HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Lokasi Penelitian

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Lokasi Penelitian"

Transkripsi

1 HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Lokasi Penelitian Desa Sukagalih merupakan salah satu desa penghasil sayuran di Kecamatan Mega Mendung. Desa Sukagalih terletak pada ketinggian ± 9-15 meter dpl dengan topografi berbukit-bukit, curah hujan diatas 15 mm/bulan, tanah latosol coklat dan bertekstur gembur sesuai untuk budi daya sayuran. Keadaan ini dimanfaatkan oleh masyarakat, khususnya petani untuk mengusahakan berbagai tanaman sayuran. Jenis tanaman sayuran yang banyak diusahakan diantaranya adalah kubis, tomat, wortel, cabai, caisin, kacang panjang, ketimun dan buncis. Selain tanaman sayuran, juga ditanam tanaman pangan antara lain padi, jagung, ubi kayu dan ubi jalar. Tanaman buah-buahan yang cukup luas dibudidayakan adalah pepaya. Hasil pertanian tersebut umumnya dijual kepada pedagang pengumpul di desa, namun terdapat juga yang dijual langsung ke konsumen. Sistem budi daya tanaman sayuran umumnya masih dilakukan secara konvensional baik secara monokultur maupun tumpangsari. Di Desa Sukagalih terdapat beberapa petani yang telah melaksanakan sistem budi daya sayuran organik. Luas lahan budi daya sayuran organik masih relatif sempit. Hama yang sering ditemukan menyerang tanaman kubis di Desa Sukagalih diantaranya adalah P. xylostella, C. pavonana dan P. vittata, sedangkan penyakitnya adalah yang disebabkan oleh X. campestris, P. brassicae, E. carotovora dan Alternaria spp. Praktik pengendalian hama dan penyakit yang dilakukan oleh petani sayuran organik diantaranya adalah menanam secara tumpangsari, pergiliran tanaman, mengambil kelompok telur dan larva hama secara langsung, meramu insektisida botani dan menanam tanaman berbunga di sekitar lahan. Petani konvensional dalam mengendalikan hama dan penyakit menggunakan berbagai merek dagang pestisida yang tersedia pada kios pertanian di desa. Tutu (22) melaporkan bahwa 68% petani di Kecamatan Cisarua dan Mega Mendung menyemprot secara berjadwal, 18% petani menyemprot apabila ada kerusakan dan 14% petani menyemprot apabila ada imago di pertanaman.

2 Hama Kubis Hama utama yang ditemukan pada pertanaman kubis yaitu P. xylostella dan C. pavonana. Hama lainnya yang juga ditemukan yaitu Gryllotalpa sp., Agrotis ipsilon Hufn. (Lepidoptera: Noctuidae), P. vittata dan Spodoptera spp. (Lepidoptera: Noctuidae). Plutella xylostella Populasi larva P. xylostella pada MK tampak di atas AE pada umur 14 hst pada perlakuan OM (,9 larva/tanaman), OT (1,8 larva/tanaman), KM (1,2 larva/tanaman) dan KT (1,7 larva/tanaman). Pada perlakuan input rendah populasi larva di bawah AE yaitu LM (,2 larva/tanaman) dan LT (,1 larva/tanaman) (Gambar 3 dan Lampiran 1). Hal ini disebabkan sejak ditanam sampai 14 hst belum dilakukan pengendalian. Setelah dilakukan pengendalian secara mekanik pada perlakuan organik, populasi larva P. xylostella tampak menurun hingga di bawah AE. Ini menunjukkan bahwa pengendalian secara mekanik dapat memberikan hasil pengendalian yang cukup efektif. Pengendalian secara mekanik selain dapat menekan populasi hama juga berpengaruh baik terhadap lingkungan dan produksi kubis karena tidak terjadi pencemaran. Sementara itu pada perlakuan konvensional yang menggunakan pestisida sintetik, populasi larva P. xylostella Populasi (larva/tanaman) 2, 1,8 1,6 1,4 1,2 1,,8,6,4,2, OM OT LM LT KM KT Gambar 3 Rata-rata populasi larva P. xylostella pada tanaman kubis pada MK.

3 masih di atas AE yakni pada perlakuan KM (,6 larva/tanaman) pada umur 21 hst dan KT (,7 larva/tanaman) pada umur 42 hst. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh larva P. xylostella tersebut resisten terhadap insektisida yang digunakan. Sastrosiswojo (1992) menyatakan bahwa awal tahun 9-an hama P. xylostella menunjukkan resistensi terhadap berbagai jenis insektisida yang sering diaplikasikan untuk pengendalian hama tersebut. Kemungkinan hal lain yang dapat terjadi akibat dari penggunaan insektisida berjadwal adalah matinya musuh alami. Pengaruh buruk penggunaan pestisida diantaranya adalah resistensi dan matinya musuh alami (Flint dan van den Bosch 1981; Untung 1992; Oka 1995). Populasi larva P. xylostella pada MH di atas AE terjadi pada perlakuan OM (1,2 larva/tanaman) dan KT (,8 larva/tanaman) pada umur 4 hst, sedangkan pada perlakuan input rendah populasi larva masih di bawah AE (Gambar 4 dan Lampiran 2). Pada perlakuan organik selain pengendalian secara mekanik juga dikendalikan dengan insektisida botani (mengandung ekstrak S. mahogani dan A. odorata). Tindakan ini dapat membatasi perkembangan larva. 1,4 Populasi (larva/tanaman) 1,2 1,,8,6,4,2, OM OT LM LT KM KT Gambar 4 Rata-rata populasi larva P. xylostella pada tanaman kubis pada MH. Populasi P. xylostella pada perlakuan konvensional di atas AE walaupun dilakukan aplikasi insektisida secara berjadwal baik pada MH maupun MK. Hal tersebut menunjukkan bahwa penggunaan insektisida kurang dapat menekan perkembangan larva P. xylostella secara permanen. Hal ini kemungkinan karena larva P. xylostella telah resisten terhadap insektisida yang digunakan yakni

4 berbahan aktif deltametrin dan profenofos. Terjadinya resistensi ini kemungkinan disebabkan aplikasi insektisida tersebut oleh petani kubis di lokasi penelitian kurang bijaksana (dari musim ke musim dengan dosis dan frekwensi tinggi). Merujuk hasil survei Tutu (22) bahwa 68% petani kubis di Kecamatan Cisarua dan Mega Mendung, melakukan penyemprotan berjadwal. Kasus resistensi larva P. xylostella terhadap bahan aktif yang sama dan bahan aktif yang lainnya telah banyak dilaporkan di beberapa tempat seperti: bahan aktif sipermetrin, fenvalerat dan deltametrin di India (Saxena et al. 1989); bahan aktif fenvalerat dan deltametrin di Korea (Kim et al. 199). Di Indonesia telah dilaporkan, adanya kasus resistensi P. xylostella terhadap DDT (Ankersmit 1953 dalam Oka 1995); P. xylostella strain Lembang, Pacet, Kopeng dan Tawangmangu tesisten terhadap deltametrin, sipermetrin dan fenvalerat (Adiputra 1984); P. xylostella strain Lembang resisten terhadap deltametrin dan asefat (Sastrosiswojo 1992). Pada perlakuan input rendah, selama perkembangan tanaman kubis baik pada MK maupun MH, populasi larva P. xylostella tidak melebihi AE, sehingga tidak perlu aplikasi insektisida untuk pengendalian. Akan tetapi aplikasi insektisida terpaksa dilakukan untuk mengendalikan larva C. pavonana pada MK, saat tanaman berumur 35 hst dan pada MH saat tanaman berumur 61 dan 68 hst. Dengan mengurangi aplikasi insektisida terlihat bahwa populasi larva P. xylostella dapat dipertahankan pada batas tidak merugikan. Hal ini kemungkinan juga disebabkan oleh peran musuh alami dalam menekan perkembangan larva P. xylostella. Di Jawa Barat D. semiclausum dan Apanteles sp. dapat menekan populasi larva P. xylostella dengan tingkat parasitisasi 79%-88% (Kartosuwondo 1994). Secara umum, populasi larva P. xylostella pada perlakuan LT lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan LM baik pada MK maupun MH. Hal ini menunjukkan adanya pengaruh tanaman tomat sebagai repellent (penolak) dari bahan kimia yang dihasilkan untuk menghambat imago P. xylostella meletakkan telur pada tanaman kubis (Sastrosiswojo et al. 2).

5 Crocidolomia pavonana Hama perusak krop C. pavonana ditemukan pada MK sejak tanaman berumur 35 hst dan pada MH sejak tanaman berumur 26 hst. Populasi C. pavonana pada MK tertinggi terjadi pada perlakuan KT (3,7 larva/tanaman), KM (2,3 larva/tanaman), LM (1,8 larva/tanaman) dan LT (1,3 larva/tanaman), sedangkan pada perlakuan OM dan OT,1 larva/tanaman (Gambar 5 dan Lampiran 3). Hal ini menunjukkan aplikasi insektisida berjadwal pada perlakuan konvensional kurang efektif. Keadaan larva C. pavonana yang berada di bawah daun dan selanjutnya masuk ke dalam krop, menyulitkan insektisida kontak untuk mengenai sasaran. Hal ini kemungkinan membuat populasi larva C. pavonana dapat berkembang lebih tinggi pada perlakuan konvensional dibandingkan dengan perlakuan organik. Pada perlakuan organik dengan pengendalian secara mekanik, mencari larva C. pavonana relatif lebih mudah walaupun berada di bawah daun dan cara tersebut lebih aman bagi lingkungan. Populasi (larva/tanaman) 4 3,5 3 2,5 2 1,5 1,5 OM OT LM LT KM KT Gambar 5 Rata-rata populasi C. pavonana pada tanaman kubis pada MK. Populasi larva C. pavonana tertinggi pada setiap perlakuan pada MH berturut-turut adalah sebagai berikut LM (6,4 larva/tanaman), KM (3,8 larva/tanaman), LT (3,2 larva/tanaman), OM (3,1 larva/tanaman), OT (3 larva/tanaman) dan KT 1,4 larva/tanaman (Gambar 6 dan Lampiran 4). Secara umum populasi larva C. pavonana lebih tinggi pada perlakuan konvensional dan input rendah dengan aplikasi insektisida dibandingkan dengan perlakuan organik.

