BAB II TINJAUAN PUSTAKA Penyu Hijau Perairan Indonesia memiliki enam dari tujuh jenis penyu laut di dunia,

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA Penyu Hijau Perairan Indonesia memiliki enam dari tujuh jenis penyu laut di dunia,"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penyu Hijau Perairan Indonesia memiliki enam dari tujuh jenis penyu laut di dunia, yang berasal dari dua famili yaitu Cheloniidae dan Dermochelyidae. Salah satu spesies dari famili Cheloniidae yang tersebar luas dan jumlah terbanyak di perairan Indonesia adalah penyu Hijau dengan nama ilmiah Chelonia mydas (Hirth, 1971; Adnyana dan Hipiteuw, 2009). Penyu Hijau mudah dikenali dengan melihat adanya empat sisik kostal dan lima sisik vertebral pada karapas dengan sisik yang tersusun tidak saling tumpang tindih. Penyu Hijau memiliki satu pasang sisik pre-frontal dan empat pasang sisik post-orbital pada bagian kepala. Masing-masing flipper memiliki sebuah kuku dan flipper bagian depan lebih panjang dibandingkan flipper bagian belakang (Ratha, 2006). Tukik penyu Hijau memiliki karapas berwarna hitam dengan plastron berwarna putih dan ketika remaja warna karapasnya berwarna coklat dengan bercak kekuningan menyebar (radiating streak) serta plastronnya berwarna kekuningan. Penyu Hijau dewasa memiliki warna karapas yang bervariasi mulai dari warna coklat muda, coklat kemerahan, dan kadang terdapat bintik yang lebih gelap dari warna dasarnya (Pritchard dan Mortimer, 1999; Purwanasari dan Adnyana, 2006). 6

2 2.2. Reproduksi Penyu Hijau Jenis kelamin pada penyu Hijau tidak dapat diidentifikasi secara morfologi sebelum mencapai dewasa kelamin. Jenis kelamin penyu dapat diamati setelah berusia tahun dari perbedaan panjang ekor dan biasanya penyu jantan memiliki ekor yang lebih panjang. Penyu jantan dan penyu betina yang siap untuk bereproduksi akan bermigrasi dari ruaya pakan ke ruaya kawin. Penyu jantan akan kembali ke ruaya pakan setelah kawin dan penyu betina menuju ke area peneluran tempat dulunya penyu tersebut menetas (nest side fidelity) (Limpus et al., 1984). Selama periode peneluran, penyu Hijau betina akan berada di sekitar pantai peneluran (internesting area) selama hari dengan rata-rata 12 hari, dan dalam kurun waktu tersebut penyu betina akan bertelur sebanyak 3 5 kali. Setelah periode peneluran tersebut selesai, penyu betina akan kembali ke ruaya pakan dan mengulangi siklus reproduksi tersebut. Siklus ini terjadi beberapa kali sampai masa reproduktifnya di musim tersebut habis (Hirth, 1980; Clarine, 2005). Penyu betina akan kembali ke ruaya pakan setelah masa reproduktifnya yang hanya beberapa bulan saja dan memulai persiapan aktivitas reproduksinya untuk 2-3 tahun mendatang (Miler, 1985; Limpus dan Miller, 1993; Clarine, 2005). Perilaku reproduksi antara ketujuh spesies penyu laut hampir sama, sebagai akibat dari kemiripan dalam morfologi dan batasan ekologi (bentuk tubuh yang hampir sama dan persyaratan ketika bertelur di darat). Tempat dan kondisi yang dibutuhkan untuk bersarang juga hampir sangat mirip seperti akses yang mudah dari laut dalam menuju pantai peneluran, pasir dengan tekstur yang longgar dan berada cukup tinggi dari air pasang (Hendrickson, 1982). 7

3 2.3. Telur Penyu Hijau Penyu Hijau dapat menghasilkan ±115 butir telur setiap kali bertelur (Clarine, 2005). Penyu Hijau menelurkan dua jenis telur, yaitu telur yang normal dan telur yang tidak normal. Telur yang normal berbentuk bulat dengan kulit berwarna putih yang lembek, mengandung kapsul albumin, kuning telur dan terdapat membran vitelin yang melindungi embrio pada kuning telur. Telur penyu yang tidak normal dapat memiliki ukuran yang sangat besar atau sangat kecil dibandingkan dengan telur lainnya dan kuning telur lebih dari satu. Telur yang mengandung dua kuning telur dan masing-masing dikelilingi oleh selaput albumin akan memiliki peluang untuk menetas (Miller,1999). Kuning telur yang tidak dibungkus oleh membran vitelin pada telur berukuran kecil, biasanya tidak terdapat embrio sehingga telur tidak dapat berkembang dan tidak dapat menetas (Van Buskirk dan Crowder, 1994; Miller,1999). Telur penyu Hijau berdiameter ±44,9 mm dengan berat ±46,1 gram (Hirth, 1980) Daya Tetas Penentuan daya tetas sangat penting bagi kegiatan konservasi penyu laut, karena dapat menjadi tolak ukur kesesuaian pantai peneluran sebagai sistem inkubasi dan kesehatan dari penyu yang bertelur. Daya tetas (hatching success) adalah total jumlah tukik dalam satu sarang yang berhasil lepas dari cangkangnya yang dapat juga ditentukan dengan menghitung jumlah cangkang yang berukuran >50% ukuran awal (Miller, 1999). Daya tetas telur penyu Hijau pada sarang semi alami berkisar antara 80% atau lebih (Limpus et al., 1993). Beberapa faktor yang mempengaruhi daya tetas, diantaranya : 8

4 1. Curah Hujan Turunnya curah hujan yang cukup tinggi akan menurunkan suhu di dalam sarang dan akan meningkatkan kadar air ataupun kelembaban dalam sarang secara ekstrim. Hal ini terjadi karena, kadar air yang tinggi pada sarang dapat mengakibatkan tumbuhnya jamur pada kulit telur dan masuknya bakteri atau mikroorganisme sehingga akan menghambat pertukaran gas di dalam sarang (Solomon dan Baird, 1980). Penurunan suhu secara ekstrim dan peningkatan kadar air dalam sarang, dapat meningkatkan peluang kematian embrio yang sedang berkembang di dalam telur (Goin et al., 1978). 2. Penyakit Penyakit merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan penetasan telur penyu. Beberapa mikroorganisme yang dapat menimbulkan penyakit dan mengganggu proses perkembangan embrio penyu laut, diantaranya Eschericia coli, Klebsiella sp., Enterobacter sp., Citrobacter sp., Pseudomonas sp., Proteus sp., Streptococcus sp., Staphylococcus sp., Bacillus sp., dan Clostridium sp., (Ratha, 2006). 3. Komposisi Substrat Komposisi substrat dan ukuran butiran pasir memegang peranan besar dalam menentukan daya tetas. Hal ini disebabkan oleh pengaruh sifat pasir sebagai penyangga yang baik bagi perubahan suhu, pertukaran gas dan kelembaban yang baik di dalam sarang dipengaruhi oleh pasir dengan partikel yang kecil (Nybakken, 1992; Fuhler, 2005). 9

