V. HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "V. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 27 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kepadatan Titik Panas Berdasarkan data titik panas yang terpantau dari satelit NOAA-AVHRR dapat diketahui bahwa selama rentang waktu dari tahun 2000 hingga tahun 2011, pada daerah Kalimantan Barat selalu dijumpai kemunculan titik panas dengan kepadatan yang tidak sama setiap tahunnya seperti terlihat pada Gambar Gambar 6. Jumlah Titik Panas Jumlah titik panas tahunan pada tahun 2000 hingga tahun 2011 yaitu tahun 2000 (972 titik), tahun 2001 (1.617 titik), tahun 2002 (4.043 titik), tahun 2003 (1.522 titik), tahun 2004 (2.366 titik), tahun 2005 (1.505 titik), tahun 2006 (6.521 titik), tahun 2007 (394 titik), tahun 2008 (1.584 titik), tahun 2009 (7.291 titik), tahun 2010 (1.763 titik), tahun 2011 (1.222 titik). Berdasarkan data tersebut dapat diketahui bahwa pada tahun 2002, 2004, 2006 dan 2009 titik panas yang terpantau oleh satelit NOAA pada wilayah Kalimantan Barat mencapai jumlah diatas titik per tahun atau dapat dikatakan tinggi jika dibandingkan dengan kemunculan titik panas pada tahun lainnya. Hal ini diduga berkaitan dengan fenomena anomali iklim yaitu El-Nino yang menyebabkan kekeringan. Intensitas kebakaran akan semakin tinggi apabila terjadi peristiwa El Nino Southern Oscillation/ENSO seperti yang terjadi pada tahun 2002, 2004, 2006, dan 2009 (Suwarsono et.al,

2 ). Berdasarkan kondisi tersebut maka perlu di waspadai peningkatan jumlah kemunculan titik panas pada waktu yang diprediksi akan terjadinya fenomena El- Nino. 5.2 Distribusi Spasial Titik Panas Berdasarkan Wilayah Kabupaten/kota Sebaran titik panas yang terjadi di Provinsi Kalimantan Barat selama tahun 2000 hingga tahun 2010 menunjukkan bahwa Wilayah yang memiliki titik panas terbanyak setiap tahunnya adalah tahun 2000 (Kabupaten Sintang), tahun 2001 (Kabupaten Sintang), tahun 2002 (Kabupaten Ketapang), tahun 2003 (Kabupaten Ketapang), tahun 2004 (Kabupaten Ketapang), tahun 2005 (Kabupaten Sambas), tahun 2006 (Kabupaten Ketapang), tahun 2007 (Kabupaten Sambas), tahun 2008 (Kabupaten Sanggau), tahun 2009 (Kabupaten Ketapang), tahun 2010 (Kabupaten Sintang), tahun 2011 (Kabupaten Ketapang). Tabel 4 menyajikan jumlah titik panas masing-masing wilayah kabupaten. Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa Kabupaten Ketapang dan Kabupaten Sintang merupakan wilayah yang menyumbangkan jumlah titik panas terbanyak. Hal ini ditandai dengan jumlah titik panas yang terjadi pada kedua wilayah tersebut seringkali berada di peringkat 3 besar. Sedangkan Kota Pontianak dan Kota Singkawang adalah wilayah dengan kemunculan titik panas terendah bahkan jarang sekali ditemukan kemunculan titik panas. Hal ini dapat disebabkan karena kedua wilayah tersebut merupakan wilayah perkotaan yang berkembang, sehingga aktivitas masyarakat yang dapat memicu kemunculan titik panas dapat dihindari. Kemunculan titik panas di Kabupaten Ketapang yaitu pada tahun 2000 sebanyak 138 titik (14,20% dari jumlah total titik panas yang terjadi di Provinsi Kalimantan Barat selama tahun 2000) sedangkan di tahun 2001 titik panas muncul 240 titik (14,84%). Kemunculan titik panas di 3 tahun berikutnya yakni tahun 2002, 2003 dan 2004 berada pada peringkat pertama yakni berturut-turut sebesar 1699 titik (42,02%), 511 titik (33,57%), 911 titik (38,50%). Pada tahun 2005 terdapat 148 titik (9,8%) dan di tahun 2006 sebanyak 2325 titik (35,65%). Sedangkan pada tahun 2007 hanya terdapat 32 titik (8,12%) dan di tahun 2008 terdapat sebanyak 218 titik (13,76%). Pada tahun berikutnya yakni tahun 2009, kemunculan titik panas di Kabupaten Ketapang menjadi yang terbanyak kembali

3 29 dibandingkan wilayah lainnya yaitu sebanyak 1364 titik (18,70%). Di tahun 2010 diketahui terdapat 195 titik (11,06%) dan di tahun 2011 terdapat 215 titik (17,59%). Wilayah lainnya yang juga memiliki kemunculan titik panas terbanyak adalah Kabupaten Sintang. Pada tahun 2000 terdapat kemunculan titik panas sebanyak 242 titik atau 24,89% dari jumlah total titik panas yang terdapat di Provinsi Kalimantan Barat selama tahun berikutnya yaitu pada tahun 2001, Kabupaten Sintang masih menempati peringkat 1 wilayah dengan kemunculan titik panas paling banyak yaitu sebesar 390 titik (24,11%). Pada tahun 2002 ditemukan sebanyak 575 titik (14,22%) dan di tahun 2003 sebanyak 364 titik (23,91%). Selama tahun 2002 hingga tahun 2007, wilayah ini menempati peringkat kedua dalam kemunculan titik panas. Untuk tahun 2004 terdapat 497 titik (21%), tahun 2005 terdapat 306 titik (20,33%), tahun 2006 terdapat 1013 titik (15,53%), dan tahun 2007 terdapat 24 titik (18,78%). Pada tahun 2008 dan tahun 2009, wilayah ini tidak menempati peringkat 3 besar dalam kemunculan titik panas. Pada tahun 2008 terdapat 807 titik (5,61%) dan di tahun 2009 terdapat 324 titik (11,06%). Di tahun 2011 terdapat 93 titik (7,61%). Dari ke 14 wilayah kabupaten/kota yang terdapat di Provinsi Kalimantan Barat diketahui bahwa Kota Pontianak dan Kota Singkawang merupakan wilayah dengan kemunculan titik panas terendah. Pada Kota Pontianak hanya ditemukan kemunculan titik panas di tahun 2010 dan tahun 2011 sebanyak tidak lebih dari 2 titik panas. Sementara itu di Kota Singkawang lebih banyak dijumpai adanya kemunculan titik panas tetapi dalam jumlah yang relatif sedikit. Pada tahun 2001 (2 titik), tahun 2002 (4 titik), tahun 2003 (4 titik), tahun 2005 (2 titik), tahun 2006 (15 titik), tahun 2008 (9 titik), tahun 2009 (18 titik), tahun 2010 (3 titik), tahun 2011 (2 titik). Untuk lebih lengkapnya, peta sebaran titik panas Provinsi Kalimantan Barat tahun 2000 hingga tahun 2010 dapat dilihat pada Lampiran 9 hingga Lampiran 20

4 30 Kabupaten Jumlah Titik Panas Kabupaten Bengkayang Kabupaten Kapuas Hulu Kabupaten Kayong Utara Kabupaten Ketapang Kabupaten Kubu Raya Kabupaten Landak Kabupaten Melawi Kabupaten Pontianak Kabupaten Sambas Kabupaten Sanggau Kabupaten Sekadau Kabupaten Sintang Kota Singkawang Kota Pontianak 1 2 Grand Total Tabel 4. Jumlah Titik Panas Masing-masing Wilayah Kabupaten Keterangan Peringkat 1 Peringkat 2 Peringkat 3 30

5 Distribusi Spasial Titik Panas Berdasarkan Penggunaan Lahan Kemunculan titik panas pada Provinsi Kalimantan Barat terdapat pada penggunaan lahan berupa hutan, kebun campuran, mangrove, pemukiman, perkebunan, pertambangan, rawa, sawah, semak belukar, tanah terbuka, dan tubuh air. Selama rentang waktu tahun 2000 hingga tahun 2010 diketahui bahwa jumlah titik panas paling banyak ditemukan pada penggunaan lahan berupa kebun campuran. Sebaran titik panas pada masing-masing penggunaan lahan secara lengkap tersaji pada Gambar Gambar 7. Titik Panas Pada Masing-masing Penggunaan Lahan Selama 2000 hingga 2010 Secara keseluruhan selama tahun 2000 hingga tahun 2010, kemunculan titik panas paling banyak ditemukan pada penggunaan lahan kebun campuran yaitu sebanyak titik. Kebun campuran merupakan penggunaan lahan kebun yang terdiri atas campuran vegetasi antara tanaman tahunan yang menghasilkan buah-buahan dan sayuran serta tanaman semusim. Kemunculan titik panas pada penggunaan lahan kebun campuran terjadi diakibatkan dari aktivitas penyiapan lahan. Penggunaan lahan lainnya yang juga ditemukan kemunculan titik panas terbanyak adalah pada penggunaan lahan berupa rawa. Pada penggunaan lahan rawa ditemukan sebanyak titik. Hutan rawa adalah hutan yang tumbuh dan berkembang pada tempat yang selalu tergenang air tawar atau secara musiman

