BAB II PENYELESAIAN PERKARA DI PERADILAN AGAMA 1. Tugas dan Kewenangan Hakim Peradilan Agama Kekuasaan kehakiman adalah suatu badan yang merdeka

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II PENYELESAIAN PERKARA DI PERADILAN AGAMA 1. Tugas dan Kewenangan Hakim Peradilan Agama Kekuasaan kehakiman adalah suatu badan yang merdeka"

Transkripsi

1 BAB II PENYELESAIAN PERKARA DI PERADILAN AGAMA 1. Tugas dan Kewenangan Hakim Peradilan Agama Kekuasaan kehakiman adalah suatu badan yang merdeka terlepas dari pengaruh kekuasaan badan eksekutif. Tugas utamanya adalah menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Pengertian kekuasaan kehakiman terdapat dalam Pasal 1 Ayat 1 UU No. 48 Tahun 2009 yang mengatakan: Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Hal ini juga terdapat di dalam Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945 ayat (1) yang berbunyi: Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk penyelenggaraan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Kekuasaan kehakiman adalah sebagai wujud dari suatu negara hukum. Maka kekuasaan kehakiman mempunyai tugas untuk menegakkan dan mengawasi berlakunya peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam prakteknya kekuasaan kehakiman diselenggarakan oleh badan-badan peradilan negara. Kekuasaan kehakiman di Indonesia dilaksanakan oleh badan-badan peradilan salah satunya Peradilan Agama. (Sutiyono 2006, 2) Tugas dan kewenangan Peradilan Agama secara umum disebutkan dalam Pasal 49 UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama selanjutnya undang-undang ini telah di amandemen dengan UU No. 3 Tahun Kewenangan pengadilan agama menurut UU No. 3 Tahun 2006 adalah bahwa pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: 16

2 17 a. Perkawinan; b. Kewarisan; c. Wasiat; d. Hibah; e. Wakaf; f. Infak; g. Sedekah; dan h. Ekonomi syari ah. (Djalil 2006, 141) Dalam Pasal 49 UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah diamandemenkan dengan UU No. 3 Tahun 2006 dijelaskan tentang kewenangan dan kekuasaan mengadili yang menjadi beban tugas Pengadilan Agama. Pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006 ditentukan bahwa Peradilan Agama bertugas dan berwenang, memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infak, sedekah dan ekonomi syariah. Sedangkan Pengadilan Tinggi Agama berwenang dan bertugas mengadili perkara-perkara yang menjadi wewenang dan tugas Pengadilan Agama dalam tingkat banding, juga menyelesaikan sengketa yurisdiksi antara Pengadilan Agama. (Djalil 2006, 142) Hakim merupakan unsur utama yang melaksanakan tugas peradilan. Oleh karena itu, berdasarkan penjelasan di atas dapat dipahami bahwa tugas pokok dan kewenangan hakim pengadilan agama adalah menyelenggarakan peradilan untuk menegakkan hukum dan keadilan. Tugas dan kewenangan tersebut dijabarkan dalam menerima, memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infak, sedekah dan ekonomi syariah yang diajukan kepadanya. Sedangkan tugas dan kewenangan hakim pengadilan tinggi agama menerima, memeriksa, memutus dan

3 18 menyelesaikan perkara di tingkat banding antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infak, sedekah dan ekonomi syariah yang diajukan kepadanya. 2. Asas Hakim dalam Menyelesaikan Perkara Pengertian asas seperti yang dikutip oleh Sunarto dalam bukunya bahwa menurut The Liang Gie adalah suatu dalil umum yang dinyatakan dalam suatu istilah umum tanpa menyarankan cara-cara khusus mengenai pelaksanaannya yang diterapkan pada serangkaian perbuatan untuk menjadi petunjuk yang tepat bagi perbuatan itu.dikutip juga oleh Sunarto dalam bukunya bahwa Menurut Mahadi, asas (principles) adalah suatu yang dapat dijadikan alas, sebagai tempat untuk menyadarkan, mengembalikan suatu hal yang hendak kita jelaskan. (Sunarto 2014, 24-25) Dalam hal ini ada beberapa asas hakim dalam menyelesaikan perkara: 2.1. Asas Kebebasan/Kemerdekaan Ada 3 (tiga) pasal yang mengatur tentang asas kebebasan hakim pengadilan agama, yaitu Pasal 5 ayat (3) dan Pasal 12 ayat (2) UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama : Pasal 5 ayat (1) dan (2) : (1) Pembinaan teknis peradilan, organisasi, administrasi, dan financial pengdilan dilakukan oleh Mahkamah Agung. (2) Pembinaan sebagaimana di maksud pada ayat (1) tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutuskan perkara. Pasal 12 ayat (1) dan (2) : (1) Pembinaan dan pengawasan umum terhadap hakim dilakukan oleh Ketua Mahkamah Agung. (2) Pembinaan dan pengawasan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutuskan perkara.

4 19 Asas kebebasan yang dianut UU No. 3 Tahun 2006 merujuk dan bersumber kepada ketentuan yang diatur Pasal 24 UUD 1945 dan Pasal 3ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman: Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim dan hakim konstitusi wajib menjaga kemandirian peradilan. Setelah pembahasan UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, asas kebebasan juga diatur dalam Pasal 1 UU No. 48 Tahun 2009, pasal 1 yang berisi bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia. Penjelasan Pasal 1 tersebut berbunyi: Kekuasaan kehakiman yang merdeka dalam ketentuan ini mengandung pengertian bahwa kekuasaan kehakiman bebas dari segala campur tangan kekuasaanekstra yudisial, kecuali dalam hal-hal sebagaimana yang disebut dalam UUD Negara Republik Indonesia tahun Kebebasan dalam melaksanakan wewenang yudisial bersifat tidak mutlak karena tugas hakim adalah menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia. (Mardani 2009, 39) Berdasarkan undang-undang yang telah disebutkan di atas bahwa hakim diberi kebebasan dalam melaksanakan tugasnyadalam menerima, memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya. Kebebasan hakim dalam melaksanakan tugasnya dituntut untuk tetap bersikap adil berdasarkan Pancasila. Ketua pengadilan boleh saja melakukan pengawasan dalam bentuk petunjuk, teguran, dan peringatan, yang dipandang perlu selama tidak mengurangi kebebasan hakim tersebut dalam memutus perkara.

5 Asas Upaya Mendamaikan Asas upaya mendamaikan terdapat pada Pasal 65 dan Pasal 82 UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama: Pasal 65: Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak Pasal 82: Pada sidang pertama pemeriksaan gugatan perceraian, Hakim berusaha mendamaikan kedua pihak. Dalam penjelasan Pasal 82 tersebut dinyatakan bahwa selama perkara belum diputus, usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan dalam bentuk nasehat dan anjuran agar berdamai pada semua tingkat peradilan. Asas upaya mendamaikan juga tercantum dalam Pasal 39 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. (Mardani 2009, 40) Bunyi dari Undang-Undang ini adalah: Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan (Undang-undang Republik Indonesia No 12014, 13) Asas upaya mendamaikan juga terdapat dalam Pasal 31 PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan: Pasal 31: 1. Hakim yang memeriksa gugatan perceraian berusaha mendamaikan kedua pihak. 2. Selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan. Ketentuan mendamaikan sebagaimana bunyi pasal tersebut di atas juga sesuai dengan Q.S Al-Hujurat (49) ayat 10: Orang-orang

6 21 beriman itu sesungguhnya bersaudara, sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat. Dengan adanya perdamaian berdasarkan kesadaran para pihak yang berperkara, tidak ada pihak yang dimenangkan atau dikalahkan. Kedua belah pihak sama-sama menang dan sama-sama kalah dan mereka dapat pulih kembali, suasana rukun serta tidak dibebani dendam kesumat yang berkepanjangan. Peran hakim dalam mendamaikan para pihak yang berperkara terbatas pada anjuran, nasehat, penjelasan dan memberi bantuan dalam perumusan sepanjang itu diminta oleh kedua belah pihak. (Mardani 2009, 41) 2.3. Asas Hakim Pasif Dalam pemeriksaan perkara yang dimaksud dengan hakim pasif adalah bahwa hakim tidak akan mengadili suatu perkara, bila tidak ada pengaduan tentang pelanggaran hukum dari seseorang atau petugas negara. Hukum acara yang demikian disebut sebagai hukum acara accusatoir. Lain halnya dengan soal kepidanaan, hakim bersikap aktif, artinya hakim bertindak tanpa adanya suatu pengaduan, hukum acara ini dinamakan hukum acara incuisitoir. (Soeroso 2011, 6) Di luar ketentuan yang disebutkan di atas hakim dibenarkan bersikap aktif pada persidangan. Mulai dari sidang pertama dalam berusaha mendamaikan para pihak yang berperkara hingga menjatuhkan putusan. Ditegaskan dalam Pasal 4 ayat (2) Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa hakim harus membantu para pencari keadilan dan berusaha untuk mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan berbiaya ringan, sehingga dengan adanya sikap hakim yang aktif dalam perkara perdata tersebut maka akan diminimalisir terjadinya putusan yang menyatakan gugatan penggugat tidak diterima.

