4. DINAMIKA FISKAL PEREKONOMIAN DAERAH

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "4. DINAMIKA FISKAL PEREKONOMIAN DAERAH"

Transkripsi

1 4. DINAMIKA FISKAL PEREKONOMIAN DAERAH 4.1 Fiskal Daerah Penerimaan Keuangan Daerah Penerimaan keuangan daerah merupakan sumber pendapatan pemerintah daerah yang akan digunakan untuk membiayai pembangunan daerah tersebut. Penerimaan daerah dapat bersumber dari dalam daerah itu sendiri, maupun dari pemerintah pusat. Penerimaan yang bersumber dari dalam daerah itu sendiri disebut Pendapatan Asli daerah (PAD) yang terdiri dari pendapatan pajak, retribusi, laba/bagi hasil Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dan pendapatan asli daerah lainnnya. Sedangkan pendapatan yang berasal dari pemerintah pusat biasa disebut dana perimbangan. Dana perimbangan terdiri dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) dan BHPBP (Bagi Hasil Pajak/Bukan Pajak) dan penerimaan daerah lainnya. Kinerja keuangan suatu daerah dapat dilihat ataupun diukur berdasarkan proporsi sumber penerimaan yang berasal dari dalam daerah tersebut maupun yang berasal dari luar daerah tersebut terhadap total penerimaan daerah. Semakin besar proporsi penerimaan daerah yang berasal dari dalam daerah tersebut terhadap total penerimaan, menandakan semakin baiknya kinerja keuangan daerah tersebut. Hal tersebut berarti bahwa pemerintah daerah dapat mengelola sumbersumber yang ada di daerah dengan efisien sehingga dapat membiayai sebagian besar kebutuhan pembangunan daerahnya dengan sumber penerimaan keuangan yang berasal dari dalam daerah tersebut. Kemampuan suatu daerah dalam membiayai pembangunannya melalui sumber yang berasal dari daerah tersebut dapat dilihat dari proporsi PAD terhadap total penerimaan daerah melalui ukuran derajat desentralisasi fiskal. Sementara itu besarnya sumber penerimaan daerah yang berasal dari potensi sumber daya yang dimiliki oleh daerah tersebut dapat dilihat dari derajat potensi daerah yang diukur dari besarnya bagi hasil pajak/bukan pajak daerah tersebut terhadap total penerimaan daerah. Sedangkan ketergantungan penerimaan keuangan suatu daerah terhadap pemerintah pusat, dapat dilihat dari besarnya jumlah Dana

2 70 Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus terhadap penerimaan total daerah tersebut yang disebut derajat ketergantungan. Penjelasan masing-masing rata-rata kinerja keuangan provinsi di Indonesia selama tahun dapat dilihat pada gambar 12. Sumber: Kementrian Keuangan, diolah Gambar 12 Derajat desentralisasi fiskal, derajat potensi daerah dan derajat ketergantungan daerah provinsi di Indonesia, tahun (%). Selama tahun , rata-rata derajat desentralisasi fiskal propinsipropinsi yang ada di Indonesia sebesar 14.60%. Nilai tersebut menurut ukuran derajat desentralisasi fiskal tim Fisipol UGM ternasuk dalam kategori kurang. Propinsi yang memiliki derajat desentralisasi fiskal sangat baik adalah DKI Jakarta dengan nilai derajat desentralisasi sebesar 58.95%. Sebagai kota perdagangan dan jasa, DKI Jakarta memiliki pendapatan asli daerah yang cukup tinggi dari pajak, retribusi dan laba BUMD. Propinsi-propinsi dengan kategori derajat desentralisasi fiskal cukup dengan rentang derajat 20-30% adalah propinsi Jawa Barat, Jawa Timur dan Bali. Sementara itu, sembilan propinsi lain memiliki derajat desentralisasi fiskal dengan kategori kurang, yaitu dengan nilai kurang dari 10%. Propinsi-propinsi tersebut adalah NAD, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, NTT, Maluku dan Papua.

3 71 Derajat potensi daerah propinsi-propinsi di Indonesia secara rata-rata bernilai 15.67%. Dilihat dari nilainya, derajat potensi daerah propinsi-propinsi tersebut masih terbilang cukup rendah. Propinsi-propinsi yang memiliki derajat potensi sumber daya cukup tinggi adalah Kalimantan Timur dan Riau. Kedua propinsi ini memiliki derajat potensi daerah masing-masing sebesar 66.10% dan 58.76%. Kedua daerah tersebut memiliki nilai derajat potensi yang tinggi karena kedua daerah tersebut merupakan penghasil minyak dan tambang yang cukup besar di Indonesia. Daerah penghasil bahan tambang dan minyak lainnya yang memiliki derajat potensi daerah cukup tinggi adalah NAD (21.87%) dan Sumatera Selatan (29.39%). Walaupun DKI Jakarta bukan merupakan daerah penghasil migas, namun propinsi tersebut memiliki derajat potensi daerah yang cukup tinggi (37.97%) yang berasal dari pendapatan bagi hasil pajak. Propinsi lainnya dengan derajat potensi daerah berkategori rendah yaitu dibawah 10% adalah Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur, Bali, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Nusa Tenggara Timur. Sebagian besar propinsi-propinsi di Indonesia masih memiliki ketergantungan yang sangat tinggi terhadap dana perimbangan dari pusat, khususnya dana yang berasal dari DAU dan DAK. Berdasarkan rata-rata, nilai derajat ketergantungan fiskal propinsi-propinsi di Indonesia adalah sebesar 63.06%. Tiga daerah tercatat memiliki derajat ketergantungan yang cukup rendah. Dua daerah pertama merupakan daerah penghasil tambang dan minyak utama, yaitu propinsi Riau dan Kalimantan Timur dengan nilai derajat ketergantungan masing-masing 20.89% dan 14.26%. Daerah lainnya adalah DKI Jakarta yang merupakan daerah perdagangan dan jasa dengan nilai derajat ketergantungan sebesar 10.15%. Sedangkan propinsi lainnya memiliki derajat ketergantungan yang sangat tinggi yaitu dengan kisaran nillai antara 53-88%. Selain proporsi penerimaan daerah terhadap total penerimaan, terdapat ukuran lain dalam mengukur tingkat kemandirian fiskal daerah, yaitu dengan membandingkannya dengan total penerimaan daerah. Menurut Halim (2007), tingkat kemandirian daerah dapat diukur melalui proporsi PAD terhadap total

4 72 pengeluaran daerah dan proporsi jumlah PAD dan BHPBP terhadap total pengeluaran daerah. Sumber: Kementrian Keuangan, diolah Gambar 13 Derajat kemandirian daerah provinsi di Indonesia, tahun (%). Berdasarkan gambar 13, dapat dilihat bahwa rata-rata derajat kemandirian fiskal yang diukur dari proporsi PAD terhadap total pengeluaran daerah masih terbilang rendah sekali, yaitu hanya sebesar 10%. Hanya tujuh propinsi yang memiliki nilai derajat kemandirian diatas rata-rata seluruh propinsi, yaitu DKI Jakarta (43.91%), Bali (22.04%), Jawa Barat (19.02%), DIY (16.54%), Jawa Timur (14.65%), Jawa Tengah (13.42%), dan Sumatera Utara (12.61%). Sementara itu, rata-rata derajat kemandirian fiskal yang diukur melalui proporsi jumlah PAD dan BHPBP terhadap total pengeluaran daerah adalah 20.88%. Nilai tersebut sedikit lebih tinggi apabila dibandingkan dengan derajat kemandirian fiskal yang berasal hanya dari PAD. Namun, apabila dilihat dari nilai derajat kemandirian per propinsi, terlihat bahwa terdapat tiga propinsi yang memiliki nilai kemandirian fiskal cukup tinggi. Propinsi-propinsi tersebut adalah Riau (49.01%), DKI Jakarta (72.19%) dan Kalimantan Timur (48.92%). Hal tersebut mengindikasikan bahwa ketiga propinsi tersebut memiliki nilai dana bagi hasil pajak dan bukan pajak yang cukup tinggi.

5 Pengeluaran Keuangan Daerah Dana yang diterima oleh daerah baik dari pusat dalam bentuk dana perimbangan, maupun yang di peroleh dari hasil penggalian potensi dan sumber daya yang ada di daerah kemudian dikelola dan digunakan untuk membiayai kegiatan-kegiatan pemerintah daerah dalam rangka mencapai tujuan daerah masing-masing. Pengeluaran daerah selama masa desentralisasi fiskal telah mengalami berbagai perubahan format penyajian dalam rangka menghasilkan laporan pengeluaran daerah yang semakin baik. Pada penelitian ini, berkaitan dengan tujuan penelitian, maka diambil empat komponen pengeluaran daerah yang berhubungan erat dengan dengan usaha pengurangan kemiskinan. Komponenkomponen tersebut adalah pengeluaran pertanian, pengeluaran pendidikan dan kesehatan, serta pengeluaran infrastruktur. Sumber: Kementrian Keuangan, diolah Gambar 14 Proporsi pengeluaran daerah menurut bidang pertanian, pendidikan, kesehatan dan infrastruktur di Indonesia, tahun (%) Pengeluaran pemerintah selama kurun waktu didominasi oleh pengeluaran pada bidang pendidikan. Pemerintah mengalokasikan dana bagi kepentingan pendidikan rata-rata sebesar 23.93% pertahun dari total pengeluaran pemerintah. Pengeluaran pendidikan ini meliputi pengeluaran untuk pendidikan

6 74 formal dan non formal seperti pendidikan prasekolah, pendidikan dasar, pendidikan menengah, pendidikan atas, kursus-kursus keterampilan dan pelatihan. Selain itu, pengeluaran pendidikan digunakan untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan pendidikan dari sisi penyediaan buku-buku pelajaran dan bahan ajar serta tenaga-tenaga pendidik yang berkualitas. Pengeluaran pendidikan yang tinggi ini berkaitan dengan upaya pemerintah dalam meningkatkan kualitas pendidikan melalui penggangaran minimal 20% bagi pengeluaran pendidikan guna memenuhi program wajib belajar pendidikan dasar sebagai salahsatu implementasi dari tujuan RPJM bidang penddidikan yaitu meningkatkan akses masyarakat terhadap pendidikan yang berkualitas. Pembangunan infrastruktur yang diperlukan dalam kegiatan ekonomi maupun sosial masyarakat. Pengeluaran infrastruktur menempati urutan kedua dalam pengeluaran dengan rata-rata pengeluaran sebesar 15.99% per tahun. Pengeluaran infrastruktur ini digunakan untuk pembangunan dan pemeliharaan jalan dan jembatan, gedung dan perumahan, pengembangan dan pengelolaan jaringan pengairan, irigasi, energi dan lainnya. Secara umum, pengeluaran kesehatan di Indonesia selama kurun waktu masih sangatlah rendah dengan rata-rata pengeluaran per tahun sebesar 7.16%. Padahal, kondisi kesehatan masyarakat sangatlah penting dalam kelancaran aktivitas. Apabila kondisi kesehatan baik, maka kesempatan seseorang untuk mendatangi pusat-pusat pendidikan (sekolah) semakin besar, kemampuan untuk ikut serta dalam kegiatan ekonomi pun semakin meningkat. Pengeluaran bidang kesehatan yang dilakukan oleh pemerintah meliputi pengeluaran untuk obat-obatan dan perbekalan kesehatan, program upaya kesehatan perorangan (pelayanan pada pusat-pusat kesehatan), program upaya kesehatan masyarakat (jaminan kesehatan, penyuluhan kesehatan), dan pencegahan serta pemberantasan penyakit. Pertanian merupakan sektor yang menyerap banyak tenaga kerja. Selain itu, Indonsia masih memiliki ketergantungan yang sangat besar pada sektor pertanian. Namun, pemerintah tampaknya kurang memberikan perhatian pada sektor Pertanian ini. Hal tersebut terlihat dari minimnya anggaran pemerintah yang dialokasikan pada sektor pertanian. Selama tahun ini, pemerintah