6 32 tergenang air tawar. Berkembangnya sektor perkebunan dan pertanian di Provinsi Kalimantan Barat mengakibatkan sulitnya mencari lahan untuk kegiatan perladangan. Hal ini menyebabkan sebagian masyarakat mulai beralih memanfaatkan hutan rawa untuk areal pertanian, terutama lahan gambut. Masalah yang timbul adalah sebagian masyarakat masih menggunakan teknik pembakaran untuk membuka areal pertanian, sehingga mengakibatkan terjadinya kemunculan titik panas. Pada semak belukar ditemukan adanya kemunculan titik panas sebanyak titik. Semak belukar adalah tumbuhan perdu yang mempunyai cabang kayu kecil dan rendah. Kemunculan titik panas sangat rawan terjadi pada semak belukar terutama di musim kemarau. Hal ini dikarenakan menumpuknya serasah gulma terutama pakis-pakisan sehingga apabila ada api sedikit saja dapat menimbulkan kebakaran hebat. Peristiwa ini tentunya akan memicu kemunculan titik panas. Hal yang menarik adalah ditemukannya kemunculan titik panas pada penggunaan lahan tubuh air/sungai. Pada kenyataannya titik panas yang biasanya diindikasikan sebagai peristiwa kebakaran hutan/lahan, tidak mungkin dapat ditemukan pada tubuh air. Kondisi ini menunjukkan kelemahan dari penggunaan data titik panas pada Citra NOAA. Menurut Hiroki dan Dwi (1999), hal ini dikarenakan adanya efek kilau matahari misalnya dikarenakan sudut perekaman yang terlalu rendah dan mengenai obyek air sehingga menyebabkan nilai pantulan menjadi tinggi hampir sama dengan nilai pancaran. Apabila penentuan titik panas menggunakan metode sederhana, maka energi pantulan air menjadi tinggi sehingga akan terekam oleh sensor AVHRR sebagai nilai pancaran dan terklasifikasikan sebagai titik panas. 5.4 Distribusi Temporal Titik Panas Sebaran titik panas masing-masing bulan selama rentang waktu tahun 2000 hingga tahun 2010 dapat dilihat pada Gambar 8. Berdasarkan gambar tersebut terlihat bahwa jumlah titik panas di awal tahun terbilang masih berada dalam intensitas yang rendah. Kemunculan titik panas mulai menunjukkan peningkatan di bulan Juli hingga mencapai puncak di bulan Agustus. Hal ini dinilai terkait dengan musim kemarau yang mencapai puncaknya di bulan Agustus

7 33 sehingga menyebabkan titik panas yang terpantau mencapai angka yang maksimal. Selanjutnya, pada bulan berikutnya yakni di bulan September jumlah titik panas mengalami penurunan dikarenakan kondisi iklim mulai memasuki musim penghujan kembali. Pola semacam ini terus berulang di setiap tahunnya. Selain hal tersebut, kemunculan titik panas yang tinggi di bulan Agustus terkait dengan aktivitas pertanian tanaman semusim masyarakat Kalimantan Barat. Berdasarkan hasil penelitian Sunanto tahun 2008 di Kecamatan Rasau Jaya Kabupaten Kubu Raya menyebutkan bahwa sistem pertanian yang diterapkan di wilayah ini adalah sistem pertanian ekstensif, termasuk masih digunakannya penyiapan lahan dengan cara dibakar untuk tanaman padi. Tanaman padi biasa dilakukan pada saat menjelang musim hujan sekitar bulan September, sedangkan penyiapan lahan dilakukan satu bulan sebelumnya yakni bulan Agustus. Aktivitas penyiapan lahan tersebut dapat memicu kemunculan titik panas sebagai indikasi adanya aktivitas pembakaran hutan/lahan Gambar 8. Sebaran Titik Panas Bulanan

8 Hubungan Antara Titik Panas dengan Curah Hujan Analisis dilakukan menggunakan data curah hujan rata-rata bulanan pada 5 titik stasiun meteorologi. Agar mewakili keterkaitan antara titik panas dengan curah hujan maka dilakukan buffer sejauh 100 km dari stasiun meteorologi. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa kemunculan titik panas paling banyak terjadi pada bulan Agustus. Curah hujan yang terjadi pada bulan Agustus merupakan curah hujan paling rendah dibanding dengan curah hujan yang terjadi di bulan lainnya. Pada pemaparan berikut akan disampaikan kondisi curah hujan dengan banyaknya titik panas yang terjadi selama 5 periode pengamatan yaitu tahun 2005 hingga tahun 2010 Pada tahun 2005, titik panas paling sering muncul di bulan Agustus dengan kondisi curah hujan intensitas rendah. Titik panas yang muncul sebanyak 583 titik dengan curah hujan sebesar mm/bulan. Ketika intensitas curah hujan meningkat menjadi mm/bulan mengakibatkan kepadatan titik panas yang muncul mengalami penurunan menjadi 400 titik. Pada tahun 2006, terjadi pola yang serupa. Titik panas paling banyak ditemukan pada bulan Agustus yaitu sebanyak 2061 titik dengan kondisi curah hujan paling rendah sebesar 79.8 mm/bulan. Ketika bulan berikutnya terjadi kenaikan curah hujan menjadi mm/bulan, titik panas yang terpantau hanya sebesar 621 titik. Pada tahun 2007, titik panas di bulan Agustus sebanyak 128 titik dengan kondisi curah hujan mm/bulan. Bulan berikutnya terjadi peningkatan curah hujan dan penurunan titik panas hingga akhir tahun Hal yang serupa terjadi pula di tahun 2008, titik panas terbanyak ditemukan di bulan Agustus yaitu 502 titik dengan kondisi curah hujan rendah yaitu mm/bulan. Pada tahun 2009, titik panas yang terlihat di bulan Agustus sebanyak 2602 titik dengan kondisi curah hujan 176mm/bulan. Curah hujan yang terjadi sepanjang tahun 2009 cukup rendah, hal ini terkait dengan fenomena El-Nino yang terjadi. Hal yang berbeda justru terjadi di tahun 2010, titik panas tertinggi muncul di bulan Oktober sebanyak 383 titik dengan intensitas curah hujan 344 mm/bulan atau bukan pada kondisi curah hujan yang paling rendah sepanjang tahun. Sementara pada bulan Agustus terdapat 246 titik dengan curah hujan 333 mm/bulan. Curah hujan paling rendah terjadi pada awal tahun dengan kondisi

9 35 kemunculan titik panas terendah pula. Untuk data yang lebih lengkap dapat dilihat pada Lampiran 8. Berdasarkan pemaparan diatas dapat diketahui bahwa terdapat hubungan yang berbanding terbalik antara kemunculan titik panas dengan curah hujan. Seperti yang terlihat pada Gambar 9, titik panas mengalami kemunculan yang maksimum ketika kondisi curah hujan yang rendah dan mulai memasuki musim kemarau seperti pada bulan Agustus. Intensitas kemunculan titik panas mulai mengalami penurunan ketika memasuki musim penghujan dengan curah hujan yang meningkat. Menurut Pasaribu dan Friyatno tahun 2006, kebakaran hutan selalu terjadi di bulan Agustus dikarenakan masyarakat Kalimantan Barat sudah selesai menebas semak yang biasanya dilakukan selama sekitar 40 hari, yaitu sekitar bulan April dan Mei dan sejak bulan Juni semak yang di tebas mulai mengering. Pada periode tersebut sedang terjadi musim kemarau yang sangat terik dan panas, sehingga mendorong masyarakat untuk membakar semak belukar atau rumput/serasah yang sudah ditebas sebelumnya. Jika pembakaran sudah dimulai, maka terjadilah rentetan kebakaran yang tidak diharapkan dan seringkali tidak terkendali terutama pada lahan-lahan tidur yang kepemilikannya tidak terdata. T i t i k P a n a s Titik Panas Curah Hujan C u r a h H u j a n Gambar 9. Hubungan Curah Hujan dan Titik Panas

10 Penggunaan Lahan 2000, 2005, dan 2010 Pada tahun 2000, penggunaan lahan yang dominan di provinsi Kalimantan Barat adalah kebun campuran yang mencakup luasan 39,03 % atau ha dan penggunaan lahan hutan yang mencakup luasan 33,46% atau ha. Penggunaan lahan yang mendominasi lainnya adalah rawa sebesar 13,67% atau sebesar ha. Sedangkan penggunaan lahan lainnya hanya terdapat dengan masing-masing proporsi < 10 % dari total luas penggunaan lahan yaitu mangrove (0,99 %), pemukiman (0,10%), perkebunan (2,89%), pertambangan (0,08%), sawah (1,96%), semak belukar (5,39%), tambak (0,04%), tanah terbuka (1,12%), tegalan/ladang (0,04%) dan tubuh air (1,24%). Pada tahun 2005, penggunaan lahan kebun campuran masih mendominasi wilayah penelitian sebesar 38,87% atau ha dan penggunaan lahan hutan 33,36% atau sebesar ha. Penggunaan lahan yang mendominasi lainnya adalah rawa sebesar 13,46% atau sebesar ha. Sedangkan penggunaan lahan lainnya hanya terdapat dengan masing-masing proporsi < 10 % dari total luasan penggunaan lahan yaitu mangrove (0,96%), pemukiman (0,10%), perkebunan (3,50%), pertambangan (0,08%), sawah (1,98%), semak belukar (5,31%), tambak (0,05%), tegalan/ladang (0,04%) dan tubuh air (1,24%). Pada tahun 2010, penggunaan lahan kebun campuran masih mendominasi wilayah penelitian sebesar 38,94% atau ha dan penggunaan lahan hutan 32,98% atau sebesar ha. Kemudian penggunaan lahan rawa sebesar 12,74% atau sebesar ha. Sedangkan penggunaan lahan lainnya hanya terdapat dengan masing-masing proporsi < 10 % dari total luasan penggunaan lahan yaitu mangrove (0,96%), pemukiman (0,10%), perkebunan (4.86%), pertambangan (0,08%), sawah (2.09%), semak belukar (4,95%), tambak (0,06%), tegalan/ladang (0,04%) dan tubuh air (1,24%). Gambar 10 menunjukkan persentase masing-masing penggunaan lahan selama tahun 2000, 2005 dan Penggunaan lahan pada daerah penelitian didominasi oleh kebun campuran, hutan, dan rawa pada rentang waktu dari tahun 2000 hingga tahun Penggunaan lahan sebagai kebun campuran terdapat sebesar 32.98% dari total luasan provinsi Kalimantan Barat. Penggunaan lahan terluas lainnya adalah penggunaan lahan hutan. Provinsi Kalimantan Barat

