VII ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KERAGAAN PASAR

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "VII ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KERAGAAN PASAR"

Transkripsi

1 VII ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KERAGAAN PASAR 7.1. Analisis Struktur Pasar Struktur pasar nenas diketahui dengan melihat jumlah penjual dan pembeli, sifat produk, hambatan masuk dan keluar pasar, keadaan nenas di Desa Paya Besar dan informasi mengenai harga nenas di pasar Struktur Pasar di Tingkat Petani Struktur pasar yang dihadapi oleh petani di Desa Paya Besar cenderung mengarah kepada struktur bersaing murni. Kecenderungan struktur pasar oligopoli dilihat dari jumlah petani (penjual) banyak dari jumlah pedagang pengumpul (pembeli). Berdasarkan heterogenitas produk, nenas yang diperdagangkan petani bersifat homogen. Kondisi hambatan keluar masuk pasar relatif kecil. Hal ini diakibatkan tidak ada ikatan bagi petani untuk memasarkan nenasnya kepada pedagang pengumpul tertentu. Petani bebas menjual hasil panennya kepada pedagang pengumpul. Menurut informasi yang diperoleh dari petani, petani akan menjual nenas kepada pedagang pengumpul yang menetapkan harga beli tinggi dibandingkan pengumpul lainnya. Meskipun usahatani nenas bukan menjadi sumber utama pendapatan, petani di Desa Paya Besar masih menggantungkan penghasilannya terhadap tanaman sampingan selain nenas misalnya semangka dan tanaman hortikultura lainnya. Petani sangat tergantung kepada pedagang pengumpul dalam menjual hasil panennya. Hal ini dikarenakan petani tidak memiliki alternatif pasar lainnya. Selain itu petani juga membutuhkan modal secara cepat untuk musim tanam berikutnya. Posisi petani cenderung sebagai price taker dalam penentuan harga dan tidak memiliki kemampuan tawar yang kuat. Sehingga petani tidak dapat mempengaruhi harga pasar. Petani tidak menanggung risiko atas biaya pengangkutan dan risiko barang tidak terjual, karena semua hasil panennya dibeli oleh pedagang pengumpul yang mengambil langsung hasil panen ke tempat petani. Petani kadang-kadang memperoleh informasi pasar mengenai harga nenas dari pedagang pengumpul.

2 Struktur Pasar di Tingkat Pedagang Pengumpul Desa Struktur pasar pedagang pengumpul desa cenderung mengarah kepada pasar oligopoli. Hal ini ditunjukkan dengan jumlah penjual (pedagang pengumpul desa) lebih banyak dibandingkan dengan jumlah pembeli (pedagang besar). Namun, produk yang dipertukarkan bersifat seragam atau homogen. Pedagang pengumpul bebas menentukan untuk membeli nenas dari petani manapun. Ketika dihadapkan dengan pedagang besar maka hambatan keluar masuk pasar tingkat pedagang pengumpul cenderung tinggi. Hal ini dikarenakan pedagang pengumpul telah memiliki kepercayaan yang tinggi untuk memasarkan nenas kepada pedagang besar. Sehingga pemain baru harus memiliki kemampuan lebih dalam mengakses pasar. Pedagang pengumpul desa tidak dapat mempengaruhi harga yang terjadi di pasar. Pedagang pengumpul memperoleh informasi harga melalui pedagang besar yang berada di Pasar Induk Kramat Jati maupun Pasar Induk Jakabaring. Informasi ini diakses dengan menghubungi pedagang besar secara langsung Struktur Pasar di Tingkat Pedagang Besar Pedagang besar menghadapi struktur pasar yang cenderung mengarah ke struktur pasar oligopsoni. Dimana pedagang besar sebagai penjual dan pedagang pengecer sebagai pembeli. Jumlah penjual lebih sedikit dibandingkan jumlah pembeli. Produk yang dipertukarkan bersifat homogen yaitu berupa nenas segar. Hambatan keluar masuk pasar bagi pedagang besar cukup tinggi. Hal ini dipengaruhi oleh sulitnya mendapatkan izin berdagang di dalam pasar induk serta tingginya harga kios di dalam pasar induk. Pedagang besar dapat mempengaruhi harga pasar dengan memperoleh informasi dari Dinas Pasar Induk Kramat Jati. Pedagang besar di Pasar Induk Kramat Jati dapat melakukan prediksi harga nenas berdasarkan jumlah pasokan dan permintaan dari pedagang pengecer dan konsumen pada setiap periode. Sedangkan pedagang besar di Pasar Induk Jakabaring menentukan harga nenas dengan pertimbangan berdasarkan jumlah penawaran dan permintaan nenas pada saat itu. Informasi harga didapatkan dari sesama pedagang besar.

3 Struktur Pasar di Tingkat Pedagang Pengecer Struktur pasar yang terjadi di tingkat pedagang pengecer cenderung mengarah ke struktur pasar bersaing murni. Hal ini dikarenakan jumlah pedagang pengecer sebagai penjual dan konsumen sebagai pembeli cukup banyak dan menyebar. Jumlah produk yang dipertukarkan bersifat homogen. Pedagang pengecer tidak dapat mempengaruhi harga pasar. Informasi harga yang terjadi di tingkat pedagang pengecer diperoleh dari pedagang besar dan sesama pedagang pengecer. Sehingga informasi dapat diperoleh pedagang pengecer dengan mudah. Sedangkan hambatan keluar masuk pasar cenderung rendah karena tidak ada ikatan khusus yang mengatur pedagang pengecer maupun konsumen. Sedangkan jika dihadapkan dengan pedagang besar, struktur pasar yang terjadi cenderung mengarah ke oligopsoni. Dimana jumlah pedagang pengecer (pembeli) lebih banyak dibandingkan dengan jumlah pedagang besar (penjual). Produk yang dipertukarkan bersifat homogen yaitu nenas segar. Dilihat secara keseluruhan struktur pasar yang dihadapi pada tataniaga nenas Bogor dan nenas Palembang di Prabumulih cenderung mengarah ke struktur pasar oligopoli menurut Sihombing (2010) dan Hermansyah (2008). Struktur pasar oligopoli ditandai dengan jumlah penjual lebih banyak dari jumlah pembeli, terdapat hambatan masuk dan keluar, barang yang dipertukarkan homogen, dan informasi pasar biasanya dikuasai oleh lembaga tataniaga yang lebih tinggi Analisis Perilaku Pasar Perilaku pasar merupakan pola atau tingkah laku lembaga-lembaga tataniaga yang menyesuaikan dengan struktur pasar dimana lembaga yang bersangkutan melakukan aktivitas penjualan dan pembelian serta menentukan keputusan-keputusan dalam menghadapi struktur pasar tersebut. Perilaku pasar dapat diketahui dengan mengamati praktik penjualan dan pembelian yang dilakukan masing-masing lembaga tataniaga, sistem penentuan harga, sistem pembayaran dan kerjasama diantara lembaga tataniaga Praktik Pembelian dan Penjualan Praktik pembelian dan penjualan nenas di Desa Paya Besar melibatkan lembaga-lembaga tataniaga, terkecuali petani yang hanya melakukan praktik

4 penjualan dan konsumen yang hanya melakukan praktik pembelian. Petani menjual nenasnya kepada pedagang pengumpul desa. Sebagian besar petani di Desa Paya Besar menjual nenasnya langsung dari lahan petani. Terkadang petani melakukan sistem tebas dalam melakukan penjualan nenasnya. Sistem tebas dilakukan dengan menyerahkan proses pemanenan kepada pedagang pengumpul desa dengan menggunakan fasilitas pedagang pengumpul. Akan tetapi, sistem ini sering merugikan petani karena jumlah nenas yang dipanen seringkali tidak sesuai dengan jumlah yang seharusnya. Hampir seluruh petani masih menggantungkan pemasaran nenasnya kepada pedagang pengumpul desa. Hal ini disebabkan petani ingin cepat mendapatkan uang hasil panennya. Petani tidak memiliki alternatif pemasaran lain karena keterbatasan fasilitas yang dimiliki oleh petani. Umumnya pedagang pengumpul melakukan praktik pembelian langsung di lahan petani. Nenas yang dipanen oleh petani biasanya dikumpulkan di pinggir lahan dan kemudian pedagang pengumpul akan mengambil nenas yang telah dipanen sendiri oleh petani. Artinya pedagang pengumpul mengeluarkan biaya pengangkutan. Beberapa pedagang pengumpul melakukan pembelian dengan sistem tebas, yakni pedagang pengumpul mendatangi lahan petani yang siap panen dan melakukan pemanenan dengan menggunakan fasilitas dari pedagang pengumpul. Posisi tawar pedagang pengumpul lebih tinggi dari petani sehingga petani sangat tergantung pada pedagang pengumpul. Kegiatan penjualan pedagang pengumpul dilakukan kepada pedagang besar baik di Palembang maupun di Jakarta serta pada pedagang pengecer. Pedagang besar melakukan pembelian nenas melalui pedagang pengumpul desa. Biasanya pedagang besar sudah memiliki langganan namun tidak terikat dengan pedagang pengumpul desa. Kegiatan pembelian oleh pedagang besar dilakukan di tempat pedagang besar. Selanjutnya dilakukan kegiatan penjualan kepada pedagang pengecer. Kegiatan penjualan juga berlangsung di tempat pedagang besar. Praktik pembelian pada tingkat pedagang pengecer dilakukan dengan pedagang pengumpul desa dan pedagang besar. Praktik pembelian dari pedagang pengumpul desa dilakukan di tempat pedagang pengecer. Penjualan dilakukan pedagang pengecer dengan konsumen akhir. Secara umum praktik pembelian dan

