V. GAMBARAN UMUM TRANSFER FISKAL DAN KEMISKINAN DI INDONESIA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "V. GAMBARAN UMUM TRANSFER FISKAL DAN KEMISKINAN DI INDONESIA"

Transkripsi

1 V. GAMBARAN UMUM TRANSFER FISKAL DAN KEMISKINAN DI INDONESIA Dalam bagian ini diuraikan berturut-turut mengenai profil transfer fiskal dan profil kemiskinan di Indonesia Profil Transfer Fiskal di Indonesia Sistem transfer fiskal di Indonesia memiliki sejarah yang panjang. Selain itu, sistem transfer fiskal juga mempunyai arti yang sangat penting karena pengeluaran pemerintah daerah sebagian besar dibiayai dengan transfer dari pemerintah Pusat (Mahi dan Ardiansyah, 2002). Pada dekade 1990-an, transfer fiskal atau dana dari Pusat merupakan 72 persen dari pengeluaran Provinsi dan 86 persen dari pengeluaran Kabupaten/Kota (Simanjuntak, 2002). Dalam garis besarnya, transfer fiskal dari Pusat ke Daerah terutama pada periode pelaksanaan otonomi daerah, terdiri atas beberapa bentuk, yaitu (1) bagi hasil pendapatan (revenue sharing), (2) subsidi daerah otonom (SDO), dan (3) bantuan pembangunan atau program Inpres Bagi Hasil Pada era sebelum otonomi daerah yakni sebelum tahun 2001, penerimaan bagi hasil (revenue sharing) di Indonesia berasal dari pembagian Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), dan pembagian Iuran Hasil Hutan (IHH) dan Iuran Hak Pengusahaan Hutan (IHPH). Pajak bumi dan bangunan (PBB) adalah pajak pusat yang dibagihasilkan kepada daerah tingkat I dan daerah tingkat II, masing-masing 10 persen untuk pemerintah Pusat, 16.2 persen untuk pemerintah daerah tingkat I, 64.8

2 persen untuk pemerintah daerah tingkat II, dan 9 persen sisanya merupakan biaya atau upah pemungutan. Pola pembagian hasil pajak bumi dan bangunan diatur dalam Undang-Undang Nomor Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan, yang mulai berlaku efektif pada bulan Januari 1986, dan Peraturan Pemerintah Nomor 47 tahun 1985 tentang Pembagian hasil Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 12 tahun 1985 ini, maka ketentuan mengenai Iuran Pembangunan Daerah (IPEDA) praktis dinyatakan tidak berlaku lagi. Dalam perjalanannya, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tersebut, telah mengalami perubahan menjadi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan, serta Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1985 tentang Pembagian Hasil Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 83 tanggal 19 Maret 1994, ditetapkan bahwa 10 persen dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan yang merupakan bagian dari pemerintah Pusat dibagikan secara merata kepada seluruh daerah tingkat II. Dengan demikian, bagian terbesar yaitu 74.8 persen dari penerimaan PBB kini menjadi penerimaan daerah tingkat II, sisanya yaitu 16.2 persen menjadi penerimaan daerah tingkat I, sebesar 9 persen sebagai upah pungut. Kebijakan ini mulai berlaku pada tahun anggaran 1994/1995, dan bertujuan agar pelaksanaan otonomi daerah yang nyata dan bertanggung jawab dengan titik berat pada daerah tingkat II dapat lebih ditingkatkan. Dengan adanya pembagian penerimaan PBB secara merata itu, telah terjadi subsidi silang antara Daerah Tingkat

3 II yang menerima PBB relatif tinggi kepada Daerah Tingkat II yang menerima PBB relatif rendah. Selain itu, dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 1994 ketentuan Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) ditetapkan Rp 8 juta untuk setiap wajib pajak yang mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 1995; sementara dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun1985 sebelumnya NJOPTKP ini besarnya adalah Rp 7 juta. PBB dipungut dengan tarif 0.5 persen dari Nilai Jual Kena Pajak (NJKP), sedangkan besarnya NJKP ditentukan sebesar 20 persen dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) (Nota Keuangan dan RAPBN, 1998/1999). Pemungutan dan pembagian penerimaan Iuran Hasil Hutan (IHH) dan Iuran Hak Pengusahaan Hutan (IHPH) diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1967 yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1980, dan kemudian disempurnakan dengan Keputusan Presiden Nomor 77 Tahun 1985, dan setelah itu mengalami beberapa kali perubahan berturut-turut dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1989, Keputusan Presiden Nomor 30 Tahun 1990, Keputusan Presiden Nomor 29 Tahun 1991, dan Keputusan Presiden Nomor 41 tahun Dalam Kepres tersebut ditetapkan sebesar 45.0 persen penerimaan IHH digunakan untuk pembiayaan pembangunan, yang meliputi pem-biayaan pembangunan untuk daerah tingkat I sebesar 30.0 persen dan pembiayaan pembangunan untuk daerah tingkat II sebesar 15.0 persen. Sementara itu, sebesar 55.0 persen lainnya dialokasikan untuk pembiayaan rehabilitasi hutan, dengan rincian sebesar 20.0 persen digunakan untuk pembiayaan rehabilitasi hutan secara nasional, sebesar 15.0 persen untuk pembiayaan kehutanan daerah, dan sebesar 20.0 persen

4 untuk pembayaran pajak bumi dan bangunan bagi areal blok tebangan (Nota Keuangan dan RAPBN, 1996/1997). Selain penerimaan bagi hasil pajak dan bukan pajak yang sudah ada selama ini, dalam beberapa belakangan ini, terutama setelah keluarnya Undang-Undang Nomor 25 tahun 1999, yang kemudian diubah menjadi Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004, pemerintah Pusat juga telah membagihasilkan beberapa jenis penerimaan lainnya. Bagi hasil pajak selain PBB, kini ada bagi hasil dari penerimaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), dan bagi hasil dari Pajak Pendapatan Perseorangan (PPh. Pasal 21, Pasal 25 dan Pasal 29). Sementara itu, untuk bagi hasil sumber daya alam (BHSDA), selain IHH dan IHPH dari sektor kehutanan, kini di sektor pertambangan dikenal berbagai jenis bagi hasil yaitu bagi hasil penerimaan dari pertambangan umum (penerimaan dari Iuran Tetap atau Land-rent dan penerimaan Iuran Eksplorasi dan Iuran Eksploitasi atau Royalty), bagi hasil dari penerimaan pertambangan minyak bumi, bagi hasil dari penerimaan pertambangan gas bumi, dan bagi hasil dari penerimaan pertambangan panas bumi. Sementara dari sektor perikanan ada bagi hasil penerimaan pungutan pengusahaan perikanan dan penerimaan pungutan hasil perikanan. Adanya tambahan berbagai jenis bagi hasil penerimaan inilah yang menjadi salah satu penyebab meningkatnya pangsa (share) dari penerimaan bagi hasil dalam penerimaan daerah tingkat II mulai tahun 2001, yang merupakan tahun pertama pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia. Besarnya persentase pembagian untuk berbagai jenis bagi hasil penerimaan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, secara rinci diatur dalam Undang-Undang

5 Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Jumlah penerimaan bagi hasil pajak dan bukan pajak dan share-nya terhadap total penerimaan APBD Kabupaten/Kota (1993/ ) disajikan dalam Tabel 2. Dalam tabel 2 tersebut tampak bahwa pangsa bagi hasil, yang terdiri atas bagi hasil pajak dan bukan pajak mulai tahun 2001 mengalami kenaikan yang cukup drastis bila dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya, yang rata-rata hanya kurang dari 15 persen per tahun, kecuali tahun 1995/1996 dan 1996/1997. Kenaikan yang cukup besar dalam pangsa bagi hasil terhadap penerimaan Kabupaten/Kota mulai tahun 2001 antara lain disebabkan karena adanya tambahan jenis penerimaan pemerintah Pusat yang dibagihasilkan dengan Daerah, khususnya penerimaan dari sektor sumberdaya alam (kehutanan,pertambangan, dan perikanan), terutama setelah keluarnya Undang-Undang Nomor 22 dan 25 tahun 1999 tentang otonomi daerah. Tabel 2. Penerimaan Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak Kabupaten/Kota di Indonesia, Tahun 1993/ Bagi Hasil Share a) Bagi Hasil Bukan Share a) Total Bagi Hasil Share a) Tahun Pajak (Rp juta) (%) Pajak (Rp juta) (%) (Rp juta) (%) 1993/ / / / / / / Sumber : 1. Nota Keuangan dan RAPBN, 1993/ Departemen Keuangan Republik Indonesia. 2. Statistik Keuangan Pemerintah Kabupaten/Kota (berbagai edisi). Badan Pusat Statistik. a). Share terhadap total penerimaan APBD Tingkat II.

