SISTEM PENGEMBANGAN USAHA PERIKANAN TANGKAP DI PROVINSI RIAU T. ERSTI YULIKA SARI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "SISTEM PENGEMBANGAN USAHA PERIKANAN TANGKAP DI PROVINSI RIAU T. ERSTI YULIKA SARI"

Transkripsi

1 SISTEM PENGEMBANGAN USAHA PERIKANAN TANGKAP DI PROVINSI RIAU T. ERSTI YULIKA SARI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

2 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASINYA Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Sistem Pengembangan Perikanan Tangkap di Provinsi Riau adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, Juli 2010 T. Ersti Yulika Sari C

3 ABSTRACT T. ERSTI YULIKA SARI. System development for capture fisheries business of Riau Province. Under direction of SUGENG HARI WISUDO, DANIEL R. MONINTJA and TOMMY H PURWAKA. The general objectives of this research is to develop system development of capture fisheries business in Riau Province which can be used as referrence in capture fisheries development planning after experiencing expansion of administrative areas. To achieve these general objective, and more specifically the special purpose of this study are; 1) determine the proper capture fisheries business to develop; 2) determine the appropriate conflict resolution; 3) the appropriate institutional form in the development of capture fisheries business. Survey method was used to collecting information and data from the field. Schaefer model was used to determine the limit of fishery utilization by determining the Maximum Sustainable Yield ( MSY). Linear Goal Programming Model was used to analyze the technological allocation based on all determined target. Scoring method was applied to determine the best kind of capture fisheries technology. Quantitative and qualitative analysis were used for economic and social aspect and descriptive analysis to determine the environmental friendly fishing technology. Method of conflict resolution techniques based on Fisher et al. (2000). The results indicated that selected fish resource in Malacca Strait Bengkalis Regency are, yellow pike-conger (Congresox talabon), giant threadfish (Eleutheronema tetradactylum), silver pomfret (Pampus argenteus), and white shrimp (Metapenaeus sp), with fishing technology of longline, batu net, atom net and apollo net. The optimum amount for the selected fishing technology in Bengkalis Regency is 6595 unit. Selected fish resources in the South China Sea Indragiri Hilir Regency are giant threadfish (Eleutheronema tetradactylum), white shrimp (Metapenaeus sp), yellow pike-conger (Congresox talabon) and barred spanish mackerel (Scomberomorus commersoni) and with fishing technology of longline, batu net, gillnet and shrimp net. The optimum amount for the selected fishing technology in Indragiri Hilir Regency is 5956 unit. Conflict in the waters of Bengkalis is the conflict between longline fishermen and batu net fishermen. Identification for the conflict typology based on internal allocation and jurisdiction. Strategic planning that can be done to resolve conflicts in these waters is the involvement of fishing communities, especially community leaders in the utilization and management, formal recognition of sea tenure in the community in resource management and increased surveillance conducted in an integrated manner, which involves all elements in System Development for Capture Fisheries Business of Riau Province (SIPUTREFIK) and the establisment of institutional mediators. Key words : system development, capture fisheries business, conflict resolution, Riau Province, SIPUTREFIK

4 RINGKASAN T. ERSTI YULIKA SARI. Sistem Pengembangan Usaha Perikanan Tangkap di Provinsi Riau. Dibimbing oleh SUGENG HARI WISUDO, DANIEL R. MONINTJA dan TOMMY H PURWAKA. Perubahan wilayah administrasi pemerintahan memberikan pengaruh terhadap potensi perikanan dan kelautan di Provinsi Riau, untuk itu dibutuhkan adanya upaya untuk memulihkan kembali kondisi perikanan. Kajian yang dibutuhkan sebagai upaya meningkatkan produktivitas daerah dan pendapatan nelayan secara berkelanjutan dan berkesinambungan adalah melakukan evaluasi kembali terhadap potensi sumber daya perikanan, khususnya perikanan tangkap. Pencapaian pengembangan usaha perikanan tangkap yang berkelanjutan membutuhkan adanya evaluasi dan kajian terhadap potensi yang ada sehingga penetapan kebijakan pengembangan dapat ditetapkan berdasarkan daya dukung sumber daya perikanan tangkap. Pengembangan sub-sektor perikanan tangkap di Provinsi Riau pada prinsipnya memerlukan suatu pola atau acuan yang komprehensif dan jelas. Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menyusun sistem pengembangan usaha perikanan tangkap di Provinsi Riau yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam perencanaan pembangunan perikanan tangkap setelah mengalami pemekaran wilayah administrasi. Untuk mencapai tujuan umum tersebut, secara lebih spesifik tujuan khusus penelitian ini adalah : 1) menentukan usaha perikanan tangkap unggulan yang layak dikembangkan; 2) menentukan resolusi konflik yang sesuai dalam pengembangan usaha perikanan tangkap; 3) bentuk kelembagaan yang sesuai dalam pengembangan usaha perikanan tangkap. Untuk menjawab tujuan khusus pada penelitian, maka kajian disertasi di bagi dalam dua bab pembahasan yaitu 1) usaha perikanan tangkap unggulan dan 2) faktor konflik dalam pengembangan usaha perikanan tangkap di perairan Provinsi Riau. Penelitian ini dilaksanakan di perairan Selat Malaka Kabupaten Bengkalis dan perairan Laut Cina Selatan Kabupaten Indragiri Hilir dengan menggunakan metode survei dan observasi. Penelitian usaha perikanan tangkap unggulan menggunakan metode analisis struktur pasar untuk mengetahui jenis-jenis sumber daya yang mempunyai potensi untuk pasar lokal, antar daerah maupun internasional, metode skoring dan fungsi nilai untuk menentukan prioritas unit penangkapan ikan yang layak dikembangkan, model potensi maksimum lestari digunakan untuk menentukan potensi lestari dari sumber daya unggulan yang akan dikembangkan, model Linear Goal Pragramming digunakan untuk alokasi jumlah unit penangkapan sumber daya ikan unggulan yang optimum. Penelitian faktor konflik dalam pengembangan usaha perikanan tangkap menggunakan analisis tipologi konflik, teknik resolusi konflik dan analisis kelembagaan secara deskriptif kualitatif. Sistem pengembangan usaha perikanan tangkap disusun berdasarkan hasil-hasil penelitian ini. Usaha perikanan tangkap yang layak dikembangkan di perairan Provinsi Riau berdasarkan daerah penelitian: perairan Selat Malaka Kabupaten Bengkalis adalah sumber daya ikan unggulan ikan kurau (Eleutheronema tetradactylum), malung (Congresox talabon), senangin (Polynemus sp), bawal putih (Pampus argenteus) dan

5 udang putih (Metapenaeus sp). Teknologi penangkapan pilihan untuk menangkap sumber daya ikan unggulan dengan pendekatan aspek teknis, finansial, lingkungan dan sosial menempatkan alat tangkap jaring kurau (bottom drift gillnet) pada urutan pertama dan secara berurutan rawai (longline), jaring atom (trammel net) dan jaring apollo (trammel net). Alokasi optimum alat penangkapan terpilih untuk Kabupaten Bengkalis adalah sebanyak 6595 unit, dengan alokasi sebagai berikut: rawai sebanyak 3211 unit dari 3447 unit berkurang 236 unit, jaring atom sebanyak 2862 unit dari 3056 unit berkurang 194 unit, jaring apollo sebanyak 314 unit dari 441 unit berkurang 127 unit dan jaring kurau sebanyak 95 unit dari 222 unit berkurang 127 unit. Kegiatan usaha perikanan tangkap yang layak dikembangkan dengan jenis sumber daya ikan unggulan di perairan Laut Cina Selatan Kabupaten Indragiri Hilir adalah ikan kurau (Eleutheronema tetradactylum), udang mantis (Uratos guilla nepa sp), malung (Congresox talabon), bawal putih (Pampus argenteus), tenggiri (Scomberomorus commersoni). Berdasarkan pendekatan terhadap aspek teknis, finansial, lingkungan dan sosial terhadap teknologi penangkapan pilihan untuk menangkap sumber daya ikan unggulan adalah jaring insang (gillnet), jaring udang (trammel net), jaring batu (bottom drift gillnet) dan rawai (longline). Jumlah optimum untuk Kabupaten Indragiri Hilir adalah sebanyak 5956 unit, dengan alokasi sebagai berikut: jaring insang sebanyak 3039 unit dari 3222 berkurang 183 unit, rawai sebanyak 844 unit dari 926 unit berkurang 82 unit, jaring udang sebanyak 1942 unit dari 2193 unit berkurang sebanyak 251 unit dan jaring batu sebanyak 85 unit dari 120 unit berkurang 35 unit. Konflik yang terjadi di perairan Bengkalis adalah konflik antara nelayan yang menggunakan alat tangkap rawai (set longline) dengan nelayan yang menggunakan alat tangkap jaring batu (bottom drift gillnet). Identifikasi terhadap konflik yang terjadi di perairan Bengkalis berdasarkan tipologinya adalah alokasi internal dan yurisdiksi. Perbedaan teknologi yang digunakan merupakan faktor utama pemicu konflik, pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya perikanan yang dilakukan oleh nelayan rawai diartikan secara berbeda oleh nelayan jaring kurau dan faktor yurisdiksi, yang dapat dilihat dari keberadaan peraturan dan perundangan yang mengatur pemanfaatan sumber daya perikanan yang tidak sesuai dengan karakteristik daerah dan sistem nilai yang berlaku di masyarakat nelayan rawai cenderung berbau perebutan wilayah tangkap dengan kehadiran nelayan jaring kurau telah dianggap mengganggu ketenteraman dan kenyamanan nelayan rawai. Langkah strategis yang dapat dilakukan untuk penyelesaian konflik di perairan ini adalah keterlibatan masyarakat nelayan terutama tokoh masyarakat dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya perikanan tangkap, pengakuan secara formal hak ulayat yang berlaku di masyarakat dalam pengelolaan sumber daya dan peningkatan pengawasan yang dilakukan secara terpadu, yaitu melibatkan seluruh unsur yang terlibat dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya perikanan tangkap dalam Sistem Pengembangan Usaha Perikanan Tangkap Berbasis Resolusi Konflik (SIPUTREFIK) serta terbentuknya kelembagaan mediator. Kata kunci : sistem pengembangan, usaha perikanan tangkap, resolusi konflik, Provinsi Riau, SIPUTREFIK

6 Hak cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut kan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

7 SISTEM PENGEMBANGAN USAHA PERIKANAN TANGKAP DI PROVINSI RIAU T. ERSTI YULIKA SARI Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Teknologi Kelautan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

8 Penguji Luar Komisi Pembimbing pada Ujian Tertutup: 1 Dr. Ir. Budy Wiryawan, M.Sc 2 Dr. Ir. Domu Simbolon, M. Sc Penguji Luar Komisi Pembimbing pada Ujian Terbuka: 1 Dr. Suseno 2 Dr. Herie Saksono

9 PRAKATA Puji syukur kepada Allah SWT atas segala anugrah rahmat xiii serta perlindungannya, sehingga disertasi ini dapat terselesaikan dengan baik. Disertasi ini berjudul Sistem Pengembangan Usaha Perikanan Tangkap di Perairan Provinsi Riau disusun sebagai salah satu syarat penyelesaian program pendidikan Strata 3 di Sekolah Pascasarjana IPB. Disertasi ini diharapkan dapat memberikan salah satu alternatif bagi kebijakan daerah dalam pengembangan usaha perikanan tangkap bagi wilayah yang mengalami pemekaran. Penulis mempersembahkan rasa terima kasih yang mendalam kepada kedua orang tua, Papa H. T. Saleh Sharief (alm) dan Mami Hj. Syarifah Ruaisyah yang telah membesarkan dan mendoakan dengan tulus ikhlas untuk keberhasilan penulis. Adikadik Mirza, Nona dan Arif serta keluarga H. T. Arifin Ahmad dan Hj. T. Hamidah dan keponakan T. Faradina untuk dukungan dan doa yang tiada hentinya untuk keberhasilan penulis. Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya dan penghargaan yang tulus kepada Dr. Ir. Sugeng Hari Wisudo, M.Si, selaku ketua Komisi Pembimbing, Prof. Dr. Daniel R. Monintja dan Prof. Dr. Tommy H. Purwaka, SH LLM selaku Anggota Komisi Pembimbing, yang telah berkenan memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis untuk menyelesaikan karya ilmiah ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Dosen Penguji Luar Komisi pada ujian tertutup yaitu Dr. Ir. Budy Wiryawan, M.Sc dan Dr. Ir. Domu Simbolon, M.Si, Dr. Ir. Oman Agus Sudrajat, M.Sc (Wakil Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor), Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc (Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan), serta Bapak Dr Suseno dan Dr Herie Saksono, selaku Dosen Penguji Luar Komisi pada ujian terbuka. Prof. Dr. John Haluan, M.Sc yang selalu memotivasi penulis untuk segera menyelesaikan studi. Pihak-pihak yang telah memberikan bantuan baik moril dan materil kepada penulis : 1) Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional atas bantuan dana BPPS 2) Gubernur Provinsi Riau 3) Rektor Universitas Riau 4) PT. Bumi Siak Pusako 5) COREMAP II 6) Lembaga Penelitian Universitas Riau 7) Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau

10 8) Ketua Departemen dan seluruh staf pengajar PSP Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB 9) Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Riau, Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Bengkalis dan Kabupaten Indragiri Hilir. 10) Teman- teman angkatan 2004 Teknologi Kelautan : Alfa Nelwan, Kak Jamal, Mbak Nusa, Mbak Ning, Desi, Mas Kohar, dan Pak Assir, terima kasih atas persahabatan dan rasa persaudaran yang telah terbina selama perkuliahan hingga saat ini. 11) Dr. Rosa, Lia, Sinta, Bu Diniah, Hanny, Ima, Pak Soleh, Kak Henny Syawal, Ika, Vita, Mbak Yopi yang selalu memberikan semangat dan dukungan kepada penulis. Maaf jika selama ini merepotkan... 12) Seluruh dosen Teknologi Kelautan yang telah banyak memberikan ilmu kepada penulis selama perkuliahan. Terima kasih banyak bapak dan ibu... 13) Mas Yana, Teh Yanti, Mang Isman dan Makaira fotocopy, terima kasih atas bantuannya Last but not the least, dengan segenap rasa cinta yang tulus penulis berterima kasih kepada My Beloved Hubby Ir Said Mahdalius dan My Sweety Syarifah Shahnaz Chairunnisa atas kesabaran, pengorbanan dan keikhlasan selama penulis melanjutkan pendidikan di IPB. Penulis menyadari bahwa disertasi ini masih belum sempurna dan masih harus ditindaklanjuti dengan penelitian-penelitian lanjutan. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat baik bagi insan akademis, para pengambil kebijakan serta yang membacanya. Akhirnya, semoga Allah SWT selalu melimpahkan karunia dan rahmatnya kepada kita sekalian. Bogor, Juli 2010 T. Ersti Yulika Sari

11 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Pekanbaru, 14 Juli 1971 sebagai anak pertama dari empat bersaudara dari pasangan H. T. Saleh Sharief (alm) dan Hj. Syarifah Ruaisyah. Penulis menikah dengan Ir. Said Mahdalius dan dikaruniai seorang putri Syarifah Shahnaz Chairunnisa. Pendidikan penulis diawali di Sekolah Dasar 001 Rintis Pekanbaru pada tahun Tahun menyelesaikan pendidikan di Sekolah Menengah Pertama Negeri 4 Pekanbaru. Tahun 1988 penulis melanjutkan ke Sekolah Menengah Negeri 6 Pekanbaru dan lulus pada tahun Penulis diterima di Universitas Riau melalui jalur Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) tahun 1991 pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Program Studi Pemanfaatan Sumber daya Perikanan, lulus pada tahun 1996 dalam ujian skripsi dengan judul Perbedaan Bentuk Mulut terhadap Hasil Tangkapan Pengerih di Kabupaten Bengkalis. Penulis diterima sebagai staf pengajar pada jurusan Pemanfaatan Sumber daya Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau pada Februari Kesempatan menempuh pendidikan pascasarjana jenjang magister sains diperoleh tahun 1998 pada program studi Teknologi Kelautan Program Pascasarjana IPB, dibiayai oleh BPPS Dirjen Pendidikan Tinggi, Kementrian Pendidikan Nasional dan lulus pada ujian Tesis tahun 2000 dengan judul Pengembangan Sistem Informasi Perikanan di Perairan Bengkalis Provinsi Riau. Tahun 2004 penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan jenjang doktor pada program studi Teknologi Kelautan Sekolah Pascasarjana IPB dibiayai oleh BPPS Dirjen Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan Nasional. Selama menyelesaikan masa studi, penulis telah menghasilkan karya ilmiah yang telah diterbitkan yaitu Prospek Pengembangan Perikanan Tangkap di Perairan Provinsi Riau pada Jurnal Teknologi dan Manajemen Perikanan Tangkap Vol XVIII No 3 Desember 2009 dan Konflik Perikanan Tangkap di Perairan Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau pada Jurnal Teknologi dan Manajemen Perikanan Tangkap Vol XIX No 1 April Penulis dinyatakan lulus pada ujian terbuka doktor pada tanggal 6 April 2010 dengan judul disertasi Sistem Pengembangan Usaha Perikanan Tangkap di Provinsi Riau.

12 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... i ii iii 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Kerangka Pikir Penelitian TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengembangan Usaha Perikanan Tangkap Pemasaran Hasil Perikanan Sistem Perikanan Tangkap Unit Penangkapan Ikan Alat tangkap Kapal perikanan Nelayan Analisis Konflik Pengertian konflik Faktor-faktor pendorong terjadinya konflik Jenis-jenis konflik nelayan Penahapan konflik Pengelolaan Konflik Perikanan Tangkap Pengelolaan Perikanan Tangkap Kelembagaan dan Kebijakan Pengembangan Perikanan Tangkap Kelembagaan perikanan tangkap Kebijakan pengembangan perikanan tangkap... 3 METODOLOGI UMUM 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Alat dan Bahan Metode Pengumpulan Data Metode Analisis Data

13 4 KONDISI USAHA PERIKANAN TANGKAP DI PERAIRAN PROVINSI RIAU 4.1 Pendahuluan Tujuan Penelitian Metode Penelitian Metode pengumpulan data Metode analisis data Hasil dan Pembahasan Potensi sumber daya ikan Produksi dan komoditi utama perikanan tangkap Armada perikanan tangkap Alat penangkapan ikan Jenis dan hasil tangkapan Kecenderungan jumlah alat penangkapan Nelayan Perikanan Tangkap di Selat Malaka Kabupaten Bengkalis Produksi perikanan tangkap (laut) Alat penangkapan Perikanan Tangkap di Laut Cina Selatan Perairan Kabupaten Indragiri Hilir Produksi perikanan tangkap laut Keadaan Sarana dan Prasarana Perikanan Kesimpulan... 5 USAHA PERIKANAN TANGKAP UNGGULAN DI PERAIRAN PROVINSI RIAU 5.1 Pendahuluan Tujuan penelitian Metodologi Penelitian Metode pengumpulan data Metode analisis data Hasil Kondisi sumber daya perikanan tangkap di lokasi penelitian Identifikasi sumber daya ikan unggulan Potensi dan tingkat pemanfaatan sumber ikan di perairan Provinsi Riau Aspek teknis Aspek ekonomi Aspek sosial Aspek lingkungan Teknologi penangkapan pilihan untuk sumber daya ikan unggulan di perairan Provinsi Riau Alokasi Optimum Teknologi Penangkapan Sumber Daya Ikan Unggulan

14 5.5 Pembahasan Aspek pemasaran Aspek teknis Aspek ekonomi Aspek sosial Aspek lingkungan Alokasi optimum teknologi penangkapan sumber daya ikan unggulan Kesimpulan... 6 FAKTOR KONFLIK DALAM PENGEMBANGAN USAHA PERIKANAN TANGKAP DI PERAIRAN PROVINSI RIAU 6.1 Pendahuluan Tujuan Penelitian Metodologi Penelitian Metode pengumpulan data Metode analisis data Hasil Penelitian Tipologi konflik Penahapan konflik Urutan kejadian konflik Pemetaan konflik Segitiga S-P-K (Sikap-Perilaku-Konteks) Analogi bawang bombay Upaya penanganan konflik Evaluasi Kelembagaan yang Menangani Konflik Peran kelembagaan pemerintah dalam menangani konflik Peran tokoh masyarakat dalam penanganan konflik Peran lembaga non pemerintah dalam penanganan konflik Lembaga pengawasan dalam penanganan konflik Efektivitas kelembagaan yang menangani konflik Pembahasan Tipologi konflik Faktor konflik dan resolusi konflik Kelembagaan yang menangani konflik Kesimpulan... 7 SISTEM PENGEMBANGAN USAHA PERIKANAN TANGKAP DI PERAIRAN PROVINSI RIAU 7.1 Komponen yang Berperan dan Keterkaitannya dalam Sistem Pengembangan Perikanan Tangkap Sistem Pengembangan Usaha Perikanan Tangkap

15 8 KESIMPULAN DAN SARAN 8.1 Kesimpulan Saran... DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

16 DAFTAR TABEL Halaman 1 Deskripsi sistem perikanan tangkap menurut Kesteven (1973)... 2 Produksi dan nilai produksi 10 jenis hasil tangkapan dominan di Selat Malaka Provinsi Riau tahun Produksi dan nilai produksi 10 jenis hasil tangkapan dominan di perairan Laut Cina Selatan Kabupaten Indragiri Hilir Provinsi Riau tahun Distribusi nelayan berdasarkan kepemilikan jenis alat tangkap di perairan Selat Malaka Kabupaten Bengkalis... 5 Distribusi nelayan berdasarkan kepemilikan jenis alat tangkap di perairan Laut Cina Selatan Kabupaten Indragiri Hilir... 6 Sarana dan prasarana pangkalan pendaratan ikan di Provinsi Riau... 7 Fungsi pelayanan pangkalan pendaratan ikan di Provinsi Riau... 8 Sebaran daerah operasi penangkapan ikan di perairan Kabupaten Bengkalis dan Kabupaten Indragiri Hilir... 9 Keadaan waktu/musim penangkapan masing-masing alat tangkap di perairan Kabupaten Bengkalis dan Kabupaten Indragiri Hilir Puncak musim penangkapan masing-masing alat tangkap di perairan Kabupaten Bengkalis dan Kabupaten Indragiri Hilir Harga sumber daya ikan dominan di perairan Selat Malaka Kabupaten Bengkalis dan perairan Laut Cina Selatan Kabupaten Indragiri Hilir Seleksi sumber daya ikan unggulan di perairan Selat Malaka Kabupaten Bengkalis dan perairan Laut Cina Selatan Kabupaten Indragiri Hilir dengan metode skoring berdasarkan aspek pasar Potensi dan tingkat pemanfaatan sumber daya ikan untuk sumber daya ikan unggulan di perairan Provinsi Riau Matrik keragaan aspek teknis dari teknologi penangkapan untuk sumber daya ikan unggulan di perairan Provinsi Riau Besar biaya operasi masing-masing alat penangkapan ikan dalam satu trip di Kabupaten Bengkalis dan Kabupaten Indragiri Hilir Modal investasi pada masing-masing usaha perikanan tangkap unggulan di perairan Provinsi Riau

17 17 Analisis usaha perikanan tangkap unggulan di perairan Provinsi Riau Nilai kriteria investasi usaha tangkap unggulan di perairan Provinsi Riau Matriks keragaan aspek ekonomi dari teknologi penangkapan sumber daya di perairan Provinsi Riau Matriks keragaan aspek sosial dari teknologi penangkapan unggulan di perairan Provinsi Riau Matriks keragaan aspek lingkungan dari teknologi penangkapan di perairan Provinsi Riau Jenis teknologi penangkapan pilihan di Provinsi Riau Alokasi optimum alat penangkapan sumber daya ikan unggulan Tipologi konflik perikanan tangkap di perairan Bengkalis berdasarkan pendekatan Charles (1992) Kronologi terjadinya konflik nelayan rawai dan nelayan jaring batu

18 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Kerangka pemikiran sistem pengembangan usaha perikanan tangkap di perairan Provinsi Riau Hubungan komponen-komponen dalam suatu kompleks penangkapan ikan (Monintja 2001 modifikasi dari Kesteven 1973)... 3 Peta lokasi pelaksanaan penelitian di Kabupaten Bengkalis dan Kabupaten Indragiri Hilir... 4 Tahapan penelitian sistem pengembangan usaha perikanan tangkap di perairan Provinsi Riau... 5 Diagram alir seleksi teknologi penangkapan pilihan... 6 Kecenderungan produksi perikanan tangkap di Provinsi Riau tahun Kontribusi produksi perikanan tangkap menurut wilayah perairan dan kabupaten/kota di Provinsi Riau tahun Kecenderungan jumlah armada perikanan tangkap di Provinsi Riau tahun Distribusi jumlah armada perikanan tangkap menurut wilayah perairan dan kabupaten/kota di Provinsi Riau tahun Kecenderungan rataan tingkat produktivitas armada perikanan tangkap di Provinsi Riau tahun Kecenderungan jumlah alat penangkapan ikan di Provinsi Riau tahun Distribusi jumlah alat penangkap ikan menurut wilayah perairan dan kabupaten/kota di Provinsi Riau tahun Kecenderungan jumlah nelayan di Provinsi Riau tahun Kecenderungan rataan nilai produktivitas nelayan di Provinsi Riau tahun Peta Wilayah Administrasi Kabupaten Bengkalis Kecenderungan produksi perikanan tangkap di Selat Malaka Kabupaten Bengkalis tahun Kecenderungan produksi perikanan demersal di Selat Malaka Kabupaten Bengkalis tahun Kecenderungan produksi perikanan pelagis di Selat Malaka Kabupaten Bengkalis tahun Kecenderungan jumlah alat penangkapan ikan (laut) di Selat Malaka

19 Kabupaten Bengkalis tahun Peta Wilayah Administrasi Kabupaten Indragiri Hilir Kecenderungan produksi perikanan Laut Cina Selatan Kabupaten Indragiri Hilir tahun Kecenderungan produksi perikanan demersal Laut Cina Selatan perairan Indragiri Hilir tahun Kecenderungan produksi perikanan pelagis Laut Cina Selatan perairan Indragiri Hilir tahun Aktivitas penangkapan rawai Alat tangkap jaring batu Pengoperasian alat tangkap gillnet Lokasi penelitian konflik pemanfaatan sumber daya ikan di Perairan Bengkalis Grafik penahapan terjadinya konflik antara nelayan rawai dengan nelayan jaring batu Wilayah konflik dan pusat konflik antara nelayan rawai dengan nelayan jaring batu di perairan Bengkalis Upaya penangkapan alat tangkap jaring batu dan rawai Produktivitas penangkapan alat tangkap rawai dan jaring batu Peta konflik para stakeholder dalam pemanfaatan sumber daya di perairan Bengkalis Peta konflik nelayan di perairan Bengkalis pada saat krisis Segitiga SPK (Sikap-Perilaku-Konteks) nelayan rawai di Kecamatan Bantan terhadap nelayan jaring batu Segitiga SPK (Sikap-Perilaku-Konteks) nelayan jaring batu terhadap nelayan rawai di Kecamatan Bantan Analisis analogi Bawang Bombay konflik nelayan rawai Kecamatan Bantan dengan nelayan jaring batu Upaya penanganan konflik oleh nelayan rawai Kecamatan Bantan perairan Bengkalis Pola pengembangan usaha perikanan tangkap berbasis resolusi konflik di perairan Bengkalis Provinsi Riau Perikanan sebagai sebuah sistem (Charles 2001) Sistem pengembangan usaha perikanan tangkap berbasis resolusi konflik (SIPUTREFIK)

20 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Gambar alat tangkap jaring insang (gillnet)... 2 Gambar alat tangkap rawai (longline)... 3 Gambar alat tangkap jaring udang (shrimp net)... 4 Gambar alat tangkap jaring batu (bottom drift gillnet)... 5 Hasil analisis usaha alat tangkap jaring insang... 6 Hasil analisis usaha alat tangkap jaring batu... 7 Hasil analisis usaha alat tangkap jaring udang... 8 Hasil analisis usaha alat tangkap rawai... 9 Hasil pengoperasian LINDO untuk perairan Kabupaten Bengkalis Hasil pengoperasian LINDO untuk perairan Kabupaten Indragiri Hilir Lembar kesepakatan Hasil kesepakatan nelayan Bantan dan jaring batu Pernyataan sikap nelayan Kecamatan Bantan SK Bupati Bengkalis tentang pelarangan jaring batu Peta pengoperasian jaring batu di perairan Kecamatan Bantan Keputusan Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Riau tentang pengaturan operasional jaring batu Peta kawasan konflik di perairan Kecamatan Bantan Ikan kurau (Eleutheronema tetradactylum) Ikan malung (Muraenenson cinereus) Ikan bawal putih (Pampus argenteus) Udang mantis (Uratos guilla nepa sp)

21 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Konteks pembangunan perikanan berkelanjutan menurut Charles (1992) dan Charles (2001) adalah keberlanjutan yang dilihat secara lengkap, tidak sekedar tingkat pemanfaatan perikanan tangkap atau biomass, tetapi aspek-aspek lain perikanan, seperti ekosistem, struktur sosial dan ekonomi, komunitas nelayan dan pengelolaan kelembagaannya. Dengan demikian keberlanjutan perikanan tangkap harus dilihat dari empat aspek keberlanjutan, yaitu aspek keberlanjutan ekologi (memelihara keberlanjutan stok/biomass dan meningkatkan kapasitas dan kualitas ekosistem), keberlanjutan sosio-ekonomi (kesejahteraan pelaku perikanan pada tingkat individu), keberlanjutan komunitas (keberlanjutan kesejateraan komunitas) dan keberlanjutan kelembagaan (pemeliharaan aspek finansial dan administrasi yang sehat). Kegiatan perikanan yang hanya mengutamakan salah satu aspek dan mengabaikan aspek lainnya, akan menimbulkan ketimpangan dan mengakibatkan ketidakberlanjutan perikanan itu sendiri. Provinsi Riau merupakan salah satu daerah di Indonesia yang memiliki potensi sumber daya ikan cukup besar. Provinsi ini memiliki dua perairan utama yaitu perairan Laut Cina Selatan dan perairan Selat Malaka. Potensi perikanan yang tersedia di Laut Cina Selatan sebesar ton/tahun dengan potensi lestari ton dan tingkat pemanfaatannya ,3 ton, sedangkan untuk Selat Malaka sebesar ton/tahun dengan potensi lestari sebesar ton dan tingkat pemanfaatannya sebesar ,1 ton (BAPPEDA Provinsi Riau 2007). Ketersediaan sumber daya ikan di Selat Malaka, termasuk wilayah perairan Bengkalis, diperkirakan sudah menipis akibat upaya penangkapan ikan yang berlebih. Ikan yang semestinya belum boleh ditangkap karena masih terlalu kecil, ikut tertangkap. Akibatnya, jumlah ikan terus menurun dan terancam punah karena penangkapan ikan sudah melebihi batas. Tingginya jumlah nelayan di Selat Malaka dalam memanfaatkan sumberdaya ikan yang terbatas, telah menyebabkan wilayah ini menjadi kawasan yang rawan konflik. Aktivitas perikanan tangkap di perairan Selat Malaka khususnya di perairan Bengkalis diduga sudah atau hampir jenuh, yang diindikasikan dengan adanya gejala

22 overfishing dan timbulnya konflik dalam pemanfaatan sumber daya ikan tertentu, sehingga diperkirakan tidak memungkinkan lagi untuk dikembangkan. Perairan Laut Cina Selatan yang merupakan bagian dari Kabupaten Indragiri Hilir, terdapat kondisi yang berbeda, aktivitas perikanan tangkapnya masih rendah dengan aktivitas armada penangkapan dan jumlah hasil tangkapan ikan yang relatif sedikit, sehingga diperkirakan tingkat pemanfaatannya masih dibawah potensi lestarinya atau underfishing. BAPPEDA Provinsi Riau ( 2007) menyatakan bahwa perairan Laut Cina Selatan masih memiliki potensi atau peluang yang cukup besar untuk dikembangkan. Namun demikian, untuk mengembangkan potensi sumber daya ikan di perairan ini harus dilakukan secara hati-hati dan benar, agar tidak menimbulkan berbagai permasalahan seperti yang kini banyak terjadi di perairan lainnya, termasuk di provinsi ini. Pengembangan usaha perikanan tangkap yang baik dan ideal dapat dilakukan dengan memperhatikan kemampuan daya dukung dan kebutuhan optimal dari setiap komponennya. Pengembangan usaha perikanan tangkap di perairan Provinsi Riau yang dilakukan secara optimal, harus mengacu pada suatu pola yang tepat, jelas dan komprehensif yang dapat merancang suatu sistem pengembangan usaha perikanan tangkap yang optimal. Upaya pengendalian dan penataan kembali aktivitas usaha perikanan tangkap di Provinsi Riau terutamanya setelah terjadinya pemekaran wilayah dan adanya konflik pemanfaatan sumber daya ikan perlu dilakukan dengan menyusun suatu sistem usaha perikanan tangkap unggulan berbasis resolusi konflik. 1.2 Perumusan Masalah Usaha perikanan tangkap di Provinsi Riau dilakukan oleh nelayan di sepanjang pesisir Selat Malaka Kabupaten Bengkalis, Kabupaten Rokan Hilir dan Kota Dumai, sedangkan untuk Laut Cina Selatan dilakukan oleh nelayan di sepanjang pesisir Kabupaten Indragiri Hilir dan Kabupaten Pelalawan. Usaha perikanan di Provinsi Riau masih didominasi oleh perikanan tangkap skala kecil yang memerlukan pengelolaan yang komprehensif agar kegiatan perikanan dapat berkelanjutan. Kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan berlangsung di sekitar pantai dengan jangkauan daerah penangkapan yang masih terbatas. 2

23 Pemekaran wilayah yang terjadi pada tahun 2004, yaitu berpisahnya Kepulauan Riau, memberikan dampak terhadap penurunan produksi perikanan tangkap di provinsi ini. Tahun 2000, produksi perikanan Provinsi Riau mencapai ton yang berasal dari sektor penangkapan dan budidaya perikanan, sedangkan pada tahun 2003 terjadi peningkatan sebesar ,2 ton atau sebesar 20.08%. Produksi perikanan Provinsi Riau tahun 2003 adalah sebesar ,3 ton tetapi sejak berpisahnya Kepulauan Riau, produksi perikanan di provinsi ini menurun sebesar 89,71%, yaitu sebesar ,6 ton, terutama untuk penangkapan laut menurun sebesar 82,21%, yaitu sebesar ,7 ton (DPK Provinsi Riau 2004). Tetapi hingga saat ini belum dilakukan upaya untuk meningkatkan kembali produksi perikanan tersebut. Perairan Selat Malaka telah terjadi penangkapan ikan yang berlebih yaitu sebesar 113,64% (DPK Provinsi Riau 2007). Kondisi ini menyebabkan timbulnya konflik pemanfaatan terhadap sumber daya ikan yang ada di perairan ini. Konflik pemanfaatan yang terjadi di Selat Malaka perairan Bengkalis merupakan suatu keadaan yang membutuhkan adanya upaya penyelesaian yang lebih serius dari berbagai pihak yang terlibat dalam pemanfaatan sumber daya ikan. Kondisi yang tidak kondusif untuk melakukan aktivitas penangkapan telah mengakibatkan kerugian, tidak saja di pihak nelayan, pengusaha perikanan dan juga pemerintah. Resolusi konflik yang sesuai akan memberikan kontribusi yang signifikan terhadap perencanaan pengembangan usaha perikanan tangkap, karena tanpa perencanaan pengembangan yang tepat maka konflik dapat menghambat partisipasi masyarakat dan berpengaruh terhadap produktivitas nelayan. Menyadari pentingnya mengetahui sifat konflik perikanan tangkap, guna memberikan resolusi optimum, baik konflik yang sedang terjadi maupun yang mungkin terjadi, diperlukan identifikasi tentang tipologi konflik, faktor-faktor penyebab konflik dan kelembagaan yang menangani konflik. Hal ini perlu dilakukan untuk menyusun resolusi konflik perikanan tangkap yang efektif. Perairan lain yang relatif dekat, yaitu perairan Laut Cina Selatan, jumlah aktivitas perikanan tangkapnya relatif masih rendah yaitu 60,03%, karena jumlah nelayan yang masih sedikit dan sebagian besar ukuran armadanya relatif kecil dengan tingkat teknologi penangkapan yang sederhana. Padahal, perairan Laut 3

24 Cina Selatan sangat berpotensi karena memiliki sumber daya ikan yang besar, selain memiliki wilayah perairan yang sangat luas, juga merupakan perairan laut dalam. Melihat kondisi ini, dapat diindikasikan bahwa tingkat pemanfaatan sumber daya ikan di wilayah perairan ini berada di bawah potensi lestarinya atau under fishing, sehingga diestimasi masih memiliki peluang pengembangan yang besar (DPK Provinsi Riau 2007). Kondisi yang kontradiktif dalam sub-sektor perikanan tangkap di Provinsi Riau, yakni: (1) peluang pengembangan produksi perikanan tangkap di Selat Malaka sangat terbatas, sehingga sulit diharapkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat nelayan, hal ini disebabkan oleh adanya gejala overfishing, jumlah nelayan yang tinggi, serta potensi konflik yang tinggi, dan (2) sumber daya ikan di Laut Cina Selatan belum dimanfaatkan secara optimal, namun penuh dengan tantangan dan kendala di bidang prasarana dan sarana, kemampuan nelayan dan armada penangkapan ikan. Mengatasi permasalahan ketidakseimbangan tersebut, dapat dilakukan dengan mengendalikan atau membatasi kegiatan perikanan tangkap di Selat Malaka dan mengembangkan subsektor perikanan tangkap di Laut Cina Selatan. Namun, pengembangan usaha perikanan tangkap ini harus dilakukan secara terencana dan komprehensif yang memperhatikan segala daya dukung atau kapasitas faktor yang terlibat, agar kegiatan perikanan tangkap dapat berjalan efisien, efektif dan berkelanjutan yang sesuai dengan prinsip-prinsip pengelolaan perikanan yang bertanggung jawab. Pengembangan usaha perikanan tangkap di perairan Provinsi Riau, tentu akan menghadapi beberapa kendala atau permasalahan utama yang perlu dianalisis dan dijawab. Secara spesifik, permasalahan pokok dalam mengembangkan perikanan tangkap di Perairan Provinsi Riau dapat dirumuskan sejumlah pertanyaan, yaitu: (1) Usaha perikanan tangkap apa yang sesuai untuk dikembangkan pasca pemekaran Kepulauan Riau untuk meningkatkan produksi perikanan tangkap di Provinsi Riau? (2) Faktor apa saja yang dapat menimbulkan konflik dalam pengembangan usaha perikanan tangkap? 4

25 (3) Komponen apa saja yang menjadi penggerak utama dalam sistem pengembangan usaha perikanan tangkap dan berapa kapasitas atau daya dukung optimalnya? (4) Bagaimana pola usaha perikanan tangkap yang optimal dan komprehensif berbasis resolusi konflik? Permasalahan mendasar yang berkaitan dengan pengembangan usaha perikanan tangkap adalah belum adanya cara pandang yang komprehensif dari seluruh stakeholder tentang keadaan perikanan sebagai suatu sistem. Sistem ini menyangkut permasalahan keadaan nelayan, produktivitas penangkapan, tingkat pendapatan, ketersediaan sumber daya ikan dan kegiatan pengelolaan perikanan tangkap. Permasalahan tersebut dapat dikelompokkan menjadi lima aspek besar yaitu aspek pasar, teknis, ekonomi, sosial dan keramahan lingkungan. Adanya koflik yang terjadi di perairan Provinsi Riau memerlukan suatu upaya yang lebih serius dalam pengembangan usaha perikanan tangkap. Oleh karena itu, penulis merasa sangat penting untuk melakukan penelitian tentang sistem pengembangan usaha perikanan tangkap di Provinsi Riau berbasis resolusi konflik sebagai upaya meningkatkan produktivitas daerah dan pendapatan nelayan secara berkelanjutan dan berkesinambungan. 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menyusun sistem pengembangan usaha perikanan tangkap di Provinsi Riau yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam perencanaan pembangunan perikanan tangkap setelah mengalami pemekaran wilayah administrasi. Untuk mencapai tujuan umum tersebut, secara lebih spesifik tujuan khusus penelitian ini adalah : (1) Menentukan usaha perikanan tangkap unggulan yang layak dikembangkan. (2) Mengidentifikasi faktor-faktor yang dapat menimbulkan konflik dalam pengembangan usaha perikanan tangkap (3) Mengidentifikasi komponen yang berperan sebagai basis pengembangan usaha perikanan tangkap (4) Menyusun pola pengembangan usaha perikanan tangkap berbasis resolusi konflik 5

26 1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini secara umum bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dalam upaya pengembangan usaha perikanan tangkap, baik untuk praktisi, perguruan tinggi, para pengambil kebijakan (pemerintah) baik di tingkat pusat maupun daerah serta pihak lainnya. Secara khusus, penelitian ini sangat bermanfaat dalam rangka penyusunan sistem pengembangan usaha perikanan tangkap dan dapat dijadikankan sebagai strategi lokal dalam pengembangan usaha perikanan tangkap bagi wilayah lain yang mengalami pemekaran wilayah administrasi dan konflik pemanfaatan sumber daya ikan. 1.5 Kerangka Pikir Penelitian Pengembangan usaha perikanan tangkap tidak dapat dipisahkan dari daya dukung (carrying capacity) komponen yang menyusun perikanan tangkap. Daya dukung sumber daya perikanan tangkap merupakan faktor yang penting diperhatikan karena sumber daya perikanan tangkap sangat rentan terhadap perubahan. Khususnya sumber daya ikan, karena merupakan sumber daya hayati yang dipengaruhi oleh perubahan yang terjadi di dalam maupun di luar ekosistem banyak dipengaruhi oleh perubahan-perubahan eksternal dan internal. Permasalahan yang ada di perairan Provinsi Riau, khususnya di Selat Malaka perairan Bengkalis, antara lain potensi ikan sudah menipis akibat upaya penangkapan ikan yang berlebih (overfishing). Terbatasnya sumber daya ikan akibat jumlah ikan terus menurun dan terancam punah karena penangkapan ikan sudah melebihi batas. Di samping itu, tingginya jumlah nelayan untuk memanfaatkan sumber daya ikan yang terbatas telah menyebabkan perairan Selat Malaka menjadi kawasan yang rawan konflik. Di sisi lain pada kawasan Laut Cina Selatan termasuk Kabupaten Indragiri Hilir yang berbatasan langsung dengan samudera, jumlah tangkapan ikan masih di bawah potensi sebenarnya (under fishing). Langkah pemikiran dalam mengembangkan usaha perikanan tangkap berkaitan dengan permasalahan tersebut, dengan melakukan pemilihan sumber daya ikan unggulan berdasarkan aspek pasar. Analisis potensi lestari sumber daya ikan unggulan dilakukan untuk melihat sejauh mana kemampuan sumber daya ikan unggulan dapat dimanfaatkan tiap tahunnya tanpa mengganggu kelestarian 6

27 sumber daya ikan tersebut. Analisis potensi lestari sumber daya ikan unggulan dilakukan dengan menggunakan surplus production model. Agar pengembangan usaha perikanan tangkap dapat dilakukan secara optimal dan berkelanjutan, maka perlu menentukan jenis teknologi penangkapan yang layak untuk dikembangkan berdasarkan aspek teknis, ekonomi, sosial dan keramahanlingkungan. Pemilihan teknologi penangkapan ini dilakukan dengan menggunakan metode skoring dengan fungsi nilai. Alokasi terhadap upaya penangkapan (unit) terpilih yang optimal bertujuan untuk melakukan pembatasan dan pembagian secara proporsional terhadap pemanfaatan sumber daya ikan sehingga kegiatan usaha perikanan tangkap di Provinsi Riau dapat berjalan dengan efisien, lestari dan berkelanjutan serta untuk pengambilan keputusan dalam pola pengembangan usaha perikanan tangkap di perairan Provinsi Riau. Analisis ini menggunakan pendekatan linear goal programming (LGP). Resolusi konflik yang akan dikembangkan dalam penelitian ini dengan mengidentifikasi terlebih dahulu terhadap tipologi konflik berdasarkan Charles (1992), teknik resolusi konflik dengan melakukan penahapan konflik, urutan kejadian konflik, pemetaan konflik, segitiga S-P-K, analogy bawang bombay dan pola penanganan konflik berdasarkan Fisher et al. (2000). Hal ini perlu dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor penyebab munculnya konflik di perairan Bengkalis yang terjadi hampir lebih dari 30 tahun. Usaha perikanan tangkap di Provinsi Riau yang masih memiliki peluang dalam pengembangan dan merupakan salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) harus dilakukan dengan menyeimbangkan antara pasar dan kemampuan produksi sumber daya ikan dan pada akhirnya perikanan tangkap yang berkelanjutan dapat tercapai. Pencapaian keseimbangan antara kedua komponen tersebut harus dilakukan dalam berbagai tahapan penelitian agar penetapan kriteria pengembangan usaha perikanan tangkap di perairan Provinsi Riau dapat tepat sasaran dan tepat guna sesuai dengan potensi sumber daya perikanan tangkap yang terdapat di Provinsi Riau. Tahapan kajian sistem pengembangan usaha perikanan tangkap disajikan pada Gambar 1. 7

28 Gambar 1 Kerangka pemikiran sistem pengembangan usaha perikanan tangkap di perairan Provinsi Riau 8

29 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengembangan Usaha Perikanan Tangkap Hermawan (2006) menyatakan bahwa perikanan tangkap adalah suatu kegiatan yang sangat bergantung pada ketersediaan dan daya dukung sumber daya ikan dan lingkungannya. Pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan yang tepat dan baik dengan mempertimbangkan kelestarian dan keberlanjutan akan mampu meningkatkan pertumbuhan industri perikanan yang sehat. Tujuan pengembangan perikanan tangkap adalah: (1) meningkatkan pendapatan nelayan; (2) menjaga kelestarian sumber daya ikan dan lingkungannya; dan (3) meningkatkan kontribusi perikanan tangkap terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Sasaran pengembangan perikanan tangkap meliputi: (1) peningkatan produksi perikanan tangkap; (2) volume dan nilai ekspor hasil perikanan tangkap; (3) pengembangan armada penangkapan ikan; (4) penyediaan ikan untuk konsumsi dalam negeri; (5) penyediaan lapangan kerja atau penyerapan tenaga kerja/nelayan; dan (6) peningkatan PNBP (DJPT-DKP 2004). Monintja (1987) menyatakan bahwa apabila pengembangan perikanan di suatu wilayah perairan ditekankan pada perluasan tenaga kerja, maka teknologi yang perlu dikembangkan adalah jenis unit penangkapan yang dapat menyerap tenaga kerja banyak dengan pendapatan per nelayan memadai. Dalam kaitannya dengan penyediaan protein untuk masyarakat Indonesia, maka dipilih unit penangkapan ikan yang memiliki produktivitas nelayan per tahun yang tinggi, namun masih dapat dipertanggungjawabkan secara biologis dan ekonomis. Kesteven (1973) menyatakan bahwa pengembangan usaha perikanan haruslah ditinjau dengan pendekatan bio-technico-socio-economic. Hal ini berarti bahwa pengembangan suatu alat tangkap dalam usaha perikanan harus mempertimbangkan hal-hal tersebut Monintja (1997) menyatakan bahwa perlu ada pertimbangan dalam pemilihan suatu teknologi yang tepat untuk diterapkan dalam pengembangan usaha perikanan dengan kriteria usaha perikanan yang berkelanjutan adalah : (1) Menerapkan teknologi penangkapan ikan yang ramah lingkungan

30 (2) Jumlah hasil tangkapan tidak melebihi jumlah tangkapan yang diperbolehkan (3) Investasi rendah (4) Penggunaan bahan bakar minyak rendah (5) Memenuhi ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku 2.2 Pemasaran Hasil Perikanan Pemasaran merupakan keragaan dari seluruh kegiatan bisnis yang mengalirkan produk dari pusat produksi sampai ke konsumen akhir. Dalam penyaluran barang tersebut melibatkan beberapa lembaga pemasaran yang membentuk berbagai saluran pemasaran dengan struktur pasar yang berbeda-beda. Pemasaran secara umum merupakan proses manajerial dengan mana individu dan kelompok mendapatkan apa yang dibutuhkan dan diinginkan melalui penciptaan, penawaran dan pertukaran produk-produk yang bernilai (Kotler 1993). Batasan ini mempunyai arti yang begitu luas mencakup berbagai konsep inti seperti penentuan kebutuhan dan keinginan pasar sasaran dan pada pemberian kepuasan yang diinginkan dengan lebih efektif dan efisien daripada para pesaing. Pemasaran menurut Saefuddin dan Hanafiah (1986) adalah suatu kegiatan yang bertalian dengan penciptaan atau penambahan kegunaan barang dan jasa. Kegiatan yang diciptakan oleh kegiatan pemasaran adalah kegunaan tempat, waktu dan kepemilikan. Asosiasi Pemasaran Amerika yang diacu oleh Musselman dan John (1991) mengemukakan istilah pemasaran (marketing) sebagai pelaksanaan dari kegiatan usaha yang mengarahkan arus barang dan jasa dari produsen ke konsumen atau pemakai. Definisi ini menunjukkan bahwa pemasaran itu meliputi kegiatankegiatan seperti melakukan perdagangan (merchandising), promosi (promotion), penentuan harga (pricing), penjualan (selling), dan transportasi (transportation). Kinnear dan Taylor (1991) menjelaskan bahwa pemasaran tidak sama dengan kegiatan penjualan. Kegiatan pemasaran mencakup strategi-strategi, langkah-langkah yang diambil oleh perusahaan agar produknya dapat bersaing di pasaran. Pengertian bersaing adalah mendapat tempat di hati konsumen, sehingga mencapai market share yang maksimum, sesuai dengan porsi volume yang dapat dihasilkan. Pemasaran merupakan bagian yang cukup penting dalam memacu 10

31 produksi dan menunjang suksesnya usaha perikanan melalui pemenuhan kebutuhan ikan, baik untuk pasaran domestik maupun ekspor dengan harga layak di tingkat nelayan/petani. Disamping itu, mengupayakan perluasan jangkauan pasar, promosi, penyediaan informasi pasar dan peningkatan pengetahuan petani ikan/pengolahan/nelayan/pedagang dalam memproduksi selalu berorientasi pada permintaan pasar. Saefuddin dan Hanafiah (1986) menyatakan bahwa masalah pemasaran juga merupakan bagian yang sangat penting bagi usaha penangkapan ikan, berkaitan dengan sifat ikan itu sendiri yang mudah mengalami proses pembusukan (perishable food). Untuk menjaga tingkat kesegaran ikan yang dihasilkan oleh nelayan agar sampai pada tingkat konsumen dengan kualitas mutu yang baik, maka prinsip-prinsip dasar penanganan ikan dengan mata rantai dingin (cold chain) mutlak diperlukan dengan dukungan prasarana yang memadai kepada nelayan. Barang-barang perikanan mempunyai ciri-ciri yang dapat mempengaruhi atau menimbulkan masalah dalam tataniaganya (pemasaran). Ciri-ciri yang dimaksud antara lain adalah sebagai berikut : (1) Produknya musiman, berlangsung dalam skala kecil (small scale) dan di daerah terpencar-pencar serta spesialisasai (2) Konsumsi hasil perikanan berupa bahan makanan relatif stabil sepanjang tahun (3) Barang hasil perikanan berupa bahan makanan mempunyai sifat cepat atau mudah rusak (highly perishable). (4) Jumlah atau kualitas dapat berubah-ubah. Kotler (1993) menyatakan bahwa pemasaran dapat dilihat sebagai sejumlah langkah-langkah, tahap atau fungsi yang perlu dibentuk karena adanya penyaluran input atau output mulai dari produksi awal sampai konsumen akhir. Fungsi-fungsi ini meliputi : 1) pembelian, 2) penjualan, 3) penyimpanan, 4) transportasi, 5) pengolahan, 6) standardisasi, 7) pembiayaan, 8) penanggungan resiko, dan 9) informasi pasar. Johnson et al. (1989) menjelaskan lebih lanjut bahwa fungsi-fungsi pemasaran tersebut dilakukan oleh lembaga perantara di dalam suatu saluran pemasaran. Saluran pemasaran atau saluran distribusi adalah saluran yang 11

32 digunakan produsen untuk menyalurkan produknya ke konsumen. Beberapa faktor penting yang harus dipertimbangkan bila hendak memilih pola saluran pemasaran : (1) Pertimbangan pasar, yang meliputi konsumen sasaran akhir, potensial pembeli, geografi pasar, kebiasaan pembeli dan volume pesanan. (2) Pertimbangan barang meliputi nilai barang permintaan besar dan berat barang, kerusakan, sifat teknis barang dan apakah barang tersebut memenuhi pesanan atau pasar. (3) Pertimbangan intern perusahaan meliputi sumber permodalan, kemampuan dan pengalaman penyaluran dan pelayanan. (4) Pertimbangan tahunan lembaga perantara meliputi segi kemampuan lembaga perantara dan kesesuaian lembaga perantara dengan kebijakan perusahaan. 2.3 Sistem Perikanan Tangkap Kesteven (1973) menyatakan bahwa perikanan tangkap merupakan satuan yang bertujuan untuk memanfaatkan sumber daya hayati perairan guna kesejahteraan manusia melalui usaha penangkapan maupun pengumpulan. Satuan ini terdiri dari dua bagian besar, yaitu sumber daya hayati perairan yang dimanfaatkan dan sarana prasarana yang digunakan untuk memanfaatkan sumber daya hayati perairan, mengolah dan memasarkan kepada konsumen. Antara kedua bagian terbesar tersebut terdapat saling ketergantungan dan interaksi yang teratur. Adanya interaksi ini maka perikanan tangkap dapat diidentifikasi sebagai suatu sistem. Saling terkait dan bersinergi satu sama lain yang pada akhirnya akan memacu kegiatan usaha penangkapan ikan di suatu kawasan perairan. Pada akhirnya pengembangan usaha penangkapan ikan di suatu kawasan akan mendorong sektor-sektor lain sehingga kesejahteraan masyarakat akan meningkat, sebagai hasil dari roda ekonomi yang berjalan dengan lancar. Dengan demikian secara makro akan mempengaruhi peningkatan pembangunan ekonomi secara keseluruhan. Lebih jelasnya disajikan pada Tabel 1. Kesteven (1973) mengemukakan karakteristik khusus dalam sistem perikanan tangkap yaitu : (1) Invisible : Sumber daya ikan yang tidak terlihat 12

33 (2) Common property : bahwa sumber daya tersebut merupakan milik bersama (3) High risk : usahanya memiliki resiko yang tinggi, dan (4) Highly perishable : produk yang mudah rusak/membusuk. Tabel 1 Deskripsi sistem perikanan tangkap menurut Kesteven (1973) No SISTEM PERIKANAN TANGKAP 1 SUMBER DAYA HAYATI PERAIRAN 1 Taksonomi 2 Lokasi geografis 3 Lokasi ekologis 4 Kelimpahan dan Penyebaran sumber daya 5 Struktur Populasi sumber daya 2 SATUAN PENANGKAP DAN ARMADA PERIKANAN 1 Jenis satuan penangkap - Kapal dan alat penangkapan: jenis dan jumlah - Tenaga kerja: jumlah setiap satuan penangkapan, jumlah keseluruhan, kategori (tetap, sambilan, musiman) 2 Kapasitas tangkap dari satuan penangkapan dan keseluruhan armada penangkapan 3 Hasil tangkap persatuan upaya (catch per unit effort) pada setiap jenis satuan penangkap 4 Operasi penangkapan o Deskripsi operasi penangkapan o Lamanya trip penangkapan pada setiap jenis alat tangkap dan jumlah trip penangkapan dalam satu musim penangkapan 3 DAERAH PENANGKAPAN IKAN 1 Lokasi penangkapan tiap jenis satuan penangkapan 2 Musim penangkapan 3 Pangkalan/Pelabuhan perikanan tempat pendaratan 4 Peraturan perundang-undang perikanan 4 LEMBAGA USAHA PRODUSEN 1 Organisasi usaha nelayan, koperasi 2 Sistem pengelolaan lembaga usaha nelayan 3 Distribusi hasil tangkap 5 HASIL TANGKAP 1 Produksi, volume, nilai 2 Komposisi jenis ikan, ukuran, umur dan kategori lain 3 Hasil tangkapan persatuan luas daerah penangkapan ikan 6 PENGOLAHAN 1 Lokasi satuan pengolahan, jenisnya, kapasitas dan produksi tiap jenis satuan pengolahan 2 Proses dan produk pengolahan 3 Organisasi dan peralatan industri pengolahan 4 Tenaga kerja 13

34 Tabel 1 (lanjutan) No SISTEM PERIKANAN TANGKAP 7 DISTRIBUSI 1 Fasilitas penyimpanan/gudang 2 Fasilitas pengangkutan 3 Saluran distribusi 4 Tenaga kerja 8 PEMASARAN 1 Analisis pasar internal - Analisis supply - Analisis demand 2 Analisis pasar eksternal - Analisis supply - Analisis demand 9 INFRASTRUKTUR DAN PEMANFAATANNYA 1 Pengangkutan: jalan, kereta api, angkutan udara maupun laut 2 Telekomunikasi 3 Fasilitas air tawar 4 Listrik 10 JASA PRODUKSI INDUSTRI DAN PEMANFAATANNYA 1 Pabrik es 2 Industri penghasil alat-alat pendingin 3 Galangan kapal 4 Industri penghasil alat tangkap 5 Industri penghasil alat-alat pengolahan 6 Ketersediaan suku cafang dan fasilitas perbaikan 7 Asuransi 11 KEUANGAN 1 Permodalan : sumber dan biaya 2 Perbankan Biaya: operasi penangkapanm asuransi, penyusutan 12 DIAGNOSA 1 Indikator fisik tentang efisiensi operasi penangkapan 2 Evaluasi nutrisi, pemanfaatan hasil tangkap, tingkat konsumsi 3 Penilaian moneter 4 Evaluasi terhadap investasi 5 Anbalisis benefit-cost sosial Sistem tersebut akan membentuk saling ketergantungan dalam usaha perikanan tangkap atau bisnis perikanan tangkap, dimana sekurang-kurangnya terdapat 6 subsistem yang sangat menonjol peranannya dalam pengembangan usaha penangkapan ikan di suatu kawasan perikanan laut. Keenam subsistem tersebut menurut Kesteven (1973) adalah sebagai berikut: (1) Subsistem sarana produksi (2) Subsistem usaha penangkapan 14

35 (3) Subsistem pengolahan hasil tangkapan (4) Subsistem pemasaran (5) Subsistem prasarana (6) Subsistem masyarakat Keenam sub sistem ini harus secara lengkap tersedia komponennya di suatu kawasan perikanan laut atau minimal dapat dijangkau dari kawasan tersebut dengan kemampuan yang serasi untuk menjamin aliran informasi dan aliran materinya. Untuk lebih jelasnya berikut ini dijelaskan peranan masing-masing sub sistem dalam pengembangan usaha penangkapan ikan (Kesteven 1973), yaitu : (1) Subsistem sarana produksi Pada sub sistem ini akan berperan dalam pengadaan dan penyaluran sarana produksi yang diperlukan atau memasok sarana-sarana produksi kedalam usaha penangkapan ikan antara lain; kapal, alat tangkap, bahan bakar minyak (BBM), tenaga kerja, alat-alat bantu penangkapan, penyediaan galangan kapal, pabrik alat tangkap, serta melakukan pendidikan dan latihan tenaga kerja yang dibutuhkan dalam setiap subsistem dan lain-lain. Keberadaan subsistem ini akan melancarkan kegiatan usaha penangkapan ikan. (2) Subsistem usaha penangkapan ikan Dalam sub sistem ini yang sangat menentukan adalah potensi sumber daya ikan yang terdapat dalam suatu perairan. Semakin melimpah suatu sumber daya ikan berarti semakin menjamin kelangsungan usaha penangkapan. Oleh sebab itu data yang akurat mengenai potensi sumber daya ikan di suatu kawasan perairan sangatlah penting, termasuk spesies, habitat dan musimnya. Ketersedian data ini akan meningkatkan efisiensi usaha penangkapan yang akan dikembangkan. Dalam subsistem ini, teknologi penangkapan ikan yang akan digunakan juga sangat menentukan. Teknologi penangkapan ikan yang akan dikembangkan sangat tergantung jenis sumber daya ikan apa yang tersedia pada suatu kawasan tersebut. Pada akhir-akhir ini tuntutan penggunaan teknologi penangkapan ikan ramah lingkungan menjadi suatu keharusan. Tujuan penangkapan ikan tidak lagi menangkap ikan sebanyak-banyaknya, tetapi penangkapan yang memperhatikan kaidah-kaidah konservasi sumber daya hayati laut menjadi suatu kebutuhan. 15

36 (3) Subsistem pengolahan hasil tangkapan Hasil tangkapan yang diperoleh tentu tidak semua dapat langsung dikonsumsi, karena konsumen berada di beberapa tempat. Untuk menjamin mutu hasil tangkapan ikan yang didaratkan maka perlu ada pengolahan, disini termasuk penanganan (handling), processing dan packaging. Pengembangan produk olahan yang kompetitif bekualitas standar sehingga dapat menarik konsumen. (4) Subsistem pemasaran Dalam subsistem ini akan melakukan distribusi, penjualan pada berbagai segmen pasar. Kalau dapat hasil tangkapan bukan hanya untuk kebutuhan domestik tetapi juga dapat memiliki akses ke pasar internasional. Oleh sebab itu informasi pasar sangat penting, selanjutnya dilakukan promosi pasar. Oleh sebab itu pengembangan pemasaran diawali dengan introduksi sistem pemasaran ikan segar, sehingga mendorong pengembangan ekspor ke luar negeri. Dengan demikian akan terkait dengan pembangunan beberapa sarana seperti cool room dan pabrik-pabrik es skala kecil di pasar-pasar umum serta di pelabuhan perikanan. (5) Subsistem prasarana Prasarana merupakan salah satu subsistem yang memegang peranan penting dalam pengembangan usaha penangkapan ikan dalam suatu kawasan perairan laut. Bebarapa prasarana yang penting artinya dalam memajukan usaha penangkapan adalah pelabuhan, pabrik es, penyediaan air bersih dan bahan bakar minyak. Pelabuhan perikanan berfungsi sebagai sarana penunjang untuk meningkatkan produksi perikanan. Fungsi tersebut meliputi berbagai macam aspek yakni sebagai pusat pengembangan masyarakat nelayan, tempat berlabuh kapal perikanan, tempat pendaratan hasil tangkapan, tempat untuk memperlancar kegiatan-kegiatan kapal perikanan, pusat pemasaran dan distribusi hasil tangkapan, serta pusat pelaksanan penyuluhan dan pengumpulan data. Penyediaan fasilitas pelabuhan perikanan harus disesuaikan dengan tingkat kemajuan perikanan pada kawasan perairan laut yang bersangkutan. Pembangunan pelabuhan perikanan di wilayah yang sudah berkembang, pemerintah cukup hanya melengkapi dengan fasilitas pokok dan beberapa fasilitas tambahan yang sangat diperlukan saja, sedangkan fasilitas fungsional diserahkan 16

37 kepada pihak swasta karena dapat dioperasionalkan secara komersial. Pembangunan pelabuhan perikanan di wilayah yang belum berkembang tetapi memiliki sumber daya perikanan yang sangat potensial maka sebagai daya tarik investor perlu dibangun pelabuhan perikanan secara integrated yaitu menyediakan seluruh fasilitas baik fasilitas pokok, fasilitas fungsional maupun fasilitas tambahan kemudian di kaitkan dengan industri perikanan. Prasarana ini akan memberikan dampak terhadap perkembangan usaha perikanan, karena pelabuhan perikanan akan mampu membantu usaha nelayan, pedagang ikan, pengolah hasil-hasil perikanan, pengusaha perikanan pada umumnya, untuk meningkatkan pendapatannya disatu pihak dan menghemat biaya usaha dipihak lain. Disamping itu sebagai penunjang pelaksanaan fungsifungsi pemerintahan, pelabuahan perikanan di satu pihak lebih bersifat sebagai prasarana sosial yang memungkinkan terselenggaranya pembinaan nelayan serta penyuluhan terhadap masyarakat perikanan, sedangkan di pihak lain pelabuhan perikanan merupakan terminal di mana fungsi-fungsi pengaturan dibidang perikanan dapat dilaksanakan dan ditegakkan. (6) Subsistem masyarakat Dalam subsistem ini masyarakat sebagai konsumen dari hasil tangkapan, pemilik modal, pengguna teknologi dan salah satu unsur pembina dalam sistem secara keseluruhan. Sebagai pemilik modal masyarakat akan membangun dan membuat sarana-sarana produksi yang dibutuhkan. Keenam komponen atau subsistem tersebut di atas saling terkait dan bersinergi satu sama lain yang pada akhirnya akan memacu kegiatan usaha penangkapan ikan disuatu kawasan perairan. Pada akhirnya pengembangan usaha penangkapan ikan di suatu kawasan akan mendorong sektor-sektor lain sehingga kesejahteraan masyarakat akan meningkat, sebagai hasil dari roda ekonomi yang berjalan dengan lancar. Dengan demikian secara makro akan mempengaruhi peningkatan pembangunan ekonomi secara keseluruhan. Secara diagramatis dan kaitan-kaitannya dengan subsistem lainnya dapat dilihat pada Gambar 2. 17

