HASIL DAN PEMBAHASAN. Inseminasi Buatan pada Ayam Arab

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "HASIL DAN PEMBAHASAN. Inseminasi Buatan pada Ayam Arab"

Transkripsi

1 HASIL DAN PEMBAHASAN Inseminasi Buatan pada Ayam Arab Ayam Arab yang ada di Indonesia sekarang adalah ayam Arab hasil kawin silang dengan ayam lokal. Percepatan perkembangbiakan ayam Arab dapat dipacu melalui berbagai terobosan teknologi yang telah dikembangkan. Inseminasi buatan (IB) merupakan alternatif peningkatan perkembangbiakan ayam Arab. Manfaat dari inseminasi buatan antara lain adalah: (1) mempertinggi penggunaan pejantan-pejantan unggul, (2) menghemat biaya dan tenaga pemeliharaan, (3) pejantan-pejantan yang dipakai dalam IB telah mengalami seleksi terlebih dahulu, (4) penularan penyakit dapat dicegah, dan (5) meningkatkan efisiensi reproduksi. Keberhasilan inseminasi buatan dapat dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas semen yang digunakan. Salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas dan kuantitas semen yang dihasilkan adalah intensitas pemerahan atau penampungan semen. Menurut Supriatna (2000), keberhasilan pelaksanaan inseminasi buatan ditentukan oleh beberapa faktor antara lain daya fertilitas spermatozoa (fertile life), jenis pengencer yang digunakan, dosis dan interval IB, pengelolaan semen, waktu pelaksanaan inseminasi serta teknik pelaksanaan IB dan keterampilan inseminator. Proses penampungan semen dan inseminasi buatan disajikan pada Gambar 4. Gambar 4. Proses Penampungan Semen dan Inseminasi Buatan Perlakuan yang diberikan dalam penelitian ini untuk mempelajari pengaruh frekuensi penampungan atau pemerahan semen yang berbeda (satu kali, dua kali, dan tiga kali seminggu) terhadap durasi fertilitas, daya fertil, mortalitas embrio, dan daya 18

2 tetas telur sampai hari ke-14 setelah inseminasi buatan dilakukan serta viabilitas DOC dengan metode inseminasi buatan. Data hasil pengamatan pengaruh frekuensi penampungan semen terhadap durasi fertilitas, daya fertil, mortalitas embrio, dan daya tetas telur sampai hari ke-14 setelah inseminasi buatan serta viabilitas dengan metode inseminasi buatan disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Hasil Pengamatan Pengaruh Frekuensi Penampungan Semen yang Berbeda Terhadap Durasi Fertilitas, Daya Fertil, Mortalitas Embrio, Daya Tetas, dan Viabilitas DOC. Peubah Perlakuan A B C Durasi Fertilitas (hari) Daya Fertil (%) Mortalitas Embrio (%) Daya Tetas (%) 7,9±0,2 A 9,2±0,4 B 9,6±0,2 B 51,13±2,42 52,39±1,28 62,38±8,88 7,22±1,11 7,84±1,64 7,15±2,16 92,78±1,11 92,26±1,89 92,85±2,16 Viabilitas DOC (%) 95,92±1,56 96,47±3,20 95,94±1,83 Keterangan : Superskip = Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan sangat berbeda nyata (P<0,01) A = Penampungan semen 1x seminggu B = Penampungan semen 2x seminggu C = Penampungan semen 3x seminggu Durasi Fertilitas Durasi fertilisasi adalah lama fertilitas (jumlah hari) yang dihitung dari hari ke dua setelah inseminasi sampai hari terakhir fertil (hari ke-14). Sperma unggas dapat mempertahankan kapasitas fertilisasinya untuk jangka waktu yang cukup lama di dalam saluran telur betina. Sperma tersimpan dalam lipatan-lipatan atau crypta atau sarang sperma di permukaan dalam saluran telur (Toelihere, 1993). Menurut Supriatna (2000), daya fertilitas spermatozoa adalah kemampuan spermatozoa dalam saluran oviduk untuk membuahi sel telur dalam jangka waktu tertentu. Analisis ragam menunjukkan bahwa frekuensi pemerahan semen yang berbeda sangat berpengaruh (P<0,01) terhadap durasi fertilitas. Setelah dilakukan uji banding diketahui bahwa perlakuan A berbeda pengaruhnya dengan perlakuan B dan C, sedangkan perlakuan B dan C memiliki pengaruh yang sama terhadap durasi fertilitas. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa durasi fertilitas yang paling lama adalah 9,6 19

3 hari pada perlakuan C dengan penampungan semen tiga kali seminggu. Perlakuan A dengan penampungan semen satu kali seminggu menghasilkan durasi fertilitas selama 7,9 hari dan pada perlakuan B dengan pemerahan dua kali seminggu memiliki durasi fertilitas selama 9,6 hari. Menurut Lake dan Stewart (1978), lama periode fertil pada ayam (Gallus gallus domesticus) rata-rata adalah 12 hari. Perbedaan ini dipengaruhi oleh kemampuan sperma dapat bertahan di dalam saluran reproduksi betina. Kualitas dan kuantitas sperma yang diinseminasikan pada ayam betina menjadi indikator lamanya periode fertil. Rataan durasi fertilitas dari masing-masing perlakuan dengan tiga kali inseminasi disajikan pada Gambar 5. Gambar 5. Diagram Rataan Durasi Fertilitas Menurut penelitian McDaniel dan Sexton (1977), menampung semen ayam jantan sekali tiga kali dan lima kali per minggu (berdasarkan 5 hari kerja/minggu) menghasilkan perbedaan secara nyata terhadap volume dan konsentrasi semen. Tiga kali penampungan per minggu mengasilkan volume per ejakulasi dan konsentrasi sperma yang lebih tinggi dibanding lima kali per minggu. Hal ini menunjukkan bahwa semen yang terlalu jarang ditampung dan terlalu sering ditampung akan menghasilkan kualitas dan kuantitas semen yang tidak baik. Tingkat frekuensi penampungan sperma yang paling optimal sehingga menghasilkan fertilitas yang tinggi adalah penampungan semen tiga kali seminggu. Durasi fertilitas dipengaruhi oleh motilitas sperma yang merupakan salah satu faktor yang menentukan fertilitas. 20

4 Hal ini sesuai dengan pernyataan Ensminger (1992) bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi fertilitas adalah abnormalitas spermatozoa. Tinggi atau rendahnya motilitas sperma disebabkan oleh banyak atau sedikitnya spermatozoa yang abnormal. Faktor lain yang mempengaruhi durasi fertilitas adalah waktu pelaksanaan inseminasi. Menurut Sastrodihardjo dan Resnawati (1999), pelaksanaan inseminasi buatan pada waktu dan dosis yang tepat akan menghasilkan fertilitas telur yang tinggi. Hasil penelitian Saleh dan Sugiyatno (2006) menunjukkan periode fertil pada ayam ras petelur yang diinseminasi menggunakan semen ayam Kampung dengan waktu pelaksanaan inseminasi 2-4 jam setelah oviposisi rata-rata adalah 12 hari. Hal ini sejalan dengan pernyataan Abdillah (1996), bahwa untuk mendapatkan fertilitas telur yang tinggi sebaiknya inseminasi buatan dilakukan empat jam pasca oviposisi. Daya Fertil Fertiltas adalah persentase telur yang memperlihatkan adanya perkembangan embrio tanpa memperhatikan telur tersebut menetas atau tidak dari sejumlah telur yang dieramkan (Nesheim et al., 1979). Fertilitas merupakan salah satu indikator dalam menentukan keberhasilan pelaksanaan inseminasi buatan. Fertilitas diperoleh dengan menghitung perbandingan antara jumlah telur yang fertil dengan jumlah telur yang diinkubasi di dalam mesin tetas (Ensminger, 1992). Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa frekuensi penampungan semen yang berbeda tidak berpengaruh (P>0,05) terhadap daya fertil. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pada perlakuan A (penampungan semen satu kali seminggu) memiliki nilai daya fertil sebesar 51,13%. Perlakuan B (penampungan semen dua kali seminggu) memiliki nilai daya fertil sebesar 52,39%, dan perlakuan C (penampungan semen tiga kali seminggu) memiliki nilai daya fertil sebesar 62,38%. Menurut Bahr dan Bakst (1987), fertilitas pada ayam yang diinseminasi berkisar antara 60-70% sedangkan menurut Sulandari et al. (2007), fertilitas pada ayam Arab dengan kawin alam adalah 69,17%. Hasil penelitian Permana (2007) menggunakan 18 ekor ayam betina menghasilkan daya fertil telur ayam Arab sebesar 95,91% dengan waktu pengoleksian telur selama 7 hari setelah inseminasi buatan dilakukan. Daya fertilitas telur tercatat rendah karena dalam sekali inseminasi buatan dilakukan pengoleksian telur sampai hari ke-14. Pada usaha penetasan komersial biasanya dalam sekali inseminasi buatan pengoleksian telur 21

