BAB III KARAKTERISASI RESERVOIR

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB III KARAKTERISASI RESERVOIR"

Transkripsi

1 BAB III KARAKTERISASI RESERVOIR Karakterisasi reservoir merupakan suatu proses untuk mengetahui sifat suatu batuan. Untuk mendapatkan karakteristik suatu reservoir secara lebih baik maka diperlukan beberapa data yang mendukung antara lain batuan inti bor, data log tali kawat, data rekaman seismik dan data teknik lainnya. Data batuan inti bor, data log tali kawat dan data rekaman seismik dikelompokkan sebagai data statik sedangkan data teknik dikelompokkan sebagai data dinamik. Di daerah penelitian, terdapat empat sumur yang mempunyai batuan inti bor dimana interval objek penelitian terdapat pada tiga sumur diantaranya. Selain itu, terdapat 37 data lubang sumur yang bisa dipakai dari total 39 sumur pemboran, rekaman seismik 3D, data tes sumur dan data fluida. Data-data tersebut akan di analisis untuk memberikan pemahaman tentang karakteristik reservoir B dan C sebagai objek penelitian. Total sumur dan lokasi sumur yang mepunyai batuan inti bor bisa dilihat pada gambar III.1. III.1 Deskripsi Batuan Inti Bor dan Hubungannya dengan Log GR Deskripsi batuan inti bor (core) dilakukan untuk mengetahui fasies batuan dan batas-batasnya maupun model lingkungan pengendapannya dilihat dari variasi tekstur sedimen, struktur fisik, biogenik dan komposisi mineralnya. Lokasi batuan inti bor di lapangan Pungut terletak di beberapa sumur, yaitu Pungut-01 dan Pungut-37 dibagian utara, Pungut-35 di bagian tengah dan Pungut-36 di bagian selatan. Dari ke-empat batuan inti bor tersebut, terdapat tiga sumur (Pungut-01, Pungut-35 dan Pungut-37) yang mempunyai interval core pada reservoir B dan C sebagai objek penelitian, sedangkan pada sumur Pungut-36 reservoir tersebut tidak terambil (Tabel III.1). Tiga batuan inti bor yang mencakup reservoir B dan C ini merupakan data dasar dalam penentuan fasies maupun lingkungan pengendapan di lapangan Pungut. Untuk bisa diaplikasikan ke seluruh lapangan, maka deskripsi core yang telah dilakukan kemudian dikalibrasi dengan pola log GR dari sumur-sumur 34

2 lainnya untuk mengetahui jenis batuan yang sesuai. Hasilnya kemudian ditampilkan dalam bentuk model log core. Legenda: Sumur produksi Sumur tidak aktif Sumur injektor Sumur core Gambar III.1 Peta lokasi 39 sumur yang ada di daerah penelitian (Penulis, 2007) 35

3 Tabel III.1 Daftar sumur, interval core dan reservoir yang dilakukan coring. Sumur Interval Core (kaki) Interval Reservoir Pungut B C Pungut C Pungut-36 Tidak ada Tidak ada Pungut B C III.1.1 Deskripsi pada Sumur Pungut-01 Batuan inti bor pada sumur Pungut-01 terletak di bagian paling utara daerah penelitian. Deskripsi batuan pada core barrel dengan diameter sekitar 1.5 inci ini tidak mudah dilakukan karena kondisi sampel batuan yang tidak begitu baik (tidak lengkap dan lepas-lepas di beberapa bagian). Hal ini bisa dipahami mengingat ini adalah sumur pemboran pertama di daerah penelitian. Kondisi core seperti ini menyebabkan gambaran karakter fisik batuan pada sumur Pungut-01 tidak terekam secara utuh karena hanya tekstur batuannya saja yang bisa diamati lebih jelas dibandingkan dengan struktur sedimennya. Untuk membantu deskripsi batuan inti bor pada sumur ini maka digunakan juga hasil deskripsi yang terdapat pada marked log Pungut-01 dengan harapan semakin menambah informasi yang akan memperkuat interpretasi fasies sedimen dan lingkungan pengendapannya. III Deskripsi Reservoir B Karakter fisik (tekstur batuan) dari reservoir B pada batuan inti bor sumur Pungut-01 bisa di amati di kedalaman kaki. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa kondisi core pada sumur ini tidak begitu bagus sehingga kenampakan struktur sedimen tidak bisa dilihat dengan jelas. 36

4 Deskripsi lebih detil mengenai reservoir B dari bagian bawah ke atas adalah sebagai berikut: Interval core kedalaman kaki Karakter litologi di bagian bawah reservoir B didominasi oleh batupasir berwarna abu sampai abu kehijauan, berbutir sedang sampai kasar, terpilah buruk dan keras. Di beberapa tempat ditemukan pirit dan kehadiran glaukonit sangat jarang. Besar butir lebih kasar terdapat di bagian atas interval. Interval core kedalaman kaki Karakter litologi di interval bagian atas reservoir B didominasi oleh batupasir berwarna abu muda, berbutir sedang sampai kasar, terpilah buruk dan keras. Mineral pirit masih bisa ditemukan sedangkan glaukonit sangat jarang ditemukan. Batuan berbutir lebih kasar (kerikilan) bisa diamati di bagian bawah interval ini. Interval core kedalaman kaki Interval kedalaman ini didominasi oleh batupasir berwarna abu muda, berbutir sedang, terpilah sedang dan keras. Terlihat jejak minyak (trace oil) pada batuan ini juga ditemukan laminasi batulempung. III Deskripsi Reservoir C Reservoir batupasir C pada batuan inti bor sumur Pungut-01 dapat diamati secara fisik di kedalaman kaki. Kenampakan struktur sedimen juga tidak bisa dilihat dengan jelas karena kondisi core yang kurang bagus. Deskripsi lebih detil mengenai reservoir C dari bagian bawah ke atas adalah sebagai berikut: Interval core kedalaman kaki Litologi di bagian bawah reservoir C dicirikan oleh batupasir berwarna abu gelap-kehijauan, berbutir halus-sedang, terpilah sedang dan keras, mengandung glaukonit, mika dan material karbonan. Laminasi batulempung terlihat dibagian bawah interval ini, selain itu ditemukan pirit. Di bagian atasnya, terdapat laminasi batulanau dan batupasir. 37

5 Interval core kedalaman kaki Karakteristik litologi di bagian atas reservoir C masih didominasi oleh batupasir, berwarna abu kehijauan, berbutir sedang-kasar, terpilah buruk dan keras, mengandung glaukonit, karbonatan serta terlihat jejak minyak (trace oil show). Hasil deskripsi yang dilakukan pada batuan inti bor sumur Pungut-01 ini, menunjukkan bahwa penentuan asosiasi fasies tidak mudah dilakukan karena sulitnya melihat struktur sedimen secara jelas. Hal ini disebabkan karena kondisi batuan inti bor yang tidak bagus ditambah dengan keterbatasan jenis log yang ada dimana log GR tidak lengkap dan kualitasnya tidak begitu bagus. Dengan demikian, penentuan fasies pada sumur ini mengacu kepada perubahan besar butir yang bisa dilihat dan didukung oleh pola log GR-nya. Berdasarkan pola log GR, interval kedalaman pada reservoir B dan C dibedakan menjadi Sand bar dan Channel. Batupasir yang mengandung glaukonit dan karbonatan pada reservoir C menunjukkan bahwa reservoir ini diendapkan dalam kondisi pengaruh lingkungan laut yang cukup kuat dan lebih dalam. Berbeda dengan reservoir B di atasnya, dimana kandungan glaukonit sangat jarang terlihat dan ditemukannya mineral pirit menunjukkan bahwa reservoir ini diendapkan pada lingkungan yang lebih fresh dan relatif dangkal. Deskripsi lebih detil batuan inti bor pada sumur Pungut-1 bisa di lihat pada model core log-nya (lampiran 1). Pernyataan tersebut diatas didukung juga oleh analisis foraminifera (biostratigrafi) yang telah dilakukan oleh Darwin Kadar dan Robertson Utama (1998) terhadap sampel batuan di Pungut-01. hasil analisis terhadap sampel batuan yang diambil pada Formasi Bekasap di kedalaman 2928 kaki memperlihatkan kehadiran fosil arenaceous foram sebagai petunjuk bahwa reservoir ini diendapkan pada lingkungan sekitar Intertidal sampai Inner neritic. Analisis foraminifera dan nanofosil ini juga memperlihatkan bahwa reservoir Bekasap ini mempunyai kisaran umur geologi Miosen Bawah (Lower Miocene). Hasil analisis biostratigrafi pada sumur Pungut-1 yang lebih lengkap bisa dilihat pada lampiran 4. 38

6 III.1.2 Deskripsi pada Sumur Pungut-35 Batuan inti bor pada sumur Pungut-35 merupakan data yang relatif masih baru dan lokasinya terletak di bagian tengah daerah penelitian. Deskripsi batuan pada core barrel dengan diameter sekitar 3 inci ini lebih mudah dilakukan karena kondisi sampel batuan yang masih baik, kompak dan lengkap/menerus. Kondisi ini memungkinkan karakter fisik batuan maupun struktur sedimen pada sumur ini bisa digambarkan lebih baik sehingga penentuan fasies dan lingkungan pengendapan menjadi lebih akurat. Sayangnya, sumur ini hanya mengambil batuan inti bor pada interval reservoir C saja. III Deskripsi Reservoir C Karakter fisik reservoir batupasir C pada batuan inti bor sumur Pungut-35 dapat diamati di kedamanan kaki. Selain itu, kenampakan struktur sedimen juga bisa dilihat dengan jelas karena kondisi core yang cukup bagus. Deskripsi lebih detil mengenai reservoir C dari bagian bawah ke atas adalah sebagai berikut: Interval core kedalaman kaki Interval kedalaman paling bawah dari core ini mempunyai litologi batupasir berwarna abu sampai abu terang, berbutir sedang-kasar, terpilah sedangburuk, membulat tanggung. Fragmen mineral kuarsa tersebar merata dengan intensitas glaukonit makin banyak ke arah bawah. Selain itu ditemukan mud clast siderit di beberapa tempat (gambar III.2). Interval core kedalaman kaki Interval core di atasnya di dominasi oleh litologi batupasir berwarna abukehijauan, berbutir kasar-sangat kasar, terpilah sedang-baik, membulat tanggung, karbonatan setempat dan kompak (keras). Struktur sedimen laminasi silang siur dan ditemukan mineral glaukonit, glosifungites dan batulempung kecoklatan di bagian bawah. 39

7 Gambar III.2 Fasies batupasir glaukonit yang memperlihatkan mud clast siderit pada interval kedalaman kaki sumur Pungut-35. Interval core kedalaman kaki Litologi pada interval ini berupa batupasir berwarna abu gelap, berbutir halus-sedang, terpilah baik, kompak, terdapat glosifungites dan mineral kuarsa. Interval core kedalaman kaki Tidak berbeda jauh dengan interval di atasnya, litologi batupasir berwarna abu-abu masih mendominasi, berbutir halus, terpilah sedang-baik, membulatmembulat tanggung dan kompak. Intensitas bioturbasi rendah, ditemukan struktur sedimen flaser, burrow dengan orientasi vertikal dan horisontal. Komposisi mineral berupa glaukonit dan fragmen mineral kuarsa. Interval core kedalaman kaki Pada interval kedalaman ini, karakter litologi dicirikan oleh batupasir berwarna abu-abu, berbutir sedang-sangat halus, terpilah sedang-baik, membulat tanggung, dengan komposisi mineral berupa glaukonit, kuarsa, non karbonatan dan intensitas bioturbasi rendah. 40

