MODIFIKASI PATI SAGU DENGAN TEKNIK HEAT MOISTURE-TREATMENT (HMT) DAN APLIKASINYA DALAM MEMPERBAIKI KUALITAS BIHUN DIAN HERAWATI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "MODIFIKASI PATI SAGU DENGAN TEKNIK HEAT MOISTURE-TREATMENT (HMT) DAN APLIKASINYA DALAM MEMPERBAIKI KUALITAS BIHUN DIAN HERAWATI"

Transkripsi

1 MODIFIKASI PATI SAGU DENGAN TEKNIK HEAT MOISTURE-TREATMENT (HMT) DAN APLIKASINYA DALAM MEMPERBAIKI KUALITAS BIHUN DIAN HERAWATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Modifikasi Pati Sagu dengan Teknik Heat Moisture-Treatment (HMT) dan Aplikasinya dalam Memperbaiki Kualitas Bihun adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Agustus 2009 Dian Herawati NIM F

3 ABSTRACT DIAN HERAWATI. Sago Starch Modification by Heat Moisture-Treatment (HMT) and Its Application on Sago Bihon-Type Noodle Improvement. Supervised by FERI KUSNANDAR and SUGIYONO. The objectives of this research were: (1) to develop optimum conditions in HMT (heat-moisture treatment) for sago starch in order to reach C type pasting profile which was suitable for sago bihon-type noodle and (2) to study the effect of HMT modified sago starch substitution on sago bihon-type noodle quality. Sago starch was adjusted at 26-27% moisture content and exposed to heatmoisture treatment at 110 o C for various times with washing and without washing. HMT modified sago starch was analyzed in term of pasting profile. The modified starch with C type pasting profile was characterized and formulated into bihon-type noodle production. HMT substituted bihon-type noodle was analyzed in term of cooking loss, cooking time, texture by objective measurement and sensory quality. Sago starch that HMT modified for 4 hours at washing condition showed C type pasting profile. HMT modified starch with C type pasting profile showed no viscosity breakdown indicating in heat stability during cooking. Furthermore, HMT sago starch has larger granule size, higher gel strength, lower degree of whiteness, lower syneresis and lower starch content than those of native sago starch. The substitution of native sago starch with 50% HMT sago starch improved the characteristics of sago bihon-type noodle quality, i.e. lower cooking time, higher hardness and better sensory quality in term of hardness, chewiness, stickiness and overall acceptability. Keyword: heat-moisture treatment, sago starch, bihon-type noodle RINGKASAN

4 DIAN HERAWATI. Modifikasi Pati Sagu dengan Teknik Heat Moisture- Treatment (HMT) dan Aplikasinya dalam Memperbaiki Kualitas Bihun. Dibimbing oleh FERI KUSNANDAR and SUGIYONO. Pati sagu yang memiliki potensi sangat besar dapat digunakan sebagai bahan baku pangan pokok alternatif seperti bihun sagu. Pati sagu alami yang mempunyai profil gelatinisasi tipe A (puncak viskositas tinggi yang diikuti oleh pengenceran yang cepat selama pemanasan) kurang sesuai sebagai bahan baku bihun karena adonan yang dihasilkan sangat lengket sehingga antar untaiannya sulit dipisahkan dan cenderung rapuh. Sagu alami yang akan digunakan sebagai bahan baku bihun dapat ditingkatkan sifat fungsionalnya melalui modifikasi dengan metode HMT (heat-moisture treatment). Penelitian ini bertujuan untuk : (1) menentukan kombinasi waktu dan perlakuan pencucian pada modifikasi HMT yang dapat menghasilkan pati sagu termodifikasi HMT yang mempunyai profil gelatinisasi type C (profil gelatinisasi dengan viskositas puncak terbatas dan viskositas yang stabil selama pemanasan) dan perbandingan karakteristik lain dari pati termodifikasi tipe C tersebut dengan pati alaminya serta (2) menentukan tingkat substitusi pati sagu termodifikasi HMT yang dapat memperbaiki kualitas fisik dan sensori bihun sagu Penelitian ini dilakukan dengan dua tahap yaitu: (1) penentuan kombinasi waktu (4 jam, 8 jam dan 16 jam) dan perlakuan pencucian (dicuci dan tidak dicuci) dalam modifikasi pati sagu dengan metode HMT dan (2) substitusi pati sagu termodifikasi HMT terpilih pada formulasi bihun sagu. Penentuan kombinasi waktu dan perlakukan pencucian terpilih dilakukan berdasarkan profil gelatinisasi pati sagu termodifikasi HMT yang dianalisis dengan menggunakan instrumen brabender amylograph. Pati termodifikasi terpilih yaitu yang mempunyai profil gelatinisasi tipe C dikarakterisasi (bentuk dan ukuran granula dengan alat mikroskop polarisasi, gel strength (dengan texture analyzer), sineresis, derajat putih, swelling volume dan fraksi pati yang tidak membentuk gel) kemudian dibandingkan dengan pati alaminya. Pati sagu termodifikasi HMT terpilih digunakan untuk mensubstitusi pati sagu alami untuk formulasi bihun masingmasing dengan perbandingan 0:100%, 25%:75% dan 50%:50% untuk pati sagu termodifikasi HMT: pati sagu alami. Tingkat substitusi pati sagu termodifikasi HMT terbaik ditentukan berdasarkan hasil analisis kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP), texture profile analysis (TPA), dan uji organoleptik dengan metode ranking hedonik (1= ranking terbaik sampai 3 = ranking terjelek) berdasarkan parameter kekerasan, elastisitas, kelengketan dan kesukaan secara keseluruhan dari 30 orang panelis. Modifikasi pati sagu yang dilakukan dengan kombinasi perlakukan pencucian (dicuci dan tidak dicuci) dan waktu yang berbeda menghasilkan pati sagu dengan profil gelatinisasi yang berbeda dengan pati sagu alaminya. Modifikasi HMT yang dilakukan selama 4 jam pada pati sagu yang dicuci terlebih dahulu menghasilkan pati termodifikasi dengan viskositas pasta panas, suhu awal gelatinisasi, viskositas pasta dingin dan viskositas setback tertinggi bila dibandingkan perlakuan HMT lainnya. Sebaliknya, pati yang dimodifikasi pada

5 kondisi tersebut mempunyai nilai breakdown yang paling rendah yaitu mencapai 33 BU. Berdasarkan karakteristik gelatinisasi yang diperoleh dapat dikatakan bahwa pati sagu termodifikasi HMT dengan perlakuan pencucian dan waktu 4 jam memiliki karakteristik yang lebih mirip dengan karakteristik gelatinisasi tipe C. Perubahan profil gelatinisasi pati sagu alami dari tipe A menjadi tipe C karena proses modifikasi HMT menunjukkan bahwa modifikasi HMT mampu meningkatkan resistensi pati sagu terhadap pemanasan dan pengadukan. Selain mempunyai karakteristik gelatinisasi tipe C, pati termodifikasi terpilih mempunyai kekuatan gel lebih tinggi, % sineresis yang lebih rendah, derajat putih yang lebih rendah, swelling volume dan fraksi pati tidak membentuk gel yang tidak berbeda serta kandungan pati, amilosa dan amilopektin yang lebih rendah bila dibandingkan pati alaminya. Substitusi pati sagu termodifikasi HMT dalam produksi bihun sagu dapat meningkatkan kualitas bihun sagu. Berdasarkan pengujian secara fisik (waktu pemasakan dan kekerasan) dan organoleptik, bihun sagu yang disubtitusi dengan pati sagu termodifikasi HMT sebanyak 50% mempunyai kualitas yang lebih baik bila dibandingkan dengan bihun yang disubstitusi pati termodifikasi HMT sebanyak 25% maupun bihun sagu yang tidak disubstitusi pati sagu termodifikasi HMT. Bihun sagu yang disubstitusi pati sagu termodifikasi HMT sebanyak 50% mempunyai waktu pemasakan paling singkat (4.5 menit), kekerasan tertinggi ( gf) dan paling disukai bila dibandingkan dengan dengan bihun yang disubstitusi pati termodifikasi HMT sebanyak 25% maupun bihun sagu yang tidak disubstitusi pati sagu termodifikasi HMT. Kata kunci: heat-moisture treatment, pati sagu, bihun sagu

6 @Hak Cipta Milik IPB, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

7 MODIFIKASI PATI SAGU DENGAN TEKNIK HEAT MOISTURE-TREATMENT (HMT) DAN APLIKASINYA DALAM MEMPERBAIKI KUALITAS BIHUN DIAN HERAWATI Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pangan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

8 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ridwan Thahir

9 Judul Tesis : Modifikasi Pati Sagu dengan Teknik Heat Moisture- Treatment (HMT) dan Aplikasinya dalam Memperbaiki Kualitas Bihun Nama : Dian Herawati NIM : F Disetujui Komisi Pembimbing Dr. Ir. Feri Kusnandar, MSc. Ketua Dr. Ir. Sugiyono, M.AppSc. Anggota Diketahui Ketua Program Studi Ilmu Pangan Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, MSc. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS. Tanggal Ujian : 22 Juni 2009 Tanggal Lulus :

10 PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan karunia-nya penulis dapat menyelesaikan penyususunan karya ilmiah ini. Judul yang dipilih dalam penelitian ini adalah Modifikasi Pati Sagu dengan Teknik Heat Moisture-Treatment (HMT) dan Aplikasinya dalam Memperbaiki Kualitas Bihun. Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Dr. Ir. Feri Kusnandar MSc. dan Dr. Ir. Sugiyono M.AppSc atas bimbingan, arahan dan dorongan sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Semoga Allah SWT memberikan balasan yang terbaik atas segala pengorbanan curahan waktu dan tenaga, serta ilmu yang diberikan kepada penulis. Kepada Dr. Ridwan Thahir, penulis mengucapkan terima kasih atas kesediaannya untuk menjadi dosen penguji. Masukan yang Bapak berikan akan sangat berarti untuk perbaikan karya ilmiah ini. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada tim BPPS IPB 2006 yang telah memberikan beasiswa selama studi dan penelitian di Pascasarjana IPB. Terimakasih juga penulis sampaikan kepada Tim KKP3T Departemen Pertanian yang telah memberikan dana penelitian sehingga dapat memperlancar kegiatan penelitian yang penulis lakukan. Ucapan terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada Rektor IPB, Dekan Fakultas Teknologi Pertanian, Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan (ITP) dan Kepala Bagian Kimia Pangan atas izin dan kesempatan untuk menempuh pendidikan program Magister di Sekolah Pascasarjana IPB. Kepada Ketua Program Studi serta semua staf pengajar program studi Ilmu Pangan IPB penulis ucapkan banyak terima kasih atas ilmu yang diberikan. Kepada rekanrekan sejawat di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan terima kasih banyak atas bantuan, dorongan dan pengertiannya selama penulis mengikuti pendidikan program Magister. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada kedua orang tua Ayahanda Dudung Supyadi dan Ibunda Kusminingsih serta ibu mertua Ibunda Juhriah yang selalu memberikan dorongan, semangat dan do a restu yang tidak

11 ada hentinya. Kepada suami tercinta Dr. Jakaria dan anak-anak tersayang Hafidz Azhar Jakaria dan Galuh Samia Zahra, penulis mengucapkan terima kasih banyak atas kasih sayang, pengertian dan pengorbanan yang diberikan selama penulis menjalani studi. Kepada rekan-rekan mahasiswa Program Studi Ilmu Pangan Angkatan 2006 dan rekan-rekan seperjuangan di Laboratorium Pilot Plant Seafast Center, penulis mengucapkan terima kasih banyak atas kerjasama dan kebersamaan yang terjalin selama ini. Kepada rekan-rekan teknisi di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan dan Seafast Center, penulis mengucapkan terima kasih banyak atas bantuan dan kerjasamanya yang tidak ternilai harganya. Akhirnya penulis berharap semoga karya kecil ini bermanfaat bagi penulis juga para pembaca umumnya. Bogor, Agustus 2009 Dian Herawati

12 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 11 Januari Penulis merupakan putri pertama dari tiga bersaudara dari pasangan ayah Dudung Supyadi dan Ibu Kusminingsih. Pada tahun 1993 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui program USMI dan pada tahun 1994 penulis diterima di program studi Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian dan selesai pada tahun Pada tahun 2006 penulis mendapatkan kesempatan melanjutkan studi S2 dengan bantuan beasiswa BPPS Dirjen Dikti, Depdiknas. Saat ini penulis bekerja sebagai staf pengajar di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB dari tahun Sebelumnya penulis bekerja sebagai asisten dosen pada institusi yang sama dari tahun

13 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... xi DAFTAR TABEL... xii DAFTAR GAMBAR... xiii DAFTAR LAMPIRAN... xiv PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Tujuan... 4 Manfaat... 5 Hipotesis... 5 TINJAUAN PUSTAKA... 6 Potensi dan Pemanfaatan Tanaman Sagu... 6 Ekstraksi Pati Sagu... 9 Karakteristik Pati Sagu Alami Evaluasi Pati Sebagai Bahan Baku Bihun Modifikasi Pati dengan Metode HMT Aplikasi pati termodifikasi HMT BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat Penelitian Waktu dan Tempat Penelitian Metode Penelitian Rancangan Percobaan dan Analisis Data Prosedur Penelitian HASIL DAN PEMBAHASAN Modifikasi Pati Sagu dengan Metode HMT Aplikasi Pati Termodifikasi HMT pada Bihun Sagu SIMPULAN DAN SARAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN xi

14 DAFTAR TABEL Halaman 1 Estimasi lahan sagu dunia Luas areal tanaman sagu dan produksi sagu di Indonesia Persyaratan kandungan air, abu, serat kasar dan protein pati 15 sagu... 4 Komposisi kimia sagu asal Indonesia Profil gelatinisasi pati sagu Persentase penggunaan pati sagu termodifikasi dalam 38 formulasi bihun sagu... 7 Penetapan gula menurut Luff Schoorl Kadar amilosa standar Profil gelatinisasi pati sagu alami dan termodifikasi HMT Ukuran granula pati alami dan termodifikasi HMT Kekuatan gel dan sineresis pati sagu alami dan termodifikasi 70 HMT Derajat putih pati sagu alami dan termodifikasi HMT Swelling volume dan fraksi pati yang tidak membentuk gel Kandungan pati, amilosa, amilopektin dan proporsi 74 amilosa:amilopektin Intensitas warna bihun sagu Waktu rehidrasi, berat rehidrasi dan KPAP bihun sagu Tekstur bihun sagu Penilaian organoleptik bihun sagu xii

15 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Tanaman M. sagu dan M. sagu pada fase influorescence yang 9 siap dipanen... 2 Empulur sagu Pemarutan empulur sagu Pemerasan parutan sagu (a) dan penampungan ekstrak pati 12 sagu (b)... 5 Pengemasan sagu basah Perendaman pati sagu (a) dan pencucian pati sagu (b) Pengeringan (a) dan pemasaran (b) pati sagu Diagram alir tahapan penelitian Modifikasi pati sagu dengan metode HMT (Collado et al 2001; Purwani et al 2006) Proses produksi bihun sagu yang disubstitusi pati sagu 38 termodifikasi Kurva Profil gelatinisasi pati: SAG (suhu awal gelatinisasi), 43 SPG (suhu puncak gelatinisasi), VP (viskositas puncak), VPP (viskositas pasta panas), VB (viskositas breakdown), VPD (viskositas pasta dingin) dan VB (viskositas set back) Kurva texture profile analysis (TPA) Profil gelatinisasi pati sagu alami dan termodifikasi HMT Grafik pola respon SAG pada kombinasi perlakuan pencucian 59 dan waktu yang berbeda Grafik pola respon VP pada kombinasi perlakuan pencucian 61 dan waktu yang berbeda Grafik pola respon VPP (a) dan VB (b) pada kombinasi 64 perlakuan pencucian dan waktu yang berbeda Grafik pola respon VPD (a) dan SB (b) pada kombinasi 66 perlakuan pencucian dan waktu yang berbeda Granula pati sagu yepha hungleu alami dan termodifikasi 69 HMT Ekstrusi adonan bihun (a) 0 pati HMT dan (b) 50% pati HMT Penyusunan untaian bihun (a) 0 pati HMT dan (b) 50% pati 76 HMT Bihun sagu (a) 0% HMT, (b) 25% HMT dan (c) 50% HMT Hasil pemasakan bihun sagu (a) 0% HMT, (b) 25% HMT dan 79 (c) 50% HMT... xiii

16 DAFTAR LAMPIRAN 1 Hasil analisis data pengaruh pencucian dan waktu modifikasi HMT terhadap profil gelatinisasi pati sagu dengan metode GLM dan uji lanjut Duncan pada program SAS... 2 Hasil analisis data uji beda pati alami dengan termodifikasi HMT dengan uji t pada program excel... 3 Hasil analisis data pengaruh substitusi pati termodifikasi HMT terhadap warna bihun sagu dengan menggunakan oneway anova dan uji lanjut Duncan pada program SPSS... 4 Hasil analisis data pengaruh substitusi pati termodifikasi HMT terhadap waktu rehidrasi, berat rehidrasi dan KPAP bihun sagu dengan menggunakan oneway anova dan uji lanjut Duncan pada program SPSS... 5 Hasil analisis data pengaruh penambahan pati termodifikasi HMT terhadap tekstur bihun sagu dengan menggunakan oneway anova dan uji lanjut Duncan pada program SPSS... 6 Data pengaruh penambahan pati sagu termodifikasi HMT terhadap ranking hedonik bihun sagu... Halaman xiv

17 PENDAHULUAN Latar Belakang Pati sagu yang diperoleh dari tanaman sagu (Metroxylon sp.) merupakan salah satu bahan pangan pokok lokal yang banyak terdapat di Indonesia terutama di wilayah Timur. Menurut Flach (1997), lahan sagu dari berbagai spesies yang terdapat di Indonesia mencapai 1.4 juta hektar dari 2.5 juta hektar lahan sagu dunia dan sekitar 1.2 juta hektar berada di Papua. Menurut Ditjen Bina Produksi Pertanian (2003), produksi sagu di Papua mencapai ton. Potensi sagu Indonesia (terutama Papua) yang sangat besar tersebut dapat digunakan sarana diversifikasi pangan pokok sumber karbohidrat berbahan baku lokal. Sebagian masyarakat Papua masih menggunakan sagu sebagai bahan pangan pokok dan mengolahnya menjadi berbagai pangan tradisional seperti sagu lempeng, bagea, sinoli, kue kering dan sebagainya. Namun demikian, konsumsi sagu sebagai makanan pokok terus mengalami penurunan kerena keberadaanya mulai tergeser oleh beras. Peningkatan konsumsi sagu dapat dilakukan melalui pengembangan produk berbasis sagu yang dapat diterima dengan baik oleh masyarakat seperti bihun. Untuk menghasilkan bihun sagu dengan kualitas yang baik diperlukan bahan baku sagu dengan karakteristik yang sesuai untuk produksi bihun. Pati yang ideal untuk bahan baku bihun adalah pati yang mempunyai ukuran granula kecil (Singh et al. 2002), kandungan amilosa tinggi, derajat pembengkakan dan kelarutan terbatas serta kurva brabender tipe C (tidak memiliki puncak viskositas namun viskositas cenderung tinggi dan tidak mengalami penurunan selama pemanasan dan pengadukan) (Lii and Chang 1981). Pati dengan ukuran granula kecil dan kandungan amilosa tinggi umumnya mempunyai profil gelatinisasi tipe C dan mempunyai pembengkakan yang terbatas. Pati tersebut lebih tahan terhadap pemanasan maupun pengadukan sehingga pada saat tergelatinisasi hanya mengalami peningkatan viskositas yang terbatas sebagai konsekuensi dari pembengkakan granula yang terbatas. Terbatasnya pembengkakan granula mengakibatkan granula tidak mudah pecah dan amilosa tidak mudah keluar dari

18 granula. Apabila pati tersebut digunakan sebagai bahan baku bihun maka untaian bihun yang dihasilkan tidak lengket dan pada saat dimasak mempunyai berat rehidrasi terbatas serta hanya mengalami sedikit kehilangan padatan. Pati sagu alami (termasuk pati sagu asal Papua) mempunyai beberapa keterbatasan yang dapat mempengaruhi sifat fungsionalnya pada pembentukan adonan serta teksur dan kualitas masak bihun yang dihasilkannya. Pati sagu mempunyai karakteristik gelatinisasi tipe A yaitu mempunyai viskositas puncak yang tinggi namun akan menurun dengan cepat selama pemanasan dan pengadukan (Purwani et al. 2006; Wattanachant et al. 2003; Muhammad et al. 2000). Selain itu, pati sagu mempunyai ukuran granula yang besar (Yiu et al. 2008) serta indeks pembengkakan (swelling power) dan kelarutan (solubility) yang tinggi (Wattanachant et al. 2003). Menurut Purwani et al. (2006), bihun yang dihasilkan dari pati sagu alami cenderung mempunyai kekompakan dan elastisitas yang rendah sehingga mudah patah selama penanganan maupun rehidrasi (pemasakan kembali). Pada saat dimasak, bihun mudah mengembang dan menyerap air dalam jumlah besar sehingga berat rehidrasinya menjadi tinggi. Pengembangan yang terjadi pada bihun yang direhidrasi disertai dengan pelepasan padatan terlarut sehingga susut masak pada bihun dari pati alami menjadi besar. Selain itu, bihun dari pati sagu alami cenderung lengket karena molekul amilosa sangat mudah keluar dari granula selama proses gelatinisasi berlangsung. Peningkatan sifat fungsional pati alami sebagai bahan baku bihun dapat dilakukan melalui modifikasi fisik dengan metode heat-moisture treatment (HMT). Metode HMT dilakukan dengan cara memanaskan pati diatas suhu gelatinisasi namun dengan kadar air terbatas sehingga pati tidak tergelatinisasi tetapi hanya mengalami perubahan konformasi molekul yang disertai dengan perubahan karakteristiknya (Collado and Corke 1999; Singh et al. 2005; Vermeylen et al. 2006; Pukkahuta and Varavinit 2007). Metode HMT telah digunakan untuk meningkatkan kualitas bihun yang dibuat dari pati ubi jalar (Collado et al. 2001) dan pati sagu (Purwani et al. 2006). Purwani et al. (2006), melaporkan bahwa modifikasi HMT dapat menggeser karakteristik pasta pati sagu dari tipe A menjadi tipe B. Pati dengan tipe B 2

19 mempunyai puncak viskositas yang tidak terlalu tinggi dan mengalami penurunan yang tidak terlalu tajam selama pemanasan. Pergeseran ini berpengaruh pada karakteristik bihun yang dihasilkan dari pati termodifikasi HMT yaitu adanya peningkatan kualitas masak yang meliputi peningkatan kekompakan, peningkatan elastisitas, penurunan susut masak dan penurunan berat rehidrasi. Namun demikian, untaian bihun yang keluar dari ekstruder sulit diatur dan dibentuk sehingga untaian harus diatur satu per satu di atas rak-rak pengukusan untuk memperoleh bentuk untaian yang baik. Kondisi proses tersebut sangat sulit diaplikasikan pada skala yang lebih besar karena sangat tidak efisien dari segi waktu dan biaya produksi. Selain itu, waktu pemasakan bihun mencapai 7 sampai 9 menit, jauh lebih lama jika dibandingkan dengan bihun komersial yang pada umumnya hanya berkisar antara 3 4 menit (Purwani et al. 2006; Kruger et al. 1996). Kajian pengaruh berbagai faktor kondisi modifikasi HMT terhadap karakteristik pati sagu perlu dilakukan untuk memperoleh pati sagu termodifikasi yang lebih sesuai untuk produk bihun yaitu pati dengan tipe C. Perubahan yang terjadi pada pati termodifikasi HMT dipengaruhi oleh kondisi modifikasi seperti suhu (Vermeylen et al. 2006; Pukkahuta and Varavinit 2007), kadar air (Vermeylen et al. 2006; Adebowale et al. 2005; Lawal and Adebowale 2005), ph (Collado and Corke 1999), waktu (Collado and Corke 1999), serta karakteristik awal pati seperti proporsi amilosa(collado and Corke 1999) dan tipe kristalisasi pati (Gunaratne and Hoover 2002). Menurut Collado et al. (2001); Pukkahuta and Varavinit (2007), suhu modifikasi yang dapat menghasilkan pati dengan karakteristik gelatinisasi yang paling mendekati tipe C adalah 110 o C. Sementara itu, kondisi lain seperti waktu masih perlu dikaji mengingat pengaruhnya yang berbeda tergantung kepada karakteristik pati yang dimodifikasi. Selain waktu, modifikasi yang dilakukan terhadap pati sagu Papua perlu mempertimbangkan ph sagu karena sagu Papua mempunyai ph rendah (berasam tinggi) yang kemungkinan akan mempengaruhi proses modifikasi yang dilakukan. Oleh karena itu, modifikasi pati sagu Papua dilakukan dengan kombinasi perlakukan waktu dan pencucian. Pencucian yang dilakukan terhadap pati sagu Papua akan melarutkan asam-asam organik yang terkandung didalamnya sehingga ph sagu 3

