EFEKTIFITAS HORMON 17a-METILTESTOSTERON DAN LHRH-a DALAM MENCAPAI TINGKAT KEMATANGAN GONAD SIAP MEMIJAH PADA IKAN BELIDA (Notopterus chitala)

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "EFEKTIFITAS HORMON 17a-METILTESTOSTERON DAN LHRH-a DALAM MENCAPAI TINGKAT KEMATANGAN GONAD SIAP MEMIJAH PADA IKAN BELIDA (Notopterus chitala)"

Transkripsi

1 EFEKTIFITAS HORMON 17a-METILTESTOSTERON DAN LHRH-a DALAM MENCAPAI TINGKAT KEMATANGAN GONAD SIAP MEMIJAH PADA IKAN BELIDA (Notopterus chitala) OLEH : AHMAD JAUHARI PAMUNGKAS SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006

2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Efektifitas Hormon 17a-Metiltestosteron dan LHRH-a dalam Mencapai Tingkat Kematangan Gonad Siap Memijah Pada Ikan Belida (Notopterus chitala) adalah karya saya sendiri dan belum dipublikasikan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi dan instansi mana pun. Suber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Januari 2006 Ahmad Jauhari Pamungkas Nrp. C

3 ABSTRAK AHMAD JAUHARI PAMUNGKAS. Efektifitas Hormon 17a-Metiltestosteron dan LHRH-a dalam Mencapai Tingkat Kematangan Gonad Siap Memijah Pada Ikan Belida (Notopterus chitala). Ikan Belida adalah ikan asli perairan Indonesia dengan penyebaran meliputi wilayah Sumatera, Kalimantan dan sebagian Jawa. Karena penangkapan yang tidak terkendali dan rusaknya habitat ikan ini telah menyebabkan populasi di alam menurun. Oleh karena itu usaha budidaya (pembenihan) ikan tersebut harus ditingkatkan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dosis yang efektif dengan penggunaan hormon 17a-metiltestosteron dan LHRH-a terhadap kematangan gonad sampai siap memijah pada ikan belida. Percobaan menggunakan calon induk ikan belida berbobot antara gram dan panjang cm. Ikan diimplan dengan pelet berisi hormon 17a-metiltestosteron 0, 50, 100 dan 150 µg/kg bobot tubuh dan LHRH-a dengan dosis 25 µg/kg bobot tubuh. Hasil percobaan menunjukkan bahwa ikan yang mendapat perlakuan implantasi hormon memiliki waktu matang gonad yang lebih cepat dibandingkan dengan kontrol (60 hari lebih cepat). Diameter telur matang dari ikan perlakuan menunjukkan indikasi lebih kecil daripada kontrol. Dosis 150 µg 17ametiltestosteron/kg bobot tubuh memberikan pengaruh nyata pada peningkatan konsentrasi hormon testosteron dan estradiol-17ß plasma. Selain itu, dosis tersebut juga mempercepat pematangan gonad serta meningkatkan GSI.

4 EFEKTIFITAS HORMON 17a-METILTESTOSTERON DAN LHRH-a DALAM MENCAPAI TINGKAT KEMATANGAN GONAD SIAP MEMIJAH PADA IKAN BELIDA (Notopterus chitala) AHMAD JAUHARI PAMUNGKAS Tesis Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Perairan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006

5 Judul Tesis Nama NIM Program Studi : Efektifitas Hormon 17a-Metiltestosteron dan LHRH-a dalam Mencapai Tingkat Kematangan Gonad Siap Memijah Pada Ikan Belida (Notopterus chitala). : Ahmad Jauhari Pamungkas : C : Ilmu Perairan Menyetujui, 1. Komisi Pembimbing Dr. Ir. Agus Oman Sudrajat, M.Sc. Ketua Prof. Dr. Muhammad Zairin Jr., M.Sc. Anggota Mengetahui, 2. Ketua Program Studi Ilmu Perairan 3. Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Chairul Muluk, M.Sc. Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc. Tanggal Ujian : 17 Nopember 2005 Tanggal Lulus :

6 PRAKATA Puji dan syukur penulis sampaikan kehadlirat Allah SWT atas segala karunia- Nya sehingga penulis mendapatkan kekuatan dalam menyelesaikan tesis ini. Tema yang dipilih dalam percobaan yang dilaksanakan di Balai Budidaya Air Tawar (BBAT) Sukabumi, Balai Penelitian Ternak Ciawi dan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB sejak bulan Agustus 2004 sampai Maret 2005 adalah tentang reproduksi, dengan judul "Efektivitas Hormon 17a-Metiltestosteron dan LHRH-a dalam Mencapai Tingkat Kematangan Gonad Siap Memijah pada Ikan Belida (Notopterus chitala)". Hasil percobaan ini diharapkan dapat dijadikan informasi awal dalam pematangan gonad dan pengembangan pembenihannya. Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, karena itu saran dan kritik yang bersifat memperbaiki sangat penulis harapkan demi pengetahuan dan penyempurnaan tulisan ini. Semoga karya tulis ini bermanfaat untuk penulis khususnya dan umumnya untuk pembaca yang tertarik dengan ikan ikan perairan umum. Terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Agus Oman Sudrajat, M.Sc. dan Bapak Prof. Dr. Muhammad Zairin Jr., selaku pembimbing serta Bapak Dr. Ir. Odang Charman, M.Sc., sebagai dosen penguji yang telah memberikan saran, arahan, wawasan serta dorongan semangat dalam penulisan ini. Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Ir. Maskur beserta staf di BBAT Sukabumi (Bu Emi, Rojali, Ciptoroso, Bu Zakki, Pak Alen), Bapak Yosef beserta staf di Balai Penelitian Ternak Ciawi dan Bapak Ranta dari Laboratorium Kesehatan Ikan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB yang telah membantu selama pelaksanaan dan analisis data percobaan. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu beserta keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya. Bogor, Januari 2006 Ahmad Jauhari Pamungkas

7 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Tasikmalaya pada tanggal 15 Juni 1969, sebagai anak terakhir dari delapan bersaudara. Ayahanda bernama H. Ahmad Hanafi dan ibunda bernama Hj. Atikah Hanifah (alm). Pada tanggal 11 Juli 1995 penulis menikah dengan Lilis Ati Nurhayati putri ketiga pasangan Tarmansyah (alm) dan Hj. Siti Sofia Praja dan dikaruniai dua orang anak yaitu Dzukran Fauzan Nur Jauhari dan Jihan Naswa Nur Jauhari. Penulis lulus dari SMA Negeri 2 Tasikmalaya tahun 1988, kemudian melanjutkan studi di Institut Pertanian Bogor melalui program Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN). Gelar sarjana (S-1) diperoleh dari Jurusan Budidaya Perairan Fakultas Perikanan IPB pada tahun Pada tahun 1994 penulis bekerja di Balai Budidaya Air Tawar Sukabumi sampai sekarang. Pada tahun 2002 penulis masuk Program Pascasarjana IPB, Program Studi Ilmu Perairan.

8 DAFTAR ISI DAF TAR TABEL... DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN. Halaman PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Perumusan Masalah Tujuan dan Manfaat Hipotesis TINJAUAN PUSTAKA... 5 Perkembangan Gonad Peran Hormon dalam Reproduksi Ikan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kerja Hormon METODE PERCOBAAN. 14 Desain Penelitian Bahan Analisa Data HASIL DAN PEMBAHASAN 20 Hasil Pembahasan KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN.. 41 x xi xii

9 DAFTAR TABEL Halaman 1. Kriteria penilaian kematanga n gonad ikan Perkiraan diameter telur dari beberapa jenis ikan Variabel dan alat ukur yang digunakan Parameter kualitas air rata-rata wadah selama percobaan Hubungan dosis implan dengan konsentrasi testosteron,estradiol dalam plasma darah, diameter telur dan IGS... 30

10 DAFTAR GAMBAR Halama n 1. Sistem umpan balik antara oosit dan hati dalam proses vitelogenesis 8 2. Hubungan antara dosis implantasi hormon 17a-metiltestosteron dengan kadar hormon testosteron (?g/ml) dan kadar hormon estradiol (?g/ml) di dalam darah, diameter telur (mm) dan indeks gonad somatik (%) selama percobaan Fekuensi sebaran diameter telur ( mm) rata-rata pada awal tengah dan akhir percobaan Histologi telur belida pada awal percobaan pada pembesaran 40x Histologi telur belida pada pertengahan percobaan pada pembesaran 40x Histologi telur belida pada akhir percobaan pada pembesaran 40x... 28

11 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Gambar dan Klasifikasi ikan belida (Notopterus chitala ) Teknik pengambilan darah ikan belida Bahan dan alat RIA Cara kerja RIA Pengambilan sampel telur dengan cara dibedah Cara pembuatan pelet berhormon dan kolesterol Teknik implantasi ikan belida Kadar hormon testosteron (?g/ml), estradiol-17ß (?g/ml) rata-rata dalam plasma darah, diameter telur (mm) dan indeks gonad somatik (%) selama percobaan Anova hubungan dosis dengan kadar testosteron dalam darah Anova hubungan Dosis dengan kadar estradiol da lam darah Model linear hubungan dosis implantasi dengan diameter telur Anova dan analisis regresi hubungan IGS dengan dosis implantasi... 67

12 PENDAHULUAN Latar Belakang Ikan Belida (Notopterus chitala) adalah ikan asli perairan Indonesia dengan penyebaran meliputi wilayah Sumatera, Kalimantan dan sebagian Jawa. Ikan belida merupakan salah satu jenis ikan ekonomis tinggi. Ikan belida di beberapa daerah dimanfaatkan sebagai ikan konsumsi. Selain itu ikan ini juga bagus digunakan sebagai ikan hias, sehingga banyak diburu oleh masyarakat. Penangkapan yang tidak terkendali dan rusaknya habitat ikan belida, maka akhir-akhir ini populasinya di alam semakin menyusut. Bila hal ini terus dibiarkan maka populasinya akan semakin berkurang dan akhirnya akan punah. Penelitian mengenai ikan belida sampai saat ini belum banyak dilakukan, sehingga informasi tentang ikan belida ini sangat minim. Informasi yang ada baru sebatas kehidupan ikan belida di alam, belum banyak yang mengarah pada pemeliharaan di dalam wadah budidaya apalagi tentang pembenihannya. Untuk melindungi dari kepunahan, saat ini telah dirintis beberapa penelitian untuk menghasilkan benih ikan belida melalui kegiatan budidaya. Salah satu masalah dalam usaha pengembangan budidaya ikan ini adalah ketersediaan benih. Untuk itu diperlukan penelitian yang mengarah kepada produksi benih agar bisa membudidayakan ikan belida. Perumusan Masalah Perpindahan ikan dari habitat asli ke habitat yang baru menyebabkan hilangnya beberapa sinyal lingkungan yang berhubungan dengan reproduksi, sehingga kemungkinan tidak dapat bereproduksi secara alami di dalam sistem budidaya (Zairin, 2003). Kejadian tersebut kemungkinan karena tidak tersedia atau kurangnya hormon-hormon yang berperan dalam proses vitelogenesis dan pematangan gonad terutama hormon gonadotropin yang berperan dalam merangsang ovari untuk tumbuh dan berkembang.

13 2 Faktor-faktor yang berpengaruh pada proses vitelogenesis terdiri dari faktor internal dan faktor eksternal. Faktor eksternal seperti suhu, cahaya, curah hujan merupakan faktor yang memberikan pengaruh dengan memberikan sinyal kepada ikan untuk proses vitelogenesis. Namun demikian sinyal ini kadang tidak tersedia sepanjang tahun. Sedangkan faktor internal seperti tersedianya hormon steroid gonad yaitu testosteron sebagai prekursor estradiol-17ß yang berperan dalam mensintesis dan mensekresikan vitelogenin. Pada banyak kasus, sinyal lingkungan untuk proses pematangan gonad dan pemijahan tidak diketahui. Kalaupun diketahui, faktor lingkungan tersebut sukar ditiru atau mahal. Manipulasi hormonal berupa suntikan dan implantasi hormon, tidak lain adalah upaya potong kompas mengganti sinyal lingkungan. Pada spesies yang tidak memijah secara spontan di dalam wadah budidaya, manipulasi homonal mutlak diperlukan (Zairin, 2003). Untuk mengatasi ketiadaan atau kurangnya hormon gonadotropin dan steroid gonad di dalam tubuh ikan, perlu dilakukan rekayasa hormonal dengan cara memasukan hormon dari luar tubuh ikan. Pemberian hormon 17a-metiltestosteron selain dapat meningkatkan konsentrasi testosteron gonad yang diaromatasi menjadi estradiol-17ß juga dapat memberikan "feedback" positif terhadap pituitari untuk mensekresikan hormon gonadotropin. Meningkatnya kadar estradiol-17ß di dalam darah akan merangsang hati mensintesis vitelogenin (Nagahama, 1987). Vitelogenin selanjutnya dilepas ke dalam darah dan kemudian secara selektif diambil dari plasma darah untuk pengisian oosit. Konsentrasi estradiol-17ß dalam plasma darah yang meningkat selama periode pertumbuhan oosit dapat digunakan sebagai indikator vitelogenesis (Fostier et al., 1983). Supriyadi (2005) menyatakan pemberian hormon metiltestosteron, HCG dan kombinasinya efektif meningkatkan konsentrasi estradiol- 17ß plasma darah ikan baung dan mampu mempercepat proses pematangan gonad dalam waktu hari. Sementara itu, penggunaan 17α-metiltestosteron pada dosis 50 hingga 100 µg/kg bobot ikan pada ikan jambal siam (Pangasius hypopthalmus) mempunyai kecenderungan lebih baik dari dosis lainnya dalam pengaruhnya terhadap gonad Sarwoto (2001).

14 3 LHRH dapat merangsang pelepasan hormon gonadotropin (LH). Breton et al. (1997) melaporkan penyuntikan LHRH secara intravena pada ikan mas (Cyprinus carpio) menyebabkan peningkatan tajam konsentrasi LH plasma dalam waktu dua sampai enam menit setelah penyuntikan. Selama ini pemberian hormon dilakukan dengan cara melarutkan hormon dalam larutan salin kemudian disuntikan ke dalam tubuh ikan. Cara ini kurang efisien dalam menyediakan hormon dalam tubuh ikan dalam jangka waktu yang lama karena hormon yang disuntikan bersama larutan salin akan cepat hilang dari peredaran darah dan kenaikan konsentrasinya sangat cepat namun cepat pula hilangnya. Sehingga untuk mendapatkan hormon yang terus menerus, diperlukan penyuntikan yang berulang, namun hal ini dapat menyebabkan stres pada ikan. Untuk menghindari stres yang berkelanjutan akibat penyuntikan yang berulang serta menyediakan hormon yang berkelanjutan dalam jangka waktu yang panjang maka digunakan media implantasi dengan pelet pembawa hormon dengan bahan kolesterol dan "cocoa butter": (Lee et al., 1986). Dengan sistem implantasi pelet berhormon mudah dibuat dan dengan menggunakan peralatan sederhana. Selain perkembangan awal gonad yang dirangsang dengan hormon, dalam pemeliharaan perlu diupayakan keadaan yang optimal baik dalam pemberian pakan, lingkungan tempat hidup ikan (kualitas air). Tujuan dan Manfaat Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dosis yang efektif dalam penggunaan hormon 17a-metiltestosteron dan LHRH-a terhadap kematangan gonad ikan belida sampai siap memijah. Manfaat dari penelitian ini adalah untuk memberikan informasi tentang perkembangan dan pamatangan gonad sampai siap memijah dalam usaha pembenihan ikan belida. Hipotesis Jika pemberian hormon 17a-metiltestosteron dan LHRH-a efektif meningkatkan kadar estradiol-17ß darah maka proses vitelogenesis meningkat secara

15 4 berkelanjutan sehingga dapat mempercepat proses pertumbuhan dan pematangan gonad.

16 TINJAUAN PUSTAKA Perkembangan Gonad Dalam proses reproduksi, sebelum terjadi pemijahan sebagian besar hasil metabolisme tertuju pada perkembangan gonad. Bobot gonad ikan akan mencapai maksimum sesaat ikan akan memijah, kemudian akan menurun dengan cepat selama pemijahan berlangsung sampai selesai. Umumnya peningkatan bobot gonad ikan betina pada saat matang gonad dapat mencapai 10-25% dari bobot tubuh dan 5 10% pada ikan jantan. Semakin besar tingkat kematangan gonad, diameter telur yang ada dalam gonad semakin membesar (Effendie, 1997). Perkembangan gonad ikan dapat dibagi menjadi dua tahapan yaitu pertumbuhan gonad ikan sampai menjadi dewasa kelamin sexually mature dan selanjutnya adalah pematangan gamet. Tahap pertama berlangsung mulai larva hingga mencapai dewasa kelamin dan tahap kedua dimulai setelah ikan mencapai dewasa, kemudian terus berkembang selama fungsi reproduksi berjalan normal Lagler et al. (1997); Harvey dan Carolsfeld (1993). Kematangan gonad pada ikan tertentu dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor luar dan faktor dalam. Faktor luar yang berpengaruh adalah suhu, arus, adanya lawan jenis dan lain-lain. Faktor dalam antara lain adalah perbedaan spesies, umur, serta sifat-sifat fisiologis lainnya Lagler et al., (1997). Ikan belida (N notopterus) di Thailand pertama kali matang kelamin pada ukuran 20 cm. Ikan N chitala matang kelamin pada berat 4 kg (Ondara & Dharyani, 1995). Ikan belida berkembang biak secara alami di perairan umum pada awal musim penghujan. Telur-telur diletakan pada tonggak pada kedalaman 1-2 m (Widyastuti, 1993). Jumlah telur yang dikeluarkan untuk satu kali pemijahan berkisar antara butir. Masa pengeraman sebelum menetas 5 6 hari pada suhu 33 C (Ondara dan Dharyani, 1995). Ikan belida di India dan Thailand, jantan menjaga telur dan betina diperkirakan memijah tiga kali dalam musim- musim April- Juli, menghasilkan butir telur (Lowe-McConnel, 1975 dalam Madang, 1999).