8 Interval core kedalaman kaki Karakter litologi pada interval paling atas ini dicirikan oleh batupasir berwarna abu-abu, berbutir halus, terpilah baik, kompak dan karbonatan (semen kalsit). Interval reservoir batupasir C mempunyai ketebalan reservoir sekitar 32 kaki dengan kadar minyak (oil-stain) berwarna coklat terang sampai kehijauan. Berdasarkan hasil deskripsi batuan inti bor dengan mengamati tekstur batuan, struktur sedimen yang berkembang, kehadiran organisme dan dibantu oleh pola log GR, maka reservoir C di sumur Pungut-35 ini ditafsirkan asosiasi fasiesnya sebagai Tidal Channel Sand di bagian bawah interval dan Tidal Sand Flat di bagian atas interval. Hampir mirip dengan reservoir C di sumur Pungut-01, adanya kandungan glaukonit yang ditemukan hampir di seluruh interval menunjukkan bahwa reservoir ini diendapkan pada lingkungan yang relatif lebih dalam dengan pengaruh laut yang cukup kuat. Berdasarkan hal tersebut, maka lingkungan pengendapan reservoir C diperkirakan terjadi pada lingkungan Inner neritic atau Shelf. Deskripsi lebih detil batuan inti bor pada sumur Pungut-35 bisa di lihat pada model core log-nya (lampiran 2). III.1.3 Deskripsi pada Sumur Pungut-37 Seperti halnya sumur Pungut-35, batuan inti bor pada sumur Pungut-37 ini merupakan data yang relatif masih baru dimana lokasinya terletak di bagian utara daerah penelitian. Kualitas conto batuan inti bornya masih bagus, cukup lengkap dan kompak sehingga deskripsi tekstur maupun struktur sedimen batuan bisa dilakukan. Kondisi ini menjadikan batuan inti bor di sumur Pungut-37 menjadi sangat penting untuk mengontrol penentuan fasies sedimen di daerah penelitian terutama interval reservoir B dan C sebagai objek penelitian. 41

9 III Deskripsi Reservoir B Karakter fisik reservoir B dari Formasi Bekasap ini bisa dilihat pada batuan inti bor sumur Pungut-37 pada interval kaki. Kondisi core pada interval ini cukup bagus, menerus dan kompak sehingga deskripsi batuan lebih mudah dilakukan. Secara umum, reservoir ini mempunyai karakter litologi batupasir berwarna abu-abu muda, berbutir halus-sedang, memperlihatkan laminasi bergelombang (wavy-laminaation), sedikit bioturbasi dan terdapat galian binatang (burrows). Interval core kedalaman kaki Litologi pada interval ini adalah batupasir berwarna abu-abu muda, berbutir kasar, terpilah sedang, membulat tanggung, fragmen min. kuarsa tersebar, karbonatan, kompak dan keras. Terdapat rekahan yang diperkirakan diisi oleh kalsit dan semen dolomit, juga nodul lempung (siderite) yang umumnya berasosiasi dengan kontak batulempung di bagian bawah. Interval core kedalaman kaki Interval core ini didominasi oleh batupasir berwarna abu terang sampai kecoklatan, berbutir sedang-halus, terpilah sedang-baik, membulat tanggung, fragmen mineral kuarsa, ditemukan juga mineral mika, banyak terdapat burrow dengan orientasi vertikal dan horisontal (skolithos, planolithes, paleophycus), struktur sedimen laminasi silang siur, mud drape, semakin ke bawah intensitas bioturbasi makin banyak, non karbonatan. Interval core kedalaman kaki Batupasir masih mendominasi interval kedalaman ini, berwarna abu gelap sampai kecoklatan, berbutir sedang-halus, terpilah sedang-baik, membulat tanggung, fragmen mineral kuarsa dan pirit kadang ditemukan. Terdapat burrrow, struktur sedimen flaser, wavy dan laminasi silang siur, mengandung karbon. Struktur sedimen wavy lamination pada batupasir B di sumur Pungut-37 dapat dilihat dengan jelas pada gambar III.3. 42

10 Gambar III.3 Reservoir batupasir B yang memperlihatkan struktur laminasi bergelombang (wavy) pada core Pungut-37. Interval core kedalaman kaki Batupasir berwarna abu kecoklatan, berbutir sedang-kasar, terpilah sedang-buruk, membulat tanggung, struktur sedimen paralel laminasi, burrow (ophiomorpha), mineral mika dan mengandung karbon. Interval core kedalaman kaki Interval paling atas dari reservoir B ini didominasi oleh batupasir berwarna abu muda kecoklatan, berbutir kasar, terpilah buruk, menyudut tanggungmembulat tanggung, fragmen kuarsa, masih ditemukan burrow (ophiomorpha) dan non karbonatan. Batupasir kerikilan ditemukan pada bagian bawah interval ini dengan karakteristik kompak dan keras. Deskripsi batuan inti bor dengan mengamati tekstur batuan, struktur sedimen, kehadiran organisme dan mineral serta menganalis pola log pada interval kedalaman kaki ini, maka reservoir B di sumur Pungut-37 dapat ditafsirkan sebagai asosiasi fasies Tidal Channel Sand di bagian bawah interval dan Tidal Sand Bar di bagian atas interval. Biasanya fasies Tidal Sand Bar mempunyai karakter pola log GR yang coarsening upward (perubahan besar butir makin kasar ke arah atas). 43

11 Seperti halnya karakteristik reservoir B yang di amati pada sumur Pungut- 01 sebelumnya, terdapat kemiripan dengan litologi batupasir ini terutama pada interval bagian atas reservoir B di Pungut-37. Kandungan glaukonit sangat jarang terlihat dan ditemukannya mineral pirit menunjukkan bahwa reservoir B ini diendapkan pada lingkungan yang relatif dangkal dan fresh dimana pengaruh lingkungan laut belum begitu kuat. Berdasarkan hal tersebut, lingkungan pengendapan reservoir B diperkirakan terjadi pada Intertidal sampai Inner neritic. Deskripsi lebih detil batuan inti bor pada sumur Pungut-37 bisa di lihat pada model core lognya (lampiran 3a). Berdasarkan deskripsi batuan dan karakter log Gamma Ray, secara umum reservoir batupasir B terbentuk dalam dua siklus pengendapan yaitu retrograde di bagian bawah interval yang di ikuti dengan siklus prograde di bagian atas interval ini. III Deskripsi Reservoir C Karakter fisik reservoir C pada batuan inti bor sumur Pungut-37 dapat dilihat pada interval kedalaman kaki. Sama halnya dengan interval reservoir B di atas, kondisi core pada interval ini mempunyai kualitas cukup bagus, menerus dan kompak sehingga cukup memudahkan dalam penafsiran fasies maupun lingkungan pengendapannya. Deskripsi batuan secara lebih detil mulai dari interval kedalaman paling bawah ke atas, adalah sebagai berikut: Interval core kedalaman kaki Interval paling bawah dari reservoir C ini mempunyai litologi berupa batupasir berwarna abu muda samapai kehijauan, berbutir sedang-kasar, terpilah buruk, menyudut tanggung-membulat tanggung, kompak (sementasi baik), struktur sedimen laminasi silang-siur dengan lapisan tipis mud drape, terdapat nodul lempung, dengan mineral glaukonit, kuarsa, mika dan karbonatan. Contoh gambar batupasir glaukonit yang mengandung ophiomorpha bisa dilihat pada gambar III.4. 44

12 Gambar III.4 Fasies batupasir glaukonit dengan jejak fosil ophiomorpha dibagian atas dan lapisan tipis mud drape pada core Pungut-37. Interval core kedalaman kaki Interval di atasnya di dominasi oleh batupasir berwarna abu muda, berbutir sedang-halus, terpilah sedang-baik, membulat tanggung dan bioturbasi. Jejak galian binatang (burrow) ditemukan dengan orientasi vertikal dan horisontal (ophiomorpha, planolithes, paleophycos), struktur sedimen berupa wavy dan flaser, non karbonatan, mineral glaukonit, mika dan mineral hitam. Interval core kedalaman kaki Litologi batupasir masih mendominasi pada interval kedalaman ini, berwarna abu kehijauan sampai kecoklatan, berbutir sedang-halus, terpilah sedang-baik, menyudut-membulat tanggung dengan intensitas bioturbasi rendah. Struktur sedimen yang berkembang berupa burrow dan flaser, non karbonatan, dimana intensitas glaukonit makin banyak ke arah atas, dan ditemukan kuarsa, mika, mineral hitam. 45

13 Gambar III.5 Karakteristik fasies batupasir glaukonit yang terlihat pada core Pungut-37. Interval core kedalaman kaki Interval core paling atas dari reservoir C berupa batupasir berwarna abu kehijauan, berbutir sedang-kasar, terpilah sedang, membulat tanggung dan keras. Mineral glaukonit masih ditemukan, kuarsa dan sedikit karbonatan. Hasil deskripsi batuan inti bor pada interval reservoir batupasir C di sumur Pungut-37 menunjukkan bahwa asosiasi fasies reservoir ini bisa ditafsirkan sebagai Tidal Channel Sand di bagian bawah interval dan Tidal Sand Flat di bagian atas interval. Korelasi pola log GR yang cukup baik antara Pungut-37 dan Pungut-35 memungkinkan kedua sumur tersebut memiliki fasies sedimen yang sama. Selain itu, tekstur batuan dan adanya kandungan glaukonit pada reservoir C ini semakin mendukung penafsiran bahwa reservoir ini diendapkan pada lingkungan dengan pengaruh laut yang cukup kuat dan relatif dalam. Berdasarkan hal tersebut, maka lingkungan pengendapan reservoir C diperkirakan terjadi pada Inner neritic atau Shelf. Selengkapnya mengenai deskripsi batuan inti bor pada sumur Pungut-37 bisa di lihat pada model core lognya (lampiran 3b). 46

14 III.1.4 Fasies dan Lingkungan Pengendapan Penafsiran fasies di daerah penelitian mengacu kepada model fasies dan lingkungan pengendapan menurut Dalrymple (1992) dimana fasies sedimen yang terbentuk dipengaruhi oleh pasang-surut (tide-dominated Estuarin). Kriteria penafsiran masing-masing fasies dijelaskan pada bab sebelumnya. Deskripsi batuan inti bor secara umum yang telah dilakukan pada tiga sumur dengan interval reservoir B dan C, bisa dilihat pada tabel di bawah ini : Tabel III.2. Ringkasan hasil deskripsi batuan inti bor pada reservoir B dan C di daerah penelitian. Reservoir karakteristik sedimen Litofasies Asosiasi Fasies B C Batupasir, abu gelap-kecoklatan, berbutir sedang-halus, terpilah sedang-buruk, membulat tanggung, fragmen min. kuarsa, pirit batupasir, kadang ditemukan, burrow (ophiomorpha), struktur sedimen flaser, wavy dan laminasi silang siur, karbonan. Batupasir berbutir flaser, wavy & kasar karbonan Batupasir, abu terang-kecoklatan, berbutir sedang-kasar, terpilah sedang-buruk, membulat tanggung, fragmen min. kuarsa, mika, burrow (skolithos, planolithes, paleophycus), struktur sedimen laminasi silang siur, mud drape, bioturbasi, non karbonatan. Batupa Batulanau, abu-abu kehitaman, terpilah baik, non karbonatan, konkresi besi, lentikuler. Batupasir, abu kehijauan-kecoklatan, berbutir sedang-sangat halus, terpilah baik, menyudut-membulat tanggung, bioturbasi, burrow, flaser, intensitas glaukonit cukup tinggi, kuarsa dan mika. Batupasir, berbutir kasar terdapat di bagian atas, keras & Batupasir, abu muda-kehijauan, berbutir sedang-kasar, terpilah sedang-buruk, membulat tanggung, bioturbasi, burrow (ophiomorpha, planolithes, paleophycos), struktur laminasi silang siur, wavy, mudrape. Glaukonit, mika dan mineral hitam. Batupasir, berbutir batupasir boiturbasi batulanau lentikuler Tidal Sand Bar Tidal Channel Mud flat batupasir, flaser & bioturbasi Tidal Sand Flat batupasir, flaser, bioturbasi & karbonatan Tidal Channel Berdasarkan hasil deskripsi batuan inti bor pada ketiga sumur tersebut maka secara umum reservoir B dan C dari Formasi Bekasap ini terdiri dari beberapa asosiasi fasies yaitu Tidal Channel Sand, Tidal Sand Flat dan Tidal Sand Bar, sedangkan material halus batulempung dan batulanau yang membagi kedua reservoir ini ditafsirkan sebagai fasies Mud Flat. Lingkungan pengendapan pada reservoir B dan C diperkirakan terjadi pada lingkungan Intertidal sampai Inner neritic atau Shelf. Hal ini didukung oleh analisis biostratigrafi terhadap foraminifera maupun nanofosil pada interval reservoir Bekasap (Kadar dan Utama, 1998). Hasil analisis biostratigrafi juga memperlihatkan umur batuan reservoir Bekasap yang ditafsirkan berumur Miosen Bawah (Lower Miocene). Berdasarkan karakter pola log GR yang bisa diamati, secara garis besar reservoir B dan C terbagi menjadi dua siklus pengendapan. Siklus pengendapan reservoir B dimulai dengan siklus retrograde dibagian bawah dan di ikuti siklus prograde di bagian atasnya. Siklus retrograde ini merupakan pergerakan ke arah darat sebagai respon dari kondisi transgresif dimana laju akomodasi lebih besar 47

