BAB IV ANALISIS FASIES ENDAPAN TURBIDIT

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB IV ANALISIS FASIES ENDAPAN TURBIDIT"

Transkripsi

1 BAB IV ANALISIS FASIES ENDAPAN TURBIDIT 4.1 Fasies Turbidit adalah suatu sedimen yang diendapkan oleh mekanisme arus turbid (turbidity current), sedangkan arus turbid itu sendiri adalah suatu arus yang memiliki suspensi sedimen dan mengalir pada dasar tubuh cairan, karena mempunyai kerapatan yang lebih besar daripada cairan tersebut (Keunen dan Migliorini, 1950). Aliran gravitasi adalah aliran sedimen atau campuran sedimen fluidadibawah pengaruh gaya berat. Berdasarkan gerakan relatif antar butir dan jaraknya dari sumber,aliran gravitasi dapat dibedakan menjadi empat jenis, yaitu: aliran turbid (turbidity current), aliran sedimen yang difluidakan(fluidized sediment flow), aliran butir(grain flow), dan aliran debris(debris flow) (Middleton dan Hampton, 1973 dalam Koesoemadinata, 1985). Fasies turbidit adalah semua sedimen yang terendapkan oleh aliran gravitasi dalam lingkungan laut yang relatif dalam dan penyebarannya luas dengan tipe sedimentasi bervariasi mulai dari matrix supported conglomerate sampai graded mudstone yang sangat halus (Mutti dan Ricci Lucchi, 1972). Arus yang menyebabkan endapan ini terbentuk dinamakan arus turbid yang mempunyai densitas yang jauh lebih besar dibandingkan dengan sekitarnya. Arus ini mampu mentransportasi partikel batuan dan mineral sesuai dengan densitas, kerapatan, dan kepekatannya. Menurut Mutti (1992) berdasarkan produk yang dihasilkannya fasies turbidit dapat dibedakan menjadi tiga tipe aliran yaitu : cohessive debris flow, high density turbidity current, dan low density turbidity current. Asosiasi fasies didefinisikan sebagai suatu kombinasi dua atau lebih fasies yang membentuk suatu tubuh batuan dalam berbagai skala dan kombinasi. Asosiasi fasies ini mencerminkan lingkungan pengendapan atau proses dimana fasies-fasies itu terbentuk (Mutti dan Ricci Luchi, 1972). 29

2 Berdasarkan penelitian lapangan, sedimen yang tersingkap didaerah penelitian mempunyai karakter endapan turbidit, ditandai oleh stuktur sedimen graded bedding, laminasi sejajar, dan crosslamination. Selain itu, singkapan batuan di daerah penelitian mempunyai urutan vertikal menghalus dan menipis ke atas. Dalam tugas akhir ini penulis mempelajari fasies endapan turbidit berdasarkan klasifikasi Mutti dan Ricci Lucchi (1972). Pada Satuan Batupasir Batulempung daerah penelitian penulis menemukan 3 jenis fasies, yaitu fasies A (Batupasir Konglomeratan), fasies B (Batupasir Masif), dan fasies C (Perselingan Batupasir-Batulempung) Fasies A ( Batupasir Konglomeratan) Fasies A tersingkap pada interval bawah-tengah Satuan Batupasir- Batulempung, berupa batupasir konglomeratan berwarna abu-abu gelap, pasir sangat kasar-kerikil, membundar-membundar tanggung, pemilahan buruk, kemas terbuka, porositas baik, kompak, sedikit karbonatan, terdapat fragmen berukuran kerikil berupa mineral kuarsa, fragmen batuan andesitik dan banyak terdapat fragmen batulempung berukuran kerikil-berangkal, abu-abu terang (Foto 4.1). Tebal lapisan sekitar 3-10 meter. Berdasarkan karakteristik litologi yang telah dideskripsikan diatas maka ditafsirkan fasies ini terbentuk oleh mekanisme aliran aliran butr (Grain flow). Foto 4.1 Singkapan Fasies A (Batupasir Konglomeratan) 30

3 4.1.2 Fasies B (Batupasir Masif) Fasies B tersingkap pada interval bawah, tengah, dan sedikit pada interval atas Satuan Batupasir-Batulempung, berupa batupasir berwarna abu-abu gelap, pasir kasar, membundar-membundar tanggung, pemilahan sedang, kemas tertutup, porositas sedang, kompak, sedikit karbonatan, struktur sedimen masif, terdapat fragmen berukuran pasir sangat kasar berupa mineral kuarsa dan fragmen batuan vulkanik berupa batuan andesitik, setempat terdapat fragmen batulempung yang membentuk laminasi sejajar (Foto 4.2). Tebal lapisan sekitar 1-3,8 meter. Berdasarkan karakteristik litologi yang telah dideskripsikan diatas maka ditafsirkan fasies ini terbentuk oleh mekanisme aliran High Density Turbidity Curent. Fragmen Batulempung yang membentuk laminasi sejajar Foto 4.2 Singkapan Fasies B (Batupasir Masif) Fasies C (Perselingan Batupasir Batulempung) Fasies C terdiri dari perselingan batupasir dengan batulempung (Foto 4.3). Batupasir berwarna abu-abu gelap, pasir halus-sedang, membundar - membundar tanggung, pemilahan baik, kemas tertutup, porositas baik, kompak, tidak karbonatan. Struktur sedimen (Foto 4.4) yang dijumpai adalah graded bedding, laminasi sejajar, setempat terdapat crosslamination yang merupakan urutan sekuen Bouma Ta-Tc (Gambar 4.1), load cast, dan flame structure. Ketebalan lapisan batupasir sekitar 10-31

4 40cm. Batulempung berwarna abu-abu gelap, tidak karbonatan, getas. Ketebalan lapisan batulempung sekitar 5-10 cm. Suksesi vertikal pada perselingan batupasir batulempung adalah menghalus ke atas dan menipis ke atas (fining and thinning upward). Fasies C tersingkap pada interval bawah, tengah, dan semakin tebal pada interval atas Satuan Batupasir Batulempung. Berdasarkan karakteristik litologinya maka ditafsirkan fasies ini terbentuk oleh mekanisme aliran Low Density Turbidity Curent. U S Load Cast U S S U Foto 4.3 Singkapan Fasies C (Perselingan Batupasir Batulempung) 32

5 U S a b c d Foto 4.4 Struktur Sedimen pada Perselingan Batupasir Batulempung a. Struktur sedimen graded bedding b. Struktur sedimen laminasi sejajar c. Struktur sedimen crosslamination d. Struktur sedimen load cast e. Struktur sedimen flame structure e 33

6 Gambar 4.1 Urutan struktur sedimen pada lapisan turbidit ideal menurut Bouma(1962, after Midleton dan Hampton, 1978 dalam Reineck dan Singh 1980) 4.2 Korelasi Penampang Stratigrafi Daerah penelitian dapat dikorelasikan dari lintasan PCB,CBG, dan CTHB dengan mengkorelasikan urutan-urutan siklus pengendapannya (Lampiran E). Sumber sedimentasi daerah penelitian berasal dari arah selatan ke arah utara. Berdasarkan korelasi tersebut, secara umum dapat ditemukan empat pola sedimentasi. Pola pertama adalah pola sedimentasi yang didominasi oleh perselingan batupasirbatulempung (fasies C) dan sedikit fasies B. Pola ini terbentuk oleh mekanisme Low Density Turbidity Current. Secara lateral terlihat pola pertama mempunyai endapan sedimentasi yang relatif semakin menebal ke arah utara, sehingga dapat ditafsirkan pola sedimentasi adalah progradasi. Pola kedua dicirikan oleh dominasi batupasir konglomeratan (fasies A) yang terbentuk oleh mekanisme grain flow. Secara lateral 34

