BAB VIII PENUTUP Kesimpulan
|
|
- Yanti Hartono
- 6 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 BAB VIII PENUTUP Bab VIII memaparkan pembahasan mengenai kesimpulan dari hasil penelitian, serta implikasi dan saran dalam ranah akademik dan praktis sesuai dengan kesimpulan hasil penelitian. Pada bagian akhir dipaparkan pula mengenai keterbatasan dan tantangan yang dihadapi selama penelitian, sebagai bagian dari pembelajaran untuk masa mendatang. Masing-masing pembahasan tersebut, dapat dipaparkan sebagai berikut Kesimpulan Tata spasial Kota Kerajaan Karangasem merupakan konfigurasi pelbagai komponen yang menggambarkan hubungan timbal balik antara ruang fisik sebagai wadah kegiatan dengan kondisi masyarakat sebagai pelaku kegiatan, yang dipengaruhi oleh pelbagai gagasan untuk mencapai tujuan dalam kehidupannya. Gagasan tersebut diyakini bersumber dari pertimbangan-pertimbangan fisik (lahiriah) dan non-fisik (bathin/spiritual), yang dilandasi oleh kebutuhan masyarakat, nilai kearifan lokal, dan kepercayaan masyarakat yang berkembang di Kota Kerajaan Karangasem. Pada masa sekarang, tata spasial Kota Kerajaan Karangasem tetap menunjukkan perwujudan yang khas dengan konsep yang melandasinya, sebagai upaya masyarakat beradaptasi dengan pelbagai dinamika zaman, sehingga mampu mencapai tujuan dalam kehidupannya. Tata spasial Kota Kerajaan Karangasem berwujud lingkaran konsentris, yang terbagi menjadi pelbagai lapisan wilayah, dengan catuspatha (pempatan agung) sebagai pusatnya. Berdasarkan cakupan lapisan wilayahnya, tata spasial Kota Kerajaan Karangasem terbagi menjadi tiga skala, yang tersusun oleh lima komponen utama dan dilandasi oleh lima konsep turunan (substantif) tata spasial Kota Kerajaan Karangasem. Perwujudan tata spasial Kota Kerajaan Karangasem dalam tiga skala dengan pelbagai komponen dan konsep turunannya, merupakan upaya masyarakat kota untuk mengatur wadah kehidupannya sebagai bagian dari alam semesta, dalam perwujudan ruang kehidupan yang harmonis. Masyarakat menyadari bahwa alam semesta diciptakan oleh Ida Sang Hyang Widi 310
2 Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, sebagai wadah bagi kehidupan manusia, yang penuh keharmonisan, keselarasan, dan keteraturan, meskipun terdiri dari beragam materi dan makhluk hidup. Kesadaran ini yang melandasi masyarakat untuk mengatur wadah kehidupannya dalam suatu tatanan atau konfigurasi yang harmonis, sehingga dapat mencapai keseimbangan dengan alam semesta, yang diyakini dapat membawa kedamaian dalam kehidupan. Ketiga skala tata spasial kota tersebut, yaitu: (1) skala negara; (2) skala kuta; dan (3) skala karang. Tata spasial kota dalam skala negara merupakan skala kerajaan yang membagi wilayah kerajaan menjadi dua, menurut sistem politik dan pemerintahan, yaitu: (1) jero kuta yaitu wilayah dalam kota; dan (2) jaba kuta yaitu wilayah luar kota. Tata spasial kota dalam skala negara tersusun oleh komponen orientasi kosmologis dan topografi wilayah kota kerajaan, dan aktivitas masyarakat, yang dilandasi oleh konsep segara-gunung, kangin-kauh, posisi Brahma, dan kuta. Tata spasial kota dalam skala kuta merupakan skala dalam kota kerajaan yang membagi wilayah kota kerajaan menjadi tiga menurut pembagian hierarki hunian masyarakat, yaitu: (1) wilayah puri yang memiliki tingkatan utama; (2) wilayah jero dan geria yang memiliki tingkatan madya; dan (3) wilayah umah-banjar pakraman dan rumah-kampung yang memiliki tingkatan nista. Tata spasial kota dalam skala negara, tersusun oleh komponen orientasi kosmologis dan topografi wilayah kota kerajaan, tata letak fungsi ruang atau monumen kerajaan, tata hunian masyarakat, dan aktivitas masyarakat, yang dilandasi oleh konsep segara-gunung, kangin-kauh, posisi Brahma, kuta, catur warna, catur wangsa, dan mandala. Tata spasial kota dalam skala karang merupakan skala pusat kota kerajaan yang terwujud dari adaptasi catuspatha (pempatan agung) sebagai pusat wilayah, orientasi, dan aktivitas masyarakat. Tata spasial kota dalam skala karang, tersusun oleh komponen orientasi kosmologis dan topografi wilayah kota kerajaan, tata letak fungsi ruang atau monumen kerajaan, tata hunian masyarakat, aksis (poros) dan ragam jalan, dan aktivitas masyarakat, yang dilandasi oleh konsep segaragunung, kangin-kauh, posisi Brahma, kuta, catur warna, catur wangsa, mandala, sakral-profan, hulu/luan-teben, dan margi. 311
3 (Kesejahteraan dan kedamaian masyarakat/dunia dengan keseimbangan nilai dharma, artha, dan kama, yang termanifestasi dalam perwujudan tata spasial kota dengan pelbagai komponen dan konsep turunannya). Gambar 121. Perwujudan tata spasial Kota Kerajaan Karangasem dan konsep utama yang melandasinya (Sumber: analisis, 2015) 312
4 Pada masa sekarang, masyarakat mengenal keberadaan tiga macam pempatan agung di Kota Kerajaan Karangasem, yaitu: (1) pempatan agung kerajaan yang memiliki fungsi dan nilai secara historis, filosofis, keagamaan, sosial dan budaya, yang ditandai oleh keberadaan puri, pura, dan peken (pasar tradisional); (2) pempatan agung ritual yang memiliki fungsi dan nilai secara keagamaan, sosial, dan budaya, yang ditandai oleh keberadaan puri, lapangan, dan hunian; dan (3) pempatan agung pusat yang memiliki nilai utama menurut pandangan masyarakat terhadap letak ruang dalam kaitannya dengan orientasi kosmologis, yang ditandai oleh keberadaan puri, peken, hunian, dan empat pempatan yang berada di keempat arah pempatan agung. Keberadaan tiga pempatan agung ini, dipahami sebagai dinamika yang disikapi secara bijak oleh masyarakat, sebagai upaya beradaptasi dengan perkembangan zaman untuk mencapai tujuan kehidupan, tanpa menghilangkan substansi dari tujuan tersebut. Perwujudan tata spasial Kota Kerajaan Karangasem mencerminkan pula wujud keharmonisan antara kebutuhan lahiriah dan spiritual masyarakat, melalui pelbagai kegiatan yang diwadahi oleh komponen-komponen tata spasial kota. Pelbagai kegiatan tersebut, yaitu: (1) kegiatan spiritual dan keagamaan sebagai wujud keharmonisan manusia dengan Ida Sang Hyang Widi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa sebagai Maha Pencipta dan alam semesta sebagai wadah kehidupan masyarakat; (2) kegiatan ekonomi dan perdagangan sebagai wujud keharmonisan manusia dengan sesama manusia untuk memperoleh materi atau harta benda sehingga dapat memenuhi kebutuhan, meningkatkan kesejahteraan, dan meningkatkan kualitas kehidupan ke arah yang lebih baik; dan (3) kegiatan politik dan pemerintahan, sosial dan budaya sebagai wujud keharmonisan manusia dengan Ida Sang Hyang Widi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, sesama manusia, dan alam semesta, untuk memenuhi pelbagai hasrat dan keinginan manusia yang selalu berusaha dipenuhi dalam kehidupan. Perwujudan tata spasial Kota Kerajaan Karangasem, menyiratkan kesadaran masyarakat tentang gagasan yang bersumber dari nilai-nilai dan tujuan yang ingin dicapai oleh pemangku kewenangan dan masyarakat Kota Kerajaan Karangasem. Dalam hal ini, perwujudan tata spasial Kota Kerajaan Karangasem dengan 313