15 dibandingkan suplai sedimennya. Hal ini terjadi selama naiknya muka air laut dengan influx sedimen yang rendah. Selanjutnya pada interval bagian atas reservoir B terjadi pergerakan sedimen ke arah cekungan yang menghasilkan siklus prograde. Progradasi ini bisa terjadi akibat kenaikan muka air laut yang di iringi oleh influx sedimen yang tinggi (regresi). Sedangkan pada siklus pengendapan reservoir C ditafsirkan sebagai dua siklus yang retrograde. Seperti halnya siklus retrograde pada reservoir B bagian bawah, siklus pengendapan pada reservoir B ini terjadi akibat laju sedimentasi yang lebih rendah dibandingkan laju akomodasinya. Secara keseluruhan, siklus pengendapan kedua reservoir B dan C di daerah penelitian terjadi dalam kondisi transgresif (Transgresive System Tract). Berdasarkan penafsiran asosiasi fasies dan lingkungan pengendapan dari batuan inti bor, maka daerah penelitian diperkirakan terjadi pada lingkungan transisi (Estuarin) yang dipengaruhi oleh pasang surut (Tide-Dominated Estuary). Model yang ideal dari Estuarin ini bisa dilihat pada gambar III.6. Daerah Penelitian Gambar III.6 Penafsiran fasies dan lingkungan pengendapan di daerah penelitian mengacu pada model ideal Tide-dominated Estuary (Dalrymple, 1992). 48

16 III.2 Korelasi antar Sumur Korelasi antar sumur di daerah penelitian dilakukan dengan pendekatan stratigrafi sikuen dengan tujuan untuk melihat penyebaran fasies dan arah sedimentasinya. III.2.1 Korelasi antar Sumur dengan Data Core Korelasi antar sumur di daerah penelitian dilakukan dalam beberapa tahap, yaitu : 1. Korelasi antar sumur yang mempunyai batuan inti bor (core) 2. Korelasi dilakukan dengan pendekatan stratigrafi sikuen sampai ke tingkat parasekuen yang masing-masing dibatasi oleh suatu flooding surface (FS). Dalam hal ini pembagian dua siklus pengendapan pada reservoir B dan C tersebut akan digunakan sebagai marker untuk melakukan korelasi. Sumur-sumur yang mempunyai batuan inti bor merupakan pengontrol utama yang dipakai sebagai penampang model dalam melakukan korelasi. Apabila korelasi antar sumur-sumur tersebut sudah sesuai maka langkah selanjutnya adalah melakukan korelasi stratigrafi terhadap sumur-sumur terdekatnya. Untuk mengetahui secara detil penyebaran fasies sedimen di lapangan Pungut ini maka korelasi dilakukan sampai ke tingkat parasikuen dengan menetapkan flooding surface (FS) sebagai batasannya. Penentuan batas flooding surface (FS) ini bisa ditafsirkan dari pola log sumur (GR). Lintasan yang menghubungkan sumur core Pungut-01, Pungut-37, Pungut-35 dan Pungut-36 kemudian dilakukan korelasi dan dijadikan sebagai lintasan model korelasi. Berdasarkan lintasan model korelasi yang dibuat, secara keseluruhan reservoir B dan C dibatasi oleh empat flooding surface yaitu FS_C2, FS_C1, FS_B2 dan FS_B1. Masing-masing batas flooding surface ini mencerminkan suatu parasikuen dan juga fasies sedimennya. Dalam hal ini, fasies sedimen yang termasuk dalam objek penelitian ditafsirkan sebagai fasies Tidal Channel, Tidal Sand Flat, Tidal Sand Bar dan Mud Flat. Hasil korelasi antar sumur core yang dijadikan sebagai model penampang korelasi bisa dilihat pada gambar III.7. 49

17 Gambar III.7 Model korelasi antar sumur yang mempunyai data batuan inti bor (core) dan penyebaran fasiesnya, dengan lintasan berarah utara-selatan. 50

18 III.2.2 Korelasi antar Sumur untuk Seluruh Lapangan Korelasi antar sumur core merupakan model korelasi yang akan dipakai dalam melakukan korelasi antar sumur untuk seluruh lapangan. Pada awalnya korelasi antar sumur seluruh lapangan ini dicoba dengan menggunakan data sumur saja. Untuk lebih mendukung penafsiran yang dilakukan, korelasi antar sumur kemudian dibantu oleh lintasan seismik yang sesuai. Beberapa penampang stratigrafi dibuat dengan arah lintasan relatif utaraselatan dan timur-barat yang dianggap mewakili seluruh daerah penelitian. Empat buah penampang dengan arah lintasan utara-selatan dan tujuh buah penampang dengan arah lintasan timur-barat. III Lintasan Korelasi Berarah Utara-Selatan Lintasan korelasi yang berarah relatif utara-selatan diwakili oleh lintasan 2U. Lintasan ini terletak dibagian utara daerah penelitian dan menghubungkan sumur core Pungut-01 dan Pungut-35. Lintasan korelasi ini di ikat pada flooding surface FS_B1 sebagai datum reservoir B dan FS_C1 sebagai datum reservoir C. Hasil korelasi pada lintasan 2U memperlihatkan adanya perubahan fasies terutama pada fasies Tidal Sand Bar yang dibatasi oleh flooding surface FS_B1 dibagian atas dan FS_B2 dibagian bawah. Fasies Tidal Sand Bar ini terlihat mengalami penipisan sedimen ke arah selatan (Pungut-31). Sebaliknya fasies Tidal Channel B yang dibatasi oleh flooding surface FS_B2 dibagian atas dan material halus dibagian bawah, umumnya tidak mengalami perubahan fasies yang berarti ke arah utara kecuali pada sumur Pungut-01 fasies tersebut menjadi hilang. Reservoir batupasir C yang tersusun oleh fasies Tidal Sand Flat di bagian atas dan fasies Tidal Channel di bagian bawahnya terlihat mempunyai ketebalan yang relatif hampir sama sepanjang lintasan korelasi. Hal ini diartikan sebagai tidak adanya perubahan fasies pada lintasan ini. Berdasarkan pola log GR, lintasan 2U bisa dibedakan menjadi 4 siklus pengendapan dari kedua reservoir B dan C. Reservoir B mempunyai siklus awal retrograde yang di ikuti dengan siklus prograde di atasnya. Sedangkan reservoir C mempunyai dua siklus pengendapan yang retrograde. Lebih detil mengenai korelasi antar sumur lintasan 2U bisa di lihat pada gambar III.8. 51

19 1U 2U 2S 1S Gambar III.8 Korelasi antar sumur dengan lintasan berarah utara-selatan (lintasan 2U) yang menggambarkan distribusi sedimen fasies B1, B2, C1 dan C2 di bagian utara daerah penelitian. 52

20 Lintasan korelasi 2S dibuat dengan arah relatif utara-selatan. Lintasan ini terletak dibagian selatan daerah penelitian dan merupakan kelanjutan dari korelasi 2U disebelah utaranya. Hasil korelasi pada lintasan 2S memperlihatkan adanya perubahan fasies pada fasies Tidal Sand Bar (B1) yang dibatasi oleh flooding surface FS_B1 dibagian atas dan FS_B2 dibagian bawah. Dari sumur Pungut-17, fasies ini terlihat mengalami penipisan sedimen ke arah selatan (Pungut-18) dan menghilang pada sumur Pungut-20 dan muncul lagi pada sumur Pungut-38 dan Pungut-19. Fasies Tidal Channel B (B2) yang dibatasi oleh flooding surface FS_B2 dibagian atas dan material halus dibagian bawah, juga mengalami perubahan fasies dan tidak berkembang di sumur Pungut-21 dan muncul lagi di sumur Pungut-08 sampai Pungut-19 di bagian selatannya. Perkembangan yang cukup tebal dari fasies Tidal Channel B ini terlihat pada sumur Pungut-20. Adanya perubahan fasies pada reservoir B ini bisa ditafsirkan bahwa arah sedimentasi pada lintasan ini tidak berasal dari utara-selatan, karena lintasan ini diperkirakan tegak lurus terhadap arah sedimentasi regional yang terjadi di daerah penelitian. Fasies Tidal Sand Flat (C1) yang merupakan bagian dari reservoir batupasir C dibatasi oleh flooding surface FS_C1 di bagian atas dan FS_C2 di bagian bawah. Dari penampang lintasan 2S, fasies ini terlihat mengalami penebalan sedimen ke arah selatan. Sebaliknya fasies Tidal Channel C (C2) yang dibatasi flooding surface FS_C2 di bagian atas dan material halus dibawahnya terlihat semakin menipis ke arah selatan. Berdasarkan pola log GRnya, siklus pengendapan kedua reservoir B dan C bisa dikenali pada lintasan 2S ini. Pada lintasan ini terdapat 4 siklus pengendapan dimana reservoir B mempunyai siklus awal retrograde yang di ikuti dengan siklus prograde di atasnya. Sedangkan reservoir C mempunyai dua siklus pengendapan yang retrograde. Korelasi antar sumur yang lebih detil pada lintasan 2S bisa di lihat pada gambar III.9. 53

21 1U 2U 2S 1S Gambar III.9 Korelasi antar sumur dengan lintasan berarah utara-selatan (lintasan 2S) yang menggambarkan distribusi sedimen fasies B1, B2, C1 dan C2 di bagian selatan daerah penelitian. 54

22 III Lintasan Korelasi Berarah Timur-Barat Lintasan korelasi yang berarah relatif timur-barat diwakili oleh lintasan 5. Lintasan ini terletak dibagian utara daerah penelitian dan menghubungkan sumur core Pungut-37. Sama halnya dengan lintasan yang lain, lintasan korelasi ini di ikat pada flooding surface FS_B1 sebagai datum reservoir B dan FS_C1 sebagai datum reservoir C. Hasil korelasi pada lintasan 5 umumnya tidak memperlihatkan adanya perubahan fasies baik pada interval reservoir B maupun reservoir C. Fasies Tidal Sand Bar (B1) yang dibatasi oleh flooding surface FS_B1 dibagian atas dan FS_B2 dibagian bawah menunjukan sedimen yang lebih tebal pada sumur Pungut- 37, Pungut-39 dan Pungut-28 dibandingkan sumur sekitarnya. Sebaliknya fasies Tidal Channel B (B2) yang dibatasi oleh flooding surface FS_B2 dibagian atas dan material halus dibagian bawah, menunjukan sedimen yang lebih tipis pada sumur Pungut-37, Pungut-39 dan Pungut-28 tersebut. Tidak berbeda dengan fasies sebelumnya, Fasies Tidal Sand Flat (C1) yang bagian atasnya dibatasi oleh flooding surface FS_C1 dan FS_C2 di batas bawahnya juga tidak memperlihatkan adanya perubahan fasies. Fasies ini mempunyai ketebalan sedimen yang relatif sama dari arah timur ke barat. Hal yang hampir sama terlihat pada fasies Tidal Channel C (C2) dibawahnya, tidak ada perubahan fasies yang terjadi. Tidak adanya perubahan fasies pada reservoir B dan C ini bisa ditafsirkan bahwa arah sedimentasi di daerah penelitian umumnya berasal dari timurlaut-baratdaya. Berdasarkan pola log GR yang bisa diamati, terdapat 2 siklus pengendapan yang terjadi pada reservoir B dan 2 siklus pengendapan pada reservoir C. Siklus pengendapan reservoir B diawali oleh suatu retrograde di interval bawah dan berubah menjadi siklus prograde di atasnya. Siklus pengendapan reservoir C memperlihatkan dua siklus pengendapan yang retrograde. Kondisi siklus pengendapan ini menunjukkan bahwa secara umum pengendapan pada reservoir B dan C terjadi dalam keadaan transgresif. Korelasi antar sumur yang lebih detil pada lintasan 5 bisa di lihat pada gambar III.10. korelasi antar sumur untuk lintasan yang lainnya bisa dilihat pada lampiran. 55

23 Gambar III.10 Korelasi antar sumur dengan lintasan berarah timur-barat (lintasan 5) yang menggambarkan distribusi sedimen fasies B1, B2, C1 dan C2 di bagian utara daerah penelitian. 56

