Gambar 5 Peta administrasi DKI Jakarta (Sumber : Jakarta.go.id)

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Gambar 5 Peta administrasi DKI Jakarta (Sumber : Jakarta.go.id)"

Transkripsi

1 6 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Wilayah Kajian Jakarta terletak pada lintang 106 o BT s.d. 106 o BT dan 5 o LS s.d. 6 o LS. Berdasarkan Keputusan Gubernur Nomor 1227 Tahun 1989, luas wilayah Provinsi DKI Jakarta adalah km 2 Provinsi DKI Jakarta terbagi menjadi 5 wilayah kotamadya dan satu kabupaten administratif, yakni: Kotamadya Jakarta Pusat dengan luas 47.9 km 2, Jakarta Utara dengan luas km 2, Jakarta Barat dengan luas km 2, Jakarta Selatan dengan luas km 2, dan Kotamadya Jakarta Timur dengan luas km 2 (Bappeda 2011). Jakarta termasuk dalam wilayah dataran rendah dengan ketinggian 0-30 m, Jakarta memiliki 4 stasiun iklim, diantaranya Tanjung Priuk dengan ketinggian 2 mdpl, Halim Perdanakusuma dengan ketinggian 30 mdpl, Kemayoran dengan ketinggian 5 mdpl, dan Soekarno-Hatta dengan ketinggian 8 mdpl. Gambar 5 Peta administrasi DKI Jakarta (Sumber : Jakarta.go.id) Secara geografis, di sebelah utara Jakarta membentang pantai sepanjang 35 km, yang menjadi tempat bermuaranya 13 buah sungai dan 2 buah kanal. Di sebelah selatan dan timur berbatasan dengan Kota Depok, Kabupaten Bogor, Kota Bekasi dan Kabupaten Bekasi, sebelah barat dengan Kota Tangerang dan Kabupaten Tangerang, serta di sebelah utara dengan Laut Jawa. Secara geologis, seluruh dataran terdiri dari endapan pleistocene yang terdapat pada ± 50 m di bawah permukaan tanah. Bagian selatan terdiri atas lapisan alluvial, sedang dataran rendah pantai merentang ke bagian pedalaman sekitar 10 km. Di bawahnya terdapat lapisan endapan yang lebih tua yang tidak tampak pada permukaan tanah karena tertimbun seluruhnya oleh endapan alluvium (Suwargana 2005).

2 7 Gambar 6 Sebaran suhu udara ( o C) dan CH (mm) tahun 2009 stasiun Observatory DKI Jakarta (Sumber : BMKG 2009) Jakarta merupakan wilayah beriklim tropis, dengan suhu rata-rata o C, dan curah hujan per tahun 1303 mm (pada tahun 2009) seperti yang tercatat pada data iklim yang diplotkan Gambar 6 diatas, terlihat suhu udara di Jakarta tertinggi diwakili oleh bulan Agustus s.d. bulan Oktober, dan curah hujan tertinggi diwakili oleh bulan November hingga Januari. Laju pertumbuhan penduduk pada periode tahun sebesar 2.4 persen per tahun, menurun pada periode dengan laju 0.2 persen. Pada periode , laju pertumbuhan penduduk sebesar 1.1 persen per tahun (Bappeda 2011). 4.2 Pengolahan klasifikasi penutupan lahan pada LANDSAT Penentuan nilai RTH menggunakan penginderaan jauh dilakukan analisis menggunakan klasifikasi penutupan lahan dari citra Satelit LANDSAT TM/ETM+ menggunakan kanal 542 (RGB) true colour agar secara visualisasi terlihat jelas dan tajam perbedaan antara RTH, RTB, dan badan air. Diperoleh 6 jenis penutupan lahan dengan jenis yang berbeda pada setiap tipe penutupan lahan, dengan melihat tingkat kecerahan warnanya. Berdasarkan tingkat kecerahannya, terdapat diantaranya mempunyai jenis penutupan lahan yang sama, oleh karena itu diklasifikasi ulang kedalam tiga kelas diantaranya, RTH, lahan terbangun, dan badan air. RTH itu sendiri mempunyai tingkat kecerahan warna hijau yang terdiri dari hijau tua, hijau muda, dan hijau muda sangat halus, meliputi berbagai jenis vegetasi diantaranya pertamanan kota, pertanian kota, lapangan olahraga (golf, sepak bola, pacuan kuda), pemakaman, kebun campuran perkampungan warga, dsb. Lahan terbangun diwakili oleh tingkat kecerahan warna merah tua, merah muda, dan violet, meliputi: pemukiman, gedung, industri, dsb. Serta badan air diwakili oleh tingkat kecerahan warna biru tua dan hitam meliputi: laut, danau, sungai, dan situ. (a) (b) Gambar 7 (a) GPS, (b) citra LANDSAT RGB True color Penentuan tipe penutupan lahan digunakan teknik pengklasifikasian secara terbimbing (supervised clasification) dengan terjun langsung ke lapang, untuk melakukan training area atau pengecekan lapang dengan menggunakan alat Global Positioning system (GPS). Pengecekan lapang menggunakan GPS dilakukan untuk mengetahui koordinat penutupan lahan yang

3 8 sebenarnya terhadap kondisi penutupan lahan yang akan dilakukan klasifikasi pada citra yang diinterpretasi. Adapun terjun lapang harus memperhatikan wilayah mana yang akan dilakukan kunjungan untuk pengecekan lapang. Wilayah yang dilakukan pengecekan lapang yaitu wilayah yang terlihat kontras perbedaannya dari tahun 1992 ke tahun-tahun berikutnya, dengan mengetahui perbedaannya tingkat rona kecerahan pada landsat, dan juga memastikannya menggunakan data historis dari penduduk setempat sudah dapat diketahui kondisi lapang yang sebenarnya pada tahun akuisisi tersebut. Adapun wilayah yang dilakukan pengecekan yaitu wilayah yang mempunyai perubahan besar pada RTH, RTB, dan badan air. Untuk pemekaran RTB yaitu pada wilayah Jakarta timur, barat, dan selatan. Dimana pada wilayah Jakarta timur yaitu pada wilayah pondok kopi yang dahulu merupakan kebun campuran perkampungan pada tahun , sekarang telah menjadi pemukiman padat dan akses jalan baru. Dan wilayah Jakarta selatan yaitu di tebet yang merupakan pemakaman dan kebun campuran namun telah didirikan gedung apartemen dan pemukiman lainnya, sedangkan untuk wilayah cibubur yang dahulunya merupakan perkampungan yang terdiri dari berbagai kebun campuran sekarang menjadi kawasan perumahan elit dan sentra pertokoan. Untuk perubahan badan air dilakukan kunjungan ke wilayah utara yang mengalami perubahan besar, yaitu wilayah pantai indah kapuk dan pluit terjadinya pengurukan rawa dan air laut untuk pusat kawasan pemukiman elit dan sentra bisnis, sedangkan untuk wilayah yang masih terdapat badan air yaitu sunter dengan waduk dan danaunya. Tabel 1 Koordinat pengecekan lapang No S E Nama Tempat Keterangan 1 06 o 05'43.9" 106 o 43'04.5" Kamal Muara Pertambakan ikan 2 06 o 06'45.1" 106 o 45'12.7" PIK, Pluit Perubahan Badan air menjadi RTB (Pengurukan Rawa dan air laut menjadi pemukiman) 3 06 o 10'22.0" 106 o 43'54.0" Waduk Sunter Badan air (waduk buatan untuk rekreasi 4 06 o 09'32.0" 106 o 45'41.5" Sunter dan kawasan penyangga) Perubahan kebun campuran menjadi Jalan tol dan pemukiman 5 06 o 10'41.8" 106 o 49'32.2" Silang Monas RTH (Taman kota, Hutan kota, JHJ) 6 06 o 12'13.8" 106 o 48'41.3" Taman Suropati Taman Kota 7 06 o 13'41.8" 106 o 50'12.2" Taman Menteng Taman Kota 8 06 o 14'36.8" 106 o 56'10.6" Tebet Perubahan pemakaman menjadi RTB 9 06 o 11'58.2" 106 o 55'37.8" Pondok Kopi o 11'42.2" 106 o 54'38.1" Penggilingan Perubahan kebun campuran menjadi pemukiman Perubahan kebun campuran menjadi pemukiman 4.3 Nilai RTH dari Citra Satelit LANDSAT TM/ETM+ Untuk menentukan nilai luasan RTH pada LANDSAT hal yang harus dilakukan yaitu pengklasifikasian penutupan lahan yang telah dijelaskan pada sub-bab sebelumnya diperoleh tiga jenis tipe penutupan lahan diantaranya RTH, RTB, dan Badan air. Berikut merupakan hasil klasifikasi dari LANDSAT yang dibagi menjadi tiga jenis penutupan lahan di DKI Jakarta, sebagai berikut, Tabel 2 Luasan wilayah klasifikasi lahan LANDSAT DKI Jakarta (ha) Tahun RTH Lahan Badan Terbangun air

