IX. DISAIN MODEL PENGEMBANGAN TANAMAN HORTIKULTURA BERBASIS AGROEKOLOGI PADA LAHAN BERLERENG DI HULU DAS JENEBERANG
|
|
- Devi Oesman
- 6 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 163 IX. DISAIN MODEL PENGEMBANGAN TANAMAN HORTIKULTURA BERBASIS AGROEKOLOGI PADA LAHAN BERLERENG DI HULU DAS JENEBERANG 9.1. Pendahuluan Komoditas hortikultura merupakan salah satu sumber akselerasi pertumbuhan sektor pertanian karena sifat permintaannya yang elastis terhadap pendapatan. Seiring dengan laju pertambahan jumlah penduduk, yang dibarengi dengan peningkatan pendapatan, dan berkembangnya pusat kota-industri-wisata, serta liberalisasi perdagangan merupakan faktor potensial bagi peningkatan permintaan produk hortikultura. Namun demikian potensi pasar tersebut belum mampu dimanfaatkan para pelaku agribisnis hortikultura secara optimal. Potensi ketersediaan sumberdaya lahan untuk komoditas hortikultura masih memungkinkan dikembangkan pada skala yang lebih luas. Potensi lahan untuk pengembangan komoditas hortikultura di hulu DAS Jeneberang mencakup lahan ladang 7,20 km 2, lahan kebun 32,21km 2, lahan tegalan 30,52 km 2, lahan yang sementara tidak diusahakan (bera) seluas 17,91 km 2 (Said, 2001). Potensi produksi yang besar ini juga belum mampu dikelola secara optimal, karena petani menghadapi kendala dalam pemasaran, yang terkait dengan ketidakpastian pasar dan rendahnya harga pada musim panen. Sifat komoditas hortikultura yang mudah rusak, dan mengalami susut yang besar merupakan permasalahan yang dialami petani dan juga pedagang, dimana dapat menimbulkan resiko fisik dan harga bagi pelaku agribisnis hortikultura. Kualitas produk hortikultura yang rendah berkaitan erat dengan sistem produksi, sistem panen, penanganan pasca panen, sistem distribusi dan pemasaran. Konsekuensinya, agar dapat memenuhi permintaan pasar dan preferensi konsumen, maka masalah efisiensi, produktivitas, dan kualitas harus mendapatkan perhatian khusus. Hulu DAS Jeneberang di Kabupaten Gowa merupakan salah satu sentra penghasil tanaman hortikultura yang cukup berpotensi di Sulawesi Selatan, namun produktivitasnya baik kualitas maupun kuantitas masih relatif rendah dibandingkan dengan daerah lain. Produktivitas kentang di Sulawesi Selatan tahun 2009 adalah 8,24 ton/ha, kubis 16,79 ton/ha, wortel 8,68 ton/ha, dan bawang daun 5,70 ton/ha sedangkan produktivitas kentang di Jawa Barat mencapai 20,89 ton/ha
2 164 dan bawang daun 13,84 ton/ha, kubis di Sumatera Barat mencapai 31,39 ton/ha, wortel di Sumatera Utara mencapai 21,20 ton/ha (BPS, 2010). Permasalahan hasil hortikultura di Sulawesi Selatan adalah hasilnya rendah, kontinuitasnya tidak terjamin, pada waktu tertentu hasilnya berlimpah dan pada saat dibutuhkan hasil rendah. Disamping itu teknologi dan inovasi baru hasil penelitian para peneliti belum menyentuh kebutuhan petani dan pemasaran hasil masih dikuasai oleh tengkulak dan padagang pengumpul dan pedang besar yang tidak memihak pada petani sehingga keuntungan yang diperoleh kecil dan kehidupan petani menjadi termarginalkan. Produksi tanaman hortikultura mengalami fluktuasi yang sangat besar. Beberapa kasus yang dialami petani di lapangan, dimana petani memberikan pupuk tidak berdasarkan anjuran dan rekomendasi, sehingga mereka cenderung memupuk dalam jumlah tinggi dan tidak berdasarkan pada analisis tanah setempat, sehingga pemberian pupuk tidak efektif dan efisien. Hal ini mengakibatkan terjadinya penurunan hasil tanaman hortikultura (Effendi, 2002). Menurut Ditjen Hortikultura (2004) dalam Rencana Strategis Pengembangan Hortikultura Indonesia, ciri-ciri sistem produksi hortikultura pada sebagian besar petani kecil Indonesia adalah: (1) skala usaha kecil, bersifat sampingan, belum merupakan usaha komersial atau agribisnis; (2) pola tanam campuran, varietas yang ditanam belum seragam; (3) pengelolaan tanaman belum menerapkan teknologi maju, masih tradisional, mengakibatkan produksi dan mutu hasil belum optimal, atau rendah; (4) pemanenan dan penanganan pasca panen belum optimal; (5) lokasi produksi pada umumnya tidak merupakan hamparan luas, sering terpencil dengan sarana transportasi minimal, atau berada pada wilayah non optimal; (6) cara pemasaran hasil secara ijon atau tebasan masih sering diterapkan. Hulu DAS Jeneberang memiliki potensi besar di satu pihak, tetapi di pihak lain juga menghadapi kendala dalam pengembangan usaha hortikultura, yang dapat digolongkan menjadi kendala substansi dan kendala organisasi/kelembagaan. Kendala substansi terdiri dari: (1) relatif sempitnya pemilikan atau penguasaan lahan untuk usaha hortikultura; (2) terbatasnya diversifikasi produk-produk agribisnis dan agroindustri hortikultura, sehingga kurang mampu memenuhi pasar; (3) kualitas beberapa produk hortikultura masih
3 165 belum mampu menyesuaikan dengan tuntutan pasar; (4) kelangkaan kualitas sumberdaya manusia yang mempunyai kemampuan memadai dalam menajamen agribisnis, teknologi pengolahan serta pengetahuan manajemen mutu; (5) belum maksimalnya dukungan pihak perbankan terhadap pengembangan agribisnis hortikultura, baik dari aspek permodalan maupun suku bunga; (6) kurangnya kegiatan dan pengetahuan untuk menyiasati pasar (market intelligence); (7) kurangnya dukungan pemerintah untuk merangsang dan mempermudah akses pasar Metode Penelitian Sumber dan Teknik Pengambilan Data Jenis data yang diperlukan dalam menyusun model pengembangan tanaman hortikultura berbasis agroekologi pada lahan berlereng berupa data primer dan data sekunder yang diperoleh dari responden, pakar dan instansi yang terkait dengan topik penelitian. Data primer dan sekunder yang diperlukan yaitu variabel-variabel penting yang berpengaruh dalam pengembangan tanaman hortikultura pada lahan berlereng. Pemilihan responden untuk diwawancarai dilakukan dengan menggunakan metode Stratified Random Sampling. Responden (stakeholders) dikelompokkan berdasarkan mata pencaharian dan kontribusinya terhadap kegiatan pertanian hortikultura. Pembagian kelompok stakeholders meliputi petani, pedagang hasil pertanian, pedagang saprodi, tokoh masyarakat, penyuluh pertanian, dan aparat desa dan kecamatan, masyarakat konsumen, lembaga swadaya masyarakat dan lembaga penyedia modal. Jumlah responden ditetapkan secara proporsional terhadap jumlah populasi dalam kelompok. Pengumpulan data sosial, ekonomi dan kelembagaan selain wawancara kuesioner juga dilakukan wawancara secara mendalam (in depth interview) dengan pakar yang telah berpengalaman dalam pengembangan pertanian hortikultura. Wawancara secara mendalam dimaksudkan untuk menggali informasi dari stakeholder dan para pakar sekaligus mendapatkan kesepakatankesepakatan bersama dalam merumuskan model pengembangan tanaman
4 166 hortikultura berbasis agroekologi agar sumberdaya alam pada lahan berlereng di hulu DAS Jeneberang dapat dikelola secara terpadu dan berkelanjutan. Jumlah responden pakar pada in depth interview sebanyak 10 orang yang dipilih menggunakan metode simple random sampling, terdiri dari pakar agroklimat, pengelolaan lahan berlereng, agribisnis pertanian, sosiologi kemasyarakatan dan perencanaan kebijakan. Data sosial dan ekonomi yang dikumpulkan meliputi : umur, pendidikan, pemilikan lahan, jumlah keluarga, jumlah usia produktif, curahan tenaga kerja, upah tenaga kerja, penggunaan sarana produksi, peralatan pertanian, biaya hidup, produktivitas, harga sarana produksi, harga hasil komoditas, pendapatan usahatani, buruh tani, pendapatan non-usahatani, jumlah penduduk, luas lahan usahatani, mata pencaharian, fasilitas penunjang usahatani, fasilitas umum, mobilitas penduduk, ketersediaan teknologi, sumber penyedia teknologi, cara memperoleh teknologi, pelayanan penyuluhan, pelayanan swadaya dalam penyuluhan teknologi ramah lingkungan. Sedangkan data kelembagaan meliputi : sumber penyediaan sarana produksi, jenis sarana produksi yang dibutuhkan, jumlah sarana produksi yang dibutuhkan, sumber penyedia modal usahatani, besarnya modal yang dibutuhkan, bunga bank, pemasaran hasil, sistem penjualan, penanganan hasil usahatani Metode Analisis Data Penelitian ini merupakan penelitian yang berorientasi tujuan (goal oriented), sehingga menggunakan pendekatan sistem yaitu menggunakan pemodelan. Pendekatan sistem digunakan untuk menganalisis suatu kumpulan subsistem dari pertanian tanaman hortikultura dan setiap subsistem terdiri dari beberapa komponen yang saling berinteraksi dan berhubungan untuk membangun sebuah sistem pertanian tanaman hortikultura berbasis agroekologi. Beberapa tahapan yang dilakukan dalam analisis sistem adalah analisis kebutuhan, identifikasi sistem, formulasi masalah, dan pemodelan pengembangan tanaman hortikultura berbasis agroekologi.
5 167 Analisis Kebutuhan Tahap analisis kebutuhan yaitu menentukan komponen-komponen yang berpengaruh dan berperan dalam sistem pertanian tanaman hortikultura berbasis agroekologi. Kebutuhan setiap komponen atau pelaku berbeda sesuai dengan tujuan dan tingkat kepentingan masing-masing, saling berinteraksi satu sama lain dan berpengaruh terhadap sistem pertanian tersebut. Analisis kebutuhan dari sistem pengembangan tanaman hortikultura berbasis agroekologi di lahan berlereng tertera dalam Tabel 30. Formulasi Masalah Formulasi masalah disusun berdasarkan adanya keterbatasan sumberdaya yang dimiliki atau adanya perbedaan kepentingan diantara stakeholders untuk mencapai tujuan dari sistem tersebut. Berdasarkan hasil analisis kebutuhan, maka terdapat beberapa kebutuhan yang kontradiktif antar stakeholders yaitu : - Kebutuhan petani hanya berorientasi pada peningkatan produksi dan pendapatan, sedangkan Pemerintah dan masyarakat disekitarnya selain dapat meningkatkan produksi dan pendapatan juga dapat mencegah atau meminimalkan terjadinya degradasi lahan dan sedimentasi, sehingga pemanfaatan sumberdaya lahan lestari dan berkelanjutan. - Petani membutuhkan penyuluhan yang intensif untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya, sementara jumlah dan pendidikan penyuluh belum memadai untuk memenuhi kebutuhan petani. - Petani membutuhkan teknologi usahatani yang mudah diterapkan dengan biaya rendah, sedangkan Pemerintah dan penyuluh menginginkan petani cepat mengadopsi teknologi usahatani yang sesuai dengan kondisi lapang meskipun memerlukan biaya yang tinggi. - Petani menginginkan harga sarana produksi rendah, sedangkan lembaga penyedia saprodi menginginkan harga tinggi. - Petani menginginkan harga produksi usahatani tinggi dan stabil, sedangkan lembaga pemasaran menginginkan harga rendah. Perbedaan kebutuhan yang kontradiktif tersebut perlu dicarikan solusi agar tujuan dari rancangan model pengembangan tanaman hortikultura yang dapat
6 168 melestarikan kualitas sumberdaya lahan dan lingkungan serta pendapatan petani tercapai. Hal ini dapat dilakukan antara lain dengan teknologi usahatani berbasis agroekologi sehingga membangkitkan motivasi petani menjaga dan melestarikan sumberdaya lahan dan terbangunnya lembaga pendukung usahatani berkelanjutan yang mampu menyediakan informasi teknologi, penyediaan saprodi, permodalan dan pemasaran hasil usahatani. Tabel 30. Kebutuhan stakeholders sistem pertanian hortikultura berbasis agroekologi di hulu DAS Jeneberang No. Stakeholders Kebutuhan 1. Petani - Peningkatan produktivitas dan pendapatan - Sarana produksi tersedia dengan harga murah - Modal usahatani mudah diperoleh dan bunga rendah - Ada pasar untuk penjualan hasil usahatani - Harga produk usahatani tinggi dan stabil - Penyuluhan yang intensif - Teknologi usahatani 2. Lembaga - Kualitas produksi baik Pemasaran - Kontuinitas produksi usahatani - Harga beli produksi usahatani rendah - Harga jual ke konsumen tinggi 3. Konsumen - Harga produk pertanian murah - Mudah diperoleh dan kontuinitas - Kualitas produksi baik 4. Petugas Penyuluh - Diseminasi informasi teknologi - Target produksi tinggi dan kualitas baik - Usahatani berkelanjutan 5. Lembaga Penyedia - Peningkatan produksi dan pendapatan Modal - Pengembalian pinjaman lancar 6. Lembaga penyedia - Peningkatan produksi dan pendapatan saprodi - Daya beli saprodi oleh petani tinggi - Harga jual saprodi tinggi 7. Masyarakat - Kualitas lingkungan terjaga - Terciptanya peluang kerja dan usaha - Kesejahteraan meningkat 8. Pemerintah - Kualitas lingkungan terjaga - Target program daerah tercapai - Kepentingan pencapaian program pangan nasional - PAD meningkat
7 169 Identifikasi Sistem Identifikasi sistem merupakan suatu rantai hubungan antara pernyataan dari kebutuhan-kebutuhan dengan pernyataan khusus dari masalah yang harus diselesaikan untuk mencukupi kebutuhan tersebut. Hubungan tersebut digambarkan dalam bentuk diagram lingkar sebab akibat (causal loop) seperti pada Gambar Laju erosi & sedimentasi Tindakan konservasi Tingkat kesuburan tanah - Pemilihan komoditas yang sesuai - Produktivitas Harga produksi Kesesuaian Lahan Pola tanam + Kelembagaan Pendapatan + Penyuluhan + + Sistem penanaman + + Saprodi Modal usahatani + + Gambar 33. Diagram lingkar sebab akibat (causal loop) model pengembangan tanaman hortikultura berbasis agroekologi. Selanjutnya diagram lingkar sebab akibat tersebut diinterpretasi ke dalam diagram input-output seperti tertera dalam Gambar 34. Rancangan Model Pengembangan Tanaman Hortikultura Berbasis Agroekologi di Hulu DAS Jeneberang Berdasarkan analisis kebutuhan, formulasi masalah, dan identifikasi sistem maka rancangan model pengembangan tanaman hortikultura berbasis agroekologi dibangun melalui 3 submodel, yaitu : a. Submodel produksi tanaman hortikultura; komponennya adalah jenis komoditas unggulan, pola tanam, sistem penanaman, pemupukan, pestisida dan amelioran.
