAGI DESA ADAT DAN MASYARAKAT K.Vimala Kairavani 1021005004 Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Email: vimalakairavani@ymail.com

Lebih terperinci

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI BAB 9 KESIMPULAN Dari apa yang telah diuraikan dan dibahas pada bab-bab sebelumnya, tergambarkan bahwa perdesaan di Tabola pada khususnya dan di Bali pada umumnya, adalah perdesaan yang berkembang dinamis.

Lebih terperinci

PENERAPAN PASAL 303 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA TENTANG PERJUDIAN TERKAIT SABUNG AYAM DI PROVINSI BALI

PENERAPAN PASAL 303 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA TENTANG PERJUDIAN TERKAIT SABUNG AYAM DI PROVINSI BALI PENERAPAN PASAL 303 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA TENTANG PERJUDIAN TERKAIT SABUNG AYAM DI PROVINSI BALI Oleh : I Ketut Adhi Erawan I Wayan Parsa Bagian Hukum Pidana, Fakultas Hukum, Universitas Udayana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Seminar Tugas Akhir 2015 Penataan Pantai Purnama Gianyar 1

BAB I PENDAHULUAN. Seminar Tugas Akhir 2015 Penataan Pantai Purnama Gianyar 1 BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini akan dijelaskan segala sesuatu yang melatarbelakangi penataan dan pengembangan daya tarik wisata di Pantai Purnama, rumusan masalah, tujuan, dan metode perancangan yang akan

Lebih terperinci

RITUAL MEKRAB DALAM PEMUJAAN BARONG LANDUNG DI PURA DESA BANJAR PACUNG KELURAHAN BITERA KECAMATAN GIANYAR

RITUAL MEKRAB DALAM PEMUJAAN BARONG LANDUNG DI PURA DESA BANJAR PACUNG KELURAHAN BITERA KECAMATAN GIANYAR RITUAL MEKRAB DALAM PEMUJAAN BARONG LANDUNG DI PURA DESA BANJAR PACUNG KELURAHAN BITERA KECAMATAN GIANYAR (Analisis Pendidikan Agama Hindu) Oleh I Made Agus Sutrisna Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar

Lebih terperinci

SANKSI PACAMIL DI DESA BLAHBATUH GIANYAR DITINJAU DARI PENDIDIKAN KARAKTER

SANKSI PACAMIL DI DESA BLAHBATUH GIANYAR DITINJAU DARI PENDIDIKAN KARAKTER SANKSI PACAMIL DI DESA BLAHBATUH GIANYAR DITINJAU DARI PENDIDIKAN KARAKTER Oleh : Drs. I Ketut Rindawan, SH.,MH. ketut.rindawan@gmail.com Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Dwijendra Abstrak

Lebih terperinci

EKSISTENSI PURA TELEDU NGINYAH PADA ERA POSMODERN DI DESA GUMBRIH KECAMATAN PEKUTATAN KABUPATEN JEMBRANA (Perspektif Pendidikan Agama Hindu)

EKSISTENSI PURA TELEDU NGINYAH PADA ERA POSMODERN DI DESA GUMBRIH KECAMATAN PEKUTATAN KABUPATEN JEMBRANA (Perspektif Pendidikan Agama Hindu) EKSISTENSI PURA TELEDU NGINYAH PADA ERA POSMODERN DI DESA GUMBRIH KECAMATAN PEKUTATAN KABUPATEN JEMBRANA (Perspektif Pendidikan Agama Hindu) Ni Putu Sri Ratna Dewi Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebudayaan Indonesia yang beraneka ragam terdiri dari puncak-puncak kebudayaan daerah dan setiap kebudayaan daerah mempunyai ciri-ciri khas masing-masing. Walaupun

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TABUH RAH

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TABUH RAH BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TABUH RAH 2.1 Pengertian dan Unsur-Unsur Tabuh Rah dan Sabungan Ayam (Tajen) Hubungan tabuh rah dengan sabungan ayam terdapat pandangan semu dari sebagian masyarakat awam,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Budaya adalah suatu konsep yang secara formal didefinisikan sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Budaya adalah suatu konsep yang secara formal didefinisikan sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Budaya adalah suatu konsep yang secara formal didefinisikan sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna, hirarki, agama, waktu, peranan,

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. 5.1 Alasan Kehadiran Rejang Sangat Dibutuhkan dalam Ritual. Pertunjukan rejang Kuningan di Kecamatan Abang bukanlah

BAB V KESIMPULAN. 5.1 Alasan Kehadiran Rejang Sangat Dibutuhkan dalam Ritual. Pertunjukan rejang Kuningan di Kecamatan Abang bukanlah BAB V KESIMPULAN 5.1 Alasan Kehadiran Rejang Sangat Dibutuhkan dalam Ritual Kuningan Pertunjukan rejang Kuningan di Kecamatan Abang bukanlah merupakan seni pertunjukan yang biasa tetapi merupakan pertunjukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang luas, besar, dan memiliki keanekaragaman

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang luas, besar, dan memiliki keanekaragaman 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara yang luas, besar, dan memiliki keanekaragaman akan tradisi dan budayanya. Budaya memiliki kaitan yang erat dengan kehidupan manusia, di mana

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. dalam penulisan skripsi ini, mencoba mengambil beberapa kesimpulan yakni :

BAB III PENUTUP. dalam penulisan skripsi ini, mencoba mengambil beberapa kesimpulan yakni : BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Dalam penjelasan yang tertuang dalam bab-bab terdahulu permasalahan yang diangkat dalam penulisan skripsi ini, mencoba mengambil beberapa kesimpulan yakni : Berdasarkan uraian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan studi ini dilatarbelakangi oleh terjadinya satu dilema yang