24 Untuk melihat lebih jelas penyebaran fasies maupun sistem pengendapan yang terjadi pada reservoir B dan C dari Formasi Bekasap ini, maka di lakukan juga analisis terhadap penampang atau sayatan seismiknya. Penampang seismik yang diamati adalah penampang dengan arah lintasan barat-timur yang dianggap bisa memperlihatkan arah pengendapan dari sedimen karena relatif sejajar dengan arah sedimentasi regional yang terjadi di lapangan Pungut. Dalam melakukan korelasi di daerah penelitian tidak hanya melihat hubungan antar sumur berdasarkan data log (picking marker) tetapi sebaiknya didukung juga dengan korelasi terhadap seismiknya (picking horison) agar kesalahan interpretasi bisa dikurangi (gambar III.11). Selain itu pada penampang seismik tersebut kita bisa melakukan analisis untuk melihat arah sedimentasi maupun kondisi pengendapan yang mempengaruhinya. Berdasarkan penampang seismik daerah penelitian (gambar III.12) yang di-flat-kan pada horison Bekasap B (garis kuning) sebagai objek penelitian, agak sulit untuk melihat arah sedimentasi pada reservoir B dan C karena interval seismik yang sempit. Reflektor seismik pada interval ini terlihat sejajar satu sama lain dan tidak terlihat adanya progradasi menandakan bahwa reservoir ini diendapkan dalam suatu lingkungan yang relatif datar. Tetapi dengan melihat reflektor seismiknya yang mengalami perubahan reflektor seismik dari kuat (warna merah tua) menjadi lemah (warna merah muda) dan terlihat menipis ke arah timur. Hal ini memungkinkan bahwa daerah ini diendapkan dalam kondisi transgresif. Dari ketiga lintasan korelasi berarah utara-selatan dan timur-barat serta penampang seismik yang dianggap mewakili daerah penelitian bisa ditafsirkan bahwa arah umum sedimentasi di daerah penelitian berasal dari timurlautbaratdaya. Perubahan fasies lebih banyak terjadi pada lintasan korelasi berarah relatif utara-selatan. Sedangkan dilihat dari siklus pengendapannya berdasarkan data log, daerah penelitian diperkirakan terjadi dalam kondisi transgresif. 57

25 Peta indeks survei seismik Gambar III.11 Penampang seismik arah barat-timur yang melintasi sumur Pungut-24, menggambarkan hubungan picking marker sumur dan picking horison seismik di daerah penelitian. 58

26 Peta indeks survei seismik Basement Gambar III.12 Penampang seismik arah barat-timur yang di flat-kan pada horison Bekasap B (garis kuning). 59

27 III.2.3 Pemetaan Reservoir Seperti yang telah diuraikan pada paragraf sebelumnya, reservoir B dan C masing-masing bisa dipisahkan dalam 2 siklus pengendapan. Untuk melihat penyebaran tubuh lapisan batupasir penyusun reservoir B dan C ini maka ke empat reservoir tersebut yang akan dipetakan. Dalam hal ini, pemetaan reservoir yang akan dilakukan adalah pemetaan geometri dan properti (sifat) reservoir. III Pemetaan Geometri Pemetaan geometri yang dilakukan merupakan pemetaan ketebalan (isochore) dari masing-masing total ketebalan parasikuen Bekasap B dan C atau fasies sedimennya. Penentuan geometri reservoir ini dilakukan dengan menganalisis semua lintasan korelasi di daerah penelitian yang telah dikalibrasi dengan hasil analisis dan penafsiran dari tiga sumur yang mempunyai batuan inti bor (core). Untuk menghasilkan interpretasi yang lebih baik, hasil pemetaan geometri ini kemudian akan digabung dengan peta atribut seismik, dalam hal ini adalah amplitudo RMS. III Parasikuen C2 Parasikuen C2 terletak di bagian paling bawah dan merupakan bagian dari reservoir C Formasi Bekasap. Parasikuen ini dibatasi bagian atasnya oleh suatu flooding surface yang dinamakan FS_C2 dan bagian bawahnya dibatasi oleh material halus lapisan batulempung (Mud Flat). Hasil analisis dan penafsiran batuan inti bor, parasikuen ini didominasi oleh asosiasi fasies Tidal Channel yang diperkirakan mempunyai lingkungan pengendapan Intertidal-Shelf. Berdasarkan peta ketebalan batupasir yang telah dibuat pada parasikuen C2 (Tidal Channel) terlihat bahwa distribusi fasies ini umumnya semakin tebal di bagian timur dan sebagian kecil di bagian selatan daerah penelitian dengan ketebalan sekitar 20 sampai 30 kaki. Makin ke arah barat daerah penelitian, penyebaran fasies ini makin tipis atau tidak berkembang. Dari pola orientasi reservoirnya, bisa ditafsirkan bahwa tren arah pengendapan parasikuen C2 yang relatif timurlaut-baratdaya (gambar III.13). 60

28 Gambar III.13 Peta ketebalan batupasir parasikuen C2 (Tidal Channel) di daerah penelitian. 61

29 III Parasikuen C1 Parasikuen C1 diendapkan di atas parasikuen C2 yang juga merupakan bagian dari reservoir C Formasi Bekasap. Parasikuen ini dibatasi bagian atasnya oleh suatu flooding surface yang dinamakan FS_C1 dan bagian bawahnya dibatasi oleh flooding surface FS_C2. Hasil analisis dan penafsiran dari tiga batuan inti bor, parasikuen ini ditafsirkan sebagai asosiasi fasies Tidal Sand Flat yang diperkirakan diendapkan pada lingkungan pengendapan Intertidal-Inner Neritic. Dari peta ketebalan batupasir yang telah dibuat pada parasikuen C1 menunjukkan bahwa penyebaran fasies ini umumnya semakin tebal di bagian utara dan selatan daerah penelitian dengan ketebalan sekitar 15 sampai 25 kaki. Sedangkan di bagian tengah daerah penelitian, penyebaran fasies Tidal Sand Flat ini semakin menipis atau tidak terlalu berkembang. Berdasarkan pola orientasi dari geometri reservoirnya, terlihat bahwa arah pengendapan parasikuen C1 menunjukkan tren sedimentasi yang umumnya masih relatif timurlaut-baratdaya walaupun di bagian tengahnya terlihat relatif utaraselatan (gambar III.14). 62

30 Gambar III.14 Peta ketebalan batupasir parasikuen C1 (Tidal Sand Flat) di daerah penelitian. 63

31 III Parasikuen B2 Parasikuen B2 diendapkan setelah parasikuen C1 (Tidal Sand Flat) yang dibatasi dibagian bawah oleh material halus lapisan batulempung atau batulanau (Mud Flat) sedangkan bagian atasnya dibatasi oleh suatu flooding surface (FS_B2). Hasil analisis dan penafsiran batuan inti bor di dua sumur (Pungut-01 dan Pungut-37) menunjukkan bahwa parasikuen ini ditafsirkan sebagai asosiasi fasies Tidal Channel dengan perkiraan lingkungan pengendapan yaitu Intertidal- Inner Neritic. Peta ketebalan batupasir pada parasikuen B2 memperlihatkan distribusi fasies yang umumnya semakin tebal di bagian tengah dan sebagian kecil di bagian paling utara daerah penelitian dengan ketebalan sekitar 15 sampai 25 kaki. Fasies ini terlihat yang lebih tipis di bagian utara dan selatan daerah penelitian. Pola orientasi geometri reservoirnya masih menunjukkan tren arah pengendapan parasikuen B2 tren yang relatif timurlaut-baratdaya (gambar III.15). 64

32 Gambar III.15 Peta ketebalan batupasir parasikuen B2 (Tidal Channel) di daerah penelitian. 65

33 III Parasikuen B1 Parasikuen B1 merupakan parasikuen paling atas yang diendapkan tepat di atas parasikuen B2 sebagai bagian dari reservoir B Formasi Bekasap. Parasikuen B1 ini dibatasi oleh suatu flooding surface yang dinamakan FS_B2 dibagian bawahnya, sedangkan dibagian atas dibatasi oleh flooding surface FS_B1. Hasil analisis dan penafsiran dari dua batuan inti bor di sumur Pungut-01 dan Pungut-37 menunjukkan bahwa parasikuen ini ditafsirkan sebagai asosiasi fasies Tidal Sand Bar yang diperkirakan mempunyai lingkungan pengendapan Intertidal-Inner Neritic. Peta ketebalan batupasir yang telah dibuat pada parasikuen B1 memperlihatkan adanya penebalan penyebaran fasies di bagian tengah dan sebagian kecil di bagian utara serta selatan daerah penelitian dengan ketebalan sekitar 15 sampai 30 kaki. Penyebaran fasies ini kemudian terlihat semakin menipis ke arah baratdaya daerah penelitian. Seperti halnya fasies-fasies yang telah dibahas sebelumnya, pola orientasi geometi reservoirnya masih memperlihatkan arah pengendapan dari parasikuen B1 ini yang relatif timurlaut-baratdaya (gambar III.16). 66

34 Gambar III.16 Peta ketebalan batupasir parasikuen B1 (Tidal Sand Bar) di daerah penelitian. 67

35 Setelah diperoleh hasil pemetaan terhadap ketebalan batupasir dari masing masing fasies (parasikuen B1, B2, C1 dan C2) tersebut kemudian hasilnya digabung dengan peta atribut seismik dalam hal ini terhadap RMS amplitudonya. Analisis atribut seismik ini bertujuan untuk memperkuat interpretasi terhadap peta ketebalan masing-masing fasies yang telah dibuat sehingga geometri dan juga penyebaran lateral fasiesnya lebih jelas terlihat. Atribut seismik RMS dibuat pada horison Bekasap B dan C sebagai objek penelitian. Mempertimbangkan ketebalan rata-rata reservoir ini yang berkisar antara kaki maka dilakukan beberapa batasan jendela (windows) mulai dari 50 ms, 10 ms dan 5 ms. Dengan beberapa batasan jendela ini diharapkan geometri reservoir bisa ditafsirkan lebih baik sehingga bisa diambil batasan atribut seismik mana yang paling mendekati atau berkorelasi lebih baik. Hasil dari pengolahan atribut seismik RMS pada windows 10 ms diambil sebagai korelasi yang paling mendekati karena bisa memperlihatkan suatu pola geometri dan arah sedimentasi dari reservoir B dan C (gambar III.17). Pada horison Bekasap B dengan windows 10 ms, ditafsirkan adanya beberapa Channel yang ditunjukkan oleh harga amplitudo atau frekuensi tinggi (warna merahkuning). Sedangkan pada horison Bekasap C, atribut seismik RMS terlihat menyebar. Dari peta RMS ini terlihat juga bahwa arah sedimentasi relatif timurlaut-baratdaya. Peta atribut seismik RMS kemudian digabung dengan peta ketebalan reservoir untuk melihat hubungan diantara keduanya (gambar III.18). Hasilnya ternyata cukup memberikan gambaran bahwa ketebalan reservoir yang di picking dari data sumur akan terlihat pada frekuensi RMS yang berharga tinggi (warna biru muda) sebagai indikasi litologi batupasir. Korelasi antara peta ketebalan reservoir dan atribut RMS ini kurang begitu baik dikarenakan kualitas seismik yang mencakup daerah penelitian tidak begitu bagus. Walaupun demikian, peta gabungan ini setidaknya memberikan tambahan informasi mengenai geometri dan perkiraan arah sedimentasi di lapangan Pungut. 68

36 Marsh Marsh Sand Flat Sand Flat Mud Flat Mud Flat Channel Channel Mud Flat Mud Flat Gambar III.17 Kenampakan seismik amplitudo RMS pada horison Bekasap B (kiri) dan C (kanan) di daerah penelitian dengan batas jendela (windows) 10 ms. 69

37 Gambar III.18 Peta gabungan antara ketebalan reservoir dan atribut seismik amplitudo RMS pada reservoir Bekasap B (kiri) dan C (kanan). 70