5 pelbagai komponen dan konsep turunannya, dilandasi oleh kesadaran masyarakat tentang gagasan untuk mencapai jagadhita yaitu kesejahteraan dan kedamaian bagi seluruh masyarakat dan dunia yang dilandasi oleh nilai-nilai kepercayaan/keyakinan dan kearifan lokal masyarakat. Jagadhita merupakan tujuan hidup manusia sebagai makhluk pribadi dan sosial, yang termanifestasi dalam pelbagai perilaku, tatanan, aturan, aktivitas, dan wadah kegiatan manusia. Jagadhita merupakan nilai transendental yang telah menjadi kesadaran dan pengetahuan masyarakat Kota Kerajaan Karangasem, sehingga mempengaruhi pelbagai kegiatan dan perwujudan wadah kegiatan masyarakat. Setiap kegiatan dan perwujudan wadah kegiatan masyarakat, merupakan sebuah proses dan sarana untuk mencapai kesejahteraan dan kedamaian bagi seluruh masyarakat. Hal tersebut tercermin dalam upaya masyarakat untuk selalu menjaga keharmonisan hidup dengan Ida Sang Hyang Widi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, sesama manusia, dan alam semesta. Ida Sang Hyang Widi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa disadari sebagai Yang Maha Kuasa yang menentukan pelbagai kegiatan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan dan kedamaian dalam kehidupan. Jagadhita sebagai landasan perwujudan tata spasial Kota Kerajaan Karangasem, dimanifestasikan dalam penataan spasial kota dengan susunan pelbagai komponen dan pelbagai konsep turunan yang melandasinya, sebagai bagian dari pelbagai nilai, untuk mencapai kesejahteraan dan kedamaian masyarakat dan dunia. Oleh karena itu, jagadhita diyakini sebagai jiwa yang melandasi perwujudan tata spasial kota dan sebagai salah satu penentu utama keberlanjutan Kota Kerajaan Karangasem dalam menghadapi pelbagai dinamika zaman dan kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, jagadhita dipandang sebagai modal penting dalam menjaga keberlanjutan kota, karena menjadi pedoman masyarakat dalam menentukan arah pembangunan kota dan tata spasial kotanya. Berdasarkan pelbagai penjelasan tersebut, dapat dipahami bahwa tata spasial Kota Kerajaan Karangasem mencakup wadah kehidupan yang luas dalam dimensi fisik (lahiriah) dan non-fisik (bathin/spiritual). Dalam dimensi fisik, peran kota sebagai wadah kehidupan mencakup kegiatan/aktivitas yang beragam, yaitu: kegiatan keagamaan, politik dan pemerintahan, ekonomi, dan sosial budaya. 314
6 Sementara itu, dalam dimensi non-fisik, kota merupakan wadah kehidupan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan dan kedamaian secara material/lahiriah dan spiritual/bathin, dengan berlandaskan nilai-nilai kepercayaan/keyakinan dan kearifan lokal masyarakat. Hal ini menyadarkan kembali bahwa kota sebagai wadah kehidupan masyarakat, tidak terbatas sebagai tempat untuk memenuhi pelbagai kebutuhan dan kepuasan material/lahiriah. Peran kota bagi masyarakat Kota Kerajaan Karangasem, memiliki peran yang lebih hakiki sebagai wadah untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan secara lahiriah dan bathin/spiritual, dengan dilandasi hubungan yang harmonis dengan Ida Sang Hyang Widi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, sesama manusia, dan alam semesta. Dengan demikian, masyarakat Kota Kerajaan Karangasem meyakini dapat tercapainya kesejahteraan dan kedamaian bagi seluruh masyarakat dan dunia Implikasi dan Saran Berdasarkan kesimpulan yang telah dikemukakan pada pembahasan sebelumnya, maka beberapa implikasi dan saran dalam ranah akademik (kontribusi teoretis), praktik perencanaan dan perancangan kota, serta perumusan kebijakan oleh pemerintah atau pemangku kebijakan Implikasi dan saran dalam ranah akademik (1) Implikasi dalam ranah akademik Penelitian yang telah dilakukan pada dasarnya merupakan penelitian dasar yang melengkapi atau menyempurnakan penelitian-penelitian sebelumnya, dan dapat menjadi pijakan awal bagi penelitian-penelitian selanjutnya. Berdasarkan penelusuran terhadap penelitian-penelitian sebelumnya, yang dilakukan oleh Geertz (1980), Rossi (1986), Kostof (1991), Munandar (2005), Putra (2005, 2008a, 2008b), Putra Agung (2009), Suardana (2011), dan Juliarthana (2012), dapat dipahami bahwa temuan dari penelitian ini pada dasarnya melengkapi kembali teori/konsep dalam ranah arsitektur kota dan Arsitektur Bali. Konsep dalam ranah arsitektur kota, yaitu (1) konsep permanensi (Rossi, 1986); dan (2) konsep the city as diagram (Kostof, 1991). Sementara itu, konsep dalam ranah 315
7 Arsitektur Bali adalah konsep tata spasial kota kerajaan (pusaka/peninggalan) di Bali, beserta pelbagai komponennya (Geertz, 1980; Munandar, 2005; Putra, 2005, 2008a, 2008b; Putra Agung, 2009; Suardana, 2011; dan Juliarthana, 2012). Dalam konsep permanensi (Rossi, 1986), dijelaskan bahwa permanensi merupakan unsur/komponen dalam kota yang dapat berfungsi sebagai pembawa masa lalu ke dalam sekarang, sehingga masa lalu tersebut dapat tetap menjadi pengalaman hingga masa sekarang. Dengan demikian, permanensi dapat dipahami sebagai unsur/komponen dalam kota yang keberadaannya tetap bertahan dalam kota, karena mampu memberi pengalaman bagi masyarakat dan menjadi salah satu karakteristik bagi sebuah kota. Menurut Rossi (1986), unsur utama permanensi dalam kota adalah hunian (housing) dan monumen (monument). Dalam hal ini, Rossi (1986) membedakan antara rumah (house) dengan hunian/perumahan (housing) dari sudut pandang permanensi dalam wilayah kota. Rumah merupakan bangunan dalam kota yang tidak permanen atau cenderung akan mengalami perubahan, sedangkan hunian merupakan sekelompok rumah dalam suatu wilayah kota yang bersifat permanen karena mampu memberi pengalaman bagi kehidupan penghuninya. Sementara itu, monumen merupakan artefak (artifact) dalam kota yang memiliki fungsi simbolis, sehingga keberadaannya tetap bertahan karena mengandung sejarah, nilai-nilai, karakteristik, dan memberi pengalaman tertentu bagi masyarakat kota. Unsur utama permanensi tersebut dapat diidentifikasi pada komponen tata spasial Kota Kerajaan Karangasem diantaranya: fungsi ruang atau monumen kerajaan dan hunian masyarakat. Dalam perwujudannya, komponen fungsi ruang dan hunian pada tata spasial Kota Kerajaan Karangasem dijelaskan lebih spesifik. Fungsi ruang yang bersifat permanen adalah ruang sakral dan ritual yang merupakan wadah bagi masyarakat untuk melangsungkan kegiatan ritual keagamaan, seperti: pura, lapangan, dan ruang sekitar Pohon Beringin. Sementara itu hunian yang permanen merupakan hunian-hunian spesifik berdasarkan strata atau hierarkinya, seperti: puri, geria, jero, umah-banjar pakraman, dan rumahkampung. Dengan demikian, hasil temuan komponen tersebut dapat melengkapi kembali konsep permanensi yang telah dirumuskan oleh Rossi (1986). 316
8 Komponen Tata Spasial Kota Gambar 122. Kontribusi teoretis konsep jagadhita dalam ranah arsitektur kota (Sumber: analisis, 2016) 317
9 Gambar 123. Komparasi perwujudan tata spasial Kota Kerajaan Karangasem (kiri) dengan the religious diagram (tengah) dan the political diagram (kanan) (Sumber: modifikasi dari Kostof, 1991; analisis, 2016) 318
10 Sementara itu, dalam konsep the city as diagram (Kostof, 1991), dijelaskan bahwa kota sebagai sebuah gambaran atau skema yang memperlihatkan susunan dalam masyarakat dan proses berlangsungnya aktivitas masyarakat. Dalam hal ini, Kostof (1991), menjelaskan penerapan konsep the city as diagram pada beberapa kota suci dan kota sekular yang memiliki wujud diagram yang serupa namun dengan fungsi dan makna yang berbeda. Perwujudan diagram kota-kota suci digambarkan sebagai the religious diagram dengan pola konsentris, yang menunjukkan hubungan masyarakat dengan Tuhan atau para dewa. Hubungan tersebut diterjemahkan dalam wujud kota sebagai replika surga, tempat pemujaan, dan berlangsungnya pelbagai ritual keagamaan. Pada pusat kota-kota suci, terdapat dua fungsi ruang utama yang menunjukkan kedekatan masyarakat dengan Tuhan atau para dewa, yaitu: (1) kuil sebagai tempat pemujaan dan pusat kegiatan ritual keagamaan; dan (2) istana sebagai kediaman raja dan pusat kegiatan politik dan pemerintahan. Pada bagian luar pusat kota, dikelilingi oleh permukiman masyarakat, sehingga kota tersebut pada umumnya memiliki dua lapisan wilayah. Sementara itu, perwujudan diagram kota-kota sekular yang menunjukkan dominasi kekuasaan, digambarkan sebagai the political diagram dengan pola konsentris (memusat) pada penguasa, yang menunjukkan kedudukan tinggi dari penguasa dalam hierarki sosial dan pemerintahan. Wilayah pusat kota dan kekuasaan tersebut dikelilingi oleh militer sebagai pertahanan wilayah, sedangkan pada wilayah terluar dikelilingi oleh permukiman masyarakat. Dengan demikian, pada umumnya kota tersebut memiliki tiga lapisan wilayah yang berpusat pada istana pada pusat kota, yang berfungsi sebagai pusat kekuasaan, politik dan pemerintahan. Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat dipahami bahwa konsep the city as diagram (Kostof, 1991), serupa dengan perwujudan tata spasial Kota Kerajaan Karangasem. Tata spasial Kota Kerajaan Karangasem berwujud lingkaran konsentris dengan dilandasi konsep jagadhita, yang menempatkan puri, pura, dan peken (pasar) di pusat kota, sebagai wujud keseimbangan nilai dharma, artha, dan kama. Wilayah Kerajaan Karangasem (kuta negara) dibagi menjadi dua lapis menurut sistem politik dan pemerintahan, sedangkan wilayah dalam kota (jero 319