11 37 memiliki kawasan hutan yang luas setelah Papua, Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah. Dari ke 14 kabupaten yang terdapat di cakupan wilayah penelitian, penggunaan lahan hutan paling banyak ditemukan di Kabupaten Kapuas Hulu yaitu sebesar 45,23% dari total luasan hutan secara keseluruhan. Hal ini dikarenakan pada wilayah Kapuas Hulu banyak areal yang ditetapkan peruntukkannya sebagai hutan lindung, hutan produksi terbatas, hutan produksi. Bahkan di bagian timur batas provinsi Kalimantan Barat terdapat Taman Nasional Betung Kehirun. Kenampakan Taman Nasional pada citra satelit Landsat akan terklasifikasi sebagai penggunaan lahan hutan. Hal sebaliknya terjadi di Kota Pontianak dan Kota Singkawang, pada wilayah perkotaan seperti ini justru tidak ditemukan penggunaan lahan hutan. Penggunaan Lahan Provinsi Kalimantan Barat Gambar 10. Penggunaan Lahan 2000, 2005 dan 2010 Penggunaan lahan pemukiman hanya terdapat di beberapa wilayah yaitu Kabupaten Kubu Raya, Kota Singkawang, Kabupaten Ketapang, Kabupaten Kapuas Hulu, Kabupaten Sambas, Kabupaten Sintang, Kota Singkawang. Penggunaan lahan pemukiman hanya 0,09% dari total luasan wilayah Provinsi Kalimantan Barat. Penggunaan lahan pemukiman yang sedikit tersebut dapat mengindikasikan bahwa jumlah penduduk yang mendiami Provinsi Kalimantan Barat pun berada pada angka yang rendah. Hal ini sesuai dengan data yang

12 38 diperoleh dari BPS tahun 2010 bahwa jumlah penduduk Provinsi Kalimantan Barat hanya sekitar 4,32 juta jiwa dengan luas provinsi sebesar Km2. Berdasarkan informasi tersebut dapat disimpulkan bahwa kepadatan penduduk Kalimantan Barat hanya sekitar 29 Jiwa/km2. Kondisi ini kurang menguntungkan dalam rangka percepatan pembangunan wilayah khususnya menyangkut pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) dengan segala potensi dan keragamannya. Penggunaan lahan semak belukar, tanah terbuka, rawa merupakan penggunaan lahan yang ditemukan menyebar hampir di keseluruhan Kabupaten. Berbeda dengan mangrove dan tambak yang hanya dapat ditemukan di daerah pinggiran pantai yaitu Kabupaten Ketapang, Kabupaten Pontianak, Kabupaten Kayong Utara, Kabupaten Sambas, Kabupaten Kubu Raya. Badan air/sungai merupakan penggunaan lahan dengan luasan yang dianggap tetap meski memiliki luasan yang berbeda pada masing masing tahun pengamatan. Hal ini dikarenakan volume badan air/sungai sangat dipengaruhi oleh intensitas hujan sebagai sumber utama ketersedian airnya. Peta penggunaan lahan pada tahun 2000, 2005 dan 2010 dapat dilihat pada gambar berikut : Gambar 11. Peta Penggunaan Lahan 2000

13 39 Gambar 12. Peta Penggunaan Lahan 2005 Gambar 13. Peta Penggunaan Lahan 2010

14 Perubahan Penggunaan Lahan pada Periode dan Pada penelitian ini dilakukan pemantauan terhadap penggunaan lahan provinsi Kalimantan barat selama rentang waktu 10 tahun dari tahun 2000 hingga tahun Interpretasi visual dilakukan menggunakan citra landsat tahun 2000, 2005 dan Hasil interpretasi dapat menghasilkan peta penggunaan lahan masing-masing tahun, setelah dilakukan tumpang tindih antara ketiga tahun tersebut dapat diperoleh hasil perubahan penggunaan lahan. Selama rentang waktu tahun 2000 hingga tahun 2005, luasan penggunaan lahan perkebunan mengalami peningkatan sebesar ha. Hal ini pun terjadi kembali pada rentang waktu tahun 2005 hingga tahun 2010, areal perkebunan luasannya bertambah sebesar ha. Hal ini dapat dikarenakan semakin berkembangnya perkebunan di Kalimantan Barat sehingga masyarakat cenderung melakukan alih fungsi lahan menjadi perkebunan. Gubernur Kalimantan Barat Drs.Cornelius, MH mengatakan bahwa pemerintah daerah provinsi Kalimantan Barat memang mendorong perkembangan sektor perkebunan terutama pengembangan komoditi unggul seperti sawit, karet, kakao, lada, kopi dan lainnya. Berkembangnya sektor perkebunan diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat (Humasprov, 2011). Penambahan masingmasing luasan penggunaan pada tahun 2000 hingga tahun 2005 dapat dilihat pada Gambar Gambar 14. Perubahan Luasan Penggunaan Lahan

15 41 Penggunaan lahan lainnya yang mengalami peningkatan luas yang cukup besar adalah sawah. Luas sawah bertambah sebesar ha dari tahun 2000 ke tahun 2005 dan kembali bertambah luasannya di tahun 2010 sebesar ha. Peningkatan luas suatu penggunaan lahan pasti akan diimbangi dengan penurunan luas penggunaan lahan lainnya. Seperti telah dikemukakan bahwa penggunaan lahan perkebunan dan sawah terus mengalami peningkatan selama 10 tahun terakhir, maka hal sebaliknya justru terjadi pada penggunaan lahan hutan, rawa, kebun campuran, semak belukar dan tanah terbuka. Penggunaan lahan hutan mengalami konversi menjadi penggunaan lahan lain sebesar di tahun 2005 dan mengalami penurunan luasan kembali di tahun 2010 sebesar ha. Hal menarik adalah penggunaan lahan kebun campuran mengalami penurunan luas sebesar ha di tahun 2005 tetapi mengalami peningkatan luas kembali di tahun 2010 yaitu seluas ha. Sedangkan semak belukar mengalami penurunan luas sebesar ha di selang waktu tahun 2000 hingga tahun 2005 dan kembali mengalami penurunan luas sebesar ha di rentang tahun 2005 hingga tahun Sama halnya dengan tanah terbuka yang kehilangan luas sebesar ha di tahun 2005 dan kembali mengalami penyusutan luas menjadi ha. Perubahan penggunaan lahan yang paling banyak terjadi selama rentang waktu tahun 2000 hingga tahun 2005 adalah tanah terbuka menjadi semak belukar seluas ha dan perubahan juga terjadi dari semak belukar menjadi tanah terbuka seluas ha. Pada selang waktu tahun 2005 hingga tahun 2010 perubahan banyak terjadi pada penggunaan lahan rawa menjadi perkebunan seluas ha, semak belukar menjadi perkebunan seluas ha dan hutan menjadi perkebunan seluas ha. Penambahan masing-masing luasan penggunaan pada tahun 2005 hingga tahun 2010 dapat dilihat pada Gambar 15.

16 Gambar 15. Perubahan Luasan Penggunaan Lahan Gambar 16 menunjukkan perubahan penggunaan lahan yang terjadi selama tahun 2000 hingga tahun Pada tahun 2000 hingga tahun 2005 hanya terjadi perubahan penggunaan lahan sebesar 1,89% dari luas total provinsi Kalimantan Barat. Berdasarkan gambar tersebut terlihat bahwa perubahan lahan yang paling banyak terjadi adalah penggunaan lahan dari tanah terbuka menjadi semak belukar sebesar ha atau 18,19% dari perubahan penggunaan lahan yang terjadi. Perubahan penggunaan lahan terbesar lainnya adalah semak belukar menjadi tanah terbuka yaitu sebesar ha atau sebesar 11,59% dari perubahan penggunaan lahan yang terjadi. Perubahan penggunaan lahan ini tidak sengaja dilakukan oleh masyarakat, hanya saja perubahan penggunaan lahan terjadi akibat banyak lahan yang dibiarkan terlantar. Selain itu, terdapat pula perubahan penggunaan lahan kebun campuran yang mengalami konversi lahan menjadi perkebunan yaitu sebesar ha atau 9,53%. Perubahan penggunaan lahan yang selanjutnya banyak terjadi dari tahun 2000 hingga tahun 2005 adalah perubahan penggunaan lahan dari semak belukar menjadi perkebunan yaitu sebesar ha atau sebesar 9%.

