Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321"

Transkripsi

1 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Spektral Citra yang digunakan pada penelitian ini adalah Citra ALOS AVNIR-2 yang diakuisisi pada tanggal 30 Juni 2009 seperti yang tampak pada Gambar 11. Untuk dapat memberikan gambaran citra yang alami kenampakannya, maka perlu dibuat citra komposit (kombinasi tiga band). Adapun kombinasi band yang digunakan pada penelitian ini adalah kombinasi antara Band 3, Band 2, dan Band 1 yang masing-masing dimasukkan dalam band merah, hijau, dan biru secara berturut-turut yang menghasilkan kenampakan alami (natural colour). Gambar berikut merupakan hasil komposit alami dari kombinasi dari band tersebut: Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

2 Pada data ALOS AVNIR-2 seperti yang terlihat pada Gambar 11 terlihat adanya gangguan awan dan haze. Gangguan awan dan haze ini merupakan salah satu tantangan utama dalam pemanfaatan data penginderaan jauh dengan sensor optik. Pada analisis data penginderaan jauh, gangguan awan akan direprsentasikan sebagai data hilang (missing data) yang memerlukan proses masking dalam keseluruhan analisis. Pada umumnya gangguan awan dan bayangannya ini tidak dapat diperbaiki. Sedangkan gangguan haze sangat dilematis sehingga obyek tersebut pada umumnya menjadi topik kajian koreksi atmosferik. Namun, proses ini belum menjadi prioritas bagi pengguna umum dikarenakan proses ini dianggap relatif kompleks. Untuk proses klasifikasi citra, diperlukan pengetahuan tentang karakteristik citra seperti resolusi spektral (panjang gelombang yang digunakan) dan resolusi spasial dari citra tersebut. Selain itu, juga diperlukan pengetahuan yang baik tentang tanggapan spektral antara obyek yang diidentifikasi dengan panjang gelombang yang digunakan. Hal ini dikarenakan apa yang tergambar pada citra sesungguhnya merupakan hasil perekaman dari besarnya energi pantulan setiap obyek pada panjang gelombang tertentu, dimana tiap obyek mempunyai karakteristik tersendiri dalam menyerap dan memantulkan panjang gelombang yang diterima olehnya. Gambar berikut merupakan kurva pantulan spektral yang mencirikan obyek vegetasi, tanah, dan air. Gambar 12. Kurva Pantulan Spektral Penciri Obyek Vegetasi, Tanah, dan Air (Lillesand dan Kiefer, 1979)

3 Berikut merupakan gambaran PT. Sang Hyang Seri yang dipotong dari citra ALOS AVNIR-2 (Gambar 13): Gambar 13. Citra ALOS AVNIR-2 daerah PT. Sang Hyang Seri Pada penelitian ini, proses klasifikasi fase tanam dilakukan dengan menggunakan pendekatan klasifikasi terbimbing. Klasifikasi fase tanam ini dilakukan berdasarkan fase penutupan lahan sawah, yaitu: bera, awal tanam, fase vegetatif, dan fase generatif. Setiap fase tersebut dapat diinterpretasikan sebagai sekuen waktu kegiatan produksi yaitu kelas lahan telah panen, awal tanam, vegetatif, sampai siap panen. Dalam estimasi hasil panen, fase yang paling penting adalah fase generatif dan awal tanam. Hal ini dikarenakan fase generatif merupakan fase yang diinterpretasikan sebagai luas lahan siap panen sehingga prediksi panen dapat diketahui sebelumnya, sedangkan pada fase awal tanam, kita dapat mengetahui daerah mana yang baru saja memulai musim awal tanam, sehingga dengan bantuan teknologi penginderaan jauh, daerah tersebut dapat terus dipantau/dimonitor.

4 Bera Fase ini diidentifikasi dengan melihat kenampakan lahan sawah yang ditandai dengan hilangnya tutupan vegetasi, sehingga lahan sawah terlihat sebagai tanah terbuka. Fase ini menunjukkan kondisi lahan sawah telah panen. Dilihat dari citra komposit ALOS AVNIR-2 di atas, kenampakan fase bera ini ditandai dengan warna coklat muda. Warna- warna pada citra ini terbentuk dari hasil pencampuran warna dari citra komposit ALOS AVNIR-2, dimana Band 1 merupakan saluran biru, Band 2 merupakan saluran hijau, dan Band 3 merupakan saluran merah, serta pencampuran dari warna komplementer hasil dari ketiga warna primer tersebut. Citra komposit yang digunakan adalah kombinasi dari Band 3, Band 2, dan Band 1 yang dimasukkan dalam band merah, band hijau, dan biru secara berturut-turut, sehingga kenampakan pada citra menggambarkan kenampakan alami dari obyek-obyek tersebut. Kenampakan alami pada fase bera adalah warna tanah yang berwarna coklat terang seperti yang terlihat pada Gambar 14. Warna coklat terang disebabkan Sang Hyang Seri merupakan wilayah yang terletak di dekat daerah Pantai Utara Jawa dimana kandungan pasir pada tanahnya cukup tinggi, dan kelembabannya rendah pada fase bera. Tanah yang kelembabannya rendah dan bertekstur lebih kasar akan nampak lebih cerah daripada yang berkelembaban tinggi dan bertekstur halus (Lillesand and Kiefer, 1979). Contoh kenampakan fase bera pada lahan sawah PT. Sang Hyang Seri di lapangan adalah seperti ditunjukkan pada Gambar 14 dan Gambar 18 yang ditandai dengan warna biru. Gambar 14. Lahan Sawah Fase Bera

5 Awal Tanam Pada fase awal tanam, lahan sawah diidentifikasi dengan status penanaman berumur sekitar 30 hari. Pada fase ini, kenampakan tanah tetap mendominasi, karena tubuh tanaman padi masih kecil, namun demikian pantulan dari vegetasi sudah sedikit terekam pada citra. Vegetasi merupakan obyek alam yang banyak memantulkan saluran merah dibandingkan dengan obyek tanah dan air (Sutanto, 1987). Warna coklat tua yang terekam pada citra dapat diakibatkan oleh adanya hasil pencampuran dari kelembaban tanah yang lebih tinggi dan vegetasi/tanaman padi yang sudah ada. Hal ini dikarenakan pada fase awal tanam memerlukan kelembaban tanah yang tinggi untuk menghidupi tanaman padi. Contoh kenampakan fase awal tanam pada lahan sawah PT. Sang Hyang Seri di lapangan adalah seperti disajikan pada Gambar 15 dan Gambar 18 yang ditandai dengan warna kuning. Gambar 15. Lahan Sawah Status Awal Tanam

6 Vegetatif Fase ini diidentifikasi dengan melihat kenampakan padi yang sudah mulai kecambah hingga tumbuh bulir padi atau kira-kira pada umur lebih dari 60 hari. Fase ini juga dicirikan dengan adanya perkembangan jumlah daun, peningkatan tinggi tanaman, dan peningkatan jumlah tiller (Le Toan et al., 1997). Apabila pada fase bera dan fase awal tanam masih didominasi oleh kenampakan tanah, maka pada fase vegetatif dan fase generatif lebih didominasi oleh kenampakan vegetasi. Pada fase vegetatif ini, vegetasi yang ditandai dengan adanya klorofil tampak berwarna hijau tua karena besarnya pantulan spektrum warna hijau. Contoh kenampakan fase vegetatif pada lahan sawah PT. Sang Hyang Seri di lapangan adalah seperti ditunjukkan pada Gambar 16 dan Gambar 18 yang ditandai dengan warna hijau. Gambar 16. Lahan Sawah Fase Vegetatif

7 Generatif Fase ini menunjukkan kondisi lahan sawah yang siap panen dan dapat diidentifikasi dengan melihat kenampakan tanaman padi yang telah masak atau sudah menguning. Daun tanaman padi tersebut menjadi menguning akibat adanya penurunan kadar klorofil pada daun. Fase ini juga dicirikan dengan dengan adanya penurunan jumlah daun, kadar uap air daun dan komponen daun (Le Toan et al., 1997). Vegetasi yang ditandai dengan adanya klorofil tampak berwarna hijau karena besarnya refleksi energi pada spektrum warna hijau. Akibat adanya penurunan klorofil pada fase ini, menyebabkan pantulan energi pada spektrum warna hijau juga berkurang. Dengan demikian, kenampakan pada fase generatif ini ditandai oleh warna hijau muda pada citra. Contoh kenampakan fase generatif pada lahan sawah PT. Sang Hyang Seri di lapangan adalah seperti ditunjukkan pada Gambar 17 dan Gambar 18 yang ditandai dengan warna merah. Gambar 17. Lahan Sawah Fase Generatif

8 Gambar berikut merupakan pengambilan contoh lokasi untuk klasifikasi citra (Gambar 18): Vegetatif Generatif Awal Tanam Bera Gambar 18. Citra ALOS AVNIR-2 wilayah PT. Sang Hyang Seri, Subang Citra ALOS AVNIR-2 memiliki empat band yang terdiri dari tiga band cahaya tampak (visible) dan satu band inframerah dekat (near infrared). Band yang termasuk ke dalam cahaya tampak yaitu: Band 1 yang memiliki panjang gelombang 0,42 0,50 mikrometer menempati saluran tampak biru, Band 2 yang memiliki panjang gelombang 0,52 0,60 mikrometer menempati saluran tampak hijau, dan Band 3 yang memiliki panjang gelombang 0,61 0,69 mikrometer menempati saluran tampak merah. Sedangkan band inframerah dekat (near

9 infrared) yaitu Band 4 yang memiliki panjang gelombang 0,76 0,89 mikrometer (Suciati dan Arthana, 2008). Dari data hasil pengambilan contoh lokasi, dapat dilihat kombinasi antara dua band dari citra tersebut. Gambar-gambar berikut (Gambar 19 Gambar 24) merupakan hasil kombinasi band-band citra ALOS AVNIR-2: Kombinasi Band 1 dan Band 2 Gambar 19. Kombinasi Band 1 dan Band 2 Gambar 19 di atas menunjukkan bahwa baik fase bera, awal tanam, vegetatif, maupun generatif dapat terpisah dengan sempurna. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kombinasi Band 1 dan Band 2 baik digunakan untuk identifikasi fase penutupan lahan sawah. Berdasarkan gambar di atas dapat terlihat bahwa baik pada Band 1 maupun Band 2, nilai digital fase bera dan awal tanam lebih besar dibandingkan dengan nilai digital fase vegetatif maupun generatif. Hal ini dikarenakan baik pada panjang gelombang Band 1 (0,42 0,50 mikrometer) maupun panjang gelombang Band 2 (0,52 0,60 mikrometer), pantulan spektral tanah yang mendominasi fase bera dan fase awal tanam lebih tinggi dibandingkan pantulan spektral vegetasi yang mendominasi fase vegetatif dan fase generatif seperti yang ditunjukkan pada kurva pantulan spektral penciri obyek (Gambar 12).