7 75 hanya mengalokasikan rata-rata 3.84% dari seluruh anggarannya untuk kepentingan di sektor pertanian yang meliputi program pengembangan agribisnis, program ketahanan pangan, program peningkatan kesejahteraan petani, serta program pembangunan dan rehabillitasi infrastruktur jalan usaha tani dan irigasi tingkat usaha tani. Proporsi pengeluaran pemerintah apabila dilihat berdasarkan masingmasing propinsi memiliki gambaran yang tidak jauh berbeda apabila dibandingkan dengan gambaran secara nasional. Masyarakat dengan pendapatan rendah dan kondisi yang kurang baik sebagian besar memiliki mata pencaharian di sektor pertanian. Upaya untuk menurunkan tingkat kemiskinan dapat dilakukan oleh pemerintah melalui peningkatan pengeluaran pelayanan publik di bidang pertanian. Pada masa desentralisasi fiskal terlihat bahwa proporsi pengeluaran pertanian secara rata-rata terhadap total pengeluaran daerah masih relatif kecil, yaitu hanya sebesar 4.24%. Sumber: Kementrian Keuangan, diolah Gambar 15 Rata-rata proporsi pengeluaran daerah menurut bidang pertanian, pendidikan, kesehatan dan infrastruktur di propinsi-propinsi di Indonesia, tahun (%) Selama tahun , rata-rata pengeluaran pendidikan memiliki persentase yang paling tinggi dari seluruh propinsi di Indonesia, yaitu sebesar 21.28%. Besarnya proporsi pengeluaran pendidikan tersebut berkaitan dengan

8 76 kebijakan pemerintah pusat agar pemerintah daerah menaikkan pengeluaran pendidikan sebesar 20% untuk meningkatkan kualitas pendidikan nasional. Namun, terdapat beberapa propinsi yang memiliki proporsi dibawah 20%, yaitu NAD, Riau, Sumatera Selatan, Bengkulu, DKI Jakarta, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Maluku dan Papua. Kesehatan merupakan salah satu faktor dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Oleh karena itu pengeluaran kesehatan dapat mencerminkan kondisi kesehatan suatu daerah. Rata-rata proporsi pengeluaran kesehatan propinsi-propinsi ada masa desentralisasi fiskal cukup besar, yaitu 7.01%. DIY memiliki proporsi pengeluaran kesehatan terbesar terhadap total pengeluaran, yaitu sebesar 9.04%. Infrastruktur tidak dapat dipisahkan dari upaya dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pembangunan infrastruktur seperti jalan dan jembatan dapat memperlancar kegiatan dan akses masyarakat baik untuk mencapai lokasi kegiatan produksi, pendistribusian hasil produksi maupun dalam akses kepada fasilitas-fasilitas publik. Pengeluaran infrastruktur rata-rata propinsi di Indonesia mencapai 15.02% terhadap total pengeluaran daerah. Hal ini menunjukkan bahwa infrastruktur menjadi perhatian bagi pemerintah daerah dalam pembangunan. Apabila pengeluaran daerah diambil hanya sektor-sektor ekonomi yang dalam penelitian ini dibagi menjadi tiga kelompok sektor yaitu pertanian, industri dan jasa, maka terlihat seperti pada gambar 16. Rata-rata proporsi pengeluaran jasa sangat besar apabila dibandingkan dengan total pengeluaran daerah. Proporsi pengeluaran jasa tersebut mencapai 45.65% terhadap total pengeluaran daerah. Hal tersebut cukup beralasan, karena pengeluaran daerah untuk sektor jasa ini meliputi pengeluaran dari beberapa sektor yaitu sektor perdagangan, sektor pengangkutan dan komunikasi, sektor keuangan dan sektor jasa-jasa lainnya Sementara itu rata-rata proporsi pengeluaran industri terhadap total pengeluaran memiliki nilai yang sangat kecil, yaitu hanya mencapai 0.46%. Peran pemerintah dalam sektor industri biasanya hanya berupa hal-hal yang berkaitan dengan adminsitrasi, regulasi dan perijinan. Sehingga wajar apabila peran pemerintah dalam perindustrian tidak begitu besar. Selain itu, industri pada umumnya didominasi oleh investasi dari sektor swasta.

9 77 Sumber: Kementrian Keuangan, diolah Gambar 16 Rata-rata proporsi Pengeluaran Daerah menurut bidang Pertanian, Industri dan Jasa di propinsi-propinsi di Indonesia, tahun (%) 4.2 Output Daerah PDRB merupakan salah satu tolok ukur bagi kinerja perekonomian suatu daerah. PDRB mencerminkan produktivitas yang dilakukan suatu daerah yang tergambar dari besarnya jumlah barang dan jasa diproduksi di daerah tersebut. PDRB terdiri dari 9 sektor atau lapangan usaha, namun dalam penelitian ini dibedakan berdasarkan 4 sektor utama yaitu pertanian, industri, jasa dan sektor lainnya. Jumlah PDRB propinsi-propinsi di Indonesia selama mengalami pertumbuhan yang pesat. Secara nominal, jumlah PDRB meningkat dari trilyun rupiah pada tahun 2003, menjadi sebesar trilyun rupiah pada tahun 2009, atau tumbuh sebesar 34.96% dengan rata-rata pertumbuhan per tahun mencapai 5.83%. Laju pertumbuhan masing-masing sektor PDRB selama tahun cukup stabil. PDRB jasa memiliki rata-rata pertumbuhan tertinggi dan merupakan

10 78 satu-satunya sektor yang berada di atas rata-rata laju pertumbuhan total PDRB. yaitu sebesar 6.88%. Sektor pertanian selama kurun waktu penelitian memiliki laju pertumbuhan rata-rata sebesar 4.06%. Walaupun sektor tersebut melaju di bawah rata-rata total PDRB, namun masih berada sedikit di atas rata-rata laju pertumbuhan sektor industri yang melaju dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 3.99%. Sementara itu PDRB pertambangan, LGA dan konstruksi yang tergabung dalam PDRB lainnya melaju dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 3.22%. Berikut adalah gambar rata-rata laju pertumbuhan total PDRB seluruh propinsi di Indonesia tahun Sumber: BPS, diolah Gambar 17 Rata-rata laju pertumbuhah PDRB seluruh propinsi di Indonesia, tahun (%) PDRB Indonesia sebagian besar dibentuk oleh PDRB jasa yang merupakan gabungan dari perdagangan, komunikasi dan transportasi, keuangan dan jasa-jasa. PDRB jasa ini hampir menguasai setengah dari PDRB yang dihasilkan di Indonesia dengan kecenderungan yang semakin membesar. Pada tahun 2003, share PDRB jasa sebesar 41.56% dan meningkat pada tahun 2009 menjadi 45.89%. Industri menempati urutan kedua dalam kontribusinya terhadap PDRB Indonesia. Sektor ini memberikan sekitar 25% terhadap total PDRB dengan kecenderungan proporsi yang semakin menurun. Hal tersebut sejalan dengan fenomena deindustrialisasi yang terjadi pada beberapa tahun terakhir ini.

11 79 Pertanian merupakan sektor ketiga penyumbang terbesar bagi PDRB Indonesia. Share Pertanian ini berada sedikit di atas share PDRB lainnya, yaitu sekitar sebesar 15%. Apabila dilihat proporsi PDRB pertanian ini, terlihat bahwa sharenya mengalami penurunan dari waktu ke waktu. Hal tersebut mengindikasikan semakin bergesernya peranan pertanian ke arah jasa yang pada sisi lain semakin menujukkan peningkatan proporsi. Sumber: BPS, diolah Gambar 18 Rata-rata proporsi PDRB Pertanian, Industri, Jasa dan Lainnya di Indonesia, tahun (%) Perekonomian propinsi-propinsi di Indonesia masih di dominasi oleh sektor pertanian. Hal tersebut terlihat dari cukup tingginya share PDRB sektor pertanian terhadap total PDRB di sebagian besar propinsi. Secara rata-rata seluruh propinsi, share PDRB pertanian terhadap total PDRB mencapai 25.06%. Sebagian besar propinsi memiliki share PDRB pertanian sekitar 20-45%. Hanya propinsi tertentu yang memang menggantungkan perekonomiannya pada sektor jasa dan pertambangan seperti DKI Jakarta dan Kalimantan Timur memiliki share PDRB pertanian relatif kecil yaitu hanya sebesar masing-masing 0.09% dan 6.67%. Sektor industri yang memiliki nilai tambah terbesar dalam proses produksinya memiliki rata-rata share yang lebih kecil apabila dibandingkan dengan sektor pertanian. Rata-rata share PDRB sektor industri seluruh propinsi

12 80 selama tahun sebesar 15.28%. Jawa Barat, Jawa Tengah dan Kalimantan Timur merupakan propinsi dengan share PDRB terbesar yaitu masing-masing sebesar 44.85%, 31.83% dan 34%. Sumber: BPS, diolah Gambar 19 Rata-rata proporsi PDRB Pertanian, Industri, Jasa dan Lainnya menurut propinsi di Indonesia, tahun (%) Sementara itu PDRB jasa yang merupakan gabungan dari sektor perdagangan, pengangkutan, keuangan dan jasa-jasa berkontribusi sebesar 45.14% terhadap total PDRB. DKI Jakarta sebagai daerah dengan perekonomian berbasis jasa dan perdagangan memiliki share terbesar, mencapai 72.00%. Sedangkan PDRB lainnya yang merupakan gabungan dari PDRB sektor pertambangan, sektor listrik, gas dan air, dan sektor konstruksi memiliki rata-rata share PDRB sebesar 17.52%. 4.3 Tenaga Kerja Tenaga kerja merupakan salah satu faktor produksi yang memiliki arti penting dalam suatu perekonomian. Jumlah penyerapan tenaga kerja di Indonesia selama meningkat sebesar 12.99%. Penyerapan tenaga kerja tersebut tersebar ke dalam beberapa sektor ekonomi dan fluktuatif dari tahun ke tahun seperti yang terlihat pada gambar 20. Penyerapan tenaga kerja pada sektor jasa

13 81 dan sektor lainnya pada tahun 2005 menunjukkan penurunan. Hal tersebut disebabkan oleh adanya sedikit imbas dari krisis keuangan yang dipicu oleh macetnya kredit perumahan di Amerika, sehingga menyebabkan menurunnya tenaga kerja di sektor jasa khususnya keuangan dan perdagangan, serta sektor lainnya terutama konstruksi yang membutuhkan investasi yang tinggi. Laju pertumbuhan tenaga kerja selama tahun sangat fluktuatif. Apabila dilihat pada gambar 20, pertumbuhan tenaga kerja sektor pertanian sangat rendah dan berada pada kisaran 0-1%, bahkan sempat berkurang menjadi sebesar minus 5.66% pada tahun Apabila dilihat dari rata-rata laju pertumbuhan selama kurun waktu tersebut, pertumbuhan tenaga kerja pertanian tumbuh minus 0.52 persen per tahun. Semakin sempitnya lahan pertanian, dan semakin berkurangnya insentif pertanian akibat dari beban ongkos produksi yang semakin tinggi menyebabkan semakin berkurangnya tenaga kerja yang bekerja di sektor pertanian. Sumber: BPS, diolah Gambar 20 Laju pertumbuhan tenaga kerja sektor pertanian, industri, jasa dan lainnya di Indonesia, tahun (%) Rata-rata laju pertumbuhan tenaga kerja industri per tahun sebesar 1.92%. Rendahnya rata-rata laju pertumbuhan tenaga kerja sektor industri ini berkaitan dengan fenomena deindustrialisasi yang terjadi beberapa tahun belakangan ini yang ditandai dengan semakin melambatnya laju pertumbuhan PDRB industri.

