KAJIAN MODEL PENATAAN PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) BERBASIS PENGEMBANGAN KOTA MADIUN MENJADI TUJUAN KOTA WISATA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KAJIAN MODEL PENATAAN PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) BERBASIS PENGEMBANGAN KOTA MADIUN MENJADI TUJUAN KOTA WISATA"

Transkripsi

1 KAJIAN MODEL PENATAAN PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) BERBASIS PENGEMBANGAN KOTA MADIUN MENJADI TUJUAN KOTA WISATA Nur Dewi Setyowati 1 Prodi Ilmu KomunikasiFakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Merdeka Madiun Jl. Serayu No. 79 Kota Madiun aldryan95@gmail.com Abstract Efforts to make the arrangement, guidance and empowerment of street vendors, the necessary care and seriousness of all parties, especially the Government of Madiun in solving and resolving all the problems both facing and it creates,where regulation and development issues as well as efforts to create a model penbinaan arrangement of street vendors (PKL) -based development of Madiun destination tourist city, putting vendors in the space adjoining the space for activities of regional circulation, namely roads, with the alternative of making a new public open space where all public activities take place, including street trading activities, with priority for the optimization of public open space for pedestrian circulation.their common perception between government agencies and PKL in defining the concept model of the arrangement of street vendors (PKL) -based development of Madiun destination tourist town became the start to organize the street PKL. Keywords: Model Structuring Street Vendor, Development, Tourism City. PENDAHULUAN Pedagang kaki lima di kawasan perkotaan dan sekitarnya adalah bukan penduduk asli (pendatang dari desa atau luar provinsi) dan bukan merupakan pilihan pertama sebagai mata pencaharian, proses urbanisasi dan migrasi dengan mengacu kepada perkembangan pedagang kaki lima di Kota Madiun tersebut akan timbul masalah.cara kerja pedagang kaki lima ternyata juga berbeda baik menyangkut jam kerja, jumlah hari kerja, jenis produk maupun permodalannya. Dengan demikian, permasalahan akan timbul akan berkaitan dengan masalah pola kerja. Adanya pedagang kaki lima juga berdampak terhadap lingkungan, aspek lingkungan juga harus disertakan dalam penataan pedagang kaki lima lebih lanjut.pertumbuhan dan perkembangan pedagang kaki lima di Kota Madiun tidak berbeda jauh dengan kota kota lainnya. Rata-rata pertumbuhan dan perkembangannya tampak tidak teratur, liar, SOSIAL: Jurnal Penelitian Ilmu-ilmu Sosial Volume 17 Nomor 1 Maret 2016; ISSN :

2 Kajian Model Penataan Pedagang Kaki Lima (PKL) dan kumuh, serta lebih banyak didorong oleh kepentingan sesaat, khususnya dalam mengatasi krisis social ekonomi yang melanda keluarga mereka, disebabkan langkanya lapangan kerja dan banyaknya pengangguran. Berdasarkan latar belakang pertumbuhan dan perkembangan pedagang kaki lima ini, maka dapat dikatakan bahwa keberadaan mereka (PKL) akan banyak menimbulkan permasalahan bagi tatanan dan lingkungan masyarakat kota, terutama menyangkut kebersihan, ketertiban, keindahan, kesehatan, dan keamanan kota. Di lain pihak keberadaan mereka sesungguhnya dibutuhkan oleh masyarakat golongan menengah kebawah, khususnya golongan ekonomi lemah dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka, terutama yang dapat diperoleh dengan cepat dan murah. Keberadaan pedagang kaki lima juga bermanfaat di dalam membantu mengatasi problem kelangkaan lapangan kerja dan pengangguran. Oleh karena itu keberadaan pedagang kaki lima tidak mungkin dihapuskan, tapi sebaiknya pedagang kaki lima tersebut harus ditata, dibina dan diberdayakan