4.2 Pembuatan Kolom Stratigrafi Pembuatan kolom stratigrafi (Lampiran F) dilakukan berdasarkan atas

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "4.2 Pembuatan Kolom Stratigrafi Pembuatan kolom stratigrafi (Lampiran F) dilakukan berdasarkan atas"

Transkripsi

1 BAB IV ANALISIS SEDIMENTASI 4.1 Pendahuluan Kajian sedimentasi dilakukan melalui analisis perkembangan urutan vertikal lapisan batuan berdasarkan data singkapan batuan pada lokasi yang dianggap mewakili. Analisis perkembangan urutan vertikal lapisan batuan ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan Prinsip Hyulstrom, Hukum Walther dan analogi berdasarkan Model Fasies yang sudah ada. Prinsip Hyulstrom membahas mengenai hubungan erosi, transportasi dan sedimentasi batuan sedimen klastik melalui mekanisme arus traksi. Namun prinsip ini tidak berlaku pada keadaan arus gravitasi, walaupun kedua mekanisme tersebut sulit untuk dibedakan. Hukum Walther menyatakan bahwa urutan-urutan vertikal dalam sedimentasi mencerminkan urutan lateralnya. Hal ini didasarkan pada paradigma bahwa lingkungan pengendapan yang pada suatu waktu berdampingan, diwaktu yang berikutnya dapat terletak di atasnya sebagai dinamika sedimentasi. Untuk melakukan interpretasi terhadap sistem lingkungan pengendapannya, dilakukan dengan cara mengidentifikasi fasies pembentuknya berdasarkan pemodelan dari Walker dan James (1992). Konsep identifikasi fasies merujuk pada sejumlah karakteristik primer dari batuan sedimen yang menunjukkan proses pengendapan di suatu sistem lingkungan pengendapan tertentu. Dalam konsep analisis fasies, dinyatakan bahwa suatu hasil pengukuran penampang stratigrafi dapat dipisahkan menjadi unit-unit fasies yang berbeda, dimana masing-masing unit tersebut dapat berbeda karakteristik maupun tebalnya. Perbedaan karakteristik bersifat deskriptif, meliputi jenis litologi, struktur sedimen ataupun aspek biologinya (Walker dan James, 1992). Kombinasi fasies yang memiliki hubungan satu sama lain, kemudian membentuk asosiasi fasies. Dengan mengidentifikasi fasies dan asosiasi fasiesnya maka dapat diinterpretasikan lingkungan pengendapannya. 4.2 Pembuatan Kolom Stratigrafi Pembuatan kolom stratigrafi (Lampiran F) dilakukan berdasarkan atas 65

2 pengukuran penampang stratigrafi. Pengukuran penampang stratigrafi dilakukan pada 4 (empat) lintasan yang berbeda yaitu: pada Lintasan Pasirpogor 1 (PP 1), Lintasan Pasirpogor 6 (PP6), Lintasan Cicantayan 1 (CC 1) dan Lintasan Selagombong 6 ( SG 6). Keempat lintasan tersebut dilakukan secara vertikal memanjang dari utara sampai ke selatan daerah penelitian ( Lampiran G.3), namun tidak berhubungan secara langsung karena singkapan yang ideal di daerah penelitian sangat terbatas sehingga jarak antar lokasi pengukuran penampang tiap lokasi sangat renggang. Pengukuran penampang dilakukan pada formasi dan satuan batuan yang sama, yaitu satuan batupasir konglomeratan pada Formasi Walat. Kolom Stratigrafi yang disusun dari hasil pengukuran penampang stratigrafi untuk masing masing lintasan dapat dilihat dalam Lampiran F. 4.3 Analisis Fasies dan Lingkungan Pengendapan Studi khusus pada daerah penelitian diutamakan hanya pada analisis sedimentasi untuk Satuan Batupasir Konglomeratan dari Formasi Walat, karena sebagian besar litologi di daerah penelitian termasuk Satuan Batupasir Konglomeratan dan sebagian dari singkapan tersebut adalah ideal untuk melakukan studi sedimentasi dilhat dari ciri litologi beserta struktur sedimennya. Berdasarkan pengamatan ciri litologi di lapangan yaitu struktur sedimen yang ada, mineralogi kuarsa yang dominan, sisipan karbon, sifat batuan yang tidak karbonatan, adanya jejak tumbuhan dan didukung dari analisis stratigrafi beserta hasil analisis data - data sekunder berupa analisis petrografi, analisis granulometri dan didukung adanya bukti fosilisasi, maka interval yang diteliti secara sedimentasi termasuk ke dalam sistem pengendapan daerah fluvial, seperti yang telah dibahas lebih detail dalam stratigrafi daerah penelitian yang terdapat pada bab sebelumnya. Kemudian dari hasil analisa dari kolom stratigrafi, merujuk dari pemodelan sungai teranyam Miall, 1978 op.cit. Walker, 1984 (Gambar 4.1) dan tabel litofasies (tabel 4.1) diperoleh beberapa fasies diantaranya fasies channel dan fasies floodplain. Fasies channel dicirikan oleh konglomerat masif dengan butiran saling dukung (Gm), konglomerat berlapis tipis dengan butiran didukung matrik (Gmst), batupasir berlaminasi riple (Sr), dan batupasir masif (Sm). Kemudian terdapat litofasies yang menunjukkan batulempung karbonan (Fc), batulanau berlapis (Fl) dan batulempung masif berlapis (Fm) yang mencirikan endapan floodplain. Berdasarkan asosiasi 66

3 litofasies yang terdapat pada satuan ini dan suksesi vertikal yang menunjukkan lapisan yang saling beramalgamasi dengan kontak erosional, dapat disimpulkan bahwa lingkungan pengendapan pada satuan ini berada pada endapan sungai teranyam (Gambar 4.1), (a) (a) Model Suksesi Vertikal Sungai Teranyam (b) Model Sungai Teranyam Gambar 4.1 Model Sungai Teranyam (Miall, 1978 op.cit. Walker, 1984) (b) Tabel 4.1 Tabel Litofasies (Miall, 1978 op.cit. Walker, 1984) Litofasies berbutir sangat kasar Litofasies berbutir halus Gms Konglomerat masif (butiran didukung matriks) Fm Batulempung masif-berlapis Gmst Konglomerat berlapis tipis (buitran didukung matrik) Fl Batulempung (lanau) berlapis Gm Konglomerat masif (butiran saling dukung) Fc Batulempung karbonan C Batubara Litofasies berbutir kasar Sh Batupasir berlaminasi sejajar Sr Batupasir berlaminasi ripple Sp Batupasir planar cross bedding Sm Batupasir masif 67

