BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, DESKRIPSI TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN. Tinjauan pustaka merupakan uraian tentang beberapa penelitian sebelumnya

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, DESKRIPSI TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN. Tinjauan pustaka merupakan uraian tentang beberapa penelitian sebelumnya"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, DESKRIPSI TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN. 2.1 TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan pustaka merupakan uraian tentang beberapa penelitian sebelumnya mengenai permasalahan serupa dengan yang sedang dikaji dalam penelitian ini. Penelitian memerlukan adanya tinjauan pustaka. Tinjauan pustaka digunakan sebagai petunjuk, pembanding, serta penunjang dalam penelitian ini. Penelitian ini menggunakan beberapa tinjauan pustaka sebagai acuan bahan sekunder. Berdasarkan beberapa tinjauan pustaka tersebut, peneliti dapat memperoleh data, konsepsi, dan teori yang berkaitan dengan permasalahan ini. Adapun beberapa pustaka yang digunakan sebagai acuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. Geertz (1980) yang dimuat dalam bukunya yang berjudul Negara The Theatre State In Nineteenth Century Bali. Geertz mengkaji dan menginterpetasikan kebudayaan masyarakat Bali berdasarkan konsep fenomena budayanya. Pada penelitian ini juga disinggung mengenai tradisi sabung ayam pada masyarakat Bali. Geertz mengungkapkan bahwa melalui tajen diharapkan dapat mengupas karakter masyarakat Bali. Ketertarikannya dalam meneliti tajen juga didasari pada anggapannya bahwa tajen sebagai kegiatan yang popular di masyarakat belum diteliti secara mendalam. Di awal abad ke-19, sabung ayam diselenggarakan oleh raja ketika hari pasah. Para penguasa ini memungut pajak dari perselenggaraan sabung ayam. Hasil penelitian Geertz ini mengungkapkan bahwa tradisi tabuh rah seringkali disalahgunakan untuk 10

2 11 menutupi perjudian. Tajen yang sebenarnya dilaksanakan dengan tujuan judi ditutupi dengan mengatakan bahwa tajen yang diadakan tersebut merupakan tabuh rah. Pada buku ini Geertz membagi tajen menjadi dua, yakni pertarungan yang sifatnya biasa (flaches spiel) serta pertarungan yang melibatkan harga diri, serta kehormatan (tiefesbspiel deep play). Dalam flaches spiel yang dipentingkan adalah uang, sedangkan apa yang membuat pertarungan ayam menjadi deep play adalah adanya pengaliran status hierarkis si pemilik ayam ke dalam pertarungan. Geertz menambahkan, orang-orang Bali dapat mengaktifkan dan mewujudkan rivalitas dan permusuhan antar pedesaan atau kerabat melalui sebuah bentuk permainan yang menarik yaitu adu ayam. Berdasarkan beberapa pendapat dan pandangan Geertz dapatlah diketahui bahwa sabung ayam dalam masyarakat Bali memiliki makna, simbol, dan fungsi tersendiri dalam kehidupan bermasyarakat pada masa tersebut. Hasil penelitian Geertz juga mengungkapkan bahwa penyelenggaraan sabung ayam awal abad ke-19 digelar pada suatu tempat yang bernama wantilan. Berdasarkan buku tersebut dapat diketahui bahwa tabuh rah seringkali disalahgunakan untuk menutupi penyelenggaraan tajen, sehingga proses tersebut berkembang hingga kini. Hasil penelitian Geertz ini penulis jadikan sebagai sumber data dan data pembanding tradisi sabung ayam masa Bali abad ke-19, sehingga dapat membantu dalam mengungkap beberapa fungsi dan perkembangan permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini. Sudina (Tanpa tahun) dalam buku yang berjudul Tajen ilmu dan Doanya memaparkan tentang tajen secara umum di Bali. Beberapa istilah serta doa-doa yang biasanya digunakan secara umum di Bali. Beberapa istilah serta doa-doa yang biasanya digunakan untuk memantrai ayam sebelum bertarung di arena sabung

3 12 ayam dibahas dalam buku ini. Buku ini juga menjelaskan perkembangan sabung ayam yang pada mulanya bernama tabuh rah menjadi tajen. Buku ini memaparkan fungsi sabung ayam pada abad ke-20 dan perkembangannya masa sekarang ini. Buku ini juga menjelaskan fungsi sabung ayam diawal abad ke-20 yang berfungsi sebagai tabuh rah, kemudian mengalami pergeseran makna dan nilai menjadi tajen. Istilah-istilah terkait sabung ayam juga dijelaskan dalam buku ini, seperti wulang, taji, sapih, dan kemong. Terkait pemaparan diatas dapat disimpulkan tentang istilah-istilah yang ada dalam tajen guna menggali lebih jauh tentang tajen. Istilah tersebut tentunya berhubungan erat dengan fungsi yang berbeda pada tajen dan tabuh rah. Surasmi (2007) dalam buku yang berjudul Jejak-jejak Tantrayana di Bali. Pada buku ini dijelaskan mengenai pemahaman terkait tantrayana. Pemahaman tersebut disini dipaparkan mulai dari kemunculan tantrayana, perkembangan diberbagai belahan dunia, kemunculannya di Indonesia, serta jenis-jenis pemujaan dan karya sastra yang bersumber pada aliran ini. Pada buku ini menjelaskan bagaimna seorang spiritual melaksanakan kebaktiannya berdasarkan pada aliran tantrisme. Kebaktian atau cara pemujaan tantra dalam buku ini dikatakan dapat melalui banyak cara diantaranya mabuk, bercinta sepuasnya, dan makan sepuasnya. Aliran ini juga menekankan penggunaan darah sebagai salah satu bentuk sarana pemujaan bagi spiritual yang beraliran tantrisme untuk mencapai jalan kebatiannya. Buku ini penulis gunakan untuk membandingkan makna dan fungsi tabuh rah dan tajen itu sendiri. Berasarkan pengertian mendasar dari tabuh rah itu sendiri yang berarti darah. Penulis akan mencoba menggali makna tabuh rah itu pada buku ini.

4 13 Manteb (2013) dalam buku yang berjudul Mitologi Tanaman-Binatang dan Makhluk Halus. Pada buku ini menyinggung masalah sabung ayam dalam bentuk tabuh rah dan tajen. Dijelaskan juga mengenai asal istilah kata ayam dan beberapa istilah yang digunakan dalam tajen. Seperti misalnya istilah sapih yang disebutkan pada salah satu prasasti, dan istilah tersebut diartikan sebagaiistilah untuk menyebutkan hasil seri dalam tajen. Pada buku sebelumnya juga menjelaskan mengenai istilah-istilah dalamm tradisi sabung ayam, tetapi buku ini membahas lebih banyak mengenai istilah daripada buku sebelumnya. Terkait hal tersebut penulis menjadikan buku ini sebagai pembanding dan pelengkap dalam penelitian ini, yang membahas permasalahan mengenai aspek fungsi dan perkembangan tradisi sabung ayam di masa Bali kuno. Hidayat (2011) dalam penelitian skripsinya dengan judul Sabung ayam Tabuh rah dan Tajen di Bali. Penelitian Hidayat ini meneliti tentang sabung ayam dalam persfektif hukum islam dan hukum positif. Pada penelitian ini Hidayat menjelaskan pemaparan bagaimana tradisi sabung ayam masa sekarang yang melanggar hukum. Dijelaskan juga kajian dan pandangan para ahli terkait tradisi sabung ayam, baik ahli dari cendekiawan hukum maupun kalangan budayawan. Hidayat juga mengkaji tentang sejarah tradisi sabung ayam berdasarkan beberapa prasasti. Namun sudut pandang penelitian ini berbeda meskipun objek yang diteliti sama. Penelitian Hidayat mengkaji tentang bagaimana perspektif hukum islam dan hukum positif dalam mengkaji sabung ayam di Bali, sedangkan penelitian ini akan mengkaji proses profanisasi pemanfaatan pura sebagai tempat tajen, selain itu perbedaan juga akan terlihat dikarenakan penelitian ini akan membahas juga bagaimana hukum adat mengatur penyelenggaraan tajen.

