MOCHAMAD NOERDIN N.K.

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "MOCHAMAD NOERDIN N.K."

Transkripsi

1 PERANCANGAN PROSES PRODUKSI SURFAKTAN NON IONIK ALKIL POLIGLIKOSIDA (APG) BERBASIS PATI SAGU DAN DODEKANOL SERTA KARAKTERISASINYA PADA FORMULASI HERBISIDA MOCHAMAD NOERDIN N.K. DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis Perancangan Proses Produksi Surfaktan Non Ionik Alkil Poliglikosida (APG) Berbasis Pati Sagu dan Dodekanol serta Karakterisasinya pada Formulasi Herbisida adalah karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Tesis ini. Bogor, Agustus 2008 Mochamad Noerdin N.K. NIM F

3 ABSTRACT MOCHAMAD NOERDIN N.K. Process Design of Non Ionic Alkyl Polyglicosides (APG) Surfactant Production from Sago Starch and Dodekanol and Its Characteristics on Herbicide Formulation. Under direction of ANI SURYANI and DADANG. Alkyl poliglycosides (APG) are non ionic surfactant which is commonly used in some products like herbicides, personal care products, cosmetics and textile bleachings. APG is new generation of surfactant that is environmental friendly. Raw materials of APG are fatty alcohol from palm oil or palm kernel oil and carbohydrates like the strach, that make APG as biodegradable surfactant. The aim of research was to obtain non ionic surfactant alkyl polyglycosides (APG) based on sago starch and fatty alcohol C12 (dodekanol). This research is modification of production process of APG two steps method from Wuest, et al. (1992), in order to obtain optimum condition temperature of butanolysis and mol ratio of sago starch-dodecanol to emulsion stability (water : xylene), characterisisation of APG, herbicide formulation and its hebicide formulation effectiveness. Result of response surface, showed that emulsion stability (water:xylene) added APG (%) was 72.58% at temperature of butanolysis o C and at ratio of sago starch-dodekanol 1:3.27 (w/w). Result of validation showed that emulsion stability (water : xylene) with addtion of APG was 72.3%. Equation model of optimum condition was Y= X X x X X 1 X 2 which similar with experimental datas. APG at 1 % (w/v) was able to decrease surface tension dyne/cm and interfacial tension between water : xylene at APG concentration of 0.4% (w/v) was 8.17 dyne/cm. Value of HLB was 8.8 so that the catogorize of this surfactant emulsion of oil in water (O/W) and wetting agent. APG ph in optimum process condition was Application of herbicide formulation (glyphosate and APG surfactant) that was stored five weeks at temperature of 15 0 C, room temperatur ( C) and 40 0 C showed high effectiveness. The storeage temperature was not significantly different on herbicide efectiveness. Key word: Surfactant, Alkyl Polyglycosides (APG), Fatty alcohol, Sago starch, Herbicide

4 RINGKASAN MOCHAMAD NOERDIN N.K. Perancangan Proses Produksi Surfaktan Non Ionik Alkil Poliglikosida (APG) Berbasis Pati Sagu dan Dodekanol serta Karakterisasinya Pada Formulasi Herbisida. Di bimbing oleh ANI SURYANI dan DADANG Surfaktan (surface active agent) merupakan senyawa aktif penurun tegangan permukaan yang pada umumnya diproduksi dari minyak bumi (petrokimia) dan minyaklemak (oleokimia). Penggunaan oleokimia sebagai bahan baku surfaktan perlu pengembangan lebih lanjut karena beberapa kelebihan oleokimia jika dibandingkan petrokomia, diantaranya mudah terurai secara biologis dan dapat diperbaharui. Alkil Poliglikosida (APG) merupakan surfaktan non ionik yang dapat digunakan pada formulasi beberapa produk seperti formulasi herbisida, produk-produk perawatan tubuh, produk kosmetik, dan pemucatan kain tekstil. Bahan baku APG adalah alkohol lemak dari oleokimia minyak kelapa atau minyak inti sawit dan karbohidrat dari sumber pati seperti kentang, jagung, dan sagu. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh surfaktan non ionik APG yang berbasis pada pati sagu dan alkohol lemak C 12 (dodekanol). Penelitian ini mengkaji rancang proses produksi APG metode dua tahap, optimasi suhu proses butanolisis dan rasio mol pati sagu-dodekanol terhadap nilai kestabilan emulsi air:xilena, karakterisasi APG dan hasil formulasi dan efektivitas herbisidanya. Rancang proses produksi APG dilakukan dengan memodifikasi proses produksi dua tahap Wuest, et al. (1992) dengan merubah sumber patinya dari kentang menjadi pati sagu dan netralisasi mengganti MgO dengan NaOH, serta penggunaan 2 buah reaktor menjadi 1 buah reaktor. Rancangan percobaan yang digunakan untuk optimasi menggunakan metode permukaan respon dengan faktor rasio mol pati sagu dodekanol = 1 : 2,5 sampai dengan 1 : 6 dan suhu proses butanolisis dari suhu C sampai C. Rancangan percobaan optimasi sintesis APG menggunakan metode permukaan respon (Response Surface Method) dan penelitian menggunakan rancangan komposit terpusat. Faktor yang dianalisis ada dua yaitu suhu proses butanolisis (X 1 ) dengan rentang antara C dan rasio mol pati : alkohol lemak (X 2 ) dengan rentang antara 1:2,5 1:6. Sedangkan rancangan percobaan pada aplikasi formulasi herbisida hasil penyimpan adalah rancangan acak lengkap faktorial dengan 3 faktor dan dua kali ulangan. Faktor yang dikaji adalah variasi suhu penyimpanan yaitu suhu 15 o C, suhu ruang ( C), dan suhu 40 o C, variasi konsentrasi glifosat yaitu konsentrasi 16%, 24% dan 48%, variasi konsentrasi surfaktan APG terdiri dari 4%, 6%, 8% dan 10%. Untuk pengujian efektivitas dengan skoring menggunakan statistik non parametrik uji Kruskal Wallis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa suhu butanolisis memiliki pengaruh 2,76 % dengan selang kepercayaan 97,53 %. Suhu butanolisis berpengaruh positif terhadap nilai kestabilan emulsi air : xilene dengan penambahan surfaktan APG. Sedangkan faktor rasio mol pati sagu dengan alkohol lemak memberikan pengaruh negatif dengan selang kepercayaan 60,44 %. Hasil analisis terhadap permukaan respon kestabilan emulsi APG dari suhu proses butanolisis (X 1 ) dan rasio mol pati sagu-dodekanol (X 2 ) menunjukkan 2 model yang berbentuk optimum dengan persamaan Y= 64, ,53X 1 29,82X 1-2 9,63x 2 23,09X 2-20,56X 1 X 2 Hasil analisis statistik dari model tersebut menunjukkan nilai kestabilan emulsi air:xilena dengan penambahan APG (%) yaitu 72,58% pada suhu butanolisis 147,8 o C dan pada rasio mol pati sagu-dodekanol 1:3,27 (b/b). Hasil validasi dengan melakukan percobaan dititik tersebut menunjukkan nilai kestabilan emulsi air:xilena dengan penambahan APG yang dihasilkan sebesar 72,3%. Selain itu, hasil validasi dibandingkan dengan APG komersial dengan parameter tegangan permukaan, tegangan antarmuka, HLB dan ph. Pada pengukuran tegangan permukaan air pada konsentrasi APG 1% (b/v) diperoleh nilai tegangan permukaan APG

5 komersial 21,36 dyne/cm dan APG hasil validasi 23,375 dyne/cm. Nilai tegangan antarmuka antara air dan xilene pada konsentrasi 0.4% (b/v) APG komersial 7,96 dyne/cm dan APG hasil validasi 8.17 dyne/cm. Nilai HLB yang diperoleh APG komersial 13,4 dan APG hasil validasi 8,8. Menurut Griffin, APG yang dihasilkan termasuk kategori surfaktan jenis minyak dalam air (O/W) dan bahan pembasah. Pengukuran ph penting dilakukan mengingat APG merupakan suatu asetal yang akan stabil pada kondisi netral dan lebih baik lagi pada kondisi basa. Pengukuran dilakukan dengan pengenceran sebesar 10% (b/v) dikarenakan APG berbentuk pasta. Dari hasil pengukuran ph APG komersial sebesar 7,55 dan APG hasil validasi kondisi optimum sebesar 7,15. Karakterisasi formulasi herbisida antara lain warna formulasi herbisida adalah coklat keruh, derajat keasaman (ph) sekitar basa (6,7) nilai tegangan permukaan formulasi herbisida berkisar antara 27,69-29,25 dyne/cm. Penyimpanan 5 minggu pada suhu 15 0 C menyebabkan formulasi herbisida membeku, pada suhu ruang kestabilan formulasi berubah sampai minggu kedua dan minggu selanjutnya tidak berubah. Sedangkan penyimpanan pada suhu 40 0 C, kestabilan emulsi formulasi herbisida konstan. Pengamatan aplikasi formulasi herbisida hasil penyimpanan 5 minggu dengan suhu 15 0 C, suhu ruang ( C) dan 40 0 C antara lain persentase penutupan gulma dan efektivitas herbisida. Semakin tinggi konsentrasi glifosat maka persentase penutupan gulma akan semakin rendah dan dengan konsentrasi APG 6 % atau 8 % sudah cukup meningkatkan efektivitas herbisidanya terutama pada 2 MSA. Berdasarkan uji Kruskal Wallis, hanya konsentrasi glifosat yang signifikan yaitu konsentrasi 48 % sedangkan konsentrasi APG tidak berpengaruh nyata Kata kunci : Alkil Poliglikosida (APG); Alcohol lemak; butanolisis, Transasetalisasi; Kestabilan Emulsi; Metode Permukaan Respon, Persentase Penutupan Gulma, Bobot Kering Gulma, uji efektivitas

6 . Hak Cipta milik IPB, tahun 2008 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

7 PERANCANGAN PROSES PRODUKSI SURFAKTAN NON IONIK ALKIL POLIGLIKOSIDA (APG) BERBASIS PATI SAGU DAN DODEKANOL SERTA KARAKTERISASINYA PADA FORMULASI HERBISIDA MOCHAMAD NOERDIN N.K. Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

8 Judul Tesis : Perancangan Proses Produksi Surfaktan Non Ionik Alkil Poliglikosida (APG) Berbasis Pati Sagu dan Dodekanol serta Karakterisasinya pada Formulasi Herbisida Nama : Mochamad Noerdin N K NIM : F Disetujui Komisi Pembimbing Dr. Ir. Ani Suryani, DEA Ketua Dr. Ir. Dadang, MSc. Anggota Diketahui Ketua Program Studi Teknologi Industri Pertanian Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. Irawadi Jamaran Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS. Tanggal Ujian : 27 Agustus 2008 Tanggal Lulus :

9 PRAKATA Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini dengan judul Perancangan Proses Produksi Surfaktan Non Ionik Alkil Poliglikosida (APG) Berbasis Pati Sagu dan Dodekanol serta Karakterisasinya pada Formulasi Herbisida. Penelitian dilaksanakan dari bulan November 2007 hingga bulan Juni Karya ilmiah ini disusun guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian (TIP), Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada Ibu Dr. Ir. Ani Suryani, DEA dan Dr. Ir. Dadang, MSc selaku pembimbing, atas segala arahan dan bimbingan selama penelitian serta kepercayaan dan kesabaran dalam membimbing sampai terselesaikannya tesis ini. Ucapan terima kasih disampaikan kepada Kepala Balai Besar Industri Agro (BBIA) Bogor, yang memberikan kesempatan belajar di IPB dengan biaya dari Anggaran DIPA 2006 Departemen Perindustrian. Terima kasih pula disampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Irawadi Jamaran selaku Ketua Program Studi Pasca Sarjana TIP, para staf pengajar TIP dan teman-teman TIP angkatan 2006 atas bantuan dan dukungan selama studi. Semasa studi banyak orang yang membantu saya namun tidak ada yang melebihi bantuan isteri, anak, orang tua, kakak-kakak dan adik-adik tercinta yang dengan sabar memberikan semangat serta mendoakan keberhasilan studi ini. Terima kasih kepada bapak dan ibu di Laboratorium TIP dan Balai Besar Industri Agro serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah berperan dalam proses penulisan karya ilmiah ini. Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih jauh dari sempurna oleh karena itu kritik dan saran membangun sangat penulis harapkan. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat. Bogor, Agustus 2008 Mochamad Noerdin N.K.

10 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bandung Jawa Barat tanggal 8 Juli 1963 sebagai anak pertama dari enam bersaudara. Ayah bernama Nana Kurniadji dan ibu Imas Maspupah. Pendidikan sarjana ditempuh di program studi Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran Bandung, dan lulus pada tahun Penulis pernah bekerja pada Silvonsult Wanayasa di Bogor selama dua tahun, sejak tahun 1992 bekerja sebagai pegawai negeri sipil di Balai Besar Industri Agro (BBIA) Departemen Perindustrian Bogor. Selama bekerja sebagai peneliti di BBIA, penulis berkesempatan untuk mendapatkan pendidikan non gelar di dalam dan luar negeri. Dalam bidang lingkungan, tahun 1995 penulis mendapat beasiswa dari Carl Duisberg Gesselschaft (CDG) untuk pelatihan penanganan limbah cair di Bremen Universitat Jerman selama 13 bulan. Pada tahun 2006 penulis mendapat kesempatan dari BBIA untuk melanjutkan sekolah di program studi Teknologi Industri Pertanian Sekolah Pascasarjana IPB dengan mendapat bantuan dukungan dana dari program DIPA 2006 BBIA.

11 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... xii DAFTAR GAMBAR... xiv DAFTAR LAMPIRAN.... xvi PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Perumusan Masalah... 2 Tujuan Penelitian... 2 Ruang Lingkup... 3 Hipotesis... 3 TINJAUAN PUSTAKA... 4 Kelapa... 4 Alkohol Lemak... 7 Pati Sagu Surfaktan Alkil Poliglikosida (APG) Herbisida METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Tempat dan Waktu Penelitian Alat dan Bahan Tahapan Penelitian Rancangan Percobaan HASIL DAN PEMBAHASAN Perancangan Proses Produksi APG Proses Produksi APG dengan Dua Tahap Optimasi Proses Produksi APG Karakterisasi APG Karakterisasi Formulasi Herbisida SIMPULAN DAN SARAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 90

12 DAFTAR TABEL Halaman 1 Peta potensi kelapa dunia Produktivitas kelapa Indonesia dan negara-negara lain Komposisi asam-asam lemak minyak kelapa dan minyak nabati lain (%). 6 4 Reaksi kimia alkohol lemak dan hasilnya Karakteristik alkohol lemak dengan berbagai panjang rantai Komposisi kandungan pati sagu dan beberapa sumber pati lainnya per 100 g Kandungan amilosa dan amilopektin berbagai jenis pati Nilai HLB dan aplikasinya berdasarkan konsep Grifin Desain percobaan untuk optimasi sintesis APG Koefisien parameter dan nilai signifikansi pengaruh faktor suhu butanolisis dan rasio mol pati sagu dengan lemak alkohol dengan respon uji kestabilan emulsi air : xilena dengan penambahan surfaktan APG Nilai uji perbandingan tegangan permukaan air akibat pengaruh penambahan APG pada berbagai konsentrasi Nilai uji perbandingan tegangan antar muka air : xilena Nilai K L dan Γ untuk tegangan peremukaan hasil optimasi metode Nedler-Mead Perbandingan tegangan permukaan (γ) APG komersial dan APG yang dihasilkan dengan model Nilai K L dan Γ untuk tegangan antarmuka hasil optimasi metode Nedler-Mead Perbandingan tegangan antar muka APG komersial dan APG yang dihasilkan dengan model Penentuan kurva standar HLB Nilai HLB APG Pita serapan spektrofotometer FTIR APG hasil sintesa dan komersial (cm -1 ) Komposisi formulasi herbisida Derajat keasaman (ph) formulasi herbisida xii

13 22 Kestabilan formulasi herbisida (%) perminggu selama penyimpanan lima minggu pada suhu 15 0 C, C, dan 40 0 C Persentase penutupan gulma pada aplikasi formulasi herbisida hasil penyimpanan 5 minggu pada suhu 15 0 C, suhu ruang ( C) dan 40 0 C Persentase penutupan gulma dari aplikasi formulasi herbisida hasil penyimpanan lima minggu pada suhu 15 0 C, suhu ruang ( C), dan 40 0 C Efektivitas formulasi herbisida hasil penyimpanan lima minggu pada suhu 15 0 C, C, dan 40 0 C xiii

14 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Proses pembuatan alkohol lemak Micelles dan pembentukannya Proses sintesis APG Proses reaksi dan struktur alkyl polyglycoside (APG) Sintesis Fischer secara langsung Sintesis Fischer metode dua tahap Tutup reaktor dengan barometer tekanan tinggi dan vakum Metode sintesis APG dua tahap Reaktorberjaket dan thermoset Rangkaian peralatan proses produksi APG Hasil akhir proses butanolisis Hasil akhir proses transasetalisasi Hasil akhir destilasi Hasil akhir pemucatan Grafik pola interaksi faktor suhu butanolisis terhadap faktor rasio mol pati sagu-dodekanol Grafik pola interaksi faktor rasio mol pati sagu dodecanol terhadap faktor suhu butanolisis Permukaan respon nilai kestabilan emulsi air:xilena dengan penambahan APG Kontur permukaan respon nilai kestabilan emulsi air:xilena dengan penambahan APG Grafik tegangan permukaan air akibat pengaruh penambahan APG pada berbagai konsentrasi Grafik tegangan antarmuka air : xilena akibat pengaruh penambahan APG pada berbagai konsentrasi Tegangan permukaan APG komersial dan model Tegangan permukaan APG hasil penelitian dan model Tegangan antar muka APG komersial dan model Tegangan antar muka APG yang dihasilkan dan model Kurva standar HLB xiv

15 26 Hasil analisa FTIR APG komersial sebagai standar Hasil analisa FTIR APG pada kondisi optimum Neraca massa proses produksi APG dua tahap Formulasi herbisida berbahan aktif glifosat dengan APG dan formulasi pembanding Histogram kestabilan emulsi formulasi herbisida setelah satu minggu pada suhu 15 o C, suhu ruang (26-29 o C) dan 40 o C Histogram kestabilan emulsi formulasi herbisida setelah dua/tiga/empat/ lima minggu pada suhu 15 o C, suhu ruang (26-29 o C) dan 40 o C Histogram persentase penutupan gulma 1 MSA hasil penyimpanan...lima minggu pada suhu 15 o C, suhu ruang (26-29 o C) dan 40 o C Histogram persentase penutupan gulma 2 MSA hasil penyimpanan...lima minggu pada suhu 15 o C, suhu ruang (26-29 o C) dan 40 o C Histogram bobot kering gulma 1 MSA hasil penyimpanan lima minggu pada suhu 15 o C, suhu ruang (26-29 o C) dan 40 o C Histogram bobot kering gulma 2 MSA hasil penyimpanan lima minggu pada suhu 15 o C, suhu ruang (26-29 o C) dan 40 o C Foto lahan percobaan awal penelitian (0 MSA) untuk aplikasi formulasi herbisida dengan konsentrasi glifosat 48 % dan konsentrasi APG 8 % pada suhu 40 0 C (a), suhu 15 0 C (b), dan suhu ruang ( C) (c) Foto lahan percobaan awal penelitian (4 HSA) untuk aplikasi formulasi herbisida dengan konsentrasi glifosat 48 % dan konsentrasi APG 8 % pada suhu 40 0 C (a), suhu 15 0 C (b), dan suhu ruang ( C) (c) Foto lahan percobaan awal penelitian (7 HSA) untuk aplikasi formulasi herbisida dengan konsentrasi glifosat 48 % dan konsentrasi APG 8 % pada suhu 40 0 C (a), suhu 15 0 C (b), dan suhu ruang ( C) (c) Foto lahan percobaan awal penelitian (14 HSA) untuk aplikasi formulasi herbisida dengan konsentrasi glifosat 48 % dan konsentrasi APG 8 % pada suhu 40 0 C (a), suhu 15 0 C (b), dan suhu ruang ( C) (c) xv

16 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Proses produksi alkil poliglikosida dengan dua tahap Metode analisa APG Data proses produksi APG Data analisa pengujian APG Pengolahan data suhu butanolisis dan rasio mol pati sagu-alkohol lemak terhadap nilai kestabilan emulsi pada sintesa APG dua tahap Aplikasi formulasi herbisida Analisis statistik kestabilan formulasi herbisida (%) Analisis statistik persentase penutupan gulma Analisis statistik bobot kering gulma Analisis statistik efektivitas herbisida hasil penyimpanan xvi

17 PENDAHULUAN Latar Belakang Surfaktan merupakan senyawa aktif penurun tegangan permukaan yang dapat diproduksi secara sintesis kimiawi ataupun biokimiawi. Surfaktan memiliki gugus hidrofobik dan hidrofilik dalam satu molekul. Pembentukan film pada antar muka fasa menurunkan energi antar muka. Surfaktan dimanfaatkan sebagai bahan penggumpal, pembasah, pembusaan, emulsifier oleh industri farmasi, industri kosmetika, industri kimia, industri pertanian, industri pangan. Bahan baku surfaktan dapat terbuat dari sumber nabati yang bersifat dapat diperbaharui dan mudah terurai, tidak menggangu aktivitas enzim, proses produksi lebih bersih sehingga sejalan dengan isu lingkungan (Suryani et al., 2002). Industri surfaktan di Indonesia masih terbatas, padahal surfaktan dibutuhkan dalam jumlah besar. Kebutuhan surfaktan Indonesia pada tahun 2006 adalah ton, sekitar ton, masih diimpor (Wuryaningsih, 2007) dan diperkirakan jumlah impor tersebut setiap tahunnya terus bertambah sejalan dengan tumbuhnya industri kosmetik, industri makanan, industri minuman, industri farmasi, industri tekstil dan industri penyamakan kulit (Sofiyaningsih dan Nurcahyani, 2006). Indonesia merupakan negara yang berbasis pertanian sehingga mempunyai potensi bahan nabati yang berlimpah, misalnya kelapa sebagai bahan baku alkohol lemak. Selain itu, potensi pati-patian di Indonesia cukup besar. Salah satu surfaktan yang dapat diproduksi dari bahan nabati adalah Alkil poliglikosida (APG) dan surfaktan ini telah diklasifikasikan di Jerman sebagai surfaktan kelas I yang ramah lingkungan (Hill et al., 1996), sehingga potensi pengembangan dan produksi APG masih sangat besar mengingat potensi pasar yang cukup besar pada berbagai industri, seperti industri herbisida, personal care, kosmetik dan industri tekstil. Surfaktan APG ini tidak berbahaya untuk mata, kulit dan membran lendir, mengurangi efek iritan serta dapat terurai baik secara aerob maupun anaerob. Menurut Hall et al. (2000), surfaktan APG dapat diproduksi secara langsung (asetalisasi) dan secara tidak langsung melalui dua tahap yaitu butanolisis dan transasetalisasi dan selanjutnya melalui tahapan netralisasi, distilasi, pelarutan dan pemucatan. Dalam formulasi herbisida, surfaktan dapat meningkatkan penetrasi bahan aktif herbisida kedalam tanaman (Van Valkenburg, 1990). Formulasi glifosat (Nphosponomethyl glycine) dengan surfaktan APG dapat digunakan untuk mengendalikan gulma terutama dari golongan rumput (grasses).

18 2 Herbisida umumnya dikirim ke berbagai daerah dengan suhu yang berbedabeda, mulai dari daerah dingin sampai daerah panas, bahkan ada yang disimpan dalam ruangan yang beratap seng yang suhunya dapat mencapai 40 0 C. Salah satu penilaian pengguna herbisida antara lain kestabilan formulasi herbisida. Menurut Suryani et al. (2001), usaha untuk mempertahankan stabilitas emulsi antara lain dengan penyimpanan pada suhu yang tepat, terlindung dari sinar matahari, dan terhindar dari guncangan. Perumusan Masalah Beberapa permasalahan pada penelitian ini antara lain : Bagaimana modifikasi rancangan proses produksi APG dua tahap menggunakan pati sagu pada proses butanolisis dan transasetalisasi terhadap APG yang dihasilkan? Bagaimana kondisi suhu butanolisis dan rasio mol pati sagu dengan alkohol lemak yang optimum pada proses produksi APG? Bagaimana karakteristik APG yang diperoleh pada kondisi proses produksi optimum? Bagaimana karakteristik formulasi herbisida dari bahan aktif glifosat dengan APG yang dihasilkan? Bagaimana pengaruh penyimpanan pada suhu yang berbeda formulasi herbisida dari bahan aktif glifosat dengan surfaktan APG terhadap efektivitas pengendalian gulma? Tujuan Penelitian : o Memperoleh modifikasi rancangan proses produksi surfaktan alkil poliglikosida (APG) berbasis alkohol lemak dari kelapa dan pati sagu khususnya proses dua tahap (butanolisis dan transasetalisasi) o Mendapatkan informasi karakteristik APG yang dihasilkan pada kondisi optimum proses produksinya. o Mendapatkan karakteristik (fisik-kimia, efektivitas, dan daya tahan simpan pada suhu yang berbeda) formulasi herbisida terbaik dengan menggunakan APG yang dihasilkan.

