BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TABUH RAH

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TABUH RAH"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TABUH RAH 2.1 Pengertian dan Unsur-Unsur Tabuh Rah dan Sabungan Ayam (Tajen) Hubungan tabuh rah dengan sabungan ayam terdapat pandangan semu dari sebagian masyarakat awam, bahwa tabuh rah itu sama dengan sabungan ayam (tajen). Oleh karena itulah sangat perlu pemahaman dari kedua istilah tersebut itu. Tabuh rah atau Perangsata dalam masyarakat Hindu di Bali mensyaratkan adanya darah yang menetes sebagai simbol atau syarat mensucikan umat manusia dari ketamakan, keserakahan, atau kelobaan terhadap nilai-nilai materialistis dan duniawi. Tabuh Rah juga bermakna sebagai upacara ritual Bhuta Yadnya yang mana darah yang menetes ke bumi disimbolkan sebagai permohonan umat manusia kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa agar terhindar dari marabahaya. Oleh karena itu, dipandang dari filosofisnya, tabuh rah mengandung arti yang penting bagi upacara-upacara dalam agama Hindu. 1 Kata tabuh rah merupakan kata majemuk, yaitu rangkaian dua buah kata yang memiliki satu pengertian. Adapun kata dasarnya adalah tabuh dan rah. Secara etimologis kata tabuh rah berasal dari kata tawur yang berarti bayar sedangkan kata rah berasal dari darah. Dengan uraian secara etimologis tersebut, maka kata tabuh rah berarti pembayaran dengan darah yang dilakukan dengan cara menaburkan darah pada 1. Ida Bagus Putu Purwita, loc.cit. 21

2 22 tempat-tempat tertentu misalnya di pura. 2 Tabuh rah biasanya dilakukan dengan beberapa cara dan selalu berhubungan dengan Bhuta Yadnya atau lazim di Bali disebut dengan mecaru (membuat acara kurban). Bhuta Yadnya sering dilakukan dengan mecaru, karena makna dari Bhuta Yadnya itu adalah mengharmonisasikan hubungan unsur-unsur Panca Maha Bhuta di Bhuana Agung dan Bhuana Alit. Parisadha Hindu Dharma dan Istitut Hindu Dharma menyelenggarakan seminar pada Tahun 1976, dan berhasil merumuskan kesimpulan-kesimpulan sebagai berikut : 1. Tabuh rah adalah taburan darah binatang korban yang dilaksanakan dalam rangkaian upacara agama ; 2. Sumber penggunaan tabuh rah pada Panca Yadnya ; 3. Dasar penggunaan tabuh rah tercantum dalam Prasasti Sukawan A.I 804 Caka, Prasasti Batur Abang 933 Caka, Prasasti Batuan 944 Caka ; 4. Fungsi tabuh rah adalah runtutan / rangkaian dari upacara agama (Yadnya) ; 5. Tabuh rah berwujud taburan darah binatang korban ; 6. Jenis jenis binatang yang digunakan untuk tabuh rah yaitu ayam, itik, kerbau, babi dan lain-lain ; 7. Penaburan darah dilaksanakan dengan nyembelih (perangsatha) telung perahatan, dilengkapi dengan aduaduan kemiri, telor, kelapa, beserta upakaranya ; 8. Diadakan pada tempat dan saat upacara berlangsung oleh Sang Jayamana ; 9. Diadakan dengan perangsatha disertakan toh dedamping (taruhan pendamping) yang maksudnya sebagai pernyataan atau perwujudan dari keikhlasan Sang Jayamana yang sedang melaksanakan upacara yadnya dan bukan bermotif judi ; 10. Adu ayam yang tidak memenuhi ketentuan-ketentuan tersebut diatas tidaklah perangsatha dan bukan pula rangkaian upacara yadnya ; 11. Pelaksanaan tabuh rah tidak minta ijin kepada yang berwenang Ida Bagus Putu Purwita, loc.cit. 3. I Ketut Mertha, 2010, Politik Kriminal Dalam Penanggulangan Tajen (Sabungan Ayam ) di Bali, Udayana University Press, Denpasar, h.14.

3 23 Dengan dasar kesimpulan ini dapat ditentukan bahwa aduan ayam yang memenuhi kesebelas unsur tersebut adalah tabuh rah, sedang yang lainnya atau melebihi ketentuan itu bukanlah tabuh rah. Bahkan dalam pemilihan warna bulu ayam yang digunakan dalam tabuh rah harus bersesuaian dengan caru Panca Sata, yakni upacara korban yang memakai lima ekor ayam, yang masing-masing berwarna putih, merah, siungan (ayam putih yang paruh dan kakinya yang berwarna kuning seperti burung siung), hitam dan brumbun (ayam yang warna bulunnya campuran dari warna putih, merah, kuning, hitam dan putih. Dengan demikian, warna dalam pelaksanaan tabuh rah sangat menentukan. Pemerintah Daerah Provinsi Bali, lebih mempertegas lagi syarat-syarat untuk pelaksanaan Tabuh rah, yakni : a. Fungsi tabuh rah adalah sebagai runtutan / rangkaian dari upacara / upakara agama (yadnya) ; b. Wujud tabuh rah adalah berwujud taburan darah hewan korban ; c. Sarana yang digunakan adalah jenis-jenis hewan yang dijadikan korban yaitu ayam, babi, itik, kerbau, dan lain-lainnya ; d. Cara penaburan darah yakni semburan darah dilakukan dengan penyembleh, perangsatha (telung perahatan) dilengkapi dengan aduaduan : kemiri, telor, kelapa, andelandel, beserta upakaranya ; e. Pelaksanaan tabuh rah : 1. Diadakan di tempat dan saat-saat upacara berlangsung oleh Sang Yajamana. 2. Pada waktu perangsatha disertakan toh dedamping yang maknanya sebagai pernyataan atau perwujudan dari keikhlasan Sang Yajamana beryadnya, dan bukan bermotif judi. 3. Pelaksanaannya memakai pakaian adat. 4. Pelaksanaan tabuh rah tidak meminta ijin yang berwenang. 5. Dalam melakukan perangsatha tidak ada penonton, melainkan hanya sebatas masyarakat desa setempat yang melaksanakan upacara keagamaan.

4 24 6. Aduan ayam tidak memenuhi ketentuan-ketentuan tersebut diatas tidaklah perangsatha dan bukan pula runtutan upacara yadnya. 4 Dengan demikian, bila pelaksanaan tabuh rah yang tidak memenuhi ketentuan-ketentuan tersebut diatas, berarti telah terjadi salah arti, dan tidak menutup kemungkinan terjadi penyalahgunaan tabuh rah sebagai ajang perbuatan tindak pidana dalam bentuk perjudian sabungan ayam. 5 Kehidupan tata pergaulan masyarakat di Bali, faktor tradisi merupakan hal penting, lebih-lebih lagi dalam hubungan dengan pelaksanaan upacara keagamaan. Warga masyarakat merasakan betapa pentingnya arti ikatan terhadap tradisi-tradisi yang mereka warisi. Mereka berpandangan bahwa apa yang diwarisi dari leluhurnya merupakan suatu pustaka, baik yang sifatnya kebendaan maupun merupakan pandangan hidup. Demikian pula halnya dengan tabuh rah di Bali yang sudah menjadi tradisi, telah berlangsung di masyarakat sejak dahulu hingga kini. Penaburan darah binatang korban seperti itu digemari orang karena disamping itu bertujuan religius, juga mengandung nilai hiburan bagi penggemarnya. Gaya dan gerak-gerik ayam yang sedang berlaga itu, bagi mereka menimbulkan rasa seni, sehingga logislah lama kelamaan fungsi tabuh rah dalam rangka upacara keagamaan (mecaru) yang dilakukan dengan mengadu ayam menjadi berkurang, sedang fungsi hiburan sangat menonjol Ibid. h Ibid, h I Negah Mileh, 1983, Kamus Istilah Tajen di Bali, Fakultas Sastra UNUD, Denpasar, h. 19.

