KARAKTERISTIK FISIK PATI SAGU (Metroxylon sp) YANG DIMODIFIKASI DENGAN TEKNIK HEAT MOISTURE TREATMENT (HMT) DIAN WULANSARI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KARAKTERISTIK FISIK PATI SAGU (Metroxylon sp) YANG DIMODIFIKASI DENGAN TEKNIK HEAT MOISTURE TREATMENT (HMT) DIAN WULANSARI"

Transkripsi

1 KARAKTERISTIK FISIK PATI SAGU (Metroxylon sp) YANG DIMODIFIKASI DENGAN TEKNIK HEAT MOISTURE TREATMENT (HMT) DIAN WULANSARI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Karakteristik Sifat Fisik Pati Sagu (Metroxylon Sp) Yang Dimodifikasi Dengan Teknik Heat Moisture Treatment (HMT) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, September 2010 Dian Wulansari IPN/F

3 ABSTRACT DIAN WULANSARI. Physical Characteristic Of Sago Starch (Metroxylon sp.) Modified Through Heat Moisture Treatment (HMT) Technique. Under direction of FERI KUSNANDAR, SUGIYONO and RIDWAN THAHIR. The use of native sago starch (Metroxylon sp.) is still limited because of the lack of desired functional characteristics. Heat moisture Treatment (HMT) is one of modification technique that can improve the characteristic of sago starch. The aims of this study were to analyze the change of gelatinization characteristics of sago starch during HMT process and to analyze the potention of use of sago starch which had been modified by HMT technique. Two stages were conducted in this study i.e. (1) characterization of gelatinization of native sago starch and (2) modification of native sago starch with HMT. HMT was performed by exposing the starch to high temperature until the temperature of the starch reached 70, 80, and 90ºC for hours. Parameters evaluated were (1) starch properties which included the onset of gelatinisation (SAG), peak of gelatinisation (SPG), peak viscosity (VP), hot-paste viscosity (VPP), cool-paste viscosity (VPD), breakdown (VB), and setback (VSB) and (2) physical characterization which included the size and shape of starch granule, birefringence, gelling ability, syneresis, swelling ability, and disperse ability. The result showed that native sago starch were not stable toward heating and stirring process. The modification of native sago starch with HMT raised the onset of gelatinization and peak of gelatinization which indicated that the modified starch was more stable to heat than the native one. HMT with 80 and 90ºC of starch temperature were able to decrease VP and breakdown that indicated the stability in heating and stirring. The value of VPD and setback in 80 and 90ºC also decreased that indicated that the modified starch were not easily retrogradated. HMT with 70ºC of starch temperature were not able to change the properties of native sago starch significant. The higher the HMT temperature the bigger the size of starch granule. The modified starch still had their birefingence properties due to their semicrystallin structure which had not altered by the HMT temperature. The higher the temperature the higher gelling ability and the higher the temperature the lower of swelling power, syneresis, and disperse ability. Based on the profile of gelatinization and physical characterictic, modified starch with HMT 70ºC was suitable for extruded snack. The modified starch with HMT 80ºC was suitable for gelling agent and modified starch with HMT 90ºC was suitable for jelly gum candy and coating for baked. Keyword: heat moisture treatment, sago starch.

4 RINGKASAN Pati sagu merupakan sumber karbohidrat yang sangat potensial pemanfaatannya dan di Indonesia tersedia dalam jumlah yang banyak. Akan tetapi, pati sagu belum dimanfaatkan secara optimal. Penggunaannya pati sagu masih terbatas sebagai pangan tradisional. Penggunaan pati sagu native dalam bahan pangan dibatasi oleh sifat fisik, kimia dan fungsionalnya. Adapun yang membatasi penggunaan pati native dalam proses pengolahan pangan adalah pati native tidak tahan pada pemanasan suhu tinggi, menghasilkan suspensi pati dengan viskositas dan kemampuan membentuk gel yang tidak seragam (konsisten), tidak tahan pada kondisi asam, tidak tahan pengadukan, kelarutan yang terbatas di dalam air, serta gel mudah mengalami sineresis. Karakteristik pati yang lebih baik dapat diperoleh melalui teknik modifikasi pati, sehingga penggunaan pati dalam proses pengolahan pangan dapat diperluas dengan menghasilkan karakteristik produk pangan yang diinginkan. Salah satu teknik modifikasi pati yang dapat dilakukan adalah modifikasi fisik dengan metode heat moisture treatment (HMT). Modifikasi pati dengan metode HMT melibatkan perlakuan panas dan pengaturan kadar air. Modifikasi HMT telah banyak dilakukan sebelumnya dan telah terbukti dapat meningkatkan kualitas pati sehingga dapat digunakan baik sebagai bahan baku maupun bahan tambahan dalam pengolahan produk. Modifikasi HMT yang telah dilakukan selama ini modifikasi dengan perlakuan pada suhu pemanasan oven / suhu ruang yang digunakan, bukan pada pemanasan suhu pati yang diberikan. Modifikasi HMT dengan perlakuan pemanasan pada suhu oven dan lama pemanasan tersebut masih memberikan hasil yang bervariasi. Oleh karena itu, sangat dibutuhkan penelitian untuk mengetahui perubahan karakteristik sifat fisik pati akibat modifikasi HMT dengan perlakuan pengamatan pada pemanasan suhu pati dan lama pemanasan. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) menganalisa perubahan karakteristik gelatinisasi pati sagu dengan menggunakan parameter amilografi yaitu: suhu awal gelatinisasi (SAG), viskositas puncak (VP), suhu puncak gelatinisasi (SPG), viskositas pasta panas (VPP), viskositas pasta dingin (VPD), viskositas breakdown (VB) dan viskositas setback (VSB) akibat

5 modifikasi heat moisture treatment (HMT). (2) menganalisa secara deskriptif potensi penggunaan pati sagu termodifikasi (HMT) yang diperoleh. Penelitian ini dilakukan dengan dua tahap, yaitu (1) karakteristik gelatinisasi pati sagu native (2) modifikasi pati sagu dengan teknik (HMT). Proses modifikasi HMT pati sagu dilakukan pada suhu pati 70, 80 dan 90 o C dan lama pemanasan jam. Pengamatan perubahan karakteristik gelatinisasi pati dilakukan setiap setengah jam. Berdasarkan analisis profil gelatinisasi dan analisis statistik diperoleh pati sagu termodifikasi HMT suhu pati 70, 80 dan 90 o C lama pemanasan memiliki karakteristik gelatinisasi yaitu suhu awal gelatinisasi yang dihasilkan semakin tinggi dengan semakin lama pemanasan. Semakin tinggi suhu awal gelatinisasi yang dihasilkan menunjukkan pati lebih tahan terhadap panas, dikarenakan rekristalisasi komponen granula selama proses modifikasi HMT. Begitu juga dengan suhu puncak gelatinisasi, dimana semakin tinggi suhu pati dibutuhkan suhu yang tinggi untuk menggelatinisasi. Interaksi antara suhu pati dan lama pemanasan hanya terjadi pada parameter viskositas puncak, viskositas pasta panas, viskositas breakdown dan viskositas pasta dingin serta interaksi terjadi hanya pada suhu pati 80 dan 90 o C. Interaksi antara perlakuan suhu pati 90 o C dengan lama pemanasan 0.5, 1, 2.5, 3, 3.5, 4 jam tidak berbeda dengan perlakuan suhu pati 80 o C lama pemanasan 3, 3.5 dan 4 jam terhadap viskositas puncak. Semakin tinggi suhu pati dan lama pemanasan, viskositas puncak yang diperoleh semakin rendah. Pati sagu termodifikasi HMT masih memiliki viskositas puncak yang tinggi. Interaksi pada suhu 70 o C terjadi antara lama pemanasan 2 dan 4 jam terhadap viskositas puncak. Interaksi pada suhu pati 90 o C lama pemanasan 0.5, 1, 2.5 dan 3 jam menghasilkan viskositas breakdown dengan nilai viskositas paling kecil yaitu 20 BU. Semakin menurunnya nilai viskositas breakdown menunjukkan pati dengan karakteristik yang cukup stabil pada pemanasan. Interaksi antara suhu pati 70 o C dengan lama pemanasan 4 jam menghasilkan nilai viskositas breakdown yang paling besar dibanding perlakuan lainnya dengan nilai 120 BU. Pada parameter viskositas setback, semakin tinggi suhu pati menghasilkan viskositas setback yang semakin kecil. Suhu pati 80 dan 90 o C memiliki nilai viskositas setback yang sama dibandingkan suhu pati 70 o C.

6 Analisis sifat fisik pati sagu termodifikasi HMT diperoleh hasil pati belum mengalami gelatinisasi dimana dapat dilihat dari sifat birefringence nya yang masih memperlihatkan warna biru dan kuning. Berdasarkan bentuk dan ukuran granula proses modifikasi HMT tidak merubah bentuk dan ukurannya. Pada nilai swelling volume semakin tinggi suhu suhu pati dan lama pemanasan menghasilkan swelling volume yang semakin rendah, kekuatan gel semakin tinggi dan kecenderungan mengalami sineresis semakin berkurang. Berdasarkan analisis profil gelatinisasi dan sifat fisik pati sagu termodifikasi HMT dengan perlakuan suhu pati 70, 80 dan 90 serta lama pemanasan jam pati berpotensi dalam berbagai pengembangan produk. Pati sagu termodifikasi HMT suhu pati 70 o C dengan lama pemanasan 4 jam memiliki karakteristik pati dengan swelling volume yang tinggi, cenderung mengalami retrogradasi dan sineresis. Pati ini berpotensi dalam pembuatan produk yang membutuhkan tekstur yang keras di produk akhirnya. Pati sagu termodifikasi HMT 90 o C dengan lama pemanasan 0.5 jam memiliki karakteristik pati dengan viskositas puncak rendah, viskositas breakdown kecil yang mengindikasikan pati tahan pemanasan. Pati sagu termodifikasi HMT 90 o C berpotensi dalam pengolahan produk tahan panas. Pati sagu termodifikasi HMT suhu pati 90 o C dengan lama pemanasan 4 jam memiliki karakteristik pati viskositas puncak rendah, memiliki kekuatan gel yang tinggi dan tanpa mengalami sineresis. Pati sagu ini berpotensi digunakan dalam pengolahan produk beku. Pati sagu termodifikasi HMT suhu pati 80 o C lama pemanasan 3.5 dan 4 jam berpotensi sebagai bahan pembentuk gel. Pati sagu ini memiliki karakteristik dengan viskositas puncak yang rendah, kekuatan gel yang tinggi, tidak mengalami retrogradasi dan sineresis.

7 @ Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

8 KARAKTERISTIK FISIK PATI SAGU (Metroxylon sp) YANG DIMODIFIKASI DENGAN TEKNIK HEAT MOISTURE TREATMENT (HMT) DIAN WULANSARI Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pangan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

9 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Endang Prangdimurti, M.Si

10 PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala Nikmat dan karunia serta hidayah-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah yang berjudul Karakteristik Sifat Fisik Pati Sagu (Metroxylon sp) yang Dimodifikasi dengan Teknik Heat Moisture Treatment (HMT). Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Dr.Ir. Feri Kusnandar, M.Sc selaku ketua komisi pembimbing, Dr. Ir. Sugiyono M.AppSc dan Prof (Ris) Dr.Ridwan Thahir, APU selaku anggota pembimbing yang telah dengan sabar membimbing dan mengarahkan penulis untuk kesempurnaan karya ilmiah ini serta selalu bersedia meluangkan waktunya untuk mengoreksi dan memperbaiki karya ilmiah ini. Semoga Allah SWT memberikan balasan yang terbaik atas segala pengorbanan curahan waktu dan tenaga, serta ilmu yang diberikan kepada penulis. Kepada Dr.Ir. Endang Prangdimurti, M.Si penulis mengucapkan terima kasih atas kesediaannya untuk menjadi dosen penguji luar komisi. Masukan yang Ibu berikan akan sangat berarti untuk perbaikan karya ilmiah ini. Kepada Dr.Ir. Ratih Dewanti Hariyadi, M.Sc, selaku ketua Program Studi Ilmu Pangan dan seluruh staf pengajar yang telah banyak memberikan ilmu kepada penulis selama menjalani tugas belajar di Ilmu Pangan. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Departemen Pertanian yang telah memberikan dana penelitian melalui KKP3T sehingga dapat memperlancar kegiatan penelitian yang penulis lakukan. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada kedua orang tua Ayahanda M. Dhani dan Ibunda Fatimah Syarief yang selalu memberikan dorongan, semangat dan do a restu yang tidak ada hentinya. Kepada kakakku Dina, penulis ucapkan terima kasih atas do a, kasih sayang, dan dukungan yang diberikan selama penulis menjalani studi. Kepada Ibu Endang Yuli Purwani penulis mengucapkan terima kasih atas semua bantuan baik berupa ide maupun tenaga yang diberikan selama penulis melalukan penelitian di Balai Besar Pascapanen. Kepada Bapak dan Ibu teknisi di Balai Besar Pascapanen penulis juga mengucapkan terima kasih atas semua bantuan dan dukungan demi kelancaran penelitian.

11 Kepada rekan-rekan mahasiswa Program Studi Ilmu Pangan Angkatan 2007, penulis mengucapkan terima kasih banyak atas kerjasama dan kebersamaan yang terjalin selama ini. Akhirnya penulis berharap semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi penulis dan para pembaca umumnya. Bogor, September 2010 Dian Wulansari

12 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jambi pada tanggal 10 Agustus 1983 dari ayah M.Dhani dan ibu Fatimah Syarief, SPd. Penulis merupakan putri kedua dari dua bersaudara. Tahun 2003 penulis lulus dari SMU Negeri 4 Jambi dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk Universitas Jambi melalui jalur PMDK. Penulis memilih Program studi Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian dan telah berhasil lulus sarjana pada bulan April Pada tahun 2007 penulis terdaftar sebagai mahasiswi pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada program studi Ilmu Pangan.

13 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... xxi DAFTAR TABEL... xxiii DAFTAR GAMBAR... xxiv DAFTAR LAMPIRAN... xxvi I. PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Tujuan Penelitian... 3 Manfaat Penelitian... 3 Hipotesis... 3 II. TINJAUAN PUSTAKA... 4 Sagu Karakteristik Kimia Pati Sagu... 8 Karakteristik Fisik Pati Sagu Gelatinisasi Pati Ukuran dan Bentuk Granula Pati Karakteristik Gelatinisasi Pati Sagu Native Modifikasi Pati Metode Heat Moisture Treatment (HMT) III. BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Metode Penelitian Karakteristik Pati Sagu Native Modifikasi Pati Sagu dengan Teknik Heat Moisture Treatment (HMT) 18 Rancangan Percobaan dan Analisis Data Metode Analisis Analisis Profil Gelatinisasi Pati Menggunakan Brabender Amylograph Analisis Kadar Air Analisis Bentuk dan Ukuran Granula Pati Analisis Kekuatan Gel Analisis Freeze Thaw Stability (FTS) Analisis Swelling Volume dan Fraksi Pati yang Tidak Membentuk Gel IV. HASIL DAN PEMBAHAN Karakteristik Gelatinisasi Pati Sagu Native Perubahan Karakteristik Pati Sagu Termodifikasi HMT dengan Parameter- Parameter pada Amilografi Suhu Awal Gelatinisasi (SAG) Pati Sagu Suhu Puncak Gelatinisasi (SPG) Pati Sagu xxi

14 3. Viskositas Puncak (VP) Pati Sagu Viskositas Pasta Panas (VPP) Pati Sagu Viskositas Breakdown (VB) Pati Sagu Viskositas Pasta Dingin (VPP) Pati Sagu Viskositas Setback (VS) Pati Sagu Karakteristik Fisik Pati Sagu Termodifikasi Heat Moisture Treatment (HMT) 1. Bentuk, Ukuran dan Sifat birefringence Granula Pati Swelling Volume dan Fraksi Pati yang Tidak Membentuk Gel Freeze Thaw Stability (FTS) Kekuatan Gel Karakteristik Pati Sagu Termodifikasi HMT berdasarkan profil gelatinisasi 1. Pati Sagu Termodifikasi HMT pada Pemanasan Suhu Pati 70 o C o 2. Pati Sagu Termodifikasi HMT pada Pemanasan Suhu Pati 80 C o 3. Pati Sagu Termodifikasi HMT pada Pemanasan Suhu Pati 90 C Potensi Penggunaan Pati Sagu Termodifikasi HMT Berdasarkan Profil Gelatinisasi dan Sifat Fisik V. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN xxii

15 Tabel DAFTAR TABEL Halaman 1 Kandungan nilai gizi sagu dibandingkan pangan lainnya Kandungan amilosa dan amilopektin berbagai jenis pati Karakteristik gelatinisasi pati sagu Sukabumi native Ukuran rata-rata granula pati sagu termodifikasi heat moisture treatment (HMT) pada tiga tingkatan suhu pati sagu dengan perwakilan lama pemanasan xxiii

16 DAFTAR GAMBAR Gambar Halaman 1 Beberapa jenis sagu di Papua (a) Sagu para (b) Sagu berduri dan (c) Sagu tidak berduri Proses ekstraksi pati sagu di Daerah Sukabumi dalam skala industri kecil (a) Pemotongan batang sagu (b) Pembelahan batang sagu (c) Pemarutan batang sagu (d) Pencucian parutan batang sagu (e) Perendaman pati sagu (f) Penyaringan pati sagu (g) Penjemuran pati sagu menggunakan sinar matahari Struktur molekul amilosa Struktur molekul amilopektin Bentuk granula (a) Pati sagu (metroxylon) (b) pati sagu aren Tahapan proses modifikasi HMT pati sagu menggunakan oven pengering Profil umum gelatinisasi pati Profil gelatinisasi pati sagu Sukabumi native Suhu awal gelatinisasi (SAG) pati sagu termodifikasi HMT setiap peningkatan waktu pemanasan pada tiga tingkatan suhu pati Suhu puncak gelatinisasi (SPG) pati sagu termodifikasi HMT pada tiga tingkatan suhu pati Interaksi antara suhu pati dan lama pemanasan terhadap viskositas puncak (VP) pati sagu termodifikasi HMT Interaksi antara suhu pati dan lama pemanasan terhadap viskositas pasta panas (VPP) pati sagu termodifikasi HMT Interaksi antara suhu pati dan lama pemanasan terhadap viskositas breakdown (VB) pati sagu termodifikasi HMT Interaksi antara suhu pati dan lama pemanasan terhadap viskositas pasta dingin (VPD) pati sagu termodifikasi HMT Viskositas setback (VSB) pati sagu termodifikasi HMT pada tiga tingkatan suhu pati Bentuk granula dan sifat birefringence pati sagu termodifikasi HMT pemanasan suhu pati 70 o C (a) lama pemanasan ½ jam (b) lama pemanasan 2 jam (c) lama pemanasan 4 jam xxiv