7 terlihat pola kedua mempunyai endapan sedimentasi dengan ketebalan yang relatif sama ke arah utara, sehingga dapat ditafsirkan pola sedimentasi adalah agradasi. Pola ketiga dicirikan oleh dominasi batupasir masif (fasies B) yang terbentuk oleh mekanisme High Density Turbidity Current. Secara lateral terlihat pola ini mempunyai endapan sedimentasi yang relatif semakin menipis ke arah utara dan secara vertikal fasies B mempunyai pola yang semakin menipis ke atas, sehingga dapat ditafsirkan pola sedimentasi adalah retrogradasi. Pola keempat dicirikan oleh dominasi perselingan batupasir-batulempung, yang terbentuk oleh mekanisme Low Density Turbidity Current. Secara lateral terlihat pola ini mempunyai endapan sedimentasi yang relatif semakin tipis ke arah utara, sehingga dapat ditafsirkan pola sedimentasi adalah retrogradasi. Secara keseluruhan pola sedimentasi daerah penelitian terdiri dari beberapa siklus sedimentasi. Berdasarkan korelasi penampang stratigrafi pola pertama terdiri dari satu kali siklus sedimentasi, pola kedua terdiri dari lima kali siklus sedimentasi, pola ketiga terdiri dari tujuh kali siklus sedimentasi, dan pola keempat terdiri dari 5 kali siklus sedimentasi. Proses sedimentasi daerah penelitian dapat ditafsirkan merupakan mekanisme aliran gravitasi yang berulang ulang atau saling bertumpuk. Oleh karena itu, dapat ditafsirkan bahwa proses sedimentasi terjadi karena pengaruh longsoran dari dinding gunung api bawah laut yang berada di selatan daerah penelitian. 4.3 Analisis Fasies Asosiasi fasies didefinisikan sebagai suatu kombinasi dua atau lebih fasies yang membentuk suatu tubuh batuan dalam berbagai skala dan kombinasi. Asosiasi fasies ini mencerminkan lingkungan pengendapan atau proses dimana fasies-fasies itu terbentuk (Mutti dan Ricci Luchi, 1972). Berdasarkan analisis fasies dan korelasi penampang stratigrafi daerah penelitian dapat dikelompokkan menjadi empat asosiasi 35

8 fasies yaitu : asosiasi fasies I, asosiasi fasies II, asosiasi fasies III, dan asosiasi fasies IV Asosiasi Fasies I Asosiasi fasies I terdapat di bagian bawah satuan batupasir batulempung. Asosiasi fasies I terdiri dari Fasies B dan Fasies C (Gambar 4.2). Asosiasi fasies ini dicirikan oleh dominasi fasies C (perselingan batupasir-batulempung). Berdasarkan karakteristik litologi maka ditafsirkan asosiasi fasies I terbentuk oleh mekanisme Low Density Turbidity Current. Secara lateral asosiasi fasies I mempunyai endapan yang relatif semakin menebal ke arah utara, sehingga dapat ditafsirkan proses sedimentasi adalah progradasi. Suksesi vertikal yang terdapat pada perselingan batupasirbatulempung adalah menghalus ke atas dan menipis ke atas ( fining upward dan thining upward). Hasil analisis mikropaleontologi dengan kode sampel Cbg VI (Lampiran B) ditemukan foraminifera planktonik berupa Globigerina venezuelana, Globigerinoides binaiensis, Catasydrax dissimilis, dan Globorotalia peripheroronda, sedangkan fosil foraminifera bentonik adalah Egerella sp., Nodosaria sp., Uvigerina peregrina. Fosil foraminifera bentonik yang ditemukan pada asosiasi fasies I menunjukkan lingkungan pengendapan batial atas. 36

9 C B C B Globigerina venezuelan a, Globigerina primordius, Globigerina binaiensis,g lobigerina tripartita, Globigerina selli, Globigerina praebulloid es Gambar 4.2 Profil Asosiasi Fasies I 37

10 4.2.2 Asosiasi Fasies II Asosiasi fasies II terdapat di bagian bawah-tengah satuan batupasir batulempung. Asosiasi fasies II terdiri dari Fasies A, Fasies B, dan Fasies C (Gambar 4.3). Asosiasi fasies ini dicirikan oleh dominasi fasies A (batupasir konglomeratan). Asosiasi fasies ini membutuhkan arus yang mempunyai densitas yang sangat tinggi untuk mengendapkan batupasir konglomeratan dan batupasir masif, kemudian perselingan tipis batupasir- batulempung terendapkan diakhir siklus pengendapan ketika densitas arus nya berkurang. Berdasarkan pengukuran penampang stratigrafi didapatkan beberapa siklus sedimentasi. Hal ini ditandai oleh perulangan pembentukkan batupasir konglomeratan diawal siklus sedimentasi dan pembentukkan perselingan tipis batupasir batulempung diakhir siklus sedimentasi. Berdasarkan karakteristik litologi yang telah dideskripsikan di atas maka ditafsirkan asosiasi fasies ini terbentuk oleh mekanisme utamanya adalah aliran butir (grain flow). Secara lateral asosiasi fasies II mempunyai ketebalan yang sama sehingga dapat ditafsirkan proses sedimentasi adalah agradasi. Suksesi vertikal yang terdapat pada perselingan batupasir-batulempung adalah menghalus ke atas dan menipis ke atas ( fining upward dan thining upward). Hasil analisis mikropaleontologi dengan kode sampel Cbg VII (Lampiran B) ditemukan foraminifera planktonik berupa Globigerina praebulloides leroyi, Globorotalia obesa, dan Globorotalia peripheroronda, sedangkan fosil foraminifera bentonik berupa Uvigerina peregrina, Gyroidina sp., Bolivina sp., dan Cassidulina sp.. Fosil bentonik yang ditemukan pada asosiasi fasies I menunjukkan lingkungan pengendapan batial atas. 38

