BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penutupan Lahan Penutupan lahan Kabupaten Sidoarjo Penutupan lahan (land cover) merupakan perwujudan fisik dari obyek dan yang menutupi permukaan tanpa mempersoalkan kegiatan manusia terhadap obyek-obyek tersebut. Berdasarkan pengolahan citra satelit Landsat 7 ETM path/ row 118/065 pada 28 Mei 2011, didapatkan hasil interpretasi citra Landsat 7 ETM wilayah Kabupaten Sidoarjo. Hasil interpretasi dilakukan dengan klasifikasi terbimbing dengan luas penutupan lahan berdasarkan pengolahan citra sebesar ,04 ha, yaitu dengan klasifikasi penutupan lahan sebagai berikut: 1. Lahan Terbuka Lahan terbuka dalam tipe penutupan lahan ini merupakan lahan kosong tidak bervegetasi seperti tanah gundul, dan areal proyek pembangunan yang awalnya merupakan areal bervegetasi. Berdasarkan hasil interpretasi citra Landsat 7 ETM, lahan terbuka menunjukkan warna merah muda. Proses klasifikasi tipe penutupan lahan berupa lahan terbuka dicirikan dengan warna merah muda. 2. Lahan Terbangun Lahan terbangun dalam tipe penutupan lahan ini berupa areal permukiman, kawasan industri, serta perkantoran. Selain itu, areal perdagangan, pusat perbelanjaan, pusat pemerintahan termasuk pula dalam lahan terbangun. Hasil interpretasi citra menunjukkan tipe klasifikasi ini berwarna merah muda gelap. Proses klasifikasi tipe penutupan lahan berupa lahan terbangun dicirikan dengan warna merah marun. 3. Rumput dan semak Tipe penutupan lahan untuk rumput dan semak di lokasi penelitian berupa rerumputan serta semak-semak. Berdasarkan hasil interpretasi citra Landsat 7 ETM, kelas rumput dan semak berwarna kuning kehijauan. Proses klasifikasi tipe penutupan lahan berupa rumput dan semak dicirikan dengan warna kuning.

2 19 4. Sawah Sawah dalam tipe penutupan lahan ini berupa pertanian lahan basah terutama yang ditanami padi. Hasil interpretasi citra menunjukkan tipe klasifikasi ini berwarna biru keunguan (untuk sawah basah) serta warna hijau kebiruan (untuk sawah dengan tanaman padi). Proses klasifikasi sawah dicirikan dengan warna hijau kekuningan. 5. Ladang Tipe penutupan lahan berupa ladang merupakan areal pertanian lahan kering yang ditumbuhi oleh tanaman semusim. Sebagian besar ladang di Kabupaten Sidoarjo ditanami tebu dan jagung. Hasil interpretasi citra menunjukkan tipe klasifikasi ini berwarna hijau terang serta berwarna oranye. Proses klasifikasi tipe penutupan lahan berupa ladang dicirikan dengan warna oranye. 6. Vegetasi Rapat Tipe penutupan lahan untuk vegetasi rapat di Kabupaten Sidoarjo berupa hutan kota yang kompak dan rapat. Pada citra Landsat 7 ETM, penutupan lahan berupa vegetasi rapat terinterpretasi berwarna hijau tua. Proses klasifikasi tipe vegetasi rapat dicirikan dengan warna hijau gelap. 7. Vegetasi Jarang Tipe penutupan lahan untuk vegetasi jarang di Kabupaten Sidoarjo berupa jalur hijau jalan. Penutupan lahan berupa vegetasi jarang, pada citra Landsat 7 ETM terinterpretasi berwarna abu-abu kehijauan, sedangkan proses klasifikasi tipe vegetasi jarang dicirikan dengan warna hijau terang. 8. Badan Air Badan air dalam tipe penutupan lahan ini merupakan semua penampakan air yakni sungai, danau dan tambak. Hasil interpretasi citra menunjukkan tipe klasifikasi ini berwarna biru terang. Proses klasifikasi badan air dicirikan dengan warna biru. Warna biru secara umum juga digunakan sebagai ciri pada pengkelasan tipe penutupan lahan badan air dengan tujuan untuk mudah dipahami.

3 20 9. Tidak Ada Data Tipe tidak ada data merupakan tipe penampakan permukaan bumi yang tertutup awan dan bayangan awan. Hasil interpretasi citra menunjukkan awan berwarna putih, bayangan awan berwarna abu-abu gelap. Citra yang terkena stripping (bergaris) termasuk ke dalam tipe tidak ada data. Stripping terjadi karena setelah tahun 2003 satelit perekaman citra mengalami kerusakan, sehingga citra satelit yang didapatkan pada 28 Mei 2011 mengalami stripping Penutupan lahan Kabupaten Sidoarjo tahun 2011 Kabupaten Sidoarjo memiliki luas sebesar ,04 ha berdasarkan pengolahan citra Landsat 7 ETM. Analisis hasil uji akurasi yang telah dilakukan untuk citra Landsat 7 ETM dengan tanggal akuisisi 28 Mei 2011, didapatkan nilai akurasi Overall Classification Accuracy sebesar 85,12% dan Overall Kappa Statistic 81,91%. Badan Survey Geologi Amerika Serikat (USGS) menetapkan tingkat ketelitian interpretasi minimum tidak kurang dari 85% dan ketelitian untuk beberapa kategori kurang lebih sama. Hasil uji akurasi kappa yang didapatkan adalah kurang dari 85%, hal ini dapat disebabkan karena titik ground check yang diperoleh kurang tersebar secara merata pada daerah penelitian. Data-data mengenai luas wilayah berbagai tipe penutupan lahan Kabupaten Sidoarjo tahun 2011 dihasilkan dari proses klasifikasi citra Landsat 7 ETM. Tabel 3 Distribusi tutupan lahan Kabupaten Sidoarjo No Tutupan Lahan Luas Hektar ( ha) Persen (%) 1 Lahan Terbuka 2.208,90 3,07 2 Lahan Terbangun ,20 16,16 3 Rumput dan Semak 5.730,09 7,97 4 Sawah ,42 15,17 5 Ladang 8.910,54 12,39 6 Vegetasi Rapat 1.330,84 1,85 7 Vegetasi Jarang 2.219,80 3,09 8 Badan Air ,88 23,55 9 Tidak Ada Data ,37 16,76 TOTAL ,04 100

4 21 Penutupan lahan dengan luasan terbesar yang berada di Kabupaten Sidoarjo adalah tipe badan air (Tabel 3). Badan air sebagian besar merupakan tambak-tambak di wilayah timur Kabupaten Sidoarjo. Selain tambak, badan air di Kabupaten Sidoarjo juga terdiri dari sungai dan danau. Sungai Porong merupakan salah satu sungai yang mengalir melewati Kabupaten Sidoarjo (Gambar 3). Badan air memiliki luas wilayah mencapai ,88 ha yang menempati 23,55% dari luas wilayah Kabupaten Sidoarjo. Penutupan lahan berupa badan air dengan luasan paling besar terdapat di Kecamatan Jabon yakni seluas 4.511,89 ha atau 54,90% luas wilayah kecamatan. Penutupan lahan berupa badan air dengan persentase luasan paling besar terdapat di Kecamatan Sedati yakni mencapai 56,00% luas wilayah kecamatan atau seluas 4.436,54 ha. Lokasi tambak di Kabupaten Sidoarjo sebagian besar terdapat di Kecamatan Jabon dan Sedati. Penutupan lahan berupa badan air dengan luasan paling kecil terdapat di Kecamatan Tulangan yakni seluas 54,49 ha atau 1,72% luas wilayah kecamatan. Gambar 3 Tambak di wilayah Waru (kiri) dan Sungai Porong (kanan). Tipe penutupan lahan berupa lahan terbangun menempati urutan kedua sebagai tipe penutupan lahan dengan luasan terbesar di Kabupaten Sidoarjo. Lahan terbangun memiliki luas sebesar ,20 atau mencapai 16,16% dari luas wilayah Kabupaten Sidoarjo. Lahan terbangun di Kabupaten Sidoarjo berupa permukiman, kawasan industri, perkantoran, pasar dan lain-lain (Gambar 4). Berdasarkan klasifikasi citra Landsat 7 ETM pada 28 Mei 2011, lahan terbangun dengan luasan terbesar terdapat di Kecamatan Waru yakni seluas 1.166,22 ha atau sebesar 37,85% dari luas wilayah kecamatan. Kecamatan Waru

5 22 merupakan kecamatan dengan jumlah penduduk terbesar yaitu jiwa atau 10,69% dari total penduduk Sidoarjo (BPS Sidoarjo 2010). Lahan terbangun di Kecamatan Sidoarjo, yang merupakan wilayah pusat kota dan pusat aktivitas manusia baik kegiatan pemerintahan maupun kegiatan perdagangan, menempati 18,28% luas wilayah kecamatan atau seluas 1.136,73 ha. Gambar 4 Lahan terbangun di Kecamatan Sedati. Lahan terbangun dengan luasan terkecil terdapat di Kecamatan Krembung yakni seluas 347,30 ha atau menempati 12,05% dari luas kecamatan. Lahan terbangun dengan persentase luasan terkecil terdapat di Kecamatan Jabon, yakni sebesar 4,23% dari luas wilayahnya atau sebesar 347,69 ha. Hasil sensus yang dilakukan BPS Sidoarjo (2010) menyebutkan bahwa Kecamatan Jabon merupakan kecamatan dengan jumlah penduduk paling sedikit yaitu jiwa atau hanya 3,05% dari seluruh penduduk Sidoarjo. Gambar 5 Sawah di Kecamatan Balongbendo (kiri) dan Prambon (kanan). Sawah memiliki luas wilayah mencapai ,42 ha atau sebesar 15,17% dari luas wilayah Kabupaten Sidoarjo (Gambar 5). Berdasarkan pengolahan citra Landsat 7 ETM, kecamatan dengan luasan terbesar untuk tipe penutupan lahan berupa sawah terdapat di Kecamatan Jabon yakni seluas 1.458,27 ha atau sebesar

