V. HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "V. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penutupan Lahan Kota Palembang Menurut Lillesand dan Kiefer (1997), istilah penutupan lahan berkaitan dengan jenis kenampakan yang ada di permukaan bumi, seperti bangunan perkotaan, danau, dan vegetasi, sedangkan istilah penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan manusia pada bidang lahan tertentu. Menurut Lo (1995), penutupan lahan menggambarkan konstruksi lahan seluruhnya yang tampak secara langsung dari citra penginderaan jauh. Faktor penting untuk menentukan pemetaan penutupan lahan terletak pada pemilihan skema klasifikasi yang dirancang sesuai dengan tujuan penggunaan. Skema klasifikasi yang baik harus sederhana dalam penggunaan dan tidak sembarangan dalam menjelaskan setiap kategori penutupan dan penggunaan lahan. Tingkat kecermatan hasil peta berhubungan erat dengan skema klasifikasi yang mempertimbangkan skala peta akhir. Luas Kota Palembang menurut Pemerintah daerah Palembang pada tahun 1998 sebesar ha, sedangkan berdasarkan peta administrasi yang diberikan oleh Bappeda Kota Palembang luasan Kota Palembang sebesar ,69 ha. Selisih antara data tersebut dapat disebabkan oleh adanya kesalahan perhitungan pada awal pembuatan peta administrasi atau dapat juga disebabkan kesalahan dalam menentukan batas-batas wilayah dalam pembentukan peta digital Kota Palembang. Interpretasi dan analisis citra yang dilakukan dengan menggunakan Landsat 7 ETM pada dua tahun yang berbeda, yaitu pada 10 Mei 2001 dan 23 Agustus 2010 serta kombinasi band 5, band 4 dan band 3. Berdasarkan hasil interpretasi Landsat melalui metode klasifikasi terbimbing, maka wilayah Kota Palembang dapat diklasifikasikan menjadi : 1. Lahan terbangun (pemukiman, area industri, pertokoan/perdagangan, dan perkantoran) 2. Rawa 3. Semak (belukar) 4. Lahan terbuka (lahan kosong/areal proyek)

2 23 5. Sawah 6. Badan air (sungai dan danau) 7. Vegetasi rapat (taman wisata alam, tegakan sejenis, dan hutan) 8. Vegetasi jarang (kebun campuran, jalur hijau, taman dan TPU) 9. Awan 10. Bayangan awan 11. Kabut (haze) Berdasarkan hasil klasifikasi tersebut, kemudian dilakukan uji akurasi overall classification accuracy dan overall kappa statistics untuk mengetahui tingkat ketepatan klasifikasi dengan keadaan sebenarnya di lapangan. Pada tahun 2001 hasil akurasi klasifikasi tersebut berturut-turut sebesar 91,09% dan 88,59% sedangkan pada tahun 2010 sebesar 95,05% dan 93,97%. Akurasi atau ketelitian dalam klasifikasi merupakan hal penting dalam menilai hasil dari pemrosesan citra penginderaan jauh bagi suatu sistem penutupan lahan yang disusun berdasarkan data penginderaan jauh. Kriteria yang ditetapkan oleh Badan Survey Geologi Amerika Serikat (USGS) untuk tingkat ketelitian interpretasi minimum tidak kurang dari 85% dan ketelitian interpretasi untuk beberapa kategori kurang lebih sama. Apabila tingkat akurasi kappa kurang dari 85%, hal tersebut dikarenakan beberapa sebab, yaitu pengambilan data GPS yang kurang banyak atau karena perbedaan waktu/jeda antara tanggal penyiaman citra dan pengambilan data di lapangan yang berbeda. Palembang merupakan kota besar yang terus mengalami perubahan kondisi tutupan lahan. Pada penelitian ini, akuisisi citra tahun 2001 sedangkan pengambilan data GCP pada tahun 2010, telah menghasilkan nilai akurasi yang kecil. Hal tersebut dikarenakan pada periode telah terjadi banyak perubahan lahan di Kota Palembang. Penjelasan mengenai tipe tutupan lahan di Kota Palembang adalah sebagai berikut : 1. Area terbangun Area terbangun merupakan daerah yang digunakan secara intensif dan banyak lahan yang tertutup oleh bangunan. Pengklasifikasian penutupan lahan di wilayah Kota Palembang untuk tipe area terbangun meliputi, area perdagangan, area permukiman, area perkantoran, jalan raya, area industri dan perdesaan. Area

3 24 terbangun memliki kenampakan dengan ukuran yang cukup luas di bagian tengah lokasi penelitian sehingga dapat diindikasikan sebagai daerah perkotaan. Berdasarkan hasil interpretasi citra landsat 7 ETM tahun 2001 dan 2010 tipe penutupan lahan area terbangun dicirikan dengan warna merah, sedangkan dalam pengklasifikasian diberi warna merah gelap. Gambar 2 Area terbangun (permukiman) di pinggir Sungai Musi. 2. Rawa Kategori tutupan lahan rawa merupakan salah satu tipe tutupan vegetasi yang berair atau cenderung tergenang air. Daerah rawa ini biasanya dijadikan sebagai daerah resapan air. Wilayah Kota Palembang merupakan daerah dataran rendah yang memiliki daerah rawa yang cukup luas. Dari hasil interpretasi citra Landsat tahun 2001 dan 2010 kategori rawa berwarna hijau kecokelatan, sedangkan dalam pengklasifikasian diberi warna abu-abu. Gambar 3 Rawa yang ada di pinggir jalan Kecamatan Gandus. 3. Semak Tipe semak berupa rumput atau ilalang yang tumbuh liar, serta diselingi oleh tumbuhan perdu. Pada tipe ini penduduk sering membuat tegalan atau kebun-kebun kecil di tengah-tengah semak tersebut. Tegalan tersebut tidak terlalu

4 25 luas dan letaknya terpencar-pencar serta cenderung tidak beraturan. Semak di wilayah Palembang umumnya merupakan rawa yang sudah tidak berair lagi, sehingga tanahnya menjadi kering dan ditumbuhi oleh ilalang/rumput yang lama kelamaan menjadi semak. Hasil interpretasi dari citra landsat tahun 2001 dan 2010 semak tersebut berwarna hijau muda kekuningan, sedangkan dalam klasifikasi diberi warna hijau kekuningan. Gambar 4 Semak di Kecamatan Alang Alang Lebar. 4. Lahan terbuka Lahan terbuka (kosong) dalam tipe penutupan lahan ini merupakan lahan yang tidak termanfaatkan dan dalam kondisi tidak bervegetasi seperti lapangan, tanah gundul dan area tempat proyek pembangunan. Tipe penutupan lahan terbuka pada citra landsat 7 ETM tahun 2001 dan 2010 di Kota Palembang dicirikan dengan warna kuning kecokelatan, sedangkan dalam pengklasifikasiannya dicirikan dengan warna merah muda. Gambar 5 Lahan kosong di Kecamatan Ilir Barat Sawah Kelas sawah terdiri dari kelas sawah irigasi ataupun tadah hujan. Selain itu sawah juga dibedakan berdasarkan sawah yang belum ditanami dan sawah yang siap panen. Sawah yang diinterpretasi berupa sawah yang memiliki tanaman padi

5 26 dan sawah basah (belum ada tanaman padinya). Sawah pada citra landsat 7 ETM tahun 2001 dan 2010 dicirikan dengan warna biru keunguan untuk sawah (basah) dan warna hijau muda keunguan untuk sawah, sedangkan dalam pengklasifikasiannya dicirikan dengan warna biru keabuan-abuan. Gambar 6 Sawah di Kecamatan Kertapati. 6. Badan air Kategori badan air berupa sungai dan danau kecil yang ada di dalam wilayah Kota Palembang. Sungai dan danau pada landsat 7 ETM 2001 dan 2010 dicirikan dengan warna biru tua. Setelah diklasifikasikan warnanya tidak jauh berubah menjadi warna biru tua juga. Gambar 7 Sungai Musi dan Jembatan Ampera. 7. Vegetasi rapat Kategori vegetasi rapat merupakan penutupan lahan yang berupa hutan alam, perkebunan, dan tegakan sejenis yang rapat. Berdasarkan hasil interpretasi citra landsat 7 ETM tahun 2000 dan 2009 kelas ini berwarna hijau gelap, sedangkan untuk klasifikasinya digunakan warna hijau tua.

6 27 Gambar 8 Tegakan pinus TWA Punti Kayu. 8. Vegetasi jarang Tipe penutupan lahan untuk vegetasi jarang di Kota Palembang dikategorikan menjadi kebun campuran, jalur hijau, taman kota, TPU (Tempat Pemakaman Umum) dan campuran antara tanaman keras (berkayu) dan non keras (berkayu). Berdasarkan interpretasi citra landsat 7 ETM tahun 2001 dan 2010 tipe penutupan lahan untuk vegetasi jarang dicirikan dengan warna hijau muda. Dalam proses pengklasifikasian, vegetasi jarang juga dicirikan dengan warna hijau muda. Gambar 9 Taman Kota Kambang Iwak. 9. Awan Tipe ini tergolong kedalam kelas tidak ada data. Tipe ini terbentuk karena adanya pengaruh cuaca, iklim lokal pada wilayah pengambilan citra dan wilayah Indonesia yang memiliki tingkat awan yang cukup tinggi (Nurcahyono 2003). Awan pada hasil interpretasi berwarna putih, sedangkan pada hasil klasifikasi juga tetap diberi warna putih.

7 Bayangan awan Tipe ini juga merupakan tipe yang tergolong kedalam tidak ada data. Bayangan awan bisanya terbentuk karena adanya awan. Luasannya tidak begitu berbeda dengan awan. Dari hasil interpretasi bayangan awan berwarna hitam, begitu juga dengan hasil klasifikasinya. 11. Kabut Kabut tergolong ke dalam tipe tidak ada data. Pada citra landsat kabut terlihat samar-samar berwarna putih menyerupai awan. Pada kombinasi band 5,4,3 tidak terlihat adanya kabut tipis, akan tetapi pada band 6 yang diolah untuk melihat sebaran suhu, terlihat jelas ada kabut tipis pada citra. Hal tersebut berakibat pada klasifikasi suhu yang menjadi sangat rendah atau menjadi sangat tinggi Penutupan lahan Kota Palembang tahun 2001 dan 2010 Penutupan lahan wilayah Kota Palembang pada tahun 2001 berdasarkan klasifikasi Landsat 7 ETM dengan perekaman tanggal 10 Mei 2001 dapat dilihat pada Tabel 4 berikut ini : Tabel 4 Luas penutupan lahan Kota Palembang tahun 2001 No. Tutupan Lahan Luas ha % 1 Tidak ada data ,15 39,34 2 Vegetasi Rapat 8.614,17 23,38 3 Area Terbangun 5.660,19 15,37 4 Vegetasi Jarang 2.782,62 7,55 5 Rawa 2.154,96 5,85 6 Semak 1.648,44 4,47 7 Badan Air 726,03 1,97 8 Sawah 397,98 1,08 9 Lahan Terbuka 359,55 0,98 Total ,09 100,00 Data-data mengenai luasan tipe penutupan lahan per wilayah kecamatan dapat dilihat pada Lampiran 1. Berdasarkan Tabel 4, tipe tutupan lahan tidak ada

8 29 data memiliki luas sebesar ,15 ha atau sebesar 39,34% dari luas wilayah Kota Palembang. Tutupan lahan tidak ada data berada pada urutan pertama dari keseluruhan tipe penutupan di wilayah Kota Palembang. Hal ini disebabkan karena pada saat pengambilan citra/perekaman terdapat awan, bayangan awan dan kabut tipis menutupi tipe tutupan lahan lain yang ada di bawahnya. Tipe penutupan lahan yang cukup luas setelah tipe tidak ada data adalah vegetasi rapat sebesar 8.614,17 ha atau sebesar 23,38% dari luas wilayah Kota Palembang. Tipe ini memiliki luas paling besar kedua setelah kelas tidak ada data. Vegetasi rapat menyebar secara berkelompok di bagian barat, timur dan utara. Kecamatan yang memliki tutupan lahan vegetasi rapat yang paling luas adalah Kecamatan Ilir Barat I sebesar 2.247,48 ha atau 26,09% dari luas seluruh vegetasi rapat di wilayah Kota Palembang. Penutupan lahan lain yang cukup luas adalah tipe area terbangun yang memiliki luas sebesar 5.660,19 ha atau sebesar 15,37% dari luas wilayah kota Palembang. Area terbangun menyebar secara berkelompok di bagian tengah wilayah kota Palembang. Hal ini disebabkan karena pusat pemerintahan, perdagangan, pendidikan dan permukiman berada di sekitar wilayah ini. Kecamatan yang memiliki tutupan lahan area terbangun yang paling luas adalah Kecamatan Sukaramai sebesar 573,66 ha atau sebesar 10,13% dari luas keseluruhan area terbangun di Kota Palembang. Ada beberapa kecamatan yang memiliki luas area terbangun cukup besar apabila dibandingkan dengan luas wilayahnya, antara lain Kecamatan Ilir Timur 1 luas area terbangun sebesar 389,07 ha atau 66% dari luas wilayah kecamatan Ilir Timur 1. Kecamatan Ilir timur 1 merupakan pusat perdagangan kota Palembang sehingga area terbangun di wilayah ini cukup besar. Kecamatan lain yang memiliki wilayah area terbangun cukup luas ada di Kecamatan Kemuning sebesar 319,95 ha atau sebesar 45,19% dari keseluruhan wilayah Kecamatan Kemuning. Kecamatan Bukit Kecil memiliki luas area terbangun yang cukup besar juga yaitu 144,36 ha atau sebesar 58,78% dari luas wilayah kecamatan Bukit Kecil. Selain itu, Kecamatan Ilir Barat 2 juga memiliki luas area terbangun sebesar 158,49 ha atau sebesar 38,47% dari luas wilayahnya.

9 30 Tipe tutupan lahan vegetasi jarang di Kota Palembang mempunyai luas sebesar 2.782,62 ha atau sebesar 7,55% dari luas wilayah Kota Palembang. Penutupan lahan vegetasi jarang di Kota Palembang berupa kebun campur (memiliki strata tajuk yang ditumbuhi oleh berbagai jenis tanaman berkayu non hutan), jalur hijau, taman kota dan TPU (Tempat Pemakaman Umum). Tutupan lahan vegetasi jarang menyebar merata hampir di seluruh wilayah sebaran Kota Palembang. Kecamatan yang memiliki tutupan lahan vegetasi jarang yang paling luas adalah Kecamatan Sukaramai sebesar 736,74 ha atau sebesar 26,48% dari luas keseluruhan vegetasi jarang di wilayah Kota Palembang. Selain itu, kecamatan yang memiliki luas tutupan lahan vegetasi jarang yang cukup luas lainnya adalah Kecamatan Sematang Borang sebesar 349,83 ha atau sebesar 12,57% dari luas keseluruhan vegetasi rapat di wilayah Kota Palembang. Tutupan lahan rawa merupakan salah satu tipe tutupan lahan yang memiliki luas sebesar 2.154,96 ha atau sebesar 5,85% dari luas wilayah Kota Palembang. Kota Palembang memiliki wilayah rawa yang cukup luas dan tersebar di bagian barat dan timur serta di pinggir sungai Musi. Kecamatan yang memiliki luas rawa paling besar adalah Kecamatan Gandus sebesar 665,55 ha atau sebesar 30,88% dari luas keseluruhan rawa di wilayah Kota Palembang. Selain itu, Kecamatan yang memliki luas tutupan rawa yang cukup besar adalah kecamatan Kertapati yaitu sebesar 550,35 ha atau sebesar 25,53% dari luas keseluruhan rawa di Kota Palembang. Kecamatan lain hanya memiliki luas tutupan lahan rawa sekitar ha/kecamatan. Tutupan lahan semak merupakan salah satu tipe kelas penutupan lahan yang terdapat di wilayah Kota Palembang yang memiliki luas sebesar 1.648,44 ha atau sebesar 4,47% dari luas wilayah Kota Palembang. Tutupan lahan semak tersebar berkelompok di bagian utara, barat dan timur wilayah Kota Palembang. Kecamatan yang memiliki wilayah tutupan lahan semak yang paling luas adalah Kecamatan Ilir Barat 1 sebesar 277,38 ha atau sebesar 16,82% dari luas keseluruhan semak di wilayah Kota Palembang, sedangkan kecamatan lain hanya memiliki tutupan lahan semak sekitar ha/kecamatan. Tutupan lahan badan air di wilayah Kota Palembang sebagian besar merupakan Sungai Musi yang melintasi dan membelah wilayah Kota Palembang

10 31 menjadi beberapa bagian. Badan air memiliki luas sebesar 726,03 ha atau sebesar 1,97% dari luas wilayah Kota Palembang. Berdasarkan hasil interpretasi citra, kecamatan yang memiliki luasan badan air paling besar adalah Kecamatan Gandus sebesar 207,63 ha atau sebesar 28,60% dari keseluruhan badan air di Kota Palembang, sedangkan kecamatan lain hanya memiliki tutupan lahan badan air sekitar ha/kecamatan. Tutupan lahan sawah umumnya terletak di daerah yang dekat dengan rawa di wilayah Kota Palembang. Luas tutupan sawah di wilayah Kota Palembang sebesar 397,98 ha atau sebesar 1,08% dari luas wilayah Kota Palembang. Tutupan sawah juga umumnya terletak di sempadan Sungai Musi dan anak Sungai Musi. Tutupan sawah tersebar secara mengelompok di bagian selatan Kota Palembang. Kecamatan yang memiliki luas tutupan sawah yang paling luas adalah Kecamatan Kertapati sebesar 195,48 ha atau sebesar 49,11% dari luas keseluruhan sawah di Kota Palembang, sedangkan kecamatan lainnya hanya memiliki tutupan lahan sawah berkisar antara ha/kecamatan. Selain itu, terdapat juga tipe tutupan lahan berupa lahan terbuka di wilayah Kota Palembang yang memiliki wilayah yang paling kecil luasannya dibandingkan dengan jenis tutupan lahan yang lain. Tutupan lahan terbuka tersebar secara mengelompok di bagian utara dan barat wilayah Kota Palembang. Luas wilayah tutupan lahan terbuka sebesar 359,55 ha atau sebesar 0,98% dari wilayah Kota Palembang. Kecamatan yang memiliki wilayah lahan terbuka yang paling luas adalah kecamatan Sukaramai sebesar 119,70 ha atau 33,29% dari luas keseluruhan lahan terbuka di wilayah Kota Palembang. Kecamatan lain yang memiliki wilayah lahan terbuka cukup besar adalah Kecamatan Alang Alang Lebar sebesar 54,45 ha atau 15,14% dari luas keseluruhan lahan terbuka di wilayah Kota Palembang.