11 kuta) dibagi menjadi tiga lapis menurut tingkatan hunian masyarakatnya. Dengan demikian, hasil temuan ini dapat melengkapi kembali konsep the city as diagram (Kostof, 1991). Berdasarkan penelitian-penelitian lainnya yang dilakukan oleh Geertz (1980), Munandar (2005), Putra (2005, 2008a, 2008b), Putra Agung (2009), Suardana (2011), dan Juliarthana (2012), dapat dipahami bahwa identifikasi tata spasial Kota Kerajaan Hindu di Bali hanya terfokus pada pusat kota kerajaan yang ditandai dengan keberadaan satu catuspatha atau pempatan agung beserta pelbagai fungsi ruang di sekitarnya. Fungsi-fungsi ruang tersebut, diantaranya: (1) puri sebagai pusat pemerintahan dan kediaman raja; (2) peken sebagai pusat kegiatan perekonomian; (3) wantilan atau bale banjar sebagai tempat melakukan pelbagai kegiatan sosial dan budaya; dan (4) ruang terbuka sebagai tempat melakukan pelbagai kegiatan sosial. Hal ini menyebabkan tata spasial di luar pusat kota kerajaan belum teridentifikasi dengan jelas dan masih terpecah-pecah (parsial). Sementara itu, belum terdapat identifikasi yang jelas mengenai konsep yang melandasi perwujudan tata spasial Kota Kerajaan Hindu di Bali, baik yang bersifat lokal (satu kota kerajaan) atau yang bersifat lebih luas (beberapa kota kerajaan). Temuan keberadaan tiga macam catuspatha atau pempatan agung di Kota Kerajaan Karangasem menunjukkan pula bahwa pelbagai dinamika wadah aktivitas (khususnya kegiatan keagamaan) dan pengetahuan masyarakat dapat mempengaruhi keberadaan pempatan agung dengan pelbagai fungsi ruang yang terdapat disekitarnya. Dengan demikian, keberadaan catuspatha tidak selalu ditandai dengan keberadaan fungsi ruang yang lengkap, seperti: puri, pura, wantilan, bale banjar, atau ruang terbuka, namun dapat ditandai oleh aktivitas yang dilakukan masyarakat dan pengetahuan masyarakat terhadap konsep pempatan agung. Oleh karena itu, diperkirakan di masa mendatang, perwujudan fisik pempatan agung dapat ditandai dengan fungsi-fungsi ruang yang beragam, namun tetap mampu mewadahi pelbagai aktivitas masyarakat dan memiliki substansi konsep yang tetap sama, yaitu bersumber dari jagadhita dengan keseimbangan nilai dharma, artha, dan kama. 320
12 Gambar 124. Kontribusi teoretis konsep jagadhita dalam ranah Arsitektur Bali (Sumber: analisis, 2016) 321
13 Dengan demikian, dapat dipahami bahwa hasil temuan dari penelitian ini dipandang mampu melengkapi atau menyempurnakan hal-hal yang belum dibahas dalam penelitian-penelitian sebelumnya, yaitu mengenai identifikasi perwujudan tata spasial kota kerajaan beserta komponen-komponen penyusunnya dan konsep yang melandasi tata spasial kota tersebut. Hal ini diharapkan dapat lebih memperkaya khasanah keilmuan terutama dalam bidang arsitektur dan perencanaan pada umumnya, dan Arsitektur Bali pada khususnya. Meskipun demikian, upaya pengayaan dan pendalaman hasil temuan ini tentu masih terbuka, untuk memantapkan dan memperluas cakupan hasil temuan. Dalam ranah arsitektur dan perencanaan kota, konsep jagadhita sebagai landasan tata spasial Kota Kerajaan Karangasem membuka kembali wawasan para akademisi tentang kekayaan teori dan konsep lokal yang terdapat di Bali dan Indonesia. Hal ini dapat dimanfaatkan sebagai media pembelajaran dan pendekatan dalam praktik perencanaan dan perancangan kota-kota di Bali dan Indonesia, yang memiliki karakteristik berbeda dengan kota-kota yang terdapat di negara lain. Dengan demikian, diharapkan pelbagai teori dan konsep yang digunakan sebagai media pembelajaran dan praktik dapat lebih relevan dengan kondisi dan karakteristik kota-kota tersebut. (2) Saran dalam ranah akademik Berdasarkan hasil temuan, dapat dipahami bahwa pengayaan dan pendalaman mengenai teori atau konsep arsitektur kota-kota kerajaan di Bali, melalui kegiatan penelitian masih sangat terbuka. Salah satu upaya pengayaan dan pendalaman yang dapat dilakukan yaitu dengan menambah jumlah kasus penelitian, karena konsep yang dirumuskan pada penelitian ini masih bersifat lokal (idiographis) dan objek yang dikaji terbatas pada satu Kota Kerajaan Hindu di Bali yaitu Kota Kerajaan Karangasem. Meskipun demikian, berdasarkan hasil dari uji keteralihan (transferability) diperoleh adanya beberapa kesesuaian penerapan konsep di beberapa kota kerajaan yang berkaitan atau berada di sekitar Kota Kerajaan Karangasem. 322
14 Hal tersebut tentu harus dibuktikan kembali melalui kajian-kajian yang lebih luas dan mendalam melalui penelitian-penelitian lebih lanjut di pelbagai Kota Kerajaan Hindu di Bali dan di luar Bali (Jawa dan Lombok), yang memiliki karakteristik serupa. Dengan demikian, diharapkan konsep yang telah dirumuskan dapat lebih disempurnakan lagi dalam konteks yang lebih beragam dan wilayah penelitian yang lebih luas. Berdasarkan penelitian-penelitian lanjutan tersebut, diharapkan dapat dirumuskan konsep mengenai tata spasial Kota Kerajaan Hindu yang berlaku dalam lingkup yang lebih luas. Rumusan hasil penelitian memantapkan pula keterkaitan antara Kerajaan Majapahit dengan Kota-kota Kerajaan Hindu di Bali, khususnya Kota Kerajaan Karangasem. Hal ini menjadi bahan kajian yang menarik untuk penelitianpenelitian mengenai Kota Majapahit dan Kota-kota Kerajaan Hindu lainnya di Bali secara lebih mendalam. Hasil penelitian ini dipandang berpotensi untuk dijadikan masukan atau pendekatan dalam mengkaji Kota Majapahit. Upaya ini salah satunya telah dilakukan oleh Munandar (2005), yang menggunakan pendekatan kondisi puri dan Kota-kota Kerajaan Hindu di Bali untuk merekonstruksi tata spasial Kota Majapahit. Meskipun demikian, upaya tersebut dipandang belum optimal, karena masih terbatasnya deskripsi mengenai tata spasial Kota-kota Kerajaan Hindu di Bali secara menyeluruh, yang dapat digunakan sebagai pendekatan. Dengan demikian, diharapkan hasil penelitian ini dapat membuka kembali kemungkinan-kemungkinan penggunaan pelbagai pendekatan tata spasial Kota-kota Kerajaan Hindu di Bali untuk mengkaji tata spasial Kota Majapahit dalam penelitian-penelitian di masa mendatang Implikasi dan saran dalam praktik perencanaan, perancangan, dan perumusan kebijakan oleh praktisi dan pemerintah (1) Implikasi dalam ranah praktik perencanaan, perancangan, dan perumusan kebijakan oleh praktisi dan pemerintah Rumusan hasil penelitian menunjukkan bahwa konsep-konsep tata spasial Kota Kerajaan Hindu di Bali selama ini tidak hanya terbatas pada wilayah pusat kota atau catuspatha, namun mencakup wilayah yang lebih luas dari wilayah 323
