RESPON BEBERAPA GENOTIPE PADI TERHADAP PERIODE KEKERINGAN PADA SISTEM SAWAH HERMAN WAFOM TUBUR

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "RESPON BEBERAPA GENOTIPE PADI TERHADAP PERIODE KEKERINGAN PADA SISTEM SAWAH HERMAN WAFOM TUBUR"

Transkripsi

1 RESPON BEBERAPA GENOTIPE PADI TERHADAP PERIODE KEKERINGAN PADA SISTEM SAWAH HERMAN WAFOM TUBUR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

2 PERANYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Respon Beberapa Genotipe Padi terhadap Periode Kekeringan pada Sistem Sawah merupakan gagasan dan karya saya bersama pembimbing yang belum pernah dipublikasikan dalam bentuk apapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan oleh penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Juli 2011 Herman W Tubur NRP. A

3 ABSTRACT HERMAN W TUBUR. Responses of Rice Genotypes to Drought Periods on Low Land Rice System. Under direction of M A. CHOZIN, E. SANTOSA and A. JUNAEDI. The objective of this experiment was to identify responses of IR64, Ciherang, IPB-97-F-15, Menthik Fragrant, Rokan, Way Apo Buru, Jatiluhur and Silugonggo to drought. The experiment was conducted under plastic house with massive walls 4x3 m (LxW) with split plot design experiment with four replications. Drought treatments were induced at 3, 6, 9 WAT (weeks after transplanting) and control (standard rice growing). The results showed that drought at 3 and 6 WAT more reduced growth rate and yield. Yield reduction on drought at 3 and 6 WAT caused by increased of unfilled spikelet. The highest of plant canopy showed by Jatiluhur, whereas Silugonggo showed the highest on number of leaf, tiller and productive tillering than other genotypes. Jatiluhur and Silugonggo have highest percentage of flowering, whereas longest panicle showed by IPB-97-F-15. Jatiluhur showed the highest production of grain yield and harvest with lowest of unfilled spikelet percentage. There are differences in responses 8 rice genotypes to drought periods in the low land rice system. Based on the parameters of productive tillers, scores leaf rolling and leaf desication, and drought resistance index for yield, all eight genotypes can be grouped into 3 groups: Way Apo Buru Jatiluhur were tolerant; Rokan and Menthik Fragrant were sensitive; IR64, Ciherang, IPB-97-F-15 and Silugonggo were moderate to drought. Key words : Drought periods, Low land, Rice Genotypes.

4 RINGKASAN HERMAN W TUBUR. Respon Beberapa Genotipe Padi terhadap Periode Kekeringan pada Sistem Sawah. Dibimbing oleh M. A. CHOZIN, E. SANTOSA, dan A. JUNAEDI. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi respon beberapa genotipe padi terhadap periode kekeringan pada sistem sawah. Penelitian dilakukan di kebun percobaan Institut Pertanian Bogor dalam rumah plastik pada 16 unit petak tanam dengan ukuran 4 m x 3 m, tiap petak dibatasi dinding tembok dengan kedalaman 0.8 m. Penelitian disusun menggunakan rancangan split plot design dengan 4 ulangan. Perlakuan pada petak utama adalah periode pengeringan mulai 3 MST, 6 MST dan 9 MST serta kontrol (tanpa pengeringan) dan perlakuan anak petak terdiri dari 8 genotipe padi yaitu IR64, Ciherang, Way Apo Buru, IPB-97-F-15, Jatiluhur, Silugonggo dan Menthik Wangi. Periode pengeringan mulai 3 MST dan 6 MST nyata menghambat pertumbuhan vegetatif, hasil dan komponen hasil yang ditunjukkan dengan rendahnya tinggi tanaman, jumlah daun, jumlah anakan, jumlah anakan produktif, persen pembungaan dan panjang malai, bobot basah dan kering tajuk. Pengeringan saat 3 MST dan 6 MST juga meningkatkan persen gabah hampa dan menurunkan bobot gabah per rumpun, bobot 1000 butir dan indeks panen. Tanaman tertinggi ditunjukkan oleh Jatiluhur dan IPB-97-F-15 sementara jumlah daun tertinggi ditunjukkan oleh Silugonggo. Jumlah anakan tertinggi ditunjukkan oleh IR 64, Silugonggo dan Rokan. Jumlah anakan produktif tertinggi ditunjukkan oleh Silugonggo. Persen pembungaan tertinggi ditunjukkan oleh Jatiluhur dan Silugonggo dan malai terpanjang ditunjukkan oleh IPB-97-F-15. Bobot 1000 gabah terendah ditunjukkan oleh Rokan sementara indeks panen tertinggi ditunjukkan oleh Jatiluhur, Silugonggo dan Ciherang. Bobot basah dan bobot kering tajuk tertinggi ditunjukkan oleh Rokan, Menthik Wangi dan IPB- 97-F-15. Terdapat perbedaan respon 8 genotipe padi terhadap periode kekeringan pada sistem sawah. Berdasarkan parameter jumlah anakan produktif, skor penggulungan dan skor kekeringan daun, dan indeks ketahanan kekeringan untuk daya hasil, kedelapan genotipe tersebut dapat dikelompokan menjadi 3 kelompok, Jatiluhur dan Way Apo Buru termasuk kelompok yang toleran; Rokan dan Menthik Wangi termasuk kelompok yang peka; IR64, Ciherang, IPB-97-F-15 dan Silugonggo termasuk pada kelompok agak toleran (moderat) terhadap kekeringan.

5 Hak cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi oleh Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumpulkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

6 RESPON BEBERAPA GENOTIPE PADI TERHADAP PERIODE KEKERINGAN PADA SISTEM SAWAH HERMAN WAFOM TUBUR Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Agronomi dan Hortikultura SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

7 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Iskandar Lubis, MS.

8 Judul Tesis : Respon Beberapa Genotipe Padi terhadap Periode Kekeringan pada Sistem Sawah Nama : Herman Wafom Tubur NRP : A Mayor : Agronomi dan Hortikultura Disetujui Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. M. A. Chozin, M.Agr Ketua Dr. Edi Santosa, SP., M.Si Anggota Dr. Ir. Ahmad Junaedi, M.Si Anggota Ketua Mayor Agronomi dan Hortikultura Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, MS. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr. Tanggal Ujian : 29 Juli 2011 Tanggal Lulus :

9 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas kasih dan kekuatan-nya sehingga penulisan tesis ini dapat diselesaikan. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Ir. M. A. Chozin, M.Agr., Dr. E. Santosa, SP., M.Si dan Dr. Ir. A. Junaedi, M.Si selaku komisi pembimbing atas pengertian, arahan, kesabaran dan motivasinya. Teriring ucapan terima kasih kepada penyelenggara program BPPS dan TIM peneliti IMHERE B.2.C. yang tergabung dalam penelitian Studi Fisiologi dan Pengembangan Tanaman untuk Adaptasi pada Kondisi Kekeringan dan Rendah Methan atas segenap perhatian dan dukungannya baik moril ataupun materil. Dalam menempuh pendidikan, pelaksanaan penelitian hingga penyelesaian tesis, penulis juga menyampaikan terima kasih atas kesabaran, pengertian dan dukungan doa dari mama, istri, anak dan keluarga. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada pimpinan IPB, Dekan Program Pasca Sarjana, Ketua Mayor Agronomi dan Hortikultura serta temanteman seangkatan 2008 dan senior atas dorongan dan motivasi yang diberikan. Akhir kata, besar harapan penulis kiranya tesis ini bermanfaat untuk memperkaya khasanah ilmu pengetahuan. Bogor, Juli 2011 Herman W Tubur

10 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jayapura, Papua pada tanggal 14 Maret 1981 dari ayah Musa W Tubur (alm.) dan Ibu Erna sebagai anak pertama. Penulis menikah dengan Oliva Asem dan dikaruniai seorang putra, Jeylandro P M Tubur Asem pada 13 April Tahun 1999 penulis lulus dari SMU Negeri 3 Jayapura, dan pada tahun yang sama penulis melanjutkan studi S1 di Universitas Negeri Papua pada Program Studi Agronomi, Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian dan lulus pada tahun Penulis mengabdi sebagai staf pengajar di Universitas Negeri Papua pada Program Studi Agronomi sejak tahun 2005, dan pada tahun 2008 penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan studi Program Magister Sains pada program studi Agronomi dan Hortikultura IPB dengan dukungan BPPS. Penulis juga mendapat kesempatan untuk menjadi bagian dalam tim Peneliti I-MHERE B2.C tahun 2010 yang diketuai oleh Dr. Ir. A. Junaedi, M.Si.

11 DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN DAFTAR ISI Halaman PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Perumusan Masalah... 2 Tujuan Penelitian... 3 Hipotesis... 4 TINJAUAN PUSTAKA... 5 Cekaman Kekeringan pada Lingkungan Tumbuh Padi... 5 Mekanisme Adaptasi Tanaman Padi terhadap Kekeringan... 6 Sifat Perakaran dan Hubungannya dengan Cekaman Kekeringan 9 Pertumbuhan Pucuk dan Cekaman Kekeringan Hubungan Ketersediaan Air dan Pertumbuhan Tanaman BAHAN DAN METODE Lokasi dan Waktu Bahan dan Alat Rancangan Penelitian Pelaksanaan Penelitian Parameter Pengamatan Analisis Data HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pertumbuhan Vegetatif Hasil dan Komponen Hasil Sensitivitas Kekeringan Potensial Air Tanah Pembahasan Pertumbuhan Vegetatif Hasil dan Komponen Hasil Sensitivitas Kekeringan Potensial Air Tanah KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 53

12 DAFTAR TABEL No Halaman 1. Hubungan antara satuan Bar (atm), cm air dan pf Nilai skor penggulungan daun dan tingkat kekeringan Rata-rata tinggi tanaman, jumlah daun dan jumlah anakan 8 genotipe padi saat 11 MST Rata-rata jumlah anakan produktif. persen pembungaan dan bobot gabah per rumpun 8 genotipe padi pada berbagai perlakuan kekeringan Rata-rata panjang malai, persen gabah hampa, bobot gabah per rumpun, dan bobot 1000 gabah Rata-rata bobot basah dan bobot kering tajuk, dan indeks panen pada perlakuan kekeringan dan genotipe Rata-rata indeks ketahanan kekeringan untuk daya hasil 8 genotipe padi pada berbagai periode pengeringan Skor penggulungan dan kekeringan daun 8 genotipe pada perlakuan periode kekeringan saat 3 dan 6 MST

13 No DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Model perlakuan periode kekeringan saat 3 MST, 6 MST, 9 MST dan kontrol Perkembangan tinggi tanaman padi pada berbagai perlakuan periode kekeringan Perkembangan tinggi tanaman 8 genotipe padi Perkembangan jumlah daun padi pada berbagai perlakuan periode kekeringan Perkembangan jumlah daun 8 genotipe padi Pekembangan jumlah anakan padi pada berbagai periode pengeringan Perkembangan jumlah anakan 8 genotipe padi Perkembangan potensial air tanah pada berbagai perlakuan kekeringan yang diukur pada kedalaman tanah 10 cm Perkembangan potensial air tanah pada berbagai perlakuan kekeringan yang diukur pada kedalaman tanah 20 cm

14 DAFTAR LAMPIRAN No Halaman 1. Rekapitulasi sidik ragam tinggi tanaman, jumlah daun dan jumlah anakan saat 4-11 MST Rekapitulasi sidik ragam hasil dan komponen hasil Korelasi antar parameter Kelembaban dan suhu dalam rumah plastik Hasil Analisis sifat fisik dan kimia tanah pada lahan percobaan Deskripsi Genotipe padi yang diuji Denah petak penelitian... 67

15 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Padi (Oryza sativa L.) merupakan salah satu sumber pangan utama yang dikonsumsi oleh hampir tiga milyar penduduk dunia. Padi juga merupakan salah satu komoditi pangan yang mampu memenuhi 32% kebutuhan kalori (Sarwar dan Kanif 2005; Bouman et al. 2007). Luas lahan padi dunia diperkirakan mencapai 148 juta ha, dimana 79 juta ha diantaranya merupakan lahan padi dengan sistem irigasi (irrigated lowland rice), sementara padi tadah hujan dataran rendah (low land rice) dan dataran tinggi (up land rice) masing-masing mencapai 54 juta ha dan 14 juta ha. Dari jumlah total produksi padi dunia, 75% diantaranya dihasilkan dari sistem padi beririgasi, sementara 19% dan 4% masing-masing disumbangkan dari padi dataran rendah tadah hujan dan dataran tinggi tadah hujan (Maclean et al. 2002). Menurut Dawe (2005) dan Tuong et al. (2004), 56% dari luas lahan tanaman budidaya beririgasi di dunia berada di wilayah Asia, dimana 40-46% merupakan lahan padi dengan sistem irigasi. Kebutuhan air untuk tanaman padi diperkirakan dua hingga tiga kali lebih tinggi dibandingkan tanaman budidaya lainnya. FAO (2004) melaporkan bahwa rata-rata pemakaian air untuk satu kali musim tanam padi berkisar antara mm, sedang menurut Bouman et al. (2007) rata-rata pemakaian air untuk padi sawah mencapai mm, dimana 25-50% dari asupan air hilang akibat perkolasi dan perembesan. Tingginya tingkat penggunaan air pada budidaya padi dihadapkan pada masalah kelangkaan air yang turut berdampak pada kehilangan hasil dan penurunan produksi padi. Hanson et al. (1990) melaporkan pengaruh kekeringan telah meluas hingga mencapai 50% luas lahan padi dunia. Pandey dan Bhandari (2007) melaporkan bahwa pada kurun waktu dampak kekeringan menyebabkan kehilangan hasil padi di Thailand mencapai 0.7 juta ton, China 1.2 juta ton dan India mencapai 5.4 juta ton, sementara dampak kekeringan terhadap luasan lahan padi Di Indonesia pada periode tahun rata-rata

16 2 mencapai ha dan mengalami puso akibat kekeringan mencapai 3872 ha (Purwani 2006). Kelangkaan air dan kekeringan disebabkan oleh meningkatnya persaingan dalam penggunaan air antar sektor dan perubahan iklim. Tuong dan Bouman (2003) mengestimasi bahwa hingga tahun 2025 kelangkaan air dan kekeringan akan meluas pada juta ha lahan padi di sebagian besar wilayah Asia. Kekeringan yang terus meluas tentu akan berpengaruh terhadap penurunan produksi dan pemenuhan kebutuhan pangan bagi populasi penduduk yang terus meningkat. Untuk meminimalkan dampak kelangkaan air dan kekeringan terhadap produksi padi maka beberapa upaya yang dapat dilakukan antara lain perlunya mengoptimalkan produksi tanaman per satuan unit evapotranspirasi melalui perbaikan manajemen teknik agronomi, minimalisasi penggunaan air pada tahap persiapan lahan dan persiapan tanaman, menekan kehilangan air akibat perkolasi, perembesan, evaporasi dan aliran permukaan, serta melakukan seleksi varietas/genotipe padi yang toleran terhadap kekeringan (Guera et al. 1998). Perumusan Masalah Kekeringan merupakan penurunan kelembaban tanah atau potensial air tanah yang disebabkan oleh evapotranspirasi tanah dan tanaman pada zone perakaran yang dapat menghambat fungsi fisiologis tanaman dan turut berpengaruh terhadap menurunnya pertumbuhan dan hasil tanaman (Takane et al. 1995). Kekeringan memiliki kisaran yang luas, namun dilihat dari tipe lingkungan tumbuh padi, maka resiko cekaman kekeringan pada sistem budidaya padi tadah hujan umumnya lebih tinggi dibanding padi dengan sistem irigasi, terutama disebabkan oleh pendeknya periode musim hujan (Maclean et al. 2007). Respon tanaman padi terhadap kekeringan berkaitan dengan waktu dan periode kekeringan yang berasosiasi dengan fase tumbuh (Fukai dan Cooper 1995). Hal ini menunjukkan bahwa stres kekeringan pada fase tumbuh padi yang berbeda akan menunjukkan respon yang berbeda. Tanaman padi memiliki 3 fase tumbuh utama yaitu vegetatif, reproduktif dan pematangan (De Datta 1981;

17 3 Takane et al. 1995). Wopereis et al. (1996) menjelaskan stress kekeringan pada fase awal vegetatif berpengaruh pada petumbuhan anakan dan penundaan pembungaan, sedangkan pada fase reproduktif terutama pada masa pembungaan diketahui sangat sensitif terhadap kekeringan, diikuti dengan fase gametogenesis (booting) dan pengisian bulir. Kekeringan pada fase reproduktif juga berpengaruh pada meningkatnya persen gabah hampa dan menurunkan bobot gabah yang menyebabkan penurunan hasil. Genotipe padi pada lahan kering umumnya lebih resisten terhadap kekeringan dibandingkan genotipe padi sawah (Bouman et al. 2007), walaupun demikian terdapat variasi tingkat resistensi, pertumbuhan dan daya hasil tiap genotipe terhadap kondisi kekeringan. Takane et al. (1995) menjelaskan pengujian dan identifikasi karakter morfofisiologi genotipe padi terhadap kekeringan dan relevansinya dengan pertumbuhan dan hasil perlu dilakukan untuk pengembangan genotipe yang toleran kekeringan. Salah satu pendekatan dalam pengembangan genotipe toleran kekeringan adalah melalui identifikasi karakter morfologi tanaman pada kondisi kekeringan pada sejumlah populasi di suatu lingkungan target (Fukai dan Cooper 1995). Beberapa pengujian untuk memperoleh varietas toleran kekeringan pada beberapa genotipe padi sawah ataupun gogo telah dilakukan di tingkat lapangan dengan stres kekeringan yang terjadi secara alami (Fukai dan Cooper 1995; Boonjung dan Fukai 1996), namun pengujian genotipe padi pada sistem sawah dengan kondisi kekeringan yang dapat dikontrol hingga kini belum banyak dilakukan. Oleh karena itu perlu dilakukan pengujian untuk mengetahui respon beberapa varietas padi terhadap periode kekeringan pada sistem sawah. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan: 1. Mengetahui respon beberapa genotipe padi terhadap periode kekeringan pada sistem sawah. 2. Mengetahui tingkat sensitifitas kekeringan beberapa genotipe padi terhadap periode kekeringan pada sistem sawah.

18 4 Hipotesis Hipotesis yang diajukan: 1. Perlakuan kekeringan, genotipe dan interaksinya diduga akan berpengaruh terhadap pertumbuhan dan hasil padi. 2. Pada kondisi cekaman kekeringan genotipe padi gogo akan menunjukkan pertumbuhan dan hasil yang lebih baik dibandingkan genotipe padi sawah.