14 82 Tenaga kerja sektor jasa mengalami rata-rata laju pertumbuhan sebesar 4.63% dengan laju pertumbuhan yang sangat fluktuatif. Hal tersebut disebabkan banyaknya usaha-usaha informal mendominasi sektor jasa. Usaha-usaha informal tersebut memiliki karakteristik mudah untuk keluar-masuk pasar, sehingga para pelakunya pun memiliki kemudahan untuk keluar masuk sektor tersebut. Sementara itu, sektor lainnya (konstrutsi, pertambangan dan LGA) mengalami rata-rata laju pertumbuhan per tahun sebesar 5.83%. Sumber: BPS, diolah Gambar 21 Rata-rata proporsi tenaga kerja pertanian, industri, jasa dan lainnya menurut propinsi di Indonesia, tahun (%) Sektor pertanian merupakan sektor dengan tingkat penyerapan tenaga kerja yang cukup besar. Selama tahun , sektor ini mampu menyerap tenaga kerja sebesar rata-rata per propinsi sebesar 50.22% dari total tenaga kerja. Beberapa propinsi dengan tingkat penyerapan tenaga kerja pertanian terhadap total tenaga kerja yang cukup tinggi adalah Papua (73.53%), NTT (72.19%) dan Bengkulu (65.49%). Hal ini mengindikasikan bahwa sektor pertanian ketiga propinsi tersebut memiliki beban penyerapan tenaga kerja yang cukup tinggi, sebab di sisi lain PDRB pertanian ketiga propinsi tersebut bukan merupakan sektor yang memiliki kontribusi terbesar terhadap PDRB.

15 83 Tenaga kerja yang bekerja di sektor industri secara rata-rata propinsi berjumlah 8.04% terhadap total tenaga kerja. Adapun propinsi-propinsi yang memiliki tingkat penyerapan tenaga kerja industri yang tinggi terhadap total tenaga kerja di masing-masing propinsi tersebut memang dikenal merupakan daerah yang memiliki sentra-sentra industri yang cukup besar, bersifat padat karya dan umumnya terpusat dalam suatu kawasan. Jawa Barat memiliki tingkat penyerapan tenaga kerja industri yang cukup tinggi, yaitu sebesar 18.20% terhadap total tenaga kerja di Jawa Barat. Sebagian besar tenaga kerja tersebut terpusat pada kawasan insustri yang berada di daerah Cikarang. Jawa Tengah memiliki tingkat penyerapan tenaga kerja sektor industri sebesar 17.26%. Jenis industri yang menyerap banyak tenaga kerja di Jawa Tengah ini adalah industri rokok yang tersebar di beberapa wilayah di daerah Jawa Tengah. Bali merupakan daerah tujuan wisata dan terkenal dengan keanekaragaman kerajinan yang indah. Tidaklah mengherankan apabila sentra-sentra kerajinan banyak tersebar di seluruh bagian Bali. Sentra-sentra kerajinan tersebut memberikan kontribusi terhadap penyerapan tenaga kerja yang cukup tinggi apabila dibandingkan dengan total tenaga kerja di Bali, yaitu sebesar 14.15%. DKI Jakarta merupakan propinsi yang bertumpu pada sektor jasa, sehingga tidaklah mengherankan apabila tenaga kerja pada jasa di DKI ini cukup besar yaitu persen apabila dibandingkan dengan total tenaga kerja di DKI Jakarta. Sementara itu propinsi yang memilik tingkat penyerapan tertinggi pada sektor lainnya dibandingkan dengan total tenaga kerja pada propinsi tersebut adalah Kalimantan Timur. Tingkat penyerapan tenaga kerja di sektor lainnya di Kalimantan Timur ini mencapai sebesar 12.14% yang sebagian besar merupakan tenaga kerja di sektor pertambangan migas. Pertambangan migas tersebut merupakan subsektor yang memberikan kontribusi cukup besar terhadap total PDRB Kalimantan Timur. 4.3 Kemiskinan Tingkat kemiskinan di Indonesia dari tahun ke tahun mengalami fluktuasi. Tingkat kemiskinan propinsi-propinsi tersebut memiliki kecenderungan semakin mengecil selama kurun waktu tiga tahun terakhir. Berdasarkan tingkat

16 84 kemiskinan, beberapa propinsi dengan tingkat kemiskinan jauh di atas tingkat nasional (14.15%) pada tahun 2009 merupakan berada di luar pulau Jawa. Tabel 4 Jumlah dan persentase penduduk miskin menurut propinsi di Indonesia PROPINSI Jumlah Penduduk Miskin (000) Persentase Penduduk Miskin NAD Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Bengkulu Lampung Babel Kepri DKI Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel Sulteng Gorontalo Sulbar Maluku Malut Papua Barat Papua Indonesia Sumber: BPS

17 85 Propinsi-propinsi tersebut adalah NAD (21.61%), NTB (21.88%), NTT (23.41%), Maluku (27.29%), Papua (34.77%) dan Papua Barat (31.43%). Namun, apabila dilihat dari jumlah penduduk miskin, terlihat bahwa sebagian besar penduduk miskin berada di pulau Jawa. Jumlah penduduk miskin yang berada di pulau jawa tersebut mencapai rata-rata juta jiwa atau sebesar 57.52% dari seluruh total penduduk miskin. Jawa Timur merupakan propinsi dengan jumlah penduduk miskin tertinggi pada tahun 2009, yaitu sebesar ribu jiwa, disusul dengan Jawa Tengah sebesar ribu jiwa dan Jawa Barat sebesar persen.

18 Halaman ini sengaja dikosongkan 86

19 5. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI FISKAL DAERAH, OUTPUT DAN KEMISKINAN 5.1 Analisis Umum Model Dugaan Bab ini berisi penjelasan mengenai nilai-nilai hasil pendugaan parameter dari persamaan struktural pada model Kebijakan Fiskal dan Kemiskinan. Sebelumnya, dalam proses spesifikasi model ini telah dilakukan beberapa kali modifikasi karena ditemukan parameter-parameter yang tidak sesuai dengan teori melalui uji tanda (sign-test) maupun dalam hal signifikansi. Model yang dihasilkan ini merupakan model optimal berdasarkan data cross section dan time series yang tersedia dan dinilai dapat menggambarkan fenomena yang ada berdasarkan nilai dugaan parameter yang dihasilkan. Nilai koefisien determinasi (R 2 ) masing-masing persamaan struktural dalam model berkisar antara 0,45-0,99. Hal tersebut mengandung arti bahwa peubahpeubah penjelas yang dimasukkan ke dalam persamaan struktural secara umum dapat menjelaskan dengan baik keragaman dari setiap peubah endogen. Selain itu, seluruh peubah penjelas tersebut memiliki parameter dugaan dengan tanda yang sesuai dengan harapan teori maupun fenomena ekonomi. Nilai statistik F yang digunakan untuk melihat kemampuan variasi peubahpeubah penjelas secara bersama-sama dalam menjelaskan variasi peubah endogennya menunjukkan nilai yang besar. Nilai F statistik tersebut berkisar antara sampai Hal tersebut menunjukkan bahwa variasi peubah penjelas secara bersama-sama dapat menjelaskan variasi peubah endogen dengan baik. Hasil t-statistik untuk menggambarkan kemampuan variasi peubah penjelas secara individual dalam menjelaskan variasi peubah endogen. Sebagian besar nilai t-statistik memiliki nilai yang menunjukkan pengaruh yang nyata pada taraf nyata α=0.10. Namun apabila memakai taraf nyata sebesar α=0.20, maka lebih besar lagi jumlah variabel peubah penjelas yang berpengaruh nyata terhadap peubah endogen pada masing-masing persamaan struktural dalam model.

20 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Fiskal Daerah, Output dan Kemiskinan Penerimaan Daerah Fiskal daerah secara garis besar dapat dilihat dari penerimaan dan pengeluaran daerah. Penerimaan daerah terdiri dari Penerimaan Asli Daerah (PAD), dana perimbangan, dan penerimaan daerah lainnya. PAD merupakan penerimaan yang berasal dari penggalian potensi daerah tersebut dan terdiri dari pajak daerah, retribusi daerah, laba BUMD dan pendapatan asli daerah lainnya. Sedangkan dana perimbangan adalah dana yang berasal dari pemerintah pusat yang terdiri dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Bgai Hasil Pajak dan Bukan Pajak (BHPBP). Dalam studi ini, tidak semua peubah di atas dikaji secara mendalam terkait faktor-faktor yang mempengaruhinya. Peubah-peubah yang dikaji dalam studi ini yaitu Pajak Daerah dan Dana Alokasi Umum (DAU) dan Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (BHPBP). Faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan pajak adalah jumlah penduduk miskin, PDRB, kesenjangan fiskal dan lag pajak. Peubah-peubah penjelas yang digunakan dalam persamaan penerimaan pajak daerah ini mampu menjelaskan variasi yang terjadi dalam penerimaan pajak sebesar 82%. Tabel 5 Faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan pajak daerah Variabel Label Variabel Parameter Estimasi t- statistik Prob Jangka Pendek Elastisitas Jangka Panjang Intercept PDKMISK Jumlah Penduduk Miskin PDRB PDRB FISGAP Kesenjangan Fiskal LPJK Lag Pajak F-hitung Adj-R Sumber: hasil pengolahan Apabila dilihat dari aspek ekonomi, tanda estimasi parameter sudah sesuai dengan hipotesis. PDRB, kapasitas fiskal dan lag pajak memiliki pengaruh positif

21 89 terhadap penerimaan pajak. Sementara itu, jumlah penduduk miskin memiliki pengaruh negatif terhadap penerimaan pajak. Hal tersebut memiliki arti bahwa dengan semakin berkurangnya jumlah penduduk miskin menandakan semakin meningkatnya jumlah penduduk dengan jumlah pendapatan yang memungkinkan untuk dipungut pajak (sebagai objek pajak). Penambahan jumlah objek pajak tersebut kemudian akan semakin meningkatkan penerimaan pajak daerah. Penelitian Rindayati (2009) juga memberikan hasil yang sama bahwa penurunan jumlah penduduk miskin akan berpengaruh terhadap peningkatan penerimaan pajak. PDRB memiliki pengaruh positif terhadap penerimaan pajak. Peningkatan PDRB yang merupakan proxy output menunjukkan adanya peningkatan aktivitas ekonomi. Apabila perekonomian suatu daerah meningkat, maka akan semakin besar potensi daerah tersebut dalam menggali objek pajak yang kemudian dapat meningkatkan penerimaan pajak daerah. Hal tersebut sejalan dengan hasil penelitian Yudhoyono (2004), Barbara (2008) dan Rindayati (2009). Dalam jangka pendek, peningkatan PDRB memiliki elastisitas yang tidak elastis. Peningkatan sebesar 1% PDRB hanya akan meningkatkan penerimaan pajak sebesar 0.23%. Namun dalam jangka panjang, melalui multiplier effect dari peningkatan PDRB yaitu misalnya peningkatan konsumsi dan peningkatan investasi maka peningkatan PDRB sebesar 1% akan meningkatkan penerimaan pajak sebesar 1.50%. Faktor lain yang mempengaruhi penerimaan pajak adalah kesenjangan fiskal. Tidak terpenuhinya kebutuhan keuangan daerah melalui pembiayaan yang bersumber dari penerimaan asli daerah dan bagi hasil pajak dan bukan pajak ditandai dengan kesenjangan fiskal yang meningkat. Apabila hal tersebut terjadi, maka akan semakin meningkatkan usaha pemerintah daerah dalam meningkatkan penerimaan daerah, salah satunya melalui peningkatan penerimaan pajak. Namun demikian, pengaruh meningkatnya kesenjangan fiskal ini tidak begitu nyata dalam meningkatkan penerimaan pajak. Dana Alokasi Umum (DAU) dipengaruhi oleh PDRB, jumlah penduduk, kapasitas fiskal, luas daerah dan lag DAU. Secara ekonomi, hampir seluruh tanda koefisien parameter telah sesuai dengan teori dan hipotesis. PDRB menunjukkan