10 Pada Band 1 terlihat bahwa antara fase bera dan fase awal tanam terdapat sebagian besar nilai digital yang sama. Hal ini dapat dikarenakan kenampakan fase bera dan fase awal tanam sama-sama didominasi oleh tanah, sehingga pada kedua fase tersebut pantulan spektralnya hampir sama dimana unsur tanah lebih banyak direfleksikan. Namun, nilai digital antara fase vegetatif dan generatif adalah berbeda walaupun terdapat sedikit nilai digital yang sama. Pada Band 1 juga terlihat bahwa fase generatif memiliki nilai digital lebih tinggi dibandingkan dengan fase vegetatif. Fase generatif dan fase vegetatif merupakan kenampakan lahan sawah yang didominasi oleh vegetasi. Namun pada fase generatif, kandungan klorofil sudah berkurang seiring dengan penurunan jumlah daun dan komponen daun (Le Toan et al., 1997). Dengan demikian, pantulan spektral dari vegetasi hanya sedikit, sedangkan obyek yang banyak dipantulkan pada fase ini adalah vegetasi (tanaman padi) yang sudah tidak memiliki kandungan klorofil ataupun obyek tanah yang masih terekam walaupun hanya sedikit. Sedangkan pada fase vegetatif ditandai dengan adanya peningkatan jumlah daun (Le Toan et al., 1997), sehingga pada fase ini kandungan klorofil juga meningkat. Namun pada kurva pantulan spektral penciri obyek (Gambar 12), pantulan spektral tertinggi dari vegetasi tetap berada di bawah pantulan spektral tanah pada panjang gelombang Band 1. Dengan demikian, nilai digital fase vegetatif pada Band 1 merupakan nilai digital terendah dibandingkan fase lainnya. Pada Band 2 terlihat bahwa nilai digital tiap fase penutupan lahan sawah baik fase bera, awal tanam, vegetatif, maupun generatif adalah berbeda. Pada Band 2 ini, nilai digital tertinggi sampai terendah secara berturut-turut adalah fase bera, awal tanam, generatif, dan vegetatif. Hal ini dapat dijelaskan pada kurva pantulan spektral penciri obyek (Gambar 12), dimana pada panjang gelombang Band 2 yaitu 0,52 0,60 mikrometer, pantulan spektral dari tanah yang mendominasi fase bera dan fase awal tanam lebih tinggi dibandingkan dengan pantulan spektral vegetasi yang mendominasi fase vegetatif dan fase generatif. Namun, fase awal tanam memiliki nilai digital lebih rendah dibandingkan dengan fase bera. Hal ini dikarenakan pada fase awal tanam, pantulan spektral dari tanah berkurang akibat adanya pantulan spektral dari vegetasi, karena pada fase awal tanam sudah ada vegetasi yang mulai ditanam. Pada posisi ketiga yang

11 mempunyai nilai digital tertinggi dimiliki oleh fase generatif. Pada fase ini, kenampakan vegetasi lebih dominan dibandingkan dengan obyek tanah. Namun, pada fase ini kandungan klorofil sudah berkurang dibandingkan pada fase vegetatif, sehingga pantulan spektral dari vegetasi hanya sedikit, sedangkan obyek yang banyak dipantulkan adalah vegetasi (tanaman padi) yang sudah tidak memiliki kandungan klorofil atau obyek tanah yang masih sedikit terdeteksi. Sama halnya dengan fase generatif, fase vegetatif juga merupakan fase yang didominasi oleh vegetasi dibandingkan tanah. Namun pada fase ini, kandungan klorofil lebih banyak dibandingkan fase generatif. Apabila dilihat dari kurva pantulan spektral penciri obyek (Gambar 12), pantulan spektral tertinggi vegetasi pada saluran Band 2 tetap berada di bawah pantulan spektral tanah, sehingga fase vegetatif memiliki nilai digital paling rendah dibandingkan fase lainnya. Kombinasi Band 1 dan Band 3 Gambar 20. Kombinasi Band 1 dan Band 3 Dari Gambar 20 di atas, dapat terlihat bahwa baik fase bera, awal tanam, vegetatif, maupun generatif dapat terpisah dengan sempurna. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kombinasi Band 1 dan Band 3 baik digunakan dalam identifikasi fase penutupan lahan sawah. Sama halnya dengan Gambar 19, dimana pada Band 1 terlihat sebagian nilai digital yang sama antara fase bera dan awal tanam. Hal ini dapat dikarenakan

12 kenampakan lahan sawah baik pada fase bera maupun fase awal tanam didominasi oleh tanah, sehingga pada kedua fase tersebut pantulan spektralnya hampir sama yaitu unsur tanah lebih banyak direfleksikan. Pada gambar di atas juga dapat terlihat bahwa pada Band 1, nilai digital fase bera dan awal tanam lebih besar dibandingkan dengan nilai digital pada fase vegetatif maupun generatif. Hal ini dapat dijelaskan pada kurva pantulan spektral penciri obyek (Gambar 12) dimana pada panjang gelombang Band 1 yaitu 0,42 0,50 mikrometer, pantulan spektral tanah yang mendominasi fase bera dan fase awal tanam lebih tinggi dibandingkan pantulan spektral vegetasi yang mendominasi fase vegetatif dan fase generatif. Berbeda halnya dengan Band 3, dimana semua fase baik fase bera, awal tanam, vegetatif, maupun generatif memiliki nilai digital yang berbeda-beda sehingga dapat terpisah dengan sempurna. Hal ini dapat dikarenakan Band 3 yang memiliki panjang gelombang 0,61 0,69 mikrometer merupakan saluran terbaik untuk membedakan tanah terhadap vegetasi (Sutanto, 1987). Pada gambar di atas juga terlihat bahwa nilai digital tertinggi sampai terendah pada Band 3 berturut-turut adalah fase bera, awal tanam, vegetatif, dan generatif. Hal ini dapat dijelaskan berdasarkan Gambar 12 dimana pantulan spektral tanah yang mendominasi kenampakan fase bera dan fase awal tanam lebih tinggi dibandingkan dengan pantulan spektral vegetasi yang mendominasi fase vegetatif dan fase generatif. Fase awal tanam memiliki nilai digital lebih rendah dibandingkan dengan fase bera karena pada fase awal tanam sudah ada pantulan spektral dari vegetasi yang sudah mulai ditanam, sehingga pantulan spektral dari tanah yang mendominasi pada fase ini berkurang dibandingkan pada fase bera. Fase yang memiliki nilai digital tertinggi ketiga yaitu fase generatif dimana fase ini didominasi oleh kenampakan vegetasi dibandingkan tanah. Pada fase ini, kandungan klorofil pada vegetasi akan berkurang seiring dengan penurunan jumlah daun dan komponen daun (Le Toan et al., 1997), sehingga menyebabkan pantulan spektral dari vegetasi hanya sedikit. Adapun obyek yang banyak direfleksikan adalah vegetasi (tanaman padi) yang sudah tidak memiliki kandungan klorofil atau obyek tanah yang masih sedikit terdeteksi. Pada Band 3 ini, fase vegetatif memiliki nilai digital terendah dibandingkan fase lainnya. Pada fase vegetatif, kenampakan lahan didominasi oleh vegetasi dan pada fase ini kadar

13 klorofil mengalami peningkatan akibat adanya peningkatan jumlah daun (Le Toan et al., 1997). Namun, pada panjang gelombang Band 3, pantulan spektral tertinggi dari vegetasi tetap berada di bawah pantulan spektral tanah seperti yang terlihat pada Gambar 12. Kombinasi Band 1 dan Band 4 Gambar 21. Kombinasi Band 1 dan Band 4 Gambar 21 menunjukkan bahwa baik fase vegetatif dan generatif dapat terpisah dengan sempurna, namun terdapat penyatuan yang cukup signifikan antara fase bera dan awal tanam. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kombinasi Band 1 dan Band 4 kurang baik digunakan untuk identifikasi fase penutupan lahan sawah. Pada Band 1 di atas terlihat bahwa antara fase bera dan awal tanam terdapat sebagian nilai digital yang memiliki kesamaan yang juga terlihat pada Gambar 19 dan Gambar 20. Hal ini dapat dikarenakan kenampakan lahan sawah antara kedua fase tersebut sama-sama didominasi oleh tanah, sehingga pada kedua fase tersebut pantulan spektralnya hampir sama dimana unsur tanah lebih banyak direfleksikan. Oleh karena itu, pantulan spektral antara kedua fase ini hampir sama yaitu lebih banyak reflektan dari unsur tanah. Pada gambar juga terlihat bahwa pada Band 1, nilai digital fase vegetatif dan generatif lebih rendah