19 3 Ruang Lingkup Penelitian pendahuluan meliputi penentuan rancangan proses produksi APG untuk reaksi dua tahap terutama pada reaksi butanolisis dan transasetalisasi. Penelitian utama meliputi : Penentuan kondisi optimum proses produksi APG dua tahap (butanolisis dan transasetalisasi) dengan perlakuan suhu butanolisis dan rasio mol pati sagu dengan lauril alkohol. Karakterisasi APG yang dihasilkan meliputi, kemampuan menstabilkan emulsi, kemampuan menurunkan tegangan permukaan dan tegangan antar muka, mengontrol jenis formasi emulsi dengan menentukan nilai Hidrofil Lipofil Balance dari APG, dan mengetahui struktur gugus fungsi APG dengan menggunakan FTIR. Formulasi herbisida menggunakan bahan aktif glifosat dengan surfaktan APG yang dihasilkan dan uji efektivitas herbisida hasil penyimpanan dengan suhu yang berbeda. Hipotesis Suhu butanolisis dan rasio mol pati sagu dengan alkohol lemak diduga berpengaruh terhadap produksi surfaktan APG yang dihasilkan. Konsentrasi bahan aktif glifosat dan penggunaan surfaktan APG diduga berpengaruh terhadap karakteristik formulasi herbisida. Penyimpanan formulasi herbisida pada suhu yang berbeda diduga berpengaruh terhadap efektivitas pengendalian gulma.

20 4 TINJAUAN PUSTAKA Kelapa Luas areal dan produksi kelapa Indonesia merupakan yang terbesar di dunia. Pada tahun 2006 Indonesia memiliki luas areal pertanaman kelapa 3,818 juta Ha (32,37 %) disusul berturut-turut oleh Filipina 3,243 juta hektar (27,50%), India 1,935 juta hektar (16,41 %), Srilangka 0,395 juta hektar (3,35 %), dan Thailand 0,226 juta hektar (1,91 %) (APCC, 2007). Potensi kelapa dunia dapat dilihat pada Tabel 1 sedangkan potensi kelapa Indonesia disajikan pada Tabel 2. Tabel 1 Peta potensi kelapa dunia Tahun No. Negara ha 1. Indonesia Filipina India Sri Lanka Thailand Tanzania Papua New Guinea Brazil Mexico 171` Vietnam Sumber : APCC (2007) Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa produktivitas kelapa Indonesia butir kelapa per hektar per tahun masih rendah dibanding negara-negara penghasil kelapa lainnya misalnya Philipina, India, Sri Lanka, Brazil, Mexico, Vietnam, Myanmar dan Cina. Brazil, Cina, Myanmar dan Mexico merupakan negara-negara penghasil kelapa dengan

21 5 produktivitas tertinggi yaitu masing-masing , , dan butir kelapa per hektar per tahun. Bagi masyarakat Indonesia, kelapa merupakan bagian dari kehidupannya karena semua bagian tanaman dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, sosial dan budaya. Di samping itu, arti penting kelapa bagi masyarakat juga tercermin dari luasnya areal perkebunan rakyat yang mencapai 98% (sejak tahun 2004) dan melibatkan lebih dari tiga juta rumah tangga petani. No Negara Tabel 2 Produktivitas kelapa Indonesia dan negara-negara lain Produktivitas kelapa (butir/hektar/tahun) 1. Indonesia Philipina India Sri Lanka Thailand Tanzania Brazil Papua New Guinea Mexico Vietnam Malayasia Vanuatu Myanmar China Sumber : APCC (2007) Kelapa biasa disebut sebagai pohon kehidupan (tree of life) dan pohon surga (A heavenly tree) karena semua bagian tanaman ini dapat digunakan untuk kehidupan. Pada umumnya, produk kelapa di Indonesia dipasarkan dalam bentuk primer sehingga nilai ekonominya sangat rentan terhadap fluktuasi musim yang menyebabkan nilai jual rendah dan menimbulkan kerugian di pihak petani. Namun demikian, penerimaan dari sektor komoditas kelapa masih dapat ditingkatkan dengan cara memperbaiki

22 6 pengelolaan dan efisiensi pengolahan serta pengolahan lebih lanjut untuk meningkatkan nilai tambah dari komoditi ini. Komposisi kimia minyak kelapa berbeda dengan komposisi kimia sumber minyak lainnya. Keunikan minyak kelapa, yaitu kaya akan kandungan asam-asam lemak jenuh berantai pendek dan berantai menengah. Minyak biji sawit atau palm kernel oil (PKO) merupakan minyak yang komposisi kimiawinya mirip dengan minyak kelapa Sebagai perbandingan komposisi asam-asam lemak berbagai sumber minyak nabati dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Komposisi asam-asam lemak minyak kelapa dan minyak nabati lain (%) Sumber minyak Kelapa Biji sawit Sawit Jagung Kedelai Jenuh : C6:0 kaproat 0,50 0, C8:0 kaprilat 8,00 3, C10:0 kaprat 7,00 4, C12:0 laurat 48,00 49,60 0, C14:0 miristat 17,00 16,00 1,10-0,10 C16:0 palmitat 9,00 8,00 45,20 11,50 10,50 C18:0 stearat 2,00 2,40 4,70 2,20 3,20 C20:0 arahidat 0,10 0,10 0,20 0,20 0,20 Tidak jenuh : C16:1 palmitoleat 0, C18:1 oleat 6,00 13,70 38,80 26,60 22,30 C18:2 linoleat 2,30 2,00 9,40 58,70 54,50 C18:3 linolenat - - 0,30 0,80 8,30 C20:4 arahidonat ,90 Total 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 Persen tidak jenuh 8,40 15,70 48,50 86,10 86,00 Sumber : Thampan dalam Supriatna (2008)

23 7 Alkohol Lemak (Fatty Alcohol) Alkohol lemak merupakan turunan dari minyak nabati seperti minyak kelapa maupun minyak kelapa sawit yang lebih dikenal sebagai Alkohol lemak alami sedangkan turunan dari petrokimia (parafin dan etilen) dikenal sebagai Alkohol lemak sintetik (Hall et al., 2000). Alkohol lemak termasuk salah satu jenis bahan oleokimia dasar yang merupakan alkohol alifatik rantai panjang. dengan panjang rantai antara C 6 sampai C 22. Sebagian besar merupakan rantai lurus dan monohidrat serta dapat diserap atau mempunyai satu atau lebih ikatan ganda. Alkohol dengan panjang atom karbon lurus di atas C 22 lebih dikenal dengan Wax Alkohol. Karakter Alkohol lemak (primer atau sekunder) linier atau bercabang, jenuh atau tidak jenuh ditentukan oleh proses pabrik dan bahan baku yang digunakan (Presents, 2000). Alkohol lemak utamanya digunakan sebagai bahan intermediates, di Eropa Barat hanya 5% yang digunakan secara langsung dan kira-kira 95 % dimanfaatkan dalam bentuk turunannya. Pemanfaatan Alkohol lemak untuk pembuatan surfaktan kira-kira sebesar 70-75% (Presents, 2000) Menurut Suryani et al. (2001), Alkohol lemak diturunkan dari asam lemak dan metil ester melalui reaksi hidrogenasi. Reaksi ini dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu : Minyak nabati ditransesterifikasi menjadi metil ester, lalu dihidrogenasi menjadi Alkohol lemak. Minyak nabati dihidrolisis menjadi asam lemak, lalu dihidrogenasi menjadi Alkohol lemak Untuk menghasilkan Alkohol lemak terlebih dahulu dilakukan transesterifikasi yang merupakan proses paling efektif untuk transformasi molekul trigliserida menjadi molekul ester asam lemak. Transesterifikasi melalui reaksi antara alkohol dan molekul trigliserida dengan adanya katalis asam atau basa (Gambar 1). Sedangkan reaksi kimia Alkohol lemak dan hasilnya dapat dilihat pada Tabel 4. Alkohol mampu mengadisi ikatan C=O (Aldehid/ keton), gugus OR akan melekat pada karbon dan proton akan melekat pada oksigen. Aldehid dapat bereaksi dengan alkohol membentuk hemiasetal. Sedangkan Keton dapat bereaksi dengan alkohol membentuk hemiketal. Mekanisme pembentukan hemiasetal/hemiketal melibatkan tiga langkah. Pertama oksigen karbonil (C=O) diprotonasi oleh katalis asam, kemudian oksigen alkohol menyatu dengan karbon karbonil, dan proton dilepaskan dari oksigen positif yang dihasilkan (Hart, 2003).

24 8 Minyak kelapa/sawit Pemurnian Transesterifikasi Hidrolisis Gliserin Gliserin Asam lemak Metil ester Esterifikasi Fraksinasi destilasi Fraksinasi destilasi Hidrogenasi Hidrogenasi Alkohol lemak Gambar 1 Proses pembuatan Alkohol lemak (Present, 2000) Dengan kehadiran alkohol berlebih, hemiasetal/hemiketal bereaksi lebih lanjut membentuk asetal/ketal. Gugus hidroksil (OH) dari hemiasetal digantikan oleh gugus alkoksil (OR). Reaksi pembentukan asetal terjadi karena salah satu dari kedua oksigen hemiasetal dapat diprotonasi. Bila oksigen hidroksil diprotonasi, lepasnya air menghasilkan karbokation resonansi. Reaksi karbokation ini bereaksi dengan alkohol yang biasa sebagai pelarut dan berada dalam keadaaan berlebih menghasilkan asetal (sesudah proton lepas)..

25 9 Tabel 4 Reaksi kimia alkohol lemak dan hasilnya Pereaksi + Oksigen Aldehid, Asam karboksilat + Basa cair Asam karboksilat + Basa Alkohol dimerik + Proton Eter, Olefin + Alkina Vinil eter Alkohol lemak + Asam karboksilat Ester + Hidrogen halida Alkil Halida + Ammonia Amina + Aldehid / Keton Asetal + Sulfat Thiol + Alkoholat / H 2 S Xanthat + Metals Metal Alkoksida Sumber: (Presents, 2000) Pada Tabel 5 dapat dilihat beberapa karakteristik Alkohol lemak dengan berbagai panjang rantai. Alkohol lemak C 12 lebih dikenal dengan nama alkohol lauril (dodekanol/ dodecyl alcohol) dengan rumus bangun C 12 H 26 O, bobot molekul 186,6, densitas 0,8309 dan titik didih sekitar C, tidak berwarna dan tidak larut dalam air

26 10 Tabel 5 Karakteristik Alkohol lemak dengan bebagai panjang rantai IUPAC Nama umum Rumus molekul Berat Molekul Titik Lebur C Titik Didih ( C) 1-Hexanol Alkohol kaproat C 6 H 14 O 102, Heptanol Alkohol enanthat C 7 H 16 O 116, Octanol Alkohol kaprilat C 8 H 18 O 130, Nonanol Alkohol elargonat C 9 H 20 O 144, Decanol Alkohol kaprat C 10 H 22 O 158, Undecanol C 11 H 24 O 172, Dodekanol Alkohol lauril C 12 H 26 O 186, Tridecanol C 13 H 28 O 200, Tetradecanol Alkohol miristil C 14 H 30 O 214, Pentadecanol C 15 H 32 O 228, Hexadecanol Alkohol setil C 16 H 34 O 242, Heptadecanol Alkohol margaril C 17 H 36 O 256, Octadecanol Alkohol stearil C 18 H 38 O 270, Nonadecanol C 19 H 40 O 284, Eicosanol Alkohol arakidat C 20 H 42 O 298, Heneicosanol C 21 H 44 O 312, Docosanol Alkohol behenil C 22 H 46 O 326, Tricosanol C 23 H 48 O 340, Tetracosanol Alkohol lignoceril C 24 H 50 O 354, Pentacosanol C 25 H 52 O 368,7 78 Sumber: (Presents, 2000)

27 11 Pati Sagu Sagu (Metroxylon sagu Rottb.) merupakan tanaman penghasil pati yang sangat potensial di masa yang akan datang. Tanaman sagu banyak tumbuh secara alami di Papua dan Maluku yang dimanfaatkan oleh sebagian besar penduduk sebagai makanan sehari-hari. Pati sagu, selain sebagai bahan pangan juga banyak digunakan sebagai bahan baku pada industri kosmetik, makanan, kertas, dan plastik (Limbongan, 2007) Potensi sagu yang masih dapat digarap di Indonesia sangat tinggi, karena masih terdapat hutan sagu seluas 1,25 juta ha di Papua dan Maluku, serta 148 ribu ha lahan sagu semibudidaya di Kepulauan Riau, Mentawai, Sumatera, kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Lahan sagu ini merupakan lahan terluas di dunia (Humas, 2006) Tepung sagu merupakan hasil ekstraksi inti batang sagu (Metroxylon sp.) yang juga hampir seluruh bagiannya mengandung pati. Kandungan pati sagu sekitar 84 % sehingga sagu mampu menghasilkan pati kering hingga 25 ton per ha. Indonesia termasuk satu dari dua negara yang memiliki areal sagu terbesar di dunia selain Papua Nugini. Areal sagu seluas ini belum di eksploitasi secara maksimal sebagai penghasil tepung sagu untuk bahan kebutuhan lokal (pangan) maupun untuk komoditi ekspor. Sangat rendahnya pemanfaatan areal sagu yang hanya sekitar 0,1% dari total areal sagu nasional disebabkan oleh kurangnya minat masyarakat dalam mengelola sagu, rendahnya kemampuan dalam mengolah tepung sagu menjadi bentukbentuk produk lanjutannya, kondisi geografis dimana habitat tanaman sagu umumnya berada pada daerah marginal/rawa-rawa yang sukar dijangkau, serta adanya kecenderungan masyarakat menilai bahwa pangan sagu adalah tidak superior seperti halnya beras dan beberapa komoditas karbohidrat lainnya. Menurut Samad (2002), sagu Indonesia memiliki kadar pati yang lebih baik dibanding Malaysia. Bahkan, beberapa varietas sagu asal Kendari (Sulawesi Tenggara) dan Bukit Tinggi (Sumatera Barat) mampu memproduksi pati lebih dari 300 kilogram per pohon. Produksi sagu saat ini mencapai 200 ribu ton per tahun, Usia tanaman sagu ini sekitar 7-10 tahun untuk bisa dipanen. Namun baru 56% saja yang dimanfaatkan dengan baik. Sagu mempunyai keunggulan antara lain dapat disimpan lebih lama, dapat dipanen dan diolah tanpa mengenal musim, dan jarang terkena hama penyakit (Bujang dan Ahmad, 2000). Komposisi kandungan pati sagu dan beberapa sumber pati lainnya per 100 g dapat dilihat pada Tabel 6.

28 12 Tabel 6 Komposisi kandungan pati sagu dan beberapa sumber pati lainnya per 100 g Komponen Sagu Jagung Tapioka Kalori (cal) 357,0 349,0 98,0 Protein (g) 1,4 9,1 0,7 Lemak (g) 0,2 4,2 0,1 Karbohidrat (g) 85,9 71,7 23,7 Air (g) 15,0 14,0 19,0 Fe (g) 1,4 2,8 0,6 Sumber : www. pustaka bogor.net 2007 Granula pati dapat menyerap air dan mengembang. Pengembangan granula pati bersifat bolak balik sebelum mencapai suhu tertentu. Proses dimana granula pati bersifat tidak kembali ke bentuk awal disebut gelatinisasi. Suhu dimana larutan pati bersifat tidak kembali ke bentuk awal disebut suhu gelatinisasi. Suhu gelatinisasi pati berbeda-beda tergantung jenis pati. Kisaran suhu gelatinisasi pati sagu adalah o C. Kandungan amilosa dan amilopektin dari setiap jenis pati dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Kandungan amilosa dan amilopektin berbagai jenis pati Sumber Pati Amilosa (%) Amilopektin (%) Sagu Jagung Beras Kentang Gandum Ubikayu Sumber : Swinkel dalam Herliana (2005). Surfaktan Surfaktan merupakan senyawa aktif penurun tegangan permukaan (surface active agent) yang mempunyai struktur bipolar. Bagian kepala bersifat hidrofilik dan bagian ekor bersifat hidrofobik sehingga menyebabkan surfaktan cenderung berada pada antar muka antara fase yang berbeda derajat polaritas dan ikatan hidrogen

29 13 seperti minyak dan air. Kegunaan surfaktan antara lain untuk menurunkan tegangan permukaan, tegangan antarmuka, meningkatkan kestabilan partikel yang terdispersi dan mengontrol jenis formasi emulsi, misalnya oil in water (O/W) atau water in oil (W/O) (Rieger,1985). Secara umum surfaktan dapat diklasifikasikan kedalam empat kelompok, yaitu kelompok anionik, nonionik, kationik dan amfoterik. Klasifikasi tersebut berdasarkan keberadaan gugus hidrofilik yang bersifat menarik air. Gugus hidrofilik yang bermuatan negatif disebut anionik, yang bermuatan positif disebut kationik, yang tidak bermuatan disebut nonionik, dan yang bermuatan positif dan negatif disebut amfoterik (Metheson, 1996). Sedangkan Swern (1997) membagi surfaktan menjadi empat kelompok sebagai berikut: Surfaktan kationik, merupakan surfaktan yang bagian pangkalnya berupa gugus hidrofilik dengan ion bermuatan positif (kation). Umumnya merupakan garam-garam amonium kuarterner atau amina. Surfaktan anionik, merupakan surfaktan yang gugus hidrofobiknya dengan ion bermuatan negatif (anion). Umumnya berupa garam natrium, akan terionisasi menghasilkan Na + dan ion surfaktan yang bermuatan negatif. Surfaktan nonionik, merupakan surfaktan yang tidak berdisosiasi dalam air, kelarutannya diperoleh dari sisi polarnya. Surfaktan jenis ini tidak membawa muatan elektron, tetapi mengandung hetero atom yang menyebabkan terjadinya momen dipol. Surfaktan amfoterik, mengandung gugus yang bersifat anionik dan kationik seperti pada asam amino. Sifat surfaktan ini tergantung pada kondisi media dan nilai ph. Menurut Sadi (1994), Surfaktan pada umumnya dapat disintesis dari minyak nabati melalui senyawa antara metil ester dan alkohol lemak. Proses-proses yang diterapkan untuk menghasilkan surfaktan diantaranya, yaitu asetilasi, etoksilasi, esterifikasi, sulfonasi, sulfatasi, amidasi, sukrolisis, dan saponifikasi. Jenis surfaktan yang dipilih pada proses pembuatan suatu produk tergantung pada kinerja dan karektiristik surfaktan tersebut serta karakteristik produk akhir yang diinginkan. Flider (2001) menyatakan bahwa surfaktan berbasis bahan alami dapat dibagi menjadi empat kelompok yaitu : Berbasis minyak-lemak seperti monogliserida, digliserida, dan poligliserol ester. Berbasis karbohidrat seperti alkyl poliglikosida, dan n-metil glukamida. Ekstrak bahan alami seperti lesitin dan saponin. Biosurfaktan yang diproduksi oleh mikroorganisme seperti rhamnolipid dan sophorolipid.

30 14 Menurut Porter (1991), sifat hidrofilik surfaktan nonionik terjadi karena adanya kelompok yang dapat larut dalam air yang tidak berionisasi, yaitu kelompok hidroksil (R- OH) dan kelompok eter (R-O-R ). Daya kelarutan dalam air kelompok hidroksil dan eter lebih rendah dibandingkan dengan kelarutan kelompok sulfat atau sulfonat. Micelle Pada konsentrasi rendah, molekul surfaktan dalam larutan teradsorpsi pada permukaan udara atau air. Jika ditambahkan konsentrasi surfaktan, maka surfaktan akan teradsorpsi pada permukaan hingga mencapai kejenuhan dan tegangan permukaan menjadi konstan. Jika surfaktan terus ditambahkan ke dalam larutan tersebut, maka molekul surfaktan berada dalam larutan namun bagian hidrofobik dari surfaktan tetap menolak air sehingga molekul-molekul surfaktan membentuk bulatan yang dikenal micelles (Gambar 2.a) dan pembentukan micelles dapat dilihat pada Gambar 2.b. Keterangan : Micelles surfaktan Molekul air Molekul surfaktan Gambar 2a. Micelles Gambar 2b. Pembentukan micelles Gambar 2 Micelles dan pembentukannya Pembasah Jika setetes air dijatuhkan di atas suatu permukaan maka tetesan air tersebut dapat saja menyebar pada permukaan (membasahi) atau membentuk suatu tetesan stabil di atas permukaan tersebut (tidak membasahi). Penurunan tegangan permukaan pada air oleh surfaktan dapat membuat sebuah larutan sukar basah menjadi larutan mudah basah. Semakin pendek rantai hidrokarbon pada struktur kimia suatu surfaktan semakin baik daya basahnya. Karakteristik daya basah yang optimum dimiliki surfaktan dengan rantai sekitar C 12 (Porter, 1991).

31 15 Pembentukan buih Kebanyakan surfaktan dalam larutan dapat membentuk buih, baik diinginkan maupun tidak diinginkan dalam penggunaannya. Buih cair adalah sistem koloid dengan fase terdispersi gas dan medium pendispersi zat cair. Kestabilan buih diperoleh dari adanya zat pembuih (surfaktan). Zat pembuih ini teradsorpsi ke daerah antar - fase dan mengikat gelembung -gelembung gas sehingga diperoleh suatu kestabilan. Struktur buih cair tidak ditentukan oleh komposisi kimia atau ukuran buih ratarata, melainkan kandungan zat cairnya. Jika fraksi zat cair lebih dari 5%, maka gelembung gas akan mempunyai bentuk hampir seperti bola. Sebaliknya, jika kurang dari 5% maka bentuk gelembung gas adalah polihedral. Struktur buih cair dapat berubah jika diberi gaya dari luar. Apabila aya tersebut kecil, maka struktur buih akan kembali ke bentuk awal setelah gaya tersebut ditiadakan. Namun, jika gaya yang diberikan cukup besar, maka akan terjadi deformasi. Pengujian surfaktan meliputi kemampuan untuk menstabilkan emulsi, kemampuan untuk menurunkan tegangan permukaan dan tegangan antar muka, mengontrol jenis formasi emulsi dengan hidrophilic lipophilic balance, dan penentuan gugus fungsi dengan FTIR (Fourier Transform Infra Red Spectroscopy). Kestabilan Emulsi Emulsi yang stabil mengacu pada proses pemisahan yang berjalan lambat sedemikian rupa sehingga proses itu tidak teramati pada selang waktu tertentu yang diinginkan (Kamel, 1991). Semakin tinggi viskositas dari suatu sistem emulsi, semakin rendah laju rata-rata pengendapan yang terjadi, sehingga mengakibatkan kestabilan semakin tinggi (Suryani et al., 2000). Viskositas berkaitan erat dengan tahanan yang dialami molekul untuk mengalir pada sistem cairan. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi sifat alir suatu emulsi, diantaranya untuk ukuran partikel dan distribusi ukuran partikel. Emulsi dengan globula berukuran halus lebih tinggi viskositasnya dibandingkan dengan emulsi yang globulanya tidak seragam (Muchtadi, 1990). Tegangan Permukaan Prinsip dasar tentang kestabilan emulsi adalah kesetimbangan antara gaya tarikmenarik dan gaya tolak menolak yang terjadi antar partikel dalam suatu sistem emulsi. Apabila gaya ini dapat dipertahankan tetap seimbang atau terkontrol, maka partikelpartikel dalam sistem emulsi dapat dipertahankan agar tidak bergabung (Suryani et al. 2000).