20 akan meningkat. Kombinasi perlakuan dipilih berdasarkan kombinasi yang dapat menghasilkan pati sagu termodifikasi dengan profil gelatinisasi tipe C. Pati sagu dengan karakteristik gelatinisasi tipe C yang dihasilkan dari kondisi waktu dan perlakuan pencucian terpilih akan diaplikasikan untuk produk bihun. Aplikasi pati sagu termodifikasi HMT pada formula bihun perlu dioptimalkan mengingat adanya perubahan sifat fungsional pati yang telah mengalami modifikasi HMT. Pati yang telah mengalami modifikasi HMT mempunyai sifat yang cenderung short yaitu pati dengan kemampuan daya rekat yang rendah (Collado et al. 2001). Pada tingkat tertentu, sifat kelengketan pati diperlukan sebagai pengikat dan pembentuk adonan maupun untaian bihun. Pada kondisi tersebut diperlukan proporsi yang tepat antara pati termodifikasi HMT dan pati alami untuk menghasilkan produk bihun sagu dengan karakteristik yang baik yaitu bersifat elastis tetapi tidak lengket. Selain itu, optimalisasi proporsi antara pati sagu termodifikasi dan pati sagu alami diharapkan dapat menghasilkan formula bihun dengan jumlah pati sagu termodifikasi yang sekecil mungkin sehingga dapat meminimumkan penggunaan pati sagu termodifikasi. Kenyataan tersebut menunjukkan perlunya dilakukan penelitian untuk memperoleh pati sagu termodifikasi HMT yang sesuai untuk bihun dan pengaruh aplikasinya terhadap kualitas bihun sagu. Informasi yang diperoleh diharapkan dapat dijadikan dasar untuk melakukan pengembangan produksi pati sagu termodifikasi HMT dan bihun yang dihasilkannya pada skala yang lebih besar. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Menentukan waktu dan perlakuan pencucian dalam modifikasi HMT yang dapat menghasilkan pati sagu termodifikasi dengan karakteristik gelatinisasi tipe C serta perbandingan karakteristik lain dari pati termodifikasi tipe C tersebut dengan pati alaminya 2. Menentukan tingkat substitusi pati sagu termodifikasi yang dapat menghasilkan bihun sagu dengan kualitas yang baik 4

21 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Informasi kondisi (waktu dan pengaruh pencucian) modifikasi HMT yang dapat menghasilkan pati sagu termodifikasi dengan karakteristik gelatinisasi yang sesuai untuk produk bihun dapat digunakan sebagai dasar untuk melakukan modifikasi pati sagu pada skala yang lebih besar dan perubahan yang terjadi pada pati sagu termodifikasi HMT dapat digunakan untuk memperkirakan potensi penggunaannya pada berbagai produk pangan selain bihun sagu. 2. Informasi mengenai proporsi pati sagu termodifikasi HMT dan pati alami yang dapat menghasilkan bihun dengan kualitas yang lebih baik dapat digunakan sebagai dasar untuk produksi bihun sagu pada skala yang lebih besar. Hipotesis Penelitian ini dilakukan berdasarkan hipotesis sebagai berikut: 1. Kombinasi waktu dan pengaruh pencucian menghasilkan pati sagu termodifikasi HMT dengan karakteristik gelatinisasi yang berbeda dan mempunyai ketahanan pemanasan dan pengadukan yang lebih tinggi bila dibanding pati alaminya. 2. Perbedaan proporsi antara pati termodifikasi HMT dan pati alami memberikan peningkatan terhadap karakteristik fisik maupun sensori bihun sagu. 5

22 TINJAUAN PUSTAKA Potensi dan Pemanfaatan Tanaman Sagu Tanaman sagu (Metroxylon) merupakan tanaman tahunan yang tumbuh dengan baik pada daerah hutan hujan tropis, dataran rendah dengan kelembaban yang tinggi dan di rawa-rawa. Habitat utama tanaman sagu berada pada 17 o lintang selatan dan o lintang utara yaitu dari Thailand, semenanjung Malaysia dan Indonesia sampai Micronesia, Fiji serta Samoa (McClatchey et al. 2006). Di Indonesia, tanaman sagu hampir menyebar di seluruh wilayah, namun potensi terbesarnya berada di wilayah Timur seperti seperti Maluku, Sulawesi dan Papua (Falch 1997; McClatchey et al. 2006) dan beberapa wilayah di bagian barat seperti Riau. Menurut Flach (1997), estimasi lahan sagu di Indonesia mencapai 1.4 juta hektar dari 2.5 juta hektar lahan sagu dunia dan 1.2 juta hektar berada di Papua. Estimasi tanaman sagu dunia disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Estimasi lahan sagu dunia Negara Penghasil Sagu Hutan Sagu Liar (ha) Kebun Sagu (ha) Papua Nugini Indonesia Papua Maluku Sulawesi Kalimantan Sumatera Riau Mentawai Malaysia Thailand Philipina Lain-lain Dunia Sumber: Flach (1997) Menurut Ditjen Bina Produksi Pertanian (2003), luas areal tanaman sagu di Papua mencapai hektar. Area tersebut lebih luas bila dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia. Selanjutnya menurut Ditjen Bina Produksi

23 Pertanian (2003), Papua merupakan penghasil sagu yang paling tinggi di Indonesia dimana produksinya mencapai ton. Luas areal tanaman sagu dan produksinya disajikan pada Tabel 2. Selain mampu menghasilkan sagu dengan jumlah produksi yang paling banyak, sagu asal Papua memiliki produktivitas yang relatif tinggi bila dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia. Apabila dibuat rasio, produksi sagu Papua mencapai 9.0 ton/ha. Sementara itu, produksi sagu dari daerah lain hanya mencapai kurang dari 5 ton/ha kecuali Kalimantan Selatan yang produksinya mencapai 9.2 ton/ha. Namun demikian, luas area sagu di Kalimantan Selatan yang hanya mencapai 564 ha hanya mampu memberikan kontribusi sebesar 0.09% pada produksi sagu Indonesia. Tabel 2 Luas areal tanaman sagu dan produksi sagu di Indonesia Provinsi Area (Ha) Produksi (ton) Riau Jambi Jawa Barat Kalimantan Barat Kalimantan Selatan Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Tenggara Sulawesi Selatan Maluku Papua Sumber: Ditjen Bina Produksi Pertanian (2003) Selain mempunyai areal paling luas, beberapa studi menunjukkan bahwa sagu Papua memiliki keragaman genetik yang paling tinggi. Menurut Widjono et al. (2000), terdapat 60 jenis sagu yang tumbuh di daerah Jayapura, Manokwari, Merauke, dan Sorong. Miyazaki (2004) mengelompokkan 21 jenis sagu asal Papua menjadi dua tipe yaitu sagu berduri (Metroxylon rumphii Mart) dan sagu tidak berduri (Metroxylon sagu Rottb). Berbagai jenis sagu tersebut mempunyai morfologi, produktivitas dan karakteristik tepung berbeda yang dapat digunakan sebagai seleksi dan identifikasi sagu yang potensial untuk bahan baku produk pangan. 7

24 Menurut Tenda et al. (2005), terdapat lima jenis sagu Papua yang mempunyai produktivitas tepung paling tinggi yaitu empat jenis sagu dari spesies Metroxylon sagu Rottb (Osokule Hongleu (9.8 ton/ha/thn), hapholo hongsai (8.4 ton/ha/thn), hapholo hongleu (8 ton/ha/thn) dan yepha hongleu (7.90 ton/ha/thn)) serta sagu para dari spesies Metroxylon rumphii Mart dengan produktivitas tepung mencapai 8.3 ton/ha/thn. Limbongan (2007) mengungkapkan bahwa sagu yepha merupakan sagu yang umum dimanfaatkan oleh masyarakat lokal. Sagu jenis ini mampu tumbuh hingga 25 meter sehingga masyarakat menyebutnya dengan yepha (yang berarti tumbuh ke langit). Sagu yepha mempunyai morfologi tertentu untuk membedakannya dengan spesies Metroxylon sagu Rottb lainnnya. Sagu yepha mempunyai ciri kanopi berbentuk V dan berbatang lurus serta berdaun lurus dengan ukuran medium. Sagu yepha yang ditemukan di Papua terdiri atas dua jenis yaitu yepha hongsay yang mempunyai tepung berwana pink dan yepha hongleu yang mempunyai tepung berwarna putih (Limbongan 2007). Selain tergantung pada spesies, produktivitas M. sagu juga tergantung pada tempat tumbuh, kondisi lingkungan dan waktu pemanenen. Setiap pohon sagu yang tumbuh di beberapa daerah di Papua dapat menghasilkan pati basah berkisar antara kg pati basah per batang (Kertopermono et al. 1983; Maturbongs 1984; PPUS UNIPA 2004; Maturbongs dan Rumbino 1996; Maturbongs et al. 2001). Untuk memperoleh produktivitas (per unit waktu dan unit area) pati yang optimum, sebaiknya pemanenan sagu yang ditanam secara semi kultivasi dilakukan pada saat inisiasi pembentukan bunga. Masyarakat tradisional biasanya menandai waktu pemanenan pada saat batang sagu sudah tidak mengkilap (influorescence) (Flach, 1997). Selain itu, daun tanaman sagu yang siap dipanen biasanya terlihat mengering dan berwarna coklat. Tanaman sagu disajikan pada Gambar 1. Masyarakat Papua menggunakan pati sagu sebagai bahan baku pangan pokok dan kudapan. Untuk tujuan pangan pokok, masyarakat Papua mengolah pati sagu menjadi bubur dan papeda basah atau mengolahnya menjadi produk berbentuk kering seperti papeda kering dan sagu lempeng (Flach, 1997; 8

25 Limbongan, 2007). Sebagian masyarakat pendatang di Papua telah mengembangkan berbagai kue kering dari pati sagu yang dapat dijadikan pangan kudapan (Limbongan, 2007). Pengolahan pati sagu menjadi berbagai produk pangan tersebut dimungkinkan oleh karakteristik tertentu yang dimiliki pati sagu. Gambar 1 Tanaman M. sagu dan M. sagu pada fase influorescence yang siap dipanen Ekstraksi Pati Sagu Pati pada tanaman sagu terdapat di bagian empulur sagu yang dilindungi oleh kulit kayu yang cukup keras. Untuk mengeluarkan pati dari batang dibutuhkan proses ekstraksi yang dapat dilakukan secara tadisional maupun modern. Ekstraksi secara tradisional dilakukan melalui tahapan penebangan batang sagu, pemotongan batang secara melintang dengan ukuran tertentu, pemisahan empulur sagu dari bagian batang sagu yang keras dengan penohokan, penghancuran empulur sagu dengan pemarutan atau penggilingan bersama air, pemisahan pati sagu dan komponen lain dari bubur pati sagu dengan cara pengendapan, pemisahan endapan pati dan bagian lain yang larut air, serta pengeringan endapan (pati sagu) dengan menggunakan sinar matahari (Flach, 1997; Istalaksana dan Maturbongs, 2007). 9

26 Ekstraksi sagu yepha hungleu di Kecamatan Sentani, Jayapura dilakukan di hutan sagu di sekitar danau Sentani, Jayapura. Sanitasi air maupun peralatan yang digunakan untuk ekstraksi sagu di Sentani sangat jauh dari persyaratan untuk industri pangan sehingga peluang adanya kontaminasi mikroba selama proses ekstraksi berlangsung sangat tinggi. Air yang digunakan sebagai pengekstrak sagu merupakan air dari sungai yang bermuara ke danau Sentani. Sementara, peralatan yang digunakan sangat sederhana dan sebagian besar diperoleh dari sekitar hutan sagu seperti pelepah sagu untuk proses pemerasan parutan sagu dan penampung sementara yang berupa bak dari alas plastik. Proses ekstraksi sagu di sekitar danau Sentani dilakukan melalui beberapa tahapan antara lain: penebangan, pengupasan batang sagu, pemotongan batang sagu, pemarutan, pencampuran dengan air, penyaringan, pengendapan pati, dan pemisahan endapan pati. Masyarakat Sentani memilih pohon sagu yang layak panen (tebang) berdasarkan perubahan morfologi batang maupun pohon sagu. Sagu yang mempunyai batang tidak mengkilap lagi dan sebagian besar daunnya mengering mempunyai rendemen pati yang tinggi sehingga layak untuk ditebang. Penebangan batang sagu di sekitar danau Sentani, Jayapura sudah dilakukan secara semiotomatis dengan menggunakan gergaji mesin. Batang sagu dikupas untuk memisahkan empulur dari kulit batang sagu yang keras. Empulur sagu dipotong melintang dengan panjang sekitar 60 cm untuk memudahkan pengangkutan (Gambar 2). Gambar 2 Empulur sagu 10

27 Potongan empulur dibelah secara memanjang untuk memudahkan proses pemarutan. Pemarutan empulur sagu dilakukan dengan cara mengumpankan empulur pada pemarut mesin (Gambar 3). Hasil parutan empulur sagu merupakan bagian sagu yang siap untuk diekstrak patinya. Proses penghancuran empulur sagu yang dilakukan masyarakat di Sentani sudah sedikit lebih maju mengingat proses penghancuran yang biasa dilakukan oleh masyarakat di beberapa daerah lain di Papua adalah adalah dengan penohokan. Gambar 3 Pemarutan empulur sagu Ekstraksi pati sagu dilakukan dengan cara meletakkan parutan empulur sagu diatas pelepah sagu dan ditambah dengan sejumlah air. Parutan sagu diperas bersama dengan air secara berulang sehingga air yang keluar sudah relatif jernih yang berarti ekstraksi pati sudah dapat dikatakan optimal (Gambar 4a). Cairan yang keluar saat pemerasan dilewatkan pada kain saring sehingga akan terpisah 11

28 dari ampasnya. Ekstrak sagu yang berupa cairan diendapkan di dalam bak penampung dan dibiarkan mengendap kurang-lebih selama 1 jam (Gambar 4b). Bak tersebut digunakan secara terus menerus tanpa adanya proses pembersihan sebelum ataupun setelah pemakaian berlangsung. Di sekitar bak pengendapan terlihat sisa-sisa endapan pati sagu yang sangat mungkin berasal dari pengendapan sebelumnya karena dari sisa-sisa endapan tersebut tercium bau asam. Selama pengendapan berlangsung, pati yang mempunyai berat jenis lebih besar dari air akan mengendap di bagian bawah bak pengendapan. Sementara itu, air beserta komponen yang terlarut didalamnya akan berada di atas bak penampung. Bahan kantung plastik yang digunakan sebagai bak penampung akan memudahkan pemisahan cairan yang berada di atas lapisan pati sagu. Cairan yang berada bagain atas bak pengendapan dikeluarkan melalui saluran pengeluaran yang berada di sisi-sisi bak pengendapan. Cairan ini berwarna keruh kemerahan yang menandakan bahwa sagu Papua yang diekstrak kemungkinan mengandung pigmen alami. Endapan patai sagu yang berada di bagian dasar bak pengendapan ditampung ke dalam karung dan siap dipasarkan oleh petani sagu (Gambar 5). Sementara itu, ampas sagu yang tertinggal di atas pelepah sagu dikumpulkan oleh masyarakat sekitar tempat pemarutan sagu. Ampas tersebut selanjutnya digunakan sebagai pakan ternak babi atau media budidaya sayuran. (a) (b) Gambar 4 Pemerasan parutan sagu (a) dan penampungan ekstrak pati sagu (b) 12

29 Gambar 5 Pengemasan pati sagu basah Pati sagu basah yang diperoleh dari petani di keringkan oleh pengrajin pati sagu kering untuk mendapatkan sagu kering yang dapat disimpan dan lebih mudah digunakan. Pengolahan pati sagu kering di Sentani dilakukan melalui serangkaian proses seperti perendaman, pencucian, penjemuran, pengayakan dan pengemasan. Perendaman pati sagu dilakukan dengan tujuan untuk melarutkan kotoran yang masih terdapat pada sagu basah yang dibeli dari petani (Gambar 6a). Selain itu perendaman juga dapat mengurangi intensitas warna sagu dari yang tadinya kecoklatan menjadi lebih putih. Perendaman ini berlangsung selama 1 malam sehingga mengundang aktivitas bakteri pembentuk asam. Pemisahan kotoran dan air perendam sagu dilakukan dengan cara menuangkan air perendam yang terdapat di bagian atas bak penampung (6b). Sagu yang telah bersih dijemur di bawah sinar matahari dengan cara dihamparkan pada rak-rak penjemuran (7a). Sagu yang telah kering diayak, kemudian dikemas dan dipasarkan di daerah Sentani dan sekitarnya (7b). Sagu kering asal Sentani berbau asam yang menandakan adanya kandungan asam organik pada sagu. Keberadaan asam ini kemungkinan karena fermentasi yang terjadi selama proses produksi pati mengingat peralatan yang digunakan 13

30 untuk ekstraksi masih sangat sederhana dan kurang saniter. Kemungkinan mikroba pembentuk asam (terutama bakteri asam laktat) akan mudah mengkontaminasi ekstrak pati selama proses berlangsung. Ekstrak pati yang diperoleh tidak langsung dikeringkan melainkan dijual dalam kondisi basah. Hal ini juga akan menyebabkan terjadinya fermentasi pembentukan asam selama penyimpanan sebelum pengeringan. Selain itu, pengeringan yang dilakukan oleh industri rumah tangga di Sentani Papua juga memungkinkan terjadinya fermentasi karena pati sagu basah yang diperoleh dari petani direndam selama satu malam sebelum dikeringkan. (a) (b) Gambar 6 Perendaman pati sagu (a) dan pencucian pati sagu (b) (a) (b) Gambar 7 Pengeringan pati sagu (a) dan pati sagu dalam kemasan (b) 14

31 Karakteristik Pati Sagu Alami Komposisi Kimia Pati sagu yang ada di Indonesia umumnya merupakan pati sagu yang diperoleh melalui ekstraksi secara tradisional. Proses ekstraksi yang dilakukan secara tradisioanl hanya memisahkan pati berdasarkan kemampuannya untuk tersuspensi di dalam air kemudian mengendapkan pati yang tersuspensi. Komponen lain seperti protein, lemak kemungkinan, mineral (abu) dan serat masih akan terbawa walaupun dalam jumlah yang sedikit. Keberadaan komponen selain pati pada pati sagu menjadi bagian dari penentu mutu pati sagu. Proses ekstraksi patu sagu yang dilakukan dengan baik akan menghasilkan pati dengan tingkat kemurnian yang tinggi yaitu dengan kandungan abu, lemak, protein dan serat kasar yang serendah mungkin. Sementara itu, proses pengeringan yang dilakukan dengan baik akan menghasilkan pati kering dengan kandungan air yang rendah sehingga aman untuk penyimpanan. Persyaratan kandungan air, abu, serat kasar dan protein pati sagu disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Persyaratan kandungan air, abu, serat kasar dan protein pati sagu Komponen Satuan Persyaratan Air % (b/b) Maks 13* Abu % (b/b) Maks 0.5* Serat kasar % (b/b) Maks 0.1* Protein % Maks 0.3** *Sumber: SNI **Sumber: Widaningrum et al. (2005). Komposisi pati sagu asal Indonesia disajikan pada Tabel 4. Adanya variasi metode dan peralatan yang digunakan dalam ekstraksi pati sagu di setiap daerah di Indonesia menyebabkan adanya perbedaan tingkat kemurnian pati sagu yang diperoleh. Pengeringan yang dilakukan dengan sinar matahari pada produksi sagu secara tradisional menyebabkan sulitnya menentukan waktu pengeringan optimum karena seringkali intensitas cahaya matahari sangat tergantung pada musim. Waktu pengeringan pati sagu sagu dengan sinar matahari seringkali ditentukan 15

32 berdasarkan pengalaman dan pengamatan pati sagu secara visual sehingga kadar air tepung yang diperoleh tidak konsisten dan sulit memenuhi standar SNI. Kandungan air pada pati sagu asal Indonesia > 13% (Tabel 4). Karbohidrat merupakan komponen terbesar dalam pati sagu (Tabel 4). Proses ekstraksi yang dilakukan pada produksi pati sagu memungkinkan karbohidrat yang terekstrak adalah dalam bentuk pati. Karbohidrat lain seperti gula dan serat kemungkinan akan terbawa dalam jumlah yang sangat sedikit. Kandungan serat kasar pada pati asal Sukabumi dan Maluku hanya mencapai kurang dari 1% (Tabel 4). Seperti halnya pati dari sumber lainnya, molekul pati sagu disusun oleh dua kelompok makromolekul, yaitu amilosa dan amilopektin. Baik amilosa maupun amilopektin disusun oleh monomer α-d-glukosa yang berikatan satu sama lain melalui ikatan glikosidik (Whistler and Daniel 1985). Perbedaan antara kedua makromolekul tersebut terletak pada pembentukan percabangan pada struktur liniernya, ukuran derajat polimerisasi, ukuran molekul dan pengaturan posisi pada granula pati. Tabel 4 Komposisi kimia sagu asal Indonesia Asal sagu Komponen Sukabumi* Maluku* Tuni Molat Ihur Air (% bb) Abu (% bb) Lemak (% bb) Protein (% bb) Karbohidrat (% bb) Serat kasar (% bb) Amilosa (% bb) Amilopektin (% bb) Hapholo hungleu Hapholo hongsay Papua** Yepha hungleu Yepha hongsay *Sumber: Purwani et al. (2006). **Sumber: Tenda et al. (2005) Amilosa disusun oleh molekul glukosa yang dihubungkan satu sama lain dengan ikatan α-1,4-glikosidik sehingga membentuk polimer yang linear dengan sedikit cabang yang dibentuk oleh ikatan α-1,6-glikosidik (<1%, Ball et al. 1996) 16

33 atau satu dari residu glukan (Roder et al. 2005). Berat molekul amilosa berkisar antara Da dengan derajat polimerisasi yang mencapai kisaran (Colonnna and Buléon 1992). Gugus OH pada molekul amilosa dapat berinteraksi satu sama lain membentuk struktur heliks melalui interaksi hidrogen (Whistler and Daniel 1985). Amilopektin mempunyai ukuran molekul yang sangat besar dengan berat molekul yang mencapai Da (Colonna and Buléon, 1992) dan derajat polimerisasi antara 3 x x10 6 (Zobel 1988). Glukosa penyusun molekul amilopektin dihubungkan satu satu sama lain dengan ikatan α-1,4-glikosidik pada rantai linier dan ikatan α-1,6-glikosidik pada percabangannya. Jarak yang dibentuk antara cabang yang satu dengan cabang yang lain pada struktur amilopektin sekitar 20 residu (Roder et al. 2005). Proporsi amilosa dan amilopektin dari berbagai sumber pati berbeda-beda demikian juga dengan berat molekulnya. Umumnya pati memiliki proporsi amilopektin yang lebih besar jika dibandingkan dengan amilosa. Menurut Ahmad et al. (1999), kandungan amilosa sagu berkisar antara 24 31% dengan berat molekul 1.41 x x 10 6 Da. Sementara itu, kandungan amilopektin pati sagu berkisar antara 69 76% dengan berat molekul 6.70 x x 10 6 Da (Ahmad et al. 1999). Pati sagu asal Indonesia mempunyai kandungan amilosa yang relatif lebih tinggi yaitu mencapai 27 35% (Tabel 3). Kenyataan bahwa tanaman sagu yang tumbuh di Indonesia berasal dari jenis yang sangat beragam serta tempat tumbuhnya yang tersebar di berbagai daerah menyebabkan pati sagu yang dihasilkannya juga mempunyai proporsi amilosa dan amilopektin yang beragam pula. Berdasarkan data yang disajikan pada Tabel 3 terlihat bahwa pati sagu asal Sukabumi dan Maluku memiliki kandungan amilosa yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan pati sagu asal Papua. Sementara itu, terdapat variasi proporsi amilosa/amilopektin antar sagu asal Pupua maupun antar sagu asal Maluku. Kandungan pati serta proporsi amilosa dan amilopektin pati sagu menjadi penting apabila pati sagu tersebut akan digunakan sebagai bahan baku ataupun bahan pembantu produk pangan seperti bihun. Kandungan amilosa tinggi (>25g/100g) berperan penting dalam pembentukan jaringan gel dan struktur bihun 17

34 yang diproduksi dari beras (Juliano & Sakurai, 1985). Pembentukan gel yang baik dapat mengurangi tingkat kelengketan produk yang dihasilkan. Pati sagu asal Indonesia mengandung amilosa dengan kisaran yang lebih tinggi yaitu mencapai 27-35% (Tabel 3). Oleh karena itu pati sagu asal Indonesia berpotensi untuk dijadikan bahan baku bihun. Karakteristik Fisik a. Karakteristik Gelatinisasi Komposisi kimia pati sagu akan sangat berpengaruh pada karakteristik fisik pati sagu yang pada akhirnya sangat berpengaruh pada sifat fungsionalnya ketika diaplikasikan untuk produk pangan. Salah satu karakteristik fisik pati yang penting dievaluasi adalah karakteristik gelatinisasi pati. Ketika pati dipanaskan bersama air, pati akan mengalami peningkatan kelarutan yang diikuti dengan peningkatan viskositas yang kemudian akan membentuk pasta. Fenomena ini disebut dengan gelatinisasi pati. Apabila pemanasan dilanjutkan dalam jangka waktu tertentu kemudian dilakukan pendinginan maka perubahan viskositas pati akan membentuk profil yang berbeda-beda tergantung kepada jenis pati. Berdarkan profil yang terbentuk, tipe gelatinisasi pati dapat digolongkan menjadi 4 yaitu A, B, C dan D (Schoch and Maywad 1968 dikutip oleh Collado et al. 2001). Tipe A memiliki ciri kemampuan pengembangan yang tinggi yang ditunjukkan dengan tingginya viskositas puncak, namun akan mengalami penurunan viskositas yang tajam selama pemanasan. Tipe B memiliki kemampuan pengembangan sedang yang ditunjukkan dengan lebih rendahnya viskositas puncak dan viskositas mengalami penurunan yang tidak terlalu tajam selama pemanasan. Tipe C memiliki kemampuan pengembangan terbatas yang ditunjukkan dengan tidak adanya viskositas puncak dan viskositas tidak mengalami penurunan bahkan dapat meningkat selama pemanasan. Tipe D cenderung tidak memiliki kemampuan untuk mengambang sehingga tidak dapat membentuk pasta apabila dipanaskan. Profil gelatinisasi pati sagu dapat ditentukan dengan menggunakan instrumen brabender amilograph maupun Rapid Visco Analizer. Ke dua instrumen tersebut mempunyai prinsip yang serupa yaitu mengukur perubahan viskositas 18