6 Populasi (larva/tanaman) OM OT LM 3 LT KM KT Gambar 6 Rata-rata populasi C. pavonana pada tanaman kubis pada MH. Keadaan ini menunjukkan, penggunan insektisida untuk pengendalian larva C. pavonana kurang efektif. Hal ini kemungkinan disebabkan larva C. pavonana resisten terhadap insektisida yang digunakan. Menurut Untung (1992) salah satu penyebab terjadinya resistensi pada serangga adalah penurunan laju penetrasi insektisida melalui kulit. Keberadaan telur dan larva C. pavonana yang tersembunyi sulit bagi insektisida dan musuh alami untuk mencapainya hal ini dapat diatasi dengan pengendalian mekanik. Gryllotalpa sp. Hama perusak akar Gryllotalpa sp. ditemukan pada MK dan MH (Tabel 3). Gejala kerusakan yang ditimbulkan adalah akar muda terpotong hingga tanaman bertahan hidup pada akar tua, tanaman layu dan krop susah terbentuk (Gambar 7). Gryllotalpa sp. merupakan serangga penghuni tanah yang lembab, mempunyai tungkai depan yang lebar berbentuk sekop (Borror et al. 1996). Tungkai depan Tabel 3 Intensitas kerusakan tanaman kubis oleh Gryllotalpa sp. Pertanaman Intensitas (%) OM OT LM LT KM KT MK 2,87 28,75 4,82 14,82 11,43 15,35 MH 4,72 4,45 4,89 3,9 5,42 5,9

7 Gambar 7 Gejala kerusakan akar kubis oleh serangan Gryllotalpa sp. berfungsi sebagai pencabik akar-akar muda untuk dimakan, kerusakan ini akan mengakibatkan tanaman tidak bisa membentuk krop. Kerusakan pada setiap perlakuan bervariasi. Pada MK intensitas kerusakan pada perlakuan organik lebih tinggi dibandingkan perlakuan konvensional dan input rendah sedangkan pada MH hampir tidak berbeda. Pada MK intensitas kerusakan oleh Gryllotalpa sp. pada pertanaman tumpangsari lebih tinggi dibandingkan dengan pertanaman monokultur. Hal ini kemungkinan disebabkan pada pertanaman tumpangsari terdapat inang utama yakni tanaman tomat dan tanah lebih gembur. CABI (23) menyebutkan bahwa G. hexadactyla Perty merupakan hama perusak akar pada tanaman tomat, jagung dan kedele. Parasitisasi Parasitoid yang muncul dari larva P. xylostella pada MK adalah D. semiclausum sedangkan pada MH adalah D. semiclausum dan Apanteles sp. Persentase parasitisasi sangat bervariasi (Tabel 4). Secara umum, rata-rata parasitisasi pada perlakuan tumpangsari lebih tinggi dari pada monokultur. Hal ini kemungkinan karena imago parasitoid lebih menyukai tanaman yang mempunyai bunga (nektar tanaman tomat). Parasitoid D. semiclausum mengisap nektar pada tumbuhan berbunga sebagai sumber makanannya (Tooker dan Hanks 2). Idris dan Grafius (1995) melaporkan bahwa nektar bunga dapat meningkatkan lama hidup, keperidian dan persentase parasitisasi serangga parasitoid Hymenoptera.

8 Tabel 4 Rata-rata tingkat parasitisasi larva P. xylostella Perlakuan Pertanaman MK OM OT LM LT KM KT Pertanaman MH OM OT 1 % (larva) 43,5 (17) 53,8 (19) 68,8 (16) () 27,8 (13) 69,2 (14) 2 % (larva) 57,3 (28) 63,4 (41) 1 (3) 1 (1) 54,3 (17) 76,7 (39) Pengamatan ke- 3 % (larva) 39,6 (16) 7,8 (21) 66,7 (5) () 77,5 (3) 48,9 (45) 64,3 (14) 75 (4) 77,8 (6) 1 (2) 88,3 (67) 92,3 (42) LM 77,8 (7) 59,7 (33) 72,2 (23) LT 55,6 (9) 82,2 (11) 83,2 (22) KM 1 (3) 58,3 (15) 85,8 (31) KT 1 (1) 64,4 (32) 86,7 (46) (larva) = Jumlah larva sampel dari 4 ulangan 4 % (larva) 75,6 (33) 64,6 (29) 1 (5) 75 (4) 76,1 (35) 74,3 (18) 91,7 (13) 1 (14) 61,9 (2) 44,2 (17) 56,3 (14) 63,2 (32) 5 % (larva) 54,2 (16) 68,8 (13) 43,8 (14) 87,5 (6) 53,6 (15) 6 (14) 83,3 (7) () 1 (1) () 52,4 (11) 1 (5) Kartosuwondo (1994) menyatakan bahwa tumbuhan Brassicaceae non budi daya yang berbunga, bila ditanam dengan jarak 1 meter di pinggiran petak tanaman kubis, mampu meningkatkan persentase parasitisasi D. semiclausum pada larva P. xylostella 3 kali lebih tinggi dari pada petakan tanpa Brassicaceae non budi daya. Secara umum rata-rata parasitisasi yang dihasilkan cukup tinggi, bahkan pada minggu-minggu tertentu parasitisasi larva P. xylostella bisa mencapai 1%. Hal ini menunjukkan bahwa D. semiclausum dan Apanteles sp. mempunyai kemampuan untuk menekan perkembangan larva P. xylostella. Tingkat parasitisasi larva P. xylostella oleh D. semiclausum pada MH menunjukkan tingkat yang lebih tinggi dan dominan dibandingkan dengan Apanteles sp. (Tabel 5). Menurut Sastrosiswojo et al. (2), di Indonesia keberadaan parasitoid Apanteles sp. kalah bersaing dengan Diadegma sp. Rendahnya tingkat parasitisasi oleh Apanteles sp. kemungkinan disebabkan adanya aplikasi pestisida pada petak input rendah dan konvensional sedangkan pada petak organik terjadi migrasi Apanteles sp. ke pertanaman lain. Namun demikian peranan Apanteles sp. sangat membantu dalam pengendalian P. xylostella secara alami.

9 Tabel 5 Rata-rata tingkat parasitisasi larva P. xylostella oleh D. semiclausum dan Apanteles sp. pada MH Perlakuan Pengamatan ke- 1 (%) 2 (%) 3 (%) 4 (%) 5 (%) D. s A. sp D. s A. sp D. s A. sp D. s A. sp D. s A. sp OM 24,4 39,9 77,8 84,6 3,7 91,7 83,3 OT 5, 25, 1 84,8 7,5 1 LM 33,3 44,4 59,7 68,5 3,7 61,9 1 LT 55,5 75,5 6,7 69,9 13,3 44,2 KM 1 58,3 76, 9,8 46,2 52,4 KT 1 56,1 8,3 81, 5,6 63,2 1 D. s = D. semiclausum, A. sp = Apanteles sp. Selama penelitian, tidak diperoleh parasitoid dari larva C. pavonana yang dipelihara. Hal ini kemungkinan disebabkan musuh alami dari C. pavonana seperti Eriborus argenteopilosus Cemeron (Hymenoptera: Ichneumonidae) dan Sturmia inconspicuoides Bar. (Diptera: Tachinidae) tidak ada di lahan penelitian. Kemungkinan lain karena parasitoid sulit menemukan larva yang berada di bawah daun atau di dalam krop. Menurut Othman (1982), kedua parasitoid tersebut tingkat parasitisasinya rendah. Penyakit Kubis Busuk Hitam Penyakit busuk hitam yang disebabkan oleh X. campestris pv. campestris ditemukan berkembang selama pertumbuhan kubis baik pada MK maupun MH. Patogen menyerang tanaman kubis pada semua sistem pertanaman dengan pola yang sama yakni terjadi peningkatan dan penurunan intensitas serangan dengan kisaran yang tidak jauh berbeda (Gambar 8a, 8b, Lampiran 5 dan 6). Hal ini kemungkinan disebabkan sifat X. campestris pv. campestris yang mudah menyebar dari tanah ke daun melalui percikan air hujan (Semangun 21) dan penyiraman yang sama pada semua perlakuan. X. campestris pv. campestris dapat bertahan di dalam tanah dan sisa tanaman sakit (Semangun 2). Penurunan intensitas pada MK maupun MH pada semua perlakuan disebabkan adanya tindakan sanitasi, yakni membuang bagian tanaman yang sakit, hingga penilaian pada waktu pengamatan menurun.

10 Intensitas serangan (%) Intensitas serangan (%) OM OT LM LT KM KT Secara umum intensitas serangan X. campestris pv. campestris pada perlakuan monokultur lebih tinggi dari perlakuan tumpangsari. Hal ini kemungkinan karena kondisi iklim mikro pada perlakuan monokultur lebih hangat. Tanaman tomat pada perlakuan tumpangsari membuat iklim mikro lebih sejuk dibandingkan dengan perlakuan monokultur. Selain itu tanaman tomat juga sebagai penghalang gesekan antara daun kubis dan penghalang percikan air langsung ke permukaan tanah atau ke tanaman kubis. Penyakit busuk hitam yang disebabkan oleh X. campestris pv. campestris sering berjangkit pada tanaman kubis dengan kondisi lingkungan hangat dan kelengasan udara tinggi (Parmadi dan Sastrosiswojo 1993). OM OT LM LT KM KT Gambar 8 Rata-rata intensitas serangan X. campestris pv. campestris pada tanaman kubis pada MK (a) dan MH (b).. (a) (b)

11 Akar Gada Kejadian penyakit akar gada yang disebabkan oleh P. brassicae ditemukan tertinggi pada pertanaman kubis yang dibudidayakan secara organik. Gejala yang terlihat adalah tanaman kubis layu pada waktu siang hari bila panas terik dan kembali normal pada pagi hari, akar yang dihasilkan sedikit dan membengkak (Gambar 9a dan 9b). Bila akar dicabut terlihat membengkak, berumbi menyerupai gada (Direktorat Perlindungan Hortikultura 22). Semangun (2) menyatakan bahwa akar-akar yang terinfeksi P. brassicae sel-selnya membelah dan membesar hingga terbentuk seperti gada. Selanjutnya dinyatakan bahwa rusaknya susunan jaringan akar menyebabkan rusaknya jaringan pengangkut air dan hara. (a) (b) Gambar 9 Gejala penyakit akar gada (a) layu (b) gada pada akar Timbulnya serangan diduga karena pupuk kandang yang digunakan telah mengandung inokulum P. brassicae. Pupuk kandang yang telah terinvestasi P. brassicae dapat menyebarkan penyakit akar gada (Suryaningsih 1981; Parmadi dan Sastrosiswojo 1993). Kejadian penyakit akar gada yang disebabkan oleh P. brassicae berkorelasi positif dengan jumlah pupuk kandang yang diaplikasikan. Semakin banyak jumlah pupuk kandang yang diaplikasikan semakin tinggi kejadian penyakit akar gada pada tanaman kubis (Tabel 6 dan Tabel 1). Tabel 6 Rata-rata kejadian penyakit akar gada pada tanaman kubis Pertanaman Rata-rata perlakuan (%) OM OT LM LT KM KT MK 21,8 23,2 9,3 14,8 6,8 7,5 MH 18,2 19,4 7,6 6,3 3,1 3,2