4 9 Tabel 3 Luasan wilayah klasifikasi lahan LANDSAT DKI Jakarta (%) Lahan Badan Tahun RTH Terbangun air Luasan wilayah DKI Jakarta yang diperoleh dari pengolahan LANDSAT yaitu sebesar km2, hal ini sedikit berbeda dengan luasan wilayah sesuai dengan Keputusan Gubernur Nomor 1227 Tahun 1989, karena luasan cropping pada LANDSAT sedikit lebih melebar, sehingga luasannya terakumulasi. Dari perolehan klasifikasi LANDSAT, nilai diatas menunjukkan, luasan RTH terus mengalami penurunan dari tahun 1992 hingga tahun 2006, yaitu dari Ha menjadi Ha, Hal ini menjelaskan bahwa, wilayah Jakarta mengalami pengurangan RTH sebesar Ha atau sebesar 22.9 % dari luasan total wilayah Jakarta. Dan sebaliknya, luasan lahan terbangun semakin meningkat dari tahun 1992 hingga tahun 2006, yaitu dari Ha menjadi Ha, yang berarti lahan terbangun mengalami peningkatan sebesar Ha atau sebesar 23.1% dari luasan total wilayah Jakarta. Gambar 8 Dinamika tutupan lahan DKI Jakarta (a) (b) (c) Gambar 9 Tiga jenis bentuk penutupan lahan di wilayah DKI Jakarta: (a) RTH (lokasi : Taman Suropati), (b) Lahan terbangun (lokasi : Kota Jakarta) (c) Badan air (lokasi: Waduk Sunter). Perubahan yang terjadi di DKI Jakarta pada periode tahun 1992 s.d tahun 2006 diantaranya Urban atau penambahan RTB yang terjadi melalui pemekaran pemukiman yang semakin bertambah ke wilayah Jakarta timur, Barat, dan Selatan, distribusinya terlihat pada Gambar 10 s.d gambar 16 terutama sekitar perbatasan Bekasi, Tanggerang dan Bogor. Untuk perubahan RTH terlihat perbedaan yang cukup

5 10 mencolok dari tahun 1992 ke tahun 1997 dst. Terlihat warna hijau masih cukup luas pada tahun 1992 namun sudah berkurang menjadi warna bekas RTH menjadi merah, hal ini hampir di seluruh wilayah DKI Jakarta banyak mengalami perubahan menjadi urban, terutama wilayah Jakarta Pusat dan Utara keberadaan RTH semakin sedikit. Untuk Badan air seperti danau, sungai, rawa yang merupakan daerah penyangga air nampak semakin kritis kondisinya, lingkungannya sudah tercemar, dan sungai yang melewati kota semakin kotor, sehingga sering terjadi genangan air terutama di wilayah sekitar bantaran sungai dan sekitar muara sungai akibat proses sedimentasi endapan lumpur akibat sampah/limbah, sedangkan untuk danau dan rawa semakin berkurang karena semakin bertambahnya bangunan yang diperuntukkan untuk pemukiman yang secara besar-besaran terjadi pada wilayah Jakarta utara yaitu daerah sunter, pulo mas, pluit dan pantai indah kapuk dimana rawa dan danau diuruk menjadi pemukiman. Dan pada tahun 2006, terdapatnya sedikit penambahan badan air dikarenakan dibangunnya beberapa banjir kanal dibeberapa wilayah. Gambar 10 Klasifikasi lahan citra LANDSAT TM/ETM+ Tahun 1992 DKI Jakarta. Gambar 11 Klasifikasi lahan citra LANDSAT TM/ETM+ Tahun 1997 DKI Jakarta. Gambar 12 Klasifikasi lahan citra LANDSAT TM/ETM+ Tahun 1999 DKI Jakarta. Gambar 13 Klasifikasi lahan citra LANDSAT TM/ETM+ Tahun 2000 DKI Jakarta Gambar 14 Klasifikasi lahan citra LANDSAT TM/ETM+ Tahun 2001 DKI Jakarta. Gambar 15 Klasifikasi lahan citra LANDSAT TM/ETM+ Tahun 2004 DKI Jakarta.

6 11 Gambar 16 Klasifikasi lahan citra LANDSAT TM/ETM+ Tahun 2006 DKI Jakarta. Luasan RTH pada tahun 1992 sebesar 42.2 % (Tabel 3), hal ini menunjukkan wilayah DKI Jakarta pada tahun tersebut masih dinyatakan layak, karena Moll (1997) merekomendasikan bahwa suatu kota akan lebih efektif bila luasan RTH 40% dari luasan kota. Namun luasan RTH sebesar 42.2 % di Jakarta, tidak mewakili wilayahwilayah lainnya di bagian kotamadya Jakarta. Hal ini dikarenakan pada umumya wilayah yang mengalami pembangunan pesat yaitu wilayah pusat, hampir di wilayah tersebut sangat sedikit luasan RTH, bahkan dari tahun 1992 wilayah Jakarta pusat sudah dipadati oleh pemukiman dan bangunan dibandingkan dengan wilayah jakarta lainnya. Seperti yang tercatat pada Dinas Tata Ruang (2006), Luasan RTH yang paling sedikit yaitu terdapat pada wilayah Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan, luasnya berturutturut sebesar 5.6 % dan 3.0 % dari luasan total wilayah kotamadya tersebut, sedangkan untuk wilayah Jakarta Timur, Jakarta Utara, dan Jakarta Barat masih memiliki luasan RTH yang lebih besar dibandingkan dengan wilayah Jakarta Pusat dan Selatan, yaitu berturut-turut sebesar 12.0 %, 16.9 %, dan 13.4 %, seperti pada tabel berikut, Tabel 4 Luasan wilayah DKI Jakarta tahun 2006 (%) Wilayah RTH Lahan Badan terbangun air Pusat Selatan Timur Utara Barat (Sumber : Dinas Tata Ruang 2006) Dinamika penutupan lahan Jakarta digambarkan pada Gambar 8, dimana grafik RTH semakin menunjukkan penurunan dan Grafik Lahan terbangun semakin menunjukkan peningkatan secara signifikan. Hal ini merupakan kebutuhan pembangunan suatu ibukota yang semakin meningkat setiap tahunnya untuk mengikuti tren perkembangan zaman. Suatu wilayah perkotaan menjadi wilayah yang semakin maju dan berkembang, disamping itu padatnya lahan dan area pemukiman disebabkan karena meningkatnya akan permintaan lahan bagi penduduk untuk menempati wilayah. Walaupun terdapat penambahan beberapa RTH di beberapa wilayah di Jakarta, tetapi penambahan tersebut tidak berpengaruh, hal ini dikarenakan, luasan penambahan lahan terbangun lebih besar dibandingkan dengan luasan penambahan RTH. Hal ini telah diupayakan oleh pemerintah dalam menata pembangunan tatakota yang lebih nyaman, yaitu dengan dibangunnya beberapa RTH pada suatu wilayah tertentu oleh Dinas tata ruang Jakarta seperti taman kota atau hutan kota, namun penambahan luasan RTH tersebut belum memenuhi syarat dan kriteria luasan kenyamanan suatu kota yang efektif yaitu pengadaan RTH sebesar 40 % dari luasan total suatu kota tersebut (Moll 1997). 4.4 Nilai Suhu Permukaan dari Citra LANDSAT TM/ETM+ Penentuan suhu permukaan di wilayah Jakarta digunakan ekstraksi LANDSAT. Ekstraksi LANDSAT memberikan informasi yang relatif banyak dengan cakupan wilayah yang luas, karena LANDSAT dapat memberikan informasi per piksel pada setiap wilayahnya. Ekstraksi suhu pada LANDSAT hanya dapat digunakan pada kanal thermal yaitu kanal 6, suhu yang terbaca pada LANDSAT merupakan permukaan bagian terluar dari objek yang tertangkap oleh citra, sehingga setiap penutupan lahan dalam citra LANDSAT mempengaruhi nilai suhu permukaannya. Hal ini dikarenakan oleh sifat emisivitas dan konduktifitas termal pada suatu penutupan lahan. Suhu permukaan berpengaruh terhadap fluks bahang terasa (sensible heat), terutama pada siang hari, hal ini dikarenakan suhu permukaan suatu benda lebih tinggi dari suhu udara (Mannstein 1987). Suhu permukaan dalam citra digambarkan dalam

