Nilai Io diasumsikan sebagai nilai R s
|
|
- Ida Susman
- 6 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 11 Nilai Io diasumsikan sebagai nilai R s, dan nilai I diperoleh berdasarkan hasil penghitungan nilai radiasi yang transmisikan oleh kanopi tumbuhan, sedangkan nilai koefisien pemadaman berkisar antara 0,3 0,5 untuk daun vertikal serta 0,7 1,0 untuk daun horizontal (June, 1993) dan dalam penelitian ini nilai koefisien pemadaman yang digunakan adalah Perbaikan dan Penggabungan Data Pada saat data lapangan dan data penginderaan jauh digabungkan perlu diadakan perbaikan data. Metode ini dilakukan karena pada penentuan titik di citra digital, data memiliki kekurangan yaitu adanya penyimpangan yang disebabkan adanya distorsi geometrik. Metode yang dilakukan untuk mengurangi kesalahan tersebut adalah dengan cara menggunakan metode 9 piksel di sekitar piksel contoh. Hal ini dilakukan karena penyimpangan yang terjadi tidak sistematis atau menyimpang acak Validasi Nilai LAI Validasi dilakukan untuk mengetahui sejauh mana perbedaan antara nilai LAI hasil penurunan neraca energi dari citra satelit Landsat ETM+ dengan data LAI hasil pengukuran langsung di lapang. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Rancangan Model LAI dengan Metode Neraca Energi Band 1, 2, dan 3 Spectral Radiance (L λ ) Data Citra LANDSAT ETM+ [Path/Row : 126/61, Akuisisi 15 Agustus 2002] Koreksi Radiometrik Croping Wilayah Kajian [data vector Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi yang secara geografis terletak pada 1 o 08' 1 o 55' LS dan 101 o 27' 102 o 30' Albedo (α) Band 6 Spectral Radiance (L λ ) Suhu Permukaan (T s) Gambar 3 memberikan informasi tentang diagram alir dari rancangan model LAI dengan metode neraca energi yang diperoleh dari estimasi citra satelit Landsat ETM+ (band 1, 2, 3, dan 6). Berdasarkan rancangan model LAI tersebut maka dapat dilakukan pendugaan nilai LAI untuk penutup lahan bervegetasi Pengolahan Awal Data Citra Satelit Analisis Citra Dasar Dari hasil proses analisis citra dasar, visualisasi citra terlihat lebih baik walaupun tidak ada perbedaan yang mencolok antara citra sebelum dengan citra setelah dilakukan proses koreksi radiometrik. Hal ini disebabkan oleh kondisi citra yang diperoleh untuk wilayah kajian memang tidak tertutup oleh awan (langit dalam kondisi cerah). Namun terdapat perbedaan visualisasi citra yang cukup mencolok setelah dilakukan proses penajaman citra. Hal ini akan memudahkan interpretasi secara visual untuk suatu tujuan tertentu, seperti klasifikasi penutup lahan Pengambilan Area Studi Proses pengambilan area studi menggunakan metode cropping area dengan bantuan perangkat lunak analisis citra (Er-Mapper versi 6.4). Pengambilan area studi dilakukan dengan data vektor lokasi Kabupaten Bungo yang di-overlay dengan data citra satelit Landsat ETM+ path/row : 126/61. Gambar 4 menyajikan citra satelit setelah mengalami analisis citra dasar dan cropping studi area Klasifikasi Penutup Lahan Hasil klasifikasi penutup lahan untuk wilayah Kabupaten Bungo (Gambar 5) pada penelitian ini dibagi menjadi sembilan kelas, yaitu ; hutan alam, agroforest karet, perkebunan karet monokultur, perkebunan Radiasi Gelombang Pendek Yg dipantulkan Radiasi Gelombang Pendek Yang Datang Radiasi Gelombang Panjang Yg dipancarkan
2 kelapa sawit, tumbuhan paku-pakuan, semak belukar, sawah, pemukiman penduduk, dan badan air. Hasil klasifikasi menunjukan bahwa jenis penutup lahan terluas di Kabupaten Bungo didominasi oleh perkebunan kelapa sawit, yaitu seluas hektar atau 22% dari total luas Kabupaten Bungo. Hal ini dikarenakan usaha di bidang perkebunan kelapa sawit menjanjikan keuntungan yang besar sehingga banyak dilakukan usaha ekstensifikasi perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Bungo. Luas area penutup lahan jenis hutan alam hanya 6% ( Ha) dari total luas Kabupaten Bungo. Luas area hutan alam semakin terdesak dengan maraknya kegiatan illegal logging dan pengalihan tata guna lahan 12
3 Gambar 4. Peta citra satelit Landsat ETM+ Kabupaten Bungo tahun 2002 pada kombinasi
4 Gambar 5. Peta klasifikasi penutupan lahan Kabupaten Bungo Provinsi Jambi Tahun
5 14 dari hutan alam menjadi agroforest karet yang luasnya 15.4% ( Ha) dan perkebunan karet monokultur (luas areal 21% atau Ha) yang hak pengelolaannya dimiliki oleh PT. INHUTANI V dan PT. Rimba Raya Indah. Penutup lahan jenis semak belukar, tumbuhan paku-pakuan, dan sawah masingmasing memiliki luasan 13.4% ( Ha), 11.5% ( Ha), dan 7.2% ( ) dari total luas Kabupaten Bungo. Ketiga jenis penutup lahan ini banyak ditemukan di Kecamatan Jujuhan, Muara Bungo, Tanah Sepenggal, dan bagian utara Kecamatan Tanah Tumbuh. Konsentrasi pemukiman penduduk terpadat berdasarkan visualisasi citra Landsat ETM+ terdapat di Kecamatan Muara Bungo (Gambar 4). Hal ini dikarenakan Kecamatan Muara Bungo merupakan Ibukota dari Kabupaten Bungo sehingga roda perekonomian dan pelaksanaan kegiatan administrasi banyak dilakukan di wilayah ini. Luas area pemukiman berdasarkan hasil klasifikasi hanya 3.1% ( Ha) dari total luas Kabupaten Bungo. Sedangkan sungai - sungai yang mengalir di Kabupaten Bungo (Sungai Batang Bungo dengan 35 km, Sungai Batang Tebo dengan panjang 64 km, Sungai Batang Pelepat dengan panjang 37 km, Sungai Batang Jujuhan dengan panjang 14.5 km, Sungai Mangun, dan Sungai Batang Ule) merepresentasikan penutup lahan berupa badan air yang memiliki luasan sekitar 0.4% ( Ha). Tabel 6. Klasifikasi penutup lahan di Kabupaten Bungo pada tahun 2002 Penutup Lahan Luas Area (Ha) Luas Area (%) Hutan alam Agroforest Karet Monokultur Karet P. Kelapa Sawit Semak Belukar T. Paku-Pakuan Sawah Pemukiman Badan Air TOTAL Luasan pada masing-masing penutup lahan di atas tidak sepenuhnya menunjukan kondisi yang sebenarnya di lapangan. Hasil luasan pada masing-masing penutup lahan dipengaruhi oleh beberapa kesalahan perhitungan seperti faktor error secara spasial ketika proses klasifikasi penutup lahan dilakukan sehingga perlu dilakukan ground cek ke lapangan. Informasi luasan penutup lahan untuk masing-masing penutup lahan hasil klasifikasi (berdasarkan satuan hektar dan persentase) terdapat pada Tabel Distribusi Spasial Suhu Permukaan Berdasarkan hasil estimasi suhu permukaan di Kabupaten Bungo menggunakan citra Landsat ETM+ yang diakuisisi pada 15 Agustus 2002, suhu permukaan untuk penutup lahan non vegetasi (pemukiman penduduk) mempunyai kisaran suhu permukaan o C dengan suhu rata-rata 29.5 o C. Penutup lahan vegetasi (hutan alam, agroforest karet, perkebunan karet monokultur, perkebunan kelapa sawit, semak belukar, tumbuhan pakupakuan, dan sawah) mempunyai kisaran suhu permukaan o C dengan suhu rata-rata terendah dimiliki oleh penutup lahan hutan alam (23.9 o C) dan tertinggi dimiliki oleh penutup lahan sawah (28.4 o C), sedangkan suhu permukaan untuk badan air berada pada kisaran o C dengan suhu rata-ratanya sebesar 26.9 o C. Tabel 7. Kisaran nilai suhu permukaan ( o C) tiap penutup lahan Penutup Suhu Permukaan ( o C) Lahan Min Max Mean Hutan alam Agroforest Karet Monokultur Karet P. Kelapa Sawit Semak Belukar T. Paku-Pakuan Sawah Pemukiman Badan Air Adanya perbedaan suhu permukaan pada beberapa penutup lahan seperti ditunjukkan oleh Tabel 7 disebabkan oleh beberapa faktor. Salah satunya oleh sifat fisik dari masingmasing jenis penutup lahan. Sifat fisik tersebut adalah emisivitas, kapasitas panas jenis dan konduktivitas thermal pada suatu penutup lahan. Tipe penutup lahan non vegetasi memiliki nilai emisivitas dan kapasitas panas jenis rendah, sedangkan konduktivitas thermal-nya tinggi. Hal ini akan menyebabkan suhu permukaannya lebih tinggi.