5 25 Membahas tentang tabuh rah tidak lepas dengan sabungan ayam (tajen). Sabungan ayam di Bali disebut dengan Tajen dan telah ada sejak jaman kerajaan dan berlangsung hingga kini. Perkembangannya, sabungan ayam (tajen) yang pada awalnya berupa permainan yang berfungsi pengisi waktu yang kosong sebagai hiburan, lama kelamaan di tambah unsur baru guna menambah kegairahan dalam bermain dengan harapan untuk memperoleh kemenangan, yakni dengan memakai taruhan uang. Akibatnya, sabungan ayam (tajen) semakin berkembang yang mengakibatkan fungsi sebagai hiburan pada awalnya berkurang dan unsur judinya yang semakin lebih bertambah. Istilah tajen berasal dari kata taji yang artinya susuk pada kaki ayam. Pengertian taji ada hubungannya dengan pengertian tajam dalam Bahasa Indonesia, dan taji dalam Bahasa Bali yang bermakna sesuatu yang runcing. Pengertian tajam ditekankan pada taji atau senjata yang digunakan oleh ayam dalam beradu, sebab hanya ayam yang diadu sajalah yang memakai taji. 7 Dalam Kamus Bali Indonesia, kata tajen berarti sabungan ayam. Istilah lain dari tajen adalah kelecan yang berarti pula sabungan ayam. Dari pendapat Ida Bagus Purwita yang dikutip dari buku Bali dalam Perspektif Sejarah dan Tradisi karangan I Nyoman Suada bahwa adanya hal yang menarik mengenai uraian orang yang ingin berjudi dalam Lontar Dharmapajuden yakni, Bhatara Guru menyuruh membuat sabungan ayam untuk kesenangan. 7. Ibid, h. 9.

6 26 Maka dengan demikian dikatakan bahwa erat relevansinya dengan sabungan ayam di Bali yang disebut dengan istilah klecan yang telah disebutkan sebelumnya pada penjelasan diatas. Mungkin klecan ini berasal dari kata ica yang berarti tertawa, senang atau diberi. Kata ica kemudian berkembang menjadi kata klecan yang artinya kesenangan Pengertian dan Unsur-Unsur Perjudian Pengertian perjudian telah ada sejak dulu sebelum pemerintahan sekarang ini dan bahkan telah tertulis di kitab suci agama Hindu. Di dalam Saramuscaya sloka 266 terkait dengan judi ada disebutkan : yer thah klecana mahata dharmasyatikramena va arerva pranipatena ma sma tesu krtha manah, Hana yartha urihning parikleca, ulihning anyaya kuneng, athawa kasembahaning catra kuneng, hetunya ikang artha mangkana kramanya, tan kenginakena ika yang memiliki pengertian uang yang diperoleh dengan jalan jahat (melakukan siksaan) uang yang diperoleh dengan jalan melanggar hukum ataupun uang persembahan musuh uang yang demikian halnya jangan hendaknya diinginkan. 9 Berdasarkan uraian diatas mempertegas bahwa uang yang diperoleh dengan cara daya upaya atau persembahan musuh itu cemar. Uang itu tidak baik, sehingga biasanya cepat habis. Sebagaimana diketahui bahwa orang di arena judi sabungan ayam (tajen) misalnya, bila seseorang menang, tentu uang diserahkan oleh musuhnya. Berdasarkan sloka Saramuscaya uang tersebut yang diperoleh I Nyoman Suada, 2013, Bali Dalam Perspektif Sejarah Dan Tradisi, Paramita, Surabaya, h. 9. Ibid, h. 98.

7 27 dari musuhnya disebut dengan uang cemar dikarenakan musuh tersebut menyerahkan dengan rasa kecewa setelah kekalahannya. 10 Perjudian yang dilakukan pada awalnya hanya berwjud permainan untuk mengisi waktu senggang guna menghibur hati dan untuk mencari kesenangan yang semata-mata dilakukan tidak untuk mendapatkan untung atau kemenangan. Sifatnya pun relatif netral. Pertaruhan dalam perjudian ini sifatnya murni spekulatif untung-untungan. Konsep untung-untungan itu sedikit atau banyak mengandung unsur kepercayaan mistik terhadap kemungkinan peruntungan. Pada masa sekarang ini bentuk perjudian ini tidak hanya bersifat mengisi waktu tetapi tidak jarang sudah menjadi bahan bisnis yang bersifat untung-untungan bagi sebagian masyarakat. Judi atau permainan judi atau perjudian menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah permainan dengan memakai uang sebagai taruhan. 11 Berjudi ialah mempertaruhkan sejumlah uang atau harta dalam permainan tebakan berdasarkan kebetulan, dengan tujuan mendapatkan sejumlah uang atau harta yang lebih besar daripada jumlah uang atau harta semula. Pada hakekatnya perjudian adalah bertentangan dengan norma agama, norma kesusilaan, dan nilai-nilai pancasila serta membahayakan masyarakat, bangsa, dan negara, dan ditinjau dari kepentingan nasional. Perjudian mempunyai dampak yang negatif merugikan moral dan mental masyarakat. Judi juga 10. Ibid. 11. Poerwadarminta, 1995, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, Balai Pustaka, Jakarta, h.419.

8 28 merupakan masalah sosial yang sulit di tanggulangi dan timbulnya judi tersebut sudah ada sejak adanya peradaban manusia, sehingga judi tersebut bisa dikatakan lahir karena adanya manusia. Pengertian lain dari judi atau perjudian dalam bahasa Belanda menurut Kamus Istilah Hukum Fockema Andrea yang menyebutkan sebagi Hazardspel atau kata lain dari Kansspel, yaitu permainan judi, permainan untung-untungaan yang dapat dihukum berdasarkan peraturan yang ada. 12 Perjudian menurut Kartini Kartono adalah : Pertaruhan dengan sengaja, yaitu mempertaruhkan satu nilai atau sesuatu yang dianggapa bernilai dengan menyadari adanya resiko dan harapan-harapan tertentu pada peristiwa-peristiwa, permainan pertandingan, perlombaan dan kejadian-kejadian yang tidak/belum pasti hasilnya. 13 Dali Mutiara, dalam tafsiran KUHP menyatakan sebagai berikut : permainan judi berarti harus diartikan dengan artian yang luas juga termasuk segala pertaruhan tentang kalah menangnya suatu pacuan kuda atau lain-lain pertandingan, atau segala pertaruhan, dalam perlombaan-perlombaan yang diadakan antara dua orang yang tidak ikut sendiri dalam perlombaanperlombaan itu, misalnya totalisator dan lain-lain N.E. algra dan Mr. R.R.W. Gokkel, 1983, Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae, diterjemahkan oleh Saleh Adiwinata dkk, Bina Cipta, Jakarta, h Kartini Kartono, 2005, Patologi Sosial, jilid I, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, h Dali Mutiara, 1962, Tafsiran Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 220.