38 MASYARAKAT Membangun Membuat Menyelenggarakan Konsumen Modal Teknologi Pembinaan EKSPOR Transportasi Devisa SARANA PRODUKSI domestik dijual Galangan kapal Pabrik alat Diklat Tenaga Kerja membayar UNIT PEMASARAN Distribusi Penjualan Segmen pasar PROSES PRODUKSI UNIT PENANGKAPAN PRASARANA PELABUHAN produk dijual oleh Kapal Alat Nelayan menangkap diolah UNIT PENGOLAHAN ASPEK LEGAL sistem informasi hasil tangkapan didaratkan Handling Processing Packaging UNIT SUMBER DAYA Species Habitat Musim/lingkungan fisik Gambar 2 Hubungan komponen-komponen dalam suatu kompleks penangkapan ikan (Monintja 2001 modifikasi dari Kesteven 1973). Proses produksi penangkapan ikan di dalamnya terdapat komponenkomponen yang kompleks demi keberhasilan diantaranya perlu dilakukan analisis terhadap beberapa aspek penting diantaranya adalah sebagai berikut (Monintja 2001) : (1) Analisis aspek pemasaran meliputi : 1) Demand masa kini dan lampau (trend volume penjualan, harga dan pembeli) 2) Permintaan dan harga dimasa datang (pertumbuhan penduduk, pertumbuhan pendapatan, elastisitas pendapatan dan komunitas substitusi) 3) Persaingan pasar (lokal, nasional dan internasional) 4) Rencana kebijakan pemasaran 18

39 (2) Analisis sumber daya ikan (SDI) meliputi : 1) Deskripsi daerah penangkapan ikan 2) Estimasi hasil tangkapan maksimum lestari (MSY) 3) Hasil tangkapan spesies terkait selama 5 tahun sampai 10 tahun terakhir 4) Kecenderungan catch per unit effort 5) Distribusi (sebaran) ikan menurut daerah penangkapan dan musim 6) Mobilitas ikan (ruaya dan migrasi) 7) Karakteristik komersial dari ikan (ukuran) 8) Proyeksi hasil tangkapan tahunan dari proyek 9) Peluang pengembangan produksi (3) Analisis aspek teknis menyangkut operasi penangkapan ikan : 1) Kapal penangkapan ikan 2) Alat penangkapan ikan 3) Tenaga kerja / nelayan 4) Bahan untuk operasi penangkapan 5) Kondisi lingkungan fisik daerah penangkapan 6) Pola operasi (lama 1 trip, hari navigasi, hari operasi, hari darat/pelabuhan, hari dok, jumlah trip per tahun, variasi daerah penangkapan dan variasi musim) 7) Hasil tangkapan (komponen spesies, ukuran, kualitas, HT per hari, HT per trip, HT per tahun) 8) Penanganan hasil tangkapan di kapal 9) Pengangkutan hasil tangkapan ke pelabuhan 10) Fasilitas pendaratan ikan (4) Aspek organisasi dan manajemen meliputi : 1) Aspek legal perusahaan 2) Aspek legal proyek 3) Struktur organisasi yang ada 4) Rencana struktur organisasi proyek 5) Kaitan dengan perusahaan, instansi dan lembaga lain 6) Struktur manajemen per komponen 19

40 7) Uraian tugas setiap personel 8) Uraian tanggung jawab dan kewenangan 9) Pendapatan dan insentif karyawan / personel armada penangkapan ikan 10) Fasilitas dan kemudahan untuk para karyawan 11) Kualifikasi dan pengalaman personel yang ada 12) Kualifikasi dan sumber personel yang akan direkrut. (5) Analisis kepekaan 1) Penurunan produksi (5 25 %) tergantung pada pola musim ikan, kondisi fisik daerah penangkapan dan CPUE) 2) Penurunan harga produk (trend harga runtun tahun) Charles (2001), mengemukakan bahwa karateristik sistem perikanan dapat dibedakan dengan berbagai macam cara, yaitu : (1) Berdasarkan lingkup tata ruang, yang berhubungan dengan ukuran, kondisi geografis dan administratif, misalnya perikanan pantai, perikanan dengan batas provinsi atau negara dan organisasi perikanan regional atau antar negara. (2) Berdasarkan skala usaha, dibedakan perikanan skala kecil dan skala besar, bergantung pada teknologi, daerah penangkapan dan tujuan berproduksi. (3) Berdasarkan letak geografis, daerah tropis dan sub tropis (4) Berdasarkan ekosistem, seperti daerah upwelling, estuaria, terumbu karang (5) berdasarkan lingkungan fisik perairan, yaitu dasar perairan berkarang, teluk dan danau. (6) Berdasarkan kondisi alam dan tingkah laku pengguna sumber daya, apakah terorganisir atau tidak terorganisir, multi tujuan atau spesialisasi. (7) Berdasarkan lingkungan sosial ekonomi, seperti desa atau kota, daerah tertinggal atau maju, miskin atau sejahtera, ti8ngkat keterlibatan masyarakat dan lain-lain. 2.4 Unit Penangkapan Ikan Aktifitas dalam penangkapan ikan sarat dengan teknologi dengan kondisi yang penuh resiko bagi pelakunya. Teknologi penangkapan ikan dipengaruhi oleh faktor luar, seperti permintaan pasar sehingga menyebabkan sulit melakukan 20

41 kontrol terhadap perkembangan teknologi penangkapan. Efektifitas biaya dalam teknologi penangkapan telah menjadi perhatian sejak lama bagi industri perikanan untuk mendapatkan ikan tangkapan yang lebih besar jumlahnya dalam kondisi yang lebih aman dan rendah biaya, menangkap ikan pada fishing ground yang lebih jauh, menghasilkan produk yang lebih baik kualitasnya dengan harga yang lebih tinggi (Garcia et al. 1999). Upaya untuk mendapatkan teknologi penangkapan yang lebih baik, efektif dan efisien akan terus berlangsung mengingat permintaan pasar terhadap ikan akan terus meningkat sejalan dengan terus meningkatnya kebutuhan protein hewani oleh manusia yang dari tahun ke tahun terus bertambah jumlahnya Alat tangkap Pengetahuan mengenai alat tangkap yang sesuai dengan ikan yang menjadi tujuan operasi penangkapan sangat diperlukan agar operasi penangkapan dapat berjalan dengan efektif dan efisien. Pengembangan jenis teknologi di Indonesia diarahkan sesuai dengan ketentuan dalam UU No 31 Tahun 2004, tujuan pembangunan perikanan harus disepakati dengan syarat-syarat pengembangan teknologi yang dapat menyediakan kesempatan kerja, menjamin pendapatan nelayan, menjamin stok produksi, menghasilkan produksi yang bermutu dan tidak merusak lingkungan khususnya sumber daya ikan. Pengelompokan skala usaha perikanan, jenis alat tangkat pancing dan purse seine merupakan alat tangkap yang umum digunakan oleh rakyat yang skalanya sangat kecil, sarana dan prasarananyapun terbatas, hal ini disebabkan karena keterbatasan modal usaha. Kegiatannyapun bersifat tradisional hal ini akan berdampak pada rendahnya produksi sehingga akan mempengaruhi daya saing (Monintja 2001). Secara umum di Indonesia standar alat penangkap perikanan laut diklasifikasikan sebagai berikut (DJPT-DKP 2002) : (1) Pukat udang (shrimp net) (2) Pukat kantong (seine net) Payang (termasuk lampara) Dogol Pukat pantai 21

42 (3) Pukat cincin (purse seine) (4) Jaring insang (gillnet) (5) Jaring angkat (lift net) (6) Pancing (hook and lines) (7) Perangkap (traps) (8) Alat pengumpul kerang dan rumput (shell fish and seaweed collection) (9) Muro ami, dll (10) Alat Tangkap lainnya Widodo et al. (1998), mengklasifikasikan alat tangkap ikan berikut : (1) Pukat udang (shrimp net) (2) Pukat ikan (3) Pukat kantong (seine net) 1 Payang (termasuk lampara) 2 Dogol 3 Pukat pantai (4) Pukat cincin (purse seine) (5) Jaring insang (gillnet) 1 Jaring insang hanyut 2 Jaring insang lingkar 3 Jaring insang tetap 4 Trammel net (6) Jaring angkat (lift net) 1 Bagan perahu/rakit 2 Bagan tancap (termasuk kelong) 3 Serok 4 Jaring insang lainnya (7) Pancing (hook and lines) 1 Rawai tuna 2 Rawai hanyut lainnya selain rawai tuna 3 Rawai tetap 4 Huhate (pole and line) sebagai 22

43 5 Pancing lain selain huhate 6 Pancing tonda (8) Perangkap (traps) 1 Sero 2 Jermal 3 Bubu 4 Perangkap lainnya (9) Muro ami dan lain-lain (jala, tombak, dan lain-lain) Kapal perikanan Secara umum di Indonesia perahu atau kapal penangkap diklasifikasikan sebagai berikut (DJPT- DKP 2002) : (1) Perahu tidak bermotor 1) Jukung 2) Perahu papan 1 Kecil (perahu yang terbesar panjangnya kurang dari 7 m) 2 Sedang ( perahu yang terbesar panjangnya dari 7 sampai 10 m) 3 Besar (perahu yang terbesar panjangnya 10 m atau lebih) (2) Perahu motor tempel (3) Kapal motor 1) Kurang dari 5 GT 2) 5 10 GT 3) GT 4) GT 5) GT 6) GT 7) GT 8) 200 GT keatas Tipe kapal ikan secara umum terdiri dari dua (2) kelompok tipe, yakni : (1) kelompok tipe kapal ikan yang menggunakan alat penangkap pancing dan (2) kelompok tipe kapal ikan yang menggunakan alat tangkap jaring/net (Andarto dan Sutedjo 1993). FAO (1999) mengklasifikasian perikanan yang selektif bagi beberapa negara menggolongkan perikanan di Indonesia pada dua (2) katagori 23

44 yaitu : perikanan skala kecil (menggunakan mesin luar sebesar < 10 HP atau < 5 GT dan daerah operasinya pada zona I atau jalur 1 (4 mil dari garis pantai) dan yang menggunakan mesin luar sebesar < 50 HP atau < 25 GT dengan jalur operasinya pada zona II atau jalur 2 (4 mil 8 mil) sedangkan perikanan skala besar merupakan perikanan industri yang menggunakan mesin dalam dengan kekuatan < 200 HP atau 100 GT dan jalur operasinya pada jalur 3 dan 4 (8 mil - 12 mil dan atau > 12 mil). Soekarsono (1995) mengklasifikasikan kapal menurut fungsinya diantaranya kapal perikanan terdiri dari kapal tonda (troller), kapal rawai dasar (bottom longliner), kapal rawai tuna (tuna longliner), kapal pukat cincin (purse seiner), kapal jaring insang (gillnetter), kapal bubu (pot fishing vessel), kapal pukat udang (shrimp trawler), kapal set net, kapal pengangkut ikan dan jenis kapal lainnya Nelayan Nelayan sebagai tenaga kerja pada perahu/kapal penangkapan merupakan orang yang terlibat langsung dalam kegiatan penangkapan, sehingga termasuk salah satu faktor penting dalam menentukan keberhasilan suatu operasi penangkapan. Nelayan adalah orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam operasi penangkapan ikan/binatang air lainnya. Ahli mesin dan juru masak yang bekerja diatas kapal penangkapan dikatagorikan nelayan yang walaupun tidak melakukan aktivitas menangkap (DJPT-DKP 2002). Selanjutnya dalam Undang-Undang no. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan mendefinisikan nelayan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan. Undang-Undang No 9 Tahun 1985 mendefinisikan alat penangkap ikan sebagai sarana dan perlengkapan atau bendabenda lainnya yang dipergunakan untuk menangkap ikan, dengan melihat dan menyimak definisi yang ada maka dapat disimpulkan bahwa armada perikanan tangkap merupakan kumpulan atau sekelompok unit penangkapan ikan yang melakukan kegiatan operasi penangkapan ikan pada suatu perairan bersamasama. Secara resmi di Indonesia nelayan diklasifikasikan sebagai berikut (DJPT- DKP 2002) : 24

45 (1) Nelayan penuh, yaitu nelayan yang seluruh waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan/binatang air lainnya. (2) Nelayan sambilan, yaitu nelayan yang sebagian besar waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan/binatang air lainnya. (3) Nelayan sambilan tambahan, nelayan yang sebagian kecil waktunya digunakan untuk melakukan pekerjaan penangkapan ikan/binatang air lainnya. Profil nelayan tradisional walaupun pada umumnya cukup terampil menggunakan peralatan yang dimilikinya dengan sarana penangkapan ikan dan kemampuan yang sangat terbatas dan seringkali sulit untuk ditingkatkan ke arah yang lebih modern. Posisi ekonomi nelayan yang sangat rendah diakibatkan karena modal terbatas, produktivitas yang rendah dengan hasil tangkapan ikan yang tidak menentu sebagai akibat pengaruh musim, juga dengan jaminan pemasaran ikan yang tidak menentu karena masih terdapatnya berbagai kendala dalam penentuan harga jual pada tingkat nelayan. Hal lain yang juga menarik adalah kondisi psikologis dan sosologis masyarakat nelayan, umumnya berada dalam lingkungan hidup sosial yang cenderung tidak memikirkan hari depannya, dan karenanya kurang kesadaran untuk menyimpan sebagian pendapatan yang diperolehnya terutama pada saat musim ikan (DJPT DKP 2003). 2.5 Analisis Konflik Pengertian konflik Keberadaan sumber daya alam sebagai suatu sistem tidak terlepas dari satu faktor penting yaitu ruang tempat sistem sumber daya alam tersebut bekerja. Karena ruang merupakan sumber daya yang tak terbatas maka perbedaan kepentingan (conflict interests) akan banyak dijumpai dalam ruang tempat manusia hidup (Gunawan 2002). Selanjutnya dikatakan bahwa pengertian konflik sendiri harus dipahami sebagai suatu kondisi negatif yang terjadi karena adanya paling tidak satu kepentingan yang tidak terpenuhi di dalam bentang ruang yang menjadi perhatian kita. Pengertian konflik dalam pemanfaatan sumber daya alam, biasanya dikaitkan dengan ketidak-setaraan distribusi akses terhadap sumber daya dari berbagai pengguna 25

46 (Gorre 1999). Terminologi konflik sendiri membawa pengertian dasar adanya perbedaan persepsi tentang kondisi ideal yang diinginkan oleh lebih dari satu pihak. Gunawan (2002) menyatakan bahwa konflik adalah suatu hal yang terjadi saat dua orang atau lebih berinteraksi dalam suatu peristiwa atau keadaan yang sama namun mereka melihat peristiwa/keadaan ini secara berbeda. Fisher et al. (2000), menyatakan bahwa konflik merupakan hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki, atau yang merasa memiliki sasaran-sasaran yang tidak sejalan. Konflik timbul karena ketidakseimbangan antara hubungan-hubungan, antar pribadi hingga tingkat kelompok, organisasi, masyarakat dan negara. Konflik dapat terjadi pada semua bentuk hubungan manusia (sosial, ekonomi dan kekuasaan) dan mengalami pertumbuhan dan perubahan. Konflik dapat timbul berdasarkan perikatan ataupun di luar perikatan. Konflik yang berasal dari perikatan timbul apabila salah satu pihak dalam perjanjian melakukan wanprestasi/mengingkari isi perjanjian Faktor-faktor pendorong terjadinya konflik Fisher et al. (2000) membagi faktor penyebab konflik kedalam enam faktor utama, sebagai berikut: 1) konflik disebabkan oleh polarisasi yang terus terjadi, ketidakpercayaan dan permusuhan di antara kelompok yang berbeda dalam suatu masyarakat; 2) konflik disebabkan oleh posisi-posisi yang tidak selaras dan perbedaan pandangan tentang konflik oleh pihak-pihak yang mengalami konflik; 3) konflik yang disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia (fisik, mental, dan sosial) yang tidak terpenuhi atau dihalangi; 4) konflik disebabkan identitas terancam, yang sering berakar pada hilangnya sesuatu atau penderitaan di masa lalu yang tidak diselesaikan; 5) konflik disebabkan oleh ketidakcocokan dalam cara-cara komunikasi di antara berbagai budaya yang berbeda; dan 6) konflik disebabkan oleh masalah-masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang muncul sebagai masalah-masalah sosial, budaya dan ekonomi. Moore (1990) yang diacu Firdaus (2005), membagi lima kategori yang menjadi faktor-faktor pendorong terjadinya konflik yaitu: (1) Relationship problems, yang terdiri dari: 1) Strong emotions; kecenderungan tingginya emosi yang dimiliki oleh masing-masing pihak; 2) Misperceptions or stereotypes; adanya ketidak sesuaian persepsi diantara 26

47 para pihak atau sudah adanya prasangka-prasangka berdasarkan stereotype; 3) Poor communication or miscommunication; hubungan komunikasi yang tidak komunikatif dalam arti tidak fokus dan tidak mudah dimengerti atau dipahami; 4) Repetitive negative behaviour; tingkah laku negatif yang dilakukan para pihak secara berulangkali. (2) Data problems, yang terdiri atas: 1) Lack of information or misinformation; sedikit atau bahkan tidak dimilikinya data atau informasi yang cukup dan akurat dari para pihak; 2) Different views on what is relevant; adanya perbedaan pemahaman dan pandangan atas suatu yang dianggap relevan atau tidak relevan untuk dikaitkan dalam suatu permasalahan; 3) Different interprestations of data; adanya perbedaan dalam menafsirkan informasi yang dimiliki oleh para pihak; 4) Different assessment procedures; digunakannya prosedur atau tata cara yang berbeda didalam pemilihan atau pengambilan data/informasi. (3) Interest conflict, dalam hal ini menurut Moore dapat juga digunakan pendekatan triangle of satisfaction, terdiri dari: 1) Perceived or actual competition over substantive (content) interest; adanya perasaan atau persaingan diantara para pihak dalam kepentingan yang bersifat subtansi; 2) Procedure interest; kepentingan-kepentingan yang lebih bersifat prosedur atau tata cara; 3) Psychological interest; kepentingan-kepentingan yang lebih bersifat psikologis. (4) Structural prablems, terdiri dari: 1) Destructive patterns of behaviour or interaction; adanya pola-pola perilaku yang cenderung bersifat negatif atau bahkan bersifat destruktif; 2) Unequal control, ownership, or distribution of resources; ketidak seimbangan dalam kontrol, kepemilikan atau pembagian sumber daya yang ada; 3) Unequal power and authority; ketidak seimbangan kekuatan dan wewenang; 4) Geographical, physical or enveronmental factor that hinder cooperation; faktor-faktor yang menghambat kerjasama para pihak dalam mengefektifkan proses perundingan, seperti masalah geografis, fisik ataupun lingkungan; 5) Time constrain; adanya keterbatasan waktu. (5) Value problems, yang terdiri atas; 1) Different criteria for evaluating ideas or behaviour; adaya perbedaan kriteria dalam melakukan evaluasi ide-ide atau perilaku diantra para pihak; 2) Exlusive intrinsically valuable goals; adanya tujuan ekslusif/khusus yang hanya dipahami oleh pihak yang bersangkutan; 27

48 3) Different ways of life, ideology, or religion; adanya perbedaan pandangan hidup, idiologi ataupun agama/kepercayaan diantara para pihak Jenis-jenis konflik nelayan Satria (2006) yang diacu oleh Satria (2009) mengidentifikasi paling tidak terdapat tujuh macam konflik nelayan berdasarkan faktor penyebabnya, yaitu : (1) Konflik kelas, yaitu konflik yangn terjadi akibat perbedaan kelas sosial nelayan dalam memperebutkan wilayan penangkapan (fishing ground), yang digambarkan dengan kesenjangan teknologi penangkapan ikan. Nelayan tradisional merasakan ketidakadilan dalam pemanfaatan sumber daya ikan akibat perbedaan teknologi penguasaan kapital, seperti konflik yang terjadi akibat beroperasinya kapal trawl pada perairan pesisir yang sebenarnya merupakan wilayah penangkapan nelayan tradisional. (2) Konflik kepemilikan sumber daya, merupakan konflik yang terjadi dalam isu ikan milik siapa atau laut milik siapa, terjadi antara kelas nelayan ataupun interkelas nelayan. Bahkan, bisa juga terjadi antara nelayan dan pihak non-nelayan, seperti antara nelayan dan para pelaku usaha lain, seperti akuakultur, wisata bahari, pertambangan dan dengan pemerintah sendiri. (3) Konflik pengelolaan sumber daya, merupakan konflik yang disebabkan oleh pelanggaran aturan pengelolaan baik yang terjadi antar nelayan maupun antara nelayan dengan pemerintah. Dalam konteks ini, isu yan mencuat adalah siapa yang berhak mengelola sumber daya ikan atau sumber daya laut. Misalnya, terjadinya pelanggaran penangkapan ikan di daerah yang mempunyai aturan lokal. (4) Konflik cara produksi atau alat tangkap, merupakan konflik yang terjadi akibat perbedaan alat tangkap, baik sesama alat tangkap tradisional maupun antara alat tangkap tradisional dengan alat tangkap modern yang merugikan salah satu pihak. (5) Konflik lingkungan, merupakan konflik yang terjadi akibat kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh praktik salah satu pihak yang merugikan nelayan. Konflik ini terjadi antara nelayan yang ramah lingkungan dengan nelayan yang tidak ramah lingkungan, seperti penggunaan alat tangkap terlarang, trawl, bom/dinamit dan potasium. 28

49 (6) Konflik usaha merupakan konflik yang terjadi di darat akibat mekanisme harga atau sistem bagi hasil yang merugikan sekelompok nelayan. Konflik mekanisme harga terjadi antara nelayan dan pengolah ikan dan pedagang ikan, atau antar nelayan. (7) Konflik primordial, merupakan konflik yang terjadi akibat perbedaan identitas, seperti etnik, asal daerah, dan seterusnya. Akan tetapi, yang patut dicatat adalah konflik primordial tidak pernah berdiri sendiri atau menjadi penyebab utama dalam suatu konflik, melainkan konflik pelengkap atau bahkan dikambinghitamkan Penahapan konflik Konflik berubah setiap saat, melalui berbagai tahap aktivitas, intensitas, ketegangan dan kekerasan yang berbeda. Secara umum, analisis dasar tahapan konflik terdiri dari lima tahap, meskipun terdapat variasi-variasi dalam situasi khusus dan mungkin berulang dalam siklus yang sama. Tahap-tahap ini menurut Fisher et al. (2000) adalah : (1) Prakonflik : ini merupakan periode dimana terdapat sesuatu ketidak sesuaian sasaran diantara dua pihak atau lebih, sehingga timbul konflik. Konflik terjadi dari pada pandangan umum, meskipun satu pihak atau lebih mungkin mengetahui potensi terjadinya konfrontasi. Mungkin terdapat ketegangan hubungan diantara beberapa pihak dan atau keinginan untuk menghindari kontak antara satu sama lain pada tahap ini. (2) Konfrontasi : Pada tahap ini konflik menjadi semakin terbuka. Jika hanya satu pihak yang merasa ada masalah, maka mungkin para pendukungnya mulai melakukan aksi demonstrasi ataupun perilaku konfrontatif lainnya. Kadang pertikaian atau kekerasan pada tingkat rendah lainnya terjadi diantara kedua pihak. Masing-masing pihak mungkin mengumpulkan sumber daya dan kekuatan dan mungkin mencari sekutu dengan harapan dapat meningkatkan konfrontasi dan kekerasan. Hubungan diantara kedua pihak menjadi sangat tegang, mengarah kepada polarisasi diantara kedua pendukung dimasing-masing pihak. (3) Krisis : Ini merupakan puncak konflik, ketika ketegangan dan atau kekerasan terjadi paling hebat. Dalam konflik skala besar, ini merupakan 29

50 periode perang ketika orang-orang dari kedua pihak terdapat korban harta maupun nyawa. Komunikasi normal di antara kedua pihak kemungkinan terputus. Pernyataan-pernyataan umum cenderung menuduh dan menentang pihak(-pihak) lain. (4) Akibat : Suatu krisis pasti akan menimbulkan suatu akibat. Satu pihak mungkin menaklukkan pihak lain atau melakukan gencatan senjata (jika perang terjadi). Satu pihak mungkin menyerah atas desakan pihak lain. Kedua pihak mungkin setuju bernegosiasi, dengan atau tanpa bantuan perantara. Suatu pihak yang mempunyai otoritas atau pihak ketiga lainnya yang lebih berkuasa mungkin memaksa kedua pihak menghentikan pertikaian. Apapun keadaannya tingkat ketegangan, konfrontasi dan kekerasan pada tingkat ini agak menurun, dengan kemungkinan adanya penyelesaian. (5) Pascakonflik : Akhirnya situasi diselesaikan dengan cara mengakhiri berbagai konfrontasi kekerasan, ketegangan berkurang dan hubungan mengarah ke lebih normal diantara kedua pihak. Namun, jika isu-isu dan masalah-masalah yang timbul karena sasaran mereka yang saling bertentangan tidak diatasi dengan baik, tahapan ini sering kembali lagi menjadi situasi prakonflik. 2.6 Pengelolaan Konflik Perikanan Tangkap Sumber daya kelautan, merupakan salah satu aset pembangunan Indonesia yang penting, karena kontribusi produk domestik bruto pemanfaatan sumber daya kelautan tersebut telah mencapai 22% pada tahun 1990 (Dahuri et al. 1996). Sementara sumber daya darat seperti hutan dan lahan semakin terbatas akibat alih fungsi, eksploitasi yang berlebihan, dan kebakaran hutan. Ginting (2001) mengatakan dalam pengelolaan sumber daya kelautan, sering muncul konflik antara berbagai pihak yang berkepentingan, khususnya di wilayah pesisir yang pembangunannya pesat. Wilayah pesisir, di mana sumber daya darat dan laut bertemu, memiliki sumber daya yang sangat kaya, sehingga banyak pihak yang mempunyai kepentingan untuk memanfaatkannya. Konflik dapat juga muncul karena adanya kesenjangan antara tujuan, sasaran, perencanaan, dan fungsi antara berbagai pihak terkait. Konflik seperti ini adalah 30

51 konflik yang dipicu oleh adanya tumpang tindih perencanaan dan kompetisi pemanfaatan sumber daya. Akar permasalahan konflik ini sering berasosiasi dengan faktor sosial-ekonomi-budaya dan bio-fisik yang mempengaruhi kondisi lingkungan pesisir. Konflik tersebut, baik langsung maupun tidak langsung dapat menyebabkan pihak-pihak yang bertikai, terutama mengurangi minat penduduk dan pemerintah daerah setempat untuk melestarikannya, dan membiarkan kerusakan sumber daya kelautan berlangsung hingga mencapai tingkat yang mengkhawatirkan, karena tidak ada insentif bagi mereka untuk melestarikannya. Fenomena konflik tersebut sebenarnya sudah lama ada, tetapi makin lama makin banyak jumlahnya dan makin besar skala konfliknya. Konflik pemanfaatan sumber daya kelautan dan jasa lingkungan muncul di Teluk Jakarta, di Banyuwangi dan di Kepulauan Natuna. Konflik antara pengelola pariwisata dan pengelola kawasan konservasi laut. Konflik antara nelayan tradisional dengan nelayan komersial, sehingga terjadi pembakaran kapal nelayan di Sumatera Utara (Ginting 2001). Fenomena konflik yang sama juga terjadi terhadap sumber daya perikanan di perairan Propinsi Riau, khususnya di Kecamatan Bantan Kabupaten Bengkalis (Suara Pembaharuan 2004). Konflik pemanfaatan timbul karena beberapa pengguna sumber daya berkompetisi untuk menggunakan sumber daya yang sama dalam ruang laut yang sama, dan menerapkan kegiatan-kegiatan yang memanfaatkan sumber daya tersebut yang tidak sesuai satu dengan yang lain (Dahuri et al. 1996). Wujud konflik antar nelayan juga di timbulkan oleh adanya perbedaan nilai, kepentingan dan konflik di kalangan mereka yang menganggotai kelas yang sama (Hasan 1974). Kusnadi (2002) mengungkap beberapa kasus konflik antar kelompok masyarakat nelayan di sepanjang pesisir Utara Jawa Timur yaitu kasus di perairan Bangkalan Utara Madura; perairan Sidoharjo, perairan Probolinggo dan Pasuruan; serta perairan Paciran Lamongan. Dijelaskan, berdasarkan data pada kasus-kasus di atas, dapat diidentifikasi tentang keadaan sumber daya perikanan di perairan pesisir Utara Jawa Timur dan faktor-faktor lain yang telah memicu terjadinya konflik dikalangan masyarakat nelayan. Secara umum, keadaan sumber daya di suatu kawasan dipengaruhi oleh enam faktor utama, yaitu pranata-pranata 31

52 pengelolaan sumber daya lokal; konteks sosial budaya; kebijakan negara; variabel-variabel teknologi; tingkat tekanan pasar; dan tekanan penduduk. Intensitas konflik akan ditentukan oleh tingkat perbedaan teknologi penangkapan yang digunakan nelayan, keterbatasan teritorial distribusi spesies tersebut, dan jumlah nelayan yang memperebutkannya. Otonomi daerah bagi sebagian kalangan nelayan telah ditafsirkan sebagai gejala pengkavlingan laut yang berarti bahwa suatu komunitas nelayan berhak atas wilayah laut tertentu yang memang dalam batas kewenangan daerah-baik dalam pengertian property rights (hak kepemilikan) maupun economic rights (hak pemanfaatan). Ternyata penafsiran itu mengakibatkan terjadinya konflik antar nelayan, seperti antara nelayan Pekalongan dan nelayan Masalembo pada awal tahun 2000 (Satria et al. 2002). Konflik diantara pengguna pada kawasan pesisir dapat muncul karena beberapa alasan. Mc Kean (1992) yang diacu Lasut and Kumurur (2001) menjelaskan berbagai macam alasan yang menyebabkan munculnya konflik diantara pengguna sumber daya di kawasan pesisir dan pantai, yaitu: 1) Perebutan lahan (budidaya dan penangkapan); 2) Kompetisi untuk sumber daya yang sama, seperti perikanan komersial dan perikanan wisata memerebutkan spesies yang sama; 3) Efek negatif dalam penggunaan pelabuhan terhadap ekosistem lainnya, seperti pengaruh pembangunan minyak lepas pantai terhadap konsentrasi dan reproduksi ikan atau; 4) Kompetisi diantara pengguna untuk lahan atau fasilitas yang sama. Perkembangan selanjutnya adalah konflik-konflik nelayan yang sering terjadi di daerah ini di era otonomi sering digenerelisasi sebagai konflik identitas. Dengan dalih ini, beberapa kalangan masyarakat menilai bahwa otonomi daerah dalam bidang kelautan dan perikanan sebaiknya tidak diberlakukan. Dengan kata lain, secara yuridis sebagian kalangan masyarakat tersebut menuntut agar pasalpasal yang mengatur kewenangan daerah dalam wilayah laut dicabut, yaitu pasal 3 dan 10 dalam UU 22/1999. Meski demikian, jika dicermati lebih seksama, upaya generalisasi konflik-konflik nelayan sebagai konflik identitas akibat diterapkannya otonomi daerah adalah kurang tepat. Hal ini karena sebenarnya 32

53 dunia nelayan adalah dunia konflik dan konflik yang sering terjadi selama ini cenderung sebagai konflik kelas dan bukan konflik identitas (Satria et al. 2002). 2.7 Pengelolaan Perikanan Tangkap Terdapat beberapa pola yang telah dikembangkan dalam pengelolaan perikanan tangkap. Charles (2001) menyatakan bahwa konsep perikanan tangkap yang berkelanjutan mencakup aspek ekologi, teknologi, ekonomi, sosial dan etika kelembagaan sebagai pengelola dan pengawasan pemanfaatan sumber daya secara keseluruhan. Keterpaduan aspek-aspek pengelolaan tersebut dapat menggambarkan keberlanjutan perikanan, karena aspek-aspek tersebut telah mencakup semua aspek keberlanjutan perikanan sekaligus tolok ukur pembangunan berkelanjutan. Secara spesifik pola pengembangan perikanan tangkap telah dilakukan oleh beberapa peneliti; Sutisna pada tahun 2007 melakukan kajian tentang model pengembangan perikanan tangkap di pantai Selatan Jawa Barat yang berbasis pada sumber daya ikan unggulan dan teknologi penangkapan ikan pilihan. Irham pada tahun 2009 dengan kajian pola pengembangan berkelanjutan sumber daya ikan layang (Decapterus spp) di perairan Maluku Utara yang berbasis pada keberlanjutan sumber daya ikan layang dengan penekanan pada aspek biologi. Muamaya pada tahun 2007 dengan kajian penelaahan perikanan pukat cincin dan status keberlanjutannya di daerah Kota Manado menggunakan pemodelan umpan balik sistematis yang berbasis kelestarian lingkungan ditinjau dari beberapa aspek. Namun hingga saat ini belum ditemukan adanya pengembangan usaha perikanan tangkap berbasis pada pengelolaan konflik. Khususnya di Provinsi Riau penelitian yang berkaitan dengan pengembangan usaha perikanan tangkap berbasis pengelolaan konflik belum pernah dilakukan. 2.8 Kelembagaan dan Kebijakan Pengembangan Perikanan Tangkap Kelembagaan perikanan tangkap Lembaga adalah lembaga-lembaga, baik lembaga pemerintah maupun nonpemerintah, baik lembaga departemen maupun non departemen, baik lembaga di pusat maupun di daerah, yang memperoleh mandat dari hukum untuk memanfaatkan dan atau mengelola sumber daya perikanan laut secara terpadu. 33

54 Keterpaduan ini mensyaratkan bahwa setiap lembaga menyadari batas-batas mandatnya dan memahami kebijaksanaan dan peraturan dari lembaga-lembaga terkait lainnya. Persyaratan keterpaduan ini memudahkan setiap lembaga saling mengkoordinasi dan kerjasama satu sama lain untuk meminimalkan konflik kepentingan antar lembaga. Kaitannya dengan pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan, hukum pengelolaannya meliputi semua peraturan perundangundangan yang dikeluarkan secara resmi oleh lembaga-lembaga pemerintah untuk mengatur hubungan antara manusia dengan sumber daya wilayah pesisir dan laut (Purwaka 2003). Kelembagaan kelautan dan perikanan di Indonesia meliputi kelembagaan pemerintah, swasta dan masyarakat, baik ditingkat pusat, provinsi, kabupaten maupun kota. Kelembagaan pemerintah berfungsi sebagai fasilisator, regulator dan dinamisator dalam pembangunan kelautan dan perikanan. Fungsi-fungsi tersebut dijalankan dalam rangka implementasi Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 dibidang kelautan dan perikanan. Lembaga yang bertanggung jawab atas pembangunan sektor kelautan dan perikanan adalah Departemen Kelautan dengan seluruh jajarannya sampai ke tingkat pemerintahan terendah. Namun keberadaannya, juga memerlukann dukungan yang kuat dan baik dari semua lembaga pemerintahan yang terkait, seperti : Kementerian Perhubungan, Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pertahanan dan Keamanan, Kementerian Koperasi dan Pengusaha Kecil serta Kementerian lain yang terkait. Selain lembaga formal di pemerintahan, juga terdapat beberapa lembaga informal seperti perkoperasian nelayan, lembaga-lembaga swadaya masyarakat, organisasi-organisasi nelayan dan pengusaha perikanan seperti Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI), Masyarakat Perikanan Nusantara (MPN), juga memiliki peranan penting terhadap pembangunan perikanan laut secara menyeluruh (Purwaka 2003). Purwaka (2003) menyatakan bahwa dalam pengelolaan sumber daya perikanan tangkap terdapat berbagai kelembagaan pemerintah yang terlibat, karena sifatnya yang multi sektoral dan multi dimensional. Kelembagaankelembagaan tersebut melakukan kegiatan sesuai dengan mandat hukum masingmasing tetapi belum terkoordinasi dengan baik, sehingga pembangunan yang 34

55 dilaksanakan bersifat parsial dan seringkali menimbulkan eksternalitas negatif antara satu dengan lainnya. Kelembagaan kelautan dan perikanan akan kuat dan tangguh, mantap dan tidak goyah apabila dalam pembangunan ada kejelasan tujuan yang ingin dicapai, hal ini akan berpengaruh terhadap kinerja pembangunan kelautan dan perikanan, yang tercermin dalam tata kelembagaan (institutional arrangement) dan kerangka kerja/mekanisme kelembagaannya (institutional framework). Di sisi lain kelembagaan kelautan dan perikanan harus fleksibel dalam mengikuti dinamika pembangunan kelautan dan perikanan yang saat ini dapat dikembangkan berdasarkan suatu disain kelembagaan yang mampu mengoptimalkan peran sektor kelautan dan perikanan. Suatu bentuk kelembagaan yang efektif dan efisien akan mendatangkan suatu keberhasilan dalam industri penangkapan ikan. Bentuk kerjasama antara pemerintah, masyarakat dan swasta akan mampu mengoperasikan kegiatan penangkapan dengan optimal. Pengelolaan yang baik menurut Purwaka, (2003) melakukan pendekatan Triangle Integrated yakni Resources based (RB), Comunity based Management (CBR) dan Market Based (MB) ketiga pendekatan ini harus utuh sehingga interaksi antara hukum dan kelembagaan dapat berjalan dengan baik. Kelembagaan di pandang dari prespektif ekonomi maka kelembagaan akan beroperasi dalam level makro dan mikro (Purwaka 2003) Kebijakan pengembangan perikanan tangkap Kebijakan berasal dari kata policy yang berupa aturan main atau set of rule of law. Kebijakan yang dibuat oleh pemerintah sekalipun pemerintah misalnya tidak membuat kebijakan namun pemerintah mempunyai peranan untuk meligitimasinya. Kebijakan dapat berupa formal law (positive law) dan informal law (written). Kebijakan dapat ditingkatkan dan di sempurnakan dengan melakukan berbagai analisis kebijakan. Terdapat tujuh variasi kegiatan analisis kebijakan ini sekaligus menggambarkan ruang lingkup (scope) analisis kebijakan (Hogwood and Dunn 1986) yakni : (1) Studi-studi isi kebijakan ( studies of policy content). Maksud studi ini adalah menggambarkan dan menjelaskan asal mula serta perkembangan kebijakan. (2) Studi-studi tentang proses kebijakan, yang lebih mengutarakan tahap-tahap yang harus dilalui oleh isu kebijakan pemerintah sebelumnya dengan 35

56 menilai pengaruh dari usaha-usaha yang dilakukan dari berbagai faktor terhadap perkembangan isu. (3) Studi mengenai out kebijakan (studies of policy output) pada umumnya menjelaskan tingkat pengeluaran biaya yang berbeda dari setiap daerah. (4) Studi-studi evaluasi (evaluation studies) batas-batas antara analisis kebijakan, untuk melihat dampak dari suatu kebijakan terhadap kelompok sasaran. (5) Informasi untuk pembuatan kebijakan (information for policy making) maksudnya penyusunan dan pengumpulan data guna membantu pembuatan kebijakan dan pengambilan keputusan. (6) Proses nasehat (process advocacy), yakni proses penasehatan yang tercermin dalam pelbagai upaya yang dilakukan untuk menyempurnakan mesin pemerintahan melalui relokasi tupoksi guna menetapkan landasan pemilihan kebijakan. (7) Nasehat kebijakan (policy advocacy) kegiatan yang melibatkan analis dalam pemilihan alternatif yang terdesak dalam proses kebijakan baik secara perorangan maupun kelompok/kerjasama. Kebijakan merupakan suatu bentuk keputusan pemerintah atau lembaga yang dibuat agar dapat memecahkan suatu masalah untuk mewujudkan suatu keinginan rakyat, suatu kebijakan mampu mempengaruhi keikutsertaan masyarakat dan kehidupan masyarakat yang secara keseluruhan dipengaruhi oleh proses kebijakan, mulai dari perumusan, pelaksanaan hingga berakhir dengan penilaian kebijakan (Abidin 2004). Tara (2001) yang diacu Jusuf (2005) mengatakan bahwa pengembangan diartikan sebagai suatu upaya untuk selalu maju dalam memperbaiki kehidupan masyarakat. Kemajuan akan dicapai apabila kondisi ekonomi berubah/meningkat pertumbuhan ekonomi berkaitan erat dengan mekanisme ekonomi, sosial dan institusional, baik swasta maupun pemerintah untuk dapat menciptakan perbaikan taraf hidup masyarakat dengan luas dan cepat. Mengingat kegiatan pemanfaatan sumber daya (produksi) ikan terkait dengan kelestarian sumber daya perikanan, maka semua kebijakan yang diterapkan mempertimbangkan keberadaan sumber daya dalam jangka waktu 36

57 yang relatif lama. Ketentuan Umum Undang-Undang No. 9 Tahun 1985 tentang perikanan, bahwa pengelolaan sumber daya perikanan adalah semua upaya termasuk kebijakan dan non-kebijakan yang bertujuan agar sumber daya itu dapat dimanfaatkan secara optimal dan berlangsung secara terus-menerus. Undang- Undang No. 22 Tahun 1999, membuka peluang yang lebih besar bagi daerah (kabupaten dan kota), guna mengoptimalkan pengelolaan kawasan pesisir dan laut secara sinergis, mengatur memanfaatkan dan mengoptimalkan potensi sumber daya alam bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan tetap menjamin fungsi keseimbangan lingkungan. Dalam konteks pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan oleh daerah memang terdapat keuntungan, tetapi juga sekaligus menjadi beban dan tanggungjawab daerah dalam pengendalian dan pengelolaannya. Pembatasan tekonologi alat tangkap, pembatasan jumlah effort dan pengendalian daerah penangkapan ikan merupakan pengendalian secara biologi. Pengendalian secara ekonomi menggunakan peubah ekonomi sebagai instrumen pengendalian upaya penangkapan ikan. Peubah ekonomi yang relevan dalam menunjang pemanfaatan sumber daya perikanan yang optimal meliputi : harga ikan, subsidi BBM, pajak dan biaya izin penangkapan ikan (Nikijuluw 2002), pengembangan alternatif lapangan kerja nelayan, pemberian kredit, pengembangan prasarana pelabuhan perikanan, peningkatan keterampilan nelayan dan pengembangan agribisnis perikanan. Jentoft (1989) yang diacu oleh Nikijuluw (2002) menyatakan bahwa pemerintah ikut mengelola sumber daya perikanan karena alasan efisiensi, keadilan dan administrasi. Disisi lain partisipasi masyarakat dapat mempengaruhi seluruh proses kebijakan mulai dari perumusan, pelaksanaan dan penilaian kebijakan. 37

58 3 METODOLOGI UMUM 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di perairan Provinsi Riau pada 2 (dua) kabupaten yang memiliki potensi perikanan tangkap untuk dikembangkan, yaitu Kabupaten Bengkalis dan Kabupaten Indragiri Hilir (Gambar 3). Lokasi penelitian ditentukan secara sengaja (purposive) pada dua kabupaten tersebut. Penelitian dilaksanakan dalam kurun waktu selama lebih kurang 8 bulan yaitu dari bulan Maret-Oktober E E E S S N N N Lokasi Penelitian : Kabupaten Bengkalis Kabupaten Indragiri Hilir E Kabupaten Bengkalis Kabupaten Indragiri Hilir E E S S N N N Gambar 3 Peta Lokasi Pelaksanaan Penelitian di Kabupaten Bengkalis dan Kabupaten Indragiri Hilir Provinsi Riau 3.2 Alat dan Bahan Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner sebagai pedoman pengumpulan data, alat tulis, tape recorder sebagai alat perekam

59 pada saat wawancara langsung dengan para responden, kamera digital untuk dokumentasi penelitian, hand GPS dan seperangkat komputer untuk rekapitulasi dan analisis data. 3.3 Metode Pengumpulan Data Penelitian ini dilaksanakan dengan metode survei terhadap obyek nelayan sebagai pelaku utama dalam usaha perikanan tangkap. Pengumpulan data dilakukan melalui observasi langsung ke lokasi penelitian. Data primer diperoleh melalui pengukuran dan pengamatan langsung terhadap unit usaha perikanan tangkap serta kegiatan wawancara dengan menggunakan kuesioner yang telah disusun sesuai dengan kebutuhan analisis dan tujuan penelitian. Data sekunder yang diperlukan adalah data produksi, upaya dan nilai produksi diperoleh dari Buku Statistik Tahunan DPK Provinsi Riau dari tahun Diagram alir penelitian sistem pengembangan usaha perikanan tangkap di perairan Provinsi Riau disajikan pada Gambar Metode Analisis Data (1) Bab 4 Perkembangan Perikanan Tangkap di Provinsi Riau Metode yang digunakan dalam penelitian tahap ini adalah studi literatur, yaitu dengan mengumpulkan data sekunder dari Buku Statistik Tahunan Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Riau dalam kurun waktu 9 Tahun (tahun ). Data dianalisis dengan menggunakan metode analisis statistik deskriptif. (2) Bab 5 Usaha Perikanan Tangkap Unggulan di Provinsi Riau Metode analisis yang digunakan dalam penelitian pada Bab 5 ini adalah : 1) Analisis pasar, analisis yang digunakan adalah analisis struktur pasar yang merupakan analisis dskriptif. Bertujuan untuk mengetahui jenis ikan dengan permintaan tinggi baik lokal maupun pasar internasional. 2) Metode produksi surplus, metode ini digunakan untuk menentukan tingkat upaya penangkapan optimum, yaitu kegiatan penangkapan yang menghasilkan tangkapan maksimum tanpa mempengaruhi produktivitas populasi ikan dalam waktu panjang. 3) Determinasi usaha perikanan tangkap, untuk mengetahui jenis teknologi penangkapan dan jenis ikan yang akan dikembangkan. Alat penangkapan akan dianalisis berdasarkan aspek biologi, teknik, sosial 39

60 dan ekonomi. Diagram alir seleksi teknologi penangkapan pilihan disajikan pada Gambar 5. Pemilihan jenis ikan unggulan akan dianalisis berdasarkan wilayah pemasaran dan nilai tambah. 4) Model linear goal programming (LGP), digunakan untuk alokasi jumlah unit penangkapan dan pemanfaatan sumberdaya ikan unggulan yang optimum dan berkelanjutan (3) Bab 6 Faktor Konflik dalam Pengembangan Perikanan Tangkap di Provinsi Riau Metode yang digunakan pada penelitian Bab 6 ini adalah metode resolusi konflik. Tipologi konflik dianalisis dengan menggunakan tipologi yang dikembangkan oleh Charles (1992). Data dianalisis secara deskriptif dengan menggunakan teknik resolusi yang dikembangkan oleh Fisher et al. (2000). (4) Bab 7 Sistem Pengembangan Perikanan Tangkap di Provinsi Riau Bab 7 merupakan pembahasan umum dari hasil-hasil penelitian pada Bab 4 sampai Bab 6, dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif akan disusun suatu sistem pengembangan perikanan tangkap di Provinsi Riau 40

61 Mulai Identifikasi sumber daya ikan di Perairan Provinsi Riau Analisis pasar (komoditi) C Selesai Sumber daya ikan unggulan Perikanan tangkap yang optimum Yes Schaef er Potensi sumber daya ikan unggulan C puas? No C Identifikasi teknologi penangkapan ikan C Sistem pengembangan perikanan tangkap skoring TPI unggulan Evaluasi kelembagaan Alokasi TPI unggulan C LGP Potensi konflik C Jumlah TPI optimum C = connected Gambar 4 Tahapan penelitian sistem pengembangan usaha perikanan tangkap di perairan Provinsi Riau. 41

62 Mulai Sumber daya ikan Komoditas sumber daya unggulan Status tingkat pemanfaatan Analisis sistem usaha penangkapan ikan Teknis Ekonomi Sosial Lingkungan Tidak Tek nologi Penangk apan Pilihan Model Linear Goal Programming Alokasi Optimum Teknologi Penangkapan PIlihan Puas? Ya Selesai Gambar 5 Diagram alir seleksi teknologi penangkapan pilihan. 42

63 4 KONDISI USAHA PERIKANAN TANGKAP DI PERAIRAN PROVINSI RIAU 4.1 Pendahuluan Provinsi Riau membentang dari lereng Bukit Barisan sampai dengan Selat Malaka, terletak antara 01º Lintang Selatan, 02º Lintang Utara. Provinsi Riau adalah negeri bahari yang memiliki sejarah kemaritiman, karena berada di perairan Selat Malaka dan Laut Cina Selatan yang merupakan salah satu kawasan pelayaran internasional yang padat. Potensi maritim yang dimiliki juga diuntungkan oleh posisi geografis karena berdekatan dengan Singapura dan Malaysia, sehingga jaringan perdagangan akan menguntungkan dan ini merupakan salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD). Perdagangan yang dilakukan dengan negara lain adalah hasil pemanfaatan sumberdaya alam yang dimiliki Provinsi Riau. Potensi yang dimiliki terlihat dari luasan wilayah yang dimiliki, yaitu km 2 (termasuk Zona Ekonomi Eksklusif) dan terbagi menjadi wilayah lautan seluas km 2 atau sebesar 71,33% dan wilayah daratan seluas ,61 km 2 atau sebesar 28,67%. Wilayah administrasi ini berubah seiring adanya pemekaran wilayah administrasi, sesuai dengan UU No 25 tahun 2002 tentang Pembentukan Provinsi Kepulauan Riau, maka pada tanggal 1 Juli 2004 Kepulauan Riau resmi menjadi provinsi baru. Total luas Provinsi Riau menjadi ,60 km 2, dengan luas daratan ,60 km 2 (82,46%), luas perairan km 2 (17,54%) serta jumlah pulau buah (DPK Provinsi Riau 2004). Pemekaran wilayah yang terjadi pada Provinsi Riau tentunya memberikan dampak terhadap potensi sumberdaya alam yang dimiliki, karena berkaitan dengan kewenangan dalam pengelolaan sumber daya alam tersebut. Demikian pula terhadap potensi sumberdaya perikanan tangkap yang berimplikasi terhadap luasan wilayah pengelolaan yurisdiksi yang dimiliki sesuai aturan dalam UU 25 Tahun Aktivitas perikanan tangkap di Provinsi Riau pasca Kepulauan Riau berangsur mulai pulih kembali dan menunjukkan peningkatan. Hal tersebut dapat dilihat dengan adanya peningkatan jumlah produksi perikanan laut dari ,6 ton pada tahun 2005 menjadi ,2 ton pada tahun Demikian pula

64 dengan armada dan alat penangkap ikannya, yang jumlahnya pada tahun 2007 ( perahu/kapal dan unit alat tangkap) juga sudah melampaui tahun 2005 ( perahu/kapal dan unit alat tangkap). Sementara itu, untuk jumlah nelayan walaupun terjadi peningkatan, jumlahnya pada tahun 2007 ( orang) sedangkan pada tahun 2005 ( orang) (DPK Provinsi Riau 2007). Indikator keberhasilan pembangunan sub-sektor perikanan tangkap tidak hanya dilihat berdasarkan adanya peningkatan secara kuantitas saja, tetapi juga harus memperhatikan kualitasnya, utamanya dalam hal pengelolaan. Fokus utama dalam pengelolaan perikanan tangkap adalah aspek keberlanjutannya, menurut Fauzi dan Anna (2005), hal tersebut merupakan inti dalam pembangunan perikanan tangkap yang diharapkan dapat memperbaiki kondisi sumberdaya dan masyarakat perikanan itu sendiri. Pengembangan perikanan tangkap tidak akan menghasilkan nilai manfaat yang optimal, bila tidak dilakukan secara terintegrasi dan holistik yang mencakup seluruh komponen atau sub-sistem terkait di dalamnya. Hal ini karena, pembangunan sub-sektor perikanan tangkap merupakan rangkaian kegiatan yang saling berinteraksi dan mempengaruhi dalam suatu kesatuan sistem, yang dimulai dari tingkat pra-produksi (identifikasi dan estimasi sumberdaya ikan, pengadaan sarana dan prasarana penangkapan ikan, dan modal usaha), produksi (metode, teknologi dan daerah penangkapan ikan), pascaproduksi (penanganan dan pemasaran hasil tangkapan) hingga pengelolaannya (kelembagaan dan peraturan). Perencanaan pembangunan sub-sektor perikanan tangkap di Provinsi Riau harus dilakukan secara tepat, terpadu, dan dengan tahapan yang benar, agar perikanan tangkap di provinsi ini dapat berkembang ke arah perikanan tangkap bertanggungjawab, yakni yang optimal, berkelanjutan dan sesuai dengan kaidahkaidah yang berlaku, baik nasional maupun internasional. Luas wilayah perairan laut Provinsi Riau km 2 (17,54%), sebagian besar berada di Selat Malaka. Terdapat 4 wilayah kabupaten/kota di Provinsi Riau yang berbatasan langsung dengan Selat Malaka, yaitu Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Bengkalis, Kotamadya Dumai dan Kabupaten Siak Sri Indrapura. Sedangkan wilayah yang 44

65 berbatasan dengan Laut Cina Selatan adalah Kabupaten Indragiri Hilir dan Kabupaten Pelalawan 4.2 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kinerja perikanan tangkap di Provinsi Riau. 4.3 Metode Penelitian Metode pengumpulan data Penelitian pada Bab 4 ini merupakan penelitian kepustakaan. Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder, yaitu Data Statistik Perikanan Provinsi Riau dari tahun yang diperoleh berdasarkan laporan dinas perikanan dan instansi lainnya yang berwenang mengeluarkan data tersebut Metode analisis data Data dianalisis dengan menggunakan statistika deskriptif (Santoso 2009), yaitu metode yang berkaitan dengan pengumpulan dan penyajian suatu nilai hasil pengamatan (data) sehingga memberikan informasi yang berguna bagi pihakpihak yang berkepentingan terhadap data tersebut. Dalam statistik deskriptif, yang perlu mendapatkan penekanan, adalah memberikan informasi hanya mengenai data yang dipunyai (data sampel) dan tidak memberikan kesimpulan apapun tentang data populasi. Penyampaian informasi data tersebut antara lain berbentuk diagram, tabel, grafik dan besaran-besaran lainnya. 4.4 Hasil dan Pembahasan Potensi sumber daya ikan Batas wilayah Provinsi Riau setelah pemekaran di mana sebelah Utara berbatasan dengan Laut Cina Selatan, sebelah Timur berbatasan dengan Malaysia dan Provinsi Kalimantan Barat, sebelah Selatan berbatasan dengan Provinsi Sumatera Selatan dan Provinsi Jambi, sebelah Barat berbatasan dengan Singapura, Malaysia, dan Provinsi Kepulaun Riau. Batas wilayah tersebut menunjukkan Provinsi Riau berada di pesisir Laut Cina Selatan dan Selat Malaka, walaupun luas wilayah laut berkurang namun potensi sumberdaya perikanan dan kelautan yang dimiliki masih cukup potensil untuk dikembangkan. 45

66 Tingkat pemanfaatan potensi sumber daya laut di perairan Selat Malaka sudah harus mendapat perhatian dan dilakukan dengan prinsip kehati-hatian (precautionary approach), karena tingkat pemanfaatannya telah mencapai 113,64% sedangkan tingkat pemanfaatan di perairan Laut Cina Selatan baru mencapai 60,03% (DPK Provinsi Riau 2007), walaupun data tersebut perlu dikaji lebih lanjut setelah adanya perubahan wilayah administrasi. Kajian yang dibutuhkan adalah melakukan evaluasi kembali terhadap potensi sumberdaya perikanan, khususnya perikanan tangkap. Pencapaian pengembangan perikanan tangkap yang berkelanjutan membutuhkan adanya evaluasi dan kajian terhadap potensi yang ada sehingga penetapan kebijakan pengembangan dapat ditetapkan berdasarkan daya dukung sumberdaya perikanan tangkap. Informasi mengenai potensi sumberdaya ikan sangat diperlukan untuk melakukan perencanaan pembangunan perikanan tangkap yang tepat, guna mewujudkan aktivitas perikanan tangkap yang optimal, lestari dan berkelanjutan. Kelengkapan dan ketepatan informasi ini sangat ditentukan oleh ketersediaan dan keakuratan data dasar, seperti dari hasil survei kapal-kapal penelitian maupun dari kualitas data statistik perikanan tangkap yang terkumpul. Secara umum ketersediaan data dasar untuk mengestimasi potensi sumberdaya ikan di Provinsi Riau masih terbatas, baik yang berasal dari hasil survei kapal-kapal penelitian maupun dari statistik perikanan tangkap, sehingga penyajian informasi potensi sumberdaya ikan yang lebih rinci menjadi sulit untuk dilakukan Produksi dan komoditi utama perikanan tangkap Karakteristik perairan laut antara Selat Malaka dan Laut Cina Selatan memberikan keragaman dan komposisi jenis sumberdaya hayati laut yang terkandung di dalamnya relatif berbeda. Tahun 2007, total produksi perikanan tangkap yang dihasilkan melalui kegiatan penangkapan ikan di perairan laut Provinsi Riau mencapai ,2 ton dengan nilai produksi sebesar Rp (DPK Provinsi Riau 2007). Kecenderungan produksi perikanan tangkap di Provinsi Riau selama 9 tahun terakhir ( ) berdasarkan data DPK berfluktuasi dengan produksi tertinggi terjadi pada tahun 2003 sebesar ,4 ton dan produksi terendah pada tahun 2005 sebesar ,6 ton. Rendahnya produksi di tahun 2005 ini 46

67 Produksi (ton/tahun) terjadi akibat dampak berpisahnya Kepulauan Riau dari Provinsi Riau pada tanggal 1 Juli 2004, terutama untuk penangkapan laut menurun 82,21%, yaitu sebesar ,7 ton. Namun demikian, pada tahun 2007 produksi perikanan tangkap di Provinsi Riau mulai menunjukkan peningkatan. Berdasarkan data tersebut dapat dinyatakan bahwa aktivitas perikanan tangkap di provinsi ini mulai berangsur pulih. Kecenderungan produksi perikanan tangkap Povinsi Riau dalam kurun waktu 9 tahun terakhir ditunjukkan pada Gambar Sebelum Pemekaran Setelah Pemekaran Tahun Gambar 6 Kecenderungan produksi perikanan tangkap di Provinsi Riau tahun Jumlah hasil tangkapan dari para nelayan yang berbasis di Selat Malaka pada tahun 2007 memberikan kontribusi sebesar 64,9% terhadap total produksi perikanan tangkap di Provinsi Riau. Produksi perikanan tangkap yang didaratkan di wilayah ini tercatat sebanyak ,7 ton dan menghasilkan nilai produksi sebesar Rp Produksi ikan terbesar dihasilkan oleh Kabupaten Rokan Hilir dengan volume sebanyak ,7 ton. Sementara itu, untuk produksi perikanan tangkap di perairan Laut Cina Selatan pada tahun 2007 tercatat sebesar ,5 ton dan menghasilkan nilai produksi sebesar Rp Produksi ikan terbesar dihasilkan oleh Kabupaten Indragiri Hilir dengan volume sebanyak ,8 ton (DPK Provinsi Riau 2007). Kontribusi produksi perikanan tangkap menurut wilayah perairan dan kabupaten/kota di Provinsi Riau disajikan pada Gambar 7. Lima jenis komoditi utama yang merupakan hasil tangkapan dominan nelayan di Perairan Selat Malaka tahun 2007 adalah udang putih, mayung, parang, 47

68 tenggiri dan swanggi (Tabel 2). Kontribusi produksi lima jenis komoditi utama ini sebesar 40% dari total produksi perikanan tangkap yang di daratkan dari perairan Selat Malaka. Pada Laut Cina Selatan lima jenis komoditi hasil tangkapan paling dominan adalah gulamah, swanggi, udang putih, bawal putih dan belanak (Tabel 3). Jumlah produksi lima jenis komoditi utama tersebut memberikan kontribusi sebesar 33% dari total produksi perikanan tangkap yang di daratkan dari perairan Laut Cina Selatan. S ela t Ma la ka 65% B engkalis 12% Dumai 2% S iak 1% Indragiri Hilir 34% S elat Malaka : * K abupaten S iak * K otamadya Dumai * K abupaten B engkalis * K abupaten R okan Hilir R okan Hilir 50% L a ut C ina S ela ta n 35% L aut C ina S elatan : * K abupaten Indragiri Hilir * K abupaten P elalawan P elalawan 1% Gambar 7 Kontribusi produksi perikanan tangkap menurut wilayah perairan dan kabupaten/kota di Provinsi Riau Tahun Tabel 2 Produksi dan nilai produksi 10 jenis hasil tangkapan dominan di Selat Malaka Provinsi Riau Tahun 2007 Produksi Nilai Produksi Jenis ikan Nama international (ton) (x Rp 1.000,-) Udang Putih Giant tiger prawn Mayung Seacat fishes 5554, Parang Herrins 4878, Tenggiri Narraw barred king mackerel 4567, Swanggi Big eyes 4014, Senangin Treadfins 2965, Bawal Putih Silver pomfret 2894, Pari Cawtail ray 2208, Gulamah Croakers/ Drums 2074, Kakap Seaperch 1958, Sumber: Statistik Perikanan Tangkap Provinsi Riau tahun

69 Tabel 3 Produksi dan nilai produksi 10 jenis hasil tangkapan dominan di perairan Laut Cina Selatan Provinsi Riau Tahun 2007 Jenis ikan Nama international Produksi (ton) Nilai Produksi (x Rp 1.000,-) Gulamah Croakers/ Drums 1773, Swanggi Big eyes 1547, Udang Putih Giant tiger prawn 1492, Bawal Putih Silver pomfret 871, Belanak Mullets 729, Pari Cawtail ray 688, Parang Herrins 679, Mayung Seacat fishes 644, Udang Dogol Metapeneus shrimps 593, Tetengkek Hardtail scad 590, Sumber: Statistik Perikanan Tangkap Provinsi Riau tahun Armada perikanan tangkap Total armada perikanan tangkap di Provinsi Riau pada tahun 2007 tercatat sebanyak unit dengan komposisi perahu tanpa motor sebesar unit (35,1%), motor tempel 403 unit (3,5%), dan kapal motor unit (61,4%). Berdasarkan data statistik tersebut, armada perikanan tangkap di Provinsi Riau dapat dinyatakan tergolong maju, karena lebih dari 60% telah menggunakan mesin sebagai tenaga penggeraknya. Namun demikian, diperkirakan lebih dari 90% ukuran kapalnya masih 30 GT kebawah, yang berarti kemampuan jelajahnya hanya terbatas disekitar perairan teritorial dan kepulauan. Kecenderungan jumlah armada perikanan tangkap di Provinsi Riau selama 9 tahun terakhir ( ) secara umum cenderung mengalami peningkatan. Walaupun pada saat berpisahnya Kepulauan Riau jumlah armada perikanan tangkap mengalami penurunan, namun setelah itu mengalami peningkatan kembali secara bertahap. Kecenderungan jumlah armada perikanan tangkap di Povinsi Riau dalam kurun waktu 9 tahun terakhir ditunjukkan pada Gambar 8. Jumlah armada perikanan tangkap yang berbasis di Selat Malaka pada tahun 2007 memberikan kontribusi sebesar 71% terhadap total armada perikanan tangkap Provinsi Riau. Jumlah armada perikanan tangkap di wilayah ini terdata sebanyak unit. Jumlah armada terbanyak berada di Kabupaten Bengkalis, yakni sebanyak unit. Sementara itu, untuk jumlah armada perikanan tangkap di Laut Cina Selatan terdata sebanyak unit. Pada wilayah perairan 49