17 6 Perkembangan gonad ikan (ovarium), dapat dievaluasi berdasarkan atas pengamatan secara makroskopis dan mikroskopis. Pengelompokan berdasarkan morfologi telah dilaporkan oleh Cassie dalam Efendie, 1985 seperti pada Tabel 1. Tabel 1. Kriteria penilaian kematangan gonad ikan (Cassie dalam Effendie, 1985) TKG Ovari Testis I Ovari kecil memanjang seperti Testis kecil memanjang warna jernih benang, warna jernih dan permukaan licin II Ukuran ovari lebih besar, warna Ukuran testis jauh lebih besar, warna lebih gelap, kekuningan. Telur putih seperti susu, bentuk lebih jelas belum terlihat dengan mata telanjang daripada tingkat satu III Ovari berwarna kuning, butir-butir telur mulai kelihatan dengan mata telanjang Permukaan testis bagian ventral tampak berlekuk, warna semakin putih dan ukuran semakin besar. IV Butir-butir telur besar berwarna kuning, mengisi setengah sampai duapertiga bagian rongga perut. V Ovari berkerut, dinding tebal, butir telur sisa terdapat didekat pelepasan. Banyak telur seperti pada tingkat II Seperti pada tingkat tiga tampak lebih jelas. Testis semakin pejal. Testis bagian belakang kosong dan dibagian dekat pelepasan masih berisi sperma Pada tahap perkembangan awal oogonia terlihat sangat kecil, berbentuk bulat dengan inti sel yang sangat besar dibandingkan dengan sitoplasmanya. Oogonia terlihat bekelompok, tapi kadang-kadang ada juga yang berbentuk tunggal. Sementara itu oogonia terus memperbanyak diri dengan cara mitosis. Pada ikan yang mempunyai siklus reproduksi tahunan atau tengah tahunan akan terlihat adanya puncak-puncak pembelahan oogonia. Pada ikan yang berpijah sepanjang tahun, perbanyakan oogonia akan terjadi teus menerus sepanjang tahun. Transformasi oogonia menjadi oosit primer pada tahap pertumbuhan kedua dikenal dengan munculnya kromosom. Segera setelah itu folikel berubah bentuk dari semula berbentuk skuamosa menjadi bentuk kapsul oosit. Inti sel terletak pada bagian sentral dibungkus oleh lapisan sitoplasma yang sangat tipis. Pada perkembangan selanjutnya oosit membentuk lapisan chorion, granulosa, membran dan teka. Oosit dikelilingi oleh lapisan sel-sel folikel yang membentuk dua lapisan yaitu lapisan granulosa di

18 7 sebelah dalam yang menempel dengan oosit dan lapisan teka di sebelah luarnya. Juga butir-butir lemak mulai terlihat ditumpuk pada sitoplasma dan bersama dengan itu muncul alveoli codical. Butir-butir lemak ini selanjutnya akan bertambah besar pada proses vitelogenesis yang diawali dengan pembentukan vakuola-vakuola kemudian diikuti dengan munculnua globul-globul kuning telur karena adanya rangsangan vitelogenin dan hati (Hoar & Nagahama 1978; Ernawati 1999). Menurut Mommsen & Walsh (1988) pembentukan vitelogenin di hati terjadi pada bagian retikulum endoplasma, dikumpulkan pada aparatus golgi dan disekresikan ke dalam aliran darah. Selanjutnya akan terikat dengan protein reseptor spesifik yang terdapat pada membran oosit kemudian diserap melalui mikropinosis dan dipindahkan ke microvesicular body. Sebelum penimbunan akhir dalam kuning telur vitelogenin dipecah menjadi omponen-komponen lipovitelin dan phosvitin (Gambar 1.). Proses pembentukan vitelogenin ini terus berlangsung di dalam tubuh ikan yang dinamakan proses vitelogenesis (Nagahama 1987; Yaron 1995; Cerda et al. 1996). Selama terjadinya proses ini menyebabkan meningkatnya volume granula kuning telur yang sekaligus menyebabkan meningkatnya ukuran oosit serta nilai indeks gonado somatik (IGS) dan indeks hepatosomaik (IHS) ikan (Cerda et al. 1996). Prosentase komposisi tingkat kematangan pada setiap saat dapat dipakai untuk menduga terjadinya pemijahan. Ikan yang mempunyai satu musim pemijahan yang pendek dalam satu tahun atau saat pemijahannya panjang, akan ditandai dengan peningkatan prosentase tingkat kematangan gonad yang tinggi pada setiap akan mendekati musim pemijahan. Bagi ikan yang mempunyai musim pemijahan sepanjang tahun, pada pengambilan contoh setiap saat akan didapatkan komposisi tingkat kematangan gonad terdiri dari berbagai tingkat dengan prosentase yang tidak sama. Prosentase tinggi dari tingkat kematangan gonad yang besar merupakan puncak pemijahan walaupun pemijahan sepanjang tahun. Jadi dari komposisi tingkat kematangan gonad ini dapat diperoleh keterangan waktu mulai dan berakhirnya kejadian pemijahan dengan puncaknya (Efendie, 2002).

19 8 OOSIT DARAH HATI Aparatus golgi Vitelogenin Reseptor Yolk Phosvitin Reseptor vitelogenin Lipovitelin Microvesicular Body Estrogen (E) Vitelogenin DNA Vitelogenin E R- Complex mrn A Reseptor Nukleus Sel Folikel Gambar 1. Sistem umpan balik antara oosit dan hati dalam proses vitelogenesis (Mommsen & Walsh 1988) Peran Hormon dalam Reproduksi Ikan Seperti pada hewan bertulang belakang lain, proses reproduksi pada ikan dikontrol oleh ritme biologi dalam seperti isyarat lingkungan (Munro, 1990 dalam Patino, 1997). Isyarat lingkungan penting untuk terjadinya reproduksi sebagai faktor penentu (kualitas air, ketersediaan pakan, pemangsaan), di dalam konteks evolusi, sudah ditentukan ketika dan di mana pemijahan terjadi, dan isyarat penyelaras (potoperiod dan temperature dan perubahan langsung, keberadaan tempat pemijahan, peromon). Sistem reproduksi ikan betina dikontrol oleh poros hipothalamus pituitari gonad. Sebagai respon terhadap perubahan lingkungan, hipothalamus melepaskan GnRH yang merangsang sekresi gonadotropin oleh kelenjar pituitari menuju organ sasaran yaitu gonad. Dibawah pengaruh gonadotropin folikel ovari memproduksi androgen terutama testosteron yang selanjutnya diubah menjadi estradiol- 17β dengan bantuan enzim aromatase. Hormon estradiol-17β kemudian merangsang proses vitelogenesis. Menurut Tyleret al. (1991) vitelogenesis adalah proses induksi dan sintesis vitelogenin di hati sebagai respon dari hormon estradiol-17β dan selanjutnya

20 Lampiran 2. Teknik pengambilan darah ikan belida 42

21 Lampiran 3. Bahan dan alat RIA 43

22 44 Lampiran 4. Cara kerja RIA Prosedur pengukuran konsentrasi hormo n estradiol 17ß dan testosteron plasma berdasarkan manual dari Diagnostic Product Corporation (DPC). 1. Persiapan zat-zat pereaksi atau reagens : a. Estradiol mempunyai tendensi kuatmenyerap permukaan wadah plastik yang tidak diberi perlakuan. Oleh sebab itu penggunaan wadah atau penutup yang terbuat dari bahan platik haru dihindari. b. Tabung estradiol dan testosteron total yang sudh dilapisi antibodi, disimpan dalam refrigerator dn jauh dari tempat lembab atau berair. Bila sgelnya sudah dibuka, tabung dapat disimpan pada suhu 2 8 C sampai waktu kadaluwarsa yang tertera pada kantung pembungkusnya. c. Botol yang berisi105 ml estradiol 125 I atau testosteron total yang sudah teriodisasi dalam bentuk cair, disimpan dalam refrigerator pada suhu 2 8 C untuk 30 hari setelah segel dibuka atau sampai waktu kadaluwarsa yang tertera pada vial. d. Kalibrator estradiol dan testosteron total terdiri dari tujuh kalibrator yaitu tabung A (kalibrator nol, 0?g/ml) berisi 5 ml dan sisanya tabung B (20?g/ml), C (50?g/ml), D (150?g/ml), E (500?g/ml), F (1800?g/ml) dan G (3600?g/ml) berisi masing-masing 2 ml. Tabung-tabung yang sudah dibuka segelnya disimpan dalam refrigerator pada suhu 2 8 C maksimal 30 hari setelah dibuka. Untuk penyimpanan lebih lama 9sampai 6 bulan), tabung dapat disimpan dalam feezer bersuhu minus 20 C. e. Persiapan tabung reaksi di dalam rak dan masukan ke dalamnya unsur-unsur antibodi (Ab), antigen radioaktif (Ag*), sampel plasma atau standar: Untuk analisis Estradiol 17 da testosteron a. Label 4 tabung polipropilen polos (plain tube), untuk jumlah total binding dan (NSB, son spesifik binding) ukuran 12 x 5 mm dalam duplo. b. Label 14 tabung kalibrator sudah dilapisi antibodi estradiol masing-masing taung A untuk ikatan maksimum (konsentrasi 0?g/ml), B (20?g/ml), C (50

23 45?g/ml), D (150?g/ml), E (500?g/ml), F (1800?g/ml) dan G (3600?g/ml) dalam duplo. c. Label tabung tambahan yang sudah dilapisi antiobodi estradiol atau testosteron dalam duplo untuk smpel plasma standar. d. Pipet 100 µl kalibrator nl A untuk analisis estradiol ke dalam tabung NSB dan tabung A, dan 100 µl kalibrator B, C, D, E, F, dan G (untuk analisis estradiol) ke dalam tabung yang sudah dilabel. e. Pipet 100 µl iap-tiap sampel plasma (untuk analisis estradiol) ke dalam tabung yang sudah disiapkan. Pipet diletakkan langsung sampai dasar tabung. f. Tambahkan 1 ml total estradiol 125 I ke setiap tabung dan diaduk selama 10 menit. g. Inkubasikan selama 3 jam pada suhu ruangan. h. Ikatan Ag*-Ab dari Ag8 bebas dipisah dengan metode penuangan. 2. Perhitungan hasil ; konsentrasi estradiol tau testosteron total dihitung berdasrkan kurva kalibrasi logit-log dengan menentukan ; a. jumlah rata-rata ikatan per menit untuk setiap pasang tabung NSB dengan rumus : Jumlah bersih = CPM (countper menit) rata-rata NSB CPM b. Menetukan ikatan setiap pasangan tabung sebagai persen ikatan maksimum (MB), dengan jumlah NSB tabung A sebagai 00%. Dengan kertas gambar logit-log, plot sumbu vertikal (sumbu y) untuk konsentrasi hormon dan sumbu horizontal (sumbu x) untuk setiap kalibrator B sampai G dan Gambar garis lurus mendekati bagian titik tersebut. Konsentrasi estradiol atau testosteron total untuk sampel kemudian diperkirakan dari garis dengan interpolasi.

24 Lampiran 5. Pengambilan sampel telur dengan cara dibedah 46

25 47 Lampiran 6. Cara pembuatan pelet berhormon dan kolesterol (Cholik et al 1990). 1. Ambil sedikit cocoa butter (6 tetes) dalam test tube, masukan dalam beaker glass 50 ml yang berisi air dan panaskan dengan alat pemanas. 2. Timbang sejumlah 190 mg cholesterol powdr masukan dalam mortal. 3. Dengan pipet ependorof ambil 0,2 ml larutan alkohol dan campur dengan hormon 17a-metiltestosteron, masukan dalm mortal berisi kolesterol, larutkan dan lumatkan. 4. Inkubasikan selama satu jam atau lebih pada suhu 37 C. 5. Dengan sendok logam (spatula) keruk campuran tersebut dan satukan. 6. Tambahkan satu tetes cocoa butter dan aduk berkali-kali hingga homogen. 7. Diamkan satu malam (24 jam) dalam refrigerator. 8. Cetak dengan alat yang sudah dibuat dan pres dengan paku dan pukul hingga padat betul. 9. Berdasarkan pengalaman dari satu resep dapat dibuat pelet ukura diameter 1 mm dan panjng 3 mm sebanyak 29 pelet.

26 Lampiran 7. Teknik implantasi ikan belida 48

27 49 Lampiran 8. Kadar hormon testosteron (?g/ml), estradiol (?g/ml) rata-rata dalam plasma darah, diameter telur (mm) dan indeks gonad somatik (%) selama percobaan. Implantasi testosteron µg/kg Kadar testosteron (?g/ml) dalam darah Hari ke ,560 0,750 0,850 0,550 0,380 0,225 0,115 0,140 0,375 0,240 0,160 0,185 0, ,970 1,355 1,250 1,405 0,500 0,375 0,115 0,275 0,320 0,465 0,180 0,360 0, ,180 0,260 0,385 0,420 0,450 0,190 0,215 0,405 0,210 0,240 0,140 0,345 0, ,665 1,830 1,715 1,840 1,355 0,280 0,785 0,405 0,200 0,725 0,385 0,240 0,395 Implantasi testosteron µg/kg Kadar estradiol?g/ml Hari ke ,0 698,0 650,0 560,0 310,5 133,0 201,0 220,0 135,5 344,5 152,5 111,0 176, ,0 372,0 898,0 35,0 411,0 93,5 464,0 304,0 183,5 72,0 168,5 50,7 115, ,0 163,5 133,0 214,0 222,0 145,0 586,0 166,0 117,5 311,5 174,0 188,0 112, ,0 2731,0 1047,0 176,0 525,0 324,5 750,0 550,0 256,5 407,5 23,0 127,0 289,0 Implantasi testosteron µg/kg Hari ke ,63 0,83 0, ,50 0, ,81 0, ,63 0,68 Implantasi testosteron IGS hari ke µg/kg , , , ,

28 50 Lampiran 9. Anova hubungan Dosis dengan kadar testosteron dalam darah General Linear Model: Testosteron Hari ke 0 versus Dosis Analysis of Variance for Hari ke 0, using Adjusted SS for Tests Dosis Error Total S = R-Sq = 52.58% R-Sq(adj) = 17.02% General Linear Model: Testosteron Hari ke10 versus Dosis Analysis of Variance for Hari ke10, using Adjusted SS for Tests Dosis Error Total S = R-Sq = 62.27% R-Sq(adj) = 33.97% General Linear Model: Testosteron Hari ke 20 versus Dosis Analysis of Variance for Hari ke 20, using Adjusted SS for Tests Dosis Error Total S = R-Sq = 65.56% R-Sq(adj) = 39.74%

29 51 General Linear Model: Hari ke 30 versus Dosis Analysis of Variance for Hari ke 30, using Adjusted SS for Tests Dosis Error Total S = R-Sq = 73.68% R-Sq(adj) = 53.95% General Linear Model: Testosteron Hari ke 40 versus Dosis Analysis of Variance for Hari ke 40, using Adjusted SS for Tests Dosis Error Total S = R-Sq = 74.63% R-Sq(adj) = 55.61% General Linear Model: Testosteron Hari ke 50 versus Dosis Analysis of Variance for Hari ke 50, using Adjusted SS for Tests Dosis Error Total S = R-Sq = 27.59% R-Sq(adj) = 0.00%

30 52 General Linear Model: Testosteron Hari 60 versus Dosis Analysis of Variance for Hari 60, using Adjusted SS for Tests Dosis Error Total S = R-Sq = 97.46% R-Sq(adj) = 95.55% Tukey 95.0% Simultaneous Confidence Intervals Response Variable Hari 60 All Pairwise Comparisons among Levels of Dosis Dosis = 0 subtracted from: Dosis Lower Center Upper (------*------) ( *------) (------* ) Dosis = 50 subtracted from: Dosis Lower Center Upper ( *------) (------* ) Dosis = 100 subtracted from: Dosis Lower Center Upper (------* ) Tukey Simultaneous Tests Response Variable Hari 60 All Pairwise Comparisons among Levels of Dosis Dosis = 0 subtracted from: Difference SE of Adjusted Dosis of Means Difference T-Value P-Value Dosis = 50 subtracted from:

31 53 Difference SE of Adjusted Dosis of Means Difference T-Value P-Value Dosis = 100 subtracted from: Difference SE of Adjusted Dosis of Means Difference T-Value P-Value General Linear Model: Testosteron Hari ke 70 versus Dosis Analysis of Variance for Hari ke 70, using Adjusted SS for Tests Dosis Error Total S = R-Sq = 26.21% R-Sq(adj) = 0.00% General Linear Model: Testosteron Hari ke 80 versus Dosis Analysis of Variance for Hari ke 80, using Adjusted SS for Tests Dosis Error Total S = R-Sq = 20.10% R-Sq(adj) = 0.00% General Linear Model: Testosteron Hari ke 90 versus Dosis Analysis of Variance for Hari ke 90, using Adjusted SS for Tests Dosis Error Total

32 54 S = R-Sq = 87.44% R-Sq(adj) = 78.03% Tukey 95.0% Simultaneous Confidence Intervals Response Variable Hari ke 90 All Pairwise Comparisons among Levels of Dosis Dosis = 0 subtracted from: Dosis Lower Center Upper ( * ) ( * ) ( * ) Dosis = 50 subtracted from: Dosis Lower Center Upper ( * ) ( * ) Dosis = 100 subtracted from: Dosis Lower Center Upper ( * ) Tukey Simultaneous Tests Response Variable Hari ke 90 All Pairwise Comparisons among Levels of Dosis Dosis = 0 subtracted from: Difference SE of Adjusted Dosis of Means Difference T-Value P-Value Dosis = 50 subtracted from: Difference SE of Adjusted Dosis of Means Difference T-Value P-Value Dosis = 100 subtracted from: Difference SE of Adjusted Dosis of Means Difference T-Value P-Value

33 55 General Linear Model: Testosteron Hari ke 100 versus Dosis Analysis of Variance for Hari ke 100, using Adjusted SS for Tests Dosis Error Total S = R-Sq = 27.50% R-Sq(adj) = 0.00% General Linear Model: Testosteron Hari ke 110 versus Dosis Analysis of Variance for Hari ke 110, using Adjusted SS for Tests Dosis Error Total S = R-Sq = 32.22% R-Sq(adj) = 0.00% General Linear Model: Testosteron Hari ke 120 versus Dosis Analysis of Variance for Hari ke 120, using Adjusted SS for Tests Dosis Error Total S = R-Sq = 89.43% R-Sq(adj) = 81.50% Tukey 95.0% Simultaneous Confidence Intervals Response Variable Hari ke 120 All Pairwise Comparisons among Levels of Dosis Dosis = 0 subtracted from:

34 56 Dosis Lower Center Upper ( * ) ( * ) ( * ) Dosis = 50 subtracted from: Dosis Lower Center Upper ( * ) ( * ) Dosis = 100 subtracted from: Dosis Lower Center Upper ( * ) Tukey Simultaneous Tests Response Variable Hari ke 120 All Pairwise Comparisons among Levels of Dosis Dosis = 0 subtracted from: Difference SE of Adjusted Dosis of Means Difference T-Value P-Value Dosis = 50 subtracted from: Difference SE of Adjusted Dosis of Means Difference T-Value P-Value Dosis = 100 subtracted from: Difference SE of Adjusted Dosis of Means Difference T-Value P-Value

35 57 Lampiran 10. Anova hubungan Dosis dengan kadar estradiol dalam darah General Linear Model: Estradiol Hari ke 0 versus Dosis Analysis of Variance for Estradiol Hari ke 0, using Adjusted SS for Tests Dosis Error Total S = R-Sq = 65.53% R-Sq(adj) = 39.68% General Linear Model: Estradiol Hari ke 10 versus Dosis Analysis of Variance for Estradiol Hari ke 10, using Adjusted SS for Tests Dosis Error Total S = R-Sq = 86.92% R-Sq(adj) = 77.11% Tukey 95.0% Simultaneous Confidence Intervals Response Variable Hari ke10 All Pairwise Comparisons among Levels of Dosis Dosis = 0 subtracted from: Dosis Lower Center Upper ( * ) ( * ) ( * ) Dosis = 50 subtracted from: Dosis Lower Center Upper ( * ) ( * ) Dosis = 100 subtracted from:

36 58 Dosis Lower Center Upper ( * ) Tukey Simultaneous Tests Response Variable Hari ke10 All Pairwise Comparisons among Levels of Dosis Dosis = 0 subtracted from: Difference SE of Adjusted Dosis of Means Difference T-Value P-Value Dosis = 50 subtracted from: Difference SE of Adjusted Dosis of Means Difference T-Value P-Value Dosis = 100 subtracted from: Difference SE of Adjusted Dosis of Means Difference T-Value P-Value General Linear Model: Estradiol Hari ke 20 versus Dosis Analysis of Variance for Hari ke 20, using Adjusted SS for Tests Dosis Error Total S = R-Sq = 43.83% R-Sq(adj) = 1.71%

37 59 General Linear Model: Estradiol Hari ke 30 versus Dosis Analysis of Variance for Hari ke 30, using Adjusted SS for Tests Dosis Error Total S = R-Sq = 77.97% R-Sq(adj) = 61.45% General Linear Model: Estradiol Hari ke 40 versus Dosis Analysis of Variance for Hari ke 40, using Adjusted SS for Tests Dosis Error Total S = R-Sq = 44.88% R-Sq(adj) = 3.53% General Linear Model: Estradiol Hari ke 50 versus Dosis Analysis of Variance for Hari ke 50, using Adjusted SS for Tests Dosis Error Total S = R-Sq = 88.89% R-Sq(adj) = 80.55% Tukey 95.0% Simultaneous Confidence Intervals Response Variable Hari ke 50 All Pairwise Comparisons among Levels of Dosis Dosis = 0 subtracted from: Dosis Lower Center Upper ( * ) ( * ) ( * )

38 60 Dosis = 50 subtracted from: Dosis Lower Center Upper ( * ) ( * ) Dosis = 100 subtracted from: Dosis Lower Center Upper ( * ) Tukey Simultaneous Tests Response Variable Hari ke 50 All Pairwise Comparisons among Levels of Dosis Dosis = 0 subtracted from: Difference SE of Adjusted Dosis of Means Difference T-Value P-Value Dosis = 50 subtracted from: Difference SE of Adjusted Dosis of Means Difference T-Value P-Value Dosis = 100 subtracted from: Difference SE of Adjusted Dosis of Means Difference T-Value P-Value General Linear Model: Estradiol Hari 60 versus Dosis Analysis of Variance for Hari 60, using Adjusted SS for Tests Dosis Error Total S = R-Sq = 73.17% R-Sq(adj) = 53.05%

39 61 General Linear Model: Estradiol Hari ke 70 versus Dosis Analysis of Variance for Hari ke 70, using Adjusted SS for Tests Dosis Error Total S = R-Sq = 87.81% R-Sq(adj) = 78.67% Tukey 95.0% Simultaneous Confidence Intervals Response Variable Hari ke 70 All Pairwise Comparisons among Levels of Dosis Dosis = 0 subtracted from: Dosis Lower Center Upper ( * ) ( * ) ( * ) Dosis = 50 subtracted from: Dosis Lower Center Upper ( * ) ( * ) Dosis = 100 subtracted from: Dosis Lower Center Upper ( * ) Tukey Simultaneous Tests Response Variable Hari ke 70 All Pairwise Comparisons among Levels of Dosis Dosis = 0 subtracted from: Difference SE of Adjusted Dosis of Means Difference T-Value P-Value

40 62 Dosis = 50 subtracted from: Difference SE of Adjusted Dosis of Means Difference T-Value P-Value Dosis = 100 subtracted from: Difference SE of Adjusted Dosis of Means Difference T-Value P-Value General Linear Model: Estradiol Hari ke 80 versus Dosis Analysis of Variance for Hari ke 80, using Adjusted SS for Tests Dosis Error Total S = R-Sq = 47.88% R-Sq(adj) = 8.79% General Linear Model: Estradiol Hari ke 90 versus Dosis Analysis of Variance for Hari ke 90, using Adjusted SS for Tests Dosis Error Total S = R-Sq = 37.97% R-Sq(adj) = 0.00% General Linear Model: Estradiol Hari ke 100 versus Dosis Analysis of Variance for Hari ke 100, using Adjusted SS for Tests Dosis Error Total S = R-Sq = 13.77% R-Sq(adj) = 0.00%

41 63 General Linear Model: Estradiol Hari ke 110 versus Dosis Analysis of Variance for Hari ke 110, using Adjusted SS for Tests Dosis Error Total S = R-Sq = 36.87% R-Sq(adj) = 0.00% General Linear Model: Estradiol Hari ke 120 versus Dosis Analysis of Variance for Hari ke 120, using Adjusted SS for Tests Dosis Error Total S = R-Sq = 38.68% R-Sq(adj) = 0.00%

42 64 Lampiran 11. Model linear hubungan dosis implantasi dengan diameter telur General Linear Model: Diameter Telur Hari ke 60 versus Dosis_T Analysis of Variance for Diameter Telur Hari ke 60, using Adjusted SS for Tests Dosis_T Error Total S = R-Sq = 21.01% R-Sq(adj) = 20.35% Least Squares Means for Diameter Telur Hari ke 60 Dosis Mean SE Mean Tukey Simultaneous Tests Response Variable Diameter Telur Hari ke 60 All Pairwise Comparisons among Levels of Dosis_T Dosis = 0 subtracted from: Difference SE of Adjusted Dosis of Means Difference T-Value P-Value Dosis = 50 subtracted from: Difference SE of Adjusted Dosis of Means Difference T-Value P-Value Dosis = 100 subtracted from: Difference SE of Adjusted Dosis of Means Difference T-Value P-Value

43 65 General Linear Model: Diameter Telur Hari ke 120 versus Dosis Analysis of Variance for Diameter Telur Hari ke 120, using Adjusted SS for Tests Dosis Error Total S = R-Sq = 12.04% R-Sq(adj) = 11.29% Least Squares Means for Diameter Telur Hari ke 120 Dosis Mean SE Mean Tukey Simultaneous Tests Response Variable Diameter Telur Hari ke 120 All Pairwise Comparisons among Levels of Dosis Dosis = 0 subtracted from: Difference SE of Adjusted Dosis of Means Difference T-Value P-Value Dosis = 50 subtracted from: Difference SE of Adjusted Dosis of Means Difference T-Value P-Value Dosis = 100 subtracted from: Difference SE of Adjusted Dosis of Means Difference T-Value P-Value

44 66 Regression Analysis: Diam_60 versus Dosis The regression equation is Diam_60 = Dosis Predictor Coef SE Coef T P Constant Dosis S = R-Sq = 5.7% R-Sq(adj) = 0.0% Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression Residual Error Total Regression Analysis: Diam_120 versus Dosis The regression equation is Diam_120 = Dosis Predictor Coef SE Coef T P Constant Dosis S = R-Sq = 99.2% R-Sq(adj) = 98.8% Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression Residual Error Total

45 67 Lampiran 12. Anova dan analisis regresi hubungan IGS dengan dosis implantasi Regression Analysis: GSI_60 versus Dosis The regression equation is GSI_60 = Dosis Predictor Coef SE Coef T P Constant Dosis S = R-Sq = 4.0% R-Sq(adj) = 0.0% Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression Residual Error Total Regression Analysis: GSI_120 versus Dosis The regression equation is GSI_120 = Dosis Predictor Coef SE Coef T P Constant Dosis S = R-Sq = 90.6% R-Sq(adj) = 85.9% Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression Residual Error Total

46 9 vitelogenin yang diproduksi hati dilepaskan ke dalam sistem peredaran darah yang secara selektif diserap oleh oosit untuk ditimbun menjadi bakal kuning telur dalam bentuk lipovitelin dan phosvitin. Hormon gonadotropin yang dikeluarkan oleh kelenjar adenohipofisis adalah hormon utama yang merangsang berbagai aktivitas ovari. Dua jenis gonadotropin yang diproduksi tersebut adalah FSH dan LH. Peranan kedua jenis hormon tersebut berbeda selama proses perkembangan reproduksi. FSH adalah hormon gonadotropin yang lebih berperan dalam proses vitelogenesis, sedangkan LH lebih dominan pada saat pematangan akhir oosit (Swanson, 1991). Hormon gonadotropin FSH yang dihasilkan oleh hipofisis akan merangsang gonad untuk menghasilkan hormon testosteron dan estradiol-17ß. Pada sel teka, FSH mendorong sekresi testosteron yang selanjutnya oleh enzim aromatase pada sel granulosa akan dirubah menjadi hormon estradiol-17ß (Yaron, 1995). Hormon estradiol-17ß dilepas oleh gonad dan mengikuti aliran darah menuju hati. Selanjutnya ditangkap oleh reseptor khusus di hati dan membentuk vitelogenin yang merupakan bahan pembentuk kuning telur (Mommsen & Walsh, 1988). Rottman et al menyatakan bahwa indikator yang umum dalam menentukan perkembangan gonad adalah diameter telur. Tabel 2 memperlihatkan perkiraan diameter telur beberapa spesies ikan saat matang telur. Selanjutnya Rottman et al. (1991) menyatakan keberadaan inti di dalam telur juga menunjukan tingkat perkembangan telur. Telur dengan inti di tengah menunjukan telur pada fase istirahat. Sedangkan telur dengan inti yang berada di tepi (animal pore) menandakan bahwa telur dalam keadaan matang. Implantasi GnRh analog dan testosterone mempercepat perkembangan seksual pada ikan trout pelangi ( Crim dan Evans 1983 dalam Patino, 1997) dan ikan belanak (Mugil cephalus) (Tamaru et al dalam Patino, 1997). Sedangkan LHRH dapat digunakan selain sebagai sumber hormon gonadotropin juga dapat digunakan dalam pematangan akhir oosit. Mugnier et al., (2000) menyatakan implantasi GnRH-a sebanyak 25 µg/kg berat induk dapat mensinkronkan oogenesis, menurunkan penundaan ovulasi pada ikan turbot (Scophthalmus maximus L.).

47 10 Tabel 2. Perkiraan diameter telur dari beberapa spesies ikan (Rottman et al., 1991) Spesies Diameter (mm) Bighead carp (Hypothalmichtys nobilis) 0,9-1,2 Channel catfish (Ictalurus punctatus) 2,3-2,9 Common carp (Cyprinus carpio) 0,9-1,2 Grass carp (Ctenopharyngodon idella) 0,9-1,2 Gray Mollet (Mugil cephalus) 0,6-0,9 Red tailed black shark (Labeo bicolor) 1,0-1,4 Snook (Centropomus sp.) 0,6-0,7 Striped bass (Morone saxatilis) 1,0-1,2 Sturgeon (Acipenser sp.) 3,5-4,0 White bass (Morone chrysoos) 0,6-0,7 Mengigat pentingnya hormon testosteron sebagai media dalam perkembangan gonad dan LHRH dalam pematangan akhir, maka perlu diberikan secara berkesinambungan untuk menjaga keberadaan dalam tubuh ikan. Faktor-faktor yang Mempengaruhi dalam Kerja Hormon Selain ketersediaan hormon yang berkesinambungan dalam jumlah yang cukup dalam tubuh ikan yang dimasukkan dari luar, pakan yang berkualitas juga berperan dalam menyumbangkan ketersedian hormon dalam tubuh ikan. Ukuran ikan saat pertama kali matang gonad tidak selalu sama. Perbedaan ukuran tersebut akibat adanya perbedaan kondisi ekologis perairan (Blay & Eyeson, 1980). Ukuran maksimum tubuh N chitala lebih besar daripada N notopterus. N notopterus mempunyai ukuran maksimum 60 cm (Roberts, 1992). Crim & Evans dalam Lee et al. (1986) menyatakan bahwa hormone 17αmetiltestosteron dapat memberikan umpan balik posistif terhadap hipofisis dalam menghasilkan gonadotropin. Marte et al. (1988) menegaskan bahwa penggunaan hormon testosteron dapat mempercepat kematangan gonad ikan bandeng. Tridjoko et

48 11 al. (1997) penggunaan 17α-metiltestosteron pada dosis 50 µg/kg/bulan mempercepat kematangan go nad kerapu bebek (Cromileptes altivelis). Zanuy et al. (1999) implan hormon testosteron berdosis 100 µg/kg pada ikan kakap (Dicentrarchus labrax ) memberikan umpan balik positif terhadap hipotalamus atau hipofisis yang ditunjukan oleh adanya perkembangan gonad dan spermatogenesis. Sedangkan Sarwoto (2001) penggunaan 17α-metiltestosteron pada dosis 50 hingga 100 µg/kg bobot ikan mempunyai kecenderungan lebih baik dari dosis lainnya dalam pengaruhnya terhadap gonad ikan jambal siam. Supriyadi (2005) menyatakan pemberian hormon metiltestosteron, HCG dan kombinasinya efektif meningkatkan konsentrasi estradiol- 17ß plasma darah ikan baung dan mampu mempercepat proses pematangan gonad dalam waktu hari. Selanjutnya kombinasi hormon HCG 400 IU dan MT 200 µg/kg bobot tubuh merupakan perlakuan terbaik untuk tujuan pematangan gonad ikan baung karena mampu memberikan pengaruh tertinggi terhadap perkembangan diameter telur rata-rata dan tingkat kematangan telur. Pemberian hormon MT dosis 200 µg/kg bobot tubuh mampu meningkatkan konsentrasi estradiol-17ß maksimum plasma darah ikan baung. Hao-Ran et al. (1998) implantasi 8 butir 17ametiltestosteron atau androstenedion 50 µg/kg berat badan/15 hari menstimulasi pematangan ovari pada belut betina, IGS meningkat secara signinfikan 38-49%. Crim et al. (1988) bahwa implantasi dengan pelet kolesterol yang mengandung LHRH-a (25 dan 125 µg/pelet) pada ikan rainbow trout dapat meningkatkan pelepasan gonadotropin plasma hingga periode dua minggu dan mulai menurun pada periode empat minggu. Lee et al. (1986) menyatakan bahwalhrh-a yang dikombinasikan dengan 17a-metiltestosteron merupakan terapi hormon yang efektif dalam meningkatkan pematangan gonad ikan bandeng (Chanos chanos ). Sebanyak 50% ikan ditemukan dalam keadaan matang gonad satu bulan setelah implantasi dan 90% pada tiga bulan setelah implantasi. Ernawati (1999) menunjukkan bahwa implantasi LHRH-a dan 17a-metiltestosteron yang diberikan secara tunggal atau dikombinasikan dapat secara efisien mempercepat proses kematangan gonad pada ikan jambal siam. Pemberian LHRH-a (400 µg/kg) yang dilanjutkan dengan 17a-metiltestosteron (250 µg/kg) merupakan kombinasi terbaik

49 12 yang mampu meningkatkan kematangan telur, daya fertilitas telur (93%) dan daya tetas telur (91%). Agar hormon testosteron dan LHRH dalam tubuh ikan tersedia secara berkesinambungan maka perlu dilakukan pemasukan dari luar tubuh ikan. Beberapa cara dalam mengiduksikan hormon ke dalam tubuh ikan yaitu penyuntikan larutan encer yang mempunyai kelemahan sering tidak mencukupi untuk merangsang pematangan gonad karena hormon dengan cepat dimetabolisme dan menghilang dari sistem peredaran darah. Selain itu penyuntikan berulang dapat menyebabkan stress pada ikan akibat penanganan yang berlebihan. Untuk mengatasi masalah yang berkaitan dengan penyuntikan berula ng yaitu dengan menggunakan pelet berhormon yang dapat melepaskan sejumlah tertentu pesan kimia untuk periode yang panjang (Crim, 1985 dalam Crim et al., 1988). Pelet yang dapat melepaskan hormon sedikit demi sedikit adalah pelet yang berkaitan dengan LH-RH atau LH-RH dalam bentuk matrik kolesterol. Pelet ini dirancang oleh Kent et al. (1980) yang dikutip Lee et al. (1986), dibuat untuk mengendalikan pelepasan senyawa neuropeptida ke dalam tubuh hewan. Implantasi dengan pelet kolesterol yang mengandung LHRH-a mempunyai sifat pelepasan yang perlahan dan dalam jangka panjang. Sebaliknya, injeksi dengan 20 µg/kg LHRH-a hanya efektif untuk jangka pendek dan dapat terdeteksi dalam plasma darah hanya beberapa jam (tidak lebih dari 48 jam) dengan tingkat plasma GtH tertinggi pada beberapa jam pertama (lima jam) sesudah penyuntikan Crim et al. (1988). Implantasi GnRH-a pada ikan kakap putih (Morone chryops dan M. saxatilis) menyebakan peningkatan periode konsentrasi plasma GnRH dari periode beberapa hari menjadi beberapa minggu (Sato et al. 1997). Peningkatan estradiol-17ß tertinggi pada ikan Salmo gairdneri terjadi pada hari ke-28 setelah implantasi dan setelah hari ke-56 konsentrasinya menurun menjadi setengahnya Flett dan Leatherland (1989). Proses vitelogenesis dalam tubuh ikan akan berlangsung bila kondisi lain optimal. Faktor tersebut adalah pakan, dengan pakan yang optimal maka proses vitelogenesis dalam tubuh ikan akan berjalan dengan baik. Peran pakan dalam perkembangan gonad penting untuk fungsi endokrin yang normal. Tingkatan pakan

50 13 akan mempengaruhi sintesis maupun pelepasan hormon dan kelenjar endokrin. Pertumbuhan dan perkembangan organ reproduksi dihambat oleh kekurangan pakan tanpa membedakan apakah nilai gizi pakan itu rendah energi, protein, mineral atau vitamin. Pengurangan laju makan (feeding rate) menyebabkan penghambatan pematangan gonad pada beberapa spesies ikan seperti seabass Eropa (Dicentracus labrax) dan salmon Atlantik (Salmo salar). Pada ikan betina seabass, pengaruh yang merugikan dari pembatasan pakan adalah berhubungan dengan penurunan estradiol plasma (Cerda et al. 1996). Pakan merupakan komponen penting dalam proses pematangan gonad khususnya ovarium, karena proses vitelogenesis pada dasarnya adalah proses akumulasi nutrient dalam sel telur. Bahkan pada akhirnya fekunditas dan kualitas telur sangat ditentukan oleh kualitas pakan yang diberikan. Pertumbuhan gonad tejadi jika terdapat kelebihan energi untuk pemeliharaan tubuh, sedangkan kekurangan gizi dapat meningkatkan atresia oosit (Mayumnar, 1996). Kematangan gonad ikan sangat berhubungan dengan keseimbangan komposisi nutrisi pakan terutama komposis i protein yang sangat dibutuhkan untuk perkembangan gonad. Lipida adalah komponen kedua setelah protein yang penting karena pakan induk yang kekurangan asam lemak esensial akan menghasilkan laju pematangan gonad yang rendah Watanabe et al. (1984). Lingkungan tempat mencapai kematangan akhir.hidup ikan (kualitas air) harus optimal untuk mendukung proses vitelogenesis. Kriteria kualitas air yang digunakan untuk ikan belida berdasarkan kriteria yang ideal adalah : ph 6,2 7,0, suhu 84 F.