5 penjualan nenas di Desa Paya Besar dipengaruhi oleh ikatan pelanggan dan ikatan kekeluargaan. Jika membandingkan praktik pembelian dan penjualan yang dilakukan pada nenas Palembang dan nenas Bogor maka terdapat perbedaan pada lembaga pemasaran yang dituju. Hal ini menyesuaikan dengan saluran yang terbentuk pada masing-masing lokasi penelitian. Nenas Bogor dijual oleh petani melalui dua cara yaitu kepada pedagang pengumpul desa dan langsung kepada pedagang pengecer. Sedangkan nenas Palembang, seluruhnya dijual melalui pedagang pengumpul desa. Tujuan akhir pemasaran nenas Bogor yaitu konsumen yang ada di wilayah Bogor. Sedangkan tujuan akhir pemasaran nenas Palembang yaitu konsumen di Kota Palembang dan konsumen di wilayah Jakarta dan sekitarnya Sistem Penentuan Harga dalam Transaksi Sistem penentuan harga dalam sistem tataniaga nenas di Desa Paya Besar pada umumnya melalui proses tawar-menawar. Namun, harga di tingkat petani biasanya ditentukan oleh pedagang pengumpul desa meskipun terdapat proses tawar-menawar sebelumnya. Hal ini dikarenakan pedagang pengumpul memiliki informasi harga yang lebih banyak. Pedagang pengumpul memiliki kekuatan untuk menentukan harga nenas di tingkat petani. Biasanya para pedagang pengumpul menentukan harga berdasarkan umur panen dan kualitas nenas petani. Penentuan harga antara pedagang pengumpul dan pedagang besar ditentukan oleh pedagang besar. Pedagang besar memiliki kemampuan untuk menentukan harga bagi pedagang pengecer atau konsumen (catering). Harga ditetapkan dari harga beli ditambah dengan biaya pemasaran dan keuntungan. Sedangkan sistem penetapan harga di tingkat pedagang pengecer dilakukan dengan penetapan harga per satuan buah nenas sesuai dengan ukuran tertentu atau grade. Harga diperoleh dari harga beli ditambah dengan biaya pemasaran dan keuntungan. Pada umumnya penetapan harga nenas di Desa Paya Besar dilakukan dengan cara tawar-menawar dengan mempertimbangkan harga beli, biaya pemasaran dan keuntungan yang diperoleh. Penetapan harga ini sama halnya dengan penetapan harga pada nenas Bogor dan nenas Blitar.

6 Sistem Pembayaran dalam Transaksi Sistem pembayaran yang digunakan oleh lembaga tataniaga nenas di Desa Paya Besar antara lain sebagai berikut: 1. Sistem Pembayaran Tunai Sistem pembayaran tunai dilakukan oleh 27 petani atau sebesar 90 persen dan semua lembaga tataniaga nenas. Lembaga tataniaga yang menggunakan sistem pembayaran ini diantaranya: pedagang pengumpul kepada petani, pedagang besar ke pedagang pengumpul, pengecer kepada pedagang pengumpul dan pedagang besar, serta konsumen kepada pedagang pengecer. 2. Sistem Pembayaran Kemudian Sistem pembayaran ini dilakukan oleh tiga petani atau sebesar 10 persen yang terlibat di Desa Paya Besar. Berdasarkan informasi di lapangan, sistem pembayaran ini merupakan kesepakatan antara kedua lembaga tataniaga (penjual dan pembeli). Sistem pembayaran ini dilakukan dengan cara pembayaran dimuka kemudian sisanya dibayarkan selanjutnya. Biasanya sisa pembayaran diberikan pada dua sampai tiga hari setelah nenas dijual. Sistem pembayaran ini dilakukan oleh pedagang pengumpul desa yang kekurangan modal untuk melakukan pembelian kepada petani secara tunai. Lembaga lain yang melakukan sistem pembayaran ini adalah pedagang besar dengan konsumen (catering) yang membeli nenas dalam jumlah besar. Biasanya pihak konsumen akan membayar sebagian uang pembelian nenas dan sisanya akan diberikan pada lima sampai tujuh hari setelah nenas dibeli. Namun, sistem pembayaran ini sangat jarang dilakukan karena pedagang besar merasa dirugikan. Pemasaran nenas Bogor juga melakukan sistem pembayaran tunai dan sistem pembayaran kemudian. Sistem pembayaran kemudian dilakukan dengan pembayaran dimuka dan sisanya dibayar kemudian. Sistem pembayaran ini dilakukan oleh pedagang pengolah dengan pedagang pengumpul desa. Pedagang pengolah sering berinisiatif memberikan uang terlebih dahulu pada pedagang pengumpul. Menurut Sihombing (2010) kesepakatan tersebut secara tidak langsung memberikan ikatan hubungan kepada keduanya dalam menjaga kontinuitas produk dan kelancaran usaha.

7 Kerjasama Antar Lembaga Tataniaga Kerjasama antar lembaga tataniaga terjadi antara pedagang pengumpul desa dengan pedagang besar atau dengan pedagang pengecer ketika akan membeli atau menjual nenasnya. Pedagang besar biasanya akan menghubungi pedagang pengumpul yang memiliki nenas dalam jumlah tertentu. Kedua lembaga tersebut akan saling menghubungi dan menentukan harga pembelian yang disesuaikan dengan harga yang berlaku di pasar. Kerjasama ini terjalin karena adanya ikatan antara penjual dan pembeli yang sudah terbangun cukup lama. Kerjasama ini dilakukan dengan tujuan untuk menjaga kontinuitas pasokan pembelian dan penjualan nenas dari pedagang pengumpul, pedagang besar dan pedagang pengecer. Kerjasama yang terjadi di tingkat petani belum dilaksanakan dengan baik. Hal ini dapat dilihat dari kurangnya kordinasi antar petani ketika akan menjual hasil panennya. Petani melakukan penjualan nenas secara individu atau sendirisendiri kepada pedagang pengumpul. Sehingga harga jual petani akan sangat dipengaruhi oleh pedagang pengumpul dan petani hanya berperan sebagai price taker. Padahal di Desa Paya Besar telah dibentuk empat kelompok tani dan satu gapoktan. Peranan kelompok tani ini baru dimanfaatkan untuk kegiatan budidaya tanaman tahunan seperti karet. Selama terbentuk, belum ada kegiatan yang dilakukan untuk pengembangan agribisnis nenas baik dari sisi budidaya, pemasaran maupun pengolahan. Kerjasama yang dilakukan antar petani yaitu dalam hal penyediaan bibit nenas. Petani yang kekurangan bibit nenas dapat melakukan peminjaman bibit pada petani lainnya. Sedangkan kerjasama antara petani dengan pedagang pengumpul desa sudah cukup lama terjalin. Kerjasama ini dilatarbelakangi adanya hubungan kekeluargaan atau kekerabatan karena keduanya tinggal di desa yang sama. Terkadang pedagang pengumpul memberikan pinjaman modal kepada petani. Pinjaman modal ini dilakukan ketika petani membutuhkan uang cepat namun kebun nenasnya belum panen. Maka saat musim panen, pedagang pengumpul akan membayar nenas petani sejumlah harga nenas yang dipanen dan dikurangi dengan pinjaman yang dilakukan oleh petani.

8 7.3. Analisis Keragaan Pasar Analisis Marjin Tataniaga Marjin tataniaga total merupakan perbedaan harga yang dibayarkan oleh konsumen dengan harga yang diterima oleh petani. Analisis marjin dihitung berdasarkan pengurangan harga penjualan dengan harga pembelian pada setiap lembaga tataniaga. Analisis marjin dilakukan mulai dari petani, pedagang pengumpul desa, pedagang besar dan pedagang pengecer. Analisis marjin pemasaran bertujuan untuk mengetahui efisiensi tataniaga nenas di Desa Paya Besar. Pada Tabel 20 dapat dilihat komponen-komponen dalam tataniaga diantaranya biaya tataniaga dan keuntungan yang diperoleh. Biaya tataniaga merupakan biaya yang dikeluarkan oleh lembaga tataniaga dalam memasarkan nenas di Desa Paya Besar hingga ke konsumen akhir. Jenis biaya yang dikeluarkan setiap lembaga tataniaga berbeda-beda meliputi biaya transportasi, tenaga kerja, retribusi, dan penyusutan. Sedangkan keuntungan tataniaga merupakan selisih antara harga jual dengan harga beli yang telah ditambahkan dengan biaya-biaya yang dikeluarkan oleh masing-masing lembaga tataniaga. marjin tataniaga pada setiap saluran sistem tataniaga nenas di Desa Paya Besar. Pedagang pengumpul desa membeli nenas dari petani di ketiga saluran tataniaga dengan harga yang berbeda yaitu Rp ,00 untuk buah pertama, Rp ,00 untuk buah kedua dan Rp ,00 untuk buah ketiga. Perbedaan harga ini didasarkan pada umur panen nenas, dimana untuk buah induk atau buah pertama harga jualnya lebih tinggi. Sedangkan untuk buah anakan dan buah catok (buah kedua dan ketiga) harga jualnya lebih murah. Hal ini dipengaruhi oleh ukuran buah dan kualitas buah yang dihasilkan. Tabel 20 mendapatkan bahwa harga jual nenas petani pada saluran pertama lebih rendah dibandingkan dengan harga jual nenas pada saluran kedua dan ketiga. Perbedaan harga ini dikarenakan setiap saluran tataniaga memiliki daerah pemasaran yang berbeda-beda dan permintaan ukuran nenas yang berbedabeda sehingga harga beli pedagang berbeda-beda disesuaikan dengan tingkat keuntungan yang ingin diperoleh. Harga pada saluran pertama merupakan ratarata harga nenas buah kedua dan buah ketiga yaitu Rp ,00.