35 suspensi pati ketika pengalami pemanasan dan pendinginan dengan pola tertentu. Profil gelatinisasi pati sagu dari berbagai sumber disajikan pada Tabel 5. Secara umum pati sagu memiliki kemampuan pengembangan yang besar. Menurut standar SIRIM MS 470:1992 seperti yang dikutip oleh Wattanachant et al. ( ), viskositas pasta pati sagu (suspensi 6% db) minimal mencapai 600 BU. Pati sagu asal Malaysia mempunyai Viskositas Puncak 635 BU (suspensi 6% db). Sementara itu, pati sagu asal Indonesia mempunyai viskositas puncak Bu (suspensi 10% db) seperti yang terdapat pada Tabel 5. Baik pasta pati asal Malaysia maupun asal Indonesia mengalami penurunan yang tajam selama pemanasan yang dapat dilihat dari viskositas breakdown yang besar. Oleh karena itu, pati sagu digolongkan sebagai pati dengan profil gelatinisasi tipe A. Profil gelatinisasi pati sagu menyerupai profil gelatinisasi pati umbi-umbian (tapioka, kentang, ubi jalar, dan garut) dan waxy cereal (waxy corn dan waxy barley) (Collado et al. 2001; Wattanachant et al ; Singh et al. 2005). Tabel 5 Profil gelatinisasi pati sagu Parameter gelatinisasi Asal sagu Malaysia* Indonesia ** Tuni Molat Ihur Pancasan Suhu pasta ( o C) 66.0 a Suhu puncak ( o C) 81.0 a Viskositas Puncak (BU) a*** 990**** 890**** 1230**** 1100**** Viskositas Pasta panas a (BU) Viskositas Breakdown a (BU) Viskositas Pasta Dingin a (BU) Setback (BU) a Tipe A A A A A *Sumber: Wattanachant et al. ( ) **Sumber: Purwani et al. (2006) ***Konsentrasi suspensi pati 6% db ****Konsentrasi suspensi pati 10% db Pati dengan profil gelatinisasi tipe A umumnya mempunyai kandungan amilosa yang rendah. Pati dengan kandungan amilosa yang rendah (amilopektin yang tinggi) akan mengalami pengembangan yang tinggi pada saat mengalami gelatinisasi yang ditandai dengan tingginya viskositas puncak pasta. Namun apabila pemanasan dilanjutkan, viskositas pasta akan turun dengan tajam. 19

36 Menurut Wu and Seib (1990) seperti yang dikutip oleh Wattanachant et al ), pati dengan kandungan amilosa tinggi akan mengalami pengembangan yang terbatas karena keberadaan amilosa akan mencegah pengembangan granula pati selama pemanasan. Hal ini ditandai dengan viskositas pasta pati yang cenderung rendah. Apabila pemanasan dilanjutkan maka viskositas pasta pati tersebut cenderung stabil bahkan dapat mengalami peningkatan sehingga pati tersebut dikategorikan pati dengan profil gelatinisasi tipe C (Schoch and Maywad 1968 dikutip oleh Collado et al. 2001). Pati yang mempunyai profil gelatinisasi tipe C adalah beberapa pati serealia seperti mungbean (kacang hijau) navy bean dan pinto bean (Kim et al. 1996) dan pati yang telah mengalami modifikasi ikatan silang (Wattanachant et al. 2003). Pati dengan kandungan amilosa moderat umumnya mempunyai viskositas puncak pasta yang lebih rendah dari pati dengan profil gelatinisasi tipe A namun lebih tinggi dari pati dengan profil gelatinisasi tipe C sehingga digolongkan sebagai pati dengan profil gelatinisasi tipe B. Apabila dibandingkan dengan sumber pati lainnya, pati sagu khususnya pati sagu asal Indonesia memiliki kandungan amilosa yang relatif tinggi bila dibandingkan dengan pati serealia seperti pati beras, pati gandum, dan pati jagung yang masing-masing mencapai 17%, 25% dan 26% (Wattanachant et al ). Namun demikian, pati serealia tersebut digolongkan sebagai pati dengan profil gelatinisasi tipe B karena mempunyai kemampuan pengembangan sedang yang ditunjukkan dengan lebih rendahnya viskositas puncak dan viskositas mengalami penurunan yang tidak terlalu tajam selama pemanasan. b. Ukuran dan Bentuk Granula Molekul amilosa dan amilopektin menyusun granula pati dengan pola tertentu (Jane, 2006). Struktur amilosa yang cenderung lurus sebagian besar berada pada bagian amorphous dari granula pati dan sebagian kecil menyusun bagian kristalin pati. Sementara itu, molekul amilopektin berperan sebagai komponen utama penyusun bagian kristalin pati (Belitz and Grosch, 1999). Pengaturan susunan molekul amilosa dan amilopektin dalam granula pati bersifat khas untuk setiap sumber pati sehingga akan menentukan bentuk dan ukuran granula. 20

37 Granula pati sagu mempunyai bentuk elips terpancung dengan permukaan yang halus (Yiu et al. 2008). Bila dibandingkan dengan beberapa jenis pati lainnya, granula pati sagu mempunyai ukuran yang relatif besar yaitu mencapai rata-rata 24.8 μm (Yiu et al. 2008) atau 25 μm (Wattanachant et al ). Sementara itu, granula pati serealia seperti beras, gandum dan jagung mempunyai ukuran yang lebih kecil yaitu masing-masing mencapai rata-rata 5 μm, 15 μm dan 15 μm (Wattanachant et al ). Granula pati yang lebih besar mempunyai ikatan hidrogen intermolekuler yang lebih mudah putus selama pemanasan sehingga granula pati tersebut lebih mudah mengembang bila dibandingkan dengan granula pati yang lebih kecil (Wattanachant et al ). Kondisi ini kemungkinan menyebabkan pati sagu mempunyai profil gelatinisasi tipe A walaupun kandungan amilosanya relatif tinggi. c. Swelling power dan Kelarutan Selain dari viskositas puncak pasta pada saat mengalami pemanasan, kemampuan granula pati untuk mengembang dapat ditentukan dengan cara mengukur swelling volume atau swelling power. Swelling volume adalah perbandingan volume pasta pati terhadap berat keringnya (Collado et al. 2001). Sementara itu swelling power adalah perbandingan antara berat sedimen pasta pati dengan berat kering pati yang dapat membentuk pasta (Schoch 1964 seperti yang dikutip oleh Wattanachant et al ). Pati dengan profil gelatinisasi tipe A cenderung mempunyai swelling volume atau swelling power yang besar. Pati sagu yang mempunyai profil gelatinisasi tipe A mempunyai swelling power yang lebih besar bila dibandingkan dengan pati beras, pati gandum, pati jagung dan tapioka yang mempunyai profil gelatinisasi tipe B (Wattanachant et al ). Sementara itu, pati kacang-kacangan (navy bean dan pinto bean) yang mempunyai profil gelatinisasi tipe C mempunyai swelling power yang sangat terbatas (sangat rendah) bila dibandingkan dengan pati kentang yang mempunyai profil gelatinisasi tipe A (Kim et al. 1996). Pada umumnya pati dengan swelling power atau swelling volume yang tinggi mempunyai kelarutan pasta pati yang tinggi pula. Seperti halnya studi yang 21

38 dilakukan oleh Kim et al. (1996), melaporkan bahwa pati kentang yang mempunyai swelling power lebih tinggi dibanding pati kacang-kacangan (navy bean dan pinto bean) mempunyai kelarutan yang lebih tinggi pula. Pati sagu mempunyai swelling power yang tinggi sehingga kemungkinan akan mempunyai kelarutan yang tinggi pula. Beberapa studi yang dikutip oleh Mohamed et al. (2008), menunjukkan bahwa peningkatan swelling power pati sagu diiringi oleh peningkatan kelarutan pula. Keterkaitan antara swelling power dan kelarutan terkait dengan kemudahan molekul air untuk berinteraksi dengan molekul dalam granula pati dan menggantikan interaksi hidrogen antar molekul sehingga granula akan lebih mudah menyerap air dan mempunyai pengembangan yang tinggi. Tester and Karkalas (1996) seperti yang dikutip oleh Muhamed et al. (2008), telah mengekspresikan bahwa pengembangan granula terjadi ketika granula dipanaskan bersama air dan ikatan hidrogen yang menstabilisasi struktur double heliks dalam kristal terputus dan digantikan oleh ikatan hidrogen dengan air. Adanya pengembangan tersebut akan menekan granula dari dalam sehingga granula akan pecah dan molekul pati terutama amilosa akan keluar. Semakin banyak molekul amilosa yang keluar dari granula pati maka kelarutan semakin tinggi. Oleh karena itu, pati dengan kandungan amilosa yang tinggi pada umumnya mempunyai kelarutan yang tinggi pula seperti halnya pati sagu yang mengandung amilosa 27 35%. Namun demikian, kandungan amilosa tidak selamanya berbanding lurus dengan kelarutan. Keberadaan komplek antara amilosa dengan lipid seperti pada pati kacang-kacangan dapat mengurangi kelarutan amilosa (Kim et al. 1996). Evaluasi Pati Sebagai Bahan Baku Bihun Sifat fisiko-kimia pati akan sangat mempengaruhi sifat fungsionalnya. Dalam pembuatan bihun berbahan baku pati dibutuhkan pati dengan sifat fungsional tertentu agar bihun yang dihasilkan mempunyai karakteristik yang baik. Sifat fungsional pati sebagai bahan baku tersebut terutama berkaitan dengan pembentukan adonan dan tekstur bihun yang dihasilkan. 22

39 Menurut Lii and Chang (1981), pati yang ideal sebagai bahan baku bihun/soun adalah pati dengan kandungan amilosa yang tinggi, swelling (pembengkakan granula) dan kelarutan terbatas serta mempunyai profil gelatinisasi tipe C. Untuk dapat mengetahui potensi sagu sebagai bahan baku bihun perlu dilakukan evaluasi terhadap sifat-sifat yang diperlukan untuk produksi bihun. Pati dengan amilosa yang yang tinggi cenderung mudah mengalami retrogradasi dan mempunyai penampakan pasta yang lebih opaque seperti halnya pati beras dan pati jagung (wattanachant et al ). Namun tidak demikian dengan pati sagu, walaupun mengandung amilosa yang cukup tinggi, pasta pati sagu cenderung kurang mudah mengalami retrogradasi dan mempunyai penampakan pasta yang lebih transparan (Purwani et al. 2006; wattanachant et al ). Kecepatan pati untuk mengalami retrogradasi dibutuhkan untuk pembentukan tekstur bihun pada saat bihun mengalami pendinginan. Retrogradasi pati turut bertanggung jawab terhadap tingkat kekerasan dan penampakan bihun atau soun (starch noodle). Menurut Kim et al. (1996), soun (starch noodle) yang diproduksi dari bahan baku pati dengan kandungan amilosa tinggi mempunyai kekerasan yang lebih tinggi namun mempunyai transparansi yang lebih rendah bila dibandingkan dengan soun yang diproduksi dari pati dengan kandungan amilosa yang lebih rendah. Selanjutnya menurut Kim et al. 1996, soun yang diproduksi dari kacang-kacangan dengan kandungan amilosa % mempunyai tekstur yang lebih keras dan lebih opaque bila dibandingkan dengan soun yang diproduksi dari kentang dengan kandungan amilosa % melalui pengukuran yang dilakukan dengan instrumen tekstur analizer. Pada tingkat tertentu, kekerasan tekstur bihun atau soun dibutuhkan untuk memperoleh soun yang tegar sehingga dapat memberikan mouthfeel yang disukai ketika dikonsumsi. Selain mempengaruhi tingkat kekerasan dan transparansi, kandungan amilosa pati mempengaruhi kelengketan serta susut masak dan pengembangan bihun atau soun kering pada saat dimasak (direhidrasi kembali). kemampuan produk bihun atau soun untuk mengalami pengembangan. Namun demikian, Kim 23

40 et al. (1996), menunjukkan bahwa pati dengan swelling power dan kandungan amilosa yang tinggi tidak selalu menghasilkan soun dengan susut masak yang tinggi pula. Kompleks antara lemak dan amilosa diduga dapat menurunkan susut masak soun yang dihasilkan (Kim et al. 1996). Selanjutnya menurut Kim et al. (1996), pati dengan kandungan amilosa yang tinggi namun mempunyai ukuran granula yang kecil menghasilkan soun dengan tingkat pengembangan dan susut masak yang lebih rendah bila dibandingkan dengan soun dari pati dengan kandungan amilosa yang lebih rendah namun mempunyai ukuran granula yang besar. Studi yang dilakukan oleh Singh et al. (2002) menunjukkan bahwa mutu soun masak dipengaruhi oleh morfologi granula pati. Soun dari pati kentang mempunyai bobot masak dan susut masak (cooking loss) yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan soun dari pati jagung. Hal ini berkaitan dengan karakteristik pati kentang yang mempunyai ukuran granula lebih besar, swelling power dan kelarutan yang lebih tinggi serta suhu gelatinisasi yang lebih rendah bila dibandingkan dengan pati jagung. Ukuran granula pati kentang yang lebih besar memungkinkan pati lebih mudah dan lebih banyak menyerap air sehingga lebih mudah membengkak. Kondisi ini menyebabkan pati lebih mudah mengalami gelatinisasi (suhu gelatinisasi relatif rendah) dan amilosa mudah keluar dari granula. Oleh karena itu, selain mempunyai bobot masak dan susut masak yang lebih tinggi, soun pati kentang juga lebih kohesif dan cenderung lebih lengket bila dibandingkan dengan soun dari pati jagung (Singh et al. 2002). Keterkaitan antara morfologi (terutama dari aspek ukuran granula pati) dengan karakteristik adonan soun dan kualitas masak soun juga diperlihatkan melalui studi yang dilakukan oleh Chen at al. (2003). Adonan yang dibuat dari pati kentang ataupun ubi jalar dengan ukuran granula yang kecil (< 20 µm) mempunyai sifat adonan yang lebih baik dibandingkan dengan adonan yang dibuat dari pati dengan ukuran granula yang lebih besar. Untaian soun yang dihasilkan mempunyai konsistensi yang lebih baik dan berukuran panjang (tidak mudah patah). Pengujian terhadap kualitas masak menunjukkan bahwa cooking loss (susut masak) dan swelling indeks (indeks pembengkakan) soun yang dihasilkan dari pati 24

41 dengan ukuran granula yang kecil (< 20 µm) jauh lebih baik (lebih kecil) bila dibandingkan dengan soun yang dihasilkan dari pati dengan ukuran granula yang lebih besar (Chen et al. 2003). Hubungan antara profil gelatinisasi pati dengan karakteristik soun telah dilaporkan oleh Kim et al. (1996), soun yang dihasilkan dari pati kacangkacangan dengan profil gelatinisasi tipe C mempunyai susut masak, dan kelengketan yang lebih rendah namun mempunyai kekerasan yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan soun yang dihasilkan dari pati dengan profil gelatinisasi tipe A. Pati dengan profil gelatinisasi tipe C cenderung stabil terhadap pemanasan sehingga keluarnya padatan dari soun yang diproduksi dari pati tersebut dapat ditekan dan soun memiliki kelengketan yang rendah. Pati sagu mempunyai kandungan amilosa yang tinggi (Purwani et al. 2006; Wattanachant et al ), ukuran granula yang besar (Wattanachant et al ; Yiu et al. 2008), swelling power dan kelarutan tinggi (Wattanachant et al ) dan profil gelatinisasi tipe A (Purwani et al. 2006; Wattanachant et al. 2003; Muhammad 2000). Bila dibandingkan dengan syarat pati ideal untuk bahan baku bihun, pati sagu hanya memenuhi satu syarat yaitu kandungan amilosa yang tinggi. Namun demikian, kandungan amilosa yang tinggi pada sagu tidak didukung oleh ukuran granula sagu yang kecil sehingga pada saat dipanaskan granula mudah mengembang yang ditandai dengan viskositas puncak yang tinggi, kemudian disusul dengan penurunan viskositas pasta yang tajam sehingga pati sagu digolongkan sebagai pati dengan profil gelatinisasi tipe A. Swelling power dan kelarutan pati sagu yang relatif tinggi juga kurang mendukung penggunaan pati sagu sebagai bahan baku bihun. Purwani et al. (2006), melaporkan bahwa terdapat beberapa kendala dalam penggunaan pati sagu alami sebagai bahan baku bihun. Kendala tersebut ditemui untuk semua jenis sagu alami yang digunakan yaitu sagu asal Maluku (Tuni, Molat dan Ihur) serta sagu asal Pancasan. Adonan bihun yang dibuat dari pati sagu alami cenderung lengket sehingga untaian bihun yang diperoleh dari adonan tersebut harus dipisahkan satu per satu agar tidak saling menyatu selama pengukusan dan pengeringan. Ketika dimasak kembali (direhidrasi), bihun dari pati sagu alami mempunyai berbagai kelemahan baik secara fisik maupun 25

42 organoleptik. Bihun dari pati alami mempunyai tekstur lembek, lengket dan kurang elastis, mempunyai susut masak dan berat rehidrasi yang tinggi. Oleh karena itu, pati sagu yang akan digunakan sebagai bahan baku bihun perlu dimodifikasi terlebih dahulu agar karakteristiknya lebih sesuai dengan karakteristik pati yang sesuai untuk produk bihun. Modifikasi Pati dengan Metode HMT Modifikasi pati dengan metode HMT (Heat Moisture Treatment) merupakan metode modifikasi pati yang dilakukan secara fisik yaitu yang melibatkan perlakuan panas dan pengaturan kadar air (Collado et al. 2001). Selanjutnya menurut Collado et al. (2001), pemanasan yang dilakukan pada metode HMT dilakukan diatas suhu gelatinisasi pati ( o C) namun pada kadar air yang terbatas (<35%). Energi yang diterima oleh pati selama pemanasan berlangsung kemungkinan dapat melemahkan ikatan hidrogen inter dan intra molekul amilosa dan amilopektin di dalam granula pati. Kondisi ini memberikan peluang kepada air untuk mengimbibisi granula pati. Jumlah air yang terbatas menyebabkan pergerakan maupun pembentukan interaksi antara air dan molekul amilosa atau amilopektin juga terbatas sehingga tidak menyebabkan adanya peningkatan kelarutan pati di dalam air selama pemanasan berlangsung. Dengan kata lain, keberadaan air yang terbatas selama pemanasan yang dilakukan pada modifikasi HMT belum mampu membuat pati mengalami gelatinisasi yang ditunjukkan dengan masih terjaganya integritas granula pati termodifikasi HMT. yang dilihat melalui studi diffraksi sinar X (Hoover and Manuel 1996; Gunaratne and Hoover 2002; Lawal 2005; Lawal and Adebowale 2005; Vermeylen et al. 2006) dan studi bentuk granula dengan mikroskop polarisasi cahaya atau SEM (Scanning Electrone Microscope) (Pukkahuta et al. 2008; Vermeylen et al. 2006). Gunaratne dan Hoover (2002), melaporkan bahwa modifikasi HMT dapat menggeser pola difraksi pati kentang dan pati uwi dari pola A menjadi pola A+B sebagai akibat adanya penurunan bagian kristalin yang masing-masing mencapai 9% dan 8%. Penurunan persentase daerah kristalin tersebut tidak menyebabkan pati kentang 26

43 maupun pati uwi tergelatinisasi. Pati yang mengalami gelatinisasi akan kehilangan keseluruhan bagian kristalnya (Zobel et al. 1988). Namun demikian, berbagai studi menunjukkan bahwa imbibisi air selama modifikasi HMT berlangsung menyebabkan adanya pengaturan kembali (rearrangement) molekul amilosa dan amilopektin di dalam granula pati (Singh et al. 2005; Vermeylen et al. 2006; Pukkahuta and Varavinit 2007). Adanya pengaturan kembali ini berimblikasi pada terjadinya perubahan sifat fisik maupun sifat kimia pati. Perubahan sifat fisik yang terjadi pada pati termodifikasi HMT antara lain perubahan profil gelatinisasi (Collado and Corke 1999; Lawal and Adebowale 2005; Collado et al. 2001; Purwani et al. 2006: Olayinka et al. 2008), perubahan karakteristik termal melalui pengujian dengan DSC (Differential Scanning Calorymetry) (Collado and Corke 1999; Vermeylen et al. 2006: Pukkahuta et al. 2008), perubahan swelling power/swelling volume (Collado and Corke 1999; Collado et al. 2001) dan perubahan kelarutan (Collado and Corke 1999). Sementara itu perubahan kimia yang terjadi pada pati termodifikasi HMT antara lain terjadinya peningkatan fraksi pati yang mempunyai berat molekul pendek (Lu et al. 1996; Vermeylen et al. 2006). Perubahan karakteristik pati termodifikasi HMT dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain faktor internal (karakteristik awal pati) dan faktor eksternal (kondisi modifikasi HMT seperti suhu, kadar air dan waktu (lamanya pemanasan berlangsung). Kombinasi antar berbagai faktor tersebut dapat menghasilkan pati dengan karakteristik fisik maupun kimia yang berbeda-beda. Pengaruh Kadar Air Studi yang dilakukan oleh Adebowale et al. (2005), menunjukkan bahwa modifikasi dengan teknik heat moisture treatment (HMT) dapat mengubah profil gelatinisasi pati sorgum merah, yaitu dapat meningkatkan suhu gelatinisasi, meningkatkan viskositas pasta pati, menurunkan viskositas pasta panas, meningkatkan breakdown, meningkatkan viskositas akhir, dan meningkatkan kecenderungan pati untuk mengalami retrogradasi (meningkatkan set back). Selanjutnya menurut Adebowale et al. (2005), perubahan tersebut sangat tergantung pada pengaturan kadar air modifikasi HMT. Peningkatan kadar air 27

44 modifikasi tidak memberikan pola yang khas dalam meningkatkan suhu gelatinisasi pati sorgum merah. Peningkatan kadar air dari 18% menjadi 21% meningkatkan kenaikan suhu gelatinisasi, namun peningkatan kadar air menjadi 24% dan 27% tidak meningkatkan kenaikan suhu gelatinisasi. Selain tidak memberikan pola yang khas terhadap perubahan suhu gelatinisasi, peningkatan kadar air juga tidak memberikan pola yang khas pada viskositas puncak, viskositas pasta panas, breakdown, viskositas akhir dan setback. Namun demikian, modifikasi yang dilakuukan pada kadar air 24% memberikan pati termodifikasi dengan puncak viskositas, viskositas pasta panas, breakdown, viskositas akhir dan setback yang paling rendah bila dibandingkan dengan kadar air 18%, 21% dan 24%. Pengaruh kadar air modifikasi HMT terhadap profil gelatinisasi diperlihatkan dengan jelas pada modifikasi yang dilakukan terhadap pati biji nangka (Lawal and Adebowale 2005). Peningkatan kadar air dari 18% hingga 27% meningkatkan kenaikan suhu gelatinisasi, meningkatkan penurunan puncak viskositas, meningkatkan penurunan viskositas pasta panas, meningkatkan penurunan setback, dan meningkatkan penurunan breakdown. Pati termodifikasi dengan profil yang paling mendekati pati dengan tipe C diperoleh dari pati yang dimodifikasi pada kadar air 27%. Sementara itu, menurut Vermeylen et al. (2006), modifikasi HMT pada pati kentang dipengaruhi oleh kadar air dan suhu. Modifikasi yang dilakukan pada kadar air 23% dengan suhu 130 o C menghasilkan pati termodifikasi HMT dengan suhu gelatinisasi tertinggi dan perubahan pola difraksi sinar-x dari tipe B menjadi tipe A. Tipe A merupakan tipe difraksi sinar-x yang dimiliki oleh pati serealia alami. Pengaruh Sumber Pati Pati dari sumber yang berbeda mempunyai proporsi amilosa/amilopektin yang berbeda pula. Adanya perbedaan proporsi amilosa/amilopektin kemungkinnan akan mempengaruhi sensitifitasnya terhadap pengaruh modifikasi HMT. Perbedaan panjang rantai serta perbedaan pengaturan amilosa dan amilopektin di dalam granula pati kemungkinan akan mempengaruhi 28