6 Gambaran mengenai penerimaan bagi hasil pajak dan bukan pajak berdasarkan Provinsi selama 4 tahun terakhir ( ), disajikan dalam Tabel 3 dan Tabel 4. Berdasarkan Provinsi, penerimaan bagi hasil pajak tidak memperlihatkan adanya kenaikan share terhadap penerimaan Kabupaten/Kota yang terlalu signifikan (lihat Tabel 3). Hal ini berbeda dengan penerimaan bagi hasil bukan pajak, dimana sejak pemberlakuan otonomi daerah pada tahun 2001, langsung terjadi kenaikan share penerimaan bagi hasil bukan pajak terhadap penerimaan Kabupaten/Kota yang cukup besar, terutama pada Provinsi-provinsi yang memiliki sumberdaya alam melimpah seperti Aceh, Sumatera Selatan, Riau, Lampung, dan Kalimantan Timur. Tabel 3. Penerimaan Bagi Hasil Pajak (PBB) Kabupaten/Kota di Indonesia Berdasarkan Provinsi, Tahun 1999/ Provinsi Jumlah Bagi Hasil (PBB) (Rp juta) Share Terhadap Penerimaan APBD II (%) 99/ / NAD Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Bengkulu Lampung Jabar Jateng DIY Jatim Bali NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel Sultra Maluku Papua Indonesia Sumber : 1. Nota Keuangan dan RAPBN, 1990/ Departemen Keuangan

7 Republik Indonesia. 2. Statistik Keuangan Pemerintah Kabupaten/Kota (berbagai edisi). Badan Pusat Statistik. Yang agak mengherankan adalah Provinsi Papua, dimana pangsa penerimaan bagi hasil bukan pajak terhadap total penerimaan Kabupaten/Kota tidak mengalami kenaikan, tetapi yang terjadi justru sebaliknya dimana selama tahun 2001 dan 2002 menunjukkan kecenderungan menurun, padahal Papua selama ini dikenal sebagai salah satu Provinsi yang memiliki sumberdaya alam terutama dari kehutanan yang cukup potensial (lihat Tabel 4). Tabel 4. Penerimaan Bagi Hasil Bukan Pajak (IHH/IHPH)) Kabupaten/Kota di Indonesia Berdasarkan Provinsi, Tahun 1999/ Provinsi Jumlah Bagi Hasil Bukan Pajak (Rp juta) Share Terhadap Penerimaan APBD II (%) 99/ / NAD Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Bengkulu Lampung Jabar Jateng DIY Jatim Bali NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel Sultra Maluku Papua Sumber : 1. Nota Keuangan dan RAPBN, 1990/ Departemen Keuangan Republik Indonesia. 2 Statistik Keuangan Pemerintah Kabupaten/Kota (berbagai edisi). Badan Pusat Statistik.

8 Subsidi Daerah Otonom Subsidi daerah otonom (SDO) 4 adalah subsidi pemerintah pusat kepada pemerintah daerah yang dimaksudkan untuk membantu daerah tingkat II dalam pembiayaan kegiatan-kegiatan pemerintahan dan pemberian pelayanan kepada masyarakat. Bagian terbesar dari SDO dialokasikan untuk keperluan belanja pegawai, yang mencakup pembiayaan untuk pegawai daerah tingkat II dan pegawai pusat yang diperbantukan pada daerah tingkat II. Sebagian lagi dari SDO dimanfaatkan untuk keperluan belanja non pegawai yang meliputi komponen-komponen subsidi belanja urusan desentralisasi, subsidi belanja urusan dekonsentrasi dan tugas pembantuan, subsidi pengembangan sumberdaya manusia (SDM) dan pembinaan pemerintahan, dan lain-lain belanja nonpegawai. Tabel 5. Jumlah dan Share Subsidi Daerah Otonom (SDO) Untuk Kabupaten/Kota di Indonesia, Tahun 1996/ /2000 Provinsi Jumlah Susidi Daerah Otonom (Rp juta) Share Terhadap Penerimaan APBD II (%) 96/97 97/98 98/99 99/00 96/97 97/98 98/99 99/00 1. NAD Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Bengkulu Lampung Jabar Jateng DIY Jatim Bali NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Subsidi daerah otonom (SDO) pernah dikenal dengan istilah Dana Alokasi Rutin (DAR) atau Dana Rutin Daerah (DRD) pada tahun 1999/2000 dan 2000, sebelum akhirnya dilebur ke dalam Dana Alokasi Umum (DAU).

9 22. Sulsel Sultra Maluku Papua Sumber : 1. Nota Keuangan dan RAPBN, 1990/ Departemen Keuangan Republik Indonesia. 2. Statistik Keuangan Pemerintah Kabupaten/Kota (berbagai edisi). Badan Pusat Statistik. Subsidi belanja urusan desentralisasi terdiri dari sumbangan bantuan penyelenggaraan pendidikan dasar (SBPP-SD), biaya operasional rumah sakit umum daerah (SBBO-RSUD),biaya operasional penyuluhan pertanian(sbbo-pp), pengembangan dan pemeliharaan obyek pariwisata daerah (SBPP-OPD), dan pengembangan pertambangan daerah (bahan galian C). Sementara itu, subsidi belanja urusan dekonsentrasi dan tugas pembantuan meliputi ganjaran kabupaten/kota, ganjaran kecamatan, dan ganjaran desa (Nota Keuangan dan RAPBN, 1997/1998). Untuk mendapatkan gambaran mengenai jumlah subsidi daerah otonom (SDO) dan pangsanya terhadap penerimaan APBD Kabupaten/Kota (1996/ /2000), lebih jauh dapat diikuti dalam Tabel 5. Berdasarkan data dalam Tabel 5, dapat diketahui bahwa selama kurun waktu 1996/ /2000, hampir semua Kabupaten/Kota di 25 Provinsi diteliti mengalami kenaikan dalam pangsa subsidi daerah otonomi (SD0) terhadap total penerimaan Kabupaten/Kota. Secara nasional, pangsa SDO terhadap penerimaan Kabupaten/ Kota pada tahun anggaran 1996/1997 hanya sebesar persen, maka pada tahun anggaran 1999/2000 telah meningkat menjadi persen, suatu kenaikan yang sangat besar. Kenaikan tersebut terjadi karena menjelang pelaksanaan otonomi daerah ada cukup banyak urusan Pusat dan juga pegawai Pusat yang didaerahkan, sehingga sebagai konsekuensinya Pusat juga harus me ngalihkan sebagian sumber pembiayaan-

10 nya kepada Daerah menyertai penyerahan urusan dan pengalihan pegawai Pusat ke Daerah tersebut Bantuan Pembangunan Sebagai usaha penyebarluasan dan pemerataan pembangunan di daerahdaerah dan memperkecil tingkat kesenjangan antardaerah, pemerintah telah menciptakan program bantuan kepada pemerintah daerah dalam bentuk program Inpres. Program Inpres untuk daerah tingkat II meliputi Inpres Dati II, Inpres Sekolah Dasar (SD), Inpres Kesehatan, Inpres Peningkatan Jalan Kabupaten (IPJK), Inpres Desa, dan Inpres Desa Teringgal (IDT). Inpres Dati II, Inpres Desa dan Inpres IDT merupakan bantuan pembangunan kepada daerah tingkat II yang bersifat umum (block grant), sedangkan Inpres SD, Inpres Kesehatan, dan Inpres Peningkatan Jalan Kabupaten (IPJK) merupakan bantuan pembangunan yang lebih bersifat khusus (specific grant). Inpres Dati II merupakan salah satu jenis program Inpres terpenting dari berbagai jenis program Inpres untuk daerah tingkat II. Inpres Dati II diarahkan terutama untuk proyek-proyek yang dapat menciptakan dan memperluas lapangan kerja, sekaligus meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Inpres Dati II ini dimulai pada tahun anggaran 1970/1971. Program Inpres SD dimaksudkan untuk memperluas kesempatan belajar bagi kelompok anak usia 7-12 tahun agar dapat tertampung di sekolah-sekolah dasar. Bantuan ini digunakan untuk pembangunan gedung SD baru termasuk perbaikannya; penambahan ruang kelas; pengadaan peralatan sekolah; pembangunan rumah dinas kepala sekolah, guru, dan penjaga sekolah; serta pengadaan perpustakaan dan per-

11 alatan olah raga. Dalam Inpres SD ini juga termasuk dana untuk kegiatan operasional dan pemeliharaan bangunan SD serta penyelenggaraan pendidikan. Program Inpres SD dimulai pada tahun anggaran 1973/1974. Program Inpres Kesehatan ditujukan untuk memberikan pelayanan kesehatan, terutama di perdesaan dan daerah perkotaan yang penduduknya berpenghasilan rendah. Selain itu, bantuan ini juga ditujukan untuk meningkatkan derajat kesehatan rakyat secara umum, yaitu melalui upaya peningkatan penyediaan air bersih dan sanitasi lingkungan bagi masyarakat perdesaan. Sesuai dengan tujuannya, yaitu untuk pelayanan kesehatan, maka bantuan pembangunan dalam Inpres kesehatan ini juga digunakan untuk penyediaan obat-obatan, pembangunan Puskesmas, pembangunan Puskesmas Pembantu, meningkatkan dan memperluas Puskesmas dan Puskesmas Pembantu, penyediaan sepeda untuk petugas paramedis di Puskesmas, penyediaan air bersih di perdesaan, dan pembangunan sarana pembuangan kotoran. Program Inpres Kesehatan dimulai pada tahun anggaran 1974/1975. Program Inpres peningkatan jalan Kabupaten (IPJK) dimaksudkan untuk menunjang kelancaran arus lalu lintas angkutan orang dan barang, khususnya dari sentra-sentra produksi ke tempat-tempat pemasaran, sehingga dapat menumbuhkan kehidupan perekonomian di daerah-daerah, yang pada gilirannya dapat meningkatkan pendapatan masyarakat di daerah tersebut. Program IPJK ini dimulai sejak tahun anggaran 1979/1980. Program Inpres Desa yang pelaksanaannya dimulai pada tahun anggaran 1969/1970, dimaksudkan untuk mendorong dan menggerakkan usaha swadaya gotong royong masyarakat dalam membangun desanya, serta untuk membantu pem-

