BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pengolahan Awal Citra (Pre-Image Processing) Pengolahan awal citra (Pre Image Proccesing) merupakan suatu kegiatan memperbaiki dan mengoreksi citra yang memiliki kesalahan atau distorsi. Perbaikan citra dilakukan untuk memperoleh informasi yang diperlukan dari citra tersebut. Data citra LANDSAT ETM + daerah DAS Citarum Hulu untuk tahun 2001 dan 2011 masih memiliki beberapa kesalahan, sehingga untuk mendapatkan informasi yang diinginkan perlu dilakukan beberapa perbaikan terlebih dahulu. Data citra asli LANDSAT ETM + untuk tahun 2001 membutuhkan 2 scene citra yang kemudian digabungkan dengan cara mosaik citra sehingga menghasilkan satu citra yang baru yang mencakup wilayah DAS Citarum Hulu. Sedangkan untuk data citra asli LANDSAT ETM + untuk tahun 2011 diperlukan gapfill terlebih dahulu. Gapfill merupakan kegiatan mengoreksi atau mengisi suatu citra yang mengalami error dalam bentuk stripping dengan menggunakan citra lain pada tahun perekaman yang sama. Pada penelitian ini, gapfill dilakukan dengan menggabungkan dua citra pada scene yang sama sehingga menghasilkan satu scene yang telah terkoreksi. Kemudian dua scene citra tersebut digabungkan dengan melakukan mosaik citra yang menghasilkan suatu citra baru. Koreksi geometrik merupakan proses memproyeksikan data pada suatu bidang, sehingga mempunyai proyeksi yang sama dengan peta. Berdasarkan data acuan yang digunakan, koreksi geometrik dapat dibedakan atas koreksi geometrik citra ke peta (image to map rectification) dan koreksi geometrik citra ke citra (image to image rectification) (Jaya 2002). Koreksi geometrik dilakukan dari citra ke citra (image to image rectification). Citra LANDSAT ETM + tahun 2006 terkoreksi (master image) digunakan untuk mengoreksi citra LANDSAT ETM + tahun Citra LANDSAT ETM + tahun 2006 yang telah terkoreksi kemudian digunakan juga untuk mengoreksi citra LANDSAT ETM + tahun Sistem

2 34 koordinat yang digunakan dalam koreksi geometrik adalah proyeksi UTM (Universal Tranverse Mercator) zona 48 Selatan dengan datum WGS 84. Setelah seluruh citra terkoreksi secara geometrik, kemudian dilakukan koreksi radiometrik. Koreksi radiometrik bertujuan untuk menghilangkan gangguan atmosfer terhadap citra digital hasil rekaman satelit. Gangguan tersebut berupa serapan (absorption) dan hamburan (scattering) oleh partikel-partikel atmosfer. Akibat dari hal ini, data nilai digital piksel citra tidak mewakili nilai objek yang sebenarnya. Kemudian juga dilakukan Histogram Equlization. Histogram Equilization dilakukan untuk mengatur secara otomatis transform line sedemikian rupa sehingga nilai-nilai piksel band citranya ditempatkan pada tingkatan-tingkatan display berdasarkan frekuensinya. Dengan menggunakan fungsi ini, maka akan diperoleh citra dengan kontras yang sangat kuat sehingga semakin banyak informasi yang dapat interpreter peroleh dari citra tersebut. Hal ini dilakukan untuk penyamaan rona pada seluruh citra yang diperoleh dari dua scene yang berbeda dan waktu pengambilan citra yang berbeda walaupun pada tahun yang sama. Sehingga dilakukan perlakuan tersebut untuk memperoleh informasi yang lebih baik dari citra dan mempermudah user dalam menginterpreatasi citra. Penyekatan atau pembatasan area penelitian kemudian dilakukan dalam proses pengolahan awal citra (Pra Image Processing). Penyekatan citra dilakukan dengan menumpangtindihkan (overlay) antara data vektor batas DAS Citarum Hulu dengan data raster citra yang telah terkoreksi. Dengan menggunakan perangkat ArcGIS 9.3 melalui fungsi Spatial Management Tools maka dihasilkan citra yang disajikan pada Gambar 4, Gambar 5, dan Gambar 6.

3 35 Gambar 4 Citra DAS Citarum Hulu tahun 2001 kombinasi Gambar 5 Citra DAS Citarum Hulu tahun 2006 kombinasi Gambar 6 Citra DAS Citarum Hulu tahun 2011 kombinasi

4 Pengamatan di Lapangan Pengamatan di lapangan merupakan proses identifikasi objek di lapangan secara langsung di lokasi penelitian terhadap hasil interpretasi objek yang sebelumnya dilakukan dengan citra satelit LANDSAT ETM +. Kondisi-kondisi di lapangan diamati secara seksama dan melaksanakan wawancara dengan responden yang memahami dengan baik tentang kondisi daerah pengamatan. Berdasarkan pengamatan di lapangan, jumlah penutupan lahan yang diperoleh adalah sebanyak 12 jenis tutupan lahan. Deskripsi masing-masing tipe penutupan lahan disajikan pada Tabel 10. Tabel 10 Deskripsi tipe-tipe penutupan lahan No Kode Tipe penutupan lahan Deskripsi 1 HP Hutan primer Seluruh kenampakan hutan dataran rendah, perbukitan, dan pegunungan yang belum terlihat adanya bekas penebangan 2 HS Hutan sekunder Kenampakan hutan dataran rendah, perbukitan, dan pegunungan yang telah menampakan bekas tebangan (kenampakan alur dan bercak bekas tebangan) 3 HT Hutan tanaman Kelas penutupan lahan hutan yang merupakan hasil budidaya manusia, meliputi HTR (Hutan Tanaman Rakyat) maupun HR hasil reboisasi atau penghijauan. 4 SMK Semak belukar Kawasan bekas hutan lahan kering yang telah tumbuh kembali (mengalami suksesi), atau kawasan dengan pohon jarang (alami), atau kawasan dengan dominasi vegetasi kayu bercampur dengan vegetasi rendah (alami) lainnya, serta tidak nampak adanya bekas tebangan lagi 5 KBN Perkebunan Merupakan seluruh kenampakan kebun, baik yang sudah jadi tanaman tua maupun yang masih merupakan tanaman muda. Apabila lahan tersebut masih clearing dan masih berupa tanah kosong, maka dikategorikan dalam tanah terbuka 6 PMK Permukiman Kenampakan kawasan permukiman, baik perkotaan atau pedesaan yang masih mungkin untuk dipisahkan. Termasuk didalamnya kawasan golf dan kawasan industri.

5 37 Tabel 10 (lanjutan) No Kode Tipe penutupan lahan Deskripsi 7 TNH Tanah terbuka Seluruh kenampakan lahan terbuka tanpa vegetasi. 8 AIR Badan air Seluruh kenampakan perairan termasuk sungai, danau, situ, dan waduk. 9 PLK Pertanian lahan kering Semua aktivitas pertanian di lahan kering seperti tegalan, kebun campuran dan ladang. Pada kebun campur apabila tanaman pertanian lebih mendominasi maka dimasukkan dalam 10 PLK2 Pertanian lahan kering campur kelas pertanian lahan kering Semua jenis pertanian di lahan kering yang berselang seling atau bercampur dengan semak, belukar, dan bekas tebangan. 11 SWH Sawah Semua aktivitas pertanian lahan basah yang dicirikan oleh pola pematang. Kelas ini termasuk juga sawah musiman, sawah tadah hujan, dan sawah irigasi 12 BND Bandara Kenampakan bandara yang berukuran cukup untuk dapat diidentifikasi dan memungkinkan untuk dibedakan dan dideliniasi sebagai lapangan udara atau bandara. 5.3 Analisis Visual Citra LANDSAT ETM + Pada analisis visual band yang digunakan ialah band sinar tampak, band inframerah dekat dan band inframerah sedang, sedangkan band thermal tidak digunakan. Menurut Jaya (1997) pada daerah sinar tampak, inframerah dekat dan sedang energi yang direflektansikan dan direkam sensor sangat bergantung kepada sifat-sifat objek yang bersangkutan seperti pigmentasi, kadar air, dan struktur sel daun atau percabangan dari vegetasi, kandungan mineral dan kadar air tanah dan tingkat sedimentasi pada air. Sehingga kombinasi band minimal terdiri dari satu band sinar tampak, satu dari inframerah dekat, dan satu dari inframerah sedang dianggap kombinasi yang cukup ideal yang dapat digunakan untuk mendeteksi berbagai penutupan lahan. Menurut Lilesand dan Kieffer (1990) secara umum kegunaan masingmasing band pada Citra LANDSAT ETM + disajikan pada Tabel 11.

6 38 Tabel 11 Karakteristik kegunaan utama band-band Citra LANDSAT ETM + Panjang Band gelombang (µm) Spektral Kegunaan Penetrasi tubuh air, analisis Biru penggunaan lahan, tanah dan vegetasi, pembedaan tanah dan vegetasi Hijau Pengamatan puncak pantulan vegetasi pada saluran hijau yang terletak pada dua saluran penyerapan. Pengamatan ini dimaksudkan untuk membedakan jenis vegetasi dan untuk tanaman sehat dan tanaman yang tidak sehat Saluran terpenting untuk Merah membedakan jenis vegetasi. Saluran ini terletak pada salah satu daerah penyerapan klorofil dan memudahkan pembedaan antara lahan terbuka Inframerah dekat Inframerah sedang Inframerah thermal Inframerah sedang Pankromatik Sumber : Lilesand dan Kieffer (1990) terhadap lahan bervegetasi Saluran yang peka terhadap biomassa vegetasi. Juga untuk identifikasi jenis tanaman, memudahkan pembedaan tanah dan tanaman serta lahan dan air. Saluran penting untuk pembedaan jenis tanaman, kandungan air pada tanaman, kondisi kelembaban tanah Untuk membedakan informasi batuan dan untuk pemetaan hydrothermal Klasifikasi vegetasi, analisis gangguan vegetasi, pembedaan kelembaban tanah Studi kota, penajaman batas linier, analisis tata ruang Perubahan kelas tutupan dan penggunaan lahan yang akan digunakan pada tahap analisis perubahan lahan adalah berdasarkan penampakan visual pada citra. Untuk mempermudah dalam penafsiran dan interpretasi citra maka user menggunakan kombinasi band Dengan menggunakan kombinasi band ini user menggunakan panduan dari buku yang dikeluarkan Badan Planologi Kehutanan tahun 2008 dengan judul Pemantauan Sumberdaya Hutan dalam melakukan digitasi secara manual terhadap citra digital.