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan studi ini dilatarbelakangi oleh terjadinya satu dilema yang 1 BAB I PENDAHULUAN Pelaksanaan studi ini dilatarbelakangi oleh terjadinya satu dilema yang sangat sering dihadapi dalam perencanaan keruangan di daerah pada saat ini, yaitu konversi kawasan lindung menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Danandjaja (1984 : 1) menyatakan bahwa folklore adalah pengindonesiaan

BAB I PENDAHULUAN. Danandjaja (1984 : 1) menyatakan bahwa folklore adalah pengindonesiaan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Danandjaja (1984 : 1) menyatakan bahwa folklore adalah pengindonesiaan kata Inggris folklore. Kata itu adalah kata majemuk, yang berasal dari dua kata dasar folk dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Komunikasi tidak akan pernah bisa lepas dari adanya visual dan verbal. Visual ditandai dengan gambar, verbal ditandai dengan lisan maupun tulisan. Antara visual dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. multikultural yang tidak akan sama dengan kelompok sosial lainnya yang dimana Kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. multikultural yang tidak akan sama dengan kelompok sosial lainnya yang dimana Kehidupan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada hakikatnya kelompok sosial itu ada karena ingin mempertahankan hidup mereka. Kelompok sosial selalu mengalami perubahan dan perkembangan dalam masyarakat multikultural

Lebih terperinci

PEMBAHASAN. A. Studi Masyarakat Indonesia

PEMBAHASAN. A. Studi Masyarakat Indonesia PENDAHULUAN Bali terkenal sebagai pulau dewata adalah nama salah satu provinsi di indonesia dan juga merupakan nama pulau terbesar yang menjadi bagian dari provinsi tersebut. Bali terletak diantara pulau

Lebih terperinci

DESKRIPSI KARYA TARI KREASI S O M Y A. Dipentaskan pada Festival Nasional Tari Tradisional Indonesia di Jakarta Convention Centre 4-8 Juni 2008

DESKRIPSI KARYA TARI KREASI S O M Y A. Dipentaskan pada Festival Nasional Tari Tradisional Indonesia di Jakarta Convention Centre 4-8 Juni 2008 DESKRIPSI KARYA TARI KREASI S O M Y A Dipentaskan pada Festival Nasional Tari Tradisional Indonesia di Jakarta Convention Centre 4-8 Juni 2008 Oleh: I Gede Oka Surya Negara, SST.,MSn JURUSAN SENI TARI

Lebih terperinci

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN PURA AGUNG BESAKIH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN PURA AGUNG BESAKIH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN PURA AGUNG BESAKIH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, Menimbang : a. bahwa Kawasan Pura Agung Besakih

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DATA. A. Deskripsi aktivitas keagamaan menurut pemikiran Joachim Wach

BAB IV ANALISIS DATA. A. Deskripsi aktivitas keagamaan menurut pemikiran Joachim Wach BAB IV ANALISIS DATA A. Deskripsi aktivitas keagamaan menurut pemikiran Joachim Wach Dalam teori Joachim wach dapat diamati dalam tiga bentuk ekspressi keagamaan atau pengalaman beragama baik individu

Lebih terperinci

BAB VIII PENUTUP Kesimpulan

BAB VIII PENUTUP Kesimpulan BAB VIII PENUTUP Bab VIII memaparkan pembahasan mengenai kesimpulan dari hasil penelitian, serta implikasi dan saran dalam ranah akademik dan praktis sesuai dengan kesimpulan hasil penelitian. Pada bagian

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH TINGKAT I BALI NOMOR 3 TAHUN 1991 T E N T A N G PARIWISATA BUDAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH TINGKAT I BALI NOMOR 3 TAHUN 1991 T E N T A N G PARIWISATA BUDAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH TINGKAT I BALI NOMOR 3 TAHUN 1991 T E N T A N G PARIWISATA BUDAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KEPALA DAERAH TINGKAT I BALI, Menimbang : a. bahwa kepariwisataan

Lebih terperinci

Konsep Penataan Pura Dalem Desa Adat Negari, Desa Singapadu Tengah sebagai Objek Baru Wisata Sejarah

Konsep Penataan Pura Dalem Desa Adat Negari, Desa Singapadu Tengah sebagai Objek Baru Wisata Sejarah SEMINAR HERITAGE IPLBI 2017 PENELITIAN Konsep Penataan Pura Dalem Desa Adat Negari, Desa Singapadu Tengah sebagai Objek Baru Wisata Sejarah I Made Suarya (1), I Nyoman Widya Paramadhyaksa (2), Ni Ketut

Lebih terperinci

PEMANFAATAN POTENSI WARISAN BUDAYA PURA MEDUWE KARANG DI DESA KUBUTAMBAHAN KABUPATEN BULELENG SEBAGAI TEMPAT TUJUAN PARIWISATA

PEMANFAATAN POTENSI WARISAN BUDAYA PURA MEDUWE KARANG DI DESA KUBUTAMBAHAN KABUPATEN BULELENG SEBAGAI TEMPAT TUJUAN PARIWISATA PEMANFAATAN POTENSI WARISAN BUDAYA PURA MEDUWE KARANG DI DESA KUBUTAMBAHAN KABUPATEN BULELENG SEBAGAI TEMPAT TUJUAN PARIWISATA Elfrida Rosidah Simorangkir Jurusan Arkeologi Fakultas Sastra Universitas