6 Gambar 6. Peta sebaran suhu permukaan Kabupaten Bungo Provinsi Jambi Tahun
7 Distribusi Spasial Komponen Neraca Energi Komponen neraca energi terdiri dari albedo, radiasi netto, fluks radiasi pemanasan permukaan (G), fluks radiasi pemanasan udara (H), fluks radiasi pemanasan laten ( λ E), dan fluks radiasi untuk proses fotosintesis. Namun dalam penelitian ini hanya mengkaji albedo dan komponen radiasi netto saja, karena kedua informasi nilai tersebutlah yang diperlukan untuk menduga nilai LAI Albedo Albedo (α) merupakan nisbah antara radiasi pantulan dan radiasi yang datang. Dalam penelitian ini, nilai albedo diperoleh dari pengolahan data citra Landsat ETM+ dengan memanfaatkan fungsi dari kanal 1, 2 dan 3. Nilai albedo dari kanal 1, 2, dan 3 dirata-ratakan dan diolah dengan fungsi statistik sehingga diperoleh nilai min, max, dan mean (rata-rata) albedo untuk masing-masing penutup lahan di Kabupaten Bungo. Tabel 8 menunjukkan deskripsi albedo tiap penutup lahan. Penutup lahan pemukiman memiliki albedo sebesar 0.093, sedangkan nilai rata-rata albedo pada penutup lahan bervegetasi berkisar , dan untuk badan air memiliki nilai albedo Tabel 8. Kisaran nilai albedo (unitless) tiap penutup lahan Penutup Albedo (Unitless) Lahan Min Max Mean Hutan alam Agroforest Karet Monokultur Karet P. Kelapa Sawit Semak Belukar T. Paku-Pakuan Sawah Pemukiman Badan Air Hasil olahan citra Landsat ETM+ yang didapatkan secara umum untuk tipe penutup lahan non vegetasi (pemukiman penduduk) mempunyai nilai rataan albedo yang lebih tinggi dibandingkan tipe penutup lahan bervegetasi (hutan alam, agroforest karet, perkebunan karet monokultur, perkebunan kelapa sawit, tumbuhan paku-pakuan, semak belukar, dan sawah). Hal ini disebabkan lebih banyak energi radiasi gelombang pendek yang dipantulkan kembali oleh penutup lahan non vegetasi dibandingkan dengan penutup lahan bervegetasi, akan tetapi kedua nilai albedo untuk lahan non vegetasi dan lahan bervegetasi memiliki nilai albedo di bawah nilai albedo untuk jenis penutup lahan berupa badan air yaitu sebesar Radiasi Netto. Hasil ekstraksi nilai rata-rata komponen radiasi netto (radiasi gelombang pendek dan radiasi gelombang panjang) ditunjukkan pada Tabel 9. Pada Tabel 9 terdapat informasi kisaran nilai rata-rata R, S R, dan R untuk S L sembilan penutup lahan yang berbeda di Kabupaten Bungo. Dalam penelitian ini, informasi nilai R berperan sebagai salah satu S input dalam perhitungan leaf area index (LAI) dengan persamaan hukum Beer-Lambert, fungsi R sebagai radiasi di permukaan S kanopi setiap penutup lahan bervegetasi (I o ). Berdasarkan Tabel 9, nilai rata-rata dan RS R untuk penutup lahan bervegetasi (hutan L alam, agroforest karet, perkebunan monokultur karet, perkebunan kelapa sawit, semak belukar, tumbuhan paku-pakuan, dan sawah) memiliki nilai yang semakin meningkat dari mulai penutup lahan jenis hutan alam ke penutup lahan jenis sawah. Hal ini dikarenakan semakin berkurangnya kerapatan kanopi tumbuhan bervegetasi yang menutupi lahan dan berbedanya nilai emisivitas masing-masing penutup lahan membuat semakin bertambahnya energi radiasi gelombang pendek dan panjang yang dipantulkan. Tabel 9. Kisaran nilai komponen radiasi netto (Wm -2 ) tiap penutup lahan Penutup Komponen Rn (Wm -2 ) Lahan R S R S R L Hutan alam Agroforest Karet Monokultur Karet P. Kelapa Sawit Semak Belukar T. Paku-Pakuan Sawah Pemukiman Badan Air
8 Gambar 7. Peta sebaran albedo Kabupaten Bungo Provinsi Jambi Tahun
9 Gambar 8. Peta sebaran radiasi netto Kabupaten Bungo Provinsi Jambi Tahun
10 19 Besarnya energi radiasi gelombang pendek (R S ) dapat diperoleh dari selisih antara R S dengan. Dalam penelitian ini, hanya nilai R S R yang diasumsikan sebagai R L L, dan besarnya energi radiasi netto dapat diperoleh dari selisih antara R S dengan R L. Tabel 10. Kisaran nilai R S, R L, dan Rn (Wm -2 ) tiap penutup lahan Penutup Komponen Rn (Wm -2 ) Lahan R S R L Rn Hutan alam Agroforest Karet Monokultur Karet P. Kelapa Sawit Semak Belukar T. Paku-Pakuan Sawah Pemukiman Badan Air Tabel 10 menginformasikan nilai rata-rata R S, R L, dan Rn yang diperoleh dari pengolahan citra Landsat ETM+ band 1, 2, 3, dan 6. Tabel 10 menunjukkan hasil ekstraksi radiasi netto di Kabupaten Bungo untuk penutup lahan non vegetasi (pemukiman) sebesar 293 Wm -2, yang berarti lebih rendah jika dibandingkan dengan penutup lahan bervegetasi yang memiliki radiasi netto sekitar Wm -2, akan tetapi nilai radiasi netto untuk badan air berada di bawah nilai radiasi netto untuk penutup lahan non-vegetasi dan bervegetasi yaitu sebesar 223 Wm -2. Adanya perbedaan penerimaan Rn pada tiap tipe penutup lahan, dipengaruhi oleh albedo, radiasi gelombang pendek dan radiasi gelombang panjang. Pada penutup lahan pemukiman memiliki nilai albedo yang tinggi begitu juga dengan suhu permukaannya. Hal ini akan mengakibatkan energi radiasi gelombang pendek yang diterima rendah dan energi radiasi gelombang panjang yang dipancarkan tinggi, sehingga radiasi nettonya rendah. Berdasarkan Tabel 11 ditunjukkan hubungan yang searah antara suhu permukaan dengan albedo, dan kedua komponen tersebut memiliki hubungan berlawanan arah dengan nilai radiasi netto. Semakin besar nilai suhu permukaan dan albedo suatu penutup lahan membuat semakin kecil radiasi netto yang dimiliki oleh penutup lahan tersebut. Tabel 11. Kisaran nilai rata-rata suhu permukaan ( o C), Albedo (unitless), dan Rn (Wm -2 ) tiap penutup lahan Penutup Lahan Suhu α Rn Hutan alam Agroforest Karet Monokultur Karet P. Kelapa Sawit Semak Belukar T. Paku-Pakuan Sawah Pemukiman Badan Air Sifat Optikal Kanopi Nilai sifat optikal kanopi terdiri dari nilai refleksivitas kanopi, absorbsivitas kanopi, dan transmisivitas kanopi Refleksivitas (ρ) Dalam penelitian ini, diasumsikan bahwa energi yang direfleksikan dari permukaan suatu objek (Iρ ) diperoleh dengan pendekatan albedo permukaan. Energi radiasi yang direfleksikan besarnya ekivalen dengan energi radiasi surya gelombang pendek yang dipantulkan oleh permukaan suatu objek. Tabel 12 menunjukkan informasi besarnya nilai Iρ untuk vegetasi hutan, agroforest karet, dan monokultur karet secara berturut-turut adalah 43 Wm -2, 44 Wm -2 dan 45 Wm -2. Tabel 12. Konstanta emisivitas (unitless), Iε (Wm -2 ), Iτ (Wm -2 ), dan Iρ (Wm -2 ) tiap penutup lahan Penutup Lahan ε Iε Iτ Iρ Hutan alam Agroforest Karet Monokultur Karet Emisivitas (ε) Absorbsi (α) Pendekatan hukum kirchhoff digunakan untuk mengestimasi nilai emisi radiasi dari tiga penutup lahan yang berbeda, yaitu hutan alam, agroforest karet, dan perkebunan karet monokultur pada lokasi kajian. Dengan menggunakan persamaan 17, maka didapat