8 170 b. Submodel pengendalian erosi; komponennya adalah iklim, jenis tanah, panjang dan kemiringan lereng, faktor tanaman, pengelolaan lahan, dan tindakan konservasi. c. Submodel kelembagaan dan penyuluhan; komponennya adalah kelembagaan petani, jumlah penyuluhan, dan intensitas penyuluhan. Input tak terkendali : - Agroklimat - Produktivitas - Harga Saprodi - Harga Komoditas - Tingkat Suku Bunga Input Lingkungan : - Peraturan Pemerintah - Kondisi Sosial Ekonomi Output dikehendaki : - Sumberdaya lahan dan lingkungan lestari secara berkelanjutan - Meningkatkan produktivitas lahan - Meningkatkan Pendapatan Petani Input terkendali : - Jenis Komoditas - Pola Tanam - Sistem Penanaman - Tindakan Konservasi - Kesuburan Tanah - Modal Usahatani - Saprodi - Informasi Teknologi Model Pengembangan Tanaman Hortikultura Berbasis Agroekologi Pengelolaan lahan, tanaman, dan kelembagaan pertanian Output tidak dikehendaki : - Laju erosi dan sedimentasi meningkat - Degradasi lahan dan lingkungan meningkat - Produktivitas menurun - Pendapatan menurun Gambar 34. Diagram input-output model pengembangan tanaman hortikultura. Analisis Untuk Menyusun Alternatif Rancangan Model Pengembangan Tanaman Hortikultura Berbasis Agroekologi pada Lahan Berlereng Analisis data yang digunakan untuk menyusun alternatif rancangan model pengembangan tanaman hortikultura berbasis agroekologi secara rinci tersaji dalam Tabel 31. Perumusan rancangan alternatif atau skenario model pengembangan tanaman hortikultuta berbasis agroekologi yang dibangun dari tiga
9 171 submodel yaitu submodel produksi tanaman hortikultura, submodel pengendalian erosi, dan submodel kelembagaan dan penyuluhan akan menggunakan analisis program Stella versi Tabel 31. Metode analisis data yang digunakan dalam menyusun alternatif rancangan model pengembangan tanaman hortikultura berbasis agroekologi pada lahan berlereng. No. Jenis Kegiatan Metode Analisis Data 1. Pemilihan komoditas yang sesuai Metode Perbandingan Eksponensial (MPE) 2. Penyusunan pola tanam Metode data curah hujan tahunan 3. Penyusunan sistem penanaman Metode Bayes dan Metode Composite Performance Index (CPI) 4. Pemilihan tindakan konservasi Metode Perbandingan Eksponensial (MPE) 5. Pemilihan jenis pupuk, pestisida dan amelioran Metode Bayes 6. Analisis kelayakan finansial RC ratio, BC ratio, NVP, IRR 7. Penyuluhan dan partisipatori Participatory Rural Appraisal (PRA) 9.3. Hasil dan Pembahasan Tahapan Rancangan Model Pengembangan Tanaman Hortikultura Buah-Buahan, Zona Agroekologi pada Elevasi < 700 m dpl Rancangan model pengembangan tanaman hortikultura buah-buahan berbasis agroekologi di hulu DAS Jeneberang dirumuskan berdasarkan hasil analisis parsial setiap komponen yang berpengaruh pada masing-masing submodel. a. Submodel Produksi Hortikultura Buah-Buahan Pemilihan Jenis Komoditas Buah-Buahan yang Sesuai Jenis tanaman hortikultura buah-buahan yang dikembangkan di hulu DAS Jeneberang yaitu rambutan, mangga, durian, pisang, jeruk, nangka, dan cempedak. Jenis tanaman yang dipilih untuk menyusun alternatif model usahatani hortikultura buah-buahan sebanyak 4 tanaman yaitu rambutan, mangga, durian,
10 172 dan pisang. Keempat komoditas tersebut merupakan komoditas unggulan di dataran rendah hulu DAS Jeneberang (ketinggian < 700 m dpl) sesuai dengan hasil analisis Location Quotient (LQ) dengan nilai LQ > 1 (Tabel 12). Hasil perhitungan matriks keputusan dengan metode MPE (Tabel 32) diperoleh bahwa jenis tanaman rambutan menduduki peringkat pertama, diikuti tanaman mangga, durian, dan terakhir tanaman pisang. Tanaman rambutan yang ditanam oleh petani sudah mengintroduksi teknik budidaya yang benar tapi belum seluruhnya. Masih banyak petani yang menanam seadanya tanpa adanya pemeliharaan yang intensif. Selain itu, masih banyak petani menanam bibit rambutan yang dibibitkan sendiri tanpa mengetahui sumber benihnya. Tabel 32. Matriks keputusan setiap alternatif komoditas hortikultura buah-buahan berdasarkan hasil perhitungan Metode Perbandingan Eksponensial (MPE) Alternatif Komoditas Kriteria A B C D E Nilai Keputusan Peringkat Rambutan Mangga Pisang Durian Bobot Kriteria Keterangan : A = Kemampuan menahan erosi B = Kesesuaian dengan iklim C = Pemeliharaan D = Produktivitas E = Pendapatan petani Sistem Penanaman Tanaman Buah-Buahan Sistem penanaman tanaman buah-buahan di hulu DAS Jeneberang yang diterapkan oleh petani yaitu monokultur, tumpangsari, dan kebun campuran. Hasil analisis CPI pada Tabel 33 menunjukkan bahwa sistem penanaman yang diterapkan dan menduduki peringkat satu adalah sistem kebun campuran, kedua adalah tumpangsari, dan ketiga adalah monokultur. Sistem penanaman kebun campuran merupakan penanaman tanaman lebih dari satu jenis pada lahan dan waktu yang bersamaan. Pada sistem kebun campuran dapat mengurangi resiko
11 173 gagal panen untuk komoditas yang ditanam, mengurangi penyebaran serangan hama dan penyakit, dan penutupan lahan (cover crop) lebih rapat karena tajuk atau morfologi tanaman lebih rapat. Tabel 33. Matriks keputusan setiap alternatif sistem penanaman komoditas hortikultura buah-buahan berdasarkan hasil perhitungan Metode Composite Performance Index (CPI) Alternatif Sistem Penanaman Kriteria A B C D E F Nilai Keputusan Peringkat Monokultur Tumpangsari Kebun campuran Bobot Kriteria 0,3 0,1 0,1 0,1 0,2 0,2 Keterangan : A = Kemampuan menahan erosi B = Pengolahan tanah C = Serangan hama dan penyakit D = Penggunaan pupuk dan amelioran E = Produktivitas F = Pendapatan petani b. Submodel Pengendalian Erosi Tindakan konservasi yang dapat dilakukan pada pertanaman buah-buahan adalah pembuatan teras bangku, teras individu, teras bangku dengan saluran drainase, dan tanpa teras dengan penanaman sistem alley cropping (Tabel 34). Teras yang dibuat dapat berupa teras alami atau teras bangku. Teras bangku dapat disangga dengan batuan disamping teras sehingga massa tanah relatif lebih stabil. Teras individu dibuat untuk lebih efisien dalam penggunaan tenaga kerja, dengan demikian meminimalkan pengeluaran biaya. Penanaman sistem alley cropping dilakukan dengan menanam tanaman buah-buahan sebagai tanaman pagar dan tanaman semusim ditanaman diantara tanaman pagar. c. Submodel Kelembagaan dan Penyuluhan Kelompok tani yang dibentuk oleh petani buah-buahan di hulu DAS Jeneberang belum dimanfaatkan secara maksimal. Aktivitas kelompok hanya sebatas pertemuan jika ada tamu dari pihak Pemerintah atau ada program bantuan
12 174 dari Pemerintah, karena selalu dipersyaratkan melalui kelompok. Kegiatan pertemuan rutin membahas permasalahan usahatani, penyuluhan, atau aktivitas lain yang menyangkut kemajuan anggota kelompok dalam kegiatan usahatani, seperti penggunaan benih atau bibit unggul, pemeliharaan tanaman, dan teknologi konservasi tanah belum dilaksanakan. Tabel 34. Matriks keputusan setiap alternatif tindakan konservasi pertanaman hortikultura buah-buahan berdasarkan hasil perhitungan Metode Composite Performance Index (CPI) Alternatif Tindakan Konservasi Kriteria A B C D Nilai Keputusan Peringkat Teras bangku ,16 4 Teras individu ,16 2 Teras bangku, dengan saluran drainase ,70 1 Tanpa teras, penanaman sistem alley cropping ,16 3 Bobot kriteria 0,2 0,2 0,3 0,3 Keterangan : A = Pengurangan luas lahan B = Biaya konstruksi C = kemampuan menahan aliran permukaan D = kemampuan menahan erosi Pihak penyedia informasi teknologi yang ada di hulu DAS Jeneberang berasal dari sesama petani yang lebih maju dan inovatif, media cetak, dan elektronik serta petugas penyuluh pertanian lapang (PPL) setempat. Hubungan PPL dengan petani cukup baik, namun masih didominasi pada penyuluhan tanaman semusim/tanaman pangan sedangkan untuk tanaman buah-buahan masih kurang. Kurangnya penyuluhan yang dilakukan oleh PPL kepada petani tentang budidaya buah-buahan disebabkan karena curahan waktu dan perhatian petani masih didominasi pada tanaman semusim atau tanaman pangan. Kelembagaan pertanian yang terdapat pada lokasi penelitian dengan ketinggian < 700 m dpl yaitu koperasi, kelompok tani, gapoktan, lembaga penyedia saprodi. Keberadaan kelembagaan tersebut sangat diperlukan oleh petani di hulu DAS Jeneberang. Petani akan mengalami kesulitan apabila kelembagaan ini tidak ada. Hal ini menunjukkan bahwa kelembagaan pertanian sangat berperan terhadap usahatani buah-buahab di lahan dataran tinggi hulu DAS Jeneberang.