38 III Pemetaan Properti/Sifat Reservoir Dalam melakukan pemetaan properti reservoir di daerah penelitian, data properti yang dimaksud adalah porositas dan permeabilitas. Data porositas dan permeabilitas ini dihasilkan dari data log sumur yang diolah berdasarkan evaluasi formasi. Data log olahan ini dikerjakan dengan bantuan perangkat lunak Geolog. Evaluasi Formasi atau petrofisik merupakan interpretasi log sumur secara kuantitatif untuk mengetahui sifat atau properti dari reservoir. Hampir semua data log sumur yang ada di daerah penelitian mempunyai pengukuran yang menerus dengan resolusi vertikal 0.5 kaki. Log tersebut hanya mengukur sifat/properti batuan dasar (kandungan radioaktif, resistivitas, densitas bulk) dan tidak mengukur langsung properti reservoir seperti porositas, permeabilitas, kandungan batuserpih (volume shale) maupun saturasi fluida. Sehingga untuk mendapatkan properti reservoir tersebut harus dilakukan kalibrasi dengan menggunakan properti reservoir yang diukur dari batuan inti bor (core) yang ada. Interpretasi log sumur secara kuantitatif ini sudah dilakukan oleh peneliti terdahulu terhadap 37 sumur dari total 39 sumur yang ada. Dua sumur yang tidak dilakukan evaluasi formasi adalah sumur Pungut-03 dan Pungut-04 karena sumur tersebut tidak ekonomis (tidak ditemukan minyak) dan tidak mempunyai data log dasar yang lengkap. Untuk melihat heterogeneitas reservoir di lapangan Pungut, maka analisis terhadap evaluasi formasinya difokuskan kepada sifat reservoir yang berhubungan dengan porositas dan permeabilitas. Hasil interpretasi log sumur ini nantinya akan dipakai sebagai data dasar untuk pemetaan properti reservoir maupun pemodelan geologi 3D. Berdasarkan hasil evaluasi formasi yang telah dilakukan terhadap Formasi Bekasap, reservoir batupasir B dan C sebagai objek penelitian umumnya mempunyai harga porositas dan permeabilitas yang berbeda dibandingkan dengan reservoir batupasir A di atasnya atau reservoir batupasir D di bawahnya. Harga permeabilitas rata-rata pada lapisan B sekitar 208 md sedangkan lapisan C mempunyai harga permeabilitas lebih kecil (144 md) walaupun harga porositas kedua reservoir tersebut hampir sama (17-18%). Berbeda dengan lapisan batupasir A dan D yang mempunyai harga permeabilitas lebih besar (di atas 500 md) dibandingkan lapisan batupasir B dan C. 71

39 Berdasarkan pola log pada interval reservoir B dan C di daerah penelitian, terlihat pola gradasi yang menunjukkan adanya litologi batupasir yang diselingi oleh batulempung/serpih dengan kisaran harga GR GAPI dan volume shale 25-27%. Hampir tidak terlihat pola log blocky pada interval reservoir ini yang menunjukkan clean sand (batupasir bersih) seperti terlihat pada reservoir batupasir D dengan harga GR rendah (62 GAPI) dan volume shale lebih rendah (14 %). Kondisi reservoir batupasir B dan C tersebut dalam industri perminyakan termasuk dalam kategori reservoir dengan kualitas rendah sampai sedang (lowmedium quality reservoir) atau di daerah penelitian dikenal sebagai shalysand reservoir. Karena sifat properti seperti inilah maka kandungan minyak yang ada di dalamnya akan kurang efektif terambil oleh sumur vertikal. Hasil selengkapnya mengenai perhitungan dari evaluasi formasi terhadap sifat reservoir Formasi Bekasap bisa dilihat pada tabel dibawah ini. Tabel III.2 Ringkasan sifat/properti reservoir dari Formasi Bekasap berdasarkan hasil perhitungan evaluasi formasi (petrofisik). reservoir Gamma Ray (GAPI) Volume shale (%) Porositas eff. (%) Permeabilitas (md) Saturasi air (%) A B C D Setelah didapatkan data-data properti hasil evaluasi formasi dari masingmasing reservoir Bekasap B dan C, maka dilakukan pemetaan propertinya (porositas dan permeabilitas) terhadap masing-masing parasikuen B1, B2, C1 dan C2. 72

40 Pemetaan properti reservoir dicoba dengan melakukan dua pendekatan yaitu metode statistik biasa menggunakan perangkat lunak ZMAP dan metode geostatistik yang menggunakan perangkat lunak Gocad. Kelebihan melakukan pemetaan properti dengan analisis geostatistik adalah dipertimbangkannya model geometri reservoir dan hubungan spatial sehingga model peta yang dibangun lebih mendekati. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, parasikuen B1 merupakan bagian dari reservoir B pada Formasi Bekasap. Parasikuen B1 yang ditafsirkan sebagai fasies Tidal Sand Bar dibuat peta properti porositas dan permeabilitasnya. Berdasarkan gambar III.19 sebelah kiri, terlihat adanya penyebaran porositas di daerah penelitian. Porositas dengan kisaran % merupakan nilai porositas yang paling besar pada fasies ini dan umumnya menempati daerah di bagian tengah, sebagian kecil di bagian utara dan selatan. Sedangkan porositas dibawah 16 % menempati daerah utara dan selatan lapangan Pungut. Peta permeabilitas pada gambar III.19 sebelah kanan, memperlihatkan kisaran nilai permeabilitas yang juga bervariasi. Permeabilitas dengan kisaran nilai 200 sampai 400 md tersebar di daerah utara dan selatan penelitian. Sedangkan nilai permeabilitas dibawah 200 md tersebar hampir di bagian tengah daerah penelitian. Dari kedua peta porositas dan permeabilitas pada fasies Tidal Sand Bar tersebut, secara umum korelasi antara porositas dan permeabilitasnya cukup baik dimana porositas yang tinggi mempunyai nilai permeabilitas yang besar walaupun di beberapa tempat kondisi ini tidak selamanya ideal. 73

41 Gambar III.19 Peta penyebaran porositas (kiri) dan permeabilitas (kanan) rata-rata pada parasikuen B1 (fasies Tidal Sand Bar). 74

42 Parasikuen B2 berdasarkan analisis batuan inti bor ditafsirkan sebagai fasies Tidal Channel. Gambar III.16 memperlihatkan peta properti dari porositas dan permeabilitas dari fasies ini. Berdasarkan peta porositas yang telah dibuat (gambar III.20 sebelah kiri), porositas dengan kisaran % merupakan nilai porositas yang dominan pada fasies ini dan umumnya tersebar di bagian tengah dan selatan daerah penelitian. Sedangkan porositas dengan nilai dibawah 16 % tersebar setempat di bagian utara dan sebagian kecil bagian tengah lapangan Pungut. Dari peta permeabilitas pada gambar III.20 sebelah kanan, memperlihatkan kisaran nilai permeabilitas yang juga bervariasi. Permeabilitas dengan kisaran nilai 200 sampai 400 md tersebar setempat-setempat di bagian tengah dan selatan daerah penelitian. Sedangkan nilai permeabilitas dibawah 200 md terlihat cukup mendominasi daerah penelitian terutama di bagian utara dan tengah. Berdasarkan kedua peta properti porositas dan permeabilitas pada fasies Tidal Channel Sand ini memperlihatkan korelasi yang cukup baik antara porositas dan permeabilitas dibandingkan dengan fasies Tidal Sand Bar di atasnya. Nilai porositas yang tinggi tersebar di daerah yang hampir sama dengan nilai permeabilitas yang besar. Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan erat antara kualitas suatu reservoir dengan fasies sedimen atau lingkungan pengendapan. 75

43 Gambar III.20 Peta penyebaran porositas (kiri) dan permeabilitas (kanan) rata-rata pada parasikuen B2 (fasies Tidal Channel). 76

44 Parasikuen C1 merupakan bagian dari reservoir C dan ditafsirkan sebagai fasies Tidal Sand Flat. Secara posisi stratigrafi, fasies ini diendapkan dibagian bawah fasies Tidal Channel (parasikuen B2) dengan dibatasi oleh material halus batulempung dan batulanau (Mud Flat). Peta porositas dan permeabilitas dari fasies ini ditunjukkan oleh gambar III.17. Berdasarkan peta porositas yang telah dibuat (gambar III.21 sebelah kiri), bisa dilihat bahwa nilai porositas yang dominan berkisar antara %. Porositas tertinggi terdapat di daerah selatan penelitian dengan nilai 22 %. Umumnya porositas yang cukup tinggi ini tersebar di bagian utara dan selatan daerah penelitian. Sedangkan porositas dengan kisaran nilai % tersebar di bagian tengah dan sebagian kecil di bagian utara lapangan Pungut. Dari peta permeabilitas pada gambar III.21 sebelah kanan, dapat diketahui bahwa nilai permeabilitas dibawah 200 md cukup mendominasi fasies ini. Nilai permeabilitas paling besar hanya sekitar 200 md yang tersebar setempat di bagian barat (tengah) daerah penelitian. Sedangkan nilai permeabilitas antara md tersebar di bagian selatan daerah penelitian. Korelasi yang cukup baik antara properti porositas dan permeabilitas masih bisa dilihat pada properti fasies Tidal Sand Flat ini. Rendahnya nilai permeabilitas di daerah ini cukup beralasan karena fasies ini umumnya tersusun dari batupasir halus. 77

45 Gambar III.21 Peta penyebaran porositas (kiri) dan permeabilitas (kanan) rata-rata pada parasikuen C1 (fasies Tidal Sand Flat). 78

46 Parasikuen C2 juga merupakan bagian dari reservoir C dan ditafsirkan sebagai fasies Tidal Channel. Secara posisi stratigrafi, fasies ini diendapkan tepat di bagian bawah fasies Tidal Sand Flat (parasikuen C1). Penyebaran porositas dan permeabilitas dari fasies ini ditunjukkan oleh peta properti (gambar III.22). Dari peta porositas yang telah dibuat (gambar III.18 sebelah kiri), terlihat adanya variasi nilai porositas yang umumnya tersebar dari bagian tengah sampai ke selatan daerah penelitian dengan kisaran nilai %. Porositas tertinggi terdapat di daerah selatan penelitian dengan nilai 23 %. Kisaran porositas yang lebih rendah (12-16 %) tersebar di bagian utara, barat dan sebagian kecil di bagian timur lapangan Pungut. Berdasarkan peta permeabilitasnya (gambar III.22 sebelah kanan), nilai permeabilitas antara 100 md sampai 400 md mengikuti tren yang sama dengan peta porositasnya yaitu tersebar di bagian tengah dan selatan daerah penelitian. Nilai permeabilitas paling besar terlihat di bagian selatan sekitar 390 md (sumur Pungut-26). Sedangkan nilai permeabilitas di bawah 100 md hampir melingkupi seluruh daerah penelitian. Seperti halnya fasies Tidal Channel (parasikuen B2), korelasi yang cukup baik antara properti porositas dan permeabilitas juga diperlihatkan pada fasies Tidal Channel parasikuen C2 ini. Nilai porositas yang tinggi tersebar di daerah yang hampir sama dengan nilai permeabilitas yang besar begitu juga sebaliknya dengan nilai properti yang lebih rendah. Hal ini menunjukkan bahwa baik buruknya kualitas suatu reservoir dikontrol salahsatunya oleh fasies sedimen atau lingkungan pengendapannya. 79

47 Gambar III.22 Peta penyebaran porositas (kiri) dan permeabilitas (kanan) rata-rata pada parasikuen C2 (fasies Tidal Channel). 80

Bab III Pengolahan dan Analisis Data

Bab III Pengolahan dan Analisis Data Bab III Pengolahan dan Analisis Data Dalam bab pengolahan dan analisis data akan diuraikan berbagai hal yang dilakukan peneliti untuk mencapai tujuan penelitian yang ditetapkan. Data yang diolah dan dianalisis

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISIS FASIES SEDIMENTASI DAN DISTRIBUSI BATUPASIR C

BAB 4 ANALISIS FASIES SEDIMENTASI DAN DISTRIBUSI BATUPASIR C BAB 4 ANALISIS FASIES SEDIMENTASI DAN DISTRIBUSI BATUPASIR C 4.1. Analisis Litofasies dan Fasies Sedimentasi 4.1.1. Analisis Litofasies berdasarkan Data Batuan inti Litofasies adalah suatu tubuh batuan

Lebih terperinci

ANALISIS STATIK DAN DINAMIK KARAKTERISASI RESERVOIR BATUPASIR SERPIHAN FORMASI BEKASAP UNTUK PENGEMBANGAN LAPANGAN MINYAK PUNGUT

ANALISIS STATIK DAN DINAMIK KARAKTERISASI RESERVOIR BATUPASIR SERPIHAN FORMASI BEKASAP UNTUK PENGEMBANGAN LAPANGAN MINYAK PUNGUT ANALISIS STATIK DAN DINAMIK KARAKTERISASI RESERVOIR BATUPASIR SERPIHAN FORMASI BEKASAP UNTUK PENGEMBANGAN LAPANGAN MINYAK PUNGUT TESIS Karya tulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister

Lebih terperinci

BAB IV ASOSIASI FASIES DAN PEMBAHASAN

BAB IV ASOSIASI FASIES DAN PEMBAHASAN BAB IV ASOSIASI FASIES DAN PEMBAHASAN 4.1 Litofasies Menurut Walker dan James pada 1992, litofasies adalah suatu rekaman stratigrafi pada batuan sedimen yang menunjukkan karakteristik fisika, kimia, dan

Lebih terperinci

BAB IV UNIT RESERVOIR

BAB IV UNIT RESERVOIR BAB IV UNIT RESERVOIR 4.1. Batasan Zona Reservoir Dengan Non-Reservoir Batasan yang dipakai untuk menentukan zona reservoir adalah perpotongan (cross over) antara kurva Log Bulk Density (RHOB) dengan Log

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Pengetahuan dan pemahaman yang lebih baik mengenai geologi terutama mengenai sifat/karakteristik suatu reservoir sangat penting dalam tahapan eksploitasi suatu

Lebih terperinci

Walker, R. G. dan James, N. P., 1992 : Facies Models Response to Sea Level Change, Geological Association of Canada. Weber, K. J.