7 Asas Legalitas Asas legalitas diatur dalam Pasal 58 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan Pasal 4 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman yaitu pengadilan mengadili menurut hukum dan tidak membeda-bedakan orang. Asas legalitas yang terdapat dalam rumusan pasal di atas mengandung pengertian rule of low, yaitu pengadilan berfungsi dan berwenang menegakkan hukum harus berlandaskan hukum, tidak bertindak di luar hukum. Hukum berada di atas segala-galanya. Hakim dan siapapun, semua takluk di bawah supremasi dan dominasi hukum. Hakim dilarang menjatuhkan hukuman yang bertentangan dengan hukum dan pihak yang berperkara tidak dibenarkan meminta suatu putusan yang bertentangan dengan hukum. (Mardani 2009, 43) 2.5. Asas Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan Salah satu asas dalam sistem peradilan di Indonesia sebagaimana yang diamanatkan ketentuan Pasal 2 ayat (4) UU No. 48 Tahun 2009 adalah bahwa peradilan dilakukan secara sederhana, cepat dan biaya ringan. Ketentuan tersebut dicantumkan untuk memenuhi harapan para pencari keadilan agar para pencari keadilan dalam rangka mempertahankan haknya di pengadilan ada kepastian tentang bagaimana tata cara mempertahankan hak, kapan dapat memperoleh hak tersebut serta berapa biaya yang harus dikeluarkan guna memperoleh hak tersebut. Pengertian sederhana adalah pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan cara efisien dan efektif, dan yang dimaksud dengan biaya ringan adalah biaya perkara dapat dipikul oleh rakyat, namun di dalam penyelesaian perkara tersebut tidak boleh mengorbankan ketelitian dalam mencari kebenaran dan keadilan. Sederhana adalah acara yang jelas, mudah dipahami dan tidak berbelit-belit, semakin sedikit dan sederhana formalitas yang

8 23 diwajibkan dalam beracara di muka pengadilan akan semakin baik. Bila terlalu banyak formalitas yang sukar dipahami atau peraturan yang berwayuh arti (dubious) sehingga memungkinkan timbulnya berbagai penafsiran, kurang menjamin adanya kepastian hukum. (Sunarto2014, 29-30) Jadi, yang dituntut dari hakim dalam mengimplementasikannya asas ini ialah: 1. Sikap moderate artinya dalam pemeriksaan tidak cenderung tergesa-gesa dan tidak pula sengaja dilambat-lambatkan. 2. Tidak boleh mengurangi ketepatan pemeriksaan dan penilaian menurut hukum dan keadilan. Kesederhanaan, kecepatan pemeriksaan jangan di manipulasi untuk membedakan hukum, kebenaran dan keadilan Asas Equality Asas equality berarti persamaan hak dan kedudukan di depan hukum sehingga tidak boleh ada diskriminasi, yakni membedakan hak dan kedudukan orang di depan sidang pengadilan. Hakim tidak boleh membedakan perlakuan pelayanan berdasarkan status sosial, ras, agama, suku, jenis kelamin dan budaya. Asas equality ini diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 58 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang berbunyi: peradilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang. Implementasi asas equality dalam sidang di pengadilan, yaitu sebagai berikut: 1. Equal before the law, yaitu persamaan hak dan derajat dalam proses pemeriksaan persidangan pengadilan. 2. Equal protection on the law, yaitu hak perlindungan yang sama oleh hukum.

9 24 3. Equal justice under the law, yaitu mendapat hak perlakuan yang sama oleh hukum Asas Membantu Para Pencari Keadilan Asas ini diatur di dalam Pasal 58 ayat (2) UU No. 7 Tahun 1989 Peradilan Agama dan Pasal 5 ayat (2) UU No. Tahun 2004 serta Pasal4 ayat (2) tentang Kekuasaan Kehakiman, yang berbunyi: Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan. Berdasarkan ketentuan pasal di atas, hakim tidak hanya berfungsi sebagai pemimpin jalannya persidangan dan mencari serta menentukan hukum penyelesaian suatu sengketa/perkara yang diajukan kepadanya. Namun, ia berfungsi memberikan solusi terbaik sekaligus memberikan bantuan kepada para pihak yang berperkara secara objektif dan menjunjung tinggi rasa keadilan serta berusaha sekeras-kerasnya mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk tercapai peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan. Hakim juga tidak boleh menolak perkara dengan dalih hukum tidak ada atau hukum kurang jelas. Hal ini diatur dalam Pasal 16 ayat (1) dan (2) UU No. 4 Tahun 2004 dan UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi: 1. Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau hukum kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. 2. Ketentuan sebagaimana yang dimaksud ayat (1) tidak menutup usaha penyelesaian perkara perdata secara perdamaian. (Mardani 2009, 44-47) Jadi, selama perkara yang diajukan melengkapi syarat administrasi dan merupakan kewenangan pengadilan yang bersangkutan, maka hakim tidak boleh menolak perkara yang diajukan kepadanya dengan beralih bahwa hukum tidak ada atau hukum kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan

10 25 mengadilinya tanpa menutup kemungkinan untuk berdamai pada perkara perdata. 3. Sumber Hukum Peradilan Agama Dalam dunia peradilan termasuk lingkungan Peradilan Agama di Indonesia, sumber hukum yang dipakai atau dirujuk dalam memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara secara garis besar terbagi dua, yaitu: Sumber Hukum Materiil dan Sumber Hukum Formil yang sering disebut Hukum Acara Sumber Hukum Materiil Sumber hukum materiil ialah tempat dari mana materi hukum itu diambil. (Salim 2011, 9) Sumber hukum materiil yang berlaku di peradilan agama adalah: a. Qur an dan Hadis. b. Undang-Undang No. 22 Tahun 1946 jo. Undang-Undang No. 32 Tahun 1954 tentang Nikah, Talak, Cerai dan Rujuk (NTCR). c. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. d. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun e. Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 10 Tahun f. Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. g. Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. h. Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. i. Undang-Undang No. 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara. j. Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. k. Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. l. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.

11 26 m. Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik. n. Kompilasi Hukum Islam (KHI). o. Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES). p. Peraturan Bank Indonesia yang berkaitan dengan ekonomi syariah. q. Yurisprudensi. r. Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (MUI). s. Akad ekonomi syariah. (Mahkamah Agung RI 2014, 56-57) 3.2. Sumber Hukum Formil Hukum Formil atau Hukum Acara yang berlaku di lingkungan peradilan agama adalah sama dengan yang berlaku pada lingkungan peradilan umum, kecuali hal-hal yang telah disebut secara khusus dalam UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Adapun sumber hukum acara yang berlaku di lingkungan peradilan umum diberlakukan juga untuk lingkungan peradilan agama adalah sebagai berikut: (Djalil 2006, ) a. Reglemen op de Burgerlijk Rechtsvordering (B.Rv) Hukum acara yang termuat dalam B.Rv ini diperuntukkan untuk golongan Eropa yang berperkara di muka Raad van Justite dan Resedintie Gerecht. Ketentuan ini ditetapkan dengan Stbl No. 52 ddan Stbl No. 63. Berlaku sejak tanggal 01 Mei Dengan dihapuskannya Raad van Justite dan Hoogerechtshof, maka B.Rv yang ini sudah tidak berlaku lagi. Tetapi oleh karena hal yang diatur dalam B.Rv banyak yang masih relevan dengan perkembangan hukum acara saat ini, dan untuk mengisi kekosongan hukum, maka ketentuan-ketentuan yang tersebut dalam B.Rv masih banyak dipakai dalam pelaksanaan Hukum Acara Perdata di lingkungan Peradilan Umum. Misalnya, tentang

12 27 formulasi tentang surat gugatan, perubahan surat gugat, intervensi dan beberapa ketentuan Hukum Acara Perdata lainnya. b. Inlandsh Reglement (IR) Ketentuan hukum acara lain diperuntukkan untuk golongan Bumi putra dan Timur Asing yang berada di Jawa dan Madura. Setelah beberapa kali perubahan dan penambahan ketentuan hukum acara ini diubah namanya menjadi Het Herzience Indonesi Reglement (HIR) atau disebut juga dengan Reglement Indonesia yang diperbarui RIB yang diberlakukan dengan Stbl No. 16 dan Stbl No. 44. c. Rechtsregeement Voor de Biutengewesten (R.Bg) Ketentuan hukum acara ini diperuntukan untukgolongan Bumiputra dan Timur Asing yang berada di luar Jawa dan Madura yang berperkara di muka Landraad. R.Bg ditetapkan berdasarkan Ordonasi tanggal 11 Mei 1927 dan yang berlaku berdasarkan Stbl tanggal 01 Juli 1927, dikenalkan juga dengan Reglement Daerah Seberang. Bab II R.Bg memuat bagian Hukum Acara Perdata yang terdiri dari 7 (tujuh) title, yang masih digunakan sebagai Hukum Acara Perdata untuk daerah seberangan adalah title IV dan V, sedangkan titel I, II, III, VI dan VII tidak digunakan lagi seiring dihapuskannya Pengadilan Districgerecht,Districtraad, Magistraadgerecht, Residentigerecht dan R.van Justitie. d. Burgerlijk Wetboek Voor Indonesia (BW) BW yang dalam bahasa Indonesia disebut dengan Kitab Undang- Undang Hukum Perdata terdapat juga sumber Hukum Acara Perdata khususnya buku IV tentang pembuktian, yang termuat dalam Pasal 1865 s/d e. Wetboek van Koophandel (WvK) WvK yang dalam bahasa Indonesia dikenal dengan Kitab Undang- Undang Hukum Dagang juga terdapat sumber Hukum Acara

13 28 Perdata, sebagai sumber penerapan acara dalam praktek peradilan. f. Peraturan Perundang-Undangan. 1. Undang-Undang No. 20 Tahun 1947 tentang Acara Perdata dalam hal banding bagi Pengadilan Tinggi di Jawa dan Madura sedangkan untuk daerah luar Jawa dan Madura diatur dalam Pasal R.Bg. 2. Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan- Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang telah diubah menjadi Undang-Undang No. 35 Tahun 1999 terakhir keduanya dinyatakan tidak berlaku lagi oleh UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam peraturan perundang-undangan ini memuat beberapa ketentuan tentang Hukum Acara Perdata dalam Praktek Peradilan di Indonesia. 3. Undang-Undang No. Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung RI yang telah diubah dengan UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung yang memuat tentang Acara Perdata dan hal-hal yang berhubungan dengan asasi dalam proses berperkara di Mahkamah Agung RI. 4. Undang-Undang No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum. Dalam undang-undang ini diatur tentang Susunan dan Kekuasaan Peradilan di lingkungan Peradilan Umum serta prosedur beracara di lingkungan Peradilan Umum tersebut. 5. Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Dalam undang-undang ini, khususnya Pasal 54 dikemukakan bahwa hukum acara yang berlaku di lingkungan Peradilan Agama adalah sama dengan hukum acara yang berlaku di lingkungan Peradilan Umum, kecuali hal-hal yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang tersebut.