11 32 Gambar 10 Peta tutupan lahan Kota Palembang tahun

12 33 Penutupan lahan wilayah Kota Palembang pada tahun 2010 berdasarkan klasifikasi Landsat 7 ETM dengan penyiaman tanggal 23 Agustus 2010 disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Luas penutupan lahan Kota Palembang tahun 2010 No Tutupan Lahan Luas ha % 1 Tidak ada data ,15 39,35 2 Area Terbangun 7.068,96 19,19 3 Vegetasi Jarang 5.045,58 13,70 4 Rawa 3.481,83 9,45 5 Vegetasi Rapat 3.290,94 8,93 6 Lahan Terbuka 1.179,36 3,20 7 Badan Air 767,07 2,08 8 Semak 755,01 2,05 9 Sawah 753,03 2,04 Total ,93 100,00 Berdasarkan data pada Tabel 5, tipe penutupan lahan yang paling luas adalah tipe lahan tidak ada data sebesar ,15 ha atau sebesar 39,35% dari luas wilayah Kota Palembang. Awan, bayangan awan dan kabut pada saat perekaman citra cukup banyak tersebar sehingga menutupi tutupan lahan yang yang ada di bawahnya. Penutupan lahan lain yang cukup luas adalah tipe area terbangun yang memiliki luas sebesar 7.068,68 ha atau sebesar 19,19% dari luas wilayah Kota Palembang. Luas tutupan lahan area terbangun merupakan luas tertinggi setelah tipe lahan tidak ada data. Area terbangun cenderung menyebar hampir merata di setiap kecamatan, akan tetapi pada bagian tengah wilayah Kota Palembang tetap memiliki persentase luasan lahan terbangun yang cukup besar. Kecamatan Ilir Barat 1 memiliki luasan area terbangun terbesar, yaitu sebesar 1.201,41 ha atau 17% dari luas area terbangun di wilayah Kota Palembang. Kecamatan Sukaramai juga merupakan kecamatan yang memiliki luas area terbangun cukup luas sebesar 1.029,78 ha atau 14,56% dari luas wilayah Kota Palembang. Apabila luas area terbangun dibandingkan dengan luas wilayah kecamatan, maka kecamatan yang memiliki luasan area terbangun paling besar adalah Kecamatan Bukit Kecil

13 34 sebesar 138,33 ha atau 56,32% dari luas wilayah Kecamatan Bukit Kecil, sedangkan kecamatan lain memiliki luasan area terbangun berkisar antara ha/kecamatan. Tutupan lahan vegetasi jarang merupakan jenis tutupan lahan yang memiliki luasan cukup besar setelah area terbangun. Vegetasi jarang memiliki luas sebesar 5.045,58 ha atau 13,70% dari luas wilayah Kota Palembang. Tutupan vegetasi jarang tersebar secara berkelompok di bagian barat dan timur wilayah Kota Palembang. Vegetasi jarang umumnya merupakan vegetasi rapat yang telah dirambah dan diubah menjadi kebun campur atau menjadi area terbangun. Kecamatan lain yang memiliki luas wilayah vegetasi jarang paling besar adalah Kecamatan Alang-alang Lebar sebesar 429,66 ha atau sebesar 8,52% dari luas vegetasi rapat di Palembang. Kecamatan ini merupakan kecamatan yang baru terbentuk. Kecamatan lain yang baru terbentuk adalah Kecamatan Sematang Borang. Adanya pembentukan desa dan pembukaan lahan baru yang terus dilakukan mengakibatkan perubahan vegetasi rapat menjadi vegetasi jarang. Berdasarkan hasil interpretasi citra tahun 2010 diketahui bahwa luasan tutupan vegetasi jarang pada kecamatan ini sebesar 412,65 ha atau sebesar 8,18% dari luas vegetasi jarang di Kota Palembang. Selain itu, kecamatan lain yang memiliki luas tutupan vegetasi jarang yang cukup luas adalah Kecamatan Sako sebesar 241,38 ha atau 4,8% dari luas vegetasi jarang di Kota Palembang. Tutupan lahan rawa merupakan kelas lahan yang cukup besar di wilayah Kota Palembang. Wilayah Kota Palembang tergolong ke dalam dataran rendah karena memiliki tinggi antara 4-12 mdpl, sehingga banyak terdapat rawa. Penyebarannya di bagian selatan,barat dan timur Kota Palembang. Luas wilayah tutupan rawa sebesar 3.481,83 ha atau 9,45% dari luas wilayah Kota Palembang. Kecamatan Gandus memiliki luas wilayah tutupan rawa sebesar 806,67 ha atau sebesar 23,17% dari luas rawa di Kota Palembang. Kecamatan Gandus merupakan kecamatan yang memiliki wilayah rawa terbesar diantara kecamatan lain di wilayah Kota Palembang. Tutupan lahan vegetasi rapat merupakan kelas yang terdapat di bagian barat, timur dan utara wilayah Kota Palembang dan berkelompok di daerah pinggiran kota. Tutupan vegetasi rapat berdasarkan hasil interpretasi citra tahun

14 adalah sebesar 3.290,94 ha atau sebesar 8,93 % dari luas wilayah Kota Palembang. Kecamatan yang memiliki luas vegetasi yang paling besar adalah Kecamatan Ilir Barat 1 sebesar 950,67 ha atau 28,89% dari luas vegetasi rapat di Kota Palembang. Selain itu, Kecamatan Gandus juga memiliki luas vegetasi rapat yang cukup besar, yaitu 758,25 ha atau sebesar 23,04% dari luas vegetasi rapat di Kota Palembang. Kecamatan lain yang memiliki luas vegetasi rapat di atas 10% adalah Kecamatan Sukaramai sebesar 606,42 ha atau 18,43% dari luas vegetasi rapat di Kota Palembang. Kecamatan lainnya hanya memiliki luas vegetasi rapat kurang dari 10% luas wilayahnya. Tutupan lahan terbuka (kosong) di Kota Palembang tersebar di tiap-tiap kecamatan. Lahan terbuka ini merupakan areal proyek dan lahan kosong yang tidak digunakan serta tandus (tidak ada tumbuhan). Lahan terbuka yang paling luas berada di Kecamatan Sukaramai sebesar 223,38 ha atau 18,94% dari luas lahan terbuka di wilayah Kota Palembang. Kecamatan Alang Alang Lebar sebesar 121,59 ha atau 10,31% dari wilayah lahan terbuka di Kota Palembang, sedangkan kecamatan lain memiliki tutupan lahan terbuka sekitar ha/kecamatan. Tutupan lahan badan air di wilayah Kota Palembang berdasarkan hasil interpretasi citra ETM tahun 2010 mempunyai luas sebesar 767,07 ha atau 2,08% dari luas wilayah Kota Palembang. Kecamatan yang memiliki luas badan air terbesar adalah Kecamatan Kertapati sebesar 216,45 ha atau 28,22% dari luas badan air di Kota Palembang. Badan air berupa sungai dan danau buatan seperti yang ada di Kecamatan Ilir Barat 2. Tutupan lahan semak merupakan salah satu tipe penutupan lahan yang terdapat di wilayah Kota Palembang yang memiliki luas sebesar 755,01 ha atau sebesar 2,05% dari luas wilayah Kota Palembang. Tutupan lahan semak tersebar berkelompok di bagian utara, barat dan timur wilayah Kota Palembang. Kecamatan yang memiliki wilayah tutupan lahan semak yang paling luas adalah Kecamatan Sematang Borang sebesar 104,85 ha atau sebesar 13.89% dari luas wilayah Kecamatan Sematang Borang. Tutupan lahan sawah di Kota Palembang berdasarkan hasil interpretasi citra 7 ETM tahun 2010 mempunyai luas sebesar 753,03 ha atau 2,04 % dari luas wilayah Kota Palembang. Kecamatan yang memiliki luas wilayah sawah yang

15 36 paling besar adalah Kecamatan Kertapati sebesar 217,44 ha atau 28,88% dari luas sawah di Kota Palembang. Dalam penelitian ini dilakukan interpretasi pada sawah yang ada tanaman padinya dan sawah basah (belum ada tanaman padinya). Sawah yang ditemukan di wilayah Kertapati umumnya berbatasan dengan rawa, vegetasi rapat dan badan air.

16 37 Gambar 11 Peta tutupan lahan Kota Palembang tahun

17 Perubahan penutupan lahan Kota Palembang Berdasarkan hasil klasifikasi citra satelit Landsat 7 ETM tahun 2001 dan 2010 Kota Palembang mengalami perubahan penutupan lahan pada setiap tipe penutupan lahannya. Dalam kurun waktu dari tahun telah terjadi peningkatan dan penurunan luas wilayah penutupan lahan di Kota Palembang. Tabel 6 Perubahan penutupan lahan Kota Palembang tahun No Tutupan Lahan Perubahan Luas (ha) % Luas (ha) % Luas (ha) % 1 Tidak ada data ,15 39, ,15 39,35 0,00 0,00 2 Badan Air 726,03 1,97 767,07 2,08 41,04 5,35 3 Area Terbangun 5.660,19 15, ,96 19, ,77 22,76 4 Vegetasi Jarang 2.782,62 7, ,58 13, ,96 44,85 5 Vegetasi Rapat 8.614,17 23, ,94 8, ,13-167,80 6 Rawa 2.154,96 5, ,83 9, ,87 38,14 7 Sawah 397,98 1,08 753,03 2,04 355,11 47,16 8 Semak 1.648,44 4,47 755,01 2,05-893,43-118,33 9 Lahan Terbuka 359,55 0, ,36 3,20 819,81 69,51 Total ,93 100, ,93 100, Keterangan : (+) luas wilayah meningkat, (-) luas wilayah menurun Perubahan tersebut disebabkan karena adanya perubahan atau konversi lahan dan adanya awan yang menutupi tutupan lahan di bawahnya saat perekaman citra. Hal tersebut mempengaruhi luasan tutupan lahan lainnya. Oleh sebab itu dilakukan upaya untuk menyamakan jumlah awan (tutupan lahan tidak ada data) pada tahun 2001 dan Setelah jumlah awan tersebut sudah sama maka perhitungan luasan perubahan tutupan lahan yang didapat disajikan pada Tabel 6 dan diperlihatkan pada Gambar 16 berupa perubahan peta penutupan lahan. Peta penutupan lahan yang satu menjadi penutupan lahan lain dapat dianalisis secara visual dengan melihat peta perbandingan penutupan lahan dari kedua tahun tersebut. Selain itu, data mengenai konversi tutupan lahan menjadi tutupan lahan yang lain pada periode dapat dilihat pada Lampiran 2. Perubahan penutupan lahan yang terbesar dalam periode di Kota Palembang terjadi pada penutupan lahan vegetasi rapat, yaitu seluas 8.641,17 ha menjadi hanya sebesar 3.290,94 ha. Telah terjadi penurunan yang sangat besar selama selang waktu tersebut, yaitu sebesar 5.522,23 ha (167,80%).

18 39 Perubahan vegetasi rapat ini kemungkinan terjadi karena konversi menjadi area terbangun, area pertanian (sawah), pembukaan lahan baru (hutan), pembalakan hutan dan kebakaran hutan, sehingga tutupan lahan yang awalnya merupakan vegetasi rapat menjadi tutupan lahan berupa vegetasi jarang. Data mengenai penurunan luas vegetasi rapat per wilayah kecamatan dapat dilihat pada Gambar Luas (ha) Kecamatan Alang - Alang Lebar Kecamatan Bukit Kecil Kecamatan Gandus Kecamatan Ilir Barat 1 Kecamatan Ilir barat 2 Kecamatan Ilir Timur 1 Kecamatan Ilir timur 2 Kecamatan Kalidoni Kecamatan Kemuning Kecamatan Kertapati Kecamatan Plaju Kecamatan Sako Kecamatan Seberang Ulu 1 Kecamatan Seberang Ulu 2 Kecamatan Sematang Borang Kecamatan Sukaramai Kecamatan Gambar 12 Diagram penurunan jumlah vegetasi rapat di Kota Palembang tahun Penurunan vegetasi rapat secara tidak langsung juga meningkatkan luasan vegetasi jarang sebesar 2.262,96 ha (44,85%). Berdasarkan hasil interpretasi pada tahun 2010 sekitar 2.521,98 ha vegetasi rapat telah berubah menjadi kelas lahan vegetasi jarang. Peningkatan ini kemungkinan merupakan salah satu akibat dari pembukaan lahan baru untuk pertanian, perkebunan, kebun campur, pemukiman dan pembalakan. Selain itu, perubahan juga berasal dari area terbangun yang berubah menjadi vegetasi jarang sebesar 752,4 ha. Hal tersebut merupakan tindakan penghijauan dari Pemda dan perusahaan-perusahaan yang ada di Kota Palembang untuk menjaga lingkungan, seperti pembuatan jalur hijau dan taman kota. Data mengenai peningkatan luasan vegetasi jarang per wilayah kecamatan dapat dilihat pada Gambar 13.

19 Luas (ha) Kecamatan Gambar 13 Diagram peningkatan jumlah vegetasi jarang di Kota Palembang tahun Berdasarkan hasil interpretasi citra tahun 2001 dan 2010, kecamatan yang mengalami peningkatan luasan vegetasi jarang paling besar adalah Kecamatan Ilir Barat 1 sebesar 511,38 ha. Sebesar 1.007,91 ha luas tutupan vegetasi jarang Kecamatan Ilir Barat 1 pada tahun 2010, sekitar 61,59% merupakan konversi dari vegetasi rapat dan hanya sekitar 11,17% yang berasal dari konversi lahan terbangun seperti jalur hijau dan taman kota. Beberapa kecamatan lain yang mengalami peningkatan luasan vegetasi jarang cukup besar adalah Kecamatan Alang Alang Lebar sebesar 220,95 ha, Kecamatan Gandus sebesar 502,83 ha, Kecamatan Kalidoni 167,76 ha, dan Kecamatan Kertapati 236,34 ha. Kecamatan yang mangalami konversi peningkatan vegetasi jarang yang paling kecil adalah Kecamatan Bukit Kecil sebesar 8,55 ha. Selain vegetasi jarang yang meningkat, tutupan rawa juga meningkat. Peningkatan luas tutupan rawa sebesar 1.327,87 ha (38,14%) selama periode Berdasarkan hasil analisis citra, telah terjadi konversi tipe lahan yang cukup besar dari tutupan lahan vegetasi rapat sebesar 1.207,8 ha berubah menjadi rawa. Awalnya (2001) Kota Palembang memiliki vegetasi rapat yang cukup besar

20 41 (8.614,17 ha), namun karena terjadi pembukaan lahan baru dan kebakaran hutan yang cukup besar sekitar tahun 2005 yang menyebabkan air hujan yang awalnya dapat diserap oleh tanah dan tumbuhan sekarang tidak dapat terserap dengan baik dan menjadi genangan atau rawa. Data mengenai peningkatan rawa per wilayah kecamatan dapat dilihat pada Gambar Luas (ha) Kecamatan Gambar 14 Diagram peningkatan jumlah rawa di Kota Palembang tahun Kecamatan yang mengalami konversi peningkatan rawa yang paling besar adalah Kecamatan Ilir Barat 1 sebesar 260,55 ha. Selain itu Kecamatan Sukaramai dan Kecamatan Gandus juga mengalami peningkatan rawa yang cukup besar yang berturut-turut sebesar 235,62 ha dan 141,12 ha. Kecamatan yang mengalami perubahan luasan paling kecil adalah Kecamatan Bukit Kecil sebesar 0,36 ha. Selain itu, tipe vegetasi rapat juga terkonversi menjadi tipe area terbangun yang cukup besar, yaitu sebesar 1.999,08 ha. Banyaknya pembalakan dan pembukaan lahan baru untuk dijadikan area terbangun menjadi salah satu penyebab tingginya penurunan luasan vegetasi rapat pada tahun Data mengenai perubahan konversi tutupan lahan menjadi lahan terbangun dapat dilihat pada Tabel 7.

21 42 Tabel 7 Luasan konversi penutupan lahan menjadi area terbangun Kota Palembang periode No Tipe Tutupan Lahan Konversi Area Terbangun (ha) 1 Badan air 14,94 2 Vegetasi jarang 585,09 3 Vegetasi rapat 1.999,08 4 Rawa 311,22 5 Sawah 52,74 6 Semak 310,05 7 Lahan terbuka 170,01 Total 3.443,13 Kecamatan yang mengalami konversi vegetasi rapat menjadi area terbangun yang terbesar terdapat pada Kecamatan Ilir Barat 1, yaitu sebesar 492,3 ha. Selain itu, beberapa kecamatan lain yang memiliki tingkat konversi tutupan lahan menjadi area terbangun cukup besar adalah Kecamatan Sukaramai sebesar 427,32 ha, Kecamatan Alang Alang Lebar sebesar 257,49 ha, dan Kecamatan Gandus sebesar 276,75 ha. Kecamatan yang mengalami konversi terkecil adalah Kecamatan Bukit Kecil sebesar 3,69 ha. Kecamatan Bukit Kecil tergolong ke dalam wilayah pusat kota yang sudah padat bangunan, sehingga pertumbuhan lahan terbangunnya paling kecil, karena wilayah ini sudah padat dengan bangunan. Perubahan lahan menjadi area terbangun hampir merata di setiap kecamatan. Perubahan tersebut umumnya terjadi di daerah pinggiran Kota Palembang yang disebabkan oleh pembangunan pemukiman dengan cara membuka kawasan vegetasi rapat, sehingga mengakibatkan terjadinya penurunan luasan vegetasi rapat yang sangat besar menjadi lahan terbangun dan vegetasi jarang. Selama kurun waktu 2001 sampai 2010 Kota Palembang juga mengalami penurunan luas tutupan lahan berupa semak sebesar 893,43 ha. Konversi lahan menjadi semak yang paling besar berasal dari vegetasi rapat sebesar 250,65 ha. Selain itu, Kota Palembang juga mengalami peningkatan luas tutupan lahan berupa badan air, sawah dan lahan terbuka. Tutupan lahan yang mengalami

22 43 peningkatan luas cukup besar adalah lahan terbuka, yaitu sebesar 828,81 ha. Konversi lahan menjadi lahan terbuka yang paling besar berasal dari lahan terbangun sebesar 170,10 ha. Lahan terbuka di wilayah Kota Palembang banyak yang berasal dari Lahan terbangun yang telah dirobohkan dan siap untuk dibangun kembali.