11 Gambar 4.3 Profil Asosiasi Fasies II 39

12 4.2.2 Asosiasi Fasies III Asosiasi fasies III terdapat dibagian tengah Satuan Batupasir-Batulempung atau diatas asosiasi fasies II. Asosiasi fasies III terdiri dari Fasies B (batupasir masif). dan Fasies C (perselingan batupasir batulempung) (Gambar 4.4). Asosiasi fasies ini dicirikan oleh dominasi fasies B dan menghilangnya batupasir konglomeratan (fasies A). Siklus sedimentasi pada asosiasi fasies ini diawali oleh pengendapan batupasir masif dan diakhiri oleh pengendapan perselingan tipis batupasir-batulempung. Hal ini menunjukkan bahwa densitas arus secara umum telah berkurang dibandingkan asosiasi fasies II dengan ditandai oleh tidak terbentuknya batupasir konglomeratan. Walaupun densitas arus telah berkurang dibandingkan asosiasi fasies II, akan tetapi densitas arus masih tinggi dengan terbentuknya batupasir masif dengan ukuran butir pasir kasar. Berdasarkan pengukuran penampang stratigrafi didapatkan beberapa kali siklus sedimentasi. Berdasarkan karakteristik litologi yang telah dideskripsikan diatas maka ditafsirkan asosiasi fasies ini terbentuk oleh mekanisme aliran High Density Turbidity Curent Low Density Turbidity Curent. Secara lateral Asosiasi fasies III mempunyai endapan sedimentasi yang semain menipisl ke arah utara, sehingga ditafsirkan proses sedimentasi adalah retrogradasi. Suksesi vertikal yang ditemukan pada perselingan tipis batupasir-batulempung adalah menghalus ke atas dan menipis ke atas ( fining upward dan thining upward). Hasil analisis mikropaleontologi dengan kode sampel Cbg VIII dan Cbg IX(Lampiran B) tidak ditemukan fosil foraminifera atau Barren fossil. Hal ini menunjukkan adanya peningkatan kecepatan sedimentasi dan peningkatan jumlah suplai sedimentasi yang mengakibatkan fosil tidak dapat hidup Asosiasi Fasies IV Asosiasi fasies IV terdapat dibagian tengah sampai atas Satuan Batupasir- Batulempung. Asosiasi fasies IV terdiri oleh Fasies C (perselingan batupasir batulempung) yang dominan dan sedikit Fasies B (batupasir masif) (Gambar 4.5). 40

13 Asosiasi fasies ini dicirikan oleh semakin dominannya perselingan tipis batupasirbatulempung dan semakin berkurangnya batupasir masif. Hal ini menunjukkan densitas arus semakin berkurang dibandingkan asosiasi fasies II dan III. Berdasarkan pengukuran penampang stratigrafi didapatkan beberapa kali siklus sedimentasi. Berdasarkan karakteristik litologi yang telah dideskripsikan diatas maka ditafsirkan asosiasi fasies ini terbentuk oleh mekanisme aliran High Density Turbidity Current Low Density Turbidity Curent. Secara lateral asosiasi fasies IV mempunyai endapan sedimentasi yang semakin menipis ke arah utara, sehingga dapat ditafsirkan proses sedimentasi adalah retrogradasi. Suksesi vertikal yang ditemukan pada perselingan tipis batupasir-batulempung adalah menghalus ke atas dan menipis ke atas ( fining upward dan thinning upward). Hasil analisis mikropaleontologi dengan kode sampel Cbg X (Lampiran B) tidak ditemukan fosil foraminifera atau barren fossil, sedangkan pada kode sampel Cbg XI (Lampiran B) yang berada lebih diatas sampel Cbg X ditemukan kembali fosil foraminifera planktonik dalam jumlah yang sedikit. Hal ini menunjukkan bahwa kecepatan arus masih berlangsung cepat dan suplai sedimentasi masih tinggi, akan tetapi kemudian berkurang dengan ditandai oleh kembali ditemukannya fosil foraminifera walaupun dalam jumlah sedikit. 41

14 Cbg VIII Barren fossil Gambar 4.4 Profil Asosiasi Fasies III 42

15 Cbg XI Globigerina praebullioides leroyi Globigerinoid e des obliquu s s obliquus Cbg XI Barren Fossil Gambar 4.5 Profil Asosiasi Fasies IV 43

16 4.4 Model Sedimentasi Daerah Penelitian Daerah penelitian terletak di Cekungan Bogor dan termasuk ke dalam Formasi Citarum. Pada penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Martodjojo (1984), menyatakan bahwa umur Formasi Citarum hampir sama dengan umur Formasi Jampang yang terletak di selatan dan dianggap merupakan deretan gunung api. Akibatnya, morfologi bawah laut pada waktu Miosen Awal (N5-N8) di bagian selatan merupakan tinggian yang terdiri dari deretan gunung api bawah laut (Formasi Jampang) dan menurun ke arah utara ke Cekungan Bogor, Sehingga morfologi tersebut dapat menyebabkan gerakan batuan berupa longsoran (Menyerupai lahar di darat) serta pembentukan kipas laut dalam (Martodjojo 1984) (Gambar 4.6). Pada penelitiannya, Martodjojo (1984) menyatakan bahwa Formasi Citarum merupakan endapan distal dari suatu kipas laut dalam yang berkembang ke atas makin proksimal. Daerah Penelitian Gambar 4.6 Paleogeografi kala Miosen Awal (Martodjojo, 1984) Berdasarkan penelitian lapangan, dapat disimpulkan bahwa proses sedimentasi daerah penelitian diendapkan oleh mekanisme aliran gravitasi. Hal ini dicirikan oleh adanya variasi singkapan batuan yang ditemukan di daerah penelitian mulai dari Batupasir konglomeratan dengan fragmen batulempung berukuran kerikil berangkal sampai perselingan tipis batupasir batulempung. Selain itu, adanya 44

17 struktur sedimen yang memperlihatkan urutan sekuen Bouma (Ta-Tc) yaitu: struktur sedimen graded bedding, laminasi sejajar, dan crosslamination serta suksesi vertikal yang dijumpai adalah menghalus dan menipis ke atas (fining dan thinning upward) yang mencirikan endapan turbidit. Berdasarkan analisis petrografi (Lampiran A) batuan pada daerah penelitian banyak mengandung material vulkanik, hal ini menunjukkan bahwa aktifitas vulkanisme mempengaruhi proses pengendapan batuan di daerah penelitian. Pada interval paling atas Satuan Batupasir Batulempung ditemukan lapisan tuf. Mekanisme pengendapan lapisan tuf ditafsirkan merupakan produk jatuhan dari gunung api bawah laut, kemudian endapan tuf tersebut mengalami longsor dan terendapkan kembali dengan membentuk lapisan dengan ketebalan sekitar cm. Menurut Martodjojo (1984), aktifitas vulkanisme masih berasal dari selatan daerah penelitian yakni berasal dari gunungapi vulkanik bawah laut yang telah muncul ke permukaan. Berdasarkan korelasi penampang stratigrafi daerah penelitian dapat dibagi menjadi empat asosiasi fasies, yaitu asosiasi fasies I(progradasi), asosiasi fasies II(agradasi), asosiasi fasies III(retrogradasi), dan asosiasi fasies IV(retrogradasi). Perubahan proses sedimentasi dari progradasi menjadi agradasi kemudian menjadi retrogradasi disebabkan oleh adanya perubahan suplai sedimen dan kekuatan arus di daerah penelitian. Kandungan material vulkanik pada singkapan batuan di daerah penelitian serta adanya perulangan antara perselingan batupasir konglomeratan, batupasir masif dan perselingan batupasir batulempung yang saling bertumpuk atau berulang ulang mengindikasikan bahwa proses pengendapan batuan di daerah penelitian merupakan dipengaruhi oleh aliran sedimentasi dari gunung api bawah laut. Proses pengendapan sedimentasi di daerah penelitian terdiri dari beberapa proses, yaitu proses progradasi, proses agradasi, dan terakhir proses retrogradasi (Gambar 4.7, 4.8, 45