4 4.3.1 Penampang Stratigrafi Pasirpogor 1 ( PP 1) Penampang Gambar 4.2 Penampang Stratigrafi Umum Lintasan Pasir Pogor 1 stratigrafi PP 1 merupakan lintasan yang paling utara, pengukuran penampang stratigrafi dilakukan di daerah penambangan di Pasirpogor (PP 1). Singkapan batuan di Lintasan PP 1 terdiri dari batupasir konglomeratan dengan matriks pasir kasar (Foto 4.2) bewarna putih sampai abu abu setempat kemerahan dengan sisipan lempung pada bagian bawah setebal 15 cm dari ketebalan total singkapan yang dapat terukur adalah kurang lebih 16,4 m. Suksesi vertikal dan siklus sedimentasi pada lokasi PP 1 dapat diamati pada kolom stratigrafi dari Gambar 4.2. Pada gambar terdapat tiga siklus sedimentasi, dimana pada siklus di bagian paling bawah terdapat suksesi yang menghalus ke atas. Namun pada siklus bagian tengah dan atas penampang startigarfi ini memperlihatkan suksesi yang relatif stabil (aggrading). Di bagian bawah kolom stratigrafi ini diendapkan batupasir konglomeratan (Foto 4.1 a). Batupasir ini diendapkan oleh sistem arus kuat atau mekanisme pengendapan arus traksi, hal ini dapat dilihat dari struktur sedimen planar cross bedding (Foto 4.1 d). Sehingga diinterpretasikan merupakan endapan channel. Terdapatnya struktur ripple (Foto 4.1 c) dan jejak kaki burung (Foto 4.1 b) menandakan telah terjadi pendangkalan dasar sungai dan berkurangnya kekuatan arus dan terjadi penyusutan air. Kemudian mulai ada arus yang relatif tenang sehingga terndapkan batulempung sebagai sisipan dengan mekanisme suspensi yang menandakan waktu pengendapan yang terjadi relatif sesaat. Selanjutnya pada siklus sedimentasi kedua terjadi peningkatan kekuatan arus secara drastis yang mengendapkan batupasir 68

5 konglomeratan sehingga mengerosi sisipan batulempung di bawahnya. Struktur sedimen yang berkembang yaitu planar cross bedding. Pada siklus sedimentasi ketiga terjadi mekanisme pengendapan batupasir konglomeratan yang sama dengan sebelumnya., struktur sedimen yang berkembang yaitu planar cross bedding. Secara keseluruhan paling tidak terjadi tiga siklus sedimentasi dengan mekanisme yang sama yaitu arus traksi dengan energi relatif kuat sehingga ditafsirkan lingkungan pada penampang lintasan ini terjadi endapan channel yang berulang ulang atau saling bertumpuk. Oleh karena itu dapat dikatakan sebagai endapan stacking channel dari lingkungan pengendapan pada sungai teranyam (braided river). a) Batupasir Konglomeratan dengan matriks pasir kasar dan fragmen berukuran kerikil - kerakal b) Jejak Kaki Burung dan Rain Mark pada Batupasir Konglomeratan 69

6 c) Struktur Sedimen Ripple d) Struktur Sedimen Planar Cross Bedding Foto 4.1 Singkapan dari Satuan Batupasir Konglomeratan di Lintasan PP Penampang Stratigrafi Pasirpogor 6 ( PP 6) Penampang Stratigrafi Pasirpogor 6 (PP 6) terletak pada salah satu daerah penambangan pasir kuarsa di Pasirpogor, berada disebelah selatan dari lokasi PP1. Singkapannya terletak pada sisi sisi tebing, terdiri dari batupasir konglomeratan dengan matriks pasir sedang bewarna putih sampai abu abu, setempat kemerahan dengan fragmen berukuran kerikil pada bagian bawah. Kemudian di bagian tengah dan atas kolom terdapat batulanau, batulempung karbonan dengan sisipan batubara dan batupasir ukuran pasir halus bewarna putih. Ketebalan total dari singkapan yang diukur adalah kurang lebih 37,2 m. Suksesi vertikal dan siklus sedimentasi pada lokasi PP 6 dapat diamati pada kolom stratigrafi dari Gambar 4.3.Secara keseluruhan lintasan ini memperlihatkan tiga siklus sedimentasi, dimana pada siklus di bagian paling bawah memperlihatkan suksesi yang relatif stabil (aggrading) dan pada bagian tengah dan atas penampang terlihat adanya suksesi yang menghalus ke atas (fining upward). Di bagian bawah kolom stratigrafi ini diendapkan batupasir konglomeratan ( Gms) yang diendapkan oleh sistem arus kuat atau mekanisme pengendapan arus traksi dengan struktur sedimen yang berkembang berupa planar cross bedding adanya sisipan lempung diatasnya menandakan lemahnya kekuatan arus secara sesaat, setelah itu kekuatan arus meningkat drastis ditandai dengan pengendapan batupasir konglomeratan yang berlapis relatif tipis (Gmst) sehingga menyebabkan kontak erosional pada sisipan batulempung dibawahnya (foto 4.3). Ditafsirkan merupakan 70

7 endapan channel. Setelah itu kekuatan arus mulai berkurang secara perlahan diendapkan batupasir berukuran butir halus bewarna putih sampai abu-abu Kemudian kekuatan arus semakin melemah ditandai dengan pengendapan batulempung karbonan ( Fc) dan terdapatnya sisipan batubara yang mengindikasikan merupakan endapan flood plain. Lalu kekuatan arus semakin meningkat ditandai dari pengendapan batulanau (Fl) sampai terendapkannya batupasir ukuran pasir halus (Sm) bewarna putih sampai abu abu, setempat kemerahan dengan sisipan sipan batulempung, menandakan kekuatan arus relatif stabil yang juga terkadang terjadi mekanisme suspensi untuk mengendapkan sisipan lempung, dinterpretasikan merupakan endapan channel. Setelah itu kembali diendapkan batupasir ukuran pasir halus. Di atasnya diendapkan batulanau (Fl) dan batulempung karbonan (Fc) dengan sisipan batubara yang menunjukkan kekuatan arus kembali melemah secara bertahap, diinterpretasikan merupakan endapan flood plain. Secara keseluruhan pada lintasan ini dapat diamati telah terjadi tiga siklus sedimentasi Berdasarkan elemen arsitektur beserta fasies fasies yang terdapat pada lintasan ini, maka dapat ditafsirkan menunjukkan lingkungan pengendapan sungai teranyam. Gambar 4.2 Penampang Stratigrafi Umum Lintasan Pasir Pogor 6 71

8 a) Kontak Antara Batu lanau (Fl) dengan Batulempung Karbonan (Fc)) b) Kontak Erosional antara Batulanau (Fl) dengan Batupasir Diatasnya (Sg) c) Singkapan Batupasir Konglomeratan (Gms) Foto 4.2 Singkapan dari Satuan Batupasir Konglomeratan di Lintasan PP Penampang Stratigrafi Cicantayan 1 ( CT 1) Penampang stratigrafi Cicantayan 1 terletak di selatan lokasi PP 6 yang merupakan salah satu daerah penambangan pasir kuarsa di Cicantayan yang berada di tengah daerah penelitian. Singkapan batuan di Lintasan PP 6 terdiri dari batupasir konglomeratan dengan matriks pasir kasar, fragmen berukuran kerikil kerakal dan konglomerat pada bagian bawah dan atas kolom, batulanau batulempung karbonan dengan sisipan batubara pada bagian tengah kolom. Ketebalan total dari singkapan yang dapat terukur adalah kurang lebih 26 m. 72

