RISIKO HARGA KUBIS DAN BAWANG MERAH DI INDONESIA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "RISIKO HARGA KUBIS DAN BAWANG MERAH DI INDONESIA"

Transkripsi

1 RISIKO HARGA KUBIS DAN BAWANG MERAH DI INDONESIA SKRIPSI NOVY HERVIYANI H DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

2 RINGKASAN NOVY HERVIYANI. Risiko Harga Kubis dan Bawang Merah di Indonesia. Skripsi. Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor (Di bawah bimbingan ANNA FARIYANTI). Kubis dan bawang merah merupakan jenis sayuran unggulan yang banyak ditanam oleh petani sayuran di Indonesia. Akan tetapi kedua komoditas tersebut seringkali mengalami harga yang berfluktuasi. Fluktuasi harga pada dasarnya terjadi akibat ketidakseimbangan antara jumlah penawaran dan jumlah permintaan yang terjadi di pasar dimana hal ini seringkali terjadi dalam jangka pendek. Harga komoditas yang berfluktuasi merupakan salah satu indikator adanya risiko yang menyebabkan terjadinya kerugian yang harus ditanggung terutama oleh petani selaku produsen yang mengusahakan kedua komoditas tersebut. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan menganalisis besarnya risiko harga kubis dan bawang merah serta menganalisis alternatif solusi yang dilakukan petani selaku produsen untuk mengurangi risiko harga kubis dan bawang merah. Penelitian ini menggunakan data sekunder berupa data time series harga jual dan pasokan harian dari komoditas kubis dan bawang merah sebanyak 1147 data dari Januari 2006 sampai Februari 2009 yang diperoleh dari Kantor Pasar Induk Kramat Jati (PIKJ) Jakarta. Pengolahan dan analisis data dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif dilakukan untuk menganalisis alternatif solusi yang dilakukan petani kubis dan bawang merah untuk mengurangi risiko harga. Analisis kuantitatif dilakukan untuk menganalisis tingkat risiko harga kubis dan bawang merah dengan menggunakan model ARCH-GARCH dan perhitungan VAR (Value at Risk). Berdasarkan hasil analisis ARCH-GARCH didapatkan model yang terbaik untuk menganalisis risiko harga kubis dan risiko harga bawang merah adalah model GARCH (1,1) yang menunjukkan bahwa tingkat risiko harga kubis dan bawang merah dipengaruhi oleh volatilitas dan varian harga satu hari sebelumnya. Artinya peningkatan risiko harga kubis dan bawang merah periode sebelumnya, maka akan meningkatkan risiko harga kubis dan bawang merah pada periode berikutnya. Selanjutnya, dilakukan perhitungan VaR (Value at Risk) dan didapatkan hasil bahwa risiko harga kubis sebesar 13,86 persen dari total investasi (biaya tunai) yang dikeluarkan petani setelah menjual hasil panennya dalam jangka waktu penjualan satu hari, sedangkan risiko harga bawang merah sebesar 9,80 persen dalam jangka waktu periode penjualan satu hari. Berdasarkan hasil perhitungan tersebut diketahui bahwa risiko harga kubis lebih tinggi dibandingkan risiko harga bawang merah. Hal ini disebabkan karakteristik dari komoditas kubis yang merupakan jenis sayuran daun yang dapat lebih cepat busuk dan mengalami penyusutan sehingga kubis tidak dapat disimpan lebih lama untuk menunggu harga jual yang lebih tinggi. Selain itu, permintaan konsumen terhadap kubis relatif stabil karena kubis bukanlah jenis sayuran yang sering digunakan masyarakat setiap harinya seperti halnya cabe dan bawang merah Disamping itu, komoditas kubis juga umumnya masih belum banyak digunakan sebagai bahan baku oleh perusahaan atau industri pengolahan. Hal ini mengakibatkan harga

3 kubis dapat turun secara tajam jika terjadi kelebihan pasokan, karena kelebihan pasokan tersebut tidak dapat langsung terserap oleh pasar. Untuk menghadapi besarnya risiko harga yang harus ditanggung petani, maka salah satu tindakan yang dilakukan oleh petani adalah melakukan diversifikasi usahatani pada lahannya. Diversifikasi dilakukan untuk mengurangi risiko yang mungkin dihadapi petani jika hanya menanam komoditas tunggal. Petani kubis melakukan diversifikasi usahatani dengan tanaman lainnya seperti kentang dan bawang merah yang dilakukan secara monokultur serta cabe, tomat, sawi, wortel, dan sebagainya yang dilakukan dengan cara tumpangsari. Sementara itu, petani bawang merah umumnya melakukan diversifikasi dengan cara tumpang sari dengan tanaman cabe, kedelai, kacang tanah, kacang merah, jagung dan sebagainya serta melakukan pergiliran tanam dengan tanaman padi. Diversifikasi usahatani yang dilakukan petani selama ini dirasakan belum cukup efektif untuk mengurangi fluktuasi harga kubis maupun bawang merah. Hal ini dikarenakan umumnya petani melakukan diversifikasi usahatani sesuai dengan selera, keahlian dan keinginan petani terhadap komoditas tertentu tanpa memperhitungkan dan menyesuaikannya dengan jumlah kebutuhan konsumen. Selain itu, dalam melakukan diversifikasi, petani cenderung lebih banyak menanam suatu komoditas relatif terhadap komoditas lain yang ditanam dalam satu lahan dengan pertimbangan harga produk pada masa panen sebelumnya. Jika harga kubis maupun bawang merah pada masa tanam sebelumnya tinggi, maka petani akan berlomba-lomba ikut menanam komoditas tersebut lebih banyak relatif terhadap komoditas lain sehingga pada akhirnya dapat mengakibatkan harga jatuh dan menyebabkan petani rugi. Berdasarkan besarnya risiko harga kubis dan bawang merah, maka alternatif solusi yang dapat dilakukan petani selaku produsen untuk mengurangi risiko harga kubis dan bawang merah yakni (1) petani sebaiknya melakukan pengaturan pola tanam sesuai dengan saran yang direkomendasikan oleh pemerintah daerah setempat. Adanya pengaturan pola tanam antar daerah sentra produksi, diharapkan dapat mengatur jumlah produksi agar sesuai dengan kebutuhan pasar. (2) Mengaktifkan dan mengefektifkan peran kelembagaan kelompok tani yang secara tidak langsung dapat mengurangi risiko harga kubis maupun bawang merah karena petani dapat melakukan kontrak dengan pihak lain atau membuat suatu usaha kecil yang berbahan baku kubis maupun bawang merah, jika terjadi kelebihan produksi dan harga jual produknya rendah. Disamping itu, adanya kelompok tani juga dapat dijadikan wadah untuk diskusi dan berbagi pengalaman antar petani khususnya dalam pengaturan penanaman suatu komoditas diantara anggota kelompok tani di suatu daerah. Lebih lanjut, adanya kelompok tani juga dapat mempermudah aksesibilitas petani terhadap lembaga permodalan terutama bantuan-bantuan pendanaan dari pemerintah yang lebih ditujukan kepada kelompok-kelompok tani dan bukan kepada petani secara perorangan dan (3) petani sebaiknya menjalin kemitraan dengan pedagang maupun perusahaan pengolahan untuk mendapatkan jaminan kepastian dalam memasarkan hasil panennya terutama jaminan harga produk ketika terjadi kelebihan hasil produksi saat panen raya.

4 RISIKO HARGA KUBIS DAN BAWANG MERAH DI INDONESIA NOVY HERVIYANI H Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Agribisnis DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

5 Judul Skripsi Nama NIM : Risiko Harga Kubis dan Bawang Merah di Indonesia : Novy Herviyani : H Disetujui, Pembimbing Dr. Ir. Anna Fariyanti, MSi NIP Diketahui Ketua Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS NIP Tanggal Lulus :

6 PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul Risiko Harga Kubis dan Bawang Merah di Indonesia adalah karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam bentuk daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Agustus 2009 Novy Herviyani H

7 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 1 Oktober Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Hartono dan Ibunda Sugiarti Johariyah. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di TK. Islam Bhakti V pada tahun 1993 dan SDN. Cilandak Barat 20 pagi pada tahun Kemudian melanjutkan pendidikan menengah pertama di SMP Al-Hikmah Brebes yang diselesaikan pada tahun Pendidikan menengah atas di SMA Darul Ma arif Jakarta diselesaikan pada tahun Penulis diterima menjadi mahasiswa Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor melalui Jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun Selama mengikuti pendidikan, penulis pernah aktif sebagai pengurus FORMASI Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM) periode dan Bina UKM tahun Selain itu, penulis juga pernah menjadi asisten mata kuliah Ekonomi Umum pada semester ganjil dan genap periode tahun

8 KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas kebesaran dan limpahan rahmat serta hidayah-nya, yang telah membimbing hambanya menuju kebahagian melalui Rasul-Nya dan Al-Quran al Karim. Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW beserta keluarga dan para sahabatnya. Syukur alhamdulillah penulis ucapkan atas terselesaikannya penyusunan skripsi yang berjudul Risiko Harga Kubis dan Bawang Merah di Indonesia. Skripsi ini bertujuan untuk menganalisis besarnya risiko harga kubis dan bawang merah serta menganalisis alternatif solusi yang dilakukan petani kubis dan bawang merah selaku produsen untuk mengurangi risiko harga kedua komoditas tersebut. Skripsi ini merupakan tugas akhir sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat khususnya bagi berbagai pihak yang terkait dan bagi pembaca pada umumnya. Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam proses penulisan skripsi ini. Penulis menyadari skripsi ini masih terdapat kekurangan karena keterbatasan dan kendala yang dihadapi. Untuk itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun ke arah penyempurnaan pada skripsi ini sehingga dapat bermanfaat bagi semua pihak. Bogor, Agustus 2009 Novy Herviyani

9 UCAPAN TERIMA KASIH Puji Syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan Ridho- Nya kepada penulis sehingga dengan izin-nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari dalam proses menyelesaikan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan terima kasih kepada : 1. Kedua orangtuaku tersayang, Bapak Hartono dan Ibu Sugiarti Johariyah atas dukungan, doa, dan kasih sayangnya pada penulis. Adik-adikku tersayang Evi Yulianti dan Atika Indriyani atas semangat, motivasi dan doanya. 2. Dr. Ir. Anna Fariyanti, MSi sebagai dosen pembimbing atas bimbingan, motivasi, saran, kesabaran, waktu dan perhatiannya yang sangat berarti bagi penulis hingga penyusunan skripsi ini selesai. 3. Ir. Narni Farmayanti, MSc sebagai dosen penguji utama yang telah memberikan bimbingan dan masukannya dalam ujian sidang skripsi penulis. 4. Dra. Yusalina, MSi sebagai dosen penguji komdik yang telah memberikan kritik serta saran yang membangun bagi perbaikan skripsi penulis. 5. Bapak Khaerul, Bapak Suminto dan Bapak Siswo serta para karyawan Kantor PIKJ Jakarta yang telah membantu penulis selama pengumpulan data dan memberikan informasi yang sangat berguna dalam penelitian ini. 6. Kepala Desa Marga Mekar dan Kepala Desa Lamajang di Kecamatan Pangalengan serta beberapa petani kubis di Desa Marga Mekar yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu 7. Beberapa petani bawang merah di Desa larangan, Kabupaten Brebes. 8. Beberapa pedagang grosir kubis dan bawang merah di Pasar Induk Kramat Jati (PIKJ) Jakarta. 9. Seluruh staf sekretariat dan Komisi Pendidikan Departemen Agribisnis yang telah membantu penulis. 10. Ratna MS sebagai teman satu bimbingan dan pembahas dalam seminar hasil skripsi yang telah memberikan masukan yang berarti dalam penyempurnaan penyusunan skripsi ini. 11. Kak Yusni dan Kak Fajar yang telah bersedia mengajari penulis mengenai cara menggunakan Eviews.

10 12. Teman-teman kosanku di Pondok Assalamah (Ita, Intan, Ventri, Teh Nia, Nisa, Niken) yang telah memberikan lingkungan kostan yang kondusif dan lebih hidup. 13. Teman-teman satu bimbingan skripsi (Mba Anis, Gita dan Ratna MS). 14. Teman-teman Agribisnis angkatan 42 yang tidak saya sebutkan satu per satu, atas semangat dan persaudaraannya selama ini. 15. Semua pihak yang telah membantu penulisan skripsi dan dukungan selama penulis menyelesaikan studi di IPB (Institut Pertanian Bogor) yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat. Bogor, Agustus 2009 Novy Herviyani

11 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... Halaman I. PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian II. TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Penawaran, Permintaan, Harga dan Pemasaran Tinjauan Risiko Perbedaan dengan Penelitian Terdahulu III. KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Teoritis Permintaan, Penawaran dan Harga Fluktuasi Harga Konsep Risiko Sumber-Sumber Risiko Strategi Mengurangi Risiko dalam Bidang Pertanian Alat Analisis Risiko Metode ARCH-GARCH Perhitungan VaR Kerangka Pemikiran Operasional IV. METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Jenis dan Sumber Data Metode Pengolahan dan Analisis Data Analisis Deskriptif Analisis Risiko Metode ARCH-GARCH Perhitungan VAR (Value at Risk) Definisi Operasional V. GAMBARAN UMUM Gambaran Umum Kubis Perkembangan Produksi Kubis Perkembangan Konsumsi Kubis Aspek Pemasaran Komoditas Kubis xiii xiv xv

12 5.2. Gambaran Umum Bawang Merah Perkembangan Produksi Bawang Merah Perkembangan Konsumsi Bawang Merah Aspek Pemasaran Komoditas Bawang Merah VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Harga Kubis dan Bawang Merah Peramalan Tingkat Risiko Harga Kubis dan Bawang Merah Model ARCH/GARCH untuk Risiko Harga Kubis dan Bawang Merah Tingkat Risiko Harga Kubis dan Bawang Merah Alternatif Solusi yang Dilakukan Petani untuk Mengurangi Risiko Harga Kubis dan Bawang Merah VII. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN xii

13 Nomor DAFTAR TABEL Halaman 1. Produk Domestik Bruto atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha (dalam miliar rupiah) di Indonesia, Tahun Kontribusi Subsektor Pertanian terhadap Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga yang Berlaku Menurut Subsektor Lapangan Usaha Pertanian di Indonesia, Tahun Nilai Produk Domestik Bruto (PDB) Hortikultura Berdasarkan Harga yang Berlaku di Indonesia Tahun Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Tanaman Kubis dan Bawang Merah, serta Perkembangannya di Indonesia Tahun Perkembangan Produksi dan Konsumsi Per Kapita Kubis dan Bawang Merah di Indonesia Periode Tahun Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Kubis di Indonesia, Tahun Perkembangan Konsumsi Kubis di Indonesia, Periode Tahun Perkembangan Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Bawang Merah di Indonesia, Tahun Perkembangan Konsumsi Bawang Merah di Indonesia, Periode Tahun Ringkasan Statistik Model Persamaan Harga Kubis dan Bawang Merah Ringkasan Hasil Uji White Heteroscedasticity Model ARCH-GARCH Terbaik untuk Model Persamaan Harga Kubis dan Bawang Merah Uji Kenormalan Galat Terbakukan Hasil Pendugaan Persamaan Harga Jual kubis periode Januari Februari Hasil Pendugaan Persamaan Harga Jual Bawang Merah periode Januari Februari Besar Risiko Harga Kubis dan Bawang Merah Periode Januari Februari xiii

14 Nomor DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Fluktuasi Harga Kubis dan Bawang Merah Periode Januari 2006 Februari Saluran Pemasaran Bawang Merah di Desa Banjaranyar, Kabupaten Brebes, Pembentukan Harga oleh Permintaan dan Penawaran Pergeseran Kurva Permintaan dan Kurva Penawaran Rangkaian Kejadian Berisiko dengan Kejadian Ketidakpastian Hubungan Fungsi Kepuasan dengan Pendapatan Hubungan Antara Varian dan Expected Return Kerangka Pemikiran Operasional Rantai Pemasaran Kubis di Lokasi Penelitian Kabupaten Garut, Kabupaten Bandung dan Kabupaten Karo, Rantai Pemasaran Bawang Merah di Kabupaten Brebes Jawa Tengah, Plot Harga Jual Kubis Periode Januari 2006 hingga Februari Plot Harga Jual Bawang Merah Periode Januari 2006 hingga Februri Varian Harga Kubis Periode Januari 2006 Februari Varian Harga Bawang Merah Periode Januari 2006 hingga Februari xiv

15 Nomor DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Produksi Tanaman Sayuran di Indonesia Periode Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Kol/Kubis Menurut Provinsi di Indonesia Tahun Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Bawang Merah Menurut Provinsi di Indonesia Tahun Pasokan Kubis Periode Januari 2006 Februari Pasokan Bawang Merah Periode Januari 2006 hingga Februari Hasil Olahan Analisis Regresi Persamaan Harga Kubis Hasil Olahan Analisis Regresi Persamaan Harga Bawang Merah Deskripsi Statistik Model Persamaan Harga Kubis Deskripsi Statistik Model Persamaan Harga Bawang Merah Pengujian Autokorelasi Erorr Kuadrat Persamaan Harga Kubis Pengujian Autokorelasi Erorr Kuadrat Persamaan Harga Bawang Merah Hasil Uji White Heteroskedasticity Model Persamaan Harga Kubis Hasil Uji White Heteroskedasticity Model Persamaan Harga Bawang Merah Pemilihan Model Ragam yang Terbaik untuk Model Risiko Harga Kubis Pemilihan Model Ragam yang Terbaik untuk Model Risiko Harga Bawang Merah Uji Jarque-Bera terhadap Galat Terbakukan untuk Persamaan Harga Kubis Uji Jarque-Bera terhadap Galat Terbakukan untuk Persamaan Harga Bawang Merah Hasil Uji Ljung Box Galat Terbakukan Model Persamaan Harga Kubis Hasil Uji Ljung Box Galat Terbakukan Model Persamaan Harga Bawang Merah xv

16 20 Uji ARCH untuk Model ARCH-GARCH Terbaik pada Model Persamaan Harga Kubis Uji ARCH untuk Model ARCH-GARCH Terbaik pada Model Persamaan Harga Bawang Merah Biaya Tunai Usahatani Kubis di Desa Cimenyan pada Awal dan Pertengahan Musim Hujan Analisis Pendapatan Usahatani Bawang Merah per Hektar di Desa Sukasari Kaler xvi

17 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia terus berupaya meningkatkan pembangunan di sektor pertanian karena peranannya sebagai salah satu sektor penggerak perekonomian nasional terutama sebagai sumber penerimaan negara, mendorong pertumbuhan ekonomi dan menyediakan lapangan kerja. Hal ini ditunjukkan dari besarnya kontribusi pertanian terhadap Produk Domestik Bruto atas dasar harga berlaku menurut lapangan usaha pada tahun 2003 hingga tahun 2007 yang masih cukup besar yakni sekitar 13 hingga 15 persen dari total PDB nasional (Tabel 1). Tabel 1. Produk Domestik Bruto atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha (dalam Miliar Rupiah) di Indonesia, Tahun Lapangan Usaha (Sektor) Kontribusi PDB (dalam miliar rupiah) * 2007** Pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan , ,6 (36,9) ,3 (10,7) ,4 (19,0) ,6 (26,3) Pertambangan dan penggalian , ,0 (22,5) ,1 (50,6) ,4 (18,6) ,2 (20,3) Industri pengolahan , ,6 (45,9) ,3 (18,0) ,7 (20,9) ,4 (16,2) Listrik, gas dan air bersih , ,3 (129,3) ,8 (12,5) ,8 (13,7) ,2 (14,5) Konstruksi , , , , ,7 (68,8) (29,0) (28,7) (21,5) Perdagangan, hotel, dan restoran , ,9 (43,7) ,2 (17,1) ,1 (16,2) ,3 (17,8) Pengangkutan dan komunikasi , ,0 (66,5) ,9 (26,9) ,6 (28,4) ,9 (14,4) Keuangan, real estat dan jasa perusahaan , ,9 (38,5) ,7 (18,6) ,4 (16,7) ,0 (13,4) Jasa-jasa , , , , ,6 (63,2) (16,6) (21,7) (18,8) Keterangan : *) Data Sementara **) Data Sangat Sementara Angka dalam kurung menunjukkan pertumbuhan dalam persen Sumber : Badan Pusat Statistik 2008 (diolah)

18 Kontribusi nilai (dalam miliar rupiah) sektor pertanian selalu mengalami peningkatan setiap tahunnya, namun persentase pertumbuhannya cenderung berfluktuasi dengan persentase peningkatan yang semakin menurun dimana pada tahun 2004 pertumbuhan PDB sektor pertanian sebesar 36,9 persen menjadi 26,3 persen pada tahun Kendati demikian kontribusi sektor pertanian masih tergolong besar yaitu pada urutan ketiga setelah sektor industri pengolahan dan sektor perdagangan, hotel, dan restoran. Besarnya kontribusi pertanian terhadap PDB nasional tidak terlepas dari kontribusi subsektor pertanian yang terdiri dari subsektor tanaman bahan makanan, subsektor tanaman perkebunan, subsektor peternakan dan hasilnya, subsektor kehutanan, serta subsektor perikanan. Berdasarkan Tabel 2 dapat dilihat bahwa subsektor tanaman bahan makanan memberikan kontribusi terbesar terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Pertanian, dimana persentase kontribusinya mencapai sekitar 49 persen hingga 50 persen dari kontribusi PDB Pertanian secara keseluruhan. Kemudian diikuti oleh subsektor tanaman perkebunan dan perikanan. Hal ini menunjukkan bahwa peranan subsektor tanaman bahan makanan sangat penting terutama dalam memenuhi kebutuhan pangan masyarakat Indonesia. Tabel 2. Kontribusi Subsektor Pertanian terhadap Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga yang Berlaku Menurut Subsektor Lapangan Usaha Pertanian di Indonesia, Tahun Subsektor Tanaman Bahan Makanan Tanaman Perkebunan Peternakan dan hasilhasilnya Kehutanan Perikanan Lapangan usaha pertanian Kontribusi PDB Pertanian (dalam miliar rupiah) * 2007** , ,2 (38,9) , ,9 (28,3) , ,7 (32,6) , ,0 (17,9) , ,8 (52,9) , ,6 (36,9) ,6 (9,5) ,7 (13,7) ,9 (8,8) ,8 (11,2) ,3 (12,5) ,3 (10,6) Keterangan : *) Data sementara **) Data sangat sementara Angka dalam kurung menunjukkan pertumbuhan dalam persen Sumber : Badan Pusat Statistik 2008 (diolah) ,3 (18,2) ,4 (12,3) ,7 (15,5) ,7 (33,3) ,3 (24,6) ,4 (19,0) ,4 (25,1) ,2 (33,2) ,8 (21,6) ,1 (18,9) ,1 (30,3) ,6 (26,3) 2

19 Hortikultura merupakan salah satu bagian dari subsektor tanaman bahan makanan yang berperan dalam memenuhi kebutuhan pangan masyarakat Indonesia terutama sebagai sumber vitamin dan mineral. Tanaman hortikultura terdiri dari komoditas buah-buahan, sayuran, tanaman hias, dan tanaman obatobatan (biofarmaka). Fokus dalam penelitian ini adalah komoditas hortikultura sayuran. Dilihat dari sisi ekonomi makro, sayuran menjadi produk hortikultura yang penting karena kontribusinya terhadap PDB hortikultura yang menempati urutan kedua setelah buah-buahan (Tabel 3). Tabel 3. Nilai Produk Domestik Bruto (PDB) Hortikultura Berdasarkan Harga yang Berlaku di Indonesia Tahun No. Kelompok Komoditas Nilai PDB (dalam Milyar Rupiah) * 1. Buah-buahan (8,92) (3,02) (11,84) (19,50) (0,70) 2. Sayuran (0,86) (9,07) (9,12) (3,62) (7,18) 3. Tanaman Hias (27,79) (288,64) (34,07) ( 9,12) (0,32) 4. Bofarmaka (2,40) (1,15) (1,54) (0,15) (28,48) Total Hortikultura Keterangan : *) Angka Ramalan PDB berdasarkan harga berlaku Angka dalam kurung menunjukkan nilai pertumbuhan dalam persen Sumber : Ditjen Hortikultura dan Departemen Pertanian 2008 (diolah) Komoditas sayuran yang ditanam dan dikembangkan di Indonesia terdiri dari berbagai jenis, diantaranya adalah kubis dan bawang merah yang merupakan jenis komoditas sayuran unggulan pada sektor agribisnis. Hal ini dapat dilihat dari luas panen maupun jumlah produksi yang dihasilkan dari kedua komoditas tersebut. Luas panen kubis sebesar ha atau sekitar 6,06 persen dari luas panen sayuran secara keseluruhan, sedangkan luas panen bawang merah sebesar ha atau sekitar 9,35 persen dari luas panen sayuran secara keseluruhan pada tahun 2007 (Ditjen Hortikultura 2008). Kendatipun demikian jumlah produksi yang dihasilkan dari kedua komoditas ini tergolong besar dimana pada tahun 2007 jumlah produksi kubis menempati posisi terbesar pertama yaitu 3

20 sebesar 13,63 persen dari jumlah produksi sayuran di Indonesia, sedangkan bawang merah menempati posisi terbesar ketiga setelah kentang dimana jumlah produksi yang dihasilkan sebesar 8,49 persen dari jumlah produksi sayuran di Indonesia (Lampiran 1). Secara rinci mengenai luas panen, produksi, dan produktivitas kubis dan bawang merah dari tahun 2003 hingga tahun 2007 dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Tanaman Kubis dan Bawang Merah, serta Perkembangannya di Indonesia pada Tahun Perkembangan Perkembangan Perkembangan Tahun (Ha) Luas Panen Persen (%) (Ton ) Produksi Persen (%) (Ton/Ha) Produktivitas Persen (%) I. Kubis , , ,26 21,06 0, , ,76 22,38 6, , ,95 21,96-1, , ,66 21,28-3,1 II. Bawang Merah , , ,71 8,54-1, , ,27 8,76 2, , ,51 8,91 1, , ,99 8,57-3,82 Sumber : Ditjen Hortikultura 2008 (diolah) Berdasarkan Tabel 4 dapat dilihat bahwa jumlah produksi kubis dan bawang merah pada periode berfluktuasi setiap tahunnya dimana jumlah produksi rata-rata kubis mengalami penurunan sebesar 0,95 persen per tahun sedangkan jumlah produksi rata-rata bawang merah mengalami peningkatan sebesar 1,38 persen per tahun. Penurunan produksi kubis dan kenaikan produksi bawang merah lebih dipengaruhi oleh luas panen dari masing masing komoditas dimana terjadi penurunan luas panen kubis rata-rata sebesar 1,14 persen per tahun dan peningkatan luas panen bawang merah rata-rata sebesar 1,69 persen per tahun. Penurunan luas panen kubis dikarenakan hasil panen banyak dirintangi oleh 4

21 gangguan atau hambatan yang menyebabkan hasil panen pada umumnya di bawah prediksi saat tanam. Salah satunya disebabkan akibat adanya serangan hama yang dapat mengakibatkan gagal panen 1. Sementara itu, luas panen bawang merah semakin meningkat seiring dengan meningkatnya permintaan konsumen akan komoditas tersebut 2. Kubis dan bawang merah merupakan komoditas sayuran yang penting bagi masyarakat Indonesia. Kedua komoditas tersebut memiliki banyak kegunaan terutama dalam memenuhi konsumsi rumah tangga. Komoditas kubis biasanya dikonsumsi sebagai sayuran atau bahan campuran masakan yang dapat direbus atau dimakan mentah (lalapan). Sedangkan komoditas bawang merah digunakan antara lain sebagai bumbu masakan guna menambah cita rasa masakan, bahan pelengkap untuk makanan dan obat-obatan bagi penyakit tertentu. Jumlah penduduk Indonesia yang meningkat setiap tahunnya merupakan pasar yang sangat besar bagi kedua komoditas tersebut. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Perkembangan Produksi dan Konsumsi Per Kapita Kubis dan Bawang Merah di Indonesia Periode Tahun Tahun I. Kubis Produksi (ton) Penduduk ( x1000 orang) Per kapita (kg/th) Konsumsi Total/th (ton) = 2 x 3 Perkembangan Konsumsi (%) Per Total/th kapita , , , ,46 8,56 9, , ,56-1, , ,54-10,34-9, , ,54 2,75 4,08 II. Bawang Merah , , , ,58-1,35-0, , ,92 0,91 2, , ,76-5,88-4, , ,42 44,71 46,59 Sumber : Ditjen Hortikultura 2008 (diolah) 1 Si Nugrohati da Kasumbogo Untung Pestisida dalam Sayuran. [15 Maret 2009] 2 www. bexi.co.id Meluaskan Lahan, Memacu Mutu Bawang Merah. [15 Maret 2009] 5