12 Kejadian penyakit akar gada pada MK (menggunakan pupuk kandang) lebih tinggi dibandingkan dengan MH (menggunakan kompos). Hal ini kemungkinan kompos yang digunakan pada MH mengandung mikroorganisme yang dapat menekan perkembangan P. brassicae. Kompos mengandung berbagai macam mikroorganisme dari golongan bakteri, aktinomisetes dan cendawan (Wibisono 24). Kemungkinan hal lain yang menyebabkan tingginya kejadian penyakit akar gada pada MK dibandingkan dengan MH adalah faktor cuaca. Hama Tomat Selama penelitian, hama yang ditemukan pada pertanaman tomat adalah Epilachna varivestis Muls. (Coleoptera: Coccinellidae), Liriomyza bryoniae Kalt. (Diptera: Agromyzidae), Bemisia tabaci Genn. (Hemiptera: Aleyrodidae) dan Helicoverpa armigera Hubn. (Lepidoptea: Noctuidae). Kerusakan yang ditimbulkan pada MK oleh masing-masing hama yang ditemukan sangat kecil. Kelimpahan populasi B. tabaci menjadi pengamatan khusus sehubungan dengan kamampuannya sebagai vektor geminivirus. Meningkatnya populasi B. tabaci pada MK seiring dengan bertambahnya umur tanaman sedangkan jumlah populasi pada ketiga perlakuan tidak terlalu berbeda (Gambar 1 dan Lampiran 7). Populasi (individu/tanaman) Organik Input Rendah Konvensional Gambar 1 Rata-rata populasi B. tabaci pada tanaman tomat pada MK. Hama E. varivestis dan L. bryoniae pada MH menyerang pada awal pertanaman dan tingkat kerusakannya sangat rendah. Perkembangan populasi

13 B. tabaci terlihat lebih stabil pada MH (Gambar 11). Hal ini kemungkinan karena seringnya turun hujan yang memperlambat perkembangan dan penyebaran B. tabaci. Populasi pada perlakuan non organik lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan organik baik MK maupun MH. Hal ini kemungkinan disebabkan B. tabaci lebih menyenangi tanaman yang rimbun dan subur yakni pada perlakuan non organik. Selain itu aplikasi insektisida kontak kurang efektif karena biasanya B. tabaci berlindung pada permukaan bawah daun dan sulit dicapai insektisida. 25 Populasi (individu/tanaman) Organik Input rendah Konvensional Gambar 11 Rata-rata populasi B. tabaci pada tanaman tomat pada MH. Penyakit Tomat Geminivirus Tanaman tomat yang diserang oleh virus gemini menunjukkan gejala daun mosaik, menguning dan keriting (Lampiran 12). Gejala yang sama juga dilaporkan oleh Kato et al. (1998) dan Aidawati et al. (22). Kejadian penyakit geminivirus Gambar 12 Gejala serangan virus gemini pada tanaman tomat.

14 pada tanaman tomat pada setiap perlakuan tidak terlalu berbeda. Pada MK umur 49 hst, kejadian penyakit geminivirus hampir mencapai 1% pada semua perlakuan (Gambar 13a dan Lampiran 8). Pada MH umur 7 hst, kejadian penyakit geminivirus tidak jauh berbeda yakni pada perlakuan input rendah 62,5%, organik 58% dan konvensional 53,2% (Gambar 13b dan Lampiran 8). Kejadian penyakit geminivirus yang tidak terlalu jauh berbeda pada ketiga perlakuan, kemungkinan karena sumber inokulum virus gemini dan B. tabaci yang infektif telah berada pada semua perlakuan. Untuk menyebarkan virus gemini hanya memerlukan jumlah vektor yang sedikit. Satu individu B. tabaci yang infektif sudah dapat menularkan virus (Mehta et al. 1994) dan penularan semakin efektif seiring dengan meningkatnya jumlah B. tabaci (Aidawati et al. 22). Kejadian penyakit (%) (a) Organik Input rendah Konvensional Kejadian penyakit (%) (b) Organik Input rendah Konvensional Gambar 13 Rata-rata luas serangan penyakit geminivirus pada tanaman tomat pada MK (a) dan MH (b).

15 Aplikasi insektisida pada perlakuan konvensional dan seringnya turun hujan pada MH hanya mampu memperlambat perkembangan dan penyebaran populasi B. tabaci. Pada lahan non organik yang lebih rimbun, peluang kejadian penyakit akan lebih besar karena aktifitas hidup B. tabaci cenderung pada kondisi lahan tersebut. Sudiono (21) menyatakan bahwa penularan penyakit geminivirus pada tanaman inang melalui serangga vektor (B. tabaci) menunjukkan masa inkubasi antara hari setelah inokulasi dan kejadian penyakit antara 2-1%. Bercak Daun Penyakit bercak daun pada tanaman tomat yang disebabkan oleh A. solani menunjukkan gejala bercak bulat atau bersudut, coklat tua sampai hitam dan terdapat jalur klorotik (Gambar 14). Pada MK ditemukan menyerang tanaman tomat hanya pada awal pertumbuhan dengan intensitas serangan rendah (< 5%), namun pada MH intensitas serangan jauh lebih tinggi. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh pengaruh cuaca pada MH yang cocok untuk perkembangan A. solani. Semangun (2) menyatakan bahwa A. solani membentuk banyak Gambar 14 Gejala serangan A. solani pada tanaman tomat. konidium bila cuaca lembab. Selanjutnya konidia menyebar ke bagian tanaman yang lain dengan bantuan air hujan dan angin. Serangan A. solani pada MH sudah terlihat sejak tanaman tomat berumur 23 hst, intensitas serangan meningkat sampai umur 51 hst kemudian turun pada umur 58 hst pada semua perlakuan (Gambar 15 dan Lampiran 9). Agrios (1997) menyatakan bahwa tanaman tomat pada awal pertumbuhan rentan, kemudian agak tahan pada fase pertumbuhan dan kembali

16 Intensitas serangan (%) Organik Input rendah Konvensional Gambar 15 Rata-rata intensitas serangan A. solani pada tanaman tomat pada MH. rentan pada fase pemasakan, terhadap bercak daun (early blight) dan busuk daun (late blight). Intensitas serangan pada ketiga perlakuan sampai umur tanaman 58 hst tidak terlalu jauh berbeda. Intensitas serangan menurun setelah umur tanaman 51 hst disebabkan adanya tindakan sanitasi yakni membuang bagian tanaman yang sakit pada semua perlakuan. Bila dibandingkan dengan perlakuan lain, pada perlakuan organik intensitas serangan cenderung menurun terus setelah tanaman berumur 51 hst. Hal ini disebabkan oleh bagian tanaman (relung) yang sebelumnya menjadi tempat berkembang A. solani didominasi oleh perkembangan P. infestans. Pada perlakuan non organik, setelah menurun pada umur 58 hst intensitas serangan meningkat sampai umur 7 hst yang kemudian menurun kembali. Hal ini menunjukkan aplikasi fungisida kurang mempengaruhi penekanan serangan A. solani. Dengan kondisi cuaca dan inang yang sama terlihat dominasi relung oleh P. infestans lebih cepat dibandingkan dengan A. solani. Busuk Daun Penyakit busuk daun pada tanaman tomat yang disebabkan oleh P. infestans menunjukkan gejala pada daun hawar hitam kecoklatan (Gambar 16a), buah hawar coklat tua, keras dan berkerut (Gambar 16b). Serangan P. infestans pada MK mulai terlihat sejak tanaman berumur 14 hst kemudian intensitas serangan

17 (a) (b) Gambar 16 Gejala serangan P. infestans pada (a) daun dan (b) buah tomat. meningkat seiring dengan bertambahnya umur tanaman (Gambar 17 dan Lampiran 1). Intensitas serangan P. infestans pada MK tidak terlalu berbeda antara perlakuan. Intensitas tertinggi pada setiap perlakuan sebagai berikut organik (82,1%), input rendah (76,5%) dan konvensional (75,7%). Pada kondisi ini, tanaman tomat masih dapat berproduksi karena P. infestans menyerang sebagian besar pada daun sedangkan serangan pada buah masih sedikit. Intensitas serangan (%) Organik Input Rendah Komvensional Gambar 17 Rata-rata intensitas serangan P. infestans pada tanaman tomat pada MK. Serangan P. infestans pada MH mulai tampak pada umur 51 hst dan meningkat seiring dengan bertambahnya umur tanaman (Gambar 18 dan Lampiran 1). Pada umur 7 hst, intensitas serangan P. infestans pada perlakuan organik (6,2%) sangat tinggi dibandingkan dengan perlakuan input rendah (9%) dan konvensional (5,4%). Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan fungisida pada

18 Intensitas serangan (%) Organik Input rendah Konvensional Gambar 18 Rata-rata intensitas serangan P. infestans pada tanaman tomat pada MH. MH memberikan pengaruh terhadap penurunan intensitas serangan P. infestans. Serangan P. infestans pada perlakuan organik mengakibatkan banyak tanaman tomat mati pada umur 73 hst. Kondisi curah hujan dan kelembaban yang tinggi (Tabel 7) memacu perkembangan P. infestans. Selanjutnya serangan pada perlakuan organik diperparah karena posisi petak organik yang kurang terkena sinar matahari (terlindung oleh pohon bambu). Menurut ramalan Agrios (1997) bahwa apabila suhu tetap dingin (1 o C-24 o C) kelembaban diatas 75%, minimal selama 48 jam maka akan terjadi serangan late blight 2-3 minggu kemudian. Tabel 7 Keadaan iklim wilayah pengamatan Stasiun Citeko bulan April Juni dan September Desember 25 Bulan Kelembaban Penyinaran Curah hujan nisbi (%) Suhu ( o C)* (jam)* (mm) (hh) Min Mak Pertanaman MK Maret 318, ,3 25,9 3, April 125, ,1 26,7 3,4 Mei 163, ,4 26,5 5, Juni 237, , 26, 4,4 Pertanaman MH September 22, ,4 26,3 5,6 Oktober 192, ,5 26,6 4,7 November 263, ,8 26,4 4,1 Desember 282, , 25,6 2, Sumber: Stasiun Klimatologi Darmaga Bogor, * rata-rata

19 Selanjutnya dinyatakan jika dalam periode tersebut terjadi hujan, embun dan kelembaban nisbi mendekati jenuh selama beberapa jam maka akan terjadi epidemi late blight. Crosier (1934) dalam Semangun (2) menyatakan bahwa cendawan hanya membentuk sporangium bila kelembaban udara lebih dari 91% dan paling baik pada 1% dengan suhu 18 o 22 o C. Lebih lanjut dinyatakan bahwa busuk daun tomat merupakan masalah berat di dataran tinggi hanya pada musim hujan karena perkembangan P. infestans memerlukan kelembaban nisbi tinggi dan suhu rendah. Tinggi Tanaman Tomat Rata-rata tinggi tanaman tomat antara perlakuan baik pada MK maupun MH tidak terlalu jauh berbeda. Pada MK tanaman tertinggi terdapat pada perlakuan konvensional yaitu 136,6 cm, organik 132,7 cm dan input rendah 126,6 cm (Gambar 19 dan Lampiran 11). Hal ini tampaknya disebabkan pada semua perlakuan tanaman tomat terserang penyakit (geminivirus dan busuk daun) yang dapat menghambat pertumbuhan tanaman. Tinggi tanaman (cm) Organik Input rendah Konvensional Gambar 19 Rata-rata tinggi tanaman tomat pada MK. Rata-rata tinggi tanaman tomat pada MH sejak awal pertumbuhan sampai dengan umur 58 hst, pada perlakuan organik dan konvensional lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan input rendah (Gambar 2 dan Lampiran 11). Pada umur 7 hst, tinggi tanaman tomat non organik lebih tinggi dibandingkan organik yakni pada perlakuan konvensional 19,4 cm dan input rendah 12,9 cm sementara organik hanya 98,2 cm. Hal ini disebabkan aplikasi pupuk anorganik