13 175 Kondisi Sosial Ekonomi Petani Hortikultura Buah-Buahan di Hulu DAS Jeneberang Penelitian terhadap kondisi sosial ekonomi petani buah-buahan di hulu DAS Jeneberang dilakukan dengan maksud sebagai acuan dalam penarikan petani contoh dan sebagai dasar dalam memperhitungkan tingkat keuntungan usahatani hortikultura buah-buahan. Penentuan petani contoh di daerah penelitian dilakukan berdasarkan latar belakang petani, keadaan lahan garapan petani, pola tanam yang diterapkan petani. Sedangkan perhitungan tingkat keuntungan ekonomi dilakukan dengan analisis usahatani berdasarkan biaya dan pendapatan. Data latar belakang petani diperoleh dari Kecamatan Parangloe dalam angka dan informasi dari aparat kelurahan, penyuluh pertanian, serta dari kelompok tani setempat. Latar belakang petani yang dianggap berpengaruh adalah tingkat pendidikan petani, jumlah anggota keluarga, tenaga kerja keluarga (> 15 tahun), luas lahan garapan, dan status lahan. Data karakteristik petani dari lokasi penelitian disajikan pada Tabel 35. Data pada Tabel 35 di dasarkan pada daerah asal petani. Tabel 35. Rata-rata latar belakang petani penggarap pada usahatani hortikultura buah-buahan Latar Belakang Petani Umur Petani (tahun) Lonjoboko Daerah Asal Petani Bontoparang Lanna Belapunranga 48,80 52,40 46,50 48,40 Pendidikan SMA SD SMA SMP Anggota Keluarga (orang) TK Tersedia (orang) Luas lahan garapan (ha) Status lahan 5,00 4,90 5,10 5,20 1,70 1,90 1,60 1,60 0,90 0,96 0,85 1,45 Pemilik Penggarap Pemilik Penggarap Pemilik Penggarap Pemilik Penggarap Data pada Tabel 35 menunjukkan bahwa latar belakang petani hortikultura buah-buahan di hulu DAS Jeneberang cukup bervariasi yaitu dari SD sampai SMA. Petani yang berpendidikan rendah relatif lebih sedikit dan lebih
14 176 didominasi petani dengan tingkat pendidikan sedang yaitu SMA, keadaan ini cukup baik karena pendidikan berpengaruh terhadap pola fikir seseorang. Latar belakang pendidikan sangat besar pengaruhnya terhadap kemampuan petani mengadopsi suatu teknologi yang mungkin berbeda dengan teknologi yang selama ini mereka terapkan. Pada kondisi seperti ini, intensitas penyuluhan pertanian perlu ditingkatkan terutama dalam memasyarakatkan berbagai teknologi dan sistem pertanian yang baru dan ramah lingkungan. Petani di lokasi ini mempunyai pekerjaan lebih dari satu, disamping menanam tanaman buah-buahan, juga berusahatani tanaman pangan, atau pekerjaan lainnya. Jumlah anggota dan tenaga kerja yang tersedia dalam keluarga petani mempunyai perbandingan yang cukup menguntungkan. Dari rata-rata lima orang anggota keluarga, satu atau dua orang diantaranya dapat dimanfaatkan sebagai sumber tenaga kerja dalam berusahatani, sehingga biaya usahataninya dapat ditekan. Luas penguasaan lahan setiap petani rata-rata 1 ha. Keseragaman penguasaan lahan setiap petani disebabkan lahan yang tersedia sangat terbatas. Kepemilikan lahan di hulu DAS Jeneberang dikelompokan menjadi tiga, yaitu petani yang memiliki lahan < 0,5 ha, petani yang memiliki lahan antara 0,5 sampai 1,0 ha, dan petani yang memiliki lahan > 1,0 ha. Hasil wawancara dengan beberapa petani menunjukkan bahwa semakin sempitnya luas lahan yang dimiliki petani antara lain disebabkan karena produktivitas lahan menurun sehingga hasil panen dari lahan tidak mencukupi kebutuhan keluarga menyebabkan petani menjual lahannya untuk digunakan sebaga modal usaha, dan bertambahnya jumlah keluarga (harta warisan). Umur petani rata-rata 48 tahun (yang berkisar antara tahun). Hal ini menunjukkan bahwa sektor pertanian hortikultura buah-buahan kurang diminati oleh generasi muda. Umur petani besar peranannya dalam suatu usahatani, terutama berkaitan dengan produktivitas kerja. Petani yang berusia muda umumnya sangat produktif, sebab kemampuan fisik dan daya fikirnya mencapai kondisi maksimal dibanding petani yang sudah tua. Selain itu petani yang masih muda keinginannya melakukan perubahan yang dianjurkan lebih
15 177 tinggi, dan lebih berani mengambil resiko serta perubahan-perubahan mendasar dalam pengembangan usahataninya. Tingkat Keuntungan Ekonomi Usahatani Hortikultura Buah-Buahan di Hulu DAS Jeneberang Hasil analisis usahatani tanaman hortikultura buah-buahan menunjukkan bahwa usahatani buah-buahan di hulu DAS Jeneberang rata-rata menguntungkan (Tabel 36). Keuntungan terbesar diperoleh pada usahatani komoditas rambutan, pada lahan seluas 1 ha mencapai Rp dan keuntungan terendah dari empat komoditas unggulan yaitu pisang sebesar Rp per 5 tahun. Tabel 36. Analisis usahatani beberapa komoditas hortikultura buah-buahan di Hulu DAS Jeneberang per hektar Input/Output Komoditas Rambutan Mangga Durian Pisang A. Input 1. Pupuk Rp a. Urea b. SP-36 c. KCl d. P.Kandang Bibit Pestisida Tenaga Kerja Pajak Peralatan Total Input B. Output 1. Produksi (kg) 2. Harga/satuan (Rp) 3. Penerimaan (Rp) Keuntungan (Rp) C. RC Ratio 2,47 1,45 1,46 0,49 Hal ini juga dapat dilihat dari nilai RC ratio-nya berkisar antara 0,49 2,47. Nilai RC ratio komoditas rambutan adalah 2,47 artinya keuntungan komoditas rambutan yang paling tinggi diantara komoditas lainnya. Hasil analisis kelayakan menunjukkan bahwa nilai R/C-ratio pada komoditas rambutan yang diperoleh sebesar 2,47 artinya secara ekonomi usahatani rambutan di hulu DAS Jeneberang layak untuk dikembangkan. Nilai R/C-ratio sebesar 2,47
16 178 menunjukkan bahwa setiap pengeluaran biaya produksi pada usahatani rambutan sebesar Rp 1, akan memperoleh penerimaan sebesar Rp. 2,47. Demikian pula dengan komoditas buah-buahan lainnya, dengan nilai R/C ratio masing-masing 1,45 untuk komoditas mangga, 1,46 untuk komoditas durian, dan 0,49 untuk komoditas pisang Model Pengembangan Tanaman Hortikultura Buah-Buahan (Zona Agroekologi pada Elevasi < 700 m dpl) di Hulu DAS Jeneberang Model pengembangan tanaman hortikultura buah-buahan di hulu DAS Jeneberang dibangun melalui logika hubungan antara komponen-komponen yang saling terkait dan berinteraksi. Model pengembangan tanaman hortikultura buahbuahan berbasis agroekologi di hulu DAS Jeneberang dibangun melalui 3 submodel. Gambaran keterkaitan antar komponen-komponen dalam submodel, dan keterkaitan antara komponen antar submodel disajikan pada Gambar 35. Simulasi model dilakukan untuk menentukan besar erosi yang terjadi, produktivitas hortikultura buah-buahan, dan nilai rupiah dari penjualan komoditas buah-buahan. Hasil simulasi model pengembangan tanaman hortikultura buahbuahan disajikan pada Gambar 36. Sub Model Pengendalian Erosi Erosi Total e Input Output E Sub Model Produksi Holtikultura RC Rasio KLAS EROSI Amelioran Pupuk Pemupukan Pestisida Pola Tanam Sistem Tanam Pola & sistem Tanam ~ R K LS C P Konservasi G Harga Per Komoditi 2Skor Pemupukan Skor Pola & Sistem Tanam Sub Model Kelembagaan dan Penyuluhan Tanaman Nilai Rupiah Produktifitas 2 Produktifitas Produksi Skor Kelembagaan Total Nilai Rupiah dibawah 700 Luas Per Komoditi Produksi Total Kelembagaan & Penyuluhan Total Nilai Rupiah diatas 700 Produksi diatas 700 Masuk Keluar Kelompok Tani Koperasi Penyuluhan Jumlah Penyuluh Luas Total Gambar 35. Struktur model dinamik pengembangan tanaman hortikultura buahbuahan berbasis agroekologi di hulu DAS Jeneberang.
17 179 1: Total erosi dibawah 700 m dpl 2: Total pendapatan petani buah buahan 3: Produksi komoditas buah buahan 1: 2: 3: e : 2: 3: e : 2: 3: Page e Years 11:19 22 Nop 2011 Gambar 36. Simulasi total erosi yang terjadi, produksi tanaman buah-buahan, dan total pendapatan usahatani buah-buahan. Simulasi Skenario Model Untuk Komoditas Rambutan Skenario model untuk komoditas rambutan disusun berdasarkan komponen-komponen yang berperanan penting pada masing-masing submodel. Komponen-komponen yang diskenariokan adalah jenis pupuk, amelioran, pestisida, sistem penanaman, usaha konservasi, intensitas penyuluhan, jumlah penyuluh, jumlah koperasi, dan jumlah kelompok tani. Kombinasi antara komponen-komponen ini menghasilkan tiga skenario pengembangan tanaman hortikultura berbasis agroekologi, yaitu: (1) skenario pesimis: penggunaan pupuk anorganik, tidak menggunakan amelioran, pestisida sintesis, sistem penanaman monokultur, dan tanpa teras, penanaman sistem alley cropping, jumlah penyuluh 3 orang, intensitas penyuluhan satu kali 6 bulan, tidak ada koperasi, jumlah kelompok tani 10. (2) skenario moderat: penggunaan pupuk organik dan anorganik, penggunaan amelioran, sistem penanaman monokultur, dan pembuatan teras bangku, jumlah penyuluh 5 orang, intensitas penyuluhan satu kali sebulan, jumlah koperasi dua unit, jumlah kelompok tani 20.
18 180 (3) skenario optimis: penggunaan pupuk organik dan anorganik, penggunaan amelioran, sistem penanaman tumpang sari, dan pembuatan teras bangku dengan saluran drainase, jumlah penyuluh 7 orang, intensitas penyuluhan satu kali sebulan, jumlah koperasi dua unit, jumlah kelompok tani 30. Oleh karena komoditas rambutan merupakan komoditas unggulan dengan nilai LQ paling tinggi, maka komoditas ini yang dipilih mewakili buah-buahan dalam analisis simulasi skenario model pengembangannya. Hasil simulasi model pengembangan tanaman rambutan untuk setiap skenario menunjukkan bahwa skenario pesimis memberikan besar erosi relatif hampir sama dengan kondisi eksisting dan lebih besar dibandingkan skenario moderat dan optimis (Gambar 37). Pada tahun 2010, erosi yang terjadi pada skenario pesimis yaitu 8,26 ton/ha/tahun, lebih besar dari kondisi eksisting yaitu 8,25 ton/ha/tahun, skenario moderat sebesar 7,49 ton/ha/tahun, dan skenario optimis sebesar 5,73 ton/ha/tahun. Pada tahun 2020, erosi yang terjadi pada semua skenario mengalami penurunan, skenario pesimis yang tertinggi yaitu 3,70 ton/ha/tahun, kondisi eksisting sebesar 3,69 ton/ha/tahun, skenario moderat sebesar 3,35 ton/ha/tahun, dan skenario optimis sebesar 2,56 ton/ha/tahun. Erosi (ton/ha/tahun) 9,00 8,00 7,00 6,00 5,00 4,00 3,00 2,00 1,00 0, Tahun Eksisiting Pesimis Moderat Optimis Gambar 37. Prediksi erosi yang terjadi pada pertanaman hortikultura buah-buahan hasil simulasi skenario sampai tahun 2020.
19 181 Produktivitas (kg/ha) 6240,0 6220,0 6200,0 6180,0 6160,0 6140,0 6120,0 6100,0 6080,0 6060, Eksisting Optimis Moderat Pesimis Gambar 38. Perkiraan produktivitas rambutan hasil simulasi skenario tahun 2010 sampai tahun Pendapatan (Rp/ha) Eksisting Optimis Moderat Pesimis Gambar 39. Perkiraan pendapatan petani rambutan hasil simulasi skenario dari tahun 2010 sampai tahun Hasil simulasi model untuk parameter produktivitas dan pendapatan petani rambutan untuk setiap skenario disajikan pada Gambar 38 dan Gambar 39. Untuk skenario pesimis pada tahun 2010, produktivitas rambutan sebesar 6.116,0 kg/ha dan pendapatan petani sebesar Rp , sama dengan kondisi eksisting dan dua skenario lainnya. Produksi rambutan tertinggi dicapai pada tahun 2020,
20 182 yaitu pada skenario optimis dan skenario moderat sebesar 6.222,3 kg/ha dengan pendapatan petani sebesar Rp , skenario pesimis sebesar 6.116,0 kg/ha dengan pendapatan petani sebesar Rp , dan kondisi eksisting sebesar 6.202,3 kg/ha dengan pendapatan petani sebesar Rp Artinya dengan penerapan model ini pada pertanaman rambutan khususnya skenario optimis dan moderat, maka dapat menurunkan degradasi lahan (erosi tanah) dan meningkatkan produktivitas lahan dan pendapatan petani rambutan Analisis Kelayakan Usahatani Rambutan sesuai dengan Model Pengembangannya Analisis kelayakan suatu usahatani dapat didekati dengan beberapa kriteria finansial seperti BC-ratio (Benefit Cost Ratio), NPV (Net Present Value), dan IRR (Internal Rate of Return). Hasil perhitungan BC-ratio, NPV, dan IRR pada usahatani komoditas rambutan untuk masing-masing scenario disajikan pada Tabel 37. Tabel 37. Nilai BC-ratio, NPV, dan IRR untuk usahatani rambutan dengan modal pinjaman bank dan tingkat diskonto atau nilai bunga bank 17% untuk masing-masing scenario dan kondisi eksisting Skenario B/C NPV IRR Pesimis 3, ,59 Moderat 3, ,64 Optimis 3, ,65 Eksisting 3, ,64 Hasil perhitungan pada Tabel 37 menunjukkan bahwa dari ketiga skenario dan kondisi eksisting usahatani rambutan dinyatakan layak untuk dilakukan (menguntungkan). Hal ini dapat dilihat dari nilai BC-ratio>1, NPV>0, dan IRR>17% untuk semua skenario dan kondisi eksisting. Namun demikian besaran nilainya berbeda antar skenario, skenario optimis mempunyai nilai bersih usahatani rambutan tertinggi yaitu Rp , dan skenario pesimis mempunyai nilai terendah yaitu Rp Adanya perbedaan ini disebabkan oleh adanya introduksi teknologi pada skenario optimis, yaitu pada
21 183 pemeliharaan tanaman (pemupukan, ameliorasi, pengendalian hama penyakit tanaman), penerapan konservasi tanah dan air, serta adanya penyuluhan yang intensif dari lembaga yang terkait Kelayakan Usahatani Hortikultura Rambutan Dinilai dari Pemenuhan Kebutuhan Hidup Minimum (KHM) dan Kebutuhan Hidup Layak (KHL) Penilaian kelayakan usahatani hortikultura khususnya komoditas rambutan tidak hanya cukup dihitung dari keuntungan yang diperoleh secara finansial, tetapi yang lebih penting adalah kelayakannya dalam mencukupi kebutuhan hidup petani dan keluarganya. Hasil analisis tingkat erosi, produksi, pendapatan petani, KHM, dan KHL pada masing-masing skenario disajikan pada Tabel 38. Tabel 38. Tingkat erosi, produksi, dan pendapatan petani rambutan dibandingkan dengan kebutuhan hidup minimum (KHM) dan kebutuhan hidup layak (KHL)* di Kecamatan Parangloe pada masing-masing skenario Skenario Erosi (ton/ha/tahun) Produksi (kg/ha/tahun) Pendapatan Petani (Rp/ha/tahun) Pesimis 8, , Moderat 7, , Optimis 5, , *) KHM = Rp /tahun ; KHL = Rp /tahun Hasil analisis pada Tabel 38 menunjukkan bahwa pendapatan petani untuk semua skenario (pesimis, moderat, dan optimis) lebih kecil dari nilai kebutuhan hidup layak (KHL), akan tetapi lebih besar dari kebutuhan hidup minimum (KHM) keluarga petani dengan rata-rata 5,05 anggota keluarga. Seorang petani dengan memiliki lahan seluas 1 ha, apabila diterapkan skenario moderat atau optimis maka produksi rambutan sekitar 6.222,3 kg/ha/tahun dengan pendapatannya sekitar Rp per tahun. Erosi yang terjadi pada skenario optimis lebih rendah (5,73 ton/ha/tahun) dari erosi yang terjadi pada skenario moderat (7,49 ton/ha/tahun) dan skenario pesimis (8,26 ton/ha/tahun). Erosi yang terjadi pada semua skenario lebih rendah dari pada erosi yang dapat ditoleransikan dan termasuk pada kelas tingkat bahaya erosi yang rendah.