7 12 cakupan suatu pixel dengan berbagai tipe permukaan yang berbeda. Dalam menentukan nilai suhu permukaan yang terdapat pada LANDSAT, dilakukan dengan merata-ratakan selang interval pada masing-masing histogramnya yang merupakan output dari suhu permukaan secara keseluruhan pada wilayah kajian, dimana suhu yang terdapat pada histogram menginterpretasikan nilai suhu permukaan yang tertinggi hingga terendah. Tabel 5 Interval suhu permukaan LANDSAT pada histogram Interval suhu Tahun permukaan oc oc oc oc oc oc oc untuk nilai suhu permukaan tertinggi dengan gradasi warna kuning hingga merah diwakili oleh RTB. Gambar 18 Sebaran suhu permukaan (oc) LANDSAT tahun Gambar 19 Sebaran suhu permukaan (oc) LANDSAT tahun Gambar 17 Contoh Interval suhu permukaan pada histogram (gambar akuisisi : 18 Mei 2006). Nilai suhu permukaan pada histogram merupakan nilai suhu permukaan secara keseluruhan pada wilayah Jakarta, dimana selang suhu permukaan pada histogram mewakili semua jenis penutupan lahan (RTH, RTB, Badan air) yang diwakili oleh tingkat kecerahan warna atau rona, selang tersebut menyatakan nilai suhu permukaan dari terendah hingga tertinggi dengan tingkat kecerahan warna atau rona dari biru hingga merah (Gambar 17), sehingga untuk nilai suhu permukaan yang rendah dengan gradasi warna biru tua hingga biru muda diwakili oleh badan air dan penutupan awan, dan Gambar 20 Sebaran suhu permukaan (oc) LANDSAT tahun Gambar 21 Sebaran suhu permukaan (oc) LANDSAT tahun 2000.

8 13 Gambar 22 Sebaran suhu permukaan ( o C) LANDSAT tahun Tabel 6 Sebaran suhu ( o C) permukaan pada penutupan lahan di Jakarta dari LANDSAT. Tahun RTH Lahan Badan terbangun air Gambar 23 Sebaran suhu permukaan ( o C) LANDSAT tahun Gambar 24 Sebaran suhu permukaan ( o C) LANDSAT tahun Dari gambar diatas menunjukkan, hasil suhu permukaan dari suhu tinggi ke rendah yaitu terdapat pada gradasi warna dari biru, hijau, kuning, dan merah. Warna merah secara umum mempresentasikan lahan terbangun dengan suhu yang sangat tinggi yaitu kisaran 29 o C-42 o C, sedangkan untuk RTH yaitu kisaran 27 o C-30 o C, dan untuk badan air yaitu berkisar o C. Penentuan nilai suhu permukaan RTH, RTB, dan badan air pada LANDSAT, dilakukan dengan merata-ratakan suhu permukaan penutupan lahan tersebut pada setiap piksel dengan mengklik pada area penutupan lahan tersebut, lalu dirata-ratakan per pikselnya. Gambar 25 Sebaran suhu permukaan ( o C) pada setiap penutupan lahan. Dari penutupan lahan diatas, didapatkan pada RTH mempunyai nilai suhu permukaan yang lebih rendah dibandingkan dengan lahan terbangun (RTB) hal ini dikarenakan RTH mempunyai kapasitas panas yang lebih besar dibandingkan dengan RTB, sedangkan untuk badan air, mempunyai kapasitas panas terbesar karena terjadi penyerapan kalornya tinggi dan pelepasannya secara lambat melalui evaporasi sehingga suhu permukaan pada badan air yang tertangkap oleh citra nilainya sangat rendah dibandingkan dengan penutupan lahan lainnya. Sifat emisivitas suatu objek sangat berpengaruh terhadap suhu permukaannya, emissivitas merupakan kemampuan benda untuk menyerap radiasi dimana untuk setiap permukaan nilai emissivitas berbeda-beda, bergantung dari kemampuan benda tersebut menyerap radiasi matahari. Suatu obyek dipermukaan yang memiliki emisivitas dan kapasitas panas jenis rendah, sedangkan konduktivitas termalnya tinggi akan menyebabkan suhu permukaannya meningkat, dan sebaliknya. Suhu permukaan akan mempengaruhi jumlah energi untuk memindahkan panas dari permukaan ke udara (Lillesand dan Kiefer 1997). Untuk RTH memiliki emisivitas 0.95, sedangkan untuk RTB 0.92, hal ini menunjukkan RTH mempunyai nilai emissivitas yang lebih besar dibandingkan

9 14 dengan RTB, sehingga RTH mempunyai kemampuan yang lebih besar dalam menyerap radiasi surya dibandingkan dengan RTB, oleh karenanya, RTH mempunyai nilai suhu permukaan yang lebih rendah dibandingkan dengan RTB. Sedangkan untuk badan air, nilai emisivitasnya terbesar dibandingkan dengan RTH dan RTB sehingga suhu permukaan badan air dinilai sangat rendah dibandingkan dengan penutupan lahan lainnya. 4.5 Hubungan Suhu Permukaan ( o C) dengan RTH (%) Dengan memperoleh hasil keluaran berupa nilai RTH dengan suhu permukaan dari pengolahan LANDSAT tahun 1992 s.d 2006 secara sekaligus, dapat diketahui hubungan antara nilai RTH dan suhu permukaan dengan mengkorelasikan nilainya, nilai RTH yang digunakan untuk dikorelasikan dengan suhu permukaan yaitu luasan RTH pada masing-masing akuisisi yang dihasilkan dalam persen (%). Tabel 7 Luasan RTH (%) pada LANDSAT Tahun RTH Suhu permukaan yang digunakan untuk dikorelasikan dengan RTH merupakan suhu permukaan yang di rata-ratakan per piksel dari satu titik stasiun, dilakukan penitikan pada radius stasiun tertentu dengan tujuan untuk mewakili sebaran suhu di wilayah seluruh Jakarta, yaitu stasiun Soekarno-hatta yang diwakili pada radius point A, stasiun Tj. Priuk diwakili oleh point B, stasiun Kemayoran diwakili oleh point C, dan Halim Perdanakusuma diwakili oleh point D. Dalam satu penitikan menghasilkan sembilan nilai suhu permukaan sehingga dirata-ratakan itu merupakan hasil dari nilai suhu permukaan pada stasiun tersebut, Gambar 26 Penentuan suhu permukaan di empat titik (gambar akuisisi : 21 Juni 2004). Tabel 8 Nilai suhu permukaan ( o C) LANDSAT pada masing-masing stasiun. Tahun Kemayoran Priuk Halim PK Sukarno Hatta Dengan merata-ratakan nilai suhu permukaan pada masing-masing stasiun pada tabel diatas (Tabel 8), diperoleh nilai rataan per akuisisi untuk dikorelasikan dengan luasan RTH (%) yang terdapat pada tabel 9 berikut, Tabel 9 Nilai suhu permukaan dan RTH Tahun Ts ( o C) RTH (%)