18 dan 4.9). Hasil analisis mikropaleontologi (Lampiran B) terjadi perubahan jumlah kandungan fosil foraminifera di daerah penelitian. Pada Satuan Batulempung dan interval bawah Satuan Batupasir Batulempung jumlah kandungan fosil foraminifera melimpah, sedangkan pada interval tengah Satuan Batupasir Batulempung jumlah kandungan fosil foraminifera berkurang bahkan semakin ke atas tidak ditemukan fosil foraminifera. Fosil foraminifera planktonik kembali ditemukan pada interval paling atas dalam jumlah yang sedikit, sedangkan fosil foraminifera bentonik tidak ditemukan. Hal ini dapat ditafsirkan bahwa kecepatan sedimentasi pada proses pengendapan batuan di daerah penelitian berubah semakin cepat ke arah interval atas dengan suplai sedimen yang semakin banyak sehingga fosil foraminifera tidak bisa hidup. Kecepatan sedimentasi dan suplai sedimen berkurang pada interval paling atas dengan ditemukannya kembali fosil foraminifera planktonik walaupun dalam jumlah yang sedikit. 46

19 Gambar 4.7 Model Pola Sedimentasi Daerah Penelitian I 47

20 Gambar 4.7 Model Pola Sedimentasi Daerah Penelitian II 48

21 Gambar 4.9 Model Pola Sedimentasi Daerah Penelitian III 49

BAB IV Kajian Sedimentasi dan Lingkungan Pengendapan

BAB IV Kajian Sedimentasi dan Lingkungan Pengendapan BAB IV KAJIAN SEDIMENTASI DAN LINGKUNGAN PENGENDAPAN 4.1 Pendahuluan Kajian sedimentasi dilakukan melalui analisis urutan vertikal terhadap singkapan batuan pada lokasi yang dianggap mewakili. Analisis

Lebih terperinci

BAB IV ANALISA SEDIMENTASI

BAB IV ANALISA SEDIMENTASI BAB IV ANALISA SEDIMENTASI Lingkungan pengendapan menurut Krumbein (1958, dalam Koesoemadinata, 1985) adalah keadaan yang kompleks yang disebabkan interaksi antara faktor-faktor fisika, kimia dan biologi,

Lebih terperinci

dan Satuan Batulempung diendapkan dalam lingkungan kipas bawah laut model Walker (1978) (Gambar 3.8).

dan Satuan Batulempung diendapkan dalam lingkungan kipas bawah laut model Walker (1978) (Gambar 3.8). dan Satuan Batulempung diendapkan dalam lingkungan kipas bawah laut model Walker (1978) (Gambar 3.8). Gambar 3.7 Struktur sedimen pada sekuen Bouma (1962). Gambar 3.8 Model progradasi kipas bawah laut

Lebih terperinci

BAB IV SIKLUS SEDIMENTASI PADA SATUAN BATUPASIR

BAB IV SIKLUS SEDIMENTASI PADA SATUAN BATUPASIR BAB IV SIKLUS SEDIMENTASI PADA SATUAN BATUPASIR 4.1 Pendahuluan Kajian terhadap siklus sedimentasi pada Satuan Batupasir dilakukan dengan analisis urutan secara vertikal terhadap singkapan yang mewakili

Lebih terperinci

BAB IV ASOSIASI FASIES DAN PEMBAHASAN

BAB IV ASOSIASI FASIES DAN PEMBAHASAN BAB IV ASOSIASI FASIES DAN PEMBAHASAN 4.1 Litofasies Menurut Walker dan James pada 1992, litofasies adalah suatu rekaman stratigrafi pada batuan sedimen yang menunjukkan karakteristik fisika, kimia, dan

Lebih terperinci

Arus Traksi dan Arus Turbidit

Arus Traksi dan Arus Turbidit Arus Traksi dan Arus Turbidit Transportasi dan Deposisi Sedimen Media transportasi dari sedimen pada umumnya dapat dibagi menjadi berikut ini : Air - Gelombang - Pasang Surut - Arus Laut Udara Es Gravitasi

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Perolehan Data dan Lokasi Penelitian Lokasi penelitian pada Peta Geologi Lembar Cianjur skala 1 : 100.000 terletak di Formasi Rajamandala (kotak kuning pada Gambar

Lebih terperinci

BAB IV STUDI SEDIMENTASI PADA FORMASI TAPAK BAGIAN ATAS

BAB IV STUDI SEDIMENTASI PADA FORMASI TAPAK BAGIAN ATAS BAB IV STUDI SEDIMENTASI PADA FORMASI TAPAK BAGIAN ATAS 4.1 Pendahuluan Untuk studi sedimentasi pada Formasi Tapak Bagian Atas dilakukan melalui observasi urutan vertikal terhadap singkapan batuan yang

Lebih terperinci

BAB III Perolehan dan Analisis Data

BAB III Perolehan dan Analisis Data BAB III Perolehan dan Analisis Data BAB III PEROLEHAN DAN ANALISIS DATA Lokasi penelitian, pada Peta Geologi Lembar Cianjur skala 1 : 100.000, terletak di Formasi Rajamandala. Penelitian lapangan berupa

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS SEDIMENTASI

BAB IV ANALISIS SEDIMENTASI BAB IV ANALISIS SEDIMENTASI 4.1 Pendahuluan Kajian sedimentasi dilakukan melalui analisis urutan vertikal terhadap singkapan batuan pada lokasi yang dianggap mewakili. Analisis urutan vertikal ini dilakukan

Lebih terperinci

Gambar 3.6 Model progradasi kipas laut dalam (Walker, R. G., 1978).

Gambar 3.6 Model progradasi kipas laut dalam (Walker, R. G., 1978). (Satuan Breksi-Batupasir) adalah hubungan selaras dilihat dari kemenerusan umur satuan dan kesamaan kedudukan lapisan batuannya. Gambar 3.5 Struktur sedimen pada sekuen Bouma (Bouma, A. H., 1962). Gambar

Lebih terperinci

4.2 Pembuatan Kolom Stratigrafi Pembuatan kolom stratigrafi (Lampiran F) dilakukan berdasarkan atas

4.2 Pembuatan Kolom Stratigrafi Pembuatan kolom stratigrafi (Lampiran F) dilakukan berdasarkan atas BAB IV ANALISIS SEDIMENTASI 4.1 Pendahuluan Kajian sedimentasi dilakukan melalui analisis perkembangan urutan vertikal lapisan batuan berdasarkan data singkapan batuan pada lokasi yang dianggap mewakili.