9 Marjin tataniaga terbesar terdapat pada saluran dua yaitu sebesar Rp ,00. Hal ini dikarenakan pada saluran dua nenas yang dijual adalah nenas khusus kualitas super untuk memenuhi permintaan konsumen di Kota Palembang. Volume penjualannya lebih sedikit dibandingkan dengan saluran satu dan tiga. Untuk saluran satu dan tiga marjin tataniaga yang dihasilkan yaitu masing-masing sebesar Rp. 2090,44 dan Rp. 2817,54. Hal ini disebabkan pada saluran satu dan dua volume penjualan nenas cukup tinggi dan memiliki saluran yang cukup panjang. Nenas yang dijual pada saluran satu merupakan nenas buah kedua dan buah ketiga yang memiliki harga jual lebih rendah karena memiliki ukuran lebih kecil dari nenas buah pertama. Saluran satu merupakan salah satu saluran terpanjang karena melibatkan banyak lembaga tataniaga dalam mendistribusikan nenas hingga ke konsumen akhir. Khusus saluran tiga nenas yang didistribusikan adalah nenas yang memiliki kualitas super yang berukuran lebih besar. Kualitasnya sama dengan nenas yang dijual pada saluran kedua. Permintaan nenas buah pertama lebih banyak berasal dari konsumen non-lokal. Selain karena banyaknya permintaan, harga jual nenas pada saluran ini lebih tinggi dibandingkan dengan harga jual pada saluran dua. Oleh sebab itu, nenas kualitas super biasanya langsung dipasarkan ke Jakarta. Besar marjin yang dihasilkan untuk tiap saluran tataniaga ditentukan oleh volume penjualan nenas dan jarak lokasi pemasaran. Dalam kasus ini panjang pendeknya saluran rantai tataniaga bukan merupakan penentu dari besar kecilnya marjin yang dihasilkan. Berdasarkan keterangan pada Tabel 20 biaya tataniaga tertinggi pada jalur tataniaga yang ada di Desa Paya Besar ditanggung oleh saluran tiga yaitu sebesar Rp ,12. Hal ini disebabkan jarak distribusi yang cukup jauh dari sentra produksi nenas. Biaya tataniaga terkecil terdapat pada saluran satu yaitu sebesar Rp. 845,33. Saluran satu ini jarak distribusinya cukup dekat dengan sentra produksi dan volume nenas yang dijual lebih besar dibandingkan pada saluran dua. Jika dibandingkan dengan saluran satu yang jarak distribusinya cukup dekat, biaya tataniaga pada saluran dua lebih tinggi karena volume nenas yang dijual jumlahnya lebih sedikit dibandingkan dengan volume penjualan pada saluran satu dan tiga.

10 Tabel 20. Analisis Marjin Tataniaga Nenas pada Saluran I, II dan III di Desa Paya Besar, Kecamatan Payaraman, Kabupaten Ogan Ilir. Uraian Saluran Tataniaga (Rp/Buah) I II III 1. Petani a. Harga jual b. Biaya pemanenan 1142,86 100, ,00 100, ,79 100,00 2. Pedagang Pengumpul Desa a. Harga Beli b. Biaya Tataniaga c. Keuntungan d. Harga Jual e. Marjin 3. Pedagang Besar a. Harga Beli b. Biaya Tataniaga c. Harga Jual d. Keuntungan e. Marjin 4. Pedagang Pengecer a. Harga Beli b. Biaya Tataniaga c. Harga Jual d. Keuntungan e. Marjin 1142,86 270,00 353, ,67 623, ,67 247, ,70 253,03 500, ,70 228, ,30 738,27 966, ,00 683,33 416, , , ,00 163, , , ,79 550,00 600, , , ,67 173, ,67 426,88 600, ,67 225, ,33 841, ,67 Total biaya tataniaga 845,33 946, ,12 Total keuntungan 1345, , ,42 Total marjin 2090, , ,54 Keuntungan tataniaga terbesar terdapat pada saluran dua sebesar Rp. 2653,33. Saluran ini khusus untuk penjualan nenas dengan kualitas super atau nenas buah pertama sesuai dengan permintaan konsumen lokal di wilayah Kota Palembang. Pedagang pengumpul desa dan pedagang pengecer memanfaatkan saluran untuk mengambil keuntungan yang besar dengan mematok harga tinggi pada nenas yang dijual. Keuntungan yang didapat pada saluran tiga yaitu sebesar Rp ,42. Hal ini dikarenakan rantai tataniaga yang cukup panjang dan konsumen akhir merupakan penduduk non-lokal. Selain itu jarak distribusi mempengaruhi biaya tataniaga sehingga pedagang menjual dengan harga yang cukup tinggi untuk mendapatkan keuntungan yang diharapkan. Sedangkan keuntungan terkecil terdapat pada saluran satu sebesar Rp ,11. Hal ini dikarenakan harga jualnya tidak terlalu tinggi namun rantai lembaga tataniaga

11 pada saluran ini cukup panjang sehingga keuntungan yang diperoleh tidak terlalu besar. Berdasarkan analisis marjin tataniaga nenas di Desa Paya Besar, maka saluran satu merupakan saluran yang efisien jika dibandingkan dengan saluran lainnya. Jika dibandingkan dengan analisis pemasaran nenas dari kota lainnya seperti nenas Bogor dan nenas Blitar maka nenas Palembang memiliki marjin paling besar. Besarnya marjin dipengaruhi oleh biaya tataniaga masing-masing nenas. Nenas Palembang dipasarkan hingga keluar Provinsi Sumatera Selatan. Hal ini menyebabkan tingginya biaya transportasi karena jarak yang ditempuh cukup jauh. Sedangkan pemasaran nenas Bogor dan nenas Blitar hanya menjangkau pasar dalam kabupaten dan provinsi sehingga biaya transportasi tidak terlalu tinggi Analisis Farmer s Share Analisis farmer s share merupakan perbandingan harga yang diterima oleh petani nenas dengan harga yang dibayar oleh konsumen akhir. Analisis farmer s share digunakan sebagai indikator untuk menentukan efisiensi saluran tataniaga suatu produk. Analisis farmer s share berkebalikan dengan analisis marjin tataniaga. Namun, farmer s share yang tinggi tidak selalu menunjukkan bahwa sebuah saluran tataniaga efisien. Farmer s share yang diterima petani pada saluran tataniaga nenas di Desa Paya Besar dapat dilihat pada Tabel 21. Tabel 21. Farmer s Share pada Saluran Tataniaga Nenas di Desa Paya Besar Saluran Tataniaga Harga di tingkat petani Harga di tingkat konsumen Farmer s Share (%) (Rp/Buah) (Rp/Buah) Saluran I 1142, ,30 35,35 Saluran II 2000, ,00 36,36 Saluran III 2015, ,33 41,71 Tabel 21 menunjukkan bahwa bagian terbesar yang diterima petani terdapat pada saluran tiga yaitu sebesar 41,71 persen. Saluran tiga merupakan saluran dengan total marjin tataniaga terendah kedua dan biaya tataniaga tertinggi. Saluran satu dan dua memiliki nilai farmer s share yaitu masing-masing sebesar

12 35,35 persen dan 36,36 persen. Hal ini dikarenakan marjin yang diambil pada saluran dua sangat tinggi jika dibandingkan dengan kedua saluran lainnya. Berdasarkan ketiga nilai farmer s share pada masing-masing saluran tataniaga, maka dapat disimpulkan bahwa saluran yang paling menguntungkan bagi petani adalah saluran tiga. Berdasarkan hasil penelitian tataniaga nenas Bogor di Desa Cipelang, Kecamatan Cijeruk, Kabupaten Bogor bahwa nilai farmer s share tertinggi terdapat pada saluran dua sebesar 75 persen. Lembaga tataniaga yang dilibatkan pada saluran ini adalah petani, pedagang pengumpul desa dan langsung dijual ke pedagang pengolah. Sedangkan nilai farmer s share terbesar pada tataniaga nenas Blitar sebesar 66,67 persen. Jika dilihat dari nilai farmer s share tataniaga nenas dari masing-masing daerah, maka kedua saluran tersebut merupakan saluran terpendek dari tataniaga nenas yang ada di lokasi penelitian masing-masing dan jarak pemasaran pada kedua saluran tersebut cukup dekat dengan lokasi sentra produksi nenas di masing-masing tempat penelitian. Tataniaga nenas Palembang di Desa Paya Besar memiliki nilai farmer s share terendah dibandingkan nenas Bogor dan nenas Blitar Analisis Rasio Keuntungan dan Biaya Efisiensi sistem tataniaga dari suatu komoditas dapat ditunjukkan dengan membandingkan antara besarnya keuntungan terhadap biaya tataniaga. Saluran tataniaga dinyatakan efisien jika penyebaran nilai rasio keuntungan terhadap biaya di setiap lembaga tataniaga tersebar merata. Hal ini dapat diartikan bahwa setiap biaya yang dikeluarkan oleh lembaga tataniaga akan memberikan keuntungan yang tidak jauh berbeda pada masing-masing lembaga tataniaga yang terdapat dalam saluran tersebut. Rasio keuntungan terhadap biaya tataniaga nenas di Desa Paya Besar dapat dilihat pada Tabel 22. Berdasarkan Tabel 22 saluran satu memiliki nilai rasio keuntungan terhadap biaya sebesar 1,59 yang berarti setiap satu satuan rupiah yang dikeluarkan oleh lembaga tataniaga akan memberikan keuntungan sebesar Rp. 1,59. Biaya terbesar ditanggung oleh pedagang pengumpul yaitu sebesar Rp. 270,00 per buah. Pada saluran ini petani mengeluarkan biaya angkut berupa biaya tenaga kerja yang ditugaskan mengangkut nenas dari lahan petani ke tempat