51 METODE PENELITIAN Desain Penelitian Perlakuan Penelitian yang dilakukan menggunakan metode eksperimental. Percobaan dirancang menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 6 ulangan. Jenis hormon yang digunakan adalah 17a-metiltestosteron dengan empat level dosis yang diinjeksikan dengan cara implant. Adapun dosis yang digunakan yaitu 50, 100, dan 150 µg/kg bobot tubuh ikan dan hormon LHRH-a sebanyak 25 µg/kg bobot tubuh ikan, serta satu perlakuan dengan pelet tanpa hormon sebagai kontrol (placebo), dengan perlakuan sebagai berikut :. Perlakuan I : dosis 17a-metiltestosteron 0 µg + LHRH-a 0 µg (kontrol) Perlakuan II : dosis 17a-metiltestosteron 50 µg + LHRH-a 25 µg Perlakuan III : dosis 17a-metiltestosteron 100 µg + LHRH-a 25 µg Perlakuan IV : dosis 17a-metiltestosteron 150 µg + LHRH-a 25 µg Sampel Ikan yang digunakan dalam penelitian ini adalah calon induk ikan belida (Notopterus chitala) berukuran antara 0,2-0,3 kg dengan panjang antara cm (Lampiran 1) yang berasal dari petani pengumpul di daerah Depok, Jawa Barat. Jumlah ikan yang digunakan sebanyak 26 ekor. Untuk melihat kondisi awal telur ikan maka dilakukan dengan cara dibedah. Waktu Implantasi dilakukan setiap 1 bulan sekali dengan dosis adalah dosis perlakuan dalam satu bulan. Untuk mengetahui respons dari masing-masing perlakuan terhadap konsentrasi hormon estradiol-17β dan testosteron dalam plasma darah maka dilakukan pengambilan sampel setiap 10 hari selama empat bulan. Variabel yang Ditera Bobot ikan, diameter telur, kandungan testosteron serta estradiol-17ß dalam plasma darah.

52 15 Pertumbuhan Gonadik Untuk mengetahui perubahan yang terjadi pada gonad secara kuantitatif dilakukan pengukuran indeks gonad somatik (IGS). IGS ditentukan dengan rumus yang dikemukakan oleh Effendie (1997), yaitu ; W t IGS = x 100% W dengan : IGS = indeks gonad somatik (%) W t = bobot gonad (g) W = bobot ikan (g) Bahan Ikan Uji Ikan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah calon induk ikan belida betina mempunyai ukuran berat 0,2 0,3 kg sebanyak 26 ekor. Pelet Implant Hormon yang digunakan dalam penelitian ini adalah 17a-metiltestosteron, produksi Argent Chemical Company St. Louis, USA. Hormon analog Luteinizing Hormon Releasing Hormon (LHRH-a) buatan Argent Laboratories Inc. Philipine. Kedua hormon tersebut kemudian dibuat dalam bentuk pelet atau butiran berdiameter 1 mm dan panjang 3 mm dengan menggunakan campuran bahan-bahan kimia yang terdiri atas tepung kolesterol, larutan alkohol 50% dan mentega coklat. Pakan Pakan yang akan digunakan adalah ikan segar dan ikan hidup denga n pemberian secara ad libitum. Pemberian pakan dilakukan pada pagi dan sore hari. Parameter yang Diamati Parameter yang diamati serta metode pengukuran yang akan digunakan dalam penelitian ini disajikan dalam Tabel 3.

53 16 Tabel 3. Variabel dan alat ukur yang digunakan No Parameter Alat/cara pengukuran 1 Profil hormon Radioimunoassay (RIA) 2 Diameter telur Mikroskop dengan micrometer 3 O 2 terlarut DO meter 4 Suhu Termometer 5 ph ph meter 6 Amoniak Spektrofotometer 7 Alkalinitas Titrasi jingga metal 8 Bobot ikan Timbangan Pengukuran Konsentrasi Hormon dalam Darah Prosedur pengukuran konsentrasi hormon estradiol-17ß dan testosteron dalam darah dilakukan denga n cara sebagai berikut : Pengambilan sampel darah dilakukan pada bagian pangkal ekor sebanyak 1 ml (Lampiran 2) dengan menggunakan spuit yang berheparin, kemud ian dimasukkan ke dalam tabung polietilen dan disentrifuse selama 5 menit pada kecepatan rpm. Selanjutnya plasma darah diambil dan dimasukkan ke dalam tabung polietilen baru. Kandungan hormon estradiol-17β dan testosteron pada plasma diukur dengan mempergunakan Radio Immuno Assay. Alat dan cara kerja radio immuno assay seperti pada Lampiran 3 dan 4. Persiapan Ikan Uji Ikan uji yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah calon induk ikan belida yang dibeli dari petani dan telah diadaptasikan. Berat rata-rata calon induk ikan belida adalah antara 0,2 0,3 kg sebanyak 26 ekor. Ikan yang telah diseleksi kemudian dimasukan ke dalam akuarium pemeliharaan. Masing-masing akuarium diisi satu ekor ikan yang mewakili satu unit percobaan. Pakan yang diberikan adalah ikan segar dan ikan hidup.

54 17 Kondisi awal gonad dari ikan yang digunakan diketahui dengan cara membedah 2 ekor ikan sampel (Lampiran 5). Jumlah sampel ikan tiap-tiap perlakuan adalah satu ekor mewakili satu perlakuan. Pelet Implant Berhormo n Pelet implant berhormon yang akan digunakan dirancang oleh Cholik et al. (1990) (Lampiran 6). Wadah Pemeliharaan Wadah penelitian yang akan digunakan untuk pemeliharaan ikan adalah akuarium dengan ukuran 60 x 40 x 40 cm yang dilengkapi dengan sistem resirkulasi dan ditutup dengan plastik berwarna gelap serta suhu dipertahankan antara C. Jumlah akuarium yang digunakan sebanyak 24 buah. Setiap akuarium diisi ikan sebanyak satu ekor yang mewakili satu unit ulangan dalam percobaan. Pada akuarium ditempatkan juga paralon dengan diameter 4 inci sepanjang 20 cm sebagai tempat berlindung ikan. Tabel 4. Parameter kualitas air rata-rata wadah selama percobaan No Wadah Waktu Parameter Suhu ph O 2 CO 2 Alk NH 3 ( C) - (mg/l) (mg/l) (mg/l) (mg/l) 1 Ak1 Pagi 26,9 6,72 4,59 6,40 17,13 0,325 Siang 28,9 6,70 4,09 6,03 18,53 0,323 2 Ak2 Pagi 27,5 6,63 4,91 6,38 15,80 0,329 Siang 28,1 6,62 4,87 6,32 16,97 0,320 3 Ak3 Pagi 27,5 6,64 4,91 5,98 15,15 0,248 Siang 27,9 6,69 4,77 6,06 17,70 0,305 4 Ak4 Pagi 27,4 6,63 4,84 6,77 16,23 0,313 Siang 28,8 5,98 4,45 6,78 11,81 0,140 5 F1 Pagi 27,6 6,64 4,94 7,02 16,55 0,307 Siang 28,1 6,69 4,78 6,77 17,19 0,302 6 F2 Pagi 27,4 6,66 4,82 6,60 16,60 0,333 Siang 28,1 6,61 4,67 8,00 17,01 0,324 Pemberian Pakan Selama penelitian ikan yang dipelihara diberi pakan pakan ikan segar dua kali sehari secara ad libitum. Pemberian pakan dilakukan yaitu pagi dan sore.

55 18 Sampling Untuk melihat perkembangan ikan yang dipelihara dilakukan sampling setiap 10 hari sekali. Sampling yang dilakukan meliputi penimbangan bobot ikan, pengambilan sampel darah untuk analisa profil hormon. Implantasi Hormon Implantasi pelet berhormon dilakukan setiap satu bulan sekali secara intramuscular dengan pelet yang sudah mengandung hormon 17a-metiltestosteron dan LHRH-a (Lampiran 7). Dosis implan adalah dosis perlakuan selama satu bulan. Pengumpulan Data Bobot Tubuh Bobot tubuh diukur dengan menggunakan timbangan. Penimbangan dilakukan pada awal penelitian, setiap sepuluh hari sampai akhir penelitian. Penimbangan dilakukan pada semua perlakuan dan ulangan. Telur Perkembangan telur dilakukan pengamatan setiap dua bulan sekali pada setiap perlakuan diambil contoh sebanyak satu ekor untuk dibedah dan dilihat kondisi telurnya. Kemudian diukur diameternya di bawah mikroskop yang dilengkapi dengan mikrometer pada pembesaran 40 kali, selanjutnya dilakukan sebaran frekuensi berdasarkan kelas ukuran diameter telur yang dibagi menjadi beberapa kelas ukuran. Jumlah telur yang diambil dan diukur diameternya minimal 30 butir pengambilan telur sebanyak tiga tempat yaitu depan tengah dan belakang. Untuk melihat posisi inti telur dilakukan dengan histologi. Darah Kandungan hormon testosteron dan estradiol-17ß dalam plasma darah diukur pada awal penelitian sebelum diberi perlakuan, selanjutnya diukur setiap 10 hari sekali selama penelitian Pengambilan contoh darah dilakukan pada semua unit percobaan, dengan volume darah yang diambil sebanyak 1 ml tiap ekor. Pengambilan darah dilakukan pada bagian belakang diatas sirip anal.

56 19 Analisa Data Untuk mengetahui pengaruh pemberian hormone 17a-metiltestosteron dan LHRH-a terhadap konsentrasi hormon testosteron dan estradiol-17ß di dalam plasma darah, rata-rata diameter telur dan IGS dilakukan uji analisis (ANOVA) pada tingkat kepercayaan 99% dan 95%. Sedangkan perkembangan gonad pada setiap perlakuan dianalisis secara deskriptif.

57 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Konsentrasi Hormon Testosteron dan Estradiol-17ß dalam Darah, Perkembangan Diameter Telur dan Indeks Gonad Somatik (IGS) Konsentrasi hormon testosteron (?g/ml) dan estradiol-17ß atau E 2 (?g/ml) dalam darah, perkembangan diameter telur (mm) dan indeks gonad somatik (%) selama percobaan dapat dilihat pada Gambar 2 dan Lampiran 8. Rata-rata kadar hormon testosteron dalam plasma ikan belida selama percobaan dengan implantasi hormon 17a-metiltestosteron menunjukkan kadar yang beragam. Kadar terendah menunjukkan 0,115?g/ml yang terdapat pada dosis 0 dan 50 µg/kg pada hari ke 50. Kadar tertinggi mencapai 1,840?g/ml yakni pada dosis 150 µg/kg pada hari ke 30. Implantasi hormon 17a-metiltestosteron berpengaruh terhadap kadar testosteron dalam plasma darah. Pada awal penyuntikan terjadi kenaikan rata-rata yang cukup besar terutama pada dosis 150 µg/kg kemudian menurun dan terjadi kenaikan pada hari ke 60 dan hari ke 90 serta hari ke 120 yang menampakkan kecenderungan meningkat. Pengaruh implantasi hormon 17a-metiltestosteron berbagai dosis terhadap kadar testosteron rata-rata dalam plasma darah selama percobaan menunjukkan pola yang menurun walaupun terjadi puncak-puncak rata-rata pada hari ke 30, 60 dan 90 dari tiap-tiap perlakuan. Sedangkan kontrol menunjuk kan kecenderungan terus menurun dari awal sampai akhir percobaan (Gambar 2). Dosis 0 menunjukkan kecenderungan testosteron yang meningkat pada hari ke 20 dengan konsentrasi 0,850?g/ml, kemudian menurun sampai mencapai konsentrasi terendah pada hari ke 60 dengan kandungan 0,115?g/ml. Selanjutnya kadar testosteron meningkat lagi sampai hari ke 80 dengan konsentrasi 0,370?g/ml kemudian menurun, walaupun pada akhir percobaan ada kecenderungan meningkat namun pada konsentrasi yang rendah yaitu 0,205?g/ml. Dengan demikian pada dosis 0 terjadi dua puncak konsentrasi yaitu hari ke 20 dan 80.

58 20 P l o t K a d a r T e s t o s t e r o n t e r h a d a p W a k t u 2. 0 V a r i a b l e D o s i s 0 D o s i s 5 0 Konsentrasi hormone testosteron Y-?g/ml Dat a H a r i k e D o s i s D o s i s P l o t K a d a r H o r m o n E s t r a d i o l t e r h a d a p W a k t u V a r i a b l e D o s i s 0 D o s i s 5 0 D o s i s D o s i s Nilai GSI (%) Diameter telur (mm) Konsentrasi hormon Konsentrasi hormon estradil?g/ml Y -Dat a estradiol Y-?g/ml Dat a Y -Data Y -Data H a r i k e P l o t K a d a r H o r m o n E s t r a d i o l t e r h a d a p W a k t u H a r i _ k e P l o t D i a m t e r e T e l u r t e r h a d a p H a r i M e n u r u t D o s i s H a r i P l o t G S I t e r h a d a p H a r i M e n u r u t D o s i s V a r i a b l e D o s i s _ 0 D o s i s _ 5 0 D o s i s _ D o s i s _ V a r i a b l e D o s i s _ 0 D o s i s _ 5 0 D o s i s _ D o s i s _ V a r i a b l e D o s i s 0 D o s i s 5 0 D o s i s D o s i s H a r i Gambar 2. Grafik hubungan antara dosis implantasi hormon testosteron dengan kadar hormon testosteron (?g/ml) dan kadar hormon estradiol (?g/ml) di dalam darah, diameter telur (mm) dan indeks gonad somatik (%) selama percobaan

59 21 P l o t K a d a r T e s t o s t e r o n t e r h a d a p W a k t u Konsentrasi hormon testosteron Y- Dat?g/ml a V a r i a b l e D o s i s 0 D o s i s 5 0 D o s i s D o s i s H a r i k e P l o t K a d a r H o r m o n E s t r a d i o l t e r h a d a p W a k t u V a r i a b l e D o s i s 0 D o s i s 5 0 Konsentrasi hormon estradiol -17ß?g/ml Y -Data D o s i s D o s i s H a r i k e P l o t K a d a r H o r m o n E s t r a d i o l t e r h a d a p W a k t u V a r i a b l e D o s i s _ 0 D o s i s _ 5 0 D o s i s _ D o s i s _ Nilai GSI (%) Diameter telur (mm) Konsentrasi hormon estradiol-17ß?g/ml Y- Dat a Y -Data Y-Data H a r i _ k e P l o t D i a m t e r e T e l u r t e r h a d a p H a r i M e n u r u t D o s i s H a r i P l o t G S I t e r h a d a p H a r i M e n u r u t D o s i s V a r i a b l e D o s i s _ 0 D o s i s _ 5 0 D o s i s _ D o s i s _ V a r i a b l e D o s i s 0 D o s i s 5 0 D o s i s D o s i s H a r i Gambar 2. Hubungan antara dosis implantasi hormon 17a-metiltestosteron dengan kadar hormon testosteron (?g/ml) dan kadar hormon estradiol-17ß (?g/ml) di dalam plasma darah, diameter telur (mm) dan indeks gonad somatik (%) selama percobaan

60 22 Dosis 50 menunjukan kecenderungan meningkat pada hari ke 30 dengan konsenrasi 1,405?g/ml. Kemudian menurun sampai mencapai konsentrasi terendah pada hari ke 60 dengan kandungan 0,115?g/ml. Selanjutnya meningkat lagi sampai hari ke 90 walaupun konsentrasinya tidak setinggi pada awal percobaan, selanjutnya menurun pada hari ke 100 dan pada hari ke 110 dan 120 ada kecenderungan meningkat. Dengan demikian pada dosis 50 terjadi tiga puncak konsentrasi yaitu hari ke 10, 30 dan 90. Dosis 100 menunjukan kecenderungan meningkat pada awal percobaan dan mencapai kandungan tertinggi pada hari ke 40 dengan konsentrasi 0,450?g/ml. Kemudian menurun mencapai konsentrasi terendah pada hari ke 100 dengan kandungan 0,140?g/ml. Selanjutnya meningkat lagi sampai hari ke 120. Pada dosis 100 terjadi dua puncak konsentrasi yaitu hari ke 40 dan 70. Dosis 150 menunjukan kecenderunga n meningkat pada awal percobaan yaitu hari ke 10 hari ke 30 dengan konsentrasi tertinggi terjadi pada hari ke 30 yaitu 1,840?g/ml. Kemudian menurun sampai mencapai konsentrasi terendah pada hari ke 80 dengan kandungan 0,115?g/ml. Pada dosis 150 terjadi empat puncak konsentrasi yaitu hari ke 10, 30, 60 dan 90. Anova kadar testosteron antara dosis 150 µg/kg dengan dosis lainnya menunjukan perbedaan yang nyata (P<0,05) pada hari ke 60 dan 90. Dalam hal ini dosis 150 µg/kg lebih baik dari dosis 0, 50 dan 100 µg/kg, sedangkan dosis 0, 50 dan 100 µg/kg tidak berbeda nyata (P>0,05) (Lampiran 9). Hormon estradiol-17ß dalam plasma ikan belida selama percobaan dengan implantasi hormon 17a-metiltestosteron menunjukan kadar yang beragam. Kadar terendah menunjukan 35,0?g/ml yang terdapat pada dosis 50 µg/kg pada hari ke 30. Kadar tertinggi mencapai 17736,0?g/ml yakni pada dosis 0 µg/kg pada hari ke 0. Implantasi hormon 17a-metiltestosteron berpengaruh terhadap kadar estradiol-17ß dalam plasma darah. Pada akhir penyuntikan dosis 0, 50, 100 dan 150 µg/kg menunjukan kecenderungan meningkat walaupun dibandingkan dengan awal percobaan lebih kecil. Namun demikian terjadi puncak-puncak konsentrasi pada hari ke 40, 60 dan 90 (Gambar 2.)