22 90 pengaruh yang negatif terhadap penerimaan daerah dari DAU. Tujuan pemberian DAU adalah sebagai sarana untuk meningkatkan otonomi daerah, selain sebagai sarana penyeimbang penyediaan pelayanan publik pemerintah daerah. Peningkatan PDRB suatu daerah akan meningkatkan penerimaan daerah yang bersumber dari dalam daerah tersebut melalui penerimaan pajak daerah maupun dari dana bagi hasil pajak dan bukan pajak. Peningkatan penerimaan daerah tersebut kemudian akan meningkatkan kapasitas fiskal daerah. Kapasitas daerah yang semakin meningkat menandakan bahwa daerah tersebut sudah semakin mandiri sesuai dengan tujuan otonomi daerah, sehingga pemberian DAU sebagai dana transfer dari pemerintah pusat pun semakin berkurang. Hubungan DAU dan PDRB yang negatif ini juga sejalan dengan hasil temuan Astuti (2007). Tabel 6 Faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan Dana Alokasi Umum (DAU) Variabel Label Variabel Parameter Estimasi t- statistik Prob Jangka Pendek Elastisitas Jangka Panjang Intercept PDRB PDRB PDK Jumlah Penduduk KAPFIS Kapasitas Fiskal LD Luas Daerah LDAU Lag DAU F-hitung Adj-R Sumber: hasil pengolahan Jumlah penduduk memperlihatkan hubungan yang positif terhadap penerimaan DAU. Semakin banyak jumlah penduduk suatu daerah, maka akan semakin banyak kebutuhan penduduk tersebut yang dipenuhi dan dilayani oleh pemerintah daerah dalam rangka mensejahterakan penduduk daerah tersebut. Padahal di sisi lain, pemerintah daerah memiliki sumber pembiayaan yang terbatas. Oleh karena itu peningkatan jumlah penduduk suatu daerah akan diiringi pula oleh peningkatan penerimaan DAU kepada pemerintah daerah sebagai dana transfer yang diterima oleh daerah tersebut.

23 91 Kapasitas fiskal mencerminkan kemampuan daerah untuk menghimpun penerimaan yang murni berasal dari sumberdaya suatu daerah. Penerimaan tersebut berasal dari pendapatan asli daerah, dan dana bagi hasil pajak/bukan pajak. Pemberian DAU pada sisi lain dilakukan dalam rangka pemerataan antar daerah, sehingga secara teori kapasitas fiskal memiliki pengaruh yang negatif terhadap penerimaan DAU. Penelitian ini menunjukkan bahwa kapasitas fiskal memiliki pengaruh yang positif terhadap penerimaan DAU, yang berarti bahwa semakin tinggi kapasitas fiskal maka akan semakin tinggi pula penerimaan DAU. Hal tersebut disebabkan pada periode penelitian ini, pemberian DAU masih menganut sistem hold harmless, yaitu bahwa penerimaan DAU tahun ini tidak boleh lebih rendah daripada penerimaan tahun lalu, sehingga fluktuasi kapasitas fiskal tidak memberikan pengaruh terhadap penerimaan DAU karena jumlah DAU yang diterima oleh suatu daerah terus meningkat setiap tahunnya. Luas daerah memberikan pengaruh positif terhadap penerimaan DAU. Semakin luas suatu daerah, maka semakin besar biaya yang diperlukan untuk melayani penduduk dalam wilayah yang luas tersebut. Selain itu, daerah yang luas membuat pemerintah daerah memiliki tugas lebih besar untuk membangun daerahnya agar setiap wilayah dapat mendapatkan hasil pembangunan secara merata. Besarnya kebutuhan untuk membangun daerah yang luas tersebut tentunya akan berimbas pada besarnya pengeluaran pemerintah, sehingga menimbulkan kesenjangan fiskal karena pengeluaran yang besar tersebut belum dapat dipenuhi oleh kapasitas fiskal yang ada. Meningkatnya kesenjangan fiskal tersebut berimplikasi pada semakin besar DAU yang diterima daerah guna membiayai pembangunan daerah dalam rangka mencapai tingkat pemerataan antar daerah. Dalam jangka pendek DAU tidak terlalu responsif terhadap perubahan luas daerah. Hal tersebut memiliki arti bahwa apabila terdapat perubahan pada luas suatu daerah maka tidak langsung direspon oleh perubahan besarnya DAU yang diterima. Tidak responsifnya besarna DAU yang diterima akibat dari perubahan luas daerah tersebut disebabkan besarnya pemberian DAU telah ditetapkan terlebuh dahulu dengan bobot DAU pada periode 2 tahun sebelumnya.

24 92 Tabel 7 Faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan dana Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (BHPBP) Variabel Label Variabel Parameter Estimasi t- statistik Prob Jangka Pendek Elastisitas Jangka Panjang Intercept PDRB PDRB LBHPBP Lag BHPBP F-hitung Adj-R Sumber: hasil pengolahan Persamaan struktural bagi hasil pajak dan bukan pajak (BHPBP) dipengaruhi secara positif oleh peubah PDRB dan lag BHPBP. Bagi hasil pajak antara lain terdiri dari pajak pertambahan nilai (PPN), pajak penghasilan (PPh), pajak bumi dan bangunan (PBB) dan pajak kendaraan bermotor. Sementara itu, bagi hasil sumber daya alam antara lain berasal dari hasil usaha-usaha sektor pertanian, perikanan, kehutanan dan pertambangan. Dengan demikian, semakin meningkat PDRB suatu daerah, maka akan semakin meningkatkan penerimaan daerah yang berasal dari bagi hasil pajak antara lain akibat dari peningkatan jumlah penerimaan PPN dan PPh. Selain itu peningkatan usaha penggalian usmber daya alam utamanya pada sektor pertanian dan pertambangan seperti telah disebutkan sebelumnya akan meningkatkan PDRB. Peningkatan PDRB tersebut akan meningkatkan bagi hasil sumberdaya alam yang akan diterima oleh daerah tersebut. Peningkatan BHPBP tahun sebelumnya juga akan meningkatkan penerimaan BHPBP tahun berikutnya. Peubah-peubah penjelas yang digunakan dalam persamaan penerimaan BHPBP ini mampu menjelaskan variasi yang terjadi dalam penerimaan BHPBP sebesar 67% Pengeluaran Daerah Pengeluaran daerah dalam kaitannya dengan pengentasan kemiskinan berhubungan dengan bidang pertanian, pendidikan dan kesehatan, serta infrastruktur. Terkait dengan bidang pertanian, sebagian besar penduduk di Indonesia menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian. Penduduk yang menggantungkan hidupnya pada pertanian tersebut sebagian besar berada pada

25 93 kondisi serba kekurangan (miskin). Dengan demikian, besarnya pengeluaran pemerintah di sektor pertanian tentunya penting bagi perbaikan sektor tersebut. Pengeluaran bidang pertanian dipengaruhi oleh penerimaan daerah, PDRB pertanian dan lag pengeluaran bidang pertanian. Tabel 8 Faktor-faktor yang mempengaruhi pengeluaran pertanian Variabel Label Variabel Parameter Estimasi t- statistik Prob Intercept Elastisitas Jangka Pendek Jangka Panjang PD Penerimaan Daerah PDRBTANI PDRB Pertanian LAG PENGTANI Lag Pengeluaran Pertanian F-hitung Adj-R Sumber: hasil pengolahan Penerimaan daerah berpengaruh secara positif terhadap pengeluaran pertanian. Semakin tinggi penerimaan daerah suatu daerah baik yang berasal dari pajak, BHPBP maupun lainnya, maka semakin leluasa daerah tersebut untuk dapat mengalokasikan dana yang dimiliki sesuai dengan kebutuhan daerahnya, termasuk kebutuhan pada bidang pertanian seperti program ketahanan pangan, pengembangan agribisnis, peningkatan kesejahteraan petani, dan program rehabilitasi usaha tani. Hasil tersebut sejalan dengan teori Peacock dan Wiseman yang menyatakan bahwa peningkatan penerimaan pemerintah akan meningkatkan pengeluaran pemerintah. Penelitian sebelumnya yang memiliki hasil sejalan berkaitan dengan peubah penerimaan daerah adalah penelitian Yudhoyono (2004). Lag pengeluaran pertanian memiliki hubungan yang positif terhadap pengeluaran pertanian. Hal ini menunjukkan bahwa apabila kondisi pengeluaran pertanian periode sebelumnya meningkat, maka hal tersebut akan meningkatkan pengeluaran pertanian periode berikutnyanya. Peubah-peubah penjelas yang digunakan dalam persamaan pengeluaran pertanian ini mampu menjelaskan variasi yang terjadi dalam penerimaan pengeluaran pertanian sebesar 82%. Pelayanan publik berupa pelayanan kesehatan dan pendidikan diharapkan dapat meningkatkan kualitas penduduk. Penduduk yang semakin berkualitas akan

26 94 semakin meningkatkan tingkat produktivitas dalam bekerja, sehingga pendapatan penduduk meningkat dan jumlah penduduk miskin dapat dikurangi. Pengeluaran Pendidikan dan Kesehatan dipengaruhi oleh PAD, DAU, dan lag pengeluaran pendidikan. Seluruh parameter variabel penjelas bertanda positif, yang berarti bahwa peningkatan variabel-variabel tersebut akan meningkatkan pengeluaran pendidikan dan kesehatan. Semakin besar penerimaan daerah yang berasal dari PAD dan DAU akan semakin meningkatkan pengeluaran pemerintah daerah. Hal ini sesuai dengan teori Peacock dan Wiseman tentang pengeluaran pemerintah. Peningkatan pengeluaran tersebut tentunya akan meningkatkan pengeluaran pemerintah di bidang pendidikan dan kesehatan pula untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan pencapaian target pendidikan dasar sembilan tahun serta peningkatan upaya kesehatan baik perorangan maupun masyarakat. Penelitian Yudhoyono (2004) juga menunjukkan bahwa penerimaan daerah memiliki pengaruh positif terhadap pengeluaran pemerintah di bidang pendidikan dan kesehatan. Tabel 9 Faktor-faktor yang mempengaruhi pengeluaran pendidikan dan kesehatan Variabel Label Variabel Parameter Estimasi t- statistik Prob Jangka Pendek Elastisitas Jangka Panjang Intercept PAD PAD DAU DAU LAG Lag Pengeluaran PENGPENDKES Pendidikan&Kesehatan F-hitung Adj-R Sumber: hasil pengolahan Peningkatan pengeluaran pendidikan dan kesehatan pada tahun sebelumnya akan meningkatkan pengeluaran pendidikan dan kesehatan pada tahun berikutnya terlihat pula dari parameter koefisien yang bertanda positif. Peningkatan PAD baik pada jangka pendek maupun jangka panjang menunjukkan ketidakelastisan terhadap peningkatan pengeluaran pendidikan. Hal ini mengindikasikan bahwa pengeluaran pendidikan tidak mampu hanya ditopang oleh penerimaan dari PAD