13 pedagang pengumpul desa. Keuntungan terbesar diperoleh oleh pedagang pengecer yaitu sebesar Rp. 738,27 per buah. Tabel 22. Rasio Keuntungan dan Biaya Untuk Setiap Saluran Tataniaga Nenas di Desa Paya Besar. Lembaga Tataniaga Saluran Tataniaga I II III Pedagang Pengumpul Desa Ci 270,00 683,33 550,00 Πi 353,81 416,67 600,87 Rasio πi/ci 1,31 0,61 1,09 Pedagang Besar Ci 247,00-173,12 Πi 253,03-426,88 Rasio πi/ci 1,02-2,46 Pedagang Pengecer Ci 228,33 163,33 225,00 Πi 738, ,67 841,67 Rasio πi/ci 3,23 13,69 3,74 Total Ci 845,33 946, ,12 Πi 1237, , ,21 Rasio πi/ci 1,59 2,80 1,78 Saluran dua memiliki nilai rasio keuntungan terhadap biaya sebesar 2,80 yang berarti setiap satu rupiah yang dikeluarkan oleh lembaga tataniaga akan memberikan keuntungan sebesar Rp. 2,80. Nilai rasio pada saluran dua merupakan nilai rasio terbesar. Biaya tataniaga terbesar ditanggung oleh pedagang pengumpul desa yaitu sebesar Rp. 683,33 per buah. Sedangkan keuntungan terbesar diperoleh oleh pedagang pengecer yaitu sebesar Rp ,67 per buah. Pada saluran ini petani juga mengeluarkan biaya upah tenaga kerja untuk pengangkutan nenas sebesar Rp. 100 per buah. Saluran tiga memiliki nilai rasio keuntungan terhadap biaya sebesar 1,78 yang artinya setiap satu rupiah yang dikeluarkan oleh lembaga tataniaga akan memberikan keuntungan sebesar Rp. 1,78. Nilai rasio pada saluran tiga merupakan nilai rasio terbesar kedua setelah nilai rasio saluran dua. Biaya tataniaga terbesar pada saluran ini ditanggung oleh pedagang pengumpul desa yaitu sebesar Rp. 550,00 per buah. Keuntungan terbesar diperoleh pedagang pengecer yaitu sebesar Rp. 841,67 per buah.

14 Uraian di atas menyimpulkan bahwa semakin panjang saluran tataniaga maka semakin kecil rasio keuntungan terhadap biaya yang diperoleh. Dilihat dari penyebaran nilai rasio keuntungan dan biaya pada masing-masing lembaga dalam setiap saluran tataniaga maka saluran tiga memiliki nilai rasio keuntungan terhadap biaya yang cukup merata. Nilai rasio dan keuntungan saluran tiga pada pedagang pengumpul sebesar 1,09, pada pedagang besar sebesar 2,46 dan pada pedagang pengecer sebesar 3,74. Berdasarkan analisis rasio keuntungan terhadap biaya dari penelitian tataniaga nenas Palembang sebelumnya disimpulkan bahwa pola saluran pemasaran yang terbentuk tidak memberikan keuntungan yang merata pada setiap lembaga pemasaran yang terlibat karena cenderung terpusat pada salah satu lembaga tataniaga. Pedagang pengecer merupakan lembaga tataniaga yang hampir sering memperoleh nilai rasio keuntungan terhadap biaya tertinggi pada setiap saluran. Jika dibandingkan dengan nilai rasio keuntungan terhadap biaya dari nenas Bogor dan nenas Blitar maka nenas Blitar memiliki rasio keuntungan terhadap biaya sebesar 12,75 sedangkan nenas Palembang sebesar 2,80 dan 1,5 untuk nenas Bogor Efisiensi Tataniaga Efisiensi tataniaga dapat tercapai apabila sistem tataniaga yang ada telah memberikan kepuasan pada pelaku-pelaku tataniaga yang terlibat mulai dari petani hingga konsumen akhir. Berdasarkan hasil analisis tataniaga nenas Palembang diperoleh nilai efisiensi tataniaga untuk masing-masing saluran tataniaga sebagai berikut ditunjukkan pada Tabel 23. Tabel 23. Nilai Efisiensi Tataniaga pada Masing-Masing Saluran Tataniaga Nenas Palembang di Desa Paya Besar. Indikator Saluran Tataniaga I II III Total Marjin (Rp/Buah) 2090, , ,54 Farmer s share (%) 35,35 36,36 41,70 Rasio πi/ci 1,59 2,80 1,78 Volume (buah)

15 Ada beberapa indikator untuk menentukan efisiensi saluran tataniaga nenas Palembang diantaranya nilai marjin, farmer s share, sebaran nilai rasio keuntungan terhadap biaya dan volume penjualan nenas. Saluran tiga memiliki marjin tataniaga sebesar Rp ,54 per buah. Nilai marjin saluran tiga merupakan urutan kedua terkecil setelah nilai marjin pada saluran satu. Besarnya nilai farmer s share pada saluran tiga yaitu 41,71 persen. Nilai farmer s share saluran tiga merupakan nilai terbesar dibandingkan saluran lainnya. Nilai rasio keuntungan terhadap biaya terbesar terdapat pada saluran kedua. Namun jika dibandingkan dengan saluran lainnya, nilai rasio keuntungan terhadap biaya yang memiliki sebaran merata yaitu terdapat pada saluran tiga. Jika dilihat dari volume penjualan maka saluran tiga memiliki penjualan yang paling banyak yaitu buah nenas. Kondisi ini dipengaruhi oleh adanya kontinuitas permintaan terhadap buah nenas dari pasar yang ada di Jakarta. Saluran tiga juga merupakan saluran yang paling banyak digunakan oleh lembaga tataniaga nenas di Desa Paya Besar. Maka dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa saluran tataniaga nenas yang relatif lebih efisien adalah saluran tiga. Namun pada kondisi lapang saluran ini belum optimal. Hal ini disebabkan oleh faktor-faktor dimana posisi petani masih sebagai penerima harga, informasi yang dikuasai petani relatif lebih sedikit (terbatas) dibandingkan pedagang lainnya dan kelompok tani yang ada belum dimanfaatkan untuk kegiatan budidaya dan pemasaran nenas di Desa Paya Besar. Jika membandingkan efisiensi saluran tataniaga nenas Palembang dengan nenas dari kota lainnya diantaranya nenas Bogor dan nenas Blitar maka dapat dilihat pada Tabel 24. Tabel 24. Efisiensi Saluran Tataniaga Nenas Palembang, Nenas Bogor dan Nenas Blitar Indikator Rasio πi/ci Total Marjin (Rp/Buah) Farmer s Share (%) Nenas Palembang 2817,54 41,71 1,78 Nenas Bogor ,5 Nenas Blitar ,67 8,55

16 Berdasarkan hasil analisis perbandingan saluran tataniaga nenas Palembang dengan nenas Bogor dan nenas Blitar yang telah dilakukan sebelumnya oleh Sihombing (2010) dan Indhra (2007) bahwa dari ketiga saluran yang dinilai efisien secara operasional terdapat perbedaan marjin, farmers s share dan rasio keuntungan terhadap biaya. Saluran tataniaga nenas Palembang yang efisien memiliki marjin tataniaga sebesar Rp ,33 atau sebesar 58,29 persen, dengan farmer s share sebesar 41,71 persen dan rasio keuntungan terhadap biaya sebesar 1,78. Saluran ini melibatkan petani, pedagang pengumpul desa, pedagang besar non-lokal dan pedagang pengecer non-lokal. Nenas Palembang pada saluran ini dipasarkan ke Pasar Induk Kramat Jati. Harga jual nenas ke Pasar Induk Kramat Jati lebih tinggi jika dibandingkan dengan harga jual nenas ke pasar di wilayah Palembang untuk ukuran dan kualitas nenas yang relatif sama. Nenas yang dipasarkan melalui saluran ini merupakan nenas segar. Dilihat dari jumlah volume penjualan pada saluran ini maka jumlah nenas Palembang yang dialirkan melalui saluran tiga sebesar (74,33%). Jumlah ini tertinggi dibandingkan dengan dua saluran lainnya. Saluran tataniaga nenas Bogor yang efisien memiliki marjin tataniaga sebesar Rp. 500,00 (25%), dengan nilai farmer s share sebesar 75 persen dan rasio keuntungan terhadap biaya sebesar 1,5. Saluran ini melibatkan petani, pedagang pengumpul desa dan pedagang pengolah. Saluran ini merupakan saluran terpendek dari kedua saluran tataniaga nenas Bogor lainnya. Volume produksi nenas yang dijual pada saluran ini adalah 2100 buah (62,59%) untuk tiap minggunya. Tujuan penjualan nenas Bogor ini adalah pasar-pasar tradisional di sekitar Bogor. Pada saluran tataniaga nenas Bogor petani melakukan fungsi sortasi/grading. Hal ini memberikan nilai tambah kepada petani sehingga harga jual nenas di tingkat petani dapat lebih tinggi. Sihombing (2010) mengatakan bahwa sebagian petani nenas Bogor di Desa Cipelang telah menerapkan SOP pada usaha nenasnya. Saluran tataniaga nenas Blitar yang efisien memiliki marjin tataniaga sebesar Rp. 400,00 (33,33%), dengan nilai farmer s share sebesar 66,67 persen dan rasio keuntungan terhadap biaya sebesar 8,55. Saluran tataniaga ini

17 melibatkan petani, pedagang pengumpul desa dan pedagang pengecer. Nenas Blitar dipasarkan dalam bentuk segar dan hanya dijual di wilayah Ponggok dan Blitar. Sehingga biaya tataniaga yang dikeluarkan pada saluran ini lebih rendah yaitu sebesar Rp. 41,87 per buah.