22 Tahapan Rancangan Model Pengembangan Tanaman Hortikultura Sayuran, Zona Agroekologi pada Elevasi 700 m dpl Rancangan model pengembangan tanaman hortikultura sayuran berbasis agroekologi di hulu DAS Jeneberang dirumuskan berdasarkan hasil analisis parsial setiap komponen yang paling berpengaruh pada masing-masing submodel. a. Submodel Produksi Tanaman Hortikultura Sayuran Submodel produksi tanaman hortikultura sayuran komponen utamanya adalah jenis komoditas unggulan, pola tanam, sistem penanaman, pemupukan, serta tindakan konservasi. Pemilihan Jenis Komoditas Sayuran yang Sesuai Jenis tanaman hortikultura sayuran yang dikembangkan di hulu DAS Jeneberang yaitu kentang, bawang daun, kubis, sawi, wortel, tomat, buncis, strawberi dan labu siam. Jenis tanaman yang dipilih untuk menyusun alternatif model usahatani hortikultura sayuran sebanyak 5 tanaman yaitu kentang, kubis, sawi, bawang daun, dan wortel. Kelima komoditas tersebut merupakan komoditas unggulan di dataran tinggi hulu DAS Jeneberang (ketinggian > 700 m dpl) sesuai dengan hasil analisis LQ dengan nilai LQ>1 (Tabel 13). Tabel 39. Matriks keputusan setiap alternatif jenis komoditas hortikultura sayuran berdasarkan hasil perhitungan Metode Perbandingan Eksponensial (MPE) Alternatif Komoditas Kriteria A B C D E Nilai Keputusan Peringkat Kentang Kubis Bawang Daun Wortel Sawi Bobot Kriteria Keterangan : A = Kemampuan menahan erosi B = Kesesuaian lahan C = Pemeliharaan D = Produktivitas E = Pendapatan petani
23 185 Kriteria yang digunakan dalam menentukan alternatif jenis komoditas mencakup kemampuan menahan erosi, kesesuaian lahan, kemudahan dalam pemeliharaan, produktivitas tanaman, dan kontribusinya terhadap pendapatan petani (Tabel 39). Kemampuan menahan erosi suatu jenis tanaman sangat ditentukan oleh morfologi tanaman dan sistem perakarannya. Hal ini penting karena jenis tanah di hulu DAS Jeneberang mudah tererosi. Kesesuaian lahan untuk suatu jenis tanaman akan menentukan pertumbuhan dan produksinya. Kemudahan dalam pemeliharaan tanaman erat kaitannya dengan input yang dibutuhkan, semakin sulit tingkat pemeliharaannya maka semakin besar input yang dibutuhkan. Produktivitas tanaman sangat menentukan tingkat produksi, dan selanjutnya akan menentukan pendapatan petani. Hasil perhitungan matriks keputusan dengan metode MPE (Tabel 39) diperoleh bahwa jenis tanaman kentang menduduki peringkat pertama, diikuti tanaman kubis, tanaman sawi, tanaman bawang daun, dan terakhir tanaman wortel. Tanaman kentang yang ditanam pada guludan searah lereng tanpa strip rumput, erosi yang terjadi sebesar 16,3 ton/ha, tapi apabila ditanam pada guludan searah kontur dengan strip cropping mampu menahan erosi, dengan jumlah tanah yang tererosi hanya 9,9 ton/ha (Dariah dan Husen, 2006). Penyusunan Pola Tanam Penyusunan pola tanaman khususnya hortikultura sayuran sangat ditentukan oleh penyebaran curah hujan setiap tahunnya. Pola tanam yang diterapkan oleh petani hortikultura sayuran dan persentasenya pada lokasi penelitian disajikan pada Tabel 40, sedangkan hubungan pola tanam dengan curah hujan di hulu DAS Jeneberang disajikan pada Gambar 40. Ada empat kategori pola tanam sayuran yang diterapkan petani di hulu DAS Jeneberang yaitu pola tanam tumpang gilir terdiri dari tiga tipe (kentang-kubis-tomat, wortel-kubiskentang dan kentang-kubis-kentang) dan pola tanam tumpangsari (tumpangsari bawang daun dengan kubis/tomat/sawi). Penanaman sayuran dimulai akhir bulan Februari (musim tanam I) dan panen terakhir (musim tanam III) pada akhir bulan Desember.
24 186 Tabel 40. Pola tanam yang diterapkan petani dan persentasenya pada musim tanam tahun 2009 di hulu DAS Jeneberang Musim Tanam I Musim Tanam II Musim Tanam III Persentase Kentang Kubis/Sawi Tomat 27,08 Wortel Kubis/Sawi Kentang 26,16 Kentang Kubis/Sawi Kentang 39,05 Kubis/bawang daun Tomat/bawang daun Sawi/bawang daun 7, Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des PT I Kentang Kubis Tomat PT II Wortel Kubis Kentang PT III Kentang Kubis Kentang PT IV Kubis Tomat Sawi Bawang Daun Gambar 40. Distribusi rata-rata curah hujan dengan pola tanam sayuran yang diterapkan petani di hulu DAS Jeneberang. Data pada Tabel 40 terlihat bahwa pola tanam yang paling banyak diterapkan oleh petani adalah pola tanam tumpang gilir kentang-kubis-kentang (PT III) yaitu 39,05 % dari seluruh pola tanam yang diterapkan petani di lokasi penelitian. Hal ini karena komoditas kentang merupakan komoditas unggulan di
25 187 daerah ini, disisi lain harga kentang relatif lebih stabil dibandingkan dengan komoditas yang lainnya. Pola tanam kentang-kubis-tomat menduduki peringkat kedua yaitu 27,08 %, disusul pola tanam wortel-kubis-kentang yaitu 26,16 % dan paling sedikit yaitu pola tumpangsari antar bawang daun dengan kubis/tomat/sawi sebesar 7,71 %. Pola tanam sangat ditentukan oleh curah hujan yang terjadi pada suatu daerah karena berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan air bagi tanaman. Jumlah air yang ada di dalam tanah harus mencukupi kebutuhan tanaman, tidak boleh kurang atau berlebih. Apabila terjadi kekurangan air maka harus ditambahkan dalam bentuk air irigasi, sebaliknya apabila kelebihan air maka harus dibuang melalui saluran drainase. Apabila curah hujan terlalu tinggi khususnya pada pertanaman sayuran dapat menimbulkan berbagai macam penyakit. Sehingga petani di hulu DAS Jeneberang tidak melakukan penanaman pada puncak musim hujan yaitu bulan Desember sampai Februari (Gambar 40). Sistem Penanaman Tanaman Sayuran Tabel 41. Matriks keputusan setiap alternatif sistem penanaman komoditas hortikultura sayuran berdasarkan hasil perhitungan Metode Composite Performance Index (CPI) Alternatif Sistem Penanaman Kriteria A B C D E F Nilai Keputusan Peringkat Monokultur Tumpangsari Tumpang gilir Bobot Kriteria 0,3 0,1 0,1 0,1 0,2 0,2 Keterangan : A = Kemampuan menahan erosi B = Pengolahan tanah C = Serangan hama dan penyakit D = Penggunaan pupuk dan amelioran E = Produktivitas F = Pendapatan petani
26 188 Sistem penanaman tanaman sayuran di hulu DAS Jeneberang yang diterapkan oleh petani yaitu monokultur, tumpang gilir, dan tumpangsari. Hasil analisis CPI pada Tabel 41 menunjukkan bahwa sistem penanaman yang diterapkan yang menduduki peringkat satu adalah sistem penanaman tumpangsari, kedua adalah tumpang gilir, dan ketiga adalah monokultur. Sistem penanaman tumpangsari merupakan penanaman tanaman lebih dari satu jenis pada lahan dan waktu yang bersamaan. Pada sistem tumpangsari dapat mengurangi resiko gagal panen untuk komoditas yang ditanaman, mengurangi penyebaran serangan hama dan penyakit, dan penutupan lahan (cover crop) lebih rapat karena tajuk atau morfologi daun lebih rapat. Pemilihan Jenis Pupuk, Amelioran, dan Pestisida Pemilihan Jenis Pupuk Pemupukan yang dilakukan oleh petani yaitu pemberian pupuk organik (pupuk kandang) dan pupuk anorganik. Pupuk anorganik yang banyak digunakan yaitu Urea, KCl, SP-36 dan NPK. Dosis pupuk kandang yang diaplikasikan yaitu 5-8 ton/ha, sedangkan dosis pupuk anorganik yaitu kg/ha. Bahan organik yang dihasilkan pada saat panen sebaiknya dibuat bokashi dan dikembalikan ke lahan pada saat pertanaman berikutnya. Dengan demikian dapat mengurangi pemakaian pupuk kandang dan pupuk anorganik. Tabel 42. Matriks keputusan setiap alternatif pemilihan jenis pupuk untuk pertanaman hortikultura sayuran hasil perhitungan Metode Bayes Alternatif Pemilihan Jenis Pupuk Kriteria A B C D Nilai Keputusan Peringkat Pupuk Organik ,0 2 Pupuk Anorganik Tunggal ,0 2 Pupuk Anorganik Majemuk ,0 2 Campuran organik & anorganik ,8 1 Bobot Kriteria 0,3 0,2 0,2 0,3 Keterangan : A = Harga B = Ketersediaan C = Pengaruh terhadap tanah dan tanaman D = Produksi
27 189 Hasil dari matriks keputusan menggunakan metode Bayes (Tabel 42) menunjukkan bahwa campuran pupuk organik dan pupuk anorganik menduduki peringkat pertama, sedangkan penggunan pupuk organik saja, atau penggunaan pupuk anorganik (tunggal atau majemuk) berada pada posisi kedua. Penggunaan pupuk kombinasi antara organik dan anorganik (buatan) sangat sesuai untuk pertanaman hortikultura sayuran. Pupuk organik sangat besar peranannya dalam memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah, namun unsur hara yang terkandung di dalamnya belum mencukupi kebutuhan tanaman sehingga diperlukan penambahan pupuk anorganik atau pupuk buatan. Pemilihan Jenis Amelioran Amelioran merupakan bahan yang diberikan ke dalam tanah untuk memperbaiki sifat-sifat tanah. Penggunaan amelioran kapur harus diberikan karena hasil analisis tanah menunjukkan reaksi tanah di hulu DAS Jeneberang termasuk kategori masam sampai sangat masam. Penambahan bahan organik pada pertanaman hortikultura sayuran sangat diperlukan, karena fungsinya dapat memperbaiki porositas dan struktur tanah. Dengan demikian pertumbuhan akar akan lebih baik, dan penyerapan unsur-unsur hara pun akan lebih baik. Tabel 43. Matriks keputusan setiap alternatif pemilihan jenis amelioran untuk pertanaman hortikultura sayuran berdasarkan hasil perhitungan Metode Bayes Alternatif Pemilihan Jenis Amelioran Kriteria A B C D Nilai Keputusan Peringkat Pupuk Kandang ,7 1 Kompos ,4 4 Bokashi ,0 3 Kapur ,2 2 Bobot Kriteria 0,3 0,2 0,2 0,3 Keterangan : A = Harga B = Ketersediaan C = Pengaruh terhadap tanah dan tanaman D = Produksi
28 190 Hasil perhitungan dengan metode Bayes (Tabel 43) menunjukkan bahwa jenis pupuk kandang sebagai amelioran menduduki peringkat satu, disusul kapur, bokashi, dan kompos. Penggunaan pupuk kandang pada pertanaman hortikultura sayuran sangat besar peranannya karena dapat memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah, selain itu juga ditentukan oleh kemudahan memperoleh dan harga. Penggunaan amelioran kapur juga sangat diperlukan karena reaksi tanah di hulu DAS Jeneberang statusnya masam. Penambahan kapur dapat menaikkan ph tanah. Pemilihan Jenis Pestisida Penanaman hortikultura sayuran sangat peka terhadap serangan hama dan penyakit. Kondisi lahan dimana relatif curah hujan tinggi, kelembaban tinggi, dan kandungan bahan organik dalam tanah tinggi (pupuk organik), memungkinkan tumbuh dan berkembang mikroorganisme patogen dan non patogen. Sehingga serangan hama dan penyakit pada tanaman budidaya sangat rentan terjadi, oleh karena itu sangat dibutuhkan pestisida atau sejenisnya untuk mencegah terjadinya serangan. Tabel 44. Matriks keputusan setiap alternatif pemilihan jenis pestisida untuk pertanaman hortikultura sayuran berdasarkan hasil perhitungan Metode Bayes Alternatif Pemilihan Jenis Pestisida Kriteria A B C D E Nilai Keputusan Peringkat Pestisida organik ,7 2 Pestisida anorganik ,6 3 Pengendalian PHT ,3 1 Bobot Kriteria 0,3 0,2 0,2 0,2 0,1 Keterangan : A = Harga B = Ketersediaan C = Kemampuan membasmi hama dan penyakit D = Produksi E = Efek residu/ramah lingkungan
29 191 Hasil perhitungan alternatif pemilihan jenis pestisida (Tabel 44) dengan metode Bayes menunjukkan pengendalian hama terpadu (PHT) berada pada peringkat pertama, selanjutnya pestisida organik pada peringkat kedua, dan pestisida anorganik pada peringkat ketiga. PHT memadukan berbagai metode pengelolaan tanaman budidaya, dalam perpaduan yang paling efektif dalam mencapai stabilitas produksi, dengan dampak seminimal mungkin bagi manusia dan lingkungan. PHT menggabungkan berbagai macam cara pengendalian hama, untuk mencegah kemungkinan terjadinya permasalahan hama, mengurangi jumlah permasalahan hama jika sudah terjadi, menggunakan pengendalian alami untuk mengatasi permasalahan yang sudah terjadi. b. Sub Model Pengendalian Erosi Tindakan konservasi yang dapat dilakukan adalah pembuatan teras, penanaman memotong arah lereng, serta pembuatan saluran drainase. Teras yang dibuat dapat berupa teras alami atau teras bangku. Teras bangku dapat disangga dengan batuan disamping teras sehingga massa tanah relatif lebih stabil. Batu yang digunakan diambil dari lahan dimana ditemukan banyak batuan di permukaannya. Berikut beberapa gambar kondisi teras di lokasi penelitian (Gambar 41). Gambar 41. Kondisi teras yang dibuat oleh petani sayuran di hulu DAS Jeneberang Hasil perhitungan metode CPI untuk alternatif tindakan konservasi (Tabel 45) menunjukkan pembuatan teras bangku dengan saluran drainase menduduki peringkat pertama. Posisi kedua yaitu pembuatan teras miring, bedengan searah lereng, penanaman rumput dibibir teras dan pembuatan teras bangku, bedengan
30 192 memotong lereng. Peringkat ketiga yaitu tanpa adanya teras, penanaman sistem alley cropping, dan peringkat keempat yaitu teras bangku, bedengan searah lereng. Pembuatan teras dapat dilakukan oleh petani dengan cara kredit, yaitu setiap kali pengolahan tanah, batu dipermukaan tanah dikumpulkan di pinggir batas tanah miliknya, dan nantinya berfungsi menahan tanah yang tererosi (Gambar 42). Tabel 45. Matriks keputusan setiap alternatif tindakan konservasi pertanaman hortikultura sayuran berdasarkan hasil perhitungan Metode Composite Performance Index (CPI) Alternatif Tindakan Konservasi Teras bangku, bedengan searah lereng Teras bangku, bedengan memotong lereng Teras bangku, dengan saluran drainase Teras miring, bedengan searah lereng, penanaman rumput dibibir teras Tanpa teras, penanaman sistem alley cropping Kriteria A B C D Nilai Keputusan Peringkat , , , , ,16 3 Bobot kriteria 0,2 0,2 0,3 0,3 Keterangan : A = pengurangan luas lahan B = Biaya konstruksi C = Kemampuan menahan aliran permukaan D = Kemampuan menahan erosi Gambar 42. Jenis teras dengan penanaman rumput dibibir teras dan pembuatan teras dengan cara kredit.