17 17 Bentuk granula dan sifat birefringence pati sagu termodifikasi HMT pemanasan suhu pati 80 o C (a) lama pemanasan ½ jam (b) lama pemanasan 2 jam (c) lama pemanasan 4 jam Bentuk granula dan sifat birefringence pati sagu termodifikasi HMT pemanasan suhu pati 90 o C (a) lama pemanasan ½ jam (b) lama pemanasan 2 jam (c) lama pemanasan 4 jam Swelling volume (SV) pati sagu termodifikasi HMT pada tiga tingkatan suhu pati Sineresis pati sagu termodifikasi HMT setiap peningkatan lama pemanasan pada tiga tingkatan suhu pati Kekuatan gel pati sagu termodifikasi HMT pada tiga tingkatan suhu pati dengan peningkatan lama pemanasan Profil gelatinisasi pati sagu native dan termodifikasi HMT pada suhu pemanasan pati 70 o C dengan lama pemanasan mencapai 4 jam Profil gelatinisasi pati sagu native dan ter modifikasi HMT pada suhu o pemanasan pati 80 C dengan lama pemanasan mencapai 4 jam Profil gelatinisasi pati sagu native dan ter modifikasi HMT pada suhu pemanasan pati 90 o C dengan lama pemanasan mencapai 4 jam xxv

18 Lampiran DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Contoh perhitungan kesetimbangan massa Hasil analisis pengaruh berbagai suhu pati dan lama pemanasan modifikasi pada suhu awal gelatinisasi (SAG) dengan menggunakan general linear model unvariate dan uji lanjut Duncan pada program SPSS Hasil analisis pengaruh berbagai suhu pati dan lama pemanasan modifikasi pada suhu puncak gelatinisasi (SPG) dengan menggunakan general linear model unvariate dan uji lanjut Duncan pada program SPSS Hasil analisis pengaruh berbagai p suhu pati dan lama pemanasan modifikasi pada viskositas puncak (VP) dengan menggunakan general linear model unvariate dan uji lanjut Duncan pada program SPSS Hasil analisis pengaruh berbagai suhu pati dan lama pemanasan modifikasi pada viskositas pasta panas (VPP) dengan menggunakan general linear model unvariate dan uji lanjut Duncan pada program SPSS Hasil analisis pengaruh berbagai suhu pati dan lama pemanasan modifikasi pada viskositas breakdown (VB) dengan menggunakan general linear model unvariate dan uji lanjut Duncan pada program SPSS Hasil analisis pengaruh berbagai suhu pati dan lama pemanasan modifikasi pada viskositas pasta dingin (VPP) dengan menggunakan general linear model unvariate dan uji lanjut Duncan pada program SPSS Hasil analisis pengaruh berbagai suhu pati dan lama pemanasan modifikasi pada viskositas setback (VSB) dengan menggunakan general linear model unvariate dan uji lanjut Duncan pada program SPSS Hasil analisis pengaruh berbagai suhu pati dan lama pemanasan modifikasi pada swelling volume dengan menggunakan general linear model unvariate dan uji lanjut Duncan pada program SPSS Hasil analisis pengaruh berbagai suhu pati dan lama pemanasan modifikasi pada fraksi pati tidak membentuk gel dengan menggunakan general linear model unvariate dan uji lanjut Duncan pada program SPSS Hasil analisis pengaruh berbagai suhu pati dan lama pemanasan modifikasi pada sineresis dengan menggunakan general linear model unvariate dan uji lanjut Duncan pada program SPSS Hasil analisis pengaruh berbagai suhu pati dan lama pemanasan modifikasi pada kekuatan gel dengan menggunakan general linear model unvariate dan uji lanjut Duncan pada program SPSS Data profil gelatinisasi pati sagu termodifikasi HMT pada pemanasan suhu pati 70 o C xxvi

19 14 Data profil gelatinisasi pati sagu termodifikasi HMT pada pemanasan suhu pati 80 o C Data profil gelatinisasi pati sagu termodifikasi HMT pada pemanasan suhu pati 90 o xxvii

20 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia terkenal sebagai negara agraris. Akan tetapi, sampai saat ini Indonesia masih mengimpor komoditas-komoditas yang sudah merupakan kebutuhan pangan masyarakatnya seperti beras, jagung, kedelai, gandum, jagung, gula hingga garam yang sumber dayanya tersedia secara cuma-cuma dari alam. Nilai impor kedelai rata-rata setiap tahun mencapai Rp 5.95 triliun, gandum Rp 22.5 triliun, gula Rp 8.59 triliun, dan garam Rp 900 miliar (Siregar, 2009). Untuk menekan laju impor komoditas tersebut dapat sedikit dikurangi dengan pemanfaatan sumber bahan pangan pokok lokal yang lain. Salah satunya sagu yang merupakan tanaman asli Indonesia. Sagu sangat potensial dan tersedia dalam jumlah yang banyak. Akan tetapi, belum dimanfaatkan secara optimal. Pemanfaatan sagu (Metroxylon sp) masih terbatas dan tidak optimal jika dibandingkan dengan tanaman penghasil karbohidrat lain seperti ubi kayu, jagung, kentang dan padi. Penggunaannya masih terbatas sebagai pangan tradisional. Pati sagu merupakan salah satu alternatif untuk bahan pengisi atau bahan pengikat adonan. Namun, penggunaan pati sagu native dalam bahan pangan dibatasi oleh sifat fisik, kimia dan fungsionalnya. Adapun yang membatasi penggunaan pati native dalam proses pengolahan pangan, yaitu: pati native tidak tahan pada pemanasan suhu tinggi, menghasilkan suspensi pati dengan viskositas dan kemampuan membentuk gel yang tidak seragam (konsisten), tidak tahan pada kondisi asam, tidak tahan pengadukan, kelarutan yang terbatas di dalam air, serta gel mudah mengalami sineresis (Kusnandar, 2006). Peningkatan karakteristik pati dapat diperoleh melalui teknik modifikasi pati, sehingga penggunaan pati dalam proses pengolahan pangan dapat diperluas dengan menghasilkan karakteristik produk pangan yang diinginkan. Pati termodifikasi adalah pati yang telah mengalami perlakuan fisik atau kimia secara terkendali sehingga mempunyai karakteristik sesuai dengan yang dikehendaki. Salah satu teknik modifikasi pati yang dapat dilakukan yaitu, melalui modifikasi fisik dengan metode heat moisture treatment (HMT). Modifikasi pati dengan metode HMT melibatkan perlakuan panas dan pengaturan kadar air (Collado et al. 2001). Selanjutnya, menurut Collado et al (2001) pemanasan yang dilakukan pada

21 2 metode HMT dilakukan diatas suhu gelatinisasi pati yaitu o C namun pada kadar air yang terbatas (<35%). Penelitian-penelitian perubahan karakteritik gelatinisasi pati dengan metode HMT ini sudah banyak dilakukan sebelumnya. Herawati (2009) melakukan modifikasi HMT sagu menggunakan suhu 110 o C selama 4 jam menghasilkan pati yang tahan pemanasan, tahan pengadukan dan memiliki kemampuan membentuk gel yang tinggi. Studi yang dilakukan oleh Adebowale et al (2005) menunjukkan bahwa modifikasi dengan teknik HMT dapat mengubah karakteristik gelatinisasi pati sorgum merah, yaitu dapat meningkatkan suhu gelatinisasi, meningkatkan viskositas pasta pati, dan meningkatkan kecenderungan pati untuk mengalami retrogradasi dengan perlakuan HMT suhu 110 o C selama 16 jam. Lawal et al (2005) mengatakan bahwa modifikasi HMT dapat merubah karakteristik pati jack bean dengan perubahan meningkatnya suhu gelatinisasi, menurunnya puncak viskositas, viskositas breakdown dan viskositas pasta dingin. Collado et al (2001) melakukan modifikasi HMT pada pati ubi jalar menggunakan suhu 110 o C selama 3 jam juga menghasilkan perubahan karakteristik pati dengan peningkatan suhu gelatinisasi pati dan viskositas setback, penurunan viskositas puncak serta viskositas breakdown. Pukkahuta et al (2007) juga melakukan studi modifikasi HMT pada pati jagung dengan perlakuan suhu pemanasan 120 o C selama 60 menit, menunjukkan penurunan puncak pasta, breakdown, viskositas akhir, serta setback. Ahmad (2009) melakukan studi modifikasi HMT pada pati jagung dengan pemanasan suhu 110 o C selama 16 jam menunjukkan perubahan karakteristiknya yaitu: menurunkan nilai viskositas puncak, viskositas breakdown, viskositas setback, swelling volume dan kelarutan. Berdasarkan uraian diatas sudah terbukti menggunakan metode modifikasi HMT dapat meningkatkan karakteristik pati dengan meningkatnya suhu awal gelatinisasi, suhu puncak gelatinisasi dan viskositas setback, menurunnya viskositas puncak, viskositas setback, swelling volume dan kelarutan. Akan tetapi, perlakuan suhu pemanasan yang diberikan pada teknik HMT selama ini merupakan perlakuan pada suhu pemanasan oven / suhu ruangan yang digunakan, bukan pada pemanasan suhu pati yang diberikan. Modifikasi HMT dengan perlakuan pemanasan pada suhu oven dan lama pemanasan tersebut masih

22 3 memberikan hasil yang bervariasi sehingga indikator suhu oven / ruangan berfluktuatif. Oleh karena itu, sangat dibutuhkan penelitian untuk mengetahui perubahan karakteristik sifat fisik pati akibat modifikasi HMT dengan perlakuan pengamatan pada pemanasan suhu pati dan lama pemanasan. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Menganalisa perubahan karakteristik gelatinisasi pati sagu dengan menggunakan parameter amilografi yaitu: suhu awal gelatinisasi (SAG), viskositas puncak (VP), suhu puncak gelatinisasi (SPG), viskositas pasta panas (VPP), viskositas pasta dingin (VPD), viskositas breakdown (VB) dan viskositas setback (VSB) akibat modifikasi heat moisture treatment (HMT). 2. Menganalisa secara deskriptif potensi penggunaan pati sagu termodifikasi modifikasi heat moisture treatment (HMT) yang diperoleh. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah pati sagu termodifikasi HMT yang diperoleh dengan berbagai karakteristik gelatinisasi dapat diaplikasikan dalam berbagai jenis produk pangan. Hipotesis Penelitian ini dilakukan berdasarkan hipotesis sebagai berikut: 1. Interaksi perlakuan suhu pati dan lama pemanasan mempengaruhi parameterparameter amilografi. 2. Perlakuan suhu pati dan lama pemanasan yang berbeda dapat menghasilkan pati sagu dengan karakteristik tahan pemanasan dan pengadukan, serta tidak cenderung mengalami sineresis. 3. Pati sagu termodifikasi HMT dapat digunakan baik sebagai bahan baku maupun bahan pendukung dalam pembuatan produk yang tahan pada suhu tinggi maupun suhu beku.

23 4 TINJAUAN PUSTAKA Sagu Sagu merupakan tanaman rumpun dan berkembang biak dengan membentuk anakan. Sagu termasuk tumbuhan monokotil dalam family Palmae, subfamily Lepidocaryoideae serta genus Metroxylon. Tanaman sagu tumbuh secara alami terutama di daerah dataran atau rawa dengan sumber air yang melimpah. Menurut Oates dan Hicks (2002) tanaman sagu masih dapat tumbuh dengan baik pada ketinggian m dpl dengan curah hujan mm/tahun. Di Indonesia, masyarakat mengenal dua jenis penghasil tepung sagu yang utama, yaitu dari jenis Metroxylon dan jenis Arenga (sagu aren). Berbeda dengan sagu Metroxylon, sagu aren tumbuh pada lahan yang relatif lebih kering, dan banyak ditemukan di Jawa, Sumatera dan Kalimantan. Kandungan tepung dari pohon sagu aren juga relatif lebih sedikit. Papua merupakan salah satu provinsi di Indonesia dengan potensi sagu terbesar, bahkan terluas di seluruh dunia. Menurut Ama (2002) luas lahan sagu yang terdapat di Papua adalah hektar atau sekitar 85 persen dari luas hutan sagu nasional. Adapun wilayah sebarannya di Waropen bawah, Monokrawi, Bintuni, Inawatan, dan daerah yang belum terinventarisasi. Papua merupakan daerah sagu yang sangat potensial, karena disamping memiliki banyak jenis sagu, produktivitas beberapa jenis sagu tersebut cukup tinggi. Selain Papua tanaman sagu tersebar di Maluku, Sulawesi, dan Pulau Mentawai terutama berasal dari spesies Metroxylon sagu (McClatchey et al, 2006) serta beberapa daerah di jawa barat seperti Bogor, Sukabumi dan Banten. Miyazaki (2004) dalam Limbongan (2007) mengelompokkan 21 jenis sagu asal Papua, dimana 10 jenis termasuk sagu berduri (Metroxylon rumphii Mart) yaitu : Manno, Mongging, Para Hongleu, Para Hongsay, Para Waliha, Puy, Rondo, Ruruna, Yakhalobe, dan Ebefum. Sisanya termasuk sagu tidak berduri (Metroxylon sagu Rottb) yaitu : Folio, Hobolo, Osokulu Honglue, Osokulu Hongsay, Panne, Yakhe, Yakhu Walo, Yepha Honglue, Yepha Hongsay, Winanbo dan Wani. Berbagai jenis sagu tersebut mempunyai morfologi, produktifitas dan karakteristik tepung berbeda yang dapat digunakan sebagai seleksi dan identifiksi

24 5 sagu yang potensial untuk bahan baku produk pangan. Beberapa jenis pohon sagu di Papua dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar 1. Beberapa jenis sagu di Papua, yaitu (a) Sagu para, (b) Sagu berduri, dan (c) Sagu tidak berduri. (Limbongan, 2007) Masyarakat Papua mengkonsumsi sagu dalam bentuk papeda basah, papeda kering, dan bentuk lempengan, serta hampir setiap bagian tanaman sagu dapat dimanfaatkan untuk berbagai kebutuhan (Flach, 1997). Penduduk lokal menggunakan daun sagu sebagai bahan baku atap rumah. Batang sagu dapat dipisahkan menjadi dua bagian yaitu bagian kayu dan empulur. Kayu tanaman sagu bersifat cukup kuat sehingga dapat digunakan untuk bahan bangunan rumah. Selain itu, kayu sagu dapat digunakan sebagai bahan baku kertas. Dalam industri pangan, pati teroksidasi digunakan sebagai pengental, pengemulsi, pengikat, dan pencegah sineresis untuk mempertahankan mutu pangan. Produk utama sagu yaitu ekstrak dari empelur atau batang tanaman. Batang tanaman sagu merupakan tempat penyimpanan pati atau karbohidrat. Kandungan pati dalam empulur batang sagu berbeda-beda, tergantung pada umur dan spesies tanaman sagu, serta lingkungan tempat sagu itu tumbuh. Semakin tua umur tanaman sagu, kandungan pati dalam empulur semakin besar dan pada umur tertentu kandungan pati tersebut akan menurun (Flach, 1983). Biasanya tanaman sagu dipanen setelah berumur 8 10 tahun. Namun, jika tanaman dibudidayakan dengan baik, sagu dapat dipanen pada umur 6 7 tahun (Flach,1980).

25 6 Pati sagu diperoleh dari empulur batang (Metroxylon spp) sagu dengan cara ekstraksi. Sifat dan kualitas pati sagu dipengaruhi oleh faktor genetik serta proses ekstraksinya, seperti peralatan dan air yang digunakan, cara penyimpanan potongan batang sagu, dan penyaringan (Flach, 1997). Adapun tahapan ekstraksi pati sagu yaitu: penebangan batang sagu, pembelahan batang sagu menjadi dua bagian, pemisahan empulur sagu dari bagian batang sagu yang keras dengan penohokan, penghancuran empulur sagu dengan pemarutan atau penggilingan bersama air, pemisahan pati sagu dan komponen lain dari bubur pati sagu dengan cara pengendapan, pemisahan endapan pati dan bagian lain yang larut air, pengeringan endapan (pati sagu) dengan menggunakan sinar matahari (Flach, 1997). Salah satu contoh proses ekstraksi pati sagu di Daerah Sukabumi skala industri kecil dapat dilihat pada Gambar 2. a b c d e f g Gambar 2 Proses ekstraksi pati sagu di Daerah Sukabumi dalam skala industri kecil (a) Pemotongan batang sagu (b) Pembelahan batang sagu (c) Pemarutan batang sagu (d) Pencucian parutan batang sagu (e) Perendaman pati sagu (f) Penyaringan pati sagu (g) Penjemuran pati sagu menggunakan sinar matahari

26 7 Menurut Flach (1983) pati sagu yang diperoleh dari proses ekstraksi empulur batang sagu mengandung % pati, 50-66% air dan % bahan lain atau ampas. Rendemen pati sagu yang dihasilkan empulur batang sagu berkisar antara 15-30%. Jika dihitung dari berat kering, empulur batang sagu mengandung 54-60% pati dan 40-46% ampas. Sedangkan, jumlah pati yang dihasilkan dari tiap pohon adalah berkisar antara kg. Tanaman sagu yang tumbuh dalam kondisi paling baik dapat menghasilkan ton pati sagu kering per hektar (Flach, 1997). Sagu sebagai bahan pokok memiliki beberapa keunggulan dibandingkan bahan pangan lainnya, yaitu dapat disimpan dalam jangka waktu yang lama, dapat dipanen dan diolah tanpa mengenal musim serta kecilnya resiko terkena penyakit tanaman (Djoefrie, 1999). Seperti bahan pangan lainnya, pati sagu juga mempunyai kandungan kimia yang tidak jauh berbeda yaitu terdiri dari karbohidrat, protein, lemak, mineral, dan lain-lain. Pati sagu mengandung % serat pangan dan karbohidrat %. Jumlah karbohidrat sagu relatif lebih tinggi dibandingkan beras (80.40%), jagung (71.70%), ubi kayu (23.70%) dan kentang (23.70%). Kandungan lemaknya juga lebih rendah (0.20 gram) dibandingkan dengan beras (0.80 gram). Kandungan nilai gizi sagu dibandingkan pangan lainnya menurut Direktorat gizi departemen kesehatan dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Kandungan nilai gizi sagu dibandingkan pangan lainnya Komposisi Sagu Beras Jagung Ubi kayu Kentang Kandungan Per 100 gram bahan yang dapat dimakan Kalori (kal) Protein (g) Lemak (g) Karbohidrat(%) Kalsium (mg) Besi (mg) Teomin (mg) Riboflavin Niasin (mg) Vitamin (mg) Sumber : *) Direktorat Gizi Departemen Kesehatan (1995) **) Papilaya (2009)

27 8 Pati sagu umumnya berwarna putih, namun ada pula yang secara genetik berwarna kemerahan seperti Yepha, Fikhela, dan Ruruna karena mengandung senyawa fenol. Menurut Purwani et al (2006), derajat putih sagu bervariasi dan dapat berubah menjadi kecoklatan atau kemerahan selama penyimpanan. Perubahan warna tersebut disebabkan adanya aktivitas enzim Latent polyphenol Oxidase (LPPO). Enzim ini mengkatalis reaksi oksidasi senyawa polifenol menjadi kuinon yang selanjutnya membentuk polimer dan menghasilkan warna coklat (Onsa et al. 2002). Karakteristik Kimia Pati Sagu Menurut Winarno (1980) pati terdiri atas dua fraksi yang dapat dipisahkan oleh air panas. Fraksi terlarut disebut amilosa dan fraksi tidak terlarut disebut amilopektin. Seperti halnya pati dari sumber lainnya, molekul pati sagu juga disusun oleh amilosa dan amilopektin. Baik amilosa maupun amilopektin disusun oleh monomer α-d-glukosa yang berikatan satu sama lain melalui ikatan glikosidik. Perbedaan antara amilosa dan amilopektin terletak pada pembentukan percabangan pada struktur linearnya, ukuran derajat polimerisasi, ukuran molekul dan pengaturan posisi pada granula pati. Amilosa dan amilopektin berperan dalam menentukan karakteristik fisik, kimia dan fungsional pati. Amilosa berkontribusi terhadap karakteristik gel karena kehadiran amilosa berpengaruh terhadap pembentukan gel (Parker, 2003). Amilosa merupakan polimer lurus dari D-glukosa yang dihubungkan oleh ikatan α-1,4-glikosidik dengan struktur cincin piranosa. Berat molekul amilosa berkisar antara Da dengan derajat polimerisasi yang mencapai kisaran (Colonna dan Buleon, 1992). Banyaknya gugus hidroksil yang terdapat dalam senyawa polimer glukosa tersebut menyebabkan amilosa bersifat hidrofilik. Struktur molekul amilosa dapat dilihat pada Gambar 3.