VI SALURAN DAN FUNGSI TATANIAGA

VI SALURAN DAN FUNGSI TATANIAGA VI SALURAN DAN FUNGSI TATANIAGA 6.1. Lembaga Tataniaga Nenas yang berasal dari Desa Paya Besar dipasarkan ke pasar lokal (Kota Palembang) dan ke pasar luar kota (Pasar Induk Kramat Jati). Tataniaga nenas

Lebih terperinci

ANALISIS PEMASARAN NENAS PALEMBANG (KASUS: DESA PAYA BESAR, KECAMATAN PAYARAMAN, KABUPATEN OGAN ILIR, PROVINSI SUMATERA SELATAN)

ANALISIS PEMASARAN NENAS PALEMBANG (KASUS: DESA PAYA BESAR, KECAMATAN PAYARAMAN, KABUPATEN OGAN ILIR, PROVINSI SUMATERA SELATAN) Analisis Pemasaran Nenas Palembang ANALISIS PEMASARAN NENAS PALEMBANG (KASUS: DESA PAYA BESAR, KECAMATAN PAYARAMAN, KABUPATEN OGAN ILIR, PROVINSI SUMATERA SELATAN) Herawati 1) dan Amzul Rifin 2) 1,2) Departemen

Lebih terperinci

BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1 Saluran Tataniaga Saluran tataniaga sayuran bayam di Desa Ciaruten Ilir dari petani hingga konsumen akhir melibatkan beberapa lembaga tataniaga yaitu pedagang pengumpul

Lebih terperinci

IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2. Jenis dan Sumber Data 4.3. Metode Pengumpulan Data

IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2. Jenis dan Sumber Data 4.3. Metode Pengumpulan Data IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret April 2012 di Desa Paya Besar, Kecamatan Payaraman, Kabupaten Ogan Ilir, Provinsi Sumatera Selatan. Pemilihan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Tabel 1. Nilai PDB Hortikultura Berdasarkan Harga Berlaku Pada Tahun Kelompok

I PENDAHULUAN. Tabel 1. Nilai PDB Hortikultura Berdasarkan Harga Berlaku Pada Tahun Kelompok I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hortikultura merupakan salah satu komoditas pertanian yang berpotensi untuk dikembangkan. Pengembangan hortikuktura diharapkan mampu menambah pangsa pasar serta berdaya

Lebih terperinci

ANALISIS TATANIAGA BERAS

ANALISIS TATANIAGA BERAS VI ANALISIS TATANIAGA BERAS Tataniaga beras yang ada di Indonesia melibatkan beberapa lembaga tataniaga yang saling berhubungan. Berdasarkan hasil pengamatan, lembagalembaga tataniaga yang ditemui di lokasi

Lebih terperinci

VII ANALISIS PEMASARAN KEMBANG KOL 7.1 Analisis Pemasaran Kembang Kol Penelaahan tentang pemasaran kembang kol pada penelitian ini diawali dari petani sebagai produsen, tengkulak atau pedagang pengumpul,

Lebih terperinci

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1 Saluran Pemasaran Cabai Rawit Merah Saluran pemasaran cabai rawit merah di Desa Cigedug terbagi dua yaitu cabai rawit merah yang dijual ke pasar (petani non mitra) dan cabai

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Analisis Usahatani dan Pemasaran Kembang Kol

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Analisis Usahatani dan Pemasaran Kembang Kol II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Analisis Usahatani dan Pemasaran Kembang Kol Karo (2010) melakukan penelitian mengenai analisis usahatani dan pemasaran kembang kol di Kelompok Tani Suka Tani, Desa Tugu Utara,

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada tiga desa di Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur yaitu Desa Ciherang, Cipendawa, dan Sukatani. Pemilihan lokasi dilakukan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Konsep dasar dan batasan operasional merupakan pengertian dan petunjuk

III. METODE PENELITIAN. Konsep dasar dan batasan operasional merupakan pengertian dan petunjuk 28 III. METODE PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Batasan Operasiona Konsep dasar dan batasan operasional merupakan pengertian dan petunjuk mengenai variabel yang akan diteliti untuk memperoleh dan menganalisis

Lebih terperinci

VI HASIL DAN PEMBAHASAN

VI HASIL DAN PEMBAHASAN VI HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1 Saluran dan Lembaga Tataniaga Dalam menjalankan kegiatan tataniaga, diperlukannya saluran tataniaga yang saling tergantung dimana terdiri dari sub-sub sistem atau fungsi-fungsi

Lebih terperinci

BAB IX ANALISIS PEMASARAN PEPAYA SPO DAN PEPAYA NON SPO. memindahkan suatu produk dari titik produsen ke titik konsumen.

BAB IX ANALISIS PEMASARAN PEPAYA SPO DAN PEPAYA NON SPO. memindahkan suatu produk dari titik produsen ke titik konsumen. BAB IX ANALISIS PEMASARAN PEPAYA SPO DAN PEPAYA NON SPO Pemasaran adalah suatu runtutan kegiatan atau jasa yang dilakukan untuk memindahkan suatu produk dari titik produsen ke titik konsumen. Kelompok

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kelurahan Sukaresmi, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi penelitian ini dilakukan secara

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan di Desa Ciaruten Ilir, Kecamatan Cibungbulang,

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan di Desa Ciaruten Ilir, Kecamatan Cibungbulang, BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Desa Ciaruten Ilir, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja

Lebih terperinci

VI. ANALISIS TATANIAGA NENAS BOGOR

VI. ANALISIS TATANIAGA NENAS BOGOR VI. ANALISIS TATANIAGA NENAS BOGOR 6.1. Sistem Tataniaga Sistem Tataniaga nenas Bogor di Desa Cipelang yang dimulai dari petani sebagai penghasil (produsen) hingga konsumen akhir, melibatkan beberapa lembaga

Lebih terperinci

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Umum Komoditi Kubis 2.2. Sistem Tataniaga dan Efisiensi Tataniaga

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Umum Komoditi Kubis 2.2. Sistem Tataniaga dan Efisiensi Tataniaga II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Umum Komoditi Kubis Kubis juga disebut kol dibeberapa daerah. Kubis merupakan salah satu komoditas sayuran unggulan pada sektor agribisnis yang dapat memberikan sumbangan

Lebih terperinci

Sosio Ekonomika Bisnis Vol 18. (2) 2015 ISSN Tinur Sulastri Situmorang¹, Zulkifli Alamsyah² dan Saidin Nainggolan²

Sosio Ekonomika Bisnis Vol 18. (2) 2015 ISSN Tinur Sulastri Situmorang¹, Zulkifli Alamsyah² dan Saidin Nainggolan² ANALISIS EFISIENSI PEMASARAN SAWI MANIS DENGAN PENDEKATAN STRUCTURE, CONDUCT, AND PERFORMANCE (SCP) DI KECAMATAN JAMBI SELATAN KOTA JAMBI Tinur Sulastri Situmorang¹, Zulkifli Alamsyah² dan Saidin Nainggolan²

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1. Sistem dan Pola Saluran Pemasaran Bawang Merah Pola saluran pemasaran bawang merah di Kelurahan Brebes terbentuk dari beberapa komponen lembaga pemasaran, yaitu pedagang pengumpul,

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Pasar Hewan Desa Suka Kecamatan. Penelitian ini menggunakan data primer dan sekunder yang bersifat

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Pasar Hewan Desa Suka Kecamatan. Penelitian ini menggunakan data primer dan sekunder yang bersifat METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Pasar Hewan Desa Suka Kecamatan Tigapanah Kabupaten Karo. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2017 sampai April 2017.

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Konsep dasar dan batasan operasional mencakup pengertian yang digunakan

III. METODE PENELITIAN. Konsep dasar dan batasan operasional mencakup pengertian yang digunakan III. METODE PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional Konsep dasar dan batasan operasional mencakup pengertian yang digunakan untuk mendapatkan data dan melakukan analisis sehubungan dengan tujuan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BPS. 2012

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BPS. 2012 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Cabai merupakan salah satu komoditas hortikultura yang dibutuhkan dan dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Menurut Direktorat Jenderal Hortikultura (2008) 1 komoditi

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1 Konsep Tataniaga Menurut Hanafiah dan Saefudin (2006), istilah tataniaga dan pemasaran merupakan terjemahan dari marketing, selanjutnya tataniaga

Lebih terperinci

VII. ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU, DAN KERAGAAN PASAR RUMPUT LAUT

VII. ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU, DAN KERAGAAN PASAR RUMPUT LAUT 55 VII. ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU, DAN KERAGAAN PASAR RUMPUT LAUT Bab ini membahas sistem pemasaran rumput laut dengan menggunakan pendekatan structure, conduct, dan performance (SCP). Struktur pasar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN *

I. PENDAHULUAN * I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebijakan pengembangan hortikultura yang ditetapkan oleh pemerintah diarahkan untuk pelestarian lingkungan; penciptaan lapangan kerja dan peningkatan pendapatan; peningkatan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. petani responden menyebar antara tahun. No Umur (thn) Jumlah sampel (%) , ,

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. petani responden menyebar antara tahun. No Umur (thn) Jumlah sampel (%) , , V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Karakteristik Responden 5.1.1 Umur petani responden Umur Petani merupakan salah satu faktor yang berpengaruh pada aktivitas di sektor pertanian. Berdasarkan hasil penelitian