11 20 energi radiasi yang diemisikan pada ketiga jenis penutup lahan. Tabel 12 menunjukkan nilai energi radiasi yang diemisikan. Nilai tersebut berdasarkan hukum Kirchhoff ekivalen dengan nilai radiasi surya yang diabsorbsikan oleh permukaan penutup lahan. Nilai energi radiasi yang diemisikan secara berturut-turut untuk penutup lahan hutan alam, agroforest karet, dan perkebunan karet monokultur adalah 767 Wm -2, 764 Wm -2, dan 761 Wm Transmisivitas (τ) Untuk mendapatkan nilai radiasi matahari yang ditransmisikan oleh suatu permukaan (Iτ), digunakan persamaan 19. Dalam penelitian ini, energi radiasi matahari yang ditransmisikan diperoleh dari selisih nilai radiasi gelombang pendek yang sampai dipermukaan suatu penutup lahan dengan nilai radiasi gelombang pendek yang direfleksikan dan dikurangi dengan nilai energi radiasi surya yang diabsorbsikan (ekivalen dengan energi surya yang diemisikan). Berdasarkan Tabel 12, energi radiasi matahari yang ditransmisikan oleh kanopi hutan alam (40 Wm -2 ) nilainya lebih kecil bila dibandingkan dengan kanopi agroforest karet (42 Wm 2 ) dan perkebunan karet monokultur (44 Wm -2 ). Informasi nilai radiasi surya yang diemisikan dan radiasi surya yang ditransmisikan dalam penelitian ini digunakan sebagai input persamaan hukum Beer-Lambert sehingga didapatkan nilai pendugaan LAI untuk ketiga jenis penutup lahan tersebut Leaf Area Index (LAI) Data Lapangan Objek kajian pendugaan LAI dalam pelaksanaan penelitian ini dilakukan pada tiga macam ekosistem yaitu hutan alam, agroforest karet, dan perkebunan karet monokultur. Hal ini dilakukan terkait dengan ketersediaan data LAI lapangan yang tersedia. Data LAI hasil observasi yang diperoleh dari penelitian sebelumnya dilakukan dengan menggunakan hemispherical photograph (hemiphot). Data yang diambil berupa data bukaan tajuk, dan kemudian diolah menggunakan software Hemiview versi 2.1. Data LAI yang diperoleh dari penelitian sebelumnya ditunjukkan pada Tabel 13. Nilai LAI untuk penutup lahan jenis hutan alam berkisar , LAI agroforest karet berkisar antara , dan LAI untuk perkebunan karet monokultur berkisar Nilai LAI hasil pengukuran di lapangan tersebut merupakan presentasi dari penutupan kanopi yang menutupi areal yang berada di bawah penutupan tajuk yang diproyeksikan secara vertikal dengan bidang tepat di bawah penutupan tajuk. Tabel 13. Sebaran nilai LAI hasil pengukuran di lapangan (unitless) Penutup Lahan Jumlah Plot Selang LAI Hutan alam Agroforest Karet Monokultur Karet Sumber :Djumhaer (2003) 4.7. Leaf Area Index (LAI) Hasil Pendugaan Dari hasil perhitungan pendugaan LAI dengan menggunakan persamaan hukum Beer- Lambert diperoleh kisaran nilai LAI untuk penutup lahan jenis hutan alam, agroforest karet, dan perkebunan karet monokultur yang masing-masing nilai LAI untuk penutup lahan tersebut berturut-turut adalah 3.39, 3.35, dan Bila nilai LAI hasil pendugaan dibandingkan dengan selang nilai LAI hasil pengukuran di lapangan (Tabel 14), maka dapat dilihat bahwa nilai rata-rata LAI hasil pendugaan berada diantara selang nilai LAI hasil pengukuran di lapangan. Bila dilakukan perhitungan LAI dugaan dengan komponen nilai per pixel dari citra satelit Landsat ETM+, maka diperoleh selang LAI pendugaan untuk penutup lahan hutan alam berkisar antara , LAI agroforest karet berkisar antara , dan LAI untuk perkebunan karet monokultur berkisar antara (Tabel 15). Tabel 14. Sebaran nilai rata-rata LAI (unitless) Penutup Lahan Nilai Rata- Rata LAI Pendugaan Selang LAI Pengukuran (Hemiphot) Hutan alam Agroforest Karet Monokultur Karet Tabel 15. Sebaran nilai LAI hasil pendugaan dan pengukuran di lapangan (unitless) Penutup Lahan Selang LAI Pendugaan Selang LAI Pengukuran (Hemiphot) Hutan alam Agroforest Karet Monokultur Karet
12 21 Gambar 9. Peta sebaran LAI hutan alam, agroforest karet, dan perkebunan karet monokultur Kabupaten Bungo Provinsi Jambi tahun 2002
13 Gambar 10. Peta LAI dangan spektral band 5 sebagai variabel penduga 22
14 Penggabungan dan Validasi Data LAI Untuk mengetahui seberapa sensitif nilai LAI hasil pendugaan dengan data LAI hasil pengukuran langsung di lapang, maka diperlukan adanya penggabungan data untuk setiap plot pengukuran LAI dengan plot LAI pendugaan pada citra digital satelit Landsat ETM+. Metode yang digunakan adalah metode 9 piksel di sekitar piksel contoh. Hal ini dilakukan karena penyimpangan geometris yang terjadi tidak sistematis atau menyimpang acak. juga melewati kisaran selang atas LAI hasil pengukuran di lapangan. Namun besarnya nilai koefisien determinasi (R 2 ) yang diperoleh dari hasil validasi antara LAI pendugaan dengan LAI lapangan untuk penutup lahan jenis perkebunan karet monokultur lebih besar yaitu 0.82 dibanding dengan hasil validasi LAI agroforest karet LAI AGROFOREST KARET 4.2 LAI HUTAN ALAM KAB. BUNGO TAHUN 2002 LAI (UNITLESS) LAI (UNITLESS) LAI LAPANGAN LAI PENDUGAAN Gambar 12. Boxplot LAI agroforest karet hasil pendugaan dan pengukuran langsung di lapangan LAI LAPANGAN LAI PENDUGAAN LAI PERKEBUNAN KARET MONOKULTUR KAB. BUNGO TAHUN 2002 Gambar 11. Boxplot LAI hutan alam hasil pendugaan dan pengukuran langsung di lapangan Hasil penggabungan data LAI lapangan dengan LAI hasil pendugaan untuk hutan alam dapat dilihat pada Gambar 11 dalam bentuk boxplot. Informasi yang ditampilkan oleh boxplot tersebut diantaranya adalah kisaran range box, interquartile range box, mean