agar dapat memenuhi fungsi dan peran dalam memberi pelayanan pada masyarakat. Upaya melakukan penataan, pembinaan dan pemberdayaan pedagang kaki lima ini, diperlukan kepedulian dan kesungguhan dari semua pihak khususnya Pemerintah Kota Madiun memecahkan dan menyelesaikan semua permasalahan pedagang kaki lima baik yang dihadapi maupun yang ditimbulkannya. Pengaturan dan permasalahan pengembangan serta penbinaan pedagang kaki lima, dilakukan dengan pertimbangan bahwa keberadaan pedagang kaki lima diperlukan oleh masyarakat kota, disamping memiliki potensi di dalam membantu mengatasi problem masyarakat, khususnya dalam membantu mengatasi problem kelangkaan lapangan kerja pengangguran, pengentasan kemiskinan, serta berpotensi untuk pengembangan pariwisata. Pedagang kaki lima (PKL) termasuk satu dari sektor informal yang banyak berkembang di di Kota Madiun. Para PKL kebanyakan berasal dari kalangan rakyat miskin yang termarjinalkan oleh pembangunan ekonomi atau oleh krisis keuangan yang melanda dunia saat ini. Akan tetapi perlakuan Pemerintah Kota Madiun terhadap para PKL seringkali tidak manusiawi dengan melakukan penggusuranpenggusuran tanpa mempertimbangkan kepentingan ekonomi pedagang dengan dalih menggangu ketertiban umum, lalu lintas dan merusak keindahan kota. Oleh karena itu mempertemukan kepentingan ekonomi para PKL dengan kepentingan akan ketertiban dan keindahan kota merupakan suatu kebutuhan yang harus dipenuhi oleh para PKL dan pemerintah kota agar konflik antar para PKL dengan pemerintah kota tidak berlarut-larut dan tidak produktif. Berdasarkan gambaran tersebut penelitian ini akan berusaha menjawab pertanyaan bagaimana Model Penataan Pedagang Kaki Lima (Pkl) Berbasis Pengembangan Kota Madiun Menjadi Tujuan Kota Wisata? Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk: 1. Sejauhmana Pemerintah Kota dapat mengintegrasikan program-program di tingkat pelaksana tehnis untuk dapat mengelola Pedagang Kaki Lima menjadi daya dukung pengembangan Kota Madiun menjadi tujuan Wisata? 2. Sejauh mana para Pedagang Kaki Lima mempunyai kesadaran untuk ikut mengembangkan Kota Madiun? 3. Sejauh mana masyarakat memerlukan keberadaan Pedagang Kaki Lima? Volume 16 Nomor 1 Maret 2015, SOSIAL 61

3 Nur Dewi Setyowati STUDI PUSTAKA Kajian terhadap pedagang kaki lima (PKL) tidak dapat dilepaskan dari pembahasan mengenai sektor informal dan sektor formal dalam perekonomian di Indonesia. Kedua konsep tersebut merupakan konsep yang saling berhubungan dalam mendorong tumbuhkan pedagang kaki lima di Indonesia Sektor Informal Menurut Lukman Sutrisno (1997) secara teoritis sektor informal sudah ada sejak manusia berada di dunia. Fenomena ini terlihat dari kemampuan manusia untuk mencukupi kebutuhan sendiri melalui kerja mandiri tanpa bergantung pada orang lain. Manusia pada awalnya menunjang kehidupannya melalui lapangan kerja yang diciptakan sendiri dan dikerjakan sendiri atau selfemployed. Dengan demikian pada saat itu self employed merupakan organisasi produksi yang formal. Kemampuan kerja mandiri tersebut kemudian berubah setelah masuk pengaruh budaya industri dari negara Barat.Ada dua sebab yang mendorong self-employed yang semula merupakan organisasi produksi yang formal menjadi apa yang disebut sekarang sebagai sektor informal. Pertama, setelah revolusi industri terjadi maka berkembang cara produksi yang lebih terorganisir. Kedua, munculnya negara dan pemerintahan yang mengatur kehidupan manusia yang semakin kompleks memberikan peluang bagi warga negara untuk menjadi birokrat, pegawai negri, polisi, dan tentara. Mereka inilah yang kemudian menjadi buruh dari negara atau pemerintahan. Perkembangan selanjutnya dari para pegawai tersebut dikelompokan menjadi