5 hanya dilakukan sampai hari ke-7, sama seperti penelitian yang dilakukan Permana (2007). Rataan daya fertil dari masing-masing perlakuan dengan tiga kali inseminasi disajikan pada Gambar 6. Gambar 6. Diagram Rataan Daya Fertil Menurut Ensminger (1992), beberapa faktor yang mempengaruhi fertilitas diantaranya produksi telur dan abnormalitas spermatozoa. Pada umumnya, fertilitas telur berkolerasi dengan kualitas semen, serta konsentrasi dan motilitas sperma. Menurut Partodihardjo (1982), konsentrasi sperma dapat dipengaruhi oleh frekuensi penampungan semen. Mortalitas Embrio Mortalitas embrio adalah jumlah embrio yang mati pada telur yang akan ditetaskan. Mortalitas embiro merupakan salah satu indikator dalam keberhasilan penetasan. Persentase kematian embrio dihitung berdasarkan jumlah embrio yang mati pada umur tertentu dibagi dengan jumlah telur yang fertil. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa frekuensi penampungan semen yang berbeda tidak berpengaruh terhadap mortalitas embrio pada perlakuan A, B, dan C serta memiliki tingkat mortalitas yang sama. Perlakuan A dengan penampungan semen satu kali seminggu memiliki nilai daya tetas sebesar 7,22%, perlakuan B dengan penampungan semen dua kali seminggu memiliki nilai daya tetas sebesar 7,84%, sedangkan perlakuan C 22

6 dengan penampungan semen tiga kali seminggu memiliki nilai daya tetas sebesar 7,15%. Rataan mortalitas embrio dari masing-masing perlakuan dengan tiga kali inseminasi disajikan pada Gambar 7. Gambar 7. Diagram Rataan Mortalitas Embrio Umur kematian embrio pada penelitian ini terjadi pada embrio umur 3 hari, 6 hari, 12 hari, dan 21 hari. Embrio yang mati pada umur 1-3 hari kemungkinan besar disebabkan oleh faktor genetik atau internal, sedangkan embrio yang mati pada umur 4-21 hari disebabkan oleh faktor lingkungan atau eksternal. Tingginya angka mortalitas embrio disebabkan oleh tingkat kebersihan telur dan mesin tetas yang rendah serta suhu dan kelembaban mesin tetas yang tidak konstan. Hal tersebut sejalan dengan Nuryati et al. (2002) bahwa kebersihan telur merupakan salah satu indikator dalam kegiatan penetasan. Telur tetas yang kotor dapat menyebabkan telur tersebut membusuk dan meledak dalam mesin tetas akibat terkontaminasi oleh bakteri. North dan Bell (1990) menyatakan bahwa kebersihan telur sangat dipengaruhi oleh frekuensi pengoleksian telur dan sanitasi kandang. Frekuensi pengoleksian telur dan sanitasi kandang yang sering akan mengurangi telur-telur terkontaminasi oleh bakteri yang terdapat pada feses dan litter. Kondisi kebersihan mesin tetas juga dapat berpengaruh pada perkembangan embrio. Mesin tetas yang digunakan terus-menerus dapat menimbulkan investasi beberapa penyakit akibat adanya telur yang meledak atau pecah sehingga dapat menjadi agen pembawa penyakit yang dapat mengkontaminasi telur yang ada di 23

7 dalamnya. Selain itu, suhu dan kelembaban mesin tetas merupakan faktor penting dalam perkembangan embrio. Suhu dan kelembaban mesin tetas yang digunakan pada penelitian ini tidak konstan diakibatkan oleh pasokan aliran listrik untuk menjalankan mesin tetas yang sering mati sehingga embrio yang berkembang akan terhambat atau mati. Suhu dan kelembaban rata-rata pada penelitian ini adalah 37,46 ºC dan 62,87%. Menurut Winarto et al. (2008), suhu dan kelembaban pada mesin penetasan ayam adalah 35,9-38 ºC dan 66%. Suhu dan kelembaban rata-rata memang sesuai dengan suhu dan kelembaban yang ideal digunakan untuk penetasan ayam namun terjadi fluktuasi dalam kisaran suhu dan kelembaban setiap harinya. Suhu dan kelembaban yang fluktuatif dapat mengganggu metabolisme embrio dan dapat mengakibatkan kematian. Suhu yang berfluktuasi akan menyebabkan kegagalan dalam proses penetasan. Kegagalan ini ditandai dengan banyaknya anak ayam yang tidak menetas dan apabila menetas bulu anak ayam akan lengket pada kerabang akibat cairan amnion yang masih tersisa. Selain menyebabkan banyaknya telur tidak menetas, suhu yang tinggi maupun rendah juga berpengaruh terhadap lama waktu penetasan. Kelembaban pada mesin penetas ini dijaga dengan menyediakan bak yang berisi air pada bagian bawah dari rak telur dan volume air ini dijaga ketersediannya. Gangguan kelembaban dapat menyebabkan kematian embrio pada saat cangkang telur mulai retak. Hal ini sesuai dengan pernyataan North dan Bell (1990) dan Ensminger (1992) bahwa beberapa faktor yang mempengaruhi daya tetas diantaranya adalah suhu dan kelembaban mesin tetas, serta kebersihan telur. Faktor-faktor tersebut dapat menjadi penyebab kematian embrio pada umur tertentu. Embrio yang mati disajikan pada Gambar 8. Gambar 8. Kematian atau Mortalitas Embrio 24

8 Daya Tetas Daya tetas merupakan indikator kedua setelah fertilitas yang menentukan keberhasilan pelaksanaan inseminasi buatan dan usaha penetasan. Menurut North dan Bell (1990), daya tetas dapat dihitung dengan dua cara. Cara pertama, perhitungan daya tetas dilakukan dengan persentase perbandingan jumlah telur yang menetas dari jumlah telur yang masuk ke dalam mesin tetas. Cara kedua, perhitungan daya tetas dilakukan dengan persentase perbandingan jumlah telur yang menetas dari jumlah telur fertil. Cara pertama pada umumnya sering digunakan oleh usaha penetasan secara komersil, sedang cara kedua biasanya digunakan untuk mengetahui viabilitas dalam telur tetas yang fertil dalam penelitian. Maka perhitungan yang digunakan adalah cara yang kedua. Analisis ragam menunjukan bahwa frekuensi penampungan semen yang berbeda tidak berpengaruh (P>0,05) terhadap daya tetas. Pengamatan daya tetas menunjukan nilai yang tidak berbeda jauh antara perlakuan A, B, dan C. Perlakuan A dengan penampungan semen satu kali seminggu memiliki nilai daya tetas sebesar 92,78%. Perlakuan B dengan penampungan semen dua kali seminggu memiliki nilai daya tetas sebesar 92,16% sedangkan perlakuan C dengan penampungan semen tiga kali seminggu memiliki nilai daya tetas sebesar 92,85%. Hasil penelitian tersebut menunjukan data yang tidak berbeda jauh dengan penelitian sebelumya yang dilakukan oleh Permana (2007) yang menyatakan bahwa daya tetas telur ayam Arab hasil inseminasi buatan sebesar 93,05%. Menurut Sulandari et al. (2007), daya tetas telur ayam Arab hasil kawin alam adalah 74,14%. Hal ini menunjukkan bahwa nilai daya tetas pada penelitian ini tergolong baik dan nilai daya tetas hasil dari inseminasi buatan lebih besar dari pada nilai daya tetas hasil kawin alam. Frekuensi penampungan semen memang tidak berpengaruh secara langsung terhadap daya tetas. Beberapa faktor yang sangat berpengaruh terhadap besarnya persentase daya tetas adalah jumlah telur fertil dan mortalitas embrio. Hal inilah yang akan menjadi turunan pengaruh dari kualitas dan kuantitas semen yang digunakan untuk inseminasi buatan yang akan berdampak pada nilai daya fertil dan mortalitas embrio yang akan berpengaruh terhadap nilai daya tetas. Jumlah telur yang fertil akan menjadi nilai yang utama dalam besarnya nilai daya tetas, sedangkan nilai mortalitas embrio yang tinggi akan menurunkan nilai daya tetas yang dihasilkan. Nilai daya tetas 25