5 Pengendapan substrat di permukaan pasir dapat mempengaruhi proses embriogenesis dan juga menentukan tingkat daya tetas (Rattermen dan Ackerman, 1989). Penumpukan endapan di atas pasir akan menghalangi proses penguapan dan pertukaran oksigen pada telur dan sekitarnya. Hal ini dapat menyebabkan embrio mengalami insufisiensi oksigen dan akumulasi karbondioksida yang tinggi pada darah atau jaringan (asphyxiation) serta meningkatkan angka kematian tukik (Kam, 1994; Tucker et al., 1998; Foley et al., 2006). Peningkatan endapan di permukaan sarang juga dapat memperpanjang periode inkubasi dan menurunkan temperatur sarang sehingga nantinya akan lebih banyak tukik jantan yang akan dihasilkan (Houghton et al., 2007). 4. Naungan Posisi sarang yang berada pada naungan menunjukan keberhasilan tingkat penetasan yang lebih baik daripada penanaman telur pada sarang tanpa naungan. Sarang yang tidak mendapatkan naungan lebih banyak mendapat pengaruh ekstrim dari luar seperti panas matahari dan hujan yang. Sarang tanpa naungan memiliki perbedaan temperatur dan kadar air dengan sarang yang berada di bawah naungan. Hal ini disebabkan karena perbedaan frekuensi paparan langsung dari hujan dan sinar matahari, yang dapat mempengaruhi suhu pasir dalam sarang (Sukada, 2009). Suhu pasir selama periode inkubasi yang bervariasi, akan mempengaruhi kelangsungan hidup embrio, menentukan jenis kelamin dan durasi inkubasi. Persentase kematian tukik dalam telur lebih tinggi terjadi pada lingkungan yang terlalu kering, karena telur penyu sangat sensitif 10

6 terhadap kekeringan. Selama periode inkubasi telur telur penyu mengalami penyerapan dan pertukaran air, sehingga volumenya menjadi lebih besar (Miller, 1997; Lutz, 1997). 5. Pertukaran Gas Pertukaran gas sangat penting untuk menentukan daya tetas telur penyu, karena mendukung aktivitas metabolik embrio penyu laut. Pertukaran udara dan karbondioksida terjadi dengan cara difusi melalui cangkang telur dan membran korioalantois. Luasan area dan jarak antar sarang yang ideal diperlukan untuk menghasilkan pertukaran gas yang baik. Kepadatan lokasi sarang berpengaruh pada sirkulasi O 2 dan CO 2 yang kemudian berpengaruh pada kesuksesan daya tetas telur penyu (Honarvar dan Spotila, 2008). Pertukaran gas dan penguapan di dalam sarang, antar sarang dan sekitarnya pada umumnya terjadi secara diffusi (Ackerman, 1997). 6. Temperatur/Suhu Temperatur/suhu sangat mempengaruhi kesuksesan penetasan telur penyu (Ackerman,1997; Herrera,2010). Temperatur yang mendukung perkembangan telur penyu laut pada periode inkubasinya berkisar antara C dan apabila berada di luar kisaran angka tersebut maka akan menyebabkan kematian pada embrio penyu laut. Temperatur pada saat periode inkubasi dapat menentukan peluang rasio kelamin tukik yang menetas (Yntema dan Mrosovsky, 1982). Temperatur sangat penting diketahui untuk memahami lingkungan inkubasi, termasuk dalam manajemen langkah konservasi seperti relokasi telur ke lokasi yang baru. 11

7 Perkembangan embrio penyu laut juga dipengaruhi oleh panas metabolik pada tahap akhir periode inkubasi (Zbinden et al., 2005). 7. Kepadatan Telur Kepadatan telur penyu dalam sarang dapat mempengaruhi keberhasilan penetasan. Persentase keberhasilan penetasan pada kepadatan 50 butir telur persarang ternyata lebih besar daripada kepadatan 75 dan 100 butir per sarang (Silalahi, 1989), serta faktor perbedaan kedalaman sarang antara 40 cm dengan 70 cm tidak mempengaruhi hasil penetasan (Natih, 1989). 8. Aktivitas Relokasi Daya tetas dapat dipengaruhi juga oleh faktor-faktor yang terjadi pada saat aktivitas relokasi. Menurut Soedhono (1985), sesaat setelah telur dikeluarkan oleh induk, terjadi berbagai proses biologis. Proses tersebut sangat rentan terhadap faktor yang dialami selama masa transplantasi, terutama 2 jam setelah oviposisi. Harless dan Morlock (1979), menyatakan bahwa telur penyu yang mengalami perubahan posisi maka embrionya akan mengalami kematian atau terjadi gangguan yang dapat mengancam kelangsungan perkembangan embrio. Hal ini disebabkan karena telur penyu tidak mempunyai kemampuan kembali ke posisi semula setelah rotasi. Perubahan posisi telur penyu pada tahap awal perkembangan embrio akan menyebabkan embrio berada di bawah kuning telur dan dapat mengakibatkan kematian embrio. Kondisi sensitif berada pada rentangan waktu 2-72 jam setelah oviposisi. 12

8 2.5. Periode Inkubasi Periode inkubasi adalah periode perkembangan embrio sejak telur diletakan di dalam pasir sampai tukik keluar dari dalam sarang (Ewert, 1979). Faktor faktor yang mempengaruhi periode inkubasi selain kadar air dan temperatur adalah kadar oksigen, komposisi serta tekstur pasir, dan cuaca. Periode inkubasi pada musim hujan akan lebih lama dibandingkan pada saat musim panas (Mrosovsky dan Yntema, 1980). Kisaran periode inkubasi dari tiap spesies penyu laut berbeda beda serta dipengaruhi juga oleh temperatur dan hal ini juga terjadi pada telur penyu Hijau. Sarang yang berada pada kisaran temperatur antara C akan mengakibatkan telur penyu Hijau akan mengalami periode inkubasi selama ±75 hari dan pada suhu 32 C akan mengalami periode inkubasi selama ±45 hari. Perbedaan suhu 1 C akan menambah lama periode inkubasi selama 5 hari (Purwanasari dan Adnyana, 2006). Panas yang berasal dari metabolisme telur akan mengurangi periode inkubasi, karena laju inkubasi sangat dipengaruhi oleh temperatur. Temperatur yang rendah akan memperpanjang periode inkubasi dan sebaliknya temperatur yang tinggi akan mempersingkat periode inkubasi (Carr, 1968) Perbandingan Jenis Kelamin (Rasio kelamin) Jenis kelamin penyu laut pada umumnya dipengaruhi oleh temperatur inkubasi. Temperatur yang berada lebih rendah dari temperatur pivotal, maka kemungkinan tukik yang dihasilkan dominan berjenis kelamin jantan dan jika temperatur lebih tinggi akan menghasilkan tukik betina. Temperatur pivotal berkisar antara C (Larios, 1999). Temperatur pivotal merupakan kisaran temperatur dalam temperatur rata rata yang menghasilkan rasio kelamin tukik 13

9 yang seimbang (Lutz dan Musick, 1997). Menurut Hirth (1971), periode inkubasi telur penyu optimal (berkisar antara hari) akan memberikan peluang rasio kelamin tukik yang seimbang. Periode inkubasi diatas periode ikubasi optimal berpeluang menghasilkan tukik jantan dan apabila berada dibawah periode optimal berpeluang menghasilkan tukik betina. Kondisi tersebut memberikan gambaran bahwa periode inkubasi dapat menjadi indikasi mengenai perbandingan jenis kelamin yang dihasilkan pada satu sarang. Perbandingan jenis kelamin yang ideal adalah 1:1, perbandingan jenis kelamin yang masih dianggap baik adalah dominasi salah satu jenis kelamin namun tidak menghilangkan jenis kelamin lainnya (Rees dan Margalitoulis, 2004) 2.7. Pantai Sukamade Pantai Sukamade terletak di kawasan Taman Nasional Meru Betiri, merupakan salah satu pantai peneluran penting di Jawa Timur. Empat jenis penyu dilaporkan pernah bertelur di pantai peneluran ini yaitu penyu Hijau, penyu Belimbing, penyu Sisik, dan penyu Lekang. Penyu Hijau merupakan penyu yang masih dominan bertelur di pantai ini berdasarkan data yang dikumpulkan sejak periode 1980-an, sedangkan jenis lainnya sangat jarang. Jumlah sarang pertahun yang ditemukan di Sukamade berkisar antara sarang. Populasi penyu Hijau yang bertelur di lokasi ini tidak kurang dari 500 ekor pertahun dan musim peneluran terjadi sepanjang tahun dengan musim puncak sekitar bulan November- Desember (Adnyana et al., 2010). Penyu yang ada di Sukamade memiliki populasi yang unik secara genetik dan berbeda dengan populasi penyu lainya disekitar Australasia, sehingga apabila penyu di lokasi ini punah maka tidak akan dapat direkolonisasi. Populasi penyu di 14