28 9 Gambar 3 Struktur molekul amilosa (Chaplin, 2006) Sementara itu, amilopektin merupakan molekul polisakarida dengan rantai cabang. Ikatan pada rantai utama adalah ikatan α-1,4-glikosidik, sedangkan ikatan pada titik cabang adalah ikatan α-1,6-glikosidik (Young, 1984). Amilopektin mempunyai ukuran molekul yang sangat besar dengan berat molekul yang mencapai (Colonna dan Buleon, 1992) dan derajat polimerisasi 3 x x 10 6 (Zobel, 1988). Struktur molekul amilopektin ditunjukkan pada Gambar 4. Gambar 4 Struktur molekul amilopektin (Chaplin,2006)

29 10 Proporsi amilosa dan amilopektin dari berbagai sumber pati berbeda-beda demikian juga dengan bentuk dan ukuran granula yang disusunnya. Umumnya, pati memiliki proporsi amilopektin yang jauh lebih besar jika dibandingkan dengan amilosa. Kandungan amilosa pada kebanyakan sumber pati biasanya berkisar antara 20-30% dan amilopektin 70-80% (Chaplin, 2006). Adanya perbedaan karakteristik granula pati akan sangat berpengaruh pada sifat fisik, sifat kimia dan sifat fungsional pati. Viskositas, ketahanan terhadap pengadukan, gelatinisasi, pembentukan tekstur, kelarutan pengental, kestabilan gel, cold swelling dan retrogradasi dipengaruhi oleh rasio amilosa dan amilopektin serta ukuran granula pati. Menurut Flach (1983) pati sagu mengandung 27% amilosa dan 73% amilopektin. Perbandingan amilosa dan amilopektin akan mempengaruhi sifat kelarutan dan derajat gelatinisasi pati. Semakin besar kandungan amilopektin maka pati akan lebih basah, lengket dan cenderung sedikit menyerap air. Sebaliknya, jika kandungan amilosa tinggi, pati bersifat kering, kurang lengket dan mudah menyerap air (higroskopis). Molekul amilosa dan amilopektin menyusun granula pati dengan pola tertentu (Jane, 2006). Struktur amilosa yang lurus cenderung berada pada bagian amorphous dari granula pati. Sementara itu, amilopektin yang dapat membentuk struktur double heliks bertanggung jawab terhadap bagian kristalin granula pati. Rantai-rantai samping amilosa dan amilopektin yang berdampingan dapat saling berinteraksi sehingga memberikan integritas pada granula pati yang disusunnya (Jane, 2006). Karakteristik Fisik Pati Sagu 1 Gelatinisasi Pati Gelatinisasi pati merupakan suatu fenomena ketika pati dipanaskan bersama air, sehingga menyebabkan pati mengalami peningkatan kelarutan yang diikuti dengan peningkatan viskositas yang kemudian akan membentuk pasta. Pada saat mengalami gelatinisasi, setiap jenis pati akan memperlihatkan karakteristik gelatinisasi yang berbeda tergantung pada jenis pati. Karakteristik ini dapat

30 11 digunakan sebagai salah satu penentu sifat fungsional pati dalam aplikasinya sebagai bahan baku atau bahan tambahan produk pangan. Pada mulanya pengembangan granula pati bersifat bolak balik (reversible) jika tidak melewati suhu gelatinisasi. Akan tetapi, jika pemanasan telah mencapai suhu tertentu pengembangan granula pati menjadi irreversible dan terjadi perubahan struktur granula. Proses ini disebut gelatinisasi dan suhu terjadinya gelatinisasi disebut suhu gelatinisasi. Suhu gelatinisasi pati sagu secara umum berkisar antara o C (Swinkels 1985 dalam Emanuel 2005). Setiap pati memiliki suhu gelatinisasi yang berbeda-beda. Ini bisa dikarenakan populasi granula yang bervariasi dalam ukuran, bentuk, dan energi yang diperlukannya untuk mengembang. Selain itu, suhu gelatinisasi juga dipengaruhi oleh pemasakan, pengadukan, dan konsentrasi pati. Pati yang memiliki kandungan amilosa yang tinggi sangat sukar menggelatinisasi karena molekul amilosa cenderung berada dalam posisi sejajar, sehingga gugus-gugus hidroksilnya dapat berikatan dengan bebas dan pati akan membentuk kristal agregat yang kuat (Anonim 1983; Fardiaz dan Afdi 1989; Ahmad 2009). Sebaliknya, pati yang memiliki komponen amilopektin tinggi sangat sukar untuk berikatan sesamanya karena rantainya bercabang, sehingga pati yang amilopektinnya tinggi sangat mudah mengalami gelatinisasi tetapi viskositasnya tidak stabil. Kandungan amilosa dan amilopektin dari setiap jenis pati dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Kandungan amilosa dan amilopektin berbagai jenis pati Sumber pati Amilosa (%) Amilopektin (%) Sagu Jagung Beras Kentang Gandum Ubikayu Sumber : Herliana dalam Noerdin (2008) Selama gelatinisasi terjadi perubahan antara lain pengembangan butir-butir pati, perubahan kekeruhan dan kenaikan viskositas. Pengembangan butir-butir pati terjadi bersamaan dengan perubahan kekeruhan. Pemanasan dapat meningkatkan

31 12 energi kinetis molekul air. Jika energi kinetis molekul air telah cukup besar, energi kinetis tersebut dapat mengalahkan daya tarik antara molekul-molekul pati dalam granula, sehingga air akan masuk ke dalam butir-butir pati, akibatnya pati akan mengembang (Winarno, 1980). Pati alami bersifat tidak larut dalam air dingin, akan tetapi mengalami pengembangan volume jika suspensi air-pati tersebut dipanaskan (Winarno, 1980). Apabila pemanasan dilanjutkan dalam jangka waktu tertentu kemudian dilakukan pendinginan maka perubahan viskositas pati akan membentuk karakteristik yang berbeda-beda tergantung kepada jenis pati. Berdasarkan karakteristik yang terbentuk, tipe gelatinisasi pati dapat digolongkan menjadi 4 tipe, yaitu A, B, C, dan D (Schoch dan Maywad 1968 dikutip oleh Collado et al, 2001). Tipe A memiliki ciri kemampuan pengembangan yang tinggi dengan ditunjuknya viskositas puncak tinggi, namun akan mengalami penurunan viskositas yang tajam selama pemanasan. Tipe B memiliki kemampuan pengembangan sedang yang ditunjukkan dengan lebih rendahnya viskositas puncak dan viskositas mengalami penurunan yang tidak terlalu tajam selama pemanasan. Tipe C memiliki kemampuan pengembangan terbatas yang ditunjukkan dengan tidak adanya viskositas puncak dan viskositas tidak mengalami penurunan bahkan dapat meningkat selama pemanasan. Tipe D cenderung tidak memiliki kemampuan untuk mengembang sehingga tidak dapat membentuk pasta apabila dipanaskan. Karakteristik gelatinisasi dapat diamati dengan menggunakan rapid visco analyzer (RVA) (Collado dan Corke, 1999; Collado et al., 2001) dan brabender amilografi. Informasi yang dapat diperoleh dari instrumen tersebut antara lain suhu awal gelatinisasi (kurva mulai naik), suhu puncak gelatinisasi (kurva mencapai puncak), stabilitas pasta pati terhadap pemanasan (yaitu ketika pemansan ditahan pada suhu 92 o C), dan setback (peningkatan viskositas kembali karena adanya pembentukan gel pada suhu rendah). 2 Ukuran dan Bentuk Granula Pati Menurut Belitz dan Grosch (1999) pengaturan dan susunan molekul amilosa dan amilopektin dalam granula pati bersifat khas untuk setiap sumber pati

32 13 sehingga akan menentukan bentuk dan ukuran granula. Struktur amilosa yang cenderung lurus sebagian besar berada pada bagian amorphous dari granula pati dan sebagian kecil menyusun bagian kristalin pati. Sementara itu, molekul amilopektin berperan sebagai komponen utama penyusun bagian kristalin pati. Granula pati sagu native memiliki bentuk oval dengan ukuran yang cukup besar. Ukuran granula yang besar mengindikasikan tingginya kemampuan menyerap air pada saat mengalami gelatinisasi. Hal ini yang memungkinkan pati alami memiliki viskositas yang tinggi. Bila dibandingkan dengan beberapa jenis pati lainnya, granula pati sagu mempunyai ukuran yang relatif besar yaitu mencapai rata-rata 24.8µm (Yiu et al, 2008) atau 25 µm (Wattanachant et al, 2002). Bentuk granula pati sagu dapat dilihat pada Gambar 5. (a) (b) Gambar 5 Bentuk granula (a) Pati sagu (metroxylon), (b) Pati sagu aren (Haryanto dan Pangloli, 1992) Granula pati mampu merefleksikan cahaya terpolarisasi sehingga kontras gelap terang yang tampak sebagai warna biru kuning yang disebut dengan sifat birefringence. Sifat ini akan terlihat jika pati diamati di bawah mikroskop polarisasi (Hosseney, 1998). Warna biru kuning pada permukaan granula pati disebabkan adanya perbedaan indeks refraksi dalam granula pati. Indeks refraksi dipengaruhi oleh struktur amilosa dalam granula pati. Bentuk heliks dari amilosa dapat menyerap sebagian cahaya yang melewati granula pati. Jika arah getar dari gelombang cahaya paralel terhadap sumbu heliks amilosa, terjadi penyerapan cahaya secara intensif. Intensitas sifat birefringence pati sangat tergantung dari derajat dan orientasi kristal (French 1984 dalam Saripudin 2006). Pati native dan belum mendapat perlakuan jika diamati di bawah mikroskop akan

33 14 memperlihatkan pola birefringence yang jelas pada daerah gelap terangnya. Sedangkan pada pati yang dipanaskan bersama air, sifat birefringence nya secara bertahap akan hilang tergantung pada suhu dan waktu yang digunakan. Hilangnya sifat birefringence pati disebabkan pecahnya ikatan molekul pati sehingga ikatan hidrogen dapat mengikat lebih banyak molekul air. Penetrasi air menyebabkan peningkatan derajat ketidakteraturan dan molekul pati yang terpisah serta penurunan keberadaan sifat kristal, sehingga jika pemanasan dilanjutkan maka sifat kristal dan sifat birefringence akan hilang. Sifat birefringence pati dapat hilang dengan pemanasan di atas suhu gelatinisasi pati. Granula pati dengan kandungan amilopektin tinggi (waxy starch) memperlihatkan pola birefringence yang sama seperti pati asli tersebut, sedangkan granula pati dengan kadar amilosa tinggi sering tidak memperlihatkan pola birefringence nya (Wirakartakusumah 1981 dalam Mukodiningsih 1991). Karakteristik Gelatinisasi Pati Sagu Native Pati sagu memiliki karakteristik yang berbeda bila dibandingkan dengan pati lain. Namun demikian, pati sagu mempunyai karakteristik yang lebih mendekati karakteristik pati umbi-umbian yaitu memiliki ukuran granula yang besar (Yiu et al, 2008), memiliki indeks pembengkakan (swelling power) dan kelarutan (solubility) yang tinggi (Wattanachant et al.,2002) serta karakteristik gelatinisasi tipe A (mempunyai puncak viskositas tinggi, namun akan menurun dengan tajam pada saat dipanaskan terus menerus pada suhu tinggi (95 o C)). Pati dengan tipe A cenderung tidak tahan terhadap proses pemanasan dan pengadukan sehingga pati sagu native kurang dapat diaplikasikan untuk proses pengolahan yang menggunakan panas dan pengadukan untuk pembentukan teksturnya. Modifikasi yang dilakukan pada pati sagu native diharapkan dapat merubah karakteristiknya sehingga dapat diaplikasikan secara luas pada berbagai produk pangan. Seperti yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya bahwa tanaman sagu terdiri atas berbagai spesies dan berbagai jenis (varietas) yang menyebabkan adanya perbedaan karakteristik sagu yang dihasilkan. Selain itu, karakteristik pati sagu juga akan dipengaruhi oleh tempat tumbuhnya.

34 15 Modifikasi Pati Metode Heat Moisture Treatment (HMT) Modifikasi pati adalah mengubah sifat asli pati dengan merubah sifat kimia dan/atau fisiknya dengan tujuan untuk menghasilkan sifat yang lebih baik atau memperbaiki sifat sebelumnya sehingga mempunyai karakteristik yang sesuai atau yang dikehendaki. Sifat-sifat yang diubah umumnya adalah karakteristik gelatinisasi, hubungan padatan dan kekentalan, kemampuan membentuk gel, kekuatan menahan air dispersi pati pada suhu rendah, sifat hidrofilik, ketahanan dispersi terhadap penurunan kekentalan oleh asam dan perusakan secara fisik serta memasukkan sifat ionisasi pati asal (Wurzburg 1989 dalam Emanuel 2005). Modifikasi pati dapat dikelompokkan ke dalam beberapa teknik, yaitu secara fisik, kimia, dan konversi. Yang termasuk teknik modifikasi secara fisik yaitu modifikasi pati dengan heat moisture treatment (HMT) dan pregelatinisasi. Modifikasi secara kimia diantaranya adalah teknik eterifikasi, esterifikasi ikatan silang (cross-linking), sedangkan modifikasi konversi diantaranya adalah hidrolisis dengan asam secara parsial, hidrolisis enzimatik secara parsial, alkalinasi, oksidasi, dekstrinikasi (Singh et al 2007; Ahmad, 2009). Metode modifikasi ini dapat dilakukan secara tunggal baik secara kimia maupun konversi dan juga kombinasi antara keduanya. Masing-masing metode modifikasi tersebut akan menghasilkan karakteristik pati termodifikasi yang berbeda-beda dan ditunjukkan untuk proses pengolahan tertentu sesuai dengan kebutuhan proses dan penyimpanan produk. Bila dibandingkan dengan modifikasi kimia, modifikasi pati yang dilakukan secara fisik relatif lebih aman dan lebih ramah lingkungan karena tidak menggunakan berbagai pereaksi kimia. Oleh karena itu, pati yang dihasilkan dari modifikasi fisik dapat digunakan sebagai bahan baku pangan. Penggunaan pati termodifikasi fisik yang cukup luas adalah pada berbagai produk instan seperti nasi instan, bubur instan, puding instan dan lain-lain. Pemilihan metode modifikasi pati didasarkan kepada pemenuhan kriteria proses dan mutu akhir dari produk. Heat moisture treatment (HMT) adalah modifikasi fisik pati yang tidak merusak granula. Purwani et al (2006) menyatakan modifikasi pati dengan metode HMT merupakan modifikasi yang dilakukan secara fisik dengan menggunakan

35 16 kombinasi kadar air dan pemanasan diatas suhu gelatinisasi. Collado et al (2001) menyatakan modifikasi HMT adalah metode modifikasi secara fisik yang dilakukan dengan perlakuan panas dengan suhu diatas suhu gelatinisasi pada kadar air yang terbatas (< 35%). Kadar air yang berbeda mempengaruhi besarnya peningkatan suhu gelatinisasi dan penurunan viskositas pasta pati (Hoover dan Manuel, 1995). Peningkatan suhu gelatinisasi pada pati sagu termodifikasi HMT menandakan perubahan bentuk granula pati (Pukkahuta dan Varavinit, 2007). Menurut Manuel (1996) perubahan-perubahan yang terjadi pada parameter fisik pati disebabkan adanya hubungan antara faktor berikut, yaitu: (i) terjadinya perubahan struktur pada area berkristal (crystalline) dan area tak beraturan (amorphous) pada granula pati, serta (ii) terjadinya modifikasi fisik pada bagian permukaan granula pati selama proses HMT berlangsung. Modifikasi pati dengan teknik HMT dapat merusak bentuk granula pati sehingga terbentuk lubang dipermukaannya. Proses pemanasan pati dan keberadaan air saat HMT berlangsung mengakibatkan area amosphous pati mengembang, kemudian menekan keluar area berkristal sehingga terjadi kerusakan dan pelelehan area berkristal granula pati, serta menghasilkan bentuk pati yang lebih stabil terhadap panas. Adebowale et al., (2005) mengemukakan bahwa modifikasi dengan teknik HMT dapat mengubah karakteristik gelatinisasi pati sorgum merah, yaitu dapat meningkatkan suhu gelatinisasi, meningkatkan viskositas pasta pati, dan meningkatkan kecenderungan pati untuk mengalami retrogradasi (peningkatan setback). Perubahan ini sangat tergantung pada pengaturan kadar air modifikasi HMT. Teknik HMT dapat meningkatkan suhu gelatinisasi, menurunkan breakdown dan meningkatkan kecenderungan retrogradasi pati ubi jalar (Collado et al.,2001; Singh et al., 2005). Selanjutnya Collado et al., (2001) menyatakan bahwa teknik HMT dapat menurunkan swelling power dan menurunkan kelarutan pati ubi jalar. Perubahan yang terjadi pada ubi jalar termodifikasi HMT dipengaruhi oleh ph, waktu dan proporsi amilosa. Pati dengan kandungan amilosa yang lebih tinggi membutuhkan waktu optimum yang lebih singkat (8 jam) dari pada pati dengan

36 17 kandungan amilosa yang lebih rendah (16 jam). Sementara itu, ph optimum untuk modifikasi pati ubi jalar dicapai pada ph Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Purwani et al., (2006), teknik HMT dapat menggeser tipe kurva profil gelatinisasi pati sagu tipe A menjadi tipe B. Pada pergeseran pola gelatinisasi ini terjadi perubahan beberapa profil gelatinisasi diantaranya penurunan suhu puncak gelatinisasi, penurunan viskositas breakdown dan peningkatan viskositas setback. Besarnya perubahan beberapa parameter gelatinisasi tersebut tergantung pada jenis (asal daerah) sagu. Berdasarkan beberapa studi yang dilakukan, teknik HMT diketahui dapat mengubah karakteristik fisik dan kimia berbagai jenis pati. Perubahan karakteristik ini akan sangat tergantung pada karakteristik pati native (persentase amilosa dan karakteristik gelatinisasi pati) dan kondisi perlakuan HMT yang digunakan (waktu, suhu, pengadukan, kadar air dan ph).

