PENDAHULUAN. Latar Belakang. Rusa Jawa dengan nama latin Rusa timorensis merupakan satwa endemik di

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PENDAHULUAN. Latar Belakang. Rusa Jawa dengan nama latin Rusa timorensis merupakan satwa endemik di"

Transkripsi

1 PENDAHULUAN Latar Belakang Rusa Jawa dengan nama latin Rusa timorensis merupakan satwa endemik di Indonesia khususnya di Pulau Jawa dan Bali. Satwa ini menurut Vié dkk., (2009), termasuk satwa yang berstatus VU (Vulnerable). Rawan (Vulnerable = VU) itu sendiri diterapkan pada takson yang tidak termasuk dalam kategori CR (Critically Endangered) atau EN (Endangered) namun mengalami resiko kepunahan yang tinggi di alam dalam waktu dekat sehingga dapat digolongkan dalam EW (Extinc in the Wild) (Semiadi dan Nugraha, 2004). Resiko tersebut kemungkinan akibat terjadinya perburuan liar. Di Papua, perburuan Rusa Jawa dilakukan secara berkelompok, antara 3 5 orang, dengan tujuan sebagian besar bersifat komersial, yaitu dagingnya. Sedangkan produk ranggah keras yang diperjualbelikan hanya merupakan nilai tambah dari hasil perburuan yang terjadi. Hal ini disebabkan pemburu sebenarnya tidak terlalu mementingkan jenis kelamin, tetapi lebih pada unsur kemudahan dalam mendapatkan rusa dengan ukuran badan yang besar. Daging rusa selain untuk konsumsi manusia, ranggah rusa juga dapat dimanfaatkan untuk pengobatan di beberapa negara Asia (Semiadi dkk., 2008; Santoso, 2011). Andoy (2002) menjabarkan jenis rusa yang diburu yaitu 44,69% jantan, 39,36% betina dan tidak pilih-pilih jantan betina 15,95%. Bagian-bagian rusa yang diambil yaitu bagian kepala 15,92%, badan 35,39%, jerohan 17,69%, dan tanduk 30,97%. 1

2 2 Pemda Kabupaten Merauke menyatakan bahwa konsumsi daging rusa di perkotaan mencapai kg setiap harinya. Menggunakan data estimasi tahun 1997 hingga 2002, menunjukkan bahwa pemasukan rusa ke pasar lokal mencapai sekitar ekor/tahun. Pola perburuan yang sporadis dilakukan olah siapapun dan menggunakan berbagai macam peralatan (senapan api, kendaraan, kelompok pemburu besar) membuat banyak rusa yang lari ke negara tetangga ataupun semakin masuk ke arah hutan pedalaman. Indikator penurunan populasi yang terjadi terlihat dari jumlah anggota rusa perkelompok. Perubahan dari masa lalu ke masa sekarang adalah dari ekor/kelompok menjadi hanya 4 6 ekor/kelompok. Perbandingan pola perburuan yang dilakukan masyarakat asli Papua di wilayah Taman Nasional Wasur melalui survei tahun 1997 menunjukkan bahwa babi liar sekitar 374 ekor/bulan, kangguru 870 ekor/bulan dan rusa 459 ekor/bulan (Semiadi dkk., 2008). Populasi Rusa Jawa (Rusa timorensis) di pulau Jawa kecil pada bulan Desember 2005 hingga Januari Penangkaran rusa terbesar di pulau Jawa yaitu di Jawa Timur, tercatat oleh BKSDA Jatim sebanyak 28 penangkar. Sedangkan di DIY hanya terdapat 4 penangkar (Anonim, 2010; Santoso, 2011). Rusa merupakan satwa liar yang terakhir didomestikasikan pada abad ke-20. Di luar negeri, pengembangbiakan rusa dimulai tahun 1970-an dan berkembang pesat sejak tahun Pengembangbiakan rusa di daerah tropis justru menggunakan Rusa Jawa dan pengembangbiakan ini telah berlangsung lebih dari 21 tahun di Mauritius, Kaledonia Baru, Australia dan Malaysia. Tepatnya secara resmi pengembangbiakan Rusa Jawa dimulai tahun 1976 dan hingga tahun 2004

3 3 masih berlangsung. Rusa juga memiliki prospek dikembangbiakkan sebagai hewan ternak karena berbagai hal. Daging rusa mengandung protein cukup tinggi, yaitu rata-rata 21,3 ± 0,3% yang umumnya konstan terhadap variasi umur dan jenis pakan. Kadar lemak daging rusa relatif rendah, yaitu sekitar 7%. Sedangkan kadar lemak daging sapi sekitar 25% (Semiadi dan Nugraha, 2004; Wirdateti dkk., 2005; Semiadi dkk., 2008; Ismail, 2011). Belum ada laporan tentang perbedaan siklus estrus Rusa Jawa di Lembah Universitas Gadjah Mada sebelumnya. Berdasarkan hal tersebut, apabila diketahui siklus estrus dan lama estrus Rusa Jawa pada bulan Agustus dan September maka akan mempermudah upaya pelestarian Rusa Jawa. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui siklus estrus dan lamanya estrus Rusa Jawa (Rusa timorensis) di Lembah Universitas Gadjah Mada. Manfaat Penelitian Skripsi ini dapat menjadi sumber bacaan bagi siapa saja yang ingin menambah wawasan tentang reproduksi rusa khususnya mengenai siklus estrusnya. Pengetahuan tentang siklus estrus dan lamanya estrus akan mempermudah ketepatan pengawinan Rusa Jawa, sehingga Rusa Jawa dapat dikembangbiakkan lebih efisien. Keberhasilan perkawinan tersebut nantinya akan mempermudah tercapainya pengupayaan Rusa Jawa (Rusa timorensis) sebagai

4 4 hewan potong dan pengupayaan pelestarian Rusa Jawa (Rusa timorensis) di penangkaran.

5 TINJAUAN PUSTAKA Di Indonesia, terdapat empat jenis rusa yang dapat dijumpai, yaitu Rusa Sambar (Cervus unicolor), Rusa Jawa (Rusa timorensis), Rusa Bawean (Axis kuhlii) dan Muncak/kijang (Muntiacus muntjak). Jenis rusa tersebut tersebar luas di pulau besar dan kecil di Indonesia. Selain dari empat jenis rusa di atas, di Indonesia juga dijumpai rusa tropis yang bukan asli Indonesia, yaitu Rusa Totol/chital (Axis axis) yang berasal dari India. Rusa Totol masuk ke Indonesia sekitar tahun 1814 dan berkembang pesat di Indonesia. Satwa ini tidak di lepas bebas di alam karena bukan satwa asli Indonesia. Rusa Totol ternyata sanggup melakukan perkawinan silang secara alami dengan Rusa Jawa yang meghasilkan turunan fertil. Hal ini tentu akan membahayakan kemurnian rusa asli di Indonesia apabila sampai terjadi perkawinan silang antar jenis di alam bebas (Semiadi dan Nugraha, 2004). Rusa Jawa merupakan rusa tropis kedua terbesar setelah Rusa Sambar. Jika dibandingkan dengan rusa tropis Indonesia lainnya, Rusa Jawa memiliki banyak anak jenis, sebagai rusa dengan nama daerah cukup beragam dan sebagai rusa yang paling luas tersebar di luar negeri (Semiadi dan Nugraha, 2004). Pemberian nama lokal cukup beragam, tergantung pada daerah asalnya. Di Pulau Jawa dikenal dengan nama Rusa Jawa, di Pulau Timor dikenal sebagai Rusa Timor, di Sulawesi dikenal sebagai Jonga dan di Kepulauan Maluku dikenal sebagai Rusa Deer (Semiadi dan Nugraha, 2004). 5

6 6 Upaya Konservasi Salah satu upaya konservasi yang dilakukan untuk mencegah terjadinya kepunahan yaitu dengan dilakukan penangkaran (konservasi). Konservasi dilakukan dengan dua cara yaitu kenservasi in situ dan konservasi ex situ. Konservasi in situ dilakukan dengan memelihara rusa pada habitatnya di hutan, sedangkan ex situ memindahkan rusa dari habitatnya kemudian ditangkarkan pada tempat yang ditentukan (Santoso, 2011). Status Rusa Jawa di Indonesia hingga saat ini masih merupakan satwa liar yang dilindungi oleh undang-undang. Hal ini disebabkan oleh populasi rusa di alam yang semakin menurun sebagai akibat adanya perburuan liar di alam bebas (kawasan hutan termasuk kawasan konservasi) (Santoso, 2011). Klasifikasi Ilmiah dan Morfologi Rusa Jawa tergolong ke dalam kerajaan Animalia dengan filum Chordata. Kelas dari Rusa Jawa yaitu Mammalia dengan ordo Cetartiodactyla dan masuk ke dalam keluarga Cervidae. Nama spesies Rusa Jawa, yaitu Rusa timorensis. Rusa Jawa juga mempunyai nama lain selain Rusa timorensis, yaitu: Cervus celebensis Rorig, 1896; Cervus hippelaphus G.Q. Cuvier, 1825 [preoccupied)]; Cervus lepidus Sundevall, 1846; Cervus moluccensis Quoy & Gaimard, 1830; Cervus peronii Cuvier, 1825; Cervus russa Muller & Schlegel, 1845; Cervus tavistocki Lydekker, 1900; Cervus timorensis de Blainville, 1822; dan Cervus tunjuc Horsfield, 1830 [nomen nudum] (Hedges, dkk., 2008).