Walker, R. G. dan James, N. P., 1992 : Facies Models Response to Sea Level Change, Geological Association of Canada. Weber, K. J. DAFTAR PUSTAKA Bahar, A., 200 : Geostatistic for Reservoir Characterization and Integrated Reservoir Modeling, Course Material. BATM USAKTI, 200 : The determination of Pungut field s Bekasap Formation

Lebih terperinci

Gambar 4.5. Peta Isopach Net Sand Unit Reservoir Z dengan Interval Kontur 5 Kaki

Gambar 4.5. Peta Isopach Net Sand Unit Reservoir Z dengan Interval Kontur 5 Kaki Gambar 4.5. Peta Isopach Net Sand Unit Reservoir Z dengan Interval Kontur 5 Kaki Fasies Pengendapan Reservoir Z Berdasarkan komposisi dan susunan litofasies, maka unit reservoir Z merupakan fasies tidal

Lebih terperinci

Bab III Analisis Stratigrafi Sikuen

Bab III Analisis Stratigrafi Sikuen Bab III Analisis Stratigrafi Sikuen Reservoir batupasir Duri B2 merupakan bagian dari Formasi Duri dalam Kelompok Sihapas yang diperkirakan diendapkan pada Miosen Awal. Di bagian utara lapangan RantauBais,

Lebih terperinci

BAB III ANALISIS FASIES PENGENDAPAN FORMASI TALANG AKAR

BAB III ANALISIS FASIES PENGENDAPAN FORMASI TALANG AKAR BAB III ANALISIS FASIES PENGENDAPAN FORMASI TALANG AKAR 3.1. Litofasies Menurut Walker (1992), fasies merupakan kenampakan suatu tubuh batuan yang dikarekteristikan oleh kombinasi dari litologi, struktur

Lebih terperinci

BAB 4 KARAKTERISTIK RESERVOIR

BAB 4 KARAKTERISTIK RESERVOIR BAB 4 KARAKTERISTIK RESERVOIR Pada interval Formasi Talangakar Bawah didapat 2 interval reservoir yaitu reservoir 1 dan reservoir 2 yang ditunjukan oleh adanya separasi antara log neutron dan densitas.

Lebih terperinci

BAB III GEOMETRI DAN KARAKTERISASI UNIT RESERVOIR

BAB III GEOMETRI DAN KARAKTERISASI UNIT RESERVOIR BAB III GEOMETRI DAN KARAKTERISASI UNIT RESERVOIR III.1. Analisis Biostratigrafi Pada penelitian ini, analisis biostratigrafi dilakukan oleh PT Geoservices berdasarkan data yang diambil dari sumur PL-01

Lebih terperinci

BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. Stratigrafi Daerah Penelitian Stratigrafi daerah penelitian terdiri dari beberapa formasi yang telah dijelaskan sebelumnya pada stratigrafi Cekungan Sumatra Tengah.

Lebih terperinci

Geologi dan Studi Fasies Karbonat Gunung Sekerat, Kecamatan Kaliorang, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur.

Geologi dan Studi Fasies Karbonat Gunung Sekerat, Kecamatan Kaliorang, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur. Nodul siderite Laminasi sejajar A B Foto 11. (A) Nodul siderite dan (B) struktur sedimen laminasi sejajar pada Satuan Batulempung Bernodul. 3.3.1.3. Umur, Lingkungan dan Mekanisme Pengendapan Berdasarkan

Lebih terperinci

BAB IV PEMODELAN RESERVOAR

BAB IV PEMODELAN RESERVOAR BAB IV PEMODELAN RESERVOAR Daerah penelitian, Lapangan Yapin, merupakan lapangan yang sudah dikembangkan. Salah satu masalah yang harus dipecahkan dalam pengembangan lapangan adalah mendefinisikan geometri

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN III.1 Singkapan Stadion baru PON Samarinda Singkapan batuan pada torehan bukit yang dikerjakan untuk jalan baru menuju stadion baru PON XVI Samarinda. Singkapan tersebut

Lebih terperinci

BAB IV STUDI SEDIMENTASI PADA FORMASI TAPAK BAGIAN ATAS

BAB IV STUDI SEDIMENTASI PADA FORMASI TAPAK BAGIAN ATAS BAB IV STUDI SEDIMENTASI PADA FORMASI TAPAK BAGIAN ATAS 4.1 Pendahuluan Untuk studi sedimentasi pada Formasi Tapak Bagian Atas dilakukan melalui observasi urutan vertikal terhadap singkapan batuan yang

Lebih terperinci

III.1 Morfologi Daerah Penelitian

III.1 Morfologi Daerah Penelitian TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN III.1 Morfologi Daerah Penelitian Morfologi suatu daerah merupakan bentukan bentang alam daerah tersebut. Morfologi daerah penelitian berdasakan pengamatan awal tekstur

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang

Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Pemahaman yang baik terhadap geologi bawah permukaan dari suatu lapangan minyak menjadi suatu hal yang penting dalam perencanaan strategi pengembangan lapangan tersebut.

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS KORELASI INFORMASI GEOLOGI DENGAN VARIOGRAM

BAB IV ANALISIS KORELASI INFORMASI GEOLOGI DENGAN VARIOGRAM BAB IV ANALISIS KORELASI INFORMASI GEOLOGI DENGAN VARIOGRAM Tujuan utama analisis variogram yang merupakan salah satu metode geostatistik dalam penentuan hubungan spasial terutama pada pemodelan karakterisasi

Lebih terperinci

Foto 4.9 Singkapan batupasir sisipan batulempung

Foto 4.9 Singkapan batupasir sisipan batulempung sebagai endapan delta mouth bar pada sistem delta. 4.3.3 Lintasan C Delta Front Pada bagian bawah dari kolom stratigrafi lintasan ini, didapatkan litologi batupasir dan batulempung dengan suksesi vertikal

Lebih terperinci

BAB IV Kajian Sedimentasi dan Lingkungan Pengendapan

BAB IV Kajian Sedimentasi dan Lingkungan Pengendapan BAB IV KAJIAN SEDIMENTASI DAN LINGKUNGAN PENGENDAPAN 4.1 Pendahuluan Kajian sedimentasi dilakukan melalui analisis urutan vertikal terhadap singkapan batuan pada lokasi yang dianggap mewakili. Analisis

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS FASIES PENGENDAPAN

BAB IV ANALISIS FASIES PENGENDAPAN BAB IV ANALISIS FASIES PENGENDAPAN IV.1 Litofasies Suatu rekaman stratigrafi pada batuan sedimen terlihat padanya karateristik fisik, kimia, biologi tertentu. Analisis rekaman tersebut digunakan untuk

Lebih terperinci

BAB III PEMODELAN GEOMETRI RESERVOIR

BAB III PEMODELAN GEOMETRI RESERVOIR BAB III PEMODELAN GEOMETRI RESERVOIR Pemodelan reservoir berguna untuk memberikan informasi geologi dalam kaitannya dengan data-data produksi. Studi geologi yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui geometri

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS STRATIGRAFI SEKUEN, DISTRIBUSI DAN KUALITAS RESERVOIR

BAB V ANALISIS STRATIGRAFI SEKUEN, DISTRIBUSI DAN KUALITAS RESERVOIR BAB V ANALISIS STRATIGRAFI SEKUEN, DISTRIBUSI DAN KUALITAS RESERVOIR V.1 Analisis Sekuen dari Korelasi Sumur Analisis stratigrafi sekuen pada penelitian ini dilakukan dengan analisis data sumur yang dilanjutkan

Lebih terperinci

BAB IV RESERVOIR KUJUNG I

BAB IV RESERVOIR KUJUNG I BAB IV RESERVOIR KUJUNG I Studi geologi yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui geometri dan potensi reservoir, meliputi interpretasi lingkungan pengendapan dan perhitungan serta pemodelan tiga dimensi

Lebih terperinci

Kecamatan Nunukan, Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Timur

Kecamatan Nunukan, Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Timur Umur Analisis mikropaleontologi dilakukan pada contoh batuan pada lokasi NA805 dan NA 803. Hasil analisis mikroplaeontologi tersebut menunjukkan bahwa pada contoh batuan tersebut tidak ditemukan adanya

Lebih terperinci

BAB III Perolehan dan Analisis Data

BAB III Perolehan dan Analisis Data BAB III Perolehan dan Analisis Data BAB III PEROLEHAN DAN ANALISIS DATA Lokasi penelitian, pada Peta Geologi Lembar Cianjur skala 1 : 100.000, terletak di Formasi Rajamandala. Penelitian lapangan berupa

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN Berdasarkan pengamatan awal, daerah penelitian secara umum dicirikan oleh perbedaan tinggi dan ralief yang tercermin dalam kerapatan dan bentuk penyebaran kontur pada

Lebih terperinci

BAB III ANALISIS GEOMETRI DAN KUALITAS RESERVOIR

BAB III ANALISIS GEOMETRI DAN KUALITAS RESERVOIR BAB III ANALISIS GEOMETRI DAN KUALITAS RESERVOIR 3.1 Metodologi Penelitian Analisis geometri dan kualitas reservoir dilakukan untuk memberikan informasi geologi yang realistis dari suatu reservoir. Informasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. BAB I - Pendahuluan

BAB I PENDAHULUAN. BAB I - Pendahuluan BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Lapangan Terbang ditemukan pertama kali di tahun 1971 dan mulai berproduksi di tahun 1976. Sebagian besar produksi lapangan ini menghasilkan minyak jenis

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Perolehan Data dan Lokasi Penelitian Lokasi penelitian pada Peta Geologi Lembar Cianjur skala 1 : 100.000 terletak di Formasi Rajamandala (kotak kuning pada Gambar

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. BAB II GEOLOGI REGIONAL... 9 II.1. Tektonik... 9 II.2. Struktur Geologi II.3. Stratigrafi II.4. Sistem Perminyakan...

DAFTAR ISI. BAB II GEOLOGI REGIONAL... 9 II.1. Tektonik... 9 II.2. Struktur Geologi II.3. Stratigrafi II.4. Sistem Perminyakan... DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL.... i HALAMAN PENGESAHAN.... ii HALAMAN PERNYATAAN.... iii IJIN PENGGUNAAN DATA.... iv KATA PENGANTAR.... v SARI........ vii ABSTRACT....... viii DAFTAR ISI............ ix DAFTAR

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Stratigrafi Daerah Nanga Kantu Stratigrafi Formasi Kantu terdiri dari 4 satuan tidak resmi. Urutan satuan tersebut dari tua ke muda (Gambar 3.1) adalah Satuan Bancuh

Lebih terperinci

Bab V. Analisa Stratigrafi Sekuen

Bab V. Analisa Stratigrafi Sekuen BAB V Bab V. Analisa Stratigrafi Sekuen ANALISA STRATIGRAFI SEKUEN Korelasi adalah langkah yang sangat penting dalam suatu pekerjaan geologi bawah permukaan sebab semua visualisasi baik dalam bentuk penampang

Lebih terperinci

BAB IV SIKLUS SEDIMENTASI PADA SATUAN BATUPASIR

BAB IV SIKLUS SEDIMENTASI PADA SATUAN BATUPASIR BAB IV SIKLUS SEDIMENTASI PADA SATUAN BATUPASIR 4.1 Pendahuluan Kajian terhadap siklus sedimentasi pada Satuan Batupasir dilakukan dengan analisis urutan secara vertikal terhadap singkapan yang mewakili

Lebih terperinci

4.2 Pembuatan Kolom Stratigrafi Pembuatan kolom stratigrafi (Lampiran F) dilakukan berdasarkan atas

4.2 Pembuatan Kolom Stratigrafi Pembuatan kolom stratigrafi (Lampiran F) dilakukan berdasarkan atas BAB IV ANALISIS SEDIMENTASI 4.1 Pendahuluan Kajian sedimentasi dilakukan melalui analisis perkembangan urutan vertikal lapisan batuan berdasarkan data singkapan batuan pada lokasi yang dianggap mewakili.