17 Gambar 16. Perubahan Penggunaan Lahan Gambar 17 menunjukkan perubahan penggunaan lahan yang terjadi selama tahun 2005 hingga tahun Pada tahun 2005 hingga tahun 2010 terjadi perubahan penggunaan lahan sebesar 1,99% dari total luas Provinsi Kalimantan Barat. Perubahan penggunaan lahan yang paling banyak terjadi adalah perubahan penggunaan lahan rawa menjadi perkebunan yaitu seluas ha atau 21,64% dari total luasan perubahan penggunaan lahan yang terjadi. Perubahan penggunaan lahan semak belukar menjadi perkebunan dan hutan menjadi perkebunan mendominasi pula selama tahun 2005 hingga tahun 2010 dengan persentase masing-masing sebesar 19,82% dan 17,31%. Berdasarkan data tersebut dapat diketahui bahwa selama rentang tahun 2005 hingga tahun 2010, sektor perkebunan berkembang cukup pesat di Provinsi Kalimantan Barat. Hal ini dapat terlihat dari besarnya luasan penggunaan lahan yang mengalami konversi lahan menjadi penggunaan lahan berupa perkebunan. Penggunaan lahan perkebunan bertambah dengan disertai penurunan luas penggunaan lahan kebun campuran, rawa, semak belukar, hutan.

18 Gambar 17. Perubahan Penggunaan Lahan Inkonsistensi Penggunaan Lahan 2010 dengan Peruntukkan Fungsi Kawasan Hutan Kalimantan Barat merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang masih memiliki luasan hutan cukup besar. Disebutkan dalam pasal 4 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No bahwa kawasan hutan meliputi kawasan hutan yang memiliki fungsi pokok sebagai hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi. Peta peruntukkan fungsi kawasan hutan dapat dilihat pada Gambar 18. Kawasan hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasaan pengawetan keanekaragaman meliputi kawasan suaka alam (cagar alam dan suaka margasatwa) dan kawasan pelestarian alam (taman nasional, taman wisata alam, taman hutan raya, taman buru). Berdasarkan peta peruntukan fungsi kawasan hutan, provinsi Kalimantan Barat menetapkan seluas 9,39 % dari total luasan provinsi Kalimantan Barat sebagai taman nasional, taman wisata alam, cagar alam dan suaka margasatwa. Kawasan hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara

19 45 kesuburan tanah. Sebesar 16% luasan provinsi Kalimantan Barat ditetapkan sebagai hutan lindung. Areal yang ditetapkan sebagai hutan lindung tidak diperbolehkan untuk di konversi menjadi penggunaan lahan lainnya. Gambar 18. Peta Peruntukkan Fungsi Kawasan Hutan Kawasan hutan produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan. Berdasarkan hasil perhitungan data atribut peta fungsi kawasan hutan maka dapat diketahui bahwa sebesar 16% dari total luasan provinsi Kalimantan Barat ditetapkan fungsinya sebagai kawasan hutan produksi. Hutan produksi terbagi menjadi dua yaitu hutan produksi terbatas (HPT) dan hutan produksi yang dapat di konversi (HPK). Menurut PP No 10 tahun 2010 hutan produksi terbatas adalah kawasan hutan dengan faktor-faktor kelas lereng, jenis tanah, dan intensitas hujan setelah masing-masing dikalikan dengan angka penimbang mempunyai jumlah nilai antara , di luar kawasan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan pelestarian alam, dan taman buru. Sedangkan yang di maksud hutan produksi yang dapat di konversi adalah kawasan hutan yang secara ruang dicadangkan untuk digunakan bagi pembangunan di luar

20 46 kegiatan kehutanan. Sebesar masing-masing 16% areal ditetapkan peruntukannya sebagai HPT dan HPK. Gambar 19 menunjukkan persentase luas fungsi kawasan hutan. Berdasarkan gambar tersebut terlihat bahwa fungsi kawasan Area penggunaan lain (APL) ditetapkan sebesar 39%. Hal ini dikarenakan wilayah Kalimantan Barat memiliki potensi yang sangat tinggi untuk dikembangkannya penggunaan lahan berupa perkebunan, lahan pertanian, tambak bahkan pertambangan. Sedangkan sebesar 61% luas areal provinsi Kalimantan Barat masih ditetapkan sebagai kawasan hutan baik berupa hutan lindung, hutan produksi, taman nasional, suaka alam, taman wisata alam, cagar alam. Hal ini dimaksudkan agar berkembangnya perkebunan dan area penggunaan lain tidak mengganggu keberadaan ekosistem hutan yang harus dilestarikan. Suaka Alam 39% 0.89% 1% 2% 3% 7% 0.21% 16% 16% 16% Taman Wisata Alam Sungai Cagar Alam Hutan Produksi dapat di Konversi Taman Nasional Hutan Lindung Hutan Produksi dapat di Konversi Hutan Produksi Terbatas Area Penggunaan Lain Gambar 19. Persentase Luas Fungsi Kawasan Hutan Setelah melakukan tumpang tindih antara peta penggunaan lahan eksisting dengan peta peruntukkan fungsi kawasan hutan, dapat diketahui bahwa sebesar 20% dari total luas provinsi Kalimantan Barat tidak sesuai antara penggunaan lahan eksisting dengan rencana peruntukkan fungsi kawasan hutan. Berdasarkan Gambar 20 terlihat bahwa pada kawasan hutan konservasi yakni cagar alam, suaka alam, taman nasional, taman wisata alam terdapat ketidaksesuaian penggunaan lahan saat ini dengan perencanaan yang telah dibuat.

21 47 Cagar Alam merupakan suatu ekosistem yang memiliki suatu kekhasan sehingga ekosistem tersebut perlu dilindungi. Terdapat 4 cagar alam di provinsi Kalimantan Barat yaitu CA. GN Nyiut Penrinsen, CA. GN. Raya Pasi, CA Mandor dan CA. Kendawangan. Karena ekosistem di dalamnya baik flora maupun fauna terlindungi, maka pada kawasan cagar alam sangat kecil sekali kemungkinan terjadinya perubahan penggunaan lahan. Ketidaksesuaian penggunaan lahan cagar alam paling banyak terjadi pada penggunaan lahan sebagai kebun campuran yaitu sebesar ha atau 0,2% dari total luas wilayah. Selain cagar alam, terdapat pula peruntukkan kawasan untuk suaka alam (SA). Seperti halnya cagar alam, suaka alam pun memiliki ekosistem yang terlindungi sehingga akan sangat minim terjadinya perubahan. Hal ini dapat terlihat bahwa penggunaan lahan yang terdapat pada suaka alam adalah penggunaan lahan hutan dan semak belukar. Penyimpangan penggunaan lahan eksisting dengan rencana peruntukkan ruang pun terjadi sedikit sekali pada areal tersebut. Menurut Undang-Undang Nomor tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Taman Nasional didefinisikan sebagai kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman Nasional yang berada di provinsi Kalimantan Barat yaitu TN Danau Sentarum, TN Bukit Baka-Bukit Raya, TN Gunung Palung, TN Betung Kerihun. Ketidaksesuaian peruntukkan kawasan taman nasional paling banyak menjadi penggunaan lahan berupa kebun campuran yaitu sebesar ha atau sebesar 0,1%. Terdapat pula ketidaksesuaian peruntukkan taman nasional menjadi penggunaan lahan berupa sawah, semak belukar dan tanah terbuka dengan persentase luasan tidak lebih dari 0,1 %. Perencanaan pemanfaatan kawasan hutan juga mengatur peruntukkan kawasan Taman Wisata alam (TWA). Pada provinsi Kalimantan Barat terdapat 6 kawasan yang ditetapkan sebagai TWA yaitu TWA. GN. Asuansang, TWA Belimbing, TWA. GN. Dungan, TWA. Melintang, TWA. GN. Kelam, HW.

22 48 Baning. Dari keseluruhan kawasan TWA, hampir semua kawasan berada pada penggunaan lahan sebagai hutan baik hutan primer maupun hutan mangrove. Persentase Ketidaksesuaian Penggunaan Lahan dengan RTRW Kawasan Hutan Konservasi No Penggunaan Lahan 1 CA-->kebun campuran 2 CA-->pertambangan 3 CA-->semak belukar 4 CA-->tanah terbuka 5 SA-->hutan 6 SA-->semak belukar 7 TN-->kebun campuran 8 TN-->sawah 9 TN-->semak belukar 10 TN-->tanah terbuka 11 TWA-->kebun campuran 12 TWA-->perkebunan 13 TWA-->tambak 14 TWA-->tanah terbuka Gambar 20. Persentase Ketidaksesuaian Penggunaan Lahan Eksisting dengan Peruntukan Kawasan Cagar Alam, Taman Nasional, Taman Wisata Alam, Suaka Alam Menurut undang-undang RI no 41/1999 hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem peyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir. Untuk itu, wilayah yang telah ditetapkan sebagai hutan lindung sebaiknya dipertahankan penggunaanya sebagai hutan. Tetapi nyatanya terdapat seluas ha peruntukkan lahan sebagai hutan lindung yang justru dimanfaatkan sebagai area penggunaan lahan lain. Walaupun demikian, kawasan hutan yang tetap dipertahankan peruntukkannya sebagai hutan lindung baik sebagai hutan primer, hutan mangrove dan hutan rawa jauh lebih besar yaitu seluas ha. Ketidaksesuaian penggunaan lahan eksisting dengan peruntukkan fungsi kawasan hutan lindung ergambar secara lengkap pada Gambar 21.