14 29 g. Yurisprudensi Yurisprudensi adalah pengumpulan yang sistematis dari keputusan Mahkamah Agung dan keputusan Pengadilan Tinggi yang diikuti oleh hakim lain dalam memberikan keputusan sosial yang sama. Dalam hal ini hakim tidak boleh terikat pada putusan yurisprudensi, sebab negara Indonesia tidak menganut asas the binding force of precedent, jadi bebas memilih antara meninggalkan yurisprudensi atau memakainya dalam suatu perkara yang sejenis dan telah mendapat putusan sebelumnya. h. Surat Edaran Mahkamah Agung RI Tentang Surat Edaran dan Instruksi Mahkamah Agung RI sepanjang menyangkut hukum acara perdata dan hukum perdata materiil dapat dijadikan hukum acara dalam praktik peradilan terhadap suatu persoalan hukum yang dihadapi oleh hakim.surat Edaran dan Instruksi Mahkamah Agung RI tidak mengikat hakim sebagaimana undang-undang. 4. Proses Penyelesaian Perkara Oleh Hakim 4.1. Pendaftaran Perkara Proses perkara pada pengadilan diawali dari pendaftaran perkara ke pengadilan yang berwenang baik dilakukan sendiri oleh penggugat/ pemohon atau oleh kuasanya. Surat gugatan/permohonan harus sudah dilampirkan dengan persyaratan-persyaratan yang lengkap, kecuali yang buta huruf dapat mendaftarkannya secara lisan ke pengadilan agama melalui panitera pengadilan agama. Sewaktu panitera pengadilan agama menerima berkas surat gugatan/permohonan tersebut sudah benar dan jelas, apakah perkara tersebut wewenang pengadilan agama atau bukan, baik kompetensi relatif maupun kompetensi absolut. Setelah semua persyaratan lengkap, calon penggugat/pemohon membayar panjar biaya perkara sesuai yang tertera pada SKUM

15 30 kepada kasir. Kasir menerima panjar biaya perkara dan membukukannya, menandatangani, memberi nomor perkara dan tanda tangan lunas dari scum. Surat gugatan/permohonan yang diterima oleh Pengadilan Agama kemudian diberi nomor dan didaftar pada buku register, dalam waktu 3 (tiga) hari kerja, harus diberikan kepada ketua Pengadilan Agama untuk ditetapkan majelis hakimnya (PMH) yang akan memeriksa dan memutus perkara tersebut. Setelah ketua Pengadilan Agama menerima PMH dari ketua Pengadilan Agama, kepadanya diberikan berkas perkara yang bersangkutan. Majelis hakim segera mempelajari berkas perkara tersebut, dan dalam waktu satu minggu setelah berkas diterima, majelis hakim membuat Surat Penetapan Hari Sidang (PHS) untuk menentukan hari sidang pertama akan dimulai. Sekaligus ketua majelis hakim menunjuk pula panitera sidang. Kemudian juru sita/juru sita pengganti memanggil pihak yang berperkara untuk menghadap sidang. (Mardani 2009, 83-84) 4.2. Proses Perdamaian/Mediasi Setelah hakim ketua membuka sidang dengan menyatakan sidang dinyatakan terbuka untuk umum dengan mengetukkan palu, hakim memulai dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada Penggugat/Pemohon dan Tergugat/Termohon: a. Identitas penggugat/pemohon. b. Identitas tergugat/termohon. c. Apakah sudah mengerti maksud didatangkannya para pihak di muka sidang pengadilan. d. Hakim menghimbau agar dilakukannya perdamaian/mediasi. Dalam hal ini meskipun para pihak menjawab tidak mungkin damai karena usaha penyelesaian perdamaian sudah dilakukan berkali-kali, hakim meminta agar tetap dicoba lagi. (Soeroso 2011, 77)

16 31 Pada hari sidang pertama, bahkan pada sidang-sidang berikutnya, majelis hakim berkewajiban untuk mendamaikan para pihak yang berperkara. Pada sidang upaya perdamaian, inisiatif perdamaian dapat timbul dari hakim, penggugat atau tergugat. Hakim harus sungguh-sungguh untuk mendamaikan para pihak. Apabila usaha perdamaian berhasil, maka pengadilan akan mengeluarkan akta perdamaian (acta van vergejelik) yang isinya menghukum kedua belah pihak untuk memenuhi isi perdamaian yang telah dibuat antara mereka. Akta perdamaian tidak dapat dimintakan banding, kasasi atau Peninjauan Kembali (PK). Ketentuan formal dari suatu putusan perdamaian sebagai berikut: a. Adanya kata sepakat secara rela atau toestemming. b. Kedua belah pihak cakap membuat persetujuan. c. Objek persetujuan mengenai pokok tertentu (bepalde underwep). Putusan perdamaian yang dimuat di muka sidang mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) dan dapat dilaksanakan eksekusi sebagaimana layaknya putusan biasa yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Perdamaian bisa pula dilakukan para pihak berperkara di luar sidang pengadilan. Perjanjian semacam ini hanya berkekuatan sebagai persetujuan kedua belah pihak belaka, yang apabila tidak ditaati oleh salah satu pihak, maka masih harus diajukan melalui suatu proses di pengadilan. Dalam perjanjian perdamaian tidak boleh terdapat cacat yang mengandung unsur kekeliruan (devaling), paksaan (dwang), dan penipuan (bed rog), bila mengandung cacat, maka putusan perdamaian dapat dibatalkan. (Mardani 2009, 84) 4.3. Proses Jawaban Menurut Pasal 121 ayat (2) HIR pada saat juru sita menyampaikan surat panggilan sidang, dalam surat itu harus tercantum penegasan memberi hak kepada tergugat untuk memberikan jawaban secara

17 32 tertulis. Biasanya jawaban disampaikan pada sidang pertama. Berdasarkan hak ini tergugat menyusun jawaban yang berisi tanggapan menyeluruh terhadap gugatan. Jawaban yang seperti ini dalam praktek, disebut jawaban pertama. Dalam sistem Common Law disebut dengan counter claim, yaitu tangkisan atau bantahan tergugat atau disebut defence sebagai cross clam against the plaintiff. Hakekatnya pemberian hak bagi tergugat mengajukan jawaban, sesuai dengan asas audi alteram partem atau auditur et altera pars, yaitu pemberian hak yang sama kepada tergugat untuk mengajukan pembelaan kepentingannya Proses Replik Sejalan dengan asas audi alterm partem, kepada penggugat diberi hak untuk menanggapi jawaban yang diajukan tergugat, dan secara teknis disebut replik. Dengan demikian replik merupakan jawaban atas jawaban tergugat. Dalam sistem Common Law, disebut dengan counter plea atau replay sebagai defence terhadap counter claim Proses Duplik Secara teknis, duplik dapat diartikan jawaban kedua. Dalam Common Law disebut rejoinder, berupa jawaban balik dari tergugat terhadap replik penggugat. Sama halnya dalam sistem peradilan di Indonesia, duplik merupakan jawaban terhadap replik penggugat.hal itu ditegaskan Pasal 142 Rv, yang memberi hak kepada penggugat mengajukan replik atas jawaban tergugat dan selanjutnya memberi hak kepada tergugat mengajukan duplik terhadap replik penggugat.ketentuan Pasal 142 Rv tersebut, telah dijadikan pedoman teknis yustisial berdasarkan prinsip kepentingan beracara (process doelmatigheid). (Harahap 2007, ) 4.6. Proses Pembuktian Secara etimologis pembuktian dalam istilah Arab disebut albayyinah, yang artinya satu yang menjelaskan. Secara terminologies pembuktian berarti memberikan keterangan dengan dalil yang

18 33 meyakinkan. Menurut Supomo pembuktian mempunyai arti luas dan terbatas. Dalam arti luas, pembuktian berarti memperkuat kesimpulan hakim dengan syarat-syarat bukti yang sah, sedangkan dalam arti terbatas pembuktian itu hanya diperlukan apabila yang dikemukakan penggugat itu dibantah oleh tergugat. Dari pengertian menurut Supomo tersebut, pembuktian dalam arti luas menghasilkan konsekuensi untuk memperkuat keyakinan hakim semaksimal mungkin. (Mardani 2009, 106) Agar tuntutan penggugat dapat dikabulkan oleh pengadilan, maka pihak penggugat harus membuktikan peristiwa-peristiwa yang dikemukakan dalam gugatan, kecuali pihak lawannya (tergugat) terusterang mengakui kebenaran peristiwa-peristiwa tersebut. Apabila semua bukti-bukti telah diajukan, dan menurut pertimbangan hakim dalil-dalil yang dikemukakan berhasil dibuktikan, gugatan akan dikabulkan. Sebaliknya apabila menurut pertimbangan hakim tidak berhasil dibuktikan dalil-dalilnya, maka gugatan penggugat akan ditolak. (Supramono 1998, 14-15) Pembuktian merupakan tahap yang menentukan dalam proses perkara, karena dari hasil pembuktian dapat diketahui benar atau tidaknya suatu gugatan atau bantahan. (Sugeng 2011, 65) 4.7. Kesimpulan Para Pihak Setelah tidak ada lagi alat bukti yang diajukan dan diperiksa, hakim akan menutup proses pembuktian dan mempersilahkan para pihak menyusun kesimpulan. Kesimpulan ini merupakan pendapat para pihak yang memperkuat dalil-dalil mereka berdasarkan pembuktian. (Sugeng 2011, 14) Pada proses ini kedua belah pihak membuat kesimpulan dari hasil sidang-sidang tersebut. Isi pokok kesimpulan sudah barang tentu yang menguntungkan para pihak sendiri. (Sueroso 2011, 80)