12 bangunan proyek-proyek yang diprioritaskan oleh masyarakat desa dan menunjang kegiatan pembinaan kesejahteraan keluarga (PKK). Inpres Desa diberikan secara merata kepada setiap desa, masing-masing desa memperoleh dana dalam jumlah yang sama besarnya dan penggunaannya sepenuhnya diserahkan kepada desa. Pada awal pelaksanaannya, besarnya bantuan hanya Rp 100 ribu untuk setiap desa. Program Inpres Desa Tertinggal (IDT) yang dimulai pada tahun anggaran 1994/1995, merupakan program yang bersifat khusus dan ditujukan dalam rangka pengentasan kemiskinan. Dalam pelaksanaannya, prodram IDT ini dipadukan dengan program-program pembangunan yang telah ada, baik program-program sektoral maupun regional lainnya, dan diharapkan akan berdampak besar terhadap penanggulangan kemiskinan secara berkelanjutan di desa-desa miskin. Program IDT ini dilaksanakan dengan pemberian dana bergulir sebesar Rp 20 juta untuk desa miskin, yang digunakan untuk usaha masyarakat yang dapat membantu mendorong dan meningkatkan aktivitas ekonomi dan produksi di berbagai bidang usaha yang dikembangkan sesuai potensi yang ada di masing-masing desa yang dikategorikan miskin tersebut. Oleh karena terlalu bervariasinya transfer Pusat ke Daerah di masa lalu, dan sebagian besar merupakan bantuan khusus (specific purpose grants), maka melalui konsep desentralisasi fiskal dalam UU No. 25/1999, pendekatan tersebut diubah. Desentralisasi fiskal dalam konsep UU No. 25/1999, lebih menekankan peranan bantuan yang bersifat umum (general purpose grant), yang dikenal sebagai Dana Alokasi Umum (DAU) (Mahi dan Ardiansyah, 2002).

13 Dalam bahasan selanjutnya, akan diuraikan mengenai transfer fiskal versi UU No. 25/1999, yang kemudian telah diubah dengan UU No. 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Dalam Undang-Undang Nomor 25/1999 ataupun Undang-Undang Nomor 33/2004, sistem transfer fiskal dari Pusat ke Daerah mencakup tiga komponen utama, yaitu Dana Bagi Hasil (Revenue Sharing), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK), ketiga unsur transfer tersebut dalam UU No. 25/1999 ataupun UU No. 33/2004 dikenal dengan istilah Dana Perimbangan (equalization funds). Sistem transfer fiskal tersebut memiliki beberapa tujuan utama, yaitu : (1) mengurangi ketimpangan fiskal vertikal (vertical fiscal imbalances) diantara berbagai tingkat pemerintahan yang ada (Bagi Hasil dan DAU); (2) menyeimbangkan kapasitas fiskal pemerintah daerah dalam hal service delivery (DAU); (3) mendorong pengeluaran daerah pada prioritas pembangunan nasional (DAK); (4) mendorong pencapaian standar infrastruktur minimum (DAK); (5) mengkompensasi benefit/cost spillovers pada kawasan-kawasan prioritas (DAK); (6) merangsang komitmen daerah (DAK); dan (7) mendorong mobilisasi penerimaan (Bagi Hasil, DAU, DAK) (Sidik, 2004). Dana bagi hasil (revenue sharing) sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, dalam era desentralisasi fiskal yang dimulai Januari 2001, peranannya dalam keseluruhan penerimaan daerah tingkat II (Kabupaten/Kota) semakin penting. Apabila dalam era sebelum desentralisasi fiskal, misalnya selama kurun waktu , pangsa bagi hasil dalam penerimaan daerah tingkat II, rata-rata kurang dari 15 persen, maka mulai tahun 2001 dan seterusnya, peranan menjadi 18 persen lebih di dalam total penerimaan Kabupaten/Kota (lihat Tabel 2). Hal ini terjadi karena sejak

14 tahun 2001, bagian bagi hasil yang dikembalikan Pusat kepada Daerah memang cukup besar bila dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya 5. Dana alokasi umum (DAU) adalah dana yang berasal dari APBN, yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antardaerah untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Secara konseptual, DAU merupakan penggabungan dari SDO dan berbagai bantuan Inpres, dan merupakan bantuan Pusat kepada Daerah yang bersifat umum (block grants), dimana penggunaan atau pengalokasian dari dana tersebut sepenuhnya menjadi kewenangan Daerah. Besarnya dana alokasi umum (DAU) dalam UU No. 25/1999 sebelumnya ditetapkan sekurang-kurangnya 25 persen, yang kemudian dalam UU No. 33 tahun 2004 diubah menjadi sekurang-kurangnya 26 persen dari Penerimaan Dalam Negeri yang ditetapkan dalam APBN. Dengan demikian, semakin besar penerimaan dalam negeri dalam APBN, maka akan semakin besar pula jumlah DAU untuk Daerah. Dari jumlah tersebut, sebanyak 90 persen dialokasikan kepada Kabupaten/Kota, dan sisanya sebanyak 10 persen dialokasikan untuk Provinsi. Total dana alokasi umum ini hampir 75 persen dari Dana Perimbangan. Adapun jumlah DAU kabupaten/kota selama kurun waktu disajikan dalam Tabel 6. Tabel 6. Jumlah dan Share DAU dalam Penerimaan APBD Kabupaten/Kota Di Indonesia, Tahun Provinsi Share Terhadap Pen. APBD II (%) (Rp juta) (Rp juta) (Rp juta) (Rp juta) NAD Sebagai contoh, untuk bagi hasil PBB, Dati II memperoleh sebesar 74.8 persen; untuk IHPH dan penerimaan negara Iuran Tetap (Land-rent), Kabupaten/Kota penghasil mendapatkan bagian sebesar 64 persen. Pengaturan bagi hasil pajak dan bukan pajak selengkapnya dapat dilihat dalam Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah.

15 2. Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Bengkulu Lampung Jabar Jateng DIY Jatim Bali NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel Sultra Maluku Papua Sumber : 1. Nota Keuangan dan RAPBN, 1990/ Departemen Keuangan Republik Indonesia. 2. Statistik Keuangan Pemerintah Kabupaten/Kota (berbagai edisi). Badan Pusat Statistik. Dari Tabel 6 tampak bahwa Provinsi yang kaya sumberdaya alam seperti Aceh, Riau, dan Kalimantan Timur share DAU terhadap total penerimaan ADPB kabupaten/kota cenderung semakin kecil. Sebaliknya, Provinsi di luar ketiga Provinsi tersebut mengalami kenaikan jumlah DAU yang diterima baik secara absolut maupun relatif. Hal ini wajar karena Provinsi yang memiliki sumberdaya alam sebagai penghasil telah mendapatkan bagian yang lebih besar dari bagi hasil bukan pajak (SDA) dibandingkan dengan Provinsi lain yang bukan penghasil (lihat Tabel 4). Provinsi-provinsi yang terdapat di kawasan Timur Indonesia (KTI) juga memiliki share DAU terhadap total penerimaan APBD yang jauh lebih besar dibandingkan dengan Provinsi di kawasan Barat Indonesia (KBI). Hal ini juga wajar, sebab dilihat dari sisi kapasitas fiskal kabupaten/kota di Provinsi KTI pada umumnya memiliki

16 kapasitas fiskal yang lebih kecil dibandingkan dengan kabupaten/kota di Provinsiprovinsi di kawasan Barat Indonesia. Dana alokasi khusus (DAK) adalah dana yang berasal dari APBN, yang dialokasikan kepada Daerah untuk membantu membiayai kebutuhan tertentu. Dana alokasi khusus dapat dialokasikan dari APBN kepada Daerah tertentu untuk membantu membiayai kebutuhan khusus, dengan memperhatikan tersedianya dana dalam APBN. Adapun yang dimaksud dengan kebutuhan khusus dalam hal ini adalah kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan dengan menggunakan rumus dana alokasi umum, dan/atau kebutuhan yang merupakan komitmen atau prioritas nasional. Secara konseptual, DAK termasuk jenis bantuan Pusat kepada Daerah yang bersifat khusus (specific grants), dimana peruntukan dari dana telah ditentukan oleh Pusat, dan Daerah tidak memiliki keleluasaan dalam pengalokasian atau penggunaan dari dana tersebut. Secara keseluruhan, total dana perimbangan (DP) yang mencakup bagi hasil, dana alokasi umum (DAU), dan dana alokasi khusus (DAK), selama tiga tahun terakhir ( ) jumlahnya berturut-turut adalah Rp 81.1 trilyun (5.6 persen dari PDB), Rp 94.8 trilyun (6.1 persen dari PDB), dan Rp trilyun (5.5 persen dari PDB). Pangsa (share) dana perimbangan (DP) dalam keseluruhan penerimaan APBD Kabupaten/Kota dalam tiga tahun terakhir ( ) berkisar antara persen. Hal ini menunjukkan bahwa Kabupaten/Kota di Indonesia masih sangat tergantung pada transfer dana dari Pusat 6. 6 Dari total DAU untuk Kabupaten/Kota yang dalam tahun 2002 berjumlah berjumlah Rp ,083 milyar atau persen dari total penerimaan kabupaten/ kota, apabila diasumsikan 85 persen digunakan untuk belanja rutin, maka itu berarti yang tersisa untuk belanja pembangunan hanya sebesar Rp milyar. Jumlah DAU sebesar Rp milyar tersebut ditambah dengan PAD

17 5.2. Profil Kemiskinan di Indonesia Profil Kemiskinan Secara Nasional Kemiskinan di Indonesia telah menjadi perhatian pemerintah sejak Pelita I dalam era Pembangunan Jangka Panjang Tahap Pertama (PJPT I) yang dimulai tahun anggaran 1969/1970. Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk mengurangi jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan. Hasilnya sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 7, jumlah dan persentase penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan terus mengalami penurunan yang cukup signifikan. Selama kurun waktu , jumlah penduduk miskin secara keseluruhan mengalami penurunan rata-rata sebesar 6.50 persen per tahun. Bahkan di daerah perdesaan jumlah penduduk miskin mengalami penurunan sebesar 7.26 persen, namun di daerah perkotaan, jumlah penduduk miskin hanya turun dengan persentase yang lebih kecil yaitu sebesar 3.11 persen (lihat Tabel 7). Tabel 7. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Indonesia ( ) Tahun Garis Kemiskinan (Rp/kapita/bulan) Jumlah Penduduk Miskin (Juta orang) Tingkat Kemiskinan (% ) K D K D K+D K D K+D dan Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak, yang dalam tahun 2002 tersebut besarnya masing-masing adalah Rp milyar dan Rp milyar, ditambah lagi dengan sisa lebih tahun sebelumnya yang berjumlah Rp milyar, maka itu berarti dana yang tersedia untuk keperluan pembangunan pada kabupaten/kota untuk tahun 2002 hanya sebesar Rp milyar atau sekitar persen.