61 23 Dosis 0 me mpunyai kecenderungan menurun sampai hari ke 80 dengan konsentrasi terendah pada hari ke 50 dengan kandungan 133?g/ml. Selanjutnya meningkat lagi sampai hari ke 90 dengan konsentrasi 344?g/ml dan kemudian menurun pada hari ke 100 dan 110 walaupun pada akhir percobaan ada kecenderungan meningkat namun pada konsentrasi yang rendah yaitu 176?g/ml. Dengan demikian pada dosis 0 terjadi sekali puncak konsentrasi yaitu hari ke 90. Dosis 50 menunjukan kecenderungan meningkat pada awal percobaan sampai hari ke 20 dengan konsenrasi 898,0?g/ml. Kemudian menurun sampai mencapai konsentrasi terendah pada hari ke 30 dengan kandungan 35?g/ml. Selanjutnya meningkat pada hari ke 40, 60 dan 90 walaupun konsentrasinya tidak setinggi pada awal percobaan. Pada dosis 50 terjadi empat puncak konsentrasi yaitu hari ke 20, 40, 60 dan 90. Dosis 100 menunjukan kecenderungan meningkat pada awal percobaan dan mencapai kandungan tertinggi pada hari ke 60 dengan konsentrasi 586?g/ml. Kemudian menurun mencapai konsentrasi terendah pada hari ke 80 dengan kandungan 117?g/ml. Selanjutnya meningkat lagi sampai hari ke 90 dan menurun lagi sampai hari ke 120. Pada dosis 100 terjadi dua puncak konsentrasi yaitu hari ke 60 dan 90. Dosis 150 menunjukan kecenderungan menurun pada awal percobaan sampai hari ke 30 dengan konsentrasi terendah terjadi pada hari ke 30 yaitu 176?g/ml. Kemudian meningkat sampai mencapai konsentrasi tertinggi pada hari ke 60 dengan kandungan 750?g/ml. Selanjutnya menurun lagi hari ke 100 dan 110, selanjutnya pada hari ke 120 ada kecenderungan meningkat. Pada dosis 150 terjadi tiga puncak konsentrasi yaitu hari ke 40, 60 dan 90. Anova kadar estradiol-17ß antar dosis 150 µg/kg dengan dosis lainnya menunjukan perbedaan yang nyata (P<0,05) pada hari ke 10, 50, 60 dan 90. Dalam hal ini dosis 150 µg/kg lebih baik dari dosis 0, 50 dan 100 µg/kg, sedangkan antar dosis 0, 50 dan 100 µg/kg tidak berbeda nyata (P>0,05) (Lampiran 10). Perkembangan gonad dapat dideteksi dari perkembangan diameter telur dan perubahan bobot gonad (IGS). Ukuran diameter telur pada hari ke 60 menunjukkan

62 24 bahwa diameter telur rata-rata paling besar ditunjukan oleh placebo (0,83 mm), kemudian berturut-turut dosis 100 µg/kg (0,81), 150 µg/kg (0,63) dan 50 µg/kg (0,50), namun setelah diuji secara statistik antar keempat dosis tersebut tidak menunjukan perbedaan yang nyata (P>0,05) (Lampiran 11). Ukuran diameter telur rata-rata pada hari ke 120 menunjukan bahwa ukuran tertinggi diperoleh pada dosis 150 µg/kg (0,68 mm), kemudian berturut-turut dosis 100 µg/kg (0,57 mm), 50 µg/kg (0,44 mm) dan terakhir placebo (0,36 mm) dan setelah diuji statistik menunjukkan hasil yang signifikan (P<0,05) perbandingan antar dosis tersebut. Hal ini menunjukan bahwa peningkatan dosis mampu meningkatkan diameter telur pada hari ke 120 setelah implantasi awal. Dimana placebo berbeda nyata dengan dosis 100 dan 150 µg/kg, namun tidak berbeda nyata denga n dosis 50 µg/kg. Dosis 100 tidak berbeda nyata dengan 150 µg/kg (Lampiran 11). Pengukuran IGS pada awal, tengah dan akhir percobaan pada ikan belida disajikan pada Gambar 2. Berdasarkan Gambar 2, implantasi hormon 17ametiltestosteron mempunyai kecenderungan meningkatkan IGS. Ukuran IGS pada hari ke 60 menunjukan bahwa IGS paling besar ditunjukan oleh placebo (1,37%), kemudian berturut-turut dosis 100 µg/kg (1,28%), 150 µg/kg (1,01%) dan 50 µg/kg (0,68%) walaupun setelah diuji secara statistik antara keempat dosis tersebut tidak menunjukan perbedaan yang nyata (P>0,05) (Lampiran 12). Ukuran IGS hari ke 120 menunjukan bahwa ukuran tertinggi diperoleh pada dosis 150 µg/kg (1,61%), kemudian berturut-turut dosis 100 µg/kg (1,03%), 50 µg/kg (0,95%) dan terakhir placebo (0,65%), dan setelah diji secara statistik menunjukkan hasil yang signifikan (P<0,05) perbandingan antar dosis tersebut. Hal ini menunjukan bahwa peningkatan dosis mampu meningkatkan IGS pada hari ke 120 setelah implantasi awal. Hubungan kadar testosteron dengan Diameter telur Pengamatan histologi telur ikan belida setiap perlakuan selama perlakuan hormon 17a-metiltestosteron melalui implantasi disajikan pada Gambar 4, 5 dan 6. Pada gambar 3 terlihat sebaran diameter telur dari awal percobaan sampai akhir

63 H i s t o g r a m D i a m e t e r T e l u r H a r i Freque ncy D ia m e t e r T e lu r H a r i H i s t o g r a m D ia m e t e r T e lu r H a r i k e Frequency P a n e l v a r ia b le : D o s i s _ T D ia m e t e r T e lu r H a r i k e 6 0 H i s t o g r a m D i a m e t e r T e l u r H a r i k e Fr equency P a n e l v a r i a b l e : D o s i s _ A k D ia m e t e r T e lu r H a r i k e Gambar 3. Frekuensi sebaran diameter telur (mm) rata-rata pada awal tengah dan akhir percobaan percobaan. Pada awal percobaan diameter terkecil adalah 0,2 mm dan diameter terbesar 2,6 mm dengan frekuensi terbanyak pada diameter 0,6 mm. Pada hari ke 60 percobaan diameter terkecil adalah 0,1 mm yakni pada perlakuan dosis 0 dan 150 µg/kg, sedang diameter telur terbesar mencapai 2,0 mm yang terjadi pada perlakuan dosis 100 µg/kg. Pada hari ke 120 percobaan diameter terkecil adalah 0,1 mm yakni pada perlakuan dosis 150 µg/kg, sedang diameter telur terbesar mencapai 2,5 mm yang juga terdapat pada perlakuan dosis 150 µg/kg.

64 26 Perkembangan telur secara histologi mulai dari awal, tengah dan akhir percobaan disajikan pada gambar 4, 5 (A,B,C, D) dan 6 (A, B, C, D1,D2 E). Pada awal percobaan telur terdiri dari telur didominasi dengan ukuran kecil yang hanya terdiri dari oosit sedangkan telur yang beukuran besar sudah punya butir lemak dan kuning telur (yolk egg) dan inti (germinal vesicle) yang berada di tengah menunjukan telur berada pada fase awal vitelogenesis Gambar 4. Histologi telur belida pada awal percobaan pada pembearan 40x. 1= inti (germinal vesicle), 2 = granula kuning telur (yolk globul), 3 = butir lemak, 4 = oosit Pada pertengahan percobaan perlakuan placebo (5A) telur dengan ukuran yang kecil dan besar, pada telur berukuran besar dengan butir lemak dan kuning telur. Pada perlakuan 50 µg/kg (5B) telur dengan berbagai ukuran kecil dan besar, telur berukuran kecil masih belum mempunyai kuning telur atau masih berupa oosit. Pada telur ukuran besar sudah mempunyai butir lemak dan kuning telur. Pada perlakuan 100 µg/kg (5C) telur mempunyai ukuran kecil dan besar yang sudah mempunyai butir lamak dan kuning telur. Pada perlakuan 150 µg/kg (5D) telur terdiri dari ukuran kecil dan besar sudah mempunyai butir lemak dan kuning telur. Serta inti berada di tengah hampir bergerak ke pinggir.

65 27 A B C D Gambar 5. Histologi telur belida pada pertengahan percobaan pada pembesaran 40x. A = perlakuan dosis 0, B = perlakuan dosis 50, C = perlakuan dosis 100, D = perlakuan dosis = inti (germinal vesicle), 2 = granula kuning telur (yolk globul), 3 = butir lemak, 4 = oosit Pada akhir percobaan perlakuan placebo (6A) telur didominasi dengan ukuran yang kecil dan belum mempunyai kuning telur dan dalam bentuk oosit. Pada perlakuan 50 µg/kg (6B) telur lebih banyak yang berukuran kecil. Pada telur ukuran besar sudah mempunyai butir lemak dan kuning telur. Pada perlakuan 100 µg/kg (6C) telur mempunyai ukuran kecil dan besar. Pada perlakuan 150 µg/kg (6D1) telur menyebar dari ukuran kecil sampai besar, pada ukuran yang besar terlihat adanya telur dengan inti yang berada pada fase awal bermigrasi dan ada pula telur yang sudah mengalami atresia (6D1).

66 28 4 A 4 B C D D2 5 Gambar 6. Histologi telur belida pada akhir percobaan pada pembesaran 40x. A = perlakuan dosis 0, B = perlakuan dosis 50, C = perlakuan dosis 100, D1 dan D2 = perlakuan dosis = inti (germinal vesicle), 2 = granula kuning telur (yolk globul), 3 = butir lemak, 4 = oosit, 5 = telur atresia

67 29 Hubungan dosis implan dengan konsentrasi testosteron, Estradiol-17ß dalam plasma darah, diameter telur dan IGS Hubungan antara dosis implantasi dengan konsentrasi testosteron dan estradiol-17ß dalam plasma darah belum memperlihatkan keteraturan sampai hari ke 60 setelah implantasi Tabel 4. Namun setelah hari ke 60 terlihat adanya keteraturan pada konsentrasi estradiol-17ß dalam plasma darah dimana konsentrasi estradiol-17ß mencapai puncak konsentrasi pada hari k 60, 90 dan 120. Selain itu pada konsentrasi estradiol-17ß juga terlihat adanya keteraturan pada dosis 50, 100 dan 150 µg/kg yaitu terjadi puncak-puncak konsentrasi setiap sepuluh sampai dua puluh hari sekali. Dihubungkan dengan diameter telur maka terlihat adanya hubungan antara konsentrasi estradiol-17ß dengan diameter telur dimana pada hari ke 60 pada konsentrasi 50 dan 100 µg/kg terjadi puncak konsentrasi estradiol-17ß maka pada diameter telur terjadi rata-rata yang cukup besar. Sedangkan pada dosis 150 µg/kg rata-rata yang besar terjadi pada hari ke 120 dimana pada saat tersebut terjadi puncak konsentrasi estradiol-17ß. Dihubungkan dengan IGS maka konsentrasi estradiol-17ß juga memperlihatkan adanya hubungan, dimana pada saat terjadi puncak konsentrasi estradiol-17ß juga terjadi nilai IGS yang besar terlihat pada dosis 100 µg/kg pada hari ke 60 dan pada dosis 50 dan 150 µg/kg pada hari ke 120. Kualitas air Parameter kualitas air selama percobaan pada dasarnya tidak mengalami perubahan dan dalam batas normal untuk kehidupan ikan belida. Kualitas air yang terjadi pada waktu percobaan memperlihatkan nilai yang ideal bagi kehidupan ikan belida. Dimana suhu yang pada kisaran C dan ph pada kisaran 5,5-7.

68 H istogramd iametertel urhari Di amet ertelurhari Par Dosis Hari ke- Testosteron estradiol Diameter telur IGS Sebaran diameter telur ,560 0, ,970 1, ,180 0, ,665 1, ,0 698, ,0 372, ,0 163, ,0 2731,0 0,85 0 1,25 0 0,38 5 1, , 0 898, 0 133, ,0 0,55 0, ,40 0, ,42 0, ,84 1, , 310, ,0 411, 0 214, 222, , 525, 0 0 0,22 0, ,37 0, ,19 0, ,28 0, , 201, ,5 464, 0 145, 586, , 750, 5 0 0,14 0 0,27 5 0, , 0 304, 0 166, 0 550, 0 0,37 5 0,32 0 0,21 0 0, , 5 183, 5 117, 5 256, 5 0,24 0 0,16 0 0,18 5 0,20 5 0,46 0,18 0,36 0, ,24 0,14 0,34 0, ,72 0,38 0,24 0, , 152, 111, 176, ,0 168, 50,7 115, , 174, 188, 112, , 23,0 127, 289, ,63 0,83 0, ,50 0, ,81 0, ,63 0,68 0 0, , , , Frequency Frequenc y Panel variable: Dosis_T HistogramDiameter Telur Hari ke DiameterTelur Hari ke Fre quenc y Panel variable: Dosis_Ak HistogramDiameter Telur Hari ke 60 Diameter TelurHarike 120

69 Tabel 5. Hubungan dosis implan dengan konsentrasi hormon testosteron (?g/ml), estradiol-17ß (?g/ml) dalam plasma darah diameter telur dan IGS Parameter Dosis Hari ke Testosteron 0 0,560 0,750 0,850 0,550 0,380 0,225 0,115 0,140 0,375 0,240 0,160 0,185 0, ,970 1,355 1,250 1,405 0,500 0,375 0,115 0,275 0,320 0,465 0,180 0,360 0, ,180 0,260 0,385 0,420 0,450 0,190 0,215 0,405 0,210 0,240 0,140 0,345 0, ,665 1,830 1,715 1,840 1,355 0,280 0,785 0,405 0,200 0,725 0,385 0,240 0,395 Estradiol ,0 698,0 650,0 560,0 310,5 133,0 201,0 220,0 135,5 344,5 152,5 111,0 176, ,0 372,0 898,0 35,0 411,0 93,5 464,0 304,0 183,5 272,0 168,5 50,7 115, ,0 163,5 133,0 214,0 222,0 145,0 586,0 166,0 117,5 311,5 174,0 188,0 112, ,0 2731,0 1047,0 176,0 525,0 324,5 750,0 550,0 256,5 407,5 23,0 127,0 289,0 Diameter telur 0 0,63 0,83 0, ,50 0, ,81 0, ,63 0,68 IGS 0 0, , , , Frequency HistogramDiameter Telur Hari 0 Frequency 30 HistogramDiameter Telur Hari ke Frequency 48 HistogramDiameter Telur Hari ke Diameter Telur Hari Diameter Telur Hari ke 60 Panel variable: Dosis_T Diameter Telur Hari ke 120 Panel variable: Dosis_Ak 30

70 31 Pembahasan Dosis implantasi hormon 17a-metiltestosteron yang berpengaruh terhadap kadar hormon testosteron dalam plasma darah adalah dosis 150 µg/kg pada hari ke 60 dan 90. Keadaan tersebut dapat diartikan bahwa implantasi hormon 17ametiltestosteron dapat meningkatkan kadar hormon testosteron dalam plasma darah. Kenaikan tersebut memberikan gambaran bahwa dosis implantasi 150 µg/kg lebih baik daripada dosis lainnya. Kenaikan kadar testosteron dalam plasma darah sebagai hasil implantasi hormon 17a-metiltestosteron ternyata ada hubungan dengan adanya kenaikan kadar estradiol-17ß. Hal ini disebabkan adanya kerja enzim aromatase yang mengkonversi hormon testosteron menjadi estradiol-17ß hal ini sesuai dengan peryataan Yaron (1995). Implantasi hormon 17a-metiltestosteron yang berpengaruh terhadap kadar hormon estradiol-17ß dalam plasma darah adalah dosis 150 µg/kg pada hari ke 10, 50 dan 60. Kenaikan tersebut memberikan gambaran bahwa dosis implantasi 150 µg/kg lebih baik daripada dosis 0, 50 dan 100 µg/kg. Hasil ini juga dikuatkan oleh analisis antar dosis 0, 50 dan 100 µg/kg yang menunjukan perbedaan yang nyata dibanding dosis 150 µg/kg. Dosis 150 µg/kg lebih baik dari dosis lainnya. Keberadaan hormon estradiol-17ß dalam plasma darah sebagai pengaruh positif dari keberadaan hormon testosteron dalam darah merupakan stimulator akses pembentukan vitelogenin yang merupakan bahan pembentuk kuning telur. Pada implantasi hari ke 60, hormon estradiol-17ß belum menjamin adanya perkembangan diameter telur yang berbeda nyata dengan dosis lainnya. Hal ini diduga reseptor khusus pada hati belum siap untuk menangkap hormon estradiol-17ß dan mengubahnya menjadi vitelogenin. Menurut Harvey dan Carolsfeld (1993), proses vitelogenesis dapat dirangsang dengan implantasi LHRH dan testosteron. Diperkirakan metiltestosteron merupakan regulator untuk merangsang gonad dalam menyekresikan estradiol. Selain itu hormon ini mampu memberikan rangsangan balik terhadap hipotalamus dan hipofisis ikan untuk menghasilkan gonadotropin. Rangsangan terhadap hipotalamus adalah dalam memacu produksi GnRH yang

71 32 bekerja merangsang hipofisis melepaskan gonadotropin. Siklus hormonal ini akan terus berlangsung selama proses vitelogenesis (Nagahama, et al., 1991; Zohar, 1995) Selanjutnya hari ke 120 setelah implantasi, hormon testosteron yang mempunyai kecenderungan meningkatkan perkembangan diameter telur. Diameter telur rata-rata pada tiap dosis implantasi mempunyai kecenderungan naik dengan pertambahan dosis implantasi. Dosis 150 µg/kg lebih baik dari dosis 0, 50 dan 100 µg/kg. Dan dosis 0 tidak berbeda dengan dosis 50 dan 100 µg/kg. Dosis ang baik adlah 150 µg/kg bobot ikan karena dengan dosis tersebut dapat diterima oleh sistem hormonal yang dapat memberikan umpan balik positif terhadap hipotalamus atau hipofisis. Sedangkan dosis lainnya kurang memberikan pengaruh baik. Hal ini disebabkan kemungkinan karena dosis yang tidak mencukupi untuk tubuh dalam sistem keseimbangan hormon. Hasil tersebut kurang sejalan dengan penelitian Tridjoko et al. (1997) bahwa penyuntikan hormon 17a-metiltestosteron pada dosis 50 µg/kg ikan/bulan dapat mempercepat kematangan gonad ikan kerapu bebek. Zanuy et al. (1990), implan hormon testosteron berdosis 100 µg/kg pada ikan kakap (Dicentrarchus labrax ) memberikan umpan balik positif terhadap hipotalamus atau hipofisis yang ditunjukan oleh adanya perkembangan gonad dan spermatogenesis. Sedangkan Sarwoto (2001) penggunaa 17a-metiltestosteron pada ikan jambal siam pada dosis 50 dan 100 µg/kg obot ikan mempunyai kecenderungan lebih baik dari dosis lainnya. Supriyadi (2005) pemberian ormon MT dosis 200 µg/kg bobot tubuh mempu meningkatkan konsentrasi estradio-17ß mksimum plasma darah ikan baung. Hal ini kemungkinan karena spesies ikan yang berbeda. Selain itu adanya umpan balik positif dari penyuntikan hormon testosteron terhadap kadar hormon testosteron dan estradiol-17ß serta diameter telur sejalan dengan hasil penelitian Zanuy et al. (1990). Secara runut penyuntikan hormon testosteron memberikan umpan balik positif terhadap hipotalamus atau hipofisis untuk memproduksi hormon gonadotropin (GtH). Selanjutnya hormon tersebut menstimulir gonad untuk menghasilkan hormon testosteron. Menurut Yaron (1995), hormon testosteron dibentuk di sel teka, berikutnya hormon ini oleh enzim aromatase dikonversi menjadi hormon estradiol-