19 Musyawarah Majelis Hakim Mengenai musyawarah majelis hakim diatur dalam Pasal 161 HIR/188 R.Bg : (1) Sesudah pemeriksaan perkara itu sudah diselesaikan dengan sebaik-baiknya, baik pada waktu persidangan permulaan maupun dalam persidangan kemudian, maka setelah disuruh keluar kedua belah pihak saksi dan orang yang mendengar, haruslah pengadilan meminta pertimbangan penasihat yang hadir pada waktu perkara itu diperiksa dalam persidangan menurut Pasal 7 reglemen tentang aturan Hakim Mahkamah serta kebijaksanaan justitie di Indonesia (Stbld No. 317) (2) Kemudian pengadilan bermusyawarah dan membuatah keputusan menurut aturan pada Pasal 39 dan 40 reglemen tersebut tadi. (Mardani 2009, 95) 4.9. Putusan/Penetapan Hakim a. Putusan hakim Apabila ditinjau dari visi hakim yang memutus perkara, putusan hakim merupakan mahkota sekaligus puncak dan akta penutup dari pencerminan nilai-nilai keadilan, kebenaran, penguasaan hukum dan fakta, etika serta moral dari hakim yang bersangkutan. Putusan bagi hakim adalah mahkota dan merupakan barometer apakah pengadilan di dalam memeriksa dan mengadili perkara yang sudah diajukan kepadanya telah menerapkan ketentuan hukum yang berlaku dan apakah putusan tersebut telah sesuai dengan rasa keadilan para pencari keadilan. Putusan yang baik dan bermutu harus ditempuh melalui proses dari tahap persiapan persidangan/prapersidangan, tahap pemeriksaan di persidangan/tahap pembuktian dan tahap pasca persidangan. Proses pemeriksaan pada tahap-tahap tersebut bila telah ditempuh sesuai dengan ketentuan yang berlaku (ketentuan formil

20 35 maupun materiil) akan menghasilkan suatu kesimpulan yang akurat dan dari kesimpulan yang akurat tersebut akan dihasilkan putusan yang dapat memenuhi asas keadilan yang meliputi keadilan yang prosedural dan keadilan substantif. Bertitik tolak dari ketentuan-ketentuan Pasal 184 HIR, Pasal 195 RBg, serta Pasal 13, 14, dan 50 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, maka tidak ditemukan mengenai pengertian terhadap putusan hakim. Oleh karena itu untuk dapat menjelaskan mengenai pengertian perihal putusan hakim dapat ditarik beberapa pendapat ahli hukum. Sebagaimana yang dikutip oleh Sunarto dalam bukunya bahwa Rubini dan Chidir Ali merumuskan putusan sebagai bentuk suatu akta penutup dari suatu proses perkara dan putusan hakim itu disebut juga sebagai vonis yang merupakan kesimpulankesimpulan terakhir mengenai hukum dari hakim serta memuat pula akibat-akibatnya. (Sunarto 2014, 191) Selain itu, sebagaimana yang dikutip juga oleh Sunarto dalam bukunya bahwa Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa putusan merupakan suatu pernyataan hakim sebagai pejabat negara yang diberi wewenang, diucapkan di persidangan, dan bertujuan untuk menyelesaikan suatu perkara antara para pihak. (Sunarto 2014, 92) Dari pengertian tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa suatu putusan harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : 1) Diucapkan oleh hakim yang berwenang. 2) Diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum. 3) Dengan syarat-syarat dan bentuk tertentu. 4) Bertujuan untuk mengakhiri sengketa suatu perkara. Dalam prosesnya hakim harus terlebih dahulu menetapkan kebenaran dari fakta-fakta atau kejadian-kejadian secara objektif, kemudian

21 36 menerapkan hukum yang berlaku berupa menetapkan hubungan hukum serta peraturan hukum yang menguasai sengketa. (Sunarto 2014, 92) Setelah selesai membaca putusan maka hakim mengetukkan palu tiga kali dan para pihak diberi kesempatan untuk mengajukan banding apabila tidak puas dengan putusan hakim. Pernyataan banding ini harus dilakukan dalam jangka waktu 14 hari terhitung mulai sehari sehabis dijatuhkan putusan. (Soeroso 2011, 80) Putusan dibedakan menjadi beberapa macam: 1) Putusan akhir (eind vonnis), yaitu putusan yang mengakhiri di persidangan dan putusan ini merupakan produk utama dari suatu persidangan. 2) Putusan sela (tussen vonnis), yaitu putusan yang dijatuhkan masih dalam proses persidangan sebelum putusan akhir dibacakan dengan tujuan untuk memperjelas dan memperlancar persidangan. 3) Putusan serta-merta, yaitu putusan pengadilan agama yang pada putusan tersebut oleh salah satu pihak atau para pihak yang berperkara dilakukan upaya hukum baik verzet, banding maupun kasasi dan memakan waktu relatif lama, lalu ada suatu gugatan dari salah satu pihak, agar putusan yang telah dijatuhkan oleh pengadilan agama dilaksanakan terlebih dahulu, tidak lagi menunggu putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. (Mardani2009, ) b. Penetapan Hakim Adapun yang dimaksud dengan penetapan adalah keputusan pengadilan agama atas perkara permohonan (volunter), misalnya penetapan dalam perkara dispensasi nikah, izin nikah, wali adhal, poligami, perwalian, itsbath nikah dan sebagainya. Penetapan merupakan jurisdiction valuntaria (bukan peradilan yang sesungguhnya). Karena ada penetapan hanya ada pemohon tidak ada lawan hukum. Dalam penetapan, hakim tidak menggunakan kata mengadili namun cukup menggunakan kata menetapkan. (Mardani 2009, 123)

22 Pelaksanaan Putusan/Eksekusi Suatu putusan pengadilan tidak ada artinya apabila tidak dapat dilaksanakan. Oleh karena itu putusan hakim mempunyai kekuatan eksekutorial, yaitu kekuatan untuk dilaksanakan apa yang ditetapkan dalam putusan itu secara paksa oleh alat-alat negara. Yang memberi kekuatan eksekutorial pada putusan hakim ialah kepala putusan yang berbunyi Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Eksekusi atau disebut juga pelaksanaan putusan oleh beberapa para ahli hukum di Indonesia, diatur dalam ketentuan Bab Kesepuluh Bagian Kelima HIR atau Titel Keempat Bagian Keempat. Dalam aturan tersebut disebutkan pula mengenai pengertian eksekusi yang sama dengan menjalankan putusan (ten uitvoer legging van vonnissen) atau dapat dikatakan melaksanakan isi putusan pengadilan secara paksa dengan bantuan kekuatan umum apabila pihak yang kalah (pihak tereksekusi) tidak mau menjalankannya secara sukarela. (Sunarto 2014, 228) Demikian proses penyelesaian perkara oleh hakim di pengadilan. Mulai dari pendaftaran perkara sampai dengan putusan diberikan oleh hakim dan pelaksanaan eksekusi sesuai dengan isi putusan hakim tersebut. Tahapan-tahapan tersebut harus dilalui oleh pihak yang berperkara, kecuali jika setelah didaftarkannya perkara salah satu pihak yang berperkara tidak hadir pada jadwal persidangan, maka perkara tetap akan diputus (verstek/ verzet).

Drs. H. Zulkarnain Lubis, MH BAGIAN KEPANITERAAN Judul SOP Pelaksanaan Persidangan Perkara Gugatan Cerai Gugat

Drs. H. Zulkarnain Lubis, MH BAGIAN KEPANITERAAN Judul SOP Pelaksanaan Persidangan Perkara Gugatan Cerai Gugat PENGADILAN AGAMA SIMALUNGUN JLN. ASAHAN KM. 3 TELP/FAX (0622) 7551665 E-MAIL : pasimalungun@gmail.com SIMALUNGUN Nomor SOP W2-A12/ /OT.01.3/I/2017 Tanggal Pembuatan 28 Maret 2016 Tanggal Revisi 03 Januari

Lebih terperinci

BERACARA DI PENGADILAN AGAMA DAN PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARIAH Oleh: Agus S. Primasta, SH 1

BERACARA DI PENGADILAN AGAMA DAN PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARIAH Oleh: Agus S. Primasta, SH 1 BERACARA DI PENGADILAN AGAMA DAN PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARIAH Oleh: Agus S. Primasta, SH 1 Abstraksi Berdasarkan UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, semua Pengadilan baik secara teknis

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. Dasar pertimbangan hakim dalam mengabulkan permohonan dispensasi nikah dibawah umur di Pengadilan Agama Bantul

BAB IV PEMBAHASAN. Dasar pertimbangan hakim dalam mengabulkan permohonan dispensasi nikah dibawah umur di Pengadilan Agama Bantul BAB IV PEMBAHASAN Dasar pertimbangan hakim dalam mengabulkan permohonan dispensasi nikah dibawah umur di Pengadilan Agama Bantul Dalam Pasal 7 ayat (1) UUP disebutkan bahwa perkawinan hanya dapat diberikan

Lebih terperinci

HUKUM FORMIL PERADILAN AGAMA DI INDONESIA

HUKUM FORMIL PERADILAN AGAMA DI INDONESIA HUKUM FORMIL PERADILAN AGAMA DI INDONESIA 1. Pendahuluan Peradilan Agama di Indonesia sejak berlakunya sistem satu atap (one roof system) 1 dibawah naungan Mahkamah Agung mempunyai peranan penting untuk