10 Sukamade tidak terpengaruh oleh populasi penyu di tempat lain, kepunahan populasi penyu yang terjadi di Pantai Sukamade akan menjadi permanen (Adnyana et al., 2010). Penyelamatan populasi penyu Hijau di pantai Sukamade dilakukan dengan perlindungan terhadap penyu yang bertelur dan tindakan relokasi telur penyu ke tempat penetasan semi alami. Telur penyu yang baru dioviposisikan dipindahkan dengan menggunakan ember atau karung yang sebelumnya diisi pasir dan dibawa ke tempat penetasan semi alami (hatchery). Tempat penetasan berada diareal pos UPKP Sukamade dan berjarak ±800 meter dari pantai peneluran. Tempat penetasan telur penyu semi alami Sukamade berupa sebuah ruangan yang berisi empat petak pasir dan tiap petak memiliki luas 1m x 3m x 6m, serta berisi pasir sedalam 1 meter. Ruangan tersebut memiliki tembok setengah tinggi bangunan yang sisa tingginya ditutupi oleh kawat berlubang dan beratap. Telur penyu yang berasal dari satu induk diletakan pada satu sarang buatan yang sama di dalam petak-petak pasir. Sarang buatan memiliki kedalaman sekitar cm dan jarak antar sarang berjarak sekitar cm. Telur yang telah menetas akan ditunggu 5-7 hari sampai semua tukik keluar dari sarang tersebut dan kemudian dilepaskan ke laut (Ratha, 2006; Adnyana et al., 2010). 15

11 Gambar 2.1. Lokasi Taman Nasional Meru Betiri. (sumber : diakses pada 12 Juni 2013) Gambar 2.2. Peta Pantai Sukamade. (sumber : googlemap.com, diakses pada 12 Juni 2013) 16

12 2.8. Kerangka Konsep Curah hujan Komposisi Panas metabolik Daya tetas Naungan Pertukaran gas Temperatur udara Temperatur Periode inkubasi Rasio kelamin Tukik berukuran optimal Gambar 2.3 Kerangka Konsep Penelitian. Semenjak tahun 1970 sampai sekarang, upaya konservasi dilakukan di pantai peneluran Sukamade karena memiliki peranan yang penting dalam pelestarian penyu. Selama periode tersebut, telah dilakukan metode pengelolaan konservasi yang memiliki tujuan untuk melindungi induk yang bertelur dan menghasilkan tukik yang berukuran optimal. Upaya yang dilakukan adalah dengan patroli pengamanan induk yang bertelur dan merelokasi tukik ke tempat penetasan semi alami (Purwanasari dan Adnyana, 2006; Adnyana et al., 2010). Pada umumnya di tempat penetasan semi alami, daya tetas dari telur yang direlokasi sangat rendah,yang seharusnya antara penetasan alami ataupun semi alami minimal sama atau bahkan lebih tinggi. Selain daya tetas (hatching success), perbandingan jenis kelamin (rasio kelamin) yang seimbang juga merupakan pencapaian yang harus dipenuhi karena rasio yang seimbang akan ikut memberikan pengaruh terhadap kelestarian penyu dalam jangka waktu yang panjang. Temperatur inkubasi yang ideal merupakan 17

13 faktor yang sangat penting untuk mencapai tujuan tersebur. Temperatur inkubasi pada umumnya dipengaruhi oleh banyak faktor dari lingkungan, antara lain seperti pertukaran gas, komposisi substrat, naungan, temperatur udara dan curah hujan. Temperatur inkubasi juga dipengaruhi oleh panas metabolik yang dihasilkan dari hasil proses metabolisme telur itu sendiri pada akhir periode inkubasi (Ackerman, 1997; Honarvar dan Spotila, 2008). Temperatur inkubasi memiliki korelasi dengan periode inkubasi yaitu semakin lama periode inkubasi, mengindikasikan bahwa temperatur inkubasi rendah, dan sebaliknya semakin cepat masa inkubasi, mengindikasikan temperatur inkubasi yang lebih tinggi (Miller, 1999). Hal tersebut dapat memberikan gambaran bahwa dari periode inkubasi dapat diprediksi rasio jenis kelamin tukik yang menetas. Menurut Booth et al., (2004), dari periode inkubasi dan daya tetas yang optimal nantinya diharapkan dapat menghasilkan tukik dengan ukuran tubuh yang optimal. Ukuran tubuh tukik optimal yang dimaksud adalah memiliki anggota tubuh yang lengkap dan normal, serta masih memiliki yolk sac yang proporsional. Periode inkubasi yang ideal dan daya tetas yang tinggi merupakan acuan yang sangat penting dalam menentukan tingkat kesuksesan pada penetasan telur penyu secara semi alami Hipotesis Penelitian 1. Apakah metode yang diterapkan oleh UPKP Sukamade, Taman Nasional Meru Betiri memberikan proporsi periode inkubasi yang berpeluang menghasilkan tukik dengan rasio kelamin seimbang? H 0 : PI 50% H A :PI > 50% 18

14 2. Apakah metode yang diterapkan oleh UPKP Sukamade, Taman Nasional Meru Betiri mendapatkan proporsi daya tetas yang optimal? H 0 : DT 49,9% H A : DT > 50% Keterangan: PI : Periode inkubasi yang dianggap akan memberikan peluang rasio kelamin seimbang adalah hari (Hirth, 1971). DT : Daya tetas dianggap optimal apabila mencapai 80% (Limpus et al., 1993) 19

BAB I PENDAHULUAN. Timur. Wilayah Kepulauan Derawan secara geografis terletak di 00 51`00-0l

BAB I PENDAHULUAN. Timur. Wilayah Kepulauan Derawan secara geografis terletak di 00 51`00-0l 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepulauan Derawan terletak di perairan Kabupaten Berau yang merupakan salah satu dari 13 kabupaten yang terdapat di Provinsi Kalimantan Timur. Wilayah Kepulauan Derawan

Lebih terperinci

PERIODE INKUBASI, SUKSES MENETAS, DAN TINGKAT KEBUGARAN TUKIK PENYU HIJAU (Chelonia mydas) DI PANTAI SUKAMADE, JAWA TIMUR

PERIODE INKUBASI, SUKSES MENETAS, DAN TINGKAT KEBUGARAN TUKIK PENYU HIJAU (Chelonia mydas) DI PANTAI SUKAMADE, JAWA TIMUR TESIS PERIODE INKUBASI, SUKSES MENETAS, DAN TINGKAT KEBUGARAN TUKIK PENYU HIJAU (Chelonia mydas) DI PANTAI SUKAMADE, JAWA TIMUR I WAYAN YUSTISIA SEMARARIANA NIM 1192361007 PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN HEWAN

Lebih terperinci

by: Dwi Pitriani 1), Muhammad Fauzi 2), Eni Sumiarsih 2) Abstract

by: Dwi Pitriani 1), Muhammad Fauzi 2), Eni Sumiarsih 2) Abstract The effects of nest cover types on incubation period and hatching rate of Olive Ridley turtle Lepidochelys olivacea in the Turtle Conservation Unit, Pariaman by: Dwi Pitriani 1), Muhammad Fauzi 2), Eni