23 Gambar 21. Ketidaksesuaian Peruntukkan Fungsi Kawasan Hutan Lindung (HL) dengan Penggunaan Lahan Eksisting Hutan produksi adalah hutan yang dapat dikelola untuk menghasilkan sesuatu yang bernilai ekonomi. Berdasarkan hasil analisis terdapat seluas ha atau sebesar 16,1% terjadi ketidaksesuaian peruntukkan fungsi kawasan hutan produksi yang dimanfaatkan sebagai area penggunaan lain yaitu sebagai kebun campuran, perkebunan, sawah, semak belukar, tanah terbuka. Berdasarkan Gambar 22 terlihat bahwa ketidaksesuaian paling banyak terjadi pada penggunaan lahan kebun campuran yang berada pada kawasan hutan produksi. Sebesar ha atau sebesar 7% terjadinya ketidaksesuaian penggunaan lahan kebun campuran pada kawasan hutan produksi. Akan tetapi penggunaan lahan hutan, hutan mangrove dan hutan rawa terdapat sebesar ha pada peruntukkan fungsi kawasan hutan produksi Gambar 22. Ketidaksesuaian Peruntukkan Fungsi Kawasan Hutan Produksi dengan Penggunaan Lahan Eksisting

24 Keterkaitan Sebaran Titik Panas dengan Perubahan Penggunaan Lahan Keterkaitan titik panas dengan perubahan penggunaan lahan ditandai oleh banyaknya titik panas secara terus menerus setiap tahun pada suatu kawasan. Salah satu kasus yang terjadi adalah kemunculan titik panas yang terus-menerus di Kabupaten Bengkayang pada akhir tahun 2004 dan awal tahun Sebelum ditemukan adanya kemunculan titik panas, penggunaan lahan pada lokasi tersebut adalah hutan, hutan rawa, dan perkebunan. Jumlah titik panas pada areal tersebut terbilang rendah selama tahun 2000 hingga awal tahun 2004, bahkan pada bulan Agustus dimana jumlah titik panas biasanya terpantau maksimum tidak terlihat adanya titik panas. Pada bulan Juni tahun 2004 tampak kemunculan titik panas sebanyak 65 titik ketika memasuki musim kemarau. Titik panas selanjutnya ditemui pada lokasi yang berpindah-pindah dan pada bulan Agustus terdapat 22 titik. Bulan berikutnya yakni bulan September hingga Desember, tidak ada titik panas di sekitar areal hutan tersebut. Hal ini terjadi karena kondisi iklim yang telah memasuki awal musim penghujan. Titik panas kembali muncul sebanyak 20 titik di bulan Januari tahun berikutnya. Selanjutnya, titik panas muncul selama 2 bulan berturut-turut dengan jumlah yang cukup besar yakni 52 titik di bulan Februari, 84 titik di bulan Maret. Memasuki bulan Juli titik panas kembali tampak di areal sekita hutan rawa tersebut berjumlah 35 titik, dan meningkat jumlahnya di bulan Agustus menjadi 85 titik. Akhir bulan September tahun 2005 terpantau sebanyak 9 titik. Titik panas yang terpantau secara relatif singkat selama rentang waktu hanya satu tahun ternyata diikuti oleh terjadinya penambahan luas areal perkebunan sebesar ha. Pola perkebunan yang terbentuk hampir serupa dengan pola kemunculan titik panas selama bulan Juni tahun 2004 hingga bulan September tahun Setelah adanya konversi penggunaan lahan hutan menjadi penggunaan lahan perkebunan, pada areal tersebut tidak ditemukan adanya sebaran titik panas. Titik panas justru tampak di sekitar areal perkebunan tersebut yakni pada penggunaan lahan rawa. Pada bulan Juli tahun 2006 terjadi kemunculan titik panas pada penggunaan lahan rawa sebanyak 21 titik. Satu bulan setelahnya, yakni di bulan Agustus 2006 ditemukan kembali titik panas sebanyak 7 titik. Pada bulan Oktober di tahun yang sama jumlah titik panas terlihat sebanyak 5 titik. Di

25 51 awal tahun berikutnya, tidak terlihat adanya kemunculan titik panas. Titik panas kembali muncul di bulan Agustus tahun 2007 sebanyak 8 titik. Intensitas sebaran titik panas pada areal hutan rawa tersebut tidak sebesar sebaran titik panas yang ditemukan sebelumnya, tetapi kemunculan titik panas yang terus-menerus di areal yang sama menyebabkan terjadinya perubahan penggunaan lahan. Hal ini terbukti dengan bertambahnya luas penggunaan lahan perkebunan yaitu sebesar ha dalam waktu yang singkat. Secara lebih lengkap, kemunculan titik panas dan perubahan penggunaan lahan yang terjadi dapat dilihat pada Lampiran 21. Berdasarkan pemaparan tersebut dapat diketahui bahwa kemunculan titik panas yang terjadi pada penggunaan lahan hutan dan hutan rawa tersebut menyebabkan bertambahnya areal perkebunan sebesar ha. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa kemunculan titik panas yang terus menerus (kontinyu) pada suatu areal dapat menyebabkan terjadinya perubahan penggunaan lahan. Dalam kasus ini, perubahan penggunaan lahan yang terjadi adalah perubahan penggunaan lahan hutan dan hutan rawa menjadi perkebunan. Perubahan penggunaan lahan terjadi dalam kurun waktu yang relatif cukup singkat. Lampiran 22 menyajikan contoh kasus lain yang dapat menunjukkan bahwa kemunculan titik panas yang kontinyu mengakibatkan adanya perubahan penggunaan lahan. Sebelum ditemukan adanya kemunculan titik panas, penggunaan lahan pada areal tersebut adalah hutan, hutan rawa dan perkebunan. Pada tahun 2005, luas perkebunan yang terdapat pada kawasan tersebut sebesar ha. Kemunculan titik panas pertama kali tampak sekitar bulan Maret tahun 2007 sebanyak 21 titik. Sebaran titik panas tersebut terjadi pada penggunaan lahan berupa hutan dan hutan rawa. Pada bulan berikutnya, titik panas kembali terlihat sebanyak 6 titik. Secara berturut-turut, kemunculan titik panas terpantau sejak bulan Maret tahun 2007 hingga bulan Agustus tahun Kemunculannya di bulan Mei terpantau sebanyak 4 titik dan di bulan Juni sebanyak 6 titik. Memasuki bulan Juli, sebaran titik panas mulai meningkat yakni sebanyak 8 titik. puncak kemunculannya terjadi di bulan Agustus yaitu sebanyak 20 titik. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, bulan Agustus adalah waktu dimana intensitas kemunculan titik panas paling maksimal.

26 52 Ketika memasuki musim penghujan di bulan September tidak ditemukan adanya kemunculan titik panas hingga akhir tahun. Titik panas kembali terlihat di bulan Januari sebanyak 11 titik. Tiga bulan setelahnya tidak diketahui ada kemunculan titik panas. Sebarannya baru terlihat di bulan Mei sebanyak 36 titik, bulan Juni sebanyak 7 titik dan di bulan Agustus sebanyak 4 titik. Pada tahun 2008 tersebut, kemunculan titik panas paling banyak di areal tersebut justru ditemukan di bulan Mei. Kemunculan titik panas tidak tampak selama kurun waktu hampir setahun, dan mulai terlihat kembali di bulan April tahun 2009 sebanyak 2 titik. Sebulan setelahnya terlihat sebanyak 6 titik dan di bulan Juni sebanyak 6 titik. Titik panas kembali terlihat sebanyak 6 titik di bulan Juli, 20 titik di bulan Agustus dan di bulan September sebanyak 7 titik. Setelah kemunculannya di bulan September tahun 2009, tidak ditemukan adanya kemunculan titik panas kembali. Pada areal tersebut terlihat adanya perubahan penggunaan lahan hutan/hutan rawa menjadi perkebunan. Luasan areal perkebunan bertambah sebesar ha. Walaupun kepadatan titik panas yang terpantau tidak sebanyak yang terjadi pada kasus sebelumnya, tetapi kemunculannya yang kontinyu dalam jangka waktu yang lebih lama dapat menyebabkan terjadinya perubahan penggunaan lahan.

KONDISI TUTUPAN HUTAN PADA KAWASAN HUTAN EKOREGION KALIMANTAN

KONDISI TUTUPAN HUTAN PADA KAWASAN HUTAN EKOREGION KALIMANTAN KONDISI TUTUPAN HUTAN PADA KAWASAN HUTAN EKOREGION KALIMANTAN oleh: Ruhyat Hardansyah (Kasubbid Hutan dan Hasil Hutan pada Bidang Inventarisasi DDDT SDA dan LH) Kawasan Hutan Hutan setidaknya memiliki

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Letak dan Luas. Komponen fisik

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Letak dan Luas. Komponen fisik KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN Letak dan Luas Daerah penelitian mencakup wilayah Sub DAS Kapuas Tengah yang terletak antara 1º10 LU 0 o 35 LS dan 109 o 45 111 o 11 BT, dengan luas daerah sekitar 1 640

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.378, 2010 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Kawasan Hutan. Fungsi. Perubahan.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.378, 2010 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Kawasan Hutan. Fungsi. Perubahan. BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.378, 2010 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Kawasan Hutan. Fungsi. Perubahan. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P. 34/Menhut -II/2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM WILAYAH

BAB IV GAMBARAN UMUM WILAYAH BAB IV GAMBARAN UMUM WILAYAH A. Kondisi Umum Provinsi Kalimantan Barat Setelah era reformasi yang menghasilkan adanya otonomi daerah, maka daerah administrasi di Provinsi Kalimantan Barat yang telah mengalami

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang selain merupakan sumber alam yang penting artinya bagi

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P. 34/Menhut-II/2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P. 34/Menhut-II/2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN FUNGSI KAWASAN HUTAN PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P. 34/Menhut-II/2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN FUNGSI KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Penataan Ruang Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Kawasan peruntukan hutan produksi kawasan yang diperuntukan untuk kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil

Lebih terperinci

19 Oktober Ema Umilia

19 Oktober Ema Umilia 19 Oktober 2011 Oleh Ema Umilia Ketentuan teknis dalam perencanaan kawasan lindung dalam perencanaan wilayah Keputusan Presiden No. 32 Th Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Kawasan Lindung

Lebih terperinci

BAB 4 POLA PEMANFAATAN RUANG

BAB 4 POLA PEMANFAATAN RUANG BAB 4 POLA PEMANFAATAN RUANG Pola pemanfaatan ruang berisikan materi rencana mengenai: a. Arahan pengelolaan kawasan lindung b. Arahan pengelolaan kawasan budidaya kehutanan c. Arahan pengelolaan kawasan

Lebih terperinci

BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA

BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA PERENCANAAN WILAYAH 1 TPL 314-3 SKS DR. Ir. Ken Martina Kasikoen, MT. Kuliah 10 BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA Dalam KEPPRES NO. 57 TAHUN 1989 dan Keppres No. 32 Tahun 1990 tentang PEDOMAN

Lebih terperinci

Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009

Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009 Contributor : Doni Prihatna Tanggal : April 2012 Posting : Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009 Pada 19 Januari 2012 lalu, Presiden Republik Indonesia mengeluarkan

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN 17 III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini mengambil lokasi di Provinsi Kalimantan Barat. Provinsi Kalimantan Barat terletak di bagian barat pulau Kalimantan atau di antara

Lebih terperinci

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR Oleh: HERIASMAN L2D300363 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 32 TAHUN 1990 (32/1990) Tanggal : 25 JULI 1990 (JAKARTA) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb.