Lebih terperinci

2015, No tidaknya pembuktian sehingga untuk penyelesaian perkara sederhana memerlukan waktu yang lama; d. bahwa Rencana Pembangunan Jangka Mene

2015, No tidaknya pembuktian sehingga untuk penyelesaian perkara sederhana memerlukan waktu yang lama; d. bahwa Rencana Pembangunan Jangka Mene No.1172, 2015 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA MA. Gugatan Sederhana. Penyelesaian. PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA PENYELESAIAN GUGATAN SEDERHANA DENGAN

Lebih terperinci

PROSEDUR BERPERKARA PENGADILAN TINGKAT PERTAMA

PROSEDUR BERPERKARA PENGADILAN TINGKAT PERTAMA PROSEDUR BERPERKARA PENGADILAN TINGKAT PERTAMA CERAI GUGAT A. Pendahuluan Penggugat atau kuasanya mengajukan gugatan secara tertulis atau lisan kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah (Pasal 118 HIR,

Lebih terperinci

HUKUM ACARA PERDATA BAB I PENDAHULUAN

HUKUM ACARA PERDATA BAB I PENDAHULUAN HUKUM ACARA PERDATA BAB I PENDAHULUAN 1. Istilah dan pengertian - Hukum perdata materiil : hukum yang mengatur hak dan kewajiban pihak-pihak dalam hubungan perdata - Hukum perdata formil : hukum acara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 49, 1989 (AGAMA. KEHAKIMAN. PERADILAN. Perkawinan. Perceraian. Warisan. Warganegara. Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3400) UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

PENETAPAN AHLI WARIS DAN P3HP /PERMOHONAN PERTOLONGAN PEMBAGIAN HARTAPENINGGALAN

PENETAPAN AHLI WARIS DAN P3HP /PERMOHONAN PERTOLONGAN PEMBAGIAN HARTAPENINGGALAN PENETAPAN AHLI WARIS DAN P3HP /PERMOHONAN PERTOLONGAN PEMBAGIAN HARTAPENINGGALAN (Oleh : H. Sarwohadi, S.H.,M.H.,Hakim PTA NTB) I. Pendahuluan Pengadilan Agama di wilayah PTA NTB terkenal dengan banyaknya

Lebih terperinci

PROSEDUR DAN PROSES BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA

PROSEDUR DAN PROSES BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA Tempat Pendaftaran : BAGAN PROSEDUR DAN PROSES BERPERKARA Pengadilan Agama Brebes Jl. A.Yani No.92 Telp/ fax (0283) 671442 Waktu Pendaftaran : Hari Senin s.d. Jum'at Jam 08.00 s.d 14.00 wib PADA PENGADILAN

Lebih terperinci

Drs. H. Zulkarnain Lubis, MH BAGIAN KEPANITERAAN Judul SOP Pelaksanaan Persidangan Perkara Gugatan Cerai Talak

Drs. H. Zulkarnain Lubis, MH BAGIAN KEPANITERAAN Judul SOP Pelaksanaan Persidangan Perkara Gugatan Cerai Talak PENGADILAN AGAMA SIMALUNGUN JLN. ASAHAN KM. 3 TELP/FAX (0622) 7551665 E-MAIL : pasimalungun@gmail.com SIMALUNGUN Nomor SOP W2-A12/ /OT.01.3/I/2017 Tanggal Pembuatan 28 Maret 2016 Tanggal Revisi 03 Januari

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG Nomor: 7 TAHUN 1989 Tentang PERADILAN AGAMA Tanggal: 29 DESEMBER 1989 (JAKARTA) LN 1989/49; TLN NO PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG Nomor: 7 TAHUN 1989 Tentang PERADILAN AGAMA Tanggal: 29 DESEMBER 1989 (JAKARTA) LN 1989/49; TLN NO PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG Nomor: 7 TAHUN 1989 Tentang PERADILAN AGAMA Tanggal: 29 DESEMBER 1989 (JAKARTA) LN 1989/49; TLN NO. 3400 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia,

Lebih terperinci

PROSDUR BERPERKARA. CERAI GUGAT A. Langkah-langkahnya

PROSDUR BERPERKARA. CERAI GUGAT A. Langkah-langkahnya CERAI GUGAT A. Langkah-langkahnya PROSDUR BERPERKARA Penggugat atau kuasanya mengajukan gugatan secara tertulis atau lisan kepada Pengadilan Agama / Mahkamah Syariah (Pasal 118 HIR, 142 Rbg jo.pasal 73

Lebih terperinci

2016, No objek materiil yang jumlahnya besar dan kecil, sehingga penyelesaian perkaranya memerlukan waktu yang lama; e. bahwa Mahkamah Agung d

2016, No objek materiil yang jumlahnya besar dan kecil, sehingga penyelesaian perkaranya memerlukan waktu yang lama; e. bahwa Mahkamah Agung d No.2059, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA MA. Ekonomi Syariah. Penyelesaian Perkara. PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENYELESAIAN PERKARA EKONOMI

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia, Menimbang: a. bahwa Negara Republik Indonesia, sebagai negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Pengadilan Agama sebagai salah satu badan peradilan di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Pengadilan Agama sebagai salah satu badan peradilan di Indonesia 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pengadilan Agama sebagai salah satu badan peradilan di Indonesia berdasarkan pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB IV. memutuskan dan mengadili perkara Nomor: 207/Pdt. G/2011/PA. Kdr. tentang

BAB IV. memutuskan dan mengadili perkara Nomor: 207/Pdt. G/2011/PA. Kdr. tentang BAB IV ANALISIS YURIDIS PEMBATALAN PUTUSAN PENGADILAN AGAMA KEDIRI NOMOR : 207/Pdt. G/2011/PA. Kdr. OLEH PENGADILAN TINGGI AGAMA SURABAYA NOMOR : 375/Pdt. G/2011/PTA. Sby. TENTANG GUGATAN WARIS A. Analisis

Lebih terperinci

BAB IV. Putusan Pengadilan Agama Malang No.0758/Pdt.G/2013 Tentang Perkara. HIR, Rbg, dan KUH Perdata atau BW. Pasal 54 Undang-undang Nomor 7

BAB IV. Putusan Pengadilan Agama Malang No.0758/Pdt.G/2013 Tentang Perkara. HIR, Rbg, dan KUH Perdata atau BW. Pasal 54 Undang-undang Nomor 7 BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP PENGAKUAN SEBAGAI UPAYA PEMBUKTIAN DALAM PUTUSAN PENGADILAN AGAMA MALANG NO. 0758/PDT.G/2013 TENTANG PERKARA CERAI TALAK A. Analisis Yuridis Terhadap Pengakuan Sebagai

Lebih terperinci

PROSEDUR BERPERKARA TATA CARA PENGAJUAN PERKARA (VIA BANK)

PROSEDUR BERPERKARA TATA CARA PENGAJUAN PERKARA (VIA BANK) PROSEDUR BERPERKARA TATA CARA PENGAJUAN PERKARA (VIA BANK) Pertama : Pihak berperkara datang ke Pengadilan Agama dengan membawa surat gugatan atau permohonan. Kedua : Pihak berperkara menghadap petugas

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa Negara Republik Indonesia, sebagai negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan

Lebih terperinci

SEKITAR EKSEKUSI. (oleh H. Sarwohadi, S.H., M.H. Hakim Tinggi PTA Bengkulu)

SEKITAR EKSEKUSI. (oleh H. Sarwohadi, S.H., M.H. Hakim Tinggi PTA Bengkulu) SEKITAR EKSEKUSI (oleh H. Sarwohadi, S.H., M.H. Hakim Tinggi PTA Bengkulu) A. Tinjauan Umum Eksekusi 1. Pengertian eksekusi Pengertian eksekusi menurut M. Yahya Harahap, adalah pelaksanaan secara paksa

Lebih terperinci

Kuliah PLKH Oleh Fauzul A. Fakultas Hukum UPN Jatim 7 Maret /04/2013 1

Kuliah PLKH Oleh Fauzul A. Fakultas Hukum UPN Jatim 7 Maret /04/2013 1 Kuliah PLKH Oleh Fauzul A Fakultas Hukum UPN Jatim 7 Maret 2013 22/04/2013 1 Hukum Acara di Pengadilan Agama HIR/R.Bg UU No.7 tahun 1989 ttg Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dg UU No.3 tahun 2006

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengadili, memutuskan dan menyelesaikan perkara untuk menegakkan hukum

BAB I PENDAHULUAN. mengadili, memutuskan dan menyelesaikan perkara untuk menegakkan hukum 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Peradilan adalah kekuasaan negara dalam menerima, memeriksa, mengadili, memutuskan dan menyelesaikan perkara untuk menegakkan hukum dan keadilan. 1 Kekuasaan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS STUDI KASUS PUTUSAN HAKIM

BAB IV ANALISIS STUDI KASUS PUTUSAN HAKIM 57 BAB IV ANALISIS STUDI KASUS PUTUSAN HAKIM A. Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Putusan N0.251/Pdt.G/2013 PA.Sda Dalam memutuskan setiap Perkara di dalam persidangan hakim tidak serta merta memutuskan perkara

Lebih terperinci

BAB IV. ANALISIS TERHADAP PUTUSAN NO. 0688/Pdt.G/2011/PA.Tbn TENTANG PENCABUTAN GUGATAN TANPA PERSETUJUAN TERGUGAT DALAM PERKARA CERAI GUGAT

BAB IV. ANALISIS TERHADAP PUTUSAN NO. 0688/Pdt.G/2011/PA.Tbn TENTANG PENCABUTAN GUGATAN TANPA PERSETUJUAN TERGUGAT DALAM PERKARA CERAI GUGAT BAB IV ANALISIS TERHADAP PUTUSAN NO. 0688/Pdt.G/2011/PA.Tbn TENTANG PENCABUTAN GUGATAN TANPA PERSETUJUAN TERGUGAT DALAM PERKARA CERAI GUGAT A. Dasar Hukum Hakim dalam Penerapan Pencabutan Cerai Gugat Pengadilan