20 Tinggi tanaman(cm) Organik Input rendah Konvensional Gambar 2 Rata-rata tinggi tanaman tomat pada MH. dengan hara makro tinggi memberikan nutrisi yang cukup untuk pertumbuhan tanaman dibandingkan dengan kompos yang mengandung hara makro rendah. Selanjutnya pada perlakuan organik intensitas serangan P. infestans lebih tinggi dibandingkan perlakuan non organik yang dapat menghambat pertumbuhan dan produksi tanaman tomat. Arthropoda Tanah Total populasi arthropoda tanah yang diperoleh pada MK lebih banyak dari pada MH (Tabel 8). Hal ini disebabkan pada MH arthropoda tanah kurang aktif Tabel 8 Komposisi populasi arthropoda tanah hasil pitfall trap pada pertanaman kubis berdasarkan peranannya Perlakuan Hama Musuh alami Pengurai Serangga lain Jumlah Pop % Pop % Pop % Pop % Pop % Pertanaman MK n = OM 34, , ,9 1, OT 29,1 79 3, , 13, LM 55, , , 1, LT 28, , ,8 8, KM 4, , ,5 14, KT 74, , ,7 7, Pertanaman MH n = OM 26, , ,7 3, OT 26, , ,1 55, LM 3, , ,1 26, LT 47, , ,4 39, KM 38, , ,7 23, KT 98, , ,1 16, Pop = populasi (individu), n = total hasil pitfall trap

21 dan banyak yang mati. Aplikasi bahan organik menjadikan tanah lebih gembur dan lembab. Kondisi tersebut dapat meningkatkankan populasi arthropoda tanah yang penting seperti ordo Collembola. Komposisi arthropoda tanah pada semua perlakuan dominan dihuni oleh ordo Collembola (5 famili) yang berperan sebagai pengurai dan ordo Hymenoptera (famili Formicidae) yang berperan sebagai musuh alami (Lampiran 12). Famili Formicidae (kelompok semut) sering digunakan sebagai bioindikator kesehatan ekosistem pertanian (Samways 1995). Pada MK jumlah ordo dan famili arthropoda tanah lebih beragam pada pertanaman tumpangsari dibandingkan dengan pertanaman monokultur. Hal ini menunjukkan bahwa arthropoda tanah lebih menyenangi kondisi lahan dengan beragam tanaman dan mempunyai kelembaban cukup. Secara umum total populasi arthropoda tanah pada perlakuan konvensional lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan input rendah dan organik baik pada MK maupun MH (Tabel 9). Keadaan populasi arthropoda tanah kemungkinan Tabel 9 Jumlah ordo, famili dan populasi arthropoda tanah hasil pitfall trap pada berbagai perlakuan pada tanaman kubis Penggolongan Perlakuan OM OT LM LT KM KT Pertanam MK Ordo Famili Populasi * Pertanam MK Ordo Famili Populasi * * = individu dipengaruhi oleh aplikasi bahan organik berupa pupuk kandang atau kompos. Hal ini ditunjukkan dengan tingginya komposisi ordo Collembola dan famili Formicidae pada semua perlakuan. Hal lain kemungkinan yang mempengaruhi keadaan populasi arthropoda tanah adalah faktor lingkungan disekitar lahan penelitian. Posisi petak perlakuan konvensional yang berdekatan dengan budi daya tanaman lain yang memungkinkan terjadinya perpindahan serangga, dibandingkan dengan petak organik yang berdekatan dengan pohon bambu dan jalan. Samways

22 (1995) menyatakan bahwa koridor perpindahan dapat berfungsi sebagai penghubung yang membantu perpindahan atau pemencaran serangga dari suatu lahan ke lahan yang lainnya. Jalan merupakan koridor penghambat perpindahan dan pergerakan spesies tertentu dalam melintas lanskap (Forman dan Godron 1986). Mikroorganisme Mikroorganisme yang berhasil diisolasi dari tanah perakaran kubis dan tomat serta daun tomat disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Mikroorganisme hasil isolasi dari tanah perakaran kubis dan tomat serta daun tomat Kode A B C D E F G H I J K L M N O P Q R S T U V Jenis koloni Pseudomonas kelompok fluorescens Warna putih, pinggir bergelombang Warna putih, pinggir berambut Warna putih, bulat kecil Warna putih, bentuk tidak teratur Warna putih, transparan, kecil Warna putih, bentuk tidak teratur, tepi koloni berambut Warna kuning muda, bulat Warna putih, bulat besar Warna kuning, bentuk tidak teratur Warna kuning, permukaan koloni berkerut-kerut Warna putih, berambut panjang Warna putih, transparan besar Warna putih, mengkerut Warna putih, transparan konsentris Cendawan, putih mengkerut ke atas Warna merah, permukaan atas kuning Cendawan, warna merah mengkerut ke atas Cendawan, warna cokelat mengkerut ke atas Warna merah, bulat, pinggir berwarna putih Warna merah, bulat, atas berwarna putih Cendawan, warna hijau, seperti Aspergillus sp. Jenis koloni mikroorganisme yang diisolasi dari tanah pada perlakuan organik dan input rendah sama yakni 15 jenis, sedangkan pada konvensional hanya 11 jenis (Tabel 11). Hal ini menunjukkan bahwa mikroorganisme tanah pada perlakuan organik dan input rendah lebih beragam dibandingkan dengan perlakuan

23 Tabel 11 Total koloni dan jumlah jenis mikroorganisme (MO) yang berhasil diisolasi dari tanah perakaran kubis dan tomat pada tiga media tumbuh Perlakuan (Jenis MO) Organik (A,B,C,D,F,G,H,I, K,L,M,N,O,Q,R) Input rendah (A,B,C,D,E,F,G, H,I,J,K,N,P,Q,R) Konvensional (B,C,D,F,H,I,K, L,M,N,P) Media tumbuh King s B Triptic soy agar Martin agar Jumlah Rata-rata Jumlah Rata-rata Jumlah Rata-rata jenis total jenis total jenis total MO koloni MO koloni MO koloni 9 3,1x ,87x1 4 3,27x ,3x ,7x1 4 3,33x ,1x ,13x1 4 1,3x1 4 konvensional. Mikroorganisme yang diisolasi tersebut diantaranya ada yang dapat tumbuh pada dua media (king s B dan triptic soy agar). Jumlah koloni mikroorganisme yang tumbuh dari ketiga media sangat bervariasi. Pseudomonas kelompok fluorescens (A) merupakan bakteri yang bermanfaat sebagai agens biokontrol, ditemukan hanya pada perakaran tanah perlakuan organik dan input rendah. Hal ini menguntungkan sekali dalam upaya pengendalian hayati. Beberapa isolat Pseudomonas kelompok fluorescens sudah banyak diketahui potensinya sebagai agens biokontrol (Lindow et al. 1996) Jumlah jenis mikroorganisme yang diisolasi dari daun tomat pada ketiga perlakuan hampir tidak berbeda, pada perlakuan konvensional 12 jenis, perlakuan organik dan input rendah sama yakni 11 jenis (Tabel 12). Rata-rata koloni mikroorganisme yang tumbuh dari ketiga media sangat bervariasi.

24 Tabel 12 Total koloni dan jumlah jenis mikroorganisme (MO) yang berhasil diisolasi dari daun tomat pada tiga media tumbuh Perlakuan (Jenis MO) Organik (B,H,I,G,K,N, P,S,T,U,V) Input rendah (B,F,H,I,J,M, P,Q,S,T,U) Konvensional (B,H,I,J,K,M, P,Q,S,T,U,V) Media tumbuh King s B Triptic soy agar Martin agar Jumlah Rata-rata Jumlah Rata-rata Jumlah Rata-rata jenis total jenis total jenis total MO koloni MO koloni MO koloni 3 17,5x1 4 3,5x1 4 5,185 x ,5 x1 4 1,5x1 4 5,135 x , x1 4 1,5x1 4 6,31 x1 4 Produksi Kubis Produksi kubis pada perlakuan non organik lebih tinggi dari pada perlakuan organik, baik secara monokultur maupun tumpangsari (Gambar 21). Hal ini kemungkinan disebabkan kurangnya ketersediaan pupuk baik kuantitas maupun kualitas pada perlakuan organik. Pada perlakuan non organik, aplikasi pupuk sintetik dilakukan secara bertahap sebagai penyedia hara makro tinggi yang siap Produksi (ku/ha) MK MH OM OT LM LT KM KT Perlakuan Gambar 21 Rata-rata produksi tanaman kubis (ha) pada MK dan MH.

25 diserap sepanjang pertumbuhan tanaman. Pada perlakuan organik, kandungan hara makro pada pupuk kandang rendah (Tabel 13) dan pemupukan dilakukan hanya sekali. Dibandingkan dengan pupuk sintetik, pupuk kandang merupakan pupuk dengan reaksi yang lambat, akan tetapi tanah yang diberi pupuk kandang dalam jangka panjang akan memberikan hasil yang lebih baik (Simatupang 1992). Selama perkembangan tanaman, pupuk kandang mengalami dekomposisi dan mungkin terjadi pula percucian hara, sehingga pada saat tanaman membutuhkan hara ditanah kurang tersedia. Mahimairaja et al. (1995) menyatakan bahwa kehilangan N terbesar pada pupuk kandang adalah melalui denitrifikasi dan penguapan amonia. Produksi kubis pada perlakuan organik lebih rendah dibandingkan dengan non organik, juga disebabkan tingginya intensitas penyakit akar gada dan hama Gryllotalpa sp. Tabel 13 Kandungan unsur hara pada pupuk kandang dan pupuk sintetik Jenis pupuk Unsur hara (%) N P 2 O 5 K 2 O C organik Ayam & kambing*,74,75 2,2 7,44 Kuda (kompos)* Urea ** TSP ** KCl ** NPK **, , , ,33 Sumber: * Laboratorium Kimia, Balai Penelitian Tanah Bogor ** Program Nasional PHT (1999) Produksi kubis pada perlakuan input rendah lebih tinggi dari perlakuan konvensional baik pada MK maupun MH. Hal ini menunjukkan bahwa tanaman pada perlakuan input rendah dengan pupuk setengah dosis dari perlakuan konvensional serta pengendalian kimia memperhatikan AE mampu membuat tanaman kubis berproduksi dengan baik. Produksi kubis pada pertanaman tumpangsari lebih rendah dibandingkan dengan pertanaman monokultur baik pada MK maupun MH. Hal ini kemungkinan disebabkan adanya kompetisi penggunaan hara, sinar matahari dan air antara kubis dan tomat. Menururt Baharjah et al. (1993), selain keuntungan sistem pertanaman