Lebih terperinci

Bab IV. Analisa Fasies Pengendapan. 4.1 Data Sampel Intibor

Bab IV. Analisa Fasies Pengendapan. 4.1 Data Sampel Intibor BAB IV ANALISA FASIES PENGENDAPAN 4.1 Data Sampel Intibor Data utama yang digunakan dalam penfasiran lingkungan pengendapan dan analisa fasies ialah data intibor (Foto 4.1), data intibor merupakan data

Lebih terperinci

Gambar 3.21 Peta Lintasan Penampang

Gambar 3.21 Peta Lintasan Penampang Gambar 3.21 Peta Lintasan Penampang Korelasi tahap awal dilakukan pada setiap sumur di daerah penelitian yang meliputi interval Formasi Daram-Waripi Bawah. Korelasi pada tahap ini sangat penting untuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Cekungan Asri adalah salah satu cekungan sedimen penghasil hidrokarbon di

I. PENDAHULUAN. Cekungan Asri adalah salah satu cekungan sedimen penghasil hidrokarbon di I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Cekungan Asri adalah salah satu cekungan sedimen penghasil hidrokarbon di utara lepas pantai Sumatra Tenggara, Indonesia bagian barat. Kegiatan eksplorasi pada Cekungan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS SEDIMENTASI

BAB IV ANALISIS SEDIMENTASI BAB IV ANALISIS SEDIMENTASI 4.1 Pendahuluan Kajian sedimentasi dilakukan melalui analisis urutan vertikal terhadap singkapan batuan pada lokasi yang dianggap mewakili. Analisis urutan vertikal ini dilakukan

Lebih terperinci

Umur dan Lingkungan Pengendapan Hubungan dan Kesetaraan Stratigrafi

Umur dan Lingkungan Pengendapan Hubungan dan Kesetaraan Stratigrafi 3.2.2.3 Umur dan Lingkungan Pengendapan Penentuan umur pada satuan ini mengacu pada referensi. Satuan ini diendapkan pada lingkungan kipas aluvial. Analisa lingkungan pengendapan ini diinterpretasikan

Lebih terperinci

Aplikasi Metode Dekomposisi Spektral Dalam Interpretasi Paleogeografi Daerah Penelitian

Aplikasi Metode Dekomposisi Spektral Dalam Interpretasi Paleogeografi Daerah Penelitian Bab IV Aplikasi Metode Dekomposisi Spektral Dalam Interpretasi Paleogeografi Daerah Penelitian Aplikasi Metode Dekomposisi Spektral dalam interpretasi paleogeografi di daerah penelitian dilakukan setelah

Lebih terperinci

IV-15. Bab IV Analisis Asosiasi Fasies

IV-15. Bab IV Analisis Asosiasi Fasies pengaruh laut. Litofasies Sf, di bagian atas asosiasi, mengindikasikan adanya pengaruh arus pasang surut. Suksesi vertikal menghalus ke atas dan perubahan litofasies dari Sp dan Spb menjadi Sf. mengindikasikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Cekungan Sumatera Selatan termasuk salah satu cekungan yang

BAB I PENDAHULUAN. Cekungan Sumatera Selatan termasuk salah satu cekungan yang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Cekungan Sumatera Selatan termasuk salah satu cekungan yang menghasilkan hidrokarbon terbesar di Indonesia. Minyak bumi yang telah diproduksi di Cekungan Sumatera

Lebih terperinci

BAB V INTERPRETASI DATA. batuan dengan menggunakan hasil perekaman karakteristik dari batuan yang ada

BAB V INTERPRETASI DATA. batuan dengan menggunakan hasil perekaman karakteristik dari batuan yang ada BAB V INTERPRETASI DATA V.1. Penentuan Litologi Langkah awal yang dilakukan pada penelitian ini adalah menentukan litologi batuan dengan menggunakan hasil perekaman karakteristik dari batuan yang ada dibawah

Lebih terperinci

I.1 Latar Belakang I.2 Maksud dan Tujuan

I.1 Latar Belakang I.2 Maksud dan Tujuan BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Formasi Latih tersusun dari perselang-selingan antara batupasir kuarsa, batulempung, batulanau dan batubara dibagian atas, dan bersisipan dengan serpih pasiran dan

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan. I.1 Maksud dan Tujuan

Bab I Pendahuluan. I.1 Maksud dan Tujuan Bab I Pendahuluan I.1 Maksud dan Tujuan Pemboran pertama kali di lapangan RantauBais di lakukan pada tahun 1940, akan tetapi tidak ditemukan potensi hidrokarbon pada sumur RantauBais#1 ini. Pada perkembangan

Lebih terperinci

BAB IV PEMODELAN PETROFISIKA RESERVOIR

BAB IV PEMODELAN PETROFISIKA RESERVOIR BAB IV PEMODELAN PETROFISIKA RESERVOIR Pemodelan petrofisika reservoir meliputi pemodelan Vshale dan porositas. Pendekatan geostatistik terutama analisis variogram, simulasi sekuensial berbasis grid (Sequential

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Cekungan Sumatra Tengah merupakan cekungan penghasil minyak bumi yang pontensial di Indonesia. Cekungan ini telah dikelola oleh PT Chevron Pacific Indonesia selama

Lebih terperinci

Foto 3.5 Singkapan BR-8 pada Satuan Batupasir Kuarsa Foto diambil kearah N E. Eko Mujiono

Foto 3.5 Singkapan BR-8 pada Satuan Batupasir Kuarsa Foto diambil kearah N E. Eko Mujiono Batulempung, hadir sebagai sisipan dalam batupasir, berwarna abu-abu, bersifat non karbonatan dan secara gradasi batulempung ini berubah menjadi batuserpih karbonan-coally shale. Batubara, berwarna hitam,

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Bentukan topografi dan morfologi daerah penelitian adalah interaksi dari proses eksogen dan proses endogen (Thornburry, 1989). Proses eksogen adalah proses-proses

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS BIOSTRATIGRAFI DAN STRATIGRAFI SEKUEN

BAB IV ANALISIS BIOSTRATIGRAFI DAN STRATIGRAFI SEKUEN BAB IV ANALISIS BIOSTRATIGRAFI DAN STRATIGRAFI SEKUEN IV.1. Metode Analisis Pada penelitian kali ini data yang digunakan berupa data batuan inti Sumur RST-1887, Sumur RST-3686, dan Sumur RST-3697. Sumur

Lebih terperinci

BAB 3 ANALSIS LINGKUNGAN PENGENDAPAN DAN EVALUASI FORMASI RESERVOIR FORMASI BANGKO B

BAB 3 ANALSIS LINGKUNGAN PENGENDAPAN DAN EVALUASI FORMASI RESERVOIR FORMASI BANGKO B BAB 3 ANALSIS LINGKUNGAN PENGENDAPAN DAN EVALUASI FORMASI RESERVOIR FORMASI BANGKO B Untuk melakukan analisis lingkungan pengendapan suatu reservoir dibutuhkan data batuan inti (core) dan juga melihat

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS SEKATAN SESAR

BAB V ANALISIS SEKATAN SESAR BAB V ANALISIS SEKATAN SESAR Dalam pembahasan kali ini, penulis mencoba menganalisis suatu prospek terdapatnya hidrokarbon ditinjau dari kondisi struktur di sekitar daerah tersebut. Struktur yang menjadi

Lebih terperinci

berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit.

berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit. berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit. (a) (c) (b) (d) Foto 3.10 Kenampakan makroskopis berbagai macam litologi pada Satuan

Lebih terperinci

(Gambar III.6). Peta tuning ini secara kualitatif digunakan sebagai data pendukung untuk membantu interpretasi sebaran fasies secara lateral.

(Gambar III.6). Peta tuning ini secara kualitatif digunakan sebagai data pendukung untuk membantu interpretasi sebaran fasies secara lateral. Selanjutnya hasil animasi terhadap peta tuning dengan penganturan frekuensi. Dalam hal ini, animasi dilakukan pada rentang frekuensi 0 60 hertz, karena diatas rentang tersebut peta tuning akan menunjukkan

Lebih terperinci

Ciri Litologi

Ciri Litologi Kedudukan perlapisan umum satuan ini berarah barat laut-tenggara dengan kemiringan berkisar antara 60 o hingga 84 o (Lampiran F. Peta Lintasan). Satuan batuan ini diperkirakan mengalami proses deformasi

Lebih terperinci

BAB III PEMODELAN GEOMETRI RESERVOIR

BAB III PEMODELAN GEOMETRI RESERVOIR BAB III PEMODELAN GEOMETRI RESERVOIR III.1 ANALISIS DATA SUMUR DAN SEISMIK Analisis data sumur dilakukan dengan menginterpretasikan log pada sumur sumur di daerah penelitian untuk menentukan marker. Dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karakterisasi Reservoar Batuan Karbonat Formasi Kujung II, Sumur FEP, Lapangan Camar, Cekungan Jawa Timur Utara 1

BAB I PENDAHULUAN. Karakterisasi Reservoar Batuan Karbonat Formasi Kujung II, Sumur FEP, Lapangan Camar, Cekungan Jawa Timur Utara 1 BAB I PENDAHULUAN Karakterisasi reservoar adalah bentuk usaha dalam menentukan kualitas reservoar (Sudomo, 1998). Kualitas reservoar dikontrol oleh faktor pembentukan batuan karbonat, yaitu tekstur dan

Lebih terperinci

III.3 Interpretasi Perkembangan Cekungan Berdasarkan Peta Isokron Seperti telah disebutkan pada sub bab sebelumnya bahwa peta isokron digunakan untuk

III.3 Interpretasi Perkembangan Cekungan Berdasarkan Peta Isokron Seperti telah disebutkan pada sub bab sebelumnya bahwa peta isokron digunakan untuk III.3 Interpretasi Perkembangan Cekungan Berdasarkan Peta Isokron Seperti telah disebutkan pada sub bab sebelumnya bahwa peta isokron digunakan untuk menafsirkan perkembangan cekungan. Perlu diingat bahwa

Lebih terperinci

BAB III DATA DAN PENGOLAHAN DATA

BAB III DATA DAN PENGOLAHAN DATA BAB III DATA DAN PENGOLAHAN DATA 3.1 Pendahuluan Analisis tektonostratigrafi dan pola sedimentasi interval Formasi Talang Akar dan Baturaja dilakukan dengan mengintegrasikan data geologi dan data geofisika

Lebih terperinci

Bab III Geologi Daerah Penelitian

Bab III Geologi Daerah Penelitian Bab III Geologi Daerah Penelitian Foto 3.4 Satuan Geomorfologi Perbukitan Blok Patahan dilihat dari Desa Mappu ke arah utara. Foto 3.5 Lembah Salu Malekko yang memperlihatkan bentuk V; foto menghadap ke

Lebih terperinci

6.1 Analisa Porositas Fasies Distributary Channel

6.1 Analisa Porositas Fasies Distributary Channel BAB VI KARAKTERISTIK RESERVOIR Bab VI. Karakteristik Reservoir 6.1 Analisa Porositas Fasies Distributary Channel Dari hasil analisa LEMIGAS (lihat Tabel 6.1 dan 6.2) diketahui bahwa porositas yang ada

Lebih terperinci

HALAMAN PENGESAHAN KATA PENGANTAR

HALAMAN PENGESAHAN KATA PENGANTAR DAFTAR ISI S K R I P S I... I HALAMAN PENGESAHAN... II KATA PENGANTAR...... III HALAMAN PERSEMBAHAN... V SARI......... VI DAFTAR ISI... VII DAFTAR GAMBAR.... IX BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang.........