45 kemudahanan perubahannya pada saat dipanaskan bersama dengan sejumlah air. Menurut manuel (1996), pati legum termodifikasi HMT dari berbagai jenis legum dengan proporsi amilosa/amilopektin yang berbeda mengalami penurunan pelepasan amilosa (amylosa leaching), penurunan faktor pembengkakan granula (swelling factor) dan peningkatan suhu pelelehan dengan tingkat yang berbeda. Namun demikian, dari perbedaan yang ada belum terlihat adanya kecenderungan pati dengan proporsi amilosa yang lebih tinggi mempunyai perubahan yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan pati yang mempunyai proporsi amilosa yang lebih rendah atau sebaliknya. Studi yang dilakukan oleh Widaningrum dan Purwani (2006), menunjukkan bahwa pati jagung dengan kandungan amilopektin lebih tinggi lebih sensitif terhadap perlakuan HMT. Pati jagung dengan kandungan amilosa rendah (17.69%) mengalami pergeseran profil gelatinisasi dari tipe A menjadi tipe C. Sementara itu, pati jagung dengan kandungan amilosa tinggi (46.15%) mengalami pergeseran profil gelatinisasi dari tipe B menjadi tipe C. Studi yang dilakukan oleh Purwani et al. (2006), menunjukkan bahwa teknik HMT dapat menggeser type kurva profil gelatinisasi pati sagu dari tipe A menjadi tipe B. Pada pergeseran pola gelatinisasi ini terjadi perubahan beberapa parameter profil gelatinisasi diantaranya peningkatan suhu gelatinisasai, penurunan viskositas breakdown dan peningkatan viskositas setback. Besarnya perubahan beberapa parameter gelatinisasi tersebut berbeda untuk setiap asal sagu. Sagu Ihur yang mempunyai kandungan amilosa yang paling rendah mengalami peningkatan suhu gelatinisasi dan penurunan viskositas breakdown yang paling besar. Modifikasi HMT yang dilakukan terhadap pati ubi jalar dengan kandungan amilosa yang berbeda menunjukkan bahwa pati dengan kandungan amilosa yang lebih rendah lebih mudah mengalami pergeseran profil gelatinisasi dari tipe A menjadi tipe C bila dibandingkan dengan pati dengan kandungan amilosa yang lebih tinggi (Collado and Corke 1996). Selanjutnya menurut Collado and Corke (1999), pati ubi jalar dengan kandungan amilosa yang lebih tinggi dapat mengalami pergeseran profil gelatinisasi dari tipe A menjadi tipe C bila dimodifikasi HMT selama 4 dan 8 jam, penambahan waktu modifikasi menjadi 16 jam menghasilkan pati termodifikasi dengan profil gelatinisasi tipe B. 29

46 Pengaruh Suhu dan Kadar Air Perubahan yang terjadi pada pati yang dimodifikasi HMT disebabkan oleh adanya interaksi antara amilosa dan amilopektin didalam granula dengan air. Imbibisi air ke dalam granula pati dimungkinkan oleh adanya suhu tinggi yang dapat memutuskan ikatan hidrogen antar molekul amilosa-amilosa, amilosaamilopektin maupun amilopektin-amilopektin. Ikatan hidrogen antar molekul tersebut kemudian digantikan dengan ikatan hidrogen dengan air. Oleh karena itu, kadar air dan suhu yang diterapkan selama modifikasi kemungkinan akan saling berinteraksi dalam mempengaruhi karakteristik pati termodifikasi yang dihasilkan. Studi yang dilakukan oleh Vermeylen et al. (2006) menunjukkan bahwa pati termodifikasi HMT pada kadar air dan suhu yang lebih tinggi mempunyai suhu gelatinisasi yang lebih tinggi, kisaran suhu gelatinisasi yang lebih lebar dan energi entalpi gelatinisasi yang lebih rendah dibandingkan dengan pati termodifikasi HMT pada kadar air dan suhu yang lebih rendah. Selain itu, pati termodifikasi pada suhu dan kadar air yang lebih tinggi mempunyai ukuran lubang (kekosongan) di pusat granula yang lebih besar dan integritas granula pati termodifikasi pada suhu 130 o C telah hilang sebagian. Pengaruh Waktu dan Suhu Adanya pengaruh interaksi waktu dan suhu modifikasi HMT terhadap karakteristik pati termodifikasi dilaporkan oleh Ahmad (2009). Modifikasi yang dilakukan pada suhu pemanasan 110 o C selama 16 jam dapat menghasilkan pati termodifikasi dengan karakteristik gelatinisasi tipe C yaitu pati yang cenderung dapat mempertahankan viskositasnya selama pemanasan dan pengadukan. Selain mempunyai profil gelatinisasi tipe C, pati tersebut juga mempunyai kelarutan yang lebih rendah dan kekuatan gel yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan pati yang dimodifikasi pada kombinasi waktu dan suhu yang berbeda. Studi yang dilakukan oleh Lestari (2009), menunjukkan bahwa tepung jagung yang dimodifikasi HMT pada berbagai kombinasi suhu dan waktu yang berbeda menghasilkan tepung jagung dengan karakteristik gelatinisasi yang berbeda. Tepung jagung termodifikasi dengan tipe C yaitu tepung yang mempunyai stabilitas panas dan pengadukan tinggi diperoleh dengan kombinasi 30

47 suhu 110 o C dan waktu 6 jam. Selain itu, tepung tersebut juga mempunyai swelling volume dan amylose leaching yang lebih rendah bila dibandingkan dengan tepung yang dimodifikasi pada perlakuan lainnya. Studi yang dilakukan oleh Ahmad (2009) tidak menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan stabilitas pati dengan meningkatnya waktu dan suhu modifikasi HMT. Stabilitas panas pasta pati meningkat dengan meningkatnya waktu modifikasi dari 12 jam menjadi 16 jam, namun stabilitas panas tersebut menurun ketika waktu modifikasi ditingkatkan menjadi 20 jam. Stabilitas pasta panas pati meningkat dengan meningkatnya suhu modifikasi dari 100 o C menjadi 110 o C, namun stabilitas panas tersebut menurun dengan meningkatnya suhu modifikasi dari 110 o C menjadi 120 o C. Pengaruh ph dan Waktu Menurut collado and corke (1999), ph dan waktu modifikasi HMT mempengaruhi profil gelatinisasi pati ubi jalar termodifikasi yang dihasilkan. Pati ubi jalar (kandungan amilosa 15.2%) yang dimodifikasi HMT pada ph asal ( ) mempunyai viskositas puncak dan viskositas breakdown yang lebih rendah bila dibandingkan dengan pati yang dimodifikasi pada ph basa (ph 10) pada berbagai waktu modifikasi (4 jam, 8 jam dan 16 jam). Hal ini menunjukkan bahwa kestabilan pati yang dimodifikasi pada ph asal terhadap pemanasan dan pengadukan lebih tinggi bila dibandingkan dengan pati yang dimodifikasi pada ph basa. Peningkatan waktu modifikasi dari 4 jam menjadi 8 jam dan 16 jam cenderung meningkatkan breakdown pati ubi jalar termodifikasi baik yang termodifikasi pada ph asal maupun ph basa atau dapat dikatakan bahwa peningkatan waktu modifikasi cenderung menurunkan kestabilan pati terhadap pemanasan dan pengadukan. Kondisi ph tinggi selama modifikasi HMT berlangsung kemungkinan akan mempengaruhi perubahan yang terjadi pada pati yang termodifikasi. Basa kemungkinan akan melemahkan interaksi hidrogen antar molekul amilosa maupun amilopektin sehingga pada saat digelatinisasi akan mengembang lebih bebas (puncak viskositas meningkat) dan lebih mudah mengalami breakdown (Collado and Corke 1999). 31

48 Selain kondisi basa, kondisi asam kemungkinan akan mempengaruhi perubahan yang terjadi selama modifikasi pati. Studi terhadap pengaruh ph asam selama modifikasi pati dengan metode HMT perlu dilakukan mengingat studi tersebut belum pernah ada dan pati sagu yang digunakan pada penelitian ini mempunyai ph yang rendah. Aplikasi Pati Termodifikasi HMT Perubahan yang terjadi pada pati termodifikasi HMT mengarah pada pembentukan pati dengan stabilitas panas dan pengadukan yang lebih baik. Adanya pergeseran profil gelatinisasi dari tipe A menjadi tipe B bahkan menjadi tipe C (yang lebih stabil terhadap panas dan pengadukan) mengindikasikan bahwa pati termodifikasi HMT dapat diaplikasikan untuk produksi bihun (Lii and Chang 1981; Collado and Corke 1999; Collado et al. 2001; Purwani et al. 2006). Studi yang dilakukan Collado et al. (2001) menunjukkan bahwa bihun yang diproduksi dari pati ubi jalar termodifikasi HMT mempunyai kualitas fisik dan organoleptik yang lebih baik bila dibandingkan dengan bihun dari pati ubi jalar alami. Pengujian dengan texture analizer menunjukkan bahwa bihun dari pati ubi jalar termodifikasi HMT mempunyai kekerasan yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan bihun dari pati ubi jalar alami. Sementara itu, pengujian organoleptik menunjukkan bahwa bihun dari pati termodifikasi HMT memiliki tekstur, flavor dan penerimaan umum yang lebih disukai dibandingkan dengan bihun dari pati ubi jalar alami. Menurut Purwani et al. (2006), aplikasi pati sagu termodifikasi HMT untuk produksi bihun sagu dapat meningkatkan kualitas bihun sagu diantaranya meningkatkan kekerasan, menurunkan kelengketan dan meningkatkan elstisitas melalui pengukuran dengan tekstur analizer. Selanjutnya menurutn Purwani et al. (2006), bihun dari pati sagu termodifikasi HMT mempunyai susut masak yang lebih tinggi, berat rehidrasi yang lebih rendah dan karakteristik organoleptik yang lebih disukai bila dibandingkan dengan bihun dari pati sagu alami. Namun demikian, masih terdapat hambatan dalam aplikasi pati sagu termodifikasi untuk produk bihun terutama pada saat pembentukan bihun dengan ekstruder. Untaian 32

49 bihun yang keluar dari ekstruder cenderung saling menyatu sesamanya sehingga untaian harus dipisahkan satu-persatu diatas rak-rak pengukusan (Purwani et al. 2006). Selain itu, waktu masak (waktu rehidrasi) bihun dari pati sagu termodifikasi lebih lama bila dibandingkan dengan bihun dari pati sagu alami. Pengaruh penggunaan pati termodifikasi HMT terhadap peningkatan karakteristik fisik bihun juga dilaporkan oleh Lorlowhakarn and Naivikul (2006). Bihun yang disubstitusi dengan tepung beras termodifikasi HMT mempunyai elastisitas yang lebih tinggi bila dibanding dengan bihun dari tepung beras alami saja. Selain dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas bihun, pati ataupun tepung termodifikasi HMT dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas produk pasta lain seperti mi. Menurut Ahmad (2009), substitusi pati jagung termodifikasi HMT pada produk mi jagung dapat menurunkan susut masak dan memperbaiki penerimaan konsumen terhadap parameter kekerasan, elastisitas dan kelengketan mi. Lestari (2009), melaporkan bahwa mi jagung yang disubtitusi tepung jagung termodifikasi HMT mempunyai susut masak (Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan), kekerasan, dan kelengketan yang lebih rendah bila dibandingkan dengan mi dari tepung jagung alami.. Selanjutnya menurut Lestari (2009), mi jagung yang disubstitusi tepung jagung termodifikasi HMT memiliki tingkat kesukaan yang lebih tinggi bila dibanding mi dari tepung jagung alami. Tingkat substitusi tepung jagung termodifikasi HMT optimum adalah 10%. 33

50 BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat Penelitian Bahan utama penelitian ini adalah pati sagu yepha hongleu yang diperoleh dari Papua. Bahan pendukung yang digunakan antara lain: aquades, STPP, guargum, I 2, HCl pekat, NaOH, fenolftalein, Na 2 CO 3, asam sitrat, CuSO 4.5H 2 O, KI, H 2 SO 4, Na 2 S 2 O 3, lakmus, asam asetat, serta bahan pendukung lain yang digunakan untuk preparasi maupun analisis sampel. Peralatan yang digunakan antara lain terdiri atas peralatan utama dan peralatan pendukung. Peralatan utama yang digunakan adalah oven pengering dan ekstruder mi. Peralatan pendukung yang digunakan anatara lain: timbangan analitik, ayakan tepung, sentrifuse, mikroskop polarisasi cahaya, whiteness meter, brabender amilograph, tekstur analizer, freezer/refrigerator, spektrofotometer, ph meter, gelas jar, dan alat memasak (kompor, panci dan lain-lain) serta alat-alat lain yang digunakan untuk preparasi maupun analisis sampel. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama 7 bulan yaitu dari bulan Mei Desember Penelitian ini menggunakan fasilitas laboratorium yang terdapat di lingkungan kampus IPB Dramaga yaitu laboratorium Pilot Plant Seafast Center dan laboratorium kimia serta laboratorium rekayasa proses pangan Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian. Metode Penelitian Penelitian ini dibagi ke dalam dua tahap yaitu tahap penentuan perlakuan pencucian dan waktu modifikasi pati sagu dengan metode HMT dan tahap penentuan tingkat substitusi pati sagu termodifikasi yang dapat menghasilkan bihun sagu dengan kualitas yang baik. Diagram alir tahapan penelitian dapat dilihat pada Gambar 8.

51 Pati Sagu Alami Karakterisasi sifat fisiko-kimia Tahap 1 Modifikasi HMT (Kombinasi perlakuan pencucian dan waktu) Analisis profil gelatinisasi Pati termodifikasi terbaik Aplikasi pada bihun Informasi perubahan sifat fungsional pati Karakterisasi sifat fisiko-kimia Tahap 2 Formulasi bihun sagu dengan substitusi pati sagu termodifikasi: 0%, 25% dan 50% Karakterisasi kimia, fisik dan organoleptik bihun Formula yang memberikan bihun dengan kualitas terbaik Gambar 8 Diagram alir tahapan penelitian Penentuan Perlakuan Pencucian dan Waktu Modifikasi Pati Sagu dengan Metode HMT Modifikasi pati sagu dengan metode HMT dilakukan dengan menggunakan kombinasi perlakukan pencucian (dicuci dan tidak dicuci) dan waktu (4 jam, 8 jam dan 16 jam) untuk memperoleh pati termodifikasi dengan karakteristik gelatinisasi tipe C (pati yang stabil terhadap pemanasan dan pengadukan). Perlakuan pencucian pada pati sagu dimaksudkan untuk meningkatkan ph pati sagu. Pati sagu dicuci dengan menggunakan air minum dalam kemasan yang mempunyai ph netral (ph 7). Pencucian dilakukan dengan menggunakan perbandingan 1: 3 untuk pati sagu : air pencuci. Pati sagu dan air pencuci diaduk sampai membentuk suspensi yang homogen. Pati pada suspensi diendapkan 35

52 kemudian air pencuci dibuang. Pencucian dilakukan sebanyak 3 kali (sampai air pencuci bersifat netral). Pati sagu yang telah terpisah dari air pencuci dikeringkan pada suhu 50 o C selama satu malam (sampai kering) yaitu sampai kadar air < 13%. Terhadap pati sagu kering yang diperoleh dilakukan pengukuran ph untuk memastikan ph netral telah tercapai. Pati sagu dengan ph netral tersebut dikemas kemudian disimpan untuk digunakan dalam perlakuan HMT. Pati sagu yang telah dicuci ataupun yang belum dicuci dimodifikasi HMT dengan waktu yang sesuai dengan perlakukan (4 jam, 8 jam dan 16 jam). Metode modifikasi yang digunakan mengacu kepada metode Collado et al. (2001) dan Purwani et al. (2006). Sebelum dilakukan tahap modifikasi, kadar air pati sagu dianalisis sebagai dasar untuk menentukan jumlah air yang harus ditambahkan untuk mencapai kadar air pati sagu yang diinginkan (±26%). Penambahan air pada tepung dilakukan dengan cara penyemprotan yang disertai dengan pengadukan. Pati sagu yang telah diatur kadar airnya ditempatkan di dalam loyang tertutup. Loyang berisi sampel pati disimpan dalam refrigerator bersuhu 4 o C selama satu malam untuk menyeimbangkan kadar air dalam sampel pati. Setelah satu malam, loyang berisi sampel dipanaskan di dalam oven bersuhu 110 o C selama 4, 8 dan 16 jam sesuai dengan perlakuan sambil dilakukan pengadukan dengan selang waktu 2 jam. Loyang dikeluarkan dari oven dan didindinkan selama 1 jam di suhu ruang. Pati dikeringkan selama 4 jam pada suhu 50 o C. Pati kering digiling kemudian diayak dengan menggunakan ayakan 100 mesh. Modifikasi pati sagu dengan metode HMT disajikan pada Gambar 9. Pati termodifikasi terpilih ditentukan berdasarkan analisis profil gelatinisasi dengan menggunakan brabender amilograf. Terhadap pati terpilih yaitu pati dengan profil gelatinisasai yang paling mendekati tipe C dilakukan analisis kimia (kadar air, kadar pati dan kadar amilosa) serta analisis fisik (bentuk dan ukuran granula, swelling volume, kelarutan, dan kekuatan gel). Karakteristik pati sagu termodifikasi terpilih dibandingkan dengan karakteristik pati sagu alami untuk mengetahui informasi perubahan karakteristik pati karena modifikasi HMT. 36

53 Pati sagu (600 g) Pengaturan kadar air sampai ±26% Penyimpanan dalam loyang tertutup Penyimpanan loyang berisi pati di dalam refrigerator (4 5 o C) selama 1 malam Pemanasan loyang pada suhu 110oC dengan waktu yang sesuai perlakuan (4 jam, 8 jam dan 16 jam) Pendingininan di suhu ruang selama 1 jam Pengeringan pada suhu 50oC selama 4 jam Pendinginan Penggilingan dan pengayakan dengan ayakan 100 mesh Pengemasan Gambar 9 Modifikasi pati sagu dengan metode HMT (Collado et al. 2001; Purwani et al. 2006) Penentuan Tingkat Substitusi Pati Sagu Termodifikasi yang Dapat Menghasilkan Bihun Sagu dengan Kualitas yang Baik Penentuan tingkat substitusi pati sagu termodifikasi HMT untuk produksi bihun sagu dilakukan melalui tiga formulasi. Formulasi bihun sagu disajikan pada Tabel 6. 37

54 Tabel 6 Persentase penggunaan pati sagu termodifikasi dalam formulasi bihun sagu Bahan Tingkat substitusi pati sagu termodifikasi HMT 0% 25% 50% Pati sagu alami 100% 75% 50% Pati sagu termodifikasi HMT 0% 25% 50% Air* 40% 40% 40% STPP* 0.2% 0.2% 0.2% Guar gum* 1% 1% 1% Keterangan: *Persentase air, STPP dan guar gum adalah persentase terhadap pati sagu Tingkat substitusi pati termodifikasi yang digunakan adalah 0% (tanpa pati termodifikasi HMT), 25% pati termodifikasi HMT dan 50% pati termodifikasi HMT. Sementara itu bahan tambahan yang lain seperti air, STPP dan guar gum dibuat sama yaitu masing-masing mencapai 60%, 0.2% dan 1%. Persentase bahan tambahan lain tersebut adalah persentase terhadap pati sagu. Produksi bihun sagu diawali dengan pembentukan binder (perekat). Pembentukan binder dilakukan dengan cara menggelatinisasi sebagain pati (20%) yang akan digunakan dalam pembentukan adonan bihun. Pati yang digunakan sebagai binder adalah pati sagu alami mengingat pati sagu termodifikasi mempunyai daya rekat yang relatif rendah. Pada pembuatan binder, STPP dilarutkan bersama air. Larutan STPP dicampurkan dengan pati sagu. Suspensi pati sagu yang terbentuk dipanaskan sampai tergelatinisasi sempurna yaitu mempunyai penampakan yang transparan. Gel pati yang terbentuk bersifat lengket sehingga dapat digunakan sebagai binder dalam pembuatan adonan bihun sagu. Sisa pati sagu yang belum tergelatinisasi (80%) dicampur kering bersama guar gum kemudian diadon bersama binder yang berupa pati yang telah tergelatinisasi. Adonan yang telah homogen dimasukkan ke dalam pencetak bihun yang berupa multifunc-tional noodle machine yang bekerja dengan prinsip ekstrusi. Selama proses ekstrusi berlangsung, ulir yang terdapat pada alat ekstruder akan berputar sehingga adonan bihun terdorong keluar dan melewati 38

55 lubang (die) dengan ukuran tertentu. Untaian bihun yang keluar dari ekstruder dibentuk kemudian diletakkan di atas rak-rak pengukusan. Pengukusan bihun sagu dilakukan selama 2 menit pada suhu 90 o C. Selanjutnya, untaian bihun dikeringkan di dalam oven udara pada suhu 60 o C selama 35 menit. Bihun kering yang diperoleh dikemas dengan menggunakan kemasan plastik polyprophylene. Produksi bihun sagu disajikan pada Gambar 10. Pati sagu (20%) Air STPP Pencampuran Pelarutan Pemanasan Pati sagu (80%) Guar gum Pengadonan Pembentukan untaian bihun Pencampuran Pengukusan (T=90 o C dan t=2 menit) Pengeringan (T=60 o C dan t=35 menit) Bihun sagu Gambar 10 Proses produksi bihun sagu yang disubstitusi pati sagu termodifikasi Bihun yang diperoleh dianalisis yang terdiri atas kadar air, analisis tekstur (dengan texture analyzer), waktu pemasakan, analisis cooking lose (susut masak) yang dinyatakan dengan kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP), berat rehidrasi (berat setelah dimasak), dan analisis organoleptik. Bihun yang terpilih adalah bihun yang mempunyai tekstur yang paling baik, waktu pemasakan tercepat, KPAP terendah, berat rehidrasi terendah dan mempunyai sifat organoleptik yang paling disukai oleh panelis. 39

56 Rancangan Percobaan dan Analisis Data Rancangan Percobaan Penelitian tahap 1 yaitu modifikasi pati sagu dengan metode HMT didisain dengan dua faktor perlakuan dengan menggunakan rancangan dua faktor dalam rancangan acak lengkap. Menurut Mattjik dan Sumertajaya (2006), model aditif linier pada rancangan percobaan tersebut adalah sebagai berikut: Y ijk = μ + α i + β j + (αβ) ij + ε ijk Dimana: Yijk = nilai pengamatan pada faktor ph taraf ke-i dan faktor waktu taraf ke-j dan ulangan ke k μ = komponen aditif dari rataan αi = pengaruh utama faktor pencucian (tidak dicuci dan dicuci) βj = pengaruh utama faktor waktu (4, 8, 16 jam) (αβ)ij = komponen interaksi dari faktor pencucian dan faktor waktu εijk = pengaruh acak yang menyebar normal (0, σ2) Penelitian tahap 2 yaitu aplikasi pati sagu termodifikasi terpilih pada bihun sagu didisain dengan satu faktor perlakuan yaitu dengan menggunakan rancangan satu faktor dalam acak lengkap. Model aditif linier pada rangcangan percobaan tersebut adalah sebagai berikut: Y ij = μ + β i + ε ij Dimana : Y ij = nilai pengamatan taraf ke-i ulangan ke j μ = komponen aditif dari rataan β i = pengaruh utama faktor perlakuan ke-i ε ij = Galat perlakuan ke-i, ulangan ke-j Analisis Data Penentuan pengaruh kombinasi perlakuan pencucian dan waktu terhadap karakteristik pati sagu termodifikasi dilakukan berdasarkan analisis data parameter profil gelatinisasi pati dengan metode General Linier Method (GLM) pada program Statistical Analysis System (SAS). Apabila kombinasi perlakuan 40

57 pencucian dan waktu berpengaruh terhadap parameter profil gelatinisasi pati sagu maka dilakukan uji lanjut Duncan pada program yang sama untuk mengetahui perlakuan pencucian dan waktu yang dapat memberikan pati sagu termodifikasi yang paling sesuai untuk produk bihun. Selanjutnya, karakteristik pati sagu termodifikasi terpilih dibandingkan dengan karakteristik pati alami dengan menggunakan uji T untuk mengetahui adanya perubahan karakteristik karena modifikasi HMT. Penentuan pengaruh tingkat substitusi pati sagu termodifikasi HMT terhadap produk bihun sagu dilakukan dengan menggunakan metode oneway ANOVA pada program SPSS. Untuk mengetahui tingkat substitusi yang memberikan karakteristik bihun yang paling baik dilakukan analisis lanjut dengan metode Duncan pada program yang sama. Prosedur Penelitian Karakterisasi Sifat Fisiko-Kimia Pati Sagu Alami dan Pati Sagu Termodifikasi HMT a. Bentuk, Ukuran dan Sifat Birefringence Granula Pati dengan Mikroskop Polarisasi Cahaya Pati/tepung dibuat suspensi dalam air dan dilihat dibawah mikroskop polarisasi cahaya. Bentuk dan sifat birefringence granula pati dapat langsung dilihat di bawah mikroskop dengan pembesaran 400 x. Ukuran granula pati ditentukan berdasarkan rata-rata dan kisaran dari granula pati yang berhasil didokumentasikan oleh kamera. b. Swelling Volume dan Klarutan (Collado and Corke 1999; Singh et al. 2005) Sebanyak masing-masing 0.35 g pati dimasukkan ke dalam tabung sentrifuse berukuran 12.5 x 16 mm. Sebanyak 12.5 ml aquades ditambahkan ke dalam tabung kemudian disetimbangkan selama 5 menit. Tabung dipanaskan pada pengangas dengan suhu 92.5 o C selama 30 menit sambil sesekali dikocok. Sampel didinginkan pada air es selama 1 menit, didiamkan pada suhu ruang selama 5 menit kemudian disentrifugasi pada 3500 rpm selama 30 menit. Tinggi gel yang diperoleh diukur kemudian dikonversi menjadi volume gel per g sampel yang 41