70 Jumlah Armada Penangkapan (unit) ini jumlah armada terbanyak dimiliki oleh Kabupaten Indragiri Hilir, yaitu sebanyak unit. Sebaran jumlah armada perikanan tangkap menurut wilayah perairan dan kabupaten/kota di Provinsi Riau disajikan pada Gambar 9. Kecenderungan rataan nilai produktivitas setiap armada penangkapan ikan di Provinsi Riau Tahun disajikan pada Gambar sebelum pemekaran setelah pemekaran Tahun Gambar 8 Kecenderungan jumlah armada perikanan tangkap di Provinsi Riau Tahun S ela t Ma la ka 71% B engkalis 43% R okan Hilir 22% Dumai 4% S iak 2% Indragiri Hilir 26% L a ut C ina S ela ta n 29% P elalawan 3% S elat Malaka : * K abupaten S iak * K otamadya Dumai * K abupaten B engkalis * K abupaten R okan Hilir L aut C ina S elatan : * K abupaten Indragiri Hilir * K abupaten P elalawan Gambar 9 Distribusi jumlah armada perikanan tangkap menurut wilayah perairan dan kabupaten/kota di Provinsi Riau tahun

71 Produktivitas Armada (ton/unit/tahun) Perkembangan Produktivitas Armada Perikanan Tangkap (Laut) di Provinsi Riau Tahun ,35 8,37 8,68 8,99 9,57 7,96 9,38 9,23 8, Sebelum pemekaran Setelah pemekaran Gambar 10 Kecenderungan rataan tingkat produktivitas armada perikanan tangkap di Provinsi Riau tahun Alat penangkapan ikan Jumlah alat penangkapan ikan di Provinsi Riau pada tahun 2007 terdata sebanyak unit yang terdiri dari 27 jenis alat tangkap. Jenis alat penangkap ikan yang paling dominan digunakan oleh para nelayan di provinsi ini adalah pukat tarik 567 unit (4%), jaring insang hanyut unit (30,3%), trammel net 747 unit (5,3%), serok 520 unit (3,7%), rawai tetap 632 unit (4,5%), belat pantai 739 unit (5,3%) dan bubu/perangkap 3078 unit (21,9%). Dari gambaran diatas dapat dinyatakan bahwa mayoritas (30,3%) nelayan Provinsi Riau masih menggunakan alat tangkap jaring insang hanyut atau drift gillnet dan bubu/perangkap, secara umum masih tergolong ke dalam alat penangkap ikan dengan teknologi yang sederhana (DPK Provinsi Riau 2007). Dilihat dari konstruksi, jenis bahan dan ukuran yang digunakan terdapat perbedaan pada masing-masing alat tangkap tersebut (Lampiran 1-4). 1) Jaring insang hanyut (Drift gillnet) Jaring yang digunakan nelayan Perairan Selat Malaka Kabupaten Bengkalis dan Perairan Laut Cina Selatan Kabupaten Indragiri Hilir adalah jaring insang hanyut (drift gillnet) yang berbentuk empat persegi panjang. Pemberian nama jaring di daerah ini adalah berdasarkan jenis bahan yang digunakan seperti jaring tangsi, jaring nilon dan ada berdasarkan jenis ikan yang menjadi tujuan penangkapan seperti jaring bawal, jaring tenggiri, jaring senangin dan jaring 51

72 kurau. Secara umum, seluruh jenis jaring kecuali jaring kurau memiliki ukuran panjang dan lebar yang tidak jauh berbeda, di mana panjang satu piece/keping berkisar antara m dan lebar 3 5 m. Satu unit jaring berjumlah piece/keping, harga per piece berkisar antara Rp Rp , umur ekonomisnya lebih kurang 3 tahun. Konstruksi jaring insang hanyut terdiri dari, tubuh jaring (webbing), tali ris atas, peluntang, tali pelampung, pelampung, pelampung tanda, bendera tanda, lampu kelap-kelip, tali ris bawah dan pemberat. Tubuh jaring terbuat dari bahan polyamide (PA) monofilament berwarna bening berdiameter 0,30 0,50 mm atau polyethilene (PE) multifilamen berwarna biru, hijau atau coklat nomor 30 atau 42. Ukuran mata jaring berkitar 1 4 inci, dengan jenis simpul trawler knot. Tali ris atas dan tali ris bawah terdiri dari dua lapis terbuat dari nilon polyetilene (PE) berdiameter 4-5 mm. Peluntang atau pantau terbuat dari bahan polyvinylchloride (PVC) type silinder berdiameter 10 cm dan panjang 23 cm. Dalam satu piece banyak peluntang berkisar antara buah yang diikatkan pada tali ris atas. Tali pelampung terbuat dari bahan polyetilene (PE) berdiameter sekitar 6 mm yang panjangnya sesuai dengan posisi jaring dalam perairan. Pelampung terbuat dari bahan polypropyline (PP) berdiameter sekitar 2,5 cm dan panjang sekitar 8,5 cm. Pelampung umumnya berwarna putih dalam satu piece berjumlah sekitar 20. Pemberat terbuat dari timah berbentuk lingkaran berdiameter 10 cm dengan berat sekitar 100 gram/buah, jumlah dalam satu piece sebanyak buah. Daerah penangkapan jaring berada di sekitar perairan selat, perairan pinggir pantai, dan lepas pantai (Selat Malaka). Penangkapan di perairan selat dan pinggir pantai merupakan penangkapan harian yang pengoperasian alat tangkap umumnya dilakukan pada waktu siang hari yakni berangkat subuh dan kembali sore. Penangkapan di perairan lepas pantai merupakan penangkapan yang dilakukan siang dan malam hari selama 4 sampai 10 hari/trip dan setelah itu kembali ke pantai. Jaring dapat dioperasikan selama kurang lebih sembilan bulan dalam setahun dan selama hari dalam satu bulan. Pengoperasiannya menggunakan perahu dayung atau perahu/kapal motor. Perahu/kapal motor menggunakan mesin diesel merek Yanmar atau Dompeng. Perahu dayung, perahu/kapal motor dan mesin memiliki ketahanan kurang lebih 10 tahun. Harga satu unit perahu dayung 52

73 kurang lebih Rp , perahu/kapal motor kurang lebih Rp ,- dan mesin Rp ,-. Jenis tangkapan jaring antara lain adalah ikan senangin, tenggiri, bawal hitam, bawal putih, parang-parang, nomei/lomek, biang, kurisi, gulamah, tetengkek, belanak, terubuk, selar, kembung dan ikan lainnya. 2) Jaring kurau (Bottom drift gillnet) Jaring kurau memiliki konstruksi yang sama dengan jaring insang, namun karena tujuan penangkapannya adalah untuk menangkap jenis ikan dasar terutama ikan kurau, maka jaring ini disebut juga jaring dasar (bottom gillnet). Di daerah Kabupaten Bengkalis Kabupaten Indragiri Hilir jaring kurau disebut juga dengan nama jaring batu. Konstruksi jaring kurau terdiri dari, tubuh jaring (webbing), tali ris atas, peluntang, tali pelampung, pelampung, pelampung tanda, bendera tanda, lampu kelap-kelip, tali ris bawah dan pemberat. Tubuh jaring terbuat dari bahan polyetilene (PE) multifilamen nomor 30, 42 dan 48 berwarna biru, hijau, kuning atau merah. Panjang tubuh jaring perkeping sekitar m, lebar 5 6 m dan ukuran mata jaring sekitar 4,5 8 inci dengan jenis simpul trawler knot. Satu unit jaring berjumlah piece/keping dengan harga/piece berkisar Rp Rp ,- dan umur ekonomis 3 tahun. Tali ris atas dan tali ris bawah terdiri dari dua lapis terbuat dari nilon polyetilen (PE) berdiameter 4-5 mm. Peluntang atau pantau terbuat dari bahan polyvinylchlor (PVC) type selinder berdiameter 10 cm dan panjang 23 cm. Dalam satu piece banyak peluntang 40 buah yang diikatkan pada tali ris atas. Tali pelampung terbuat dari bahan polyetilene (PE) berdiameter sekitar 6 mm yang panjangnya sekitar 30 m. Pelampung terbuat dari bahan polypropyline (PP) berdiameter sekitar 2,5 cm dan panjang sekitar 8,5 cm. Pelampung umumnya berwarna putih dalam 4-5 piece terdapat 1 buah. Pemberat terbuat dari semen berbentuk lempengan berdiameter 20 cm, tebal 2,5 cm dengan berat sekitar 1kg/buah, dalam setiap piece memiliki 7 8 buah pemberat. Alat tangkap jaring kurau dapat dioperasikan selama kurang lebih sembilan bulan dalam setahun dan selama hari dalam satu bulan. Daerah penangkapan jaring kurau di sekitar perairan lepas pantai (Selat Malaka) dengan menggunakan perahu/kapal motor. Perahu/kapal motor menggunakan mesin diesel merek Yanmar, Mitsubishi atau Dompeng. Perahu/kapal motor dan mesin 53

74 memiliki ketahanan kurang lebih 10 tahun. Harga satu unit perahu/kapal motor kurang lebih Rp ,- dan mesin Rp ,-. Jenis hasil tangkapan jaring kurau adalah ikan senangin, kurau, sebelah, manyung, gerot, kerapu, kakap, cucut dan ikan lainnya. 3) Jaring udang (Trammel net) Konstruksi jaring udang tidak jauh berbeda dengan alat tangkap jaring insang yaitu terdiri dari tubuh jaring (webbing), tali ris atas, peluntang, tali pelampung, pelampung, pelampung tanda, bendera tanda, tali ris bawah dan pemberat. Tubuh jaring terdiri dari 3 lapis, lapisan tengah (inner net) dan dua lapisan luar (outer net). Ukuran mata jaring lapisan tengah tiap piece/keping berbeda yakni 1,25 inci, 1,5 inci, 1,75 inci dan 2 inci atau tergantung kepada besar udang yang menjadi tujuan penangkapan. Sedangkan ukuran mata jaring lapisan luar berkisar antara 5 10 inci. Satu unit jaring udang berjumlah 5 10 piece atau keping, panjang satu piece sekitar m dan lebar 2 m, dengan harga/piece sekitar kurang lebih Rp ,- dan umur ekonomis 3 tahun. Bahan terbuat dari nilon monofilamen berwarna bening, dengan nomor benang 210 D/2 untuk inner net dan 210 D/6 untuk outer net. Ketiga lapisan jaring tersebut diperkuat salvage atas dan salvage bawah yang fungsinya untuk mengokohkan tubuh jaring. Salvage terbuat dari bahan kuralon dengan ukuran mata jaring sekitar 1,75 inci. Jumlah mata arah ke bawah (lebar) untuk salvage bagian atas satu mata dan salvage bagian bawah tiga mata. Daerah penangkapan jaring di sekitar perairan selat dan perairan pinggir pantai dengan menggunakan perahu dayung atau perahu motor. Perahu motor menggunakan mesin diesel merek Yanmar atau Dompeng. Perahu dayung, perahu motor dan mesin memiliki ketahanan kurang lebih 10 tahun. Harga satu unit perahu dayung kurang lebih Rp ,- perahu/kapal motor kurang lebih Rp ,- dan mesin Rp ,-. Penangkapan jaring udang dalam satu tahun dapat dilakukan selama kurang lebih sembilan bulan dan dalam satu bulan selama hari. Jenis hasil tangkapannya adalah udang, putih, udang merah, cumi-cumi, kepiting, ikan senangin, parang-parang, gulamah, dan ikan lainnya. 54

75 4) Rawai tetap (Set longline) Alat tangkap rawai yang digunakan nelayan Kabupaten Bengkalis dan Kabupaten Indragiri Hilir adalah rawai tetap (set longline). Alat tangkap ini terdiri dari tali utama (main line), tali cabang (branch line), mata pancing, tali pelampung, pelampung, bendera, lampu kelap-kelip, tali pemberat, pemberat, tali jangkar dan jangkar. Tali utama terbuat dari bahan polyethylene (PE) multifilamen berdiameter 0,5 1 cm dan panjang m. Tali cabang terbuat dari bahan polyamide (PA) monofilamen berdiameter 1 mm dan panjang kurang lebih 1 m. Tali cabang ini adalah untuk mengikat mata pancing, di mana dalam satu basket/bakul berjumlah helai. Mata pancing terbuat dari bahan besi baja berukuran 5, 6, 7 atau 8. Tali pelampung, tali pemberat dan tali jangkar terbuat dari bahan polyethylene (PE) multifilamen berdiameter 0,5 cm dengan panjang sekitar 1 m. Pelampung berwarna putih terbuat dari bahan plastik berbentuk silinder berdiameter 20 cm dan panjang 50 cm. Pemberat dari bahan semen atau karang berbentuk bulat dengan berat 500 gr dan berjumlah sekitar 100 buah/basket. Jangkar terbuat dari bahan besi dan kayu yang memiliki mata kait berukuran 7 cm dan gando berukuran 35 cm. Pada tengah gando diberi pemberat seberat kurang lebih 250 gram. Satu unit rawai berjumlah 2 30 basket/bakul, harga/basket sekitar Rp ,-, dengan ketahanan alat sekitar 3 tahun. Alat tangkap rawai dioperasikan di sekitar perairan selat, perairan pantai dan lepas pantai dengan menggunakan perahu dayung atau perahu/kapal motor. Perahu/kapal motor menggunakan mesin diesel merek Yanmar atau Dompeng. Perahu dayung, perahu/kapal motor dan mesin memiliki ketahanan kurang lebih 10 tahun. Harga satu unit perahu dayung kurang lebih Rp ,- perahu/kapal motor kurang lebih Rp ,- dan mesin Rp ,-. Pengoperasian penangkapan rawai dalam satu tahun selama kurang lebih sembilan bulan dan dalam satu bulan selama hari. Jenis hasil tangkapan rawai antara lain adalah ikan kurau, gerot, malung, duri, pari, sembilang, merah, kerapu, lencam, kakap dan cucut. 55

76 5) Gombang (stow nets) Gombang adalah alat penangkapan ikan dan udang bersifat statis yang dipasang semi parmanen yang menentang arus perairan (arus pasang dan surut). Konstruksi alat penangkapan gombang atau stow nets terdiri dari jaring gombang, tali ris atas dan tali ris bawah, tali pelampung, tali pemberat, pelampung dan pemberat. Panjang jaring gombang sekitar 25 m yang terdiri dari bagian sayap 13 m, mulut 7 m, tubuh 13 m dan kantong 2 m. Bahan gombang terbuat dari polyethyline (PE) multifilamen berwarna hijau. Pada bagian sayap, mulut dan tubuh dirajut dengan jenis simpul double english knot dan pada bagian kantong dirajut dengan jenis simpul woven knot. Ukuran mesh size pada bagain sayap 150 mm, bagian mulut 95 mm, bagian tubuh terdiri dari 4 bagaian yaitu 45 mm, 30 mm, 25 mm dan 20 mm serta bagian kantong 5 mm. Tali ris atas dan tali ris bawah terbuat dari bahan polyethyline (PE) multifilamen berdiameter 15 mm. Tali pelampung dan tali pemberat terbuat dari bahan polyethyline (PE) berdiameter 6 mm yang panjangnya disesuaikan dengan kedalaman. Pelampung yang digunakan dalam satu kantong jaring sebanyak 3 5 buah, 1 buah diikatkan pada bagian tengah mulut tali ris atas dan dua buah diikatkan pada ujung kiri kanan sayap. Pelampung ini terbuat dari bahan polyethyline (PE) yang memiliki panjang 15 cm, lebar 50 cm dan tinggi 60 cm. Pemberat terbuat dari bahan semen atau batu yang mempunyai 5-7 kg. Pemberat ini berjumlah 1 buah/kantong yang diikatkan pada bagian tengah mulut tali ris bawah. Satu unit gombang berjumlah 2-20 kantong, harga/kantong sekitar Rp ,- dengan ketahanan alat kurang lebih 3 tahun. Daerah penangkapan gombang di sekitar perairan selat dan perairan pinggir pantai pada kedalaman kurang lebih 10 meter. Penangkapan dilakukan pada waktu arus pasang dan surut siang dan malam hari, sedangkan pengambilan hasil tangkapan dilakukan ketika kecepatan arus pasang atau surut mulai melemah. Pengoperasian alat pengambilan hasil tangkapan menggunakan perahu dayung atau perahu/kapal motor. Perahu/kapal motor menggunakan mesin diesel merek Yanmar atau Dompeng. Perahu dayung, perahu/kapal motor dan mesin memiliki ketahanan kurang lebih 10 tahun. Harga satu unit perahu dayung kurang lebih Rp ,- perahu/kapal motor kurang lebih Rp ,- dan mesin Rp 56

77 ,-. Alat tangkap gombang dapat dioperasikan selama kurang lebih sembilan bulan dalam setahun dan dalam satu bulan selama hari yang dibagi dalam dua trip/periode. Periode pertama mulai 11 sampai 21 hari bulan dan periode kedua 26 sampai 6 hari bulan. Jenis hasil tangkapan gombang antara lain ikan teri, tenggiri, bawal hitam, bawal putih, parang-parang, nomei, biang, gulamah, tetengkek, belanak, terubuk, layur, selar, pari, udang pepay, udang putih, udang merah dan jenis udang lainnya. 6) Ambai/cici (Stow nets) Ambai adalah alat penangkapan ikan dan udang bersifat statis yang dipasang parmanen menghadang arus pasang dan arus surut. Ambai/cici memiliki konstruksi yang tidak jauh berbeda dengan gombang. Ambai tidak terdapat sayap, pelampung dan pemberat. Agar mulut ambai atau cici terbuka digunakan rotan yang menekan tali ris bawah. Rotan ini berdampingan dengan kayu nibung yang ditancapkan ke dasar perairan. Panjang kayu nibung ini sekitar 12 m yang dilengkapi dengan dua buah gelang-gelang dari rotan tempat mengikatkan kedua ujung tali ris atas dan bawah. Dalam satu kantong terdapat dua batang kayu nibung (Oncossperma filamentosa), dua batang rotan dan empat gelang-gelang, dan dalam dua kantong terdapat tiga batang kayu nibung, tiga batang rotan dan enam gelang-gelang. Disamping itu terdapat juga tiang penyokong, kayu pegangan, kayu pijakan, kawat penyokong dan tali dahi. Jaring ambai atau cici memiliki panjang sekitar 14 m dengan mesh size yang berbeda-beda, bagian mulut 50 mm, tubuh 35 mm dan 20 mm serta bagian kantong 5 mm. Satu unit berjumlah 2 15 kantong, harga/kantong sekitar Rp , dengan ketahanan alat kurang lebih 3 tahun. Daerah penangkapan ambai atau cici tidak jauh berbeda dengan daerah penangkapan gombang. Penangkapan dilakukan pada waktu arus pasang dan surut siang dan malam hari, sedangkan pengambilan hasil tangkapan dilakukan ketika kecepatan arus pasang atau arus surut mulai melemah. Pengoperasian alat pengambilan hasil tangkapan menggunakan perahu dayung atau perahu/kapal motor. Perahu/kapal motor menggunakan mesin diesel merek Yanmar atau Dompeng. Perahu dayung, perahu/kapal motor dan mesin memiliki ketahanan kurang lebih 10 tahun. Harga 57

78 satu unit perahu dayung kurang lebih Rp , perahu/kapal motor kurang lebih Rp ,- dan mesin Rp ,-. Alat tangkap ambai atau cici dapat dioperasikan selama kurang lebih sembilan bulan dalam setahun dan dalam satu bulan selama hari yang dibagi dalam dua trip/periode. Periode pertama mulai 11 sampai 21 hari bulan dan periode kedua 26 sampai 6 hari bulan. Jenis hasil tangkapan gombang antara lain ikan teri, tenggiri, bawal hitam, bawal putih, parang-parang, nomei, biang, gulamah, tetengkek, belanak, terubuk, layur, selar, pari, udang pepai, udang putih, udang merah dan jenis udang lainnya. 7) Pengerih (Stow nets) Pengerih adalah alat tangkap ikan dan udang yang bersifat statis berbentuk kerucut terpancung. Alat tangkap pengerih dipasang semi parmanen menghadang arus pasang dan arus surut, terdiri dari kayu pancang, tali tambang, jala (mulut), solong (tubuh), penganak (kantong), tali pelampung, pelampung dan tulang ular. Satu unit pengerih berjumlah 3 15 kantong, harga perkantong Rp ,- dengan ketahanan alat kurang lebih 3 tahun. Pancang berasal dari kayu bakau (Rhizophora sp) yang ditancapkan ke dasar perairan untuk tempat mengikatkan tali tambang. Tali tambang terbuat dari bahan polyethylene (PE) multifilamen berdiameter 10 mm dan panjang m. Jala merupakan bagian depan/mulut pengerih yang terdiri dari bingkai dan jaring dari jalinan plastik memiliki mesh size 5 cm. Bingkai berasal dari bambu atau kayu berbentuk empat persegi panjang dengan ukuran panjang 3 m dan lebar 2 m. Panjang jala sekitar 4 m yang berfungsi untuk mengarahkan ikan atau udang ke bagian solong. Solong terbuat dari bilah bambu tipis yang dianyam berbentuk kerucut. Panjang solong sekitar 6 m berdiameter 3,5 m bagian depan dan 60 cm bagian belakang. Penganak terbuat dari anyaman bambu yang berbentuk silinder berdiameter 60 cm dan panjang 75 cm. Pada bagian penganak dibuat injab agar ikan dan udang yang masuk tidak dapat keluar, sedangkan pada bagian belakang diberi pintu untuk mengeluarkan hasil tangkapan. Untuk daerah Merbau penganak terbuat dari pipa paralon berdiamter 2,5 inci. Di atas penganak dipasang bambu berdiameter 5 cm dan panjang 1 m. Bambu ini disebut juga tulang ular, bagian belakang tulang ular 58

79 diikatkan tali yang menghubungkan dengan pelampung. Pelampung terbuat dari bahan plastik berbentuk silinder berdiameter 20 cm dan panjang 50 cm. Alat tangkap pengerih dapat dioperasikan selama kurang lebih sembilan bulan dalam setahun dan dalam satu bulan dua trip, satu trip selama 10 hari. Daerah penangkapan pengerih di sekitar perairan selat dan perairan pinggir pantai dengan menggunakan perahu dayung. Perahu dayung memiliki ketahanan kurang lebih 10 tahun. Harga satu unit perahu dayung kurang lebih Rp ,-. Jenis hasil tangkapan gombang antara lain ikan teri, tenggiri, bawal hitam, bawal putih, parang-parang, nomei, biang, gulamah, tetengkek, belanak, terubuk, layur, selar, pari, udang putih, udang merah dan jenis ikan lainnya. 8) Sondong (Scoop nets) Sondong merupakan alat penangkapan ikan dan udang yang memiliki konstruksi tidak jauh berbeda dengan alat tangkap ambai. Di Kabupaten Bengkalis dan Kabupaten Indragiri Hilir alat tangkap sondong disebut juga songko atau langgai. Alat tangkap ini terdiri dari mulut, tubuh dan kantong. Agar mulut terbuka, maka pada bagian ini dilengkapi dengan dua atau tiga batang kayu yang diikat bersilangan menyerupai huruf A. Panjang jaring sondong berkisar 6 12 meter yang terbuat dari bahan polyamide (PA) monofilamen atau polyethyline (PE) multifilamen berwarna hitam atau coklat. Mesh size sondong atau langgai berbeda-beda disesuaikan dengan tujuan penangkapan. Untuk penangkapan udang rebon mesh size jaring sondong atau langgai berkisar antara 1-3 mm, untuk penangkapan ikan dan udang mesh size pada bagian mulut sekitar 1 inci, tubuh 0,75 inci dan 0,5 inci dan bagain kantong 1-3 mm. Harga sondong perkantong sekitar Rp Rp ,- dengan ketahanan alat kurang lebih 3 tahun. Alat tangkap sondong dapat dioperasikan selama kurang lebih sembilan bulan dalam setahun dan dalam satu bulan selama 21 hari. Daerah penangkapan sondong di sekitar perairan selat, perairan pinggir pantai dan pantai yang berjarak 1 3 mil. Pengoperasian sondong dilakukan dengan dua cara, pertama tanpa menggunakan armada penangkapan yang dilakukan ketika arus pasang dengan berjalan menyusuri pinggiran pantai. Kedua menggunakan armada penangkapan yang dilakukan pada waktu arus pasang atau surut dengan menggandeng jaring sondong yang diikatkan pada bagian tengah lambung perahu/kapal, baik bagian 59

80 sebelah kiri maupun bagian kanan. Dalam satu unit perahu/kapal memiliki satu atau dua unit sondong. Perahu/kapal motor menggunakan mesin diesel merek Yanmar atau Dompeng. Perahu/kapal motor dan mesin memiliki ketahanan kurang lebih 10 tahun. Harga satu unit perahu/kapal motor kurang lebih Rp ,- dan mesin Rp ,-. Jenis hasil tangkapan sondong adalah antara lain ikan teri, tenggiri, bawal hitam, bawal putih, parang-parang, nomei, biang, gulamah, tetengkek, belanak, terubuk, layur, selar, pari, udang pepai, udang putih, udang merah dan jenis udang lainnya. 9) Pukat pantai (Beach seine) Pukat pantai merupakan alat penangkapan yang termasuk ke dalam jenis jaring lingkar. Pukat pantai atau kiso memiliki kontruksi yang terdiri dari kayu penarik (pakau), 2 utas tali ris atas dan 2 utas tali ris bawah, pelampung, tubuh jaring, kantong dan pemberat. Kayu penarik (pakau) berasal dari kayu pacar (Lawsonia inermis) berdiamter 5 cm dan panjang 50 cm. Kayu ini berjumlah dua batang yang dipasang pada kedua ujung jaring yang diberi penyangga dari kayu nibung. Tali ris atas dan tali ris bawah terbuat dari bahan polyethyline (PE) multifilamen berdiameter 5 mm. Pada tali ris atas diberi pelampung dengan jarak antar pelampung sekitar 1,5 m. Pelampung terbuat dari bahan gabus padat berbentuk silinder berdiameter 6 cm dan panjang 10 cm. Pada tali ris bawah terdapat pemberat dari timah seberat 200 gram. Pemberat ini berbentuk bulat panjang yang diikatkan pada tali ris dengan jarak antar pemberat 1,5 m. Tubuh dan kantong jaring kiso terbuat dari bahan polyethyline (PE) multifilamen berdiameter 1 mm yang dirajut dengan jenis simpul trawler knot. Panjang tubuh sekitar 30 m dan lebar 75 cm dengan mesh size 5 cm. Panjang kantong 2 m dengan bukaan mulut 75 cm dan mesh size 3 cm. Pukat pantai atau kiso memiliki ketahanan kurang lebih 3 tahun dengan harga per unit sekitar Rp ,- Pengoperasian pukat pantai dalam satu bulan selama 23 hari dan dalam satu tahun selama kurang lebih sembilan bulan. Penangkapan dilakukan di pinggiran pantai pada saat arus pasang atau surut, dengan menggunakan perahu melingkari daerah penangkapan, kemudian menarik kedua ujung jaring ke daratan. Perahu dayung memiliki ketahanan kurang lebih 10 tahun. Harga satu unit perahu dayung kurang lebih Rp ,. Jenis hasil tangkapan pukat pantai antara lain adalah 60

81 ikan tenggiri, bawal hitam, bawal putih, parang-parang, nomei, biang, gulamah, tetengkek, belanak, terubuk, layur, selar, pari, udang putih, udang merah dan jenis udang lainnya. 10) Pukat cincin (Purse seine) Pukat cincin adalah alat penangkapan ikan yang berbentuk empat persegi panjang, tanpa kantong dan digunakan untuk menangkap gerombolan ikan permukaan. Panjang jaring kurang lebih 400 m dan lebar 45 m yang terbuat dari bahan nilon yang dirajut dengan jenis simpul trawler knot. Kontruksinya terdiri dari tubuh jaring, tali ris atas, tali ris bawah, tali cincin, pelampung, pemberat dan cincin atau ring. Jaring terbagi atas lima bagian yaitu, perimpin, sentung, pangapit, penjarang, dan kaki batu. Perimpin adalah bagian ujung dan pangkal jaring terbuat nilon nomor 210 D/3/12 S dengan mesh size 5 cm. Panjang bagian perimpin ini 50 cm dan lebar sama dengan lebar jaring. Bagian sentung mempunyai panjang 45 m, terbuat dari nilon nomor 210 D/3/12 S dan mesh size 2,5 cm. Bagian pengepit memiliki panjangnya 90 m terbuat dari nilon nomor 210 D/3/9 S dan mesh size 3,5 cm. Bagian penjarang memiliki panjang 265 m terbuat dari nilon nomor 210 D/3/6 S dengan mesh size 4,5 cm. Kaki batu merupakan bagian bawah pinggir jaring yang mempunyai lebar 50 cm terbuat dari nilon nomor 210 D/3/12 S dengan mesh size 5 cm. Tali ris atas, tali ris bawah dan tali cincin terbuat dari bahan polyethyline (PE) multifilamen berdiameter 5 mm. Tali ris atas dan tali ris bawah terdiri dari dua utas, satu utas tempat mengikatkan tubuh jaring dan satu utas lagi tempat mengikatkan pelampung dan pemberat. Pelampung terbuat dari bahan plastik yang berbentuk elips berdiamter 10 cm dan panjang 15 cm. Pelampung diikatkan pada tali ris atas dengan jarak antara satu pelampung dengan pelampung lain sekitar 40 cm. Pemberat terbuat dari timah hitam atau besi berbentuk elips yang mempunyai berat 400 gr. Pemberat diikatkan pada tali ris bawah dengan jarak antara satu pemberat dengan pemberat lainnya sekitar 40 cm. Cincin atau ring terbuat dari kuningan berbentuk bulat berdiameter 12 cm dengan berat 1 kg. Cincin dipasang pada bagian bawah pemberat yang fungsinya selain sebagai pemberat juga untuk pemegang tali cincin sehingga pada waktu tali cincin ditarik tali ris bawah menyatu dan tubuh jaring membentuk kantong. Pukat 61

82 cincin memiliki ketahanan kurang lebih 3 tahun dengan harga perunit sekitar Rp ,-. Pengoperasian pukat cincin dalam satu bulan selama 23 hari dan dalam satu tahun selama kurang lebih sembilan bulan. Penangkapan dilakukan di perairan pantai pada saat arus pasang atau surut, menggunakan perahu motor. Perahu/kapal motor menggunakan mesin diesel merek Yanmar atau Dompeng. Harga satu unit perahu motor Rp ,- dan mesin Rp ,- dan memiliki ketahanan kurang lebih 10 tahun. Jenis hasil tangkapan pukat cincin antara lain: ikan tenggiri, bawal hitam, bawal putih, parang-parang, nomei, biang, gulamah, tetengkek, belanak, terubuk, layur, selar dan jenis ikan lainnya 11) Bubu labuh Bubu labuh atau bubu jangkar merupakan modifikasi alat tangkap trawl yang dipasang semi parmanen menghadang arus pasang dan surut. Alat penangkapan ini memiliki konstruksi yang sama dengan alat tangkap gombang (stow nets) yaitu terdiri dari dari jaring bubu, tali ris atas dan tali ris bawah, tali cabang, tali pelampung, pelampung, rantai pemberat, tali jangkar dan jangkar. Jaring bubu terbuat dari polyethyline (PE) multifilamen berwarna hijau. Jaring terdiri dari bagian sayap, mulut, tubuh dan kantong dengan panjang keseluruhnya adalah kurang lebih 100 m. Bagian sayap, mulut dan tubuh dirajut dengan jenis simpul double english knot dan pada bagian kantong dirajut dengan jenis simpul woven knot. Panjang sayap berkisar m dengan mesh size semakin kecil ke bagian mulut (90 mm, 60 mm dan 45 mm). Panjang tubuh berkisar m terdiri dari 6 bagaian dengan mesh size yang berbeda-beda yaitu 45 mm, 30 mm, 25 mm dan 20 mm, 15 mm dan 10 mm. Panjang bagian kantong berkisar 8-10 m dengan mesh size 5 mm. Tali ris atas dan tali ris bawah terbuat dari bahan polyethyline (PE) multifilamen berdiameter 15 mm. Tali cabang merupakan perpanjangan tali ris atas dan tali ris bawah. Tali pelampung dan tali jangkar terbuat dari bahan polyethyline (PE) berdiameter 10 mm dan berdiameter 30 mm untuk tali jangkar. Panjang tali pelampung dan tali jangkar panjangnya disesuaikan dengan kedalaman. Pelampung yang digunakan terdiri dari pelampung besar dan pelampung kecil. Pelampung besar tersebut berjumlah 6 buah, satu buah 62

83 diikatkan pada bagian kantong, 1 buah diikatkan pada bagian tengah mulut tali ris atas dan dua buah diikatkan pada bagian kiri dan kanan tali cabang. Pelampung kecil dipasangkan di sepanjang tali ris atas. Rantai pemberat yang digunakan terbuat dari dari besi atau baja berdiameter 20 mm yang dirangkai sehingga membentuk rantai. Panjang rantai cm dengan berat mencapai kg. Jangkar terbuat dari besi yang berjumlah 2 buah perkantong dengan berat masingmasing 120 kg. Bubu labuh memiliki ketahanan kurang lebih 3 tahun, dengan harga Rp ,-/kantong. Bubu labuh dioperasikan di perairan pantai pada kedalaman kurang lebih 10 meter. Penangkapan dilakukan pada waktu arus pasang dan surut siang dan malam hari, sedangkan pengambilan hasil tangkapan dilakukan ketika kecepatan arus pasang atau arus surut mulai melemah. Pengoperasian alat tangkap bubu labuh menggunakan kapal motor. Kapal motor menggunakan mesin diesel merek Yanmar atau Nisan. Harga satu unit kapal motor Rp ,- dan mesin Rp dengan umur ekonomis kurang lebih 10 tahun. Pengoperasian alat tangkap bubu labuh dalam setahun selama kurang lebih sembilan bulan dan dalam satu bulan selama hari yang dibagi dalam dua trip/periode. Periode pertama mulai 11 sampai 21 hari bulan dan periode kedua 26 sampai 6 hari bulan. Jenis hasil tangkapan bubu labuh adalah ikan teri, tenggiri, bawal hitam, bawal putih, parang-parang, nomei, biang, gulamah, tetengkek, belanak, layur, selar, pari, cumi-cumi, udang putih, udang merah dan jenis udang lainnya. 12) Bubu tiang Bubu tiang adalah alat penangkapan ikan dan udang bersifat statis yang dipasang parmanen menghadang arus perairan yakni dan arus surut. Alat penangkapan ini memiliki konstruksi yang tidak jauh berbeda dengan alat tangkap ambai (stow nets) terdiri dari jaring bubu, tiang, ring, tali ring/tali utama dan pemberat. Jaring bubu terdiri dari tiga macam sesuai dengan kedalaman daerah penangkapan yaitu jaring bubu permukaan dan jaring bubu pertengahan atau dasar perairan. Jaring bubu permukaan memiliki panjang sekitar 12 m, lebar mulut 4 m dan tinggi mulut 2,5 m. Bahan jaring terbuat nilon monofilamen nomor benang 70 D/2 berwarna biru yang dirajut dengan simpul knot less, dengan ukuran mesh size sama, baik 63

84 bagian mulut, tubuh maupun bagian kantong yaitu 3 mm. Kantong berjumlah dua kiri dan kanan. Satu unit bubu tiang permukaan berjumlah kantong, harga perkantong sekitar Rp ,- dengan ketahanan alat kurang lebih 3 tahun. Jaring bubu pertengahan memiliki panjang sekitar 14 m, lebar mulut 5 m dan tinggi mulut 3 m. Bahan jaring terbuat nilon multifilamen nomor benang 20 S/6x6 berwarna coklat yang dirajut dengan simpul knot less, dengan mesh size sama, baik bagian mulut, tubuh maupun bagian kantong yaitu 5 mm. Satu unit bubu tiang pertengahan berjumlah kantong, harga perkantong sekitar Rp ,- dengan ketahanan alat kurang lebih 3 tahun. Jaring bubu dasar memiliki panjang sekitar 14 m, lebar mulut 5 m dan tinggi mulut 3 m. Bahan jaring terbuat nilon multifilamen berwarna coklat yang dirajut dengan simpul reef knot pada bagian mulut dan tubuh serta simpul knot less bagian kantong. Ukuran mesh size bagian mulut 50 mm dengan nomor benang 20 S/36, bagian tubuh terdiri dari 20 mm dan 15 mm dengan nomor benang 20 S/21 dan ukuran mesh size bagian kantong 5 mm dengan nomor benang 20 S/8x8. Satu unit bubu tiang dasar berjumlah kantong, harga perkantong sekitar Rp ,-, dengan ketahanan alat kurang lebih 3 tahun. Tiang merupakan tempat tumpuan berpegangnya mulut bubu tetap pada posisinya. Jenis kayu yang digunakan untuk tiang adalah kayu malas (Parastemon uraphylum ADC) atau kayu nibung (Oncossperma filamentosa) yang panjangnya sekitar 15 m dan berdiameter kurang lebih 20 cm. Banyak tiang dalam satu unit bubu berlebih satu dari jumlah kantong per unit alat, jika satu unit berjumlah 15 kantong maka banyak tiang 16 batang. Ring yang terbuat dari besi berbentuk cincin berdiameter lebih besar dari diameter tiang dengan berat berkisar antara 2 4 kg. Jumlah ring besi dalam satu batang tiang dua buah yaitu bagain atas dan bawah yang berfungsi sebagai tempat mengikatkan tali ris atas dan tali ris bawah bagian kiri sehingga mulut terbuka. Tali ring/tali utama adalah tali pemegang ring berjumlah utas, satu untuk pemegang ring atas dan satu lagi pemegang ring bagian bawah. Tali ring terbuat dari bahan polyethyline (PE) multifilamen berdiameter 10 mm dengan ukuran panjang disesuaikan dengan kedalaman bubu yang dioperasikan. 64

85 Pemberat yang berbentuk bulat telur terbuat dari besi mempunyai berat kurang lebih 0,5 kg. Dalam satu kantong terdapat satu atau dua pemberat yang diikatkan ada bagian tengah kantong, sehingga kantong mudah tenggelam. Bubu tiang dioperasikan di perairan pantai pada kedalaman kurang lebih 10 meter. Penangkapan dilakukan pada waktu arus surut siang dan malam hari, sedangkan pengambilan hasil tangkapan dilakukan ketika kecepatan arus surut mulai melemah. Untuk mengoperasikan dan mengambil hasil tangkapan bubu tiang digunakan perahu motor. Perahu motor menggunakan mesin diesel merek Yanmar atau Dompeng. Harga satu unit perahu Rp ,- dan mesin Rp ,- dengan masa ketahanan kurang lebih 10 tahun. Pengoperasian alat tangkap bubu tiang dalam setahun selama kurang lebih sembilan bulan dan dalam satu bulan selama hari yang dibagi dalam dua trip/periode. Periode pertama mulai 11 sampai 21 hari bulan dan periode kedua 26 sampai 6 hari bulan. Jenis hasil tangkapan bubu tiang adalah ikan teri, tenggiri, bawal hitam, bawal putih, parang-parang, nomei, biang, gulamah, tetengkek, belanak, layur, selar, pari, cumi-cumi, udang pepai/rebon, udang putih, udang merah dan jenis udang lainnya. 13) Cantrang Cantrang adalah alat penangkapan ikan yang pengoperasiannya ditarik menggunakan kapal motor. Cantrang atau fish net memiliki konstruksi yang tidak jauh beda dengan alat tangkap bubu labuh terdiri dari jaring, tali ris atas, tali ris bawah, tali utama, pelampung dan pemberat. Jaring cantrang terbuat dari bahan polyethyline (PE) multifilamen berwarna hijau. Jaring terdiri dari bagian sayap, mulut, tubuh dan kantong dengan panjang keseluruhnya adalah kurang lebih 75 m. Bagian sayap, mulut dan tubuh dirajut dengan jenis simpul double english knot dan pada bagian kantong dirajut dengan jenis simpul woven knot. Panjang sayap berkisar 40 m dengan ukuran mesh size semakin kecil ke bagian mulut (90 mm, 60 mm dan 45 mm). Panjang tubuh berkisar 50 m terdiri dari 6 bagian dengan mesh size yang berbeda-beda yaitu 45 mm, 30 mm, 25 mm dan 20 mm, 15 mm dan 10 mm. Panjang bagian kantong berkisar 8-10 m dengan ukuran mesh size 5 mm. Tali ris atas dan tali ris bawah terbuat dari bahan polyethyline (PE) multifilamen berdiameter 15 mm. Tali utama merupakan perpanjangan tali ris atas 65

86 dan tali ris bawah. Panjang tali utama sekitar kurang lebih 15 m dan dihubungkan ke kapal motor. Cantrang memiliki ketahanan kurang lebih 3 tahun, dengan harga Rp ,-/kantong. Alat tangkap cantrang dioperasikan selama sembilan bulan dalam satu tahun dan selama 22 hari dalam satu bulan. Pengoperasiannya dilakukan di perairan pantai, dimana alat tangkap ditarik dengan menggunakan menggunakan perahu/kapal motor. Perahu/kapal motor menggunakan mesin diesel merek Yanmar atau Dompeng. Harga satu unit perahu motor Rp ,- dan mesin Rp , dengan masa ketahanan kurang lebih 10 tahun. Jenis hasil tangkapan cantrang ikan tenggiri, bawal hitam, bawal putih, parang-parang, nomei, biang, gulamah, tetengkek, belanak, layur, selar, pari, cumi-cumi, udang putih, udang merah dan jenis udang lainnya. 14) Tuamang (drift gillnet) Tuamang adalah alat penangkapan ikan yang mempunyai konstruksi tidak jauh berbeda dengan alat tangkap jaring terdiri dari tubuh jaring, tali ris atas, tali ris bawah, tali pelampung, pelampung dan pemberat, dioperasikan hanyut mengikuti arus perairan baik pada waktu pasang maupun pada waktu surut. Tubuh jaring terbuat bahan polyetilene (PE) multifilamen berwarna coklat dengan nomor benang 30. Ukuran mata jaring sekitar 1,6 inci, dengan jenis simpul trawler knot. Tali ris atas dan tali ris bawah yang masing-masing terdiri dari dua utas terbuat dari nilon polyetilen (PE) berdiameter 5 mm. Tali ris atas untuk mengikatkan pelampung kecil dan tali memperkuat tubuh jaring. Tali ris bawah untuk memperkuat tubuh jaring dan tali untuk mengikatkan pemberat. Pelampung kecil terbuat dari plastik berbentuk oval dengan jumlah satu unit sekitar 30 buah. Tali pelampung terbuat dari bahan polyetilene (PE) berdiameter sekitar 6 mm yang panjangnya sesuai dengan posisi jaring dalam perairan. Pelampung besar terbuat dari bahan polypropyline (PP) berdiameter sekitar 2,5 cm dan panjang sekitar 8,5 cm. Pelampung umumnya berwarna putih dalam satu piece berjumlah sekitar 2 buah. Pemberat terbuat dari timah berbentuk oval dengan berat perbuah sekitar 1 kg. Satu unit pukat tuamang berjumlah 7 9 keping/piece, panjang per piece 11 m dan lebar 3,5 m. Harga satu piece Rp ,- dengan ketahanan sekitar 3 tahun. 66

87 Daerah penangkapan tuamang di perairan pantai dengan menggunakan perahu motor. Perahu motor menggunakan mesin diesel merek Yanmar atau Dompeng. Harga satu unit perahu motor Rp ,- dan mesin Rp ,- dengan ketahanan kurang lebih 10 tahun. Penangkapan alat tangkap tuamang dalam satu tahun dapat dilakukan selama kurang lebih sembilan bulan dan dalam satu bulan selama hari. Jenis hasil tangkapannya adalah udang putih, udang merah, ikan senangin, parang-parang, gulamah, dan ikan lainnya. 15) Kelong pantai (guiding barrier) Kelong pantai merupakan alat penangkapan ikan yang bersifat statis yang dipasang semi permanen menghadap arus surut. Kelong terbuat dari bahan polyetilene (PE) multifilamen berwarna coklat atau hijau dengan nomor benang 30. Benang dirajut menjadi jaring dengan jenis simpul trawler knot dan dipasangkan pada tiang-tiang dari kayu yang ditancapkan ke tanah berdarkan bagian-bagian kelong. Kelong terbagi atas tiga bagian, bagian penajur, bagian sayap dan bagian bunuhan. Bagian penajur dan sayap masing-masing memiliki panjang 4 m dan lebar 1 m dengan ukuran mata jaring 2,5 cm. Bagian ini berfungsi sebagai pengarah ikan atau udang yang terbawa arus perairan ke bagian bunuhan. Bagian bunuhan terdiri atas bunuhan pari, bunuhan kelingking dan bunuhan mati. Bunuhan pari dan bunuhan kelingking masing-masing memiliki panjang 5 m dan lebar 1 dengan ukuran mata jaring 1,5 cm. Sedangkan bunuhan mati berbentuk empat persegi panjang dengan panjang 2 m, lebar 1 m dan tinggi 1 m. Pada bagian bunuhan mati terdapat injab sehingga ikan dan udang yang masuk tidak dapat keluar lagi. Kelong pantai memiliki ketahanan kurang lebih 3 tahun dan harga perunit sekitar Rp ,-. Kelong pantai dioperasikan di pinggiran pantai pada saat arus pasang dan pengambilan hasil tangkapan pada waktu arus surut siang atau arus surut malam hari. Untuk mengoperasikan dan mengambil hasil tangkapan kelong pantai digunakan perahu dayung. Harga satu unit perahu dayung Rp ,- dengan ketahanan kurang lebih 10 tahun. Penangkapan kelong pantai dalam satu bulan selama 22 hari dan dalam satu tahun selama kurang lebih sembilan bulan. Jenis 67

88 hasil tangkapannya adalah udang putih, udang merah, udang kelong, ikan senangin, parang-parang, gulamah, layur, lomek/nomei dan jenis ikan lainnya. 16) Belat (other traps) Belat adalah suatu jenis alat penangkapan pasif yang menghadang gerombolan ikan dan udang yang hanyut terbawa arus ketika arus surut terjadi. Kontruksi alat penangkapan ini terdiri dari dua bagian yaitu sayap dan jermal atau kantong. Sayap terbuat dari bahan polyethyline (PE) multifilamen berwarna hijau tua yang dirajut dengan jenis simpul trawler knot dan ukuran mesh size 1,5-2,5 cm. Satu unit belat terdapat dua sayap yaitu sayap kiri dan sayap kanan yang panjangnya berkisar m dan lebar berkisar 1 1,5 m. Kantong belat membentuk sudut lancip dengan mesh size 1 1,5 cm dan panjang 5 m. Pada bagian-bagian sayap dan kantong diberi tiang-tiang dari kayu yang ditancapkan ke atas tanah, sehingga jaring belat tidak mudah roboh oleh arus perairan. Belat memiliki ketahanan kurang lebih 3 tahun dan harga per unit sekitar Rp ,-. Daerah penangkapan belat di pinggiran pantai dan muara sungai. Pengoperasian belat pada waktu arus pasang dan pengambilan hasil tangkapan ketika arus surut. Untuk mengoperasikan dan mengambil hasil tangkapan belat digunakan perahu dayung. Harga satu unit perahu dayung Rp ,-, dengan memiliki ketahanan kurang lebih 10 tahun. Penangkapan dilakukan selama kurang lebih sembilan bulan dalam satu tahun dan selama 22 hari dalam satu bulan. Jenis hasil tangkapannya adalah udang putih, udang merah, udang kelong, ikan senangin, parang-parang, gulamah, biang, nomei dan ikan jenis lainnya Jenis dan hasil tangkapan Jenis ikan dan udang yang terdapat di perairan Selat Malaka Kabupaten Bengkalis dan Perairan Laut Cina Selatan Kabupaten Indragiri Hilir adalah; ikan tenggiri (Scomberomorus sp), biang (Setepinna sp), senangin (Polynemus sp), parang (Chirocenthrous sp), bawal (Strometeus sp), belanak (Mugil sp), lomek (Harpodon nehereus), gulamah (Johnias dussumieri), selar (Selaroides sp), terubuk (Alosa sp), kurau (Eleutheronema sp), jenak/merah (Lutjanus sp), kelampai/malong (Muraenesox sp), gerot (Pomadasis sp), manyung (Arius sp), talang (Chorinemus tala), selangat (Dorosoma sp), belo (Clupea sp), layur (Trichiurus sp), ikan kekek (Rhinobatus sp), ikan teri (Stelophorus sp), udang 68

89 Jumlah Alat Penangkapan Ikan (unit) rebon (Acetes sp), udang putih (Metapenaeus sp), udang merah (Parapenaeus sp), udang duri (Alphases sp), ketam/kepiting (Potunus sp), cumi-cumi (Loligo sp) dan kerang (Anadara sp) Kecenderungan jumlah alat penangkapan Kecenderungan jumlah alat penangkap ikan di Provinsi Riau selama 9 tahun terakhir ( ) secara umum cenderung mengalami peningkatan. Walaupun pada saat dan setelah terjadi pemisahan Kepulauan Riau jumlah alat penangkap ikan mengalami penurunan, namun setelah itu (tahun 2007) mulai mengalami peningkatan kembali. Kecenderungan jumlah alat penangkap ikan di Provinsi Riau dalam kurun waktu 9 tahun terakhir ditunjukkan pada Gambar sebelum pemekaran setelah pemekaran Tahun Gambar 11 Kecenderungan jumlah alat penangkap ikan di Provinsi Riau tahun Jumlah alat penangkap ikan di Provinsi Riau sebagian besar (60%) terdapat di wilayah perairan Selat Malaka. Pada tahun 2007 jumlah alat penangkap ikan di perairan ini terdata sebanyak unit. Jumlah alat tangkap terbanyak ada di Kabupaten Bengkalis, yakni sebanyak unit. Kemudian, untuk jumlah alat penangkap ikan di wilayah perairan Laut Cina Selatan terdata sebanyak unit. Pada wilayah perairan ini jumlah alat tangkap terbanyak terdapat di Kabupaten Indragiri Hilir, sebanyak unit. Sebaran jumlah alat menurut wilayah perairan dan kab/kota di Provinsi Riau disajikan pada Gambar

90 S ela t Ma la ka 68% Bengkalis 42% Dumai 4% Siak 2% Indragiri Hilir 29% P erairan S elat Malaka : * K abupaten S iak * K otamadya Dumai * K abupaten B engkalis * K abupaten R okan Hilir Rokan Hilir 20% L a ut C ina S ela ta n 32% Pelalawan 3% P erairan L aut C ina S elatan : * K abupaten Indragiri Hilir * K abupaten P elalawan Gambar 12 Distribusi jumlah alat penangkap ikan menurut wilayah perairan dan kabupaten/kota di Provinsi Riau tahun Nelayan Usaha perikanan tangkap di Provinsi Riau umumnya dilakukan secara perorangan dan masih didominasi (sekitar 90%) oleh skala usaha kecil dengan armada berukuran 5 GT ke bawah. Kebanyakan nelayan di provinsi ini berstatus sebagai nelayan penuh dan mereka bekerja umumnya berdasarkan pengalaman turun-menurun. Jumlah nelayan di Provinsi Riau pada tahun 2007 tercatat sebanyak nelayan dengan rincian berdasarkan skala usahanya yaitu tanpa perahu sebanyak 1176 orang (3,7%), perahu tanpa motor sebanyak 7950 orang (25,3%), motor tempel sebanyak 806 orang (2,6%) dan kapal motor dengan ukuran kapal 0-5 GT sebanyak orang (57,6%), ukuran kapal 5-10 GT sebanyak 1998 orang (6,7%), ukuran kapal GT sebanyak 987orang (3,1%), ukuran kapal GT sebanyak 42 orang (0,1%) dan ukuran kapal GT sebanyak 336 orang (1,1%) (DPK Provinsi Riau 2007). Berdasarkan hasil survei, diperoleh hasil bahwa rataan tingkat pendidikan nelayan di Provinsi Riau sebagian besar (48%) adalah tamat SLTP. Hal ini secara umum dapat mencerminkan bahwa tingkat pendidikan nelayan di provinsi ini sudah cukup baik, sehingga akan relatif cepat untuk menerima pengetahuan dan introduksi teknologi yang lebih maju. Selain itu, hasil survei tersebut juga 70

91 J umlah Nelayan (orang ) menyatakan bahwa rata-rata tingkat pendapatan nelayan di Provinsi Riau ini pada tahun 2007 sebesar Rp 2 juta per bulan. Tingkat pendapatan ini sudah relatif lebih baik dibandingkan dengan pendapatan nelayan beberapa daerah di Indonesia lainnya. Kecenderungan jumlah nelayan di Provinsi Riau selama 9 tahun terakhir ( ) secara umum berfluktuasi dengan jumlah terbanyak terjadi pada tahun 2003 sebesar nelayan dan paling sedikit terjadi pada tahun 2005 sebesar RTP. Akibat dampak pemekaran Kepulauan Riau di Bulan Juli 2004, maka pada tahun 2005 terjadi penurunan jumlah nelayan secara drastis, yakni sekitar 20,7%. Namun demikian, pada tahun 2007 jumlah nelayan Provinsi Riau mulai berangsur bertambah, walaupun jumlah pertambahannya masih relatif terbatas (1,1%). Kecenderungan jumlah nelayan di Povinsi Riau dalam kurun waktu 9 tahun terakhir ( ) ditunjukkan pada Gambar 13. Perhitungan sederhana dengan menggunakan asumsi hari kerja nelayan 200 hari/tahun, maka dapat diestimasi bahwa pada tahun 2007 setiap nelayan di provinsi ini rata-rata memperoleh hasil tangkapan sebanyak 3,3 kg/hari. Kecenderungan tingkat produktivitas nelayan Riau selama tahun dapat dilihat pada Gambar Sebelum pemekaran Setelah pemekaran Tahun Gambar 13 Kecenderungan jumlah nelayan Provinsi Riau tahun

92 Hasil Tangkapan Nelayan Per Hari (kg/hari) 3,5 3,0 3,3 3,3 3,3 2,5 2,0 2,5 2,5 2,3 2,1 2,0 2,2 1,5 1,0 0,5 0,0 sebelum pemekaran setelah pemekaran Tahun Gambar 14 Kecenderungan rataan nilai produktivitas nelayan di Provinsi Riau tahun Perikanan Tangkap di Perairan Selat Malaka Kabupaten Bengkalis Terbentuknya Provinsi Riau, berdasarkan Undang-Undang No. 61 tahun 1958, tentang Pembentukan Daerah Sumatera Tingkat I Sumatera Barat, Riau dan Jambi, maka Kabupaten Daerah Tingkat II Bengkalis berada dalam Provinsi Riau. Berdasarkan posisi geografisnya Kabupaten Bengkalis terletak pada 100 o 52 Bujur Timur dan 2 o 3 0 o 17 Lintang Utara memiliki luas wilayah ,77 km2 yang terdiri dari pulau-pulau dan lautan (Gambar 15). Wilayah administrasi Kabupaten Bengkalis terdiri dari 13 Kecamatan, 139 desa dan 36 kelurahan. Wilayah Kabupaten Bengkalis (Gambar 15) secara administrasi saat ini memiliki batas-batas sebagai berikut: (1) Sebelah Utara : Berbatasan dengan Selat Malaka (2) Sebelah Selatan : Berbatasan dengan Kabupaten Siak (3) Sebelah Barat : Berbatasan dengan Kota Dumai dan Kabupaten Rokan Hilir (4) Sebelah Timur : Berbatasan dengan Propinsi Kepulauan Riau, dan Kabupaten Karimun Kabupaten Bengkalis memiliki wilayah perairan yang luas, baik perairan sungai, danau, dan perairan laut. Selain memiliki perairan yang luas juga memiliki pulau-pulau yang sangat potensial untuk pengembangan sektor pertanian, perkebunan, perikanan dan pertambangan, seperti Pulau Bengkalis, Pulau Rangsang, Pulau Merbau, Pulau Tebing Tinggi dan Pulau Rupat. Kawasan 72

93 tersebut memiliki keanekaragaman hayati, seperti flora dan fauna terestrial dan air, lahan pertanian dan perkebunan, sagu rakyat, kelapa dan potensi pengembangan budidaya perikanan. Kabupaten Bengkalis juga memiliki potensi pulau-pulau kecil yang secara administratif sebagian sudah memiliki nama. Wilayah Kabupaten Bengkalis memiliki letak yang strategis, karena di samping berhadapan langsung dengan negera tetangga, yakni Malaysia, yang hanya dipisahkan dengan Selat Malaka yang sejak dahulu dikenal sebagai jalur perdagangan Internasional yang ramai, juga daerah ini berada pada posisi segitiga pertumbuhan Indonesia, Malaysia, Singapura (IMS-GT) dan segitiga pertumbuhan Indonesia, Malaysia, Thailand (IMT-GT) Gambar 15 Peta Wilayah Administrasi Kabupaten Bengkalis Produksi perikanan tangkap (laut) Produksi hasil tangkapan oleh nelayan di Selat Malaka Kabupaten Bengkalis dari tahun cenderung tidak teratur atau berfluktuasi. Produksi terbanyak terjadi pada tahun 1999 sebesar 86701,6 ton dan terendah pada tahun 2005 sebesar 8285,3 ton. Kecenderungan produksi perikanan di Selat Malaka Kabupaten Bengkalis disajikan pada Gambar

94 Produksi (ton/tahun) Jumlah produksi perikanan tangkap di Selat Malaka Kabupaten Bengkalis mengalami penurunan rata-rata sebesar ton/tahun dan jumlah produksi ikan di Perairan Kabupaten Bengkalis telah mencapai 82% dari potensi yang ada, dan telah masuk ke dalam jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB). Kawasan penangkapan ikan utama Kabupaten Bengkalis selain perairan kabupaten adalah perairan Selat Malaka. Saat ini tingkat eksploitasi penangkapan di Selat Malaka telah lebih 100% dari potensi yang ada, sehingga tergolong tangkap lebih (overfishing). Tingkat pemanfaatan yang berlebihan (over exploitated) terjadi pada hampir seluruh kelompok sumberdaya perikanan yang ada, kecuali kelompok sumberdaya ikan pelagis kecil pemanfaatannya mencapai 90%, atau melebihi jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) , , , , ,1 8285,3 8468, , Tahun Gambar 16 Kecenderungan produksi perikanan tangkap di Selat Malaka Kabupaten Bengkalis tahun Gejala yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir ini adalah mulai berkurangnya tangkapan nelayan. Jumlah tangkapan sudah mendekati potensi lestari, bahkan di beberapa lokasi penangkapan telah terjadi tangkap lebih, dan jumlahnya semakin menurun termasuk stok udang peneid, ikan demersal (Gambar 17), pelagis besar dan ikan karang khususnya di perairan Selat Malaka. Produksi perikanan pelagis (Gambar 18) mengalami penurunan sebesar 1091 ton per tahun. Hasil tangkapan tertinggi terjadi pada tahun 1999 sebesar 8553 ton, sedangkan hasil tangkapan terendah pada tahun 2005 sebesar 885,2 ton. 74

95 P roduks i (ton) P roduks i (ton) , ,9 6931,8 7165,1 5190,6 4319,9 6927, , T a hun Gambar 17 Kecenderungan produksi perikanan demersal di Selat Malaka Kabupaten Bengkalis tahun , ,0 8000,0 6000,0 8553,0 8305,5 7897,9 7689,5 7881,8 5666,5 4000,0 2000,0 0,0 885,2 1463,0 1279, T a hun Gambar 18 Kecenderungan produksi perikanan pelagis di Selat Malaka Kabupaten Bengkalis tahun Alat penangkapan Alat penangkapan dominan yang dioperasikan di perairan Selat Malaka Kabupaten Bengkalis, terdiri dari 10 jenis yaitu; jaring insang hanyut, jaring kurau, jaring udang, rawai tetap, gombang, ambai/cici, pengerih, sondong/songko, pukat pantai/kiso dan belat. Alat tangkap yang digunakan oleh nelayan untuk menangkap ikan pada umumnya belum memakai alat bantu mekanis. Kecenderungan alat tangkap di perairan Selat Malaka Kabupaten Bengkalis berfluktuasi dan cenderung mengalami penurunan yaitu sebesar 353 unit tiap tahunnya (Gambar 19). Alat penangkapan yang digunakan nelayan di Perairan Selat Malaka Kabupaten 75

96 J umlah Alat P enang kapan Ikan (unit) Bengkalis terdiri dari milik pribadi dan kepunyaan tauke. Alat penangkapan kepunyaan pribadi/sendiri merupakan usaha penangkapan yang berskala kecil, dimana pemilik ikut melakukan kegiatan penangkapan. Sedangkan alat penangkapan milik tauke merupakan usaha penangkapan yang berskala menengah, di mana pemilik memperkerjakan orang lain untuk melakukan penangkapan. Persentase kepemilikan alat penangkapan disajikan pada Tabel T a hun Gambar 19 Kecenderungan jumlah alat penangkapan ikan (laut) di Selat Malaka Kabupaten Bengkalis tahun Tabel 4 Distribusi nelayan berdasarkan kepemilikan jenis alat tangkap di Perairan Selat Malaka Kabupaten Bengkalis No Jenis alat Status Pemilik % Pekerja % Jumlah % 1 Jaring insang , , Jaring kurau 7 24, , Jaring udang 57 87, , Rawai 61 83, , Gombang 69 82, , Ambai/cici 32 76, , Pengerih 42 80, , Sondong 22 88, Pukat pantai 7 100, Belat , Jumlah , , Sumber : DPK Kabupaten Bengkalis ( 2007) 76

97 4.6 Perikanan Tangkap di Perairan Laut Cina Selatan Kabupaten Indragiri Hilir Kabupaten Indragiri Hilir terletak di bagian Timur Propinsi Riau atau pada bagian Timur Pesisir Sumatera, dengan luas wilayah ± 11, Km². Karena letak posisi Kabupaten Indragiri Hilir di Pantai Timur Sumatera, maka kabupaten ini juga dapat dikategorikan sebagai daerah pantai. Panjang garis pantai Kabupaten Indragiri Hilir adalah 339,5 km, dan luas perairan laut meliputi km 2. Dengan kondisi ini, maka Kabupaten Indragiri Hilir mempunyai potensi yang luas, terutama dibidang perikanan. Kabupaten Indragiri Hilir sebagai daerah pasang surut, maka terdapat sungai cukup banyak dengan penyebaran sungai hampir di seluruh kecamatan. Di samping sungai, selat dan terusan, juga terdapat parit-parit untuk mengendalikan arus air pada saat pasang dan surut, kondisi ini melengkapi spesifikasi wilayah dengan sebutan Negeri Seribu Parit. Prospek pengembangan wilayah dan pertumbuhan ekonomi Kabupaten Indragiri Hilir cukup tinggi, karena berada di pantai timur Sumatera dan berdekatan dengan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi seperti Batam dan Karimun, serta berada di wilayah perairan yang mampu mengakses keberbagai wilayah dalam maupun luar negeri. Hal ini merupakan salah satu potensi yang dapat dikembangkan untuk menjadikan Kabupaten Indragiri Hilir sebagai Pintu Gerbang Pantai Timur Sumatera dalam berbagai aktifitas pembangunan. Kabupaten Indragiri Hilir (Gambar 20) dengan ibukotanya Tembilahan merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Indragiri sebelumnya. Pembentukan Kabupaten Indragiri Hilir berdasarkan Undang-undang Nomor : 6 Tahun 1965 tanggal 14 Juni Kabupaten Indragiri Hilir terletak antara 0 o 36 Lintang Utara 1 o 07 Lintang Selatan dan 104 o o 32 Bujur Timur dengan batas wilayah : (1) Sebelah Utara dengan Kabupaten Pelalawan. (2) Sebelah Selatan dengan Kabupaten Tanjung Jabung Barat Propinsi Jambi (3) Sebelah Barat dengan Kabupaten Indragiri Hulu (4) Sebelah Timur dengan Kabupaten Karimun 77

98 Gambar 20 Peta Kabupaten Indragiri Hilir. Kabupaten Indragiri Hilir Gambar 20 Peta Wilayah Administrasi Kabupaten Indragiri Hilir. Kabupaten Indragiri Hilir sebagian besar dari luas wilayah atau 93,31 % merupakan daerah dataran rendah, yaitu daerah endapan sungai, daerah rawa dengan tanah gambut (peat), daerah hutan payau (mangrove) dan terdiri atas pulau-pulau besar dan kecil dengan luas lebih kurang hektar dengan rata-rata ketinggian lebih kurang 0 3 Meter dari permukaan laut. Sedangkan sebagian kecilnya 6,69 % berupa daerah berbukit-bukit dengan ketinggian ratarata 6-35 meter dari permukaan laut yang terdapat di bagian Selatan Sungai Reteh Kecamatan Keritang, yang berbatasan dengan Propinsi Jambi. Dengan ketinggian tersebut, maka pada umumnya daerah ini dipengaruhi oleh pasang surut, apalagi bila diperhatikan fisiografinya di mana tanah-tanah tersebut terbelah-belah oleh beberapa sungai, terusan, sehingga membentuk gugusan pulau-pulau. Sungai yang terbesar di daerah ini adalah Sungai Indragiri yang berhulu di Pegunungan Bukit Barisan (Danau Singkarak), Sungai Indragiri mempunyai tiga muara ke Selat Berhala, yaitu di Desa Sungai Belu, Desa Perigi Raja dan Kuala Enok. Sedangkan sungai-sungai lainnya adalah; Sungai Guntung, Sungai 78