7 7 Dilihat dari perbandingan ukuran ranggah kerasnya, kecenderungan Rusa Jawa asal Pulau Jawa mempunyai ukuran tubuh lebih besar dibandingkan dengan Rusa Jawa dari daerah lainnya. Rusa Jawa di Maluku berat badannya sekitar 30-40% lebih kecil dari Rusa Jawa asal Pulau Jawa. Warna bulu bervariasi antara coklat kemerahan hingga abu-abu kecoklatan (Semiadi dan Nugraha, 2004). Rusa Jawa memiliki rambut warna coklat dengan bagian bawah perut dan ekor berwarna putih. Ranggah Rusa Jawa lebih keras dari rusa sub spesies lainnya. Ukuran tubuhnya lebih besar, warna rambut bervariasi antara cokelat kemerahan hingga abu-abu kecokelatan, tekstur rambut lebih halus dibandingkan Rusa Sambar, dan perilaku sosialnya cenderung lebih tenang dibanding Rusa Sambar. Hewan jantan relatif lebih besar dari hewan betinanya. Tinggi badannya antara cm dengan bobot badan kg, lebih kecil bila dibandingkan Rusa Sambar (Cervus unicolor). Rusa jantan memiliki tanduk bercabang. Tanduk akan tumbuh pertama kali pada anak jantan umur delapan bulan. Setelah dewasa, ranggah menjadi sempurna yang ditandai dengan terdapatnya tiga ujung runcing (Santoso, 2011). Pada umumnya Rusa Jawa bunting selama delapan bulan, dengan jumlah kelahiran tunggal. Kemudian, anak rusa pada umur 6-8 bulan disapih oleh induknya. Rusa dewasa umur bulan siap untuk bereproduksi. Rusa Jawa ini dapat hidup mencapai 20 tahun (15-20 tahun) (Santoso, 2011).

8 8 Siklus Estrus Mamalia Menurut Schatten dan Constantinescu (2007) siklus estrus didefinisikan sebagai periode yang berulang dari perubahan fisiologis dan perilaku di setiap siklus reproduksi. Estrus atau heat adalah periode penerimaan seksual, dan dalam bahasa Latin, berarti "keinginan gila". Empat sampai lima fase menyusun siklus estrus tunggal, yaitu proestrus, estrus, metestrus (tidak hadir di semua spesies), diestrus, dan anestrus. Nalley dkk., (2011) menyampaikan lama estrus adalah periode waktu terjadinya estrus, yakni saat munculnya gejala estrus sampai gejala estrus tersebut hilang. Pengaturan Hormonal Siklus Estrus Faktor gonadotropin releasing hormone (GnRH) dari hipotalamus menginduksi hipofisis anterior (adenohypophysis) untuk memproduksi dan melepaskan follicle stimulating hormone (FSH). Follicle stimulating hormone mempromosikan perkembangan folikel ovarium dan merangsang sel-sel granulosa untuk mengkonversi androgen dari sel teka menjadi estrogen (Schatten dan Constantinescu, 2007). Di dalam uterus, estrogen merangsang pertumbuhan dan percabangan dari kelenjar endometrium dan akumulasi cairan dalam stroma uterus (edema uterus). Estrogen merangsang servik untuk memproduksi plug lendir dan meningkatkan ketebalan epitel vagina. Tingkat estrogen puncak terjadi pada saat betina bersedia menerima pejantan (estrus atau heat). Pada akhirnya, dalam menanggapi estrogen,

9 9 kelenjar hipofisis anterior melepaskan gelombang ovulasi luteinizing hormone (LH), yang berujung pada pecahnya folikel (Schatten dan Constantinescu, 2007). Proestrus dan Estrus Menurut Schatten dan Constantinescu (2007) proestrus dan estrus merupakan bagian dari siklus estrus dan dianggap sebagai fase folikuler. Pada fase ini, folikel ovarium untuk berovulasi berkembang menjadi folikel tersier. Proestrus adalah fase dari siklus estrus ditandai dengan pertumbuhan folikel, konsentrasi estrogen meningkat, dan pengembangan endometrium. Estrus ditandai dengan konsentrasi estrogen memuncak dan yang lebih penting pada periode ini ketika betina menerima saat dinaiki oleh pejantan. Menurut Elis (2013) dan Samsudewa dan Capitan (2011) estrus Rusa Jawa ditandai dengan perilaku membaui, menaiki, dan terjadi perubahan pada vagina. Adanya tingkah laku yang muncul pada betina merupakan tanda bagi pejantan untuk menaiki betina. Tanda utama estrus, yaitu: ekor diangkat, vokalisasi atau berteriak-teriak (shouting) dan terlihat gelisah. Tanda yang dominan yaitu betina terlihat menaiki betina lain dan membaui pejantan. Tanda akhir yaitu betina terlihat diam apabila dinaiki pejantan. Schatten dan Constantinescu (2007) menyampaikan ovulasi terjadi pada akhir estrus dan pada saat ini, konsentrasi estrogen menurun di sebagian besar spesies. Metestrus dan Diestrus Metestrus dan diestrus merupakan fase luteal dari siklus estrus. Pengembangan corpus luteum (CL) dan sekresi awal progesteron terjadi selama

10 10 metestrus. Selama diestrus, CL menghasilkan progesteron dalam konsentrasi yang banyak. Dalam kebanyakan spesies, jika kebuntingan tidak terjadi CL mengalami luteolisis sebagai respon terhadap PGF2α dari uterus, dan konsentrasi progesteron menurun, yang memungkinkan konsentrasi gonadrotropin untuk meningkatkan dan memicu periode estrus berikutnya. Setelah luteolisis, CL digantikan oleh corpus albican (Schatten dan Constantinescu, 2007). Anestrus Anestrus adalah masa tidak aktifnya ovarium. Tergantung pada spesies, anestrus dapat diperpanjang atau mungkin hanya dalam waktu yang pendek di antara siklus estrus (Schatten dan Constantinescu, 2007). Perbedaan Temperate Deer dengan Tropical Deer Menurut Semiadi (1995) temperate deer merupakan rusa-rusa yang beradaptasi dengan perubahan iklim sehingga dapat disebut musiman (seasonal). Siklus ini meliputi voluntary feed intake (VFI) dan pertumbuhan badan, pelepasan velvet, pergantian rambut dan warna, metabolisme, dan reproduksi. Aktivitas reproduksi tinggi selama musim gugur (autumn) atau pada awal musim dingin (winter). Semua siklus musiman tersebut diatur oleh perubahan hormonal, sementara itu panjang siang (day length) juga mempengaruhi siklus. Pada garis khattulistiwa, ungulata memiliki ritme yang berhubungan dengan panjangnya siang hari yang dikontrol oleh faktor lingkungan seperti musim hujan dan nutrisi. Beberapa rusa yang hidup bagian tropis garis lintang juga

11 11 menunjukkan sifat yang berirama yang berhubungan dengan musiman (seasonality) dari konsumsi pakan dan siklus reproduksi. Peralihan seasonal dan non seasonal terjadi pada garis lintang 14ºN dan 18ºS. Lingkungan merupakan faktor utama dari siklus reproduksi tropical deer bila dibandingkan dengan photoperiod. Rusa Jawa tidak menunjukkan musiman (seasonal) pada pertumbuhannya sampai paling tidak berusia 15 bulan (Semiadi, 1995). Pubertas dan Estrus Tanda pertama pubertas muncul pada usia delapan bulan. Durasi estrus temperate deer dengan tropical deer adalah sama, tetapi panjangnya siklus estrus tropical deer lebih pendek dari temperate deer (Semiadi, 1995). Kebuntingan Menurut Semiadi (1995) meskipun rusa tropis yang yang tinggal di dalam atau di luar habitat alami menunjukkan kebuntingan setiap tahun, sedikit yang diketahui tentang reproduksi musiman mereka. Periode kebuntingan diantara tropical deer dan temperate deer hampir sama, tetapi calving interval (CI) bervariasi pada tropical deer, yaitu partus tidak ada hubungannya dengan breeding season dan tidak dipengaruhi efek photoperiod. Pada habitat alaminya Rusa Jawa dapat melahirkan anaknya setelah 4-7 bulan. Red deer termasuk short day breeder karena breeding season terjadi selama musim gugur (autumn), ketika panjang siangnya pendek. Breeding season dapat