Lebih terperinci

ANALISIS FASIES PENGENDAPAN DAN GEOMETRI RESERVOIR X, Y, DAN Z PADA ANGGOTA GITA FORMASI TALANG AKAR, LAPANGAN LOGAN, CEKUNGAN SUNDA

ANALISIS FASIES PENGENDAPAN DAN GEOMETRI RESERVOIR X, Y, DAN Z PADA ANGGOTA GITA FORMASI TALANG AKAR, LAPANGAN LOGAN, CEKUNGAN SUNDA ANALISIS FASIES PENGENDAPAN DAN GEOMETRI RESERVOIR X, Y, DAN Z PADA ANGGOTA GITA FORMASI TALANG AKAR, LAPANGAN LOGAN, CEKUNGAN SUNDA TUGAS AKHIR Diajukan untuk memenuhi persyaratan dalam menempuh kelulusan

Lebih terperinci

(a) Maximum Absolute Amplitude (b) Dominant Frequency

(a) Maximum Absolute Amplitude (b) Dominant Frequency Peta isokron pada gambar IV.14 di atas, menunjukan bagaimana kondisi geologi bawah permukaan ketika sistem trak rift-climax tahap awal dan tangah diendapkan. Pada peta tersebut dapat dilihat arah pengendapan

Lebih terperinci

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 34 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P /

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 34 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P / Pada sayatan tipis (Lampiran C) memiliki ciri-ciri kristalin, terdiri dari dolomit 75% berukuran 0,2-1,4 mm, menyudut-menyudut tanggung. Matriks lumpur karbonat 10%, semen kalsit 14% Porositas 1% interkristalin.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Saat ini di Indonesia semakin banyak ditemukan minyak dan gas yang terdapat pada reservoir karbonat, mulai dari ukuran kecil hingga besar. Penemuan hidrokarbon dalam

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL Daerah penelitian ini telah banyak dikaji oleh peneliti-peneliti pendahulu, baik meneliti secara regional maupun skala lokal. Berikut ini adalah adalah ringkasan tinjauan literatur

Lebih terperinci

BAB IV STUDI BATUPASIR NGRAYONG

BAB IV STUDI BATUPASIR NGRAYONG BAB IV STUDI BATUPASIR NGRAYONG 4. 1 Latar Belakang Studi Ngrayong merupakan Formasi pada Cekungan Jawa Timur yang masih mengundang perdebatan di kalangan ahli geologi. Perdebatan tersebut menyangkut lingkungan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN III.1 Metode Pembuktian Metode penalaran logika yang digunakan adalah metode deduksi yaitu penentuan batas sekuen, maximum flooding surface (MFS), system-tract, paket parasekuen,

Lebih terperinci

Subsatuan Punggungan Homoklin

Subsatuan Punggungan Homoklin Foto 3.6. Subsatuan Lembah Sinklin (foto ke arah utara dari daerah Pejaten). Foto 3.7. Subsatuan Lembah Sinklin (foto ke arah utara dari daerah Bulu). Subsatuan Punggungan Homoklin Subsatuan Punggungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Analisis fasies dan evaluasi formasi reservoar dapat mendeskripsi

BAB I PENDAHULUAN. Analisis fasies dan evaluasi formasi reservoar dapat mendeskripsi BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Analisis fasies dan evaluasi formasi reservoar dapat mendeskripsi sifat-sifat litologi dan fisika dari batuan reservoar, sehingga dapat dikarakterisasi dan kemudian

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH LEPAS PANTAI UTARA MADURA

BAB III GEOLOGI DAERAH LEPAS PANTAI UTARA MADURA BAB III GEOLOGI DAERAH LEPAS PANTAI UTARA MADURA Lapangan ini berada beberapa kilometer ke arah pantai utara Madura dan merupakan bagian dari North Madura Platform yang membentuk paparan karbonat selama

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN. 5.1 Peta Kontur Isopach

BAB V PEMBAHASAN. 5.1 Peta Kontur Isopach BAB V PEMBAHASAN Pada praktikum Sedimentologi dan Stratigrafi kali ini, acaranya mengenai peta litofasies. Peta litofasies disini berfungsi untuk mengetahui kondisi geologi suatu daerah berdasarkan data

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Geomorfologi Kondisi geomorfologi pada suatu daerah merupakan cerminan proses alam yang dipengaruhi serta dibentuk oleh proses

Lebih terperinci

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 19 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P /

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 19 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P / BAB III GEOLOGI DAERAH PERBUKITAN RUMU 3.1 Geomorfologi Perbukitan Rumu Bentang alam yang terbentuk pada saat ini merupakan hasil dari pengaruh struktur, proses dan tahapan yang terjadi pada suatu daerah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Geografis Daerah Penelitian Wilayah konsesi tahap eksplorasi bahan galian batubara dengan Kode wilayah KW 64 PP 2007 yang akan ditingkatkan ke tahap ekploitasi secara administratif

Lebih terperinci

STUDI FASIES PENGENDAPAN FORMASI BAYAH DAN FORMASI BATUASIH DAERAH PASIR BENDE, PADALARANG, KABUPATEN BANDUNG BARAT, JAWA BARAT

STUDI FASIES PENGENDAPAN FORMASI BAYAH DAN FORMASI BATUASIH DAERAH PASIR BENDE, PADALARANG, KABUPATEN BANDUNG BARAT, JAWA BARAT STUDI FASIES PENGENDAPAN FORMASI BAYAH DAN FORMASI BATUASIH DAERAH PASIR BENDE, PADALARANG, KABUPATEN BANDUNG BARAT, JAWA BARAT TUGAS AKHIR Disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar sarjana strata

Lebih terperinci

Umur GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Umur GEOLOGI DAERAH PENELITIAN Foto 3.7. Singkapan Batupasir Batulempung A. SD 15 B. SD 11 C. STG 7 Struktur sedimen laminasi sejajar D. STG 3 Struktur sedimen Graded Bedding 3.2.2.3 Umur Satuan ini memiliki umur N6 N7 zonasi Blow (1969)

Lebih terperinci

Gambar I.1. : Lokasi penelitian terletak di Propinsi Sumatra Selatan atau sekitar 70 km dari Kota Palembang

Gambar I.1. : Lokasi penelitian terletak di Propinsi Sumatra Selatan atau sekitar 70 km dari Kota Palembang BAB I PENDAHULUAN I.1. Subjek dan Lokasi Penelitian Subjek penelitian ini adalah analisis variogram horizontal pada pemodelan distribusi karakterisasi reservoir. Sedangkan objek penelitian meliputi lapisan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Cekungan Kutai merupakan cekungan Tersier terbesar dan terdalam di Indonesia bagian barat, dengan luas area 60.000 km 2 dan ketebalan penampang mencapai 14 km. Cekungan

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

BAB III TINJAUAN PUSTAKA BAB III TINJAUAN PUSTAKA III.1 Stratigrafi dan Fasies Lapangan Bekasap Secara garis besar karakter fasies pengendapan di Formasi Bekasap, Bangko dan Menggala memperlihatkan lingkungan shallow water of

Lebih terperinci

Interpretasi Stratigrafi daerah Seram. Tabel 4.1. Korelasi sumur daerah Seram

Interpretasi Stratigrafi daerah Seram. Tabel 4.1. Korelasi sumur daerah Seram BAB 4 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 4.1. Interpretasi Stratigrafi 4.1.1. Interpretasi Stratigrafi daerah Seram Daerah Seram termasuk pada bagian selatan Kepala Burung yang dibatasi oleh MOKA di bagian utara,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Analisa konektivitas reservoir atau RCA (Reservoir Connectivity Analysis)

BAB I PENDAHULUAN. Analisa konektivitas reservoir atau RCA (Reservoir Connectivity Analysis) 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG Analisa konektivitas reservoir atau RCA (Reservoir Connectivity Analysis) merupakan metode yang baru mulai dipublikasikan pada tahun 2005 (Vrolijk, 2005). Metode

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. cekungan penghasil minyak dan gas bumi terbesar kedua di Indonesia setelah

BAB I PENDAHULUAN. cekungan penghasil minyak dan gas bumi terbesar kedua di Indonesia setelah BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Menurut Pertamina BPPKA (1996), Cekungan Kutai merupakan salah satu cekungan penghasil minyak dan gas bumi terbesar kedua di Indonesia setelah Cekungan

Lebih terperinci

Porositas Efektif

Porositas Efektif Gambar 4.2.3. Histogram frekuensi porositas total seluruh sumur. 4.2.3. Porositas Efektif Porositas efektif adalah porositas total yang tidak terisi oleh shale. Porositas efektif ditentukan berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Lapangan XVII adalah lapangan penghasil migas yang terletak di Blok

BAB I PENDAHULUAN. Lapangan XVII adalah lapangan penghasil migas yang terletak di Blok BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Lapangan XVII adalah lapangan penghasil migas yang terletak di Blok Sanga-sanga, Cekungan Kutai, Kalimantan Timur. Cekungan Kutai merupakan cekungan penghasil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pliosen Awal (Minarwan dkk, 1998). Pada sumur P1 dilakukan pengukuran FMT

BAB I PENDAHULUAN. Pliosen Awal (Minarwan dkk, 1998). Pada sumur P1 dilakukan pengukuran FMT BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Lapangan R merupakan bagian dari kompleks gas bagian Selatan Natuna yang terbentuk akibat proses inversi yang terjadi pada Miosen Akhir hingga Pliosen Awal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Lapangan Minas merupakan lapangan yang cukup tua dan merupakan salah satu lapangan minyak yang paling banyak memberikan kontribusi dalam sejarah produksi minyak di

Lebih terperinci

dan Satuan Batulempung diendapkan dalam lingkungan kipas bawah laut model Walker (1978) (Gambar 3.8).

dan Satuan Batulempung diendapkan dalam lingkungan kipas bawah laut model Walker (1978) (Gambar 3.8). dan Satuan Batulempung diendapkan dalam lingkungan kipas bawah laut model Walker (1978) (Gambar 3.8). Gambar 3.7 Struktur sedimen pada sekuen Bouma (1962). Gambar 3.8 Model progradasi kipas bawah laut

Lebih terperinci

Tabel hasil pengukuran geometri bidang sesar, ketebalan cekungan dan strain pada Sub-cekungan Kiri.

Tabel hasil pengukuran geometri bidang sesar, ketebalan cekungan dan strain pada Sub-cekungan Kiri. Dari hasil perhitungan strain terdapat sedikit perbedaan antara penampang yang dipengaruhi oleh sesar ramp-flat-ramp dan penampang yang hanya dipengaruhi oleh sesar normal listrik. Tabel IV.2 memperlihatkan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Dalam penelitian ini diperlukan uraian mengenai objek dan alat alat yang

BAB III METODE PENELITIAN. Dalam penelitian ini diperlukan uraian mengenai objek dan alat alat yang BAB III METODE PENELITIAN Dalam penelitian ini diperlukan uraian mengenai objek dan alat alat yang digunakan, serta tahap tahap penelitian yang meliputi: tahap persiapan, tahap penelitian dan pengolahan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS FASIES ENDAPAN TURBIDIT

BAB IV ANALISIS FASIES ENDAPAN TURBIDIT BAB IV ANALISIS FASIES ENDAPAN TURBIDIT 4.1 Fasies Turbidit adalah suatu sedimen yang diendapkan oleh mekanisme arus turbid (turbidity current), sedangkan arus turbid itu sendiri adalah suatu arus yang

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. Geomorfologi Daerah Penelitian Morfologi muka bumi yang tampak pada saat ini merupakan hasil dari proses-proses geomorfik yang berlangsung. Proses geomorfik menurut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Subjek penelitian adalah studi biostratigrafi dan lingkungan pengendapan

BAB I PENDAHULUAN. Subjek penelitian adalah studi biostratigrafi dan lingkungan pengendapan BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Subjek dan Objek Penelitian Subjek penelitian adalah studi biostratigrafi dan lingkungan pengendapan Formasi Ngrayong di daerah Cepu (Gambar 1. 1). Penelitian meliputi definisi Formasi

Lebih terperinci

Berikut ini adalah log porositas yang dihasilkan menunjukkan pola yang sama dengan data nilai porositas pada inti bor (Gambar 3.18).

Berikut ini adalah log porositas yang dihasilkan menunjukkan pola yang sama dengan data nilai porositas pada inti bor (Gambar 3.18). Gambar 3.17 Grafik silang antara porositas inti bor dan porositas log densitas. Berikut ini adalah log porositas yang dihasilkan menunjukkan pola yang sama dengan data nilai porositas pada inti bor (Gambar

Lebih terperinci

Adanya cangkang-cangkang mikro moluska laut yang ditemukan pada sampel dari lokasi SD9 dan NG11, menunjukkan lingkungan dangkal dekat pantai.

Adanya cangkang-cangkang mikro moluska laut yang ditemukan pada sampel dari lokasi SD9 dan NG11, menunjukkan lingkungan dangkal dekat pantai. BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.2.2.3 Umur Berdasarkan data analisis mikrofosil pada sampel yang diambil dari lokasi BG4 (Lampiran B), spesies-spesies yang ditemukan antara lain adalah Globigerinoides

Lebih terperinci

Bab IV Analisis Data. IV.1 Data Gaya Berat

Bab IV Analisis Data. IV.1 Data Gaya Berat 41 Bab IV Analisis Data IV.1 Data Gaya Berat Peta gaya berat yang digabungkan dengn penampang-penampang seismik di daerah penelitian (Gambar IV.1) menunjukkan kecenderungan topografi batuan dasar pada

Lebih terperinci