32 16 Tegangan permukaan dirumuskan sebagai energi yang harus digunakan untuk memperbesar permukaan suatu cairan sebesar 1 cm 2. Tegangan permukaan disebabkan oleh adanya gaya tarik menarik dari molekul cairan. Tegangan permukaan diukur menggunakan Tensiometer du Nouy dan dinyatakan dalam dyne per centimeter (dyne/cm) atau milinewton per meter (mn/m). Pada cairan, terdapat molekul-molekul yang tersebar di bawah permukaan dan pada permukaan cairan. Molekul-molekul ini saling tarik menarik. Gaya tarik-menarik molekul-molekul di bawah permukaan cairan adalah sama pada semua arahnya. Molekul-molekul di atas permukaan cairan tersebut kemudian mendapatkan gaya tarik dari molekul-molekul di bawahnya yang mencoba untuk menariknya kembali ke tubuh cairan, sehingga menyebabkan cairan mengambil bentuk yang memungkinkan luas permukaan menjadi sekecil mungkin. Bentuk tersebut adalah bentuk bola (sphere). Besarnya energi yang mengendalikan bentuk cairan tersebut dinamakan tegangan permukaan. Semakin besar ikatan antar molekul-molekul dalam cairan maka semakin besar tegangan permukaan (Bodner dan Pardue, 1989). Air merupakan cairan yang umumnya digunakan untuk membersihkan sesuatu yang memiliki tegangan permukaan. Setiap molekul dalam struktur molekul air, dikelilingi dan ditarik oleh molekul air yang lainnya. Tegangan permukaan tersebut pada saat molekul air yang terdapat pada permukaan air ditarik ke tubuh air. Tegangan ini mengakibatkan air membentuk butiran-butiran pada permukaan gelas atau kain yang lambat laun akan membasahi bagian permukaan dan menghambat proses pembersihan. Tegangan antarmuka Tegangan antarmuka adalah gaya per satuan panjang yang terjadi pada antarmuka antara dua fase cair yang tidak dapat tercampur. Tegangan antarmuka sebanding dengan tegangan permukaan, akan tetapi nilai tegangan antarmuka akan selalu lebih kecil daripada tegangan permukaan pada konsentrasi yang sama (Moecthar, 1989). Hydrophilic Lipophilic Balance (HLB) Menurut Suryani et al. (2000), HLB adalah ukuran empiris untuk mengetahui hubungan antara gugus hidrofilik dan hidrofobik pada suatu surfaktan. Sistem HLB digunakan untuk mengidentifikasi emulsifikasi minyak dan air oleh surfaktan. Terdapat dua tipe emulsi, yaitu : a. Water-in-oil (w/o), artinya air terdispersi di dalam minyak. Memerlukan surfaktan dengan nilai HLB rendah.

33 17 b. Oil-in-water (o/w), artinya minyak terdispersi di dalam air Memerlukan surfaktan dengan nilai HLB tinggi. Makin tinggi nilai HLB, maka surfaktan makin bersifat larut air, makin rendah nilai HLB, surfaktan makin bersifat larut minyak. Nilai HLB dan aplikasinya berdasarkan konsep Grifin disajikan pada tabel dibawah ini. Tabel 8 Nilai HLB dan aplikasinya berdasarkan konsep Grifin Nilai HLB Aplikasi 3 6 Pengemulsi W/O 7 9 Wetting agent 8 14 Pengemulsi O/W 9 13 Detergen Solubilizer Dispersant Sumber : Holmberg et al. (2003) Fourier Transform Infra Red Spectroscopy (FTIR) Fourier Transform Infra Red Spectroscopy merupakan pencirian unsur dan gugus fungsi dalam suatu polimer. Analisis ini diperlukan karena dalam suatu polimer terkandung aneka unsur kimia baik logam maupun bukan logam. Spektrum inframerah dari senyawa organik mempunyai sifat fisik yang khas. Energi radiasi inframerah akan diabsorpsi oleh senyawa organik sehingga molekulnya akan mengalami rotasi atau vibrasi. Setiap ikatan kimia yang berbeda seperti C-C, C=C, C=O, O-H dan sebagainya mempunyai frekuensi vibrasi yang berbeda sehingga kemungkinan dua senyawa berbeda akan mempunyai absorpsi yang sama adalah kecil sekali (Randall et al., dalam Indrawanto, 2007). Alkil poliglikosida (APG) APG pertama kali dikenal sekitar tahun 1983 oleh Emil fischer (Margaretha, 1999). APG merupakan surfaktan yang ramah lingkungan karena disintesis dengan bahan baku yang berbasis pati (kentang, sagu, tapioka dan lain-lain) dengan alkohol lemak berbasis minyak nabati (kelapa, sawit, biji kapok dan biji karet). Proses produksi APG dapat dilakukan melalui dua metode, yaitu pertama berbasis bahan baku pati dan alkohol lemak sedang kedua berbasis dekstrose dan alkohol lemak. Diagram proses pembuatan APG disajikan pada Gambar 3. Pada diagram proses Gambar 3 tersebut dapat dilihat perbedaan proses sintesis APG antara metode pertama dengan kedua. Metode pertama melalui proses butanolisis

34 18 dan transasetalisasi, sedang metode kedua hanya melalui proses asetalisasi yang selanjutnya dari masing-masing metode masuk ke proses netralisasi, distilasi, pelarutan, dan pemucatan. APG mempunyai dua struktur kimia. Rantai hidrokarbon yang bersifat hidrofobik (lipofilik) dan hidrofilik. Sifat rantai yang hidrofobik disebabkan oleh rantai hidrokarbon tersebut tersusun dari alkohol lemak yang berasal dari minyak sawit atau minyak kelapa. Sedangkan, bagian molekul yang bersifat hidrofilik dari APG tersusun dari molekul glukosa/pati. Gambar proses reaksi dan struktrur APG disajikan pada Gambar 3. Pati atau sirup dekstrosa Glukosa anhidrat atau glukosa monohidrat (dekstrosa) Butanolisis Butanol Transasetalisasi Alkohol lemak Alkohol lemak Asetalisasi Butanol/ Air Netralisasi Air Destilasi Alkohol lemak Air Pelarutan Pemucatan Alkil poliglikosida Gambar 3 Proses sintesis APG Proses produksi APG melalui proses asetalisasi dilakukan dengan mencampurkan alkohol lemak dan glukosa dengan perbandingan 2:1 sampai dengan perbandingan 10:1 dengan katalis asam p-toluena sulfonat. Kondisi reaksi diatur pada suhu C selama 3-4 jam pada tekanan mmhg. Setelah itu, campuran bahan dilakukan netralisasi sampai ph 8-10 dengan menggunakan NaOH 50 % pada suhu 80 C. Setelah tahap tersebut akan terbentuk APG kasar yang masih bercampur dengan residu (air + alkohol lemak ) yang tidak bereaksi sehingga dilakukan pemisahan dengan menggunakan distilasi vakum untuk mengeluarkan residu. Pemisahan alkohol

35 19 lemak dilakukan pada suhu C dan tekanan 15 mmhg. Tahap akhir adalah pemucatan untuk memperoleh APG murni pada suhu C kurang lebih selama 2 jam (Indrawanto, 2007). Gambar 4. Proses reaksi dan struktur alkyl polyglycoside (APG) Gambar 4 Proses reaksi dan struktur APG Menurut Wuest et al. (1992), sintesis surfaktan APG dapat dengan reaksi 2 tahap dari pati atau hasil degradasi pati seperti poliglukosa atau sirup glukosa, tahap pertama direaksikan dengan alkohol rantai pendek, terutama butanol, dan tahap kedua transasetalisasi direaksikan dengan rantai lebih panjang C 8-22 terutama C dari alkohol lemak bahan baku alami. Reaksi butanolisis dilakukan pada temperatur diatas 125 o C dan dengan tekanan 4-10 bar dalam zone reaksi tertutup. Reaksi transasetalisasi dilaksanakan pada temperatur o C pada kondisi vakum dengan rasio mol pati dengan alkohol rantai panjang adalah 1: 1,5 sampai 1: 7, 1:2,5 sampai 1:7, dan 1:3 sampai 1: 5.sedangkan rasio mol sakarida : air = 1:5 sampai 1:12, 1:6 sampai 1:12, 1:6 sampai 1:9, 1:6 sampai 1:8. Pada Gambar 5 dapat dilihat proses reaksi sintesa APG satu tahap dan Gambar 6 sintesis APG dengan dua tahap. Gambar 5 Proses sintesis APG satu tahap

36 20 Gambar 6 Proses sintesis APG dua tahap Tahapan proses sintesa APG dengan dua tahap meliputi tahap dasar sebagai berikut: Reaksi butanolisis Reaksi butanolisis merupakan reaksi antara sumber pati dengan menggunakan katalis asam dengan butanol untuk membentuk produk butil glikosida. Pemilihan katalis pada proses sintesa APG juga sangat menentukan keberhasilan terbentuknya ikatan asetal serta memperpendek proses sintesa berlangsung. Katalis-katalis asam yang dapat digunakan pada tahapan proses asetalisasi meliputi: Asam anorganik: asam fosfat, asam sulfat, asam klorida, dll. Asam organik: asam triflouroasetat, asam p-toluen sulfonat, asam sulfosuksinat, asam kumena sulfonat, asam lemak tersulfonasi, ester asam lemak tersulfonasi, dll. Asam dari surfaktan: asam alkil benzena sulfonat, alkohol lemak sulfat, alkoksilat alkohol lemak sulfat, alkil sulfonat rantai lurus, alkil ester dari asam sulfosuccinat, alkil naphthalena sulfonat dll. Dari katalis tersebut diatas dipilih katalis organik asam p-toluena sulfonat, karena katalis cenderung bersifat organik dan dapat terurai serta berupa asam lemah. Jika menggunakan asam kuat, kemungkinan asam akan bereaksi dengan menghidrolisa glukosa. Penggunaan asam lemah juga akan memudahkan dalam proses netralisasi. Selain itu asam p-toluena sulfonat juga bersifat tidak korosif terhadap pipa besi ataupun stainless steel (Hill et al., 1996) Gibson et al. (2001) menentukan katalis asam yang digunakan dalam proses asetalisasi/transasetalisasi menggunakan perhitungan sebagai berikut : Katalis pertama kira-kira 0,7-1,4% dari berat pati Katalis kedua kira-kira 25-50% dari berat katalis yang pertama.

37 21 Katalis yang digunakan pada tahapan proses asetalisasi adalah penjumlahan dari katalis pertama dan katalis kedua. Reaksi Transasetalisasi Produk akhir proses butanolisis (butil glikosida) direaksikan dengan alkohol rantai panjang (C 8 -C 22 ) dengan katalisator asam yang jumlahnya 25-50% dari berat katalis pertama membentuk alkil poliglikosida, sedangkan butanol dan air pada suhu proses ini (120 0 C) akan teruapkan dan ditampung dalam separator. Alkil poliglikosida (APG) merupakan suatu asetal yang diperoleh dari pati (glukosa) dan alkohol rantai panjang (C 8 -C 22 ), sehingga proses pengikatan glukosa siklik terhadap alkohol sering disebut reaksi asetalisasi (wuest et al, 1992). Salah satu proses asetalisasi bisa melalui glikosidasi (pembentukan ikatan glikosida) glukosa dengan menggunakan alkohol berlebih sehingga proses asetalisasi pada sintesa APG sering pula disebut glycosidation. McCurry et al, (1996) menyatakan bahwa alkohol lemak rantai panjang yang diperkenankan dalam sintesa APG adalah mulai rantai C 8 -C 22, tetapi menurut Hill et al. (1996) rantai panjang alkohol lemak yang dapat digunakan C 8 C 18 lebih dianjurkan. Alkohol lemak memiliki gugus hidroksil (OH) yang sifat kelarutannya sangat dipengaruhi oleh ikatan hidrogen yang berikatan dengan atom karbon. Dengan bertambah panjangnya rantai karbon, maka pengaruh gugus hidroksil yang bersifat polar menurun dan sifat non polar akan semakin tinggi. Alkohol lemak pada APG diperlukan untuk memperoleh gugus alkil rantai panjang sebagai bagian yang bersifat hidrofobik. Pemilihan alkohol lemak yang tepat juga akan berpengaruh pada suhu transasetalisasi berlangsung sebab semakin panjang rantai maka titik didih alkohol lemak semakin tinggi. Netralisasi Tahapan netralisasi ini bertujuan untuk menghentikan proses asetalisasi/ transasetalisasi dengan menambahkan basa hingga tercapai suasana basa yaitu ph sekitar Basa yang dapat digunakan untuk proses netralisasi ini meliputi alkali metal, alumunium salt selain itu juga dapat dari anion dari basa organik maupun inorganik seperti sodium hidroksida (NaOH), potasium hidroksida, kalsium hidroksida, alumunium hidroksida dan sebagainya (Wuest et al., 1996) Penggunaan larutan NaOH sangat dianjurkan karena NaOH tidak bereaksi dengan alkohol atau produk. Selain proses penambahan akan lebih mudah karena berbentuk larutan dan tidak memerlukan penyaringan untuk menghilangkan garam yang terbentuk (Wuest et al, 1996).

38 22 Pada proses netralisasi, rasio mol pati terhadap alkohol lemak akan berpengaruh pada jumlah basa yang digunakan karena alkohol lemak cenderung bersifat asam semakin banyak jumlah alkohol lemak yang digunakan maka semakin banyak pula basa yang dipakai. Pada tahapan proses destilasi semakin banyak alkohol lemak yang digunakan maka akan semakin banyak alkohol lemak yang tidak bereaksi sehingga semakin banyak alkohol lemak yang harus didestilasi dan terbuang. Proses netralisasi dilakukan pada suhu C dan dilakukan pada tekanan normal. Lama proses netralisasi kurang lebih menit sampai dicapai nilai ph antara Destilasi Tahapan destilasi ini bertujuan untuk menghilangkan alkohol lemak yang tidak bereaksi dari produk APG. Proses destilasi dapat dilakukan pada interval suhu sekitar C dengan tekanan sekitar 0,1-2 mmhg tergantung alkohol lemak yang digunakan yaitu semakin panjang rantai maka semakin tinggi suhu dan semakin rendah tekanan yang dibutuhkan. Dalam proses ini diperlukan suhu tinggi dan tekanan rendah untuk dapat menguapkanalkohol lemak yang tidak bereaksi. Pada tahapan destilasi diharapkan dapat menguapkan alkohol lemak secara maksimal untuk memperoleh produk APG dengan kandungan alkohol lemak kurang dari 5% dari berat produk. Kelebihan alkohol lemak akan mengurangi efektivitas kerja dari surfaktan APG. Untuk itu, dilakukan pengecekan setiap saat selama proses destilasi berlangsung untuk memperoleh produk dengan kandungan alkohol lemak serendah mungkin dan terhindar dari kerusakan (kering) jika waktu destilasi terlalu lama atau kandungan alkohol lemak masih terlalu banyak jika waktu reaksi terlalu singkat. Karena kondisi reaktor tertutup dan tidak terlihat dari luar maka pengecekan dilakukan dengan menggunakan batang pengaduk dengan memasukannya ke dalam reaktor untuk mengamati kekentalan/viskositas dari larutan reaksi. Hasil akhir proses destilasi akan diperoleh APG kasar berbentuk pasta yang berwarna coklat kehitaman. Untuk itu perlu dilakukan pemucatan untuk memperoleh APG yang memiliki penampakan yang lebih baik dan bau yang tidak terlalu menyengat. Pemucatan (Bleaching) Bahan pemucat ramah lingkungan tidak meninggalkan residu yang berbahaya, salah satunya adalah hidrogen peroksida. Sebagai contoh dalam industri pulp dan kertas, penggunaan hidrogen peroksida biasanya dikombinasikan dengan NaOH. Proses pemucatan dilakukan sebagai tahap akhir proses APG yang bertujuan untuk membuat penampakan dan bau yang lebih baik. Proses pemucatan dilakukan dengan menambahkan larutan H 2 O 2 ditambah air dan NaOH hingga diperoleh produk

39 23 dengan ph 8-10 (Hill et al., 1996). Proses bleaching/pemucatan dilakukan pada suhu C selama menit pada tekanan normal. APG dapat diklasifikasikan sebagai surfaktan non ionik. Menurut Matheson (1996) surfaktan non ionik adalah surfaktan yang tidak bermuatan atau tidak terjadi ionisasi molekul. Oleh karena cabang dari surfaktan tersebut adalah rantai dari alkohol lemak dan gugus gula (dekstrosa) yang tidak bermuatan. Sifat hidrofilik yang dimiliki surfaktan non ionik didapatkan karena keberadaan gugus hidroksil dari dekstrosa. Selain itu gugus polar (hidrofilik) dan gugus non polar (hidrofobik) juga menentukan kemampuan surfaktan dalam membentuk kestabilan emulsi didalam campuran produk (Swern, 1979). Herbisida Gulma merupakan salah satu faktor kendala utama dalam usahatani yang berperan sebagai pesaing tanaman dalam pemanfaatan unsur hara, air, dan ruang. Sebagian gulma juga menjadi tempat hidup dan tempat bernaung hama dan penyakit tanaman, serta dapat menyumbat saluran air. Teknik pengendalian gulma dapat di lakukan dengan berbagai cara, antara lain: kultur teknis, cara mekanis, cara hayati, penggunaan racun rumput (herbisida) dan pengendalian gulma secara terpadu (Noor, 1997) Berdasarkan cara kerja herbisida dikelompokkan menjadi dua yaitu: herbisida kontak dan sistemik. Herbisida kontak, hanya mampu membasmi gulma yang terkena semprotan saja, terutama bagian yang berhijau daun dan aktif berfotosintesis. Kelebihannya adalah dapat membasmi gulma secara cepat, yaitu 2-3 jam setelah disemprot gulma akan layu dan 2-3 hari kemudian mati. Hal ini akan bermanfaat jika waktu penanaman harus segera dilakukan. Kelemahannya adalah gulma akan tumbuh kembali secara cepat sekitar 2 minggu kemudian. Contoh herbisida kontak adalah paraquat. Herbisida sistemik, cara kerjanya ditranslokasikan ke seluruh jaringan tanaman gulma dan mematikan jaringan sasarannya seperti daun, titik tumbuh, tunas sampai ke perakarannya. Kelebihannya adalah dapat mematikan tunas - tunas yang ada dalam tanah, sehingga menghambat pertumbuhan gulma tersebut. Contoh herbisida sistemik adalah glifosat, dan sulfosat. Beberapa faktor yang mempengaruhi efektivitas herbisida sistemik, yaitu: - Gulma harus dalam masa pertumbuhan aktif - Cuaca cerah ketika aplikasi - Kondisi kering pada areal yang akan diaplikasikan - Air bersih sebagai bahan pelarut.

40 24 Herbisida selektif hanya membasmi gulma dan tidak mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Herbisida sebagai bahan racun aktif (active ingredient) dalam formulasi biasanya dinyatakan dalam berat per volume atau berat per berat. Bahan aktif dalam formulasi herbisida yang bersifat ramah lingkungan seperti glifosat (N-phosponomethyl glycine), sulfosat ataupun agral (N-phenol glycine). Bahan-bahan lain yang tidak aktif sebagai inertnya yang dicampurkan dalam herbisida yang telah diformulasi dapat berupa : Pelarut (solvent) adalah bahan cair pelarut misalnya alkohol, minyak tanah, xylene dan air. Biasanya bahan pelarut ini telah diberi deodorant (bahan penghilang bau tidak enak baik yang berasal dari pelarut maupun dari bahan aktif). Sinergis, sejenis bahan yang dapat meningkatkan daya racun, walaupun bahan itu sendiri mungkin tidak beracun, seperti sesamin (berasal dari biji wijen) dan piperonil butoksida. Emulsifier dan surfaktan, merupakan bahan detergen yang akan memudahkan terjadinya emulsi bila bahan minyak diencerkan dalam air dan berperan dalam menurunkan tegangan permukaan dan tegangan antar muka zat yang dicampurkan. Beberapa penambahan bahan-bahan lain dalam formula seperti pencegah kebakaran, penghilang bau yang tidak enak (deodorizer) dan pembau yang diinginkan serta pewarna. Bahan aktif dari formulasi herbisida secara langsung menentukan efektivitas herbisida tersebut. Pembuatan dosis herbisida yang tepat dapat mengurangi penggunaan herbisida yang berlebih dan dapat menghemat biaya serta mengurangi kerusakan berlebih pada lingkungan (Tollenean et al.,1994). Penggunaan herbisida melalui penyemprotan membutuhkan jenis surfaktan yang memiliki sifat yang dapat meningkatkan daya penyebaran pembasahan dan dapat meningkatkan efektivitas herbisida tersebut serta tidak mengganggu stabilitas bahan aktif yang digunakan dalam formula herbisida tersebut. Surfaktan bekerja dengan memperluas penyebaran genangan larutan herbisida pada permukaan daun sehingga semprotan herbisida tersebar lebih merata. Dengan penggunaan surfaktan tersebut, permukaan daun yang tertutup larutan herbisida menjadi lebih luas dan menjadikan larutan herbisida bertahan lebih lama di atas permukaan daun. Beberapa surfaktan juga membantu herbisida tertentu untuk meresap ke dalam permukaan daun dan akar dengan lebih cepat dan merata (Tominack, 2000). Salah satu bahan aktif pada herbisida adalah glifosat dan dapat digunakan untuk semua jenis gulma. Pengaruh bahan aktif glifosat agak lambat, yaitu sekitar 2-4 bahkan 10 hari waktu aplikasi. Menurut Utomo (1995), kelemahan pada aplikasi herbisida

41 25 berbahan aktif glifosat adalah bila hujan turun kurang dari enam jam setelah aplikasi akan menyebabkan pengendalian gulma kurang berhasil dan glifosat juga memerlukan air bersih untuk aplikasinya. Mekanisme kerja glifosat adalah bahan aktif glifosat diserap oleh daun dan dibawa kebagian lain melalui filum. Selanjutnya glifosat menghambat pembentukan asam amino aromatik, terutama menghambat kerja enzim 5-enolpyruvyl shikimate-3- phosphate syntease (EPSPs) dalam lintasan asam shikimat yang akan membentuk asam-asam amino aromatic seperti tryptophan, tyrosin, dan phenylalanine sehingga menghambat sintesis protein yang dibutuhkan tumbuhan (Cremlyn, 1991). Dengan dihambatnya kerja enzim EPSPs, produksi asam amino aromatik berkurang sehinga sel akan mati. Keuntungan penggunaan herbisida antara lain: menghemat waktu, tenaga kerja, dan biaya, pengendalian gulma dapat dipilih saatnya yang disesuaikan dengan waktu yang tersedia. Areal pertanaman dapat diperluas. Herbisida mengurangi gangguan terhadap struktur tanah, bahkan gulma yang mati berfungsi sebagai mulsa yang bermanfaat mempertahankan kelembaban tanah, mengurangi erosi, menekan pertumbuhan gulma baru, dan berfungsi sebagai sumber bahan organik dan hara. Sedangkan akibat sampingan, penggunaan herbisida antara lain: gangguan kesehatan bagi penyemprot, keracunan karena residu yang termakan, keracunan pada tanaman dan hewan peliharaan dan pencemaran terhadap lingkungan.

42 26 METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Proses produksi surfaktan APG berbasis pati sagu dan alkohol lemak kelapa merupakan modifikasi proses produksi dua tahap Wuest, et al. (1992) dengan merubah sumber patinya dari kentang menjadi pati sagu dan netralisasi dengan MgO diganti dengan NaOH serta 2 buah reaktor dimodifikasi menjadi 1 buah reaktor. Dengan perlakuan variasi suhu butanolisis dan variasi rasio mol pati sagu denganalkohol lemak diharapkan akan menghasilkan kondisi proses produksi APG yang optimum. APG yang diperoleh dapat dipergunakan sebagai bahan tambahan pada herbisida dengan tujuan untuk meningkatkan penetrasi bahan aktif herbisida kedalam tanaman (Van Valkenburg, 1990). Formulasi herbisida yang terdiri dari bahan aktif glifosat dan APG dapat digunakan untuk mengendalikan gulma jenis rumput-rumputan. Formulasi herbisida yang diperoleh disimpan selama 5 minggu dengan suhu penyimpanan berkisar 15 0 C, suhu ruang (26-29 o C), dan 40 0 C. Hal ini dilakukan karena kondisi di lapangan ternyata bahwa herbisida ini akan dikirim ke daerah dingin sampai daerah panas atau disimpan di ruangan beratap seng yang suhunya dapat mencapai 40 0 C. Untuk menguji efektivitasnya, formulasi herbisida diaplikasikan untuk gulma rumput. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini telah dilakukan di Laboratorium Teknologi Kimia, Departemen Teknologi Industri Pertanian, FATETA, IPB dan Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik, Departemen Pertanian Badan Litbang Pertanian. Penelitian dilakukan mulai bulan Januari sampai dengan bulan Juni Alat dan Bahan Bahan-bahan penelitian yang digunakan adalah alkohol lemak C 12 yang diperoleh dari PT. Ecogreen Oleochemical, pati sagu, butanol, asam p-toluena sulfonat, NaOH 50%, H 2 O 2, dan aquades. Bahan yang digunakan untuk analisa contoh meliputi xilena, piridina, benzena, span 20, twen 80, dan asam oleat. Alat-alat yang digunakan dalam sintesa APG meliputi reaktor double jacket yang dilengkapi dengan termoset, kondensor, pompa vakum Robinair ½ Hp, pompa sirkulasi, hotplate stirrer. Adapun alat untuk analisa meliputi, vortex mixer, Cole-parmer surface tensiometer, buret serta peralatan gelas.