22 Tabel 5 menunjukkan bahwa konsumsi untuk kubis dan bawang merah berfluktuasi dengan trend yang cenderung meningkat saat ini. Konsumsi kubis per kapita rata-rata meningkat sebesar 0,24 persen per kapita per tahun, sedangkan secara total konsumsi mengalami peningkatan sebesar 1,41 persen per tahun. Sementara itu, konsumsi terhadap bawang merah juga mengalami peningkatan yang jauh lebih besar dibandingkan dengan peningkatan konsumsi kubis dimana konsumsi bawang merah rata-rata per kapita meningkat sebesar 9,6 persen per tahun atau secara total konsumsi sebesar 10,91 persen per tahun. Peningkatan konsumsi terhadap kubis maupun bawang merah akan meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk. Namun, peningkatan konsumsi terhadap komoditas bawang merah akan jauh lebih besar dibandingkan dengan peningkatan konsumsi kubis. Hal ini dikarenakan hampir semua rumah tangga di Indonesia setiap harinya menggunakan bawang merah sebagai bumbu dalam masakannya sedangkan tidak demikian dengan penggunaan kubis. Apabila dilihat pada Tabel 5, diketahui bahwa jumlah produksi kubis dan bawang merah setiap tahunnya masih dapat memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat Indonesia. Namun pada kenyataannya, seringkali terjadi dalam jangka pendek yakni ketidakseimbangan antara jumlah produksi dengan permintaannya. Hal ini menyebabkan terjadinya fluktuasi harga jangka pendek pada komoditas kubis dan bawang merah yang pada umumnya terkait dengan fluktuasi produksi kedua komoditas tersebut. Biasanya ini terjadi pada saat panen raya dimana terdapat kelebihan produksi yang menyebabkan harga turun dan terjadi pula sebaliknya. Fluktuasi harga tersebut seringkali lebih merugikan petani daripada pedagang karena petani umumnya tidak dapat mengatur waktu penjualannya untuk mendapatkan harga jual yang lebih menguntungkan. Disamping itu fluktuasi harga yang tinggi juga memberi peluang kepada pedagang untuk memanipulasi informasi harga di tingkat petani. Hal ini mengakibatkan transmisi harga dari pasar konsumen kepada petani cenderung bersifat asimetris dalam pengertian jika terjadi kenaikan harga di tingkat konsumen maka kenaikan harga tersebut tidak diteruskan kepada petani secara cepat dan sempurna, sebaliknya jika terjadi penurunan harga (Simatupang 1999). 6

23 Harga komoditas yang berfluktuasi merupakan salah satu indikator adanya risiko yang menyebabkan terjadinya kerugian yang harus ditanggung oleh pihakpihak yang berkepentingan terhadap kedua komoditas tersebut, terutama petani yang mengusahakan komoditas kubis dan bawang merah. Mengingat pentingnya peranan dari komoditas kubis dan bawang merah, maka perlu dilakukan penelitian mengenai risiko harga kubis dan bawang merah. Hal ini dilakukan untuk mengetahui besarnya risiko harga yang harus ditanggung oleh petani selaku produsen yang membutuhkan kepastian harga jual sebelum mereka memutuskan untuk menanam komoditas tersebut. 1.2 Perumusan Masalah Sayuran memiliki sifat yang berbeda dengan komoditas pertanian lainnya, yaitu mudah rusak atau cepat mengalami pembusukan. Akibatnya petani sayuran tidak dapat menahan atau menyimpan sayurannya dalam jangka waktu yang cukup lama untuk menunggu harga jual yang lebih tinggi, karena hal itu dapat menyebabkan penurunan harga jual akibat penurunan kualitas produk. Selain itu seringkali terjadi fluktuasi produksi yang disebabkan oleh iklim atau musim, dimana pada musim-musim tertentu (musim panen) terjadi kelebihan produksi dan sebaliknya pada masa paceklik terjadi kekurangan produksi. Hal inilah yang menyebabkan komoditas sayuran memiliki risiko harga yang cukup tinggi. Salah satu indikator adanya risiko harga adalah terjadinya fluktuasi harga. Harga produk yang berfluktuasi secara tajam tidak menguntungkan bagi petani karena hal itu akan menyebabkan ketidakpastian penerimaan yang diperoleh petani dari kegiatan usahataninya. Risiko usaha yang dihadapi petani akan semakin tinggi jika harga produk yang dihadapi semakin berfluktuasi. Fluktuasi harga pada dasarnya terjadi akibat ketidakseimbangan antara jumlah permintaan dan penawaran yang terjadi di pasar dimana tingkat harga meningkat jika jumlah permintaan melebihi penawaran dan akan terjadi juga sebaliknya. Fluktuasi harga sayuran umumnya relatif tinggi dibandingkan buah, padi dan komoditas palawija. Hal ini menunjukkan bahwa ketidakseimbangan antara jumlah pasokan dan kebutuhan konsumen lebih sering terjadi pada komoditas sayuran. Kondisi demikian dapat terjadi karena tiga faktor yaitu : (1) daerah produsen sayuran cenderung terkonsentrasi di daerah-daerah tertentu sehingga 7

24 jika terjadi anomali produksi (gagal panen atau lonjakan produksi) di salah satu daerah produsen maka pengaruhnya terhadap keseimbangan pasar relatif besar, (2) sinkronisasi produksi antara daerah produsen sayuran relatif lemah sehingga produksi sayuran cenderung terkonsentrasi pada bulan-bulan tertentu, dan (3) konsumen umumnya menginginkan sayuran segar, sedangkan sarana penyimpanan yang mampu mempertahankan kesegaran sayuran secara efisien sangat terbatas sehingga kegiatan penyimpanan dengan tujuan mengatur pasokan yang sesuai dengan kebutuhan konsumen tidak mudah dilakukan (Irawan 2007). Kubis dan bawang merah merupakan jenis sayuran yang banyak diusahakan oleh petani yang memiliki bentuk dan daya tahan yang berbeda. Kubis adalah jenis sayuran daun yang umumnya tidak tahan lama, mudah busuk dan mengalami penyusutan. Hal ini menyebabkan petani harus menjual kubis dengan segera setelah masa panen. Sementara itu bawang merah termasuk jenis sayuran umbi yang mempunyai daya tahan yang cukup tinggi dan dapat disimpan dalam jangka waktu yang relatif lama asalkan penanganan pasca panennya benar, sehingga petani dapat mengatur penjualannya untuk mendapatkan harga jual yang lebih menguntungkan. Meskipun demikian, umumnya petani bawang merah cenderung tetap menjual hasil panennya saat panen raya walaupun harga pada saat itu relatif rendah. Hal ini dikarenakan desakan kebutuhan seperti membayar input produksi yang dipinjam saat musim tanam, memenuhi kebutuhan sehari-hari dan modal untuk masa tanam berikutnya. Perbedaan karakteristik dari sayuran kubis dan bawang merah menyebabkan terjadinya perbedaan dalam menentukan harga jual dan fluktuasi harga. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1 mengenai fluktuasi harga kubis dan bawang merah periode Januari 2006 Februari

25 Harga (Rp/kg) Fluktuasi Harga Kubis dan Bawang Merah Variable harga kubis harga bawang merah Hari Gambar 1. Fluktuasi Harga Kubis dan Bawang Merah Periode Januari 2006 Februari 2009 Sumber : Pasar Induk Kramat Jati 2009 (diolah) Gambar 1 menunjukkan bahwa harga kubis cenderung berfluktuasi setiap harinya. Harga kubis tertinggi dapat mencapai Rp.4.200,00 per kg, sedangkan harga kubis terendah adalah Rp.700,00 per kg. Perbandingan antara harga tertinggi dengan harga terendah mencapai 600 persen atau enam kali dari harga terendah. Sementara itu pada komoditas bawang merah, harga juga cenderung berfluktuasi dimana harga bawang merah tertinggi dapat mencapai Rp ,00 per kg, sedangkan harga bawang merah terendah dapat mencapai Rp.2.800,00 per kg. Perbandingan antara harga tertinggi dengan harga terendah yang pernah dicapai pada periode Januari 2006 sampai Februari 2009 sebesar 500 persen atau lima kali dari harga terendah. Besarnya perbedaan antara harga tertinggi dengan harga terendah yang terjadi, akan menimbulkan kerugian yang besar bagi pihakpihak yang berkepentingan terhadap komoditas kubis dan bawang merah terutama bagi petani yang mengusahakan kedua komoditas tersebut. Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat diketahui bahwa kubis dan bawang merah merupakan komoditas yang memiliki harga yang sangat fluktuatif. Harga yang berfluktuatif menunjukkan besarnya risiko yang harus ditanggung oleh pihak-pihak yang berkepentingan terutama petani yang mengusahakan kedua 9

26 komoditas tersebut. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian untuk menganalisis seberapa besar tingkat risiko harga komoditas kubis dan bawang merah? dan bagaimana alternatif solusi yang dilakukan petani selaku produsen untuk mengurangi risiko harga kubis dan bawang merah? 1.3 Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah : 1. Menganalisis tingkat risiko harga dari komoditas kubis dan bawang merah. 2. Menganalisis alternatif solusi yang dilakukan petani selaku produsen untuk mengurangi risiko harga kubis dan bawang merah. 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah : 1. Bagi petani kubis dan bawang merah, sebagai bahan masukan mengenai alternatif solusi yang dapat dilakukan untuk mengurangi risiko harga kedua komoditas tersebut. 2. Bagi pemerintah dan instansi terkait, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menetapkan kebijakan mengenai komoditas kubis dan bawang merah mulai dari produksi hingga pemasaran, sehingga nantinya diharapkan dapat mengurangi risiko harga kedua komoditas tersebut. 3. Bagi penulis adalah untuk menambah pengetahuan dan pengalaman serta sebagai salah satu cara dalam menerapkan ilmu yang telah diperoleh. 4. Pihak peneliti lain, penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi yang bermanfaat, masukan, serta perbandingan untuk melakukan penelitian selanjutnya. 1.5 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini dibatasi pada analisis risiko harga kubis dan bawang merah yang termasuk dalam jenis komoditas sayuran unggulan di Indonesia. Dalam penelitian ini dianalisis mengenai besarnya tingkat risiko harga dari komoditas kubis dan bawang merah melalui analisis kuantitatif terhadap fluktuasi harga dan pasokan harian dari komoditas kubis dan bawang merah, dengan menggunakan 10

27 model ARCH-GARCH dan perhitungan nilai VaR (Value at Risk). Sementara itu, variabel lain yang juga berpengaruh terhadap risiko harga dari kubis dan bawang merah (seperti harga input, pasokan dan harga produk subtitusi atau komplementer dari kubis dan bawang merah, harga dan pasokan bawang merah impor yang mungkin juga mempengaruhi besarnya risiko harga bawang merah, dan sebagainya) tidak dianalisis dan dimasukkan ke dalam model persamaan risiko. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan adanya keterbatasan dan kesulitan dalam memperoleh data harian dalam jumlah besar dari variabel lain yang juga berpengaruh terhadap besarnya risiko harga kedua komoditas tersebut. Selain itu, pada penelitian ini juga lebih difokuskan kepada petani sebagai salah satu pihak yang menanggung risiko harga kubis dan bawang merah dengan pendekatan deskriptif kualitatif. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan adanya keterbatasan peneliti untuk melakukan penelitian terhadap pihak lain (selain petani), yang mungkin juga menanggung besarnya risiko harga dari komoditas kubis dan bawang merah. 11

28 II. TINJAUAN PUSTAKA Penelitian mengenai kubis dan bawang merah yang telah dilakukan dari segi aspek penawaran, permintaan, harga dan pemasaran serta tinjauan mengenai risiko adalah sebagai berikut. 2.1 Tinjauan Penawaran, Permintaan, Harga dan Pemasaran Tentamia (2002) meneliti mengenai penawaran dan permintaan bawang merah di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap penawaran dan permintaan bawang merah di Indonesia dengan menggunakan model ekonometrika penawaran dan permintaan bawang merah di Indonesia, yang dirumuskan dalam bentuk persamaan simultan. Pendugaan model menggunakan metode two stages least squares dengan data sekunder (time series triwulanan) periode Hasil penelitian menunjukkan bahwa produksi bawang merah di Jawa Tengah responsif terhadap perubahan harga pupuk tetapi tidak responsif terhadap perubahan harga bawang merah dan upah tenaga kerja. Perubahan harga pupuk akan mengakibatkan perubahan produksi terutama melalui perubahan luas arealnya, sedangkan produktivitas bawang merah tidak responsif baik terhadap perubahan harga pupuk maupun harga output dan upah tenaga kerja. Sementara itu, permintaan bawang merah di Indonesia dipengaruhi sangat nyata dan bersifat responsif terhadap perubahan jumlah penduduk. Namun permintaan tidak responsif terhadap perubahan harga bawang merah dan pendapatan. Respon permintaan bawang merah terhadap perubahan pendapatan akan lebih elastis apabila didukung oleh peningkatan industri pengolahan bawang merah. Lebih lanjut, penelitian Tentamia menunjukkan bahwa harga bawang merah di tingkat produsen Jawa Tengah dan Luar Jawa Tengah dipengaruhi oleh harga di tingkat konsumen Indonesia namun dengan respon yang bersifat inelastis. Hal ini disebabkan antara lain oleh marjin pemasaran bawang merah yang cukup tinggi. Faktor lain yang berpengaruh sangat nyata terhadap harga bawang merah di Jawa Tengah dan Indonesia adalah penawaran. Dalam jangka panjang harga bawang merah di Indonesia bersifat responsif terhadap perubahan penawaran. Hal

29 ini merupakan indikasi bahwa fluktuasi harga dapat dikurangi melalui upaya mengurangi fluktuasi produksi. Stato (2007) dalam penelitiannya mengenai analisis faktor-faktor yang mempengaruhi fluktuasi harga bawang merah dan peramalannya di Pasar Induk Kramatjati Jakarta (PIKJ). Penelitian ini menggunakan metode peramalan time series dan data sekunder berbentuk time series sebanyak 214 data yang diambil dari minggu ke 1 bulan Januari tahun 2003 hingga minggu ke 3 bulan Februari tahun Datanya terdiri dari data harga pupuk, harga impor bawang merah, pasokan impor bawang merah nasional, dan pasokan bawang merah yang masuk ke PIKJ. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola fluktuasi harga bawang merah mengikuti suatu trend yang meningkat. Pola fluktuasi harga bawang merah mengikuti suatu pola musiman tertentu, yaitu terjadinya trend penurunan harga bawang merah dalam selang periode bulan Mei hingga September, dan trend peningkatan harga bawang merah pada selang periode bulan Februari hingga Mei yang berulang tiap tahunnya. Hal ini berkaitan dengan pola produksi bawang merah. Berdasarkan hasil uji regresi, faktor-faktor yang berpengaruh nyata terhadap fluktuasi harga bawang merah yaitu pasokan impor dan harga impor bawang merah serta harga pupuk. Rosantiningrum (2004) melakukan penelitian tentang analisis produksi dan pemasaran usahatani bawang merah di Desa Banjaranyar, Brebes, menjelaskan bahwa terdapat lima faktor yang mempengaruhi produksi bawang merah yaitu luas lahan, jumlah bibit, jumlah tenaga kerja, pupuk dan pestisida. Dari kelima faktor produksi tersebut yang berpengaruh besar terhadap peningkatan produksi bawang merah adalah luas lahan dengan nilai elastisitas sebesar 0,2766 sedangkan faktor produksi yang memberikan pengaruh terkecil adalah pestisida dengan nilai elastisitas sebesar 0, Selain itu, berdasarkan penelitian Rosantiningrum juga dapat diketahui bahwa ada tiga pola saluran pemasaran bawang merah yang berasal dari 30 petani responden di Desa Banjaranyar dapat dilihat pada Gambar 2. 13

30 Pola I (2 orang = 6,67 %) Pedg.besar Pedg.pengecer Konsumen non lokal Pola II (26 orang = 86,67 %) Petani * Pedg.pengumpul Pedg.besar/ Grosir Pedg.pengecer Konsumen non lokal Pedg.pengecer Konsumen lokal Keterangan : *calo desa Pola III (2 orang = 6,67 %) Gambar 2. Saluran Pemasaran Bawang Merah di Desa Banjaranyar, Kabupaten Brebes, 2004 Sumber : Rosantiningrum (2004) Gambar 2 menunjukkan bahwa pola pemasaran yang paling banyak digunakan oleh petani adalah pola II (pola saluran yang terpanjang). Hal ini terjadi karena adanya ketergantungan atau keterikatan antara petani dengan calo desa yang merupakan perantara antara petani dengan pedagang pengumpul dan karena modal yang dimiliki petani responden rendah sehingga tidak ada modal transportasi untuk menjual bawang merah langsung ke pedagang besar. Selain itu, petani hanya mengusahakan bawang merah pada lahan sempit sedangkan untuk menjual bawang merah langsung ke padagang besar harus dalam jumlah yang besar agar menguntungkan. Disamping itu dari tingkat efisiensi teknis, pemasaran bawang merah belum efisien. Hal ini dilihat dari marjin pemasaran yang tinggi karena dipengaruhi oleh tingginya tingkat keuntungan pedagang besar dan besarnya penyusutan. Rifqie (2008) meneliti mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi produksi usahatani kubis di Desa Cimenyan, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung. Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa usahatani kubis layak dan menguntungkan dilakukan pada dua periode tanam di musim hujan. Usahatani kubis di awal musim hujan berada pada kondisi constant return to 14

31 scale. Faktor-faktor produksi yang berpengaruh secara signifikan dengan elastisitas positif adalah benih, pupuk kandang, pupuk kimia, dan pestisida padat. Sebaliknya, faktor-faktor produksi yang berpengaruh secara signifikan dengan elastisitas negatif adalah tenaga kerja dan pestisida cair. Sementara itu, usahatani kubis dipertengahan musim hujan pun berada pada kondisi constant return to scale. Faktor-faktor produksi yang berpengaruh secara signifikan dengan elastisitas positif adalah pupuk kandang, pupuk kimia, dan pestisida padat. Dan Sebaliknya, faktor-faktor produksi yang berpengaruh secara signifikan dengan elastisitas negatif adalah tingkat serangan hama dan penyakit, sedangkan benih dan pestisida cair tidak berpengaruh secara signifikan. Agustina (2008) meneliti tentang tataniaga dan keterpaduan pasar kubis di Desa Cimenyan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Berdasarkan hasil analisis dapat diketahui bahwa terdapat tiga saluran tataniaga kubis di Desa Cimenyan yaitu : 1). Petani Pedagang Pengumpul I Grosir Pengecer Konsumen 2). Petani Pedagang Pengumpul II Grosir Pengecer Konsumen Saluran dua dibagi menjadi dua bagian yaitu pemasaran di daerah produksi (lokal) dan pemasaran diluar daerah produksi. 3) Petani Grosir Pengecer Konsumen. Struktur pasar yang dihadapi petani kubis dan pedagang pengumpul I adalah pasar oligopsoni. Pedagang pengumpul II, grosir dan pengecer menghadapi pasar oligopoli. Saluran tataniaga yang memberikan keuntungan paling besar bagi petani dibandingkan dengan saluran lainnya berdasarkan nilai total margin, farmer s share, rasio keuntungan terhadap biaya adalah saluran ketiga dengan nilai total margin sebesar Rp ,87, farmer s share terbesar yaitu 55,81 persen, rasio keuntungan terhadap biaya terbesar yaitu 2, Tinjauan Risiko Iskandar (2006) meneliti mengenai risiko investasi saham rokok terpilih di Bursa Efek Jakarta dengan menggunakan model ARCH-GARCH untuk mendapatkan model peramalan dan Value at Risk (VaR) untuk mengukur tingkat risiko. Penelitian dilakukan pada tiga perusahaan rokok terpilih yaitu PT.Gudang Garam (GGRM), PT. HM Sampoerna (HMSP) dan PT. Bentoel International 15

32 Investama (RMBA). Data yang digunakan adalah data fluktuasi harga saham dari waktu ke waktu yang berjumlah 1032 dari bulan Januari 2002 sampai akhir Maret Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa saham PT. Bentoel International Investama (RMBA) memiliki tingkat risiko yang tertinggi pada perusahaan agribisnis rokok terpilih di BEJ dan risiko terendah adalah saham PT. HM Sampoerna (HMSP). Sedangkan, tingkat risiko saham PT.Gudang Garam (GGRM) berada diantara keduanya. Sabriani (2008) menganalisis mengenai risiko investasi pada tiga perusahaan perkebunan kelapa sawit terpilih di Bursa Efek Indonesia yakni PT. Bakrie Sumatera Plantation (BSP), PT. Tunas Baru Lampung Tbk (TBLA) dan PT. Astra Agro Lestari Tbk (AALI). Data yang digunakan adalah data timeseries harga penutupan saham harian ketiga perusahaan tersebut dari tanggal 1 Januari 2005 sampai 29 Februari Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat risiko saham PT. Astra Agro Lestari Tbk (AALI) memiliki tingkat risiko yang paling kecil dibandingkan saham PT. Bakrie Sumatera Plantation (BSP) dan PT. Tunas Baru Lampung Tbk (TBLA). Hal ini dikarenakan fundamental perusahaan yang kuat dalam pengembangan usahanya. Sedangkan tingkat risiko tertinggi dimiliki oleh PT. Tunas Baru Lampung Tbk (TBLA) yang disebabkan karena investor yang pesimis terhadap perusahaan ini sebab masih memiliki beban hutang yang tinggi, memiliki lahan kelas tiga, dan faktor cuaca yang kering didaerah Lampung sehingga dapat menghambat produktivitas kelapa sawit. Sementara itu, saham PT. Bakrie Sumatera Plantation (BSP) berada diantara keduanya. Fariyanti (2008) selanjutnya meneliti mengenai perilaku ekonomi rumah tangga petani sayuran dalam menghadapi risiko produksi dan harga produk di Kecamatan Pengalengan Kabupaten Bandung. Komoditi sayuran yang difokuskan dalam penelitian ini adalah kentang dan kubis. Analisis risiko produksi dilakukan dengan menggunakan model GARCH (1,1) sedangkan analisis risiko harga menggunakan perhitungan nilai varian. Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa risiko produksi pada kentang lebih tinggi dibandingkan kubis, tetapi sebaliknya risiko harga kentang lebih rendah daripada kubis. Besarnya risiko produksi kentang diindikasikan oleh fluktuasi produksi kentang yang 16

33 disebabkan oleh risiko produksi pada musim sebelumnya dan penggunaan input pupuk dan tenaga kerja sedangkan lahan, benih, dan obat-obatan merupakan faktor yang mengurangi risiko produksi. Sementara itu, pada komoditas kubis justru sebaliknya dimana lahan dan obat-obatan merupakan faktor yang dapat menimbulkan risiko sedangkan benih, pupuk dan tenaga kerja menjadi faktor yang mengurangi risiko produksi. Oleh karena itu, diversifikasi usahatani kentang dan kubis dapat dilakukan untuk memperkecil risiko produksi (portofolio) dibandingkan jika petani melakukan spesialisasi usahatani kentang atau kubis. Perilaku rumahtangga petani dengan adanya risiko produksi dan harga produk termasuk risk aversion. Hal ini dapat dilihat dari perilaku rumah tangga petani sayuran dalam pengambilan keputusan baik untuk keputusan produksi, konsumsi dan alokasi tenaga kerja. Keputusan produksi yang diambil oleh rumahtangga petani dalam menghadapi risiko produksi adalah mengurangi penggunaan lahan, benih, pupuk, obat-obatan dan tenaga kerja. Untuk keputusan konsumsi, rumahtangga petani sayuran mengurangi pengeluaran untuk konsumsi pangan, nonpangan, kesehatan, pendidikan, tabungan dan investasi produksi. Pengambilan keputusan tenaga kerja dilakukan dengan meningkatkan penggunaan tenaga kerja pada kegiatan off farm dan non farm. Siregar (2009) dalam penelitiannya mengenai risiko harga Day Old Chick (DOC) broiler dan layer pada PT. Sierad Produce Tbk dengan menggunakan analisis kuantitatif dan kualitatif. Analisis kuantitatif dilakukan untuk menganalisis risiko dengan menggunakan model GARCH (1,1) dan perhitungan VaR (value at risk) sedangkan analisis kualitatif dilakukan untuk mengetahui gambaran tentang manajemen perusahaan terkait dengan harga DOC pada perusahaan tersebut. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa risiko harga DOC broiler dipengaruhi oleh volatilitas dan varian harga DOC broiler periode sebelumnya, sedangkan risiko harga DOC layer hanya dipengaruhi oleh volatilitas harga DOC layer periode sebelumnya. Risiko harga DOC broiler lebih besar dibandingkan dengan risiko harga DOC layer. Hal ini dapat dilihat berdasarkan besarnya risiko DOC broiler dalam persen adalah 14,53 persen sedangkan DOC layer hanya sebesar 7,70 persen selama satu hari penjualan. Tingginya risiko harga jual DOC broiler dibandingkan 17

34 risiko harga jual DOC layer disebabkan karena permintaan daging ayam yang lebih berfluktuatif dibandingkan dengan permintaan telur dan dapat pula disebabkan oleh siklus layer yang lebih lama daripada broiler. Manajemen risiko yang diterapkan oleh PT. Sierad Produce Tbk dalam penentuan harga DOC adalah berdasarkan keputusan GPPU (Gabungan Pengusaha Pembibitan Unggas) sehingga alternatif strategi yang dilakukan oleh perusahaan dalam mengatasi risiko tersebut belum baik. Hal ini dilihat dari seringnya aborsi (pemusnahan) DOC dan telur tetas hingga mencapai 40 persen serta menjual DOC dengan harga yang sangat murah jika terjadi kelebihan pasokan. Strategi ini dapat menimbulkan biaya baru dan belum dapat menstabilkan harga jual DOC. Oleh karena itu, strategi yang sebaiknya dilakukan oleh PT. Sierad Produce Tbk dalam meminimalkan risiko adalah melakukan pencatatan data permintaan DOC dan meningkatkan kegiatan kemitraan dengan para peternak, mempelajari perilaku harga jual DOC periode sebelumnya dan menjadikan harga jual DOC sebelumnya sebagai dasar untuk memprediksi harga pada periode yang akan datang. Selain itu, PT. Sierad Produce sebaiknya mempunyai kebijakan dan prosedur sendiri baik yang terkait dengan harga dan penjualan DOC. Tarigan (2009) menganalisis mengenai risiko produksi sayuran organik pada Permata Hati Organic Farm di Bogor, Jawa Barat. Analisis risiko produksi dilakukan pada kegiatan spesialisasi dan diversifikasi. Komoditas yang dianalisis pada kegiatan spesialisasi adalah brokoli, bayam hijau, tomat dan cabai keriting sedangkan untuk kegiatan portofolio adalah tomat dengan bayam hijau dan cabai keriting dengan brokoli. Berdasarkan hasil analisis spesialisasi risiko produksi dari produktivitas pada empat komoditi tersebut, diperoleh hasil bahwa risiko produksi yang paling tinggi dan paling rendah adalah bayam hijau dan cabai keriting yaitu sebesar 0,225 dan 0,048. Tingginya risiko pada bayam hijau karena sangat rentan terhadap panyakit terutama pada musim penghujan. Berdasarkan pendapatan bersih diperoleh risiko yang paling tinggi dan paling rendah untuk keempat komoditas tersebut adalah cabai keriting dan brokoli yakni sebesar 0,80 dan 0,16. Hal ini dikarenakan penerimaan yang diterima lebih kecil sedangkan biaya yang dikeluarkan tinggi. Analisis risiko produksi yang dilakukan pada 18

35 kegiatan portofolio menunjukkan bahwa kegiatan diversifikasi dapat meminimalkan risiko. 2.3 Perbedaan dengan Penelitian Terdahulu Berdasarkan hasil studi penelitian terdahulu, maka dapat dilihat persamaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah menggunakan alat analisis yang sama seperti yang dilakukan oleh Siregar (2009) yaitu dengan menggunakan model ARCH-GARCH, meskipun ada perbedaan dalam pembuatan model persamaan harga dimana pada penelitian Siregar hanya menggunakan variabel harga sedangkan pada penelitian ini menggunakan variabel harga dan pasokan. Sementara itu, perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu yakni bahwa penelitian mengenai risiko harga komoditas pertanian masih jarang dilakukan. Penelitian mengenai risiko harga komoditas yang pernah dilakukan adalah penelitian yang dilakukan oleh Fariyanti (2008) dan Siregar (2009). Perbedaan penelitian ini dengan dua penelitian mengenai risiko harga terdahulu yaitu : 1) Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Fariyanti (2008) ialah obyek yang diteliti dan alat analisis yang digunakan. Pada penelitian ini obyek yang diteliti adalah kubis dan bawang merah, sedangkan pada penelitian terdahulu oleh Fariyanti adalah kentang dan kubis. Selain itu, alat analisis yang digunakan pada penelitian Fariyanti (2008) mengenai risiko harga menggunakan perhitungan variance sedangkan pada penelitian ini menggunakan model ARCH dan GARCH. 2) Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Siregar (2009) yakni berdasarkan obyek yang diteliti. Pada penelitian Siregar (2009) obyek yang diteliti adalah komoditas peternakan yakni DOC broiler dan layer sedangkan pada penelitian ini, obyek yang diteliti adalah komoditas sayuran yakni kubis dan bawang merah. Selain itu, pelaku yang menghadapi risiko harga pada penelitian ini berbeda dengan penelitian Siregar. Pada penelitian ini, pelaku utama yang menghadapi risiko harga adalah petani kubis dan bawang merah sedangkan pada penelitian Siregar, pelaku yang menghadapi risiko harga adalah perusahaan yakni PT. Sierad Produce Tbk yang bergerak dalam penjualan Day Old Chick (DOC) broiler dan layer. 19

36 III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis Permintaan, Penawaran, dan Harga Dalam teori ekonomi mikro dijelaskan bahwa permintaan dan penawaran merupakan dua kekuatan yang mempengaruhi proses terbentuknya harga. Menurut Lipsey et al. (1995), hubungan antara harga dengan jumlah yang diminta mengikuti suatu hipotesis dasar yang menyatakan bahwa semakin tinggi harga suatu komoditi maka semakin sedikit jumlah yang diminta, dengan asumsi variabel lain dianggap konstan (ceteris paribus), dan terjadi sebaliknya. Sementara itu hubungan antara harga suatu komoditi dengan jumlah yang ditawarkan mengikuti suatu hipotesis dasar ekonomi yang menyatakan bahwa secara umum, semakin tinggi harga suatu komoditi maka semakin besar jumlah komoditi yang ditawarkan dengan asumsi variabel lain dianggap konstan (ceteris paribus) dan terjadi sebaliknya. Menurut Soekartawi (2002), permintaan suatu komoditi pertanian (termasuk kubis dan bawang merah) dipengaruhi oleh harga produk tersebut, harga produk subtitusi atau harga produk komplemen, selera dan keinginan, jumlah konsumen dan pendapatan konsumen yang bersangkutan. Sedangkan penawaran suatu komoditi pertanian (termasuk kubis dan bawang merah) dipengaruhi oleh teknologi, harga input (seperti pupuk, benih, dan obat-obatan), harga produk yang lain, jumlah produsen, harapan produsen terhadap harga produksi dimasa yang akan datang, dan elastisitas produksi. Lebih lanjut, Lipsey et al. (1995) menjelaskan bahwa kekuatan permintaan dan kekuatan penawaran akan saling berinteraksi dalam menentukan harga yang terjadi dalam suatu pasar yang bersaing. Perpotongan antara kurva permintaan dan kurva penawaran akan membentuk suatu kondisi keseimbangan dimana jumlah yang diminta sama dengan jumlah yang ditawarkan. Pada kondisi ini, kedua pihak baik konsumen maupun produsen akan sama-sama diuntungkan. Proses terjadinya kondisi keseimbangan dapat dijelaskan melalui Gambar 3.