19 5 TINJAUAN PUSTAKA Cekaman Kekeringan pada Lingkungan Tumbuh Padi Karakteristik lingkungan tumbuh tanaman padi dapat dikelompokan menjadi 3 tipe yaitu padi dataran rendah dengan sistem irigasi (irrigated lowland rice), padi dataran rendah tadah hujan (rainfed lowland rice) dan padi dataran tinggi tadah hujan (rainfed upland rice) (Bouman et al. 2007). Padi dataran tinggi lebih dikenal juga dengan istilah padi ladang atau padi gogo sementara padi dataran rendah dikenal dengan istilah padi sawah. Resiko cekaman kekeringan pada sistem budidaya padi tadah hujan umumnya lebih tinggi dibanding padi dengan sistem irigasi, terutama disebabkan oleh pendeknya periode musim hujan. Rata-rata produktivitas padi tadah hujan dataran rendah mencapai 2.3 ton per ha sementara padi dataran tinggi cendrung lebih rendah yaitu 1 ton per ha (Maclean et al. 2002). Beberapa wilayah di Asia yang mengalami dampak kerusakan lahan tertinggi akibat kekeringan antara lain Di India dengan tingkat kerusakan lahan mencapai 20 juta ha dan Thailand mencapai 7 juta ha. Rata-rata kehilangan hasil padi akibat kekeringan tahunan selama periode waktu mencapai 5.4 juta ton di India, 1.2 juta ton di China, dan 0.7 juta ton di Thailand (Pandey dan Bhandari 2007). Di Indonesia dampak kekeringan terhadap luasan lahan padi pada periode rata-rata mencapai ha dan mengalami puso akibat kekeringan mencapai 3872 ha (Purwani 2006). Penanaman padi di wilayah Asia umumnya mengikuti pola hujan bimodal oleh karenanya stres kekeringan selama musim tanam dapat dikelompokan menjadi 3 tipe yaitu : stres kekeringan di awal musim tanam (early stress), stres kekeringan tengah musim tanam (Mild-Intermitten stress) dan stres kekeringan akhir musim tanam (late stres) (Chang et al. 1979). Stres kekeringan pada awal musim tanam (early stress) umumnya terjadi pada masa semai atau pembenihan (Chang et al. 1979), dimana masa kekeringan terjadi bersamaan dengan waktu transplanting. Selain beresiko terhadap bibit muda yang rentan terhadap stres kekeringan, dapat juga memperlambat proses

20 6 transplanting sehingga benih yang digunakan telah berumur tua sehingga berpengaruh terhadap menurunnya hasil (Maurya dan O Toole 1986). Tipe stres pada tengah musim (mild-stress intermiten) terjadi pada saat periode pertumbuhan anakan sampai pembungaan yang berdampak pada kehilangan hasil yang tinggi. Suplai air yang terbatas selama periode tumbuh ini menyebabkan pelayuan daun, menurunkan indeks luas daun, penutupan stomata dan berdampak pada penurunan berat kering dan hasil padi (Boonjung 1993). Stres akhir (late stress) umumnya terjadi ketika kultivar berumur panjang karena stres kekeringan yang terjadi bersamaan dengan periode pembungaan dan pengisian gabah di awal musim kering. Pada kondisi stres akhir, kultivar berumur pendek memiliki kemungkinan terhindar dari stres kekeringan (Chang et al. 1979). Mekanisme Adaptasi Tanaman Padi terhadap Kekeringan Tanaman padi diketahui lebih peka terhadap kondisi kekeringan dibanding beberapa jenis tanaman sereal lainnya. Tingkat kepekaaan tanaman padi terhadap kekeringan dipengaruhi oleh anatomi daun dan akar yang berasosiasi dengan pola penyerapan dan pelepasan air (Lafitte dan Bennet 2002). Daun padi lebih sempit dan tidak terjadi diferensiasi sel mesofil menjadi jaringan palisade dan parenkim spongi. Jumlah stomata pada daun padi 10 kali lebih banyak dibandingkan jenis rerumputan yang tumbuh di daerah kering. Padi memiliki ukuran stomata yang kecil dan terdapat perbedaan frekuensi stomata antar kultivar akibat pengaruh lingkungan. Untuk jenis padi dataran rendah diperkirakan 30% air ditranspirasikan setelah pembungaan melalui penikel (Bouman et al. 2007). Umumnya tanaman padi dapat beradaptasi pada kondisi terendam penuh (complete subemergence) antara 3-4 hari walaupun demikian beberapa varietas terutama pada kelompok padi sawah di daerah bercurah hujan tinggi dapat bertahan pada kondisi genangan lebih dari 10 hari (Maclean et al. 2002). Padi sangat sensitif terhadap periode penggengangan yang pendek. Kondisi kandungan air tanah yang rendah dapat menyebabkan penggulungan daun, mengurangi permukaan luas daun, menurunkan laju fotosintesis dan ukuran sink

21 7 sehingga berpengaruh terhadap pertumbuhan dan hasil (Yoshida 1981; Bouman dan Tuong 2001). Dampak langsung stres kekeringan terhadap tanaman adalah penutupan stomata yang mulai terjadi pada kondisi potensial air daun mencapai MPa sehingga menurunkan laju transpirasi secara bertahap (Dingkuhn et al. 1989b). Disamping penutupan stomata, stres kekeringan juga menginduksi penggulungan daun (leaf rolling), penurunan luas daun dan intersepsi cahaya, mempercepat pengguguran daun sehingga mengurangi total fotosintesis dan produksi biomass (Turner et al. 1986a). Diketahui fase tumbuh padi dari perkembangan penikel hingga masa anthesis adalah fase yang paling peka terhadap stres air (O Toole 1982). Boonjung (1993) menunjukkan bahwa periode stres kekeringan selama 15 hari setelah perkembangan malai menyebabkan produksi gabah menurun hingga 2% per hari dimana nilai potensial air daun di pagi hari kurang dari -1.0 MPa. Dilihat dari fase tumbuh maka fase pembungaan terutama pada masa anthesis adalah periode yang sangat sensitif terhadap stres kekeringan karena dapat meningkatan sterilitas spikelet (Cruz dan O Toole 1984; Ekanayake et al. 1989). Pada kondisi iklim tropika, 13 hari setelah pembungaan akan terjadi pengisian bulir dalam 2 tahap, tergantung pada heterogenitas bulir dalam satu malai dan jumlah malai dalam suatu populasi tanaman (Yoshida 1981), stres air pada masa pengisian bulir dapat membatasi laju fotosintesis namun mobilisasi asimilat dapat terjadi untuk mengkompensasi source sehingga penghambatan pengisian bulir dapat ditekan (O Toole 1982). Diketahui terdapat 4 mekanisme kemampuan adaptasi tanaman padi terhadap kekeringan yaitu: menghindari kekeringan (drought escape); menghindari dehidrasi (dehydration avoidance), toleran kekeringan (dehydration tolerance) dan kemampuan memperbaiki sistem tumbuh setelah melewati periode stres kekeringan (drought recovery) (Arrandeau 1989). Mekansime penghindaran terhadap kekeringan (drougth escape) berkaitan dengan umur dan fenologi tanaman (O Toole 1982). Kultivar berumur pendek umumya dapat menghindari stres kekeringan dibandingkan kultivar berumur panjang (Arrandeau 1989).

22 8 Mekanisme dehydration avoidance berkaitan dengan kemampuan tanaman mempertahankan status air tanaman terutama potensial air daun tetap tinggi dengan cara menyerap air lebih banyak atau menggunakan air yang lebih lambat sehingga air menjadi lebih tersedia selama periode kekeringan berikutnya (Arrandeau 1989). Dua cara ini sangat bermanfaat pada beberapa tanaman budidaya termasuk tanaman padi gogo, sementara pada sistem penanaman padi sawah cendrung lebih banyak faktor pembatas seperti penghambatan pada sistem perakaran pada kedalaman tanah tertentu dan tingkat kehilangan air yang lebih banyak karena perkolasi, perembesan dan evaporasi (Fukai dan Cooper 1995). Penghindaran dari dehidrasi akibat kekeringan dapat terjadi pada kondisi lingkungan padi gogo ataupun padi dataran rendah karena menurunnya kebutuhan evaporasi atau pemanasan yang terjadi di pucuk. Status air tanaman ditentukan oleh keseimbangan air yang diserap melalui sistem akar dan kebutuhan air oleh pucuk. Dengan demikian potensial air tanaman yang tinggi dapat meningkatkan mekanisme pucuk untuk mengurangi kebutuhan air (Fukai dan Cooper 1995). Mekanisme dehydration tolerance berkaitan dengan kemampuan tanaman meningkatkan metabolisme walaupun potensial air daun rendah. Arrandeau (1989) menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara translokasi asimilasi dengan kemampuan toleransi tanaman padi terhadap dehidrasi. Ketika stres kekeringan terjadi selama masa pengisian gabah, tanaman padi yang lebih toleran terhadap dehidrasi biasanya dapat lebih meningkatkan aktivitas metabolisme untuk beberapa tambahan waktu. Ini berarti laju translokasi asimilasi dapat terus berlanjut untuk pengisian gabah. Dibandingkan dengan tanaman sereal lainnya, padi diketahui lebih banyak menyimpan asimilat untuk pengisian gabah (Weng et al. 1982). Mekanisme drought recovery berkaitan dengan kemampuan tanaman memulihkan pertumbuhan setelah melewati periode kekeringan tertentu (Arrandeau 1989). Mekanisme ini penting ketika kekeringan terjadi pada awal pertumbuhan dan perkembangan tanaman hal ini ditunjukkan pada beberapa genotipe yang mampu menghasilkan lebih banyak anakan dan memproduksi gabah setelah melewati periode kekeringan (Fukai dan Cooper 1995). Kemampuan tanaman untuk memperbaiki sistem metabolisme akibat kekeringan

23 9 berhubungan dengan kemampuannya untuk mempertahankan daun tetap hijau selama periode kekeringan. Mempertahankan daun tetap hijau ketika stres kekeringan terjadi selama masa inisasi malai sangat penting karena daun yang tetap hijau dapat memberikan lebih banyak asimilat bagi perkembangan malai dengan demikian produksi spikelet turut meningkat (Lilley dan Fukai 1994b). Sifat Perakaran dan Hubungannya dengan Cekaman Kekeringan Tanaman padi, jagung dan sorgum yang tumbuh di daerah dataran tinggi memiliki pola kepadatan dan panjang akar yang sama dan kemampuan menyerap air dapat mencapai kedalaman 60 cm. Walaupun demikian kemampuan penyerapan air pada tanaman padi lebih rendah dibandingkan tanaman sorgum, hal ini menyebabkan padi lebih peka terhadap stres air dibandingkan sorghum (Fukai dan Inthapan 1988; Intahapan dan Fukai 1988). Boonjung (1993) juga menjelaskan perkembangan sistem perakaran padi sangat sensitif terhadap rendahnya kandungan air tanah. Tanaman padi memiliki variasi genotipe dalam sistem perakaran yang berasosiasi dengan resistensi kekeringan. O Toole (1982) menjelaskan mekanisme adaptasi tanaman padi terhadap kekeringan yang berkaitan dengan sistem perakaran mencakup tiga hal : 1. Kondisi ketersediaan air tanah yang rendah akan meningkatkan panjang dan kepadatan akar, meningkatkan rasio akar : pucuk dan konduktansi akar; 2. Kondisi air tanah yang rendah menyebabkan peningkatan penetrasi akar pada berbagai faktor pembatas tanah baik itu faktor fisik ataupun kimia tanah; dan 3. Terdapat kemungkinan terjadinya penyesuaian osmotik pada akar. Tingginya penyesuaian osmotik pada akar memungkinkan tanaman lebih banyak menyerap air tanah. Tanaman akan lebih toleran terhadap kekeringan dan memiliki kemampuan untuk memperbaiki sistem pertumbuhan setelah melewati masa stres kekeringan. Walaupun demikian belum banyak penelitian yang menunjukkan pengaruh penyesuaian osmotik pada akar dan hubungannya dengan resistensi tanaman terhadap kekeringan (Fukai dan Cooper 1995). Terdapat variasi yang luas diantara galur padi yang memiliki kepadatan panjang akar kurang dari 30 cm. Secara umum galur dengan densitas panjang

24 10 akar dibawah 30 cm memiliki sistem perakaran yang lebih panjang (Fukai dan Cooper 1995), lebih lanjut Yosida dan Hasegawa (1982) menjelaskan bahwa rasio panjang akar yang lebih tinggi dibandingkan pucuk adalah indeks resistensi tanaman padi terhadap kekeringan (avoidance) sebab sistem perakaran yang lebih panjang dan lebih padat lebih memiliki kemampuan untuk menyerap air dan laju transpirasi akan lebih rendah dengan rasio akar terhadap pucuk yang kecil. Hasil skrining yang dilakukan Yosida dan Hasegawa (1982) pada 1081 galur menemukan bahwa rasio akar yang lebih dalam terhadap pucuk cendrung memiliki jumlah anakan yang sedikit. Karakter ini sesuai dengan ciri genotipe padi tradisional lahan kering. Selama sistem perkaran padi tersusun atas akar nodal, galur yang memiliki banyak anakan akan lebih memiliki lebih banyak akar, terutama pada anakan sekunder dan tersier yang tumbuh lebih lambat akan lebih banyak memiliki akar pendek. Hal ini juga menunjukkan bahwa galur yang memiliki sedikit perkembangan anakan berasosiasi dengan tingginya kepadatan perakaran pada kedalaman tanah. Beberapa akar diantaranya memiliki diameter yang luas dan karenanya memiliki pembuluh xylem dengan banyak axial konduktansi. Penelitian hubungan antara panjang akar pada kedalaman tertentu dan jumlah air yang diekstrak dari suatu permukaan tanah sangat jarang dilakukan. Puckridge dan O Toole (1981) menemukan bahwa Kultivar Kinandang Patong dengan sistem akar yang dalam dapat mengekstraksi lebih banyak air pada kedalaman cm dibandingkan kultivar IR20 dan IR36 yang memiliki akar dangkal. Hasil yang sama juga diperoleh oleh Mambani dan Lal (1983b,c). Lilley dan Fukai (1994) menunjukkan juga bahwa variasi ekstraksi air pada 4 kultivar padi dataran tinggi secara langsung berhubungan dengan kepadatan panjang akar yang tinggi. Panjang akar berpengaruh juga terhadap tingginya potensial air daun dan menunda terjadinya kematian daun selama kekeringan (Mambani dan Lal 1983a; Cruz dan O Toole 1985; Ekanayake et al. 1985a). Liley dan Fukai (1994b) menjelaskan bahwa terdapat indikasi bahwa kultivar dengan akar yang panjang memiliki penampilan yang lebih baik dibandingkan kultivar lain terutama pada kondisi stres ditengah periode tumbuh (mild stress), tapi tidak terdapat hubungan

25 11 langsung antara total panjang akar dan hasil gabah ketika hanya terdapat satu periode kekeringan yang panjang. Hal ini juga menunjukkan bahwa galur dengan sistem perakaran yang luas dapat lebih bertahan ketika terjadi beberapa periode kekeringan seperti misalnya stres kekeringan intermitten. Galur dengan panjang akar mencapai cm pada daerah dataran tinggi sangat bermanfaat untuk sistem pertanaman padi tadah hujan. Pada penelitian yang dilakukan di daerah dataran rendah dimana stres air diberikan selama hari setelah transplanting, hasil gabah pada 30 galur tidak berkaitan dengan karakteristik perakaran pada kondisi sistem pertanaman aeroponik (Ingram et al. 1990). Walaupun demikian pada beberapa lahan tadah hujan dataran rendah dimana tidak dilakukan praktek pelumpuran, pada kondisi tekstur tanah liat berpasir, variasi genotipe panjang akar pada kedalaman tanah akan terekspresi dan akar yang panjang dan luas adalah karakter yang bermanfaat (Fukai dan Cooper 1995). Galur padi dengan sistem perakaran yang panjang diketahui memiliki sifat toleran terhadap kondisi kemasaman tanah, galur ini diketahui juga memiliki penampilan yang baik pada kondisi kesuburan tanah rendah (Cattivelli et al. 2008). Karakteristik perakaran lain yang dianggap penting dan mempengaruhi laju aliran air dari akar ke pucuk adalah sifat resistensi akar axial. Tanaman padi seringkali tidak mampu mengekstrak air melalui lapisan tanah yang sangat dalam karena meningkatnya resistensi axial yang disebabkan oleh meningkatnya jarak pucuk dan kecilnya diameter akar. Yambao et al. (1992) mengobservasi bahwa terdapat variasi genotipe pada ketebalan akar yang berasosiasi dengan diameter xylem, walaupun peningkatan diameter pembuluh xylem tidak secara langsung meningkatkan resistensi padi terhadap kekeringan. Gomathinayagam et al. (1989) menjelaskan bahwa pertumbuhan akar seminal dapat digunakan untuk melakukan skrining untuk akar pada tanaman padi terutama yang berkaitan dengan kemampuan resistensi dorongan akar (root push resistance). Tanaman yang memiliki resistensi dorongan akar cendrung mampu mempertahankan potensial air daun tetap tinggi (Ekanayake et al. 1985b). Resistensi dorongan akar dapat digunakan untuk menghitung sistem perakaran

26 12 dan hubungannya dengan penapisan terhadap resistensi kekeringan (O Toole dan Bland 1987). Pertumbuhan Pucuk dan Cekaman Kekeringan O Toole (1982) menjelaskan bahwa terdapat 3 mekanisme adaptasi tanaman terhadap kekeringan dan hubungannya dengan pertumbuhan pucuk yaitu: akumulasi asam amino atau regulator pertumbuhan; mekanisme drought avoindance dan penyesuaian osmotik (osmotic adjustment). Berkaitan dengan akumulasi asam amino, Dingkuhn et al. (1991a), menemukan bahwa terdapat perbedaan antara genotipe dalam akumulasi asam abcisic (ABA), tapi perbedaan tersebut tidak berhubungan dengan sifat fisiologi suatu galur dibawah kondisi stres air. Disamping itu stres kekeringan juga menginduksi akumulasi prolin yang berkorelasi positif dengan penyesuaian osmotik. Padi diketahui memiliki sedikit lapisan lilin pada epicuticular dan memiliki konduktansi kutikula yang tinggi dibandingkan jenis serealia lainnya (O Toole dan Seiber 1979). Hal ini mengindikasikan padi akan mengalami kehilangan air walaupun stomata menutup dan mengakibatkan kematian daun yang lebih cepat. O Toole (1982) menjelaskan terdapat variasi genotipe yang luas dalam hal kuantitas epicuticular lilin, walaupun demikian peran epicuticular lilin selama pertumbuhan pada kondisi stres air dan hubungannya dengan proses pemulihan tanaman belum banyak diketahui. Pada penelitian terkini, ditemukan bahwa terdapat variasi konduktansi epidermal pada beberapa galur tapi tidak ada indikasi yang menunjukkan bahwa konduktansi epidermal dapat mempertahankan daun tetap hijau pada periode waktu yang lama (Cattivelli et al. 2008). Konduktansi difusi dan penggulungan daun merupakan bagian dari mekanisme avoidance kekeringan pada beberapa genotipe (O Toole dan Cruz, 1980). Variasi konduktansi difusi dan penggulungan daun berkaitan dengan kemampuan tanaman mengekstrak air dari tanah, yang cendrung merujuk pada perbedaan sistem akar. Kemampuan akar mengekstrak air dari tanah turut menentukan status air daun. Galur yang dapat mempertahankan potensial air daun tetap tinggi dapat meningkatkan konduktansi daun dan menurunkan tingkat

27 13 penggulungan daun (O Toole dan Moya 1978). Walaupun demikian hubungan antara penggulungan daun dan potensial air daun bervariasi pada tiap galur dan terdapat kemungkinan lain yang disebabkan adanya pengaruh penyesuaian osmotik, galur dengan penyesuaian osmotik yang tinggi cendrung dapat meningkatkan potensial turgor sel pada kondisi potensial air daun rendah (Turner et al. 1986a; Fukai dan Inthapan 1988). Hubungan ini juga terjadi pada beberapa jenis tanaman serealia lainnya akan tetapi bukti penelitian yang kuat sangat terbatas untuk tanaman padi (Cattivelli et al. 2008). Penyesuaian osmotik berpengaruh terhadap penggulungan daun pada beberapa galur padi (Hsiao et al. 1984). Dingkuhn et al. (1989a) menemukan adanya korelasi antara penggulungan daun dan potensial air pada kondisi stres di tengah periode pertumbuhan padi (mild stress), yang menunjukkan bahwa penggulungan daun berkorelasi positif terhadap meningkatnya potensial air daun. Hal ini berbeda pada beberapa galur yang memiliki kemampuan untuk mempertahankan potensial air daun tetap tinggi dengan derajat penggulungan daun yang kecil. Secara umum penggulungan daun adalah salah satu strategi tanaman untuk tumbuh dan berhubungan dengan mekanisme avoidance untuk menjaga potensial air daun tetap tinggi. Penyesuaian osmotik (osmotic adjustment) adalah suatu mekanisme adaptif tanaman dalam merespon efek lingkungan tumbuh yang beragam, seperti kekeringan, salinitas dan temperatur rendah, akumulasi larutan dalam sel dan penurunan potensial osmotik demikian halnya terhadap kondisi stres air (Steponkus et al. 1982; Turner et al. 1986b). Potensial osmotik yang rendah menyebabkan peningkatan turgor sel seiring dengan turunnya potensial air. Penyesuaian osmotik terjadi sangat cepat pada tanaman padi terutama karena stres air yang diukur melalui potensial air daun dibandingkan dengan tanaman sorghum dan jagung (Fukai dan Inthapan 1988). Penyesuaian osmotik pada padi sangat berperan penting terutama pada fase awal periode kekeringan. Dengan penyesuaian osmotik, tekanan turgor yang tinggi relatif dapat dipertahankan walaupun terjadi pengurangan potensial air di daun (Cutler et al. 1980). Penyesuaian osmotik dapat menunda penggulungan dan kematian daun dapat (Hsiao et al. 1984), walaupun demikian tekanan turgor tidak selalu penting

28 14 sebagai faktor penentu respon tanaman terhadap kekurangan air tanah. Pendapat terkini menunjukkan bahwa respon pucuk terhadap kekeringan secara langsung melalui signal akar (root signal) (Ludlow et al. 1989). Hingga kini belum ada pengujian pada tanaman padi dan hubungannya dengan signal akar yang kuat dengan kecepatan respon suatu spesies terhadap kekeringan (Cattivelli et al. 2008). Steponkus et al. (1982) menunjukkan bahwa terdapat variasi yang kecil untuk penyesuaian osmotik pada 4 kultivar padi yang memiliki penyesuaian osmotik maksimum antara MPa. Pada studi lapangan, terdapat variasi dalam penyesuaian osmotik dengan nilai maksimum 0.5 MPa pada Kultivar padi dataran rendah dan lebih rendah pada kultivar padi dataran tinggi pada 7 kultivar yang berbeda (Turner et al. 1986b). Perbedaan yang ada berkaitan dengan perkembangan pola stres air pada kultivar ini dan kemampuan penyesuaian yang luas pada kultivar dataran rendah berkaitan dengan paparan stres kumulatif yang luas. Belum banyak bukti dan kajian yang mengindikasikan bahwa variasi genotipe dalam penyesuaian osmotik memiliki pengaruh yang positif terhadap pertumbuhan dan hasil padi. Henderson et al. (1993) menunjukkan adanya indikasi beberapa pengaruh positif penyesuaian osmotik dalam menetralkan rendahnya potensial air daun sehingga tetap mendukung retensi daun tetap hijau (leaf green retention). Karena penyesuaian osmotik pada tanaman padi berlangsung sangat cepat dan penyesuaian osmotik maksimum terjadi selama periode kekeringan, maka penyesuaian osmotik dapat efektif sebagai buffer dalam melawan kematian akibat stres sedang atau stres intermitten (Fukai dan Cooper 1995). Beberapa argumen menunjukkan bahwa pada beberapa kondisi, penyesuaian osmotik tidak menunjukkan pengaruh yang positif terhadap pertumbuhan tanaman dan hasil gabah (Munns 1988). Dengan demikian, upaya peningkatan resistensi kekeringan, dalam kaitannya dengan penyesuaian osmotik perlu diuji dibawah kondisi stres yang bervariasi, sebelum digunakan sebagai kriteria seleksi pada program pemuliaan tanaman.