43 27 Tahapan Penelitian Tahap 1. Perancangan proses produksi APG Proses produksi pada dasarnya merupakan suatu kegiatan konversi bahan baku (input produksi) menjadi produk (output produksi). Untuk melaksanakan proses atau kegiatan tersebut diperlukan satu rangkaian proses pengerjaan yang bertahap. Perancangan proses produksi APG berbasis pati sagu dan alkohol lemak merupakan modifikasi proses produksi Wuest et al. (1992). Penelitian telah dilaksanakan menggunakan reaktor double jacket dengan bahan stainless steel yang dilengkapi dengan thermoset digital dan termometer untuk mengontrol kondisi suhu reaksi. Reaktor dipanaskan dengan menggunakan media silicon oil dan elemen-elemen listrik yang dipasang di sekeliling reaktor. Modifikasi reaktor yang dilakukan adalah menggunakan satu reaktor dengan memodifikasi tutup reaktor yang dilengkapi dengan peralatan yang memungkinkan kedua proses yaitu, butanolisis dan transasetalisasi dapat dilakukan, yaitu untuk proses butanolisis yang memerlukan tekanan tinggi karena suhu sekitar C dipasang barometer tekanan tinggi, sedangkan untuk proses transasetalisasi, kondisi reaktor memerlukan kondisi vakum dengan cara menghisap udara yang terdapat dalam reaktor dengan menggunakan pompa vakum, tekanan dapat diukur dengan barometer vakum. Gambar 7 Tutup reaktor dengan barometer tekanan tinggi dan vakum Kelebihan proses dua tahap antara lain menggunakan bahan baku pati yang harganya lebih murah daripada turunannya dan waktu proses sintesis APG lebih singkat, sedangkan kekurangannya antara lain menggunakan alkohol rantai pendek (butanol) akan mempengaruhi biaya produksi, APG yang dihasilkan berwarna gelap, dan kondisi proses butanolisis menggunakan tekanan tinggi.

44 28 Tahap 2. Proses produksi APG Tahap butanolisis Proses butanolisis dilakukan pada reaktor double jacket dengan mencampurkan butanol dengan pati sagu, air dan katalisator asam p-toluena sulfonat. Kondisi proses pada suhu C dengan tekanan 3 5 bar, selama 30 menit. Tahap butanolisis akan menghasilkan butil glikosida, kelebihan butanol, air, dan residu. Tahap transasetalisasi Proses transasetalisasi dilakukan pada reaktor double jacket dengan mencampurkan hasil proses butanolisis dengan alkohol lemak (C 12 ) dan katalisator asam p-toluena sulfonat. Kondisi proses pada suhu C dengan kondisi vakum pada tekanan mmhg selama 2 jam. Tahap transasetalisasi akan mengeluarkan kelebihan butanol yang tidak bereaksi dan air. Pada tahap ini dihasilkan APG yang masih bercampur dengan alkohol lemak. Tahap netralisasi Campuran bahan hasil transasetalisasi didinginkan sampai mencapai suhu 90 0 C yang kemudian dilakukan netralisasi sampai ph 8-10 dengan menggunakan NaOH 50 %. Tahap destilasi Proses destilasi bertujuan untuk mengeluarkan alkohol lemak yang tidak bereaksi dengan menggunakan kondenser yang dilakukan pada suhu C dan tekanan 15 mmhg. Tahap pelarutan APG yang diperoleh dari proses destilasi setelah suhu diturunkan sampai 80 0 C ditambah air disesuaikan dengan kemurnian produk yang diinginkan. Tahap pemucatan Proses pemucatan menggunakan H 2 O 2 dan penambahan NaOH untuk mempertahankan ph APG murni. Secara skematis tahapan proses produksi APG dapat dilihat pada Gambar 7.

45 29 Air Butanol Pati Sagu Suhu o C Katalis asam (asam p-toluene sulfonat) Butanolisis + asam p-toluene sulfonat Alkohol lemak Transasetalisasi air + butanol Suhu o C Tekanan vakum Didinginkan sampai suhu 90 o C Netralisasi + NaOH s/d ph 8-10 Selama 30 menit, tekanan normal Destilasi Suhu o C Tekanan 15 mmhg APG Kasar Alkohol lemak +Air Pelarutan +H 2 O 2 + NaOH Pemucatan/Bleaching APG Gambar 8 Metode sintesis APG metode dua tahap (modifikasi metode Wuest et al. (1992)

46 30 Tahap 3. Optimasi APG dengan respon stabilitas emulsi Optimasi sintesis APG dilakukan dengan menggunakan metode permukaan respon (Response Surface Method) dengan mengkaji pengaruh dua faktor, yaitu variasi suhu butanolisis dan variasi rasio mol pati sagu-alkohol lemak. Parameter uji untuk optimasi ini adalah stabilitas emulsi (%) APG yang diperoleh. Setelah mendapatkan kondisi proses yang optimum, dilanjutkan proses validasi produksi APG pada kondisi optimum laboratorium. Tahap 4. Karakterisasi APG Karaketristik APG yang dihasilkan dibandingkan dengan APG komersial sebagai standard. Karakterisasi pada penelitian ini meliputi kemampuan untuk menurunkan tegangan permukaan dan tegangan antar muka, mengontrol jenis pembentuk emulsi dengan menentukan nilai Hidrofil Lipofil Balance, penentuan gugus fungsi APG dengan FTIR, rendemen dan ph. Adapun metode analisa disajikan pada Lampiran 2. Tahap 5. Karakterisasi (fisik dan kimiawi, stabilitas emulsi dan efektivitas) formulasi herbisida Formulasi herbisida dalam penelitian ini bertujuan membuat beberapa formula yang merupakan campuran APG yang dihasilkan dengan bahan aktif glifosat yang sudah terlarut dalam isopropil amina. APG sebagai bahan tambahan dapat dicampurkan dengan berbagai konsentrasi dengan konsentrasi glifosat yang ada di pasaran sehingga didapat formulasi herbisida yang paling baik. Formulasi herbisida tersebut juga akan mengalami perlakuan penyimpanan pada suhu 15 o C, suhu ruang, dan 40 o C selama lima minggu. Parameter untuk menilai formulasi herbisida adalah kestabilan emulsi. Rancangan Percobaan Rancangan percobaan optimasi sintesis APG Rancangan percobaan optimasi sintesis APG menggunakan metode permukaan respon (Response Surface Mehtod) dan penelitian menggunakan rancangan komposit terpusat. Faktor yang dianalisis ada dua yaitu: 1. Suhu proses butanolisis (X 1 ) dengan rentang antara C. 2. Rasio mol pati : alkohol lemak (X 2 ) dengan rentang antara 1:2,5 1:6, Dengan basis percobaan 20,25 g pati sagu. Desain rancangan percobaan dapat dilihat pada Tabel 9.

47 31 Tabel 9 Desain percobaan untuk optimasi sintesis APG No. Suhu butanolisis ( o C) Rasio mol Kode variabel X 1 X , , , , ,9 4,25 0-1, ,1 4,25 0 1, ,78-1, ,72 1,41 0 Parameter yang dianalisis adalah stabilitas emulsi surfaktan APG yang diperoleh (Y). Model rancangan percobaan faktorial untuk mengetahui pengaruh dari kedua faktor terhadap respon yang diinginkan adalah sebagai berikut: Y = a a1 x1 + a2 x2 + a3x 1 + a4x 2 a5x 1x2 Keterangan: Y = Stabilitas emulsi surfaktan APG (%) a 0, a 1, a 2, a 3, a 4, a 5 = Koefisien regresi X 1 = Pengaruh linier faktor rasio mol pati dan alkohol lemak X 2 = Pengaruh linier faktor suhu proses butanolisis ( C) X 1 X 2 = Pengaruh linier interaksi faktor rasio mol pati sagu dan alkohol lemak dan suhu proses butanolisis 2 X 1 2 X 2 = Pengaruh kuadratik faktor suhu butanolisis ( 0 C) = Pengaruh kuadratik faktor rasio mol pati sagu dengan alkohol lemak (gram) Menurut Cohan dalam Anwar (2008), hasil statistik ini dapat digunakan untuk mengetahui persen pengaruh faktor yang menggambarkan pengaruh perubahan faktor terhadap permukaan respon. Persamaan persen pengaruh sebagai berikut : Persen pengaruh : F x 100 % α 0 (X h -X i ) Keterangan: F : pendugaan parameter α 0 : intersep

48 32 X h X i : nilai tinggi faktor : nilai rendah faktor Rancangan percobaan formulasi herbisida hasil penyimpanan pada suhu yang berbeda Aplikasi formulasi herbisida dilakukan pada petak percobaan dengan ukuran 3 m x 2 m, dengan jarak antar petak 0,5 m, dengan dua kali ulangan. Penyemprotan menggunakan knapsack sprayer merk Golden Spray tipe GS-008 dengan volume semprot 400 l/ha. Aplikasi formula herbisida dilakukan pada pagi hari sekitar pukul dan cuaca dalam keadaan cerah minimal 6 jam setelah aplikasi tidak turun hujan. Rancangan percobaan pada aplikasi formulasi herbisida adalah rancangan acak lengkap faktorial dengan 3 faktor dan dua kali ulangan. Faktor yang dikaji adalah : Variasi suhu penyimpanan yaitu suhu 15 o C, suhu ruang ( C), dan suhu 40 o C Variasi konsentrasi glifosat yaitu konsentrasi 16%, 24%, dan 48% Variasi konsentrasi surfaktan APG terdiri dari 2%, 4%, 6%, dan 10%. Model rancangan percobaan yang digunakan adalah: Y ijk = μ + A i + B j + C k + AB ij + AC ik + BC jk + ABC ijk + ε ijk Keterangan: Y ijk μ A i B j C k AB ij AC ik BC jk ε ijk ABC ijk = Nilai pengamatan dari faktor A taraf ke-i, faktor B taraf-j pada ulangan ke-l = Nilai rata-rata = Pengaruh faktor A pada taraf ke-i = Pengaruh faktor B pada taraf ke-j = Pengaruh faktor C pada taraf ke-k = Pengaruh interaksi faktor A taraf ke-i dengan faktor B taraf ke-j = Pengaruh interaksi faktor A taraf ke-i dengan faktor C taraf ke-k = Pengaruh interaksi faktor B taraf ke-j dengan faktor C taraf ke-k = Pengaruh kesalahan percobaan = Pengaruh interaksi faktor A taraf ke-i dengan faktor B taraf ke-j dengan faktor C taraf ke-k Untuk data non parametrik seperti uji efektivitas yang pengamatannya berdasarkan skoring dilakukan dengan uji Kruskal Wallis. Apabila pengaruh perlakuan itu nyata, diteruskan dengan uji lanjut Duncan pada taraf nyata 5 % atau 1 %. Analisis statistik dilakukan dengan menggunakan program Software SPSS 11,5.

49 33 HASIL DAN PEMBAHASAN Perancangan Proses Produksi APG Proses produksi alkil poliglikosida (APG) dilakukan dengan memodifikasi tutup reaktor untuk proses dengan tekanan tinggi atau kondisi vakum. Tutup reaktor dilengkapi dengan tiga buah kran yang masing-masing kran dihubungkan dengan barometer tekanan tinggi, barometer vakum, dan pendingin. Untuk proses butanolisis, kran pada barometer tekanan tinggi dibuka sedangkan yang lain ditutup, sedangkan untuk proses transasetalisasi kran pada barometer tekanan tinggi ditutup dan kran pada barometer vakum serta kran pendingin dibuka. Reaktor yang digunakan merupakan reaktor double jacket yang dilengkapi dengan thermoset digital untuk mengatur suhu dengan memanaskan silicon oil sebagai media panas untuk memanaskan reaktor. Foto reaktor dengan tutupnya dapat dilihat pada Gambar 9. Untuk keamanan pada proses dengan tekanan tinggi (butanolisis) dipasang safety valve yang diatur sesuai dengan tekanan maksimum yang dipergunakan. Seal antara penutup reaktor dengan reaktor menggunakan seal silicon yang tahan sampai suhu C. Sedangkan untuk mengukur suhu dalam reaktor menggunakan termometer manual dengan kisaran suhu 0 sampai C yang diletakan dalam wadah/lubang tutup reaktor. Pengadukan dalam reaktor masih menggunakan pengaduk magnetik berukuran 6 cm dengan kecepatan putaran sekitar 200 rpm. Pada tutup reaktor terdapat lubang untuk memasukan bahan dan mengontrol perputaran pengaduk magnetik dengan menggunakan kawat batang pengaduk. Selain itu lubang tersebut dapat berfungsi untuk mengontrol kekentalan APG dalam reaktor pada saat destilasi sehingga alkohol lemak yang masih ada dalam reaktor sudah minimum. Proses destilasi pada sintesa APG adalah untuk memisahkan butanol dan alkohol lemak yang tidak bereaksi dari APG, perbedaan titik didih akan memisahkan komponen tersebut dari APG. Komponen uap akan diubah dalam bentuk cair dalam kondensor dan masuk dalam separator stainless steel. Proses pemakuman menggunakan pompa vakum 0,5 PK. Gambar rangkaian peralatan proses produksi APG dapat dilihat pada Gambar 10.

50 Gambar 9 Reaktor berjaket dan thermoset 4 7b a keterangan : 1 = reaktor berjaket 2 = barometer bertekanan tinggi 3 = barometer vakum 4 = safety valve 5 = wadah untuk termometer 6 = lubang kontrol stirer 7 = kondensor 7a = inlet 7b = outlet 8 = separator 9 = tangki silika gel 10 = pompa vakum 9 Gambar 10 Rangkaian peralatan proses produksi APG

51 35 Proses Produksi APG dengan Dua Tahap Sintesa APG dua tahap meliputi: (1) Butanolisis; mereaksikan pati sagu dengan butanol (C 4 ) dengan katalis asam; (2) Transasetalisasi; mereaksikan hasil butanolisis (butil glikosida) dengan alkohol lauril (dodekanol) dengan katalis asam dengan mengganti butil oleh lauril dan menguapkan butanol dan air; (3) Netralisasi katalis asam yang digunakan pada proses butanolisis dan transasetalisasi; (4) Destilasi dodekanol yang tidak bereaksi; (5) Pelarutan dengan air dan (6) Pemucatan produk APG) yang terbentuk. 1. Butanolisis Tahapan butanolisis pada sintesa APG merupakan tahapan reaksi dalam reaktor double jacket antara pati sagu dengan butanol, air dan katalisator asam p-toluena sulfonat. Pada tahapan ini air akan menghidrolisis pati sagu memecah ikatan glikosida yang selanjutnya bereaksi dengan butanol pada suhu proses antara C, tekanan sekitar 4-5 bar, dengan katalisator asam p-toluena sulfonat selama 30 menit. Hasil akhir proses butanolisis menghasilkan larutan butil glikosida yang berwarna coklat muda. Foto hasil akhir dari tahapan butanolisis dapat dilihat pada Gambar 11. Gambar 11 Hasil akhir proses butanolisis Transasetalisasi Secara umum tahapan ini merupakan proses penggantian C 4 oleh C 12 dengan katalis asam p-toluena sulfonat sebanyak 50 % dari proses butanolisis dan kondisi selama reaksi pada suhu o C, tekanan vakum selama 2 jam.. Alkohol lemak pada APG diperlukan untuk memperoleh gugus alkil rantai panjang sebagai bagian yang bersifat hidrofobik. Semakin panjang rantai gugus alkil, sifat non polar akan semakin tinggi. Pemilihan alkohol lemak yang tepat juga akan berpengaruh pada suhu transasetalisasi berlangsung sebab semakin panjang rantai maka titik didih alkohol lemak semakin tinggi. Wuest et al. (1992)

52 36 menyatakan bahwa penggunaan alkohol lemak lebih disarankan untuk menggunakan fatty alkohol dengan panjang rantai C 8 - C 12. Penambahan dodekanol pada larutan hasil proses butanolisis secara langsung ternyata membentuk kristal dan tidak dapat bercampur karena perbedaan polaritas larutan hasil butanolisis dengan dodekanol sehingga diperlukan solubilizer. McDaniel et al. dalam Balzer (2000) menggunakan solubelizer N-metil 2 pyrrolidone (NMP) untuk melarutkan metil monoglikosida dengan dodekanol. Namun NMP ini bersifat racun terhadap lingkungan. Salah satu solubilizer sejenis NMP yang tidak mencemari lingkungan adalah dimetil sulfoxida (DMSO) dengan rumus kimia (CH 3 ) 2 SO yang merupakan asam lemah dan toleran terhadap basa kuat dengan titik didih 189 o C yang akan terpisah dari APG pada saat proses destilasi. Pada proses transasetalisasi, dengan penambahan DMSO pada campuran larutan hasil butanolisis dengan dodekanol menghasilkan larutan berwarna coklat tua yang terdiri dari dodecil poliglikosida dan dodekanol berlebih. Derajat keasaman larutan yang dihasilkan mempunyai ph antara 4 dan 5. Sedangkan air dan butanol terdestilasi dan ditampung dalam separator. Hasil akhir proses transasetalisasi dapat dilihat pada Gambar 12. Gambar 12 Hasil akhir proses transsetalisasi Netralisasi Proses netralisasi dilakukan pada suhu C dan dilakukan pada tekanan normal. Tahapan netralisasi ini bertujuan untuk menetralisir asam p- toluena sulfonat dengan menambahkan basa NaOH 50 % hingga tercapai suasana basa yaitu pada ph sekitar Penggunaan larutan sodium hidroksida (NaOH) sangat dianjurkan karena NaOH tidak bereaksi terhadap alkohol atau produk. Selain proses penambahan akan lebih mudah karena berbentuk larutan dan tidak memerlukan penyaringan untuk menghilangkan garam yang terbentuk (Wuest et al., 1996).

53 37 Destilasi Tahapan destilasi dilakukan pada interval suhu sekitar C dengan kondisi vakum dan lamanya tergantung pada jenis alkohol lemak dan jumlahnya. Pada tahapan destilasi diharapkan kandungan dodekanol yang tidak bereaksi kurang dari 5% dari berat produk APG yang dihasilkan. Keberadaan alkohol lemak dalam APG yang dihasilkan dapat terlihat dari kekentalan dan tercium dari bau alkohol lemaknya. Lamanya destilasi tergantung dari jumlah dodekanol yang tidak bereaksi pada proses transasetalisasi. Pada penelitian ini, lamanya destilasi sekitar 60 menit dengan cara mengontrol aliran alkohol lemak dari kondensor, jika alkohol lemak sudah tidak mengalir, suhu segera dimatikan. Hasil akhir proses destilasi akan diperoleh dodecil poliglikosida (APG) kasar berbentuk pasta yang berwarna coklat tua dan kerak hitam yang menempel pada dinding reaktor. Bentuk pasta ini akan segera mengeras pada suhu ruang sehingga dengan segera dicampur air sesuai kemurnian yang dikehendaki. Gambar APG kasar dari hasil akhir destilasi dapat dilihat pada gambar dibawah ini. Gambar 13 Hasil akhir destilasi Pelarutan Proses pelarutan bertujuan untuk menentukan derajat kemurnian APG yang diinginkan dengan cara penambahan air dan untuk menjaga ph netral atau basa dapat ditambahkan kembali NaOH 50% karena ph asam akan merusak produk APG (Hill et al., 1996.) Penambahan air pada dodecil glikosida menyebabkan terbentuknya buih karena sifat APG yang menghasilkan banyak busa. Dalam penelitian ini kemurnian APG ditentukan 70 % sesuai dengan APG komersial. Menentukan jumlah air yang ditambahkan pada APG dengan kemurnian 70 % adalah 3/7 x berat rendemen APG yang dihasilkan.

54 38 Pemucatan (Bleaching) Proses pemucatan bertujuan untuk membuat penampakan (warna) yang lebih cerah pada produk APG. Proses pemucatan dilakukan dengan menambahkan larutan H 2 O 2 35%. Proses pemucatan dilakukan pada suhu C selama menit pada tekanan normal. Pada penelitian ini ditambahkan sekitar sekitar 2 ml H 2 O 2 untuk menghasilkan produk akhir APG berbentuk pasta dan berwarna coklat muda. Hasil akhir pemucatan dapat dilihat pada Gambar 14. Salah satu keunggulan hidrogen peroksida dibandingkan dengan oksidator yang lain adalah sifatnya yang ramah lingkungan karena tidak meninggalkan residu yang berbahaya. Kekuatan oksidatornya pun dapat diatur sesuai dengan kebutuhan. Sebagai contoh dalam industri pulp dan kertas, penggunaan hidrogen peroksida biasanya dikombinasikan dengan NaOH ( Gambar 14 Hasil akhir pemucatan Optimasi Proses Produksi APG Pengaruh faktor suhu butanolisis dan rasio mol pati sagu : alkohol lemak terhadap kestabilan emulsi air:xilene Stabilitas emulsi air : xilene dengan variasi suhu butanolisis dan variasi rasio mol pati sagu-alkohol lemak dapat dilihat pada Lampiran 5. Pengaruh suhu butanolisis dan rasio mol pati sagu - dodekanol terhadap kestabilan emulsi air : xilena dengan penambahan APG dapat dilihat pada Tabel 10. Suhu butanolisis (X 1 ) memiliki pengaruh positif terhadap kestabilan emulsi air : xilena dengan penambahan APG pada tingkat signifikansi 98,69 %. Pengaruh suhu butanolisis terhadap rasio mol pati sagu-dodekanol dapat dilihat pada Gambar 13. Butanolisis dilakukan pada suhu C dan tekanan 3-5 bar sehingga akan terjadi hidrolisis yang menyebabkan pengikatan gugus aldehid dari polisakarida pati sagu dan gugus hidroksil dari butanol yang menghasilkan

55 39 butil glikosida. Pada proses transasetalisasi, butil glikosida bereaksi dengan dodekanol yang dilakukan pada kondisi vakum sehingga menurunkan titik didih dari dodekanol sehingga gugus OH akan menjadi lebih reaktif untuk menggantikan rantai pendek alkohol (butil) oleh rantai panjang alkohol (dodekanol) membentuk senyawa surfaktan dodecil poliglikosida (APG). Tabel 10 Koefisien parameter, nilai signifikansi dan persen pengaruh dengan respon kestabilan emulsi air :xilene dengan penambahan surfaktan APG Koefisien parameter Signifikansi (%) Pengaruh (%) Titik potong 64,29 99,69 Suhu butanolisis (X 1 ) 35,53 97,53 2,76 Rasio mol (X 2 ) -9,63 60, X 1 *X 2-20,56 77,60 X 1 *X 1-29,82 90,94 X 2 *X 2-23,09 83,98 Dari Tabel 10 menunjukkan bahwa suhu butanolisis memiliki pengaruh 2,76 % dengan selang kepercayaan 97,53 %. Suhu butanolisis berpengaruh positif terhadap nilai kestabilan emulsi air : xilene dengan penambahan surfaktan APG. Semakin tinggi suhu butanolisis sampai dengan suhu optimum menyebabkan proses butanolisis semakin sempurna sehingga APG yang dihasilkan mempunyai kemampuan untuk lebih mempertahankan kestabilan air: xilene. Sedangkan faktor rasio mol pati sagu dengan alkohol lemak memiliki pengaruh -4,28 % dengan selang kepercayaan 60,44 %. Faktor rasio mol pati sagu dengan alkohol lemak memberikan pengaruh negatif terhadap kestabilan emulsi air :xilene dengan penambahan surfaktan. Faktor interaksi antara suhu butanolisis dan rasio mol pati sagu dengan alkohol lemak terhadap kestabilan emulsi air:xilene memiliki pengaruh negatif dengan tingkat kepercayaan 77,60 %. Interaksi suhu butanolisis terhadap rasio mol pati sagu dodekanol dapat dilihat pada Gambar 15. sedangkan interaksi rasio mol pati sagu-dodekanol terhadap suhu butanolisis pada Gambar 16.