15 pusat kota hingga ke pinggiran kota atau dipahami sebagai wilayah jero kuta. Kondisi tersebut menyebabkan wilayah pinggiran kota relatif jarang tersentuh dan kurang dipertimbangkan dalam kegiatan perencanaan, perancangan, atau penyusunan kebijakan, sebagai salah satu unsur yang mampu memberikan identitas dan karakteristik yang khas terhadap perwujudan tata spasial Kota-kota Kerajaan Hindu di Bali. Hal ini dapat menjadi pertimbangan bagi para perencana dan perancang dalam menata atau mengembangkan Kota-kota Kerajaan Hindu di Bali pada masa mendatang. Dalam hal ini, upaya untuk mempertahankan karakteristik kota atau tata spasial Kota-kota Kerajaan Hindu di Bali, tidak terbatas pada upaya penataan, pengembangan, atau pelestarian kawasan sekitar pusat kota atau sekitar pempatan agung, namun mencakup pula pelbagai fungsi-fungsi ruang kota, hunian-hunian, dan jalur-jalur sirkulasi yang terdapat di seluruh wilayah kota atau jero kuta. Hal ini disebabkan karena karakteristik tata spasial kota di Bali terbentuk dari pelbagai aspek dan komponen tata spasial kota yang memiliki susunan tertentu. Aspek tersebut diantaranya: (1) aspek religi atau keagamaan; (2) aspek ekonomi; (3) aspek sosial; dan (4) aspek lingkungan. Hasil temuan ini, dapat membuka kembali wawasan masyarakat dan pemangku kebijakan, bahwa kota merupakan wadah kehidupan masyarakat yang mencakup skala yang luas. Kota tersusun dari komponen yang beragam, dan dilandasi oleh konsep yang bersumber dari gagasan masyarakat yang terbentuk dalam kurun waktu yang panjang, sehingga menjadi kesadaran yang mempengaruhi pelbagai kehidupan masyarakat. Dengan demikian, dalam upaya penyusunan kebijakan sangat dibutuhkan peran serta dan komunikasi yang baik antara pemangku kebijakan dan masyarakat kota, sehingga dapat menghasilkan produk kebijakan yang bermanfaat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. 324
16 Penerapan konsep jagadhita sesuai nilai dharma Penerapan konsep jagadhita sesuai nilai artha Penerapan konsep jagadhita sesuai nilai kama Perwujudan tata spasial kota yang berlandaskan konsep jagadhita dengan tercapainya keseimbangan nilai dharma, artha, dan kama Gambar 125. Proses deduksi konsep jagadhita dari tataran abstrak ke tataran empiris sebagai acuan penerapan konsep jagadhita (Sumber: analisis, 2015) 325
17 (2) Saran dalam ranah praktik perencanaan, perancangan, dan perumusan kebijakan oleh praktisi dan pemerintah Dalam ranah praktik, konsep jagadhita dapat diterapkan melalui proses deduksi dari tataran abstrak ke tataran empiris. Proses deduksi tersebut merupakan kebalikan dari proses induksi yang telah dilakukan pada perumusan konsep jagadhita. Dengan proses tersebut, konsep jagadhita dapat diterapkan dalam kegiatan perencanaan, perancangan, atau perumusan kebijakan, untuk mewujudkan tata spasial kota yang sesuai dengan jagadhita, melalui keseimbangan dari penerapan nilai dharma, artha, dan kama. Proses penerapan atau deduksi konsep jagadhita ke tataran empiris dapat dipaparkan secara lengkap pada gambar di atas. Sementara itu, pola lingkaran konsentris di wilayah kota (jero kuta) dan pola catuspatha di wilayah pusat Kota Kerajaan Karangasem menjadi peluang dan tantangan yang cukup besar dalam mengembangkan Kota Kerajaan Karangasem di masa sekarang dan masa mendatang. Pola lingkaran konsentris yang memiliki tiga lapisan (layers) memiliki karakteristik tertentu dapat mempengaruhi upaya pengembangan Kota Kerajaan Karangasem. Lapisan pertama yang disetarakan dengan kawasan utama mandala merupakan kawasan yang paling disakralkan dan merupakan inti dari kota, sehingga pengembangan yang dapat dilakukan sangat terbatas. Dalam hal ini tindakan konservasi menjadi pilihan yang tepat untuk melindungi peninggalanpeninggalan Kerajaan Karangasem yang memiliki nilai historis dan filosofis, seperti: puri, pura, dan peken (pasar tradisional). Meskipun demikian, keberadaan puri, pura, dan peken yang diintegrasikan oleh pempatan agung memiliki peluang yang besar untuk dikembangkan menjadi kawasan wisata budaya dan sejarah serta kawasan komersial terbatas (peken), sehingga konservasi yang dilakukan tetap dapat meningkatkan nilai guna dari pempatan agung dan fungsi ruang yang ada di sekitarnya. Lapisan kedua yang disetarakan dengan kawasan madya mandala merupakan kawasan transisi antara kawasan sakral dan kawasan profan, sehingga kawasan ini dapat dikembangkan dengan fungsi yang lebih luas. Meskipun demikian, 326
18 pengembangan yang dilakukan masih mengacu pada konsep tata spasial Kota Kerajaan Karangasem. Kawasan ini dapat dikembangkan menjadi kawasan terbuka hijau serta kawasan komersial dan perumahan namun dengan jumlah yang terbatas, untuk menyangga kawasan pusat kota. Gambar 126. Saran pengembangan Kota Kerajaan Karangasem (Sumber: analisis, 2015) Sementara itu, lapisan ketiga yang disetarakan dengan kawasan nista mandala merupakan kawasan profan yang dapat dikembangkan dengan fungsi yang sangat luas. Kawasan ini dapat dikembangkan menjadi kawasan komersial, perkantoran, perumahan, pendidikan, atau kawasan terbuka hijau. Dengan adanya pembagian kawasan pengembangan tersebut diharapkan dapat mewadahi pelbagai kebutuhan dan aktivitas masyarakat kota yang semakin kompleks dan berkembang, namun tetap selaras dengan nilai-nilai kearifan lokal, sejarah, dan konsep tata spasial Kota Kerajaan Karangasem. Dengan demikian, jagadhita sebagai tujuan masyarakat Kota Kerajaan Karangasem dapat tercapai. Upaya penyusunan kebijakan mengenai penataan, pengembangan, atau pelestarian Kota-kota Kerajaan Hindu di Bali menjadi penting, karena kota-kota tersebut tidak terbatas hanya sebagai wadah aktivitas, namun merupakan manifestasi dari upaya masyarakat kota mencapai jagadhita yaitu kedamaian dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat. Dalam mencapai jagadhita dibutuhkan 327
19 adanya keseimbangan antara dharma, artha, dan kama, yang termanifestasi dalam penataan, pengembangan, atau pelestarian kota. Nilai Dharma Aspek Agama Aspek Ekonomi Konsep Jagadhita Nilai Artha Aspek Sosial Komponenkomponen Tata Spasial Kota Nilai Kama Aspek Lingkungan Gambar 127. Saran penyusunan kebijakan penataan, pengembangan, atau pelestarian Kota Kerajaan Karangasem berdasarkan konsep jagadhita (Sumber: analisis, 2015) Dengan demikian, dalam penyusunan kebijakan hendaknya memperhatikan beberapa aspek utama yang mempengaruhi pencapaian jagadhita, yaitu: (1) aspek agama dan kepercayaan sebagai bagian dari penerapan nilai dharma; (2) aspek ekonomi sebagai bagian dari penerapan nilai artha dan kama yang dilandasi oleh nilai dharma; (3) aspek sosial sebagai bagian dari penerapan nilai kama yang dilandasi oleh nilai dharma; dan (4) aspek lingkungan sebagai wadah pelbagai aktivitas manusia dan bagian dari penerapan nilai kama yang dilandasi oleh nilai dharma. Dengan demikian, penataan, pengembangan, atau pelestarian kota tidak hanya menjadi tanggung jawab beberapa pihak, namun harus lebih banyak melibatkan peran serta masyarakat kota melalui program-program pembangunan yang lebih memberdayakan masyarakat kota. 328
20 8.3. Keterbatasan dan Tantangan dalam Penelitian Dalam melakukan pelbagai proses penelitian, tentu terdapat beberapa keterbatasan dan tantangan yang dihadapi. Meskipun demikian, keterbatasan dan tantangan tersebut dipandang sebagai sesuatu yang wajar dan dapat ditoleransi tanpa menghambat keseluruhan proses penelitian. Dalam prosesnya, keterbatasan dan tantangan tersebut menjadi pelajaran berharga dalam melakukan penelitianpenelitian lainnya di masa mendatang. Keterbatasan dan tantangan tersebut, diantaranya: (1) Literatur maupun sumber-sumber tertulis mengenai kota-kota kerajaan, khususnya kota-kota kerajaan di Bali masih terbatas. Hal ini menjadi salah satu keterbatasan dalam memperoleh background knowledge sebagai salah satu bekal dalam memahami pelbagai fenomena yang terjadi di lapangan. Salah satu upaya yang ditempuh untuk memperoleh background knowledge yang memadai dengan belajar secara informal, yaitu bertanya atau berdiskusi langsung kepada akademisi atau praktisi yang memahami mengenai kondisi kota-kota kerajaan di Bali atau melalui grand tour di beberapa kota-kota kerajaan di Bali untuk memperoleh pemahaman mengenai kondisi kota-kota tersebut secara empiris. (2) Pada saat melakukan proses eksplorasi lapangan, terdapat kesulitan dalam memperoleh peta Kota Kerajaan Karangasem yang memadai, karena beberapa instansi pemerintah dan perangkat desa belum memiliki peta kota yang memadai untuk dijadikan acuan dalam melakukan eksplorasi lapangan. Oleh karena itu, timbul inisiatif untuk menggambar peta Kota Kerajaan Karangasem dan peta Desa Pakraman Karangasem (saling tumpang tindih), dengan acuan aplikasi google maps, GIS, dan eksplorasi langsung ke lapangan. Peta tersebut yang selanjutnya digunakan sebagai acuan dalam penelitian, dan digunakan pula oleh pengurus desa sebagai salah satu inventaris di Desa Pakraman Karangasem. (3) Beberapa peninggalan Kerajaan Karangasem telah hancur, seperti: taman kerajaan, sumber mata air, kolam, dan kantor-kantor, sehingga sulit diidentifikasi secara empiris. Oleh karena itu, dilakukan beberapa 329