37 Harga Penawaran Pa Pe Pb Permintaan Jumlah Gambar 3. Pembentukan Harga oleh Permintaan dan Penawaran Sumber : Lipsey et al. (1995) Pada kondisi harga di titik P a terjadi kelebihan penawaran dimana jumlah yang ditawarkan produsen lebih besar dibandingkan dengan jumlah yang diminta konsumen. Melihat kondisi ini para produsen akan berusaha menurunkan harga agar kelebihan penawaran tersebut bisa terjual. Jadi dalam keadaan excess supply akan terjadi suatu tekanan ke bawah terhadap harga. Disisi lain jika harga berada pada titik P b, ketika jumlah yang ditawarkan produsen lebih kecil dibandingkan jumlah yang diminta konsumen maka akan terjadi kelebihan permintaan terhadap penawaran (excess demand). Pada kondisi ini konsumen akan bersaing untuk mendapatkan komoditas tersebut dan berani membayar dengan harga yang lebih tinggi. Produsen juga akan memanfaatkan kesempatan ini untuk meningkatkan harga. Jadi, dalam kondisi ini akan ada tekanan ke atas terhadap harga. Kedua kondisi tersebut akan mengarahkan harga pada titik P e, dimana jumlah yang diminta sama dengan jumlah yang ditawarkan. Kondisi inilah yang disebut dengan kondisi keseimbangan Fluktuasi Harga Salah satu penyebab terjadinya fluktuasi harga dari komoditas kubis dan bawang merah adalah terjadinya ketidakseimbangan antara jumlah yang diminta dengan jumlah yang ditawarkan. Hal ini dapat terjadi akibat adanya pergerakan dan pergeseran kurva permintaan dan kurva penawaran. Berdasarkan hukum permintaan dan penawaran, pergerakan dan pergeseran kurva permintaan dan 21

38 penawaran akan mengakibatkan terjadinya harga disekuilibrium yaitu harga yang terjadi ketika jumlah yang diminta tidak sama dengan jumlah yang ditawarkan. Jika ada kelebihan permintaan atau kelebihan penawaran di dalam pasar, maka pasar itu dikatakan berada dalam keadaan disekuilibrium dan harga pasar akan terus berubah. Pada kondisi ini akan ada salah satu pihak yang merasa dirugikan (Lipsey et al. 1995). Pergerakan sepanjang sebuah kurva permintaan atau kurva penawaran menunjukkan adanya perubahan dalam jumlah yang diminta atau jumlah yang ditawarkan sebagai respon terhadap perubahan harga dari komoditas tersebut (Lihat Gambar 3). Apabila terjadi kenaikan harga akan berakibat pada menurunnya jumlah permintaan dan meningkatnya jumlah penawaran. Dan juga terjadi sebaliknya ketika harga suatu komoditas turun maka penawaran akan cenderung menurun dan permintaan akan suatu komoditas akan cenderung meningkat. Selain pergerakan, terdapat pula pergesaran kurva penawaran dan permintaan yang akan menyebabkan terjadinya perubahan harga, seperti terlihat pada Gambar (4a) dan (4b). Harga S Harga S 0 S 1 P 1 P 0 P 0 D 1 P 1 D 0 D Q 0 Q 1 Jumlah Q 0 Q 1 Jumlah (4a) (4b) Gambar (4a) dan (4b). Pergeseran kurva permintaan dan kurva penawaran Sumber : Lipsey et al. (1995) Berdasarkan Gambar (4a) dan (4b) dapat dilihat bahwa terjadi pergeseran kurva permintaan dan penawaran yang akan mengakibatkan terjadinya perubahan harga dan jumlah komoditas yang diminta atau ditawarkan. Pergeseran kurva 22

39 permintaan dan kurva penawaran merupakan akibat dari perubahan salah satu faktor yang mempengaruhi jumlah yang diminta dan jumlah yang ditawarkan, kecuali harga komoditi itu sendiri. Gambar (4a) menunjukkan bahwa terjadi pergeseran kurva permintaan ke kanan atas (dari D 0 ke D 1 ) yang menyebabkan jumlah barang yang diminta meningkat (dari Q 0 ke Q 1 ) disertai dengan adanya peningkatan harga dari P 0 ke P 1. Dalam bidang pertanian, hal ini seringkali terjadi saat hari besar atau hari raya dimana permintaan akan komoditi pertanian meningkat melebihi penawarannya. Hal ini mengakibatkan harga melonjak tajam melebihi harga normal. Selain itu, dapat juga terjadi sebaliknya dimana permintaan konsumen akan suatu komoditi berkurang atau menurun sehingga menyebabkan kurva permintaan bergeser ke bawah (dari D 1 ke D 0 ) dan terjadi penurunan harga (dari P 1 ke P 0 ). Hal ini jelas akan merugikan pihak produsen karena akan mengurangi keuntungan, akibat dari penurunan jumlah produk yang diminta (dari Q 1 ke Q 0 ). Pada Gambar (4b) dapat dilihat bahwa terjadi peningkatan jumlah penawaran atau produksi (dari Q 0 ke Q 1 ) yang menyebabkan terjadinya penurunan harga dari P 0 ke P 1 sehingga mengakibatkan pergeseran kurva penawaran ke kanan bawah (dari S 0 ke S 1 ). Hal ini terjadi pada saat panen raya dimana jumlah produksi yang dihasilkan petani melebihi jumlah yang diminta oleh konsumen sehingga mengakibatkan harga produk pertanian seperti kubis dan bawang merah menjadi jauh lebih rendah daripada harga normal. Keadaan ini jelas sangat merugikan petani. Akan tetapi, dapat juga terjadi keadaan sebaliknya dimana jumlah produksi yang direncanakan (Q 1 ) maka harga yang akan diterima produsen (P 1 ). Namun pada kenyataannya, seringkali produksi tidak sesuai dengan yang direncanakan akibat perubahan faktor-faktor yang mempengaruhi proses produksi. Akibatnya harga keseimbangan akan naik ke P 0 dan jumlah keseimbangan turun ke Q 0. Dalam bidang pertanian, misalnya faktor cuaca yang buruk, serangan hama penyakit yang dapat menyebabkan produksi turun jauh dibawah produksi yang direncanakan sehingga menggeser kurva penawaran ke kiri atas (dari S 1 ke S 0 ). 23

40 3.1.3 Konsep Risiko Setiap aktivitas dan keputusan yang diambil oleh seorang pelaku usaha selalu berhadapan dengan berbagai risiko. Semakin besar usaha yang dijalankan maka semakin besar pula risiko yang akan diterima. Menurut Harwood et al. (1999), risiko merupakan kejadian yang menimbulkan kerugian bagi pelaku bisnis yang mengalaminya. Sementara itu, Kountur (2006) menjelaskan bahwa risiko adalah kemungkinan kejadian yang merugikan. Berdasarkan definisi tersebut dapat diketahui bahwa ada tiga unsur penting dari setiap risiko yaitu kejadian, kemungkinan, dan akibat. Berdasarkan ketiga unsur risiko tersebut maka dapat diuraikan lebih lanjut mengenai tiga unsur lain yang dapat menjadi penentu besaran suatu risiko. Unsur pertama adalah eksposur, yaitu sesuatu yang berhubungan dengan peluang keterlibatan pada suatu atau beberapa kejadian. Unsur kedua adalah waktu, semakin lama sesuatu terekspos maka semakin besar risikonya. Unsur ketiga adalah rentan, semakin mudah rusak atau usang sesuatu maka semakin besar risikonya. Selain risiko, dalam menjalankan suatu aktivitas usaha para pelaku bisnis juga dihadapkan dengan situasi yang dinamakan ketidakpastian. Istilah risiko (risk) dan ketidakpastian (uncertainty) sering digunakan secara bersamaan atau bahkan ada pengertian bahwa risiko sama dengan ketidakpastian. Namun demikian secara ilmiah kedua konsep tersebut memiliki makna yang berbeda. Menurut Kadarsan (1995), risiko dan ketidakpastian menjelaskan suatu keadaan yang memungkinkan adanya berbagai macam hasil usaha atau berbagai macam akibat dari usaha-usaha tertentu. Perbedaan dari risiko dan ketidakpastian ialah bahwa risiko menjabarkan keadaan yang hasil dan akibatnya mengikuti suatu penjabaran kemungkinan yang diketahui, sedangkan ketidakpastian menunjukkan keadaan yang hasil dan akibatnya tidak bisa diketahui. Soekartawi et al. (1993), menjelaskan mengenai pengertian risiko dan ketidakpastian yang secara mudah digambarkan dalam suatu rangkaian kesatuan seperti pada Gambar 5. Gambar 5 menjelaskan bahwa peristiwa di dunia dapat digolongkan menjadi dua situasi ekstrim, yaitu peristiwa atau kejadian yang mengandung risiko atau risk events dan dalam keadaan ekstrim lainnya adalah kejadian yang tidak pasti atau uncertainty risk. Selain itu, gambar ini juga 24

41 menjelaskan mengenai perbedaan antara risiko dengan ketidakpastian. Risiko berhubungan dengan suatu kejadian yang hasil akhir atau outcomes dan probabilitas terjadinya dapat diketahui, sedangkan ketidakpastian dihubungkan dengan kejadian yang hasil akhir atau outcomes dan probabilitas terjadinya tidak dapat diketahui. Kejadian berisiko (risky events) Kejadian tidak pasti (uncertainty events) Probabilitas dan hasil akhir diketahui Probabilitas dan hasil akhir tidak diketahui Gambar 5. Rangkaian kejadian berisiko dengan kejadian ketidakpastian Sumber : Debertin (1986) Dalam setiap aktivitas usaha di sektor pertanian atau agribisnis selalu dihadapkan dengan situasi ketidakpastian (uncertainty) dan risiko (risk). Kesediaan petani untuk menerima risiko yang besar berhubungan dengan sikap petani tersebut. Kepuasan atau utilitas yang diterima oleh petani dari setiap outcomes dalam jumlah besar menentukan strategi yang akan dijalankan. Maksimisasi utilitas yang terkait kendala ketersediaan income merupakan tujuan utama petani (Debertin 1986). Utility Utility Utility Risk Averse Income Risk Neutral Income Income Risk Preferer Gambar 6. Hubungan Fungsi Kepuasan dengan Pendapatan Sumber : Debertin (1986) 25

42 Menurut Debertin (1986), Gambar 6 dapat memberikan indikasi bahwa: 1. Fungsi kepuasan untuk risk averter atau yang enggan menghadapi risiko, dengan pertambahan yang semakin menurun dengan semakin besarnya pendapatan. 2. Fungsi kepuasan untuk risk neutral atau yang netral terhadap risiko, maka kemiringannya konstan. 3. Fungsi kepuasan untuk risk lover atau berani menanggung risiko, akan bertambah dengan pertambahan yang semakin meningkat dengan makin bertambahnya pendapatan. Selanjutnya, dapat pula dijelaskan mengenai perilaku pelaku usaha dalam menghadapi risiko yang dapat dijelaskan berdasarkan teori utilitas seperti yang terlihat pada Gambar 7. Expected Return U 1 Risk Averter U 2 Risk Neutral Gambar 7. Hubungan Antara Varian dan Expected Return Sumber : Debertin (1986) U 3 Risk Taker Gambar 7 menunjukkan hubungan antara varian return yang merupakan ukuran tingkat risiko, dengan return yang merupakan tingkat kepuasan pembuatan keputusan. Sikap pembuat keputusan dalam menghadapi risiko dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori sebagai berikut : 1. Pembuat keputusan yang takut terhadap risiko (Risk Averter) menunjukkan jika U 1 diasumsikan kurva isoutiliti pembuat keputusan maka adanya kenaikan varian return yang merupakan ukuran tingkat risiko akan diimbangi dengan menaikkan return yang diharapkan. Varian Return 26

43 2. Pembuat keputusan yang netral terhadap risiko (Risk Neutral) menunjukkan jika U 2 diasumsikan kurva isoutiliti pembuat keputusan maka adanya kenaikan varian return yang merupakan ukuran tingkat risiko tidak akan diimbangi dengan menaikkan return yang diharapkan. 3. Pembuat keputusan yang takut terhadap risiko (Risk Taker) menunjukkan jika U 3 diasumsikan kurva isoutiliti pembuat keputusan maka adanya kenaikan varian return yang merupakan ukuran tingkat risiko akan diimbangi oleh pembuat keputusan dengan kesediaannya menerima return yang diharapkan lebih rendah Sumber-sumber Risiko Menurut Harwood (1999) dijelaskan bahwa beberapa sumber risiko yang dihadapi oleh petani diantaranya adalah risiko produksi, risiko pasar atau risiko harga, risiko kelembagaan, risiko kebijakan dan risiko finansial. Lebih lanjut, Gumbira (2001) menjelaskan bahwa para pelaku dalam bidang agribisnis termasuk petani juga menghadapi risiko-risiko seperti risiko produksi (seperti penurunan volume dan mutu produk), risiko pemilikan, risiko keuangan dan pembiayaan, risiko kerugian karena kecelakaan, bencana alam, dan faktor alam lainnya, kerugian karena perikatan kerja, serta kerugian karena hubungan tata kerja. Selain itu, risiko harga juga merupakan risiko yang seringkali dihadapi oleh para pelaku dalam sistem agribisnis. Sementara itu menurut Kadarsan (1995), sumber penyebab risiko dalam bidang pertanian adalah (1) risiko produksi ;(2) risiko harga ; (3) risiko teknologi ; (4) risiko karena tindakan pihak lain ; (5) risiko sakit. Sedangkan sumber ketidakpastian yang penting di sektor pertanian adalah fluktuasi hasil pertanian dan fluktuasi harga. Ketidakpastian prediksi hasil pertanian lebih banyak disebabkan oleh faktor alam seperti iklim, hama dan penyakit serta kekeringan, sedangkan ketidakpastian harga juga sulit diprediksi secara tepat yang disebabkan oleh fluktuasi harga (Soekartawi et al. 1993) Strategi Mengurangi Risiko dalam Bidang Pertanian Setiap aktivitas usaha termasuk pertanian selalu menghadapi berbagai macam risiko. Usaha dibidang pertanian memiliki risiko yang lebih besar 27

44 dibandingkan usaha lainnya. Untuk itu, petani perlu mengelola risiko tersebut agar usahanya dapat dijalankan secara berkesinambungan. Menurut Harwood et al. (1999), petani memiliki banyak pilihan dalam mengelola risiko usaha yang dihadapinya antara lain dengan melakukan diversifikasi usaha (enterprise diversification), integrasi vertikal (vertical integration), kontrak produksi (production contract), kontrak pemasaran (marketing contract), perlindungan nilai (hedging), asuransi (insurance). Selain itu, Gumbira et al. (2001) juga menjelaskan mengenai upaya yang dapat dilakukan oleh pelaku dalam sistem agribisnis untuk mentransfer risiko dan mengurangi dampak suatu risiko terhadap kelangsungan usahanya. Risiko produksi secara fisik seperti kemungkinan merosotnya volume produksi secara drastis, yang mungkin disebabkan oleh bencana alam, serangan hama dan penyakit tanaman, kebakaran, dan karena faktor-faktor lainnya yang akibatnya dapat diperhitungkan secara fisik dapat ditanggulangi dengan membeli polis asuransi produk pertanian. Selain itu, risiko kemungkinan menurunnya kualitas produksi dapat ditanggulangi dengan penerapan teknologi budidaya dan teknologi pascapanen yang tepat. Risiko pasar atau risiko harga dapat ditanggulangi dengan beberapa cara yaitu : 1. Diversifikasi Diversifikasi merupakan salah satu cara untuk mengeliminasi dampak negatif atau risiko yang dihadapi seorang pengusaha agribisnis. Bergerak pada beberapa lini usaha yang memiliki risiko yang berbeda memungkinkan kerugian yang diderita oleh pengusaha pada suatu lini produk tertentu dapat ditutupi dengan keuntungan pada lini produk lainnya. Beberapa faktor utama yang mempengaruhi upaya diversifikasi dalam pengembangan agribisnis, yaitu : a. Kebijakan pemerintah yang mendukung pengembangan agribisnis, baik kebijakan moneter maupun kebijakan fiskal, serta peraturan dan perundang-undangan lainnya pada semua tingkatan dan bidang institusi serta para pelaku yang terlibat dan terkait. 28

45 b. Ketersediaan input semua komoditas yang diusahakan baik dari segi jumlah, variasi jenis, dan mutu, serta kemudahan untuk mendapatkannya. c. Lembaga-lembaga pendukung yang mampu memerankan fungsinya secara efektif dan efisien serta mampu memfasilitasi pelayanan yang handal atas berbagai macam produk dengan spesifikasi pelayanan yang dibutuhkan untuk masing-masing unit atau kelompok produk agribisnis. d. Sarana dan prasarana pendukung, seperti transportasi, komunikasi, penerangan listrik, pengairan, dan lain-lain. 2. Integrasi vertikal Integrasi vertikal dalam arti mikro adalah suatu perusahaan yang bergerak pada dua atau lebih level dalam suatu sistem komoditas, sedangkan dalam arti makro dimana dua atau lebih perusahaan memiliki keterkaitan bisnis yang kuat dalam suatu sistem komoditas tertentu. Integrasi vertikal dapat menjamin risiko kekurangan bahan baku bagi industri pengolahan, menjamin pemasaran produk, melindungi diri dari perilaku pesaing yang dapat membahayakan kelanjutan usaha, melindungi diri dari permainan yang tidak adil oleh pelaku bisnis dari level yang lain dalam suatu sistem komoditas. 3. Penerapan teknologi Penerapan teknologi dalam dunia usaha dapat mengurangi risiko tertentu yang mungkin timbul. Risiko biaya produksi yang terlalu tinggi dapat ditekan dengan penerapan teknologi produksi yang tepat. Hal ini dapat menyebabkan produktivitas sumberdaya akan meningkat sehingga dapat meningkatkan efisiensi usaha yang dapat menghasilkan produk yang mampu bersaing di pasaran. 4. Kontrak di muka (forward contracting) Kontrak di muka (forward contracting) adalah suatu proses persetujuan pengiriman produk pada masa yang akan datang dengan harga yang telah ditetapkan sekarang. Kontrak di muka lebih menjamin kepastian harga yang harus diterima oleh penjualan produsen pada masa pengiriman produk di masa yang akan datang. Fluktuasi harga yang akan terjadi tidak akan 29

46 mempengaruhi tingkat harga yang telah disepakati pada saat persetujuan kontrak dibuat. 5. Pasar masa depan (future market) Pasar masa depan (future market) adalah suatu sistem pasar yang menyediakan fasilitas untuk menanggapi perdagangan secara cepat dalam unit produk terstandarisasi dalam mutu dan jumlah yang akan dikirim pada masa yang akan datang. Namun sebenarnya, future market tidak terkait dengan komoditas secara fisik karena yang diperdagangkan hanya janji-janji berupa kontrak pengiriman komoditas pada tanggal tertentu pada masa yang akan datang. 6. Usaha Perlindungan (hedging) Usaha perlindungan (hedging) adalah suatu upaya perlindungan risiko transaksi dalam cash market dengan forward market yang menggunakan future market dan mengambil posisi yang sama besar, tetapi berlwanan pada cash market dan future market. Hedging merupakan sarana untuk mentransfer risiko dan memupuk keuntungan. Usaha Perlindungan (hedging) terdiri atas dua tipe yaitu the selling hedge dan the buying hedge. 7. Pasar opsi (option market) Pasar opsi (option market) bertujuan untuk menghindari risiko dan biaya yang besar karena kemungkinan terjadinya kesalahan proyeksi mengenai arah pergerakan harga. Option market memberikan hak kepada pembeli opsi untuk memilih posisi sebagai pembeli, penjual future contract (FC), atau tidak memilih sama sekali, tetapi bukan merupakan kewajiban. Pembeli opsi tersebut dapat membeli atau menjual future contract pada waktu tertentu, pada masa yang akan datang untuk suatu tingkat harga yang telah disepakati pada saat opsi dibeli Alat Analisis Risiko Metode ARCH-GARCH Risiko pada umumnya berhubungan dengan adanya suatu perubahan dalam setiap periode waktu yang ditunjukkan oleh adanya fluktuasi atau variasi. Fluktuasi yang berbeda dapat terjadi dalam rentang waktu, ada periode dengan 30

47 fluktuasi yang tajam dan ada periode dengan fluktuasi yang relatif kecil. Tingkat risiko berhubungan erat dengan metode ARCH-GARCH, yang sering digunakan jika terjadi ketidakhomogenan ragam (varians) dari data return dan menduga nilai volatility yang akan datang. Engle pada tahun 1982 memberikan kontribusi metode estimasi data ekonomi rentang waktu dengan mengenalkan model ARCH (Autoregressive Conditional Heteroscedasticity). Model ini dikembangkan terutama untuk menjawab persoalan adanya volatilitas atau fluktuasi pada data ekonomi dan bisnis, khususnya dalam bidang keuangan. Volatilitas (fluktuasi) ini tercermin dalam varians residual yang tidak memenuhi asumsi homoskedastisitas atau varians residual konstan sepanjang waktu (Firdaus 2006). Sebelumnya para ekonometrisi mengasumsikan volatilitas (fluktuasi) tetap dalam rentang waktu karena tidak tersedia metode untuk mengatur perubahan volatilitas. Engle kemudian berhasil memberikan metode yang memberikan ketepatan yang lebih baik untuk pengukuran economic time series. Misalkan terdapat suatu model sebagai berikut : Y t = b 0 + b 1 Y t-1 + b 2 X t + e t... (1) Dalam OLS (Ordinary Least Square), diasumsikan e t terdistribusi normal dengan rata-rata nol dan varian konstan (homoskedastisitas). Engle menyatakan bahwa varian saat ini tergantung dari varian di masa lalu sehingga heteroskedastisitas dapat dimodelkan dan varian diperbolehkan untuk berubah antar waktu. Dengan demikian volatilitas yang besar di masa lalu dapat ditangkap dalam model. Untuk itu, dapat dipergunakan ARCH (1) : ζ 2 t = α 0 + α 1 e 2 t-1... (2) Dalam persamaan (2) varian tidak konstan. Varian terdiri dari dua komponen. Komponen pertama adalah varian yang konstan α 0. Komponen kedua adalah ketergantungan dari varian saat ini terhadap besarnya volatilitas di periode sebelumnya. Jika volatilitas pada periode sebelumnya besar (baik positif maupun negatif), maka varian pada saat ini akan besar pula. Dalam kenyataannya dapat digunakan lag yang lebih panjang untuk menggambarkan bahwa varian saat ini tergantung dari lagged volatilities. Model ARCH (p) memiliki lag sampai k : 31

48 ζ 2 t = α 0 + α 1 e 2 t-1 + α 2 e 2 t α p e 2 t-p... (3) atau ζ 2 t = α 0 + α i e 2 t-i Pada model ini, agar varian menjadi positif {var (e t ) > 0} maka harus dibuat pembatasan, yaitu : α 0 > 0 dan 0 < α 1 < 1. Untuk mengestimasi α 0 dan α 1 digunakan teknik maximum likelihood. Kondisi yang seringkali terjadi adalah bahwa varian saat ini tergantung dari volatilitas beberapa periode di masa lalu. Hal ini akan menimbulkan banyaknya parameter dalam conditional variance yang harus diestimasi. Pengestimasian parameter-parameter tersebut sulit dilakukan dengan presisi yang tepat. Oleh karena itu, pada tahun 1986 Bollerslev mengambangkan ARCH menjadi GARCH (Generalized Autoregressive Conditional Heteroscedasticity). Bila didefinisikan secara parsial, Autoregressive mempunyai arti adanya mekanisme ketergantungan kepada data masa lalu. Conditional berarti adanya ketergantungan varian terhadap informasi dari data masa lalu sedangkan Heteroscedasticity berarti nonconstant variance (varian yang berubah menurut fungsi waktu). Jadi secara umum, GARCH dapat diartikan sebagai suatu teknik permodelan data time series yang menggunakan varian masa lalu dan dugaan varian masa lalu tersebut digunakan untuk melakukan (forecast) varian masa yang akan datang. Pada metode GARCH, varian dari error saat ini terdiri dari 3 komponen yaitu ragam yang konstan (α 0 ), volatilitas pada periode sebelumnya atau disebut suku ARCH (e 2 t-p), dan varian pada pada periode sebelumnya atau disebut juga suku GARCH (λ q ζ 2 t-q). Sama halnya dengan model ARCH, agar varian menjadi positif {var (e t ) > 0}, maka pada model ini juga harus dibuat pembatasan yaitu α 0 > 0; α 1 dan λ 1 1; dan α 1 + λ 1 < 1 yang dapat diestimasi dengan menggunakan teknik maximum likelihood. Secara umum, var (e t ) dapat direpresentasikan dengan bentuk : ζ 2 t = α 0 + α 1 e 2 t α p e 2 t-p + λ 1 ζ 2 t λ q ζ 2 t-q... (4) atau p p i=1 ζ 2 t = α 0 + α i e 2 t-i + λ j ζ 2 t-j q i=1 j=1 32

49 Model pada persamaan (4) disebut model GARCH (p,q) dimana besaran var (e t ) selain diduga tergantung pada e 2 juga tergantung pada ζ 2 masa lalu Perhitungan VaR Value At Risk adalah kerugian terbesar yang mungkin terjadi dalam rentang waktu/periode tertentu yang diprediksikan dengan tingkat kepercayaan tertentu. Konsep VAR berdiri di atas dasar observasi statistik atas data-data historis dan relatif dapat dikatakan sebagai suatu konsep yang bersifat obyektif. VaR dapat dikatakan merangkum seluruh substansi yang ingin ditangkap dari alatalat atau metode-metode tersebut. VaR juga mengakomodasi kebutuhan untuk mengetahui potensi kerugian atas nilai tertentu. Perhitungan VaR dengan periode waktu yang berbeda-beda yaitu satu hari, tujuh hari dan 30 hari. Secara matematis VaR dapat didefinisikan sebagai berikut (Jorion 2002) : VaR = (ζ t+1 x b ) x Z α x W dimana VaR = besarnya risiko b = Periode investasi Z = Titik kritik dalam tabel Z dengan selang kepercayaan 95 persen W = Besarnya investasi ζ t+1 = Volatilitas yang akan datang dimana ζ t = h t 3.2 Kerangka Pemikiran Operasional Kubis dan bawang merah merupakan komoditas sayuran unggulan yang banyak ditanam dan dikembangkan oleh petani di Indonesia. Namun, harga kubis dan bawang merah cenderung berfluktuasi sehingga mengakibatkan ketidakpastian penerimaan yang diperoleh petani. Fluktuasi harga yang tinggi pada dasarnya terjadi akibat ketidakseimbangan dari jumlah penawaran dan permintaan yang terjadi di pasar. Penawaran dan permintaan merupakan dua kekuatan yang secara simultan mempengaruhi dan dipengaruhi oleh harga. Besarnya penawaran dan permintaan dari komoditas kubis dan bawang merah sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor yang mempengaruhinya. Menurut Soekartawi (2002), permintaan suatu komoditas pertanian (termasuk kubis dan bawang merah) dipengaruhi oleh harga produk 33