23 44 Gambar 15 Peta tutupan lahan Kota Palembang tahun 2001 dan

24 Distribusi Suhu Permukaan Distribusi suhu permukaan Kota Palembang tahun 2001 dan 2010 Berdasarkan hasil interpretasi dan analisis citra Landsat 7 ETM pada periode tahun 2001 dan 2010 pada wilayah Kota Palembang untuk klasifikasi suhu dan hasil perhitungan luasannya dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Luasan suhu permukaan Kota Palembang periode No Suhu ( C) Luas (ha) % Luas (ha) % 1 < ,77 0,38 0,00 0, < 22 45,18 0,12 0,18 0, < ,15 0,42 5,40 0, < ,87 0,45 57,96 0, < ,84 0,68 244,53 0, < ,74 1,68 654,66 1, < ,23 2,85 636,21 1, < ,90 13, ,47 5, < ,90 25, ,00 4, < ,82 26, ,47 18, < ,39 7, ,73 17, < ,72 7, ,75 18, < ,68 4, ,13 7, < ,33 5, ,51 9, < ,82 2, ,89 6, < ,75 0, ,73 3, < 37 27,90 0, ,43 2, < 38 1,62 0,00 174,87 0, < 39 0,90 0,00 32,31 0, ,18 0,00 1,89 0,01 Total ,93 100, ,93 100,00 Keterangan : Tahun 2001 bulan Mei dan tahun 2010 bulan Agustus Berdasarkan Tabel 8 diketahui nilai-nilai suhu berdasarkan klasifikasinya dengan selang nilai suhu antara <21 sampai 39 C. Nilai suhu tersebut diperoleh dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) kota Palembang yang disesuaikan dengan waktu penyiaman citra satelit Landsat 7 ETM yang didapatkan. Dalam hal ini menurut Effendi (2007), menyatakan bahwa penggunaan data penginderaan jauh untuk menutupi kekurangan kerapatan stasiun

25 46 cuaca, dinilai mempunyai prospek yang baik untuk dikembangkan di masa-masa mendatang. Tanpa mengurangi pentingnya pengukuran secara insitu pada stasiunstasiun cuaca sebagai bahan referensi atau rujukan, yang dapat digunakan untuk mengkalibrasi atau memvalidasi model-model pendugaan berdasarkan ekstraksi data penginderaan jauh. Selain itu, berdasarkan Tabel 8 juga diketahui besaran luas wilayah distribusi spasial suhu permukaan di Kota Palembang pada dua periode yang berbeda, yaitu tahun 2001 dan Pada tahun 2001 untuk luasan wilayah terbesar nilai distribusi spasial suhu permukaan ada pada selang 29 C-30 C sebesar 9.746,82 ha (26,46%), sedangkan untuk luasan terkecil distribusi suhu ada pada 39 C sebesar 0,18 ha (0,0005%). Suhu terendah tidak dapat ditentukan karena ada awan yang mempengaruhi sehingga suhunya kurang dari 21 C sedangkan suhu tertinggi ada pada selang 39 C. Pada tahun 2010 untuk luasan wilayah terbesar nilai distribusi spasial suhu permukaan ada pada selang 31 C-32 C sebesar 6.846,75 ha atau 18,65% dari luas wilayah Kota Palembang, sedangkan untuk luasan terkecil distribusi suhu ada pada selang 21 C-22 C sebesar 0,18 ha (0,0005%). Suhu terendah tidak dapat ditentukan karena ada awan yang mempengaruhi sehingga suhunya <21 C, sedangkan suhu tertinggi ada pada selang 39 C. Distribusi suhu di Kota Palembang sebagian besar berkisar antara 27 C-37 C dengan besar distribusi tiap kelas suhu sekitar 2-18% dari luas wilayah Kota Palembang. Sebaran suhu cenderung mengelompok dan berbentuk seperti lingkaran. Pada bagian tengah Kota Palembang suhu cenderung tinggi, sedangkan pada bagian pinggiran kota suhu cenderung rendah. Hal ini disebabkan karena di bagian tengah Kota Palembang merupakan daerah dengan area terbangun yang cukup tinggi, sedangkan pada bagian pinggiran Kota Palembang masih banyak terdapat kelas lahan vegetasi. Untuk mengetahui lebih jelas mengenai sebaran suhu di Kota Palembang berdasarkan hasil interpretasi dan analisis citra landsat 7 ETM tahun 2001 dan 2010 dapat dilihat pada Gambar 16 dan 17 yang merupakan distribusi suhu udara di Kota Palembang.

26 47 Gambar 16 Peta disrtibusi suhu udara di Kota Palembang tahun

27 48 Gambar 17 Peta disrtibusi suhu permukaan di Kota Palembang tahun

28 Hubungan suhu permukaan dengan tutupan lahan Menurut Tursilowati (2006) perubahan tutupan lahan pada suatu daerah dapat merubah suhu permukaan pada daerah tersebut. Wilayah Kota Palembang memiliki tutupan lahan yang berbeda-beda dan tersebar hampir disetiap wilayah. Hal yang sama juga terjadi pada sebaran suhu yang cenderung tersebar mengikuti kelas lahan di bawahnya. Berdasarkan hasil interpretasi citra Landsat ETM tahun 2001, maka suhu dan tutupan lahan memiliki korelasi yang saling berhubungan. Pada tahun 2001 dapat dilihat pada Gambar 18 dan Lampiran 3 mengenai hubungan antara tutupan lahan dan selang sebaran suhunya. Luas (ha) Badan air Area terbangun vegetasi jarang vegetasi rapat rawa sawah semak lahan terbuka Suhu ( C) Gambar 18 Diagram hubungan antara tutupan lahan tahun 2001 dengan suhu permukaan tahun Berdasarkan Gambar 18, dapat dilihat bahwa selang suhu pada tutupan lahan bervariasi mulai dari 25 C sampai 36 C. Tutupan lahan vegetasi rapat termasuk kedalam selang suhu 25 C hingga 33 C dan luas distribusi suhu paling besar pada selang suhu 28 C-29 C sebesar 3.071,71 ha. Tutupan lahan berupa area terbangun terdistribusi pada selang 28 C-35 C dan luas distribusi suhu paling besar untuk area terbangun ada pada selang 33 C-34 C sebesar 1.212,93 ha. Beberapa tutupan lahan yang lain seperti vegetasi jarang juga tersebar antara 27 C sampai 33 C dan distribusi terbesar untuk vegetasi jarang ada pada selang 22 C-29 C sebesar 1.434,33 ha. Tutupan lahan rawa berkisar antara 27 C-31 C

29 50 dan distribusi terbesar untuk rawa ada pada selang 29 C-30 C sebesar 1.043,47 ha. Tutupan lahan semak terdistribusi antara 29 C-33 C dan distribusi terbesar untuk semak ada pada selang 28 C-29 C sebesar 1.066,5 ha. Tutupan lahan area terbuka berada pada selang 29 C-30 C sebesar 843,48 ha, sedangkan sawah berada pada selang suhu antara 27 C-30 C dan distribusi terbesar ada pada selang 28 C-29 C sebesar 164,43 ha. Sebaran suhu permukaan pada tahun 2010 juga memiliki korelasi dengan tutupan lahan tahun Hal tersebut dapat dilihat pada Gambar 19 dan Lampiran 4 yang menerangkan tentang hubungan antara tutupan lahan tahun 2010 dengan sebaran suhu permukaan tahun Luas (ha) Badan air Area terbangun vegetasi jarang vegetasi rapat rawa sawah semak lahan terbuka Suhu ( C) Gambar 19 Diagram hubungan antara tutupan lahan tahun 2010 dengan suhu permukaan tahun Berdasarkan Gambar 19, dapat dilihat bahwa selang suhu pada tutupan lahan bervariasi antara 27 C-39 C. Tutupan lahan vegetasi rapat termasuk ke dalam selang suhu 29 C-34 C dan distribusi terbesar suhu vegetasi rapat ada pada selang 30 C-31 C sebesar 1.136,7 ha. Hal tersebut hampir sama dengan tutupan lahan vegetasi jarang memiliki suhu antara 29 C-35 C dan distribusi terbesar suhu vegetasi jarang ada pada selang 30 C-31 C sebesar 1.426,95 ha, sedangkan tutupan lahan area terbangun termasuk ke dalam suhu 27 C-38 C dengan luas distribusi terbesar ada pada selang 34 C-35 C sebesar 1.066,77 ha. Tutupan lahan rawa memiliki suhu dengan rentang antara 28 C-31 C dan distribusi terbesar ada pada selang 31 C-32 C sebesar 1.283,76 ha. Selain itu, tutupan lahan semak memiliki rentang suhu antara 29 C-32 C

30 51 dan distribusi terbesar ada pada selang 30 C-31 C sebesar 284,40 ha. Tutupan lahan terbuka berada pada selang suhu antara 28 C-36 C dan distribusi terbesar ada pada selang 29 C-30 C sebesar 543,15 ha. Tutupan sawah berada pada selang suhu 27 C- 39 C dengan distribusi terbesar ada pada selang 33 C-34 C sebesar 303,66 ha. Tutupan lahan area terbangun mengalami peningkatan distribusi suhu yang cukup tinggi, mencapai 39 C dikarenakan kurangnya pohon-pohon untuk mengurangi sinar matahari secara langsung. Hal tersebut juga merupakan salah satu dampak dari semakin berkurangnya kelas vegetasi rapat. Menurut Martono (1996) menyatakan bahwa perubahan penutupan lahan memberikan pengaruh berarti (significance) terhadap iklim mikro. Pada daerah terbangun (kering) radiasi matahari akan diubah menjadi panas yang meningkatkan suhu, sedangkan pada daerah bervegetasi, radiasi akan diserap oleh permukaan daun yang digunakan untuk proses fotosintesis sehingga akan menuunkan radiasi Perubahan luasan distribusi suhu permukaan Kota Palembang Kota berpengaruh terhadap hampir setiap unsur-unsur cuaca. Kadar pencemaran berupa gas, besarnya berlipat-lipat dibandingkan dengan daerah di pedesaan Tursilowati (2006). Unsur lainnya yang terpengaruh adalah suhu, kelembaban, kecepatan angin, dan terjadinya sebaran keawanan. Pengaruh kota paling jelas adalah suhu. Bahang (heat), merupakan suatu energi yang berhubungan dengan kemampuan suatu benda untuk menaikkan suhu suatu benda yang lebih dingin. Ketika sinar matahari yang melalui atmosfer menerpa daratan, bagian yang tidak dipantulkan diubah menjadi bahang (heat) tepat pada permukaan itu dan bahang ini menaikkan suhu suatu lapisan yang sangat tipis dari tanah atau batuan, akibatnya kenaikan suhunya besar. Pada tempat-tempat di permukaan bumi yang terdiri dari air (laut, sungai dan danau), sinar dapat menembus dan diserap melalui ketebalan yang cukup besar, sehingga jumlah bahang yang sama disebarkan melalui massa yang lebih besar, akibatnya kenaikan suhu lebih kecil. Terdapat pula faktor-faktor lain yang ikut menyebabkan berkurangnya kenaikan suhu ketika sinar matahari diserap oleh permukaan air, penguapan menggunakan sebagian bahang dan gerakan air dapat menyebarkannya melalui lapisan yang bahkan lebih dalam daripada yang ditembus sinar.

31 52 Selama periode tahun , distribusi spasial suhu permukaan Kota Palembang berdasarkan perhitungan luasannya telah mengalami perubahan. Perubahan yang terjadi pada distribusi spasial suhu permukaan adalah penurunan dan peningkatan dari luasan wilayah distribusinya. Untuk perubahan luasan wilayah distribusi spasial suhu permukaan dengan hitungan persentase di kota Palembang pada tahun 2001 dan Luas (ha) < < < < < < < < < < < < < < < < < < 39 > = Suhu ( C) Gambar 20 Perubahan luasan suhu permukaan Kota Palembang tahun Berdasarkan Gambar 20, terlihat nilai suhu mengalami peningkatan dan penurunan. Distribusi spasial suhu yang mengalami peningkatan antara lain suhu dengan selang 30 C sampai 39 C. Distribusi suhu yang paling besar ada pada selang suhu 31 C-32 C sebesar 4.191,03 ha atau sebesar 11,44% dari luas wilayah Kota Palembang. Distribusi suhu yang mengalami penurunan antara lain suhu dengan selang < 21 C hingga suhu dengan selang 29 C. Distribusi suhu yang paling besar ada pada selang suhu 28 C-29 C sebesar 7.722,90 ha atau sebesar 20,95% dari luas wilayah Kota Palembang. Perubahan luas distribusi spasial suhu ini berkaitan dengan perubahan kelas lahan yang telah terjadi di Kota Palembang. Berkurangnya luasan vegetasi rapat yang telah dikonversi menjadi lahan terbangun, lahan pertanian dan areal proyek mengakibatkan berkurangnya vegetasi untuk menyerap radiasi matahari. Akibatnya terjadi peningkatan suhu permukaan di Kota Palembang. Perubahan distribusi suhu dapat dilihat secara visual pada Gambar 21.

32 53 Gambar 21 Peta distribusi suhu permukaan Kota Palembang tahun

33 Distribusi suhu permukaan per wilayah kecamatan Kota Palembang Berdasarkan hasil intepretasi dan analisis citra landsat didapatkan pengklasifikasian nilai suhu per wilayah kecamatan dan luasan distribusinya di tiap kecamatan dengan selang nilai suhu antara < 21 C sampai 39 C. Luasan distribusi suhu di tiap kecamatan dibandingkan dengan luas keseluruhan pada masing-masing kecamatan yang bersangkutan dengan satuan persentase sedangkan untuk satuan hektar (ha) terhitung melalui proses komputasi. Data perhitungan besarnya luasan distribusi spasial suhu permukaan pada masing-masing wilayah kecamatan di Kota Palembang pada periode tahun 2001 dan 2010 dapat dilihat pada lampiran 5. Pada tahun 2001 nilai suhu < 21 C hingga 25 C apabila dikorelasikan dengan tutupan lahan termasuk kedalam kelas awan, bayangan awan dan kabut. Tipe ini tidak terdistribusi di semua kecamatan yang ada di Kota Palembang. Nilai suhu ini hanya terdistribusi di 12 kecamatan, yaitu Kecamatan Gandus, Kecamatan Ilir Barat 1, Kecamatan Ilir Timur 1, Kecamatan Ilir Timur 2, Kecamatan Kalidoni, Kecamatan Kemuning, Kecamatan Sako, Kecamatan Seberang Ulu 1, Kecamatan Ulu 2, Kecamatan Sematang Borang, Kecamatan Kertapati dan Kecamatan Sukaramai. Suhu ini terbentuk karena adanya awan yang terekam saat pengambilan citra. Sebaran suhu ini berbentuk kelompokkelompok kecil dan tersebar di wilayah Kota Palembang. Distribusi terbesar dari selang suhu ini ada pada Kecamatan Ilir Barat 1 sebesar 140,85 ha atau sekitar 2,48% dari luas wilayah Kecamatan Ilir Barat 1. Suhu antara 26 C sampai 27 C terdistribusi di 15 kecamatan, antara lain Kecamatan Alang-alang Lebar, Kecamatan Gandus, Kecamatan Ilir Barat 1, Kecamatan Ilir Timur 1, Kecamatan Ilir Timur 2, Kecamatan Kalidoni, Kecamatan Kemuning, Kecamatan Kertapati, Kecamatan Plaju, Kecamatan Sako, Kecamatan Seberang Ulu 1, Kecamatan Seberang Ulu 2, Kecamatan Sematang Borang dan Kecamatan Sukaramai. Distribusi terbesar dari selang suhu ini ada pada Kecamatan Gandus sebesar 325,18 ha atau sebesar 6,51% dari luas wilayah Kecamatan Gandus. Suhu antara 27 C sampai 28 C terdistribusi di semua Kecamatan di wilayah Kota Palembang. Sebaran distrbusi pada selang suhu ini yang tebesar ada

34 55 pada Kecamatan Gandus sebesar 1.205,91 ha atau sebesar 24,90% dari luas wilayah Kecamatan Gandus. Sebaran distribusi yang terkecil ada pada Kecamatan Bukit Kecil sebesar 0,54 ha atau sebesar 0,22% dari luas wilayah Kecamatan Bukit Kecil. Suhu antara 28 C sampai 29 C terdistribusi di semua Kecamatan di wilayah Kota Palembang. Sebaran distribusi pada selang ini yang terbesar ada pada Kecamatan Gandus sebesar 1.922,04 ha atau sebesar 39,68% dari luas wilayah Kecamatan Gandus, sedangkan untuk distribusi suhu terkecil ada pada Kecamatan Bukit Kecil sebesar 1,89 ha atau sebesar 0,77% dari luas wilayah Kecamatan Bukit Kecil. Suhu antara 29 C sampai 30 C terdistribusi di semua Kecamatan di wilayah Kota Palembang. Sebaran distribusi pada selang ini yang terbesar ada pada Kecamatan Sukaramai sebesar 1.915,83 ha atau 41,45% dari wilayah Kecamatan Sukaramai. Sedangkan distribusi terkecil pada selang ini ada pada Kecamatan Ilir Timur 1 sebesar 7,38 ha atau 1,25% dari luas wilayah Kecamatan Ilir Timur 1. Suhu antara 30 C sampai 31 C terdistribusi di semua Kecamatan di wilayah Kota Palembang. Sebaran suhu pada selang ini yang terbesar ada pada Kecamatan Sukaramai sebesar 441,99 ha atau sebesar 9,56% dari luas wilayah Kecamatan Sukaramai sedangkan untuk distribusi suhu terkecil ada pada Kecamatan Bukit Kecil sebesar 6,12 ha atau sebesar 2,49% dari luas wilayah Kecamatan Bukit Kecil. Suhu antara 31 C sampai 32 C terdistribusi di semua Kecamatan di wilayah Kota Palembang. Sebaran suhu pada selang ini yang terbesar ada pada Kecamatan Ilir Timur 2 sebesar 416,43 ha atau sebesar 21,51% dari luas wilayah Kecamatan Ilir Timur 2. Sedangkan untuk distribusi suhu terkecil ada pada Kecamatan Bukit Kecil sebesar 21,87 ha atau 8,90% dari wilayah Kecamatan Bukit Kecil. Suhu antara 32 C smapai 33 C terdistribusi di semua Kecamatan di wilayah Kota Palembang. Sebaran suhu pada selang ini yang terbesar ada pada Kecamatan Ilir Timur 2 sebesar 255,78 ha atau sebesar 13,21% dari luas wilayah Kecamatan Ilir Timur 2. Sedangkan untuk distribusi terkecil ada pada Kecamatan

35 56 Sematang Borang sebesar 9 ha atau sebesar 0,34% dari luas wilayah kecamatan Sematang Borang. Suhu antara 33 C smapai 34 C terdistribusi di semua Kecamatan di wilayah Kota Palembang. Sebaran suhu pada selang ini yang terbesar ada pada Kecamatan Ilir Timur 2 Sebesar 295,47 ha atau sebsar 15,25% dari luas wilayah Kecamatan Ilir Timur 2. Sedangkan luas distribusi terkecil ada pada Kecamatan Sematang Borang sebesar 19,44 ha atau sebesar 0,73% dari luas wilayah Kecamatan Sematang Borang. Suhu antara 34 C sampai 35 C terdistribusi di semua Kecamatan di wilayah Kota Palembang. Sebaran suhu pada selang ini yang terbesar ada pada Kecamatan Ilir Timur 1 sebesar 202,68 ha atau 34,38% dari luas Kecamatan Kalidoni sedangkan untuk distribusi terkecil ada pada Kecamatan Kalidoni sebesar 3,87 ha atau 0,13% dari luas wilayah Kecamatan Kalidoni. Suhu antara 35 C sampai 36 C terdistribusi di semua Kecamatan di wilayah Kota Palembang. Sebaran suhu pada selang ini yang terbesar ada pada Kecamatan Kertapati sebesar 23,13 ha atau 0,54% dari luas wilayah Kecamatan Kertapati, sedangkan sebaran suhu terkecil ada pada Kecamatan Kalidoni sebesar 0,27 ha atau sekitar 0,13% dari luas wilayah Kecamatan Kalidoni. Suhu antara 36 C sampai 37 C terdistribusi tidak di semua Kecamatan di wilayah Kota Palembang. Sebaran suhu ini ada pada di 14 kecamatan, yaitu Kecamatan Alang Alang Lebar, Kecamatan Bukit Kecil, Kecamatan Gandus, Kecamatan Ilir Barat 1, Kecamatan Ilir Barat 2, Kecamatan Ilir Timur 1, Kecamatan Ilir Timur 2, Kecamatan Kemuning, Kecamatan Kertapati, Kecamatan Plaju, Kecamatan Sako, Kecamatan Seberang Ulu 1, Kecamatan Sematang Borang dan Kecamatan Sukaramai. Distribusi terbesar selang suhu ini ada pada wilayah Kecamatan Kertapati sebesar 10,98 ha atau 0,25% dari luas Kecamatan Kertapati. Sedangkan untuk distribusi terkecil ada pada wilayah Kecamatan Ilir Barat 1 sebesar 0,09 ha atau 0,002% dari luas wilayah Kecamatan Ilir Barat 1. Suhu antara 37 C sampai 38 C tidak tersebar di semua wilayah Kota Palembang. Nilai suhu ini hanya tersebar di tiga kecamatan yaitu Kecamatan Ilir Timur 1, Kecamatan Kertapati dan Kecamatan Seberang Ulu 1. Luas distribusi terbesar ada pada Kecamatan Kertapati sebesar 1,26 ha atau 0,03% dari luas