9 29 Sedangkan perjudian menurut KUHP dalam Pasal 303 ayat (3) yang dirubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian disebutkan bahwa : Yang disebut permainan judi, adalah tiap-tiap permainan, dimana pada umumnya kemungkinan mendapatkan untuk tergantung pada peruntungan belaka, juga karena permainnanya lebih terlatih atau lebih mahir. Disitu termasuk segala pertaruhan tentang keputusan perlombaan atau permainan lainlainnya, yang tidak diadakan antara mereka yang turut berlomba atau bermain, demikian juga segala pertaruhan lainnya. Pengertian perjudian oleh masyarakat, yaitu setiap permainan atau perbuatan yang sifatnya untung-untungan atau dengan tidak mempergunakan uang atau barang sebagai taruhannya. Dari pengertian tersebut jika ditelaah maka : 1. Permainan atau perlombaan yaitu perbuatan yang dilakukan biasanya berbentuk permainan atau perlombaan. Jadi dilakukan semata-mata untuk bersenang-senang atau kesibukan untuk mengisi waktu senggan guna menghibur hati. Jadi bersifat rekreatif. Namun disini para pelaku tidak harus terlibat dalam permainan, dikarenakan mereka mungkin merupakan penonton atau orang yang ikut bertaruh terhadap jalannya sebuah permainan atau perlombaan. 2. Untung-untungan yaitu untuk memenangkan permainan atau perlombaan ini lebih banyak digantungkan kepada unsur spekulatif atau kebetulan atau untung-untungan. Atau faktor kemenangan yang diperoleh dikarenakan kebiasaan atau kepintaran pemain yang sudah sangat terbiasa atau terlatih. 3. Adanya taruhan di dalam permainan atau perlombaan ini yang dipasang oleh para pihak pemain atau bandar baik dalam bentuk uang atau harta

10 30 benda lainnya dan mengakibatkan ada pihak yang diuntungkan dan ada yang dirugikan. Unsur ini merupakan unsur yang paling utama untuk menentukan apakah sebuah perbuatan dapat disebut sebagai judi atau bukan. Judi ataupun perjudian dalam Pasal 1 Undang-Undang No.7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian disebut sebagai tindak pidana perjudian dan identik dengan kejahatan, tetapi pengertian dari tindak pidana perjudian pada dasarnya tidak disebutkan secara jelas dan terperinci baik dalam KUHP maupun dalam Undang-Undang No.7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian. 15 Dalam penjelasan Undang-Undang No.7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian disebutkan adanya pengklasifikasian terhadap segala macam bentuk tindak pidana perjudian sebagai kejahatan dan memberikan ancaman hukumannya. Ancaman hukuman yang berlaku sekarang ternyata sudah tidak sesuai lagi dan tidak membuat pelakunya jera dan takut untuk mengulangi perbuatannya lagi. Ketentuan yang merumuskan ancaman terhadap tindak pidana perjudian adalah dalam Pasal 303 KUHP dan Pasal 303 bis KUHP yang telah dirubah dengan Undang-Undang No.7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian. Adanya ketentuan dalam KUHP tersebut maka perjudian dapat digolongkan menjadi dua golongan/macam yaitu : 1. Perjudian yang bukan merupakan tindak pidana kejahatan apabila pelaksanaannya telah mendapat ijin terlebih dahulu dari pejabat yang berwenang. 15. Wantjik Saleh, 1976, Perlengkapan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 69.

11 31 2. Perjudian yang merupakan tindak pidana kejahatan, apabila pelaksanaannya tanpa mendapat ijin terlebih dahulu dari pejabat yang berwenang, seperti main dadu, bentuk permainan ini sifatnya hanya untung-untungan saja, karena hanya bergantung pada peruntungan nasib baik atau buruk, pemain tidak hanya mempengaruhi permainan tersebut. Dalam Pasal 303 bis KUHP menyebutkan unsur-unsur tindak pidana perjudian sebagai berikut : a. Menggunakan kesempatan untuk main judi ; b. Dengan melanggar ketentuan Pasal 303 KUHP. Rumusan Pasal 303 bis KUHP tersebut sama dengan Pasal 542 KUHP yang semula merupakan pelanggaran dengan ancaman pidana pada ayat (1) nya maksimal satu bulan pidana kurungan atau pidana denda paling banyak tiga ratus rupiah dan diangkat menjadi suatu kejahatan dengan ancaman ayat (1) pidana penjara selama-lamanya empat tahun atau denda sebanyak-banyaknya sepuluh juta rupiah. Ayat (2) menjadi pidana penjara selama-lamanya enam tahun atau denda sebanyak-banyaknya lima belas juta rupiah.

PENERAPAN PASAL 303 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA TENTANG PERJUDIAN TERKAIT SABUNG AYAM DI PROVINSI BALI

PENERAPAN PASAL 303 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA TENTANG PERJUDIAN TERKAIT SABUNG AYAM DI PROVINSI BALI PENERAPAN PASAL 303 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA TENTANG PERJUDIAN TERKAIT SABUNG AYAM DI PROVINSI BALI Oleh : I Ketut Adhi Erawan I Wayan Parsa Bagian Hukum Pidana, Fakultas Hukum, Universitas Udayana

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. dalam penulisan skripsi ini, mencoba mengambil beberapa kesimpulan yakni :

BAB III PENUTUP. dalam penulisan skripsi ini, mencoba mengambil beberapa kesimpulan yakni : BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Dalam penjelasan yang tertuang dalam bab-bab terdahulu permasalahan yang diangkat dalam penulisan skripsi ini, mencoba mengambil beberapa kesimpulan yakni : Berdasarkan uraian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Etnis Bali memiliki kebudayaan dan kebiasaan yang unik, yang mana kebudayaan

I. PENDAHULUAN. Etnis Bali memiliki kebudayaan dan kebiasaan yang unik, yang mana kebudayaan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Etnis Bali memiliki kebudayaan dan kebiasaan yang unik, yang mana kebudayaan dan kebiasaan tersebut dapat dijadikan sebagai identitas atau jatidiri mereka. Kebudayaan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pariwisata dunia, salah satu tradisi yang menarik untuk dikupas lebih lanjut adalah

BAB I PENDAHULUAN. pariwisata dunia, salah satu tradisi yang menarik untuk dikupas lebih lanjut adalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau Bali merupakan salah satu pulau yang dikenal dengan beragam tradisi yang dimilikinya. Hal tersebut menjadikan Bali memiliki daya tarik tersendiri di mata pariwisata

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bali sebagai bagian dari Kebudayaan Indonesia yang bersifat Binneka Tunggal Ika (Berbedabeda

BAB I PENDAHULUAN. Bali sebagai bagian dari Kebudayaan Indonesia yang bersifat Binneka Tunggal Ika (Berbedabeda BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Provinsi Bali merupakan salah satu provinsi yang cukup terkenal di Indonesia karena merupakan salah satu asset devisa Negara Indonesia yang cukup tinggi di bidang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu arena atau wilayah tertentu. Aktivitas sabung ayam sejatinya tidak dapat

BAB I PENDAHULUAN. suatu arena atau wilayah tertentu. Aktivitas sabung ayam sejatinya tidak dapat BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Penelitian Sabung ayam merupakan tradisi pertarungan antara dua ayam jantan pada suatu arena atau wilayah tertentu. Aktivitas sabung ayam sejatinya tidak dapat dipisahkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Fenomena perjudian bukanlah hal yang baru dalam kehidupan masyarakat, sejak dulu sampai