10 15 mendapat tahun yang lebih terbaru, karena data citra satelit LANDSAT yang terbaru mempunyai kerusakan pada sensornya. Upaya mewujudkan ruang yang nyaman, produktif dan berkelanjutan, maka diperlukan perencanaan tata ruang kota Jakarta, serta penambahan luasan RTH sesuai dengan syarat keefektifan suatu kota guna menambah kenyamanan dan menjaga unsur komponen iklim disekitarnya. Gambar 27 Korelasi hubungan suhu permukaan ( o C) dengan RTH (%) Terlihat pada Gambar 27 grafik hubungan antara RTH dan suhu permukaan apabila nilai RTH rendah maka suhu permukaan tinggi dan sebaliknya, sehingga untuk mendapatkan nilai suhu permukaan yang rendah, diperlukan luasan RTH yang besar. Suhu permukaan sangat bergantung terhadap jenis penutupan lahannya, RTH mempunyai suhu permukaan yang rendah dibandingkan dengan RTB, sehingga untuk menurunkan suhu permukaan suatu wilayah perlu dilakukan penambahan luasan RTH. V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Luasan RTH dari tahun 1992 s.d 2006 mengalami penurunan sebesar 20.9 %. Penurunan ini dibarengi dengan peningkatan lahan terbangun (RTB). Suhu permukaan dari ekstraksi LANDSAT, tertinggi diinterpretasikan dengan RTB, kemudian RTH dan suhu permukaan terendah diwakili oleh badan air. Peningkatan (RTB), menyebabkan terjadinya peningkatan suhu permukaan. Suhu permukaan sangat dipengaruhi oleh kondisi tutupan lahannya. Hubungan RTH dengan suhu permukaan diantaranya apabila untuk mencapai suhu permukaan yang rendah maka diperlukan luasan RTH (%) yang lebih besar. 5.2 Saran Dalam penelitian ini sebaiknya dilakukan pengecekan lapang menggunakan koordinat bumi yang lebih banyak guna mengetahui kondisi lapang yang sebenarnya, dan penggunaan analisis suhu permukaan lebih ditekankan, serta sebaiknya menggunakan data citra satelit lain guna VI. DAFTAR PUSTAKA Atkinson, B. W Numerical Modelling Of Urban Heat Island Intensity. Boundary-Layer Meteorology 109 (3): Bappeda DKI Jakarta. [Terhubung berkala : Jakarta.go.id] (30 Juli 2011). Dinas Tata Ruang Tematik DKI Jakarta. Jakarta : Dinas Tata Ruang. Effendy, S Keterkaitan Ruang Terbuka Hijau Dengan Urban Heat Island Wilayah JABOTABEK. [Disertasi] Program Pascasarjana- IPB. Bogor. Handoko Klimatologi Dasar. Pustaka Jaya: Jakarta. Irwan, Z. D Peranan Bentuk Dan Struktur Hutan Kota Terhadap Kualitas Lingkungan Kota: Studi Kasus Lokasi Pemukiman Kota Jakarta. [Disertasi] Program Pascasarjana-IPB. Bogor. Lab. Perencanaan Lanskap (LPL) Ruang Terbuka Hijau (RTH) Wilayah Perkotaan. (Makalah Lokakarya PENGEMBANGAN SISTEM RTH DI PERKOTAAN Direktorat Jenderal Penataan Ruang Departemen Pekerjaan Umum). Departemen Arsitektur Lanskap Fakultas Pertanian IPB. Lillesand, TM dan Kiefer, RW Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra Penginderaan Jauh [Terjemahan] UGM Press. Yogyakarta.

HUBUNGAN RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) DAN SUHU PERMUKAAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT TM/ETM+ (STUDI KASUS : DKI JAKARTA) DIAN KUSUMAWARDANI

HUBUNGAN RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) DAN SUHU PERMUKAAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT TM/ETM+ (STUDI KASUS : DKI JAKARTA) DIAN KUSUMAWARDANI HUBUNGAN RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) DAN SUHU PERMUKAAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT TM/ETM+ (STUDI KASUS : DKI JAKARTA) DIAN KUSUMAWARDANI DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3Perubahan tutupan lahan Jakarta tahun 1989 dan 2002.

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3Perubahan tutupan lahan Jakarta tahun 1989 dan 2002. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi geografis daerah kajian Kota Jakarta merupakan ibukota Republik Indonesia yang berkembang pada wilayah pesisir. Keberadaan pelabuhan dan bandara menjadikan Jakarta

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 6 3.3.5 Persamaan Hubungan RTH dengan Suhu Udara Penjelasan secara ilmiah mengenai laju pemanasan/pendinginan suhu udara akibat pengurangan atau penambahan RTH adalah mengikuti hukum pendinginan Newton,

Lebih terperinci

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : NDVI=(band4 band3)/(band4+band3).18 Nilai-nilai indeks vegetasi di deteksi oleh instrument pada

Lebih terperinci

BAB III Data Lokasi 3.1. Tinjauan Umum DKI Jakarta Kondisi Geografis

BAB III Data Lokasi 3.1. Tinjauan Umum DKI Jakarta Kondisi Geografis BAB III Data Lokasi 3.1. Tinjauan Umum DKI Jakarta 3.1.1. Kondisi Geografis Mengacu kepada Laporan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah Akhir Masa Jabatan 2007 2012 PemProv DKI Jakarta. Provinsi DKI Jakarta

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 9. Peta Orientasi Wilayah Kecamatan Beji, Kota Depok

METODE PENELITIAN. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 9. Peta Orientasi Wilayah Kecamatan Beji, Kota Depok III. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kecamatan Beji sebagai pusat Kota Depok, Jawa Barat yang berbatasan langsung dengan Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Penelitian

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penutupan Lahan Tahun 2003 2008 4.1.1 Klasifikasi Penutupan Lahan Klasifikasi penutupan lahan yang dilakukan pada penelitian ini dimaksudkan untuk membedakan penutupan/penggunaan

Lebih terperinci

KONDISI UMUM. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 12. Peta Adminstratif Kecamatan Beji, Kota Depok

KONDISI UMUM. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 12. Peta Adminstratif Kecamatan Beji, Kota Depok IV. KONDISI UMUM 4.1 Lokasi Administratif Kecamatan Beji Secara geografis Kecamatan Beji terletak pada koordinat 6 21 13-6 24 00 Lintang Selatan dan 106 47 40-106 50 30 Bujur Timur. Kecamatan Beji memiliki

Lebih terperinci

Tabel 7. Luas wilayah tiap-tiap kabupaten di Provinsi Jawa Barat. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 7. Luas wilayah tiap-tiap kabupaten di Provinsi Jawa Barat. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. 1. Kondisi Geografis Wilayah Provinsi Jawa Barat Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak antara 5 54' - 7 45' LS dan 106 22' - 108 50 BT dengan areal seluas 37.034,95

Lebih terperinci

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian 22 METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Sukabumi, Jawa Barat pada 7 wilayah kecamatan dengan waktu penelitian pada bulan Juni sampai November 2009. Pada lokasi penelitian

Lebih terperinci

Gambar 10. Peta Jakarta dan Teluk Jakarta

Gambar 10. Peta Jakarta dan Teluk Jakarta IV. KONDISI UMUM WILAYAH STUDI 4.1. Kondisi Geografis Kota Jakarta merupakan dataran rendah dengan ketinggian rata-rata ± 7 meter di atas permukaan laut, terletak pada posisi 6 12' Lintang Selatan dan

Lebih terperinci

IV KONDISI UMUM TAPAK

IV KONDISI UMUM TAPAK IV KONDISI UMUM TAPAK 4.1 Letak, Luas, dan Batas Tapak Secara geografis kawasan Gunung Kapur Cibadak Ciampea terletak pada 16 32 BT 16 35 46 BT dan 6 36 LS 6 55 46 LS. Secara administratif terletak di

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN BAB IV KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1. Sejarah Kota Bekasi Berdasarkan Undang-Undang No 14 Tahun 1950, terbentuk Kabupaten Bekasi. Kabupaten bekasi mempunyai 4 kawedanan, 13 kecamatan, dan 95 desa.