36 57 wilayah Kecamatan Kertapati sedangkan untuk dua kecamatan lainnya relatif memiliki luas yang sama yaitu sebesar 0,18 ha. Suhu 38 C tidak tersebar di semua wilayah Kota Palembang. Kelas suhu ini hanya tersebar di Kecamatan Kertapati. Pada selang antara 38 C sampai 39 C luas distribusinya sebesar 0,9 ha atau sebesar 0,02% dari luas wilayah Kecamatan Kertapati, sedangkan untuk selang 39 C, luas distribusinya sebesar 0,18 ha atau sebesar 0,004% dari luas wilayah Kecamatan Kertapati. Pada tahun 2010 nilai suhu di Kota Palembang berkisar antara < 21 C sampai 25 C termasuk ke dalam kelas awan, bayangan awan dan kabut. Tipe suhu ini tidak tersebar di semua wilayah Kota Palembang. Tipe ini tersebar di 15 kecamatan yaitu Kecamatan Alang Alang Lebar, Kecamatan Gandus, Kecamatan Ilir Barat 1, Kecamatan Ilir Barat 2, Kecamatan Ilir Timur 1, Kecamatan Ilir Timur 2, Kecamatan Kalidoni, Kecamatan Kemuning, Kecamatan Kertapati, Kecamatan Plaju, Kecamatan Sako, Kecamatan Seberang Ulu 1, Kecamatan Seberang Ulu 2, Kecamatan Sematang Borang dan Kecamatan Sukaramai. Distribusi terbesar ada pada wilayah Kecamatan Kalidoni sebesar 85,68 ha atau sebesar 2,84% dari luas Kecamatan Kalidoni. Suhu antara 26 C sampai 27 C tidak tersebar di seluruh wilayah Kota Palembang. Kelas suhu ini tersebar pada 15 kecamatan di wilayah Kota Palembang yaitu Kecamatan Alang Alang Lebar, Kecamatan Gandus, Kecamatan Ilir Barat 1, Kecamatan Ilir Barat 2, Kecamatan Ilir Timur 1, Kecamatan Ilir Timur 2, Kecamatan Kalidoni, Kecamatan Kemuning, Kecamatan Kertapati, Kecamatan Plaju, Kecamatan Sako, Kecamatan Seberang Ulu 1, Kecamatan Seberang Ulu 2, Kecamatan Sematang Borang, dan Kecamatan Sukaramai. Distribusi terbesar pada kelas suhu ini ada pada wilayah Kecamatan Kertapati sebesar 104,04 ha atau sebesar 2,41% dari luas wilayah Kecamatan Kertapati, sedangkan distribusi terkecil ada pada Kecamatan Ilir Timur 1 sebesar 1,17 ha atau sebesar 0,20% dari luas wilayah Kecamatan Ilir Timur 1. Suhu antara 27 C sampai 28 C tersebar di seluruh wilayah Kota Palembang. Distribusi terbesar ada pada Kecamatan Kertapati sebesar 453,87 ha atau 10,51% dari luas wilayah Kecamatan Kertapati, sedangkan distribusi terkecil

37 58 ada pada Kecamatan Ilir Timur 1 sebesar 1,53 ha atau sebesar 0,26% dari luas wilayah Kecamatan Ilir Timur 1. Suhu antara 28 C sampai 29 C tersebar di seluruh wilayah Kota Palembang. Distribusi terbesar ada pada Kecamatan Kertapati sebesar 422,01 ha atau sebesar 9,77% dari luas wilayah Kecamatan Kertapati, sedangkan distribusi terkecil ada pada Kecamatan Bukit Kecil sebesar 1,62 ha atau 0,66% dari wilayah Kecamatan Bukit Kecil. Suhu antara 29 C sampai 30 C tersebar di seluruh wilayah Kota Palembang. Distribusi terbesar ada pada Kecamatan Kertapati sebesar 1.520,64 ha atau 35,21 % dari luas wilayah Kecamatan Kertapati, sedangkan luas terkecil ada pada Kecamatan Bukit Kecil sebesar 4,77 ha atau 1,94% dari luas wilayah Kecamatan Bukit Kecil. Suhu antara 30 C sampai 31 C tersebar di seluruh wilayah Kota Palembang. Distribusi terbesar ada pada Kecamatan Ilir Barat 1 sebesar 1.418,22 ha atau 24,92% dari luas Kecamatan Ilir Barat 1, sedangkan distribusi terkecil ada pada Kecamatan Bukit Kecil sebesar 4,32 ha atau 1,94% dari luas wilayah Kecamatan Bukit Kecil. Suhu antara 31 C sampai 32 C tersebar di seluruh wilayah Kota Palembang. Distribusi terbesar ada pada Kecamatan Sukaramai sebesar 1.458,36 ha atau sebesar 31,55% dari luas wilayah Kecamatan Sukaramai. Distribusi terkecil suhu ini ada pada Kecamatan Bukit Kecil sebesar 9,81 ha atau 3,99% dari wilayah Kecamatan Bukit Kecil. Suhu antara 32 C sampai 33 C tersebar di seluruh wilayah Kota Palembang. Distribusi terbesar ada pada Kecamatan Sukaramai sebesar 678,78 ha atau 14,68% dari luas Kecamatan Sukaramai, sedangkan distribusi terkecil ada pada Kecamatan Bukit Kecil sebesar 11,61 ha atau 11,61% dari luas wilayah Kecamatan Bukit Kecil. Suhu antara 33 C sampai 34 C tersebar di seluruh wilayah Kota Palembang. Distribusi terbesar ada pada Kecamatan Sematang Borang se/besar 592,56 ha atau 12,82% dari luas wilayah Kecamatan Sematang Borang. Sedangkan distribusi terkecil ada pada Kecamatan Bukit Kecil sebesar 30,51 ha atau 12,42% dari luas wilayah Kecamatan Bukit Kecil. Suhu antara 34 C sampai 35 C tersebar di seluruh wilayah Kota Palembang. Distribusi terbesar ada pada Kecamatan Ilir Barat 1 sebesar 324,18 ha atau 5,70% dari luas Kecamatan Ilir Barat 1, sedangkan distribusi terkecil ada pada Kecamatan

38 59 Sematang Borang sebesar 13,50 ha atau 0,51% dari luas wilayah Kecamatan Sematang Borang. Suhu antara 35 C sampai 36 C tersebar di seluruh wilayah Kota Palembang. Distribusi terbesar ada pada Kecamatan Ilir Barat 1 sebesar 203,49 ha atau 3,58% dari luas Kecamatan Ilir Barat 1, sedangkan luas terkecil ada pada Kecamatan Sematang Borang sebesar 9,00 ha atau 0,34% dari luas Kecamatan Sematang Borang. Suhu antara 36 C sampai 37 C tersebar di seluruh wilayah Kota Palembang. Distribusi terbesar ada pada Kecamatan Ilir Barat 1 sebesar 201,60 ha atau 3,54% dari luas Kecamatan Ilir Barat 1, sedangkan distribusi terkecil ada pada Kecamatan Sematang Borang sebesar 14,40 ha atau 0,54% dari luas wilayah Kecamatan Sematang Borang. Suhu antara 37 C sampai 38 C tersebar di seluruh wilayah Kota Palembang. Distribusi terbesar ada pada Kecamatan Ilir Barat 1 sebesar 27,45 ha atau 0,48% dari luas wilayah Kecamatan Ilir Barat 1, sedangkan distribusi terkecil ada pada Kecamatan Plaju sebesar 1,35 ha atau 0,10% dari luas wilayah Kecamatan Plaju. Suhu antara 38 C sampai 39 C tidak tersebar di seluruh wilayah Kota Palembang. Suhu ini hanya tersebar di 13 kecamatan, yaitu Kecamatan Alang Alang Lebar, Kecamatan Bukit Kecil, Kecamatan ilir Barat 1, Kecamatan Ilir Barat 2, Kecamatan Ilir Timur 1, Kecamatan Ilir Timur 2, Kecamatan Kalidoni, Kecamatan Kemuning, Kecamatan Kertapati, Kecamatan Sako, Kecamatan Seberang Ulu 1, Kecamatan Sematang Borang dan Kecamatan Sukaramai. Distribusi terbesar ada pada Kecamatan Seberang Ulu 1 sebesar 6,75 ha atau 0,40% dari luas wilayah Kecamatan Seberang Ulu 1. Sedangkan distribusi terkecil ada pada Kecamatan Ilir Barat 2 sebesar 0,09 ha atau 0,02% dari luas wilayah Kecamatan Ilir Barat 2. Suhu 39 C hanya tersebar di lima kecamatan, yaitu Kecamatan Bukit Kecil, Kecamatan Ilir Timur 2, Kecamatan Kemuning, Kecamatan Kertapati, dan Kecamatan Kertapati. Distribusi terbesar ada pada Kecamatan Ilir Timur 2. Sedangkan distribusi terkecil ada pada Kecamatan Kemuning sebesar 0,09 ha atau 0,01% dari luas wilayah Kecamatan Kemuning.

39 Hubungan Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) dengan Suhu Permukaan Menurut Effendi (2007) bahwa kaitan NDVI dengan suhu permukaan di dapatkan hasil yang nyata, sehingga dengan mengunakan data NDVI dapat digunakan untuk menduga besarnya suhu udara. Berdasarkan hasil penelitian tersebut maka nilai NDVI yang didapat akan digunakan untuk menduga besarnya suhu udara. NDVI adalah perbedaan nilai-nilai near infrared (NIR) dan red (R) yang dapat dilihat, dinormalisasikan berdasarkan pantulan gelombang elektromagnetik (Burgan, 1993). Berkurangnya tingkat kehijauan tanaman (NDVI) akibat kegiatan konversi lahan menyebabkan terjadinya peningkatan suhu lahan, sehingga dapat meningkatkan laju evapotranspirasi. Pada Tabel 9 berikut ini merupakan hasil regresi antara suhu udara dengan NDVI. Tabel 9 Hasil regresi NDVI dan suhu permukaan No Tahun Hasil Regresi R Y = 30,68 14,90X 0, Y = X 0,854 suhu NDVI 2001 Gambar 22 Diagram Korelasi NDVI dengan suhu permukaan Kota Palembang

40 61 suhu NDVI 2010 Gambar 23 Diagram Korelasi NDVI dengan suhu permukaan Kota Palembang Menurut Dirgahayu (2007) bahwa tanaman yang memiliki tajuk rapat umumnya dapat menyerap panas lebih banyak, sehingga suhu permukaannya lebih rendah dari tanaman yang kerapatan tajuknya lebih rendah. Tanaman yang memiliki indeks vegetasi yang tinggi akan memiliki lebih banyak daun dan tingkat kehijauannya yang lebih tinggi akan memiliki indeks vegetasi yang tinggi dan cenderung memiliki suhu permukaan yang lebih rendah dibandingkan dengan tanaman yang tingkat kehijauannya lebih rendah atau lahan terbukanya lebih dominan. Untuk mengetahui sebaran nilai NDVI di Kota Palembang dapat di lihat pada Gambar 24 dan Gambar 25.

41 62 Gambar 24 Peta sebaran nilai NDVI Kota Palembang tahun

42 63 Gambar 25 Peta sebaran nilai NDVI Kota Palembang tahun

43 Distribusi Kelembaban Udara Distribusi kelembaban udara Kota Palembang Berdasarkan hasil interpretasi dan analisis citra Landsat 7 ETM pada periode tahun 2001 dan 2010 pada wilayah Kota Palembang untuk klasifikasi kelembaban dan hasil perhitungan luasannya dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10 Luasan kelembaban udara Kota Palembang periode No Kelembaban (%) Luas (ha) % Luas (ha) % 1 < 40 0,18 0,00 0,27 0, < 50 5,85 0,02 416,43 1, < ,14 3, ,42 12, < ,99 14, ,12 28, < ,95 36, ,58 46, < ,00 42, ,57 9, < ,82 3,83 957,15 2,61 Total ,93 100, ,93 100,00 Keterangan : Tahun 2001 bulan Mei dan tahun 2010 bulan Agustus Berdasarkan Tabel 10, kelembaban udara di wilayah Kota Palembang berkisar antara 40% sampai 90%. Pada tahun 2001 kelembaban dengan luas distribusi terbesar ada pada selang antara 80% sampai 90% sebesar ,00 ha atau 42,03% dari luas wilayah Kota Palembang, sedangkan luas distribusi terkecil pada tahun 2001 ada pada selang < 40% sebesar 0,18 ha atau 0,0005% dari luas wilayah Kota Palembang. Pada tahun 2010 kelembaban dengan luas distribusi terbesar ada pada selang antara 70% antara 80% sebesar ,58 ha atau 46,53% dari luas wilayah Kota Palembang. Luas distribusi terkecil pada tahun 2010 ada pada selang < 40% sebesar 0,27 ha atau 0,0007% dari luas wilayah Kota Palembang. Data kelembaban yang diperoleh dari pengukuran di lapang dan data dari BMKG digabungkan kemudian dibuat regresi liniernya untuk mengetahui pendekatan yang sesuai antara suhu dan kelembaban. Selanjutnya hasil dari regresi tersebut dikomputasi dengan peta sebaran suhu Kota Palembang untuk mengetahui peta sebaran kelembaban Kota Palembang. Hasil regresi antara suhu dan kelembaban tersebut dapat dilihat pada Tabel 12 sebagai berikut :

44 65 Tabel 11 Hasil regresi suhu udara dan kelembaban udara No Tahun Hasil Regresi R Y = 193,274 3,922 X 0, Y = 186,173 3,706 X 0,915 Berdasarkan Tabel 11 terlihat bahwa pada tahun 2010 memiliki persamaan yang paling baik dan mendekati untuk pendugaan kelas kelembaban, karena memiliki R 2 yang paling besar, yaitu 0,915 dibandingkan dengan tahun Kedua hasil regresi tersebut dapat digunakan karena R 2 berada di atas 0,5. Gambar 26 berikut ini merupakan diagram regrersi antara suhu dan kelembaban. lembab_2001 lembab_ Observed Linear Observed Linear suhu_ suhu_ Gambar 26 Diagram suhu udara dan kelembaban udara tahun 2001 dan Sebaran kelembaban udara di Kota Palembang berbentuk seperti lingkaran yang berkelompok. Pada bagian tengah Kota Palembang kelembaban cenderung rendah, sedangkan di bagian pinggiran kota, kelembaban masih cukup tinggi. Terjadi perubahan luasan distribusi kelembaban dari tahun 2001 hingga tahun Luasan kelembaban Kota Palembang sebagian besar berubah menjadi semakin rendah selama periode tahun Peta mengenai sebaran kelembaban tahun 2001 dan 2010 dapat dilihat pada Gambar 27 dan Gambar 28.

45 66 Gambar 27 Peta sebaran kelembaban udara Kota Palembang tahun

46 67 Gambar 28 Peta sebaran kelembaban udara Kota Palembang tahun

47 Hubungan kelembaban udara dengan tutupan lahan Menurut Tursilowati (2007) selain suhu, kelembaban juga memiliki korelasi dengan tutupan lahannya. Pada tutupan lahan berupa hutan memiliki kelembaban yang lebih tinggi dibandingkan dengan lahan terbuka dan lahan terbangun. Wilayah Kota Palembang memiliki tutupan lahan yang berbeda-beda di setiap wilayah, sehingga hal tersebut juga terjadi pada sebaran kelembaban yang cenderung tersebar mengikuti kelas lahan di bawahnya. Berdasarkan hasil interpretasi citra landsat ETM bulan Mei 2001, kelembaban dan tutupan lahan memiliki hubungan yang saling berkorelasi. Hal tersebut terlihat dari nilai kelembaban yang berbeda antara tutupan lahan yang satu dengan lainnya. Distribusi kelembaban pada tahun 2001 cenderung mengikuti tutupan lahan yang ada di bawahnya. Luas (ha) Badan air Area terbangun vegetasi jarang vegetasi rapat rawa sawah semak lahan terbuka Kelembaban (%) Gambar 29 Diagram hubungan kelembaban udara 2001 dengan tutupan lahan Berdasarkan Gambar 29, dapat diketahui bahwa tiap kelas lahan memiliki kelembaban yang berbeda. Sebaran kelembaban mulai dari sekitar 40% hingga 90%. Tutupan lahan berupa vegetasi rapat tersebar pada selang kelembaban 50% hingga 90%. Distribusi terbesar ada pada selang kelembaban antara 80% sampai 90% sebesar 4.717,89 ha. Hal yang sama juga terjadi pada tutupan vegetasi jarang juga memiliki selang kelembaban mulai dari 60% sampai 90%. Distribusi terbesar ada pada selang antara 80% sampai 90% sebesar 1.522,17 ha. Tutupan lahan berupa semak memiliki selang kelembaban antara 60% sampai 90%. Distribusi terbesar ada pada selang antara 80% sampai 90% sebesar 1.103,76 ha. Tutupan lahan rawa

48 69 memiliki kelembaban antara 60% sampai 90%. Distribusi terbesar ada pada selang antara 70 sampai 80% sebesar 1.082,97 ha. Tutupan lahan area terbangun memiliki sebaran kelembaban antara <40% sampai 90%. Sebaran kelembaban yang terbesar ada pada selang suhu antara 60% sampai < 70% sebesar 2.531,88 ha. Tutupan lahan sawah ada pada selang suhu antara 60% sampai 90%. Distribusi terbesar ada pada selang kelembaban 80% sampai 90% sebesar 258,48 ha. Untuk tutupan lahan terbuka memiliki sebaran kelembaban antara 60% sampai 90% dan distribusi terbesar ada pada selang antara 70% sampai 80% sebesar 266,58 ha. Berdasarkan hasil interpretasi citra landsat 7 ETM bulan Agustus tahun 2010, didapatkan hubungan kelembaban dengan tutupan lahan yang disajikan pada Gambar 30. Luas (ha) Badan air Area terbangun vegetasi jarang vegetasi rapat rawa sawah semak lahan terbuka Kelembaban (%) Gambar 30 Diagram hubungan kelembaban udara 2010 dan tutupan lahan 2010 Berdasarkan Gambar 30, dapat diketahui bahwa sebaran kelembaban Kota Palembang ada pada selang antara <40% sampai 90%. Tutupan lahan vegetasi rapat juga tersebar antara 60% sampai 90%. Distribusi terbesar ada pada selang kelembaban antara 70% sampai 80% sebesar 2.183,31 ha. Tutupan lahan vegetasi jarang memiliki distribusi kelembaban yang sama dengan vegetasi rapat dan distribusi terbesarnya juga ada pada selang antara 70% sampai 80% sebesar 3.203,37 ha. Tutupan lahan rawa memiliki distribusi kelembaban antara 40% sampai 80% dan distribusi terbesar ada pada selang kelembaban antara 70% sampai 80% sebesar 2.502,45 ha. Tutupan lahan semak memiliki sebaran antara 50-80%. Distribusi terbesarnya ada pada selang antara 70% sampai 80% sebesar 613,35 ha.