7 39 Berdasarkan hasil data tersebut ditentukan tipe-tipe kelas tutupan dan penggunaan lahan untuk tiga citra yang berbeda. Dari kegiatan interpretasi visual citra ini dapat diidentifikasi 12 kelas tutupan dan penggunaan lahan yang bisa dibedakan secara visual satu dengan yang lainnya. Jenis kelas tutupan lahan tersebut adalah awan dan bayangan awan yang tidak termasuk ke dalam salah satu kelas tutupan dan penggunaan lahan yang menutupi lapisan atas permukaan bumi tetapi ikut diklasifikasikan sebagai salah satu kelas tutupan dan penggunaan lahan karena dapat mempengaruhi hasil klasifikasi. 5.4 Pengolahan Citra Digital Satelit (Image Procesing) Area Contoh (Training area) Dalam menentukan lokasi training area, interpreter terlebih dahulu mengenali setiap pola spektral tutupan lahan yang terdapat dalam citra. Proses penentuan training area merupakan suatu proses yang penting karena akan menentukan keberhasilan klasifikasi. Penentuan area contoh pada citra LANDSAT ETM + didasarkan pada penampakan visual dan pedoman pemantauan tutupan lahan Departemen Kehutanan. Area contoh yang dibuat mewakili semua kelas tutupan dan penggunaan lahan pada daerah yang telah ditentukan sebelumnya dan digunakan untuk pengklasifikasian pada citra. Pada penentuan area contoh ini setiap kelas tutupan dan penggunaan lahan diwakili oleh piksel-piksel yang secara spektral berbeda, tetapi piksel-piksel tersebut relatif homogen untuk mewakili satu kelas tutupan dan penggunaan lahan tertentu, hal ini dilakukan untuk menghindari kelas yang tumpang tindih secara spektral, sehingga dapat mengurangi keakuratan hasil klasifikasi. Berdasarkan data yang diperoleh, jumlah kelas tutupan dan penggunaan lahan yang akan diklasifikasikan pada citra LANDSAT ETM + tahun 2006 berbeda dengan jumlah kelas tutupan dan penggunaan lahan pada citra LANDSAT ETM + tahun 2001 dan citra LANDSAT ETM + tahun Perbedaan jumlah kelas ini disebabkan kualitas data citra LANDSAT ETM + tahun 2001 dan citra LANDSAT ETM + tahun 2011 berbeda yaitu terdapatnya awan dan bayangan awan. Hasil perhitungan Digital Number (DN) yang dilakukan pada training area meliputi

8 40 jumlah piksel, rata-rata, standar deviasi, nilai minimum, nilai maksimum, dan nilai matriks ragam peragam, dapat dilihat pada Lampiran 1, 2, dan 3. Jumlah area contoh yang digunakan pada citra LANDSAT ETM + tahun 2001, citra LANDAT ETM + tahun 2006, dan citra LANDSAT ETM + tahun 2011 bisa dilihat pada Tabel 12. Tabel 12 Jumlah piksel area contoh No Kelas tutupan dan penggunaan lahan LANDSAT ETM + tahun 2001 LANDSAT ETM + tahun 2006 LANDSAT ETM + tahun 2011 Jumlah Jumlah Jumlah Jumlah Jumlah Jumlah piksel piksel piksel piksel piksel piksel (%) (%) (%) 1 Hutan primer 22 5, , ,15 2 Hutan sekunder 34 8, , ,80 3 Hutan tanaman 22 5, , ,13 4 Semak 21 5, , ,98 5 Kebun 21 5, , ,32 6 Pemukiman 36 9, , ,81 7 Tanah terbuka 27 6, , ,98 8 Air 32 8, , ,47 9 Pertanian lahan kering 27 6, , ,98 10 Pertanian lahan kering campur 29 7, , ,48 11 Sawah 32 8, , ,10 12 Bandara 22 5, , ,48 13 Awan 52 13, ,02 14 Bayangan Awan 21 5, ,32 Total , , ,00 Berdasarkan Tabel 12 diketahui bahwa total jumlah piksel dalam setiap tahun berbeda, untuk tahun 2001 menggunakan 398 piksel, tahun 2006 menggunakan 991 piksel, dan tahun 2011 menggunakan 603 piksel. Perbedaan jumlah piksel pada setiap tahun dikarenakan jumlah piksel disesuaikan dengan kebutuhan pengambilan Area of Interst (AOI) yang berbeda setiap tahunnya. Sedikit banyaknya AOI yang digunakan tergantung dari tingkat keterpisahan yang dicapai. Apabila belum terpisah, maka AOI akan ditambah atau dikurangi.

9 41 Karakteristik reflektansi masing-masing kelas tutupan dan penggunaan lahan tiap band untuk ketiga citra LANDSAT ETM + bisa dilihat pada Gambar 7. (1) (2) (3) Gambar 7 Nilai rata-rata DN area contoh untuk masing-masing kelas tutupan dan penggunaan lahan tiap band Citra LANDSAT ETM + tahun 2001 (1); Citra LANDSAT ETM + tahun 2006 (2); dan Citra LANDSAT ETM + tahun 2011 (3).

10 42 Gambar 7 menunjukan karakteristik nilai rata-rata piksel (Digital Number) kelas tutupan dan penggunaan lahan vegetasi hijau seperti semak atau belukar, kebun atau perkebunan, hutan primer, hutan sekunder, hutan tanaman, pertanian lahan kering, pertanian lahan kering campur, dan sawah mempunyai grafik yang menaik pada band 4 (inframerah dekat), hal ini disebabkan karena adanya kandungan klorofil dalam daun yang berinteraksi dengan panjang gelombang inframerah dekat. Nilai reflektansi minimum terdapat pada kelas tutupan lahan yang bervegetasi pada saluran merah. Menurut Rambe (1989) semakin banyak atau lebat penutupan lahan oleh vegetasi, maka akan menurunkan rata-rata DN, karena sebagian sinar matahari diserap oleh klorofil dan vegetasi. Grafik menurun menunjukkan bahwa kelas tutupan dan penggunaan lahan tersebut rata-rata tidak memantulkan panjang gelombang inframerah dekat sekuat vegetasi hijau berklorofil daun. Kelas tutupan dan penggunaan lahan tanah terbuka mempunyai nilai reflektansi tertinggi terhadap panjang gelombang inframerah dekat, diikuti kelas tutupan dan penggunaan lahan kebun atau perkebunan. Karakteristik DN rata-rata kelas tutupan dan penggunaan lahan tubuh air mengikuti bayangan awan. Pada umumnya, awan mempunyai nilai reflektansi yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelas tutupan dan penggunaan lahan lainnya pada semua panjang gelombang. Sedangkan bayangan awan mempunyai nilai reflektansi yang relatif kecil dibandingkan dengan kelas tutupan dan penggunaan lahan lain pada semua panjang gelombang Analisis Separabilitas Berdasarkan analisis separabilitas citra LANDSAT ETM + tahun 2001 dengan menggunakan kombinasi band memiliki nilai rata-rata TD terbesar dibandingkan nilai rata-rata TD tahun lainnya sebesar 1.996,42. Pada kombinasi band ini menunjukkan bahwa semua kelas tutupan dan penggunaan lahan memiliki kriteria tingkat keterpisahan yang sempurna, baik dan sedang. Nilai TD terendah adalah 1.862,27 yaitu kelas tanah terbuka semak belukar, yang menandakan adanya karakteristik nilai dijital yang dekat dibandingkan dengan pasangan kelas tutupan dan penggunaan lahan lainnya. Sedangkan kelas tutupan

11 43 dan penggunaan lahan hutan tanaman pertanian lahan kering campur mempunyai nilai TD terendah kedua sebesar 1.868,76. Matriks separabilitas citra LANDSAT ETM + tahun 2001 menggunakan kombinasi band disajikan pada Lampiran 1. Nilai analisis separabilitas citra LANDSAT ETM + tahun 2006 dengan menggunakan kombinasi band memberikan nilai rata-rata TD sebesar 1.980,64. Pada kombinasi band ini menunjukkan bahwa semua kelas tutupan dan penggunaan lahan memiliki kriteria tingkat keterpisahan yang sempurna, baik, cukup, dan buruk. Pasangan kelas tutupan dan penggunaan lahan hutan tanaman - semak memiliki nilai TD terendah, yaitu 1.737,33 yang menunjukkan kedekatan karakteristik nilai pikselnya namun masih dapat dikategorikan terpisah dengan cukup. Pasangan kelas tutupan dan penggunaan lahan terdekat selanjutnya adalah hutan primer pertanian lahan kering campur dengan nilai TD 1.746,54 hal ini akan memungkinkan terjadinya piksel-piksel yang teridentifikasi ke dalam kelas yang salah. Matriks separabilitas citra LANDSAT ETM + tahun 2006 menggunakan kombinasi band disajikan pada Lampiran 2. Hasil analisis separabilitas citra LANDSAT ETM + tahun 2011 dengan menggunakan kombinasi band memiliki nilai rata-rata TD sebesar 1.993,47. Pada kombinasi band ini dari setiap kelas yang dianalisis, sebagian besar terpisah secara sempurna (TD = 2000) dan terpisah dengan baik (1.900<TD<2.000), namun terdapat kelas-kelas yang secara statistik tidak terpisahkan (<1600) tetapi tidak terdapat kelas kurang baik atau sedang keterpisahannya (1.601< TD<1.699) yang dapat mengurangi nilai akurasi dalam proses klasifikasi. Nilai TD terendah adalah 1.579,76 yaitu kelas hutan primer dengan hutan sekunder, yang menandakan adanya karakteristik nilai digital yang dekat dibandingkan dengan pasangan kelas tutupan dan penggunaan lahan lainnya, hal ini dapat disebabkan kurangnya jumlah piksel yang digunakan dalam training area dalam mengklasifikasi kelas tutupan lahan tersebut. Matriks separabilitas citra LANDSAT ETM+ tahun 2011 menggunakan kombinasi band disajikan pada Lampiran 3.

12 Evaluasi Akurasi Evaluasi akurasi pada citra LANDSAT ETM + tahun 2001 dengan menggunakan kombinasi band menghasilkan Overall accuracy sebesar 97,82% dan Kappa accuracy sebesar 97,63%, hal ini menunjukkan bahwa dari seluruh piksel yang digunakan, sebesar 97,63% dari piksel-piksel tersebut dapat terkelaskan dengan benar. Nilai user s accuracy dan producer s accuracy pada citra LANDSAT ETM + tahun 2001 disajikan pada Tabel 13. Tabel 13 User s accuracy dan producer accuracy pada citra LANDSAT ETM + tahun 2001 dengan kombinasi band No Kelas tutupan dan User s penggunaan lahan accuracy (%) Producer s accuracy (%) 1 Hutan primer 100,00 100,00 2 Hutan sekunder 100,00 100,00 3 Hutan tanaman 70,00 100,00 4 Semak 100,00 89,47 5 Kebun 100,00 100,00 6 Pemukiman 100,00 100,00 7 Tanah terbuka 91,67 100,00 8 Air 100,00 100,00 9 Pertanian lahan kering 100,00 100,00 10 Pertanian lahan kering campur 100,00 80,00 11 Sawah 100,00 100,00 12 Bandara 100,00 100,00 13 Awan 100,00 100,00 14 Bayangan awan 100,00 100,00 Kelas tutupan dan penggunaan lahan hutan primer, hutan sekunder, hutan tanaman, perkebunan, permukiman, tanah terbuka, badan air, pertanian lahan kering, sawah, bandara, awan, dan bayangan awan mempunyai nilai akurasi sebesar 100%. Angka 100% menunjukkan bahwa pada kelas kelas tutupan dan penggunaan lahan tersebut tidak terjadi kesalahan klasifikasi dengan tidak mengambil piksel dari kelas lain. Kelas tutupan dan penggunaan lahan pertanian lahan kering campur merupakan kelas yang memiliki nilai producer s accuracy yang paling kecil bila dibandingkan dengan kelas-kelas lainnya yaitu sebesar 80% karena pada kelas tersebut terdapat piksel dari kelas lain yang masuk ke dalam kelas ini, yaitu piksel dari kelas hutan tanaman sebanyak 6 piksel. Kelas tutupan dan penggunaan lahan semak atau belukar mempunyai nilai producer s accuracy sebesar 89,47 %. Hal