21 rekonstruksi berdasarkan informasi dari informan, sketsa, dan sumber-sumber tertulis. Meskipun tidak terlalu detail, namun hasil rekonstruksi tersebut dipandang cukup memadai untuk menggambarkan beberapa peninggalan kerajaan terutama dari aspek spasialnya. (4) Uji keteralihan belum dapat dilakukan di seluruh Kota-kota Kerajaan Hindu di Bali karena beberapa kota kerajaan telah hancur dan terbatasnya sumbersumber tertulis mengenai kota-kota kerajaan tersebut. Hal ini tentu cukup menyulitkan dalam memilih kota-kota kerajaan yang memadai untuk uji keteralihan, terutama kota-kota kerajaan yang telah hancur dan keterbatasan sumber-sumber tertulis. Oleh karena itu, hanya dipilih empat kota kerajaan di Bali dengan pelbagai keterbatasannya. Semoga di masa mendatang, penelitian-penelitian di kota-kota kerajaan lain semakin banyak, sehingga uji keteralihan ini dapat dilakukan di seluruh kota kerajaan di Bali. 330
Faktor-faktor yang Melatarbelakangi Perwujudan Tata Spasial Kota Peninggalan Kerajaan Karangasem di Bali
SEMINAR HERITAGE IPLBI 2017 PENELITIAN Faktor-faktor yang Melatarbelakangi Perwujudan Tata Spasial Kota Peninggalan Kerajaan Karangasem di Bali I Gusti Ngurah Wiras Hardy ngurahwiras@gmail.com Arsitektur
Lebih terperinciPengaruh Sistem Catur Wangsa terhadap Perwujudan Tata Spasial Kota Peninggalan Kerajaan Hindu di Bali: Kasus Kota Karangasem
Pengaruh Sistem Catur Wangsa terhadap Perwujudan Tata Spasial Kota Peninggalan Kerajaan Hindu di Bali: Kasus Kota Karangasem I Gusti Ngurah Wiras Hardy, Bakti Setiawan, Budi Prayitno Universitas Gadjah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dunia, hal ini disebabkakan oleh kehidupan dan kebudayaan masyarakat Bali yang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Pulau Bali merupakan salah satu dari kepulauan Indonesia yang terkenal di dunia, hal ini disebabkakan oleh kehidupan dan kebudayaan masyarakat Bali yang
Lebih terperinciSangamandala Oleh: I Made Pande Artadi, S. Sn., M. Sn
Sangamandala Oleh: I Made Pande Artadi, S. Sn., M. Sn Konsepsi sangamandala menentukan sembilan tingkatan nilai ruang pada sembilan zone bumi atau tata zoning tapak. Sembilan zona ini lahir berdasarkan
Lebih terperinciBali. Pola Tata Ruang Tradisional
Bali Pola Tata Ruang Tradisional Konsep Sanga Mandala Konsep Tri Angga pada lingkungan Konsep Tri Angga pada Rumah Tata Ruang Rumah Tinggal Konsep tata ruang tradisional Pola tata ruang tradisional Bali
Lebih terperincisampai sasaran keempat. Berikut ini merupakan kesimpulan dari konsep Konservasi; 1. Konsep pada kondisi tetap: Konsep Preservasi jaringan jalan (pola
BAB 5 KESIMPULAN 5.1. Kesimpulan Kawasan Cakranegara pada awalnya dirancang berdasarkan kosmologi Hindu-Bali, namun kenyataan yang ditemui pada kondisi eksisting adalah terjadi pergeseran nilai kosmologi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Kota merupakan salah satu wilayah hunian manusia yang paling kompleks,
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota merupakan salah satu wilayah hunian manusia yang paling kompleks, terdiri dari berbagai sarana dan prasarana yang tersedia, kota mewadahi berbagai macam aktivitas
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Kotagede adalah sebuah kota lama yang terletak di Yogyakarta bagian selatan yang secara administratif terletak di kota Yogyakarta dan Kabupaten Bantul. Sebagai kota
Lebih terperinciBAB V ARAHAN PELESTARIAN PERMUKIMAN TRADISIONAL BALI AGA DAN REKOMENDASI
BAB V ARAHAN PELESTARIAN PERMUKIMAN TRADISIONAL BALI AGA DAN REKOMENDASI Bab ini akan menjelaskan mengenai Dasar Pertimbangan, Konsep Pelestarian, Arahan pelestarian permukiman tradisional di Desa Adat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. masalah, tujuan penelitian, dan manfaat penelitian. Latar belakang merupakan
BAB I PENDAHULUAN Bab pendahuluan merupakan pemaparan dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, dan manfaat penelitian. Latar belakang merupakan uraian tentang konteks permasalahan dengan
Lebih terperinciBAB I. PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang -1-
BAB I. PENDAHULUAN Bab Pendahuluan terdiri dari subbab (I.1) Latar Belakang; (I.2) Pertanyaan Dan Tujuan Penelitian; (I. 3) Manfaat Penelitian; (I. 4) Keaslian Penelitian; (I. 5) Batasan Penelitian; dan
Lebih terperinciBAB V KESIMPULAN. 5.1 Alasan Kehadiran Rejang Sangat Dibutuhkan dalam Ritual. Pertunjukan rejang Kuningan di Kecamatan Abang bukanlah
BAB V KESIMPULAN 5.1 Alasan Kehadiran Rejang Sangat Dibutuhkan dalam Ritual Kuningan Pertunjukan rejang Kuningan di Kecamatan Abang bukanlah merupakan seni pertunjukan yang biasa tetapi merupakan pertunjukan
Lebih terperinciA. Simpulan Peran public relations dalam organisasi semakin signifikan dalam kurun beberapa tahun terakhir. Divisi public relations yang mulanya hanya
BAB V PENUTUP Kehadiran social media sebagai media komunikasi telah memberikan warna baru dalam dinamika praktik komunikasi korporat. Proses komunikasi yang bersifat egaliter, langsung, dan dialogis mendorong
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam latar belakang ini, ada beberapa hal yang akan disampaikan penulis. hal tersebut terkait masalah yang diangkat. masalah atau isu yang diangkat tentunya
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengelolaan tata ruang sebagai sebuah hasil akulturasi antara budaya dan logika tercermin dalam proses penempatan posisi-posisi bangunan. Dasar budaya adalah faktor
Lebih terperinciABSTRAK. Kata Kunci: pendidikan, Pasraman, pengetahuan, agama Hindu
ABSTRAK Perancangan Pasraman Hindu di Buleleng merupakan suatu upaya dalam memberikan pembinaan serta pendidikan secara mental dan fisik baik jasmani maupun rohani kepada seluruh masyarakat Hindu, khususnya
Lebih terperinciBAB III METODE PERANCANGAN. perancangan merupakan paparan deskriptif mengenai langkah-langkah di dalam
BAB III METODE PERANCANGAN Merancang sebuah Griya Seni dan Budaya Terakota sesuai dengan konsep dan teori yang diinginkan tidak terlepas dari metode perancangan. Metode perancangan merupakan paparan deskriptif
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. secara tidak terencana. Pada observasi awal yang dilakukan secara singkat, Kampung
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kampung Badur merupakan permukiman yang berada di pinggiran sungai Deli di Kelurahan Hamdan Kecamatan Medan Maimun, Medan. Daerah pinggiran sungai, umumnya menjadi
Lebih terperinciBAB VII KESIMPULAN, SARAN DAN KONTRIBUSI TEORI
BAB VII KESIMPULAN, SARAN DAN KONTRIBUSI TEORI VII. 1. Kesimpulan Penelitian proses terjadinya transformasi arsitektural dari kampung kota menjadi kampung wisata ini bertujuan untuk membangun teori atau
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. tujuan, manfaat, dan keaslian penelitian yang dilakukan.
BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini dipaparkan mengenai latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan, manfaat, dan keaslian penelitian yang dilakukan. 1.1 Latar Belakang Keanekaragaman perwujudan bangunan
Lebih terperinciBAB 8 KESIMPULAN DAN SARAN
BAB 8 KESIMPULAN DAN SARAN Bab ini akan menguraikan kesimpulan dan saran sebagai hasil pengolahan data penelitian dan pembahasan terhadap hasil analisis yang telah disajikan dalam beberapa bab sebelumnya.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang luas, besar, dan memiliki keanekaragaman
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara yang luas, besar, dan memiliki keanekaragaman akan tradisi dan budayanya. Budaya memiliki kaitan yang erat dengan kehidupan manusia, di mana
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. maupun badan hukum. Usaha pemerintah ini tidak terlepas dari tujuan negara
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Masalah Rumah merupakan kebutuhan dasar manusia dan mempunyai peran yang sangat strategis dalam membentuk watak serta kepribadian bangsa. Dalam rangka pemenuhan kebutuhan perumahan
Lebih terperinciKAJIAN PERKEMBANGAN KOTA BATANG BERDASARKAN STRUKTUR RUANG KOTA TUGAS AKHIR
KAJIAN PERKEMBANGAN KOTA BATANG BERDASARKAN STRUKTUR RUANG KOTA TUGAS AKHIR Oleh: RINA AFITA SARI L2D 306 021 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2008 ABSTRAKSI
Lebih terperinci449 IX. PENUTUP 9.1. Kesi mpulan
449 IX. PENUTUP Bagian yang akan menutup pembahasan tentang ruang lokal Kawasan Pusat Situs Purbakala ini terdiri dari empat bagian. Bagian pertama, adalah kesimpulan hasil penelitian tentang Ruang Kemuliaan
Lebih terperinciAKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT MUSLIM DESA PEGAYAMAN BULELENG BALI. L. Edhi Prasetya
AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT MUSLIM DESA PEGAYAMAN BULELENG BALI ABSTRAK Desa Pegayaman di Kecamatan Sukasada, Buleleng, Singaraja, Bali, adalah sebuah desa muslim di Bali. Desa dengan penduduk yang
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN. memiliki keterkaitan dengan topik dari permasalahan yang akan dikaji.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN 1.1 Tinjauan pustaka Tinjauan pustaka dalam penelitian ini menggunakan beberapa sumber berupa jurnal ilmiah, artikel, buku ataupun internet.
Lebih terperinciBAB 5 PENUTUP PURA MAOSPAIT DI MASA LALU DAN MASA KINI
118 BAB 5 PENUTUP PURA MAOSPAIT DI MASA LALU DAN MASA KINI Berdasarkan kajian yang telah dilakukan terhadap Pura Maospait maka dapat diketahui bahwa ada hal-hal yang berbeda dengan pura-pura kuna yang
Lebih terperinciPELESTARIAN KAWASAN PUSAKA BERKELANJUTAN (Studi Kasus: Kawasan Taman Ayun, Kabupaten Badung, Provinsi Bali)
PELESTARIAN KAWASAN PUSAKA BERKELANJUTAN (Studi Kasus: Kawasan Taman Ayun, Kabupaten Badung, Provinsi Bali) Dr. Taufan Madiasworo, ST., MT. Kepala Sub Direktorat Kawasan Permukiman Perdesaan Disampaikan
Lebih terperinciRUMAH LIMAS PALEMBANG WARISAN BUDAYA YANG HAMPIR PUNAH
RUMAH LIMAS PALEMBANG WARISAN BUDAYA YANG HAMPIR PUNAH Reny Kartika Sary Program Studi Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Palembang Email : renykartikasary@yahoo.com Abstrak Rumah Limas
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Bermukim merupakan salah satu cerminan budaya yang. merepresentasikan keseluruhan dari teknik dan objek, termasuk didalamnya cara
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bermukim merupakan salah satu cerminan budaya yang merepresentasikan keseluruhan dari teknik dan objek, termasuk didalamnya cara berfikir, lingkungan, kebiasaan, cara
Lebih terperinciTugas Antropologi Politik Review buku : Negara Teater : Clifford Geertz : Isnan Amaludin : 08/275209/PSA/1973
Tugas Antropologi Politik Review buku : Negara Teater Penulis : Clifford Geertz Oleh : Isnan Amaludin NIM : 08/275209/PSA/1973 Prodi : S2 Sejarah Geertz sepertinya tertarik pada Bali karena menjadi suaka
Lebih terperinciPEMANFAATAN POTENSI WARISAN BUDAYA PURA MEDUWE KARANG DI DESA KUBUTAMBAHAN KABUPATEN BULELENG SEBAGAI TEMPAT TUJUAN PARIWISATA
PEMANFAATAN POTENSI WARISAN BUDAYA PURA MEDUWE KARANG DI DESA KUBUTAMBAHAN KABUPATEN BULELENG SEBAGAI TEMPAT TUJUAN PARIWISATA Elfrida Rosidah Simorangkir Jurusan Arkeologi Fakultas Sastra Universitas
Lebih terperinciKEARIFAN EKOLOGI MASYARAKAT BAYUNG GEDE DALAM PELESTARIAN HUTAN SETRA ARI-ARI DI DESA BAYUNG GEDE, KECAMATAN KINTAMANI, KABUPATEN BANGLI
KEARIFAN EKOLOGI MASYARAKAT BAYUNG GEDE DALAM PELESTARIAN HUTAN SETRA ARI-ARI DI DESA BAYUNG GEDE, KECAMATAN KINTAMANI, KABUPATEN BANGLI Oleh : DEWA AYU EKA PUTRI 1101605007 PROGRAM STUDI ANTROPOLOGI FAKULTAS
Lebih terperinciBAB III METODE PERANCANGAN
BAB III METODE PERANCANGAN 3.1. Metode Perancangan Sebuah proses perancangan dibutuhkan sebuah metode untuk memudahkan perancang dalam mengembangkan ide rancangan. Metode deskriptif analisis adalah salah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. mengenai hal tersebut menuai pro dan kontra. Kuswijayanti (2007) menjelaskan
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada 2001, pembahasan mengenai penetapan Gunung Merapi sebagai kawasan taman nasional mulai digulirkan. Sejak saat itu pula perbincangan mengenai hal tersebut menuai
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Perkembangan Puri Agung Peliatan Ubud sebagai Destinasi Wisata Budaya
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.1.1 Perkembangan Puri Agung Peliatan Ubud sebagai Destinasi Wisata Budaya Puri merupakan salah satu hasil karya arsitektur di Bali yang berfungsi sebagai hunian bagi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebudayaan Indonesia yang beraneka ragam terdiri dari puncak-puncak kebudayaan daerah dan setiap kebudayaan daerah mempunyai ciri-ciri khas masing-masing. Walaupun
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Istilah kampung berasal dari bahasa Melayu, digunakan sebagai terminologi yang dipakai untuk menjelaskan sistem permukiman pedesaan. Istilah kampung sering dipakai
Lebih terperinciGUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN PURA AGUNG BESAKIH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN PURA AGUNG BESAKIH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, Menimbang : a. bahwa Kawasan Pura Agung Besakih
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Proses modernisasi dan globalisasi menempatkan bangsa Indonesia dalam
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Proses modernisasi dan globalisasi menempatkan bangsa Indonesia dalam arus perubahan besar yang mempengaruhi segala dimensi kehidupan masyarakat, terutama kehidupan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota merupakan salah satu tempat kehidupan manusia yang kompleks. Di dalamnya, kota mencakup seluruh kegiatan manusia dan mewadahinya ke dalam ruang-ruang tertentu
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN TA 29
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anak sebagai tunas muda harapan masa depan bangsa harus dibekali dengan ilmu pengetahuan dan pendidikan yang saling menunjang untuk membawa bangsa menjadi bangsa yang
Lebih terperinciBAB 3 METODOLOGI PERANCANGAN
BAB 3 METODOLOGI PERANCANGAN Kerangka kajian yang digunakan dalam proses perancangan Hotel Resort Batu ini secara umum, diuraikan dalam beberapa tahap antara lain: 3.1 Pencarian Ide/Gagasan Tahapan kajian
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Kasus Proyek
BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG 1.1.1 Kasus Proyek Perkembangan globalisasi telah memberikan dampak kesegala bidang, tidak terkecuali pengembangan potensi pariwisata suatu kawasan maupun kota. Pengembangan
Lebih terperinciBAB III METODE PERANCANGAN. kualitatif, karena penelitian ini bertujuan membuat deskripsi, gambaran atau
BAB III METODE PERANCANGAN 3.1 Metode Umum Kajian perancangan dalam seminar ini menggunakan pendekatan kualitatif, karena penelitian ini bertujuan membuat deskripsi, gambaran atau uraian secara sistematis
Lebih terperincipengembangan pariwisata di kampung Sawinggrai bisa dijadikan sebagai buktinya.