14 dibandingkan dengan nilai digital pada fase bera dan awal tanam. Hal ini dapat dijelaskan pada kurva pantulan spektral penciri obyek (Gambar 12) dimana pada panjang gelombang Band 1 yaitu 0,42 0,50 mikrometer, pantulan spektral vegetasi yang mendominasi fase vegetatif dan generatif lebih rendah dibandingkan pantulan spektral tanah yang mendominasi fase bera dan awal tanam. Berbeda halnya pada nilai digital yang dihasilkan pantulan spektral dari panjang gelombang Band 4 yaitu 0,76 0,89 mikrometer, dimana fase vegetatif dan generatif memiliki pantulan spektral lebih tinggi dibandingkan dengan pantulan spektral dari fase bera dan awal tanam. Hal ini dapat dijelaskan pada kurva pantulan spektral penciri obyek (Gambar 12) dimana pada panjang gelombang tersebut, pantulan spektral vegetasi yang mendominasi fase vegetatif dan generatif sudah berada lebih tinggi dibandingkan dengan pantulan spektral tanah yang mendominasi fase bera dan awal tanam. Berdasarkan gambar di atas dapat kita lihat bahwa fase vegetatif memiliki nilai digital lebih tinggi dibandingkan dengan fase generatif. Kenampakan fase vegetatif didominasi oleh vegetasi yang ditandai dengan adanya peningkatan jumlah daun (Le Toan et al., 1997). Berdasarkan kurva pantulan spektral penciri obyek (Gambar 12), pada panjang gelombang Band 4, pantulan spektral vegetasi merupakan pantulan spektral tertinggi dibandingkan dengan pantulan spektral tanah maupun air. Dengan demikian, pada panjang gelombang 0,76 0,89 mikrometer, fase vegetatif memiliki nilai digital tertinggi dibandingkan fase lainnya. Nilai pantulan spektral ini akan berkurang pada fase generatif yang samasama didominasi oleh vegetasi. Namun pada fase generatif, kadar klorofil berkurang seiring dengan pertumbuhan tanaman yang ditandai dengan adanya penurunan jumlah daun dan komponen daun (Le Toan et al., 1997). Dengan demikian, nilai pantulan spektral pada fase generatif akan lebih kecil dibandingkan dengan nilai pantulan spektral pada fase vegetatif. Dari Gambar 21 di atas, juga dapat terlihat bahwa terdapat sebagian fase bera yang memiliki nilai digital yang sama dengan fase awal tanam baik pada Band 1 maupun Band 4, sehingga antara kedua fase tersebut terlihat menyatu (grouping). Hal ini dapat dikarenakan kenampakan antara kedua fase tersebut

15 sama-sama didominasi oleh tanah, sehingga pantulan spektral dari kedua fase tersebut hampir sama dimana unsur tanah lebih banyak direfleksikan. Selain itu, pada panjang gelombang Band 4 yaitu 0,76 0,89 mikrometer, fase awal tanam yang memiliki kelembaban cukup tinggi tidak dapat terdeteksi dengan baik, karena pada panjang gelombang ini, pantulan spektral air sudah tidak terdeteksi (Gambar 12). Dengan demikian, fase awal tanam akan terdeteksi sebagai fase bera dan menyebabkan penyatuan (grouping) antara kedua fase tersebut. Kombinasi Band 2 dan Band 3 Gambar 22. Kombinasi Band 2 dan Band 3 Dari Gambar 22 dapat terlihat bahwa baik fase bera, awal tanam, vegetatif, maupun generatif dapat terpisah dengan sempurna. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kombinasi Band 2 dan Band 3 baik digunakan untuk identifikasi fase penutupan lahan sawah. Baik pada Band 2 maupun Band 3 terlihat bahwa nilai digital tiap fase penutupan lahan sawah baik fase bera, awal tanam, vegetatif, maupun generatif adalah berbeda-beda. Selain itu, baik pada Band 2 dan Band 3, fase bera dan awal tanam memiliki nilai digital lebih tinggi dibandingkan dengan fase generatif dan fae vegetatif. Hal ini dikarenakan pada panjang gelombang Band 2 yaitu 0,52 0,60 mikrometer dan Band 3 yaitu 0,61 0,69 mikrometer, pantulan spektral

16 tanah yang mendominasi fase bera dan awal tanam berada lebih tinggi dibandingkan dengan pantulan spektral vegetasi yang mendominasi fase vegetatif dan fase generatif seperti yang terlihat pada kurva pantulan spektral penciri obyek (Gambar 12). Baik pada Band 2 maupun Band 3, nilai digital tertinggi sampai terendah secara berturut-turut adalah fase bera, awal tanam, generatif, dan vegetatif. Hal ini dapat dijelaskan pada kurva pantulan spektral penciri obyek (Gambar 12), dimana pada panjang gelombang Band 2 yaitu 0,52 0,60 mikrometer dan Band 3 yaitu 0,61 0,69 mikrometer, pantulan spektral dari tanah yang mendominasi fase bera dan fase awal tanam lebih tinggi dibandingkan dengan pantulan spektral vegetasi yang mendominasi fase vegetatif dan fase generatif. Namun, fase awal tanam memiliki nilai digital lebih rendah dibandingkan dengan fase bera. Hal ini dikarenakan pada fase awal tanam, pantulan spektral dari tanah berkurang akibat adanya pantulan spektral dari vegetasi, karena pada fase awal tanam sudah ada vegetasi yang mulai ditanam dan terdeteksi. Pada Band 2 dan Band 3 ini, fase yang memiliki nilai digital tertinggi ketiga adalah fase generatif. Pada fase ini, kenampakan vegetasi lebih dominan dibandingkan dengan obyek tanah. Namun, pada fase ini kandungan klorofil sudah berkurang dibandingkan pada fase vegetatif, sehingga pantulan spektral dari vegetasi hanya sedikit. Baik pada Band 2 maupun Band 3, fase vegetatif memiliki nilai digital terendah dibandingkan fase lainnya. Pada fase vegetatif, kenampakan lahan didominasi oleh vegetasi dan pada fase ini kadar klorofil mengalami peningkatan akibat adanya peningkatan jumlah daun (Le Toan et al., 1997). Namun, pada panjang gelombang Band 2 dan Band 3, pantulan spektral tertinggi dari vegetasi tetap berada di bawah pantulan spektral tanah seperti yang terlihat pada kurva pantulan spektral penciri obyek yang ditunjukkan pada Gambar 12.

17 Kombinasi Band 2 dan Band 4 Gambar 23. Kombinasi Band 2 dan Band 4 Gambar 23 menunjukkan bahwa baik fase bera, awal tanam, vegetatif, maupun generatif dapat terpisah dengan sempurna. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kombinasi Band 2 dan Band 4 baik digunakan untuk identifikasi fase penutupan lahan sawah. Pada Band 2 di atas terlihat bahwa setiap fase penutupan lahan sawah memiliki nilai digital yang berbeda-beda seperti yang juga ditunjukkan pada Gambar 19 dan Gambar 22. Pada gambar di atas terlihat bahwa pada Band 2, pantulan spektral dari fase vegetatif dan generatif lebih rendah dibandingkan dengan pantulan spektral dari fase bera dan awal tanam. Hal ini dapat dikarenakan pada panjang gelombang Band 2 yaitu 0,52 0,60 mikrometer, pantulan spektral vegetasi yang mendominasi fase vegetatif dan generatif lebih rendah dibandingkan pantulan spektral tanah yang mendominasi fase bera dan awal tanam seperti yang ditunjukkan pada kurva pantulan spektral penciri obyek (Gambar 12). Pada Band 2 ini, urutan fase yang memiliki nilai digital dari tertinggi sampai dengan terendah secara berturut-turut adalah fase bera, awal tanam, generatif, dan vegetatif seperti yang juga ditunjukkan dan diuraikan pada Gambar 19.

18 Hal berbeda ditunjukkan dengan Band 4, dimana terdapat sebagian nilai digital antara fase bera dan awal tanam yang memiliki kesamaan. Hal ini dapat dikarenakan baik fase bera maupun awal tanam didominasi oleh tanah, sehingga pantulan spektral dari kedua fase tersebut hampir sama yaitu lebih banyak reflektan dari unsur tanah. Kurva pantulan spektral penciri obyek (Gambar 12) menunjukkan bahwa pantulan spektral air sudah tidak terdeteksi pada panjang gelombang Band 4 yaitu 0,76 0,89 mikrometer. Hal ini juga menyebabkan fase awal tanam yang memiliki kelembaban cukup tinggi tidak dapat terdeteksi dengan baik, sehingga sebagian fase ini akan memiliki nilai digital yang sama dengan fase bera. Pada Band 4, fase vegetatif dan generatif memiliki pantulan spektral lebih tinggi dibandingkan dengan fase bera dan awal tanam. Hal ini dapat dikarenakan panjang gelombang Band 4 yaitu 0,76 0,89 mikrometer, pantulan spektral vegetasi yang mendominasi fase vegetatif dan generatif sudah berada lebih tinggi dibandingkan dengan pantulan spektral tanah yang mendominasi fase bera dan awal tanam. Kombinasi Band 3 dan Band 4 Gambar 24. Kombinasi Band 3 dan Band 4

19 Berdasarkan Gambar 24, dapat terlihat bahwa baik fase bera, awal tanam, vegetatif, maupun generatif dapat terpisah dengan sempurna. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kombinasi Band 3 dan Band 4 baik digunakan untuk identifikasi fase penutupan lahan sawah. Dari gambar dapat dilihat bahwa pada Band 3, setiap fase penutupan lahan sawah memiliki nilai digital yang berbeda-beda seperti yang juga ditunjukkan pada Gambar 20 dan Gambar 22. Pada Band 3 ini, fase bera dan fase awal tanam memiliki nilai digital lebih tinggi dibandingkan dengan fase vegetatif dan generatif. Hal ini dikarenakan pada panjang gelombang Band 3 yaitu 0,61 0,69 mikrometer, pantulan spektral tanah yang mendominasi fase bera dan awal tanam lebih tinggi dibandingkan dengan pantulan spektral vegetasi yang mendominasi fase vegetatif dan generatif seperti yang ditunjukkan pada kurva pantulan penciri obyek (Gambar 12). Pada Band 3 ini, urutan fase yang memiliki nilai digital dari tertinggi sampai dengan terendah secara berturut-turut adalah fase vegetatif, generatif, bera, dan awal tanam seperti yang juga ditunjukkan dan diuraikan pada Gambar 20 dan Gambar 22. Berbeda dengan Band 4, pada fase bera dan awal tanam terdapat sebagian nilai digital yang memiliki kesamaan antara kedua fase tersebut. Hal ini dikarenakan kedua fase tersebut sama-sama didominasi oleh tanah, sehingga pantulan spektral dari kedua fase tersebut hampir sama yaitu lebih banyak unsur tanah yang dipantulkan. Berdasarkan kurva pantulan spektral penciri obyek (Gambar 12), pantulan spektral air sudah tidak terdeteksi pada panjang gelombang Band 4 yaitu 0,76 0,89 mikrometer. Hal ini akan menyebabkan fase awal tanam yang memiliki kelembaban cukup tinggi tidak dapat terdeteksi dengan baik, sehingga sebagian fase ini akan memiliki nilai digital yang sama dengan fase bera pada Band 4. Dari Gambar 24 di atas, dapat dinyatakan bahwa fase vegetatif dan fase generatif memiliki nilai digital lebih tinggi dibandingkan fase lainnya. Hal ini dikarenakan pada panjang gelombang Band 4 yaitu 0,76 0,89 mikrometer, pantulan spektral vegetasi yang mendominasi fase vegetatif dan generatif sudah berada lebih tinggi dibandingkan dengan pantulan spektral tanah yang mendominasi fase bera dan awal tanam (Gambar 12).