13 45 ini disebabkan karena masuknya piksel-piksel dari kelas lain ke kelas semak atau belukar sebanyak 2 piksel dari kelas tanah kosong. Pada user s accuracy, kelas yang memiliki nilai akurasi sebesar 100 % adalah kelas tutupan dan penggunaan lahan hutan produksi, hutan sekunder, semak belukar, perkebunan, permukiman, badan air, pertanian lahan kering, pertanian lahan kering campur, sawah, bandara, awan dan bayangan awan, hal ini menandakan bahwa piksel dari kelas tutupan dan penggunaan lahan tersebut tidak ada yang masuk ke kelas lain. Kelas tutupan dan penggunaan lahan yang mempunyai nilai terkecil adalah hutan tanaman sebesar 70%, hal ini disebabkan karena sebanyak 6 piksel dari kelas ini masuk ke kelas pertanian lahan kering campur. Nilai user s accuracy terkecil selanjutnya adalah kelas tutupan dan penggunaan lahan tanah terbuka sebesar 91,67 % dikarenakan adanya piksel dari kelas ini yang masuk kedalam kelas lain, yaitu sebanyak 2 piksel ke kelas semak belukar. Rata-rata nilai user s accuracy sebesar 97,26% dan producer s accuracy sebesar 97,87% maka piksel-piksel yang digunakan sudah cukup mewakili karakterisik masing-masing kelas tutupan dan penggunaan lahan. Matriks kesalahan klasifikasi citra LANDSAT ETM + tahun 2001 disajikan pada Tabel 17. Hasil evaluasi akurasi citra LANDSAT ETM + tahun 2006 dengan kombinasi band menghasilkan nilai Overall accuracy sebesar 91,90 % dan Kappa accuracy sebesar 90,62 %, hal ini menunjukkan bahwa piksel-piksel dalam area contoh telah terkelaskan dengan baik, dimana tingkat akurasinya di atas 90 %. Nilai user s accuracy dan producer s accuracy pada citra LANDSAT ETM + tahun 2006 disajikan pada Tabel 14. Pada producer s accuracy, kelas tutupan dan penggunaan lahan badan air, sawah, dan permukiman mempunyai nilai producer s accuracy sebesar 100 %. Ini menunjukkan bahwa pada kelas-kelas tutupan dan penggunaan lahan tersebut tidak terjadi kesalahan klasifikasi dengan tidak mengambil piksel dari kelas lain.

14 46 Tabel 14 User s accuracy dan producer accuracy pada citra LANDSAT ETM dengan kombinasi band No Kelas tutupan dan User s penggunaan lahan accuracy (%) Producer s accuracy (%) 1 Hutan primer 91,67 64,70 2 Hutan sekunder 92,50 84,10 3 Hutan tanaman 65,78 75,75 4 Semak 90,47 76,00 5 Kebun 89,36 95,45 6 Pemukiman 94,60 100,00 7 Tanah terbuka 94,44 73,91 8 Air 100,00 100,00 9 Pertanian lahan kering 75,55 82,93 10 Pertanian lahan kering campur 70,17 78,43 11 Sawah 100,00 100,00 12 Bandara 97,33 81,11 Kelas tutupan dan penggunaan lahan hutan primer merupakan kelas yang memiliki nilai producer s accuracy yang paling kecil bila dibandingkan dengan kelas-kelas lainnya yaitu sebesar 64,70 % karena pada kelas tersebut terdapat piksel dari kelas lain yang masuk ke dalam kelas ini, yaitu piksel dari kelas pertanian lahan kering campur sebanyak 4 piksel dan dari kelas perkebunan sebanyak 2 piksel. Kelas tutupan dan penggunaan lahan terkecil kedua adalah tanah kosong sebesar 73,91 %, dimana terdapat sebanyak 3 piksel dari kelas perkebunan, 2 piksel dari kelas bandara, dan 1 piksel dari kelas pertanian lahan kering yang masuk ke dalam kelas ini. Pada user s accuracy, kelas yang memiliki nilai akurasi sebesar 100 % adalah kelas tutupan dan penggunaan lahan badan air dan sawah, hal ini menandakan bahwa piksel dari kelas tutupan dan penggunaan lahan tersebut tidak ada yang masuk ke kelas lain. Kelas tutupan dan penggunaan lahan yang mempunyai nilai terkecil adalah hutan tanaman sebesar 65,78 %, hal ini disebabkan karena sebanyak 7 piksel dari kelas ini masuk ke kelas hutan sekunder, 4 piksel ke kelas semak belukar, dan 2 piksel ke kelas pertanian lahan kering campur. Nilai user s accuracy terkecil kedua ada di kelas tutupan dan penggunaan lahan pertanian lahan kering campur, hal ini disebabkan 5 piksel dari kelas hutan

15 47 tanaman, 3 piksel dari kelas perkebunan, 3 piksel dari kelas pertanian lahan kering, 2 piksel dari kelas hutan tanaman, dan 4 piksel dari kelas hutan primer masuk ke kelas ini. Rata-rata nilai user s accuracy sebesar 88,50% dan producer s accuracy sebesar 84,36% maka piksel-piksel yang digunakan sudah cukup mewakili karakterisik masing-masing kelas tutupan dan penggunaan lahan. sedangkan matriks kesalahan klasifikasi citra LANDSAT ETM + tahun 2006 dapat dilihat pada Lampiran 5. Pada citra LANDSAT ETM + tahun 2011 nilai Overall accuracy dan Kappa accuracy yang dihasilkan dengan menggunakan kombinasi band sebesar 96,15 % dan 95,51 %, hal ini menandakan bahwa peluang rata-rata suatu piksel terkelaskan dengan benar sebesar 95,51 %. Nilai user s accuracy dan producer s accuracy pada citra LANDSAT ETM + tahun 2011 tersaji pada Tabel 15. Tabel 15 User s Accuracy dan Producer Accuracy pada citra LANDSAT ETM + tahun 2011 dengan kombinasi band No Kelas tutupan dan User s penggunaan lahan accuracy (%) Producer s accuracy (%) 1 Hutan primer 90,47 76,00 2 Hutan sekunder 64,12 86,20 3 Hutan tanaman 100,00 100,00 4 Semak 93,10 77,14 5 Kebun 78,57 91,67 6 Pemukiman 100,00 100,00 7 Tanah terbuka 100,00 100,00 8 Air 100,00 100,00 9 Pertanian lahan kering 100,00 100,00 10 Pertanian lahan kering campur 100,00 85,71 11 Sawah 98,82 100,00 12 Bandara 100,00 100,00 13 Awan 100,00 100,00 14 Bayangan awan 100,00 100,00 Pada producer s accuracy, yang mempunyai nilai producer s accuracy sebesar 100 % adalah kelas tutupan dan penggunaan lahan hutan sekunder, permukiman, tanah terbuka, badan air, pertanian lahan kering, sawah, bandara, awan, dan bayangan awan. Ini menunjukkan bahwa pada kelas-kelas tutupan dan penggunaan lahan tersebut tidak terjadi kesalahan klasifikasi dengan tidak mengambil piksel dari kelas lain.

16 48 Kelas tutupan dan penggunaan lahan hutan primer merupakan kelas yang memiliki nilai producer s accuracy yang paling kecil bila dibandingkan dengan kelas-kelas lainnya yaitu sebesar 76% karena pada kelas tersebut terdapat piksel dari kelas lain yang masuk ke dalam kelas ini, yaitu piksel dari kelas hutan sekunder sebanyak 6 piksel. Pada user s accuracy, kelas yang memiliki nilai akurasi sebesar 100 % adalah kelas tutupan dan penggunaan lahan hutan sekunder, permukiman, tanah terbuka, badan air, pertanian lahan kering, pertanian lahan kering campur, bandara, awan, dan bayangan awan, hal ini menandakan bahwa piksel dari kelas tutupan dan penggunaan lahan tersebut tidak ada yang masuk ke kelas lain. Kelas tutupan dan penggunaan lahan yang mempunyai nilai terkecil adalah hutan sekunder sebesar 64,12 %, hal ini disebabkan karena sebanyak 6 piksel dari kelas ini masuk ke kelas hutan primer. Nilai user s accuracy terkecil selanjutnya adalah kelas tutupan dan penggunaan lahan kebun/perkebunan sebesar 78,57 % dikarena adanya piksel dari kelas ini yang masuk ke dalam kelas lain, yaitu sebanyak 3 piksel ke kelas pertanian lahan kering campur. Rata-rata nilai user s accuracy sebesar 94,64% dan producer s accuracy sebesar 94,05 % maka piksel-piksel yang digunakan sudah cukup mewakili karakterisik masing-masing kelas tutupan dan penggunaan lahan. Matriks kesalahan klasifikasi citra LANDSAT ETM + tahun 2011 dapat dilihat pada Lampiran 6. Kesalahan klasifikasi untuk kelas-kelas tersebut dapat terjadi karena dalam pembuatan training area pada setiap kelas tutupan dan penggunaan lahan di setiap citra yang berbeda jumlah piksel dan luasannya sehingga walaupun hanya terdapat sedikit piksel yang masuk ke kelas penggunaan dan tutupan lahan yang lain namun menimbulkan perubahan akurasi yang tinggi. Kemudian kesalahan juga dapat terjadi karena kondisi citra yang digunakan, seperti adanya kesamaan reflektansi dari piksel-piksel seperti yang terjadi pada kelas sawah dengan tubuh air, pemukiman dengan rumput atau tanah kosong, hutan primer dengan hutan sekunder dan semak belukar. Faktor lain yang menyebabkan kesalahan klasifikasi adalah adanya perbedaan kondisi atmosfer, perubahan kadar air, perbedaan sudut matahari, dan pengaruh topografi yang berbeda, seperti yang terjadi pada kelas

17 49 hutan yang secara reflektansi mempunyai kesamaan dengan bayangan awan. Perbedaan kondisi ini terjadi karena perbedaan tanggal waktu perekaman ketiga citra berbeda. Menurut Wicaksono (2006), kesalahan-kesalahan klasifikasi dapat diperbaiki dengan melakukan editing, sehingga kita dapat memperoleh luas penutupan yang benar. Editing dapat dilakukan dengan membuat poligon pada daerah yang ingin diubah Klasifikasi Penutupan Lahan Klasifikasi penutupan lahan pada citra LANDSAT ETM + tahun 2001, citra LANDSAT ETM + tahun 2006, dan citra LANDSAT ETM + tahun 2011 dilakukan dengan menggunakan kombinasi band menghasilkan 12 kelas tutupan dan penggunaan lahan. Jumlah luasan masing-masing kelas tutupan dan penggunaan lahan hasil klasifikasi citra LANDSAT ETM + tahun 2001, LANDSAT ETM + tahun 2006, dan LANDSAT ETM + tahun 2011 ini dapat dilihat pada Tabel 16. Hasil klasifikasi dan sebaran spasial dapat dilihat pada Gambar 8, 9, dan 10. Tabel 16 Luas masing-masing kelas tutupan dan penggunaan lahan hasil klasifikasi citra LANDSAT ETM + tahun 2001, LANDSAT ETM + tahun 2006, dan LANDSAT ETM + tahun 2011 Kelas tutupan Luas tutupan dan penggunaan lahan No. dan LANDSAT ETM + LANDSAT ETM + LANDSAT ETM + penggunaan tahun 2001 tahun 2006 tahun 2011 lahan Hektar % Hektar % Hektar % 1 Hutan primer 1.682,2 0, ,6 0, ,3 0,43 2 Hutan sekunder ,2 5, ,9 5, ,4 5,09 3 Hutan tanaman ,8 11, ,4 11, ,3 11,41 4 Semak belukar 1.661,7 0, ,1 0, ,4 0,74 5 Perkebunan 4.277,1 1, ,3 1, ,4 1,83 6 Permukiman ,0 16, ,7 17, ,2 17,81 7 Tanah terbuka 2.793,9 1, ,3 0, ,2 0,64 8 Badan air 2.246,2 0, ,2 0, ,2 0,98 9 Pertanian lahan kering ,7 20, ,5 19, ,3 19,24 10 Pertanian lahan kering campur ,2 13, ,1 13, ,8 13,92 11 Sawah ,3 27, ,6 27, ,8 27,83 12 Bandara 191,2 0,08 191,2 0,08 191,2 0,08 Total luas ,0 100, ,5 100, ,6 100,00