37 18 METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Februari sampai Mei 2010 di Laboratorium Pilot Plant Seafast Center IPB, Laboratorium Kimia dan Laboratorium Rekayasa Proses Pangan Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan serta Laboratorium Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian Bogor. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan pada penelitian ini yaitu pati sagu (Metroxylon) yang diperoleh dari industri kecil daerah Sukabumi, aquades. Peralatan yang digunakan antara lain: termokopel (tipe T, jenis CC dan AC, diameter 0.8 mm), brabender amilograph (D-4100), texture analyzer (TA-CT3), oven pengering (Memmert seri ), timbangan digital dan analitik, mesin penggiling dan ayakan tepung. Tahapan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan tahapan, sebagai berikut : 1. Karakterisasi Pati Sagu Native Pada tahapan ini dilakukan karakterisasi pati sagu native meliputi analisis kadar air metode oven (AOAC, 1995), pengukuran ph pati sagu native, dan pengukuran profil pasta pati (Wattanachant et al., 2002). Analisis kadar air dilakukan terlebih dahulu, karena data yang didapatkan dari analisis kadar air pati sagu selanjutnya digunakan dalam pengukuran profil pasta pati dan modifikasi pati sagu dengan teknik HMT. 2. Modifikasi Pati Sagu dengan Teknik Heat Moisture Treatment (HMT) Prosedur teknik HMT mengacu pada Collado et al. (2001) dan Purwani et al. (2006) yang dimodifikasi. Pati sagu dianalisis kadar airnya terlebih dahulu. Setelah diketahui kadar airnya, pati sagu tersebut diatur kadar airnya sampai 28% dengan cara menyemprotkan aquades untuk proses HMT. Jumlah

38 19 aquades ditentukan berdasarkan perhitungan kesetimbangan massa. Contoh perhitungan kesetimbangan massa tersaji di Lampiran 1. Pati sagu basah yang telah mencapai kadar air 28% disimpan di dalam refrigerator selama satu malam pada suhu dingin (4-5 o C) untuk penyeragaman kadar air. Kemudian pati sagu basah sebanyak gr dimasukkan ke dalam loyang tertutup yang telah dilengkapi dengan kabel termokopel (tipe T, jenis CC dan AC, diameter 0.8 mm) dengan posisi ditengah-tengah loyang. Ukuran loyang tertutup yang digunakan 30 cm x 30 cm x 5 cm. Sebelumnya oven dipanaskan terlebih dahulu sampai suhu pemanasan yang diinginkan. Dalam memastikan termokopel benar-benar mengukur suhu pati maka dilakukan dengan cara, meletakkan termokopel ditengah-tengah pati atau dibagian dalam dari pati. Kemudian loyang yang berisi pati sagu basah dimasukkan ke dalam oven serta kabel termokopel disisi lainnya disambungkan ke monitor recorder. Peningkatan suhu pamanasan setiap waktu selama proses modifikasi pati dilihat pada monitor recorder sampai suhu pati yang diinginkan diperoleh. Setelah mencapai suhu pati yang diinginkan sampel pati diambil setiap setengah jam berlangsung selama 4 jam. Setelah didinginkan, pati termodifikasi dikeringkan selama 4 jam pada suhu 50 o C. Pati kering digiling dan diayak mengunakan ayakan 100 mesh. Diagram alir proses pembuatan pati sagu termodifikasi HMT dapat dilihat pada Gambar 6. Adapun perlakuan pemanasan pada suhu pati 70, 80, dan 90 o C, serta perlakuan pada waktu setiap pengambilan sampel yaitu: 30, 60, 90, 120, 150, 180, 210, 240 (menit). Pati termodifikasi HMT selanjutnya dianalisis kadar airnya dan dilakukan pengukuran profil pasta pati menggunakan brabender amilograph. Hasil profil pasta pati sagu termodifikasi HMT antar perlakuan dianalisa untuk mengetahui perubahan karakteristik fisik yang terjadi.

39 20 Pati Sagu 600 gr Di tambah aquades hingga kadar airnya 28% Pati sagu basah Didiamkan di dalam refrigerator selama 1 malam Pati sagu basah dimasukkan ke dalam loyang tertutup sebanyak gr / 8 loyang Oven dipanaskan sampai suhu pati sesuai perlakuan (70, 80, 90 o C) Setiap ½ jam sampel diambil, berlangsung selama 4 jam (30, 60, 90, 120, 150, 180, 210, 240 (menit)) Didinginkan Dikeringkan dengan oven pada suhu 50 o C selama 4 jam Penggilingan dan pengayakan dengan ayakan 100 mesh Pati sagu termodifikasi HMT Gambar 6 Tahapan proses modifikasi HMT pati sagu menggunakan oven pengering (Memmert seri )

40 21 Rancangan Percobaan dan Analisis Data Rancangan Percobaan Penetuan perlakuan terbaik pada modifikasi pati sagu dengan metode HMT ini menggunakan dua faktor yaitu faktor α dan β, dimana: faktor α adalah pemanasan pada suhu pati α 1 = suhu pati 70 o C α 2 = suhu pati 80 o C α 3 = suhu pati 90 o C faktor β adalah lama pemanasan β 1 β β β β β β β = lama pemanasan 30 menit = lama pemanasan 60 menit = lama pemanasan 90 menit = lama pemanasan 120 menit = lama pemanasan 150 menit = lama pemanasan 180 menit = lama pemanasan 210 menit = lama pemanasan 240 menit Rancangan percobaan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap faktorial 3x8 dengan dua kali ulangan (Matjik dan Sumertajaya, 2006) dengan model linear sebagai berikut: Dimana : Y ijk Y ijk = µ + α i + β j + α i β j + ε = nilai pengamatan pada faktor suhu taraf ke-i dan faktor lama pemanasan taraf ke-j dan ulangan ke k µ = nilai tengah umum α i β j αiβ j ε ijk = pengaruh utama faktor suhu pati = pengaruh utama faktor lama pemanasan = pengaruh interaksi antara faktor suhu pati dan lama pemanasan = galat percobaan ijk

41 22 Analisis Data Data yang diperoleh kemudian dianalisa dengan menggunakan model linear general (GLM) pada program SPSS 16 untuk melihat pengaruh formulasi. Apabila diperoleh perbedaan nyata, maka dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan pada program yang sama. Metode Analisis 1. Analisis Profil Gelatinisasi Pati Menggunakan Brabender Amilograph (Wattanachant et al. 2002; Purwani et al. 2006) Karakteristik gelatinisasi dapat dilihat menggunakan alat brabender amilografi. Pati disuspensikan dalam air dengan konsentrasi 6 % ( 6% padatan pati dalam 450 ml air). Suspensi dipanaskan dari suhu 30 o C sampai 95 o C dengan kecepatan peningkatan suhu sebanyak 1.5 o C/menit. Setelah mencapai 95 o C, suhu dipertahankan selama 20 menit. Suhu kemudian diturunkan sampai 50 o C dan dipertahankan kembali selama 20 menit. Perubahan viskositas selama analisis akan dicatat di atas kertas yang dinamakan amilogram. Penentuan profil gelatinisasi pati disajikan pada Gambar 7. Informasi yang dapat diperoleh dari amilograf adalah parameter profil gelatinisasi pati antara lain : 1. Suhu awal gelatinisasi (SAG) yaitu suhu pada saat viskositas pasta mulai naik dengan tajam (Sulistiyanto, 1988 dan Mulyandari, 1992). Suhu awal gelatinisasi pada amilogram dibaca pada titik a seperti pada Gambar Viskositas puncak (VP) yaitu viskositas tertinggi yang dicapai pasta selama pemanasan (Kim et al., 1996). Menurut Sulistiyanto (1988) viskositas puncak adalah viskositas maksimum selama pemanasan bila sesudah titik tersebut terjadi penurunan viskositas. Apabila tidak terjadi penurunan viskositas pada saat atau setelah pemanasan, maka dipergunakan istilah viskositas maksimum. Pada amilogram nilai viskositas puncak adalah viskositas pada titik b seperti pada Gambar 7.

42 23 3. Suhu puncak gelatinisasi (SPG) yaitu suhu pada saat pasta mencapai viskositas maksimum atau puncak (Kim et al., 1996). Suhu puncak adalah nilai pada titik c pada Gambar Viskositas pasta panas (VPP) yaitu viskositas setelah dipertahankan pada suhu 95 o C selama 20 menit. Berdasarkan Gambar 7 viskositas pasta panas yaitu pada titik d. 5. Viskositas breakdown (VB) yaitu perubahan viskositas selama pemanasan. VB diperoleh dengan selisih antara viskositas puncak dengan viskositas terendah setelah ditahan pada suhu 95 o C selama 20 menit. Berdasarkan Gambar 7 viskositas breakdown adalah viskositas pada titik b dikurangi viskositas pada titik d. 6. Viskositas pasta dingin (VPD) yaitu viskositas pada saat pasta didinginkan pada suhu 50 o C. Berdasarkan Gambar 7 viskositas pasta panas yaitu pada titik f. 7. Viskositas setback (VSB) yaitu perubahan viskositas selama pendinginan.vsb diperoleh dengan selisih antara viskositas setelah ditahan pada suhu 50 o C selama 20 menit dikurangi viskositas pada saat mulai suhu 50 o C. Berdasarkan Gambar 7 viskositas dingin adalah viskositas pada titik f dikurangi viskositas pada titik e. Kurva profil gelatinisasi yang terdapat pada amilogram tidak dapat memberikan informasi suhu awal gelatinisasi (SAG) maupun suhu puncak gelatinisasi (SPG). Penentuan SAG dan SPG dilakukan berdasarkan waktu pada saat kurva mulai menaik (untuk SAG) dan waktu pada saat kurva mencapai viskositas maksimumnya (untuk SPG). Brabender amilograf yang digunakan mempunyai peningkatan suhu per satuan waktu yang konstan sehingga perhitungan suhu setelah waktu tertentu dapat dihitung dengan mudah yaitu dengan cara menambahkan suhu awal analisis dengan kenaikan suhu selama waktu tertentu. Suhu awal analisis dengan amilograf merupakan suhu ruang yaitu 30 o C. Apabila selama analisis suhu pemanas meningkat dengan kecepatan 1.5 o C/ menit, maka SAG dan SPG dapat dihitung dengan menggunakan rumus berikut:

43 24 SAG = (1.5 x WAG) + 30 SPG = (1.5 x WPG) + 30 Dimana : SAG = Suhu awal gelatinisasi ( o C) SPG = Suhu pincak gelatinisasi ( C) o WAG = Waktu pada saat kurva mulai menaik (menit) WPG = Waktu pada saat kurva mencapai viskositas maksimumnya (menit) 1.5 = Kenaikan suhu sebanyak 1.5 o C/ menit 30 = Suhu awal analisis (30 C) o Parameter yang diamati dikorelasikan dengan perlakuan suhu pati dan lama pemanasan. Jika koefisien korelasinya besar dilakukan analisis regresi. 2. Analisis Kadar Air Cawan kosong dikeringkan dalam oven selama 15 menit dan didinginkan dalam desikator (selama 10 menit untuk cawan alumunium dan 20 menit untuk cawan porselin). Cawan kering ditimbang. Sebanyak 5 g sampel ditimbang dengan cepat kedalam cawan kering, kemudian dihomogenkan. Tutup cawan dibuka, cawan sampel beserta tutupnya di keringkan dalam oven suhu 105 o C selama 3 jam. Cawan diletakkan secara seksama agar tidak menyentuh dinding oven. Cawan sampel dipindahkan ke dalam desikator, ditutup dengan penutup cawan, didinginkan lalu ditimbang kembali. Cawan dimasukkan kembali ke dalam oven sampai diperoleh berat konstan. Kadar air dihitungan dengan menggunakan rumus berikut: Kadar air (g/100g bahan basah) = dimana : W = bobot contoh sebelum dikeringkan (g) W1 = bobot contoh + cawan sesudah dikeringkan (g) W2 = bobot cawan kosong (g)

44 25

45 26 3. Analisis Ukuran dan Bentuk Granula Pati Pati/tepung dibuat suspensi dalam air dan dilihat dibawah mikroskop polarisasi cahaya. Bentuk dan sifat birefringence pati dapat langsung dilihat di bawah mikroskop dengan pembesaran 200 x. Ukuran granula pati ditentukan berdasarkan rata-rata dan kisaran dari granula pati yang berhasil didokumentasi oleh kamera. Pengamatan ukuran dan bentuk granula bertujuan untuk mengetahui pengaruh modifikasi terhadap struktur granula pati. Pengamatan yang dilakukan mencakup ukuran, bentuk dan ada tidaknya sifat birefringence pati. 4. Analisis Kekuatan Gel (Wattanachant et al., 2002) Analisis kekuatan gel dengan prosedur sebagai berikut: dibuat suspensi pati dengan konsentrasi padatan kering sebanyak 6%. Suspensi dipanaskan sampai mencapai suhu gelatinisasinya. Pasta pati dituang ke dalam tabung plastik (diameter 4 cm dan tinggi 5 cm) sampai penuh. Tabung disimpan pada suhu 4 o C selama 24 jam. Pengukuran kekuatan gel dilakukan dengan menggunakan tekstur analizer pada kondisi sebagai berikut mode: kekuatan gel Test mode dan option measure force ini compression, pre test speed: 0.2 mm/detik, test speed: 0.2 mm/detik, post test speed 0.2 mm/detik, distance: 4.0 mm, tipe: auto, force: 4 g, dan acessory: 0.5 radius cylinder (P/0.5 R). penentuan kekuatan gel didasarkan pada maksimum gaya (nilai puncak) pada tekanan/kompresi pertama dengan satuan gf (gram force). 5. Analisis Freeze Thaw Stability (Wattanachant et al., 2002) Pasta pati dibuat dengan prosedur seperti pada persiapan pasta pati untuk analisis kekuatan gel. Pasta pati ditimbang sebanyak masing-masing 20 g ke dalam 2 buah tabung sentrifuse yang telah diketahui beratnya. Tabung sentrifuse ditutup dengan rapat. Tabung disimpan pada suhu 4 o C selama 24 jam, diikuti dengan pembekuan pada suhu -20 o C selama 48 jam, kemudian dithawing pada suhu ruang selama 4 jam. Sampel yang telah mendapat perlakuan satu siklus freeze-thaw tersebut disentrifusi selama 15 menit pada kecepatan 3500 rpm. Selama sentrifusi berlangsung, air yang keluar dari matriks gel selama perlakuan freeze-thaw akan

46 27 berada dibagian atas tabung dan gel pati akan berada di bagian bawah tabung. Air yang berada di atas tabung dipisahkan kemudian diukur beratnya. Persentase sineresis dinyatakan dengan perbdaningan antara air yang keluar terhadap berat awal pasta pati. 6. Analisis Swelling Volume dan Fraksi Pati yang Tidak Membentuk Gel (Collado dan Corke 1999; Singh et al. 2005) Sebanyak masing-masing 0.35 g pati dimasukkan ke dalam tabung sentrifuse berukuran 12.5 x 16 mm. sebanyak 12.5 ml aquades ditambahkan ke dalam tabung kemudian disetimbangkan selama 5 menit. Tabung dipanaskan pada penangas dengan suhu 92.5 o C selama 30 menit sambil sesekali dikocok. Sampel didinginkan pada air es selama 1 menit, didiamkan pada suhu ruang selama 5 menit kemudian disentrifugasi pada 3500 rpm selama 30 menit. Tinggi gel yang diperoleh diukur kemudian dikonversi menjadi volume gel per gram sampel yang kemudian dinyatakan dengan swelling power. Supernatan yang berada di bagian atas tabung disaring melalui kertas saring yang telah diketahui beratnya dan filtrat yang diperoleh ditampung dengann cawan yang telah diketahui beratnya pula. Kertas saring dan cawan dikeringkan pada suhu 110 o C selama satu malam. Sampel yang tertinggal pada kertas saring merupakan berat pati yang tersuspensi di dalam supernatan dan sampel yang tertinggal pada cawan merupakan pati yang terlarut. Persentase pati yang tersuspensi dan terlarut dihitung berdasarkan perbandingan beratnya terhadap berat kering sampel awal.

47 28 HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Gelatinisasi Pati Sagu Native Karakterisasi fisik pati sagu native dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui sifat fisiknya yang terkait dengan sifat fungsional sebagai gambaran potensi pengembangannya. Profil gelatinisasi pati-patian dapat diketahui dengan melakukan analisa menggunakan brabender amilografi. Berdasarkan analisis brabender amilografi pati sagu native yang digunakan dalam penelitian ini memiliki profil gelatinisasi pati dengan suhu awal gelatinisasi sebesar o C, suhu puncak gelatinisasi mencapai o C, viskositas puncak yang tidak terlalu tinggi yaitu 380 BU, viskositas pasta panas 180 BU, nilai viskositas breakdown yang besar 200 BU, viskositas pasta dingin 220 BU serta memiliki viskositas setback yang kecil 20 BU. Karakteristik ini menggambarkan bahwa pati native tidak cenderung mengalami retrogradasi. Pada saat pemanasan sampai suhu 95 o C dengan penahanan selama 20 menit terlihat penurunan viskositas yang sangat tajam. Ini mengindikasikan bahwa pati sagu native tidak tahan pemanasan dan pengadukan. Hasil analisis karakteristik gelatinisasi pati sagu native disajikan dalam Tabel 3 dan profil gelatinisasi pati sagu native dapat dilihat pada Gambar 8. Tabel 3 Karakteritik Gelatinisasi Pati Sagu Sukabumi Native Parameter Nilai Suhu awal gelatinisasi ( o C) Suhu puncak gelatinisasi ( o C) Viskositas Puncak (BU) 380 Viskositas pasta panas (BU) 180 Viskositas breakdown (BU) 200 Viskositas pasta dingin (BU) 220 Viskositas setback (BU) 20

48 Viskositas (BU) Suhu (oc) Lama pemanasan (menit) Viskositas pati native Suhu Gambar 8 Profil Gelatinisasi Pati Sagu Sukabumi Native Modifikasi pati sagu dengan heat moisture treatment (HMT) Proses modifikasi HMT pada pati sagu dilakukan dengan penentuan pemanasan suhu pati yaitu 70, 80 dan 90 o C dan lama pemanasan jam. Pemilihan suhu modifikasi tersebut berdasarkan beberapa studi yang dilakukan sebelumnya. Rata-rata suhu yang terbaik dalam proses modifikasi HMT adalah 110 o C. Suhu 110 o C tersebut adalah udara dalam oven yang digunakan untuk proses modifikasi HMT. Berdasarkan beberapa hasil percobaan modifikasi HMT pati sagu sebanyak 600 gram dengan suhu oven 110 o C, diketahui suhu pati hanya mencapai sekitar 90 o C. Lama pemanasan selama 4 jam dapat menghasilkan pati termodifikasi dengan karakteristik yang lebih baik dari pati nativenya (Herawati, 2009). Perubahan karakteristik pati sagu dapat dilihat dari profil gelatinisasinya dengan menggunakan instrumen brabender amilografi.