12 12 tertunda apabila long daily photoperiod di musim gugur juga tertunda (Semiadi, 1995). Profil Hormon Studi tentang profil hormon reproduksi tropical deer sangat terbatas. Pada temperate deer, sekresi hormon reproduksi adalah musiman (seasonal) dan dihubungkan dengan siklus musiman yang meliputi bobot, voluntary feed intake (VFI), metabolisme dan breeding season (Semiadi, 1995). Luteinizing hormone (LH). Luteinizing hormone disekresikan oleh anterior pituitari dan diatur oleh Luteinizing hormone realising hormone (LHRH) yang disekresikan dari hipotalamus. Rusa Jawa memberikan respon terhadap pendeknya panjang siang dengan meningkatnya LH plasma (Semiadi, 1995). Prolaktin (PRL). Konsentrasi plasma prolaktin Rusa Jawa menunjukkan respon photopertiod serupa dengan temperate deer. Konsentrasi plasma prolaktin berhubungan dengan pola konsumsi pakan dan perubahan photoperiod melalui pineal hormon melatonin (Semiadi, 1995). Perbedaan Red Deer (Cervus elaphus) dengan Rusa Jawa Pada Red Deer (Cervus elaphus) panjangnya siklus estrus selama hari berlangsung mulai dari bulan Oktober. Pada hewan yang tidak bunting, siklus aktivitas kawin berlanjut setelah 6 bulan. Red deer (Cervus elaphus) dapat bunting selama dapat menunjukkan estrus antara empat dan sembilan kali selama periode 3-6 bulan diantara musim gugur (autumn) dan musim semi (spring). Siklus estrus

13 13 dicirikan dengan satu atau tiga gelombang folikel, masing-masing folikel besarnya lebih dari 6 mm (Gordon, 2004). Gambar 1 indukan red deer (Cervus elaphus) (kanan); red deer jantan (kiri) (Anonim, 2013). Gambar 2 indukan Rusa Jawa (Rusa timorensis) dan anakan Rusa Jawa (kanan); serta Rusa Jawa jantan (kiri) (Anonim, 2013). Reproduksi rusa dipengaruhi oleh musim. Pada rusa jantan, reproduksinya tinggi di saat musim semi dan berkurang saat musim dingin meskipun minumnya adlibitum dan pakannya berkualitas tinggi (Gordon, 2004). Berdasarkan Anonim (2013) musim kawin red deer (Cervus elaphus) terjadi pada bulan Maret hingga April. Pejantan yang mengalami kematangan kelamin akan bertanding untuk berkumpul dengan betina (Gambar 1; Gambar 3). Anak rusa lahir dari akhir November hingga Desember. Anak yang dilahirkan dari induknya (Gambar 1) biasanya tunggal. Lama bunting selama 233 hari.

14 14 Sedangkan musim kawin Rusa Jawa (Rusa timorensis) tergolong bukan musiman (non seasonal) (Hedges dkk., 2008; Anonim, 2013). Menurut Anonim (2013) rusa kawin dapat kapan saja namun cenderung terjadi pada bulan Maret sampai April. Menurut Hedges dkk., (2008) di beberapa daerah Australia puncak kawin ada yang terjadi pada bulan Juni hingga Agustus dan puncak kelahiran dari bulan Maret hingga April. Menurut Hedges dkk., (2008) puncak perkawinan di Indonesia ada yang terjadi pada bulan Juli hingga September. Anak yang dilahirkan dari induknya biasanya tunggal (Gambar 2), namun terkadang kembar. Lama bunting Rusa Jawa selama 252 hari, lebih lama jika dibandingkan dengan red deer. Siklus Estrus Rusa Jawa (Rusa timorensis) Menurut Takandjandji (2011) dan Samsudewa dan Capitan (2011) estrus menandakan bahwa betina telah mengalami dewasa kelamin dan bersedia menerima pejantan dalam perkawinan (Gambar 4). Tanda-tanda estrus pada betina adalah nafsu makan berkurang, tidak tenang, berdiri tenang apabila dinaiki pejantan atau sesama betina, sering urinasi, membaui dan menjilat alat kelamin, vulva (alat kelamin betina paling luar) terlihat membengkak, merah, dan apabila dipegang terasa hangat. Tanda-tanda birahi pada jantan adalah sering meraung, berkubang, menancapkan ranggah ke tanah atau pohon, bahkan sering membaui urine yang dikeluarkan rusa betina sambil menjulurkan lidah. Lama estrus pada rusa diamati mulai dari permulaan timbulnya keinginan untuk kawin hingga saat

15 15 terakhir yakni 2,25 hari dengan siklus estrus 20,25 hari. Rata-rata lama kawin 2,33 detik dengan frekuensi kawin 2,14 kali/hari. Tingginya laju urinasi juga dialami oleh pejantan, tujuannya untuk melumasi alat kelamin, serta merupakan salah satu tanda bahwa satwa betina sedang dalam kondisi terangsang. Salah satu tanda betina sedang dalam kondisi berahi yaitu betina menunjukkan perilaku mengangkat ekor (Elis. 2013). Rusa Jawa di Penangkaran Filipina tidak menunjukkan perilaku kawin pada pukul pagi. Tingkah laku ini disebabkan oleh temperatur saat itu. Data menunjukkan pada pukul pagi temperatur lebih rendah dari 20ºC. Rusa Jawa memerlukan zona nyaman untuk memulai perkawinan. Perkawinan akan dimulai pada suhu antara 21-23ºC. Pada saat hujan perkawinan berlangsung. Saat hujan lebat dan suhu menurun drastis dibawah 19ºC, rusa berhenti kawin dan pergi berteduh (Samsudewa dan Capitan, 2011). Gambar 3 Red deer betina diam saat dinaiki pejantan (kopulasi) (Guiness dkk., 1971).

16 16 Gambar 4 Rusa Jawa (Rusa timorensis) jantan menaiki betina (Samsudewa dan Capitan, 2011). Dalam Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner pada Tahun 2008 disampaikan beberapa data tentang Rusa Jawa (Rusa timorensis), yaitu: lama estrus (jam) 6 25; 12; 48 dan siklus estrus (hari) 10 18; 20 22; (Semiadi dkk., 2008). Samsudewa dan Capitan (2011) menyampaikan siklus estrus Rusa Jawa betina selama 20,3 ± 2,2 hari dan panjangnya estrus adalah 24,8 ± 3,2 jam. Rusa Jawa termasuk short day breeder, menurut Gordon dalam artikel Anonim (2014) artinya Rusa Jawa biasanya tidak bersiklus selama bulan-bulan musim panas, tetapi akan mulai menunjukkan estrus di akhir September dan bulan Oktober. Estrus ditandai dengan pejantan yang mulai mendekati betina, ekor diangkat, vokalisasi (shouting) 2-6 kali dan gelisah. Tanda yang dominan pada betina yang estrus akan menaiki betina lain kemudian mencium pejantan. Tanda terakhir saat terjadinya standing heat yaitu ketika dinaiki pejantan. Tingkah laku bercumbu terlihat pejantan yang selalu mendekat saat betina urinasi.

17 17 Pakan Pakan merupakan suatu hal yang sangat penting di dalam penangkaran karena produktivitas dan perkembangbiakan rusa sangat tergantung oleh pakan. Pengadaan bahan diperlukan untuk memacu pertumbuhan dan reproduksi rusa. Pakan rusa berupa hijauan, baik jenis rumput, rambatan maupun dedaunan, dan pakan tambahan (konsentrat). Pakan hijauan rumput antara lain rumput gajah, rumput raja, rumput setaria, sorghum, dan rumput lapangan seperti kolonjono, rumput pait, a awian, gewor, bayondah, dan padi-padian. Pakan hijauan rambatan dan dedaunan, antara lain mikania, kangkung, daun ubi, daun kacang, kaliandra, daun jagung, daun nangka, daun jati, daun lamtoro, daun turi, daun beringin, daun Acacia l., daun mangkokan, daun nampong, dan daun gamal. Jenis pakan tambahan berupa dedak, kulit kacang, bungkil kelapa, kulit pisang, ubi, jagung dan kulitnya, wortel, pellet ternak. Diberikan pula vitamin organik, obat-obatan, dan mineral (Takandjandji, 2011).