18 % Change ) ) ) ) ) ) ) ) % Change Catatan : 1). Menggunakan Metode tahun ). Menggunakan Data Susenas Desember 1998 (khusus) 3). Menggunakan Data Susenas 1998 (Pebruari, Reguler). Sumber : 1. Statistik Indonesia (berbagai tahun). BPS Jakarta. 2. Data dan Informasi Kemiskinan (berbagai tahun), (Buku 1 : Provinsi). BPS Jakarta. 3. Metodologi dan Profil Kemiskinan Tahun BPS Jakarta. Penurunan jumlah dan persentase penduduk miskin juga diikuti dengan membaiknya pendapatan rata-rata penduduk miskin, yang tercermin dari semakin mengecilnya jurang kemiskinan (poverty gap) dari 21 persen menjadi 11 persen selama (Ikhsan, 2001). Penurunan yang signifikan terhadap jumlah kemiskinan, terutama selama kurun waktu , salah satu faktor penyebab-nya adalah kondisi ekonomi makro yang selama kurun waktu tersebut cukup bagus. Laju pertumbuhan ekonomi Indonesia selama kurun waktu diperkirakan mencapai angka pertumbuhan rata-rata sebesar 6.91 persen per tahun. Sementara, jumlah penduduk miskin mengalami penurunan rata-rata sebesar 6.50 persen per tahun dalam kurun waktu yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa kemiskinan secara agregat memiliki hubungan yang nyaris elastis dengan laju pertumbuhan ekonomi. Koefisien elastisitas kemiskinan terhadap pertum-buhan ekonomi adalah sebesar , lebih kecil daripada satu, yang berarti tidak elastis. Namun, untuk daerah perdesaan, ternyata kemiskinan memiliki hubungan yang elastis dengan laju pertumbuhan ekonomi, dengan koefisien elastisitas sebesar -

19 1.05, sedangkan untuk daerah perkotaan koefisien elastisitasnya hanya sebesar -0.45, lebih kecil daripada satu, yang berarti kemiskinan di daerah perkotaan tidak mempnuyai hubungan yang elastis dengan laju pertumbuhan ekonomi. Dalam kurun waktu kondisinya lebih parah lagi, dimana jumlah penduduk miskin di Indonesia, secara keseluruhan justru mengalami peningkatan dengan persentase kenaikan rata-rata sebesar 0.62 persen per tahun, sementara di daerah perdesaan mengalami penurunan tetapi dengan persentase yang sangat kecil sekali yaitu sebesar 0.05 persen per tahun. Sebaliknya, jumlah penduduk miskin yang berada daerah urban mengalami kenaikan yang cukup tinggi yaitu rata-rata sebesar 2.34 persen per tahun. Kenaikan jumlah penduduk miskin yang terjadi selama kurun waktu , merupakan salah satu akibat dari krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997, dimana perekonomian Indonesia benarbenar mengalami kemerosotan yang luar biasa dan bahkan pada tahun 1998 mengalami laju pertumbuhan ekonomi yang negatif yaitu sebesar persen Profil Kemiskinan Regional Dilihat dari persebaran penduduk miskin menurut pulau dan Provinsi, data yang ada menunjukkan bahwa sebanyak juta orang atau sekitar persen diantaranya terdapat di pulau Jawa, sisanya tersebar di pulau-pulau lain seperti Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua, dan beberapa pulau di wilayah Nusa Tenggara dan Maluku (lihat Tabel 8). Tabel 8. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Menurut Provinsi, Tahun 2004 No. Provinsi Jumlah Penduduk Miskin (ribuan jiwa) Tingkat Kemiskinan (% ) Kota Desa Total Kota Desa Total 1. Nangroe Aceh Darusalam

20 2. Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah D.I. Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Maluku Maluku Utara Papua Indonesia Sumber : BPS, Data dan Informasi Kemiskinan Tahun 2004 (Buku 1 : Provinsi) Dengan kenyataan seperti ini menunjukkan bahwa pulau Jawa menanggung beban yang sangat berat, apalagi kalau dikaitkan dengan kondisi lahan pertanian di Jawa yang semakin menipis akibat pertambahan penduduk yang masih relatif cukup tinggi di satu pihak, dan meningkatnya konversi lahan pertanian untuk kepentingan perumahan dan industri. Keadaan ini telah menyebabkan meningkatnya jumlah petani gurem yaitu petani yang menguasai lahan rata-rata 0.25 hektar. Pada saat ini

21 diperkirakan rumah tangga petani gurem sudah mencapai 75 persen dari total rumah tangga petani di Jawa, padahal tahun 1993 lalu masih 70 persen (Arifin, 2005) 7. Namun dilihat dari tingkat kemiskinan, maka pada umumnya Provinsi yang memiliki tingkat kemiskinan tertinggi terdapat di luar Jawa yaitu Papua (38.60 persen), Maluku (32.12 persen), Gorontalo (29.01 persen), NAD (28.47 persen), NTT (27.86 persen), dan NTB (25.38 persen), jauh di atas rata-rata Indonesia yang pada tahun 2004 sebesar persen. Jumlah penduduk miskin di 5 Provinsi tersebut hanya 4.97 juta orang atau persen dari total penduduk miskin di Indonesia. Sementara pulau Jawa yang memiliki luas hanya kurang 10 persen wilayah Indonesia harus menampung juta orang penduduk miskin atau persen dari total penduduk miskin di Indonesia. Kondisi ini tentu tidak bisa dibiarkan terus berlangsung dan harus segera dicarikan pemecahannya di masa-masa mendatang Profil Kemiskinan Sektoral Dilihat dari persebaran penduduk miskin menurut Desa dan Kota, data Badan Pusat Statistik (2004), menunjukkan sebanyak 24.8 juta orang atau persen dari total penduduk miskin terdapat di daerah-daerah perdesaan, dan sisanya di perkotaan. Hal ini menunjukkan bahwa kemiskinan di Indonesia seperti halnya di negara-negara berkembang lainnya merupakan fenomena perdesaan, seperti dikemukakan antara lain oleh Killick (1981), dan Todaro dan Smith (2003). Implikasi penting dari fakta ini adalah untuk memecahkan persoalan kemiskinan tidak ada cara lain kecuali mem- 7 Sementara berdasarkan hasil Supas tahun 1995, diperkirakan sebanak 63.8 persen rumah tangga perdesaan di Jawa dan Bali tidak memiliki lahan, atau hanya memiliki lahan dengan luas kurang dari 0.25 hektar.

22 bangun daerah perdesaan yang merupakan tempat tinggal dan sektor pertanian yang menjadi lapangan kerja utama dari kaum miskin tersebut. Data Badan Pusat Statistik tahun 2004 menunjukkan bahwa sebanyak 62.4 persen kepala rumah tangga miskin di Indonesia bekerja di sektor pertanian, 22.8 persen di sektor non pertanian, dan sisanya sebanyak persen adalah pengangguran alias tidak bekerja. Ikhsan (2001) yang melakukan dekomposisi kemiskinan di Indonesia menurut wilayah desa-kota dan sektor ekonomi (pertanian dan non pertanian), bahkan sampai pada subsektor, mengungkapkan bahwa sektor pertanian selain merupakan sektor penyumbang atau kontributor terbesar terhadap poverty incidence,yaitu sebesar 67 persen pada tahun 1999, dan pada tahun 2002 meningkat menjadi sebesar 68.2 persen terhadap total poor secara agregat (desa + kota) dan 76.5 persen terhadap total poor di daerah rural (Suryahadi, et al, 2005), juga memiliki tingkat kemiskinan yang paling tinggi dilihat dari semua ukuran kemiskinan yang ada. Poverty gap yang menggambarkan perbedaan antara pendapatan rata-rata kelompok miskin dengan garis kemiskinan, dan squared poverty gap yang menggambarkan intensitas atau keparahan kemiskinan, di sektor pertanian juga tergolong tinggi, dimana kedua ukuran kemiskinan tersebut dua lebih tinggi dibandingkan dengan poverty gap dan squared poverty gap sektor non pertanian. Gambaran ini mempunyai implikasi kebijakan yang sangat luas, yaitu (1) sektor pertanian masih memerlukan perhatian dan prioritas utama, (2) alokasi anggaran untuk mengatasi kemiskinan tetap harus mendapatkan prioritas mengingat besarnya kedalaman kemiskinan di daerah perdesaan dan pertanian, dan (3) tingginya intensitas kemiskinan akan membuat program anti kemiskinan di sektor

23 pertanian mesti didesain lebih hati-hati mengingat heterogenitas dalam faktor-faktor yang menyebabkan kemiskinan tersebut. Apabila status pekerjaan dipilah ke dalam sektor formal dan informal, maka dapat diketahui bahwa sebanyak persen kepala rumahtangga miskin adalah terdapat di sektor informal, persen di sektor formal, dan sisanya sebanyak persen adalah pengangguran. Fakta ini menunjukkan bahwa usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) yang sebagian besar merupakan usaha informal memiliki peranan yang amat penting dalam pemecahan masalah kemiskinan di Indonesia. Dilihat dari tingkat pendidikan, sebanyak persen penduduk miskin di Indonesia hanya berpendidikan tamat SD ke bawah. Hal ini menunjukkan bahwa rendahnya kualitas sumberdaya manusia merupakan aspek lain dari kemiskinan yang perlu mendapatkan perhatian. Oleh karena itu, dalam menelaah profil kemiskinan seharusnya juga menelaah tentang kualitas hidup penduduk miskin yang berkaitan dengan status kesehatan dan tingkat pendidikan serta seberapa jauh mereka memperoleh akses pada pelayanan kesehatan dasar, pendidikan dasar, air bersih dan sanitasi (Imawan, 2004).