9 Gambar 4.4 Penampang Stratigrafi Umum Lintasan Cicantayan 1 Suksesi vertikal dan siklus sedimentasi pada lokasi Cicantayan dapat diamati pada kolom stratigrafi dari Gambar 4.4. Secara keseluruhan lintasan ini memperlihatkan empat siklus sedimentasi, dimana pada masing masing siklus tersebut adanya suksesi yang menghalus ke atas. Di bagian bawah kolom stratigrafi ini diendapkan batupasir konglomeratan (Gms) yang diendapkan oleh sistem arus kuat atau mekanisme pengendapan arus traksi, terdapatnya bioturbasi menunjukkan pada saat pengendapannya telah mengalami pendangkalan dan ditafsirkan sebagai endapan channel. Setelah itu kekuatan arus mulai berkurang sampai relatif tenang dengan diendapkannya batulanau (Fl) dan batulempung karbonan (Fc) dengan sisipan batubara, pada bagian ini ditafsirkan sebagai endapan flood plain. Kemudian kekuatan arus meningkat secara tiba tiba ditandai dengan pengendapan konglomerat masif (Gm) yang menunjukkan mekanisme arus traksi, hal tersebut mengakibatkan kontak yang bersifat erosional pada batulempung dibawahnya dan juga akibat pembebanan dari pengendapan konglomerat tersebut memberikan pembebanan terhadap batulempung yang belum terkompaksi dengan baik sehingga membentuk struktur loadcast pada konglomerat. Kemudian kekuatan arus menajdi relatif stabil dengan kembali diendapkannya batupasir konglomeratan dengan struktur sedimen yang berkembang berupa planar cross bedding. Terdapatnya sisipan konglomerat menunjukkan adanya arus kuat secara tiba tiba yang mengendapkan sisipan tersebut sehingga menyebabkan kontak yang erosional di bawah sisipan tersebut. Pada kolom bagian atas, adanya sisipan lempung diatasnya menandakan lemahnya kekuatan arus secara sesaat, setelah itu kekuatan arus meningkat drastis ditandai dengan pengendapan batupasir konglomeratan (Gmst) 73

10 yang menyebabkan kontak erosional pada sisipan batulempung dibawahnya. Tiga siklus sedimentasi dari kolom bagian atas menunjukkan endapan cannel yang saling beramalgamasi dengan kontak erosional membentuk suatu stacking channel. Secara keseluruhan terjadi empat siklus sedimentasi menghalus ke atas (fining upward). Berdasarkan elemen arsitektur beserta fasies fasies yang terdapat pada lintasan ini, maka dapat ditafsirkan menunjukkan lingkungan pengendapan sungai teranyam. a) Kontak Erosional Batupasir Konglomeratan dengan Sisipan batulempung b) Cross Bedding pada Batupasir Konglomeratan (Sp) c) Bioturbasi pada Batupasir Konglomeratan 74

11 a) Sisipan Konglomerat Masif pada Batupasir Konglomeratan (Gm) b) Struktur Sedimen Loadcast pada Konglomerat Foto 4.3 Singkapan dari Satuan Batupasir Konglomeratan di Lintasan CT Lintasan Selagombong 6 ( SG 6) Gambar 4.5 Penampang Stratigrafi Umum Lintasan Selagombong 6 Lintasan SG 6 terletak di selatan lokasi CT 1 di daerah selagombong yang tersingkap pada suatu tebing tererosi yang berada di selatan daerah penelitian.. Singkapan batuan di Lintasan SG 6 terdiri dari batupasir halus dengan sisipan batulanau dan batulempung karbonan dengan sisipan batubara pada bagian bawah kolom. Ketebalan total dari singkapan yang dapat terukur adalah kurang lebih 3,2 m. Suksesi vertikal dan siklus sedimentasi pada lokasi Cicantayan dapat diamati pada kolom stratigrafi dari Gambar 4.5.Secara keseluruhan lintasan ini memperlihatkan tiga siklus sedimentasi, dimana pada siklus di bagian paling bawah terdapat suksesi vertikal yang relatif stabil (aggrading), kemudian pada bagian tengah dan atas penampang menunjukkan suksesi vertikal menghalus ke atas (Fining Upward). Di bagian bawah kolom stratigrafi ini diendapkan batulempung karbonan dengan sisipan batubara dengan mekanisme suspensi, yang ditafsirkan merupakan endapan 75

12 flood plain. Setelah itu terjadi peningkatan arus energi yang mengendapkan perselingan antara batupasir halus dan batulanau dengan struktur sedimen yang berkembang berupa planar cross lamination, Wavy, Flaser dan parallel lamination. Diinterpretasikan merupakan endapan inter channel. Secara keseluruhan paling tidak telah terjadi tiga siklus sedimentasi. Berdasarkan elemen arsitektur beserta fasies fasies yang terdapat pada lintasan ini, maka dapat ditafsirkan menunjukkan lingkungan pengendapan sungai teranyam. (a) (b) Foto 4.4 Singkapan dari Satuan Batupasir Konglomeratan di Lintasan CT 1 (a) Struktur Sedimen Planar Cross Lamination, Parallel Lamination, Wavy dan Flaser (b) Struktur Sedimen Parallel Lamination, Wavy dan Flaser, Planar Cross Lamination 76

13 4.4 Pembahasan Berdasarkan hasil penelitian ini, penulis menyimpulkan bahwa Satuan Batupasir Konglomeratan ini merupakan lingkungan fluvial. Hal ini sesuai dengan pendapat peneliti sebelumnya terutama dari hasil pengendapan Formasi Bayah oleh Martodjojo (1984), namun penulis lebih merinci hasil penelitian dengan hanya berfokus di daerah Gunung Walat, dimana menurut Effendi dkk. (1998) Satuan Batupasir Konglomeratan termasuk ke dalam Formasi Walat yang berumur Oligosen Awal. Untuk umur penulis sepakat kepada pendapat Effendi (1998) yang mengatakan bahwa umur Formasi ini adalah Eosen Akhir Oligosen Awal, dimana pendapat tersebut berdasarkan penelitian terbaru yang dilakukan pada daerah Walat Sehingga dinamakan Formasi Walat, sesuai dengan nama daerah tersebut. Berdasarkan analisa proses sedimentasi masing masing lintasan menunjukkan lingkungan pengendapan yang sama yaitu sungai teranyam. Tidak adanya perubahan lingkungan pengendapan satuan batupasir konglomeratan dari utara sampai ke selatan daerah penelitian pengamatan menandakan bahwa rentang umur pengendapan dari setiap lintasan relatif tidak berbeda jauh, dikarenakan elemen arsitekturnya mempunyai ciri ciri yang sama. Hampir di setiap lintasan, urutan stratigrafi secara vertikal memperlihatkan lapisan batupasir konglomeratan saling beramalgamasi dengan kontak erosional membentuk suatu stacking channel. Hal ini menjadi ciri khusus pada lingkungan sungai teranyam karena menunjukkan suatu lingkungan berenergi tinggi, yang juga sesuai dengan pemodelan sungai teranyam oleh Selley, 1976 op. cit. Galloway dan Hobday, 1983 (Gambar 4.6). Adanya kehadiran lapisan tipis konglomerat mencerminkan suatu energi pengendapan tinggi yg tidak berlangsung lama. Peningkatan arus yg sebentar ini kemungkinan terjadi pada keadaan banjir. Untuk pengendapan batulanau dan batulempung berada dalam sistem pengendapan energi rendah yang ditafsirkan sebagai endapan floodplain. Secara keseluruhan setiap lintasan yang ada mencerminkan suatu lingkungan berenergi tinggi, ditandai dengan dominasi batupasir berukuran kasar sampai kerikil. Kehadiran flood plain diperkirakan berada saat channel telah berpindah alur sehingga menjadi lingkungan abandoned channel dimana pada perkembangannya menjadi suatu floodplain. Namun hal tersebut tidak berlangsung lama sebagaimana pada 77