Lebih terperinci

Penyiapan Mesin Tetas

Penyiapan Mesin Tetas Dian Maharso Yuwono Pemeliharaan unggas secara intensif memerlukan bibit dalam jumlah yang relatif banyak, sehingga penetasan dengan mesin semakin diperlukan. Penetasan telur unggas (ayam, itik, puyuh,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei deskriptif. Menurut Nasir 1983 dalam Ario 2016, metode survei deskriptif yaitu

Lebih terperinci

PERBANDINGAN KEBERHASILAN PENETASAN TELUR PENYU SISIK (Eretmochelys imbricata) DI PENANGKARAN PENYU PANTAI TONGACI DAN UPT PENANGKARAN PENYU GUNTUNG

PERBANDINGAN KEBERHASILAN PENETASAN TELUR PENYU SISIK (Eretmochelys imbricata) DI PENANGKARAN PENYU PANTAI TONGACI DAN UPT PENANGKARAN PENYU GUNTUNG 77 PERBANDINGAN KEBERHASILAN PENETASAN TELUR PENYU SISIK (Eretmochelys imbricata) DI PENANGKARAN PENYU PANTAI TONGACI DAN UPT PENANGKARAN PENYU GUNTUNG Comparison of Eggs Hatching Success Eretmochelys

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tabel 1. Jenis-jenis Penyu Laut di Dunia

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tabel 1. Jenis-jenis Penyu Laut di Dunia II. TINJAUAN PUSTAKA A. Jenis dan Penyebaran Penyu Laut Penyu laut hidup di lautan sejak 100 juta tahun lalu. Pritchard dan Mortimer (1999) menyatakan bahwa di dunia terdapat delapan jenis penyu laut yang

Lebih terperinci

Penetasan Telur Penyu Lekang (Lepidochelys olivacea Eschscholtz,1829) pada Lokasi Berbeda di Kawasan Konservasi Penyu Kota Pariaman

Penetasan Telur Penyu Lekang (Lepidochelys olivacea Eschscholtz,1829) pada Lokasi Berbeda di Kawasan Konservasi Penyu Kota Pariaman Penetasan Telur Penyu Lekang (Lepidochelys olivacea Eschscholtz,1829) pada Lokasi Berbeda di Kawasan Konservasi Penyu Kota Pariaman Eggs Hatching of Olive Ridley Turtles (Lepidochelys olivacea Eschscholtz,1829)

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Pengaruh Media terhadap Pertambahan biomassa Cacing Tanah Eudrilus eugeniae.

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Pengaruh Media terhadap Pertambahan biomassa Cacing Tanah Eudrilus eugeniae. Pertambahan bobot (gram) BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Pengaruh Media terhadap Pertambahan biomassa Cacing Tanah Eudrilus eugeniae. Pengambilan data pertambahan biomassa cacing tanah dilakukan

Lebih terperinci

Mahasiswa Pendidikan Dokter Hewan, 2. Departemen Reproduksi Veteriner, 3 Departemen Parasitologi Veteriner, 4

Mahasiswa Pendidikan Dokter Hewan, 2. Departemen Reproduksi Veteriner, 3 Departemen Parasitologi Veteriner, 4 pissn: 2615-7497; eissn: 2581-012X April 2018, Vol.1 No.2 : 1-5 online pada http://journal.unair.ac.id PERBEDAAN SARANG ALAMI DENGAN SEMI ALAMI MEMPENGARUHI MASA INKUBASI DAN KEBERHASILAN MENETAS TELUR

Lebih terperinci

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV HASIL DAN PEMBAHASAN DAFTAR ISI xi Halaman HALAMAN SAMPUL... i HALAMAN PENGESAHAN...i BERITA ACARA... iii PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH... iv PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI SKRIPSI UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS...v ABSTRAK...

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Fisik dan Biologi Pantai 4.1.1 Lebar dan Kemiringan Pantai Pantai Pangumbahan Sukabumi yang memiliki panjang pantai sepanjang ±2,3 km dan di Pantai Sindangkerta

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. maupun kegiatan manusia yang membahayakan populasinya secara langsung

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. maupun kegiatan manusia yang membahayakan populasinya secara langsung I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyu merupakan reptil yang hidup di laut serta mampu bermigrasi dalam jarak yang jauh. Keberadaannya telah lama terancam, baik dari alam maupun kegiatan manusia yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan satu dari sedikit tempat di dunia dimana penyu laut

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan satu dari sedikit tempat di dunia dimana penyu laut 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan satu dari sedikit tempat di dunia dimana penyu laut ditemukan dalam jumlah besar. Daerah-daerah yang menjadi lokasi peneluran di Indonesia umumnya

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. morfologi. Penilaian dilakukan pada DOD yang baru menetas untuk melihat

HASIL DAN PEMBAHASAN. morfologi. Penilaian dilakukan pada DOD yang baru menetas untuk melihat IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Nilai Kualitiatif Pusar Penilaian menggunakan metode pasgar skor didasarkan pada kriteria morfologi. Penilaian dilakukan pada DOD yang baru menetas untuk melihat kualitas DOD

Lebih terperinci

SELAMA MASA INKUBASI DI PANTAI PANGUMBAHAN KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT

SELAMA MASA INKUBASI DI PANTAI PANGUMBAHAN KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT IDENTIFIKASI PANAS METABOLISME PADA PENETASAN TELUR PENYU HIJAU Chelonia mydas L., SELAMA MASA INKUBASI DI PANTAI PANGUMBAHAN KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT Oleh Dr. Ir. H. M. Yahya Ahmad, MM.,MA.,ED*

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Letak dan Kondisi Penelitian Kabupaten Cirebon dengan luas wilayah 990,36 km 2 merupakan bagian dari wilayah Provinsi Jawa Barat yang terletak di bagian timur dan merupakan

Lebih terperinci

Jurnal Kelautan Tropis November 2016 Vol. 19(2): ISSN

Jurnal Kelautan Tropis November 2016 Vol. 19(2): ISSN Jurnal Kelautan Tropis November 2016 Vol. 19(2):123 130 ISSN 0853-7291 Keberhasilan Penetasan Telur Penyu Hijau (Chelonia mydas) Dalam Sarang Semi Alami Dengan Kedalaman Yang Berbeda Di Pantai Sukamade,

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI SEKS RASIO TUKIK PENYU HIJAU

IDENTIFIKASI SEKS RASIO TUKIK PENYU HIJAU ECOTROPHIC 5 (2) : 134-138 ISSN : 1907-5626 IDENTIFIKASI SEKS RASIO TUKIK PENYU HIJAU (Chelonia mydas) DAN PENYU BELIMBING (Dermochelys coriacea) DI BERBAGAI PANTAI PENELURAN UTAMA DI INDONESIA Studi kasus

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Morfologi Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas Branchiopoda, Divisi Oligobranchiopoda, Ordo Cladocera, Famili Daphnidae,

Lebih terperinci

telur, dimana setelah jam diinkubasi pada suhu 25 C kista akan menetas

telur, dimana setelah jam diinkubasi pada suhu 25 C kista akan menetas Siklus hidup Artemia (gambar 3) dimulai pada saat menetasnya kista atau telur, dimana setelah 15-20 jam diinkubasi pada suhu 25 C kista akan menetas manjadi embrio. Selanjutnya dalam waktu beberapa jam

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu : 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai adalah suatu perairan yang airnya berasal dari mata air, air hujan, air permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Aliran air

Lebih terperinci

SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 8. FOTOSINTESISLatihan Soal ph (derajat keasaman) apabila tidak sesuai kondisi akan mempengaruhi kerja...

SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 8. FOTOSINTESISLatihan Soal ph (derajat keasaman) apabila tidak sesuai kondisi akan mempengaruhi kerja... SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 8. FOTOSINTESISLatihan Soal 8.4 1. ph (derajat keasaman) apabila tidak sesuai kondisi akan mempengaruhi kerja... Klorofil Kloroplas Hormon Enzim Salah satu faktor yang mempengaruhi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Tempat Penelitian 4.1.1. Sejarah UPTD BPPTD Margawati Garut Unit Pelaksana Teknis Dinas Balai Pengembangan Perbibitan Ternak Domba atau disingkat UPTD BPPTD yaitu

Lebih terperinci

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. banyaknya telur yang menetas dibagi dengan banyaknya telur yang fertil.

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. banyaknya telur yang menetas dibagi dengan banyaknya telur yang fertil. 31 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pengaruh Perlakuan Terhadap Daya Tetas Daya tetas merupakan banyaknya telur yang menetas dari sejumlah telur yang fertil. Data daya tetas pada penelitian ini dihitung dengan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. konstruksi khusus sesuai dengan kapasitas produksi, kandang dan ruangan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. konstruksi khusus sesuai dengan kapasitas produksi, kandang dan ruangan 2 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bangunan Penetasan Bangunan penetasan adalah suatu tempat yang dibangun dengan konstruksi khusus sesuai dengan kapasitas produksi, kandang dan ruangan penetasan harus terpisah.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. species dari Anas plitirinchos yang telah mengalami penjinakan atau domestikasi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. species dari Anas plitirinchos yang telah mengalami penjinakan atau domestikasi 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Itik Magelang Bangsa itik jinak yang ada sekarang berasal dari itik liar yang merupakan species dari Anas plitirinchos yang telah mengalami penjinakan atau domestikasi (Susilorini

Lebih terperinci

BAB II TINJUAN PUSTAKA. Penyu hijau tergolong dalam famili Cheloniidae. Menurut Hirth (1971) dalam

BAB II TINJUAN PUSTAKA. Penyu hijau tergolong dalam famili Cheloniidae. Menurut Hirth (1971) dalam 6 BAB II TINJUAN PUSTAKA 2.1 Taksonomi Penyu hijau (Chelonia mydas) Penyu hijau tergolong dalam famili Cheloniidae. Menurut Hirth (1971) dalam Prihanta (2007), taksonomi penyu hijau adalah: Kerajaan Filum

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ayam Kedu merupakan salah satu ayam lokal langka Indonesia. Ayam. bandingkan dengan unggas lainnya (Suryani et al., 2012).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ayam Kedu merupakan salah satu ayam lokal langka Indonesia. Ayam. bandingkan dengan unggas lainnya (Suryani et al., 2012). BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ayam Kedu Ayam Kedu merupakan salah satu ayam lokal langka Indonesia. Ayam Kedu berasal dari Desa Karesidenan Kedu Temanggung Jawa Tengah. Ayam Kedu memiliki kelebihan daya

Lebih terperinci

Global Warming. Kelompok 10

Global Warming. Kelompok 10 Global Warming Kelompok 10 Apa itu Global Warming Global warming adalah fenomena peningkatan temperatur global dari tahun ke tahun karena terjadinya efek rumah kaca (green house effect) yang disebabkan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 17. Kandang Pemeliharaan A. atlas

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 17. Kandang Pemeliharaan A. atlas HASIL DAN PEMBAHASAN Suhu dan Kelembaban Ruangan Rata-rata suhu dan kelembaban ruangan selama penelitian pada pagi hari 22,4 0 C dan 78,6%, siang hari 27,4 0 C dan 55%, sore hari 25 0 C dan 75%. Hasil

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Kelompok Tani Ternak Rahayu merupakan suatu kelompok peternak yang ada di

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Kelompok Tani Ternak Rahayu merupakan suatu kelompok peternak yang ada di IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Kelompok Ternak Kelompok Tani Ternak Rahayu merupakan suatu kelompok peternak yang ada di Desa Sidodadi, Kecamatan Way Lima, Kabupaten Pesawaran, Propinsi Lampung.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PEMIJAHAN, PENETASAN TELUR DAN PERAWATAN LARVA Pemijahan merupakan proses perkawinan antara induk jantan dengan induk betina. Pembuahan ikan dilakukan di luar tubuh. Masing-masing

Lebih terperinci

PENGARUH KARAKTERISTIK PASIR DAN LETAK SARANG TERHADAP PENETASAN TELUR PENYU HIJAU (Chelonia mydas) DI PANTAI GOA CEMARA, BANTUL

PENGARUH KARAKTERISTIK PASIR DAN LETAK SARANG TERHADAP PENETASAN TELUR PENYU HIJAU (Chelonia mydas) DI PANTAI GOA CEMARA, BANTUL PENGARUH KARAKTERISTIK PASIR DAN LETAK SARANG TERHADAP PENETASAN TELUR PENYU HIJAU (Chelonia mydas) DI PANTAI GOA CEMARA, BANTUL Fafiq Listiani, Hemas Rizky Mahardhika dan Norman Arie Prayogo Fakultas

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sistem Informasi Geografis 2.1.1. Pengertian dan Konsep Dasar Prahasta (2001) menyebutkan bahwa pengembangan sistem-sistem khusus yang dibuat untuk menangani masalah informasi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Tingkat Serangan O. furnacalis pada Tanaman Jagung Larva O. furnacalis merusak daun, bunga jantan dan menggerek batang jagung. Gejala serangan larva pada batang adalah ditandai dengan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Nyamuk Aedes aegypti Aedes aegypti merupakan jenis nyamuk yang dapat membawa virus dengue penyebab penyakit demam berdarah. [2,12] Aedes aegypti tersebar luas di wilayah tropis

Lebih terperinci

Pengaruh Selang Waktu Peletakkan Terhadap Keberhasilan Penetasan Telur Penyu Hijau (Chelonia mydas L.)

Pengaruh Selang Waktu Peletakkan Terhadap Keberhasilan Penetasan Telur Penyu Hijau (Chelonia mydas L.) h ILMU KELAUTAN September 2014 Vol 19(3):159 164 ISSN 0853-7291 Pengaruh Peletakkan Terhadap Keberhasilan Penetasan Telur Penyu Hijau (Chelonia mydas L.) Edi Wibowo Kushartono *, Endang Sri Susilo, Sayyidah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ayam Lokal

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ayam Lokal II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ayam Lokal Ayam lokal Indonesia merupakan hasil dometsikasi Ayam Hutan Merah (Gallus gallus) dan Ayam Hutan Hijau (Gallus varius). Ayam Hutan Merah di Indonesia ada dua macam yaitu

Lebih terperinci

HAI NAMAKU PENYU Fakta Tentang Penyu Menurut data para ilmuwan, penyu sudah ada sejak akhir zaman Jura (145-208 juta tahun yang lalu) atau seusia dengan dinosaurus. Penyu termasuk kelas reptilia yang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN GLOBAL WARMING - BIODIVERSITAS MAF - BIOLOGI UNAIR 1 DAMPAK PEMANASAN GLOBAL TERHADAP BIODIVERSITAS DAN EKOSISTEM

PENDAHULUAN GLOBAL WARMING - BIODIVERSITAS MAF - BIOLOGI UNAIR 1 DAMPAK PEMANASAN GLOBAL TERHADAP BIODIVERSITAS DAN EKOSISTEM GLOBAL WARMING - BIODIVERSITAS PENDAHULUAN DAMPAK PEMANASAN GLOBAL TERHADAP BIODIVERSITAS DAN EKOSISTEM Drs. MOCH. AFFANDI, M.Si. FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS AIRLANGGA - SURABAYA Beberapa

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. penyediaan daging itik secara kontinu. Kendala yang dihadapi adalah kurang