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang.

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang. III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-Oktober 2010. Lokasi penelitian di Kota Palembang dan Laboratorium Analisis Spasial Lingkungan, Departemen Konservasi Sumberdaya

Lebih terperinci

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 92 IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 4.1. Kota Bekasi dalam Kebijakan Tata Makro Analisis situasional daerah penelitian diperlukan untuk mengkaji perkembangan kebijakan tata ruang kota yang terjadi

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik 4.1.1 Wilayah Administrasi Kota Bandung merupakan Ibukota Propinsi Jawa Barat. Kota Bandung terletak pada 6 o 49 58 hingga 6 o 58 38 Lintang Selatan dan 107 o 32 32 hingga

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 45 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Deskripsi Lokasi Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta merupakan dataran rendah dan landai dengan ketinggian rata-rata 7 meter di atas permukaan laut, terletak pada posisi

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM PENELITIAN

IV. KONDISI UMUM PENELITIAN 33 IV. KONDISI UMUM PENELITIAN 4.1. Letak Geografis dan Peta Lokasi Penelitian a. Letak Geografis Jakarta Timur Kecamatan Ciracas dan Jatinegara merupakan salah satu kecamatan yang terletak di jakarta

Lebih terperinci

ix

ix DAFTAR ISI viii ix x DAFTAR TABEL Tabel 1.1. Emisivitas dari permukaan benda yang berbeda pada panjang gelombang 8 14 μm. 12 Tabel 1.2. Kesalahan suhu yang disebabkan oleh emisivitas objek pada suhu 288

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Provinsi DKI Jakarta terletak pada posisi Lintang Selatan dan Bujur

BAB I PENDAHULUAN. Provinsi DKI Jakarta terletak pada posisi Lintang Selatan dan Bujur BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Provinsi DKI Jakarta terletak pada posisi 6 0 12 Lintang Selatan dan 106 0 48 Bujur Timur. Sebelah Utara Propinsi DKI Jakarta terbentang pantai dari Barat

Lebih terperinci

Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997

Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997 LAMPIRAN Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997 17 Lampiran 2. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 2006 18 Lampiran 3. Peta sebaran suhu permukaan Kodya Bogor tahun

Lebih terperinci

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Lokasi penelitian ini meliputi wilayah Kota Palangkaraya, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kabupaten Seruyan, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kabupaten Katingan, Kabupaten

Lebih terperinci

APLIKASI PJ UNTUK PENGGUNAAN TANAH. Ratna Saraswati Kuliah Aplikasi SIG 2

APLIKASI PJ UNTUK PENGGUNAAN TANAH. Ratna Saraswati Kuliah Aplikasi SIG 2 APLIKASI PJ UNTUK PENGGUNAAN TANAH Ratna Saraswati Kuliah Aplikasi SIG 2 Prosedur analisis citra untuk penggunaan tanah 1. Pra-pengolahan data atau pengolahan awal yang merupakan restorasi citra 2. Pemotongan

Lebih terperinci

BAB III KONDISI EKSISTING DKI JAKARTA

BAB III KONDISI EKSISTING DKI JAKARTA BAB III KONDISI EKSISTING DKI JAKARTA Sejalan dengan tingginya laju pertumbuhan penduduk kota Jakarta, hal ini berdampak langsung terhadap meningkatnya kebutuhan air bersih. Dengan meningkatnya permintaan

Lebih terperinci

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4.1. Latar Belakang Sebagaimana diuraikan terdahulu (Bab 1), DAS merupakan suatu ekosistem yang salah satu komponen penyusunannya adalah vegetasi terutama berupa hutan dan perkebunan

Lebih terperinci

Nilai Io diasumsikan sebagai nilai R s

Nilai Io diasumsikan sebagai nilai R s 11 Nilai Io diasumsikan sebagai nilai R s, dan nilai I diperoleh berdasarkan hasil penghitungan nilai radiasi yang transmisikan oleh kanopi tumbuhan, sedangkan nilai koefisien pemadaman berkisar antara

Lebih terperinci

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 7 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Geografis Kabupaten Karawang Wilayah Kabupaten Karawang secara geografis terletak antara 107 02-107 40 BT dan 5 56-6 34 LS, termasuk daerah yang relatif rendah

Lebih terperinci

PETA SUNGAI PADA DAS BEKASI HULU

PETA SUNGAI PADA DAS BEKASI HULU KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN Sub DAS pada DAS Bekasi Hulu Berdasarkan pola aliran sungai, DAS Bekasi Hulu terdiri dari dua Sub-DAS yaitu DAS Cikeas dan DAS Cileungsi. Penentuan batas hilir dari DAS Bekasi

Lebih terperinci

BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN. Secara Geografis Kota Depok terletak di antara Lintang

BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN. Secara Geografis Kota Depok terletak di antara Lintang BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1. Letak, Luas dan Batas Wilayah Secara Geografis Kota Depok terletak di antara 06 0 19 06 0 28 Lintang Selatan dan 106 0 43 BT-106 0 55 Bujur Timur. Pemerintah

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM KOTA TANGERANG SELATAN

GAMBARAN UMUM KOTA TANGERANG SELATAN GAMBARAN UMUM KOTA TANGERANG SELATAN Letak Geografis dan Luas Wilayah Kota Tangerang Selatan terletak di timur propinsi Banten dengan titik kordinat 106 38-106 47 Bujur Timur dan 06 13 30 06 22 30 Lintang

Lebih terperinci

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 23 IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak Geografis dan Batas Wilayah Kabupaten Tabalong merupakan salah satu kabupaten yang terdapat di Provinsi Kalimantan Selatan dengan ibukota Tanjung yang mempunyai

Lebih terperinci

3 METODE. Lokasi dan Waktu Penelitian

3 METODE. Lokasi dan Waktu Penelitian 8 3 METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian adalah Kabupaten Bogor Jawa Barat yang secara geografis terletak pada 6º18 6º47 10 LS dan 106º23 45-107º 13 30 BT. Lokasi ini dipilih karena Kabupaten

Lebih terperinci

V KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

V KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN V KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 5. 1. Letak Geografis Kota Depok Kota Depok secara geografis terletak diantara 106 0 43 00 BT - 106 0 55 30 BT dan 6 0 19 00-6 0 28 00. Kota Depok berbatasan langsung dengan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Suhu Udara Perkotaan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Suhu Udara Perkotaan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Suhu Udara Perkotaan Menurut Santosa (1986), kepadatan penduduk kota yang cukup tinggi akan mengakibatkan bertambahnya sumber kalor sebagai akibat dari aktifitas dan panas metabolisme

Lebih terperinci

KONDISI UMUM. Tabel 13 Letak geografis Jakarta Pusat

KONDISI UMUM. Tabel 13 Letak geografis Jakarta Pusat 26 KONDISI UMUM Keadaan Geografis Keadaan geografis Kota administrasi Jakarta Pusat yaitu terletak antara 106º.22.42 BT sampai dengan 106º.58.18 BT dan 5º19,12 LS sampai dengan 6º.23 54 LS. Permukaan tanahnya

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PEMETAAN DAERAH BANJIR

BAB 3 METODE PEMETAAN DAERAH BANJIR BAB 3 METODE PEMETAAN DAERAH BANJIR Metode pemetaan daerah banjir dilakukan dengan menggunakan DEM (Digital Elevation Model) wilayah DKI Jakarta yang merupakan hasil dari pengolahan data kontur DKI Jakarta