50 tersebut, harga produk subtitusi atau harga produk komplemen, selera dan keinginan, jumlah konsumen dan pendapatan konsumen yang bersangkutan. Sementara itu, penawaran suatu komoditi pertanian (termasuk kubis dan bawang merah) dipengaruhi oleh teknologi, harga input (seperti pupuk, benih, dan obatobatan), harga produk yang lain, jumlah produsen, harapan produsen terhadap harga produksi dimasa yang akan datang, dan elastisitas produksi. Namun, dalam penelitian ini tidak akan dianalisis mengenai permintaan dan penawaran serta faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan dan penawaran dari komoditas kubis dan bawang merah yang secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi besarnya fluktuasi harga dari kedua komoditas tersebut. Dalam penelitian ini hanya akan digunakan dua variabel yang mempengaruhi harga kubis dan bawang merah yakni harga sehari sebelumnya dan pasokan harian dari kedua komoditas tersebut. Alur kerangka pemikiran operasional dapat dilihat pada Gambar 8. Penawaran dan permintaan Faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran dan permintaan Harga kubis dan bawang merah Risiko Harga Petani menghadapi risiko harga Alternatif solusi Keterangan : Gambar diatas garis tidak dianalisis Gambar 8. Kerangka Pemikiran Operasional Harga kubis dan bawang merah yang berfluktuasi merupakan indikator adanya risiko harga. Untuk mengetahui besarnya tingkat risiko harga dapat dianalisis, baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Penilaian risiko secara kuantitatif dapat diukur dengan menggunakan model ARCH-GARCH dan perhitungan VaR. Sementara itu, analisis kualitatif dilakukan dengan menggunakan pendekatan deskriptif berupa wawancara dan diskusi langsung 34

51 dengan pihak-pihak yang berkepentingan seperti petani kubis dan bawang merah, pedagang grosir kubis dan bawang merah serta karyawan kantor di Pasar Induk Kramat Jati. Kemudian, dianalisis mengenai alternatif solusi yang dilakukan petani dalam menghadapi risiko harga. Selanjutnya, berdasarkan hasil analisis tersebut, dapat direkomendasikan solusi yang tepat untuk mengurangi risiko harga kubis dan bawang merah terutama di tingkat petani sehingga permasalahan yang terkait dengan risiko tersebut dapat diatasi. 35

52 IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini menggunakan data sekunder yang berasal dari Pasar Induk Kramat Jati Jakarta dengan pertimbangan bahwa Pasar Induk Kramat Jati merupakan salah satu pusat perdagangan sayuran terbesar di Indonesia, menjadi barometer harga dalam pembentukan harga di pasar-pasar lainnya serta sebagai sumber informasi bagi Departemen Pertanian mengenai harga sayuran dan buah. Kegiatan penelitian yang dilakukan meliputi perumusan masalah, perancangan penelitian, pengumpulan data dan wawancara dengan pihak-pihak terkait terutama petani untuk analisis deskriptif dan tambahan interpretasi data sekunder, pengolahan data, analisis data, penarikan kesimpulan serta kegiatan penulisan hasil akhir. Penelitian ini dilakukan dari penyusunan proposal hingga penyelesaian skripsi pada bulan Februari 2009 sampai Juli Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data sekunder dan data primer baik data yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif. Data sekunder diperoleh dari Kantor Pasar Induk Kramat Jati Jakarta berupa data perkembangan pasokan harian (dalam satuan ton) dan data harga harian (Rp/kg) kubis dan bawang merah dari bulan Januari 2006 sampai Februari Jumlah data historis yang digunakan dalam penelitian ini adalah 1147 data. Data tersebut akan dijadikan input untuk meramalkan model dan mengukur besarnya tingkat risiko harga kubis dan bawang merah. Data primer diperoleh melalui wawancara dan diskusi langsung dengan lima orang petani kubis di Desa Marga Mekar, Kecamatan Pengalengan dan delapan orang petani bawang merah di Desa Larangan, Kabupaten Brebes serta lima orang pedagang grosir kubis, lima orang pedagang grosir bawang merah dan karyawan di Kantor Pasar Induk Kramatjati, DKI Jakarta. Data primer ini digunakan sebagai bahan analisis tambahan untuk menginterpretasikan output risiko harga kubis dan bawang merah yang diperoleh dan untuk menganalisis alternatif solusi yang dilakukan petani kubis dan bawang merah untuk mengurangi risiko harga kedua komoditas tersebut.

53 Selain itu, sebagai bahan referensi data diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS), Departemen Pertanian, Direktorat Jendral Hortikultura Jakarta, Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSEKP), penelitian terdahulu, perpustakaan LSI Institut Pertanian Bogor, perpustakaan FEM, internet dan literatur-literatur yang relevan dengan topik penelitian. 4.3 Metode Pengolahan dan Analisis Data Data primer dan data sekunder yang diperoleh akan dijadikan ukuran dalam penelitian ini. Kedua data ini (data primer dan data sekunder) akan diolah dan dianalisis melalui beberapa metode analisis yang digunakan. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini meliputi analisis kuantitatif dan analisis kualitatif. Analisis kuantitatif yang dilakukan dalam penelitian ini adalah analisis risiko dengan menggunakan model ARCH-GARCH dan perhitungan VaR. Analisis ini digunakan untuk menjawab tujuan penelitian yang pertama, yaitu menganalisis besarnya tingkat risiko harga kubis dan bawang merah. Data yang digunakan untuk analisis risiko adalah data harga harian (Rp/kg) kubis dan bawang merah dan data perkembangan pasokan kubis dan bawang merah (dalam satuan ton) yang berjumlah 1147 data. Data ini diolah dengan bantuan program Microsoft Excel, Minitab 14 dan Eviews 4.1. Analisis kualitatif dilakukan dengan pendekatan deskriptif yang digunakan untuk menjawab tujuan penelitian yang kedua, yaitu menganalisis alternatif solusi yang dilakukan petani selaku produsen untuk mengurangi risiko harga dari komoditas kubis dan bawang merah. Analisis ini menggunakan data kualitatif yang diperoleh melalui hasil wawancara dan diskusi langsung dengan pihak-pihak yang berkepentingan seperti petani kubis dan bawang merah, pedagang grosir dan karyawan Kantor di Pasar Induk Kramat Jati (PIKJ) Jakarta Analisis Deskriptif Analisis deskriptif digunakan untuk menganalisis alternatif solusi yang dilakukan oleh petani kubis dan bawang merah untuk mengurangi risiko harga yang dihadapinya. Analisis ini berdasarkan pada penilaian petani sebagai pengambil keputusan secara subyektif. Hal ini dilakukan untuk melihat apakah 37

54 solusi yang dilakukan petani kubis dan bawang merah sudah cukup efektif untuk mengurangi risiko harga kedua komoditas tersebut. Metode yang digunakan untuk mengetahui hal tersebut adalah melalui metode wawancara dengan bertanya dan berdiskusi dengan pihak-pihak yang berkepentingan yaitu petani kubis dan bawang merah, pedagang grosir kubis dan bawang merah serta karyawan kantor Pasar Induk Kramat Jati (PIKJ) Jakarta Analisis Risiko Data sekunder berupa data harga harian dan pasokan harian dari komoditas kubis dan bawang merah di Pasar Induk Kramat Jati diolah dengan menggunakan Microsoft Excel, program Minitab 14 dan Eviews 4.1. Analisis grafik pergerakan harga harian kubis dan bawang merah dilakukan dengan plot grafik time series untuk melihat kecenderungan data. Tingkat risiko diramalkan dengan model ARCH-GARCH. Hal ini dilakukan karena ARCH-GARCH mampu menangkap eror fluktuasi yang sering terjadi pada pergerakan data. Pendekatan ini dilakukan dengan beberapa tahapan : a. Spesifikasi model yaitu dengan pendeteksian efek ARCH pada persamaan harga kubis dan bawang merah yang menggunakan tiga variabel yaitu harga (P t ) sebagai variabel dependen (variabel terikat) serta harga sebelumnya (P t-1 ) dan jumlah pasokan (Q) sebagai variabel independen, dengan uji autokorelasi dan uji white heteroscedasticity. b. Pendugaan parameter dan pemilihan model varians yang terbaik yaitu dengan simulasi beberapa model varians berdasarkan nilai AIC (Akaike Information Criterion) dan SC. c. Uji diagnostik model varians dengan analisis galat meliputi kebebasan galat (fungsi autokorelasi), uji ARCH dan uji normalitas galat. d. Melakukan peramalan nilai VaR Metode ARCH-GARCH Pengukuran risiko harga kubis dan bawang merah dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan model ARCH-GARCH. Dalam mengaplikasikan model ARCH-GARCH, dilakukan tahap-tahap sebagai berikut : 38

55 1. Identifikasi efek ARCH. Dalam permodelan ARCH-GARCH didahului dengan identifikasi apakah suatu data atau model persaman rataan yang diamati mengandung heteroskedastisitas atau tidak. Ini dilakukan antara lain dengan mengamati beberapa ringkasan statistik dari persamaan rataan tersebut. Sebagai contoh bila data atau model persamaan rataan memiliki nilai kurtosis lebih dari tiga menunjukkan gejala awal adanya heteroskedastisitas (Davidson dan MacKinnon, 2004 dalam Firdaus, 2006). Selain itu, pengujian adanya efek ARCH pada suatu model persamaan dapat dilakukan dengan mengamati nilai autokorelasi kuadrat residual dari model persamaan tersebut. Fungsi autokorelasi kuadrat residual digunakan untuk mendeteksi keberadaan efek ARCH. Jika nilai autokorelasi kuadrat residual dari suatu persaman signifikan, maka nilai tersebut mengindikasikan bahwa pada model persamaan tersebut terdapat efek ARCH. Keberadaan efek ARCH ditunjukkan dengan nilai autokorelasi kuadrat residual yang signifikan pada 15 beda kala pertama yang diperiksa dari perilaku ACF dan PACFnya. Selain itu, cara yang lebih terkuantifikasi dalam menguji ada tidaknya ARCH error adalah dengan menggunakan uji White Heteroscedasticity. 2. Estimasi model Pada tahapan ini dilakukan simulasi beberapa model ragam dengan menggunakan model rataan yang telah didapatkan. Kemudian dilanjutkan dengan pendugaan parameter model. Pendugaan parameter dimaksudkan untuk mencari koefisien model yang paling sesuai dengan data. Penentuan dugaan parameter ARCH-GARCH dilakukan dengan menggunakan metode kemungkinan maksimum secara iteratif. Dengan menggunakan Software Eviews 4.1, estimasi nilai-nilai parameter dapat dilakukan. Selanjutnya dilakukan pemilihan model terbaik. Kriteria model terbaik adalah memiliki ukuran kebaikan model yang besar dan koefisien yang nyata. Terdapat dua bentuk pendekatan yang dapat digunakan sebagai ukuran kebaikan model yaitu : 39

56 a. Akaike Information Criterion (AIC) AIC = Ln (MSE) + 2*K/N b. Schwarz Criterion (SC) SC = Ln (MSE) + [K*log (N)]/N dimana, MSE = Mean Square Error K = Banyaknya parameter yaitu (p+q+1) N = Banyaknya data pengamatan SC dan AIC merupakan dua standar informasi yang menyediakan ukuran informasi yang dapat menemukan keseimbangan antara ukuran kebaikan model dan spesifikasi model yang terlalu hemat. Nilai ini dapat membantu untuk mendapatkan seleksi model yang terbaik. Model yang baik dipilih berdasarkan nilai AIC dan SC yang terkecil dengan melihat juga signifikansi koefisien model. 3. Evaluasi model Pemeriksaan kecukupan model dilakukan untuk menguji asumsi, sehingga model yang diperoleh cukup memadai. Jika model tidak memadai, maka harus kembali ke tahap identifikasi untuk mendapatkan model yang lebih baik. Evaluasi model dilakukan dengan memperhatikan beberapa indikator, yaitu apakah residual sudah terdistribusi normal; keacakan residual yang dilihat dari fungsi autokorelasi kuadrat residual dan pengujian efek ARCH-GARCH dari residual. Langkah awal yang dilakukan adalah memeriksa kenormalan galat baku model dengan uji Jarque-Bera. Uji Jarque-Bera digunakan untuk mengukur perbedaan antara Skewness (kemenjuluran) dan Kurtosis (keruncingan) dari data sebaran normal, serta memasukkan ukuran keragaman. Hipotesis yang diuji adalah sebagai berikut : H 0 : Sisaan baku menyebar normal H 1 : Sisaan baku tidak menyebar normal Statistik uji Jarque-Bera (JB) dihitung dengan persamaan sebagai berikut : JB = N- K 6 [S (k - 3) 2 ] dimana, S : kemenjuluran 40

57 K : keruncingan k : banyaknya koefisien penduga N : banyaknya data pengamatan Pada kondisi hipotesis nol, JB memiliki derajat bebas 2. Tolak H 0 jika JB > χ 2 2 (α) atau jika P (χ 2 2 > JB) kurang dari α = 0,05 yang berarti bahwa data sisaan terbakukan tidak menyebar normal. Model ARCH/GARCH menunjukkan kinerja yang baik jika dapat menghilangkan autokorelasi dari data. Langkah selanjutnya adalah memeriksa koefisien autokorelasi sisaan baku, dengan uji Ljung Box. Uji Ljung Box (Q*) pada dasarnya adalah pengujian kebebasan sisaan baku. Untuk data deret waktu dengan N pengamatan, statistik Ljung Box diformulasikan sebagai : Q* = n (n+2) Dimana r 1 (ε t ) adalah autokorelasi contoh pada lag 1 dan k adalah maksimum lag yang diinginkan. Jika nilai Q* lebih besar dari nilai χ 2 2 (α) dengan derajat bebas k-p-q atau jika P(χ 2 (k-p-q) >Q*) lebih kecil dari taraf nyata 0,05 maka model tidak layak. 4. Peramalan r 2 1 (ε t ) i =1 n-k Setelah memperoleh model yang memadai, model tersebut digunakan untuk memperkirakan nilai volatilitas masa yang akan datang. Peramalan dilakukan dengan memasukkan parameter ke dalam persamaan yang diperoleh. Hasil peramalan digunakan untuk pembahasan lebih lanjut seperti perhitungan VaR. pada analisis risiko. Tingkat risiko memiliki hubungan yang erat dengan metode ARCH-GARH yang sering digunakan jika terjadi ketidakhomogenan ragam atau varians dari data return dan menduga nilai volatility yang akan datang. Hal tersebut merupakan kelebihan metode ARCH-GARCH dibandingkan dengan penduga ragam atau varians biasa yang tidak mampu melakukan pendugaan ragam (varians) jika terjadi ketidakhomogenan data tidak terpenuhi. k 41

58 Model ARCH (Autoregressive Conditional Heteroscedasticity) dikembangkan terutama untuk menjawab persoalan adanya volatilitas atau fluktuasi pada data ekonomi dan bisnis, khususnya dalam bidang keuangan. Volatilitas ini tercermin dalam varians residual yang tidak memenuhi asumsi homoskedastisitas (varians residual konstan sepanjang waktu). Bollerslev pada tahun 1986 kemudian mengembangkan model ini menjadi GARCH, yaitu singkatan dari Generalized Autoregressive Conditional Heteroscedasticity. GARCH mengasumsikan data yang dimodelkan memiliki standar deviasi yang selalu berubah terhadap waktu. GARCH yang cukup baik untuk memodelkan data yang berubah standar deviasinya, tetapi tidak untuk data yang benar-benar acak. Langkah awal untuk mengidentifikasikan model ARCH-GARCH adalah dengan melihat ada tidaknya ARCH error dari data persamaan harga kubis dan bawang merah, dimana dalam penelitian ini persamaan harga kubis dan bawang merah didefinisikan sebagai berikut : Ln P ti = Ln C +Ln α 1 P ti-1 Ln α 2 Q ti + ε t... (1) h t = C + γ i ε 2 ti-1 + β i h ti-1... (2) Keterangan : P ti = harga kubis atau bawang merah periode t P ti -1 = harga kubis atau bawang merah pada periode t-1 C = konstanta Q ti = pasokan kubis atau bawang merah pada periode t α 1 = koefisien variabel harga pada periode t-1 (P t-1 ) α 2 = koefisien variabel pasokan (Q t ) ε t h t γ β ε 2 ti-1 h ti-1 = error pada periode t = ragam (varian) harga kubis dan bawang merah pada periode t = koefisien volatilitas pada periode sebelumnya = koefisien ragam (varian) periode sebelumnya = volatilitas pada periode sebelumnya (t-1) = ragam (varian) periode sebelumnya (t-1) dimana i= 1 ; untuk kubis dan 2 ; untuk bawang merah 42

59 Kemudian dari model persamaan harga tersebut dilihat apakah residual sudah terbebas dari autokorelasi. Selain autokorelasi, asumsi lain yang sering digunakan adalah variabel pengganggu atau residual yang bersifat konstan dari waktu ke waktu. Apabila residual tidak bersifat konstan, maka model persamaan harga tersebut masih mengandung masalah heteroskedastisitas. Untuk mengetahui adanya autokorelasi pada model persamaan harga kubis dan bawang merah maka dapat dilakukan dengan cara menguji nilai autokorelasi kuadrat residual. Fungsi autokorelasi kuadrat residual digunakan untuk mendeteksi keberadaan efek ARCH. Jika pada kuadrat residual terdapat autokorelasi, maka hal ini mengindikasikan bahwa terdapat unsur ARCH error. Pengujian autokorelasi pada model persamaan harga kubis dan bawang merah ditunjukkan dengan nilai probability pada 15 lag pertama yang telah signifikan. Hal ini mengindikasikan adanya efek ARCH/ARCH error pada model persamaan harga kubis dan bawang merah. Apabila model persamaan harga kubis dan bawang merah tersebut mengandung unsur ARCH error maka dapat dilakukan analisis ARCH-GARCH. Selain itu, cara yang lebih terkuantifikasi dalam menguji ada tidaknya ARCH error adalah dengan menggunakan uji White Heteroscedasticity. Dalam model ARCH, varian residual data runtut waktu tidak hanya dipengaruhi oleh variabel independen, tetapi juga dipengaruhi oleh nilai residual variabel yang diteliti. Sebab ε t juga merupakan residual dari persamaan harga kubis dan bawang merah yang dapat berimplikasi bahwa proyeksi linier kuadrat residual dari persamaan harga (ln P t ) terhadap m kuadrat residual peramalan sebelumnya adalah sebagai berikut : σ 2 t = ξ + α 1 ε 2 t-1 + α 2 ε 2 t α m ε 2 t-m (3) Proses white noise ε t yang memenuhi persamaan di atas dikenal sebagai model Autoregressive Conditional Heteroschedasticity dengan orde m atau ARCH (m). Proses ini dinotasikan: ε t ~ ARCH (m) Persamaan ini sering ditulis sebagai berikut : h t = ξ + α 1 ε 2 t-1 + α 2 ε 2 t α m ε 2 t-m 43

60 dimana h t = E (ε 2 t / ε 2 t-1, ε 2 t-2, ) yang sering disebut sebagai ragam (varians). Proses ε t ~ ARCH (m) dicirikan oleh ε 2 t = h t.v t ; dimana Vi ~ N (0,1). Secara umum diperlihatkan sebuah proses dimana ragam bersyaratnya tergantung pada jumlah beda kala terhingga dari ε 2 t-j : h t = ξ + π(l) ε 2 t... (4) dengan π(l) = π j L 2 j=1 kemudian π(l) di parameterisasi sebagai rasio dari 2 orde polinomial terhingga : α(l) (L) = = 1 δ (L) α 1 (L) 1 + α 2 (L) 2 + α 3 (L) α m (L) m 1 δ 1 (L) 1 δ 2 (L) 2 δ 3 (L) 3.. δ r (L) r dimana diasumsikan bahwa akar dari 1- δ (Z) = 0. Jika persamaan diatas dikalikan dengan 1 - δ (L), maka diperoleh persamaan sebagai berikut : [ 1- δ (L)]h t = [ 1- δ (L)] ξ + α(l) ε 2 t atau h t = k + δ 1 h t-1 + δ 2 h t δ r h t-r + α 1 ε 2 t-1 + α 2 ε 2 t α m ε 2 t-m untuk k = [ 1 - δ 1 - δ δ 1r ] ξ Persamaan diatas dikenal sebagai model General Autoregressive Conditional Heteroschedasticity dengan orde r dan orde m yang biasa dinotasikan sebagai ε t ~ GARCH (r,m) Perhitungan VaR (Value At Risk) Tahap terakhir yang perlu dilakukan adalah melakukan perhitungan VaR, untuk mengukur risiko pasar (market risk) dan besarnya tingkat kerugian yang mungkin terjadi dalam rentang waktu/periode tertentu yang diprediksikan dengan tingkat kepercayaan tertentu. Perhitungan VaR dilakukan dengan menggunakan skenario periode penjualan yakni selama 1 hari, 7 hari, 60 hari dan 90 hari. Dasar pemilihan waktu atau periode penjualan 1 hari, 7 hari, 60 hari dan 90 hari didasarkan atas : (a). Periode 1 hari diasumsikan ketika petani kubis atau petani 44

61 bawang merah harus menahan untuk tidak menjual hasil panennya selama 1 hari. (b). Periode 7 hari, jika diasumsikan kubis dan bawang merah belum terjual atau harus disimpan selama 7 hari. (c) Sementara itu periode penjualan 60 hari dan 90 hari digunakan berdasarkan asumsi jika selama satu periode masa tanam dari komoditas bawang merah dan kubis, komoditas tersebut disimpan (atau belum laku terjual) atau terjadi kemacetan pembayaran dari hasil penjualan komoditas bawang merah dan kubis selama satu periode tanam. Untuk menentukan nilai VaR, selang kepercayaan dan horizon waktu yang dipilih merupakan faktor penting. Nilai VaR akan bertambah seiring dengan penambahan nilai kedua faktor tersebut. Menurut Jorion (2002), horizon waktu yang lebih pendek lebih baik karena jumlah observasi akan lebih besar berpengaruh pada kebaikan suatu tes dalam mengukur risiko. Adapun rumus yang digunakan dalam perhitungan VaR adalah sebagai berikut (Jorion 2002) : VaR = (ζ t+1 x b ) x Zα x W Keterangan : VaR = Besarnya risiko b = Periode investasi Zα = Titik kritik dalam table Z dengan selang kepercayaan 95 persen W = Besarnya investasi ζ t+1 = Volatilitas yang akan datang dimana ζ t = h t Namun dalam penerapannya pada penelitian ini, maka variabel b pada rumus perhitungan VaR diatas disesuaikan dengan pengukuran besarnya risiko harga yang dihadapi petani sehingga variabel b merupakan periode penjualan yang dilakukan petani kubis dan bawang merah setelah panen, sedangkan variabel W merupakan besarnya investasi yang dikeluarkan petani yang dalam penelitian ini menggunakan biaya tunai yang dikeluarkan oleh petani kubis dan bawang merah dalam melakukan usahataninya. 4.4 Definisi Operasional Beberapa istilah yang digunakan dalam analisis risiko harga kubis dan bawang merah di Indonesia antara lain : 1. Risiko merupakan kemungkinan kejadian yang menimbulkan kerugian bagi pelaku bisnis yang mengalaminya (dalam penelitian ini adalah petani) yang 45

62 peluang terjadinya dapat diketahui oleh pembuat keputusan berdasarkan pengalaman. 2. Manajemen risiko adalah cara-cara yang digunakan untuk menangani berbagai permasalahan yang disebabkan oleh adanya risiko 3. Heteroskedastisitas adalah varian dari setiap unsur disturbance yang tergantung pada nilai yang dipilih dari variabel yang menjelaskan keragaman (volatilitas) yang tidak konstan di setiap titik waktu. 4. Homoskedastisitas adalah varian dari tiap unsur disturbance, tergantung (conditional) pada nilai yang dipilih dari variabel yang menjelaskan suatu angka konstan yang sama dengan ζ 2 atau dengan kata lain variannya sama. 5. Kurtosis adalah ukuran keruncingan distribusi data, derajat atau ukuran tinggi rendahnya puncak suatu distribusi data terhadap distribusi normal data. 6. Volatilitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan seberapa besar harga berfluktuasi dalam suatu periode waktu kenaikan atau penurunan secara sekuler dalam jangka panjang. 7. Trend (kecenderungan) yaitu pola data yang menunjukkan kecenderungan meningkat atau menurun. 8. Varian merupakan jumlah kuadrat semua deviasi nilai-nilai individual terhadap rata-rata kelompok. Varian juga merupakan variasi harga kubis dan bawang merah yang terjadi pada kurun waktu tertentu. 9. Error adalah perubahan-perubahan pergerakan harga kubis dan bawang merah pada kurun waktu tertentu. Error menunjukkan adanya risiko. 10. ACF (Autocorrelation Function) digunakan untuk menjelaskan asosiasi atau ketergantungan bersama nilai-nilai suatu deret berkala yang sama pada periode berlainan. ACF mirip dengan korelasi tetapi berhubungan dengan deret berkala untuk selang waktu (time lag) yang berbeda. 11. PACF (Partial Autocorelation Function) digunakan untuk menunjukkan besarnya hubungan antara suatu variabel saat ini dengan nilai sebelumnya dari variabel yang sama (nilai-nilai untuk berbagai keterlambatan waktu) dengan menganggap pengaruh dari semua keterlambatan waktu yang lainnya konstan. 46

63 12. ARCH-GARCH (Autoregressive Conditional Heteroscedasticity General Autoregressive Conditional Heteroscedasticity) adalah sebuah model atau metode yang digunakan untuk menjawab persoalan adanya volatilitas pada data dimana volatilitas tercermin dalam varian residual yang tidak memenuhi asumsi homokedastisitas. 47

64 V. GAMBARAN UMUM Dalam bab ini dikemukakan mengenai gambaran umum kubis dan bawang merah di Indonesia, yang meliputi perkembangan luas areal panen, produksi, perkembangan konsumsi, dan aspek pemasaran. 5.1 Gambaran Umum Kubis Perkembangan Produksi Kubis Sebelum dibudidayakan, kubis tumbuh liar di sepanjang Pantai Laut Tengah, Inggris, Denmark, dan pantai barat Perancis sebelah utara. Kubis telah dikenal manusia sejak tahun sebelum masehi. Orang Mesir dan Yunani Kuno sangat memuja dan memuliakan tanaman kubis. Tanaman ini mulai dibudidayakan di Eropa sekitar abad ke-9 Masehi dan kemudian mulai ditanam di Amerika ketika para imigran Eropa menetap di benua tersebut. Pada abad ke 16 dan 17, kubis mulai ditanam di Indonesia. Pada abad tersebut orang Eropa mulai berdagang dan menetap di Indonesia. Sekarang, penanaman kubis sebagai komoditas sayuran telah tersebar luas hampir di seluruh Indonesia kecuali DKI Jakarta, Riau, Kepulauan Riau dan Kepulauan Bangka Belitung, dan Kalimantan Selatan. Jenis kubis yang lazim ditanam di Indonesia, antara lain kubis (kol), kubis bunga, brokoli, kubis tunas, kubis rabi, dan kale. Pada umumnya kubis hanya baik jika ditanam di dataran tinggi dengan ketinggian antara m dpl. Adapun syarat penting untuk dipenuhi agar kubis tumbuh dengan baik yaitu tanahnya gembur, tidak becek, bersarang, mengandung bahan organik serta suhu udaranya rendah dan lembap. Syarat lainnya ph tanah antara 6 7 karena ada salah satu jenis kubis yaitu kubis bunga yang sangat peka terhadap ph rendah. Waktu tanam kubis yang baik adalah pada awal musim hujan atau awal musim kemarau. Perkembangan luas areal panen kubis di Indonesia selama 8 tahun terakhir (tahun ) terlihat berfluktuasi dengan kecenderungan yang semakin menurun. Selama periode tersebut luas panen kubis di Indonesia menurun ratarata 1,03 persen per tahun dimana pada tahun 2000 luas panen kubis adalah hektar yang kemudian pada tahun 2007 menjadi hektar (lihat Tabel 6). Penurunan luas areal yang terjadi cukup mengkhawatirkan karena hasil panen