56 40 Gambar 15 Grafik pola interaksi faktor suhu butanolisis terhadap faktor rasio mol pati sagu-dodekanol Rasio mol Gambar 16 Grafik pola interaksi faktor rasio mol pati sagu dodekanol terhadap faktor suhu butanolisis Pada Gambar 15 dapat dilihat bahwa kestabilan emulsi air:xilene meningkat dengan meningkatnya suhu butanolisis pada rasio mol pati sagualkohol lemak 1 : 2,5, sedangkan kestabilan emulsi air:xilene meningkat sedikit dengan meningkatnya suhu butanolis pada rasio mol pati sagu-alkohol lemak 1 : 6. Sedangkan pada Gambar 16 menunjukkan bahwa kestabilan emulsi air:xilene meningkat dengan meningkatnya rasio mol pati sagu-dodekanol dari 1: 2,5 ke 1: 6 pada suhu butanolisis C, tetapi terjadi penurunan kestabilan emulsi air:xilene pada suhu butanolisis C dengan meningkatnya rasio mol pati sagu-alkohol lemak dari 1 : 2,5 ke 1 : 6. Penurunan kestabilan emulsi pada suhu Cdari rasio mol pati sagu : dodekanol = 1 : 6 dapat disebabkan oleh jumlah

57 41 alkohol lemak (dodekanol) sangat berlebihan dan tidak bereaksi dengan pati sagu, yang dapat menyebabkan menambah waktu destilasi ( C) yang dapat merusak produk APG yang dihasilkan dan menurunkan kestabilan emulsi APG dalam air : xilena. Analisis hasil optimasi kestabilan emulsi air:xilene menggunakan RSM Optimasi proses produksi APG dengan respon nilai kestabilan emulsi menggunakan analisa Response Surface Method (RSM) dengan menggunakan software Statistica versi 6.0. Hasil optimasi diperoleh hubungan antara respon uji kestabilan emulsi air : xilena dengan penambahan APG dengan 2 faktor yaitu suhu butanolisis (X 1 ) dan rasio mol pati sagu : dodekanol (X 2 ) dan diperoleh persamaan: 2 2 Y= 64, ,53X 1 29,82X 1-9,63x 2 23,09X 2-20,56X 1 X 2 Dimana Y merupakan nilai kestabilan emulsi air : xilena dengan penambahan APG (%), X 1 adalah suhu butanolisis ( 0 C). dan X 2 adalah rasio mol pati sagu : dodekanol. Permukaan respon dan kontur permukaan respon kestabilan emulsi air : xilena dengan penambahan APG dapat dilihat pada Gambar 17 dan Gambar 18. Pada gambar 17 dan Gambar 18 merupakan gambar grafik dan kontur permukaan respon kestabilan emulsi air : xilene. Titik optimum yang dihasilkan dari grafik dan kontur tersebut adalah pada nilai kestabilan emulsi air:xilene 72,64 %. Nilai kestabilan emulsi air : xilene sebesar 72,64 didapatkan pada faktor suhu butanolisis 0,79 dan faktor rasio mol pati sagu : alkohol lemak -0,56. Titik variabel tersebut dikembalikan dalam bentuk suhu butanolisis dan rasio mol pati jagung : alkohol lemak, yaitu : X1 (suhu butanolisis) = 147,8 0 C X2 (rasio mol pati sagu : alkohol lemak) = 1 : 3,27

58 42 Gambar 17 Permukaan respon nilai kestabilan emulsi air:xilena dengan penambahan APG Gambar 18 Kontur permukaan respon nilai kestabilan emulsi air:xilena dengan penambahan APG Suhu butanolisis sintesa APG pada penelitian ini hampir sama dengan paten Wuest et al. (1992) yang telah mensintesa APG dengan suhu butanolisis antara C. Sedangkan rasio mol pati sagu : dodekanol optimum dalam penelitian adalah 1:3,27 sedangkan dalam paten Wuest et al. (1992), rasio mol pati jagung dengan alkohol lemak C adalah 1 : 5,2. Penggunaan alkohol lemak yang lebih sedikit dapat disebabkan oleh jenis pati yang digunakan atau kondisi proses yang lebih efisien. Respon suhu melebihi optimasi yang diharapkan sedangkan rasio mol pati sagu : dodekanol kurang dari yang

59 43 diharapkan. Kondisi ini dapat disebabkan oleh keterbatasan reaktor percobaan seperti ketebalan reaktor yang hanya dapat diberi perlakuan suhu butanolisis sampai C yang seharusnya dapat mencapai C dengan tekanan sekitar 7 bar namun diperkirakan reaktor tidak kuat. Permukaan respon hasil analisis kanonik tersebut kemudian dilakukan validasi untuk mengetahui kesesuaian model permukaan respon terhadap nilai kestabilan emulsi air : xilene. Validasi dilakukan pada kondisi percobaan yang optimum, yaitu pada suhu butanolisis 147,8 0 C dan rasio mol pati sagu:alkohol lemak 1 : 3,27. Hasil validasi menunjukkan nilai kestabilan emulsi air:xilena dengan penambahan APG sebesar 72,3 % hampir sama seperti pada kondisi optimum, yaitu sebesar 72,64%. Dengan demikian, model yang dihasilkan mendekati kondisi proses yang diharapkan untuk menghasilkan kestabilan emulsi air:xilene yang paling maksimum. Karakterisasi APG Karakterisasi pada penelitian ini meliputi kemampuan untuk menurunkan tegangan permukaan dan tegangan antar muka, mengontrol jenis pembentuk emulsi dengan menentukan nilai HLB, penentuan gugus fungsi dengan FTIR, rendemen dan ph. Kemampuan untuk menurunkan tegangan permukaan Pengukuran tegangan permukaan air dengan berbagai konsentrasi APG yang dihasilkan dilakukan dengan tensiometer metode du Nouy. Pada metode ini tegangan permukaan sebanding dengan gaya yang diperlukan untuk menarik cincin hingga lapisan tipis tepat putus. Surfaktan APG yang dihasilkan memiliki kemampuan untuk menurunkan tegangan permukaan air, namun penurunan tegangan permukaan dengan penambahan APG komersial lebih besar daripada APG hasil validasi proses kondisi optimum. Kestabilan emulsi adalah kesetimbangan antara gaya tarik-menarik dan gaya tolak menolak yang terjadi antar partikel dalam suatu sistem emulsi. Apabila gaya ini dapat dipertahankan tetap seimbang atau terkontrol, maka partikelpartikel dalam sistem emulsi dapat dipertahankan agar tidak bergabung (Suryani, et al. 2000). Pada Tabel 11 dan Gambar 19 menunjukkan bahwa semakin tinggi

60 44 konsentrasi APG yang digunakan maka tegangan permukaan air akan semakin menurun. Tabel 11 Nilai uji perbandingan tegangan permukaan air akibat pengaruh penambahan APG pada berbagai konsentrasi Tegangan permukaan (dyne/cm) Konsentrasi APG (%) pada sistem emulsi APG komersial APG hasil validasi 0,1 32,20 26,250 0,2 29,04 25,875 0,3 27,12 25,375 0,4 25,54 25,250 0,5 24,96 25,125 0,6 23,96 24,875 0,7 24,00 24,750 0,8 22,96 24,375 0,9 21,98 24, ,36 23,375 Keterangan: tegangan permukaan air: 72 dyne/cm Moecthar (1989) Tegangan permukaan (dyne/cm) ,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9 1 Konsentrasi surfaktan (% : b/v) APG Komersial APG hasil validasi Gambar 19 Grafik tegangan permukaan air akibat pengaruh penambahan APG hasil sintesa dan komersial pada berbagai konsentrasi.

61 45 Kemampuan untuk Menurunkan Tegangan Antar Muka Pengukuran tegangan antarmuka air:xilena dengan penambahan APG dengan berbagai konsentrasi dilakukan dengan menggunakan tensiometer metode du Nouy. Pengukuran ini menggunakan larutan yang yang tidak saling bercampur satu sama lain yaitu antara air (polar) dengan xilena (non polar). Besarnya tegangan antar muka sebanding dengan gaya yang diperlukan untuk menarik cincin hingga lapisan tipis pada cincin yang terbentuk pada batas dua larutan tepat putus. Hasil pengukuran tegangan antar muka larutan APG sebanding dengan nilai tegangan permukaan hanya nilai yang diperoleh lebih kecil. Menurut Moecthar (1989) bahwa tegangan antarmuka sebanding dengan tegangan permukaan, akan tetapi nilai tegangan antarmuka akan selalu lebih kecil daripada tegangan permukaan pada konsentrasi yang sama. Dari Tabel 12 dan Gambar 20 menunjukkan bahwa penurunan nilai tegangan antarmuka air:xilena dengan peningkatan konsentrasi APG yang digunakan. Berdasarkan hasil pengukuran menunjukkan bahwa APG hasil validasi pada kondisi proses optimum mempunyai kemampuan untuk menurunkan tegangan antarmuka lebih baik dibandingkan dengan APG komersial. Tabel 12 Nilai uji perbandingan tegangan antar muka air : xilena Konsentrasi APG (%) APG komersial Tegangan antarmuka (dyne/cm) APG hasil validasi 0,1 13,08 10,33 0,2 11,50 9,17 0,3 10,00 8,50 0,4 7,96 8,17 Ket: Tegangan antar muka air:xilena= 1:1 = 44 dyne/cm Moecthar (1989)

62 46 Tegangan antar muka (dyne/cm ) APG komersial APG hasil validasi Konsentrasi APG (%:b/v) Gambar 20 Grafik tegangan antarmuka air : xilena akibat pengaruh penambahan APG hasil validasi dan komersial pada berbagai konsentrasi. Model tegangan permukaan dan antarmuka surfaktan non ionik (Giribabu dan Ghosh, 2007) Persamaan adsorpsi Gibbs untuk permukaan surfaktan non ionik adalah: 1 dy Γ = (1) RT d ln c Dimana γ dalah tegangan permukaan atau antar muka dan c adalah konsentrasi surfaktan. Berdasarkan isoterm adsorpsi Langmuir, permukaan dihubungkan dengan konsentrasi larutan surfaktan sebagai Γ K Lc Γ = 1+ K c L Dimana Γ adalah kapasitas adsorpsi. Nilainya tergantung pada area permukaan minimum yang diduduki oleh molekul surfaktan yang teradsorpsi. Tetapan keseimbangan, K L, adalah rasio konstanta laju adsorpsi dan desorpsi. Untuk surfaktan nonionik, tidak ada interaksi ionik yang nyata antara molekul surfaktan yang teradsorpsi pada antar muka. Namun, bila antar muka mendekati jenuh (yaitu Γ Γ0 ) rantai polimer dari molekul surfaktan dapat berinteraksi satu sama lainnya. Model Langmuir diharapkan menjadi sahih pada konsentrasi surfaktan dibawah CMC. Dari persamaan (1) dan (2) diperoleh K Lc dy RT d ln c 1 K Lc = Γ (3) + (2)

63 47 Jika tegangan antar muka antara dua fase fluida yang tanpa surfaktan dinyatakan dengan γ 0, integrasi persamaan 3 menghasilkan ( K c) γ = γ O RTΓ ln 1+ L (4) Persamaan 4 dikenal dengan persamaan keadaan permukaan yang menghubungkan tegangan antarmuka dengan konsentrasi surfaktan. R adalah konstanta gas : 8,3147 x 10 7 dyne cm/mol K dan T suhu : 25 0 C. Persamaan ini mempunyai dua parameter yang tidak diketahui, yaitu Γ dan K L, yang dapat diperoleh dengan mencocokkan harga γ terhadap c. Untuk menghitung K L dan Γ dapat dengan cara optimasi non linear multi variabel yang dapat dihitung dengan metode optimasi Nedler-Mead yang diselesaikan dengan Turbo Pascal. Hasil optimasi diperoleh nilai K L dan Γ dapat dilihat pada Tabel 13. Dengan persamaan (4) dan data K L dan Γ dapat diperoleh nilai tegangan permukaan percobaan dan model dari APG komersial dan APG yang dihasilkan dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 13 Nilai K L dan Γ untuk tegangan peremukaan hasil optimasi metode Nedler-Mead Parameter Komersial Tegangan permukaan Percobaan K L , ,4 Γ 1,3 x ,9 x Berdasarkan perhitungan menggunakan persamaan (4) ternyata model tegangan permukaan sesuai dengan tegangan permukaan APG komersial dengan kesalahan 0,7994%. Grafik tegangan permukaan model dengan tegangan permukaan APG komersial dapat dilihat pada Gambar.. Sedangkan untuk tegangan permukaan APG yang dihasilkan, ternyata model tegangan permukaan sesuai dengan tegangan permukaan APG yang dihasilkan dengan kesalahan 3,9002%. Grafik tegangan permukaan model dengan tegangan permukaan APG yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 21 dan 22.

64 48 Tabel 14 Perbandingan tegangan permukaan (γ) APG komersial dan APG yang dihasilkan dengan model Konsentrasi surfaktan (%) Tegangan permukaan APG komersial (dyne/cm) Tegangan permukaan APG yang dihasilkan (dyne/cm) Percobaan Model Percobaan Model 0 72,00 72,000 72,000 72, ,20 32,173 26,250 28, ,04 29,025 25,875 26, ,12 27,183 25,375 25, ,54 25,876 25,250 25, ,96 24,862 25,125 24, ,96 24,034 24,875 24, ,00 23,334 24,750 24, ,96 22,728 24,375 23, ,98 22,192 24,250 23, ,36 21,714 23,375 23,305 Tegangan permukaan (dyne/cm) Konsentrasi surfaktan (% : b/v) TP Kom TP Mod Gambar 21. Tegangan permukaan APG komersial dan model

65 49 80 Tegangan permukaa (dyne/cm) TP Pen TP Mod Konsentrasi surfaktan (%: b/v) Gambar 22. Tegangan permukaan APG hasil penelitian dan model Berdasarkan metode optimasi Nedler-Mead, hasil optimasi diperoleh nilai K L dan Γ yang dapat dilihat pada Tabel 15. Dengan persamaan (4) dan data K L dan Γ dapat diperoleh nilai tegangan antarmuka percobaan dan model dari APG komersial dan APG yang dihasilkan dapat dilihat pada Tabel 16 Tabel 15. Nilai K L dan Γ Nedler-Mead untuk tegangan antarmuka hasil optimasi metode Parameter Komersial Tegangan antarmuka Percobaan K L , ,7 Γ 1,5 x ,3 x Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan persamaan (4) ternyata model tegangan antar muka sesuai dengan tegangan antar muka APG komersial dengan kesalahan 3,8096 %. Grafik tegangan antar muka model dengan tegangan antar muka APG komersial dapat dilihat pada Gambar.. Sedangkan tegangan antamuka APG yang dihasilkan ternyata model tegangan antar muka sesuai dengan tegangan antar muka APG yang dihasilkan dengan kesalahan 6,4704%. Grafik tegangan antar muka model dengan tegangan antar muka APG hasil penelitian dapat dilihat pada Gambar 23 dan 24.

66 50 Tabel 16. Perbandingan tegangan antar muka APG komersial dan APG yang dihasilkan dengan model Konsentrasi surfaktan (%) Tegangan antar muka APG komersial (dyne/cm) Tegangan antar muka APG yang dihasilkan (dyne/cm) Percobaan Model Percobaan Model 0 72,000 72,000 72,000 72, ,080 13,562 10,330 11, ,500 11,041 9,170 9, ,000 9,566 8,500 8, ,960 8,519 8,170 7,163 Tegangan antar muka (dyne/cm) Konsentrasi surfaktan (% : b/v) TAM Pen TAM Mod Gambar 23 Tegangan antar muka APG komersial dan model Tegangan antar muka (dyne/cm) Konsentrasi surfaktan (% : b/v) TAM Kom TAM Mod Gambar 24 Tegangan antar muka APG hasil penelitian dan model

67 51 Jenis formasi emulsi dengan menentukan nilai HLB Metode untuk menentukan HLB dari APG adalah metode titrimetri, dengan aquades sebagai titran dan larutan yang mengandung APG 1 gr dalam 25 ml campuran (95:5 v/v) piridina (23,75 ml) dan benzena (1,25) sebagai titrat. Kepala polar yang diperoleh dari glukosa yang bersifat hidrofilik akan tarik menarik dengan molekul air yang bersifat polar dan ion nitrogen dari piridina yang bersifat semi polar. Ekor dari APG yang diperoleh dari alkohol lemak bersifat hidrofobik akan menarik molekul benzena yang non polar dan cincin heterosiklik aromatik molekul piridina. Titik akhir titrasi dicapai pada saat kekeruhan permanen. Karena pada saat kekeruhan permanen larutan telah jenuh dan molekul APG sudah tidak dapat berikatan dengan molekul air maupun piridina dan benzena. HLB merupakan nilai yang ditentukan dari perbandingan antara rantai hidrofilik dan lipofilik suatu molekul surfaktan. Semakin panjang rantai hidrofilik maka semakin tinggi nilai HLB. Sebaliknya semakin panjang rantai lipofilik maka semakin rendah nilai HLB. Surfaktan yang memiliki nilai HLB yang sama dapat berbeda dalam hal kelarutannya. Surfaktan mempunyai dua aksi yang berbeda yaitu membantu pembentukan suatu sistem emulsi dan menentukan suatu jenis emulsi yang terbentuk apakah dalam bentuk minyak dalam air (O/W) atau air dalam minyak (W/O). Penentuan suatu jenis emulsi ini berhubungan erat dengan nilai HLB (Suryani, et al. 2000). Surfaktan dengan nilai HLB rendah larut dalam minyak dan meningkatkan emulsi air dalam minyak (W/O). Sebaliknya surfaktan dengan nilai HLB tinggi larut dalam air dan meningkatkan emulsi minyak dalam air (O/W). Nilai HLB berkisar 1 hingga 20 (Holmberg et al., 2003). Perhitungan nilai HLB dengan mencari persamaan linier dari jenis surfaktan yang telah diketahui nilainya. Menurut Martin et al. dalam Moechtar (1989) bahwa nilai HLB dari tween 80 ialah 15,0, span 20 ialah 8,6 dan asam oleat ialah 1 dan hasil pengukuran nilai HLB dari surfaktan tersebut dapat dilihat pada Tabel 17. Nilai HLB yang dibandingkan diperoleh melalui persamaan linier y= 0,2593x-2,3808 dengan R 2 =0,9805. Persamaan linier tersebut diperoleh dari kurva standar yang didapat dari pengukuran standar tween 80, span 20 dan asam oleat yang dapat dilihat pada Gambar 25.

68 52 Tabel 17 Penentuan kurva standar HLB Surfaktan Aquades yang dipakai (ml) Rata-rata HLB Asam oleat 14,3 16,8 15,55 1 Span 20 38,3 37,7 38 8,6 Twen80 67, ,85 15 Sumber : Indrawanto (2007) Chart Title HLB y = x R 2 = HLB Linear (HLB) Volume aquades (ml) Gambar 25 Kurva standar HLB Hasil pengukuran nilai HLB APG komersial dan APG hasil validasi kondisi optimum diperoleh dengan cara interpolasi dengan kurva standar. Nilai HLB yang diperoleh dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18 Nilai HLB APG Jenis surfaktan Aquades yang dipakai (ml) Rata-rata HLB Komersial 61,10 62,50 61,80 13,64 Hasil validasi 43,10 43,20 43,15 8,81 Nilai HLB yang diperoleh APG komersial sebesar 13,64 dan APG validasi pada kondisi optimum sebesar 8,81. Berdasar konsep Grifin dalam Holmberg et al (2003), APG hasil validasi pada kondisi proses optimum tergolong dalam pengemulsi O/W dan bahan pembasah.

69 53 APG merupakan suatu asetal, dimana asetal akan lebih stabil pada kondisi netral dan lebih baik lagi pada kondisi basa. Pengujian ph dilakukan dengan mengencerkan APG yang berupa pasta dalam air dengan konsentrasi 10 % (b/v). Pengujian ph menggunakan ph meter dan diperoleh hasil ph APG komersial sebesar 7,55 dan APG hasil validasi kondisi optimum sebesar 7,15. Dari hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa ph yang diperoleh mendekati ph standar yang diinginkan. Kondisi basa diperoleh pada waktu proses netralisasi dan pelarutan dan bleaching dengan penambahan NaOH 50%. Analisa Gugus Fungsi APG dengan FT-IR Spektrofotometer Infra Merah Transformasi Fourier (FT-IR) merupakan salah satu jenis spektrofotometer infra merah. Pada dasarnya Spektrofotometer FTIR adalah sama dengan Spektrofotometer infra merah dispersi, yang membedakannya adalah pengembangan pada sistim optiknya sebelum berkas sinar infra merah melewati contoh. FTIR mempunyai konfigurasi serta komponen-komponen yang sangat berbeda dengan spektrofotometer infra merah dispersive (Harmita, 2006). FTIR adalah alat untuk mendeteksi gugus fungsi dari suatu senyawa dengan spektrum inframerah dari senyawa organik yang mempunyai sifat fisik yang khas sehingga kemungkinan dua senyawa mempunyai spektrum sama adalah kecil sekali. Energi radiasi inframerah akan diabsorpsi oleh senyawa organik sehingga molekulnya akan mengalami rotasi atau vibrasi. Setiap ikatan kimia yang berbeda seperti C-C, C-H, C=O, O-H dan sebagainya mempunyai frekuensi vibrasi yang berbeda. Pencirian gugus fungsi ini juga digunakan untuk melakukan perbandingan terhadap APG komersial dan APG hasil sintesa. Gambar spektrum FT-IR dari APG komersial dapat dilihat pada Gambar 26 dan APG hasil sintesa pada kondisi optimum Gambar 27. Formula alkil poliglikosida adalah RO(CR H-CH2O) y G x yang terdiri dari gugus C-C, C-H, C=O, dan C-O sebagai komponen gugus utama pada APG telah terbentuk yaitu pada bilangan gelombang (1) cm -1 (C=C), (2) cm -1 (C-O), dan (3) cm -1 (CH). Pada APG komersial terbentuk banyak pita serapan yang tidak terbentuk pada kurva APG standar. Pita serapan tersebut diperkirakan merupakan ketidakmurnian APG hasil sintesa yang bercampur dengan kerak-kerak sehingga muncul gugus-gugus tersebut.

70 54 Gambar 26 Hasil analisa FTIR APG komersial sebagai standar Gambar 27 Hasil analisa FTIR APG hasil sintesa Dari hasil analisa FTIR secara umum diperoleh pita serapan antara APG komersial dan APG hasil sintesa dapat dilihat pada Tabel 19.

71 55 Tabel 19. Pita serapan spektrofotometer FTIR APG hasil sintesa dan komersial (cm -1 ) No. Standar kisaran pita serapan APG komersial APG hasil sintesa Keterangan , , , , , , , ,30 918,33 721,26 Sumber : Harmita (2006) 3.394, , , , , , , ,44 917,01 720,74 Vibrasi ulur OH Vibrasi ulur C-H Aldehid CH Alkana C-C Vibrasi tekukc-h Vibrasi tekuk C-H Vibrasi tekuk C=O Vibrasi tekuki C-H dan C-O aromatis aromatis Rendemen Rendemen APG dihitung berdasarkan berat APG yang diperoleh setelah dimurnikan dengan berat total bahan baku awal yang digunakan. Berat APG murni Rendemen (%) = x 100 % Berat total bahan baku awal Bahan baku untuk setiap tahap pada sintesa APG optimum pada kondisi proses dua tahap antara lain : Proses butanolisis : 20,25 g pati sagu + 78,5 g butanol + 17,5 g air + 0,24 gkatalisastor p toluene sulfonat Proses tranasetalisasi : produk hasil butanolisis + 76 g dodekanol + 0,12 g p toluene sulfonat + 2ml DMSO dan memisahkan butanol dan air Netralisasi : penambahan 2 ml NaOH sampai ph 8-10 Destilasi : memisahkan dodekanol berlebih Pelarutan : penambahan air sampai dengan kemurnian 70% Bleaching : penambahan H 2 O ml

72 56 Rendemen APG = 19,28 x 100% 20, , = 11,03 % Neraca Massa Neraca massa digunakan untuk melihat jumlah aliran bahan yang masuk dengan bahan yang keluar dalam suatu proses berdasarkan hukum kekekalan massa, yaitu jumlah aliran masuk sama dengan jumlah aliran keluar. Prinsip dasar yang digunakan apabila dalam suatu proses tidak ada akumulasi dalam peralatan prosesing, maka jumlah bahan yang masuk akan sama dengan jumlah bahan keluaran. Atau dengan kata lain tidak ada bahan yang hilang maupun tidak ada penambahan dari luar. 3 Butanol air 4 Dodekanol berlebih 1 Bahan masukan Sagu Butanol Air Butanolisis Trans asetalisasi Destilasi 5 Keluaran: APG 2 Dodekanol Gambar 28. Neraca massa proses produksi APG dua tahap 1. Butanolisis Bahan masuk Sagu 20,25 Butanol 78,50 Air 17,50 PTSA 0,24 gram Bahan keluar Butil glikosida - Air - Butanol berlebih - gram Jumlah 116,49 Jumlah 116,49 gram 2. Transasetalisasi Bahan masuk Bahan keluar Hasil butanolisis Dodekanol PTSA 116, ,12 gram APG Dodekanol berlebih Butanol dan air ,82 gram gram Jumlah 117,37 gram Jumlah 80,55 gram

73 57 3. Netralisasi Bahan masuk Bahan keluar Hasil transasetalisasi 80,55 Gram Hasil netralisasi 80,55 gram NaOH 50 % 2 ml Jumlah 80,55 gram Jumlah 80,55 gram 4. Destilasi Bahan masuk Bahan keluar Hasil netralisasi 80,55 gram APG kasar gram residu Dodekanol berlebih 3,75 57,52 gram gram Jumlah 80,55 gram Jumlah 19,28 gram 5. Pelarutan Bahan masuk Bahan meluar APG Air 3/7 x berat hasil 19,28 8,30 Gram gram APG kemurnian 70 % 27,58 gram gram destilasi Jumlah 27,58 gram Jumlah 27,58 gram 6. Pemucatan Bahan masuk Bahan keluar APG kemurnian 70 % H 2 O 2 2 ml 27,58 gram APG Kemurnian 70% 27,58 Gram gram Jumlah gram Jumlah 27,58 gram Perhitungan keseluruhan neraca massa di atas menunjukkan bahwa total produksi APG dari 20,25 gram pati sagu dengan 78,5 g butanol dan 76 g dodekanol akan menghasilkan APG 19,28 gram atau APG dengan kemurnian 70 % sebanyak 27,58 gram. Karakterisasi Formulasi Herbisida Herbisida adalah golongan pestisida yang digunakan untuk mengendalikan gulma. Bahan aktif herbisida pada penelitian ini adalah glifosat karena bahan aktif ini dapat digunakan untuk membasmi semua golongan gulma baik itu golongan rumput (grases), teki (sedges) maupun berdaun lebar (broad leaves). Selain itu, glifosat juga bersifat ramah bagi lingkungan. Menurut Moenandir (1988), glifosat merupakan herbisida yang dapat didegradasi oleh mikroorganisme. Secara kimia hal ini berhubungan erat dengan asam amino glycine yang juga dikandung aleh sistem hewan dan tanaman, sebagai akibatnya mikroorganisme di dalam tanaman dapat dengan mudah mendegradasi glifosat. Penerapan APG yang dihasilkan dari kondisi proses optimum adalah pada formulasi herbisida dengan bahan aktif glifosat. Pengujian formulasi