simbol, dan mean connect line. Berdasarkan gambar tersebut, diketahui kisaran selang nilai LAI hasil pendugaan berada di dalam selang nilai LAI hasil pengukuran di lapangan. Bila kedua data tersebut divalidasi dengan analisa korelasi statistik, maka diperoleh nilai koefisien determinasi (R 2 ) sebesar 0.91 yang berarti metode pendugaan LAI ini dapat digunakan dengan peluang data terwakili sebesar 91%. Gambar 12 memberikan informasi bahwa kisaran selang LAI agroforest karet hasil pendugaan sedikit berada di luar atas range selang LAI agroforest karet hasil pengukuran langsung di lapangan. Bila kedua data LAI tersebut divalidasi dengan analisa korelasi statistik, maka didapatkan nilai koefisien determinasi (R 2 ) sebesar 0.69 yang berarti metode pendugaan LAI ini dapat digunakan dengan peluang data terwakili sebesar 69%. Sama seperti hasil yang diperoleh dari boxplot untuk LAI agroforest karet, kisaran nilai LAI karet monokultur hasil pendugaan LAI (UNITLESS) LAI (UNITLESS) LAI LAPANGAN LAI LAPANGAN LAI PENDUGAAN Gambar 13. Boxplot LAI karet monokultur hasil pendugaan dan pengukuran langsung di lapangan LAI LAHAN BERVEGETASI DI KAB. BUNGO TAHUN 2002 LAI PENDUGAAN Gambar 14. Boxplot LAI pendugaan di lahan bervegetasi dan pengukuran langsung di lapangan Bila seluruh nilai LAI hasil dugaan dari penutup lahan hutan alam, agroforest karet, dan perkebunan karet monokultur divalidasi dengan data LAI lapangan pada penutup lahan yang
15 24 sama, maka diperoleh nilai koefisien determinasi sebesar Nilai tersebut menginformasikan bahwa penggunaan metode penyusunan pendugaan LAI memiliki peluang data terwakili sebesar 76%. Secara keseluruhan selang nilai LAI hasil pendugaan untuk ketiga jenis penutup lahan yang berbeda di atas selalu berada diantara kisaran selang LAI hasil pengukuran langsung di lapangan. Ada dua kemungkinan terjadinya penyimpangan nilai LAI yang menyebabkan selang nilai LAI hasil pendugaan selalu berada diantara kisaran selang LAI lapangan. Kemungkinan pertama adalah adanya kesalahan yang dilakukan oleh peneliti sebelumnya dalam melakukan pengambilan dan pengolahan LAI secara langsung di lapangan. Kemungkinan kedua adalah adanya penyimpangan yang terjadi pada karakteristik radiometrik dari data penginderaan jauh (citra satelit Landsat ETM+) yang diantaranya adanya pengaruh topografi permukaan penutup lahan yang mengakibatkan perbedaan nilai LAI pada koordinat areal penutup lahan yang sama. Pada daerah kajian yang memiliki topografi bergelombang (daerah perbukitan) dapat menimbulkan adanya bayangan yang disebabkan perbedaan ketinggian pada daerah puncak bukit dan daerah lembah. Pada daerah puncak bukit nilai spektral akan lebih tinggi bila dibandingkan dengan daerah lembah, karena daerah lembah akan tertutup oleh bayangan puncak bukit. Hal ini dapat menyebabkan adanya perbedaan nilai LAI hasil pendugaan dengan LAI lapangan. V. KESIMPULAN DAN SARAN Hasil penelitian menunjukan adanya hubungan searah antara suhu permukaan dengan albedo. Kedua komponen tersebut memiliki hubungan yang berlawanan arah dengan nilai radiasi netto. Semakin besar nilai suhu permukaan dan albedo suatu penutup lahan membuat semakin kecil radiasi netto yang dimiliki oleh penutup lahan tersebut. Hasil ekstraksi radiasi netto pada tanggal 15 Agustus tahun 2002 di Kabupaten Bungo untuk penutup lahan non vegetasi sebesar 293 Wm -2, yang berarti lebih rendah jika dibandingkan dengan penutup lahan bervegetasi yang memiliki radiasi netto sekitar Wm -2, akan tetapi nilai radiasi netto untuk badan air berada di bawah nilai radiasi netto untuk penutup lahan non-vegetasi dan bervegetasi yaitu sebesar Wm -2. Dengan menggunakan pendekatan empiris, maka dapat diperoleh nilai energi radiasi surya yang direfleksikan sebesar 43 Wm -2 (hutan alam), 44 Wm -2 (agroforest karet), dan 45 Wm -2 (perkebunan karet monokultur). Nilai energi radiasi surya yang diemisikan (equivalen dengan radiasi surya yang diabsorbsikan) sebesar 767 Wm -2 (hutan alam), 764 Wm -2 (agroforest karet), dan 761 Wm -2 (perkebunan karet monokultur). Selain itu dari pendekatan mekanistik diperoleh besarnya energi surya yang ditransmisikan oleh kanopi hutan alam (40 Wm -2 ), kanopi agroforest karet (42 Wm 2 ) dan perkebunan karet monokultur (44 Wm -2 ). Hasil penelitian yang dapat diperoleh dari menduga besarnya nilai LAI untuk lahan bervegetasi menggunakan metode neraca energi dan persamaan hukum Beer-Lambert adalah diperolehnya pendugaan nilai mean LAI hutan alam sebesar 3.39 dengan nilai kisaran selang dan R 2 hasil validasi dengan LAI lapangan sebesar Nilai mean LAI pendugaan untuk agroforest karet sebesar 3.35 dengan selang dan nilai R 2 hasil validasi sebesar 0.69, sedangkan nilai mean LAI untuk perkebunan karet monokultur sebesar 3.30 dengan selang dan nilai R 2 hasil validasi sebesar Dengan hasil luaran yang cukup baik, metode pendugaan LAI tersebut dapat digunakan untuk penutup lahan bervegetasi. Dalam melakukan perhitungan komponen neraca energi, suhu permukaan, nilai absorbsi, dan transmisivitas dari data citra satelit Landsat ETM+ masih banyak menggunakan asumsiasumsi sehingga berpotensi sebagai faktor penyebab kesalahan dalam melakukan perhitungan. Kelemahan dalam penelitian ini adalah tidak adanya data pengukuran radiasi global yang ada di lapangan, hasil dari pendugaan LAI dengan pendekatan neraca energi dan hukum Beer Lambert tidak dapat mengakomodasi struktur topografi wilayah kajian, validasi output harus sudah ada saat dihasilkan nilai radiasi netto, albedo, radiasi surya gelombang pendek, dan radiasi surya gelombang panjang.
METODE NERACA ENERGI UNTUK PERHITUNGAN LEAF AREA INDEX (LAI) DI LAHAN BERVEGETASI MENGGUNAKAN DATA CITRA SATELIT RUDI SETIAWAN
METODE NERACA ENERGI UNTUK PERHITUNGAN LEAF AREA INDEX (LAI) DI LAHAN BERVEGETASI MENGGUNAKAN DATA CITRA SATELIT RUDI SETIAWAN DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN
Lebih terperincimemberikan informasi tentang beberapa daftar penelitian LAI dengan pendekatan optik dan hukum Beer-Lambert.