5 14 Herdani (2014) dalam skripsinya dengan judul Tradisi Aci Keburan Sebagai Legitimasi Adat terhadap Sabung Ayam di Desa pakraman Kelusa, Kecamatan Payangan, Kabupaten Gianyar menjelaskan bahwa aci keburan merupakan suatu tradisi yang harus dilaksanakan karena ada keyakinan apabila tidak dilaksanakan maka Desa pakraman kelusa akan terserang wabah penyakit (grubug), adapun nilai yang terkandung dalam tradisi aci keburan pada masyarakat desa pakraman kelusa berbeda dengan tabuh rah karena tradisi keburan lebih menekankan pada nilai religius dan nilai sosial. Kairavani (2013) dalam jurnal ilmiahnya dengan judul Judi Versus Sarana Pemasukan Bagi Desa pakraman & Masyarakat Di Kabupaten Tabanan menyebutkan bahwa penyelenggaraan tajen yang dilakukan di lokasi yang sejatinya adalah milik dari suatu Desa pakraman digunakan alat atau sarana pemasukan bagi Desa pakraman dan masyarakat. Desa pakraman akan mendapatkan pemasukan dari sewa tempat, parkir, karcis masuk dll kemudian masyarakat akan mendapatkan pemasukan dari berjualan serta menawarkan jasanya di sekitar areal tajen. Winarta (2014) dengan judul Tabuh rah Pada Masyarakat Hindu Bali Dalam Implikasinya Pada Kehidupan Masyarakat Hindu (Studi Kasus Di Dusun Gubug Bali, Kecamatan Lembar, Lombok Barat). Dalam Jurnal yang diterbitkan oleh Fakultas Hukum Universitas Mataram, dia menjelaskan bahwa masyarakat Bali mempunyai corak yang spesifik dan erat pertaliannya dengan hukum adat, dalam jurnal ini lebih banyak memuat bagaimana hukum adat mengatur tabuh rah dan juga bagaimana undang-undang mengatur tabuh rah yang mengarah ke perjudian. Sabung ayam yang sering dilaksanakan di dusun Gubug merupakan suatu tindak pidana karena dibarengi dengan judi serta dalam pelaksanaannya tidak

6 15 memperoleh izin dari pemerintah atau pejabat yang berwenang. Sabung ayam yang dilaksanakan disana diselenggarakan oleh pihak perorangan sehingga dapat dikatan itu telah melanggar hukum. Selain itu dalam jurnal ini juga disebutkan upaya yang telah dilakukan Kepolisian dalam menanggulangi tindak pidana perjudian sabung ayam ada dalam dua macam yaitu upaya preventif dan upaya represif. Berbeda dengan penelitian sebelumnya, penelitian yang dilakukan oleh penulis akan lebih membahas bagaimana proses kenapa tabuh rah bisa menjadi tajen padahal esensi tabuh rah adalah upakara, yang mengakibatkan opini masyarakat mengarah pada opini tajen adalah profanisasi tabuh rah sehingga pemikiran tersebut dapat mengancam kesakralan dari sebuah upacara yadnya, dimana hilangnya nilai-nilai sakral pada upacara tabuh rah sama dengan mereka menodai kepercayaan mereka sendiri sehingga penting untuk menjelaskan arti atau makna yang sesungguhnya dari pelaksanaan tabuh rah tersebut, selain itu dikarenakan aktifitas tajen di Desa Pakraman Subagan tergolong kronis dan berkelanjutan dari satu generasi ke generasi selanjutnya maka penelitian ini lebih menarik untuk diteliti dengan melihat bagaimana pola interaksi yang tercipta antar peserta tajen. Selain itu Peneliti juga akan membahas dampak-dampak tajen pada kehidupan sosial ekonomi masyarakat Desa Pakraman Subagan, Karangasem, sehingga peneliti dapat menawarkan solusi dalam upaya menanggulangi tajen di Desa Pakraman Subagan.

7 KONSEP Konsep adalah suatu istilah yang mengacu pada suatu fenomena tertentu yang bias bersifat individual dan juga dapat bersifat kompleks. Maksud suatu konsep adalah untuk menyederhanakan pemikiran dengan jalan memasukan sejumlah kejadian dalam suatu nama yang umum. Agar mempermudah pemahaman dan pembahasan dalam penelitian ini, maka diperlukan beberapa konsep atau pengertian dasar yang terkait dengan judul penelitian ini. Adapun konsep-konsep yang akan dikemukakan adalah sebagai berikut Pura Tempat suci Agama Hindu di sebut dengan pura. Kata pura berasl dari Bahasa Sansekerta yang memiliki arti kota atau benteng yang berasal dari urat kata Pur. Kata Pur artinya kubu atau benteng. Sandiarsa (1985:9) menyebutkan bahwa kata pura atau Puri mengalami pergeseran arti menjadi tempat suci yang terdiri dari beberapa buah pelinggih yang dikelilingi dengan tembok penyengker. Menurut Titib (2001) pura berasal dari bahasa Sanskerta yang artinya kota atau benteng, setelah beberapa lama diubah artinya yang sekarang arti pura menjadi tempat Ida Sang Hyang Widi Wasa. Dari pendapat diatas pura dapat diartikan sebagai tempat suci untuk mengadakan upacara persembahyangan untuk memuja kebesaran Tuhan. Konsep bangunan pura di Bali mengacu pada pemahaman umat Hindu Bali terhadap alam dan ajaran agama Hindu. Konsep pembuatan arsitektur pura yang didalamnya terdapat suatu pemahaman mengenai alam yang dikaitkan dengan kepercayaan umat Hindu, seperti keterlibatan Dewa-dewa yang terdapat pada setiap penjuru mata angina. Selain itu, bangunan pura juga memiliki satuan ukuran bangunan yang mengacu pada ukuran anatomi manusia tersebut. Hal tersebut

8 17 mengacu pada logika manusia sebagai pengguna bangunan. Pada umumnya. Pura secara umum di Bali di bangun berdasarkan yang disebut dengan Tri Mandala, yakni terbagi atas tiga bagian halaman, yaitu jaba pura (Nista mandala), jaba tengah (Madya mandala), dan jeroan (utama mandala). Dalam kaitannya dengan fungsi pura sebagai tempat atau ruang suci, hal ini berdasarkan pada falsafah ruang dari ajaran Tat Twam Asi dalam Agama Hindu, Tat Twam Asi memiliki pengertian itu adalah aku. Inti dari ajaran Tat Twam Asi adalah menjaga keharmonisan dalam kehidupan terhadap segala bentuk ciptaan tuhan, termasuk dunia ini. Ajaran Tat Twam Asi mengandung makna konsep ruang dalam keseimbangan kosmos, dalam hal ini Bhuwana agung senantiasa harus seimbang dengan Bhuwana alit. Di dalam makrokosmos, terdapat tiga struktur ruang secra vertical yang dianalogikan sebagai tiga dunia (Tri Bhuwana). Struktur ruang Tri Bhuwana atau Tri Loka ini terdiri dari; Bumi dan alam lingkungannya sebagai alam yang paling bawah disebut Bhur Loka, kedua adalah alam roh-roh suci yang disebut dengan Bhuwah Loka dan yang utama adalah alam para Dewa disebut dengan Swah Loka Tajen Tajen merupakan sabung ayam yang disertai dengan judi atau bertaruh dengan menggunakan uang (Mertha, 2010:13). Istilah tajen berasal dari kata taji yang berarti susuk pada kaki ayam. Pengertian taji ada hubungannya dengan pengertian tajam dalam bahasa Indonesia, sedangkan dalam bahasa Bali tajip bermakna sesuatu yang runcing. Pengertian tajen mungkin ditekankan pada taji atau senjata yang digunakan ayam dalam beradu, sebab dalam tajen hanya ayam yang akan diadu sajalah yang menggunakan taji. Tajen merupakan suatu ajang yang

9 18 mempertontonkan tarung ayam jago. Ayam-ayam tersebut akan dijadikan bahan taruhan yang berupa uang. Sebenarnya jika berpatokan pada ajaran agama Hindu tajen merupakan sesuatu yang dilarang, karena mengandung unsur judi di dalamnya. Dalam sebuah permainan tajen ada 2 peran utama yang berperan didalamnya, pertama adalah cukong dan yang kedua adalah para babotoh. Cukong kepada seseorang yang memiliki daya tawar yang kuat sehingga dapat mengendalikan permainan, guna menlancarkan bisnis yang mereka kerjakan. Dalam kamus besar bahasa Indonesia cukong adalah orang yang mempunyai uang banyak dan yang menyediakan dana atau modal yang diperlukan untuk suatu usaha atau kegiatan orang lain. Dalam permainan tajen terdapat perputaran uang yang sangat besar, sehingga pantaslah seseorang yang mengadakan tajen disebut cukong karena dia memiliki daya tawar yang kuat untuk mencari perizinan dan juga menyediakan dana yang besar untuk permainannya. Sedangkan babotoh merupakan istilah orang Bali kepada seseorang yang melakukan aktivitas tajen setiap harinya, babotoh di dalam bahasa Bali berasal dari dari kata memotoh yang memiliki makna momo kone tohin dimana kata tersebut jika ditermahkan kedalam bahasa Indonesia akan bermakna kita bertaruh untuk kebiasan jelek dan sikap egois kita. Dalam kamus besar bahasa indonesia babotoh memiliki arti sebagai bajingan, penjahat dan penjudi. Pengertian babotoh terdengar sangat negatif dalam kamus besar bahasa indonesia memang tidak salah karena babotoh dalam pandangan masyarakat adalah orang yang mempertaruhkan segalanya didalam arena tajen.