Lebih terperinci

KARYA ILMIAH MAHASISWA AGRIBISNIS

KARYA ILMIAH MAHASISWA AGRIBISNIS EFISIENSI TATANIAGA BROKOLI DI LEMBANG JAWA BARAT Hesti. K 1), Marlinda Apriyani 2), Luluk Irawati 2) 1) Mahasiswa Program Studi Agribisnis Politeknik Negeri Lampung 2) Dosen Program Studi Agribisnis Politeknik

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Gapoktan Bunga Wortel Desa Citeko, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Penetuan lokasi penelitian

Lebih terperinci

SISTEM PEMASARAN NENAS DI KECAMATAN CIJERUK, KABUPATEN BOGOR

SISTEM PEMASARAN NENAS DI KECAMATAN CIJERUK, KABUPATEN BOGOR SISTEM PEMASARAN NENAS DI KECAMATAN CIJERUK, KABUPATEN BOGOR Murni Anggraeni 1), dan Suharno 2) 1,2) Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor 1) murni.anggraeni@gmail.com

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian IV. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Desa Sukaluyu, Kecamatan Taman Sari, Kabupaten Bogor. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (pusposive). Alasan

Lebih terperinci

PERAN PEDAGANG PENGUMPUL DI KABUPATEN LIMA PULUH KOTA. Husnarti Dosen Agribisnis Faperta UMSB. Abstrak

PERAN PEDAGANG PENGUMPUL DI KABUPATEN LIMA PULUH KOTA. Husnarti Dosen Agribisnis Faperta UMSB. Abstrak PERAN PEDAGANG PENGUMPUL DI KABUPATEN LIMA PULUH KOTA Husnarti Dosen Agribisnis Faperta UMSB Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran pedagang di Kabupaten Lima Puluh Kota. Penelitian dilakukan

Lebih terperinci

Desa Cigugur Girang, Kecamatan Parongpong, Kabupaten Bandung, Jawa bawah bimbingan ARIF IMAM SUROSO).

Desa Cigugur Girang, Kecamatan Parongpong, Kabupaten Bandung, Jawa bawah bimbingan ARIF IMAM SUROSO). HERU SURAWlAT WIDIA. Analisis Saluran Pemasaran Paprika Hidroponik di Desa Cigugur Girang, Kecamatan Parongpong, Kabupaten Bandung, Jawa Barat @i bawah bimbingan ARIF IMAM SUROSO). Pengembangan agribisnis

Lebih terperinci

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka pemikiran teoritis penelitian ini didasari oleh teori-teori mengenai konsep sistem tataniaga; konsep fungsi tataniaga; konsep saluran dan

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada kelompok tani Suka Tani di Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, propinsi Jawa Barat. Penentuan lokasi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Umum Komoditas Bawang Merah

TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Umum Komoditas Bawang Merah II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Umum Komoditas Bawang Merah Bawang merah merupakan salah satu komoditas hortikultura yang merupakan anggota Allium yang paling banyak diusahakan dan memiliki nilai ekonomis

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Desa Kertawangi, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat. Pemilihan lokasi tersebut sebagai lokasi penelitian

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA PEMIKIRAN. individu dan kelompok dalam mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan

BAB III KERANGKA PEMIKIRAN. individu dan kelompok dalam mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan BAB III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Konseptual 3.1.1 Konsep Tataniaga Pemasaran adalah suatu proses sosial yang di dalamnya melibatkan individu dan kelompok dalam mendapatkan apa yang mereka

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. untuk mengelola faktor-faktor produksi alam, tenaga kerja, dan modal yang

III. METODE PENELITIAN. untuk mengelola faktor-faktor produksi alam, tenaga kerja, dan modal yang 46 III. METODE PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional Konsep dasar dan definisi operasional mencakup pengertian yang digunakan untuk mendapatkan dan menganalisis data sesuai dengan tujuan

Lebih terperinci

KUISIONER PENELITIAN

KUISIONER PENELITIAN KUISIONER PENELITIAN ANALISIS SISTEM TATANIAGA NENAS BOGOR (Kasus di desa Cipelang, Kecamatan Cijeruk, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat) RESPONDEN PETANI Nama Alamat... Tanggal pengisian Peneliti Agus

Lebih terperinci

TATA NIAGA SALAK PONDOH (Salacca edulis reinw) DI KECAMATAN PAGEDONGAN BANJARNEGARA ABSTRAK

TATA NIAGA SALAK PONDOH (Salacca edulis reinw) DI KECAMATAN PAGEDONGAN BANJARNEGARA ABSTRAK 56 TATA NIAGA SALAK PONDOH (Salacca edulis reinw) DI KECAMATAN PAGEDONGAN BANJARNEGARA Agus Trias Budi, Pujiharto, dan Watemin Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Purwokerto Jl. Raya Dukuhwaluh

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. komoditas pertanian tersebut karena belum berjalan secara efisien. Suatu sistem

II. TINJAUAN PUSTAKA. komoditas pertanian tersebut karena belum berjalan secara efisien. Suatu sistem II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kerangka Teoritis Secara umum sistem pemasaran komoditas pertanian termasuk hortikultura masih menjadi bagian yang lemah dari aliran komoditas. Masih lemahnya pemasaran komoditas

Lebih terperinci

V GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

V GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN V GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN 5.1. Karakteristik Wilayah dan Keadaan Alam Penelitian ini dilaksanakan di Desa Paya Besar Kecamatan Payaraman Kabupaten Ogan Ilir Provinsi Sumatera Selatan. Daerah ini

Lebih terperinci

KINERJA PEMASARAN JERUK SIAM DI KABUPATEN JEMBER, JAWA TIMUR (Marketing Work of Tangerine in Jember Regency, East Java)

KINERJA PEMASARAN JERUK SIAM DI KABUPATEN JEMBER, JAWA TIMUR (Marketing Work of Tangerine in Jember Regency, East Java) KINERJA PEMASARAN JERUK SIAM DI KABUPATEN JEMBER, JAWA TIMUR (Marketing Work of Tangerine in Jember Regency, East Java) Lizia Zamzami dan Aprilaila Sayekti Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika

Lebih terperinci

ANALISIS KERAGAAN PASAR PEMBENIHAN DAN PENDEDERAN IKAN GURAMI (Oshpronemus Gouramy) DI KELURAHAN DUREN MEKAR DAN DUREN SERIBU DEPOK JAWA BARAT

ANALISIS KERAGAAN PASAR PEMBENIHAN DAN PENDEDERAN IKAN GURAMI (Oshpronemus Gouramy) DI KELURAHAN DUREN MEKAR DAN DUREN SERIBU DEPOK JAWA BARAT ANALISIS KERAGAAN PASAR PEMBENIHAN DAN PENDEDERAN IKAN GURAMI (Oshpronemus Gouramy) DI KELURAHAN DUREN MEKAR DAN DUREN SERIBU DEPOK JAWA BARAT Adida 1, Kukuh Nirmala 2, Sri Harijati 3 1 Alumni Program

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Kabupaten Brebes merupakan daerah sentra produksi bawang merah di Indonesia, baik dalam hal luas tanam, luas panen, produksi dan produktivitas per

Lebih terperinci

BAB VI ANALISIS USAHA AYAM RAS PEDAGING DI PASAR BARU BOGOR

BAB VI ANALISIS USAHA AYAM RAS PEDAGING DI PASAR BARU BOGOR BAB VI ANALISIS USAHA AYAM RAS PEDAGING DI PASAR BARU BOGOR 6.1 Gambaran Lokasi Usaha Pedagang Ayam Ras Pedaging Pedagang di Pasar Baru Bogor terdiri dari pedagang tetap dan pedagang baru yang pindah dari

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Petani buah naga adalah semua petani yang menanam dan mengelola buah. naga dengan tujuan memperoleh keuntungan maksimum.

III. METODE PENELITIAN. Petani buah naga adalah semua petani yang menanam dan mengelola buah. naga dengan tujuan memperoleh keuntungan maksimum. 26 III. METODE PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Batasan Operasional Konsep dasar dan batasan operasional mencakup semua pengertian yang digunakan untuk memperoleh data yang akan dianalisis sesuai dengan

Lebih terperinci

ANALISIS EFISIENSI PEMASARAN TALAS (Kasus di Desa Taman Sari, Kecamatan Taman Sari, Kabupaten Bogor, Jawa Barat) Oleh SRI WIDIYANTI A

ANALISIS EFISIENSI PEMASARAN TALAS (Kasus di Desa Taman Sari, Kecamatan Taman Sari, Kabupaten Bogor, Jawa Barat) Oleh SRI WIDIYANTI A ANALISIS EFISIENSI PEMASARAN TALAS (Kasus di Desa Taman Sari, Kecamatan Taman Sari, Kabupaten Bogor, Jawa Barat) Oleh SRI WIDIYANTI A14105608 PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. tujuan dan kegunaan tertentu (Sugiyono, 2004). Penelitian ini menggunakan

III. METODE PENELITIAN. tujuan dan kegunaan tertentu (Sugiyono, 2004). Penelitian ini menggunakan III. METODE PENELITIAN Metode penelitian adalah suatu cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu (Sugiyono, 2004). Penelitian ini menggunakan metode penelitian survai. Penelitian

Lebih terperinci

81 Jurnal Agribisnis dan Ekonomi Pertanian (Volume 3. No 2 Desember 2009) 1 & 2

81 Jurnal Agribisnis dan Ekonomi Pertanian (Volume 3. No 2 Desember 2009) 1 & 2 81 Jurnal Agribisnis dan Ekonomi Pertanian (Volume 3. No 2 Desember 2009) ANALISIS SISTEM TATANIAGA BERAS PANDAN WANGI DI KECAMATAN WARUNGKONDANG, KABUPATEN CIANJUR PROVINSI JAWA BARAT Eva Yolynda Aviny