6 memberikan informasi tentang beberapa daftar penelitian LAI dengan pendekatan optik dan hukum Beer-Lambert. 2.7. Konsep Dasar Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh
Lebih terperinciIndeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :
Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : NDVI=(band4 band3)/(band4+band3).18 Nilai-nilai indeks vegetasi di deteksi oleh instrument pada
Lebih terperinciMETODE NERACA ENERGI UNTUK PERHITUNGAN INDEKS LUAS DAUN MENGGUNAKAN DATA CITRA SATELIT MULTI SPEKTRAL
J. Agromet Indonesia 21 (2) : 27 38, 2007 METODE NERACA ENERGI UNTUK PERHITUNGAN INDEKS LUAS DAUN MENGGUNAKAN DATA CITRA SATELIT MULTI SPEKTRAL (Energy Balance Method for Determining Leaf Area Index Land
Lebih terperinciLampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997
LAMPIRAN Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997 17 Lampiran 2. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 2006 18 Lampiran 3. Peta sebaran suhu permukaan Kodya Bogor tahun
Lebih terperinciGenerated by Foxit PDF Creator Foxit Software For evaluation only. 23 LAMPIRAN
23 LAMPIRAN 24 Lampiran 1 Diagram Alir Penelitian Data Citra LANDSAT-TM/ETM Koreksi Geometrik Croping Wilayah Kajian Kanal 2,4,5 Kanal 1,2,3 Kanal 3,4 Spectral Radiance (L λ ) Albedo NDVI Class Radiasi
Lebih terperinciBAB III. HASIL DAN PEMBAHASAN
11 BAB III. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Klasifikasi dan Perubahan Penutupan Analisis yang dilakukan pada penelitian ini ditujukan untuk mengetahui tipe penutupan lahan yang mendominasi serta lokasi lahan
Lebih terperinciIII. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang.
III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-Oktober 2010. Lokasi penelitian di Kota Palembang dan Laboratorium Analisis Spasial Lingkungan, Departemen Konservasi Sumberdaya
Lebih terperinciMETODE NERACA ENERGI UNTUK PERHITUNGAN LEAF AREA INDEX (LAI) DI LAHAN BERVEGETASI MENGGUNAKAN DATA CITRA SATELIT RUDI SETIAWAN
METODE NERACA ENERGI UNTUK PERHITUNGAN LEAF AREA INDEX (LAI) DI LAHAN BERVEGETASI MENGGUNAKAN DATA CITRA SATELIT RUDI SETIAWAN DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN
Lebih terperinciBAB III. METODOLOGI 2.5 Pengindraan Jauh ( Remote Sensing 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2 Data dan Alat Penelitian Data yang digunakan
5 Tabel 2 Kisaran nilai albedo (unitless) tiap penutup lahan Penutup Lahan Albedo (Unitless) Min Max Mean Hutan alam 0.043 0.056 0.051 Agroforest Karet 0.048 0.058 0.052 Monokultur 0.051 0.065 0.053 Karet
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan dari bulan Juli sampai September 2011 di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Pengolahan data dilakukan di Laboratorium Analisis Lingkungan
Lebih terperinciPENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian METODE Waktu dan Tempat Penelitian
PENDAHULUAN Latar Belakang Kejadian kebakaran wilayah di Indonesia sudah menjadi peristiwa tahunan, khususnya di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Pada tahun 2013 kebakaran di Pulau Sumatera semakin meningkat
Lebih terperinciPENYUSUNAN METODE UNTUK MENDUGA NILAI RADIASI ABSORBSI DENGAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT TM/ETM+ (STUDI KASUS HUTAN GUNUNG WALAT SUKABUMI)
PENYUSUNAN METODE UNTUK MENDUGA NILAI RADIASI ABSORBSI DENGAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT TM/ETM+ (STUDI KASUS HUTAN GUNUNG WALAT SUKABUMI) ANDIKA PRAWANTO DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN
11 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan yaitu bulan Juli-Agustus 2010 dengan pemilihan lokasi di Kota Denpasar. Pengolahan data dilakukan di Laboratorium
Lebih terperinciIV. HASIL DAN PEMBAHASAN
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pendugaan Parameter Input 4.1.1. Pendugaan Albedo Albedo merupakan rasio antara radiasi gelombang pendek yang dipantulkan dengan radiasi gelombang pendek yang datang. Namun
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN IV.1. Gap Filling Citra Gap Filling citra merupakan metode yang dilakukan untuk mengisi garisgaris yang kosong pada citra Landsat TM hasil download yang mengalami SLCoff, sehingga
Lebih terperinciMETODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian
22 METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Sukabumi, Jawa Barat pada 7 wilayah kecamatan dengan waktu penelitian pada bulan Juni sampai November 2009. Pada lokasi penelitian
Lebih terperincidengan data LAI hasil pengukuran langsung di lapang (data LAI observasi). I. PENDAHULUAN
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kapasitas tanaman dalam mengintersepsi radiasi matahari ditentukan oleh indeks luas daun (leaf area index atau LAI), yaitu luas helai daun per satuan luas permukaan tanah.
Lebih terperinciIV. HASIL DAN PEMBAHASAN
6 3.3.5 Persamaan Hubungan RTH dengan Suhu Udara Penjelasan secara ilmiah mengenai laju pemanasan/pendinginan suhu udara akibat pengurangan atau penambahan RTH adalah mengikuti hukum pendinginan Newton,
Lebih terperinciBAB I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
1 1.1 Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN Suhu menunjukkan gambaran umum energi kinetik suatu obyek, demikian juga dengan suhu udara. Oleh karena itu, tidak semua bentuk energi yang dikandung suatu obyek
Lebih terperinciBAB IV PENGOLAHAN DATA DAN HASIL
BAB IV PENGOLAHAN DATA DAN HASIL 4.1 Pengolahan Awal Citra ASTER Citra ASTER diolah menggunakan perangkat lunak ER Mapper 6.4 dan Arc GIS 9.2. Beberapa tahapan awal yang dilakukan yaitu konversi citra.
Lebih terperinciIII. BAHAN DAN METODE
10 III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat Dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di laboratorium dan di lapang. Pengolahan citra dilakukan di Bagian Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial dan penentuan
Lebih terperinciBAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. 5.1 Analisis Hasil Pengolahan Band VNIR dan SWIR
BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Hasil Pengolahan Band VNIR dan SWIR Hasil pengolahan dari nilai piksel band VNIR dan SWIR yang dibahas pada bab ini yaitu citra albedo, NDVI dan emisivitas. Ketiganya
Lebih terperinciTabel 3 Aliran energi dan massa III METODOLOGI. Variabel neraca energi. Vegetasi tinggi (MJm -2 hari -1 )
Tabel 3 Aliran energi dan massa Variabel neraca energi Vegetasi tinggi (MJm -2 hari -1 ) Rumput (MJm -2 hari -1 ) Rn 11.28±2.74 10.21±2.53 LE 8.41± 6.50 4.21±2.48 LE/Rn 74.56 41.23 H 2.85±6.16 6.00 2.69
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
7 HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum dan Distribusi Titik Panas (hotspot)provinsi Jambi Provinsi Jambi secara geografis terletak antara 0 o 45-2 o 45 LS dan 101 o 104 o 55 BT, terletak di tengah Pulau Sumatera
Lebih terperinciBAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penutupan Lahan 5.1.1 Penutupan lahan Kabupaten Sidoarjo Penutupan lahan (land cover) merupakan perwujudan fisik dari obyek dan yang menutupi permukaan tanpa mempersoalkan
Lebih terperinciBAB III PEMBAHASAN. 3.1 Data. Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa :
3.1 Data BAB III PEMBAHASAN Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa : 1. Citra Landsat-5 TM, path 122 row 065, wilayah Jawa Barat yang direkam pada 2 Juli 2005 (sumber: LAPAN). Band yang digunakan
Lebih terperinciIV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi
31 IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi Waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan penelitian ini adalah dimulai dari bulan April 2009 sampai dengan November 2009 yang secara umum terbagi terbagi menjadi
Lebih terperinciDAFTAR TABEL. No. Tabel Judul Tabel No. Hal.