Lebih terperinci

PENGADILAN AGAMA JAKARTA BARAT Jl. Pesanggrahan Raya No.32 Kembangan Jakarta Barat Telp./Fax. (021) sd. 95

PENGADILAN AGAMA JAKARTA BARAT Jl. Pesanggrahan Raya No.32 Kembangan Jakarta Barat Telp./Fax. (021) sd. 95 \ PENGADILAN AGAMA JAKARTA BARAT Jl. Pesanggrahan Raya No.32 Kembangan Jakarta Barat 11610 Telp./Fax. (021) 58352092 sd. 95 E-Mail: info@pa-jakartabarat.go.id ; Website: www.pa-jakartabarat.co.id A. Dasar

Lebih terperinci

NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA

NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Republik Indonesia, sebagai negara

Lebih terperinci

UPAYA PERLAWANAN HUKUM TERHADAP EKSEKUSI PEMBAYARAN UANG DALAM PERKARA PERDATA (Studi Kasus Pengadilan Negeri Surakarta)

UPAYA PERLAWANAN HUKUM TERHADAP EKSEKUSI PEMBAYARAN UANG DALAM PERKARA PERDATA (Studi Kasus Pengadilan Negeri Surakarta) UPAYA PERLAWANAN HUKUM TERHADAP EKSEKUSI PEMBAYARAN UANG DALAM PERKARA PERDATA (Studi Kasus Pengadilan Negeri Surakarta) SKRIPSI Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas dan Syarat Guna Mencapai Derajat

Lebih terperinci

*14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

*14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Copyright (C) 2000 BPHN UU 4/2004, KEKUASAAN KEHAKIMAN *14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

I. HUKUM ACARA PERDATA

I. HUKUM ACARA PERDATA I. HUKUM ACARA PERDATA A. Pendahuluan Dalam pokok bahasan I (pertama) ini terdapat beberapa sub-sub pokok bahasan yaitu tentang pengertian Hukum Acara Perdata, Sumber-sumber Hukum Acara Perdata, asas-asas

Lebih terperinci

BAB III PENETAPAN PENGADILAN AGAMA KENDAL TENTANG PERUBAHAN BIODATA PADA AKTA NIKAH

BAB III PENETAPAN PENGADILAN AGAMA KENDAL TENTANG PERUBAHAN BIODATA PADA AKTA NIKAH BAB III PENETAPAN PENGADILAN AGAMA KENDAL TENTANG PERUBAHAN BIODATA PADA AKTA NIKAH A. Kewenangan Pengadilan Agama Kendal Menurut M. Yahya Harahap, ada lima tugas dan wewenang yang terdapat di lingkungan

Lebih terperinci

BAB II KOMPETENSI PERADILAN AGAMA TENTANG PENCABUTAN GUGATAN DAN PERCERAIAN

BAB II KOMPETENSI PERADILAN AGAMA TENTANG PENCABUTAN GUGATAN DAN PERCERAIAN BAB II KOMPETENSI PERADILAN AGAMA TENTANG PENCABUTAN GUGATAN DAN PERCERAIAN A. Tinjauan Umum tentang Pencabutan Gugatan 1. Pengertian Pencabutan Gugatan Mencabut gugatan adalah tindakan menarik kembali

Lebih terperinci

EKSEPSI KOMPETENSI RELATIF DALAM PERKARA PERCERAIAN DI PERADILAN AGAMA. Drs. H. Masrum M Noor, M.H EKSEPSI

EKSEPSI KOMPETENSI RELATIF DALAM PERKARA PERCERAIAN DI PERADILAN AGAMA. Drs. H. Masrum M Noor, M.H EKSEPSI 1 EKSEPSI KOMPETENSI RELATIF DALAM PERKARA PERCERAIAN DI PERADILAN AGAMA Drs. H. Masrum M Noor, M.H I EKSEPSI Eksepsi (Indonesia) atau exceptie (Belanda) atau exception (Inggris) dalam istilah hukum acara

Lebih terperinci

BAB IV. ANALISIS PELAKSANAAN PUTUSAN No. 0985/Pdt.G/2011/PA.Sm. TENTANG MUT AH DAN NAFKAH IDDAH

BAB IV. ANALISIS PELAKSANAAN PUTUSAN No. 0985/Pdt.G/2011/PA.Sm. TENTANG MUT AH DAN NAFKAH IDDAH 56 BAB IV ANALISIS PELAKSANAAN PUTUSAN No. 0985/Pdt.G/2011/PA.Sm. TENTANG MUT AH DAN NAFKAH IDDAH A. Analisis Prosedur Pelaksanaan Putusan Pengadilan Agama Tentang Mut ah dan Nafkah Iddah. Tujuan pihak-pihak

Lebih terperinci

EKSEKUSI TERHADAP KEPUTUSAN HAKIM YANG MEMPUNYAI KEKUATAN HUKUM TETAP DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA

EKSEKUSI TERHADAP KEPUTUSAN HAKIM YANG MEMPUNYAI KEKUATAN HUKUM TETAP DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA EKSEKUSI TERHADAP KEPUTUSAN HAKIM YANG MEMPUNYAI KEKUATAN HUKUM TETAP DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Tugas dan Syarat-syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum dalam Ilmu

Lebih terperinci

Putusan di atas merupakan putusan dari perkara cerai talak, yang diajukan. oleh seorang suami sebagai Pemohon yang ingin menjatuhkan talak raj i di

Putusan di atas merupakan putusan dari perkara cerai talak, yang diajukan. oleh seorang suami sebagai Pemohon yang ingin menjatuhkan talak raj i di 79 BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP TIDAK DITERAPKANNYA KEWENANGAN EX OFFICIO HAKIM TENTANG NAFKAH SELAMA IDDAH DALAM PERKARA CERAI TALAK (STUDI PUTUSAN NOMOR:1110/Pdt.G/2013/PA.Mlg) Putusan di atas merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengadili, memutuskan dan menyelesaikan perkara untuk menegakkan hukum

BAB I PENDAHULUAN. mengadili, memutuskan dan menyelesaikan perkara untuk menegakkan hukum BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Peradilan adalah kekuasaan negara dalam menerima, memeriksa, mengadili, memutuskan dan menyelesaikan perkara untuk menegakkan hukum dan keadilan. 1 Kekuasaan

Lebih terperinci

P U T U S A N Nomor 1342/Pdt.G/2015/PA. Pas

P U T U S A N Nomor 1342/Pdt.G/2015/PA. Pas P U T U S A N Nomor 1342/Pdt.G/2015/PA. Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Pasuruan yang memeriksa dan mengadili perkara perdata pada tingkat

Lebih terperinci

[DEVI SELVIYANA, SH] BAB I PENDAHULUAN. hak dan kewajiban yang harus dihargai dan dihormati oleh orang lain.

[DEVI SELVIYANA, SH] BAB I PENDAHULUAN. hak dan kewajiban yang harus dihargai dan dihormati oleh orang lain. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia adalah makhluk sosial yang cenderung untuk selalu hidup berkelompok (bermasyarakat). Kehidupan bermasyarakat menuntut manusia untuk saling berinteraksi atau

Lebih terperinci

PUTUSAN Nomor 0036/Pdt.G/2015/PA. Pas

PUTUSAN Nomor 0036/Pdt.G/2015/PA. Pas PUTUSAN Nomor 0036/Pdt.G/2015/PA. Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Pasuruan yang memeriksa dan mengadili perkara perdata pada tingkat pertama,

Lebih terperinci

PUTUSAN Nomor 1734/Pdt.G/2014/PA.Pas

PUTUSAN Nomor 1734/Pdt.G/2014/PA.Pas PUTUSAN Nomor 1734/Pdt.G/2014/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Pasuruan yang memeriksa dan mengadili perkara perdata pada tingkat pertama,

Lebih terperinci

PUTUSAN Nomor 1278/Pdt.G/2015/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

PUTUSAN Nomor 1278/Pdt.G/2015/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM PUTUSAN Nomor 1278/Pdt.G/2015/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Pasuruan yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu dalam tingkat pertama

Lebih terperinci

PHI 5 ASAS HUKUM ACARA PERDATA

PHI 5 ASAS HUKUM ACARA PERDATA PHI 5 ASAS HUKUM ACARA PERDATA Oleh Herlindah, SH, M.Kn 1 Sub Pokok Bahasan: 1. Istlah dan Pengertan Hukum Acara Perdata 2. Sumber Hukum Acara Perdata 3. Ruang Lingkup Hukum Acara Perdata 4. Asas-Asas

Lebih terperinci

Mengenal Sistem Peradilan di Indonesia

Mengenal Sistem Peradilan di Indonesia Mengenal Sistem Peradilan di Indonesia HASRIL HERTANTO,SH.MH MASYARAKAT PEMANTAU PERADILAN INDONESIA DISAMPAIKAN DALAM PELATIHAN MONITORING PERADILAN KBB, PADA SELASA 29 OKTOBER 2013 DI HOTEL GREN ALIA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyelesaikan perkara di lingkungan peradilan agama, khususnya di pengadilan

BAB I PENDAHULUAN. menyelesaikan perkara di lingkungan peradilan agama, khususnya di pengadilan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyelesaian perkara di lingkungan peradilan agama sebagaimana lingkungan peradilan lainnya tidak hanya dilakukan oleh hakim sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum Proses Pemeriksaan Perkara Perdata Hukum acara perdata disebut juga hukum perdata formil, yaitu kesemuanya kaidah hukum yang menentukan dan mengatur