99 Kateman, Sungai Danai, Sungai Gaung, Sungai Anak Serka, Sungai Batang Tuaka, Sungai Enok, Sungai Batang, Sungai Gangsal yang hulunya bercabang tiga yaitu Sungai Gangsal, Sungai Keritang, Sunga Reteh, Sungai Terap, Sungai Mandah, Sungai Igal, Sungai Pelanduk, Sungai Bantaian, dan Sungai Batang Tumu. Pulau-pulau yang terdapat di Kabupaten Indragiri Hilir pada umumnya telah didiami penduduk dan sebagian diusahakan penduduk untuk dijadikan kebunkebun kelapa, persawahan pasang surut, kebun sagu dan lain sebagainya. Gugusan pulau tersebut meliputi; Pulau Kateman, Pulau Burung, Pulau Pisang, Pulau Bakong, Pulau Air Tawar, Pulau Pucung, Pulau Ruku, Pulau Mas, Pulau Nyiur dan pulau-pulau kecil lainnya. Di samping gugusan pulau tersebut maka terdapat pula selat-selat/terusan kecil seperti; Selat/Terusan Kempas, Selat/Terusan Batang, Selat/Terusan Concong, Selat/Terusan Perawang, Selat/Terusan Patah Parang, Selat/Terusan Sungai Kerang, dan Selat/Terusan Tekulai. Selain selat/terusan alam terdapat pula terusan buatan antara lain; Terusan Beringin, Terusan Mandah, Terusan Igal dan lain-lain. Di samping sungai dan selat /terusan di daerah ini terdapat pula parit-parit buatan yang telah dibangun sejak zaman dahulu oleh petani. Parit-parit buatan tesebut tetap dimanfaatkan sampai sekarang sebagai saluran drainase pengairan, serta untuk keperluan lalu lintas perhubungan. Selain itu di daerah ini juga terdapat danau dan tanjung seperti Danau Gaung, Danau Danai dan Danau Kateman, sedangkan tanjung yang ada di Indragiri Hilir adalah Tanjung Datuk dan Tanjung Bakung Produksi perikanan tangkap (laut) Kabupaten Indragiri Hilir memiliki wilayah perairan laut seluas km 2 yang terbagi dalam perairan pantai dari beberapa kecamatan, antara lain: Tembilahan (377,99 km 2 ), Kuindra (671,56 km 2 ), Tanah Merah (721,56 km 2 ), Reteh (553,74 km 2 ), Mandah (1.479,24 km 2 ), Gaung Anak Serka (612,75 km 2 ), Batang Tuaka (1.050,25 km 2 ) dan Kateman (211,31 km 2 ) serta perairan lepas pantai. Perairan laut Kabupaten Indragiri Hilir dengan posisi yang strategis dimana berhadapan langsung dengan Selat Berhala dan Laut Cina Selatan diyakini banyak menyimpan kekayaan sumberdaya hayati berupa ikan dan berbagai jenis hewan air serta tumbuhan laut lainnya. Sumberdaya ikan yang terdapat di perairan 79

100 Produksi (ton/tahun) tersebut terdiri dari jenis ikan pelagis, demersal serta binatang/hewan berkulit keras, yang kesemuanya memiliki nilai ekonomis penting. Produksi hasil tangkapan nelayan di Laut Cina Selatan dari tahun cenderung tidak teratur. Produksi terbanyak terjadi pada tahun 2000 sebesar 37673,3 ton dan terendah pada tahun 2005 sebesar ton. Kecenderungan produksi perikanan di Laut Cina Selatan disajikan pada Gambar , , , , , , , , T a hun Gambar 21 Kecenderungan produksi perikanan Laut Cina Selatan Kabupaten Indragiri Hilir tahun Jumlah produksi perikanan tangkap di Laut Cina Selatan mengalami penurunan rata-rata sebesar 510,5 ton/tahun, sumber daya perikanan yang terkandung dalam wilayah Laut Cina Selatan perairan Indragiri Hilir sebesar ton dengan potensi penangkapan lestari ton/tahun. Sampai Tahun 2007 tingkat pemanfaatannya telah mencapai 34780,8 ton atau sekitar 93,6 %, hal ini berarti masih mempunyai peluang untuk meningkatkan produksi penangkapan sebesar 4,39 % dari potensi yang tersedia. Peluang pengembangan usaha penangkapan yang dapat ditingkatkan sebanyak 1.567,70 ton per tahunnya terutama di perairan lepas pantai. Produksi perikanan demersal rata-rata mengalami penurunan sebesar 619,8 ton/tahun. Dengan jumlah produksi terbesar pada tahun 1999 sebesar ,7 ton dan produksi terendah terjadi pada tahun 2006 dan 2007 yaitu sebesar 8803,3 ton (Gambar 22). 80

101 P roduks i (ton) P roduks i (ton) , , , , , , ,9 8803,3 8803, T a hun Gambar 22 Kecenderungan produksi perikanan demersal Laut Cina Selatan perairan Indragiri Hilir tahun , ,3 5448, , ,8 3608,9 3608,9 3710, T a hun Gambar 23 Kecenderungan produksi perikanan pelagis Laut Cina Selatan perairan Indragiri Hilir tahun Produksi perikanan pelagis di Laut Cina Selatan perairan Indragiri Hilir mengalami penurunan produksi rata-rata 590,6 ton/tahun. Dengan produksi tertinggi pada tahun 1999 sebesar 9053,8. Produksi terendah terjadi pada tahun 2004 sebesar3373 ton (Gambar 23). Kepemilikan alat penangkapan di perairan Indragiri Hilir sama halnya dengan kepemilikan di Perairan Bengkalis, yaitu milik pribadi dan milik tauke. Lebih jelasnya disajikan pada Tabel 5. Hasil observasi lapang menunjukkan bahwa teknologi penangkapan yang ada di Laut Cina Selatan Perairan Indragiri Hilir umumnya masih berskala kecil 81

102 dan bersifat tradisional. Jenis alat tangkap yang ada dan digunakan oleh nelayan setempat cukup beragam. Kecenderungan alat penangkapan ikan berfluktuasi tiap tahunnya, di mana rata-rata mengalami kenaikan sebesar 137,9 unit tiap tahunnya. Secara umum Kecenderungan jumlah alat tangkap ini menunjukkan peningkatan yang cukup baik. Tabel 5 Distribusi nelayan berdasarkan kepemilikan jenis alat tangkap di Perairan Laut Cina Selatan Kabupaten Indragiri Hilir No Jenis alat Status Pemilik % Pekerja % Jumlah % 1 Jaring insang 24 33, , Jaring udang 8 72, , Rawai 15 40, , Bubu labuh 3 17, , Bubu tiang 8 29, , Pukat Cincin 4 57, , Sondong 13 52, , Tuamang 27 77, , Cantrang 5 33, , Belat , Jumlah , , Sumber : DPK Kabupaten Indragiri Hilir (2007) 4.7 Keadaan Sarana dan Prasarana Perikanan Sarana perikanan berupa Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) untuk tempat pendaratan ikan dan menjual hasil tangkapan terdapat dibeberapa daerah sebanyak 6 PPI yaitu pada PPI Bengkalis, PPI Tanjung Medang, PPI Selat Panjang, PPI Dumai, PPI Bagan Siapi-api dan PPI Pasir Limau Kapas. Untuk melihat prasarana yang dimiliki oleh masing-masing PPI dapat dilihat pada Tabel 6. PPI mempunyai prasarana seperti dermaga, Tempat Pelelangan Ikan (TPI) dan kantor. Dermaga yang dalam kondisi sangat baik terdapat pada PPI Bengkalis, PPI Tanjung Medang, PPI Selat Panjang dan PPI Dumai. PPI Bagan Siapi-api dan PPI Pasir Limau Kapas sarana dermaganya dalam kondisi sedang. TPI yang dimiliki oleh PPI Bengkalis dan PPI Dumai masih dalam kondisi yang baik. PPI Dumai kondisi sangat baik karena masih baru. Kondisi kantor pada PPI yang ada berkisar baik hingga sedang. Untuk prasarana lain seperti fasilitas air minum, BBM, cold storage dan pabrik es tidak ada. Pangkalan pendaratan ikan yang ada sebagian besar berfungsi sebagai konsentrasi kegiatan perikanan dengan tingkat pelayanan sedang. Fungsi PPI yang 82

103 ada berupa kegiatan perdagangan dan pemasaran ikan. Sebagian besar fungsi pelayanan pada PPI tidak berjalan. Untuk melihat fungsi dan pelayanan pada PPI disajikan pada Tabel 7. Tabel 6 Sarana dan prasarana pangkalan pendaratan ikan di Provinsi Riau Prasarana/Sarana No. PPI Cold Pabrik Dermaga TPI Air BBM Kantor Storage Es Gudang 1 Bengkalis **** ** *** Tanjung **** Medang 3 Selat Panjang **** *** Dumai **** **** - - *** - - *** 5 Bagan Siapiapi ** ** - - ** 6 Pasir Limau ** ** - - ** Kapas Sumber : PKSPL Faperika UNRI 2003 Keterangan: * = Kurang Baik *** = Baik ** = Sedang **** = Sangat Baik Tabel 6 menunjukkan bahwa penyediaan bahan-bahan pendukung untuk pelayanan tidak tersedia sehinga fungsi pelayanan pangkalan pendaratan ikan tidak berfungsi dengan baik. PPI Bengkalis berfungsi sebagai bongkar muat ikan, namun lebih banyak ikan yang didatangkan dari daerah luar. PPI Selat Panjang berfungsi baik, namun fasilitas pendukung kurang memadai. Sehingga sebahagian ikan tidak di daratkan di PPI melainkan kepada pedagang pengumpul (tauke). Kelemahan pada PPI yang ada berupa aksebilitas daerah penangkapan terlalu jauh dari PPI sehingga ikan yang ditangkap oleh nelayan tidak dapat didaratkan ke PPI, sehingga para nelayan menjual pada pengumpul atau pada tauke. Upaya yang sebaiknya dilakukan yaitu penguatan pengawasan dan penegakkan hukum, peningkatan pelayanan penunjang operasi, penanganan hasil tangkapan, peningkatan pemasaran serta alternatif lain berupa kapal yang berfungsi sebagai kapal pengumpul ikan pada daerah-daerah penangkapan yang jauh dari PPI. Usaha perikanan tangkap merupakan sektor perekonomian yang penting di Provinsi Riau, karena merupakan salah satu sektor yang dapat menyerap tenaga kerja dan mempunyai pengaruh yang cukup besar dalam struktur sosial masyarakat di provinsi ini. Mayoritas masyarakat Provinsi Riau yang tinggal di 83

104 daerah pesisir mengandalkan perikanan sebagai pekerjaan utama, hal ini terlihat pada jumlah nelayan yang cukup besar di Kabupaten Bengkalis. Tabel 7 Fungsi pelayanan pangkalan pendaratan ikan di Provinsi Riau No. PPI Dermaga Pelelangan/ Pemasaran Air Fungsi dan Pelayanan BBM Pendataan perikanan Pendaratan Perdagangan Kegiatan perikanan tangkap 1 Bengkalis ** ** - - ** * ** 2 Tanjung Medang ** ** ** 3 Selat Panjang *** ** *** ** ** 4 Dumai ** ** - - ** ** ** 5 Bagan Siapiapi ** ** 6 Pasir Limau Kapas ** ** Sumber : PKSPL Faperika UNRI 2003 Keterangan : * = kurang baik *** = baik ** = sedang **** = sangat baik Pemekaran wilayah administrasi yang terjadi pada tahun 2004 yaitu dengan terbentuknya Provinsi Kepulauan Riau berpengaruh terhadap kontribusi sektor perikanan, hal ini sangat terlihat jelas pada produksi perikanan yang mengalami penurunan lebih dari 50% pada tahun Demikian juga terhadap jumlah armada penangkapan, alat tangkap dan jumlah nelayan yang berasal dari Provinsi Riau mengalami penurunan jumlah yang cukup signifikan dibandingkan sebelum terjadinya pemekaran wilayah tersebut. Walaupun pada tahun 2007 telah mengalami peningkatan dan jumlah baik produksi perikanan, armada penangkapan, alat tangkap maupun nelayan, tetapi belum dapat memulihkan kondisi perikanan seperti sebelum terjadinya pemekaran. Upaya pemulihan terhadap kondisi ini perlu dilakukan untuk mengembalikan kondisi perikanan tangkap di Provinsi Riau sebelum terjadinya pemekaran wilayah. Indikator keberhasilan pembangunan sub-sektor perikanan tangkap tidak hanya dilihat berdasarkan adanya peningkatan secara kuantitasnya saja, namun harus juga memperhatikan kualitasnya pula, utamanya dalam hal pengelolaannya. Fokus utama dalam pengelolaan perikanan tangkap adalah aspek keberlanjutannya, karena menurut Fauzi dan Anna (2005), hal tersebut merupakan inti dalam pembangunan perikanan tangkap yang diharapkan dapat memperbaiki 84

105 kondisi sumberdaya dan masyarakat perikanan itu sendiri. Pengembangan perikanan tangkap tidak akan menghasilkan nilai manfaat yang optimal, bila tidak dilakukan secara terintegrasi dan holistik yang mencakup seluruh komponen atau sub-sistem terkait di dalamnya. Hal ini karena, pembangunan sub-sektor perikanan tangkap merupakan rangkaian kegiatan yang saling berinteraksi dan mempengaruhi dalam suatu kesatuan sistem, yang dimulai dari tingkat praproduksi (identifikasi dan estimasi sumberdaya ikan, pengadaan sarana dan prasarana penangkapan ikan, dan modal usaha), produksi (metode, teknologi dan daerah penangkapan ikan), pasca-produksi (penanganan dan pemasaran hasil tangkapan) hingga pengelolaannya (kelembagaan dan peraturan). 4.8 Kesimpulan (1) Pemekaran wilayah administrasi memberikan dampak terhadap pengurangan kontribusi perikanan tangkap yang signifikan di Provinsi Riau (2) Penambahan jumlah produksi, jumlah armada penangkapan, jumlah alat tangkap dan jumlah nelayan mengindikasikan bahwa usaha perikanan tangkap di Provinsi Riau masih memiliki peluang yang cukup besar untuk dikembangkan dengan melakukan pemilihan sumber daya unggulan dan penyelesaian terhadap konflik yang terjadi di Perairan Provinsi Riau untuk menjamin usaha perikanan tangkap yang berkelanjutan. 85

106 5.1 Pendahuluan 5 USAHA PERIKANAN TANGKAP UNGGULAN DI PERAIRAN PROVINSI RIAU Tujuan utama pengelolaan sumber daya perikanan ditinjau dari segi biologi adalah dalam upaya konversi stok ikan untuk menghindari tangkap lebih (King dan Ilgorm 1989). Sumber daya perikanan dalam mempertahankan ketersediaan dan kesinambungannya perlu dilakukan pendekatan kehati-hatian dalam mengeksploitasi sumber daya ikan sehingga keberlanjutan perikanan tangkap dapat dipertahankan. Oleh karena itu dalam eksploitasi sumber daya perikanan diperlukan potensi dugaan sumber daya perikanan yang dapat memberikan gambaran mengenai tingkat dan batas maksimal dalam pemanfaatan sumber daya perikanan di suatu wilayah perairan, sehingga pembangunan perikanan dapat direncanakan sedemikian rupa dan dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan. Keberlanjutan perikanan juga sangat dipengaruhi oleh teknologi yang digunakan dalam pemanfaatan sumber daya perikanan. Dalam kontek pengelolaan perikanan, teknologi yang digunakan biasanya berkaitan dengan upaya meningkatkan produktivitas dan meningkatkan efisiensi. Pengembangan perikanan tangkap sudah semestinya mempertimbangan kesetimbangan antara pemanfaatan dan kemampuan pulih dari sumber daya ikan, walaupun dalam implementasi hal ini sulit untuk dilakukan karena berbagai faktor sebagaimana telah diuraikan sebelumnya. Namun pemanfaatan sumber daya perikanan tangkap harus tetap berkelanjutan agar kesejahteraan masyarakat dan pemenuhan kebutuhan pangan dapat dicapai. Pengembangan perikanan tangkap yang berkelanjutan atau berkesinambungan hanya dapat tercapai dengan tindakan kebijakan pengelolaan. Sebagaimana diketahui kebijakan perikanan tangkap berkaitan dengan teknologi yang digunakan, ukuran kapal yang digunakan, penentuan jalur-jalur penangkapan. Kebijakan tentang teknologi penangkapan ikan berkaitan atau berhubungan dengan jenis alat tangkap yang digunakan serta dimensi dari alat tangkap tersebut. Perkembangan kebijakan dalam teknologi penangkapan ikan mempunyai kaitan dengan potensi dan nilai ekonomi dari sumber daya ikan yang menjadi tujuan penangkapan. Dengan demikian perkembangan kebijakan perikanan tangkap dari tahun ke tahun akan

107 menunjukkan bagaimana keputusan kebijakan perikanan tangkap yang ditetapkan dengan tujuan utama adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat nelayan dan mempertahankan kelestarian sumber daya ikan (Dahuri 2004). Pembangunan yang berbasis lokal harus mendapat dukungan dari pemerintah, disebabkan oleh potensi setiap wilayah berbeda. Tanpa adanya pengaturan akan menyebabkan adanya persaingan dalam pemanfaatan sumber daya dalam hal ini sumber daya perikanan tangkap. Persaingan dalam pemanfaatan sumber daya alam akan memberikan konsekuensi terhadap semakin terkurasnya sumber daya alam dan pada akhirnya akan menimbulkan konflik sebagai akibat semakin menipisnya sumber daya alam Tujuan penelitian Menentukan usaha perikanan tangkap unggulan yang layak untuk dikembangkan di perairan Provinsi Riau. 5.2 Metodologi Penelitian Metode yang digunakan pada penelitian Bab 5 ini yaitu gabungan antara penelitian deskriptif dan survei langsung (pengamatan dan wawancara). Data tentang keuntungan, kepemilikan, pendapatan, pemasaran perikanan, penerimaan relatif setiap alat tangkap terhadap waktu bekerja, transfer keuntungan antara pelaku lokal dan pelaku ekonomi dari luar dan penyerapan tenaga kerja diperoleh berdasarkan wawancara langsung dengan nelayan dan pengamatan langsung di kedua lokasi penelitian. Kinerja usaha perikanan tangkap atau financial performance analysis dilakukan dengan mencari NPV, IRR dan B/C pada kedua wilayah penelitian. Financial performance analysis dalam perikanan tangkap terdiri dari biaya investasi (perahu, alat tangkap dan mesin), biaya tetap (penyusutan investasi, perbaikan perahu, perbaikan mesin dan perbaikan alat tangkap), biaya variabel (bensin, solar dan perbekalan lainnya). Penerimaan merupakan hasil perkalian dari seluruh hasil tangkapan dengan harga. Dengan menghitung total hasil tangkapan dikurangi total biaya, dapat dihitung keuntungan per bulan dan per tahun. Fianancial performance analysis dapat dilakukan untuk semua jenis perikanan tangkap di kedua daerah penelitian dan pada setiap jenis alat tangkap. Dari perkiraan-perkiraan ini dapat ditentukan NPV dari perikanan tangkap setiap 87

108 jenis alat tangkap pada daerah penelitian, dengan demikian, secara keseluruhan dapat dilihat tingkat manfaat dari kegiatan perikanan tangkap yang akan dianalisis Metode pengumpulan data (1) Jenis data Secara umum jenis data yang dikumpulkan terdiri dari : 1) Data potensi sumber daya perikanan tangkap Data potensi meliputi sumber daya ikan, kapal perikanan, alat tangkap dan produksinya yang mendukung pengembangan usaha perikanan tangkap. 2) Data sosial ekonomi dan budaya Data sosial ekonomi meliputi jumlah nelayan, pendidikan, partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumber daya perikanan tangkap, kecenderungan masyarakat dalam memanfaatkan sumber daya perikanan tangkap serta keinginan masyarakat dalam pengembangan usaha. (2) Teknik pengambilan data Data primer dan sekunder dalam penelitian ini diperoleh melalui beberapa teknik pengumpulan data sebagai berikut : 1) Teknik wawancara yang digunakan dalam studi ini adalah wawancara secara mendalam (in-depth interview), yaitu percakapan dua arah atas inisiatif pewawancara dengan memakai panduan wawancara pada sekelompok responden yang telah ditentukan. 2) Teknik pengamatan (observasi) dengan melihat kejadian secara terencana dan langsung pada tujuan guna menghimpun data pada saat kejadiannya. 3) Teknik dokumentasi yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah proses pengumpulan dan pengkajian informasi (data sekunder) yang bersumber dari terbitan-terbitan berkala, buku/literatur, informasi internet, dokumen, surat kabar, dan referensi statistik. Sumber data sekunder digolongkan menjadi sumber informasi organisasional (internal), yaitu dari instansi pernerintah, dan informasi eksternal berupa database dari lembaga nonpemerintah (swasta). 88

109 4) Responden dalam penelitian ini dipilih secara sengaja (purposive sampling), yaitu responden yang dapat mewakili karakteristik perikanan tangkap di lokasi penelitian Metode analisis data 1) Analisis pasar Analisis pasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis struktur pasar. Analisis ini bertujuan untuk mengetahui tujuan pasar sumber daya perikanan yang dihasilkan dari perairan Provinsi Riau. Dari analisis ini dapat diketahui jenis-jenis sumber daya ikan yang mempunyai potensi untuk pasar lokal, pasar antar daerah maupun pasar internasional, sehingga dapat diketahui sumber daya ikan yang menjadi unggulan di perairan Provinsi Riau. Pemilihan sumber daya ikan unggulan yang didaratkan di perairan Selat Malaka Kabupaten Bengkalis dan perairan Laut Cina Selatan Kabupaten Indragiri Hilir Provinsi Riau dilakukan melalui dua tahap, yaitu: 1) menginventarisasi semua sumber daya ikan yang dianggap unggulan oleh para responden yang merupakan representatif dari semua stakeholder perikanan tangkap di lokasi penelitian; 2) sumber daya ikan yang menjadi pilihan para responden tersebut diseleksi lagi dengan menggunakan metode skoring. Pada tahap kedua, pendekatan aspek pemasaran digunakan dengan kriteria, seperti nilai produksi, harga, wilayah pemasaran, dan nilai tambahnya. Diharapkan dengan dua tahap seleksi ini, akan dihasilkan sumber daya yang benar-benar potensial untuk dikembangkan. Kriteria yang digunakan untuk memilih sumber daya ikan unggulan berdasarkan aspek pasar adalah sebagai berikut : Wilayah pemasaran : nilai tambah 1 = lokal 1 = rendah 2 = nasional 2 = tinggi 3 = internasional 3 = sangat tinggi 2) Model produksi surplus (1) Standardisasi alat tangkap Keanekaragaman jenis alat tangkap yang digunakan di suatu perairan memungkinkan suatu spesies ikan tertangkap pada beberapa jenis alat tangkap. Gulland (1983), menyatakan jika di suatu daerah perairan terdapat berbagai jenis 89

110 alat tangkap yang dipakai, maka salah satu alat tersebut dapat dipakai sebagai alat tangkap standar, sedangkan alat tangkap yang lainnya dapat distandarisasikan terhadap alat tangkap tersebut. Alat tangkap yang ditetapkan sebagai alat tangkap standard mempunyai faktor daya tangkap atau fishing power indeks (FPI) = 1 (Tampubolon dan Sutedjo 1983). Jenis alat tangkap lainnya dapat dihitung nilai fishing power indeks (FPI) dengan membagi nilai catch per unit effort (CPUE) dengan CPUE alat tangkap standard. Nilai FPI ini kemudian digunakan untuk mencari upaya standard yaitu dengan mengalikan nilai FPI dengan upaya penangkapan alat tersebut. C CPUE s F Ci CPUEi F i s s FPI s CPUE CPUE s s 1 CPUE i FPI i.. (1) CPUE s Untuk alat tangkap lainnya menggunakan persamaan berikut. Standard Effort = FPI i x E. (2) keterangan : CPUE s = Hasil tangkapan per upaya penangkapan alat tangkap standar CPUE i = Hasil tangkapan per upaya penangkapan alat tangkap i C s Ci F s F i FPI s FPI i = Jumlah tangkapan jenis alat tangkap standar = Jumlah tangkapan jenis alat tangkap i = Jumlah upaya jenis alat tangkap standar = Jumlah upaya jenis alat tangkap i = Faktor daya tangkap jenis alat tangkap standar = Faktor daya tangkap jenis alat tangkap i (2) Model surplus produksi Salah satu metode pendugaan stok ikan adalah model surplus produksi. Metode ini digunakan dalam perhitungan potensi maksimum lestari (MSY) dan 90

111 upaya penangkapan optimum dengan cara menganalisis hubungan upaya penangkapan (E) dengan hasil tangkapan per satuan upaya (CPUE). Data yang digunakan dalam perhitungan tersebut adalah data hasil tangkap (catch) dan upaya penangkapan (effort) dari Buku Statistik Tahunan DPK Provinsi Riau tahun 1999 sampai tahun Analisis data dilakukan dengan pendekatan model Schaefer (1957). Berdasarkan parameter-parameter model surplus produksi yang diperoleh, kemudian dilakukan penyusunan fungsi produksi. Hubungan hasil tangkapan (catch) dengan upaya penangkapan (effort) adalah : C = ae be 2..(3) Hubungan antara Catch Per Unit Effort (CPUE) dengan upaya penangkapan adalah : CPUE = a be.. (4) Perhitungan upaya penangkapan optimum (E opt ) dilakukan dengan menurunkan persamaan (3) sama dengan 0 (nol). dc de a 2E 0 = a 2bE a = 2bE F opt = a/2b Potensi lestari (MSY) diperoleh dengan memasukan persamaan (5) ke persamaan (3) sehingga kondisi MSY adalah : MSY = a(a/2b) b(a 2 /4b 2 ) MSY = a 2 /2b ba 2 /4b 2 MSY = 2a 2 /4b a 2 /4b MSY = a 2 /4b.... (6) keterangan : a = konstanta, intersep (titik perpotongan garis regresi dengan sumbu y) b = slope (kemiringan dari garis regresi) c = catch per unit effort (5) MSY = maximum sustainable yield (potensi lestari) 91

112 Peluang pengembangan untuk sumber daya ikan ditentukan dari tingkat pemanfaatan dari tiap sumber daya, yaitu jika tingkat pemanfaatan 40%-50% maka peluang pengembangan sangat besar, jika tingkat pemanfaatan 55%-75% maka peluang pengembangan besar, dan jika tingkat pemanfaatan 80%-100% maka peluang pengembangan tidak dapat dilakukan karena mengalami overfishing. 3) Determinasi usaha perikanan tangkap Analisis ini dilakukan berdasarkan evaluasi terhadap pemanfaatan sumber daya ikan berdasarkan skenario harga pasar serta volume dan nilai ekspor dari masing-masing sumber daya ikan. Trend dari skenario tersebut akan menunjukkan tingkat permintaan dan nilai dari sumber daya ikan pada setiap wilayah di Provinsi Riau. Penilaian terhadap pasar juga didasarkan kepada tingkat pemanfaatan dari suatu sumber daya ikan hal ini penting karena berkaitan dengan potensi dari sumber daya ikan yang akan dimanfaatkan, sehingga rekomendasi sumber daya ikan merupakan sumber daya ikan yang mampu bersaing di pasar dan dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan. Tujuan determinasi unit penangkapan ikan adalah untuk mendapatkan jenis alat tangkap ikan yang mempunyai keragaan (performance) yang baik ditinjau dari aspek biologi, teknis, ekonomi dan sosial sehingga merupakan alat tangkap yang cocok untuk dikembangkan. Haluan dan Nurani (1998) mengemukakan bahwa untuk melakukan determinasi unit usaha perikanan tangkap digunakan model skoring yang meliputi : (1) Analisis aspek biologi yakni ditetapkan beberapa kriteria : lama waktu musim penangkapan ikan dan lama waktu musim ikan dengan melihat jumlah, bulan musim ikan dan selektifitas alat tangkap yang diperoleh dari hasil wawancara dengan nelayan. (2) Analisis aspek teknis mencakup : produksi pertahun, produksi per trip, produksi per jam operasi, produksi per tenaga kerja dan produksi per tenaga penggerak kapal. Penilaian terhadap kriteria aspek teknis dilakukan dengan melihat jumlah produksi pada setiap kriteria dari setiap unit penangkapan. Data ini diperoleh dari hasil wawancara dan pengamatan (data primer) maupun menggunakan data sekunder. 92

113 Penilaian rangking keragaan aspek ini juga menggunakan kriteria yang dinilai berdasarkan nilai produktivitas alat per trip (CPUE), produktivitas alat per tahun, dan jarak jangkau penangkapannya (1 = sekitar perairan pantai, 2 = mencapai perairan teritorial, 3 = mencapai perairan ZEE). (3) Analisis asepek ekonomi dapat dijabarkan menjadi aspek ekonomi dan finansial. Untuk mengetahui tingkat keuntungan yang diterima oleh nelayan maka dilakukan analisis usaha perikanan pada setiap jenis alat tangkap yang beroperasi baik di perairan Selat Malaka Kabupaten Bengkalis maupun perairan Laut Cina Selatan Kabupaten Indragiri Hilir. Hal ini perlu dilakukan untuk mengathui sampai sejauh mana kegiatan perikanan tangkap yang dianalisis masih memberikan keuntungan. Selain itu, pentingnya analisis ini dilakukan karena input dan output dari hasil analisis ini dapat dipergunakan untuk membandingkan serta mengetahui tingkat pendapatan nelayan, upah minimum provinsi, rata-rata penghasilan relatif ABK, dan penyerapan tenaga kerja. Sedangkan kriteria finansial meliputi nilai net present value (NPV), nilai internal rate of return (IRR) dan nilai benefit cost ratio (Net B/C). Kadariah (1986) menyatakan bahwa untuk mengevaluasi kelayakan finansial dapat digunakan 3 (tiga) kriteria investasi yang penting, yaitu Net Present Value (NPV), Net Benefit - Cost Ratio dan Internal Rate of Return (IRR). Kriteria investasi yang digunakan untuk pengujian/evaluasi kelayakan usaha secara finansial didasarkan pada discounted criterion. Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui seberapa besar manfaat (benefit) serta biaya-biaya (cost) selama umur ekonomis usaha (in the future) nilai-nilai saat ini (at present = t o ) diukur dengan nilai uang sekarang (present value), yaitu dengan menggunakan discounting factor. Kriteria tersebut adalah: (1) Perhitungan Net Present Value (NPV) Kriteria ini digunakan untuk menilai manfaat investasi yang merupakan jumlah nilai saat ini (present value) dari manfaat bersih proyek. Rumus yang digunakan untuk menghitung NPV adalah : 93

114 n Bt - Ct NPV = , t=1 (1 + i) t keterangan : Bt = Benefit pada tahun ke- t Ct = Biaya pada tahun ke-t i = tingkat bunga (%) n t = umur ekonomis = 1,2,3...,n NPV > 0 investasi dinyatakan menguntungkan dan merupakan tanda proyek tersebut dinyatakan layak, sedangkan jika NPV < 0 investasi tersebut tidak menguntungkan yang berarti proyek tersebut tidak layak untuk dikembangkan. Nilai NPV = 0 investasi tersebut hanya mengembalikan manfaat yang persis sama dengan tingkat social opportunity cost of capital. (2) Perhitungan Internal Rate of Return (IRR) IRR merupakan suku bunga maksimal untuk sampai kepada NPV bernilai sama dengan nol, jadi dalam keadaan untung rugi. IRR juga dianggap sebagai tingkat keuntungan atas investasi bersih dalam suatu proyek. Asal setiap manfaat yang diwujudkan secara otomatis ditanam kembali pada tahun berikutnya dan mendapatkan tingkat keuntungan yang sama dan diberi bunga selama sisa umur proyek. IRR dapat dirumuskan sebagai berikut : NPV 1 IRR = i (i 2 - i 1 ) NPV 1 - NPV 2 keterangan : i 1 = Tingkat bunga yang menghasilkan NPV positif i 2 = Tingkat bunga yang menghasilkan NPV negatif NPV 1 = NPV pada tingkat bunga i1 NPV 2 = NPV pada tingkat bunga i2 Proyek dikatakan layak jika IRR > dari tingkat bunga yang berlaku, sehingga jika IRR = tingkat bunga yang berlaku maka NPV dari proyek tersebut sama dengan nol. Jika IRR < dari tingkat bunga yang berlaku maka berarti NPV < 0 berarti proyek tidak layak. IRR dapat juga dianggap sebagai tingkat keuntungan suatu investasi dalam proyek, asalkan keuntungan bersih yang diperoleh tiap periode ditanam kembali pada periode berikutnya. (3) Perhitungan Net Benefit Cost Ratio (Net B/C) 94

115 Kriteria ini merupakan perbandingan dari total nilai kini dengan manfaat bersih yang positif dengan total nilai kini manfaat kini yang bernilai negatif. Dengan demikian Net B/C dapat dirumuskan sebagai berikut : n Bt - Ct , (untuk Bt- Ct > 0) t=1 (1 + i) t Net B/C = n Ct - Bt , (untuk Bt Ct < 0) t=1 ( 1 + i) t Kriteria : B/C > 1 = usaha layak untuk dilaksanakan, NPV > 0 B/C = 1 = usaha layak dalam kondisi break event point B/C < 1 = usaha tidak layak untuk dilaksanakan (4) Analisis aspek sosial meliputi : penyerapan tenaga kerja per unit penangkapan atau jumlah tenaga kerja per unit penangkapan, penerimaan nelayan per unit penangkapan atau penerimaan nelayan yang diperoleh dari hasil perhitungan yaitu hasil bagi antara sistem bagi hasil dengan jumlah nelayan per unit penangkapan, dan kemungkinan kepemilikan unit penangkapan ikan oleh nelayan yang diperoleh dari penerimaan nelayan per tahun dibagi investasi dari setiap unit penangkapan. Kriteria penilaian terhadap aspek sosial adalah : Tingkat penguasaan teknologi : dampak sosial : 1 = sangat sukar 1 = sangat tinggi 5 = tidak ada 2 = sukar 2 = tinggi 3 = mudah 3 = sedang 4 = sangat mudah 4 = rendah Metode skoring dapat digunakan untuk penilaian kriteria yang mempunyai satuan berbeda. Skoring diberikan kepada nilai terendah sampai nilai tertinggi. Untuk menilai semua kriteria atau aspek digunakan nilai tukar, sehingga semua nilai mempunyai standard yang sama. Unit usaha yang memperoleh nilai tertinggi berarti lebih baik daripada yang lain demikian pula sebaliknya. Untuk menghindari pertukaran yang terlalu banyak, maka digunakan fungsi nilai yang menggambarkan preferensi pengambil keputusan dalam menghadapi kriteria majemuk. 95

116 Standardisasi dengan fungsi nilai dapat dilakukan dengan menggunakan rumus dari Mangkusubroto dan Trisnadi (1985) sebagai berikut : V (X) = keterangan : X X 1 n X X V (A) = Vi Xi i i = 1, 2, 3,, n V (X) = Fungsi nilai dari variabel X X = Nilai variabel X X 1 = Nilai tertinggi pada kriteria X X 0 = Nilai terendah pada kriteria X V (A) = Fungsi nilai dari alternatif A Vi (Xi) = Fungsi nilai dari alternatif pada kriteria ke-i V adalah fungsi yang mencerminkan preferensi pengambil keputusan, maka alternatif yang terbaik adalah alternatif yang memberikan nilai V (X) tertinggi merupakan alat tangkap ikan yang terpilih untuk dikembangkan di perairan Provinsi Riau. (5) Aspek keramahan lingkungan Beberapa kriteria yang digunakan untuk melihat tingkat keramahan suatu alat tangkap (Monintja 2000) adalah : 1) Mempunyai selektivitas yang tinggi; 2) Tidak merusak habitat; 3) Menghasilkan ikan berkualitas tinggi; 4) Dalam operasional alat tidak membahayakan nelayan; 5) Produksi tidak membahayakan konsumen 6) Hasil sampingan (by-catch) yang tertangkap sedikit; 7) Dampak terhadap biodiversity kecil; 8) Tidak menangkap ikan yang dilindungi 9) Dapat diterima secara sosial Kriteria penilaian terhadap aspek keramahan lingkungan dari alat tangkap pilihan adalah : Posisi pengoperasian alat : 1 = dasar perairan hingga permukaan 5 = permukaan perairan 2 = dasar perairan 3 = permukaan dan dasar perairan 4 = permukaan dan kolom perairan 96

117 Dampak lingkungan : ukuran hasil tangkapan : 1 = sangat tinggi 4 = rendah 1 = tidak selektif (kecil-besar) 2 = tinggi 5 = tidak ada 2 = cukup selektif (sedang besar) 3= sedang 3 = selektif (sedang besar) 4) Model linear goal programming (LGP) Lee et al. (1990) menyatakan bahwa, model LGP berguna untuk 2 (dua) macam analisis yaitu : (1) menentukan syarat-syarat pemakaian sumber daya untuk mencapai beberapa tujuan dengan sumber daya yang tersedia, dan (2) memberikan penyelesaian yang memuaskan menurut masukan yang bermacammacam, tingkat aspirasi dan struktur prioritas. LGP mampu menangani banyak tujuan dalam berbagai dimensi, dimana konversi berbagai faktor dari kerugian dan keuntungan mungkin tidak terlalu diperhitungkan. Metode analisis ini mampu memecahkan masalah alokasi sumber daya dalam upaya mendukung kegiatan yang dinilai efisien (alternatif terbaik) untuk mencapai pendapatan maksimum, pemenuhan kebutuhan masyarakat dan dampak dari berbagai alternatif kebijakan terhadap penyerapan tenaga kerja di sektor perikanan. Selanjutnya dilakukan analisis postoptimal untuk mengetahui dampak dari beberapa perubahan yang terjadi terhadap pendapatan, permintaan ikan dan kesempatan kerja di suatu wilayah. Perubahan tersebut dapat berupa : (1) perubahan harga output dan peningkatan kuota atau kebutuhan untuk memenuhi kebutuhan domestik dan internasional, (2) antisipasi terhadap kebijakan pemerintah dalam penetapan proporsi suatu jenis teknologi penangkapan, skala usaha pengembangannya dan jumlah tangkapan yang diperbolehkan, (3) antisipasi terhadap peningkatan eksploitasi suatu wilayah perairan dan ketersediaan bahan baku bagi industri pengolahan, dan (4) antisipasi terhadap pengembangan bagi jenis tenaga kerja terampil yang dinilai terbatas ketersediaannya. Bentuk umum persamaan matematis dari model ini adalah sebagai berikut (Lee et al dan Muslich 1993): 1) Fungsi tujuan, Minimumkan Z= W ik P k (d - i d + i) 2) Fungsi kendala, a ij X j + d - i d + i = b i X j, d - i, d + i 0 (i=1,2,3,...,m) 97

118 Keterangan : P k = urutan prioritas (P k >>> P k + 1 ) W - ik dan W + ik = bobot untuk variabel simpangan 1 di dalam suatu tingkat prioritas k d - i dan d + i = deviasi negatif dan positif a ij = koefisien teknologi = variabel keputusan X j Setiap model goal programming paling sedikit terdiri atas tiga bagian, yaitu sebuah fungsi tujuan, kendala-kendala tujuan dan kendala non negatif. Selanjutnya, dalam model ini dikenal 3 macam fungsi tujuan, yaitu: 1) Minimumkan Z= d - i d + i Fungsi tujuan ini digunakan jika variabel simpangan dalam suatu masalah tidak dibedakan menurut prioritas bobot. 2) Minimumkan Z= P k (d - i d + i) (k= 1,2,..., k) Fungsi tujuan ini digunakan dalam suatu masalah di mana urutan tujuan diperlukan tetapi variabel simpangan di dalam setiap prioritas memiliki kepentingan yang sama. 3) Minimumkan Z= W ik P k (d - i d + i) (k= 1,2,..., k) Dalam fungsi ini, tujuan-tujuan diurutkan dan variabel simpangan pada setiap tingkat prioritas dibedakan dengan menggunakan bobot yang berlainan W ik. 5.3 Hasil Kondisi sumber daya perikanan tangkap di lokasi penelitian 1) Musim penangkapan Penangkapan ikan di perairan Selat Malaka Kabupaten Bengkalis dan perairan Laut Cina Selatan Kabupaten Indragiri Hilir dapat dilakukan sepanjang tahun, kecuali pada waktu angin bertiup kencang dan gelombang besar. Namun demikian, jumlah hasil tangkapan berfluktuasi menurut musim. Informasi yang diperoleh dari nelayan setempat diketahui bahwa di perairan Selat Malaka Kabupaten Bengkalis dan perairan Laut Cina Selatan Kabupaten Indragiri Hilir terdapat empat musim yaitu: (1) Musim Utara, berlangsung dari bulan Desember sampai dengan bulan Februari. Pada musim ini angin bertiup kencang sekali dan gelombang besar. 98

119 (2) Musim Selatan, berlangsung dari bulan Juni sampai dengan bulan Agustus. Pada musim ini kecapatan angin lemah dan gelombang kecil. (3) Musim Barat, berlangsung dari bulan September sampai dengan bulan November. Pada musim ini keadaan angin kadang-kadang bertiup lemah dan kadang-kadang kuat dan gelombang kadangkadang kecil dan kadang-kadang besar. (4) Musim Timur, yaitu dari bulan Maret sampai dengan bulan Mei. Pada musim ini keadaan angin bertiup tenang. 2) Daerah operasi penangkapan sedang dan gelombang Daerah penangkapan ikan di Kabupaten Bengkalis dan Kabupaten Indragiri Hilir terdiri dari di muara-muara sungai, selat, pinggiran pantai, dan lepas pantai (Selat Malaka). Sebaran daerah operasi penangkapan masing-masing alat tangkap disajikan pada Tabel 8. Tabel 8 Sebaran daerah operasi penangkapan ikan di perairan Kabupaten Bengkalis dan Kabupaten Indragiri Hilir No Jenis Alat Prinsip Penangkapan Daerah Operasi Penangkapan 1. Jaring Jaring insang hanyut Selat, pantai dan lepas pantai (Selat Malaka) 2. Jaring batu Jaring dasar hanyut Lepas pantai (Selat Malaka) 3. Jaring Udang Jaring dasar tiga lapis hanyut Selat dan pantai 4. Rawai tetap Pancing rawai tetap Pantai dan lepas pantai (Selat Malaka) 5. Gombang Perangkap Selat dan pinggir pantai 6. Ambai/cici Perangkap Selat dan pinggir pantai 7. Pengerih Perangkap Selat dan pinggir pantai 8. Sondong/songko Jaring angkat Pinggir pantai dan pantai 9. Pukat pantai/kiso Jaring lingkar Pinggir pantai 10. Pukat Cincin Jaring lingkar Pantai 11. Bubu Tiang Perangkap Pinggir pantai 12. Bubu Labuh Perangkap Pantai 13. Tuamang Jaring insang hanyut Pantai 14. Cantrang Pukat kantong/pukat ikan Pantai 15. Kelong Perangkap Pinggiran pantai 16. Belat Perangkap Muara sungai dan pinggir pantai Sumber : Primer hasil wawancara Muara-muara sungai, selat, pinggiran pantai dan perairan pantai merupakan daerah operasi penangkapan jenis alat tangkap yang bersifat pasif seperti, gombang, ambai/cici, pengerih, bubu tiang dan belat. Perairan lepas pantai 99

120 (Selat Malaka) merupakan daerah operasi penangkapan jenis alat yang bersifat semi aktif atau hanyut mengikuti arus perairan seperti alat tangkap jaring insang dan jaring batu. 3) Waktu/musim penangkapan Penangkapan ikan dan udang di perairan Selat Malaka Kabupaten Bengkalis dan perairan Laut Cina Selatan Kabupaten Indragiri Hilir dilakukan pada waktu siang dan malam hari baik pada saat pasang maupun saat surut. Sedangkan musim penangkapan dapat dilakukan sepanjang waktu. Keadaan waktu atau musim penangkapan masing-masing alat penangkapan disajikan pada Tabel 9. Tabel 9 Keadaan waktu/musim penangkapan masing-masing alat tangkap di perairan Kabupaten Bengkalis dan Kabupaten Indragiri Hilir No Jenis Alat Waktu Penangkapan Musim Penangkapan 1. Jaring Siang dan malam Barat, Utara, Selatan dan Timur 2. Jaring batu Siang dan malam Barat, Selatan dan Utara 3. Jaring Udang Siang dan malam Barat, Selatan dan Utara 4. Rawai Siang dan malam Barat, Timur dan Utara 5. Gombang Arus pasang surut siang dan malam Utara, Barat dan Selatan 6. Ambai/cici Arus pasang surut siang dan malam Utara, Barat dan Selatan 7. Pengerih Arus pasang surut siang dan malam Utara, Barat dan Selatan 8. Sondong/songko Siang Utara, Barat dan Selatan 9. Kiso/pukat pantai Siang Barat,Timur dan Utara 10. Pukat Cincin Siang dan malam Barat,Timur dan Utara 11. Bubu Tiang Arus surut siang dan surut malam Utara, Barat dan Selatan 12. Bubu Labuh Siang dan malam Utara, Barat dan Selatan 13. Tuamang Siang Barat, Timur dan Utara 14. Cantrang Siang Barat, Timur dan Utara 15. Kelong Surut siang dan surut malam Barat, Selatan dan Timur 16. Belat Surut siang dan surut malam Barat, Selatan dan Timur Sumber : Primer hasil wawancara 4) Puncak musim penangkapan Puncak musim penangkapan ikan dan udang di perairan Kabupaten Bengkalis dan perairan Kabupaten Indragiri Hilir berbeda sesuai dengan jenis alat tangkap yang dioperasikan. Puncak musim penangkapan di perairan Selat Malaka Bengkalis Kabupaten dan perairan Laut Cina Selatan Indragiri Hilir terjadi pada musim Barat dan Utara. Adapun puncak musim penangkapan masing-masing alat tangkap disajikan pada Tabel

121 Tabel 10 Puncak musim penangkapan masing-masing alat tangkap di perairan Kabupaten Bengkalis dan Kabupaten Indragiri Hilir No Jenis Alat Puncak Musim Bulan Penangkapan 1 Jaring Barat September - November 2 Jaring batu Barat September - November 3 Jaring Udang Barat September - November 4 Rawai Barat September - November 5 Gombang Utara Desember - Februari 6 Ambai/cici Utara Desember - Februari 7 Pengerih Utara Desember - Februari 8 Sondong/songko Utara Desember - Februari 9 Kiso/pukat pantai Barat September - November 10 Pukat Cincin Barat September - November 11 Bubu Tiang Utara Desember - Februari 12 Bubu Labuh Utara Desember - Februari 13 Tuamang Barat September - November 14 Cantrang Barat September - November 15 Kelong Barat September - November 16 Belat Barat September - November Sumber : Primer hasil wawancara 5) Jenis ikan dominan yang tertangkap Jenis ikan yang tertangkap di perairan Selat Malaka Kabupaten Bengkalis dan perairan Laut Cina Selatan Kabupaten Indragiri Hilir erat hubungannya dengan daerah dan prinsip penangkapan masing-masing alat tangkap. Untuk daerah penangkapan di perairan pantai dan lepas pantai (Selat Malaka) jenis ikan yang dominan tertangkap antara lain: ikan sebelah (Psettodes erumei), lidah (Cynoglossus spp), nomei (Harpodon nehereus), manyung (Arius sp), peperek, gerot-gerot (Pomadasys sp), merah/bambangan (Lutjanus malabaricus), kakap (Lates calcarifer), biang, Gulamah (Johnias dussumieri), cucut (Carcharhinus sp), pari (Trygon sp), bawal hitam (Formio niger), bawal putih (Pampus argenteus), malung (Muraenenson cinereus), selar (Selar sp), senangin (Polynemus sp), julung-julung (Hemirhamphus sp), teri (Stolephorus sp), parangparang (Chirocentrus sp), tenggiri (Scomberomorus sp), sedangkan untuk daerah muara sungai, perairan selat dan pinggiran pantai jenis ikan yang dominan adalah, udang rebon/pepai (Acetes sp), udang putih (Metapenaeus sp), dan udang merah (Parapenaeus sp). 101

122 Jenis-jenis ikan komersial terdiri dari jenis tenggiri (Scomberomorus sp), merah (Lutjanus malabaricus), bawal putih (Pampus argenteus), senangin (Polynemus sp), kakap (Lates calcarifer), gerot (Pomadasys sp), kerapu (Epinephelus sp), terubuk (Tenualosa toli), kurau (Eleutheronema spp), dan udang kelong. Harga ikan tersebut pada tingkat konsumen cukup tinggi. Ikan Terubuk sudah sangat jarang tertangkap. Salah satu penyebabnya yaitu pola konsumsi masyarakat yang sangat menyenangi telur ikan. Harga telur ikan terubuk jauh lebih tinggi dibandingkan harga ikan. Ikan tersebut lebih banyak tertangkap oleh nelayan pada saat ikan sedang bertelur. Beberapa tahun terakhir, ikan terubuk sudah sangat jarang tertangkap di perairan Selat Malaka Kabupaten Bengkalis. Dengan kata lain, ikan tersebut sudah terancam kelestariannya dan termasuk ikan yang kritis Identifikasi sumber daya ikan unggulan Pemasaran terhadap sumber daya ikan di Provinsi Riau merupakan bagian yang cukup penting untuk memacu produksi yang dapat menunjang keberhasilan usaha perikanan melalui pemenuhan kebutuhan ikan, baik untuk pasaran dalam negeri maupun ekspor dengan harga layak di tingkat nelayan. Upaya terhadap perluasan jangkauan pasar, promosi, penyediaan informasi pasar dan peningkatan pengetahuan nelayan dalam usaha penangkapan berdasarkan pada permintaan pasar. Pendekatan aspek pemasaran digunakan untuk mengetahui jenis-jenis sumber daya ikan yang mempunyai potensi untuk pasar lokal, pasar antar daerah maupun pasar internasional. Pendekatan aspek pemasaran digunakan dalam penentuan sumber daya ikan unggulan yang dapat dikembangkan di perairan Provinsi Riau. 1) Pemasaran Produk perikanan yang dihasilkan oleh nelayan perairan Selat Malaka Kabupaten Bengkalis dan perairan Laut Cina Selatan Kabupaten Indragiri Hilir sebagian besar dipasarkan untuk pasar luar negeri, khususnya Malaysia dan Singapura. Harga jenis ikan dan udang dominan di perairan Selat Malaka Kabupaten Bengkalis dan perairan Laut Cina Selatan Kabupaten Indragiri Hilir tidak jauh berbeda baik pada waktu musim puncak maupun pada waktu musim paceklik. Hal ini terjadi baik di tingkat pedagang pengumpul/tauke maupun di 102

123 tingkat konsumen. Sumber daya perikanan telah memiliki harga standar dari pihak Dinas Perikanan dan Kelautan setempat. Jenis ikan yang dipasarkan ke luar negeri adalah ikan kurau, malung, senangin, bawal putih, tenggiri, udang putih dan udang mantis (Tabel 11). Tabel 11 Harga sumber daya ikan dominan di perairan Selat Malaka Kabupaten Bengkalis dan perairan Laut Cina Selatan Kabupaten Indragiri Hilir No Jenis Ikan/udang Harga/kg (Rp) tingkat pedagang pengumpul tingkat konsumen 1 Kurau Kurau sedang Senangin Senangin kecil Bawal putih Bawal putih kecil Bawal hitam Tenggiri batang Tenggiri papan Parang Parang kecil Gerot-gerot ikan merah Ikan duri Malung Kelampai Udang kelong Udang putih udang merah Teri kering Udang kering/ Ebi Nomei kering Sumber : Primer hasil survei dan wawancara 2) Jalur-jalur pemasaran Pemasaran hasil penangkapan umumnya untuk tujuan lokal, namun beberapa jenis ikan tertentu dipasarkan ke daerah lain bahkan hingga ke luar negeri (tujuan ekspor). Daerah yang menjadi tujuan pemasaran ikan antar daerah (nasional) adalah Tanjung Balai Karimun, Moro dan Durai di Provinsi Kepulauan Riau, Rengat dan Jambi. Sedangkan negara yang menjadi tujuan ekspor (internasional) adalah Singapura, Malaysia dan Thailand. 103

124 Ikan-ikan yang dipasarkan untuk tujuan lokal antara lain ikan layur, gulama, sembilang, duri, parang, udang kuning, cumi-cumi, senangin, udang mantis, kakap, bawal putih, talang, parang, lidah, kakap, patin laut, mayung, tenggiri, selar, bawal hitam, udang rebon, belanak, biang, kepiting bakau, pari, sidat, lomek, udang tiger, pari kekek, hiu kemejan, pari kekek dan kurau. Ikan-ikan yang dipasarkan antar daerah (nasional) antara lain udang nenek, kepiting bakau, udang rebon, sidat, hiu kemejan, udang mantis, udang tiger, belanak, tenggiri, pari kekek, bawal putih dan kurau. Sedangkan ikan-ikan yang dipasarkan untuk tujuan ekspor (internasional) antara lain udang mantis, udang rebon kering, sidat, hiu kemenyan, udang kuning, udang tiger, belanak, tenggiri, pari kekek, kepiting bakau, bawal putih, kurau. 3) Rantai pemasaran Ikan-ikan yang didaratkan oleh nelayan di perairan Selat Malaka Kabupaten Bengkalis dan perairan Laut Cina Selatan Kabupaten Indragiri Hilir dijual kepada pedagang pengumpul kecil, pedagang pengumpul besar (tauke) ataupun langsung kepada konsumen lokal. Pedagang pengumpul kecil selanjutnya menjual ikannya kepada pedagang pengumpul besar ataupun kepada konsumen. Pedagang pengumpul besar menjual ikannya kepada pedagang antar daerah ataupun kepada konsumen bahkan kepada eksportir dari luar daerahnya. Sedangkan pedagang antar daerah selanjutnya menjual ikannya kepada eksportir lokal untuk diekspor dan sebahagian lagi untuk dipasarkan di daerahnya. 4) Sumber daya ikan unggulan Perhitungan hasil skoring dengan menggunakan fungsi nilai dapat ditentukan 5 jenis sumber daya unggulan berdasarkan aspek pemasaran di perairan Provinsi Riau dengan urutan prioritas disajikan pada Tabel

125 Tabel 12 Seleksi sumber daya ikan unggulan di perairan Selat Malaka Kabupaten Bengkalis dan perairan Laut Cina Selatan Kabupaten Indragiri Hilir dengan metode skoring berdasarkan aspek pasar Nama Sumber daya Nilai Produksi KABUPATEN BENGKALIS FN_ NP Harga/ Kg FN_ H Pem asar an F N _ P Nilai Tam bah FN_ NT TOT AL FN Kurau Rp ,66 Rp ,66 0,92 1 Senangin Rp ,00 Rp , ,22 0,81 2 Bawal Putih Rp ,30 Rp , ,52 0,38 4 Udang Putih Rp ,00 Rp , ,22 0,31 5 KABUPATEN INDRIGIRI HILIR Kurau Rp ,26 Rp , ,95 0,74 2 Udang Mantis Bawal Putih Rata an Rp ,00 Rp ,00 1,00 1 Rp ,41 Rp , ,99 0,50 3 Malung Rp ,00 Rp ,00 0,50 3 Tenggiri Rp ,06 Rp , ,30 0,33 4 Keterangan: Untuk Wilayah Pemasaran Untuk Nilai Tambah FN_NP: Fungsi Nilai Produksi 1 = Lokal 1 = Rendah FN_H: Fungsi Nilai Harga 2 = Nasional 2 = Tinggi FN_P: fungsi Nilai Pemasaran 3 = Internasional 3 = Sangat Tinggi FN_NT: Fungsi Nilai Nilai Tambah RA NK Potensi dan tingkat pemanfaatan sumber daya ikan unggulan di perairan Provinsi Riau Hasil survei lapangan, kuesioner dan wawancara dengan nelayan serta pendekatan analisis aspek pasar di perairan Provinsi Riau, diketahui bahwa jenis sumber daya ikan dominan yang didaratkan oleh nelayan setempat dan menjadi sumber daya ikan unggulan di perairan Selat Malaka Kabupaten Bengkalis adalah kurau, malung, senangin, bawal putih dan udang putih. Sedangkan untuk perairan Laut Cina Selatan Kabupaten Indragiri Hilir adalah ikan kurau, udang mantis, ikan bawal putih, malung dan tenggiri. Hasil analisis potensi sumber daya ikan dengan pendekatan metode surplus produksi dan tingkat pemanfaatannya untuk semua sumber daya ikan unggulan tersebut, disajikan pada Tabel 13. Analisis estimasi potensi dari sumber daya ikan unggulan terlihat bahwa hampir semua sumber daya ikan unggulan di perairan Provinsi Riau, tingkat pemanfaatannya di bawah 60 %. Dengan demikian semua sumber daya ikan unggulan tersebut masih memiliki peluang untuk dikembangkan, maka tahap 105

126 selanjutnya adalah menentukan jenis teknologi penangkapannya. Monintja (2000) menyatakan bahwa, pemilihan suatu teknologi penangkapan ikan yang tepat untuk diterapkan dalam pengembangan perikanan tangkap perlu mempertimbangkan: (1) teknologi yang ramah lingkungan, (2) teknologi yang secara teknis dan ekonomis menguntungkan, dan (3) teknologi yang berkelanjutan. Tabel 13 Potensi dan tingkat pemanfaatan sumber daya ikan untuk sumber daya ikan unggulan di perairan Provinsi Riau No Jenis Ikan Potensi/MSY Tingkat Pemanfaatan (%) Peluang Pengembangan KABUPATEN BENGKALIS 1 Kurau (Eleutheronema tetradactylum) sedang 2 Senangin (Polynemus sp) sedang 3 Malung (Muraenenson cinereus) sedang 4 Bawal Putih (Pampus argenteus) sedang 5 Udang Putih (Metapenaeus sp) rendah KABUPATEN INDRAGIRI HILIR 1 Kurau (Eleutheronema tetradactylum) sedang 2 Udang Mantis (Uratos guilla nepa sp) sedang 3 Bawal Putih (Pampus argenteus) sedang 4 Malung (Muraenenson cinereus) sedang 5 Tenggiri (Scomberomorus commersoni) sedang Aspek teknis Hasil observasi survei selama penelitian menunjukkan bahwa teknologi penangkapan yang ada di perairan Provinsi Riau umumnya masih berskala kecil dan menggunakan teknologi yang relatif sederhana. Jenis alat tangkap yang ada dan digunakan oleh nelayan setempat cukup beragam Keragaan aspek teknis untuk menangkap sumber daya ikan unggulan di Perairan Selat Malaka Kabupaten Bengkalis adalah jaring atom (gillnet), jaring apollo (trammel net) dan rawai menempati urutan yang terbaik. Jaring insang (gillnet), jaring udang (trammel net) dan jaring batu (bottom drift gillnet) menempati urutan yang terbaik di Perairan Laut Cina Selatan Kabupaten Indragiri Hilir. Analisis aspek teknis dari teknologi penangkapan untuk sumber daya ikan unggulan di Provinsi Riau disajikan pada Tabel

127 Tabel 14 Matrik keragaan aspek teknis dari teknologi penangkapan untuk sumber daya ikan unggulan di perairan Provinsi Riau Alat Tangkap CPUE FN_ CPUE KABUPATEN BENGKALIS Produk tivitas FN_P Jarak Penangkapan FN_JP Total Rataan Rank Rawai 0,13-13, ,00 0,67 2 Jaring batu 0,35 0,12 2,56 0, ,26 0,42 3 Jaring atom 1,83 0,95 7,69 0, ,48 0,83 1 Jaring apollo 1,92 1,00 0, ,00 0,67 2 KABUPATEN INDRAGIRI HILIR Rawai 0,11 Jaring batu 0,3 Jaring insang 1,5 Jaring udang 1,34-0,14 1,00 0,88 Keterangan : Jangkauan daerah penangkapan ikan 1 = sekitar perairan pantai (maksimum 4 mil dari pantai) 2 = dapat mencapai perairan teritorial (12 mil dari pantai) 3 = dapat mencapai perairan ZEE (200 mil dari pantai) Aspek ekonomi (1) Biaya usaha penangkapan 0, ,00 0,47 0, ,18 6, ,00 1,28 0, ,05 0,33 0,39 1,00 0,68 CPUE = catcth per unit effort FN_CPUE = fungsi nilai CPUE FN_P = fungsi nilai produktivits FN_JP = fungsi nilai jarak penangkapan Besarnya biaya operasi penangkapan di lokasi penelitian dibedakan atas biaya penangkapan harian dan biaya penangkapan dalam satu trip/bintang. Penangkapan harian yaitu berangkat dari pangkalan/pantai pada waktu subuh atau senja hari kembali pada waktu sore atau pagi harinya. Penangkapan dalam satu trip yaitu penangkapan yang dilakukan selama 4-10 hari terhitung mulai dari pemberangkatan, mencari daerah penangkapan, melakukan penangkapan dan sampai kemudian kembali ke pangkalan/pantai. Adapun besar biaya operasi penangkapan ikan di perairan Provinsi Riau disajikan pada Tabel 15. Tabel 15 Besar biaya operasi masing-masing alat penangkapan ikan dalam satu hari trip di Kabupaten Bengkalis dan Kabupaten Indragiri Hilir No 1 Jenis alat Jaring insang hanyut 2 Jaring Udang Jenis Jumlah Jenis & besar pengeluaran (Rp) Armada Nelayan Upah/ BBM Oli Es Ransum (orang) gaji Jumlah Perahu dayung Perahu motor Perahu dayung Perahu motor

128 No Jenis alat Jenis Armada Jumlah Nelayan (orang) Jenis & besar pengeluaran (Rp) Upah/ BBM Oli Es Ransum gaji Jumlah 3 Rawai 4 Jaring batu Perahu motor Perahu motor (2) Analisis usaha perikanan tangkap unggulan Rincian besarnya modal investasi usaha penangkapan berdasarkan hasil penelitian disajikan pada Tabel 16. Biaya usaha untuk melakukan usaha penangkapan ikan di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 17. Besarnya keuntungan dipengaruhi oleh hasil tangkapan yang diperoleh dan biaya usaha yang dikeluarkan. Dengan melihat tingkat keuntungan yang diperoleh, menunjukkan bahwa usaha penangkapan di daerah penelitian menguntungkan dan layak untuk dikembangkan. Tabel 16 Modal investasi pada masing-masing usaha perikanan tangkap unggulan di perairan Provinsi Riau Alat Tangkap Perahu Mesin Alat Tangkap Lainnya Jumlah KABUPATEN BENGKALIS Rawai Rp Rp Rp Rp Jaring batu Rp Rp Rp Rp Rp Jaring Atom Rp Rp Rp Rp Jaring Apollo Rp Rp Rp Rp KABUPATEN INDRAGIRI HILIR Rawai Rp Rp Rp Rp Jaring batu Rp Rp Rp Rp Jaring Insang Rp Rp Rp Rp Jaring Udang Rp Rp Rp Tabel 17 Analisis usaha perikanan tangkap unggulan di perairan Provinsi Riau Alat Tangkap Keterangan Investasi Penerimaan Biaya total Keuntungan Pendapatan ABK R/C KABUPATEN BENGKALIS Rawai Rp ,00 Rp ,00 Rp ,00 Rp Rp ,68 Jaring batu Rp ,00 Rp ,00 Rp ,00 Rp Rp ,49 Jaring Atom Rp ,00 Rp ,00 Rp ,00 Rp Rp ,86 Jaring Apollo Rp ,00 Rp ,00 Rp ,00 Rp Rp ,47 KABUPATEN INDRAGIRI HILIR Rawai Rp ,00 Rp ,00 Rp ,00 Rp Rp ,55 Jaring batu Rp ,00 Rp ,00 Rp ,00 Rp Rp ,38 Jaring Insang Rp ,00 Rp ,00 Rp ,00 Rp Rp ,85 Jaring Udang Rp ,00 Rp ,00 Rp ,00 Rp Rp ,81 Nilai imbangan penerimaan biaya (R/C) usaha penangkapan ikan di kedua daerah penelitian bervariasi antara untuk perairan Selat Malaka 108