58 kemudian dinyatakan dengan swelling power. Supernatan yang berada di bagian atas tabung disaring melalui kertas saring yang telah diketahui beratnya dan filtrat yang diperoleh ditampung dengan cawan yang telah diketahui beratnya pula. Kertas saring dan cawan dikeringkan pada suhu 110 o C selama satu malam. Sampel yang tertinggal pada kertas saring merupakan berat pati yang tersuspensi di dalam supernatan dan sampel yang tertinggal pada cawan merupakan pati yang terlarut. Persentase pati yang tersuspensi dan terlarut dihitung berdasarkan perbandingan beratnya terhadap berat kering sampel awal. c. Analisis Profil Gelatinisasi Pati dengan Brabender Amilograph (Wattanachant et al ; Purwani et al. 2006) Karakteristik gelatinisasi dapat dilihat dengan menggunakan alat Brabender Amylograph. Pati disuspensikan dalam air dengan konsentrasi 6% (6% padatan pati dalam 450 ml air). Suspensi dipanaskan dari suhu 30 o C sampai 95 o C dengan kecepatan peningkatan suhu sebanyak 1.5 o C/ menit. Setelah mencapai 95 o C, suhu dipertahankan selama 20 menit. Suhu kemudian diturunkan sampai 50 o C dan dipertahankan kembali selama 20 menit. Perubahan viskositas selama analisis akan dicatat di atas kertas yang dinamakan amilogram. Informasi yang dapat diperoleh dari amilogram adalah parameter profil gelatinisasi pati antara lain: suhu awal gelatinisasi (SAG) yaitu suhu pada saat viskositas pasta mulai naik, suhu puncak gelatinisasi (SPG) yaitu suhu pada saat pasta mencapai viskositas maksimum, viskositas puncak gelatinisasi (VP), viskositas pasta panas (VPP) yaitu viskositas setelah dipertahankan pada suhu 95 o C selama 20 menit, viskositas breakdown (VB) yaitu perubahan viskositas selama pemanasan, viskositas pasta dingin (VPD) yaitu viskositas pada saat pasta didinginkan pada suhu 50 o C selama 20 menit, dan viskositas set back (VB) yaitu perubahan viskositas selama pendinginan. Penentuan parameter profil gelatinisasi pati disajikan pada Gambar 11. Kurva profil gelatinisasi yang terdapat pada amilogram tidak dapat memberikan informasi suhu awal gelatinisasi (SAG) maupun suhu puncak gelatinisasi (SPG). Penentuan SAG dan SPG dilakukan berdasarkan waktu pada saat kurva mulai menaik (untuk SAG) dan waktu pada saat kurva mencapai viskositas maksimumnya (untuk SPG). Brabender amilograf yang digunakan 42

59 mempunyai peningkatan suhu per satuan waktu yang konstan sehingga perhitungan suhu setelah waktu tertentu dapat dihitung dengan mudah yaitu dengan cara menambahkan suhu awal analisis dengan kenaikan suhu selama waktu tertentu. VP Viskositas (BU) SAG SPG VB Profil suhu VPP VPD SB Waktu (menit) Suhu ( o C) Gambar 11 Kurva Profil gelatinisasi pati: SAG (suhu awal gelatinisasi), SPG (suhu puncak gelatinisasi), VP (viskositas puncak), VPP (viskositas pasta panas), VB (viskositas breakdown), VPD (viskositas pasta dingin) dan VB (viskositas set back). Suhu awal analisis dengan amilograf merupakan suhu ruang yaitu 30 o C. Apabila selama analisis suhu pemanas meningkat dengan kecepatan 1.5 o C/ menit, maka SAG dan SPG dapat dihitung dengan menggunakan rumus berikut: SAG = (1.5xWAG) + 30 SPG = (1.5xWPG) + 30 Dimana: SAG=Suhu awal gelatinisasi ( o C) SPG=Suhu puncak gelatinisasi ( o C) WAG=Waktu pada saat kurva mulai menaik (menit) WPG=Waktu pada saat kurva mencapai viskositas maksimumnya (menit) 1.5=kenaikan suhu sebanyak 1.5 o C/menit 30=Suhu awal analisis (30 o C) 43

60 d. Kekuatan Gel (Wattanachant et al yang dimodifikasi) Pati dibuat suspensi dengan konsentrasi padatan kering sebanyak 6%. Suspensi dipanaskan sampai mencapai suhu gelatinisasinya. Pasta pati dituang ke dalam tabung plastik (diameter 4 cm dan tinggi 5 cm) sampai penuh. Tabung disimpan pada suhu 4 o C selama 24 jam. Pengukuran kekuatan gel dilakukan dengan menggunakan tekstur analizer pada kondisi sebagai berikut mode: kekuatan gel Test mode and option measure force in compression, pre test speed: 0.2 mm/detik, test speed: 0.2 mm/detik, post test speed: 0.2 mm/detik, distance: 4.0 mm, tipe: Auto, force: 4 g, dan acessory: 0.5 radius cylinder (P/0.5 R). Penentuan kekuatan gel didasarkan pada maksimum gaya (nilai puncak) pada tekanan/ kompresi pertama dengan satuan gf (gram force). e. Analisis Sineresis (Wattanachant et al yang dimodifikasi) Pasta pati dibuat dengan prosedur seperti pada persiapan pasta pati untuk analisis kekuatan gel. Pasta pati ditimbang sebanyak masing-masing 20 g ke dalam 2 buah tabung sentrifuse yang telah diketahui beratnya. Tabung sentrifuse ditutup dengan rapat. Tabung disimpan pada suhu 4 o C selama 24 jam diikuti dengan pembekuan pada suhu -20 o C selama 48 jam. Pati dikeluarkan dari freezer kemudian dithawing pada suhu ruang selama 4 jam. Sampel yang telah mendapat perlakuan satu siklus freeze-thaw disentrifusi selama 15 menit pada kecepatan 3500 rpm. Selama sentrifusi berlangsung, air yang keluar dari matriks gel selama perlakuan freeze-thaw akan berada dibagian atas tabung dan gel pati akan berada di bagian bawah tabung. Air yang berada di atas tabung dipisahkan kemudian diukur beratnya. Pesentase sineresis dinyatakan dengan perbandingan antara air yang keluar terhadap berat awal pasta pati. f. Analisis Kadar Air Pati (AOAC 1999) Sebanyak 1 2 g pati sagu ditimbang ke dalam cawan yang telah diketahui beratnya. Cawan berisi sampel sagu dimasukkan ke dalam oven bersuhu 130 o C selama 1 jam. Cawan dikeluarkan dari oven dan dipindahkan ke dalam desikator selama 15 menit. Selanjutnya, cawan berisi sampel pati sagu ditimbang dengan menggunakan timbangan analitik. Cawan dipanaskan kembali di dalam oven 44

61 sampai diperoleh berat konstan. Kadar air dihitung dengan menggunakan rumus berikut: W ( W1 W 2) Kadar air (g/100 g bahan basah) = x100 W dimana : W = bobot contoh sebelum dikeringkan (g) W1 = bobot contoh + cawan sesudah dikeringkan (g) W2 = bobot cawan kosong (g) g. Analisis Kandungan Pati (SNI ) Timbang sebanyak 5 g sampel ke dalam erlenymeyer 500 ml. Sebanyak 200 ml larutan HCl 3% ditambahkan ke dalam erlenmeyer. Erlenmeyer dididihkan selama 3 jam dengan pendingin tegak. Larutan dalam erlenmeyer dinetralkan dengan larutan NaOH 30% (dilihat dengan lakmus atau fenolftalein) dan ditambahkan sedikit CH 3 COOH 3% agar suasana larutan menjadi sedikit asam. Larutan dipindahkan ke dalam labu ukur 500 ml dan ditepatkan hingga tanda tera kemudian disaring. Sebanyak 10 ml filtrat dipipet ke dalam erlenmeyer 500 ml dan ditambah dengan 25 ml larutan luff, batu didih dan 15 ml aquadest. Erlenmeyer dipanaskan dengan nyala api tetap. Setelah mendidih selama 10 menit, erlenmeyer didinginkan di dalam bak berisi es. Setelah campuran dingin, dilakukan penambahan 15 ml larutan KI 20% dan 25 ml H 2 SO 4 25% secara perlahan-lahan. Campuran dititrasi dengan menggunakan larutan Na 2 S 2 O N. Titik akhir titrasi ditentukan dengan indikator pati 0.5%. Prosedur analisis yang sama dilakukan terhadap blanko. Perhitungan kadar pati sampel ditentukan berdasaran kadar glukosa yang terkuantifikasi pada titrasi sampel. Kadar glukosa dihitung berdasarkan volume dan normalitas larutan Na 2 S 2 O 3 yang digunakan, sebagai berikut: Na 2 S 2 O 3 yang dipergunakan = Vb Vs)xNNa S O x10 dimana: ( Vb = volume Na 2 S 2 O 3 yang digunakan untuk titrasi blanko Vs = volume Na 2 S 2 O 3 yang digunakan untuk titrasi sampel N Na 2 S 2 O 3 = Konsentrasi Na 2 S 2 O 3 yang digunakan untuk titrasi 45

62 Jumlah (mg) gula yang terkandung untuk ml Na 2 S 2 O 3 yang digunakan ditentukan dengan daftar Luff Schrool (Tabel 7). Dari tabel tersebut dapat diketahui hubungan antara volume Na 2 S 2 O 3 0.1N yang dipergunakan dengan jumlah glukosa yang ada pada sampel yang dititrasi. Selanjutnya, kadar glukosa dan kadar pati dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut: wxfp G = w1 x100 dimana: P = Gx0.90 G = kadar glukosa sampel (%) w = glukosa yang terkandung untuk ml Na 2 S 2 O 3 yang dipergunakan (mg) dari tabel w1 = bobot sampel (mg) fp = faktor pengenceran P = kadar pati (%) Tabel 7 Penetapan Gula menurut Luff Schoorl Na 2 S 2 O 3 0.1N (ml) Glukosa, Fruktosa dan Gula inversi (mg) Na 2 S 2 O 3 0.1N (ml) Glukosa, Fruktosa dan Gula inversi (mg) h. Analisis Kandungan Amilosa dan Amilopektin (Apriyantono et al. 1989; Riley et al. 2006) Lemak dari pati/tepung diekstrak dengan heksan (AOAC 1990). Sebanyak 100 mg pati/tepung bebas lemak didispersikan di dalam 1.0 ml etanol dan 9.0 ml NaCl 1 M. Volume ditepatkan menjadi 100 ml dengan menggunakan air destilata. Sebanyak 5 ml aliquot ditransfer ke dalam labu takar 50 ml yang berisi 25 ml air destilata. Sebanyak 0.5 ml asam asetat 1 M dan 1 ml larutan iod (0.2 % iod dalam 46

63 2% potasium iodida) ditambahkan kedalam labu takar. Volume aliquot ditepatkan sampai tanda tera dengan menggunakan aquades. Aliquot diukur absorbansinya pada λ 620 nm. Kandungan amilosa ditentukan dengan menggunakan kurva standar amilosa murni dari kentang. Standar amilosa dibuat dengan cara menimbang 40 mg amilosa murni dan masukkan ke dalam tabung reaksi. Ke dalam tabung reaksi ditambahkan 1 ml etanol 95% dan 9 ml NaOH 1N. Tabung reaksi dipanaskan di dalam air mendidih sekitar 10 menit sampai semua amilosa membentuk gel. Setelah didinginkan, campuran dipindahkan secara kuantitatif ke dalam labu takar 100 ml dan ditepatkan dengan akuades sampai tanda tera. Sebanyak masingmasing 1, 2, 3, 4 dan 5 ml larutan tersebut dipipet ke dalam labu takar 100 ml. Ke dalam masing-masing labu takar ditambahkan asam asetat 1N sebanyak 0.2, 0.4, 0.6, 0.8 dan 1 ml, kemudian masing-masing ditambah dengan 2 ml larutan iod. Larutan tersebut ditepatkan dengan akuades hingga tanda tera. Setelah didiamkan selama 20 menit, absorbansi dari intensitas warna biru yang terbentuk diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 625 nm. Kurva standar dibuat sebagai hubungan antara kadar amilosa (sumbu x) dengan absorbansi (sumbu y). Kadar amilosa standar yang digunakan disajikan pada Tabel 8. Tabel 8 Kadar amilosa standar Volume Amilosa Konsentrasi Amilosa Standar (ml) Standar (mg/ml) Kadar amilosa dalam sampel dihitung dengan menggunakan rumus berikut: CxVxFx100 Kadar amilosa% = W Keterangan: C = konsentrasi amilosa contoh dari kurva standar (mg/ml) V =Volume akhir contoh (ml) F =Faktor pengenceran W = berat contoh (mg) 47

64 Kandungan amilosa dalam sampel dapat digunakan untuk memperkirakan kandungan amilopektin. Kandungan amilopektin dapat dihitung berdasarkan selisih antara total kandungan pati dengan kandungan amilosa. Analisis Karakteristik Bihun (Chen 2003; Purwani et al. 2006; Codex Stan ) a. Kadar Air dengan Metode Oven Cawan kosong dan tutupnya dikeringkan dalam oven selama 15 menit dan didinginkan dalam desikator (selama 10 menit untuk cawan aluminium). Cawan kering ditimbang. Sebanyak 1 g sampel ditimbang dengan cepat ke dalam cawan kering, kemudian dihomogenkan. Tutup cawan dibuka, cawan sampel beserta tutupnya di keringkan dalam oven suhu 105 o C selama 3 jam. Cawan diletakan secara seksama agar tidak menyentuh dinding oven. Cawan sampel dipindahkan ke dalam desikator, ditutup dengan penutup cawan, didinginkan lalu ditimbang kembali. Cawan dimasukkan kembali ke dalam oven sanpai diperoleh berat konstan. Kadar air dihitung dengan menggunakan rumus berikut: W ( W1 W 2) Kadar air (g/100 g bahan basah) = x100 W dimana : W = bobot contoh sebelum dikeringkan (g) W1 = bobot contoh + cawan sesudah dikeringkan (g) W2 = bobot cawan kosong (g) b. Waktu Pemasakan (Waktu Rehidrasi) Waktu pemasakan diukur dengan cara merebus 5 g bihun dengan ukuran 2-3 cm di dalam 200 ml air mendidih. Bihun diambil setiap 30 detik dan ditekan diantara 2 dua permukaan gelas. Waktu pemasakan optimum tercapai ketika bagian tengah bihun sudah terehidrasi sempurna. c. Analisis Tekstur Pengukuran tekstur bihun dilakukan terhadap bihun yang telah dimasak sesuai dengan waktu pemasakan optimumnya. Pemasakan dilakukan dengan cara 48

65 memasukkan 25 g bihun ke dalam 500 ml air yang telah dididihkan. Bihun yang telah masak disiram dengan air dingin untuk menghentikan pemanasan. Bihun disiram dengan 200 ml air dingin, ditiriskan dan diukur dengan menggunakan Texture Analizer TA-XT2. Kondisi yang digunakan pada pengukuran tekstur bihun antara lain test mode and option: TPA, probe dengan bentuk selinder berdiameter 35 mm, pre test speed: 2.0 mm/s, test speed: 0.1 mm/s, post test speed: 2.0 mm/s, distance:75%, time: 5 sec dan calibrate probe: 15 mm. Selama pengukuran, bihun akan diberi gaya kompresi sebanyak dua kali. Dari kondisi yang di setting tersebut akan diperoleh kurva texture profile analysis (TPA) bihun seperti yang terdapat pada Gambar 12. L1 L2 Gambar 12 Kurva texture profile analysis (TPA) Kurva TPA yang diperoleh dapat memberikan informasi mengenai parameter tekstur bihun antara lain: kekerasa (hardness), daya kohesif (cohesiveness), daya adhesif (adhesiveness), elastisitas (elasticity), dan kelengketan (gumminess/stickiness). Kekerasan ditentukan dari maksimum gaya (nilai puncak) pada tekanan/ kompresi pertama dan dinyatakan dengan satuan gf. 49

66 Daya kohesif dihitung dari luasan di bawah kurva pada tekanan kedua (A2) dibagi dengan luasan di bawah kurva pada tekanan pertama (A1) atau A2/A1. Elastisitas ditentukan dari jarak yang ditempuh oleh produk pada tekanan kedua sehingga tercapai nilai gaya maksimumnya (L2) dibandingkan dengan jarak yang ditempuh oleh produk pada tekanan pertama sehingga tercapai nilai gaya maksimum-nya (L1) atau L2/L1. Kelengketan ditentukan dari luasan yang berada dibawah sumbu x (nilai negatif dengan satuan gf). d. KPAP (Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan) dan Berat Rehidrasi Sebanyak 5 g bihun dengan ukuran 2-3 cm direbus di dalam 200 ml air mendidih sesuai dengan waktu rehidrasinya. Bihun ditiriskan dan dibilas dengan air destilata, kemudian ditimbang di dalam cawan yang telah diketahui beratnya. Bihun dikeringkan dengan menggunakan oven udara pada suhu 105 o C selama satu malam. Persentase berat hehidrasi dan persentase KPAP dihitung sebagai berikut: A C BR(%) = x100 BS m (B C) KPAP(%) = (1 BS (1 KA m m )x100 ) dimana: A = Berat cawan dan sampel setelah direhidrasi B = Berat cawan dan sampel setelah dikeringkan C = Berat cawan KA m = Kadar air mula-mula BS m = Berat sampel mula-mula BR = Berat rehidrasi KPAP = Kehilangan padatan akibat pemasakan e. Analisis Organoleptik Bihun Analisis organoleptik dilakukan terhadap 3 formula dengan 4 kriteria mutu yaitu kekenyalan, kekerasan, kelengketan dan kesan keseluruhan. Uji yang digunakan adalah uji rangking hedonik dengan mengurutkan sampel yang mempunyai tingkat kesukaan tertinggi (rangking 1) sampai yang mempunyai 50

67 tingkat kesukaan terendah (rangking 3). Penelis yang digunakan adalah panelis semi terlatih dengan jumlah 30 orang. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan uji Friedman untuk mengetahui pengaruh perbedaan formula terhadap rangking kesukaan sampel. Apabila hasil analisis berbeda nyata maka dilakukan uji lanjut dengan uji LSD (least significant difference) untuk mengetahui formula yang mempunyai rangking terbaik. 51

68 HASIL DAN PEMBAHASAN Modifikasi Pati Sagu dengan Metode HMT Perubahan karakteristik pati sagu karena modifikasi HMT kemungkinan dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya ph dan waktu. Untuk mengetahui keberadaan interaksi antara waktu dan ph modifikasi HMT terhadap karakteristik pati termodifikasi, pati sagu yepha hungleu dimodifikasi pada kombinasi waktu dan ph yang berbeda. Waktu modifikasi yang digunakan adalah 4 jam, 8 jam dan 16 jam. Sementara itu untuk perlakukan ph digunakan perlakuan pencucian yaitu dicuci (untuk meningkatkan ph) dan tidak dicuci. Pemilihan waktu modifikasi dilakukan berdasarkan beberapa studi yang dilakukan sebelumnya bahwa modifikasi HMT dengan waktu 16 jam dapat menghasilkan pati termodifikasi dengan karakteristik yang lebih baik bila dibandingkan dengan pati alaminya (Collado 2001; Adebowale and Lawal 2005; Purwani 2006; Olayinka 2008). Studi yang dilakukan oleh Collado et al. (1999); menunjukkan bahwa modifikasi HMT dapat dilakukan dengan waktu yang lebih singkat (<16 jam). Pati sagu yepha hungleu yang diperoleh dari Sentani, Jayapura merupakan pati sagu yang telah melalui berbagai tahapan proses. Pada rangkaian proses pengolahan pati sagu tersebut banyak tahapan proses yang tertunda sehingga memungkinkan adanya aktivitas mikroba pembentuk asam yang membuat pati sagu yang dihasilkan mempunyai ph yang rendah. Pengukuran ph yang dilakukan menunjukkan bahwa pati sagu mempunyai ph rendah yaitu mencapai Rendahnya ph asal pati sagu kemungkinan akan mempengaruhi karakteristik pati sagu termodifikasi yang dihasilkan mengingat keberadaan asam organik dan suhu tinggi berpeluang menyebabkan adanya hidrolisis pati secara parsial selama modifikasi berlangsung. Oleh karena itu, pada penelitian ini dilakukan modifikasi pati sagu dengan perlakuan persiapan sampel yang berbeda yaitu tanpa tahap pencucian atau melalui tahap pencucian. Sampel yang tidak dicuci memiliki ph asam yaitu Sementara itu pati yang dicuci mempunyai ph yang lebih tinggi.

69 Air yang digunakan dalam proses pencucian pati sagu asal Papua adalah air minum dalam kemasan dengan ph netral. Selama pencucian berlangsung, asamasam organik yang terdapat pada pati sagu akan terlarut bersama air pencuci sehingga konsentrasinya menjadi jauh berkurang. Pencucian pati sagu dilakukan secara berulang untuk mengoptimalkan pengurangan asam organik yang terdapat pada pati sagu. Pencucian dengan air sebanyak tiga kali yang menggunakan perbandingan 1:3 untuk pati : air menghasilkan pati sagu dengan ph netral (ph ± 7). Pati tanpa pencucian dan pati dengan pencucian dimodifikasi HMT dengan 3 perlakuan waktu (4 jam, 8 jam dan 16 jam) sehingga akan diperoleh 6 kombinasi yang berbeda. Kombinasi antara waktu dan perlakuan pencucian yang telah ditetapkan diharapkan dapat memberikan interaksi yang nyata terhadap karakteristik pati termodifikasi yang dituju yaitu pati dengan profil gelatinisasi tipe C yang sesuai untuk produksi bihun. Kondisi modifikasi yang lain seperti kadar air, suhu, dan jenis pati sagu dibuat homogen yaitu kadar air 26-27%, suhu 110 o C dan menggunakan satu jenis pati sagu. Estimasi penambahan jumlah air pada pati sagu dilakukan dengan menggunakan prinsip kesetimbangan masa. Melalui prinsip kesetimbangan masa tersebut ditetapkan kadar air target adalah sebesar 28%. Target kadar air yang lebih tinggi pada penghitungan kesetimbangan masa ditujukan untuk mengantisipasi adanya penguapan air yang terjadi pada proses penambahan air yang dilakukan dengan penyemprotan. Penyemprotan yang disertai dengan pengadukan pada wadah terbuka memungkinkan air menguap dan kadar air sebenarnya akan lebih kecil dari kadar air target. Analisis kadar air yang dilakukan terhadap pati sagu yang telah disetimbangkan selama satu malam pada suhu refrigerator menunjukkan bahwa pati sagu mempunyai kisaran kadar air 26 27%. Kadar air tersebut sesuai dengan kadar air yang telah ditargetkan semula. Menurut Lawal and Adebowale (2005) pati jack bean yang dimodifikasi HMT pada kadar air 27% memiliki suhu awal gelatinisasi yang paling tinggi, viskositas puncak yang paling rendah dan breakdown yang paling rendah bila dibandingkan dengan pati yang dimodifikasi pada kadar air yang lebih rendah (18%, 21% dan 24%) serta pati alaminya. Hal ini menunjukkan bahwa pati jack bean yang 53

70 dimodifikasi pada kadar air 27% memiliki profil gelatinisasi yang lebih mendekati pati dengan profil gelatinisasi tipe C. Studi yang dilakukan oleh Collado et al menunjukkan bahwa pati termodifikasi dengan profil gelatinisasi tipe C dapat dihasilkan melalui modifikasi HMT yang dilakukan pada kadar air 27 30%. Pemilihan suhu modifikasi dilakukan berdasarkan beberapa studi yang dilakukan sebelumnya. Modifikasi HMT pada suhu 110 o C dapat menghasilkan pati termodifikasi dengan profil gelatinisasi tipe C (Collado et al. 1999; Collado et al. 2001; Olayinka et al. 2008). Penggunaan kondisi modifikasi yang homogen diharapkan tidak memberikan pengaruh yang berbeda pada perlakuan yang diterapkan. Dengan demikian perbedaan karakteristik pati termodifikasi yang dihasilkan diharapkan hanya dipengaruhi oleh perlakuan pencucian dan waktu. Pengaruh Perlakuan Pencucian, Waktu Modifikasi HMT dan Interaksinya Terhadap Profil Gelatinisasi Pati Sagu Modifikasi pati sagu yang dilakukan pada kombinasi waktu (4 jam, 8 jam dan 16 jam) dan pencucian (tidak dicuci dan dicuci) menghasilkan pati sagu termodifikasi dengan profil gelatinisasi yang berbeda dengan pati sagu alaminya (Gambar 13). Secara visual terlihat bahwa pati sagu alami lebih mudah mengalami gelatinisasi yang dapat dilihat dari peningkatan viskositas pasta sagu alami yang lebih cepat bila dibanding pati sagu termodifikasi HMT pada semua perlakuan. Viskositas pasta sagu alami semakin meningkat dengan meningkatnya waktu dan suhu pemanasan sampai mencapai puncaknya dimana pasta pati sagu tidak dapat meningkat lagi. Secara umum sagu alami mempunyai viskositas puncak yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan puncak viskositas pati termodifikasi HMT pada semua perlakuan. Adanya penurunan puncak viskositas pati yang termodifikasi HMT dilaporkan oleh Collado and Corke (1999); Collado et al. (2001); dan Pukkahuta et al. (2008). Puncak viskositas pasta yang tinggi pada pati sagu alami menurun dengan cepat ketika pemanasan dipertahankan pada suhu 95 o C. Penurunan puncak viskositas yang tajam pada pati sagu alami mengindikasikan bahwa pati sagu alami memiliki viskositas breakdown (selisih antara viskositas puncak dengan 54