18 MATERI DAN METODE Materi Objek penelitian ini adalah Rusa Jawa (Rusa timorensis) yang ada di Penangkaran Lembah Universitas Gadjah Mada. Rusa yang diamati ada empat ekor. Kriteria rusa yang digunakan adalah rusa betina yang sudah dewasa kelamin, tidak bunting, dan harus dalam keadaan sehat. Metode Setelah ditentukan rusa-rusa yang dijadikan sebagai bahan penelitian, kemudian dilakukan pengamatan terhadap rusa-rusa. Pengamatan dilakukan setiap hari selama kurang lebih satu bulan dari tanggal 26 Agustus 2013 hingga 24 September Penelitian dilakukan tiga kali dalam sehari masing-masing dua jam, yaitu pagi hari pukul WIB, siang hari pukul WIB, dan sore hari pukul WIB. Dilakukan pengamatan tingkah laku rusa, kemudian dilakukan pencatatan tingkah laku estrus yang muncul dalam waktu dua jam pengamatan. Tingkah laku rusa yang diamati meliputi vokalisasi, urinasi, dinaiki, diendus atau disundul, dan mengibaskan ekor (Elis. 2013; Samsudewa dan Capitan, 2011). Tingkah laku tersebut merupakan parameter tingkah laku estrus Rusa Jawa (Rusa timorensis). Apabila estrogen berada dalam puncaknya maka betina bersedia menerima pejantan dan pada saat-saat itulah terjadi estrus atau heat. Jika frekuensi parameter tersebut tinggi, maka saat itulah dikatakan sedang estrus (Schatten dan 18

19 19 Constantinescu, 2007; Akers dan Denbow, 2008). Patokan yang dipakai untuk menentukan lama siklus estrus adalah dari awal estrus sekarang hingga estrus berikutnya (Akers dan Denbow, 2008). Analisis Data deskriptif. Data lama estrus dan lama siklus estrus yang diperoleh dilaporkan secara

20 20

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Jawarandu merupakan kambing lokal Indonesia. Kambing jenis

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Jawarandu merupakan kambing lokal Indonesia. Kambing jenis 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kambing Jawarandu Kambing Jawarandu merupakan kambing lokal Indonesia. Kambing jenis ini banyak diternakkan di pesisir pantai utara (Prawirodigdo et al., 2004). Kambing Jawarandu

Lebih terperinci

5 KINERJA REPRODUKSI

5 KINERJA REPRODUKSI 5 KINERJA REPRODUKSI Pendahuluan Dengan meningkatnya permintaan terhadap daging tikus ekor putih sejalan dengan laju pertambahan penduduk, yang diikuti pula dengan makin berkurangnya kawasan hutan yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Rusa Timor (Rusa timorensis) merupakan spesies bendera (flag species)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Rusa Timor (Rusa timorensis) merupakan spesies bendera (flag species) 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rusa Timor (Rusa timorensis) Rusa Timor (Rusa timorensis) merupakan spesies bendera (flag species) bagi Provinsi Nusa Tenggara Barat, bahkan telah menjadi lambang bagi provinsi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Selatan. Sapi pesisir dapat beradaptasi dengan baik terhadap pakan berkualitas

I. PENDAHULUAN. Selatan. Sapi pesisir dapat beradaptasi dengan baik terhadap pakan berkualitas I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sapi pesisir merupakan salah satu bangsa sapi lokal yang banyak di pelihara petani-peternak di Sumatera Barat, terutama di Kabupaten Pesisir Selatan. Sapi pesisir dapat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Peranakan Ongole (PO) merupakan salah satu sapi yang banyak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Peranakan Ongole (PO) merupakan salah satu sapi yang banyak 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Peranakan Ongole (PO) Sapi Peranakan Ongole (PO) merupakan salah satu sapi yang banyak dibudidayakan oleh masyarakat di Indonesia. Populasi sapi PO terbesar berada di

Lebih terperinci

Sexual behaviour Parturient behaviour Nursing & maternal behaviour

Sexual behaviour Parturient behaviour Nursing & maternal behaviour Sexual behaviour Parturient behaviour Nursing & maternal behaviour Rangsangan seksual libido Berkembang saat pubertas dan setelah dewasa berlangsung terus selama hidup Tergantung pada hormon testosteron

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Bahan Kering (BK) 300, ,94 Total (g/e/hr) ± 115,13 Konsumsi BK Ransum (% BB) 450,29 ± 100,76 3,20

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Bahan Kering (BK) 300, ,94 Total (g/e/hr) ± 115,13 Konsumsi BK Ransum (% BB) 450,29 ± 100,76 3,20 HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Bahan Kering (BK) Konsumsi adalah jumlah pakan yang dimakan oleh ternak yang akan digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup pokok, produksi, dan reproduksi. Ratarata konsumsi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kabupaten Bone Bolango merupakan salah satu kabupaten diantara 5

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kabupaten Bone Bolango merupakan salah satu kabupaten diantara 5 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian Kabupaten Bone Bolango merupakan salah satu kabupaten diantara 5 Kabupaten yang terdapat di provinsi Gorontalo dan secara geografis memiliki

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. jika ditinjau dari program swasembada daging sapi dengan target tahun 2009 dan

I. PENDAHULUAN. jika ditinjau dari program swasembada daging sapi dengan target tahun 2009 dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sapi potong merupakan salah satu ternak penghasil daging dan merupakan komoditas peternakan yang sangat potensial. Dalam perkembangannya, populasi sapi potong belum mampu

Lebih terperinci

BAB II RUSA TIMOR SATWA LIAR KHAS INDONESIA YANG DILINDUNGI

BAB II RUSA TIMOR SATWA LIAR KHAS INDONESIA YANG DILINDUNGI BAB II RUSA TIMOR SATWA LIAR KHAS INDONESIA YANG DILINDUNGI II.1 Pengertian Satwa Liar Di Indonesia terdapat banyak jenis satwa liar. Satwa liar adalah semua jenis satwa yang memiliki sifat-sifat liar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Rusa merupakan salah satu sumber daya genetik yang ada di Negara Indonesia.

I. PENDAHULUAN. Rusa merupakan salah satu sumber daya genetik yang ada di Negara Indonesia. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rusa merupakan salah satu sumber daya genetik yang ada di Negara Indonesia. Rusa di Indonesia terdiri dari empat spesies rusa endemik yaitu: rusa sambar (Cervus unicolor),

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan dengan timbulnya sifat-sifat kelamin sekunder, mempertahankan sistem

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan dengan timbulnya sifat-sifat kelamin sekunder, mempertahankan sistem BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Estrogen merupakan hormon steroid yang dihasilkan oleh sel granulosa dan sel teka dari folikel de Graaf pada ovarium (Hardjopranjoto, 1995). Estrogen berkaitan dengan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. pejantan untuk dikawini. Diluar fase estrus, ternak betina akan menolak dan

HASIL DAN PEMBAHASAN. pejantan untuk dikawini. Diluar fase estrus, ternak betina akan menolak dan 30 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kualitas Estrus 4.1.1 Tingkah Laku Estrus Ternak yang mengalami fase estrus akan menunjukkan perilaku menerima pejantan untuk dikawini. Diluar fase estrus, ternak betina

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA A.

II. TINJAUAN PUSTAKA A. 3 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Sapi Perah Peranakan Friesian Holstein Sapi peranakan Fresian Holstein (PFH) merupakan sapi hasil persilangan sapi-sapi jantan FH dengan sapi lokal melalui perkawinan alam (langsung)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada zaman dahulu hingga sekarang banyak masyarakat Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Pada zaman dahulu hingga sekarang banyak masyarakat Indonesia BAB I A. Latar Belakang PENDAHULUAN Pada zaman dahulu hingga sekarang banyak masyarakat Indonesia yang memanfaatkan berbagai jenis tumbuhan sebagai bahan untuk makanan maupun untuk pengobatan tradisional.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Siklus Reproduksi Kuda

TINJAUAN PUSTAKA Siklus Reproduksi Kuda 3 TINJAUAN PUSTAKA Siklus Reproduksi Kuda Siklus reproduksi terkait dengan berbagai fenomena, meliputi pubertas dan kematangan seksual, musim kawin, siklus estrus, aktivitas seksual setelah beranak, dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. semua bagian dari tubuh rusa dapat dimanfaatkan, antara lain daging, ranggah dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. semua bagian dari tubuh rusa dapat dimanfaatkan, antara lain daging, ranggah dan 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rusa Timor (Rusa timorensis) Rusa Timor (Rusa timorensis) merupakan salah satu contoh rusa yang ada di Indonesia yang memiliki potensi cukup baik untuk dikembangkan. Hampir

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Rusa termasuk ke dalam genus Cervus spp yang keberadaannya sudah tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa mengingat Undang-

I. PENDAHULUAN. Rusa termasuk ke dalam genus Cervus spp yang keberadaannya sudah tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa mengingat Undang- I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Rusa termasuk ke dalam genus Cervus spp yang keberadaannya sudah langka. Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999 tentang pengawetan jenis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. kebutuhan sehingga sebagian masih harus diimpor (Suryana, 2009). Pemenuhan