29 15 Pengaruh mekanisme penyesuaian osmotik terhadap hasil lebih banyak diketahui pada sorghum dibandingkan padi. Beberapa penelitian lapang dengan menggunakan varietas hibrida komersial pada level penyesuaian osmotik yang berbeda menunjukkan adanya hubungan antara tekanan osmotik dan hasil tanaman pada kondisi stres sebelum anthesis atau selama masa pengisian gabah (Wright et al. 1983; Ludlow et al. 1990; Santamaria et al. 1990). Produksi gabah yang dicapai pada kondisi stres air dan pada kondisi air tersedia akan meningkat secara linear disertai meningkatnya penyesuaian osmotik maksimum pada varietas hibrida. Dibandingkan dengan varietas hibrida yang memiliki penyesuaian osmotik rendah maka varietas yang memiliki penyesuaian osmotik tinggi mampu mengekstrak lebih banyak air, dan terjadi peningkatan pada produksi gabah dan translokasi asimilat selama masa pre-anthesis. Tanaman yang memiliki mekanisme penyesuaian osmotik yang tinggi mampu menghasilkan 0.5 ton per ha produksi gabah dibandingkan tanaman dengan mekanisme penyesuaian osmotik lebih rendah (Fukai dan Cooper 1995). Pada kondisi air yang terbatas, kelompok tanaman yang mampu memproduksi gabah tertinggi memiliki retensi warna hijau daun yang lebih baik selama masa pengisian gabah dan lebih banyak memproduksi gabah pertanaman (Cattivelli et al. 2008). Dalam suatu penelitian yang dilakukan pada padi yang ditumbuhkan dalam pot dalam lingkungan yang dikontrol menunjukkan bahwa pada umur tanaman 25 hari selama siklus kekeringan menunjukkan kisaran nilai maksimum penyesuaian osmotik antara 0,4-1,7 MPa pada 59 galur dengan latar belakang lingkungan adaptasi yang berbeda (Cattivelli et al. 2008). Hubungan Ketersediaan Air dan Pertumbuhan Tanaman Tanaman sering dipengaruhi oleh berbagai bentuk stres seperti kekeringan, temperatur rendah, garam, genangan, panas dan logam berat yang berpengaruh langsung terhadap kondisi pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Jaleel et al. 2009). Kekeringan merupakan salah satu bentuk stres yang berkaitan dengan fenomena meteorologi dan berasosiasi dengan rendahnya curah hujan dan ketersediaan air (Jaleel et al. 2009).

30 16 Terdapat 3 tipe kekeringan yaitu kekeringan meteorologi, hidrologi, sosial ekonomi dan pertanian. Kekeringan meteorologi berkaitan dengan rendahnya curah hujan selama periode waktu tertentu. Kekeringan hidrologi berkaitan dengan rendahnya ketersediaan air di daerah sungai, danau dan daerah aquifers yang diantaranya dimanfaatkan untuk kepentingan irigasi, wisata ataupun transportasi. Kekeringan sosial ekonomi merupakan refleksi hubungan antara suplai dan kebutuhan air untuk beragam kebutuhan sosial dan ekonomi (WMO 2006). Tipe kekeringan pertanian berkaitan rendahnya ketersediaan air tanah untuk mendukung pertumbuhan tanaman. Kekeringan dalam konsep pertanian juga dapat diartikan sebagai penurunan kelembaban potensial tanah yang disebabkan oleh evapotranspirasi tanah dan tanaman pada daerah perakaran tanaman dan berpengaruh pada pertumbuhan dan hasil (Takane et al. 1995). Kekeringan berkaitan juga dengan ketersediaan air terutama dalam menunjang pertumbuhan tanaman. Air bagi tanaman berperan sebagai unsur hara, pelarut unsur hara dan penyusun sel tanaman. Ketersediaan air yang rendah secara mendasar menurunkan pertumbuhan, perkembangan dan produksi tanaman (Gardner 1991; Ashari 2006). Tanaman menyerap dari dalam tanah dipengaruhi oleh organ akar dan sifat fisik tanah yang berkaitan dengan gaya-gaya adhesi, kohesi dan gravitasi (Hardjowigeno 2007). Tabel 1. Hubungan antara satuan Bar (atm), cm air dan pf. Bar kpa Mpa cm tinggi kolom air pf / Sumber : Hardjowigeno (2007). Banyaknya kandungan air dalam tanah berkaitan erat dengan besarnya tegangan air (moisture tension) yang menunjukkan besarnya tenaga untuk

31 17 menahan air tersebut dalam tanah. Tegangan diukur dalam bar, kpa (kilo pascal), atmosfir, cm air, atau logaritma dari cm air yang disebut pf. Satuan bar dan atmosfer sering dianggap sama karena 1 atm = bar (Tabel 1). Kandungan air pada kapasitas lapang ditunjukkan oleh kandungan air pada titik layu permanen adalah pada tegangan 15 bar (1500 kpa), air yang tersedia bagi tanaman adalah air yang terdapat pada tegangan 1/3-15 bar atau 33 kpa kpa. Keadaan tanah yang cukup lembab menunjukkan jumlah air terbanyak yang dapat ditahan oleh tanah terhadap gaya tarik gravitasi kondisi ini disebut dengan kapasitas lapang. Air dalam tanah dapat dibedakan dalam 2 kelompok yaitu air higroskopik dan kapiler. Sebagian besar air tersedia dalam tanah dan dapat diserap oleh tanaman disebut air kapiler, sedangkan kondisi dimana kandungan air tanah cukup namun tanaman tidak dapat menyerap air tersebut disebut air higroskopis (Ashari 2006; Hardjowigeno 2007). Suatu kondisi dimana tanaman tidak lagi mampu menyerap air dan menjadi layu disebut dengan titik layu (wilting point). Respon titik layu dapat bersifat balik namun juga tidak balik dan bervariasi antar spesies. Respon titik layu yang dapat balik berkaitan dengan kemampuan tanaman untuk tetap bertumbuh saat pemberian air dilakukan setelah melewati periode kekeringan tertentu, sementara respon layu permanen umumnya tanaman tidak dapat melakukan aktivitas tumbuh, daun tetap mengalami pelayuan walaupun telah diberikan air (Hardjowigeno 2007), kondisi ini akan berujung pada kematian tanaman.

32 18 BAHAN DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan di kebun percobaan Institut Pertanian Bogor, Sawah Baru Babakan Darmaga, selama 4 bulan, dari bulan Mei-September Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain bibit padi yang terdiri dari 8 genotipe : IR64 dan Ciherang (padi sawah varietas unggul), IPB-97-F-15 (padi sawah tipe baru), Way Apo Buru (padi type amphibi), Jatiluhur, Silugonggo (padi gogo), Menthik Wangi (padi sawah varietas lokal) dan Rokan (padi hibrida). Alat-alat yang digunakan tensiometer, meteran, termohigrometer, timbangan analitik, oven, trai semai dan kamera. Rancangan Penelitian Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan split plot dengan dua faktor perlakuan yaitu faktor periode kekeringan (petak utama) yang terdiri dari periode pengeringan mulai 3 minggu setelah tranplanting, pengeringan mulai 6 MST, pengeringan mulai 9 MST dan kontrol (tanpa pengeringan). Faktor genotipe (anak petak) yang terdiri dari 8 genotipe yaitu : IR64 dan Ciherang (padi sawah varietas unggul), IPB-97-F-15 (padi sawah tipe baru), Way Apo Buru (padi type amphibi), Jatiluhur, Silugonggo (padi gogo), Menthik Wangi (padi sawah varietas lokal) dan Rokan (padi hibrida). Kombinasi faktor perlakuan periode kekeringan dan genotipe menghasilkan 32 kombinasi perlakuan yang diulang 4 kali sehingga terdapat 128 satuan percobaan. Model linier rancangan split plot: Y ijk = µ + K k + α i + δ ik + β j + γ ik+ (αβ) ij + ε ijk Y ijk : Nilai pengamatan faktor perlakuan kekeringan ke-i, dan perlakuan faktor genotipe ke-j dan blok ke-k µ : Rataan umum

33 19 K k : Pengaruh pengelompokan ke-k; k= 1, 2, 3, 4 α i : Pengaruh faktor kekeringan (petak utama) ke-i =; i=1, 4 β j : Pengaruh faktor varietas (anak petak) ke-j. j=1,2, 8 δ ik : Komponen galat dari faktor kekeringan (petak utama) γ ik : Komponen galat dari faktor varietas (anak petak) (αβ) ij : Pengaruh interaksi antara faktor kekeringan dan faktor varietas ε ijk : Pengaruh galat dari interaksi antara faktor kekeringan dan faktor varietas Pelaksanaan Penelitian Persiapan rumah plastik dan petak tanam Rumah plastik dibangun dengan ukuran 20 m x 15 m, tinggi rangka bangunan kurang lebih m. Dalam rumah plastik dibuat bak tanam dengan ukuran 400 x 300 cm sebanyak 16 bak dengan sekat dinding tembok sedalam 0.8 m. Jarak petak antar perlakuan 35 cm dan jarak petak antar ulangan 35 cm. Pada tiap bak tanam dilengkapi jaringan pipa inlet berdiameter 1 inchi dan outlet berdiameter 2 inchi. Sebelum dilakukan penanaman, terlebih dahulu dilakukan penggenangan selama 5 hari dan 2 kali pengolahan tanah. Persiapan benih dan penanaman Untuk menyeragamkan daya kecambah, benih dioven selama 48 jam pada suhu 45 0 C. Setelah benih dioven, selanjutnya benih dari masing-masing genotipe ditimbang sebanyak 35 g dan direndam dalam air selama 5 jam. Setelah dilakukan perendaman, benih untuk tiap genotipe disemai pada bak semai hingga tanaman berumur 12 hari. Pada tiap petak percobaan ditanami 8 genotipe, tiap genotipe terdiri dari 30 tanaman dalam 2 barisan tanaman dengan jarak tanam 20 cm x 20 cm, dan jarak tanam antar genotipe 25 cm. Pada kedua sisi petak ditanam tanaman pinggir. Jumlah populasi per petak adalah 270 populasi, dan jumlah total populasi tanaman untuk seluruh percobaan adalah 4320 tanaman.

34 20 Pemeliharaan tanaman Pemiliharaan tanaman dilakukan pemupukan dalam 3 tahap menggunakan pupuk dasar 37.5 kg N/ha, 36 kg P 2 O 5 /ha, dan 60 kg K 2 O/ha diberikan 1 minggu setelah tanam (MST) dan untuk pemupukan kedua dan ketiga diberikan 37.5 kg N/ha pada 5 MST dan 9 MST. Pengendalian hama dan penyakit dilakukan secara kimia sesuai kondisi dan kebutuhan di lapangan. Pengaturan pengairan untuk perlakuan pengeringan Untuk pengaturan perlakuan pengeringan dilakukan penghentian pemberian air pada tiap petak tanam sesuai perlakuan periode pengeringan. Untuk perlakuan periode pengeringan mulai 3 MST (minggu setelah tanam) pemberian air dihentikan saat tanaman berumur 3 MST hingga panen, periode pengeringan 6 MST pemberian air dihentikan ketika tanaman berumur 6 MST hingga panen dan periode pengeringan 9 MST pemberian air dihentikan ketika tanaman berumur 9 MST hingga panen, sedangkan untuk perlakuan kontrol pemberian air terus dilakukan hingga menjelang panen (Gambar 1). Pada penggenangan awal tinggi muka air dipertahankan 2.5 cm dari permukaan tanah. Gambar 1. Model perlakuan periode kekeringan saat 3 MST, 6 MST, 9 MST dan Kontrol (Warna hitam menunjukkan pemberian air dihentikan).

35 21 Parameter Pengamatan Pertumbuhan vegetatif Parameter pertumbuhan vegetatif yang diamati adalah tinggi tanaman, jumlah daun dan jumlah anakan dihitung tiap minggu sejak tanaman berumur 2 MST hingga 11 MST. Pengukuran tinggi tanaman dilakukan dari permukaan tanah hingga daun tertinggi, namun saat setelah membentuk malai pengukuran tinggi dilakukan hingga malai tertinggi. Jumlah daun dan jumlah anakan dihitung per rumpun dari tiap tanaman sample dengan menggunakan alat bantu hand counter. Daun yang dihitung adalah daun yang masih hijau. Jumlah anakan dihitung per rumpun dari tiap tanaman contoh. Hasil dan komponen hasil Hasil dan komponen hasil yang diamati adalah jumlah anakan produktif, dihitung sejak pembentukan malai berdasarkan jumlah anakan yang menghasilkan malai. Persen pembungaan, ditentukan berdasarkan jumlah tanaman yang menghasilkan bunga pada tiap genotipe. Umur berbunga (hari), umur berbunga diamati pada saat tiap genotipe mulai menghasilkan bunga. Panjang malai (cm), diukur pada saat sebelum panen dari pangkal hingga ujung malai dari 3 malai pada tiap tanaman contoh. Bobot gabah per rumpun (g) ditentukan dengan menimbang total gabah di setiap rumpun setelah kering angin selama 3 hari. Persen gabah hampa (%), dihitung setelah panen dengan membandingkan bobot gabah hampa terhadap gabah isi. Bobot 1000 butir (g), ditentukan dengan dengan menimbang 1000 gabah bernas dari setiap rumpun setelah dijemur 3 hari. Bobot basah dan bobot kering tajuk tanaman (g), bobot basah tajuk dihitung dengan ditimbang pada saat panen dan bobot kering tajuk dihitung dengan menimbang berat kering tanaman setelah dikeringkan dalam oven pada suhu 80 0 C selama 48 jam. Indeks panen ditentukan berdasarkan persamaan : Indeks Panen = Bobot kering gabah Bobot kering tajuk Bobot kering gabah per rumpun ditentukan setelah kering angin selama 3 hari.

36 22 Sensitifitas kekeringan (Drougth sensitivity) Penentuan sensitifitas kekeringan dilakukan berdasarkan indeks ketahanan kekeringan untuk daya hasil, skor penggulungan daun dan kekeringan daun. Indeks ketahanan kekeringan ditentukan dengan membandingkan bobot gabah per rumpun (g) tiap genotipe pada perlakuan kontrol terhadap bobot gabah per rumpun tiap genotipe pada tiap perlakuan kekeringan. Persamaan Indeks ketahanan kekeringan untuk daya hasil = 1 - (K n - H nj ) / K n K n : Daya hasil genotipe ke-n (1,2,3, 8) pada perlakuan kontrol H nj : Daya hasil genotipe ke-n (1,2,3,.8) pada perlakuan kekeringan ke-j (1,2,3,4). Tingkat penggulungan daun dan kekeringan daun dilakukan secara visual mengacu pada sistem standar evaluasi untuk tanaman padi (2002) berdasarkan nilai skor 1-9 (Tabel 2). Tabel 2. Nilai skor penggulungan daun dan tingkat kekeringan. Skor Penggulungan daun Skor Kekeringan 0 Daun sehat/daun tidak 0 Tidak ada gejala kekeringan menggulung 1 Daun mulai menunjukkan 1 kekeringan mulai tampak lipatan pada ujung daun 3 Daun melipat- bentuk huruf V 3 Kekeringan pada ujung daun meningkat hingga ¼ dari bagian daun 5 Daun melipat- bentuk huruf U 5 ¼ - ½ jumlah total daun pada tanaman kering 7 Pinggiran daun saling bersentuhan-bentuk huruf O 7 Lebih dari 2/3 dari jumlah total daun pada tanaman mengalami kekeringan penuh 9 Daun menggulung penuh 9 Seluruh bagian tanaman kering Sumber : IRRI (2002).. Lingkungan Tumbuh Parameter lingkungan tumbuh yang diamati adalah suhu, kelembaban harian, potensial air tanah mulai 1 minggu setelah perlakuan kekeringan menggunakan tensiometer. Penentuan potensial air tanah untuk tiap pengamatan dilakukan pada durasi menit. Analisis sifat kimia tanah yaitu ph-h 2 O dan KCl, N-Kjeldhal, C-organik, P dan K tersedia, P dan K potensial, KTK, kation

37 23 dapat ditukar (K, Na, Ca, Mg-dd) dan kemasaman dapat tukar (Al dan H-dd) dilakukan sebelum penanaman. Analisis Data Data yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabulasi dan analisis statistik menggunakan analisis sidik ragam dengan alat bantu SAS versi 9.1. Jika terdapat perlakuan yang berpengaruh nyata berdasarkan uji F, untuk melihat perbedaan antar perlakuan maka dilakukan uji lanjutan DMRT pada α 5%.

38 24 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pertumbuhan Vegetatif Rekapitulasi sidik ragam pengaruh periode kekeringan, genotipe dan interaksinya terhadap tinggi tanaman, jumlah daun dan jumlah anakan saat 4-11 MST disajikan pada Lampiran 1. Pengaruh periode kekeringan nyata terhadap pertumbuhan tinggi tanaman dan jumlah anakan setelah 5 MST, sedangkan terhadap jumlah daun setelah 7 MST. Pengaruh genotipe nyata terhadap tinggi tanaman, jumlah daun dan jumlah anakan sejak 4 MST hingga 11 MST. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan respon tinggi tanaman, jumlah daun dan jumlah anakan pada tiap genotipe. Pengaruh interaksi kekeringan dan genotipe nyata hanya terhadap jumlah daun saat 7 MST, 8 MST dan 9 MST, sedangkan terhadap tinggi tanaman dan jumlah anakan tidak nyata. Pengaruh perlakuan pengeringan terhadap perkembangan tinggi tanaman, jumlah daun dan jumlah anakan tampak nyata seiring dengan meningkatnya level kekeringan. Pengeringan secara nyata menghambat perkembangan tinggi tanaman terutama pada perlakuan pengeringan mulai 3 MST pada durasi 3 minggu setelah perlakuan kekeringan dilakukan, sementara pengaruh penghambatan terhadap jumlah daun terjadi pada durasi 5 minggu setelah perlakuan kekeringan dilakukan. Tinggi tanaman (cm) Minggu setelah tanam Kontrol 3 MST 6 MST 9 MST Gambar 2. Perkembangan tinggi tanaman padi pada berbagai perlakuan periode kekeringan.

39 25 Pada Gambar 2 dapat dilihat bahwa respon perkembangan tinggi tanaman saat 2-11 MST pada perlakuan periode pengeringan sejak 6 MST, 9 MST dan kontrol tidak menunjukkan perbedaan namun setelah 5 MST perkembangan tinggi tanaman pada perlakuan periode pengeringan sejak 3 MST yang tampak tertekan. Respon hambatan perkembangan tinggi tanaman pada perlakuan pengeringan sejak 3 MST mulai tampak pada saat umur tanaman mencapai 6 MST yang ditunjukkan dengan melandainya pertumbuhan tinggi yang diduga berkaitan dengan perlakuan pengeringan dan berasosiasi dengan penurunan potensial air tanah. Pada saat 6 MST, tinggi tanaman pada pengeringan 3 MST hanya mencapai cm berbeda nyata lebih rendah dibandingkan pengeringan 6 MST (97.13 cm) dan 9 MST (98.94 cm) dan kontrol (98.32 cm). Dari 8 genotipe padi yang digunakan dalam penelitian, terdapat perbedaan perkembangan tinggi tanaman sejak 3 MST. Perkembangan tinggi tanaman tertinggi ditunjukkan oleh genotipe IPB-97-F-15 dan Jatiluhur sedangkan terendah ditunjukkan oleh IR64 (Gambar 3). Tinggi tanaman (cm) Minggu Setelah Tanam Ciherang IPB-97-F-15 IR 64 Jatiluhur Menthik Wangi Rokan Silugonggo Way Apo Buru Gambar 3. Perkembangan tinggi tanaman 8 genotipe padi Perkembangan jumlah daun sampai dengan 5 MST pada berbagai perlakuan periode pengeringan tidak menunjukkan perbedaan, namun pada saat umur tanaman mencapai 6 MST perkembangan daun pada periode pengeringan sejak 3 MST tampak lebih tertekan (Gambar 4). Jumlah daun pada periode pengeringan sejak 3 MST hanya mencapai 29.8 daun berbeda nyata lebih rendah dibandingkan pengeringan saat 6 MST (31.4), 9 MST (32.2) serta

40 26 kontrol (32.3 daun). Pada Gambar 4 dapat dijelaskan juga bahwa setelah 8 MST jumlah daun pada perlakuan pengeringan sejak 3 MST, 6 MST, 9 MST ataupun kontrol mengalami penurunan karena mengalami kekeringan. Beberapa daun mengalami kekeringan terutama pada perlakuan periode pengeringan sejak 3 MST yang ditunjukkan dengan jumlah daun yang mengering lebih tinggi dibandingkan perlakuan kekeringan 6 MST, 9 MST ataupun kontrol. 40 Jumlah daun Minggu Setelah Tanam Kontrol 3 MST 6 MST 9 MST Gambar 4. Perkembangan jumlah daun padi pada berbagai perlakuan periode kekeringan. Perkembangan jumlah daun pada 8 genotipe padi saat 2-11 MST menunjukkan kisaran antara daun. Perkembangan jumlah daun terendah pada tiap minggu ditunjukkan pada genotipe IPB-97-F-15 dan Jatiluhur berbeda nyata lebih rendah dibandingkan IR64, Rokan, Menthik Wangi dan Silugonggo (Gambar 5) Jumlah daun Minggu setelah tanam Ciherang IPB -97-F-15 IR 64 Jatiluhur Menthik Wangi Rokan Silugonggo Way Apo Buru Gambar 5. Perkembangan jumlah daun 8 genotipe padi.