49 70 Tutupan lahan area terbangun memiliki sebaran kelembaban antara <40 sampai 90%. Distribusi terbesar ada pada selang antara 60% sampai <70% sebesar 2.565,45 ha. Tutupan lahan sawah memiliki sebaran kelembaban antara 40% sampai 80%. Distribusi terbesar ada pada selang kelembaban antara 70% sampai 80% sebesar 623,97 ha. Tutupan lahan terbuka memiliki sebaran kelembaban antara 40% sampai 90% dan distribusi terbesarnya ada pada selang antara 60% sampai 70% seluas 631,36 ha Perubahan luasan distribusi kelembaban udara Kota Palembang Selama tahun 2001 sampai tahun 2010 berdasarkan hasil intepretasi citra landsat telah terjadi perubahan sebaran kelembaban di wilayah Kota Palembang. Perubahan yang terjadi adalah peningkatan dan penurunan luasan distribusi kelembaban. Perubahan tersebut dapat dilihat pada Gambar 31 yang menunjukkan perubahan distribusi kelembaban dari tahun 2001 hingga Luas (ha) Kelembaban (%) Gambar 31 Diagram perubahan kelembaban udara periode tahun Berdasarkan Gambar 31,dapat diketahui bahwa terjadi penurunan yang sangat besar sekitar ,40 ha pada selang kelembaban antara 80% sampai 90%. Selain itu juga terjadi penurunan kelembaban pada selang kelembaban antara 90% sampai 100% sebesar 437,67 ha. Selang kelembaban lain mengalami peningkatan yang cukup besar. Peningkatan tersebut terjadi pada selang kelembaban antara 40 sampai 80%. Selang terbesar yang mengalami peningkatan ada pada selang kelembaban antara 60% sampai 70% sebesar 5.189,13 ha. Perubahan yang terjadi selama periode tersebut cenderung mengalami penurunan nilai kelembaban. Perubahan tersebut merupakan akibat dari perubahan lahan yang telah terjadi di wilayah Kota Palembang. Penurunan luasan

50 71 tutupan vegetasi rapat yang cenderung memiliki kelembaban antara 80% sampai 90% mengakibatkan penurunan luasan kelembaban pada selang kelembaban yang sama. Selain itu juga terjadi penurunan kelembaban pada tutupan lahan area terbangun. Penurunan yang terjadi adalah perubahan luasan distribusi terbesar dari selang antara 60% sampai 70% pada tahun 2001 menjadi selang antara 50% sampai 60% pada tahun Hal tersebut dapat berakibat dari peningkatan luasan area terbangun atau dapat juga karena konversi vegetasi rapat menjadi tutupan lahan lain. Kelembaban cenderung tinggi pada vegetasi rapat dan rendah pada area terbangun Distribusi kelembaban udara per wilayah kecamatan Kota Palembang Berdasarkan hasil intepretasi dan analisis citra landsat didapatkan pengklasifikasian nilai kelembaban per wilayah kecamatan dan luasan distribusinya di tiap kecamatan dengan selang nilai kelembaban antara <40% sampai <100%. Luasan distribusi kelembaban di tiap kecamatan dibandingkan dengan luas keseluruhan pada masing-masing kecamatan yang bersangkutan dengan satuan persentase sedangkan untuk satuan hektar (ha), terhitung melalui proses komputasi. Data perhitungan besarnya luasan distribusi spasial kelembaban permukaan pada masing-masing wilayah kecamatan di Kota Palembang pada periode tahun 2001 dan 2010 dapat dilihat pada Lampiran 6. Pada tahun 2001 nilai kelembaban terkecil ada pada selang < 40%. Nilai kelembaban tersebut hanya ada pada Kecamatan Kertapati sebesar 0,18 ha, sedangkan di kecamatan lain tidak ditemui nilai kelembaban pada kelas tersebut. Nilai kelembaban antara 40% sampai 50% tersebar di delapan kecamatan, yaitu Kecamatan Gandus, Kecamatan Ilir Timur 1, Kecamatan Kertapati, Kecamatan Plaju, Kecamatan Sako, Kecamatan Seberang Ulu 1, Kecamatan Sematang Borang dan Kecamatan Sukaramai. Distribusi terbesar pada kelas kelembaban ini ada pada Kecamatan Kertapati sebesar 4,50 ha atau 1,10% dari luas wilayah Kecamatan Kertapati. Nilai kelembaban antara 50% sampai 60% tersebar di semua kecamatan di wilayah Kota Palembang. Distribusi terbesar ada pada kecamatan Ilir Timur 1 sebesar 226,08 ha atau 38,35% dari luas wilayah Kecamatan Ilir Timur 1,

51 72 sedangkan untuk luas distribusi terkecil ada pada Kecamatan Kalidoni sebesar 4,14 ha atau 0,14% dari luas wilayah Kecamatan Kalidoni. Nilai kelembaban antara 60% sampai 70% tersebar di semua kecamatan di wilayah Kota Palembang. Distribusi terbesar ada pada Kecamatan Ilir Timur 2 sebesar 836,64 ha atau 43,21% dari luas wilayah Kecamatan Ilir Timur 2, sedangkan untuk distribusi terkecil ada pada Kecamatan Gandus sebesar 111,69 ha atau 2,30% dari luas wilayah Kecamatan Gandus. Nilai kelembaban antara 70% sampai 80% tersebar di semua kecamatan di wilayah Kota Palembang. Distribusi terbesar ada pada Kecamatan Sukaramai sebesar 2.498,31 ha atau 53,93% dari luas wilayah Kecamatan Sukaramai, sedangkan luas distribusi terkecil ada pada Kecamatan Bukit Kecil sebesar 13,77 ha atau 5,61% dari luas wilayah Kecamatan Bukit Kecil. Nilai kelembaban antara 80% sampai 90% tersebar di semua kecamatan di wilayah Kota Palembang. Distribusi terbesar ada pada wilayah Kecamatan Gandus sebesar 3.315,33 ha atau 68,39% dari wilayah Kecamatan Gandus, sedangkan untuk distribusi terkecil ada pada kecamatan Bukit Kecil sebesar 2,43 ha atau 0,99% dari luas wilayah Kecamatan Bukit Kecil. Nilai Kelembaban antara 90% sampai 100% tidak tersebar di semua kecamatan di wilayah Kota Palembang. Sebaran kelembaban ini hanya terdapat di 13 kecamatan, yaitu Kecamatan Gandus, Kecamatan Ilir Barat 1, Kecamatan Ilir Timur 1, Kecamatan Ilir Timur 2, Kecamatan Kalidoni, Kecamatan Kemuning, Kecamatan Kertapati, Kecamata Plaju, Kecamatan Sako, Kecamatan seberang Ulu 1, Kecamatan Seberang Ulu 2, Kecamatan Sematang Borang dan Kecamatan Sukaramai. Distribusi terbesar ada pada wilayah Kecamatan Kertapati sebesar 432,27 ha atau 9,95% dari luas wilayah Kecamatan Kertapati. Nilai Kelembaban tidak ada data merupakan nilai kelembaban di atas 100% yang tercatat pada citra landsat tahun Hal tersebut terjadi karena adanya kelas lahan berupa awan, bayangan, awan dan kabut, sehingga nilai kelembaban yang ada di bawahnya menjadi sangat tinggi. Nilai kelembaban ini tidak tersebar di semua wilayah Kota Palembang. Distribusinya hanya ada di sembilan kecamatan, yaitu Kecamatan Gandus, Kecamatan Ilir Barat 1, Kecamatan Kalidoni, Kecamatan Kertapati, Kecamatan Plaju, Kecamatan Sako, Kecamatan

52 73 Seberang Ulu 1, Kecamatan Sematang Borang dan Kecamatan Sukaramai. Distribusi terbesarnya ada pada Kecamatan Ilir Barat 1 sebesar 216,54 ha atau 3,80% dari luas wilayah Kecamatan Ilir Barat 1. Pada tahun 2010 nilai kelembaban terkecil sebesar <40%. Nilai kelembaban ini tidak terdistribusi di semua kecamatan. Sebaran kelembaban ini hanya tesebar di dua kecamatan, yaitu Kecamatan Bukit Kecil dan Kecamatan Ilir Timur 2. Untuk nilai kelembaban antara 40% sampai 50% terdistribusi di semua kecamatan di wilayah Kota Palembang. Distribusi terbesar ada pada Kecamatan Ilir Barat 1 sebesar 68,40 ha atau 1,20% dari luas wilayah Kecamatan Ilir Barat 1, sedangkan untuk distribusi terkecil ada pada Kecamatan Plaju sebesar 3,96 ha atau 0,28% dari luas wilayah Kecamatan Plaju. Nilai kelembaban antara 50% sampai 60% terdistribusi di semua kecamatan di wilayah Kota Palembang. Distribusi terbesarnya ada pada kecamatan Ilir Barat 1 sebesar 689,40 ha atau 12,09% dari luas wilayah Kecamatan Ilir Barat 1. Untuk distribusi terkecil ada pada Kecamatan Sematang Borang sebesar 32,94 ha atau 1,23% dari luas wilayah Kecamatan Sematang Borang. Nilai kelembaban antara 60% sampai 70% terdistribusi di semua kecamatan di wilayah Kota Palembang. Distribusi terbesarnya ada pada Kecamatan Sukaramai sebesar 2.239,74 ha atau 48,39% dari luas wilayah Kecamatan Sukaramai. Distribusi terkecil ada pada Kecamatan Bukit Kecil sebesar 48,87 ha atau 19,90% dari luas wilayah Kecamatan Bukit Kecil. Nilai kelembaban antara 70% sampai 80% terdistribusi di semua kecamatan di wilayah Kota Palembang. Distribusi terbesarnya ada pada Kecamatan Gandus sebesar 3140,19 ha atau 64,77% dari luas wilayah Kecamatan Gandus. Distribusi terkecil ada pada Kecamatan Bukit Kecil sebesar 13,14 ha atau 5,35% dari luas wilayah Kecamatan Bukit kecil. Nilai kelembaban antara 80% sampai 90% terdistribusi di semua kecamatan di wilayah Kota Palembang. Distribusi terbesarnya ada pada Kecamatan Kertapati sebesar 711,81 ha atau 16,38% dari luas wilayah Kecamatan Kertapati. Distribusi terkecil ada pada Kecamatan Bukit Kecil sebesar 2,43 ha atau 0,99% dari luas wilayah Kota Palembang.

53 74 Nilai kelembaban antara 90% sampai 100% tidak terdistribusi di semua wilayah Kota Palembang. Nilai kelembaban ini hanya tersebar di 15 kecamatan, yaitu Kecamatan Alang Alang Lebar, Kecamatan Gandus, Kecamatan Ilir Barat 1, Kecamatan Ilir Barat 2, Kecamatan Ilir Timur 1, Kecamatan Ilir Timur 2, Kecamatan Kalidoni, Kecamatan Kemuning, Kecamatan Kertapati, Kecamatan Plaju, Kecamatan Sako, Kecamatan Seberang Ulu 1, Kecamatan Seberang Ulu 2, Kecamatan Sematang Borang, dan Kecamatan Sukaramai. Distribusi terbesar ada pada wilayah Kecamatan Sematang Borang sebesar 142,11 ha atau 5,32% dari luas wilayah Kecamatan Sematang Borang. Nilai kelembaban untuk kelas tidak ada data juga tidak terdistribusi di semua wilayah Kota Palembang. Nilai kelembaban ini hanya tersebar di sebelas kecamatan, yaitu Kecamatan Alang Alang Lebar, Kecamatan Gandus, Kecamatan Ilir Barat 1, Ilir Timur 2, Kecamatan Kalidoni, Kecamatan Kertapati, Kecamatan Plaju, Kecamatan Sako, Kecamatan Seberang Ulu 1, Kecamatan Sematang Borang, dan Kecamatan Sukaramai. Distribusi kelembaban terbesar ada pada Kecamatan Ilir Barat 1 sebesar 115,47 ha atau 2,02% dari luas wilayah Kecamatan Ilir Barat 1. Selang nilai kelembaban ini sama seperti kelas kelembaban pada tahun 2001 yang merupakan tutupan awan,bayangan awan dan kabut.

54 Distribusi THI (Temperature Humidity Index) Kota Palembang Estimasi suhu udara dan kelembaban (RH) bisa dipakai untuk menghitung indeks kenyamanan (THI atau Temperature Humidity Index) suatu daerah. Berdasarkan hasil interpretasi citra landsat 7 ETM tahun 2001 dan 2010 di wilayah Kota Palembang, untuk klasifikasi THI dan hasil perhitungan luasannya dapat dilihat pada Tabel 12 sebagai berikut : Tabel 12 Luasan THI Kota Palembang periode No THI Luas (ha) Luas (%) Luas (ha) Luas (%) Keterangan 1 < 19 39,96 0,11 0,00 0,00 Sangat Nyaman < 20 28,35 0,08 0,00 0,00 Nyaman < 21 52,47 0,14 0,00 0,00 Nyaman < 22 37,26 0,10 0,18 0,00 Nyaman < ,94 0,33 2,61 0,01 Nyaman < ,99 0,61 60,75 0,17 Sedang < ,11 1,12 426,15 1,16 Sedang < ,50 2,41 770,22 2,10 Sedang < ,24 7, ,50 6,39 Sedang < ,65 45, ,53 9,30 Tidak Nyaman < ,63 18, ,48 23,46 Tidak Nyaman < ,41 10, ,94 27,18 Tidak Nyaman < ,04 7, ,52 14,10 Tidak Nyaman 14 >= ,14 4, ,24 16,14 Tidak Nyaman Total ,93 100, ,93 100,00 - Keterangan : Tahun 2001 bulan Mei dan tahun 2010 bulan Agustus Berdasarkan Tabel 12, dapat diketahui bahwa nilai THI di Kota Palembang berada pada selang antara <19 sampai 31. Pada tahun 2001 luas distribusi terbesar ada pada selang antara 27 sampai 28 sebesar ,65 ha atau sekitar 45,69% dari luas wilayah Kota Palembang, sedangkan pada tahun 2010 distribusi terbesar ada pada selang antara 29 sampai 30 sebesar 9.977,94 ha atau 27,18% dari luas wilayah Kota Palembang. Terjadi pergesaran distribusi nilai THI berupa peningkatan luas distribusi pada selang THI 28 sampai 31 selama periode 2001 sampai 2010.

55 Luas (ha) < < < < < < < < < < < < < 31 >= THI (Temperature Humidity Index) Gambar 32 Perubahan THI Kota Palembang periode Hasil penelitian yang telah dilakukan Mulyana et al. (2003), menyatakan bahwa indeks kenyamanan dalam kondisi nyaman berada pada kisaran THI Berdasarkan hasil intepretasi citra tahun 2001 dan 2010, Kota Palembang pada tahun tersebut hampir seluruhnya tidak masuk dalam kategori nyaman. Pada tahun 2001 sebagian besar nilai THI Kota Palembang berada pada kisaran 27-28, sedangkan pada tahun 2010 sebagian besar nilai THI Kota Palembang berada pada kisaran 28. Kategori tersebut tergolong tidak nyaman. Peta sebaran THI Kota Palembang tahun 2001 dan 2010 dapat dilihat pada Gambar 33, 34, 35 dan 36. Data mengenai luas distribusi THI per wilayah kecamatan dapat dilihat pada Lampiran 7.

56 77 Gambar 33 Peta sebaran nilai THI Kota Palembang tahun

57 78 Gambar 34 Peta sebaran nilai THI Kota Palembang tahun

58 79 Gambar 35 Peta sebaran tingkat kenyamanan Kota Palembang tahun

59 80 Gambar 36 Peta sebaran tingkat kenyamanan Kota Palembang tahun

60 Ruang Terbuka Hijau Ruang terbuka hijau Kota Palembang Menurut UU No. 26 tahun 2007, ruang terbuka adalah ruang-ruang dalam kota/wilayah yang lebih luas, baik dalam bentuk area memanjang atau jalur yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, yang pada dasarnya tanpa bangunan. Jenis ruang terbuka hijau di Kota Palembang terbagi menjadi dua tipe, yaitu tipe hijau dan tipe biru. Tipe tutupan lahan yang termasuk ke dalam ruang terbuka tipe hijau adalah taman kota, lapangan olahraga, hutan, kebun campur, perkebunan, tegalan, sawah dan kuburan, sedangkan yang termasuk ke dalam ruang terbuka tipe biru adalah sungai, rawa, kolam ikan dan danau. Sungai yang terdapat di Kota Palembang adalah Sungai Musi. Sungai ini merupakan sungai utama yang mengalir di tengah-tengah Kota Palembang. Berdasarkan analisis dan perhitungan luasan penggunaan tipe penutupan lahan untuk Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Kota Palembang pada periode tahun 2001 dan 2010 dapat diketahui kecukupan dan perubahan RTH di Kota Palembang. Data-data tersebut dapat dilihat pada Tabel 13 sebagai berikut : Tabel 13 Perubahan luasan ruang terbuka hijau Kota Palembang tahun Perubahan No Tutupan Lahan Luas (ha) % Luas (ha) % Luas (ha) % 1 Tidak ada data ,15 39, ,15 39, Ruang Terbuka Hijau ,17 42, ,39 36, ,78-14,57 3 Area Terbangun 5.660,19 15, ,96 19, ,77 24,89 4 Badan Air 726,03 1,97 767,07 2,08 41,04 5,65 5 Lahan Terbuka 359,55 0, ,36 3,20 819,81 228,01 Total ,93 100, ,93 100, Keterangan : (+) luas wilayah meningkat dan (-) luas wilayah menurun Berdasarkan hasil intepretasi dan analisis data pada Tabel 13, proporsi RTH yang berada di wilayah Kota Palembang (vegetasi rapat, vegetasi jarang, rawa, sawah, semak) yang mempunyai luasan area ,17 ha (42,34%) pada tahun 2001 menjadi hanya ,39 ha (36,18%) pada tahun Terjadi penurunan luas distribusi yang cukup besar pada RTH kota Palembang sebesar ha atau 14,57%.