Lebih terperinci

Umur GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Umur GEOLOGI DAERAH PENELITIAN Foto 3.7. Singkapan Batupasir Batulempung A. SD 15 B. SD 11 C. STG 7 Struktur sedimen laminasi sejajar D. STG 3 Struktur sedimen Graded Bedding 3.2.2.3 Umur Satuan ini memiliki umur N6 N7 zonasi Blow (1969)

Lebih terperinci

BAB III STRATIGRAFI 3. 1 Stratigrafi Regional Pegunungan Selatan

BAB III STRATIGRAFI 3. 1 Stratigrafi Regional Pegunungan Selatan BAB III STRATIGRAFI 3. 1 Stratigrafi Regional Pegunungan Selatan Stratigrafi regional Pegunungan Selatan dibentuk oleh endapan yang berumur Eosen-Pliosen (Gambar 3.1). Menurut Toha, et al. (2000) endapan

Lebih terperinci

Umur dan Lingkungan Pengendapan Hubungan dan Kesetaraan Stratigrafi

Umur dan Lingkungan Pengendapan Hubungan dan Kesetaraan Stratigrafi 3.2.2.3 Umur dan Lingkungan Pengendapan Penentuan umur pada satuan ini mengacu pada referensi. Satuan ini diendapkan pada lingkungan kipas aluvial. Analisa lingkungan pengendapan ini diinterpretasikan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Morfologi daerah penelitian berdasarkan pengamatan awal dari peta topografi dan citra satelit,

Lebih terperinci

Raden Ario Wicaksono/

Raden Ario Wicaksono/ Foto 3.15 Fragmen Koral Pada Satuan Breksi-Batupasir. Lokasi selanjutnya perselingan breksi-batupasir adalah lokasi Bp-20 terdapat pada Sungai Ci Manuk dibagian utara dari muara antara Sungai Ci Cacaban

Lebih terperinci

BAB III ANALISIS GEOMETRI DAN KUALITAS RESERVOIR

BAB III ANALISIS GEOMETRI DAN KUALITAS RESERVOIR BAB III ANALISIS GEOMETRI DAN KUALITAS RESERVOIR 3.1 Metodologi Penelitian Analisis geometri dan kualitas reservoir dilakukan untuk memberikan informasi geologi yang realistis dari suatu reservoir. Informasi

Lebih terperinci

Geologi dan Studi Fasies Karbonat Gunung Sekerat, Kecamatan Kaliorang, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur.

Geologi dan Studi Fasies Karbonat Gunung Sekerat, Kecamatan Kaliorang, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur. Nodul siderite Laminasi sejajar A B Foto 11. (A) Nodul siderite dan (B) struktur sedimen laminasi sejajar pada Satuan Batulempung Bernodul. 3.3.1.3. Umur, Lingkungan dan Mekanisme Pengendapan Berdasarkan

Lebih terperinci

3.2.3 Satuan Batulempung. A. Penyebaran dan Ketebalan

3.2.3 Satuan Batulempung. A. Penyebaran dan Ketebalan 3.2.3 Satuan Batulempung A. Penyebaran dan Ketebalan Satuan batulempung ditandai dengan warna hijau pada Peta Geologi (Lampiran C-3). Satuan ini tersingkap di bagian tengah dan selatan daerah penelitian,

Lebih terperinci

Foto 4.9 Singkapan batupasir sisipan batulempung

Foto 4.9 Singkapan batupasir sisipan batulempung sebagai endapan delta mouth bar pada sistem delta. 4.3.3 Lintasan C Delta Front Pada bagian bawah dari kolom stratigrafi lintasan ini, didapatkan litologi batupasir dan batulempung dengan suksesi vertikal

Lebih terperinci

dalam Zonasi Bolli & Saunders (1985), berdasarkan kandungan plangton tersebut maka kisaran umur satuan batuan ini adalah N21 atau Pliosen Atas.

dalam Zonasi Bolli & Saunders (1985), berdasarkan kandungan plangton tersebut maka kisaran umur satuan batuan ini adalah N21 atau Pliosen Atas. dalam Zonasi Bolli & Saunders (1985), berdasarkan kandungan plangton tersebut maka kisaran umur satuan batuan ini adalah N21 atau Pliosen Atas. III.2.1.5 Hubungan dan Kesebandingan Stratigrafi Hubungan

Lebih terperinci

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Secara umum, daerah penelitian memiliki morfologi berupa dataran dan perbukitan bergelombang dengan ketinggian

Lebih terperinci

Foto 3.6 Singkapan perselingan breksi dan batupasir. (Foto diambil di Csp-11, mengarah kehilir).

Foto 3.6 Singkapan perselingan breksi dan batupasir. (Foto diambil di Csp-11, mengarah kehilir). Apabila diperhatikan, hasil analisis petrografi dari sayatan batupasir kasar dan sayatan matriks breksi diperoleh penamaan yang sama. Hal ini diperkirakan terjadi karena yang menjadi matriks pada breksi

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Kondisi Geomorfologi Morfologi yang ada pada daerah penelitian dipengaruhi oleh proses endogen dan proses eksogen. Proses endogen merupakan proses

Lebih terperinci

hancuran yang muncul sebagai breksiasi. Tebal batulempung dalam perselingan sangat bervariasi, dari 20 cm hingga 30 cm.

hancuran yang muncul sebagai breksiasi. Tebal batulempung dalam perselingan sangat bervariasi, dari 20 cm hingga 30 cm. hancuran yang muncul sebagai breksiasi. Tebal batulempung dalam perselingan sangat bervariasi, dari 20 cm hingga 30 cm. Adapun sisipan tebal konglomerat dicirikan dengan warna abu-abu kecoklatan, fragmen

Lebih terperinci

Subsatuan Punggungan Homoklin

Subsatuan Punggungan Homoklin Foto 3.6. Subsatuan Lembah Sinklin (foto ke arah utara dari daerah Pejaten). Foto 3.7. Subsatuan Lembah Sinklin (foto ke arah utara dari daerah Bulu). Subsatuan Punggungan Homoklin Subsatuan Punggungan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI Bentang alam dan morfologi suatu daerah terbentuk melalui proses pembentukan secara geologi. Proses geologi itu disebut dengan proses geomorfologi. Bentang

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Geomorfologi daerah penelitian dapat dianalisis dengan menggunakan beberapa media, yaitu peta kontur, citra satelit, dan citra Digital Elevation Model

Lebih terperinci

Kecamatan Nunukan, Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Timur

Kecamatan Nunukan, Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Timur Umur Analisis mikropaleontologi dilakukan pada contoh batuan pada lokasi NA805 dan NA 803. Hasil analisis mikroplaeontologi tersebut menunjukkan bahwa pada contoh batuan tersebut tidak ditemukan adanya

Lebih terperinci

Adanya cangkang-cangkang mikro moluska laut yang ditemukan pada sampel dari lokasi SD9 dan NG11, menunjukkan lingkungan dangkal dekat pantai.