Lebih terperinci

JURNAL SKRIPSI. MAKNA RITUAL DALAM PEMENTASAN SENI TRADISI REOG PONOROGO (Studi Kasus di Desa Wagir Lor, Kecamatan Ngebel, Kabupaten Ponorogo)

JURNAL SKRIPSI. MAKNA RITUAL DALAM PEMENTASAN SENI TRADISI REOG PONOROGO (Studi Kasus di Desa Wagir Lor, Kecamatan Ngebel, Kabupaten Ponorogo) JURNAL SKRIPSI MAKNA RITUAL DALAM PEMENTASAN SENI TRADISI REOG PONOROGO (Studi Kasus di Desa Wagir Lor, Kecamatan Ngebel, Kabupaten Ponorogo) SKRIPSI Oleh: DESI WIDYASTUTI K8409015 FAKULTAS KEGURUAN DAN

Lebih terperinci

BAB V ANALISA DATA. A. Upacara Kematian Agama Hindu Di Pura Krematorium Jala Pralaya

BAB V ANALISA DATA. A. Upacara Kematian Agama Hindu Di Pura Krematorium Jala Pralaya BAB V ANALISA DATA A. Upacara Kematian Agama Hindu Di Pura Krematorium Jala Pralaya Upacara kematian ini bersifat wajib bagi keluarga yang telah ditinggal mati. Dalam proses upacara kematian, ada yang

Lebih terperinci

sendiri diatur dalam pasak 303 ayat (3) KUHP yang berbunyi:

sendiri diatur dalam pasak 303 ayat (3) KUHP yang berbunyi: Saat ini, berbagai macam dan bentuk perjudian sudah meluas dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, baik secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi. Sebagian masyarakat memandang bahwa perjudian sebagai

Lebih terperinci

PERANAN HUKUM DALAM MENJAGA KEAJEGAN KONSEP TRI HITA KARANA DI BALI Oleh I Nyoman Gede Remaja, S.H., M.H. 4

PERANAN HUKUM DALAM MENJAGA KEAJEGAN KONSEP TRI HITA KARANA DI BALI Oleh I Nyoman Gede Remaja, S.H., M.H. 4 PERANAN HUKUM DALAM MENJAGA KEAJEGAN KONSEP TRI HITA KARANA DI BALI Oleh I Nyoman Gede Remaja, S.H., M.H. 4 Abstrak: Tri Hita Karana menekankan pada tiga hubungan kehidupan manusia dalam dunia ini, yaitu

Lebih terperinci

Penyusunan Kompetensi Dasar Pendidikan Agama Hindu untuk Sekolah Dasar. Menunjukkan contoh-contoh ciptaan Sang Hyang Widhi (Tuhan)

Penyusunan Kompetensi Dasar Pendidikan Agama Hindu untuk Sekolah Dasar. Menunjukkan contoh-contoh ciptaan Sang Hyang Widhi (Tuhan) Penyusunan Kompetensi Dasar Pendidikan Agama Hindu untuk Sekolah Dasar Kelas 1 Kompetensi Inti KD Lama KD Baru 1. Menerima dan menjalankan ajaran agama yang dianutnya Menunjukkan contoh-contoh ciptaan

Lebih terperinci

TANPA EVOLUSI, FASHION ADAT TENGANAN MATRUNA NYOMAN DAN MADAHA MASIH DIAGUNGKAN

TANPA EVOLUSI, FASHION ADAT TENGANAN MATRUNA NYOMAN DAN MADAHA MASIH DIAGUNGKAN TANPA EVOLUSI, FASHION ADAT TENGANAN MATRUNA NYOMAN DAN MADAHA MASIH DIAGUNGKAN Oleh Nyoman Ayu Permata Dewi Mahasiswa Pasca Sarjana Pengkajian Seni ISI Denpasar Email :permatayu94@gmail.com ABSTRAK Kain

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Konstruksi identitas jender, Putu Wisudantari Parthami, 1 FPsi UI, Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Konstruksi identitas jender, Putu Wisudantari Parthami, 1 FPsi UI, Universitas Indonesia BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Pulau Bali selama ini dikenal dengan kebudayaannya yang khas. Beragam tradisi yang mencerminkan adat Bali menarik banyak orang luar untuk melihat lebih dekat keunikan

Lebih terperinci

PENATAAN LINGKUNGAN PURA MUNCAK SARI DESA SANGKETAN, PENEBEL, TABANAN ABSTRAK ABSTRACT

PENATAAN LINGKUNGAN PURA MUNCAK SARI DESA SANGKETAN, PENEBEL, TABANAN ABSTRAK ABSTRACT JURNAL UDAYANA MENGABDI, VOLUME 15 NOMOR 1, JANUARI 2016 PENATAAN LINGKUNGAN PURA MUNCAK SARI DESA SANGKETAN, PENEBEL, TABANAN I W. Sukerayasa 1, I. B. A. Swamardika 1, I W. A. Wijaya 1 I N. Surata 2,

Lebih terperinci

27. KOMPETENSI INTI DAN KOMPETENSI DASAR PENDIDIKAN AGAMA HINDU DAN BUDI PEKERTI SD

27. KOMPETENSI INTI DAN KOMPETENSI DASAR PENDIDIKAN AGAMA HINDU DAN BUDI PEKERTI SD 27. KOMPETENSI INTI DAN PENDIDIKAN AGAMA HINDU DAN BUDI PEKERTI SD KELAS: I Kompetensi Sikap Spiritual, Kompetensi Sikap Sosial, Kompetensi Pengetahuan, dan Kompetensi Keterampilan secara keseluruhan dirumuskan