18 50 Perbedaan luas total tutupan dan penggunaan lahan disebabkan karena adanya pengaruh penutupan awan dan bayangan awan pada areal penelitian dengan luas yang berbeda-beda. Adanya kelas-kelas yang bukan merupakan kelas tutupan dan penggunaan lahan (awan, bayangan awan) dapat mengurangi keakuratan citra hasil klasifikasi dan perhitungan luas perubahan lahan. Oleh karena itu, dalam penentuan luas perubahan lahan, luas dan lokasi kelas ini disamakan dan dianggap kelas yang tidak memiliki data. Kelas tutupan dan penggunaan lahan hutan primer di DAS Citarum Hulu pada tahun 2001 mempunyai luas sebesar 1.682,22 ha atau 0,72 % dari luas total area tutupan dan penggunaan lahan. Pada tahun 2006, luas hutan primer mengalami penurunan menjadi 1.036,61 ha atau kerkurangan 0,44 % dari luas total area tutupan dan penggunaan lahan. Pada tahun 2011 luas hutan primer bertambah menjadi sebesar 1.004,28 ha atau 0,43% dari luas total area tutupan dan penggunaan lahan. Kelas tutupan dan penggunaan lahan hutan sekunder mempunyai luas sebesar ,15 ha atau 5,46 % pada tahun 2001 dan terjadi pengurangan luas menjadi ,95 ha atau 5,48 % di tahun Pada tahun 2011 luas hutan sekunder semakin meningkat menjadi ,42 ha atau 5,09 % dari total area tutupan dan penggunaan lahan. Pada tahun 2001, luas hutan tanaman sebesar ,84 ha atau 11,12% dari total luas tutupan dan penggunaan lahan. Dan bertambah menjadi ,41 ha atau 11,37% pada tahun Pada tahun 2011, luas hutan tanaman berkurang sedikit menjadi ,32 ha atau 11,41% dari total luas tutupan dan penggunaan lahan. Areal ini didominasi oleh penutupan lahan hutan yang merupakan hasil budidaya manusia, meliputi Hutan Tanaman Industri (HTI) maupun Hutan Tanaman (HT) hasil reboisasi atau penghijauan yang berada di dalam maupun di luar kawasan hutan. Kelas tutupan dan penggunaan lahan yang mengalami perubahan terbesar ialah lahan tanah terbuka. Pada tahun 2001, luas tutupan dan penggunaan lahan tanah terbuka sebesar 2.732,24 ha atau 1,18%, pada tahun 2006 menurun sebesar 1.878,21 ha atau 0,80 %, dan pada tahun 2011 menurun sebesar 1.491,15 ha atau 0,64%. Kelas tutupan dan penggunaan lahan yang mengalami perubahan terkecil

19 51 ialah bandara dan badan air. Dalam jangka waktu 10 tahun, kedua kelas tutupan dan penggunaan lahan tersebut tidak mengalami perubahan. Menurut Kosasih (2002), areal yang berubah adalah setiap piksel pada kedua citra klasifikasi dengan lokasi yang sama tetapi memiliki perbedaan atribut klasifikasi. Areal yang tidak berubah adalah piksel dengan lokasi dan atribut klasifikasi yang sama pada kedua citra klasifikasi. Areal yang tidak dapat dianalisis adalah areal yang tidak mempunyai informasi penutupan lahan, dalam ini adalah areal yang tertutup awan, bayangan awan, dan null cell.

20 Gambar 8 Peta tutupan dan penggunaan lahan DAS Citarum Hulu Jawa Barat tahun

21 53 Gambar 9 Peta tutupan dan penggunaan lahan DAS Citarum Hulu Jawa Barat tahun

22 54 Gambar 10 Peta tutupan dan penggunaan lahan DAS Citarum Hulu Jawa Barat tahun

23 Analisis Perubahan Penutupan Lahan DAS Citarum Hulu Analisis perubahan tutupan dan penggunaan lahan dilakukan berdasarkan matrik perubahan. Bentuk matrik ini dapat memberikan informasi luas dan bentuk perubahan dari suatu kelas tutupan dan penggunaan lahan tertentu menjadi kelas tutupan dan penggunaan lahan lainnya. Matrik perubahan penutupan lahan dapat dilihat pada Tabel 18, Tabel 20, dan Tabel 22. Analisis perubahan tutupan dan penggunaan lahan di DAS Citarum Hulu dilakukan pada tiga kurun waktu, yaitu kurun waktu tahun , kurun waktu tahun dan kurun waktu tahun Hasil klasifikasi untuk DAS Citarum Hulu menghasilkan data luasan masing-masing kelas yang dapat diperbandingkan terhadap waktu liputan citranya Analisis Perubahan Tutupan dan Penggunaan Lahan Tahun Hasil analisis perubahan tutupan dan penggunaan lahan disajikan pada Tabel 17. Berdasarkan Tabel 17 dapat dilihat bahwa selama kurun waktu lima tahun kelas tutupan dan penggunaan lahan yang mengalami penurunan luas arealnya adalah kelas tutupan dan penggunaan lahan hutan primer, hutan sekunder, semak belukar, pertanian lahan kering, dan tanah terbuka. Tabel 17 Perubahan luas tutupan dan penggunaan lahan DAS Citarum Hulu pada tahun Kelas tutupan Luas tutupan dan penggunaan lahan No. dan LANDSAT ETM + LANDSAT ETM + Luas perubahan penggunaan tahun 2001 tahun 2006 lahan Hektar % Hektar % Hektar % 1 Badan air 2.246,29 0, ,29 0,98 0,00 0,00 2 Bandara 191,24 0,08 191,24 0,08 0,00 0,00 3 Hutan primer 1.682,22 0, ,61 0,44-645,61-0,28 4 Hutan sekunder ,15 5, ,89 5,09-897,26-0,38 5 Hutan tanaman ,84 11, ,36 11,37 581,52 0,25 6 Perkebunan 4.277,04 1, ,00 1,84 26,96 0,01 7 Pertanian lahan ,71 20, ,42 19,15 kering 2066,29-0,89 8 Pertanian lahan ,19 13, ,09 13, ,90 kering campur 0,48 9 Permukiman ,00 16, ,40 17, ,40 1,10 10 Semak belukar 1.661,70 0, ,14 0,71-2,57 0,00 11 Sawah ,33 27, ,61 27,89 226,09 0,08 12 Tanah terbuka 2.793,90 1, ,21 0,80-915,69-0,39 Total luas , ,00

24 56 Pertanian lahan kering merupakan kelas yang mengalami penurunan luas areal terbesar, yaitu sebesar 2.066,29 ha atau 0,89 % dari luas total arealnya. Sedangkan kelas-kelas yang mengalami peningkatan adalah kelas tutupan dan penggunaan lahan hutan tanaman, kebun, pertanian lahan kering campur, permukiman, dan sawah. Grafik perubahan tutupan dan penggunaan lahan berdasarkan luas bisa dilihat pada Gambar 11. Luas (x 1000 ha) 70,00 60,00 50,00 40,00 30,00 20,00 10,00 0,00 Tahun 2001 Tahun 2006 Gambar 11 Grafik perubahan luas tipe-tipe tutupan dan penggunaan lahan di DAS Citarum Hulu tahun 2001 dan Pada kelas tutupan dan penggunaan lahan hutan primer, terjadi penurunan jumlah luasan areal dari sebesar ha atau 0,72 % dari luas total arealnya pada tahun 2001 menjadi 1.036,61 ha atau 0,44 % dari luas total arealnya pada tahun 2006, sehingga mengalami penurunan luas hutan sebesar 645,61 ha. Penurunan jumlah luasan ini disebabkan karena selama kurun waktu lima tahun ( ) ada areal hutan primer yang dikonversi menjadi areal hutan sekunder, hutan tanaman, perkebunan, pertanian lahan kering, pertanian lahan kering campur, semak belukar, sawah dan tanah terbuka. Pada kelas tutupan dan penggunaan lahan hutan sekunder mengalami penurunan jumlah luasan areal dari ,15 ha atau 5,47% pada tahun 2001 menjadi ,89 ha atau 5,09% dari total luas tutupan dan penggunaan lahan pada tahun 2006, sehingga mengalami perubahan sebesar 897,26 ha atau 0,38%.

25 57 Penurunan jumlah luasan ini disebabkan terjadi konversi hutan sekunder menjadi hutan primer, hutan tanaman, perkebunan, pertanian lahan kering campur, pertanian lahan kering, semak belukar, sawah, dan tanah terbuka. Pada kelas tutupan dan penggunaan lahan hutan tanaman mengalami peningkatan jumlah luasan dari ,84 ha atau 11,12% pada tahun 2001 menjadi ha atau 11,37% dari total arealnya pada tahun 2006, sehingga terjadi perubahan sebesar 581,52 ha atau 0,25%. Peningkatan jumlah areal ini disebabkan terjadinya perubahan dari kelas hutan primer, hutan sekunder, perkebunan, pertanian lahan kering, pertanian lahan kering campur, permukiman, semak belukar, sawah, dan tanah terbuka. Perubahan tutupan dan penggunaan lahan yang terbesar terjadi pada kelas lahan permukiman dengan peningkatan total luasan dari ha atau 16,63% pada tahun 2001 menjadi ,40 ha atau 17,73% pada tahun 2006 dari total luasan dan penggunaan lahan. Peningkatan total luasan disebabkan oleh konversi dari seluruh kelas tutupan dan penggunaan lahan dan yang terbesar dari kelas pertanian lahan kering, pertanian lahan kering campur, dan tanah terbuka yang menjadi areal permukiman. Perubahan tutupan dan penggunaan lahan yang terkecil terjadi pada kelas lahan semak belukar dengan penurunan jumlah total luasan dari 1.661,70 ha atau 0,71 % pada tahun 2001 menjadi ha atau 0,71% pada tahun 2006, sehingga terjadi perubahan sebesar 2,57 ha dari total luasan tutupan dan penggunaan lahan. Penurunan total luasan terjadi karena adanya konversi semak belukar menjadi pertanian lahan kering dan persawahan dengan jumlah konversi terbesar. Peta perubahan tutupan dan penggunaan lahan DAS Citarum Hulu pada tahun disajikan pada Gambar 12.