Adanya cangkang-cangkang mikro moluska laut yang ditemukan pada sampel dari lokasi SD9 dan NG11, menunjukkan lingkungan dangkal dekat pantai. BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.2.2.3 Umur Berdasarkan data analisis mikrofosil pada sampel yang diambil dari lokasi BG4 (Lampiran B), spesies-spesies yang ditemukan antara lain adalah Globigerinoides

Lebih terperinci

Foto Singkapan batulempung-batupasir, batulempung dalam kondisi menyerpih. Lintasan Kali Bluncong (KB-3). Affan Arif Nurfarhan /

Foto Singkapan batulempung-batupasir, batulempung dalam kondisi menyerpih. Lintasan Kali Bluncong (KB-3). Affan Arif Nurfarhan / batas tegas dan sekuen relatif seragam (Foto 3. 6),batulempung berlapis sedang dengan ketebalan 20-25 cm, bersemen karbonatan, bersifat getas dan relatif menyerpih (Foto 3. 7). Batupasir berlapis sedang

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Daerah penelitian terletak di daerah Sarimekar dan sekitarnya, Jatinunggal, Kabupaten Sumedang. Morfologi yang tampak merupakan hasil

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. Geomorfologi Daerah Penelitian Morfologi muka bumi yang tampak pada saat ini merupakan hasil dari proses-proses geomorfik yang berlangsung. Proses geomorfik menurut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG MASALAH 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG MASALAH Pegunungan Selatan merupakan daerah dengan kondisi geologi yang menarik. Walaupun sudah banyak penelitan yang dilakukan di Pegunungan Selatan, namun kondisi

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Bentukan topografi dan morfologi daerah penelitian adalah interaksi dari proses eksogen dan proses endogen (Thornburry, 1989). Proses eksogen adalah proses-proses

Lebih terperinci

I.1 Latar Belakang I.2 Maksud dan Tujuan

I.1 Latar Belakang I.2 Maksud dan Tujuan BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Formasi Latih tersusun dari perselang-selingan antara batupasir kuarsa, batulempung, batulanau dan batubara dibagian atas, dan bersisipan dengan serpih pasiran dan

Lebih terperinci

Foto 3.12 Lokasi Singkapan batulempung B (DRM 3)

Foto 3.12 Lokasi Singkapan batulempung B (DRM 3) 3.2.3 Satuan Batulempung B Satuan ini menempati 10% luas daerah penelitian, terletak berada dibagian selatan daerah penelitian dan penyebarannya memanjang baratlaut tenggara Pada peta geologi satuan ini

Lebih terperinci

III.1 Morfologi Daerah Penelitian

III.1 Morfologi Daerah Penelitian TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN III.1 Morfologi Daerah Penelitian Morfologi suatu daerah merupakan bentukan bentang alam daerah tersebut. Morfologi daerah penelitian berdasakan pengamatan awal tekstur

Lebih terperinci

Umur dan Lingkungan Pengendapan Umur Satuan Batupasir-Batulempung berdasarkan hasil analisis foraminifera kecil yaitu N17-N20 atau Miosen

Umur dan Lingkungan Pengendapan Umur Satuan Batupasir-Batulempung berdasarkan hasil analisis foraminifera kecil yaitu N17-N20 atau Miosen 3.2.1.3 Umur dan Lingkungan Pengendapan Umur Satuan Batupasir-Batulempung berdasarkan hasil analisis foraminifera kecil yaitu N17-N20 atau Miosen Akhir-Pliosen Tengah bagian bawah (Lampiran B). Sampel

Lebih terperinci

Bab III Geologi Daerah Penelitian

Bab III Geologi Daerah Penelitian Bab III Geologi Daerah Penelitian Foto 3.4 Satuan Geomorfologi Perbukitan Blok Patahan dilihat dari Desa Mappu ke arah utara. Foto 3.5 Lembah Salu Malekko yang memperlihatkan bentuk V; foto menghadap ke

Lebih terperinci

Foto 3.21 Singkapan Batupasir Sisipan Batulempung Karbonan pada Lokasi GD-4 di Daerah Gandasoli

Foto 3.21 Singkapan Batupasir Sisipan Batulempung Karbonan pada Lokasi GD-4 di Daerah Gandasoli Lokasi pengamatan singkapan atupasir sisipan batulempung karbonan adalah pada lokasi GD-4 ( Foto 3.21) di daerah Gandasoli. Singkapan ini tersingkap pada salah satu sisi sungai. Kondisi singkapan segar.

Lebih terperinci

BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Geomorfologi daerah penelitian ditentukan berdasarkan intepretasi peta topografi, yang kemudian dilakukan pengamatan secara langsung di

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Jawa Barat Fisiografi Jawa Barat (Gambar 2.1), berdasarkan sifat morfologi dan tektoniknya dibagi menjadi empat bagian (Van Bemmelen, 1949 op. cit. Martodjojo, 1984),

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN Geologi Daerah Penelitian 3.1. Geomorfologi Daerah penelitian terletak di daerah kabupaten Sumedang. Secara fisiografi daerah penelitian termasuk ke dalam Zona antiklinorium

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Geomorfologi pada daerah penelitian ditentukan berdasarkan pengamatan awal pada peta topografi dan pengamatan langsung

Lebih terperinci

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 34 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P /

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 34 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P / Pada sayatan tipis (Lampiran C) memiliki ciri-ciri kristalin, terdiri dari dolomit 75% berukuran 0,2-1,4 mm, menyudut-menyudut tanggung. Matriks lumpur karbonat 10%, semen kalsit 14% Porositas 1% interkristalin.

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS FASIES PENGENDAPAN

BAB IV ANALISIS FASIES PENGENDAPAN BAB IV ANALISIS FASIES PENGENDAPAN IV.1 Litofasies Suatu rekaman stratigrafi pada batuan sedimen terlihat padanya karateristik fisik, kimia, biologi tertentu. Analisis rekaman tersebut digunakan untuk

Lebih terperinci

Bab IV. Analisa Fasies Pengendapan. 4.1 Data Sampel Intibor

Bab IV. Analisa Fasies Pengendapan. 4.1 Data Sampel Intibor BAB IV ANALISA FASIES PENGENDAPAN 4.1 Data Sampel Intibor Data utama yang digunakan dalam penfasiran lingkungan pengendapan dan analisa fasies ialah data intibor (Foto 4.1), data intibor merupakan data

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Fisiografi Jawa Barat Fisiografi Jawa Barat oleh van Bemmelen (1949) pada dasarnya dibagi menjadi empat bagian besar, yaitu Dataran Pantai Jakarta, Zona Bogor, Zona Bandung

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI Bentuk morfologi dan topografi di daerah penelitian dipengaruhi oleh proses eksogen yang bersifat destruktif dan proses endogen yang berisfat konstruktif.

Lebih terperinci

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL BAB 2 GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Secara fisiografis, menurut van Bemmelen (1949) Jawa Timur dapat dibagi menjadi 7 satuan fisiografi (Gambar 2), satuan tersebut dari selatan ke utara adalah: Pegunungan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Stratigrafi Daerah Nanga Kantu Stratigrafi Formasi Kantu terdiri dari 4 satuan tidak resmi. Urutan satuan tersebut dari tua ke muda (Gambar 3.1) adalah Satuan Bancuh

Lebih terperinci

BAB 4 KARAKTERISTIK RESERVOIR

BAB 4 KARAKTERISTIK RESERVOIR BAB 4 KARAKTERISTIK RESERVOIR Pada interval Formasi Talangakar Bawah didapat 2 interval reservoir yaitu reservoir 1 dan reservoir 2 yang ditunjukan oleh adanya separasi antara log neutron dan densitas.