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. tidak terkecuali pada daerah-daerah di Indonesia. Peningkatan urbanisasi ini akan

BAB 1 PENDAHULUAN. tidak terkecuali pada daerah-daerah di Indonesia. Peningkatan urbanisasi ini akan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada beberapa tahun terakhir, kegiatan urbanisasi semakin meningkat, tidak terkecuali pada daerah-daerah di Indonesia. Peningkatan urbanisasi ini akan berdampak dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumatera Utara memiliki luas total sebesar 181.860,65 Km² yang terdiri dari luas daratan sebesar 71.680,68 Km² atau 3,73 % dari luas wilayah Republik Indonesia. Secara

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Citra Digital Interpretasi dilakukan dengan pembuatan area contoh (training set) berdasarkan pengamatan visual terhadap karakteristik objek dari citra Landsat. Untuk

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5.1 Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Wilayah Pengembangan Tegallega pada Tahun

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5.1 Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Wilayah Pengembangan Tegallega pada Tahun V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penghitungan Aspek Kependudukan Kependudukan merupakan salah satu bagian dari aspek sosial pada Wilayah Pengembangan Tegallega. Permasalahan yang dapat mewakili kondisi kependudukan

Lebih terperinci

KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI)

KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI) 1 KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI) Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai

Lebih terperinci

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 40 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Letak Geografis dan Administrasi Lokasi penelitian berada di Kelurahan Pasir Putih, Kecamatan Sawangan, Kota Depok seluas 462 ha. Secara geografis daerah penelitian terletak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Kota adalah pusat pertumbuhan yang ditandai dengan perkembangan jumlah penduduk (baik karena proses alami maupun migrasi), serta pesatnya pembangunan sarana dan

Lebih terperinci

LOKASI PENELITIAN 12/20/2011. Latar Belakang. Tujuan. Manfaat. Kondisi Umum

LOKASI PENELITIAN 12/20/2011. Latar Belakang. Tujuan. Manfaat. Kondisi Umum 12/2/211 Pengembangan Ruang Terbuka Hijau Berdasarkan Distribusi Suhu Permukaan dan Temperature Humidity Index (THI) di Kota Palembang Muis Fajar E3462536 Dosen Pembimbing Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo,

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5. 1. Penggunaan Lahan 5.1.1. Penggunaan Lahan di DAS Seluruh DAS yang diamati menuju kota Jakarta menjadikan kota Jakarta sebagai hilir dari DAS. Tabel 9 berisi luas DAS yang menuju

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Inventarisasi Tahap inventarisasi merupakan tahap yang dilakukan untuk mengumpulkan data-data yang mendukung dan dibutuhkan pada perencanaan jalur hijau jalan ini. Berdasarkan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penutupan Lahan 5.1.1 Penutupan lahan Kabupaten Sidoarjo Penutupan lahan (land cover) merupakan perwujudan fisik dari obyek dan yang menutupi permukaan tanpa mempersoalkan

Lebih terperinci

Gambar 13. Citra ALOS AVNIR

Gambar 13. Citra ALOS AVNIR 32 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Citra ALOS AVNIR Citra yang digunakan pada penelitian ini adalah Citra ALOS AVNIR tahun 2006 seperti yang tampak pada Gambar 13. Adapun kombinasi band yang digunakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Lokasi Kesampaian Daerah Daerah penelitian secara administratif termasuk ke dalam wilayah Kampung Seibanbam II, Kecamatan Angsana, Kabupaten Tanah Bumbu, Propinsi Kalimantan Selatan.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o o LU. (perhitungan luas menggunakan perangkat GIS).

TINJAUAN PUSTAKA. Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o o LU. (perhitungan luas menggunakan perangkat GIS). TINJAUAN PUSTAKA Daerah Aliran Sungai (DAS) Besitang Sekilas Tentang DAS Besitang Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o 45 04 o 22 44 LU dan 97 o 51 99 o 17 56 BT. Kawasan DAS Besitang melintasi

Lebih terperinci

KAJIAN UMUM WILAYAH Wilayah Administrasi, Letak Geografis dan Aksesbilitas

KAJIAN UMUM WILAYAH Wilayah Administrasi, Letak Geografis dan Aksesbilitas KAJIAN UMUM WILAYAH Pengembangan Kota Terpadu Mandiri (KTM) di Kawasan Transmigrasi dirancang dengan kegiatan utamanya pertanian termasuk pengelolaan sumberdaya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai

Lebih terperinci

KONDISI UMUM WILAYAH. Administrasi dan Teknis

KONDISI UMUM WILAYAH. Administrasi dan Teknis 22 KONDISI UMUM WILAYAH Administrasi dan Teknis Kanal Banjir Timur (KBT) memiliki panjang total ± 23,5 km dengan kedalaman di hulu 3 m dan di hilir 7 m. Kanal Banjir Timur melewati 11 kelurahan di Jakarta

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN UMUM WILAYAH STUDI

BAB III GAMBARAN UMUM WILAYAH STUDI BAB III GAMBARAN UMUM WILAYAH STUDI Bab ini menjelaskan mengenai gambaran umum Kota Bekasi, Kecamatan Bekasi Selatan dan kondisi eksiting Ruang Terbuka Hijau Kecamatan Bekasi, Kota Bekasi. 3.1 Gambaran

Lebih terperinci

BAB III METODA ANALISIS. desa. Jumlah desa di setiap kecamatan berkisar antara 6 hingga 13 desa.

BAB III METODA ANALISIS. desa. Jumlah desa di setiap kecamatan berkisar antara 6 hingga 13 desa. BAB III METODA ANALISIS 3.1 Lokasi Penelitian Kabupaten Bekasi dengan luas 127.388 Ha terbagi menjadi 23 kecamatan dengan 187 desa. Jumlah desa di setiap kecamatan berkisar antara 6 hingga 13 desa. Sungai

Lebih terperinci

RINGKASAN MATERI INTEPRETASI CITRA

RINGKASAN MATERI INTEPRETASI CITRA Lampiran 1 Ringkasan Materi RINGKASAN MATERI INTEPRETASI CITRA 1 Pengertian Intepretasi Citra Inteprtasi Citra adalah kegiatan menafsir, mengkaji, mengidentifikasi, dan mengenali objek pada citra, selanjutnya

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Kondisi Geografis LS dan BT. Beriklim tropis dengan

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Kondisi Geografis LS dan BT. Beriklim tropis dengan III. KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI A. Kondisi Geografis Secara geografis Kabupaten Tebo terletak diantara titik koordinat 0 52 32-01 54 50 LS dan 101 48 57-101 49 17 BT. Beriklim tropis dengan ketinggian

Lebih terperinci

Tabel 3 Kecamatan dan luas wilayah di Kota Semarang (km 2 )

Tabel 3 Kecamatan dan luas wilayah di Kota Semarang (km 2 ) 8 Tabel 3 Kecamatan dan luas wilayah di Kota Semarang (km 2 ) (Sumber: Bapeda Kota Semarang 2010) 4.1.2 Iklim Berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMD) Kota Semarang tahun 2010-2015, Kota

Lebih terperinci

KONDISI UMUM BANJARMASIN

KONDISI UMUM BANJARMASIN KONDISI UMUM BANJARMASIN Fisik Geografis Kota Banjarmasin merupakan salah satu kota dari 11 kota dan kabupaten yang berada dalam wilayah propinsi Kalimantan Selatan. Kota Banjarmasin secara astronomis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap pembangunan menimbulkan suatu dampak baik itu dampak terhadap ekonomi, kehidupan sosial, maupun lingkungan sekitar. DKI Jakarta sebagai kota dengan letak yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kota Palembang adalah 102,47 Km² dengan ketinggian rata-rata 8 meter dari

BAB I PENDAHULUAN. Kota Palembang adalah 102,47 Km² dengan ketinggian rata-rata 8 meter dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Palembang terletak pada 2 59 27.99 LS-104 45 24.24 BT. Luas wilayah Kota Palembang adalah 102,47 Km² dengan ketinggian rata-rata 8 meter dari permukaan laut. Palembang