26 Gambar 12 Peta perubahan tutupan lahan DAS Citarum Hulu Jawa Barat tahun

27 59 Tabel 18 Matriks perubahan citra LANDSAT ETM menggunakan kombinasi band Badan air Bandara Hutan primer Hutan sekunder Hutan tanaman Kebun Pertanian lahan kering Pertanian lahan kering campur Pemukiman Semak Sawah Tanah terbuka Badan air 2.246, ,2 Bandara 191,24 191,2 Hutan primer 1.020,2 0,7 596,9 4,6 16,1 19,4 4,1 0,7 17,6 2, ,2 Hutan sekunder 3, ,4 766,4 5,9 28,9 39,1 4,6 4,4 50,4 5, ,2 Hutan tanaman 6,1 7, ,1 5, ,3 5,1 1,8 27,2 3, ,8 Kebun 3,2 2,3 3, ,1 16,1 23,1 4,6 2,5 3, ,1 Pertanian lahan kering 7,4 13,4 4,8 9, ,8 18, ,3 13,4 53,8 30, ,7 Pertanian lahan kering campur 5,1 3,9 11,1 5, ,1 328,08 7,1 40,7 33, ,2 Pemukiman 0,3 218,3 3 9,4 12, ,4 5,7 49,5 6, Semak 4,5 1,1 2,3 2,6 8,9 14,1 6, ,2 15,8 2, ,7 Sawah 0,7 4,8 3,4 7,6 33,5 18,9 25,9 15, ,1 5, ,3 Tanah terbuka 0,4 2,1 439,5 44,1 49,6 17,1 429,1 3,8 18, , ,9 Total 2.246,2 191, , , , , , , , , , Keterangan : Kolom= tahun 2006; Baris= tahun 2001 Total 59

28 Analisis Perubahan Tutupan dan Penggunaan Lahan Tahun Hasil analisis perubahan tutupan dan penggunaan lahan disajikan pada Tabel 19. Berdasarkan Tabel 19 dapat dilihat bahwa selama kurun waktu lima tahun kelas tutupan dan penggunaan lahan yang mengalami penurunan luas arealnya adalah kelas tutupan dan penggunaan lahan tanah terbuka, persawahan, dan pertanian lahan kering campur Tabel 19 Perubahan luas tutupan dan penggunaan lahan DAS Citarum Hulu pada tahun No. Luas tutupan dan penggunaan lahan Kelas tutupan LANDSAT ETM + LANDSAT ETM + Luas dan penggunaan tahun 2006 tahun 2011 perubahan lahan Hektar % Hektar % Hektar % 1 Badan air 2.246,29 0, ,29 0,98 0,00 0,00 2 Bandara 191,24 0,07 191,24 0,08 0,00 0,00 3 Hutan primer 1.036,61 0, ,61 0,47 52,00 0,022 4 Hutan sekunder ,95 5, ,43 5,14 135,48 0,058 5 Hutan tanaman ,41 11, ,16 11,40 79,75 0,034 6 Perkebunan 4.302,34 1, ,21 1,85 13,87 0,006 7 Pertanian lahan kering ,54 19, ,02 19,21 153,49 0,066 8 Pertanian lahan kering campur ,13 13, ,37 13,91-74,76-0,032 9 Permukiman ,73 17, ,49 17,77 111,77 0, Semak belukar 1.659,02 0, ,49 0,76 110,47 0, Sawah ,66 27, ,41 27,76 250,25 0, Tanah terbuka 1.877,30 0, ,53 0,66 326,77 0,140 Total luas ,5 100, ,5 100,00 Tanah terbuka merupakan kelas yang mengalami penurunan luas areal terbesar, yaitu sebesar 326,77 ha atau 0,14% dari luas total arealnya. Sedangkan kelas-kelas yang mengalami peningkatan adalah kelas tutupan dan penggunaan lahan hutan primer, hutan sekunder, hutan tanaman, perkebunan, pertanian lahan kering, permukiman dan semak belukar. Grafik perubahan tutupan dan penggunaan lahan berdasarkan luas disajikan pada Gambar 13.

29 61 Luas (x 1000 ha) 70,00 60,00 50,00 40,00 30,00 20,00 10,00 0,00 Tahun 2006 Tahun 2011 Gambar 13 Grafik perubahan luas tipe-tipe tutupan dan penggunaan lahan di DAS Citarum Hulu tahun 2006 dan Pada kelas tutupan dan penggunaan lahan hutan primer mengalami peningkatan jumlah luasan areal dari sebesar 1.036,61 ha atau 0,44 % dari luas total arealnya pada tahun 2006 menjadi 1088,61 ha atau 0,47 % dari luas total arealnya pada tahun 2011, sehingga mengalami peningkatan luas hutan primer sebesar 52 ha. Penurunan jumlah luasan ini disebabkan karena selama kurun waktu lima tahun ( ) ada areal hutan primer yang berasal dari pertanian lahan kering, pertanian lahan kering campur, dan persawahan. Hal ini dapat terjadi karena error atau kesalahan yang terjadi dalam pengklasifikasian seperti adanya nilai piksel kelas hutan primer yang masuk ke dalam kelas tutupan dan penggunaan lahan yang lain yang disebut dengan kesalahan omiton error karena adanya kekurangan jumlah piksel dalam penentuan area contoh. Pada kelas tutupan dan penggunaan lahan hutan sekunder mengalami peningkatan jumlah luasan areal dari ,95 ha atau 5,08% pada tahun 2006 menjadi ,43 ha atau 5,14 % dari total luas tutupan dan penggunaan lahan pada tahun 2011, sehingga mengalami perubahan sebesar 135,48 ha atau 0,06%. Penurunan jumlah luasan ini disebabkan terjadi konversi hutan sekunder yang

30 62 berasal dari pertanian lahan kering, pertanian lahan kering campur, dan persawahan. Pada kelas tutupan dan penggunaan lahan hutan tanaman mengalami peningkatan jumlah luasan dari ha atau 11,37% pada tahun 2006 menjadi ,16 ha atau 11,40% dari total arealnya pada tahun 2011, sehingga terjadi perubahan sebesar 79,75 ha atau 0,04%. Peningkatan jumlah areal ini disebabkan terjadinya perubahan dari kelas hutan primer, hutan sekunder, perkebunan, pertanian lahan kering, pertanian lahan kering campur, permukiman, semak belukar, sawah, dan tanah terbuka. Dengan perubahan terbesar berasal dari kelas semak belukar sebesar 18,28 ha. Perubahan tutupan dan penggunaan lahan yang terbesar terjadi pada kelas tanah terbuka mengalami penurunan jumlah luasan areal dari 1877,30 ha atau 0,8% pada tahun 2006 menjadi 1550,53 ha atau 0,67 % pada tahun 2011, sehingga dalam kurun waktu lima tahun terjadi perubahan tutupan dan penggunaan lahan sebesar 326,77 ha yang berubah menjadi kelas tutupan lahan lainnya dengan yang terbesar adalah kelas tutupan dan penggunaan lahan pertanian lahan kering, persawahan dan pertanian lahan kering campur Perubahan tutupan dan penggunaan lahan yang terkecil terjadi pada kelas lahan hutan primer. Peta perubahan tutupan dan penggunaan lahan DAS Citarum Hulu pada tahun disajikan pada Gambar 14.

31 Gambar 14 Peta perubahan penutupan lahan DAS Citarum Hulu Jawa Barat tahun

32 Tabel 20 Matriks perubahan citra LANDSAT ETM menggunakan kombinasi band Badan air Bandara Hutan primer Hutan sekunder Keterangan : Kolom= tahun 2011; Baris= tahun 2006 Hutan tanaman Kebun Pertanian lahan kering Pertanian lahan kering campur Permukiman Semak Sawah Tanah terbuka Badan air 2.246, ,2 Bandara 191,2 191,2 Hutan primer 1.020,3 3,4 6,1 3,2 3,2 5,1 4,2 4,5 0,7 0, ,6 Hutan 0, ,5 7,5 2,2 8,6 3,6 4,8 1,2 3,2 1, ,9 sekunder Hutan 3,2 2, ,4 3,6 110,2 10,2 55,2 1,9 3,2 3, ,4 tanaman Kebun 4,6 5,8 4, ,7 9,6 4,9 2,8 2,6 7, ,3 Pertanian 16,1 28,6 15, ,1 9,3 8,8 31,9 11, ,5 lahan kering Pertanian lahan kering campur 19,4 38,9 17,2 22,9 17, ,9 11,7 14,1 17,9 15, ,1 Permukiman 4,1 4,4 3,8 4,2 7,6 5, ,1 7,1 1, ,7 Semak 0,7 4,4 186,3 2,5 38,1 7,1 5, ,3 3, ,0 Sawah 17,6 50,2 27,1 53,2 40,4 49,3 15, ,1 18, ,8 Tanah terbuka 2,7 5,5 3,2 6,4 33,1 6,4 319,8 5, , ,3 Total 2.246,2 191, , , , , , , , , , , ,5 Total 64

33 Analisis Perubahan Tutupan dan Penggunaan Lahan Tahun Hasil analisis perubahan tutupan dan penggunaan lahan disajikan pada Tabel 21. Berdasarkan Tabel 21 dapat dilihat bahwa selama kurun waktu sepuluh tahun kelas tutupan dan penggunaan lahan yang mengalami penurunan luas arealnya adalah kelas tutupan dan penggunaan lahan hutan primer, hutan sekunder, pertanian lahan kering, persawahan, dan tanah terbuka. Tabel 21 Perubahan luas tutupan dan penggunaan lahan DAS Citarum Hulu pada tahun Kelas tutupan Luas tutupan dan penggunaan lahan No. dan LANDSAT ETM + LANDSAT ETM + Luas perubahan penggunaan tahun 2001 tahun 2011 lahan Hektar % Hektar % Hektar % 1 Badan air 2.246,29 0, ,29 0,97 0,00 0,00 2 Bandara 191,24 0,08 191,24 0,08 0,00 0,00 3 Hutan primer ,89 0, ,28 0,43-593,61 0,256 4 Hutan - sekunder ,20 5, ,42 5,09-761,78 0,328 5 Hutan tanaman ,20 11, ,32 11,41 661,12 0,285 6 Perkebunan 4.215,58 1, ,41 1,83 40,83 0,018 7 Pertanian - - lahan kering ,94 20, ,29 19, ,65 0,819 Pertanian 8 lahan kering campur ,68 13, ,83 13, ,15 0,454 9 Pemukiman ,91 16, ,16 17, ,25 1, Semak belukar 1.603,98 0, ,43 0,74 106,45 0, Sawah ,00 27, ,84 27,83-24,15 0, Tanah terbuka ,25 1, ,15 0, ,10 0,534 Total luas ,61 100, ,61 100,00 Kelas tutupan dan penggunaan lahan yang mengalami perubahan terbesar adalah pemukiman. Pada kelas tutupan dan penggunaan lahan pemukiman mengalami peningkatan total luasan dari ha atau 16,66% pada tahun 2001 menjadi ,40 ha atau 17,81% pada tahun 2011 dari total luasan dan penggunaan lahan. Hal ini terjadi karena disebabkan konversi dari seluruh kelas tutupan dan penggunaan lahan kecuali hutan primer dan yang terbesar dari kelas hutan tanaman, pertanian lahan kering, dan tanah terbuka yang menjadi areal

34 66 pemukiman. Sedangkan kelas-kelas yang mengalami peningkatan adalah kelas tutupan dan penggunaan lahan hutan tanaman, perkebunan, pertanian lahan kering campur, permukiman, dan semak belukar. Grafik perubahan tutupan dan penggunaan lahan berdasarkan luas bisa dilihat pada Gambar 15. Luas (x 1000 ha) 70,00 60,00 50,00 40,00 30,00 20,00 10,00 0,00 Tahun 2001 Tahun 2011 Gambar 15 Grafik perubahan luas tipe-tipe tutupan dan penggunaan lahan di DAS Citarum Hulu tahun 2001 dan Pada kelas tutupan dan penggunaan lahan hutan primer mengalami penurunan jumlah luasan areal dari sebesar 1.597,89 ha atau 0,69 % dari luas total arealnya pada tahun 2001 menjadi 1.004,28 ha atau 0,43 % dari luas total arealnya pada tahun 2011, sehingga mengalami penurunan luas hutan sebesar 593,61 ha atau 0,2%. Penurunan jumlah luasan ini disebabkan karena selama kurun waktu lima tahun ( ) ada areal hutan primer yang dikonversi menjadi hutan tanaman. Pada kelas tutupan dan penggunaan lahan hutan sekunder mengalami penurunan jumlah luasan areal dari ,2 ha atau 5,42% pada tahun 2001 menjadi ,42 ha atau 5,09% dari total luas tutupan dan penggunaan lahan pada tahun 2011, sehingga mengalami perubahan sebesar 761,78 ha atau 0,33 %. Penurunan jumlah luasan ini disebabkan terjadi konversi hutan sekunder menjadi