PENDAHULUAN. penyediaan daging itik secara kontinu. Kendala yang dihadapi adalah kurang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Usaha peternakan unggas di Indonesia semakin berkembang seiring dengan banyaknya kebutuhan protein hewani terutama itik lokal. Itik mulai digemari oleh masyarakat terutama

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. kebutuhan konsumsi bagi manusia. Sapi Friesien Holstein (FH) berasal dari

KAJIAN KEPUSTAKAAN. kebutuhan konsumsi bagi manusia. Sapi Friesien Holstein (FH) berasal dari II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Karakteristik Sapi perah Sapi perah (Bos sp.) merupakan ternak penghasil susu yang sangat dominan dibanding ternak perah lainnya dan sangat besar kontribusinya dalam memenuhi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Morfologi Clownfish Klasifikasi Clownfish menurut Burges (1990) adalah sebagai berikut: Kingdom Filum Ordo Famili Genus Spesies : Animalia : Chordata : Perciformes

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 19 HASIL DAN PEMBAHASAN Jumlah Telur Nyamuk Aedes aegypti yang telah diberikan pakan darah akan menghasilkan sejumlah telur. Telur-telur tersebut dihitung dan disimpan menurut siklus gonotrofik. Jumlah

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Perairan Teluk Jakarta Perairan Teluk Jakarta merupakan sebuah teluk di perairan Laut Jawa yang terletak di sebelah utara provinsi DKI Jakarta, Indonesia. Terletak

Lebih terperinci

BAB II ANALISIS SIKLUS REPRODUKSI PENYU HIJAU (CHELONIA MYDAS) DI PANTAI SINDANGKERTA KECAMATAN CIPATUJAH KABUPATEN TASIKMALAYA

BAB II ANALISIS SIKLUS REPRODUKSI PENYU HIJAU (CHELONIA MYDAS) DI PANTAI SINDANGKERTA KECAMATAN CIPATUJAH KABUPATEN TASIKMALAYA BAB II ANALISIS SIKLUS REPRODUKSI PENYU HIJAU (CHELONIA MYDAS) DI PANTAI SINDANGKERTA KECAMATAN CIPATUJAH KABUPATEN TASIKMALAYA A. Definisi Reproduksi Reproduksi sebagai perkawinan antara laki-laki dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memperbanyak jumlah daya tetas telur agar dapat diatur segala prosesnya serta

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memperbanyak jumlah daya tetas telur agar dapat diatur segala prosesnya serta 2 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penetasan Penetasan merupakan upaya dalam mempertahankan populasi maupun memperbanyak jumlah daya tetas telur agar dapat diatur segala prosesnya serta dapat menghasilkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Itik merupakan ternak jenis unggas air yang termasuk dalam kelas Aves, ordo

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Itik merupakan ternak jenis unggas air yang termasuk dalam kelas Aves, ordo 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Itik Itik merupakan ternak jenis unggas air yang termasuk dalam kelas Aves, ordo Anseriformes, family Anatidae, sub family Anatinae, tribus Anatini dan genus Anas (Srigandono,

Lebih terperinci

TATALAKSANA PENETASAN TELUR ITIK

TATALAKSANA PENETASAN TELUR ITIK TATALAKSANA PENETASAN TELUR ITIK SUGENG WIDODO Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, BOGOR 16002 RINGKASAN Dengan melaksanakan tatalaksana penetasan telur itik secara baik akan didapatkan hasil yang maksimal.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Waduk merupakan salah satu bentuk perairan menggenang yang dibuat

I. PENDAHULUAN. Waduk merupakan salah satu bentuk perairan menggenang yang dibuat I. PENDAHULUAN Waduk merupakan salah satu bentuk perairan menggenang yang dibuat dengan cara membendung aliran sungai sehingga aliran air sungai menjadi terhalang (Thohir, 1985). Wibowo (2004) menyatakan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pendahuluan Perkembangan industri peternakan yang semakin pesat menuntut teknologi yang baik dan menunjang. Salah satu industri peternakan yang paling berkembang adalah industri

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut:

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut: TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom Filum Kelas Ordo Famili Genus : Animalia : Arthropoda : Insecta : Lepidoptera : Noctuidae :

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Fisiologi Hewan Air Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, pada bulan Maret 2013 sampai dengan April 2013.

Lebih terperinci

PERUBAHAN-PERUBAHAN YANG TERJADI PADA SUSU, TELUR DAN DAGING PASCA PANEN

PERUBAHAN-PERUBAHAN YANG TERJADI PADA SUSU, TELUR DAN DAGING PASCA PANEN PERUBAHAN-PERUBAHAN YANG TERJADI PADA SUSU, TELUR DAN DAGING PASCA PANEN Pertemuan Minggu ke 6 Kelas B Juni Sumarmono & Kusuma Widayaka ILMU PASCAPANEN PETERNAKAN 2017 Kualitas Baik Edible (dapat dimakan)

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Kadar Oksigen Terlarut Hasil pengukuran konsentrasi oksigen terlarut pada kolam pemeliharaan ikan nila Oreochromis sp dapat dilihat pada Gambar 2. Dari gambar

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Perilaku Kawin

HASIL DAN PEMBAHASAN Perilaku Kawin HASIL DAN PEMBAHASAN Perilaku Kawin Pengamatan perilaku kawin nyamuk diamati dari tiga kandang, kandang pertama berisi seekor nyamuk betina Aedes aegypti dengan seekor nyamuk jantan Aedes aegypti, kandang

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dikenal dengan istilah susut tetas. Pengaruh perlakuan terhadap susut tetas

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dikenal dengan istilah susut tetas. Pengaruh perlakuan terhadap susut tetas BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Perlakuan Terhadap Susut Telur Selama proses inkubasi, telur akan mengalami penyusutan yang dikenal dengan istilah susut tetas. Pengaruh perlakuan terhadap susut

Lebih terperinci

PEMETAAN KAWASAN HABITAT PENYU DI KABUPATEN BINTAN

PEMETAAN KAWASAN HABITAT PENYU DI KABUPATEN BINTAN PEMETAAN KAWASAN HABITAT PENYU DI KABUPATEN BINTAN Oleh : Dony Apdillah, Soeharmoko, dan Arief Pratomo ABSTRAK Tujuan penelitian ini memetakan kawasan habitat penyu meliputi ; lokasi tempat bertelur dan

Lebih terperinci

bio.unsoed.ac.id TELAAH PUSTAKA A. Morfologi dan Klasifikasi Ikan Brek

bio.unsoed.ac.id TELAAH PUSTAKA A. Morfologi dan Klasifikasi Ikan Brek II. TELAAH PUSTAKA A. Morfologi dan Klasifikasi Ikan Brek Puntius Orphoides C.V adalah ikan yang termasuk anggota Familia Cyprinidae, disebut juga dengan ikan mata merah. Ikan brek mempunyai garis rusuk

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. salah satunya pemenuhan gizi yang berasal dari protein hewani. Terlepas dari

PENDAHULUAN. salah satunya pemenuhan gizi yang berasal dari protein hewani. Terlepas dari 1 I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring meningkatnya pertumbuhan penduduk, kebutuhan pangan semakin meningkat pula. Pangan yang dibutuhkan oleh masyarakat jenisnya beragam, salah satunya pemenuhan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gejala Penyakit. (a) Gambar 7 Tanaman kentang di Dataran Tinggi Dieng tahun 2012 (a) terinfeksi NSK, (b) sehat.