DAFTAR ISI Halaman Judul... No Hal. Intisari... i ABSTRACT... iv KATA PENGANTAR... v DAFTAR ISI... vii DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR... x DAFTAR LAMPIRAN... xi BAB I... 1 1.1. Latar Belakang... 1 1.2.
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN
22 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian mengenai analisis data Landsat 7 untuk estimasi umur tanaman kelapa sawit mengambil daerah studi kasus di areal perkebunan PTPN VIII
Lebih terperinciBAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pengolahan Awal Citra (Pre-Image Processing) Pengolahan awal citra (Pre Image Proccesing) merupakan suatu kegiatan memperbaiki dan mengoreksi citra yang memiliki kesalahan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA...
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PENGESAHAN... ii PERNYATAAN... iii INTISARI... iv ABSTRACT... v KATA PENGANTAR... vi DAFTAR ISI... viii DAFTAR TABEL... xi DAFTAR GAMBAR... xiii DAFTAR LAMPIRAN...
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Citra Satelit Landsat
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan penduduk merupakan faktor utama yang mempengaruhi perkembangan pemukiman dan kebutuhan prasarana dan sarana. Peningkatan jumlah penduduk yang disertai dengan
Lebih terperinciKajian Nilai Indeks Vegetasi Di Daerah Perkotaan Menggunakan Citra FORMOSAT-2 Studi Kasus: Surabaya Timur L/O/G/O
Sidang Tugas Akhir Kajian Nilai Indeks Vegetasi Di Daerah Perkotaan Menggunakan Citra FORMOSAT-2 Studi Kasus: Surabaya Timur Agneszia Anggi Ashazy 3509100061 L/O/G/O PENDAHULUAN Latar Belakang Carolita
Lebih terperinciSIDANG TUGAS AKHIR IDENTIFIKASI KERUSAKAN HUTAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) MENGGUNAKAN DATA CITRA LANDSAT 7 DAN LANDSAT
SIDANG TUGAS AKHIR IDENTIFIKASI KERUSAKAN HUTAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) MENGGUNAKAN DATA CITRA LANDSAT 7 DAN LANDSAT 8 (Studi Kasus : Sub Das Brantas Bagian Hulu, Kota Batu) Oleh : Aning Prastiwi
Lebih terperinciBAB III DATA DAN METODOLOGI
BAB III DATA DAN METODOLOGI 3.1 Data Dalam tugas akhir ini data yang di gunakan yaitu data meteorologi dan data citra satelit ASTER. Wilayah penelitian tugas akhir ini adalah daerah Bandung dan sekitarnya
Lebih terperinciKARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Kondisi Geografis LS dan BT. Beriklim tropis dengan
III. KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI A. Kondisi Geografis Secara geografis Kabupaten Tebo terletak diantara titik koordinat 0 52 32-01 54 50 LS dan 101 48 57-101 49 17 BT. Beriklim tropis dengan ketinggian
Lebih terperinciix
DAFTAR ISI viii ix x DAFTAR TABEL Tabel 1.1. Emisivitas dari permukaan benda yang berbeda pada panjang gelombang 8 14 μm. 12 Tabel 1.2. Kesalahan suhu yang disebabkan oleh emisivitas objek pada suhu 288
Lebih terperinciJURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 1, (2013) ISSN: ( Print)
ANALISA RELASI PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN DAN SUHU PERMUKAAN TANAH DI KOTA SURABAYA MENGGUNAKAN CITRA SATELIT MULTISPEKTRAL TAHUN 1994 2012 Dionysius Bryan S, Bangun Mulyo Sukotjo, Udiana Wahyu D Jurusan
Lebih terperinciBAB III METODA. Gambar 3.1 Intensitas total yang diterima sensor radar (dimodifikasi dari GlobeSAR, 2002)
BAB III METODA 3.1 Penginderaan Jauh Pertanian Pada penginderaan jauh pertanian, total intensitas yang diterima sensor radar (radar backscattering) merupakan energi elektromagnetik yang terpantul dari
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN II. TINJAUAN PUSTAKA
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesetimbangan radiasi pada vegetasi hutan adalah ρ + τ + α = 1, di mana α adalah proporsi kerapatan fluks radiasi matahari yang diabsorbsi oleh unit indeks luas daun,
Lebih terperinciPerumusan Masalah Bagaimana kondisi perubahan tutupan lahan yang terjadi di daerah aliran sungai Ciliwung dengan cara membandingkan citra satelit
Latar Belakang Meningkatnya pembangunan di Cisarua, Bogor seringkali menimbulkan dampak tidak baik terhadap lingkungan. Salah satu contohnya adalah pembangunan yang terjadi di Daerah Aliran Sungai Ciliwung.
Lebih terperinciIII. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman (Tahura
III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman (Tahura WAR). Berdasarkan administrasi pemerintahan Provinsi Lampung kawasan ini berada
Lebih terperinciBAGIAN 1-3. Dinamika Tutupan Lahan Kabupaten Bungo, Jambi. Andree Ekadinata dan Grégoire Vincent
BAGIAN 1-3 Dinamika Tutupan Lahan Kabupaten Bungo, Jambi Andree Ekadinata dan Grégoire Vincent 54 Belajar dari Bungo Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi PENDAHULUAN Kabupaten Bungo mencakup
Lebih terperinciIII. BAHAN DAN METODE
III. BAHAN DAN METODE 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di daerah Daerah Aliran Sungai (DAS) Cipunagara dan sekitarnya, Jawa Barat (Gambar 1). DAS Cipunagara berada dibawah pengelolaan
Lebih terperinci4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN
4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4.1. Latar Belakang Sebagaimana diuraikan terdahulu (Bab 1), DAS merupakan suatu ekosistem yang salah satu komponen penyusunannya adalah vegetasi terutama berupa hutan dan perkebunan
Lebih terperinciBAB III DATA DAN METODOLOGI PENELITIAN
BAB III DATA DAN METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Data Ada 3 data utama yang digunakan dalam penelitian ini. Data yang pertama adalah data citra satelit Landsat 7 ETM+ untuk daerah cekungan Bandung. Data yang
Lebih terperinciPemetaan Potensi Batuan Kapur Menggunakan Citra Satelit Landsat 8 di Kabupaten Tuban
A630 Pemetaan Potensi Batuan Kapur Menggunakan Citra Satelit Landsat 8 di Kabupaten Tuban Dhiyaulhaq Al Majid dan Bangun Muljo Sukojo Departemen Teknik Geomatika, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan,
Lebih terperinciBab IV Hasil dan Pembahasan
Bab IV Hasil dan Pembahasan 4.1. Hasil 4.1.1. Digitasi dan Klasifikasi Kerapatan Vegetasi Mangrove Digitasi terhadap citra yang sudah terkoreksi dilakukan untuk mendapatkan tutupan vegetasi mangrove di
Lebih terperinciKERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI)
1 KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI) Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai
Lebih terperinciIII. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian 3.2 Lokasi Penelitian
III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan Februari sampai September 2011. Kegiatan penelitian ini meliputi tahap prapenelitian (persiapan, survei), Inventarisasi (pengumpulan
Lebih terperinciIII. METODE PENELITIAN
III. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Pekanbaru. Kota Pekanbaru terletak pada 101 0 18 sampai 101 0 36 Bujur Timur serta 0 0 25 sampai 0 0 45 Lintang Utara.