31 193 c. Submodel Penyuluhan dan Kelembagaan Pertanian Hortikultura Sayuran Penerapan sistem dan pendekatan pembangunan pertanian selama ini menimbulkan dampak pada kondisi sosial terutama perubahan perilaku petani. Perubahan perilaku tersebut merupakan suatu hal yang sangat serius untuk diperbaiki, walaupun membutuhkan waktu yang lama. Perubahan perilaku petani harus dimulai dengan melibatkan petani sebagai subjek dalam pembangunan pertanian. Peran sebagai subjek dalam pembangunan pertanian dikenal dengan istilah partisipatif. Petani seharusnya ikut serta mulai dari tahap perencanaan, karena mereka lebih tahu kondisi diri dan daerahnya. Demikian pula dalam pelaksanaan, petani lah yang terlibat langsung secara proaktif untuk mengembangkan diri, daerah dan masyarakatnya. Pelaksanaan kegiatan penyuluhan dan pemberdayaan masyarakat, dilakukan melalui pendekatan partisipatif, tidak lagi instruktif. Pada prinsipnya penyuluhan partisipatif memperlakukan petani dan/atau masyarakat sebagai pelaksana kegiatan pembangunan dirinya sendiri. Ikut serta dalam proses penetapan masalah, penyusunan rencana sampai pada pelaksanaan kegiatan pembangunan pertanian (Daniel, et al., 2006). Kelompok tani yang dibentuk oleh petani sayuran di hulu DAS Jeneberang belum dimanfaatkan secara maksimal. Aktivitas kelompok hanya sebatas pertemuan jika ada tamu dari pihak Pemerintah atau ada program bantuan dari Pemerintah, karena selalu dipersyaratkan melalui kelompok. Kegiatan pertemuan rutin membahas permasalahan usahatani, penyuluhan, atau aktivitas lain yang menyangkut kemajuan anggota kelompok dalam kegiatan usahatani, seperti pemupukan belum berjalan. Pihak penyedia informasi teknologi yang ada di hulu DAS Jeneberang sebagian besar berasal dari sesama petani yang lebih maju dan inovatif, informasi dari pedagang, media cetak, dan elektronik serta petugas penyuluh pertanian lapang (PPL) setempat. Hubungan PPL dengan petani lebih banyak dilakukan dengan cara kunjungan ke rumah, sedangkan kunjungan ke lahan masih bersifat insidentil. Kurangnya kunjungan PPL kepada petani disebabkan karena jumlah tenaga PPL dan wilayah kerja tidak seimbang dan aksesibilitas untuk mencapai
32 194 lahan usahatani cukup sulit untuk dijangkau, selain kualitas jalan kurang memadai juga karena arealnya berbukit. Berdasarkan hal tersebut di atas maka model yang diperkirakan ideal untuk lahan dataran tinggi hulu DAS Jeneberang yaitu harus ada penyuluhan tentang usahatani konservasi dan teknologi budidaya sayuran yang dilakukan secara partisipatif, pembuatan teras yang dapat meminimalkan terjadinya erosi dan pola tanam wortel-kentang-kubis/jagung, sehingga pendapatan petani meningkat dan degradasi lahan menurun. Menurut Syahyuti (2006), suatu kelembagaan merupakan pemantapan perilaku yang hidup pada suatu kelompok orang, merupakan sesuatu yang stabil, mantap, dan berpola. Kelembagaan berfungsi untuk tujuan-tujuan tertentu dalam masyarakat dan ditentukan oleh sistem sosial tradisional dan modern, atau bisa berbentuk tradisional dan modern. Juga dapat mengefisienkan kehidupan sosial. Dengan demikian kelembagaan adalah kelompok-kelompok sosial yang dijalankan masyarakat. Kelembagaan pertanian hortikultura dalam penerapan model usahatani hortikultura sayuran berbasis agroekologi, yang dimaksud dengan kelembagaan yaitu suatu jaringan yang terdiri dari sejumlah orang dan lembaga untuk tujuan tertentu, memiliki aturan dan norma, serta memiliki struktur. Ada tujuh bentuk kelembagaan yaitu kelembagaan penyedia saprodi, kelembagaan penyedia permodalan, kelembagaan pemenuhan tenaga kerja, kelembagaan penyedia lahan dan air irigasi, kelembagaan pengolahan hasil pertanian, kelembagaan pemasaran hasil pertanian, dan kelembagaan penyedia informasi. Untuk usahatani hortikultura sayuran di lahan dataran tinggi hulu DAS Jeneberang, kelembagaan yang menjadi skala prioritas adalah kelembagaan penyedia modal, kelembagaan saprodi, dan kelembagaan pemasaran. Hasil karakterisasi usahatani hortikultura sayuran menunjukkan bahwa keberadaan ketiga kelembagaan tersebut sangat dirasakan dan sangat diperlukan manfaatnya oleh petani di hulu DAS Jeneberang. Petani merasa kesulitan apabila kelembagaan ini tidak ada. Hal ini menunjukkan bahwa keberhasilan penerapan model usahatani hortikultura sayuran berbasis agroekologi di lahan dataran tinggi sangat dipengaruhi oleh keberadaan kelembagaan tersebut.
33 195 Gambar 43. Kelembagaan yang ada di hulu DAS Jeneberang. Kelembagaan yang ada di hulu DAS Jeneberang khususnya pada petani hortikultura sayuran meliputi kelompok tani, gabungan kelompok tani, dan lembaga pusat pelatihan pertanian dan pedesaan swadaya (Gambar 43). Kondisi Sosial Ekonomi Petani Hortikultura Sayuran di Hulu DAS Jeneberang Penelitian terhadap kondisi sosial ekonomi petani di hulu DAS Jeneberang dilakukan dengan maksud sebagai acuan dalam penarikan petani contoh dan sebagai dasar dalam memperhitungkan tingkat keuntungan usahatani hortikultura sayuran. Penentuan petani contoh di daerah penelitian dilakukan berdasarkan atas latar belakang petani, keadaan lahan garapan petani, dan pola tanam yang terapkan petani. Sedangkan perhitungan tingkat keuntungan ekonomi dilakukan dengan analisis usahatani berdasarkan biaya dan pendapatan. Data latar belakang petani diperoleh dari Kecamatan Tinggi Moncong dalam angka dan informasi dari aparat kelurahan serta dari gapoktan setempat. Latar belakang petani yang dianggap berpengaruh adalah tingkat pendidikan petani, jumlah anggota keluarga, tenaga kerja keluarga (> 15 tahun), luas lahan garapan, dan status lahan. Data karakteristik petani dari lokasi penelitian disajikan pada Tabel 46. Data pada Tabel 46 menunjukkan bahwa latar belakang petani hortikultura sayuran di lokasi penelitian relatif hampir sama. Petani umumnya berpendidikan rendah yang didominasi pendidikan SD, keadaan ini perlu mendapat perhatian. Sebab latar belakang pendidikan sangat besar pengaruhnya terhadap kemampuan petani mengadopsi suatu teknologi yang mungkin berbeda dengan teknologi yang selama ini mereka terapkan. Pada kondisi seperti ini,
34 196 intensitas penyuluhan pertanian perlu ditingkatkan terutama dalam memasyarakatkan berbagai teknologi dan sistem pertanian yang baru dan ramah lingkungan. Tabel 46. Rata-rata latar belakang petani penggarap pada usahatani hortikultura sayuran Latar Belakang Petani Umur Petani (tahun) Buluballea Bandengia Daerah Asal Petani Kamp. Lemo Beru Lemo Pattapang Tappanjeng 33,38 37,44 34,55 26,56 35,42 31,46 Pendidikan SD SD SD SD SD SD Anggota Keluarga (orang) TK Tersedia (orang) Luas lahan garapan (ha) Status lahan 4,50 3,60 3,80 4,20 4,30 3,70 2,50 2,60 2,70 1,40 3,50 1,20 0,99 1,04 1,04 0,76 1,00 0,76 Pemilik Penggarp Pmlk Penggrp Pmlk Pengrp Pmlk Pengrp Pemilik Penggarp Pemilik Penggarap Jumlah anggota dan tenaga kerja yang tersedia dalam keluarga petani mempunyai perbandingan yang cukup menguntungkan. Dari rata-rata empat orang anggota keluarga, tiga diantaranya dapat dimanfaatkan sebagai sumber tenaga kerja dalam berusahatani, sehingga biaya usahataninya dapat ditekan. Luas penguasaan lahan setiap petani rata-rata 1 ha. Keseragaman penguasaan lahan setiap petani disebabkan lahan yang tersedia sangat terbatas. Petani umumnya membagi lahan yang disewakan penduduk sama rata. Sedangkan petani penggarap memperoleh lahan garapan dari tuan tanah di daerah ini. Kepemilikan lahan di hulu DAS Jeneberang dikelompokan menjadi tiga, yaitu petani yang memiliki lahan < 0,5 ha, petani yang memiliki lahan antara 0,5 sampai 1,0 ha, dan petani yang memiliki lahan > 1,0 ha. Hasil wawancara dengan beberapa petani menunjukkan bahwa semakin sempitnya luas lahan yang dimiliki petani antara lain disebabkan oleh bertambahnya jumlah keluarga (harta warisan), dan adanya fragmentasi lahan akibat dari alih fungsi lahan menjadi permukiman. Pemilikan lahan yang semakin sempit mengindikasikan bahwa tekanan terhadap lahan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga semakin besar.
35 197 Akibatnya terjadi eksploitasi lahan untuk memperoleh hasil yang maksimal tanpa memperhatikan kemampuan atau daya dukung lahannya. Eksploitasi lahan yang berlebihan tanpa diikuti dengan penerapan teknologi budidaya dan konservasi, mengakibatkan penurunan produktivitas lahan. Hal ini juga akan menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan, seperti degradasi tanah, erosi, sedimentasi dan banjir di musim hujan serta kekeringan di musim kemarau. Umur petani rata-rata 35 tahun (yang berkisar antara tahun). Hal ini menunjukkan bahwa sektor pertanian hortikultura sayuran diminati oleh generasi muda. Umur petani besar peranannya dalam suatu usahatani, terutama berkaitan dengan produktivitas kerja. Petani yang berusia muda umumnya sangat produktif, sebab kemampuan fisik dan daya fikirnya mencapai kondisi maksimal dibanding petani yang sudah tua. Selain itu petani yang masih muda keinginannya melakukan perubahan yang dianjurkan lebih tinggi, dan lebih berani mengambil resiko serta perubahan-perubahan mendasar dalam pengembangan usahataninya. Tingkat Keuntungan Ekonomi Usahatani Hortikultura Sayuran di Hulu DAS Jeneberang Hasil analisis usahatani tanaman hortikultura sayuran menunjukkan bahwa usahatani sayuran di hulu DAS Jeneberang rata-rata menguntungkan (Tabel 47). Keuntungan terbesar diperoleh pada usahatani komoditas kentang, pada lahan seluas 1 ha mencapai Rp dan keuntungan terendah dari lima komoditas unggulan yaitu bawang daun sebesar Rp per tahun. Hal ini juga dapat dilihat dari nilai RC rationya berkisar antara 2,80 1,26. Nilai RC ratio komoditas sawi adalah 2,80 artinya keuntungan sawi yang paling tinggi diantara komoditas lainnya. Hasil analisis kelayakan menunjukkan bahwa nilai R/C-ratio pada komoditas sawi yang diperoleh sebesar 2,80 artinya secara ekonomi usahatani sawi di hulu DAS Jeneberang layak untuk dikembangkan. Nilai R/C-ratio sebesar 2,80 menunjukkan bahwa setiap pengeluaran biaya produksi pada usahatani sawi sebesar Rp 1, akan memperoleh penerimaan sebesar Rp. 2,80. Demikian pula dengan komoditas sayuran lainnya, dengan nilai R/C ratio masing-masing 1,43 untuk komoditas kentang, 1,59 untuk komoditas bawang daun, 1,38 untuk komoditas wortel dan 1,26 untuk komoditas kubis.