sektor formal dalam jenis pekerjaan. Sektor informal yang lahirnya tidak dikehendaki dalam konteks pembangunan ekonomi, karena dianggap merupakan produk sampingan dari pembangunan sektor formal, mempunyai sifat-sifat yang memang bertentangan dengan sektor formal. Sifat-sifat sektor informal yang mencerminkan adanya pertentangan dengan sektor formal tersebut antara lain: a). Dari sisi pemasaran, transaksi tawar menawar diluar sistem hukum formal dengan afinitas sosial budaya lebih menonjol, b) Perilaku sosial pelaku berhubungan erat dengan kampung dan daerah asal, c) Merupakan kegiatan illegal sehingga selalu terancam penertiban, d) Pendapatan para pelaku ekonomi sektor ini syah tetapi disembunyikan disebut black economy atau underground ekonomi, e) Secara umum dipandang melakukan peran periferal dalam ekonomi kota dan beraneka ragam kegiatan, f) Dalam menjalankan usaha terjadi persaingan ketat diantara para pelaku ekonomi di sektor ini, g) Kebanyakan berusaha sendiri, tidak terorganisir, keuntungan kecil, h) Kegiatan ekonomi di sektor informal tumbuh dari rakyat miskin dikerjakan oleh rakyat miskin, dan sebagian konsumennya adalah rakyat miskin. Terlepas dari semua definisi atau ciri-ciri tersebut diatas keberadaan sektor informal sudah menjadi sebuah realitas sosial yang ada dalam kehidupan masyarakat. Hal ini berarti bahwa mengabaikan keberadaanya justru akan mempersulit kita dalam memecahkan persoalan-persoalan ekonomi yang dihadapi oleh masyarakat itu sendiri. Keberadaanya yang banyak menjadi harapan rakyat kelas bawah sebagai lahan mencari nafkah merupakan tantangan bagi pemerintah untuk menjadikan sektor ini sebagai bagian dari sistem perekonomian nasional.perkembangan sektor informal di perkotaan tidak terlepas dari pertumbuhan penduduk yang cepat 62 SOSIAL, Volume 16 Nomor 1 Maret 2015

4 Kajian Model Penataan Pedagang Kaki Lima (PKL) di daerah perkotaan tersebut. Urbanisasi merupakan salah satu penyebab dari berbagai sebab semakin berkembang sektor informal di perkotaan. Paling tidak terdapat dua alasan utama yang dapat menjelaskan terjadinya peningkatan jumlah pekerja sektor informal di negara-negara berkembang. Alasan pertama, dikemukakan oleh Prebish (1978, 1981) yang menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tidak seimbang antara daerah perkotaan dan perdesaan menyebabkan terjadinya urbanisasi yang prematur (prematur urbanization) dan deformasi struktural (structural deformation) dalam ekonomi (dalam Sasono, 1980). Alasan kedua yang dapat digunakan untuk menjelaskan terjadinya peningkatan jumlah pekerja disektor informal di negara-negara sedang berkembang adalah tesis yang dikemukakan oleh Tokman (1982) yaitu berpangkal pada adanya perbedaan produktifitas yang menyolok antar sektor dan intra sektor yang telah mengakibatkan terjadinya keragaman struktural (structural heterogenity) Hubungan Sektor Informal dengan Sektor Formal Hubungan antara sektor informal dan sektor formal nampaknya sulit untuk dipisahkan. Keduanya merupakan sektor ekonomi yang saling mengisi ketika salah satunya tidak dapat memenuhi kebutuhan akan meluapnya tenaga kerja. Kondisi tersebut dapat disebabkan karena secara ekonomi sektor informal memang tidak mampu lagi menampung tenaga kerja yang ada, tetapi juga karena persoalan-persoalan sosial yang menyebabkan bangkrutnya sektor formal. Luapan tenaga kerja tersebut pada akhirnya ditampung oleh sektor non formal. Gambaran hubungan yang erat antara sektor formal dan informal tersebut oleh para ahli ekonomi dilihat dari dua segi pandangan. Pertama, bahwa keberadaan dan kelangsungan perluasan sektor informal diterima sebagai fase yang harus ada dalam proses pembagunan. Dampak dari pembangunan harus melewati