20 Berdasarkan keenam grafik di atas, dapat disimpulkan bahwa fase vegetatif dan fase generatif dapat dipisahkan secara sempurna pada setiap kombinasi band citra ALOS AVNIR-2. Namun, fase bera dan awal tanam kurang baik diidentifikasi pada kombinasi Band 1 dan Band Klasifikasi Menggunakan Pohon Keputusan Data hasil pengambilan contoh fase tanam selanjutnya akan digunakan untuk tahap klasifikasi citra menggunakan pendekatan klasifikasi pohon keputusan. Adapun algoritma yang digunakan adalah QUEST dan CRUISE. Gambar 25 berikut merupakan hasil pohon keputusan yang diturunkan dari algoritma QUEST: B3 le 80 No Yes B3 le 119 B3 le 54 No Yes No Bera Awal Tanam Generatif Yes Vegetatif Gambar 25. Pohon keputusan berdasarkan algoritma QUEST Pada Gambar 25, terlihat bahwa terdapat hanya dua cabang pohon keputusan, dimana cabang pohon keputusan pertama memisahkan band yang dapat digunakan untuk memisahkan fase penutupan lahan sawah, sedangkan cabang pohon keputusan kedua merupakan hasil klasifikasi fase penutupan lahan sawah. Dari Gambar 25, juga dapat dikatakan bahwa baik komponen pusat maupun komponen cabang dari algoritma QUEST menggunakan Band 3 yang memiliki panjang gelombang 0,61 0,69 mikrometer. Hal ini menunjukkan bahwa panjang gelombang tersebut cukup mampu berperan sebagai diskriminator untuk seluruh kelas penutupan lahan sawah.

21 Sedangkan hasil pohon keputusan yang diturunkan dari algoritma CRUISE disajikan pada Gambar 26 sebagai berikut: B1 le 55 No Yes B3 le 81 Vegetatif B3 le 118 No Yes Generatif No Yes Bera Awal Tanam Gambar 26. Pohon keputusan berdasarkan algoritma CRUISE Berbeda dengan pohon keputusan algoritma QUEST, komponen pusat dari pohon keputusan algoritma CRUISE menggunakan Band 1 untuk memisahkan fase vegetatif dari fase pertumbuhan lainnya pada cabang pertama (Gambar 26). Hal ini dapat dipahami dari Gambar 19 Gambar 21 yang menunjukkan berbagai kombinasi Band 1 dengan band lainnya dapat dengan sempurna memisahkan fase vegetatif tanpa adanya penyatuan (grouping) dengan fase lainnya. Untuk komponen cabang, pada pohon keputusan dengan menggunakan algoritma CRUISE menggunakan Band 3 yang sama dengan komponen cabang pada pohon keputusan QUEST. Band 3 yang mempunyai panjang gelombang 0,61 0,69 mikrometer (saluran merah) dapat mencirikan obyek tanah dan vegetasi lebih cerah bila dibandingkan dengan obyek air (Sugiyanta dan Miswar, 2009). Pada panjang gelombang ini, tanah kering memiliki nilai pantulan yang besar, sehingga akan tampak cerah. Sedangkan vegetasi pada saluran merah ini umumnya tampak gelap. Sesuai dengan dua hal ini, maka saluran merah ini merupakan saluran yang terbaik untuk membedakan vegetasi terhadap tanah (Sutanto, 1987). Dengan demikian, juga dapat dikatakan bahwa panjang gelombang dari Band 3 cukup mampu berperan sebagai diskriminator untuk seluruh kelas penutupan lahan sawah.

22 Dari kedua pohon keputusan di atas, dapat dikatakan bahwa struktur pohon keputusan yang diturunkan dari kedua algoritma tersebut sangat sederhana. Hal ini dapat disebabkan oleh sederhananya data pembangun. Pada segi komputasi, kesederhanaan struktur tersebut berdampak positif dengan tingginya kecepatan pemrosesan. Hal ini tentu saja sangat penting bagi pengolahan data pada wilayah yang luas. Hasil ujicoba juga mengindikasikan bahwa kebutuhan pembaruan data luas panen dan areal penanaman baru untuk pemantauan lahan sawah dapat dilakukan dengan ALOS AVNIR-2 yang merupakan sistem sensor dengan jumlah kanal yang terbatas. Hal ini mirip dengan hasil penelitian yang telah dipublikasikan sebelumnya oleh Panuju dan Trisasongko (2008) yang menggunakan citra Landsat TM yang digabung dengan analisis decision tree dimana pemetaan kondisi lahan sawah dapat dilakukan dengan tingkat akurasi yang cukup tinggi. Implementasi kedua pohon keputusan tersebut pada citra AVNIR-2 dapat dilihat pada Gambar 27. Gambar 27. Hasil klasifikasi QUEST (kiri) dan CRUISE (kanan). Kode warna: biru=bera; kuning=awal tanam; hijau=vegetatif; merah=generatif.

23 Berdasarkan implementasi dari teknik klasifikasi algoritma QUEST maupun CRUISE dapat terlihat bahwa kedua gambar tersebut memiliki gambar yang hampir sama. Hal ini dapat disebabkan karena kesederhanaan struktur pada pohon keputusan kedua algoritma tersebut Akurasi Secara umum, kenampakan visual hasil klasifikasi yang diperoleh dari algoritma QUEST dan CRUISE tersebut hampir sama. Untuk memperoleh kesimpulan kuantitatif algoritma yang menghasilkan akurasi lebih tinggi, maka diperlukan analisis akurasi. Bias dalam menarik kesimpulan dapat diminimalkan dengan memanfaatkan data penguji (testing). Hasil analisis akurasi menggunakan algoritma QUEST disajikan pada Tabel 5 sebagai berikut: Tabel 5. Akurasi klasifikasi menggunakan algoritma QUEST (dalam %) Data Lapangan Bera Awal Tanam Vegetatif Generatif Bera 96,6 0,0 0,0 0,0 Awal Tanam 3,4 79,0 0,0 0,0 Vegetatif 0,0 0,0 100,0 0,0 Generatif 0,0 21,0 0,0 100,0 Nilai akurasi total dari klasifikasi QUEST adalah 93,9% dengan nilai koefisien Kappa sebesar 0,9187. Hal ini menandakan bahwa klasifikasi QUEST memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi. Berdasarkan tabel tersebut juga dapat dinyatakan bahwa terdapat dua kesalahan klasifikasi, yaitu 3,4% data pembangun yang seharusnya masuk dalam fase bera, namun diklasifikasikan sebagai awal tanam. Hal ini dapat dijelaskan melalui kombinasi Band 1 dan Band 4 (Gambar 21) yang menunjukkan bahwa fase bera tidak dapat diidentifikasi/dipisahkan secara sempurna, yaitu sebagian data fase bera ini terancukan dengan fase awal tanam. Kesalahan klasifikasi lainnya adalah 21% data pembangun yang seharusnya masuk dalam fase awal tanam, namun diklasifikasikan sebagai fase generatif. Hal ini dapat dikarenakan baik pada fase awal tanam maupun fase generatif, kadar klorofil yang terekam

24 oleh citra cukup rendah, sehingga fase awal tanam terancukan dengan fase generatif. Pada fase awal tanam kadar klorofil cukup rendah karena tubuh vegetasi masih kecil, sehingga kadar klorofil masih cukup rendah. Sedangkan pada fase generatif, kadar klorofil menurun seiring dengan adanya penurunan jumlah daun, kadar uap air daun, dan komponen daun (Le Toan et al. 1997). Fase vegetatif dan generatif dapat diidentifikasi dengan sempurna dengan tingkat kepercayaan yang tinggi sebesar 100%. Hal ini berbeda dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Panuju dan Trisasongko (2008) yang memiliki tingkat kesulitan cukup tinggi dalam memisahkan antara fase vegetatif dan generatif dengan menggunakan data Landsat TM/ETM. Berikut merupakan hasil analisis akurasi menggunakan algoritma CRUISE disajikan pada Tabel 6 sebagai berikut: Tabel 6. Akurasi klasifikasi menggunakan algoritma CRUISE (dalam %) Data Lapangan Bera Awal Tanam Vegetatif Generatif Bera 97,4 0,0 0,0 0,0 Awal Tanam 2,6 59,6 0,0 0,0 Vegetatif 0,0 0,0 100,0 0,0 Generatif 0,0 40,4 0,0 100,0 Klasifikasi menggunakan algoritma CRUISE ini menghasilkan nilai akurasi total 89,3% dengan nilai koefisien Kappa sebesar 0,8567. Hal ini juga menandakan bahwa klasifikasi dengan menggunakan algoritma CRUISE memiliki tingkat kepercayaan yang cukup tinggi, walaupun tidak sebesar metode QUEST. Tabel 6 di atas menunjukkan bahwa terdapat dua proses data yang salah klasifikasi, yaitu 2,6% data pembangun yang seharusnya masuk ke dalam fase bera, namun dikelaskan menjadi fase awal tanam. Hal ini dapat disebabkan oleh informasi yang ada pada Band 1 dan Band 4 (Gambar 21) menunjukkan bahwa fase bera tidak dapat diidentifikasi/dipisahkan secara sempurna, yaitu terdapat sebagian penyatuan (grouping) dengan fase awal tanam. Data bias lainnya adalah 40,4% data pembangun yang seharusnya masuk dalam fase awal tanam, namun dikategorikan sebagai fase generatif. Pada fase awal tanam kadar klorofil cukup