61 Luas (ha) Tidak ada data Ruang Terbuka Hijau Area Terbangun Badan Air Lahan Terbuka Tutupan Lahan Gambar 37 Diagram perubahan luasan RTH periode Berdasarkan Gambar 37, tutupan lahan area terbangun mengalami peningkatan yang cukup besar. Peningkatan tersebut sebesar 24,89% dari luas area terbangun tahun Selain area terbangun tutupan lahan lain yang mengalami peningkatan adalah lahan terbuka (kosong). Peningkatan lahan terbuka sebesar 228,01%. Peningkatan ini terjadi karena banyaknya proyek pembangunan yang ada di kota Palembang. Selain itu tingginya konversi lahan dari vegetasi rapat mengakibatkan banyak lahan kosong. Hal tersebut umumnya terjadi di wilayah pinggiran Kota Palembang. Perubahan tersebut secara langsung, maupun tidak langsung juga mengakibatkan dampak negatif terhadap ekosistem kota Palembang. Dampak negatif dari segi ekologi berupa, rendahnya kualitas air tanah, tingginya polusi udara dan kebisingan di perkotaan (BPS 2009). Selain itu, tingginya frekuensi banjir pada saat hujan di Kota Palembang pada beberapa waktu belakangan ini juga diakibatkan karena terganggunya sistem tata air karena terbatasnya daerah resapan air berupa vegetasi rapat (hutan) dan tingginya volume air permukaan (run-off). Kondisi tersebut secara ekonomis juga dapat menurunkan tingkat produktivitas, dan menurunkan tingkat kesehatan serta tingkat harapan hidup masyarakat di Kota Palembang. Oleh sebab itu, perlu adanya penataan mengenai RTH yang disesuaikan antara tata ruang kota dan ekologi. Penataan mengenai luasan RTH di suatu wilayah menurut Undang- Undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang menyatakan bahwa

62 83 proporsi RTH pada wilayah kota paling sedikit adalah 30% dari luas wilayah kota. Luas RTH yang ditetapkan sebesar 30% merupakan ukuran minimal untuk menjamin keseimbangan ekosistem kota. Berdasarkan peraturan tersebut maka, Kota Palembang masih memenuhi kriteria mengenai luasan RTH, namun berdasarkan hasil penelitian ini Kota Palembang berada pada kondisi tidak nyaman. Kriteria tersebut kurang sesuai apabila diterapkan di Kota Palembang, karena perlu adanya kajian mengenai ketinggian suatu wilayah. Selama periode diketahui laju penurunan luas RTH yang terjadi pada setiap tahunnya sebesar 1,35% dari luas keseluruhan Kota Palembang. Hal ini perlu diwaspadai dan tetap mempertahankan proporsi RTH terhadap perubahan penggunaan lahan di Kota Palembang yang banyak mengkonversi lahan-lahan RTH dan bila perlu menghentikan laju perubahan yang menyebabkan berkurangya luasan RTH dalam proses pembangunan kota serta meningkatkan luasan RTH yang sudah ada. Luasan RTH yang cukup besar di Kota Palembang cenderung berada di daerah pinggiran Kota Palembang. Daerah ini masih terdapat kelas tutupan lahan berupa vegetasi jarang dengan kepadatan pemukiman sedang sampai rendah. Wilayah ini merupakan wilayah pedesaan (sub-urban) dengan aktivitas pengelolaan sumberdaya (pertanian, perkebunan dan perladangan). Kondisi ini kurang didukung dengan adanya pemeliharaan yang baik, sehingga banyak fungsi-fungsi penghijauan belum dapat dirasakan manfaatnya secara maksimal. Hal ini yang menjadi permasalahan RTH di Kota Palembang. Untuk wilayah perkotaan (urban), mempunyai aktivitas masyarakat yang berkembang dengan mengikuti kegiatan di dalam kota. Pusat kota di Kota Palembang mempunyai tingkat kepadatan pemukiman yang tinggi Hubungan suhu udara dengan ruang terbuka hijau, area terbangun dan lahan terbuka Berdasarkan UU No 26 tahun 2007 menyebutkan bahwa dalam pembangunan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Kota Palembang, salah satu yang ingin diciptakan dengan dibangunnya ruang terbuka hijau adalah untuk ameliorasi iklim mikro. Hal ini dapat dicapai dengan syarat ruang terbuka hijau memiliki

63 84 cukup banyak pohon tahunan dan luasan yang proporsional 30% dari luasan keseluruhan luas wilayahnya. Pada daerah permukiman, keberadaan ruang terbuka hijau merupakan prasarana penting yang berperan sebagai pengatur iklim lingkungan dengan memperkecil perbedaan udara panas ke kondisi sejuk dan dari kondisi lembab ke kondisi normal. Menurut Effendi (2007) bahwa RTH perkotaan diartikan sebagai bagian dari ruang-ruang terbuka suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman dan vegetasi untuk mendukung manfaat langsung dan atau tidak langsung yang dihasilkan oleh RTH dalam kota tersebut, yaitu keamanan, kenyamanan, kesejahteraan dan keindahan wilayah perkotaan. Iklim mikro berkaitan erat dengan tutupan lahannya. Berikut ini suhu rata-rata pada beberapa kelas lahan di Kota Palembang. Tabel 14 Rata-rata suhu udara pada penutupan lahan di Kota Palembang No. Tutupan Lahan Rata-rata suhu permukaan ( C) Ruang Terbuka Hijau a. vegetasi jarang 28 - < < 32 b. vegetasi rapat 28 - < < 31 c. rawa 29 - < < 32 d. sawah 28 -< < 30 e. semak 28 - < < 31 2 Lahan Terbuka 29 - < < 34 3 Area Terbangun 33 - < < 34 Berdasarkan Tabel 14 terlihat perbedaan selang suhu pada tahun 2001 dan 2006 dalam tipe penggunaan lahan yang sama. Perbedaan tersebut terjadi akibat faktor iklim dan waktu perekaman citra serta akibat terjadinya perubahan penutupan lahan. Lahan terbuka pada tahun 2001 memiliki nilai suhu permukaannya 29-<30 C, sedangkan pada tahun 2010 meningkat menjadi 33- <34 C, hal ini disebabkan karena semakin bertambahnya luasan lahan terbuka di Palembang. Pada tahun 2001 untuk tipe lahan terbuka luasannya masih sempit dan dikelilingi dengan vegetasi jarang dan semak serta jaraknya dekat, sedangkan pada tahun 2010 luasannya bertambah dan jauh dari vegetasi yang

64 85 mengelilinginya. Pohon dapat menghambat peningkatan suhu pada tutupan lahan yang ada dibawahnya. Sinar matahari tertahan oleh tajuk pohon dan menghasilkan bayangan yang suhunya lebih rendah di bagian bawah tajuk. Hal ini diperkuat dengan penelitian Purnomo (2003) yang menyatakan bahwa ada pengaruh yang signifikan bayangan pohon dan bangunan pada suhu udara. Berdasarkan hasil interpretasi dan analisis citra Landsat 7 ETM tahun 2001 dan 2010 luas RTH Kota Palembang mengalami penurunan sebesar 4.478,76 ha atau 12,16%. Sehubungan dengan hal tersebut juga terjadi peningkatan suhu permukaan rata-rata RTH Kota Palembang yang pada tahun 2001 sekitar C menjadi C. Hal tersebut terjadi karena tutupan lahan berupa vegetai rapat yang luasannya terus berkurang sebesar 7.556,76 ha sejak tahun 2001 dan sekitar 1.998,72 ha atau 26,45% dari total perubahan tersebut merupakan konversi vegetasi rapat menjadi area terbangun. Nilai suhu pada lahan lahan terbuka dan area terbangun lebih tinggi dibandingkan dengan suhu pada RTH. Hal ini menunjukkan bahwa RTH mempunyai mempunyai peran dalam pencegahan dampak dari fenomena seperti pemanasan global, UHI (Urban Heat Island) dan efek rumah kaca. Effendi (2007) menyatakan bahwa secara proporsi luasan RTH masih mempunyai potensi besar dalam hal mengurangi peningkatan suhu udara. Selain itu Effendi (2007) juga menyatakan bahwa keberadaan RTH di suatu kota sangat penting untuk dipertahankan karena setiap pengurangan RTH berakibat naiknya suhu udara dengan nilai relatif lebih besar di wilayah perkotaan dibandingkan wilayah kabupaten Ruang terbuka hijau per wilayah kecamatan Ruang Terbuka Hijau (RTH) Kota Palembang secara umum memenuhi peraturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah (UU. No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang), yaitu dengan luasan minimal 30% dari luas keseluruhan Kota Palembang. Dalam penelitian ini didapatkan hasil interpretasi dan analisis citra terhadap luasan RTH Kota Palembang pada wilayah per kecamatan pada periode yang berbeda yaitu, tahun 2001 dan Perubahan terjadi pada luasan wilayah Ruang Terbuka Hijau pada masing-masing kecamatan berdasarkan hasil analisis

65 86 dan intepretasi citra landsat 7 ETM tahun 2001 dan 2010 mengalami penurunan luasan. Hal ini berkaitan dengan perubahan lahan yang terjadi di Kota Palembang selama periode terjadi konversi kelas lahan vegetasi rapat menjadi lahan terbangun dan lahan terbuka. Tabel 15 Alih fungsi Ruang Terbuka Hijau (RTH) Kota Palembang No Alih Fungsi Ruang Terbuka Hijau Kota Palembang Luas (ha) 1 Area Terbangun 3.258,82 2 Lahan terbuka 661,68 Berdasarkan Undang-Undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang untuk proporsi luasan minimal ruang terbuka hijau sebesar 30%, jika diberlakukan penetapan ini untuk tiap-tiap luasan kecamatan ternyata ada beberapa wilayah kecamatan di Kota Palembang yang tidak memenuhi kriteria luasan minimal tersebut. Pada tahun 2001 kecamatan yang tidak memenuhi kriteria tersebut antara lain, Kecamatan Bukit Kecil, Kecamatan Ilir Barat 2, Kecamatan Ilir Timur 1, Kecamatan Ilir Timur 2, Kecamatan Kemuning, Kecamatan Plaju, Kecamatan Seberang Ulu 1 dan Kecamatan Seberang Ulu 2. Untuk Kecamatan yang memiliki luas RTH paling kecil adalah kecamatan Bukit Kecil sebesar 9,09 ha atau 3,70% dari luas wilayah Kecamatan Bukit Kecil, sedangkan untuk kecamatan yang memiliki luas paling besar adalah Kecamatan Ilir Barat 1 sebesar 3.467,88 ha atau 60,95% dari luas wilayah Kecamatan Ilir Barat 1. Pada tahun 2010, kecamatan yang memiliki RTH di bawah 30% dari delapan kecamatan pada tahun 2001 menjadi sembilan kecamatan pada tahun Kecamatan tersebut antara lain, Kecamatan Bukit Kecil, Kecamatan Ilir Barat 2, Kecamatan Ilir Timur 1, Kecamatan Ilir Timur 2, Kecamatan Kemuning, Kecamatan Plaju, Kecamatan Sako, Kecamatan Seberang Ulu 1 dan Kecamatan Seberang Ulu 2. Untuk kecamatan yang memiliki luas RTH terkecil adalah Kecamatan Bukit Kecil sebesar 11,16 ha atau 4,54% dari luas wilayah Kecamatan Bukit Kecil. Terjadi penurunan luasan RTH sebesar 2,79 ha di Kecamatan Bukit Kecil selama periode Distribusi terbesar ada pada Kecamatan Ilir Barat 1 sebesar ha atau 50,69% dari luas wilayah Kecamatan Ilir Barat 1. Sama halnya seperti kecamatan lainnya, walaupun memiliki luas RTH yang

66 87 paling luas, akan tetapi Kecamatan Ilir Barat 1 juga mengalami penurunan RTH selama periode sebesar 582,57 ha. Apabila dilihat dari kondisi luas wilayah perkecamatan yang cukup kecil dibandingkan dengan kepadatan bangunan, maka tidak memungkinkan adanya cadangan ruang terbuka sebagai pengembangan ruang terbuka hijau untuk memenuhi kekurangan luasan RTH pada masing-masing kecamatan. Berdasarkan rencana besaran persentase luasan minimal ruang terbuka hijau, maka dilakukan pengembangan dengan mengoptimalkan dari pekarangan lahan terbangun, sabuk hijau (Green Belt), jalur hijau jalan, pembangunan secara vertikal dan roof garden. Wilayah kecamatan dengan luas Ruang Terbuka Hijau yang memenuhi proporsi 30% sebagai luasan minimal, tindakan yang dapat dilakukan oleh pemerintah daerah Kota Palembang adalah tetap mempertahankan potensi ruang terbuka dan RTH yang telah ditetapkan. Data mengenai luas distribusi RTH, THI, suhu dan Kelembaban pada tiap Kecamatan di Kota Palembang pada periode dapat dilihat pada Tabel 16.

67 88 Tabel 16. Distribusi suhu, kelembaban, THI, dan NDVI rata-rata serta perubahan luas ruang terbuka hijau per wilayah kecamatan Kota Palembang periode Luas wilayah (ha) Ket Suhu ( C) RH (%) THI NDVI RTH (ha) RTH (%) No. Kecamatan (*) 1 Alang Alang Lebar 2.315, , ,33 51,06 2 Bukit Kecil 245, ,27 sampai -0,21 9,09 3,70-3 Gandus 4.843, , ,22 59,75 4 Ilir Barat , , ,88 60,95 5 Ilir Barat 2 411, ,15 sampai -0,08 37,80 9,17-6 Ilir Timur 1 589, ,38 sampai -0,27 24,39 4,14-7 Ilir Timur , ,27 sampai -0,21 259,47 13,40-8 Kalidoni 3.021, ,08 0,25 931,50 30,85 9 Kemuning 707, ,27 sampai -0,21 97,29 13,74-10 Kertapati 4.319, ,02 0, ,60 36,10 11 Plaju 1.415, ,02 0,08 392,40 27,70-12 Sako 1.685, ,08 0,25 605,61 35,85 13 Seberang Ulu , ,02 0,08 217,17 12,74-14 Seberang Ulu 2 982, ,02 0,08 221,67 22,56-15 Sematang Borang 2.666, ,08 0, ,22 47,47 16 Sukaramai 4.622, ,08 0, ,57 53,10 88

68 89 Tabel 16 Lanjutan No. Kecamatan 2010 Perubahan Ket (*) Suhu ( C) RH (%) THI NDVI RTH (ha) RTH (%) Luas (ha) Luas (%) 1 Alang Alang Lebar ,02 0,08 935,10 40,38-247,23-20,91 2 Bukit Kecil ,27 sampai -0,21 7,16 2, ,07-22,77 3 Gandus , ,24 52,29-361,98-12,51 4 Ilir Barat , ,31 50,69-582,57-16,80 5 Ilir Barat ,27 sampai -0,21 37,71 9, ,09-0,24 6 Ilir Timur ,38 sampai -0,27 27,63 4,69-3,24 13,28 7 Ilir Timur ,27 sampai -0,21 251,19 12, ,28-3,19 8 Kalidoni ,08 0,25 911,25 30,19-20,25-2,17 9 Kemuning ,21 sampai -0,15 87,39 12, ,90-10,18 10 Kertapati ,02 0, ,75 32,89-140,85-9,03 11 Plaju ,08 0,02 360,63 25, ,77-8,10 12 Sako ,08 0,25 481,95 28, ,66-20,42 13 Seberang Ulu ,27 sampai -0,21 211,68 12, ,49-2,53 14 Seberang Ulu ,27 sampai -0,21 201,15 20, ,52-9,26 15 Sematang Borang ,08 0, ,93 41,43-160,29-12,67 16 Sukaramai ,02 0, ,33 40,96-561,24-22,87 Keterangan : Suhu, THI, RH, dan NDVI merupakan kelas yang memiliki distribusi paling luas pada wilayah kecamatan * ( ) Memenuhi dan (-) Tidak Memenuhi berdasarkan UU. No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang (-) Luasan Berkurang, (+) Luasan Bertambah 89

69 90 Gambar 38 Peta ruang terbuka hijau Kota Palembang tahun

70 91 Gambar 39 Peta ruang terbuka hijau Kota Palembang tahun

71 Bentuk perkembangan Kota Palembang periode Berdasarkan hasil analisis dan interpretasi citra Landsat 7 ETM tahun 2001 dan 2010, Kota Palembang memiliki bentuk dan struktur tata ruang kota yang berkembang dari arah tengah kota menuju ke arah pinggiran kota. Adapun bentuk pertumbuhan Kota Palembang antara lain : 1. Pusat kota terkonsentrasi pada Seberang Ilir dan sebagian Seberang Ulu di sempadan Sungai Musi (Jembatan Ampera) 2. Pertumbuhan tahap pertama Kota Palembang dimulai di Pusat Kota (Kecamatan Bukit Kecil, Kecamatan Ilir Timur 1, Kecamatan Seberang Ulu 1 dan Kecamatan Seberang Ulu 2). Hal ini terlihat dari rendahnya RTH yang luasnya di bawah 30% dari luas wilayahnya dan tingginya area terbangun pada daerah tersebut. 3. Pertumbuhan kota cenderung bergerak sepanjang sempadan sungai Musi dan menyebar. Hal tersebut terlihat dari hasil citra yang menunjukkan bahwa di pinggiran sungai Musi berwarna kemerahan. 4. Terjadi pergerakan kawasan terbangun ke luar pusat kota, terutama kearah lahan yang masih kosong atau tidak digunakan (vegetasi rapat). Penurunan luasan RTH salah satu penyebabnya adalah penurunan luasan vegetasi rapat yang ada di bagian pinggiran Kota Palembang. 5. Pergerakan kawasan terbangun menuju arah barat : Kecamatan Gandus dan Kecamatan Kertapati berupa peningkatan persawahan dan rawa. 6. Pergerakan kawasan terbangun menuju arah utara : Kecamatan Alang Alang Lebar dan Kecamatan Sukaramai berupa peningkatan area terbangun. 7. Pergerakan menuju arah selatan stadion Jakabaring berupa peningkatan persawahan dan area terbangun. 8. Pergerakan menuju arah timur : Kecamatan Sako dan Kecamatan Sematang Borang berupa peningkatan area terbangun dan pembukaan lahan baru. Hal tersebut serupa dengan RTRW Kota Palembang yang menyebutkan bahwa perubahan Kota Palembang memiliki bentuk dan struktur tata ruang kota yang akan dikembangkan menggunakan Model Stellar City (Pusat Kota Besar akan dikelilingi oleh pusat-pusat pertumbuhan).