Lebih terperinci

E. KOMPETENSI INTI DAN KOMPETENSI DASAR PENDIDIKAN AGAMA HINDU DAN BUDI PEKERTI SDLB TUNANETRA

E. KOMPETENSI INTI DAN KOMPETENSI DASAR PENDIDIKAN AGAMA HINDU DAN BUDI PEKERTI SDLB TUNANETRA - 446 - E. KOMPETENSI INTI DAN PENDIDIKAN AGAMA HINDU DAN BUDI PEKERTI SDLB TUNANETRA KELAS : I Kompetensi Sikap Spiritual, Kompetensi Sikap Sosial, Kompetensi Pengetahuan, dan Kompetensi Keterampilan

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI KEUNIKAN PURA GUNUNG KAWI DI DESA PEKRAMAN KELIKI, GIANYAR, BALI SEBAGAI SUMBER PEMBELAJARAN IPS. oleh

IDENTIFIKASI KEUNIKAN PURA GUNUNG KAWI DI DESA PEKRAMAN KELIKI, GIANYAR, BALI SEBAGAI SUMBER PEMBELAJARAN IPS. oleh IDENTIFIKASI KEUNIKAN PURA GUNUNG KAWI DI DESA PEKRAMAN KELIKI, GIANYAR, BALI SEBAGAI SUMBER PEMBELAJARAN IPS oleh I Wayan Sudiana, (NIM 0814021029), (Email : Sudiana_ IWayan@yahoo.com) Desak Made Oka

Lebih terperinci

D. KOMPETENSI INTI DAN KOMPETENSI DASAR PENDIDIKAN AGAMA HINDU DAN BUDI PEKERTI SDLB TUNADAKSA

D. KOMPETENSI INTI DAN KOMPETENSI DASAR PENDIDIKAN AGAMA HINDU DAN BUDI PEKERTI SDLB TUNADAKSA - 1254 - D. KOMPETENSI INTI DAN PENDIDIKAN AGAMA HINDU DAN BUDI PEKERTI SDLB TUNADAKSA KELAS : I Kompetensi Sikap Spiritual, Kompetensi Sikap Sosial, Kompetensi Pengetahuan, dan Kompetensi Keterampilan

Lebih terperinci

2016 FENOMENA CERAI GUGAT PADA PASANGAN KELUARGA SUNDA

2016 FENOMENA CERAI GUGAT PADA PASANGAN KELUARGA SUNDA BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Pernikahan merupakan hal yang dicita-citakan dan didambakan oleh setiap orang, karena dengan pernikahan adalah awal dibangunnya sebuah rumah tangga dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dijumpai di masyarakat. Karya sastra ini mengandung banyak nilai dan persoalan

BAB I PENDAHULUAN. dijumpai di masyarakat. Karya sastra ini mengandung banyak nilai dan persoalan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra tradisional yang tersimpan dalam naskah lontar banyak dijumpai di masyarakat. Karya sastra ini mengandung banyak nilai dan persoalan yang berhubungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keragaman tradisi, karena di negeri ini dihuni oleh lebih dari 700-an suku bangsa

BAB I PENDAHULUAN. keragaman tradisi, karena di negeri ini dihuni oleh lebih dari 700-an suku bangsa 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Selain memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, Indonesia juga memiliki keragaman tradisi, karena di negeri ini dihuni oleh lebih dari 700-an suku bangsa dan sub-suku

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI. oleh peneliti terdahulu yang ada kaitannya dengan penelitian yang akan dilakukan.

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI. oleh peneliti terdahulu yang ada kaitannya dengan penelitian yang akan dilakukan. BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI 2.1 Kajian Pustaka Penelitian ini memuat tentang hasil hasil penelitian yang ditemukan oleh peneliti terdahulu yang ada kaitannya dengan penelitian yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di Bali, perlu dimengerti sumbernya. Terdapat prinsip Tri Hita Karana dan Tri Rna

BAB I PENDAHULUAN. di Bali, perlu dimengerti sumbernya. Terdapat prinsip Tri Hita Karana dan Tri Rna 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bali telah terkenal dengan kebudayaannya yang unik, khas, dan tumbuh dari jiwa Agama Hindu, yang tidak dapat dipisahkan dari keseniannya dalam masyarakat yang berciri

Lebih terperinci

DESKRIPSI KARYA SARADPULAGEMBAL THE SYMBOL OF TRI LOKA

DESKRIPSI KARYA SARADPULAGEMBAL THE SYMBOL OF TRI LOKA DESKRIPSI KARYA SARADPULAGEMBAL THE SYMBOL OF TRI LOKA I GUSTI NGURAH WIRAWAN, S.Sn., M.Sn NIP : 198204012014041001 INSTITUT SENI INDONESIA DENPASAR 2016 ABSTRAK Saradpulagembal, seperti halnya sesajen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memberi petunjuk kepada manusia bagaimana ia bertindak dan bertingkah

BAB I PENDAHULUAN. memberi petunjuk kepada manusia bagaimana ia bertindak dan bertingkah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi berdampak pula pada dinamika kehidupan masyarakat. Perkembangan dalam kehidupan masyarakat terutama yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Bab ini membahas mengenai latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, batasan masalah, metodologi penulisan dan sistematika penulisan yang mendasari penelitian.