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian. Analisis geomorfologi dilakukan untuk mempelajari bagaimana bentang alam terbentuk secara konstruksional (yang diakibatkan oleh gaya

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Geomorfologi Kondisi geomorfologi pada suatu daerah merupakan cerminan proses alam yang dipengaruhi serta dibentuk oleh proses

Lebih terperinci

BAB 3 Tatanan Geologi Daerah Penelitian

BAB 3 Tatanan Geologi Daerah Penelitian BAB 3 Tatanan Geologi Daerah Penelitian 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Analisis morfologi yang dilakukan pada daerah penelitian berdasarkan pengamatan tekstur yang tercermin dalam perbedaan ketinggian,

Lebih terperinci

Geologi Daerah Penelitian. III Hubungan Stratigrafi

Geologi Daerah Penelitian. III Hubungan Stratigrafi 30 Geologi Daerah Penelitian III.2.2.3. Hubungan Stratigrafi Dilihat dari arah kemiringan lapisan yang sama yaitu berarah ke timur dan pengendapan yang menerus, maka diperkirakan hubungan stratigrafi dengan

Lebih terperinci

BAB IV STUDI BATUPASIR NGRAYONG

BAB IV STUDI BATUPASIR NGRAYONG BAB IV STUDI BATUPASIR NGRAYONG 4. 1 Latar Belakang Studi Ngrayong merupakan Formasi pada Cekungan Jawa Timur yang masih mengundang perdebatan di kalangan ahli geologi. Perdebatan tersebut menyangkut lingkungan

Lebih terperinci

BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Analisis geomorfologi dilakukan untuk mempelajari proses bentang alam terbentuk secara konstruksional (yang diakibatkan oleh gaya endogen),

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN Berdasarkan pengamatan awal, daerah penelitian secara umum dicirikan oleh perbedaan tinggi dan ralief yang tercermin dalam kerapatan dan bentuk penyebaran kontur pada

Lebih terperinci

berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit.

berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit. berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit. (a) (c) (b) (d) Foto 3.10 Kenampakan makroskopis berbagai macam litologi pada Satuan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Geomorfologi daerah penelitian diamati dengan melakukan interpretasi pada peta topografi, citra

Lebih terperinci

Batulempung (Gambar 3.20), abu abu kehijauan, lapuk, karbonan, setempat terdapat sisipan karbon yang berwarna hitam, tebal ± 5 30 cm.

Batulempung (Gambar 3.20), abu abu kehijauan, lapuk, karbonan, setempat terdapat sisipan karbon yang berwarna hitam, tebal ± 5 30 cm. Gambar 3.17. Foto singkapan konglomerat, lokasi GGR-9 Gambar 3.18. Foto singkapan konglomerat, menunjukkan fragmen kuarsa dan litik, lokasi GGR-9 Secara megaskopis, ciri litologi batupasir berwarna putih

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI Pengamatan geomorfologi terutama ditujukan sebagai alat interpretasi awal, dengan menganalisis bentang alam dan bentukan-bentukan alam yang memberikan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Bentukan topografi dan morfologi daerah penelitian dipengaruhi oleh proses eksogen dan proses endogen. Proses eksogen adalah proses-proses

Lebih terperinci

Foto 3.5 Singkapan BR-8 pada Satuan Batupasir Kuarsa Foto diambil kearah N E. Eko Mujiono

Foto 3.5 Singkapan BR-8 pada Satuan Batupasir Kuarsa Foto diambil kearah N E. Eko Mujiono Batulempung, hadir sebagai sisipan dalam batupasir, berwarna abu-abu, bersifat non karbonatan dan secara gradasi batulempung ini berubah menjadi batuserpih karbonan-coally shale. Batubara, berwarna hitam,

Lebih terperinci

SISTEM ARUS TURBID DAN ARUS PEKAT

SISTEM ARUS TURBID DAN ARUS PEKAT SISTEM ARUS TURBID DAN ARUS PEKAT I. Pengenalan Sistem Arus Struktur sedimen di alam tidak dapat dipisahkan dari gambaran muka lapisan. Muka lapisan dihasilkan oleh materi yang inkoheren terhadap fluida.

Lebih terperinci

Foto III-11. T.abc sekuen Bouma pada Satuan Batupasir-Batulempung (CKG 11) Foto III-12. T.abc sekuen Bouma pada Satuan Batupasir-Batulempung (CKG 12)

Foto III-11. T.abc sekuen Bouma pada Satuan Batupasir-Batulempung (CKG 11) Foto III-12. T.abc sekuen Bouma pada Satuan Batupasir-Batulempung (CKG 12) Batupasir pada satuan ini memiliki ketebalan 5-100cm, berwarna abu-abu, berukuran pasir halus-kasar, tufaan, bentuk butir menyudut hingga menyudut tanggung kemas tertutup, terpilah sedang, porositas sedang,

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL II.1 Fisiografi Menurut van Bemmelen (1949), Jawa Timur dibagi menjadi enam zona fisiografi dengan urutan dari utara ke selatan sebagai berikut (Gambar 2.1) : Dataran Aluvial Jawa

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN III.1 Singkapan Stadion baru PON Samarinda Singkapan batuan pada torehan bukit yang dikerjakan untuk jalan baru menuju stadion baru PON XVI Samarinda. Singkapan tersebut

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Morfologi secara umum daerah penelitian tercermin dalam kerapatan dan bentuk penyebaran kontur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Karangsambung merupakan lokasi tempat tersingkapnya batuan-batuan campuran hasil dari proses subduksi yang terjadi pada umur Kapur Akhir sampai Paleosen. Batuan tertua

Lebih terperinci

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah penelitian secara umum tersusun atas bentang alam yang cukup kompleks yaitu, perbukitan, lembah dan dataran rendah. Interval ketinggian

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH NGAMPEL DAN SEKITARNYA

BAB III GEOLOGI DAERAH NGAMPEL DAN SEKITARNYA BAB III GEOLOGI DAERAH NGAMPEL DAN SEKITARNYA Pada bab ini akan dibahas mengenai hasil penelitian yaitu geologi daerah Ngampel dan sekitarnya. Pembahasan meliputi kondisi geomorfologi, urutan stratigrafi,

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. GEOMORFOLOGI Bentukan topografi dan morfologi daerah penelitian dipengaruhi oleh proses eksogen dan proses endogen. Proses eksogen adalah proses-proses yang bersifat

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN III.1 GEOMORFOLOGI III.1.1 Morfologi Daerah Penelitian Morfologi yang ada pada daerah penelitian dipengaruhi oleh proses endogen dan proses eksogen. Proses endogen merupakan

Lebih terperinci

Gambar 1. Kolom Stratigrafi Cekungan Jawa Barat Utara (Arpandi dan Padmosukismo, 1975)

Gambar 1. Kolom Stratigrafi Cekungan Jawa Barat Utara (Arpandi dan Padmosukismo, 1975) STRATIGRAFI CEKUNGAN JAWA BARAT BAGIAN UTARA Sedimentasi Cekungan Jawa Barat Utara mempunyai kisaran umur dari kala Eosen Tengah sampai Kuarter. Deposit tertua adalah pada Eosen Tengah, yaitu pada Formasi

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Bentukan topografi dan morfologi daerah penelitian adalah interaksi dari proses eksogen dan proses endogen (Thornburry, 1989). Proses eksogen adalah proses-proses

Lebih terperinci

BAB IV STUDI PASIR NGRAYONG

BAB IV STUDI PASIR NGRAYONG BAB IV STUDI PASIR NGRAYONG 4.2 Latar belakang Studi Ngrayong telah lama mengundang perdebatan bagi para geolog yang pernah bekerja di Cekungan Jawa Timur. Perbedaan tersebut adalah mengenai lingkungan

Lebih terperinci

Diagram Hjulstrom Diagram Hjulstrom menunjukkan hubungan antara kelajuan aliran air dengan ukuran butir. Diagram ini di tunjukkan oleh Hjulstrom pada

Diagram Hjulstrom Diagram Hjulstrom menunjukkan hubungan antara kelajuan aliran air dengan ukuran butir. Diagram ini di tunjukkan oleh Hjulstrom pada Diagram Hjulstrom Diagram Hjulstrom menunjukkan hubungan antara kelajuan aliran air dengan ukuran butir. Diagram ini di tunjukkan oleh Hjulstrom pada tahun 1939. Ada dua garis utama dalam diagram ini.