4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan

4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan 4 GAMBARAN UMUM 4.1 Kinerja Fiskal Daerah Kinerja fiskal yang dibahas dalam penelitian ini adalah tentang penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah, yang digambarkan dalam APBD Provinsi dan Kabupaten/Kota

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejak tahun 1970-an telah terjadi perubahan menuju desentralisasi di antara negaranegara,

BAB I PENDAHULUAN. Sejak tahun 1970-an telah terjadi perubahan menuju desentralisasi di antara negaranegara, BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Sejak tahun 1970-an telah terjadi perubahan menuju desentralisasi di antara negaranegara, baik negara ekonomi berkembang maupun negara ekonomi maju. Selain pergeseran

Lebih terperinci

5. PROFIL KINERJA FISKAL, PEREKONOMIAN, DAN KEMISKINAN SEKTORAL DAERAH DI INDONESIA

5. PROFIL KINERJA FISKAL, PEREKONOMIAN, DAN KEMISKINAN SEKTORAL DAERAH DI INDONESIA 86 5. PROFIL KINERJA FISKAL, PEREKONOMIAN, DAN KEMISKINAN SEKTORAL DAERAH DI INDONESIA Profil kinerja fiskal, perekonomian, dan kemiskinan sektoral daerah pada bagian ini dianalisis secara deskriptif berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, maka pelaksanaan pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, maka pelaksanaan pembangunan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Sebagaimana cita-cita kita bangsa Indonesia dalam bernegara yaitu untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, maka pelaksanaan pembangunan menjadi

Lebih terperinci

Info Singkat Kemiskinan dan Penanggulangan Kemiskinan

Info Singkat Kemiskinan dan Penanggulangan Kemiskinan Info Singkat Kemiskinan dan Penanggulangan Kemiskinan http://simpadu-pk.bappenas.go.id 137448.622 1419265.7 148849.838 1548271.878 1614198.418 1784.239 1789143.87 18967.83 199946.591 294358.9 2222986.856

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sumber daya alam tidak diragukan lagi Indonesia memiliki kekayaan alam yang

BAB 1 PENDAHULUAN. sumber daya alam tidak diragukan lagi Indonesia memiliki kekayaan alam yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara berkembang yang memiliki potensi sumber daya yang sangat besar baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia, untuk sumber daya alam tidak

Lebih terperinci

IPM KABUPATEN BANGKA: CAPAIAN DAN TANTANGAN PAN BUDI MARWOTO BAPPEDA BANGKA 2014

IPM KABUPATEN BANGKA: CAPAIAN DAN TANTANGAN PAN BUDI MARWOTO BAPPEDA BANGKA 2014 IPM KABUPATEN BANGKA: CAPAIAN DAN TANTANGAN PAN BUDI MARWOTO BAPPEDA BANGKA 2014 LATAR BELAKANG Sebelum tahun 1970-an, pembangunan semata-mata dipandang sebagai fenomena ekonomi saja. (Todaro dan Smith)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Desentralisasi fiskal sudah dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 2001. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masalah kemiskinan menjadi persoalan serius yang di hadapi oleh banyak

BAB I PENDAHULUAN. Masalah kemiskinan menjadi persoalan serius yang di hadapi oleh banyak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah kemiskinan menjadi persoalan serius yang di hadapi oleh banyak negara di dunia, karena dalam negara maju pun terdapat penduduk miskin. Kemiskinan identik dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masalah kompleks yang telah membuat pemerintah memberikan perhatian khusus

I. PENDAHULUAN. masalah kompleks yang telah membuat pemerintah memberikan perhatian khusus 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang. Kemiskinan merupakan isu sentral yang dihadapi oleh semua negara di dunia termasuk negara sedang berkembang, seperti Indonesia. Kemiskinan menjadi masalah kompleks yang

Lebih terperinci

PETA KEMAMPUAN KEUANGAN PROVINSI DALAM ERA OTONOMI DAERAH:

PETA KEMAMPUAN KEUANGAN PROVINSI DALAM ERA OTONOMI DAERAH: PETA KEMAMPUAN KEUANGAN PROVINSI DALAM ERA OTONOMI DAERAH: Tinjauan atas Kinerja PAD, dan Upaya yang Dilakukan Daerah Direktorat Pengembangan Otonomi Daerah deddyk@bappenas.go.id Abstrak Tujuan kajian

Lebih terperinci

WORKSHOP (MOBILITAS PESERTA DIDIK)

WORKSHOP (MOBILITAS PESERTA DIDIK) WORKSHOP (MOBILITAS PESERTA DIDIK) KONSEP 1 Masyarakat Anak Pendidikan Masyarakat Pendidikan Anak Pendekatan Sektor Multisektoral Multisektoral Peserta Didik Pendidikan Peserta Didik Sektoral Diagram Venn:

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan suatu negara. Pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami perubahan yang cukup berfluktuatif. Pada

Lebih terperinci

POTRET KEMISKINAN DAN PENGANGGURAN DI PROVINSI KALIMANTAN TENGAH

POTRET KEMISKINAN DAN PENGANGGURAN DI PROVINSI KALIMANTAN TENGAH POTRET KEMISKINAN DAN PENGANGGURAN DI PROVINSI KALIMANTAN TENGAH Rapat Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Provinsi Kalimantan Tengah 2015 Palangka Raya, 16Desember 2015 DR. Ir. Sukardi, M.Si Kepala BPS

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bangsa Indonesia memasuki era baru tata pemerintahan sejak tahun 2001 yang ditandai dengan pelaksanaan otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah ini didasarkan pada UU

Lebih terperinci

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI JAWA TENGAH (Indikator Makro)

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI JAWA TENGAH (Indikator Makro) POTRET PENDIDIKAN PROVINSI JAWA TENGAH (Indikator Makro) Pusat Data dan Statistik Pendidikan - Kebudayaan Setjen, Kemendikbud Jakarta, 2015 DAFTAR ISI A. Dua Konsep Pembahasan B. Potret IPM 2013 1. Nasional

Lebih terperinci

MENTERI PEKERJAAN UMUM REPUBLIK INDONESIA

MENTERI PEKERJAAN UMUM REPUBLIK INDONESIA MENTERI PEKERJAAN UMUM REPUBLIK INDONESIA Disampaikan pada: SEMINAR NASIONAL FEED THE WORLD JAKARTA, 28 JANUARI 2010 Pendekatan Pengembangan Wilayah PU Pengembanga n Wilayah SDA BM CK Perkim BG AM AL Sampah

Lebih terperinci

BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH 2009

BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH 2009 BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH 2009 5.1.Pendahuluan Kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal yang telah dilaksanakan sejak tahun 2001 adalah dalam rangka

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. oleh besar kecilnya pendapatan asli daerah (PAD) dibandingkan dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. oleh besar kecilnya pendapatan asli daerah (PAD) dibandingkan dengan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah Menurut Halim (2007:232) kemandirian keuangan daerah ditunjukkan oleh besar kecilnya pendapatan asli daerah (PAD) dibandingkan dengan pendapatan

Lebih terperinci

INDONESIA Percentage below / above median

INDONESIA Percentage below / above median National 1987 4.99 28169 35.9 Converted estimate 00421 National JAN-FEB 1989 5.00 14101 7.2 31.0 02371 5.00 498 8.4 38.0 Aceh 5.00 310 2.9 16.1 Bali 5.00 256 4.7 30.9 Bengkulu 5.00 423 5.9 30.0 DKI Jakarta

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PENGANGGARAN DANA PERIMBANGAN DALAM APBD 2017 DAN ARAH PERUBAHANNYA

KEBIJAKAN PENGANGGARAN DANA PERIMBANGAN DALAM APBD 2017 DAN ARAH PERUBAHANNYA KEBIJAKAN PENGANGGARAN DANA PERIMBANGAN DALAM APBD 2017 DAN ARAH PERUBAHANNYA DIREKTORAT FASILITASI DANA PERIMBANGAN DAN PINJAMAN DAERAH DIREKTORAT JENDERAL BINA KEUANGAN DAERAH KEMENTERIAN DALAM NEGERI

Lebih terperinci

INDEKS TENDENSI BISNIS DAN INDEKS TENDENSI KONSUMEN TRIWULAN I-2013

INDEKS TENDENSI BISNIS DAN INDEKS TENDENSI KONSUMEN TRIWULAN I-2013 BADAN PUSAT STATISTIK No. 34/05/Th. XVI, 6 Mei 2013 INDEKS TENDENSI BISNIS DAN INDEKS TENDENSI KONSUMEN TRIWULAN I-2013 KONDISI BISNIS DAN EKONOMI KONSUMEN MENINGKAT A. INDEKS TENDENSI BISNIS A. Penjelasan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan ekonomi pada hakikatnya bertujuan untuk menghapus atau mengurangi kemiskinan, mengurangi ketimpangan pendapatan, dan menyediakan lapangan pekerjaan dalam konteks