10 19 Pertarungan dimulai dari dua pakembar (Petugas yang melepaskan ayam) terlebih dahulu memperkenalkan ayam dengan menghadapkan kedua ayam yang akan bertarung sehingga akan tampak mana ayam yang akan pantas diunggulkan ataupun tidak. Setelah seekor ayam dinyatakan sebagai petarung unggulan maka pakembar yang meneriakan cok berarti memegang ayam yang menjadi unggulan yang berarti sistem taruhannya adalah tiga lawan empat dalam artian jika ayam unggulan menang berarti ayam yang kalah akan membayar tiga akan tetapi jika ayam unggulan kalah berarti ayam yang tidak diunggulkan akan mendapatkan bayaran empat. Terkadang pakembar juga akan berteriak pade (sama) hal tersebut diartikan ayam yang akan diadukan memiliki kekuatan yang sebanding sehingga taruhannya harus dalam jumlah yang sama. Teriakan lain yang juga dilakukan oleh pakembar adalah gasal (sistem taruhan dengan perbandingan lima banding empat), telude ( taruhan tiga berbanding dua ), apit (taruhannya satu berbanding dua), kedapang (taruhannya sembilan banding sepuluh). Di setiap tajen ada empat saye (juri) yang bertugas yakni saye kemong, ketek, garis dan lap. Saye kemong biasanya selalu didampingi gong kecil yang disebut kemong, Ia menentukan kapan memulai dan mengakhiri pertarungan, saye ketek adalah juri yang bertugas untuk memberikan hitungan kepada ayam yang sudah terkapar layaknya sebuah dalam pertandingan tinju, saye garis adalah saye yang bertugas untuk menjaga garis batas permainan, bila ayam dilihat lari keluar garis batas maka ayam tersebut akan dinyatakan kalah, dan saye lap adalah juri yang bertugas untuk mengumpulkan uang taruhan serta membagikannya kepada bebotoh yang menang.

11 Desakralisasi Desakralisasi memiliki pengertian bahwa hilangnya nilai-nilai sakral pada sebuah budaya maupun ritual keagamaan. Menurut Durkheim sulit untuk membedakan mana yang murni agama dengan mana yang merupakan hasil interpretasi agama (Nurdinah.2013:268). Hilangnya nilai-nilai sakral pada upacara tabuh rah akibat tajen sangat sulit untuk dikemukakan, pemikiran masyarakat hanya terarah pada satu pandangan yaitu tabuh rah dan tajen sama-sama merupakan sabung ayam, padahal dalam makna filosofinya keduanya memiliki fungsi serta cara yang berbeda dalam pelaksanaannya. Pada konsep desakralisasi ini yang ditemukan oleh penulis adalah dimana ketika suatu pura yang secara umum memiliki fungsi untuk menjalankan ritual keagamaan tapi pelataran pura juga digunakan oleh masyarakat untuk melakukan tajen, sehingga pura mengalami desakralisasi akibat tajen Pandangan tentang makna kesucian pura sebagai tempat suci yang sakral bermakna sebagai tempat suci yang memiliki unsur-unsur kesucian serta dapat menggetarkan kesucian Sang Hyang Atman yang bersemayam didalam jiwa setiap individu. Kesucian pura tidak hanya perlu dijaga pada saat adanya upacara-upacara keagamaan saja, melainkan setiap hari Indikator yang kedua adalah ketika desa pakraman tidak menjalakan fungsinya secara utuh, desa pakraman memiliki fungsi serta kewajiban untuk melakukan tiga kerangka dasar kehidupan Agama Hindu yang terdiri dari ajaran tatwa (Filsafat), susila (Etika), dan upakara (Ritual). Jika salah satu dari ketiga kerangka tersebut tidak dijalankan oleh desa pakraman maka disanalah terdapat

12 21 celah untuk masyarakat untuk melakukan kegiatan yang akan menghilangkan nilainilai sakral pada sebuah pura Desa pakraman Di Bali dikenal ada dua bentuk pemerintahan Desa yang masing-masing memiliki fungsi dan struktur organisasi yang berbeda yaitu Desa dinas atau kelurahan dan Desa pakraman. Desa dinas adalah organisasi pemerintahan di Desa yang menyelenggarakan fungsi administrative, seperti mengurus kartu tanda penduduk (KTP), kartu keluarga (KK), dan lain-lain yang menyangkut persoalan pemerintahan. Sedangkan untuk Desa pakraman dalam Perda Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa pakraman menentukan sebagai berikut : Desa pakraman adalah kesatuan masyarakat hukum adat di provinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun-temurun dalam ikatan Kahyangan Tiga atau Kahyangan Desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan tersendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri (Pasal 1 No urut 4). Desa pakraman memiliki tugas untuk membuat awig-awig, mengatur krama Desa, mengatur pengelolaan harta kekayaan Desa, mengayomi krama Desa, melakukan pembangunan bersama-sama dengan pemerintah, membina dan mengembangkan nilai-nilai budaya Bali dalam rangka memperkaya, melestarikan, dan mengembangkan kebudayaan nasional pada umumnya dan kebudayaan daerah berdasarkan paras-paros, sagilik-sagu-luk, salunglung-sabayantaka (musyawarah-mufakat). Dalam Pasal 6 Perda Provinsi Bali No 3 Th 2001 menyebutkan bahwa Desa pakraman atau Desa pakraman mempunyai wewenang sebagai berikut :

13 22 A. Menyelesaikan sengketa adat dan agama dalam llingkungan wilayahnya dengan tetap membina kerukunan dan toleransi antar krama Desa sesuai dengan awig-awig dan adat kebiasaan setempat. B. Turut serta menentukan setiap keputusan dalam pelaksanaan pembangunan yang ada di wilayahnya, terutama yang berkaitan dengan tri hita karana. C. Melakukan perbuatan hukum di dalam dan di luar Desa pakraman. 2.2 DESKRIPSI TEORI Deskripsi teori sangat diperlukan dalam sebuah penelitian, yaitu sebagai alat analisis dan dasar pembahasan masalah. Teori berdasarkan pengertiannya, merupakan suatu rumusan masalah yang berisikan prinsip umum terorganisir secara sistematis yang digunakan dalam menganalisis, membuat asumsi, dan menjelaskan suatu gejala, suatu masalah, sebagian atau keseluruhan telah terbukti kebenarannya. Pada penelitian ini teori yang akan digunakan adalah sebagai berikut TEORI SAKRAL DAN PROFAN (Durkheim) Dalam penelitian Tajen dan Desakralisasi Pura di Desa Pakraman Subagan, Kecamatan Karangasem, Bali, peneliti menggunakan teori Emile Durkheim sebagai kerangka teori, dengan tujuan menjelaskan bagaimana masyarakat di Desa Pakraman Subagan seharusnya tidak melakukan aktivitas tajen di dalam lingkungan pura. Menurut Durkheim seluruh keyakinan keagamaan manapun memperlihatkan satu karakteristik umum yaitu memperlihatkan antara yang sakral dan yang Profan. Durkheim mengatakan hal-hal yang bersifat sakral selalu diartikan yang berada

14 23 dalam kondisi normal, sedangkan hal yang bersifat profan merupakan bagian keseharian dari hidup dan bersifat biasa saja (Kamirudin.2011:164). Durkheim mengatakan konsentrasi utama agama terletak pada yang sakral karena memiliki pengaruh yang luas, menentukan kesejahteraan dan kepentingan seluruh anggota masyarakatnya, sedangkan yang profan tidak memiliki pengaruh yang besar dan hanya merupakan refleksi keseharian dari setiap individu. Dikotomi tentang yang sakral dan yang profan hendaknya tidak diartikan sebagai konsep pembagian moral, artinya kita seharusnya tidak menganggap yang sakral sebagai Kebaikan dan yang profan sebagai Keburukan. Menurut Durkheim, kebaikan dan keburukan sama-sama ada dalam yang sakral dan yang profan, akan tetapi yang sakral tidak dapat berubah menjadi sesuatu yang profan, begitupun sebaliknya yang profan tidak dapat berubah menjadi yang sakral. Pada konteks kehidupan sehari-hari, terkadang sulit untuk membedakan antara sesuatu yang murni agama dan hasil pemikiran atau interpretasi dari agama. Sesuatu yang murni adalah agama, berasal dari tuhan, absolut dan mengandung nilai sakralitas, sedangkan interpretasi dari agama, berarti berasal dari manusia dalam menerjemahkan agamanya, bersifat temporal, berubah, dan tidak sakral. Sesuatu yang sakral tidak dapat berubah menjadi sesuatu yang profan dan yang profan tidak dapat berubah menjadi sesuatu yang bersifat sakral. Namun jika dilihat melalui sudut pandang Agama Hindu, melalui konsep ruwa bineda melihat selalu adanya dua hal yang bertentangan tetapi saling memiliki pengaruh, misalkan baik-buruk,besar-kecil,bersih-kotor dan juga sakral-profan. Sesuatu yang bersifat sakral dapat mengalami perubahan nilai akibat mendapatkan pengaruh dari sesuatu