9 berbanding terbalik dengan nilai mortalitas embrio. Rataan daya tetas dari masingmasing perlakuan dengan tiga kali inseminasi disajikan pada Gambar 9. Gambar 9. Diagram Rataan Daya Tetas Menurut North dan Bell (1990) dan Ensminger (1992), daya tetas dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain fertilitas, lama dan suhu penyimpanan telur, suhu dan kelembaban mesin tetas, kebersihan telur, penyakit serta keragaman bentuk dan ukuran telur. Suhu dan kelembaban mesin tetas merupakan faktor yang penting dalam proses penetasan telur. Suhu dan kelembaban mesin tetas harus dijaga konstan agar tidak terjadi fluktuasi yang dapat menyebabkan kematian embrio atau kegagalan dalam proses penetasan. Gunawan (2001) menyatakan bahwa bobot telur tetas sangat berpengaruh terhadap daya tetas yang dihasilkan. Semakin besar bobot telur tetas yang digunakan dalam proses penetasan maka daya tetas yang dihasilkan akan semakin besar juga. Hal ini dapat disebebkan karena telur yang besar memiliki kuning telur yang besar juga, kuning telur yang besar memberikan persediaan makanan untuk embrio yang lebih banyak sehingga perkembangan embrio tidak terganggu dan mengurangi mortalitas embrio. Selain itu, faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi daya tetas adalah umur induk dan bentuk telur. Semakin tua umur induk dan semakin bulat telur yang digunakan maka daya tetas yang dihasilkan pun akan semakin kecil (Opel, 1979). Umur induk yang semakin tua menghasilkan telur yang cenderung bulat. 26

10 Telur yang bulat akan membuat anak ayam sulit untuk menetas (pipping). Gambar mesin tetas dan telur yang akan menetas (pipping) disajikan pada Gambar 10. Gambar 10. Mesin Tetas dan Telur yang Akan Menetas (Pipping) Viabilitas DOC Viabilitas merupakan kemampuan anak ayam untuk dapat bertahan hidup setelah menetas. Viabilitas dapat dilihat dengan mengamati anak ayam yang baru menetas. Menurut SNI (Badan Standardisasi Nasional, 2005), ciri-ciri DOC yang normal dan sehat adalah kondisi fisik sehat, kaki normal dan dapat berdiri tegak, paruh normal, tampak segar dan aktif, tidak dehidrasi, tidak ada kelainan bentuk dan tidak cacat fisik, sekitar pusar dan dubur kering dan pusar tertutup. Warna bulu seragam sesuai dengan warna galur (strain) serta kondisi bulu kering dan berkembang. Analisis ragam menunjukan bahwa frekuensi penampungan semen yang berbeda tidak berpengaruh terhadap viabilitas. Hasil pengamatan menunjukan bahwa viabilitas (%) hasil inseminasi buatan dari frekuensi penampungan yang berbeda memiliki nilai yang tidak berbeda jauh antara perlakuan A, B, dan C. Perlakuan A dengan penampungan semen satu kali seminggu memiliki nilai daya tetas sebesar 95,92%. Perlakuan B dengan penampungan semen dua kali seminggu memiliki nilai daya tetas sebesar 96,47% sedangkan perlakuan C dengan penampungan semen tiga kali seminggu memiliki nilai daya tetas sebesar 95,94%. Hasil penelitian ini tergolong baik dan tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Permana (2007) yang menyatakan bahwa nilai viabilitas anak ayam Arab hasil inseminasi buatan adalah 96,54%. Nilai viabilitas anak ayam dari betina ayam Arab hasil inseminasi buatan menggunakan 27

11 semen dari pejantan ayam Pelung dan ayam Wareng Tanggerang berturut-turut adalah 97,44% dan 98,55%. Penelitian lain yang dilakukan oleh Suherlan (2003) menunjukan nilai viabilitas pada ayam Merawang adalah 83,93%. Rataan viabilitas DOC dari masing-masing perlakuan dengan tiga kali inseminasi disajikan pada Gambar 11. Gambar 11. Diagram Rataan Viabilitas DOC Hal tersebut menunjukan bahwa frekuensi penampungan semen yang berbeda tidak mempengaruhi nilai viabilitas anak ayam Arab. Anak ayam abnormal dari hasil penelitian diketahui dari kondisi kaki yang lemah sehingga tidak dapat berdiri tegak, adanya cacat fisik, tali pusar masih menempel, dan kondisi bulu yang basah. Gambar 12 memperlihatkan kondisi anak ayam yang baru menetas. Gambar 12. Anak Ayam Normal dan Anak Ayam Abnormal 28

12 Menurut Hafez (1987), kualitas sperma yang baik sangat mempengaruhi daya hidup anak ayam. Faktor lain yang mempengaruhi viabilitas antara lain pakan dan manajemen. Pakan dan manajemen yang kurang baik akan menyebabkan menurunkan viabilitas pada anak ayam dan meningkatkan mortalitas. Pernyataan tersebut sejalan dengan Ensminger (1992) yang menyatakan bahwa viabilitas sangat dipengaruhi oleh pakan dan manajemen pemeliharaan. Menurut Permana (2007), untuk meminimalkan mortalitas perlu dilakukan tiga metode preventif yaitu sanitasi, penggunaan obat, dan menghasilkan bibit yang resisten terhadap penyakit. 29

TINJAUAN PUSTAKA Ayam Arab

TINJAUAN PUSTAKA Ayam Arab TINJAUAN PUSTAKA Ayam Arab Ayam Arab berasal dari Belgia yang disebut dengan nama Brakel Kriel yang termasuk ke dalam galur ayam petelur unggul di Belgia. Produksi telur ayam Arab setara dengan ayam Leghorn,

Lebih terperinci

FERTILITAS TELUR AYAM ARAB HASIL INESMINASI BUATAN MENGGUNAKAN SEMEN DARI FREKUENSI PENAMPUNGAN BERBEDA

FERTILITAS TELUR AYAM ARAB HASIL INESMINASI BUATAN MENGGUNAKAN SEMEN DARI FREKUENSI PENAMPUNGAN BERBEDA FERTILITAS TELUR AYAM ARAB HASIL INESMINASI BUATAN MENGGUNAKAN SEMEN DARI FREKUENSI PENAMPUNGAN BERBEDA ANDRE ADIKA ANKANEGARA SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 2. Hasil Evaluasi Karakteristik Semen Ayam Arab pada Frekuensi Penampungan yang Berbeda

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 2. Hasil Evaluasi Karakteristik Semen Ayam Arab pada Frekuensi Penampungan yang Berbeda HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil evaluasi semen secara makroskopis (warna, konsistensi, ph, dan volume semen) dan mikroskopis (gerakan massa, motilitas, abnormalitas, konsentrasi, dan jumlah spermatozoa per

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 6. Kualitas Eksterior Telur Tetas Ayam Arab