Lebih terperinci

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI SULAWESI BARAT (Indikator Makro)

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI SULAWESI BARAT (Indikator Makro) POTRET PENDIDIKAN PROVINSI SULAWESI BARAT (Indikator Makro) Pusat Data dan Statistik Pendidikan - Kebudayaan Kemendikbud Jakarta, 2015 DAFTAR ISI A. Dua Konsep Pembahasan B. Potret IPM 2013 1. Nasional

Lebih terperinci

Laksono Trisnantoro Ketua Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada

Laksono Trisnantoro Ketua Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Laksono Trisnantoro Ketua Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada 1 Pembahasan 1. Makna Ekonomi Politik 2. Makna Pemerataan 3. Makna Mutu 4. Implikasi terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu negara. Hubungan keduanya dijelaskan dalam Hukum Okun yang menunjukkan

BAB I PENDAHULUAN. suatu negara. Hubungan keduanya dijelaskan dalam Hukum Okun yang menunjukkan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengangguran merupakan satu dari banyak permasalahan yang terjadi di seluruh negara di dunia, terutama di negara berkembang seperti Indonesia. Hal ini terjadi karena

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN UMUM DANA PERIMBANGAN

BAB III GAMBARAN UMUM DANA PERIMBANGAN 44 BAB III GAMBARAN UMUM DANA PERIMBANGAN Adanya UU No. 32 dan No. 33 Tahun 2004 merupakan penyempurnaan dari pelaksanaan desentralisasi setelah sebelumnya berdasarkan UU No. 22 dan No. 25 Tahun 1999.

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI SOSIAL EKONOMI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

BAB IV KONDISI SOSIAL EKONOMI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR BAB IV KONDISI SOSIAL EKONOMI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Per Kapita dan Struktur Ekonomi Tingkat pertumbuhan ekonomi Provinsi Nusa Tenggara Timur dalam lima tahun terakhir

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia. Seiring perkembangan zaman tentu kebutuhan manusia bertambah, oleh

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia. Seiring perkembangan zaman tentu kebutuhan manusia bertambah, oleh BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perekonomian merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Seiring perkembangan zaman tentu kebutuhan manusia bertambah, oleh karena itu perekonomian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Pendapatan Asli Daerah (PAD) a. Pengertian Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pendapatan Asli Daerah (PAD) menurut Halim (2001) adalah penerimaan yang diperoleh daerah

Lebih terperinci

Visi, Misi Dan Strategi KALTIM BANGKIT

Visi, Misi Dan Strategi KALTIM BANGKIT Awang Faroek Ishak Calon Gubernur 2008-2013 1 PETA KABUPATEN/KOTA KALIMANTAN TIMUR Awang Faroek Ishak Calon Gubernur 2008-2013 2 BAB 1. PENDAHULUAN Kalimantan Timur (Kaltim) merupakan propinsi terluas

Lebih terperinci

INDEKS TENDENSI KONSUMEN

INDEKS TENDENSI KONSUMEN No. 10/02/91 Th. VI, 6 Februari 2012 INDEKS TENDENSI KONSUMEN A. Penjelasan Umum Indeks Tendensi Konsumen (ITK) adalah indikator perkembangan ekonomi terkini yang dihasilkan Badan Pusat Statistik melalui

Lebih terperinci

VIII. PROSPEK PERMINTAAN PRODUK IKAN

VIII. PROSPEK PERMINTAAN PRODUK IKAN 185 VIII. PROSPEK PERMINTAAN PRODUK IKAN Ketersediaan produk perikanan secara berkelanjutan sangat diperlukan dalam usaha mendukung ketahanan pangan. Ketersediaan yang dimaksud adalah kondisi tersedianya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Realitas menunjukkan tidak semua daerah mampu untuk lepas dari pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka dalam kenyataannya,

Lebih terperinci

DAFTAR ALAMAT MADRASAH TSANAWIYAH NEGERI TAHUN 2008/2009

DAFTAR ALAMAT MADRASAH TSANAWIYAH NEGERI TAHUN 2008/2009 ACEH ACEH ACEH SUMATERA UTARA SUMATERA UTARA SUMATERA BARAT SUMATERA BARAT SUMATERA BARAT RIAU JAMBI JAMBI SUMATERA SELATAN BENGKULU LAMPUNG KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KEPULAUAN RIAU DKI JAKARTA JAWA BARAT

Lebih terperinci

Evaluasi Kegiatan TA 2016 dan Rancangan Kegiatan TA 2017 Ditjen Prasarana dan Sarana Pertanian *)

Evaluasi Kegiatan TA 2016 dan Rancangan Kegiatan TA 2017 Ditjen Prasarana dan Sarana Pertanian *) Evaluasi Kegiatan TA 2016 dan Rancangan Kegiatan TA 2017 Ditjen Prasarana dan Sarana Pertanian *) Oleh : Dr. Ir. Sumarjo Gatot Irianto, MS, DAA Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian *) Disampaikan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kebijakan pembangunan merupakan persoalan yang kompleks, karena

I. PENDAHULUAN. Kebijakan pembangunan merupakan persoalan yang kompleks, karena I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebijakan pembangunan merupakan persoalan yang kompleks, karena melibatkan seluruh sistem yang terlibat dalam suatu negara. Di negara-negara berkembang modifikasi kebijakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan merupakan fenomena umum yang terjadi pada banyak

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan merupakan fenomena umum yang terjadi pada banyak BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kemiskinan merupakan fenomena umum yang terjadi pada banyak negara di dunia dan menjadi masalah sosial yang bersifat global. Hampir semua negara berkembang memiliki

Lebih terperinci

BPS PROVINSI SUMATERA SELATAN

BPS PROVINSI SUMATERA SELATAN BADAN PUSAT STATISTIK BPS PROVINSI SUMATERA SELATAN No.53/09/16 Th. XVIII, 01 September 2016 TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK SUMATERA SELATAN MARET 2016 GINI RATIO SUMSEL PADA MARET 2016 SEBESAR

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Kata Pengantar. iii

KATA PENGANTAR. Kata Pengantar. iii 1 ii Deskripsi dan Analisis APBD 2014 KATA PENGANTAR Pelaksanaan desentralisasi fiskal yang dimulai sejak tahun 2001 menunjukkan fakta bahwa dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi fiskal dan otonomi daerah telah membawa konsekuensi pada

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi fiskal dan otonomi daerah telah membawa konsekuensi pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Otonomi daerah telah melahirkan desentralisasi fiskal yang dapat memberikan suatu perubahan kewenangan bagi hubungan keuangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. ekonomi di setiap negara. Tujuan peningkatan penyerapan tenaga kerja sering

BAB 1 PENDAHULUAN. ekonomi di setiap negara. Tujuan peningkatan penyerapan tenaga kerja sering BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Tenaga kerja merupakan faktor yang sangat krusial bagi pembangunan ekonomi di setiap negara. Tujuan peningkatan penyerapan tenaga kerja sering menjadi prioritas dalam

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Otonomi Daerah Otonomi selalu dikaitkan atau disepadankan dengan pengertian kebebasan dan kemandirian. Sesuatu akan dianggap otonomi jika ia menentukan diri sendiri, membuat

Lebih terperinci

INDEKS TENDENSI BISNIS DAN INDEKS TENDENSI KONSUMEN TRIWULAN I-2015

INDEKS TENDENSI BISNIS DAN INDEKS TENDENSI KONSUMEN TRIWULAN I-2015 BADAN PUSAT STATISTIK No. 46/05/Th. XVIII, 5 Mei 2015 INDEKS TENDENSI BISNIS DAN INDEKS TENDENSI KONSUMEN TRIWULAN I-2015 KONDISI BISNIS MENURUN NAMUN KONDISI EKONOMI KONSUMEN SEDIKIT MENINGKAT A. INDEKS

Lebih terperinci

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU (Indikator Makro)

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU (Indikator Makro) POTRET PENDIDIKAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU (Indikator Makro) Pusat Data dan Statistik Pendidikan - Kebudayaan Setjen, Kemendikbud Jakarta, 2015 DAFTAR ISI A. Dua Konsep Pembahasan B. Potret IPM 2013 1.

Lebih terperinci

INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN I-2016 DAN PERKIRAAN TRIWULAN II-2016

INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN I-2016 DAN PERKIRAAN TRIWULAN II-2016 BPS PROVINSI LAMPUNG No. 10/05/18/Th. VI, 4 Mei 2016 INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN I-2016 DAN PERKIRAAN TRIWULAN II-2016 INDEKS TENDENSI KONSUMEN LAMPUNG TRIWULAN I-2016 SEBESAR 101,55

Lebih terperinci

Assalamu alaikum Wr. Wb.