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb. KATA PENGANTAR Assalamu alaikum wr.wb. Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan buku Penghitungan Deforestasi Indonesia Periode Tahun 2009-2011

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5. Sebaran Hotspot Tahunan BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Potensi kebakaran hutan dan lahan yang tinggi di Provinsi Riau dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: penggunaan api, iklim, dan perubahan tata guna

Lebih terperinci

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang memiliki nilai ekonomi, ekologi dan sosial yang tinggi. Hutan alam tropika

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Lahan gambut merupakan salah satu tipe ekosistem yang memiliki kemampuan menyimpan lebih dari 30 persen karbon terestrial, memainkan peran penting dalam siklus hidrologi serta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 tahun 1999, hutan adalah

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 tahun 1999, hutan adalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 tahun 1999, hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM DAN OBYEK PENELITIAN

BAB IV GAMBARAN UMUM DAN OBYEK PENELITIAN BAB IV GAMBARAN UMUM DAN OBYEK PENELITIAN A. Kondisi Umum Provinsi Kalimantan Barat Provinsi Kalimantan Barat terletak di bagian barat pulau Kalimantan atau di antara garis 2 0 08 LU serta 3 0 02 LS serta

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hutan Berdasarkan pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967, arti hutan dirumuskan sebagai Suatu lapangan tetumbuhan pohon-pohonan yang secara keseluruhan merupakan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 50/Menhut-II/2009 TENTANG PENEGASAN STATUS DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 50/Menhut-II/2009 TENTANG PENEGASAN STATUS DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 50/Menhut-II/2009 TENTANG PENEGASAN STATUS DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI PERKEMBANGAN KAWASAN PERKEBUNAN TERHADAP KEBERADAAN KAWASAN LINDUNG TAMAN NASIONAL TESSO NILO DI KABUPATEN PELALAWAN, PROVINSI RIAU

IDENTIFIKASI PERKEMBANGAN KAWASAN PERKEBUNAN TERHADAP KEBERADAAN KAWASAN LINDUNG TAMAN NASIONAL TESSO NILO DI KABUPATEN PELALAWAN, PROVINSI RIAU IDENTIFIKASI PERKEMBANGAN KAWASAN PERKEBUNAN TERHADAP KEBERADAAN KAWASAN LINDUNG TAMAN NASIONAL TESSO NILO DI KABUPATEN PELALAWAN, PROVINSI RIAU Regi pernandes, Indarti Komala Dewi *), Woro Indriyati Rachmani

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan aslinya (Hairiah, 2003). Hutan menjadi sangat penting

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan aslinya (Hairiah, 2003). Hutan menjadi sangat penting BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan kesatuan flora dan fauna yang hidup pada suatu kawasan atau wilayah dengan luasan tertentu yang dapat menghasilkan iklim mikro yang berbeda dengan keadaan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. dan Sebaran Secara umum, hotspot merupakan istilah yang menggambarkan ambang minimal suhu pada titik tertentu dari suatu wilayah yang dapat terekam oleh satelit pendeteksi panas.

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb.

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb. KATA PENGANTAR Assalamu alaikum wr.wb. Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan buku Rekalkulasi Penutupan Lahan Indonesia Tahun 2012 yang

Lebih terperinci

B U K U: REKALKULASI PENUTUPAN LAHAN INDONESIA TAHUN 2005

B U K U: REKALKULASI PENUTUPAN LAHAN INDONESIA TAHUN 2005 B U K U: REKALKULASI PENUTUPAN LAHAN INDONESIA TAHUN 2005 KATA PENGANTAR Assalamu alaikum wr.wb. Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan

Lebih terperinci

3.3 Luas dan Potensi Lahan Basah Non Rawa

3.3 Luas dan Potensi Lahan Basah Non Rawa 3.3 Luas dan Potensi Lahan Basah Non Rawa Lahan basah non rawa adalah suatu lahan yang kondisinya dipengaruhi oleh air namun tidak menggenang. Lahan basah biasanya terdapat di ujung suatu daerah ketinggian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di berbagai kota di Indonesia, baik kota besar maupun kota kecil dan sekitarnya pembangunan fisik berlangsung dengan pesat. Hal ini di dorong oleh adanya pertumbuhan penduduk

Lebih terperinci

LAPORAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (KARHUTLA) KALIMANTAN TANGGAL 13 OKTOBER 2016 PUSAT PENGENDALIAN PEMBANGUNAN EKOREGION (P3E) KALIMANTAN, KLHK

LAPORAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (KARHUTLA) KALIMANTAN TANGGAL 13 OKTOBER 2016 PUSAT PENGENDALIAN PEMBANGUNAN EKOREGION (P3E) KALIMANTAN, KLHK LAPORAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (KARHUTLA) KALIMANTAN TANGGAL 13 OKTOBER 2016 PUSAT PENGENDALIAN PEMBANGUNAN EKOREGION (P3E) KALIMANTAN, KLHK 1. Jumlah update laporan hotspot di tanggal 12 Oktober 2016

Lebih terperinci

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN PERTEMUAN 10 SUMBERDAYA LAHAN Sumberdaya Lahan Lahan dapat didefinisikan sebagai suatu ruang di permukaan bumi yang secara alamiah dibatasi oleh sifat-sifat fisik serta bentuk

Lebih terperinci

4. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Letak Geografis Kabupaten Sambas dengan luas wilayah 6.395,70 km 2 atau 639.570 Ha (4,36% dari luas wilayah propinsi Kalimantan Barat), merupakan wilayah kabupaten

Lebih terperinci

Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG

Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG Menggantikan UU No. 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tentang. sumber daya alam. Pasal 2 TAP MPR No.IX Tahun 2001 menjelaskan

BAB I PENDAHULUAN. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tentang. sumber daya alam. Pasal 2 TAP MPR No.IX Tahun 2001 menjelaskan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan salah satu sumber daya alam hayati yang memiliki banyak potensi yang dapat diambil manfaatnya oleh masyarakat, Pasal 33 ayat (3) Undang- Undang Dasar 1945 menyebutkan

Lebih terperinci

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN Luas dan Letak Wilayah Kota Sintang memiliki luas 4.587 Ha yang terdiri dari 3 Bagian Wilayah Kota (BWK) sesuai dengan pembagian aliran Sungai Kapuas dan Sungai Melawi. Pertama,

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM KABUPATEN SINTANG

KEADAAN UMUM KABUPATEN SINTANG KEADAAN UMUM KABUPATEN SINTANG Geografis dan Administrasi Kabupaten Sintang mempunyai luas 21.635 Km 2 dan di bagi menjadi 14 kecamatan, cakupan wilayah administrasi Kabupaten Sintang disajikan pada Tabel

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Interpretasi Visual Penggunaan Lahan Melalui Citra Landsat Interpretasi visual penggunaan lahan dengan menggunakan citra Landsat kombinasi band 542 (RGB) pada daerah penelitian

Lebih terperinci

Kata kunci: Fungsi hutan, opini masyarakat, DAS Kelara

Kata kunci: Fungsi hutan, opini masyarakat, DAS Kelara Opini Masyarakat Terhadap Fungsi Hutan di Hulu DAS Kelara OPINI MASYARAKAT TERHADAP FUNGSI HUTAN DI HULU DAS KELARA Oleh: Balai Penelitian Kehutanan Makassar, Jl. Perintis Kemerdekaan Km.16 Makassar, 90243,

Lebih terperinci

Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG

Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG Menggantikan UU No. 24 Tahun 1992 gg Tentang Penataan Ruang 1 Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan modal dasar bagi pembangunan berkelanjutan untuk kesejahteraan

BAB I PENDAHULUAN. merupakan modal dasar bagi pembangunan berkelanjutan untuk kesejahteraan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu aset penting bagi negara, yang juga merupakan modal dasar bagi pembangunan berkelanjutan untuk kesejahteraan masyarakat. Hutan sebagai sumberdaya

Lebih terperinci

REKALKUKASI SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA TAHUN 2003

REKALKUKASI SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA TAHUN 2003 REKALKUKASI SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA TAHUN 2003 KATA PENGANTAR Assalaamu alaikum Wr. Wb. Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan Buku