27 95 saja. Sebaliknya, DAU dalam jangka pendek tidak elastis, namun bersifat sangat elastis pada jangka panjang. Peubah-peubah penjelas yang digunakan dalam persamaan pengeluaran pendidikan ini mampu menjelaskan variasi yang terjadi dalam penerimaan pengeluaran pendidikan dan kesehatan dengan cukup bagus yaitu sebesar 94.5%. Peningkatan pengeluaran infrastruktur pun tak kalah pentingnya disamping pengeluaran pertanian, pendidikan dan kesehatan dalam upaya pengurangan jumlah penduduk miskin. Infrastruktur seperti jalan dan jembatan penting dalam memperlancar penduduk kepada kegiatan ekonominya, efisiensi biaya dan juga penting dalam memperlancar akses penduduk kepada sarana-sarana publik, salah satunya pendidikan dan kesehatan. Pengeluaran infrastruktur dipengaruhi oleh PAD, dana perimbangan, dan lag pengeluaran infrastruktur dengan arah yang positif. Peningkatan PAD dan dana perimbangan akan meningkatkan penerimaan daerah, yang kemudian akan meningkatkan pengeluaran daerah, termasuk pengeluaran infrastruktur. Peningkatan PAD tidak terlalu nyata dalam mempengaruhi peningkatan pengeluaran infrastruktur karena dana PAD umumnya hanya sedikit dan di sisi lain pengeluran infrastruktur memerlukan dana yang cukup besar. Tabel 10 Faktor-faktor yang mempengaruhi pengeluaran infrastruktur Variabel Label Variabel Parameter Estimasi t- statistik Prob Intercept PAD PAD Jangka Pendek Elastisitas Jangka Panjang DAPER Dana Perimbangan LPENGINFRA Lag Infrastruktur F-hitung R Sumber: hasil pengolahan Peningkatan pengeluaran infrastruktur tahun lalu secara nyata semakin meningkatkan pengeluaran infrastruktur pada tahun berikutnya. Perubahan

28 96 pengeluaran infrastruktur lebih responsif terhadap perubahan dana perimbangan dalam jangka panjang. Peubah-peubah penjelas yang digunakan dalam persamaan pengeluaran infrastruktur ini memiliki nilai Adj-R 2 sebesar 0.828, yang artinya bahwa sebesar 82.8% variasi dalam persamaan pengeluaran infrastruktur ini dapat dijelaskan oleh peubah-peubah penjelas yang dimasukkan ke dalam persamaan struktural ini Output Blok Output terdiri atas persamaan PDRB Pertanian, PDRB Industri dan PDRB Jasa serta PDRB Lainnya. PDRB pertanian dipengaruhi oleh jumlah tenaga kerja pertanian, pengeluaran pendidikan dan kesehatan, dan pengeluaran infrastruktur. Variabel-variabel penjelas tersebut mempengaruhi PDRB pertanian secara positif dan nyata. Tabel 11 Faktor-faktor yang mempengaruhi PDRB Pertanian Variabel Label Variabel Parameter Estimasi t- statistik Prob Jangka Pendek Intercept TKTANI Tenaga Kerja Pertanian PENGTANI Pengeluaran Pertanian PENGPEND KES Pengeluaran Pend&Kes PENGINFRA Pengeluaran Infrastruktur F-hitung Adj-R Sumber: hasil pengolahan Elastisitas Jangka Panjang Sektor pertanian merupakan sektor yang banyak menyerap tenaga kerja, sehingga jumlah tenaga kerja pertanian memberikan pengaruh positif yang nyata terhadap output (PDRB) pertanian. Semakin besar tenaga kerja yang bekerja pada sektor pertanian maka akan meningkatkan PDRB pertanian. Namun, dalam jangka pendek respon PDRB pertanian terhadap perubahan jumlah tenaga kerja pertanian kurang elastis. Hal tersebut terlihat dari PDRB pertanian hanya meningkat sebesar 0.48% apabila jumlah tenaga kerja pertanian meningkat sebesar 1%. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sumedi (2005)

29 97 bahwa peningkatan tenaga kerja pertanian akan mempengaruhi peningkatan PDRB pertanian. Pengeluaran pertanian memiliki pengaruh positif terhadap peningkatan PDRB pertanian. Hal tersebut sejalan dengan hasil penelitian Astuti (2007) bahwa pengeluaran untuk sektor pertanian merupakan hal yang penting berkaitan dengan sektor pertanian yang menyerap tenaga kerja. Peningkatan pendidikan dan kesehatan guna menghasilkan tenaga kerja yang berkualitas berpengaruh positif dan nyata pula terhadap PDRB pertanian. Oleh karena itu, peran pemerintah dalam mengalokasikan pengeluaran pemerintahnya terhadap belanja di bidang pendidikan dan kesehatan menjadi sangat penting. Semakin meningkat pengeluaran pendidikan dan kesehatan, maka akan meningkatkan jumlah tenaga kerja yang berkualitas, tidak terkecuali tenaga kerja di bidang pertanian. Peningkatan kualitas tenaga kerja tersebut dapat berupa peningkatan kecakapan dalam penguasaan teknologi pertanian, yang kemudian nantinya akan berdampak pada meningkatkan output dari sektor pertanian. Namun, karena pendidikan dan kesehatan memerlukan waktu yang lama, sehingga dalam jangka pendek elastistasnya bersifat inelastis, yaitu sebesar 0.1% peningkatan PDRB pertanian yang akan terjadi apabila jumlah pengeluaran pendidikan dan kesehatan meningkat sebesar 1%. Peningkatan infrastruktur seperti jalan dan jembatan akan meningkatkan akses petani dalam pendistribusian hasil produksi maupun dalam akses menuju tempat kegiatan ekonominya. Hal tersebut tentunya dapat menciptakan efisiensi biaya produksi dan nantinya akan meciptakan harga jual produk yang kompetitif. Kemudahan tersebut tentunya akan berimbas pada peningkatan produksi petani dan selanjutnya akan meningkatkan PDRB pertanian. Fan dan Kang (2004) dalam penelitiannya mengenai dampak pembangunan infrastruktur terutama jalan terhadap pertumbuhan ekonomi menemukan hubungan positif pula antara pengeluaran infratruktur terutama jalan terhadap PDRB pada sektor pertanian, PDRB industri dipengaruhi oleh tenaga kerja industri, pengeluaran infrastruktur dan investasi secara positif dan nyata. Peningkatan tenaga kerja industri sebagai salah satu faktor produksi secara signifikan akan meningkatkan PDRB industri. Peningkatan jumlah tenaga kerja sektor industri sebesar 1% pad

30 98 jangka pendek akan langsung meningkatkan PDRB industri sebesar 0.61%. Pengaruh positif tenaga kerja industri terhadap PDRB industri ini sejalan pula dengan hasil penelitian Astuti (2007) dan Sumedi (2005). Tabel 12 Faktor-faktor yang mempengaruhi PDRB Industri Variabel Label Variabel Parameter Estimasi t-statistik Prob Jangka Pendek Intercept TKIND Tenaga Kerja Industri PENGINFRA Pengeluaran Infrastruktur INV Investasi F-hitung Adj-R Sumber: hasil pengolahan Elastisitas Jangka Panjang Kegiatan industri sangat memerlukan sarana infrastruktur yang memadai. Oleh karena itu, peningkatan pengeluaran infrastruktur sangat berpengaruh secara nyata terhadap peningkatan PDRB industri. Selain ketersediaan infrastruktur, kegiatan industri juga memiliki keterkaitan yang erat dengan tingkat investasi (PMTB). Semakin tinggi tingkat investasi, maka akan meningkatkan output dari kegiatan industri. Pada jangka pendek, elastisitas perubahan PDRB industri terhadap perubahan tenaga kerja industri, pengeluaran infrastruktur dan investasi bersifat inelastis. Sektor jasa terdiri atas sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektor transportasi dan komunikasi, sektor keuangan dan sektor jasa-jasa. PDRB Jasa dipengaruhi oleh tenaga kerja jasa dan pengeluaran infrastruktur secara positif dan nyata. Peubah-peubah penjelas yang digunakan dalam persamaan pengeluaran infrastruktur ini memiliki nilai R 2 sebesar 0.516, yang artinya bahwa sebesar 51.6% variasi dalam persamaan pengeluaran infrastruktur ini dapat dijelaskan oleh peubah-peubah penjelas yang dimasukkan ke dalam persamaan struktural ini. Peningkatan tenaga kerja jasa sebagai salah satu faktor produksi secara signifikan akan meningkatkan PDRB jasa. Elastisitas jumlah tenaga kerja jasa terhadap PDRB jasa ini cukup elastis. Peningkatan jumlah tenaga kerja sektor jasa sebesar 1% akan direspon dengan meningkatkan PDRB jasa sebesar 1.83%.

4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan

4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan 4 GAMBARAN UMUM 4.1 Kinerja Fiskal Daerah Kinerja fiskal yang dibahas dalam penelitian ini adalah tentang penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah, yang digambarkan dalam APBD Provinsi dan Kabupaten/Kota

Lebih terperinci

5. PROFIL KINERJA FISKAL, PEREKONOMIAN, DAN KEMISKINAN SEKTORAL DAERAH DI INDONESIA

5. PROFIL KINERJA FISKAL, PEREKONOMIAN, DAN KEMISKINAN SEKTORAL DAERAH DI INDONESIA 86 5. PROFIL KINERJA FISKAL, PEREKONOMIAN, DAN KEMISKINAN SEKTORAL DAERAH DI INDONESIA Profil kinerja fiskal, perekonomian, dan kemiskinan sektoral daerah pada bagian ini dianalisis secara deskriptif berdasarkan

Lebih terperinci

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 75 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Pemerintah Penerimaan pemerintah terdiri dari PAD dan dana perimbangan. PAD terdiri dari pajak, retribusi, laba BUMD, dan lain-lain

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejak tahun 1970-an telah terjadi perubahan menuju desentralisasi di antara negaranegara,

BAB I PENDAHULUAN. Sejak tahun 1970-an telah terjadi perubahan menuju desentralisasi di antara negaranegara, BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Sejak tahun 1970-an telah terjadi perubahan menuju desentralisasi di antara negaranegara, baik negara ekonomi berkembang maupun negara ekonomi maju. Selain pergeseran

Lebih terperinci

TABEL 1 LAJU PERTUMBUHAN PDRB MENURUT LAPANGAN USAHA (Persentase) Triw I 2011 Triw II Semester I 2011 LAPANGAN USAHA

TABEL 1 LAJU PERTUMBUHAN PDRB MENURUT LAPANGAN USAHA (Persentase) Triw I 2011 Triw II Semester I 2011 LAPANGAN USAHA No. 01/08/53/TH.XIV, 5 AGUSTUS PERTUMBUHAN EKONOMI NTT TRIWULAN II TUMBUH 5,21 PERSEN Pertumbuhan ekonomi NTT yang diukur berdasarkan kenaikan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) pada triwulan II tahun

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan suatu negara. Pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami perubahan yang cukup berfluktuatif. Pada

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sumber daya alam tidak diragukan lagi Indonesia memiliki kekayaan alam yang

BAB 1 PENDAHULUAN. sumber daya alam tidak diragukan lagi Indonesia memiliki kekayaan alam yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara berkembang yang memiliki potensi sumber daya yang sangat besar baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia, untuk sumber daya alam tidak