I. PENDAHULUAN. Fenomena perjudian bukanlah hal yang baru dalam kehidupan masyarakat, sejak dulu sampai I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Fenomena perjudian bukanlah hal yang baru dalam kehidupan masyarakat, sejak dulu sampai sekarang praktik perjudian sudah ada. Kejahatan ini banyak hal yang mempengaruhi

Lebih terperinci

sendiri diatur dalam pasak 303 ayat (3) KUHP yang berbunyi:

sendiri diatur dalam pasak 303 ayat (3) KUHP yang berbunyi: Saat ini, berbagai macam dan bentuk perjudian sudah meluas dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, baik secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi. Sebagian masyarakat memandang bahwa perjudian sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam kehidupan di masyarakat sering sekali pelanggaran terhadap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam kehidupan di masyarakat sering sekali pelanggaran terhadap BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan di masyarakat sering sekali pelanggaran terhadap norma kesusilaan dan norma hukum. Salah satu dari pelanggaran hukum yang terjadi di masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memberi petunjuk kepada manusia bagaimana ia bertindak dan bertingkah

BAB I PENDAHULUAN. memberi petunjuk kepada manusia bagaimana ia bertindak dan bertingkah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi berdampak pula pada dinamika kehidupan masyarakat. Perkembangan dalam kehidupan masyarakat terutama yang

Lebih terperinci

PERJUDIAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA

PERJUDIAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA PERJUDIAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA A. TINJAUAN UMUM TENTANG PERJUDIAN Perjudian merupakan suatu bentuk permainan yang telah lazim dikenal dan diketahui oleh setiap orang. Perjudian ini diwujudkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam kehidupan di masyarakat sering sekali terjadi pelanggaran terhadap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam kehidupan di masyarakat sering sekali terjadi pelanggaran terhadap BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan di masyarakat sering sekali terjadi pelanggaran terhadap norma kesusilaan dan norma hukum. Salah satu dari pelanggaran hukum yang terjadi di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Bab ini membahas mengenai latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, batasan masalah, metodologi penulisan dan sistematika penulisan yang mendasari penelitian.

Lebih terperinci

Kata Kunci : Penegakan Hukum Pelaku Judi Sabung Ayam

Kata Kunci : Penegakan Hukum Pelaku Judi Sabung Ayam PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PELAKU JUDI SABUNG AYAM DI POLRESTA PALU ARYA YUDHAWARMAN / D 101 10 392 Abstrak Perjudian adalah pertaruhan dengan sengaja yaitu mempertaruhkan suatu nilai atau sesuatu yang dianggap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Nullum delictun, nulla poena sine praevia lege poenali yang lebih dikenal

BAB I PENDAHULUAN. Nullum delictun, nulla poena sine praevia lege poenali yang lebih dikenal BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Suatu perbuatan hanya dapat dikenakan pidana jika perbuatan itu didahului oleh ancaman pidana dalam undang-undang. Artinya bahwa suatu perbuatan hanya dapat dikenai

Lebih terperinci

UPAYA HUKUM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA PERJUDIAN TOGEL OLEH KEPOLISIAN DI POLRESTA DENPASAR

UPAYA HUKUM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA PERJUDIAN TOGEL OLEH KEPOLISIAN DI POLRESTA DENPASAR UPAYA HUKUM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA PERJUDIAN TOGEL OLEH KEPOLISIAN DI POLRESTA DENPASAR Oleh I Ketut Adi Widhiantara I Wayan Suardana Bagian Hukum Acara Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRAK

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sosial yang sedang terjadi di masyarakat. Oleh sebab itu masyarakat

I. PENDAHULUAN. sosial yang sedang terjadi di masyarakat. Oleh sebab itu masyarakat 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai salah satu negara dengan kemajuan teknologi yang pesat, indonesia tidak terlepas dari arus informasi global yang diperlukan untuk mengetahui fenomenafenomena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan merugikan masyarakat (Bambang Waluyo, 2008: 1). dengan judi togel, yang saat ini masih marak di Kabupaten Banyumas.

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan merugikan masyarakat (Bambang Waluyo, 2008: 1). dengan judi togel, yang saat ini masih marak di Kabupaten Banyumas. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring dengan kemajuan budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), perilaku manusia di dalam hidup bermasyarakat dan bernegara justru semakin kompleks dan

Lebih terperinci

Bab XIV : Kejahatan Terhadap Kesusilaan

Bab XIV : Kejahatan Terhadap Kesusilaan Bab XIV : Kejahatan Terhadap Kesusilaan Pasal 281 Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah: 1. barang siapa dengan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA PERJUDIAN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA PERJUDIAN BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA PERJUDIAN A. Pengertian Tindak Pidana Perjudian Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), tindak pidana perjudian

Lebih terperinci

PENYELENGGARAAN TAJEN: JUDI VERSUS SARANA PEMASUKAN BAGI DESA ADAT DAN MASYARAKAT

PENYELENGGARAAN TAJEN: JUDI VERSUS SARANA PEMASUKAN BAGI DESA ADAT DAN MASYARAKAT PENYELENGGARAAN TAJEN: JUDI VERSUS SARANA PEMASUKAN BAGI DESA ADAT DAN MASYARAKAT K.Vimala Kairavani 1021005004 Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Email: vimalakairavani@ymail.com

Lebih terperinci

LAMPIRAN 1. Pedoman Wawancara

LAMPIRAN 1. Pedoman Wawancara 76 LAMPIRAN 1 Pedoman Wawancara 1. Sudah berapa lama berkecimpung dengan dunia sabung ayam? 2. Bagaimana cara membibitkan ayam jago yang baik? 3. Bagaimana cara merawat ayam jago? 4. Dari umur berapa dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan semuanya dapat tercapai apabila berpedoman pada peraturan-peraturan yang

BAB I PENDAHULUAN. dan semuanya dapat tercapai apabila berpedoman pada peraturan-peraturan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hakikat pembangunan nasional adalah pembangunan manusia Indonesia dan pembangunan masyarakat Indonesia. Pembangunan tersebut dilaksanakan oleh pemerintah dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam kehidupan masyarakat di Indonesia perjudian masih menjadi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam kehidupan masyarakat di Indonesia perjudian masih menjadi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan masyarakat di Indonesia perjudian masih menjadi permasalahan, banyaknya kasus yang ditemukan oleh aparat penegak hukum merupakan suatu bukti

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA JUDI ONLINE DI INDONESIA. 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Kitab Undang -Undang Hukum Pidana ( KUHP )

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA JUDI ONLINE DI INDONESIA. 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Kitab Undang -Undang Hukum Pidana ( KUHP ) BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA JUDI ONLINE DI INDONESIA A. Pengaturan Tindak Pidana Judi 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Kitab Undang -Undang Hukum Pidana ( KUHP ) Undang-Undang Nomor 1 Tahun

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM PIDANA TENTANG LARANGAN TERHADAP PERJUDIAN. ditanggulangi karena sudah ada sejak adanya peradaban manusia.