35 67 kelas tutupan dan penggunaan lahan yang lain dengan yang terbesar adalah hutan tanaman sebesar 760 ha. Pada kelas tutupan dan penggunaan lahan hutan tanaman mengalami peningkatan jumlah luasan dari ha atau 11,13% pada tahun 2001 menjadi ha atau 11,41% dari total arealnya pada tahun 2011, sehingga terjadi perubahan sebesar 661,12 ha atau 0,28%. Peningkatan jumlah areal ini disebabkan terjadinya perubahan dari kelas tutupan dan penggunaan lahan yang lain dengan yang terbesar dari kelas hutan tanaman, pertanian lahan kering, pertanian lahan kering campur, dan permukiman. Kelas tutupan dan penggunaan lahan yang mengalami perubahan terkecil adalah sawah. Pada kelas tutupan dan penggunaan lahan bandara terjadi peningkatan jumlah luas areal dari ha atau 27,84% pada tahun 2001 menjadi ha atau 27,83% dari total luas arealnya pada tahun 2011, sehingga terjadi peningkatan luas sebesar 0,64 ha. Mengacu pada jumlah luasan hutan minimal yang disyaratkan Departemen Kehutanan dimana untuk lahan hutan harus mencapai 30%, lahan hutan yang ada masih kurang dan untuk mencapai luas lahan yang diharapkan maka dibutuhkan sekitar ha hutan lagi. Restorasi yang terjadi dari kelas pemukiman menjadi hutan tanaman terletak di Kecamatan Ciwidey, dimana dilakukan penggusuran lahan terbangun pada daerah tersebut yang kemudian ditanami pepohonan untuk dikembalikan fungsi hutannya. Pada analisis perubahan tutupan dan penggunaan lahan, menghasilkan dua citra dengan luas tutupan dan penggunaan lahan yang sama, hal ini dikarenakan areal yang tidak mempunyai data tutupan dan penggunaan lahan seperti awan, bayangan awan, dan null cell disamakan luas dan lokasinya pada kedua citra. Kelas tutupan dan pengunaan lahan hutan primer dan hutan sekunder mengalami penurunan jumlah luasan yang paling tinggi disebabkan oleh konversi menjadi hutan tanaman. Hutan mempunyai peranan penting dalam mengonservasi DAS. Dengan semakin berkurangnya hutan, maka timbul berbagai masalah dalam pengelolaan DAS, karena hutan mempunyai sifat meredam tingginya debit sungai pada musim hujan, dan berpotensi memelihara kestabilan aliran air sungai pada musim

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Lokasi penelitian di DAS Citarum Hulu Jawa Barat dengan luasan sebesar + 230.802 ha. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni sampai dengan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman (Tahura

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman (Tahura III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman (Tahura WAR). Berdasarkan administrasi pemerintahan Provinsi Lampung kawasan ini berada

Lebih terperinci

III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian 3.2 Lokasi Penelitian

III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian 3.2 Lokasi Penelitian III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan Februari sampai September 2011. Kegiatan penelitian ini meliputi tahap prapenelitian (persiapan, survei), Inventarisasi (pengumpulan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang.

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang. III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-Oktober 2010. Lokasi penelitian di Kota Palembang dan Laboratorium Analisis Spasial Lingkungan, Departemen Konservasi Sumberdaya

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Identifikasi Tutupan Lahan di Lapangan Berdasarkan hasil observasi lapangan yang telah dilakukan di Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Tapanuli Utara, dan Kabupaten

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE 10 III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat Dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di laboratorium dan di lapang. Pengolahan citra dilakukan di Bagian Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial dan penentuan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Identifikasi Objek di Lapangan Pengamatan lapangan dilakukan di 3 (tiga) kabupaten, yaitu : Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten Cianjur. Titik pengamatan sebanyak

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 11 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan yaitu bulan Juli-Agustus 2010 dengan pemilihan lokasi di Kota Denpasar. Pengolahan data dilakukan di Laboratorium

Lebih terperinci

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian 22 METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Sukabumi, Jawa Barat pada 7 wilayah kecamatan dengan waktu penelitian pada bulan Juni sampai November 2009. Pada lokasi penelitian

Lebih terperinci

Analisis Separabilitas Untuk mengetahui tingkat keterpisahan tiap klaster dari hasil klastering (Tabel 5) digunakan analisis separabilitas. B

Analisis Separabilitas Untuk mengetahui tingkat keterpisahan tiap klaster dari hasil klastering (Tabel 5) digunakan analisis separabilitas. B Tabel 5 Matriks Transformed Divergence (TD) 25 klaster dengan klasifikasi tidak terbimbing 35 36 4.1.2 Analisis Separabilitas Untuk mengetahui tingkat keterpisahan tiap klaster dari hasil klastering (Tabel

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN IV.1. Gap Filling Citra Gap Filling citra merupakan metode yang dilakukan untuk mengisi garisgaris yang kosong pada citra Landsat TM hasil download yang mengalami SLCoff, sehingga

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Tampak pada bulan Januari September Resort Pugung Tampak memiliki luas

III. METODE PENELITIAN. Tampak pada bulan Januari September Resort Pugung Tampak memiliki luas 23 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan Resort Pugung Tampak pada bulan Januari September 2012. Resort Pugung Tampak

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan di kawasan perkotaan Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Pada bulan Juni sampai dengan bulan Desember 2008. Gambar 3. Citra IKONOS Wilayah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perubahan penutupan lahan merupakan keadaan suatu lahan yang mengalami

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perubahan penutupan lahan merupakan keadaan suatu lahan yang mengalami II. TINJAUAN PUSTAKA A. Perubahan Penutupan Lahan Perubahan penutupan lahan merupakan keadaan suatu lahan yang mengalami perubahan kondisi pada waktu yang berbeda disebabkan oleh manusia (Lillesand dkk,

Lebih terperinci

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Spektral Citra yang digunakan pada penelitian ini adalah Citra ALOS AVNIR-2 yang diakuisisi pada tanggal 30 Juni 2009 seperti yang tampak pada Gambar 11. Untuk dapat

Lebih terperinci

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4.1. Latar Belakang Sebagaimana diuraikan terdahulu (Bab 1), DAS merupakan suatu ekosistem yang salah satu komponen penyusunannya adalah vegetasi terutama berupa hutan dan perkebunan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Persiapan Tahap persiapan merupakan tahapan penting dalam penelitian ini. Proses persiapan data ini berpengaruh pada hasil akhir penelitian. Persiapan yang dilakukan meliputi

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Citra 5.1.1 Kompilasi Citra Penelitian menggunakan citra Quickbird yang diunduh dari salah satu situs Internet yaitu, Wikimapia. Dalam hal ini penulis memilih mengambil

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan 15 BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Juli sampai dengan April 2011 dengan daerah penelitian di Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten Cianjur,

Lebih terperinci

Tabel 11. Klasifikasi Penutupan Lahan Data Citra Landsat 7 ETM, Maret 2004

Tabel 11. Klasifikasi Penutupan Lahan Data Citra Landsat 7 ETM, Maret 2004 53 5.1.3 Klasifikasi Penutupan Lahan Klasifikasi data Citra Landsat dilakukan untuk pengelompokan penutupan lahan pada tahun 2004. Metode yang dipergunakan adalah klasifikasi terbimbing (Supervised Classification).

Lebih terperinci

BAB 3 PENGOLAHAN DATA

BAB 3 PENGOLAHAN DATA BAB 3 PENGOLAHAN DATA Pada bab ini akan dijelaskan mengenai data dan langkah-langkah pengolahan datanya. Data yang digunakan meliputi karakteristik data land use dan land cover tahun 2005 dan tahun 2010.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 14 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Kegiatan penelitian dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan September dengan mengambil lokasi penelitian di wilayah Kecamatan Cikalong, Tasikmalaya (Gambar

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di Kawasan Hutan Adat Kasepuhan Citorek, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Pengambilan data lapangan dilaksanakan bulan Februari

Lebih terperinci

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik 5. PEMBAHASAN Penginderaan jauh mempunyai peran penting dalam inventarisasi sumberdaya alam. Berbagai kekurangan dan kelebihan yang dimiliki penginderaan jauh mampu memberikan informasi yang cepat khususnya

Lebih terperinci

Analisa Perubahan Tutupan Lahan di Waduk Riam Kanan dan Sekitarnya Menggunakan Sistem Informasi Geografis(SIG) dan data citra Landsat

Analisa Perubahan Tutupan Lahan di Waduk Riam Kanan dan Sekitarnya Menggunakan Sistem Informasi Geografis(SIG) dan data citra Landsat Analisa Perubahan Tutupan Lahan di Waduk Riam Kanan dan Sekitarnya Menggunakan Sistem Informasi Geografis(SIG) dan data citra Landsat Rully Sasmitha dan Nurlina Abstrak: Telah dilakukan penelitian untuk

Lebih terperinci

BAB III PEMBAHASAN. 3.1 Data. Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa :

BAB III PEMBAHASAN. 3.1 Data. Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa : 3.1 Data BAB III PEMBAHASAN Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa : 1. Citra Landsat-5 TM, path 122 row 065, wilayah Jawa Barat yang direkam pada 2 Juli 2005 (sumber: LAPAN). Band yang digunakan

Lebih terperinci

menunjukkan nilai keakuratan yang cukup baik karena nilai tersebut lebih kecil dari limit maksimum kesalahan rata-rata yaitu 0,5 piksel.

menunjukkan nilai keakuratan yang cukup baik karena nilai tersebut lebih kecil dari limit maksimum kesalahan rata-rata yaitu 0,5 piksel. Lampiran 1. Praproses Citra 1. Perbaikan Citra Satelit Landsat Perbaikan ini dilakukan untuk menutupi citra satelit landsat yang rusak dengan data citra yang lainnya, pada penelitian ini dilakukan penggabungan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Interpretasi Visual Penggunaan Lahan Melalui Citra Landsat Interpretasi visual penggunaan lahan dengan menggunakan citra Landsat kombinasi band 542 (RGB) pada daerah penelitian

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Data Citra, Data Pendukung dan Alat

METODE PENELITIAN. Data Citra, Data Pendukung dan Alat 15 METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Pengumpulan dan pengolahan awal data citra dilaksanakan mulai bulan Januari sampai Februari 2004. Pengambilan data lapangan pada bulan Maret 2004. Pengolahan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan sejak Juli 2010 sampai dengan Mei 2011. Lokasi penelitian terletak di wilayah Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat. Pengolahan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 31 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Identifikasi Tutupan Lahan di Lapangan Pengamatan tutupan lahan di lapangan dilakukan di Kecamatan Cikalong yang terdiri dari 13 desa. Titik pengamatan yang digunakan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan dari bulan Juli sampai September 2011 di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Pengolahan data dilakukan di Laboratorium Analisis Lingkungan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Koreksi Geometrik Koreksi geometrik adalah suatu proses memproyeksikan data pada suatu bidang sehingga mempunyai proyeksi yang sama dengan proyeksi peta. Koreksi ini dilakukan untuk

Lebih terperinci

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi 31 IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi Waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan penelitian ini adalah dimulai dari bulan April 2009 sampai dengan November 2009 yang secara umum terbagi terbagi menjadi

Lebih terperinci

Bab IV Hasil dan Pembahasan

Bab IV Hasil dan Pembahasan Bab IV Hasil dan Pembahasan 4.1. Hasil 4.1.1. Digitasi dan Klasifikasi Kerapatan Vegetasi Mangrove Digitasi terhadap citra yang sudah terkoreksi dilakukan untuk mendapatkan tutupan vegetasi mangrove di

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. berlokasi di kawasan Taman Nasional Way Kambas. Taman Nasional Way

III. METODE PENELITIAN. berlokasi di kawasan Taman Nasional Way Kambas. Taman Nasional Way 13 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan dari bulan Juni sampai dengan September 2012 yang berlokasi di kawasan Taman Nasional Way Kambas. Taman Nasional Way Kambas

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o o LU. (perhitungan luas menggunakan perangkat GIS).