129 Kabupaten Bengkalis, sementara di perairan Laut Cina Selatan Kabupaten Indragiri Hilir berkisar Besarnya nilai R/C dipengaruhi oleh hasil tangkapan yang diperoleh dan biaya usaha yang dikeluarkan. Komposisi biaya usaha, umumnya terdiri dari biaya BBM, biaya bekal melaut, biaya pembelian es, biaya pengadaan umpan, bagi hasil, pengurusan perizinan, perawatan, penyusutan dan pajak penghasilan (Lampiran 5-8). (3) Analisis kelayakan usaha perikanan tangkap unggulan Perhitungan kriteria investasi yang disajikan pada Tabel 18 menunjukkan bahwa usaha penangkapan di lokasi penelitian masih memungkinkan/layak untuk dikembangkan. Besarnya nilai NPV, Net B/C dan IRR sangat dipengaruhi oleh hasil tangkapan yang diperoleh dan biaya usaha yang dikeluarkan. Keragaan aspek finansial dari teknologi penangkapan sumber daya ikan unggulan disajikan pada Tabel 19. Tabel 18 Nilai kriteria investasi usaha perikanan tangkap unggulan di perairan Provinsi Riau Alat Tangkap Keterangan Kelayakan NPV (Rp) Net B/C IRR (%) KABUPATEN BENGKALIS Rawai ,68 40,4 Layak Jaring batu ,49 60,2 Layak Jaring Atom ,86 36,8 Layak Jaring Apollo ,47 29,6 Layak KABUPATEN INDRAGIRI HILIR Rawai ,55 42,8 Layak Jaring batu ,38 30,9 Layak Jaring Insang ,85 69,1 Layak Jaring Udang ,81 75,5 Layak Tabel 19 Matrik keragaan aspek ekonomi dari teknologi penangkapan sumber daya ikan di perairan Provinsi Riau Alat Tangkap NPV FN Net B/C FN IRR (%) FN Keuntungan FN Total Rata an Rank KABUPATEN BENGKALIS Rawai Rp ,01 1,68 0,20 40,4 0,35 Rp ,20 0,76 0,19 3 Jaring batu Rp ,00 2,49 1,00 60,2 1,00 Rp ,00 4,00 1,00 1 Jaring Atom Rp ,17 1,86 0,37 36,8 0,24 Rp ,24 1,02 0,26 2 Jaring Apollo Rp ,47-29,6 - Rp KABUPATEN INDRAGIRI HILIR Rawai Rp ,55 0,35 42,8 0,27 Rp ,29 0,91 0,23 4 Jaring batu Rp ,00 1,38-30,9 - Rp ,44 1,44 0,36 3 Jaring Insang Rp ,96 1,85 1,00 69,1 0,86 Rp ,00 3,81 0,95 1 Jaring Udang Rp ,28 1,81 0,93 75,5 1,00 Rp ,21 0,

130 Penggunaan teknik skoring untuk mengetahui urutan prioritas dari teknologi penangkapan sumber daya ikan unggulan. Penilaian rangking keragaan aspek ini menggunakan kriteria NPV, Net B/C, IRR, dan keuntungan. Hasil skoring terlihat bahwa keragaan aspek finansial dari jaring batu, jaring atom dan rawai menempati urutan yang terbaik di perairan Selat Malaka Kabupaten Bengkalis sementara jaring insang, jaring udang dan jaring batu menempati urutan terbaik di perairan Laut Cina Selatan Kabupaten Indragiri Hilir Aspek sosial Keragaan aspek sosial dari teknologi penangkapan unggulan dengan menggunakan metode skoring di setiap lokasi penelitian disajikan pada Tabel 20. Urutan prioritas dari teknologi penangkapan unggulan, dilakukan dengan menggunakan teknik skoring. Penilaian rangking keragaan aspek ini menggunakan kriteria jumlah ABK, tingkat penguasaan teknologi dan dampak sosialnya. Dari hasil skoring terlihat bahwa keragaan aspek sosial dari rawai, jaring batu, jaring atom dan jaring apollo menempati urutan yang terbaik di perairan Selat Malaka Kabupaten Bengkalis, sedangkan di perairan Laut Cina Selatan Kabupaten Indragiri Hilir adalah rawai, jaring batu, jaring insang dan jaring udang menempati urutan terbaik. Tabel 20 Matrik keragaan aspek sosial dari teknologi penangkapan unggulan di perairan Provinsi Riau Alat Tangkap Tenaga Kerja KABUPATEN BENGKALIS FN Penguasaan Teknologi FN Dampak Sosial FN Total Rataan RANK Rawai 3 0,3 3 1,0 5 1,00 2,33 0,78 1 Jaring batu 5 1,0 3 1,0 1-2,00 0,67 2 Jaring Atom 2-3 1,0 4 0,75 1,75 0,58 3 Jaring Apollo 2-3 1,0 4 0,75 1,75 0,58 3 KABUPATEN INDRAGIRI HILIR Rawai 3 0,3 3 1,0 5 1,00 2,33 0, Jaring batu 5 1,0 3 1,0 1-2,00 0, Jaring Insang 2-3 1,0 4 0,75 1,75 0, Jaring Udang 2-3 1,0 4 0,75 1,75 0, Keterangan : Untuk tingkat penguasaan teknologi : 1 = sangat sukar 2 = sukar 3= mudah 4 = sangat mudah Untuk dampak sosial : 1 = sangat tinggi 5 = tidak ada 2 = tinggi 3 = sedang 4 = rendah FN = Fungsi nilai 110

131 5.3.7 Aspek lingkungan Aspek lingkungan ditinjau dari teknis pengoperasian alat. Berikut ini adalah gambaran pengoperasian alat yang digunakan dalam penangkapan produk unggulan. Secara umum alat yang sama dioperasikan dengan teknis yang sama, yang membedakan hanya dimensi alat dan kawasan penangkapan (fishing ground). 1) Rawai Alat tangkap rawai yang digunakan nelayan perairan Selat Malaka Kabupaten Bengkalis adalah rawai tetap (longline). Alat tangkap ini terdiri dari tali utama (main line), tali cabang (branch line), mata pancing (mata pancing terbuat dari bahan besi baja berukuran 5, 6, 7 atau 8), tali pelampung, pelampung, bendera, lampu kelap-kelip, tali pemberat, pemberat, tali jangkar dan jangkar. Alat tangkap rawai dioperasikan di sekitar perairan selat, perairan pantai dan lepas pantai dengan menggunakan perahu dayung atau perahu/kapal motor. Tertangkapnya ikan adalah dengan cara ikan memakan umpan yang dipasang pada mata pancing (Gambar 24). Hanya ikan yang memiliki ukuran mulut yang lebih besar dari mata pancing yang dapat tertangkap oleh alat tangkap ini. Sementara ikan-ikan yang memiliki ukuran mulut lebih kecil tidak akan tertangkap. Ikan tujuan tangkapan adalah ikan-ikan dasar yang aktif. Jenis hasil tangkapan rawai antara lain adalah ikan kurau, gerot, malung, duri, pari, sembilang, merah, kerapu, lencam, kakap dan cucut. Gambar 24 Aktivitas penangkapan rawai. 111

132 Alat tangkap ini termasuk kategori ramah lingkungan, walaupun dioperasikan di dasar perairan. Ukuran ikan dan jenis ikan yang tertangkap sangat seletif sehingga tidak akan mempengaruhi struktur umur populasi ikan. 2) Jaring batu Jaring batu memiliki konstruksi yang sama dengan jaring insang, namun karena tujuan penangkapannya adalah untuk menangkap jenis ikan dasar terutama ikan kurau, maka jaring ini disebut juga jaring dasar (bottom gillnet) (Gambar 25). Gambar 25 Alat tangkap jaring batu. Tertangkapnya ikan-ikan dengan jaring batu adalah dengan cara bahwa ikan-ikan tersebut terjerat pada mata jaring ataupun terbelit-belit pada tubuh sama seperti alat tangkap jaring insang pada umumnya. Alat tangkap ini khusus untuk menangkap ikan kurau, alat ini memiliki ukuran mata jaring hingga 8 inci (20.32 cm) dan memiliki panjang jaring dapat mencapai 1 mil (1,856 km) atau lebih. Namun karena pengoperasian alat ini di dasar perairan, bentangan jaring tidaklah sempurna. Bentangan tersebut dipengaruhi oleh arus dan dasar perairan sehingga diduga dapat mengganggu substrat dasar perairan. Alat tangkap jaring batu dikategorikan alat tangkap yang kurang ramah lingkungan karena dioperasikan di dasar perairan. Karena dapat mengganggu substrat dasar perairan yang menjadi tempat ikan mencari makan (feeding ground) dan lindung ikan khususnya ikan kurau. 3) Jaring udang (trammel net) Konstruksi jaring udang tidak jauh berbeda dengan alat tangkap jaring insang yaitu terdiri dari tubuh jaring (webbing), tali ris atas, peluntang, tali pelampung, pelampung, pelampung tanda, bendera tanda, tali ris bawah dan pemberat. Tubuh jaring terdiri dari 3 lapis, lapisan tengah (inner net) dan dua lapisan luar (outer net). 112

133 Daerah penangkapan jaring di sekitar perairan selat dan perairan pinggir pantai dengan menggunakan perahu dayung atau perahu motor. Perahu motor menggunakan mesin diesel merek yanmar atau dompeng. Alat tangkap jaring udang termasuk alat tangkap ramah lingkungan karena tidak merusak substrat dasar perairan walaupun pengoperasiannya menyentuh dasar perairan karena tujuan penangkapannya adalah udang yang hidup di dasar perairan yang berlumpur. 4) Jaring insang (gillnet) Gillnet adalah jaring yang berbentuk empat persegi panjang dan dilengkapi dengan pemberat-pemberat pada tali ris bawahnya dan pelampung-pelampung pada tali ris atasnya. Jaring ini dipasang tegak lurus di dalam air dan menghadang arah gerak ikan. Ikan-ikan tertangkap karena tersangkut pada mata jaring atau tergulung oleh jaring. Gambar 26 Pengoperasian alat tangkap gillnet. Tertangkapnya ikan-ikan dengan gillnet adalah dengan cara bahwa ikanikan tersebut terjerat pada mata jaring (gill) ataupun terbelit-belit pada tubuh (entangled) (Gambar 26). Pada umumnya ikan-ikan yang menjadi tujuan penangkapan ialah jenis ikan yang migrasi horizontal maupun migrasi vertikal tidak begitu aktif, dengan perkatan lain migrasi dari ikan-ikan tersebut terbatas pada suatu range layer/depth tertentu berdasarkan kedalaman dari lapisan renang lebar jaring ditentukan. Alat tangkap jaring insang termasuk kategori ramah lingkungan karena dioperasikan di kolom air. Ukuran ikan dan jenis yang tertangkap selektif sehingga tidak akan mempengaruhi keseimbangan struktur umur populasi ikan. Metode pemilihan alat tangkap unggulan di perairan Provinsi Riau berdasarkan aspek lingkungan seperti, posisi pengoperasian alat tangkap, ukuran hasil tangkapan, dan dampak lingkungan disajikan pada Tabel

134 Tabel 21 Matrik keragaan aspek lingkungan dari teknologi penangkapan di perairan Provinsi Riau Keterangan: untuk posisi pengoperasian alat tangkap 1 = di dasar perairan hingga permukaan 2 = di dasar perairan 3 = di permukaan dan dasar perairan 4 = di permukaan dan kolom perairan 5 = di permukaan perairan untuk ukuran hasil tangkapan 1 = Tidak selektif (kecil sampai besar) 2 = Cukup Selektif (sedang sampai besar) 3 = Selektif (sedang atau besar) untuk dampak lingkungan 1 = Sangat Tinggi 2 = Tinggi 3 = Sedang 4 = Rendah 5 = Tidak ada Urutan prioritas terbaik alat tangkap unggulan berdasarkan aspek lingkungan dari hasil skoring dengan menggunakan fungsi nilai untuk perairan Selat Malaka Kabupaten Bengkalis, adalah rawai, jaring atom dan jaring batu, sementara di perairan Laut Cina Selatan Kabupaten Indragiri Hilir adalah rawai, jaring insang dan jaring batu Teknologi penangkapan pilihan untuk sumber daya ikan unggulan di perairan Provinsi Riau Pemilihan alat penangkapan untuk sumber daya ikan unggulan berdasarkan aspek teknis, sosial, ekonomi dan lingkungan adalah untuk mendapatkan prioritas jenis alat tangkap yang layak dikembangkan. Matrik gabungan tersebut merupakan penjumlahan rata-rata dari fungsi nilai setiap aspek. Hasil skoring yang dilakukan pada alat tangkap di kedua perairan Provinsi Riau yang digunakan untuk menangkap sumber daya ikan unggulan disajikan pada Tabel 22. Hasil olahan data menunjukkan pada Kabupaten Bengkalis alat tangkap jaring batu, rawai dan jaring atom merupakan alat tangkap pilihan, sedangkan alat tangkap pilihan di Kabupaten Indragiri Hilir, jaring insang, rawai, jaring udang dan jaring batu. 114

135 Tabel 22 Jenis teknologi penangkapan pilihan di Provinsi Riau 5.4 Alokasi Optimum Teknologi Penangkapan Sumber Daya Ikan Unggulan Hasil analisis pasar pada penelitian ini memperlihatkan bahwa jenis sumber daya ikan unggulan di perairan Kabupaten Bengkalis secara berurutan adalah: kurau (Eleutheronema tetradactylum), senangin (Polynemus sp), malung (Muraenenson cinereus), bawal putih (Pampus argenteus) dan udang putih (Metapenaeus sp), sedangkan untuk perairan Laut Cina Selatan Kabupaten Indragiri Hilir adalah udang mantis (Uratos guilla nepa sp), kurau (Eleutheronema tetradactylum), bawal putih (Pampus argenteus), malung (Muraenenson cinereus) dan tenggiri (Scomberomorus commersonii). Kemudian, dengan menggunakan model Schaefer diketahui nilai potensi maksimum lestari (Maximum Sustainable Yield-MSY) dari sumber daya ikan unggulan diestimasikan sebesar 33324,34 ton/tahun. Alokasi jumlah unit penangkapan dari teknologi penangkapan ikan yang dilakukan di lokasi penelitian bertujuan agar kegiatan usaha perikanan tangkap di perairan Provinsi Riau dapat berjalan efisien, lestari dan berkelanjutan. Variabel keputusan untuk perairan Selat Malaka Kabupaten Bengkalis adalah: rawai (X 1 ), jaring atom (gillnet) (X 2 ) dan jaring apollo (trammel net) (X 3 ), jaring batu (bottom drift gillnet) (X 4 ). Pada perairan Laut Cina Selatan Kabupaten Indragiri Hilir variable keputusan adalah jaring insang (gillnet) (X 1 ), rawai (longline) (X 2 ), jaring udang (trammel net) (X 3 ) dan jaring batu (bottom drift gillnet) (X 4 ). Tujuan-tujuan utama yang hendak dicapai dan merupakan batasan yang harus dipenuhi dalam mengoptimumkan alokasi alat penangkapan sumber daya ikan unggulan di perairan Provinsi Riau adalah sebagai berikut: 115

136 1) Mengoptimumkan pemanfaatan sumber daya ikan unggulan (1) Sumber daya ikan kurau (Eleutheronema tetradactylum) Hasil estimasi perhitungan potensi lestari, menunjukkan nilai MSY untuk ikan kurau di Kabupaten Bengkalis sebesar ton dan ton di Kabupaten Indragiri Hilir. Namun demikian, nilai potensi yang digunakan untuk pengalokasian ini, adalah nilai jumlah tangkap yang dibolehkan (JTB), yaitu sebesar 80% dari MSY atau sebesar ton untuk Kabupaten Bengkalis dan ton untuk Kabupaten Indragiri Hilir. Pada dua kabupaten ini, sumber daya ikan kurau ditangkap oleh 2 jenis teknologi penangkapan pilihan yaitu: rawai dan jaring batu diasumsikan nilai produktivitas ideal dari setiap unit penangkapan rawai untuk menangkap ikan kurau adalah 0,13 ton/tahun di perairan Selat Malaka Kabupaten Bengkalis dan 0,11 ton/tahun untuk perairan Laut Cina Selatan Kabupaten Indragiri Hilir, sehingga persamaan kendala tujuan (goal constrain) untuk pemanfaatan optimalnya dapat dituliskan sebagai berikut: DB1 - DA X X4 = (Kabupaten Bengkalis) DB1 - DA X X4 = (Kabupaten Indragiri Hilir) (2) Sumber daya ikan malung (Muraenenson cinereus) Nilai MSY untuk ikan tenggiri di Provinsi Riau, berdasarkan hasil estimasi perhitungan surplus production, menunjukkan sebesar ton di Kabupaten Bengkalis dan ton di Kabupaten Indragiri Hilir. Namun dalam pengalokasian ini, nilai yang digunakan adalah nilai jumlah tangkap yang dibolehkan (JTB), yaitu sebesar 80% dari MSY atau sebesar 1189 ton di Kabupaten Bengkalis dan ton di Kabupaten Indragiri Hilir. Sumber daya ikan malung di Kabupaten Bengkalis ditangkap oleh rawai sedangkan di Kabupaten Indragiri Hilir ditangkap hanya dengan satu teknologi pilihan yaitu rawai, diasumsikan nilai produktivitas ideal dari setiap unit penangkapan rawai untuk menangkap ikan malung adalah 0,13 ton/tahun di perairan Selat Malaka Kabupaten Bengkalis dan 0,11 ton/tahun untuk perairan Laut Cina Selatan Kabupaten Indragiri Hilir, sehingga persamaan kendala tujuan (goal constraint) untuk pemanfaatan optimalnya dapat dituliskan sebagai berikut: DB2 - DA X1 = 1189 (Kabupaten Bengkalis) DB2 - DA X2 = (Kabupaten Indragiri Hilir) 116

137 (3) Sumber daya ikan senangin (Polynemus sp) Hasil estimasi perhitungan potensi lestari, menunjukkan nilai MSY untuk ikan senangin di Kabupaten Bengkalis sebesar ton sementara di Kabupaten Indragiri Hilir sumber daya ikan senangin bukan merupakan sumber daya ikan unggulan. Nilai potensi yang digunakan untuk pengalokasian ini, adalah nilai jumlah tangkap yang dibolehkan (JTB), yaitu sebesar 80% dari MSY atau sebesar ton. Di Kabupaten ini, sumber daya ikan senangin dapat ditangkap oleh 2 teknologi penangkapan terpilih yaitu: rawai dan jaring apollo, diasumsikan produktivitas ideal dari setiap unit penangkapan rawai dan jaring atom untuk menangkap ikan senangin adalah 0,13 ton/tahun (rawai) dan 1,92 ton/tahun (jaring atom), sehingga persamaan kendala tujuan (goal constraint) untuk pemanfaatan optimalnya dapat dituliskan sebagai berikut: DB3 DA X X3 = (Kabupaten Bengkalis) (4) Sumber daya ikan bawal putih (Pampus argenteus) Nilai MSY untuk ikan tuna di Kabupaten Bengkalis, berdasarkan hasil estimasi perhitungan surplus production, menunjukkan sebesar ton sedangkan di Kabupaten Indragiri Hilir sebesar ton. Namun dalam pengalokasian ini, nilai yang digunakan adalah nilai jumlah tangkap yang dibolehkan (JTB), yaitu 80% dari MSY atau sebesar ton di Kabupaten Bengkalis dan ton di Kabupaten Indragiri Hilir. Sumber daya ikan bawal putih di Kabupaten Bengkalis ini dapat ditangkap oleh jaring atom sementara jaring insang digunakan pada Kabupaten Indragiri Hilir, diasumsikan nilai produktivitas ideal dari setiap unit penangkapan jaring atom untuk menangkap ikan bawal putih adalah 1,83 ton/tahun di perairan Selat Malaka Kabupaten Bengkalis dan 0,13 ton/tahun dengan menggunakan jaring insang untuk perairan Laut Cina Selatan Kabupaten Indragiri Hilir, sehingga persamaan kendala tujuan (goal constrain) untuk pemanfaatan optimalnya adalah sebagai berikut: DB4 - DA X2 = (Kabupaten Bengkalis) DB4 - DA X1 = (Kabupaten Indragiri Hilir) (5) Sumber daya udang putih (Metapenaeus sp) Hasil estimasi perhitungan potensi lestari, menunjukkan nilai MSY untuk udang putih di Kabupaten Bengkalis sebesar sementara di Kabupaten Indragiri Hilir sumber daya ikan udang putih bukan merupakan sumber daya ikan 117

138 unggulan. Nilai potensi yang digunakan untuk pengalokasian ini, adalah nilai jumlah tangkap yang dibolehkan (JTB), yaitu 80% dari MSY atau sebesar ton. Di Kabupaten Bengkalis, sumber daya ikan udang putih ditangkap oleh satu jenis teknologi penangkapan terpilih yaitu: jaring apollo. Diasumsikan nilai produktivitas ideal dari setiap unit penangkapan jaring apollo untuk menangkap udang putih adalah 1,92 ton/tahun di perairan Selat Malaka Kabupaten Bengkalis, persamaan kendala tujuan (goal constrain) untuk pemanfaatan optimalnya dapat dituliskan sebagai berikut: DB5 DA X3 = (Kabupaten Bengkalis) (6) Sumber daya ikan tenggiri (Scomberomorus commersonii) Hasil estimasi perhitungan potensi lestari, menunjukkan nilai MSY untuk udang putih di perairan Laut Cina Selatan Kabupaten Indragiri Hilir sebesar sementara di perairan Selat Malaka Kabupaten Bengkalis sumber daya ikan tenggiri bukan merupakan sumber daya ikan unggulan. Nilai potensi yang digunakan untuk pengalokasian ini, adalah nilai jumlah tangkap yang dibolehkan (JTB), yaitu 80% dari MSY atau sebesar ton. Di Kabupaten Indragiri Hilir, sumber daya ikan tenggiri ditangkap oleh satu jenis teknologi penangkapan terpilih yaitu: jaring insang. Diasumsikan nilai produktivitas ideal dari setiap unit penangkapan jaring insang untuk menangkap tenggiri adalah 1,5 ton/tahun persamaan kendala tujuan (goal constrain) untuk pemanfaatan optimalnya dapat dituliskan sebagai berikut: DB3 DA X1 = (Kabupaten Indragiri Hilir) (7) Sumber daya udang mantis (Uratos guilla nepa sp) Hasil estimasi perhitungan potensi lestari, menunjukkan nilai MSY untuk udang mantis di Kabupaten Indragiri Hilir sebesar ton sementara di Kabupaten Bengkalis sumber daya ikan udang putih bukan merupakan sumber daya ikan unggulan. Nilai potensi yang digunakan untuk pengalokasian ini, adalah nilai jumlah tangkap yang dibolehkan (JTB), yaitu 80% dari MSY atau sebesar ton. Di Kabupaten Indragiri Hilir, sumber daya ikan udang mantis ditangkap oleh 1 jenis teknologi penangkapan terpilih yaitu: jaring udang. Diasumsikan nilai produktivitas ideal dari setiap unit penangkapan jaring udang 118

139 untuk menangkap udang mantis adalah 1,34 ton/tahun persamaan kendala tujuan (goal constrain) untuk pemanfaatan optimalnya dapat dituliskan sebagai berikut: DB5 DA X3 = (Kabupaten Indragiri Hilir) 2) Memaksimumkan penyerapan tenaga kerja Diharapkan dalam pengalokasian ini dapat menyerap tenaga kerja sebanyak mungkin. Berdasarkan catatan statistik perikanan, jumlah nelayan di Kabupaten Bengkalis tercatat sebanyak orang dan di Kabupaten Indragiri Hilir sebanyak orang. Hasil observasi dan wawancara menunjukkan bahwa setiap teknologi terpilih pada Kabupaten Bengkalis menyerap 3 orang per unit rawai, jaring atom sebanyak 2 orang dan jaring apollo sebanyak 2 orang sementara di Kabupaten Indragiri Hilir, rawai menyerap 3 orang per unit rawai, 2 orang per unit jaring insang dan 2 orang per unit jaring udang. Berdasarkan informasi ini, maka persamaan kendala tujuan (goal constrain) untuk penyerapan tenaga kerja yang optimal dapat dituliskan sebagai berikut: DB6 + 3 X1 + 2 X2 + 2 X (Kabupaten Bengkalis) DB6 + 3 X1 + 2 X2 + 2 X (Kabupaten Indragiri Hilir) Proses penyelesaian untuk model linear goal programming ini menggunakan bantuan program paket komputer LINDO (Linear Interactive Descrete Optimizer). Hasil olahan program komputer LINDO disajikan pada Lampiran 13 dan Lampiran 14. Alokasi optimum alat penangkapan sumber daya ikan unggulan yang terpilih di perairan Provinsi Riau sebagai berikut: perairan Selat Malaka Kabupaten Bengkalis adalah rawai sebanyak 3211 unit, jaring atom sebanyak 2862 unit, jaring apollo sebanyak 314 unit dan jaring batu 208 unit. Hasil optimum pengalokasian teknologi penangkapan pilihan sumber daya ikan di perairan Kabupaten Indragiri Hilir: jaring insang sebanyak 3039 unit, rawai sebanyak 844 unit, jaring udang sebanyak 1942 unit dan jaring batu sebanyak 131 unit. Lebih jelasnya disajikan pada Tabel 23. Hasil analisis optimasi di perairan Selat Malaka Kabupaten Bengkalis terlihat bahwa hampir semua sasaran dan tujuan yang dikehendaki tercapai yang ditunjukkan oleh nilai dari variabel deviasional (DA atau DB) sama dengan nol, kecuali sasaran mengoptimumkan pemanfaatan sumber daya ikan kurau, malung dan udang putih yang berada di bawah JTB-nya yaitu sebesar 1459 ton untuk 119

140 kurau, 1189 ton untuk malung dan 2846 ton untuk udang putih; sementara untuk pemanfaatan sumber daya ikan senangin dan bawal putih sesuai dengan alokasi nilai JTB. Target penyerapan tenaga kerja sebanyak dapat tercapai. Hasil analisis optimasi di perairan Laut Cina Selatan Kabupaten Indragiri Hilir juga memperlihatkan hal yang sama bahwa semua sasaran dan tujuan yang dikehendaki tercapai, kecuali sasaran mengoptimumkan pemanfaatan sumber daya ikan kurau, malung dan bawal putih yang berada di bawah JTB-nya yaitu sebesar 921 ton untuk kurau, 998 ton untuk malung dan 3222 ton untuk bawal putih; sementara untuk pemanfaatan sumber daya ikan udang mantis dan tenggiri sesuai dengan alokasi nilai JTB. Target penyerapan tenaga kerja sebanyak dapat tercapai. Tabel 23 Alokasi optimum alat penangkapan sumber daya ikan unggulan No Alat tangkap Jumlah Aktual Jumlah Optimum (unit) (unit) Kabupaten Bengkalis 1 Rawai (X 1 ) Jaring atom (X 2 ) Jaring apollo (X 3 ) Jaring batu (X 4 ) Jumlah Kabupaten Indragiri Hilir 1 Jaring insang (X 1 ) Rawai (X 2 ) Jaring udang (X 3 ) Jaring kurau (X 4 ) Jumlah Implementasi dari alokasi optimum dari tiap-tiap komponen tidak dilakukan secara langsung terhadap pembatasan atau pengurangan terhadap alat penangkapan. Tetapi dapat dilakukan secara bertahap dan rasional, dengan melakukan pengalihan usaha dari unit penangkapan yang berlebih ke unit penangkapan yang belum optimal alokasinya, dan tidak memperpanjang ijin usaha alat penangkapan yang jumlahnya berlebih hingga mencapai titik optimalnya. 120

141 5.5 Pembahasan Aspek pemasaran Sumber daya ikan yang tertangkap oleh nelayan di perairan Selat Malaka Kabupaten Bengkalis dan perairan Laut Cina Selatan Kabupaten Indragiri Hilir adalah ikan konsumsi. Ikan konsumsi yang tertangkap antara lain ikan sebelah (Psettodes erumei), lidah (Cynoglossus spp), nomei (Harpodon nehereus), manyung (Arius sp), peperek, gerot-gerot (Pomadasys sp), merah/bambangan (Lutjanus malabaricus), kakap (Lates calcarifer), Biang, Gulamah (Johnias dussumieri), cucut (Carcharhinus sp), pari (Trygon sp), bawal hitam (Formio niger), bawal putih (Pampus argenteus), malung (Muraenenson cinereus), selar (Selar sp), senangin (Polynemus sp), julung-julung (Hemirhamphus sp), Teri (Stolephorus sp), Parang-parang (Chirocentrus dorab), tenggiri (Scomberomorus sp), sedangkan untuk daerah muara sungai, perairan selat dan pinggiran pantai jenis ikan yang dominan adalah, udang rebon/pepai (Sergetes sp), udang putih (Metapenaeus sp), dan udang merah (Parapenaeus sp). Jenis-jenis ikan komersial terdiri dari jenis tenggiri (Scomberomorus sp), merah (Lutjanus malabaricus), bawal putih (Pampus argenteus), senangin (Polynemus sp), kakap (Lates calcarifer), gerot (Pomadasys sp), kerapu (Epinephelus sp), terubuk (Tenualosa toli), kurau (Eleutheronema spp). Pemasaran ikan konsumsi tersebut kebanyakan adalah pasar lokal dan antar daerah, namun demikian ada beberapa jenis ikan dan udang yang telah memiliki pasar untuk internasional, seperti ikan kurau, malung, senagin, bawal putih, udang putih, udang mantis dan tenggiri. Pendapatan dan produktivitas nelayan dari usaha perikanan dapat dilihat dari lama waktu berkerja dan penerimaan nelayan. Nelayan yang mengoperasikan alat tangkap jaring insang hanyut rata-rata bekerja 2-3 jam dalam 1 hari/trip atau 4-10 hari/trip. Nelayan jaring batu rata-rata bekerja 2-4 jam dalam 10 hari/trip. Nelayan jaring udang rata-rata bekerja 1-2 jam dalam 1 hari/trip dan nelayan rawai rata-rata bekerja 2-3 jam dalam 1 hari/trip atau 4-10 hari/trip. Permintaan pasar dan kemampuan produksi dari sumber daya ikan yang memiliki nilai ekonomi atau daya dukung sumber daya ikan merupakan dua 121

142 komponen utama yang harus berimbang. Ketidakseimbangan pada dua komponen tersebut akan berdampak terhadap sumber pendapatan ekonomi pada komponen pasar, sedangkan pada sumber daya ikan akan terjadi degradasi biologi yang dapat mengakibatkan adanya komponen hilang dalam ekosistem di perairan laut Aspek teknis Efektivitas dari suatu alat tangkap diukur dari tingkat produktivitas pada alat tangkap tersebut. Kriteria-kriteria yang digunakan pada aspek teknis untuk menentukan alat tangkap sumber daya ikan unggulan berdasarkan nilai produksi per tahun, produksi per trip dan produksi per tenaga kerja. Alat tangkap dominan yang digunakan di perairan Provinsi Riau adalah rawai (longline), jaring insang (gillnet), jaring udang (trammel net) dan perangkap (fishing trap). Kepentingan penggunaan alat tangkap yang selektif di samping bermanfaat bagi pengelolaan sumber daya perikanan, juga bermanfaat secara ekonomi karena dengan menggunakan alat tangkap yang selektif diharapkan akan diperoleh ukuran ikan yang sesuai dengan kebutuhan pasar dan mengurangi resiko ikan tidak laku di pasar. Dengan demikian, ikan yang berhasil ditangkap juga merupakan ikan yang bernilai lebih tinggi walupun jumlahnya lebih sedikit dibandingkan dengan tidak dilakukan upaya peningkatan selektivitas alat tangkap yang banyak menghasilkan ikan dengan kualitas rendah (Hermawan 2006). Alat tangkap rawai menempati urutan pertama di perairan Selat Malaka Kabupaten Bengkalis, diikuti dengan alat tangkap jaring atom, jaring apollo dan jaring batu. Tingginya produktivitas alat tangkap rawai (longline) di perairan Selat Malaka Kabupaten Bengkalis dikarenakan proses pemasangan alat (setting) dapat dilakukan lebih dari satu kali pada daerah penangkapan (fishing ground) yang berbeda dalam satu hari penangkapan. Alat ini menjadi pilihan nelayan di perairan Selat Malaka Kabupaten Bengkalis karena berbagai alasan diantaranya mudah dalam pengoperasian dan relatif dapat dioperasikan sepanjang tahun. Selain harga kapal dan alat tangkap yang relatif murah serta trip penangkapan yang pendek yaitu satu hari (one day fishing). Selain itu alat ini diyakini nelayan sebagai alat yang ramah lingkungan dan tekah digunakan secara turun temurun. Tujuan utama penangkapan dari rawai adalah ikan kurau. Ditinjau dari penyerapan tenaga kerja, pengoperasian alat 122

143 tangkap ini hanya menyerap 1-2 orang tenaga kerja. Jenis hasil tangkapan rawai antara lain adalah ikan kurau, gerot, malung, duri, pari, sembilang, merah, kerapu, lencam, kakap dan cucut. Alat tangkap jaring insang hanyut (drift gillnet) menempati urutan pertama di perairan Laut Cina Selatan Kabupaten Indragiri Hilir. Tingginya produktifitas jaring insang di kabupaten ini dikarenakan alat ini menjadi salah satu alat tangkap yang diminati oleh nelayan tradisional di kabupaten ini. Pengoperasian alat ini relatif mudah karena hanya dengan membentangkan jaring di dalam air untuk menghadang arah renang gerombolan ikan yang menjadi tujuan penangkapan. Daerah penangkapan jaring berada di sekitar perairan selat, perairan pinggir pantai, dan lepas pantai. Penangkapan di perairan selat dan pinggir pantai merupakan penangkapan harian yang pengoperasian alat tangkap umumnya dilakukan pada waktu siang hari yakni berangkat subuh dan kembali sore. Penangkapan di perairan lepas pantai merupakan penangkapan yang dilakukan siang dan malam hari selama 4 sampai 10 hari/trip dan setelah itu kembali ke pantai. Jenis tangkapan jaring insang hanyut antara lain adalah ikan senangin, tenggiri, bawal hitam, bawal putih, parang-parang, nomei/lomek, biang, kurisi, gulamah, tetengkek, belanak, terubuk, selar, kembung dan ikan lainnya Aspek ekonomi Hasil skoring terhadap aspek ekonomi dari segi kelayakan usaha menempatkan alat tangkap jaring batu pada urutan pertama di perairan Selat Malaka Kabupaten Bengkalis, sekanjutnya diikuti jaring atom, rawai dan jaring apollo. Alat tangkap jaring insang berada pada urutan pertama di perairan Laut Cina Selatan Kabupaten Indragiri Hilir, diikuti alat tangkap jaring udang, jaring batu dan rawai. Hasil analisis kriteria kelayakan usaha pada aspek ini dilakukan utuk mengetahui kelayakan usaha penangkapan dari setiap alat tangkap yang dioperasikan oleh nelayan setempat. Mc Goodwin (1990) menyatakan bahwa dalam menganalisis sumber daya perikanan, konsekuensi ekonomi dan sosial harus diperhitungkan sama halnya dengan konsekuensi teknis dan etika. Nilai Net B/C menggambarkan skala penerimaan atas biaya dan modal. Perairan Selat Malaka Kabupaten Bengkalis untuk alat tangkap jaring batu nilai 123

144 Net B/C sebesar 2,49. Artinya pendapatan yang diperoleh sebesar 2,49 kali atas biaya yang dikeluarkan, sehingga usaha tersebut layak untuk dikembangkan. Nilai Net B/C alat tangkap jaring batu lebih tinggi dibandingkan alat tangkap jaring atom (1,86), rawai (1,68) dan jaring apollo (1,47). Nilai NPV alat tangkap jaring batu lebih besar dari ketiga alat lainnya yaitu sebesar Rp , dimana nilai NPV > 0 menunjukkan nilai rata-rata keuntungan bersih yang diperoleh selama 10 tahun ke depan yaitu investasi usaha perikanan jaring batu di perairan Selat Malaka Kabupaten Bengkalis memberikan keuntungan sebesar Rp selama 10 tahun menurut nilai saat ini. Nilai NPV jaring batu lebih tinggi dibandingkan alat tangkap jaring atom (Rp ), rawai (Rp ) dan jaring apollo (Rp ). Nilai IRR yang diperoleh sebesar 60,2 untuk alat tangkap jaring batu. Nilai ini menunjukkan bahwa investasi usaha perikanan jaring batu di perairan Selat Malaka Kabupaten Bengkalis setiap satu rupiah yang akan diinvestasikan akan memberikan keuntungan sebesar 60,2, nilai IRR yang diperoleh lebih besar dibandingkan dengan alat tangkap lainnya yaitu dengan nilai sebesar 40,4 (jaring atom/gillnet), 36,8 (rawai/longline) dan 29,6 (jaring apollo/trammel net). Hasil dari ketiga nilai kriteria kelayakan diperoleh nilai NPV positif, IRR lebih besar dari tingkat diskonto yang digunakan dan nilai Net B/C lebih dari satu, maka unit penangkapan jaring batu layak untuk dikembangkan secara finansial dan menjadi prioritas utama dalam pengembangan perikanan unggulan di perairan Provinsi Riau. Keunggulan alat tangkap jaring batu disebabkan antara lain karena tingginya produktivitas menyebabkan pendapatan kotor yang cukup besar dibandingkan alat tangkap lainnya sehingga dari aspek finansial alat tangkap ini menempati urutan pertama. Nilai Net B/C pada urutan pertama untuk alat tangkap yang dioperasikan di perairan Laut Cina Selatan Kabupaten Indragiri Hilir adalah jaring insang yaitu sebesar 1,85. Artinya pendapatan yang diperoleh sebesar 1,85 kali atas biaya yang dikeluarkan, sehingga usaha tersebut layak untuk dikembangkan. Nilai Net B/C alat tangkap jaring insang lebih tinggi dibandingkan alat tangkap jaring udang (1,81), jaring batu (1,38) dan rawai (1,55). Nilai NPV alat tangkap jaring insang lebih besar dari ketiga alat lainnya yaitu sebesar Rp , dimana nilai NPV 124

145 > 0 menunjukkan nilai rata-rata keuntungan bersih yang diperoleh selama 10 tahun ke depan yaitu investasi usaha perikanan jaring insang di perairan Laut Cina Selatan Kabupaten Indragiri Hilir memberikan keuntungan sebesar Rp selama 10 tahun menurut nilai saat ini. Nilai NPV jaring insang lebih tinggi dibandingkan alat tangkap jaring udang (Rp ), jaring batu (Rp ) dan rawai (Rp ). Nilai IRR yang diperoleh sebesar 75,5 untuk alat tangkap jaring insang. Nilai ini menunjukkan bahwa investasi usaha perikanan jaring insang di perairan Laut Cina Selatan Kabupaten Indragiri Hilir setiap satu rupiah yang akan diinvestasikan akan memberikan keuntungan sebesar 75,5, nilai IRR yang diperoleh.lebih besar dibandingkan dengan alat tangkap lainnya yaitu dengan nilai sebesar 69,1 (jaring udang), 42,8 (jaring batu) dan 30,9 (rawai). Hasil dari ketiga nilai kriteria kelayakan diperoleh nilai NPV positif, IRR lebih besar dari tingkat diskonto yang digunakan dan nilai Net B/C lebih dari satu, maka unit penangkapan jaring insang layak untuk dikembangkan secara finansial dan menjadi prioritas utama dalam pengembangan perikanan unggulan di perairan Laut Cina Selatan Kabupaten Indragiri Hilir Aspek sosial Aspek sosial dalam penelitian ini difokuskan pada dimensi sosial yang berkaitan dengan pemilihan sumber daya ikan unggulan. Pemilihan sumber daya ikan unggulan pada aspek sosial dilakukan untuk menggambarkan kehidupan nelayan sebagai manusia yang harus beradaptasi dengan lingkungan sosial dan sumber daya perikanan sebagai sumber kehidupan. Aspek sosial yang selama ini terabaikan perlu mendapatkan perhatian serius dalam upaya mengelola sumber daya ikan unggulan, sehingga pencapaian distribusi, pemerataan pendapatan dan penanganan konflik yang proporsional diantara berbagai kelompok pengguna sumber daya perikanan dapat tercapai. Andrianto (2006) menyatakan bahwa tingkat ketergantungan terhadap sumber daya perairan pada masyarakat nelayan cukup tinggi. Profesi nelayan umumnya telah dijalani seumur hidup. Keadaan ini menunjukkan bahwa perikanan telah menjadi bagian dari kehidupan nelayan, dan bahkan menjadi suatu cara hidup. Artinya, apabila terjadi gangguan pada kondisi ekologi sumber daya 125

146 perairan, maka gangguan itu akan merambat juga pada kehidupan nelayan umumnya. Sulit pula dihindarkan sifat the tragedy of commons bagi sumber daya perikanan yang bersifat public property. Implikasinya adalah milik setiap orang bukanlah milik siapapun (no bodies property). Dengan demikian kompetisi eksploitasi dan bahkan tindakan-tindakan lain yang bersifat mencemari atau merusak menjadi gejala yang tak terhindarkan. Kegiatan perikanan tangkap yang saat ini dilakukan oleh nelayan di perairan Provinsi Riau bertujuan untk memenuhi kebutuhan/menjadi sumber nafkah utama. Secara mayoritas berpendidikan tidak terlalu tinggi (SMP), tetapi nelayan di provinsi ini mencirikan kondisi sosial yang sudah membaur dengan masyarakat lain (tidak terisolasi). Walaupun usahanya tergolong skala kecil, pada umumnya mereka telah terbiasa bertransaksi langsung dalam melakukan penjualan hasil tangkapannya sekalipun dilakukan di TPI setempat. Sehubungan dengan hal tersebut, kemampuan nelayan untuk memaksimumkan hasil tangkapan ikan ditentukan oleh berbagai faktor, antara lain: (1) modal kerja atau investasi (perahu/motor dan jenis alat tangkap), (2) potensi sumberdaya perairan atau daerah operasi penangkapan ikan di laut, (3) hari kerja efektif melaut, (4) kemudahan untuk memasarkan hasil tangkapan dengan harga yang wajar, dan (5) biaya operasi/produksi penangkapan ikan (Smith 1987). Nelayan di Provinsi Riau dalam upaya menjaga lingkungan, telah sepakat untuk tidak menangkap sumber daya ikan yang ada di perairan dengan menggunakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan. Nelayan juga memahami isu perikanan mengenai pelarangan penggunaan trawl di perairan Provinsi Riau. Dengan pemahaman mengenai alat tangkap yang merusak sumber daya dan dapat menimbulkan kerugian bagi nelayan, maka mereka berusaha menjaga perairan daerah penangkapan baik dengan pertemuan-pertemuan kelompok nelayan maupun mengadukan masalah pelanggaran perikanan kepada pihak yang berwenang. Keragaan alat tangkap dilihat dari aspek sosial dengan menggunakan metode skoring diketahui bahwa alat tangkap rawai menempati urutan pertama di perairan Selat Malaka Kabupaten Bengkalis, diikuti oleh jaring batu, jaring atom dan jaring udang. Alat tangkap rawai juga menempati urutan pertama di perairan Laut Cina 126

147 Selatan Kabupaten Indragiri Hilir, diikuti oleh jaring batu, jaring insang dan jaring udang. Pengembangan usaha perikanan tangkap ditinjau dari aspek sosial, jaring batu tidak disarankan untuk dioperasikan di kedua wilayah perairan tersebut. Informasi yang diperoleh berkenaan dengan aspek sosial diketahui telah terjadi konflik pemanfaatan sumber daya ikan di perairan Selat Malaka Kabupaten Bengkalis, yaitu dengan masuknya nelayan jaring batu yang berasal dari luar wilayah perairan Selat Malaka Kabupaten Bengkalis. Kusnadi (2002) menyatakan bahwa status dan frekuensi konflik pada dimensi sosial menjadi paling sensitif karena dengan adanya konflik yang berkepanjangan dapat mengakibatkan turunnya jumlah tangkapan dan berakibat langsung pada turunnya pendapatan sehingga para nelayan cenderung untuk memperluas wilayah penangkapan dan melakukan pelanggaran lain sebagai kompensasi penurunan pendapatan akibat konflik Aspek lingkungan Alat tangkap yang umumnya dioperasikan di perairan Provinsi Riau dapat menangkap lebih dari satu jenis ikan. Berdasarkan hasil analisis aspek lingkungan dari berbagai alat tangkap yang dioperasikan di perairan provinsi ini, diketahui bahwa rawai (longline) menempati urutan pertama di kedua perairan tempat penelitian dilaksanakan. Tujuan utama penangkapan dari alat ini adalah ikan kurau, sedangkan ikan dasar lainnya yang ikut tertangkap merupakan bycatch. Alat tangkap rawai dasar termasuk kategori alat yang cukup ramah lingkungan. Alat ini hanya mempengaruhi dasar perairan yaitu saat menjatuhkan jangkar yang menancap di dasar perairan. Habitat dasar yang terganggu hanya terbatas pada areal jangkar. Alat ini cukup selektif terhadap ukuran dan jenis ikan sehingga tidak mengganggu siklus hidup dan pertumbuhan populasi. Garcia et al. (1999) menyatakan bahwa peran teknologi penangkapan tidak dapat diabaikan begitu saja. Keadaan sumberdaya perikanan yang semakin tertekan karena terus meningkatnya aktifitas penangkapan yang dipicu oleh bertambahnya jumlahnya, sehingga pengelolaan sumberdaya perikanan harus juga mempertimbangkan kebutuhan generasi berikutnya tanpa mengabaikan kebutuhan sekarang terhadap sumber daya perikanan tersebut. Dengan kata lain pengelolaan 127

148 sumber daya perikanan harus berkelanjutan yang ditunjang dengan penggunaan teknologi penangkapan yang ramah lingkungan sehingga aktifitas penangkapan dapat dipertanggungjawabkan untuk menjamin keberlanjutan sumberdaya perikanan Alokasi optimum teknologi penangkapan sumber daya ikan unggulan Alokasi optimum terhadap teknologi penangkapan di perairan Selat Malaka Kabupaten Bengkalis dan perairan Laut Cina Selatan Kabupaten Indragiri Hilir berdasarkan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) dari masing-masing sumber daya ikan unggulan. Kang (2006) menyatakan bahwa jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) bertujuan untuk memastikan sistem pengelolaan yang optimal untuk keberlanjutan usaha perikanan dan mengawasi kapasitas penangkapan. JTB ditentukan berdasarkan aspek biologi, ekonomi dan sosial. Alokasi optimum terhadap teknologi penangkapan sumber daya ikan unggulan yang dilakukan untuk menciptakan usaha perikanan tangkap yang berkelanjutan, untuk mewujudkan tingkat pemanfaatan perikanan tangkap yang efisien, lestari dan berkelanjutan, perlu mengatur jumlah optimum dari sarana atau unit penangkapan ikannya. Hal ini berarti bahwa rezim pemanfaatan pemanfaatan sumber daya ikan harus dirubah dari rezim open access menjadi rezim limited access (Andrianto 2006). Optimasi perikanan tangkap juga harus diarahkan untuk mewujudkan unit penangkapan ikan yang produktif, selektif, efisien dan ramah lingkungan. FAO pada tahun 1995 juga telah mengeluarkan kode etik perikanan yang bertanggung jawab yang salah satu pokok amanatnya adalah untuk melaksanakan usaha perikanan tangkap secara terkendali (controlled fisheries). Pembatasan tekonologi alat tangkap, pembatasan jumlah effort dan pengendalian daerah penangkapan ikan merupakan pengendalian secara biologi. Pengendalian secara ekonomi menggunakan peubah ekonomi sebagai instrumen pengendalian upaya penangkapan ikan. Peubah ekonomi yang relevan dalam menunjang pemanfaatan sumberdaya perikanan yang optimal meliputi : harga ikan, subsidi BBM, pajak dan biaya izin penangkapan ikan (Nikijuluw 2002), pengembangan alternatif lapangan kerja nelayan (Pascoe and Mardle 2001); pemberian kredit, pengembangan prasarana pelabuhan perikanan, peningkatan 128

149 keterampilan nelayan dan pengembangan agribisnis perikanan (Kjoersgaard and Andersen 2003). Hermawan (2006) mengatakan bahwa pemanfaatan sumber daya laut perlu dibatasi dengan pengendalian atas jumlah upaya penangkapan dan atau hasil tangkapan agar terhindar dari adanya upaya yang berlebihan, investasi modal yang berlebihan atau kelebihan tenaga kerja. Pemanfaatan sumber daya tanpa pengendalian cenderung diikuti penipisan sumber daya (stok), menurunnya hasil tangkapan per unit upaya (CPUE), serta menipisnya keuntungan yang diperoleh. Efisiensi dari satu pengaturan pemanfaatan sumber daya dapat dicapai dengan cara penetapan upaya penangkapan sampai pada tingkat yang sesuai dengan tingkat yang diperlukan untuk memperoleh hasil tangkapan yang optimal. Keberadaan jaring batu secara kuantitas belum menjadi masalah terhadap keberlanjutan sumber daya ikan kurau, tetapi dari sisi sosial alat ini telah menimbulkan konflik yang sangat tinggi terhadap alat tangkap lainnya, terutamanya alat tangkap rawai. Konflik yang terjadi di Kabupaten Bengkalis ini tentu saja mengganggu keberlanjutan usaha dari segi keamanan. Untuk meminimalkan dampak konflik terhadap alat tangkap jaring batu dengan rawai perlu dilakukan analisis dengan pendekatan resolusi konflik. Sedangkan untuk perairan Laut Cina Selatan perlu dilakukan pengaturan terhadap alat tangkap yang beroperasi di wilayah pengelolaannya untuk menghindari terjadinya konflik dalam pemanfaatan sumber daya. 5.6 Kesimpulan (1) Komoditi sumber daya ikan unggulan yang layak di kembangkan di perairan Provinsi Riau dengan pendekatan aspek pasar berdasarkan urutan prioritas di perairan Selat Malaka Kabupaten Bengkalis adalah ikan kurau (Eleutheronema spp), senangin (Polynemus sp), malung (Muraenenson cinereus), bawal putih (Pampus argenteus) dan udang putih (Metapenaeus sp), sedangkan untuk perairan Laut Cina Selatan Kabupaten Indragiri Hilir adalah udang mantis (Uratos guilla nepa sp), ikan kurau (Eleutheronema spp), bawal putih (Pampus argenteus), malung (Muraenenson cinereus) dan tenggiri (Scomberomorus sp). 129

150 (2) Usaha perikanan tankap unggulan yang layak untuk dikembangkan di perairan Provinsi Riau dengan pendekatan aspek teknis, ekonomi, sosial dan keramahan lingkungan berdasarkan urutan prioritas di perairan Selat Malaka Kabupaten Bengkalis adalah jaring batu (bottom drift gillnet), rawai (longline), jaring atom (drfit gillnet), dan jaring apollo (trammelnet), sedangkan untk perairan Laut Cina Selatan Kabupaten Indragiri Hilir adalah jaring insang hanyut (drift gillnet), rawai (longline), jaring udang (trammelnet) dan jaring batu (bottom drift gillnet). (3) Estimasi nilai optimum dari komponen perikanan tangkap di perairan Provinsi Riau adalah sebagai berikut : 1) Jumlah optimum untuk semua jenis unit penangkapan pilihan di Selat Malaka perairan Kabupaten Bengkalis adalah sebanyak 6595 unit dengan alokasi sebagai berikut : (1) jaring batu (bottom drift gillnet) 208 unit, (2) rawai (longline) 3211 unit, (3) jaring atom (drift gillnet) 2862 unit, dan (4) jaring apollo (trammel net) 314 unit. 2) Jumlah optimum untuk semua jenis unit penangkapan pilihan di Laut Cina Selatan perairan Kabupaten Indragiri Hilir adalah 5956 unti dengan alokasi: (1) jaring insang (gillnet) 3039 unit, (2) rawai (longline) 844 unit, (3) jaring udang (trammel net) 1942 unit dan (4) jaring batu (bottom drift gillnet) 131 unit. 130

151 6 FAKTOR KONFLIK DALAM PENGEMBANGAN USAHA PERIKANAN TANGKAP DI PERAIRAN PROVINSI RIAU 6.1 Pendahuluan Konflik perikanan tangkap secara umum terkait dengan pemanfaatan sumber daya ikan yang sudah sulit untuk diperoleh. Hal ini dimaksudkan terkait dengan masalah produksi, yaitu semakin sedikitnya ikan yang dapat ditangakap oleh nelayan. Umumnya pihak-pihak yang terlibat dalam konflik adalah kelompok nelayan tradisional. Keragaman jenis konflik perikanan tangkap banyak disebabkan oleh perbedaan persepsi nelayan tentang pengelolaan sumber daya ikan. Potensi konflik perikanan salah satunya dapat disebabkan oleh prinsip hunting, nelayan yang harus selalu memburu dimana ikan berada, suatu persaingan yang mengakibatkan terkonsentrasinya unit penangkapan ikan pada tempat dan waktu yang sama. Konflik yang terjadi antara nelayan tradisional dengan nelayan jaring batu ataupun nelayan trawl yang beroperasi di perairan Provinsi Riau merupakan peristiwa yang sering terjadi di wilayah Pantai Timur Sumatera. Konflik dengan nelayan tradisional disebabkan pengusaha perikanan jaring batu dan trawl menangkap pada jalur penangkapan nelayan tradisional, yaitu di bawah 3 mil laut dari garis pantai. Akibatnya, nelayan tradisional mengalami penurunan hasil tangkapan, sebagai akibat ketidakmampuan untuk bersaing dengan nelayan jaring batu ataupun nelayan trawl. Kondisi ini menyebabkan nelayan tradisional melakukan perlawanan dengan pembakaran dan penyanderaan terhadap kapalkapal jaring batu dan trawl yang tertangkap. Menyadari pentingnya mengetahui sifat konflik dalam pengembangan usaha perikanan tangkap, guna memberikan penyelesaian yang optimum, baik untuk konflik yang sedang terjadi maupun yang mungkin terjadi, diperlukan identifikasi menyeluruh tentang pihak-pihak yang memiliki kepentingan. Identifikasi ini perlu dilakukan guna menyusun resolusi penyelesaian konflik perikanan tangkap yang efektif. Pendekatan yang baik untuk menyusun rencana pengelolaan konflik adalah dengan mengajak pihak-pihak yang berkepentingan berpartisipasi dalam mengembangkan pemahaman yang sama terhadap suatu konflik, dinamikanya dan

152 pengaruhnya terhadap nelayan sehingga akan lebih mampu menginterpretasikan konflik yang ada. Resolusi konflik yang efektif diharapkan memberikan dampak positif, karena tidak semua konflik yang terjadi berdampak negatif. Konflik yang memberikan dampak positif diperlukan dalam pengembangan ke arah yang lebih baik, yaitu dapat mempererat hubungan nelayan yang pada akhirnya tercipta alokasi sumber daya yang adil. Melalui resolusi konflik yang sesuai akan tercipta keadaan yang positif dalam pengembangan usaha perikanan tangkap yang bertanggung jawab dan berkelanjutan dan mendorong partisipasi nelayan sehingga tercipta keadilan antar kelompok nelayan yang dapat mengembangkan stabilitas sosial. Upaya untuk penyelesaian konflik telah banyak dilakukan, tetapi hingga sejauh ini hasilnya masih kurang memuaskan. Kondisi ini disebabkan antara lain : 1) belum diketahuinya tipologi konflik perikanan tangkap di lokasi penelitian, 2) belum diketahuinya faktor penyebab konflik dan teknik resolusi yang sesuai, 3) kesepakatan yang dihasilkan belum mengikutsertakan semua pihak yang memiliki kepentingan dalam pemanfaatan sumber daya perikanan, dan 4) belum dilakukannya evaluasi terhadap kelembagaan yang menangani konflik 6.2 Tujuan penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah : (1) Mengidentifikasi tipologi konflik perikanan tangkap di perairan Bengkalis (2) Menganalisis konflik yang terjadi dan faktor-faktor penyebabnya (3) Melakukan evaluasi kelembagaan yang menangani konflik 6.3 Metodologi Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian statistik deskriptif. Guna menjelaskan penyebab terjadinya konflik, maka mengetahui tipologi konflik menjadi sangat penting. Dengan mengetahui tipologi konflik maka akan dapat dianalisis penyebab dan alternatif resolusi konflik. Penelitian dilaksanakan di Selat Malaka perairan Bengkalis Provinsi Riau. Pemilihan terhadap kabupaten ini karena memiliki potensi perikanan tangkap yang cukup besar, yaitu Selat Malaka, tetapi telah terjadi konflik pemanfaatan sumber daya yang telah terjadi lebih dari 30 tahun. Lokasi penelitian adalah wilayah Kecamatan 132

153 Bantan Kabupaten Bengkalis (Gambar 27). Kecamatan Bantan terdiri dari 9 (sembilan) desa dan 7 (tujuh) diantaranya adalah desa pesisir. Mengingat hampir seluruh desa pesisir yang ada di Kecamatan Bantan merupakan kawasan yang berkonflik, maka penelitian ini diarahkan pada desa-desa yang pernah dan sedang terlibat dalam konflik. Dari ke tujuh desa pesisir tersebut ditentukan 6 (enam) desa yang menjadi lokasi tempat penelitian yaitu Desa Jangkang, Desa Bantan Air, Desa Selat Baru, Desa Muntai, Desa Teluk Pambang dan Desa Kembung Luar. Legend : Lokasi utama penelitian konflik Lokasi pendukung penelitian konflik Gambar 27 Lokasi penelitian konflik pemanfaatan sumber daya ikan di perairan Bengkalis. Daerah penelitian dibagi menjadi dua kategori yaitu lokasi utama dan pendukung. Lokasi utama ditentukan berdasarkan pengamatan dan informasi awal dengan alasan lokasi prioritas merupakan lokasi dimana intensitas dan skala konfliknya tinggi bila dibandingkan dengan desa-desa lain yang juga mengalami konflik. Adapun desa-desa lokasi penelitian yang digolongkan lokasi utama/prioritas adalah Desa Selat Baru, Desa Bantan Air dan Desa Teluk Pambang, sedangkan desa pendukung adalah Desa Jangkang, Desa Muntai dan Desa Kembung Luar. 133

154 6.3.1 Metode pengumpulan data Responden penelitian adalah stakeholder (pemangku kepentingan) utama yang berpengaruh atau mempengaruhi secara langsung maupun tidak langsung terhadap konflik dan resolusi konflik. Responden dipilih secara purposive dengan mempertimbangkan partisipasi yang bersangkutan dalam konflik dan resolusi konflik, yaitu masyarakat yang telah matang dalam mengambil keputusan dan dapat memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Pengumpulan data primer dilakukan melalui wawancara, penyebaran kuesioner dan observasi langsung pada lokasi penelitian, berupa waktu terjadinya konflik, pihakpihak yang terlibat dalam konflik, isu yang berkembang dalam masyarakat, latar belakang budaya, persepsi masyarakat terhadap pemanfaatan sumber daya, keberadaan tokoh dalam konflik dan kelembagaan yang menangani konflik. Data sekunder berupa peraturan-peraturan yang dikeluarkan berkenaan dengan konflik diperoleh dari berbagai sumber (instansi pemerintah, lembaga non pemerintah, media massa, internet) yang terkait dengan tujuan penelitian Metode analisis data Konflik pengelolaan sumber daya perikanan secara umum dikelompokkan menjadi empat kelompok/tipologi (Charles 1992), yaitu : 1) yurisdiksi perikanan, meliputi konflik dasar tentang siapa yang mempunyai sumber daya, siapa yang berhak mengontrol setiap akses ke sumber daya, bentuk optimal manajemen perikanan dan peran apa yang harus diambil oleh pemerintah dalam sistem perikanan; 2) mekanisme manajemen, meliputi isu-isu relatif jangka pendek yang muncul dalam pengembangan dan implementasi perencanaan manajemen perikanan, keterlibatan nelayan atau pemerintah dalam konflik pada saat eksploitasi dan proses konsultasi dan pengawasan perikanan; 3) alokasi internal, termasuk konflik yang muncul dalam sistem perikanan spesifik, antar kelompok dan alat tangkap yang berbeda, seperti antara nelayan, pengolah dan pihak-pihak lain; dan 4) alokasi eksternal, menyangkut konflik yang muncul antara pemain perikanan internal dan eksternal, seperti dengan kapal asing, pembudidaya, industri non perikanan dan lainnya. Tahap selanjutnya adalah pengumpulan informasi yang dibutuhkan untuk menentukan teknik resolusi konflik yang akan digunakan. Hal ini penting karena setiap 134

155 teknik membutuhkan kondisi dan prasyarat yang berbeda-beda. Sebagai alat bantu untuk memahami teknik resolusi yang tepat dapat digunakan teknik resolusi konflik yang dikembangkan oleh Fisher et al. (2000). Faktor-faktor yang menjadi penyebab konflik dianalisis secara deskriptif berdasarkan temuan selama penelitian berlangsung dengan urutan : 1) Penahapan konflik yang bertujuan untuk melihat tahap-tahap dan siklus peningkatan dan penurunan konflik, disajikan dalam bentuk grafik yang menunjukkan intensitas konflik yang digambar dalam skala waktu tertentu. 2) Urutan kejadian digunakan untuk mengidentifikasi kejadian-kejadian mana yang paling penting bagi masing-masing pihak yang berkonflik. 3) Pemetaan konflik digunakan untuk lebih memahami situasi dengan baik, melihat hubungan di antara berbagai pihak secara lebih jelas, disajikan secara visual untuk menggambarkan hubungan berbagai pihak yang berkonflik, 4) Segitiga S-P-K (Sikap-Perilaku-Konteks) digunakan untuk mengidentifikasi ketiga faktor tersebut pada masing-masing pihak, menganalisis bagaimana faktor-faktor tersebut saling mempengaruhi dan menghubungkan faktor-faktor tersebut dengan berbagai kebutuhan dan ketakutan masing-masing pihak yang berkonflik. 5) Analogi bawang bombay digunakan untuk memahami berbagai kepentingan serta kebutuhan masing-masing pihak yang berkonflik, tujuan jangka panjangnya untuk meningkatkan komunikasi dan kepercayaan sampai tercipta kondisi dimana pihak yang berkonflik dapat mengungkapkan kebutuhan mereka yang nyata dan juga memahami, serta berusaha untuk saling memenuhi kebutuhan pihak lain Evaluasi kelembagaan yang menangani konflik di analisis secara deskriptif kualitatif yaitu dengan melakukan analisis terhadap fungsi dan keberadaan kelembagaan yang mempengaruhi terhadap intensitas dan upaya terhadap penanganan konflik. 135

156 6.4 Hasil Penelitian Tipologi konflik Hasil pengamatan di lokasi penelitian ditemukan tipologi konflik pemanfatan sumber daya ikan yang terjadi di perairan Bengkalis seperti yang disajikan pada Tabel 24. Tabel 24 Tipologi Konflik perikanan tangkap di perairan Bengkalis berdasarkan pendekatan Charles (1992) Ekses Penyebab utama Jenis konflik Perkelahian Nelayan jaring batu mulai banyak beroperasi di perairan Bengkalis dengan teknologi yang berbeda Konflik tangkap alat Tipologi konflik (Charles 1992) Alokasi internal Pihak yang terlibat Nelayan rawai vs nelayan jaring batu pengerusakan alat Nelayan rawai merasakan mulai adanya persaingan dalam usaha penangkapan dan mulai adanya friksi sosial Konflik tangkap alat Alokasi internal Nelayan rawai vs nelayan jaring batu Bentrokkan di laut, penangkapan dan pembakaran kapal jaring batu Nelayan rawai merasa daerah penangkapan mulai sempit, karena nelayan jaring batu beroperasi di daerah penangkapan nelayan rawai Konflik daerah penangkapan Yurisdiksi Nelayan rawai vs nelayan jaring batu, Dinas perikanan, kepala desa, Camat Bantan, Kamla dan kepolisian Tuntutan ganti rugi Nelayan jaring batu tetap beroperasi (melanggar kesepakatan) di daerah penangkapan rawai Konflik daerah penangkapan Yurisdiksi Nelayan rawai vs nelayan jaring batu Pembakaran, penyanderaan, pemanahan, penangkapan dan penganiayaan ABK Pembakaran Nelayan jaring batu melanggar kesepakatan yaitu beroperasi di wilayah nelayan rawai Nelayan tetap mengoperasikan alat jaring batu walupun telah ada SK Bupati, SK Gubernur Konflik daerah penangkapan Konflik alat tangkap Yurisdiksi Alokasi internal Nelayan rawai vs nelayan jaring batu, Kamla, kepolisian, Dinas perikanan Nelayan rawai vs nelayan jaring batu, kepolisian Penculikan Nelayan jaring batu membalas perlakuan nelayan Rawai karena merusak alat jaring batu Konflik alat tangkap Alokasi internal Nelayan rawai vs nelayan jaring batu, kepolisian jaring batu, aparat kepolisian Aksi massa Nelayan merasa perlu dukungan dari otoritas tertinggi untuk penyelesaian konflik dan segera melarang pengoperasian jaring batu di perairan Bengkalis Konflik alat tangkap Alokasi internal Nelayan rawai, Pemkab, Pemprov 136