71 viskositas pasta pada saat dipertahankan pada suhu 95 o C selama 20 menit) yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan pati sagu termodifikasi HMT pada semua perlakuan. Tingginya viskositas puncak dan viskositas breakdown pati sagu alami menunjukkan bahwa pati sagu alami lebih rentan terhadap pemanasan yang disertai pengadukan bila dibandingkan dengan pati sagu termodifikasi HMT pada semua perlakuan. Peningkatan stabilitas pati termodifikasi HMT terhadap panas disebabkan oleh terjadinya pergeseran tipe kristalisasi pati yang mengarah pada peningkatan stabilitas granula pati (Gunaratne dan Hoover, 2002; Vermeylen et al. 2006). Selanjutnya menurut Gunaratne dan Hoover (2002), pati kentang dan uwi termodifikasi HMT mengalami pergeseran tipe kristalisasi dari tipe B menjadi A+B, dimana pati dengan tipe A mempunyai susunan kristal double heliks yang lebih rapat sehingga lebih resisten terhadap perlakuan panas. Viskositas (BU) Waktu (menit) Sagu Alami HMT tidak dicuci dan w aktu 8 jam HMT dicuci dan w aktu 4 jam HMT dicuci dan w aktu 16 jam HMT tidak dicuci dan w aktu 4 jam HMT tidak dicuci dan w aktu 16 jam HMT dicuci dan w aktu 8 jam Profil suhu analisis gelatinisasi Suhu ( o C) Gambar 13 Profil gelatinisasi pati sagu alami dan termodifikasi HMT Pada Gambar 13 dapat dilihat bahwa perbedaan profil gelatinisasi secara keseluruhan tidak hanya terjadi antara pati sagu alami dengan pati sagu termodifiksi HMT, melainkan antara sesama pati termodifikasi HMT dari semua perlakuan. Secara visual dapat dilihat bahwa pati sagu yang melalui proses pencucian dan dimodifikasi selama 4 jam mempunyai viskositas panas yang lebih 55

72 tinggi dan viskositas breakdown yang lebih rendah yang menunjukkan bahwa pati tersebut memiliki stabilitas panas yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan pati yang dimodifikasi dengan perlakuan yang lain. Namun demikian, untuk mengetahui adanya pengaruh kombinasi perlakuan pencucian dan waktu modifikasi yang nyata terhadap profil gelatinisasi pati sagu termodifikasi HMT diperlukan pengujian pengaruh perlakuan yang ada terhadap parameter profil gelatinisasi. Pengujian yang dilakukan meliputi pengujian pengaruh pencucian, pengaruh waktu dan pengaruh interaksi antara pencucian dengan waktu terhadap profil gelatinisasi yang terdiri atas: suhu awal gelatinisasi (SAG), suhu puncak gelatinisasi (SPG), viskositas puncak pasta (VP), VPP (viskositas pasta panas), VB (viskositas breakdown), VPD (viskositas pasta dingin) dan VB (viskositas set back). a. Pengaruh Pencucian Berdasarkan pengujian dengan metode General Linier Method (GLM) pada program Statistical Analysis System (SAS) diketahui bahwa pencucian berpengaruh nyata terhadap VP (P<0.05), VPP (P<0.05), VPD (P<0.05), BD (P<0.05), dan SB (P<0.05) seperti yang disajikan pada Lampiran 1. Uji lanjut dengan metode duncan menunjukkan bahwa urutan VP pati dari yang tertinggi sampai yang terendah adalah pati alami, pati HMT dicuci dan pati HMT tidak dicuci. Urutan VPP, VPD, dan SB dari yang tertinggi sampai yang terendah pati HMT dicuci, pati HMT tidak dicuci dan pati alami. Sebaliknya urutan BD yang tertinggi sampai yang terendah adalah pati alami, pati HMT tidak dicuci dan pati HMT dicuci. Mengingat nilai VPP dan BD dari pati HMT yang diberi perlakukan pencucian sebelumnya mempunyai nilai lebih tinggi maka dapat dikatakan bahwa pati tersebut mempunyai stabilitas panas yang lebih tinggi bila dibandingkan pati HMT yang tidak diberi perlakuan pencucian sebelumnya ataupun pati alaminya. Sementara itu, berdasarkan nilai VPD dan SB dapat dikatakan bahwa pati HMT yang diberi perlakukan pencucian sebelumnya dapat dikatakan mempunyai kemampuan membentuk gel yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan pati HMT yang tidak diberi perlakukan pencucian sebelumnya ataupun pati alaminya. 56

73 Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan asam organik pada pati yang belum dicuci mempengaruhi perubahan yang terjadi selama modifikasi berlangsung. b. Pengaruh Waktu Waktu modifikasi HMT memberikan pengaruh yang nyata terhadap SAG, VP, VPP, VPD, BD dan SB seperti yang disajikan pada Lampiran 1. Semakin singkat waktu modifikasi maka SAG, VP, VPP, VPD dan SB semakin meningkat. Sebaliknya semakin singkat waktu modifikasi, VB semakin menurun. Meningkatnya SAG dan VPP serta menurunnya VB pada pati yang dimodifikasi dengan waktu yang lebih singkat menunjukkan bahwa stabilitas panas dan pengadukan pati termodifikasi semakin meningkat dengan semakin singkatnya waktu modifikasi. Meningkatnya VPD dan SB pati yang dimodifikasi dengan waktu yang lebih singkat menunjukkan bahwa pati tersebut mempunyai kemampuan membentuk gel yang lebih baik. Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa waktu modifikasi memberikan pengaruh yang nyata terhadp profil gelatinisasi pati termodifikasi yang dihasilkan. Adanya pengaruh waktu terhadap profil gelatinisasi telah dilaporkan oleh Collado and Corke (1999). Menurut Collado and Corke (1999), pati dengan kandungan amilosa yang berbeda mempunyai sensitivitas yang berbeda terhadap perubahan waktu modifikasi. Pati dengan kandungan amilosa yang lebih rendah lebih sensitif terhadap perubahan waktu modifikasi. c. Pengaruh Interaksi Pencucian dan Waktu Untuk mengetahui pengaruh interaksi antara pencucian dan waktu terhadap seluruh parameter gelatinisasi dilakukan pengujian dengan metode General Linier Method (GLM) pada program Statistical Analysis System (SAS) dan uji lanjut dengan metode Duncan pada program yang sama seperti yang disajikan pada Tabel 9 dan Lampiran 1. Selain itu, interaksi antara pencucian dan waktu terhadap parameter profil gelatinisasi dapat diketahui melalui pemetaan masing-masing parameter gelatinisasi pada kombinasi perlakuan pencucian dan waktu modifikasi yang berbeda. 57

74 Tabel 9 Profil gelatinisasi pati sagu alami dan termodifikasi HMT Perlakuan HMT pencucian: waktu (jam) Parameter profil gelatinisasi SAG ( o C) SPG ( o C) VP (BU) VPP (BU) VPD (BU) VB (BU) VSB (BU) Tipe Alami 73.5 ± 1.1 a 87 ± ± 0 d 240 ± 0 a 350± 0 a 350 ± 0 d 110± 0 a A HMT tidak dicuci: ± 0.0 c 84.0 ± ± 11 b 346 ± 2 d 525 ± 7 d 91 ± 8 c 178 ± 5 c B HMT tidak dicuci: ± 0.5 b 83.6 ± ± 4 a 288 ± 11 b 405 ± 7 b 95 ± 7 c 118 ± 4 ab B HMT tidak dicuci: ± 1.1 c 83.6 ± ± 4 a 290 ± 0 b 390 ± 14 b 98 ± 4 c 100 ± 14 a B HMT dicuci: ± 0.5 c Ttd* 465 ± 7 c 433 ± 11 f 650 ± 28 e 33 ± 4 a 218 ± 18 d C HMT dicuci: ± 0.5 c 85.1 ± ± 7 b 400 ± 0 e 630 ± 0 e 45 ± 7 a 230 ± 0 d B HMT dicuci: ± 0.5 b 82.1 ± ± 7 a 305 ± 7 c 438 ± 11 c 75 ± 0 b 133 ± 4 b B Keterangan: *tidak terdeteksi Superscript yang berbeda pada kolom yang sama berbeda nyata pada uji Duncan (P<0.05) 58

75 c.1. Suhu awal gelatinisasi (SAG) pati sagu Analisis data yang disajikan pada Lampiran 1 menunjukkan bahwa interaksi antara perlakuan pencucian dan waktu berpengaruh nyata terhadap suhu awal gelatinisasi (SAG) sagu (P<0.05). Adanya interaksi tersebut juga ditunjukkan dengan adanya perubahan pola SAG pada perlakuan dicuci dan tidak dicuci untuk tiga taraf waktu (Gambar 14). Perubahan pola respon baik yang disertai dengan adanya perpotongan garis ataupun tidak pada grafik respon menunjukkan adanya pengaruh interaksi dari faktor-faktor utama yang digunakan (Mattjik dan Sumertajaya 2006) SAG( o C) Waktu (Jam) Tidak dicuci Dicuci Gambar 14 Grafik pola respon SAG pada kombinasi perlakuan pencucian dan waktu yang berbeda Uji lanjut dengan metode Duncan menunjukkan bahwa pati sagu HMT dengan pencucian dan waktu 4 jam memiliki suhu awal gelatinisasi yang sama dengan HMT dengan pencucian dan waktu 8 jam yaitu mencapai 79.1 ± 0.5 o C, namun lebih tinggi bila dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Pengaruh interaksi pencucian dan waktu terhadap suhu awal gelatinisasi cenderung memperlihatkan bahwa modifikasi yang dilakukan pada pati yang terlebih dahulu dicuci dan waktu lebih singkat dapat menghasilkan pati termodifikasi dengan suhu awal gelatinisasi yang lebih tinggi. Selanjutnya, pati termodifikasi pada semua 59

76 perlakuan memiliki suhu awal gelatinisasi yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan pati alaminya. Adanya peningkatan suhu awal gelatinisasi pati sagu termodifiksi HMT mengindikasikan bahwa energi yang diperlukan untuk memutuskan ikatan hidrogen antar dan intermolekuler di dalam granula pati sagu termodifikasi lebih besar bila dibandingkan dengan pati alaminya. Hal ini dapat terjadi apabila pengaturan kembali molekul amilosa dan amilopektin pada granula selama proses modifikasi mengarah pada peningkatan stabilitas interaksi molekul di dalam granula pati. Pati termodifikasi HMT dengan pencucian dan waktu 4 jam dan 8 jam terlihat membutuhkan suhu yang paling tinggi untuk memulai proses gelatinisasi. Pati termodifikasi tersebut diduga mempunyai interaksi hidrogen inter dan antar molekul dalam granula yang lebih kuat bila dibandingkan dengan pati termodifikasi lain ataupun pati alaminya. Beberapa studi menunjukkan bahwa modifikasi HMT dapat meningkatkan suhu awal gelatinisasi pati antara lain pati sagu (Purwani et al. 2006), pati new cocoyam (Lawal 2005) dan pati shorgum putih (Olayinka et al. 2008). Peningkatan suhu gelatinisasi juga terjadi pada pati yang mengalami modifikasi ikatan silang (Muhammad et al. 2000; Wattanachant et al. 2003). Peningkatan stabilitas pati termodifikasi ikatan silang terjadi karena pembentukan ikatan kovalen yang menggantikan sebagian ikatan hidrogen yang menstabilisasi interaksi molekul di dalam granula pati. c.2. Suhu puncak gelatinisasi (SPG) pati sagu Pati sagu termodifikasi HMT dengan pencucian dan waktu 4 jam terlihat tidak memiliki suhu puncak gelatinisasi (Tabel 9) sehingga tidak dilakukan uji statistik terhadap parameter suhu puncak gelatinisasi. Suhu puncak gelatinisasi pati sagu termodifikasi pada perlakuan lain cenderung menurun. Peningkatan suhu awal gelatinisasi yang tidak diikuti dengan peningkatan suhu puncak gelatinisasi menyebabkan rentang suhu gelatinisasi pati sagu termodifikasi menjadi lebih sempit. Penyempitan rentang suhu gelatinisasi pati sagu termodifikasi HMT telah dilaporkan oleh Purwani et al. (2006). 60

77 c.3. Viskositas puncak (VP) pasta pati sagu Analisis data seperti yang disajikan pada Lampiran 1 menunjukkan adanya pengaruh interaksi perlakuan pencucian dan waktu modifikasi HMT terhadap viskositas puncak (VP) pati sagu. Interaksi antara perlakuan pencucian dan waktu modifikasi menyebabkan adanya perbedaan pola respon viskositas puncak pasta pati sagu termodifikasi pada kombinasi perlakuan pencucian dan waktu yang berbeda (Gambar 15) Viskositas (BU) Waktu (jam) Tidak dicuci Dicuci Gambar 15 Grafik pola respon VP pada kombinasi perlakuan pencucian dan waktu yang berbeda Semakin panjang waktu modifikasi yang dilakukan pada sagu yang dicuci maka VP pati semakin rendah dan penurunan viskositas puncak pasta yang tajam terlihat pada saat waktu modifikasi dinaikkan dari 8 jam menjadi 16 jam. Modifikasi yang dilakukan pada pati yang tidak dicuci memperlihatkan adanya penurunan viskositas pasta pati yang tajam ketika waktu modifikasi ditingkatkan dari 4 jam menjadi 8 jam. Uji lanjut dengan metode Duncan menunjukkan bahwa pati sagu termodifikasi HMT dengan pencucian dan waktu 4 jam memiliki VP tertinggi bila dibandingkan perlakuan HMT lainnya yaitu mencapai 465 ± 7 BU (Tabel 9). Sementara itu, pati yang mempunyai VP terendah adalah pati sagu yang dimodifikasi HMT dengan pencucian dan waktu 16 jam, namun VP pati tersebut 61

78 tidak berbeda nyata dengan pati yang dimodifikasi tanpa pencucian dengan waktu 8 dan 16 jam. Pengaruh interaksi antara pencucian dan waktu terhadap viskositas pasta diduga terkait dengan reaksi hidrolisis parsial selama modifikasi HMT berlangsung. Keberadaan air dan suhu tinggi yang diterapkan pada modifikasi HMT menyebabkan berkurangnya amilopektin pati dan bertambahnya fraksi pati yang mempunyai berat molekul rendah (Lu et al. 1996; Vermeylen et al. 2006). Bertambahnya pati dengan berat molekul rendah dapat menurunkan viskositas puncak pasta karena pati dengan berat molekul rendah memiliki kemampuan pengembangan yang terbatas. Keterlibatan asam-asam organik (yang banyak terdapat pada pati yang tidak dicuci) dalam mengkatalisis reaksi hidrolisis pati sagu terlihat dari lebih rendahnya viskositas puncak pasta pati yang dimodifikasi tanpa perlakuan pencucian sebelumnya. Perbedaan tersebut hanya terjadi ketika modifikasi dilakukan selama 4 dan 8 jam. Modifikasi yang dilakukan dengan waktu yang lebih lama (16 jam) tidak menyebabkan adanya perbedaan viskositas puncak pasta yang nyata antara pati yang dicuci dan tidak dicuci karena diduga asam organik yang terdapat pada pati sagu yang tidak dicuci telah banyak menguap sehingga tidak lagi mempengaruhi hidrolisis yang terjadi selama modifikasi HMT. Walaupun uji lanjut menunjukkan adanya kombinasi perlakuan pencucian dan waktu yang menghasilkan pati dengan viskositas puncak tertinggi, uji lanjut tersebut juga menunjukkan bahwa pati sagu termodifikasi HMT pada semua perlakuan memiliki viskositas yang lebih rendah bila dibandingkan dengan pati alaminya. Penurununan viskositas pasta pati termodifikasi HMT terjadi pada pati sorgum putih (Olayinka et al. 2008), pati ubi jalar (Collado and Cork 1999; Collado et al. 2001), pati sagu (Purwani et al. 2006), dan pati jagung (Widaningrum dan Purwani 2006; Ahmad 2009). Penurunan viskositas pasta menunjukkan adanya penurunan kemampuan penyerapan air oleh granula pati. Pati yang mempunyai kemampuan penyerapan air yang tingi akan mengalami pembengkakan yang tinggi pula yang berakibat pada tingginya viskositas puncak pasta. Pembengkakan granula pati yang berlebihan akan diikuti dengan peluruhan molekul amilosa dari dalam granula sebagai akibat dari ketidakmampuannya 62

79 menahan tekanan. Peluruhan yang terjadi akan diikuti dengan penurunan viskositas pasta yang tajam (breakdown) yang tinggi selama pemanasan seperti halnya pada pati sagu alami. Perlakuan hidrotermal seperti HMT dapat membuat granula pati lebih resisten terhadap deformasi sebagai akibat dari penguatan gaya ikatan intragranula (Stute et al. 1992). Oleh karena itu, pati cenderung mempunyai kemampuan penyerapan air yang rendah dan mengalami pengembangan yang terbatas pada saat mengalami gelatinisasi. Hubungan antara pengembangan granula pati dan viskositas puncak pasta terlihat jelas pada pati barley dengan berbagai proporsi amilosa dan amilopektin. Pati barley dengan kandungan amilosa tinggi mempunyai pengembangan terbatas sehingga mempunyai viskositas puncak pasta yang terbatas pula (Song and Jane 2000). Selanjutnya menurut Song and Jane (2000), barley dengan kadungan amilopektin tinggi dapat mengembang lebih bebas dan menghasilkan viskositas puncak pasta yang tinggi pada temperatur gelatinisasi yang rendah. Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa amilopektin merupakan komponen yang bertanggung jawab terhadap pengembangan granula. Menurut Collado and Corke (1999), perubahan viskositas puncak pati ubi jalar termodifikasi HMT dipengaruhi oleh waktu, ph dan kandungan amilosa pati. Untuk pati dengan kandungan amilosa rendah, viskositas puncak terendah dicapai pada modifikasi HMT selama 16 jam pada ph asal (ph ). Sementara itu, untuk pati dengan kandungan amilosa tinggi, modifikasi HMT yang dilakukan pada ph asal selama 4 jam cenderung mempunyai viskositas yang lebih rendah bila dibandingkan dengan pati yang dimodifikasi selama 8 jam dan 16 jam baik pada ph asal (ph ) maupun ph basa (ph 10). c.4. Viskositas pasta panas (VPP) dan viskositas breakdown (VB) Parameter viskositas pasta panas dan viskositas breakdown terkait satu sama lain karena viskositas breakdown merupakan selisih antara viskositas puncak pasta dengan viskositas pasta panas. Penurunan nilai viskositas pasta panas pati umumnya selalu diikuti dengan peningkatan breakdown. Namun demikian, pada kondisi tertentu penurunan viskositas pasta panas tidak selalu diiringi dengan 63

80 peningkatan breakdown. Apabila viskositas pasta panas dan viskositas puncak pasta menurun secara proporsional maka breakdown akan cenderung tetap. Pada penelitian ini, keterkaitan antara viskositas pasta panas dan breakdown pada pati sagu termodifikasi HMT terlihat jelas pada Tabel 9 maupun Gambar 16. Respon viskositas pasta panas pati sagu termodifikasi HMT memperlihatkan bahwa pati yang dimodifikasi dengan perlakuan pencucian mempunyai viskositas pasta panas yang semakin menurun dengan semakin lamanya waktu modifikasi (dari 4 jam hingga 16 jam) dan viskositas breakdown semakin meningkat dengan semakin lamanya waktu modifikasi. Sementara itu, peningkatan waktu modifikasi pada pati tanpa pencucian cenderung tidak merubah breakdown karena viskositas puncak dan viskositas pasta panas menurun secara proporsional. Viskositas (BU) Waktu (Jam) Viskositas (BU) Waktu (jam) Tidak dicuci Dicucil Tidak dicuci Dicuci (a) (b) Gambar 16 Grafik pola respon VPP (a) dan VB (b) pada kombinasi perlakuan pencucian dan waktu yang berbeda Adanya perubahan pola respon VPP maupun VB pada kombinasi perlakuan pencucian dan waktu yang berbeda menunjukkan adanya interaksi perlakukan pencucian dengan waktu modifikasi terhadap VPP maupun VB. Adanya interksi tersebut didukung dengan hasil analisis data yang menunjukkan bahwa interaksi perlakuan pencucian dan waktu berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap VPP maupun SB (hasil pengolahan data disajikan pada Lampiran 1). 64

81 Uji lanjut Duncan yang dilakukan menunjukkan bahwa pati sagu termodifikasi HMT dengan pencucian dan waktu 4 jam memiliki viskositas panas tertinggi (433 ± 11 BU) dan breakdown terendah (33 ± 4 BU) bila dibandingkan dengan pati termodifikasi pada perlakuan lain. Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa pati sagu termodifikasi HMT dengan pencucian dan waktu 4 jam memiliki stabilitas panas dan pengadukan yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan pati termodifikasi pada perlakuan yang lain. Pati sagu termodifikasi HMT pada semua perlakuan memiliki viskositas pasta panas yang lebih tinggi dan breakdown yang lebih rendah bila dibandingkan dengan pati alaminya. Adanya peningkatan viskositas pasta panas dan penurunan viskositas breakdown pada pati sagu termodifikasi HMT serupa dengan pati ubi jalar (Collado et al. 2001) dan pati sagu (Purwani et al. 2006) termodifikasi HMT. c.5. Viskositas pasta dingin (VPD) dan viskositas setback (SB) Pemetaan respon VPD dan SB terhadap perlakuan pencucian dan waktu yang berbeda seperti yang ditunjukkan pada Gambar 17 menunjukkan adanya interaksi antara perlakuan pencucian dan waktu modifikasi terhadap VPD dan SB. Adanya interaksi perlakuan pencucian dan waktu terhadap VPD dan SB yang nyata (P<0.05) juga diperlihatkan dari hasil analisis data seperti yang disajikan pada Lampiran 1. Melalui uji lanjut dengan metode Duncan, diketahui bahwa modifikasi HMT dapat meningkatkan viskositas pasta dingin secara nyata (Tabel 9 dan Lampiran 1). Peningkatan ini tergantung pada kombinasi antara perlakuan pencucian dan waktu yang digunakan. Selanjutnya, pati yang dimodifikasi HMT dengan pencucian dan waktu selama 4 jam dan 8 jam mempunyai VPD yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan perlakuan lainnya yaitu masing-masing mencapai 650 ± 28 BU dan 630 ± 0 BU. Pola respon viskositas pasta dingin pati termodifikasi pada perlakuan pencucian dan waktu berbeda cenderung serupa dengan respon viskositas puncak pasta dan viskositas pasta panas. 65

82 Viskositas (BU) Waktu (jam) Viskositas (BU) b Waktu (jam) Tidak dicuci Dicuci Tidak dicuci Dicuci (a) (b) Gambar 17 Grafik pola respon VPD (a) dan SB (b) pada kombinasi perlakuan pencucian dan waktu yang berbeda Dari Gambar 17a dapat dilihat bahwa VPD semakin menurun dengan semakin lamanya waktu modifikasi baik yang dilakukan pada pati yang dicuci maupun pati yang tidak dicuci. Namun demikian, kecepatan penurunan VPD antara pati yang dimodifikasi dengan pencucian dan pati yang dimodifikasi tanpa pencucian mempunyai pola yang berbeda sehingga dapat memperlihatkan adanya interaksi antara pencucian dan waktu modifikasi terhadap VPD. Pada modifikasi yang dilakukan dengan pencucian terlihat bahwa VPD menurun dengan tajam ketika waktu modifikasi ditingkatkan dari 8 jam menjadi 16 jam. Sementara itu, pada modifikasi tanpa pencucian terlihat bahwa VPD menurun dengan tajam ketika waktu modifikasi ditingkatkan dari 4 jam menjadi 8 jam. Studi terhadap pati ubi jalar (Collado and Corke 1999) dan pati sagu (Purwani et al. 2006) menunjukkan bahwa modifikasi HMT dapat meningkatkan viskositas pasta dingin. Selanjutnya menurut Collado and Corke (1999), peningkatan waktu modifikasi yang dilakukan pada ph ph cenderung meningkatkan viskositas pasta dingin pati dan viskositas tertinggi dicapai pada modifikasi yang dilakukan selama 16 jam. Studi yang dilakukan oleh Ahmad 66