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Rancabungur, Desa Pasirgaok, Bogor,

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Rancabungur, Desa Pasirgaok, Bogor, 26 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Rancabungur, Desa Pasirgaok, Bogor, Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi ini dilakukan dengan pertimbangan

Lebih terperinci

IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2 Jenis dan Sumber Data 4.3 Metode Pengumpulan Data

IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2 Jenis dan Sumber Data 4.3 Metode Pengumpulan Data IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Desa Gunung Mulya Kecamatan Tenjolaya Kabupaten Bogor. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis Penelitian ini menggunakan teori sistem pemasaran dengan mengkaji saluran pemasaran, fungsi pemasaran, struktur pasar, perilaku pasar, marjin pemasaran,

Lebih terperinci

7. KINERJA RANTAI PASOK

7. KINERJA RANTAI PASOK 64 Resiko dan trust building Penyaluran jagung didalam rantai pasok dibangun bertahun-tahun sehingga tercipta distribusi sekarang ini. Setiap anggota rantai pasok memiliki resiko masing-masing dalam proses

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka pemikiran teoritis merupakan rangkaian teori-teori yang digunakan dalam penelitian untuk menjawab tujuan penelitian. Teori-teori yang digunakan

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka pemikiran teoritis merupakan rangkaian teori-teori yang digunakan dalam penelitian untuk menjawab tujuan penelitian. Teori-teori yang digunakan

Lebih terperinci

SISTEM PEMASARAN NENAS BOGOR (Ananas comosus) DI KABUPATEN BOGOR THE MARKETING SYSTEM OF BOGORINARIAN PINEAPPLE (Ananas comosus) IN BOGOR DISTRIC

SISTEM PEMASARAN NENAS BOGOR (Ananas comosus) DI KABUPATEN BOGOR THE MARKETING SYSTEM OF BOGORINARIAN PINEAPPLE (Ananas comosus) IN BOGOR DISTRIC SISTEM PEMASARAN NENAS BOGOR (Ananas comosus) DI KABUPATEN BOGOR THE MARKETING SYSTEM OF BOGORINARIAN PINEAPPLE (Ananas comosus) IN BOGOR DISTRIC Taufiq Surahman dan Nunung Kusnadi Departemen Agribisnis,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sumber : Direktorat Jenderal Hortikultura (2011)

I. PENDAHULUAN. Sumber : Direktorat Jenderal Hortikultura (2011) I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang memiliki peluang besar dalam memanfaatkan sumberdaya alam yang melimpah untuk memajukan sektor pertanian. Salah satu subsektor

Lebih terperinci

IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2 Jenis dan Sumber Data 4.3 Metode Pengambilan Responden

IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2 Jenis dan Sumber Data 4.3 Metode Pengambilan Responden IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) dengan

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Konsep Nilai Tambah Nilai tambah merupakan pertambahan nilai suatu komoditas karena mengalami proses pengolahan, penyimpanan, pengangkutan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Tabel 1. Perkembangan PDB Hortikultura Atas Dasar Harga Berlaku di Indonesia Tahun Kelompok

PENDAHULUAN. Tabel 1. Perkembangan PDB Hortikultura Atas Dasar Harga Berlaku di Indonesia Tahun Kelompok I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Hortikultura merupakan salah satu sektor pertanian unggulan yang memiliki beberapa peranan penting yaitu dalam pemenuhan kebutuhan gizi masyarakat, peningkatan pendapatan

Lebih terperinci

ANALISIS TATANIAGA UBI JALAR DI DESA PURWASARI KECAMATAN DRAMAGA KABUPATEN BOGOR. JAWA BARAT

ANALISIS TATANIAGA UBI JALAR DI DESA PURWASARI KECAMATAN DRAMAGA KABUPATEN BOGOR. JAWA BARAT ANALISIS TATANIAGA UBI JALAR DI DESA PURWASARI KECAMATAN DRAMAGA KABUPATEN BOGOR. JAWA BARAT Hariry Anwar*, Acep Muhib**, Elpawati *** ABSTRAK Tujuan penelitian menganalisis saluran tataniaga ubi jalar

Lebih terperinci

Program Studi Agribisnis FP USU Jln. Prof. A. Sofyan No. 3 Medan HP ,

Program Studi Agribisnis FP USU Jln. Prof. A. Sofyan No. 3 Medan HP , ANALISIS TATANIAGA SAYURAN KUBIS EKSPOR DI DESA SARIBUDOLOK KECAMATAN SILIMAKUTA KABUPATEN SIMALUNGUN Roma Kasihta Sinaga 1), Yusak Maryunianta 2), M. Jufri 3) 1) Alumni Program Studi Agribisnis FP USU,

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Pengertian Usahatani Rifai (1973) dalam Purba (1989) mendefinisikan usahatani sebagai pengorganisasian dari faktor-faktor produksi alam, tenaga kerja, modal dan manajemen,

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Desa Cigedug Kecamatan Cigedug Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat. Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive)

Lebih terperinci

ANALISIS EFISIENSI PEMASARAN BELIMBING DEWA DI KECAMATAN PANCORAN MAS KOTA DEPOK JAWA BARAT OLEH : SARI NALURITA A

ANALISIS EFISIENSI PEMASARAN BELIMBING DEWA DI KECAMATAN PANCORAN MAS KOTA DEPOK JAWA BARAT OLEH : SARI NALURITA A ANALISIS EFISIENSI PEMASARAN BELIMBING DEWA DI KECAMATAN PANCORAN MAS KOTA DEPOK JAWA BARAT OLEH : SARI NALURITA A 14105605 PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Kerangka Teoritis Kelayakan Usahatani

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Kerangka Teoritis Kelayakan Usahatani 6 2.1 Kerangka Teoritis 2.1.1 Kelayakan Usahatani II. TINJAUAN PUSTAKA Menurut Soeharjo dkk (1973) dalam Assary (2001) Suatu usahatani dikatakan layak atau berhasil apabila usahatani tersebut dapat menutupi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan peternakan pada subsistem budidaya (on farm) di Indonesia

I. PENDAHULUAN. Pembangunan peternakan pada subsistem budidaya (on farm) di Indonesia I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. Pembangunan peternakan pada subsistem budidaya (on farm) di Indonesia pada umumnya dan di Sumatera Barat pada khususnya adalah untuk meningkatkan produksi ternak. Peningkatan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1. Saluran Pemasaran, dan Fungsi Pemasaran Saluran pemasaran jagung menurut Soekartawi (2002) merupakan aliran barang dari produsen kepada konsumen. Saluran pemasaran jagung

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Konsep Tataniaga Menurut Hanafiah dan Saefudin (2006) tataniaga dapat didefinisikan sebagai tindakan atau kegiatan yang berhubungan dengan

Lebih terperinci

ANALISIS EFISIENSI PEMASARAN SAYURAN WORTEL DI SUB TERMINAL AGRIBISNIS (STA) KABUPATEN KARANGANYAR

ANALISIS EFISIENSI PEMASARAN SAYURAN WORTEL DI SUB TERMINAL AGRIBISNIS (STA) KABUPATEN KARANGANYAR ANALISIS EFISIENSI PEMASARAN SAYURAN WORTEL DI SUB TERMINAL AGRIBISNIS (STA) KABUPATEN KARANGANYAR Wayan Cahyono, Kusnandar, Sri Marwanti Magister Agribisnis Program Pascasarjana UNS id@hostinger.com Abstrak

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian dilakukan di Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive), dengan pertimbangan bahwa

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Tabel 1. Perkembangan PDB Hortikultura Tahun Komoditas

PENDAHULUAN. Tabel 1. Perkembangan PDB Hortikultura Tahun Komoditas I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Subsektor hortikultura berperan penting dalam mendukung perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat melalui nilai Produk Domestik Bruto (PDB). Produk Domestik Bruto (PDB)

Lebih terperinci

VI. ANALISIS USAHATANI DAN EFEKTIVITAS KELEMBAGAAN KELOMPOK TANI

VI. ANALISIS USAHATANI DAN EFEKTIVITAS KELEMBAGAAN KELOMPOK TANI VI. ANALISIS USAHATANI DAN EFEKTIVITAS KELEMBAGAAN KELOMPOK TANI 6.1. Proses Budidaya Ganyong Ganyong ini merupakan tanaman berimpang yang biasa ditanam oleh petani dalam skala terbatas. Umbinya merupakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dengan luas daratan dan lautan yang sangat luas sehingga sebagian besar mata pencaharian penduduk berada di sektor pertanian. Sektor

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka pemikiran teoritis berisi tentang konsep-konsep teori yang dipergunakan atau berhubungan dengan penelitian yang akan dilaksanakan. Berdasarkan

Lebih terperinci

A. WAKTU DAN TEMPAT B. METODE PENELITIAN

A. WAKTU DAN TEMPAT B. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. WAKTU DAN TEMPAT Penelitian dilakukan di Kabupaten Sukabumi, Banyumas, Kebumen dan Boyolali. Pemilihan sample pada keempat lokasi tersebut dilakukan secara sengaja (purposive)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. di Indonesia. Selain sebagai sumber pendapatan masyarakat tani pekebun,

I. PENDAHULUAN. di Indonesia. Selain sebagai sumber pendapatan masyarakat tani pekebun, 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karet merupakan komoditas perkebunan yang sangat penting peranannya di Indonesia. Selain sebagai sumber pendapatan masyarakat tani pekebun, komoditas ini juga memberikan