26 tumpang sari juga mempunyai kelemahan antara lain terjadinya kompetisi penggunaan hara, air dan cahaya. Tomat Produksi tomat pada MK, perlakuan organik (26,3 ku/ha) hampir sama dengan perlakuan input rendah (27,5 ku/ha) tetapi lebih lebih rendah dibandingkan dengan produksi tomat perlakuan konvensional (51,4 ku/ha) (Gambar 22). Produksi tomat pada MH, perlakuan konvensional (76,5 ku/ha) lebih rendah dari perlakuan input rendah (87,7 ku/ha) tetapi jauh lebih tinggi dibandingkan dengan produksi perlakuan organik (3 ku/ha). Hal ini disebabkan tanaman tomat pada perlakuan organik terserang P. infestans dengan intensitas tinggi bahkan patogen tersebut menyebabkan banyak kematian tanaman tomat pada umur 73 hst. 1 Produksi (ku/ha) MK MH OT LT KT Perlakuan Gambar 22 Rata-rata produksi tanaman tomat (ha) pada MK dan MH Analisis Usaha Tani Hasil perhitungan analisis usaha tani yakni perbandingan antara pendapatan dan biaya (R/C rasio) pada MK menunjukkan bahwa perlakuan OM, OT dan LM lebih efisien dari ketiga perlakuan lainnya (Tabel 14). Pada MH analisis menunjukkan bahwa perlakuan LT saja yang menguntungkan karena produksi kubis dan tomat cukup berimbang dibandingkan dengan kelima perlakuan lainnya. Perlakuan konvensional pada MK dan MH mengalami kerugian, sedangkan perlakuan organik pada MK walaupun produksinya rendah tetapi menguntungkan karena harga jual produk 3 kali lebih tinggi dari produk non organik. Pertanian organik juga memberikan dampak yang positif terhadap lingkungan dan kesehatan manusia.

27 Tabel 14 Analisis usaha tani tanaman kubis monokultur dan tumpangsari dengan tanaman tomat (ha) pada MK dan MH Perlakuan Biaya produksi (Rp) Pertanaman MK Kubis (Rp) Produksi Tomat (Rp) Nilai (Rp) Untung/ rugi (Rp) R/C rasio OM ,12 OT ,8 LM ,1 LT ,6 KM ,92 KT ,47 Pertanaman MH OM ,53 OT ,12 LM ,74 LT ,13 KM ,67 KT ,77 Untuk menekan biaya sarana produksi (pupuk kandang dan kompos) pada pertanian organik, petani dapat membuat atau mengusahakan sendiri sarana tersebut. Selain itu petani dapat mengupayakan bahan yang dipergunakan untuk membuat pupuk organik tersebut lebih terjamin kualitasnya. Pupuk organik yang mempunyai hara standar (Sutanto 22) dan aman dari patogen berbahaya merupakan langkah awal dalam pengendalian hama dan penyakit. Sebagai salah satu bentuk usaha tani, sistem budi daya pertanian kubis input rendah dan organik baik secara monokultur dan tumpangsari layak untuk diusahakan dengan mengatur waktu tanam, mempelajari dan mempertimbangkan kesesuaian iklim.

PERKEMBANGAN HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN KUBIS PADA TIGA SISTEM BUDI DAYA A. MUBARRAK

PERKEMBANGAN HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN KUBIS PADA TIGA SISTEM BUDI DAYA A. MUBARRAK PERKEMBANGAN HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN KUBIS PADA TIGA SISTEM BUDI DAYA A. MUBARRAK SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 ABSTRAK A. MUBARRAK. Perkembangan Hama dan Penyakit Tanaman

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN KUBIS PADA TIGA SISTEM BUDI DAYA A. MUBARRAK

PERKEMBANGAN HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN KUBIS PADA TIGA SISTEM BUDI DAYA A. MUBARRAK PERKEMBANGAN HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN KUBIS PADA TIGA SISTEM BUDI DAYA A. MUBARRAK SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 ABSTRAK A. MUBARRAK. Perkembangan Hama dan Penyakit Tanaman

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Pertanian Organik

TINJAUAN PUSTAKA Pertanian Organik TINJAUAN PUSTAKA Pertanian Organik Sistem pertanian organik merupakan salah satu cara untuk pertanian berkelanjutan. Pertanian organik diartikan sebagai suatu sistem produksi tanaman yang berasaskan daur

Lebih terperinci

TEKNIK BUDIDAYA TOMAT

TEKNIK BUDIDAYA TOMAT TEKNIK BUDIDAYA TOMAT 1. Syarat Tumbuh Budidaya tomat dapat dilakukan dari ketinggian 0 1.250 mdpl, dan tumbuh optimal di dataran tinggi >750 mdpl, sesuai dengan jenis/varietas yang diusahakan dg suhu

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Budidaya Cabai Keriting Hibrida TM 999 secara Konvensional dan PHT

HASIL DAN PEMBAHASAN Budidaya Cabai Keriting Hibrida TM 999 secara Konvensional dan PHT HASIL DAN PEMBAHASAN Budidaya Cabai Keriting Hibrida TM 999 secara Konvensional dan PHT Budidaya konvensional merupakan budidaya cabai yang menggunakan pestisida kimia secara intensif dalam mengendalikan

Lebih terperinci

Pengenalan Penyakit yang Menyerang Pada Tanaman Kentang

Pengenalan Penyakit yang Menyerang Pada Tanaman Kentang 1 Pengenalan Penyakit yang Menyerang Pada Tanaman Kentang Kelompok penyakit tanaman adalah organisme pengganggu tumbuhan yang penyebabnya tidak dapat dilihat dengan mata telanjang seperti : cendawan, bakteri,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Lahan Pertanaman Bawang Merah Desa Sungai Nanam, Alahan Panjang, dan Salimpat termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Lembah Gumanti, Kabupaten Solok, Sumatera Barat. Secara

Lebih terperinci

Teknik Budidaya Kubis Dataran Rendah. Untuk membudidayakan tanaman kubis diperlukan suatu tinjauan syarat

Teknik Budidaya Kubis Dataran Rendah. Untuk membudidayakan tanaman kubis diperlukan suatu tinjauan syarat Teknik Budidaya Kubis Dataran Rendah Oleh : Juwariyah BP3K garum 1. Syarat Tumbuh Untuk membudidayakan tanaman kubis diperlukan suatu tinjauan syarat tumbuh yang sesuai tanaman ini. Syarat tumbuh tanaman

Lebih terperinci

Identifikasi dan Klasifikasi Hama Aphid (Kutu Daun) pada tanaman Kentang

Identifikasi dan Klasifikasi Hama Aphid (Kutu Daun) pada tanaman Kentang Identifikasi dan Klasifikasi Hama Aphid (Kutu Daun) pada tanaman Kentang Kehilangan hasil yang disebabkan gangguan oleh serangga hama pada usaha tani komoditas hortikultura khususnya kentang, merupakan

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN PADI (Oryza sativa L.) PADA BEBERAPA SISTEM BUDIDAYA ABRIANI FENSIONITA

PERKEMBANGAN HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN PADI (Oryza sativa L.) PADA BEBERAPA SISTEM BUDIDAYA ABRIANI FENSIONITA PERKEMBANGAN HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN PADI (Oryza sativa L.) PADA BEBERAPA SISTEM BUDIDAYA ABRIANI FENSIONITA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 ABSTRAK ABRIANI FENSIONITA. Perkembangan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Eli Korlina PENDEKATAN PHT

PENDAHULUAN. Eli Korlina PENDEKATAN PHT PENDAHULUAN Eli Korlina Salah satu masalah dalam usahatani bawang putih adalah gangguan hama dan penyakit. Keberadaan hama dan penyakit dalam usahatani mendorong petani untuk menggu-nakan pestisida pada

Lebih terperinci

BUDIDAYA CABAI PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HORTIKULTURA

BUDIDAYA CABAI PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HORTIKULTURA BUDIDAYA CABAI PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HORTIKULTURA 1. PERENCANAAN TANAM 1. Pemilihan lokasi tanam 2. Sistem tanam 3. Pola tanam 4. Waktu tanam 5. Pemilihan varietas Perencanaan Persyaratan Tumbuh

Lebih terperinci

JENIS DAN PADAT POPULASI HAMA PADA TANAMAN PERANGKAP Collard DI SAYURAN KUBIS

JENIS DAN PADAT POPULASI HAMA PADA TANAMAN PERANGKAP Collard DI SAYURAN KUBIS JENIS DAN PADAT POPULASI HAMA PADA TANAMAN PERANGKAP Collard DI SAYURAN KUBIS Eva L. Baideng Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan, Universitas Sam Ratulangi Email : eva.baideng@yahoo.co.id;eva.baideng@unsrat.ac.id

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian ini dilaksanakan di Unit Lapangan Pasir Sarongge, University Farm IPB yang memiliki ketinggian 1 200 m dpl. Berdasarkan data yang didapatkan dari Badan Meteorologi

Lebih terperinci

PENGENDALIAN ORGANISME PENGGANGGU TUMBUHAN (OPT) PADA BUDIDAYA CABAI PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HORTIKULTURA

PENGENDALIAN ORGANISME PENGGANGGU TUMBUHAN (OPT) PADA BUDIDAYA CABAI PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HORTIKULTURA PENGENDALIAN ORGANISME PENGGANGGU TUMBUHAN (OPT) PADA BUDIDAYA CABAI PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HORTIKULTURA PENGENDALIAN OPT CABAI Pengendalian organisme pengganggu tumbuhan (OPT) atau hama dan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Serangga predator Bioekologi Menochilus sexmaculatus

TINJAUAN PUSTAKA Serangga predator Bioekologi Menochilus sexmaculatus TINJAUAN PUSTAKA Serangga predator Serangga predator adalah jenis serangga yang memangsa serangga hama atau serangga lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pemanfaatan serangga predator sudah dikenal

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tomat (Lycopersicum esculentum Miil.) termasuk tanaman sayuran yang sudah

I. PENDAHULUAN. Tomat (Lycopersicum esculentum Miil.) termasuk tanaman sayuran yang sudah I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tomat (Lycopersicum esculentum Miil.) termasuk tanaman sayuran yang sudah dikenal sejak dulu. Ada beberapa jenis tomat seperti tomat biasa, tomat apel, tomat keriting,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Alexopoulus dan Mims (1979), klasifikasi jamur C. cassiicola. : Corynespora cassiicola (Berk. & Curt.) Wei.