41 27 Pada Gambar 6 dapat dilihat bahwa perkembangan jumlah anakan pada umur tanaman 2-5 MST baik pada perlakuan periode pengeringan sejak 3 MST, 6 MST, 9 MST ataupun kontrol tidak menunjukkan perbedaan. Ketika umur tanaman mencapai 6 MST, jumlah anakan pada perlakuan pengeringan sejak 3 MST tampak lebih tertekan yaitu hanya mencapai 8.0 anakan berbeda nyata lebih rendah dibandingkan pengeringan sejak 6 MST (9.1), 9 MST (9.3) ataupun kontrol (9.1) Jumlah anakan Minggu setelah tanam 3 MST 6 MST 9 MST Kontrol Gambar 6. Pekembangan jumlah anakan padi pada berbagai periode pengeringan. Pada Gambar 6 dapat ditunjukkan juga bahwa saat umur tanaman mencapai 6 MST, tanaman yang mendapat perlakuan periode pengeringan sejak 3 MST telah mengalami kondisi kekeringan selama 3 minggu, sedangkan tanaman yang mendapat perlakuan periode pengeringan sejak 6 MST dan 9 MST belum berada dalam kondisi cekaman kekeringan. Dengan demikian perkembangan jumlah anakan tampak lebih tertekan pada periode perlakuan pengeringan sejak 3 MST dan berbeda nyata lebih rendah dibandingkan perlakuan periode pengeringan sejak 6 MST dan 9 MST. Perkembangan jumlah anakan pada 2-6 MST pada 8 genotipe padi menunjukkan variasi antara Hingga 6 MST, jumlah anakan tertinggi ditunjukkan oleh genotipe Silugongogo (11.2), sedangkan terendah ditunjukkan oleh IPB-97-F-15 (4.8) (Gambar 7).

42 28 Jumlah anakan Minggu setelah tanam Ciherang IPB-97-F-15 IR 64 Jatiluhur Menthik Wangi Rokan Silugonggo Way Apo Buru Gambar 7. Perkembangan jumlah anakan 8 genotipe padi. Pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa sampai dengan 11 MST perkembangan tinggi tanaman, jumlah daun dan jumlah anakan padi pada perlakuan pengeringan sejak 3 MST dan 6 MST sangat tertekan dibandingkan dengan perlakuan pengeringan saat 9 MST dan kontrol. Tinggi tanaman pada periode kekeringan 3 MST dan 6 MST masing-masing hanya mencapai cm dan cm, berbeda nyata lebih rendah dibandingkan kontrol ( cm). Tabel 3. Rata-rata tinggi tanaman, jumlah daun dan jumlah anakan 8 genotipe padi saat 11 MST. Perlakuan Tinggi tanaman Jumlah daun Jumlah anakan (cm) (per rumpun) (per rumpun) Periode Kekeringan 3 MST c 20.4 b 6.2 c 6 MST bc 23.5 ab 7.3 b 9 MST ab 26.1 a 7.7 ab Kontrol a 26.5 a 8.0 a Genotipe IR e 29.5a 8.7ab Ciherang cd 20.4bc 7.5c IPB-97-F a 19.6c 3.2e Way Apo Buru cd 21.1bc 8.0bc Jatiluhur a 18.5c 5.1d Menthik Wangi de 23.5b 8.1bc Silugonggo bc 31.4a 8.7ab Rokan b 29.3a 9.2a Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama untuk masing-masing perlakuan kekeringan dan genotipe tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf α 5%.

43 29 Pada Tabel 3 dapat ditunjukkan juga bahwa walaupun perkembangan tinggi tanaman, jumlah daun dan jumlah anakan pada perlakuan pengeringan sejak 9 MST tampak lebih rendah dibandingkan kontrol namun secara keseluruhan respon pertumbuhan vegetatif pada pengeringan sejak 9 MST tidak menunjukkan perberbedaan yang nyata dengan kontrol. Hal ini memberikan petunjuk bahwa ketika terjadi kekeringan saat 9 MST pada sistem padi sawah tadah hujan diduga tidak berpengaruh terhadap perkembangan tinggi tanaman, jumlah daun dan jumlah anakan. Respon tinggi tanaman, jumlah daun dan jumlah anakan pada 8 genotipe sangat bervariasi dan berkisar antara cm. Tanaman tertinggi ditunjukkan oleh genotipe IPB-97-F-15 dan Jatiluhur masing-masing cm dan cm dan berbeda nyata dibanding genotipe lainnya. Jumlah daun antar genotipe juga menunjukkan variasi antara Jumlah daun terbanyak ditunjukkan Silugonggo (31.4), IR64 (29.5) dan Rokan (29.3), sedangkan terendah pada Jatiluhur (18.5) dan IPB-97-F-15 (19.55). Jumlah anakan terbanyak ditunjukkan oleh Rokan (9.2), kemudian disusul Silugonggo dan IR64 (8.7), sedangkan terendah ditunjukkan oleh IPB-97-F-15 (3.2). Hasil dan Komponen Hasil Pengaruh perlakuan periode kekeringan dan genotipe nyata terhadap jumlah anakan produktif, persen pembungaan, panjang malai, persen gabah hampa, bobot gabah per rumpun, bobot 1000 gabah, bobot basah dan bobot kering tajuk serta indeks panen, sedangkan pengaruh interaksi hanya nyata terhadap jumlah anakan produktif, persen pembungaan dan bobot gabah per rumpun (Lampiran 2). Pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa respon jumlah anakan produktif pada sebagian besar genotipe tidak berbeda nyata baik pada perlakuan pengeringan sejak 6 MST ataupun 9 MST. Walaupun demikian respon yang berbeda ditunjukkan oleh genotipe Rokan dengan jumlah anakan produktif yang berkurang secara nyata baik pada pengeringan sejak 3 MST ataupun 6 MST masing-masing 1.1 dan 2.4 dibandingkan dengan pengeringan saat 9 MST (5.8) dan kontrol (5.7). Genotipe Jatiluhur yang diketahui sebagai tipe padi gogo memiliki jumlah anakan produktif yang tidak berbeda nyata baik pada perlakuan

44 30 kekeringan sejak 3 MST, 6 MST dan 9 MST masing-masing 4.0, 5.0 dan 5.1 anakan produktif. Tabel 4. Rata-rata jumlah anakan produktif. persen pembungaan dan bobot gabah per rumpun 8 genotipe padi pada berbagai perlakuan periode kekeringan. Genotipe Periode Kekeringan 3 MST 6 MST 9 MST Kontrol Jumlah anakan produktif per rumpun IR hijk 6.8 bcde 8.3 ab 8.1 ab Ciherang 5.3 efg 7.1 bcd 7.6 abc 7.7 abc IPB-97-F l 3.1 jk 3.5 ijk 3.5 ijk Way Apo Buru 4.2 ghij 7.8 abc 8.0 ab 7.8 abc Jatiluhur 4.0 ghij 5.0 fghi 5.1 fgh 5.9 def Silugonggo 6.3 cdef 7.8 abc 8.8 a 8.7 a Menthik Wangi 2.9 jk 6.3 cdef 6.9 bcd 7.0 bcd Rokan 1.1 l 2.4 kl 5.8 def 5.7 def Persen pembungaan (%) IR e 80.8 bc a a Ciherang 58.7 d 70.2 cd a a IPB-97-F ef 83.7 abc a a Way Apo Buru 18.3 ef 92.3 ab a a Jatiluhur 70.4 cd 98.1 a a a Silugonggo 78.3 bc a a a Menthik Wangi 19.2 ef 94.2 ab a a Rokan 2.9 f 70.2 cd a a Bobot gabah per rumpun (g) IR h efg cde cd Ciherang gh cde cde cd IPB-97-F h cde bc bc Jatiluhur cde cde bc bc Way Apo Buru gh cde bc ab Silugonggo gh cd bc a Menthik Wangi h cde cde a Rokan h efg def bc Keterangan: MST : Minggu setelah transplanting; Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf α 5%. Selain menekan perkembangan anakan produktif, periode pengeringan sejak 3 MST juga nyata menurunkan persen pembungaan 8 genotipe padi dibandingkan dengan kontrol. Secara keseluruhan persen pembungaan terendah ditunjukkan oleh Rokan (2.9%) pada perlakuan periode kekeringan sejak 3 MST. Periode pengeringan sejak 6 MST juga menurunkan persen pembungaan namun penurunan persen pembungaan pada genotipe IPB-97-F-15, Way Apo Buru,

45 31 Jatiluhur dan Menthik Wangi tidak nyata dibandingkan dengan pengeringan saat 9 MST dan kontrol. Periode pengeringan sejak 3 MST juga nyata menurunkan bobot gabah per rumpun pada sebagian besar genotipe. Bobot gabah per rumpun pada IPB-97-F- 15 (11.88 g), IR64 (12.23 g), Rokan (12.87 g) dan Menthik Wangi (13.17 g) pada pengeringan saat 3 MST berbeda nyata lebih rendah dibandingkan pengeringan saat 6 MST dan 9 MST serta kontrol. Respon bobot gabah per rumpun yang berbeda ditunjukkan pada genotipe Jatiluhur. Jatiluhur yang diketahui sebagai padi gogo memiliki bobot gabah per rumpun yang tidak nyata baik pada pengeringan sejak 3 MST, 6 MST, 9 MST ataupun kontrol (Tabel 4). Pada Tabel 5 dapat ditunjukkan bahwa pengaruh pengeringan sejak 3 MST secara nyata menurunkan panjang malai dan meningkatkan persen gabah hampa. Sedangkan penurunan bobot 1000 gabah tampak nyata pada pengeringan sejak 3 MST dan 6 MST dibandingkan pengeringan sejak 9 MST dan kontrol. Tabel 5. Rata-rata panjang malai, persen gabah hampa, bobot gabah per rumpun, dan bobot 1000 gabah. Perlakuan Panjang malai (cm) Gabah hampa (%) Bobot 1000 butir (g) Periode kekeringan 3 MST c a b 6 MST b b b 9 MST b b a Kontrol ab c a Genotipe IR cd ab a Ciherang d c a IPB-97-F a bc a Way Apo Buru b c a Jatiluhur d d a Menthik Wangi bc c a Silugonggo cd c a Rokan b a b Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama untuk masing-masing perlakuan kekeringan dan genotipe tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf α 5%. Panjang malai pada perlakuan pengeringan sejak 3 MST hanya mencapai cm berbeda nyata lebih pendek dibandingkan periode pengeringan saat 6 MST (23.40 cm), 9 MST (24.28 cm) dan kontrol (24.70 cm). Jika dibandingkan

46 32 dengan panjang malai pada perlakuan kontrol maka penurunan panjang malai pada perlakuan pengeringan sejak 3 MST mencapai 3.78 cm, sedangkan pada pengeringan sejak 6 MST dan 9 MST masing-masing mencapai 1.30 cm dan 0.42 cm. Rata-rata panjang malai pada 8 genotipe padi menunjukkan variasi antara cm. Genotipe dengan malai terpanjang ditunjukkan oleh IPB- 97-F-15 (26.67 cm), sedangkan malai terpendek ditunjukkan oleh Ciherang (22.11 cm), Jatiluhur (22.41 cm), Silugonggo (22.69 cm) dan IR64 (22.52 cm). Secara keseluruhan perlakuan periode kekeringan baik sejak 3 MST, 6 MST atau 9 MST meningkatkan persen gabah hampa (Tabel 5). Hal ini dapat dilihat pada tingginya persen gabah hampa baik pada perlakuan periode kekeringan sejak 3 MST, 6 MST dan 9 MST dibandingkan dengan kontrol. Persen gabah hampa tertinggi ditunjukkan pada periode kekeringan sejak 3 MST (72.1%) berbeda nyata lebih tinggi dibandingkan periode kekeringan sejak 6 MST (53.0%) dan 9 MST (50.3%). Variasi persen gabah hampa antar genotipe berkisar antara %. Persen gabah hampa tertinggi ditunjukkan oleh Rokan (66.81%) dan tidak berbeda nyata dengan IR64 (63.13%) sedangkan terendah ditunjukkan oleh Jatiluhur (35.40%). Perlakuan kekeringan juga berpengaruh terhadap penurunan bobot 1000 butir terutama periode kekeringan sejak 3 MST dan 6 MST masing-masing g dan g berbeda nyata lebih rendah dibandingkan periode kekeringan sejak 9 MST (25.92 g) dan kontrol (26.41 g) (Tabel 5). Persentase penurunan bobot 1000 butir akibat pengeringan sejak 3 MST dan 6 MST masing-masing mencapai 32.8% dan 20.2%, sementara pengeringan saat 9 MST hanya menurunkan bobot 1000 gabah sebesar 1.9% dibandingkan dengan kontrol. Kisaran bobot 1000 gabah pada tiap genotipe antara g. Bobot 1000 gabah tertinggi ditunjukkan oleh IPB-97-F-15 (24.82) sedangkan terendah ditunjukkan oleh Rokan (19.32 g). Selain menurunkan bobot 1000 gabah, perlakuan periode kekeringan sejak 3 MST juga secara nyata menurunkan bobot kering tajuk dan indeks panen, sementara penurunan bobot basah tajuk akibat perlakuan pengeringan sejak 3 MST dan 6 MST tidak berbeda nyata (Tabel 6). Berbeda dengan pengaruh pengeringan saat 3 MST dan 6 MST, pengaruh pengeringan sejak 9 MST tidak

47 33 nyata terhadap penurunan bobot basah basah dan bobot kering tajuk serta indeks panen. Indeks panen terendah ditunjukkan pada perlakuan pengeringan sejak 3 MST (0.21) berbeda nyata lebih rendah dibandingkan pengeringan sejak 6 MST (0.31) sedangkan indeks panen pada pengeringan sejak 9 MST (0.32) tidak berbeda nyata dengan kontrol (0.34). Tabel 6. Rata-rata bobot basah dan bobot kering tajuk, dan indeks panen pada perlakuan kekeringan dan genotipe. Perlakuan Bobot basah tajuk Bobot kering Indeks panen (g) (g) Periode kekeringan 3 MST b c 0.21 b 6 MST b b 0.31 a 9 MST a ab 0.32 a Kontrol a a 0.34 a Genotipe IR c d 0.28 c Ciherang c cd 0.31 bc IPB-97-F b bc 0.29 c Way Apo Buru bc ab 0.28 c Jatiluhur bc cd 0.37 a Menthik Wangi b bcd 0.30 bc Silugonggo bc bcd 0.34 b Rokan a a 0.21 d Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama untuk masing-masing perlakuan kekeringan dan genotipe tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf α 5%. Pada Tabel 6 dapat dilihat juga bahwa bobot basah tajuk 8 genotipe padi menunjukkan kisaran antara g. Bobot basah tajuk tertinggi ditunjukkan oleh Rokan ( g) yang secara nyata lebih tinggi dibandingkan 7 genotipe lainnya sedangkan terendah ditunjukkan oleh IR64 ( g). Genotipe Rokan memiliki bobot kering tajuk tertinggi yaitu g dan tidak berbeda nyata dengan Way Apo Buru (97.23 g), sedangkan bobot kering terendah ditunjukkan oleh IR64 (74.56 g) dan tidak berbeda nyata dengan Ciherang (76.72 g), Jatiluhur (77.35 g), Menthik Wangi (83.55 g) dan Silugonggo (86.24 g). Indeks panen pada 8 genotipe padi menunjukkan kisaran antara Indeks panen terendah ditunjukkan oleh Rokan (0.12) yang berbeda nyata lebih rendah dibandingkan 7 genotipe lainnya, sedangkan indeks panen tertinggi ditunjukkan oleh Jatiluhur (0.38) (Tabel 6).

48 34 Sensitifitas Kekeringan Indeks Ketahanan Kekeringan untuk Daya Hasil Indeks ketahanan kekeringan untuk daya hasil adalah perbandingan hasil gabah tiap genotipe pada perlakuan kekeringan terhadap hasil gabah genotipe yang sama pada perlakuan kontrol (tanpa perlakuan pengeringan). Pada Tabel 7 dapat dilihat bahwa rata-rata indeks ketahanan kekeringan untuk daya hasil terendah ditunjukkan pada pengeringan saat 3 MST (0.34) sedangkan indeks ketahanan kekeringan untuk daya hasil pada pengeringan saat 6 MST dan 9 MST masing-masing 0.69 dan Indeks ketahanan kekeringan untuk daya hasil pada 8 genotipe padi pada periode pengeringan sejak 3 MST, 6 MST dan 9 SMT menunjukkan variasi antara Genotipe dengan indeks ketahanan kekeringan untuk daya hasil tertinggi pada periode pengeringan sejak 3 MST ditunjukkan oleh Ciherang (0.43) sedangkan 3 genotipe dengan indeks terendah secara berurutan ditunjukkan oleh Menthik Wangi (0.20), Rokan (0.27) dan Silugonggo (0.27) (Tabel 7). Tabel 7. Rata-rata indeks ketahanan kekeringan untuk daya hasil 8 genotipe padi pada berbagai periode pengeringan. Genotipe Periode Kekeringan 3 MST 6 MST 9 MST Kontrol IR Ciherang IPB-97-F Way Apo Buru Jatiluhur Menthik Wangi Silugonggo Rokan Pada perlakuan periode pengeringan saat 6 MST indeks ketahanan kekeringan untuk daya hasil terendah ditunjukkan oleh Rokan (0.50) dan tertinggi ditunjukkan oleh Ciherang (0.93) disusul Way Apo Buru (0.79). Sementara pada pengeringan sejak 9 MST indeks ketahanan kekeringan untuk daya hasil terendah ditunjukkan oleh Rokan (0.69) sedangkan tertinggi pada IPB-97-F-15 (1.01) kemudian disusul Way Apo Buru (1.00) (Tabel 7).

49 35 Penggulungan Daun dan Kekeringan Daun Penggulungan daun pada 8 genotipe hanya terjadi pada periode pengeringan saat 3 MST dan 6 MST dengan kisaran skor (Tabel 8). Skor penggulungan daun tertinggi terjadi pengeringan saat 3 MST pada genotipe IR64 (9.00) kemudian disusul Rokan (8.50). Skor penggulungan daun terendah pada perlakuan pengeringan yang sama (3 MST) ditunjukkan oleh Jatiluhur (3.00) dan Way Apo Buru (4.00). Tabel 8. Skor penggulungan dan kekeringan daun 8 genotipe pada perlakuan periode kekeringan saat 3 dan 6 MST. Genotipe Penggulungan Kekeringan Periode Kekeringan 3 MST 6 MST 3 MST 6 MST IR Ciherang IPB-97-F Way Apo Buru Jatiluhur Silugonggo Menthik Wangi Rokan Keterangan skor penggulungan daun : 0= Daun sehat/daun tidak menunjukkan lipatan; 1 = daun mulai menunjukkan lipatan; 3 =Daun melipat- bentuk huruf V; 5 =daun melipat membentuk huruf U; 7 = pinggiran daun saling bersentuhan membentuk huruf O; 9 =daun menggulung penuh. Pada Tabel 8 dapat dilihat juga bahwa skor kekeringan daun pada 8 genotipe padi berkisar antara Pada periode pengeringan sejak 3 MST. Skor kekeringan tertinggi ditunjukkan oleh Rokan (7.00) kemudian disusul Silugonggo, Menthik Wangi dan IR64 dengan skor Sementara pada pengeringan saat 6 MST skor kekeringan tertinggi ditunjukkan oleh Menthik Wangi (4.50). Skor penggulungan dan kekeringan daun berdasarkan durasi kekeringan yang diamati sejak awal perlakuan pengeringan dilakukan menunjukkan gejala penggulungan daun pada tiap genotipe padi yang diberi perlakuan pengeringan sejak 3 dan 6 MST terjadi pada durasi 5 minggu setelah pengeringan dilakukan. Sementara gejala kekeringan daun pada perlakuan kekeringan saat 3 dan 6 MST terjadi pada durasi 7 minggu setelah perlakuan kekeringan dilakukan.

50 36 Potensial Air Tanah Gambar 8 dan 9 menunjukkan pola penurunan potensial air tanah pada kedalaman 10 dan 20 cm dimana dapat dilihat juga bahwa terdapat perbedaan penurunan potensial air tanah pada periode pengeringan yang berbeda. Penentuan potensial air tanah dilakukan dalam selang waktu 1 minggu setelah pengeringan dilakukan baik pada pengeringan mulai 3 MST, 6 MST ataupun 9 MST menggunakan Tensionmeter pada saat 4-13 MST. 0 Minggu setelah tanam Potensial air tanah (kpa) K-3 MST K-6 MST K-9 MST Gambar 8. Perkembangan potensial air tanah pada berbagai perlakuan kekeringan yang diukur pada kedalaman tanah 10 cm. Penurunan potensial air tanah disebabkan oleh evapotranspirasi tanah dan tanaman. Pada Gambar 8 dapat ditunjukkan bahwa pada kedalaman tanah 10 cm pada durasi kekeringan 1 minggu pada perlakuan pengeringan saat 3 MST penurunan potensial air tanah mencapai kpa. sementara periode kekeringan saat 6 MST dan 9 MST masing-masing mencapai kpa dan kpa. Durasi kekeringan yang lebih panjang berpengaruh pada menurunnya potensial air tanah namun sebaliknya meningkatkan level kekeringan (severity). Hingga 13 MST penurunan potensial air tanah pada perlakuan pengeringan saat 3 MST mencapai kpa. sementara pada pengeringan saat 6 dan 9 MST tampak lebih rendah yaitu dan kpa.