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 6. Kualitas Eksterior Telur Tetas Ayam Arab HASIL DAN PEMBAHASAN Kualitas Eksterior Telur Tetas Keberhasilan suatu usaha penetasan bergatung pada beberapa hal salah satunya adalah kualitas telur. Seleksi telur tetas menentukan tingkat keberhasilan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Itik merupakan ternak jenis unggas air yang termasuk dalam kelas Aves, ordo

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Itik merupakan ternak jenis unggas air yang termasuk dalam kelas Aves, ordo 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Itik Itik merupakan ternak jenis unggas air yang termasuk dalam kelas Aves, ordo Anseriformes, family Anatidae, sub family Anatinae, tribus Anatini dan genus Anas (Srigandono,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. masyarakat Pesisir Selatan. Namun, populasi sapi pesisir mengalami penurunan,

PENDAHULUAN. masyarakat Pesisir Selatan. Namun, populasi sapi pesisir mengalami penurunan, I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sapi Pesisir merupakan salah satu bangsa sapi lokal yang banyak dipelihara petani-peternak di Sumatra Barat, terutama di Kabupaten Pesisir Selatan. Sapi Pesisir mempunyai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memperbanyak jumlah daya tetas telur agar dapat diatur segala prosesnya serta

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memperbanyak jumlah daya tetas telur agar dapat diatur segala prosesnya serta 2 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penetasan Penetasan merupakan upaya dalam mempertahankan populasi maupun memperbanyak jumlah daya tetas telur agar dapat diatur segala prosesnya serta dapat menghasilkan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dibagikan. Menurut Alim dan Nurlina ( 2011) penerimaan peternak terhadap

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dibagikan. Menurut Alim dan Nurlina ( 2011) penerimaan peternak terhadap BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Persepsi Peternak Terhadap IB Persepsi peternak sapi potong terhadap pelaksanaan IB adalah tanggapan para peternak yang ada di wilayah pos IB Dumati terhadap pelayanan IB

Lebih terperinci

PENETAPAN INTERVAL INSEMINASI BUATAN (IB) PADA AYAM BURAS

PENETAPAN INTERVAL INSEMINASI BUATAN (IB) PADA AYAM BURAS PENETAPAN INTERVAL INSEMINASI BUATAN (IB) PADA AYAM BURAS KADIRAN, R.DENNY PURNAMA DAN SUHARTO Balai Penelitian Ternak Bogor,Po.Box 221 Bogor 16002 RINGKASAN Suatu pengamatan mengenai periode fertil spermatozoa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Flemish giant dan belgian hare dan berasal dari Amerika. Kelinci ini mempunyai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Flemish giant dan belgian hare dan berasal dari Amerika. Kelinci ini mempunyai 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kelinci New Zealand White Kelinci New Zealand White (NZW) merupakan kelinci hasil persilangan dari Flemish giant dan belgian hare dan berasal dari Amerika. Kelinci ini mempunyai

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian tentang Pengaruh Indeks Bentuk Telur terhadap Daya Tetas dan

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian tentang Pengaruh Indeks Bentuk Telur terhadap Daya Tetas dan 10 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian tentang Pengaruh Indeks Bentuk Telur terhadap Daya Tetas dan Mortalitas Itik Magelang dilaksanakan pada bulan Oktober - Desember 2015 bertempat di Desa Ngrapah,

Lebih terperinci

ARTIKEL PENGARUH PROPORSI TELUR HASIL IB (AYAM BANGKOK DAN AYAM BROILER) DALAM MESIN OTOMATIS

ARTIKEL PENGARUH PROPORSI TELUR HASIL IB (AYAM BANGKOK DAN AYAM BROILER) DALAM MESIN OTOMATIS ARTIKEL PENGARUH PROPORSI TELUR HASIL IB (AYAM BANGKOK DAN AYAM BROILER) DALAM MESIN OTOMATIS Oleh: ANDI ARVIAN NURCAHYO 11.1.04.01.0007 Dibimbing oleh : 1. Dr. Fitriani, S. Pt., MP. 2. Sapta Andaruisworo,

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Kelompok Tani Ternak Rahayu merupakan suatu kelompok peternak yang ada di

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Kelompok Tani Ternak Rahayu merupakan suatu kelompok peternak yang ada di IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Kelompok Ternak Kelompok Tani Ternak Rahayu merupakan suatu kelompok peternak yang ada di Desa Sidodadi, Kecamatan Way Lima, Kabupaten Pesawaran, Propinsi Lampung.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Penetasan telur ada dua cara, yaitu melalui penetasan alami (induk ayam)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Penetasan telur ada dua cara, yaitu melalui penetasan alami (induk ayam) 2 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Mesin Tetas Penetasan telur ada dua cara, yaitu melalui penetasan alami (induk ayam) dan melaui penetasan buatan (mesin tetas) (Paimin, 2000). Penetasan buatan dilakukan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ayam pembibit atau parent stock (PS) adalah ayam penghasil final stock

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ayam pembibit atau parent stock (PS) adalah ayam penghasil final stock 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ayam Pembibit Ayam pembibit atau parent stock (PS) adalah ayam penghasil final stock dan merupakan hasil pemeliharaan dengan metode perkawinan tertentu pada peternakan generasi

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Salah satu produk peternakan yang memberikan sumbangan besar bagi. menghasilkan telur sepanjang tahun yaitu ayam arab.

1. PENDAHULUAN. Salah satu produk peternakan yang memberikan sumbangan besar bagi. menghasilkan telur sepanjang tahun yaitu ayam arab. 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Sejalan dengan pertambahan penduduk dan tingkat kesadaran masyarakat akan gizi, diperlukan peningkatan ketersediaan sumber gizi terutama protein hewani. Salah

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. tidak dapat terbang tinggi, ukuran relatif kecil berkaki pendek.

I PENDAHULUAN. tidak dapat terbang tinggi, ukuran relatif kecil berkaki pendek. I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Burung puyuh (Coturnix coturnix japonica) merupakan jenis burung yang tidak dapat terbang tinggi, ukuran relatif kecil berkaki pendek. Burung ini merupakan burung liar

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. konstruksi khusus sesuai dengan kapasitas produksi, kandang dan ruangan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. konstruksi khusus sesuai dengan kapasitas produksi, kandang dan ruangan 2 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bangunan Penetasan Bangunan penetasan adalah suatu tempat yang dibangun dengan konstruksi khusus sesuai dengan kapasitas produksi, kandang dan ruangan penetasan harus terpisah.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk di Indonesia, permintaan

I. PENDAHULUAN. Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk di Indonesia, permintaan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk di Indonesia, permintaan konsumen terhadap produk hasil ternak juga meningkat. Produk hasil ternak yang dipilih

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hingga menetas, yang bertujuan untuk mendapatkan individu baru. Cara penetasan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hingga menetas, yang bertujuan untuk mendapatkan individu baru. Cara penetasan 2 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penetasan Penetasan merupakan suatu proses perkembangan embrio di dalam telur hingga menetas, yang bertujuan untuk mendapatkan individu baru. Cara penetasan terbagi dua yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. agar diperoleh efisiensi dan efektifitas dalam penggunaan pejantan terpilih,

BAB I PENDAHULUAN. agar diperoleh efisiensi dan efektifitas dalam penggunaan pejantan terpilih, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inseminasi Buatan (IB) adalah proses perkawinan yang dilakukan dengan campur tangan manusia, yaitu mempertemukan sperma dan sel telur agar dapat terjadi proses pembuahan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. pada Tabel 4 dan 5. Berdasarkan sampel yang diteliti didapatkan daya tetas telur

HASIL DAN PEMBAHASAN. pada Tabel 4 dan 5. Berdasarkan sampel yang diteliti didapatkan daya tetas telur 26 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Daya Tetas Telur Itik Rambon dan Cihateup pada Lama Pencampuran Jantan dan Betina yang berbeda Daya tetas telur itik Rambon dan Cihateup pada penelitian ini disajikan pada