49 30 Perubahan Karakteristik Pati Sagu Termodifikasi HMT pada Parameterparameter Amilografi Pada penelitian modifikasi pati sagu dengan teknik HMT parameter amilografi yang diamati adalah suhu awal gelatinisasi (SAG), suhu puncak gelatinisasi (SPG), viskositas puncak (VP), viskositas pasta panas (VPP), viskositas breakdown (VB), viskositas pasta dingin (VPD) dan viskositas setback (VSB) pada pemanasan suhu pati 70, 80 dan 90 o C dengan lama pemanasan mencapai 4 jam. a. Suhu Awal Gelatinisasi (SAG) Pati Sagu Suhu awal gelatinisasi adalah suhu pada saat pertama kali viskositas mulai naik. Peningkatan viskositas ini disebabkan karena terjadinya proses imbibisi air ke dalam granula yang dipanaskan, kemudian menyebabkan pembengkakan granula pati yang irreversible di dalam air, dimana energi kinetik molekulmolekul air lebih kuat daripada daya tarik menarik pati di dalam granula pati. Hasil analisis dari brabender amilografi pada perlakuan suhu pati dan lama pemanasan diperoleh suhu awal gelatinisasi yang berbeda-beda. Analisis statistik menunjukkan bahwa suhu pati berpengaruh nyata terhadap suhu awal gelatinisasi (SAG) (P<0.05). Uji lanjut metode Duncan menunjukkan suhu pati 70, 80 dan 90 o C menghasilkan suhu awal gelatinisasi yang berbedabeda. Semakin tinggi suhu pati membutuhkan suhu awal gelatinisasi yang semakin tinggi. Perlakuan lama pemanasan berpengaruh nyata terhadap suhu awal gelatinisasi (SAG) (P<0.05). Uji lanjut metode Duncan menunjukkan bahwa lama pemanasan 0.5 sampai 3 jam menghasilkan suhu awal gelatinisasi yang tidak berbeda, sedangkan lama pemanasan 3.5 dan 4 jam mempengaruhi suhu awal gelatinisasi. Interaksi antara suhu pati dan lama pemanasan tidak berpengaruh signifikan terhadap suhu awal gelatinisasi. Analisis statistik dan uji lanjut metode Duncan pengaruh suhu pati dan lama pemanasan terhadap suhu awal gelatinisasi disajikan pada Lampiran 2. Tidak adanya interaksi antara perlakuan suhu pati dan lama pemanasan terhadap suhu awal gelatinisasi dapat dilihat pada Gambar 9. Adanya peningkatan suhu awal gelatinisasi pati sagu termodifikasi HMT ini

50 31 menunjukkan bahwa dibutuhkan energi yang besar untuk memutuskan ikatan hidrogen antar dan intermolekuler di dalam granula pati sagu termodifikasi. 83,00 82,00 81, a a a a a a b b b b 80, a a a a a a SAG (oc) 79,00 78, b b 77,00 76,00 75, a a a a a a 0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5 4 Lama pemanasan (Jam) Suhu pati 70 oc Suhu pati 80 oc Suhu pati 90 oc Ket: Superscript yang berbeda pada garis yang sama berarti berbeda nyata pada uji lanjut Duncan (P<0.05) Gambar 9 Suhu awal gelatinisasi (SAG) pati sagu termodifikasi HMT setiap peningkatan lama pemanasan pada tiga tingkatan suhu pati Semakin tinggi suhu awal gelatinisasi yang dihasilkan menunjukkan pati lebih tahan terhadap panas, dikarenakan rekristalisasi komponen granula selama proses modifikasi HMT. Peningkatan suhu awal gelatinisasi dikarenakan molekulmolekul pati bergetar lebih keras, memecah ikatan hidrogen antar molekul amilosa dan amilopektin pada granula selama proses modifikasi, memungkinkan daerah ikatan hidrogennya lebih terpaut molekul air sehingga bisa mengarah pada peningkatan stabilitas interaksi molekul di dalam granula pati (Pakkahuta dan Varavinit, 2007). Peningkatan suhu awal gelatinisasi juga terjadi pada pati yang mengalami modifikasi ikatan silang (Muhammad et al, 2000).

51 32 b. Suhu Puncak Gelatinisasi (SPG) Pati Sagu Suhu puncak gelatinisasi merupakan suhu yang dibutuhkan pada saat pasta mencapai viskositas maksimum atau granula pati tergelatinisasi sempurna. Sama halnya dengan suhu awal gelatinisasi, suhu puncak gelatinisasi yang diperoleh tergantung pada jenis pati, ukuran granula serta perlakuan modifikasi yang diberikan yaitu suhu dan waktu pemanasan, serta konsentrasi air yang diberikan. Gelatinisasi adalah proses yang kompleks dimana granula pati membengkak secara irreversible (Winarno, 1980). Gelatinisasi terjadi apabila pembengkakan pada bagian amorf telah merusak ikatan antar molekul pati yang lemah dan menghidrasinya. Suhu gelatinisasi tidak mempunyai hubungan yang jelas dengan kandungan amilosa pati, tetapi setelah tercapai suhu gelatinisasinya sifat pati tergantung pada fraksi pati yaitu amilosa dan amilopektin. Dalam satu jenis pati, granula yang mempunyai ukuran lebih besar mengalami gelatinisasi pada suhu yang lebih rendah daripada granula yang berukuran kecil (Mulyandari, 1992). Berdasarkan analisis statistik yang disajikan pada Lampiran 3 suhu pati berpengaruh nyata terhadap suhu puncak gelatinisasi (P<0.05). Uji lanjut dengan metode Duncan menunjukkan bahwa pati sagu termodifikasi HMT perlakuan suhu pati 70, 80 dan 90 o C membutuhkan suhu puncak gelatinisasi yang berbeda-beda. Suhu pati 90 o C membutuhkan suhu puncak gelatinisasi yang paling tinggi dibandingkan suhu pati yang lainnya yaitu sebesar 93 o C. Lama pemanasan setiap setengah jam tidak berpengaruh nyata pada suhu puncak gelatinisasi. Ini dikarenakan suhu puncak gelatinisasi yang diperoleh pada peningkatan lama pemanasan setiap setengah jam memiliki nilai dengan range yang terlalu kecil. Herawati (2009) menyatakan peningkatan suhu awal gelatinisasi yang tidak diikuti dengan suhu puncak gelatinisasi menyebabkan rentang suhu gelatinisasi pati sagu termodifikasi menjadi lebih sempit. Penyempitan rentang suhu gelatinisasi pati sagu termodifikasi HMT telah dilaporkan oleh Purwani et al (2006). Interaksi antara suhu pati dan lama pemanasan tidak berpengaruh nyata terhadap suhu puncak gelatinisasi (P>0.05). Pengaruh peningkatan suhu pati sagu termodifikasi HMT terhadap suhu puncak gelatinisasi terlihat pada Gambar 10.

52 33 94,00 93, c 92,00 SPG (oc) 91,00 90, a b 89,00 88,00 87,00 70 oc 80 oc 90 oc Suhu pati Ket: Superscript yang berbeda pada garis yang sama berarti berbeda nyata pada uji lanjut Duncan (P<0.05) Gambar 10 Suhu puncak gelatinisasi (SPG) pati sagu termodifikasi HMT pada tiga tingkatan suhu pati Proses modifikasi HMT dapat meningkatan suhu gelatinisasi, karena proses modifikasi HMT bisa menyebabkan rekristalisasi komponen granula pati sehingga menyebabkan pati termodifikasi HMT menjadi lebih tahan terhadap panas sehingga membutuhkan suhu yang lebih tinggi untuk menggelatinisasi sempurna (Gunaratne dan Corke, 2007). c. Viskositas Puncak (VP) Pati Sagu Viskositas puncak merupakan viskositas tertinggi yang dicapai pasta selama pemanasan. Pada profil gelatinisasi brabender amilografi viskositas puncak diperoleh pada saat suhu pemanasan mencapai 95 o C. Peningkatan viskositas hingga maksimum berkaitan erat dengan volume tertinggi yang bisa dicapai granula selama proses pembengkakannya. Apabila granula pati dipanaskan hingga suhu gelatinisasinya, granula akan membentuk pasta pati yang kental dan kehilangan integritasnya. Besarnya viskositas pati tergantung pada jenis dan

53 34 konsentrasi pati. Semakin tinggi konsentrasi pati maka semakin tinggi viskositas yang dihasilkan. Berdasarkan analisis statistik yang disajikan pada Lampiran 4 suhu pati berpengaruh nyata terhadap viskositas puncak (P<0.05). Uji lanjut metode Duncan menyatakan bahwa ketiga suhu pati menghasilkan nilai viskositas puncak yang berbeda-beda. Semakin tinggi suhu pati nilai viskositas puncak yang diperoleh semakin rendah. Adanya penurunan viskositas pasta menunjukkan adanya penurunan kemampuan penyerapan air oleh granula pati. Ini sesuai dengan percobaan yang dilakukan Liu et al (2000) mempelajari HMT menggunakan autoclave. Penurunan pada viskositas puncak terlihat pada HMT pati jagung. Mereka menyatakan bahwa pemanasan autoclave bisa menimbulkan gelatinisasi pati sebagian disekitar kulit sisi luar granula, dimana bertindak sebagai rintangan untuk air merembes dan menghambat gelatinisasi dan pasta selanjutnya. Parlakuan lama pemanasan juga berpengaruh nyata terhadap viskositas puncak (P<0.05). Uji lanjut metode Duncan menyatakan bahwa nilai viskositas puncak berbeda ketika lama pemanasan mencapai 2.5, 3 dan 3.5 jam. Interaksi antara suhu pati dan lama pemanasan terhadap viskositas puncak berpengaruh nyata (P<0.05) berdasarkan analisis statistik. Uji lanjut metode Duncan menunjukkan bahwa interaksi antara perlakuan suhu pati 90 o C dengan lama pemanasan 0.5, 1, 2.5, 3, 3.5, 4 jam tidak berbeda dengan perlakuan suhu pati 80 o C lama pemanasan 3, 3.5 dan 4 jam. Tidak ada interaksi pada suhu pati 90 o C dengan lama pemanasan antara 1.5 dan 2 jam. Perlakuan suhu pati 80 o C dengan lama pemanasan 0.5 dan 1 jam berbeda dengan 1.5 jam serta berbeda dengan 2 dan 2.5 jam. Interaksi antara suhu pati 70 o C dengan lama pemanasan 0.5, 1, 1.5, 2.5, 3, 3.5 tidak berbeda. Adanya interaksi pada suhu 70 o C terjadi antara lama pemanasan 2 dan 4 jam. Perubahan pola respon baik yang disertai dengan adanya perpotongan garis ataupun tidak menunjukkan adanya pengaruh interaksi dari faktor-faktor utama yang digunakan (Mattjik dan Sumertajaya, 2006). Adanya interaksi antara suhu pati dan lama pemanasan pada viskositas puncak dapat dilihat pada Gambar 11.

54 i Viskositas (BU) h 330 g g g 310 g 320 g 315 g 255 e 265 f 210 c 200 b 200 b 185 a 160 a 170 a 220 d 215 d 180 a 185 a 150 a 150 a 180 a 170 a 0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5 4 Lama pemanasan (Jam) Suhu pati 70 oc Suhu pati 80 oc Suhu pati 90 oc Ket: Superscript yang berbeda pada garis yang sama berarti berbeda nyata pada uji lanjut Duncan (P<0.05) Gambar 11 Interaksi antara suhu pati dan lama pemanasan terhadap viskositas puncak (VP) pati sagu termodifikasi HMT Suhu pati 70 o C masih memiliki nilai viskositas puncak yang besar dibandingkan perlakuan suhu pati 80 dan 90 o C. Pati yang mempunyai kemampuan penyerapan air yang tinggi akan mengalami pembengkakan yang tinggi pula yang berakibat pada tingginya viskositas puncak pasta. Pembengkakan granula pati yang berlebihan akan diikuti dengan peluruhan molekul amilosa dari dalam granula sebagai akibat ketidakmampuannya menahan tekanan. Berdasarkan analisis statistik interaksi antara suhu pati 80 o C dengan lama pemanasan 3. 3,5 dan 4 jam tidak berbeda dengan suhu pati 90 o C dengan lama pemanasan 0.5, 1 dan 2.5 jam dengan nilai viskositas puncak antara BU. Ini berarti bahwa untuk memperoleh viskositas puncak yang sama dengan mempertimbangkan keefisienan waktu dapat dilakukan dengan perlakuan suhu pati 90 o C lama pemanasan 0.5, 1 dan 2.5 jam.

55 36 Hoover dan Manuel (1996) mempelajari HMT menggunakan pemanasan oven dan melaporkan penurunan viskositas pasta dipati jagung. Mereka menjelaskan sebagai hasil dari meningkatnya inter dan intra molekuler ikatan hidrogen dikarenakan penggabungan rantai pati, terutama amilosa. Akan tetapi, sebelumnya Hoover dan Vasanthan (1994) melaporkan sebaliknya dampak pada viskositas pasta dari HMT pati gandum meningkat, mengikuti pemanasan oven. Ini bisa disimpulkan bahwa dampak dari HMT pada viskositas pasta beragam dan tergantung pada perbedaan sumber pati, alat yang digunakan dan kondisi dari HMT. Stute (1992) dalam Collado et al (2001) menyatakan perlakuan hidrotermal seperti HMT dapat membuat granula pati lebih resisten terhadap deformasi sebagai akibat dari penguatan gaya ikatan intra granula. Oleh karena itu, pati cenderung mempunyai kemampuan penyerapan air yang rendah dan mengalami pengembangan yang terbatas pada saat mengalami gelatinisasi. Selain itu, pengembangan granula pati juga dipengaruhi proporsi amilosa dan amilopektinnya. Seperti pada pati barley dengan kandungan amilosa yang tinggi menyebabkan pengembangan yang terbatas sehingga viskositas puncak pasta terbatas pula. Barley dengan kandungan amilopektin yang tinggi dapat meningkatkan viskositas puncak yang tinggi pada temperatur gelatinisasi yang rendah. Ini membuktikan bahwa amilopektin merupakan komponen yang bertanggung jawab dalam pengembang granula. d. Viskositas pasta panas (VPP) Viskositas pasta panas merupakan parameter yang menunjukkan kestabilan pasta selama periode pemanasan. Nilai viskositas pasta panas diperoleh dari grafik brabender amilografi pada saat pemanasan mencapai suhu 95 o C yang disertai penahan selama 20 menit. Berdasarkan profil brabender amilografi selama proses pemanasan, suspensi pati mengalami peningkatan viskositas. Setelah tercapai viskositas puncak, terjadi penurunan viskositas. Kestabilan terhadap pemanasan akan meningkat (swelling power semakin kecil) apabila konsentrasi amilosa pada pati semakin tinggi. Kim et al (1995) menyatakan kandungan amilosa yang tinggi akan meningkatkan kestabilan viskositas selama pemanasan.

56 37 Berdasarkan analisis statistik yang disajikan pada Lampiran 5 suhu pati berpengaruh nyata terhadap viskositas pasta panas (P<0.05). Uji lanjut metode Duncan menyatakan bahwa perlakuan suhu pati 80 dan 90 o C tidak berbeda terhadap viskositas pasta panas, akan tetapi berbeda pada suhu pati 70 o C. Perlakuan lama pemanasan berpengaruh nyata terhadap viskositas pasta panas (P<0.05). Uji lanjut metode Duncan menyatakan bahwa lama pemanasan 0.5 jam berbeda dengan 1, 1.5, 2, dan 2.5 jam berbeda dengan 3 dan 3.5 jam serta berbeda dengan 4 jam terhadap viskositas pasta panas. Semakin lama pemanasan menghasilkan viskositas pasta panas yang semakin kecil. Interaksi antara suhu pati dan lama pemanasan berbeda nyata terhadap viskositas pasta panas (P<0.05). Uji lanjut metode Duncan menunjukkan interaksi antara suhu pati 90 o C dengan lama pemanasan 1, 3, 3.5 dan 4 jam tidak berbeda dengan interaksi suhu pati 80 o C dengan lama pemanasan 2 sampai 4 jam terhadap viskositas pasta panas yang dihasilkan. Semakin lama pemanasan nilai viskositas pasta panas yang dihasilkan semakin menurun/kecil. Interaksi antara suhu pati 90 o C lama pemanasan 0.5 dan 2.5 jam menghasilkan nilai viskositas pasta panas yang sama dengan interaksi suhu pati 80 o C lama pemanasan 1.5 jam. Begitu juga dengan interaksi antara suhu pati 90 o C lama pemanasan 2 jam dengan suhu pati 80 o C lama pemanasan 0.5 dan 1 jam menghasilkan viskositas pasta panas yang tidak berbeda. Interaksi pada suhu pati 70 o C dengan lama pemanasan 1, 1.5, 3, 3.5 tidak berbeda terhadap viskositas pasta panas. Akan tetapi, interaksi terjadi ketika lama pemanasan 0.5 dan 2.5 jam. Viskositas pasta panas tertinggi dihasilkan pada interaksi suhu pati 70 o C dengan lama pemanasan 2 dan 4 jam. Adanya interaksi antara suhu pati dan lama pemanasan pada viskositas pasta panas dapat dilihat pada Gambar 12.

57 38 Viskositas (BU) g g 250 f 250 f 220 e 220 e e e 165 c 165 c 150 b 140 a 125 a 125 a 150 b 110 a a d 130 a 165 c 150 b 120 a 120 a 120 a ,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5 4 Lama pemanasan (Jam) Suhu pati 70 oc Suhu pati 80 oc Suhu pati 90 oc Ket: Superscript yang berbeda pada garis yang sama berarti berbeda nyata pada uji lanjut Duncan (P<0.05) Gambar 12 Interaksi antara suhu pati dan lama pemanasan terhadap vikositas pasta panas (VPP) pati sagu termodifikasi HMT Pada Gambar 12 terlihat pati suhu 80 o C memiliki nilai viskositas pasta panas yang cukup konsisten dengan peningkatan lama pemanasan. Nilai viskositas pasta panas yang diperoleh cenderung menurun dengan semakin lama pemanasan. Pada suhu pati 70 o C terlihat kecenderungan meningkat pada viskositas pasta panas dengan semakin meningkatnya lama pemanasan. Ini menandakan pati sagu termodifikasi yang dihasilkan memiliki sifat yang tidak stabil selama pemanasan dan didukung dengan tingginya viskositas puncak serta turun secara tajam selama pemanasan. Viskositas pasta panas cenderung menurun pada pati suhu 80 dan 90 o C dan mengindikasikan pati sagu termodifikasi HMT tersebut cukup stabil selama pemanasan.