74 58 herbisida meliputi sifat fisiko kima dan uji efektivitas setelah penyimpanan 5 minggu. Lahan percobaan di kebun percobaan Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat Bogor. Menurut Darto (2008), aplikasi formulasi herbisida tanpa penyimpanan dengan variasi konsentrasi glifosat (16%, 24% dan 48%) dan variasi konsentrasi APG hasil sintesa (4%, 6%, 8%, dan 10%) menyimpulkan bahwa konsentrasi glifosat 48 % dengan variasi konsentrasi APG merupakan formulasi herbisida yang efektif. Penambahan surfaktan untuk herbisida berkisar antara 2 15%. (McWhorter,1990). Pengujian stabilitas emulsi formulasi herbisida dan kemungkinan pengiriman herbisida ke daerah-daerah dingin sampai panas dapat dilakukan dengan penyimpanan dengan berbagai variasi suhu. Pada penelitian ini dilakukan penyimpanan pada suhu 15 0 C, suhu kamar ( C) dan suhu 40 0 C selama 5 minggu. Formulasi herbisida dengan bahan aktif glifosat dan surfaktan APG (dodecil poliglikosida) dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 20 Komposisi formulasi herbisida Kode Formulasi Glifosat (%) APG (%) Glifosat (ml) APG (gr) Air (ml) A , ,88 B , ,88 C , ,88 D , ,88 E , ,31 F , ,31 G , ,31 H , ,31 I , ,63 J , ,63 K , ,63 L , ,63 M N Herbisida komersial dengan 16 % glifosat Herbisida komersial dengan 24 % glifosat 0 Herbisida komersial dengan 48 % glifosat

75 59 Sifat Fisiko Kimia Formulasi Herbisida Sifat fisiko kimia formulasi herbisida antara lain warna, ph, dan kestabilan formulasi herbisida. Pengujian dilakukan setiap minggu selama 5 minggu.. Warna Warna formulasi herbisida yang dihasilkan adalah coklat muda keruh lebih muda dari warna APG yang dihasilkan dan formulasi herbisida pembanding digunakan tiga jenis herbisida komersial yaitu Serbu (glifosat 16%), Sistemik (glifosat 24%) dan Round Up (glifosat 48%). Herbisida komersial berwarna menarik dan bening (Serbu-hijau, Sistemik-merah, Round Up-kuning) karena ditambah pewarna. Foto formulasi herbisida dapat dilihat pada Gambar 29. Gambar 29 Formulasi herbisida berbahan aktif glifosat dengan APG dan formulasi herbisida pembanding Selama penyimpanan 5 minggu, warna formulasi herbisida relatif tidak berubah, hanya yang mengalami perubahan kestabilan yang berubah warna namun masih didominasi oleh warna asal. Umumnya emulsi yang terpisah berwarna coklat tua yang diperkirakan dari residu APG yang masih tersi

76 60 Derajat Keasaman Berdasarkan pengujian derajat keasaman (ph) dengan ph meter, formulasi herbisida dengan bahan aktif glifosat dan surfaktan dodecil poliglikosida mempunyai derajat keasaman mendekati netral (6,7) sedangkan herbisida pembanding mempunyai ph 5. Hal tersebut dapat disebabkan oleh ph asal masing-masing larutan. ph isopropil amina glifosat adalah sekitar 5,2 sedangkan ph APG hasil validasi sekitar 7,15. Derajat keasaman formulasi herbisida dengan bahan aktif glifosat dan surfaktan APG dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 21 Derajat Keasaman (ph) Formulasi Herbisida Kode Konsentrasi Glifosat (%(b/v)) Konsentrasi APG (%(b/v)) A ,7 B ,7. C ,7 D ,7 E ,7 F ,7 G ,6 H ,6 I ,6 J K L ,6 M 16 % glifosat 5,0 N 24 % glifosat 5, % glifosat 5,0 ph Derajat keasaman fromulasi herbisida setelah penyimpanan tidak berubah, yaitu untuk formulasi herbisida dengan menggunakan surfaktan APG yang dihasilkan mempunyai ph netral dan herbisida pembanding masih mempunyai ph sekitar 5. Kestabilan Formulasi Herbisida Stabilitas atau kestabilan emulsi merupakan salah satu karakter terpenting dan mempunyai pengaruh besar terhadap mutu produk emulsi ketika dipasarkan (Suryani et al. 2000).

77 61 Pengamatan terhadap kestabilan formulasi herbisida dilakukan setiap minggu selama lima minggu, hasil pengamatan kestabilan formulasi herbisida selama penyimpanan pada suhu 15 0 C, C, dan 40 0 C dapat dilihat pada Tabel 22. Tabel 22 Kestabilan formulasi herbisida (%) perminggu selama penyimpanan lima minggu pada suhu 15 0 C, C, dan 40 0 C Kode Formulasi Minggu ke-1 ( o C) Minggu ke-2 ( o C) Minggu ke-3 ( o C) A 100,00 96,15 100,00 100,00 96,15 100,00 100,00 96,15 100,00 B 100,00 93,08 100,00 100,00 92,31 100,00 100,00 92,31 100,00 C 100,00 83,08 100,00 100,00 82,31 100,00 100,00 82,31 100,00 D 100,00 69,23 100,00 100,00 68,46 100,00 100,00 68,46 100,00 E 100,00 100,00 100,00 100,00 99,23 100,00 100,00 99,23 100,00 F 100,00 99,23 100,00 100,00 98,46 100,00 100,00 98,46 100,00 G 100,00 98,46 100,00 100,00 98,46 100,00 100,00 98,46 100,00 H 100,00 99,23 100,00 100,00 99,23 100,00 100,00 99,23 100,00 I 100,00 99,23 100,00 100,00 98,46 100,00 100,00 98,46 100,00 J 100,00 98,46 100,00 100,00 98,46 100,00 100,00 98,46 100,00 K 100,00 98,46 100,00 100,00 98,46 100,00 100,00 98,46 100,00 L 100,00 98,46 100,00 100,00 98,46 100,00 100,00 98,46 100,00 M 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 N 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 O 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 Catatan : kesatbilan formulasi minggu kedua sama dengan minggu ketiga dan seterusnya untuk penyimpanan suhu ruang Penyimpanan pada suhu 15 0 C menyebabkan formulasi herbisida sejak minggu pertama menjadi beku karena pada suhu 15 0 C semua komponen dalam formulasi sudah mencapai titik beku. Namun ketika dikeluarkan dari lemari pendingin (suhu ruang) pada saat akan diaplikasikan, formulasi herbisida mencair kembali. Pembekuan dapat merusak lapisan emulsifier yang menyelimuti setiap globula (Suryani et al.,2000).

78 62 Penyimpanan pada suhu ruang ( C), menyebabkan perubahan kestabilan emulsi formulasi herbisida pada minggu pertama, kemudian pada minggu kedua, stabilitas emulsinya mengalami perubahan lagi pada beberapa perlakuan. Namun pada minggu ketiga sampai kelima, kestabilan emulsi formulasi herbisida tetap seperti pada minggu kedua. Perubahan kestabilan emulsi dapat diduga karena APG yang digunakan dalam formulasi herbisida masih kasar karena belum dilakukan proses pemurnian lengkap sehingga kemungkinan masih terdapat bahan pengotor yang mengurangi stabilitasnya. Untuk penyimpanan pada suhu 40 0 C, kestabilan emulsi formulasi herbisida dari minggu pertama sampai minggu kelima tidak mengalami perubahan. Kestabilan emulsi formulasi herbisida pada suhu 40 0 C diduga karena APG yang dihasilkan bersifat padat pada suhu ruang dan penyimpanan hangat (40 0 C) dapat merubah APG menjadi cair sehingga kestabilan emulsi pada suhu tersebut lebih konstan. Grafik stabilitas emulsi formulasi herbisida hasil penyimpanan pada suhu 15 0 C, C, dan 40 0 C setelah satu minggu pengamatan dapat dilihat pada Gambar 30, sedangkan untuk pengamatan setelah dua minggu atau minggu berikutnya sampai minggu kelima pada Gambar 31. Kestabilan emulsi formulasi herbisida pada 1 MSA A B C D E F G H I J K L M N O penyimpanan suhu 15oC penyimpanan suhu ruang penyimpanan suhu 40oC Konsentrasi glifosat dan surfaktan APG Gambar 30 Histogram kestabilan emulsi formulasi herbisida setelah satu minggu pada suhu 15 o C, suhu ruang (26-29 o C) dan 40 o C

79 63 Kestabilan emulsi formulasi herbisida pada 2 MSA - 5 MSA A B C D E F G H I J K L M N O penyimpanan suhu 15oC penyimpanan suhu ruang penyimpanan suhu 40oC Konsentrasi glifosat dan surfaktan APG Gambar 31 Histogram kestabilan emulsi formulasi herbisida setelah dua/tiga/empat/lima minggu pada suhu 15 o C, suhu ruang (26-29 o C) dan 40 o C Hasil analisis keragaman (ANOVA) pada α=0,05 (Lampiran 7.1 dan 7.6) menunjukkan bahwa suhu penyimpanan, konsentrasi glifosat, konsentrasi APG dan interaksi perlakuan memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kestabilan formulasi herbisida baik pengamatan satu minggu dan dua minggu (pengamatan 3 minggu sampai 5 minggu sama dengan pengamatan pada 2 minggu) Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 7.2 dan 7.7) menunjukkan bahwa kestabilan formulasi herbisida pada penyimpanan suhu ruang berbeda nyata dengan kestabilan formulasi herbisida pada penyimpanan suhu 15 0 C dan 40 0 C dan kestabilan formulasi herbisida pada penyimpanan suhu 15 0 C tidak berbeda nyata dengan kestabilan formulasi herbisida pada penyimpanan suhu 40 0 C. Penyimpanan pada suhu 15 0 C menyebabkan formulasi herbisida membeku dianggap mempunyai stabilitas 100 % dan pada penyimpanan 40 0 C menyebabkan bagian hidrofil akan mengembang lebih menarik air yang dapat menyebabkan stabilitas formulasi herbisida konstan. Berdasarkan uji lanjut Duncan (Lampiran 7.3 dan 7.8), menunjukkan bahwa kestabilan formulasi herbisida pada konsentrasi glifosat 16 % berbeda nyata dengan kestabilan formulasi herbisida pada konsentrasi 24 % dan 48 % dan kestabilan formulasi herbisida pada konsentrasi 24 % tidak berbeda nyata dengan kestabilan formulasi herbisida pada konsentrasi 48 %. Sedangkan untuk konsentrasi APG (Lampiran 7.7 dan 7.12) menunjukkan bahwa kestabilan

80 64 formulasi herbisida pada konsentrasi APG 10 % tidak berbeda nyata dengan konsentrasi APG 8 % dan 6 % tetapi berbeda nyata dengan konsentrasi APG 4 %. Sedangkan kestabilan formulasi herbisida 4 % tidak berbeda nyata dengan konsentrasi 6 % dan 8 %. Konsentrasi surfaktan semakin rendah menghasilkan stabilitas formulasi herbisida semakin tinggi. Kondisi ini diduga karena APG yang dihasilkan masih mengandung residu yang berasal dari pemucatan yang belum sempurna sehingga dapat mengganggu kestabilan formulasi herbisida. Interaksi antara konsentrasi glifosat dan APG dengan suhu penyimpanan melalui uji Duncan menunjukkan bahwa perlakuan suhu ruang dengan konsentrasi glifosat 16 % dan konsentrasi APG 8 % dan 10 % berbeda nyata dengan perlakuan lainnya yang kestabilan emulsinya lebih tinggi. Surfaktan APG yang dihasilkan pada suhu ruang, cenderung bersifat padat sehingga pada formulasi herbisida yang disimpan pada suhu ruang akan mengganggu kestabilannya. Aplikasi formulasi herbisida setelah penyimpanan Efektivitas pemberian herbisida antara lain ditentukan oleh dosis herbisida yang tepat akan dapat mematikan gulma, tetapi jika dosis herbisida terlalu tinggi akan merusak atau mematikan tanaman yang dibudidayakan (Nurjannah, 2003). Glifosat diaplikasikan lewat daun dan bekerja pada saat pertumbuhan daun aktif hidup sehingga dapat menyerap bahan yang selanjutnya ditranslokasikan ke seluruh bagian tumbuhan sekitar 5 hari (120 jam) setelah aplikasi (Asthon et al. dalam Rohsid, 2006). Mekanisme kerja surfaktan dalam formulasi herbisida adalah menurunkan tegangan permukaan herbisida sehingga glifosat tersebar lebih merata dan membasahi permukaan daun kemudian terjadi penetrasi herbisida masuk ke dalam sistem tanaman melalui lapisan kutikula dan selanjutnya ditranslokasikan ke tempat reaksi akan terjadi melalui floem bersama dengan hasil asimilasi. Glifosat akan menghambat kerja enzim EPSPs dalam membentuk asam amino aromatik seperti tryptophan, tyrosin, dan phenylalanine sehingga menghambat sintesis protein yang dibutuhkan dan menyebabkan tumbuhan akan mati (Tjitrosoedirdjo, 1984). Hasil penyimpanan formulasi herbisida selama lima minggu pada suhu 15 0 C, ruang ( C) dan suhu 40 0 C diaplikasikan dengan cara menyemprotkan pada gulma yang sebagian besar berupa rumput. Pengamatan dilakukan

81 65 terhadap persentase penutupan gulma dan efektivitas formulasi herbisida pada 1 MSA dan 2 MSA. Aplikasi formulasi herbisida dilakukan di Kebun Percobaan Balitro, Departemen Pertanian. Penyemprotan dilakukan pagi hari mulai sekitar jam Aplikasi formulasi herbisida disemprotkan pada petak tanah seluas 2 m x 3 m yang ditumbuhi sebagian besar rumput. Luas bidang percobaan 6 x 16 m 2 = 96 m 2 dengan dua kali ulangan (192 m 2 ) untuk masing-masing suhu penyimpanan (15 0 C, C, dan 40 0 C). Kondisi awal sebelum penyemprotan, penutupan gulma pada petak tanah adalah 100%. Dosis semprot herbisida yang digunakan adalah 3 liter/ha sehingga setiap petak hanya membutuhkan 1,8 ml formula herbisida. Penyemprotan menggunakan knapsack sprayer dengan konsentrasi semprot 0,72% (v/v). Setelah penyemprotan, pengamatan dilakukan setiap minggu selama dua minggu. Pengamatan meliputi persentase penutupan gulma dan efektivitas herbisida. Persentase penutupan gulma Persentase penutupan gulma merupakan persentase gulma hijau (gulma hidup) terhadap gulma mati yang diamati secara visual. Penutupan gulma didapat dari ketahanan gulma terhadap aplikasi herbisida atau adanya pertumbuhan baru yang berasal dari biji setelah aplikasi herbisida dilaksanakan. Persentase penutupan gulma 1 MSA dari formulasi herbisida hasil penyimpanan lima minggu pada suhu 15 0 C, suhu ruang ( C) dan 40 0 C dapat dilihat pada Tabel 23. Dalam Tabel 23 terlihat bahwa persentase penutupan gulma semakin rendah dengan semakin lama waktu pengamatan. Persentase penutupan gulma pada formulasi I, J, K, dan L (konsentrasi glifosat 48%) dapat menyamai herbisida glifosat komersial 48%, terutama pada 2 MSA, tetapi pada 1 MSA herbisida komersial menunjukkan persentase penutupan gulma yang lebih tinggi. Penyimpanan formulasi herbisida pada suhu ruang dengan konsentrasi glifosat 48 % dan konsentrasi APG 6 % dan 8 % menghasilkan persentase penutupan gulma paling rendah terutama pada 2 MSA. Semakin tinggi kadar bahan aktif semakin tinggi daya basmi herbisidanya. Konsentrasi APG 6 % sudah menunjukkan persentase penutupan gulma yang tinggi pada 2 MSA.

82 66 Tabel 23 Persentase penutupan gulma dari aplikasi formulasi herbisida hasil penyimpanan lima minggu pada suhu 15 0 C, suhu ruang ( C), dan 40 0 C Kode Konsentrasi glifosat (%(b/v)) Konsentrasi APG (%(b/v)) 1 MSA 2 MSA Suhu penyimpanan ( 0 C) Suhu penyimpanan ( 0 C) A ,50 85,00 81,25 62,50 43,75 66,25 B ,25 82,50 88,25 65,00 58,75 67,50 C ,50 81,25 86,25 63,75 53,75 60,00 D ,00 83,75 83,25 56,25 53,75 65,00 E ,75 86,25 86,75 68,75 40,00 65,00 F ,50 81,25 81,25 56,25 46,25 58,75 G ,25 77,50 78,75 51,25 32,50 58,75 H ,50 71,25 73,75 60,00 37,50 60,00 I ,75 68,75 57,50 22,50 21,25 26,25 J ,75 62,50 63,75 16,25 8,00 18,75 K ,75 67,50 57,50 11,25 8,00 11,25 L ,25 66,25 51,75 10,00 17,50 9,50 M 16 % glifosat 85,00 73,80 81,30 46,30 26,30 62,50 N 24 % glifosat 71,30 77,50 58,80 31,30 40,00 30,00 O 48 % glifosat 55,00 63,80 66,30 20,00 13,80 13,75 P Air 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 Catatan: MSA = Minggu Setelah Aplikasi Persentase Penutupan gulma 1 MSA Histogram pengamatan persentase penutupan gulma pada 1 MSA dapat dilihat pada Gambar 32. Dalam grafik terlihat bahwa perlakuan I, J, K, L (herbisida pembanding dengan konsentratsi glifosat 48%) relatif sama persentase penutupan gulmanya dengan perlakuan O (konsentrasi glifosat 48%). Sedangkan persentase penutupan gulma perlakuan lain masih lebih tinggi daripada herbisida pembandingnya

83 67 Persentase penutupan gulma A B C D E F G H I J K L M N O P Perlakuan konsentrasi glifosat dan surfaktan APG Penyimpanan 40oC Penyimpanan suhu ruang Penyimpanan suhu 15oC Gambar 32 Histogram persentase penutupan gulma 1 MSA hasil penyimpanan lima minggu pada suhu 15 o C, suhu ruang (26-29 o C) dan 40 o C Hasil analisis keragaman (ANOVA) pada α=0,05 (Lampiran 8.1) menunjukkan bahwa hanya konsentrasi glifosat pada formulasi herbisida hasil penyimpanan lima minggu memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap persentase penutupan gulma 1 MSA. Sedangkan hasil uji lanjut (Lampiran 8.2) dengan metode Duncan menunjukkan bahwa konsentrasi glifosat 48% berbeda nyata dengan konsentrasi glifosat 24% dan 16%, sedangkan konsentrasi glifosat 16% dan 24% tidak berbeda nyata terhadap persentase penutupan gulma 1MSA. Semakin tinggi konsentrasi glifosat akan semakin tinggi pula daya basminya yang menyebabkan persentase penutupan gulma semakin rendah. Persentase penutupan gulma 2 MSA Grafik hasil pengamatan aplikasi formulasi herbisida hasil penyimpanan lima minggu pada 2 MSA dapat dilihat pada gambar 31. Dalam histogram terlihat bahwa secara umum persentase penutupan gulma dari formulasi herbisida dengan penyimpanan suhu ruang menghasilkan persentase penutupan gulma lebih rendah daripada formulasi herbisida yang disimpan pada suhu 15 0 C dan 40 0 C. Persentase penutupan gulma perlakuan J, K dan L (kandungan glifosat 48%) relatif lebih rendah daripada persentase penutupan gulma perlakuan O (herbisida pembanding dengan konsentrasi glifosat 48%).

84 Persentase penutupan gulma A B C D E F G H I J K L M N O P Penyimpanan 40oC Penyimpanan suhu ruang Penyimpanan suhu 15oC Perlakuan konsentrasi glifosat dan surfaktan APG Gambar 33 Histogram persentase penutupan gulma 2 MSA hasil penyimpanan lima minggu pada suhu 15 o C, suhu ruang (26-29 o C) dan 40 o C Hasil analisis keragaman (ANOVA) pada α=0,05 (Lampiran 8.3) menunjukkan bahwa suhu penyimpanan, konsentrasi glifosat, konsentrasi APG dan interaksi glifosat dengan APG memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap persentase penutupan gulma 2 MSA. Hasil uji lanjut dengan metode Duncan (Lampiran 8.4) menunjukkan bahwa penyimpanan pada suhu ruang ( C) berbeda nyata dengan hasil penyimpanan pada suhu 15 0 C dan suhu penyimpanan 48 0 C. Sedangkan penyimpanan pada suhu 15 0 C tidak berbeda nyata dengan penyimpanan pada suhu 40 0 C. Hasil uji lanjut dengan metode Duncan (Lampiran 8.5) menunjukkan bahwa konsentrasi glifosat 48% berbeda nyata dengan konsentrasi glifosat 24% juga dengan konsentrasi glifosat 16%. Semakin tinggi konsentrasi glifosat semakin tinggi daya basminya sehingga persentase penutupan gulmanya semakin rendah. Hasil uji lanjut dengan metode Duncan (Lampiran 8.6) menunjukkan bahwa konsentrasi APG 8% berbeda nyata dengan konsentrasi glifosat 10%, 8 % dan 4 %, sedangkan konsentrasi APG 10 tidak berbeda nyata dengan konsentrasi APG 6 % tetapi berbeda nyata dengan konsentrasi APG 4 % dan konsentrasi 6 % tidak berbeda nyata dengan konsentrasi APG 4 %. Konsentrasi APG 8 % dalam formulasi herbisida sudah cukup membantu aktifitas bahan aktif herbisida glifosat. Hasil uji lanjut dengan metode Duncan (Lampiran 8.10) menunjukkan bahwa interaksi antara perlakuan memberikan pengaruh yang berbeda nyata.