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. species dari Anas plitirinchos yang telah mengalami penjinakan atau domestikasi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. species dari Anas plitirinchos yang telah mengalami penjinakan atau domestikasi 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Itik Magelang Bangsa itik jinak yang ada sekarang berasal dari itik liar yang merupakan species dari Anas plitirinchos yang telah mengalami penjinakan atau domestikasi (Susilorini

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. dikembangkan di Indonesia. Sistem pemeliharannya masih dilakukan secara

I PENDAHULUAN. dikembangkan di Indonesia. Sistem pemeliharannya masih dilakukan secara 1 I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kambing merupakan salah satu jenis ternak yang mudah dipelihara dan dikembangkan di Indonesia. Sistem pemeliharannya masih dilakukan secara tradisional. Salah satu bangsa

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. penyediaan daging itik secara kontinu. Kendala yang dihadapi adalah kurang

PENDAHULUAN. penyediaan daging itik secara kontinu. Kendala yang dihadapi adalah kurang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Usaha peternakan unggas di Indonesia semakin berkembang seiring dengan banyaknya kebutuhan protein hewani terutama itik lokal. Itik mulai digemari oleh masyarakat terutama

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. umur 4 5 minggu. Sifat pertumbuhan yang sangat cepat ini dicerminkan dari. modern mencapai di bawah dua (Amrullah, 2004).

I. PENDAHULUAN. umur 4 5 minggu. Sifat pertumbuhan yang sangat cepat ini dicerminkan dari. modern mencapai di bawah dua (Amrullah, 2004). I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ayam broiler modern tumbuh sangat cepat sehingga dapat di panen pada umur 4 5 minggu. Sifat pertumbuhan yang sangat cepat ini dicerminkan dari tingkah laku makannya yang

Lebih terperinci

Penyiapan Mesin Tetas

Penyiapan Mesin Tetas Dian Maharso Yuwono Pemeliharaan unggas secara intensif memerlukan bibit dalam jumlah yang relatif banyak, sehingga penetasan dengan mesin semakin diperlukan. Penetasan telur unggas (ayam, itik, puyuh,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Semen beku merupakan semen cair yang telah ditambah pengencer sesuai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Semen beku merupakan semen cair yang telah ditambah pengencer sesuai 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Semen Beku Semen beku merupakan semen cair yang telah ditambah pengencer sesuai prosedur teknis pengawasan mutu bibit ternak kemudian dimasukkan ke dalam straw dan dibekukan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan protein hewani di Indonesia semakin meningkat seiring dengan

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan protein hewani di Indonesia semakin meningkat seiring dengan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Kebutuhan protein hewani di Indonesia semakin meningkat seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya protein hewani bagi tubuh. Hal ini

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ayam lokal merupakan ayam yang sudah beradaptasi dan hidup dalam jangka waktu yang lama di Indonesia. Ayam lokal disebut juga ayam buras (bukan ras) yang penyebarannya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Teknologi Inseminasi Buatan (IB) atau dikenal dengan istilah kawin suntik pada

I. PENDAHULUAN. Teknologi Inseminasi Buatan (IB) atau dikenal dengan istilah kawin suntik pada 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Teknologi Inseminasi Buatan (IB) atau dikenal dengan istilah kawin suntik pada ternak sapi telah banyak diterapkan di Indonesia. Menurut SNI 4896.1 (2008),

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Ayam arab (Gallus turcicus) adalah ayam kelas mediterain, hasil persilangan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Ayam arab (Gallus turcicus) adalah ayam kelas mediterain, hasil persilangan 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Deskripsi Ayam Arab Ayam arab (Gallus turcicus) adalah ayam kelas mediterain, hasil persilangan dengan ayam buras (Kholis dan Sitanggang, 2002). Ayam arab merupakan ayam lokal

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. morfologi. Penilaian dilakukan pada DOD yang baru menetas untuk melihat

HASIL DAN PEMBAHASAN. morfologi. Penilaian dilakukan pada DOD yang baru menetas untuk melihat IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Nilai Kualitiatif Pusar Penilaian menggunakan metode pasgar skor didasarkan pada kriteria morfologi. Penilaian dilakukan pada DOD yang baru menetas untuk melihat kualitas DOD

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Laju pertambahan penduduk yang terus meningkat menuntut

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Laju pertambahan penduduk yang terus meningkat menuntut I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Peningkatan produksi daging merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan ketahanan pangan sekaligus memajukan tingkat kecerdasan sumber daya manusia Indonesia.

Lebih terperinci

KUALITAS TELUR TETAS AYAM MERAWANG DENGAN WAKTU PENGULANGAN INSEMINASI BUATAN YANG BERBEDA

KUALITAS TELUR TETAS AYAM MERAWANG DENGAN WAKTU PENGULANGAN INSEMINASI BUATAN YANG BERBEDA KUALITAS TELUR TETAS AYAM MERAWANG DENGAN WAKTU PENGULANGAN INSEMINASI BUATAN YANG BERBEDA (The Hatch Characteristic of Merawang Chicken s Egg Produced by Different Interval of Artificial Insemination)

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. kambing Peranakan Etawah (PE). Kambing PE merupakan hasil persilangan dari

PENDAHULUAN. kambing Peranakan Etawah (PE). Kambing PE merupakan hasil persilangan dari 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kambing merupakan komoditas ternak yang banyak dikembangkan di Indonesia. Salah satu jenis kambing yang banyak dikembangkan yaitu jenis kambing Peranakan Etawah (PE).

Lebih terperinci

Irawati Bachari, Iskandar Sembiring, dan Dedi Suranta Tarigan. Departemen Perternakan Fakultas Pertanian USU

Irawati Bachari, Iskandar Sembiring, dan Dedi Suranta Tarigan. Departemen Perternakan Fakultas Pertanian USU Pengaruh Frekuensi Pemutaran Telur terhadap Daya Tetas dan Bobot Badan DOC Ayam Kampung (The Effect of Egg Centrifugation Frequency on Hatchability and Body Weight DOC of Free-range Chicken) Irawati Bachari,

Lebih terperinci

Gambar 1. Itik Alabio

Gambar 1. Itik Alabio TINJAUAN PUSTAKA Itik Alabio Itik Alabio merupakan salah satu itik lokal Indonesia. Itik Alabio adalah itik yang berasal dari Kabupaten Hulu Sungai Utara, Propinsi Kalimantan Selatan. Habitatnya di daerah

Lebih terperinci

PENGARUH TINGKAT PENGENCERAN TERHADAP KUALITAS SPERMATOZOA KAMBING PE SETELAH PENYIMPANAN PADA SUHU KAMAR

PENGARUH TINGKAT PENGENCERAN TERHADAP KUALITAS SPERMATOZOA KAMBING PE SETELAH PENYIMPANAN PADA SUHU KAMAR PENGARUH TINGKAT PENGENCERAN TERHADAP KUALITAS SPERMATOZOA KAMBING PE SETELAH PENYIMPANAN PADA SUHU KAMAR A. Winarto dan N. Isnaini Produksi Ternak Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya Malang Abstrak

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kelamin sehingga tidak menimbulkan kematian pada anak atau induk saat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kelamin sehingga tidak menimbulkan kematian pada anak atau induk saat 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perkawinan Perkawinan yang baik yaitu dilakukan oleh betina yang sudah dewasa kelamin sehingga tidak menimbulkan kematian pada anak atau induk saat melahirkan (Arif, 2015).