TINJAUAN PUSTAKA. Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o o LU. (perhitungan luas menggunakan perangkat GIS). TINJAUAN PUSTAKA Daerah Aliran Sungai (DAS) Besitang Sekilas Tentang DAS Besitang Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o 45 04 o 22 44 LU dan 97 o 51 99 o 17 56 BT. Kawasan DAS Besitang melintasi

Lebih terperinci

BAB III METODA. Gambar 3.1 Intensitas total yang diterima sensor radar (dimodifikasi dari GlobeSAR, 2002)

BAB III METODA. Gambar 3.1 Intensitas total yang diterima sensor radar (dimodifikasi dari GlobeSAR, 2002) BAB III METODA 3.1 Penginderaan Jauh Pertanian Pada penginderaan jauh pertanian, total intensitas yang diterima sensor radar (radar backscattering) merupakan energi elektromagnetik yang terpantul dari

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. Gambar 2. Peta Orientasi Wilayah Penelitian. Kota Yogyakarta. Kota Medan. Kota Banjarmasin

III. METODOLOGI. Gambar 2. Peta Orientasi Wilayah Penelitian. Kota Yogyakarta. Kota Medan. Kota Banjarmasin III. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan mulai dari bulan Maret sampai bulan November 2009. Objek penelitian difokuskan pada wilayah Kota Banjarmasin, Yogyakarta, dan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb.

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb. KATA PENGANTAR Assalamu alaikum wr.wb. Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan buku Penghitungan Deforestasi Indonesia Periode Tahun 2009-2011

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Posisi Indonesia berada di daerah tropis mengakibatkan hampir sepanjang tahun selalu diliputi awan. Kondisi ini mempengaruhi kemampuan citra optik untuk menghasilkan

Lebih terperinci

Perumusan Masalah Bagaimana kondisi perubahan tutupan lahan yang terjadi di daerah aliran sungai Ciliwung dengan cara membandingkan citra satelit

Perumusan Masalah Bagaimana kondisi perubahan tutupan lahan yang terjadi di daerah aliran sungai Ciliwung dengan cara membandingkan citra satelit Latar Belakang Meningkatnya pembangunan di Cisarua, Bogor seringkali menimbulkan dampak tidak baik terhadap lingkungan. Salah satu contohnya adalah pembangunan yang terjadi di Daerah Aliran Sungai Ciliwung.

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE 11 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan mulai bulan Februari 2009 sampai Januari 2010 yang berlokasi di wilayah administrasi Kabupaten Bogor. Analisis data dilaksanakan

Lebih terperinci

Lampiran A. Kriteria (Deskripsi) Kelas Tutupan Hutan Penggunaan Lahan

Lampiran A. Kriteria (Deskripsi) Kelas Tutupan Hutan Penggunaan Lahan Lampiran A. Kriteria (Deskripsi) Kelas Tutupan Hutan Penggunaan Lahan No. Kelas 1 Hutan lahan kering primer dataran rendah 2 Hutan lahan kering primer pegunungan rendah 3 Hutan lahan kering sekunder dataran

Lebih terperinci

4. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 61 4. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Identifikasi Degradasi Hutan di Lapangan 4.1.1 Identifikasi Peubah Pendugaan Degradasi di Lapangan Identifikasi degradasi hutan di lapangan menggunakan indikator

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Konsep Dasar Penginderaan Jauh

TINJAUAN PUSTAKA Konsep Dasar Penginderaan Jauh 4 TINJAUAN PUSTAKA Konsep Dasar Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah, dan fenomena melalui analisis data yang diperoleh dari suatu

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian III. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Lokasi yang dipilih untuk penelitian ini adalah Kabupaten Indramayu, Jawa Barat (Gambar 1). Penelitian dimulai dari bulan Juli 2010 sampai Januari

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN ANALISIS

BAB IV HASIL DAN ANALISIS BAB IV HASIL DAN ANALISIS 4.1. Zonasi Kerawanan Longsoran Proses pengolahan data sampai ke tahap zonasi tingkat kerawanan longsoran dengan menggunakan Metode Anbalagan (1992) sebagai acuan zonasi dan SIG

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penutupan Lahan dan Perubahannya Penutupan lahan menggambarkan konstruksi vegetasi dan buatan yang menutup permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil

TINJAUAN PUSTAKA. lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil 4 TINJAUAN PUSTAKA Makin banyak informasi yang dipergunakan dalam klasifikasi penutup lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil klasifikasinya. Menggunakan informasi multi

Lebih terperinci

Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009

Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009 Contributor : Doni Prihatna Tanggal : April 2012 Posting : Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009 Pada 19 Januari 2012 lalu, Presiden Republik Indonesia mengeluarkan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penutupan Lahan 5.1.1 Penutupan lahan Kabupaten Sidoarjo Penutupan lahan (land cover) merupakan perwujudan fisik dari obyek dan yang menutupi permukaan tanpa mempersoalkan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 24 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penggunaan Lahan Sawah dan Tegalan di Kabupaten Bogor Penggunaan lahan di Kabupaten Bogor pada tahun 1990, 2001, 2004, dan 2008 masih didominasi oleh lahan pertanian yaitu

Lebih terperinci

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN Pada bab ini akan dijelaskan mengenai alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini serta tahapan-tahapan yang dilakukan dalam mengklasifikasi tata guna lahan dari hasil

Lebih terperinci

KESESUAIAN KLASIFIKASI RUANG TERBUKA HIJAU MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT ETM+ DENGAN RTRW PROVINSI DKI JAKARTA GEANISA VIANDA PUTRI

KESESUAIAN KLASIFIKASI RUANG TERBUKA HIJAU MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT ETM+ DENGAN RTRW PROVINSI DKI JAKARTA GEANISA VIANDA PUTRI KESESUAIAN KLASIFIKASI RUANG TERBUKA HIJAU MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT ETM+ DENGAN RTRW PROVINSI DKI JAKARTA GEANISA VIANDA PUTRI DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

SIDANG TUGAS AKHIR IDENTIFIKASI KERUSAKAN HUTAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) MENGGUNAKAN DATA CITRA LANDSAT 7 DAN LANDSAT

SIDANG TUGAS AKHIR IDENTIFIKASI KERUSAKAN HUTAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) MENGGUNAKAN DATA CITRA LANDSAT 7 DAN LANDSAT SIDANG TUGAS AKHIR IDENTIFIKASI KERUSAKAN HUTAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) MENGGUNAKAN DATA CITRA LANDSAT 7 DAN LANDSAT 8 (Studi Kasus : Sub Das Brantas Bagian Hulu, Kota Batu) Oleh : Aning Prastiwi

Lebih terperinci

Nilai Io diasumsikan sebagai nilai R s

Nilai Io diasumsikan sebagai nilai R s 11 Nilai Io diasumsikan sebagai nilai R s, dan nilai I diperoleh berdasarkan hasil penghitungan nilai radiasi yang transmisikan oleh kanopi tumbuhan, sedangkan nilai koefisien pemadaman berkisar antara

Lebih terperinci

ix

ix DAFTAR ISI viii ix x DAFTAR TABEL Tabel 1.1. Emisivitas dari permukaan benda yang berbeda pada panjang gelombang 8 14 μm. 12 Tabel 1.2. Kesalahan suhu yang disebabkan oleh emisivitas objek pada suhu 288

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumatera Utara memiliki luas total sebesar 181.860,65 Km² yang terdiri dari luas daratan sebesar 71.680,68 Km² atau 3,73 % dari luas wilayah Republik Indonesia. Secara

Lebih terperinci

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang memiliki nilai ekonomi, ekologi dan sosial yang tinggi. Hutan alam tropika

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Data tentang luas tutupan lahan pada setiap periode waktu penelitian disajikan pada

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Data tentang luas tutupan lahan pada setiap periode waktu penelitian disajikan pada 82,6 443.8 157.9 13.2 2664.8 1294.5 977.6 2948.8 348.7 1777.9 1831.6 65.8 2274.9 5243.4 469.2 4998.4 Hektar 9946.9 11841.8 13981.2 36 V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Analisis Citra Data tentang luas tutupan

Lebih terperinci

LAPORAN PROYEK PENGINDERAAN JAUH IDENTIFIKASI PENGGUNAAN LAHAN DENGAN MENGGUNAKAN HIRARKI DI KOTA BATU

LAPORAN PROYEK PENGINDERAAN JAUH IDENTIFIKASI PENGGUNAAN LAHAN DENGAN MENGGUNAKAN HIRARKI DI KOTA BATU LAPORAN PROYEK PENGINDERAAN JAUH IDENTIFIKASI PENGGUNAAN LAHAN DENGAN MENGGUNAKAN HIRARKI DI KOTA BATU Disusun oleh : 1. Muhammad Hitori (105040200111056) 2. Astrid Prajamukti Saputra (105040201111075)

Lebih terperinci

APLIKASI PJ UNTUK PENGGUNAAN TANAH. Ratna Saraswati Kuliah Aplikasi SIG 2

APLIKASI PJ UNTUK PENGGUNAAN TANAH. Ratna Saraswati Kuliah Aplikasi SIG 2 APLIKASI PJ UNTUK PENGGUNAAN TANAH Ratna Saraswati Kuliah Aplikasi SIG 2 Prosedur analisis citra untuk penggunaan tanah 1. Pra-pengolahan data atau pengolahan awal yang merupakan restorasi citra 2. Pemotongan

Lebih terperinci

q Tujuan dari kegiatan ini diperolehnya peta penggunaan lahan yang up-to date Alat dan Bahan :

q Tujuan dari kegiatan ini diperolehnya peta penggunaan lahan yang up-to date Alat dan Bahan : MAKSUD DAN TUJUAN q Maksud dari kegiatan ini adalah memperoleh informasi yang upto date dari citra satelit untuk mendapatkan peta penggunaan lahan sedetail mungkin sebagai salah satu paramater dalam analisis

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 12 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan selama enam bulan mulai dari Bulan Juni sampai dengan Bulan Desember 2009. Penelitian ini terbagi atas pengambilan dan pengumpulan

Lebih terperinci

Gambar 4.15 Kenampakan Satuan Dataran Aluvial. Foto menghadap selatan.

Gambar 4.15 Kenampakan Satuan Dataran Aluvial. Foto menghadap selatan. Gambar 4.15 Kenampakan Satuan Dataran Aluvial. Foto menghadap selatan. Gambar 4.16 Teras sungai pada daerah penelitian. Foto menghadap timur. 4.2 Tata Guna Lahan Tata guna lahan pada daerah penelitian

Lebih terperinci

TUGAS TERSTRUKTUR I ANALISIS LANDSKAP TERPADU

TUGAS TERSTRUKTUR I ANALISIS LANDSKAP TERPADU TUGAS TERSTRUKTUR I ANALISIS LANDSKAP TERPADU Kelas C Oleh : Ayu Sulistya Kusumaningtyas 115040201111013 Dwi Ratnasari 115040207111011 Fefri Nurlaili Agustin 115040201111105 Fitri Wahyuni 115040213111050

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di daerah Daerah Aliran Sungai (DAS) Cipunagara dan sekitarnya, Jawa Barat (Gambar 1). DAS Cipunagara berada dibawah pengelolaan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penutupan Lahan Tahun 2009 Peta penutupan lahan dihasilkan melalui metode Maximum Likelihood dari klasifikasi terbimbing yang dilakukan dengan arahan (supervised) (Gambar 14).