14 lingkungan meander yang dapat berkembang lebih lanjut menjadi marsh, hal tersebut dikarenakan suplai sedimen dan kekuatan arus yang tinggi pada sungai teranyam akan mengerosi secara lateral bars atau inter channel yang ada. Oleh karena itu floodplain tidak berkembang dengan baik ditandai dengan kemunculan batubara yang hanya sebagai sisipan. Sumber sedimentasi satuan ini diperkirakan berasal dari utara, yaitu Paparan Sunda di utara daerah penelitian pada Eosen Akhir Oligosen awal. Hal tersebut berdasarkan analisis petrografi (Lampiran A) memperlihatkan komposisi pada batupasir yang bersifat granitis atau bersifat asam merupakan hasil dari perombakan intrusi batuan granit pada paparan kontinen( Paparan Sunda), hal ini didukung dari penelitian Martodjojo (1984) yang juga mengatakan arah pengendapan lapisan silang siur pada formasi ini, yakni relatif dari arah utara yang bergerak ke selatan dan mengendap pada Cekungan Bogor. (a) (b) (a) Penampang Vertikal Sungai Braided (b) Diagram Blok Sungai Braided Gambar 4.6 Model Endapan Sungai Teranyam Menurut Selley, 1976 op. cit. Galloway dan Hobday,

BAB IV Kajian Sedimentasi dan Lingkungan Pengendapan

BAB IV Kajian Sedimentasi dan Lingkungan Pengendapan BAB IV KAJIAN SEDIMENTASI DAN LINGKUNGAN PENGENDAPAN 4.1 Pendahuluan Kajian sedimentasi dilakukan melalui analisis urutan vertikal terhadap singkapan batuan pada lokasi yang dianggap mewakili. Analisis

Lebih terperinci

BAB IV SIKLUS SEDIMENTASI PADA SATUAN BATUPASIR

BAB IV SIKLUS SEDIMENTASI PADA SATUAN BATUPASIR BAB IV SIKLUS SEDIMENTASI PADA SATUAN BATUPASIR 4.1 Pendahuluan Kajian terhadap siklus sedimentasi pada Satuan Batupasir dilakukan dengan analisis urutan secara vertikal terhadap singkapan yang mewakili

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS SEDIMENTASI

BAB IV ANALISIS SEDIMENTASI BAB IV ANALISIS SEDIMENTASI 4.1 Pendahuluan Kajian sedimentasi dilakukan melalui analisis urutan vertikal terhadap singkapan batuan pada lokasi yang dianggap mewakili. Analisis urutan vertikal ini dilakukan

Lebih terperinci

BAB IV ASOSIASI FASIES DAN PEMBAHASAN

BAB IV ASOSIASI FASIES DAN PEMBAHASAN BAB IV ASOSIASI FASIES DAN PEMBAHASAN 4.1 Litofasies Menurut Walker dan James pada 1992, litofasies adalah suatu rekaman stratigrafi pada batuan sedimen yang menunjukkan karakteristik fisika, kimia, dan

Lebih terperinci

BAB IV STUDI SEDIMENTASI PADA FORMASI TAPAK BAGIAN ATAS

BAB IV STUDI SEDIMENTASI PADA FORMASI TAPAK BAGIAN ATAS BAB IV STUDI SEDIMENTASI PADA FORMASI TAPAK BAGIAN ATAS 4.1 Pendahuluan Untuk studi sedimentasi pada Formasi Tapak Bagian Atas dilakukan melalui observasi urutan vertikal terhadap singkapan batuan yang

Lebih terperinci

Foto 4.9 Singkapan batupasir sisipan batulempung

Foto 4.9 Singkapan batupasir sisipan batulempung sebagai endapan delta mouth bar pada sistem delta. 4.3.3 Lintasan C Delta Front Pada bagian bawah dari kolom stratigrafi lintasan ini, didapatkan litologi batupasir dan batulempung dengan suksesi vertikal

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS FASIES PENGENDAPAN

BAB IV ANALISIS FASIES PENGENDAPAN BAB IV ANALISIS FASIES PENGENDAPAN IV.1 Litofasies Suatu rekaman stratigrafi pada batuan sedimen terlihat padanya karateristik fisik, kimia, biologi tertentu. Analisis rekaman tersebut digunakan untuk

Lebih terperinci

BAB III Perolehan dan Analisis Data

BAB III Perolehan dan Analisis Data BAB III Perolehan dan Analisis Data BAB III PEROLEHAN DAN ANALISIS DATA Lokasi penelitian, pada Peta Geologi Lembar Cianjur skala 1 : 100.000, terletak di Formasi Rajamandala. Penelitian lapangan berupa

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Perolehan Data dan Lokasi Penelitian Lokasi penelitian pada Peta Geologi Lembar Cianjur skala 1 : 100.000 terletak di Formasi Rajamandala (kotak kuning pada Gambar

Lebih terperinci

BAB III ANALISIS FASIES PENGENDAPAN FORMASI TALANG AKAR

BAB III ANALISIS FASIES PENGENDAPAN FORMASI TALANG AKAR BAB III ANALISIS FASIES PENGENDAPAN FORMASI TALANG AKAR 3.1. Litofasies Menurut Walker (1992), fasies merupakan kenampakan suatu tubuh batuan yang dikarekteristikan oleh kombinasi dari litologi, struktur

Lebih terperinci

Bab IV. Analisa Fasies Pengendapan. 4.1 Data Sampel Intibor

Bab IV. Analisa Fasies Pengendapan. 4.1 Data Sampel Intibor BAB IV ANALISA FASIES PENGENDAPAN 4.1 Data Sampel Intibor Data utama yang digunakan dalam penfasiran lingkungan pengendapan dan analisa fasies ialah data intibor (Foto 4.1), data intibor merupakan data

Lebih terperinci

BAB IV ANALISA SEDIMENTASI

BAB IV ANALISA SEDIMENTASI BAB IV ANALISA SEDIMENTASI Lingkungan pengendapan menurut Krumbein (1958, dalam Koesoemadinata, 1985) adalah keadaan yang kompleks yang disebabkan interaksi antara faktor-faktor fisika, kimia dan biologi,

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Stratigrafi Daerah Nanga Kantu Stratigrafi Formasi Kantu terdiri dari 4 satuan tidak resmi. Urutan satuan tersebut dari tua ke muda (Gambar 3.1) adalah Satuan Bancuh

Lebih terperinci

Geologi dan Studi Fasies Karbonat Gunung Sekerat, Kecamatan Kaliorang, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur.

Geologi dan Studi Fasies Karbonat Gunung Sekerat, Kecamatan Kaliorang, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur. Nodul siderite Laminasi sejajar A B Foto 11. (A) Nodul siderite dan (B) struktur sedimen laminasi sejajar pada Satuan Batulempung Bernodul. 3.3.1.3. Umur, Lingkungan dan Mekanisme Pengendapan Berdasarkan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS FASIES ENDAPAN TURBIDIT

BAB IV ANALISIS FASIES ENDAPAN TURBIDIT BAB IV ANALISIS FASIES ENDAPAN TURBIDIT 4.1 Fasies Turbidit adalah suatu sedimen yang diendapkan oleh mekanisme arus turbid (turbidity current), sedangkan arus turbid itu sendiri adalah suatu arus yang

Lebih terperinci

Bab III Geologi Daerah Penelitian

Bab III Geologi Daerah Penelitian Bab III Geologi Daerah Penelitian Foto 3.4 Satuan Geomorfologi Perbukitan Blok Patahan dilihat dari Desa Mappu ke arah utara. Foto 3.5 Lembah Salu Malekko yang memperlihatkan bentuk V; foto menghadap ke