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. kebutuhan sehingga sebagian masih harus diimpor (Suryana, 2009). Pemenuhan BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Sapi potong merupakan salah satu ternak penghasil daging di Indonesia. Daging sapi merupakan salah satu sumber protein hewani yang banyak dibutuhkan konsumen, namun sampai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi PO adalah sapi persilangan antara sapi Ongole (Bos-indicus) dengan sapi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi PO adalah sapi persilangan antara sapi Ongole (Bos-indicus) dengan sapi BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Peranakan Ongole Sapi PO adalah sapi persilangan antara sapi Ongole (Bos-indicus) dengan sapi lokal. Sapi ini tahan terhadap iklim tropis dengan musim kemaraunya (Yulianto

Lebih terperinci

PENGARUH JUMLAH PEJANTAN PERKANDANG TERHADAP TINGKAH LAKU REPRODUKSI RUSA TIMOR (Rusa timorensis) BETINA

PENGARUH JUMLAH PEJANTAN PERKANDANG TERHADAP TINGKAH LAKU REPRODUKSI RUSA TIMOR (Rusa timorensis) BETINA PENGARUH JUMLAH PEJANTAN PERKANDANG TERHADAP TINGKAH LAKU REPRODUKSI RUSA TIMOR (Rusa timorensis) BETINA EFFECT OF NUMBERS OF MALES ON CAGE AGAINST REPRODUCTIONS BEHAVIOR FEMALES TIMOR DEER (Rusa timorrensis)

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Barat sekitar SM. Kambing yang dipelihara (Capra aegagrus hircus)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Barat sekitar SM. Kambing yang dipelihara (Capra aegagrus hircus) BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gambaran Umum Kambing Pada mulanya domestikasi kambing terjadi di daerah pegunungan Asia Barat sekitar 8000-7000 SM. Kambing yang dipelihara (Capra aegagrus hircus) berasal

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Artiodactyla, Anak Bangsa (Subordo) Ruminansia dan Suku (Family)

II. TINJAUAN PUSTAKA. Artiodactyla, Anak Bangsa (Subordo) Ruminansia dan Suku (Family) II. TINJAUAN PUSTAKA A. Jenis Rusa Rusa merupakan salah satu jenis satwa yang termasuk dalam Bangsa (Ordo) Artiodactyla, Anak Bangsa (Subordo) Ruminansia dan Suku (Family) Cervidae. Suku Cervidae terbagi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Propinsi Lampung memiliki potensi sumber daya alam yang sangat besar untuk

I. PENDAHULUAN. Propinsi Lampung memiliki potensi sumber daya alam yang sangat besar untuk 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Propinsi Lampung memiliki potensi sumber daya alam yang sangat besar untuk pengembangan ternak sapi potong. Kemampuan menampung ternak sapi di Lampung sebesar

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Tapir asia dapat ditemukan dalam habitat alaminya di bagian selatan Burma, Peninsula Melayu, Asia Tenggara dan Sumatra. Berdasarkan Tapir International Studbook, saat ini keberadaan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. subfilum vertebrata atau hewan bertulang belakang. Merak hijau adalah burung

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. subfilum vertebrata atau hewan bertulang belakang. Merak hijau adalah burung 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Morfologi Merak Hijau (Pavo muticus) Merak hijau (Pavo muticus) termasuk dalam filum chordata dengan subfilum vertebrata atau hewan bertulang belakang. Merak hijau adalah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat desa dengan keadaan desa yang alami dan mampu memberikan suplai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat desa dengan keadaan desa yang alami dan mampu memberikan suplai 17 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Domba Lokal Domba merupakan ruminansia kecil yang relatif mudah dibudidayakan oleh masyarakat desa dengan keadaan desa yang alami dan mampu memberikan suplai pakan berupa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ketahanan pangan merupakan prioritas ke-5 tingkat Nasional dalam Rancangan

I. PENDAHULUAN. Ketahanan pangan merupakan prioritas ke-5 tingkat Nasional dalam Rancangan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Ketahanan pangan merupakan prioritas ke-5 tingkat Nasional dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Kementrian Pertanian Tahun 2010-- 2014 (Anonim

Lebih terperinci

menghasilkan keturunan (melahirkan) yang sehat dan dapat tumbuh secara normal. Ternak yang mempunyai kesanggupan menghasilkan keturunan atau dapat

menghasilkan keturunan (melahirkan) yang sehat dan dapat tumbuh secara normal. Ternak yang mempunyai kesanggupan menghasilkan keturunan atau dapat UKURAN KRITERIA REPRODUKSI TERNAK Sekelompok ternak akan dapat berkembang biak apalagi pada setiap ternak (sapi) dalam kelompoknya mempunyai kesanggupan untuk berkembang biak menghasilkan keturunan (melahirkan)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. di beberapa tipe habitat. Bermacam-macam jenis satwa liar ini merupakan. salah satu diantaranya adalah kepentingan ekologis.

I. PENDAHULUAN. di beberapa tipe habitat. Bermacam-macam jenis satwa liar ini merupakan. salah satu diantaranya adalah kepentingan ekologis. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia memiliki keanekaragaman jenis satwa liar yang tinggi,dan tersebar di beberapa tipe habitat. Bermacam-macam jenis satwa liar ini merupakan sumberdaya alam yang

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 24 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Nilai Gizi Pakan Gizi pakan rusa yang telah dianalisis mengandung komposisi kimia yang berbeda-beda dalam unsur bahan kering, abu, protein kasar, serat kasar, lemak kasar

Lebih terperinci

Sistem hormon wanita, seperti pada pria, terdiri dari tiga hirarki hormon, sebagai berikut ;

Sistem hormon wanita, seperti pada pria, terdiri dari tiga hirarki hormon, sebagai berikut ; Fisiologi Reproduksi & Hormonal Wanita Sistem hormon wanita, seperti pada pria, terdiri dari tiga hirarki hormon, sebagai berikut ; 1. Hormon yang dikeluarkan hipothalamus, Hormon pelepas- gonadotropin

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kinerja Induk Parameter yang diukur untuk melihat pengaruh pemberian fitoestrogen ekstrak tempe terhadap kinerja induk adalah lama kebuntingan, dan tingkat produksi anak

Lebih terperinci

1. Perbedaan siklus manusia dan primata dan hormon yang bekerja pada siklus menstruasi.

1. Perbedaan siklus manusia dan primata dan hormon yang bekerja pada siklus menstruasi. Nama : Hernawati NIM : 09027 Saya mengkritisi makalah kelompok 9 No 5 tentang siklus menstruasi. Menurut saya makalah mereka sudah cukup baik dan ketikannya juga sudah cukup rapih. Saya di sini akan sedikit

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN A.

BAB I. PENDAHULUAN A. 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Aplikasi bioteknologi reproduksi di bidang peternakan merupakan suatu terobosan untuk memacu pengembangan usaha peternakan. Sapi merupakan salah satu jenis ternak

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Rusa Timor Taksonomi dan Morfologi

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Rusa Timor Taksonomi dan Morfologi II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Rusa Timor 2.1.1 Taksonomi dan Morfologi Rusa timor yang dikenal juga dengan nama rusa jawa, secara taksonomi termasuk dalam Kingdom Animalia, Phylum Chordata, Sub Phyllum Vertebrata,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Domba Domba Lokal

TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Domba Domba Lokal TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Domba Bangsa domba secara umum diklasifikasikan berdasarkan atas hal-hal tertentu diantaranya berdasarkan perbandingan banyaknya daging atau wol, ada tidaknya tanduk atau berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Latar Belakang. Sapi Bali (Bos sondaicus, Bos javanicus, Bos/Bibos banteng) merupakan plasma

BAB I. PENDAHULUAN. Latar Belakang. Sapi Bali (Bos sondaicus, Bos javanicus, Bos/Bibos banteng) merupakan plasma BAB I. PENDAHULUAN Latar Belakang Sapi Bali (Bos sondaicus, Bos javanicus, Bos/Bibos banteng) merupakan plasma nutfah nasional Indonesia, hasil domestikasi dari banteng liar beratus-ratus tahun yang lalu.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sapi Persilangan Simmental dan Peranakan Ongole. Sapi hasil persilangan antara sapi peranakan Ongole (PO) dan sapi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sapi Persilangan Simmental dan Peranakan Ongole. Sapi hasil persilangan antara sapi peranakan Ongole (PO) dan sapi 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Persilangan Simmental dan Peranakan Ongole Sapi hasil persilangan antara sapi peranakan Ongole (PO) dan sapi Simmental dengan nama SIMPO. Sapi SIMPO merupakan hasil

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hari. Dalam perkembangannya, produktivitas kerbau masih rendah dibandingkan dengan sapi.