Lebih terperinciIII. METODOLOGI. Gambar 2. Peta Orientasi Wilayah Penelitian. Kota Yogyakarta. Kota Medan. Kota Banjarmasin
III. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan mulai dari bulan Maret sampai bulan November 2009. Objek penelitian difokuskan pada wilayah Kota Banjarmasin, Yogyakarta, dan
Lebih terperinciANALISA PERUBAHAN POLA DAN TATA GUNA LAHAN SUNGAI BENGAWAN SOLO dengan menggunakan citra satelit multitemporal
ANALISA PERUBAHAN POLA DAN TATA GUNA LAHAN SUNGAI BENGAWAN SOLO dengan menggunakan citra satelit multitemporal Oleh : Fidiyawati 3507 100 046 Pembimbing : 1. M. Nur Cahyadi, ST, MSc 2. Danang Surya Chandra,
Lebih terperinciANALISIS CADANGAN KARBON PADA PERKEBUNAN SAWIT MENGGUNAKAN CITRA SATELIT LANDSAT
ANALISIS CADANGAN KARBON PADA PERKEBUNAN SAWIT MENGGUNAKAN CITRA SATELIT LANDSAT (Studi Kasus : Perkebunan Sawit di Kec. Hanau dan Danau Sembuluh, Kalimantan Tengah) LASTRI YANTI SIMANJUNTAK DEPARTEMEN
Lebih terperinciKAWASAN TERPADU RIMBA DI 3 KABUPATEN PRIORITAS (Kab. Kuantan Sengingi, Kab. Dharmasraya dan Kab. Tebo)
KAWASAN TERPADU RIMBA DI 3 KABUPATEN PRIORITAS (Kab. Kuantan Sengingi, Kab. Dharmasraya dan Kab. Tebo) Oleh: IB Ketut Wedastra Sr. Officer Conservation Spatial Planning WWF Indonesia PENGINDERAAN JAUH
Lebih terperinciJurnal Geodesi Undip APRIL 2014
ANALISIS DEFORESTASI HUTAN DI PROVINSI JAMBI MENGGUNAKAN METODE PENGINDERAAN JAUH ( Studi Kasus Kabupaten Muaro Jambi ) Cindy Puspita Sari, Sawitri Subiyanto, Moehammad Awaluddin *) Program Studi Teknik
Lebih terperinciV. HASIL DAN PEMBAHASAN
V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Citra Digital Interpretasi dilakukan dengan pembuatan area contoh (training set) berdasarkan pengamatan visual terhadap karakteristik objek dari citra Landsat. Untuk
Lebih terperinci5. SIMPULAN DAN SARAN
5. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Citra ALOS PALSAR dapat digunakan untuk membangun model pendugaan biomassa di ekosistem transisi yang telah mengalami transformasi dari hutan sekunder menjadi sistem pertanian
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kota dan Hutan Kota ( Permasalahan Lingkungan Kota
5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kota dan Hutan Kota Kota adalah suatu pusat permukiman penduduk yang besar dan luas, terdapat berbagai ragam kegiatan ekonomi dan budaya. Pada kenyataannya kota merupakan tempat
Lebih terperinciGenerated by Foxit PDF Creator Foxit Software For evaluation only. 1
1 BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peningkatan jumlah penduduk yang sangat pesat di Indonesia sangat mempengaruhi emisi karbon di atmosfer. Semakin meningkatnya jumlah penduduk maka konversi vegetasi
Lebih terperinciGambar 7. Lokasi Penelitian
III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini mengambil lokasi Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat sebagai daerah penelitian yang terletak pada 6 56'49''-7 45'00'' Lintang Selatan
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL DAN PEMBAHASAN DEM (Digital Elevation Model) Wilayah Penelitian Proses interpolasi beberapa data titik tinggi yang diekstraksi dari berbagai sumber dengan menggunakan metode semivariogram tipe ordinary
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. menyebabkan perubahan tata guna lahan dan penurunan kualitas lingkungan. Alih
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tingginya kebutuhan lahan dan semakin terbatasnya sumberdaya alam menyebabkan perubahan tata guna lahan dan penurunan kualitas lingkungan. Alih guna hutan sering terjadi
Lebih terperinci4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pembuatan algoritma empiris klorofil-a Tabel 8, Tabel 9, dan Tabel 10 dibawah ini adalah percobaan pembuatan algoritma empiris dibuat dari data stasiun nomor ganjil, sedangkan
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3Perubahan tutupan lahan Jakarta tahun 1989 dan 2002.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi geografis daerah kajian Kota Jakarta merupakan ibukota Republik Indonesia yang berkembang pada wilayah pesisir. Keberadaan pelabuhan dan bandara menjadikan Jakarta
Lebih terperincimenunjukkan nilai keakuratan yang cukup baik karena nilai tersebut lebih kecil dari limit maksimum kesalahan rata-rata yaitu 0,5 piksel.
Lampiran 1. Praproses Citra 1. Perbaikan Citra Satelit Landsat Perbaikan ini dilakukan untuk menutupi citra satelit landsat yang rusak dengan data citra yang lainnya, pada penelitian ini dilakukan penggabungan
Lebih terperinciBAB III BAHAN DAN METODE
BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Lokasi Waktu penelitian dilaksanakan mulai bulan Mei sampai dengan Juni 2013 dengan lokasi penelitian meliputi wilayah Pesisir Utara dan Selatan Provinsi Jawa Barat.
Lebih terperinciBAB IV PENGOLAHAN DATA
BAB IV PENGOLAHAN DATA 4.1 Koreksi Geometrik Langkah awal yang harus dilakukan pada penelitian ini adalah melakukan koreksi geometrik pada citra Radarsat. Hal ini perlu dilakukan karena citra tersebut
Lebih terperinci3 METODE. Lokasi dan Waktu Penelitian
8 3 METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian adalah Kabupaten Bogor Jawa Barat yang secara geografis terletak pada 6º18 6º47 10 LS dan 106º23 45-107º 13 30 BT. Lokasi ini dipilih karena Kabupaten
Lebih terperinci3. BAHAN DAN METODE. Penelitian yang meliputi pengolahan data citra dilakukan pada bulan Mei
3. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian yang meliputi pengolahan data citra dilakukan pada bulan Mei sampai September 2010. Lokasi penelitian di sekitar Perairan Pulau Pari, Kepulauan Seribu,
Lebih terperinciHIDROMETEOROLOGI TATAP MUKA KEEMPAT (RADIASI SURYA)
HIDROMETEOROLOGI TATAP MUKA KEEMPAT (RADIASI SURYA) Dosen : DR. ERY SUHARTANTO, ST. MT. JADFAN SIDQI FIDARI, ST., MT 1.PANCARAN RADIASI SURYA Meskipun hanya sebagian kecil dari radiasi yang dipancarkan
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Perubahan Rasio Hutan Sebelum membahas hasil simulasi model REMO, dilakukan analisis perubahan rasio hutan pada masing-masing simulasi yang dibuat. Dalam model
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) merupakan tanaman perkebunan utama di Indonesia. Kelapa sawit menjadi komoditas penting dikarenakan mampu memiliki rendemen
Lebih terperinciIII. METODE PENELITIAN
III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan di kawasan perkotaan Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Pada bulan Juni sampai dengan bulan Desember 2008. Gambar 3. Citra IKONOS Wilayah
Lebih terperinciPemetaan Tingkat Kekeringan Berdasarkan Parameter Indeks TVDI Data Citra Satelit Landsat-8 (Studi Kasus: Provinsi Jawa Timur)
Pemetaan Tingkat Kekeringan Berdasarkan Parameter Indeks TVDI Data Citra Satelit Landsat-8 (Studi Kasus: Provinsi Jawa Timur) Diah Witarsih dan Bangun Muljo Sukojo Jurusan Teknik Geomatika, Fakultas Teknik
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Posisi Indonesia berada di daerah tropis mengakibatkan hampir sepanjang tahun selalu diliputi awan. Kondisi ini mempengaruhi kemampuan citra optik untuk menghasilkan
Lebih terperinciANALISIS TEMPERATURE HEAT INDEX (THI) DALAM HUBUNGANNYA DENGAN RUANG TERBUKA HIJAU (Studi Kasus : Kabupaten Bungo - Propinsi Jambi) YUSUF KALFUADI
ANALISIS TEMPERATURE HEAT INDEX (THI) DALAM HUBUNGANNYA DENGAN RUANG TERBUKA HIJAU (Studi Kasus : Kabupaten Bungo - Propinsi Jambi) YUSUF KALFUADI DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Suhu Permukaan Suhu permukaan dapat diartikan sebagai suhu terluar suatu obyek. Untuk suatu tanah terbuka, suhu permukaan adalah suhu pada lapisan terluar permukaan tanah. Sedangkan
Lebih terperinciNorida Maryantika 1, Lalu Muhammad Jaelani 1, Andie Setiyoko 2.