85 69 Penyimpanan pada suhu 15 0 C, suhu ruang, dan 40 0 C dengan konsentrasi glifosat 48% dan konsentrasi APG 6%, 8% dan 10 % tidak berbeda nyata tetapi berbeda nyata dengan perlakuan konsentrasi glifosat yang lebih rendah. Berdasarkan uji T, hasil penyimpanan pada suhu 15 0 C, suhu ruang, dan 40 0 C pada konsentrasi glifosat 48 % dapat menggunakan konsentrasi APG 8 %, sedangkan untuk konsentrasi glifosat 24 % dapat menggunakan konsentrasi APG 8 % dan konsentrasi glifosat 24 % dapat menggunakan konsentrasi APG 6 %. Bobot Kering Gulma Perhitungan nilai bobot kering gulma diperoleh dengan intrapolasi dari hasil penelitian Darto (2008). Berdasarkan pengamatan pada bobot kering gulma (Darto, 2008) diperoleh persamaan eksponensial untuk pengamatan bobot kering gulma pada 1 MSA adalah 0,7911e 0,0369x dan pada 2 MSA adalah 0,8834e 0,0362x. Hasil intrapolasi bobot kering gulma ditunjukkan pada Tabel 24. Pengamatan bobot kering gulma dilakukan untuk menimbang biomassa gulma secara umum. Sampel gulma diambil dalam luasan 0,5 x 0,5 m 2, kemudian dipisahkan gulma yang hidup dan yang sudah mati. Gulma yang masih hidup dan segar kemudian di oven pada suhu 105 C selama 24 jam supaya bobotnya konstan kemudian ditimbang. Bobot kering gulma pada 1 MSA Histogram pengamatan bobot kering gulma 1 MSA dapat dilihat pada Gambar 34. Dalam grafik terlihat bahwa perlakuan I, J, K, L (kandungan glifosat 48%) relatif sama persentase penutupan gulmanya dengan perlakuan O (herbisida pembanding dengan konsentrasi glifosat 48%). Sedangkan bobot kering gulma dari perlakuan lain masih lebih tinggi daripada hasil herbisida pembandingnya. Hasil analisis keragaman (ANOVA) pada α=0,05 (Lampiran 9.1) menunjukkan bahwa hanya konsentrasi glifosat pada formulasi herbisida hasil penyimpanan lima minggu memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap bobot kering gulma 1 MSA. Sedangkan hasil uji lanjut (Lampiran 9.2) dengan metode Duncan menunjukkan bahwa konsentrasi glifosat 48% berbeda nyata dengan konsentrasi glifosat 24% dan 16%, serta konsentrasi glifosat 24% berbeda nyata dengan konsentrasi glifosat 16% Semakin tinggi

86 70 konsentrasi glifosat akan semakin tinggi pula daya basminya yang menyebabkan bobot kering gulma semakin rendah. Tabel 24 Persentase penutupan gulma dari aplikasi formulasi herbisida hasil penyimpanan lima minggu pada suhu 15 0 C, suhu ruang ( C), dan 40 0 C 1 MSA 2 MSA Kode Konsentrasi glifosat (%(b/v)) Konsentrasi APG (%(b/v)) Suhu penyimpanan ( 0 C) Suhu penyimpanan ( 0 C) (gram/0,25 m 2 ) (gram/0,25 m 2 ) A ,52 18,11 15,78 8,46 4,29 9,69 B ,97 16,52 20,42 9,26 7,39 10,13 C ,86 15,78 18,97 8,85 6,16 7,73 D ,11 17,30 16,98 6,75 6,16 9,26 E ,30 18,97 19,32 10,60 3,75 9,26 F ,52 15,78 15,78 6,75 4,70 7,39 G ,97 13,74 14,39 5,63 2,86 7,39 H ,52 10,91 11,97 7,73 3,43 7,73 I ,28 9,95 6,58 1,99 1,90 2,28 J ,28 7,91 8,28 1,59 1,18 1,74 K ,95 9,51 6,58 1,33 1,18 1,33 L ,55 9,08 5,32 1,27 1,66 1,25 M 16 % glifosat 18,11 11,99 15,81 4,71 2,29 8,46 N 24 % glifosat 10,93 13,74 6,90 2,74 3,75 2,61 O 48 % glifosat 5,99 8,29 9,09 1,82 1,45 1,45 P Air 31,48 31,48 31,48 32,81 32,81 32,81 Catatan: MSA = Minggu Setelah Aplikasi

87 71 40 Bobot kering gulma (g) Penyimpanan 40oC Penyimpanan suhu ruang Penyimpanan suhu 15oC 0 A B C D E F G H I J K L M N O P konsentrasi glifosat dan surfaktan APG Gambar 34 Histogram bobot kering gulma 1 MSA hasil penyimpanan lima minggu pada suhu 15 o C, suhu ruang (26-29 o C) dan 40 o C Bobot kering gulma pada 2 MSA Dari histogram pengamatan bobot kering gulma 2 MSA (Gambar 35) menunjukkan bahwa perlakuan I, J, K, L (kandungan glifosat 48%) relatif sama persentase penutupan gulmanya dengan perlakuan O (herbisida pembanding dengan konsentrasi glifosat 48%). Sedangkan bobot kering gulma dari perlakuan lain masih lebih tinggi daripada hasil herbisida pembandingnya. 40 Bobot kering gulma (g) Penyimpanan 40oC Penyimpanan suhu ruang Penyimpanan suhu 15oC 0 A B C D E F G H I J K L M N O P konsentrasi glifosat dan surfaktan APG Gambar 35 Histogram bobot kering gulma 2 MSA hasil penyimpanan lima minggu pada suhu 15 o C, suhu ruang (26-29 o C) dan 40 o C Hasil analisis keragaman (ANOVA) pada α=0,05 (Lampiran 9.3) menunjukkan bahwa suhu penyimpanan, konsentrasi glifosat, konsentrasi APG dan interaksi glifosat dengan APG memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap bobot kering gulma 2 MSA.

88 72 Hasil uji lanjut dengan metode Duncan (Lampiran 9.4) menunjukkan bahwa penyimpanan pada suhu ruang ( C) berbeda nyata dengan hasil penyimpanan pada suhu 15 0 C dan suhu penyimpanan 48 0 C. Sedangkan penyimpanan pada suhu 15 0 C tidak berbeda nyata dengan penyimpanan pada suhu 40 0 C. Hasil uji lanjut dengan metode Duncan (Lampiran 9.5) menunjukkan bahwa konsentrasi glifosat 48% berbeda nyata dengan konsentrasi glifosat 24% juga dengan konsentrasi glifosat 16%. Semakin tinggi konsentrasi glifosat semakin tinggi daya basminya sehingga persentase penutupan gulmanya semakin rendah. Hasil uji lanjut dengan metode Duncan (Lampiran 9.6) menunjukkan bahwa konsentrasi APG 8% tidak berbeda nyata dengan konsentrasi APG 10 % dan 6 % tetapi berbeda nyata dengan konsentrasi APG 4 %, tetapi konsentrasi APG 8% dan 10% tidak berbeda nyata dengan konsentrasi 4 %.. Fungsi APG Konsentrasi APG 6 % dalam formulasi herbisida sudah cukup membantu aktifitas bahan aktif herbisida glifosat. Hasil uji lanjut dengan metode Duncan (Lampiran 9.7) menunjukkan bahwa interaksi antara perlakuan memberikan pengaruh yang berbeda nyata. Penyimpanan pada suhu 15 o C, suhu ruang dan 40 0 C, dengan konsentrasi glifosat 48% dan konsentrasi APG 6%, 8% dan 10 % tidak berbeda nyata tetapi berbeda nyata dengan perlakuan konsentrasi glifosat yang lebih rendah. Efektivitas Formulasi Herbisida Pengamatan efektivitas herbisida dilakukan secara visual dan dinilai berdasarkan skoring 0 4. Daya berantas dilihat berdasarkan penampakan gulma yang menguning/layu/mati akibat penyemprotan herbisida. Skoring efektivitas adalah sebagai berikut: 0 : tidak efektif 1 : kurang efektif 2 : cukup efektif 3 : efektif 4 : sangat efektif Efektivitas formulasi herbisida hasil penyimpanan lima minggu dapat dilihat pada Tabel 24. Pada tabel tersebut, efektivitas herbisida sangat terlihat pada 2 MSA dibandingkan dengan 1 MSA

89 73 Efektivitas formulasi herbisida yang dibuat dapat menyamai efektivitas herbisida komersial. Formulasi herbisida I, J, K, L (konsentrasi glifosat 48%) dapat menyamai herbisida glifosat komersial 48% pada 1 MSA dan 2 MSA. Demikian juga formulasi herbisida dengan konsentrasi glifosat 24 % dan 16 % pada 1 MSA dan 2 MSA.dapat menyamai herbisida glifosat komersial 24 % dan 16 %. Hasil uji Kruskal Wallis (Lampiran 10.1 sampai 10.4) menunjukkan bahwa efektivitas herbisida pada 1 MSA dan 2 MSA, hanya konsentrasi glifosat 48 % memberikan pengaruh yang nyata sedangkan konsentrasi APG tidak berpengaruh nyata. Tabel 24 Efektivitas formulasi herbisida hasil penyimpanan lima minggu pada suhu 15 0 C, C, dan 40 0 C 1 MSA 2 MSA Konsentrasi Konsentrasi Suhu penyimpanan Suhu penyimpanan Kode glifosat APG ( 0 C) ( 0 C) (%(b/v)) (%(b/v)) A B C D E F G H I J K L M 16 % glifosat N 24 % glifosat O 48 % glifosat P Air Catatan: MSA = Minggu Setelah Aplikasi

90 74 Pengamatan Visual Pengamatan visual berlangsung setiap dua hari sampai 14 hari. Pengamatan 4 hari setelah aplikasi (HSA), menunjukkan daun mengalami kelayuan dan terjadi perubahan warna. Semakin lama gejala tersebut semakin menyebar dan akhirnya mengering dan mati. Menurut Ashton dan Monaco dalam Roshid (2006) gejala umum yang terjadi akibat herbisida glifosat adalah daun mengalami klorosis dan kemudian diikuti dengan nekrosis. Berdasarkan pengamatan visual tersebut dapat diketahui bahwa pengaruh surfaktan APG dalam formulasi herbisida dapat diketahui dengan membandingkan dengan herbisida komersial. Konsentrasi bahan aktif semakin tinggi akan mempengaruhi daya basminya namun konsentrasi surfaktan APG 6 % atau 8% sudah cukup meningkatkan efektivitas herbisida. Pengamatan visual mulai aplikasi formulasi herbisida (0 MSA), 4 HSA, 7 HSA dan 14 HSA selama penelitian dapat dilihat pada foto-foto berikut.

91 75 a b c Gambar 36 Foto lahan percobaan awal penelitian (0 MSA) untuk aplikasi formulasi herbisida dengan konsentrasi glifosat 48 % dan konsentrasi APG 8 % pada suhu 40 0 C (a), suhu 15 0 C (b), dan suhu ruang ( C) (c)

92 76 a b c Gambar 37 Foto lahan percobaan awal penelitian (4 HSA) untuk aplikasi formulasi herbisida dengan konsentrasi glifosat 48 % dan konsentrasi APG 8 % pada suhu 40 0 C (a), suhu 15 0 C (b), dan suhu ruang ( C) (c)

93 77 a b c Gambar 37. Foto lahan percobaan awal penelitian (7 HSA) untuk aplikasi formulasi herbisida dengan konsentrasi glifosat 48 % dan konsentrasi APG 8 % pada suhu 40 0 C (a), suhu 15 0 C (b), dan suhu ruang ( C) (c)

94 78 a b c Gambar 42. Foto lahan percobaan awal penelitian (14 HSA) untuk aplikasi formulasi herbisida dengan konsentrasi glifosat 48 % dan konsentrasi APG 8 % pada suhu 40 0 C (a), suhu 15 0 C (b), dan suhu ruang ( C) (c)

TINJAUAN PUSTAKA. Tabel 1 Peta potensi kelapa dunia ha 1. Indonesia

TINJAUAN PUSTAKA. Tabel 1 Peta potensi kelapa dunia ha 1. Indonesia 4 TINJAUAN PUSTAKA Kelapa Luas areal dan produksi kelapa Indonesia merupakan yang terbesar di dunia. Pada tahun 2006 Indonesia memiliki luas areal pertanaman kelapa 3,818 juta Ha (32,37 %) disusul berturut-turut

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. PENELITIAN PENDAHULUAN Penelitian pendahuluan ini bertujuan untuk mengetahui hasil produk APG bila diganti bahan baku penyusunnya. Untuk mengetahui telah tersintesisnya produk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Surfaktan Surfaktan merupakan senyawa aktif penurun tegangan permukaan yang dapat diproduksi secara sintesis kimiawi ataupun biokimiawi. Surfaktan memiliki gugus hidrofobik

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 SURFAKTAN Surfaktan yang merupakan singkatan dari surface active agent, didefinisikan sebagai suatu bahan yang mengadsorbsi pada permukaan atau antarmuka (interface) larutan

Lebih terperinci

Rendemen APG dihitung berdasarkan berat APG yang diperoleh setelah dimurnikan dengan berat total bahan baku awal yang digunakan.

Rendemen APG dihitung berdasarkan berat APG yang diperoleh setelah dimurnikan dengan berat total bahan baku awal yang digunakan. Lampiran 1 Prosedur analisis surfaktan APG 1) Rendemen Rendemen APG dihitung berdasarkan berat APG yang diperoleh setelah dimurnikan dengan berat total bahan baku awal yang digunakan. % 100% 2) Analisis

Lebih terperinci

A. Sifat Fisik Kimia Produk

A. Sifat Fisik Kimia Produk Minyak sawit terdiri dari gliserida campuran yang merupakan ester dari gliserol dan asam lemak rantai panjang. Dua jenis asam lemak yang paling dominan dalam minyak sawit yaitu asam palmitat, C16:0 (jenuh),

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kelapa sawit (Elaeis Guineesis Jacq) merupakan salah satu tanaman perkebunan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kelapa sawit (Elaeis Guineesis Jacq) merupakan salah satu tanaman perkebunan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Minyak Inti Sawit (PKO) Kelapa sawit (Elaeis Guineesis Jacq) merupakan salah satu tanaman perkebunan Indonesia yang memiliki masa depan cukup cerah. Perkebunan kelapa sawit semula

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. products), kosmetik maupun untuk pemucatan kain/tekstil (Hill & Rhode 1999). 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. products), kosmetik maupun untuk pemucatan kain/tekstil (Hill & Rhode 1999). 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Banyak produk kimia diproduksi dengan menggunakan bahan baku dari petrokimia atau gas alam, dimana bahan baku ini akan tersedia dalam jumlah yang cukup dalam beberapa

Lebih terperinci

Perbandingan aktivitas katalis Ni dan katalis Cu pada reaksi hidrogenasi metil ester untuk pembuatan surfaktan

Perbandingan aktivitas katalis Ni dan katalis Cu pada reaksi hidrogenasi metil ester untuk pembuatan surfaktan Perbandingan aktivitas katalis Ni dan katalis Cu pada reaksi hidrogenasi metil ester untuk pembuatan surfaktan Tania S. Utami *), Rita Arbianti, Heri Hermansyah, Wiwik H., dan Desti A. Departemen Teknik

Lebih terperinci

Gambar 1. Contoh Gugus Fungsi Surfaktan (Myers, 1946)

Gambar 1. Contoh Gugus Fungsi Surfaktan (Myers, 1946) II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. SURFAKTAN Surfaktan adalah molekul ampifilik atau ampifatik yang terdiri dari dua gugus yaitu gugus hidrofobik yang bersifat non polar dan gugus hidrofilik yang bersifat polar

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh rasio mol katalis dan suhu pada proses butanolisis Proses sintesis APG dua tahap diawali oleh proses butanolisis. Penggunaan bahan baku sakarida yang memiliki dextrose

Lebih terperinci

SINTESIS SURFAKTAN ALKIL POLIGLIKOSIDA DARI GLUKOSA DAN DODEKANOL DENGAN KATALIS ASAM

SINTESIS SURFAKTAN ALKIL POLIGLIKOSIDA DARI GLUKOSA DAN DODEKANOL DENGAN KATALIS ASAM SINTESIS SURFAKTAN ALKIL POLIGLIKOSIDA DARI GLUKOSA DAN DODEKANOL DENGAN KATALIS ASAM Anastasia Wulan Pratidina Swasono, Putri Dei Elvarosa Sianturi, Zuhrina Masyithah Departemen Teknik Kimia, Fakultas

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN 3.1 Kerangka Pemikiran

3 METODE PENELITIAN 3.1 Kerangka Pemikiran 3 METODE PENELITIAN 3.1 Kerangka Pemikiran Penggunaan pati sebagai bahan baku dalam proses sintesis APG harus melalui dua tahapan yaitu butanolisis dan transasetalisasi. Pada butanolisis terjadi hidrolisis

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Surfaktan Surfaktan (surface active agent) adalah senyawa amphiphilic, yang merupakan molekul heterogendan berantai panjangyang memiliki bagian kepala yang suka air (hidrofilik)

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. SIFAT FISIKO-KIMIA BIJI DAN MINYAK JARAK PAGAR Biji jarak pagar (Jatropha curcas L.) yang digunakan dalam penelitian ini didapat dari PT. Rajawali Nusantara Indonesia di daerah

Lebih terperinci

OPTIMASI NISBAH MOL GLUKOSA-FATTY ALCOHOL C 12 DAN SUHU ASETALISASI PADA PROSES PEMBUATAN SURFAKTAN NONIONIK ALKYL POLYGLYCOSIDES (APG)

OPTIMASI NISBAH MOL GLUKOSA-FATTY ALCOHOL C 12 DAN SUHU ASETALISASI PADA PROSES PEMBUATAN SURFAKTAN NONIONIK ALKYL POLYGLYCOSIDES (APG) OPTIMASI NISBAH MOL GLUKOSA-FATTY ALCOHOL C 12 DAN SUHU ASETALISASI PADA PROSES PEMBUATAN SURFAKTAN NONIONIK ALKYL POLYGLYCOSIDES (APG) Oleh ROCHMAD INDRAWANTO F341030108 2008 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Minyak jelantah merupakan minyak goreng yang telah digunakan beberapa kali.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Minyak jelantah merupakan minyak goreng yang telah digunakan beberapa kali. II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Minyak Jelantah Minyak jelantah merupakan minyak goreng yang telah digunakan beberapa kali. Minyak jelantah masih memiliki asam lemak dalam bentuk terikat dalam trigliserida sama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. Surfaktan (surface active agent) merupakan bahan kimia yang dapat mengubah sifat permukaan bahan yang dikenainya. Sifat aktif dari surfaktan disebabkan adanya struktur

Lebih terperinci

Lemak dan minyak adalah trigliserida atau triasil gliserol, dengan rumus umum : O R' O C

Lemak dan minyak adalah trigliserida atau triasil gliserol, dengan rumus umum : O R' O C Lipid Sifat fisika lipid Berbeda dengan dengan karbohidrat dan dan protein, lipid bukan merupakan merupakan suatu polimer Senyawa organik yang terdapat di alam Tidak larut di dalam air Larut dalam pelarut

Lebih terperinci

Prarancangan Pabrik Metil Ester Sulfonat dari Crude Palm Oil berkapasitas ton/tahun BAB I PENGANTAR

Prarancangan Pabrik Metil Ester Sulfonat dari Crude Palm Oil berkapasitas ton/tahun BAB I PENGANTAR BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Pertumbuhan jumlah penduduk Indonesia yang begitu pesat telah menyebabkan penambahan banyaknya kebutuhan yang diperlukan masyarakat. Salah satu bahan baku dan bahan penunjang

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. dicatat volume pemakaian larutan baku feroamonium sulfat. Pembuatan reagen dan perhitungan dapat dilihat pada lampiran 17.

HASIL DAN PEMBAHASAN. dicatat volume pemakaian larutan baku feroamonium sulfat. Pembuatan reagen dan perhitungan dapat dilihat pada lampiran 17. Tegangan Permukaan (dyne/cm) Tegangan permukaan (dyne/cm) 6 dihilangkan airnya dengan Na 2 SO 4 anhidrat lalu disaring. Ekstrak yang diperoleh kemudian dipekatkan dengan radas uap putar hingga kering.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. SURFAKTAN Surfaktan merupakan senyawa aktif penurun tegangan permukaan (surface active agent) yang mempunyai struktur bipolar. Bagian kepala bersifat hidrofilik dan bagian ekor

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Potensi Indonesia sebagai produsen surfaktan dari minyak inti sawit sangat besar.

I. PENDAHULUAN. Potensi Indonesia sebagai produsen surfaktan dari minyak inti sawit sangat besar. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah Potensi Indonesia sebagai produsen surfaktan dari minyak inti sawit sangat besar. Hal ini dikarenakan luas areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia terus

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lemak sebagian besar terdiri dari asam oktadekanoat, C 18 H 36 O 2 dan asam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lemak sebagian besar terdiri dari asam oktadekanoat, C 18 H 36 O 2 dan asam BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Bahan 2.1.1 Asam Stearat Asam stearat adalah campuran asam organik padat yang diperoleh dari lemak sebagian besar terdiri dari asam oktadekanoat, C 18 H 36 O 2 dan asam

Lebih terperinci

Lampiran 1. Determinasi Tanaman Jarak Pagar

Lampiran 1. Determinasi Tanaman Jarak Pagar Lampiran 1. Determinasi Tanaman Jarak Pagar Lampiran 2. Penentuan Faktor Koreksi pada Pengukuran Tegangan Permukaan (γ) dengan Alat Tensiometer Du Nuoy Faktor koreksi = ( γ ) air menurut literatur ( γ

Lebih terperinci

DISAIN PROSES DUA TAHAP ESTERIFIKASI-TRANSESTERIFIKASI (ESTRANS) PADA PEMBUATAN METIL ESTER (BIODIESEL) DARI MINYAK JARAK PAGAR (Jatropha curcas.

DISAIN PROSES DUA TAHAP ESTERIFIKASI-TRANSESTERIFIKASI (ESTRANS) PADA PEMBUATAN METIL ESTER (BIODIESEL) DARI MINYAK JARAK PAGAR (Jatropha curcas. DISAIN PROSES DUA TAHAP ESTERIFIKASI-TRANSESTERIFIKASI (ESTRANS) PADA PEMBUATAN METIL ESTER (BIODIESEL) DARI MINYAK JARAK PAGAR (Jatropha curcas.l) Yeti Widyawati SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN MESA off grade merupakan hasil samping dari proses sulfonasi MES yang memiliki nilai IFT lebih besar dari 1-4, sehingga tidak dapat digunakan untuk proses Enhanced Oil Recovery

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Ketertarikan dunia industri terhadap bahan baku proses yang bersifat biobased mengalami perkembangan pesat. Perkembangan pesat ini merujuk kepada karakteristik bahan

Lebih terperinci

DISAIN PROSES DUA TAHAP ESTERIFIKASI-TRANSESTERIFIKASI (ESTRANS) PADA PEMBUATAN METIL ESTER (BIODIESEL) DARI MINYAK JARAK PAGAR (Jatropha curcas.

DISAIN PROSES DUA TAHAP ESTERIFIKASI-TRANSESTERIFIKASI (ESTRANS) PADA PEMBUATAN METIL ESTER (BIODIESEL) DARI MINYAK JARAK PAGAR (Jatropha curcas. DISAIN PROSES DUA TAHAP ESTERIFIKASI-TRANSESTERIFIKASI (ESTRANS) PADA PEMBUATAN METIL ESTER (BIODIESEL) DARI MINYAK JARAK PAGAR (Jatropha curcas.l) Yeti Widyawati SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 S u r f a k t a n

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 S u r f a k t a n 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 S u r f a k t a n Surfaktan merupakan senyawa aktif penurun tegangan permukaan (surface active agent). Surfaktan merupakan molekul amphipatic yang memiliki sifat hidrofilik yang

Lebih terperinci

Memiliki bau amis (fish flavor) akibat terbentuknya trimetil amin dari lesitin.