83 (2009) menunjukkan hal sebaliknya yaitu modifikasi HMT dapat menurunkan viskositas pasta dingin pati jagung. Respon VPD pati sagu yang dimodifikasi pada perlakuan pencucian dan waktu yang berbeda memiliki pola yang serupa dengan SB karena SB merupakan selisih antara viskositas pasta dingin (VPD) dengan viskositas pasta panas (VPP). Uji lanjut dengan metode Duncan menunjukkan bahwa pati sagu yang dimodifikasi dengan pencucian dan waktu selama 8 jam memiliki SB yang paling tinggi (230 ± 0 BU) namun tidak berbeda nyata dengan pati yang dimodifikasi dengan pencucian dan waktu selama 4 jam (218 ± 18 BU) (Tabel 9 dan Lampiran 1). Pati sagu termodifikasi yang memiliki SB paling rendah adalah pati sagu yang dimodifikasi tanpa pencucian dan waktu selama 16 jam. Pati termodifikasi dengan viskositas pasta dingin dan viskositas setback yang tinggi mempunyai kemampuan membentuk gel yang baik. Pati dengan setback yang tinggi mudah mengalami retrogradasi sehingga lebih baik digunakan sebagai bahan baku bihun dibanding pati dengan setback yang rendah (Colado et al. 2001). Secara visual, gel pati sagu termodifikasi dengan pencucian dan waktu selama 4 dan 8 jam terlihat lebih kaku bila dibandingkan dengan gel pati sagu alami maupun termodifikasi pada kondisi lainnya. Menurut Stute et al. (1992), bila granula pati yang telah mengalami modifikasi annealing tergelatinisasi maka akan membentuk tekstur yang kaku dan akan yang berpengaruh nyata pada peningkatan viskositas pasta dingin. c.6. Tipe profil gelatinisasi Dari uji lanjut dengan metode Duncan yang dilakukan terhadap seluruh parameter gelatinisasi (kecuali suhu puncak gelatinisasi) diperoleh informasi bahwa pati sagu termodifikasi HMT dengan pencucian dan waktu selama 4 jam memiliki profil gelatinisasi yang lebih mendekati profil gelatinisasi tipe C. Sementara itu, pati sagu yang dimodifikasi dengan perlakuan lain memiliki profil gelatinisasi tipe B dan pati sagu alami mempunyai profil gelatinisasi tipe A. Modifikasi yang dilakukan dengan pencucian dan waktu selama 4 jam memiliki suhu awal gelatinisasi, viskositas pasta dingin dan viskositas setback yang sama dengan pencucian dan waktu selama 8 jam namun lebih tinggi bila 67

84 dibandingkan dengan perlakuan lain serta memiliki breakdown sama dengan pati HMT dengan pencucian dan waktu selama 8 jam namun lebih rendah bila dibandingkan dengan pati HMT lain. Selain itu, pati yang dimodifikasi pada kondisi tersebut tidak mempunyai suhu puncak gelatinisasi. Hasil serupa mengenai pengaruh ph dan waktu terhadap profil gelatinisasi pati termodifikasi HMT dilaporkan oleh Collado and Corke (1999), dimana pati termodifikasi HMT dengan tipe C dicapai pada ph netral selama 4 dan 8 jam. Profil gelatinisasi pati sagu yang dimodifikasi HMT dengan pencucian dan waktu selama 4 jam menyerupai pati termodifikasi ikatan silang yang dikombinasikan dengan stabilisasi (dual modifikasi). Menurut Wattanachant et al. (2002) dan Wattanachant et al. (2003), pati sagu yang mengalami dual modifikasi (ikatan silang dan stabilisasi) memiliki profil gelatinisasi tipe C. Karakterisasi Pati Sagu Alami dan Pati Sagu Termodifikasi HMT Terpilih a. Bentuk, Ukuran dan Sifat Birefringence Granula Pati Pengamatan dibawah mikroskop polarisasi menunjukkan bahwa granula pati sagu yepha hungleu alami mempunyai bentuk elips terpancung (Gambar 18a). Ukuran pati sagu alami relatif besar bila dibandingkan sengan sumber pati lainnya terutama pati serealia seperti pati jagung, beras atau gandum. Selain relatif besar, ukuran pati sagu alami juga bervariasi yaitu berkisar antara 45.1 μm sampai 91.6 μm. Sifat birefringent pati sagu alami tampak sangat jelas yang menandakan pati sagu alami masih mempunyai struktur semikristalin dan belum mengalami gelatinisasi. Granula pati sagu termodifikasi HMT (Gambar 18b) terlihat mempunyai penampakan yang agak berbeda dengan pati sagu alami. Walaupun terlihat masih berbentuk elips terpotong, pati sagu termodifikasi HMT mengalami perubahan sifat birefringence. Maltose cross yang terletak pada daerah hylum granula pati tampak mulai memudar walaupun disekitar daerah maltose cross masih tampak membentuk warna biru kuning yang menandakan integritas granula masih terjaga. Perubahan sifat birefringence di pusat granula sebagai akibat modifikasi HMT terjadi pada pati kentang (Vermeylen et al. 2006) dan pati jagung (Pukkahuta and Varavinit 2007; Pukkahuta et al. 2008). Selanjutnya menurut Vermeylen et al. 68

85 (2006), birefringence pada pusat granula pati kentang termodifikasi HMT memudar dan material yang berada di pusat granula menjadi kehilangan orientasi radialnya. Menurut Eliasson (2004), pusat granula pati sagu merupakan daerah amorphous. Selanjutnya menurut Eliasson (2004), penyusunan molekul pada daerah amourphous bersifat lebih renggang bila dibandingkan dengan daerah kristalin sehingga interaksi antar molekulnya kemungkinan akan lebih mudah diubah selama proses modifikasi HMT berlangsung. (a) (b) Gambar 18 Granula (a) pati sagu yepha hungleu alami dan (b) termodifikasi HMT Perubahan bentuk granula pati selama modifikasi HMT dimungkinkan karena adanya imbibisi air yang didukung oleh suhu tinggi. Energi panas yang digunakan selama modifikasi berlangsung menurunkan kekuatan interaksi hidrogen inter dan intra molekul amilosa dengan amilosa, amilosa dengan amilopektin maupun amilopektin dengan amilopektin. Pada saat yang bersamaan, molekul air akan berinteraksi melalui ikatan hidrogen dengan molekul amilosa dan atau molekul amilopektin yang telah terputus ikatan hidrogen antar sesamanya. Terbatasnya jumlah air pada pati sagu yang hanya mencapai 26 27% menyebabkan interaksi hidrogen yang terbentuk antara air dengan molekul amilosa dan molekul amilopektin juga terbatas sehingga pati belum mengalami gelatinisasi. Pati yang sudah mengalami gelatinisasi akan kehilangan intergitasnya yang ditandai menghilangnya sifat birefringence diseluruh bagian granula. 69

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jagung merupakan palawija sumber karbohidrat yang memegang peranan penting kedua setelah beras.

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jagung merupakan palawija sumber karbohidrat yang memegang peranan penting kedua setelah beras. 2 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jagung merupakan palawija sumber karbohidrat yang memegang peranan penting kedua setelah beras. Jagung juga mengandung unsur gizi lain yang diperlukan manusia yaitu

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Suhu dan Waktu Proses Modifikasi HMT Terhadap Karakteristik Pati jagung Dalam proses modifikasi pati jagung HMT dilakukan pemilihan suhu dan waktu terbaik selama perlakuan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. diantaranya adalah umbi-umbian. Pemanfaatan umbi-umbian di Indonesia belum

I PENDAHULUAN. diantaranya adalah umbi-umbian. Pemanfaatan umbi-umbian di Indonesia belum I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan tentang (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesa Penelitian

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN. Waktu dan Tempat

METODOLOGI PENELITIAN. Waktu dan Tempat 18 METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Februari sampai Mei 2010 di Laboratorium Pilot Plant Seafast Center IPB, Laboratorium Kimia dan Laboratorium Rekayasa Proses

Lebih terperinci

Deskripsi PROSES PRODUKSI DAN FORMULASI MI JAGUNG KERING YANG DISUBSTITUSI DENGAN TEPUNG JAGUNG TERMODIFIKASI

Deskripsi PROSES PRODUKSI DAN FORMULASI MI JAGUNG KERING YANG DISUBSTITUSI DENGAN TEPUNG JAGUNG TERMODIFIKASI 1 Deskripsi PROSES PRODUKSI DAN FORMULASI MI JAGUNG KERING YANG DISUBSTITUSI DENGAN TEPUNG JAGUNG TERMODIFIKASI Bidang Teknik Invensi Invensi ini berhubungan dengan suatu proses pembuatan mi jagung kering.

Lebih terperinci

Pati ubi kayu (tapioka)

Pati ubi kayu (tapioka) Pengaruh Heat Moisture Treatment (HMT) Pada Karakteristik Fisikokimia Tapioka Lima Varietas Ubi Kayu Berasal dari Daerah Lampung Elvira Syamsir, Purwiyatno Hariyadi, Dedi Fardiaz, Nuri Andarwulan, Feri

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sagu

TINJAUAN PUSTAKA Sagu 4 TINJAUAN PUSTAKA Sagu Sagu merupakan tanaman rumpun dan berkembang biak dengan membentuk anakan. Sagu termasuk tumbuhan monokotil dalam family Palmae, subfamily Lepidocaryoideae serta genus Metroxylon.

Lebih terperinci

MODIFIKASI FISIK PATI JAGUNG DAN APLIKASINYA UNTUK PERBAIKAN KUALITAS MI JAGUNG LISNA AHMAD

MODIFIKASI FISIK PATI JAGUNG DAN APLIKASINYA UNTUK PERBAIKAN KUALITAS MI JAGUNG LISNA AHMAD MODIFIKASI FISIK PATI JAGUNG DAN APLIKASINYA UNTUK PERBAIKAN KUALITAS MI JAGUNG LISNA AHMAD SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. penduduk sehingga terjadi masalah hal ketersediaan pangan. Ketergantungan pada

PENDAHULUAN. penduduk sehingga terjadi masalah hal ketersediaan pangan. Ketergantungan pada PENDAHULUAN Latar Belakang Produksi pangan di negara-negara sedang berkembang terus meningkat. Namun demikian peningkatan ini tidak seimbang dengan pertambahan jumlah penduduk sehingga terjadi masalah

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Proses Pengkondisian Grits Jagung Proses pengkondisian grits jagung dilakukan dengan penambahan air dan dengan penambahan Ca(OH) 2. Jenis jagung yang digunakan sebagai bahan

Lebih terperinci

2. Karakteristik Pasta Selama Pemanasan (Pasting Properties)

2. Karakteristik Pasta Selama Pemanasan (Pasting Properties) IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISTIK PATI SAGU DAN AREN HMT 1. Kadar Air Salah satu parameter yang dijadikan standard syarat mutu dari suatu bahan atau produk pangan adalah kadar air. Kadar air merupakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Permintaan tapioka di Indonesia cenderung terus meningkat. Peningkatan

I. PENDAHULUAN. Permintaan tapioka di Indonesia cenderung terus meningkat. Peningkatan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Permintaan tapioka di Indonesia cenderung terus meningkat. Peningkatan permintaan tersebut karena terjadi peningkatan jumlah industri makanan dan nonmakanan

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK FISIK PATI SAGU (Metroxylon sp) YANG DIMODIFIKASI DENGAN TEKNIK HEAT MOISTURE TREATMENT (HMT) DIAN WULANSARI

KARAKTERISTIK FISIK PATI SAGU (Metroxylon sp) YANG DIMODIFIKASI DENGAN TEKNIK HEAT MOISTURE TREATMENT (HMT) DIAN WULANSARI KARAKTERISTIK FISIK PATI SAGU (Metroxylon sp) YANG DIMODIFIKASI DENGAN TEKNIK HEAT MOISTURE TREATMENT (HMT) DIAN WULANSARI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah,

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, (7)

Lebih terperinci

KAJIAN FENOMENA DAN PENGHAMBATAN RETROGRADASI BIKA AMBON ANNI FARIDAH

KAJIAN FENOMENA DAN PENGHAMBATAN RETROGRADASI BIKA AMBON ANNI FARIDAH KAJIAN FENOMENA DAN PENGHAMBATAN RETROGRADASI BIKA AMBON ANNI FARIDAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan

Lebih terperinci

MODIFIKASI FISIK PATI JAGUNG DAN APLIKASINYA UNTUK PERBAIKAN KUALITAS MI JAGUNG LISNA AHMAD

MODIFIKASI FISIK PATI JAGUNG DAN APLIKASINYA UNTUK PERBAIKAN KUALITAS MI JAGUNG LISNA AHMAD MODIFIKASI FISIK PATI JAGUNG DAN APLIKASINYA UNTUK PERBAIKAN KUALITAS MI JAGUNG LISNA AHMAD SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA A. SAGU B. AREN

II. TINJAUAN PUSTAKA A. SAGU B. AREN II. TINJAUAN PUSTAKA A. SAGU Sagu (Metroxylon sp.) diduga berasal dari Maluku dan Papua. Hingga saat ini belum ada data yang mengungkapkan sejak kapan awal mula sagu ini dikenal. Di wilayah Indonesia bagian

Lebih terperinci

KAJIAN PEMBUATAN EDIBEL FILM KOMPOSIT DARI KARAGENAN SEBAGAI PENGEMAS BUMBU MIE INSTANT REBUS

KAJIAN PEMBUATAN EDIBEL FILM KOMPOSIT DARI KARAGENAN SEBAGAI PENGEMAS BUMBU MIE INSTANT REBUS KAJIAN PEMBUATAN EDIBEL FILM KOMPOSIT DARI KARAGENAN SEBAGAI PENGEMAS BUMBU MIE INSTANT REBUS ENDANG MINDARWATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2 0 0 6 Judul Tesis Nama NIM : Kajian

Lebih terperinci

TANAMAN PENGHASIL PATI

TANAMAN PENGHASIL PATI TANAMAN PENGHASIL PATI Beras Jagung Sagu Ubi Kayu Ubi Jalar 1. BERAS Beras (oryza sativa) terdiri dari dua jenis, yaitu Japonica yang ditanam di tanah yang mempunyai musim dingin, dan Indica atau Javanica

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan dikenal dengan nama latin Cucurbita moschata (Prasbini et al., 2013). Labu

I. PENDAHULUAN. dan dikenal dengan nama latin Cucurbita moschata (Prasbini et al., 2013). Labu 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanaman labu kuning adalah tanaman semusim yang banyak ditanam di Indonesia dan dikenal dengan nama latin Cucurbita moschata (Prasbini et al., 2013). Labu kuning tergolong

Lebih terperinci

FORMULASI MI KERING SAGU DENGAN SUBSTITUSI TEPUNG KACANG HIJAU

FORMULASI MI KERING SAGU DENGAN SUBSTITUSI TEPUNG KACANG HIJAU FORMULASI MI KERING SAGU DENGAN SUBSTITUSI TEPUNG KACANG HIJAU Formulation of Dry Sago Noodles with Mung Bean Flour Substitution Hilka Yuliani, Nancy Dewi Yuliana, Slamet Budijanto Departemen Ilmu dan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Walur (Amorphophallus campanulatus var sylvestris)

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Walur (Amorphophallus campanulatus var sylvestris) II. TINJAUAN PUSTAKA A. Walur (Amorphophallus campanulatus var sylvestris) Walur (Amorphopallus campanulatus var sylvestris) merupakan tanaman dari famili Araceae. Tanaman walur mempunyai daun tunggal

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang mengandung karbohidrat dan sumber kalori yang cukup tinggi, sumber vitamin (A, C,

Lebih terperinci

OPTIMASI PROSES PENGERINGAN GRITS JAGUNG DAN SANTAN SEBAGAI BAHAN BAKU BASSANG INSTAN, MAKANAN TRADISIONAL MAKASSAR HERNAWATY HUSAIN

OPTIMASI PROSES PENGERINGAN GRITS JAGUNG DAN SANTAN SEBAGAI BAHAN BAKU BASSANG INSTAN, MAKANAN TRADISIONAL MAKASSAR HERNAWATY HUSAIN OPTIMASI PROSES PENGERINGAN GRITS JAGUNG DAN SANTAN SEBAGAI BAHAN BAKU BASSANG INSTAN, MAKANAN TRADISIONAL MAKASSAR HERNAWATY HUSAIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 i PERNYATAAN

Lebih terperinci

PENGARUH HEAT MOISTURE TREATED (HMT) TERHADAP PROFIL GELATINISASI TEPUNG JAGUNG

PENGARUH HEAT MOISTURE TREATED (HMT) TERHADAP PROFIL GELATINISASI TEPUNG JAGUNG PENGARUH HEAT MOISTURE TREATED (HMT) TERHADAP PROFIL GELATINISASI TEPUNG JAGUNG HEAT MOISTURE TREATED (HMT) INFLUENCE ON CORN FLOUR GELATINIZATION PROFILES Oke Anandika Lestari 1), Feri Kusnandar 2) dan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. tapioka termasuk industri hilir, di mana industri ini melakukan proses pengolahan

II. TINJAUAN PUSTAKA. tapioka termasuk industri hilir, di mana industri ini melakukan proses pengolahan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Industri Tepung Tapioka Skala Rakyat Industri tepung tapioka merupakan industri yang memiliki peluang dan prospek pengembangan yang baik untuk memenuhi permintaan pasar. Industri

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISASI TAPIOKA 1. Sifat Kimia dan Fungsional Tepung Tapioka a. Kadar Air Kadar air merupakan parameter yang sangat penting dalam penyimpanan tepung. Kadar air sampel

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lebih dari 50% penduduk dunia tergantung pada beras sebagai sumber kalori utama. Di Indonesia, konsumsi dari kelompok padi-padian masih dominan baik di kota maupun di

Lebih terperinci

PENGARUH BERBAGAI FILLER (BAHAN PENGISI) TERHADAP KARAKTERISTIK DAN DAYA TERIMA CHICKEN NUGGET SKRIPSI. Oleh MARGI KUSUMANINGRUM

PENGARUH BERBAGAI FILLER (BAHAN PENGISI) TERHADAP KARAKTERISTIK DAN DAYA TERIMA CHICKEN NUGGET SKRIPSI. Oleh MARGI KUSUMANINGRUM PENGARUH BERBAGAI FILLER (BAHAN PENGISI) TERHADAP KARAKTERISTIK DAN DAYA TERIMA CHICKEN NUGGET SKRIPSI Oleh MARGI KUSUMANINGRUM FAKULTAS PETERNAKAN DAN PERTANIAN UNIVERSITAS DIPONEGORO S E M A R A N G

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA. Umbi Iles-iles. Umbi Walur

2 TINJAUAN PUSTAKA. Umbi Iles-iles. Umbi Walur 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Umbi Walur (Amorphophallus campanulatus var. sylvetris) Amorphopallus campanulatus merupakan tanaman yang berbatang semu, mempunyai satu daun tunggal yang terpecah-pecah dengan tangkai

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. dan banyak tumbuh di Indonesia, diantaranya di Pulau Jawa, Madura, Sulawesi,

II. TINJAUAN PUSTAKA. dan banyak tumbuh di Indonesia, diantaranya di Pulau Jawa, Madura, Sulawesi, II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gambaran Umum Ubi Kayu Ubi kayu yang sering pula disebut singkong atau ketela pohon merupakan salah satu tanaman penghasil bahan makanan pokok di Indonesia. Tanaman ini tersebar

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Rekayasa Proses Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian, Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas

Lebih terperinci

Pengolahan Sagu (Metroxylon) sebagai Bahan Baku Pembuatan Es Krim

Pengolahan Sagu (Metroxylon) sebagai Bahan Baku Pembuatan Es Krim JURNAL EDUKASI KIMIA e-issn: 2548-7825 p-issn: 2548-4303 Pengolahan Sagu (Metroxylon) sebagai Bahan Baku Pembuatan Es Krim Ainun Mardhiah 1* dan Marlina Fitrika 2 1 Program Studi Pendidikan Kimia, Fakultas

Lebih terperinci

Heat Moisture Treated (HMT) Influence on Corn Flour Gelatinization Profiles

Heat Moisture Treated (HMT) Influence on Corn Flour Gelatinization Profiles PENGARUH HEAT MOISTURE TREATED (HMT) TERHADAP PROFIL GELATINISASI TEPUNG JAGUNG Heat Moisture Treated (HMT) Influence on Corn Flour Gelatinization Profiles Oke Anandika Lestari* 1, Feri Kusnandar 2, Nurheni

Lebih terperinci

EVALUASI MUTU MI INSTAN YANG DIBUAT DARI PATI SAGU LOKAL RIAU. Evaluation on the Quality of Instant Noodles Made From Riau Sago Starch

EVALUASI MUTU MI INSTAN YANG DIBUAT DARI PATI SAGU LOKAL RIAU. Evaluation on the Quality of Instant Noodles Made From Riau Sago Starch EVALUASI MUTU MI INSTAN YANG DIBUAT DARI PATI SAGU LOKAL RIAU Evaluation on the Quality of Instant Noodles Made From Riau Sago Starch Arfendi (0706112356) Usman Pato and Evy Rossi Arfendi_thp07@yahoo.com

Lebih terperinci

PENGARUH FOSFORILASI DAN PENAMBAHAN ASAM STEARAT TERHADAP KARAKTERISTIK FILM EDIBEL PATI SAGU CYNTHIA EMANUEL

PENGARUH FOSFORILASI DAN PENAMBAHAN ASAM STEARAT TERHADAP KARAKTERISTIK FILM EDIBEL PATI SAGU CYNTHIA EMANUEL PENGARUH FOSFORILASI DAN PENAMBAHAN ASAM STEARAT TERHADAP KARAKTERISTIK FILM EDIBEL PATI SAGU CYNTHIA EMANUEL SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

PEMBUATAN SPONGE CAKE BEBAS GLUTEN DARI TEPUNG KOMPOSIT BERAS KETAN, UBI KAYU, PATI KENTANG, DAN KEDELAI DENGAN PENAMBAHAN HIDROKOLOID

PEMBUATAN SPONGE CAKE BEBAS GLUTEN DARI TEPUNG KOMPOSIT BERAS KETAN, UBI KAYU, PATI KENTANG, DAN KEDELAI DENGAN PENAMBAHAN HIDROKOLOID PEMBUATAN SPONGE CAKE BEBAS GLUTEN DARI TEPUNG KOMPOSIT BERAS KETAN, UBI KAYU, PATI KENTANG, DAN KEDELAI DENGAN PENAMBAHAN HIDROKOLOID SKRIPSI Oleh: RIRIS MARITO SIMATUPANG 100305017/ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

KARAKTERISASI SIFAT FISIKO-KIMIA DAN EVALUASI NILAI GIZI BIOLOGIS MI JAGUNG KERING YANG DISUBSTITUSI TEPUNG JAGUNG TERMODIFIKASI OKE ANANDIKA LESTARI

KARAKTERISASI SIFAT FISIKO-KIMIA DAN EVALUASI NILAI GIZI BIOLOGIS MI JAGUNG KERING YANG DISUBSTITUSI TEPUNG JAGUNG TERMODIFIKASI OKE ANANDIKA LESTARI KARAKTERISASI SIFAT FISIKO-KIMIA DAN EVALUASI NILAI GIZI BIOLOGIS MI JAGUNG KERING YANG DISUBSTITUSI TEPUNG JAGUNG TERMODIFIKASI OKE ANANDIKA LESTARI SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Beras merah (Oriza sativa) merupakan beras yang hanya dihilangkan kulit bagian luar atau sekamnya, sehingga masih mengandung kulit ari (aleuron) dan inti biji beras

Lebih terperinci

1 I PENDAHULUAN. Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat

1 I PENDAHULUAN. Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat 1 I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1.1) Latar Belakang, (1.2) Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat Peneltian, (1.5) Kerangka Pemikiran, (1.6) Hipotesis Penelitian

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Pada pendahuluan menjelaskan mengenai (1) Latar Belakang, (2)

I PENDAHULUAN. Pada pendahuluan menjelaskan mengenai (1) Latar Belakang, (2) I PENDAHULUAN Pada pendahuluan menjelaskan mengenai (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Bab ini membahas mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2)

I PENDAHULUAN. Bab ini membahas mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) I PENDAHULUAN Bab ini membahas mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK BAKSO KERING IKAN PATIN (Pangasius sp.) Oleh : David Halomoan Hutabarat C

KARAKTERISTIK BAKSO KERING IKAN PATIN (Pangasius sp.) Oleh : David Halomoan Hutabarat C KARAKTERISTIK BAKSO KERING IKAN PATIN (Pangasius sp.) Oleh : David Halomoan Hutabarat C34103013 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Lebih terperinci

PRODUKSI CASSAVA SOUR STARCH DENGAN VARIASI MEDIA STARTER BAKTERI ASAM LAKTAT DAN LAMA FERMENTASI

PRODUKSI CASSAVA SOUR STARCH DENGAN VARIASI MEDIA STARTER BAKTERI ASAM LAKTAT DAN LAMA FERMENTASI PRODUKSI CASSAVA SOUR STARCH DENGAN VARIASI MEDIA STARTER BAKTERI ASAM LAKTAT DAN LAMA FERMENTASI SKRIPSI diajukan guna melengkapi tugas akhir dan memenuhi salah satu syarat untuk menyelesaikan Pendidikan

Lebih terperinci

LOGO. Karakterisasi Beras Buatan (Artificial Rice) Dari Campuran Tepung Sagu dan Tepung Kacang Hijau. Mitha Fitriyanto

LOGO. Karakterisasi Beras Buatan (Artificial Rice) Dari Campuran Tepung Sagu dan Tepung Kacang Hijau. Mitha Fitriyanto LOGO Karakterisasi Beras Buatan (Artificial Rice) Dari Campuran Tepung Sagu dan Tepung Kacang Hijau Mitha Fitriyanto 1409100010 Pembimbing : Prof.Dr.Surya Rosa Putra, MS Pendahuluan Metodologi Hasil dan

Lebih terperinci

Gambar 1.1. Tanaman Sagu Spesies Mitroxylon Sago

Gambar 1.1. Tanaman Sagu Spesies Mitroxylon Sago 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanaman sagu (Metroxylon sago) merupakan tanaman yang tersebar di Indonesia, dan termasuk tumbuhan monokotil dari keluarga Palmae, marga Metroxylon, dengan ordo

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Provinsi Lampung merupakan daerah penghasil ubi kayu terbesar di Indonesia.