BAB II PENGATURAN HUKUM PIDANA TENTANG LARANGAN TERHADAP PERJUDIAN. ditanggulangi karena sudah ada sejak adanya peradaban manusia. 56 BAB II PENGATURAN HUKUM PIDANA TENTANG LARANGAN TERHADAP PERJUDIAN A. Pengertian Tindak Pidana Judi Perjudian pada hakikatnya bertentangan dengan norma agama, kesusilaan dan moral Pancasila serta membahayakan

Lebih terperinci

Dari pengertian diatas maka ada tiga unsur agar suatu perbuatan dapat dinyatakan sebagai judi. Yaitu adanya unsur :

Dari pengertian diatas maka ada tiga unsur agar suatu perbuatan dapat dinyatakan sebagai judi. Yaitu adanya unsur : 1.2. Pengertian Judi Dalam Ensiklopedia Indonesia[1] Judi diartikan sebagai suatu kegiatan pertaruhan untuk memperoleh keuntungan dari hasil suatu pertandingan, permainan atau kejadian yang hasilnya tidak

Lebih terperinci

A. Pengertian Perjudian, Pandangan Masyarakat Tentang Perjudian, Macam-macam Perjudian dan Unsur-unsur Tindak Pidana Perjudian

A. Pengertian Perjudian, Pandangan Masyarakat Tentang Perjudian, Macam-macam Perjudian dan Unsur-unsur Tindak Pidana Perjudian A. Pengertian Perjudian, Pandangan Masyarakat Tentang Perjudian, Macam-macam Perjudian dan Unsur-unsur Tindak Pidana Perjudian 1. Pengertian Perjudian Pada hakikatnya perjudian adalah bertentangan dengan

Lebih terperinci

Sabung Ayam Pada Masyarakat Bali Kuno Abad IX-XII

Sabung Ayam Pada Masyarakat Bali Kuno Abad IX-XII Sabung Ayam Pada Masyarakat Bali Kuno Abad IX-XII I Wayan Gede Saputra K.W email: widiarsagede688@yahoo.com Program Studi Arkeologi Fakultas Sastra dan Budaya Unud Abstract Cockfighting is a unique tradition

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOLAKA UTARA NOMOR 5 TAHUN 2011 T E N T A N G PELARANGAN PERJUDIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOLAKA UTARA NOMOR 5 TAHUN 2011 T E N T A N G PELARANGAN PERJUDIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOLAKA UTARA NOMOR 5 TAHUN 2011 T E N T A N G PELARANGAN PERJUDIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KOLAKA UTARA, Menimbang Mengingat : a. bahwa Daerah Kolaka Utara adalah

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP AKTIFITAS PERJUDIAN ONLINE DI INDONESIA SERTA PENGAWASAN DAN PENERAPAN SANKSI

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP AKTIFITAS PERJUDIAN ONLINE DI INDONESIA SERTA PENGAWASAN DAN PENERAPAN SANKSI TINJAUAN YURIDIS TERHADAP AKTIFITAS PERJUDIAN ONLINE DI INDONESIA SERTA PENGAWASAN DAN PENERAPAN SANKSI Oleh William Dwi K. P. Marbun I Ketut Sudjana Bagian Hukum Bisnis, Fakultas Hukum Universitas Udayana

Lebih terperinci

Bab VI : Pelanggaran Kesusilaan

Bab VI : Pelanggaran Kesusilaan Bab VI : Pelanggaran Kesusilaan Pasal 532 Diancam dengan pidana kurungan paling lama tiga hari atau pidana denda paling banyak dua ratus dua puluh lima rupiah: 1. barang siapa di muka umum menyanyikan

Lebih terperinci

Perlindungan Hukum Terhadap Animal Welfare. Oleh : Simplexius Asa Konsultan Hukum BAWA

Perlindungan Hukum Terhadap Animal Welfare. Oleh : Simplexius Asa Konsultan Hukum BAWA Perlindungan Hukum Terhadap Animal Welfare Oleh : Simplexius Asa Konsultan Hukum BAWA Tujuan : 1. Menyamakan persepsi tentang Perlindungan Hukum terhadap Animal Welfare; 2. Mendiskusikan upaya meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keragaman tradisi, karena di negeri ini dihuni oleh lebih dari 700-an suku bangsa

BAB I PENDAHULUAN. keragaman tradisi, karena di negeri ini dihuni oleh lebih dari 700-an suku bangsa 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Selain memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, Indonesia juga memiliki keragaman tradisi, karena di negeri ini dihuni oleh lebih dari 700-an suku bangsa dan sub-suku

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM POSITIF TERHADAP TINDAK PIDANA PERJUDIAN DI INDONESIA. A. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Kitab Undang-Undang

BAB II PENGATURAN HUKUM POSITIF TERHADAP TINDAK PIDANA PERJUDIAN DI INDONESIA. A. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Kitab Undang-Undang BAB II PENGATURAN HUKUM POSITIF TERHADAP TINDAK PIDANA PERJUDIAN DI INDONESIA A. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Kitab

Lebih terperinci

tulisan, gambaran atau benda yang telah diketahui isinya melanggar kesusilaan muatan yang melanggar kesusilaan

tulisan, gambaran atau benda yang telah diketahui isinya melanggar kesusilaan muatan yang melanggar kesusilaan Selain masalah HAM, hal janggal yang saya amati adalah ancaman hukumannya. Anggara sudah menulis mengenai kekhawatiran dia yang lain di dalam UU ini. Di bawah adalah perbandingan ancaman hukuman pada pasal

Lebih terperinci

KINERJA KEPOLISIAN DALAM UPAYA PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA PERJUDIAN TOGEL DI WILAYAH HUKUM KEPOLISIAN RESORT GIANYAR

KINERJA KEPOLISIAN DALAM UPAYA PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA PERJUDIAN TOGEL DI WILAYAH HUKUM KEPOLISIAN RESORT GIANYAR KINERJA KEPOLISIAN DALAM UPAYA PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA PERJUDIAN TOGEL DI WILAYAH HUKUM KEPOLISIAN RESORT GIANYAR Oleh: Ni Wayan Indah Purwita Sari. I Ketut Artadi Bagian Hukum Pidana,

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA BOGOR PERATURAN DAERAH KOTA BOGOR NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENCEGAHAN PERMAINAN JUDI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN DAERAH KOTA BOGOR PERATURAN DAERAH KOTA BOGOR NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENCEGAHAN PERMAINAN JUDI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA LEMBARAN DAERAH KOTA BOGOR TAHUN 2005 NOMOR 7 SERI E PERATURAN DAERAH KOTA BOGOR NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENCEGAHAN PERMAINAN JUDI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BOGOR, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang bersifat terang-terangan maupun secara sembunyi-sembunyi. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. yang bersifat terang-terangan maupun secara sembunyi-sembunyi. Dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada hakekatnya perjudian merupakan perbuatan yang bertentangan dengan norma agama, moral, kesusilaan maupun hukum, serta membahayakan bagi penghidupan dan kehidupan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH TINGKAT I BALI NOMOR 3 TAHUN 1991 T E N T A N G PARIWISATA BUDAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH TINGKAT I BALI NOMOR 3 TAHUN 1991 T E N T A N G PARIWISATA BUDAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH TINGKAT I BALI NOMOR 3 TAHUN 1991 T E N T A N G PARIWISATA BUDAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KEPALA DAERAH TINGKAT I BALI, Menimbang : a. bahwa kepariwisataan

Lebih terperinci

SANKSI PACAMIL DI DESA BLAHBATUH GIANYAR DITINJAU DARI PENDIDIKAN KARAKTER

SANKSI PACAMIL DI DESA BLAHBATUH GIANYAR DITINJAU DARI PENDIDIKAN KARAKTER SANKSI PACAMIL DI DESA BLAHBATUH GIANYAR DITINJAU DARI PENDIDIKAN KARAKTER Oleh : Drs. I Ketut Rindawan, SH.,MH. ketut.rindawan@gmail.com Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Dwijendra Abstrak