Lebih terperinci

HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA

HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA 1 HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA I. Pengertian, asas & kompetensi peradilan TUN 1. Pengertian hukum acara TUN Beberapa istilah hukum acara TUN, antara lain: Hukum acara peradilan tata usaha pemerintahan

Lebih terperinci

ALUR PERADILAN PIDANA

ALUR PERADILAN PIDANA ALUR PERADILAN PIDANA Rangkaian penyelesaian peradilan pidana terdiri atas beberapa tahapan. Suatu proses penyelesaian peradilan dimulai dari adanya suatu peristiwa hukum, misalnya seorang wanita yang

Lebih terperinci

P U T U S A N Nomor 1336/Pdt.G/2015/PA. Pas

P U T U S A N Nomor 1336/Pdt.G/2015/PA. Pas P U T U S A N Nomor 1336/Pdt.G/2015/PA. Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Pasuruan yang memeriksa dan mengadili perkara perdata pada tingkat

Lebih terperinci

P U T U S A N. Nomor: 0133/Pdt.G/2010/PA.Spn. BISMILLAAHIRRAHMAANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N. Nomor: 0133/Pdt.G/2010/PA.Spn. BISMILLAAHIRRAHMAANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P U T U S A N Nomor: 0133/Pdt.G/2010/PA.Spn. BISMILLAAHIRRAHMAANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Sungai Penuh yang memeriksa dan mengadili perkara perdata pada

Lebih terperinci

BAB IV. tunduk dan patuh pada putusan yang dijatuhkan. 1

BAB IV. tunduk dan patuh pada putusan yang dijatuhkan. 1 54 BAB IV KEKUATAN YURIDIS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA PURWOREJO NO. 0272/Pdt.G/2011/PA.Pwr. DENGAN PUTUSAN PENGADILAN TINGGI AGAMA SEMARANG NO. 224/ Pdt.G/2011/PTA.Smg. TENTANG CERAI TALAK A. Kekuatan Yuridis

Lebih terperinci

Makalah Rakernas MA RI

Makalah Rakernas MA RI Makalah Rakernas MA RI 2011 1 BEBERAPA CATATAN DARI TUADA ULDILAG BAHAN RAKERNAS MARI SEPTEMBER 2011 A. Pengantar Berhubung saya dalam kondisi sakit, maka saya hanya memberi catatan-catatan yang saya anggap

Lebih terperinci

PUTUSAN Nomor 0718/Pdt.G/2015/PA. Pas

PUTUSAN Nomor 0718/Pdt.G/2015/PA. Pas PUTUSAN Nomor 0718/Pdt.G/2015/PA. Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Pasuruan yang memeriksa dan mengadili perkara perdata pada tingkat pertama,

Lebih terperinci

Langkah-langkah yang harus dilakukan Pemohon (Suami) atau kuasanya :

Langkah-langkah yang harus dilakukan Pemohon (Suami) atau kuasanya : Langkah-langkah yang harus dilakukan Pemohon (Suami) atau kuasanya : 1. a. Mengajukan permohonan secara tertulis atau lisan kepada pengadilan agama/mahkamah syar iyah (Pasal 118 HIR, 142 R.Bg jo Pasal

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 73, 1985 (ADMINISTRASI. KEHAKIMAN. LEMBAGA NEGARA. Mahkamah Agung. Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3316) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Dasar Hukum Kompetensi Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) dan Pengadilan Agama dalam Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah 1. Dasar Hukum Kompetensi Badan

Lebih terperinci

Setiap orang yang melaksanakan perkawinan mempunyai tujuan untuk. pada akhirnya perkawinan tersebut harus berakhir dengan perceraian.

Setiap orang yang melaksanakan perkawinan mempunyai tujuan untuk. pada akhirnya perkawinan tersebut harus berakhir dengan perceraian. BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP PELAKSANAAN PUTUSAN PERCERAIAN ATAS NAFKAH ISTRI DAN ANAK DI PENGADILAN AGAMA JAKARTA UTARA DAN PENYELESAIANYA JIKA PUTUSAN TERSEBUT TIDAK DILAKSANAKAN A. Pelaksanaan Putusan

Lebih terperinci

PUTUSAN Nomor 0050/Pdt.G/2015/PA. Pas

PUTUSAN Nomor 0050/Pdt.G/2015/PA. Pas PUTUSAN Nomor 0050/Pdt.G/2015/PA. Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Pasuruan yang memeriksa dan mengadili perkara perdata pada tingkat pertama,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kemudian diperbaharui dengan UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU

BAB I PENDAHULUAN. kemudian diperbaharui dengan UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lahirnya UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama yang kemudian diperbaharui dengan UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan

Lebih terperinci

UPAYA HUKUM PUTUSAN PENGADILAN AGAMA

UPAYA HUKUM PUTUSAN PENGADILAN AGAMA UPAYA HUKUM PUTUSAN PENGADILAN AGAMA 1. Upaya Hukum Banding Upaya banding didaerah jawa dan madura semula diatur dalam pasal 188-194 HIR, sedangkan bagi daerah luar jawa dan madura diatur dalam pasal-pasal

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Kewenangan Pengadilan Tinggi dalam menjatuhkan sebuah putusan akhir ternyata masih ada yang menimbulkan permasalahan. Untuk itu dalam bab tinjauan pustaka ini, penulis hendak menguraikan

Lebih terperinci

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Mediasi

Lebih terperinci

Salinan P U T U S A N

Salinan P U T U S A N Salinan P U T U S A N Nomor : /Pdt.G/2011/PA.Pso BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA ------Pengadilan Agama Poso yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu pada

Lebih terperinci

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA SALINAN P U T U S A N Nomor : 64/Pdt.G/2012/PA.Sgr. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Singaraja yang memeriksa dan mengadili perkara-perkara tertentu

Lebih terperinci

PUTUSAN Nomor 1125/Pdt.G/2015/PA. Pas

PUTUSAN Nomor 1125/Pdt.G/2015/PA. Pas PUTUSAN Nomor 1125/Pdt.G/2015/PA. Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Pasuruan yang memeriksa dan mengadili perkara perdata pada tingkat pertama,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P U T U S A N Nomor 31/Pdt.G/2015/PTA Mks. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Tinggi Agama Makassar yang memeriksa dan mengadili perkara perdata pada

Lebih terperinci

Perpajakan 2 Pengadilan Pajak

Perpajakan 2 Pengadilan Pajak Perpajakan 2 Pengadilan Pajak 12 April 2017 Benny Januar Tannawi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia 1 Daftar isi 1. Susunan Pengadilan Pajak 2. Kekuasaan Pengadilan Pajak 3. Hukum Acara 2 Susunan Pengadilan

Lebih terperinci

P U T U S A N Nomor: 0718/Pdt.G/2014/PA. Pas

P U T U S A N Nomor: 0718/Pdt.G/2014/PA. Pas P U T U S A N Nomor: 0718/Pdt.G/2014/PA. Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Pasuruan yang memeriksa dan mengadili perkara perdata pada tingkat

Lebih terperinci

SALINAN P U T U S A N Nomor 40/Pdt.G/2012/PA.Sgr. pada tingkat pertama, telah menjatuhkan putusan sebagai berikut, dalam perkara Cerai

SALINAN P U T U S A N Nomor 40/Pdt.G/2012/PA.Sgr. pada tingkat pertama, telah menjatuhkan putusan sebagai berikut, dalam perkara Cerai SALINAN P U T U S A N Nomor 40/Pdt.G/2012/PA.Sgr. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Singaraja yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu pada

Lebih terperinci

BAB III PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 718 K/AG/2012 TENTANG BIAYA KEHIDUPAN (NAFKAH) BAGI BEKAS ISTRI YANG DIBERIKAN OLEH SUAMI PASCA PERCERAIAN

BAB III PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 718 K/AG/2012 TENTANG BIAYA KEHIDUPAN (NAFKAH) BAGI BEKAS ISTRI YANG DIBERIKAN OLEH SUAMI PASCA PERCERAIAN BAB III PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 718 K/AG/2012 TENTANG BIAYA KEHIDUPAN (NAFKAH) BAGI BEKAS ISTRI YANG DIBERIKAN OLEH SUAMI PASCA PERCERAIAN A. Mahkamah Agung dalam Sistem Peradilan Agama di Indonesia

Lebih terperinci

BAB II PROSES MEDIASI DI PENGADILAN AGAMA INDONESIA

BAB II PROSES MEDIASI DI PENGADILAN AGAMA INDONESIA BAB II PROSES MEDIASI DI PENGADILAN AGAMA INDONESIA A. Kewenangan Pengadilan Agama Indonesia 1. Kewenangan Relatif Kewenangan relatif (relative competentie) adalah kekuasaan dan wewenang yang diberikan

Lebih terperinci

BAB III PENGERTIAN UMUM TENTANG PENGADILAN AGAMA. peradilan di lingkungan Peradilan Agama yang berkedudukan di ibu kota

BAB III PENGERTIAN UMUM TENTANG PENGADILAN AGAMA. peradilan di lingkungan Peradilan Agama yang berkedudukan di ibu kota 37 BAB III PENGERTIAN UMUM TENTANG PENGADILAN AGAMA A. Pengertian Pengadilan Agama Pengadilan Agama (biasa disingkat: PA) merupakan sebuah lembaga peradilan di lingkungan Peradilan Agama yang berkedudukan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG DEWAN PERWAKILAN MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG MAHKAMAH MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA

UNDANG-UNDANG DEWAN PERWAKILAN MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG MAHKAMAH MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA UNDANG-UNDANG DEWAN PERWAKILAN MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG MAHKAMAH MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN PERWAKILAN MAHASISWA UNIVERSITAS