25 rendah karena vegetasi/tanaman padi masih kecil, sehingga kadar klorofil yang terekam masih cukup rendah. Sedangkan pada fase generatif, kadar klorofil cukup rendah seiring dengan adanya penurunan jumlah daun, kadar uap air daun, dan komponen daun (Le Toan et al. 1997). Dengan demikian, baik pada fase awal tanam maupun fase generatif, kadar klorofil yang terekam oleh citra sama-sama cukup rendah, sehingga fase awal tanam terancukan dengan fase generatif. Pada klasifikasi dengan menggunakan algoritma ini, baik fase vegetatif maupun fase generatif juga dapat diidentifikasi dengan sempurna dengan tingkat kepercayaan sebesar 100%. Berdasarkan kedua tabel tersebut, dapat dinyatakan bahwa fase vegetatif dan generatif dapat diidentifikasi dengan sempurna. Hal ini dikarenakan pada semua kombinasi band Citra ALOS AVNIR-2 (Gambar 19 sampai dengan Gambar 24), fase vegetatif dan generatif dapat diidentifikasi/dipisahkan dengan sempurna atau tanpa ada penyatuan (grouping). Hal ini berbeda dengan fase bera dan awal tanam, dimana kedua fase ini memiliki bias dalam klasifikasi baik menggunakan algoritma QUEST maupun CRUISE. Pada fase bera, terdapat sedikit bias terhadap fase awal tanam, namun tidak terlalu berarti. Hal ini dapat dikarenakan pada kombinasi antara Band 1 dengan Band 4 (Gambar 21) pada data training atau data yang digunakan untuk metode klasifikasi, fase bera dan awal tanam kurang baik diidentifikasi/dipisahkan karena terdapat penyatuan (grouping) antara kedua fase tersebut. Berbeda halnya dengan fase awal tanam, baik klasifikasi dengan algoritma QUEST maupun CRUISE, bias yang dihasilkan cukup tinggi untuk dapat memisahkan fase awal tanam terhadap fase generatif. Namun, lebih tampak jelas pada klasifikasi dengan menggunakan algorima CRUISE. Hal ini dapat dikarenakan pada fase awal tanam dan fase generatif, kadar klorofil yang terekam sama-sama cukup rendah. Dengan demikian, citra ALOS AVNIR-2 yang digunakan kurang kuat memperoleh atau mengekstrak data yang klorofilnya cukup rendah.

26 5.4. Analisis Luasan Hasil klasifikasi citra ALOS AVNIR-2 baik menggunakan algoritma QUEST maupun CRUISE perlu diubah bentuknya ke dalam bentuk vektor agar operasi Sistem Informasi Geografis (SIG) dapat dilakukan. Dari peta penutupan lahan inilah dapat diketahui luasan tiap fase penutupan lahan sawah. Pada analisis luasan ini, efek awan dan haze yang terekam oleh citra, tidak dimasukkan dalam penghitungan luasan, namun dimasukkan dalam fase yang berada di sekitar gangguan awan dan haze tersebut. Gambar 28 merupakan peta penutupan lahan sawah PT. Sang Hyang Seri yang dihasilkan dari hasil klasifikasi citra menggunakan algoritma QUEST. Dari peta penggunaan lahan menggunakan algoritma QUEST, didapatkan luasan tiap fase penutuapan lahan sawah seperti yang disajikan dalam Tabel 7 berikut ini: Tabel 7. Luasan Tiap Fase Penutupan Lahan Sawah Menggunakan Algoritma QUEST Fase Penutupan Lahan Sawah Luas Area (Ha) Luas Area (%) Bera 308 7,63 Awal Tanam ,84 Vegetatif ,37 Generatif ,16 TOTAL Berdasarkan Tabel 7, dapat dinyatakan bahwa luas fase penutupan lahan sawah yang paling besar adalah luas fase awal tanam, yaitu sebesar 1690 Ha atau sekitar 41,84 % dari total luasan seluruhnya, sedangkan luas fase penutupan lahan sawah yang paling kecil adalah luas fase bera (luas sawah telah panen), yaitu sebesar 308 Ha atau sekitar 7,63 % dari total luasan seluruhnya. Selain itu, juga dapat diketahui luas sawah siap panen, yaitu sebesar 1178 Ha atau sekitar 29,16 % dari total luasan seluruhnya. Untuk peta penutupan lahan sawah PT. Sang Hyang Seri yang dihasilkan dari hasil klasifikasi citra menggunakan algoritma CRUISE dapat dilihat pada Gambar 29.

27 PETA PENUTUPAN LAHAN SAW AH PT. SANG HYANG SERI (Menggunakan Algoritma QUEST) Keterangan: Bera Awal Tanam Vegetatif Generatif N W E S Km SANG HYANG SER I Kabupaten Subang Gambar 28. Penutupan Lahan Sawah PT. Sang Hyang Seri Menggunakan Algoritma QUEST

28 PETA PENUTUPAN LAHAN SAW AH PT. SANG HYANG SERI (Menggunakan Algoritma CRUISE) Keterangan: Bera Awal Tanam Vegetatif Generatif N W E S Km SANG HYANG SER I Kabupaten Subang Gambar 29. Penutupan Lahan Sawah PT. Sang Hyang Seri Menggunakan Algoritma CRUISE

29 Dari peta penggunaan lahan menggunakan algoritma CRUISE, didapatkan luasan tiap fase penutupan lahan sawah seperti yang disajikan dalam Tabel 8 berikut ini: Tabel 8. Luasan Tiap Fase Penutupan Lahan Sawah Menggunakan Algoritma CRUISE Fase Penutupan Lahan Sawah Luas Area (Ha) Luas Area (%) Bera 337 8,34 Awal Tanam ,23 Vegetatif ,20 Generatif ,23 TOTAL Tabel 8 menunjukkan bahwa luasan fase penutupan lahan sawah yang paling besar adalah luas fase awal awal tanam, yaitu sebesar 1625 Ha atau sekitar 40,23 % dari total luasan seluruhnya, sedangkan luasan fase penutupan lahan sawah yang paling kecil adalah luas fase bera, yaitu sebesar 337 Ha atau sekitar 8,34 % dari total luasan seluruhnya. Selan itu, luas sawah siap panen yang diketahui adalah sebesar 1140 Ha atau sekitar 28,23 % dari total luasan seluruhnya. Baik menggunakan algoritma QUEST, maupun CRUISE, dapat dinyatakan bahwa luasan fase awal tanam adalah luasan terbesar dari total luasan seluruhnya, sedangkan luasan fase bera merupakan luasan terkecil dari total luasan seluruhnya.

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.. Variasi NDVI Citra AVNIR- Citra AVNIR- yang digunakan pada penelitian ini diakuisisi pada tanggal Desember 008 dan 0 Juni 009. Pada citra AVNIR- yang diakuisisi tanggal Desember

Lebih terperinci

Legenda: Sungai Jalan Blok sawah PT. Sang Hyang Seri Kabupaten Subang

Legenda: Sungai Jalan Blok sawah PT. Sang Hyang Seri Kabupaten Subang 17 III. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dimulai pada bulan Oktober 2010 dan berakhir pada bulan Juni 2011. Wilayah penelitian berlokasi di Kabupaten Subang, Jawa Barat (Gambar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bahan organik merupakan komponen tanah yang terbentuk dari jasad hidup (flora dan fauna) di tanah, perakaran tanaman hidup maupun mati yang sebagian terdekomposisi

Lebih terperinci

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : NDVI=(band4 band3)/(band4+band3).18 Nilai-nilai indeks vegetasi di deteksi oleh instrument pada

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 24 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Respon Polarimetri pada Tanaman Padi Varietas Ciherang 4.1.1. Analisis Data Eksploratif Hasil penerapan teori dekomposisi Cloude Pottier pada penelitian ini terwakili oleh

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Identifikasi Tutupan Lahan di Lapangan Berdasarkan hasil observasi lapangan yang telah dilakukan di Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Tapanuli Utara, dan Kabupaten

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada Gambar 7 tertera citra MODIS level 1b hasil composite RGB: 13, 12

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada Gambar 7 tertera citra MODIS level 1b hasil composite RGB: 13, 12 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sebaran Tumpahan Minyak Dari Citra Modis Pada Gambar 7 tertera citra MODIS level 1b hasil composite RGB: 13, 12 dan 9 dengan resolusi citra resolusi 1km. Composite RGB ini digunakan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 27 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Penampilan Citra Dual Polarimetry PALSAR / ALOS Penampilan citra dual polarimetry : HH dan HV level 1. 5 PALSAR/ALOS masing-masing dapat dilihat pada ENVI 4. 5 dalam bentuk

Lebih terperinci

Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian

Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian 10 BAB III BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dimulai pada bulan Maret 2011 dan berakhir pada bulan Oktober 2011. Penelitian ini terdiri atas pengamatan di lapang dan analisis

Lebih terperinci

Gambar 13. Citra ALOS AVNIR

Gambar 13. Citra ALOS AVNIR 32 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Citra ALOS AVNIR Citra yang digunakan pada penelitian ini adalah Citra ALOS AVNIR tahun 2006 seperti yang tampak pada Gambar 13. Adapun kombinasi band yang digunakan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pengolahan Awal Citra (Pre-Image Processing) Pengolahan awal citra (Pre Image Proccesing) merupakan suatu kegiatan memperbaiki dan mengoreksi citra yang memiliki kesalahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Sumberdaya alam ialah segala sesuatu yang muncul secara alami yang dapat digunakan untuk pemenuhan kebutuhan manusia pada umumnya. Hutan termasuk kedalam sumber daya

Lebih terperinci

Gambar 8. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

Gambar 8. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kenampakan Secara Spasial Kelapa Sawit PT. Perkebunan Nusantara VIII Cimulang Citra yang digunakan pada penelitian ini adalah Citra ALOS AVNIR-2 yang diakuisisi pada tanggal

Lebih terperinci

DAFTAR TABEL. No. Tabel Judul Tabel No. Hal.