65 banyak dirintangi oleh gangguan atau hambatan sehingga hasil panen pada umumnya di bawah prediksi saat tanam. Salah satu diantaranya berkurangnya hasil sayuran di Indonesia akibat adanya serangan hama yang dapat mengakibatkan gagal panen mencapai 50 sampai 100 persen 3. Tabel 6. Perkembangan Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Kubis di Indonesia, Tahun Tahun Luas Panen (ha) Produksi (ton) Produktivitas (ton/ha) Luas Panen Perkembangan (%) Produksi Produktivitas , ,36-11,52-9,80 1, ,47 1,74 2,28 0, ,90 7,11 9,38 2, ,06 5,44 6,26 0, ,38-15,09-9,76 6, ,96-0,06-1,95-1, ,28 5,16 1,66-3,1 Sumber : Direktorat Jendral Hortikultura (2008) Produksi kubis di Indonesia dari tahun ke tahun juga mengalami fluktuasi dengan trend yang cenderung menurun. Selama periode tahun pertumbuhan produksi kubis menurun rata-rata sebesar 0,28 persen per tahun, dimana pada tahun 2000 mencapai ton dan pada tahun 2007 menjadi sebesar ton. Penurunan produksi ini lebih dipengaruhi oleh terjadinya penurunan luas areal panen dibandingkan dengan pengaruh produktivitasnya (lihat pada Tabel 6). Daerah sentra produksi kubis di Indonesia masih terkonsentrasi di Pulau Jawa. Pada tahun 2007 luas areal panen kubis di Pulau Jawa adalah hektar atau sekitar 66,66 persen dari areal panen di Indonesia. Kontribusi Pulau Jawa dalam produksi kubis cukup besar yaitu ton atau sekitar 65,79 persen dari produksi nasional. Jumlah produksi ini sebanding dengan luas areal panen kubis di Pulau Jawa. Namun, produktivitas kubis di Pulau Jawa yakni sebesar 20,95 ton per hektar masih lebih kecil dibandingkan dengan produktivitas kubis di Pulau 3 Si Nugrohati da Kasumbogo Untung. op.cit. Hlm 7 49

66 Sumatera (khususnya Sumatera Barat) yang dapat mencapai 24,21 ton per ha. Hal ini dapat dilihat pada Lampiran Perkembangan Konsumsi Kubis Daun kubis segar rasanya renyah dan garing sehingga dapat dimakan sebagai lalap mentah dan matang, campuran salad, disayur, atau dibuat urap. Kubis segar mengandung banyak vitamin (A, beberapa B, C, dan E). Kandungan vitamin C cukup tinggi untuk mencegah skorbut (sariawan akut). Mineral yang banyak dikandung adalah kalium, kalsium, fosfor, natrium, dan besi. Kubis segar juga mengandung sejumlah senyawa yang merangsang pembentukan glutation, zat yang diperlukan untuk menonaktifkan zat beracun dalam tubuh manusia. Oleh karena itu, kubis dibutuhkan oleh konsumen di Indonesia untuk memenuhi kebutuhan vitamin dan mineral. Tabel 7 menunjukkan tingkat konsumsi kubis di Indonesia. Tabel 7. Perkembangan Konsumsi Kubis di Indonesia, Periode Tahun Tahun Penduduk (x1000 orang) Perkapita (kg/th) Konsumsi Total/th (ton) = 1 x , , , , , , , , , ,54 Sumber : Susenas, BPS dan Ditjen Hortikultura (2008) Perkembangan konsumsi kubis per kapita di Indonesia selama kurun waktu relatif tetap dengan konsumsi berkisar antara 1,82 kg/tahun 2,03 kg/tahun. Namun jika dilihat dari jumlah total konsumsi kubis di Indonesia terlihat bahwa jumlah konsumsi kubis mengalami fluktuasi setiap tahunnya dimana pada tahun 2003 hingga 2005 konsumsi terhadap komoditas kubis cenderung mengalami peningkatan yang cukup signifikan yaitu sebesar 10,86 persen. Meskipun pada tahun 2004 hingga 2005 konsumsi per kapita terhadap kubis relatif tetap. Sementara itu pada tahun 2006, konsumsi total terhadap 50

67 komoditas kubis mengalami penurunan yang cukup besar sebesar 9,16 persen dan baru mengalami peningkatan kembali pada tahun 2007 yakni sebesar 4,08 persen. Hal ini disebabkan dari meningkatnya jumlah penduduk Indonesia setiap tahunnya. Peningkatan jumlah penduduk ini merupakan pangsa pasar yang menjanjikan bagi pengembangan komoditas kubis Aspek Pemasaran Komoditas Kubis Berdasarkan penelitian Agustian et al. (2005) dalam laporan akhir Analisis Berbagai Bentuk Kelembagaan Pemasaran dan Dampaknya terhadap Kinerja Usaha Komoditas Sayuran dan Buah, dijelaskan mengenai tujuan dan pertimbangan pemasaran kubis dari petani hingga konsumen (Gambar 9). Pada jalur pemasaran komoditas kubis di lokasi penelitian (Kabupaten Bandung, Kabupaten Garut dan Kabupaten Karo), petani melakukan pemasaran kubis cukup bervariasi yaitu melalui pedagang pengumpul desa, pedagang pengumpul tingkat kecamatan, dan pedagang besar atau Bandar. Pedagang pengumpul desa di ketiga lokasi penelitian mempunyai kaki tangan yang dikenal dengan sebutan penyiar di Kabupaten Garut dan agen di Kabupaten Karo, yang bertugas memberikan informasi mengenai petani yang akan panen dan berapa jumlah produk yang dihasilkan. Berdasarkan Gambar 9 dapat dilihat bahwa alur pemasaran komoditas kubis dari petani ke konsumen akhir cukup panjang. Hal ini tentunya akan sangat terpengaruh oleh adanya perbedaan selisih harga yang ada untuk mendorong penjualan tersebut yang dilakukan oleh pedagang pengumpul desa/penyiar/agen. Pedagang pengumpul tingkat kecamatan atau kabupaten selanjutnya dapat menjual ke pedagang di pasar tradisional yaitu pasar induk (Pasar Induk Caringin, Gedebage, Kramat Jati, Cibitung, Tanah Tinggi, Bogor), sedangkan untuk pedagang besar jangkauan pemasarannya dapat langsung ke pasar induk, atau ke supplier dengan memperhatikan 3K yaitu kualitas, kuantitas, dan kontinuitas. Sementara itu, pola pemasaran kubis dari petani ke pedagang di Provinsi Sumatera Utara adalah sebagai berikut : a. Petani umumnya menjual langsung kepada pedagang di lahan untuk menaksir produksi dan dilakukan tawar menawar harga yang disebut dengan pola lelang. Penjualan berlangsung beberapa hari sebelum panen dilakukan. 51

68 b. Petani terikat untuk menjual langsung ke pedagang yang telah memberi pinjaman modal. Pola ini umum terjadi pada pedagang yang memasok kubis ke Batam, untuk seterusnya di ekspor ke Malaysia dan Singapura. c. Petani menjual ke pasar terdekat. Pada pola ini petani memanen dan mengangkut sendiri kubisnya ke pasar terdekat. Petani yang memilih pola ini biasanya petani yang produksinya sedikit, maksimal satu ton. Sistem penjualan yang dilakukan sebagian besar petani di ketiga lokasi penelitian adalah dengan cara tebasan dan sebagian lagi dengan cara ditimbang. Penjualan dengan sistem tebasan yang dilakukan petani dimaksudkan untuk menghindari pengeluaran biaya panen dan pasca panen serta biaya-biaya lainnya yang meliputi biaya pemasaran dan biaya kompensasi penyusutan. Sementara itu, penjualan dengan sistem satuan atau timbangan mengharuskan petani melakukan kegiatan panen dan pasca panen dan hasil yang dijual pun berupa kubis segar dimana penjualan didasarkan pada bobot timbangan kubis dan harga yang berlaku saat itu. Alasan petani melakukan penjualan ke padagang yang menjadi tujuan pemasarannya secara dominan adalah karena faktor harga. Harga yang lebih tinggi menjadi daya tarik petani untuk menjual produknya ke salah satu pedagang. Namun ada juga petani yang menjual hasil produksinya kepada pedagang karena memberikan pinjaman modal usahataninya. Selama ini komoditas kubis dipasarkan dalam bentuk utuh, segar dan dijual hanya dalam satu kualitas. Setelah dari petani, dilakukan pembersihan ( kopek ) oleh pedagang, kemudian dilakukan pemilahan kubis yang besar dan kecil. Hal ini dilakukan untuk mencegah pembusukan dan berpengaruh terhadap harga jual di tingkat pedagang. 52

69 53 Pedagang Besar/Bandar Pedagang Antar Pulau Pedagang Luar Jawa/Luar Negeri Supplier Supermarket PI. Caringin Petani Pedagang Pengumpul Kecamatan/Kabupaten PI. Bitung Konsumen PI. Tanah Tinggi Pedagang Eceran dari luar daerah Pedagang Pengumpul Desa PI. Kramatjati Gambar 9. Rantai Pemasaran Kubis di Lokasi Penelitian Kabupaten Garut, Kabupaten Bandung dan Kabupaten Karo, 2005 Sumber : Agustian et al. (2005) 54

70 5.2 Gambaran Umum Bawang Merah Perkembangan Produksi Bawang Merah Tanaman bawang merah diduga berasal dari daerah Asia Tengah, yaitu di daerah sekitar India, Pakistan, sampai Palestina. Tidak ada catatan resmi sejak kapan bawang merah mulai dikenal dan digunakan. Namun diduga sudah dikenal sejak lebih dari 5000 ribu tahun yang lalu. Bangsa Mesir sudah mengenalnya sejak SM, bangsa Yunani Kuno sejak 2100 SM, sedangkan di Israel telah ditemukan sejak 1500 SM. Hal ini dapat diketahui dari bukti-bukti peninggalan sejarah seperti patung, tugu, dan batu-batu pada jaman dinasti Mesir, Yunani Kuno, Israel, dan lain-lain. Negara-negara di Eropa Barat, Eropa Timur, dan Spanyol, baru mengenal bawang merah sekitar abad kedelapan yang kemudian menyebar hingga ke daratan Amerika, Asia Timur, dan Asia Tenggara. Penyebaran ini tampaknya berhubungan dengan perburuan rempah-rempah oleh Bangsa Eropa ke Wilayah Timur Jauh yang kemudian berlanjut dengan pendudukan kolonial di wilayah Indonesia. Tanaman bawang merah telah diusahakan hampir di seluruh propinsi di Indonesia, kecuali Riau, Kepulauan Bangka Belitung, Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan. Penyebaran yang cukup meluas terutama disebabkan oleh tanaman bawang merah dapat ditanam dan tumbuh antara m dpl dan pada hampir semua jenis tanah. Namun pertumbuhan optimalnya pada ketinggian antara m dpl untuk kebanyakan varietas yang dikembangkan di Indonesia. Perkembangan luas areal panen bawang merah di Indonesia dari tahun menunjukkan kecenderungan yang terus meningkat. Selama periode tersebut luas panen bawang merah meningkat rata-rata 1,71 persen per tahun. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 8, dimana pada tahun 2000 luas panen adalah sebesar hektar kemudian pada tahun 2007 menjadi hektar. Peningkatan luas areal panen dapat disebabkan oleh peningkatan intensitas tanaman per tahun, pembukaan luas tanam setiap musim tanamnya atau keduanya. Produksi bawang merah dipengaruhi oleh luas areal tanam dan tingkat produktivitasnya. Pada budidaya yang intensif, tingkat produksi lebih dominan 54

71 dipengaruhi oleh produktivitas dibandingkan luas areal. Sebaliknya, pada budidaya yang kurang intensif tingkat produksi lebih ditentukan oleh luas areal. Tabel 8. Perkembangan Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Bawang Merah di Indonesia, Tahun Tahun Luas Panen (ha) Produksi (ton) Produktivitas (ton/ha) Luas Panen Perkembangan (%) Produksi Produktivitas , ,48-2,25 11,43 13, ,60-2,78-10,98-8, ,67 10,22-0,49-9, ,54 0,77-0,71-1, ,76-5,74-3,27 2, ,91 6,67 8,51 1, ,57 5,05 0,99-3,82 Sumber : Ditjen Hortikultura (2008) Produksi bawang merah di Indonesia dari tahun ke tahun berfluktuasi dengan trend yang cenderung meningkat saat ini. Selama periode tahun 2000 hingga tahun 2007 pertumbuhan produksi bawang merah rata-rata per tahun sebesar 0,78 persen, dimana pada tahun 2000 mencapai ton dan pada tahun 2007 menjadi ton. Pertumbuhan produksi ini lebih dipengaruhi oleh luas panen bawang merah yang cenderung meningkat (Lihat Tabel 8). Daerah sentra produksi bawang merah di Indonesia masih terkonsentrasi di Pulau Jawa. Pada tahun 2007 luas areal panen bawang merah di Pulau Jawa adalah hektar atau sekitar 75,05 persen dari areal panen di Indonesia. Jawa Tengah sebagai salah satu daerah sentra produksi, pada tahun 2007 luas panennya adalah hektar atau 33,93 persen dari luas panen bawang merah di Indonesia. Kontribusi Jawa Tengah dalam produksi bawang merah cukup besar, pada tahun 2007 yakni sebesar ton atau sekitar 33,50 persen dari produksi nasional. Namun produktivitas bawang merah di Jawa Tengah cenderung lebih rendah dibandingkan produktivitas bawang merah di provinsi lainnya di Pulau Jawa. Hal ini dapat disebabkan karena kandungan zat hara di dalam tanah yang sudah berkurang (Lihat Lampiran 3). 55

72 5.2.2 Perkembangan Konsumsi Bawang Merah Bawang merah adalah salah satu komoditas sayuran yang berfungsi sebagai bumbu masakan. Selain digunakan sebagai bumbu masakan, bawang merah juga digunakan untuk obat tradisional. Penyakit yang dapat disembuhkan diantaranya sakit panas, maag, sakit perut, dan masuk angin. Oleh karena itu, bawang merah dikonsumsi oleh penduduk setiap hari hampir di semua suku bangsa. Tabel 9 menunjukkan tingkat konsumsi bawang merah di Indonesia. Tabel 9. Perkembangan Konsumsi Bawang Merah di Indonesia, Periode Tahun Penduduk Konsumsi Tahun (x1000 orang) Perkapita (kg/th) Total/th (ton) = 1 x , , , , , , , , , ,42 Sumber : Susenas, BPS dan Ditjen Hortikultura (2008) Perkembangan konsumsi per kapita bawang merah di Indonesia selama periode tahun cenderung berfluktuasi setiap tahunnya dengan trend yang cenderung meningkat. Pada tahun 2003 hingga 2006, konsumsi per kapita bawang merah berkisar antara 2,08 kg/tahun hingga 2,22 kg/tahun. Sementara itu, pada tahun 2007 terjadi peningkatan konsumsi per kapita yang signifikan yakni sebesar 44,71 persen dibandingkan tahun Terjadinya peningkatan konsumsi per kapita juga diikuti oleh terjadinya peningkatan pada total konsumsi bawang merah di Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan terjadinya peningkatan total konsumsi bawang merah yang cukup besar, dengan peningkatan rata-rata sebesar 10,91 persen per tahun. Peningkatan konsumsi bawang merah setiap tahun seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk di Indonesia merupakan peluang pasar yang sangat menjanjikan bagi pengembangan produksi bawang merah di Indonesia. 56

73 5.2.3 Aspek Pemasaran Bawang Merah Berdasarkan penelitian (Agustian et al. 2005) dalam laporan akhir Analisis Berbagai Bentuk Kelembagaan pemasaran dan Dampaknya terhadap Kinerja Usaha Komoditas Sayuran dan Buah digambarkan jalur pemasaran bawang merah dari petani hingga konsumen pada Gambar 10. Petani Pedagang Pengumpul Pedagang Besar (bisa punya kios di Psr. Klampak Pedagang Antar Pulau P. Eceran di Brebes Pedagang di PIKJ Pedagang Luar Jawa Konsumen akhir di Brebes Pasar Pengecer di Luar Konsumen Akhir Luar Konsumen di Jakarta dan Luar Jakarta Gambar 10. Rantai pemasaran bawang merah di Kabupaten Brebes Jawa Tengah, 2005 Sumber : Agustian et al. (2005) Gambar 10 menunjukkan bahwa rantai pemasaran bawang merah di Kabupaten Brebes untuk sampai ke tangan konsumen terlihat cukup panjang. Petani dalam menjual hasil produksinya, biasanya melalui pedagang pengumpul tingkat desa atau langsung kepada pedagang besar. Pedagang pengumpul desa diantaranya diperankan oleh kaum wanita yang seringkali membentuk kelompok (5-8 orang) untuk membeli hasil panen petani. Secara umum petani dalam menjual produk bawang merah tergantung pada harga di pasaran. Jika harga yang berlaku di pasaran relatif rendah maka umumnya petani menjual hasil dengan sistem: (1) tebasan, dengan tawar- 57

74 menawar yang terjadi sebelum penen dilakukan, biasanya ± lima hari, kemudian jika telah terdapat kesepakatan harga maka pembeli akan memberi uang muka sebagai tanda jadi (dua hari sebelum panen) dan tenaga kerja untuk panen ditanggung pembeli. (2) borongan, dengan cara menghitung jumlah baris atau larikan bawang merah yang ada di lahan dan telah dijemur sekitar 3-5 hari, pembeli dalam sistem ini menghitung susut sekitar 35 persen dari total hasil dan (3) pada waktu harga bawang merah relatif tinggi di pasaran, petani menjual produknya dengan sistem timbangan kuintalan, yang telah dijemur 7-10 hari dan menerima pembayaran sekitar 75 kg/ku atau dengan kata lain nilai susut untuk 100 kg bawang merah sebesar 25 persen. Ketiga cara tersebut dilakukan antara petani dengan pedagang tingkat desa, dan hal ini menurut petani masih lebih menguntungkan jika dibandingkan petani langsung menjual bawang merah kepada pedagang perantara di pasar induk bawang, karena banyak komponen yang harus dibayarkan. Secara umum petani memasarkan bawang merah dalam dua kategori, yaitu : (1) askip, dikeringkan 7-10 hari setelah panen dengan tingkat kekeringan sekitar 90 persen dan (2) Lokal, dikeringkan 4-5 hari. Bawang merah kategori askip, biasanya digunakan untuk bibit atau diekspor ke Singapura, sedangkan bawang merah lokal biasanya dijual petani ke pedagang pengumpul tingkat desa. 58

75 Harga (Rp/kg) VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1 Perkembangan Harga Kubis dan Bawang Merah Kubis dan bawang merah merupakan jenis komoditas sayuran unggulan pada sektor agribisnis yang dapat memberikan sumbangan yang besar dalam peningkatan kesejahteraan petani. Hal ini dapat dilihat dari jumlah produksi dan luas panen kedua komoditas ini yang relatif besar dibandingkan jenis komoditas sayuran lain yang ditanam di Indonesia. Selain itu, kubis dan bawang merah juga termasuk jenis komoditas sayuran yang dibutuhkan dan banyak dikonsumsi oleh masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari jumlah pasokan kubis dan bawang merah yang banyak diperjualbelikan di pasar. Namun, kedua komoditas ini memiliki harga yang berfluktuasi sehingga mengindikasikan adanya risiko. Penentuan risiko harga kubis dan bawang merah pada penelitian ini didasarkan pada nilai varians harga kubis dan bawang merah yang diperoleh dari hasil pendugaan persamaan harga kubis dan bawang merah dengan menggunakan model ARCH-GARCH dan perhitungan Value at Risk (VaR) untuk menganalisis besarnya risiko harga yang dihadapi oleh petani kubis dan bawang merah. Dalam analisis risiko ini digunakan data harga jual dan pasokan harian dari komoditas kubis dan bawang merah di Pasar Induk Kramat Jati pada periode Januari Februari Berdasarkan plot data deret waktu harga jual kubis dengan menggunakan minitab 14 diperoleh pola data harga kubis yang dapat dilihat pada Gambar Plot Harga Kubis Hari Gambar 11. Plot Harga Jual Kubis Periode Januari 2006 Februari 2009 Sumber : Pasar Induk Kramat Jati 2009 (diolah)

76 Gambar 11 menunjukkan bahwa harga jual kubis berfluktuasi setiap harinya, dimana harga jual kubis tertinggi mencapai Rp /kg sedangkan harga jual terendah adalah Rp. 700/kg. Harga jual terendah yakni Rp. 700/kg terjadi pada hari ke yang jatuh pada bulan Maret 2008 sedangkan harga tertinggi yaitu sebesar Rp /kg terjadi pada hari ke dan yang berada pada bulan Desember 2007 dan Januari Hal ini tidak terlepas dari kondisi permintaan dan penawaran kubis yang terjadi di pasar. Pada bulan Maret 2008 terjadi kelebihan pasokan kubis yang masuk secara bersamaan ke pasar sehingga mengakibatkan harga jatuh. Pasokan kubis yang masuk ke pasar pada bulan Maret 2008 sebesar ton, jumlah ini lebih besar dibandingkan dengan jumlah pasokan yang masuk ke pasar pada bulan lainnya (Lampiran 4). Kelebihan pasokan terjadi karena panen raya yang bersamaan di berbagai daerah sentra produksi kubis seperti Padang, Wonosobo, Jember, dan Pangalengan. Sementara itu, pada bulan Desember 2007 dan Januari 2008 terjadi peningkatan harga jual kubis mencapai Rp /kg, dimana salah satunya disebabkan karena kurangnya jumlah pasokan kubis yang masuk ke pasar yakni sebesar ton dan ton (Lampiran 4). Hal ini dikarenakan banyaknya daerah sentra produksi kubis yang belum panen sehingga menyebabkan kurangnya pasokan kubis yang masuk ke pasar. Menurut hasil wawancara dengan pedagang grosir (Bandar) dan pegawai kantor di PIKJ dapat diketahui bahwa fluktuasi harga kubis sangat dipengaruhi oleh permintaan konsumen. Permintaan konsumen ini datang bukan hanya dari konsumen akhir melainkan juga pedagang pengecer. Jika permintaan konsumen terhadap komoditas kubis meningkat melebihi pasokan yang ada, maka hal ini akan berpengaruh terhadap peningkatan harga kubis dan terjadi pula sebaliknya. Besarnya permintaan konsumen terhadap komoditas kubis dipengaruhi oleh harga kubis, daya beli konsumen, harga produk lain (baik produk subtitusi maupun komplementer), selera konsumen, dan jumlah konsumen. Selain permintaan, faktor lain yang juga berpengaruh terhadap fluktuasi harga kubis adalah pasokan kubis yang masuk ke pasar. Jika jumlah pasokan kubis yang masuk ke pasar melebihi jumlah permintaan, maka harga dapat menurun. Biasanya ini terjadi pada saat panen raya, dimana kelebihan pasokan 60

77 Harga (Rp/kg) kubis masuk ke pasar secara bersamaan. Hal ini menyebabkan jumlah pasokan melebihi jumlah yang diminta oleh konsumen sehingga mengakibatkan harga jatuh. Namun jika kelebihan pasokan tidak masuk ke pasar secara bersamaan maka hal ini tidak akan mengakibatkan harga kubis menurun secara tajam. Dan sebaliknya, apabila terjadi kekurangan pasokan yang diakibatkan oleh gagal panen karena hama dan penyakit atau bencana alam, maka akan menyebabkan harga kubis meningkat secara tiba-tiba. Seperti halnya kubis, harga jual bawang merah juga mengalami fluktuasi yang bersifat acak sehingga pola data harga bawang merah belum bisa dikatakan mengikuti trend atau pola tertentu. Hal ini dapat dilihat pada Gambar Plot Harga Bawang Merah Hari Gambar 12. Plot Harga Jual Bawang Merah Periode Januari 2006 Februari 2009 Sumber : Pasar Induk Kramat Jati 2009 (diolah) Pada Gambar 12 dapat dilihat bahwa harga jual bawang merah tertinggi terjadi pada tingkat harga Rp /kg sedangkan harga jual bawang merah terendah berada pada tingkat harga Rp 2.800/kg. Harga jual terendah yakni Rp /kg terjadi pada hari ke 279 yang berada pada bulan Oktober 2006 dimana pada bulan tersebut bertepatan dengan hari Raya Idul Fitri. Rendahnya harga jual bawang merah pada bulan Oktober 2006 diakibatkan oleh masuknya bawang impor saat petani bawang merah (terutama petani di daerah Brebes) sedang panen. Sementara itu, harga tertinggi yaitu sebesar Rp /kg terjadi pada hari ke

78 yang berada pada bulan Desember 2007 yang disebabkan oleh minimnya pasokan bawang merah yang masuk ke pasar. Hal ini disebabkan karena daerah penghasil bawang merah (terutama daerah Brebes) belum panen dan musim hujan yang terjadi sehingga mengakibatkan bawang merah lama dikeringkan serta transportasi yang mengalami gangguan 4. Namun, disisi lain permintaan konsumen akhir terhadap bawang merah pada bulan tersebut meningkat karena menjelang perayaan Idul Adha, Natal dan Tahun Baru. Menurut hasil wawancara dengan pedagang grosir (Bandar) dan pegawai kantor di PIKJ diketahui bahwa fluktuasi harga bawang merah dipengaruhi oleh produksi bawang merah yang cenderung berfluktuasi di berbagai daerah sentra produksi, sehingga ketika terjadi panen raya dimana produksi bawang merah melebihi jumlah permintaan dan masuk ke pasar secara bersamaan maka hal ini akan menyebabkan harga jatuh. Sebaliknya pada bulan-bulan tertentu seperti bulan Februari sampai April dimana produksi bawang merah lokal jumlahnya sedikit maka akan mengakibatkan harga meningkat. Oleh karena itu untuk memenuhi permintaan konsumen terhadap bawang merah, pedagang biasanya menjual bawang merah impor. Bawang merah impor berasal dari Thailand, Birma, Cina, Filiphina, Pakistan, dan sebagainya. Pada bulan tersebut, konsumen lebih banyak membeli bawang merah impor karena harga jualnya yang relatif lebih murah dibandingkan bawang merah lokal. Namun selain bulan tersebut, konsumen cenderung membeli bawang merah lokal karena harganya yang dapat bersaing dengan bawang merah impor dan juga disebabkan oleh rasa bawang merah lokal yang lebih enak dibandingkan bawang merah impor. Harga bawang merah menjelang hari besar keagamaan seperti Idul Fitri, Idul Adha dan Natal cenderung mengalami peningkatan di tingkat konsumen akhir. Hal ini dikarenakan faktor psikologis yang terjadi, dimana para pedagang terutama pedagang pengecer umumnya menjual bawang merah dengan harga yang Pasokan dan Harga Cabe serta Bawang Merah : Menjelang Hari Raya Keagamaan Tahun [4 Mei 2009]. 62

79 lebih tinggi dibandingkan hari biasa. Selain itu, faktor lainnya adalah karena faktor transportasi dan distribusi yang umumnya terhambat akibat adanya transportasi pulang kampung atau mudik, biaya-biaya diperjalanan, dan kelangkaan sarana transportasi sehingga menyebabkan terjadinya kekurangan pasokan bawang merah yang masuk ke pasar 5. Namun, berdasarkan hasil wawancara dengan pedagang grosir di Pasar Induk Kramat Jati (PIKJ), harga bawang merah relatif stabil meskipun pasokannya cenderung menurun menjelang hari raya tersebut. Hal ini dapat dilihat pada Lampiran 5 dimana pada bulan Oktober tahun 2006, Oktober tahun 2007 dan tahun 2008 yang bertepatan dengan Hari Raya Idul Fitri, pasokan bawang merah yang masuk ke Pasar Induk Kramat Jati cenderung lebih rendah dibandingkan bulan lainnya. Hal ini dikarenakan pada saat menjelang hari-hari besar tersebut, pedagang grosir banyak yang sudah tidak berjualan dan umumnya pedagang pengumpul langsung memasarkan bawang merah kepada pedagang pengecer di pasar-pasar kecil. Berdasarkan pola data harga kubis dan bawang merah, akan diramalkan model yang tepat untuk menghitung besarnya risiko harga kedua komoditas tersebut dengan menggunakan analisis ARCH-GARCH. Analisis ini menggunakan tiga variabel yaitu harga (P t ) sebagai variabel dependen (variabel terikat) serta harga sehari sebelumnya (P t-1 ) dan jumlah pasokan (Q) sebagai variabel independen. Dari ketiga variabel tersebut kemudian dibuat suatu model persamaan harga kubis dan bawang merah (lihat Lampiran 6 dan 7). Ringkasan statistik dari model persamaan harga kubis dan bawang merah dapat dilihat pada Lampiran 8,9 dan ringkasannya disajikan pada Tabel 10. Tabel 10. Ringkasan Statistik Model Persamaan Harga Kubis dan Bawang Merah Ringkasan statistik Kubis Bawang Merah Mean -1,10E-16 2,52E-15 Skewness - 0, , Kurtosis 4, , Ibid, Hlm 65 63

80 Rata-rata harga bawang merah selama tiga tahun terakhir menunjukkan tingkat harga yang lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata harga kubis. Hal ini disebabkan oleh harga jual bawang merah yang lebih tinggi dibandingkan dengan harga jual kubis. Koefisien kemenjuluran (Skewness) yang merupakan ukuran kemiringan adalah lebih besar dari 0 menunjukkan model persamaan harga bawang merah memiliki distribusi yang miring ke kanan artinya data cenderung menumpuk pada tingkat fluktuasi yang rendah. Sedangkan untuk komoditas kubis memiliki koefisien kemenjuluran (Skewness) yang kurang dari 0 menunjukkan bahwa data dari model persamaan harga komoditas kubis menumpuk pada tingkat fluktuasi yang tinggi. Nilai keruncingan (kurtosis) yang lebih dari tiga bermakna bahwa distribusi kedua model persamaan harga (baik kubis maupun bawang merah) memiliki ekor yang lebih padat dibandingkan dengan sebaran normal. Nilai keruncingan (kurtosis) yang lebih besar dari tiga merupakan gejala awal adanya heteroskedastisitas. 6.2 Peramalan Tingkat Risiko Harga Kubis dan Bawang Merah Model ARCH/GARCH untuk Risiko Harga Komoditas Kubis dan Bawang Merah Sebelum menganalisis dengan berbagai metode ARCH/GARCH, terlebih dahulu dilakukan analisis regresi dengan teknik OLS (lihat Lampiran 6 dan 7). Hal ini dilakukan untuk mengetahui apakah residual sudah terbebas dari autokorelasi. Selain autokorelasi, asumsi lain yang sering digunakan adalah variabel pengganggu atau residual yang bersifat konstan dari waktu ke waktu. Apabila residual tidak bersifat konstan, maka model persamaan rataan masih mengandung masalah heteroskedastisitas. Untuk mengetahui adanya autokorelasi dalam model persamaan harga kubis dan bawang merah maka dapat dilakukan dengan cara menguji nilai autokorelasi kuadrat residual. Fungsi autokorelasi kuadrat residual digunakan untuk mendeteksi keberadaan efek ARCH. Jika pada kuadrat residual terdapat autokorelasi, maka hal ini mengindikasikan bahwa terdapat unsur ARCH error. Pengujian autokorelasi pada model persamaan harga kubis dan bawang merah 64