6 23 17,74% dari luas wilayahnya. Kecamatan Sukodono merupakan kecamatan dengan persentase luasan terbesar untuk penutupan lahan berupa sawah yakni sebesar 25,12% (824,93 ha) dari luas wilayahnya dijadikan lahan persawahan. Kecamatan dengan luasan terkecil untuk tipe penutupan lahan berupa sawah terdapat di Kecamatan Waru yakni seluas 243,66 ha atau sebesar 7,91% dari luas wilayah kecamatan. Tipe penutupan lahan berupa ladang memiliki luas sebesar 8.910,54 ha. Luas ladang mencapai 12,39% dari luas Kabupaten Sidoarjo. Ladang di Kabupaten Sidoarjo kebanyakan ditanami oleh tanaman jagung dan tebu (Gambar 6). Kecamatan Krembung memiliki tipe penutupan lahan berupa ladang dengan luasan terbesar yakni mencapai 989,54 ha atau sebesar 34,34% dari luas wilayah kecamatan. Kecamatan Jabon merupakan kecamatan dengan persentase terkecil untuk luasan penutupan lahan berupa ladang yakni sebesar 3,99% dari luas wilayah kecamatan atau sebesar 327,65 ha merupakan ladang. Gambar 6 Ladang jagung di Kecamatan Balongbendo dan ladang tebu di Kecamatan Krian. Tipe penutupan lahan berupa rumput dan semak memiliki luas sebesar 5.730,09 ha. Luas ini setara dengan 7,97% dari luas wilayah Kabupaten Sidoarjo. Berdasarkan klasifikasi citra Landsat 7 ETM pada 28 Mei 2011 kecamatan dengan luasan terbesar untuk tipe penutupan lahan berupa rumput dan semak terdapat di Kecamatan Wonoayu yakni seluas 480,52 ha atau sebesar 13,93% dari luas wilayah kecamatan. Kecamatan Sedati merupakan kecamatan dengan luasan terbesar kedua untuk penutupan lahan berupa rumput dan semak, yakni sebesar 468,43 ha atau mencapai 5,91% dari luas wilayah Kecamatan Sedati (Gambar 7).

7 24 Kecamatan Gedangan merupakan kecamatan yang memiliki luasan terkecil untuk tipe penutupan lahan berupa rumput dan semak, yakni sebesar 177,67 ha atau sebesar 7,47 % dari luas wilayah kecamatan. Kecamatan yang memiliki persentase luasan terkecil untuk tipe penutupan lahan berupa rumput dan semak adalah Kecamatan Jabon, yakni menempatkan 3,00% dari luas wilayahnya atau sebesar 246,23 ha merupakan rumput dan semak. Gambar 7 Rumput di kawasan Bandara Udara Juanda, Kecamatan Sedati. Berdasarkan hasil interpretasi citra Landsat 7 ETM pada 28 Mei 2011, tipe penutupan lahan berupa vegetasi jarang memiliki luas mencapai 2.219,80 ha. Vegetasi jarang memiliki luas yang mencakup 3,09% dari luas Kabupaten Sidoarjo. Vegetasi jarang di Kabupaten Sidoarjo terdiri dari jalur hijau jalan (Gambar 8). Kecamatan dengan luasan terbesar untuk penutupan lahan berupa vegetasi jarang adalah Kecamatan Jabon yakni sebesar 195,47 ha atau mencapai 2,38% luas wilayah kecamatan. Kecamatan dengan persentase luasan terbesar untuk tipe penutupan lahan berupa vegetasi jarang adalah Kecamatan Balongbendo, vegetasi jarang di Kecamatan Balongbendo menempati 5,09% (160,71 ha) dari luas wilayah kecamatan. Kecamatan dengan luasan terkecil untuk tipe penutupan lahan berupa vegetasi jarang adalah Kecamatan Porong. Vegetasi jarang di Kecamatan Porong tersebar pada lahan seluas 65,59 ha (2,10%). Kecamatan dengan persentase luasan terkecil untuk tipe penutupan lahan berupa vegetasi jarang adalah Kecamatan Sedati, vegetasi jarang di Kecamatan Sedati menempati 1,83% (144,92 ha) dari luas wilayah kecamatan.

8 25 Gambar 8 Jalur hijau jalan di Kecamatan Sidoarjo dan Kecamatan Buduran. Lahan terbuka mencakup 3,07% dari luas wilayah Kabupaten Sidoarjo. Lahan terbuka memiliki luas mencapai 2.208,90 ha yang merupakan lahan kosong tidak bervegetasi dan berupa areal proyek pembangunan yang awalnya merupakan areal bervegatasi. Kecamatan Porong merupakan kecamatan dengan lahan terbuka terluas yakni sebesar 336,93 ha atau mencapai 10,76 % dari luas wilayah kecamatan (Gambar 9). Kecamatan dengan luasan terkecil untuk penutupan lahan berupa lahan terbuka adalah Kecamatan Tarik, yakni seluas 50,14 ha atau sebesar 1,37% dari luas wilayah kecamatan. Kecamatan dengan persentase luasan terkecil untuk penutupan lahan berupa lahan terbuka adalah Kecamatan Jabon. Lahan terbuka di Kecamatan Jabon menempati 1,03% dari luas wilayah kecamatan atau sebesar 84,90 ha. Gambar 9 Kawasan lumpur Lapindo, Kecamatan Porong. Vegetasi rapat merupakan tipe penutupan lahan dengan luasan terkecil di Kabupaten Sidoarjo. Vegetasi rapat memiliki luas sebesar 1.330,84 ha. Luasan ini mencakup 1,85% dari luas wilayah Kabupaten Sidoarjo. Vegetasi rapat terdiri dari hutan kota yang kompak dan rapat serta arboretum (Gambar 10). Berdasarkan klasifikasi citra Landsat 7 ETM pada 28 Mei 2011 tipe penutupan lahan berupa

9 26 vegetasi rapat dengan luasan terbesar terdapat di Kecamatan Tarik yakni seluas 140,51 ha atau sebesar 3,85% dari luas wilayah kecamatan. Kecamatan Sukodono memiliki tipe penutupan lahan berupa vegetasi rapat dengan persentase luasan terbesar, vegetasi rapat menempati 3,87% dari luas wilayahnya atau sebesar 126,96 ha. Kecamatan dengan luasan terkecil untuk penutupan lahan berupa vegetasi rapat adalah Kecamatan Waru, yakni seluas 31,04 ha atau sebesar 1,01% dari luas wilayah kecamatan. Kecamatan dengan persentase luasan terkecil untuk penutupan lahan berupa vegetasi rapat adalah Kecamatan Sidoarjo yakni menempati 0,73% dari luas wilayah kecamatan atau seluas 45,17 ha. Gambar 10 Hutan rapat di Kecamatan Sidoarjo dan arboretum Balai KSDA Kementrian Kehutanan Jawa Timur di Kecamatan Sedati. Tipe tidak ada data memiliki luas mencapai 16,76% dari luas wilayah Kabupaten Sidoarjo. Kelas tidak ada data memiliki luas sebesar ,37 ha. Kelas tidak ada data terdiri dari awan dan bayangan awan. Awan disebabkan kondisi cuaca pada saat pengambilan data. Bayangan awan dipengaruhi oleh adanya awan, serta luasannya dipengaruhi oleh sudut kemiringan matahari terhadap bumi, jenis awan dan ketinggian awan pada saat perekaman/ pengambilan citra dilakukan. Kelas tidak ada data juga disebabkan karena citra Landsat 7 ETM yang digunakan berbentuk stripping.

10 27 Gambar 11 Peta kasifikasi tutupan lahan Kabupaten Sidoarjo 2011.

11 Distribusi Suhu Permukaan Suhu permukaan Kabupaten Sidoarjo Suhu permukaan yang diperoleh merupakan suhu permukaan hasil pendugaan menggunakan satelit pada satu waktu, dan bukan merupakan suhu rataan dari berbagai waktu dan kondisi. Nilai suhu permukaan yang diperoleh merupakan dugaan nilai suhu permukaan yang terekam pada saat pencitraan satelit 28 Mei Hasil interpretasi dan analisis citra Landsat 7 ETM menunjukkan suhu permukaan Kabupaten Sidoarjo pada 28 Mei 2011 berkisar di antara < 26 o C hingga mencapai 40 o C. Nilai suhu terendah tercatat pada selang < 26 o C. Suhu dengan selang ini mencapai 0,01% luas wilayah Kabupaten Sidoarjo atau sebesar 10,64 ha. Nilai suhu tertinggi tercatat pada selang 40 o C. Suhu dengan selang ini hanya mencapai luas 7,86 ha atau sebesar 0,01 % dari luas wilayah Kabupaten Sidoarjo dan merupakan suhu dengan luasan wilayah terkecil di Kabupaten Sidoarjo (Tabel 4). Tabel 4 Suhu permukaan Kabupaten Sidoarjo tahun 2011 No Selang ( o C) Luas Hektar (ha) Persen (%) 1 < 26 10,64 0, <27 12,39 0, <28 126,63 0, < ,73 10, < ,84 21, < ,18 8, < ,14 16, < ,01 9, < ,28 6, < ,72 4, < ,57 2, <37 334,14 0, <38 105,35 0, <39 38,02 0, <40 8,41 0, ,86 0,01 17 Tidak ada data ,10 18,70 TOTAL ,

12 29 Berdasarkan hasil perhitungan luasan distribusi spasial suhu permukaan di Kabupaten Sidoarjo pada citra Landsat 7 ETM pada 28 Mei 2011, luasan wilayah terbesar nilai distribusi spasial suhu permukaan di Kabupaten Sidoarjo yaitu suhu dengan selang 29 - <30 o C. Suhu dengan selang ini mencapai luas ,84 ha atau 21,67% dari luas wilayah Kabupaten Sidoarjo. Suhu di Kabupaten Sidoarjo tersebar dominan mulai dari selang 28 - <29 o C hingga 32 - <33 o C, suhu pada masing-masing selang ini memiliki luasan lebih dari ha.

13 30 Gambar 12 Peta distribusi suhu permukaan Kabupaten Sidoarjo 2011.