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1974 TENTANG PENERTIBAN PERJUDIAN DENGAN RAKHMAT TUHAN YANG MAHAESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1974 TENTANG PENERTIBAN PERJUDIAN DENGAN RAKHMAT TUHAN YANG MAHAESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1974 TENTANG PENERTIBAN PERJUDIAN DENGAN RAKHMAT TUHAN YANG MAHAESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa perjudian pada hakekatnya bertentangan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULELENG NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG KETERTIBAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULELENG,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULELENG NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG KETERTIBAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULELENG, PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULELENG NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG KETERTIBAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULELENG, Menimbang Mengingat : a. bahwa dalam rangka mewujudkan tata kehidupan Kabupaten

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar Negara Indonesia juga menjamin hak asasi manusia di

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar Negara Indonesia juga menjamin hak asasi manusia di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, telah dijelaskan bahwa negara Indonesia merupakan yang berdasarkan atas hukum dan tidak berdasarkan

Lebih terperinci

BAB II KETENTUAN TINDAK PIDANA JUDI BERDASARKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG BERLAKU DI INDONESIA

BAB II KETENTUAN TINDAK PIDANA JUDI BERDASARKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG BERLAKU DI INDONESIA BAB II KETENTUAN TINDAK PIDANA JUDI BERDASARKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG BERLAKU DI INDONESIA Penegakan hukum pidana dalam menanggulangi perjudian memiliki perjalanan yang panjang. Hal ini dikarenakan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Tinjauan tentang Ritual-ritual Keagamaan yang Menggunakan Tabuh

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Tinjauan tentang Ritual-ritual Keagamaan yang Menggunakan Tabuh II. TINJAUAN PUSTAKA A. Ritual Keagamaan Tabuh Rah dan Judi Tajen 1. Tinjauan tentang Ritual-ritual Keagamaan yang Menggunakan Tabuh Rah Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk (beraneka

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. V/No. 3/Mar/2016. KAJIAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PERJUDIAN (PENERAPAN PASAL 303, 303 BIS KUHP) 1 Oleh: Geraldy Waney 2

Lex Crimen Vol. V/No. 3/Mar/2016. KAJIAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PERJUDIAN (PENERAPAN PASAL 303, 303 BIS KUHP) 1 Oleh: Geraldy Waney 2 KAJIAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PERJUDIAN (PENERAPAN PASAL 303, 303 BIS KUHP) 1 Oleh: Geraldy Waney 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana kualifikasi tindak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Penerapan hukum dengan cara menjunjung tinggi nilai-nilai yang

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Penerapan hukum dengan cara menjunjung tinggi nilai-nilai yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara hukum, artinya segala tindakan yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia harus berdasarkan hukum yang berlaku di negara Indonesia. Penerapan hukum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Jawa Barat. Indramayu disebut dengan kota mangga karena Indramayu merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Jawa Barat. Indramayu disebut dengan kota mangga karena Indramayu merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kabupaten Indramayu adalah salah satu kabupaten yang terlatak di Provinsi Jawa Barat. Indramayu disebut dengan kota mangga karena Indramayu merupakan penghasil

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK [LN 2002/109 TLN 4235]

UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK [LN 2002/109 TLN 4235] UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK [LN 2002/109 TLN 4235] BAB XII KETENTUAN PIDANA Pasal 77 Setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindakan : a. diskriminasi terhadap anak

Lebih terperinci

PENCURIAN PRATIMA DI BALI DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ADAT

PENCURIAN PRATIMA DI BALI DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ADAT PENCURIAN PRATIMA DI BALI DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ADAT Oleh Ida Bagus Gede Angga Juniarta Anak Agung Sri Utari Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT The pratima thievery

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 3 TAHUN 2003 T E N T ANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PELACURAN DI KABUPATEN JEMBRANA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 3 TAHUN 2003 T E N T ANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PELACURAN DI KABUPATEN JEMBRANA Klik Perubahan Ke Perda 9 Tahun 2006 PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 3 TAHUN 2003 T E N T ANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PELACURAN DI KABUPATEN JEMBRANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam Undang-

II. TINJAUAN PUSTAKA. tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam Undang- 13 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban pidana memiliki makna bahwa setiap orang yang melakukan tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam

Lebih terperinci

A. LATAR BELAKANG MASALAH

A. LATAR BELAKANG MASALAH BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Pada hakekatnya perjudian merupakan perbuatan yang bertentangan dengan norma agama, moral, kesusilaan maupun hukum, serta membahayakan bagi penghidupan dan kehidupan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 9 TAHUN 2006 T E NTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 9 TAHUN 2006 T E NTANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 9 TAHUN 2006 T E NTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 3 TAHUN 2003 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PELACURAN DI KABUPATEN JEMBRANA

Lebih terperinci

BAB III KETENTUAN SANKSI TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA. PERJUDIAN DALAM UU No. 7 TAHUN A. Latar Belakang Munculnya UU No.

BAB III KETENTUAN SANKSI TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA. PERJUDIAN DALAM UU No. 7 TAHUN A. Latar Belakang Munculnya UU No. BAB III KETENTUAN SANKSI TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERJUDIAN DALAM UU No. 7 TAHUN 1974 A. Latar Belakang Munculnya UU No. 7 Tahun 1974 Perjudian di Jakarta pada Tahun 1969 menghasilkan pemasukan 2,7

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II BADUNG NOMOR 2 TAHUN 1990 TENTANG PAJAK POTONG HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II BADUNG NOMOR 2 TAHUN 1990 TENTANG PAJAK POTONG HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II BADUNG NOMOR 2 TAHUN 1990 TENTANG PAJAK POTONG HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KEPALA DAERAH TINGKAT II BADUNG Menimbang : a. bahwa kebutuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan masyarakat sehari-hari tidak akan lepas dari norma yang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan masyarakat sehari-hari tidak akan lepas dari norma yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan masyarakat sehari-hari tidak akan lepas dari norma yang berada di masyarakat. melihat hal semacam ini, apabila masing-masing anggota masyarakat

Lebih terperinci

BAB III PERJUDIAN MENURUT HUKUM POSITIF

BAB III PERJUDIAN MENURUT HUKUM POSITIF BAB III PERJUDIAN MENURUT HUKUM POSITIF 3.1. Pengertian dan Dasar Hukum Perjudian 3.1.1. Pengertian Perjudian Judi atau permainan judi atau perjudian menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah Permainan

Lebih terperinci

Muatan yang melanggar kesusilaan

Muatan yang melanggar kesusilaan SKRIPSI HUKUM PIDANA Pasal 27 Jo Pasal 45 ayat (1) UU ITE: Distribusi, membuat dapat diaksesnya konten tertentu yg Ilegal - Author: Swante Adi Pasal 27 Jo Pasal 45 ayat (1) UU ITE: Distribusi, membuat

Lebih terperinci

P U T U S A N. Nomor : 336/Pid.B/2013/PN. BJ.- DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N. Nomor : 336/Pid.B/2013/PN. BJ.- DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P U T U S A N Nomor : 336/Pid.B/2013/PN. BJ.- DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Negeri Binjai yang mengadili perkara-perkara pidana dengan acara pemeriksaan biasa pada tingkat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kepercayaan, keyakinan dan kebiasaan yang berbeda-beda,karena kebudayaan