Lebih terperinci

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : NDVI=(band4 band3)/(band4+band3).18 Nilai-nilai indeks vegetasi di deteksi oleh instrument pada

Lebih terperinci

Gambar 13. Citra ALOS AVNIR

Gambar 13. Citra ALOS AVNIR 32 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Citra ALOS AVNIR Citra yang digunakan pada penelitian ini adalah Citra ALOS AVNIR tahun 2006 seperti yang tampak pada Gambar 13. Adapun kombinasi band yang digunakan

Lebih terperinci

SISTEM INFORMASI GEOGRAFI. Data spasial direpresentasikan di dalam basis data sebagai vektor atau raster.

SISTEM INFORMASI GEOGRAFI. Data spasial direpresentasikan di dalam basis data sebagai vektor atau raster. GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 14 Sesi NGAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI A. MODEL DATA SPASIAL Data spasial direpresentasikan di dalam basis data sebagai vektor atau raster. a. Model Data Vektor

Lebih terperinci

PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH ALOS AVNIR UNTUK PEMANTAUAN LIPUTAN LAHAN KECAMATAN

PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH ALOS AVNIR UNTUK PEMANTAUAN LIPUTAN LAHAN KECAMATAN PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH ALOS AVNIR UNTUK PEMANTAUAN LIPUTAN LAHAN KECAMATAN Wiweka Peneliti Kantor Kedeputian Penginderaan Jauh LAPAN Dosen Teknik Informatika, FTMIPA, Universitas Indraprasta

Lebih terperinci

benar sebesar 30,8%, sehingga harus dilakukan kembali pengelompokkan untuk mendapatkan hasil proporsi objek tutupan lahan yang lebih baik lagi. Pada pengelompokkan keempat, didapat 7 tutupan lahan. Perkebunan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Koreksi Geometrik BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Koreksi geometrik citra adalah proses memberikan sistem referensi dari suatu citra satelit. Dalam penelitian ini sistem koordinat yang digunakan adalah

Lebih terperinci

ANALISIS PENUTUPAN LAHAN KAWASAN HUTAN PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI KRUENG ACEH PRA DAN PASCA TSUNAMI

ANALISIS PENUTUPAN LAHAN KAWASAN HUTAN PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI KRUENG ACEH PRA DAN PASCA TSUNAMI ANALISIS PENUTUPAN LAHAN KAWASAN HUTAN PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI KRUENG ACEH PRA DAN PASCA TSUNAMI Forest Land Cover Analysis of Krueng Aceh Watershed in Pre and Post-Tsunami Mahyuddin 1), Sugianto 2),

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 3 dan Tabel 4.

III. BAHAN DAN METODE. Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 3 dan Tabel 4. III. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dimulai dari bulan Juni sampai dengan bulan September 2009. Lokasi Penelitian adalah di Kawasan Agropolitan Cendawasari, Desa Karacak,

Lebih terperinci

BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN

BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN A. Kondisi Kekinian dan Status Kawasan Gunung Aseupan Hasil analisis yang dilakukan terhadap citra Landsat 7 liputan tahun 2014, kondisi tutupan lahan Gunung Aseupan terdiri

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Analisis Interpretasi dan Klasifikasi Citra. Tabel 4.1 Titik kontrol GCP dan nilai RMS

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Analisis Interpretasi dan Klasifikasi Citra. Tabel 4.1 Titik kontrol GCP dan nilai RMS BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Interpretasi dan Klasifikasi Citra 4.1.1 Rektifikasi dan Pemotongan Citra Proses rektifikasi citra adalah proses memberikan sistem referensi citra satelit. Dalam

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Pembuatan Tampilan 3D DEM SRTM

HASIL DAN PEMBAHASAN. Pembuatan Tampilan 3D DEM SRTM Klasifikasi Dari hasil confusion matrix didapatkan ketelitian total hasil klasifikasi (KH) untuk citra Landsat 7 ETM akuisisi tahun 2009 sebesar 82,19%. Berdasarkan hasil klasifikasi tutupan lahan citra

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Lokasi Waktu penelitian dilaksanakan mulai bulan Mei sampai dengan Juni 2013 dengan lokasi penelitian meliputi wilayah Pesisir Utara dan Selatan Provinsi Jawa Barat.

Lebih terperinci

KOREKSI RADIOMETRIK CITRA LANDSAT-8 KANAL MULTISPEKTRAL MENGGUNAKAN TOP OF ATMOSPHERE (TOA) UNTUK MENDUKUNG KLASIFIKASI PENUTUP LAHAN

KOREKSI RADIOMETRIK CITRA LANDSAT-8 KANAL MULTISPEKTRAL MENGGUNAKAN TOP OF ATMOSPHERE (TOA) UNTUK MENDUKUNG KLASIFIKASI PENUTUP LAHAN KOREKSI RADIOMETRIK CITRA LANDSAT-8 KANAL MULTISPEKTRAL MENGGUNAKAN TOP OF ATMOSPHERE (TOA) UNTUK MENDUKUNG KLASIFIKASI PENUTUP LAHAN Rahayu *), Danang Surya Candra **) *) Universitas Jendral Soedirman

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 27 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Penampilan Citra Dual Polarimetry PALSAR / ALOS Penampilan citra dual polarimetry : HH dan HV level 1. 5 PALSAR/ALOS masing-masing dapat dilihat pada ENVI 4. 5 dalam bentuk

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PENGESAHAN... ii HALAMAN PERNYATAAN... iii INTISARI... iv ABSTRACT... v KATA PENGANTAR... vi DAFTAR ISI... viii DAFTAR TABEL... x DAFTAR GAMBAR... xi DAFTAR LAMPIRAN...

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Banjir 2.2 Tipologi Kawasan Rawan Banjir

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Banjir 2.2 Tipologi Kawasan Rawan Banjir II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Banjir Banjir merupakan salah satu fenomena alam yang sering terjadi di berbagai wilayah. Richard (1995 dalam Suherlan 2001) mengartikan banjir dalam dua pengertian, yaitu : 1)

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 9. Peta Orientasi Wilayah Kecamatan Beji, Kota Depok

METODE PENELITIAN. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 9. Peta Orientasi Wilayah Kecamatan Beji, Kota Depok III. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kecamatan Beji sebagai pusat Kota Depok, Jawa Barat yang berbatasan langsung dengan Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Penelitian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Informasi Geografis Sistem Informasi Geografis adalah sistem berbasis komputer yang terdiri atas perangkat keras komputer (hardware), perangkat lunak (software), data

Lebih terperinci

Metode penghitungan perubahan tutupan hutan berdasarkan hasil penafsiran citra penginderaan jauh optik secara visual

Metode penghitungan perubahan tutupan hutan berdasarkan hasil penafsiran citra penginderaan jauh optik secara visual Standar Nasional Indonesia Metode penghitungan perubahan tutupan hutan berdasarkan hasil penafsiran citra penginderaan jauh optik secara visual ICS 65.020 Badan Standardisasi Nasional BSN 2014 Hak cipta

Lebih terperinci

KAWASAN TERPADU RIMBA DI 3 KABUPATEN PRIORITAS (Kab. Kuantan Sengingi, Kab. Dharmasraya dan Kab. Tebo)

KAWASAN TERPADU RIMBA DI 3 KABUPATEN PRIORITAS (Kab. Kuantan Sengingi, Kab. Dharmasraya dan Kab. Tebo) KAWASAN TERPADU RIMBA DI 3 KABUPATEN PRIORITAS (Kab. Kuantan Sengingi, Kab. Dharmasraya dan Kab. Tebo) Oleh: IB Ketut Wedastra Sr. Officer Conservation Spatial Planning WWF Indonesia PENGINDERAAN JAUH

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Letak dan Luas. Komponen fisik

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Letak dan Luas. Komponen fisik KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN Letak dan Luas Daerah penelitian mencakup wilayah Sub DAS Kapuas Tengah yang terletak antara 1º10 LU 0 o 35 LS dan 109 o 45 111 o 11 BT, dengan luas daerah sekitar 1 640

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Kegiatan penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober 2013 hingga Maret 2014.

III. METODE PENELITIAN. Kegiatan penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober 2013 hingga Maret 2014. 33 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Kegiatan penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober 2013 hingga Maret 2014. Adapun penelitian dilaksanakan di pesisir Kabupaten Lampung Timur. Berikut ini

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Persiapan Tahap persiapan merupakan tahapan penting dalam penelitian tugas akhir ini. Proses ini sangat berpengaruh terhadap hasil akhir penellitan. Pada tahap ini dilakukan

Lebih terperinci

Jurnal Manajemen Hutan Tropika Vol. IX No. 1 : 1-16 (2003)

Jurnal Manajemen Hutan Tropika Vol. IX No. 1 : 1-16 (2003) Jurnal Manajemen Hutan Tropika Vol. IX No. 1 : 1-16 (2003) Artikel (Article) EVALUASI KERUSAKAN TEGAKAN TINGGAL AKIBAT PEMANENAN MENGGUNAKAN LANDSAT 7 ETM+ DI HPH PT SRI BUANA DUMAI PROVINSI RIAU Evaluating

Lebih terperinci

PEMANFAATAN CITRA SATELIT LANDSAT DALAM PENGELOLAAN TATA RUANG DAN ASPEK PERBATASAN DELTA DI LAGUNA SEGARA ANAKAN

PEMANFAATAN CITRA SATELIT LANDSAT DALAM PENGELOLAAN TATA RUANG DAN ASPEK PERBATASAN DELTA DI LAGUNA SEGARA ANAKAN PEMANFAATAN CITRA SATELIT LANDSAT DALAM PENGELOLAAN TATA RUANG DAN ASPEK PERBATASAN DELTA DI LAGUNA SEGARA ANAKAN Drs. Dede Sugandi, M.Si. Drs. Jupri, MT. Nanin Trianawati Sugito, ST., MT. Jurusan Pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. menyebabkan perubahan tata guna lahan dan penurunan kualitas lingkungan. Alih

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. menyebabkan perubahan tata guna lahan dan penurunan kualitas lingkungan. Alih BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tingginya kebutuhan lahan dan semakin terbatasnya sumberdaya alam menyebabkan perubahan tata guna lahan dan penurunan kualitas lingkungan. Alih guna hutan sering terjadi

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Pembangunan dan pengembangan wilayah di setiap daerah merupakan kegiatan yang dilakukan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup masyarakat di wilayah

Lebih terperinci

Gambar 1. Satelit Landsat

Gambar 1. Satelit Landsat 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu

Lebih terperinci

Gambar 1. Peta DAS penelitian

Gambar 1. Peta DAS penelitian Gambar 1. Peta DAS penelitian 1 1.1. Proses Penentuan Model Kemiringan Lereng Kemiringan lereng ditentukan berdasarkan informasi ketinggian dan jarak pada data DEM yang berbasis raster (piksel). Besarnya

Lebih terperinci

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan sumber kehidupan bagi manusia. Dalam melaksanakan kegiatannya, manusia selalu membutuhkan air bahkan untuk beberapa kegiatan air merupakan sumber utama.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Indonesia memiliki kekayaan vegetasi yang beraneka ragam dan melimpah di seluruh wilayah Indonesia. Setiap saat perubahan lahan vegetasi seperti hutan, pertanian, perkebunan

Lebih terperinci