14 Distribusi suhu permukaan Kabupaten Sidoarjo tahun 2011 Berdasarkan hasil interpretasi citra Landsat 7 ETM pada 28 Mei 2011, didapatkan nilai distribusi suhu permukaan Kabupaten Sidoarjo berada pada selang < 26 o C sampai dengan 40 o C. Pada pencitraan 28 Mei 2011, suhu dengan nilai < 26 o C terdistribusi menyebar secara acak pada lahan terbangun, lahan terbuka, rumput dan semak, sawah, ladang dan badan air, selain itu suhu juga terekam pada awan, sehingga masuk dalam kelas tidak ada data. Suhu dengan selang 26 - <27 o C menyebar secara acak pada semua kelas penutupan lahan yang sebagian besar terdapat pada lahan terbangun, selain itu, terekam pada awan sehingga masuk dalam kelas tidak ada data. Suhu dengan selang 27 - <28 o C tersebar di timur laut dan tenggara pada penutupan lahan berupa badan air serta di tengah Kabupaten Sidoarjo terdapat pada penutupan lahan berupa ladang. Distribusi suhu permukaan dengan selang 28 - <29 o C sebagian besar berada pada penutupan lahan berupa badan air (tambak) di sepanjang timur Kabupaten Sidoarjo yang berbatasan dengan laut, serta sebagian lagi terdapat pada ladang di tengah kabupaten. Suhu dengan selang 29 - <30 o C terekam di timur Kabupaten Sidoarjo yakni pada badan air (tambak) yang terdapat di sepanjang laut, sebagian pada penutupan lahan berupa sawah dan ladang yang tersebar di barat dan barat daya kabupaten. Distribusi suhu permukaan dengan selang 30 - <31 o C tersebar di timur Kabupaten Sidoarjo pada penutupan lahan berupa badan air (tambak) yang mulai mengarah ke kawasan perkotaan, sebagian lagi terdapat pada sawah, ladang, vegetasi rapat, dan vegetasi jarang yang tersebar secara merata dari barat daya hingga barat laut Kabupaten Sidoarjo. Suhu dengan selang 31 - <32 o C dan 32 - <33 o C terdistribusi merata dari barat hingga ke tengah menuju kawasan perkotaan Kabupaten Sidoarjo pada semua tipe penutupan lahan. Suhu dengan selang 33 - <34 o C tersebar merata dan mulai mengarah ke kanan dan kiri jalan utama di pusat kabupaten. Suhu dengan selang 34 - <35 o C terdistribusi sebagian di utara kabupaten yang berbatasan dengan Kota Surabaya, sebagian tersebar di sepanjang kanan dan kiri jalan utama di pusat Kabupaten Sidoarjo yang merupakan lahan terbangun, sebagian lagi terdapat di sepanjang kanan dan kiri jalan utama dari utara menuju barat Kabupaten Sidoarjo.

15 32 Distribusi suhu permukaan pada selang 35 - <36 o C terdapat di sepanjang kanan dan kiri jalan utama di pusat kabupaten, di utara kabupaten berupa kawasan permukiman dan industri yang berbatasan dengan Kota Surabaya, di barat kabupaten yang berupa kawasan industri PT Tjiwi Kimia, serta di kawasan Bandara Udara Internasional Juanda. Distribusi suhu permukaan pada selang 36 - <37 o C dan 37 - <38 o C memusat di barat kabupaten yang berupa kawasan industri PT Tjiwi Kimia, di kawasan Bandara Udara Internasional Juanda, serta di lokasi lumpur Lapindo-Porong. Suhu permukaan dengan selang 38 - <39 o C dan 39 - <40 o C terdistribusi memusat, di barat kabupaten yang berupa kawasan industri PT Tjiwi Kimia, serta di lokasi lumpur Lapindo-Porong. Suhu dengan selang 40 o C terdistribusi semakin memusat ke arah pusat semburan lumpur Lapindo-Porong. Hasil pengolahan citra satelit memperlihatkan, terdapat suatu gambaran bahwa suhu permukaan di kawasan perkotaan Kabupaten Sidoarjo khususnya di sepanjang kanan dan kiri jalan utama di pusat kabupaten memiliki suhu permukaan yang lebih tinggi dibandingkan kawasan perdesaan yang berada di barat daya kabupaten. Suhu permukaan di kawasan perdesaan tercatat mulai dari selang 29 - <30 o C, sedangkan suhu permukaan di kawasan perkotaan tercatat mulai dari selang 34 - <35 o C. Perbedaan nilai suhu permukaan ini menunjukkan bahwa telah terjadi fenomena pulau panas atau heat island di Kabupaten Sidoarjo. Fenomena heat island merupakan suatu fenomena atau kejadian peningkatan suhu udara di wilayah perkotaan dibandingkan dengan daerah sekitarnya hingga mencapai 3-10 o C (Khomarudin 2004). Bauman (2001) diacu dalam Khomarudin (2004) menyebutkan efek heat island pada kondisi perkotaan dengan didominasi oleh beton, aspal dan bangunan dapat menimbulkan peningkatan suhu udara permukaan kota karena kemampuan menyeimbangkan pemantauan dan penyerapan energi radiasi berkurang. Tursilowati (2007a) menyebutkan struktur buatan manusia seperti jalan dan bangunan biasanya mempunyai albedo rendah daripada permukaan natural dan menyerap lebih banyak radiasi tampak. Hal ini memperlihatkan bahwa vegetasi yang berkurang dan bertambahnya permukaan urban menimbulkan efek heat island.

16 Hubungan suhu permukaan dengan tutupan lahan Berdasarkan hasil interpretasi citra Landsat 7 ETM pada 28 Mei 2011, terdapat hubungan antara suhu permukaan dengan masing-masing penutupan lahan. Adiningsih et al. (2001) menyebutkan suatu pola interval suhu udara tinggi di permukaan kota khususnya pada penutupan lahan permukiman, lahan terbuka, dan industri dapat disebabkan oleh proses konveksi, yakni panas dipindahkan bersama-sama dengan molekul-molekul udara yang bergerak, sehingga udara dipanaskan oleh permukaan bumi akibat radiasi matahari, dan udara akan mengembang dan naik menuju tekanan yang lebih rendah. Sementara itu suhu akan menurun pada jenis lahan tanaman semusim, vegetasi tinggi dan tubuh air. Hasil interpretasi citra Landsat 7 ETM menunjukkan nilai suhu permukaan dominan pada lahan RTH (rumput dan semak, sawah, ladang, vegetasi rapat, vegetasi jarang) di Kabupaten Sidoarjo lebih rendah dibandingkan dengan tipe penutupan lahan berupa lahan terbuka dan lahan terbangun. Suhu permukaan dominan pada tipe penutupan lahan berupa lahan terbuka dan lahan terbangun masing-masing berada pada selang 33 - <34 o C. Pada lahan RTH, suhu permukaan dominan berada diantara selang 29 - <32 o C (Tabel 5). Data ini menunjukkan pentingnya mempertahankan keberadaan lahan bervegetasi yakni RTH, sehingga pengembangan RTH lebih ke arah mempertahankan dan menambah yang sudah ada. Tabel 5 Hubungan suhu permukaan dengan lahan RTH di Kabupaten Sidoarjo No Tutupan Lahan Suhu Permukaan Dominan ( o C) 1 Lahan Terbuka 33 - <34 2 Lahan Terbangun 33 - <34 3 RTH a. Rumput / Semak 31 - <32 b. Sawah 31 - <32 c. Ladang 29 - <30 d. Vegetasi rapat 29 - <30 e. Vegetasi jarang 31 - <32 4 Badan Air 29 - <30 Ruang terbuka hijau berperan penting dalam perkotaan karena setiap pengurangan luasan RTH akan berakibat naiknya suhu udara dengan nilai relatif lebih besar pada wilayah perkotaan dibandingkan dengan kabupaten. Tipe penutupan lahan yang memiliki vegetasi yang rapat dengan jumlah pepohonan

17 34 yang banyak, dapat memberikan kesejukan pada daerah kota yang panas akibat pantulan panas matahari dari gedung bertingkat dan juga aspal (Effendy 2007 diacu dalam Heksaputri 2011). Tipe penutupan lahan berupa lahan terbuka memiliki suhu permukaan dominan pada selang 33 - <34 o C. Lahan terbuka pada selang ini mencapai luasan sebesar 453,32 ha. Fajri (2011) menyatakan bahwa karakteristik penutupan pada lahan terbuka, sebagian besar energi yang diterimanya digunakan untuk memanaskan udara sehingga banyak dari radiasinya digunakan untuk memanaskan atmosfer. Lahan terbangun memiliki kisaran suhu permukaan dominan pada selang 33 - <34 o C. Luasan lahan terbangun pada selang ini mencapai 2.651,03 ha. Fajri (2011) menyebutkan bahwa lahan terbangun akan memiliki suhu permukaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan penutupan lahan lainnya berkaitan dengan albedo yang tinggi pada lahan terbangun menyebabkan radiasi gelombang pendek yang diterimanya akan lebih dominan untuk dipantulkan dibandingkan dengan radiasi gelombang panjang yang dipancarkan. Selain itu kapasitas kalor pada perkerasan yang cenderung lebih rendah, sehingga kemampuan obyek dalam menyimpan energi yang diterima menjadi rendah dibanding energi yang dipantulkan. Adiningsih et al. (2001) menyebutkan penutup lahan berupa industri dan permukiman dengan bahan beton, permukaannya akan cepat menjadi panas dan suhunya cepat meningkat. Hal ini disebabkan oleh beton memiliki kapasitas kalor kecil dengan konduktivitas termal yang sangat besar. Penutupan lahan berupa rumput dan semak, suhu permukaan dominan berada pada selang 31 - <32 o C. Rumput dan semak pada selang ini memiliki luasan sebesar 1.760,19 ha. Sawah memiliki kisaran suhu permukaan dominan pada selang 31 - <32 o C. Luasan sawah pada selang ini mencapai 4.909,98 ha. Tipe penutupan lahan berupa ladang, suhu permukaan dominan berada pada selang 29 - <30 o C. Luasan ladang pada selang ini sebesar 3.496,69 ha (Gambar 13). Penutupan lahan berupa vegetasi rapat memiliki suhu permukaan dominan pada selang 29 - <30 o C. Vegetasi rapat pada selang ini memiliki luasan mencapai 371,37 ha. Suhu permukaan dominan pada tipe penutupan lahan berupa vegetasi