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hampir separuh wilayah daratnya berupa hutan. Untuk itu pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. Hampir separuh wilayah daratnya berupa hutan. Untuk itu pemerintah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Republik Indonesia adalah sebuah negara yang kaya akan hutan. Hampir separuh wilayah daratnya berupa hutan. Untuk itu pemerintah berupaya memaksimalkan fungsi

Lebih terperinci

Tabel I.1. Luas dan Tingkat Kekritisan Lahan di Wilayah Kerja BPDAS Kapuas Tahun 2007

Tabel I.1. Luas dan Tingkat Kekritisan Lahan di Wilayah Kerja BPDAS Kapuas Tahun 2007 Tabel I.1. Luas dan Tingkat Kekritisan Lahan di Wilayah Kerja BPDAS Tahun 2007 Budi Daya Dalam Kawasan Hutan No Kalimantan Barat DAS Sangat Kritis Kritis Agak Kritis Potensi Kritis Tidak Kritis Jumlah

Lebih terperinci

Lampiran 3. Interpretasi dari Korelasi Peraturan Perundangan dengan Nilai Konservasi Tinggi

Lampiran 3. Interpretasi dari Korelasi Peraturan Perundangan dengan Nilai Konservasi Tinggi I. Keanekaragaman hayati UU No. 5, 1990 Pasal 21 PP No. 68, 1998 UU No. 41, 1999 Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Pengawetan keanekaragaman hayati serta ekosistemnya melalui Cagar Alam

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.326, 2015 KEHUTANAN. Hutan. Kawasan. Tata Cara. Pencabutan (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5794). PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 92 IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 4.1. Kota Bekasi dalam Kebijakan Tata Makro Analisis situasional daerah penelitian diperlukan untuk mengkaji perkembangan kebijakan tata ruang kota yang terjadi

Lebih terperinci

Konservasi Lingkungan. Lely Riawati

Konservasi Lingkungan. Lely Riawati 1 Konservasi Lingkungan Lely Riawati 2 Dasar Hukum Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia terjadi setiap tahun dan cenderung meningkat dalam kurun waktu 20 tahun terakhir. Peningkatan kebakaran hutan dan lahan terjadi

Lebih terperinci

ANALISIS KEJADIAN HUJAN SANGAT LEBAT TERKAIT KEJADIAN BANJIR DI KAB. KUBU RAYA, KALIMANTAN BARAT TANGGAL 11 NOVEMBER 2017

ANALISIS KEJADIAN HUJAN SANGAT LEBAT TERKAIT KEJADIAN BANJIR DI KAB. KUBU RAYA, KALIMANTAN BARAT TANGGAL 11 NOVEMBER 2017 BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI, DAN GEOFISIKA STASIUN METEOROLOGI KELAS I SUPADIO PONTIANAK Jl. Adi Sucipto KM. 17 Bandara Supadio Pontianak Telp. 0561 721142 Fax. 0561 6727520 Kode Pos 78391 Email : stamet.supadio@bmkg.go.id

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 14 BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Sejarah Perusahaan Pemerintah melalui keputusan Menteri Kehutanan No 329/Kpts-II/1998 tanggal 27 Februari 1998 memberikan Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM 4.1 Letak dan Luas IUPHHK-HA CV. Pangkar Begili 4.2 Tanah dan Geologi

BAB IV KONDISI UMUM 4.1 Letak dan Luas IUPHHK-HA CV. Pangkar Begili 4.2 Tanah dan Geologi BAB IV KONDISI UMUM 4.1 Letak dan IUPHHK-HA CV. Pangkar Begili Secara administratif pemerintah, areal kerja IUPHHK-HA CV. Pangkar Begili dibagi menjadi dua blok, yaitu di kelompok Hutan Sungai Serawai

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 16 5.1 Hasil 5.1.1 Pola curah hujan di Riau BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Data curah hujan bulanan dari tahun 2000 sampai dengan 2009 menunjukkan bahwa curah hujan di Riau menunjukkan pola yang sama dengan

Lebih terperinci

LAPORAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (KARHUTLA) KALIMANTAN

LAPORAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (KARHUTLA) KALIMANTAN LAPORAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (KARHUTLA) KALIMANTAN Tanggal : 13 Agustus 2016 Jam Sumber : 11:00 WITA : Pusat Pengendalian Pembangunan Ekoregion (P3E) Kalimantan, KLHK 1. Jumlah update laporan hotspot

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 104 TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 104 TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 104 TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a.

Lebih terperinci

LAPORAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (KARHUTLA) KALIMANTAN

LAPORAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (KARHUTLA) KALIMANTAN LAPORAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (KARHUTLA) KALIMANTAN Tanggal : 19 Agustus 2016 Jam Sumber : 11:00 WITA : Pusat Pengendalian Pembangunan Ekoregion (P3E) Kalimantan, KLHK 1. Jumlah update laporan hotspot

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 104 TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 104 TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 104 TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a.

Lebih terperinci

Gambar 13. Citra ALOS AVNIR

Gambar 13. Citra ALOS AVNIR 32 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Citra ALOS AVNIR Citra yang digunakan pada penelitian ini adalah Citra ALOS AVNIR tahun 2006 seperti yang tampak pada Gambar 13. Adapun kombinasi band yang digunakan

Lebih terperinci

Warta Kebijakan. Tata Ruang dan Proses Penataan Ruang. Tata Ruang, penataan ruang dan perencanaan tata ruang. Perencanaan Tata Ruang

Warta Kebijakan. Tata Ruang dan Proses Penataan Ruang. Tata Ruang, penataan ruang dan perencanaan tata ruang. Perencanaan Tata Ruang No. 5, Agustus 2002 Warta Kebijakan C I F O R - C e n t e r f o r I n t e r n a t i o n a l F o r e s t r y R e s e a r c h Tata Ruang dan Proses Penataan Ruang Tata Ruang, penataan ruang dan perencanaan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa

Lebih terperinci

III. KEADAAN UMUM LOKASI

III. KEADAAN UMUM LOKASI III. KEADAAN UMUM LOKASI Penelitian dilakukan di wilayah Jawa Timur dan berdasarkan jenis datanya terbagi menjadi 2 yaitu: data habitat dan morfometri. Data karakteristik habitat diambil di Kabupaten Nganjuk,

Lebih terperinci

LAPORAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (KARHUTLA) KALIMANTAN

LAPORAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (KARHUTLA) KALIMANTAN LAPORAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (KARHUTLA) KALIMANTAN Tanggal : 18 Agustus 2016 Jam Sumber : 11:00 WITA : Pusat Pengendalian Pembangunan Ekoregion (P3E) Kalimantan, KLHK 1. Jumlah update laporan hotspot

Lebih terperinci

Tahun Penelitian 2005

Tahun Penelitian 2005 Sabtu, 1 Februari 27 :55 - Terakhir Diupdate Senin, 1 Oktober 214 11:41 Tahun Penelitian 25 Adanya peningkatan intensitas perubahan alih fungsi lahan akan berpengaruh negatif terhadap kondisi hidrologis

Lebih terperinci

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4.1. Latar Belakang Sebagaimana diuraikan terdahulu (Bab 1), DAS merupakan suatu ekosistem yang salah satu komponen penyusunannya adalah vegetasi terutama berupa hutan dan perkebunan

Lebih terperinci

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV xxxxxxxxxx Kurikulum 2006/2013 Geografi K e l a s XI PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan memiliki kemampuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekosistemnya. Pada Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi

BAB I PENDAHULUAN. ekosistemnya. Pada Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penggunaan lahan merupakan hasil kegiatan manusia baik yang berlangsung secara siklus atau permanen pada sumberdaya lahan alami maupun buatan guna terpenuhinya kebutuhan

Lebih terperinci

KAJIAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KAWASAN LINDUNG MENJADI KAWASAN BUDIDAYA

KAJIAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KAWASAN LINDUNG MENJADI KAWASAN BUDIDAYA KAJIAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KAWASAN LINDUNG MENJADI KAWASAN BUDIDAYA (Studi Kasus: Kawasan sekitar Danau Laut Tawar, Aceh Tengah) TUGAS AKHIR Oleh: AGUS SALIM L2D

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. RTRW Kabupaten Bondowoso

KATA PENGANTAR. RTRW Kabupaten Bondowoso KATA PENGANTAR Sebagai upaya mewujudkan perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang yang efektif, efisien dan sistematis guna menunjang pembangunan daerah dan mendorong perkembangan wilayah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masyarakat Kota Bandar Lampung dan Kabupaten Pesawaran. Selain itu taman

I. PENDAHULUAN. masyarakat Kota Bandar Lampung dan Kabupaten Pesawaran. Selain itu taman I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman merupakan wilayah sistem penyangga kehidupan terutama dalam pengaturan tata air, menjaga kesuburan tanah, mencegah erosi, menjaga keseimbangan

Lebih terperinci

DATA DAN INFORMASI KEHUTANAN PROPINSI BALI

DATA DAN INFORMASI KEHUTANAN PROPINSI BALI DATA DAN INFORMASI KEHUTANAN PROPINSI BALI KATA PENGANTAR Booklet Data dan Informasi Propinsi Bali disusun dengan maksud untuk memberikan gambaran secara singkat mengenai keadaan Kehutanan di Propinsi

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN KEMISKINAN KABUPATEN BENGKAYANG MARET 2014 MARET 2016

PERKEMBANGAN KEMISKINAN KABUPATEN BENGKAYANG MARET 2014 MARET 2016 No. 01/06/Th. XVII, Juni 2017 PERKEMBANGAN KEMISKINAN KABUPATEN BENGKAYANG MARET 2014 MARET 2016 PERSENTASE PENDUDUK MISKIN KABUPATEN BENGKAYANG MENINGKAT Pada bulan Maret 2016, jumlah penduduk miskin