fase tersebut dimana sektor formal pada fase tertentu tidak mampu untuk menampung semua tenaga kerja yang ada. Oleh karena itu fungsi sektor informal adalah sebagai penyangga (buffer zone) Sektor informal dipandang sebagai wadah persemaian benihbenih kewiraswastaan yang diperlukan dalam mendorong munculnya kelompok pengusaha pribumi yang sangat diperlukan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi kota-kota di negara-negara berkembang (Mc Gee, 1973; Mazumbar, 1976; Sethuraman, 1985 dalam Effendi, 1996)). Dalam artian yang demikian maka sektor informal merupakan gejala yang positip bagi perkembangan ekonomi kota. Melalui sektor tersebut diharapkan para migran dapat ditempa kemampuan berwiraswasta sehingga pada akhirnya mereka mampu memasuki sektor formal. Sebagai sebuah fase dalam proses pembangunan maka keberadaan sektor ini tentu harus dicarikan jalan keluar pemecahanya. Pandangan kedua melihat hubungan antara sektor informal dengan formal sebagai hubungan ketimpangan struktural. Artinya strategi pembangunan yang salah menyebabkan ketimpangan struktural yang menimbulkan dua kegiatan ekonomi tersebut. Pembenahan dalam hal ketimpangan struktural tersebut akan dapat menghilangkan sektor informal. Pandangan yang terkahir ini nampaknya merupakan pandangan yang tidak melihat kenyataan bahwa di negara manapun dalam kenyataanya sektor informal tetap ada, meskipun ketimpangan struktural tidak terjadi. Oleh karena itu persoalan yang perlu Volume 16 Nomor 1 Maret 2015, SOSIAL 63

5 Nur Dewi Setyowati dipecahkan adalah bagaimana agar sektor informal menjadi kegiatan ekonomi yang tidak mengganggu atau menimbulkan masalahmasalah sosial lainnya Sektor Informal Pedagang Kaki Lima (PKL) Sektor informal dapat dikelompokkan dalam tiga golongan: a). Pekerja yang menjalankan sendiri modalnya yang sangat kecil (PKL, Pedagang asongan, pedagang pasar, pedagang keliling, etc), b) Pekerja informal yang bekerja pada orang lain. Golongan ini termasuk buruh upahan yang bekerja pada pengusaha kecil atau pada suatu keluarga dengan perjanjian lisan dengan upah bulanan atau harian (PRT, Buruh bangunan), c) Pemilik usaha yang sangat kecil (pemilik kios kecil). Sedangkan menurut Mustafa (2005:59) jenis-jenis kegiatan ekonomi yang dapat dikategorikan sebagai sektor informal antara lain: pedagang kecil, penjaja, pedagng kaki lima, buruh kasar harian pemungut puntung rokok, pengumpul barang-barang bekas, dan pengemis. Pedagang kaki lima merupakan bagian dari sektor informal kota yang mengembangkan aktifitas produksi barang dan jasa di luar kontrol pemerintah dan tidak terdaftar (Evers dan Korf, 2002:234). Istilahpedagang kaki lima atau disingkat PKLsering ditafsirkan karena jumlah kaki pedagangnya ada lima. Lima kaki tersebut adalah dua kaki pedagang ditambah tiga kaki gerobak (yang sebenarnya adalah tiga roda atau dua roda dan satu kaki). Sebenarnya istilah kaki lima berasal dari masa penjajahan kolonial Belanda. Peraturan pemerintahan waktu itu menetapkan bahwa setiap jalan raya yang dibangun hendaknya menyediakan sarana untuk pejalan kaki. Lebar ruas untuk pejalan adalah lima kakiatau sekitar satu setengah meter. Para pedagang yang menempati sarana untuk pejalan tersebut kemudian disebut sebagai pedagang kaki lima. Saat ini istilah PKL digunakan secara lebih luas, tidak hanya untuk para pedagang yang berjualan/berada di badan jalan (trotoar) saja tetapi juga digunakan untuk para pedagang yang berjualan di jalanan pada umumnya. Beberapa karakteristik khas pedagang kaki lima dikemukakan oleh Bagong Suyanto dkk. adalah pertama, pola persebaran kaki lima umumnya mendekati pusat keramaian dan tanpa ijin menduduki zona-zona yang semestinya menjadi milik publik (depriving