Lebih terperinci

INDEKS TENDENSI BISNIS DAN INDEKS TENDENSI KONSUMEN TRIWULAN I-2013

INDEKS TENDENSI BISNIS DAN INDEKS TENDENSI KONSUMEN TRIWULAN I-2013 BADAN PUSAT STATISTIK No. 34/05/Th. XVI, 6 Mei 2013 INDEKS TENDENSI BISNIS DAN INDEKS TENDENSI KONSUMEN TRIWULAN I-2013 KONDISI BISNIS DAN EKONOMI KONSUMEN MENINGKAT A. INDEKS TENDENSI BISNIS A. Penjelasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi fiskal dan otonomi daerah telah membawa konsekuensi pada

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi fiskal dan otonomi daerah telah membawa konsekuensi pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Otonomi daerah telah melahirkan desentralisasi fiskal yang dapat memberikan suatu perubahan kewenangan bagi hubungan keuangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah

Lebih terperinci

VIII. PROSPEK PERMINTAAN PRODUK IKAN

VIII. PROSPEK PERMINTAAN PRODUK IKAN 185 VIII. PROSPEK PERMINTAAN PRODUK IKAN Ketersediaan produk perikanan secara berkelanjutan sangat diperlukan dalam usaha mendukung ketahanan pangan. Ketersediaan yang dimaksud adalah kondisi tersedianya

Lebih terperinci

Info Singkat Kemiskinan dan Penanggulangan Kemiskinan

Info Singkat Kemiskinan dan Penanggulangan Kemiskinan Info Singkat Kemiskinan dan Penanggulangan Kemiskinan http://simpadu-pk.bappenas.go.id 137448.622 1419265.7 148849.838 1548271.878 1614198.418 1784.239 1789143.87 18967.83 199946.591 294358.9 2222986.856

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM Letak Geogafis dan Wilayah Administratif DKI Jakarta. Bujur Timur. Luas wilayah Provinsi DKI Jakarta, berdasarkan SK Gubernur

IV. GAMBARAN UMUM Letak Geogafis dan Wilayah Administratif DKI Jakarta. Bujur Timur. Luas wilayah Provinsi DKI Jakarta, berdasarkan SK Gubernur 57 IV. GAMBARAN UMUM 4.1. Letak Geogafis dan Wilayah Administratif DKI Jakarta Provinsi DKI Jakarta merupakan dataran rendah dengan ketinggian rata-rata 7 meter diatas permukaan laut dan terletak antara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Desentralisasi fiskal sudah dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 2001. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun

Lebih terperinci

WORKSHOP (MOBILITAS PESERTA DIDIK)

WORKSHOP (MOBILITAS PESERTA DIDIK) WORKSHOP (MOBILITAS PESERTA DIDIK) KONSEP 1 Masyarakat Anak Pendidikan Masyarakat Pendidikan Anak Pendekatan Sektor Multisektoral Multisektoral Peserta Didik Pendidikan Peserta Didik Sektoral Diagram Venn:

Lebih terperinci

INDEKS TENDENSI BISNIS DAN INDEKS TENDENSI KONSUMEN TRIWULAN I-2015

INDEKS TENDENSI BISNIS DAN INDEKS TENDENSI KONSUMEN TRIWULAN I-2015 BADAN PUSAT STATISTIK No. 46/05/Th. XVIII, 5 Mei 2015 INDEKS TENDENSI BISNIS DAN INDEKS TENDENSI KONSUMEN TRIWULAN I-2015 KONDISI BISNIS MENURUN NAMUN KONDISI EKONOMI KONSUMEN SEDIKIT MENINGKAT A. INDEKS

Lebih terperinci

IV. DINAMIKA DISPARITAS WILAYAH DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR

IV. DINAMIKA DISPARITAS WILAYAH DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR IV. DINAMIKA DISPARITAS WILAYAH DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR 4.1. Dinamika Disparitas Wilayah Pembangunan wilayah merupakan sub sistem dari pembangunan koridor ekonomi dan provinsi dan merupakan bagian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu negara. Hubungan keduanya dijelaskan dalam Hukum Okun yang menunjukkan

BAB I PENDAHULUAN. suatu negara. Hubungan keduanya dijelaskan dalam Hukum Okun yang menunjukkan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengangguran merupakan satu dari banyak permasalahan yang terjadi di seluruh negara di dunia, terutama di negara berkembang seperti Indonesia. Hal ini terjadi karena

Lebih terperinci

DINAMIKA PERTUMBUHAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN

DINAMIKA PERTUMBUHAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN IV. DINAMIKA PERTUMBUHAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN 4.1 Pertumbuhan Ekonomi Bertambahnya jumlah penduduk berarti pula bertambahnya kebutuhan konsumsi secara agregat. Peningkatan pendapatan diperlukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sosial. Selain itu pembangunan adalah rangkaian dari upaya dan proses yang

BAB I PENDAHULUAN. sosial. Selain itu pembangunan adalah rangkaian dari upaya dan proses yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pembangunan adalah kemajuan yang diharapkan oleh setiap negara. Pembangunan adalah perubahan yang terjadi pada semua struktur ekonomi dan sosial. Selain itu

Lebih terperinci

PETA KEMAMPUAN KEUANGAN PROVINSI DALAM ERA OTONOMI DAERAH:

PETA KEMAMPUAN KEUANGAN PROVINSI DALAM ERA OTONOMI DAERAH: PETA KEMAMPUAN KEUANGAN PROVINSI DALAM ERA OTONOMI DAERAH: Tinjauan atas Kinerja PAD, dan Upaya yang Dilakukan Daerah Direktorat Pengembangan Otonomi Daerah deddyk@bappenas.go.id Abstrak Tujuan kajian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bangsa Indonesia memasuki era baru tata pemerintahan sejak tahun 2001 yang ditandai dengan pelaksanaan otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah ini didasarkan pada UU

Lebih terperinci

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI JAWA TENGAH (Indikator Makro)

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI JAWA TENGAH (Indikator Makro) POTRET PENDIDIKAN PROVINSI JAWA TENGAH (Indikator Makro) Pusat Data dan Statistik Pendidikan - Kebudayaan Setjen, Kemendikbud Jakarta, 2015 DAFTAR ISI A. Dua Konsep Pembahasan B. Potret IPM 2013 1. Nasional

Lebih terperinci

Assalamu alaikum Wr. Wb.

Assalamu alaikum Wr. Wb. Sambutan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia Assalamu alaikum Wr. Wb. Sebuah kebijakan akan lebih menyentuh pada persoalan yang ada apabila dalam proses penyusunannya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia. Seiring perkembangan zaman tentu kebutuhan manusia bertambah, oleh

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia. Seiring perkembangan zaman tentu kebutuhan manusia bertambah, oleh BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perekonomian merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Seiring perkembangan zaman tentu kebutuhan manusia bertambah, oleh karena itu perekonomian

Lebih terperinci

IPM KABUPATEN BANGKA: CAPAIAN DAN TANTANGAN PAN BUDI MARWOTO BAPPEDA BANGKA 2014

IPM KABUPATEN BANGKA: CAPAIAN DAN TANTANGAN PAN BUDI MARWOTO BAPPEDA BANGKA 2014 IPM KABUPATEN BANGKA: CAPAIAN DAN TANTANGAN PAN BUDI MARWOTO BAPPEDA BANGKA 2014 LATAR BELAKANG Sebelum tahun 1970-an, pembangunan semata-mata dipandang sebagai fenomena ekonomi saja. (Todaro dan Smith)

Lebih terperinci

AKSES PELAYANAN KESEHATAN. Website:

AKSES PELAYANAN KESEHATAN. Website: AKSES PELAYANAN KESEHATAN Tujuan Mengetahui akses pelayanan kesehatan terdekat oleh rumah tangga dilihat dari : 1. Keberadaan fasilitas kesehatan 2. Moda transportasi 3. Waktu tempuh 4. Biaya transportasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masalah kemiskinan menjadi persoalan serius yang di hadapi oleh banyak

BAB I PENDAHULUAN. Masalah kemiskinan menjadi persoalan serius yang di hadapi oleh banyak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah kemiskinan menjadi persoalan serius yang di hadapi oleh banyak negara di dunia, karena dalam negara maju pun terdapat penduduk miskin. Kemiskinan identik dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan merupakan fenomena umum yang terjadi pada banyak

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan merupakan fenomena umum yang terjadi pada banyak BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kemiskinan merupakan fenomena umum yang terjadi pada banyak negara di dunia dan menjadi masalah sosial yang bersifat global. Hampir semua negara berkembang memiliki

Lebih terperinci

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI SULAWESI BARAT (Indikator Makro)

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI SULAWESI BARAT (Indikator Makro) POTRET PENDIDIKAN PROVINSI SULAWESI BARAT (Indikator Makro) Pusat Data dan Statistik Pendidikan - Kebudayaan Kemendikbud Jakarta, 2015 DAFTAR ISI A. Dua Konsep Pembahasan B. Potret IPM 2013 1. Nasional

Lebih terperinci

V. PEMBAHASAN. perekonomian daerah. Pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk

V. PEMBAHASAN. perekonomian daerah. Pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk V. PEMBAHASAN 5.1. Kinerja Ekonomi Daerah Kota Magelang Adanya penerapan desentralisasi fiskal diharapkan dapat mendorong perekonomian daerah. Pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk meningkatkan

Lebih terperinci

MENTERI PEKERJAAN UMUM REPUBLIK INDONESIA

MENTERI PEKERJAAN UMUM REPUBLIK INDONESIA MENTERI PEKERJAAN UMUM REPUBLIK INDONESIA Disampaikan pada: SEMINAR NASIONAL FEED THE WORLD JAKARTA, 28 JANUARI 2010 Pendekatan Pengembangan Wilayah PU Pengembanga n Wilayah SDA BM CK Perkim BG AM AL Sampah

Lebih terperinci

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI KALIMANTAN TENGAH. 07 November 2016

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI KALIMANTAN TENGAH. 07 November 2016 BADAN PUSAT STATISTIK 07 November 2016 Berita Resmi Statistik Pertumbuhan Ekonomi Kalimantan Tengah (Produk Domestik Regional Bruto) Indeks Tendensi Konsumen 7 November 2016 BADAN PUSAT STATISTIK Pertumbuhan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Kata Pengantar. iii

KATA PENGANTAR. Kata Pengantar. iii 1 ii Deskripsi dan Analisis APBD 2014 KATA PENGANTAR Pelaksanaan desentralisasi fiskal yang dimulai sejak tahun 2001 menunjukkan fakta bahwa dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan

Lebih terperinci

POTRET KEMISKINAN DAN PENGANGGURAN DI PROVINSI KALIMANTAN TENGAH

POTRET KEMISKINAN DAN PENGANGGURAN DI PROVINSI KALIMANTAN TENGAH POTRET KEMISKINAN DAN PENGANGGURAN DI PROVINSI KALIMANTAN TENGAH Rapat Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Provinsi Kalimantan Tengah 2015 Palangka Raya, 16Desember 2015 DR. Ir. Sukardi, M.Si Kepala BPS

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi yang meningkat menggambarkan bahwa adanya peningkatan

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi yang meningkat menggambarkan bahwa adanya peningkatan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan merupakan dasar untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Indikator untuk melihat pembangunan adalah dengan melihat pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM. Penyajian gambaran umum tentang variabel-variabel endogen dalam