58 39 e. Viskositas Breakdown (VB) Parameter viskositas pasta panas dan viskositas breakdown mempunyai keterikatan satu sama lain, karena viskositas breakdown merupakan selisih antara viskositas puncak pasta dengan viskositas pasta panas. Berdasarkan analisis statistik yang disajikan pada Lampiran 6 viskositas breakdown berpengaruh nyata pada peningkatan pemanasan suhu pati (P<0.05). Uji lanjut metode Duncan menunjukkan bahwa pati sagu termodifikasi HMT suhu pati 90 o C memiliki viskositas breakdown terkecil dibandingkan perlakuan pati termodifikasi HMT lainnya. Perlakuan lama pemanasan tidak berpengaruh nyata terhadap viskositas breakdown (P>0.05). Range viskositas breakdown yang dihasilkan sangat sempit dengan peningkatan lama pemanasan setiap setengah jam, sehingga lama pemanasan tidak berpengaruh terhadap viskositas breakdown. Akan tetapi, terjadi interaksi secara signifikan antara suhu pati dan lama pemanasan terhadap viskositas breakdown (P<0.05). Uji lanjut metode Duncan menyatakan bahwa interaksi pada suhu pati 90 o C lama pemanasan 0.5, 1, 2.5 dan 3 jam menghasilkan viskositas breakdown dengan nilai viskositas paling kecil yaitu 20 BU. Interaksi antara suhu pati 80 o C lama pemanasan 1.5, 2, 3, 3.5 dan 4 jam menghasilkan nilai viskositas breakdown yang sama dengan interaksi perlakuan suhu pati 90 o C lama pemanasan 1.5, 2, 3.5 dan 4 jam dengan nilai viskositas yang diperoleh sebesar 50 sampai 60 BU. Interaksi antara suhu pati 70 o C dengan lama pemanasan 4 jam menghasilkan nilai viskositas breakdown yang paling besar dibanding perlakuan lainnya dengan nilai 120 BU. Adanya interaksi antara suhu pati dan lama pemansan dapat dilihat pada Gambar 13. Pada Gambar 13 terlihat bahwa semakin tinggi suhu pati bisa menghasilkan nilai viskositas breakdown yang semakin kecil. Ini mengindikasikan proses modifikasi HMT dapat menurunkan nilai viskositas breakdown. Semakin menurunnya nilai viskositas breakdown menunjukkan pati dengan karakteristik yang cukup stabil pada pemanasan. Pada suhu pati 70 o C semakin lama pemanasan belum bisa menghasilkan penurunan viskositas breakdown dibandingkan dengan pemanasan suhu pati 80 dan 90 o C. Akan tetapi, dibandingkan dengan pati native

59 40 nya pemanasan pati suhu 70 o C sudah dapat menurunkan nilai viskositas breakdownnya yaitu 200 BU menjadi 120 BU c 90 e 110 g 105 f 115 h 105 f 120 i Viskositas (BU) e 100 e 85 d 75 c 60 b 60 b b 60 b b b 50 b 60 b 50 b a 20 a 35 a 30 a 0 0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5 4 Lama pemanasan (Jam) Suhu pati 70 oc Suhu pati 80 oc Suhu Pati 90 oc Ket: Superscript yang berbeda pada pada uji lanjut Duncan (P<0.05) garis yang sama berarti berbeda nyata Gambar 13 Interaksi antara suhu pati dan lama pemanasan terhadap viskositas breakdown (VB) pati sagu termodifikasi HMT f. Viskositas Pasta Dingin (VPD) Viskositas pasta dingin diperoleh pada saat pasta didinginkan dari suhu 95 o C mencapai suhu 50 o C. Viskositas pasta dingin menunjukkan kestabilan pasta selama pendinginan. Berdasarkan analisis statistik yang disajikan pada Lampiran 7 suhu pati berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap viskosistas pasta dingin. Uji lanjut metode Duncan menunjukkan bahwa suhu pati 80 dan 90 o C tidak berbeda terhadap viskositas pasta dingin, akan tetapi berbeda nyata dengan suhu pati 70 o C. Nilai viskositas pasta dingin tertinggi dihasilkan pati sagu termodifikasi HMT suhu pati 70 o C. Lama pemanasan juga berpengaruh nyata terhadap viskositas pasta dingin (P<0.05). Uji lanjut metode Duncan menunjukkan bahwa lama

60 41 pemanasan 3 dan 3.5 jam menghasilkan viskositas pasta dingin yang terendah. Lama pemanasan 0.5, 1.5 dan 2 jam menghasilkan viskositas pasta dingin yang tidak berbeda. Begitu juga dengan lama pemanasan 1, 2.5, dan 4 jam. Interaksi antara suhu pati dan lama pemanasan berpengaruh nyata terhadap viskositas pasta dingin (P<0.05). Uji lanjut dengan metode Duncan menunjukkan bahwa interaksi antara suhu pati 90 o C lama pemanasan 1, 3, 3.5 dan 4 jam tidak berbeda dengan suhu pati 80 o C lama pemanasan 2.5, 3, 3,5 dan 4 jam terhadap viskositas pasta dingin. Interaksi juga tidak berbeda antara suhu pati 90 o C lama pemanasan 2 dan 1.5 jam dengan suhu pati 80 o C lama pemanasan 0.5, 1, dan 1.5 jam. Interaksi antara suhu pati 70 o C dengan lama pemanasan 0.5, 1.5 dan 2.5 jam berbeda dengan ketika lama pemanasan mencapai 1, 3, 3.5 jam serta 2 dan 4 jam terhadap viskositas pasta dingin. Adanya interaksi antara suhu pati dan lama pemanasan pada viskositas pasta dingin (VPD) dapat dilihat pada Gambar 14. Pada Gambar 14 terlihat bahwa semakin tinggi pemanasan suhu pati yang diberikan dan semakin lama pemanasan menghasilkan viskositas pasta dingin yang semakin menurun. Ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Ahmad (2009) dimana modifikasi HMT pada pati jagung bisa menurunkan viskositas pasta dinginnya. Semakin lama waktu pemanasan (4 jam) semakin menurun nilai viskositas pasta dingin. Kecenderungan menurunnya nilai viskositas pasta dingin menunjukkan bahwa pati sagu termodifikasi HMT pada pemanasan suhu 80 dan o 90 C tidak mudah mengalami retrogradasi dan ini sejalan dengan nilai viskositas setback yang diperoleh (cenderung menurun). Pati sagu termodifikasi HMT pada pemanasan suhu pati 70 o C menghasilkan viskositas pasta dingin yang cenderung meningkat. Pati termodifikasi dengan viskositas pasta dingin yang tinggi mempunyai kemampuan membentuk gel yang baik. Nilai viskositas pasta dingin menunjukkan kemampuan pati untuk cepat mengalami retrogradasi. Semakin meningkat viskositas pasta dingin, maka kecenderungan membentuk gel sangat mudah. Ini sesuai dengan studi yang telah dilakukan oleh Collado and Corke (1999), dimana dengan modifikasi HMT pati ubi jalar telah menghasilkan viskositas pasta dingin yang cenderung meningkat.

61 h f 300 e 320 f 350 g 325 f e 280 e Viskositas (BU) d 190 d 180 d 170 b 145 a 175 c 145 a 200 d 190 d 145 a 125 a 125 a b 140 a 140 a 135 a ,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5 4 Lama pemanasan (Jam) suhu pati 70 oc suhu pati 80 oc suhu pati 90 oc Ket: Superscript yang berbeda pada garis yang sama berarti berbeda nyata pada uji lanjut Duncan (P<0.05) Gambar 14 Interaksi antara suhu pati dan lama pemanasan terhadap viskositas pasta dingin (VPD) pati sagu termodifikasi HMT g. Viskositas Setback (VSB) Viskositas setback menggambarkan kecenderungan pati untuk beretrogradasi. Semakin rendah nilai vikositas setback, kecenderungan beretrogradasi pun semakin kecil. Berdasarkan analisis statistik yang disajikan pada Lampiran 8 suhu pati berpengaruh nyata terhadap viskositas setback (P<0.05). Uji lanjut metode Duncan menyatakan semakin tinggi suhu pati menghasilkan viskositas setback yang semakin kecil. Suhu pati 80 dan 90 o C memiliki nilai viskositas setback yang sama dibandingkan suhu pati 70 o C. Lama pemanasan tidak berpengaruh nyata terhadap viskositas setback (P>0.05). sama halnya dengan viskositas breakdown, range nilai viskositas setback yang dihasilkan terlalu kecil dengan peningkatan lama pemanasan setiap setengah jam.

62 43 Interaksi antara suhu pati dan lama pemanasan tidak berpengaruh nyata terhadap viskositas setback (P>0.05). Pengaruh peningkatan pemanasan suhu pati terhadap viskositas setback disajikan pada Gambar , b Viskositas (BU) 80,00 70,00 60,00 50,00 40,00 30,00 20,00 10, a a 0,00 70 oc 80 oc 90 oc Suhu pati Ket: Superscript yang berbeda pada garis yang sama berarti berbeda nyata pada uji lanjut Duncan (P<0.05) Gambar 15 Viskositas setback (VSB) pati sagu termodifikasi HMT pada tiga tingkatan suhu pati Pada Gambar 15 terlihat semakin tinggi pemanasan suhu pati yang dilakukan menghasilkan viskositas setback yang semakin rendah. Modifikasi HMT pada pemanasan suhu pati 70 o C menghasilkan pati dengan viskositas setback yang tinggi dibandingkan pati native, pati sagu termodifikasi HMT suhu pati 80 dan 90 o C. Menurut Herawati (2009), pati dengan viskositas setback tinggi membentuk gel yang lebih baik bila dibandingkan dengan pati yang mempunyai viskositas setback rendah. Pati sagu termodifikasi HMT pada pemanasan suhu pati 80 dan 90 o C menghasilkan nilai viskositas setback yang kecil, sehingga pasta pati sagu tidak mudah mengalami retrogradasi. Penurunan nilai viskositas setback juga terjadi pada modifikasi pati HMT pada pati jack bean (Adebowale, 2005).

63 44 Peningkatan viskositas ini menggambarkan adanya peningkatan interaksi molekul antar sesama amilosa, sesama amilopektin dan antar amilosa dan amilopektin selama pendinginan berlangsung. Peningkatan viskositas selama pendinginan mengindikasikan kemudahan pati mengalami retrogradasi. Wurzburg (1989) melaporkan bahwa jika selama pemanasan terjadi pemecahan granula, maka jumlah amilosa yang keluar dari granula semakin banyak, sehingga kecenderungan untuk terjadinya retrogradasi meningkat. Retrogradasi adalah proses kristalisasi kembali pati yang telah mengalami gelatinisasi. Wattanachant et al (2002) menyatakan bahwa proses retrogradasi pati dalam dua tahap. Tahap pertama, kekakuan dan kristalisasi dari gel pati mengembang dengan cepat sebagai hasil dari pembekuan amilosa. Tahap kedua, mengembang dengan lambatnya didaerah amilopektin. Karakteristik Fisik Pati Sagu Termodifikasi Heat Moisture Treatment (HMT) a. Bentuk, Ukuran dan Sifat Birefringence Granula Pati Pati dari berbagai tanaman mempunyai bentuk granula (butir) pati yang berbeda-beda. Dengan mikroskop polarisasi jenis pati dapat dibedakan karena mempunyai bentuk, ukuran, dan letak hilum yang unik. Analisa penampakan granula dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan secara mikroskopis menggunakan mikroskop cahaya terpolarisasi. Pembesaran yang digunakan adalah 200 x dan hasil analisa ukuran granula pati sagu dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Ukuran rata-rata granula pati sagu termodifikasi heat moisture treatment (HMT) pada 3 tingkatan suhu pati sagu dengan perwakilan lama pemanasan Ukuran granula (µm) Lama HMT 70 o o C HMT 80 C HMT 90 C pema- Rataan Rataan Rataan Rataan Rataan Rataan nasan panjang lebar panjang lebar panjang Lebar ½ jam 67.2± ± ±9.9 57± ± ±12 2 jam 88.2± ± ± ± ± ±5 4 jam 78.7± ± ± ± ± ±12 Pada Tabel 4 terlihat ukuran granula pati sagu termodifikasi HMT pada suhu pati 70, 80 dan 90 o C pada peningkatan lama pemanasan ½, 2 dan 4 jam tidak

64 45 merubah ukuran granula. Akan tetapi, jika dibandingkan antara suhu pati 70, 80 dan 90 o C pada lama pemanasan 4 jam HMT bisa merubah ukuran granula dengan semakin tinggi suhu pati mengakibatkan ukuran granula semakin panjang. Ukuran granula terbesar diperoleh pada pati sagu termodifikasi suhu pati 90 o C lama pemanasan 4 jam. Semakin tinggi suhu pati mmengakibatkan granula semakin besar. Ukuran granula terbesar diperoleh pada pati sagu termodifikasi suhu pati 90 o C lama pemanasan 4 jam. Granula pati yang lebih besar mempunyai ikatan hidrogen intermolekuler yang lebih mudah mengembang bila dibandingkan dengan granula pati yang lebih kecil (Wattanachant et al. 2002). Pengamatan dibawah miksroskop polarisasi menunjukkan bahwa granula pati sagu sukabumi mempunya bentuk elips terpancung. Bentuk dan sifat birefringence pati sagu termodifikasi HMT pada suhu pati 70 o C dapat dilihat pada Gambar 16. A B C Gambar 16 Bentuk granula dan sifat birefingence pati sagu termodifikasi HMT pemanasan suhu pati 70 o C (a) lama pemanasan ½ jam (b) lama pemanasan 2 jam (c) lama pemanasan 4 jam

65 46 Pada Gambar 16 pati sagu termodifikasi HMT suhu pati 70 o C terlihat bentuk granula pati yang masih utuh dan memperlihatkan sifat birefringence nya. Sifat birefringence berhubungan dengan titik gelatinisasi dimana menurut Fennema (1996), bahwa suhu atau titik gelatinisasi adalah titik saat sifat birefringence pati mulai menghilang. Pada pati sagu termodifikasi HMT ini tidak terjadi proses gelatinisasi karena kadar air yang digunakan untuk proses modifikasi HMT dibatasi yaitu 28%. Proses gelatinisasi dapat terjadi jika sejumlah pati dipanaskan dalam jumlah air yang berlebih sehingga granula pati membengkak dan pecah. Pecahnya granula pati diikuti dengan hilangnya sifat birefringence. Herawati (2009) menyatakan perubahan bentuk granula pati selama modifikasi HMT dimungkinkan karena adanya imbibisi air yang didukung oleh suhu tinggi. Energi panas yang digunakan selama modifikasi berlangsung menurunkan kekuatan hidrogen inter dan intra molekul amilosa dan amilosa, amilosa dengan amilopektin maupun amilopektin dengan amilopektin. Pada saat yang bersamaan, molekul air akan berinteraksi melalui ikatan hidrogen dengan molekul amilosa dan atau molekul amilopektin yang telah terputus ikatan hidrogen antar sesamanya. Pati sagu termodifikasi HMT suhu pati 80 o C dan 90 o C sudah sedikit mengalami perubahan sifat birefringence, yang ditandai dengan tampak mulai memudar maltose cross yang terletak pada daerah hilum granula pati. Walaupun demikian integritas granulanya masih terjaga dengan masih terlihatnya warna biru dan kuning pada granula atau pati sagu termodifikasi HMT masih memantulkan cahaya terpolarisasi (memiliki sifat birefringence) yang menandakan pati sagu termodifikasi HMT masih mempunyai struktur semikristalin dan belum mengalami gelatinisasi. Bentuk dan sifat birefringence pati sagu termodifikasi HMT pada suhu pati 80 o C dapat dilihat pada Gambar 17.

66 47 A B C Gambar 17 Bentuk granula dan sifat birefingence pati sagu termodifikasi HMT pemanasan suhu pati 80 o C (a) lama pemanasan ½ jam (b) lama pemanasan 2 jam (c) lama pemanasan 4 jam Pati yang dipanaskan bersama air, sifat birefringence-nya secara bertahap akan hilang tergantung pada suhu dan lama pemanasan yang dilakukan. Penetrasi air menyebabkan peningkatan derajat ketidakteraturan dan molekul pati yang terpisah serta penurunan keberadaan sifat kristal, sehingga jika pemanasan dilanjutkan maka sifat kristal dan sifat birefringence akan hilang. Fennema (1996) dalam Hatorangan (2007) sifat birefringence pati dapat hilang dengan pemanasan di atas suhu gelatinisasi pati. Hilangnya sifat birefringence pati disebabkan pecahnya ikatan molekul pati sehingga ikatan hidrogen dapat mengikat lebih banyak molekul air. Perubahan sifat birefringence sebagai akibat modifikasi HMT terjadi pada pati kentang (Vermeylen et al. 2006) dan pati jagung (Pukkahuta et al. 2008). Bentuk dan sifat birefringence pati sagu termodifikasi HMT pada suhu pati 90 o C dapat dilihat pada Gambar 18.

67 48 A B C Gambar 18 Bentuk granula dan sifat birefingence pati sagu termodifikasi HMT pemanasan suhu pati 90 o C (a) lama pemanasan ½ jam (b) lama pemanasan 2 jam (c) lama pemanasan 4 jam b. Swelling volume dan Fraksi pati yang tidak membentuk gel Analisis swelling volume dan kelarutan pati sagu dilakukan secara bersamaan. Suspensi pati dengan konsentrasi yang telah ditentukan dipanaskan sampai tergelatinisasi kemudian disentrifusi. Sentrifusi ini akan menghasilkan tiga fraksi yang terpisah yaitu fraksi gel, fraksi larut air dan fraksi tersuspensi yang berada di antara fraksi gel dan fraksi terlarut. Oleh karena itu, pengaruh modifikasi HMT terhadap kelarutan pati ditentukan berdasarkan pengukuran fraksi pati yang tidak membentuk gel (penjumlahan dari pati terlarut dan pati tersuspensi). Berdasarkan analisis statistik yang disajikan pada Lampiran 9 suhu pati berpengaruh nyata terhadap swelling volume (P<0.05). Uji lanjut dengan metode Duncan menunjukkan pati sagu termodifikasi HMT pada suhu pati 90 o C memiliki

TINJAUAN PUSTAKA Sagu

TINJAUAN PUSTAKA Sagu 4 TINJAUAN PUSTAKA Sagu Sagu merupakan tanaman rumpun dan berkembang biak dengan membentuk anakan. Sagu termasuk tumbuhan monokotil dalam family Palmae, subfamily Lepidocaryoideae serta genus Metroxylon.

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. penduduk sehingga terjadi masalah hal ketersediaan pangan. Ketergantungan pada

PENDAHULUAN. penduduk sehingga terjadi masalah hal ketersediaan pangan. Ketergantungan pada PENDAHULUAN Latar Belakang Produksi pangan di negara-negara sedang berkembang terus meningkat. Namun demikian peningkatan ini tidak seimbang dengan pertambahan jumlah penduduk sehingga terjadi masalah

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN. Waktu dan Tempat

METODOLOGI PENELITIAN. Waktu dan Tempat 18 METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Februari sampai Mei 2010 di Laboratorium Pilot Plant Seafast Center IPB, Laboratorium Kimia dan Laboratorium Rekayasa Proses

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jagung merupakan palawija sumber karbohidrat yang memegang peranan penting kedua setelah beras.