public zoning).kedua, para pedagang kaki lima umumnya memiliki daya resistensi sosial yang sangat lentur terhadap berbagai tekanan dan kegiatan penertiban, Ketiga, sebagai sebuah kegiatan usaha, pedagang kaki lima umumnya memiliki mekanisme involutif penyerapan tenaga kerja yang sangat longgar. Keempat sebagian besar pedagang kaki lima adalah kaum migran, dan proses adaptasi serta eksistensi mereka didukung oleh bentukbentuk hubungan patronase yang didasarkan pada ikatan faktor kesamaan daerah asal (locality sentiment). Kelima, para pedagang kaki lima rata-rata tidak memiliki ketrampilan dan keahlian alternatif untuk mengembangkan kegiatan usaha baru luar sektor informal kota (Suyanto, 2005: 47-48). Penjelasan berdasarkan ciri-ciri yang melekat pada pedagang kaki lima nampaknya menjadi alternative yang dapat digunakan untuk memahami keberadaan pedagang kaki lima dalam usaha untuk melakukan pembinaan dan penataanya. Apa yang dikemukakan oleh Kartono dkk berdasarkan hasil penelitianya di Bandung, dalam menjelaskan ciri-ciri pedagang kaki lima dapat berguna membantu pembinaan dan penataan pedagang kaki lima tersebut. Menurut Karto- 64 SOSIAL, Volume 16 Nomor 1 Maret 2015

6 Kajian Model Penataan Pedagang Kaki Lima (PKL) no dkk (1980:3-7) pedagang kaki lima mempunyai cirri-ciri a). Merupakan pedagang yang sekaligus sebagai berarti produsen, b). Ada yang menetap pada lokasi tertentu, ada yang bergerak dari tempat yang satu ketempat yang lain (menggunakan pikulan, kereta dorong, tempat atau stan yang tidak permanen serta bongkar pasang), c). Menjajakan bahan makanan, minuman, barang-barang konsumsi lainya yang tahan lama secara eceran, d). Umumnya bermodal kecil, kadang hanya merupakan alat bagi pemilik modal dengan mendapatkan sekedar komisi sebagai imbalan atau jerih payahnya, e). Kualitas barang yang diperdagangkan relatif rendah dan biasanya tidak berstandar, f). Volume peredaran uang tidak seberapa besar, para pembeli umumnya merupakan pembeli yang berdaya beli rendah, g). Usaha berskala kecil bisa merupakan family enterprise, dimana ibu dan anak-anak turut membantu dalam usaha tersebut, baik secara langsung maupun tidak langsung, h). Tawar menawar antar pembeli merupakan relasi yang ciri khas, i). Dalam melaksanakan pekerjaanya ada yang secara penuh, sebagian lagi setelah kerja atau pada waktu senggang dan ada pula yang secara musiman, j) Barang yang dijual biasanya convenience goods jarang sekali specialty goods, k). Dan seringkali berada dalam suasana psikologis yang tidak tenang, meliputi perasaan takut kalau tibatiba kegiatan mereka dihentikan oleh Tim Penertiban Umum (TIBUM) dan Satpol PP sebagai aparat pemerintah daerah. Ciri-ciri yang digambarkan oleh Kartono dkk. tersebut memperlihatkan bahwa pedagang kaki lima mempunyai keragaman baik dari segi tempat berdagang, skala usaha, permodalan, jumlah tenaga kerja, jenis dagangan, dan lokasi usahanya. Alisyahbana (2005:43-44) berdasarkan penelitianya di kota Surabaya telah mengkategorikan pedagang kaki lima menjadi 4 tipologi. Keempat tipologi tersebut adalah: Pertama pedagang kaki lima murni yang masih bisa dikategorikan PKL, dengan skala modal terbatas, dikerjakan oleh orang yang tidak mempunyai pekerjaan selain pedagang kaki lima, ketrampilan terbatas, tenaga kerja yang bekerja adalah anggota keluarga. Kedua, pedagang kaki lima yang hanya berdagang ketika ada bazar (pasar murah/pasar rakyat, berjualan di Masjid pada hari Jumat, halaman kantor-kantor). Ketiga, pedagang kaki lima yang sudah melampaui ciri pedagang kaki pertama dan kedua, yakni pedagang kaki lima yang telah mampu mempekerjakan orang lain. Ia mempunyai karyawan, dengan membawa barang daganganya dan peraganya dengan mobil, dan