15 24 yang bersifat profan, misalkan pura yang mengandung nilai magis dan makna spiritual dapat mengalami perubahan nilai diakibatkan ketika tajen yang merupakan suatu budaya yang bersifat profan. Sehingga Teori sakral dan profan Durkheim dalam penelitian ini berguna untuk melihat bagaimana proses terjadinya desakralisasi pada sebuah pura. 2.3 Kerangka Pemikiran TAJEN DESA PAKRAMAN PURA TAJEN SEBAGAI PENYEBAB DESAKRALISASI PURA PROSES DESAKRALISAS I PURA AKIBAT PEMANFAATA N PURA SEBAGAI TEMPAT TAJEN DAMPAK DAN MAKNA DESAKRALISASI PURA AKIBAT PEMANFAATAN PURA SEBAGAI TEMPAT TAJEN HASIL Keterangan : = Memiliki Hubungan Saling Mempengaruhi = Tidak Memiliki Hubungan Langsung = Memiliki Hubungan Langsung

16 25 Kerangka pemikiran tersebut menjelaskan bahwa adanya hubungan langsung antara tajen, desa pakraman, dan pura. Ketiganya memiliki suatu rantai yang saling ketergantungan, misalkan hubungan antara tajen dan desa pakraman. Tajen memerlukan Desa pakraman sebagai pemberi ijin untuk dapat melaksanakan tajen di daerah desa pakraman bersangkutan, begitu pula dengan Desa pakraman yang terkadang memerlukan tajen untuk pembangunan balai banjar, pura, dan lain-lain. Berikutnya adalah hubungan langsung antara pura dengan desa pakraman. pura yang didirikan didalam wilayah desa, adalah menjadi tugas dan kewajiban desa pakraman untuk menjaga dan melaksanakan upacaranya. Hubungan langsung kedua yang tercipta adalah antara tajen dengan desakralisasi, Desa pakraman dengan desakralisasi, dan tajen dengan desakralisasi. Hubungan yang tercipta adalah bagaimana tajen, desa pakraman, dan pura dapat secara langsung mempengaruhi desakralisasi atau hilangnya nilai-nilai sakral yang terkandung dalam sebuah Pura sehingga akan memunculkan permasalahan yang menarik untuk diteliti yaitu: dari kegiatan tajen yang dilakukan didalam lingkungan pura akan menimbulkan permasalahann bagaimana proses terjadinya desakralisasi pada pura, serta menarik untuk mengetahui apa dampak serta makna yang ditimbulkan akibat terjadinya desakralisasi pada pura bagi masyarakat Desa Pakraman Subagan yang nantinya akan dijawab melalui hasil penelitian yang penulis lakukan.

BAB I PENDAHULUAN. pariwisata dunia, salah satu tradisi yang menarik untuk dikupas lebih lanjut adalah

BAB I PENDAHULUAN. pariwisata dunia, salah satu tradisi yang menarik untuk dikupas lebih lanjut adalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau Bali merupakan salah satu pulau yang dikenal dengan beragam tradisi yang dimilikinya. Hal tersebut menjadikan Bali memiliki daya tarik tersendiri di mata pariwisata

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN. BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN. 2.1 Tinjauan Pustaka Kajian pustaka merupakan uraian tentang beberapa penelitian sebelumnya mengenai permasalahan serupa dengan yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Etnis Bali memiliki kebudayaan dan kebiasaan yang unik, yang mana kebudayaan

I. PENDAHULUAN. Etnis Bali memiliki kebudayaan dan kebiasaan yang unik, yang mana kebudayaan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Etnis Bali memiliki kebudayaan dan kebiasaan yang unik, yang mana kebudayaan dan kebiasaan tersebut dapat dijadikan sebagai identitas atau jatidiri mereka. Kebudayaan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu arena atau wilayah tertentu. Aktivitas sabung ayam sejatinya tidak dapat

BAB I PENDAHULUAN. suatu arena atau wilayah tertentu. Aktivitas sabung ayam sejatinya tidak dapat BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Penelitian Sabung ayam merupakan tradisi pertarungan antara dua ayam jantan pada suatu arena atau wilayah tertentu. Aktivitas sabung ayam sejatinya tidak dapat dipisahkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bali sebagai bagian dari Kebudayaan Indonesia yang bersifat Binneka Tunggal Ika (Berbedabeda

BAB I PENDAHULUAN. Bali sebagai bagian dari Kebudayaan Indonesia yang bersifat Binneka Tunggal Ika (Berbedabeda BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Provinsi Bali merupakan salah satu provinsi yang cukup terkenal di Indonesia karena merupakan salah satu asset devisa Negara Indonesia yang cukup tinggi di bidang

Lebih terperinci

TAJEN & DESAKRALISASI PURA : STUDI KASUS DI DESA PAKRAMAN SUBAGAN, KECAMATAN KARANGASEM, BALI

TAJEN & DESAKRALISASI PURA : STUDI KASUS DI DESA PAKRAMAN SUBAGAN, KECAMATAN KARANGASEM, BALI TAJEN & DESAKRALISASI PURA : STUDI KASUS DI DESA PAKRAMAN SUBAGAN, KECAMATAN KARANGASEM, BALI Ida Bagus Gede Eka Diksyiantara, I Nengah Punia, Gede Kamajaya Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Email

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebudayaan Indonesia yang beraneka ragam terdiri dari puncak-puncak kebudayaan daerah dan setiap kebudayaan daerah mempunyai ciri-ciri khas masing-masing. Walaupun

Lebih terperinci

Abstract. Balinese society are bound by two village system, they are village

Abstract. Balinese society are bound by two village system, they are village MENINGKATNYA INTENSITAS KONFLIK DESA PAKRAMAN DI BALI Anak Agung Istri Ngurah Dyah Prami Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Udayana 1021005005 E-mail: dyahprami@yahoo.co.id

Lebih terperinci

PENYELENGGARAAN TAJEN: JUDI VERSUS SARANA PEMASUKAN BAGI DESA ADAT DAN MASYARAKAT

PENYELENGGARAAN TAJEN: JUDI VERSUS SARANA PEMASUKAN BAGI DESA ADAT DAN MASYARAKAT PENYELENGGARAAN TAJEN: JUDI VERSUS SARANA PEMASUKAN BAGI DESA ADAT DAN MASYARAKAT K.Vimala Kairavani 1021005004 Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Email: vimalakairavani@ymail.com

Lebih terperinci

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI BAB 9 KESIMPULAN Dari apa yang telah diuraikan dan dibahas pada bab-bab sebelumnya, tergambarkan bahwa perdesaan di Tabola pada khususnya dan di Bali pada umumnya, adalah perdesaan yang berkembang dinamis.

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. dalam penulisan skripsi ini, mencoba mengambil beberapa kesimpulan yakni :

BAB III PENUTUP. dalam penulisan skripsi ini, mencoba mengambil beberapa kesimpulan yakni : BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Dalam penjelasan yang tertuang dalam bab-bab terdahulu permasalahan yang diangkat dalam penulisan skripsi ini, mencoba mengambil beberapa kesimpulan yakni : Berdasarkan uraian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang luas, besar, dan memiliki keanekaragaman

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang luas, besar, dan memiliki keanekaragaman 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara yang luas, besar, dan memiliki keanekaragaman akan tradisi dan budayanya. Budaya memiliki kaitan yang erat dengan kehidupan manusia, di mana

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH TINGKAT I BALI NOMOR 3 TAHUN 1991 T E N T A N G PARIWISATA BUDAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH TINGKAT I BALI NOMOR 3 TAHUN 1991 T E N T A N G PARIWISATA BUDAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH TINGKAT I BALI NOMOR 3 TAHUN 1991 T E N T A N G PARIWISATA BUDAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KEPALA DAERAH TINGKAT I BALI, Menimbang : a. bahwa kepariwisataan

Lebih terperinci

sendiri diatur dalam pasak 303 ayat (3) KUHP yang berbunyi:

sendiri diatur dalam pasak 303 ayat (3) KUHP yang berbunyi: Saat ini, berbagai macam dan bentuk perjudian sudah meluas dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, baik secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi. Sebagian masyarakat memandang bahwa perjudian sebagai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TABUH RAH

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TABUH RAH BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TABUH RAH 2.1 Pengertian dan Unsur-Unsur Tabuh Rah dan Sabungan Ayam (Tajen) Hubungan tabuh rah dengan sabungan ayam terdapat pandangan semu dari sebagian masyarakat awam,

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. maupun negatif kepada umat manusia. Dampak tersebut berakibat kepada perubahanperubahan

BAB V PENUTUP. maupun negatif kepada umat manusia. Dampak tersebut berakibat kepada perubahanperubahan BAB V PENUTUP I. Pengantar Kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi memberikan dampak baik positif maupun negatif kepada umat manusia. Dampak tersebut berakibat kepada perubahanperubahan yang terjadi di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Negara Indonesia merupakan Negara yang penuh dengan keanekaragaman Suku Bangsa, Bahasa, Agama, dan Kebudayaan. Keberagaman budaya bangsa Indonesia bukan berarti untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di Bali, perlu dimengerti sumbernya. Terdapat prinsip Tri Hita Karana dan Tri Rna

BAB I PENDAHULUAN. di Bali, perlu dimengerti sumbernya. Terdapat prinsip Tri Hita Karana dan Tri Rna 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bali telah terkenal dengan kebudayaannya yang unik, khas, dan tumbuh dari jiwa Agama Hindu, yang tidak dapat dipisahkan dari keseniannya dalam masyarakat yang berciri