Lebih terperinci

lebih dari 219 juta ekor (1992) dan merupakan 63,79% dari jumlah semua unggas yang dibudidayakan di Indonesia secara nasional dengan kontribusi daging

lebih dari 219 juta ekor (1992) dan merupakan 63,79% dari jumlah semua unggas yang dibudidayakan di Indonesia secara nasional dengan kontribusi daging PEMANFAATAN TEKNOLOGI IB DALAM MENUNJANG KEGIATAN PENELITIAN PADA AYAM BURAS DI BALITNAK CIAWI R. DENNY PURNAMA DAN ENDANG WAHYU Balai Penelitian Ternak, PO Box 221. Bogor 16002 RINGKASAN Perubahan yang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Probiotik

TINJAUAN PUSTAKA Probiotik TINJAUAN PUSTAKA Probiotik Probiotik sebagai pakan tambahan berupa mikroorganisme yang mempunyai pengaruh menguntungkan untuk induk semangnya melalui peningkatan keseimbangan mikroorganisme usus (Fuller,

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. tidak memiliki karakterisik disebut ayam kampung (Nataamijaya, 2010). Ayam

KAJIAN KEPUSTAKAAN. tidak memiliki karakterisik disebut ayam kampung (Nataamijaya, 2010). Ayam II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Ayam Lokal Di Indonesia terdapat berbagai jenis ayam lokal, baik itu ayam asli maupun ayam hasil adaptasi yang sudah ada sejak ratusan tahun silam. Ayam lokal yang tidak memiliki

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada1 Maret--12 April 2013 bertempat di Peternakan

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada1 Maret--12 April 2013 bertempat di Peternakan III. BAHAN DAN METODE A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada1 Maret--12 April 2013 bertempat di Peternakan Kalkun Mitra Alam Pekon Sukoharjo I, Kecamatan Sukoharjo, Kabupaten Pringsewu.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. unggas di Sumatera Barat, salah satunya adalah peternakan Itik. Di Nagari Pitalah,

I. PENDAHULUAN. unggas di Sumatera Barat, salah satunya adalah peternakan Itik. Di Nagari Pitalah, I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kabupaten Tanah Datar merupakan salah satu sentra pengembangan ternak unggas di Sumatera Barat, salah satunya adalah peternakan Itik. Di Nagari Pitalah, Kec. Batipuh,

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan selama satu bulan pada 28 Mei--28 Juni 2012,

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan selama satu bulan pada 28 Mei--28 Juni 2012, III. BAHAN DAN METODE A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama satu bulan pada 28 Mei--28 Juni 2012, bertempat di Kelompok Tani Ternak Rahayu, Desa Sidodadi, Kecamatan Way Lima,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. arab dengan ayam buras. Ayam arab mulai dikenal oleh masyarakat kira-kira

II. TINJAUAN PUSTAKA. arab dengan ayam buras. Ayam arab mulai dikenal oleh masyarakat kira-kira II. TINJAUAN PUSTAKA A. Deskripsi Ayam Arab Ayam arab (Gallus turcicus) adalah ayam kelas mediteran, hasil persilangan ayam arab dengan ayam buras. Ayam arab mulai dikenal oleh masyarakat kira-kira tujuh

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. dengan metode-metode mengajar lainnya. Metode ini lebih sesuai untuk mengajarkan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. dengan metode-metode mengajar lainnya. Metode ini lebih sesuai untuk mengajarkan BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Metode Demonstrasi Metode Demonstrasi merupakan metode yang paling sederhana dibandingkan dengan metode-metode mengajar lainnya. Metode ini lebih sesuai untuk mengajarkan bahan-bahan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tepatnya yang berada di daerah Batur, Banjarnegara (Noviani et al., 2013). Domba

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tepatnya yang berada di daerah Batur, Banjarnegara (Noviani et al., 2013). Domba 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Domba Batur Domba Batur merupakan salah satu domba lokal yang ada di Jawa Tengah tepatnya yang berada di daerah Batur, Banjarnegara (Noviani et al., 2013). Domba Batur sangat

Lebih terperinci

BAB VI TEKNOLOGI REPRODUKSI

BAB VI TEKNOLOGI REPRODUKSI SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN AGRIBISNIS TERNAK RIMUNANSIA BAB VI TEKNOLOGI REPRODUKSI KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL GURU DAN TENAGA KEPENDIDIKAN

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. lokal adalah salah satu unggas air yang telah lama di domestikasi, dan

I PENDAHULUAN. lokal adalah salah satu unggas air yang telah lama di domestikasi, dan I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ternak unggas penghasil telur, daging dan sebagai binatang kesayangan dibedakan menjadi unggas darat dan unggas air. Dari berbagai macam jenis unggas air yang ada di Indonesia,

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Pemeliharaan ayam dan penampungan semen dilakukan di Kandang B, Laboratorium Lapang, Bagian Ilmu Produksi Ternak Unggas, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pendahuluan Perkembangan industri peternakan yang semakin pesat menuntut teknologi yang baik dan menunjang. Salah satu industri peternakan yang paling berkembang adalah industri

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Peningkatan populasi penduduk di Indonesia menyebabkan perkembangan

I. PENDAHULUAN. Peningkatan populasi penduduk di Indonesia menyebabkan perkembangan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Peningkatan populasi penduduk di Indonesia menyebabkan perkembangan permintaan terhadap produk hasil ternak. Produk hasil unggas merupakan produk yang lebih

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dikenal dengan istilah susut tetas. Pengaruh perlakuan terhadap susut tetas

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dikenal dengan istilah susut tetas. Pengaruh perlakuan terhadap susut tetas BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Perlakuan Terhadap Susut Telur Selama proses inkubasi, telur akan mengalami penyusutan yang dikenal dengan istilah susut tetas. Pengaruh perlakuan terhadap susut

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN MATERI. Penelitian ini dilaksanakan selama 3 minggu pada Desember 2014 Januari 2015,

III. BAHAN DAN MATERI. Penelitian ini dilaksanakan selama 3 minggu pada Desember 2014 Januari 2015, 23 III. BAHAN DAN MATERI A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama 3 minggu pada Desember 2014 Januari 2015, bertempat di peternakan ayam arab milik Bapak Ilham di Desa Tegal Rejo,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Tempat Penelitian 4.1.1. Sejarah UPTD BPPTD Margawati Garut Unit Pelaksana Teknis Dinas Balai Pengembangan Perbibitan Ternak Domba atau disingkat UPTD BPPTD yaitu

Lebih terperinci

KONSERVASI SEMEN AYAM BURAS MENGGUNAKAN BERBAGAI PENGENCER TERHADAP FERTILITAS DAN PERIODE FERTIL SPERMATOZOA PASCA INSEMINASI BUATAN

KONSERVASI SEMEN AYAM BURAS MENGGUNAKAN BERBAGAI PENGENCER TERHADAP FERTILITAS DAN PERIODE FERTIL SPERMATOZOA PASCA INSEMINASI BUATAN J. Agroland 15 (1) : 63-67, Maret 2008 ISSN : 0854 641X KONSERVASI SEMEN AYAM BURAS MENGGUNAKAN BERBAGAI PENGENCER TERHADAP FERTILITAS DAN PERIODE FERTIL SPERMATOZOA PASCA INSEMINASI BUATAN Oleh : Ridwan

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April November 2016 di Desa

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April November 2016 di Desa 12 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April November 2016 di Desa Ngrapah, Kecamatan Banyubiru, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Analisis data dilaksanakan di Laboraturium

Lebih terperinci

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. menggunakan metode artificial vagaina (AV). Semen yang didapatkan kemudian

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. menggunakan metode artificial vagaina (AV). Semen yang didapatkan kemudian IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Semen Segar Kambing PE Semen ditampung dari satu ekor kambing jantan Peranakan Etawah (PE) menggunakan metode artificial vagaina (AV). Semen yang didapatkan kemudian

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Itik adalah salah satu jenis unggas air ( water fowls) yang termasuk dalam

TINJAUAN PUSTAKA. Itik adalah salah satu jenis unggas air ( water fowls) yang termasuk dalam II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Itik Itik adalah salah satu jenis unggas air ( water fowls) yang termasuk dalam kelas aves, ordo Anseriformes, Family Anatiade, Subfamily Anatinae, Tribus Anatini dan Genus Anas

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ayam Lokal

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ayam Lokal II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ayam Lokal Ayam lokal Indonesia merupakan hasil dometsikasi Ayam Hutan Merah (Gallus gallus) dan Ayam Hutan Hijau (Gallus varius). Ayam Hutan Merah di Indonesia ada dua macam yaitu

Lebih terperinci

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. banyaknya telur yang menetas dibagi dengan banyaknya telur yang fertil.