18 35 jarang berada pada selang 31 - <32 o C. Luasan vegetasi jarang pada selang ini sebesar 606,78 ha. Gambar 13 Grafik suhu permukaan pada berbagai tipe penutupan lahan. Pada lahan bervegetasi baik berupa rumput dan semak, ladang maupun vegetasi dan sawah, memiliki radiasi pantul yang lebih rendah dibandingkan dengan lahan terbangun. Hal ini disebabkan energi yang diterima oleh tumbuhan sebagian besar digunakan untuk metabolisme tumbuhan dan hanya beberapa bagian yang dipantulkan kembali ke atmosfer (Fajri 2011). Suhu permukaan pada vegetasi rapat dapat bernilai lebih rendah karena karakteristik vegetasi rapat dengan ketinggian tanaman yang lebih besar dibandingkan vegetasi lainnya menyebabkan penggunaan energi untuk proses fisiologis tumbuhan lebih besar dibandingkan dengan rumput dan semak, sawah, maupun ladang yang memiliki tinggi tanaman lebih terbatas. Badan air memiliki kisaran suhu permukaan dominan pada selang 29 - <30 o C dengan luasan distribusi pada selang ini mencapai 7.717,15 ha (Gambar 13). Fajri (2011) menyebutkan bahwa dengan kapasitas kalor yang besar, badan air mampu menampung energi radiasi yang lebih besar sehingga menyebabkan radiasi yang dipantulkan juga akan cenderung lebih kecil dibandingkan penutupan lahan yang lain. Air dengan kapasitas kalor yang besar memungkinkan penyerapan kalor secara besar-besaran dan melepaskan secara lambat melalui evaporasi. Dengan adanya uap air yang ditambahkan ke udara melalui evaporasi dalam jumlah besar menjadikan udara lebih sejuk (Adiningsih et al. 2001). Waluyo (2009) menyatakan bahwa radiasi sinar matahari akan

19 36 menembus permukaan air dan disimpan dalam waktu yang lama kemudian dilepaskan dalam bentuk panas. Khomarudin et al. (2005) menyebutkan bahwa jika terjadi perubahan lahan dari vegetasi menjadi pemukiman (perkotaan) akan meningkatkan energi untuk memanaskan udara dan menurunkan evapotranspirasi. Hal ini mengakibatkan suhu udara di wilayah perkotaan akan meningkat, demikian juga dengan kelembaban udara akan menurun, tingkat kekeringan akan tinggi, sehingga kenyamanan akan menjadi lebih rendah. Menjaga keseimbangan antara vegetasi dan bangunan di wilayah perkotaan perlu dilakukan, sehingga akan menjadikan kota lebih nyaman. 5.3 Penentuan Pengaruh Jarak Jangkau Ruang Terbuka Hijau terhadap Suhu Permukaan Penentuan pengaruh jarak jangkau RTH dilakukan dengan menentukan pengaruh dari jarak titik amatan pada penutupan lahan berupa rumput dan semak, sawah, ladang, vegetasi rapat, vegetasi jarang terhadap suhu permukaan di Kabupaten Sidoarjo. Titik amatan adalah titik-titik yang tersebar di lahan terbangun dan lahan terbuka yang akan diekstraksi sebagai pembangkit model (Gambar 14). Gambar 14 Peta sebaran titik amatan pengukuran jarak.

20 Persen 37 Berdasarkan prediktor-prediktor tersebut, dilakukan analisis regresi linier mengenai pengaruh dari masing-masing prediktor terhadap suhu permukaan. Hasil analisis bentuk hubungan antara masing-masing lahan RTH terhadap suhu permukaan didapatkan bahwa jarak rata-rata sawah dan vegetasi rapat tidak berpengaruh nyata terhadap suhu permukaan di Kabupaten Sidoarjo. Hal ini ditunjukkan oleh nilai uji t pada sawah dan vegetasi rapat yang lebih dari 0,05 yakni sawah bernilai 0,907 dan vegetasi rapat bernilai 0,412. Oleh karena itu kedua prediktor tersebut tidak digunakan sebagai penduga suhu permukaan di wilayah Kabupaten Sidoarjo. Pemodelan selanjutnya hanya menggunakan tiga prediktor yaitu jarak titik amatan terhadap rumput dan semak, jarak titik amatan terhadap ladang dan jarak titik amatan terhadap vegetasi jarang. Dari hasil regresi tersebut, dihasilkan model: y = 28,7 + 0,00348 x 1 + 0,593 Ln x 2 + 0,565 Ln x 3.(1) keterangan: y : Suhu Permukaan x 1 : Jarak titik amatan terhadap rumput dan semak x 2 : Jarak titik amatan terhadap ladang x 3 : Jarak titik amatan terhadap vegetasi jarang Berdasarkan hasil uji Kolmogorov-Smirnov, diperoleh bahwa residual dari persamaan tersebut menyebar normal dengan nilai kemungkinan lebih dari 0,150 (Gambar 15). Pada uji autokorelasi dengan menggunakan metode Durbin-Watson, diperoleh nilai uji D-W sebesar 1,844. Nilai tersebut mendekati 2, sehingga dapat dikatakan bahwa galat model tersebut tidak saling beratutokorelasi. 99, , Nilai Residu Gambar 15 Uji kenormalan residual model 1 terhadap suhu permukaan.

21 38 Selanjutnya dilakukan validasi dengan menggunakan 50% dari data titik amatan yang terdiri dari berbagai tipe penutupan lahan untuk menilai kualitas persamaan 1. Data menunjukkan, suhu permukaan hasil dugaan memiliki nilai korelasi sebesar 44,7%. Nilai korelasi ini terbilang cukup kecil dalam menduga suhu permukaan berdasarkan ketiga prediktor tersebut. Persamaan 1 memiliki koefisien determinasi sebesar 41,8%. Model ini belum dapat dikatakan cukup menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi suhu permukaan di Kabupaten Sidoarjo. Angka ini menunjukkan bahwa besarnya pengaruh variabel jarak rata-rata rumput dan semak, ladang dan vegetasi jarang terhadap suhu permukaan sebesar 41,8% dan sisanya (58,2%) dipengaruhi faktorfaktor lain di luar model ini, yakni dapat berupa albedo, radiasi netto, kelembaban air, kelembaban udara dan lain-lain. Hasil penelitian Fajri (2011) menyebutkan suhu permukaan di Kota Bogor dipengaruhi oleh pengaruh jarak rata-rata RTH, albedo dan radiasi netto. Pembuatan model tersebut cukup menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi suhu permukaan di Kota Bogor dilihat dari koefisien determinasi yang bernilai 88,0%. Berdasarkan hasil regresi persamaan 1 didapatkan bahwa vegetasi jarang memiliki pengaruh yang cukup nyata terhadap suhu permukaan di Kabupaten Sidoarjo diduga disebabkan oleh cukup dekatnya jarak antar vegetasi jarang dari titik amatan. Keberadaan vegetasi jarang terutama jalur hijau jalan harus dipertahankan dan perlu ditambah karena pengaruh yang terlihat nyata dalam mempengaruhi suhu permukaan di Kabupaten Sidoarjo. Pengaruh vegetasi rapat di Kabupaten Sidoarjo tidak nyata pada daerah perkotaan diduga karena jarak yang berjauhan antara masing-masing vegetasi rapat dari titik amatan serta tersebarnya secara merata vegetasi lainnya dalam bentuk persawahan dan perladangan di Kabupaten Sidoarjo yang mengakibatkan dampak eksistensi vegetasi rapat tidak terlihat nyata. Vegetasi rapat tidak berpengaruh nyata terhadap suhu permukaan, hal ini dapat disebabkan oleh luasan pada vegetasi rapat yang tidak terlalu besar. Namun, keberadaan vegetasi rapat tetap perlu dipertahankan bahkan ditambah.

22 39 Tauhid (2008) menyebutkan bahwa keberadaan vegetasi memiliki efek menurunkan suhu udara. Efek vegetasi efektif dalam menekan kenaikan suhu udara, pada jarak sejauh 8 m (area terluar tajuk) hingga 12 m dari pusat kanopi, efek vegetasi masih efektif menekan kenaikan suhu udara. Pohon dengan lebar tajuk mencapai 8 meter, suhu udara pada pusat kanopi (pohon) lebih rendah dibandingkan titik pada jarak 12 m dan 24 m, sedangkan suhu udara pada jarak 12 m dari pusat kanopi lebih rendah dari suhu udara pada jarak 24 m dari pusat kanopi. Sedangkan Wonorahardjo et al. (2007) melakukan analisis pengaruh vegetasi pada lingkungan termal dengan zona ukur sejauh 300 m, didapatkan bahwa semakin banyak pohon, maka temperatur udara semakin rendah. 5.4 Pengembangan Ruang Terbuka Hijau Penutupan lahan Kabupaten Sidoarjo didominasi oleh RTH yang hampir menutupi lebih dari 40% wilayah Kabupaten Sidoarjo. Berdasarkan hasil analisis regresi linier didapatkan bahwa jarak titik amatan antar RTH terutama rumput dan semak, ladang dan vegetasi jarang cukup signifikan, namun hanya berpengaruh 41,8% terhadap suhu permukaan di Kabupaten Sidoarjo. Hasil ini menunjukkan masih terdapat faktor lainnya yang dapat mempengaruhi suhu permukaan di Kabupaten Sidoarjo selain jarak titik amatan antar RTH, namun demikian keberadaan RTH tetap perlu dipertahankan. Hal ini berkaitan dengan fungsi RTH dalam mempengaruhi iklim mikro kota. Keberadaan RTH sangatlah penting dalam rangka pengembangan kota/ perkotaan yang lebih baik. Perencanaan RTH diperlukan untuk mengatur dan mengelola ruang atau lahan agar dapat dimanfaatkan secara optimal sesuai dengan tujuan. RTH yang ada pada suatu wilayah diharapkan dapat sejalan dengan perkembangan kota yang terjadi sehingga dapat diarahkan untuk menciptakan, memelihara dan meningkatkan kualitas lingkungan (Haris 2006). Pemetaan distribusi suhu permukaan menunjukkan bahwa suhu permukaan dengan selang tinggi terdapat secara mengelompok di utara kabupaten yang berbatasan dengan Kotamadya Surabaya, di sepanjang kanan kiri jalan yang terletak di pusat kabupaten, di sekitar pusat semburan lumpur Lapindo-Porong serta di barat Kabupaten Sidoarjo. Berdasarkan distribusi suhu permukaan