Bab Enam Kesimpulan Masyarakat lokal dalam pengembangan pariwisata di suatu kawasan atau daerah tujuan wisata (DTW), seringkali diabaikan dan kurang diberikan peran dan tanggung jawab dalam mendukung aktivitas
Lebih terperinciBAB III METODE PERANCANGAN. Metode perancangan ini banyak penelitian yang dilakukan, baik
BAB III METODE PERANCANGAN 3.1. Metode Perancangan Metode perancangan ini banyak penelitian yang dilakukan, baik menggunakan metode penelitian yang bersifat analisa kuantitatif-korelatif, yaitu mencari
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. masyarakat pesisir pantai barat. Wilayah budaya pantai barat Sumatera, adalah
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Masyarakat yang tinggal disepanjang pinggiran pantai, lazimnya disebut masyarakat pesisir. Masyarakat yang bermukim di sepanjang pantai barat disebut masyarakat
Lebih terperinciBAB III METODE PERANCANGAN. perancang dalam mengembangkan ide rancangan. Metode yang digunakan dalam
BAB III METODE PERANCANGAN Suatu proses perancangan membutuhkan suatu metode yang memudahkan bagi perancang dalam mengembangkan ide rancangan. Metode yang digunakan dalam Perancangan Pusat Dokumentasi
Lebih terperinciBAB III METODE PERANCANGAN
BAB III METODE PERANCANGAN 3.1. TAHAPAN PERANCANGAN Kerangka kajian yang digunakan dalam perancangan Pusat Peragaan dan Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, diuraikan dalam beberapa tahapan. Pertama,
Lebih terperinciBab I Pendahuluan. 1 Subandono Diposaptono, Rehabilitasi Pascatsunami yang Ramah Lingkungan, Kompas 20
Bab I Pendahuluan Posisi Indonesia secara geografis merupakan daerah rawan bencana. Selain bencana yang disebabkan oleh kondisi alam, juga terjadi bencana-bencana akibat ulah manusia. Gempa bumi, tsunami,
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Tatanan lingkungan, sebenarnya merupakan bentuk interaksi antara manusia dengan
19 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tatanan lingkungan, sebenarnya merupakan bentuk interaksi antara manusia dengan alamnya dari masa ke masa. Berbagai lingkungan mempunyai tatanan masing masing sebagai
Lebih terperinciBERITA DAERAH KABUPATEN KARAWANG PERATURAN BUPATI KARAWANG
BERITA DAERAH KABUPATEN KARAWANG NO. 32 2011 SERI. E PERATURAN BUPATI KARAWANG NOMOR : 32 TAHUN 2010 TENTANG KAMPUNG BUDAYA GERBANG KARAWANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KARAWANG, Menimbang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG
BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Kawasan Kota Tua merupakan salah satu kawasan potensial di Kota Padang. Kawasan ini memiliki posisi yang strategis, nilai sejarah yang vital, budaya yang beragam, corak
Lebih terperinciBAB 3 METODE PERANCANGAN. khas, serta banyaknya kelelawar yang menghuni gua, menjadi ciri khas dari obyek
BAB 3 METODE PERANCANGAN 3.1 Ide perancangan Gua Lowo merupakan obyek wisata alam yang berada di pegunungan dengan dikelilingi hutan jati yang luas. Udara yang sejuk dengan aroma jati yang khas, serta
Lebih terperinciBAB III METODE PERANCANGAN
BAB III METODE PERANCANGAN 3.1. Metode Perancangan Dalam metode perancangan ini banyak proses yang dilakukan, baik menggunakan metode penelitian yang bersifat analisa kuantitatif-korelatif, yaitu mencari
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. gb Peta Kawasan Wisata Pantai Lebih Gianyar Bali Sumber. Brosur Kabupaten Gianyar
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.1.1. Kelayakan gb. 1.1. Peta Kawasan Wisata Pantai Lebih Gianyar Bali Sumber. Brosur Kabupaten Gianyar Potensi dan daya tarik Pantai Lebih 1. Potensi alam Pantai
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Ruang Komunal Kelurahan Kemlayan sebagai Kampung Wisata di. Surakarta dengan Pendekatan Arsitektur Kontekstual
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Pengertian Judul 1.1.1 Judul Ruang Komunal Kelurahan Kemlayan sebagai Kampung Wisata di Surakarta dengan Pendekatan Arsitektur Kontekstual 1.1.2 Pemahaman Esensi Judul Ruang komunal
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Pendahuluan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Pendahuluan Pariwisata dikenal sebagai suatu bentuk rangkaian kegiatan kompleks yang berhubungan dengan wisatawan dan orang banyak, serta terbentuk pula suatu sistem di dalamnya.
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lanskap Budaya Lanskap budaya merupakan hasil interaksi antara manusia dan alam dari waktu ke waktu (Plachter dan
5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lanskap Budaya Lanskap budaya merupakan hasil interaksi antara manusia dan alam dari waktu ke waktu (Plachter dan Rossler, 1995). Lanskap budaya pada beberapa negara di dunia
Lebih terperinciBAB V PENERAPAN KONSEP MAGERSARI DI KAWASAN PERMUKIMAN
BAB V PENERAPAN KONSEP MAGERSARI DI KAWASAN PERMUKIMAN Penerapan konsep magersari pada kawasan permukiman magersari adalah berupa usulan perbaikan terhadap kawasan permukiman magersari, yang menghasilkan
Lebih terperinciPENATAAN PEMUKIMAN NELAYAN TAMBAK LOROK SEMARANG
LANDASAN PROGRAM PERENCANAAN DAN PERANCANGAN ARSITEKTUR PENATAAN PEMUKIMAN NELAYAN TAMBAK LOROK SEMARANG Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Teknik Diajukan Oleh
Lebih terperinciVERNAKULAR-TA.428-SEMESTER GENAP-2007/2008 JURUSAN PENDIDIKAN TEKNIK ARSITEKTUR-S1 FPTK-UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
ARSITEKTUR TRADISIONAL NURYANTO, S.Pd., M.T.Ars. ARSITEKTUR VERNAKULAR-TA.428-SEMESTER GENAP-2007/2008 JURUSAN PENDIDIKAN TEKNIK ARSITEKTUR-S1 FPTK-UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA 2 0 1 0 RUMAH DALAM
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. 1 I d e n t i f i k a s i P e r u b a h a n R u m a h T r a d i s i o n a l D e s a K u r a u, K e c. K o b a
BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Indonesia memiliki keanekaragaman budaya baik berupa fisik maupun non fisik. Budaya yang berupa fisik Salah satunya adalah arsitektur tradisional. Rumah tradisional
Lebih terperinciBAB III METODE PERANCANGAN
BAB III METODE PERANCANGAN Metode perancangan yang digunakan dalam perancangan Youth Islamic Center ini menggunakan berbagai penelitian dan juga pengumpulan data dari kawasan setempat. Metode tersebut
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Untuk mendapatkan gambaran tentang pengertian DESAIN KAWASAN. WISATA PUSAT KERAJINAN PERAK, KAB. BANTUL, perlu diketahui
BAB I PENDAHULUAN 1.1.Deskripsi Untuk mendapatkan gambaran tentang pengertian DESAIN KAWASAN WISATA PUSAT KERAJINAN PERAK, KAB. BANTUL, perlu diketahui tentang : Desain : Kerangka bentuk atau rancangan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dimana arsitektur itu berada (Rapoport, 1969). Rapoport membagi arsitektur menjadi
BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Menurut Amos Rapoport arsitektur dibentuk dari latar belakang kebudayaan dimana arsitektur itu berada (Rapoport, 1969). Rapoport membagi arsitektur menjadi dua bagian
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN SEMINAR TUGAS AKHIR
BAB I PENDAHULUAN Dalam bab ini dijelaskan mengenai latar belakang; rumusan masalah; tujuan; serta metodologi penelitian penyusunan landasan konsepsual Museum Nelayan Tradisional Bali di Kabupaten Klungkung.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pariwisata dunia, salah satu tradisi yang menarik untuk dikupas lebih lanjut adalah
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau Bali merupakan salah satu pulau yang dikenal dengan beragam tradisi yang dimilikinya. Hal tersebut menjadikan Bali memiliki daya tarik tersendiri di mata pariwisata
Lebih terperinci1 BAB I PENDAHULUAN. Arsitektur rumah tradisional yang tersebar hingga ke pelosok Nusantara
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Arsitektur rumah tradisional yang tersebar hingga ke pelosok Nusantara memiliki berbagai keistimewaan masing-masing. Proses pembuatan atau pembangunan rumah tersebut,
Lebih terperinciIV. GAMBARAN UMUM WILAYAH
IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH 4.1. Posisi Makro terhadap DKI Jakarta. Jakarta, Ibukota Indonesia, berada di daerah dataran rendah, bahkan di bawah permukaan laut yang terletak antara 6 12 LS and 106 48 BT.