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Upacara adat Belian merupakan suatu bentuk kebudayaan asli Indonesia yang sampai saat ini masih ada dan terlaksana di masyarakat Dayak Paser, Kalimantan Timur. Sebagai salah

Lebih terperinci

SANKSI PACAMIL DI DESA BLAHBATUH GIANYAR DITINJAU DARI PENDIDIKAN KARAKTER

SANKSI PACAMIL DI DESA BLAHBATUH GIANYAR DITINJAU DARI PENDIDIKAN KARAKTER SANKSI PACAMIL DI DESA BLAHBATUH GIANYAR DITINJAU DARI PENDIDIKAN KARAKTER Oleh : Drs. I Ketut Rindawan, SH.,MH. ketut.rindawan@gmail.com Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Dwijendra Abstrak

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Permasalahan

UKDW BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Permasalahan BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Permasalahan Sebagai salah satu pulau di Indonesia, Bali memiliki daya tarik yang luar biasa. Keindahan alam dan budayanya menjadikan pulau ini terkenal dan banyak

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG SUBAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI,

RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG SUBAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG SUBAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, Menimbang : a. bahwa Lembaga Subak sebagai bagian dari budaya Bali merupakan organisasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan masyarakat sehari-hari tidak akan lepas dari norma yang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan masyarakat sehari-hari tidak akan lepas dari norma yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan masyarakat sehari-hari tidak akan lepas dari norma yang berada di masyarakat. melihat hal semacam ini, apabila masing-masing anggota masyarakat

Lebih terperinci

DESKRIPSI KARYA SARADPULAGEMBAL THE SYMBOL OF TRI LOKA

DESKRIPSI KARYA SARADPULAGEMBAL THE SYMBOL OF TRI LOKA DESKRIPSI KARYA SARADPULAGEMBAL THE SYMBOL OF TRI LOKA I GUSTI NGURAH WIRAWAN, S.Sn., M.Sn NIP : 198204012014041001 INSTITUT SENI INDONESIA DENPASAR 2016 ABSTRAK Saradpulagembal, seperti halnya sesajen

Lebih terperinci

TEMBARAN DAERAH NOMOR:3 TAHUN:1988 SERI:DNO'3 PROPINSI DAERAH TINGKAT I BALI TENTANG

TEMBARAN DAERAH NOMOR:3 TAHUN:1988 SERI:DNO'3 PROPINSI DAERAH TINGKAT I BALI TENTANG TEMBARAN DAERAH PROPINSI DAERAH TINGKAT I BALI NOMOR:3 TAHUN:1988 SERI:DNO'3 PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH TINGKAT I BALI NOMOR 06 TAHUN 1986 TENTANG KEDUDUKAN, FUNGSI DAN PERANAN DESA ADAT SEBAGAI

Lebih terperinci

PROFIL DESA PAKRAMAN BULIAN. Oleh: I Wayan Rai, dkk Fakultas Olahraga dan Kesehatan, Universitas Pendidikan Ganesha, Singaraja

PROFIL DESA PAKRAMAN BULIAN. Oleh: I Wayan Rai, dkk Fakultas Olahraga dan Kesehatan, Universitas Pendidikan Ganesha, Singaraja PROFIL DESA PAKRAMAN BULIAN Oleh: I Wayan Rai, dkk Fakultas Olahraga dan Kesehatan, Universitas Pendidikan Ganesha, Singaraja Abstrak Program IPTEKSS bagi Masyrakat (IbM) di Kecamatan Kubutambahan, Kabupaten

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keragaman tradisi, karena di negeri ini dihuni oleh lebih dari 700-an suku bangsa

BAB I PENDAHULUAN. keragaman tradisi, karena di negeri ini dihuni oleh lebih dari 700-an suku bangsa 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Selain memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, Indonesia juga memiliki keragaman tradisi, karena di negeri ini dihuni oleh lebih dari 700-an suku bangsa dan sub-suku

Lebih terperinci

BAB V ANALISA DATA. A. Upacara Kematian Agama Hindu Di Pura Krematorium Jala Pralaya

BAB V ANALISA DATA. A. Upacara Kematian Agama Hindu Di Pura Krematorium Jala Pralaya BAB V ANALISA DATA A. Upacara Kematian Agama Hindu Di Pura Krematorium Jala Pralaya Upacara kematian ini bersifat wajib bagi keluarga yang telah ditinggal mati. Dalam proses upacara kematian, ada yang

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian yang mengkaji atau menganalisis fenomena di masyarakat mengenai

METODE PENELITIAN. Penelitian yang mengkaji atau menganalisis fenomena di masyarakat mengenai III. METODE PENELITIAN A. Tipe Penelitian Penelitian yang mengkaji atau menganalisis fenomena di masyarakat mengenai ritual keagamaan dan perjudian yang dilakukan oleh masyarakat etnis Bali ini menggunakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Bab ini membahas mengenai latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, batasan masalah, metodologi penulisan dan sistematika penulisan yang mendasari penelitian.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam kehidupan di masyarakat sering sekali terjadi pelanggaran terhadap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam kehidupan di masyarakat sering sekali terjadi pelanggaran terhadap BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan di masyarakat sering sekali terjadi pelanggaran terhadap norma kesusilaan dan norma hukum. Salah satu dari pelanggaran hukum yang terjadi di

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN. tenggara Pulau Bali. Dari Pulau Bali, Nusa Lembongan hanya bisa ditempuh

BAB VI KESIMPULAN. tenggara Pulau Bali. Dari Pulau Bali, Nusa Lembongan hanya bisa ditempuh BAB VI KESIMPULAN Desa Jungutbatu yang secara administratif terletak di kecamatan Nusa Penida, Kabupaten Klungkung, Bali menyimpan sejumlah pesona alam dan kebudayaan tersendiri. Desa ini berada di pulau

Lebih terperinci

BAB VIII PENUTUP Kesimpulan

BAB VIII PENUTUP Kesimpulan BAB VIII PENUTUP Bab VIII memaparkan pembahasan mengenai kesimpulan dari hasil penelitian, serta implikasi dan saran dalam ranah akademik dan praktis sesuai dengan kesimpulan hasil penelitian. Pada bagian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang merupakan daerah yang memiliki potensi budaya yang masih berkembang secara optimal. Keanekaragaman budaya mencerminkan kepercayaan dan kebudayaan masyarakat setempat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Manusia adalah makhluk sosial juga makhluk budaya. Sebagai makhluk

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Manusia adalah makhluk sosial juga makhluk budaya. Sebagai makhluk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia adalah makhluk sosial juga makhluk budaya. Sebagai makhluk sosial, manusia selalu hidup bersama dalam artian bahwa sesungguhnya manusia hidup dalam interaksi

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 5 TAHUN 2001 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 5 TAHUN 2001 TENTANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 5 TAHUN 2001 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDAFTARAN PENDUDUK DALAM KERANGKA SISTEM INFORMASI MANAJEMEN KEPENDUDUKAN (SIMDUK) DI KABUPATEN BADUNG DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dijumpai di masyarakat. Karya sastra ini mengandung banyak nilai dan persoalan

BAB I PENDAHULUAN. dijumpai di masyarakat. Karya sastra ini mengandung banyak nilai dan persoalan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra tradisional yang tersimpan dalam naskah lontar banyak dijumpai di masyarakat. Karya sastra ini mengandung banyak nilai dan persoalan yang berhubungan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 4 TAHUN 2012 TENTANG

PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 4 TAHUN 2012 TENTANG PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 4 TAHUN 2012 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 8 TAHUN 2002 TENTANG LEMBAGA PERKREDITAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perkawinan merupakan hal yang sakral dilakukan oleh setiap manusia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perkawinan merupakan hal yang sakral dilakukan oleh setiap manusia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan merupakan hal yang sakral dilakukan oleh setiap manusia di dunia ini, termasuk di Indonesia. Sejak dilahirkan di dunia manusia sudah mempunyai kecenderungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam kehidupan di masyarakat sering sekali pelanggaran terhadap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam kehidupan di masyarakat sering sekali pelanggaran terhadap BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan di masyarakat sering sekali pelanggaran terhadap norma kesusilaan dan norma hukum. Salah satu dari pelanggaran hukum yang terjadi di masyarakat

Lebih terperinci

EKSISTENSI PURA TELEDU NGINYAH PADA ERA POSMODERN DI DESA GUMBRIH KECAMATAN PEKUTATAN KABUPATEN JEMBRANA (Perspektif Pendidikan Agama Hindu)