81 terdapat pada Lampiran 10 dan 11 yang menunjukkan bahwa nilai probability pada 15 lag pertama telah signifikan. Hal ini mengindikasikan adanya efek ARCH/ARCH error pada model persamaan harga kubis dan bawang merah. Selain itu, untuk mengetahui apakah residual dalam model persamaan harga kubis dan bawang merah mengandung heteroskedastisitas, maka untuk membuktikannya dilakukan Uji White Heteroskedasticity. Uji White Heteroskedasticity didasarkan pada hipotesis nol yaitu tidak terdapatnya ARCH error. Hasil uji White Heteroskedasticity dengan menggunakan eviews 4.1 dapat dilihat pada Lampiran 12, 13 dan ringkasannya terdapat pada Tabel 11. Tabel 11. Ringkasan Hasil Uji White Heteroscedasticity Komoditas Obs*R- Squared Probability F-statistic Probability Kubis 14, , , , Bawang Merah 16, , , , Pada Tabel 11 dapat dilihat bahwa probabilitas statistik Obs*R-Squared untuk model persamaan harga kubis dan bawang merah tergolong tinggi dengan probability yang lebih kecil dibandingkan α yang biasanya digunakan yaitu lima persen. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa residual model persamaan harga kubis dan bawang merah mengandung heteroskedastisitas. Dari model persamaan harga kubis dan bawang merah dengan teknik OLS (Ordinary Least Square) ternyata masih terdapat efek ARCH dan mengandung masalah heteroskedastisitas sehingga untuk mengatasi hal tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan analisis model ARCH/GARCH. Untuk mendapatkan model ARCH-GARCH terbaik, langkah pertama yang harus dilakukan adalah mensimulasikan beberapa model ragam dengan spesifikasi model rataan yang telah didapatkan. Kemudian dilanjutkan dengan pendugaan parameter model menggunakan metode kemungkinan maksimum atau quasi maximum likelihood. Simulasi model ini mengkombinasikan nilai r = 0,1,2,3 dengan nilai m = 1,2,3 sehingga terbentuk 12 model ragam. Pada Lampiran 14 dan 15, pemilihan model ragam yang terbaik dilakukan dengan melihat salah satu dari alternatif model yang mempunyai nilai AIC dan SC 65

82 terendah; memiliki koefisien yang signifikan dan jumlah nilai koefisiennya tidak lebih dari satu. Model dugaan sementara dari persamaan harga kubis dan bawang merah terdapat pada Tabel 12. Sementara itu, hasil pengolahan data dari model persamaan harga kubis dan bawang merah terdapat pada Lampiran 14 dan 15. Tabel 12. Model ARCH-GARCH Terbaik untuk Model Persamaan Harga Kubis dan Bawang Merah Koefisien Kubis Bawang Merah GARCH (1,1) GARCH (1,1) Persamaan Rataan Koefisien Probability Koefisien Probability C 0, ,0016 0, ,0015 Pt-1 0, ,0000 0, ,0000 Q -0, ,1815-0, ,7477 Persamaan Varian K 0, ,0004 0, ,0000 α1 0, ,0001 0, ,0000 α2 - - α3 - - β1 0, ,0000 0, ,0000 β2 - - β3 - - AIC -2, , SC -2, , Model dugaan sementara pada Tabel 12 menunjukkan bahwa pada persamaan rataan, koefisien konstanta (C) dan koefisien harga sehari sebelumnya (P t-1 ) berhubungan positif dan signifikan pada taraf nyata lima persen. Hal ini menunjukkan bahwa harga kubis dan bawang merah pada periode sebelumnya mempengaruhi harga kubis dan bawang merah pada periode sekarang. Sedangkan pasokan (Q) bertanda negatif yang berarti bahwa ketika pasokan berkurang maka harga akan meningkat dan terjadi sebaliknya. Pada persamaan rataan tersebut, dapat dilihat bahwa nilai koefisien pasokan kubis memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan nilai koefisien bawang merah. Hal ini berarti bahwa harga kubis 66

83 lebih tergantung pada jumlah pasokan dibandingkan harga bawang merah. Kecilnya pengaruh pasokan bawang merah di PIKJ terhadap harga bawang merah diduga terjadi karena terdapat pasokan bawang merah impor yang masuk ke PIKJ. Tabel 12 juga memberikan informasi bahwa tingkat risiko harga kubis dan bawang merah dipengaruhi oleh volatilitas dan varian satu hari sebelumnya. Jika harga kubis dan bawang merah pada hari ini relatif tinggi, maka tingkat risiko untuk hari esok akan cenderung besar. Untuk mengetahui kecukupan model dilakukan pemeriksaan terhadap galat terbakukan dengan mengamati nilai statistik uji Jarque-Bera untuk memeriksa asumsi kenormalan. Hasil pengolahan model dugaan sementara persamaan harga kubis dan bawang merah yang membuktikan kecukupan model terdapat pada Lampiran 16 dan 17 dan ringkasannya terdapat pada Tabel 13. Tabel 13. Uji Kenormalan Galat Terbakukan Komoditas Nilai Jarque-Bera Probability Kubis 101,6910 0, Bawang Merah 137,7741 0, Berdasarkan nilai uji Jarque-Bera pada model dugaan sementara risiko harga kubis dan bawang merah didapatkan nilai probability 0, yang berarti bahwa menolak hipotesis nol galat terbakukan atau tidak menyebar normal. Menurut Brooks (2002) walaupun tidak menyebar normal, estimasi parameter akan tetap konsisten apabila persamaan rataan dan persamaan varians dispesifikasi dengan benar. Hal ini dikarenakan dalam pengolahan data telah dimasukkan metode Heteroscedasticity Consistent Covariance Boolerslev-Worldridge agar asumsi galat menyebar normal tetap terjaga, sehingga galat baku dugaan parameter tetap konsisten. Langkah selanjutnya adalah memeriksa koefisien ACF galat terbakukan, yang diharapkan bahwa galat terbakukan tersebut saling bebas dan sudah tidak terdapat lagi heteroskedastisitas. Hasil uji Ljung-Box (Lampiran 18 dan 19) terhadap model risiko harga kubis dan bawang merah ternyata ACF residual kuadrat pada 15 lag pertama sudah tidak signifikan artinya sudah tidak terdapat efek ARCH. Dengan demikian kinerja model ARCH-GARCH untuk model risiko 67

84 harga kubis dan bawang merah dapat dikatakan baik. Selain itu, hasil uji ARCH (Lampiran 20 dan 21) juga menunjukkan bahwa nilai LM dari model risiko harga kubis dan bawang merah adalah lebih kecil dari nilai kritik χ 2 2 (0,05) sebesar 5,99 dan nilai p adalah lebih besar dari 0,05 atau tolak H 0, yang berarti sudah tidak terdapat efek ARCH Tingkat Risiko Harga Kubis dan Bawang Merah Hasil akhir dari analisis ARCH-GARCH diperoleh peramalan model persamaan risiko harga untuk kubis yang akan digunakan untuk menghitung besarnya risiko harga kubis. Hasil pendugaan risiko harga kubis dengan pendekatan GARCH (1,1) dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14. Hasil Pendugaan Persamaan Varian Harga Kubis periode Januari 2006 hingga Februari 2009 Variabel Parameter Std. Error z-statistik Peluang Konstanta 0, , , ,0004 Volatilitas periode sebelumnya (ε 2 t-1) Varian periode sebelumnya (h t-1 ) 0, , ,0001 0, , ,0000 Hasil pendugaan persamaan varian harga kubis menunjukkan bahwa bahwa parameter volatilitas dan varian harga kubis periode sebelumnya bertanda positif dan signifikan pada taraf nyata lima persen. Hal ini menunjukkan bahwa varian dan volatilitas harga kubis periode sebelumnya merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi risiko harga jual kubis periode berikutnya. Artinya peningkatan risiko harga jual kubis periode sebelumnya, maka akan meningkatkan risiko harga jual kubis pada periode berikutnya. Berdasarkan hasil pendugaan persamaan varian harga kubis, kemudian dapat digambarkan perubahan volatilitas, dimana terlihat volatilitas kubis tertinggi sebesar 0,022 pada periode antara dan 0,021 pada periode antara Artinya risiko harga kubis tertinggi adalah pada periode ke dan periode ke Berdasarkan data harga kubis Januari 2006 sampai Februari 2009 diketahui bahwa periode tersebut berada pada bulan Februari 2008 dan periode ke berada pada bulan Maret Berdasarkan hasil 68

85 Varian wawancara diketahui bahwa risiko harga kubis yang tinggi pada bulan tersebut terjadi karena kelebihan pasokan yang masuk ke pasar akibat panen raya yang terjadi secara bersamaan di daerah sentra produksi kubis yakni di daerah Padang dan Jawa. Sementara itu, permintaan terhadap kubis relatif stabil atau mengalami peningkatan namun tidak melebihi jumlah pasokannya, maka hal ini akan berdampak pada menurunnya harga jual komoditas kubis. Apalagi ditambah dengan daya tahan kubis yang relatif singkat sehingga petani umumnya tidak dapat menahan kubis hingga harga jualnya kembali normal. Plot volatilitas harga kubis dapat dilihat pada Gambar 13. Plot Varian Harga Kubis Hari Gambar 13. Varian Harga Kubis Periode Januari 2006 Februari 2009 Sumber : Pasar Induk Kramat Jati 2009 (diolah) Sementara itu, hasil pendugaan persamaan varian harga bawang merah dengan pendekatan GARCH (1,1) dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15. Hasil Pendugaan Persamaan Harga Jual Bawang Merah periode Januari Februari 2009 Variabel Parameter Std. Error z-statistik Peluang Konstanta 0, ,54E-05 4, ,0000 Volatilitas periode sebelumnya (ε 2 t-1) 0, , ,0000 Varian periode sebelumnya (h t-1 ) 0, , ,0000 Hasil pendugaan persamaan varian harga bawang merah menunjukkan bahwa parameter volatilitas dan varian harga bawang merah periode sebelumnya 69

86 bertanda positif dan signifikan pada taraf nyata lima persen. Hal ini menunjukkan bahwa varian dan volatilitas harga bawang merah periode sebelumnya merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi risiko harga jual bawang merah periode berikutnya. Artinya peningkatan risiko harga jual bawang merah periode sebelumnya, maka akan meningkatkan risiko harga jual bawang merah pada periode berikutnya. Berdasarkan pendugaan persamaan varian harga bawang merah dapat digambarkan perubahan volatilitas, dimana terlihat bahwa volatilitas bawang merah tertinggi sebesar 0,019 pada periode antara Artinya risiko harga bawang merah tertinggi adalah pada periode ke Berdasarkan data harga bawang merah periode Januari 2006 sampai Februari 2009 diketahui bahwa periode berada pada bulan Februari 2007 (Gambar 14). Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa tingginya risiko harga bawang merah pada bulan tersebut disebabkan karena jumlah produksi bawang merah di dalam negeri (lokal) relatif sedikit sehingga tidak cukup untuk memenuhi permintaan konsumen. Pasokan bawang merah lokal yang rendah disebabkan karena pada bulan tersebut, umumnya kebanyakan petani bawang merah menggunakan lahannya untuk menanam padi. Oleh karena itu, untuk memenuhi kebutuhan konsumen maka dilakukan impor. Masuknya bawang merah impor yang memiliki harga relatif lebih rendah daripada bawang merah lokal, menyebabkan konsumen lebih memilih untuk membeli bawang merah impor. Hal ini akan berdampak pada permintaan bawang merah dimana konsumen cenderung membeli bawang merah impor dan petani lokal yang seharusnya dapat menerima harga tinggi karena kurangnya pasokan bawang merah, justru harus bersaing dengan harga bawang merah impor yang lebih rendah dibandingkan dengan bawang merah lokal. Plot varian harga bawang merah dapat dilihat pada Gambar

87 Varian Plot Varian Harga Bawang Merah Hari Gambar 14. Varian Harga Bawang Merah Periode Januari 2006 Februari 2009 Sumber : Pasar Induk Kramat Jati 2009 (diolah) Setelah dilakukan pendugaan varian pada harga jual kubis dan bawang merah maka selanjutnya dilakukan perhitungan besarnya risiko harga yang dihadapi petani dengan adanya fluktuasi harga kubis dan bawang merah melalui pendugaan varian sebelumnya dengan melakukan perhitungan VaR. Perhitungan VaR dilakukan dengan menggunakan skenario periode penjualan yakni selama 1 hari, 7 hari, 60 hari dan 90 hari. Berikut ini adalah ilustrasi penggunaan VaR dengan selang kepercayaan 95 persen. Misalkan seorang petani kubis mengeluarkan biaya tunai untuk usahataninya sebesar Rp per hektar luas lahannya sedangkan petani bawang merah mengeluarkan biaya tunai untuk usahataninya sebesar Rp per hektar luas lahannya. Biaya tunai yang digunakan dalam penelitian ini didasarkan pada hasil penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Rifqie (2008) dan Damanah (2008) yang dapat dilihat pada Lampiran 22 dan 23. Namun, jumlah pengeluaran petani yang disebutkan diatas bukanlah jumlah mutlak dari biaya tunai yang dikeluarkan oleh setiap petani. Besar risiko harga yang akan ditanggung petani kubis dan bawang merah dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16. Besar Risiko Harga Kubis dan Bawang Merah Periode Januari 2006 Februari 2009 Besarnya Risiko Komoditas 1 Hari 7 Hari 60 Hari 90 Hari * % * % * % * % Kubis 0,91 13,86 2,42 36,67 7,08 107,37 8,67 131,5 Bawang Merah 1,74 9,80 4,61 25,94 13,49 75,95 16,52 93,01 Keterangan : * dalam jutaan rupiah 71

88 Pada Tabel 16 terlihat bahwa nilai risiko (Value at Risk) semakin besar seiring dengan lamanya waktu penjualan. Tingkat risiko harga tertinggi dimiliki oleh komoditas kubis yakni sebesar 13,86 persen dari total investasi (biaya tunai) yang dikeluarkan petani setelah menjual hasil panennya dengan jangka waktu penjualan satu hari. Sementara itu, risiko terendah dimiliki oleh komoditas bawang merah yaitu sebesar 9,80 persen dalam jangka waktu periode penjualan satu hari. Berdasarkan perhitungan VaR diperoleh hasil bahwa risiko harga kubis lebih besar dibandingkan dengan risiko harga bawang merah. Hal ini disebabkan karena karakteristik dari komoditas kubis yang merupakan jenis sayuran daun yang dapat lebih cepat busuk dan mengalami penyusutan sehingga kubis tidak dapat disimpan lebih lama untuk menunggu harga jual yang lebih tinggi. Selain itu, permintaan konsumen terhadap kubis relatif stabil karena kubis bukanlah merupakan jenis sayuran yang sering digunakan masyarakat setiap harinya seperti halnya cabe dan bawang merah Disamping itu, komoditas kubis juga umumnya masih dikonsumsi dalam keadaan segar dan masih belum banyak digunakan sebagai bahan baku oleh perusahaan atau industri pengolahan. Hal ini mengakibatkan harga kubis dapat turun secara tajam jika terjadi kelebihan pasokan, karena kelebihan pasokan tersebut tidak dapat langsung terserap oleh pasar. 6.3 Alternatif Solusi yang Dilakukan Petani Untuk Mengurangi Risiko Harga Kubis dan Bawang Merah Kubis dan bawang merah merupakan jenis komoditas sayuran unggulan di Indonesia yang mengalami fluktuasi harga yang relatif tinggi. Fluktuasi harga yang tinggi merupakan salah satu indikator dari tingginya risiko harga yang harus ditanggung oleh petani. Risiko harga yang tinggi jelas tidak menguntungkan bagi petani karena hal itu menyebabkan ketidakpastian penerimaan yang diperoleh petani dari kegiatan usahataninya. Meskipun demikian, petani tetap berkeinginan menanam kembali komoditas tersebut pada musim tanam berikutnya dengan harapan harga jual yang lebih baik. Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa petani kubis dan bawang merah, diketahui bahwa alasan petani tetap menanam komoditas kubis dan 72

89 bawang merah meskipun harganya cenderung berfluktuasi, karena komoditas tersebut merupakan mata pencaharian utama dan sudah menjadi kebiasaan yang secara turun temurun dilakukan oleh petani. Selain itu bagi petani kubis, usahatani kubis relatif lebih mudah dilakukan dan membutuhkan modal yang relatif kecil dibandingkan dengan menanam komoditas sayuran lainnya. Sementara itu bagi petani bawang merah, menanam bawang merah dapat lebih cepat menghasilkan penerimaan dan keuntungan. Hal ini disebabkan masa tanam bawang merah yang relatif pendek hanya memerlukan waktu dua bulan. Harga produk merupakan salah satu faktor yang menjadi pertimbangan petani dalam memutuskan untuk menanam suatu komoditas. Pada umumnya, harga pada musim sebelumnya menjadi salah satu indikator bagi petani dalam mengambil keputusan untuk menanam suatu komoditas tertentu. Jika harga panen periode sebelumnya relatif tinggi atau paling tidak memberikan tingkat keuntungan yang layak maka petani akan meningkatkan skala usahanya dengan melakukan berbagai cara seperti menyewa lahan, meningkatkan luas areal tanam atau menambah populasi tanaman, dan meningkatkan frekuensi tanam. Namun tidak semua petani dapat melakukan hal tersebut karena berbagai keterbatasan seperti keterbatasan modal dan keterbatasan tenaga kerja keluarga. Sebaliknya dimana harga jual rendah, biasanya petani kubis dan bawang merah akan tetap menanam komoditas tersebut dengan cara mengurangi luas areal tanam dan mengurangi populasi tanaman. Apabila dilihat dari perkembangan harga kubis dan bawang merah di pasar, pada umumnya petani menyatakan bahwa perubahan harga kubis dan bawang merah relatif labil dengan terjadinya fluktuasi setiap hari. Kenaikan harga yang terjadi relatif lambat sementara itu dalam hal penurunan harga relatif cepat. Perubahan harga ini sangat tergantung pada kondisi pasar yang diindikasikan oleh jumlah permintaan dan penawaran yang tidak seimbang dari kedua komoditas tersebut. Dalam jangka pendek, perubahan harga yang terjadi pada komoditas kubis dan bawang merah lebih dipengaruhi oleh terjadinya fluktuasi produksi (pasokan) antar bulan. Fluktuasi produksi yang terjadi sangat terkait dengan perilaku petani dalam mengatur volume dan waktu produksinya. 73

90 Petani kubis dan bawang merah seringkali menghadapi fluktuasi harga yang relatif tinggi akibat ketidakmampuan petani dalam mengatur volume dan waktu produksi kubis dan bawang merah. Hal ini mengakibatkan petani kubis dan bawang merah menerima harga yang rendah pada saat panen akibat terjadinya kelebihan pasokan yang masuk ke pasar, karena masa panen yang bersamaan antar daerah sentra produksi. Sementara itu, harga jual kubis dan bawang merah yang tinggi justru terjadi ketika pasokan kubis dan bawang merah berkurang yang diakibatkan karena petani belum panen, gagal panen akibat serangan hama, cuaca yang tidak mendukung dan transportasi yang terhambat. Pengaturan volume dan waktu produksi yang dilakukan oleh petani kubis dan bawang merah sangat terkait dengan pola tanam. Pola tanam yang dominan diusahakan oleh petani kubis adalah kentang-kubis-kentang atau kubis-kentangkubis. Selain komoditas kentang, petani juga memvariasikan tanaman kubis dengan tanaman lainnya seperti tomat, cabe, bawang merah, sawi, wortel, dan sebagainya tergantung pada selera petani. Pengaturan waktu tanam untuk komoditas kubis juga bervariasi, tergantung pada selera dan kalkulasi petani. Pada umumnya petani menanam kubis antara satu sampai dua kali dalam setahun. Pada komoditas bawang merah, pola tanam yang dominan diusahakan oleh petani adalah padi - bawang merah - bawang merah atau padi-bawang merah dan tumpangsari dengan tanaman lainnya seperti cabe, kedelai, kacang tanah, kacang merah dan jagung. Biasanya petani menanam dan memanen bawang merah dalam setahun antara satu sampai tiga kali. Pengaturan waktu tanam untuk bawang merah bervariasi antar satu petani dengan petani lainnya. Namun, pola tanam yang dilakukan oleh petani kubis maupun petani bawang merah belum cukup efektif untuk mengatasi fluktuasi harga kubis dan bawang merah yang terjadi. Hal ini diindikasikan dari masih seringnya petani kubis dan bawang merah mendapatkan harga jual produk yang rendah akibat pasokan yang berlebih saat panen raya yang terjadi hampir bersamaan di berbagai daerah sentra produksi. Sementara itu, sebagian besar petani pada umumnya belum melakukan kemitraan dengan pihak manapun (baik pedagang maupun perusahaan pengolahan) untuk menampung kelebihan jumlah produksi yang dihasilkannya. Kendatipun demikian, ada beberapa petani bawang merah yang 74

91 sudah melakukan kemitraan dengan perusahaan yang memproduksi bawang goreng, seperti petani bawang merah di Kabupaten Kuningan dengan PO Mekar Wangi (Sumiati 2009). Sementara itu bagi petani kubis, kemitraan dengan perusahaan pengolahan belum dilakukan karena kubis belum banyak digunakan sebagai bahan baku oleh perusahaan atau industri pengolahan dan umumnya konsumen masih mengkonsumsi kubis dalam keadaan segar. Hal ini mengakibatkan harga kubis dapat turun secara tajam jika terjadi kelebihan pasokan, karena kelebihan pasokan tersebut tidak dapat langsung terserap oleh pasar. Perbedaan karakteristik antara komoditas kubis dan bawang merah juga mempengaruhi besarnya fluktuasi harga yang harus ditanggung petani. Pada komoditas kubis, karakteristik kubis yang mudah busuk dan mengalami penyusutan menyebabkan kubis harus segera dijual setelah panen sehingga saat panen raya umumnya petani kubis tidak dapat menahan kubis tersebut hingga harga jualnya tinggi. Disamping itu, konsumen umumnya juga menginginkan kubis dalam keadaan segar sedangkan sarana penyimpanan yang mampu mempertahankan kesegaran komoditas kubis secara efisien sangat terbatas sehingga kegiatan penyimpanan setelah panen dengan tujuan mengatur pasokan yang sesuai dengan kebutuhan konsumen tidak mudah untuk dilakukan. Sementara itu pada komoditas bawang merah, seharusnya saat panen raya petani dapat menahan atau menyimpan bawangnya hingga harga jualnya kembali meningkat. Namun pada kenyataannya, umumnya petani bawang merah langsung menjual bawang merah setelah panen atau dijual sebelum panen dengan cara ditebas. Hal ini dilakukan petani (terutama bagi petani yang memiliki lahan yang sempit) karena tingginya biaya tenaga kerja pada saat panen dan pasca panen, desakan untuk membayar biaya input produksi yang dipinjam sebelum masa tanam, desakan kebutuhan sehari-hari, dan modal untuk melakukan usahatani berikutnya. Lebih lanjut mengenai komoditas bawang merah, dimana harga bawang merah yang berfluktuasi juga dipengaruhi oleh masuknya pasokan bawang merah impor dari Vietnam, India, Filipina, Thailand, dan sebagainya yang terkadang masuk ke daerah sentra produksi bawang merah ketika petani panen raya. Hal ini 75

92 menyebabkan rendahnya harga jual bawang merah yang diterima petani saat panen raya. Apalagi bawang merah impor yang masuk umumnya memiliki harga yang lebih rendah daripada bawang merah lokal. Keadaan ini dapat menyebabkan petani rugi hingga tidak dapat menutupi biaya produksinya akibat harga jual bawang merah lokal yang tidak dapat bersaing dengan harga bawang merah impor. Ditambah lagi jika bawang merah impor yang masuk dalam keadaan masih ada daunnya. Hal ini akan menyebabkan bawang merah impor akan dapat tahan lebih lama dan jika tidak laku terjual sebagai bawang konsumsi, maka dapat dijual untuk bibit dengan harga yang lebih mahal dibandingkan dengan bawang merah konsumsi. Oleh karena itu, pemerintah perlu melakukan pengawasan yang lebih ketat terhadap masuknya bawang merah impor ke daerah sentra produksi terutama pada saat petani bawang merah panen raya. Saat ini sudah ada Peraturan Menteri Pertanian No.18/Permentan /OT.140 /2/2008 tentang Persyaratan dan Tindakan Karantina Tumbuhan untuk Pemasukan hasil Tumbuhan Hidup Berupa Sayuran Umbi Lapis Segar ke dalam Wilayah Negara Republik Indonesia yang telah disahkan pada tanggal 26 Februari Namun ternyata pelaksanaannya belum efektif, karena masih di temui masuknya bawang merah kosumsi impor yang belum di protol (bawang merah tanpa daun) secara ilegal 6. Selain harga produk, ketersediaan modal juga merupakan salah satu faktor yang menjadi pertimbangan petani dalam memutuskan untuk menanam suatu komoditas. Menurut hasil wawancara dengan beberapa petani kubis yang menyatakan bahwa modal usahatani kubis relatif kecil dibandingkan dengan menanam komoditas sayuran lainnya seperti kentang, tomat, bawang merah dan sebagainya. Berbeda halnya dengan petani kubis, petani bawang merah membutuhkan modal yang relatif besar untuk melaksanakan usahataninya karena terkait dengan biaya pembelian bibit bawang merah. Harga bibit bawang merah per kilogram selalu lebih mahal dari harga produk bawang merah per kilogram. Adanya kendala anggaran menyebabkan petani bawang merah umumnya menggunakan bibit bawang merah dari hasil panen sebelumnya. Namun tidak semua petani melakukan hal tersebut dikarenakan ketika harga jual bawang merah Temu Koordinasi Bawang Merah di Brebes. [4 Mei 2009]. 76

93 tinggi petani cenderung menjual seluruh hasil panennya. Alasan lain yang mendasari petani untuk menjual seluruh hasil panennya adalah untuk membayar hutang kepada toko penjual input, memenuhi kebutuhan sehari-hari dan desakan kebutuhan modal usahatani berikutnya. Risiko harga yang relatif tinggi pada komoditas kubis dan bawang merah menyebabkan petani harus menanggung kerugian yang cukup besar ketika harga jual kubis dan bawang merah rendah, apalagi jika harga jualnya tidak dapat menutupi biaya produksinya. Hal ini akan membuat petani rugi dan tidak dapat berproduksi. Supaya petani dapat tetap berproduksi maka petani yang memiliki keterbatasan dana biasanya meminjam modal kepada koperasi, bank, maupun pedagang pengumpul/pedagang besar. Selain itu, terkadang petani juga melakukan hutang untuk membeli input produksi seperti pupuk dan obat-obatan yang baru dibayar setelah petani panen dan memperoleh uang dari hasil penjualannya yang dikenal dengan sebutan yarnen atau bayar setelah panen. Hal ini menyebabkan adanya keterikatan antara petani dengan lembaga/pihak yang meminjamkan dana tersebut, sehingga membuat petani harus segera menjual hasil panennya meskipun harga jual saat panen rendah. Ditambah lagi jika ada keterikatan dan perjanjian untuk menjual hasil panen tersebut kepada pihak yang meminjamkan dana seperti pedagang pengumpul/pedagang besar sehingga mengakibatkan petani tidak dapat memilih untuk menjual hasil panennya kepada pihak yang menawarkan harga lebih tinggi. Untuk menghadapi besarnya risiko harga, maka salah satu tindakan yang selama ini dilakukan oleh petani adalah melakukan diversifikasi usahatani pada lahannya. Diversifikasi dalam kegiatan usahatani dapat diartikan dalam dua pengertian yaitu pertama, menanam beberapa komoditas yang berbeda secara monokultur pada waktu yang sama di lahan yang berbeda dan pengertian kedua, menanam beberapa komoditas yang berbeda secara tumpangsari pada setiap lahan yang sama. Diversifikasi dilakukan untuk mengurangi risiko yang mungkin dihadapi petani jika hanya menanam komoditas tunggal. Petani kubis melakukan diversifikasi usahatani dengan tanaman lainnya seperti kentang dan bawang merah yang dilakukan secara monokultur serta cabe, tomat, sawi, wortel, dan sebagainya yang dilakukan dengan cara tumpangsari. 77