DAFTAR TABEL. No. Tabel Judul Tabel No. Hal. DAFTAR ISI Halaman Judul... No Hal. Intisari... i ABSTRACT... iv KATA PENGANTAR... v DAFTAR ISI... vii DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR... x DAFTAR LAMPIRAN... xi BAB I... 1 1.1. Latar Belakang... 1 1.2.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pemantauan Padi dengan SAR Polarisasi Tunggal Pada awal perkembangannya, sensor SAR hanya menyediakan satu pilihan polarisasi saja. Masalah daya di satelit, kapasitas pengiriman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kandungan air kanopi (Canopy Water Content) sangat erat kaitannya dalam kajian untuk mengetahui kondisi vegetasi maupun kondisi ekosistem terestrial pada umumnya. Pada

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Koreksi Geometrik Koreksi geometrik adalah suatu proses memproyeksikan data pada suatu bidang sehingga mempunyai proyeksi yang sama dengan proyeksi peta. Koreksi ini dilakukan untuk

Lebih terperinci

LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL

LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL Sumber Energi Resolusi (Spasial, Spektral, Radiometrik, Temporal) Wahana Metode (visual, digital, otomatisasi) Penginderaan jauh adalah ilmu pengetahuan dan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan 15 BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Juli sampai dengan April 2011 dengan daerah penelitian di Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten Cianjur,

Lebih terperinci

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi 31 IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi Waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan penelitian ini adalah dimulai dari bulan April 2009 sampai dengan November 2009 yang secara umum terbagi terbagi menjadi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa. penyusunan rencana kehutanan. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan

TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa. penyusunan rencana kehutanan. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan TINJAUAN PUSTAKA KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan) Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa perencanaan kehutanan meliputi inventarisasi hutan, pengukuhan kawasan hutan, penatagunaan kawasan

Lebih terperinci

BAB II TEORI DASAR. Beberapa definisi tentang tutupan lahan antara lain:

BAB II TEORI DASAR. Beberapa definisi tentang tutupan lahan antara lain: BAB II TEORI DASAR 2.1 Tutupan Lahan Tutupan Lahan atau juga yang biasa disebut dengan Land Cover memiliki berbagai pengertian, bahkan banyak yang memiliki anggapan bahwa tutupan lahan ini sama dengan

Lebih terperinci

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO. a. Berdasarkan Spektrum Elektromagnetik

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO. a. Berdasarkan Spektrum Elektromagnetik GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 10 Sesi NGAN PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO Citra nonfoto adalah gambaran yang dihasilkan oleh sensor nonfotografik atau sensor elektronik. Sensornya

Lebih terperinci

G ~ QJ\Y~~\-rJl<~\ Vol. 15 No.2, Desember 2009

G ~ QJ\Y~~\-rJl<~\ Vol. 15 No.2, Desember 2009 ISSN: 0854-2759 Jurr1CJJ JJrrdCJ(-l G ~ QJ\Y~~\-rJl

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penggunaan lahan merupakan hasil kegiatan manusia baik yang berlangsung secara siklus atau permanen pada sumberdaya lahan alami maupun buatan guna terpenuhinya kebutuhan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN.. Interpretasi Visual Penggunaan Lahan Setiap obyek yang terdapat dalam citra memiliki kenampakan karakteristik yang khas sehingga obyek-obyek tersebut dapat diinterpretasi dengan

Lebih terperinci

Pemanfaatan Citra Aster untuk Inventarisasi Sumberdaya Laut dan Pesisir Pulau Karimunjawa dan Kemujan, Kepulauan Karimunjawa

Pemanfaatan Citra Aster untuk Inventarisasi Sumberdaya Laut dan Pesisir Pulau Karimunjawa dan Kemujan, Kepulauan Karimunjawa ISSN 0853-7291 Pemanfaatan Citra Aster untuk Inventarisasi Sumberdaya Laut dan Pesisir Pulau Karimunjawa dan Kemujan, Kepulauan Karimunjawa Petrus Soebardjo*, Baskoro Rochaddi, Sigit Purnomo Jurusan Ilmu

Lebih terperinci

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik 5. PEMBAHASAN Penginderaan jauh mempunyai peran penting dalam inventarisasi sumberdaya alam. Berbagai kekurangan dan kelebihan yang dimiliki penginderaan jauh mampu memberikan informasi yang cepat khususnya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Posisi Indonesia berada di daerah tropis mengakibatkan hampir sepanjang tahun selalu diliputi awan. Kondisi ini mempengaruhi kemampuan citra optik untuk menghasilkan

Lebih terperinci

q Tujuan dari kegiatan ini diperolehnya peta penggunaan lahan yang up-to date Alat dan Bahan :

q Tujuan dari kegiatan ini diperolehnya peta penggunaan lahan yang up-to date Alat dan Bahan : MAKSUD DAN TUJUAN q Maksud dari kegiatan ini adalah memperoleh informasi yang upto date dari citra satelit untuk mendapatkan peta penggunaan lahan sedetail mungkin sebagai salah satu paramater dalam analisis

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Identifikasi Objek di Lapangan Pengamatan lapangan dilakukan di 3 (tiga) kabupaten, yaitu : Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten Cianjur. Titik pengamatan sebanyak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan pembangunan pada suatu negara dapat dijadikan sebagai tolak ukur kualitas dari pemerintahan suatu negara. Pembangunan wilayah pada suatu negara dapat

Lebih terperinci

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian 22 METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Sukabumi, Jawa Barat pada 7 wilayah kecamatan dengan waktu penelitian pada bulan Juni sampai November 2009. Pada lokasi penelitian

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang.

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang. III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-Oktober 2010. Lokasi penelitian di Kota Palembang dan Laboratorium Analisis Spasial Lingkungan, Departemen Konservasi Sumberdaya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penutupan Lahan dan Perubahannya Penutupan lahan menggambarkan konstruksi vegetasi dan buatan yang menutup permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

Lebih terperinci

LAMPIRAN 1 HASIL KEGIATAN PKPP 2012

LAMPIRAN 1 HASIL KEGIATAN PKPP 2012 LAMPIRAN 1 HASIL KEGIATAN PKPP 2012 JUDUL KEGIATAN: PENGUATAN KAPASITAS DAERAH DAN SINERGITAS PEMANFAATAN DATA INDERAJA UNTUK EKSTRAKSI INFORMASI KUALITAS DANAU BAGI KESESUAIAN BUDIDAYA PERIKANAN DARAT

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Interpretasi Visual Penggunaan Lahan Melalui Citra Landsat Interpretasi visual penggunaan lahan dengan menggunakan citra Landsat kombinasi band 542 (RGB) pada daerah penelitian

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Citra 5.1.1 Kompilasi Citra Penelitian menggunakan citra Quickbird yang diunduh dari salah satu situs Internet yaitu, Wikimapia. Dalam hal ini penulis memilih mengambil

Lebih terperinci

BAB II TEORI DASAR. 2.1 Ketahanan Pangan Nasional

BAB II TEORI DASAR. 2.1 Ketahanan Pangan Nasional BAB II TEORI DASAR 2.1 Ketahanan Pangan Nasional Program diversifikasi pangan sudah sejak lama dicanangkan, namun belum terlihat indikasi penurunan konsumsi beras penduduk Indonesia. Indikasi ini bahkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh yaitu berbagai teknik yang dikembangkan untuk perolehan dan analisis informasi tentang bumi. Informasi tersebut berbentuk radiasi elektromagnetik

Lebih terperinci

Gambar 1. Satelit Landsat

Gambar 1. Satelit Landsat 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii HALAMAN PERNYATAAN... iii KATA PENGANTAR... iv DAFTAR ISI... vi DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR... x DAFTAR LAMPIRAN... xii ABSTRACT... xiii

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, bahwa mangrove merupakan ekosistem hutan, dengan definisi hutan adalah suatu ekosistem hamparan lahan berisi sumber daya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanah merupakan materi yang terdiri dari agregat (butiran) padat yang tersementasi (terikat secara kimia) satu sama lain serta dari bahan bahan organik yang telah

Lebih terperinci

benar sebesar 30,8%, sehingga harus dilakukan kembali pengelompokkan untuk mendapatkan hasil proporsi objek tutupan lahan yang lebih baik lagi. Pada pengelompokkan keempat, didapat 7 tutupan lahan. Perkebunan

Lebih terperinci

By. Lili Somantri, S.Pd.M.Si

By. Lili Somantri, S.Pd.M.Si By. Lili Somantri, S.Pd.M.Si Panjang Gelombang 1 m = 0,001 mm 1 m = 0,000001 m 0,6 m = 0,6 X 10-6 = 6 x 10-7 PANTULAN SPEKTRAL OBJEK Terdapat tiga objek utama di permukaan bumi, yaitu vegetasi, tanah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. and R.W. Kiefer., 1979). Penggunaan penginderaan jauh dalam mendeteksi luas

BAB I PENDAHULUAN. and R.W. Kiefer., 1979). Penggunaan penginderaan jauh dalam mendeteksi luas BAB I PENDAHULUAN Bab I menguraikan tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, batasan masalah serta sistematika penulisan yang menjadi dasar dari Perbandingan Penggunaan

Lebih terperinci

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian yang meliputi pengolahan data citra dilakukan pada bulan Mei

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian yang meliputi pengolahan data citra dilakukan pada bulan Mei 3. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian yang meliputi pengolahan data citra dilakukan pada bulan Mei sampai September 2010. Lokasi penelitian di sekitar Perairan Pulau Pari, Kepulauan Seribu,

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pembuatan algoritma empiris klorofil-a Tabel 8, Tabel 9, dan Tabel 10 dibawah ini adalah percobaan pembuatan algoritma empiris dibuat dari data stasiun nomor ganjil, sedangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Teh merupakan salah satu komoditi subsektor perkebunan yang memiliki berbagai peranan dan manfaat. Teh dikenal memiliki kandungan katekin (antioksidan alami) yang

Lebih terperinci

BAB PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanah merupakan tubuh alam yang menyelimuti permukaan bumi dan merupakan sumberdaya yang sangat penting bagi makhluk hidup. Tanah mempunyai kemampuan untuk mendukung

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o o LU. (perhitungan luas menggunakan perangkat GIS).