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. banyaknya telur yang menetas dibagi dengan banyaknya telur yang fertil. 31 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pengaruh Perlakuan Terhadap Daya Tetas Daya tetas merupakan banyaknya telur yang menetas dari sejumlah telur yang fertil. Data daya tetas pada penelitian ini dihitung dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adalah daging ayam khususnya ayam Broiler (Ditjennak, 2009). Meski demikian

BAB I PENDAHULUAN. adalah daging ayam khususnya ayam Broiler (Ditjennak, 2009). Meski demikian BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Tingkat konsumsi penduduk Indonesia terhadap produk hasil peternakan semakin meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk Indonesia. Permintaan pangan masyarakat

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Kebutuhan daging sapi dari tahun ke tahun terus meningkat seiring dengan

BAB I. PENDAHULUAN. Kebutuhan daging sapi dari tahun ke tahun terus meningkat seiring dengan 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Kebutuhan daging sapi dari tahun ke tahun terus meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk, peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perkembangan peternakan mempunyai tujuan utama untuk meningkatkan

I. PENDAHULUAN. Perkembangan peternakan mempunyai tujuan utama untuk meningkatkan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Perkembangan peternakan mempunyai tujuan utama untuk meningkatkan populasi dan produksi ternak ke arah pencapaian swasembada protein hewani untuk memenuhi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ayam Kedu merupakan salah satu ayam lokal langka Indonesia. Ayam. bandingkan dengan unggas lainnya (Suryani et al., 2012).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ayam Kedu merupakan salah satu ayam lokal langka Indonesia. Ayam. bandingkan dengan unggas lainnya (Suryani et al., 2012). BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ayam Kedu Ayam Kedu merupakan salah satu ayam lokal langka Indonesia. Ayam Kedu berasal dari Desa Karesidenan Kedu Temanggung Jawa Tengah. Ayam Kedu memiliki kelebihan daya

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. berasal dari daerah Gangga, Jumna, dan Cambal di India. Pemeliharaan ternak

I PENDAHULUAN. berasal dari daerah Gangga, Jumna, dan Cambal di India. Pemeliharaan ternak 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kambing Peranakan Etawah atau kambing PE merupakan persilangan antara kambing kacang betina asli Indonesia dengan kambing Etawah jantan yang berasal dari daerah Gangga,

Lebih terperinci

Sutiyono, S. Riyadi, dan S. Kismiati Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Semarang ABSTRAK

Sutiyono, S. Riyadi, dan S. Kismiati Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Semarang ABSTRAK FERTILITAS DAN DAYA TETAS TELUR DARI AYAM PETELUR HASIL INSEMINASI BUATAN MENGGUNAKAN SEMEN AYAM KAMPUNG YANG DIENCERKAN DENGAN BAHAN BERBEDA [The Fertility and Hatchability of Egg of Layer Artificially

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. (Gallus gallus gallus) dan Ayam Hutan Merah Jawa ( Gallus gallus javanicus).

TINJAUAN PUSTAKA. (Gallus gallus gallus) dan Ayam Hutan Merah Jawa ( Gallus gallus javanicus). II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ayam Kampung Menurut Mansjoer (1985) bahwa ayam kampung mempunyai jarak genetik yang paling dekat dengan Ayam Hutan Merah yaitu Ayam Hutan Merah Sumatra (Gallus gallus gallus)

Lebih terperinci

ACARA PENGAJARAN (SAP) IV A.

ACARA PENGAJARAN (SAP) IV A. SATUAN ACARA PENGAJARAN (SAP) IV A. 1. Pokok Bahasan : Jenis dan tipe ayam komersial A.2. Pertemuan minggu ke : 6 (2 jam) B. Sub Pokok Bahasan: 1. Ayam tipe petelur 2. Ayam tipe pedaging 3. Ayam tipe dwiguna

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perusahaan penetasan final stock ayam petelur selalu mendapatkan hasil samping

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perusahaan penetasan final stock ayam petelur selalu mendapatkan hasil samping II. TINJAUAN PUSTAKA A. Ayam Jantan Tipe Medium Perusahaan penetasan final stock ayam petelur selalu mendapatkan hasil samping (by product) berupa anak ayam jantan petelur. Biasanya, satu hari setelah

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA. memiliki karakteristik ekonomis dengan ciri khas yaitu pertumbuhan yang cepat, konversi

I. TINJAUAN PUSTAKA. memiliki karakteristik ekonomis dengan ciri khas yaitu pertumbuhan yang cepat, konversi I. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ayam Pedaging Ayam Pedaging adalah istilah untuk menyebutkan strain ayam budidaya teknologi yang memiliki karakteristik ekonomis dengan ciri khas yaitu pertumbuhan yang cepat,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Itik adalah salah satu jenis ungags air ( water fawls) yang termasuk dalam

TINJAUAN PUSTAKA. Itik adalah salah satu jenis ungags air ( water fawls) yang termasuk dalam II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Itik Itik adalah salah satu jenis ungags air ( water fawls) yang termasuk dalam kelas Aves, ordo Anseriformes, Family Anatidae, Sub family Anatinae, Tribus anatini dan Genus Anas

Lebih terperinci

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. dan sekresi kelenjar pelengkap saluran reproduksi jantan. Bagian cairan dari

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. dan sekresi kelenjar pelengkap saluran reproduksi jantan. Bagian cairan dari 6 II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Karakteristik Semen Kambing Semen adalah cairan yang mengandung gamet jantan atau spermatozoa dan sekresi kelenjar pelengkap saluran reproduksi jantan. Bagian cairan dari suspensi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ternak itik yang berkembang sekarang merupakan keturunan dari Wild

I. PENDAHULUAN. Ternak itik yang berkembang sekarang merupakan keturunan dari Wild I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Ternak itik yang berkembang sekarang merupakan keturunan dari Wild Mallard (itik liar) yang secara naluriah masih memiliki sifat-sifat mengeram untuk menetaskan telurnya.

Lebih terperinci

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini dilakukan di Pusat Pembibitan Puyuh Fakultas Peternakan

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini dilakukan di Pusat Pembibitan Puyuh Fakultas Peternakan IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Breeding Center Puyuh Penelitian ini dilakukan di Pusat Pembibitan Puyuh Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaranyang terletak di lingkungan Kampus Universitas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dari Amerika (Masanto dan Agus, 2013). Kelinci New Zealand White memiliki

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dari Amerika (Masanto dan Agus, 2013). Kelinci New Zealand White memiliki 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kelinci New Zealand White Kelinci New Zealand White (NZW) bukan berasal dari New Zealand, tetapi dari Amerika (Masanto dan Agus, 2013). Kelinci New Zealand White memiliki

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Bumirestu, Kecamatan Palas, Kabupaten

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Bumirestu, Kecamatan Palas, Kabupaten 30 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Desa Bumirestu, Kecamatan Palas, Kabupaten Lampung Selatan pada April--Mei 2015. B. Alat dan Bahan 1) Alat yang digunakan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. memenuhi kebutuhan sumber protein. Di Indonesia terdapat bermacam-macam

PENDAHULUAN. memenuhi kebutuhan sumber protein. Di Indonesia terdapat bermacam-macam 1 I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Itik merupakan salah satu ternak unggas yang memiliki potensi untuk memenuhi kebutuhan sumber protein. Di Indonesia terdapat bermacam-macam jenis itik lokal dengan karakteristik

Lebih terperinci

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. Menurut Rose (1997), ayam diklasifikasikan ke dalam:

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. Menurut Rose (1997), ayam diklasifikasikan ke dalam: II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Ayam Lokal Menurut Rose (1997), ayam diklasifikasikan ke dalam: Kingdom : Animalia Subkingdom : Metazoa Phylum Subphylum Class Family Genus Spesies : Chordata : Vertebrata : Aves

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. kebutuhan susu nasional mengalami peningkatan setiap tahunnya.