Lebih terperinci

Saluran dan Marjin Pemasaran cabai merah (Capsicum annum L)

Saluran dan Marjin Pemasaran cabai merah (Capsicum annum L) Saluran dan Marjin Pemasaran cabai merah (Capsicum annum L) Benidzar M. Andrie 105009041 Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Siliwangi BenizarMA@yahoo.co.id Tedi Hartoyo, Ir., MSc.,

Lebih terperinci

ANALISIS EFISIENSI PEMASARAN BAWANG MERAH DI KECAMATAN GERUNG KABUPATEN LOMBOK BARAT

ANALISIS EFISIENSI PEMASARAN BAWANG MERAH DI KECAMATAN GERUNG KABUPATEN LOMBOK BARAT ANALISIS EFISIENSI PEMASARAN BAWANG MERAH DI KECAMATAN GERUNG BUPATEN LOMBOK BARAT 1) TRIANA LIDONA APRILANI, 2) AZRUL FAHMI Fakultas Pertanian Universitas Islam AlAzhar email : 1) lidona 2) lanoy3_kim98@yahoo.com

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Metode yang digunakan dalam mengambil sampel responden dalam penelitian ini

III. METODE PENELITIAN. Metode yang digunakan dalam mengambil sampel responden dalam penelitian ini 33 III. METODE PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional Metode yang digunakan dalam mengambil sampel responden dalam penelitian ini menggunakan metode sensus. Pengertian sensus dalam penelitian

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA PEMIKIRAN Konsep Pendapatan dan Biaya Usahatani. keuntungan yang diperoleh dengan mengurangi biaya yang dikeluarkan selama

BAB III KERANGKA PEMIKIRAN Konsep Pendapatan dan Biaya Usahatani. keuntungan yang diperoleh dengan mengurangi biaya yang dikeluarkan selama BAB III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Teoritis 3.1.1. Konsep Pendapatan dan Biaya Usahatani Soeharjo dan Patong (1973), mengemukakan definisi dari pendapatan adalah keuntungan yang diperoleh dengan

Lebih terperinci

BAB 1. PENDAHULUAN. Indonesia. Bawang merah bagi Kabupaten Brebes merupakan trademark

BAB 1. PENDAHULUAN. Indonesia. Bawang merah bagi Kabupaten Brebes merupakan trademark BAB 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kapupaten Brebes merupakan sentra produksi bawang merah terbesar di Indonesia. Bawang merah bagi Kabupaten Brebes merupakan trademark mengingat posisinya sebagai

Lebih terperinci

ANALISIS TATANIAGA LIDAH BUAYA DI KABUPATEN BOGOR, JAWA BARAT ANDRI ENDRA SETIAWAN

ANALISIS TATANIAGA LIDAH BUAYA DI KABUPATEN BOGOR, JAWA BARAT ANDRI ENDRA SETIAWAN ANALISIS TATANIAGA LIDAH BUAYA DI KABUPATEN BOGOR, JAWA BARAT ANDRI ENDRA SETIAWAN DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2017 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1. Waktu dan Lokasi Penelitian dilakukan pada lokasi yang ditentukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa daerah atau lokasi yang terpilih merupakan salah satu sentra

Lebih terperinci

ANALISIS TATANIAGA IKAN PATIN DI TINGKAT PEDAGANG BESAR PENERIMA

ANALISIS TATANIAGA IKAN PATIN DI TINGKAT PEDAGANG BESAR PENERIMA 1 ANALISIS TATANIAGA IKAN PATIN DI TINGKAT PEDAGANG BESAR PENERIMA (Wholesaler Receiver) DARI DAERAH SENTRA PRODUKSI BOGOR KE PASAR INDUK RAMAYANA BOGOR Oleh Euis Dasipah Abstrak Tujuan tataniaga ikan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. ditanam di lahan kering daerah pengunungan. Umur tanaman melinjo di desa ini

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. ditanam di lahan kering daerah pengunungan. Umur tanaman melinjo di desa ini V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Profil Usahatani Tanaman Melinjo Tanaman melinjo yang berada di Desa Plumbon Kecamatan Karagsambung ditanam di lahan kering daerah pengunungan. Umur tanaman melinjo di desa ini

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pangan, tanaman hias, hortikultura, perkebunan dan kehutanan. Potensi ekonomi

I. PENDAHULUAN. pangan, tanaman hias, hortikultura, perkebunan dan kehutanan. Potensi ekonomi I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang mempunyai peranan strategis dalam struktur pembangunan. Sebagian besar penduduk Indonesia bermata pencaharian sebagai petani. Peningkatan

Lebih terperinci

BAB VI HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. diproduksi petani Desa Banjar dipasarkan dalam bentuk segar. Daerah

BAB VI HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. diproduksi petani Desa Banjar dipasarkan dalam bentuk segar. Daerah BAB VI HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 6.1 Saluran Pemasaran Desa Banjar merupakan sentra produksi anggur di Kecamatan Banjar dimana sebagian besar petani di desa ini memproduksi anggur. Anggur yang diproduksi

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Konsep dasar dan definisi operasional mencakup pengertian yang digunakan untuk

III. METODOLOGI PENELITIAN. Konsep dasar dan definisi operasional mencakup pengertian yang digunakan untuk III. METODOLOGI PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional Konsep dasar dan definisi operasional mencakup pengertian yang digunakan untuk memperoleh data dan melakukan analisis sehubungan dengan

Lebih terperinci

ANALISIS PEMASARAN CABAI MERAH (Capsicum annum) DI DESA GOMBONG KECAMATAN BELIK KABUPATEN PEMALANG ABSTRAK

ANALISIS PEMASARAN CABAI MERAH (Capsicum annum) DI DESA GOMBONG KECAMATAN BELIK KABUPATEN PEMALANG ABSTRAK 116 ANALISIS PEMASARAN CABAI MERAH (Capsicum annum) DI DESA GOMBONG KECAMATAN BELIK KABUPATEN PEMALANG Ekawati Budi Utaminingsih, Watemin, dan Dumasari Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Purwokerto

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tahun (juta orang)

BAB I PENDAHULUAN. Tahun (juta orang) 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Meningkatnya jumlah penduduk dan adanya perubahan pola konsumsi serta selera masyarakat telah menyebabkan konsumsi daging ayam ras (broiler) secara nasional cenderung

Lebih terperinci

VI SISTEM KEMITRAAN PT SAUNG MIRWAN 6.1 Gambaran Umum Kemitraan Kedelai Edamame PT Saung Mirwan sangat menyadari adanya keterbatasan-keterbatasan.

VI SISTEM KEMITRAAN PT SAUNG MIRWAN 6.1 Gambaran Umum Kemitraan Kedelai Edamame PT Saung Mirwan sangat menyadari adanya keterbatasan-keterbatasan. VI SISTEM KEMITRAAN PT SAUNG MIRWAN 6.1 Gambaran Umum Kemitraan Kedelai Edamame PT Saung Mirwan sangat menyadari adanya keterbatasan-keterbatasan. Terutama dalam hal luas lahan dan jumlah penanaman masih

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN METODOLOGI PENELITIAN Metode Penentuan Daerah Sampel Penelitian ini dilakukan di Desa Namoriam dan Desa Durin Simbelang, Kecamatan Pancur Batu, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Penentuan daerah

Lebih terperinci

II TINJAUAN PUSTAKA Sejarah pepaya Pepaya (Carica papaya L.) berasal dari daerah tropis Amerika Tengah dan

II TINJAUAN PUSTAKA Sejarah pepaya Pepaya (Carica papaya L.) berasal dari daerah tropis Amerika Tengah dan 8 II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sejarah pepaya Pepaya (Carica papaya L.) berasal dari daerah tropis Amerika Tengah dan Hindia Barat yaitu sekitar Mexico, Costa Rica dan Nikaragua. Melalui pelautpelaut bangsa

Lebih terperinci

ANALISIS EFISIENSI PEMASARAN UBI KAYU DI PROVINSI LAMPUNG. (Analysis of Marketing Efficiency of Cassava in Lampung Province)

ANALISIS EFISIENSI PEMASARAN UBI KAYU DI PROVINSI LAMPUNG. (Analysis of Marketing Efficiency of Cassava in Lampung Province) ANALISIS EFISIENSI PEMASARAN UBI KAYU DI PROVINSI LAMPUNG (Analysis of Marketing Efficiency of Cassava in Lampung Province) Nuni Anggraini, Ali Ibrahim Hasyim, Suriaty Situmorang Program Studi Agribisnis,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang beriklim tropis dan relatif subur. Atas alasan demikian Indonesia memiliki kekayaan flora yang melimpah juga beraneka ragam.

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Konsep dasar dan definisi operasional mencakup pengertian yang

METODE PENELITIAN. Konsep dasar dan definisi operasional mencakup pengertian yang 35 III. METODE PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Batasan Operasional Konsep dasar dan definisi operasional mencakup pengertian yang dipergunakan untuk mendapatkan dan menganalisis data sesuai dengan tujuan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Di Indonesia, pertanian sayuran sudah cukup lama dikenal dan dibudidayakan.

I. PENDAHULUAN. Di Indonesia, pertanian sayuran sudah cukup lama dikenal dan dibudidayakan. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di Indonesia, pertanian sayuran sudah cukup lama dikenal dan dibudidayakan. Penanaman komoditas sayuran tersebar luas di berbagai daerah yang cocok agroklimatnya.

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 23 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pengelolaan Hutan Kemenyan di Desa Sampean Hutan kemenyan berawal dari hutan liar yang tumbuh tanpa campur tangan manusia. Pohon kemenyan tumbuh secara alami di hutan

Lebih terperinci