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jagung merupakan palawija sumber karbohidrat yang memegang peranan penting kedua setelah beras. 2 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jagung merupakan palawija sumber karbohidrat yang memegang peranan penting kedua setelah beras. Jagung juga mengandung unsur gizi lain yang diperlukan manusia yaitu

Lebih terperinci

2. Karakteristik Pasta Selama Pemanasan (Pasting Properties)

2. Karakteristik Pasta Selama Pemanasan (Pasting Properties) IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISTIK PATI SAGU DAN AREN HMT 1. Kadar Air Salah satu parameter yang dijadikan standard syarat mutu dari suatu bahan atau produk pangan adalah kadar air. Kadar air merupakan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. diantaranya adalah umbi-umbian. Pemanfaatan umbi-umbian di Indonesia belum

I PENDAHULUAN. diantaranya adalah umbi-umbian. Pemanfaatan umbi-umbian di Indonesia belum I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan tentang (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesa Penelitian

Lebih terperinci

Pati ubi kayu (tapioka)

Pati ubi kayu (tapioka) Pengaruh Heat Moisture Treatment (HMT) Pada Karakteristik Fisikokimia Tapioka Lima Varietas Ubi Kayu Berasal dari Daerah Lampung Elvira Syamsir, Purwiyatno Hariyadi, Dedi Fardiaz, Nuri Andarwulan, Feri

Lebih terperinci

1 I PENDAHULUAN. Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat

1 I PENDAHULUAN. Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat 1 I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1.1) Latar Belakang, (1.2) Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat Peneltian, (1.5) Kerangka Pemikiran, (1.6) Hipotesis Penelitian

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA A. SAGU B. AREN

II. TINJAUAN PUSTAKA A. SAGU B. AREN II. TINJAUAN PUSTAKA A. SAGU Sagu (Metroxylon sp.) diduga berasal dari Maluku dan Papua. Hingga saat ini belum ada data yang mengungkapkan sejak kapan awal mula sagu ini dikenal. Di wilayah Indonesia bagian

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Suhu dan Waktu Proses Modifikasi HMT Terhadap Karakteristik Pati jagung Dalam proses modifikasi pati jagung HMT dilakukan pemilihan suhu dan waktu terbaik selama perlakuan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Proses Pengkondisian Grits Jagung Proses pengkondisian grits jagung dilakukan dengan penambahan air dan dengan penambahan Ca(OH) 2. Jenis jagung yang digunakan sebagai bahan

Lebih terperinci

Diagram Sifat-sifat Pati

Diagram Sifat-sifat Pati Diagram Sifat-sifat Pati X-ray Crystallography Mempelajari sifat kristalin pati X-ray pattern, obtained when a crystal is irradiated with X-rays. This pattern is distinctive to the crystal structure 3

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Walur (Amorphophallus campanulatus var sylvestris)

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Walur (Amorphophallus campanulatus var sylvestris) II. TINJAUAN PUSTAKA A. Walur (Amorphophallus campanulatus var sylvestris) Walur (Amorphopallus campanulatus var sylvestris) merupakan tanaman dari famili Araceae. Tanaman walur mempunyai daun tunggal

Lebih terperinci

MODIFIKASI PATI SAGU DENGAN TEKNIK HEAT MOISTURE-TREATMENT (HMT) DAN APLIKASINYA DALAM MEMPERBAIKI KUALITAS BIHUN DIAN HERAWATI

MODIFIKASI PATI SAGU DENGAN TEKNIK HEAT MOISTURE-TREATMENT (HMT) DAN APLIKASINYA DALAM MEMPERBAIKI KUALITAS BIHUN DIAN HERAWATI MODIFIKASI PATI SAGU DENGAN TEKNIK HEAT MOISTURE-TREATMENT (HMT) DAN APLIKASINYA DALAM MEMPERBAIKI KUALITAS BIHUN DIAN HERAWATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lebih dari 50% penduduk dunia tergantung pada beras sebagai sumber kalori utama. Di Indonesia, konsumsi dari kelompok padi-padian masih dominan baik di kota maupun di

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA. Umbi Iles-iles. Umbi Walur

2 TINJAUAN PUSTAKA. Umbi Iles-iles. Umbi Walur 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Umbi Walur (Amorphophallus campanulatus var. sylvetris) Amorphopallus campanulatus merupakan tanaman yang berbatang semu, mempunyai satu daun tunggal yang terpecah-pecah dengan tangkai

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENELITIAN PENDAHULUAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengetahui kadar proksimat dari umbi talas yang belum mengalami perlakuan. Pada penelitian ini talas yang digunakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pati merupakan polisakarida yang terdiri atas unit-unit glukosa anhidrat.

BAB I PENDAHULUAN. Pati merupakan polisakarida yang terdiri atas unit-unit glukosa anhidrat. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pati merupakan polisakarida yang terdiri atas unit-unit glukosa anhidrat. Komposisi utama pati adalah amilosa dan amilopektin yang mempunyai sifat alami berbeda-beda.

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil yang telah diperoleh dari penelitian yang telah dilakukan adalah

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil yang telah diperoleh dari penelitian yang telah dilakukan adalah IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Hasil yang telah diperoleh dari penelitian yang telah dilakukan adalah sebagai berikut: 1. Hasil pembuatan pati dari beberapa tanaman menghasilkan massa (g) yaitu ubi

Lebih terperinci

PENGARUH FOSFORILASI DAN PENAMBAHAN ASAM STEARAT TERHADAP KARAKTERISTIK FILM EDIBEL PATI SAGU CYNTHIA EMANUEL

PENGARUH FOSFORILASI DAN PENAMBAHAN ASAM STEARAT TERHADAP KARAKTERISTIK FILM EDIBEL PATI SAGU CYNTHIA EMANUEL PENGARUH FOSFORILASI DAN PENAMBAHAN ASAM STEARAT TERHADAP KARAKTERISTIK FILM EDIBEL PATI SAGU CYNTHIA EMANUEL SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

MODIFIKASI FISIK PATI JAGUNG DAN APLIKASINYA UNTUK PERBAIKAN KUALITAS MI JAGUNG LISNA AHMAD

MODIFIKASI FISIK PATI JAGUNG DAN APLIKASINYA UNTUK PERBAIKAN KUALITAS MI JAGUNG LISNA AHMAD MODIFIKASI FISIK PATI JAGUNG DAN APLIKASINYA UNTUK PERBAIKAN KUALITAS MI JAGUNG LISNA AHMAD SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA A. UBI JALAR

II. TINJAUAN PUSTAKA A. UBI JALAR II. TINJAUAN PUSTAKA A. UBI JALAR Ubi jalar (Ipomoea batatas L.) merupakan tanaman yang termasuk ke dalam famili Convolvulaceae. Ubi jalar termasuk tanaman tropis, tumbuh baik di daerah yang memenuhi persyaratan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang mengandung karbohidrat dan sumber kalori yang cukup tinggi, sumber vitamin (A, C,

Lebih terperinci

2.6.4 Analisis Uji Morfologi Menggunakan SEM BAB III METODOLOGI PENELITIAN Alat dan Bahan Penelitian Alat

2.6.4 Analisis Uji Morfologi Menggunakan SEM BAB III METODOLOGI PENELITIAN Alat dan Bahan Penelitian Alat DAFTAR ISI ABSTRAK... i ABSTRACK... ii KATA PENGANTAR... iii DAFTAR ISI... v DAFTAR LAMPIRAN... vii DAFTAR GAMBAR... viii DAFTAR TABEL... ix DAFTAR ISTILAH... x BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang...

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Permintaan tapioka di Indonesia cenderung terus meningkat. Peningkatan

I. PENDAHULUAN. Permintaan tapioka di Indonesia cenderung terus meningkat. Peningkatan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Permintaan tapioka di Indonesia cenderung terus meningkat. Peningkatan permintaan tersebut karena terjadi peningkatan jumlah industri makanan dan nonmakanan

Lebih terperinci

POLISAKARIDA. Shinta Rosalia Dewi

POLISAKARIDA. Shinta Rosalia Dewi POLISAKARIDA Shinta Rosalia Dewi Polisakarida : polimer hasil polimerisasi dari monosakarida yang berikatan glikosidik Ikatan glikosidik rantai lurus dan rantai bercabang Polisakarida terbagi 2 : Homopolisakarida

Lebih terperinci

TANAMAN PENGHASIL PATI

TANAMAN PENGHASIL PATI TANAMAN PENGHASIL PATI Beras Jagung Sagu Ubi Kayu Ubi Jalar 1. BERAS Beras (oryza sativa) terdiri dari dua jenis, yaitu Japonica yang ditanam di tanah yang mempunyai musim dingin, dan Indica atau Javanica

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Provinsi Lampung merupakan daerah penghasil ubi kayu terbesar di Indonesia.

I. PENDAHULUAN. Provinsi Lampung merupakan daerah penghasil ubi kayu terbesar di Indonesia. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Provinsi Lampung merupakan daerah penghasil ubi kayu terbesar di Indonesia. Sekitar 30 % ubi kayu dihasilkan di Lampung. Produksi tanaman ubi kayu di Lampung terus meningkat

Lebih terperinci

TUGAS AKHIR RISKA FITRIAWATI PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNIK DAN ILMU KOMPUTER UNIVERSITAS BAKRIE JAKARTA 2016

TUGAS AKHIR RISKA FITRIAWATI PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNIK DAN ILMU KOMPUTER UNIVERSITAS BAKRIE JAKARTA 2016 PENGOLAHAN PATI RESISTAN TIPE III UMBI GARUT (MARANTHA ARUNDINACEAE L.) MELALUI KOMBINASI METODE MODIFIKASI (FISIK-ENZIMATIS) DAN KARAKTERISASI SIFAT FUNGSIONALNYA TUGAS AKHIR RISKA FITRIAWATI 1122006013

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tepung Jagung Swasembada jagung memerlukan teknologi pemanfaatan jagung sehingga dapat meningkatkan nilai tambahnya secara optimal. Salah satu cara meningkatkan nilai tambah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kolagen alami hewan yang terdapat pada kulit, tulang, tulang rawan, dan

BAB I PENDAHULUAN. kolagen alami hewan yang terdapat pada kulit, tulang, tulang rawan, dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gelatin merupakan salah satu jenis protein yang diekstraksi dari jaringan kolagen alami hewan yang terdapat pada kulit, tulang, tulang rawan, dan jaringan ikat. Sumber

Lebih terperinci

PENGARUH HEAT MOISTURE TREATED (HMT) TERHADAP PROFIL GELATINISASI TEPUNG JAGUNG

PENGARUH HEAT MOISTURE TREATED (HMT) TERHADAP PROFIL GELATINISASI TEPUNG JAGUNG PENGARUH HEAT MOISTURE TREATED (HMT) TERHADAP PROFIL GELATINISASI TEPUNG JAGUNG HEAT MOISTURE TREATED (HMT) INFLUENCE ON CORN FLOUR GELATINIZATION PROFILES Oke Anandika Lestari 1), Feri Kusnandar 2) dan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Pati Walur Alami Sifat bahan pangan dalam bentuk bubuk dapat dilihat dari dua sisi, yaitu sebagai partikel dan sebagai kesatuan (bulk). Sifat bulk ditentukan oleh

Lebih terperinci

Pengaruh Lama Modifikasi Heat-Moisture Treatment (HMT) Terhadap Sifat Fungsional dan Sifat Amilografi Pati Talas Banten (Xanthosoma undipes K.

Pengaruh Lama Modifikasi Heat-Moisture Treatment (HMT) Terhadap Sifat Fungsional dan Sifat Amilografi Pati Talas Banten (Xanthosoma undipes K. JP2 Jurnal Penelitian Pangan Volume 1.1, Agustus 216 P - ISSN: 2528-3537; E - ISSN: 2528-5157 DOI: 1.24198/jp2.216.vol1.1.8 Website: www.jurnal.unpad.ac.id/jp2 Pengaruh Lama Modifikasi Heat-Moisture Treatment

Lebih terperinci

MODIFIKASI FISIK PATI JAGUNG DAN APLIKASINYA UNTUK PERBAIKAN KUALITAS MI JAGUNG LISNA AHMAD

MODIFIKASI FISIK PATI JAGUNG DAN APLIKASINYA UNTUK PERBAIKAN KUALITAS MI JAGUNG LISNA AHMAD MODIFIKASI FISIK PATI JAGUNG DAN APLIKASINYA UNTUK PERBAIKAN KUALITAS MI JAGUNG LISNA AHMAD SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Singkong ( Manihot esculenta) merupakan salah satu komoditas yang memiliki

I. PENDAHULUAN. Singkong ( Manihot esculenta) merupakan salah satu komoditas yang memiliki I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Singkong ( Manihot esculenta) merupakan salah satu komoditas yang memiliki nilai ekonomi dan telah banyak dikembangkan karena kedudukannya sebagai sumber utama karbohidrat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan dikenal dengan nama latin Cucurbita moschata (Prasbini et al., 2013). Labu

I. PENDAHULUAN. dan dikenal dengan nama latin Cucurbita moschata (Prasbini et al., 2013). Labu 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanaman labu kuning adalah tanaman semusim yang banyak ditanam di Indonesia dan dikenal dengan nama latin Cucurbita moschata (Prasbini et al., 2013). Labu kuning tergolong

Lebih terperinci

Heat Moisture Treated (HMT) Influence on Corn Flour Gelatinization Profiles

Heat Moisture Treated (HMT) Influence on Corn Flour Gelatinization Profiles PENGARUH HEAT MOISTURE TREATED (HMT) TERHADAP PROFIL GELATINISASI TEPUNG JAGUNG Heat Moisture Treated (HMT) Influence on Corn Flour Gelatinization Profiles Oke Anandika Lestari* 1, Feri Kusnandar 2, Nurheni

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISASI TAPIOKA 1. Sifat Kimia dan Fungsional Tepung Tapioka a. Kadar Air Kadar air merupakan parameter yang sangat penting dalam penyimpanan tepung. Kadar air sampel

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. sebanyak 200 kuintal per hektar luas pertanaman kuintal per hektar luas pertanaman.

TINJAUAN PUSTAKA. sebanyak 200 kuintal per hektar luas pertanaman kuintal per hektar luas pertanaman. 26 TINJAUAN PUSTAKA Ubi Kayu (Manihot esculenta) Ubi kayu (Manihot esculenta) tumbuh dengan sangat baik di daerah-daerah dengan suhu antara 25 o C-29 o C dengan ketinggian daerah sekitar 1.500 m. dpl.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Rekayasa Proses Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian, Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Bab ini membahas mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2)

I PENDAHULUAN. Bab ini membahas mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) I PENDAHULUAN Bab ini membahas mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pemanfaatan ubi jalar ungu sebagai alternatif makanan pokok memerlukan

I. PENDAHULUAN. Pemanfaatan ubi jalar ungu sebagai alternatif makanan pokok memerlukan 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah Pemanfaatan ubi jalar ungu sebagai alternatif makanan pokok memerlukan pengembangan produk olahan dengan penyajian yang cepat dan mudah diperoleh, salah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. berat kering beras adalah pati. Pati beras terbentuk oleh dua komponen yang

TINJAUAN PUSTAKA. berat kering beras adalah pati. Pati beras terbentuk oleh dua komponen yang II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Beras Beras diperoleh dari butir padi yang telah dibuang kulit luarnya (sekam), merupakan bahan makanan pokok bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Sebagian besar butir beras

Lebih terperinci

KAJIAN FENOMENA DAN PENGHAMBATAN RETROGRADASI BIKA AMBON ANNI FARIDAH

KAJIAN FENOMENA DAN PENGHAMBATAN RETROGRADASI BIKA AMBON ANNI FARIDAH KAJIAN FENOMENA DAN PENGHAMBATAN RETROGRADASI BIKA AMBON ANNI FARIDAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. 6. Hipotesis Penelitian, dan 7. Waktu dan Tempat Penelitian. keperluan. Berdasarkan penggolongannya tepung dibagi menjadi dua, yaitu

I PENDAHULUAN. 6. Hipotesis Penelitian, dan 7. Waktu dan Tempat Penelitian. keperluan. Berdasarkan penggolongannya tepung dibagi menjadi dua, yaitu I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : 1. Latar Belakang, 2. Identifikasi Masalah, 3. Maksud dan Tujuan Penelitian, 4. Manfaat Penelitian, 5. Kerangka Pemikiran, 6. Hipotesis Penelitian, dan 7. Waktu

Lebih terperinci

PENGGUNAAN TEPUNG SAGU SEBAGAI PENGENTAL PADA SAOS TOMAT KENTAL SKRIPSI

PENGGUNAAN TEPUNG SAGU SEBAGAI PENGENTAL PADA SAOS TOMAT KENTAL SKRIPSI PENGGUNAAN TEPUNG SAGU SEBAGAI PENGENTAL PADA SAOS TOMAT KENTAL SKRIPSI OLEH : SHERLY 6103006026 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDALA SURABAYA SURABAYA

Lebih terperinci

LOGO. Karakterisasi Beras Buatan (Artificial Rice) Dari Campuran Tepung Sagu dan Tepung Kacang Hijau. Mitha Fitriyanto

LOGO. Karakterisasi Beras Buatan (Artificial Rice) Dari Campuran Tepung Sagu dan Tepung Kacang Hijau. Mitha Fitriyanto LOGO Karakterisasi Beras Buatan (Artificial Rice) Dari Campuran Tepung Sagu dan Tepung Kacang Hijau Mitha Fitriyanto 1409100010 Pembimbing : Prof.Dr.Surya Rosa Putra, MS Pendahuluan Metodologi Hasil dan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN 3.1 BAHAN DAN ALAT

METODE PENELITIAN 3.1 BAHAN DAN ALAT III. METODE PENELITIAN 3.1 BAHAN DAN ALAT 3.1.1 Bahan Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tepung sukun, dan air distilata. Tepung sukun yang digunakan diperoleh dari Badan Litbang Kehutanan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. beberapa asupan kedalam tubuh. Beberapa asupan yang dibutuhkan oleh tubuh

BAB I PENDAHULUAN. beberapa asupan kedalam tubuh. Beberapa asupan yang dibutuhkan oleh tubuh BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada dasarnya dalam melakukan aktivitas sehari-hari manusia memerlukan beberapa asupan kedalam tubuh. Beberapa asupan yang dibutuhkan oleh tubuh manusia antara lain

Lebih terperinci

KAJIAN PEMBUATAN EDIBEL FILM KOMPOSIT DARI KARAGENAN SEBAGAI PENGEMAS BUMBU MIE INSTANT REBUS

KAJIAN PEMBUATAN EDIBEL FILM KOMPOSIT DARI KARAGENAN SEBAGAI PENGEMAS BUMBU MIE INSTANT REBUS KAJIAN PEMBUATAN EDIBEL FILM KOMPOSIT DARI KARAGENAN SEBAGAI PENGEMAS BUMBU MIE INSTANT REBUS ENDANG MINDARWATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2 0 0 6 Judul Tesis Nama NIM : Kajian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik. Pati

BAB I PENDAHULUAN. Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik. Pati BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik. Pati terdiri dari butiran-butiran kecil yang disebut granula (Jane, 1995). Winarno (2002), menyatakan

Lebih terperinci

Tekstur biasanya digunakan untuk menilai kualitas baik tidaknya produk cookies.