Lebih terperinci

KONDISI UMUM LOKASI. Gambaran Umum Kabupaten Cirebon

KONDISI UMUM LOKASI. Gambaran Umum Kabupaten Cirebon KONDISI UMUM LOKASI Gambaran Umum Kabupaten Cirebon Letak Administrasi Kabupaten Cirebon Kabupaten Cirebon merupakan salah satu wilayah yang terletak di bagian timur Propinsi Jawa Barat. Selain itu, Kabupaten

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian METODE Waktu dan Tempat Penelitian

PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian METODE Waktu dan Tempat Penelitian PENDAHULUAN Latar Belakang Kejadian kebakaran wilayah di Indonesia sudah menjadi peristiwa tahunan, khususnya di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Pada tahun 2013 kebakaran di Pulau Sumatera semakin meningkat

Lebih terperinci

DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) TUNTANG, PROPINSI JAWA TENGAH

DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) TUNTANG, PROPINSI JAWA TENGAH DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) TUNTANG, PROPINSI JAWA TENGAH Oleh : Sri Harjanti W, 0606071834 PENDAHULUAN Daerah aliran sungai (DAS) merupakan suatu kesatuan wilayah tata air dan ekosistem yang di dalamnya

Lebih terperinci

FENOMENA URBAN HEAT ISLAND (UHI) PADA BEBERAPA KOTA BESAR DI INDONESIA SEBAGAI SALAH SATU DAMPAK PERUBAHAN LINGKUNGAN GLOBAL. Erwin Hermawan.

FENOMENA URBAN HEAT ISLAND (UHI) PADA BEBERAPA KOTA BESAR DI INDONESIA SEBAGAI SALAH SATU DAMPAK PERUBAHAN LINGKUNGAN GLOBAL. Erwin Hermawan. FENOMENA URBAN HEAT ISLAND (UHI) PADA BEBERAPA KOTA BESAR DI INDONESIA SEBAGAI SALAH SATU DAMPAK PERUBAHAN LINGKUNGAN GLOBAL Erwin Hermawan Abstrak Secara umum, UHI mengacu pada peningkatan suhu udara,

Lebih terperinci

KAJIAN PELUANG PELIBATAN MASYARAKAT DALAM PENGEMBANGAN HUTAN KOTA SRENGSENG JAKARTA BARAT TUGAS AKHIR

KAJIAN PELUANG PELIBATAN MASYARAKAT DALAM PENGEMBANGAN HUTAN KOTA SRENGSENG JAKARTA BARAT TUGAS AKHIR KAJIAN PELUANG PELIBATAN MASYARAKAT DALAM PENGEMBANGAN HUTAN KOTA SRENGSENG JAKARTA BARAT TUGAS AKHIR Oleh : Elfin Rusliansyah L2D000416 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

lib.archiplan.ugm.ac.id

lib.archiplan.ugm.ac.id BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keterbatasan lahan yang terjadi di perkotaan diiringi dengan tingginya kebutuhan penduduk akan hunian menjadikan kawasan kota berkembang menjadi kawasan yang padat

Lebih terperinci

Perubahan Penggunaan Tanah Sebelum dan Sesudah Dibangun Jalan Tol Ulujami-Serpong Tahun di Kota Tangerang Selatan

Perubahan Penggunaan Tanah Sebelum dan Sesudah Dibangun Jalan Tol Ulujami-Serpong Tahun di Kota Tangerang Selatan Perubahan Penggunaan Tanah Sebelum dan Sesudah Dibangun Jalan Tol Ulujami-Serpong Tahun 2000-2016 di Kota Tangerang Selatan Aisyah Desinah 1, Mangapul P. Tambunan 2, Supriatna 3 1 Departemen Geografi.

Lebih terperinci

Gambar 2 Peta administrasi DAS Cisadane segmen hulu.

Gambar 2 Peta administrasi DAS Cisadane segmen hulu. 25 IV. KONDISI UMUM 4.1 Letak dan luas DAS Cisadane segmen Hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Cisadane secara keseluruhan terletak antara 106º17-107º BT dan 6º02-6º54 LS. DAS Cisadane segmen hulu berdasarkan

Lebih terperinci

BAB 4 SEGMENTASI WILAYAH POTENSI BANJIR MENGGUNAKAN DATA DEM DAN DATA SATELIT

BAB 4 SEGMENTASI WILAYAH POTENSI BANJIR MENGGUNAKAN DATA DEM DAN DATA SATELIT BAB 4 SEGMENTASI WILAYAH POTENSI BANJIR MENGGUNAKAN DATA DEM DAN DATA SATELIT Metode yang digunakan dalam penelitian ini meliputi ekstraksi ketinggian permukaan tanah dari data DEM, penggabungan Peta Aliran

Lebih terperinci

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 8. SUPLEMEN PENGINDRAAN JAUH, PEMETAAN, DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG)LATIHAN SOAL 8.1.

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 8. SUPLEMEN PENGINDRAAN JAUH, PEMETAAN, DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG)LATIHAN SOAL 8.1. SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 8. SUPLEMEN PENGINDRAAN JAUH, PEMETAAN, DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG)LATIHAN SOAL 8.1 1. Hasil penginderaan jauh yang berupa citra memiliki karakteristik yang

Lebih terperinci

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 38 IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Letak Hutan Mangrove di Tanjung Bara termasuk dalam area kawasan konsesi perusahaan tambang batubara. Letaknya berada di bagian pesisir timur Kecamatan Sangatta

Lebih terperinci

BAB 3 PENGOLAHAN DATA

BAB 3 PENGOLAHAN DATA BAB 3 PENGOLAHAN DATA Pada bab ini akan dijelaskan mengenai data dan langkah-langkah pengolahan datanya. Data yang digunakan meliputi karakteristik data land use dan land cover tahun 2005 dan tahun 2010.

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Pesatnya pembangunan menyebabkan bertambahnya kebutuhan hidup,

BAB I. PENDAHULUAN. Pesatnya pembangunan menyebabkan bertambahnya kebutuhan hidup, BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesatnya pembangunan menyebabkan bertambahnya kebutuhan hidup, termasuk kebutuhan akan sumberdaya lahan. Kebutuhan lahan di kawasan perkotaan semakin meningkat sejalan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Identifikasi dan Analisis Kondisi Bantaran

HASIL DAN PEMBAHASAN. Identifikasi dan Analisis Kondisi Bantaran 29 HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi dan Analisis Kondisi Bantaran 1. Tata Guna Lahan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM. Gambaran Umum Kota Depok

KEADAAN UMUM. Gambaran Umum Kota Depok KEADAAN UMUM Gambaran Umum Kota Depok Kota Depok pada mulanya merupakan bagian dari wilayah Kabupaten Bogor, mengingat perkembangannya yang relatif pesat berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM. Kabupaten Lampung Tengah adalah salah satu Kabupaten di Provinsi Lampung.