I. PENDAHULUAN. kepercayaan, keyakinan dan kebiasaan yang berbeda-beda,karena kebudayaan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia dan kebudayaan adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan, tidak mungkin ada kebudayaan jika tidak ada manusia. Setiap kebudayaan adalah hasil dari ciptaan

Lebih terperinci

BAB I PENAHULUHAN. norma dan aturan-aturan yang berlaku di dalam masyarakat. Setiap perbutan

BAB I PENAHULUHAN. norma dan aturan-aturan yang berlaku di dalam masyarakat. Setiap perbutan BAB I PENAHULUHAN A. Latar belakang masalah Hukum merupakan salah satu bagian terpenting dalam kehidupan manusia, hukum adalah suatu norma atau aturan yang mengikat dimana setiap perbuatan selalu ada batasanya,

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. 5.1 Alasan Kehadiran Rejang Sangat Dibutuhkan dalam Ritual. Pertunjukan rejang Kuningan di Kecamatan Abang bukanlah

BAB V KESIMPULAN. 5.1 Alasan Kehadiran Rejang Sangat Dibutuhkan dalam Ritual. Pertunjukan rejang Kuningan di Kecamatan Abang bukanlah BAB V KESIMPULAN 5.1 Alasan Kehadiran Rejang Sangat Dibutuhkan dalam Ritual Kuningan Pertunjukan rejang Kuningan di Kecamatan Abang bukanlah merupakan seni pertunjukan yang biasa tetapi merupakan pertunjukan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 6 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN PELACURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 6 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN PELACURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG, PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 6 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN PELACURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG, Menimbang : a. bahwa dalam rangka usaha meningkatkan keamanan dan ketentraman

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II BADUNG NOMOR 20 TAHUN 1994 TENTANG PENGUSAHAAN DAN RETRIBUSI OBYEK WISATA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II BADUNG NOMOR 20 TAHUN 1994 TENTANG PENGUSAHAAN DAN RETRIBUSI OBYEK WISATA PERATURAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II BADUNG NOMOR 20 TAHUN 1994 TENTANG PENGUSAHAAN DAN RETRIBUSI OBYEK WISATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KEPALA DAERAH TINGKAT II BADUNG Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dijumpai di masyarakat. Karya sastra ini mengandung banyak nilai dan persoalan

BAB I PENDAHULUAN. dijumpai di masyarakat. Karya sastra ini mengandung banyak nilai dan persoalan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra tradisional yang tersimpan dalam naskah lontar banyak dijumpai di masyarakat. Karya sastra ini mengandung banyak nilai dan persoalan yang berhubungan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masing-masing wilayah negara, contohnya di Indonesia. Indonesia memiliki Hukum

I. PENDAHULUAN. masing-masing wilayah negara, contohnya di Indonesia. Indonesia memiliki Hukum I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pidana denda merupakan salah satu jenis pidana yang telah lama diterima dan diterapkan dalam sistem hukum di berbagai negara dan bangsa di dunia. Akan tetapi, pengaturan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Permasalahan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat hidup terpisah dari kelompok manusia lainnya. Dalam menjalankan kehidupannya setiap manusia membutuhkan

Lebih terperinci

SKRIPSI. Oleh : SHAFAREZA ERVIANSYAH ADHINEGARA NPM

SKRIPSI. Oleh : SHAFAREZA ERVIANSYAH ADHINEGARA NPM EFEKTIVITAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1974 TENTANG PENERTIBAN PERJUDIAN DALAM MEMBERANTAS TINDAK PIDANA PERJUDIAN DIKAITKAN DENGAN PASAL 303 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (Studi Kasus Perkara No.323/Pid.B/2010/PN.Sby.)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 Perubahan ke-4 Undang-Undang Dasar Hal ini. tindakan yang dilakukan oleh warga negara Indonesia.

I. PENDAHULUAN. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 Perubahan ke-4 Undang-Undang Dasar Hal ini. tindakan yang dilakukan oleh warga negara Indonesia. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah Negara sebagaimana diatur dalam Penjelasan Umum Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 Perubahan ke-4 Undang-Undang Dasar 1945. Hal ini menunjukkan bahwa

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 1980 TENTANG TINDAK PIDANA SUAP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 1980 TENTANG TINDAK PIDANA SUAP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 1980 TENTANG TINDAK PIDANA SUAP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa perbuatan suap dalam pelbagai bentuk

Lebih terperinci

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 2/Feb/2016. PENERTIBAN PERJUDIAN MENURUT HUKUM PIDANA INDONESIA 1 Oleh : Tessani Justishine Tarore 2

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 2/Feb/2016. PENERTIBAN PERJUDIAN MENURUT HUKUM PIDANA INDONESIA 1 Oleh : Tessani Justishine Tarore 2 PENERTIBAN PERJUDIAN MENURUT HUKUM PIDANA INDONESIA 1 Oleh : Tessani Justishine Tarore 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah substansi (materi pokok) dari Pasal 303

Lebih terperinci

P U T U S A N Nomor : 282/Pid.B/2013/PN.Bkn DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. : FARID KASMI Als FARID Bin MANSUR.

P U T U S A N Nomor : 282/Pid.B/2013/PN.Bkn DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. : FARID KASMI Als FARID Bin MANSUR. P U T U S A N Nomor : 282/Pid.B/2013/PN.Bkn DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Negeri Bangkinang yang mengadili perkara pidana pada tingkat pertama dengan acara pemeriksaan biasa

Lebih terperinci

TUGAS AGAMA DEWA YADNYA

TUGAS AGAMA DEWA YADNYA TUGAS AGAMA DEWA YADNYA NAMA ANGGOTA KELOMPOK 7 KETUT ALIT WIRA ADI KUSUMA (05) ( KETUA ) NI LUH LINA ANGGRENI (27) ( SEKETARIS ) NI LUH DIAH CITRA URMILA DEWI (14) I PUTU PARWATA (33) SMP N 2 RENDANG

Lebih terperinci

KARYA ILMIAH : KARYA SENI MONUMENTAL

KARYA ILMIAH : KARYA SENI MONUMENTAL KARYA ILMIAH : KARYA SENI MONUMENTAL JUDUL KARYA : Balinese Lamak PENCIPTA : Ni Luh Desi In Diana Sari, S.Sn.,M.Sn PAMERAN The Aesthetic Of Prasi 23 rd September 5 th October 2013 Cullity Gallery ALVA

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH (PP) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 9 TAHUN 1981 (9/1981) 14 MARET 1981 (JAKARTA) Sumber: LN 1981/10; TLN NO.