51 37 0 Minggu setelah tanam Potensial air tanah (kpa) K-3 MST K-6 MST K-9 MST Gambar 9. Perkembangan potensial air tanah pada berbagai perlakuan kekeringan yang diukur pada kedalaman tanah 20 cm. Pada gambar 9 dapat ditunjukkan bahwa pada pengeringan saat 3 MST pada kedalaman tanah 20 cm terjadi penurunan potensial air tanah mencapai kpa sedangkan perlakuan pengeringan saat 6 MST dan 9 MST masingmasing mencapai kpa dan kpa. Hingga 13 MST potensial air pada perlakuan periode kekeringan saat 3 MST yaitu kpa, sementara pada periode kekeringan saat 6 dan 9 MST tampak lebih rendah yaitu dan kpa. Pembahasan Pertumbuhan Vegetatif Stres kekeringan secara mendasar menekan pertumbuhan dan menurunkan hasil tanaman padi. Walaupun demikian respon tanaman padi terhadap kekeringan bervariasi tergantung pada genotipe. fase tumbuh. waktu dan perkembangan kekeringan (Fukai dan Cooper 1995). Hasil penelitian menunjukkan pengaruh pengeringan dan genotipe berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman, jumlah daun dan jumlah anakan, sedangkan pengaruh interaksi kekeringan dan genotipe tidak nyata. Pengeringan sejak 3 MST dan 6 MST memberikan efek penghambatan yang berarti terhadap tinggi tanaman, jumlah daun dan jumlah anakan

52 38 dibandingkan pengeringan saat 9 MST dan kontrol (Tabel 2). Jumlah anakan pada pengeringan sejak 9 MST mencapai 7.68 dan tidak berbeda nyata dengan kontrol (8.04). Hal ini memberikan petunjuk praktis bahwa pada sistem padi sawah tadah hujan ketika terjadi kekeringan sejak 9 MST diduga tidak berpengaruh terhadap hasil panen. Pengaruh pengeringan sejak 9 MST juga tampak tidak nyata terhadap penurunan tinggi tanaman dan jumlah daun karena tidak berbeda nyata dengan kontrol (Tabel 2). Dilihat dari durasi dan peningkatan level kekeringan dapat dijelaskan bahwa pengeringan saat 3 MST dan 6 MST terjadi pada durasi atau periode pertumbuhan vegetatif. Wopereis et al. (1996) dan Davatgar et al. (2009) menjelaskan bahwa kekeringan pada fase vegetatif menghambat pertumbuhan tinggi tanaman, perkembangan jumlah anakan dan daun. Hal ini sesuai dengan hasil yang diperoleh bahwa pengeringan saat 3 MST dan 6 MST secara nyata menurunkan pertumbuhan tinggi tanaman, jumlah daun dan jumlah anakan. Penghambatan terhadap tinggi tanaman, jumlah daun dan jumlah anakan pada periode pengeringan saat 3 dan 6 MST mulai terjadi pada durasi 5 minggu sejak perlakuan kekeringan dilakukan hal ini ditunjukkan dengan melandainya tingkat pertumbuhan baik pada tinggi tanaman, jumlah daun dan jumlah anakan (Gambar 4; Gambar 6). Yosida dan Hasegawa (1982) menemukan bahwa karakter jumlah anakan yang lebih sedikit berasosiasi dengan rasio akar yang lebih dalam terhadap pucuk. Hal ini menunjukkan bahwa genotipe padi dengan jumlah anakan yang sedikit cendrung memiliki sistem perakaran yang lebih dalam dan karakter ini umumnya merupakan ciri genotipe padi tradisional lahan kering. Pada penelitian ini tidak dilakukan pengamatan terhadap karakter sistem perakaran pada kedelapan genotipe yang diuji, namun hasil penelitian menunjukkan adanya korelasi negatif antara tinggi tanaman dengan jumlah anakan, sedangkan korelasi positif ditunjukkan pada tinggi tanaman dengan panjang malai (Lampiran 10). Genotipe IPB-97-F-15 dan Jatiluhur memiliki penampilan tajuk tertinggi masing-masing dan cm namun memiliki jumlah anakan lebih sedikit yaitu 3.20 dan Sementara itu jumlah anakan tertinggi ditunjukkan oleh genotipe dengan penampilan yang lebih pendek

53 39 yaitu Rokan (9.21), Silugonggo (8.70) dan IR64 (8.70). Jumlah anakan yang lebih sedikit berasosiasi dengan jumlah daun, hal ini ditunjukkan oleh genotipe IPB- 97-F-15 dan Jatiluhur yang memiliki jumlah anakan yang lebih sedikit dan berasosiasi dengan rendahnya jumlah daun. Jumlah total daun pada kedua genotipe ini hanya mencapai dan Sementara jumlah daun terbanyak ditunjukkan oleh genotipe Silugonggo, IR64 dan Rokan masing-masing 31.40, dan (Tabel 2). Hasil dan Komponen Hasil Pengaruh perlakuan kekeringan dan genotipe nyata terhadap jumlah anakan produktif, persen pembungaan, panjang malai, persen gabah hampa, bobot gabah per rumpun, bobot 1000 butir, bobot basah dan bobot kering tajuk serta indeks panen. Sedangkan pengaruh interaksi hanya nyata terhadap jumlah anakan produktif. persen pembungaan dan bobot gabah per rumpun. Hasil uji korelasi menunjukkan perkembangan jumlah anakan produktif secara nyata berkorelasi positif dengan persen pembungaan namun tidak berkorelasi dengan panjang malai (Lampiran 3). Jumlah anakan produktif tertinggi ditunjukkan pada periode kekeringan 9 MST dan kontrol masing-masing 6.7 dan 6.8. sedangkan terendah pada pengeringan 6 MST (5.8) dan 3 MST (3.6). Sementara itu persen pembungaan pada periode kekeringan sejak 9 MST dan kontrol masing-masing mencapai 100.0%. sedangkan pada periode kekeringan 6 MST mencapai 86.2%. Persen pembungaan terendah ditunjukkan pada periode kekeringan 3 MST yaitu 34.9%. Hal ini menunjukkan bahwa perkembangan anakan produktif lebih sensitif pada perlakuan periode pengeringan sejak 3 MST dan 6 MST. Sementara persen pembungaan tampak lebih tertekan pada pengeringan sejak 3 MST. Pantuwan et al (2002) melaporkan bahwa cekaman kekeringan pada intensitas (severity) yang tinggi terutama menjelang pembungaan secara umum akan menunda pembungaan dan berasosiasi negatif dengan hasil gabah, persentase panikel fertil dan meningkatkan persentase gabah hampa. Respon genotipe terhadap jumlah anakan produktif menunjukkan jumlah anakan produktif tertinggi ditunjukkan oleh Silugonggo (7.9). kemudian disusul

54 40 Way Apo Buru (7.9), Ciherang (6.9) dan IR64 (6.7). Sedangkan jumlah anakan produktif terendah ditunjukkan oleh Rokan (3.7). Perbandingan persen pembungaan pada tiap genotipe menunjukkan 5 genotipe dengan persen pembungaan tertinggi secara berurutan ditunjukkan oleh Silugonggo (94.6%). Jatiluhur (92.1%), Ciherang (82.2%), Menthik Wangi (78.3%) dan Way Apo Buru (77.6%), sedangkan persen pembungaan terendah ditunjukkan oleh Rokan (68.3%) kemudian disusul IR64 (75.5%) dan IPB-97-F-15 (73.6%). Hal ini menunjukkan bahwa terdapat keragaman dalam perkembangan jumlah anakan produktif dan persen pembungaan antar genotipe. Jumlah anakan produktif dan persen pembungaan terendah ditunjukkan oleh Rokan yang diketahui merupakan genotipe padi hibrid yang memerlukan syarat kondisi lingkungan tumbuh optimum. Rendahnya jumlah anakan produktif dan persen pembungaan pada genotipe Rokan merupakan akumulasi dari rendahnya jumlah anakan produktif kondisi perlakuan kekeringan baik sejak 3 MST, 6 MST ataupun 9 MST dibandingkan 7 genotipe lainnya. Dengan demikian berdasarkan parameter jumlah anakan produktif Rokan memiliki tingkat kepekaan yang lebih tinggi terhadap kekeringan dibandingkan 7 genotipe lainnya. Pengaruh kekeringan nyata menghambat perkembangan malai. Hal ini ditunjukkan pada ukuran panjang malai yang lebih pendek terutama pada periode kekeringan saat 3 MST dan 6 MST yang masing-masing hanya mencapai cm dan cm. Panjang malai pada periode kekeringan saat 9 MST dan kontrol tidak berbeda nyata, panjang malai pada masing-masing perlakuan tersebut mencapai cm dan cm. Genotipe dengan malai terpanjang ditunjukkan oleh IPB-97-F-15 yaitu cm. kemudian disusul Way Apo Buru (23.40 cm). Malai terpendek ditunjukkan oleh Jatiluhur yaitu cm (Tabel 5). Kekeringan pada fase reproduktif menyebabkan penurunan hasil terutama karena meningkatnya persentase gabah hampa dan menurunkan bobot gabah (O Toole. 1982; Wopereis et al. 1996). Hasil penelitian menunjukkan persen gabah hampa tertinggi terjadi pada periode kekeringan sejak 3 MST yaitu 72.1%, sedangkan persen gabah hampa pada periode kekeringan 6 MST dan 9 MST masing-masing mencapai 53.0% dan 50.3%. Persen gabah terendah ditunjukkan pada perlakuan kontrol yaitu 38.5% (Tabel 5). Hal ini menunjukkan

55 41 bahwa secara umum kondisi kekeringan meningkatkan persen gabah hampa. walaupun demikian peningkatan persen gabah hampa tertinggi ditunjukkan pada pengeringan sejak 3 MST dengan persentase peningkatan mencapai 33.6% dibandingkan kontrol sedangkan peningkatan persen gabah hampa pada perlakuan pengeringan sejak 6 MST dan 9 MST masing-masing hanya mencapai 19.5% dan 11.8%. Tingginya persen gabah hampa pada periode kekeringan 3 MST berasosiasi dengan rendahnya bobot gabah per rumpun, bobot 1000 butir dan indeks panen. Bobot gabah per rumpun pada periode kekeringan 3 MST hanya mencapai g dan berbeda nyata dengan bobot gabah per rumpun pada periode kekeringan 6 MST dan 9 MST masing-masing g dan g. Bobot gabah per rumpun tertinggi ditunjukkan pada perlakuan kontrol (53.64 g) (Tabel 4). Penurunan bobot gabah per rumpun akibat pengeringan sejak 3 MST berpengaruh terhadap nilai indeks panen. Indeks panen pada periode kekeringan sejak 3 MST hanya mencapai 0.21 berbeda nyata lebih rendah dibandingkan indeks panen pada pengeringan sejak 6 MST, 9 MST dan kontrol masing-masing mencapai 0.31, 0.32 dan Respon genotipe terhadap kekeringan menunjukkan pola yang konsisten. dimana genotipe dengan persen gabah hampa lebih tinggi cendrung memiliki bobot gabah per rumpun dan nilai indeks panen terendah. Hal ini tampak jelas pada genotipe Rokan dan IR64 dengan persen gabah hampa tertinggi yaitu 66.8% dan 63.1% masing-masing memiliki bobot gabah per rumpun terendah yaitu g dan g. Sementara genotipe Jatiluhur dengan persen gabah hampa terendah cendrung menunjukkan bobot gabah per rumpun dan indeks panen tertinggi yaitu g dan 0.37 g, kemudian disusul Silugonggo dengan bobot gabah per rumpun dan nilai indeks panen masing-masing dan 0.34 (Tabel 5; Tabel 6). Sensitifitas Kekeringan Terdapat korelasi antara nilai indeks panen dengan indeks ketahanan kekeringan untuk daya hasil. Hal ini menunjukkan bahwa tingginya nilai indeks panen secara nyata berkorelasi positif dengan tingginya nilai indeks ketahanan

56 42 kekeringan untuk daya hasil (Lampiran 3). Indeks ketahanan kekeringan untuk daya hasil pada periode kekeringan 3 MST hanya mencapai 0.34 yang secara nyata lebih rendah dibandingkan dengan pengeringan 6 MST dan 9 MST ataupun kontrol. Sementara respon nilai indeks ketahanan kekeringan tertinggi dari 8 genotipe yang diuji secara berurutan ditunjukkan oleh Ciherang (0.87), Way Apo Buru (0.79) dan Jatiluhur (0.79). Pada periode kekeringan 9 MST genotipe dengan nilai indeks tertinggi ditunjukkan oleh IPB-97-F-15 dan Way Apo Buru, sementara pada periode kekeringan sejak 3 MST dan 6 MST genotipe dengan nilai indeks tertinggi ditunjukkan oleh Ciherang, Way Apo Buru dan Jatiluhur (Tabel 5). Penggulungan daun (leaf rolling) merupakan respon awal tanaman padi terhadap stres kekeringan adalah kemudian diikuti dengan kekeringan daun (leaf dessication). Hasil penelitian menunjukkan skor penggulungan daun tertinggi ditunjukkan pada perlakuan kekeringan saat 3 MST yaitu 5.44 sementara skor penggulungan daun pada perlakuan kekeringan saat 6 MST mencapai 4.81 (Tabel 8). Pada perlakuan kekeringan saat 9 MST dan kontrol cendrung tidak terjadi penggulungan daun sehingga memiliki nilai rata-rata skor 0. Penggulungan daun berakibat pada menurunnya indeks luas daun dan tingkat penerimaan cahaya sehinngga menurunkan laju fotosintesis (Bouman dan Tuong. 2001). Penggulungan daun juga merupakan mekanisme penghindaran terhadap kekeringan (drought avoidance) yang berkaitan dengan kemampuan penyesuaian osmotik untuk mempertahankan potensial air daun tetap tinggi pada kondisi kekeringan. (O Toole dan Moya. 1978; Turner et al. 1986; Fukai dan Inthapan. 1988). Hal ini menunjukkan bahwa genotipe dengan skor penggulungan daun yang rendah pada kondisi kekeringan cendrung memiliki kemampuan penyesuaian osmotic yang lebih baik. Mitchell (1998) menemukan bahwa skor kekeringan penggulungan daun dan kematian daun berasosiasi dengan tingginya ukuran kanopi tanaman. lebih lanjut Jongdee (1998) menegaskan bahwa meningkatnya ukuran kanopi pada kondisi kekeringan berasosiasi dengan meningkatnya penggunaan air dan memacu penurunan potensial air daun. Hasil pengamatan secara visual menunjukkan skor penggulungan daun tertinggi ditunjukkan oleh IR64 pada perlakuan kekeringan

57 43 saat 3 MST yaitu 9.00 (daun menggulung penuh) kemudian disusul Rokan yaitu Rokan memiliki bobot basah tertinggi yaitu g sehingga berasosiasi dengan tingginya skor penggulungan. namun skor penggulungan daun yang tidak konsisten dengan tingginya bobot basah ditunjukkan oleh IR64 dengan bobot basah lebih rendah yaitu g namun menunjukkan skor penggulungan daun tertinggi yaitu Sementara itu genotipe Jatiluhur menunjukkan skor penggulungan daun terendah baik pada periode kekeringan 3 MST ataupun 6 MST masing-masing 3.00 dan 2.50 (Tabel 8). Skor penggulungan daun juga secara nyata berkorelasi positif dengan persen gabah hampa, dan secara nyata berkorelasi negatif dengan tinggi tanaman, jumlah daun. jumlah anakan, jumlah anakan produktif, panjang malai, persen pembungaan, bobot gabah per rumpun, bobot 1000 butir, bobot basah dan bobot kering tajuk, indeks panen dan indeks ketahanan kekeringan untuk daya hasil (Lampiran 3). Tingkat kekeringan juga terjadi perlakuan pengeringan sejak 3 MST dan 6 MST dengan skor masing-masing 5.88 dan 3.63, sementara pada perlakuan kekeringan saat 9 MST dan kontrol memiliki skor kekeringan daun 0. Perbedaan skor kekeringan ditunjukkan pada tiap genotipe. dimana skor kekeringan tertinggi ditunjukkan Rokan (7.00) kemudian disusul IR64, Silugonggo, Menthik Wangi dengan skor kekeringan yang sama yaitu Skor kekeringan terendah ditunjukkan oleh Jatiluhur Potensial Air Tanah Pengamatan terhadap penurunan potensial air tanah pada penelitian ini baik pada pengeringan sejak 3 MST, 6 MST dan 9 MST terjadi secara gradual dan terdapat perbedaan penurunan potensial air tanah pada kedalaman 10 cm dan 20 cm (Gambar 8 dan 9). Laju penurunan potensial air tanah pada kedalaman tanah 10 cm cendrung lebih tinggi dibandingkan pada kedalaman 20 cm. Hubungan antara respon penggulungan daun dan penurunan potensial air tanah. Boonjung (1993) menjelaskan bahwa respon awal tanaman padi terhadap kekeringan yang berasosiasi dengan penurunan potensial air tanah ditunjukkan dengan menggulungnya daun. Penggulungan daun berpengaruh pada menurunnya

58 44 indeks luas daun dan penutupan stomata dan berakibat pada penurunan berat kering dan hasil padi. Pada penelitian ini respon penggulungan daun pada periode perlakuan pengeringan sejak 3 MST terjadi pada durasi kekeringan 5 minggu sejak perlakuan kekeringan pada penurunan kondisi potensial air tanah di kedalaman 10 cm dan 20 cm masing-masing kpa dan kpa. Sedangkan pada perlakuan periode pengeringan sejak 6 MST penggulungan daun mulai terjadi pada durasi kekeringan 6 minggu sejak perlakuan kekeringan dilakukan dimana penurunan potensial air tanah pada kedalaman 10 cm dan 20 cm masing-masing mencapai kpa dan kpa. Hasil penelitian Wopereis et al. (1996) menunjukkan pertambahan luas daun padi terhenti ketika potensial air pada zone perakaran berkurang pada kisaran -15 kpa hingga -250 kpa tergantung pada usia tanaman dan musim tanam. Sementara itu respon penggulungan daun antar gentoipe menunjukkan variasi baik pada periode kekeringan sejak 3 MST dan 6 MST (Tabel 8). Respon penggulungan daun yang ditunjukkan dengan skor penggulungan daun tertinggi ditunjukkan oleh genotipe IR64 (9.00) kemudian disusul Rokan (8.50). IR64 diketahui merupakan varietas padi unggul sementara Rokan adalah varietas padi hibrida dengan kesesuaian lingkungan tumbuh pada kondisi tergenang. Dengan demikian jika dibandingkan dengan genotipe padi sawah lainnya seperti Ciherang, Menthik Wangi dan IPB-97-F-15 menunjukkan bahwa kedua genotipe ini memiliki tingkat kepekaan yang lebih tinggi terutama berkaitan dengan respon pengulungan daun terhadap kekeringan. Takane et al (1995) menjelaskan tingginya skor penggulungan daun dan kekeringan daun dan hubungannya dengan resistensi kekeringan pada genotipe padi sawah berkaitan dengan sifat perakaran terutama rendahnya kemampuan absorbsi air, transpirasi dan konduktansi aliran air. Berbeda dengan Rokan dan IR64, respon penggulungan daun pada genotipe Jatiluhur dan Way Apo Buru secara visual lebih rendah (Tabel 8). Hal ini mengindikasikan bahwa hubungannya dengan respon penggulungan daun terhadap kekeringan maka kedua genotipe tersebut cukup toleran terhadap kekeringan. Jatiluhur yang diketahui sebagai genotipe padi gogo dan Way Apo

59 45 Buru merupakan genotipe padi amphibi yang mampu beradaptasi baik pada kondisi tergenang atau tanpa penggenangan. Takane et al. (1995) menjelaskan bahwa genotipe padi dataran tinggi secara emprik memiliki resistensi kekeringan yang tinggi karena memiliki kemampuan absorbsi air. transpirasi dan konduktansi aliran air dalam tanaman. Padi gogo juga umumnya memiliki bobot akar yang lebih besar pada kedalam 20 cm dari permukaan tanah dibandingkan dengan padi yang memiliki kesesuaian lingkungan tumbuh pada kondisi tergenang. Dengan demikian terdapat indikasi yang kuat antara karakter sistem perakaran dengan rendahnya skor penggulungan daun terutama pada genotipe Jatiluhur.