36 198 Tabel 47. Analisis usahatani komoditas unggulan hortikultura sayuran di hulu DAS Jeneberang per hektar Input/Output Komoditas Kentang Wortel Kubis Sawi B. Daun A. Input Rp. 1. Pupuk a. Urea b. SP-36 c. KCl d. NPK e. P.Kandang Bibit/Benih Pestisida a. Fungisida b. Insektisida Tenaga Kerja Pajak Iuran Klp Penyusutan Alat Transportasi Total Input B. Output 1. Produksi (kg) 2. Harga/kg (Rp) 3. Penerimaan (Rp) Keuntungan (Rp) C. RC Ratio 1,43 1,38 1,26 2,80 1,59 Pendapatan keluarga petani di hulu DAS Jeneberang berkisar antara Rp sampai Rp per tahun. Sumber pendapatan keluarga terbesar diperoleh dari hasil usaha pertanian, khususnya tanaman sayuran. Sumber pendapatan lainnya diperoleh dari hasil usaha tanaman lainnya seperti buahbuahan yang ditanam di pekarangan rumah dan sebagai buruh tani. Pola tanam yang paling banyak diterapkan petani hortikultura sayuran di hulu DAS Jeneberang yaitu tumpang gilir. Pola tanam dan sistem penanaman yang menguntungkan petani dan dapat mengurangi terjadinya erosi yaitu wortelkentang-kubis. Kentang di tanam pada musim kemarau yaitu bulan Juni Agustus, dengan harapan tidak terjadi kelebihan air, dan untuk mencukupi kebutuhan air diberikan melalui air irigasi. Penanaman kubis di bulan September sampai Desember dan pada masa menjelang panen di tanam jagung manis
37 199 (tumpangsari). Hal ini diharapkan tanaman jagung sudah cukup tinggi pertumbuhannya di bulan Januari Februari sehingga bisa menutupi permukaan tanah dan dapat meminimalkan bahaya erosi Model Pengembangan Tanaman Hortikultura Sayuran (Zona Agroekologi pada Elevasi 700 m dpl) di Hulu DAS Jeneberang Disain Model Pengembangan Tanaman Hortikultura Sayuran Berbasis Agroekologi pada Lahan Berlereng di Hulu DAS Jeneberang Model pengembangan tanaman hortikultura di hulu DAS Jeneberang dibangun melalui logika hubungan antara komponen-komponen yang saling terkait dan berinteraksi. Model pengembangan tanaman hortikultura berbasis agroekologi di hulu DAS Jeneberang dibangun melalui 3 submodel, yaitu: (1) submodel produksi usahatani hortikultura; komponen utamanya adalah jenis komoditas unggulan, pola tanam, sistem penanaman, pemupukan, penggunaan pestisida dan ameliorant; (2) submodel pengendalian erosi; komponen utamanya curah hujan, jenis tanah, panjang dan kemiringan lereng, vegetasi, pengelolaan lahan, usaha-usaha konservasi; (3) submodel kelembagaan dan penyuluhan; komponen utamanya intensitas penyuluhan, jumlah tenaga penyuluhan pertanian dan jumlah kelembagaan pertanian. Gambaran keterkaitan antar komponen-komponen dalam submodel, dan keterkaitan antara komponen antar submodel disajikan dalam Gambar 44. Simulasi model menggambarkan pengembangan tanaman hortikultura yang ditunjukkan oleh erosi yang terjadi, produksi hortikultura sayuran, dan nilai rupiah. Hasil simulasi disajikan pada Gambar 45. Hasil simulasi model eksisting menunjukkan bahwa terjadi penurunan erosi dan peningkatan produksi dan nilai rupiah sampai pada tahun ke-9. Pada tahun pertama (2010), erosi yang terjadi sebesar 73,28 toh/ha/tahun, produktivitas sayuran 3.711,96 kg/ha, dan nilai rupiahnya Rp ,69. Pada tahun 2018, erosi yang terjadi menurun hingga 62,06% yaitu 29,50 ton/ha/tahun, produktivitas sayuran 3.744,11 kg/ha, dan nilai rupiahnya adalah Rp ,90/ha.
38 200 Sub Model Pengendalian Erosi Erosi Total e diatas Input Output Sub Model Produksi Holtikultura Total e dibwh 700 E ~ R dibawah KLAS EROSI Amelioran Pupuk Pestisida Pola tanam Sistem tanam ~ Harga Per Komoditi Pemupukan Skor Pemupukan Pola & sistem Tanam Skor Pola & Sistem Tanam R diatas K LS C P Konserv asi Sub Model Kelembagaan & Peny uluhan Nilai Rupiah Produktif itas 2 Produktif itas Tanaman Produksi Skor Kelembagaan Total Nilai Rupiah dibawah 700 Luas Per Komoditi Produksi diatas 700 Produksi Total Kelembagaan & Peny uluhan Total Nilai Rupiah diatas 700 Luas Total Produksi dibawah 700 Masuk Keluar Kelompok Tani Koperasi Peny uluhan Jumlah Peny uluh Gambar 44. Struktur model pengembangan tanaman hortikultura sayuran berbasis agroekologi 1: 2: 3: 1: Total erosi diatas 700 m dpl 2: Total pendapatan petani say uran 3: Produksi komoditas say uran e : 2: 3: e : 2: 3: Page e Years 11:19 22 Nop 2011 Gambar 45. Simulasi model pengembangan tanaman hortikultura sayuran berdasarkan produksi, nilai rupiah, dan total erosi.
39 201 Simulasi Skenario Model Untuk Komoditas Kentang Berdasarkan komponen-komponen yang berperanan penting pada masingmasing submodel, maka dapat disusun skenario yang mungkin terjadi pada masa yang akan datang. Komponen-komponen yang diskenariokan adalah jenis pupuk, amelioran, pestisida, pola tanam, sistem penanaman, usaha konservasi, intensitas penyuluhan, jumlah penyuluh, jumlah koperasi, dan jumlah kelompok tani. Kombinasi antara komponen-komponen ini menghasilkan tiga skenario pengembangan tanaman hortikultura berbasis agroekologi, yaitu: (1) skenario pesimis: penggunaan pupuk anorganik, tidak menggunakan amelioran, pestisida sintesis, pola tanam wortel-kubis/sawi-kentang, sistem penanaman tumpang gilir, dan tanpa teras, penanaman sistem alley cropping, jumlah penyuluh 3 orang, intensitas penyuluhan satu kali per 6 bulan, tidak ada koperasi, jumlah kelompok tani 10. (2) skenario moderat: penggunaan pupuk organik dan anorganik, penggunaan amelioran organik, pengendalian PHT, pola tanam kentang-kubis/sawikentang, sistem penanaman tumpang gilir, dan pembuatan teras bangku, bedengan memotong lereng, jumlah penyuluh 5 orang, intensitas penyuluhan satu kali sebulan, jumlah koperasi dua unit, jumlah kelompok tani 20. (3) skenario optimis: penggunaan pupuk organik dan anorganik, penggunaan organik dan anorganik, pengendalian PHT, pola tanam kentangkubis/sawi-kentang, sistem penanaman tumpang gilir, dan pembuatan teras bangku dengan saluran drainase, jumlah penyuluh 7 orang, intensitas penyuluhan satu kali sebulan, jumlah koperasi dua unit, jumlah kelompok tani 30. Komoditas kentang merupakan komoditas unggulan dengan nilai LQ paling tinggi, maka komoditas ini digunakan dalam analisis simulasi skenario model pengembangannya. Hasil simulasi model pengembangan tanaman kentang untuk setiap skenario menunjukkan bahwa skenario pesimis memberikan tingkat erosi terbesar dibandingkan skenario moderat, optimis, dan eksisting (Gambar 46). Pada tahun 2010, erosi yang terjadi pada skenario pesimis yaitu 83,07
40 202 ton/ha/tahun, lebih besar dari kondisi eksisting yaitu 73,28 ton/ha/tahun, skenario moderat sebesar 47,09 ton/ha/tahun, dan skenario optimis sebesar 40,06 ton/ha/tahun. Pada tahun 2019, erosi yang terjadi pada semua skenario mengalami penurunan, skenario pesimis yang tertinggi yaitu 37,17 ton/ha/tahun, kondisi eksisting sebesar 32,80 ton/ha/tahun, skenario moderat sebesar 27,80 ton/ha/tahun, dan skenario optimis sebesar 21,07 ton/ha/tahun. Dan pada tahun 2020, erosi yang terjadi cenderung mengalami peningkatan lagi. Erosi (ton/ha/tahun) 90,00 80,00 70,00 60,00 50,00 40,00 30,00 20,00 10,00 0, Eksisting Pesimis Moderat Optimis Gambar 46. Prediksi erosi yang terjadi pada pertanaman hortikultura sayuran hasil simulasi skenario tahun 2010 sampai tahun Produktivitas Kentang (kg/ha) Tahun Optimis Moderat Pesimis Eksisting Gambar 47. Perkiraan produktivitas kentang hasil simulasi skenario tahun 2010 sampai tahun 2020.
IV. METODE PENELITIAN
47 IV. METODE PENELITIAN 4.1. Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di bagian hulu daerah aliran sungai (DAS) Jeneberang yang terletak di Kabupaten Gowa (Gambar 3). Penelitian dilaksanakan pada
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan pertanian menjadi prioritas utama dalam pembangunan wilayah berorientasi agribisnis, berproduktivitas tinggi, efisien, berkerakyatan, dan berkelanjutan. Keberhasilan
Lebih terperinciVIII. ANALISIS KEBERLANJUTAN USAHATANI TANAMAN HORTIKULTURA PADA LAHAN BERLERENG DI HULU DAS JENEBERANG
133 VIII. ANALISIS KEBERLANJUTAN USAHATANI TANAMAN HORTIKULTURA PADA LAHAN BERLERENG DI HULU DAS JENEBERANG 8.1. Pendahuluan Kabupaten Gowa mensuplai kebutuhan bahan material untuk pembangunan fisik, bahan
Lebih terperinciMODEL USAHATANI SAYURAN DATARAN TINGGI BERBASIS KONSERVASI DI DAERAH HULU SUNGAI CIKAPUNDUNG
MODEL USAHATANI SAYURAN DATARAN TINGGI BERBASIS KONSERVASI DI DAERAH HULU SUNGAI CIKAPUNDUNG (Studi Kasus: Lahan Pertanian Berlereng di Hulu Sub DAS Cikapundung, Kawasan Bandung Utara) Hendi Supriyadi
Lebih terperinciModel Usahatani Konservasi Berbasis Sumberdaya Spesifik Lokasi di Daerah Hulu Sungai (Studi Kasus: Lahan Pertanian Berlereng di Hulu Sub DAS
Model Usahatani Konservasi Berbasis Sumberdaya Spesifik Lokasi di Daerah Hulu Sungai (Studi Kasus: Lahan Pertanian Berlereng di Hulu Sub DAS Cikapundung, Kawasan Bandung Utara) SEMINAR HASIL-HASIL PENELITIAN
Lebih terperinciREKOMENDASI PEMUPUKAN TANAMAN KEDELAI PADA BERBAGAI TIPE PENGGUNAAN LAHAN. Disusun oleh: Tim Balai Penelitian Tanah, Bogor
REKOMENDASI PEMUPUKAN TANAMAN KEDELAI PADA BERBAGAI TIPE PENGGUNAAN LAHAN Disusun oleh: Tim Balai Penelitian Tanah, Bogor Data statistik menunjukkan bahwa dalam kurun waktu lima belas tahun terakhir, rata-rata
Lebih terperinciPOLA TANAM TANAMAN PANGAN DI LAHAN SAWAH DAN KERING
POLA TANAM TANAMAN PANGAN DI LAHAN SAWAH DAN KERING TEKNOLOGI BUDIDAYA Pola tanam Varietas Teknik Budidaya: penyiapan lahan; penanaman (populasi tanaman); pemupukan; pengendalian hama, penyakit dan gulma;
Lebih terperinciTahun Bawang
I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Komoditas hortikultura merupakan komoditas yang sangat prospektif untuk dikembangkan melalui usaha agribisnis, mengingat potensi serapan pasar di dalam negeri dan pasar
Lebih terperincisosial yang menentukan keberhasilan pengelolaan usahatani.
85 VI. KERAGAAN USAHATANI PETANI PADI DI DAERAH PENELITIAN 6.. Karakteristik Petani Contoh Petani respoden di desa Sui Itik yang adalah peserta program Prima Tani umumnya adalah petani yang mengikuti transmigrasi
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hortikultura merupakan salah satu sektor pertanian yang memiliki peran penting dalam pembangunan perekonomian di Indonesia. Peran tersebut diantaranya adalah mampu memenuhi
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN A. Latar Belakang
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian masih merupakan prioritas pembangunan secara nasional maupun regional. Sektor pertanian memiliki peran penting untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk
Lebih terperinciVII. ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI PADI VARIETAS CIHERANG
VII. ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI PADI VARIETAS CIHERANG 7.1 Keragaan Usahatani Padi Varietas Ciherang Usahatani padi varietas ciherang yang dilakukan oleh petani di gapoktan Tani Bersama menurut hasil
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian memegang peranan penting dalam struktur ekonomi nasional. Hal ini didasarkan pada kontribusi sektor pertanian yang tidak hanya berperan dalam pembentukan
Lebih terperinciVI. HASIL DAN PEMBAHASAN
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Kentang merupakan salah satu komoditas hortikultura yang banyak ditanam oleh petani di Kecamatan Pasirwangi. Namun, pengelolaan usahatani kentang di daerah ini banyak memanfaatkan
Lebih terperinciV. EVALUASI KEMAMPUAN LAHAN UNTUK PERTANIAN DI HULU DAS JENEBERANG
57 V. EVALUASI KEMAMPUAN LAHAN UNTUK PERTANIAN DI HULU DAS JENEBERANG 5.1. Pendahuluan Pemenuhan kebutuhan manusia untuk kehidupannya dapat dilakukan antara lain dengan memanfaatkan lahan untuk usaha pertanian.