Tekstur biasanya digunakan untuk menilai kualitas baik tidaknya produk cookies. Force (Gf) V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.2 Tekstur Tekstur merupakan parameter yang sangat penting pada produk cookies. Tekstur biasanya digunakan untuk menilai kualitas baik tidaknya produk cookies. Tekstur

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Analisis Pati Sagu

Lampiran 1. Prosedur Analisis Pati Sagu LAMPIRAN Lampiran 1. Prosedur Analisis Pati Sagu 1. Bentuk Granula Suspensi pati, untuk pengamatan dibawah mikroskop polarisasi cahaya, disiapkan dengan mencampur butir pati dengan air destilasi, kemudian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar merupakan jenis umbi-umbian yang dapat digunakan sebagai pengganti

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar merupakan jenis umbi-umbian yang dapat digunakan sebagai pengganti I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ubi jalar merupakan jenis umbi-umbian yang dapat digunakan sebagai pengganti makanan pokok karena mengandung karbohidrat sebesar 27,9 g yang dapat menghasilkan kalori sebesar

Lebih terperinci

Deskripsi PROSES PRODUKSI DAN FORMULASI MI JAGUNG KERING YANG DISUBSTITUSI DENGAN TEPUNG JAGUNG TERMODIFIKASI

Deskripsi PROSES PRODUKSI DAN FORMULASI MI JAGUNG KERING YANG DISUBSTITUSI DENGAN TEPUNG JAGUNG TERMODIFIKASI 1 Deskripsi PROSES PRODUKSI DAN FORMULASI MI JAGUNG KERING YANG DISUBSTITUSI DENGAN TEPUNG JAGUNG TERMODIFIKASI Bidang Teknik Invensi Invensi ini berhubungan dengan suatu proses pembuatan mi jagung kering.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kayu yang memiliki nilai gizi tinggi dan dapat dimanfaaatkan untuk berbagai jenis

I. PENDAHULUAN. kayu yang memiliki nilai gizi tinggi dan dapat dimanfaaatkan untuk berbagai jenis I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah Jamur tiram (Pleurotus oestreatus) merupakan jamur konsumsi dari jenis jamur kayu yang memiliki nilai gizi tinggi dan dapat dimanfaaatkan untuk berbagai jenis

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Pada pendahuluan menjelaskan mengenai (1) Latar Belakang, (2)

I PENDAHULUAN. Pada pendahuluan menjelaskan mengenai (1) Latar Belakang, (2) I PENDAHULUAN Pada pendahuluan menjelaskan mengenai (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumber utama karbohidrat, diantaranya adalah serealia (contoh gandum, jagung,

PENDAHULUAN. Sumber utama karbohidrat, diantaranya adalah serealia (contoh gandum, jagung, 18 PENDAHULUAN Latar Belakang Karbohidrat merupakan senyawa organik yang jumlahnya paling banyak dan bervariasi dibandingkan dengan senyawa organik lainnya yang terdapat di alam. Sumber utama karbohidrat,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. buah-buahan. Berbagai macam jenis buah tumbuh di Indonesia dan ada beberapa

I. PENDAHULUAN. buah-buahan. Berbagai macam jenis buah tumbuh di Indonesia dan ada beberapa I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki keanekaragaman buah-buahan. Berbagai macam jenis buah tumbuh di Indonesia dan ada beberapa yang masih belum dikenal

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISTIK PATI NATIVE 1. Karakteristik Fisik Sifat bahan pangan berbentuk bubuk dapat digolongkan dalam dua tingkat yaitu bubuk sebagai partikel dan sebagai kesatuan (bulk).

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. dan banyak tumbuh di Indonesia, diantaranya di Pulau Jawa, Madura, Sulawesi,

II. TINJAUAN PUSTAKA. dan banyak tumbuh di Indonesia, diantaranya di Pulau Jawa, Madura, Sulawesi, II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gambaran Umum Ubi Kayu Ubi kayu yang sering pula disebut singkong atau ketela pohon merupakan salah satu tanaman penghasil bahan makanan pokok di Indonesia. Tanaman ini tersebar

Lebih terperinci

SIFAT FUNGSIONAL DAN SIFAT PASTA PATI SAGU BANGKA [FUNCTIONAL AND PASTA PROPERTIES OF BANGKA SAGO STARCH] MERYNDA INDRIYANI SYAFUTRI *)

SIFAT FUNGSIONAL DAN SIFAT PASTA PATI SAGU BANGKA [FUNCTIONAL AND PASTA PROPERTIES OF BANGKA SAGO STARCH] MERYNDA INDRIYANI SYAFUTRI *) SAGU, Maret 2015 Vol. 14 No. 1 : 1-5 ISSN 1412-4424 SIFAT FUNGSIONAL DAN SIFAT PASTA PATI SAGU BANGKA [FUNCTIONAL AND PASTA PROPERTIES OF BANGKA SAGO STARCH] MERYNDA INDRIYANI SYAFUTRI *) Program Studi

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai : (1.1.) Latar Belakang, (1.2.) Identifikasi

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai : (1.1.) Latar Belakang, (1.2.) Identifikasi I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1.1.) Latar Belakang, (1.2.) Identifikasi Masalah, (1.3.) Maksud dan Tujuan Penelitian, (1.4.) Manfaat Penelitian, (1.5.) Kerangka Pemikiran, (1.6.) Hipotesis

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar mengandung karbohidrat sebanyak 27,9 g yang dapat menghasilkan

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar mengandung karbohidrat sebanyak 27,9 g yang dapat menghasilkan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ubi jalar mengandung karbohidrat sebanyak 27,9 g yang dapat menghasilkan kalori sebesar 123 kalori per 100 g bahan (Rukmana, 1997). Berdasarkan kandungan tersebut, ubi

Lebih terperinci

Pengolahan Sagu (Metroxylon) sebagai Bahan Baku Pembuatan Es Krim

Pengolahan Sagu (Metroxylon) sebagai Bahan Baku Pembuatan Es Krim JURNAL EDUKASI KIMIA e-issn: 2548-7825 p-issn: 2548-4303 Pengolahan Sagu (Metroxylon) sebagai Bahan Baku Pembuatan Es Krim Ainun Mardhiah 1* dan Marlina Fitrika 2 1 Program Studi Pendidikan Kimia, Fakultas

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka

I PENDAHULUAN. masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. tropis lainnya. Alocasia adalah kerabat dekat dengan keluarga caladium dan

TINJAUAN PUSTAKA. tropis lainnya. Alocasia adalah kerabat dekat dengan keluarga caladium dan 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Sente (Alocasia macrorrhiza (L.) Schoot) Alocasia macrorrhiza merupakan jenis tanaman berbunga yang berasal dari hutan hujan Malaysia dan Queesland yang telah banyak dibudidayakan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. empat di dunia. Ubi jalar merupakan salah satu sumber karbohidrat dan memiliki

TINJAUAN PUSTAKA. empat di dunia. Ubi jalar merupakan salah satu sumber karbohidrat dan memiliki TINJAUAN PUSTAKA Ubi jalar ungu Indonesia sejak tahun 1948 telah menjadi penghasil ubi jalar terbesar ke empat di dunia. Ubi jalar merupakan salah satu sumber karbohidrat dan memiliki kandungan nutrisi

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM BIOKIMIA HIDROLISIS AMILUM (PATI)

LAPORAN PRAKTIKUM BIOKIMIA HIDROLISIS AMILUM (PATI) LAPORAN PRAKTIKUM BIOKIMIA HIDROLISIS AMILUM (PATI) Di Susun Oleh : Nama praktikan : Ainutajriani Nim : 14 3145 453 048 Kelas Kelompok : 1B : IV Dosen Pembimbing : Sulfiani, S.Si PROGRAM STUDI DIII ANALIS

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 PENGERTIAN PUFFING Menurut Sulaeman (1995), teknik puffing merupakan teknik pengolahan bahan pangan dimana bahan pangan tersebut mengalami pengembangan sebagai akibat pengaruh

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lidah buaya (Aloe vera) merupakan salah satu jenis tanaman hias yang memiliki ciriciri daun yang memanjang menyerupai lidah dan memiliki duri dibagian pinggirnya. Lidah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tengah dan Jawa Timur dinamakan gedang. Anon (2005) menyatakan bahwa pisang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tengah dan Jawa Timur dinamakan gedang. Anon (2005) menyatakan bahwa pisang II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pisang Kepok Pisang adalah tanaman buah yang berasal dari kawasan Asia Tenggara (termasuk Indonesia). Tanaman ini kemudian menyebar ke Afrika (Madagaskar), Amerika Selatan dan

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni 2012 sampai dengan Oktober 2012. Adapun laboratorium yang digunakan selama penelitian antara lain Pilot

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Pemanfaatan tepung beras ketan hitam secara langsung pada flake dapat menimbulkan rasa berpati (starchy). Hal tersebut menyebabkan perlunya perlakuan pendahuluan, yaitu pregelatinisasi

Lebih terperinci

OPTIMALISASI PRODUKSI SEMI-REFINED CARRAGEENAN DARI RUMPUT LAUT EUCHEUMA COTTONII DENGAN VARIASI TEKNIK PENGERINGAN DAN KADAR AIR BAHAN BAKU

OPTIMALISASI PRODUKSI SEMI-REFINED CARRAGEENAN DARI RUMPUT LAUT EUCHEUMA COTTONII DENGAN VARIASI TEKNIK PENGERINGAN DAN KADAR AIR BAHAN BAKU OPTIMALISASI PRODUKSI SEMI-REFINED CARRAGEENAN DARI RUMPUT LAUT EUCHEUMA COTTONII DENGAN VARIASI TEKNIK PENGERINGAN DAN KADAR AIR BAHAN BAKU Made Vivi Oviantari dan I Putu Parwata Jurusan Analisis Kimia

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK MUTU MIE INSTAN DARI TEPUNG KOMPOSIT PATI KENTANG TERMODIFIKASI, TEPUNG MOCAF, DAN TEPUNG TERIGU DENGAN PENAMBAHAN GARAM FOSFAT

KARAKTERISTIK MUTU MIE INSTAN DARI TEPUNG KOMPOSIT PATI KENTANG TERMODIFIKASI, TEPUNG MOCAF, DAN TEPUNG TERIGU DENGAN PENAMBAHAN GARAM FOSFAT KARAKTERISTIK MUTU MIE INSTAN DARI TEPUNG KOMPOSIT PATI KENTANG TERMODIFIKASI, TEPUNG MOCAF, DAN TEPUNG TERIGU DENGAN PENAMBAHAN GARAM FOSFAT (Quality Characteristics of instant Noodles made from Flour

Lebih terperinci

OPTIMASI PROSES PENGERINGAN GRITS JAGUNG DAN SANTAN SEBAGAI BAHAN BAKU BASSANG INSTAN, MAKANAN TRADISIONAL MAKASSAR HERNAWATY HUSAIN

OPTIMASI PROSES PENGERINGAN GRITS JAGUNG DAN SANTAN SEBAGAI BAHAN BAKU BASSANG INSTAN, MAKANAN TRADISIONAL MAKASSAR HERNAWATY HUSAIN OPTIMASI PROSES PENGERINGAN GRITS JAGUNG DAN SANTAN SEBAGAI BAHAN BAKU BASSANG INSTAN, MAKANAN TRADISIONAL MAKASSAR HERNAWATY HUSAIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 i PERNYATAAN

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 2. Karakteristik menir segar Karakteristik. pengujian 10,57 0,62 0,60 8,11 80,20 0,50 11,42 18,68.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 2. Karakteristik menir segar Karakteristik. pengujian 10,57 0,62 0,60 8,11 80,20 0,50 11,42 18,68. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISTIK MENIR SEGAR Pengujian karakteristik dilakukan untuk mengetahui apakah bahan baku yang nantinya akan digunakan sebagai bahan pengolahan tepung menir pragelatinisasi

Lebih terperinci

mi. Sekitar 40% konsumsi gandum di Asia adalah mi (Hoseney, 1994).

mi. Sekitar 40% konsumsi gandum di Asia adalah mi (Hoseney, 1994). I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mi bukan merupakan makanan asli budaya Indonesia. Meskipun masih banyak jenis bahan makanan lain yang dapat memenuhi karbohidrat bagi tubuh manusia selain beras, tepung

Lebih terperinci

SIFAT FISIKOKIMIA TEPUNG PREGELATINISASI BERAS MERAH DAN KETAN HITAM DENGAN VARIASI WAKTU PENGUKUSAN SKRIPSI

SIFAT FISIKOKIMIA TEPUNG PREGELATINISASI BERAS MERAH DAN KETAN HITAM DENGAN VARIASI WAKTU PENGUKUSAN SKRIPSI SIFAT FISIKOKIMIA TEPUNG PREGELATINISASI BERAS MERAH DAN KETAN HITAM DENGAN VARIASI WAKTU PENGUKUSAN SKRIPSI OLEH : YESSICA MULIA WIJAYA NRP 6103008122 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian Tahap Pertama. Tabel 6. Komposisi Kimia TDTLA Pedaging

HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian Tahap Pertama. Tabel 6. Komposisi Kimia TDTLA Pedaging TDTLA Pedaging HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Tahap Pertama Penelitian tahap pertama adalah pembuatan tepung daging-tulang leher ayam yang dilakukan sebanyak satu kali proses pembuatan pada waktu yang

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. selain sebagai sumber karbohidrat jagung juga merupakan sumber protein yang

I PENDAHULUAN. selain sebagai sumber karbohidrat jagung juga merupakan sumber protein yang I PENDAHULUAN Bab ini akan menguraikan mengenai: (1.1) Latar Belakang, (1.2) Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat Penelitian, (1.5) Kerangka Pemikiran, (1.6) Hipotesis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kentang tumbuk (mashed potato) adalah kentang yang dihaluskan dan diolah lebih lanjut untuk dihidangkan sebagai makanan pendamping. Di Italia mashed potato disajikan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian. I PENDAHULUAN Bab ini akan menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, (7) Waktu dan Tempat Penelitian.

I. PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, (7) Waktu dan Tempat Penelitian. I. PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, (7)

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pati adalah bahan baku yang sangat penting untuk industri makanan. Sebagai pengembangan produk makanan yang baru, pati memiliki sifat khusus yang fungsional. Fungsi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA A. TEPUNG BERAS B. TEPUNG BERAS KETAN

II. TINJAUAN PUSTAKA A. TEPUNG BERAS B. TEPUNG BERAS KETAN II. TINJAUAN PUSTAKA A. TEPUNG BERAS Beras merupakan bahan pangan pokok masyarakat Indonesia sejak dahulu. Sebagian besar butir beras terdiri dari karbohidrat jenis pati. Pati beras terdiri dari dua fraksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Beras merah (Oriza sativa) merupakan beras yang hanya dihilangkan kulit bagian luar atau sekamnya, sehingga masih mengandung kulit ari (aleuron) dan inti biji beras

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian,

I. PENDAHULUAN. (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, I. PENDAHULUAN Bab ini menjelaskan mengenai: (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

PRODUKSI GULA CAIR DARI PATI SAGU SULAWESI TENGGARA

PRODUKSI GULA CAIR DARI PATI SAGU SULAWESI TENGGARA PRODUKSI GULA CAIR DARI PATI SAGU SULAWESI TENGGARA Agus Budiyanto, Abdullah bin Arif dan Nur Richana Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian n Disampaikan Pada Seminar Ilmiah dan Lokakarya Nasional 2016

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mencapai ton, beras ketan diimpor dari Thailand dan Vietnam, sedangkan

BAB I PENDAHULUAN. mencapai ton, beras ketan diimpor dari Thailand dan Vietnam, sedangkan BAB I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1.1) Latar Belakang Penelitian, (1.2) Identifikasi Masalah, (1.3) Tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat Penelitian, (1.5) Kerangka Pemikiran, (1.6) Hipotesis

Lebih terperinci

BAB V HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN. A. HASIL PENGAMATAN 1. Identifikasi Pati secara Mikroskopis Waktu Tp. Beras Tp. Terigu Tp. Tapioka Tp.

BAB V HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN. A. HASIL PENGAMATAN 1. Identifikasi Pati secara Mikroskopis Waktu Tp. Beras Tp. Terigu Tp. Tapioka Tp. BAB V HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN A. HASIL PENGAMATAN 1. Identifikasi Pati secara Mikroskopis Waktu Tp. Beras Tp. Terigu Tp. Tapioka Tp. Maizena Awal Akhir 2. Gelatinasi Pati Suspesni Sel Panas Sel

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Modifikasi Pati Singkong

HASIL DAN PEMBAHASAN Modifikasi Pati Singkong 29 HASIL DAN PEMBAHASAN Modifikasi Pati Singkong Tahap pertama dalam penelitian ini adalah pembuatan pati singkong termodifikasi yaitu pembuatan pati singkong tergelatinisasi dan pembuatan pati singkong

Lebih terperinci

PENGARUH BERBAGAI FILLER (BAHAN PENGISI) TERHADAP KARAKTERISTIK DAN DAYA TERIMA CHICKEN NUGGET SKRIPSI. Oleh MARGI KUSUMANINGRUM

PENGARUH BERBAGAI FILLER (BAHAN PENGISI) TERHADAP KARAKTERISTIK DAN DAYA TERIMA CHICKEN NUGGET SKRIPSI. Oleh MARGI KUSUMANINGRUM PENGARUH BERBAGAI FILLER (BAHAN PENGISI) TERHADAP KARAKTERISTIK DAN DAYA TERIMA CHICKEN NUGGET SKRIPSI Oleh MARGI KUSUMANINGRUM FAKULTAS PETERNAKAN DAN PERTANIAN UNIVERSITAS DIPONEGORO S E M A R A N G

Lebih terperinci

PENGARUH WAKTU PENGUKUSAN TERHADAP KARAKTERISTIK TEPUNG KACANG MERAH HASIL PENYANGRAIAN SKRIPSI OLEH: NOVITA KRISTANTI

PENGARUH WAKTU PENGUKUSAN TERHADAP KARAKTERISTIK TEPUNG KACANG MERAH HASIL PENYANGRAIAN SKRIPSI OLEH: NOVITA KRISTANTI PENGARUH WAKTU PENGUKUSAN TERHADAP KARAKTERISTIK TEPUNG KACANG MERAH HASIL PENYANGRAIAN SKRIPSI OLEH: NOVITA KRISTANTI 6103012126 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

II TINJAUAN PUSTAKA. yang sangat baik. Kandungan betakarotennya lebih tinggi dibandingkan ubi jalar

II TINJAUAN PUSTAKA. yang sangat baik. Kandungan betakarotennya lebih tinggi dibandingkan ubi jalar 6 II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ubi Jalar Ungu Ubi jalar ungu merupakan salah satu jenis ubi jalar yang memiliki warna ungu pekat. Ubi jalar ungu menjadi sumber vitamin C dan betakaroten (provitamin A) yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar merupakan sumber karbohidrat yang banyak mengandung pati

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar merupakan sumber karbohidrat yang banyak mengandung pati 1 I. PENDAHULUAN Ubi jalar merupakan sumber karbohidrat yang banyak mengandung pati (lebih banyak mengandung amilopektin dibanding amilosa). Untuk keperluan yang lebih luas lagi seperti pembuatan biskuit,

Lebih terperinci

PENGGUNAAN TEPUNG SAGU SEBAGAI PENGENTAL (THICKENER) PADA THICK TOMATO KETCHUP PROPOSAL SKRIPSI OLEH : SHERLY

PENGGUNAAN TEPUNG SAGU SEBAGAI PENGENTAL (THICKENER) PADA THICK TOMATO KETCHUP PROPOSAL SKRIPSI OLEH : SHERLY PENGGUNAAN TEPUNG SAGU SEBAGAI PENGENTAL (THICKENER) PADA THICK TOMATO KETCHUP PROPOSAL SKRIPSI OLEH : SHERLY 6103006026 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS KATOLIK

Lebih terperinci

PATI ALAMI. Pati adalah salah suatu bahan penyusunan yang paling banyak dan luas terdapat di alam,sebagai karbohidrat cadangan pangan pada tanaman.

PATI ALAMI. Pati adalah salah suatu bahan penyusunan yang paling banyak dan luas terdapat di alam,sebagai karbohidrat cadangan pangan pada tanaman. PATI ALAMI Pati adalah salah suatu bahan penyusunan yang paling banyak dan luas terdapat di alam,sebagai karbohidrat cadangan pangan pada tanaman. Sebagian besar pati di simpan dalam akar,umbi,akar,biji

Lebih terperinci