I. PENDAHULUAN. Provinsi Lampung merupakan daerah penghasil ubi kayu terbesar di Indonesia. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Provinsi Lampung merupakan daerah penghasil ubi kayu terbesar di Indonesia. Sekitar 30 % ubi kayu dihasilkan di Lampung. Produksi tanaman ubi kayu di Lampung terus meningkat

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PROSES PENGOLAHAN BERAS PRATANAK Gabah yang diperoleh dari petani masih bercampur dengan jerami kering, gabah hampa dan kotoran lainnya sehingga perlu dilakukan pembersihan.

Lebih terperinci

OPTIMASI PROSES DAN FORMULA PADA PENGOLAHAN MI SAGU KERING (Metroxylon sagu)

OPTIMASI PROSES DAN FORMULA PADA PENGOLAHAN MI SAGU KERING (Metroxylon sagu) OPTIMASI PROSES DAN FORMULA PADA PENGOLAHAN MI SAGU KERING (Metroxylon sagu) Process and Formula Optimizations on Dried Sago (Metroxylon sagu) Noodle Processing Adnan Engelen, Sugiyono, Slamet Budijanto

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. Bahan dan Alat Bahan utama yang digunakan pada penelitian ini adalah jagung pipil kering varietas pioner kuning (P-21). Jagung pipil ini diolah menjadi tepung pati jagung

Lebih terperinci

PENGOLAHAN UMBI GANYONG

PENGOLAHAN UMBI GANYONG PENGOLAHAN UMBI GANYONG Ir. Sutrisno Koswara, MSi Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan dan Seafast Center LPPM IPB 2013 DISCLAIMER This presentation is made possible by the generous support of the American

Lebih terperinci

2.6.4 Analisis Uji Morfologi Menggunakan SEM BAB III METODOLOGI PENELITIAN Alat dan Bahan Penelitian Alat

2.6.4 Analisis Uji Morfologi Menggunakan SEM BAB III METODOLOGI PENELITIAN Alat dan Bahan Penelitian Alat DAFTAR ISI ABSTRAK... i ABSTRACK... ii KATA PENGANTAR... iii DAFTAR ISI... v DAFTAR LAMPIRAN... vii DAFTAR GAMBAR... viii DAFTAR TABEL... ix DAFTAR ISTILAH... x BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang...

Lebih terperinci

Diagram Sifat-sifat Pati

Diagram Sifat-sifat Pati Diagram Sifat-sifat Pati X-ray Crystallography Mempelajari sifat kristalin pati X-ray pattern, obtained when a crystal is irradiated with X-rays. This pattern is distinctive to the crystal structure 3

Lebih terperinci

Tekstur biasanya digunakan untuk menilai kualitas baik tidaknya produk cookies.

Tekstur biasanya digunakan untuk menilai kualitas baik tidaknya produk cookies. Force (Gf) V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.2 Tekstur Tekstur merupakan parameter yang sangat penting pada produk cookies. Tekstur biasanya digunakan untuk menilai kualitas baik tidaknya produk cookies. Tekstur

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. 6. Hipotesis Penelitian, dan 7. Waktu dan Tempat Penelitian. keperluan. Berdasarkan penggolongannya tepung dibagi menjadi dua, yaitu

I PENDAHULUAN. 6. Hipotesis Penelitian, dan 7. Waktu dan Tempat Penelitian. keperluan. Berdasarkan penggolongannya tepung dibagi menjadi dua, yaitu I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : 1. Latar Belakang, 2. Identifikasi Masalah, 3. Maksud dan Tujuan Penelitian, 4. Manfaat Penelitian, 5. Kerangka Pemikiran, 6. Hipotesis Penelitian, dan 7. Waktu

Lebih terperinci

4. PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Fisik Mi Kering Non Terigu Cooking Time

4. PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Fisik Mi Kering Non Terigu Cooking Time 4. PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Fisik Mi Kering Non Terigu 4.1.1. Cooking Time Salah satu parameter terpenting dari mi adalah cooking time yaitu lamanya waktu yang dibutuhkan untuk rehidrasi atau proses

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tapioka merupakan salah satu bentuk olahan berbahan baku singkong, Tepung

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tapioka merupakan salah satu bentuk olahan berbahan baku singkong, Tepung 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tapioka Tapioka merupakan salah satu bentuk olahan berbahan baku singkong, Tepung tapioka mempunyai banyak kegunaan, antara lain sebagai bahan pembantu dalam berbagai industri.

Lebih terperinci

PEMBAHASAN 4.1.Karakteristik Fisik Mi Jagung Cooking loss

PEMBAHASAN 4.1.Karakteristik Fisik Mi Jagung Cooking loss 4. PEMBAHASAN 4.1.Karakteristik Fisik Mi Jagung 4.1.1. Cooking loss Menurut Kruger et al. (1996), analisa cooking loss bertujuan untuk mengetahui banyaknya padatan dari mi yang terlarut dalam air selama

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian Tahap Pertama. Tabel 6. Komposisi Kimia TDTLA Pedaging

HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian Tahap Pertama. Tabel 6. Komposisi Kimia TDTLA Pedaging TDTLA Pedaging HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Tahap Pertama Penelitian tahap pertama adalah pembuatan tepung daging-tulang leher ayam yang dilakukan sebanyak satu kali proses pembuatan pada waktu yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pemanfaatan ubi jalar ungu sebagai alternatif makanan pokok memerlukan

I. PENDAHULUAN. Pemanfaatan ubi jalar ungu sebagai alternatif makanan pokok memerlukan 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah Pemanfaatan ubi jalar ungu sebagai alternatif makanan pokok memerlukan pengembangan produk olahan dengan penyajian yang cepat dan mudah diperoleh, salah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kayu yang memiliki nilai gizi tinggi dan dapat dimanfaaatkan untuk berbagai jenis

I. PENDAHULUAN. kayu yang memiliki nilai gizi tinggi dan dapat dimanfaaatkan untuk berbagai jenis I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah Jamur tiram (Pleurotus oestreatus) merupakan jamur konsumsi dari jenis jamur kayu yang memiliki nilai gizi tinggi dan dapat dimanfaaatkan untuk berbagai jenis

Lebih terperinci

CONTOH TEKNOLOGI PENGOLAHAN PANGAN PADA KELOMPOK BAHAN PANGAN

CONTOH TEKNOLOGI PENGOLAHAN PANGAN PADA KELOMPOK BAHAN PANGAN CONTOH TEKNOLOGI PENGOLAHAN PANGAN PADA KELOMPOK BAHAN PANGAN 1. Serealia ) Pengolahan jagung : a. Pembuatan tepung jagung (tradisional) Bahan/alat : - Jagung pipilan - Alat penggiling - Ember penampung

Lebih terperinci

PEMBUATAN CAKE TANPA GLUTEN DAN TELUR DARI TEPUNG KOMPOSIT BERAS KETAN, UBI KAYU, PATI KENTANG, DAN KEDELAI DENGAN PENAMBAHAN HIDROKOLOID

PEMBUATAN CAKE TANPA GLUTEN DAN TELUR DARI TEPUNG KOMPOSIT BERAS KETAN, UBI KAYU, PATI KENTANG, DAN KEDELAI DENGAN PENAMBAHAN HIDROKOLOID PEMBUATAN CAKE TANPA GLUTEN DAN TELUR DARI TEPUNG KOMPOSIT BERAS KETAN, UBI KAYU, PATI KENTANG, DAN KEDELAI DENGAN PENAMBAHAN HIDROKOLOID SKRIPSI OLEH : BOSVIN ABDALLA TAMBUNAN 100305047 PROGRAM STUDI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pati merupakan polisakarida yang terdiri atas unit-unit glukosa anhidrat.

BAB I PENDAHULUAN. Pati merupakan polisakarida yang terdiri atas unit-unit glukosa anhidrat. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pati merupakan polisakarida yang terdiri atas unit-unit glukosa anhidrat. Komposisi utama pati adalah amilosa dan amilopektin yang mempunyai sifat alami berbeda-beda.

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Balai Riset dan Standardisasi Industri

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Balai Riset dan Standardisasi Industri III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Balai Riset dan Standardisasi Industri Lampung, Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian, Laboratoriun

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Teknologi Kimia dan Laboratorium Biondustri TIN IPB, Laboratorium Bangsal Percontohan Pengolahan Hasil

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian. I PENDAHULUAN Bab ini akan menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

ANALISIS PATI SAGU YANG DIMODIFIKASI HEAT MOISTURE TREATMENT DAN SIFAT ORGANOLEPTIK SOHUN INSTAN

ANALISIS PATI SAGU YANG DIMODIFIKASI HEAT MOISTURE TREATMENT DAN SIFAT ORGANOLEPTIK SOHUN INSTAN ANALISIS PATI SAGU YANG DIMODIFIKASI HEAT MOISTURE TREATMENT DAN SIFAT ORGANOLEPTIK SOHUN INSTAN ANALYSIS OF SAGO STARCH MODIFIED BY HEAT MOISTURE TREATMENT AND THE ORGANOLEPTIC PROPERTIES OF INSTANT STARCH

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Industri Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Padjadjaran dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar merupakan jenis umbi-umbian yang dapat digunakan sebagai pengganti

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar merupakan jenis umbi-umbian yang dapat digunakan sebagai pengganti I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ubi jalar merupakan jenis umbi-umbian yang dapat digunakan sebagai pengganti makanan pokok karena mengandung karbohidrat sebesar 27,9 g yang dapat menghasilkan kalori sebesar

Lebih terperinci

KARAKTERISASI TEPUNG KASAVA YANG DIMODIFIKASI DENGAN BAKTERI SELULOLITIK SEBAGAI BAHAN BAKU PRODUK MIE DAN BISKUIT

KARAKTERISASI TEPUNG KASAVA YANG DIMODIFIKASI DENGAN BAKTERI SELULOLITIK SEBAGAI BAHAN BAKU PRODUK MIE DAN BISKUIT KARAKTERISASI TEPUNG KASAVA YANG DIMODIFIKASI DENGAN BAKTERI SELULOLITIK SEBAGAI BAHAN BAKU PRODUK MIE DAN BISKUIT SKRIPSI Oleh : SIMON PETRUS SEMBIRING 060305004/TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN DEPARTEMEN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Singkong ( Manihot esculenta) merupakan salah satu komoditas yang memiliki

I. PENDAHULUAN. Singkong ( Manihot esculenta) merupakan salah satu komoditas yang memiliki I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Singkong ( Manihot esculenta) merupakan salah satu komoditas yang memiliki nilai ekonomi dan telah banyak dikembangkan karena kedudukannya sebagai sumber utama karbohidrat

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK MUTU MIE INSTAN DARI TEPUNG KOMPOSIT PATI KENTANG TERMODIFIKASI, TEPUNG MOCAF, DAN TEPUNG TERIGU DENGAN PENAMBAHAN GARAM FOSFAT

KARAKTERISTIK MUTU MIE INSTAN DARI TEPUNG KOMPOSIT PATI KENTANG TERMODIFIKASI, TEPUNG MOCAF, DAN TEPUNG TERIGU DENGAN PENAMBAHAN GARAM FOSFAT KARAKTERISTIK MUTU MIE INSTAN DARI TEPUNG KOMPOSIT PATI KENTANG TERMODIFIKASI, TEPUNG MOCAF, DAN TEPUNG TERIGU DENGAN PENAMBAHAN GARAM FOSFAT (Quality Characteristics of instant Noodles made from Flour

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Pati Walur Alami Sifat bahan pangan dalam bentuk bubuk dapat dilihat dari dua sisi, yaitu sebagai partikel dan sebagai kesatuan (bulk). Sifat bulk ditentukan oleh

Lebih terperinci

4. PEMBAHASAN Analisa Sensori

4. PEMBAHASAN Analisa Sensori 4. PEMBAHASAN Sorbet merupakan frozen dessert yang tersusun atas sari buah segar, air,gula, bahan penstabil yang dapat ditambahkan pewarna dan asam (Marth & James, 2001). Pada umumnya, frozen dessert ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diizinkan, berbentuk khas mie (Badan Standarisasi Nasional, 1992). Berdasarkan survey oleh USDA dalam Anonim A (2015) mengenai

BAB I PENDAHULUAN. diizinkan, berbentuk khas mie (Badan Standarisasi Nasional, 1992). Berdasarkan survey oleh USDA dalam Anonim A (2015) mengenai BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mie merupakan salah satu masakan yang sangat populer di Asia, salah satunya di Indonesia. Mie adalah produk pangan yang terbuat dari terigu dengan atau tanpa penambahan

Lebih terperinci

BAB III TATA LAKSANA PELAKSANAAN

BAB III TATA LAKSANA PELAKSANAAN BAB III TATA LAKSANA PELAKSANAAN A. Waktu dan Tempat Pelaksanaan Praktek Produksi Kopi Biji Salak dengan Penambahan Jahe Merah dilaksanakan pada bulan Maret-April 2016 di Laboratorium Rekayasa Proses dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) merupakan salah satu jenis sayuran sehat

I. PENDAHULUAN. Jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) merupakan salah satu jenis sayuran sehat 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah Jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) merupakan salah satu jenis sayuran sehat yang dewasa ini sudah banyak dikenal dan dikonsumsi oleh berbagai kalangan

Lebih terperinci

Pengembangan Formulasi Mi Jagung Berbahan Baku Tepung Jagung Modifikasi. Development of Formulation Noodles Made from Raw Corn Starch Modified Corn

Pengembangan Formulasi Mi Jagung Berbahan Baku Tepung Jagung Modifikasi. Development of Formulation Noodles Made from Raw Corn Starch Modified Corn Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Teknologi Pertanian Politeknik Negeri Lampung 24 Mei 2014 ISBN 978-602-70530-0-7 halaman 524-530 Pengembangan Formulasi Mi Jagung Berbahan Baku Tepung Jagung Modifikasi

Lebih terperinci

EVALUASI KARAKTERISTIK FISIK, KIMIA DAN SENSORI ROTI DARI TEPUNG KOMPOSIT BERAS, UBI KAYU, KENTANG DAN KEDELAI DENGAN PENAMBAHAN XANTHAN GUM

EVALUASI KARAKTERISTIK FISIK, KIMIA DAN SENSORI ROTI DARI TEPUNG KOMPOSIT BERAS, UBI KAYU, KENTANG DAN KEDELAI DENGAN PENAMBAHAN XANTHAN GUM EVALUASI KARAKTERISTIK FISIK, KIMIA DAN SENSORI ROTI DARI TEPUNG KOMPOSIT BERAS, UBI KAYU, KENTANG DAN KEDELAI DENGAN PENAMBAHAN XANTHAN GUM SKRIPSI Oleh: FORIANUS WARUWU 090305025/ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN

Lebih terperinci

MODIFIKASI TEPUNG PISANG TANDUK

MODIFIKASI TEPUNG PISANG TANDUK MODIFIKASI TEPUNG PISANG TANDUK (Musa paradisiaca Formatypica) MELALUI PROSES FERMENTASI SPONTAN DAN PEMANASAN OTOKLAF UNTUK MENINGKATKAN KADAR PATI RESISTEN FATIMAH ABDILLAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

PENGOLAHAN TALAS. Ir. Sutrisno Koswara, MSi. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan dan Seafast Center IPB 2013

PENGOLAHAN TALAS. Ir. Sutrisno Koswara, MSi. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan dan Seafast Center IPB 2013 PENGOLAHAN TALAS Ir. Sutrisno Koswara, MSi Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan dan Seafast Center IPB 2013 DISCLAIMER This presentation is made possible by the generous support of the American people

Lebih terperinci

ANALISIS PROSES PEMBUATAN PATI UBI KAYU (TAPIOKA) BERBASIS NERACA MASSA

ANALISIS PROSES PEMBUATAN PATI UBI KAYU (TAPIOKA) BERBASIS NERACA MASSA AGROINTEK Volume 9, No. 2 Agustus 2015 127 ANALISIS PROSES PEMBUATAN PATI UBI KAYU (TAPIOKA) BERBASIS NERACA MASSA ARNIDA MUSTAFA Politeknik Pertanian Negeri Pangkep Korespondensi : Jl. Poros Makassar-Parepare

Lebih terperinci

DAFTAR LAMPIRAN. No. Judul Halaman. 1. Pelaksanaan dan Hasil Percobaan Pendahuluan a. Ekstraksi pati ganyong... 66

DAFTAR LAMPIRAN. No. Judul Halaman. 1. Pelaksanaan dan Hasil Percobaan Pendahuluan a. Ekstraksi pati ganyong... 66 DAFTAR LAMPIRAN No. Judul Halaman 1. Pelaksanaan dan Hasil Percobaan Pendahuluan... 66 a. Ekstraksi pati ganyong... 66 b. Penentuan kisaran konsentrasi sorbitol untuk membuat edible film 68 c. Penentuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Saat ini kebutuhan masyarakat akan tepung terigu semakin meningkat dari tahun ke tahun. Peningkatan konsumsi tepung terigu perkapita oleh masyarakat di Indonesia dari

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian,

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian, III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian, Laboratorium Analisis Kimia Hasil Pertanian Jurusan Teknologi Hasil Pertanian

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni 2012 sampai dengan Oktober 2012. Adapun laboratorium yang digunakan selama penelitian antara lain Pilot

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil yang telah diperoleh dari penelitian yang telah dilakukan adalah

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil yang telah diperoleh dari penelitian yang telah dilakukan adalah IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Hasil yang telah diperoleh dari penelitian yang telah dilakukan adalah sebagai berikut: 1. Hasil pembuatan pati dari beberapa tanaman menghasilkan massa (g) yaitu ubi

Lebih terperinci

MODEL AGROINDUSTRI TEPUNG SAGU (Metroxylon sp) MENDUKUNG KEMANDIRIAN PANGAN DI MALUKU UTARA

MODEL AGROINDUSTRI TEPUNG SAGU (Metroxylon sp) MENDUKUNG KEMANDIRIAN PANGAN DI MALUKU UTARA Disampaikan pada SEMILOKA SAGU 2016 Bogor, 9-10 November 2016 MODEL AGROINDUSTRI TEPUNG SAGU (Metroxylon sp) MENDUKUNG KEMANDIRIAN PANGAN DI MALUKU UTARA Oleh : Muhammad Assagaf 1, Chris Sugihono 1, Yopi

Lebih terperinci

Dalam proses ekstraksi tepung karaginan, proses yang dilakukan yaitu : tali rafia. Hal ini sangat penting dilakukan untuk memperoleh mutu yang lebih

Dalam proses ekstraksi tepung karaginan, proses yang dilakukan yaitu : tali rafia. Hal ini sangat penting dilakukan untuk memperoleh mutu yang lebih BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Proses Ekstraksi Tepung Karaginan Dalam proses ekstraksi tepung karaginan, proses yang dilakukan yaitu : 1. Sortasi dan Penimbangan Proses sortasi ini bertujuan untuk memisahkan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Naan bread merupakan salah satu olahan roti tradisional dari daerah Timur Tengah yaitu India. Naan bread biasanya berbentuk bulat hingga agak lonjong, terbuat dengan

Lebih terperinci

Pengaruh Lama Modifikasi Heat-Moisture Treatment (HMT) Terhadap Sifat Fungsional dan Sifat Amilografi Pati Talas Banten (Xanthosoma undipes K.

Pengaruh Lama Modifikasi Heat-Moisture Treatment (HMT) Terhadap Sifat Fungsional dan Sifat Amilografi Pati Talas Banten (Xanthosoma undipes K. JP2 Jurnal Penelitian Pangan Volume 1.1, Agustus 216 P - ISSN: 2528-3537; E - ISSN: 2528-5157 DOI: 1.24198/jp2.216.vol1.1.8 Website: www.jurnal.unpad.ac.id/jp2 Pengaruh Lama Modifikasi Heat-Moisture Treatment

Lebih terperinci

PENGGUNAAN TEPUNG SAGU SEBAGAI PENGENTAL PADA SAOS TOMAT KENTAL SKRIPSI

PENGGUNAAN TEPUNG SAGU SEBAGAI PENGENTAL PADA SAOS TOMAT KENTAL SKRIPSI PENGGUNAAN TEPUNG SAGU SEBAGAI PENGENTAL PADA SAOS TOMAT KENTAL SKRIPSI OLEH : SHERLY 6103006026 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDALA SURABAYA SURABAYA

Lebih terperinci

TUGAS AKHIR RISKA FITRIAWATI PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNIK DAN ILMU KOMPUTER UNIVERSITAS BAKRIE JAKARTA 2016

TUGAS AKHIR RISKA FITRIAWATI PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNIK DAN ILMU KOMPUTER UNIVERSITAS BAKRIE JAKARTA 2016 PENGOLAHAN PATI RESISTAN TIPE III UMBI GARUT (MARANTHA ARUNDINACEAE L.) MELALUI KOMBINASI METODE MODIFIKASI (FISIK-ENZIMATIS) DAN KARAKTERISASI SIFAT FUNGSIONALNYA TUGAS AKHIR RISKA FITRIAWATI 1122006013

Lebih terperinci

:!,1G():5kr'W:5. JURnAl EKOlOGI DAn SAlns ISSN : ISSN : VOLUME 01, No: 01. Agustus 2012

:!,1G():5kr'W:5. JURnAl EKOlOGI DAn SAlns ISSN : ISSN : VOLUME 01, No: 01. Agustus 2012 ISSN : 2337-5329 :!,1G():5kr'W:5 JURnAl EKOlOGI DAn SAlns PUSAT PENELITIAN LlNGKUNGAN HIDUP a SUMBERDAYA ALAM (PPLH SDA) UNIVERSITAS PATTIMURA VOLUME 01, No: 01. Agustus 2012 ISSN : 2337-5329 PEMANFAATAN

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Pemanfaatan tepung beras ketan hitam secara langsung pada flake dapat menimbulkan rasa berpati (starchy). Hal tersebut menyebabkan perlunya perlakuan pendahuluan, yaitu pregelatinisasi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sagu terdiri dari dua jenis, yaitu Metroxylon sagus Rooth yang berduri, dan M.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sagu terdiri dari dua jenis, yaitu Metroxylon sagus Rooth yang berduri, dan M. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sagu Sagu terdiri dari dua jenis, yaitu Metroxylon sagus Rooth yang berduri, dan M. rumphi yang berduri. Tanaman ini berasal dari Maluku kemudian menyebar ke berbagai daerah

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Penelitian pendahuluan dilaksanakan pada bulan Februari 2017 dan

BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Penelitian pendahuluan dilaksanakan pada bulan Februari 2017 dan IV. BAHAN DAN METODE PENELITIAN 4.1 Waktu dan Tempat Percobaan Penelitian pendahuluan dilaksanakan pada bulan Februari 2017 dan penelitian utama dilaksanakan bulan Maret Juni 2017 di Laboratorium Teknologi

Lebih terperinci

MODIFIKASI TEPUNG PISANG TANDUK

MODIFIKASI TEPUNG PISANG TANDUK MODIFIKASI TEPUNG PISANG TANDUK (Musa paradisiaca Formatypica) MELALUI PROSES FERMENTASI SPONTAN DAN PEMANASAN OTOKLAF UNTUK MENINGKATKAN KADAR PATI RESISTEN FATIMAH ABDILLAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

PENGARUH METODE PERLAKUAN AWAL (PRE-TREATMENT) DAN SUHU PENGERINGAN TERHADAP MUTU FISIK, KIMIA, DAN FUNGSIONAL TEPUNG UBI JALAR UNGU

PENGARUH METODE PERLAKUAN AWAL (PRE-TREATMENT) DAN SUHU PENGERINGAN TERHADAP MUTU FISIK, KIMIA, DAN FUNGSIONAL TEPUNG UBI JALAR UNGU PENGARUH METODE PERLAKUAN AWAL (PRE-TREATMENT) DAN SUHU PENGERINGAN TERHADAP MUTU FISIK, KIMIA, DAN FUNGSIONAL TEPUNG UBI JALAR UNGU SKRIPSI Oleh: SYAHDIAN LESTARI 110305018 / ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN

Lebih terperinci