TINJAUAN PUSTAKA. Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o o LU. (perhitungan luas menggunakan perangkat GIS). TINJAUAN PUSTAKA Daerah Aliran Sungai (DAS) Besitang Sekilas Tentang DAS Besitang Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o 45 04 o 22 44 LU dan 97 o 51 99 o 17 56 BT. Kawasan DAS Besitang melintasi

Lebih terperinci

PERUBAHAN LUAS EKOSISTEM MANGROVE DI KAWASAN PANTAI TIMUR SURABAYA

PERUBAHAN LUAS EKOSISTEM MANGROVE DI KAWASAN PANTAI TIMUR SURABAYA PERUBAHAN LUAS EKOSISTEM MANGROVE DI KAWASAN PANTAI TIMUR SURABAYA Nirmalasari Idha Wijaya 1, Inggriyana Risa Damayanti 2, Ety Patwati 3, Syifa Wismayanti Adawiah 4 1 Dosen Jurusan Oseanografi, Universitas

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Usahatani Padi dan Mobilitas Petani Padi

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Usahatani Padi dan Mobilitas Petani Padi II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Usahatani Padi dan Mobilitas Petani Padi Usahatani merupakan organisasi dari alam, kerja, dan modal yang ditujukan kepada produksi lapangan pertanian (Hernanto, 1995). Organisasi

Lebih terperinci

SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS,

SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS, Integrasi GISdan Inderaja Penginderaan jauh (remote sensing) adalah ilmu dan ketrampilan untuk memperoleh informasi tentang obyek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh didefinisikan sebagai proses perolehan informasi tentang suatu obyek tanpa adanya kontak fisik secara langsung dengan obyek tersebut (Rees, 2001;

Lebih terperinci

menunjukkan nilai keakuratan yang cukup baik karena nilai tersebut lebih kecil dari limit maksimum kesalahan rata-rata yaitu 0,5 piksel.

menunjukkan nilai keakuratan yang cukup baik karena nilai tersebut lebih kecil dari limit maksimum kesalahan rata-rata yaitu 0,5 piksel. Lampiran 1. Praproses Citra 1. Perbaikan Citra Satelit Landsat Perbaikan ini dilakukan untuk menutupi citra satelit landsat yang rusak dengan data citra yang lainnya, pada penelitian ini dilakukan penggabungan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Suhu Permukaan Suhu permukaan dapat diartikan sebagai suhu terluar suatu obyek. Untuk suatu tanah terbuka, suhu permukaan adalah suhu pada lapisan terluar permukaan tanah. Sedangkan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 11 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan yaitu bulan Juli-Agustus 2010 dengan pemilihan lokasi di Kota Denpasar. Pengolahan data dilakukan di Laboratorium

Lebih terperinci

Sudaryanto dan Melania Swetika Rini*

Sudaryanto dan Melania Swetika Rini* PENENTUAN RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) DENGAN INDEX VEGETASI NDVI BERBASIS CITRA ALOS AVNIR -2 DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI DI KOTA YOGYAKARTA DAN SEKITARNYA Sudaryanto dan Melania Swetika Rini* Abstrak:

Lebih terperinci

ix

ix DAFTAR ISI viii ix x DAFTAR TABEL Tabel 1.1. Emisivitas dari permukaan benda yang berbeda pada panjang gelombang 8 14 μm. 12 Tabel 1.2. Kesalahan suhu yang disebabkan oleh emisivitas objek pada suhu 288

Lebih terperinci

Bab IV Hasil dan Pembahasan

Bab IV Hasil dan Pembahasan Bab IV Hasil dan Pembahasan 4.1. Hasil 4.1.1. Digitasi dan Klasifikasi Kerapatan Vegetasi Mangrove Digitasi terhadap citra yang sudah terkoreksi dilakukan untuk mendapatkan tutupan vegetasi mangrove di

Lebih terperinci

KOREKSI RADIOMETRIK CITRA LANDSAT-8 KANAL MULTISPEKTRAL MENGGUNAKAN TOP OF ATMOSPHERE (TOA) UNTUK MENDUKUNG KLASIFIKASI PENUTUP LAHAN

KOREKSI RADIOMETRIK CITRA LANDSAT-8 KANAL MULTISPEKTRAL MENGGUNAKAN TOP OF ATMOSPHERE (TOA) UNTUK MENDUKUNG KLASIFIKASI PENUTUP LAHAN KOREKSI RADIOMETRIK CITRA LANDSAT-8 KANAL MULTISPEKTRAL MENGGUNAKAN TOP OF ATMOSPHERE (TOA) UNTUK MENDUKUNG KLASIFIKASI PENUTUP LAHAN Rahayu *), Danang Surya Candra **) *) Universitas Jendral Soedirman

Lebih terperinci

PENELITIAN FISIKA DALAM TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH UNTUK MONITORING PERUBAHAN GARIS PANTAI (STUDI KASUS DI WILAYAH PESISIR PERAIRAN KABUPATEN KENDAL)

PENELITIAN FISIKA DALAM TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH UNTUK MONITORING PERUBAHAN GARIS PANTAI (STUDI KASUS DI WILAYAH PESISIR PERAIRAN KABUPATEN KENDAL) 54 Prosiding Pertemuan Ilmiah XXIV HFI Jateng & DIY, Semarang 10 April 2010 hal. 54-60 PENELITIAN FISIKA DALAM TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH UNTUK MONITORING PERUBAHAN GARIS PANTAI (STUDI KASUS DI WILAYAH

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PENGESAHAN... ii HALAMAN PERNYATAAN... iii INTISARI... iv ABSTRACT... v KATA PENGANTAR... vi DAFTAR ISI... viii DAFTAR TABEL... x DAFTAR GAMBAR... xi DAFTAR LAMPIRAN...

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pemetaan Batimetri 4.1.1. Pemilihan Model Dugaan Dengan Nilai Digital Asli Citra hasil transformasi pada Gambar 7 menunjukkan nilai reflektansi hasil transformasi ln (V-V S

Lebih terperinci

SUB POKOK BAHASAN 10/16/2012. Sensor Penginderaan Jauh menerima pantulan energi. Sensor Penginderaan Jauh menerima pantulan energi

SUB POKOK BAHASAN 10/16/2012. Sensor Penginderaan Jauh menerima pantulan energi. Sensor Penginderaan Jauh menerima pantulan energi MATA KULIAH : SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) PERIKANAN KODE MK : M10A.125 SKS : 2 (11) DOSEN : SYAWALUDIN ALISYAHBANA HRP, S.Pi, MSc. SUB POKOK BAHASAN DEFINIS DAN PENGERTIAN TENAGA UNTUK PENGINDERAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris dimana sebagian besar penduduknya bekerja sebagai petani. Berdasarkan sensus penduduk tahun 2010, jumlah penduduk yang bermata pencaharian

Lebih terperinci

Aplikasi Penginderaan Jauh Untuk Monitoring Perubahan Ruang Terbuka Hijau (Studi Kasus : Wilayah Barat Kabupaten Pasuruan)

Aplikasi Penginderaan Jauh Untuk Monitoring Perubahan Ruang Terbuka Hijau (Studi Kasus : Wilayah Barat Kabupaten Pasuruan) Aplikasi Penginderaan Jauh Untuk Monitoring Perubahan Ruang Terbuka Hijau (Studi Kasus : Wilayah Barat Kabupaten Pasuruan) Ardiawan Jati, Hepi Hapsari H, Udiana Wahyu D Jurusan Teknik Geomatika, Fakultas

Lebih terperinci

Aplikasi Citra Satelit QuickBird Untuk Kajian Alih Fungsi Lahan Sawah di Kota Denpasar

Aplikasi Citra Satelit QuickBird Untuk Kajian Alih Fungsi Lahan Sawah di Kota Denpasar Aplikasi Citra Satelit QuickBird Untuk Kajian Alih Fungsi Lahan Sawah di Kota Denpasar RUNIA CHRISTINA GULTOM INDAYATI LANYA*) I WAYAN NUARSA Program Studi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Informasi Geografis Sistem Informasi Geografis adalah sistem berbasis komputer yang terdiri atas perangkat keras komputer (hardware), perangkat lunak (software), data

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan 2.1.1 Pengertian Lahan Pengertian lahan tidak sama dengan tanah, tanah adalah benda alami yang heterogen dan dinamis, merupakan interaksi hasil kerja

Lebih terperinci

PENGINDERAAN JAUH. --- anna s file

PENGINDERAAN JAUH. --- anna s file PENGINDERAAN JAUH copyright@2007 --- anna s file Pengertian Penginderaan Jauh Beberapa ahli berpendapat bahwa inderaja merupakan teknik yang dikembangkan untuk memperoleh data di permukaan bumi, jadi inderaja

Lebih terperinci

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD SENSOR DAN PLATFORM Kuliah ketiga ICD SENSOR Sensor adalah : alat perekam obyek bumi. Dipasang pada wahana (platform) Bertugas untuk merekam radiasi elektromagnetik yang merupakan hasil interaksi antara