EKSISTENSI PURA TELEDU NGINYAH PADA ERA POSMODERN DI DESA GUMBRIH KECAMATAN PEKUTATAN KABUPATEN JEMBRANA (Perspektif Pendidikan Agama Hindu) EKSISTENSI PURA TELEDU NGINYAH PADA ERA POSMODERN DI DESA GUMBRIH KECAMATAN PEKUTATAN KABUPATEN JEMBRANA (Perspektif Pendidikan Agama Hindu) Ni Putu Sri Ratna Dewi Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. multikultural yang tidak akan sama dengan kelompok sosial lainnya yang dimana Kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. multikultural yang tidak akan sama dengan kelompok sosial lainnya yang dimana Kehidupan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada hakikatnya kelompok sosial itu ada karena ingin mempertahankan hidup mereka. Kelompok sosial selalu mengalami perubahan dan perkembangan dalam masyarakat multikultural

Lebih terperinci

Pandangan Studi Hubungan Internasional terhadap Upacara Matiti Suara. Sebagai Upaya Pencegahan Tindak Korupsi

Pandangan Studi Hubungan Internasional terhadap Upacara Matiti Suara. Sebagai Upaya Pencegahan Tindak Korupsi Pandangan Studi Hubungan Internasional terhadap Upacara Matiti Suara Sebagai Upaya Pencegahan Tindak Korupsi Korupsi adalah sebagai tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk

Lebih terperinci

17. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Hindu untuk Sekolah Menengah Atas (SMA)/Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)

17. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Hindu untuk Sekolah Menengah Atas (SMA)/Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) 17. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Hindu untuk Sekolah Menengah Atas (SMA)/Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) A. Latar Belakang Agama memiliki peran yang amat penting dalam kehidupan umat manusia. Agama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hukum yang diciptakan manusia mempunyai tujuan untuk. menciptakan keadaan yang teratur, aman, dan tertib, demikian pula dengan

BAB I PENDAHULUAN. Hukum yang diciptakan manusia mempunyai tujuan untuk. menciptakan keadaan yang teratur, aman, dan tertib, demikian pula dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum yang diciptakan manusia mempunyai tujuan untuk menciptakan keadaan yang teratur, aman, dan tertib, demikian pula dengan hukum adat. Menurut Van Vollenhoven

Lebih terperinci

21. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Hindu untuk Sekolah Menengah Atas Luar Biasa Tunalaras (SMALB - E)

21. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Hindu untuk Sekolah Menengah Atas Luar Biasa Tunalaras (SMALB - E) 21. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Hindu untuk Sekolah Menengah Atas Luar Biasa Tunalaras (SMALB - E) A. Latar Belakang Agama memiliki peran yang amat penting dalam kehidupan umat manusia. Agama menjadi

Lebih terperinci

PERANAN HUKUM DALAM MENJAGA KEAJEGAN KONSEP TRI HITA KARANA DI BALI Oleh I Nyoman Gede Remaja, S.H., M.H. 4

PERANAN HUKUM DALAM MENJAGA KEAJEGAN KONSEP TRI HITA KARANA DI BALI Oleh I Nyoman Gede Remaja, S.H., M.H. 4 PERANAN HUKUM DALAM MENJAGA KEAJEGAN KONSEP TRI HITA KARANA DI BALI Oleh I Nyoman Gede Remaja, S.H., M.H. 4 Abstrak: Tri Hita Karana menekankan pada tiga hubungan kehidupan manusia dalam dunia ini, yaitu

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Tinjauan tentang Ritual-ritual Keagamaan yang Menggunakan Tabuh

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Tinjauan tentang Ritual-ritual Keagamaan yang Menggunakan Tabuh II. TINJAUAN PUSTAKA A. Ritual Keagamaan Tabuh Rah dan Judi Tajen 1. Tinjauan tentang Ritual-ritual Keagamaan yang Menggunakan Tabuh Rah Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk (beraneka

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DATA. A. Deskripsi aktivitas keagamaan menurut pemikiran Joachim Wach

BAB IV ANALISIS DATA. A. Deskripsi aktivitas keagamaan menurut pemikiran Joachim Wach BAB IV ANALISIS DATA A. Deskripsi aktivitas keagamaan menurut pemikiran Joachim Wach Dalam teori Joachim wach dapat diamati dalam tiga bentuk ekspressi keagamaan atau pengalaman beragama baik individu

Lebih terperinci

Seni Pertunjukan Gambuh Kajian Makna Dan Nilai Budaya (1) Oleh: Wardizal, S.Sen., M.Si. Abstrak

Seni Pertunjukan Gambuh Kajian Makna Dan Nilai Budaya (1) Oleh: Wardizal, S.Sen., M.Si. Abstrak Seni Pertunjukan Gambuh Kajian Makna Dan Nilai Budaya (1) Oleh: Wardizal, S.Sen., M.Si Pengantar Artikel berjudul Seni Pertunjukan Gambuh Kajian Makna dan Nilai Budaya yang ditulis oleh Wardizal, S.Sen,

Lebih terperinci

PENEGAKAN AWIG-AWIG LARANGAN BERBURU BURUNG DI DESA PAKRAMAN KAYUBIHI, KECAMATAN BANGLI, KABUPATEN BANGLI

PENEGAKAN AWIG-AWIG LARANGAN BERBURU BURUNG DI DESA PAKRAMAN KAYUBIHI, KECAMATAN BANGLI, KABUPATEN BANGLI PENEGAKAN AWIG-AWIG LARANGAN BERBURU BURUNG DI DESA PAKRAMAN KAYUBIHI, KECAMATAN BANGLI, KABUPATEN BANGLI Oleh : Pande Putu Indra Wirajaya I Gusti Agung Mas Rwa Jayantiari I Gusti Ngurah Dharma Laksana

Lebih terperinci

PERANAN DESA PAKRAMAN DALAM MEMPERKUAT KETAHANAN SOSIAL BUDAYA MELALUI KONSEP AJARAN TRI HITA KARANA. Ni Wayan Suarmini * Abstrak

PERANAN DESA PAKRAMAN DALAM MEMPERKUAT KETAHANAN SOSIAL BUDAYA MELALUI KONSEP AJARAN TRI HITA KARANA. Ni Wayan Suarmini * Abstrak PERANAN DESA PAKRAMAN DALAM MEMPERKUAT KETAHANAN SOSIAL BUDAYA MELALUI KONSEP AJARAN TRI HITA KARANA Ni Wayan Suarmini * Abstrak Arus globalisasi telah melanda dunia saat ini, batas-batas suatu wilayah

Lebih terperinci

Konsep Penataan Pura Dalem Desa Adat Negari, Desa Singapadu Tengah sebagai Objek Baru Wisata Sejarah

Konsep Penataan Pura Dalem Desa Adat Negari, Desa Singapadu Tengah sebagai Objek Baru Wisata Sejarah SEMINAR HERITAGE IPLBI 2017 PENELITIAN Konsep Penataan Pura Dalem Desa Adat Negari, Desa Singapadu Tengah sebagai Objek Baru Wisata Sejarah I Made Suarya (1), I Nyoman Widya Paramadhyaksa (2), Ni Ketut

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 3 TAHUN 2007 TENTANG

PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 3 TAHUN 2007 TENTANG PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 3 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 8 TAHUN 2002 TENTANG LEMBAGA PERKREDITAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI,

Lebih terperinci

Gubahan Bentuk Taman dan Bentuk Ruang Taman Kiriman; Drs. I Gede Mugi Raharja, M.Sn., Dosen PS. Desain Interior ISI Denpasar.

Gubahan Bentuk Taman dan Bentuk Ruang Taman Kiriman; Drs. I Gede Mugi Raharja, M.Sn., Dosen PS. Desain Interior ISI Denpasar. Gubahan Bentuk Taman dan Bentuk Ruang Taman Kiriman; Drs. I Gede Mugi Raharja, M.Sn., Dosen PS. Desain Interior ISI Denpasar. Gubahan Bentuk Taman a. Zaman Bali Kuna Bila desain taman peninggalan kerajaan-kerajaan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. 5.1 Alasan Kehadiran Rejang Sangat Dibutuhkan dalam Ritual. Pertunjukan rejang Kuningan di Kecamatan Abang bukanlah

BAB V KESIMPULAN. 5.1 Alasan Kehadiran Rejang Sangat Dibutuhkan dalam Ritual. Pertunjukan rejang Kuningan di Kecamatan Abang bukanlah BAB V KESIMPULAN 5.1 Alasan Kehadiran Rejang Sangat Dibutuhkan dalam Ritual Kuningan Pertunjukan rejang Kuningan di Kecamatan Abang bukanlah merupakan seni pertunjukan yang biasa tetapi merupakan pertunjukan

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN

UKDW BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kehidupan manusia tak dapat dilepaskan dari spiritualitas. Spiritualitas melekat dalam diri setiap manusia dan merupakan ekspresi iman kepada Sang Ilahi. Sisi spiritualitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan menyelenggarakan kegiatan-kegiatan keagamaan, kepercayaan kepada leluhur

BAB I PENDAHULUAN. dan menyelenggarakan kegiatan-kegiatan keagamaan, kepercayaan kepada leluhur BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Desa Adat Kuta sebagaimana desa adat lainnya di Bali, merupakan suatu lembaga adat yang secara tradisi memiliki peran dalam mengorganisasi masyarakat dan menyelenggarakan

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata Kunci: pendidikan, Pasraman, pengetahuan, agama Hindu