Lebih terperinci

BAB V FASIES BATUGAMPING DAERAH PENELITIAN

BAB V FASIES BATUGAMPING DAERAH PENELITIAN BAB V FASIES BATUGAMPING DAERAH PENELITIAN Fasies adalah suatu tubuh batuan yang dicirikan oleh kombinasi ciri litologi, ciri fisik dan biologi yang membedakannya dengan tubuh batuan yang berdekatan (Walker,

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Morfologi Daerah Penelitian Morfologi yang ada pada daerah penelitian dipengaruhi oleh proses endogen dan proses eksogen. Proses endogen merupakan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Geomorfologi Kondisi geomorfologi pada suatu daerah merupakan cerminan proses alam yang dipengaruhi serta dibentuk oleh proses

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DATA

BAB IV ANALISIS DATA BAB IV ANALISIS DATA Proses ini merupakan tahap pasca pengolahan contoh yang dibawa dari lapangan. Dari beberapa contoh yang dianggap mewakili, selanjutnya dilakukan analisis mikropaleontologi, analisis

Lebih terperinci

: Batugamping Kalsilutit-Batulempung : Mudstone (Dunham, 1962)/Batugamping Kalsilutit

: Batugamping Kalsilutit-Batulempung : Mudstone (Dunham, 1962)/Batugamping Kalsilutit : 09AS117 : Batugamping Kalsilutit-Batulempung : Mudstone (Dunham, 1962)/Batugamping Kalsilutit Sayatan batugamping Mudstone, butiran 8%) terdiri dari komponen cangkang biota (85%) berupa foraminifera

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Geomorfologi adalah ilmu tentang bentang alam, proses-proses yang terjadi dan pembentukannya, baik dari dalam (endogen) maupun di luar (eksogen). Geomorfologi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Maksud dan Tujuan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Maksud dan Tujuan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tugas Akhir merupakan persyaratan untuk mendapatkan gelar sarjana strata satu (S-1) di Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut

Lebih terperinci

GEOLOGI DAERAH SARIMEKAR DAN SEKITARNYA, KABUPATEN SUMEDANG - JAWA BARAT

GEOLOGI DAERAH SARIMEKAR DAN SEKITARNYA, KABUPATEN SUMEDANG - JAWA BARAT GEOLOGI DAERAH SARIMEKAR DAN SEKITARNYA, KABUPATEN SUMEDANG - JAWA BARAT TUGAS AKHIR Diajukan Sebagai Syarat Menyelesaikan Studi Tahap Sarjana (Strata-1) di Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Ilmu

Lebih terperinci

BAB II GOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN

BAB II GOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN BAB II GOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN 2.1 Kerangka Tektonik Sub-cekungan Jatibarang merupakan bagian dari Cekungan Jawa Barat Utara. Konfigurasi batuan dasar saat ini di daerah penelitian, yang menunjukkan

Lebih terperinci

S U KE 06. Gambar 3.8 Sketsa Penampang Lintasan E

S U KE 06. Gambar 3.8 Sketsa Penampang Lintasan E Batupasir, berwarna coklat kusam, kondisi agak lapuk ukuran butir pasir sedang, sub rounded, pemilahan baik, kemas tertutup, porositas baik, non karbonatan. Batulempung, abu abu gelap, karbonatan. 3.2.5

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Fisiografi Jawa Barat dapat dikelompokkan menjadi 6 zona yang berarah barattimur (van Bemmelen, 1949 dalam Martodjojo, 1984). Zona-zona ini dari utara ke

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI Menurut van Bemmelen (1949), fisiografi Jawa Barat dibagi menjadi enam zona, yaitu Zona Dataran Aluvial Utara Jawa Barat, Zona Antiklinorium Bogor, Zona Gunungapi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang I.2. Perumusan Masalah

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang I.2. Perumusan Masalah 15 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Daerah Bangunjiwo yang merupakan lokasi ini, merupakan salah satu desa di Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul, D.I Yogyakarta. Berdasarkan Peta Geologi Lembar Yogyakarta,

Lebih terperinci

STUDI FASIES ENDAPAN TURBIDIT FORMASI CITARUM, DAERAH CIPATAT, KAB. BANDUNG BARAT, JAWA BARAT

STUDI FASIES ENDAPAN TURBIDIT FORMASI CITARUM, DAERAH CIPATAT, KAB. BANDUNG BARAT, JAWA BARAT STUDI FASIES ENDAPAN TURBIDIT FORMASI CITARUM, DAERAH CIPATAT, KAB. BANDUNG BARAT, JAWA BARAT TUGAS AKHIR B disusun sebagai syarat menyelesaikan gelar Sarjana Strata Satu pada Program Studi Teknik Geologi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Subjek penelitian adalah studi biostratigrafi dan lingkungan pengendapan

BAB I PENDAHULUAN. Subjek penelitian adalah studi biostratigrafi dan lingkungan pengendapan BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Subjek dan Objek Penelitian Subjek penelitian adalah studi biostratigrafi dan lingkungan pengendapan Formasi Ngrayong di daerah Cepu (Gambar 1. 1). Penelitian meliputi definisi Formasi

Lebih terperinci

Gambar 4.5. Peta Isopach Net Sand Unit Reservoir Z dengan Interval Kontur 5 Kaki

Gambar 4.5. Peta Isopach Net Sand Unit Reservoir Z dengan Interval Kontur 5 Kaki Gambar 4.5. Peta Isopach Net Sand Unit Reservoir Z dengan Interval Kontur 5 Kaki Fasies Pengendapan Reservoir Z Berdasarkan komposisi dan susunan litofasies, maka unit reservoir Z merupakan fasies tidal

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH BANTARGADUNG

BAB III GEOLOGI DAERAH BANTARGADUNG BAB III GEOLOGI DAERAH BANTARGADUNG 3.1 GEOMORFOLOGI Metode yang dilakukan dalam analisis geomorfologi ini adalah dengan analisa peta topografi dan citra satelit, sehingga didapatkan kelurusan lereng,

Lebih terperinci

Ciri Litologi

Ciri Litologi Kedudukan perlapisan umum satuan ini berarah barat laut-tenggara dengan kemiringan berkisar antara 60 o hingga 84 o (Lampiran F. Peta Lintasan). Satuan batuan ini diperkirakan mengalami proses deformasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Deep water channel merupakan salah satu fasies di lingkungan laut dalam dengan karakteristik dari endapannya yang cenderung didominasi oleh sedimen berukuran kasar

Lebih terperinci