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. 1 Kementerian Pertanian Kontribusi Pertanian Terhadap Sektor PDB.
I. PENDAHULUAN 1.1. Latarbelakang Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang mempunyai peranan penting dalam meningkatkan perkembangan ekonomi Indonesia. Hal ini dikarenakan sektor pertanian adalah
Lebih terperinciII TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gambaran Komoditas Caisin ( Brassica rapa cv. caisin)
II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gambaran Komoditas Caisin (Brassica rapa cv. caisin) Caisin (Brassica rapa cv. caisin) merupakan tanaman yang termasuk ke dalam suku kubis-kubisan atau sawi-sawian (Brassicaceae/Cruciferae).
Lebih terperinciI PENDAHULUAN * Keterangan : *Angka ramalan PDB berdasarkan harga berlaku Sumber : Direktorat Jenderal Hortikultura (2010) 1
1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN Sektor pertanian terdiri dari beberapa sub sektor, yaitu tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, dan peternakan, dimana keempat sub sektor tersebut mempunyai peranan
Lebih terperinciAGRIBISNIS TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA
SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN AGRIBISNIS TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA BAB VI. PERSIAPAN LAHAN Rizka Novi Sesanti KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Salah satu tujuan pembangunan pertanian di Indonesia adalah
1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Salah satu tujuan pembangunan pertanian di Indonesia adalah pengembangan hortikultura untuk meningkatkan pendapatan petani kecil. Petani kecil yang dimaksud dalam pengembangan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Komoditas tanaman pangan yang sangat penting dan strategis kedudukannya
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Komoditas tanaman pangan yang sangat penting dan strategis kedudukannya adalah komoditas padi, karena komoditas padi sebagai sumber penyediaan kebutuhan pangan pokok berupa
Lebih terperinciPENDAHULUAN Latar Belakang
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Penyuluhan pertanian mempunyai peranan strategis dalam pengembangan kualitas sumber daya manusia (petani) sebagai pelaku utama usahatani. Hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang
Lebih terperinciNilai Tukar Petani Kabupaten Ponorogo Tahun 2013
iv Nilai Tukar Petani Kabupaten Ponorogo Tahun 2013 Nilai Tukar Petani Kabupaten Ponorogo Tahun 2013 KATA PENGANTAR Penghitungan dan Penyusunan Publikasi Nilai Tukar Petani Kabupaten Ponorogo Tahun 2013
Lebih terperinciPENDAHULUAN A. Latar Belakang
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hortikultura sebagai salah satu subsektor pertanian memiliki peran yang cukup strategis dalam perekonomian nasional. Hal ini tercermin dari perannya sebagai pemenuh kebutuhan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bagi negara-negara yang sedang berkembang, termasuk Indonesia, pembangunan pertanian pada abad ke-21 selain bertujuan untuk mengembangkan sistem pertanian yang berkelanjutan
Lebih terperinciVI. EVALUASI KESESUAIAN LAHAN UNTUK PENGEMBANGAN TANAMAN HORTIKULTURA DI HULU DAS JENEBERANG
79 VI. EVALUASI KESESUAIAN LAHAN UNTUK PENGEMBANGAN TANAMAN HORTIKULTURA DI HULU DAS JENEBERANG 6.1. Pendahuluan Tanaman hortikultura buah-buahan dan sayuran merupakan tanaman komoditas unggulan di Kabupaten
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. melalui perluasan areal menghadapi tantangan besar pada masa akan datang.
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Upaya peningkatan produksi tanaman pangan khususnya pada lahan sawah melalui perluasan areal menghadapi tantangan besar pada masa akan datang. Pertambahan jumlah penduduk
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN
18 TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN Tinjauan Pustaka Tanaman herbal atau tanaman obat sekarang ini sudah diterima masyarakat sebagai obat alternatif dan pemelihara kesehatan yang
Lebih terperinciANALISIS USAHATANI PADI DAN PALAWIJA PADA LAHAN KERING DI KALIMANTAN SELATAN
ANALISIS USAHATANI PADI DAN PALAWIJA PADA LAHAN KERING DI KALIMANTAN SELATAN (Studi Kasus di Desa Budi Mulia, Kabupaten Tapin) Oleh : Adreng Purwoto*) Abstrak Di masa mendatang dalam upaya mencukupi kebutuhan
Lebih terperinciJURUSAN SOSIAL EKONOMI PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS JEMBER
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENDAPATAN DAN MENDASARI PENGAMBILAN KEPUTUSAN PEMASARAN JERUK SIAM (Citrus nobilis LOUR var) MELALUI TENGKULAK (Studi Kasus Desa Wringinagung Kecamatan Gambiran Kabupaten
Lebih terperinciSistem Usahatani Konservasi Tanah pada Pertanaman Kubis Dataran Tinggi
Sistem Usahatani Konservasi Tanah pada Pertanaman Kubis Dataran Tinggi 37 Deddy Erfandi, Umi Haryati, dan Irawan Peneliti Badan Litbang Pertanian di Balai Penelitian Tanah, Jl. Tentara Pelajar 12, Bogor
Lebih terperinciOni Ekalinda, Reni Astarina dan Anita Sofia Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Riau Abstrak.
Profil Pengembangan Tanaman Palawija dan Kelembagaan Penunjang di Lokasi Eks Primatani Agroekosistem Lahan Pasang Surut Kabupaten Indragiri Hilir, Propinsi Riau Oni Ekalinda, Reni Astarina dan Anita Sofia
Lebih terperinciIV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu 4.2. Metode Pengambilan Responden 4.3. Desain Penelitian
IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan di Desa Blendung, Kecamatan Purwadadi, Kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi ini ditentukan secara sengaja (purposive)
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tembakau sebagai bahan baku rokok kretek merupakan komoditas perkebunan yang mempunyai peranan strategis dalam perekonomian nasional, yaitu sebagai sumber pendapatan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Tomat (Lycopersicum esculentum Miil.) termasuk tanaman sayuran yang sudah
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tomat (Lycopersicum esculentum Miil.) termasuk tanaman sayuran yang sudah dikenal sejak dulu. Ada beberapa jenis tomat seperti tomat biasa, tomat apel, tomat keriting,
Lebih terperinciBAB II KERANGKA PENDEKATAN TEORI
BAB II KERANGKA PENDEKATAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Gambaran Umum Lahan Kering Tantangan penyediaan pangan semakin hari semakin berat. Degradasi lahan dan lingkungan, baik oleh gangguan manusia maupun
Lebih terperinciPrestasi Vol. 8 No. 2 - Desember 2011 ISSN KONSERVASI LAHAN UNTUK PEMBANGUNAN PERTANIAN. Oleh : Djoko Sudantoko STIE Bank BPD Jateng
KONSERVASI LAHAN UNTUK PEMBANGUNAN PERTANIAN Oleh : Djoko Sudantoko STIE Bank BPD Jateng Abstrak Sektor pertanian di Indonesia masih mempunyai peran yang penting, khususnya untuk mendukung program ketahanan
Lebih terperinciIV. METODE PENELITIAN. Provinsi Jawa Barat. Lokasi ini dipilih secara sengaja (purposive) dengan
4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian IV. METODE PENELITIAN Pengumpulan data primer penelitian dilakukan di Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat. Lokasi ini dipilih secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Sayuran merupakan salah satu komoditas unggulan karena memiliki nilai
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sayuran merupakan salah satu komoditas unggulan karena memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi. Selain memiliki masa panen yang cukup pendek, permintaan
Lebih terperinciPENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian
I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Penelitian Pembangunan sektor pertanian melalui peningkatan kontribusi subsektor tanaman pangan dan hortikultura merupakan salah satu upaya untuk memperkuat perekonomian
Lebih terperinciPROPOSAL POTENSI, Tim Peneliti:
PROPOSAL PENELITIAN TA. 2015 POTENSI, KENDALA DAN PELUANG PENINGKATAN PRODUKSI PADI PADA LAHAN BUKAN SAWAH Tim Peneliti: Bambang Irawan PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN
Lebih terperinciVII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI JAGUNG MANIS
VII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI JAGUNG MANIS Keberhasilan usahatani yang dilakukan petani biasanya diukur dengan menggunakan ukuran pendapatan usahatani yang diperoleh. Semakin besar pendapatan usahatani
Lebih terperinciIII. METODE PENELITIAN. A. Definisi Operasional, Pengukuran, dan Klasifikasi. yang digunakan dalam penelitian ini untuk mendapatkan data yang
III. METODE PENELITIAN A. Definisi Operasional, Pengukuran, dan Klasifikasi Definisi operasional merupakan pengertian dan petunjuk mengenai variabelvariabel yang digunakan dalam penelitian ini untuk mendapatkan
Lebih terperinci4. HASIL DAN PEMBAHASAN
16 4. HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Pertanaman Sayuran Lahan sayuran merupakan penggunaan lahan dominan di Desa Sukaresmi Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor. Tanaman sayuran yang diusahakan antara lain
Lebih terperinciIV. METODOLOGI. merupakan salah satu daerah pertanian produktif di Kabupaten Majalengka.
IV. METODOLOGI 4.1. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Sukahaji, Kabupaten Majalengka. Pemilihan lokasi ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa Kecamatan Sukahaji merupakan salah satu
Lebih terperinciI PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian memiliki peran yang strategis dalam perekonomian
I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan pertanian memiliki peran yang strategis dalam perekonomian nasional. Peran strategis pertanian tersebut digambarkan melalui kontribusi yang nyata melalui pembentukan
Lebih terperinciBAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
109 BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan Berdasarkan pengolahan dan hasil analisis data yang telah penulis lakukan dalam penelitian tentang Pengaruh Agribisnis Hortikultura Terhadap Kesejahteraan
Lebih terperinciBAB 4 EVALUASI KEEFEKTIFAN PROGRAM DALAM MENINGKATKAN PRODUKSI PADI SAWAH
67 BAB 4 EVALUASI KEEFEKTIFAN PROGRAM DALAM MENINGKATKAN PRODUKSI PADI SAWAH Bab ini akan membahas keefektifan Program Aksi Masyarakat Agribisnis Tanaman Pangan (Proksi Mantap) dalam mencapai sasaran-sasaran
Lebih terperinciGambar 2. Tingkat Produktivitas Tanaman Unggulan Kab. Garut Tahun
V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1. Gambaran Umum Agroekonomi Kabupaten Garut Kabupaten Garut memiliki 42 kecamatan dengan luas wilayah administratif sebesar 306.519 ha. Sektor pertanian Kabupaten
Lebih terperinciANALISIS USAHATANI SAYURAN DI DATARAN TINGGI KERINCI PROVINSI JAMBI. Suharyon Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi
ANALISIS USAHATANI SAYURAN DI DATARAN TINGGI KERINCI PROVINSI JAMBI Suharyon Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi email: suharyon@yahoo.com ABSTRAK Analisis usahatani terhadap 10 responden yang melakukan
Lebih terperinciBAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1Tipe Penggunaan Lahan (Land Utilization Type) Salah satu tahapan sebelum melakukan proses evaluasi lahan adalah mendeskripsikan 11 atribut kunci tipe penggunaan lahan. Berdasarkan
Lebih terperinciGAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1 Gambaran Umum Kabupaten Kerinci 5.1.1 Kondisi Geografis Kabupaten Kerinci terletak di sepanjang Bukit Barisan, diantaranya terdapat gunung-gunung antara lain Gunung
Lebih terperinciPaket ANALISIS SOSIAL, EKONOMI DAN FINANSIAL PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN PENGHASIL KAYU
Paket ANALISIS SOSIAL, EKONOMI DAN FINANSIAL PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN PENGHASIL KAYU Jenis Bambang Lanang Analisis Ekonomi dan Finansial Pembangunan Hutan Tanaman penghasil kayu Jenis bawang Analisis
Lebih terperinciV. PENDEKATAN SISTEM 5.1. Analisis Kebutuhan Pengguna 1.) Petani
V. PENDEKATAN SISTEM Sistem merupakan kumpulan gugus atau elemen yang saling berinteraksi dan terorganisasi untuk mencapai suatu tujuan atau serangkaian tujuan. Pendekatan sistem merupakan metode pemecahan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. hal ini dikarenakan munculnya kesadaran dari masyarakat mengenai pentingnya
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertanian organik kini mulai menjadi peluang baru dalam usaha pertanian, hal ini dikarenakan munculnya kesadaran dari masyarakat mengenai pentingnya mengonsumsi makanan,
Lebih terperinciUsahatani Tumpang Sari Tanaman Tomat dan Cabai di Dataran Tinggi Kabupaten Garut
Usahatani Tumpang Sari Tanaman Tomat dan Cabai di Dataran Tinggi Kabupaten Garut Endjang Sujitno 1), Taemi Fahmi 1), dan I Djatnika 2) 1) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat, Jln. Kayuambon
Lebih terperinciMenanam Laba Dari Usaha Budidaya Kedelai
Menanam Laba Dari Usaha Budidaya Kedelai Sebagai salah satu tanaman penghasil protein nabati, kebutuhan kedelai di tingkat lokal maupun nasional masih cenderung sangat tinggi. Bahkan sekarang ini kedelai
Lebih terperinciPENDAHULUAN. Petunjuk Teknis Lapang PTT Padi Sawah Irigasi...