ABSTRAK. Kata Kunci: pendidikan, Pasraman, pengetahuan, agama Hindu ABSTRAK Perancangan Pasraman Hindu di Buleleng merupakan suatu upaya dalam memberikan pembinaan serta pendidikan secara mental dan fisik baik jasmani maupun rohani kepada seluruh masyarakat Hindu, khususnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memenuhi syarat. Dilihat dari segi isinya, karya jenis tutur tidak kalah

BAB I PENDAHULUAN. memenuhi syarat. Dilihat dari segi isinya, karya jenis tutur tidak kalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tutur merupakan salah satu jenis karya Sastra Jawa Kuno yang mengandung nilai filsafat, agama, dan nilai kehidupan. Menurut Soebadio (1985: 3), tutur merupakan pelajaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. luas yang terdiri dari beribu-ribu pulau yang besar dan pulau yang kecil. Sebagai

BAB I PENDAHULUAN. luas yang terdiri dari beribu-ribu pulau yang besar dan pulau yang kecil. Sebagai 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia mempunyai wilayah yang terbentang luas yang terdiri dari beribu-ribu pulau yang besar dan pulau yang kecil. Sebagai Negara yang

Lebih terperinci

Tugas Antropologi Politik Review buku : Negara Teater : Clifford Geertz : Isnan Amaludin : 08/275209/PSA/1973

Tugas Antropologi Politik Review buku : Negara Teater : Clifford Geertz : Isnan Amaludin : 08/275209/PSA/1973 Tugas Antropologi Politik Review buku : Negara Teater Penulis : Clifford Geertz Oleh : Isnan Amaludin NIM : 08/275209/PSA/1973 Prodi : S2 Sejarah Geertz sepertinya tertarik pada Bali karena menjadi suaka

Lebih terperinci

Oleh I Gusti Ayu Sri Utami Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar

Oleh I Gusti Ayu Sri Utami Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar KAJIAN PENDIDIKAN AGAMA HINDU DALAM TRADISI NGAYAH DI TENGAH AKSI DAN INTERAKSI UMAT HINDU DI DESA ADAT ANGGUNGAN KELURAHAN LUKLUK KECAMATAN MENGWI KABUPATEN BADUNG Oleh I Gusti Ayu Sri Utami Institut

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Masjid Agung Demak mempunyai arti yang sangat penting bagi kehidupan

BAB V PENUTUP. Masjid Agung Demak mempunyai arti yang sangat penting bagi kehidupan BAB V PENUTUP Masjid Agung Demak mempunyai arti yang sangat penting bagi kehidupan orang-orang Islam di Jawa. Kedudukan dan kelebihan Masjid Agung Demak tidak terlepas dari peran para ulama yang bertindak

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II BADUNG NOMOR 20 TAHUN 1994 TENTANG PENGUSAHAAN DAN RETRIBUSI OBYEK WISATA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II BADUNG NOMOR 20 TAHUN 1994 TENTANG PENGUSAHAAN DAN RETRIBUSI OBYEK WISATA PERATURAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II BADUNG NOMOR 20 TAHUN 1994 TENTANG PENGUSAHAAN DAN RETRIBUSI OBYEK WISATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KEPALA DAERAH TINGKAT II BADUNG Menimbang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan yang sangat luas yang masyarakatnya terdiri

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan yang sangat luas yang masyarakatnya terdiri 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan yang sangat luas yang masyarakatnya terdiri dari beragam suku, ras, budaya, dan agama. Salah satu di antaranya adalah suku Bali yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bali merupakan salah satu daerah yang merupakan sasaran ekspansi dari kerajaan-kerajaan Jawa Kuna. Daerah Bali mulai dikuasai sejak Periode Klasik Muda dimana kerajaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kalimantan, sebagaimana dengan wilayah Indonesia lainnya yang kaya akan

BAB I PENDAHULUAN. Kalimantan, sebagaimana dengan wilayah Indonesia lainnya yang kaya akan BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Kalimantan Selatan merupakan salah satu dari lima provinsi yang ada di Kalimantan, sebagaimana dengan wilayah Indonesia lainnya yang kaya akan keanekaragaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Di Indonesia sangat kaya akan berbagai macam budaya baik itu bahasa,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Di Indonesia sangat kaya akan berbagai macam budaya baik itu bahasa, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di Indonesia sangat kaya akan berbagai macam budaya baik itu bahasa, tarian dan adat istiadat yang dimiliki oleh setiap suku bangsa juga sangat beragam. Keanekaragaman

Lebih terperinci

KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS PENGARAH

KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS PENGARAH 41 KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS PENGARAH Kerangka Berpikir Kebudayaan adalah sebuah pola dari makna-makna yang tertuang dalam simbol-simbol yang diwariskan melalui sejarah. Kebudayaan adalah sebuah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1 Awig-awig pesamuan adat Abianbase, p.1

BAB I PENDAHULUAN. 1 Awig-awig pesamuan adat Abianbase, p.1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Permasalahan 1.1.1. Latar Belakang Desa pakraman, yang lebih sering dikenal dengan sebutan desa adat di Bali lahir dari tuntutan manusia sebagai mahluk sosial yang tidak mampu hidup

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Komunikasi tidak akan pernah bisa lepas dari adanya visual dan verbal. Visual ditandai dengan gambar, verbal ditandai dengan lisan maupun tulisan. Antara visual dengan

Lebih terperinci

RITUAL MEKRAB DALAM PEMUJAAN BARONG LANDUNG DI PURA DESA BANJAR PACUNG KELURAHAN BITERA KECAMATAN GIANYAR

RITUAL MEKRAB DALAM PEMUJAAN BARONG LANDUNG DI PURA DESA BANJAR PACUNG KELURAHAN BITERA KECAMATAN GIANYAR RITUAL MEKRAB DALAM PEMUJAAN BARONG LANDUNG DI PURA DESA BANJAR PACUNG KELURAHAN BITERA KECAMATAN GIANYAR (Analisis Pendidikan Agama Hindu) Oleh I Made Agus Sutrisna Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Subak merupakan lembaga irigasi dan pertanian yang bercorak sosioreligius terutama bergerak dalam pengolahan air untuk produksi tanaman setahun khususnya padi berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebuah permasalahan penataan ruang yang hampir dihadapi oleh semua

BAB I PENDAHULUAN. sebuah permasalahan penataan ruang yang hampir dihadapi oleh semua BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pesatnya alih fungsi ruang hijau menjadi ruang terbangun, merupakan sebuah permasalahan penataan ruang yang hampir dihadapi oleh semua Kabupaten Kota di Indonesia.

Lebih terperinci

RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DESA

RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DESA RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DESA Dalam mengemban amanat masyarakat desa, pemerintah desa melakukan upaya terencana dan terprogram yang tersusun dalam dokumen perencanaan desa baik RPJMD maupun

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG LEMBAGA PERKREDITAN DESA. 2.1 Sejarah Singkat Terbentuknya Lembaga Perkreditan Desa (LPD)

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG LEMBAGA PERKREDITAN DESA. 2.1 Sejarah Singkat Terbentuknya Lembaga Perkreditan Desa (LPD) BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG LEMBAGA PERKREDITAN DESA 2.1 Sejarah Singkat Terbentuknya Lembaga Perkreditan Desa (LPD) Di Bali sebelum adanya LPD telah banyak terbentuk kelompok sekeha-sekeha yang intinya

Lebih terperinci

PELAKSANAAN TRI HITA KARANA DALAM KEHIDUPAN UMAT HINDU. Oleh : Drs. I Made Purana, M.Si Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Dwijendra

PELAKSANAAN TRI HITA KARANA DALAM KEHIDUPAN UMAT HINDU. Oleh : Drs. I Made Purana, M.Si Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Dwijendra PELAKSANAAN TRI HITA KARANA DALAM KEHIDUPAN UMAT HINDU Oleh : Drs. I Made Purana, M.Si Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Dwijendra Abstrak Tri Hita Karana pada hakikatnya adalah sikap hidup

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengelolaan tata ruang sebagai sebuah hasil akulturasi antara budaya dan logika tercermin dalam proses penempatan posisi-posisi bangunan. Dasar budaya adalah faktor

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN. Berdasarkan pemahaman pada Bab I-IV, maka pada bagian akhir tesis ini terdapat

BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN. Berdasarkan pemahaman pada Bab I-IV, maka pada bagian akhir tesis ini terdapat BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN Berdasarkan pemahaman pada Bab I-IV, maka pada bagian akhir tesis ini terdapat beberapa hal pokok yang akan ditegaskan sebagai inti pemahaman masyarakat Tunua tentang fakta

Lebih terperinci

Sabung Ayam Pada Masyarakat Bali Kuno Abad IX-XII

Sabung Ayam Pada Masyarakat Bali Kuno Abad IX-XII Sabung Ayam Pada Masyarakat Bali Kuno Abad IX-XII I Wayan Gede Saputra K.W email: widiarsagede688@yahoo.com Program Studi Arkeologi Fakultas Sastra dan Budaya Unud Abstract Cockfighting is a unique tradition