157 6.4.2 Penahapan konflik Konflik berkembang sesuai dengan intensitas dan skala serta lamanya periode konflik. Konflik yang terjadi antara nelayan rawai dengan nelayan jaring batu memiliki kedinamisan yang tinggi. Fisher et al. (2000) menyatakan bahwa konflik berubah setiap saat, melalui berbagai tahap aktivitas, intensitas, ketegangan dan kekerasan yang berbeda. Tahap-tahap ini penting sekali diketahui untuk menganalisis berbagai dinamika dan kejadian yang berkaitan dengan masing-masing tahap konflik. Analisis dasar terdiri dari lima tahap, yaitu prakonflik, konfrontasi, krisis, akibat dan pascakonflik. Berdasarkan pendapat ini, analisa penahapan konflik digambarkan kedalam grafik eskalasi konflik yang disajikan pada Gambar 28. Krisis akibat Pasca konflik konfrontasi krisis Prakonflik Konfrontasi akibat Gambar 28 Grafik penahapan terjadinya konflik antara nelayan rawai dengan nelayan jaring batu. Informasi yang diperoleh selama penelitian, perkembangan konflik di perairan Bengkalis berdasarkan Fisher et al. (2000) dapat dikelompokkan ke dalam lima tahapan, yaitu (1) Prakonflik tahun ; (2) Konfrontasi tahun ; (3) Krisis dan tahun ; (4) Akibat tahun ; dan (5) Pasca konflik tahun 2005-sekarang. (1) Kondisi prakonflik tahun , di mana ikan kurau telah dimanfaatkan oleh nelayan perairan Bengkalis dengan menggunakan alat tangkap rawai. Pada masa ini, alat jaring batu mungkin saja telah beroperasi di perairan ini, 137

158 tetapi karena sumber daya yang tersedia masih banyak, sehingga kehadiran alat jaring batu tidak dirasakan oleh nelayan rawai sebagai pesaing dalam usaha pemanfaatan sumber daya, walaupun pada tahun 1981 tercatat 40 unit jaring batu telah beroperasi di perairan ini. Kegiatan usaha perikanan rawai di perairan Bengkalis dilakukan secara berkelompok mapun secara individu dengan ikatan sosial yang sangat erat di antara sesama pengguna alat tangkap yang sama atau dari wilayah yang sama. Kelompok nelayan perairan Bengkalis sangat peduli terhadap wilayah perairan tempat mereka melakukan penangkapan dan sangat tidak senang apabila ada nelayan pendatang dengan menggunakan alat tangkap yang dianggapnya merusak. Sifat sumber daya perikanan laut yang bersifat open acces memungkinkan semua pihak untuk melakukan eksploitasi tanpa terikat kuat pada aturan batas-batas wilayah. Pemanfaatan terhadap ikan kurau semakin mengalami peningkatan dikarenakan tingginya permintaan baik dari pasar lokal khususnya pasar dengan tujuan ekspor. Dengan demikian ketika permintaan tinggi terhadap sumber daya ikan tertentu akan meningkatkan nilai ekonomi ikan tersebut, sehingga terjadi persaingan beberapa jenis alat tangkap dengan tujuan penangkapan yang sama. Tingginya permintaan akan ikan kurau dari pasar lokal dan luar negeri dengan harga yang sangat tinggi, menyebabkan perburuan terhadap ikan ini semakin meningkat. Adanya persaingan antara kedua kelompok nelayan untuk memperoleh objek yang sama di wilayah tangkap yang sama, merupakan salah satu faktor pemicu konflik antara nelayan rawai dan jaring batu. Perbedaan bentuk dan sifat alat tangkap membuat kedua alat tangkap memiliki laju tangkap yang berbeda pula, jaring batu dengan konstruksi yang mampu menyapu area tangkap yang lebih luas, memiliki laju tangkap yang lebih tinggi dibanding rawai, sehingga dalam setiap operasi penangkapan, jaring batu akan mendapatkan hasil tangkapan yang lebih banyak dibandingkan rawai. (2) Periode tahun (konfrontasi), semakin banyak nelayan jaring batu yang beroperasi di perairan Bengkalis untuk menangkap ikan kurau 138

159 membuat kenyamanan nelayan Kecamatan Bantan yang merasa sebagai pemilik dari perairan terganggu. Pada periode ini mulai terjadi pertikaianpertikaian di laut sebagai bentuk penolakan nelayan rawai. Pertikaianpertikaian tersebut bermula pada saat nelayan jaring batu menabrak nelayan rawai sehingga terjadi perkelahian. Nelayan rawai yang tidak senang mendapat perlakukan tersebut melaporkan kejadian ini kepada aparat hukum, tetapi mereka tidak mendapatkan perlindungan dari aparat. Sebaliknya, nelayan jaring batu justru menggunakan aparat hukum untuk melindungi usaha mereka dari nelayan rawai, keterlibatan aparat ini memang dapat membuat takut masyarakat yang melakukan perlawanan. Nelayan rawai mulai melakukan perlawanan, yaitu dengan memotong tali pelampung jaring batu. Nelayan rawai memberikan peringatan kepada nelayan jaring batu baik lisan maupun secara tertulis, pada waktu yang bersamaan dibuat perjanjian dengan nelayan jaring batu untuk tidak beroperasi di perairan Tanjung Jati hingga Tanjung Sekodi, untuk mengurangi konflik yang menyebabkan kerugian terutama di pihak nelayan rawai, walaupun pada akhirnya nelayan jaring batu selalu melanggar kesepakatan yang telah dibuat. Langkah pengamanan untuk melindungi daerah penangkapnnya, nelayan rawai melakukan ronda laut. Dua unit kapal nelayan kurau berhasil ditangkap kemudian diserahkan pada Dinas Perikanan yang disaksikan oleh Camat Bantan dan Kepala Desa Teluk Pambang. Tanpa proses yang jelas, DPK mengembalikan kapal hasil tangkpan tersebt ke nelayan kurau, hal ini menimbulkan kecurigaan nelayan rawai kepada DPK. (3) Periode tahun (krisis), nelayan rawai mulai melakukan penangkapan dan pembakaran terhadap kapal-kapal jaring batu. Aksi ini dilakukan karena nelayan jaring batu yang sering melakukan pelanggaranpelanggaran atas kesepakatan yang telah dibuat, selain itu adanya ketidakpuasan nelayan rawai terhadap aparat hukum, sehingga mereka memutuskan untuk melakukan pembalasan kepada nelayan jaring batu. Keragaman dalam masyarakat dan kehadiran pihak luar serta adanya keterlibatan dari aparat yang berada di pihak nelayan jaring batu menyebabkan konflik yang pada awalnya bersifat laten berubah menjadi 139

160 terbuka. Situasi awal yang muncul adalah kecemburuan nelayan rawai terhadap nelayan jaring batu yang mampu memperoleh hasil tangkapan yang lebih banyak. perbedaan hasil tangkapan ini sesungguhnya disebabkan karena perbedaan teknologi penangkapan di mana nelayan rawai masih menggunakan teknologi sederhana. Nelayan jaring batu mulai melakukan penangkapan dan penculikan terhadap nelayan rawai dan tetap melibatkan aparat kepolisian untuk menangkap nelayan rawai. Pada periode ini dibuat kesepakatan wilayah pengoperasian antara rawai dan jaring batu, di mana nelayan jaring batu tidak boleh beroperasi di daerah penangkapan nelayan rawai. Konflik yang pada awalnya muncul karena perbedaan alat tangkap (alokasi internal) yang dioperasikan berubah menjadi perebutan daerah penangkapan (yurisdiksi). (4) Tahun 2000 (akibat), konflik mereda untuk sementara, dimana dibuat kesepakatan, bahwa nelayan kurau tidak boleh beroperasi di daerah penangkapan nelayan rawai. Aksi penangkapan terhadap kapal jaring batu yang beroperasi di perairan Bengkalis tetap di lakukan oleh nelayan rawai. (5) Tahun (krisis), nelayan kurau telah melanggar lagi kesepakatan, karena tetap melakukan penangkapan di daerah penangkapan nelayan rawai, hal ini menimbulkan kemarahan nelayan rawai, sehingga aksi pembakaran terhadap kapal nelayan kurau yang tertangkap dibakar oleh nelayan rawai kembali terjadi. Tetapi, nelayan kurau melakukan perlawanan yaitu melakukan penyerangan balasan dengan menculik, melakukan penyanderaan pompong nelayan rawai yang tertangkap. Pada masa ini, perang semakin terbuka, aksi membakar dan penyerangan di laut, pemanahan dan saling sandera terhadap pihak lawan dilakukan oleh kedua belah pihak yang berkonflik. Kapal-kapal yang tertangkap dijadikan barang sitaan oleh nelayan rawai, selanjutnya kapal diserahkan ke KAMLA untuk diproses, namun masyarakat menganggap KAMLA tidak memproses secara jelas karena seminggu kemudian kapal hasil sitaan dikembalikan Kamla pada pemiliknya. Perihal kejadian ini dilaporkan kepada Dinas Perikanan dan Kelautan Bengkalis serta Kepolisian Bengkalis. Atas permintaan aparat kepolisian dan 140

161 Dinas Perikanan dilakukan perundingan untuk penyelesaian kasus ini. Nelayan rawai menuntut agar Kepolisian Bengkalis mengusut tuntas kasus pemanahan oleh nelayan jaring batu, di mana nelayan rawai menggangap nelayan jaring batu sudah mempersiapkan diri dengan senjata tajam yang bukan merupakan peralatan mencari ikan. Sementara itu nelayan jaring batu menuduh nelayan rawai melakukan penyerangan terlebih dahulu. Seperti biasa, setiap ada kasus dan setiap perundingan selalu tidak menyentuh akar masalah. Dalam perundingan tersebut terfokus pada upaya saling membebaskan sandera. Upaya penangkapan jaring batu ini mendapat perlawanan dari nelayan jaring batu, namun karena adanya aparat kepolisian bersama nelayan Selat Baru, lalu nelayan jaring batu menyerahkan diri. Untuk meredam emosi nelayan Selat Baru dan nelayan dari desa lainnya yang tergabung dalam SNKB, dilakukan penahanan terhadap nelayan jaring batu beserta kapalnya sebagai barang bukti. Kejadian ini berbuntut aksi demo SNKB ke DPRD Bengkalis. Atas nama SNKB nelayan tradisional Kecamanan Bantan yang didukung oleh 9 (sembilan) desa yaitu Desa Teluk Lancar, Kembung Luar, Teluk Pambang, Muntai, Bantan Air, Bantan Tenggah, Selat Baru, Jangkang, Tanjung Sekodi mendesakkan beberapa tuntutan, diantaranya 1) meminta agar jaring batu dihapuskan/tidak dibenarkan beroperasi di perairan laut dari Tanjung Jati sampai Tanjung Sekodi; 2) meminta agar nelayan jaring batu yang telah ditahan di Polres Bengkalis agar dihukum karena telah banyak melakukan tindakan-tindakan mengancam dan meresahkan masyarakat nelayan rawai khususnya; 3) meminta agar kapal jaring batu yang telah ditahan di Polres sebanyak 2 unit diserahkan kepada SNKB untuk dijadikan kapal patroli. (6) Periode 2005-sekarang (pascakonflik), pada periode ini, walaupun aksi penangkapan terhadap kapal jaring batu masih tetap dilakukan oleh nelayan rawai, tetapi kondisi tidak seperti tahun-tahun sebelumnya. Nelayan tetap memperjuangkan hak mereka untuk dapat melakukan aktivitas berusaha dalam kondisi yang aman. Nelayan rawai meminta dukungan dari semua pihak yang dianggap dapat menyelesaikan permasalahan mereka yang telah 141

162 lama dan menyebabkan banyak kerugian dipihak mereka. Tahun 2006 nelayan rawai didampingi oleh WALHI Riau meminta dukungan dari Gus Dur yang pada saat itu secara langsung menirimkan surat ke Presiden RI dan Gubernur Riau untuk penyelesaian konflik di perairan Bengkalis. Hasilnya dikeluarkan SK Gubernur no 17 tahun Namun hingga saat ini belum ada penyelesaian yang dapat diterima oleh kedua belah pihak yang berkonflik. Eskalasi konflik yang ditunjukkan oleh Gambar 30, mengindikasikan bahwa usaha perikanan kurau masih memiliki peluang untuk dapat dijadikan sebagai prime mover dalam pengembangan usaha perikanan tangkap di perairan Provinsi Riau Urutan kejadian konflik Konflik antara nelayan perairan Bengkalis (selanjutnya disebut sebagai nelayan rawai ) dengan nelayan jaring batu di perairan Kecamatan Bantan sudah berlangsung hampir tiga dasawarsa. Hasil penelitian menunjukkan, konflik sering terjadi di perairan Teluk Pambang (Gambar 29), hal ini dikarenakan daerah penangkapan (fishing ground) ikan kurau adalah di perairan tersebut. Konflik berkepanjangan ini berawal ketika pemburuan terhadap spesies ikan kurau di kawasan perairan Kecamatan Bantan mulai meningkat. Data lapangan menunjukkan bahwa perburuan terhadap spesies ikan kurau oleh nelayan rawai dimulai sejak tahun 1970-an. Pada masa tersebut nelayan rawai melakukan penangkapan ikan kurau dengan mengunakan sampan dayung yang dilengkapi layar dengan alat tangkap jaring insang permukaan dan rawai. Walaupun dengan mengunakan sampan dayung daerah tangkap (fishing ground) para nelayan belum berubah sampai saat ini. Pertikaian antara nelayan rawai dan nelayan jaring batu sejak tahun 1983 tercatat sebanyak 38 kali, sebagian besar adalah penangkapan kapal jaring batu oleh nelayan tadisional. Konflik ini juga telah membuat sekitar 40 kapal jaring batu di bakar, dan mengakibatkan beberapa orang luka-luka (Suara Pembaharuan, 28 April 2004). Nelayan dan pemilik (pengusaha) jaring batu sebagian besar berasal dari Kecamatan Rangsang, Kecamatan Tebing Tinggi, Kecamatan Merbau, Kecamatan Bengkalis; Kabupaten Bengkalis dan Tanjung Balai Karimun; 142

163 Kabupaten Karimun yang merupakan usaha komersil skala ekspor yang didominasi oleh etnis Cina (Tionghoa). Memuncaknya konflik di perairan Bengkalis salah satunya disebabkan oleh semakin meningkatnya upaya penangkapan (Gambar 30) dan menurunnya produktivitas penangkapan nelayan terhadap ikan kurau (Gambar 31). Legend: Pulau Bengkalis Wilayah konflik nelayan rawai vs jaring batu Wilayah pusat konflik (Teluk Pambang) Gambar 29 Wilayah konflik dan pusat konflik antara nelayan rawai dengan nelayan jaring batu di perairan Bengkalis. Ikan kurau saat ini merupakan target utama nelayan dengan harga ditingkat nelayan berkisar Rp /kilogram dan bahkan pada kondisi tertentu dapat mencapai Rp /kilogram. Berdasarkan data dari Koperasi Pantai Madani Desa Teluk Pambang, kelas harga ikan kurau berdasarkan bobot berat yaitu; a) berat 3 kg disebut kurau kecil/kk dengan harga Rp /kg; b) berat 3,1 4,9 kg/ekor (kurau besar sedang/kbs) harga Rp /kg; c) berat 5 12 kg/ekor (kurau besar/kb) harga Rp /kg. Jika berat ikan kurau lebih dari 12 kg/ekor harganya disamakan dengan ikan kurau kelas KBS. Ukuran berat ikan kurau yang biasa tertangkap nelayan rawai berkisar antara 5 25 kg/ekor. Tingginya harga kurau juga merupakan indikator bahwa ikan kurau merupakan ikan dengan nilai ekonomis tinggi. 143

164 produktivitas alat (ton/tahun) Upaya tangkap (trip) jaring kurau rawai Tahun Gambar 30 Upaya penangkapan alat tangkap jaring batu dan rawai. 0,014 0,012 0,01 0,008 0,006 0,004 0, Tahun jaring kurau rawai Gambar 31 Produktivitas penangkapan alat tangkap rawai dan jaring batu. Formulasi data lapangan terhadap latar belakang konflik ditampilkan dalam bentuk urutan kejadian untuk menunjukkan kronologi terjadinya konflik berdasarkan tahun, bulan dan tanggal sesuai dengan skalanya. Urutan kejadian konflik nelayan tradisional (rawai) Kecamatan Bantan dengan jaring batu dari tahun 1970-an sampai 2008 disajikan pada Tabel

165 Tabel 25 Kronologi terjadinya konflik nelayan rawai dan nelayan jaring batu WAKTU KRONOLOGI KEJADIAN SKALA DAN INTENSITAS LOKASI KETERANGAN 1970 s/d 1980 Nelayan perairan Bengkalis menangkap ikan kurau dengan rawai mengunakan sampan dayung Belum terindikasi adanya konflik Perairan Bengkalis Nelayan kurau diduga telah beroperasi di peraairan Bengkalis, tetapi karena sumber daya kurau masih banyak, sehingga kehadiran mereka belum mengganggu nelayan rawai 1981 Pemburuan terhadap ikan kurau mulai sering dilakukan oleh nelayan jaring batu dengan menggunakan kapal motor. Belum terindikasi adanya konflik Perairan Bengkalis Tercatat sebanyak 40 unit kapal jairng kurau tela beroperasi di peraiarn Bengkalis. Saat ini belum terindikasi adanya persaingan usaha penangkapan ikan kurau 1983 Perkelahian nelayan jaring batu dengan nelayan rawai di laut. Kapal jaring batu menabrak sampan nelayan rawai Nelayan rawai mendapat intimidasi aparat yang melindungi nelayan jaring batu Teluk Pambang Maraknya perburuan terhadap ikan kurau oleh nelayan dari luar Pulau Bengkalis mulai mengganggu nelayan rawai Karena ketakutan masyarakat melarikan diri ke Malaysia 1984 Nelayan jaring batu leluasa beroperasi di perairan Bantan Nelayan rawai berusaha menghindari perkelahian Perairan Bantan Nelayan rawai tidak melakukan perlawanan, karena takut akan adanya aparat di kapal nelayan jaring batu 1985 Dinas perikanan melakukan penangkapan satu unit kapal motor jaring batu Jaring batu beroperasi di daerah penangkapan nelayan rawai Teluk Pambang kapal jering kurau yang tertangakp diserahkan ke polisi untuk diproses alat rawai yang rusak di ganti oleh pengusaha jaring batu 1986 Penangkapan satu unit jaring batu oleh nelayan rawai dan dibawa ke pantai Desa Teluk Pambang Kapal jaring batu menabrak rawai Teluk Pambang Nelayan rawai melaporkan kejadian ini ke aparat, tetapi tidak mendapat tanggapan. 145

166 Tabel 25 (lanjutan) WAKTU KRONOLOGI KEJADIAN SKALA DAN INTENSITAS LOKASI KETERANGAN 1987 Bentrokan nelayan rawai dengan nelayan jaring batu Kapal jaring batu menabrak rawai Teluk Pambang Melalui perundingan yang di fasilitasi oleh dinas, nelayan rawai mendapat ganti rugi Rp Bentrokan di laut Kapal jaring batu menabrak rawai Kapal jaring batu merusak rawai dan nelayan rawai membalas dengan memotong pelampung jaring batu Nelayan jaring batu melibatkan aparat KAMLA dalam pengopersian alatnya Teluk Pambang Nelayan rawai mulai berani melakukan perlawanan, walaupun tidak secara terbuka, yaitu dengan memotong pelampung jaring batu. Akibatnya nelayan rawai diminta untuk membayar ganti rugi sebesar Rp Penangkapan jaring batu oleh nelayan rawai Beroperasi di kawasan tangkap nelayan rawai Teluk Pambang Jaring batu diberi peringatan secara lisan Bentrokan di laut Jaring batu menabrak dan merusak rawai Teluk Pambang Nelayan rawai mulai berani melakukan perlawanan Tindakan tersebut dibalas oleh nelayan rawai dengan mengiris tali jaring batu dan ditinggal lari Dinas Perikanan Bengkalis, Camat Bantan, Kades Desa Teluk Pambang melakukan patroli Tiga unit kapal jaring batu ditangkap karena melanggar perjanjian yang telah dibuat sebelumnya Teluk Pambang Perjanjian antara nelayan jaring batu dengan dinas dan institusi yang terlibat dalam patroli, yaitu nelayan jaring batu tidak boleh beroperasi di wilayah Tanjung Jati sampai Tanjung Sekodi 1996 Bentrokan di laut Jaring batu menabrak rawai Teluk Pambang Nelayan jaring batu melakukan pelanggaran perjanjian 146

167 Tabel 25 (lanjutan) WAKTU KRONOLOGI KEJADIAN SKALA DAN INTENSITAS LOKASI KETERANGAN 1997 Nelayan rawai melakukan ronda laut Menangkap dua unit kapal jaring batu Teluk Pambang Nelayan rawai secara bersama melakukan pengamanan siang dan malam di perairan Bengkalis 7 Juli 1998 Masyarakat menangkap jaring batu lalu di bawa ke pantai Tiga unit jaring batu dibakar di pantai Teluk Pambang Karena tidak ada kepastian peradilan dari aparat, masyarakat memilih untuk melakukan pembakaran unit jaring batu yang ditangkap 8 Juli 1999 Masyarakat Desa Teluk Pambang mengadakan penangkapan kapal jaring batu yang beroperasi di perairan Teluk Pambang Tiga unit kapal jaring batu di bawa ke pantai Teluk Pambang Ronda laut terus dilakukan oleh nelayan rawai. 20 Juli 1999 Terjadi penangkapan kapal jaring batu di antara perairan Bantan Air dan Muntai Jaring batu dibakar dan kapal ditarik ke pantai Bantan Air Nelayan jaring batu tidak menghormati kesepakatan bersama 29 Jan 2000 Masyarakat Desa Teluk Pambang melakukan penangkapan kapal jaring batu Dua kapal jaring batu tertangkap dan dibawa ke pantai Teluk Pambang Nelayan jaring batu tidak menghormati kesepakatan bersama 12 Feb 2000 Masyarakat Desa Selat Baru melakukan penangkapan Satu kapal jaring batu di tahan masyarakat Selat Baru Nelayan jaring batu tidak menghormati kesepakatan bersama 18 Mai 2000 Nelayan Desa Selat Baru dan Desa Teluk Pambang yang tergabung dalam SNKB melakukan penangkapan Lima unit kapal jaring batu tertangkap Teluk Pambang Nelayan jaring batu tidak menghormati kesepakatan bersama 9 Sep 2000 Nelayan yang tergabung dalam SNKB melakukan penangkapan kembali Dua unit kapal jaring batu ditahan oleh SNKB Jangkang Nelayan jaring batu tidak menghormati kesepakatan bersama 147

168 Tabel 25 (lanjutan) WAKTU KRONOLOGI KEJADIAN SKALA DAN INTENSITAS LOKASI KETERANGAN 25 Feb 2001 SNKB melakukan penangkapan kapal jaring batu di perairan Teluk Pambang Satu unit jaring batu ditahan Teluk Pambang Nelayan jaring batu tidak menghormati kesepakatan bersama 1 Juni 2001 SNKB melakukan penangkapan jaring batu di perairan Desa Teluk Pambang. Tiga unit kapal jaring batu yang berasal dari Kec. Merbau berhasil ditangkap. Satu unit dibakar ditengah laut. Dan dua unit lainnya di bawa kepantai. Teluk Pambang Nelayan jaring batu tidak menghormati kesepakatan bersama 29 Apr 2002 Pembakaran kapal jaring batu yang melakukan penangkapan ikan di perairan Jangkang di bawah 4 mil laut 2 unit kapal jaring batu dibakar oleh masyarakat Desa Jangkang Jangkang Nelayan jaring batu tidak menghormati kesepakatan bersama 20 Okt 2002 SNKB kembali menagkap kapal jaring batu di perairan Teluk Pambang Satu unit kapal jaring batu tertangkap dan dibawa kepantai. Teluk Pambang Nelayan jaring batu tidak menghormati kesepakatan bersama 6 Jan 2003 Nelayan jaring batu melakukan penyerangan kepada nelayan rawai Nelayan rawai mengalami luka dibagian kepala dengan 17 jahitan karena dipukul dengan besi oleh nelayan jaring batu Teluk Pambang Tahun ini mulai terjadi bentrokan fisik dan merupakan puncak konflik 1 Mar 2003 Nelayan jaring batu melakukan penyanderaan pompong nelayan rawai 1 unit pompong nelayan rawai disandera oleh nelayan jaring batu Teluk Pambang Konflik semakin terbuka 16 Juni 2003 Perang terbuka antara nelayan rawai dengan nelayan jaring batu 1 (satu) orang nelayan rawai cedera terkena panah, 3 (tiga) Orang nelayan rawai dan 1 (satu) unit pompong nelayan rawai disandera 6 (enam) orang nelayan dan 1 unit kapal jaring batu disandera oleh nelayan rawai Teluk Pambang 148

169 Tabel 25 (lanjutan) WAKTU KRONOLOGI KEJADIAN SKALA DAN INTENSITAS LOKASI KETERANGAN 3 Juli 2003 Penyanderaan nelayan Desa Kembung Luar oleh nelayan jaring batu 2 orang nelayan kembung luar beserta 1 unit pompong disandera oleh nelayan jaring batu Teluk Pambang Akhir 2003 Terjadi penangkapan kapal jaring batu di antara perairan Desa Jangkang dan Desa Selat Baru 2 unit kapal jaring batu di bakar Selat Baru 8 Jan 2004 Penangkapan jaring batu oleh masyarakat Desa Selat Baru 2 unit kapal jaring batu ditahan masyarakat Selat Baru Feb 2004 Penyandraan warga Teluk Pambang oleh nelayan jaring batu 1 orang warga yang pulang berdagang dari malaysia disandera selama 2 hari Rangsang Juli 2004 Penangkapan jaring batu yang beroperasi di bawah 4 mil oleh SNKB (dimotori oleh masyarakat Desa Selat Baru) bersama Aparat Kepolisian Bengkalis dan Sekcam Bantan 1 Unit jaring batu diamankan aparat, 1 orang pengusaha jaring batu (Jang Karim) di proses serta 1 orang nelayan Selat Baru di tahan (tuduhan penganiayaan) Selat Baru Kejadian ini berbuntut Aksi demo Nelayan Rawai ke DPRD Bengkalis. 8 Agt 2004 Penangkapan jaring batu oleh SNKB I unit jaring batu ditahan dan ABK kapal jaring batu di aniaya nelayan Rawai. (dari keterangan SNKB, masyarakat melampiaskan emosinya karena penagkapan Jang Karim yang dianggap gembong jaring batu pada beberapa hari sebelunnya tidak mendapat sanksi apa-apa dari kepolisian) Teluk Pambang 149

170 Tabel 25 (lanjutan) WAKTU KRONOLOGI KEJADIAN SKALA DAN INTENSITAS LOKASI KETERANGAN Okt 2005 Nelayan Kecamatan Bantan meminta bantuan ke DPRD Riau DPRD Riau menyurati Danlanal, Guskanlamabar dan KASAL, untuk membantu penyelesaian masalah yang melibatkan kesatuan Pekanbaru Belum ada tanggapan dari instansi terkait hingga saat ini 2006 Nelayan yang tergabung dalam SNKB dengan di dampingi oleh WALHI Riau meminta dukungan Gus Dur 2006 Dikeluarkannya SK Gubernur Riau No 17 tahun 2006, tentang pelarangan pengoperasian jaring batu di perairan Bengkalis hingga 12 mil laut - Jakarta Gus Dur saat itu juga langsung menyurati Presiden RI dan Gubernur Riau - Pekanbaru SK Gubernur ini keluar sebagai hasil dari surat Gus Dur 15 Juni 2006 Nelayan jaring batu mengepung nelayan rawai dan membakar 1 buah pompong rawai - terjadi perkelahian jarak dekat, 10 orang nelayan rawai terluka - Polisi menangkap beberapa orang nelayan rawai yang dituduh membunuh nelayan jaring batu Teluk Pambang dan perairan Ransang Barat Masyarakat dalam kondisi dan ketakutan tegang, trauma - satu unit kapal nelayan berbendera Malaysia yang dibawa oleh nelayan Desa Kembung Luar dibakar dan ABK disandera oleh nelayan jaring batu Juni 2006 Nelayan Kecamatan Bantan melakuakn ronda baik di laut mapun di darat, terutama di malam hari Berjaga-jaga, dikarenakan adannya isu penyerangan oleh nelayan jaring batu Para ibu & anak-anak dievakuasi ke tempat yang lebih aman Kecamatan Bantan Nelayan Kecamatan Bantan memperketat pengamanan di desa mereka nelayan yang terlibat langsung insiden 15 Juni banyak yang lari ke hutan 150

171 Tabel 25 (lanjutan) WAKTU KRONOLOGI KEJADIAN SKALA DAN INTENSITAS LOKASI KETERANGAN Juli 2006 Nelayan Kecamatan Bantan tidak melaut sejak insiden 15 Juni Tidak ada jaminan keamanan melaut dari aparat kepolisian Kecamatan Bantan Nelayan berencana meminta suaka politiuk bagi 10 ribu jiwa ke Malaysia 16 Nov 2006 Terjadi penculikan di laut oleh nelayan jaring batu 4 orang nelayan rawai hilang di perairan Selat Malaka dan belum kembali hingga saat ini Teluk Pambang Belum diketahui penyebabnya, tetapi disinyalir masih terkait dengan konflik yang terjadi 31 Maret 2 April 2008 KOMNA HAM mendapat temuan di lokasi tentang dampak konflik terhadap nelayan dan keluarganya KOMNAS HAM meminta Pemprov dan Pemkab mencari solusi untuk konflik yang terjadi Pekanbaru Banyak anak-anak nelayan yang putus sekolah, tingkat kesehatan yang menurun Himbauan untuk Polres Bengkalis agar bersikap independen dalam melakukan tugas pengawasan Himbauan untuk Pemkab Bengkalis untuk lebih serius menangani konflik yang terjadi di wilayahnya April 2008 Nelayan yang tergabung dakam SNKB (1500 orang) melakukan aksi massa ke Kantor Bupati Bengkalis Mendesak Pemkab Bengkalis dan Pemprov Riau untuk membuat Perda dengan segera atas SK Gubernur No 17 tahun 2006 Kabupaten Bengkalis Nelayan merasa belum ada kepastian hukum sebagai hasil dari perjuangan mereka selama ini April Dibentuknya mediasi dalam penyelesaian konflik antara nelayan rawai dengan jaring batu Teluk Pambang Sumber: diolah dari data primer (wawancara) dan data sekunder (Yayasan Laksana Samudera; Co-fish Project, Harian Pagi Riau Pos, Mingguan SEBATI, Edisi 16/Tahun I/ 3-9 Juli 2003, WALHI Riau, Firdaus (2005), website resmi Pemprov Riau, Riau Mandiri Online dan berbagai sumber) 151

172 6.4.4 Pemetaan konflik Pemerintah dan atau pihak terkait lainnya perlu menyusun suatu langkah-langkah terencana dalam menangani konflik. Tiap konflik mempunyai kekhasan masing-masing, oleh karenanya perlu dilakukan pemetaan konflik terlebih dahulu. Fisher et al. (2000), menyatakan bahwa pemetaan konflik merupakan suatu cara untuk menggambarkan konflik secara grafis, menghubungkan pihak-pihak dengan masalah dan pihak lainnya. Kegiatan ini dilakukan untuk lebih memahami konflik dengan baik dan melihat hubungan di antara berbagai pihak yang berkonflik secara lebih jelas sehingga metode pendekatan dan langkah-langkah penanganan konflik yang akan diterapkan dapat segera menghasilkan kesepakatan yang menguntungkan kedua belah pihak. Pelaku utama dalam konflik di peraian Bengkalis adalah nelayan Kecamatan Bantan (nelayan rawai) dan nelayan jaring batu yang dimodali tauke (pengusaha) dari berbagai daerah di Provinsi Riau maupun dari luar provinsi. Adanya perbedaan nilai, kepentingan, tingkat ketergantungan dan cara pandang dalam pemanfaatan sumber daya perikanan, menyebabkan masing-masing pihak melakukan usaha yang berbeda dalam memanfaatkan sumber daya perikanan (Gambar 32). Perseteruan antara nelayan rawai dengan jaring batu telah menyebabkan hubungan yang tidak harmonis (konflik sekunder) antara nelayan rawai, Dinas Perikanan dan Kelautan (kabupaten dan provinsi) serta aparat hukum di laut. Konflik sekunder ini terjadi akibat ketidakpuasan nelayan rawai terhadap tindakan dinas perikanan dan aparat yang berpihak pada nelayan jaring batu, di mana seharusnya kelembagaan ini bersikap independent, sehingga muncul kecurigaan nelayan rawai terhadap pihak dinas perikanan dan aparat dalam memberikan respon terhadap kasus-kasus yang terjadi (Gambar 33). Keberpihakan kelembagaan ini terlihat saat penyelesaian beberapa kasus yang ditangani oleh DPK dan aparat hukum di laut tanpa melalui proses hukum yang jelas, walaupun kerap kali kapal jaring batu yang ditangkap tidak dilengkapi IUP (Izin Usaha Perikanan) atau memiliki SPI (Surat Penangkapan Ikan) ganda. 152

173 Dinas Perikanan Provinsi Riau Dinas Perikanan Kabupaten Bengkalis Pedagang pengumpul Nelayan rawai Penegak hukum di laut Kelembagaan Mediator Eksportir perikanan Lembaga Non Pemerintah Dinas Perikanan Provinsi Riau Nelayan kurau Dinas Perikanan Kabupaten Bengkalis Pedagang pengumpul Penegak hukum di laut Eksportir perikanan Lembaga Non Pemerintah Keterangan : = Konflik/perselisihan utama = Konflik sekunder/situasional = keberpihakan/aliansi = hubungan kerja Gambar 32 Peta konflik para stakeholder dalam pemanfaatan sumber daya di perairan Kabupaten Bengkalis. 153

174 Diskan Provinsi Riau &Kabupaten Bengkalis Hubungan kerja, perizinan dan pengawasan Pemerintah Kabupaten Bengkalis Penegak hukum di laut Pedagang pengumpul Nelayan Rawai Lembaga Non Pemerintah Eksportir /permintaan pasar Nelayan jaring batu PTN/Akade misi = Konflik/perselisihan = Konflik sekunder/situasional = keberpihakan/aliansi = hubungan kerja/relasi Gambar 33 Peta konflik nelayan di perairan Bengkalis pada saat krisis. 154

175 Nelayan rawai dalam upaya memperjuangkan hak mereka memilih untuk melakukan aliansi dengan pihak luar, dalam hal ini dengan lembaga non pemerintah seperti Yayasan Laksana Samudera, WALHI Riau, Yayasan Riau Mandiri dan lainnya. Aliansi ini melakukan sebuah program diskusi komunitas yang dilaksanakan Laksana Samudera bersama Yayasan Riau Mandiri yang membahas berbagai permasalahanpermasalahan yang ada di masyarakat. Diskusi komunitas yang dilakukan pada 11 Juli 1999 di Desa Teluk Pambang ini diikuti oleh nelayan dari 7 desa Kecamatan Bantan (Kembung Luar, Teluk Pambang, Muntai, Bantan Air, Selat Baru dan Jangkang), dihadiri oleh Ketua Bappeda Kabupaten Bengkalis, Kepala Dinas Perikanan Kabupaten Bengkalis menghasilkan sebuah kesepakatan tentang wilayah tangkap dan aturan penangkapan yang mereka sebut sebagai Kesepakatan 7 Desa (Lampiran 11 ) Segitiga S-P-K (Sikap-Perilaku-Konteks) Analisis ini didasarkan pada prinsip bahwa konflik memiliki tiga lembaga utama yaitu : konteks atau situasi, perilaku mereka yang terlibat dan sikapnya (Fisher et al. 2000). Ketiga prinsip ini ditunjukkan secara jelas pada Gambar 34 dan 35 sebagai sebuah segitiga sama sisi. Selanjutnya dikatakan bahwa ketiga faktor tersebut saling mempengaruhi, oleh karena itu tanda panahnya dua arah di setiap sudut. Pemahaman pada motivasi nelayan rawai dan nelayan jaring batu ditelusuri untuk menggali sumber penyebab konflik jaring batu. Analisis SPK antara nelayan rawai dan nelayan jaring batu menunjukkan bebarapa perbedaan dan persamaan, yang bila dikelompokkan akan menjadi penjelasan bagi beberapa sumber penyebab konflik. 155

176 B. Perilaku menegur dan mengusir nelayan jaring batu yang beroperasi di Kecamatan Bantan melaporkan ke aparat tentang pengoparasian jaring batu melakukan penyanderaan dan pembakaran terhadap kapal-kapal jaring batu membentuk asosiasi dengan pihak yang dapat memberikan solusi A. Sikap Pandangan nelayan rawai terhadap nelayan jaring batu : jaring batu penyebab berkurangnya hasil tangkapan nelayan jaring batu menggunakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan jaring batu beroperasi di wilayah nelayan rawai nelayan jaring batu di lindungi oleh aparat Kebutuhan : Keamanan berusaha dan ketersediaan sumber daya ikan Pandangan nelayan rawai terhadap diri sendiri : menyadari pentingnya menjaga kelestarian sumber daya kurau mengetahui cara memanfaatkan SDI yang tidak merusak merasa sebagai pihak yang dirugikan tidak memiliki modal C. Konteks situasi yang tidak aman untuk melakukan pemanfaatan sumber daya ikan di wilayah sendiri belum optimalnya hukum dalam penyelesaian masalah sumber daya ikan dapat habis jika tidak di jaga dengan benar Gambar 34 Segitiga SPK (Sikap Perilaku Konteks) nelayan rawai di Kecamatan Bantan terhadap nelayan jaring batu. 156

177 B. Perilaku Mengabaikan teguran-teguran yang dilakukan oleh nelayan rawai Melakukan aksi perlawanan terhadap nelayan rawai Berlindung kepada aparat Tetap melakukan penangkapan ikan kurau A. Sikap Pandangan nelayan jaring batu terhadap nelayan rawai : Nelayan rawai tidak memiliki modal dan keahlian dalam pengoperasian jaring batu Nelayan rawai tidak memiliki hak untuk membatasi wilayah tangkap Nelayan rawai tidak bisa diajak untuk bermusyawarah/kompromi Nelayan rawai memiliki emosional yang tinggi Kebutuhan : Keamanan berusaha dan ketersediaan sumber daya ikan Pandangan nelayan jaring batu terhadap diri sendiri : Memiliki modal yang besar Memiliki alat penangkapan yang lebih modern Mendapat dukungan dari aparat Pengoperasian jaring batu tidak menyebabkan kerugian dan kerusakan Bisa diajak untuk berkompromi C. Konteks Perairan laut bersifat milik bersama di mana setiap orang boleh memanfaatkannya Sumber daya ikan merupakan potensi alam yang tidak akan habis Kepastian hukum dalam berusaha Gambar 35 Segitiga SPK (Sikap Perilaku Konteks) nelayan jaring batu terhadap nelayan rawai di Kecamatan Bantan. 157

178 6.4.6 Analogi bawang bombay Perbedaan idiologi dan prinsip dalam pemanfaatan sumber daya perikanan antara nelayan Kecamatan Bantan dengan nelayan jaring batu yang mengartikulasikan sumber daya perikanan secara berbeda dan memperlakukan dengan cara berbeda pula. Nelayan rawai menerapkan pemanfaatan sumber daya perikanan berbasis lokal yang bersifat konservasi, nelayan jaring batu mengaktualisasikan kepentingannya berdasarkan aspek ekonomi dan modal, yang bersifat ekploitatif. Analisis terhadap kebutuhan-kepentingan-posisi yang diharapkan dari pihak nelayan rawai Kecamatan Bantan dan nelayan jaring batu dilakukan dengan menggunakan analogi bawang bombay yang disajikan pada Gambar 36. Nelayan rawai Pengoperasian jaring batu dapat merugikan nelayan lokal Pelarangan pengoperasian jaring batu di Kecamatan bantan Memperoleh hasil tangkapan melimpah sepanjang tahun Kelestarian SDI Wilayah konflik Posisi Kepentingan Kebutuhan Pengusaha jaring batu Jaring batu adalah usaha yang sah dan memiliki izin usaha Pengoperasian jaring batu tidak melanggar/merugikan siapa pun Memperoleh hasil tangkapan yang melimpah Memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya Keberlanjutan dalam berusaha Keadilan dan keamanan dalam pemanfaatan SDI Kepastian hukum Keamanan dalam berusaha dan berinvestasi Keberlanjutan izin usaha Kepastian hukum Gambar 36 Analisis analogi Bawang Bombay konflik nelayan rawai Kecamatan Bantan dengan nelayan jaring batu. Kepercayaan yang berkembang dalam masyarakat nelayan perairan Bengkalis bahwa laut sebagai sumber kehidupan bagi mereka, dengan latar belakang kepercayaan seperti ini maka perlakuan mereka terhadap laut berbeda, 158

179 termasuk masalah yang berhubungan dengan berkembang atau tidaknya hak penguasaan laut tersebut. Konsepsi yang berlanjut pada eksploitasi sumber daya perikanan yang dianut oleh nelayan jaring batu telah melanggar tatanan sosial yang berlaku di wilayah nelayan rawai. Nelayan rawai menganggap alat tangkap jaring batu merupakan alat tangkap yang berpotensi mengancam kelestarian sumber daya perikanan. Potensi negatif ini terbukti ketika jaring batu bebas beroperasi tanpa perlawanan, dapat dipastikan nelayan tradisional khususnya rawai tidak mendapatkan ikan selama beberapa hari. Nelayan jaring batu merupakan nelayan buruh yang dimodali oleh para pengusaha perikanan tangkap yang berorientasi pada jumlah hasil tangkapan yang mengacu pada prinsip-prinsip ekonomi yang mengandalkan teknologi Upaya penanganan konflik Berbagai upaya penanganan telah dilakukan oleh pihak-pihak yang terlibat konflik di perairan Bengkalis, tetapi penanganan yang dilakukan selama ini belum mengarah pada pokok-pokok masalah yang menjadi faktor pendorong terjadinya konflik. Belum sesuainya penyelesaian yang dilakukan membuat konflik berlangsung dalam waktu yang lama, sehingga konflik meningkat baik intensitas maupun skalanya. Upaya penanganan terhadap konflik ini masih bersifat meredam atau meminimalisir terjadinya konfrontasi. Upaya-upaya penanganan yang dilakukan oleh nelayan tradisional Bantan telah dilakukan pada awal munculnya konflik. Namun penanganan ini belum dilakukan secara bersama-sama dan masih terpisah pada masing-masing desa yang terlibat dalam konflik. Nelayan rawai Kecamatan Bantan berusaha melakukan penyelesaian konflik yang muncul. Upaya penyelesaian yang telah dilakukan oleh nelayan Kecamatan Bantan mulai dari memberikana peringatan kepada nelayan jaring batu, melaporkan kepada pihak berwenang, penangkapan yang dilanjutkan dengan perundingan, sampai pada aksi perlawanan atau konfrontasi yang berujung pada tindakan kekerasan dan pembakaran (Gambar 37). Ketidakpuasan nelayan rawai terhadap aparat membuat nelayan rawai menempuh jalur hukum untuk penyelesaian konflik yang terus berlanjut. Hal ini terpaksa dilakukan karena tidak adanya kepastian keamanan bagi nelayan rawai dalam melakukan usaha penangkapan 159

180 di wilayah mereka. Jalur hukum yang ditempuh oleh nelayan rawai mendapat respon positif dari pihak-pihak yang sangat memperhatikan nasib nelayan Kecamatan Bantan perairan Bengkalis, diantaranya adalah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Sikap Aksi/Tindakan menghindari konflik memberikan peringatan dan negosiasi pendekatan ke pemerintah dan aparat hukum (mediasi) pelaporan proses hukum Menunjukkan sikap perlawanan/konfrontasi Melakukan penangkapan, pembakaran dan penyanderaan tidak ada pengendalian diri pemberian sanksi, denda, penyitaan ada Gambar 37 Upaya penanganan konflik oleh nelayan rawai Kecamatan Bantan perairan Bengkalis. 6.5 Evaluasi Kelembagaan yang Menangani Konflik Lembaga yang berperan dalam penanganan konflik akan saling berinteraksi satu sama lain melalui aktivitasnya. Interaksi setiap lembaga tentu akan menghasilkan adanya aktivitas yang sinergi, tumpang tindih bahkan antagonis. Hal tersebut semakin nyata karena dari lembaga-lembagaa tersebut ada yang dilaksanakan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, swasta dan nelayan, bahkan ada yang kombinasi dari ketiganya. Memperhatikan hal tersebut serta mengacu kepada pengertian kelembagaan, maka untuk menghasilkan sinergitas kinerja dari lembaga yang menangani konflik di perairan Bengkalis khususnya dan Provinsi Riau pada umumnya, diperlukan kelembagaan yang dapat mengatur keterpaduan semua 160

181 lembaga penanganan konflik dalam pengembangan usaha perikanan tangkap yang terdiri dari lembaga pemerintah, lembaga swasta dan lembaga masyarakat. Guna mendukung penanganan konflik dalam pengembangan usaha perikanan tangkap di perairan Provinsi Riau agar berjalan secara sinergis, maka lembaga yang diperlukan adalah sebagai berikut: (1) Lembaga pemerintah, yang terdiri dari: 1) Dinas Perikanan pada setiap Kabupaten/Kota Provinsi Riau, 2) Unit Pelakasana Teknis (UPT) Pelabuhan Perikanan, 3) Unit Perekayasaan Teknologi, dan 4) Unit Pelatihan dan Penyuluhan. (2) Lembaga swasta, yaitu asosiasi/organisasi pengusaha unit penangkapan ikan (kapal, alat penangkap ikan, mesin kapal, perlengkapan dan alat bantu penangkapan ikan), asosiasi/organisasi pengolah dan pemasaran hasil perikanan. (3) Lembaga masyarakat terdiri dari buruh nelayan, tokoh masyarakat, lembaga non pemerintah (LSM) dan kelompok pengawas pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya perikanan tangkap Peran kelembagaan pemerintah dalam penanganan konflik Kabupaten Bengkalis secara administratif telah memiliki institusi formal yang mengelola perikanan seperti dinas perikanan dan kelautan kabupaten, demikian juga dengan peraturan formal dan informal yang berkaitan dengan pengelolaan atau pemanfaatan sumber daya alam. Keberadan peraturan-peraturan tersebut baik peraturan formal dan informal belum dibarengi dengan implementasi secara optimal, permasalahan tetap pada kepatuhan terhadap aturan-aturan tersebut. Dinas Perikanan sebagai institusi yang berwenang terlihat sangat jelas peranannya dalam konflik yang terjadi. Selama konflik berlangsung pemerintah melalui Dinas Perikanan Kabupaten Bengkalis selalu ikut dalam menyelesaikan konflik karena desakan masyarakat yang semua bermuara pada pemerintah. Upaya-upaya penyelesaian konflik yang dilakukan oleh Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Bengkalis di antaranya, adalah : 161

182 1) Membentuk Komite Penasehat Pengelolaan Perikanan Kabupaten (KP3K) Keberadaan Co-Fish Project di Kecamatan Bantan juga membantu untuk meyelesaikan masalah jaring batu ini. Salah satu program yang dilakukan adalah membentuk Komite Penasehat Pengelolaan Perikanan Kabupaten (KP3K) Bengkalis dengan fungsi dapat memberikan pertimbangan-pertimbangan dalam hal pengelolaan sumber daya perikanan di Kabupaten Bengkalis. Komite ini merupakan forum multi stakeholder yang di dalamnya terdapat perwakilan kelompok nelayan berdasarkan alat tangkap pada masih-masing desa nelayan serta pemerintah dari instansi terkait. Namun saat ini komite tersebut baru menjangkau nelayan di Pulau Bengkalis saja dan belum berjalan sebagai mana mestinya. Program Pengelolaan Keanekaragaman Hayati proyek Co-Fish memfasilitasi terbentuknya kelompok pengawasan berbasis masyarakat dan sekaligus menyusun sistem pengawasannya. Walaupun upaya ini masih belum final dan masih dalam pembahasan dan perdebatan subtansi, setidaknya sudah ada upaya dan keberanian lebih jauh untuk merubah keadaan secara struktural ke arah yang lebih baik. 2) Mempertemukan pihak-pihak yang berkonflik Upaya ini dilakukan untuk mendapatkan kesepakatan tentang pembagian wilayah penangkapan antara rawai dengan jaring batu. Kegiatan ini difasilitasi oleh Dinas Perikanan melalui Co-Fish Project. Pandangan Dinas Perikanan konflik ini timbul karena kesenjangan teknologi antara rawai dan jaring batu sehingga perlu didamaikan dan ada batasan wilayah tangkap bagi kedua belah pihak. Beberapa pertemuan yang telah dilakuan pemerintah melalui Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Bengkalis dan Provinsi Riau yaitu: (1) Pertemuan stakeholders di Kecamatan Bantan diikuti oleh nelayan, KP3K dan dinas perikanan. Pertemuan ini bertujuan untuk mensosialisasikan peraturan-perauran di bidang perikanan (16 september 2002). (2) Melalui Workshop Pengelolaan sumber daya Perikanan di Selat Panjang yang diikuti oleh nelayan jaring batu, Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Bengkalis, instansi terkait lainnya (Kamla, Kejaksaan, Kepolisian dan lainnya). Pertemuan ini berhasil membujuk nelayan jaring 162

183 batu untuk bersedia mengadakan pertemuan dengan nelayan Kecamatan Bantan (17 September 2002). (3) Melalui pertemuan KP3K yang diikuti oleh nelayan Kecamatan Bantan di Bengkalis menghasilkan kesediaan nelayan kurau hadir pada pertemuan yang diadakan di Dumai (4-5 Oktober 2002). (4) Workshop Pengelolaan sumber daya Perikanan di Selat Panjang dengan hasil nelayan jaring batu bersedia mengikuti pertemuan yang dirancang untuk mempertemukan pihak-pihak yang berkonflik (17 Oktober 2002). (5) Pertemuan Stakeholder yang diikuti oleh KP3K, dinas dan instansi terkait, nelayan Kecamatan Bantan dan nelayan jaring batu. Pada pertemuan ini menghasilkan kesepakatan penyelesaian konflik antara nelayan rawai dan nelayan jaring batu (24-25 Oktober 2002) ( Lampiran 12). (6) Pertemuan informal pada bulan November 2002 yang diadakan di Bengkalis dan dihadiri oleh pesengketa dan pihak-pihak lainnya terdapat kesepakatan bahwa: 1). Nelayan Rawai bersedia mengembalikan kapal jaring batu yang ditangkap dan ditahan; 2). Selama status quo nelayan jaring batu tidak diperkenankan memasuki perairan dari Tanjung Jati sampai Tanjung Sekodi (Lampiran 13). (7) Pertemuan di Hotel Bumi Asih Pekanbaru pada tanggal April 2003 dalam pertemuan Operasional KP3K, tidak menghasilkan perkembangan yang berarti. nelayan rawai Kecamatan Bantan tidak menyetujui poin-poin yang telah disiapkan untuk disepakati. 3) Mengeluarkan regulasi sektor perikanan dan pertemuan lintas instansi Pemerintah Kabupaten Bengkalis, dalam menyikapi perkembangan konflik antar nelayan, mengeluarkan Surat Keputusan pelarangan operasi jaring batu di perairan 0-4 mil Kabupaten Bengkalis. Regulasi ini tertuang dalan SK Bupati Bengkalis Nomor 52 tahun 2003 (Lampiran 14), yang didasarkan atas pertimbangan yaitu: (1) Semakin banyaknya nelayan tradisional yang menggantungkan kehidupannya menangkap ikan dengan mengunakan alat tangkap ikan tradisional seperti rawai, jaring, belat, gombang menyebabkan semakin menyempitnya areal tangkapan di perairan 0-4 mil Perairan Bengkalis. 163

184 (2) Menghindari sering terjadinya konflik antara nelayan tradisional dengan nelayan jaring batu/kurau (bottom drift gillnet) karena komoditas tangkap yang sama di wilayah perairan 0-4 mil perairan Bengkalis sehingga menimbulkan kerugian-kerugian kedua belah pihak. (3) Jaring batu (bottom drift gillnet) tidak dapat beroperasi bersama-sama pada suatu wilayah perairan dengan alat tangkap ikan nelayan tradisional karena menyebabkan kerusakan alat tangkap ikan nelayan tradisional (Lampiran 15). Pemerintah telah melakukan usaha-usaha untuk mengatasi konflik terhadap ikan kurau tersebut antara lain: Pembentukan Asosiasi Penggunaan Rawai dan Jaring batu, SK Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Bengkalis No. 02/VII/2002 tentang Pokja Pembentukan Komite Penasehat Pengelolaan Perikanan Kabupaten Bengkalis. Penyadaran Masyarakat, Penerbitan komik, poster, stiker dan tema pencegahan konflik, Pertemuan Pokja, dan instansi terkait dengan wakil-wakil nelayan yang berkonflik melalui pertemuan stakeholder berjenjang, workshop, sarasehan, diskusi dan mediasi damai yang menghasilkan kesepakatan mengatasi permasalahan tersebut, Keputusan Bupati Bengkalis nomor 818 tahun 2003 tentang Pembentukan Komite Penasehat Pengelola Perikanan Kabupaten Bengkalis dan Lembaran Kesepakatan antara nelayan Desa Teluk Pambang untuk keberlanjutan keberadaan ikan kurau di perairan Tanjung Jati hingga Tanjung Sekodi Bengkalis (11 Juli 1999). Bupati Kabupaten Bengkalis juga menyurati Gubernur Riau tangggal 1 Maret 2003 perihal usulan penghapusan jaring batu. Namun usulan penghapusan jaring batu ini belum terealisasi. Menyikapi hal tersebut Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Riau memfasilitasi pertemuan Dinas Perikanan lintas kabupaten/kota untuk mencarikan solusi bersama. Klaim Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Riau tidak mengeluarkan izin jaring batu sejak tahun 2002, dan izin yang terlanjur diberikan adalah sebanyak delapan izin dan kedelapan izin tersebut habis masa berlakunya tahun Kemudian Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Riau mengeluarkan Keputusan Nomor /KL/SK-27 Tahun 2003 tentang penertiban dan pengawasan jaring batu di wilayah perairan Provinsi Riau yang menetapkan wilayah operasionalisasi jaring batu yakni di atas 6-12 mil (Jalur II) 164

185 dengan ukuran mata jaring lebih dari enam inchi dan panjang jaring maksimal 2500 meter (Lampiran 16) Peran tokoh masyarakat dalam penanganan konflik Peranan tokoh masyarakat lokal yang betul-betul dipilih dan dapat dipercaya oleh nelayan setempat sangat diperlukan mengingat keragaman persepsi nelayan dalam pemanfaatan sumber daya perikanan tangkap selama ini. Peranan tokoh ini menjadi sangat penting terutama ketika terjadi hal-hal yang bersifat sosial kemasyarakatan seperti penanganan konflik, pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya perikanan tangkap agar berkelanjutan. Kegiatan perikanan di perairan Bengkalis kelihatannya tidak memiliki ketergantungan terhadap hukum dan kelembagaan formal dalam pengelolaan usahanya. Hasil wawancara di lokasi penelitian para nelayan memilih tokoh masyarakat yang ada atau cukup sesama nelayan dalam berdiskusi tentang pengelolaan perikanan. Tokoh tersebut adalah ketua rukun/kelompok nelayan yang secara kebetulan menjadi tokoh pemuda. Ketua rukun nelayan tersebut cukup berpengaruh dalam pertemuan-pertemuan mengenai usaha perikanan. Urairan tersebut dapat diidentifikasi bahwa keberadaan tokoh masyarakat lokal atau tokoh masyarakat sangat berpengaruh dalam lingkungan komunitas nelayan. Peran tokoh masyarakat ini biasanya dapat lebih didengar pendapatpendapatnya sehingga dapat berperan dalam upaya-upaya positif dalam penanganan konflik di lokasi penelitian Peran kelembagaan non pemerintah dalam penanganan konflik Kelembagan lokal (non pemerintah) yang mendukung pengelolaan sumber daya perikanan memegang peranan penting dalam keberkanjutan sumber daya perikanan. Kelembagaan non pemerintah yang ikut membantu nelayan dalam penanganan konflik di Kecamatan Bantan Kabupaten Bengkalis diantaranya Yayasan Laksana Samudera, WALHI Riau, Bahtera Melayu dan Laskar Melayu. Keberadaan kelembagaan non pemerintah ini selain atas inisiatif sendiri juga merupakan perwujudan dari keinginan para nelayan itu sendiri yang mengkhawatirkan akan semakin menurunnya hasil tangkapan sebagai akibat beroperasinya jaring batu di perairan Kecamatan Bantan. 165

186 Kelembagaan non pemerintah yang mendukung pengelolaan sumber daya perikanan di perairan Bengkalis memang sudah ada dan cukup berperan. Hal ini memperkuat posisi dan menyeimbangkan kekuatan nelayan dalam penegasan wilayah tangkap nelayan rawai Lembaga pengawas dalam penanganan konflik Lembaga formal yang selama ini diharapkan dapat membantu menyelesaikan permasalahan pengamanan laut seperti Polairut, dianggap besar pengaruhnya ketika sudah terjadi konflik sosial antar nelayan, seperti yang terjadi pada tahun Pengawasan pengelolaan sumber daya ikan belum dilakukan oleh lembaga formal yang ada. Nelayan juga merasakan kurangnya ketersediaan personil pengawas dan penegak hukum yang dapat membantu keberlanjutan sumber daya ikan di perairan Bengkalis Efektivitas kelembagaan yang menangani konflik Problem utama dalam pembangunan kelautan sejak Orde Baru hingga saat ini adalah bagaimana menciptakan suatu mekanisme kelembagaan yang menunjang pengelolaan sumber daya kelautan. Perlunya pengelolaan sumber daya ikan dilandasi oleh dukungan data dan informasi serta teknologi bagi bahan penyusunan berbagai formulasi rencana kebijakan pengelolaan dan pengembangan perikanan laut, maka diperlukan aransemen institusional yang bisa menata kelembagaan yang tepat guna. Peran hukum dan kelembagaan di Provinsi Riau dalam menegakkan peraturan ini menjadi penting. Hukum apa yang berlaku dalam perikanan dan kelautan di Provinsi Riau, seberapa jauh hukum tersebut berperan dan ditegakkan, hal itulah yang mendasari perlunya kesadaran hukum dalam upaya pengelolaan sumber daya hayati kelautan di provinsi ini dalam rangka mewujudkan pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Kebijakan perikanan tangkap melibatkan para pembuat kebijakan (pemerintah) dan para pemanfaat sumber daya perikanan sehingga diperlukan hukum dan kelembagaan yang menangani baik pengelolaan sumber daya, konflik, kendala-kendala maupun pengawasannya. 166

187 6.6 Pembahasan Tipologi konflik Pengenalan tipologi konflik merupakan hal penting untuk menjelaskan penyebab terjadinya konflik, karena dengan diketahuinya tipologi konflik maka penyebab dan alternatif resolusi konflik dapat dianalisis. Tipologi tidak berupaya menggambarkan semua bukti-bukti empiris, tetapi menarik benang merah yang diperkirakan dapat mewakili suatu karateristik (Mc Kinney 1996). Hasil pengamatan di lokasi penelitian dapat diindentifikasi tipologi konflik yang terjadi di perairan Bengkalis berdasarkan Charles (1992), adalah konflik alokasi internal (konflik alat tangkap) yaitu konflik yang terjadi karena perbedaan kapasitas alat tangkap yang menangkap jenis ikan yang sama, antara nelayan rawai (lokal) dengan nelayan jaring batu (pendatang) dan yurisdiksi (konflik daerah tangkap) yaitu konflik yang terjadi karena pelanggaran batas wilayah perairan, di mana perairan di bawah 6 mill yang merupakan daerah penangkapan nelayan rawai, tetapi nelayan jaring batu juga menangkap jenis ikan yang sama di perairan tersebut (Lampiran 17). Obserschall (1973) menyatakan banyak peneliti di bidang conflict resolution merasakan manfaat dari tergambarkannya tipologi konflik. 1) Alokasi Internal (konflik alat tangkap) Konflik yang terjadi antara nelayan rawai dengan nelayan yang menggunakan jaring batu di perairan Bengkalis dua dekade belakangan ini disebabkan penambahan jumlah nelayan dan alat tangkap yang beroperasi tidak sesuai dengan ketersediaan sumber daya yang ada dengan tujuan yang sama yaitu ikan kurau. Berbedanya tingkat teknologi dan permodalan yang digunakan di antara alat tangkap, diduga sebagai faktor terjadinya konflik. Kecilnya peluang nelayan rawai untuk mendapatkan ikan yang menyebabkan semakin kecil pendapatan dan semakin mendesaknya kebutuhan ekonomi rumah tangga mereka pada akhirnya memicu kemarahan nelayan rawai kepada nelayan jaring batu. Kondisi ini menimbulkan persepsi nelayan rawai bahwa alat tangkap jaring batu yang menyebabkan sulitnya mereka untuk mendapatkan hasil tangkapan ikan kurau jika jaring batu tetap beroperasi di perairan Bengkalis. Berdasarkan 167

188 informasi nelayan, setiap jaring batu melakukan operasi penangkapan, maka nelayan rawai tidak akan mendapatkan ikan selama lebih dari satu bulan. Nelayan rawai beranggapan bahwa ikan kurau merupakan sumber daya ikan yang dapat menghidupi masyarakat nelayan Kecamatan Bantan sehingga keberadaannya harus tetap dipertahankan. Mereka menginginkan jenis ikan ini tidak mengalami kondisi yang sama seperti ikan terubuk yang saat ini keberadaannya sudah semakin sulit untuk ditangkap. Selain itu, alat tangkap rawai merupakan alat tangkap yang diyakini oleh nelayan perairan Bengkalis sebagai alat yang tepat untuk menangkap ikan kurau, karena tidak menangkap dalam jumlah besar. Salah satu bentuk ketidaksenangan mereka atas beroperasinya jaring batu di peraian ini dengan merusak alat tangkap jaring batu yang mereka temui saat beroperasi di daerah penangkapan. Pengerusakkan alat tangkap jaring batu ini merupakan salah satu alasan nelayan jaring batu untuk melakukan pembalasan dengan merusak alat tangkap milik nelayan rawai. Nelayan perairan Bengkalis berkeinginan untuk melarang beroperasinya jaring batu di wilayah tangkap rawai. Namun demikian mereka tetap mengizinkan atau memperbolehkan nelayan luar desa mereka bahkan dari kabupaten dan propinsi lain sekalipun untuk menangkap ikan di sekitar perairan mereka apabila menggunakan rawai dan tidak menggunakan alat tangkap jaring batu dan alat tangkap perusak lainnya. 2) Yurisdiksi (konflik daerah tangkap) Konflik perebutan daerah penangkapan yang terjadi di perairan Bengkalis melibatkan nelayan rawai dan nelayan jaring batu disebabkan kecemburuan nelayan rawai terhadap nelayan jaring batu yang produktivitas hasil tangkapannya lebih tinggi. Nelayan rawai yang selama ini menggantungkan hidupnya hanya dari hasil tangkapan tidak memiliki kemampuan untuk melakukan pengembangan upaya tangkapnya ke daerah penangkapan yang lebih luas, sehingga mereka mengklaim bahwa perairan Bengkalis merupakan milik mereka. Hadirnya nelayan dari luar dianggap sebagai pesaing apabila menggunakan teknologi yang berbeda dalam pemanfaatan sumber daya yang sama. 168