Lebih terperinci

IV-15. Bab IV Analisis Asosiasi Fasies

IV-15. Bab IV Analisis Asosiasi Fasies pengaruh laut. Litofasies Sf, di bagian atas asosiasi, mengindikasikan adanya pengaruh arus pasang surut. Suksesi vertikal menghalus ke atas dan perubahan litofasies dari Sp dan Spb menjadi Sf. mengindikasikan

Lebih terperinci

III.1 Morfologi Daerah Penelitian

III.1 Morfologi Daerah Penelitian TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN III.1 Morfologi Daerah Penelitian Morfologi suatu daerah merupakan bentukan bentang alam daerah tersebut. Morfologi daerah penelitian berdasakan pengamatan awal tekstur

Lebih terperinci

STUDI FASIES PENGENDAPAN FORMASI BAYAH DAN FORMASI BATUASIH DAERAH PASIR BENDE, PADALARANG, KABUPATEN BANDUNG BARAT, JAWA BARAT

STUDI FASIES PENGENDAPAN FORMASI BAYAH DAN FORMASI BATUASIH DAERAH PASIR BENDE, PADALARANG, KABUPATEN BANDUNG BARAT, JAWA BARAT STUDI FASIES PENGENDAPAN FORMASI BAYAH DAN FORMASI BATUASIH DAERAH PASIR BENDE, PADALARANG, KABUPATEN BANDUNG BARAT, JAWA BARAT TUGAS AKHIR Disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar sarjana strata

Lebih terperinci

GEOLOGI DAN STUDI SEDIMENTASI PADA SATUAN BATUPASIR KONGLOMERATAN FORMASI WALAT, DAERAH CICANTAYAN DAN SEKITARNYA, SUKABUMI, JAWA BARAT SKRIPSI

GEOLOGI DAN STUDI SEDIMENTASI PADA SATUAN BATUPASIR KONGLOMERATAN FORMASI WALAT, DAERAH CICANTAYAN DAN SEKITARNYA, SUKABUMI, JAWA BARAT SKRIPSI GEOLOGI DAN STUDI SEDIMENTASI PADA SATUAN BATUPASIR KONGLOMERATAN FORMASI WALAT, DAERAH CICANTAYAN DAN SEKITARNYA, SUKABUMI, JAWA BARAT SKRIPSI Disusun untuk memenuhi persyaratan dalam memperoleh gelar

Lebih terperinci

Foto 3.5 Singkapan BR-8 pada Satuan Batupasir Kuarsa Foto diambil kearah N E. Eko Mujiono

Foto 3.5 Singkapan BR-8 pada Satuan Batupasir Kuarsa Foto diambil kearah N E. Eko Mujiono Batulempung, hadir sebagai sisipan dalam batupasir, berwarna abu-abu, bersifat non karbonatan dan secara gradasi batulempung ini berubah menjadi batuserpih karbonan-coally shale. Batubara, berwarna hitam,

Lebih terperinci

Raden Ario Wicaksono/

Raden Ario Wicaksono/ Foto 3.15 Fragmen Koral Pada Satuan Breksi-Batupasir. Lokasi selanjutnya perselingan breksi-batupasir adalah lokasi Bp-20 terdapat pada Sungai Ci Manuk dibagian utara dari muara antara Sungai Ci Cacaban

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN III.1 Singkapan Stadion baru PON Samarinda Singkapan batuan pada torehan bukit yang dikerjakan untuk jalan baru menuju stadion baru PON XVI Samarinda. Singkapan tersebut

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Berdasarkan bentuk topografi dan morfologi daerah penelitian maka diperlukan analisa geomorfologi sehingga dapat diketahui bagaimana

Lebih terperinci

I.1 Latar Belakang I.2 Maksud dan Tujuan

I.1 Latar Belakang I.2 Maksud dan Tujuan BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Formasi Latih tersusun dari perselang-selingan antara batupasir kuarsa, batulempung, batulanau dan batubara dibagian atas, dan bersisipan dengan serpih pasiran dan

Lebih terperinci

Umur dan Lingkungan Pengendapan Hubungan dan Kesetaraan Stratigrafi

Umur dan Lingkungan Pengendapan Hubungan dan Kesetaraan Stratigrafi 3.2.2.3 Umur dan Lingkungan Pengendapan Penentuan umur pada satuan ini mengacu pada referensi. Satuan ini diendapkan pada lingkungan kipas aluvial. Analisa lingkungan pengendapan ini diinterpretasikan

Lebih terperinci

Foto 3.21 Singkapan Batupasir Sisipan Batulempung Karbonan pada Lokasi GD-4 di Daerah Gandasoli

Foto 3.21 Singkapan Batupasir Sisipan Batulempung Karbonan pada Lokasi GD-4 di Daerah Gandasoli Lokasi pengamatan singkapan atupasir sisipan batulempung karbonan adalah pada lokasi GD-4 ( Foto 3.21) di daerah Gandasoli. Singkapan ini tersingkap pada salah satu sisi sungai. Kondisi singkapan segar.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ditemukannya fosil hominid berupa tengkorak dan rahang bawah oleh von

BAB I PENDAHULUAN. ditemukannya fosil hominid berupa tengkorak dan rahang bawah oleh von BAB I PENDAHULUAN I.I. Latar Belakang Daerah Sangiran merupakan daerah yang cukup terkenal penting karena ditemukannya fosil hominid berupa tengkorak rahang bawah oleh von Koeningswald (1940). Salah satu

Lebih terperinci

Daftar Isi Bab I Pendahuluan Bab II Geologi Regional Bab III Dasar Teori

Daftar Isi Bab I Pendahuluan Bab II Geologi Regional Bab III Dasar Teori Daftar Isi Halaman Judul... i Halaman Pengesahan... ii Halaman Pernyataan... iii Kata Pengantar... iv Sari... v Abstract... vi Daftar Isi... vii Daftar Gambar... ix Daftar Tabel... xi Daftar Lampiran...

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Maksud dan Tujuan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Maksud dan Tujuan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tugas Akhir merupakan persyaratan untuk mendapatkan gelar sarjana strata satu (S-1) di Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut

Lebih terperinci

3.3 Stratigrafi Daerah Penelitian

3.3 Stratigrafi Daerah Penelitian 3.3 Stratigrafi Daerah Penelitian Umur Formasi Satuan Batuan Tebal (m) Simbol Litologi Deskripsi Litologi Lingkungan Pengendapan Breksi Volkanik, coklat terang, matriks berukuran Kwarter Kuarter Endapan

Lebih terperinci

BAB IV STUDI BATUPASIR NGRAYONG

BAB IV STUDI BATUPASIR NGRAYONG BAB IV STUDI BATUPASIR NGRAYONG 4. 1 Latar Belakang Studi Ngrayong merupakan Formasi pada Cekungan Jawa Timur yang masih mengundang perdebatan di kalangan ahli geologi. Perdebatan tersebut menyangkut lingkungan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Daerah penelitian berada pada kuasa HPH milik PT. Aya Yayang Indonesia Indonesia, yang luasnya

Lebih terperinci

Kecamatan Nunukan, Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Timur

Kecamatan Nunukan, Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Timur Umur Analisis mikropaleontologi dilakukan pada contoh batuan pada lokasi NA805 dan NA 803. Hasil analisis mikroplaeontologi tersebut menunjukkan bahwa pada contoh batuan tersebut tidak ditemukan adanya