IV. GAMBARAN UMUM. Kabupaten Lampung Tengah adalah salah satu Kabupaten di Provinsi Lampung. IV. GAMBARAN UMUM A. Kondisi Umum Kabupaten Lampung Tengah Kabupaten Lampung Tengah adalah salah satu Kabupaten di Provinsi Lampung. Luas wilayah Kabupaten Lampung Tengah sebesar 13,57 % dari Total Luas

Lebih terperinci

ANALISIS PENINGKATAN SUHU PERMUKAAN AKIBAT KONVERSI LAHAN DENGAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT ETM + (Studi Kasus : Jakarta) GEMA NUSANTARA BAKRY

ANALISIS PENINGKATAN SUHU PERMUKAAN AKIBAT KONVERSI LAHAN DENGAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT ETM + (Studi Kasus : Jakarta) GEMA NUSANTARA BAKRY ANALISIS PENINGKATAN SUHU PERMUKAAN AKIBAT KONVERSI LAHAN DENGAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT ETM + (Studi Kasus : Jakarta) GEMA NUSANTARA BAKRY DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Lokasi dan Kesampaian Daerah Lokasi CV. Jayabaya Batu Persada secara administratif terletak pada koordinat 106 O 0 51,73 BT dan -6 O 45 57,74 LS di Desa Sukatani Malingping Utara

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 37 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penutupan Lahan Kota Bogor Tahun 2011 Penutupan lahan menggambarkan konstruksi vegetasi dan buatan yang menutup permukaan lahan (Burley 1961 dalam LO 1996). Peta penutupan

Lebih terperinci

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Spektral Citra yang digunakan pada penelitian ini adalah Citra ALOS AVNIR-2 yang diakuisisi pada tanggal 30 Juni 2009 seperti yang tampak pada Gambar 11. Untuk dapat

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM WILAYAH STUDI

IV. KONDISI UMUM WILAYAH STUDI IV. KONDISI UMUM WILAYAH STUDI 4.1. Geografi dan Lingkungan Jakarta Timur terletak pada wilayah bagian Timur ibukota Republik Indonesia, dengan letak geografis berada pada 106 0 49 ' 35 '' Bujur Timur

Lebih terperinci

Gambar 1. Peta Prakiraan Cuaca Hujan Mei 2018 (Sumber : Stasiun Klimatologi Karangploso Malang)

Gambar 1. Peta Prakiraan Cuaca Hujan Mei 2018 (Sumber : Stasiun Klimatologi Karangploso Malang) PRAKIRAAN CURAH HUJAN BULAN MEI 2018 Pada bulan Mei 2018, sebagian wilayah di Jawa Timur mulai memasuki masa peralihan dari musim penghujan menuju kemusim kemarau. Namun sebagian kecil wilayah Jawa Timur

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pendugaan Parameter Input 4.1.1. Pendugaan Albedo Albedo merupakan rasio antara radiasi gelombang pendek yang dipantulkan dengan radiasi gelombang pendek yang datang. Namun

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. wilayahnya yang sebelumnya berbasis agraris menjadi Industri. Masuknya Industri

BAB V KESIMPULAN. wilayahnya yang sebelumnya berbasis agraris menjadi Industri. Masuknya Industri BAB V KESIMPULAN Perkembangan fisik Kota Bekasi paling besar terjadi akibat Industrialisasi dan juga Konsepsi Jabotabek. Pada awal pemerintahan Orde Baru melalui program Pelita yang salah satu tujuannya

Lebih terperinci

ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH

ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH 01. Teknologi yang terkait dengan pengamatan permukaan bumi dalam jangkauan yang sangat luas untuk mendapatkan informasi tentang objek dipermukaan bumi tanpa bersentuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Perubahan iklim akibat pemanasan global saat ini menjadi sorotan utama berbagai masyarakat dunia. Perubahan iklim dipengaruhi oleh kegiatan manusia berupa pembangunan

Lebih terperinci

INVENTARISASI DAN PENENTUAN KEMAMPUAN SERAPAN EMISI CO2 OLEH RUANG TERBUKA HIJAU DI KABUPATEN SIDOARJO, JAWA TIMURM

INVENTARISASI DAN PENENTUAN KEMAMPUAN SERAPAN EMISI CO2 OLEH RUANG TERBUKA HIJAU DI KABUPATEN SIDOARJO, JAWA TIMURM INVENTARISASI DAN PENENTUAN KEMAMPUAN SERAPAN EMISI CO2 OLEH RUANG TERBUKA HIJAU DI KABUPATEN SIDOARJO, JAWA TIMURM Izzati Winda Murti 1 ), Joni Hermana 2 dan R. Boedisantoso 3 1,2,3) Environmental Engineering,

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 111 GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN Keadaan Geografis DKI Jakarta terletak di 6 0 12 lintang selatan dan 106 0 48 bujur timur dengan luas wilayah 661,26 km2, berupa daratan 661.52 km2 dan lautan 6,977,5

Lebih terperinci

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 5. A. IDENTIFIKASI CITRA PENGINDERAAN JAUH a. Identifikasi Fisik

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 5. A. IDENTIFIKASI CITRA PENGINDERAAN JAUH a. Identifikasi Fisik GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 12 Sesi NGAN PENGINDERAAN JAUH : 5 A. IDENTIFIKASI CITRA PENGINDERAAN JAUH a. Identifikasi Fisik 1. Hutan Hujan Tropis Rona gelap Pohon bertajuk, terdiri dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota besar akan mengalami perkembangan, dimana perkembangan tersebut berdampak pada daerah disekitarnya. Salah satu dampak yang terjadi adalah munculnya istilah kota

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. prioritas utama dalam pemenuhannya. Seiring dengan perkembangan jaman dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. prioritas utama dalam pemenuhannya. Seiring dengan perkembangan jaman dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebutuhan primer bagi umat manusia di mana pun berada selalu menjadi prioritas utama dalam pemenuhannya. Seiring dengan perkembangan jaman dan pertumbuhan ekonomi,

Lebih terperinci

Gambar 9. Peta Batas Administrasi

Gambar 9. Peta Batas Administrasi IV. KONDISI UMUM WILAYAH 4.1 Letak Geografis Wilayah Kabupaten Garut terletak di Provinsi Jawa Barat bagian Selatan pada koordinat 6 56'49'' - 7 45'00'' Lintang Selatan dan 107 25'8'' - 108 7'30'' Bujur

Lebih terperinci

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN PERTEMUAN 10 SUMBERDAYA LAHAN Sumberdaya Lahan Lahan dapat didefinisikan sebagai suatu ruang di permukaan bumi yang secara alamiah dibatasi oleh sifat-sifat fisik serta bentuk

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Letak Geografis. 08º00'27" Lintang Selatan dan 110º12'34" - 110º31'08" Bujur Timur. Di

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Letak Geografis. 08º00'27 Lintang Selatan dan 110º12'34 - 110º31'08 Bujur Timur. Di IV. KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI A. Letak Geografis Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta mempunyai lima Kabupaten dan satu Kotamadya, salah satu kabupaten tersebut adalah Kabupaten Bantul. Secara geografis,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kota dan Hutan Kota ( Permasalahan Lingkungan Kota

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kota dan Hutan Kota ( Permasalahan Lingkungan Kota 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kota dan Hutan Kota Kota adalah suatu pusat permukiman penduduk yang besar dan luas, terdapat berbagai ragam kegiatan ekonomi dan budaya. Pada kenyataannya kota merupakan tempat

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM 4.1 Letak Geografis dan Aksesibilitas

IV. KONDISI UMUM 4.1 Letak Geografis dan Aksesibilitas 42 IV. KONDISI UMUM 4.1 Letak Geografis dan Aksesibilitas Secara geografis, perumahan Bukit Cimanggu City (BCC) terletak pada 06.53 LS-06.56 LS dan 106.78 BT sedangkan perumahan Taman Yasmin terletak pada

Lebih terperinci

Gambar 1.1 Siklus Hidrologi (Kurkura, 2011)

Gambar 1.1 Siklus Hidrologi (Kurkura, 2011) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Air merupakan kebutuhan yang mutlak bagi setiap makhluk hidup di permukaan bumi. Seiring dengan pertambahan penduduk kebutuhan air pun meningkat. Namun, sekarang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Suhu Permukaan Suhu permukaan dapat diartikan sebagai suhu terluar suatu obyek. Untuk suatu tanah terbuka, suhu permukaan adalah suhu pada lapisan terluar permukaan tanah. Sedangkan

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN Letak dan Luas Wilayah Kabupaten Kepulauan Meranti secara geografis terletak pada koordinat antara sekitar 0 42'30" - 1 28'0" LU dan 102 12'0" - 103 10'0" BT, dan terletak

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan dan pengembangan wilayah merupakan dinamika daerah menuju kemajuan yang diinginkan masyarakat. Hal tersebut merupakan konsekuensi logis dalam memajukan kondisi sosial,

Lebih terperinci