189 Diberlakukannya otonomi daerah juga diartikan sempit oleh masyarakat nelayan. Penegasan wilayah tangkap menunjukan adanya wilayah hukum adat nelayan Kecamatan Bantan yaitu Tanjung Jati sampai Tanjung Sekodi. Siapapun yang memanfaatkan sumber daya perikanan di wilayah tersebut harus mengikuti aturan-aturan yang berlaku. Kegiatan penangkapan di kawasan perairan Kecamatan Bantan yang dilakukan oleh nelayan jaring batu tanpa memperhatikan aturan nelayan tradisional Kecamatan Bantan telah ikut mendorong terjadinya konflik. Kondisi ini diperparah oleh adanya pemahaman terhadap karakter sumber daya perikanan yang open access, di mana siapa saja dapat memanfaatkan sumber daya pada suatu wilayah perairan Faktor konflik dan resolusi konflik 1) Faktor konflik Berdasarkan pendekatan Fisher et al. (2001), yang terjadi di perairan Bengkalis disebabkan oleh masalah-masalah ketidaksetaraan. Berdasarkan tipologi Charles (2001), konflik yang terjadi termasuk ke dalam alokasi internal dan yurisdiksi. Menurut Satria (2006) yang diacu Satria (2009), konflik nelayan di perairan Bengkalis dikategorikan sebagai konflik kelas dan konflik cara produksi atau alat tangkap. Konflik dapat muncul jika ada perbedaan keinginan dari dua atau lebih kelompok yang berusaha memaksakan keinginan kelompoknya kepada kelompok lain. Terkadang konflik dipandang sebagai suatu kondisi sosial yang terjadi sebagai akibat dari perubahan yang tiba-tiba ataupun bertahap yang menimbulkan perbedaan keinginan dan kepentingan dalam kelompok masyarakat. Faktor-faktor yang menjadi penyebab konflik di perairan Bengkalis dapat diidentifikasi sebagai berikut : (1) Sumber daya ikan kurau yang memiliki nilai ekonomis tinggi Ketersediaan sumber daya yang mulai menurun juga merupakan salah satu penyebab konflik di perairan Bengkalis semakin tinggi. Pembatasan wilayah tangkap yang dilakukan oleh nelayan rawai melalui peraturan-peraturan yang diberlakukan mengembangkan konflik menjadi perebutan wilayah penangkapan (Fisher et al. (2000); Charles (2001); Satria (2006) yang diacu oleh Satria (2009). Mathew (1990) menyatakan bahwa ketegangan antara pemilik alat tangkap yang 169

190 berbeda dalam pemanfaatan sumber daya merupakan hal yang sudah biasa terjadi dalam perikanan tangkap. Persepsi masyarakat nelayan terhadap kompetisi dalam pemanfaatan sumber daya merepresentasikan konflik antara nelayan rawai dengan nelayan dari luar (nelayan jaring batu), dalam pemanfaatan sumber daya ikan kurau pada daerah penangkapan di perairan Bengkalis berpengaruh terhadap terjadinya konflik di perairan ini. Perbedaan persepsi dan idiologi tentang pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ini terlihat jelas pada analogi bawang bombay, sedangkan motivasi dari masing-masing pihak yang berkonflik dalam pemanfaatan sumber daya terlihat jelas pada Segitiga S-P-K. Wahyono et al. (2000) menyatakan suatu sumber konflik yang utama adalah peningkatan intensitas eksploitasi. Hal ini berhubungan dengan pertambahan unit eksploitasi, pertambahan penduduk (demografi), perubahan tingkat komersialisasi (pasar), kondisi ekologis sumber daya dan perubahan teknologi. Ikan kurau merupakan salah satu sumber daya ikan yang memiliki nilai ekonomis tinggi, dengan harga di tingkat konsumen dapat mencapai Rp untuk pasar luar negeri (Sari et al. 2009). Harga yang sangat tinggi ini yang menjadikan ikan kurau sebagai sumber konflik di perairan Bengkalis. (2) Teknologi penangkapan yang digunakan untuk menangkap sumber daya ikan Perbedaan tingkat teknologi yang digunakan dalam pemanfaatan sumber daya pada perairan yang sama, menimbulkan pergesekan diantara sesama nelayan. Hal ini diduga sebagai salah satu penyebab konflik yang terjadi di perairan Bengkalis selain sumber daya ikan kurau. Nelayan rawai tidak mempermasalahkan siapa saja yang akan memanfaatkan sumber daya di daerah penangkapan mereka, tetapi harus dengan cara yang diperbolehkan atau tidak bertentangan dengan norma-norma yang berlaku (hak ulayat). Wahyono et al. (2000) menyatakan bahwa variable-variabel yang mempengaruhi berlangsungnya hak ulayat laut, lebih banyak terkait pada suatu variable kunci yaitu konflik. Hal ini disebabkan oleh karena konflik merupakan suatu potensi yang cukup kuat atas berubahnya hak ulayat laut. Dalam hal ini perubahan-perubahan yang terjadi sangat bervariasi, mulai dari perubahan isi 170

191 aturan maupun praktek hak ulayat laut sampai pada perubahan yang menyangkut semakin menguat atau melemahnya praktek pelaksanaan aturan hak ulayat tersebut. Introduksi teknologi dan modernisasi yang diusung pengusaha jaring batu telah menciptakan ketidakadilan yang menyebabkan kemiskinan dalam makna nilai dan ekonomi nelayan rawai. Ketidakadilan yang dimaksud sehubungan dengan timpangnya perlakuan yang diberikan selama ini kepada nelayan rawai dalam mengakses sumber daya perikanan yang dilakukan dengan cara-cara yang mereka pahami melalui sistem nilai yang berlaku, yaitu tidak adanya kesempatan dalam mendapatkan sumber daya perikanan dan mempertahankan nilai-nilai yang telah ada secara turun-temurun dalam memanfaatkan sumber daya ikan di perairan mereka. (3) Daerah penangkapan Cara pandang nelayan terhadap ketersediaan sumber daya biasanya dihubungkan dengan jumlah hasil tangkapan yang diperoleh dan dikaitkan dengan daerah penangkapan. Anggapan nelayan rawai selama ini, jaring batu menyebabkan turunnya hasil tangkapan mereka, karena setiap alat ini dioerasikan maka nelayan rawai tidak akan mendapatkan hasil tangkapan selama hampir satudua bulan lamanya. Aktivitas ini dinilai nelayan rawai dapat mengurangi ketersediaan stok sumber daya ikan khususnya ikan kurau yang menjadi tujuan utama penangkapan. Hal ini yang mendorong nelayan rawai untuk mempertahankan daerah penangkapan mereka dan melarang jaring batu untuk beroperasi di wilayah perairan mereka. Konflik perebutan daerah penangkapan disebabkan banyaknya nelayan dengan alat tangkap yang berbeda berada pada satu daerah penangkapan pada waktu yang bersamaan dengan tingkat teknologi yang berbeda. Daerah penangkapan yang menjadi sumber konflik dipersepsikan oleh nelayan rawai sebagai daerah yang memiliki potensi sumber daya ikan yang cukup baik sehingga mendorong nelayan dari berbagai daerah menangkap ikan di perairan tersebut. Persepsi nelayan terhadap kondisi sumber daya yang merepresentasikan konflik perebutan daerah penangkapan menunjukkan bahwa masyarakat nelayan 171

192 perairan Bengkalis mempunyai ketergantungan yang sangat kuat terhadap ketersediaan sumber daya ikan. Satria et al. (2002) menyatakan bahwa konflikkonflik ini sering didengungkan sebagai konflik identitas, yang pada kenyataannya, dunia nelayan merupakan dunia konflik, sedangkan konflik yang terjadi selama ini merupakan konflik kelas yaitu konflik yang terjadi antarkelas sosial nelayan akibat dominasi usaha bermodal dan usaha tradisional. Hal ini dapat ditemukan di perairan Bengkalis. Umumnya konflik tersebut terjadi akibat pengoperasian jaring batu (bottom drift gillnet) dengan target spesies ikan kurau (Eletheronema tetradactylum) pada perairan Bengkalis yang merupakan wilayah penangkapan nelayan tradisional. Konflik tersebut telah terjadi sebelum UU No 22 tahun 1999 dikeluarkan. Hettne (2001) menyatakan bahwa dalam konteks global, dikotomi dan polarisasi semacam inilah yang menggambarkan tajamnya persoalan etnosentrisme yang kental mengiringi modernisasi sehingga berpotensi terjadinya konflik. 2) Resolusi penanganan konflik Pemanfaatan sumber daya ikan tidak saja melibatkan aspek teknis, tetapi berkaitan dengan aspek ekonomi, sosial dan lingkungan, sebagai kontrol atas kegiatan tersebut. Terbatasnya akses nelayan dalam usaha pemanfaatan maupun upaya pengelolaan sumber daya telah menyebabkan nelayan berada di pihak yang terabaikan, bukan hanya tidak dapat menikmati keuntungan secara ekonomi tetapi juga sebagai pihak yang dirugikan jika terjadi penurunan terhadap sumber daya akibat eksploitasi yang berlebihan dari pihak luar yang melakukan penangkapan di wilayah lautnya. Konflik yang terjadi di perairan Bengkalis sering di pahami sebagai masalah teknis, yaitu perbedaan alat tangkap dengan tujuan penangkapan yang sama dan beroperasi di daerah penangkapan yang sama pula, sehingga solusi yang selama ini diberikan pun bersifat teknis, yaitu dengan menetapkan wilayah operasionalisasi jaring batu yakni di atas 6-12 mil dengan ukuran mata jaring lebih dari enam inchi dan panjang jaring maksimal 2500 meter. Nikijuluw (2002) menyatakan bahwa pelarangan jenis alat tangkap tertentu dapat dilakukan secara permanen atau sementara waktu. Kebijakan ini dilakukan untuk melindungi sumber daya ikan 172

193 dari penggunaan alat tangkap yang merusak atau destruktif. Meski demikian dikatakan, paling penting adalah kebijakan ini dapat dilakukan dengan alasanalasan sosial politik untuk melindungi nelayan yang mengunakan alat tangkap yang kurang atau tidak efisien (tradisional). Solusi teknis yang di berikan atas konflik yang terjadi di perairan ini selama hampir 30 tahun ternyata belum dapat menyelesaikan akar dari konflik itu sendiri. Mediasi dan negosiasi merupakan teknik yang banyak digunakan dalam upaya penyelesaian konflik di perairan Bengkalis. Tetapi teknik ini belum mampu menyelesaikan konflik yang terjadi hanya meredam sementara untuk kemudian dapat muncul kembali apabila kesepakatan yang telah disepakati dilanggar oleh salah satu pihak. Di samping itu, menimbulkan konflik sekunder antara nelayan rawai dengan dinas perikanan dan aparat hukum, karena dianggap dalam proses penyelesaian konflik telah berpihak kepada nelayan jaring batu. Charles (2001) menyatakan bahwa fakta di lapangan menunjukkan bahwa konflik merupakan gangguan sosial karena nelayan merasa tidak aman dalam melakukan kegiatan usahanya. Berdasarkan informasi dari nelayan, konflik antar nelayan juga terkait ketidakjelasan kebijakan yang telah dibuat oleh instansi terkait. Status dan frekuensi konflik secara tidak langsung menyebabkan kegiatan perikanan mengalami kemunduran karena para nelayan mengalami kerugian materi dan psikis. Oleh karena itu, status dan frekuensi konflik perlu ditangani baik implementasi hukum maupun ketegasan aparat terhadap pelanggaran yang terjadi dengan melibatkan partisipasi masyarakat lokal. Hal ini sesuai dengan paradigma pengelolaan sumber daya perikanan berkelanjutan yaitu konservasi, rasional dan komunitas nelayan. Konflik dapat memberikan dampak positif terhadap pemulihan sumber daya, apabila konflik tersebut menyebabkan penurunan upaya penangkapan. Dalam keadaan yang sangat memaksa, kegiatan penangkapan dapat dihentikan, tetapi hal ini tidak akan bertahan lama, untuk itu sangat dibutuhkan resolusi konflik yang efektif dan dapat memberikan dampak positif, yaitu resolusi yang mampu mempererat masyarakat yang pada akhirnya akan menciptakan kesepakatan alokasi sumber daya yang lebih adil. 173

194 Resolusi yang direkomendasikan untk mengurangi intensitas konflik perikanan tangkap di perairan Bengkalis adalah sebagai berikut : 1) Masyarakat diberi hak untuk melakukan eksploitasi dan mengelola sumber daya perikanan tangkap berdasarkan wilayah adatnya serta pengakuan secara formal hak-hak ulayat ataupun hukum adat yang berlaku terutama dalam penyusunan kebijakan-kebijakan yang berkenaan dengan pemanfaatan sumber daya. 2) Memperkuat fungsi organisasi nelayan (SNKB) dengan melibatkan dalam pengelolaan, pemanfaatan sumber daya dan introduksi teknologi penangkapan, serta meningkatkan peran tokoh masyarakat sebagai faktor kunci dalam proses penanganan konflik yang selama ini belum banyak dilibatkan 3) Mekanisme pengaturan yang sistematis terhadap pemanfaatan sumber daya, seperti melakukan pengelolaan bersama antar desa dengan ketentuan yang disepakati bersama 4) Meningkatkan pengawasan terhadap pemanfaatan sumber daya ikan dari alat tangkap yang dapat menimbulkan konflik. SNKB, Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Bengkalis dan aparat hukum laut secara bersama-sama melakukan pengaturan dalam pemanfaatan sumber daya, seperti pengawasan bersama, pengaturan kapan dan alat tangkap apa yang digunakan dalam pemanfaatan sumber daya ikan di perairan Bengkalis, serta koordinasi antar pemerintah kabupaten dengan provinsi dalam melakukan pengawasan terhadap kebijakan yang diterapkan. Resolusi konflik diharapkan dapat memberikan dampak positif terhadap partisipasi nelayan dalam pengelolaan sumber daya yang berkelanjutan dan akan semakin baik partisipasi nelayan dalam persepsi pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya di perairan Bengkalis. Pendekatan yang baik dalam menyusun strategi resolusi konflik adalah dengan mengajak pihak-pihak yang berkepentingan berpartisipasi dalam mengembangkan pemahaman yang sama terhadap konflik, dinamikanya dan pengaruhnya terhadap masyarakat sehingga akan lebih mampu menginterpretasikan konflik yang ada, mengenali tanda-tanda meningkatnya konflik dan memperkirakan dampak konflik. 174

195 Resolusi konflik juga diharapkan dapat meminimalisir konflik yang telah terjadi dalam kurun waktu yang lama, karena pengembangan usaha perikanan tangkap akan terhambat jika konflik masih berlanjut Kelembagaan yang menangani konflik Charles (2001) menyatakan bahwa kelembagaan merupakan salah satu kriteria dan indikator sistem perikanan berkelanjutan. Kelembagaan yang kuat merupakan penguatan untuk melahirkan kebijakan yang sesuai dengan kebutuhandan dapat memperkuat implementasi hukum. Oleh karena itu kebijakan yang baik dapat berfungsi efektif apabila dibarengi dengan implementasi hukum yang kuat. Kelembagaan kelautan dan perikanan harus fleksibel dalam mengikuti dinamika pembangunan kelautan dan perikanan yang saat ini dapat dikembangkan berdasarkan suatu disain kelembagaan yang mampu mengoptimalkan peran sektor kelautan dan perikanan. Kelembagaan yang ada saat ini dalam penanganan konflik masih dirasakan belum mampu berperan dalam penyelesaian konflik yang terjadi selama hampir 30 tahun. Konflik usaha perikanan kurau yang berkepanjangan antara nelayan rawai dan nelayan jaring batu telah mengakibatkan polarisasi keberpihakan, di mana lembaga-lembaga pemerintah lebih berpihak kepada nelayan jaring batu yang seharusnya bersikap netral/tidak berpihak. Salah satu langkah strategis yang dapat dilakukan dalam pengembangan usaha perikanan tangkap di perairan Provinsi Riau adalah dengan pengembangan kapasitas kelembagaan pengelola dan sumber daya manusia yang dapat mendukung upaya pengembangan tersebut, yang meliputi : 1) Pengembangan kapasitas kelembagaan pengelola Purwaka (2003) selanjutnya menyatakan aransemen institusional disini dapat berupa instansi pemerintah, lembaga penelitian, lembaga pendidikan, swasta, masyarakat yang kesemuanya berada dalam satu kerangka kerja kelembagaan. Pemahaman berbagai kewenangan sektoral yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan dari masing-masing sektor yang bersangkutan, akan dapat dipahami bahwa tumpang tindih kewenangan bukan lagi merupakan 175

196 wilayah benturan kepentingan melainkan menjadi wilayah pengembangan kerjasama. Pengembangan kapasitas kelembagaan pengelola adalah untuk meningkatkan kemampuan lembaga-lembaga pemerintah agar turut berperan dalam pengelolaan kelautan dan perikanan. Hal - hal yang perlu dipertimbangkan adalah kesatuan antara aspek kelautan dan perikanan harus dipegang teguh karena kedua aspek tersebut secara konseptual tidak dapat dipisahkan. Selain itu pembentukan kelembagaan kelautan dan perikanan di Provinsi Riau harus dilandasi oleh prinsip-prinsip efisiensi, misalnya kaya fungsi daripada struktur, yang dilihat dari fungsionalisasi potential capacity, carrying capacity dan absorptive capacity, terutama pada variabel carrying capacity harus ditingkatkan. Hal ini diperlukan untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi organisasi sehingga mempercepat kemandirian lembaga kelautan dan perikanan. Peran lembaga-lembaga masyarakat dan lembaga-lembaga pendidikan juga harus ditingkatkan sehingga menciptakan sistem pengelolaan yang seimbang dan memperhatikan semua kepentingan. Purwaka (2003) menyatakan bahwa sinergitas di dalam berinteraksi dari lembaga-lembaga tentu merupakan hal ideal yang diharapkan oleh semua pihak. Namun demikian, munculnya ega sektor, berlakunya otonomi daerah dan tumpang tindih kepentingan seringkali memunculkan suatu aktivitas interaksi yang antagonis dan tumpang tindah di antara lembaga-lembaga tersebut. Kondisi inilah yang dapat menghambat tercapainya keterpaduan yang berhasil guna dan berdaya guna dari lembaga-lembaga yang menangani konflik. 2) Peningkatan kapasitas sumber daya manusia Sumber daya kelautan di Provinsi Riau merupakan sektor potensial bagi sumber pertumbuhan ekonomi baru. Dengan letaknya yang strategis, memungkinkan untuk dilakukan pengembangan terhadap pengelolaan sumber daya kelautan khususnya perikanan tangkap. Pengembangan usaha perikanan tangkap ini dapat dilakukan dengan peningkatan produksi dan produktivitas usaha perikanan. Untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia nelayan, perlu dilakukan pemagangan, pelatihan, penyuluhan dan pendampingan usaha oleh tenaga pendamping dari Dinas Perikanan dan Kelautan. 176

197 Purwaka (2003) menyatakan bahwa perhatian terhadap pembinaan sumber daya manusia kerap kurang menjadi prioritas terutama apabila dihadapkan pada kepentingan-kepentingan jangka pendek. Padahal sumber daya manusia sebagai the man behind the gun dalam pengelolaan kelautan dan perikanan memegang peranan yang sangat penting dan menentukan. Penetapan kebijakan dan strategi sebagus apapun apabila tidak didukung oleh paradigma, sikap dan perilaku sumber daya manusianya, akan berakhir menjadi sekedar dokumen yang tak bernilai. Upaya meningkatkan kesejahteraan nelayan sebagai salah satu tujuan pembangunan perikanan dan kelautan, dilaksanakan dengan upaya peningkatan produksi, melalui usaha penanganan dan pengolahan hasil serta terlibat secara langsung dalam pemasaran hasil perikanan (perikanan tangkap terintegrasi), sehingga keuntungan yang tadinya dimiliki oleh pihak lain (tauke) dapat kembali lagi pada nelayan. Untuk itu pengembangan usaha perikanan tangkap tidak terlepas dengan upaya pengembangan sumber daya manusia nelayan itu sendiri dan pengembangan kelembagaan masyarakat nelayan guna meningkatkan posisi tawar dari masyarakat nelayan dengan kelembagaannya. Upaya lain yang dilaksanakan di samping pengembangan kelembagaan masyarakat nelayan adalah penumbuhan usaha kemitraan yang saling menguntungkan antara nelayan dengan pihak pengusaha perikanan, kegiatan ini dilaksanakan melalui temu usaha perikanan tangkap yang dapat menghadirkan pihak pengusaha perikanan dan masyarakat nelayan dengan pihak pemerintah sebagai fasilitatornya. Kelembagaan yang sesuai untuk dikembangkan di perairan Bengkalis dalam upaya mengurangi intensitas konflik adalah kelembagaan mediator yang berbasis masyarakat (community based management). Komponen dasar dalam pengelolaan sumber daya berbasis masyarakat ini adalah : 1) perundangan dan regulasi; 2) keikutsertaan organisasi masyarakat; 3) infrastruktur dasar, dan 4) kondisi sosial. Bentuk kelembagaan ini sangat sesuai karena sudah mencakup mekanisme pengelolaan konflik. Ramirez (2002) menyatakan bahwa dimensi kelembagaan dan organisasi hendaknya menjadi komponen utama ketika suatu lembaga terlibat dalam proses 177

198 mediasi penyelesaian konflik yang terjadi. Beberapa karakteristik yang harus dimiliki oleh lembaga tersebut agar mampu berperan baik dan berfungsi secara efektif dalam resolusi konflik, yaitu : 1) diakui secara resmi sebagai lembaga yang berperan sebagai mediator, 2) dikenal oleh pihak yang berkonflik sebagai pihak yang netral dan memiliki legitimasi, 3) menyetujui untuk bekerja dalam sistem penyelesaian konflik, berdasarkan atas mediasi dan kesepakatan oleh semua pihak, 4) mempunyai kemampuan dalam teknik mediasi, 5) memiliki kemampuan dan mengetahui dengan baik perangkat hukum secara positif, hukum adat, peluang hukum dan isu-isu secara teknis, 6) berkualifikasi dan mengetahui metode partisipatory, 7) berkomunikasi dengan baik dan jelas, dan 8) mengetahui dengan baik sejarah budaya lokal, organisasi, lembaga politik dan kerangka kerja regulasi. Novaczek et al. (2001) menggambarkan bahwa peranan tradisi dan hukum adat ternyata sangat besar pengaruhnya dalam memlihara dan mempertahankan keberlanjutan perikanan pantai, sasi laut di Maluku. Pengembangan usaha perikanan tangkap berbasis resolusi konflik di perairan Bengkalis dapat dipertahankan apabila kelembagaan mediator tersebut melibatkan masyarakat setempat dalam pengambilan kebijakan terutama yang bersifat lokal, adanya pengaturan yang sungguh-sungguh dan melibatkan tokoh masyarakat lokal yang disegani dalam lingkungan komunitas nelayan. Hal lain yang turut berpengaruh secara signifikan adalah ketersediaan aturan adat dan kepercayaan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan yang berkelanjutan. 6.7 Kesimpulan (1) Tipologi konflik di perairan Bengkalis adalah alokasi internal dan yurisdiksi (2) Hal mendasar yang menjadi faktor konflik yang selama ini belum banyak mendapat perhatian dan belum dijadikan dasar dalam penyelesaiannya, yaitu 1) sumber daya ikan kurau yang memiliki nilai ekonomis penting, 2) perbedaan teknologi yang digunakan untuk mendapatkan hasil tangkapan yang sama, dan 3) perebutan daerah penangkapan oleh nelayan rawai dan nelayan jaring batu. 178

199 (3) Peran kelembagaan yang ada saat ini masih kurang mampu menangani konflik yang terjadi di perairan Bengkalis, karena adanya keberpihakan lembaga-lembaga yang seharusnya berposisi netral atau tidak memihak dalam upaya penyelesaian konflik, di mana sebagian besar kelembagaan pemerintah memiliki kecenderungan untuk berpihak kepada nelayan jaring batu. Keberpihakan ini menyebabkan segala upaya penyelesaian konflik yang diberikan oleh pemerintah tidak mendapatkan tanggapan yang positif dari pihak nelayan rawai yang mengakibatkan konflik bereskalasi. 179

200 7 SISTEM PENGEMBANGAN USAHA PERIKANAN TANGKAP DI PROVINSI RIAU 7.1 Komponen yang Berperan dan Keterkaitannya dalam Pengembangan Usaha Perikanan Tangkap Langkah akhir setelah melakukan kajian terhadap tiga topik penelitian, yaitu (1) perkembangan usaha perikanan tangkap sebelum dan setelah pemekaran di perairan Provinsi Riau (Bab 4), yang mencakup kondisi perikanan tangkap Provinsi Riau sebelum dan setelah berpisahnya Kepulauan Riau, (2) evaluasi sumberdaya ikan unggulan (Bab 5), yang mencakup alokasi hasil tangkapan, sumber daya ikan unggulan yang dapat dikembangkan, jenis teknologi pilihan untuk menangkap sumber daya ikan unggulan, alokasi optimum terhadap alat penangkapan ikan, dan (3) faktor konflik dalam pengembangan perikanan tangkap (Bab 6), yang mencakup identifikasi terhadap tipologi konflik, menganalisis konflik yang terjadi dan faktor-faktor penyebabnya serta melakukan evaluasi terhadap kelembagaan yang menangani konflik, adalah menyusun sistem pengembangan perikanan tangkap di Perairan Provinsi Riau. Kajian terhadap tiga topik dalam penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan dalam menyusun sistem pengembangan perikanan tangkap di perairan Provinsi Riau khususnya dan perairan lain pada umumnya dengan penyesuaian berdasarkan kondisi masing-masing. Dahuri (2002) mengemukakan bahwa penciptaan perikanan berkelanjutan harus mencakup tiga hal, yaitu ekologi (lingkungan), ekonomi dan sosial. Charles (2001) menyatakan hal yang lebih konservatif, bahwa unsur kelembagaan yang terlibat sangat diperlukan untuk melengkapi ketiga unsur tersebut agar sumber daya perikanan dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan. Fauzi dan Anna (2005) juga menyatakan bahwa pembangunan perikanan tangkap harus didekati dengan pendekatan menyeluruh (holistic) yang menyangkut beberapa aspek, seperti: ekologi (tingkat eksploitasi, keragaan rekruitmen, perubahan ukuran tangkap, dan sebagainya), ekonomi (tingkat subsidi, kontribusi perikanan terhadap GDP, penyerapan tenaga kerja dan sebagainya), sosial (pertumbuhan komunitas, status konflik, tingkat pendidikan, dan sebagainya), teknologi (produktivitas alat, selektivitas alat, ukuran kapal, dan

201 sebagainya), dan etik (illegal fishing, mitigasi terhadap habitat dan ekosistem, sikap terhadap limbah dan bycatch, dan sebagainya). Dari setiap aspek tersebut, ada beberapa atribut yang harus dipenuhi, karena merupakan indikator keberhasilan pembangunan perikanan tangkap dan juga sekaligus menjadi indikator keberlanjutannya. Monintja (2001) modifikasi dari Kesteven (1973) mengemukakan bahwa komponen-komponen utama dari sistem perikanan tangkap adalah sumber daya ikan, unit penangkapan ikan, masyarakat (nelayan), prasarana pelabuhan, sarana penunjang (galangan kapal, bahan alat tangkap ikan, dan mesin kapal), unit pemasaran dan unit pengolahan. Keseluruhan komponen tersebut sangat menentukan dalam upaya mewujudkan perikanan tangkap bertanggungjawab. Pengembangan perikanan tangkap bertanggungjawab pada dasarnya ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, utamanya nelayan, memenuhi kebutuhan pangan, dan sekaligus menjaga kelestarian sumberdaya ikan beserta lingkungannya. Pengembangan usaha perikanan tangkap di Perairan Provinsi Riau sudah seharusnya diarahkan untuk pembangunan perikanan tangkap bertanggungjawab yang akan terwujud jika setiap komponen utama dari sistem perikanan tangkap dapat berjalan secara optimum dan terintegrasi. Belum adanya perencanaan yang terintegrasi dalam pengembangan komponen-komponen usaha perikanan tangkap di Perairan Provinsi Riau menyebabkan komponen-komponen tersebut tidak berfungsi sebagaimana mestinya, sehingga aktivitas pengembangan usaha perikanan tangkap belum optimum. Komponen yang berperan dalam pengembangan usaha perikanan tangkap di perairan Provinsi Riau, adalah : 1) Sumber daya ikan Perubahan wilayah administrasi yang terjadi di Provinsi Riau memberikan dampak terhadap penurunan jumlah produksi hasil tangkapan di provinsi ini. Pemulihan terhadap kondisi ini perlu dilakukan upaya-upaya untuk mengembalikan kondisi produksi perikanan tangkap seperti semula, salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah melakukan pemilihan terhadap sumber daya 181

202 ikan yang memiliki nilai ekonomis penting dengan ketersedian yang cukup untuk dapat dikembangkan secara lestari dan berkelanjutan. Pengembangan perikanan tangkap tidak dapat dipisahkan dari daya dukung (carrying capacity) komponen penyusun perikanan tangkap. Daya dukung sumber daya perikanan tangkap merupakan faktor penting diperhatikan karena sumber daya perikanan sangat rentan terhadap perubahan. Khususnya sumber daya ikan, karena merupakan sumber daya hayati yang dipengaruhi oleh perubahan yang terjadi di dalam maupun di luar ekosistem banyak dipengaruhi oleh perubahanperubahan eksternal dan internal, sebagai akibat perubahan lingkungan biotik dan abiotik. Pemanfaatan yang lestari adalah pemanfaatan sumber daya perikanan pada kondisi yang seimbang, yaitu tingkat pemanfaatannya tidak melebihi kemampuan sumber daya untuk memperbaharui diri. Tingkat pemanfaatan masing-masing sumber daya perikanan berbeda bergantung pada ukuran masiong-masing sumber daya perikanan. Informasi mengenai sumberdaya ikan sangat diperlukan dalam merencanakan pengembangan perikanan tangkap bertanggungjawab di suatu wilayah perairan. Penyediaan informasi sumberdaya ikan dalam bentuk kuantitatif seperti angka perkiraan potensi sangat ditentukan oleh ada tidaknya data dasar. Tingkat eksploitasi sumber daya ikan di Perairan Provinsi Riau perlu dikendalikan agar kelestarian sumber daya ikan tersebut dapat dijaga dan dipertahankan. Pengelolaan yang terkoordinasi dengan baik antara stakeholder (nelayan, pemilik armada penangkapan dan pemerintah) dapat mengendalikan tingkat eksploitasi sumber daya dan meningkatkan efisiensi, manfaat dan keuntungan aktivitas penangkapan. Sumber daya ikan di Provinsi Riau dimanfaatkan oleh nelayan-nelayan dari dalam provinsi maupun dari luar, seperti dari Provinsi Kepulauan Riau, Provinsi Jambi bahkan nelayan dari luar Indonesia, seperti Malaysia, Singapura dan Thailand. King (1995) mengemukakan bahwa agar penangkapan suatu jenis ikan tertentu dan yang berlangsung di perairan tertentu dapat berlangsung terus menerus maka status sumber daya ikan tersebut harus dikaji untuk menentukan kemampuan rekrutmen sumber daya ikan tersebut. Di samping estimasi stok yang 182

203 tepat, faktor-faktor ekonomi, sosial dan politik dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan strategi pengelolaan. Hasil analisis terhadap sumber daya ikan unggulan untuk menduga potensi lestari dengan metode Schaefer menunjukkan bahwa secara teoritis pemanfaatan sumber daya ikan di perairan Provinsi Riau relatif masih baik. Hal ini terlihat dengan masih adanya peluang peningkatan pemanfaatan yang cukup besar. Pemilihan terhadap sumber daya ikan unggulan pada Bab 5 berdasarkan pada analisis pasar dapat diketahui jenis-jenis komoditi yang mempunyai potensi untuk pasar lokal, pasar antar daerah maupun pasar internasional atau pasar dunia. Sumber daya ikan unggulan di perairan Provinsi Riau berdasarkan aspek pemasaran untuk perairan Selat Malaka Kabupaten Bengkalis adalah ikan kurau, malung, senangin, bawal putih dan udang putih, sedangkan sumber daya ikan unggulan untuk perairan Laut Cina Selatan Kabupaten Indragiri Hilir adalah ikan kurau, udang mantis, bawal putih, malung dan tenggiri. Pengelolaan sumber daya ikan dalam pengembangan perikanan tangkap di Provinsi Riau dapat berupa pembatasan hasil tangkapan dan tingkat upaya penangkapan, pengaturan mesh size dan menentukan teknologi penangkapan pilihan. 2) Teknologi penangkapan pilihan Pemanfaatan sumber daya ikan yang dilakukan oleh masyarakat, umumnya menggunakann berbagai jenis alat tangkap dengan berbagai tingkatan teknologi penangkapan ikan. Penggunaan teknologi penangkapan ikan memiliki variasi pada setiap jenis alat tangkap dan sangat bergantung pada skala usaha penangkapan ikan, karena semakin kompleks teknologi yang digunakan, maka semakin besar juga modal yang dibutuhkan. Tingkatan penggunaan teknologi penangkapan ikan juga akan meningkatkan produktivitas suatu jenis alat tangkap ikan, dengan demikian jumlah dan jenis alat tangkap yang dioperasikan akan menentukan tingkat pemanfaatan sumber daya ikan dan pada akhirnya akan berdampak terhadap potensi sumber daya ikan. Tahap awal penelitian untuk menentukan jenis teknologi penangkapan pilihan adalah menentukan alat tangkap yang dominan menangkap sumber daya unggulan untuk dikembangkan. Bab 5 memaparkan, di perairan Selat Malaka 183

204 Kabupaten Bengkalis terdapat empat alat tangkap dominan yaitu rawai (longline), jaring kurau (bottom drift gillnet), jaring atom (trammel net) dan jaring apollo (trammel net), untuk perairan Laut Cina Selatan Kabupaten Indragiri Hilir adalah rawai (longline), jaring kurau (bottom drift gillnet), jaring insang (gillnet), jaring udang (trammel net). Penentuan teknologi pilihan untuk menangkap sumber daya ikan unggulan berdasarkan aspek teknis, ekonomi, sosial dan lingkungan di perairan Selat Malaka Kabupaten Bengkalis menempatkan jaring kurau pada urutan pertama diikuti rawai, jaring atom dan jaring apollo. Munculnya konflik di perairan ini yang disebabkan oleh beroperasinya jaring kurau (dijelaskan secara rinci pada Bab 6) menyebabkan dalam pengembangan perikanan tangkap di perairan Kabupaten Bengkalis alat ini tidak disarankan. Teknologi pilihan di perairan Laut Cina Selatan Kabupaten Indragiri Hilir secara berurutan adalah jaring insang, rawai, jaring udang dan jaring kurau. Garcia et al. (2001) mengemukakan bahwa pada tahap awal dalam pemanfaatan sumber daya perikanan yang stoknya masih berlimpah, penekanan pengembangan umumnya dengan pertimbangan sektor ekonomi saja. Bertambahnya pihak-pihak yang terlibat dalam pemanfaatan sumber daya akan mengancam status stok sumber daya tersebut, pada tahap ini pemanfaatan sumber daya perikanan harus memperhatikan unsur sosial dan lingkungan agar pemanfaatan sumber daya tersebut berkelanjutan. Salah satu sarana penting dalam rangka memanfaatkan sumberdaya ikan di laut adalah unit penangkapan ikan berupa kapal dan alat penangkap ikan. Pengaturan terhadap jumlah optimum dari unit penangkapan ikan dilakukan untuk mewujudkan tingkat pemanfaatan sumber daya ikan yang optimal dan berkelanjutan. 3) Masyarakat (nelayan) Salah satu faktor yang dapat mendukung upaya pengembangn perikanan tangkap di Provinsi Riau adalah tersedianya sumber daya manusia (SDM) yang memenuhi kualitas dan kuantitas, yaitu nelayan, pengusaha di bidang perikanan dan instituai lainnya yang secara langsung maupun tidak langsung terlibat dalam pengembangan. 184

205 Pengelolaan sumber daya manusia memegang peranan penting karena kegiatan pemanfaatan sumber daya perikanan tangkap dilakukan untuk memenuhi kebutuhan manusia yang dilakukan oleh manusia, sehingga menurut Nikijuluw (2002), selain perubahan-perubahan alamiah, faktor manusia merupakan variabel penting yang menentukan status eksploitasi dan potensi sumber daya perikanan. Sayangnya, faktor manusia seringkali tidak diperhitungkan secara serius atau diremehkan dalam pengelolaan sumber daya perikanan, karena seringkali manusia diposisikan sebagai subyek pengelolaan. Pengelolaan sumber daya ikan pada hakekatnya adalah pengelolaan terhadap manusia yang memanfaatkan sumber daya ikan tersebut. Pengelolaan terhadap manusia adalah pengaturan tingkah laku mereka dalam hal eksploitasi dan pengelolaan sumber daya. Pengembangan sumber daya manusia dalam suatu kegiatan pembangunan adalah upaya-upaya yang dilaksanakan untuk pengembangan kemampuan diri dalam penguasaan teknologi dalam pemanfaatan sumber daya ikan secara efisien dan efektif guna menghasilkan suatu output/produk yang ekonomis dan mempunyai nilai dan daya saing yang tinggi. Pemberdayaan nelayan diupayakan untuk memberikan alternatif terbaik bagi nelayan untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan. Upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam peningkatan sumber daya manusia khususnya nelayan adalah : (1) Melakukan pembinaan, penyuluhan, pelatihan dan pendampingan untuk meningkatkan kinerja usaha nelayan (2) Penyediaan sarana prasarana yang dapat meningkatkan potensi nelayan Jumlah signifikan nelayan yang melakukan aktivitas penangkapan di perairan Provinsi Riau (Bab 4), beragamnya jenis alat tangkap yang dapat menangkap satu jenis ikan dan kebijakan tata ruang masing-masing kabupaten yang ada di provinsi ini perlu mendapat perhatian besar dalam menentukan sistem pengembangan perikanan tangkap. Jika beberapa aspek diabaikan dalam pengelolaan bersama sumber daya perikanan maka konflik akan muncul karena berbedanya kepentingan masing-masing pihak. Upaya meningkatkan kesejahteraan nelayan sebagai salah satu tujuan pembangunan perikanan dan kelautan, selama ini dilaksanakan dengan upaya 185

206 peningkatan produksi, namun berdasarkan hasil kajian-kajian peningkatan produksi tidak berkorelasi langsung dengan peningkatan kesejahteraan. Hal ini dikarenakan sebagian keuntungan dimiliki oleh unit usaha lain yang bergerak di bidang pasca panen, pengolahan dan pemasaran. Arah pengembangan perikanan tangkap sebagai upaya meningkatkan kesejahteraan nelayan dilaksanakan melalui upaya meningkatkan nilai tambah hasil perikanan baik melalui usaha penanganan dan pengolahan hasil serta terlibat secara langsung dalam pemasaran hasil perikanan (perikanan tangkap terintegrasi), sehingga keuntungan yang tadinya dimiliki oleh pihak lain (tauke) dapat kembali lagi pada masyarakat nelayan. Untuk itu pengembangan perikanan tangkap tidak terlepas dengan upaya pengembangan sumberdaya manusia nelayan itu sendiri dan pengembangan kelembagaan masyarakat nelayan guna meningkatkan posisi tawar dari masyarakat nelayan dengan kelembagaannya. Upaya lain yang dilaksanakan untuk pengembangan kelembagaan masyarakat nelayan adalah penumbuhan usaha kemitraan yang saling menguntungkan antara nelayan dengan pihak pengusaha perikanan, kegiatan ini dimaksudkan untuk meminimalkan kemungkinan terjadinya konflik antara nelayan dengan pengusaha perikanan dalam pemanfaatan sumber daya perikanan dengan pihak pemerintah sebagai fasilitatornya. 4) Kelembagaan Pengelolaan sumber daya ikan perlu dilandasi oleh dukungan data dan informasi serta teknologi sebagai bahan penyusunan berbagai formulasi rencana kebijakan pengelolaan dan pengembangan perikanan laut, maka diperlukan adanya aransemen institusional yang bisa menata kelembagaan yang tepat guna. Aransemen institusional disini dapat berupa instansi pemerintah, lembaga penelitian, lembaga pendidikan, swasta, masyarakat yang kesemuanya berada dalam satu kerangka kerja kelembagaan. Kelembagaan merupakan salah satu kriteria dan indikator sistem perikanan berkelanjutan. Kelembagaan yang kuat adalah penguatan untuk melahirkan kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan dan dapat diperkuat implementasi hukum. Oleh karena itu kebijakan yang baik dapat berfungsi efektif apabila dibarengi dengan implementasi hukum yang kuat. Ketersediaan kelembagaan 186

207 dalam pengembangan perikanan tangkap sangat diperlukan terutama dalam penentuan kebijakan dan upaya menciptakan perikanan yang berkelanjutan. Peningkatan dan pengembangan kapasitas kelembagaan diyakini akan memperlancar jalannya berbagai fungsi kelembagaan, baik fungsi-fungsi di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, keamanan, hukum maupun lingkungan hidup. Berjalannya fungsi-fungsi kelembagaan dalam bidang tersebut secara optimal dipahami akan mampu mengentaskan lembaga-lembaga yang ada dari krisis multidimensi. Fungsi-fungsi kelembagaan tersebut secara statik ada di dalam tata kelembagaan (institutional arrangement) dan secara dinamik ada di dalam mekanisme kelembagaan (institutional framework) (Purwaka 2008). Kapasitas kelembagaan terdiri atas (Purwaka 2008) : 1) Kapasitas potensial kelembagaan (potencial capacity), yaitu kemampuan terpendam sumber daya manusia dari suatu organisasi kelembagaan yang siap untuk digunakan secara optimal guna melaksanakan tugas pokok dan fungsi organisasi kelembagaan. 2) Daya dukung kelembagan (carrying capacity), yaitu kemampuan sumber daya manusia untuk menanggung beban atau melaksanakan sejumlah pekerjaan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi yang terkandung di dalam posisi tersebut. 3) Daya tampung kelembagan atau daya lentur (absorptive capacity), yaitu kemampuan untuk mengantisipasi perubahan sehingga tidak mempengaruhi keberadaan atau eksistensi kelembagaan dari organisasi kelembagaan dan hasil pekerjaannya Kapasitas kelembagaan yang terlibat dalam pengembangan perikanan tangkap di Provinsi Riau perlu ditingkatkan guna memenuhi kualitas dan kuantitas yang diperlukan dalam pengembangan. Terutama dalam pengelolaan konflik pemanfaatan sumber daya yang telah terjadi di perairan Kabupaten Bengkalis dan sebagai upaya pencegahan terjadinya konflik pemanfaatan. Komponen kelembagaan memegang peranan penting dalam pengembangan perikanan tangkap, karena kemajuan teknologi alat penangkapan ikan yang terjadi di Kabupaten Bengkalis justru menimbulkan konflik dalam pemanfaatan sumber daya ikan. Kemajuan teknologi dan kebutuhan konsumsi ikan yang meningkat 187

208 belum dikuti dengan mekanisme pengaturan yang sistematis terhadap pemanfaatan sumber daya ikan. Upaya peningkatan kapasitas kelembagaan pengembangan perikanan tangkap di Perairan Provinsi Riau dilakukan melalui: 1) intensifikasi penangkapan ikan, 2) pengaturan penambahan/rasionalisasi armada penangkapan, 3) penanganan/pasca panen dan pengendalian mutu hasil tangkapan, 4) pelaksanaan standarisasi mesin kapal dan alat tangkap, 5) pengaturan penambahan/rasionalisasi armada penangkapan, dan 6) pengendalian pemanfaatan sumber daya perikanan dilakukan dengan sistem pengawasan oleh masyarakat (community based fisheries management) dan pemberdayaan PPNS dan aparat pengawas lainnya. Intensifikasi penangkapan ikan dilakukan untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya ikan unggulan yang tersedia dengan cara-cara penangkapan yang bertanggung jawab, di antaranya; (1) pembentukan kelembagaan nelayan dan koperasi primer nelayan (2) meningkatkan peran masyarakat khususnya tokoh masyarakat dalam penyelesaian konflik yang terjadi, (3) terbangunnya pranata sosial masyarakat nelayan yang menerapkan prinsipprinsip penangkapan ikan yang bertanggung jawab, (4) meningkatkan fungsi lembaga pengawasan yang melibatkan SNKB, Lembaga Non Pemerintah, Dinas Perikanan dan Kelautan dan pengusaha perikanan dalam pemanfaatan sumber daya ikan di perairan Provinsi Riau. Berdasarkan analisis terhadap komponen yang terdapat pada usaha perikanan tangkap dan mendapatkan solusi optimum dari setiap komponen yang dikaji pada Bab 4 sampai dengan Bab 6 maka dapat dibangun pola pengembangan usaha perikanan tangkap di perairan Provinsi Riau, seperti yang disajikan pada Gambar 38. 5) Regulasi/Kebijakan Kebijakan akan dilakukan dengan bertolak pada dasar hukum dan peraturan yang berlaku. Hukum tidak akan terlepas dengan roda pemerintahan baik dalam menjalankan kebijakan maupun dalam pengambilan keputusan. 188

209 Kebijakan pengelolaan (policy management) untuk pengembangan usaha perikanan tangkap di Provinsi Riau mengacu pada upaya yang merupakan suatu bentuk tindakan yang sedemikian rupa (deliberate way) untuk dapat menangani isu kebijakan dari awal hingga akhir, termasuk di dalamnya isu-isu yang dapat menimbulkan konflik dalam pengembangan usaha perikanan tangkap. Pengembangan jenis teknologi di Provinsi Riau diarahkan sesuai dengan ketentuan dalam UU No. 45 Tahun 2009, tujuan pembangunan perikanan harus disepakati dengan syarat-syarat pengembangan teknologi yang dapat menyediakan kesempatan kerja, menjamin pendapatan nelayan, menjamin stok produksi, menghasilkan produksi yang bermutu dan tidak merusak lingkungan khususnya sumberdaya ikan. Pengelompokan skala usaha perikanan, jenis alat tangkat pancing dan jaring insang merupakan alat tangkap yang umum digunakan oleh rakyat yang skalanya sangat kecil, sarana dan prasarananyapun terbatas, hal ini disebabkan karena keterbatasan modal usaha. Kegiatannyapun bersifat tradisional hal ini akan berdampak pada rendahnya produksi sehingga akan mempengaruhi daya saing. Monintja (2005) menyatakan apabila pengembangan perikanan di suatu wilayah perairan ditekankan pada perluasan kesempatan kerja, maka teknologi yang perlu dikembangkan adalah jenis unit penangkapan ikan yang relatif dapat menyerap banyak tenaga kerja dengan pendapatan yang memadai. Selain itu untuk menyediakan produksi perikanan yang memiliki nilai ekonomis penting maka akan lebih baik jika di pilih unit penangkapan yang produktivitasnya tinggi namun ramah terhadap lingkungan. Usaha perikanan tangkap merupakan bentuk dari suatu industri perikanan kompetatif. Industri ini memiliki ciri tersendiri yakni tepat jenis, tepat jumlah, tepat mutu, tepat harga, tepat waktu, tepat tempat dan tepat hukum Nikijuluw (2002) mengatakan bahwa rezim pengelolaan akan selalu berubah sesuai dengan sifat khasnya yang tidak ditemukan pada sumberdaya lain. Kekhasan sifat tersebut dalam pengelolaan terdapat tiga bentuk sifat utama (1) sifat ekskludabilitas, (2) sifat substraktabilitas, dan (3) indivisibilitas. Sifat yang dimiliki pemerintah adalah sifat yang terkait dengan pengendalian dan pengawasan terhadap akses sumberdaya (sifat ekskludabilitas). Oleh karena itu 189

210 pemerintah harus membuat suatu kebijakan yang mampu mengendalikan dan mengatur serta melakukan pengawasan yang melibatkan masyarakat. Intervensi atau keterlibatan pemerintah dalam suatu kegiatan ekonomi adalah kepentingan umum yang pada akhirnya kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah memiliki proses yang berbeda dan melibatkan kelompok masyarakat yang berbeda pula dalam implementasinya. Pengembangan usaha perikanan tangkap di Provinsi Riau akan dilakukan secara selektif dalam rangka memanfaatkan potensi sumber daya yang tersedia secara optimal dan berkelanjutan, guna mewujudkan usaha perikanan yang bertanggungjawab sesuai dengan code of conduct for responsible fisheries (CCRF) di bidang penangkapan. Dalam kerangka ini dilakukan reorientasi terhadap tujuan pengembangan usaha perikanan tangkap yang semula lebih ke arah produksi menjadi ke arah pendapatan usaha, disertai dengan penyediaan pelabuhan perikanan/pangkalan Pendaratan Ikan, standarisasi unit penangkapan, perekayasaan teknologi, diversifikasi usaha nelayan dan rehabilitasi sumberdaya ikan. Upaya pengembangan usaha perikanan tangkap sekaligus untuk mengantisipasi isu yang berkembang di bidang penangkapan ikan yaitu adanya pemahaman bahwa sumberdaya ikan seolah-olah tidak terbatas, sumber daya ikan merupakan milik suatu wilayah perairan serta isu lainnya yang dapat menimbulkan konflik dalam pemanfaatan sumber daya ikan pada suatu perairan. 190

211 Sumber daya ikan unggulan di perairan Provinsi Riau Junlah Tangk apan yang di Bolehkan (JTB) (ton) Jenis tek nologi penangk apan pilihan Jumlah alok asi optimum tek nologi penangk apan Kabupaten Bengkalis :Ikan kurau, malung, senangin,bawal putih dan udang putih Kabupaten Indragiri Hilir : Ikan kurau, udang mantis, bawal putih, malung dan tenggiri Kabupaten Bengk alis : Ikan kurau 1876,5; malung 1189; senangin ; bawal putih dan udang putih Kabupaten Indragiri Hilir : Ikan kurau ; udang mantis ; bawal putih ; malung ; dan tenggiri Kabupaten Bengk alis : jaring kurau, rawai, jaring atom, jaring apollo Kabupaten Indragiri Hilir : jaring insang, rawai, jaring udang dan jaring kurau Kabupaten Bengkalis 6482 unit dengan alok asi: jaring kurau 208 unit, rawai 3211 unit, jaring atom 2862 unit, jaring apollo 314 unit Kabupaten Indragiri Hilir 5910 unit dengan alok asi : jaring insang 3039 unit, rawai 844 unit, jaring udang 1942 unit dan jaring kurau 131 unit Resolusi k onflik pemanfaatan sumber daya perik anan tangk ap Tipologi Konflik : alokasi internal dan yurisdiksi Faktor konflik : perbedaan teknologi penangkapan dan perebutan daerah penangkapan Penahapan konflik : prakonflik (tahun ); konfrontasi (tahun ); krisis (tahun ; ); akibat (tahun 2000); pascakonflik (2005-sekarang) Resolusi konflik : penguatan terhadap fungsi SNKB dan pengakuan secara formal terhadap hal ulayat, peningkatan pengawasan terpadu, diversikasi usaha, mekanisme pengaturan yang sistematis Bentuk kelembagan yang sesuai karena sudah mencakup mekanisme pengelolaan konflik adalah community based management dalam bentuk kelembagaan mediasi Tidak Puas? ya ya terjadi konflik? tidak implementasi sistem pengembangan usaha perik anan tangk ap Gambar 38 Pola pengembangan usaha perikanan tangkap berbasis resolusi konflik di perairan Bengkalis Provinsi Riau. 191

212 7.2 Sistem pengembangan usaha perikanan tangkap Charles (2001) menyatakan bahwa sistem perikanan merupakan sebuah kesatuan dari 3 komponen utama yaitu : (1) sistem alam (natural system) yang mencakup ekosistem, ikan dan lingkungan fisik; (2) sistem manusia (human system) yang terdiri dari unsur nelayan atau petani ikan, pelaku pasar dan konsumen, rumah tangga perikanan dan komunitas pesisir serta lingkungan sosial, ekonomi dan budaya yang terkait dengan sistem ini; (3) sistem pengelolaan perikanan (fishery management system) yang mencakup unsur-unsur kebijakan dan peencanaan perikanan, pembangunan perikanan, rejim pengelolaan perikanan dan riset perikanan (Gambar 39). Dalam menggunakan perspektif informal, sistem dikatakan kompleks apabila struktur dan fungsi dari sistem tersebut dapat diketahui dengan bail sebagaimana terjadi untuk sistem perikanan. Selain itu, definisi kompleks adalah apabila sistem tersebut memiliki sejumlah unsur yang terkait satu sama lain secara dinamik maupun statis. Semakin banyak jumlah unsur dalam struktur sebuah sistem maka semakin kompleks sistem tersebut. NATURAL ECOSYSTEM MANAGEMENT SYSTEM Policy Manage ment Aquatic environment Fish population Developm ent Reserach External forces (e.g. Climate change) Harvesters External forces (e.g. Government downizing) community Post harvest HUMAN SYSTEM External forces (e.g. Macroeconomics policy) Gambar 39 Perikanan sebagai sebuah sistem (Charles 2001). Keragaman sistem perikanan bersumber dari beberapa hal, Charles (2001) menggambarkan sebagai the sources of complexity in fishery systems, yaitu (1) 192

213 banyaknya tujuan dan seringkali menimbulkan konflik antar tujuan; (2) banyaknya spesies dan interaksi antar spesies dalam konteks level tropik; (3) banyaknya kelompok nelayan beserta interaksina dengan sektor rumah tangga dan komunitas; (4) banyaknya jenis alat tangkap dan interaksi teknologi antar mereka; (5) struktur sosial dan pengaruhnya trhadap perikanan; (6) dinamika informasi perikanan dan diseminasi; (7) dinamika interaksi antar sumber daya perikanan, nelayan dan lingkungan; (8) ketidakpastian dalam masing-masing komponen sistem perikanan; dan lain-lain. Sumber daya perikanan tangkap merupakan suatu sistem sehingga di antara komponen dalam sumber daya perikanan tangkap akan saling mempengaruhi sebagai suatu kegiatan ekonomi. Sifat sebagai suatu kegiatan ekonomi, sumber daya perikanan tangkap pada akhirnya akan memberikan dampak terhadap siapa yang memanfaatkan, yaitu pasar. Komponen yang menyusun sumber daya perikanan tangkap adalah sumber daya ikan, teknologi penangkapan ikan dan sumber daya manusia selaku operator maupun konsumen, serta faktor lingkungan yang mempengaruhinya, baik terhadap sumber daya ikan dan proses pengoperasian alat tangkap. Sistem yang diterapkan dalam mengembangkan usaha perikanan tangkap di perairan Provinsi Riau berdasarkan Charles (2001) melalui analisis optimasi pada setiap komponennya, maka dapat disintesis menjadi bentuk umum dari sistem pengembangan usaha perikanan tangkap pada suatu wilayah tertentu. Sistem pengembangan dimulai dengan melakukan evaluasi potensi sumber daya dari komoditas ikan unggulan berbasis pasar. Selanjutnya, ditentukan jumlah optimum dari setiap jenis unit penangkapan ikan unggulan yang ada berdasarkan aspek teknis, ekonomi, sosial dan lingkungan serta adanya analisis terhadap konflik yang terjadi di perairan Bengkalis Provinsi Riau. Walaupun setiap komponen utama ini memiliki fungsi dan peran tersendiri, namun setiap komponen usaha perikanan tangkap tidak dapat berdiri sendiri, karena adanya saling keterkaitan antara satu dengan lainnya. Terwujudnya pengelolaan usaha perikanan tangkap berbasis resolusi konflik juga memerlukan dukungan aspek kelembagaan. Lebih jelasnya disajikan pada Gambar

214 Gambar 40 Sistem pengembangan usaha perikanan tangkap berbasis resolusi konflik (SIPUTREFIK). 194

215 Asumsi-asumsi yang digunakan dalam sistem pengembangan usaha perikanan tangkap berbasis resolusi konflik (SIPUTREFIK) adalah : 1) Potensi sumber daya perikanan tangkap unggulan masih layak untuk dikembangkan 2) Nilai parameter dan koefisiennya dapat diketahui secara pasti (deterministik) 3) Pelaku dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya perikanan tangkap memiliki keinginan untuk melakukan pengembangan usaha perikanan tangkap di wilayahnya 195

216 8 KESIMPULAN DAN SARAN 8.1 Kesimpulan 1) Berfluktuasinya konflik antara nelayan rawai (longline) dengan nelayan jaring kurau (bottom drift gillnet) yang telah berlangsung lama merupakan salah satu indikator bahwa usaha perikanan kurau (Eleutheronema tetradactylum) ditinjau dari aspek pasar, teknis, ekonomi, sosial, lingkungan dan kelembagaan masih memiliki peluang sebagai prime mover dalam pengembangan usaha perikanan tangkap di perairan Provinsi Riau, diikuti dengan usaha perikanan malung (Muraenenson cinereus), bawal putih (Pampus argenteus), senangin (Polynemus sp), udang mantis (Uratos guilla nepa sp), dan tenggiri (Scomberomorus commersoni). 2) Faktor utama penyebab konflik yang terjadi di perairan Provinsi Riau dimulai dari gear conflict dan perebutan fishing ground di Teluk Pambang dan menyebar ke luar Teluk Pambang dan sumber daya ikan kurau (Eleutheronema tetradactylum) yang memiliki nilai ekonomis penting. Berbagai upaya resolusi konflik yang telah dilakukan hanya membuat konflik mereda untuk sementara. 3) Konflik yang terjadi di perairan Provinsi Riau menyebabkan terganggunya kinerja perikanan tangkap, penurunan produktivitas nelayan serta terhambatnya pengembangan usaha perikanan tangkap di provinsi ini, upaya penyelesaian konflik perlu segera dilakukan agar implementasi pengembangan usaha perikanan tangkap dapat dilaksanakan untuk peningkatan kontribusi perikanan di Provinsi Riau 4) Komponen yang berperan dalam pengembangan usaha perikanan tangkap di perairan Provinsi Riau adalah sumber daya ikan yang memiliki nilai ekonomis penting, teknologi penangkapan pilihan yang ramah lingkungan dan berdampak sosial rendah, ketersediaan sumber daya manusia yang terlibat dalam pengembangan, kelembagaan yang dapat menangani dan mencegah terjadinya konflik serta pengakuan terhadap hukum adat yang berlaku dalam pengelolaan yang didukung oleh kebijakan-kebijakan dalam pengembangan usaha perikanan tangkap.

217 5) Pola usaha perikanan tangkap berbasis resolusi konflik di perairan Provinsi Riau dikembangkan dengan mengintegrasikan faktor-faktor sumber daya ikan, aspek teknis penangkapan, ekonomi, sosial, lingkungan dan pembentukan kelembagaan mediator yang melibatkan tokoh masyarakat dalam perencanaan pengembangan usaha perikanan tangkap dan mempertimbangkan adanya hak ulayat dan kearifan lokal yang berlaku serta penerapan ketentuan-ketentuan perikanan yang bertanggungjawab. 8.2 Saran 1) Upaya untuk memanfaatkan peluang pengembangan usaha perikanan kurau sebagai prime mover pengembangan usaha perikanan secara keseluruhan termasuk perikanan non-kurau di perairan Provinsi Riau perlu didukung dengan upaya-upaya sebagai berikut : (1) Kelembagaan penyelesaian konflik dan pengembangan managing potential conflict untuk mencegah timbulnya dan bereskalasinya konflik (2) Pengembangan basis data yang mencakup aspek-aspek sumber daya ikan, teknologi penangkapan, ekonomi, sosial, lingkungan dan kelembagaan (3) Hukum adat/hak ulayat dan kebijakan-kebijakan daerah yang mendukung pengembangan usaha perikanan tangkap terutama dalam penyelesaian dan pencegahan terjadinya konflik 2) Perlu dilakukan pemetaan daerah pemijahan, daerah migrasi berbasis lingkungan perairan yang menjadi dasar bagi pemetaan daerah penangkapan rawai (longline) dan jaring batu (bottom drift gillnet) yang berkelanjutan sebagai acuan dalam mengatur daerah penangkapan antara rawai dan jaring kurau, diharapkan dapat menyelesaikan konflik dan mencegah eskalasi konflik 3) Perlu pembentukan kelembagaan mediator yang terdiri dari ahli teknik negosiasi yang memahami tentang perikanan, ahli perikanan tangkap, ahli sumber daya ikan, ahli hukum dan kelembagaan perikanan yang disetujui oleh para pihak yang terlibat dalam konflik, dengan tugas-tugas sebagai berikut : 197

218 (1) Melakukan reposisi kelembagaan untuk menghilangkan keberpihakan dan menumbuhkan netralitas kelembagaan dalam penyelesaian konflik (2) Menyiapkan materi negosiasi dengan mengedepankan win-win conflict resolution (3) Melaksanakan mediasi antara pihak-pihak yang terlibat dalam konflik (4) Merumuskan pengelolaan dan pengembangan usaha perikanan kurau berbasis resolusi konflik sebagai hasil mediasi (5) Melakukan pendampingan, monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan hasil mediasi serta penerapannya di sektor perikanan nonkurau 4) Materi mediasi dan resolusi konflik yang dihasilkan meliputi : (1) Pembentukan basis data perikanan kurau dan non-kurau (2) Pemetaan daerah ruaya kurau di Teluk Pambang dan perairan sekitarnya, yang meliputi: daerah pemijahan (spawning ground), daerah migrasi dan daerah penangkapan (fishing ground) (3) Pembentukan tim pengawas dan pengendali pelaksanaan resolusi konflik yang diprakarsai oleh kelembagaan mediator dan disetujui oleh pihak yang berkonflik (4) Pengembangan kerjasama permodalan usaha, pengolahan dan pemasaran serta pelembagaan nilai-nilai mediasi dan resolusi konflik ke dalam pengelolaan dan pengembangan usaha perikanan tangkap di perairan Provinsi Riau 198

219 DAFTAR PUSTAKA Abidin SZ Kebijakan Publik. Yayasan Pancur Siwah. Jakarta. 89 hal. Andarto E dan Sutedjo D Proses Perencanaan Kapal Tuna Long Line, Surabaya. 115 hal. Andrianto L Agenda Makro Revitalisasi Perikanan yang Berkelanjutan. Inovasi, Vol 6/XVII. Jepang. pp: [BAPPEDA] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Riau Riau dalam Angka. Tidak diterbitkan. 450 hal. Charles AT Fisheries conflict : A Unified Framework. Marine Policy. September p Sustainable Fishery Systems. Blackwell Science Ltd. London. 370p Dahuri R., Rais J., Ginting SP., and Sitepu MJ Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Lautan Secara Terpadu (Integrated Coastal and Marine Resource Management). PT. Pradnya Paramita, Jakarta. 90 hal Regenerasi dan Peningkatan Kesejahteraan Nelayan. Harian Kompas, 21 Februari Jakarta. Hal Strategi Pengembangan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Berbasis Ekonomi Kerakyatan. Seminar Nasional Strategi Pengembangan Sumberdaya Perikanan dan Kelautan Berbasis Ekonomi Kerakyatan. hal [DJPT] Direktur Jendral Perikanan Tangkap Statistik Perikanan Tangkap Indonesia Departemen Kelautan dan Perikanan. Direktur Jenderal Perikanan Tangkap. Jakarta. [DJPT] Direktur Jendral Perikanan Tangkap Statistik Perikanan Tangkap Indonesia Departemen Kelautan dan Perikanan. Direktur Jenderal Perikanan Tangkap. Jakarta. [DJPT] Direktur Jendral Perikanan Tangkap Statistik Perikanan Tangkap Indonesia Departemen Kelautan dan Perikanan. Direktur Jenderal Perikanan Tangkap. Jakarta. [DPK] Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Riau Statistik Perikanan Provinsi Riau Tahun Pekanbaru. 70 hal Kebijakan Pembangunan Perikanan dan Kelautan Propinsi Riau. 45 hal. [DPK] Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Bengkalis Statistik Perikanan Kabupaten Bengkalis Tahun Pekanbaru. 70 hal. [DPK] Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Indragiri Hilir Statistik Perikanan Kabupaten Indragiri Hilir Tahun Pekanbaru. 70 hal.