Memiliki bau amis (fish flavor) akibat terbentuknya trimetil amin dari lesitin. Lemak dan minyak merupakan senyawa trigliserida atau trigliserol, dimana berarti lemak dan minyak merupakan triester dari gliserol. Dari pernyataan tersebut, jelas menunjukkan bahwa lemak dan minyak merupakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 21 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Polimer Emulsi 2.1.1 Definisi Polimer Emulsi Polimer emulsi adalah polimerisasi adisi terinisiasi radikal bebas dimana suatu monomer atau campuran monomer dipolimerisasikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. baku baru yang potensial. Salah satu bahan yang potensial untuk pembuatan surfaktan adalah

BAB I PENDAHULUAN. baku baru yang potensial. Salah satu bahan yang potensial untuk pembuatan surfaktan adalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan pembuatan surfaktan tidak hanya dalam pencarian jenis surfaktan yang baru untuk suatu aplikasi tertentu di suatu industri, tetapi juga melakukan pencarian

Lebih terperinci

Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan

Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan Bab IV asil Penelitian dan Pembahasan IV.1 Isolasi Kitin dari Limbah Udang Sampel limbah udang kering diproses dalam beberapa tahap yaitu penghilangan protein, penghilangan mineral, dan deasetilasi untuk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman jarak duri (Ricinus communis L.) termasuk dalam famili

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman jarak duri (Ricinus communis L.) termasuk dalam famili BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Jarak Duri Tanaman jarak duri (Ricinus communis L.) termasuk dalam famili Euphorbiaceae, merupakan tanaman tahunan yang hidup di daerah tropik maupun sub tropik, dan

Lebih terperinci

SINTESIS ALKIL POLIGLIKOSIDA (APG) BERBASIS DODEKANOL DAN HEKSADEKANOL DENGAN REAKTAN GLUKOSA CAIR 75% FINA UZWATANIA

SINTESIS ALKIL POLIGLIKOSIDA (APG) BERBASIS DODEKANOL DAN HEKSADEKANOL DENGAN REAKTAN GLUKOSA CAIR 75% FINA UZWATANIA SINTESIS ALKIL POLIGLIKOSIDA (APG) BERBASIS DODEKANOL DAN HEKSADEKANOL DENGAN REAKTAN GLUKOSA CAIR 75% FINA UZWATANIA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

D. Tinjauan Pustaka. Menurut Farmakope Indonesia (Anonim, 1995) pernyataan kelarutan adalah zat dalam

D. Tinjauan Pustaka. Menurut Farmakope Indonesia (Anonim, 1995) pernyataan kelarutan adalah zat dalam JURNAL KELARUTAN D. Tinjauan Pustaka 1. Kelarutan Menurut Farmakope Indonesia (Anonim, 1995) pernyataan kelarutan adalah zat dalam bagian tertentu pelarut, kecuali dinyatakan lain menunjukkan bahwa 1 bagian

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM FARMASI FISIKA

LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM FARMASI FISIKA LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM FARMASI FISIKA TEGANGAN PERMUKAAN KELOMPOK 1 SHIFT A 1. Dini Mayang Sari (10060310116) 2. Putri Andini (100603) 3. (100603) 4. (100603) 5. (100603) 6. (100603) Hari/Tanggal Praktikum

Lebih terperinci

Prarancangan Pabrik Asam Stearat dari Minyak Kelapa Sawit Kapasitas Ton/Tahun BAB I PENDAHULUAN

Prarancangan Pabrik Asam Stearat dari Minyak Kelapa Sawit Kapasitas Ton/Tahun BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas utama yang dikembangkan di Indonesia. Dewasa ini, perkebunan kelapa sawit semakin meluas. Hal ini dikarenakan kelapa sawit dapat meningkatkan

Lebih terperinci

REAKSI SAPONIFIKASI PADA LEMAK

REAKSI SAPONIFIKASI PADA LEMAK REAKSI SAPONIFIKASI PADA LEMAK TUJUAN : Mempelajari proses saponifikasi suatu lemak dengan menggunakan kalium hidroksida dan natrium hidroksida Mempelajari perbedaan sifat sabun dan detergen A. Pre-lab

Lebih terperinci

4 Pembahasan Degumming

4 Pembahasan Degumming 4 Pembahasan Proses pengolahan biodiesel dari biji nyamplung hampir sama dengan pengolahan biodiesel dari minyak sawit, jarak pagar, dan jarak kepyar. Tetapi karena biji nyamplung mengandung zat ekstraktif

Lebih terperinci

KIMIA. Sesi HIDROKARBON (BAGIAN II) A. ALKANON (KETON) a. Tata Nama Alkanon

KIMIA. Sesi HIDROKARBON (BAGIAN II) A. ALKANON (KETON) a. Tata Nama Alkanon KIMIA KELAS XII IPA - KURIKULUM GABUNGAN 16 Sesi NGAN HIDROKARBON (BAGIAN II) Gugus fungsional adalah sekelompok atom dalam suatu molekul yang memiliki karakteristik khusus. Gugus fungsional adalah bagian

Lebih terperinci

Transesterifikasi parsial minyak kelapa sawit dengan EtOH pada pembuatan digliserida sebagai agen pengemulsi

Transesterifikasi parsial minyak kelapa sawit dengan EtOH pada pembuatan digliserida sebagai agen pengemulsi Transesterifikasi parsial minyak kelapa sawit dengan EtOH pada pembuatan digliserida sebagai agen pengemulsi Rita Arbianti *), Tania S. Utami, Heri Hermansyah, Ira S., dan Eki LR. Departemen Teknik Kimia,

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PERSIAPAN BAHAN 1. Ekstraksi Biji kesambi dikeringkan terlebih dahulu kemudian digiling dengan penggiling mekanis. Tujuan pengeringan untuk mengurangi kandungan air dalam biji,

Lebih terperinci

SIFAT PERMUKAAN SISTEM KOLOID PANGAN AKTIVITAS PERMUKAAN

SIFAT PERMUKAAN SISTEM KOLOID PANGAN AKTIVITAS PERMUKAAN SIFAT PERMUKAAN SISTEM KOLOID PANGAN AKTIVITAS PERMUKAAN SIFAT PERMUKAAN Terdapat pada sistem pangan yang merupakan sistem 2 fase (campuran dari cairan yang tidak saling melarutkan immiscible) Antara 2

Lebih terperinci

PENGARUHSUHU ADSORPSI DAN JUMLAH PENAMBAHAN KARBON AKTIF TERHADAP KECERAHAN SURFAKTAN DECYL POLIGLIKOSIDA DARI D-GLUKOSA DAN DEKANOL SKRIPSI

PENGARUHSUHU ADSORPSI DAN JUMLAH PENAMBAHAN KARBON AKTIF TERHADAP KECERAHAN SURFAKTAN DECYL POLIGLIKOSIDA DARI D-GLUKOSA DAN DEKANOL SKRIPSI PENGARUHSUHU ADSORPSI DAN JUMLAH PENAMBAHAN KARBON AKTIF TERHADAP KECERAHAN SURFAKTAN DECYL POLIGLIKOSIDA DARI D-GLUKOSA DAN DEKANOL SKRIPSI Oleh WALAD WIRAWAN 100405039 DEPARTEMEN TEKNIK KIMIA FAKULTAS

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISTIK METIL ESTER SULFONAT (MES) Pada penelitian ini surfaktan MES yang dihasilkan berfungsi sebagai bahan aktif untuk pembuatan deterjen cair. MES yang dihasilkan merupakan

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN BAB 4 ASIL PECBAAN DAN PEMBAASAN Transesterifikasi, suatu reaksi kesetimbangan, sehingga hasil reaksi dapat ditingkatkan dengan menghilangkan salah satu produk yang terbentuk. Penggunaan metil laurat dalam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN (Ditjen Perkebunan, 2012). Harga minyak sawit mentah (Crude Palm

I. PENDAHULUAN (Ditjen Perkebunan, 2012). Harga minyak sawit mentah (Crude Palm I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah Indonesia merupakan salah satu negara penghasil kelapa sawit terbesar di dunia dengan volume ekspor minyak kelapa sawit mencapai16,436 juta ton pada tahun

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Asam palmitat merupakan asam lemak jenuh yang paling besar jumlahnya di dalam minyak kelapa sawit, yaitu sebesar 40-46%. Asam palmitat juga terdapat pada berbagai

Lebih terperinci

PEMURNIAN SURFAKTAN NONIONIK ALKIL POLIGLIKOSIDA (APG) BERBASIS TAPIOKA DAN DODEKANOL FEBRUADI BASTIAN

PEMURNIAN SURFAKTAN NONIONIK ALKIL POLIGLIKOSIDA (APG) BERBASIS TAPIOKA DAN DODEKANOL FEBRUADI BASTIAN PEMURNIAN SURFAKTAN NONIONIK ALKIL POLIGLIKOSIDA (APG) BERBASIS TAPIOKA DAN DODEKANOL FEBRUADI BASTIAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

Lampiran 2 Prosedur sintesis surfaktan APG

Lampiran 2 Prosedur sintesis surfaktan APG 58 Lampiran 2 Prosedur sintesis surfaktan APG ) Tahap Butanolisis Tahap ini mereaksikan pati, butanol, air serta katalis asam p-toluena sulfonat (PTSA) dengan perbandingan ratio mol pati:butanol:air:katalis

Lebih terperinci

DESAIN DAN SINTESIS AMINA SEKUNDER RANTAI KARBON GENAP DARI ASAM KARBOKSILAT RANTAI PANJANG RAHMAD FAJAR SIDIK

DESAIN DAN SINTESIS AMINA SEKUNDER RANTAI KARBON GENAP DARI ASAM KARBOKSILAT RANTAI PANJANG RAHMAD FAJAR SIDIK DESAIN DAN SINTESIS AMINA SEKUNDER RANTAI KARBON GENAP DARI ASAM KARBOKSILAT RANTAI PANJANG RAHMAD FAJAR SIDIK SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN TENTANG TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

Untuk mengetahui pengaruh ph medium terhadap profil disolusi. atenolol dari matriks KPI, uji disolusi juga dilakukan dalam medium asam

Untuk mengetahui pengaruh ph medium terhadap profil disolusi. atenolol dari matriks KPI, uji disolusi juga dilakukan dalam medium asam Untuk mengetahui pengaruh ph medium terhadap profil disolusi atenolol dari matriks KPI, uji disolusi juga dilakukan dalam medium asam klorida 0,1 N. Prosedur uji disolusi dalam asam dilakukan dengan cara

Lebih terperinci

Bab IV Hasil dan Pembahasan

Bab IV Hasil dan Pembahasan Bab IV Hasil dan Pembahasan 4.1 Tahap Sintesis Biodiesel Pada tahap sintesis biodiesel, telah dibuat biodiesel dari minyak sawit, melalui reaksi transesterifikasi. Jenis alkohol yang digunakan adalah metanol,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian Tahap Satu

HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian Tahap Satu HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Tahap Satu Penentuan Formula Pembuatan Sabun Transparan Penelitian tahap satu merupakan tahap pemilihan formula pembuatan sabun trasnparan. Hasil penelitian tahap satu ini

Lebih terperinci

PENGARUH FOSFORILASI DAN PENAMBAHAN ASAM STEARAT TERHADAP KARAKTERISTIK FILM EDIBEL PATI SAGU CYNTHIA EMANUEL

PENGARUH FOSFORILASI DAN PENAMBAHAN ASAM STEARAT TERHADAP KARAKTERISTIK FILM EDIBEL PATI SAGU CYNTHIA EMANUEL PENGARUH FOSFORILASI DAN PENAMBAHAN ASAM STEARAT TERHADAP KARAKTERISTIK FILM EDIBEL PATI SAGU CYNTHIA EMANUEL SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Karakterisasi Bahan Baku Karet Crepe

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Karakterisasi Bahan Baku Karet Crepe IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakterisasi Bahan Baku 4.1.2 Karet Crepe Lateks kebun yang digunakan berasal dari kebun percobaan Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Ciomas-Bogor. Lateks kebun merupakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Aspal adalah material perekat berwarna coklat kehitam hitaman sampai hitam dengan unsur utama bitumen. Aspal merupakan senyawa yang kompleks, bahan utamanya disusun

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 KARAKTERISASI MINYAK Sabun merupakan hasil reaksi penyabunan antara asam lemak dan NaOH. Asam lemak yang digunakan untuk membuat sabun transparan berasal dari tiga jenis minyak,

Lebih terperinci

Bilamana beberapa fase berada bersama-sama, maka batas di antara fase-fase ini dinamakan antarmuka (interface).

Bilamana beberapa fase berada bersama-sama, maka batas di antara fase-fase ini dinamakan antarmuka (interface). 2 3 4 Bilamana beberapa fase berada bersama-sama, maka batas di antara fase-fase ini dinamakan antarmuka (interface). Antar muka dapat berada dalam beberapa jenis, yang dapat berwujud padat, cair atau

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Asam Palmitat Asam palmitat adalah asam lemak jenuh rantai panjang yang terdapat dalam bentuk trigliserida pada minyak nabati maupun minyak hewani disamping juga asam lemak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Lateks karet alam didapat dari pohon Hevea Brasiliensis yang berasal dari famili Euphorbia ceae ditemukan dikawasan tropikal Amazon, Amerika Selatan. Lateks karet

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sabun adalah senyawa garam dari asam-asam lemak tinggi, seperti

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sabun adalah senyawa garam dari asam-asam lemak tinggi, seperti BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sabun Sabun adalah senyawa garam dari asam-asam lemak tinggi, seperti natrium stearat, (C 17 H 35 COO Na+).Aksi pencucian dari sabun banyak dihasilkan melalui kekuatan pengemulsian

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. sawit kasar (CPO), sedangkan minyak yang diperoleh dari biji buah disebut

II. TINJAUAN PUSTAKA. sawit kasar (CPO), sedangkan minyak yang diperoleh dari biji buah disebut 7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Minyak Kelapa Sawit Sumber minyak dari kelapa sawit ada dua, yaitu daging buah dan inti buah kelapa sawit. Minyak yang diperoleh dari daging buah disebut dengan minyak kelapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Energi merupakan aspek penting dalam kehidupan manusia dan merupakan kunci utama diberbagai sektor. Semakin hari kebutuhan akan energi mengalami kenaikan seiring dengan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 28 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Proses produksi glukosa ester dari beras dan berbagai asam lemak jenuh dilakukan secara bertahap. Tahap pertama fermentasi tepung beras menjadi glukosa menggunakan enzim

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Surfaktan Bahan baku surfaktan

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Surfaktan Bahan baku surfaktan 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Surfaktan Surfaktan (surface active agent) merupakan salah satu oleokimia turunan yang satu molekulnya memiliki gugus hidrofilik (bagian polar/yang suka air) dan gugus hidrofobik

Lebih terperinci

PENGHAMBATAN DEGRADASI SUKROSA DALAM NIRA TEBU MENGGUNAKAN GELEMBUNG GAS NITROGEN DALAM REAKTOR VENTURI BERSIRKULASI TEUKU IKHSAN AZMI

PENGHAMBATAN DEGRADASI SUKROSA DALAM NIRA TEBU MENGGUNAKAN GELEMBUNG GAS NITROGEN DALAM REAKTOR VENTURI BERSIRKULASI TEUKU IKHSAN AZMI PENGHAMBATAN DEGRADASI SUKROSA DALAM NIRA TEBU MENGGUNAKAN GELEMBUNG GAS NITROGEN DALAM REAKTOR VENTURI BERSIRKULASI TEUKU IKHSAN AZMI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pendahuluan Proses pembuatan MCT dapat melalui dua reaksi. Menurut Hartman dkk (1989), trigliserida dapat diperoleh melalui reaksi esterifikasi asam lemak kaprat/kaprilat

Lebih terperinci

SINTESIS SURFAKTAN ALKIL POLIGLIKOSIDA (APG) BERBASIS DODEKANOL DAN HEKSADEKANOL DENGAN REAKTAN GLUKOSA CAIR 75%

SINTESIS SURFAKTAN ALKIL POLIGLIKOSIDA (APG) BERBASIS DODEKANOL DAN HEKSADEKANOL DENGAN REAKTAN GLUKOSA CAIR 75% Jurnal Teknologi Industri Pertanian 27 (1):9-16 (2017) Fina Uzwatania, ISSN Erliza 0216-3160 Hambali, EISSN dan Ani 2252-3901 Suryani Terakreditasi DIKTI No 56/DIKTI/Kep/2012 SINTESIS SURFAKTAN ALKIL POLIGLIKOSIDA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Kelapa (Cocos Nucifera Linn.) merupakan tanaman yang tumbuh di negara yang beriklim tropis. Indonesia merupakan produsen kelapa terbesar di dunia. Menurut Kementerian

Lebih terperinci

Bab IV Hasil dan Pembahasan. IV.2.1 Proses transesterifikasi minyak jarak (minyak kastor)

Bab IV Hasil dan Pembahasan. IV.2.1 Proses transesterifikasi minyak jarak (minyak kastor) 23 Bab IV Hasil dan Pembahasan IV.1 Penyiapan Sampel Kualitas minyak kastor yang digunakan sangat mempengaruhi pelaksanaan reaksi transesterifikasi. Parameter kualitas minyak kastor yang dapat menjadi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 KARAKTERISASI MINYAK Sabun merupakan hasil reaksi penyabunan antara asam lemak dan NaOH. Asam lemak yang digunakan pada produk sabun transparan yang dihasilkan berasal dari

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL 1. Pembuatan sediaan losio minyak buah merah a. Perhitungan HLB butuh minyak buah merah HLB butuh minyak buah merah yang digunakan adalah 17,34. Cara perhitungan HLB

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka

I PENDAHULUAN. Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka I PENDAHULUAN Bab ini akan menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesa, dan (7) Waktu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) merupakan salah satu tanaman perkebunan

I. PENDAHULUAN. Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) merupakan salah satu tanaman perkebunan 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) merupakan salah satu tanaman perkebunan di Indonesia yang memiliki masa depan cukup cerah. Perkebunan kelapa sawit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Selama ini Indonesia masih mengimpor monogliserida dan digliserida yang dibutuhkan oleh industri (Anggoro dan Budi, 2008). Monogliserida dan digliserida dapat dibuat

Lebih terperinci

2.6.4 Analisis Uji Morfologi Menggunakan SEM BAB III METODOLOGI PENELITIAN Alat dan Bahan Penelitian Alat

2.6.4 Analisis Uji Morfologi Menggunakan SEM BAB III METODOLOGI PENELITIAN Alat dan Bahan Penelitian Alat DAFTAR ISI ABSTRAK... i ABSTRACK... ii KATA PENGANTAR... iii DAFTAR ISI... v DAFTAR LAMPIRAN... vii DAFTAR GAMBAR... viii DAFTAR TABEL... ix DAFTAR ISTILAH... x BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang...

Lebih terperinci

PERCOBAAN II PENGARUH SURFAKTAN TERHADAP KELARUTAN A. Tujuan 1. Mengetahui dan memahami pengaruh penambahan surfaktan terhadap kelarutan suatu zat 2.

PERCOBAAN II PENGARUH SURFAKTAN TERHADAP KELARUTAN A. Tujuan 1. Mengetahui dan memahami pengaruh penambahan surfaktan terhadap kelarutan suatu zat 2. PERCOBAAN II PENGARUH SURFAKTAN TERHADAP KELARUTAN A. Tujuan 1. Mengetahui dan memahami pengaruh penambahan surfaktan terhadap kelarutan suatu zat 2. Mengetahui dan memahami cara menentukan konsentrasi

Lebih terperinci

Prarancangan Pabrik Sodium Dodekilbenzena Sulfonat dari Dodekilbenzena dan Oleum 20% Kapasitas Produksi ton/tahun BAB I PENDAHULUAN

Prarancangan Pabrik Sodium Dodekilbenzena Sulfonat dari Dodekilbenzena dan Oleum 20% Kapasitas Produksi ton/tahun BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pendirian Pabrik Dodekilbenzena sulfonat adalah salah satu produk intermediet untuk bahan baku pembuatan deterjen sintetik, shampo, pasta gigi, dan sabun cuci. Selain

Lebih terperinci

PEMANFAATAN ALKIL POLIGLIKOSIDA (APG) BERBASIS ALKOHOL LEMAK DARI MINYAK KELAPA (C 12 ) DAN PATI SAGU SEBAGAI SURFAKTAN DALAM FORMULASI HERBISIDA

PEMANFAATAN ALKIL POLIGLIKOSIDA (APG) BERBASIS ALKOHOL LEMAK DARI MINYAK KELAPA (C 12 ) DAN PATI SAGU SEBAGAI SURFAKTAN DALAM FORMULASI HERBISIDA PEMANFAATAN ALKIL POLIGLIKOSIDA (APG) BERBASIS ALKOHOL LEMAK DARI MINYAK KELAPA (C 12 ) DAN PATI SAGU SEBAGAI SURFAKTAN DALAM FORMULASI HERBISIDA Oleh: D A R T O F34104009 2008 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penelitian Pendahuluan (Pembuatan Biodiesel)

HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penelitian Pendahuluan (Pembuatan Biodiesel) HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penelitian Pendahuluan (Pembuatan Biodiesel) Minyak nabati (CPO) yang digunakan pada penelitian ini adalah minyak nabati dengan kandungan FFA rendah yaitu sekitar 1 %. Hal ini diketahui

Lebih terperinci

PROSES PEMBUATAN BIODIESEL MINYAK JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) DENGAN TRANSESTERIFIKASI SATU DAN DUA TAHAP. Oleh ARIZA BUDI TUNJUNG SARI F

PROSES PEMBUATAN BIODIESEL MINYAK JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) DENGAN TRANSESTERIFIKASI SATU DAN DUA TAHAP. Oleh ARIZA BUDI TUNJUNG SARI F PROSES PEMBUATAN BIODIESEL MINYAK JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) DENGAN TRANSESTERIFIKASI SATU DAN DUA TAHAP Oleh ARIZA BUDI TUNJUNG SARI F34103041 2007 DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PENGARUH WAKTU SULFONASI DALAM PEMBUATAN SURFAKTAN MES (METHYL ESTER SULFONATE) BERBASIS MINYAK KELAPA SAWIT KASAR (CPO)

LAPORAN AKHIR PENGARUH WAKTU SULFONASI DALAM PEMBUATAN SURFAKTAN MES (METHYL ESTER SULFONATE) BERBASIS MINYAK KELAPA SAWIT KASAR (CPO) LAPORAN AKHIR PENGARUH WAKTU SULFONASI DALAM PEMBUATAN SURFAKTAN MES (METHYL ESTER SULFONATE) BERBASIS MINYAK KELAPA SAWIT KASAR (CPO) Diajukan Sebagai Persyaratan untuk Menyelesaikan Pendidikan Diploma

Lebih terperinci

Bab IV Hasil dan Pembahasan

Bab IV Hasil dan Pembahasan Bab IV Hasil dan Pembahasan Secara garis besar, penelitian ini dibagi dalam dua tahap, yaitu penyiapan aditif dan analisa sifat-sifat fisik biodiesel tanpa dan dengan penambahan aditif. IV.1 Penyiapan

Lebih terperinci

TRANSESTERIFIKASI PARSIAL MINYAK KELAPA SAWIT DENGAN ETANOL PADA PEMBUATAN DIGLISERIDA SEBAGAI AGEN PENGEMULSI

TRANSESTERIFIKASI PARSIAL MINYAK KELAPA SAWIT DENGAN ETANOL PADA PEMBUATAN DIGLISERIDA SEBAGAI AGEN PENGEMULSI Jurnal Teknik Kimia Indonesia, Vol. 8 No. 1 April 2009, 33-37 TRANSESTERIFIKASI PARSIAL MINYAK KELAPA SAWIT DENGAN ETANOL PADA PEMBUATAN DIGLISERIDA SEBAGAI AGEN PENGEMULSI Rita Arbianti*, Tania Surya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Salah satu dari beberapa tanaman golongan Palm yang dapat menghasilkan minyak adalah kelapa sawit (Elaeis Guinensis JACQ). kelapa sawit (Elaeis Guinensis JACQ), merupakan komoditas

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Katalis Katalis merupakan suatu senyawa yang dapat meningkatkan laju reaksi tetapi tidak terkonsumsi oleh reaksi. Katalis meningkatkan laju reaksi dengan energi aktivasi Gibbs

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Surfaktan merupakan suatu molekul yang sekaligus memiliki gugus hidrofilik dan gugus lipofilik sehingga dapat mempersatukan campuran yang terdiri dari air dan minyak.

Lebih terperinci

SINTESIS SURFAKTAN METIL ESTER SULFONAT MINYAK JARAK DARI BIJI JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.)

SINTESIS SURFAKTAN METIL ESTER SULFONAT MINYAK JARAK DARI BIJI JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) SINTESIS SURFAKTAN METIL ESTER SULFONAT MINYAK JARAK DARI BIJI JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) SKRIPSI OLEH : HARRY GOTFRANS PURBA NIM 050804089 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2010

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Bab ini menjelaskan mengenai: (1) Latar Belakang Masalah, (2) Identifikasi

I PENDAHULUAN. Bab ini menjelaskan mengenai: (1) Latar Belakang Masalah, (2) Identifikasi I PENDAHULUAN Bab ini menjelaskan mengenai: (1) Latar Belakang Masalah, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dantujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis dan (7)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Permasalahan Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Permasalahan Penelitian 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Permasalahan Penelitian Kualitas minyak mentah dunia semakin mengalami penurunan. Penurunan kualitas minyak mentah ditandai dengan peningkatan densitas, kadar

Lebih terperinci

B. Struktur Umum dan Tatanama Lemak

B. Struktur Umum dan Tatanama Lemak A. Pengertian Lemak Lemak adalah ester dari gliserol dengan asam-asam lemak (asam karboksilat pada suku tinggi) dan dapat larut dalam pelarut organik non-polar, misalnya dietil eter (C2H5OC2H5), Kloroform

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pasta merupakan produk emulsi minyak dalam air yang tergolong kedalam low fat

I. PENDAHULUAN. Pasta merupakan produk emulsi minyak dalam air yang tergolong kedalam low fat 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pasta merupakan produk emulsi minyak dalam air yang tergolong kedalam low fat spreads, yang kandungan airnya lebih besar dibandingkan minyaknya. Kandungan minyak dalam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Potensi PKO di Indonesia sangat menunjang bagi perkembangan industri kelapa

I. PENDAHULUAN. Potensi PKO di Indonesia sangat menunjang bagi perkembangan industri kelapa 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Potensi PKO di Indonesia sangat menunjang bagi perkembangan industri kelapa sawit yang ada. Tahun 2012 luas areal kelapa sawit Indonesia mencapai 9.074.621 hektar (Direktorat

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. nabati lebih dari 5 %. Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM)

I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. nabati lebih dari 5 %. Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peraturan Presiden No 5 tahun 2006 menyatakan bahwa pada tahun 2025 ditargetkan tercapai komposisi sumber energi yang optimal dengan bahan bakar nabati lebih dari 5 %.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Indonesia memiliki hasil perkebunan yang cukup banyak, salah satunya hasil perkebunan ubi kayu yang mencapai 26.421.770 ton/tahun (BPS, 2014). Pemanfaatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Perumusan Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Perumusan Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lemak dan minyak adalah trigliserida yang berarti triester (dari) gliserol. Perbedaan antara suatu lemak adalah pada temperatur kamar, lemak akan berbentuk padat dan

Lebih terperinci

Jurnal Flywheel, Volume 3, Nomor 1, Juni 2010 ISSN :

Jurnal Flywheel, Volume 3, Nomor 1, Juni 2010 ISSN : PENGARUH PENAMBAHAN KATALIS KALIUM HIDROKSIDA DAN WAKTU PADA PROSES TRANSESTERIFIKASI BIODIESEL MINYAK BIJI KAPUK Harimbi Setyawati, Sanny Andjar Sari, Hetty Nur Handayani Jurusan Teknik Kimia, Institut

Lebih terperinci