PERATURAN PEMERINTAH (PP) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 9 TAHUN 1981 (9/1981) 14 MARET 1981 (JAKARTA) Sumber: LN 1981/10; TLN NO. Bentuk: Oleh: PERATURAN PEMERINTAH (PP) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 9 TAHUN 1981 (9/1981) Tanggal: 14 MARET 1981 (JAKARTA) Sumber: LN 1981/10; TLN NO. 3192 Tentang: Indeks: PELAKSANAAN PENERTIBAN

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN Hasil PANJA 12 Juli 2006 Dokumentasi KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI Hasil Tim perumus PANJA, santika 12 Juli

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian yang mengkaji atau menganalisis fenomena di masyarakat mengenai

METODE PENELITIAN. Penelitian yang mengkaji atau menganalisis fenomena di masyarakat mengenai III. METODE PENELITIAN A. Tipe Penelitian Penelitian yang mengkaji atau menganalisis fenomena di masyarakat mengenai ritual keagamaan dan perjudian yang dilakukan oleh masyarakat etnis Bali ini menggunakan

Lebih terperinci

BAB I. khususnya yang cukup banyak terjadi di kabupaten Malang adalah perjudian. 1

BAB I. khususnya yang cukup banyak terjadi di kabupaten Malang adalah perjudian. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perjudian bukan merupakan hal baru bagi masyarakat indonesia, karena permainan judi sudah ada sejak dulu dan berkembang seiring dengan perkembangan jaman. Tindak pidana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar yang terdiri dari

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar yang terdiri dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar yang terdiri dari berbagai suku yang tersebar di seluruh pelosok tanah air. Setiap suku memiliki kebudayaan, tradisi

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Uraian Teori 2.1.1. Pengertian Tindak Pidana Penggelapan Dalam suatu tindak pidana, mengetahui secara jelas tindak pidana yang terjadi adalah suatu keharusan. Beberapa tindak

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UKDW

BAB I PENDAHULUAN UKDW BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Permasalahan Manusia pada zaman modern ini mungkin patut berbangga atas pencapaian yang telah diraih manusia hingga sampai pada saat ini dan kemajuan dalam segala

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Permasalahan

UKDW BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Permasalahan BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Permasalahan Sebagai salah satu pulau di Indonesia, Bali memiliki daya tarik yang luar biasa. Keindahan alam dan budayanya menjadikan pulau ini terkenal dan banyak

Lebih terperinci

Bab XXV : Perbuatan Curang

Bab XXV : Perbuatan Curang Bab XXV : Perbuatan Curang Pasal 378 Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat,

Lebih terperinci

Bab XXVIII : Kejahatan Jabatan

Bab XXVIII : Kejahatan Jabatan Bab XXVIII : Kejahatan Jabatan Pasal 413 Seorang komandan Angkatan Bersenjata yang menolak atau sengaja mengabaikan untuk menggunakan kekuatan di bawah perintahnya, ketika diminta oleh penguasa sipil yang

Lebih terperinci

FENOMENA PERJUDIAN DI KALANGAN PELAJAR

FENOMENA PERJUDIAN DI KALANGAN PELAJAR FENOMENA PERJUDIAN DI KALANGAN PELAJAR (Studi Terhadap Penyebab dan Dampak Judi Domino Bagi Pelajar di Nagari Padang Gelugur Kecamatan Padang Gelugur Kabupaten Pasaman) ARTIKEL ILMIAH JEFRINALDI NPM:10070009

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Belakangan ini banyak sekali ditemukan kasus-kasus tentang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Belakangan ini banyak sekali ditemukan kasus-kasus tentang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Belakangan ini banyak sekali ditemukan kasus-kasus tentang pengguguran kandungan atau aborsi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia 1, aborsi /abor.si/ berarti

Lebih terperinci

BAB IV. A. Upaya yang Dilakukan Pemerintah dan Masyarakat dalam Mencegah dan. Menanggulangi Pencemaran Air Akibat Limbah Industri Rumahan sesuai

BAB IV. A. Upaya yang Dilakukan Pemerintah dan Masyarakat dalam Mencegah dan. Menanggulangi Pencemaran Air Akibat Limbah Industri Rumahan sesuai BAB IV ANALISIS HUKUM TERHADAP PENCEMARAN AIR YANG DIAKIBATKAN OLEH LIMBAH INDUSTRI TAHU A. Upaya yang Dilakukan Pemerintah dan Masyarakat dalam Mencegah dan Menanggulangi Pencemaran Air Akibat Limbah

Lebih terperinci

P U T U S A N. Nomor : 212/ Pid. B / 2010 / PN. SKH. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N. Nomor : 212/ Pid. B / 2010 / PN. SKH. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P U T U S A N Nomor : 212/ Pid. B / 2010 / PN. SKH. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Negeri Sukoharjo yang memeriksa dan mengadili perkara perkara pidana pada tingkat pertama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perjudian adalah sebuah tindak pidana yang banyak dilakukan oleh

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perjudian adalah sebuah tindak pidana yang banyak dilakukan oleh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perjudian adalah sebuah tindak pidana yang banyak dilakukan oleh masyarakat hingga menjadi suatu hal yang dianggap sudah biasa dikalangan para pejudi. Perjudian

Lebih terperinci

P U T U S A N Nomor : 192/Pid.B/2013/PN.Bkn DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. : MUSTAKIM Bin ISMAIL

P U T U S A N Nomor : 192/Pid.B/2013/PN.Bkn DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. : MUSTAKIM Bin ISMAIL P U T U S A N Nomor : 192/Pid.B/2013/PN.Bkn DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Negeri Bangkinang yang mengadili perkara pidana pada tingkat pertama dengan acara pemeriksaan biasa

Lebih terperinci

Jenis Kelamin. Umur : tahun

Jenis Kelamin. Umur : tahun 73 Nama Alamat Jenis Kelamin Agama Pekerjaan Pendidikan : : : : Umur : tahun : :. Berilah tanda silang ( X ) pada salah satu jawaban yang saudara anggap sesuai dengan pendapat saudara, apabila jawaban

Lebih terperinci

KETENTUAN-KETENTUAN HUKUM PIDANA YANG ADA KAITANNYA DENGAN MEDIA MASSA. I. Pembocoran Rahasia Negara. Pasal 112. II. Pembocoran Rahasia Hankam Negara

KETENTUAN-KETENTUAN HUKUM PIDANA YANG ADA KAITANNYA DENGAN MEDIA MASSA. I. Pembocoran Rahasia Negara. Pasal 112. II. Pembocoran Rahasia Hankam Negara Pasal-pasal Delik Pers KETENTUAN-KETENTUAN HUKUM PIDANA YANG ADA KAITANNYA DENGAN MEDIA MASSA I. Pembocoran Rahasia Negara Pasal 112 Barang siapa dengan sengaja mengumumkan surat-surat, berita-berita atau

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI NOMOR 11 TAHUN 2001 TENTANG PERIZINAN DAN PENDAFTARAN USAHA PETERNAKAN DI KABUPATEN KUTAI

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI NOMOR 11 TAHUN 2001 TENTANG PERIZINAN DAN PENDAFTARAN USAHA PETERNAKAN DI KABUPATEN KUTAI TELAH DIUBAH/DIGANTI DENGAN PERDA NOMOR 11 TAHUN 2004 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI NOMOR 11 TAHUN 2001 TENTANG PERIZINAN DAN PENDAFTARAN USAHA PETERNAKAN DI KABUPATEN KUTAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia di dalam pergaulan hidup bermasyarakat, berbangsa dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia di dalam pergaulan hidup bermasyarakat, berbangsa dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia di dalam pergaulan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara terikat pada norma-norma yang telah disepakati baik pada tingkat nasional, regional

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 1977 TENTANG USAHA PETERNAKAN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 1977 TENTANG USAHA PETERNAKAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 1977 TENTANG USAHA PETERNAKAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA 1. bahwa dalam rangka melaksanakan pembangunan nasional

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PANDEGLANG NOMOR 56 TAHUN 2003 SERI E.5

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PANDEGLANG NOMOR 56 TAHUN 2003 SERI E.5 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PANDEGLANG NOMOR 56 TAHUN 2003 SERI E.5 PERATURAN DAERAH KABUPATEN PANDEGLANG NOMOR 16 TAHUN 2003 TENTANG PELANGGARAN KESUSILAAN, MINUMAN KERAS, PERJUDIAN, DAN PENYALAHGUNAAN

Lebih terperinci