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gejala Penyakit. (a) Gambar 7 Tanaman kentang di Dataran Tinggi Dieng tahun 2012 (a) terinfeksi NSK, (b) sehat. HASIL DAN PEMBAHASAN Gejala Penyakit Gejala pada tajuk (bagian di atas permukaan tanah) Gejala penyakit yang ditimbulkan oleh NSK sangat khas. Tanaman akan mengalami kerusakan akar yang menyebabkan berkurangnya

Lebih terperinci

genus Barbodes, sedangkan ikan lalawak sungai dan kolam termasuk ke dalam species Barbodes ballaroides. Susunan kromosom ikan lalawak jengkol berbeda

genus Barbodes, sedangkan ikan lalawak sungai dan kolam termasuk ke dalam species Barbodes ballaroides. Susunan kromosom ikan lalawak jengkol berbeda 116 PEMBAHASAN UMUM Domestikasi adalah merupakan suatu upaya menjinakan hewan (ikan) yang biasa hidup liar menjadi jinak sehingga dapat bermanfaat bagi manusia. Domestikasi ikan perairan umum merupakan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Botani

TINJAUAN PUSTAKA Botani 3 TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman mentimun berasal dari kaki pegunungan Himalaya. Domestikasi dari tanaman liar ini berasal dari India utara dan mencapai Mediterania pada 600 SM. Tanaman ini dapat tumbuh

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Trisik adalah kawasan yang masih menyimpan sisa keanekaragaman

II. TINJAUAN PUSTAKA. Trisik adalah kawasan yang masih menyimpan sisa keanekaragaman II. TINJAUAN PUSTAKA A. Keanekaragaman Burung di Pantai Trisik Trisik adalah kawasan yang masih menyimpan sisa keanekaragaman hayati di Yogyakarta khususnya pada jenis burung. Areal persawahan, laguna

Lebih terperinci

3.KUALITAS TELUR IKAN

3.KUALITAS TELUR IKAN 3.KUALITAS TELUR IKAN Kualitas telur dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi: umur induk, ukuran induk dan genetik. Faktor eksternal meliputi: pakan,

Lebih terperinci

Penangkaran Penyu di Desa Perancak Kab. Jembrana BAB I PENDAHULUAN

Penangkaran Penyu di Desa Perancak Kab. Jembrana BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bali merupakan daerah kepulauan yang sebagian besar terdapat pesisir pantai. Kondisi tersebut menjadikan pulau Bali sebagai tempat yang cocok untuk kehidupan penyu

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Ciri Umum dan Jenis Penyu Pengenalan terhadap bagian-bagian tubuh penyu (Gambar 1) beserta fungsinya sangat diperlukan agar dapat melakukan identifikasi terhadap jenis penyu dengan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lingkungan dan antropogenik bisa sangat tinggi. Untuk meningkatkan angka

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lingkungan dan antropogenik bisa sangat tinggi. Untuk meningkatkan angka 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Proses Translokasi Sarang Telur Penyu Kematian pada embrionik penyu pada sarang alami akibat faktor lingkungan dan antropogenik bisa sangat tinggi. Untuk meningkatkan angka

Lebih terperinci

Tingkat Keberhasilan Penetasan Telur Penyu Hijau (Chelonia Mydas, Linnaeus 1758) di Pantai Sebubus, Kabupaten Sambas

Tingkat Keberhasilan Penetasan Telur Penyu Hijau (Chelonia Mydas, Linnaeus 1758) di Pantai Sebubus, Kabupaten Sambas Tingkat Keberhasilan Penetasan Telur Penyu Hijau (Chelonia Mydas, Linnaeus 1758) di Pantai Sebubus, Kabupaten Sambas Sheavtiyan 1, Tri Rima Setyawati 1, Irwan Lovadi 1 1 Program Studi Biologi, Fakultas

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE. 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di PT. Peta Akuarium, Bandung pada bulan April hingga Mei 2013.

BAB III BAHAN DAN METODE. 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di PT. Peta Akuarium, Bandung pada bulan April hingga Mei 2013. BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di PT. Peta Akuarium, Bandung pada bulan April hingga Mei 2013. 3.2 Alat dan Bahan Penelitian 3.2.1 Alat-alat Penelitian

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Chilo sacchariphagus Boj. (Lepioptera: Crambidae) Bentuk telur jorong dan sangat pipih, diletakkan dalam 2-3 baris tersusun

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Chilo sacchariphagus Boj. (Lepioptera: Crambidae) Bentuk telur jorong dan sangat pipih, diletakkan dalam 2-3 baris tersusun TINJAUAN PUSTAKA 1. Chilo sacchariphagus Boj. (Lepioptera: Crambidae) 1.1 Biologi Bentuk telur jorong dan sangat pipih, diletakkan dalam 2-3 baris tersusun seperti atap genting (Gambar 1). Jumlah telur

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Buah Naga

TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Buah Naga II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tanaman Buah Naga Buah naga ( Dragon Fruit) merupakan salah satu tanaman hortikultura yang baru dibudidayakan di Indonesia dengan warna buah merah yang menyala dan bersisik hijau

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk di Indonesia, permintaan

I. PENDAHULUAN. Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk di Indonesia, permintaan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk di Indonesia, permintaan konsumen terhadap produk hasil ternak juga meningkat. Produk hasil ternak yang dipilih

Lebih terperinci

TINGKAT KEBERHASILAN PENETASAN TELUR PENYU HIJAU (Chelonia mydas) PULAU WIE TAMBELAN DI LAGOI

TINGKAT KEBERHASILAN PENETASAN TELUR PENYU HIJAU (Chelonia mydas) PULAU WIE TAMBELAN DI LAGOI TINGKAT KEBERHASILAN PENETASAN TELUR PENYU HIJAU (Chelonia mydas) PULAU WIE TAMBELAN DI LAGOI Erpa Mardiana¹, Arief Pratomo², Henky Irawan² Jurusan Ilmu Kelautan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 17 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Organ reproduksi Jenis kelamin ikan ditentukan berdasarkan pengamatan terhadap gonad ikan dan selanjutnya ditentukan tingkat kematangan gonad pada tiap-tiap

Lebih terperinci

Faktor-Faktor Abiotik Utama dalam Persebaran Organisme. Assalamualaikum Wr. Wb. Ina Septi Wijaya BIOLOGI III-A

Faktor-Faktor Abiotik Utama dalam Persebaran Organisme. Assalamualaikum Wr. Wb. Ina Septi Wijaya BIOLOGI III-A Faktor-Faktor Abiotik Utama dalam Persebaran Organisme Assalamualaikum Wr. Wb Ina Septi Wijaya BIOLOGI III-A 109016100030 Apa yang dimaksud dengan faktor abiotik???? Faktor Abiotik Abiotik (bahasa Inggris:

Lebih terperinci

'SKfl ipsi ;'; ;~:!::... '".", ',. ':', KKS KK,}",;',,;;..'':.