Lebih terperinci

III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian 3.2 Lokasi Penelitian

III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian 3.2 Lokasi Penelitian III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan Februari sampai September 2011. Kegiatan penelitian ini meliputi tahap prapenelitian (persiapan, survei), Inventarisasi (pengumpulan

Lebih terperinci

INTERPRETASI CITRA SATELIT LANDSAT

INTERPRETASI CITRA SATELIT LANDSAT INTERPRETASI CITRA SATELIT LANDSAT Tujuan: Mahasiswa dapat mengidentifikasi objek yang ada pada citra landsat Mahasiswa dapat mendelineasi hasil interpretasi citra landsat secara teliti Mahasiswa dapat

Lebih terperinci

Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997

Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997 LAMPIRAN Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997 17 Lampiran 2. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 2006 18 Lampiran 3. Peta sebaran suhu permukaan Kodya Bogor tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1. Persebaran Lahan Produksi Kelapa Sawit di Indonesia Sumber : Badan Koordinasi dan Penanaman Modal

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1. Persebaran Lahan Produksi Kelapa Sawit di Indonesia Sumber : Badan Koordinasi dan Penanaman Modal BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan dengan jumlah penduduk pada tahun 2014 sebanyak 237.641.326 juta jiwa, hal ini juga menempatkan Negara Indonesia

Lebih terperinci

Gregorius Anung Hanindito 1 Eko Sediyono 2 Adi Setiawan 3. Abstrak

Gregorius Anung Hanindito 1 Eko Sediyono 2 Adi Setiawan 3. Abstrak ANALISIS PANTAUAN DAN KLASIFIKASI CITRA DIGITAL PENGINDRAAN JAUH DENGAN DATA SATELIT LANDASAT TM MELALUI TEKNIK SUPERVISED CLASSIFICATION (STUDI KASUS KABUPATEN MINAHASA TENGGARA, PROVINSI SULAWESI UTARA)

Lebih terperinci

III. METODE PENELITAN ' ' KEC. BINONG KEC. PAMANUKAN KAB. INDRAMAYU KAB. SUMEDANG ' ' Gambar 2.

III. METODE PENELITAN ' ' KEC. BINONG KEC. PAMANUKAN KAB. INDRAMAYU KAB. SUMEDANG ' ' Gambar 2. III. METODE PENELITAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelititan Penelitian ini dilakukan mulai dari bulan Juni di lokasi pengamatan lapang yaitu di wilayah kerja PT. Sang Hyang Seri yang berlokasi di Kecamatan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penutupan Lahan Tahun 2003 2008 4.1.1 Klasifikasi Penutupan Lahan Klasifikasi penutupan lahan yang dilakukan pada penelitian ini dimaksudkan untuk membedakan penutupan/penggunaan

Lebih terperinci

RINGKASAN MATERI INTEPRETASI CITRA

RINGKASAN MATERI INTEPRETASI CITRA Lampiran 1 Ringkasan Materi RINGKASAN MATERI INTEPRETASI CITRA 1 Pengertian Intepretasi Citra Inteprtasi Citra adalah kegiatan menafsir, mengkaji, mengidentifikasi, dan mengenali objek pada citra, selanjutnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lahan merupakan sumberdaya alam yang bersifat langka karena jumlahnya tidak bertambah, tetapi kebutuhan terhadap lahan selalu meningkat. Alih fungsi lahan pertanian

Lebih terperinci

SAMPLING DAN KUANTISASI

SAMPLING DAN KUANTISASI SAMPLING DAN KUANTISASI Budi Setiyono 1 3/14/2013 Citra Suatu citra adalah fungsi intensitas 2 dimensi f(x, y), dimana x dan y adalahkoordinat spasial dan f pada titik (x, y) merupakan tingkat kecerahan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 ALOS PRISM Pemetaan baku sawah pada penelitian ini menggunakan citra ALOS PRISM dan citra radar ALOS PALSAR pada daerah kajian Kabupaten Subang bagian Barat. ALOS PRISM adalah

Lebih terperinci

ANALISIS CITRA ALOS AVNIR-2 UNTUK PEMANTAUAN LAHAN SAWAH PT. SANG HYANG SERI, KABUPATEN SUBANG AUFA HILLIYUN AIDHA SYAFRIL A

ANALISIS CITRA ALOS AVNIR-2 UNTUK PEMANTAUAN LAHAN SAWAH PT. SANG HYANG SERI, KABUPATEN SUBANG AUFA HILLIYUN AIDHA SYAFRIL A ANALISIS CITRA ALOS AVNIR-2 UNTUK PEMANTAUAN LAHAN SAWAH PT. SANG HYANG SERI, KABUPATEN SUBANG AUFA HILLIYUN AIDHA SYAFRIL A14053633 MAYOR MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang rawan terjadi kekeringan setiap tahunnya. Bencana kekeringan semakin sering terjadi di berbagai daerah di Indonesia dengan pola dan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penutupan Lahan 5.1.1 Penutupan lahan Kabupaten Sidoarjo Penutupan lahan (land cover) merupakan perwujudan fisik dari obyek dan yang menutupi permukaan tanpa mempersoalkan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Konsep Dasar Penginderaan Jauh

TINJAUAN PUSTAKA Konsep Dasar Penginderaan Jauh 4 TINJAUAN PUSTAKA Konsep Dasar Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah, dan fenomena melalui analisis data yang diperoleh dari suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu

Lebih terperinci

A JW Hatulesila. Analisis Spasial Ruang Terbuka Hijau (RTH) untuk Penanganan Perubahan Iklim di Kota Ambon. Abstrak

A JW Hatulesila. Analisis Spasial Ruang Terbuka Hijau (RTH) untuk Penanganan Perubahan Iklim di Kota Ambon. Abstrak A123-04-1-JW Hatulesila Analisis Spasial Ruang Terbuka Hijau (RTH) untuk Penanganan Perubahan Iklim di Kota Ambon Jan Willem Hatulesila 1), Gun Mardiatmoko 1), Jusuph Wattimury 2) 1) Staf Pengajar Fakultas

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. menjadi suatu kawasan hunian yang berwawasan lingkungan dengan suasana. fungsi dalam tata lingkungan perkotaan (Nazaruddin, 1996).

TINJAUAN PUSTAKA. menjadi suatu kawasan hunian yang berwawasan lingkungan dengan suasana. fungsi dalam tata lingkungan perkotaan (Nazaruddin, 1996). 5 TINJAUAN PUSTAKA Penghijauan Kota Kegiatan penghijauan dilaksanakan untuk mewujudkan lingkungan kota menjadi suatu kawasan hunian yang berwawasan lingkungan dengan suasana yang asri, serasi dan sejuk

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Citra Digital Interpretasi dilakukan dengan pembuatan area contoh (training set) berdasarkan pengamatan visual terhadap karakteristik objek dari citra Landsat. Untuk

Lebih terperinci

Satelit Landsat 8, Landsat Data Continuity Mission Pengolahan Citra Digital

Satelit Landsat 8, Landsat Data Continuity Mission Pengolahan Citra Digital Satelit Landsat 8, Landsat Data Continuity Mission A. Satelit Landsat 8 Satelit Landsat 8, Landsat Data Continuity Mission Landsat 8 merupakan kelanjutan dari misi Landsat yang untuk pertama kali menjadi

Lebih terperinci

TEORI DASAR INTERPRETASI CITRA SATELIT LANDSAT TM7+ METODE INTERPRETASI VISUAL ( DIGITIZE SCREEN) Oleh Dwi Nowo Martono

TEORI DASAR INTERPRETASI CITRA SATELIT LANDSAT TM7+ METODE INTERPRETASI VISUAL ( DIGITIZE SCREEN) Oleh Dwi Nowo Martono TEORI DASAR INTERPRETASI CITRA SATELIT LANDSAT TM7+ METODE INTERPRETASI VISUAL ( DIGITIZE SCREEN) Oleh Dwi Nowo Martono I. PENGANTAR Penginderaan jauh adalah ilmu dan teknik untuk memperoleh informasi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan Lahan adalah suatu wilayah daratan yang ciri-cirinya menerangkan semua tanda pengenal biosfer, atsmosfer, tanah geologi,

Lebih terperinci

Gambar 1.1 Siklus Hidrologi (Kurkura, 2011)

Gambar 1.1 Siklus Hidrologi (Kurkura, 2011) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Air merupakan kebutuhan yang mutlak bagi setiap makhluk hidup di permukaan bumi. Seiring dengan pertambahan penduduk kebutuhan air pun meningkat. Namun, sekarang

Lebih terperinci

PENGOLAHAN CITRA DIGITAL

PENGOLAHAN CITRA DIGITAL PENGOLAHAN CITRA DIGITAL Aditya Wikan Mahastama mahas@ukdw.ac.id Sistem Optik dan Proses Akuisisi Citra Digital 2 UNIV KRISTEN DUTA WACANA GENAP 1213 v2 Bisa dilihat pada slide berikut. SISTEM OPTIK MANUSIA

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM PENGINDERAAN JAUH KOMPOSIT BAND CITRA LANDSAT DENGAN ENVI. Oleh: Nama : Deasy Rosyida Rahmayunita NRP :

LAPORAN PRAKTIKUM PENGINDERAAN JAUH KOMPOSIT BAND CITRA LANDSAT DENGAN ENVI. Oleh: Nama : Deasy Rosyida Rahmayunita NRP : LAPORAN PRAKTIKUM PENGINDERAAN JAUH KOMPOSIT BAND CITRA LANDSAT DENGAN ENVI Oleh: Nama : Deasy Rosyida Rahmayunita NRP : 3513100016 Dosen Pembimbing: Nama : Prof.Dr.Ir. Bangun Muljo Sukojo, DEA, DESS NIP

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penginderaan jauh merupakan ilmu yang semakin berkembang pada masa sekarang, cepatnya perkembangan teknologi menghasilkan berbagai macam produk penginderaan jauh yang

Lebih terperinci