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada bangsa Indonesia merupakan kekayaan yang wajib disyukuri, diurus, dan dimanfaatkan secara

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan dititikberatkan pada pertumbuhan sektor-sektor yang dapat memberikan kontribusi pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Tujuan pembangunan pada dasarnya mencakup beberapa

Lebih terperinci

DATA MINIMAL YANG WAJIB DITUANGKAN DALAM DOKUMEN INFORMASI KINERJA PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DAERAH

DATA MINIMAL YANG WAJIB DITUANGKAN DALAM DOKUMEN INFORMASI KINERJA PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DAERAH Lampiran II. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor : Tanggal : DATA MINIMAL YANG WAJIB DITUANGKAN DALAM DOKUMEN INFORMASI KINERJA PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DAERAH Tabel-1. Lindung Berdasarkan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penutupan Lahan Kabupaten Cianjur Berdasarkan hasil proses klasifikasi dari Landsat-5 TM areal studi tahun 2007, maka diperoleh 10 kelas penutupan lahan yang terdiri dari:

Lebih terperinci

HASIL PENCACAHAN LENGKAP SENSUS PERTANIAN 2013 DAN SURVEI PENDAPATAN RUMAH TANGGA USAHA PERTANIAN 2013

HASIL PENCACAHAN LENGKAP SENSUS PERTANIAN 2013 DAN SURVEI PENDAPATAN RUMAH TANGGA USAHA PERTANIAN 2013 No.39/07/Th. XVII, 1 Juli 2014 HASIL PENCACAHAN LENGKAP SENSUS PERTANIAN 2013 DAN SURVEI PENDAPATAN RUMAH TANGGA USAHA PERTANIAN 2013 RATA-RATA PENDAPATAN RUMAH TANGGA PERTANIAN DI KALIMANTAN BARATTAHUN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang mempunyai fungsi produksi, perlindungan dan pelestarian alam. Luas hutan

BAB I PENDAHULUAN. yang mempunyai fungsi produksi, perlindungan dan pelestarian alam. Luas hutan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan mangrove merupakan salah satu sumberdaya alam daerah pantai payau yang mempunyai fungsi produksi, perlindungan dan pelestarian alam. Luas hutan mangrove di

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Sejarah Pemanfaatan Hutan Areal konsesi hutan PT. Salaki Summa Sejahtera merupakan areal bekas tebangan dari PT. Tjirebon Agung yang berdasarkan SK IUPHHK Nomor

Lebih terperinci

mampu menurunkan kemampuan fungsi lingkungan, baik sebagai media pula terhadap makhluk hidup yang memanfaatkannya. Namun dengan

mampu menurunkan kemampuan fungsi lingkungan, baik sebagai media pula terhadap makhluk hidup yang memanfaatkannya. Namun dengan Latar Belakang Tanah merupakan salah satu sumber daya alam yang utama memegang posisi penting dalam kelestarian lingkungan. Kemerosotan kemampuan tanah yang ditunjukkan dengan meningkatnya laju erosi dari

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.49/Menhut-II/2014 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.49/Menhut-II/2014 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.49/Menhut-II/2014 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN EVALUASI KESESUAIAN FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat. Dinas Perkebunan KEGIATAN PEMBANGUNAN PERKEBUNAN DI PROVINSI KALIMANTAN BARAT

Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat. Dinas Perkebunan KEGIATAN PEMBANGUNAN PERKEBUNAN DI PROVINSI KALIMANTAN BARAT Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat Dinas Perkebunan KEGIATAN PEMBANGUNAN PERKEBUNAN DI PROVINSI KALIMANTAN BARAT Dalam Rangka Sosialisasi Gerakan Anti Korupsi dan Gratifikasi di Provinsi Kalimantan Barat

Lebih terperinci

BAGIAN 1-3. Dinamika Tutupan Lahan Kabupaten Bungo, Jambi. Andree Ekadinata dan Grégoire Vincent

BAGIAN 1-3. Dinamika Tutupan Lahan Kabupaten Bungo, Jambi. Andree Ekadinata dan Grégoire Vincent BAGIAN 1-3 Dinamika Tutupan Lahan Kabupaten Bungo, Jambi Andree Ekadinata dan Grégoire Vincent 54 Belajar dari Bungo Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi PENDAHULUAN Kabupaten Bungo mencakup

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Penggunaan/Penutupan Lahan Aktual Jabodetabek Tahun 2010 Berdasarkan hasil analisis dapat diketahui bahwa terdapat 11 tipe penggunaan/penutupan lahan wilayah Jabodetabek

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. sebagai sebuah pulau yang mungil, cantik dan penuh pesona. Namun demikian, perlu

BAB I. PENDAHULUAN. sebagai sebuah pulau yang mungil, cantik dan penuh pesona. Namun demikian, perlu BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pulau Lombok memiliki luas 467.200 ha. dan secara geografis terletak antara 115 o 45-116 o 40 BT dan 8 o 10-9 o 10 LS. Pulau Lombok seringkali digambarkan sebagai

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5. 1. Penggunaan Lahan 5.1.1. Penggunaan Lahan di DAS Seluruh DAS yang diamati menuju kota Jakarta menjadikan kota Jakarta sebagai hilir dari DAS. Tabel 9 berisi luas DAS yang menuju

Lebih terperinci

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT No. 66/11/61/Th. XVII, 5 Nopember 2014 KEADAAN KETENAGAKERJAAN PROVINSI KALIMANTAN BARAT AGUSTUS 2014 Agustus 2014 : Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Sebesar 4,04 Persen

Lebih terperinci

sebagai Kawasan Ekosistem Esensial)

sebagai Kawasan Ekosistem Esensial) UU No 5 tahun 1990 (KSDAE) termasuk konsep revisi UU No 41 tahun 1999 (Kehutanan) UU 32 tahun 2009 (LH) UU 23 tahun 2014 (Otonomi Daerah) PP No 28 tahun 2011 (KSA KPA) PP No. 18 tahun 2016 (Perangkat Daerah)

Lebih terperinci

28 antara 20º C 36,2º C, serta kecepatan angin rata-rata 5,5 knot. Persentase penyinaran matahari berkisar antara 21% - 89%. Berdasarkan data yang tec

28 antara 20º C 36,2º C, serta kecepatan angin rata-rata 5,5 knot. Persentase penyinaran matahari berkisar antara 21% - 89%. Berdasarkan data yang tec BAB III KONDISI UMUM LOKASI Lokasi penelitian bertempat di Kabupaten Banjar, Kabupaten Barito Kuala, Kabupaten Kota Banjarbaru, Kabupaten Kota Banjarmasin, dan Kabupaten Tanah Laut, Provinsi Kalimantan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah aliran sungai (DAS) merupakan sistem yang kompleks dan terdiri dari komponen utama seperti vegetasi (hutan), tanah, air, manusia dan biota lainnya. Hutan sebagai

Lebih terperinci

BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN

BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN A. Kondisi Kekinian dan Status Kawasan Gunung Aseupan Hasil analisis yang dilakukan terhadap citra Landsat 7 liputan tahun 2014, kondisi tutupan lahan Gunung Aseupan terdiri

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 24 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penggunaan Lahan Sawah dan Tegalan di Kabupaten Bogor Penggunaan lahan di Kabupaten Bogor pada tahun 1990, 2001, 2004, dan 2008 masih didominasi oleh lahan pertanian yaitu

Lebih terperinci

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI KALIMANTAN BARAT

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI KALIMANTAN BARAT BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI KALIMANTAN BARAT Seuntai Kata Sensus Pertanian 2013 (ST2013) merupakan sensus pertanian keenam yang diselenggarakan Badan Pusat Statistik (BPS) setiap 10 (sepuluh) tahun

Lebih terperinci

Penggunaan Lahan Pertanian dan Arah Pengembangan ke Depan

Penggunaan Lahan Pertanian dan Arah Pengembangan ke Depan Penggunaan Lahan Pertanian dan Arah Pengembangan ke Depan Oleh: Anny Mulyani, Fahmuddin Agus, dan Subagyo Penggunaan Lahan Pertanian Dari total luas lahan Indonesia, tidak terrnasuk Maluku dan Papua (tidak

Lebih terperinci

KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA ANI MARDIASTUTI JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR Kawasan Konservasi Indonesia UURI No 5 Tahun 1990 Konservasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tinggi. Kebutuhan tersebut terkait untuk pemenuhan kebutuhan hidup

BAB I PENDAHULUAN. tinggi. Kebutuhan tersebut terkait untuk pemenuhan kebutuhan hidup 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebutuhan sumberdaya alam terutama air dan tanah oleh masyarakat kian hari kian meningkat sebagai akibat dari laju pertumbuhan penduduk yang tinggi. Kebutuhan tersebut

Lebih terperinci

KONDISI KETENAGAKERJAAN SEKADAU TAHUN 2015

KONDISI KETENAGAKERJAAN SEKADAU TAHUN 2015 BPS KABUPATEN SEKADAU No.06/11/6109/Th. II, 17 November 2016 KONDISI KETENAGAKERJAAN SEKADAU TAHUN 2015 TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA (TPT) KABUPATEN SEKADAU TAHUN 2015 SEBESAR 2,97 PERSEN Persentase angkatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan wilayah di Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang sangat pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan dengan dua

Lebih terperinci

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT No. 61/11/61/Th. XIV, 7 November 2011 KEADAAN KETENAGAKERJAAN PROVINSI KALIMANTAN BARAT AGUSTUS 2011 Agustus 2011 : Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Sebesar 3,88 Persen

Lebih terperinci