Lebih terperinci

GUBERNUR BALI PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG PELESTARIAN WARISAN BUDAYA BALI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

GUBERNUR BALI PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG PELESTARIAN WARISAN BUDAYA BALI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG PELESTARIAN WARISAN BUDAYA BALI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, Menimbang : a. bahwa warisan budaya Bali merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan masyarakat sehari-hari tidak akan lepas dari norma yang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan masyarakat sehari-hari tidak akan lepas dari norma yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan masyarakat sehari-hari tidak akan lepas dari norma yang berada di masyarakat. melihat hal semacam ini, apabila masing-masing anggota masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kebudayaan suatu bangsa tidak hanya merupakan suatu aset, namun juga jati diri. Itu semua muncul dari khasanah kehidupan yang sangat panjang, yang merupakan

Lebih terperinci

PERANG TOPAT 2015 KABUPATEN LOMBOK BARAT Taman Pura & Kemaliq Lingsar Kamis, 26 November 2015

PERANG TOPAT 2015 KABUPATEN LOMBOK BARAT Taman Pura & Kemaliq Lingsar Kamis, 26 November 2015 PERANG TOPAT 2015 KABUPATEN LOMBOK BARAT Taman Pura & Kemaliq Lingsar Kamis, 26 November 2015 I. PENDAHULUAN. Lingsar adalah sebuah Desa yang terletak di Wilayah Kecamatan Lingsar Lombok Barat, berjarak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kelangsungan hidup Bangsa Indonesia. Penjelasan umum Undang-undang Nomor

BAB I PENDAHULUAN. kelangsungan hidup Bangsa Indonesia. Penjelasan umum Undang-undang Nomor BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan 1. Latar Belakang Anak merupakan generasi penerus keluarga. Anak juga merupakan aset bangsa yang sangat berharga; sumber daya manusia yang berperan penting

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata Kunci: pendidikan, Pasraman, pengetahuan, agama Hindu

ABSTRAK. Kata Kunci: pendidikan, Pasraman, pengetahuan, agama Hindu ABSTRAK Perancangan Pasraman Hindu di Buleleng merupakan suatu upaya dalam memberikan pembinaan serta pendidikan secara mental dan fisik baik jasmani maupun rohani kepada seluruh masyarakat Hindu, khususnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hari suci tersebut seperti yang dikemukakan Oka (2009:171), yaitu. Hal ini didukung oleh penjelasan Ghazali (2011:63) bahwa dalam

BAB I PENDAHULUAN. hari suci tersebut seperti yang dikemukakan Oka (2009:171), yaitu. Hal ini didukung oleh penjelasan Ghazali (2011:63) bahwa dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada dasarnya, seluruh umat beragama memiliki hari suci. Makna hari suci tersebut seperti yang dikemukakan Oka (2009:171), yaitu memperingati suatu kejadian yang sangat

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN Dalam Penelitian diperlukan metode penelitian, agar penelitian dapat berjalan sesuai rencana, dapat dipertanggung jawabkan, serta tujuan penelitian dapat tercapai. Beberapa hal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bangsa Indonesia yang mempunyai ribuan pulau dengan berbagai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bangsa Indonesia yang mempunyai ribuan pulau dengan berbagai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bangsa Indonesia yang mempunyai ribuan pulau dengan berbagai suku bangsa tentunya kaya akan budaya dan tradisi yang berbeda satu dengan yang lainnya. Situasi

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. sama lain. Lebih jauh standarisasi ini tidak hanya mengatur bagaimana

BAB V KESIMPULAN. sama lain. Lebih jauh standarisasi ini tidak hanya mengatur bagaimana BAB V KESIMPULAN Tidak dapat dipungkiri, setelah dianutnya gagasan hak asasi dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), masyarakat internasional sejak saat itu telah memiliki satu standar bersama dalam

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN ANALISIS DATA

BAB IV HASIL DAN ANALISIS DATA 51 BAB IV HASIL DAN ANALISIS DATA A. Ajaran Agama Hindu tentang Penghormatan kepada Lembu Dalam pandangan agama Hindu binatang lembu merupakan binatang yang dihormati dan diagungkan. Lembu merupakan binatang

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang Permasalahan

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang Permasalahan BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Permasalahan Papua terkenal dengan pulau yang memiliki banyak suku, baik suku asli Papua maupun suku-suku yang datang dan hidup di Papua. Beberapa suku-suku asli Papua

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam era sekarang ini tanah merupakan kekayaan dan modal dasar dalam

BAB I PENDAHULUAN. Dalam era sekarang ini tanah merupakan kekayaan dan modal dasar dalam 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam era sekarang ini tanah merupakan kekayaan dan modal dasar dalam kehidupan baik oleh individu, kelompok maupun negara. Dalam usaha memenuhi kebutuhan

Lebih terperinci

beragam adat budaya dan hukum adatnya. Suku-suku tersebut memiliki corak tersendiri

beragam adat budaya dan hukum adatnya. Suku-suku tersebut memiliki corak tersendiri I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah suatu negara majemuk yang dikenal dengan keanekaragaman suku dan budayanya, dimana penduduk yang berdiam dan merupakan suku asli negara memiliki

Lebih terperinci

Oleh I Gusti Ayu Sri Utami Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar

Oleh I Gusti Ayu Sri Utami Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar KAJIAN PENDIDIKAN AGAMA HINDU DALAM TRADISI NGAYAH DI TENGAH AKSI DAN INTERAKSI UMAT HINDU DI DESA ADAT ANGGUNGAN KELURAHAN LUKLUK KECAMATAN MENGWI KABUPATEN BADUNG Oleh I Gusti Ayu Sri Utami Institut