I. PENDAHULUAN. hari. Dalam perkembangannya, produktivitas kerbau masih rendah dibandingkan dengan sapi. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kerbau sangat bermanfaat bagi petani di Indonesia yaitu sebagai tenaga kerja untuk mengolah sawah, penghasil daging dan susu, serta sebagai tabungan untuk keperluan dikemudian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang mayoritas adalah petani dan peternak, dan ternak lokal memiliki beberapa

I. PENDAHULUAN. yang mayoritas adalah petani dan peternak, dan ternak lokal memiliki beberapa I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ternak lokal berperan penting dalam kehidupan masyarakat pedesaan yang mayoritas adalah petani dan peternak, dan ternak lokal memiliki beberapa sifat unggul dibandingkan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rusa timor (Rusa timorensis Blainville 1822) merupakan salah satu jenis satwa liar yang hidup tersebar pada beberapa wilayah di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa sampai

Lebih terperinci

MENANGANI ANJING BETINA PADA MASA BIRAHI (HEAT)

MENANGANI ANJING BETINA PADA MASA BIRAHI (HEAT) MENANGANI ANJING BETINA PADA MASA BIRAHI (HEAT) (19 May 2017) Menangani Anjing Betina pada Masa Birahi (Heat) Tidak hanya anjing jantan, anjing betina juga mengalamibirahi. Siklus birahi pada anjing merupakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Keberhasilan reproduksi akan sangat mendukung peningkatan populasi sapi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Keberhasilan reproduksi akan sangat mendukung peningkatan populasi sapi 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Potong Keberhasilan reproduksi akan sangat mendukung peningkatan populasi sapi potong. Namun kondisi sapi potong di usaha peternakan rakyat masih dijumpai adanya kasus

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan, yang merupakan hasil persilangan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan, yang merupakan hasil persilangan 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kambing Boer Jawa (Borja) Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan, yang merupakan hasil persilangan antara kambing Afrika lokal tipe kaki panjang dengan kambing yang berasal

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dengan tujuan untuk menghasilkan daging, susu, dan sumber tenaga kerja sebagai

I. PENDAHULUAN. dengan tujuan untuk menghasilkan daging, susu, dan sumber tenaga kerja sebagai I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kerbau merupakan salah satu ternak ruminansia yang dikembangkan dengan tujuan untuk menghasilkan daging, susu, dan sumber tenaga kerja sebagai hasil utama serta pupuk organik

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Kerbau Murrah merupakan jenis kerbau sungai (river buffalo) yang berasal

TINJAUAN PUSTAKA. Kerbau Murrah merupakan jenis kerbau sungai (river buffalo) yang berasal TINJAUAN PUSTAKA Ciri-Ciri kerbau Murrah Kerbau Murrah merupakan jenis kerbau sungai (river buffalo) yang berasal dari India. Klasifikasi kerbau Murrah berdasarkan tata nama ilmiah menurut (Wikipedia,

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. kebutuhan konsumsi bagi manusia. Sapi Friesien Holstein (FH) berasal dari

KAJIAN KEPUSTAKAAN. kebutuhan konsumsi bagi manusia. Sapi Friesien Holstein (FH) berasal dari II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Karakteristik Sapi perah Sapi perah (Bos sp.) merupakan ternak penghasil susu yang sangat dominan dibanding ternak perah lainnya dan sangat besar kontribusinya dalam memenuhi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peristiwa ovulasi (Sophia, 2003).Berahi diawali dengan turunnya hormon

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peristiwa ovulasi (Sophia, 2003).Berahi diawali dengan turunnya hormon 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tanda tanda Berahi Masa subur ditandai dengan dilepaskannya sel telur betina matang melalui peristiwa ovulasi (Sophia, 2003).Berahi diawali dengan turunnya hormon progesteron

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dari Amerika (Masanto dan Agus, 2013). Kelinci New Zealand White memiliki

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dari Amerika (Masanto dan Agus, 2013). Kelinci New Zealand White memiliki 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kelinci New Zealand White Kelinci New Zealand White (NZW) bukan berasal dari New Zealand, tetapi dari Amerika (Masanto dan Agus, 2013). Kelinci New Zealand White memiliki

Lebih terperinci

CARA MUDAH MENDETEKSI BIRAHI DAN KETEPATAN WAKTU INSEMINASI BUATAN (IB) PADA SAPI INSEMINASI BUATAN(IB).

CARA MUDAH MENDETEKSI BIRAHI DAN KETEPATAN WAKTU INSEMINASI BUATAN (IB) PADA SAPI INSEMINASI BUATAN(IB). CARA MUDAH MENDETEKSI BIRAHI DAN KETEPATAN WAKTU INSEMINASI BUATAN (IB) PADA SAPI INSEMINASI BUATAN(IB). Peningkatan produktifitas ternak adalah suatu keharusan, Oleh karena itu diperlukan upaya memotivasi

Lebih terperinci

UMUR SAPIH OPTIMAL PADA SAPI POTONG

UMUR SAPIH OPTIMAL PADA SAPI POTONG UMUR SAPIH OPTIMAL PADA SAPI POTONG Dalam industri sapi potong, manajemen pemeliharaan pedet merupakan salahsatu bagian dari proses penciptaan bibit sapi yang bermutu. Diperlukan penanganan yang tepat

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. (Eco India, 2008) sebagai berikut: kingdom: Animalia, pilum: Chordata, Class:

TINJAUAN PUSTAKA. (Eco India, 2008) sebagai berikut: kingdom: Animalia, pilum: Chordata, Class: TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Rusa Sambar Rusa Sambar (Cervus unicolor) merupakan populasi rusa terbesar untuk daerah tropik dengan sebaran di Indonesia mencakup pulau besar dan kecil yaitu pulau Sumatera,

Lebih terperinci

PERILAKU RUSA TIMOR (Rusa timorensis de Blainville, 1822) BETINA DI PENANGKARAN AKIBAT PEMBERIAN TABAT BARITO (Ficus deltoidea Jack) ELIS

PERILAKU RUSA TIMOR (Rusa timorensis de Blainville, 1822) BETINA DI PENANGKARAN AKIBAT PEMBERIAN TABAT BARITO (Ficus deltoidea Jack) ELIS PERILAKU RUSA TIMOR (Rusa timorensis de Blainville, 1822) BETINA DI PENANGKARAN AKIBAT PEMBERIAN TABAT BARITO (Ficus deltoidea Jack) ELIS DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Keadaan Umum Lokasi Asal Induk Domba

TINJAUAN PUSTAKA. Keadaan Umum Lokasi Asal Induk Domba TINJAUAN PUSTAKA Keadaan Umum Lokasi Asal Induk Domba Unit Pendidikan, Penelitian dan Peternakan Jonggol (UP3J) merupakan areal peternakan domba milik Institut Pertanian Bogor (IPB) dibawah pengelola Fakultas

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Dalam usaha meningkatkan penyediaan protein hewani dan untuk

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Dalam usaha meningkatkan penyediaan protein hewani dan untuk PENDAHULUAN Latar Belakang Dalam usaha meningkatkan penyediaan protein hewani dan untuk mencapai swasembada protein asal ternak khususnya swasembada daging pada tahun 2005, maka produkksi ternak kambing

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Umum Kambing 2.1.1. Kambing Kacang Menurut Mileski dan Myers (2004), kambing diklasifikasikan ke dalam : Kerajaan Filum Kelas Ordo Famili Upafamili Genus Spesies Upaspesies

Lebih terperinci

SCREENING IBR DAN DIFERENSIAL LEUKOSIT UNTUK PENGENDALIAN GANGGUAN REPRODUKSI SAPI PO DI DAERAH INTEGRASI JAGUNG-SAPI. Bogor, 8-9 Agustus 2017

SCREENING IBR DAN DIFERENSIAL LEUKOSIT UNTUK PENGENDALIAN GANGGUAN REPRODUKSI SAPI PO DI DAERAH INTEGRASI JAGUNG-SAPI. Bogor, 8-9 Agustus 2017 SCREENING IBR DAN DIFERENSIAL LEUKOSIT UNTUK PENGENDALIAN GANGGUAN REPRODUKSI SAPI PO DI DAERAH INTEGRASI JAGUNG-SAPI Bogor, 8-9 Agustus 2017 Latar Belakang Pertambahan populasi lambat Penurunan performa

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Domba Garut Gambar 1

TINJAUAN PUSTAKA Domba Garut Gambar 1 TINJAUAN PUSTAKA Domba Garut Secara taksonomi domba termasuk ke dalam kingdom Animalia, filum Chordata, kelas Mamalia, ordo Artiodactyla, family Bovidae, genus Ovis dan spesies Ovis aries. Dari sisi genetik

Lebih terperinci

Tugas Endrokinologi Kontrol Umpan Balik Positif Dan Negatif

Tugas Endrokinologi Kontrol Umpan Balik Positif Dan Negatif Tugas Endrokinologi Kontrol Umpan Balik Positif Dan Negatif Kelompok 3 Aswar Anas 111810401036 Antin Siti Anisa 121810401006 Nenny Aulia Rochman 121810401036 Selvi Okta Yusidha 121810401037 Qurrotul Qomariyah