ANALISA PERUBAHAN VEGETASI DITINJAU DARI TINGKAT KETINGGIAN DAN KEMIRINGAN LAHAN MENGGUNAKAN CITRA SATELIT LANDSAT DAN SPOT 4 (STUDI KASUS KABUPATEN PASURUAN) rida Maryantika 1, Lalu Muhammad Jaelani 1,
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Koreksi Geometrik BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Koreksi geometrik citra adalah proses memberikan sistem referensi dari suatu citra satelit. Dalam penelitian ini sistem koordinat yang digunakan adalah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Indonesia memiliki kekayaan vegetasi yang beraneka ragam dan melimpah di seluruh wilayah Indonesia. Setiap saat perubahan lahan vegetasi seperti hutan, pertanian, perkebunan
Lebih terperinciSEMINAR NASIONAL GEOGRAFI UMS 2016 Farid Ibrahim, Fiqih Astriani, Th. Retno Wulan, Mega Dharma Putra, Edwin Maulana; Perbandingan Ekstraksi
PERBANDINGAN EKSTRAKSI BRIGHTNESS TEMPERATUR LANDSAT 8 TIRS TANPA ATMOSPHERE CORRECTION DAN DENGAN MELIBATKAN ATMOSPHERIC CORRECTION UNTUK PENDUGAAN SUHU PERMUKAAN Farid Ibrahim 1, Fiqih Atriani 2, Th.
Lebih terperinciIII. METODE PENELITIAN. berlokasi di kawasan Taman Nasional Way Kambas. Taman Nasional Way
13 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan dari bulan Juni sampai dengan September 2012 yang berlokasi di kawasan Taman Nasional Way Kambas. Taman Nasional Way Kambas
Lebih terperinciANALISA KESEHATAN VEGETASI MANGROVE BERDASARKAN NILAI NDVI (NORMALIZED DIFFERENCE VEGETATION INDEX ) MENGGUNAKAN CITRA ALOS
ANALISA KESEHATAN VEGETASI MANGROVE BERDASARKAN NILAI NDVI (NORMALIZED DIFFERENCE VEGETATION INDEX ) MENGGUNAKAN CITRA ALOS Oleh : Tyas Eka Kusumaningrum 3509 100 001 LATAR BELAKANG Kawasan Pesisir Kota
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peta merupakan representasi dari permukaan bumi baik sebagian atau keseluruhannya yang divisualisasikan pada bidang proyeksi tertentu dengan menggunakan skala tertentu.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1. Persebaran Lahan Produksi Kelapa Sawit di Indonesia Sumber : Badan Koordinasi dan Penanaman Modal
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan dengan jumlah penduduk pada tahun 2014 sebanyak 237.641.326 juta jiwa, hal ini juga menempatkan Negara Indonesia
Lebih terperinciLAMPIRAN 1 HASIL KEGIATAN PKPP 2012
LAMPIRAN 1 HASIL KEGIATAN PKPP 2012 JUDUL KEGIATAN: PENGUATAN KAPASITAS DAERAH DAN SINERGITAS PEMANFAATAN DATA INDERAJA UNTUK EKSTRAKSI INFORMASI KUALITAS DANAU BAGI KESESUAIAN BUDIDAYA PERIKANAN DARAT
Lebih terperinciGambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321
V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Spektral Citra yang digunakan pada penelitian ini adalah Citra ALOS AVNIR-2 yang diakuisisi pada tanggal 30 Juni 2009 seperti yang tampak pada Gambar 11. Untuk dapat
Lebih terperinciIII. BAHAN DAN METODE
taman nasional oleh Menteri Kehutanan tahun 1993 dengan luas kurang lebih mencapai 229.000 ha. Secara administratif pemerintahan berada pada Kabupaten Donggala dan Kabupaten Poso, Propinsi dati I Sulawesi
Lebih terperinciV. HASIL DAN PEMBAHASAN
V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Interpretasi Visual Penggunaan Lahan Melalui Citra Landsat Interpretasi visual penggunaan lahan dengan menggunakan citra Landsat kombinasi band 542 (RGB) pada daerah penelitian
Lebih terperinci1. PENDAHULUAN 2. TINJAUAN PUSTAKA
1. PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Suhu permukaan merupakan salah satu parameter yang utama dalam seluruh interaksi antara permukaan darat dengan atmosfer. Suhu permukaan darat merupakan contoh fenomena
Lebih terperinciEVALUASI PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN WILAYAH PERAIRAN PESISIR SURABAYA TIMUR SIDOARJO DENGAN MENGGUNAKAN CITRA SATELIT MULTITEMPORAL
EVALUASI PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN WILAYAH PERAIRAN PESISIR SURABAYA TIMUR SIDOARJO DENGAN MENGGUNAKAN CITRA SATELIT MULTITEMPORAL Grace Idolayanti Moko 1, Teguh Hariyanto 1, Wiweka 2, Sigit Julimantoro
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Suhu Udara Perkotaan
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Suhu Udara Perkotaan Menurut Santosa (1986), kepadatan penduduk kota yang cukup tinggi akan mengakibatkan bertambahnya sumber kalor sebagai akibat dari aktifitas dan panas metabolisme
Lebih terperinciBAB III PELAKSANAAN PENELITIAN
BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN Pada bab ini akan dijelaskan mengenai alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini serta tahapan-tahapan yang dilakukan dalam mengklasifikasi tata guna lahan dari hasil
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumber kehidupan manusia dimana fungsi hutan adalah sebagai paru-paru dunia yang menghasilkan oksigen untuk keberlanjutan hidup umat manusia
Lebih terperinciIII. METODOLOGI PENELITIAN
III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat. Penelitian dilakukan dari tahun 2009 hingga tahun 2011. Penelitian dibagi
Lebih terperinciBAB II. TINJAUAN PUSTAKA
DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii HALAMAN PERNYATAAN... iii KATA PENGANTAR... iv DAFTAR ISI... vi DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR... x DAFTAR LAMPIRAN... xii ABSTRACT... xiii
Lebih terperinciBAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan
15 BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Juli sampai dengan April 2011 dengan daerah penelitian di Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten Cianjur,
Lebih terperinciGambar 4.15 Kenampakan Satuan Dataran Aluvial. Foto menghadap selatan.
Gambar 4.15 Kenampakan Satuan Dataran Aluvial. Foto menghadap selatan. Gambar 4.16 Teras sungai pada daerah penelitian. Foto menghadap timur. 4.2 Tata Guna Lahan Tata guna lahan pada daerah penelitian
Lebih terperinci