bahkan ada yang mempunyai stan lebih dari satu tempat. Termasuk dalam tipologi ini adalah pedagang kaki lima yang nomaden berpindah-pindah tempat dengan menggunakan mobil bak terbuka. Keempat pedagang kaki lima yang termasuk pengusaha kaki lima. Mereka hanya mengkoordinasikan tenaga kerja yang menjualkan barangbarangnya. Termasuk pedagang kaki lima jenis ini yaitu padagang kaki lima yang mempunyai toko, dimana tokonya berperan sebagai grosir yang menjual barang daganganya kepada pedagang kaki lima tak bermodal dan barang yang diambil baru dibayar setelah barang tersebut laku. Ciri pedagang kaki lima bersifat subsistensi. Mereka berdagang hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Apa yang diperoleh pada hari ini digunakan sebagai konsumsi hari ini bagi semua anggota keluarganya dengan demikian kemampuan untuk menabung juga rendah. Kondisi ini menyebabkan para pedagang kaki lima menjadi sangat kawatir terhadap berbagai Volume 16 Nomor 1 Maret 2015, SOSIAL 65

7 Nur Dewi Setyowati tindakan aparat yang dapat mengganggu kehidupan subsistensinya. Alisyahbana menggambarkan pedagang kaki lima adalah kelompok masyarakat marjinal dan tidak berdaya. Mereka rata-rata tersisih dari arus kehidupan kota dan bahkan tertelikung oleh kemajuan kota itu sendiri dan tidak terjangkau dan terlindungi oleh hukum, posisi tawar rendah, serta menjadi obyek penertiban dan peralatan kota yang represif. METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif dimana Observasi adalah berdasarkan pengamatanyang dilakukan terhadap gejala yang diteliti. yakni mengenaikajian Model Penataan Pedagang Kaki Lima (PKL) BerbasisPengembangan Kota Madiun Menjadi Tujuan Kota Wisata. Penelitian ini dimaksudkan sebagai upaya melakukan penataan dan pengembangan PKL dalam mendukung pembangunan pariwisata. Karena itu dalam penelitian ini menggunakan 1 (satu) pendekatan, yaitu pendekatan kualitatif (naturalistic approach). B. Pengumpulan Data Sedangkan untuk memperoleh data di lapangan dipergunakan tehnik pengumpulan data gabungan, yaitu tehnik observasi, interview/wawancara, kuesioner/daftar pertanyaan, dan dokumentasi. Tehnik observasi dalam penelitian dilakukan secara non partisipan, artinya pengumpul data tidak berperan sebagai responden. Sedangkan tehnik interview dilakukan pada pihak-pihak tertentu secara bebas, namun ada pihak-pihak tertentu pula misalnya pada pelaku PKL, pembeli/pengguna jasa PKL dilakukan dengan metode angket kombinasi tertutup dan terbuka. Penggunaan tehnik-tehnik tersebut dengan tujuan agar dapat diperoleh data yang lengkap dan sesuai dengan kebutuhan analisa. Tehnik interview (Wawancara), dilakukan melalui tehnik snowball sampling peneliti menghubungi beberapa PKL (koordinator) di kota Madiun, dan selanjutnya dari keterangan PKL tersebut dapat dihubungi PKL-PKL yang lainnya. Dan tehnik dokumentasi, dimaksudkan untuk melakukan pengumpulan data melalui peninggalan tertulis terutama berupa arsip-arsip dan referensi atau buku-buku yang relevan dengan penelitian ini. C. Penetapan Kriteria Responden Menurut Handari Nawawi dan Martini Nawawi (1990), dijelaskan bahwa:. Populasi adalah keseluruhan obyek penelitian yang dapat terdiri dari manusia, benda-benda, hewan, tumbuh-tumbuhan, gejala-gejala, nilai-nilai atau peristiwa-peristiwa, sebagai sumber data yang memiliki karakteristik tertentu dalam suatu penelitian. Dalam kaitannya dengan penelitian ini populasi menunjuk pada subyek penelitian yaitu seluruh PKL di Kota Madiun. Adapun jumlah PKL dan tipe jenis usahanya, sebagaimana dalam tabel. dibawah ini : Tabel 1 JUMLAH POPULASI PENELITIAN BERDASARKAN JUMLAH DAN TIPE JENIS USAHANYA PKL DI KOTA MADIUN NO JENIS USAHA PKL Makanan & Minuman Buah Rokok Ahli Kunci Kios HP Assesoris Stempel JUMLAH PKL SOSIAL, Volume 16 Nomor 1 Maret 2015