Lebih terperinci

PUTUSAN Nomor 0938/Pdt.G/2015/PA. Pas

PUTUSAN Nomor 0938/Pdt.G/2015/PA. Pas PUTUSAN Nomor 0938/Pdt.G/2015/PA. Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Pasuruan yang memeriksa dan mengadili perkara perdata pada tingkat pertama,

Lebih terperinci

STANDAR PELAYANAN PADA BADAN PERADILAN AGAMA (KMA

STANDAR PELAYANAN PADA BADAN PERADILAN AGAMA (KMA STANDAR PELAYANAN PADA BADAN PERADILAN AGAMA (KMA Nomor 026/KMA/SK/II/2012) A. Dasar Hukum 1. HIR/Rbg 2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan 3. Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kepentingan diantara mereka. Gesekan-gesekan kepentingan tersebut biasanya menjadi sengketa hukum

BAB I PENDAHULUAN. kepentingan diantara mereka. Gesekan-gesekan kepentingan tersebut biasanya menjadi sengketa hukum BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial yang diciptakan Tuhan Yang Maha Esa untuk hidup bermasyarakat. Namun dalam membina hubungan bermasyarakat tersebut, sering

Lebih terperinci

KAJIAN HUKUM PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMUTUS PERKARA SENGKETA TANAH AKIBAT PERBUATAN MELAWAN HUKUM

KAJIAN HUKUM PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMUTUS PERKARA SENGKETA TANAH AKIBAT PERBUATAN MELAWAN HUKUM KAJIAN HUKUM PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMUTUS PERKARA SENGKETA TANAH AKIBAT PERBUATAN MELAWAN HUKUM (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Surakarta Nomor: 91/Pdt.G/2009/PN.Ska) Oleh : Dyah Kristiani (12100038)

Lebih terperinci

Sekitar Kejurusitaan

Sekitar Kejurusitaan Sekitar Kejurusitaan (Oleh : H. Sarwohadi, S.H., M.H. Hakim Tinggi PTA Bengkulu) A. Pengertian Juru Sita Juru sita adalah salah satu pejabat yang bertugas di pengadilan agama, selain hakim, panitera dan

Lebih terperinci

Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk mengetahui kekuatan pembuktian alat bukti

Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk mengetahui kekuatan pembuktian alat bukti TINJAUAN TENTANG KEKUATAN PEMBUKTIAN PEMERIKSAAN SETEMPAT DALAM PEMERIKSAAN SENGKETA PERDATA ( SENGKETA TANAH ) DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA Febrina Indrasari,SH.,MH Politeknik Negeri Madiun Email: febrinaindrasari@yahoo.com

Lebih terperinci

TERGUGAT DUA KALI DIPANGGIL SIDANG TIDAK HADIR APAKAH PERLU DIPANGGIL LAGI

TERGUGAT DUA KALI DIPANGGIL SIDANG TIDAK HADIR APAKAH PERLU DIPANGGIL LAGI TERGUGAT DUA KALI DIPANGGIL SIDANG TIDAK HADIR APAKAH PERLU DIPANGGIL LAGI Oleh: H.Sarwohadi, S.H.,M.H., (Hakim PTA Mataram). A. Pendahuluan Judul tulisan ini agak menggelitik bagi para pambaca terutama

Lebih terperinci

PUTUSAN Nomor : 85/Pdt.G/2010/PA.Pkc

PUTUSAN Nomor : 85/Pdt.G/2010/PA.Pkc PUTUSAN Nomor : 85/Pdt.G/2010/PA.Pkc BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASAR KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Pangkalan Kerinci yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu pada tingkat

Lebih terperinci

PUTUSAN Nomor 0705/Pdt.G/2015/PA. Pas

PUTUSAN Nomor 0705/Pdt.G/2015/PA. Pas PUTUSAN Nomor 0705/Pdt.G/2015/PA. Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Pasuruan yang memeriksa dan mengadili perkara perdata pada tingkat pertama,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

PENERAPAN ASAS SEDERHANA, CEPAT DAN BIAYA RINGAN SERTA ASAS MEMBERIKAN BANTUAN KEPADA PENCARI KEADILAN DI PERADILAN AGAMA

PENERAPAN ASAS SEDERHANA, CEPAT DAN BIAYA RINGAN SERTA ASAS MEMBERIKAN BANTUAN KEPADA PENCARI KEADILAN DI PERADILAN AGAMA PENERAPAN ASAS SEDERHANA, CEPAT DAN BIAYA RINGAN SERTA ASAS MEMBERIKAN BANTUAN KEPADA PENCARI KEADILAN DI PERADILAN AGAMA Oleh : Drs.H. Zainir Surzain., S.H., M.Ag I. PENDAHULUAN Peradilan agama adalah

Lebih terperinci

P U T U S A N. Nomor 0318/Pdt.G/2015/PA.Pas. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA M E L A W A N :

P U T U S A N. Nomor 0318/Pdt.G/2015/PA.Pas. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA M E L A W A N : P U T U S A N Nomor 0318/Pdt.G/2015/PA.Pas. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Pasuruan yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu pada tingkat

Lebih terperinci

Nomor: 0217/Pdt.G/2010/PA.Spn. BISMILLAAHIRRAHMAANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA LAWAN

Nomor: 0217/Pdt.G/2010/PA.Spn. BISMILLAAHIRRAHMAANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA LAWAN SALINAN P U T U S A N Nomor: 0217/Pdt.G/2010/PA.Spn. BISMILLAAHIRRAHMAANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Sungai Penuh yang memeriksa dan mengadili perkara perdata

Lebih terperinci

PEMERIKSAAN GUGATAN SEDERHANA (SMALL CLAIM COURT)

PEMERIKSAAN GUGATAN SEDERHANA (SMALL CLAIM COURT) PEMERIKSAAN GUGATAN SEDERHANA (SMALL CLAIM COURT) di INDONESIA Oleh : Wasis Priyanto Ditulis saat Bertugas di PN Sukadana Kab Lampung Timur Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG HUKUM ACARA PERDATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG HUKUM ACARA PERDATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PERDATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

SALINAN P U T U S A N

SALINAN P U T U S A N SALINAN P U T U S A N Nomor: 0189/Pdt.G/2010/PA.Spn. BISMILLAAHIRRAHMAANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Sungai Penuh yang memeriksa dan mengadili perkara perdata

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hukum acara di peradilan agama diatur oleh UU. No. 7 Tahun yang diubah oleh UU. No. 3 tahun 2006, sebagai pelaku kekuasaan

BAB I PENDAHULUAN. Hukum acara di peradilan agama diatur oleh UU. No. 7 Tahun yang diubah oleh UU. No. 3 tahun 2006, sebagai pelaku kekuasaan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum acara di peradilan agama diatur oleh UU. No. 7 Tahun 1989 yang diubah oleh UU. No. 3 tahun 2006, sebagai pelaku kekuasaan kehakiman, peradilan agama

Lebih terperinci

Hukum Acara Perdata Pertemuan Ke-2

Hukum Acara Perdata Pertemuan Ke-2 Hukum Acara Perdata Pertemuan Ke-2 Hukum acara perdata (hukum perdata formil), yaitu hukum yang mengatur mengenai bagaimana cara menjamin ditaatinya hukum perdata materiil dengan perantaraan hakim. (Prof.

Lebih terperinci

PUTUSAN Nomor: 0830/Pdt.G/2015/PA. Pas

PUTUSAN Nomor: 0830/Pdt.G/2015/PA. Pas PUTUSAN Nomor: 0830/Pdt.G/2015/PA. Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Pasuruan yang memeriksa dan mengadili perkara perdata pada tingkat pertama,

Lebih terperinci

BAB II VERSTEK DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF

BAB II VERSTEK DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF 21 BAB II VERSTEK DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF A. Putusan Verstek Pada sidang pertama, mungkin ada pihak yang tidak hadir dan juga tidak menyuruh wakilnya untuk hadir, padahal sudah dipanggil dengan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DUALISME AKAD PEMBIAYAAN MUD{ARABAH MUQAYYADAH DAN AKIBAT HUKUMNYA

BAB IV ANALISIS DUALISME AKAD PEMBIAYAAN MUD{ARABAH MUQAYYADAH DAN AKIBAT HUKUMNYA BAB IV ANALISIS DUALISME AKAD PEMBIAYAAN MUD{ARABAH MUQAYYADAH DAN AKIBAT HUKUMNYA A. Analisis Dualisme Akad Pembiayaan Mud{arabah Muqayyadah Keberadaaan suatu akad atau perjanjian adalah sesuatu yang

Lebih terperinci

Kecamatan yang bersangkutan.

Kecamatan yang bersangkutan. 1 PENCABUTAN PERKARA CERAI GUGAT PADA TINGKAT BANDING (Makalah Diskusi IKAHI Cabang PTA Pontianak) =========================================================== 1. Pengantar. Pencabutan perkara banding dalam

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP DISSENTING OPINION DALAM PUTUSAN PERKARA CERAI GUGAT (Studi Putusan Nomor 0164/Pdt.G/2014/PA.Mlg)

BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP DISSENTING OPINION DALAM PUTUSAN PERKARA CERAI GUGAT (Studi Putusan Nomor 0164/Pdt.G/2014/PA.Mlg) BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP DISSENTING OPINION DALAM PUTUSAN PERKARA CERAI GUGAT (Studi Putusan Nomor 0164/Pdt.G/2014/PA.Mlg) A. Analisis Terhadap Deskripsi Dissenting Opinion Dalam Putusan Perkara

Lebih terperinci

PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN

PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN I. UMUM Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum.

Lebih terperinci

PUTUSAN Nomor: 284/Pdt.G/2011/PA.Pkc. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA M E L A W A N

PUTUSAN Nomor: 284/Pdt.G/2011/PA.Pkc. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA M E L A W A N PUTUSAN Nomor: 284/Pdt.G/2011/PA.Pkc. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Pangkalan Kerinci yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu pada tingkat

Lebih terperinci