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Alexopoulus dan Mims (1979), klasifikasi jamur C. cassiicola. : Corynespora cassiicola (Berk. & Curt.) Wei. 19 TINJAUAN PUSTAKA Biologi Penyakit Menurut Alexopoulus dan Mims (1979), klasifikasi jamur C. cassiicola adalah sebagai berikut : Divisio Sub Divisio Kelas Ordo Famili Genus Spesies : Eumycophyta : Eumycotina

Lebih terperinci

SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT BIODIVERSITAS INDONESIA UNAND PADANG, 23 APRIL Biodiversitas dan Pemanfaatannya untuk Pengendalian Hama

SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT BIODIVERSITAS INDONESIA UNAND PADANG, 23 APRIL Biodiversitas dan Pemanfaatannya untuk Pengendalian Hama SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT BIODIVERSITAS INDONESIA UNAND PADANG, 23 APRIL 26 Biodiversitas dan Pemanfaatannya untuk Pengendalian Hama Seminar Nasional Biodiversitas 23 April 26 Grand Inna Muara Hotel

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kubis merupakan produk urutan ketiga sayuran yang dibutuhkan oleh

BAB I PENDAHULUAN. Kubis merupakan produk urutan ketiga sayuran yang dibutuhkan oleh 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kubis merupakan produk urutan ketiga sayuran yang dibutuhkan oleh hotel-hotel di Bali setelah tomat dan wortel. Prospek pengembangan budidaya kubis diperkirakan masih

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Botani

TINJAUAN PUSTAKA Botani 3 TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman mentimun berasal dari kaki pegunungan Himalaya. Domestikasi dari tanaman liar ini berasal dari India utara dan mencapai Mediterania pada 600 SM. Tanaman ini dapat tumbuh

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Lahan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Lahan HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Lahan Kecamatan Pangalengan berada pada ketinggian sekitar 1500 m di atas permukaan laut (dpl). Keadaan iklim di lokasi ini adalah sebagai berikut meliputi curah hujan rata-rata

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Cabai (Capsicum annuum L.) adalah salah satu komoditas hortikultura

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Cabai (Capsicum annuum L.) adalah salah satu komoditas hortikultura 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Cabai (Capsicum annuum L.) adalah salah satu komoditas hortikultura yang mempunyai prospek pengembangan dan pemasaran yang cukup baik karena banyak dimanfaatkan oleh

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT PADA BUDIDAYA CABAI MERAH

IDENTIFIKASI DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT PADA BUDIDAYA CABAI MERAH IDENTIFIKASI DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT PADA BUDIDAYA CABAI MERAH Nurbaiti Pendahuluan Produktifitas cabai di Aceh masih rendah 10.3 ton/ha (BPS, 2014) apabila dibandingkan dengan potensi produksi yang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Limbah Cair Industri Tempe. pada suatu saat dan tempat tertentu tidak dikehendaki lingkungan karna tidak

TINJAUAN PUSTAKA. A. Limbah Cair Industri Tempe. pada suatu saat dan tempat tertentu tidak dikehendaki lingkungan karna tidak II. TINJAUAN PUSTAKA A. Limbah Cair Industri Tempe Limbah adalah buangan yang dihasilkan dari suatu proses industri maupun domestik (rumah tangga), yang lebih di kenal sebagai sampah, yang kehadiranya

Lebih terperinci

Pertumbuhan tanaman dan produksi yang tinggi dapat dicapai dengan. Pemupukan dilakukan untuk menyuplai unsur hara yang dibutuhkan oleh

Pertumbuhan tanaman dan produksi yang tinggi dapat dicapai dengan. Pemupukan dilakukan untuk menyuplai unsur hara yang dibutuhkan oleh 45 4.2 Pembahasan Pertumbuhan tanaman dan produksi yang tinggi dapat dicapai dengan memperhatikan syarat tumbuh tanaman dan melakukan pemupukan dengan baik. Pemupukan dilakukan untuk menyuplai unsur hara

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Klasifikasi dan Deskripsi Tanaman Cabai Rawit (Capsicum frutescensl.)

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Klasifikasi dan Deskripsi Tanaman Cabai Rawit (Capsicum frutescensl.) 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Deskripsi Tanaman Cabai Rawit (Capsicum frutescensl.) Menurut Cronquist (1981), klasifikasi tanaman cabai rawit adalah sebagai berikut : Kerajaan Divisi Kelas

Lebih terperinci

Cultural Control. Dr. Akhmad Rizali. Pengendalian OPT melalui Teknik Budidaya. Mengubah paradigma pengendalian OPT:

Cultural Control. Dr. Akhmad Rizali. Pengendalian OPT melalui Teknik Budidaya. Mengubah paradigma pengendalian OPT: Cultural Control Dr. Akhmad Rizali Pengendalian OPT melalui Teknik Budidaya Mengubah paradigma pengendalian OPT: Dari: mengendalikan setelah terjadi serangan OPT, Menjadi: merencanakan agroekosistem sehingga

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM WILAYAH STUDI

BAB IV GAMBARAN UMUM WILAYAH STUDI BAB IV GAMBARAN UMUM WILAYAH STUDI Lahan pertanian yang dijadikan objek penelitian berlokasi di daerah lahan pertanian DAS Citarum Hulu, Desa Sukapura, Kecamatan Sukasari, Kabupaten Bandung dan sebagai

Lebih terperinci

Waspadai Kemunculan Pengorok Daun (Liriomyza sp) pada Tanaman Kopi

Waspadai Kemunculan Pengorok Daun (Liriomyza sp) pada Tanaman Kopi PEMERINTAH KABUPATEN PROBOLINGGO Jalan Raya Dringu Nomor 81 Telp. (0335) 420517 PROBOLINGGO 67271 Pendahuluan Waspadai Kemunculan Pengorok Daun (Liriomyza sp) pada Tanaman Kopi Oleh : Ika Ratmawati, SP,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. beras, jagung dan gandum (Samadi, 1997). Mengacu pada program pemerintah akan

BAB I PENDAHULUAN. beras, jagung dan gandum (Samadi, 1997). Mengacu pada program pemerintah akan 2 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. Kentang merupakan salah satu jenis tanaman hortikultura yang bernilai ekonomis tinggi. Sebagai sumber karbohidrat, kentang merupakan sumber bahan pangan yang dapat

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. (brassicaceae) olek karena itu sifat morfologis tanamannya hampir sama, terutama

TINJAUAN PUSTAKA. (brassicaceae) olek karena itu sifat morfologis tanamannya hampir sama, terutama TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Sawi Tanaman sawi (Brassica juncea L.) masih satu keluarga dengan kubis-krop, kubis bunga, broccoli dan lobak atau rades, yakni famili cruciferae (brassicaceae) olek karena

Lebih terperinci

PERBENIHAN BAWANG MERAH PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HORTIKULTURA

PERBENIHAN BAWANG MERAH PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HORTIKULTURA PERBENIHAN BAWANG MERAH PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HORTIKULTURA Dalam rangka meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi bawang merah, peran benih sebagai input produksi merupakan tumpuan utama

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA Lalat penggorok daun, Liriomyza sp, termasuk serangga polifag yang dikenal sebagai hama utama pada tanaman sayuran dan hias di berbagai negara. Serangga tersebut menjadi hama baru

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Mentimun dapat diklasifikasikan kedalam Kingdom: Plantae; Divisio:

II. TINJAUAN PUSTAKA. Mentimun dapat diklasifikasikan kedalam Kingdom: Plantae; Divisio: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani Tanaman Mentimun (Cucumis sativus L.) Mentimun dapat diklasifikasikan kedalam Kingdom: Plantae; Divisio: Spermatophyta; Sub divisio: Angiospermae; Kelas : Dikotyledonae;

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Populasi Kepinding Tanah ( S. coarctata

HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Populasi Kepinding Tanah ( S. coarctata 15 HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Populasi Kepinding Tanah (S. coarctata) Secara umum tampak bahwa perkembangan populasi kepinding tanah terutama nimfa dan imago mengalami peningkatan dengan bertambahnya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Bawang merah (Allium ascalonicum L.) adalah tanaman semusim yang tumbuh

I. PENDAHULUAN. Bawang merah (Allium ascalonicum L.) adalah tanaman semusim yang tumbuh 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Bawang merah (Allium ascalonicum L.) adalah tanaman semusim yang tumbuh membentuk rumpun dengan tinggi tanaman mencapai 15 40 cm. Perakarannya berupa akar

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Survei Kecamatan Rancabungur dan Kecamatan Kemang termasuk dalam Kabupaten Bogor, yang secara geografis terletak antara 6.9 o 6.4 o Lintang Selatan dan 6. o.3 o

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Subhan dkk. (2005) menyatakan bahwa pertumbuhan vegetatif dan generatif pada

II. TINJAUAN PUSTAKA. Subhan dkk. (2005) menyatakan bahwa pertumbuhan vegetatif dan generatif pada II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pemupukan pada Tanaman Tomat 2.1.1 Pengaruh Aplikasi Pupuk Kimia Subhan dkk. (2005) menyatakan bahwa pertumbuhan vegetatif dan generatif pada tanaman tomat tertinggi terlihat pada

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pertumbuhan Tanaman Caisin Tinggi dan Jumlah Daun Hasil uji F menunjukkan bahwa perlakuan pupuk hayati tidak berpengaruh terhadap tinggi tanaman dan jumlah daun caisin (Lampiran

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian 15 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Percobaan dilaksanakan di Kebun Percobaan Margahayu Lembang Balai Penelitian Tanaman Sayuran 1250 m dpl mulai Juni 2011 sampai dengan Agustus 2012. Lembang terletak

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. termasuk ke dalam kelompok rempah tidak bersubstitusi yang berfungsi sebagai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. termasuk ke dalam kelompok rempah tidak bersubstitusi yang berfungsi sebagai BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Bawang Merah Bawang merah merupakan salah satu komoditas sayuran unggulan yang sejak lama telah diusahakan oleh petani secara intensif. Komoditas sayuran ini termasuk

Lebih terperinci

TINJAUAN LITERATUR. Klasifikasi jamur Corynespora cassiicola menurut Alexopolus dan Mims. : Corynespora cassiicola (Berk. & Curt.

TINJAUAN LITERATUR. Klasifikasi jamur Corynespora cassiicola menurut Alexopolus dan Mims. : Corynespora cassiicola (Berk. & Curt. TINJAUAN LITERATUR Biologi Penyakit Klasifikasi jamur Corynespora cassiicola menurut Alexopolus dan Mims (1979) adalah sebagai berikut : Divisi Sub Divisi Kelas Ordo Famili Genus Spesies : Eumicophyta

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 21 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Intensitas Serangan Hama Penggerek Batang Padi (HPBP) Hasil penelitian tingkat kerusakan oleh serangan hama penggerek batang pada tanaman padi sawah varietas inpari 13

Lebih terperinci

SIMPULAN DAN SARAN. Saran Perlu penelitian sistem budi daya tanaman dalam beberapa musim pada lahan yang sama.

SIMPULAN DAN SARAN. Saran Perlu penelitian sistem budi daya tanaman dalam beberapa musim pada lahan yang sama. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Perkembangan populasi hama Plutella xylostella, Crocidolomia pavonana pada sistem budi daya pertanian organik dan input rendah relatif lebih rendah dibandingkan dengan konvensional.