'SKfl ipsi ;'; ;~:!::... '., ',. ':', KKS KK,},;',,;;..'':. STUD!' NASA IN'KUBASI DAN KEBERHASILAN PENETASAN SEMI ALAMI TELUR PENYU HIJAU (Chelonia mjdtu L.) DI PANTAI SUKAMADE, TAMANNASIONAL MERU BETIRI ' < ' 'SKfl ipsi ;'; ;~:!::... '".", ',. ':', KKS KK,}",;',,;;..'':.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Penyakit DBD adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Penyakit DBD adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Demam Berdarah Dengue Penyakit DBD adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti, yang ditandai dengan demam mendadak

Lebih terperinci

Metamorfosis Kecoa. 1. Stadium Telur. 2. Stadium Nimfa

Metamorfosis Kecoa. 1. Stadium Telur. 2. Stadium Nimfa Metamorfosis Kecoa 1. Stadium Telur Proses metamorfosis kecoa diawali dengan stadium telur. Telur kecoa diperoleh dari hasil pembuahan sel telur betina oleh sel spermatozoa kecoa jantan. Induk betina kecoa

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Inseminasi Buatan pada Ayam Arab

HASIL DAN PEMBAHASAN. Inseminasi Buatan pada Ayam Arab HASIL DAN PEMBAHASAN Inseminasi Buatan pada Ayam Arab Ayam Arab yang ada di Indonesia sekarang adalah ayam Arab hasil kawin silang dengan ayam lokal. Percepatan perkembangbiakan ayam Arab dapat dipacu

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Teknik Pemijahan ikan lele sangkuriang dilakukan yaitu dengan memelihara induk

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Teknik Pemijahan ikan lele sangkuriang dilakukan yaitu dengan memelihara induk BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pemeliharaan Induk Teknik Pemijahan ikan lele sangkuriang dilakukan yaitu dengan memelihara induk terlebih dahulu di kolam pemeliharaan induk yang ada di BBII. Induk dipelihara

Lebih terperinci

KUALITAS TANAH DAN KRITERIA UNTUK MENDUKUNG HIDUP DAN KEHIDUPAN KULTIVAN BUDIDAYA DAN MAKANANNYA

KUALITAS TANAH DAN KRITERIA UNTUK MENDUKUNG HIDUP DAN KEHIDUPAN KULTIVAN BUDIDAYA DAN MAKANANNYA KUALITAS TANAH DAN KRITERIA UNTUK MENDUKUNG HIDUP DAN KEHIDUPAN KULTIVAN BUDIDAYA DAN MAKANANNYA Usaha pelestarian dan pembudidayaan Kultivan (ikan,udang,rajungan) dapat dilakukan untuk meningkatkan kelulushidupan

Lebih terperinci

HIDROMETEOROLOGI Tatap Muka Ketiga (ATMOSFER)

HIDROMETEOROLOGI Tatap Muka Ketiga (ATMOSFER) Dosen : DR. ERY SUHARTANTO, ST. MT. JADFAN SIDQI FIDARI, ST., MT HIDROMETEOROLOGI Tatap Muka Ketiga (ATMOSFER) 1. Pengertian Atmosfer Planet bumi dapat dibagi menjadi 4 bagian : (lithosfer) Bagian padat

Lebih terperinci

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga. Pendahuluan

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga. Pendahuluan Pendahuluan Pembenihan merupakan suatu tahap kegiatan dalam budidaya yang sangat menentukan kegiatan pemeliharaan selanjutnya dan bertujuan untuk menghasilkan benih. Benih yang dihasilkan dari proses pembenihan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Tapir asia dapat ditemukan dalam habitat alaminya di bagian selatan Burma, Peninsula Melayu, Asia Tenggara dan Sumatra. Berdasarkan Tapir International Studbook, saat ini keberadaan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Botani Tanaman Bayam Bayam (Amaranthus sp.) merupakan tanaman semusim dan tergolong sebagai tumbuhan C4 yang mampu mengikat gas CO 2 secara efisien sehingga memiliki daya adaptasi

Lebih terperinci

IKAN LOU HAN (Cichlasoma sp)

IKAN LOU HAN (Cichlasoma sp) IKAN LOU HAN (Cichlasoma sp) MENGENAL IKAN LOUHAN -Nama lain : flower horn, flower louhan dan sungokong. -Tidak mengenal musim kawin. -Memiliki sifat gembira, cerdas dan cepat akrab dengan pemiliknya.

Lebih terperinci

PEDOMAN TEKNIS PENGELOLAAN KONSERVASI PENYU

PEDOMAN TEKNIS PENGELOLAAN KONSERVASI PENYU 1 PEDOMAN TEKNIS PENGELOLAAN KONSERVASI PENYU 2 3 Judul Foto & Sumber Data Narasumber Diterbitkan oleh : PEDOMAN TEKNIS PENGELOLAAN KONSERVASI PENYU : Beberapa gambar dan foto diambil dari buku Mengenal

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hingga menetas, yang bertujuan untuk mendapatkan individu baru. Cara penetasan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hingga menetas, yang bertujuan untuk mendapatkan individu baru. Cara penetasan 2 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penetasan Penetasan merupakan suatu proses perkembangan embrio di dalam telur hingga menetas, yang bertujuan untuk mendapatkan individu baru. Cara penetasan terbagi dua yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Lichenes yang lazim dikenal dengan nama lumut kerak merupakan jenis tumbuhan yang belum banyak diketahui oleh sebagian orang. Dan sesungguhnya berbeda dari

Lebih terperinci

Terbuka lebar peluang ekspor dari budidaya belut

Terbuka lebar peluang ekspor dari budidaya belut Terbuka lebar peluang ekspor dari budidaya belut Karya Ilmiah Di susun oleh : Nama : Didi Sapbandi NIM :10.11.3835 Kelas : S1-TI-2D STMIK AMIKOM YOGYAKARTA TAHUN PELAJARAN 2010 / 2011 Abstrak Belut merupakan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. luas di seluruh dunia sebagai bahan pangan yang potensial. Kacang-kacangan

II. TINJAUAN PUSTAKA. luas di seluruh dunia sebagai bahan pangan yang potensial. Kacang-kacangan 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Tanaman Kacang Hijau Kacang-kacangan (leguminosa), sudah dikenal dan dimanfaatkan secara luas di seluruh dunia sebagai bahan pangan yang potensial. Kacang-kacangan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Individu betina dan jantan P. marginatus mengalami tahapan perkembangan hidup yang berbeda (Gambar 9). Individu betina mengalami metamorfosis paurometabola (metamorfosis

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. wilayah beriklim sedang, tropis, dan subtropis. Tanaman ini memerlukan iklim

II. TINJAUAN PUSTAKA. wilayah beriklim sedang, tropis, dan subtropis. Tanaman ini memerlukan iklim 15 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Tanaman Buncis Buncis berasal dari Amerika Tengah, kemudian dibudidayakan di seluruh dunia di wilayah beriklim sedang, tropis, dan subtropis. Tanaman ini memerlukan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan, yang merupakan hasil persilangan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan, yang merupakan hasil persilangan 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kambing Boer Jawa (Borja) Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan, yang merupakan hasil persilangan antara kambing Afrika lokal tipe kaki panjang dengan kambing yang berasal

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sepanjang khatulistiwa dan km dari utara ke selatan. Luas negara Indonesia

I. PENDAHULUAN. sepanjang khatulistiwa dan km dari utara ke selatan. Luas negara Indonesia 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia, sekitar 17.508 buah pulau yang membentang sepanjang 5.120 km dari timur ke barat sepanjang

Lebih terperinci

SKRIPSI HABITAT BERTELUR DAN TINGKAT KEBERHASILAN PENETASAN TELUR PENYU ABU-ABU

SKRIPSI HABITAT BERTELUR DAN TINGKAT KEBERHASILAN PENETASAN TELUR PENYU ABU-ABU SKRIPSI HABITAT BERTELUR DAN TINGKAT KEBERHASILAN PENETASAN TELUR PENYU ABU-ABU (Lepidochelys olivacea Eschsholtz 1829 ) DI PANTAI SAMAS DAN PANTAI TRISIK YOGYAKARTA Disusun oleh : Agatha Eka Agustina

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 7 HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Distribusi Spasial A. tegalensis pada Tiga Varietas Tebu Secara umum pola penyebaran spesies di dalam ruang terbagi menjadi tiga pola yaitu acak, mengelompok, dan teratur. Sebagian

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Ciri Morfologis Klasifikasi

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Ciri Morfologis Klasifikasi 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Ciri Morfologis 2.1.1. Klasifikasi Klasifikasi ikan tembang (Sardinella maderensis Lowe, 1838 in www.fishbase.com) adalah sebagai berikut : Filum : Chordata Subfilum

Lebih terperinci