94 Sementara itu, petani bawang merah umumnya melakukan tumpang sari dengan tanaman cabe, kedelai, kacang tanah, kacang merah, jagung dan sebagainya serta melakukan pergiliran tanam dengan tanaman padi. Diversifikasi usahatani yang dilakukan petani selama ini dirasakan belum cukup efektif untuk mengurangi fluktuasi harga kubis maupun bawang merah. Hal ini dikarenakan petani umumnya melakukan diversifikasi usahatani sesuai dengan selera, keahlian dan keinginan petani terhadap komoditas tertentu tanpa memperhitungkan dan menyesuaikannya dengan jumlah kebutuhan konsumen. Selain itu dalam melakukan diversifikasi, petani cenderung lebih banyak menanam suatu komoditas relatif terhadap komoditas lain yang ditanam dalam satu lahan dengan pertimbangan harga produk pada masa panen sebelumnya. Jika harga kubis maupun bawang merah pada masa tanam sebelumnya tinggi, maka petani akan berlomba-lomba ikut menanam komoditas tersebut yang pada akhirnya mengakibatkan harga jatuh sehingga petani rugi. Oleh karena itu, diperlukan solusi yang tepat untuk mengurangi besarnya risiko harga kubis dan bawang merah, diantaranya adalah : 1. Petani sebaiknya melakukan pengaturan pola tanam sesuai dengan saran yang direkomendasikan oleh pemerintah daerah setempat. Hal ini perlu dijadikan pertimbangan bagi petani mengingat selama ini harga komoditas kubis dan bawang merah mengalami fluktuasi harga yang relatif tinggi akibat pola tanam yang hampir bersamaan di beberapa daerah sentra produksi. Adanya pengaturan pola tanam antar daerah sentra produksi, diharapkan dapat mengatur jumlah produksi yang dihasilkan petani agar sesuai dengan kebutuhan pasar. Pengaturan pola tanam ini dapat dilakukan jika ada koordinasi antara pemerintah daerah setempat, petani di daerah tersebut, dan petani serta pemerintah daerah di daerah lain yang mengusahakan komoditas kubis dan bawang merah. 2. Mengaktifkan dan mengefektifkan peran kelembagaan kelompok tani. Adanya kelompok tani, secara tidak langsung dapat mengurangi risiko harga kubis maupun bawang merah karena petani dapat meningkatkan bargaining positionnya (posisi tawar) dihadapan lembaga tataniaga lainnya. Petani juga dapat melakukan kontrak dengan pihak lain (seperti pedagang besar, maupun 78

95 perusahaan pengolahan) untuk menampung kelebihan produksi yang seringkali terjadi pada saat panen raya. Selain itu, petani juga dapat membuat suatu usaha kecil yang berbahan baku kubis maupun bawang merah, jika terjadi kelebihan produksi dan harga jual produknya rendah. Disamping itu, adanya kelompok tani juga dapat dijadikan wadah untuk diskusi dan berbagi pengalaman antar petani khususnya dalam pengaturan penanaman suatu komoditas diantara anggota kelompok tani di suatu daerah. Lebih lanjut, adanya kelompok tani juga dapat mempermudah aksesibilitas petani terhadap lembaga permodalan terutama bantuan-bantuan pendanaan dari pemerintah yang lebih ditujukan kepada kelompok-kelompok tani dan bukan kepada petani secara perorangan. 3. Petani sebaiknya menjalin kemitraan dengan pedagang maupun perusahaan pengolahan. Hal ini perlu dilakukan agar petani mendapatkan jaminan kepastian dalam memasarkan hasil panennya terutama jaminan harga produk serta dapat menampung kelebihan hasil produksi yang terjadi saat panen raya. Petani bawang merah dapat menjalin kemitraan dengan pedagang besar maupun perusahaan pengolahan yang berbahan baku bawang merah seperti usaha bawang goreng maupun perusahaan mie instan. Seperti halnya petani bawang merah, petani kubis juga dapat melakukan kemitraan dengan pedagang besar yang menjual kubis baik untuk kebutuhan dalam negeri maupun ekspor. 4. Khusus untuk komoditas bawang merah, perlu dilakukan pengawasan yang lebih ketat terhadap masuknya bawang merah impor ke daerah sentra produksi terutama pada saat petani panen raya. Hal ini perlu dilakukan agar harga bawang merah pada saat panen raya tidak mengalami penurunan secara tajam akibat masuknya bawang merah impor yang memiliki harga yang relatif lebih rendah dibandingkan bawang merah lokal. Oleh karena itu perlu adanya koordinasi antara pemerintah pusat, pemda setempat, dan pedagang atau pengusaha yang melakukan impor bawang merah tersebut agar dapat mengendalikan jumlah impor bawang merah yang masuk ke Indonesia terutama saat petani panen raya. 79

96 VII. KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan 1. Harga kubis dan bawang merah yang berfluktuasi merupakan indikasi adanya risiko harga. Risiko harga kubis dan bawang merah periode saat ini dipengaruhi oleh risiko harga kubis dan bawang merah periode sebelumnya. Risiko harga kubis lebih besar dibandingkan dengan risiko harga bawang merah. Berdasarkan perhitungan VaR dalam persen diperoleh hasil bahwa risiko harga kubis sebesar 13,86 persen sedangkan risiko harga bawang merah sebesar 9,80 persen dalam jangka waktu periode penjualan satu hari. 2. Alternatif solusi yang dilakukan petani dalam mengurangi risiko harga dari komoditas kubis dan bawang merah adalah dengan melakukan diversifikasi dan pergiliran tanam dengan komoditas lain. Namun, strategi ini dirasakan belum cukup efektif. Hal ini dibuktikan dengan masih seringnya petani menghadapi harga jual yang rendah yang menyebabkan petani rugi Saran 1. Petani sebaiknya melakukan pengaturan pola tanam sesuai dengan saran yang direkomendasikan oleh pemerintah daerah setempat. Pengaturan pola tanam ini dapat dilakukan jika ada koordinasi antara pemerintah daerah setempat, petani di daerah tersebut, dan petani serta pemerintah daerah di daerah lain yang mengusahakan komoditas kubis dan bawang merah. 2. Mengaktifkan dan mengefektifkan peran kelembagaan kelompok tani. Adanya kelompok tani secara tidak langsung dapat mengurangi risiko harga kubis maupun bawang merah karena petani dapat meningkatkan bargaining positionnya (posisi tawar) dihadapan lembaga tataniaga lainnya. Petani juga dapat menjalin atau melakukan kontrak dengan pihak lain (seperti pedagang besar, maupun perusahaan pengolahan) untuk menampung kelebihan produksi yang seringkali terjadi pada saat panen raya. Selain itu, petani juga dapat membuat suatu usaha kecil yang berbahan baku kubis maupun bawang merah, jika terjadi kelebihan produksi dan harga jual produknya rendah. Disamping itu, adanya kelompok tani juga dapat dijadikan wadah untuk diskusi dan berbagi pengalaman antar petani khususnya dalam pengaturan

97 penanaman suatu komoditas diantara anggota kelompok tani di suatu daerah. Lebih lanjut, adanya kelompok tani juga dapat mempermudah aksesibilitas petani terhadap lembaga permodalan terutama bantuan-bantuan pendanaan dari pemerintah yang lebih ditujukan kepada kelompok-kelompok tani dan bukan kepada petani secara perorangan. 3. Petani sebaiknya menjalin kemitraan dengan pedagang maupun perusahaan pengolahan. Hal ini perlu dilakukan agar petani mendapatkan jaminan kepastian dalam memasarkan hasil panennya terutama jaminan harga produk serta dapat menampung kelebihan hasil produksi yang terjadi saat panen raya. 4. Khusus untuk komoditas bawang merah, perlu dilakukan adanya pengawasan yang lebih ketat terhadap masuknya bawang merah impor ke daerah sentra produksi terutama pada saat petani panen raya. Hal ini dapat dilakukan agar harga bawang merah pada saat panen raya tidak mengalami penurunan secara tajam akibat masuknya bawang merah impor. Oleh karena itu perlu adanya koordinasi antara pemerintah pusat, pemda setempat, dan pedagang atau pengusaha yang melakukan impor bawang merah agar dapat mengendalikan jumlah impor bawang merah yang masuk ke Indonesia terutama saat petani panen raya. 5. Untuk penelitian selanjutnya, dapat dilakukan analisis mengenai faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap besarnya risiko harga kubis dan bawang merah serta menganalisis alternatif strategi yang dilakukan untuk mengurangi risiko harga tersebut baik pada tingkat petani, pedagang maupun pemerintah. 81

98 DAFTAR PUSTAKA Agustina, L Analisis Tataniaga dan Keterpaduan Pasar Kubis (Studi Kasus Desa Cimenyan, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat). [Skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Agustian, A et al Analisis Berbagai Bentuk Kelembagaan Pemasaran dan Dampaknya terhadap Kinerja Usaha Komoditas Sayuran dan Buah. [Laporan Akhir]. Bogor : Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. [BPS] Badan Pusat Statistik Indonesia Pendapatan Nasional Indonesia. Jakarta: BPS Indonesia. Brooks, C Introductory Econometrics For Finance. Cambridge University Press. Damanah Analisis Faktor-Faktor Produksi dan Pendapatan Usahatani Bawang Merah di Desa Sukasari Kaler Kecamatan Argapura Kabupaten Majalengka Propinsi Jawa Barat. [Skripsi]. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Debertin, D.L Agricultural Production Economics. New York: Macmillan Publishing Company. [Ditjen Hortikultura] Direktorat Jendral Hortikultura Konsumsi Per Kapita Hortikultura. Jakarta: Dirjen Hortikultura. [Ditjen Hortikultura] Direktorat Jendral Hortikultura Luas Panen Tanaman Sayuran di Indonesia Periode Jakarta: Dirjen Hortikultura. [Ditjen Hortikultura] Direktorat Jendral Hortikultura Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Bawang Merah Menurut Provinsi di Indonesia Tahun Jakarta: Dirjen Hortikultura. [Ditjen Hortikultura] Direktorat Jendral Hortikultura Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Kol/Kubis Menurut Provinsi di Indonesia Tahun Jakarta: Dirjen Hortikultura. [Ditjen Hortikultura] Direktorat Jendral Hortikultura Produksi Tanaman Sayuran di Indonesia Periode Jakarta: Dirjen Hortikultura. Djalal NN, Usman H Pendekatan Populer dan Praktis Ekonometrika untuk Analisis Ekonomi dan Keuangan. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Engle, R.F The Use of ARCH/GARCH models in applied Econometrics. Journal of Economics Perspectives volume 15 number 4 :

99 Fariyanti, A Perilaku Ekonomi Rumahtangga Petani Sayuran dalam Menghadapi Risiko Produksi dan Harga Produk di Kecamatan Pengalengan Kabupaten Bandung. [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Firdaus, M Analisis Deret Waktu Satu Ragam. Bogor : IPB Press. Gumbira E, Said, Intan AH Manajemen Agribisnis. Jakarta: Ghalia Indonesia. Harwood, J, R.Heifner and K.Coble, J, Perry and A, Somwaru Managing Risk in Farming : Concepts, Research and Analysis. Economic Research Service, USDA. Irawan, B Fluktuasi Harga, Transmisi Harga dan Marjin Pemasaran Sayur dan Buah. Forum Penelitian Agro Ekonomi, Vol 5 No. 4. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Iskandar, E Analisis Risiko Investasi Saham Agribisnis Rokok dengan Pendekatan ARCH-GACH. [Skripsi]. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Jorion, P Value at Risk: The New Benchmark for Managing Financial Risk, Second Edition. North America: Mc Graw-Hill California. Kadarsan, HW Keuangan Pertanian dan Pembiayaan Perusahaan Agribisnis. Jakarta: PT. Gramedia. Kountur, R Manajemen Risiko. Jakarta: Abdi Tandur. Lipsey RG, Courant PN, Purvis DD, Steiner PO Pengantar Mikroekonomi Jilid Satu. Jaka W, Kirbrandoko, penerjemah; Jakarta : Binarupa Aksara. Terjemahan dari: Economics 10th ed. Rifqie, A S Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Usahatani Kubis (Studi Kasus di Desa Cimenyan, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung). [Skripsi]. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Sabriani, D Analisis Risiko Investasi pada Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit Terpilih di Bursa Efek Indonesia. [Skripsi]. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Siregar, Y R Analisis Risiko Harga Day Old Chick (DOC) Broiler dan Layer pada PT. Sierad Produce Tbk Parung, Bogor. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Tentamia, M K Analisis Penawaran dan Permintaan Bawang Merah di Indonesia. [Tesis]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Pracaya Kol Alias Kubis. Jakarta: Penebar Swadaya. 83

100 Simatupang, P Industrialisasi Pertanian Sebagai Strategi Agribisnis dan Pembangunan Pertanian Dalam Era Globalisasi. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Soekartawi, Rusmadi, dan E. Damaijati Risiko dan Ketidakpastian dalam Agribisnis. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Stato, H Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Fluktuasi Harga Bawang Merah dan Peramalannya, Studi Kasus Pasar Induk Kramatjati, DKI Jakarta. [Skripsi]. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Sumiati, U Strategi Pengembangan Usaha Bawang Goreng PO Mekar Wangi, Desa Taraju, Kecamatan Sindang Agung, Kabupaten Kuningan. [Skripsi]. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Tarigan, PE.V.BR Analisis Risiko Produksi Sayuran Organik pada Permata Hati Organic Farm di Bogor. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Wibowo, S Budidaya Bawang. Jakarta: Penebar Swadaya. Winarno, WW Analisis Ekonometrika dan Statistika dengan Eviews. Yogyakarta : Unit Penerbit dan Percetakan Sekolah Tinggi Ilmu dan Manajemen YPKR. 84

101 LAMPIRAN

102 Lampiran 1. Produksi Tanaman Sayuran di Indonesia Periode Produksi (ton) No. Komoditas Bawang Merah Bawang Putih Bawang Daun Kentang Lobak Kol/Kubis Sawi Wortel Kacang Merah Kembang kol Cabe Besar Cabe Rawit Tomat Terung Buncis Ketimun Labu Siam Kangkung Bayam Kacang Panjang Jamur Melinjo Petai Total Sayuran Sumber : Ditjen Hortikultura (2008) 86

103 Lampiran 2. Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Kol/Kubis Menurut Provinsi di Indonesia Tahun 2007 Kol/Kubis No. Provinsi Produksi Produktivitas Luas Panen (Ha) (ton) (Ton/Ha) 1. Nanggroe Aceh Darussalam ,20 2. Sumatera Utara ,78 3. Sumatera Barat ,81 4. Riau 2 9 4,50 5. Jambi ,35 6. Sumatera Selatan ,07 7. Bengkulu ,65 8. Lampung ,97 9. Kepulauan Bangka Belitung Kepulauan Riau Sumatera , DKI Jakarta Jawa Barat , Jawa Tengah , D.I.Yogyakarta , Jawa Timur , Banten ,80 Jawa , Bali , Nusa Tenggara Barat , Nusa Tenggara Timur ,07 Bali dan Nusa Tenggara , Kalimantan Barat , Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan 1 6 6, Kalimantan Timur ,70 Kalimantan , Sulawesi Utara , Sulawesi Tengah , Sulawesi Selatan , Sulawesi Tenggara , Gorontalo Sulawesi Barat Sulawesi , Maluku , Maluku Utara , Papua , Papua Barat ,62 Maluku dan Papua ,12 Luar Jawa ,79 Indonesia ,23 Sumber : Direktorat Jendral Hortikultura (2008) 87

104 Lampiran 3. Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Bawang Merah Menurut Provinsi di Indonesia Tahun 2007 Bawang Merah No. Provinsi Produksi Produktivitas Luas Panen (Ha) (ton) (Ton/Ha) 1. Nanggroe Aceh Darussalam ,67 2. Sumatera Utara ,14 3. Sumatera Barat ,51 4. Riau Jambi ,70 6. Sumatera Selatan ,74 7. Bengkulu ,02 8. Lampung ,24 9. Kepulauan Bangka Belitung Kepulauan Riau Sumatera , DKI Jakarta Jawa Barat , Jawa Tengah , D.I.Yogyakarta , Jawa Timur , Banten ,48 Jawa , Bali , Nusa Tenggara Barat , Nusa Tenggara Timur ,60 Bali dan Nusa Tenggara , Kalimantan Barat Kalimantan Tengah , Kalimantan Selatan 1 5 4, Kalimantan Timur ,42 Kalimantan , Sulawesi Utara , Sulawesi Tengah , Sulawesi Selatan , Sulawesi Tenggara , Gorontalo , Sulawesi Barat ,95 Sulawesi , Maluku , Maluku Utara , Papua , Papua Barat ,78 Maluku dan Papua ,11 Luar Jawa ,44 Indonesia ,57 Sumber : Direktorat Jendral Hortikultura (2008) 88

105 Jumlah Lampiran 4. Pasokan Kubis Periode Januari 2006 Februari 2009 Sumber : Pasar Induk Kramat Jati 2009 (diolah) Lampiran 5. Pasokan Bawang Merah Periode Januari 2006 Februari 2009 Fluktuasi Pasokan Bawang Merah Bulan Series1 Sumber : Pasar Induk Kramat Jati 2009 (diolah) 89

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perkembangan Kajian Risiko Harga Komoditas Pertanian

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perkembangan Kajian Risiko Harga Komoditas Pertanian II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perkembangan Kajian Risiko Harga Komoditas Pertanian Risiko harga suatu komoditas dapat bersumber dari fluktuasi harga output maupun harga input pertanian. Umumnya kegiatan produksi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Sebaran Struktur PDB Indonesia Menurut Lapangan Usahanya Tahun

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Sebaran Struktur PDB Indonesia Menurut Lapangan Usahanya Tahun I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian mempunyai peranan penting dalam perekonomian Indonesia terutama dalam pembentukan PDB (Produk Domestik Bruto). Distribusi PDB menurut sektor ekonomi atau

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Sumber: Badan Pusat Statistik 2009

I PENDAHULUAN. Sumber: Badan Pusat Statistik 2009 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertanian merupakan sektor yang sangat strategis dalam pembangunan perekonomian negara Indonesia. Hal tersebut dikarenakan sebagian besar penduduk Indonesia yaitu sekitar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sumber: Badan Pusat Statistik (2009)

I. PENDAHULUAN. Sumber: Badan Pusat Statistik (2009) I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertanian merupakan sektor yang memiliki peranan penting bagi perekonomian Negara Indonesia. Sebagian besar masyarakat Indonesia menggantungkan kehidupan mereka pada sektor

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Tabel 1. Perkembangan PDB Hortikultura Tahun Komoditas

PENDAHULUAN. Tabel 1. Perkembangan PDB Hortikultura Tahun Komoditas I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Subsektor hortikultura berperan penting dalam mendukung perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat melalui nilai Produk Domestik Bruto (PDB). Produk Domestik Bruto (PDB)

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN * Keterangan : *Angka ramalan PDB berdasarkan harga berlaku Sumber : Direktorat Jenderal Hortikultura (2010) 1

I PENDAHULUAN * Keterangan : *Angka ramalan PDB berdasarkan harga berlaku Sumber : Direktorat Jenderal Hortikultura (2010) 1 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN Sektor pertanian terdiri dari beberapa sub sektor, yaitu tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, dan peternakan, dimana keempat sub sektor tersebut mempunyai peranan

Lebih terperinci

ANALISIS NILAI TAMBAH DAN PEMASARAN KAYU SENGON GERGAJIAN (Studi Kasus di Kecamatan Cigudeg Kabupaten Bogor)

ANALISIS NILAI TAMBAH DAN PEMASARAN KAYU SENGON GERGAJIAN (Studi Kasus di Kecamatan Cigudeg Kabupaten Bogor) ANALISIS NILAI TAMBAH DAN PEMASARAN KAYU SENGON GERGAJIAN (Studi Kasus di Kecamatan Cigudeg Kabupaten Bogor) Skripsi AHMAD MUNAWAR H 34066007 DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT

Lebih terperinci

VI ANALISIS RISIKO HARGA

VI ANALISIS RISIKO HARGA VI ANALISIS RISIKO HARGA 6.1 Analisis Risiko Harga Apel PT Kusuma Satria Dinasasri Wisatajaya PT Kusuma Satria Dinasasri Wisatajaya merupakan perusahaan yang bergerak di bidang pembudidayaan tanaman hortikultura

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Tabel 1. Perkembangan PDB Hortikultura Atas Dasar Harga Berlaku di Indonesia Tahun Kelompok

PENDAHULUAN. Tabel 1. Perkembangan PDB Hortikultura Atas Dasar Harga Berlaku di Indonesia Tahun Kelompok I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Hortikultura merupakan salah satu sektor pertanian unggulan yang memiliki beberapa peranan penting yaitu dalam pemenuhan kebutuhan gizi masyarakat, peningkatan pendapatan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BPS. 2012

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BPS. 2012 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Cabai merupakan salah satu komoditas hortikultura yang dibutuhkan dan dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Menurut Direktorat Jenderal Hortikultura (2008) 1 komoditi

Lebih terperinci

ANALISIS RISIKO PRODUKSI DAUN POTONG Di PT PESONA DAUN MAS ASRI, CIAWI KABUPATEN BOGOR, JAWABARAT

ANALISIS RISIKO PRODUKSI DAUN POTONG Di PT PESONA DAUN MAS ASRI, CIAWI KABUPATEN BOGOR, JAWABARAT ANALISIS RISIKO PRODUKSI DAUN POTONG Di PT PESONA DAUN MAS ASRI, CIAWI KABUPATEN BOGOR, JAWABARAT SKRIPSI NUR AMALIA SAFITRI H 34066094 PROGRAM SARJANA PENYELENGGARAAN KHUSUS DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Agribisnis Cabai Merah

II. TINJAUAN PUSTAKA Agribisnis Cabai Merah II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Agribisnis Cabai Merah Cabai merah (Capsicum annuum) merupakan tanaman hortikultura sayursayuran buah semusim untuk rempah-rempah, yang di perlukan oleh seluruh lapisan masyarakat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Struktur PDB Menurut Lapangan Usaha Triwulan-I Tahun

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Struktur PDB Menurut Lapangan Usaha Triwulan-I Tahun I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara agraris menunjukkan bahwa sektor pertanian mempunyai peranan yang penting dalam mendukung perekonomian nasional, terutama sebagai sumber bahan

Lebih terperinci

RISIKO HARGA SAYURAN DI INDONESIA

RISIKO HARGA SAYURAN DI INDONESIA RISIKO HARGA SAYURAN DI INDONESIA SKRIPSI MUHAMAD KHAIRUL AMRI H34096064 DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 i RINGKASAN MUHAMAD KHAIRUL AMRI. Risiko

Lebih terperinci

BAB 1. PENDAHULUAN. Indonesia. Bawang merah bagi Kabupaten Brebes merupakan trademark

BAB 1. PENDAHULUAN. Indonesia. Bawang merah bagi Kabupaten Brebes merupakan trademark BAB 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kapupaten Brebes merupakan sentra produksi bawang merah terbesar di Indonesia. Bawang merah bagi Kabupaten Brebes merupakan trademark mengingat posisinya sebagai

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki berbagai macam potensi sumber daya alam yang melimpah serta didukung dengan kondisi lingkungan, iklim, dan cuaca yang

Lebih terperinci

ANALISIS VOLATILITAS HARGA SAYURAN DI PASAR INDUK KRAMAT JATI OLEH ACHMAD WIHONO H

ANALISIS VOLATILITAS HARGA SAYURAN DI PASAR INDUK KRAMAT JATI OLEH ACHMAD WIHONO H ANALISIS VOLATILITAS HARGA SAYURAN DI PASAR INDUK KRAMAT JATI OLEH ACHMAD WIHONO H14053966 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 RINGKASAN ACHMAD WIHONO.

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM KERAGAAN BAWANG MERAH Perkembangan Produksi Bawang Merah di Indonesia

V. GAMBARAN UMUM KERAGAAN BAWANG MERAH Perkembangan Produksi Bawang Merah di Indonesia 58 V. GAMBARAN UMUM KERAGAAN BAWANG MERAH 5.1. Perkembangan Produksi Bawang Merah di Indonesia Bawang merah sebagai sayuran dataran rendah telah banyak diusahakan hampir di sebagian besar wilayah Indonesia.

Lebih terperinci

PENGARUH RISIKO HARGA TERHADAP PENAWARAN APEL PT KUSUMA SATRIA DINASASRI WISATAJAYA KOTA BATU JAWA TIMUR

PENGARUH RISIKO HARGA TERHADAP PENAWARAN APEL PT KUSUMA SATRIA DINASASRI WISATAJAYA KOTA BATU JAWA TIMUR PENGARUH RISIKO HARGA TERHADAP PENAWARAN APEL PT KUSUMA SATRIA DINASASRI WISATAJAYA KOTA BATU JAWA TIMUR SKRIPSI INIKE RAHMADITIYANI H34063433 DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Komoditas hortikultura merupakan salah satu komoditas pertanian yang memiliki nilai ekonomi tinggi serta mempunyai potensi besar untuk dikembangkan sebagai usaha di bidang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 41,91 (42,43) 42,01 (41,60) 1,07 (1,06) 12,49 (12,37) 0,21 (0,21) 5,07 (5,02) 20,93 (20,73) 6,10 (6,04) 0,15 (0,15) (5,84) 1,33 (1,35)

I. PENDAHULUAN 41,91 (42,43) 42,01 (41,60) 1,07 (1,06) 12,49 (12,37) 0,21 (0,21) 5,07 (5,02) 20,93 (20,73) 6,10 (6,04) 0,15 (0,15) (5,84) 1,33 (1,35) I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertanian merupakan salah satu bidang produksi dan lapangan usaha yang paling tua di dunia yang pernah dan sedang dilakukan oleh masyarakat. Sektor pertanian adalah sektor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Program kebijakan revitalisasi pertanian menitikberatkan pada program

BAB I PENDAHULUAN. Program kebijakan revitalisasi pertanian menitikberatkan pada program 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Program kebijakan revitalisasi pertanian menitikberatkan pada program pengembangan agribisnis. Program ini bertujuan untuk memfasilitasi berkembangnya usaha agribisnis

Lebih terperinci

DAN PEMASARAN NENAS BOGOR BOGOR SNIS SKRIPSI H

DAN PEMASARAN NENAS BOGOR BOGOR SNIS SKRIPSI H ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI DAN PEMASARAN NENAS BOGOR Di Desa Sukaluyu, Kecamatan Taman Sari, Kabupaten Bogor SKRIPSI ERIK LAKSAMANA SIREGAR H 34076059 DEPARTEMEN AGRIBIS SNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1 Kementerian Pertanian Kontribusi Pertanian Terhadap Sektor PDB.

I. PENDAHULUAN. 1 Kementerian Pertanian Kontribusi Pertanian Terhadap Sektor PDB. I. PENDAHULUAN 1.1. Latarbelakang Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang mempunyai peranan penting dalam meningkatkan perkembangan ekonomi Indonesia. Hal ini dikarenakan sektor pertanian adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam pembangunan nasional, khususnya yang berhubungan dengan pengelolaan

BAB I PENDAHULUAN. dalam pembangunan nasional, khususnya yang berhubungan dengan pengelolaan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang menjadi pusat perhatian dalam pembangunan nasional, khususnya yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan

Lebih terperinci

Tahun Bawang

Tahun Bawang I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Komoditas hortikultura merupakan komoditas yang sangat prospektif untuk dikembangkan melalui usaha agribisnis, mengingat potensi serapan pasar di dalam negeri dan pasar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang beriklim tropis dan relatif subur. Atas alasan demikian Indonesia memiliki kekayaan flora yang melimpah juga beraneka ragam.