72 33 17ß di sel granulosa. Mommsen & Walsh (1998) menyatakan bahwa hormon estradiol-17ß oleh gonad kemudian ditangkap reseptor spesifik di hati dan membentuk vitelogenin. Pada tahap berikutnya vitelogenin diserap oleh oosit kemudian dipecah menjadi lipovitelin, phosvitin dan komponen ß yang disimpan dalam bentuk kuning telur (Matsubana & Sawono 1995). Proses terakhir ini dikenal dengan vitelogenesis. Proses penyerapan vitelogenin akan berakhir apabila telur atau gonad sudah matang. Dengan demikian hormon testosteron, estradiol-17ß, vitelogenin dan diameter telur mempunyai hubunga n yang sangat erat dan merupakan poros yang bertanggung jawab terhadap perkembangan gonad. Pada Agustus hingga Desember menunjukan bahwa kisaran hormon testosteron adalah 0,115 1,830?g/ml, hormon estradiol-17ß 35, ,0?g/ml dan diameter telur 0,1-2,4 mm. Dari keadaan tersebut diduga bahwa ikan belida berada dalam kondisi vitelogenesis sampai menuju pergerakan awal inti menuju tepi. Ikan rainbow trout pada bulan Nopember menunjukan akhir vitelogenesis atau praovulasi dengan diikuti puncak hormon testosteron 200?g/ml dan estradiol-17ß 5?g/ml (Scot et al dalam Fostier et al. 1983). Sedangkan Breton (1983) dalam Fostier et al. (1983), mengemukakan bahwa ikan rainbow trout pada pravitelogenesis menunjukan hormon estradiol-17ß sebesar 0,1-0,2?g/ml dan pada vitelogenesis menunjukan 2-10?g/ml. Supriyadi (2005) konsentrasi estradio -17ß sebesar 53,37±23,51?g/ml mampu merangsang proses vitelo genesis yang menyebabkan peningkatan diameter telur pada ikan baung. Puncak-puncak konsentrasi estradio- 17ß kemungkinan menunujukan telur berada pada kondisi matang gonad, dalam hal ini pada dosis 150 µg/kg kemungkinan terjadi 3 kali pematangan gonad, sedangkan pada dosis 0 terjadi sekali matang gonad selama waktu penelitian. Pengamatan diameter telur menunjukan awal percobaan diameter telur berkisar 0,1-2,4 mm sedangkan pada akhir percobaan pada perlakuan 150 µg/kg diameter telur berkisar antara 0,1-2,5 dengan rata-rata 0,68 mm. Berdasarkan ini maka tingkat perkembangan gonad diduga mulai muda sampai matang. Pada akhir percobaan ikan belida menunjukan matang gonad adalah pada perlakuan 150 µg/kg. Dimana terdapat telur dengan diameter telur yang kecil namun memperlihatkan

73 34 pergerakan intinya menuju tepi. Menurut Legendre et al. (1998b) ikan jambal siam berada pada stadia muda apabila diameter telur adalah 0,5 mm, matang apabila diameter mencapai 1 ± 0,2 mm dan ovulasi apabila diameter telur mencapai 1,1 ± 0,1 mm. Dibandingkan dengan menurut Rottman et al. (1991) maka ikan belida berada pada kisaran antara ikan mas (Cyprinus carpio) dengan Channel catfish (Ivtalurus punctatus) (Tabel 2.) Nilai IGS pada akhir percobaan juga menunjukan peningkatan dan pada dosis 150 µg/kg lebih tinggi dibandingkan dengan dosis lainnya. Nilai IGS ikan belida pada dosis 150 µg/kg mencapai 1,61 sedangkan pada dosis lainya lebih rendah. Diduga gonad ikan pada perlakuan dosis 150 µg/kg aktif vitelogenin yang diindikasikan dengan adanya pertambahan diameter telur sehingga gonad bertambah besar dan berat. Menurut Siregar (1999), nilai IGS ikan jambal siam yang telah matang telur berkisar 5,1 hingga 13,3 %. Sedangkan Effendie (1979) menyatakan bahwa pertambahan bobot gonad ik an betina pada saat matang gonad berkisar 10-25% dari bobot tubuh. Supriyadi (2005) indeks gonad somatik sebesar 14,99 % dan gonad pada keadaan matang pada ikan baung. Selama percobaan air sebagai media hidup ikan diperhatikan kualitasnya. Hasil pengukuran parameter kualitas air menunjukan bahwa suhu 27,84 ºC, ph 6,15, DO 4,66 (mg/l), NH 3 0,3030 (mg/l), CO 2 6,72 (mg/l). Hasil pengukuran tersebut layak untuk kelangsungan hidup dan reproduksi ikan belida.

74 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Pemberian hormon 17a-metiltestosteron efektif meningkatkan kadar testosteron dan estradiol-17ß dalam plasma darah ikan belida dan mampu mempercepat proses pematangan gonad 60 hari lebih cepat dibandingkan dengan tanpa hormon. 2. Konsentrasi hormon 17a-metiltestosteron sebanyak 150 µg/kg bobot tubuh merupakan dosis efektif pematangan gonad ikan belida, memberikan pengaruh tertinggi terhadap perkembangan diameter telur rata-rata dan indeks gonado somatik. 3. Pada dosis 150 µg/kg menunjukan indikasi frekuensi pematangan telur yang lebih sering dari dosis lainnya. 4. Implantasi hormon menunjukan indikasi penurunan diameter telur yang matang. Saran 1. Untuk mempercepat pematangan gonad ikan belida disarankan melakukan implantasi hormon 17a-metiltestosteron dosis 150 µg/kg. 2. Untuk melihat pengaruh implantasi hormon terhadap kualitas telur dan larva perlu dilakukan pnelitian lebih lanjut sampai pemeliharaan larva.

75 DAFTAR PUSTAKA Blay, J. And K.N. Eveson Observation on the reproductive biology of shad, Ethmalosa fibriata in the coastal water of the cape coast. Ghana, Journal of Fish Biology, 21: Breton, B. Sambroni E., Govoroun M, Weil C Effects of steroids on GTH I and GTH II secretion and pituitary concentration in the immature rainbow trout (Onchorhynchus mykiss). C. R. Acad. Sci. III. 320: Bugar, H Penggunaan Emulsi W/O/W LG (C-14) dan Minyak Kelapa Sawit sebagai Pembawa Hormon HCG pada Ikan Jambal Siam (Pangasius hypopthalmus F). Tesis. Program Pascasarjana, IPB Bogor. Cerda, J., B.G. Calman, G.J. Lafleur Jr., and Limensand Pattern of vitelogenesis and follicle maturational competence during the ovarian follicular cycle of Fundulus heteroclicus. General and Comparative Endocrinology, 103: Cholik, F., Z.J. Azwar, A. Priyono, G. Sumiarsa, Badraeni dan S. N. Irianti Teknologi Pembenihan Ikan Bandeng (Chanos chanos Forskall). Sub Balai Penelitian Budidaya Pantai, Gondol, Bali. Crim, L.W., N.M. Serwood and C.E. Wilson Sustained hormone release. II. Effectiveness of LHRH analogue (LHRH-a) administration by either single time injection or cholesterol pellet implantation on plasma gonadotropin levels in bioassay model fish, the juvenile rainbow trout. Aquaculture 74: Donaldson, E.M., U.H.M. Fagerlund, D.A. Higgs and J.R. Bride Hormonal enchament of growth. In W.S. Hoar, D.J. Randall and J.R. Brett (eds). Fish Physiology. Vol. VIII. Academic Press. New York. P Effendie, M.I Biologi Perikanan (bagian I : Study natural history). Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Effendie, M.I Biologi Perikanan Yayasan Pustaka Nusantara. Yogyakarta. Ernawati, Y Efisiensi Implantasi analog LH-RH dan 17a-metiltestosteron Serta Pembekuan Semen dalam Upaya Peningkatan Produksi Benih Ikan Jambal Siam (Pangasius hypopthalmus). Disertasi. Program Pascasarjana, IPB Bogor.

76 37 Flett, PA. Leatherland Dose-elated effect of 17ß-estradiol (E 2 ) on liver weight, plasma E 2, protein, calsium and thyroid hormonal level and measurement of the binding of thyroid hormones to vitellogenin in Rainbow Trout Salmo gairdneri. Journal of Fish Biology 34: Fostier, A, Jalabert B, Billard R, Breton B, Zohar Y The gonadal steroids. In Hoar WS, Randall DJ, and Donaldson EM, editor. Fish Physiology. Volume ke-9, Reproduction. Part A. Endocrine Tissues and Hormones. New York: Academic press Hao-Ran, L., Xie-ang, Li-Hong Z., Xiao-Dong W. and Lian-Xi L Artificial induction of gonadal maturation and ovulation in the Japanese eel (Anguilla japonica T. et S.). Bull. Fr. Peche Piscic. 349: Harvey, B.J. and J. Carolsfeld Induced breeding in tropical fish culture. IDRC. Ottawa, Ont. Hoar, WS. Nagahama Y The celluler sources of sex steroids in teleost gonads. Ann. Biol. Anim. Bioch. Biophys 18: Lagler, K.F., J.E. Bardach, R.R. Miller and D.R. M. Passino Ichtyology. John Wiley and Sons Inc. New York, London. P : Lee, C.S., C.S. Tamaru, J.E.Banno, and C.D. Kelley Technique for making chronic release LHRH-a and 17a-methyltestosterone pellet for intramuscular implantation in fishes. Aquaculture 59: Legendre, M., J. Slembrouck, and J. Subagja 1998 b. Absence of marked seasonal variations in sexual maturity of Pangasius hypopthalmus broods held in ponds at the Sukamandi Station (Java, Indonesia). P : in M. Legendre and A. Pariselle (editors). The biological diversity and aquaculture of Clariid and Pangasiid Catfishes in South East Asia. Canto, Vietnam. Madang, K Morfologi Habitat dan Keragaman Genetik Kerabat IkanBelida (Malacopterygii; notopteridae) di Perairan Sumatera Selatan. Tesis. Program Pascasarjana, IPB Bogor. Marte, C.L., L.W. Cim and N.M. Sherwood Induced gonadal maturation and rematuration in milkfish; limited success with chronic administration of testosterone and gonadotropin releasing hormone analogue (GnRH). Aquaculture 74: Matsubana, T. and K. Sawano Proteolitic cleavage of vitelogenin and yolk proteins during vitelogenin uptake and oocyte maturation in barfin flounder (Verasper moseri). The jounal of Experimental Zoology 272:34-35.

77 38 Mayunar Pijah Rangsang dan Pemeliharaan Larva Kerapu Lumpur Epinephelus tauvina. Oceana 17: McEwan, M Notopterus chitala is best suited to large display tanks or public aquaria. Big Bruiser. Mommsen, M. dan P.J. Walsh Vitellogenesis and oocyte assembly. P :7-79 in W.S. Hoar, D.J. Randall and Donaldson, editors, Fish Physiology Vol XI A. Academic Press. New York. Mugnier, C., M. Guennoc, E. Lebegue, A. Fostier, B. Breton Induction and synchronization of spawning in cultivated turbot (Scophthalmus maximus L.) broodstock by implantation of sustained-release GnRH-a pellet. Aquaculture 181: Nagahama, Y Gonadotropin action on gametogenesis and steroidogenesis in teleost gonads. Zoological Science 4: Ondara dan E. Daryani Kerabat Ikan Belido (suku Notopteridae) di Indonesia, Terutama Kasus di Sumatera Selatan. H dalam Prosiding Simposium Perikanan Indonesia I, Jakarta Agustus Puslitbangkan, Jakarta. Patino, R Manipulation of the Reproductive System of Fishes by Means of Exogenous Chemicals. The Progressive Fish-Culturist. USA. 59 : Roberts, T.R Systematic Revision of the Old World Freshwater Fish Family Notopteridae. Ichthyol. Explor. Freshwater. 2: Rottman, R.W., J.V. Shireman, and F.A. Chapman Determining Sexual of Broodstock for Induced Spawning of fish. Saanin, H Klasifikasi dan Kunci Identifikasi Ikan 1, 2. Binacipta. Jakarta. Sarwoto, M.N Pengaruh Pemberian Hormon Testosteron Melalui Emulsi W/O/W LG (C 14) Terhadap Gonad Calon Induk Betina Ikan Jambal Siam (Pangasius hypopthalmus). Tesis. Program Pascasarjana, IPB Bogor. Sato, N., I. Kawazoe., Y. Shiina., K. Furukawa., Y. Suzuki, and K. Aida A Novel Method of Hormon Administration for Inducing Gonadal Maturation in Fish. Aquaculture, 135: Siregar, M Stimulasi Pematangan Gonad Induk Betina Jambal Siam Pangasius hypopthalmus F. dengan Hormon HCG. Tesis. Bogor. Program Pascasarjana, IPB Bogor.

78 39 Sjafei, D.S., M.F. Rahardjo, R. Affandi, M. Brojo dan Sulistiono. 1991/1992. Fisiologi Ikan II. Reproduksi Ikan. Supriadi Efektifitas Pemberian Hormon 17a-metiltestosteron dan HCG yang Dienkapsulasi didalam Emulsi terhadap Perkembangan Gonad Ikan Baung (Hemibragrus nemurus Blkr.). Tesis. Program Pascasarjana, IPB Bogor. Swanson, P Salmon gonadotropins: Reconciling old and new ideas. Proceding of the Reproductive Physiology of Fishes. University of East Anglia, Norwich, U.K., 7-12 July p 2-7. Trijoko, B. Slamet dan D. Makatutu Pematangan Induk Kerapu Bebek (Cromileptes altivelis ) dengan Rangsangan Suntikan Hormon LHRH-a dan 17a-metiltestosteron. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia, 4: Tyler, C.R., J.P. Sumpter and P.M. Campbell Uptake vitellogenin into oocytes during early vitellogenic in rainbow trout Onchorhyncus mykiss (Walbaum). Journal of Fish Biology, 38: Watanabe, T.A, Arakawa T. Kitajima C, Fujita S Effect of nutritional quality of broodstock diets on reproduction of red sea bream. Nippon Suisan Gakkaishi 50: Widyastuti, Y.E Flora-fauna Maskot Nasional dan Propinsi. Penebar Swadaya, Jakarta. Woynarovich, E. And L. Horvart The artificial propagation of warm water fishes. A manual for extention. FAO. Fish Technical Paper. 201: Yaron, Z Endocrine control of gametogenesis and spawning induction in the carp. Aquaculture 129: Yusuf, N.S Efektifitas Pemberian Hormon LHRH-analog dan Estradiol-17ß melalui Emulsi W/O/W terhadap Perkembangan Gonad Ikan Baung (Hemibragrus nemurus Blkr.). Tesis. Program Pascasarjana, IPB Bogor. Zairin, M. Jr Endokrinologi dan Perannya Bagi Masa Depan Perikanan Indonesia. Orasi Ilmiah. Guru Besar Tetap Ilmu Fisiologi Reproduksi dan Endokrinologi Hewan Air. IPB Bogor. Zanuy, S., M. Carrillo, J. Mateos, V. Trudeau, and O. Kah Effect of sustained administration of testosterone in pre-pubertal sea bass (Dicentrarchus labrax L). Aquaculture 177:21 35.

79 Zohar, Y Endocrine control of gametogenesis and spawning induction in the carp. Aquaculture, 129:

80 LAMPIRAN

81 41 Lampiran 1. Gambar dan Klasifikasi ikan belida (Notopterus chitala ) Posis sistematik ikan belida (Notopterus notopterus Pall.) menurut Weber dan Beaufort (dalam Saanin, 1980) adalah : kelas ordo famili genus spesies : Pisces : Malacopterygii : Notopteridae : Notopterus : notopterus chitala

82 Lampiran 2. Teknik pengambilan darah ikan belida 42

83 Lampiran 3. Bahan dan alat RIA 43

84 44 Lampiran 4. Cara kerja RIA Prosedur pengukuran konsentrasi hormo n estradiol 17ß dan testosteron plasma berdasarkan manual dari Diagnostic Product Corporation (DPC). 1. Persiapan zat-zat pereaksi atau reagens : a. Estradiol mempunyai tendensi kuatmenyerap permukaan wadah plastik yang tidak diberi perlakuan. Oleh sebab itu penggunaan wadah atau penutup yang terbuat dari bahan platik haru dihindari. b. Tabung estradiol dan testosteron total yang sudh dilapisi antibodi, disimpan dalam refrigerator dn jauh dari tempat lembab atau berair. Bila sgelnya sudah dibuka, tabung dapat disimpan pada suhu 2 8 C sampai waktu kadaluwarsa yang tertera pada kantung pembungkusnya. c. Botol yang berisi105 ml estradiol 125 I atau testosteron total yang sudah teriodisasi dalam bentuk cair, disimpan dalam refrigerator pada suhu 2 8 C untuk 30 hari setelah segel dibuka atau sampai waktu kadaluwarsa yang tertera pada vial. d. Kalibrator estradiol dan testosteron total terdiri dari tujuh kalibrator yaitu tabung A (kalibrator nol, 0?g/ml) berisi 5 ml dan sisanya tabung B (20?g/ml), C (50?g/ml), D (150?g/ml), E (500?g/ml), F (1800?g/ml) dan G (3600?g/ml) berisi masing-masing 2 ml. Tabung-tabung yang sudah dibuka segelnya disimpan dalam refrigerator pada suhu 2 8 C maksimal 30 hari setelah dibuka. Untuk penyimpanan lebih lama 9sampai 6 bulan), tabung dapat disimpan dalam feezer bersuhu minus 20 C. e. Persiapan tabung reaksi di dalam rak dan masukan ke dalamnya unsur-unsur antibodi (Ab), antigen radioaktif (Ag*), sampel plasma atau standar: Untuk analisis Estradiol 17 da testosteron a. Label 4 tabung polipropilen polos (plain tube), untuk jumlah total binding dan (NSB, son spesifik binding) ukuran 12 x 5 mm dalam duplo. b. Label 14 tabung kalibrator sudah dilapisi antibodi estradiol masing-masing taung A untuk ikatan maksimum (konsentrasi 0?g/ml), B (20?g/ml), C (50

85 45?g/ml), D (150?g/ml), E (500?g/ml), F (1800?g/ml) dan G (3600?g/ml) dalam duplo. c. Label tabung tambahan yang sudah dilapisi antiobodi estradiol atau testosteron dalam duplo untuk smpel plasma standar. d. Pipet 100 µl kalibrator nl A untuk analisis estradiol ke dalam tabung NSB dan tabung A, dan 100 µl kalibrator B, C, D, E, F, dan G (untuk analisis estradiol) ke dalam tabung yang sudah dilabel. e. Pipet 100 µl iap-tiap sampel plasma (untuk analisis estradiol) ke dalam tabung yang sudah disiapkan. Pipet diletakkan langsung sampai dasar tabung. f. Tambahkan 1 ml total estradiol 125 I ke setiap tabung dan diaduk selama 10 menit. g. Inkubasikan selama 3 jam pada suhu ruangan. h. Ikatan Ag*-Ab dari Ag8 bebas dipisah dengan metode penuangan. 2. Perhitungan hasil ; konsentrasi estradiol tau testosteron total dihitung berdasrkan kurva kalibrasi logit-log dengan menentukan ; a. jumlah rata-rata ikatan per menit untuk setiap pasang tabung NSB dengan rumus : Jumlah bersih = CPM (countper menit) rata-rata NSB CPM b. Menetukan ikatan setiap pasangan tabung sebagai persen ikatan maksimum (MB), dengan jumlah NSB tabung A sebagai 00%. Dengan kertas gambar logit-log, plot sumbu vertikal (sumbu y) untuk konsentrasi hormon dan sumbu horizontal (sumbu x) untuk setiap kalibrator B sampai G dan Gambar garis lurus mendekati bagian titik tersebut. Konsentrasi estradiol atau testosteron total untuk sampel kemudian diperkirakan dari garis dengan interpolasi.