Lebih terperinci

Geologi dan Potensi Sumberdaya Batubara, Daerah Dambung Raya, Kecamatan Bintang Ara, Kabupaten Tabalong, Propinsi Kalimantan Selatan

Geologi dan Potensi Sumberdaya Batubara, Daerah Dambung Raya, Kecamatan Bintang Ara, Kabupaten Tabalong, Propinsi Kalimantan Selatan Gambar 3.8 Korelasi Stratigrafi Satuan Batupasir terhadap Lingkungan Delta 3.2.3 Satuan Batulempung-Batupasir Persebaran (dominasi sungai) Satuan ini menempati 20% dari luas daerah penelitian dan berada

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN Berdasarkan pengamatan awal, daerah penelitian secara umum dicirikan oleh perbedaan tinggi dan ralief yang tercermin dalam kerapatan dan bentuk penyebaran kontur pada

Lebih terperinci

Arus Traksi dan Arus Turbidit

Arus Traksi dan Arus Turbidit Arus Traksi dan Arus Turbidit Transportasi dan Deposisi Sedimen Media transportasi dari sedimen pada umumnya dapat dibagi menjadi berikut ini : Air - Gelombang - Pasang Surut - Arus Laut Udara Es Gravitasi

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Jawa Barat Fisiografi Jawa Barat (Gambar 2.1), berdasarkan sifat morfologi dan tektoniknya dibagi menjadi empat bagian (Van Bemmelen, 1949 op. cit. Martodjojo, 1984),

Lebih terperinci

BAB III ANALISIS GEOMETRI DAN KUALITAS RESERVOIR

BAB III ANALISIS GEOMETRI DAN KUALITAS RESERVOIR BAB III ANALISIS GEOMETRI DAN KUALITAS RESERVOIR 3.1 Metodologi Penelitian Analisis geometri dan kualitas reservoir dilakukan untuk memberikan informasi geologi yang realistis dari suatu reservoir. Informasi

Lebih terperinci

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Secara umum, daerah penelitian memiliki morfologi berupa dataran dan perbukitan bergelombang dengan ketinggian

Lebih terperinci

BAB III STRATIGRAFI 3. 1 Stratigrafi Regional Pegunungan Selatan

BAB III STRATIGRAFI 3. 1 Stratigrafi Regional Pegunungan Selatan BAB III STRATIGRAFI 3. 1 Stratigrafi Regional Pegunungan Selatan Stratigrafi regional Pegunungan Selatan dibentuk oleh endapan yang berumur Eosen-Pliosen (Gambar 3.1). Menurut Toha, et al. (2000) endapan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. potensi sumber daya energi yang cukup besar seperti minyak bumi, gas, batubara

BAB I PENDAHULUAN. potensi sumber daya energi yang cukup besar seperti minyak bumi, gas, batubara BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Cekungan Barito merupakan salah satu cekungan tersier yang memiliki potensi sumber daya energi yang cukup besar seperti minyak bumi, gas, batubara dan sumber daya

Lebih terperinci

BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Geomorfologi daerah penelitian ditentukan berdasarkan intepretasi peta topografi, yang kemudian dilakukan pengamatan secara langsung di

Lebih terperinci

Catatan Kuliah Lapangan Sedimentologi. Parapat Samosir Pusuk Buhit April 2011

Catatan Kuliah Lapangan Sedimentologi. Parapat Samosir Pusuk Buhit April 2011 Catatan Kuliah Lapangan Sedimentologi Parapat Samosir Pusuk Buhit 22 24 April 2011 Hari Pertama. Jum at, 22 April 2011 Materi : Sedimentologi Sungai, Meander, Flood Plain Sungai adalah suatu sistem yang

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. BAB II GEOLOGI REGIONAL... 9 II.1. Tektonik... 9 II.2. Struktur Geologi II.3. Stratigrafi II.4. Sistem Perminyakan...

DAFTAR ISI. BAB II GEOLOGI REGIONAL... 9 II.1. Tektonik... 9 II.2. Struktur Geologi II.3. Stratigrafi II.4. Sistem Perminyakan... DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL.... i HALAMAN PENGESAHAN.... ii HALAMAN PERNYATAAN.... iii IJIN PENGGUNAAN DATA.... iv KATA PENGANTAR.... v SARI........ vii ABSTRACT....... viii DAFTAR ISI............ ix DAFTAR

Lebih terperinci

BAB IV UNIT RESERVOIR

BAB IV UNIT RESERVOIR BAB IV UNIT RESERVOIR 4.1. Batasan Zona Reservoir Dengan Non-Reservoir Batasan yang dipakai untuk menentukan zona reservoir adalah perpotongan (cross over) antara kurva Log Bulk Density (RHOB) dengan Log

Lebih terperinci

Gambar 4.5. Peta Isopach Net Sand Unit Reservoir Z dengan Interval Kontur 5 Kaki

Gambar 4.5. Peta Isopach Net Sand Unit Reservoir Z dengan Interval Kontur 5 Kaki Gambar 4.5. Peta Isopach Net Sand Unit Reservoir Z dengan Interval Kontur 5 Kaki Fasies Pengendapan Reservoir Z Berdasarkan komposisi dan susunan litofasies, maka unit reservoir Z merupakan fasies tidal

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. Geomorfologi Daerah Penelitian Morfologi muka bumi yang tampak pada saat ini merupakan hasil dari proses-proses geomorfik yang berlangsung. Proses geomorfik menurut

Lebih terperinci

BAB 4 KARAKTERISTIK RESERVOIR

BAB 4 KARAKTERISTIK RESERVOIR BAB 4 KARAKTERISTIK RESERVOIR Pada interval Formasi Talangakar Bawah didapat 2 interval reservoir yaitu reservoir 1 dan reservoir 2 yang ditunjukan oleh adanya separasi antara log neutron dan densitas.

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Morfologi mum Daerah Penelitian ecara umum morfologi daerah penelitian merupakan dataran dengan punggungan di bagian tengah daerah

Lebih terperinci

Bab II Geologi Regional

Bab II Geologi Regional BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1. Geologi Regional Kalimantan Kalimantan merupakan daerah yang memiliki tektonik yang kompleks. Hal tersebut dikarenakan adanya interaksi konvergen antara 3 lempeng utama, yakni

Lebih terperinci

Bab III Pengolahan dan Analisis Data

Bab III Pengolahan dan Analisis Data Bab III Pengolahan dan Analisis Data Dalam bab pengolahan dan analisis data akan diuraikan berbagai hal yang dilakukan peneliti untuk mencapai tujuan penelitian yang ditetapkan. Data yang diolah dan dianalisis

Lebih terperinci

DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN... 1

DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN... 1 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii HALAMAN PERSEMBAHAN... iii UCAPAN TERIMAKASIH... iv KATA PENGANTAR... vi ABSTRAK... vii DAFTAR ISI... viii DAFTAR GAMBAR... xii DAFTAR TABEL... xvii

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISIS FASIES SEDIMENTASI DAN DISTRIBUSI BATUPASIR C

BAB 4 ANALISIS FASIES SEDIMENTASI DAN DISTRIBUSI BATUPASIR C BAB 4 ANALISIS FASIES SEDIMENTASI DAN DISTRIBUSI BATUPASIR C 4.1. Analisis Litofasies dan Fasies Sedimentasi 4.1.1. Analisis Litofasies berdasarkan Data Batuan inti Litofasies adalah suatu tubuh batuan

Lebih terperinci

STUDI SEDIMENTASI DAN LINGKUNGAN PENGENDAPAN ENDAPAN KLASTIK DAERAH GUNUNG BENDE (PADALARANG) DAN CILEAT (SAGULING)

STUDI SEDIMENTASI DAN LINGKUNGAN PENGENDAPAN ENDAPAN KLASTIK DAERAH GUNUNG BENDE (PADALARANG) DAN CILEAT (SAGULING) STUDI SEDIMENTASI DAN LINGKUNGAN PENGENDAPAN ENDAPAN KLASTIK DAERAH GUNUNG BENDE (PADALARANG) DAN CILEAT (SAGULING) KABUPATEN BANDUNG BARAT, JAWA BARAT SKRIPSI Disusun untuk memenuhi persyaratan dalam

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Jawa Barat Pada dasarnya Van Bemmelen (1949) membagi fisiografi Jawa Barat menjadi empat bagian (Gambar 2.1) berdasarkan sifat morfologi dan tektoniknya, yaitu: a.