V. GAMBARAN UMUM. Penyajian gambaran umum tentang variabel-variabel endogen dalam V. GAMBARAN UMUM Penyajian gambaran umum tentang variabel-variabel endogen dalam penelitian ini dimaksudkan agar diketahui kondisi awal dan pola prilaku masingmasing variabel di provinsi yang berbeda maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sentralisasi menjadi sistem desentralisasi merupakan konsekuensi logis dari

BAB I PENDAHULUAN. sentralisasi menjadi sistem desentralisasi merupakan konsekuensi logis dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perubahan sistem penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia dari sistem sentralisasi menjadi sistem desentralisasi merupakan konsekuensi logis dari reformasi. Undang-Undang

Lebih terperinci

Memahami Arti Penting Mempelajari Studi Implementasi Kebijakan Publik

Memahami Arti Penting Mempelajari Studi Implementasi Kebijakan Publik Kuliah 1 Memahami Arti Penting Mempelajari Studi Implementasi Kebijakan Publik 1 Implementasi Sebagai bagian dari proses/siklus kebijakan (part of the stage of the policy process). Sebagai suatu studi

Lebih terperinci

INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI PAPUA TRIWULAN I-2016

INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI PAPUA TRIWULAN I-2016 No. 25/05/94/Th. VI, 4 Mei 2016 INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI PAPUA TRIWULAN A. Penjelasan Umum Indeks Tendensi Konsumen (ITK) adalah indikator perkembangan ekonomi konsumen terkini yang dihasilkan

Lebih terperinci

INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI PAPUA TRIWULAN I-2017

INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI PAPUA TRIWULAN I-2017 BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI PAPUA INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI PAPUA TRIWULAN I-2017 A. Penjelasan Umum 1. Indeks Tendensi Konsumen (ITK) I-2017 No. 27/05/94/Th. VII, 5 Mei 2017 Indeks Tendensi

Lebih terperinci

INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN III-2015 DAN PERKIRAAN TRIWULAN IV-2015

INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN III-2015 DAN PERKIRAAN TRIWULAN IV-2015 BPS PROVINSI LAMPUNG No. 10/11/18.Th.V, 5 November 2015 INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN III-2015 DAN PERKIRAAN TRIWULAN IV-2015 INDEKS TENDENSI KONSUMEN LAMPUNG TRIWULAN III-2015 SEBESAR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan.

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan. Otonomi daerah memberikan kesempatan yang luas kepada daerah untuk berkreasi dalam meningkatkan

Lebih terperinci

INDEKS TENDENSI KONSUMEN

INDEKS TENDENSI KONSUMEN No. 10/02/91 Th. VI, 6 Februari 2012 INDEKS TENDENSI KONSUMEN A. Penjelasan Umum Indeks Tendensi Konsumen (ITK) adalah indikator perkembangan ekonomi terkini yang dihasilkan Badan Pusat Statistik melalui

Lebih terperinci

V. PEMBAHASAN Perkembangan Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Industri dan Perdagangan, Hotel dan Restoran di Pulau Jawa

V. PEMBAHASAN Perkembangan Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Industri dan Perdagangan, Hotel dan Restoran di Pulau Jawa 72 V. PEMBAHASAN 5.1. Perkembangan Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Industri dan Perdagangan, Hotel dan Restoran di Pulau Jawa Pulau Jawa merupakan salah satu Pulau di Indonesia yang memiliki jumlah penduduk

Lebih terperinci

DINAMIKA PDB SEKTOR PERTANIAN DAN PENDAPATAN PETANI

DINAMIKA PDB SEKTOR PERTANIAN DAN PENDAPATAN PETANI DINAMIKA PDB SEKTOR PERTANIAN DAN PENDAPATAN PETANI Hermanto dan Gatoet S. Hardono PENDAHULUAN Sebagai negara berkembang yang padat penduduknya, Indonesia memerlukan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB)

Lebih terperinci

VI. ARAH PENGEMBANGAN PERTANIAN BEDASARKAN KESESUAIAN LAHAN

VI. ARAH PENGEMBANGAN PERTANIAN BEDASARKAN KESESUAIAN LAHAN VI. ARAH PENGEMBANGAN PERTANIAN BEDASARKAN KESESUAIAN LAHAN Pada bab V telah dibahas potensi dan kesesuaian lahan untuk seluruh komoditas pertanian berdasarkan pewilayahan komoditas secara nasional (Puslitbangtanak,

Lebih terperinci

DIREKTORAT JENDERAL KETENAGALISTRIKAN KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL

DIREKTORAT JENDERAL KETENAGALISTRIKAN KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL PROGRAM LISTRIK PERDESAAN DI INDONESIA: KEBIJAKAN, RENCANA DAN PENDANAAN Jakarta, 20 Juni 2013 DIREKTORAT JENDERAL KETENAGALISTRIKAN KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL KONDISI SAAT INI Kondisi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur Provinsi Kalimantan Timur terletak pada 113 0 44-119 0 00 BT dan 4 0 24 LU-2 0 25 LS. Kalimantan Timur merupakan

Lebih terperinci

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

VI. KESIMPULAN DAN SARAN VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian mengenai peranan investasi pemerintah total dan menurut jenis yang dibelanjakan terhadap pertumbuhan ekonomi di Kawasan Timur Indonesia

Lebih terperinci

PEMETAAN DAYA SAING PERTANIAN INDONESIA

PEMETAAN DAYA SAING PERTANIAN INDONESIA Pendahuluan Policy Brief PEMETAAN DAYA SAING PERTANIAN INDONESIA 1. Dinamika perkembangan ekonomi global akhir-akhir ini memberikan sinyal tentang pentingnya peningkatan daya saing pertanian. Di tingkat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. ekonomi di setiap negara. Tujuan peningkatan penyerapan tenaga kerja sering

BAB 1 PENDAHULUAN. ekonomi di setiap negara. Tujuan peningkatan penyerapan tenaga kerja sering BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Tenaga kerja merupakan faktor yang sangat krusial bagi pembangunan ekonomi di setiap negara. Tujuan peningkatan penyerapan tenaga kerja sering menjadi prioritas dalam

Lebih terperinci

DAFTAR ISI BUKU III RPJMN TAHUN PEMBANGUNAN BERDIMENSI KEWILAYAHAN : MEMPERKUAT SINERGI ANTARA PUSAT-DAERAH DAN ANTARDAERAH

DAFTAR ISI BUKU III RPJMN TAHUN PEMBANGUNAN BERDIMENSI KEWILAYAHAN : MEMPERKUAT SINERGI ANTARA PUSAT-DAERAH DAN ANTARDAERAH DAFTAR ISI BUKU III RPJMN TAHUN 2010-2014 PEMBANGUNAN BERDIMENSI KEWILAYAHAN : MEMPERKUAT SINERGI ANTARA PUSAT-DAERAH DAN ANTARDAERAH BAB.I ARAH KEBIJAKAN NASIONAL PENGEMBANGAN WILAYAH 2010-2014 1.1 Pendahuluan...

Lebih terperinci

VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. dampak investasi dan pengeluaran pemerintah terhadap kinerja perekonomian

VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. dampak investasi dan pengeluaran pemerintah terhadap kinerja perekonomian 205 VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 8.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis atas data yang telah ditabulasi berkaitan dengan dampak investasi dan pengeluaran pemerintah terhadap kinerja perekonomian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Selama awal perkembangan literatur pembagunan, kesuksesan

BAB I PENDAHULUAN. Selama awal perkembangan literatur pembagunan, kesuksesan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Selama awal perkembangan literatur pembagunan, kesuksesan pembangunan diindikasikan dengan peningkatan pendapatan per kapita dengan anggapan bahwa peningkatan pendapatan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Kata Pengantar. iii

KATA PENGANTAR. Kata Pengantar. iii 1 ii Deskripsi dan Analisis APBD 2013 KATA PENGANTAR Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan instrumen kebijakan fiskal yang utama bagi pemerintah daerah. Dalam APBD termuat prioritas-prioritas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, maka pelaksanaan pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, maka pelaksanaan pembangunan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Sebagaimana cita-cita kita bangsa Indonesia dalam bernegara yaitu untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, maka pelaksanaan pembangunan menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Faktor-faktor yang..., Iva Prasetyo Kusumaning Ayu, FE UI, 2010.

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Faktor-faktor yang..., Iva Prasetyo Kusumaning Ayu, FE UI, 2010. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring dengan berlangsungnya pelaksanaan pembangunan ekonomi nasional, maka transformasi struktural dalam perekonomian merupakan suatu proses yang tidak terhindarkan.

Lebih terperinci

CEDERA. Website:

CEDERA. Website: CEDERA Definisi Cedera Cedera merupakan kerusakan fisik pada tubuh manusia yang diakibatkan oleh kekuatan yang tidak dapat ditoleransi dan tidak dapat diduga sebelumnya Definisi operasional: Cedera yang

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA EKONOMI DAERAH

BAB II KERANGKA EKONOMI DAERAH Nilai (Rp) BAB II KERANGKA EKONOMI DAERAH Penyusunan kerangka ekonomi daerah dalam RKPD ditujukan untuk memberikan gambaran kondisi perekonomian daerah Kabupaten Lebak pada tahun 2006, perkiraan kondisi

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM TRANSFER FISKAL DAN KEMISKINAN DI INDONESIA

V. GAMBARAN UMUM TRANSFER FISKAL DAN KEMISKINAN DI INDONESIA V. GAMBARAN UMUM TRANSFER FISKAL DAN KEMISKINAN DI INDONESIA Dalam bagian ini diuraikan berturut-turut mengenai profil transfer fiskal dan profil kemiskinan di Indonesia. 5.1. Profil Transfer Fiskal di

Lebih terperinci

INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN I-2016 DAN PERKIRAAN TRIWULAN II-2016

INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN I-2016 DAN PERKIRAAN TRIWULAN II-2016 BPS PROVINSI LAMPUNG No. 10/05/18/Th. VI, 4 Mei 2016 INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN I-2016 DAN PERKIRAAN TRIWULAN II-2016 INDEKS TENDENSI KONSUMEN LAMPUNG TRIWULAN I-2016 SEBESAR 101,55

Lebih terperinci

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU (Indikator Makro)

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU (Indikator Makro) POTRET PENDIDIKAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU (Indikator Makro) Pusat Data dan Statistik Pendidikan - Kebudayaan Setjen, Kemendikbud Jakarta, 2015 DAFTAR ISI A. Dua Konsep Pembahasan B. Potret IPM 2013 1.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) memiliki peran strategi dalam pembangunan nasional. Hal ini dikarenakan sebagian besar penduduk terlibat dalam kegiatan UMKM

Lebih terperinci

PANDUAN PENGGUNAAN Aplikasi SIM Persampahan

PANDUAN PENGGUNAAN Aplikasi SIM Persampahan PANDUAN PENGGUNAAN Aplikasi SIM Persampahan Subdit Pengelolaan Persampahan Direktorat Pengembangan PLP DIREKTORAT JENDRAL CIPTA KARYA KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT Aplikasi SIM PERSAMPAHAN...(1)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan otonomi daerah adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan otonomi daerah adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tujuan pembangunan otonomi daerah adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi dan pembangunan daerah, mengurangi kesenjangan antar daerah dan meningkatkan kualitas pelayanan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sejak tahun 2001 Indonesia telah memberlakukan desentralisasi yang lebih

I. PENDAHULUAN. Sejak tahun 2001 Indonesia telah memberlakukan desentralisasi yang lebih I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sejak tahun 2001 Indonesia telah memberlakukan desentralisasi yang lebih dikenal dengan istilah otonomi daerah sebagai salah satu wujud perubahan fundamental terhadap