Lebih terperinci

PENGARUH INVESTASI DAN PERTUMBUHAN DI SEKTOR PERTANIAN TERHADAP JUMLAH TENAGA KERJA SEKTOR PERTANIAN SKRIPSI MUHAMMAD ISMAIL MAHIR RANGKUTI A

PENGARUH INVESTASI DAN PERTUMBUHAN DI SEKTOR PERTANIAN TERHADAP JUMLAH TENAGA KERJA SEKTOR PERTANIAN SKRIPSI MUHAMMAD ISMAIL MAHIR RANGKUTI A PENGARUH INVESTASI DAN PERTUMBUHAN DI SEKTOR PERTANIAN TERHADAP JUMLAH TENAGA KERJA SEKTOR PERTANIAN SKRIPSI MUHAMMAD ISMAIL MAHIR RANGKUTI A14104585 PROGRAM EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. penting bagi perkembangan perekonomian nasional di Indonesia. Hal ini

I. PENDAHULUAN. penting bagi perkembangan perekonomian nasional di Indonesia. Hal ini 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor yang sampai saat ini masih memegang peranan penting bagi perkembangan perekonomian nasional di Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya

Lebih terperinci

IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2 Jenis dan Sumber Data

IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2 Jenis dan Sumber Data IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian tentang risiko harga sayuran di Indonesia mencakup komoditas kentang, kubis, dan tomat dilakukan di Pasar Induk Kramat Jati, yang

Lebih terperinci

ANALISIS TATANIAGA TELUR AYAM KAMPUNG (Studi Kasus: Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat) SKRIPSI BETTY SAFITRI H

ANALISIS TATANIAGA TELUR AYAM KAMPUNG (Studi Kasus: Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat) SKRIPSI BETTY SAFITRI H ANALISIS TATANIAGA TELUR AYAM KAMPUNG (Studi Kasus: Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat) SKRIPSI BETTY SAFITRI H34076035 DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang memiliki peranan penting karena selain sebagai penghasil komoditi untuk memenuhi kebutuhan pangan, sektor pertanian juga

Lebih terperinci

ANALISIS VOLATILITAS HARGA BUAH-BUAHAN INDONESIA (KASUS PASAR INDUK KRAMAT JATI JAKARTA) OLEH BAYU SASONO AJI H

ANALISIS VOLATILITAS HARGA BUAH-BUAHAN INDONESIA (KASUS PASAR INDUK KRAMAT JATI JAKARTA) OLEH BAYU SASONO AJI H ANALISIS VOLATILITAS HARGA BUAH-BUAHAN INDONESIA (KASUS PASAR INDUK KRAMAT JATI JAKARTA) OLEH BAYU SASONO AJI H14052004 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu sektor dalam perekonomian nasional dinilai strategis dan mampu menjadi mesin penggerak pembangunan suatu negara. Pada tahun 2009 sektor

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN Latar Belakang

I PENDAHULUAN Latar Belakang 1.1. Latar Belakang I PENDAHULUAN Subsektor hortikultura merupakan bagian dari sektor pertanian yang mempunyai peran penting dalam menunjang peningkatan perekonomian nasional dewasa ini. Subsektor ini

Lebih terperinci

ANALISIS TATANIAGA DAN KETERPADUAN PASAR KUBIS (Studi Kasus Desa Cimenyan, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat)

ANALISIS TATANIAGA DAN KETERPADUAN PASAR KUBIS (Studi Kasus Desa Cimenyan, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat) ANALISIS TATANIAGA DAN KETERPADUAN PASAR KUBIS (Studi Kasus Desa Cimenyan, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat) Oleh LUSIANA AGUSTINA A14304052 PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Produksi Tanaman Sayuran di Indonesia Tahun Produksi (Ton)

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Produksi Tanaman Sayuran di Indonesia Tahun Produksi (Ton) I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wortel merupakan salah satu tanaman sayuran yang digemari masyarakat. Komoditas ini terkenal karena rasanya yang manis dan aromanya yang khas 1. Selain itu wortel juga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Komoditas hortikultura merupakan komoditas potensial yang mempunyai nilai ekonomi dan permintaan pasar yang tinggi. Luas wilayah Indonesia dengan keragaman agroklimatnya

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Tabel 1. Nilai PDB Hortikultura Berdasarkan Harga Berlaku Pada Tahun Kelompok

I PENDAHULUAN. Tabel 1. Nilai PDB Hortikultura Berdasarkan Harga Berlaku Pada Tahun Kelompok I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hortikultura merupakan salah satu komoditas pertanian yang berpotensi untuk dikembangkan. Pengembangan hortikuktura diharapkan mampu menambah pangsa pasar serta berdaya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ubi kayu mempunyai peran cukup besar dalam memenuhi kebutuhan pangan

I. PENDAHULUAN. Ubi kayu mempunyai peran cukup besar dalam memenuhi kebutuhan pangan 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Ubi kayu mempunyai peran cukup besar dalam memenuhi kebutuhan pangan maupun mengatasi ketimpangan ekonomi dan pengembangan industri. Pada kondisi rawan pangan,

Lebih terperinci

ANALISIS RISIKO INVESTASI PADA PERUSAHAAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT TERPILIH DI BURSA EFEK INDONESIA DINNA SABRIANI A

ANALISIS RISIKO INVESTASI PADA PERUSAHAAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT TERPILIH DI BURSA EFEK INDONESIA DINNA SABRIANI A ANALISIS RISIKO INVESTASI PADA PERUSAHAAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT TERPILIH DI BURSA EFEK INDONESIA DINNA SABRIANI A14104059 PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGRIBISNIS DEPARTEMEN ILMU-ILMU SOSIAL EKONOMI PERTANIAN

Lebih terperinci

ANALISIS TOTAL FAKTOR PRODUKTIVITAS PADA INDUSTRI TANAMAN PANGAN DI INDONESIA PERIODE OLEH: DIYAH KUSUMASTUTI H

ANALISIS TOTAL FAKTOR PRODUKTIVITAS PADA INDUSTRI TANAMAN PANGAN DI INDONESIA PERIODE OLEH: DIYAH KUSUMASTUTI H ANALISIS TOTAL FAKTOR PRODUKTIVITAS PADA INDUSTRI TANAMAN PANGAN DI INDONESIA PERIODE 1985 2004 OLEH: DIYAH KUSUMASTUTI H14101088 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

RINGKASAN ISVENTINA. DJONI HARTONO

RINGKASAN ISVENTINA. DJONI HARTONO RINGKASAN ISVENTINA. H14102124. Analisis Dampak Peningkatan Ekspor Karet Alam Terhadap Perekonomian Indonesia: Suatu Pendekatan Analisis Input-Output. Di bawah bimbingan DJONI HARTONO. Indonesia merupakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Di Indonesia, pertanian sayuran sudah cukup lama dikenal dan dibudidayakan.

I. PENDAHULUAN. Di Indonesia, pertanian sayuran sudah cukup lama dikenal dan dibudidayakan. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di Indonesia, pertanian sayuran sudah cukup lama dikenal dan dibudidayakan. Penanaman komoditas sayuran tersebar luas di berbagai daerah yang cocok agroklimatnya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan negara agraris yang subur tanahnya dan berada di

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan negara agraris yang subur tanahnya dan berada di BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara agraris yang subur tanahnya dan berada di daerah tropis karena dilalui garis khatulistiwa. Tanah yang subur dan beriklim tropis

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hortikultura merupakan salah satu subsektor pertanian yang potensial dalam memberikan kontribusi yang besar terhadap pembangunan ekonomi dan memegang peranan penting

Lebih terperinci

DAMPAK KEBIJAKAN HARGA DASAR PEMBELIAN PEMERINTAH TERHADAP PENAWARAN DAN PERMINTAAN BERAS DI INDONESIA RIA KUSUMANINGRUM

DAMPAK KEBIJAKAN HARGA DASAR PEMBELIAN PEMERINTAH TERHADAP PENAWARAN DAN PERMINTAAN BERAS DI INDONESIA RIA KUSUMANINGRUM DAMPAK KEBIJAKAN HARGA DASAR PEMBELIAN PEMERINTAH TERHADAP PENAWARAN DAN PERMINTAAN BERAS DI INDONESIA RIA KUSUMANINGRUM SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan

Lebih terperinci

ANALISIS USAHATANI DAN TATANIAGA KEDELAI DI KECAMATAN CIRANJANG, KABUPATEN CIANJUR, JAWA BARAT. Oleh NORA MERYANI A

ANALISIS USAHATANI DAN TATANIAGA KEDELAI DI KECAMATAN CIRANJANG, KABUPATEN CIANJUR, JAWA BARAT. Oleh NORA MERYANI A ANALISIS USAHATANI DAN TATANIAGA KEDELAI DI KECAMATAN CIRANJANG, KABUPATEN CIANJUR, JAWA BARAT Oleh NORA MERYANI A 14105693 PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertanian Indonesia adalah pertanian tropika karena sebagian besar daerahnya berada di daerah yang langsung dipengaruhi oleh garis khatulistiwa. Di samping pengaruh

Lebih terperinci

OPTIMALISASI PRODUKSI KAIN TENUN SUTERA PADA CV BATU GEDE DI KECAMATAN TAMANSARI KABUPATEN BOGOR

OPTIMALISASI PRODUKSI KAIN TENUN SUTERA PADA CV BATU GEDE DI KECAMATAN TAMANSARI KABUPATEN BOGOR OPTIMALISASI PRODUKSI KAIN TENUN SUTERA PADA CV BATU GEDE DI KECAMATAN TAMANSARI KABUPATEN BOGOR SKRIPSI MAULANA YUSUP H34066080 DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

PERAMALAN PRODUKSI DAN KONSUMSI UBI JALAR NASIONAL DALAM RANGKA RENCANA PROGRAM DIVERSIFIKASI PANGAN POKOK. Oleh: NOVIE KRISHNA AJI A

PERAMALAN PRODUKSI DAN KONSUMSI UBI JALAR NASIONAL DALAM RANGKA RENCANA PROGRAM DIVERSIFIKASI PANGAN POKOK. Oleh: NOVIE KRISHNA AJI A PERAMALAN PRODUKSI DAN KONSUMSI UBI JALAR NASIONAL DALAM RANGKA RENCANA PROGRAM DIVERSIFIKASI PANGAN POKOK Oleh: NOVIE KRISHNA AJI A14104024 PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

Salah satu tanaman hortikultura yang memiliki peranan cukup penting adalah

Salah satu tanaman hortikultura yang memiliki peranan cukup penting adalah ROZFAULINA. ' Analisis Pendapatan dan Produksi Usahatani Cabai Merah Keriting, kasus Tiga Desa di Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat (Dibimbing oleh NUNUNG KUSNADI). Salah satu tanaman

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Gambar 1 Proyeksi kebutuhan jagung nasional (Sumber : Deptan 2009, diolah)

I. PENDAHULUAN. Gambar 1 Proyeksi kebutuhan jagung nasional (Sumber : Deptan 2009, diolah) I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jagung (Zea mays L) merupakan salah satu komoditas pertanian yang memiliki peran penting yaitu sebagai makanan manusia dan ternak. Indonesia merupakan salah satu penghasil

Lebih terperinci

VI. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI, PERMINTAAN, IMPOR, DAN HARGA BAWANG MERAH DI INDONESIA

VI. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI, PERMINTAAN, IMPOR, DAN HARGA BAWANG MERAH DI INDONESIA 66 VI. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI, PERMINTAAN, IMPOR, DAN HARGA BAWANG MERAH DI INDONESIA 6.1. Keragaan Umum Hasil Estimasi Model Model ekonometrika perdagangan bawang merah dalam penelitian

Lebih terperinci

ANALISIS PENGARUH PAJAK EKSPOR TERHADAP KINERJA INDUSTRI KELAPA SAWIT OLEH: MARIA IRENE HUTABARAT A

ANALISIS PENGARUH PAJAK EKSPOR TERHADAP KINERJA INDUSTRI KELAPA SAWIT OLEH: MARIA IRENE HUTABARAT A ANALISIS PENGARUH PAJAK EKSPOR TERHADAP KINERJA INDUSTRI KELAPA SAWIT OLEH: MARIA IRENE HUTABARAT A14105570 PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMENAGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Lebih terperinci

ANALISIS EFISIENSI PEMASARAN BELIMBING DEWA DI KECAMATAN PANCORAN MAS KOTA DEPOK JAWA BARAT OLEH : SARI NALURITA A

ANALISIS EFISIENSI PEMASARAN BELIMBING DEWA DI KECAMATAN PANCORAN MAS KOTA DEPOK JAWA BARAT OLEH : SARI NALURITA A ANALISIS EFISIENSI PEMASARAN BELIMBING DEWA DI KECAMATAN PANCORAN MAS KOTA DEPOK JAWA BARAT OLEH : SARI NALURITA A 14105605 PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

PERSEPSI DAN SIKAP KONSUMEN TERHADAP KEAMANAN PANGAN SUSU FORMULA DENGAN ADANYA ISU BAKTERI Enterobacter sakazakii DI KECAMATAN TANAH SAREAL BOGOR

PERSEPSI DAN SIKAP KONSUMEN TERHADAP KEAMANAN PANGAN SUSU FORMULA DENGAN ADANYA ISU BAKTERI Enterobacter sakazakii DI KECAMATAN TANAH SAREAL BOGOR PERSEPSI DAN SIKAP KONSUMEN TERHADAP KEAMANAN PANGAN SUSU FORMULA DENGAN ADANYA ISU BAKTERI Enterobacter sakazakii DI KECAMATAN TANAH SAREAL BOGOR SKRIPSI INTAN AISYAH NASUTION H34066065 DEPARTEMEN AGRIBISNIS

Lebih terperinci

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Umum Komoditi Kubis 2.2. Sistem Tataniaga dan Efisiensi Tataniaga

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Umum Komoditi Kubis 2.2. Sistem Tataniaga dan Efisiensi Tataniaga II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Umum Komoditi Kubis Kubis juga disebut kol dibeberapa daerah. Kubis merupakan salah satu komoditas sayuran unggulan pada sektor agribisnis yang dapat memberikan sumbangan

Lebih terperinci

VII ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KERAGAAN PASAR

VII ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KERAGAAN PASAR VII ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KERAGAAN PASAR 7.1. Analisis Struktur Pasar Struktur pasar nenas diketahui dengan melihat jumlah penjual dan pembeli, sifat produk, hambatan masuk dan keluar pasar,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang mayoritas penduduknya sebagian besar adalah petani. Sektor pertanian adalah salah satu pilar dalam pembangunan nasional Indonesia. Dengan

Lebih terperinci

ANALISIS EFISIENSI PEMASARAN TALAS (Kasus di Desa Taman Sari, Kecamatan Taman Sari, Kabupaten Bogor, Jawa Barat) Oleh SRI WIDIYANTI A

ANALISIS EFISIENSI PEMASARAN TALAS (Kasus di Desa Taman Sari, Kecamatan Taman Sari, Kabupaten Bogor, Jawa Barat) Oleh SRI WIDIYANTI A ANALISIS EFISIENSI PEMASARAN TALAS (Kasus di Desa Taman Sari, Kecamatan Taman Sari, Kabupaten Bogor, Jawa Barat) Oleh SRI WIDIYANTI A14105608 PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

PERANAN PESANTREN AL ZAYTUN TERHADAP PENINGKATAN PRODUKSI DAN PENDAPATAN USAHATANI PADI DI KECAMATAN GANTAR, KABUPATEN INDRAMAYU, JAWA BARAT

PERANAN PESANTREN AL ZAYTUN TERHADAP PENINGKATAN PRODUKSI DAN PENDAPATAN USAHATANI PADI DI KECAMATAN GANTAR, KABUPATEN INDRAMAYU, JAWA BARAT PERANAN PESANTREN AL ZAYTUN TERHADAP PENINGKATAN PRODUKSI DAN PENDAPATAN USAHATANI PADI DI KECAMATAN GANTAR, KABUPATEN INDRAMAYU, JAWA BARAT OLEH: ARYANI PRAMESTI A 14301019 PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN

Lebih terperinci

ANALISIS PERENCANAAN PENGENDALIAN PERSEDIAAN TOMAT BANDUNG DI SUPERMARKET SUPER INDO MUARA KARANG JAKARTA UTARA SKRIPSI

ANALISIS PERENCANAAN PENGENDALIAN PERSEDIAAN TOMAT BANDUNG DI SUPERMARKET SUPER INDO MUARA KARANG JAKARTA UTARA SKRIPSI ANALISIS PERENCANAAN PENGENDALIAN PERSEDIAAN TOMAT BANDUNG DI SUPERMARKET SUPER INDO MUARA KARANG JAKARTA UTARA SKRIPSI Oleh: ARIEF FERRY YANTO A14105515 PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian di Indonesia masih memegang peranan penting dari

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian di Indonesia masih memegang peranan penting dari I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Sektor pertanian di Indonesia masih memegang peranan penting dari keseluruhan perekonomian nasional. Hal ini ditunjukkan oleh banyaknya penduduk dan tenaga

Lebih terperinci

SKRIPSI ARDIANSYAH H

SKRIPSI ARDIANSYAH H FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PRODUKTIVITAS KERJA PETANI KEBUN PLASMA KELAPA SAWIT (Studi Kasus Kebun Plasma PTP. Mitra Ogan, Kecamatan Peninjauan, Sumatra Selatan) SKRIPSI ARDIANSYAH H34066019

Lebih terperinci

: NUSRAT NADHWATUNNAJA A

: NUSRAT NADHWATUNNAJA A ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI PAPRIKA HIDROPONIK DI DESA PASIR LANGU, KECAMATAN CISARUA, KABUPATEN BANDUNG Oleh : NUSRAT NADHWATUNNAJA A14105586 PROGRAM SARJANA

Lebih terperinci

ANALISIS PERMINTAAN DAN PENAWARAN INDUSTRI KECAP DI INDONESIA OLEH RINA MARYANI H

ANALISIS PERMINTAAN DAN PENAWARAN INDUSTRI KECAP DI INDONESIA OLEH RINA MARYANI H ANALISIS PERMINTAAN DAN PENAWARAN INDUSTRI KECAP DI INDONESIA OLEH RINA MARYANI H14103070 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007 RINGKASAN RINA MARYANI. Analisis

Lebih terperinci

VII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI JAGUNG MANIS

VII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI JAGUNG MANIS VII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI JAGUNG MANIS Keberhasilan usahatani yang dilakukan petani biasanya diukur dengan menggunakan ukuran pendapatan usahatani yang diperoleh. Semakin besar pendapatan usahatani

Lebih terperinci

ANALISIS STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA INDUSTRI KECIL OLAHAN CARICA

ANALISIS STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA INDUSTRI KECIL OLAHAN CARICA ANALISIS STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA INDUSTRI KECIL OLAHAN CARICA (Studi Kasus pada Industri Kecil Olahan Carica di Kecamatan Mojotengah, Kabupaten Wonosobo) SKRIPSI SHINTA KARTIKA DEWI H34050442 DEPARTEMEN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Tanaman hortikultura merupakan salah satu tanaman yang menunjang pemenuhan gizi masyarakat sebagai sumber vitamin, mineral, protein, dan karbohidrat (Sugiarti, 2003).

Lebih terperinci

USAHATANI DAN TATANIAGA KACANG KAPRI DI KECAMATAN WARUNGKONDANG, CIANJUR, PROVINSI JAWA BARAT. Oleh: DAVID ERICK HASIAN A

USAHATANI DAN TATANIAGA KACANG KAPRI DI KECAMATAN WARUNGKONDANG, CIANJUR, PROVINSI JAWA BARAT. Oleh: DAVID ERICK HASIAN A USAHATANI DAN TATANIAGA KACANG KAPRI DI KECAMATAN WARUNGKONDANG, CIANJUR, PROVINSI JAWA BARAT Oleh: DAVID ERICK HASIAN A 14105524 PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (b) Mewujudkan suatu keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia.

I. PENDAHULUAN. (b) Mewujudkan suatu keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara tradisional Indonesia adalah negara agraris yang banyak bergantung pada aktivitas dan hasil pertanian, dapat diartikan juga sebagai negara yang mengandalkan sektor

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang cukup berpengaruh

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang cukup berpengaruh I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang cukup berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Sektor ini memiliki share sebesar 14,9 % pada

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pertanian. Tidak dapat dipungkiri bahwa sektor pertanian memegang peranan

I. PENDAHULUAN. pertanian. Tidak dapat dipungkiri bahwa sektor pertanian memegang peranan 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara pertanian (agraris) yang sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai petani atau bergerak di bidang pertanian. Tidak dapat dipungkiri

Lebih terperinci

ANALISIS RISIKO DALAM USAHATERNAK AYAM BROILER (Studi Kasus Usaha Peternakan X di Desa Tapos, Kecamatan Tenjo, Kabupaten Bogor)

ANALISIS RISIKO DALAM USAHATERNAK AYAM BROILER (Studi Kasus Usaha Peternakan X di Desa Tapos, Kecamatan Tenjo, Kabupaten Bogor) ANALISIS RISIKO DALAM USAHATERNAK AYAM BROILER (Studi Kasus Usaha Peternakan X di Desa Tapos, Kecamatan Tenjo, Kabupaten Bogor) Oleh FAISHAL ABDUL AZIZ H34066044 PROGRAM SARJANA AGRIBISNIS PENYELENGGARAAN

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Usaha Peternakan Ayam Broiler

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Usaha Peternakan Ayam Broiler II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Usaha Peternakan Ayam Broiler Ayam ras pedaging disebut juga broiler, yang merupakan jenis ras unggulan hasil persilangan dari bangsa-bangsa ayam yang memiliki daya produktivitas

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang berpengaruh terhadap pembangunan negara. Pertanian merupakan salah satu bagian dari bidang agribisnis. Saragih dan

Lebih terperinci

ANALISIS EFISIENSI PRODUKSI DAN PENDAPATAN USAHATANI UBI KAYU (Studi Kasus Desa Pasirlaja, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor) ALFIAN NUR AMRI

ANALISIS EFISIENSI PRODUKSI DAN PENDAPATAN USAHATANI UBI KAYU (Studi Kasus Desa Pasirlaja, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor) ALFIAN NUR AMRI ANALISIS EFISIENSI PRODUKSI DAN PENDAPATAN USAHATANI UBI KAYU (Studi Kasus Desa Pasirlaja, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor) ALFIAN NUR AMRI DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. potensi besar dalam pengembangan di sektor pertanian. Sektor pertanian di

I. PENDAHULUAN. potensi besar dalam pengembangan di sektor pertanian. Sektor pertanian di 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris dengan ribuan pulau yang mempunyai potensi besar dalam pengembangan di sektor pertanian. Sektor pertanian di Indonesia telah memberikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Komoditas hortikultura tergolong komoditas yang bernilai ekonomi tinggi

BAB I PENDAHULUAN. Komoditas hortikultura tergolong komoditas yang bernilai ekonomi tinggi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Komoditas hortikultura tergolong komoditas yang bernilai ekonomi tinggi dan menjadi salah satu sumber pertumbuhan ekonomi wilayah (Badan Litbang Pertanian

Lebih terperinci

V GAMBARAN UMUM PASAR INDUK KRAMAT JATI

V GAMBARAN UMUM PASAR INDUK KRAMAT JATI V GAMBARAN UMUM PASAR INDUK KRAMAT JATI 5.1 Manajemen Pasar Induk Kramat Jati Pasar Induk Kramat Jati dengan dasar hukum menurut Peraturan Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 3 tahun 2009 tanggal 28 Juli

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1 Gambaran Umum Kabupaten Kerinci 5.1.1 Kondisi Geografis Kabupaten Kerinci terletak di sepanjang Bukit Barisan, diantaranya terdapat gunung-gunung antara lain Gunung

Lebih terperinci

ANALISIS USAHATANI PADI PESTISIDA DAN NON PESTISIDA DI DESA PURWASARI, KECAMATAN DARMAGA, KABUPATEN BOGOR, JAWA BARAT. Oleh: VERRA ANGGREINI A

ANALISIS USAHATANI PADI PESTISIDA DAN NON PESTISIDA DI DESA PURWASARI, KECAMATAN DARMAGA, KABUPATEN BOGOR, JAWA BARAT. Oleh: VERRA ANGGREINI A ANALISIS USAHATANI PADI PESTISIDA DAN NON PESTISIDA DI DESA PURWASARI, KECAMATAN DARMAGA, KABUPATEN BOGOR, JAWA BARAT Oleh: VERRA ANGGREINI A14101021 PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Subsektor hortikultura merupakan salah satu subsektor pertanian yang memberikan kontribusi strategis dalam menyumbang nilai Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia dan berperan

Lebih terperinci

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1 Kombinasi Produk Optimum Penentuan kombinasi produksi dilakukan untuk memperoleh lebih dari satu output dengan menggunakan satu input. Hal ini

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN Latar Belakang

I PENDAHULUAN Latar Belakang 1.1. Latar Belakang I PENDAHULUAN Indonesia sebagai negara agraris memiliki hasil pertanian yang sangat berlimpah. Pertanian merupakan sektor ekonomi yang memiliki posisi penting di Indonesia. Data Product

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kontribusi dalam upaya pemulihan dan pertumbuhan ekonomi. Salah satu

BAB I PENDAHULUAN. kontribusi dalam upaya pemulihan dan pertumbuhan ekonomi. Salah satu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian khususnya tanaman hortikultura selama ini mempunyai peluang yang besar, tidak hanya sebagai penyedia bahan pangan bagi penduduk Indonesia yang saat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. petani. Indonesia merupakan negara yang agraris dengan komoditas pertanian yang

I. PENDAHULUAN. petani. Indonesia merupakan negara yang agraris dengan komoditas pertanian yang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia selama ini dikenal sebagai negara agraris yang memiliki sumber daya alam yang melimpah, dan negara yang mengandalkan sektor pertanian sebagai penopang pembangunan

Lebih terperinci

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KELANCARAN PENGEMBALIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (Studi Kasus pada PT Bank BRI Unit Cimanggis, Cabang Pasar Minggu)

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KELANCARAN PENGEMBALIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (Studi Kasus pada PT Bank BRI Unit Cimanggis, Cabang Pasar Minggu) FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KELANCARAN PENGEMBALIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (Studi Kasus pada PT Bank BRI Unit Cimanggis, Cabang Pasar Minggu) SKRIPSI VIRGITHA ISANDA AGUSTANIA H34050921 DEPARTEMEN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian masih merupakan prioritas pembangunan secara nasional maupun regional. Sektor pertanian memiliki peran penting untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN Latar Belakang

I PENDAHULUAN Latar Belakang 1.1. Latar Belakang I PENDAHULUAN Pertanian merupakan salah satu sektor kehidupan yang bidang pekerjaannya berhubungan dengan pemanfaatan alam sekitar dengan menghasilkan produk pertanian yang diperlukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki sumber daya alam yang beraneka ragam dan memiliki wilayah yang cukup luas. Hal ini yang membuat Indonesia menjadi

Lebih terperinci

ANALISIS USAHATANI PADI DAN PALAWIJA PADA LAHAN KERING DI KALIMANTAN SELATAN

ANALISIS USAHATANI PADI DAN PALAWIJA PADA LAHAN KERING DI KALIMANTAN SELATAN ANALISIS USAHATANI PADI DAN PALAWIJA PADA LAHAN KERING DI KALIMANTAN SELATAN (Studi Kasus di Desa Budi Mulia, Kabupaten Tapin) Oleh : Adreng Purwoto*) Abstrak Di masa mendatang dalam upaya mencukupi kebutuhan

Lebih terperinci

KAJIAN SISTEM PEMASARAN KEDELAI DI KECAMATAN BERBAK KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR HILY SILVIA ED1B012004

KAJIAN SISTEM PEMASARAN KEDELAI DI KECAMATAN BERBAK KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR HILY SILVIA ED1B012004 KAJIAN SISTEM PEMASARAN KEDELAI DI KECAMATAN BERBAK KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR HILY SILVIA ED1B012004 SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian Pada Fakultas Pertanian

Lebih terperinci

ANALISIS NILAI TAMBAH, EFISIENSI DAN FAKTOR- FAKTOR YANG MEMPENGARUHI OUTPUT INDUSTRI MINYAK GORENG SAWIT DI INDONESIA

ANALISIS NILAI TAMBAH, EFISIENSI DAN FAKTOR- FAKTOR YANG MEMPENGARUHI OUTPUT INDUSTRI MINYAK GORENG SAWIT DI INDONESIA ANALISIS NILAI TAMBAH, EFISIENSI DAN FAKTOR- FAKTOR YANG MEMPENGARUHI OUTPUT INDUSTRI MINYAK GORENG SAWIT DI INDONESIA OLEH M. FAJRI FIRMAWAN H14104120 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

Lebih terperinci

ANALISIS CABANG USAHATANI DAN SISTEM TATANIAGA PISANG TANDUK

ANALISIS CABANG USAHATANI DAN SISTEM TATANIAGA PISANG TANDUK ANALISIS CABANG USAHATANI DAN SISTEM TATANIAGA PISANG TANDUK (Studi Kasus: Desa Nanggerang, Kecamatan Cicurug, Kabupaten Sukabumi, Propinsi Jawa Barat) Oleh : TANTRI MAHARANI A14104624 PROGAM SARJANA EKSTENSI

Lebih terperinci

SKRIPSI MARIA MONTESORI H

SKRIPSI MARIA MONTESORI H OPTIMALISASI ALOKASI MODAL PORTOFOLIO PEMASARAN PRODUK DENGAN PENDEKATAN MINIMISASI RISIKO PADA LEMBAGA PERTANIAN SEHAT, KECAMATAN BOGOR SELATAN, KOTA BOGOR SKRIPSI MARIA MONTESORI H34066077 DEPARTEMEN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Umum Komoditas Bawang Merah

TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Umum Komoditas Bawang Merah II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Umum Komoditas Bawang Merah Bawang merah merupakan salah satu komoditas hortikultura yang merupakan anggota Allium yang paling banyak diusahakan dan memiliki nilai ekonomis

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hortikultura merupakan salah satu subsektor unggulan dalam sektor pertanian di Indonesia. Perkembangan hortikultura di Indonesia dapat dilihat dari perkembangan produksi

Lebih terperinci

ANALISIS USAHATANI JAMUR TIRAM PUTIH (Kasus : Kelompok Wanita Tani Hanjuang, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat)

ANALISIS USAHATANI JAMUR TIRAM PUTIH (Kasus : Kelompok Wanita Tani Hanjuang, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat) ANALISIS USAHATANI JAMUR TIRAM PUTIH (Kasus : Kelompok Wanita Tani Hanjuang, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat) Skripsi SRI ROSMAYANTI H 34076143 DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS

Lebih terperinci