23 40 diperoleh daerah-daerah dengan kisaran suhu permukaan tertentu. Kisaran suhu permukaan ini digunakan sebagai acuan alternatif dalam pengembangan RTH di Kabupaten Sidoarjo. Tabel 6 Rencana pengembangan RTH Daerah Pengembangan Kawasan Alternatif I Kawasan PT Tjiwi Kimia ( Kecamatan Tarik ) Industri Penghijauan kawasan industri, Taman vertikal, RTH sempadan sungai II III Kecamatan Waru, Sidoarjo Kecamatan Krian, Taman, Balongbendo, Tarik Permukiman, Industri, Perdagangan, Perkantoran Jalur by-pass kendaraan Jalur hijau, Taman vertikal, Taman pekarangan Jalur hijau jalan IV Kecamatan Porong Lahan terbuka Jalur hijau jalan Kawasan PT Tjiwi Kimia menjadi prioritas pengembangan RTH dikarenakan nilai suhu permukaan yang terekam di daerah ini cukup tinggi. Suhu permukaan pada kawasan ini mencapai nilai 40 o C. Pada kawasan yang direncanakan sebagai zona industri ini, juga akan dibangun Kawasan Water Front City yaitu semua aktivitasnya berorientasi sungai (Kab.Sidoarjo 2009). Sebagai zona industri, bentuk penghijauan yang dapat dilakukan yakni dengan penanaman tumbuhan di sekitar kawasan industri. Bentuk penghijauan lainnya yang dapat dilakukan adalah pembuatan taman vertikal, yakni penanaman tumbuhan yang dilakukan pada bidang vertikal, dapat dilakukan pada dinding-dinding bangunan industri yang cukup kuat dan kokoh. Wilayah Kecamatan Tarik yang akan dikembangkan menjadi Kawasan Water Front City, akan berpotensi menggunakan Sungai Porong yang melewati kecamatan tersebut menjadi pusat pengembangannya. Pengembangan RTH dapat dilakukan pada sempadan sungai, yakni dengan penanaman dan pengkayaan jenis pada sempadan sungai. Kecamatan Waru dan Kecamatan Sidoarjo menjadi prioritas pengembangan RTH dikarenakan memiliki nilai suhu permukaan yang tinggi. Dengan didominasi penutupan lahan berupa lahan terbangun, yakni kawasan permukiman, industri, maupun kawasan perdagangan dan perkantoran, bentuk

24 41 penghijauan yang dapat dilakukan adalah penanaman pada jalur kendaraan, pembuatan taman vertikal dan taman pekarangan pada rumah-rumah warga. Jalur by pass kendaraan yang melewati Kecamatan Tarik, Balongbendo Taman dan Krian dapat dikembangkan menjadi jalur hijau jalan. Pada sepanjang jalan ini, pengembangan tata ruang diarahkan menuju zona industri (Kab.Sidoarjo 2009). Di sepanjang jalur dapat dilakukan penanaman pohon yang dikombinasikan perdu dan semak yang pemilihan jenis tanamannya dapat meredusir partikel. Kecamatan Porong, menjadi prioritas karena merupakan daerah dengan nilai suhu permukaan tertinggi. Hasil penelitian mencatat suhu permukaan bernilai hampir 43 o C terekam pada pusat semburan lumpur Lapindo. Pada pusat semburan lumpur dan kawasan sekitarnya direncanakan sebagai Kawasan Lindung Geologi yang pengembangan dan pemanfaatannya didasarkan pada kondisi geologi lingkungan setempat dan dilakukan secara hati-hati (Kab.Sidoarjo 2009). Pengembangan RTH dapat dilakukan dengan penanaman pohon pada sepanjang jalur jalan di sebelah tanggul bagian barat. Penanaman pohon dapat dilakukan dengan media pot yang cukup besar. Pembuatan taman atap juga dapat dilakukan sebagai tindakan mengurangi peningkatan suhu permukaan (Gambar 16). Pemerintah Kabupaten Sidoarjo dapat menetapkan kebijakan bagi bangunan-bangunan yang baru akan dibangun khususnya bangunan perkantoran dan industri untuk menyediakan lahan di atapnya menjadi taman atap. Pemilik bangunan yang mematuhi kebijakan ini dapat diberi insentif mengenai kemudahan pengurusan perpanjangan izin ataupun pembayaran pajak dan lain-lain. Tanaman yang ditanam pada taman atap dapat berupa jenis rumput-rumputan, tanaman merambat, semak serta perdu dengan karakteristik perakaran yang tidak terlalu dalam. Dengan memanfaatkan atap bangunan untuk ditanami tumbuhan, radiasi matahari dapat dimanfaatkan oleh tumbuhan untuk proses metabolismenya sehingga gelombang panjang yang dipantulkan kembali menjadi lebih sedikit. Penelitian Liu (2002) mengenai perbandingan kemampuan efisiensi energi pada taman atap menyebutkan bahwa, membran pada atap biasa menyerap radiasi matahari dan mencapai suhu sekitar

25 42 70 o C (158 o F) sedangkan membran pada taman atap menyerap radiasi matahari tetap sekitar 25 o C (77 o F). Gambar 16 Taman atap di kawasan Bandara Udara Juanda, Kecamatan Sedati. Selain itu pengembangan RTH di lokasi lain Kabupaten Sidoarjo dapat dilakukan dengan menambah jalur hijau jalan. Penghijauan dilakukan pada jalur hijau jalan dengan menanaminya dengan pohon, perdu maupun tanaman lainnya pada sepanjang jalur jalan. Penanaman pohon pada jalur-lajur hijau jalan dengan lokasi yang tersebar di Kabupaten Sidoarjo akan dapat memberikan efek lebih baik dalam menurunkan suhu permukaan di Kabupaten Sidoarjo. Dari hasil analisis regresi didapatkan bahwa vegetasi jarang berpengaruh cukup nyata terhadap suhu permukaan di Kabupaten Sidoarjo, hal ini dapat dijadikan acuan bahwa penambahan jalur hijau jalan akan dapat berpengaruh nyata terhadap suhu permukaan di Kabupaten Sidoarjo.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 6 3.3.5 Persamaan Hubungan RTH dengan Suhu Udara Penjelasan secara ilmiah mengenai laju pemanasan/pendinginan suhu udara akibat pengurangan atau penambahan RTH adalah mengikuti hukum pendinginan Newton,

Lebih terperinci

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : NDVI=(band4 band3)/(band4+band3).18 Nilai-nilai indeks vegetasi di deteksi oleh instrument pada

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3Perubahan tutupan lahan Jakarta tahun 1989 dan 2002.

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3Perubahan tutupan lahan Jakarta tahun 1989 dan 2002. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi geografis daerah kajian Kota Jakarta merupakan ibukota Republik Indonesia yang berkembang pada wilayah pesisir. Keberadaan pelabuhan dan bandara menjadikan Jakarta

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang.

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang. III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-Oktober 2010. Lokasi penelitian di Kota Palembang dan Laboratorium Analisis Spasial Lingkungan, Departemen Konservasi Sumberdaya

Lebih terperinci

BAB 2 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. 2.1 Geografi dan Demografi Kabupaten Sidoarjo

BAB 2 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. 2.1 Geografi dan Demografi Kabupaten Sidoarjo BAB 2 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Semburan lumpur Lapindo terjadi di area pengeboran sumur Banjar Panji 1 yang dioperasikan oleh Lapindo Brantas Incorporation (LBI), yang berlokasi di desa Renokenongo,

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 9. Peta Orientasi Wilayah Kecamatan Beji, Kota Depok

METODE PENELITIAN. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 9. Peta Orientasi Wilayah Kecamatan Beji, Kota Depok III. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kecamatan Beji sebagai pusat Kota Depok, Jawa Barat yang berbatasan langsung dengan Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Penelitian

Lebih terperinci

Tabel 11. Klasifikasi Penutupan Lahan Data Citra Landsat 7 ETM, Maret 2004

Tabel 11. Klasifikasi Penutupan Lahan Data Citra Landsat 7 ETM, Maret 2004 53 5.1.3 Klasifikasi Penutupan Lahan Klasifikasi data Citra Landsat dilakukan untuk pengelompokan penutupan lahan pada tahun 2004. Metode yang dipergunakan adalah klasifikasi terbimbing (Supervised Classification).

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Suhu Permukaan Suhu permukaan dapat diartikan sebagai suhu terluar suatu obyek. Untuk suatu tanah terbuka, suhu permukaan adalah suhu pada lapisan terluar permukaan tanah. Sedangkan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Proyeksi Pertumbuhan Penduduk Kota Per Kecamatan Kota yang terdiri dari enam kecamatan memiliki proporsi jumlah penduduk yang tidak sama karena luas masing-masing kecamatan

Lebih terperinci

INVENTARISASI DAN PENENTUAN KEMAMPUAN SERAPAN EMISI CO2 OLEH RUANG TERBUKA HIJAU DI KABUPATEN SIDOARJO, JAWA TIMURM

INVENTARISASI DAN PENENTUAN KEMAMPUAN SERAPAN EMISI CO2 OLEH RUANG TERBUKA HIJAU DI KABUPATEN SIDOARJO, JAWA TIMURM INVENTARISASI DAN PENENTUAN KEMAMPUAN SERAPAN EMISI CO2 OLEH RUANG TERBUKA HIJAU DI KABUPATEN SIDOARJO, JAWA TIMURM Izzati Winda Murti 1 ), Joni Hermana 2 dan R. Boedisantoso 3 1,2,3) Environmental Engineering,

Lebih terperinci

FENOMENA URBAN HEAT ISLAND (UHI) PADA BEBERAPA KOTA BESAR DI INDONESIA SEBAGAI SALAH SATU DAMPAK PERUBAHAN LINGKUNGAN GLOBAL. Erwin Hermawan.