72 93 Sumber : Bappeda Kota Palembang 2009 Gambar 40 Skema pertumbuhan fisik Kota Palembang Pendekatan penentuan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Kota Palembang Karakteristik kepemilikan lahan di Kota Palembang terdiri dari Lahan Milik Perorangan (Private Sector) dan Lahan Milk Umum (Public Sector). Masing-masing lahan tersebut memiliki peran serta yang sama dalam menyediakan ruang terbuka serta ruang terbuka hijau. Agar terjadi keseimbangan ekologis dan lingkungan terkait dengan pembangunan yang semakin meningkat dan potensi gangguan lingkungan yang semakin besar, maka masing-masing lahan, baik pada ruang publik maupun pada ruang privat memiliki kewajiban dan tanggung jawab bersama dalam menyediakan ruang terbuka hijau di masing-masing wilayahnya. Berdasarkan UU No 26 Tahun 2007, besarnya kerapatan penghijauan ditentukan oleh nilai kerapatan ruang terbuka hijau, yaitu : 1. Ruang publik, kerapatan RTH ditentukan sebesar 10% dari luas ruang publik yang ada. 2. Ruang privat, kerapatan RTH ditentukan sebesar 30% dari luas pekarangan ruang privat yang ada. Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau (RTH) minimum Kota Palembang diperoleh melalui perbandingan kondisi ruang terbuka dan Koefisien Dasar Hijau (KDH) yang ditetapkan berdasarkan perbandingan luas lahan total di Kota

73 94 Palembang (Bappeda 2009). Menurut Pedoman RTH, kebutuhan RTH Minimum untuk Kota Palembang luas lahan RTH Kota Palembang sebesar m 2 sedangkan luas lahan ruang terbuka di Kota Palembang sebesar m 2. Berdasarkan data tersebut maka KDH Kota Palembang sebesar 13,38% dan kebutuhan RTH di Kota Palembang minimal adalah m 2 (Bappeda 2009) Pengembangan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Kota Palembang Berdasarkan pola penyebaran suhu dan kegiatan kawasan, maka pengembangan ruang terbuka hijau Kota Palembang disesuaikan dengan pola pengembangan struktur tata ruang kota dan ekologi yaitu : 1. Menurut Undang-Undang No. 63 Tahun 2002 tentang hutan kota, hutan kota dibedakan atas beberapa tipe, salah satunya adalah tipe kawasan permukiman yang merupakan hutan kota yang dibangun pada areal permukiman, yang berfungsi sebagai penghasil oksigen, penyerap karbondioksida, peresap air, penahan angin dan peredam kebisingan, berupa jenis komposisi tanaman pepohonan yang tinggi dikombinasikan dengan tanaman perdu dan rerumputan. Kawasan pemukiman penduduk memiliki pola penyebaran konsentris terhadap fasilitas kota, terutama di sepanjang jalur utama kota yang tingkat kepadatannya meningkat ke arah pusat kota dan menurun ke arah pinggir kota. Berdasarkan hasil interpretasi, suhu pada kegiatan ini berkisar antara 30 C sampai 34 C, kelembaban berkisar antara 60% sampai 70% dan THI rata-rata berkisar Pada bagian pinggir kota, RTH yang sesuai adalah tipe pekarangan dan kebun kecil di rumah yang menyebar untuk tingkat rumah tangga hingga tingkat kelurahan. Bentuknya cenderung menyebar sesuai dengan luas pekarangan rumah. Berdasarkan struktur tajuknya, maka pada kawasan pemukiman dapat digolongkan kedalam tipe yang berstrata dua atau hanya terdiri dari pohon dan rumput penutup tanah. Luasannya disesuaikan dengan ketentuan koefisien dasar bangunan di Kota Palembang. Contohnya adalah dengan pembuatan kebun keluarga atau TOGA (Tumbuhan Obat Keluarga) dan menanami pekarangan rumah

74 95 dengan pohon-pohon yang rindang. Selain itu juga dapat dilakukan penyuluhan dan pembinaan terhadap masyarakat mengenai pentingnya RTH bagi ekosistem. Bentuk RTH ini dapat dikembangkan di wilayah Kecamatan Sako, Kecamatan Sukaramai, Kecamatan Sako, Kecamatan Sematang Borang, Kecamatan Gandus dan Kecamatan Kertapati. Jenis pohon yang dapat di tanam adalah jenis pohon yang memiliki tajuk yang cukup lebar dan jenis pohon yang memiliki nilai fungsi lain seperti buah atau bunga sehingga dapat bermanfaat untuk panganan anggota keluarga. Jenis pohon tersebut seperti, Beringin (Ficus benyamina), Jambu air (Eugenia aquea), Jambu batu (Psidium guajava), Kelapa (Cocos nucifera), Mangga (Mangifera indica), Nangka (Artocarpus heterophylla), Sawo kecik (Manilkara kauki) dan sukun (Artocarpus altilis). 2. Daerah pinggiran kota umumnya memiliki suhu antara 29 C sampai 34 C kelembaban relatifnya berkisar antara 60% sampai 80% dan THI rata rata berkisar Jenis kegiatan di daerah ini contohnya adalah kantor di tingkat kecamatan, pusat studi, jalan lokal, lapangan olahraga dan daerah pinggiran sungai. Bentuk pengembangan RTH yang sesuai dengan tipe kelompok ini dapat berupa tipe taman kota yang memiliki strata dua hingga tipe tajuk yang memiliki strata banyak karena daerah ini cenderung memiliki wilayah ruang terbuka yang cukup besar. Tipe ini banyak tersebar di kecamatan-kecamatan yang ada di bagian pinggiran kota. Selain itu dapat juga diterapkan sistem jalur hijau/sabuk hijau di pinggir jalan dan sempadan sungai. Jenis tanaman yang dapat di tanam adalah jenis tanaman yang memiliki nilai estetis dan cukup rindang. Jenis pohon yang dapat di tanam antara lain, Akasia daun besar (Accacia mangium), Tanjung (Mimusops elengi), Trembesi (Samanea saman), Kantil (Michelia alba), Cemara laut (Casuarina equisetifolia), Kembang merak (Caesalphinia pulcherima), Nyamplung (Callophyllum inophyllum), Kembang Sepatu (Hibiscusrosa sinensis) dan Angsana (Ptherocarpus indicus).

75 96 Gambar 41 Contoh ilustrasi jalur hijau di Kota Palembang. 3. Pusat kota terdiri dari kegiatan pemerintahan, perdagangan, dan jasa komersil serta pelayanan tranportasi yang sebagian besar terkonsentrasi di pusat-pusat kota serta memiliki akses di sepanjang jalur utama Kota Palembang. Umumnya memiliki suhu di atas 33 C, kelembaban berkisar antara 40% sampai 60% dan THI rata rata berkisar > 31. RTH yang sesuai adalah jalur hijau/sabuk hijau jalan dan roof garden pada bagian atap bangunan yang ditanami dengan tanaman yang tidak terlalu besar dan berat agar tidak merusak bagian atap bangunan. Gambar 42 Ilustrasi bentuk RTH Roof Garden dan jalur hijau.

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang.

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang. III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-Oktober 2010. Lokasi penelitian di Kota Palembang dan Laboratorium Analisis Spasial Lingkungan, Departemen Konservasi Sumberdaya

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penutupan Lahan 5.1.1 Penutupan lahan Kabupaten Sidoarjo Penutupan lahan (land cover) merupakan perwujudan fisik dari obyek dan yang menutupi permukaan tanpa mempersoalkan

Lebih terperinci

LOKASI PENELITIAN 12/20/2011. Latar Belakang. Tujuan. Manfaat. Kondisi Umum

LOKASI PENELITIAN 12/20/2011. Latar Belakang. Tujuan. Manfaat. Kondisi Umum 12/2/211 Pengembangan Ruang Terbuka Hijau Berdasarkan Distribusi Suhu Permukaan dan Temperature Humidity Index (THI) di Kota Palembang Muis Fajar E3462536 Dosen Pembimbing Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo,

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5.1 Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Wilayah Pengembangan Tegallega pada Tahun

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5.1 Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Wilayah Pengembangan Tegallega pada Tahun V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penghitungan Aspek Kependudukan Kependudukan merupakan salah satu bagian dari aspek sosial pada Wilayah Pengembangan Tegallega. Permasalahan yang dapat mewakili kondisi kependudukan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Interpretasi Visual Penggunaan Lahan Melalui Citra Landsat Interpretasi visual penggunaan lahan dengan menggunakan citra Landsat kombinasi band 542 (RGB) pada daerah penelitian

Lebih terperinci

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : NDVI=(band4 band3)/(band4+band3).18 Nilai-nilai indeks vegetasi di deteksi oleh instrument pada

Lebih terperinci

Tabel 11. Klasifikasi Penutupan Lahan Data Citra Landsat 7 ETM, Maret 2004

Tabel 11. Klasifikasi Penutupan Lahan Data Citra Landsat 7 ETM, Maret 2004 53 5.1.3 Klasifikasi Penutupan Lahan Klasifikasi data Citra Landsat dilakukan untuk pengelompokan penutupan lahan pada tahun 2004. Metode yang dipergunakan adalah klasifikasi terbimbing (Supervised Classification).

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3Perubahan tutupan lahan Jakarta tahun 1989 dan 2002.

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3Perubahan tutupan lahan Jakarta tahun 1989 dan 2002. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi geografis daerah kajian Kota Jakarta merupakan ibukota Republik Indonesia yang berkembang pada wilayah pesisir. Keberadaan pelabuhan dan bandara menjadikan Jakarta

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pengolahan Awal Citra (Pre-Image Processing) Pengolahan awal citra (Pre Image Proccesing) merupakan suatu kegiatan memperbaiki dan mengoreksi citra yang memiliki kesalahan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 6 3.3.5 Persamaan Hubungan RTH dengan Suhu Udara Penjelasan secara ilmiah mengenai laju pemanasan/pendinginan suhu udara akibat pengurangan atau penambahan RTH adalah mengikuti hukum pendinginan Newton,

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 9. Peta Orientasi Wilayah Kecamatan Beji, Kota Depok

METODE PENELITIAN. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 9. Peta Orientasi Wilayah Kecamatan Beji, Kota Depok III. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kecamatan Beji sebagai pusat Kota Depok, Jawa Barat yang berbatasan langsung dengan Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Penelitian

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik 4.1.1 Wilayah Administrasi Kota Bandung merupakan Ibukota Propinsi Jawa Barat. Kota Bandung terletak pada 6 o 49 58 hingga 6 o 58 38 Lintang Selatan dan 107 o 32 32 hingga

Lebih terperinci

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Spektral Citra yang digunakan pada penelitian ini adalah Citra ALOS AVNIR-2 yang diakuisisi pada tanggal 30 Juni 2009 seperti yang tampak pada Gambar 11. Untuk dapat

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN IV.1. Gap Filling Citra Gap Filling citra merupakan metode yang dilakukan untuk mengisi garisgaris yang kosong pada citra Landsat TM hasil download yang mengalami SLCoff, sehingga

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Citra Digital Interpretasi dilakukan dengan pembuatan area contoh (training set) berdasarkan pengamatan visual terhadap karakteristik objek dari citra Landsat. Untuk

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Identifikasi Objek di Lapangan Pengamatan lapangan dilakukan di 3 (tiga) kabupaten, yaitu : Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten Cianjur. Titik pengamatan sebanyak

Lebih terperinci

1 BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemanfaatan penggunaan lahan akhir-akhir ini semakin mengalami peningkatan. Kecenderungan peningkatan penggunaan lahan dalam sektor permukiman dan industri mengakibatkan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Identifikasi Tutupan Lahan di Lapangan Berdasarkan hasil observasi lapangan yang telah dilakukan di Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Tapanuli Utara, dan Kabupaten

Lebih terperinci

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN PERTEMUAN 10 SUMBERDAYA LAHAN Sumberdaya Lahan Lahan dapat didefinisikan sebagai suatu ruang di permukaan bumi yang secara alamiah dibatasi oleh sifat-sifat fisik serta bentuk

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 11 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan yaitu bulan Juli-Agustus 2010 dengan pemilihan lokasi di Kota Denpasar. Pengolahan data dilakukan di Laboratorium

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Suhu Udara Perkotaan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Suhu Udara Perkotaan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Suhu Udara Perkotaan Menurut Santosa (1986), kepadatan penduduk kota yang cukup tinggi akan mengakibatkan bertambahnya sumber kalor sebagai akibat dari aktifitas dan panas metabolisme

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Citra 5.1.1 Kompilasi Citra Penelitian menggunakan citra Quickbird yang diunduh dari salah satu situs Internet yaitu, Wikimapia. Dalam hal ini penulis memilih mengambil

Lebih terperinci

ix

ix DAFTAR ISI viii ix x DAFTAR TABEL Tabel 1.1. Emisivitas dari permukaan benda yang berbeda pada panjang gelombang 8 14 μm. 12 Tabel 1.2. Kesalahan suhu yang disebabkan oleh emisivitas objek pada suhu 288

Lebih terperinci

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian 22 METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Sukabumi, Jawa Barat pada 7 wilayah kecamatan dengan waktu penelitian pada bulan Juni sampai November 2009. Pada lokasi penelitian

Lebih terperinci

TUGAS TERSTRUKTUR I ANALISIS LANDSKAP TERPADU

TUGAS TERSTRUKTUR I ANALISIS LANDSKAP TERPADU TUGAS TERSTRUKTUR I ANALISIS LANDSKAP TERPADU Kelas C Oleh : Ayu Sulistya Kusumaningtyas 115040201111013 Dwi Ratnasari 115040207111011 Fefri Nurlaili Agustin 115040201111105 Fitri Wahyuni 115040213111050

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sumber daya alam yang bersifat mengalir (flowing resources), sehingga

I. PENDAHULUAN. sumber daya alam yang bersifat mengalir (flowing resources), sehingga I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sungai menjadi salah satu pemasok air terbesar untuk kebutuhan mahluk hidup yang memiliki fungsi penting bagi kehidupan manusia. Sungai adalah sumber daya alam yang bersifat

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o o LU. (perhitungan luas menggunakan perangkat GIS).

TINJAUAN PUSTAKA. Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o o LU. (perhitungan luas menggunakan perangkat GIS). TINJAUAN PUSTAKA Daerah Aliran Sungai (DAS) Besitang Sekilas Tentang DAS Besitang Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o 45 04 o 22 44 LU dan 97 o 51 99 o 17 56 BT. Kawasan DAS Besitang melintasi

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada Gambar 7 tertera citra MODIS level 1b hasil composite RGB: 13, 12

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada Gambar 7 tertera citra MODIS level 1b hasil composite RGB: 13, 12 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sebaran Tumpahan Minyak Dari Citra Modis Pada Gambar 7 tertera citra MODIS level 1b hasil composite RGB: 13, 12 dan 9 dengan resolusi citra resolusi 1km. Composite RGB ini digunakan

Lebih terperinci

RINGKASAN MATERI INTEPRETASI CITRA

RINGKASAN MATERI INTEPRETASI CITRA Lampiran 1 Ringkasan Materi RINGKASAN MATERI INTEPRETASI CITRA 1 Pengertian Intepretasi Citra Inteprtasi Citra adalah kegiatan menafsir, mengkaji, mengidentifikasi, dan mengenali objek pada citra, selanjutnya

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman (Tahura

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman (Tahura III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman (Tahura WAR). Berdasarkan administrasi pemerintahan Provinsi Lampung kawasan ini berada

Lebih terperinci

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 5. A. IDENTIFIKASI CITRA PENGINDERAAN JAUH a. Identifikasi Fisik

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 5. A. IDENTIFIKASI CITRA PENGINDERAAN JAUH a. Identifikasi Fisik GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 12 Sesi NGAN PENGINDERAAN JAUH : 5 A. IDENTIFIKASI CITRA PENGINDERAAN JAUH a. Identifikasi Fisik 1. Hutan Hujan Tropis Rona gelap Pohon bertajuk, terdiri dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. menyebabkan perubahan tata guna lahan dan penurunan kualitas lingkungan. Alih

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. menyebabkan perubahan tata guna lahan dan penurunan kualitas lingkungan. Alih BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tingginya kebutuhan lahan dan semakin terbatasnya sumberdaya alam menyebabkan perubahan tata guna lahan dan penurunan kualitas lingkungan. Alih guna hutan sering terjadi

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Letak dan Luas. Komponen fisik

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Letak dan Luas. Komponen fisik KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN Letak dan Luas Daerah penelitian mencakup wilayah Sub DAS Kapuas Tengah yang terletak antara 1º10 LU 0 o 35 LS dan 109 o 45 111 o 11 BT, dengan luas daerah sekitar 1 640

Lebih terperinci

Nilai Io diasumsikan sebagai nilai R s

Nilai Io diasumsikan sebagai nilai R s 11 Nilai Io diasumsikan sebagai nilai R s, dan nilai I diperoleh berdasarkan hasil penghitungan nilai radiasi yang transmisikan oleh kanopi tumbuhan, sedangkan nilai koefisien pemadaman berkisar antara

Lebih terperinci

Gambar 13. Citra ALOS AVNIR

Gambar 13. Citra ALOS AVNIR 32 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Citra ALOS AVNIR Citra yang digunakan pada penelitian ini adalah Citra ALOS AVNIR tahun 2006 seperti yang tampak pada Gambar 13. Adapun kombinasi band yang digunakan

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM. permukaan laut, dan batas-batas wilayah sebagai berikut : a) Batas Utara : Kabupaten Banyuasin

V. GAMBARAN UMUM. permukaan laut, dan batas-batas wilayah sebagai berikut : a) Batas Utara : Kabupaten Banyuasin V. GAMBARAN UMUM 5.1 Keadaan Umum Kota Palembang Kota Palembang merupakan ibukota dari Provinsi Sumatera Selatan. Secara geografis Kota Palembang terletak antara 2 52' - 3 5' Lintang Selatan dan 104 37'

Lebih terperinci

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 23 IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak Geografis dan Batas Wilayah Kabupaten Tabalong merupakan salah satu kabupaten yang terdapat di Provinsi Kalimantan Selatan dengan ibukota Tanjung yang mempunyai

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 15 BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak Sub DAS Model DAS Mikro (MDM) Barek Kisi berada di wilayah Kabupaten Blitar dan termasuk ke dalam Sub DAS Lahar. Lokasi ini terletak antara 7 59 46 LS

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 37 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penutupan Lahan Kota Bogor Tahun 2011 Penutupan lahan menggambarkan konstruksi vegetasi dan buatan yang menutup permukaan lahan (Burley 1961 dalam LO 1996). Peta penutupan

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Letak Geografis. 08º00'27" Lintang Selatan dan 110º12'34" - 110º31'08" Bujur Timur. Di

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Letak Geografis. 08º00'27 Lintang Selatan dan 110º12'34 - 110º31'08 Bujur Timur. Di IV. KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI A. Letak Geografis Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta mempunyai lima Kabupaten dan satu Kotamadya, salah satu kabupaten tersebut adalah Kabupaten Bantul. Secara geografis,

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. Gambar 8 Peta Lokasi Penelitian (Sumber:

BAB III METODOLOGI. Gambar 8 Peta Lokasi Penelitian (Sumber: 13 BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Studi Lokasi penelitian ini berada pada CBD Sentul City, yang terletak di Desa Babakan Maday, Kecamatan Citeuruep, Kabupaten DT II Bogor, Provinsi Jawa Barat.