Lebih terperinci

BAB I Pendahuluan BAB I PENDAHULUAN

BAB I Pendahuluan BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tugas Akhir adalah matakuliah wajib dalam kurikulum pendidikan Tingkat Sarjana (S1) di Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI Pengamatan geomorfologi terutama ditujukan sebagai alat interpretasi awal, dengan menganalisis bentang alam dan bentukan-bentukan alam yang memberikan

Lebih terperinci

Gambar 3.6 Model progradasi kipas laut dalam (Walker, R. G., 1978).

Gambar 3.6 Model progradasi kipas laut dalam (Walker, R. G., 1978). (Satuan Breksi-Batupasir) adalah hubungan selaras dilihat dari kemenerusan umur satuan dan kesamaan kedudukan lapisan batuannya. Gambar 3.5 Struktur sedimen pada sekuen Bouma (Bouma, A. H., 1962). Gambar

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Bentuk dan Pola Umum Morfologi Daerah Penelitian Bentuk bentang alam daerah penelitian berdasarkan pengamatan awal tekstur berupa perbedaan tinggi dan relief yang

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Morfologi secara umum daerah penelitian tercermin dalam kerapatan dan bentuk penyebaran kontur

Lebih terperinci

dalam Zonasi Bolli & Saunders (1985), berdasarkan kandungan plangton tersebut maka kisaran umur satuan batuan ini adalah N21 atau Pliosen Atas.

dalam Zonasi Bolli & Saunders (1985), berdasarkan kandungan plangton tersebut maka kisaran umur satuan batuan ini adalah N21 atau Pliosen Atas. dalam Zonasi Bolli & Saunders (1985), berdasarkan kandungan plangton tersebut maka kisaran umur satuan batuan ini adalah N21 atau Pliosen Atas. III.2.1.5 Hubungan dan Kesebandingan Stratigrafi Hubungan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL II.1 Fisiografi Cekungan Kutai Cekungan Kutai merupakan salah satu cekungan di Indonesia yang menutupi daerah seluas ±60.000 km 2 dan mengandung endapan berumur Tersier dengan ketebalan

Lebih terperinci

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 34 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P /

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 34 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P / Pada sayatan tipis (Lampiran C) memiliki ciri-ciri kristalin, terdiri dari dolomit 75% berukuran 0,2-1,4 mm, menyudut-menyudut tanggung. Matriks lumpur karbonat 10%, semen kalsit 14% Porositas 1% interkristalin.

Lebih terperinci

Batupasir. Batulanau. Foto 3.15 Bagian dari Singkapan Peselingan Batulanau dengan Batupasir pada Lokasi Sdm.5 di Desa Sungapan

Batupasir. Batulanau. Foto 3.15 Bagian dari Singkapan Peselingan Batulanau dengan Batupasir pada Lokasi Sdm.5 di Desa Sungapan B T Batupasir Batulanau Foto 3.15 Bagian dari Singkapan Peselingan Batulanau dengan Batupasir pada Lokasi Sdm.5 di Desa Sungapan Lokasi pengamatan untuk singkapan breksi volkanik berada pada lokasi Sdm.1

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DATA

BAB IV ANALISIS DATA BAB IV ANALISIS DATA Proses ini merupakan tahap pasca pengolahan contoh yang dibawa dari lapangan. Dari beberapa contoh yang dianggap mewakili, selanjutnya dilakukan analisis mikropaleontologi, analisis

Lebih terperinci

dan Satuan Batulempung diendapkan dalam lingkungan kipas bawah laut model Walker (1978) (Gambar 3.8).

dan Satuan Batulempung diendapkan dalam lingkungan kipas bawah laut model Walker (1978) (Gambar 3.8). dan Satuan Batulempung diendapkan dalam lingkungan kipas bawah laut model Walker (1978) (Gambar 3.8). Gambar 3.7 Struktur sedimen pada sekuen Bouma (1962). Gambar 3.8 Model progradasi kipas bawah laut

Lebih terperinci

Umur GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Umur GEOLOGI DAERAH PENELITIAN Foto 3.7. Singkapan Batupasir Batulempung A. SD 15 B. SD 11 C. STG 7 Struktur sedimen laminasi sejajar D. STG 3 Struktur sedimen Graded Bedding 3.2.2.3 Umur Satuan ini memiliki umur N6 N7 zonasi Blow (1969)

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL Daerah penelitian ini telah banyak dikaji oleh peneliti-peneliti pendahulu, baik meneliti secara regional maupun skala lokal. Berikut ini adalah adalah ringkasan tinjauan literatur

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI CEKUNGAN TARAKAN

BAB II GEOLOGI CEKUNGAN TARAKAN BAB II GEOLOGI CEKUNGAN TARAKAN 2.1 Tinjauan Umum Daerah penelitian secara regional terletak pada Cekungan Tarakan. Cekungan Tarakan merupakan cekungan sedimentasi berumur Tersier yang terletak di bagian

Lebih terperinci

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 19 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P /

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 19 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P / BAB III GEOLOGI DAERAH PERBUKITAN RUMU 3.1 Geomorfologi Perbukitan Rumu Bentang alam yang terbentuk pada saat ini merupakan hasil dari pengaruh struktur, proses dan tahapan yang terjadi pada suatu daerah

Lebih terperinci

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah penelitian secara umum tersusun atas bentang alam yang cukup kompleks yaitu, perbukitan, lembah dan dataran rendah. Interval ketinggian

Lebih terperinci

Subsatuan Punggungan Homoklin

Subsatuan Punggungan Homoklin Foto 3.6. Subsatuan Lembah Sinklin (foto ke arah utara dari daerah Pejaten). Foto 3.7. Subsatuan Lembah Sinklin (foto ke arah utara dari daerah Bulu). Subsatuan Punggungan Homoklin Subsatuan Punggungan

Lebih terperinci

S U KE 06. Gambar 3.8 Sketsa Penampang Lintasan E

S U KE 06. Gambar 3.8 Sketsa Penampang Lintasan E Batupasir, berwarna coklat kusam, kondisi agak lapuk ukuran butir pasir sedang, sub rounded, pemilahan baik, kemas tertutup, porositas baik, non karbonatan. Batulempung, abu abu gelap, karbonatan. 3.2.5

Lebih terperinci

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL BAB 2 GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Secara fisiografis, menurut van Bemmelen (1949) Jawa Timur dapat dibagi menjadi 7 satuan fisiografi (Gambar 2), satuan tersebut dari selatan ke utara adalah: Pegunungan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Geomorfologi Kondisi geomorfologi pada suatu daerah merupakan cerminan proses alam yang dipengaruhi serta dibentuk oleh proses

Lebih terperinci

BAB IV PEMODELAN RESERVOAR

BAB IV PEMODELAN RESERVOAR BAB IV PEMODELAN RESERVOAR Daerah penelitian, Lapangan Yapin, merupakan lapangan yang sudah dikembangkan. Salah satu masalah yang harus dipecahkan dalam pengembangan lapangan adalah mendefinisikan geometri

Lebih terperinci

BAB II GOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN

BAB II GOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN BAB II GOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN 2.1 Kerangka Tektonik Sub-cekungan Jatibarang merupakan bagian dari Cekungan Jawa Barat Utara. Konfigurasi batuan dasar saat ini di daerah penelitian, yang menunjukkan

Lebih terperinci

Foto 3.6 Singkapan perselingan breksi dan batupasir. (Foto diambil di Csp-11, mengarah kehilir).