Lebih terperinci

PENGANTAR. Latar Belakang. Itik lokal di Indonesia merupakan plasma nutfah yang perlu dilestarikan dan

PENGANTAR. Latar Belakang. Itik lokal di Indonesia merupakan plasma nutfah yang perlu dilestarikan dan PENGANTAR Latar Belakang Itik lokal di Indonesia merupakan plasma nutfah yang perlu dilestarikan dan ditingkatkan produktivitasnya untuk meningkatkan pendapatan peternak. Produktivitas itik lokal sangat

Lebih terperinci

TERNAK KELINCI. Jenis kelinci budidaya

TERNAK KELINCI. Jenis kelinci budidaya TERNAK KELINCI Peluang usaha ternak kelinci cukup menjanjikan karena kelinci termasuk hewan yang gampang dijinakkan, mudah beradaptasi dan cepat berkembangbiak. Secara umum terdapat dua kelompok kelinci,

Lebih terperinci

TINGKAH LAKU MAKAN RUSA SAMBAR (Cervus unicolor) DALAM KONSERVASI EX-SITU DI KEBUN BINATANG SURABAYA

TINGKAH LAKU MAKAN RUSA SAMBAR (Cervus unicolor) DALAM KONSERVASI EX-SITU DI KEBUN BINATANG SURABAYA TINGKAH LAKU MAKAN RUSA SAMBAR (Cervus unicolor) DALAM KONSERVASI EX-SITU DI KEBUN BINATANG SURABAYA VINA SITA NRP.1508 100 033 JURUSAN BIOLOGI Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian mengenai Perbedaan Intensitas Berahi pada Generasi Pertama

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian mengenai Perbedaan Intensitas Berahi pada Generasi Pertama 17 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian mengenai Perbedaan Intensitas Berahi pada Generasi Pertama (F1) dan Generasi Kedua (F2) Sapi Hasil Persilangan SimPO ini dilaksanakan pada bulan Juni sampai dengan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. lingkungannya (Alikodra, 2002). Tingkah laku hewan adalah ekspresi hewan yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. lingkungannya (Alikodra, 2002). Tingkah laku hewan adalah ekspresi hewan yang 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Perilaku Rusa Sambar Perilaku satwa liar merupakan gerak gerik satwa liar untuk memenuhi rangsangan dalam tubuhnya dengan memanfaatkan rangsangan yang diperoleh dari lingkungannya

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. pedesaan salah satunya usaha ternak sapi potong. Sebagian besar sapi potong

I PENDAHULUAN. pedesaan salah satunya usaha ternak sapi potong. Sebagian besar sapi potong I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masyarakat pedesaan pada umumnya bermatapencaharian sebagai petani, selain usaha pertaniannya, usaha peternakan pun banyak dikelola oleh masyarakat pedesaan salah satunya

Lebih terperinci

EVALUASI PENANGKARAN RUSA CERVUS TIMORENSIS DI PULAU JAWA. (The Backyard Evaluasion of Species Cervus timorensis in Java Island )

EVALUASI PENANGKARAN RUSA CERVUS TIMORENSIS DI PULAU JAWA. (The Backyard Evaluasion of Species Cervus timorensis in Java Island ) EVALUASI PENANGKARAN RUSA CERVUS TIMORENSIS DI PULAU JAWA (The Backyard Evaluasion of Species Cervus timorensis in Java Island ) S. I. Santoso dan Zainal Fanani Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro

Lebih terperinci

TEKNIK PENANGKARAN RUSA TIMOR (Rusa timorensis Blainville, 1822)

TEKNIK PENANGKARAN RUSA TIMOR (Rusa timorensis Blainville, 1822) A. Latar Belakang TEKNIK PENANGKARAN RUSA TIMOR (Rusa timorensis Blainville, 1822) Oleh : Mariana Takandjandji Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi, Badan Litbang Kehutanan, Kementerian Kehutanan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk yang terus

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk yang terus I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk yang terus meningkat sehingga membutuhkan ketersediaan makanan yang memiliki gizi baik yang berasal

Lebih terperinci

PROFIL HORMON TESTOSTERON DAN ESTROGEN WALET LINCHI SELAMA PERIODE 12 BULAN

PROFIL HORMON TESTOSTERON DAN ESTROGEN WALET LINCHI SELAMA PERIODE 12 BULAN Pendahuluan 5. PROFIL HORMON TESTOSTERON DAN ESTROGEN WALET LINCHI SELAMA PERIODE 12 BULAN Hormon steroid merupakan derivat dari kolesterol, molekulnya kecil bersifat lipofilik (larut dalam lemak) dan

Lebih terperinci

PERBAIKAN FERTILITAS MELALUI APLIKASI HORMONE GONADOTROPIN PADA INDUK SAPI BALI ANESTRUS POST-PARTUM DI TIMOR BARAT

PERBAIKAN FERTILITAS MELALUI APLIKASI HORMONE GONADOTROPIN PADA INDUK SAPI BALI ANESTRUS POST-PARTUM DI TIMOR BARAT PERBAIKAN FERTILITAS MELALUI APLIKASI HORMONE GONADOTROPIN PADA INDUK SAPI BALI ANESTRUS POST-PARTUM DI TIMOR BARAT Amirudin Pohan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, NTT ABSTRAK Induk Sapi Bali yang

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. diambil berdasarkan gambar histologik folikel ovarium tikus putih (Rattus

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. diambil berdasarkan gambar histologik folikel ovarium tikus putih (Rattus A. Hasil Penelitian BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian mengenai pengruh pemberian ekstrak kacang merah (Phaseolus vulgaris, L.) terhadap perkembangan folikel ovarium tikus putih diambil

Lebih terperinci

Siklus menstruasi. Nama : Kristina vearni oni samin. Nim: Semester 1 Angkatan 12

Siklus menstruasi. Nama : Kristina vearni oni samin. Nim: Semester 1 Angkatan 12 Nama : Kristina vearni oni samin Nim: 09031 Semester 1 Angkatan 12 Saya mengkritisi tugas biologi reproduksi kelompok 7 tentang siklus menstruasi yang dikerjakan oleh saudari Nela Soraja gusti. Tugas mereka

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sapi Persilangan Simmental Peranakan Ongole (SimPO)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sapi Persilangan Simmental Peranakan Ongole (SimPO) 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Persilangan Simmental Peranakan Ongole (SimPO) Pelaksanaan Inseminasi Buatan (IB) di Peternakan rakyat masih sekedar menyilangkan sapi lokal (terutama induk sapi PO)

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 9 A B Hari ke- 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16-17 Gambar 8 Teknik penyuntian PGF 2α. (A) Penyuntikan pertama, (B) Penyuntikan kedua, (C) Pengamatan estrus yang dilakukan tiga kali sehari yaitu pada

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. lokal adalah sapi potong yang asalnya dari luar Indonesia tetapi sudah

TINJAUAN PUSTAKA. lokal adalah sapi potong yang asalnya dari luar Indonesia tetapi sudah II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Lokal di Indonesia Menurut Hardjosubroto (1994) bahwa sapi potong asli indonesia adalah sapi-sapi potong yang sejak dulu sudah terdapat di Indonesia, sedangkan sapi lokal

Lebih terperinci

JENIS PAKAN. 1) Hijauan Segar

JENIS PAKAN. 1) Hijauan Segar JENIS PAKAN 1) Hijauan Segar Hijauan segar adalah semua bahan pakan yang diberikan kepada ternakdalam bentuk segar, baik yang dipotong terlebih dahulu (oleh manusia) maupun yang tidak (disengut langsung

Lebih terperinci

HUBUNGAN HORMON REPRODUKSI DENGAN PROSES GAMETOGENESIS MAKALAH

HUBUNGAN HORMON REPRODUKSI DENGAN PROSES GAMETOGENESIS MAKALAH HUBUNGAN HORMON REPRODUKSI DENGAN PROSES GAMETOGENESIS MAKALAH UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH Teknologi Informasi dalam Kebidanan yang dibina oleh Bapak Nuruddin Santoso, ST., MT Oleh Devina Nindi Aulia

Lebih terperinci

VIII. PRODUKTIVITAS TERNAK BABI DI INDONESIA

VIII. PRODUKTIVITAS TERNAK BABI DI INDONESIA Tatap muka ke : 10 POKOK BAHASAN VIII VIII. PRODUKTIVITAS TERNAK BABI DI INDONESIA Tujuan Instruksional Umum : Mengetahui peranan ternak babi dalam usaha penyediaan daging. Mengetahui sifat-sifat karakteristik

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia memiliki Indeks Keanekaragaman Hayati(Biodiversity Index) tertinggi dengan 17% spesies burung dari total burung di dunia (Paine 1997). Sekitar 1598 spesies burung ada