86 Lampiran 5. Pengambilan sampel telur dengan cara dibedah 46

87 47 Lampiran 6. Cara pembuatan pelet berhormon dan kolesterol (Cholik et al 1990). 1. Ambil sedikit cocoa butter (6 tetes) dalam test tube, masukan dalam beaker glass 50 ml yang berisi air dan panaskan dengan alat pemanas. 2. Timbang sejumlah 190 mg cholesterol powdr masukan dalam mortal. 3. Dengan pipet ependorof ambil 0,2 ml larutan alkohol dan campur dengan hormon 17a-metiltestosteron, masukan dalm mortal berisi kolesterol, larutkan dan lumatkan. 4. Inkubasikan selama satu jam atau lebih pada suhu 37 C. 5. Dengan sendok logam (spatula) keruk campuran tersebut dan satukan. 6. Tambahkan satu tetes cocoa butter dan aduk berkali-kali hingga homogen. 7. Diamkan satu malam (24 jam) dalam refrigerator. 8. Cetak dengan alat yang sudah dibuat dan pres dengan paku dan pukul hingga padat betul. 9. Berdasarkan pengalaman dari satu resep dapat dibuat pelet ukura diameter 1 mm dan panjng 3 mm sebanyak 29 pelet.

88 Lampiran 7. Teknik implantasi ikan belida 48

I. PENDAHULUAN. salah satu daya pikat dari ikan lele. Bagi pembudidaya, ikan lele merupakan ikan

I. PENDAHULUAN. salah satu daya pikat dari ikan lele. Bagi pembudidaya, ikan lele merupakan ikan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu komoditi ikan yang menjadi primadona di Indonesia saat ini adalah ikan lele (Clarias sp). Rasa yang gurih dan harga yang terjangkau merupakan salah satu daya

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hepatosomatic Index Hepatosomatic Indeks (HSI) merupakan suatu metoda yang dilakukan untuk mengetahui perubahan yang terjadi dalam hati secara kuantitatif. Hati merupakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ikan merupakan alternatif pilihan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan

I. PENDAHULUAN. Ikan merupakan alternatif pilihan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ikan merupakan alternatif pilihan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan protein. Salah satu komoditas yang menjadi primadona saat ini adalah ikan lele (Clarias sp.). Ikan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ikan baung (Mystus nemurus) adalah ikan air tawar yang terdapat di

I. PENDAHULUAN. Ikan baung (Mystus nemurus) adalah ikan air tawar yang terdapat di I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ikan baung (Mystus nemurus) adalah ikan air tawar yang terdapat di beberapa sungai di Indonesia. Usaha budidaya ikan baung, khususnya pembesaran dalam keramba telah berkembang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Reproduksi dan Perkembangan Gonad Ikan Lele. Ikan lele (Clarias sp) pertama kali matang kelamin pada umur 6 bulan dengan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Reproduksi dan Perkembangan Gonad Ikan Lele. Ikan lele (Clarias sp) pertama kali matang kelamin pada umur 6 bulan dengan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Reproduksi dan Perkembangan Gonad Ikan Lele Ikan lele (Clarias sp) pertama kali matang kelamin pada umur 6 bulan dengan ukuran panjang tubuh sekitar 45cm dan ukuran berat tubuh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan nilem (Osteochilus hasselti) termasuk kedalam salah satu komoditas budidaya yang mempunyai nilai ekonomis yang tinggi. Hal tersebut dikarenakan bahwa ikan nilem

Lebih terperinci

Titin Herawati, Ayi Yustiati, Yuli Andriani

Titin Herawati, Ayi Yustiati, Yuli Andriani Prosiding Seminar Nasional Ikan ke 8 Relasi panjang berat dan aspek reproduksi ikan beureum panon (Puntius orphoides) hasil domestikasi di Balai Pelestarian Perikanan Umum dan Pengembangan Ikan Hias (BPPPU)

Lebih terperinci

PROFIL HORMON TESTOSTERON DAN ESTROGEN WALET LINCHI SELAMA PERIODE 12 BULAN

PROFIL HORMON TESTOSTERON DAN ESTROGEN WALET LINCHI SELAMA PERIODE 12 BULAN Pendahuluan 5. PROFIL HORMON TESTOSTERON DAN ESTROGEN WALET LINCHI SELAMA PERIODE 12 BULAN Hormon steroid merupakan derivat dari kolesterol, molekulnya kecil bersifat lipofilik (larut dalam lemak) dan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Ikan Sumatra Gambar 1. Ikan Sumatra Puntius tetrazona Ikan Sumatra merupakan salah satu ikan hias perairan tropis. Habitat asli Ikan Sumatra adalah di Kepulauan Malay,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Desember (Amornsakun dan Hassan, 1997; Yusuf, 2005). Areal pemijahan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Desember (Amornsakun dan Hassan, 1997; Yusuf, 2005). Areal pemijahan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Reproduksi Ikan baung memijah pada musim hujan, yaitu pada bulan Oktober sampai Desember (Amornsakun dan Hassan, 1997; Yusuf, 2005). Areal pemijahan biasanya ditumbuhi tanaman air

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN Latar Belakang Salah satu usaha yang mutlak dibutuhkan untuk mengembangkan budi daya ikan adalah penyediaan benih yang bermutu dalam jumlah yang memadai dan waktu yang tepat. Selama ini

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Derajat Pemijahan Fekunditas Pemijahan

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Derajat Pemijahan Fekunditas Pemijahan HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Derajat Pemijahan Berdasarkan tingkat keberhasilan ikan lele Sangkuriang memijah, maka dalam penelitian ini dibagi dalam tiga kelompok yaitu kelompok perlakuan yang tidak menyebabkan

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Jenis Kelamin Belut Belut sawah merupakan hermaprodit protogini, berdasarkan Tabel 3 menunjukkan bahwa pada ukuran panjang kurang dari 40 cm belut berada pada

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Perlakuan penyuntikan hormon PMSG menyebabkan 100% ikan patin menjadi bunting, sedangkan ikan patin kontrol tanpa penyuntikan PMSG tidak ada yang bunting (Tabel 2).

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. ukuran panjang tubuh sekitar 20 cm dan ukuran berat tubuh gram. Di

II. TINJAUAN PUSTAKA. ukuran panjang tubuh sekitar 20 cm dan ukuran berat tubuh gram. Di II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kematangan Gonad Ikan Lele Ikan lele (Clarias sp) pertama kali matang kelamin pada umur satu tahun dengan ukuran panjang tubuh sekitar 20 cm dan ukuran berat tubuh 100-200 gram.

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Indeks Gonad Somatik (IGS) Hasil pengamatan nilai IGS secara keseluruhan berkisar antara,89-3,5% (Gambar 1). Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa bioflok

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. Ikan baung diklasifikasikan masuk ke dalam Filum : Cordata, Kelas : Pisces,

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. Ikan baung diklasifikasikan masuk ke dalam Filum : Cordata, Kelas : Pisces, BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Morfologi Ikan Baung Ikan baung diklasifikasikan masuk ke dalam Filum : Cordata, Kelas : Pisces, Sub-Kelas : Teleostei, Ordo : Ostariophysi, Sub Ordo : Siluroidea,

Lebih terperinci

5. PARAMETER-PARAMETER REPRODUKSI

5. PARAMETER-PARAMETER REPRODUKSI 5. PARAMETER-PARAMETER REPRODUKSI Pengukuran parameter reproduksi akan menjadi usaha yang sangat berguna untuk mengetahui keadaan kelamin, kematangan alat kelamin dan beberapa besar potensi produksi dari

Lebih terperinci

KESIMPULAN DAN SARAN

KESIMPULAN DAN SARAN KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Pemberian hormon 17a-metiltestosteron efektif meningkatkan kadar testosteron dan estradiol-17ß dalam plasma darah ikan belida dan mampu mempercepat proses pematangan

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Hasil Hasil percobaan perkembangan bobot dan telur ikan patin siam disajikan pada Tabel 2. Bobot rata-rata antara kontrol dan perlakuan dosis tidak berbeda nyata. Sementara

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 15 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian ini dilakukan pada 8 induk ikan Sumatra yang mendapat perlakuan. Hasil penelitian ini menunjukan Spawnprime A dapat mempengaruhi proses pematangan akhir

Lebih terperinci

statistik menggunakan T-test (α=5%), baik pada perlakuan taurin dan tanpa diberi Hubungan kematangan gonad jantan tanpa perlakuan berdasarkan indeks

statistik menggunakan T-test (α=5%), baik pada perlakuan taurin dan tanpa diberi Hubungan kematangan gonad jantan tanpa perlakuan berdasarkan indeks Persentase Rasio gonad perberat Tubuh Cobia 32 Pembahasan Berdasarkan hasil pengukuran rasio gonad dan berat tubuh cobia yang dianalisis statistik menggunakan T-test (α=5%), baik pada perlakuan taurin

Lebih terperinci

HUBUNGAN HORMON REPRODUKSI DENGAN PROSES GAMETOGENESIS MAKALAH

HUBUNGAN HORMON REPRODUKSI DENGAN PROSES GAMETOGENESIS MAKALAH HUBUNGAN HORMON REPRODUKSI DENGAN PROSES GAMETOGENESIS MAKALAH UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH Teknologi Informasi dalam Kebidanan yang dibina oleh Bapak Nuruddin Santoso, ST., MT Oleh Devina Nindi Aulia

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Reproduksi dan Perkembangan gonad. Pertumbuhan.(G) pada ikan dapat digolongkan menjadi 2 macam yaitu:

TINJAUAN PUSTAKA. Reproduksi dan Perkembangan gonad. Pertumbuhan.(G) pada ikan dapat digolongkan menjadi 2 macam yaitu: TINJAUAN PUSTAKA Reproduksi dan Perkembangan gonad Pertumbuhan.(G) pada ikan dapat digolongkan menjadi 2 macam yaitu: (1) Pertumbuhan soma~ yaitu pertumbuhan pada jaringan otot, tuiang dan lainlain dan

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di PPI Muara Angke, Jakarta Utara dari bulan Januaribulan Maret 2010. Analisis aspek reproduksi dilakukan di Fakultas Perikanan

Lebih terperinci

3.3. Pr 3.3. P os r ed e u d r u r Pe P n e e n l e iltiitan

3.3. Pr 3.3. P os r ed e u d r u r Pe P n e e n l e iltiitan 12 digital dengan sensifitas 0,0001 gram digunakan untuk menimbang bobot total dan berat gonad ikan, kantong plastik digunakan untuk membungkus ikan yang telah ditangkap dan dimasukan kedalam cool box,

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 9 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Ikan contoh diambil dari TPI Kali Baru mulai dari bulan Agustus 2010 sampai dengan bulan November 2010 yang merupakan hasil tangkapan nelayan di

Lebih terperinci

PENGANTAR. Latar Belakang. Itik lokal di Indonesia merupakan plasma nutfah yang perlu dilestarikan dan

PENGANTAR. Latar Belakang. Itik lokal di Indonesia merupakan plasma nutfah yang perlu dilestarikan dan PENGANTAR Latar Belakang Itik lokal di Indonesia merupakan plasma nutfah yang perlu dilestarikan dan ditingkatkan produktivitasnya untuk meningkatkan pendapatan peternak. Produktivitas itik lokal sangat

Lebih terperinci

ikan jambal Siam masih bersifat musiman,

ikan jambal Siam masih bersifat musiman, Latar Belakang Ikan jambal Siam (Pangmius hpophthalmus) dengan sinonim Pangmius sutchi termasuk famili Pangasidae yang diioduksi dari Bangkok (Thailand) pada tahun 1972 (Hardjamulia et al., 1981). Ikan-ikan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Klasifikasi ikan Juaro (Pangasius polyuranodon) menurut Kottelat dan Whitten (1993) adalah sebagai berikut : Filum : Chordata Sub filum : Vertebrata Kelas

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengaruh pencekokan ekstrak rimpang rumput teki terhadap diameter oosit

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengaruh pencekokan ekstrak rimpang rumput teki terhadap diameter oosit 40 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil 1. Oosit Pada Stadia Folikel Primer Pengaruh pencekokan ekstrak rimpang rumput teki terhadap diameter oosit pada stadia folikel primer dapat dilihat pada gambar 10.

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Kebutuhan benih ikan mas, nila, jambal, bawal dan bandeng di bendungan

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Kebutuhan benih ikan mas, nila, jambal, bawal dan bandeng di bendungan PENDAHULUAN Latar Belakang Kebutuhan benih ikan mas, nila, jambal, bawal dan bandeng di bendungan Cirata dan Saguling khususnya kabupaten Cianjur sekitar 8.000.000 kg (ukuran 5-8 cm) untuk ikan mas, 4.000.000

Lebih terperinci

Kata Kunci : Induksi,Hormon,Matang gonad

Kata Kunci : Induksi,Hormon,Matang gonad PEMACU PEMATANGAN GONAD INDUK IKAN NILEM DENGAN TEKNIK INDUKSI HORMON Oleh Ninik Umi Hartanti dan Nurjanah Abstrak Induksi dengan mengunakaan berberapa hormone analog pada calon induk untuk mempercepat

Lebih terperinci

II. METODOLOGI 2.1 Prosedur Pelaksanaan Penentuan Betina dan Jantan Identifikasi Kematangan Gonad

II. METODOLOGI 2.1 Prosedur Pelaksanaan Penentuan Betina dan Jantan Identifikasi Kematangan Gonad II. METODOLOGI 2.1 Prosedur Pelaksanaan Ikan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah belut sawah (Monopterus albus) yang diperoleh dari pengumpul ikan di wilayah Dramaga. Kegiatan penelitian terdiri

Lebih terperinci

PENGARUH TEPUNG IKAN LOKAL DALAM PAKAN INDUK TERHADAP PEMATANGAN GONAD DAN KUALITAS TELUR IKAN BAUNG (Hemibagrus nemurus Blkr.

PENGARUH TEPUNG IKAN LOKAL DALAM PAKAN INDUK TERHADAP PEMATANGAN GONAD DAN KUALITAS TELUR IKAN BAUNG (Hemibagrus nemurus Blkr. PENGARUH TEPUNG IKAN LOKAL DALAM PAKAN INDUK TERHADAP PEMATANGAN GONAD DAN KUALITAS TELUR IKAN BAUNG (Hemibagrus nemurus Blkr.) Ediwarman SEKOLAH PASACASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Ikan hike adalah nama lokal untuk spesies ikan liar endemik yang hidup pada perairan kawasan Pesanggrahan Prabu Siliwangi, Desa Pajajar, Kecamatan Rajagaluh, Kabupaten Majalengka

Lebih terperinci

THE EFFECT OF IMPLANTATION ESTRADIOL-17β FOR FERTILITY, HATCHING RATE AND SURVIVAL RATE OF GREEN CATFISH (Mystus nemurus CV)

THE EFFECT OF IMPLANTATION ESTRADIOL-17β FOR FERTILITY, HATCHING RATE AND SURVIVAL RATE OF GREEN CATFISH (Mystus nemurus CV) THE EFFECT OF IMPLANTATION ESTRADIOL-17β FOR FERTILITY, HATCHING RATE AND SURVIVAL RATE OF GREEN CATFISH (Mystus nemurus CV) BY FITRIA RONAULI SIHITE 1, NETTI ARYANI 2, SUKENDI 2) ABSTRACT The research

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar belakang

PENDAHULUAN Latar belakang 16 PENDAHULUAN Latar belakang Ikan nila merupakan salah satu komoditas unggulan perikanan yang memiliki potensi cukup baik untuk dikembangkan. Beberapa kelebihan yang dimiliki ikan ini adalah mudah dipelihara,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Percobaan Tahap I Pemberian pakan uji yang mengandung asam lemak esensial berbeda terhadap induk ikan baung yang dipelihara dalam jaring apung, telah menghasilkan data yang

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Gambar 2. Peta lokasi penangkapan ikan kembung perempuan (R. brachysoma)

METODE PENELITIAN. Gambar 2. Peta lokasi penangkapan ikan kembung perempuan (R. brachysoma) 11 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Ikan contoh diambil dari TPI Kalibaru mulai dari bulan Agustus sampai dengan bulan November 2010 yang merupakan hasil tangkapan nelayan Teluk Jakarta

Lebih terperinci

KHAIRUL MUKMIN LUBIS IK 13

KHAIRUL MUKMIN LUBIS IK 13 PEMBENIHAN : SEGALA KEGIATAN YANG DILAKUKAN DALAM PEMATANGAN GONAD, PEMIJAHAN BUATAN DAN PEMBESARAN LARVA HASIL PENETASAN SEHINGGA MENGHASILAKAN BENIH YANG SIAP DITEBAR DI KOLAM, KERAMBA ATAU DI RESTOCKING

Lebih terperinci

HORMON TESTOSTERON DAN ESTRADIOL 17β DALAM PLASMA DARAH INDUK BETINA IKAN BAUNG (Mystus nemurus)

HORMON TESTOSTERON DAN ESTRADIOL 17β DALAM PLASMA DARAH INDUK BETINA IKAN BAUNG (Mystus nemurus) e-jurnal Rekayasa dan Teknologi Budidaya Perairan Volume I No 1 Oktober 212 ISSN: 232-36 HORMON TESTOSTERON DAN ESTRADIOL 17β DALAM PLASMA DARAH INDUK BETINA IKAN BAUNG (Mystus nemurus) TESTOSTERON AND

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Perkembangan Gonad Ikan

TINJAUAN PUSTAKA Perkembangan Gonad Ikan 5 TINJAUAN PUSTAKA Perkembangan Gonad Ikan Effendie (1997) menyebutkan bahwa pengetahuan mengenai tingkat kematangan gonad (TKG) sangat penting dan akan menunjang keberhasilan pembenihan ikan. Hal ini

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu : 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai adalah suatu perairan yang airnya berasal dari mata air, air hujan, air permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Aliran air

Lebih terperinci

ASPEK REPRODUKSI IKAN LELAN (Osteochilus vittatus C.V) Di SUNGAI TALANG KECAMATAN LUBUK BASUNG KABUPATEN AGAM

ASPEK REPRODUKSI IKAN LELAN (Osteochilus vittatus C.V) Di SUNGAI TALANG KECAMATAN LUBUK BASUNG KABUPATEN AGAM ASPEK REPRODUKSI IKAN LELAN (Osteochilus vittatus C.V) Di SUNGAI TALANG KECAMATAN LUBUK BASUNG KABUPATEN AGAM Oleh : Rido Eka Putra 0910016111008 FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN JURUSAN BUDIDAYA PERAIRAN

Lebih terperinci

PEMIJAHAN LELE SEMI INTENSIF

PEMIJAHAN LELE SEMI INTENSIF PEMIJAHAN LELE SEMI INTENSIF PEMIJAHAN LELE SEMI INTENSIF Pemijahan ikan lele semi intensif yaitu pemijahan ikan yang terjadi dengan memberikan rangsangan hormon untuk mempercepat kematangan gonad, tetapi

Lebih terperinci

FOR GONAD MATURATION OF GREEN CATFISH

FOR GONAD MATURATION OF GREEN CATFISH UTILIZATION OF ESTRADIOL-17β HORMONE FOR GONAD MATURATION OF GREEN CATFISH (Mystus nemurus CV) By Herlina Mahriani Siagian 1), Netti Aryani 2), Nuraini 2) ABSTRACT The research was conducted from April