PENDAHULUAN. kebutuhan susu nasional mengalami peningkatan setiap tahunnya. I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Produksi susu sangat menentukan bagi perkembangan industri susu sapi perah nasional. Susu segar yang dihasilkan oleh sapi perah di dalam negeri sampai saat ini baru memenuhi

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. 2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Kambing Peranakan Etawah (PE) Kambing PE adalah hasil persilangan antara Etawah dan kambing kacang.

KAJIAN KEPUSTAKAAN. 2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Kambing Peranakan Etawah (PE) Kambing PE adalah hasil persilangan antara Etawah dan kambing kacang. II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Kambing Peranakan Etawah (PE) Kambing PE adalah hasil persilangan antara Etawah dan kambing kacang. Persilangan antara kedua jenis kambing ini telah

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Karakteristik Fisik Reproduksi Lele dumbo. Tabel 4 Karakteristik fisik reproduksi lele dumbo

HASIL DAN PEMBAHASAN. Karakteristik Fisik Reproduksi Lele dumbo. Tabel 4 Karakteristik fisik reproduksi lele dumbo HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Fisik Reproduksi Lele dumbo Lele dumbo merupakan salah satu jenis ikan konsumsi air tawar yang memiliki bentuk tubuh memanjang, memiliki sungut dengan permukaan tubuh

Lebih terperinci

PEDOMAN TEKNIS PENGEMBANGAN PEMBIBITAN AYAM LOKAL TAHUN 2012 DIREKTORAT PERBIBITAN TERNAK

PEDOMAN TEKNIS PENGEMBANGAN PEMBIBITAN AYAM LOKAL TAHUN 2012 DIREKTORAT PERBIBITAN TERNAK PEDOMAN TEKNIS PENGEMBANGAN PEMBIBITAN AYAM LOKAL TAHUN 2012 DIREKTORAT PERBIBITAN TERNAK DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2012 KATA PENGANTAR Pengembangan pembibitan

Lebih terperinci

PENGARUH DEPOSISI SEMEN BEKU ITIK TERHADAP FERTILITAS DAN PERIODE FERTIL SPERMATOZOA ITIK

PENGARUH DEPOSISI SEMEN BEKU ITIK TERHADAP FERTILITAS DAN PERIODE FERTIL SPERMATOZOA ITIK PENGARUH DEPOSISI SEMEN BEKU ITIK TERHADAP FERTILITAS DAN PERIODE FERTIL SPERMATOZOA ITIK (The Effect of Insemination Sites of Muscovy Frozen Semen on the Fertility and Fertile Period of Duck Spermatozoa)

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan selama satu bulan pada 1 Maret--5 April 2013

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan selama satu bulan pada 1 Maret--5 April 2013 III. BAHAN DAN METODE A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama satu bulan pada 1 Maret--5 April 2013 bertempat di Peternakan Kalkun Mitra Alam, Pekon Sukoharjo 1, Kecamatan Sukoharjo,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. salah satunya pemenuhan gizi yang berasal dari protein hewani. Terlepas dari

PENDAHULUAN. salah satunya pemenuhan gizi yang berasal dari protein hewani. Terlepas dari 1 I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring meningkatnya pertumbuhan penduduk, kebutuhan pangan semakin meningkat pula. Pangan yang dibutuhkan oleh masyarakat jenisnya beragam, salah satunya pemenuhan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN KARAKTERISTIK PRODUKTIVITAS Bobot Badan dan Pertambahan Bobot Badan Pertumbuhan itik Cihateup yang terjadi akibat perubahan bentuk dan komposisi tubuh dapat diketahui dengan melakukan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Selama penelitian rataan suhu dan kelembaban harian kandang berturut-turut 28,3 o C dan 91,3% yang masih dalam kisaran normal untuk hidup kelinci. Adapun suhu dan kelembaban

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. tetas dan ruang penyimpanan telur. Terdapat 4 buah mesin tetas konvensional dengan

HASIL DAN PEMBAHASAN. tetas dan ruang penyimpanan telur. Terdapat 4 buah mesin tetas konvensional dengan 19 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Pusat Pembibitan Puyuh Penelitian ini telah dilakukan di Pusat Pembibitan Puyuh Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran. Pusat pembibitan ini terdiri atas

Lebih terperinci

PERSYARATAN MUTU BENIH DAN/ATAU BIBIT TERNAK HASIL PRODUKSI DI DALAM NEGERI. No Nomor SNI Jenis Benih dan/atau Bibit Ternak

PERSYARATAN MUTU BENIH DAN/ATAU BIBIT TERNAK HASIL PRODUKSI DI DALAM NEGERI. No Nomor SNI Jenis Benih dan/atau Bibit Ternak 2012, No.328 8 LAMPIRAN I PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 19/Permentan/OT.140/3/2012 TENTANG PERSYARATAN MUTU BENIH, BIBIT TERNAK, DAN SUMBER DAYA GENETIK HEWAN PERSYARATAN MUTU BENIH DAN/ATAU BIBIT

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. dari hasil domestikasi ayam hutan merah atau red jungle fowls (Gallus gallus) dan

TINJAUAN PUSTAKA. dari hasil domestikasi ayam hutan merah atau red jungle fowls (Gallus gallus) dan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ayam Kampung Ayam kampung merupakan turunan panjang dari proses sejarah perkembangan genetik perunggasan di tanah air. Ayam kampung diindikasikan dari hasil domestikasi ayam hutan

Lebih terperinci

PENANGKARAN DAN PERBIBITAN AYAM MERAWANG DI BANGKA BELITUNG

PENANGKARAN DAN PERBIBITAN AYAM MERAWANG DI BANGKA BELITUNG PENANGKARAN DAN PERBIBITAN AYAM MERAWANG DI BANGKA BELITUNG HASNELLY Z., RINALDI dan SUWARDIH Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kepulauan Bangka Belitung Jl. Mentok Km 4 Pangkal Pinang 33134 ABSTRAK

Lebih terperinci

Gambar 3. Kondisi Kandang yang Digunakan pada Pemeliharaan Puyuh

Gambar 3. Kondisi Kandang yang Digunakan pada Pemeliharaan Puyuh HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Lingkungan Tempat Penelitian Pemeliharaan puyuh dilakukan pada kandang battery koloni yang terdiri dari sembilan petak dengan ukuran panjang 62 cm, lebar 50 cm, dan tinggi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Entok (Cairina moschata) Entok (Cairina moschata) merupakan unggas air yang berasal dari Amerika Tengah dan Amerika Selatan. Entok lokal memiliki warna bulu yang beragam

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Kondisi Umum Kandang Local Duck Breeding and Production Station

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Kondisi Umum Kandang Local Duck Breeding and Production Station 29 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Umum Kandang Local Duck Breeding and Production Station Local Duck Breeding and Production Station merupakan suatu unit pembibitan dan produksi itik lokal yang berada

Lebih terperinci

[Pemanenan Ternak Unggas]

[Pemanenan Ternak Unggas] SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN [AGRIBISNIS TERNAK UNGGAS] [Pemanenan Ternak Unggas] [Endang Sujana, S.Pt., MP.] KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Teknik Pemijahan ikan lele sangkuriang dilakukan yaitu dengan memelihara induk

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Teknik Pemijahan ikan lele sangkuriang dilakukan yaitu dengan memelihara induk BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pemeliharaan Induk Teknik Pemijahan ikan lele sangkuriang dilakukan yaitu dengan memelihara induk terlebih dahulu di kolam pemeliharaan induk yang ada di BBII. Induk dipelihara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ciri khas burung puyuh ( Coturnix-Coturnix Japonica ) adalah bentuk badannya relatif

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ciri khas burung puyuh ( Coturnix-Coturnix Japonica ) adalah bentuk badannya relatif BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Burung Puyuh Ciri khas burung puyuh ( Coturnix-Coturnix Japonica ) adalah bentuk badannya relatif lebih besar dari jenis burung-burung puyuh lainnya. Burung puyuh ini memiliki

Lebih terperinci