Petunjuk Teknis Lapang PTT Padi Sawah Irigasi... PENDAHULUAN P ada dasarnya pengelolaan tanaman dan sumber daya terpadu (PTT) bukanlah suatu paket teknologi, akan tetapi lebih merupakan metodologi atau
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Program kebijakan revitalisasi pertanian menitikberatkan pada program
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Program kebijakan revitalisasi pertanian menitikberatkan pada program pengembangan agribisnis. Program ini bertujuan untuk memfasilitasi berkembangnya usaha agribisnis
Lebih terperinciDAMPAK TEKNOLOGI BUDIDAYA BAWANG MERAH LOKAL PALU TERHADAP PENINGKATAN PRODUKSI DAN PENDAPATAN USAHATANI
DAMPAK TEKNOLOGI BUDIDAYA BAWANG MERAH LOKAL PALU TERHADAP PENINGKATAN PRODUKSI DAN PENDAPATAN USAHATANI Lintje Hutahaean, Syamsul Bakhri, dan Maskar Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tengah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Studi tentang petani dan usahatani, terutama dari aspek budidaya sudah cukup banyak dilakukan di Indonesia. Namun, kajian dan penelitian dalam hal pemilihan
Lebih terperinciIII. KERANGKA PEMIKIRAN. usahatani, pendapatan usahatani, dan rasio penerimaan dan biaya (R-C rasio).
III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka pemikiran teoritis penelitian ini meliputi konsep usahatani, biaya usahatani, pendapatan usahatani, dan rasio penerimaan dan biaya (R-C
Lebih terperinciProsiding Pekan Serealia Nasional, 2010 ISBN :
Usaha tani Padi dan Jagung Manis pada Lahan Tadah Hujan untuk Mendukung Ketahanan Pangan di Kalimantan Selatan ( Kasus di Kec. Landasan Ulin Kotamadya Banjarbaru ) Rismarini Zuraida Balai Pengkajian Teknologi
Lebih terperinciKelayakan Ekonomi Teknologi Petani Pada Usahatani Bawang Merah Varietas Sumenep (Studi Kasus di Desa Rajun Kecamatan Pasongsongan Kabupaten Sumenep)
Kelayakan Ekonomi Teknologi Petani Pada Usahatani Bawang Merah Varietas Sumenep (Studi Kasus di Desa Rajun Kecamatan Pasongsongan Kabupaten Sumenep) Isdiantoni Fakultas Pertanian, Universitas Wiraraja
Lebih terperinciVII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI PADI SEHAT
VII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI PADI SEHAT 7.1. Penerimaan Usahatani Padi Sehat Penerimaan usahatani padi sehat terdiri dari penerimaan tunai dan penerimaan diperhitungkan. Penerimaan tunai adalah penerimaan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. atau jamu. Selain itu cabai juga memiliki kandungan gizi yang cukup
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Cabai merah (Capsicum annuum L.) merupakan salah satu jenis sayuran penting yang bernilai ekonomis tinggi dan cocok untuk dikembangkan di daerah tropika seperti di Indonesia.
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan yang mendasar (basic need) bagi setiap
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan yang mendasar (basic need) bagi setiap manusia untuk dapat melakukan aktivitas sehari-hari guna mempertahankan hidup. Pangan juga merupakan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. dibutuhkan secara berkesinambungan, karena merupakan bahan pangan yang
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Cabai merupakan salah satu produk pertanian hortikultura yang banyak diusahakan oleh petani. Hal ini dikarenakan cabai merupakan komoditas yang memiliki nilai ekonomi dan
Lebih terperinciBAB I. PENDAHULUAN. Tahun. Pusat Statistik 2011.htpp://www.BPS.go.id/ind/pdffiles/pdf [Diakses Tanggal 9 Juli 2011]
BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertanian merupakan sumber mata pencaharian masyarakat Indonesia. Sektor pertanian yang meliputi pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan merupakan kegiatan
Lebih terperinciV. HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Umur, Tingkat Pendidikan, dan Pengalaman berusahatani
V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Petani Responden 1. Umur, Tingkat Pendidikan, dan Pengalaman berusahatani Berdasarkan dari penelitian yang dilakukan, diperoleh hasil komposisi umur kepala keluarga
Lebih terperinciIII. METODE PENELITIAN. Tanaman kehutanan adalah tanaman yang tumbuh di hutan yang berumur
47 III. METODE PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional Konsep dasar dan definisi operasional mencakup pengertian yang digunakan untuk mendapatkan dan menganalisis data sesuai dengan tujuan
Lebih terperinciV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN
V. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1. Demografi Desa Citeko, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor Desa Citeko merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan Cisarua. Desa Citeko memiliki potensi lahan
Lebih terperinciPENDAHULUAN. Tabel 1. Perkembangan PDB Hortikultura Tahun Komoditas
I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Subsektor hortikultura berperan penting dalam mendukung perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat melalui nilai Produk Domestik Bruto (PDB). Produk Domestik Bruto (PDB)
Lebih terperinciRingkasan Eksekutif Analisis Efektivitas Kebijakan Subsidi Pupuk dan Benih: Studi Kasus Tanaman Padi dan Jagung 1
Ringkasan Eksekutif Analisis Efektivitas Kebijakan Subsidi Pupuk dan Benih: Studi Kasus Tanaman Padi dan Jagung 1 Kebijakan pemberian subsidi, terutama subsidi pupuk dan benih yang selama ini ditempuh
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang benar tentang konsep agribisnis itu sendiri. Sering ditemukan bahwa
8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Konsep Agribisnis Semakin bergemanya kata agribisnis ternyata belum diikuti dengan pemahaman yang benar tentang konsep agribisnis itu sendiri. Sering
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Paradigma pembangunan berkelanjutan mengandung makna bahwa pengelolaan sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan sekarang tidak boleh mengurangi kemampuan sumberdaya
Lebih terperinciDAFTAR ISI. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Identifikasi Masalah Tujuan Penelitian Kegunaan Penelitian...
DAFTAR ISI RIWAYAT HIDUP... i ABSTRAK... ii ABSTRACT... iii KATA PENGANTAR... iv DAFTAR ISI... vii DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR... xi DAFTAR LAMPIRAN... xii BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang...
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kedelai (Glycine max L.) merupakan tanaman pangan yang penting sebagai
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kedelai (Glycine max L.) merupakan tanaman pangan yang penting sebagai sumber protein nabati untuk memenuhi permintaan dan kebutuhan masyarakat, sedangkan produksi dalam
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Globalisasi dan liberalisasi perdagangan memberikan peluang. peluang karena pasar komoditas akan semakin luas sejalan dengan
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Globalisasi dan liberalisasi perdagangan memberikan peluang sekaligus tantangan baru yang harus dihadapi dalam pembangunan pertanian di masa depan. Globalisasi dan liberalisasi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Agribisnis menurut Arsyad dalam Firdaus (2008:7) adalah suatu kesatuan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. Agribisnis menurut Arsyad dalam Firdaus (2008:7) adalah suatu kesatuan usaha yang meliputi salah satu atau keseluruhan dari mata rantai produksi, pengolahan hasil
Lebih terperinciPERJANJIAN KINERJA TAHUN 2016
PERJANJIAN KINERJA TAHUN 2016 Dalam rangka mewujudkan manajemen pemerintahan yang efektif, transparan, dan akuntabel serta berorientasi pada hasil, kami yang bertandatangan di bawah ini : Nama : Ir. Bambang
Lebih terperinciKAJIAN USAHATANI TANAMAN TOMAT TERHADAP PRODUKSI DAN PENDAPATAN PETANI,
KAJIAN USAHATANI TANAMAN TOMAT TERHADAP PRODUKSI DAN PENDAPATAN PETANI, (Studi Kasus di Desa Golago Kusuma, Kecamatan Jailolo Timur, Kabupaten Halmahera Barat) Arman Drakel Staf Pengajar FAPERTA UMMU-Ternate,
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. tanaman padi salah satunya yaitu pemupukan. Pupuk merupakan salah satu faktor
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Padi merupakan komoditas utama yang selalu dibudidayakan oleh petani di Indonesia. Tetapi ada banyak hal yang menjadi kendala dalam produktivitas budidaya tanaman padi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya mata pencaharian penduduk Indonesia bergerak pada sektor
1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Pada umumnya mata pencaharian penduduk Indonesia bergerak pada sektor pertanian, sektor ini meliputi aktifitas pertanian, perikanan, perkebunan dan peternakan.
Lebih terperinciVII. PERAN KELEMBAGAAN TERHADAP KEMANDIRIAN, KESEJAHTERAAN PETANI, DAN KEBERLANJUTAN PERTANIAN STRAWBERRY
VII. PERAN KELEMBAGAAN TERHADAP KEMANDIRIAN, KESEJAHTERAAN PETANI, DAN KEBERLANJUTAN PERTANIAN STRAWBERRY 7.1. Karakteristik Responden 7.1.1. Tingkat Umur Tingkat umur responden berkisar antara 40-60 tahun.
Lebih terperinciPENDAHULUAN. Latar Belakang. Petani rumput laut yang kompeten merupakan petani yang mampu dan menguasai
PENDAHULUAN Latar Belakang Petani rumput laut yang kompeten merupakan petani yang mampu dan menguasai aspek teknik budidaya rumput laut dan aspek manajerial usaha tani rumput laut. teknik manajemen usahatani.
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris dengan sektor pertanian sebagai sumber. penduduknya menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian.
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Indonesia merupakan negara agraris dengan sektor pertanian sebagai sumber matapencaharian dari mayoritas penduduknya, sehingga sebagian besar penduduknya menggantungkan
Lebih terperinciPERATURAN WALIKOTA TASIKMALAYA Nomor : 3C Tahun 2008 Lampiran : 1 (satu) berkas TENTANG
WALIKOTA TASIKMALAYA PERATURAN WALIKOTA TASIKMALAYA Nomor : 3C Tahun 2008 Lampiran : 1 (satu) berkas TENTANG INTENSIFIKASI PERTANIAN TANAMAN PANGAN DAN PERKEBUNAN TAHUN 2008 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA
Lebih terperinciVI ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI
VI ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI 6.1 Penerimaan Usahatani Penerimaan usahatani merupakan nilai yang diperoleh dari total produksi usahatani sayuran per hektar yang dikelola oleh petani di Kelompok Tani
Lebih terperinciBunaiyah Honorita Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu Jl. Irian Km.6,5 Bengkulu 38119
1 KAJIAN KEBUTUHAN DAN PELUANG (KKP) PADI Bunaiyah Honorita Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu Jl. Irian Km.6,5 Bengkulu 38119 Padi merupakan tulang punggung pembangunan subsektor tanaman pangan
Lebih terperinciPENGARUH SISTEM PENGELOLAAN USAHATANI CABAI MERAH TERHADAP JUMLAH PRODUKSI DAN TINGKAT PENDAPATAN
PENGARUH SISTEM PENGELOLAAN USAHATANI CABAI MERAH TERHADAP JUMLAH PRODUKSI DAN TINGKAT PENDAPATAN David Hismanta Depari *), Salmiah **) dan Sinar Indra Kesuma **) *) Alumni Program Studi Agribisnis Fakultas
Lebih terperinciV. HASIL DAN PEMBAHASAN. menggunakan pengalaman, wawasan, dan keterampilan yang dikuasainya.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Profil Petani Petani adalah pelaku usahatani yang mengatur segala faktor produksi untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa kualitas
Lebih terperinciV HASIL DAN PEMBAHASAN
V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penetapan Komoditas Unggulan 5.1.1 Penentuan Komoditas Basis Analisis Location Quotient (LQ) menggambarkan pangsa aktivitas produksi tanaman pangan suatu kecamatan terhadap pangsa
Lebih terperinciIII. METODOLOGI PENELITIAN. Konsep dasar dan definisi operasional ini mencakup pengertian yang
50 III. METODOLOGI PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional Konsep dasar dan definisi operasional ini mencakup pengertian yang digunakan untuk mendapatkan data dan melakukan analisis sehubungan
Lebih terperinciVII. PEMBAHASAN ASPEK FINANSIAL
VII. PEMBAHASAN ASPEK FINANSIAL 7.1. Proyeksi Arus Kas (Cashflow) Proyeksi arus kas merupakan laporan aliran kas yang memperlihatkan gambaran penerimaan (inflow) dan pengeluaran kas (outflow). Dalam penelitian
Lebih terperinciIII. KERANGKA PEMIKIRAN
III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis Tujuan dari penelitian yang akan dilakukan adalah untuk mengetahui tingkat pendapatan usahatani tomat dan faktor-faktor produksi yang mempengaruhi
Lebih terperinciBAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Tipe Pemanfaatan Lahan Salah satu tahapan sebelum melakukan proses evaluasi lahan adalah mendeskripsikan 11 atribut kunci Tipe Pemanfaatan Lahan (TPL). Secara rinci diuaraikan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. rumahtangga yang mengusahakan komoditas pertanian. Pendapatan rumahtangga
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pendapatan rumahtangga petani adalah pendapatan yang diterima oleh rumahtangga yang mengusahakan komoditas pertanian. Pendapatan rumahtangga petani dapat berasal dari
Lebih terperinciSURYA AGRITAMA Volume 2 Nomor 2 September KELAYAKAN USAHATANI UBI JALAR (Ipomoea batatas L) DI LAHAN PASIR KECAMATAN MIRIT KABUPATEN KEBUMEN
KELAYAKAN USAHATANI UBI JALAR (Ipomoea batatas L) DI LAHAN PASIR KECAMATAN MIRIT KABUPATEN KEBUMEN Tri Santoso, Uswatun Hasanah, dan Dyah Panuntun Utami Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas
Lebih terperinciVIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. Penelitian menyimpulkan sebagai berikut:
VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 8.1. Kesimpulan Penelitian menyimpulkan sebagai berikut: 1. Usahatani padi organik masih sangat sedikit dilakukan oleh petani, dimana usia petani padi organik 51
Lebih terperinci