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pedoman hidup sehari-hari. Keberagaman tersebut memiliki ciri khas yang

BAB I PENDAHULUAN. pedoman hidup sehari-hari. Keberagaman tersebut memiliki ciri khas yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setiap negara memiliki beragam norma, 1 moral, 2 dan etika 3 yang menjadi pedoman hidup sehari-hari. Keberagaman tersebut memiliki ciri khas yang berbeda-beda

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Atik Rahmaniyar, 2015

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Atik Rahmaniyar, 2015 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pendidikan karakter secara eksplisit maupun implisit telah terbentuk dalam berbagai mata pelajaran yang diajarkan. Melalui pendidikan karakter diharapkan

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI KEUNIKAN PURA GUNUNG KAWI DI DESA PEKRAMAN KELIKI, GIANYAR, BALI SEBAGAI SUMBER PEMBELAJARAN IPS. oleh

IDENTIFIKASI KEUNIKAN PURA GUNUNG KAWI DI DESA PEKRAMAN KELIKI, GIANYAR, BALI SEBAGAI SUMBER PEMBELAJARAN IPS. oleh IDENTIFIKASI KEUNIKAN PURA GUNUNG KAWI DI DESA PEKRAMAN KELIKI, GIANYAR, BALI SEBAGAI SUMBER PEMBELAJARAN IPS oleh I Wayan Sudiana, (NIM 0814021029), (Email : Sudiana_ IWayan@yahoo.com) Desak Made Oka

Lebih terperinci

GUBERNUR BALI PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG LEMBAGA PERKREDITAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI,

GUBERNUR BALI PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG LEMBAGA PERKREDITAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, GUBERNUR BALI PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG LEMBAGA PERKREDITAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, Menimbang : a. bahwa Lembaga Perkreditan Desa diperlukan

Lebih terperinci

PENERAPAN PASAL 303 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA TENTANG PERJUDIAN TERKAIT SABUNG AYAM DI PROVINSI BALI

PENERAPAN PASAL 303 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA TENTANG PERJUDIAN TERKAIT SABUNG AYAM DI PROVINSI BALI PENERAPAN PASAL 303 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA TENTANG PERJUDIAN TERKAIT SABUNG AYAM DI PROVINSI BALI Oleh : I Ketut Adhi Erawan I Wayan Parsa Bagian Hukum Pidana, Fakultas Hukum, Universitas Udayana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam kehidupan masyarakat di Indonesia perjudian masih menjadi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam kehidupan masyarakat di Indonesia perjudian masih menjadi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan masyarakat di Indonesia perjudian masih menjadi permasalahan, banyaknya kasus yang ditemukan oleh aparat penegak hukum merupakan suatu bukti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terhadap suatu olahraga. Dapat dibuktikan jika kita membaca komik dan juga

BAB I PENDAHULUAN. terhadap suatu olahraga. Dapat dibuktikan jika kita membaca komik dan juga BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Di Jepang terdapat bermacam-macam budaya, salah satunya adalah olahraga. Jepang merupakan salah satu negara yang memiliki ketertarikan tinggi terhadap suatu olahraga.

Lebih terperinci

Oleh Ni Putu Ayu Putri Suryantari Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar

Oleh Ni Putu Ayu Putri Suryantari Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar TRADISI PERSEMBAHYANGAN TANPA MENGGUNAKAN API DI PURA KAHYANGAN ALAS KEDATON DESA PAKRAMAN KUKUH KECAMATAN MARGA KABUPATEN TABANAN (Perspektif Pendidikan Agama Hindu) Oleh Ni Putu Ayu Putri Suryantari

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Konstruksi identitas jender, Putu Wisudantari Parthami, 1 FPsi UI, Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Konstruksi identitas jender, Putu Wisudantari Parthami, 1 FPsi UI, Universitas Indonesia BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Pulau Bali selama ini dikenal dengan kebudayaannya yang khas. Beragam tradisi yang mencerminkan adat Bali menarik banyak orang luar untuk melihat lebih dekat keunikan

Lebih terperinci

PERANAN AWIG-AWIG DALAM MELESTARIKAN ADAT DAN BUDAYA DI BALI

PERANAN AWIG-AWIG DALAM MELESTARIKAN ADAT DAN BUDAYA DI BALI PERANAN AWIG-AWIG DALAM MELESTARIKAN ADAT DAN BUDAYA DI BALI Oleh : I Ketut Rindawan ketut.rindawan@gmail.com Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Univesitas Dwijendra Abstrak Bali sebagai daerah pariwisata

Lebih terperinci

TUGAS AGAMA DEWA YADNYA

TUGAS AGAMA DEWA YADNYA TUGAS AGAMA DEWA YADNYA NAMA ANGGOTA KELOMPOK 7 KETUT ALIT WIRA ADI KUSUMA (05) ( KETUA ) NI LUH LINA ANGGRENI (27) ( SEKETARIS ) NI LUH DIAH CITRA URMILA DEWI (14) I PUTU PARWATA (33) SMP N 2 RENDANG

Lebih terperinci

PENGARUH KARAKTERISTIK LINGKUNGAN SOSIAL PERKOTAAN TERHADAP KONSEP PEMBANGUNAN PURA ADHITYA JAYA DI RAWAMANGUN JAKARTA

PENGARUH KARAKTERISTIK LINGKUNGAN SOSIAL PERKOTAAN TERHADAP KONSEP PEMBANGUNAN PURA ADHITYA JAYA DI RAWAMANGUN JAKARTA PENGARUH KARAKTERISTIK LINGKUNGAN SOSIAL PERKOTAAN TERHADAP KONSEP PEMBANGUNAN PURA ADHITYA JAYA DI RAWAMANGUN JAKARTA I Kadek Oka Supribawa¹, Moh.Ischak² 1 Mahasiswa Program Studi Magister Arsitektur,

Lebih terperinci

Pura Kehen di Desa Pakraman Cempaga, Bangli, Bali (Sejarah Struktur dan Fungsinya Sebagai Sumber Belajar Sejarah).

Pura Kehen di Desa Pakraman Cempaga, Bangli, Bali (Sejarah Struktur dan Fungsinya Sebagai Sumber Belajar Sejarah). Pura Kehen di Desa Pakraman Cempaga, Bangli, Bali (Sejarah Struktur dan Fungsinya Sebagai Sumber Belajar Sejarah). Oleh : Ni Luh Sri Karmi Asri, (NIM 0914021002), (e-mail: niluhsrikarmiasri@yahoo.com)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Danandjaja (1984 : 1) menyatakan bahwa folklore adalah pengindonesiaan

BAB I PENDAHULUAN. Danandjaja (1984 : 1) menyatakan bahwa folklore adalah pengindonesiaan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Danandjaja (1984 : 1) menyatakan bahwa folklore adalah pengindonesiaan kata Inggris folklore. Kata itu adalah kata majemuk, yang berasal dari dua kata dasar folk dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Agama merupakan suatu keyakinan yang dianggap benar dan dianut oleh tiap individu ataupun suatu kelompok tertentu yang percaya terhadap Tuhan, sehingga dengan

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP VI.1. Kesimpulan Data.

BAB VI PENUTUP VI.1. Kesimpulan Data. 219 BAB VI PENUTUP Dari hasil analisa terhadap ulos dalam konsep nilai inti berdasarkan konteks sosio-historis dan perkawinan adat Batak bagi orang Batak Toba di Jakarta. Juga analisa terhadap ulos dalam

Lebih terperinci

PENYELESAIAN PERKARA OLEH LEMBAGA ADAT MENGENAI PERKELAHIAN ANTAR SESAMA KRAMA DESA YANG TERJADI DI DESA PAKRAMAN SARASEDA

PENYELESAIAN PERKARA OLEH LEMBAGA ADAT MENGENAI PERKELAHIAN ANTAR SESAMA KRAMA DESA YANG TERJADI DI DESA PAKRAMAN SARASEDA PENYELESAIAN PERKARA OLEH LEMBAGA ADAT MENGENAI PERKELAHIAN ANTAR SESAMA KRAMA DESA YANG TERJADI DI DESA PAKRAMAN SARASEDA oleh : Ida Bagus Miswadanta Pradaksa Sagung Putri M.E Purwani Bagian Hukum dan

Lebih terperinci

A. Analisis Proses Pelaksanaan Mediasi di Pengadilan Agama Purwodadi

A. Analisis Proses Pelaksanaan Mediasi di Pengadilan Agama Purwodadi BAB IV ANALISIS A. Analisis Proses Pelaksanaan Mediasi di Pengadilan Agama Purwodadi Berdasarkan apa yang telah dipaparkan pada bab-bab sebelumnya dapat diketahui bahwa secara umum mediasi diartikan sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan semuanya dapat tercapai apabila berpedoman pada peraturan-peraturan yang

BAB I PENDAHULUAN. dan semuanya dapat tercapai apabila berpedoman pada peraturan-peraturan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hakikat pembangunan nasional adalah pembangunan manusia Indonesia dan pembangunan masyarakat Indonesia. Pembangunan tersebut dilaksanakan oleh pemerintah dan

Lebih terperinci