FENOMENA URBAN HEAT ISLAND (UHI) PADA BEBERAPA KOTA BESAR DI INDONESIA SEBAGAI SALAH SATU DAMPAK PERUBAHAN LINGKUNGAN GLOBAL. Erwin Hermawan. FENOMENA URBAN HEAT ISLAND (UHI) PADA BEBERAPA KOTA BESAR DI INDONESIA SEBAGAI SALAH SATU DAMPAK PERUBAHAN LINGKUNGAN GLOBAL Erwin Hermawan Abstrak Secara umum, UHI mengacu pada peningkatan suhu udara,

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 37 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penutupan Lahan Kota Bogor Tahun 2011 Penutupan lahan menggambarkan konstruksi vegetasi dan buatan yang menutup permukaan lahan (Burley 1961 dalam LO 1996). Peta penutupan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Central Business District (CBD) Berdasarkan Undang-Undang No. 24 Tahun 1992 mengenai penataan ruang, pada Pasal 1 disebutkan bahwa kawasan perkotaan adalah kawasan yang mempunyai

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil analisis terhadap hasil survey lapangan, running eksisting dan

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil analisis terhadap hasil survey lapangan, running eksisting dan BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis terhadap hasil survey lapangan, running eksisting dan running modifikasi, didapatkan beberapa temuan, diantaranya sebagai berikut

Lebih terperinci

Nilai Io diasumsikan sebagai nilai R s

Nilai Io diasumsikan sebagai nilai R s 11 Nilai Io diasumsikan sebagai nilai R s, dan nilai I diperoleh berdasarkan hasil penghitungan nilai radiasi yang transmisikan oleh kanopi tumbuhan, sedangkan nilai koefisien pemadaman berkisar antara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Kota adalah pusat pertumbuhan yang ditandai dengan perkembangan jumlah penduduk (baik karena proses alami maupun migrasi), serta pesatnya pembangunan sarana dan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5.1 Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Wilayah Pengembangan Tegallega pada Tahun

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5.1 Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Wilayah Pengembangan Tegallega pada Tahun V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penghitungan Aspek Kependudukan Kependudukan merupakan salah satu bagian dari aspek sosial pada Wilayah Pengembangan Tegallega. Permasalahan yang dapat mewakili kondisi kependudukan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pengolahan Awal Citra (Pre-Image Processing) Pengolahan awal citra (Pre Image Proccesing) merupakan suatu kegiatan memperbaiki dan mengoreksi citra yang memiliki kesalahan

Lebih terperinci

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Spektral Citra yang digunakan pada penelitian ini adalah Citra ALOS AVNIR-2 yang diakuisisi pada tanggal 30 Juni 2009 seperti yang tampak pada Gambar 11. Untuk dapat

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian METODE Waktu dan Tempat Penelitian

PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian METODE Waktu dan Tempat Penelitian PENDAHULUAN Latar Belakang Kejadian kebakaran wilayah di Indonesia sudah menjadi peristiwa tahunan, khususnya di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Pada tahun 2013 kebakaran di Pulau Sumatera semakin meningkat

Lebih terperinci

Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997

Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997 LAMPIRAN Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997 17 Lampiran 2. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 2006 18 Lampiran 3. Peta sebaran suhu permukaan Kodya Bogor tahun

Lebih terperinci

Lampiran 1 Uji akurasi klasifikasi lahan

Lampiran 1 Uji akurasi klasifikasi lahan LAMPIRAN Lampiran 1 Uji akurasi klasifikasi lahan CLASSIFICATION ACCURACY ASSESSMENT REPORT ----------------------------------------- Image File : e:/prof r pradipta/peta peta/end landsat 7 etm 2011 28

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Interpretasi Visual Penggunaan Lahan Melalui Citra Landsat Interpretasi visual penggunaan lahan dengan menggunakan citra Landsat kombinasi band 542 (RGB) pada daerah penelitian

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kota dan Hutan Kota ( Permasalahan Lingkungan Kota

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kota dan Hutan Kota ( Permasalahan Lingkungan Kota 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kota dan Hutan Kota Kota adalah suatu pusat permukiman penduduk yang besar dan luas, terdapat berbagai ragam kegiatan ekonomi dan budaya. Pada kenyataannya kota merupakan tempat

Lebih terperinci

ANALISIS URBAN HEAT ISLAND

ANALISIS URBAN HEAT ISLAND ANALISIS URBAN HEAT ISLAND DALAM KAITANNYA TERHADAP PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN DI KOTA PONTIANAK Indra Rukmana Ardi 1, Mira Sophia Lubis 2, Yulisa Fitrianingsih 1 1 Program Studi Teknik Lingkungan, Fakultas

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikim Kota Daerah Tropis

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikim Kota Daerah Tropis II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikim Kota Daerah Tropis Menurut Petterssen (1941), iklim merupakan rata-rata atau kondisi normal cuaca dalam jangka waktu panjang, 30 tahun atau lebih. Iklim suatu wilayah ditentukan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Citra 5.1.1 Kompilasi Citra Penelitian menggunakan citra Quickbird yang diunduh dari salah satu situs Internet yaitu, Wikimapia. Dalam hal ini penulis memilih mengambil

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Suhu Udara Perkotaan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Suhu Udara Perkotaan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Suhu Udara Perkotaan Menurut Santosa (1986), kepadatan penduduk kota yang cukup tinggi akan mengakibatkan bertambahnya sumber kalor sebagai akibat dari aktifitas dan panas metabolisme

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Citra Digital Interpretasi dilakukan dengan pembuatan area contoh (training set) berdasarkan pengamatan visual terhadap karakteristik objek dari citra Landsat. Untuk

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan dari bulan Juli sampai September 2011 di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Pengolahan data dilakukan di Laboratorium Analisis Lingkungan

Lebih terperinci

Prosiding Perencanaan Wilayah dan Kota ISSN:

Prosiding Perencanaan Wilayah dan Kota ISSN: Prosiding Perencanaan Wilayah dan Kota ISSN: 2460-6480 Kajian Upaya Penurunan Dampak Urban Heat Island di Kota Tanjungpinang The Study of The Reducing Effort on Urban Heat Island s Impact in Kota Tanjungpinang

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 11 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan yaitu bulan Juli-Agustus 2010 dengan pemilihan lokasi di Kota Denpasar. Pengolahan data dilakukan di Laboratorium

Lebih terperinci

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 7 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Geografis Kabupaten Karawang Wilayah Kabupaten Karawang secara geografis terletak antara 107 02-107 40 BT dan 5 56-6 34 LS, termasuk daerah yang relatif rendah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan lingkungan saat ini semakin meningkat. Salah satu masalah lingkungan global yang dihadapi banyak negara adalah terjadinya pulau bahang kota (urban heat island)

Lebih terperinci

Aninda Nurry M.F., Ira Mutiara Anjasmara Jurusan Teknik Geomatika FTSP-ITS, Kampus ITS Sukolilo, Surabaya,

Aninda Nurry M.F., Ira Mutiara Anjasmara Jurusan Teknik Geomatika FTSP-ITS, Kampus ITS Sukolilo, Surabaya, KAJIAN PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN DAERAH ALIRAN SUNGAI BRANTAS BAGIAN HILIR MENGGUNAKAN CITRA SATELIT MULTI TEMPORAL (STUDI KASUS: KALI PORONG, KABUPATEN SIDOARJO) Aninda Nurry M.F., Ira Mutiara Anjasmara

Lebih terperinci

1 BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemanfaatan penggunaan lahan akhir-akhir ini semakin mengalami peningkatan. Kecenderungan peningkatan penggunaan lahan dalam sektor permukiman dan industri mengakibatkan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Identifikasi Tutupan Lahan di Lapangan Berdasarkan hasil observasi lapangan yang telah dilakukan di Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Tapanuli Utara, dan Kabupaten

Lebih terperinci

ix

ix DAFTAR ISI viii ix x DAFTAR TABEL Tabel 1.1. Emisivitas dari permukaan benda yang berbeda pada panjang gelombang 8 14 μm. 12 Tabel 1.2. Kesalahan suhu yang disebabkan oleh emisivitas objek pada suhu 288

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. 5.1 Analisis Hasil Pengolahan Band VNIR dan SWIR

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. 5.1 Analisis Hasil Pengolahan Band VNIR dan SWIR BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Hasil Pengolahan Band VNIR dan SWIR Hasil pengolahan dari nilai piksel band VNIR dan SWIR yang dibahas pada bab ini yaitu citra albedo, NDVI dan emisivitas. Ketiganya

Lebih terperinci

Pemetaan Pola Hidrologi Pantai Surabaya-Sidoarjo Pasca Pembangunan Jembatan Suramadu dan Peristiwa Lapindo Menggunakan Citra SPOT 4

Pemetaan Pola Hidrologi Pantai Surabaya-Sidoarjo Pasca Pembangunan Jembatan Suramadu dan Peristiwa Lapindo Menggunakan Citra SPOT 4 Pemetaan Pola Hidrologi Pantai Surabaya-Sidoarjo Pasca Pembangunan Jembatan Suramadu dan Peristiwa Lapindo Menggunakan Citra SPOT 4 Oleh : Linda Ardi Oktareni Pembimbing : Prof. DR. Ir Bangun M.S. DEA,

Lebih terperinci

SEMINAR TUGAS AKHIR. Oleh: Aninda Nurry M.F ( ) Dosen Pembimbing : Ira Mutiara Anjasmara ST., M.Phil-Ph.D

SEMINAR TUGAS AKHIR. Oleh: Aninda Nurry M.F ( ) Dosen Pembimbing : Ira Mutiara Anjasmara ST., M.Phil-Ph.D SEMINAR TUGAS AKHIR Oleh: Aninda Nurry M.F (3510100010) Dosen Pembimbing : Ira Mutiara Anjasmara ST., M.Phil-Ph.D PENDAHULUAN Contoh: Bagian Tengah :Danau, Waduk Contoh: Sub DAS Brantas Landsat 7 diperlukan

Lebih terperinci

BAB III. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III. HASIL DAN PEMBAHASAN 11 BAB III. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Klasifikasi dan Perubahan Penutupan Analisis yang dilakukan pada penelitian ini ditujukan untuk mengetahui tipe penutupan lahan yang mendominasi serta lokasi lahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penggunaan lahan merupakan hasil kegiatan manusia baik yang berlangsung secara siklus atau permanen pada sumberdaya lahan alami maupun buatan guna terpenuhinya kebutuhan