Lebih terperinci

BHAKTI ANAK TERHADAP ORANG TUA (MENURUT AJARAN AGAMA HINDU) Oleh Heny Perbowosari Dosen Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar

BHAKTI ANAK TERHADAP ORANG TUA (MENURUT AJARAN AGAMA HINDU) Oleh Heny Perbowosari Dosen Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar BHAKTI ANAK TERHADAP ORANG TUA (MENURUT AJARAN AGAMA HINDU) Oleh Heny Perbowosari Dosen Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar henysari74@gmail.com ABSTRAK Dalam pengenalan ajaran agama tidak luput dari

Lebih terperinci

1) Nilai Religius. Nilai Nilai Gamelan Semara Pagulingan Banjar Teges Kanginan. Kiriman I Ketut Partha, SSKar., M. Si., dosen PS Seni Karawitan

1) Nilai Religius. Nilai Nilai Gamelan Semara Pagulingan Banjar Teges Kanginan. Kiriman I Ketut Partha, SSKar., M. Si., dosen PS Seni Karawitan Nilai Nilai Gamelan Semara Pagulingan Banjar Teges Kanginan Kiriman I Ketut Partha, SSKar., M. Si., dosen PS Seni Karawitan Realisasi pelestarian nilai-nilai tradisi dalam berkesenian, bersinergi dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bahu-membahu untuk mencapai tujuan yang diinginkan dalam hidupnya.

BAB I PENDAHULUAN. bahu-membahu untuk mencapai tujuan yang diinginkan dalam hidupnya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam dan sumber daya manusia. Dalam kehidupannya manusia memanfaatkan sumber daya alam yang ada untuk bertahan

Lebih terperinci

d. bahwa dalam usaha mengatasi kerawanan sosial serta mewujudkan, memelihara dan mengembangkan kehidupan masyarakat yang

d. bahwa dalam usaha mengatasi kerawanan sosial serta mewujudkan, memelihara dan mengembangkan kehidupan masyarakat yang RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO.: Ä Ä Ä TAHUN 2003 TENTANG KERUKUNAN UMAT BERAGAMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa Negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN PENELITIAN ARTEFAK ASTANA GEDE. dan terapit oleh dua benua. Ribuan pulau yang berada di dalam garis tersebut

BAB I PENDAHULUAN PENELITIAN ARTEFAK ASTANA GEDE. dan terapit oleh dua benua. Ribuan pulau yang berada di dalam garis tersebut BAB I PENDAHULUAN PENELITIAN ARTEFAK ASTANA GEDE A. Latar Belakang Indonesia adalah Negara kepulauan yang berada di garis khatulistiwa dan terapit oleh dua benua. Ribuan pulau yang berada di dalam garis

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kepercayaan, keyakinan dan kebiasaan yang berbeda-beda,karena kebudayaan

I. PENDAHULUAN. kepercayaan, keyakinan dan kebiasaan yang berbeda-beda,karena kebudayaan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia dan kebudayaan adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan, tidak mungkin ada kebudayaan jika tidak ada manusia. Setiap kebudayaan adalah hasil dari ciptaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kesejahteraan (welfare state). Itulah konsep

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kesejahteraan (welfare state). Itulah konsep BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara kesejahteraan (welfare state). Itulah konsep negara yang dianut oleh bangsa Indonesia sebagaimana pernyataan Jimly Ashiddiqie (dalam

Lebih terperinci

Menguak Nilai Seni Tradisi Sebagai Inspirasi Penciptaan Seni Pertunjukan Pada Era Global

Menguak Nilai Seni Tradisi Sebagai Inspirasi Penciptaan Seni Pertunjukan Pada Era Global Menguak Nilai Seni Tradisi Sebagai Inspirasi Penciptaan Seni Pertunjukan Pada Era Global Oleh: Dyah Kustiyanti Tradisi biasanya didefinisikan sebagai cara mewariskan pemikiran, pandangan hidup, kebiasaan,

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian yang mengkaji atau menganalisis fenomena di masyarakat mengenai

METODE PENELITIAN. Penelitian yang mengkaji atau menganalisis fenomena di masyarakat mengenai III. METODE PENELITIAN A. Tipe Penelitian Penelitian yang mengkaji atau menganalisis fenomena di masyarakat mengenai ritual keagamaan dan perjudian yang dilakukan oleh masyarakat etnis Bali ini menggunakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. nenek moyang yang memiliki nilai-nilai luhur budaya. Bali bukan hanya sebagai

BAB I PENDAHULUAN. nenek moyang yang memiliki nilai-nilai luhur budaya. Bali bukan hanya sebagai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bali dikenal sebagai salah satu penyimpanan naskah-naskah kuna warisan nenek moyang yang memiliki nilai-nilai luhur budaya. Bali bukan hanya sebagai penyimpanan naskah-naskah

Lebih terperinci

DESKRIPSI DUKUH SILADRI. Dipentaskan pada Festival Seni Tradisional Daerah se- MPU di Mataram, Nusa Tenggara Barat 1 Agustus 2010

DESKRIPSI DUKUH SILADRI. Dipentaskan pada Festival Seni Tradisional Daerah se- MPU di Mataram, Nusa Tenggara Barat 1 Agustus 2010 DESKRIPSI FRAGMEN TARI DUKUH SILADRI Dipentaskan pada Festival Seni Tradisional Daerah se- MPU di Mataram, Nusa Tenggara Barat 1 Agustus 2010 Oleh: I Gede Oka Surya Negara, SST.,MSn JURUSAN SENI TARI FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN. Berdasarkan pemahaman pada Bab I-IV, maka pada bagian akhir tesis ini terdapat

BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN. Berdasarkan pemahaman pada Bab I-IV, maka pada bagian akhir tesis ini terdapat BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN Berdasarkan pemahaman pada Bab I-IV, maka pada bagian akhir tesis ini terdapat beberapa hal pokok yang akan ditegaskan sebagai inti pemahaman masyarakat Tunua tentang fakta

Lebih terperinci

TERM OF REFERENCE DEBAT NASIONAL KEFARMASIAN PHARMACIOUS 2017

TERM OF REFERENCE DEBAT NASIONAL KEFARMASIAN PHARMACIOUS 2017 TERM OF REFERENCE DEBAT NASIONAL KEFARMASIAN PHARMACIOUS 2017 A. KETENTUAN UMUM 1. Setiap peserta wajib berpakaian rapi dan sopan selama mengikuti seluruh rangkaian acara Lomba Debat Kefarmasian Nasional

Lebih terperinci

TUGAS AGAMA DEWA YADNYA

TUGAS AGAMA DEWA YADNYA TUGAS AGAMA DEWA YADNYA NAMA ANGGOTA KELOMPOK 7 KETUT ALIT WIRA ADI KUSUMA (05) ( KETUA ) NI LUH LINA ANGGRENI (27) ( SEKETARIS ) NI LUH DIAH CITRA URMILA DEWI (14) I PUTU PARWATA (33) SMP N 2 RENDANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara yang memiliki beragam adat dan budaya daerah yang masih terjaga kelestariannya. Bali adalah salah satu provinsi yang kental adat dan budayanya.

Lebih terperinci

MASTER PLAN PENATAAN DAN PENGEMBANGAN PURA DALEM BIAS MUNTIG DI DESA PAKRAMAN NYUH KUKUH, DUSUN PED, DESA PED, KECAMATAN NUSA PENIDA, KLUNGKUNG

MASTER PLAN PENATAAN DAN PENGEMBANGAN PURA DALEM BIAS MUNTIG DI DESA PAKRAMAN NYUH KUKUH, DUSUN PED, DESA PED, KECAMATAN NUSA PENIDA, KLUNGKUNG UNDAGI Jurnal Arsitektur Warmadewa, Volume 5, Nomor 1, Tahun 2017, Hal 17-29 ISSN 2338-0454 MASTER PLAN PENATAAN DAN PENGEMBANGAN PURA DALEM BIAS MUNTIG DI DESA PAKRAMAN NYUH KUKUH, DUSUN PED, DESA PED,

Lebih terperinci

MASTER PLAN PENATAAN DAN PENGEMBANGAN PURA DALEM BIAS MUNTIG DI DESA PAKRAMAN NYUH KUKUH, DUSUN PED, DESA PED, KECAMATAN NUSA PENIDA, KLUNGKUNG

MASTER PLAN PENATAAN DAN PENGEMBANGAN PURA DALEM BIAS MUNTIG DI DESA PAKRAMAN NYUH KUKUH, DUSUN PED, DESA PED, KECAMATAN NUSA PENIDA, KLUNGKUNG MASTER PLAN PENATAAN DAN PENGEMBANGAN PURA DALEM BIAS MUNTIG DI DESA PAKRAMAN NYUH KUKUH, DUSUN PED, DESA PED, KECAMATAN NUSA PENIDA, KLUNGKUNG I Kadek Merta Wijaya Dosen Program Studi Teknik Arsitektur,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perkawinan merupakan hal yang sakral dilakukan oleh setiap manusia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perkawinan merupakan hal yang sakral dilakukan oleh setiap manusia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan merupakan hal yang sakral dilakukan oleh setiap manusia di dunia ini, termasuk di Indonesia. Sejak dilahirkan di dunia manusia sudah mempunyai kecenderungan

Lebih terperinci

SENI BUDAYA BALI. Tradisi Omed Omedan Banjar Kaja Sesetan Bali. Oleh (Kelompok 3) :

SENI BUDAYA BALI. Tradisi Omed Omedan Banjar Kaja Sesetan Bali. Oleh (Kelompok 3) : SENI BUDAYA BALI Tradisi Omed Omedan Banjar Kaja Sesetan Bali Oleh (Kelompok 3) : Dewa Made Tri Juniartha 201306011 Ni Wayan Eka Putri Suantari 201306012 I Gusti Nyoman Arya Sanjaya 201306013 Dicky Aditya

Lebih terperinci

PENEGAKAN AWIG-AWIG LARANGAN BERBURU BURUNG DI DESA PAKRAMAN KAYUBIHI, KECAMATAN BANGLI, KABUPATEN BANGLI

PENEGAKAN AWIG-AWIG LARANGAN BERBURU BURUNG DI DESA PAKRAMAN KAYUBIHI, KECAMATAN BANGLI, KABUPATEN BANGLI PENEGAKAN AWIG-AWIG LARANGAN BERBURU BURUNG DI DESA PAKRAMAN KAYUBIHI, KECAMATAN BANGLI, KABUPATEN BANGLI Oleh : Pande Putu Indra Wirajaya I Gusti Agung Mas Rwa Jayantiari I Gusti Ngurah Dharma Laksana

Lebih terperinci

REALISASI TOLERANSI ANTAR UMAT HINDU DAN BUDDHA DI PURA PUSERING JAGAT PANCA TIRTA DESA PAKARAMAN

REALISASI TOLERANSI ANTAR UMAT HINDU DAN BUDDHA DI PURA PUSERING JAGAT PANCA TIRTA DESA PAKARAMAN REALISASI TOLERANSI ANTAR UMAT HINDU DAN BUDDHA DI PURA PUSERING JAGAT PANCA TIRTA DESA PAKARAMAN KEMBANG MERTA DESA CANDIKUNING KECAMATAN BATURITI KABUPATEN TABANAN Oleh I Putu Hendra Yogi Swasgita hendrayogi.pcc@gmail.com