Lebih terperinci

INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI PAPUA TRIWULAN IV-2016

INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI PAPUA TRIWULAN IV-2016 BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI PAPUA INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI PAPUA TRIWULAN A. Penjelasan Umum No. 11/02/94/Th. VII, 6 Februari 2017 Indeks Tendensi Konsumen (ITK) adalah indikator perkembangan

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TRIWULAN I-2010

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TRIWULAN I-2010 BADAN PUSAT STATISTIK No. 31/05/Th. XIII, 10 Mei 2010 PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TRIWULAN I-2010 EKONOMI INDONESIA TRIWULAN I-2010 TUMBUH MENINGKAT 5,7 PERSEN Perekonomian Indonesia yang diukur berdasarkan

Lebih terperinci

HASIL Ujian Nasional SMP - Sederajat. Tahun Ajaran 2013/2014

HASIL Ujian Nasional SMP - Sederajat. Tahun Ajaran 2013/2014 HASIL Ujian Nasional SMP - Sederajat Tahun Ajaran 213/21 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta, 13 Juni 21 1 Ringkasan Hasil Akhir UN - SMP Tahun 213/21 Peserta UN 3.773.372 3.771.37 (99,9%) ya

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TRIWULAN II-2014

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TRIWULAN II-2014 No. 63/08/Th. XVII, 5 Agustus 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TRIWULAN II-2014 EKONOMI INDONESIA TRIWULAN II-2014 TUMBUH 5,12 PERSEN Perekonomian Indonesia yang diukur berdasarkan besaran Produk Domestik

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat melalui beberapa proses dan salah satunya adalah dengan

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TRIWULAN I-2011

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TRIWULAN I-2011 BADAN PUSAT STATISTIK No. 31/05/Th. XIV, 5 Mei 2011 PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TRIWULAN I-2011 EKONOMI INDONESIA TRIWULAN I-2011 TUMBUH 6,5 PERSEN Perekonomian Indonesia yang diukur berdasarkan besaran

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Di era Otonomi Daerah sasaran dan tujuan pembangunan salah satu diantaranya

I. PENDAHULUAN. Di era Otonomi Daerah sasaran dan tujuan pembangunan salah satu diantaranya I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di era Otonomi Daerah sasaran dan tujuan pembangunan salah satu diantaranya adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi dan pembangunan daerah, mengurangi kesenjangan antar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Penanaman modal atau investasi merupakan langkah awal kegiatan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Penanaman modal atau investasi merupakan langkah awal kegiatan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penanaman modal atau investasi merupakan langkah awal kegiatan produksi. Pada posisi semacam ini investasi pada hakekatnya juga merupakan langkah awal kegiatan pembangunan

Lebih terperinci

BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH 2009

BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH 2009 BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH 2009 5.1.Pendahuluan Kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal yang telah dilaksanakan sejak tahun 2001 adalah dalam rangka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perubahan peraturan sektor publik yang disertai dengan adanya tuntutan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perubahan peraturan sektor publik yang disertai dengan adanya tuntutan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perubahan peraturan sektor publik yang disertai dengan adanya tuntutan demokratisasi menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi

Lebih terperinci

4. GAMBARAN UMUM 4.1 Pertumbuhan Ekonomi

4. GAMBARAN UMUM 4.1 Pertumbuhan Ekonomi 4. GAMBARAN UMUM 4.1 Pertumbuhan Ekonomi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan dasar pengukuran atas nilai tambah barang dan jasa yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha yang timbul akibat adanya

Lebih terperinci

BAB 3 GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN DAN KEUANGAN DAERAH KAB/KOTA DI JAWA TENGAH

BAB 3 GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN DAN KEUANGAN DAERAH KAB/KOTA DI JAWA TENGAH BAB 3 GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN DAN KEUANGAN DAERAH KAB/KOTA DI JAWA TENGAH 3.1 Keadaan Geografis dan Pemerintahan Propinsi Jawa Tengah adalah salah satu propinsi yang terletak di pulau Jawa dengan luas

Lebih terperinci

Laksono Trisnantoro Ketua Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada

Laksono Trisnantoro Ketua Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Laksono Trisnantoro Ketua Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada 1 Pembahasan 1. Makna Ekonomi Politik 2. Makna Pemerataan 3. Makna Mutu 4. Implikasi terhadap

Lebih terperinci

PENGUATAN KEBIJAKAN SOSIAL DALAM RENCANA KERJA PEMERINTAH (RKP) 2011

PENGUATAN KEBIJAKAN SOSIAL DALAM RENCANA KERJA PEMERINTAH (RKP) 2011 PENGUATAN KEBIJAKAN SOSIAL DALAM RENCANA KERJA PEMERINTAH (RKP) 2011 ARAHAN WAKIL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PADA ACARA MUSYAWARAH PERENCANAAN PEMBANGUNAN TINGKAT NASIONAL (MUSRENBANGNAS) 28 APRIL 2010

Lebih terperinci

DATA SOSIAL EKONOMI STRATEGIS. April 2017

DATA SOSIAL EKONOMI STRATEGIS. April 2017 DATA SOSIAL EKONOMI STRATEGIS April 2017 2 Data Sosial Ekonomi Strategis April 2017 Ringkasan Indikator Strategis Pertumbuhan Ekonomi Inflasi Perdagangan Internasional Kemiskinan & Rasio Gini Ketenagakerjaan

Lebih terperinci

Deskripsi dan Analisis

Deskripsi dan Analisis 1 Deskripsi dan Analisis APBD 2012 ii Deskripsi dan Analisis APBD 2012 Daftar Isi DAFTAR ISI...iii DAFTAR TABEL... vi DAFTAR GRAFIK... vii KATA PENGANTAR... xi EKSEKUTIF SUMMARY...xiii BAB I PENDAHULUAN...1

Lebih terperinci

INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI BENGKULU TRIWULAN IV TAHUN 2015

INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI BENGKULU TRIWULAN IV TAHUN 2015 No. 12/02/17/VI, 5 Februari 2016 INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI BENGKULU TRIWULAN IV TAHUN 2015 A. Kondisi Ekonomi Konsumen Triwulan IV-2015 Indeks Tendensi Konsumen (ITK) triwulan IV-2015 di

Lebih terperinci

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1. Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor Alat analisis Input-Output (I-O) merupakan salah satu instrumen yang secara komprehensif dapat digunakan untuk

Lebih terperinci

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT No. 45/08/61/Th. XV, 6 Agustus 2012 INDEKS TENDENSI KONSUMEN KALIMANTAN BARAT TRIWULAN II- 2012 Indeks Tendensi Konsumen (ITK) Kalimantan Barat pada II-2012 sebesar 109,62;

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 1 Perolehan suara PN, PA, dan PC menurut nasional pada pemilu 2004 dan 2009

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 1 Perolehan suara PN, PA, dan PC menurut nasional pada pemilu 2004 dan 2009 11 HASIL DAN PEMBAHASAN Deskripsi data Berdasarkan bagian Latar Belakang di atas, pengelompokan parpol menurut asas dapat dikelompokan kedalam tiga kelompok parpol. Ketiga kelompok parpol tersebut adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian Objek penelitian yang digunakan oleh peneliti adalah Provinsi Papua. Provinsi Papua merupakan salah satu provinsi terkaya di Indonesia dengan luas wilayahnya

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB 4 ANALISIS DAN PEMBAHASAN BAB 4 ANALISIS DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Pengumpulan Data Data yang berhasil dikumpulkan dan akan digunakan pada penelitian ini merupakan data statistik yang diperoleh dari a. Biro Pusat Statistik (BPS)

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA

PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA No. 18/05/31/Th. XI, 15 Mei 2009 PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN I TAHUN 2009 Perekonomian DKI Jakarta pada triwulan I tahun 2009 yang diukur berdasarkan PDRB atas dasar harga konstan 2000 menunjukkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi di dalam peraturan perundang-undangan telah

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi di dalam peraturan perundang-undangan telah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi di dalam peraturan perundang-undangan telah dinyatakan secara tegas bahwa pembangunan ekonomi merupakan salah satu bagian penting daripada

Lebih terperinci

BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA

BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA No. 11/02/34/Th.XVI, 5 Februari 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TAHUN SEBESAR 5,40 PERSEN Kinerja perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) selama tahun

Lebih terperinci

BADAN PUSAT STATISTIK

BADAN PUSAT STATISTIK BADAN PUSAT STATISTIK No. 50/08/Th.XII, 10 Agustus 2009 PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TRIWULAN II-2009 Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang diukur berdasarkan kenaikan Produk Domestik Bruto (PDB) pada triwulan

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN KETENAGAKERJAAN & KESEJAHTERAAN MASYARAKAT

PERKEMBANGAN KETENAGAKERJAAN & KESEJAHTERAAN MASYARAKAT PERKEMBANGAN KETENAGAKERJAAN & KESEJAHTERAAN MASYARAKAT BAB 4 Kondisi Ketenagakerjaan Aceh kembali memburuk, terlihat dari TPAK yang menunjukkan penurunan cukup dalam dari 65,85 per Februari 212 menjadi

Lebih terperinci

KEBIJAKAN LOKASI PROGRAM PERBAIKAN IRIGASI BERDASARKAN PELUANG PENINGKATAN INDEKS PERTANAMAN (IP) 1

KEBIJAKAN LOKASI PROGRAM PERBAIKAN IRIGASI BERDASARKAN PELUANG PENINGKATAN INDEKS PERTANAMAN (IP) 1 KEBIJAKAN LOKASI PROGRAM PERBAIKAN IRIGASI BERDASARKAN PELUANG PENINGKATAN INDEKS PERTANAMAN (IP) 1 Sudi Mardianto, Ketut Kariyasa, dan Mohamad Maulana Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI (NTP) PROVINSI PAPUA BULAN FEBRUARI 2014

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI (NTP) PROVINSI PAPUA BULAN FEBRUARI 2014 No. 14 / 03 / 94 / Th. VII, 2 Maret 2015 PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI (NTP) PROVINSI PAPUA BULAN FEBRUARI 2014 Nilai Tukar Petani Papua pada Februari 2015 sebesar 97,12 atau mengalami kenaikan 0,32

Lebih terperinci

INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI BENGKULU TRIWULAN I TAHUN 2016 SEBESAR 100,57

INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI BENGKULU TRIWULAN I TAHUN 2016 SEBESAR 100,57 No. 28/05/17/VI, 4 Mei 2016 INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI BENGKULU TRIWULAN I TAHUN 2016 SEBESAR 100,57 A. Kondisi Ekonomi Konsumen Triwulan I-2016 Indeks Tendensi Konsumen (ITK) triwulan I-2016

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA. INSENTIF UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK (Pelayanan Publik Daerah)

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA. INSENTIF UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK (Pelayanan Publik Daerah) KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA INSENTIF UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK (Pelayanan Publik Daerah) Disampaikan pada Kegiatan Konferensi Nasional Pemberantasan Korupsi Jakarta, 01 Desember

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai sejak Undang-Undang

I. PENDAHULUAN. Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai sejak Undang-Undang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai sejak Undang-Undang dasar 1945 yang mengamanatkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas provinsi-provinsi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 6 HASIL DAN PEMBAHASAN Eksplorasi Data Gambaran dari peubah mata kuliah, IPK dan nilai Ujian Nasional yang ditata sesuai dengan mediannya disajikan sebagai boxplot dan diberikan pada Gambar. 9 3 Data 6

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH

PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PROVINSI KALIMANTAN TENGAH No. 07/07/62/Th. X, 18 Juli 2016 PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH MARET 2016 Untuk mengukur kemiskinan, BPS menggunakan konsep kebutuhan dasar (basic needs approach).

Lebih terperinci