Lebih terperinci

Anatomi/organ reproduksi wanita

Anatomi/organ reproduksi wanita Anatomi/organ reproduksi wanita Genitalia luar Genitalia dalam Anatomi payudara Kelainan organ reproduksi wanita Fisiologi alat reproduksi wanita Hubungan ovarium dan gonadotropin hormon Sekresi hormon

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil 31 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pemberian kombinasi pakan uji yang ditambahkan ascorbyl phosphate magnesium (APM) dan implantasi estradiol-17β pada ikan lele (Clarias gariepinus) yang dipelihara dalam

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Pengambilan data penelitian telah dilaksanakan pada bulan Desember 2012 sampai bulan Januari 2013 bertempat di Hatcery Kolam Percobaan Ciparanje

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian. Gambaran mikroskopik folikel ovarium tikus putih betina ((Rattus

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian. Gambaran mikroskopik folikel ovarium tikus putih betina ((Rattus BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Gambaran mikroskopik folikel ovarium tikus putih betina ((Rattus norvegicus, L) dengan perbesaran 4x10 menggunakan teknik pewarnaan Hematoxilin-eosin

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Perairan Teluk Jakarta Perairan Teluk Jakarta merupakan sebuah teluk di perairan Laut Jawa yang terletak di sebelah utara provinsi DKI Jakarta, Indonesia. Terletak

Lebih terperinci

BIOLOGI REPRODUKSI IKAN JUARO (Pangasius polyuranodon) DI DAERAH ALIRAN SUNGAI MUSI, SUMATERA SELATAN ABDUL MA SUF

BIOLOGI REPRODUKSI IKAN JUARO (Pangasius polyuranodon) DI DAERAH ALIRAN SUNGAI MUSI, SUMATERA SELATAN ABDUL MA SUF BIOLOGI REPRODUKSI IKAN JUARO (Pangasius polyuranodon) DI DAERAH ALIRAN SUNGAI MUSI, SUMATERA SELATAN ABDUL MA SUF DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Budidaya monoseks sudah umum dilakukan pada budidaya ikan. (Beardmore et al, 2001; Devlin and Nagahama, 2002; Gomelsky, 2003), dan

I. PENDAHULUAN. Budidaya monoseks sudah umum dilakukan pada budidaya ikan. (Beardmore et al, 2001; Devlin and Nagahama, 2002; Gomelsky, 2003), dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Budidaya monoseks sudah umum dilakukan pada budidaya ikan (Beardmore et al, 2001; Devlin and Nagahama, 2002; Gomelsky, 2003), dan upaya tersebut sudah umum dilakukan dalam

Lebih terperinci

Gambar 4. Peta lokasi pengambilan ikan contoh

Gambar 4. Peta lokasi pengambilan ikan contoh 14 Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan Juli 2009. Lokasi pengambilan ikan contoh adalah tempat pendaratan ikan (TPI) Palabuhanratu. Analisis contoh dilakukan di Laboratorium Ekobiologi,

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN. Gambar 3. Peta daerah penangkapan ikan kuniran di perairan Selat Sunda Sumber: Peta Hidro Oseanografi (2004)

3. METODE PENELITIAN. Gambar 3. Peta daerah penangkapan ikan kuniran di perairan Selat Sunda Sumber: Peta Hidro Oseanografi (2004) 12 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret-September 2011 dengan waktu pengambilan contoh setiap satu bulan sekali. Lokasi pengambilan ikan contoh

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap. Percobaan tahap pertama mengkaji keterkaitan asam lemak tak jenuh n-6 dan n-3 yang ditambahkan dalam pakan buatan dari sumber alami

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakasanakan mulai awal bulan Maret sampai bulan Mei, dengan interval pengambilan data setiap dua minggu. Penelitian berupa pengumpulan

Lebih terperinci

OLEH : HERNAWATI. Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Biologi

OLEH : HERNAWATI. Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Biologi PENGARUH SUPEROVULASI PADA LAJU OVULASI, SEKRESI ESTRADIOL DAN PROGESTERON, SERTA PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN UTERUS DAN KELENJAR SUSU TIKUS PUTIH (Rattus Sp.) SELAMA SIKLUS ESTRUS TESIS OLEH : HERNAWATI

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Derajat Penetasan Telur Hasil perhitungan derajat penetasan telur berkisar antara 68,67-98,57% (Gambar 1 dan Lampiran 2). Gambar 1 Derajat penetasan telur ikan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Ikan nila merah Oreochromis sp.

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Ikan nila merah Oreochromis sp. II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karakteristik ikan nila merah Oreochromis sp. Ikan nila merupakan ikan yang berasal dari Sungai Nil (Mesir) dan danaudanau yang berhubungan dengan aliran sungai itu. Ikan nila

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Derajat Kelangsungan Hidup (SR) Perlakuan Perendaman (%)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Derajat Kelangsungan Hidup (SR) Perlakuan Perendaman (%) IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Hasil yang diperoleh pada penelitian ini meliputi persentase jenis kelamin jantan rata-rata, derajat kelangsungan hidup (SR) rata-rata setelah perlakuan perendaman dan

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 12 3 METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan Maret sampai dengan bulan November 2012 di Instalasi Penelitian Plasma Nutfah Perikanan Air Tawar, Cijeruk, Bogor. Analisis hormon testosteron

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Teknik Pemijahan ikan lele sangkuriang dilakukan yaitu dengan memelihara induk

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Teknik Pemijahan ikan lele sangkuriang dilakukan yaitu dengan memelihara induk BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pemeliharaan Induk Teknik Pemijahan ikan lele sangkuriang dilakukan yaitu dengan memelihara induk terlebih dahulu di kolam pemeliharaan induk yang ada di BBII. Induk dipelihara

Lebih terperinci

Anatomi sistem endokrin. Kerja hipotalamus dan hubungannya dengan kelenjar hormon Mekanisme umpan balik hormon Hormon yang

Anatomi sistem endokrin. Kerja hipotalamus dan hubungannya dengan kelenjar hormon Mekanisme umpan balik hormon Hormon yang Anatomi sistem endokrin Kelenjar hipofisis Kelenjar tiroid dan paratiroid Kelenjar pankreas Testis dan ovum Kelenjar endokrin dan hormon yang berhubungan dengan sistem reproduksi wanita Kerja hipotalamus

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Rasio Kelamin Ikan Nilem Penentuan jenis kelamin ikan dapat diperoleh berdasarkan karakter seksual primer dan sekunder. Pemeriksaan gonad ikan dilakukan dengan mengamati

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 16 3. METODE PENELITIAN 3.1. Rancangan Penelitian Pola reproduksi ikan swanggi (Priacanthus tayenus) pada penelitian ini adalah tinjauan mengenai sebagian aspek reproduksi yaitu pendugaan ukuran pertama

Lebih terperinci

Pematangan Gonad di kolam tanah

Pematangan Gonad di kolam tanah Budidaya ikan patin (Pangasius hypopthalmus) mulai berkemang pada tahun 1985. Tidak seperti ikan mas dan ikan nila, pembenihan Patin Siam agak sulit. Karena ikan ini tidak bisa memijah secara alami. Pemijahan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE 8 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober 2008 sampai dengan bulan Juli 2009 di Kolam Percobaan Babakan, Laboratorium Pengembangbiakkan dan Genetika Ikan

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 15 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di TPI Cilincing, Jakarta Utara. Pengambilan data primer berupa pengukuran panjang dan bobot ikan contoh yang ditangkap

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan bulan Juli 2011 sampai September 2011 bertempat di Balai Benih Ikan Sentral (BBIS) Purbolinggo, kecamatan Purbolinggo, kabupaten Lampung

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kinerja Induk Parameter yang diukur untuk melihat pengaruh pemberian fitoestrogen ekstrak tempe terhadap kinerja induk adalah lama kebuntingan, dan tingkat produksi anak

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian yang berjudul Pengaruh Pemberian Ekstrak Daun Jati Belanda

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian yang berjudul Pengaruh Pemberian Ekstrak Daun Jati Belanda BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Penelitian yang berjudul Pengaruh Pemberian Ekstrak Daun Jati Belanda (Guazuma ulmifolia Lamk.) Terhadap Berat Badan, Berat Testis, dan Jumlah Sperma Mencit

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK KROMOSOM IKAN MANVIS (Pterophyllum scalare) WESLY KURNIADI SIAGIAN

KARAKTERISTIK KROMOSOM IKAN MANVIS (Pterophyllum scalare) WESLY KURNIADI SIAGIAN KARAKTERISTIK KROMOSOM IKAN MANVIS (Pterophyllum scalare) WESLY KURNIADI SIAGIAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 KARAKTERISTIK KROMOSOM IKAN MANVIS (Pterophyllum scalare) WESLY

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan Juni 2006, Agustus 2006 Januari 2007 dan Juli 2007 di Daerah Aliran Sungai (DAS) Musi dengan sumber air berasal dari

Lebih terperinci

PEMATANGAN GONAD IKAN GABUS BETINA

PEMATANGAN GONAD IKAN GABUS BETINA Jurnal Akuakultur Rawa Indonesia, 2(2) :162-174 (2014) ISSN : 2303-2960 PEMATANGAN GONAD IKAN GABUS BETINA (Channa striata) MENGGUNAKAN HORMON Human Chorionic Gonadotropin DOSIS BERBEDA Gonadal Maturation

Lebih terperinci

STUDI BIOLOGI REPRODUKSI IKAN LAYUR (Superfamili Trichiuroidea) DI PERAIRAN PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT DEVI VIANIKA SRI AMBARWATI

STUDI BIOLOGI REPRODUKSI IKAN LAYUR (Superfamili Trichiuroidea) DI PERAIRAN PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT DEVI VIANIKA SRI AMBARWATI STUDI BIOLOGI REPRODUKSI IKAN LAYUR (Superfamili Trichiuroidea) DI PERAIRAN PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT DEVI VIANIKA SRI AMBARWATI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. Waktu dan Lokasi Penelitian

3 METODE PENELITIAN. Waktu dan Lokasi Penelitian 3 METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan selama empat bulan dari Oktober 2011 hingga Januari 2012 di Waduk Ir. H. Djuanda, Jatiluhur, Purwakarta, Jawa Barat (Gambar 3). Pengambilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan dengan timbulnya sifat-sifat kelamin sekunder, mempertahankan sistem

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan dengan timbulnya sifat-sifat kelamin sekunder, mempertahankan sistem BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Estrogen merupakan hormon steroid yang dihasilkan oleh sel granulosa dan sel teka dari folikel de Graaf pada ovarium (Hardjopranjoto, 1995). Estrogen berkaitan dengan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. Bawang, Provinsi Lampung selama 6 bulan dimulai dari bulan April 2013 hingga

III. METODOLOGI. Bawang, Provinsi Lampung selama 6 bulan dimulai dari bulan April 2013 hingga III. METODOLOGI A. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan di perairan Way Tulang Bawang, Kabupaten Tulang Bawang, Provinsi Lampung selama 6 bulan dimulai dari bulan April 2013 hingga September 2013.

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Bobot Tubuh Ikan Lele Hasil penimbangan rata-rata bobot tubuh ikan lele yang diberi perlakuan ekstrak purwoceng (Pimpinella alpina molk.) pada pakan sebanyak 0;

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. perkawinan. Proses perkawinan biasanya terjadi pada malam hari atau menjelang

II. TINJAUAN PUSTAKA. perkawinan. Proses perkawinan biasanya terjadi pada malam hari atau menjelang II. TINJAUAN PUSTAKA A. Sifat Seksualitas Lobster Air Tawar Pada umumnya lobster air tawar matang gonad pada umur 6 sampai 7 bulan. Setelah mencapai umur tersebut, induk jantan dan betina akan melakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada zaman dahulu hingga sekarang banyak masyarakat Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Pada zaman dahulu hingga sekarang banyak masyarakat Indonesia BAB I A. Latar Belakang PENDAHULUAN Pada zaman dahulu hingga sekarang banyak masyarakat Indonesia yang memanfaatkan berbagai jenis tumbuhan sebagai bahan untuk makanan maupun untuk pengobatan tradisional.

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 17 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Organ reproduksi Jenis kelamin ikan ditentukan berdasarkan pengamatan terhadap gonad ikan dan selanjutnya ditentukan tingkat kematangan gonad pada tiap-tiap

Lebih terperinci

PENGARUH FOSFORILASI DAN PENAMBAHAN ASAM STEARAT TERHADAP KARAKTERISTIK FILM EDIBEL PATI SAGU CYNTHIA EMANUEL

PENGARUH FOSFORILASI DAN PENAMBAHAN ASAM STEARAT TERHADAP KARAKTERISTIK FILM EDIBEL PATI SAGU CYNTHIA EMANUEL PENGARUH FOSFORILASI DAN PENAMBAHAN ASAM STEARAT TERHADAP KARAKTERISTIK FILM EDIBEL PATI SAGU CYNTHIA EMANUEL SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Induk 3.3 Metode Penelitian

III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Induk 3.3 Metode Penelitian III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2009 sampai dengan Februari 2010 di Stasiun Lapangan Laboratorium Reproduksi dan Genetika Organisme Akuatik, Departemen

Lebih terperinci

bio.unsoed.ac.id III. METODE PENELITIAN A. Materi 1. Materi Penelitian

bio.unsoed.ac.id III. METODE PENELITIAN A. Materi 1. Materi Penelitian III. METODE PENELITIAN A. Materi 1. Materi Penelitian Materi penelitian berupa benih ikan nilem (Osteochilus hasselti C.V.) berumur 1, 2, 3, dan 4 bulan hasil kejut panas pada menit ke 25, 27 atau 29 setelah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengeluarkan hormon. Di dalam setiap ovarium terjadi perkembangan sel telur

BAB I PENDAHULUAN. mengeluarkan hormon. Di dalam setiap ovarium terjadi perkembangan sel telur BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Manusia mempunyai dua ovarium yang berfungsi memproduksi sel telur dan mengeluarkan hormon. Di dalam setiap ovarium terjadi perkembangan sel telur (oogenesis). Pada

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. 3.1 Waktu dan tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2009 di Balai Budidaya Air Tawar (BBAT) Jambi.

BAHAN DAN METODE. 3.1 Waktu dan tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2009 di Balai Budidaya Air Tawar (BBAT) Jambi. III. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2009 di Balai Budidaya Air Tawar (BBAT) Jambi. 3.2 Alat dan bahan Alat dan bahan yang digunakan dalam

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Berdasarkan Tabel 2, terlihat bahwa pertumbuhan induk ikan lele tanpa perlakuan Spirulina sp. lebih rendah dibanding induk ikan yang diberi perlakuan Spirulina sp. 2%

Lebih terperinci

PEMBENIHAN KAKAP PUTIH (Lates Calcarifer)

PEMBENIHAN KAKAP PUTIH (Lates Calcarifer) PEMBENIHAN KAKAP PUTIH (Lates Calcarifer) 1. PENDAHULUAN Kakap Putih (Lates calcarifer) merupakan salah satu jenis ikan yang banyak disukai masyarakat dan mempunyai niali ekonomis yang tinggi. Peningkatan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Percobaan 1. Pengaruh pemberian bahan aromatase inhibitor pada tiga genotipe ikan nila sampai tahap pendederan.

BAHAN DAN METODE. Percobaan 1. Pengaruh pemberian bahan aromatase inhibitor pada tiga genotipe ikan nila sampai tahap pendederan. 12 BAHAN DAN METODE Tempat dan waktu Penelitian dilakukan di Laboratorium Pemuliaan dan Genetika dan kolam percobaan pada Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Perikanan Air Tawar, Jl. Raya 2 Sukamandi,

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Perlakuan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Perlakuan IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. 1 Hasil 4.1.1 Volume Cairan Semen Penghitungan volume cairan semen dilakukan pada tiap ikan uji dengan perlakuan yang berbeda. Hasil rata-rata volume cairan semen yang didapatkan

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 7 Maret 19 April 2016, bertempat

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 7 Maret 19 April 2016, bertempat 8 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 7 Maret 19 April 2016, bertempat di Balai Pembibitan dan Budidaya Ternak Non Ruminansia (BPBTNR) Provinsi Jawa Tengah di Kota Surakarta.

Lebih terperinci

PEMIJAHAN IKAN TAWES DENGAN SISTEM IMBAS MENGGUNAKAN IKAN MAS SEBAGAI PEMICU

PEMIJAHAN IKAN TAWES DENGAN SISTEM IMBAS MENGGUNAKAN IKAN MAS SEBAGAI PEMICU Jurnal Akuakultur Indonesia, 4 (2): 103 108 (2005) Available : http://journal.ipb.ac.id/index.php/jai http://jurnalakuakulturindonesia.ipb.ac.id 103 PEMIJAHAN IKAN TAWES DENGAN SISTEM IMBAS MENGGUNAKAN

Lebih terperinci

II. BAHAN DAN METODE 2.1 Prosedur Persiapan Wadah Persiapan dan Pemeliharaan Induk Peracikan dan Pemberian Pakan

II. BAHAN DAN METODE 2.1 Prosedur Persiapan Wadah Persiapan dan Pemeliharaan Induk Peracikan dan Pemberian Pakan II. BAHAN DAN METODE 2.1 Prosedur Percobaan ini dilakukan di Kolam Percobaan Babakan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB, Dramaga. Percobaan dilakukan dari bulan Mei hingga Agustus 2011. 2.1.1 Persiapan

Lebih terperinci

Lampiran 1. Susunan Perlakuan Saat Pelaksanan Penelitian

Lampiran 1. Susunan Perlakuan Saat Pelaksanan Penelitian Lampiran 1. Susunan Perlakuan Saat Pelaksanan Penelitian Adapun susunan perlakuan saat pelaksanaan penelitian adalah sebagai berikut : R 1 U 1 R 2 U 2 R 3 U 5 R 4 U 4 R 1 U 3 R 2 U 1 R 3 U 4 R 4 U 2 R

Lebih terperinci

PENGARUH SUPEROVULASI PADA LAJU OVULASI, SEKRESI ESTRADIOL DAN PROGESTERON, SERTA PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN UTERUS DAN KELENJAR SUSU TIKUS PUTIH (Rattus Sp.) SELAMA SIKLUS ESTRUS TESIS OLEH : HERNAWATI

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Fisiologi Hewan Air Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, pada bulan Maret 2013 sampai dengan April 2013.

Lebih terperinci

PENGUJIAN EFEKTIVITAS DOSIS VAKSIN DNA DAN KORELASINYA TERHADAP PARAMETER HEMATOLOGI SECARA KUANTITATIF NUR AKBAR MASWAN SKRIPSI

PENGUJIAN EFEKTIVITAS DOSIS VAKSIN DNA DAN KORELASINYA TERHADAP PARAMETER HEMATOLOGI SECARA KUANTITATIF NUR AKBAR MASWAN SKRIPSI PENGUJIAN EFEKTIVITAS DOSIS VAKSIN DNA DAN KORELASINYA TERHADAP PARAMETER HEMATOLOGI SECARA KUANTITATIF NUR AKBAR MASWAN SKRIPSI PROGRAM STUDI TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN AKUAKULTUR FAKULTAS PERIKANAN DAN

Lebih terperinci