Lebih terperinci

2015 TARI TUPPING DI DESA KURIPAN KECAMATAN PENENGAHAN KABUPATEN LAMPUNG SELATAN

2015 TARI TUPPING DI DESA KURIPAN KECAMATAN PENENGAHAN KABUPATEN LAMPUNG SELATAN A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN Budaya lahir dan dibentuk oleh lingkungannya yang akan melahirkan berbagai bentuk pola tersendiri bagi masyarakat pendukungnya. Berbicara tentang kebudayaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. antara sastra Bali dengan kebudayaan Bali, di antaranya: Sastra Bali sebagai

BAB I PENDAHULUAN. antara sastra Bali dengan kebudayaan Bali, di antaranya: Sastra Bali sebagai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Telah banyak ungkapan yang dilontarkan bertalian dengan hubungan antara sastra Bali dengan kebudayaan Bali, di antaranya: Sastra Bali sebagai aspek kebudayaan Bali,

Lebih terperinci

BAB IV REFLEKSI TEOLOGIS

BAB IV REFLEKSI TEOLOGIS BAB IV REFLEKSI TEOLOGIS Pada bab IV ini penulis akan menguraikan tentang refleksi teologis yang didapat setelah penulis memaparkan teori-teori mengenai makna hidup yang dipakai dalam penulisan skripsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang banyak bersentuhan dengan titah dan perintah agama atau kewajiban yang

BAB I PENDAHULUAN. yang banyak bersentuhan dengan titah dan perintah agama atau kewajiban yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam sistem hukum apapun, lembaga perkawinan selalu memiliki peranan yang sangat penting bagi perjalanan hidup manusia, baik karena sifatnya yang banyak bersentuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam kehidupan di masyarakat sering sekali pelanggaran terhadap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam kehidupan di masyarakat sering sekali pelanggaran terhadap BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan di masyarakat sering sekali pelanggaran terhadap norma kesusilaan dan norma hukum. Salah satu dari pelanggaran hukum yang terjadi di masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan semuanya dapat tercapai apabila berpedoman pada peraturan-peraturan yang

BAB I PENDAHULUAN. dan semuanya dapat tercapai apabila berpedoman pada peraturan-peraturan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hakikat pembangunan nasional adalah pembangunan manusia Indonesia dan pembangunan masyarakat Indonesia. Pembangunan tersebut dilaksanakan oleh pemerintah dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mana masyarakat itu berada serta pergaulan masyarakatnya. 2 Kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. mana masyarakat itu berada serta pergaulan masyarakatnya. 2 Kehidupan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan adalah salah satu tahap penting dalam kehidupan manusia. Perkawinan dapat merubah status kehidupan manusia dari belum dewasa menjadi dewasa atau anak muda

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tidak adil, dan tidak dapat dibenarkan, yang disertai dengan emosi yang hebat atau

BAB I PENDAHULUAN. tidak adil, dan tidak dapat dibenarkan, yang disertai dengan emosi yang hebat atau BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Mendengar kata kekerasan, saat ini telah menjadi sesuatu hal yang diresahkan oleh siapapun. Menurut Black (1951) kekerasan adalah pemakaian kekuatan yang

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan BAB V PENUTUP Berdasarkan hasil penelitian Pemaknaan Wisata Kemiskinan oleh Interkultur dan Warga Pemukiman Kumuh Luar Batang peneliti memberikan kesimpulan, dan saran sebagai berikut: A. Kesimpulan Simbol

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang terdapat pada tujuh unsur kebudayaan universal. Salah satu hal yang dialami

BAB I PENDAHULUAN. yang terdapat pada tujuh unsur kebudayaan universal. Salah satu hal yang dialami BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keberagaman suku bangsa di Indonesia telah melahirkan ragamnya adat - istiadat dan kepercayaan pada setiap suku bangsa. Tentunya dengan adanya adatistiadat tersebut,

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KERINCI TAHUN 2007 NOMOR 8

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KERINCI TAHUN 2007 NOMOR 8 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KERINCI TAHUN 2007 NOMOR 8 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KERINCI NOMOR 8 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN KERINCI NOMOR 14 TAHUN 2003 TENTANG PENYAKIT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lisan dikatakan sebagai sastra yang dikatakan dari mulut ke mulut. Ciri yang

BAB I PENDAHULUAN. lisan dikatakan sebagai sastra yang dikatakan dari mulut ke mulut. Ciri yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra lisan adalah karya sastra yang bentuknya murni lisan, sastra lisan dikatakan sebagai sastra yang dikatakan dari mulut ke mulut. Ciri yang penting disebutkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan wujud dari pengabdian perasaan dan pikiran pengarang yang muncul ketika ia berhubungan dengan lingkungan sekitar. Sastra dianggap sebagai

Lebih terperinci

BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN. Setelah melalui bab analisis, sampailah kita pada tahap simpulan yang akan

BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN. Setelah melalui bab analisis, sampailah kita pada tahap simpulan yang akan BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN 5.1 SIMPULAN Setelah melalui bab analisis, sampailah kita pada tahap simpulan yang akan menjawab pertanyaan dalam rumusan masalah. Meskipun analisis ini dapat dikatakan kurang

Lebih terperinci