Lebih terperinci

Gambar 5 Peta administrasi DKI Jakarta (Sumber : Jakarta.go.id)

Gambar 5 Peta administrasi DKI Jakarta (Sumber : Jakarta.go.id) 6 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Wilayah Kajian Jakarta terletak pada lintang 106 o 22 42 BT s.d. 106 o 58 18 BT dan 5 o 10 12 LS s.d. 6 o 23 54 LS. Berdasarkan Keputusan Gubernur Nomor 1227

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Central Business District (CBD) Berdasarkan Undang-Undang No. 24 Tahun 1992 mengenai penataan ruang, pada Pasal 1 disebutkan bahwa kawasan perkotaan adalah kawasan yang mempunyai

Lebih terperinci

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 7 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Geografis Kabupaten Karawang Wilayah Kabupaten Karawang secara geografis terletak antara 107 02-107 40 BT dan 5 56-6 34 LS, termasuk daerah yang relatif rendah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian METODE Waktu dan Tempat Penelitian

PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian METODE Waktu dan Tempat Penelitian PENDAHULUAN Latar Belakang Kejadian kebakaran wilayah di Indonesia sudah menjadi peristiwa tahunan, khususnya di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Pada tahun 2013 kebakaran di Pulau Sumatera semakin meningkat

Lebih terperinci

III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian 3.2 Lokasi Penelitian

III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian 3.2 Lokasi Penelitian III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan Februari sampai September 2011. Kegiatan penelitian ini meliputi tahap prapenelitian (persiapan, survei), Inventarisasi (pengumpulan

Lebih terperinci

Skema proses penerimaan radiasi matahari oleh bumi

Skema proses penerimaan radiasi matahari oleh bumi Besarnya radiasi yang diserap atau dipantulkan, baik oleh permukaan bumi atau awan berubah-ubah tergantung pada ketebalan awan, kandungan uap air, atau jumlah partikel debu Radiasi datang (100%) Radiasi

Lebih terperinci

Analisis Separabilitas Untuk mengetahui tingkat keterpisahan tiap klaster dari hasil klastering (Tabel 5) digunakan analisis separabilitas. B

Analisis Separabilitas Untuk mengetahui tingkat keterpisahan tiap klaster dari hasil klastering (Tabel 5) digunakan analisis separabilitas. B Tabel 5 Matriks Transformed Divergence (TD) 25 klaster dengan klasifikasi tidak terbimbing 35 36 4.1.2 Analisis Separabilitas Untuk mengetahui tingkat keterpisahan tiap klaster dari hasil klastering (Tabel

Lebih terperinci

Gambar 1. Satelit Landsat

Gambar 1. Satelit Landsat 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu

Lebih terperinci

Gambar 1.1 Siklus Hidrologi (Kurkura, 2011)

Gambar 1.1 Siklus Hidrologi (Kurkura, 2011) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Air merupakan kebutuhan yang mutlak bagi setiap makhluk hidup di permukaan bumi. Seiring dengan pertambahan penduduk kebutuhan air pun meningkat. Namun, sekarang

Lebih terperinci

benar sebesar 30,8%, sehingga harus dilakukan kembali pengelompokkan untuk mendapatkan hasil proporsi objek tutupan lahan yang lebih baik lagi. Pada pengelompokkan keempat, didapat 7 tutupan lahan. Perkebunan

Lebih terperinci

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Pembentukan Taman Kupu-Kupu Gita Persada Taman Kupu-Kupu Gita Persada berlokasi di kaki Gunung Betung yang secara administratif berada di wilayah Kelurahan

Lebih terperinci

Analisa Perubahan Tutupan Lahan di Waduk Riam Kanan dan Sekitarnya Menggunakan Sistem Informasi Geografis(SIG) dan data citra Landsat

Analisa Perubahan Tutupan Lahan di Waduk Riam Kanan dan Sekitarnya Menggunakan Sistem Informasi Geografis(SIG) dan data citra Landsat Analisa Perubahan Tutupan Lahan di Waduk Riam Kanan dan Sekitarnya Menggunakan Sistem Informasi Geografis(SIG) dan data citra Landsat Rully Sasmitha dan Nurlina Abstrak: Telah dilakukan penelitian untuk

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 24 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penggunaan Lahan Sawah dan Tegalan di Kabupaten Bogor Penggunaan lahan di Kabupaten Bogor pada tahun 1990, 2001, 2004, dan 2008 masih didominasi oleh lahan pertanian yaitu

Lebih terperinci

INVENTARISASI DAN PENENTUAN KEMAMPUAN SERAPAN EMISI CO2 OLEH RUANG TERBUKA HIJAU DI KABUPATEN SIDOARJO, JAWA TIMURM

INVENTARISASI DAN PENENTUAN KEMAMPUAN SERAPAN EMISI CO2 OLEH RUANG TERBUKA HIJAU DI KABUPATEN SIDOARJO, JAWA TIMURM INVENTARISASI DAN PENENTUAN KEMAMPUAN SERAPAN EMISI CO2 OLEH RUANG TERBUKA HIJAU DI KABUPATEN SIDOARJO, JAWA TIMURM Izzati Winda Murti 1 ), Joni Hermana 2 dan R. Boedisantoso 3 1,2,3) Environmental Engineering,

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat. Penelitian dilakukan dari tahun 2009 hingga tahun 2011. Penelitian dibagi

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 27 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kepadatan Titik Panas Berdasarkan data titik panas yang terpantau dari satelit NOAA-AVHRR dapat diketahui bahwa selama rentang waktu dari tahun 2000 hingga tahun 2011, pada

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. 5.1 Analisis Hasil Pengolahan Band VNIR dan SWIR

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. 5.1 Analisis Hasil Pengolahan Band VNIR dan SWIR BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Hasil Pengolahan Band VNIR dan SWIR Hasil pengolahan dari nilai piksel band VNIR dan SWIR yang dibahas pada bab ini yaitu citra albedo, NDVI dan emisivitas. Ketiganya

Lebih terperinci

Iklim Perubahan iklim

Iklim Perubahan iklim Perubahan Iklim Pengertian Iklim adalah proses alami yang sangat rumit dan mencakup interaksi antara udara, air, dan permukaan daratan Perubahan iklim adalah perubahan pola cuaca normal di seluruh dunia

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kota dan Hutan Kota ( Permasalahan Lingkungan Kota

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kota dan Hutan Kota ( Permasalahan Lingkungan Kota 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kota dan Hutan Kota Kota adalah suatu pusat permukiman penduduk yang besar dan luas, terdapat berbagai ragam kegiatan ekonomi dan budaya. Pada kenyataannya kota merupakan tempat

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 9 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 410 Desember 2011 (Lampiran 2), bertempat di wilayah Kota Selatpanjang, Kabupaten Kepulauan Meranti, Provinsi Riau.

Lebih terperinci

Tabel 3 Kecamatan dan luas wilayah di Kota Semarang (km 2 )

Tabel 3 Kecamatan dan luas wilayah di Kota Semarang (km 2 ) 8 Tabel 3 Kecamatan dan luas wilayah di Kota Semarang (km 2 ) (Sumber: Bapeda Kota Semarang 2010) 4.1.2 Iklim Berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMD) Kota Semarang tahun 2010-2015, Kota

Lebih terperinci

KAWASAN TERPADU RIMBA DI 3 KABUPATEN PRIORITAS (Kab. Kuantan Sengingi, Kab. Dharmasraya dan Kab. Tebo)

KAWASAN TERPADU RIMBA DI 3 KABUPATEN PRIORITAS (Kab. Kuantan Sengingi, Kab. Dharmasraya dan Kab. Tebo) KAWASAN TERPADU RIMBA DI 3 KABUPATEN PRIORITAS (Kab. Kuantan Sengingi, Kab. Dharmasraya dan Kab. Tebo) Oleh: IB Ketut Wedastra Sr. Officer Conservation Spatial Planning WWF Indonesia PENGINDERAAN JAUH

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Pekanbaru. Kota Pekanbaru terletak pada 101 0 18 sampai 101 0 36 Bujur Timur serta 0 0 25 sampai 0 0 45 Lintang Utara.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan Menurut Lillesand dan Kiefer (1997) penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan manusia pada bidang lahan tertentu. Penggunaan lahan juga diartikan sebagai setiap

Lebih terperinci

Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala

Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala Geografi Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala TANAH Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang

Lebih terperinci

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4.1. Latar Belakang Sebagaimana diuraikan terdahulu (Bab 1), DAS merupakan suatu ekosistem yang salah satu komponen penyusunannya adalah vegetasi terutama berupa hutan dan perkebunan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. secara alami. Pengertian alami disini bukan berarti hutan tumbuh menjadi hutan. besar atau rimba melainkan tidak terlalu diatur.

TINJAUAN PUSTAKA. secara alami. Pengertian alami disini bukan berarti hutan tumbuh menjadi hutan. besar atau rimba melainkan tidak terlalu diatur. TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Hutan Kota Hutan dalam Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi

Lebih terperinci

PENGARUH FENOMENA LA-NINA TERHADAP SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN KABUPATEN MALANG

PENGARUH FENOMENA LA-NINA TERHADAP SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN KABUPATEN MALANG Pengaruh Fenomena La-Nina terhadap SPL Feny Arafah PENGARUH FENOMENA LA-NINA TERHADAP SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN KABUPATEN MALANG 1) Feny Arafah 1) Dosen Prodi. Teknik Geodesi Fakultas Teknik Sipil

Lebih terperinci

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi 31 IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi Waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan penelitian ini adalah dimulai dari bulan April 2009 sampai dengan November 2009 yang secara umum terbagi terbagi menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumatera Utara memiliki luas total sebesar 181.860,65 Km² yang terdiri dari luas daratan sebesar 71.680,68 Km² atau 3,73 % dari luas wilayah Republik Indonesia. Secara

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penutupan Lahan Kabupaten Cianjur Berdasarkan hasil proses klasifikasi dari Landsat-5 TM areal studi tahun 2007, maka diperoleh 10 kelas penutupan lahan yang terdiri dari:

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Perencanaan Hutan Kota Arti kata perencanaan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Fak. Ilmu Komputer UI 2008) adalah proses, perbuatan, cara merencanakan (merancangkan).

Lebih terperinci

Bab IV Hasil dan Pembahasan

Bab IV Hasil dan Pembahasan Bab IV Hasil dan Pembahasan 4.1. Hasil 4.1.1. Digitasi dan Klasifikasi Kerapatan Vegetasi Mangrove Digitasi terhadap citra yang sudah terkoreksi dilakukan untuk mendapatkan tutupan vegetasi mangrove di

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb.

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb. KATA PENGANTAR Assalamu alaikum wr.wb. Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan buku Penghitungan Deforestasi Indonesia Periode Tahun 2009-2011

Lebih terperinci

By. Lili Somantri, S.Pd.M.Si

By. Lili Somantri, S.Pd.M.Si By. Lili Somantri, S.Pd.M.Si Panjang Gelombang 1 m = 0,001 mm 1 m = 0,000001 m 0,6 m = 0,6 X 10-6 = 6 x 10-7 PANTULAN SPEKTRAL OBJEK Terdapat tiga objek utama di permukaan bumi, yaitu vegetasi, tanah,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Perubahan Rasio Hutan Sebelum membahas hasil simulasi model REMO, dilakukan analisis perubahan rasio hutan pada masing-masing simulasi yang dibuat. Dalam model

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE 10 III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat Dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di laboratorium dan di lapang. Pengolahan citra dilakukan di Bagian Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial dan penentuan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Masyarakat Adat Kasepuhan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Masyarakat Adat Kasepuhan 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Masyarakat Adat Kasepuhan Pengertian masyarakat adat berdasarkan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara adalah kelompok masyarakat yang memiliki asal usul leluhur (secara turun temurun)

Lebih terperinci

BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN

BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN A. Kondisi Kekinian dan Status Kawasan Gunung Aseupan Hasil analisis yang dilakukan terhadap citra Landsat 7 liputan tahun 2014, kondisi tutupan lahan Gunung Aseupan terdiri

Lebih terperinci

IV KONDISI UMUM TAPAK

IV KONDISI UMUM TAPAK IV KONDISI UMUM TAPAK 4.1 Letak, Luas, dan Batas Tapak Secara geografis kawasan Gunung Kapur Cibadak Ciampea terletak pada 16 32 BT 16 35 46 BT dan 6 36 LS 6 55 46 LS. Secara administratif terletak di

Lebih terperinci

ANALISA DEGRADASI HUTAN MANGROVE PADA KAWASAN WISATA TELUK YOUTEFA KOTA JAYAPURA

ANALISA DEGRADASI HUTAN MANGROVE PADA KAWASAN WISATA TELUK YOUTEFA KOTA JAYAPURA ANALISA DEGRADASI HUTAN MANGROVE PADA KAWASAN WISATA TELUK YOUTEFA KOTA JAYAPURA Oleh YOHAN M G JARISETOUW FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS NEGERI PAPUA MANOKWARI 2005 ii Abstrak Yohan M G Jarisetouw. ANALISA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penggunaan lahan merupakan hasil kegiatan manusia baik yang berlangsung secara siklus atau permanen pada sumberdaya lahan alami maupun buatan guna terpenuhinya kebutuhan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perubahan penutupan lahan merupakan keadaan suatu lahan yang mengalami

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perubahan penutupan lahan merupakan keadaan suatu lahan yang mengalami II. TINJAUAN PUSTAKA A. Perubahan Penutupan Lahan Perubahan penutupan lahan merupakan keadaan suatu lahan yang mengalami perubahan kondisi pada waktu yang berbeda disebabkan oleh manusia (Lillesand dkk,

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAN LOKASI PENELITIAN

IV. GAMBARAN UMUM DAN LOKASI PENELITIAN 35 IV. GAMBARAN UMUM DAN LOKASI PENELITIAN A. Kabupaten Lampung Barat Menurut Pemerintah Kabupaten Lampung Barat (2011) bahwa Kabupaten Lampung Barat dengan ibukota Liwa merupakan pemekaran dari Kabupaten

Lebih terperinci

BAGIAN 1-3. Dinamika Tutupan Lahan Kabupaten Bungo, Jambi. Andree Ekadinata dan Grégoire Vincent

BAGIAN 1-3. Dinamika Tutupan Lahan Kabupaten Bungo, Jambi. Andree Ekadinata dan Grégoire Vincent BAGIAN 1-3 Dinamika Tutupan Lahan Kabupaten Bungo, Jambi Andree Ekadinata dan Grégoire Vincent 54 Belajar dari Bungo Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi PENDAHULUAN Kabupaten Bungo mencakup

Lebih terperinci

KAJIAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KAWASAN LINDUNG MENJADI KAWASAN BUDIDAYA

KAJIAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KAWASAN LINDUNG MENJADI KAWASAN BUDIDAYA KAJIAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KAWASAN LINDUNG MENJADI KAWASAN BUDIDAYA (Studi Kasus: Kawasan sekitar Danau Laut Tawar, Aceh Tengah) TUGAS AKHIR Oleh: AGUS SALIM L2D

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN.. Interpretasi Visual Penggunaan Lahan Setiap obyek yang terdapat dalam citra memiliki kenampakan karakteristik yang khas sehingga obyek-obyek tersebut dapat diinterpretasi dengan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pembuatan algoritma empiris klorofil-a Tabel 8, Tabel 9, dan Tabel 10 dibawah ini adalah percobaan pembuatan algoritma empiris dibuat dari data stasiun nomor ganjil, sedangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut FAO (dalam Arsyad 1989:206) mengenai pengertian lahan, Adapun pengertian dari FAO (1976) yang dikutip oleh Sitorus (1998)

BAB I PENDAHULUAN. Menurut FAO (dalam Arsyad 1989:206) mengenai pengertian lahan, Adapun pengertian dari FAO (1976) yang dikutip oleh Sitorus (1998) 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah yaitu : Menurut FAO (dalam Arsyad 1989:206) mengenai pengertian lahan, Lahan diartikan sebagai lingkungan fisik yang terdiri atas iklim, relief, tanah, air,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masyarakat Kota Bandar Lampung dan Kabupaten Pesawaran. Selain itu taman

I. PENDAHULUAN. masyarakat Kota Bandar Lampung dan Kabupaten Pesawaran. Selain itu taman I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman merupakan wilayah sistem penyangga kehidupan terutama dalam pengaturan tata air, menjaga kesuburan tanah, mencegah erosi, menjaga keseimbangan

Lebih terperinci

PRISMA FISIKA, Vol. VI, No. 2 (2018), Hal ISSN :

PRISMA FISIKA, Vol. VI, No. 2 (2018), Hal ISSN : Pemodelan Penyebaran Kebakaran Hutan dan Lahan di Kabupaten Mempawah Menggunakan Metode Cellular Automata Maria Sofiani a, Joko Sampurno a *, Apriansyah b a Prodi Fisika, FMIPA Universitas Tanjungpura,

Lebih terperinci

PEMANASAN BUMI BAB. Suhu dan Perpindahan Panas. Skala Suhu

PEMANASAN BUMI BAB. Suhu dan Perpindahan Panas. Skala Suhu BAB 2 PEMANASAN BUMI S alah satu kemampuan bahasa pemrograman adalah untuk melakukan kontrol struktur perulangan. Hal ini disebabkan di dalam komputasi numerik, proses perulangan sering digunakan terutama

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penutupan Lahan dan Perubahannya Penutupan lahan menggambarkan konstruksi vegetasi dan buatan yang menutup permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PENGESAHAN... ii HALAMAN PERNYATAAN... iii INTISARI... iv ABSTRACT... v KATA PENGANTAR... vi DAFTAR ISI... viii DAFTAR TABEL... x DAFTAR GAMBAR... xi DAFTAR LAMPIRAN...

Lebih terperinci

BAB 13 STRUKTUR BUMI DAN STRUKTUR MATAHARI

BAB 13 STRUKTUR BUMI DAN STRUKTUR MATAHARI BAB 13 STRUKTUR BUMI DAN STRUKTUR MATAHARI Tujuan Pembelajaran Kamu dapat mendeskripsikan struktur bumi. Bila kita berada di suatu tempat yang terbuka, umumnya dataran sekeliling kita akan terlihat rata.

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1. Letak dan Keadaan Geografi Daerah Penelitian Desa Perbawati merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Sukabumi, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Batas-batas

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian III. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Lokasi yang dipilih untuk penelitian ini adalah Kabupaten Indramayu, Jawa Barat (Gambar 1). Penelitian dimulai dari bulan Juli 2010 sampai Januari

Lebih terperinci

BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN

BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN A. Kondisi Kekinian dan Status Kawasan Gunung Karang Citra Landsat 7 liputan tahun 2014 menunjukkan bahwa kondisi tutupan lahan Gunung Karang terdiri dari hutan, hutan tanaman

Lebih terperinci

APLIKASI TEKNOLOGI PENGINDERAAN JARAK JAUH UNTUK MENGIDENTIFIKASI HEAT ISLAND ( PULAU PANAS ) DI KOTA PEKANBARU

APLIKASI TEKNOLOGI PENGINDERAAN JARAK JAUH UNTUK MENGIDENTIFIKASI HEAT ISLAND ( PULAU PANAS ) DI KOTA PEKANBARU APLIKASI TEKNOLOGI PENGINDERAAN JARAK JAUH UNTUK MENGIDENTIFIKASI HEAT ISLAND ( PULAU PANAS ) DI KOTA PEKANBARU Muhammad Ikhwan 1, Hadinoto 1 1 Staf pengajar Fakultas Kehutanan Universitas Lancang Kuning

Lebih terperinci