Assalamu alaikum Wr. Wb. Sambutan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia Assalamu alaikum Wr. Wb. Sebuah kebijakan akan lebih menyentuh pada persoalan yang ada apabila dalam proses penyusunannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dihadapi oleh negara-negara berkembang adalah disparitas (ketimpangan)

BAB I PENDAHULUAN. dihadapi oleh negara-negara berkembang adalah disparitas (ketimpangan) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah salah satu negara yang berkembang, masalah yang sering dihadapi oleh negara-negara berkembang adalah disparitas (ketimpangan) distribusi pendapatan

Lebih terperinci

DINAMIKA PERTUMBUHAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN

DINAMIKA PERTUMBUHAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN IV. DINAMIKA PERTUMBUHAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN 4.1 Pertumbuhan Ekonomi Bertambahnya jumlah penduduk berarti pula bertambahnya kebutuhan konsumsi secara agregat. Peningkatan pendapatan diperlukan

Lebih terperinci

PANDUAN PENGGUNAAN Aplikasi SIM Persampahan

PANDUAN PENGGUNAAN Aplikasi SIM Persampahan PANDUAN PENGGUNAAN Aplikasi SIM Persampahan Subdit Pengelolaan Persampahan Direktorat Pengembangan PLP DIREKTORAT JENDRAL CIPTA KARYA KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT Aplikasi SIM PERSAMPAHAN...(1)

Lebih terperinci

KEBIJAKAN STRATEGIS PNPM MANDIRI KE DEPAN

KEBIJAKAN STRATEGIS PNPM MANDIRI KE DEPAN SEKRETARIAT WAKIL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA KEBIJAKAN STRATEGIS PNPM MANDIRI KE DEPAN DEPUTI SESWAPRES BIDANG KESEJAHTERAAN RAKYAT DAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN SELAKU SEKRETARIS EKSEKUTIF TIM NASIONAL

Lebih terperinci

Mekanisme Pelaksanaan Musrenbangnas 2017

Mekanisme Pelaksanaan Musrenbangnas 2017 Mekanisme Pelaksanaan Musrenbangnas 2017 - Direktur Otonomi Daerah Bappenas - Temu Triwulanan II 11 April 2017 1 11 April 11-21 April (7 hari kerja) 26 April 27-28 April 2-3 Mei 4-5 Mei 8-9 Mei Rakorbangpus

Lebih terperinci

PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004

PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 1 PRINSIP KEBIJAKAN PERIMBANGAN KEUANGAN Perimbangan Keuangan antara Pemerintah

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN, KEMISKINAN, DAN DISTRIBUSI PENDAPATAN

PERTUMBUHAN, KEMISKINAN, DAN DISTRIBUSI PENDAPATAN PERTUMBUHAN, KEMISKINAN, DAN DISTRIBUSI PENDAPATAN PERTUMBUHAN, KEMISKINAN, DAN DISTRIBUSI PENDAPATAN Pertumbuhan ekonomi Kemiskinan Distribusi pendapatan konsep konsep konsep ukuran ukuran Data-data Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang penting dilakukan suatu Negara untuk tujuan menghasilkan sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. yang penting dilakukan suatu Negara untuk tujuan menghasilkan sumber daya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan manusia merupakan salah satu syarat mutlak bagi kelangsungan hidup bangsa dalam rangka menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas. Menciptakan pembangunan

Lebih terperinci

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK PROVINSI BENGKULU MARET 2016 MULAI MENURUN

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK PROVINSI BENGKULU MARET 2016 MULAI MENURUN No.54/09/17/I, 1 September 2016 TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK PROVINSI BENGKULU MARET 2016 MULAI MENURUN GINI RATIO PADA MARET 2016 SEBESAR 0,357 Daerah Perkotaan 0,385 dan Perdesaan 0,302 Pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam sistem otonomi daerah, terdapat 3 (tiga) prinsip yang dijelaskan UU No.23 Tahun 2014 yaitu desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Desentralisasi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 telah membawa dampak negatif yang cukup dalam pada hampir seluruh sektor dan pelaku ekonomi. Krisis yang bermula

Lebih terperinci

RENCANA KEGIATAN DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN TAHUN 2018

RENCANA KEGIATAN DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN TAHUN 2018 RENCANA KEGIATAN DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN TAHUN 2018 Disampaikan pada: MUSYAWARAH PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERTANIAN NASIONAL Jakarta, 30 Mei 2017 CAPAIAN INDIKATOR MAKRO PEMBANGUNAN PERKEBUNAN NO.

Lebih terperinci

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK SUMATERA UTARA SEPTEMBER 2016 MENURUN

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK SUMATERA UTARA SEPTEMBER 2016 MENURUN BPS PROVINSI SUMATERA UTARA No. 13/02/12/Th. XX, 06 Februari 2017 TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK SUMATERA UTARA SEPTEMBER 2016 MENURUN GINI RATIO PADA SEPTEMBER 2016 SEBESAR 0,312 Pada ember

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Jumlah penduduk adalah salah satu input pembangunan ekonomi. Data

BAB 1 PENDAHULUAN. Jumlah penduduk adalah salah satu input pembangunan ekonomi. Data 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN Jumlah penduduk adalah salah satu input pembangunan ekonomi. Data jumlah penduduk Indonesia tahun 2010 sampai 2015 menunjukkan kenaikan setiap tahun. Jumlah penduduk

Lebih terperinci

Disabilitas. Website:

Disabilitas. Website: Disabilitas Konsep umum Setiap orang memiliki peran tertentu = bekerja dan melaksanakan kegiatan / aktivitas rutin yang diperlukan Tujuan Pemahaman utuh pengalaman hidup penduduk karena kondisi kesehatan

Lebih terperinci

INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN III-2015 DAN PERKIRAAN TRIWULAN IV-2015

INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN III-2015 DAN PERKIRAAN TRIWULAN IV-2015 BPS PROVINSI LAMPUNG No. 10/11/18.Th.V, 5 November 2015 INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN III-2015 DAN PERKIRAAN TRIWULAN IV-2015 INDEKS TENDENSI KONSUMEN LAMPUNG TRIWULAN III-2015 SEBESAR

Lebih terperinci

INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI PAPUA TRIWULAN I-2017

INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI PAPUA TRIWULAN I-2017 BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI PAPUA INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI PAPUA TRIWULAN I-2017 A. Penjelasan Umum 1. Indeks Tendensi Konsumen (ITK) I-2017 No. 27/05/94/Th. VII, 5 Mei 2017 Indeks Tendensi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan otonomi daerah adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan otonomi daerah adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tujuan pembangunan otonomi daerah adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi dan pembangunan daerah, mengurangi kesenjangan antar daerah dan meningkatkan kualitas pelayanan

Lebih terperinci

KEBIJAKAN LOKASI PROGRAM PERBAIKAN IRIGASI BERDASARKAN PELUANG PENINGKATAN INDEKS PERTANAMAN (IP) 1

KEBIJAKAN LOKASI PROGRAM PERBAIKAN IRIGASI BERDASARKAN PELUANG PENINGKATAN INDEKS PERTANAMAN (IP) 1 KEBIJAKAN LOKASI PROGRAM PERBAIKAN IRIGASI BERDASARKAN PELUANG PENINGKATAN INDEKS PERTANAMAN (IP) 1 Sudi Mardianto, Ketut Kariyasa, dan Mohamad Maulana Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Masih tingginya angka kemiskinan, baik secara absolut maupun relatif merupakan salah satu persoalan serius yang dihadapi bangsa Indonesia hingga saat ini. Kemiskinan

Lebih terperinci

BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL

BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL 5.1 Pendahuluan Dalam rangka mengoptimalkan efektivitas pelaksanaan pembangunan daerah, penyelenggaraan pembangunan daerah harus benar-benar sesuai dengan aspirasi,

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Kata Pengantar. iii

KATA PENGANTAR. Kata Pengantar. iii 1 ii Deskripsi dan Analisis APBD 2013 KATA PENGANTAR Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan instrumen kebijakan fiskal yang utama bagi pemerintah daerah. Dalam APBD termuat prioritas-prioritas

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. mendasari otonomi daerah adalah sebagai berikut:

BAB II KAJIAN PUSTAKA. kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. mendasari otonomi daerah adalah sebagai berikut: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Otonomi daerah Berdasarkan Undang-undang Nomor 32 tahun 2004, otonomi daerah merupakan kewenangan daerah otonom untuk mengurus dan mengatur kepentingan masyarakat

Lebih terperinci

ANALISIS DAN EVALUASI PELAYANAN KELUARGA BERENCANA BAGI KELUARGA PRA SEJAHTERA DAN KELUARGA SEJAHTERA I DATA TAHUN 2013

ANALISIS DAN EVALUASI PELAYANAN KELUARGA BERENCANA BAGI KELUARGA PRA SEJAHTERA DAN KELUARGA SEJAHTERA I DATA TAHUN 2013 ANALISIS DAN EVALUASI PELAYANAN KELUARGA BERENCANA BAGI KELUARGA PRA SEJAHTERA DAN KELUARGA SEJAHTERA I DATA TAHUN 2013 BADAN KEPENDUDUKAN DAN KELUARGA BERENCANA NASIONAL DIREKTORAT PELAPORAN DAN STATISTIK

Lebih terperinci

PROFIL PEMANFAATAN TEKNOLOGI INFORMASI OLEH MASYARAKAT

PROFIL PEMANFAATAN TEKNOLOGI INFORMASI OLEH MASYARAKAT No. 42 / IX / 14 Agustus 2006 PROFIL PEMANFAATAN TEKNOLOGI INFORMASI OLEH MASYARAKAT Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2005 Dari hasil Susenas 2005, sebanyak 7,7 juta dari 58,8 juta rumahtangga

Lebih terperinci

KESEHATAN ANAK. Website:

KESEHATAN ANAK. Website: KESEHATAN ANAK Jumlah Sampel dan Indikator Kesehatan Anak Status Kesehatan Anak Proporsi Berat Badan Lahir, 2010 dan 2013 *) *) Berdasarkan 52,6% sampel balita yang punya catatan Proporsi BBLR Menurut

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Di era Otonomi Daerah sasaran dan tujuan pembangunan salah satu diantaranya