Lebih terperinciPENGEMBANGAN MASJID AGUNG DEMAK DAN SEKITARNYA SEBAGAI KAWASAN WISATA BUDAYA
P LANDASAN PROGRAM PERENCANAAN DAN PERANCANGAN ARSITEKTUR PENGEMBANGAN MASJID AGUNG DEMAK DAN SEKITARNYA SEBAGAI KAWASAN WISATA BUDAYA PENEKANAN DESAIN TIPOLOGI PADA ARSITEKTUR BANGUNAN SETEMPAT Diajukan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. keragaman tradisi, karena di negeri ini dihuni oleh lebih dari 700-an suku bangsa
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Selain memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, Indonesia juga memiliki keragaman tradisi, karena di negeri ini dihuni oleh lebih dari 700-an suku bangsa dan sub-suku
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota merupakan tempat terjadinya pola aktivitas masyarakat mulai dari sosial, ekonomi, budaya dan politik. Kota yang berhasil tidak lepas dari penggunaan fungsi kota
Lebih terperinciBAB III METODE PERANCANGAN. di Kota Malang dibutuhkan suatu metode yang merupakan penjelas tentang
BAB III METODE PERANCANGAN Dalam perancangan Pusat Pengembangan Musik Tradisional Jawa Timur di Kota Malang dibutuhkan suatu metode yang merupakan penjelas tentang langkah-langkah yang dilakukan dalam
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota pada perkembangannya memiliki dinamika yang tinggi sebagai akibat dari proses terjadinya pertemuan antara pelaku dan kepentingan dalam proses pembangunan. Untuk
Lebih terperinciDESKRIPSI KARYA SARADPULAGEMBAL THE SYMBOL OF TRI LOKA
DESKRIPSI KARYA SARADPULAGEMBAL THE SYMBOL OF TRI LOKA I GUSTI NGURAH WIRAWAN, S.Sn., M.Sn NIP : 198204012014041001 INSTITUT SENI INDONESIA DENPASAR 2016 ABSTRAK Saradpulagembal, seperti halnya sesajen
Lebih terperinciBAB 3 METODA PERANCANGAN. Lingkup metoda penyusunan rencana Pembangunan Pusat Sains dan Teknologi di
BAB 3 METODA PERANCANGAN Lingkup metoda penyusunan rencana Pembangunan Pusat Sains dan Teknologi di kawasan Pantai Panjang Kota Bengkulu ini secara umum mencakup hal-hal sebagai berikut: 3.1 Ide Perancangan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Museum Permainan Tradisional di Yogyakarta AM. Titis Rum Kuntari /
BAB I PENDAHULUAN I.1 LATAR BELAKANG PENGADAAN PROYEK Proyek yang diusulkan dalam penulisan Tugas Akhir ini berjudul Museum Permainan Tradisional di Yogyakarta. Era globalisasi yang begitu cepat berkembang
Lebih terperinciBAB III METODOLOGI PERANCANGAN
BAB III METODOLOGI PERANCANGAN Metode yang digunakan dalam perancangan Pusat Kegiatan dan Dokumentasi Arsitektur adalah dengan menjelaskan secara deskriptif mengenai obyek rancangan dan juga permasalahan
Lebih terperinciGambar 2. Peta Lokasi Penelitian Sumber : BAPEDDA Surakarta
11 BAB III METODOLOGI 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian mengenai pengaruh konsep lanskap Keraton terhadap lanskap Kota ini dilakukan pada kawasan Keraton Kesunanan dan kawasan Kota. Peta lokasi penelitian
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN Dalam bab pendahuluan ini diuraikan tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan metode perancangan yang digunakan dalam penyusunan makalah Restoran Masakan Bali di Denpasar. 1.1
Lebih terperinciBAB V SIMPULAN DAN SARAN
102 BAB V SIMPULAN DAN SARAN Penelitian ini membahas penggunaan leksikon Arab dalam bahasa Sunda yang dituturkan masyarakat adat Kampung Dukuh dengan menggunakan perspektif etnolinguistik.. Temuan dan
Lebih terperinciI Kadek Merta Wijaya, S.T., M.Sc. Dosen Program Studi Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Warmadewa
TELAAH ARSITEKTUR VERNAKULAR PADA ARTIKEL: THE BALINESE CHRISTIAN SETTLEMENT AND CHURCH ARCHITECTURE AS A MODEL OF INCULTURATION (Penulis: Salmon Priaji Martana Universitas Kristen Indonesia) I Kadek Merta
Lebih terperinciBAB III METODE PERANCANGAN. Pada perancangan pusat seni tradisi Sunda ini banyak metode yang
BAB III METODE PERANCANGAN Pada perancangan pusat seni tradisi Sunda ini banyak metode yang dilakukan, baik menggunakan metode penelitian yang bersifat analisa kuantitatifkorelatif, yaitu mencari serta
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan studi ini dilatarbelakangi oleh terjadinya satu dilema yang
1 BAB I PENDAHULUAN Pelaksanaan studi ini dilatarbelakangi oleh terjadinya satu dilema yang sangat sering dihadapi dalam perencanaan keruangan di daerah pada saat ini, yaitu konversi kawasan lindung menjadi
Lebih terperinciLAPORAN PENELITIAN IMPLEMENTASI NILAI NILAI ARSITEKTUR TRADISIONAL BALI DALAM RUMAH TINGGAL PERKOTAAN. ( Kasus Rumah Tinggal Orang Bali di Kupang )
LAPORAN PENELITIAN IMPLEMENTASI NILAI NILAI ARSITEKTUR TRADISIONAL BALI DALAM RUMAH TINGGAL PERKOTAAN ( Kasus Rumah Tinggal Orang Bali di Kupang ) Oleh I Kadek Mardika UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDIRA
Lebih terperinciIDENTIFIKASI PEMANFAATAN ALUN-ALUN MALANG
124 Jurnal Ilmiah Teknik Lingkungan Vol.7 No.2 IDENTIFIKASI PEMANFAATAN ALUN-ALUN MALANG Wiwik Dwi Susanti Program Studi Arsitektur, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Universitas Pembangunan Nasional
Lebih terperinciKONSEP dan TEKNIK PENYAJIAN GAMBAR PADA PROYEK ARSITEKTUR KOTA (URBAN DESIGN)
KONSEP dan TEKNIK PENYAJIAN GAMBAR PADA PROYEK ARSITEKTUR KOTA (URBAN DESIGN) Pembahasan Poin-poin yang akan dibahas pada kuliah ini: 1 KONSEP 2 PRESENTASI GAMBAR 3 CONTOH PROYEK 1. Berisi KONSEP pengertian,
Lebih terperinciTeori Urban Desain. Mata Kuliah Arsitektur Kota. Figure ground
Teori Urban Desain Mata Kuliah Arsitektur Kota Figure ground 1 Teori Figure/ ground Teori ini dapat dipahami melalui pola perkotaan dengan hubungan antara bentuk yang dibangun (building mass) dan ruang
Lebih terperinciBAB VI KESIMPULAN. Pada dasarnya Keraton Yogyakarta dibangun berdasarkan. kosmologi Jawa, yang meletakkan keseimbangan dan keselarasan
533 BAB VI KESIMPULAN A. Kesimpulan Pada dasarnya Keraton Yogyakarta dibangun berdasarkan kosmologi Jawa, yang meletakkan keseimbangan dan keselarasan sebagai landasan relasi manusia-tuhan-alam semesta.
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH TINGKAT I BALI NOMOR 3 TAHUN 1991 T E N T A N G PARIWISATA BUDAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH TINGKAT I BALI NOMOR 3 TAHUN 1991 T E N T A N G PARIWISATA BUDAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KEPALA DAERAH TINGKAT I BALI, Menimbang : a. bahwa kepariwisataan
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan
Lebih terperinciBAB III METODOLOGI PENELITIAN
63 BAB III METODOLOGI PENELITIAN Metodologi dalam penelitian ini mengacu pada tujuan yang telah ditentukan yaitu untuk mengetahui konsep, makna atau nilai dan pengaruh dari perilaku dan tradisi budaya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Pengertian Judul Pasar Wisata Perbelanjaan Tradisional Bakalan Krapyak di Kudus ( Maksud dari pengertian judul di atas adalah
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Pengertian Judul Untuk memberikan definisi/pengertian dari judul yang dimaksud Pasar Wisata Perbelanjaan Tradisional Bakalan Krapyak di Kudus maka perlu dijelaskan dari masing-masing
Lebih terperinciPENATAAN PASAR NGASEM PADA OBYEK WISATA TAMAN SARI YOGYAKARTA
P LANDASAN PROGRAM PERENCANAAN DAN PERANCANGAN ARSITEKTUR PENATAAN PASAR NGASEM PADA OBYEK WISATA TAMAN SARI YOGYAKARTA Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Teknik
Lebih terperinciWALIKOTA PALANGKA RAYA
1 WALIKOTA PALANGKA RAYA PERATURAN DAERAH KOTA PALANGKA RAYA NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGATURAN BANGUNAN BERCIRIKAN ORNAMEN DAERAH KALIMANTAN TENGAH DI KOTA PALANGKA RAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Agama Hindu merupakan agama tertua didunia dan masih ada hingga saat ini.
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Agama Hindu merupakan agama tertua didunia dan masih ada hingga saat ini. Agama Hindu merupakan agama yang mempercayai banyak dewa dan dewi yang tersebar menurut fungsinya
Lebih terperinci