Lebih terperinci

penampungan [ilustrasi :1], penilaian, pengenceran, penyimpanan atau pengawetan (pendinginan dan pembekuan) dan pengangkutan semen, inseminasi, pencat

penampungan [ilustrasi :1], penilaian, pengenceran, penyimpanan atau pengawetan (pendinginan dan pembekuan) dan pengangkutan semen, inseminasi, pencat Problem utama pada sub sektor peternakan saat ini adalah ketidakmampuan secara optimal menyediakan produk-produk peternakan, seperti daging, telur, dan susu untuk memenuhi kebutuhan gizi masyarakat akan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. relatif singkat, hanya 4 sampai 6 minggu sudah bisa dipanen. Populasi ayam

PENDAHULUAN. relatif singkat, hanya 4 sampai 6 minggu sudah bisa dipanen. Populasi ayam 1 I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ayam broiler merupakan ayam ras pedaging yang waktu pemeliharaannya relatif singkat, hanya 4 sampai 6 minggu sudah bisa dipanen. Populasi ayam broiler perlu ditingkatkan

Lebih terperinci

TERNAK KAMBING 1. PENDAHULUAN 2. BIBIT

TERNAK KAMBING 1. PENDAHULUAN 2. BIBIT TERNAK KAMBING 1. PENDAHULUAN Ternak kambing sudah lama diusahakan oleh petani atau masyarakat sebagai usaha sampingan atau tabungan karena pemeliharaan dan pemasaran hasil produksi (baik daging, susu,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN tahun jumlahnya meningkat dari 21 juta menjadi 43 juta atau dari 18%

BAB I PENDAHULUAN tahun jumlahnya meningkat dari 21 juta menjadi 43 juta atau dari 18% BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap satu diantara enam penduduk dunia adalah remaja. Sedangkan 85% diantaranya hidup di negara berkembang. Di Indonesia, jumlah remaja dan kaum muda berkembang sangat

Lebih terperinci

PUBERTAS DAN ESTRUS 32 Pubertas 32 Estrus 32 Waktu kawin 33

PUBERTAS DAN ESTRUS 32 Pubertas 32 Estrus 32 Waktu kawin 33 PUBERTAS DAN ESTRUS 32 Pubertas 32 Estrus 32 Waktu kawin 33 HORMON KEBUNTINGAN DAN KELAHIRAN 33 Peranan hormon dalam proses kebuntingan 33 Kelahiran 34 MASALAH-MASALAH REPRODUKSI 35 FERTILITAS 35 Faktor

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di kecamatan Botupingge, Kabupaten Bone

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di kecamatan Botupingge, Kabupaten Bone BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di kecamatan Botupingge, Kabupaten Bone Bolango, Provinsi Gorontalo. Penelitian ini dimulai dari bulan Agustus sampai

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. pemotongan hewan (TPH) adalah domba betina umur produktif, sedangkan untuk

PENDAHULUAN. pemotongan hewan (TPH) adalah domba betina umur produktif, sedangkan untuk 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Domba merupakan ternak yang dapat menyediakan kebutuhan protein hewani bagi masyarakat Indonesia selain dari sapi, kerbau dan unggas. Oleh karena itu populasi dan kualitasnya

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum Lokasi Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum Lokasi Penelitian HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Penelitian Faktor manajemen lingkungan juga berpengaruh terhadap pertumbuhan ternak. Suhu dan kelembaban yang sesuai dengan kondisi fisiologis ternak akan membuat

Lebih terperinci

PENGARUH SUPEROVULASI PADA LAJU OVULASI, SEKRESI ESTRADIOL DAN PROGESTERON, SERTA PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN UTERUS DAN KELENJAR SUSU TIKUS PUTIH (Rattus Sp.) SELAMA SIKLUS ESTRUS TESIS OLEH : HERNAWATI

Lebih terperinci

D. Uraian Pembahasan. Sistem Regulasi Hormonal 1. Tempat produksinya hormone

D. Uraian Pembahasan. Sistem Regulasi Hormonal 1. Tempat produksinya hormone SATUAN ACARA PENGAJARAN (SAP) IX A. 1. Pokok Bahasan : Sistem Regulasi Hormonal A.2. Pertemuan minggu ke : 12 (2 jam) B. Sub Pokok Bahasan: 1. Tempat produksi hormone 2. Kelenjar indokrin dan produksi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian. Gambaran mikroskopik folikel ovarium tikus putih betina ((Rattus

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian. Gambaran mikroskopik folikel ovarium tikus putih betina ((Rattus BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Gambaran mikroskopik folikel ovarium tikus putih betina ((Rattus norvegicus, L) dengan perbesaran 4x10 menggunakan teknik pewarnaan Hematoxilin-eosin

Lebih terperinci

1. Jenis-jenis Sapi Potong. Beberapa jenis sapi yang digunakan untuk bakalan dalam usaha penggemukan sapi potong di Indonesia adalah :

1. Jenis-jenis Sapi Potong. Beberapa jenis sapi yang digunakan untuk bakalan dalam usaha penggemukan sapi potong di Indonesia adalah : BUDIDAYA SAPI POTONG I. Pendahuluan. Usaha peternakan sapi potong mayoritas masih dengan pola tradisional dan skala usaha sambilan. Hal ini disebabkan oleh besarnya investasi jika dilakukan secara besar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Tujuan. Adapun tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui ciri-ciri tiap fase siklus estrus pada mencit betina.

BAB I PENDAHULUAN Tujuan. Adapun tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui ciri-ciri tiap fase siklus estrus pada mencit betina. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Siklus reproduksi adalah perubahan siklus yang terjadi pada sistem reproduksi (ovarium, oviduk, uterus dan vagina) hewan betina dewasa yang tidak hamil, yang memperlihatkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tentang pentingnya protein hewani untuk kesehatan tubuh berdampak pada

I. PENDAHULUAN. tentang pentingnya protein hewani untuk kesehatan tubuh berdampak pada 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Pertumbuhan penduduk di Indonesia yang semakin meningkat serta kesadaran tentang pentingnya protein hewani untuk kesehatan tubuh berdampak pada peningkatan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambaran Umum PT Widodo Makmur Perkasa Propinsi Lampung

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambaran Umum PT Widodo Makmur Perkasa Propinsi Lampung 18 HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum PT Widodo Makmur Perkasa Propinsi Lampung Gambar 3. Foto Udara PT.Widodo Makmur Perkasa Propinsi Lampung (Sumber: arsip PT.Widodo Makmur Perkasa) PT. Widodo Makmur

Lebih terperinci

F I S I O L O G I Reproduksi dan Laktasi. 10 & 17 Februari 2014 Drh. Fika Yuliza Purba, M.Sc.

F I S I O L O G I Reproduksi dan Laktasi. 10 & 17 Februari 2014 Drh. Fika Yuliza Purba, M.Sc. F I S I O L O G I Reproduksi dan Laktasi 10 & 17 Februari 2014 Drh. Fika Yuliza Purba, M.Sc. Sasaran Pembelajaran Mahasiswa dapat menjelaskan sistem reproduksi dan laktasi Materi Kontrol gonad dan perkembangan

Lebih terperinci

2015 LUWAK. Direktorat Pengembangan Usaha dan Investasi Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Kementerian Pertanian

2015 LUWAK. Direktorat Pengembangan Usaha dan Investasi Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Kementerian Pertanian 2015 LUWAK Direktorat Pengembangan Usaha dan Investasi Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Kementerian Pertanian LUWAK A. Biologi Luwak Luwak merupakan nama lokal dari jenis musang

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Sapi perah termasuk kedalam famili Bovidae dan ruminansia yang

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Sapi perah termasuk kedalam famili Bovidae dan ruminansia yang II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Karakteristik Sapi Perah Sapi perah termasuk kedalam famili Bovidae dan ruminansia yang mempunyai tanduk berongga. Sapi perah Fries Holland atau juga disebut Friesian Holstein

Lebih terperinci

HUBUNGAN HIPOTALAMUS-HIPOFISE- GONAD. Oleh: Ir. Diah Tri Widayati, MP, Ph.D Ir. Kustono, M.Sc., Ph.D.

HUBUNGAN HIPOTALAMUS-HIPOFISE- GONAD. Oleh: Ir. Diah Tri Widayati, MP, Ph.D Ir. Kustono, M.Sc., Ph.D. HUBUNGAN HIPOTALAMUS-HIPOFISE- GONAD Oleh: Ir. Diah Tri Widayati, MP, Ph.D Ir. Kustono, M.Sc., Ph.D. Mekanisme umpan balik pelepasan hormon reproduksi pada hewan betina Rangsangan luar Cahaya, stress,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan daging sapi setiap tahun selalu meningkat, sementara itu pemenuhan

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan daging sapi setiap tahun selalu meningkat, sementara itu pemenuhan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebutuhan daging sapi setiap tahun selalu meningkat, sementara itu pemenuhan kebutuhan daging sapi lebih rendah dibandingkan dengan kebutuhan daging sapi. Ternak sapi,

Lebih terperinci