Lebih terperinci

Pengendalian Penyakit pada Tanaman Jagung Oleh : Ratnawati

Pengendalian Penyakit pada Tanaman Jagung Oleh : Ratnawati Pengendalian Penyakit pada Tanaman Jagung Oleh : Ratnawati Tanaman jagung disamping sebagai bahan baku industri pakan dan pangan pada daerah tertentu di Indonesia dapat juga sebagai makanan pokok. Karena

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN HAMA DAN PENYAKIT KUBIS DAN TOMAT PADA TIGA SISTEM BUDIDAYA PERTANIAN DI DESA SUKAGALIH KECAMATAN MEGAMENDUNG KABUPATEN BOGOR

PERKEMBANGAN HAMA DAN PENYAKIT KUBIS DAN TOMAT PADA TIGA SISTEM BUDIDAYA PERTANIAN DI DESA SUKAGALIH KECAMATAN MEGAMENDUNG KABUPATEN BOGOR PERKEMBANGAN HAMA DAN PENYAKIT KUBIS DAN TOMAT PADA TIGA SISTEM BUDIDAYA PERTANIAN DI DESA SUKAGALIH KECAMATAN MEGAMENDUNG KABUPATEN BOGOR oleh : SRI WAHYUNI A44102050 PROGRAM STUDI PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Penyakit antraknosa pada tanaman cabai disebabkan oleh tiga spesies cendawan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Penyakit antraknosa pada tanaman cabai disebabkan oleh tiga spesies cendawan 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penyakit Antraknosa Cabai Penyakit antraknosa pada tanaman cabai disebabkan oleh tiga spesies cendawan Colletotrichum yaitu C. acutatum, C. gloeosporioides, dan C. capsici (Direktorat

Lebih terperinci

PENYAKIT PENYAKIT YANG SERING MENYERANG CABAI MERAH (Capsicum annuum L.)

PENYAKIT PENYAKIT YANG SERING MENYERANG CABAI MERAH (Capsicum annuum L.) PENYAKIT PENYAKIT YANG SERING MENYERANG CABAI MERAH (Capsicum annuum L.) Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Masalah yang sering dihadapi dan cukup meresahkan petani adalah adanya serangan hama

Lebih terperinci

BAB III TATALAKSANA TUGAS AKHIR

BAB III TATALAKSANA TUGAS AKHIR 13 BAB III TATALAKSANA TUGAS AKHIR A. Tempat Pelaksanaan Pelaksanaan Tugas Akhir dilaksanakan di Dusun Kwojo Wetan, Desa Jembungan, Kecamatan Banyudono, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. B. Waktu Pelaksanaan

Lebih terperinci

Gambar 1 Diagram alir kegiatan penelitian.

Gambar 1 Diagram alir kegiatan penelitian. BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Desa Harjobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Lokasi penelitian berada pada ketinggian 343 meter

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Biotani Sistimatika Sawi. Sawi adalah sekelompok tumbuhan dari marga Brassica yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Biotani Sistimatika Sawi. Sawi adalah sekelompok tumbuhan dari marga Brassica yang II. TINJAUAN PUSTAKA A. Biotani Sistimatika Sawi Sawi adalah sekelompok tumbuhan dari marga Brassica yang dimanfaatkan daun atau bunganya sebagai bahan pangan (sayuran), baik segar maupun diolah. Sawi

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1 Lokasi dan Keadaan Geografis Kelompok Tani Pondok Menteng merupakan salah satu dari tujuh anggota Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Rukun Tani yang sebagian besar

Lebih terperinci

Cara Menanam Tomat Dalam Polybag

Cara Menanam Tomat Dalam Polybag Cara Menanam Tomat Dalam Polybag Pendahuluan Tomat dikategorikan sebagai sayuran, meskipun mempunyai struktur buah. Tanaman ini bisa tumbuh baik didataran rendah maupun tinggi mulai dari 0-1500 meter dpl,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Panjang akarnya dapat mencapai 2 m. Daun kacang tanah merupakan daun

II. TINJAUAN PUSTAKA. Panjang akarnya dapat mencapai 2 m. Daun kacang tanah merupakan daun 11 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani Tanaman Kacang Tanah Tanaman kacang tanah memiliki perakaran yang banyak, dalam, dan berbintil. Panjang akarnya dapat mencapai 2 m. Daun kacang tanah merupakan daun majemuk

Lebih terperinci

PEMBAHASAN. Budidaya Bayam Secara Hidroponik

PEMBAHASAN. Budidaya Bayam Secara Hidroponik 38 PEMBAHASAN Budidaya Bayam Secara Hidroponik Budidaya bayam secara hidroponik yang dilakukan Kebun Parung dibedakan menjadi dua tahap, yaitu penyemaian dan pembesaran bayam. Sistem hidroponik yang digunakan

Lebih terperinci

Teknologi Produksi Ubi Kayu Monokultur dan Tumpangsari Double-Row

Teknologi Produksi Ubi Kayu Monokultur dan Tumpangsari Double-Row Teknologi Produksi Ubi Kayu Monokultur dan Tumpangsari Double-Row Ubi kayu dapat ditanam sebagai tanaman tunggal (monokultur), sebagai tanaman pagar, maupun bersama dengan tanaman lain (tumpangsari atau

Lebih terperinci

PENGENDALIAN ORGANISME PENGGANGGU TUMBUHAN (OPT) PADA BUDIDAYA BAWANG MERAH PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HORTIKULTURA

PENGENDALIAN ORGANISME PENGGANGGU TUMBUHAN (OPT) PADA BUDIDAYA BAWANG MERAH PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HORTIKULTURA PENGENDALIAN ORGANISME PENGGANGGU TUMBUHAN (OPT) PADA BUDIDAYA BAWANG MERAH PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HORTIKULTURA PENGENDALIAN OPT BAWANG MERAH Pengendalian organisme pengganggu tumbuhan (OPT)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1993). Yang dimaksud dengan hama ialah semua binatang yang mengganggu dan

BAB I PENDAHULUAN. 1993). Yang dimaksud dengan hama ialah semua binatang yang mengganggu dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah kerusakan tanaman akibat serangan hama menjadi bagian budidaya pertanian sejak manusia mengusahakan pertanian ribuan tahun yang lalu. Mula-mula manusia membunuh

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut:

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut: TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom Filum Kelas Ordo Famili Genus : Animalia : Arthropoda : Insecta : Lepidoptera : Noctuidae :

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Jumlah Infestasi terhadap Populasi B. tabaci pada Umur Kedelai yang Berbeda

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Jumlah Infestasi terhadap Populasi B. tabaci pada Umur Kedelai yang Berbeda BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Jumlah Infestasi terhadap Populasi B. tabaci pada Umur Kedelai yang Berbeda 4.1.1 Pengaruh Jumlah Infestasi terhadap Populasi B. tabaci Berdasarkan hasil penelitian

Lebih terperinci

BAB. V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB. V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB. V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Penelitian Hasil análisis data penelitian dari masing-masing parameter adalah sebagai berikut: a. Hasil Analisis Kandungan Tabel 1. Tandan Kosong Kelapa Sawit *) Parameter

Lebih terperinci

Teknologi Produksi Ubi Jalar

Teknologi Produksi Ubi Jalar Teknologi Produksi Ubi Jalar Selain mengandung karbohidrat, ubi jalar juga mengandung vitamin A, C dan mineral. Bahkan, ubi jalar yang daging umbinya berwarna oranye atau kuning, mengandung beta karoten

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum 16 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Keadaan tanaman cabai selama di persemaian secara umum tergolong cukup baik. Serangan hama dan penyakit pada tanaman di semaian tidak terlalu banyak. Hanya ada beberapa

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 19 V. HASIL DAN PEMBAHASAN Ubi jalar yang ditanam di Desa Cilembu Kabupaten Sumedang yang sering dinamai Ubi Cilembu ini memiliki rasa yang manis seperti madu dan memiliki ukuran umbi lebih besar dari

Lebih terperinci

I. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Politeknik Negeri Lampung, Bandar Lampung.

I. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Politeknik Negeri Lampung, Bandar Lampung. I. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Politeknik Negeri Lampung, Bandar Lampung. Waktu penelitian dilaksanakan sejak bulan Mei 2010 sampai dengan panen sekitar

Lebih terperinci

PENYAKIT-PENYAKIT PENTING PADA TANAMAN HUTAN RAKYAT DAN ALTERNATIF PENGENDALIANNYA

PENYAKIT-PENYAKIT PENTING PADA TANAMAN HUTAN RAKYAT DAN ALTERNATIF PENGENDALIANNYA PENYAKIT-PENYAKIT PENTING PADA TANAMAN HUTAN RAKYAT DAN ALTERNATIF PENGENDALIANNYA NUR HIDAYATI BALAI BESAR PENELITIAN BIOTEKNOLOGI DAN PEMULIAAN TANAMAN HUTAN KONSEP PENYAKIT TANAMAN Penyakit tumbuhan

Lebih terperinci

MENGENAL ORGANISME PENGGANGGU TUMBUHAN (OPT) BAWANG MERAH DAN MUSUH ALAMINYA PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HORTIKULTURA

MENGENAL ORGANISME PENGGANGGU TUMBUHAN (OPT) BAWANG MERAH DAN MUSUH ALAMINYA PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HORTIKULTURA MENGENAL ORGANISME PENGGANGGU TUMBUHAN (OPT) BAWANG MERAH DAN MUSUH ALAMINYA PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HORTIKULTURA Mengapa harus mengenal OPT yang menyerang? Keberhasilan pengendalian OPT sangat

Lebih terperinci

BAB VII SINTESIS Strategi Pengendalian Hayati Kepik Pengisap Buah Lada

BAB VII SINTESIS Strategi Pengendalian Hayati Kepik Pengisap Buah Lada BAB VII SINTESIS Strategi Pengendalian Hayati Kepik Pengisap Buah Lada Ada empat pendekatan dalam kegiatan pengendalian hayati yaitu introduksi, augmentasi, manipulasi lingkungan dan konservasi (Parella

Lebih terperinci

Oleh Administrator Kamis, 07 November :05 - Terakhir Diupdate Kamis, 07 November :09

Oleh Administrator Kamis, 07 November :05 - Terakhir Diupdate Kamis, 07 November :09 Tanaman tomat (Lycopersicon lycopersicum L.) termasuk famili Solanaceae dan merupakan salah satu komoditas sayuran yang sangat potensial untuk dikembangkan. Tanaman ini dapat ditanam secara luas di dataran

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Kondisi Umum Percobaan studi populasi tanaman terhadap produktivitas dilakukan pada dua kali musim tanam, karena keterbatasan lahan. Pada musim pertama dilakukan penanaman bayam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai keunggulan nyata dibandingkan dengan pupuk kimia. Pupuk organik dan

BAB I PENDAHULUAN. berbagai keunggulan nyata dibandingkan dengan pupuk kimia. Pupuk organik dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertanian organik merupakan suatu sistem produksi pertanaman yang dilakukan berasaskan daur ulang hara secara hayati. Daur ulang hara dapat melalui sarana limbah tanaman