Lebih terperinci

PEMANASAN BUMI BAB. Suhu dan Perpindahan Panas. Skala Suhu

PEMANASAN BUMI BAB. Suhu dan Perpindahan Panas. Skala Suhu BAB 2 PEMANASAN BUMI S alah satu kemampuan bahasa pemrograman adalah untuk melakukan kontrol struktur perulangan. Hal ini disebabkan di dalam komputasi numerik, proses perulangan sering digunakan terutama

Lebih terperinci

III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian 3.2 Lokasi Penelitian

III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian 3.2 Lokasi Penelitian III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan Februari sampai September 2011. Kegiatan penelitian ini meliputi tahap prapenelitian (persiapan, survei), Inventarisasi (pengumpulan

Lebih terperinci

Gambar 5 Peta administrasi DKI Jakarta (Sumber : Jakarta.go.id)

Gambar 5 Peta administrasi DKI Jakarta (Sumber : Jakarta.go.id) 6 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Wilayah Kajian Jakarta terletak pada lintang 106 o 22 42 BT s.d. 106 o 58 18 BT dan 5 o 10 12 LS s.d. 6 o 23 54 LS. Berdasarkan Keputusan Gubernur Nomor 1227

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Urban Heat Island Sebagai Dampak Dari Pembangunan Perkotaan

BAB I PENDAHULUAN Urban Heat Island Sebagai Dampak Dari Pembangunan Perkotaan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.1.1. Urban Heat Island Sebagai Dampak Dari Pembangunan Perkotaan Pembangunan perkotaan membawa perubahan pada lingkungan fisikdan atmosfer kota. Pada lingukungan

Lebih terperinci

Bab IV Hasil dan Pembahasan

Bab IV Hasil dan Pembahasan Bab IV Hasil dan Pembahasan 4.1. Hasil 4.1.1. Digitasi dan Klasifikasi Kerapatan Vegetasi Mangrove Digitasi terhadap citra yang sudah terkoreksi dilakukan untuk mendapatkan tutupan vegetasi mangrove di

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 24 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penggunaan Lahan Sawah dan Tegalan di Kabupaten Bogor Penggunaan lahan di Kabupaten Bogor pada tahun 1990, 2001, 2004, dan 2008 masih didominasi oleh lahan pertanian yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. menyebabkan perubahan tata guna lahan dan penurunan kualitas lingkungan. Alih

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. menyebabkan perubahan tata guna lahan dan penurunan kualitas lingkungan. Alih BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tingginya kebutuhan lahan dan semakin terbatasnya sumberdaya alam menyebabkan perubahan tata guna lahan dan penurunan kualitas lingkungan. Alih guna hutan sering terjadi

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pemetaan Batimetri 4.1.1. Pemilihan Model Dugaan Dengan Nilai Digital Asli Citra hasil transformasi pada Gambar 7 menunjukkan nilai reflektansi hasil transformasi ln (V-V S

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Perencanaan Hutan Kota Arti kata perencanaan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Fak. Ilmu Komputer UI 2008) adalah proses, perbuatan, cara merencanakan (merancangkan).

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Data tentang luas tutupan lahan pada setiap periode waktu penelitian disajikan pada

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Data tentang luas tutupan lahan pada setiap periode waktu penelitian disajikan pada 82,6 443.8 157.9 13.2 2664.8 1294.5 977.6 2948.8 348.7 1777.9 1831.6 65.8 2274.9 5243.4 469.2 4998.4 Hektar 9946.9 11841.8 13981.2 36 V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Analisis Citra Data tentang luas tutupan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ruang Terbuka Hijau Ruang terbuka hijau adalah area memanjang baik berupa jalur maupun mengelompok yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, sebagai tempat tumbuhnya vegetasi-vegetasi,

Lebih terperinci

Pemanasan Bumi. Suhu dan Perpindahan Panas

Pemanasan Bumi. Suhu dan Perpindahan Panas Pemanasan Bumi Meteorologi Suhu dan Perpindahan Panas Suhu merupakan besaran rata- rata energi kine4k yang dimiliki seluruh molekul dan atom- atom di udara. Udara yang dipanaskan akan memiliki energi kine4k

Lebih terperinci

Gambar 1. Satelit Landsat

Gambar 1. Satelit Landsat 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu

Lebih terperinci

Gambar 13. Citra ALOS AVNIR

Gambar 13. Citra ALOS AVNIR 32 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Citra ALOS AVNIR Citra yang digunakan pada penelitian ini adalah Citra ALOS AVNIR tahun 2006 seperti yang tampak pada Gambar 13. Adapun kombinasi band yang digunakan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Perubahan Rasio Hutan Sebelum membahas hasil simulasi model REMO, dilakukan analisis perubahan rasio hutan pada masing-masing simulasi yang dibuat. Dalam model

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumatera Utara memiliki luas total sebesar 181.860,65 Km² yang terdiri dari luas daratan sebesar 71.680,68 Km² atau 3,73 % dari luas wilayah Republik Indonesia. Secara

Lebih terperinci

Hubungan Ruang Terbuka Hijau (RTH) dengan Suhu dan Kelembapan dalam Kajian Iklim Mikro di Kota Malang

Hubungan Ruang Terbuka Hijau (RTH) dengan Suhu dan Kelembapan dalam Kajian Iklim Mikro di Kota Malang Hubungan Ruang Terbuka Hijau (RTH) dengan Suhu dan Kelembapan dalam Kajian Iklim Mikro di Kota Malang Heni Masruroh Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Malang E-mail: henimasruroh@rocketmail.com ABSTRAK:

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Provinsi Daerah Tingkat (dati) I Sumatera Utara, terletak antara 1-4 Lintang

BAB 1 PENDAHULUAN. Provinsi Daerah Tingkat (dati) I Sumatera Utara, terletak antara 1-4 Lintang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Provinsi Daerah Tingkat (dati) I Sumatera Utara, terletak antara 1-4 Lintang Utara (LU) dan 98-100 Bujur Timur (BT), merupakan wilayah yang berbatasan di sebelah utara

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA INDEKS LUAS DAUN DENGAN IKLIM MIKRO DAN INDEKS KENYAMANAN

HUBUNGAN ANTARA INDEKS LUAS DAUN DENGAN IKLIM MIKRO DAN INDEKS KENYAMANAN Media Konservasi Vol. 17, No. 3 Desember 2012 : 143 148 HUBUNGAN ANTARA INDEKS LUAS DAUN DENGAN IKLIM MIKRO DAN INDEKS KENYAMANAN (Correlation between Leaf Area Index with Micro Climate and Temperature

Lebih terperinci

Skema proses penerimaan radiasi matahari oleh bumi

Skema proses penerimaan radiasi matahari oleh bumi Besarnya radiasi yang diserap atau dipantulkan, baik oleh permukaan bumi atau awan berubah-ubah tergantung pada ketebalan awan, kandungan uap air, atau jumlah partikel debu Radiasi datang (100%) Radiasi

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik 4.1.1 Wilayah Administrasi Kota Bandung merupakan Ibukota Propinsi Jawa Barat. Kota Bandung terletak pada 6 o 49 58 hingga 6 o 58 38 Lintang Selatan dan 107 o 32 32 hingga

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Analisis Kebutuhan Air Irigasi Kebutuhan Air untuk Pengolahan Tanah

TINJAUAN PUSTAKA Analisis Kebutuhan Air Irigasi Kebutuhan Air untuk Pengolahan Tanah II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Analisis Kebutuhan Air Irigasi Kebutuhan air tanaman adalah banyaknya air yang dibutuhkan tanaman untuk membentuk jaringan tanaman, diuapkan, perkolasi dan pengolahan tanah. Kebutuhan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Identifikasi Objek di Lapangan Pengamatan lapangan dilakukan di 3 (tiga) kabupaten, yaitu : Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten Cianjur. Titik pengamatan sebanyak

Lebih terperinci

BUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI SIDOARJO NOMOR 63 TAHUN 2015

BUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI SIDOARJO NOMOR 63 TAHUN 2015 BUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI SIDOARJO NOMOR 63 TAHUN 2015 TENTANG KEBUTUHAN DAN PENYALURAN SERTA HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN KABUPATEN SIDOARJO

Lebih terperinci

BAB IV ANALISA STUDI KASUS

BAB IV ANALISA STUDI KASUS BAB IV ANALISA STUDI KASUS IV.1 GOR Bulungan IV.1.1 Analisa Aliran Udara GOR Bulungan terletak pada daerah perkotaan sehingga memiliki variasi dalam batas-batas lingkungannya. Angin yang menerpa GOR Bulungan

Lebih terperinci

Fungsi Ruang Terbuka Hijau (RTH) bagi Kesetimbangan Lingkungan Atmosfer Perkotan

Fungsi Ruang Terbuka Hijau (RTH) bagi Kesetimbangan Lingkungan Atmosfer Perkotan Fungsi Ruang Terbuka Hijau (RTH) bagi Kesetimbangan Lingkungan Atmosfer Perkotan bagian 1 : Pendekatan perhitungan Suhu udara, Damping depth dan Diffusivitas thermal Oleh : Pendahuluan Ruang terbuka hijau

Lebih terperinci

Lampiran. Universitas Sumatera Utara

Lampiran. Universitas Sumatera Utara Lampiran Lampiran 1. Titik Posisi ground check dan data titik lapangan Tabel 1. Titik Posisi ground check No LU BT Peta Kondisi Lapangan keterangan 1 2 15'6.67" 98 53'24.24" 2 2 14'49.28" 98 53'26.28"

Lebih terperinci

Gambar 1.1 Siklus Hidrologi (Kurkura, 2011)

Gambar 1.1 Siklus Hidrologi (Kurkura, 2011) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Air merupakan kebutuhan yang mutlak bagi setiap makhluk hidup di permukaan bumi. Seiring dengan pertambahan penduduk kebutuhan air pun meningkat. Namun, sekarang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan kota sebagai pusat pemukiman, industri dan perdagangan

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan kota sebagai pusat pemukiman, industri dan perdagangan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LatarBelakang Perkembangan kota sebagai pusat pemukiman, industri dan perdagangan telah mengalami transformasi lingkungan fisik lahan. Transformasi lingkungan fisik lahan tersebut

Lebih terperinci

Lanskap Perkotaan (Urban Landscape) HUTAN KOTA. Dr. Ir. Ahmad Sarwadi, MEng. Ir. Siti Nurul Rofiqo Irwan, MAgr, PhD.