I. PENDAHULUAN. Di era Otonomi Daerah sasaran dan tujuan pembangunan salah satu diantaranya I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di era Otonomi Daerah sasaran dan tujuan pembangunan salah satu diantaranya adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi dan pembangunan daerah, mengurangi kesenjangan antar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian Objek penelitian yang digunakan oleh peneliti adalah Provinsi Papua. Provinsi Papua merupakan salah satu provinsi terkaya di Indonesia dengan luas wilayahnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan pada masa Orde Baru dilakukan secara sentralistik, dari tahap perencanaan sampai dengan tahap implementasi ditentukan oleh pemerintah pusat dan dilaksanakan

Lebih terperinci

INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI PAPUA TRIWULAN IV-2016

INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI PAPUA TRIWULAN IV-2016 BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI PAPUA INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI PAPUA TRIWULAN A. Penjelasan Umum No. 11/02/94/Th. VII, 6 Februari 2017 Indeks Tendensi Konsumen (ITK) adalah indikator perkembangan

Lebih terperinci

DATA SOSIAL EKONOMI STRATEGIS. April 2017

DATA SOSIAL EKONOMI STRATEGIS. April 2017 DATA SOSIAL EKONOMI STRATEGIS April 2017 2 Data Sosial Ekonomi Strategis April 2017 Ringkasan Indikator Strategis Pertumbuhan Ekonomi Inflasi Perdagangan Internasional Kemiskinan & Rasio Gini Ketenagakerjaan

Lebih terperinci

DAMPAK PEMBENTUKAN DAERAH OTONOM BARU TEHADAP KEBIJAKAN ALOKASI DANA PERIMBANGAN

DAMPAK PEMBENTUKAN DAERAH OTONOM BARU TEHADAP KEBIJAKAN ALOKASI DANA PERIMBANGAN DAMPAK PEMBENTUKAN DAERAH OTONOM BARU TEHADAP KEBIJAKAN ALOKASI DANA PERIMBANGAN Disampaikan Oleh: Drs. Kadjatmiko, M.Soc.Sc Direktur Dana Perimbangan Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Pusat dan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. dr. Pattiselanno Roberth Johan, MARS NIP

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. dr. Pattiselanno Roberth Johan, MARS NIP KATA PENGANTAR Keberhasilan pembangunan kesehatan membutuhkan perencanaan yang baik yang didasarkan pada data dan informasi kesehatan yang tepat dan akurat serta berkualitas, sehingga dapat menggambarkan

Lebih terperinci

PENDATAAN RUMAH TANGGA MISKIN DI WILAYAH PESISIR/NELAYAN

PENDATAAN RUMAH TANGGA MISKIN DI WILAYAH PESISIR/NELAYAN SEKRETARIAT WAKIL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PENDATAAN RUMAH TANGGA MISKIN DI WILAYAH PESISIR/NELAYAN DISAMPAIKAN OLEH : DEPUTI SESWAPRES BIDANG KESEJAHTERAAN RAKYAT DAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN, SELAKU

Lebih terperinci

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK INDONESIA MARET 2017 MENURUN

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK INDONESIA MARET 2017 MENURUN No.39/07/15/Th.XI, 17 Juli 2017 TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK INDONESIA MARET 2017 MENURUN GINI RATIO PADA MARET 2017 SEBESAR 0,335 Pada Maret 2017, tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk

Lebih terperinci

Besarnya Penduduk yang Tidak Bekerja Sama-sekali: Hasil Survey Terkini

Besarnya Penduduk yang Tidak Bekerja Sama-sekali: Hasil Survey Terkini Besarnya Penduduk yang Tidak Bekerja Sama-sekali: Hasil Survey Terkini Uzair Suhaimi uzairsuhaimi.wordpress.com Judul artikel perlu klarifikasi. Pertama, istilah penduduk merujuk pada penduduk Indonesia

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA. INSENTIF UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK (Pelayanan Publik Daerah)

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA. INSENTIF UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK (Pelayanan Publik Daerah) KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA INSENTIF UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK (Pelayanan Publik Daerah) Disampaikan pada Kegiatan Konferensi Nasional Pemberantasan Korupsi Jakarta, 01 Desember

Lebih terperinci

PEMETAAN DAN KAJIAN CEPAT

PEMETAAN DAN KAJIAN CEPAT Tujuan dari pemetaan dan kajian cepat pemetaan dan kajian cepat prosentase keterwakilan perempuan dan peluang keterpilihan calon perempuan dalam Daftar Caleg Tetap (DCT) Pemilu 2014 adalah: untuk memberikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya Undangundang

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya Undangundang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya Undangundang Nomor 22 dan Nomor 25 tahun 1999 yang sekaligus menandai perubahan paradigma pembangunan

Lebih terperinci

NAMA, LOKASI, ESELONISASI, KEDUDUKAN, DAN WILAYAH KERJA

NAMA, LOKASI, ESELONISASI, KEDUDUKAN, DAN WILAYAH KERJA 2012, No.659 6 LAMPIRAN I PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI NOMOR PER.07/MEN/IV/2011

Lebih terperinci

INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN I-2017 DAN PERKIRAAN TRIWULAN II-2017

INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN I-2017 DAN PERKIRAAN TRIWULAN II-2017 BPS PROVINSI LAMPUNG No. 10/05/18/Th. VII, 5 Mei 2017 INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN I-2017 DAN PERKIRAAN TRIWULAN II-2017 INDEKS TENDENSI KONSUMEN LAMPUNG TRIWULAN I-2017 SEBESAR 101,81

Lebih terperinci

Gambar 1: Sumber fiskal Aceh mengalami peningkatan yang substansial dalam 6 tahun terakhir

Gambar 1: Sumber fiskal Aceh mengalami peningkatan yang substansial dalam 6 tahun terakhir Page 1 RINGKASAN EKSEKUTIF Aceh telah mengalami peningkatan sumber daya fiskal yang luar biasa. Sejak berlakunya Desentralisasi dan Otonomi Khusus, pendapatan yang secara langsung dikelola pemerintah daerah

Lebih terperinci

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI JAWA TIMUR (Indikator Makro)

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI JAWA TIMUR (Indikator Makro) POTRET PENDIDIKAN PROVINSI JAWA TIMUR (Indikator Makro) Pusat Data dan Statistik Pendidikan - Kebudayaan Setjen, Kemendikbud Jakarta, 2015 DAFTAR ISI A. Dua Konsep Pembahasan B. Potret IPM 2013 1. Nasional

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM. Penyajian gambaran umum tentang variabel-variabel endogen dalam

V. GAMBARAN UMUM. Penyajian gambaran umum tentang variabel-variabel endogen dalam V. GAMBARAN UMUM Penyajian gambaran umum tentang variabel-variabel endogen dalam penelitian ini dimaksudkan agar diketahui kondisi awal dan pola prilaku masingmasing variabel di provinsi yang berbeda maupun

Lebih terperinci

HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH

HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH DASAR PEMIKIRAN HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PUSAT DAN DAERAH DAERAH HARUS MEMPUNYAI SUMBER-SUMBER KEUANGAN YANG MEMADAI DALAM MENJALANKAN DESENTRALISASI

Lebih terperinci

Kajian Perda Provinsi Bali Tentang Bagi Hasil Pajak Provinsi kepada Kab./Kota

Kajian Perda Provinsi Bali Tentang Bagi Hasil Pajak Provinsi kepada Kab./Kota Kajian Perda Provinsi Bali Tentang Bagi Hasil Pajak Provinsi kepada Kab./Kota Pengantar K ebijakan perimbangan keuangan, sebagai bagian dari skema desentralisasi fiskal, memiliki paling kurang dua target

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dipakai sebagai alat untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dipakai sebagai alat untuk BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2.1.1 Pengertian dan unsur-unsur APBD Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) pada hakekatnya merupakan salah satu instrumen

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pengelolaan Pemerintah Daerah di Indonesia sejak tahun 2001 memasuki era baru yaitu dengan dilaksanakannya otonomi daerah. Otonomi daerah ini ditandai dengan

Lebih terperinci

PELAKSANAAN DAN USULAN PENYEMPURNAAN PROGRAM PRO-RAKYAT

PELAKSANAAN DAN USULAN PENYEMPURNAAN PROGRAM PRO-RAKYAT PELAKSANAAN DAN USULAN PENYEMPURNAAN PROGRAM PRO-RAKYAT BAMBANG WIDIANTO DEPUTI BIDANG KESRA KANTOR WAKIL PRESIDEN RI APRIL, 2010 KLASTER 1: PROGRAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN BERSASARAN KELUARGA/RUMAH

Lebih terperinci

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK MALUKU SEPTEMBER 2016 MENURUN

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK MALUKU SEPTEMBER 2016 MENURUN BADAN PUSAT STATISTIK No.06/02/81/Th.2017, 6 Februari 2017 TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK MALUKU SEPTEMBER 2016 MENURUN GINI RATIO MALUKU PADA SEPTEMBER 2016 SEBESAR 0,344 Pada September 2016,

Lebih terperinci

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 75 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Pemerintah Penerimaan pemerintah terdiri dari PAD dan dana perimbangan. PAD terdiri dari pajak, retribusi, laba BUMD, dan lain-lain

Lebih terperinci

DINAMIKA PDB SEKTOR PERTANIAN DAN PENDAPATAN PETANI

DINAMIKA PDB SEKTOR PERTANIAN DAN PENDAPATAN PETANI DINAMIKA PDB SEKTOR PERTANIAN DAN PENDAPATAN PETANI Hermanto dan Gatoet S. Hardono PENDAHULUAN Sebagai negara berkembang yang padat penduduknya, Indonesia memerlukan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi

I. PENDAHULUAN. Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah yang diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, desentralisasi

Lebih terperinci