Lebih terperinci

Teknik Budidaya Bawang Merah Ramah Lingkungan Input Rendah Berbasis Teknologi Mikrobia PGPR

Teknik Budidaya Bawang Merah Ramah Lingkungan Input Rendah Berbasis Teknologi Mikrobia PGPR Teknik Budidaya Bawang Merah Ramah Lingkungan Input Rendah Berbasis Teknologi Mikrobia PGPR LATAR BELAKANG Tanaman Bawang merah (Allium ascalonicum) merupakan salah satu tanaman hortikultura yang banyak

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Paprika. Syarat Tumbuh

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Paprika. Syarat Tumbuh 4 TINJAUAN PUSTAKA Botani Paprika Tanaman paprika (Capsicum annum var. grossum L.) termasuk ke dalam kelas Dicotyledonae, ordo Solanales, famili Solanaceae dan genus Capsicum. Tanaman paprika merupakan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik lokasi Penelitian dilakukan di Desa Padajaya Kecamatan Cipanas, Kabupaten Cianjur. Lokasi penelitian termasuk dataran tinggi dengan ketinggian sekitar 1300 meter di atas

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Suhu min. Suhu rata-rata

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Suhu min. Suhu rata-rata BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pengamatan Selintas 4.1.1. Keadaan Cuaca Lingkungan merupakan faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman sebagai faktor eksternal dan faktor internalnya yaitu genetika

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) Spodoptera litura F. dapat diklasifikasikan

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) Spodoptera litura F. dapat diklasifikasikan TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama Spodoptera litura F. Menurut Kalshoven (1981) Spodoptera litura F. dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Filum Kelas Ordo Famili Subfamili Genus : Arthropoda : Insecta

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1 Gambaran Umum Kabupaten Kerinci 5.1.1 Kondisi Geografis Kabupaten Kerinci terletak di sepanjang Bukit Barisan, diantaranya terdapat gunung-gunung antara lain Gunung

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. memikat perhatian banyak mata. Pemuliaan anggrek dari tahun ke tahun,

I. PENDAHULUAN. memikat perhatian banyak mata. Pemuliaan anggrek dari tahun ke tahun, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bunga anggrek adalah salah satu jenis tanaman hias yang mampu memikat perhatian banyak mata. Pemuliaan anggrek dari tahun ke tahun, terus menghasilkan ragam varietas anggrek

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kacang tanah (Arachis hypogaea L.) merupakan tanaman yang berasal

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kacang tanah (Arachis hypogaea L.) merupakan tanaman yang berasal 11 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani Kacang Tanah Tanaman kacang tanah (Arachis hypogaea L.) merupakan tanaman yang berasal dari benua Amerika, khususnya dari daerah Brizilia (Amerika Selatan). Awalnya kacang

Lebih terperinci

*) Dibiayai Dana DIPA Universitas Andalas Tahun Anggaran 2009 **) Staf Pengajar Fakultas Pertanian Univ.Andalas Padang

*) Dibiayai Dana DIPA Universitas Andalas Tahun Anggaran 2009 **) Staf Pengajar Fakultas Pertanian Univ.Andalas Padang PENERAPAN PENGGUNAAN INSEKTISIDA BIORASIONAL UNTUK MENGENDALIKAN HAMA KUTU KEBUL, Bemisia tabaci PENYEBAB PENYAKIT VIRUS KUNING KERITING CABAI DI NAGARI BATU TAGAK, KECAMATAN LUBUK BASUNG, KABUPATEN AGAM,

Lebih terperinci

BUDIDAYA BAWANG MERAH PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HORTIKULTURA

BUDIDAYA BAWANG MERAH PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HORTIKULTURA BUDIDAYA BAWANG MERAH PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HORTIKULTURA 1. PERENCANAAN TANAM 1. Pemilihan lokasi tanam 2. Sistem tanam 3. Pola tanam 4. Waktu tanam 5. Pemilihan varietas Perencanaan Persyaratan

Lebih terperinci

Hama Patogen Gulma (tumbuhan pengganggu)

Hama Patogen Gulma (tumbuhan pengganggu) KOMPONEN OPT Hama adalah binatang yang merusak tanaman sehingga mengakibatkan kerugian secara ekonomi. Patogen adalah jasad renik (mikroorganisme) yang dapat menyebabkan penyakit pada tanaman Gulma (tumbuhan

Lebih terperinci

Penyakit Layu Bakteri pada Kentang

Penyakit Layu Bakteri pada Kentang Penyakit Layu Bakteri pada Kentang Penyakit layu bakteri dapat mengurangi kehilangan hasil pada tanaman kentang, terutama pada fase pembibitan. Penyakit layu bakteri disebabkan oleh bakteri Ralstonia solanacearum

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Caulifloris. Adapun sistimatika tanaman kakao menurut (Hadi, 2004) sebagai

II. TINJAUAN PUSTAKA. Caulifloris. Adapun sistimatika tanaman kakao menurut (Hadi, 2004) sebagai II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Botani Tanaman Kakao Kakao merupakan tanaman yang menumbuhkan bunga dari batang atau cabang. Karena itu tanaman ini digolongkan kedalam kelompok tanaman Caulifloris. Adapun sistimatika

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan nasional di masa yang akan datang

I. PENDAHULUAN. Dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan nasional di masa yang akan datang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan nasional di masa yang akan datang dan mencukupi kebutuhan pangan Indonesia memerlukan peningkatan produksi padi

Lebih terperinci

Kelimpahan Populasi Parasitoid Sturmia Sp. (Diptera: Tachinidae) Pada Crocidolomia pavonana

Kelimpahan Populasi Parasitoid Sturmia Sp. (Diptera: Tachinidae) Pada Crocidolomia pavonana Kelimpahan Populasi Parasitoid Sturmia Sp. (Diptera: Tachinidae) Pada Crocidolomia pavonana F. (Lepidoptera: Pyralidae) Di Daerah Alahan Panjang Sumatera Barat Novri Nelly Staf pengajar jurusan Hama dan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Cabai merupakan tanaman semusim berbentuk perdu tegak, batang berkayu

II. TINJAUAN PUSTAKA. Cabai merupakan tanaman semusim berbentuk perdu tegak, batang berkayu II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Cabai Merah Besar Cabai merupakan tanaman semusim berbentuk perdu tegak, batang berkayu namun pada batang muda berambut halus berwarna hijau. Tinggi tanaman mencapai 1 2,5 cm dan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Politeknik Negeri Lampung (POLINELA). Waktu

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Politeknik Negeri Lampung (POLINELA). Waktu III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Politeknik Negeri Lampung (POLINELA). Waktu penelitian dilaksanakan sejak bulan Mei 2011 sampai dengan panen sekitar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. polifagus. Pada fase larva, serangga ini menjadi hama yang menyerang lebih dari

BAB I PENDAHULUAN. polifagus. Pada fase larva, serangga ini menjadi hama yang menyerang lebih dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Helicoverpa armigera Hubner merupakan serangga yang bersifat polifagus. Pada fase larva, serangga ini menjadi hama yang menyerang lebih dari 60 spesies tanaman budidaya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. cruciferae yang mempunyai nilai ekonomis tinggi. Sawi memiliki nilai gizi yang

I. PENDAHULUAN. cruciferae yang mempunyai nilai ekonomis tinggi. Sawi memiliki nilai gizi yang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Kesadaran manusia akan kesehatan menjadi salah satu faktor kebutuhan sayur dan buah semakin meningkat. Di Indonesia tanaman sawi merupakan jenis sayuran

Lebih terperinci

PERAN DAUN CENGKEH TERHADAP PENGENDALIAN LAYU FUSARIUM PADA TANAMAN TOMAT

PERAN DAUN CENGKEH TERHADAP PENGENDALIAN LAYU FUSARIUM PADA TANAMAN TOMAT ISSN 1411939 PERAN DAUN CENGKEH TERHADAP PENGENDALIAN LAYU FUSARIUM PADA TANAMAN TOMAT Trias Novita Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Jambi Kampus Pinang Masak, Mendalo Darat, Jambi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Tomat ( Lycopersicum esculentum Hama dan Penyakit Tomat Hama tanaman tomat Ulat buah

TINJAUAN PUSTAKA Tomat ( Lycopersicum esculentum Hama dan Penyakit Tomat Hama tanaman tomat Ulat buah 3 TINJAUAN PUSTAKA Tomat (Lycopersicum esculentum) Tomat adalah sayuran yang penting dan terkenal secara luas di semua negara berkembang. Tomat termasuk dalam kelompok sayuran yang paling utama berdasarkan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. udara yang baik untuk pertumbuhan tanaman cabai adalah 25-27º C pada siang

II. TINJAUAN PUSTAKA. udara yang baik untuk pertumbuhan tanaman cabai adalah 25-27º C pada siang 10 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Umum Tanaman Cabai Tanaman cabai mempunyai daya adaptasi yang cukup luas. Tanaman ini dapat diusahakan di dataran rendah maupun dataran tinggi sampai ketinggian 1400

Lebih terperinci

Memahami Konsep Perkembangan OPT

Memahami Konsep Perkembangan OPT DASAR DASAR PERLINDUNGAN TANAMAN Oleh: Tim Dosen HPT Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan - Fakultas Pertanian - Universitas Brawijaya - 2013 Memahami Konsep OPT Memahami Konsep Perkembangan OPT 1 Batasan/definisi

Lebih terperinci

Teknologi Budidaya Tumpangsari Ubi Kayu - Kacang Tanah dengan Sistem Double Row

Teknologi Budidaya Tumpangsari Ubi Kayu - Kacang Tanah dengan Sistem Double Row Teknologi Budidaya Tumpangsari Ubi Kayu - Kacang Tanah dengan Sistem Double Row PENDAHULUAN Ubi kayu dapat ditanam sebagai tanaman tunggal (monokultur), sebagai tanaman pagar, maupun bersama tanaman lain

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat 16 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan IPB Cikarawang, Dramaga, Bogor mulai bulan Desember 2009 sampai Agustus 2010. Areal penelitian memiliki topografi datar dengan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Terpadu Fakultas Pertanian

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Terpadu Fakultas Pertanian III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Terpadu Fakultas Pertanian Universitas Lampung di Desa Muara Putih Kecamatan Natar Kabupaten Lampung

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Lapang terpadu Universitas Lampung di

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Lapang terpadu Universitas Lampung di 21 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Lapang terpadu Universitas Lampung di Desa Muara Putih Kec. Natar Kab. Lampung Selatan dan Laboratorium

Lebih terperinci

KEMENTERIAN PERTANIAN ISBN :

KEMENTERIAN PERTANIAN ISBN : KEMENTERIAN PERTANIAN ISBN :978-979-8304-70-5 ISBN : 978-979-8304-70-5 Modul Pelatihan Budidaya Kentang Berdasarkan Konsepsi Pengendalian Hama Terpadu (PHT) Modul 1 : Pengendalian Hama Terpadu (PHT) pada

Lebih terperinci