60 46 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Kekeringan berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan vegetatif, hasil dan komponen hasil 8 genotipe padi pada sistem sawah. Pengeringan sejak 3 MST dan 6 MST lebih menghambat pertumbuhan tinggi tanaman, jumlah anakan dan jumlah daun dibandingkan pengeringan sejak 9 MST dan kontrol. Pengeringan sejak 3 dan 6 MST juga menurunkan hasil dan komponen hasil yang ditunjukkan dengan rendahnya jumlah anakan produktif, tingginya persen gabah hampa yang berasosiasi dengan rendahnya bobot gabah per rumpun, bobot 1000 butir dan indeks panen. Genotipe dengan penampilan tajuk tertinggi ditunjukkan oleh IPB-97-F-15 dan Jatiluhur, sementara genotipe dengan jumlah daun dan anakan terbanyak ditunjukkan oleh Silugonggo, Rokan dan IR64. Jumlah anakan produktif dan persen pembungaan tertinggi ditunjukkan oleh Silugonggo, persen pembungaan tertinggi ditunjukkan oleh Siluonggo dan Jatiluhur, sementara malai terpanjang ditunjukkan oleh IPB-97-F-15. Genotipe dengan persen gabah hampa tertinggi ditunjukkan oleh IR64 dan Rokan dan berasosiasi dengan rendahnya bobot gabah per rumpun, bobot 1000 butir, dan indeks panen, sementara genotipe dengan persen gabah hampa terendah ditunjukkan oleh Jatiluhur dan Silugonggo. Terdapat perbedaan respon 8 genotipe padi terhadap periode kekeringan pada sistem sawah. Berdasarkan parameter anakan produktif, skor penggulungan dan skor kekeringan daun, dan indeks ketahanan kekeringan untuk daya hasil, kedelapan genotipe tersebut dapat dikelompokan menjadi 3 kelompok, Jatiluhur dan Way Apo Buru termasuk kelompok yang toleran; Rokan dan Menthik Wangi termasuk kelompok yang peka; IR64, Ciherang, IPB-97-F-15 dan Silugonggo termasuk pada kelompok agak toleran (moderat) terhadap kekeringan.

61 47 Saran Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui kemampuan genotipe Jatiluhur, Ciherang dan Way Apo Buru pada kondisi kekeringan terutama yang berkaitan dengan aspek fisiologis dan juga kemampuan recovery setelah melewati periode kekeringan tertentu.

62 48 DAFTAR PUSTAKA Arrandeau M A Breeding strategies for drought resistance In: E.W.G. Baker (Editor). Drought Resistance in Cereals. CAB International. UK. pp. 107-l 16. Ashari S Hortikultura Aspek Budidaya. Edisi Revisi. Universitas Indonesia. Boonjung H Modelling growth and yield of upland rice under water limiting conditions. PhD thesis. The University of Queensland. Bouman BAM. Tuong TP Field water management to save water and increase its productivity in irrigated rice. Agric. Water Manage. 49: Bouman BAM. Humphreys E. Tuong TP. Barker R. Adv in Agron. 92: Rice and Water. Cattivelli L et al Drought tolerance improvement in crop plants: An integrated view from breeding to genomics. Field Crops Res. 105:1-14. Chang TT. Somrith B. O Toole JC Potential for improving drought resistance in rainfed lowland rice. In: Rainfed Lowland Rice: Selected papers from the 1978 International Rice Research Conference. IRRI. Los Banos. Philippines. pp Cruz RT. O Toole. JC Dryland rice response to an irrigation gradient at flowering stage. Agron. J 76: Cruz RT. O Toole. JC Water stress at reproductive stage and grain yield of dryland rice. Philip. Agric 68: Cutler JM. Shahan KW. Steponkus PL Alteration of the internal water relations of rice in response to drought hardening. Crop Sci 20: Dawe D Increasing water productivity in rice based sistems in Asia-past trends. current problems. and future prospects. Plant Prod. Sci 8: Departemen Pertanian Deskripsi Varietas Padi. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Sukamandi. Dingkuhn M. Cruz RT. O Toole JC. Doerflling K. 1989a. Net photosynthesis. water use efficiency. leaf witer potential. and leaf rolling as affected by water deficit in tropical upland rice. Aust. J. Agric. Res 40: Dingkuhn M. De Datta SK. Dorffing K. Javellana C. 1989b. Varietal differences in leaf water potential. leaf net CO 2 assimilation. conductivity and water use efficiency in upland rice. Aust. J. Agric. Res 40:

63 49 Ekanayake IJ. Garrity DP. Masajo TM. O Toole. J.C. 1985b. Root pulling resistance in rice: Inheritance and association with drought tolerance. Euphytica 34: Ekanayake IJ. O Toole JC. Garrity DP. Masajo TM. 1985a. Inheritance of root characters and their relations to drought resistance in rice. Crop Sci 25: FAO Rice and water : a long and diversified story. International Year of rice. Available at : Fischer KS. Lafitte R. Fukai S. Atlin G. Hardy B. editors Breeding Rice for Drought Prone Environment. Los Banos (Philipine): International Rice Research Institute. 98p. Fukai S. Inthapan P Growth and yield of rice Kultivars under sprinkler irrigation in south-eastern Queensland. 3. Water extraction and plant water relations-comparison with maize and grain sorghum. Aust. J. Exp. Agric. 28: Fukai S. Cooper M Review Development of drought-resistant Kultivars using physiomorphological traits in rice. Field Crops Res 40: Gardner FP. Pearce RB. Mitchel RL Fisiologi Tanaman Budidaya. Universitas Indonesia. Jakarta. Gomathinayagam P. Natarajan S. Subramanian M. Nagarajan M A simple procedure to screen deep rooted rice entries. Gryza 26: Guera LC. Buhiyan SI. Tuong TP. Bakrer R Producing more water with less water from irrigated sistem. Discussion Paper Series. No.29. f. [4/5/2010]. Hanson AD. Peacock WJ. Evans LT. Arntzen CJ. Khush GS Drought resistance in rice. Nature 234: 2. Hardjowigeno S Ilmu Tanah. Akademika Pressindo. Jakarta. Henderson SA et al Influence of water stress on leaf death among rice lines: comparison between glasshouse and field. In: Proceedings of 7 th Australian Agronomy Conference. Adelaide. ETU Publications. pp Hsiao TC. O Toole JC. Yambao EB. Turner NC Influence of osmotic adjustment on leaf rolling and tissue death in rice. Plant Physol 75: Ingram KT. Real JG. Maguling MA. Obien MA. Loresto GC Comparison of selection indices to screen lowland rice for drought resistance. Euphytica 48:

64 50 Inthapan P. Fukai S Growth and yield of rice Kultivars under sprinkler irrigation in south-eastern Queensland.2. Comparison with maize and grain sorghum under wet and dry conditions. Aust. J. Exp. Agric 28: IRRI Standard evaluation sistem for rice (SES). Find out how the quality of rice are evaluated and scored in this authoritative sourcebook. International Rice Research Institut. 49p. Jaleel CA et al Drought stress in plants: a review on morphological characteristics and pigments composition. Int. J. Agric. Biol. 11: Jongdee B. Pantuwan G. Fukai S. Fischer K Improving drought tolerance in rainfed lowland rice: An example from Thailand. Agric Water Manage. 80: Lafitte HR. Bennet C Interpreting Kultivar environment interactions for yield in upland rice: assigning value to drought-adaptive traits. Crop Sci. 42: Lilley JM. Fukai S Effect of timing and severity of water deficit on four diverse rice Kultivars. I. Rooting patterns and soil water extraction. Field Crops Res. 37: Ludlow MM. Muchow R.C A critical evaluation of the traits for improving crop yields in water limited environments. Adv. Agron. 43: Ludlow MM. Sommer KJ. Flower DJ. Ferraris R. So HB Influence of root signals resulting from soil dehydration and high soil strength on the growth of crop plants. Curr. Topics Plant Biochem. Physiol 8 : Maclean JL. Dawe D. Hardy B. Hettel GP Rice Almanac. International Rice Research Institute. Los Banos. Philippines. p.253. Mambani B. and Lal R. 1983a. Response of upland rice varieties to drought stress. 1. Relation between root sistem development and leaf water potential. Plant Soil 73: Mambani B. Lal R. 1983b. Response of upland rice varieties to drought stress. 2. Screening rice varieties by means of variable moisture regimes along a toposequence. Plant Soil 73: Mambani B. Lal R. 1983c. Response of upland rice varieties to drought stress. 3. Estimating root sistem configuration from soil moisture data. Plant Soil 73: Maurya DM. O Toole JC Screening upland rice for drought tolerance. In: Progress in Upland Rice Research. Proceedings of the 1985 Jakarta Conference. IRRI. Los Banos. Laguna. Philippines Munns R Why measure osmotic adjustment. Aust. J. Plant Physiol 15:

65 51 O Toole JC. Bland WL Genotypic variation in crop plant root sistems. Adv. Agron 41: p. O Toole JC. Cruz RT Response of leaf water potential. stomatal resistance. and leaf rolling to water stress. Plant Phys 65: 428p. O Toole JC. Moya TB Genotypic variation in maintenance of leaf potential in rice. Crop Sci 18: O Toole JC Adaptation of rice to drought-prone environments. In: Drought Resistance in Crops with Emphasis on Rice. IRRI. Los Banos. Laguna. Philippines. pp O Toole JC. Cruz RT. Seiber. JN Epicuticular wax and cuticular resistance in rice. Physiol. Plant 47: Pandey. S.. Bhandari. H Drought economic cost and research implications. Hal Dalam Serraj. R.. Bennet. J. Hardy B (eds) Drought frontiers in rice : crop improvement for increased rainfed production. Singapore : world Scientific publishing dan Los Banos (Philipines) :International Rice Research Institute. Puckridge DW. O Toole JC Dry matter and grain production of rice. using a line source sprinkler in drought studies. Field Crops Res 3: Purwani ET Pemanfaatan informasi prakiraan musim BMG dalam pengamanan produksi di sektor pertanian. Direktorat Perlindungan Tanaman. Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. Departemen Pertanian. Disampaikan pada pelatihan Capable Juli BIOTROP. Bogor. Santamaria FJ. Ludlow MM. Fukai S Contribution of osmotic adjustment to grain yield in Sorghum bicolor (L.) Moench. under water-limited conditions. I. Water stress before anthesis. Aust. J. Agric. Res 41: Sarwar MJ. Kanif YM Low water rice production and its effect on redox potensial and soil ph. J. of agron 4(2): Steponkus PL. Shahan KW. Cutler JM Osmotic adjustment in rice. In: Drought Resistance in Crops with Emphasis on Rice. IRRI. Los Banos. Laguna. Philippines. pp Takane M. Kumazawa K. Ishii R. Ishihara K. Hirahata H Science of The Rice Plant. Volume Two. Food and agriculture policy research center. Tokyo.1240p. Tuong TP. Bouman BAM. Mortimer M More Rice. Less Water-Integrated Approaches for Increasing Water Productivity in Irrigated Rice-Based Sistems in Asia. New directions for a diverse planet : Proceedings of the 4 th International Crop Science Congress Brisbane. Australia. 26 Sep- 1 Oct Available at: cropscience.org.au/ icsc2004/ pdf/ 1148_tuongtp.pdf. [4/5/2010] Turner NC. O Toole JC. Cruz RT. Namuco OS. Ahmad S. 1986a. Responses of seven diverse rice Kultivars to water deficits. 1. Stress development. canopy temperature. leaf rolling and growth. Field Crops Res 13:

66 52 Turner NC. O Toole JC. Cruz RT. Yambao EB. Ahmad S. Namuco OS. Dingkuhn M. 1986b. Responses of seven diverse rice Kultivars to water deficits. 2. Osmotic adjustment. leaf elasticity. leaf extension. leaf death. stomatal conductance and photosynthesis. Field Crop Res 13: Weng JH. Takeda T. Agata W. Hakoyama S Studies on dry matter and grain production of rice plants. 1. Influence of the reserved carbohydrate until heading stage and the assimila tion production during the ripening period on gram production. Jpn. J. Crop Sci. 51: Wopereis MCS. Krop VMJ. Maligaya AR. Tuong TP Drought stres responses of two lowland rice Kultivars to soil water status. Field Crops Res 46: World Meterological Organization Drought Monitoring and Early Warning: concept. progress and future chalange. 24p. Wright GC. Smith RCG. Mc William JR Differences between two grain sorghum genotypes in adaptation to drought stress. I. Crop growth and yield responses. Aust. J. Agric. Res 34: Yambao EG. Ingram KT. Real JG Root xylem influence on the water relations and drought resistance of rice. J. Exp. Bot 43: Yoshida S Fundamentals of Rice Crop Science. International Rice Research Institute. Los Banos. Philippines. p Yoshida S. Hasegawa S The rice root sistem: its development and function. In: Drought Resistance in Rice. JRRJ. Los Banos. Laguna. Philippines. pp. 97-l 14.

67 54 LAMPIRAN

68 55 Lampiran 1. Rekapitulasi sidik ragam tinggi tanaman, jumlah daun dan jumlah anakan saat 2-11 MST. Tinggi Tanaman F-Hitung Kekeringan Genotipe Interaksi KK (%) 4 MST ** MST ** MST 5.48 * ** MST 5.57 * ** MST 6.63 * ** MST 7.46 ** ** MST 8.32 ** ** MST 8.67 ** ** Jumlah Daun Kekeringan Genotipe Interaksi 4 MST tr ** MST tr ** MST tr ** MST tr ** 2.43 ** MST tr 3.65 ** ** 2.80 ** MST tr 6.45 ** ** 2.51 ** MST tr 5.31 ** ** MST tr 5.19 ** ** Jumlah anakan Kekeringan Genotipe Interaksi 4 MST ** MST ** MST ** ** MST 5.15 ** ** MST 4.09 ** ** MST 7.75 ** ** MST ** ** MST tr ** ** Keterangan: **Perlakuan berpengaruh sangat nyata pada taraf berpengaruh nyata. tr Hasil Transformasi akar P<0,01, *Perlakuan

69 56 Lampiran 2. Rekapitulasi sidik ragam hasil dan komponen hasil Parameter F-Hitung Kekeringan Genotipe Interaksi KK (%) Jumlah anakan produktif ** ** 2.92** Persen pembungaan (%) ** ** 9.21** Panjang malai (cm) ** ** Persen gabah hampa (%) 52.35** 13.40** Bobot gabah per rumpun tr (g) 37.35** 14.75** 2.94** 8.88 Bobot 1000 gabah 11.36** 4.53* Bobot basah tajuk 33.50** 9.11** Bobot kering tajuk 19.34** 7.63** Indeks Panen 10.26** 13.26** ** Perlakuan berpengaruh nyata pada taraf α 1%, * Perlakuan berpengaruh nyata pada taraf α 5%, tn perlakuan tidak berpengaruh nyata pada taraf α 5%. tr Transformasi akar

70 57 Lampiran 3. Korelasi antar parameter Peubah TT JD JA JAP PM PPB PGBH BGPR B1000g BBT BKT IP IKDH SPD TT X JD X JA * X JAP * ** X PM ** X PPB * ** ** X PGBH * * * * ** X BGPR * * ** ** ** ** X B1000g * * * ** ** ** ** X BBT * ** * * ** * X BKT * ** ** * ** * ** X IP * * ** * ** ** ** ** X IKDH * * ** * ** ** ** ** ** ** ** X SPD * * ** * ** ** ** ** ** ** ** ** X SKD * * ** ** ** ** ** ** ** ** ** ** 0.900** Keterangan : ** Nyata pada taraf 0.01, *nyata pada taraf TT (tinggi tanaman); JD (Jumlah daun); JA ( jumlah anakan); JAP (Jumlah anakan produktif); PPB ( persen pembungaan); PM (Panjang malai); PGH (Persen gabah hampa); BGPR (Bobot gabah per rumpun); B1000g ( Bobot 1000 butir), BBT ( Bobot basah tajuk ); BKT (Bobot kering tajuk) ; IP (Indeks panen); IKDH (indeks ketahanan kekeringan untuk daya hasil); SPD (skor penggulungan daun); SKD (skor kekeringan).

71 58 Lampiran 4. Kelembaban dan suhu dalam rumah plastic. Hari Setelah Tanam (HST) Kelembaban (%) Suhu ( 0 C)

72 59 Lampiran 4. (Lanjutan) HST Kelembaban (%) Suhu ( 0 C) Keterangan : HST: Hari setelah tanam. Data merupakan rata-rata dari keadaan suhu pagi ( ), siang ( ) dan sore ( ).

73 60 Lampiran 5. Hasil Analisis sifat fisik dan kimia tanah pada lahan percobaan Tekstur Pipet (%) Pasir : 21 Debu : 24 Liat : 25 ph H 2 O : 4.8 KCl : 4.0 Bahan Organik (%) Walkley & Black C : 1.56 Kjeldahl N : 0.16 C/N : 10 HCl 25% (mg/100g) : P 2 O 5 : 149 K 2 O : 22 Bray I P 2 O 5 (ppm) : 49.2 Morgan K 2 O (ppm) : 137 Nilai Tukar Kation (NH4-Acetat 1 N, ph7) Ca : 7.40 Mg : 2.15 K : 0.26 Na : 0.12 Jumlah : 9.93 KTK : KB : 69 KCl 1 N (cmol (+) /kg) : Al 3+ : 0.07 H + : 0.14

74 61 Lampiran 6. Deskripsi Genotipe padi yang diuji Rokan Nomor seleksi : H1 Asal Persilangan : IR58025A/BR Golongan : Cere Umur Tanaman : Bentuk Tanaman : Tegak Tinggi Tanaman : Anakan Produktif : Warna Kaki : Hijau Wanra Batang : Hujau Warna Telinga Daun : Tidak berwarna Warna Lidah Daun : Tidak berwarna Warna Helai Daun : Hijau Muka Daun : Kasar Posisi Daun : Tegak Daun Bendera : Tegak Bentuk Gabah : Ramping Warna Gabah : Kuning bersih Kerontokan : Sedang Kerebahan : Tahan Tekstur Nasi : Sedang Kadar Amilosa : 23.5% Bobot 1000 butir : 26 Rata-rata hasil : 6.0 ton/ha Potensi Hasil : 9.0 ton/ha Ketahanan HPT : Rentan terhadap wereng coklat biotipe 2 dan 3 Agak tahan terhadap hawar daun bakteri strain III dan IV Anjuran Tanam : Baik ditanam untuk lahan sawah irigasi Nama Pemulia : Suwarno, B. Sutaryo, Yuniati P.M., Murdani Diredja dan B. Suprihatno Dilepas Tahun : 2002

75 62 Lampiran 6. (Lanjutan) Way Apo Buru Nomor seleksi : S3383-1D-PN-16-2 Asal Persilangan : IR /3*IR //4*IR 64 Golongan : Cere Umur Tanaman : hari Bentuk Tanaman : Tegak Tinggi Tanaman : Anakan Produktif : Warna Kaki : Hijau Wanra Batang : Hijau Warna Telinga Daun : Tidak Berwarna Warna Lidah Daun : Tidak Berwarna Warna Helai Daun : Muka Daun : Kasar Posisi Daun : Tegak Daun Bendera : Tegak Bentuk Gabah : Panjang ramping Warna Gabah : Kuning bersih Kerontokan : sedang Kerebahan : sedang Tekstur Nasi : Pulen Kadar Amilosa : 23% Bobot 1000 butir : 27 g Rata-rata hasil : 5.5 ton/ha Potensi Hasil : 8.0 ton/ha Ketahanan terhadap : Tahan terhadap wereng coklat biotipe 2 dan hama Penyakit biotipe 3 Anjuran Tanam : Baik ditanam di lahan sawah irigasi dataran rendah sampai sedang (600 m dpl) Nama Pemulia : Tarjat T, Z. A. Simanullang, E. Sumadi dan Aan A. Daradjat Dilepas Tahun : 1998

76 63 Lampiran 6. (Lanjutan) Ciherang Nomor seleksi : S3383-1D-PN Asal Persilangan : IR /3*IR //4*IR 64 Golongan : Cere Umur Tanaman : hari Bentuk Tanaman : Tegak Tinggi Tanaman : Anakan Produktif : Warna Kaki : hijau Wanra Batang : Hijau Warna Telinga Daun : Tidak berwarna Warna Lidah Daun : Tidak Berwarna Warna Helai Daun : Hijau Muka Daun : Kasar pada sebelah bawah Posisi Daun : Tegak Daun Bendera : Tegak Bentuk Gabah : Panjang ramping Warna Gabah : Kuning bersih Kerontokan : Sedang Kerebahan : Sedang Tekstur Nasi : Pulen Kadar Amilosa : 23% Indeks glikemik : 54 Bobot 1000 butir : 28 Rata-rata hasil : 6.0 ton/ha Potensi Hasil : 8.5 ton/ha Ketahanan terhadap hama Penyakit : Tahan terhadap wereng coklat biotipe 2 dan sedang terhadap biotipe 3 Anjuran Tanam : Baik pada lahan sawah irigasi dataran rendah sampai dengan 500 meter dpl Nama Pemulia : Tarjat T, Z. A. Simanullang, E. Sumadi dan Aan A. Daradjat Dilepas Tahun : 2000