Lanskap Perkotaan (Urban Landscape) HUTAN KOTA. Dr. Ir. Ahmad Sarwadi, MEng. Ir. Siti Nurul Rofiqo Irwan, MAgr, PhD. Lanskap Perkotaan (Urban Landscape) HUTAN KOTA Dr. Ir. Ahmad Sarwadi, MEng. Ir. Siti Nurul Rofiqo Irwan, MAgr, PhD. Tujuan Memahami makna dan manfaat hutan kota pada penerapannya untuk Lanskap Kota. Memiliki

Lebih terperinci

LKS EFEK RUMAH KACA, FAKTA ATAU FIKSI. Lampiran A.3

LKS EFEK RUMAH KACA, FAKTA ATAU FIKSI. Lampiran A.3 Lampiran A.3 155 LKS EFEK RUMAH KACA, FAKTA ATAU FIKSI Bacalah wacana dibawah ini! kemudian diskusikanlah bersama teman kelompokmu. Efek Rumah Kaca: Fakta atau Fiksi? Makhluk hidup memerlukan energi untuk

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN.. Interpretasi Visual Penggunaan Lahan Setiap obyek yang terdapat dalam citra memiliki kenampakan karakteristik yang khas sehingga obyek-obyek tersebut dapat diinterpretasi dengan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penutupan Lahan dan Perubahannya Penutupan lahan menggambarkan konstruksi vegetasi dan buatan yang menutup permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jumlah penduduk yang memerlukan banyak bangunan baru untuk mendukung

BAB I PENDAHULUAN. jumlah penduduk yang memerlukan banyak bangunan baru untuk mendukung BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Eksistensi Penelitian Perkembangan dan pembangunan yang terjadi di perkotaan membuat kawasan kota menjadi semakin padat. Salah satu penyebabnya adalah pertambahan jumlah

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 7 HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum dan Distribusi Titik Panas (hotspot)provinsi Jambi Provinsi Jambi secara geografis terletak antara 0 o 45-2 o 45 LS dan 101 o 104 o 55 BT, terletak di tengah Pulau Sumatera

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyedia fasilitas pelayanan bagi masyarakat. Lingkungan perkotaan merupakan

BAB I PENDAHULUAN. penyedia fasilitas pelayanan bagi masyarakat. Lingkungan perkotaan merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota merupakan perwujudan aktivitas manusia yang berfungsi sebagai pusat kegiatan sosial, ekonomi, pemerintahan, politik, dan pendidikan, serta penyedia fasilitas

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PERENCANAAN DAN PERANCANGAN PERMUKIMAN TUMBUH DIATAS LAHAN BENCANA LUMPUR LAPINDO

BAB IV ANALISIS PERENCANAAN DAN PERANCANGAN PERMUKIMAN TUMBUH DIATAS LAHAN BENCANA LUMPUR LAPINDO BAB IV ANALISIS PERENCANAAN DAN PERANCANGAN PERMUKIMAN TUMBUH DIATAS LAHAN BENCANA LUMPUR LAPINDO Analisis konsep perencanaan merupakan proses dalam menentukan apa saja yang akan dirumuskan sebagai konsep

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Urban Heat Island dan Kawasan Terbangun. terhadap lingkungan sekitarnya. Fenomena Urban Heat Island (UHI)

BAB 1 PENDAHULUAN Urban Heat Island dan Kawasan Terbangun. terhadap lingkungan sekitarnya. Fenomena Urban Heat Island (UHI) BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.1.1. Urban Heat Island dan Kawasan Terbangun. Pembangunan pada sebuah kawasan membawa perubahan terhadap lingkungan sekitarnya. Fenomena Urban Heat Island (UHI)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB I PENDAHULUAN I.1. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Pertumbuhan penduduk Indonesia tiap tahunnya mengalami peningkatan. Berdasarkan sensus penduduk, jumlah penduduk di Indonesia pada tahun 2010 hingga 2015 mengalami

Lebih terperinci

METODOLOGI. Jawa Barat Kab. Kuningan Desa Ancaran. Gambar 2. Lokasi Penelitian

METODOLOGI. Jawa Barat Kab. Kuningan Desa Ancaran. Gambar 2. Lokasi Penelitian 12 METODOLOGI Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan pada akhir bulan Maret 2011 hingga bulan Juni 2011. Penelitian ini dilakukan di Desa Ancaran, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, yang memiliki

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat

TINJAUAN PUSTAKA. fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat 4 TINJAUAN PUSTAKA Pendekatan Agroekologi Agroekologi adalah pengelompokan suatu wilayah berdasarkan keadaan fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat diharapkan tidak

Lebih terperinci

BAB 3 PENGOLAHAN DATA

BAB 3 PENGOLAHAN DATA BAB 3 PENGOLAHAN DATA Pada bab ini akan dijelaskan mengenai data dan langkah-langkah pengolahan datanya. Data yang digunakan meliputi karakteristik data land use dan land cover tahun 2005 dan tahun 2010.

Lebih terperinci

Cut Nuraini/Institut Teknologi Medan/

Cut Nuraini/Institut Teknologi Medan/ Cut Nuraini/Institut Teknologi Medan/16-09-2014 APA ITU ARSITEKTUR TROPIS? TROPIS tropikos artinya : Garis Balik Garis lintang utara 23 0 27 adalah garis balik cancer dan matahari pada tanggal 27 Juni

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Letak Geografis. 08º00'27" Lintang Selatan dan 110º12'34" - 110º31'08" Bujur Timur. Di

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Letak Geografis. 08º00'27 Lintang Selatan dan 110º12'34 - 110º31'08 Bujur Timur. Di IV. KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI A. Letak Geografis Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta mempunyai lima Kabupaten dan satu Kotamadya, salah satu kabupaten tersebut adalah Kabupaten Bantul. Secara geografis,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o o LU. (perhitungan luas menggunakan perangkat GIS).

TINJAUAN PUSTAKA. Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o o LU. (perhitungan luas menggunakan perangkat GIS). TINJAUAN PUSTAKA Daerah Aliran Sungai (DAS) Besitang Sekilas Tentang DAS Besitang Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o 45 04 o 22 44 LU dan 97 o 51 99 o 17 56 BT. Kawasan DAS Besitang melintasi

Lebih terperinci

BAB IV ANALISA PERENCANAAN

BAB IV ANALISA PERENCANAAN BAB IV ANALISA PERENCANAAN 4.1. Analisa Non Fisik Adalah kegiatan yang mewadahi pelaku pengguna dengan tujuan dan kegiatannya sehingga menghasilkan besaran ruang yang dibutuhkan untuk mewadahi kegiatannya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, bahwa mangrove merupakan ekosistem hutan, dengan definisi hutan adalah suatu ekosistem hamparan lahan berisi sumber daya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah suatu bentuk ruang terbuka di kota (urban

II. TINJAUAN PUSTAKA. Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah suatu bentuk ruang terbuka di kota (urban II. TINJAUAN PUSTAKA A. Ruang Terbuka Hijau Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah suatu bentuk ruang terbuka di kota (urban space) dengan unsur vegetasi yang dominan. Perancangan ruang hijau kota harus memperhatikan

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM 4.1 Letak Geografis dan Aksesibilitas

IV. KONDISI UMUM 4.1 Letak Geografis dan Aksesibilitas 42 IV. KONDISI UMUM 4.1 Letak Geografis dan Aksesibilitas Secara geografis, perumahan Bukit Cimanggu City (BCC) terletak pada 06.53 LS-06.56 LS dan 106.78 BT sedangkan perumahan Taman Yasmin terletak pada

Lebih terperinci

RADIASI MATAHARI DAN TEMPERATUR

RADIASI MATAHARI DAN TEMPERATUR RADIASI MATAHARI DAN TEMPERATUR Gerakan Bumi Rotasi, perputaran bumi pada porosnya Menghasilkan perubahan waktu, siang dan malam Revolusi, gerakan bumi mengelilingi matahari Kecepatan 18,5 mil/dt Waktu:

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Evapotranspirasi Potensial Standard (ETo)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Evapotranspirasi Potensial Standard (ETo) xviii BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Evapotranspirasi Potensial Standard (ETo) Evapotranspirasi adalah jumlah air total yang dikembalikan lagi ke atmosfer dari permukaan tanah, badan air, dan vegetasi oleh

Lebih terperinci

BUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI SIDOARJO NOMOR 61 TAHUN 2014

BUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI SIDOARJO NOMOR 61 TAHUN 2014 BUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI SIDOARJO NOMOR 61 TAHUN 2014 TENTANG KEBUTUHAN DAN PENYALURAN SERTA HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN KABUPATEN SIDOARJO

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Letak dan Luas. Komponen fisik

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Letak dan Luas. Komponen fisik KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN Letak dan Luas Daerah penelitian mencakup wilayah Sub DAS Kapuas Tengah yang terletak antara 1º10 LU 0 o 35 LS dan 109 o 45 111 o 11 BT, dengan luas daerah sekitar 1 640

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan,

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada

Lebih terperinci

Generated by Foxit PDF Creator Foxit Software For evaluation only. 23 LAMPIRAN

Generated by Foxit PDF Creator Foxit Software  For evaluation only. 23 LAMPIRAN 23 LAMPIRAN 24 Lampiran 1 Diagram Alir Penelitian Data Citra LANDSAT-TM/ETM Koreksi Geometrik Croping Wilayah Kajian Kanal 2,4,5 Kanal 1,2,3 Kanal 3,4 Spectral Radiance (L λ ) Albedo NDVI Class Radiasi

Lebih terperinci

KEMAMPUAN LAHAN UNTUK MENYIMPAN AIR DI KOTA AMBON

KEMAMPUAN LAHAN UNTUK MENYIMPAN AIR DI KOTA AMBON KEMAMPUAN LAHAN UNTUK MENYIMPAN AIR DI KOTA AMBON Christy C.V. Suhendy Dosen Fakultas Pertanian Universitas Pattimura Ambon e-mail: cherrzie@yahoo.com ABSTRACT Changes in land use affects water availability

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 24 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Penggunaan Lahan Kecamatan Depok 5.1.1. Interpretasi Penggunaan Lahan dari Citra Quickbird Hasil interpretasi penggunaan lahan dari Citra Quickbird Kecamatan Depok adalah

Lebih terperinci