220 [FAO] Food and Agriculture Organization, United Nation Organization Regional Guidelines for Resposible Fisheries in Southeast Asia, Responsible Fishing Operational. Southeast Asian Fisheries Development Center. 12p. Fauzi A dan Anna S Pendekatan Sumberdaya Perikanan dan Kelautan untuk Analisis Kebijakan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 343 hal. Firdaus R Penanganan Konflik Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan antara Nelayan Tradisional dan Nelayan Jaring Bati di Kecamatan Bantan Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau. Thesis. Tidak dipublikasikan. 140 hal. Fisher S, Jawed L, Steve W, Dekha IA, Richard S dan Sue W Mengelola Konflik, Keterampilan dan Strategi untuk Bertindak. The British Council Indonesia. Jakarta.185 hal. Garcia SM, Cochrane K, van Santen G, Christy F Toward Sustainable Fisheries: A Strategy for FAO and the World Bank. Ocean and Coastal Management 42 (1999). pp Ginting SP Konflik Pengelolan Sumberdaya Kelautan di Sulawesi Utara, dapat Menggancam Kelestarian Pemanfaatannya. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama. 185 hal Gorre IRL The Basic of Appropriate Dispute Resolution: A Must Read for Coastal Managers in Tropical Coasts, vol 6 No 2, December 1999.p 3-7 Gulland JA Fish Stock Assesment. Food and Agriculture Organization of United Nations. Rome. 223 p Gunawan I Analisis Konflik Sumber Daya Kelautan (PSP 701). Modul Perkuliahan. Jurusan Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Kelautan IPB. Tidak diterbitkan. 20 hal. Haluan J., dan Nurani TW Penerapan Metode Skoring dalam Pemilihan Teknologi Penangkapan Ikan yang Sesuai untuk Dikembangkan di Suatu Wilayah Perairan. Buletin Jurusan PSP. Vol II No. 1 Fakultas Perikanan dan Kelauatn IPB. Bogor. Hal Hasan SZ S A Situational Analysis Of Conflict In A Fishing Village. (5) : (1974). Hermawan M Keberlanjutan Perikanan Tangkap Skala Kecil (Kasus perikanan pantai di Serang dan Tegal. Sekolah Pasca Sarjana IPB. Disertasi. Tidak diterbitkan. 354 hal. Hettne B Pembangunan Dunia Ketiga. (ed) A. Puspo Kuntjoro, Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 98 hal. Hogwood BW and A Dunn Policy Analysis for The Real World. Oxford University Press. New York. p

221 Irham Pola Pengembangan Keberlanjutan Sumber Daya Ikan Layang (Decapterus spp) di Perairan Maluku Utara. Sekolah Pasca Sarjana IPB. Disertasi. Tidak diterbitkan. 255 hal. Jentoft S Fisheries Co-Management Responsibility to Fishermen s Organization. Marine Policy, April 1989; Johnson G, Scholes K and Sexty RM Exploring Strategic Management. Ontario: Prentice-Hall, Inc. 326 p. Jusuf N Analisis Kebijakan Pengembangan Perikanan Tangkap dalam Rangka Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir Selatan Gorontalo. Sekolah Pasca Sarjana IPB. Disertasi. Tidak diterbitkan.257 hal Kang JS Analysis on the Development Trends of Capture Fisheries in North-East Asia and the Policy and Management Implication for Regional Co-operation. Ocean and Coastal Management. 49(2006) 42:67. Kadariah Evaluasi Proyek: Analisa Ekonomis. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta. 184 hal. Kesteven GL Manual of Fisheries Science. Part I. An Introduction to Fisheries Science. FAO Fisheries Technical Paper. No Rome. 43 hal. Kjoersgaard J and Andersen JL Multiobjective Management in Fisheries :The Case of the Danish Industrial Fisheries in North Sea. Danish Research Institute of Food Economics, North Sea. pp 57. King M Fisheries Biology, Assessment and Management. Fishing News Books Ltd. Oxford. pp 341. King M and Mc Ilgorm A Fisheries Biology and Management of Pacific Island Student. International Development Programm of Australian Universities Colleges. 67p. Kinnear TC and Taylor JR Marketing Research an Applied Approach. Second edition. Mc Graw Hill Book. 103 hal. Kotler P Manajemen Pemasaran, Analisis, Perencanaan, Implementasi dan Pengendalian (terjemahan). Salemba Empat. Jakarta. 274 hal. Kusnadi Konflik Sosial Nelayan, Kemiskinan dan Perebutan Sumberdaya Perikanan. LKIS. Yogyakarta. 190 hal. Lasut MT dan Kumurur VA Konseksuensi Tekanan Antropogenik pada Wilayah Pesisir: Konflik Kepentingan. Jurnal Ekoton 1 (2), halaman Lee SM., Moore LJ and Taylor BW Management Science. Allyn and Bacon, Needham Heights. 910 p. Mangkusubroto K., dan Trisnadi CL Analisa Keputusan. Pendekatan system dalam Manajemen Usaha dan Proyek. Ganeca Exact. Bandung. 123 hal. 201

222 Muamaya G Penelaahan Perikanan Pukat Cincin dan Status Keberlanjutan di Daerah Kota Manado menggunakan Pemodelan Umpan Balik Sistematis. Sekolah Pasca Sarjana IPB. Disertasi. Tidak dipublikasikan. 179 hal. Musselman AV and John HJ Pengantar Ekonomi Perusahaan. Jilid 1. Erlangga. Jakarta. 157 hal. Mathew S Fishing legislation and gear conflict in Asian countries, a case study of selected Asia countries. Samudera Monograph number 1. International Collective in Support of Fishworker, Brussel.109p Mc Goodwin J Crisis in the World Fisheries: People Problems and Policies. Econ. Vol 7. Mc Kean MA Success on commons: a comparative examination of institutions for common property resource management. Journal of Theoretical Politics, 4(3): Mc Kinney JC Constructive Typology and Social Theory. USA. Meredith Publishing Company. 187 hal. Monintja DR Beberapa Teknologi Pilihan untuk Pemanfaatan Hayati Laut di Indonesia. Bulletin Jurusan PSP Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor, 1 (1) : Monintja DR Penyusunan dan Evaluasi Usulan Proyek dalam Bidang Penangkapan Ikan. Bahan Pelatihan Investasi Agribisnis (Bidang Penangkapan Ikan). Bank BNI. LPSDM IPB. Bogor. 34 hal Pemanfaatan Pesisir dan Laut Untuk Kegiatan Perikanan Tangkap. Bahan Pelatihan Untuk Pelatih Dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu. Gelombang II. PKSPL IPB. Bogor November Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir dalam Bidang Perikanan Tangkap. Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 156 hal Makalah Seminar Strategi Pengembangan Perikanan Tangkap di Kabupaten Kupang, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. 10 hal. Moore Governing the Commons : The Evolution of Institutions for Collective Action. Cambrigde University Press, New York. 100 hal. Muslich M Metode Kuantitatif. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Jakarta. 445 hal. Nikijuluw VPH Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. P3R dan PT. Pustaka Cidesindo. Jak-sel. 254 hal. Novaczek I, Harkes H, Ingvild T, Sopacua J and Tauhey DDM An Institutional Analysis of Sasi Laut in Maluku, Indonesia. ICLARM-The World Fish Center. Penang. Malaysia. 30 hal. 202

223 Obserschall A Social Conflict and Social Movement. New Jersey: Prentice- Hall Inc. 187 hal. Pascoe S and Mardle S Optimal Fleet Size in the English Chanel : A Multi Objective Programming Approach. European Review of Agricultural Economics, 28 (2) : PKSPL FAPERIKA UNRI Studi Penentuan Jumlah Tangkapan yang Dibolehkan. Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir Laut Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau. Tidak diterbitkan. 158 hal. Purwaka T H Bunga Rampai Analisis Pengembangan Kapasitas Kelembagaan Kelautan dan Perikanan. Disiapkan untuk bahan kuliah Pasca Sarjana IPB. Jakarta. Tidak diterbitkan Model Analisis Pengembangan Kapasitas. Fakultas Hukum Unika Atmajaya. Jakarta. 143 hal. Ramirez R A Conceptual Map of Land Conflict Management Organizaing the Parts of Two Puzzles. Sustainable Development Department FAO. Saefuddin AM dan Hanafiah AV Tata Niaga Hasil Perikanan. UI Press. Jakarta. 93 hal. Santoso S Statistik Deskriptif. Ardana Media. Yogyakarta. 110 hal. Sari TEYS, Wisudo SH, Monintja DR, Purwaka TH Konflik Perikanan Tangkap di Perairan Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau. Jurnal Teknologi dan Manajemen Perikanan Tangkap Vol XIX No 1 April Satria A., Umbari A., Fauzi A., Purbayanto A., Sutarto E., Muchsin I., Muflikhati I., Karim M., Saad S., Oktariza W., Imran Z Acuan singkat. Menuju Desentralisasi Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Pusat Kajian Agraria IPB. PT. Pustaka Cidesindo. Jakarta. 96 hal. Satria A Konflik Nelayan dan Pengkavlingan Laut. Koran Tempo, 16 Februari Ekologi Politik Nelayan. LkiS. Yogyakarta. 410 hal. Schaefer M Some Consideration of Population Dynamics and Economics in Relation to the Management of the Commercial Marine Fisheries. Journal of Fisheries Research Board of Canada, 14 (5) : Smith IR Peningkatan Pendapatan Perikanan pada Sumberdaya yang Lebih Tangkap. Ekonomi Perikanan oleh Marahuddin dan Smith. Ekonomi Perikanan. Yayasan Obor Indonesia dan Gramedia, Jakarta. 100 hal. Soekarsono NA Pengantar Bangunan Kapal dan Ilmu Kemaritiman. PT Pamator Pressindo. Jakarta. 380 hal. Suara Pembaharuan, Rabu, 28 April 2004, Nelayan Bantan, yang Peduli Kelestarian Justru jadi Korban. 203

224 Sutisna DH Model Pengembangan Perikanan Tangkap di Pantai Selatan Provinsi Jawa Barat. Sekolah Pasca Sarjana IPB. Disertasi. Tidak diterbitkan. 144 hal. Tampubolon GH dan Sutedjo D Laporan Survey Analisa Penangkapan Sumberdaya Perikanan di Perairan Selat Malaka. Direktorat Jenderal Perikanan. Balai Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Semarang. 33 hal. Tara D Strategi Membangun Ekonomi Rakyat. Masa Sulit Pasti Berlalu. Jakarta. Nuansa Madani. 60 hal. Wahyono A., Patji AR., Laksono DS., Indrawasih R., Sudiyono dan Ali S Hak Ulayat Laut di Kawasan Timur Indonesia. Media Peressindo, Yogyakarta. Widodo J., Aziz KA., Priyono BE., Tampubolon GH., Naamin N., Djamali, A Potensi dan Penyebaran Sumber Daya Ikan Laut di Perairan Indonesia. Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumber Daya Ikan Laut Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta. 251 hal. 204

225 Lampiran 1 Gambar alat tangkap jaring insang (Gillnet) Lampiran 2 Gambar alat tangkap jaring kurau (Bottom drift gill net) Gambar oleh Irwandi Sofyan Lampiran 3 Gambar alat tangkap jaring udang (Shrimp net ) Gambar oleh Irwandi Sofyan Lampiran 4 Gambar alat tangkap rawai tetap (Set long line) Gambar oleh Irwandi Sofyan 205

226 Lampiran 2 Gambar alat tangkap rawai (longline) 206

227 Lampiran 3 Gambar alat tangkap jaring udang (trammel net) 207

228 Lampiran 4 Gambar alat tangkap jaring kurau (bottom drift gillnet) JARING BATU 208

229 Lampiran 5 Hasil analisis usaha alat tangkap jaring insang No. Jaring Insang Unit Biaya I Modal Awal (MA) 1 Jaring insang Perahu motor Mesin motor Mesin (hauler) Jumlah II Biaya (TC) A Biaya Tetap (FC) 1 Penyusutan jaring insang 0, Penyusutan perahu motor 0, Penyusutan mesin motor 0, Penyusutan mesin (hauler) 0, Perawatan jaring insang Perawatan perahu motor Perawatan mesin Jumlah B Biaya Tidak Tetap (VC) 1. BBM Oli Es Ransum Upah/gaji nelayan Jumlah Total Cost (TC) = FC + VC III Investasi (MA + TC)

230 Lampiran 5 (lanjutan) IV Penghasilan 1 Penghasilan Kotor (GI) = Prod x Harga Penghasilan Bersih (NI) = GI TC V Benefit Cost Ratio (BCR) = GI/TC 2,02 VI Financial Rate Return (FRR) = NI/I x 100 % 42 VII Payback Period of Capital (PPC) = I/NI x 1 th 2,36 210

231 Lampiran 6 Hasil analisis usaha alat tangkap jaring kurau No. Jaring Kurau Unit Biaya I Modal Awal (MA) 1 Jaring kurau 100 piece Kapal motor Mesin kapal Mesin (hauler) Jumlah II Biaya (TC) A Biaya Tetap (FC) 1 Penyusutan jaring kurau 0, Penyusutan kapal motor 0, Penyusutan mesin kapal 0, Penyusutan mesin (hauler) 0, Perawatan jaring kurau Perawatan kapal motor Perawatan mesin Jumlah B Biaya Tidak Tetap (VC) 1 BBM Oli Es Ransum Upah/gaji nelayan Jumlah Total Cost (TC) = FC + VC

232 Lampiran 6 (lanjutan) III Investasi (MA + TC) IV Penghasilan 1 Penghasilan Kotor (GI) = Prod x Harga Penghasilan Bersih (NI) = GI TC V Benefit Cost Ratio (BCR) = GI/TC 2,49 VI Financial Rate Return (FRR) = NI/I x 100 % 60 VII Payback Period of Capital (PPC) = I/NI x 1 th 1,66 212

233 Lampiran 7 Hasil analisis usaha alat tangkap jaring udang No. Jaring Udang Unit Biaya I Modal Awal (MA) 1 Jaring 10 piece Perahu motor Mesin Jumlah II Biaya (TC) A Biaya Tetap (FC) 1 Penyusutan jaring 0, Penyusutan perahu 0, Penyusutan mesin 0, Perawatan jaring Perawatan perahu motor Perawatan mesin Jumlah B Biaya Tidak Tetap (VC) 1 BBM Oli Es Ransum Upah/gaji nelayan Jumlah Total Cost (TC) = FC + VC III Investasi (MA + TC)

234 Lampiran 7 (lanjutan) IV Penghasilan 1 Penghasilan Kotor (GI) = Prod x Harga Penghasilan Bersih (NI) = GI TC V Benefit Cost Ratio (BCR) = GI/TC 1,47 VI Financial Rate Return (FRR) = NI/I x 100 % 30 VII Payback Period of Capital (PPC) = I/NI x 1 th 3,38 214

235 Lampiran 8 Hasil analisis usaha alat tangkap rawai No Rawai Unit Biaya I Modal Awal (MA) 1. Rawai 20 basket Perahu motor Mesin Jumlah II Biaya (TC) A Biaya Tetap (FC) 1 Penyusutan rawai 0, Penyusutan perahu motor 0, Penyusutan mesin 0, Perawatan rawai Perawatan perahu motor Perawatan mesin Jumlah B Biaya Tidak Tetap (VC) 1 BBM Oli Es Ransum Upah/gaji nelayan Jumlah Total Cost (TC) = FC + VC III Investasi (MA + TC)

236 Lampiran 8 (lanjutan) IV Penghasilan 1 Penghasilan Kotor (GI) = Prod x Harga Penghasilan Bersih (NI) = GI TC V Benefit Cost Ratio (BCR) = GI/TC 1,68 VI Financial Rate Return (FRR) = NI/I x 100 % 46 VII Payback Period of Capital (PPC) = I/NI x 1 th 2,20 216

237 Lampiran 9 Hasil pengoperasian LINDO untuk perairan Kabupaten Bengkalis 217

238 Lampiran 10 Hasil pengoperasian LINDO untuk perairan Kabupaten Indragiri Hilir 218

239 Lampiran 11 LEMBARAN KESEPAKATAN Demi keberlanjutan keberadaan Ikan Kurau di Perairan dari Tanjung Jati hingga Tanjung Sekodi Pulau Bengkalis, maka kami masyarakat nelayan dengan penuh kesadaran bersedia mematuhi kesepakatan sebagai berikut: 1 Bersedia melindungi/membela/menjaga kawasan perairan berserta isinya, dengan batas wilayah; sepanjang garis pantai dari Tanjung Jati hingga Tangung Sekodi (pulau Bengkalis) ditarik garis hayal kearah utara sampai mencapai batas laut internasional bagian dalam di Selat Malaka. 2 Menangkap ikan dikawasan tersebut (No 1) hanya mengunakan alat tangkap selain jaring batu. 3 Mempersilakan nelayan dari kawasan lain untuk menangkap ikan di kawasan tersebut dengan tetap mematuhi aturan (No 2). 4 Apabila terdapat nelayan melanggar aturan (No 2), maka nelayan yang berada pada kawasan tersebut (No 1) berhak dan wajib menyita alat tangkap tersebut dan memusnahkannya dipantai. 5 Tidak dibenarkan melakukan tindakan kekerasan, kecuali terjadi perlawanan dari pihak pelanggar dan bisa dibuktikan dengan saksi-saksi. 6 Mengabarkan kesepakatan ini kepada seluruh nelayan yang dijumpai. 7 Berkerjasama dengan pemerintah untuk menyukseskan pembangunan di bidang perikanan asal tidak melanggar Surat Kesepakatan ini. 8 Akan membuat kesepakatan baru jika ditemukan alat tangkap lain yang diperkirakan mengancam kawasan tersebut (No 1). 9 Berlaku sejak tanggal penandatanganan ini. 10 Habis Nelayan Desa Teluk Pambang Kecamatan Bantan-Kabupaten Bengkalis 11 Juli 1999 Yang bersepakat Nelayan Desa: Selat Baru, Bantan Air, Muntai, Teluk Pambang, Jangkang, Teluk Lancar, Kembung Luar Sumber: Arsip SNKB 219

240 Lampiran 12 Hasil Kesepakatan Nelayan Bantan dan Jaring Kurau 220

241 221

242 Lampiran 13 Pernyataan Sikap Nelayan Kecamatan Bantan Mengingat, memperhatikan dan mempertimbangkan bahwa: 1 Laut dan sumberdaya perikanan yang terkandung dalamnya, merupakan anugerah Allah SWT yang patut disyukuri keberadaannya. Sumberdaya perikanan tersebut dikaruniakan Allah SWT untuk dimanfaatkan dan dikelola serta dipelihara kelestariannya untuk kesinambungan hidup manusia. 2 Bagi masyarakat nelayan Kecamatan Bantan Kabupaten Bengkalis, kekayaan sumberdaya perikanan di perairan Kabupaten Bengkalis, khususnya perairan yang menghadap ke Selat Malaka mulai dari Tanjung Jati sampai Tanjung Sekodi perairan utara Pulau Bengkalis ke arah laut adalah merupakan wilayah tangkap nelayan tradisional. 3 Kekayaan sumberdaya perikanan di wilayah tersebut diatas, merupakan Jaminan Sosial yang menjadi penopang keberlanjutan kehidupan nelayan Kecamatan Bantan secara antar generasi. 4 Untuk menjamin kelestarian kekayaan sumberdaya perikanan di kawasan ini nelayan Kecamatan Bantan secara antar generasi (turun-temurun) telah melakukan pengelolaan sumberdaya perikanan secara arif dengan tetap mengunakan alat tangkap tradisional dan melakukan upacara ritual Sema Laut. 5 Nelayan Kecamatan Bantan sepakat untuk tidak mengunakan alat tangkap yang dapat maupun berpotensi merusak, menguras dan mengancam kelestarian sumberdaya perikanan dan melarang alat tangkap apapun yang dapat dan berpotensi merusak, menguras dan mengancam kelestarian sumberdaya perikanan di perairan Kabupaten Bengkalis, khususnya di wilayah tangkap nelayan tradisional Kecamatan Bantan yaitu perairan yang menghadap ke Selat Malaka mulai dari Tanjung Jati sampai Tanjung Sekodi perairan utara Pulau Bengkalis ke arah laut. 6 Konflik nelayan tradisional di Kecamatan Bantan telah berlangsung lama sejak tahun 1980-an dan telah mengakibatkan penderitaan panjang bagi nelayan, oleh sebab itu nelayan tradisional Kecamatan Bantan akan melakukan upaya-upaya penyelesaian demi berakhirnya konflik tersebut. Dengan alasan dan pertimbangan diatas, maka dengan ini kami Nelayan Kecamatan Bantan Kabupaten Bengkalis menyatakan sikap terhadap kondisi, situasi yang berkembang saat ini dan menyatakan sikap terhadap adanya upaya untuk menekan atau menyingkirkan nelayan tradisional serta kebijakan yang dapat dan atau berpotensi menguras sumberdaya perikanan di perairan Kabupaten Bengkalis, khususnya di perairan Kecamatan Bantan, sebagai berikut: 1 Melarang/menolak dengan tegas beroperasinya atau diizinkannya Jaring Kurau/Batu di perairan Kabupaten Bengkalis, khususnya di perairan sebelah utara Pulau Bengkalis mulai Tanjung Jati sampai Tanjung Sekodi sejauh 12 mil 222

243 ke arah laut. Dan melarang alat tangkap lain yang juga berpotensi merusak dan mengancam kelestarian sumberdaya perikanan. 2 Menolak kebijakan Dinas Perikanan Propinsi Riau dalam memberikan izin beroperasinya jaring kurau/batu diperairan Kabupaten Bengkalis. 3 Menolak pembagian wilayah tangkapan 0-6 mil untuk nelayan tradisional mengingat wilayah tangkap nelayan tradisional Kecamatan Bantan karena karakteristik perairan Kabupaten Bengkalis yang landai. 4 Menolak pemberlakukan Kepmentan No. 392 tahun 1999 tentang zona tangkap di wilayah perairan Kabupaten Bengkalis khususnya dan perairan Propinsi Riau umumnya, dengan alasan: 1) Kepmentan 392 tahun 1999 ini, tidak sesuai dengan kondisi dan karakteristik perairan yang landai seperti umumnya perairan laut di Propinsi Riau. 2) Tidak sesuai dengan kebiasaan dan wilayah tangkap nelayan tradisional Kabupaten Bengkalis khususnya dan Propinsi Riau umumnya dan menimbulkan potensi konflik bagi nelayan. 3) Serta juga bertentangan dengan Undang-undang No. 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan Peraturan Pemerintah tentang Kewenangan Daerah di Wilayah Laut. 5 Secara hormat, meminta kepada Gurbenur dan DPRD untuk melakukan pengaturan dan mengeluarkan kebijakan yang melarang beroperasinya jaring kurau/batu di wilayah perairan tangkap nelayan tradisional sesuai dengan kewenangan propinsi di wilayah laut (4-12 mil) untuk menghindari konflik berkepanjangan antara nelayan tradisional dan nelayan modern (jaring kurau/batu) di perairan Propinsi Riau, khususnya di perairan Kabupaten Bengkalis. 6 Nelayan Kecamatan Bantan akan tetap melakukan pengawasan terhadap jaring kurau/batu dan alat tangkap perusak lainnya dengan melakukan patroli dan ronda laut untuk mengamankan wilayah tangkap nelayan tradisional dan menjaga sumberdaya perikanan dari ancaman kepunahan. Demikian Pernyataan Sikap ini dibuat dengan sebenar-benarnya dengan harapan dapat menjadi perhatian semua pihak demi terciptanya pengelolaan sumberdaya perikanan yang adil dan lestari. Ttd Nelayan Kecamatan Bantan Kabupaten Bengkalis Sumber: data sekunder arsip SNKB 223

244 Lampiran 14 SK Bupati tentang Pelarangan Jaring Batu 224

245 225

246 226

247 Lampiran 15 Peta pengoperasian jaring batu di perairan Kecamatan Bantan Sumber : Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Bengkalis 227

248 Lampiran 16 Keputusan Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Riau tentang Pengaturan Operasional Jaring Batu 228

249 229

250 Lampiran 17 Peta kawasan konflik di Perairan Kecamatan Bantan E E Sumber : Yayasan Laksana Samudera E E E E E E E E E E 230

251 Lampiran 18 Ikan Kurau (Eleutheronema tetradactylum) 231

252 Lampiran 19 Ikan Malung (Muraenenson cinereus) 232

253 Lampiran 20 Bawal putih (Silver pomfret) 233

254 Lampiran 21 Udang Mantis (Uratos guilla nepa sp) 234

PROSPEK PENGEMBANGAN PERIKANAN TANGKAP DI PERAIRAN PROVINSI RIAU Development Prospect of Capture Fisheries in the Waters of Riau Province

PROSPEK PENGEMBANGAN PERIKANAN TANGKAP DI PERAIRAN PROVINSI RIAU Development Prospect of Capture Fisheries in the Waters of Riau Province PROSPEK PENGEMBANGAN PERIKANAN TANGKAP DI PERAIRAN PROVINSI RIAU Development Prospect of Capture Fisheries in the Waters of Riau Province Oleh: T. Ersti Yulika Sari 1 *, Sugeng Hari Wisudo 2, Daniel R.

Lebih terperinci

ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M

ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

Lebih terperinci

EVALUASI USAHA PERIKANAN TANGKAP DI PROVINSI RIAU. Oleh. T Ersti Yulika Sari ABSTRAK

EVALUASI USAHA PERIKANAN TANGKAP DI PROVINSI RIAU. Oleh. T Ersti Yulika Sari   ABSTRAK EVALUASI USAHA PERIKANAN TANGKAP DI PROVINSI RIAU Oleh T Ersti Yulika Sari Email: nonnysaleh2010@hotmail.com ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui usaha perikanan tangkap yang layak untuk

Lebih terperinci

KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR

KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS Dengan

Lebih terperinci

KAJIAN EKONOMI SUMBERDAYA PERIKANAN DI PERAIRAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS EKA SUPRIANI

KAJIAN EKONOMI SUMBERDAYA PERIKANAN DI PERAIRAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS EKA SUPRIANI KAJIAN EKONOMI SUMBERDAYA PERIKANAN DI PERAIRAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS EKA SUPRIANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ii PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

OPTIMISASI PERIKANAN PURSE SEINE DI PERAIRAN LAUT SIBOLGA PROVINSI SUMATERA UTARA HASAN HARAHAP

OPTIMISASI PERIKANAN PURSE SEINE DI PERAIRAN LAUT SIBOLGA PROVINSI SUMATERA UTARA HASAN HARAHAP OPTIMISASI PERIKANAN PURSE SEINE DI PERAIRAN LAUT SIBOLGA PROVINSI SUMATERA UTARA HASAN HARAHAP SEKOLAH PASCA SARJANA PROGRAM STUDI TEKNOLOGI KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 OPTIMISASI PERIKANAN

Lebih terperinci

7 SISTEM PENGEMBANGAN USAHA PERIKANAN TANGKAP DI PROVINSI RIAU

7 SISTEM PENGEMBANGAN USAHA PERIKANAN TANGKAP DI PROVINSI RIAU 7 SISTEM PENGEMBANGAN USAHA PERIKANAN TANGKAP DI PROVINSI RIAU 7.1 Komponen yang Berperan dan Keterkaitannya dalam Pengembangan Usaha Perikanan Tangkap Langkah akhir setelah melakukan kajian terhadap tiga

Lebih terperinci

KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR

KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS Dengan

Lebih terperinci

KAJIAN PENGELOLAAN HASIL TANGKAPAN SAMPINGAN PUKAT UDANG: STUDI KASUS DI LAUT ARAFURA PROVINSI PAPUA AZMAR MARPAUNG

KAJIAN PENGELOLAAN HASIL TANGKAPAN SAMPINGAN PUKAT UDANG: STUDI KASUS DI LAUT ARAFURA PROVINSI PAPUA AZMAR MARPAUNG KAJIAN PENGELOLAAN HASIL TANGKAPAN SAMPINGAN PUKAT UDANG: STUDI KASUS DI LAUT ARAFURA PROVINSI PAPUA AZMAR MARPAUNG SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 KAJIAN PENGELOLAAN HASIL TANGKAPAN

Lebih terperinci

TEKNOLOGI PENANGKAPAN PILIHAN UNTUK IKAN CAKALANG DI PERAIRAN SELAYAR PROPINSI SULAWESI SELATAN

TEKNOLOGI PENANGKAPAN PILIHAN UNTUK IKAN CAKALANG DI PERAIRAN SELAYAR PROPINSI SULAWESI SELATAN TEKNOLOGI PENANGKAPAN PILIHAN UNTUK IKAN CAKALANG DI PERAIRAN SELAYAR PROPINSI SULAWESI SELATAN ANDI HERYANTI RUKKA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR B O G O R 2 0 0 6 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

MODEL BIONOMI PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN BAWAL PUTIH DI PERAIRAN PANGANDARAN JAWA BARAT

MODEL BIONOMI PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN BAWAL PUTIH DI PERAIRAN PANGANDARAN JAWA BARAT MODEL BIONOMI PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN BAWAL PUTIH DI PERAIRAN PANGANDARAN JAWA BARAT JEANNY FRANSISCA SIMBOLON SKRIPSI PROGRAM STUDI PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

Lebih terperinci

ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS

ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS SYARIF IWAN TARUNA ALKADRIE SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya ikan merupakan salah satu jenis sumberdaya alam yang

PENDAHULUAN. Sumberdaya ikan merupakan salah satu jenis sumberdaya alam yang PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya ikan merupakan salah satu jenis sumberdaya alam yang bersifat terbarukan (renewable). Disamping itu sifat open access atau common property yang artinya pemanfaatan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laut dan sumberdaya alam yang dikandungnya dipahami secara luas sebagai suatu sistem yang memberikan nilai guna bagi kehidupan manusia. Sebagai sumber kehidupan, potensi

Lebih terperinci

3 METODOLOGI UMUM. Kabupaten Bengkalis. Kabupaten Indragiri Hilir

3 METODOLOGI UMUM. Kabupaten Bengkalis. Kabupaten Indragiri Hilir 3 METODOLOGI UMUM 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di perairan Provinsi Riau pada 2 (dua) kabupaten yang memiliki potensi perikanan tangkap untuk dikembangkan, yaitu Kabupaten

Lebih terperinci

KEBERADAAN FASILITAS KEPELABUHANAN DALAM MENUNJANG AKTIVITAS PANGKALAN PENDARATAN IKAN TANJUNGSARI, KABUPATEN PEMALANG, JAWA TENGAH NOVIANTI SKRIPSI

KEBERADAAN FASILITAS KEPELABUHANAN DALAM MENUNJANG AKTIVITAS PANGKALAN PENDARATAN IKAN TANJUNGSARI, KABUPATEN PEMALANG, JAWA TENGAH NOVIANTI SKRIPSI KEBERADAAN FASILITAS KEPELABUHANAN DALAM MENUNJANG AKTIVITAS PANGKALAN PENDARATAN IKAN TANJUNGSARI, KABUPATEN PEMALANG, JAWA TENGAH NOVIANTI SKRIPSI DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Perikanan tangkap merupakan salah satu kegiatan ekonomi yang sangat penting di Kabupaten Nias dan kontribusinya cukup besar bagi produksi perikanan dan kelautan secara

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 2 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Provinsi Kepulauan Bangka Belitung merupakan daerah kepulauan dengan luas wilayah perairan mencapai 4 (empat) kali dari seluruh luas wilayah daratan Provinsi Kepulauan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi perikanan Indonesia diestimasi sekitar 6,4 juta ton per tahun, dengan tingkat pemanfaatan pada tahun 2005 telah mencapai 4,408 juta ton, dan tahun 2006 tercatat

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor kelautan dan perikanan merupakan salah satu pilihan yang strategis untuk dikembangkan, terutama di Kawasan Timur Indonesia (KTI) karena memiliki potensi yang sangat

Lebih terperinci

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRACT

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 20 1.1 Latar Belakang Pembangunan kelautan dan perikanan saat ini menjadi salah satu prioritas pembangunan nasional yang diharapkan menjadi sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dengan mempertimbangkan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Aceh Besar merupakan salah satu kabupaten di Pemerintah Aceh yang memiliki potensi sumberdaya ikan. Jumlah sumberdaya ikan diperkirakan sebesar 11.131 ton terdiri

Lebih terperinci

ANALISIS KEBIJAKAN PENGEMBANGAN ARMADA PENANGKAPAN IKAN BERBASIS KETENTUAN PERIKANAN YANG BERTANGGUNG JAWAB DI TERNATE, MALUKU UTARA.

ANALISIS KEBIJAKAN PENGEMBANGAN ARMADA PENANGKAPAN IKAN BERBASIS KETENTUAN PERIKANAN YANG BERTANGGUNG JAWAB DI TERNATE, MALUKU UTARA. ANALISIS KEBIJAKAN PENGEMBANGAN ARMADA PENANGKAPAN IKAN BERBASIS KETENTUAN PERIKANAN YANG BERTANGGUNG JAWAB DI TERNATE, MALUKU UTARA Oleh : YULISTYO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 SURAT

Lebih terperinci

Status Perikanan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (WPP RI 571) Laut Andaman dan Selat Malaka 1

Status Perikanan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (WPP RI 571) Laut Andaman dan Selat Malaka 1 Status Perikanan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (WPP RI 571) Laut Andaman dan Selat Malaka 1 Oleh: Yudi Wahyudin 2 Abstrak Wilayah Pengelolaan Perikanan Repubik Indonesia (WPP RI)

Lebih terperinci

FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH PADA KEMANDIRIAN NELAYAN IKAN DEMERSAL DI KECAMATAN WANGI-WANGI SELATAN KABUPATEN WAKATOBI SULAWESI TENGGARA

FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH PADA KEMANDIRIAN NELAYAN IKAN DEMERSAL DI KECAMATAN WANGI-WANGI SELATAN KABUPATEN WAKATOBI SULAWESI TENGGARA FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH PADA KEMANDIRIAN NELAYAN IKAN DEMERSAL DI KECAMATAN WANGI-WANGI SELATAN KABUPATEN WAKATOBI SULAWESI TENGGARA M A R D I N PROGRAM STUDI ILMU PENYULUHAN PEMBANGUNAN SEKOLAH

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan sub-sektor perikanan tangkap merupakan bagian integral dari pembangunan kelautan dan perikanan yang bertujuan untuk : (1) meningkatkan kesejahteraan masyarakat

Lebih terperinci

Volume 5, Nomor 2, Desember 2014 Indonesian Journal of Agricultural Economics (IJAE) ANALISIS POTENSI LESTARI PERIKANAN TANGKAP DI KOTA DUMAI

Volume 5, Nomor 2, Desember 2014 Indonesian Journal of Agricultural Economics (IJAE) ANALISIS POTENSI LESTARI PERIKANAN TANGKAP DI KOTA DUMAI Volume 5, Nomor 2, Desember 2014 ISSN 2087-409X Indonesian Journal of Agricultural Economics (IJAE) ANALISIS POTENSI LESTARI PERIKANAN TANGKAP DI KOTA DUMAI Hazmi Arief*, Novia Dewi**, Jumatri Yusri**

Lebih terperinci

VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP. Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan

VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP. Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali didasarkan atas kelompok ikan Pelagis Kecil, Pelagis Besar, Demersal

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Berdasarkan data PBB pada tahun 2008, Indonesia memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 95.181 km, serta

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perikanan sebagai salah satu sektor unggulan dalam pembangunan nasional mempunyai peranan penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi di masa mendatang, serta mempunyai

Lebih terperinci

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M.

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. MUNTADHAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang.

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. Kajian tentang konsep kapasitas penangkapan ikan berikut metoda pengukurannya sudah menjadi isu penting pada upaya pengelolaan perikanan yang berkelanjutan. The Code of

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan

I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan industri bioteknologi kelautan merupakan asset yang sangat besar bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia,

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi yang terjadi di beberapa negara, telah mendorong meningkatnya permintaan komoditas perikanan dari waktu ke waktu. Meningkatnya

Lebih terperinci

PENINGKATAN PENGELOLAAN PANGKALAN PENDARATAN IKAN PANGANDARAN DAN WISATA PANTAI DALAM MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN NELAYAN DEDE HERMAWAN

PENINGKATAN PENGELOLAAN PANGKALAN PENDARATAN IKAN PANGANDARAN DAN WISATA PANTAI DALAM MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN NELAYAN DEDE HERMAWAN PENINGKATAN PENGELOLAAN PANGKALAN PENDARATAN IKAN PANGANDARAN DAN WISATA PANTAI DALAM MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN NELAYAN DEDE HERMAWAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dan kebutuhan akan bahan pangan dan gizi yang lebih baik, permintaan ikan terus meningkat dari tahun ke tahun. Permintaan ikan

Lebih terperinci

STRATEGI MENSINERGIKAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DENGAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH

STRATEGI MENSINERGIKAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DENGAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH STRATEGI MENSINERGIKAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DENGAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH (Kasus Program Community Development Perusahaan Star Energy di Kabupaten Natuna dan Kabupaten Anambas) AKMARUZZAMAN

Lebih terperinci

KAJIAN EKOPNOMI DAN EKOLOGI PEMANFAATAN EKOSISTEM MANGROVE PESISIR TONGKE-TONGKE KABUPATEN SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN RUSDIANAH

KAJIAN EKOPNOMI DAN EKOLOGI PEMANFAATAN EKOSISTEM MANGROVE PESISIR TONGKE-TONGKE KABUPATEN SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN RUSDIANAH KAJIAN EKOPNOMI DAN EKOLOGI PEMANFAATAN EKOSISTEM MANGROVE PESISIR TONGKE-TONGKE KABUPATEN SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN RUSDIANAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN

Lebih terperinci

ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN

ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN WULANING DIYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

PELUANG EKSPOR TUNA SEGAR DARI PPI PUGER (TINJAUAN ASPEK KUALITAS DAN AKSESIBILITAS PASAR) AGUSTIN ROSS SKRIPSI

PELUANG EKSPOR TUNA SEGAR DARI PPI PUGER (TINJAUAN ASPEK KUALITAS DAN AKSESIBILITAS PASAR) AGUSTIN ROSS SKRIPSI PELUANG EKSPOR TUNA SEGAR DARI PPI PUGER (TINJAUAN ASPEK KUALITAS DAN AKSESIBILITAS PASAR) AGUSTIN ROSS SKRIPSI DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

ALOKASI PENGGUNAAN INPUT DAN ANALISIS FINANSIAL PADA USAHA PEMBESARAN IKAN GUPPY DI DESA PARIGI MEKAR, KECAMATAN CISEENG KABUPATEN BOGOR, JAWA BARAT

ALOKASI PENGGUNAAN INPUT DAN ANALISIS FINANSIAL PADA USAHA PEMBESARAN IKAN GUPPY DI DESA PARIGI MEKAR, KECAMATAN CISEENG KABUPATEN BOGOR, JAWA BARAT ALOKASI PENGGUNAAN INPUT DAN ANALISIS FINANSIAL PADA USAHA PEMBESARAN IKAN GUPPY DI DESA PARIGI MEKAR, KECAMATAN CISEENG KABUPATEN BOGOR, JAWA BARAT FANJIYAH WULAN ANGRAINI SKRIPSI PROGRAM STUDI MANAJEMEN

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Pelaksanaan Strategi

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Pelaksanaan Strategi 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Pelaksanaan Strategi Strategi adalah istilah yang sering kita dengar untuk berbagai konteks pembicaraan, yang sering diartikan sebagai cara untuk mencapai keinginan tertentu

Lebih terperinci

ANALISIS PEREKONOMIAN PROVINSI MALUKU UTARA: PENDEKATAN MULTISEKTORAL MUHAMMAD ZAIS M. SAMIUN

ANALISIS PEREKONOMIAN PROVINSI MALUKU UTARA: PENDEKATAN MULTISEKTORAL MUHAMMAD ZAIS M. SAMIUN ANALISIS PEREKONOMIAN PROVINSI MALUKU UTARA: PENDEKATAN MULTISEKTORAL MUHAMMAD ZAIS M. SAMIUN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 ii ABSTRACT MUHAMMAD ZAIS M. SAMIUN. Analysis of Northern

Lebih terperinci

PERANAN KELEMBAGAAN DAN TINDAKAN KOMUNIKASI DALAM PENYELESAIAN KONFLIK DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON ETIK SULISTIOWATI NINGSIH

PERANAN KELEMBAGAAN DAN TINDAKAN KOMUNIKASI DALAM PENYELESAIAN KONFLIK DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON ETIK SULISTIOWATI NINGSIH PERANAN KELEMBAGAAN DAN TINDAKAN KOMUNIKASI DALAM PENYELESAIAN KONFLIK DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON ETIK SULISTIOWATI NINGSIH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengelolaan perikanan di Indonesia secara umum bersifat terbuka (open access), sehingga nelayan dapat dengan leluasa melakukan kegiatan penangkapan di wilayah tertentu

Lebih terperinci

ANALISIS DAMPAK PENAMBANGAN PASIR LAUT TERHADAP PERIKANAN RAJUNGAN DI KECAMATAN TIRTAYASA KABUPATEN SERANG DJUMADI PARLUHUTAN P.

ANALISIS DAMPAK PENAMBANGAN PASIR LAUT TERHADAP PERIKANAN RAJUNGAN DI KECAMATAN TIRTAYASA KABUPATEN SERANG DJUMADI PARLUHUTAN P. ANALISIS DAMPAK PENAMBANGAN PASIR LAUT TERHADAP PERIKANAN RAJUNGAN DI KECAMATAN TIRTAYASA KABUPATEN SERANG DJUMADI PARLUHUTAN P. SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peranan subsektor perikanan tangkap semakin penting dalam perekonomian nasional. Berdasarkan data BPS, kontribusi sektor perikanan dalam PDB kelompok pertanian tahun

Lebih terperinci

ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY

ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia telah melakukan kegiatan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sejak jaman prasejarah. Sumberdaya perikanan terutama yang ada di laut merupakan

Lebih terperinci

STUDI PENGELOLAAN KAWASAN PESISIR UNTUK KEGIATAN WISATA PANTAI (KASUS PANTAI TELENG RIA KABUPATEN PACITAN, JAWA TIMUR)

STUDI PENGELOLAAN KAWASAN PESISIR UNTUK KEGIATAN WISATA PANTAI (KASUS PANTAI TELENG RIA KABUPATEN PACITAN, JAWA TIMUR) STUDI PENGELOLAAN KAWASAN PESISIR UNTUK KEGIATAN WISATA PANTAI (KASUS PANTAI TELENG RIA KABUPATEN PACITAN, JAWA TIMUR) ANI RAHMAWATI Skripsi DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

STUDI PENGEMBANGAN PERIKANAN TANGKAP DI KABUPATEN NIAS SABAR JAYA TELAUMBANUA

STUDI PENGEMBANGAN PERIKANAN TANGKAP DI KABUPATEN NIAS SABAR JAYA TELAUMBANUA STUDI PENGEMBANGAN PERIKANAN TANGKAP DI KABUPATEN NIAS SABAR JAYA TELAUMBANUA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Perikanan Tangkap

2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Perikanan Tangkap 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perikanan Tangkap Perikanan dapat didefinisikan sebagai semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi,

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA PROGRAM STUDI ILMU PERENCANAAN WILAYAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

PERANCANGAN PROGRAM. 6.5 Visi, Misi dan Tujuan Pembangunan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lampung Barat

PERANCANGAN PROGRAM. 6.5 Visi, Misi dan Tujuan Pembangunan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lampung Barat VII. PERANCANGAN PROGRAM 6.5 Visi, Misi dan Tujuan Pembangunan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lampung Barat Mengacu pada Visi Kabupaten Lampung Barat yaitu Terwujudnya masyarakat Lampung Barat

Lebih terperinci

KARAKTERISASI ALAT PENANGKAP IKAN DEMERSAL DI PERAIRAN PANTAI UTARA JAWA BARAT FIFIANA ALAM SARI SKRIPSI

KARAKTERISASI ALAT PENANGKAP IKAN DEMERSAL DI PERAIRAN PANTAI UTARA JAWA BARAT FIFIANA ALAM SARI SKRIPSI KARAKTERISASI ALAT PENANGKAP IKAN DEMERSAL DI PERAIRAN PANTAI UTARA JAWA BARAT FIFIANA ALAM SARI SKRIPSI DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

PERBANDINGAN HASIL DAN KOMPOSISI TANGKAPAN JARING INSANG PERMUKAAN DAN JARING INSANG DASAR DI PERAIRAN DESA SEI NAGALAWAN SERDANG BEDAGAI

PERBANDINGAN HASIL DAN KOMPOSISI TANGKAPAN JARING INSANG PERMUKAAN DAN JARING INSANG DASAR DI PERAIRAN DESA SEI NAGALAWAN SERDANG BEDAGAI PERBANDINGAN HASIL DAN KOMPOSISI TANGKAPAN JARING INSANG PERMUKAAN DAN JARING INSANG DASAR DI PERAIRAN DESA SEI NAGALAWAN SERDANG BEDAGAI RURI PERWITA SARI 090302004 PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA

Lebih terperinci

FORMULASI STRATEGI KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA MASYARAKAT DI TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI, KABUPATEN KUNINGAN, PROVINSI JAWA BARAT

FORMULASI STRATEGI KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA MASYARAKAT DI TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI, KABUPATEN KUNINGAN, PROVINSI JAWA BARAT FORMULASI STRATEGI KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA MASYARAKAT DI TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI, KABUPATEN KUNINGAN, PROVINSI JAWA BARAT FARMA YUNIANDRA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... vii. DAFTAR LAMPIRAN... viii

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... vii. DAFTAR LAMPIRAN... viii DAFTAR ISI DAFTAR TABEL........ iv DAFTAR GAMBAR........ vii DAFTAR LAMPIRAN........ viii I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang....... 1.2. Perumusan Masalah.......... 1.3. Tujuan dan Kegunaan..... 1.4. Ruang

Lebih terperinci

EFISIENSI TEKNIS UNIT PENANGKAPAN MUROAMI DAN KEMUNGKINAN PENGEMBANGANNYA DI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU

EFISIENSI TEKNIS UNIT PENANGKAPAN MUROAMI DAN KEMUNGKINAN PENGEMBANGANNYA DI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU EFISIENSI TEKNIS UNIT PENANGKAPAN MUROAMI DAN KEMUNGKINAN PENGEMBANGANNYA DI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU PUSPITA SKRIPSI PROGRAM STUDI PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya tersebut diolah dan digunakan sepuasnya. Tidak satupun pihak yang

PENDAHULUAN. Sumberdaya tersebut diolah dan digunakan sepuasnya. Tidak satupun pihak yang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya perikanan laut memiliki sifat spesifik, yakni akses terbuka (open access). Sumberdaya perikanan juga bersifat kepemilikan bersama (common property). Semua individu

Lebih terperinci

FLUKTUASI HASIL TANGKAPAN IKAN PELAGIS DENGAN ALAT TANGKAP JARING INSANG HANYUT (DRIFT GILLNET) DI PERAIRAN DUMAI, PROVINSI RIAU

FLUKTUASI HASIL TANGKAPAN IKAN PELAGIS DENGAN ALAT TANGKAP JARING INSANG HANYUT (DRIFT GILLNET) DI PERAIRAN DUMAI, PROVINSI RIAU FLUKTUASI HASIL TANGKAPAN IKAN PELAGIS DENGAN ALAT TANGKAP JARING INSANG HANYUT (DRIFT GILLNET) DI PERAIRAN DUMAI, PROVINSI RIAU Helisha Damayanti 1), Arthur Brown 2), T. Ersti Yulika Sari 3) Email : helishadamayanti@gmail.com

Lebih terperinci

VIII. PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP YANG BERKELANJUTAN. perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali memperlihatkan jumlah alokasi

VIII. PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP YANG BERKELANJUTAN. perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali memperlihatkan jumlah alokasi VIII. PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP YANG BERKELANJUTAN Hasil analisis LGP sebagai solusi permasalahan pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali memperlihatkan jumlah

Lebih terperinci

SUMBERDAYA UDANG PENAEID DAN PROSPEK PENGEMBANGANNYA DI KABUPATEN SORONG SELATAN PROPINSI IRIAN JAYA BARAT ENDANG GUNAISAH

SUMBERDAYA UDANG PENAEID DAN PROSPEK PENGEMBANGANNYA DI KABUPATEN SORONG SELATAN PROPINSI IRIAN JAYA BARAT ENDANG GUNAISAH SUMBERDAYA UDANG PENAEID DAN PROSPEK PENGEMBANGANNYA DI KABUPATEN SORONG SELATAN PROPINSI IRIAN JAYA BARAT ENDANG GUNAISAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara dengan dua per tiga wilayahnya berupa perairan dan mempunyai potensi sumber daya ikan sekitar 6,4 juta ton/tahun. Dengan besarnya potensi tersebut

Lebih terperinci

STRATEGI PENGELOLAAN PERIKANAN JARING ARAD YANG BERBASIS DI KOTA TEGAL BENI PRAMONO

STRATEGI PENGELOLAAN PERIKANAN JARING ARAD YANG BERBASIS DI KOTA TEGAL BENI PRAMONO STRATEGI PENGELOLAAN PERIKANAN JARING ARAD YANG BERBASIS DI KOTA TEGAL BENI PRAMONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 ABSTRAK BENI PRAMONO. Strategi Pengelolaan Perikanan Jaring

Lebih terperinci

.A lecy. lkan PELAGIS PANTAI Dl TELUK LAMPUNG. STUD1 TENTANG KELlMPAHABil MUSIMAN. FAKULTAS PERIKANAN INSTITUT PERTANiAN BOGOR

.A lecy. lkan PELAGIS PANTAI Dl TELUK LAMPUNG. STUD1 TENTANG KELlMPAHABil MUSIMAN. FAKULTAS PERIKANAN INSTITUT PERTANiAN BOGOR .A lecy STUD1 TENTANG KELlMPAHABil MUSIMAN lkan PELAGIS PANTAI Dl TELUK LAMPUNG S K W I P S I FAKULTAS PERIKANAN INSTITUT PERTANiAN BOGOR 1 9 9 1 RINGKASAN RACHMANS JAH. 199 1. STUD1 TENTANG KELIMPAHAN

Lebih terperinci

.A lecy. lkan PELAGIS PANTAI Dl TELUK LAMPUNG. STUD1 TENTANG KELlMPAHABil MUSIMAN. FAKULTAS PERIKANAN INSTITUT PERTANiAN BOGOR

.A lecy. lkan PELAGIS PANTAI Dl TELUK LAMPUNG. STUD1 TENTANG KELlMPAHABil MUSIMAN. FAKULTAS PERIKANAN INSTITUT PERTANiAN BOGOR .A lecy STUD1 TENTANG KELlMPAHABil MUSIMAN lkan PELAGIS PANTAI Dl TELUK LAMPUNG S K W I P S I FAKULTAS PERIKANAN INSTITUT PERTANiAN BOGOR 1 9 9 1 RINGKASAN RACHMANS JAH. 199 1. STUD1 TENTANG KELIMPAHAN

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan perikanan tangkap pada hakekatnya ditujukan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat khususnya nelayan, sekaligus untuk menjaga kelestarian

Lebih terperinci

EFISIENSI PENGGUNAAN INPUT DAN ANALISIS FINANSIAL PADA USAHA PENDEDERAN IKAN LELE DUMBO DI KECAMATAN CISEENG KABUPATEN BOGOR

EFISIENSI PENGGUNAAN INPUT DAN ANALISIS FINANSIAL PADA USAHA PENDEDERAN IKAN LELE DUMBO DI KECAMATAN CISEENG KABUPATEN BOGOR EFISIENSI PENGGUNAAN INPUT DAN ANALISIS FINANSIAL PADA USAHA PENDEDERAN IKAN LELE DUMBO DI KECAMATAN CISEENG KABUPATEN BOGOR ADY ERIADY WIBAWA SKRIPSI PROGRAM STUDI MANAJEMEN BISNIS DAN EKONOMI PERIKANAN-KELAUTAN

Lebih terperinci

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki wilayah perairan yang luas, yaitu sekitar 3,1 juta km 2 wilayah perairan territorial dan 2,7 juta km 2 wilayah perairan zona ekonomi eksklusif (ZEE)

Lebih terperinci

TINGKAT KEPUASAN KONSUMEN TERHADAP PELAYANAN PRODUK IKAN SEGAR DI PASAR IKAN HIGIENIS EVERFRESH FISH MARKET PEJOMPONGAN, JAKARTA PUSAT

TINGKAT KEPUASAN KONSUMEN TERHADAP PELAYANAN PRODUK IKAN SEGAR DI PASAR IKAN HIGIENIS EVERFRESH FISH MARKET PEJOMPONGAN, JAKARTA PUSAT TINGKAT KEPUASAN KONSUMEN TERHADAP PELAYANAN PRODUK IKAN SEGAR DI PASAR IKAN HIGIENIS EVERFRESH FISH MARKET PEJOMPONGAN, JAKARTA PUSAT NURUL YUNIYANTI PROGRAM STUDI MANAJEMEN BISNIS DAN EKONOMI PERIKANAN

Lebih terperinci

2 penelitian berjudul Pola Pemanfaatan Sumberdaya Udang Dogol (Metapenaeus ensis de Haan) Secara Berkelanjutan di Perairan Cilacap dan Sekitarnya ; Su

2 penelitian berjudul Pola Pemanfaatan Sumberdaya Udang Dogol (Metapenaeus ensis de Haan) Secara Berkelanjutan di Perairan Cilacap dan Sekitarnya ; Su 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai

Lebih terperinci

PENGARUH KECEPATAN ARUS TERHADAP DINAMIKA JARING KEJER PADA PERCOBAAN DI FLUME TANK

PENGARUH KECEPATAN ARUS TERHADAP DINAMIKA JARING KEJER PADA PERCOBAAN DI FLUME TANK PENGARUH KECEPATAN ARUS TERHADAP DINAMIKA JARING KEJER PADA PERCOBAAN DI FLUME TANK SINGGIH PRIHADI AJI SKRIPSI DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

SINERGISITAS PERIKANAN TANGKAP DENGAN PARIWISATA BAHARI DI PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT ADI GUMBARA PUTRA

SINERGISITAS PERIKANAN TANGKAP DENGAN PARIWISATA BAHARI DI PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT ADI GUMBARA PUTRA SINERGISITAS PERIKANAN TANGKAP DENGAN PARIWISATA BAHARI DI PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT ADI GUMBARA PUTRA MAYOR TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN PERIKANAN TANGKAP DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA

Lebih terperinci

PERSEPSI ANGGOTA TERHADAP PERAN KELOMPOK TANI PADA PENERAPAN TEKNOLOGI USAHATANI BELIMBING

PERSEPSI ANGGOTA TERHADAP PERAN KELOMPOK TANI PADA PENERAPAN TEKNOLOGI USAHATANI BELIMBING PERSEPSI ANGGOTA TERHADAP PERAN KELOMPOK TANI PADA PENERAPAN TEKNOLOGI USAHATANI BELIMBING (Kasus Kelompok Tani Kelurahan Pasir Putih, Kecamatan Sawangan, Kota Depok) DIARSI EKA YANI SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

PENGUATAN KELEMBAGAAN TANI IKAN MINA SARI. (Studi Kasus di Desa Tegal Arum Kecamatan Rimbo Bujang Kabupaten Tebo Propinsi Jambi)

PENGUATAN KELEMBAGAAN TANI IKAN MINA SARI. (Studi Kasus di Desa Tegal Arum Kecamatan Rimbo Bujang Kabupaten Tebo Propinsi Jambi) PENGUATAN KELEMBAGAAN TANI IKAN MINA SARI (Studi Kasus di Desa Tegal Arum Kecamatan Rimbo Bujang Kabupaten Tebo Propinsi Jambi) RONALD FRANSISCO MARBUN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

HUBUNGAN KEBIJAKAN PEMERINTAH DENGAN PEMASARAN KERUPUK IKAN HASIL HOME INDUSTRY PENGARUHNYA TERHADAP PENDAPATAN NELAYAN DI KABUPATEN TUBAN

HUBUNGAN KEBIJAKAN PEMERINTAH DENGAN PEMASARAN KERUPUK IKAN HASIL HOME INDUSTRY PENGARUHNYA TERHADAP PENDAPATAN NELAYAN DI KABUPATEN TUBAN HUBUNGAN KEBIJAKAN PEMERINTAH DENGAN PEMASARAN KERUPUK IKAN HASIL HOME INDUSTRY PENGARUHNYA TERHADAP PENDAPATAN NELAYAN DI KABUPATEN TUBAN NONO SAMPONO SEKOLAH PASCASARJANA PROGRAM STUDI TEKNOLOGI KELAUTAN

Lebih terperinci

ANALISIS KEBUTUHAN SARANA PERIKANAN DALAM RANGKA PENGEMBANGAN PERIKANAN TANGKAP BERBASIS KOMODITAS UNGGULAN DI PROPINSI SUMATERA SELATAN

ANALISIS KEBUTUHAN SARANA PERIKANAN DALAM RANGKA PENGEMBANGAN PERIKANAN TANGKAP BERBASIS KOMODITAS UNGGULAN DI PROPINSI SUMATERA SELATAN ANALISIS KEBUTUHAN SARANA PERIKANAN DALAM RANGKA PENGEMBANGAN PERIKANAN TANGKAP BERBASIS KOMODITAS UNGGULAN DI PROPINSI SUMATERA SELATAN Fisheries Infrastructure Needs Analysis in Order to Capture Fisheries

Lebih terperinci

APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO

APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

OPTIMASI PENYEDIAAN BAHAN BAKAR SOLAR UNTUK UNIT PENANGKAPAN IKAN DI PPP SUNGAILIAT, BANGKA

OPTIMASI PENYEDIAAN BAHAN BAKAR SOLAR UNTUK UNIT PENANGKAPAN IKAN DI PPP SUNGAILIAT, BANGKA OPTIMASI PENYEDIAAN BAHAN BAKAR SOLAR UNTUK UNIT PENANGKAPAN IKAN DI PPP SUNGAILIAT, BANGKA DODY SIHONO SKRIPSI DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

ANALISIS PANGSA PASAR DAN TATANIAGA KOPI ARABIKA DI KABUPATEN TANA TORAJA DAN ENREKANG, SULAWESI SELATAN IMA AISYAH SALLATU

ANALISIS PANGSA PASAR DAN TATANIAGA KOPI ARABIKA DI KABUPATEN TANA TORAJA DAN ENREKANG, SULAWESI SELATAN IMA AISYAH SALLATU ANALISIS PANGSA PASAR DAN TATANIAGA KOPI ARABIKA DI KABUPATEN TANA TORAJA DAN ENREKANG, SULAWESI SELATAN IMA AISYAH SALLATU SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 SURAT PERNYATAAN Saya

Lebih terperinci

STABILITAS STATIS KAPAL PAYANG DI PALABUHANRATU PADA SAAT MEMBAWA HASIL TANGKAPAN MAKSIMUM NENI MARTIYANI SKRIPSI

STABILITAS STATIS KAPAL PAYANG DI PALABUHANRATU PADA SAAT MEMBAWA HASIL TANGKAPAN MAKSIMUM NENI MARTIYANI SKRIPSI STABILITAS STATIS KAPAL PAYANG DI PALABUHANRATU PADA SAAT MEMBAWA HASIL TANGKAPAN MAKSIMUM NENI MARTIYANI SKRIPSI DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

PENGUATAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL MASYARAKAT TERHADAP TENAGA KERJA PENYANDANG CACAT TUBUH MELALUI POLA KEMITRAAN LOKAL

PENGUATAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL MASYARAKAT TERHADAP TENAGA KERJA PENYANDANG CACAT TUBUH MELALUI POLA KEMITRAAN LOKAL PENGUATAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL MASYARAKAT TERHADAP TENAGA KERJA PENYANDANG CACAT TUBUH MELALUI POLA KEMITRAAN LOKAL (Studi Kasus di Kelurahan Karadenan Kecamatan Cibinong Kabupaten Bogor) SRI HANDAYANI

Lebih terperinci

PENGARUH JENIS ALAT TANGKAP TERHADAP TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN DI KELURAHAN TEGALSARI DAN MUARAREJA, TEGAL, JAWA TENGAH DINA MAHARDIKHA SKRIPSI

PENGARUH JENIS ALAT TANGKAP TERHADAP TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN DI KELURAHAN TEGALSARI DAN MUARAREJA, TEGAL, JAWA TENGAH DINA MAHARDIKHA SKRIPSI PENGARUH JENIS ALAT TANGKAP TERHADAP TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN DI KELURAHAN TEGALSARI DAN MUARAREJA, TEGAL, JAWA TENGAH DINA MAHARDIKHA SKRIPSI DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS

Lebih terperinci

ANALISIS MANAJEMEN PERSEDIAAN PRODUK IKAN SEGAR PADA HIPERMARKET (KASUS DI GIANT HYPERMARKET, MEGA BEKASI HYPERMALL, KOTA BEKASI)

ANALISIS MANAJEMEN PERSEDIAAN PRODUK IKAN SEGAR PADA HIPERMARKET (KASUS DI GIANT HYPERMARKET, MEGA BEKASI HYPERMALL, KOTA BEKASI) ANALISIS MANAJEMEN PERSEDIAAN PRODUK IKAN SEGAR PADA HIPERMARKET (KASUS DI GIANT HYPERMARKET, MEGA BEKASI HYPERMALL, KOTA BEKASI) A N N I S A SKRIPSI PROGRAM STUDI MANAJEMEN BISNIS DAN EKONOMI PERIKANAN

Lebih terperinci

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Bogor, 10 Februari 2011 Tri Wiji Nurani Editor

KATA PENGANTAR. Bogor, 10 Februari 2011 Tri Wiji Nurani Editor KATA SAMBUTAN Buku ini disarikan dari delapan belas Thesis Mahasiswa Kelas Khusus Halmahera Utara, kerjasama IPB dengan Pemerintah Kabupaten Halmarera Utara. Buku ini berisikan bunga rampai hasil analisis

Lebih terperinci

EFISIENSI WAKTU PENGISIAN PERBEKALAN TERHADAP WAKTU TAMBAT KAPAL PERIKANAN SONDONG DI PANGKALAN PENDARATAN IKAN (PPI) DUMAI PROVINSI RIAU

EFISIENSI WAKTU PENGISIAN PERBEKALAN TERHADAP WAKTU TAMBAT KAPAL PERIKANAN SONDONG DI PANGKALAN PENDARATAN IKAN (PPI) DUMAI PROVINSI RIAU 1 EFISIENSI WAKTU PENGISIAN PERBEKALAN TERHADAP WAKTU TAMBAT KAPAL PERIKANAN SONDONG DI PANGKALAN PENDARATAN IKAN (PPI) DUMAI PROVINSI RIAU Oleh Safrizal 1), Syaifuddin 2), Jonny Zain 2) 1) Student of

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 16 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Halmahera Utara sebagai salah satu kabupaten kepulauan di Provinsi Maluku Utara, memiliki sumberdaya kelautan dan perikanan yang sangat potensial untuk dikembangkan.

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI SISTEM PERIKANAN TERI (STOLEPHORUS SPP) DI DESA SUNGSANG BANYUASIN SUMATERA SELATAN

IDENTIFIKASI SISTEM PERIKANAN TERI (STOLEPHORUS SPP) DI DESA SUNGSANG BANYUASIN SUMATERA SELATAN PG-122 IDENTIFIKASI SISTEM PERIKANAN TERI (STOLEPHORUS SPP) DI DESA SUNGSANG BANYUASIN SUMATERA SELATAN Fauziyah 1,, Khairul Saleh 2, Hadi 3, Freddy Supriyadi 4 1 PS Ilmu Kelautan Universitas Sriwijaya

Lebih terperinci

LAPORAN PENDAMPINGAN RZWP3K PROVINSI RIAU 2018

LAPORAN PENDAMPINGAN RZWP3K PROVINSI RIAU 2018 LAPORAN PENDAMPINGAN RZWP3K PROVINSI RIAU 2018 Rapat Penyelerasan, Penyerasian dan Penyeimbangan antara RZWP3K Provinsi Riau dengan RTRW Provinsi Riau dan Penyepakatan Peta Rencana Alokasi Ruang RZWP3K

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya perikanan di Kabupaten Gorontalo Utara meliputi perikanan tangkap dan perikanan budidaya.

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya perikanan di Kabupaten Gorontalo Utara meliputi perikanan tangkap dan perikanan budidaya. 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya perikanan di Kabupaten Gorontalo Utara meliputi perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Salah satu potensi sumberdaya perikanan yang belum banyak dimanfaatkan

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR ANALISIS PERAN GENDER DALAM PEMANFAATAN SUMBER DAYA PERIKANAN LAUT (STUDI KASUS DI KECAMATAN PANAI HILIR KABUPATEN LABUHANBATU PROPINSI SUMATERA UTARA) MAILINA HARAHAP SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH BUNGA PRAGAWATI Skripsi DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

ALOKASI OPTIMAL PEMANFAATAN DAN NILAI LAND RENT SUMBERDAYA TAMBAK DI KECAMATAN TANAH MERAH KABUPATEN INDRAGIRI HILIR PROVINSI RIAU DWI SUSHANTY

ALOKASI OPTIMAL PEMANFAATAN DAN NILAI LAND RENT SUMBERDAYA TAMBAK DI KECAMATAN TANAH MERAH KABUPATEN INDRAGIRI HILIR PROVINSI RIAU DWI SUSHANTY ALOKASI OPTIMAL PEMANFAATAN DAN NILAI LAND RENT SUMBERDAYA TAMBAK DI KECAMATAN TANAH MERAH KABUPATEN INDRAGIRI HILIR PROVINSI RIAU DWI SUSHANTY SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008

Lebih terperinci