77 64 Lampiran 6. (Lanjutan) Silugonggo Nomor seleksi : IR Asal Persilangan : IR /IR //IR Golongan : Cere Umur Tanaman : Bentuk Tanaman : Tegak Tinggi Tanaman : cm Anakan Produktif : 9-11 Warna Kaki : Anakan produktif Wanra Batang : hijau Warna Telinga Daun : Hijau Warna Lidah Daun : Tidak berwarna Warna Helai Daun : Hijau Muka Daun : Bagian atas kasar, bawah permukaan halus Posisi Daun : Tegak Daun Bendera : Tegak Bentuk Gabah : Ramping Warna Gabah : Kuning jerami Kerontokan : Sedang Kerebahan : Sedang Tekstur Nasi : Agak pulen Kadar Amilosa : 23% Indeks glikemik : Bobot 1000 butir : 25 g Rata-rata hasil : 4.5 ton/ha Potensi Hasil : 5.5 ton/ha Ketahanan terhadap : Tahan wereng coklat biotipe 1 dan 2 hama Penyakit Anjuran Tanam : Dapat beradaptasi pada lingkungan sawah dan gogo, beradaptasi baik pada lingkungan rawan kekeringan, dapat tumbuh baik pada tanah regosol, mediteran dengan kahat kalsium dan fosfat, cocok ditanam pada daerah dibawah 500 dpl Nama Pemulia : Ismail BP., B. Suprihatno, ZA. Simanullang, Y. Samaullah, Atito DS., Hadis S., E. Sumadi, Aan A. Daradjat, Poniman, Taryat T. Dilepas Tahun : 2001

78 65 Lampiran 6. (Lanjutan) IR 64 Nomor seleksi : IR Asal Persilangan : IR5657/IR2061 Golongan : Cere Umur Tanaman : Bentuk Tanaman : Tegak Tinggi Tanaman : cm Anakan Produktif : Warna Kaki : hijau Wanra Batang : hijau Warna Telinga Daun : Tidak berwarna Warna Lidah Daun : Tidak berwarna Warna Helai Daun : Hijau Muka Daun : Kasar Posisi Daun : Tegak Daun Bendera : Tegak Bentuk Gabah : Ramping panjang Warna Gabah : Kuning bersih Kerontokan : Tahan Kerebahan : Tahan Tekstur Nasi : Pulen Kadar Amilosa : 23% Indeks glikemik : 70 Bobot 1000 butir : 24.1 g Rata-rata hasil : 5.0 ton/ha Potensi Hasil : 6.0 ton/ha Ketahanan terhadap hama Penyakit : Tahan wereng coklat biotipe 1, 2 dan agak tahan wereng coklat biotipe 3 Agak tahan hawar daun bakteri strain IV Tahan virus kerdil rumput Anjuran Tanam : Baik ditanam dilahan sawah irigasi dataran rendah sampai sedang Nama Pemulia : Intorduksi IRRI Dilepas Tahun : 1986

79 66 Lanjutan 6. (Lanjutan) Jatiluhur Nomor seleksi : Asal Tetua : Persilangan Tox 1011 / Ranau Golongan : Cere (Indica) Umur Tanaman : Bentuk Tanaman : Tegak Tinggi Tanaman : cm Anakan Produktif : Sedang Warna Kaki : Hijau Wanra Batang : Hijau Muda Warna Telinga Daun : Tidak Berwarna Warna Lidah Daun : Tidak berwarna Warna Helai Daun : Hijau Muka Daun : Kasar Posisi Daun : Tegak miring Daun Bendera : Miring Bentuk Gabah : Bulat besar Warna Gabah : Kuning kotor Kerontokan : Agak tahan Kerebahan : Tekstur Nasi : Pera Kadar Amilosa : 27.6% Indeks glikemik : Bobot 1000 butir : 27 g Rata-rata hasil : ton /ha GKG Potensi Hasil : Ketahanan terhadap hama : Tahan blas dan toleran naungan Penyakit Anjuran Tanam : Baik untuk padi lahan kering sampai 500 m dpl Nama Pemulia : Murdani Diredja, Suwarno, Susanto Tw., dan Hadis Siregar, Erwina Lubis Dilepas Tahun : 1994

80 67 Lampiran 7. Denah petak penelitian. Out let In Let

BAHAN DAN METODE. Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE. Bahan dan Alat 18 BAHAN DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan di kebun percobaan Institut Pertanian Bogor, Sawah Baru Babakan Darmaga, selama 4 bulan, dari bulan Mei-September 2010. Bahan dan Alat Bahan-bahan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Padi

TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Padi 5 TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Padi Tanaman padi (Oryza sativa L.) termasuk dalam famili Graminae yang ditandai dengan batang yang tersusun dari beberapa ruas. Ruas-ruas ini merupakan bumbung kosong

Lebih terperinci

STUDI MORFO-ANATOMI DAN PERTUMBUHAN KEDELAI (Glycine max (L) Merr.) PADA KONDISI CEKAMAN INTENSITAS CAHAYA RENDAH. Oleh

STUDI MORFO-ANATOMI DAN PERTUMBUHAN KEDELAI (Glycine max (L) Merr.) PADA KONDISI CEKAMAN INTENSITAS CAHAYA RENDAH. Oleh STUDI MORFO-ANATOMI DAN PERTUMBUHAN KEDELAI (Glycine max (L) Merr.) PADA KONDISI CEKAMAN INTENSITAS CAHAYA RENDAH Oleh Baiq Wida Anggraeni A34103024 DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Metode Penelitian 10 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Percobaan ini dilaksanakan di Kebun Percobaan IPB Cikarawang, Dramaga, Bogor. Sejarah lahan sebelumnya digunakan untuk budidaya padi konvensional, dilanjutkan dua musim

Lebih terperinci

PEMBAHASAN UMUM Hubungan Karakter Morfologi dan Fisiologi dengan Hasil Padi Varietas Unggul

PEMBAHASAN UMUM Hubungan Karakter Morfologi dan Fisiologi dengan Hasil Padi Varietas Unggul 147 PEMBAHASAN UMUM Hubungan Karakter Morfologi dan Fisiologi dengan Hasil Padi Varietas Unggul Karakter morfologi tanaman pada varietas unggul dicirikan tipe tanaman yang baik. Hasil penelitian menunjukkan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Padi Gogo

TINJAUAN PUSTAKA Padi Gogo 3 TINJAUAN PUSTAKA Padi Gogo Padi gogo adalah budidaya padi di lahan kering. Lahan kering yang digunakan untuk tanaman padi gogo rata-rata lahan marjinal yang kurang sesuai untuk tanaman. Tanaman padi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kandungan karbondioksida mengakibatkan semakin berkurangnya lahan. subur untuk pertanaman padi sawah (Effendi, 2008).

I. PENDAHULUAN. kandungan karbondioksida mengakibatkan semakin berkurangnya lahan. subur untuk pertanaman padi sawah (Effendi, 2008). 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jumlah penduduk yang semakin bertambah pesat setiap tahunnya justru semakin memperparah permasalahan di bidang pertanian. Bukan hanya dari tingkat kebutuhan beras yang

Lebih terperinci

TOLERANSI VARIETAS PADI HITAM (Oryza sativa L.) PADA BERBAGAI TINGKAT CEKAMAN KEKERINGAN. Tesis Program Studi Agronomi

TOLERANSI VARIETAS PADI HITAM (Oryza sativa L.) PADA BERBAGAI TINGKAT CEKAMAN KEKERINGAN. Tesis Program Studi Agronomi TOLERANSI VARIETAS PADI HITAM (Oryza sativa L.) PADA BERBAGAI TINGKAT CEKAMAN KEKERINGAN Tesis Program Studi Agronomi Oleh Samyuni S611308012 PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2015

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pemanasan global yang terjadi pada beberapa tahun terakhir ini menyebabkan

BAB I PENDAHULUAN. Pemanasan global yang terjadi pada beberapa tahun terakhir ini menyebabkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemanasan global yang terjadi pada beberapa tahun terakhir ini menyebabkan terjadinya perubahan iklim yang ekstrim yang disertai peningkatan temperatur dunia yang mengakibatkan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Metode Penelitian BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan November 2011 Maret 2012. Persemaian dilakukan di rumah kaca Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Percobaan

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Percobaan 10 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Percobaan Percobaan dilakukan di Kebun Percobaan Babakan Sawah Baru, Darmaga Bogor pada bulan Januari 2009 hingga Mei 2009. Curah hujan rata-rata dari bulan Januari

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lahan penelitian yang digunakan merupakan lahan yang selalu digunakan untuk pertanaman tanaman padi. Lahan penelitian dibagi menjadi tiga ulangan berdasarkan ketersediaan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Rumah kaca University Farm, Cikabayan, Dramaga, Bogor. Ketinggian tempat di lahan percobaan adalah 208 m dpl. Pengamatan pascapanen dilakukan

Lebih terperinci

Hasil dan pembahasan. A. Pertumbuhan tanaman. maupun sebagai parameter yang digunakan untuk mengukur pengaruh lingkungan

Hasil dan pembahasan. A. Pertumbuhan tanaman. maupun sebagai parameter yang digunakan untuk mengukur pengaruh lingkungan IV. Hasil dan pembahasan A. Pertumbuhan tanaman 1. Tinggi Tanaman (cm) Ukuran tanaman yang sering diamati baik sebagai indikator pertumbuhan maupun sebagai parameter yang digunakan untuk mengukur pengaruh

Lebih terperinci

PENGARUH AKSESI GULMA Echinochloa crus-galli TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI

PENGARUH AKSESI GULMA Echinochloa crus-galli TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI PENGARUH AKSESI GULMA Echinochloa crus-galli TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI ABSTRAK Aksesi gulma E. crus-galli dari beberapa habitat padi sawah di Jawa Barat diduga memiliki potensi yang berbeda

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBERIAN PUPUK KANDANG SAPI DENGAN BEBERAPA CARA PENGENDALIAN GULMA TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI (Oryza sativa L.

PENGARUH PEMBERIAN PUPUK KANDANG SAPI DENGAN BEBERAPA CARA PENGENDALIAN GULMA TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI (Oryza sativa L. PENGARUH PEMBERIAN PUPUK KANDANG SAPI DENGAN BEBERAPA CARA PENGENDALIAN GULMA TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI (Oryza sativa L.) METODE SRI SKRIPSI OLEH : ADIFA OLAN I. SIMATUPANG 040301004 DEPARTEMEN

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 9 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. Karakteristik Lokasi Penelitian Luas areal tanam padi adalah seluas 6 m 2 yang terletak di Desa Langgeng. Secara administrasi pemerintahan Desa Langgeng Sari termasuk dalam

Lebih terperinci

UJI PERBEDAAN SISTEM JAJAR LEGOWO TERHADAP BEBERAPA VARIETAS TANAMAN PADI (Oryza sativa L.) PADA SAWAH TADAH HUJAN SKRIPSI SARLYONES KAFISA

UJI PERBEDAAN SISTEM JAJAR LEGOWO TERHADAP BEBERAPA VARIETAS TANAMAN PADI (Oryza sativa L.) PADA SAWAH TADAH HUJAN SKRIPSI SARLYONES KAFISA UJI PERBEDAAN SISTEM JAJAR LEGOWO TERHADAP BEBERAPA VARIETAS TANAMAN PADI (Oryza sativa L.) PADA SAWAH TADAH HUJAN SKRIPSI SARLYONES KAFISA 100301019 PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan tempat Bahan dan alat Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE Waktu dan tempat Bahan dan alat Metode Penelitian BAHAN DAN METODE Waktu dan tempat Penelitian dilaksanakan mulai bulan Juni sampai Oktober 2007 di kebun percobaan Cikabayan. Analisis klorofil dilakukan di laboratorium Research Group on Crop Improvement

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Kacang Hijau

TINJAUAN PUSTAKA. A. Kacang Hijau 4 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kacang Hijau Kacang hijau termasuk dalam keluarga Leguminosae. Klasifikasi botani tanman kacang hijau sebagai berikut: Divisio : Spermatophyta Subdivisio : Angiospermae Classis

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Metode Penelitian BAHAN DAN METODE 10 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Benih, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor dan Rumah Kaca Instalasi

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Metode Penelitian. I. Pengujian Toleransi Salinitas Padi pada Stadia Perkecambahan di Laboratorium

BAHAN DAN METODE. Metode Penelitian. I. Pengujian Toleransi Salinitas Padi pada Stadia Perkecambahan di Laboratorium 2. Terdapat genotipe-genotipe padi yang toleran terhadap salinitas melalui pengujian metode yang terpilih. BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai November

Lebih terperinci

RESPON PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI (Oryza sativa L.) TERHADAP CEKAMAN SUHU TINGGI MIFTAKHUL BAKHRIR ROZAQ KHAMID

RESPON PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI (Oryza sativa L.) TERHADAP CEKAMAN SUHU TINGGI MIFTAKHUL BAKHRIR ROZAQ KHAMID RESPON PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI (Oryza sativa L.) TERHADAP CEKAMAN SUHU TINGGI MIFTAKHUL BAKHRIR ROZAQ KHAMID SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

Lebih terperinci

PENGARUH JARAK TANAM TERHADAP HASIL PADI VARIETAS UNGGUL

PENGARUH JARAK TANAM TERHADAP HASIL PADI VARIETAS UNGGUL 99 PENGARUH JARAK TANAM TERHADAP HASIL PADI VARIETAS UNGGUL Effect of Plant Spacing on Yield of Various Types of Rice Cultivars Abstrak Penelitian yang bertujuan mempelajari pengaruh jarak tanam terhadap

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Padi (Oryza sativa L.) merupakan makanan pokok bagi sebagian besar penduduk

I. PENDAHULUAN. Padi (Oryza sativa L.) merupakan makanan pokok bagi sebagian besar penduduk I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Padi (Oryza sativa L.) merupakan makanan pokok bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Permintaan akan komoditas ini dari tahun ke tahun mengalami lonjakan

Lebih terperinci

PENGISIAN GABAH BEBERAPA VARIETAS PADI PADA PERIODE CEKAMAN KEKERINGAN BERBEDA DALAM SISTEM SAWAH IKHSAN NOVIADY A

PENGISIAN GABAH BEBERAPA VARIETAS PADI PADA PERIODE CEKAMAN KEKERINGAN BERBEDA DALAM SISTEM SAWAH IKHSAN NOVIADY A i PENGISIAN GABAH BEBERAPA VARIETAS PADI PADA PERIODE CEKAMAN KEKERINGAN BERBEDA DALAM SISTEM SAWAH IKHSAN NOVIADY A24080092 DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

HASIL. memindahkan kecambah ke larutan hara tanpa Al.

HASIL. memindahkan kecambah ke larutan hara tanpa Al. 2 memindahkan kecambah ke larutan hara tanpa Al. Analisis Root re-growth (RRG) Pengukuran Root Regrowth (RRG) dilakukan dengan cara mengukur panjang akar pada saat akhir perlakuan cekaman Al dan pada saat

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 14 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Perlakuan kadar air media (KAM) dan aplikasi paclobutrazol dimulai pada saat tanaman berumur 4 bulan (Gambar 1a) hingga tanaman berumur 6 bulan. Penelitian yang dilakukan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Morfologi dan Fisiologi Tanaman Padi

TINJAUAN PUSTAKA Morfologi dan Fisiologi Tanaman Padi 3 TINJAUAN PUSTAKA Morfologi dan Fisiologi Tanaman Padi Pertumbuhan tanaman padi dibagi kedalam tiga fase: (1) vegetatif (awal pertumbuhan sampai pembentukan bakal malai/primordial); (2) reproduktif (primordial

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Percobaan

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Percobaan BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Percobaan Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan IPB, Cikarawang, Bogor. Waktu pelaksanaan penelitian dimulai dari bulan Oktober 2010 sampai dengan Februari 2011.

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu. Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu. Bahan dan Alat 10 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Percobaan dilakukan di lahan sawah Desa Situgede, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor dengan jenis tanah latosol. Lokasi sawah berada pada ketinggian tempat 230 meter

Lebih terperinci

PENGUJIAN KERAGAAN KARAKTER AGRONOMI GALUR-GALUR HARAPAN PADI SAWAH TIPE BARU (Oryza sativa L) Oleh Akhmad Yudi Wibowo A

PENGUJIAN KERAGAAN KARAKTER AGRONOMI GALUR-GALUR HARAPAN PADI SAWAH TIPE BARU (Oryza sativa L) Oleh Akhmad Yudi Wibowo A PENGUJIAN KERAGAAN KARAKTER AGRONOMI GALUR-GALUR HARAPAN PADI SAWAH TIPE BARU (Oryza sativa L) Oleh Akhmad Yudi Wibowo A34403066 PROGRAM STUDI PEMULIAAN TANAMAN DAN TEKNOLOGI BENIH FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Padi merupakan tanaman pangan pokok penduduk Indonesia. Di samping

BAB I PENDAHULUAN. Padi merupakan tanaman pangan pokok penduduk Indonesia. Di samping BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Padi merupakan tanaman pangan pokok penduduk Indonesia. Di samping itu Indonesia merupakan daerah agraris dengan profesi utama penduduknya sebagai petani terutama

Lebih terperinci

Laju Asimilasi Bersih dan Laju Tumbuh Relatif Varietas Padi Toleran Kekeringan Pada Sistem Sawah

Laju Asimilasi Bersih dan Laju Tumbuh Relatif Varietas Padi Toleran Kekeringan Pada Sistem Sawah Jurnal Agrium 12(1), Maret 2015. Hlm. 10-15 ISSN 1829-9288 Laju Asimilasi Bersih dan Laju Tumbuh Relatif Padi Toleran Kekeringan Pada Sistem Sawah Rate of Assimilation Total and Relative Growth of Drought

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Botani Tanaman Bayam Bayam (Amaranthus sp.) merupakan tanaman semusim dan tergolong sebagai tumbuhan C4 yang mampu mengikat gas CO 2 secara efisien sehingga memiliki daya adaptasi

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Penapisan ketahanan 300 galur padi secara hidroponik 750 ppm Fe. Galur terpilih. Galur terpilih

BAHAN DAN METODE. Penapisan ketahanan 300 galur padi secara hidroponik 750 ppm Fe. Galur terpilih. Galur terpilih BAHAN DAN METODE Ruang Lingkup Penelitian Penelitian tentang penapisan galur-galur padi (Oryza sativa L.) populasi RIL F7 hasil persilangan varietas IR64 dan Hawara Bunar terhadap cekaman besi ini dilakukan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Y ijk = μ + U i + V j + ε ij + D k + (VD) jk + ε ijk

BAHAN DAN METODE. Y ijk = μ + U i + V j + ε ij + D k + (VD) jk + ε ijk 12 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan mulai Februari-Agustus 2009 dilaksanakan di Kebun Percobaan Cikabayan, Dramaga, Bogor. Areal penelitian bertopografi datar dengan jenis tanah

Lebih terperinci

HASIL DA PEMBAHASA. Percobaan 1. Pengujian Pengaruh Cekaman Kekeringan terhadap Viabilitas Benih Padi Gogo Varietas Towuti dan Situ Patenggang

HASIL DA PEMBAHASA. Percobaan 1. Pengujian Pengaruh Cekaman Kekeringan terhadap Viabilitas Benih Padi Gogo Varietas Towuti dan Situ Patenggang HASIL DA PEMBAHASA 21 Percobaan 1. Pengujian Pengaruh Cekaman Kekeringan terhadap Viabilitas Benih Padi Gogo Varietas Towuti dan Situ Patenggang Tabel 1 menunjukkan hasil rekapitulasi sidik ragam pengaruh

Lebih terperinci

Sumber : Nurman S.P. (http://marisejahterakanpetani.wordpress.com/

Sumber : Nurman S.P. (http://marisejahterakanpetani.wordpress.com/ Lampiran 1. Deskripsi benih sertani - Potensi hasil sampai dengan 16 ton/ha - Rata-rata bulir per-malainya 300-400 buah, bahkan ada yang mencapai 700 buah - Umur panen padi adalah 105 hari sejak semai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Jagung termasuk bahan pangan penting karena merupakan sumber karbohidrat

I. PENDAHULUAN. Jagung termasuk bahan pangan penting karena merupakan sumber karbohidrat I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Jagung termasuk bahan pangan penting karena merupakan sumber karbohidrat kedua setelah beras. Bahkan di beberapa daerah di Indonesia, jagung dijadikan sebagai

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Varietas Burangrang berasal dari segregat silangan alam, diambil

II. TINJAUAN PUSTAKA. Varietas Burangrang berasal dari segregat silangan alam, diambil II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Varietas Kedelai (1) Varietas Burangrang Varietas Burangrang berasal dari segregat silangan alam, diambil dari tanaman petani di Jember, Seleksi lini murni, tiga generasi asal

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 12 HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Ragam Analisis ragam dilakukan untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap karakter-karakter yang diamati. Hasil rekapitulasi analisis ragam (Tabel 2), menunjukkan adanya

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Stabilitas Galur Sidik ragam dilakukan untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap karakter pengamatan. Perlakuan galur pada percobaan ini memberikan hasil berbeda nyata pada taraf

Lebih terperinci

KAJIAN FISIOLOGI KOMPETISI ANTARA TANAMAN PADI SAWAH DENGAN GULMA Echinochloa crus-galli

KAJIAN FISIOLOGI KOMPETISI ANTARA TANAMAN PADI SAWAH DENGAN GULMA Echinochloa crus-galli KAJIAN FISIOLOGI KOMPETISI ANTARA TANAMAN PADI SAWAH DENGAN GULMA Echinochloa crus-galli ABSTRAK Tiap varietas padi memiliki pertumbuhan dan produksi serta kemampuan kompetisi yang berbeda terhadap gulma

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI TIGA VARIETAS PADI GOGO (Oryza sativa L.) TERHADAP PERBANDINGAN PEMBERIAN KASCING DAN PUPUK KIMIA

PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI TIGA VARIETAS PADI GOGO (Oryza sativa L.) TERHADAP PERBANDINGAN PEMBERIAN KASCING DAN PUPUK KIMIA PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI TIGA VARIETAS PADI GOGO (Oryza sativa L.) TERHADAP PERBANDINGAN PEMBERIAN KASCING DAN PUPUK KIMIA ALLEN WIJAYA 070301024 DEPARTEMEN BUDIDAYA PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

PENGAIRAN DAN PEMELIHARAAN SALURAN PENGAIRAN TANAMAN JAGUNG

PENGAIRAN DAN PEMELIHARAAN SALURAN PENGAIRAN TANAMAN JAGUNG A. DEFINISI PENGAIRAN DAN PEMELIHARAAN SALURAN PENGAIRAN TANAMAN JAGUNG Pengairan dilakukan untuk membuat keadaan kandungan air dalam tanah pada kapasitas lapang, yaitu tetap lembab tetapi tidak becek.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sorgum merupakan salah satu jenis tanaman serealia yang memiliki potensi besar

I. PENDAHULUAN. Sorgum merupakan salah satu jenis tanaman serealia yang memiliki potensi besar 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Sorgum merupakan salah satu jenis tanaman serealia yang memiliki potensi besar untuk dikembangkan di Indonesia. Tanaman sorgum mempunyai daerah adaptasi

Lebih terperinci

KARAKTER VEGETATIF DAN GENERATIF BEBERAPA VARIETAS SKRIPSI OLEH: WIWIK MAYA SARI /Pemuliaan Tanaman

KARAKTER VEGETATIF DAN GENERATIF BEBERAPA VARIETAS SKRIPSI OLEH: WIWIK MAYA SARI /Pemuliaan Tanaman KARAKTER VEGETATIF DAN GENERATIF BEBERAPA VARIETAS PADI (Oryza sativa L.)TERHADAP CEKAMAN ALUMINIUM SKRIPSI OLEH: WIWIK MAYA SARI 080307008/Pemuliaan Tanaman PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Beras merupakan sumber makanan utama bagi masyarakat Asia pada

BAB I PENDAHULUAN. Beras merupakan sumber makanan utama bagi masyarakat Asia pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Beras merupakan sumber makanan utama bagi masyarakat Asia pada umumnya, termasuk Indonesia. Sebagian besar masyarakat Indonesia mengkonsumsi nasi sebagai makanan pokok,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Kajian Teoritis 2.1.1. Sawah Tadah Hujan Lahan sawah tadah hujan merupakan lahan sawah yang dalam setahunnya minimal ditanami satu kali tanaman padi dengan pengairannya sangat

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Botani tanaman. Tanaman jagung termasuk dalam keluarga rumput rumputan dengan

TINJAUAN PUSTAKA. Botani tanaman. Tanaman jagung termasuk dalam keluarga rumput rumputan dengan TINJAUAN PUSTAKA Botani tanaman Tanaman jagung termasuk dalam keluarga rumput rumputan dengan spesies Zea mays L. Jagung merupakan tanaman semusim, sama seperti jenis rumput-rumputan yang lain, akar tanaman

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dibudidayakan karena padi merupakan tanaman sereal yang paling banyak

I. PENDAHULUAN. dibudidayakan karena padi merupakan tanaman sereal yang paling banyak I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Sebagian besar petani menjadikan tanaman padi sebagai pilihan utama untuk dibudidayakan karena padi merupakan tanaman sereal yang paling banyak dibutuhkan oleh

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu. Bahan dan Alat. Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu. Bahan dan Alat. Metode Penelitian BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan di lahan sawah Desa Parakan, Kecamatan Ciomas, Kabupaten Bogor dan di Laboratorium Ekofisiologi Tanaman Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas

Lebih terperinci

PENGUJIAN TOLERANSI BEBERAPA GENOTIPE PADI PADA LAHAN SAWAH YANG MENGALAMI CEKAMAN KEKERINGAN

PENGUJIAN TOLERANSI BEBERAPA GENOTIPE PADI PADA LAHAN SAWAH YANG MENGALAMI CEKAMAN KEKERINGAN PENGUJIAN TOLERANSI BEBERAPA GENOTIPE PADI PADA LAHAN SAWAH YANG MENGALAMI CEKAMAN KEKERINGAN Yummama Karmaita, SP Pembimbing Prof. Dr. Ir. Aswaldi Anwar, MS dan Dr. Ir. EttiSawasti, MS Lahan yang mengalami

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat 16 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan IPB Cikarawang, Dramaga, Bogor mulai bulan Desember 2009 sampai Agustus 2010. Areal penelitian memiliki topografi datar dengan

Lebih terperinci

PENGARUH MANAJEMEN JERAMI TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI SAWAH (Oryza sativa L.) Oleh: MUDI LIANI AMRAH A

PENGARUH MANAJEMEN JERAMI TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI SAWAH (Oryza sativa L.) Oleh: MUDI LIANI AMRAH A PENGARUH MANAJEMEN JERAMI TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI SAWAH (Oryza sativa L.) Oleh: MUDI LIANI AMRAH A34104064 PROGRAM STUDI AGRONOMI DEPARTEMEN BUDIDAYA PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. tergenang air pada sebagian waktu selama setahun. Saat ini pemanfaatan lahan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. tergenang air pada sebagian waktu selama setahun. Saat ini pemanfaatan lahan BAB II KAJIAN PUSTAKA 2. 1. Lahan Kering dan Potensinya di Bali Lahan kering adalah hamparan lahan yang tidak pernah digenangi air atau tergenang air pada sebagian waktu selama setahun. Saat ini pemanfaatan

Lebih terperinci

PENGAMATAN PERCOBAAN BAHAN ORGANIK TERHADAP TANAMAN PADI DI RUMAH KACA

PENGAMATAN PERCOBAAN BAHAN ORGANIK TERHADAP TANAMAN PADI DI RUMAH KACA PENGAMATAN PERCOBAAN BAHAN ORGANIK TERHADAP TANAMAN PADI DI RUMAH KACA HUSIN KADERI Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa (Balittra), Banjarbaru Jl. Kebun Karet, Loktabat Banjarbaru RINGKASAN Percobaan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. vegetasinya termasuk rumput-rumputan, berakar serabut, batang monokotil, daun

II. TINJAUAN PUSTAKA. vegetasinya termasuk rumput-rumputan, berakar serabut, batang monokotil, daun II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Padi Tanaman padi merupakan tanaman tropis, secara morfologi bentuk vegetasinya termasuk rumput-rumputan, berakar serabut, batang monokotil, daun berbentuk pita dan berbunga

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Padi merupakan tanaman pangan yang menghasilkan beras sebagai sumber makanan pokok sebagian penduduk Indonesia. Peningkatan jumlah penduduk dan tingkat pendapatan masyarakat

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Metode Penelitian BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan di Kebun Percobaan IPB Cikarawang, Darmaga, Bogor. Penelitian dilakukan mulai dari bulan Oktober 2010 sampai Februari 2011. Analisis tanah dan hara

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan pada bulan April 2010 sampai dengan bulan Januari 2011 di lahan sawah yang berlokasi di Desa Situgede, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor. Elevasi/GPS

Lebih terperinci

HUBUNGAN AIR DAN TANAMAN STAF LAB. ILMU TANAMAN

HUBUNGAN AIR DAN TANAMAN STAF LAB. ILMU TANAMAN HUBUNGAN AIR DAN TANAMAN STAF LAB. ILMU TANAMAN FUNGSI AIR Penyusun tubuh tanaman (70%-90%) Pelarut dan medium reaksi biokimia Medium transpor senyawa Memberikan turgor bagi sel (penting untuk pembelahan

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI EMPAT VARIETAS UNGGUL PADI SAWAH (Oryza sativa L) TERHADAP BERBAGAI TINGKAT GENANGAN AIR PADA BERBAGAI JARAK TANAM DISERTASI

PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI EMPAT VARIETAS UNGGUL PADI SAWAH (Oryza sativa L) TERHADAP BERBAGAI TINGKAT GENANGAN AIR PADA BERBAGAI JARAK TANAM DISERTASI PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI EMPAT VARIETAS UNGGUL PADI SAWAH (Oryza sativa L) TERHADAP BERBAGAI TINGKAT GENANGAN AIR PADA BERBAGAI JARAK TANAM DISERTASI Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

Lebih terperinci

RESPON BEBERAPA VARIETAS PADI DAN PEMBERIAN AMELIORAN JERAMI PADI PADA TANAH SALIN

RESPON BEBERAPA VARIETAS PADI DAN PEMBERIAN AMELIORAN JERAMI PADI PADA TANAH SALIN RESPON BEBERAPA VARIETAS PADI DAN PEMBERIAN AMELIORAN JERAMI PADI PADA TANAH SALIN OKTAVIANUS SINURAYA 050307037 PROGRAM STUDI PEMULIAAN TANAMAN DEPARTEMEN BUDIDAYA PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

gabah bernas. Ketinggian tempat berkorelasi negatif dengan karakter jumlah gabah bernas. Karakter panjang daun bendera sangat dipengaruhi oleh

gabah bernas. Ketinggian tempat berkorelasi negatif dengan karakter jumlah gabah bernas. Karakter panjang daun bendera sangat dipengaruhi oleh 81 PEMBAHASAN UMUM Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan selama cekaman suhu rendah diantaranya; (a) faktor fisiologi, faktor lingkungan sebelum dan sesudah fase penting pertumbuhan dapat mempengaruhi

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Bahan yang digunakan adalah benih padi Varietas Ciherang, Urea, SP-36,

BAHAN DAN METODE. Bahan yang digunakan adalah benih padi Varietas Ciherang, Urea, SP-36, 18 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Percobaan dilaksanakan di lahan sawah irigasi Desa Sinar Agung, Kecamatan Pulau Pagung, Kabupaten Tanggamus dari bulan November 2014 sampai April

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan pendapatan turut meningkatkan

I. PENDAHULUAN. Pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan pendapatan turut meningkatkan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan pendapatan turut meningkatkan kebutuhan makanan yang bernilai gizi tinggi. Bahan makanan yang bernilai gizi tinggi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penyediaan beras untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional masih merupakan problema yang perlu diatasi. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain : pertambahan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Padi merupakan komoditas utama penduduk Indonesia. Kebutuhan beras terus meningkat setiap tahun seiring dengan peningkatan penduduk (Sinar Tani 2011). Beras merupakan bahan

Lebih terperinci

PENGARUH KETEBALAN MEDIA PASIR TERHADAP PERTUMBUHAN DAN KUALITAS AKSESI RUMPUT BERMUDA (Cynodon dactylon L.)

PENGARUH KETEBALAN MEDIA PASIR TERHADAP PERTUMBUHAN DAN KUALITAS AKSESI RUMPUT BERMUDA (Cynodon dactylon L.) PENGARUH KETEBALAN MEDIA PASIR TERHADAP PERTUMBUHAN DAN KUALITAS AKSESI RUMPUT BERMUDA (Cynodon dactylon L.) Oleh Chika Seriulina Ginting A34304064 PROGRAM STUDI HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

PENDAHULUAN BAHAN DAN METODE

PENDAHULUAN BAHAN DAN METODE PENDAHULUAN Tebu ialah tanaman yang memerlukan hara dalam jumlah yang tinggi untuk dapat tumbuh secara optimum. Di dalam ton hasil panen tebu terdapat,95 kg N; 0,30 0,82 kg P 2 O 5 dan,7 6,0 kg K 2 O yang

Lebih terperinci

Respon Agronomi Varietas Padi terhadap Periode Kekeringan pada Sistem Sawah. Agronomic Responses of Low Land Rice Varieties to Drought Periods

Respon Agronomi Varietas Padi terhadap Periode Kekeringan pada Sistem Sawah. Agronomic Responses of Low Land Rice Varieties to Drought Periods Respon Agronomi Padi terhadap Periode Kekeringan pada Sistem Sawah Agronomic Responses of Low Land Rice Varieties to Drought Periods Herman Wafom Tubur 1, Muhamad Achmad Chozin 2, Edi Santosa 2, dan Ahmad

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1.Tinggi tanaman Berdasarkan analisis sidik ragam menunjukan bahwa perlakuan pengolahan tanah berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan tinggi tanaman kedelai tahapan umur pengamatan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian 15 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Percobaan dilaksanakan di Kebun Percobaan Margahayu Lembang Balai Penelitian Tanaman Sayuran 1250 m dpl mulai Juni 2011 sampai dengan Agustus 2012. Lembang terletak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Padi (Oryza sativa L.) adalah tanaman pangan utama sebagian besar penduduk

I. PENDAHULUAN. Padi (Oryza sativa L.) adalah tanaman pangan utama sebagian besar penduduk 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Padi (Oryza sativa L.) adalah tanaman pangan utama sebagian besar penduduk Indonesia. Produksi padi nasional mencapai 68.061.715 ton/tahun masih belum mencukupi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Kondisi Umum Percobaan studi populasi tanaman terhadap produktivitas dilakukan pada dua kali musim tanam, karena keterbatasan lahan. Pada musim pertama dilakukan penanaman bayam

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN DAN HASIL BERBAGAI VARIETAS KACANG HIJAU (Vigna radiata (L.) Wilczek) PADA KADAR AIR YANG BERBEDA

PERTUMBUHAN DAN HASIL BERBAGAI VARIETAS KACANG HIJAU (Vigna radiata (L.) Wilczek) PADA KADAR AIR YANG BERBEDA DAFTAR ISI Halaman HALAMAN DEPAN... i HALAMAN JUDUL... ii LEMBAR PERSETUJUAN. iii PENETAPAN PANITIA PENGUJI iv SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT v UCAPAN TERIMA KASIH vi ABSTRAK viii ABSTRACT. ix RINGKASAN..

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat 8 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di lahan petani di Dusun Pabuaran, Kelurahan Cilendek Timur, Kecamatan Cimanggu, Kotamadya Bogor. Adapun penimbangan bobot tongkol dan biji dilakukan

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian yang disajikan dalam bab ini antara lain pengamatan selintas dan pengamatan Utama 4.1. Pengamatan Selintas Pengamatan selintas merupakan pengamatan yang hasilnya

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. 1. Pertumbuhan Tanaman 4. 1. 1. Tinggi Tanaman Pengaruh tiap perlakuan terhadap tinggi tanaman menghasilkan perbedaan yang nyata sejak 2 MST. Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Alat dan Bahan

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Alat dan Bahan 9 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Percobaan dilaksanakan di Desa Situ Gede Kecamatan Bogor Barat, Kabupaten Bogor. Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober 2009 Februari 2010. Analisis tanah dilakukan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Kaca Laboratorium Lapang Terpadu

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Kaca Laboratorium Lapang Terpadu 14 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Kaca Laboratorium Lapang Terpadu Fakultas Pertanian Universitas Lampung pada bulan Oktober 2014 hingga Maret

Lebih terperinci

TANGGAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI KACANG TANAH (Arachis hypogaea L.) TERHADAP DOSIS PUPUK KALIUM DAN FREKUENSI PEMBUMBUNAN SKRIPSI OLEH :

TANGGAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI KACANG TANAH (Arachis hypogaea L.) TERHADAP DOSIS PUPUK KALIUM DAN FREKUENSI PEMBUMBUNAN SKRIPSI OLEH : TANGGAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI KACANG TANAH (Arachis hypogaea L.) TERHADAP DOSIS PUPUK KALIUM DAN FREKUENSI PEMBUMBUNAN SKRIPSI OLEH : NELSON SIMANJUNTAK 080301079 / BDP-AGRONOMI PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilakukan di lokasi : 1) Desa Banjarrejo, Kecamatan

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilakukan di lokasi : 1) Desa Banjarrejo, Kecamatan III. BAHAN DAN METODE A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di lokasi : 1) Desa Banjarrejo, Kecamatan Batanghari, Kabupaten Lampung Timur, dengan ketinggian 60 m dpl, jenis tanah Podsolik

Lebih terperinci

Pertumbuhan tanaman dan produksi yang tinggi dapat dicapai dengan. Pemupukan dilakukan untuk menyuplai unsur hara yang dibutuhkan oleh

Pertumbuhan tanaman dan produksi yang tinggi dapat dicapai dengan. Pemupukan dilakukan untuk menyuplai unsur hara yang dibutuhkan oleh 45 4.2 Pembahasan Pertumbuhan tanaman dan produksi yang tinggi dapat dicapai dengan memperhatikan syarat tumbuh tanaman dan melakukan pemupukan dengan baik. Pemupukan dilakukan untuk menyuplai unsur hara

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI SAWAH PADA BEBERAPA VARIETAS DAN PEMBERIAN PUPUK NPK. Oleh:

PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI SAWAH PADA BEBERAPA VARIETAS DAN PEMBERIAN PUPUK NPK. Oleh: PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI SAWAH PADA BEBERAPA VARIETAS DAN PEMBERIAN PUPUK NPK SKRIPSI Oleh: CAROLINA SIMANJUNTAK 100301156 PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Lebih terperinci

PETUNJUK LAPANGAN (PETLAP) PENGAIRAN DAN PEMELIHARAAN SALURAN PENGAIRAN

PETUNJUK LAPANGAN (PETLAP) PENGAIRAN DAN PEMELIHARAAN SALURAN PENGAIRAN PETUNJUK LAPANGAN (PETLAP) PENGAIRAN DAN PEMELIHARAAN SALURAN PENGAIRAN BADAN PENYULUHAN DAN PENGEMBANGAN SDM PERTANIAN PUSAT PELATIHAN PERTANIAN 2015 39 PETUNJUK LAPANGAN (PETLAP) PENGAIRAN DAN PEMELIHARAAN

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Percobaan 1 : Pengaruh Pertumbuhan Asal Bahan Tanaman terhadap Pembibitan Jarak Pagar

HASIL DAN PEMBAHASAN. Percobaan 1 : Pengaruh Pertumbuhan Asal Bahan Tanaman terhadap Pembibitan Jarak Pagar 13 HASIL DAN PEMBAHASAN Percobaan 1 : Pengaruh Pertumbuhan Asal Bahan Tanaman terhadap Pembibitan Jarak Pagar Hasil Uji t antara Kontrol dengan Tingkat Kematangan Buah Uji t digunakan untuk membandingkan

Lebih terperinci

MENINGKATKAN PROUKSI PADI DENGAN PENERAPAN TEKNOLOGI HEMAT AIR

MENINGKATKAN PROUKSI PADI DENGAN PENERAPAN TEKNOLOGI HEMAT AIR MENINGKATKAN PROUKSI PADI DENGAN PENERAPAN TEKNOLOGI HEMAT AIR Oleh : Ir. Indra Gunawan Sabaruddin Tanaman Padi (Oryza sativa L.) adalah tanaman penting karena merupakan makanan pokok sebagian besar penduduk

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 15 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Keadaan Umum Penelitian Tanah yang digunakan pada penelitian ini bertekstur liat. Untuk mengurangi kelembaban tanah yang liat dan menjadikan tanah lebih remah, media tanam

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kajian Teoritis 2.1.1. Lahan Sawah Tadah Hujan Sawah tadah hujan adalah lahan sawah yang sangat tergantung pada curah hujan sebagai sumber air untuk berproduksi. Jenis sawah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Beras merupakan komoditas strategis yang berperan penting dalam perekonomian dan ketahanan pangan nasional, dan menjadi basis utama dalam revitalisasi pertanian. Sejalan dengan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 KAJIAN TEORITIS 2.1.1 Karakteristik Lahan Sawah Bukaan Baru Pada dasarnya lahan sawah membutuhkan pengolahan yang khusus dan sangat berbeda dengan lahan usaha tani pada lahan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Pengamatan Umum Penelitian Pada penelitian ini semua jenis tanaman legum yang akan diamati (Desmodium sp, Indigofera sp, L. leucocephala dan S. scabra) ditanam dengan menggunakan anakan/pols

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Penanaman rumput B. humidicola dilakukan di lahan pasca tambang semen milik PT. Indocement Tunggal Prakasa, Citeurep, Bogor. Luas petak yang digunakan untuk

Lebih terperinci

SKRIPSI OLEH : FRISTY R. H. SITOHANG PEMULIAAN TANAMAN

SKRIPSI OLEH : FRISTY R. H. SITOHANG PEMULIAAN TANAMAN EVALUASI PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI BEBERAPA VARIETAS PADI GOGO (Oryza sativa L.) PADA BEBERAPA JARAK TANAM YANG BERBEDA SKRIPSI OLEH : FRISTY R. H. SITOHANG 080307024 PEMULIAAN TANAMAN PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. lima persen penduduk Indonesia mengkonsumsi bahan makanan ini (Swastika

I. PENDAHULUAN. lima persen penduduk Indonesia mengkonsumsi bahan makanan ini (Swastika I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Komoditas tanaman pangan yang penting di Indonesia adalah padi. Penduduk Indonesia menjadikan beras sebagai bahan makanan pokok. Sembilan puluh lima persen

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. merupakan makanan pokok lebih dari separuh penduduk dunia. Berdasarkan

I. PENDAHULUAN. merupakan makanan pokok lebih dari separuh penduduk dunia. Berdasarkan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Padi merupakan tanaman yang memiliki nilai ekonomi sangat penting, dan merupakan makanan pokok lebih dari separuh penduduk dunia. Berdasarkan nilai ekonomi

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Y ij = + i + j + ij

BAHAN DAN METODE. Y ij = + i + j + ij 11 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kebun Percobaan Cikabayan, University Farm IPB Darmaga Bogor pada ketinggian 240 m dpl. Uji kandungan amilosa dilakukan di

Lebih terperinci