Foto 3.6 Singkapan perselingan breksi dan batupasir. (Foto diambil di Csp-11, mengarah kehilir). Apabila diperhatikan, hasil analisis petrografi dari sayatan batupasir kasar dan sayatan matriks breksi diperoleh penamaan yang sama. Hal ini diperkirakan terjadi karena yang menjadi matriks pada breksi

Lebih terperinci

3.2.3 Satuan Batulempung. A. Penyebaran dan Ketebalan

3.2.3 Satuan Batulempung. A. Penyebaran dan Ketebalan 3.2.3 Satuan Batulempung A. Penyebaran dan Ketebalan Satuan batulempung ditandai dengan warna hijau pada Peta Geologi (Lampiran C-3). Satuan ini tersingkap di bagian tengah dan selatan daerah penelitian,

Lebih terperinci

berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit.

berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit. berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit. (a) (c) (b) (d) Foto 3.10 Kenampakan makroskopis berbagai macam litologi pada Satuan

Lebih terperinci

Ciri Litologi

Ciri Litologi Kedudukan perlapisan umum satuan ini berarah barat laut-tenggara dengan kemiringan berkisar antara 60 o hingga 84 o (Lampiran F. Peta Lintasan). Satuan batuan ini diperkirakan mengalami proses deformasi

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Morfologi daerah penelitian berdasarkan pengamatan tekstur berupa perbedaan tinggi dan relief

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Bentukan topografi dan morfologi daerah penelitian adalah interaksi dari proses eksogen dan proses endogen (Thornburry, 1989). Proses eksogen adalah proses-proses

Lebih terperinci

BAB 2 Tatanan Geologi Regional

BAB 2 Tatanan Geologi Regional BAB 2 Tatanan Geologi Regional 2.1 Geologi Umum Jawa Barat 2.1.1 Fisiografi ZONA PUNGGUNGAN DEPRESI TENGAH Gambar 2.1 Peta Fisiografi Jawa Barat (van Bemmelen, 1949). Daerah Jawa Barat secara fisiografis

Lebih terperinci

Bab II Tinjauan Pustaka

Bab II Tinjauan Pustaka Bab II Tinjauan Pustaka II.1 Geologi Regional Cekungan Sumatera Tengah Cekungan Sumatera Tengah secara fisiografis terletak di antara Cekungan Sumatera Utara dan Cekungan Sumatera Selatan yang dibatasi

Lebih terperinci

HALAMAN PENGESAHAN KATA PENGANTAR

HALAMAN PENGESAHAN KATA PENGANTAR DAFTAR ISI S K R I P S I... I HALAMAN PENGESAHAN... II KATA PENGANTAR...... III HALAMAN PERSEMBAHAN... V SARI......... VI DAFTAR ISI... VII DAFTAR GAMBAR.... IX BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang.........

Lebih terperinci

Bab III Analisis Stratigrafi Sikuen

Bab III Analisis Stratigrafi Sikuen Bab III Analisis Stratigrafi Sikuen Reservoir batupasir Duri B2 merupakan bagian dari Formasi Duri dalam Kelompok Sihapas yang diperkirakan diendapkan pada Miosen Awal. Di bagian utara lapangan RantauBais,

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Geomorfologi Kondisi geomorfologi pada suatu daerah merupakan cerminan proses alam yang dipengaruhi serta dibentuk oleh proses

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi dan Geomorfologi Regional Secara fisiografis, daerah Jawa Barat dibagi menjadi 6 zona yang berarah timur-barat ( van Bemmelen, 1949 ). Zona tersebut dari arah utara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Profil Perusahaan PT. Cipta Kridatama didirikan 8 April 1997 sebagai pengembangan dari jasa penyewaan dan penggunaan alat berat PT. Trakindo Utama. Industri tambang Indonesia yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Karangsambung merupakan lokasi tempat tersingkapnya batuan-batuan campuran hasil dari proses subduksi yang terjadi pada umur Kapur Akhir sampai Paleosen. Batuan tertua

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Jawa Barat dapat dikelompokkan menjadi 6 zona fisiografi yang berarah barat-timur (van Bemmelen, 1949) (Gambar 2.1). Zona-zona tersebut dari utara ke selatan yaitu:

Lebih terperinci

STRATIGRAFI REGIONAL CEKUNGAN SUMATERA SELATAN

STRATIGRAFI REGIONAL CEKUNGAN SUMATERA SELATAN STRATIGRAFI REGIONAL CEKUNGAN SUMATERA SELATAN Oleh : Edlin Shia Tjandra (07211033) Fanny Kartika (07211038) Theodora Epyphania (07211115) TEKNIK GEOLOGI FAKULTAS TEKNOLOGI KEBUMIAN DAN ENERGI UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB 1. PENDAHULUAN...

BAB 1. PENDAHULUAN... DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii HALAMAN PERSEMBAHAN... iii UCAPAN TERIMA KASIH... iv KATA PENGANTAR... v SARI... vi DAFTAR ISI... vii DAFTAR GAMBAR... x DAFTAR TABEL... xii DAFTAR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sangat ekonomis yang ada di Indonesia. Luas cekungan tersebut mencapai

BAB I PENDAHULUAN. sangat ekonomis yang ada di Indonesia. Luas cekungan tersebut mencapai BAB I PENDAHULUAN I. 1. Latar Belakang Penelitian Cekungan Kutai merupakan salah satu cekungan penting dan bernilai sangat ekonomis yang ada di Indonesia. Luas cekungan tersebut mencapai 60.000 km 2 dan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Bentukan topografi dan morfologi daerah penelitian dipengaruhi oleh proses eksogen dan proses endogen. Proses eksogen adalah proses-proses

Lebih terperinci

BAB V FASIES BATUGAMPING DAERAH PENELITIAN

BAB V FASIES BATUGAMPING DAERAH PENELITIAN BAB V FASIES BATUGAMPING DAERAH PENELITIAN Fasies adalah suatu tubuh batuan yang dicirikan oleh kombinasi ciri litologi, ciri fisik dan biologi yang membedakannya dengan tubuh batuan yang berdekatan (Walker,

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Fisiografi Jawa Barat dibagi menjadi empat bagian besar (van Bemmelen, 1949): Dataran Pantai Jakarta (Coastal Plain of Batavia), Zona Bogor (Bogor Zone),

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM 6 BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Lokasi Penelitian Secara administrasi, lokasi penelitian berada di Kecamata Meureubo, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh. Sebelah utara Sebelah selatan Sebelah timur Sebelah

Lebih terperinci