8 Kajian Model Penataan Pedagang Kaki Lima (PKL) NO JENIS USAHA PKL Bensin Tambal Ban Potong Rambut Jamu Onderdil Kios Bunga Servis Motor Gilingan Kelapa Kacamata Jam Koran Kroto VCD Sepatu Pakaian Mainan Las Karet Isi Korek Radiator Alat Tani Jok Kendaraan Mrancang Pakaian Bekas Sayuran Plat Kendaraan JUMLAH PKL Jumlah 950 Sumber : Dokumen Dinas Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP)Kota Madiun Tahun 2015 Mengingat populasinya relative besar maka perlu ditetapkan sebagai sample penelitian. Sedangkan pengambilan sample dilakukan dengan metode purposive sampling yaitu sample dipilih orang-orang yang sungguh-sungguh memahami terhadap obyek penelitian, yaitu para PKL yang berusaha di Kota Madiun, namun tidak seluruh PKL menjadi responden hanya PKL. Adapun sampel dalam penelitian ini adalah : a. Pedagang Kaki Lima Kota Madiun 5% X 950 PKL = 47,5dibulatkan = 50 PKL b. Dinas Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) 5% X 93 = 4,65 dibulatkan = 5 pegawai Jadi total seluruh responden dalam penelitian ini sejumlah 55 responden. D. Analisis Data Data yang telah didapat melalui beberapa tehnik diatas, selanjutnya dilakukan analisa data. Menurut Miles dan Huberman, kegiatan analisis terdiri dari tigaalur kegiatan: Reduksi Data adalah pemilihan, pemusatan perhatian padapenyederhanaan, pengabstraksian dan transformasi data kasar yang muncul daricatatan-catatan tertulis di lapangan. Penyajian data adalah sekumpulan informasitersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan danpengambilan tindakan. Melalui data yang disajikan kita melihat dan akan dapatmemahami apa yang sedang terjadi dan apa yang harus dilakukan, lebih jauhmenganalisis ataukah mengambil tindakan berdasarkan atas pemahaman yangdidapat dari penyajian-penyajian tersebut. Menarik Kesimpulan dimulai dengammencari arti benda-benda, mencatat keteraturan, polapola, penjelasan,konfigurasi-konfigurasi yang mungkin, alur sebab akibat, dan proposisi. Kesimpulan harus di verifikasi sesuai dengan tinjauan ulang pada catatan-catatanlapangan (Silalahi, 2010, p.340). Dari rujukan diatas, maka data dikumpulkan diproses untuk mendapatkan berbagai gambaran, sebagai dasar untuk menentukan model penataan pedagang kaki lima (PKL) berbasispengembangan kota madiun Volume 16 Nomor 1 Maret 2015, SOSIAL 67

9 Nur Dewi Setyowati menjadi tujuan kota wisata. Gambaran yang diperoleh pada penelitian pendahuluan untuk mengetahui perkembangan terakhir di kota Madiun. Identifikasi PKL berdasarkan jenis usahanya, lokasi usahanya, jam usahanya, kondisi tempat usaha yang diperoleh diharapkan akan dapat memberikan gambaran potensi PKL di Madiun dan bagaimana dapat mengembangkannya agar dapat memberikan kontribusi bagi penyerapan tenaga kerja dan menjadi obyek wisata. Pendalaman data untuk mengenal karakteristik PKL dari berbagai aspek, karakteristik pembeli/pengguna jasa dan pelacakan terhadap kebijakan Pemerintah Kota Madiun pada satuan kerja dan instansi terkait lainnya diharapkan dapat memberikan jalan keluar adanya pembinaan yang terintegrasi terhadap PKL untuk membawanya agar berpotensi dalam mewujudkan berkembangnya ekonomi daerah Kota Madiun. Observasi ke lokasi-lokasi tertentu untuk mendapatkan gambaran kemungkinan pengembangan lokasi PKL dengan penataan yang dipersiapkan lebih dahulu, agar dapat berkembang menjadi obyek wisata belanja, dengan menawarkan berbagai jenis barang kebutuhan. ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian 1. Wilayah Pemerintahan Kota Madiun dibagi menjadi 3 (tiga) wilayah kecamatan dan 27 Kelurahan, yaitu : a) Kecamatan Taman, yang terdiri dari 9 kelurahan, antara lain Josenan, Kuncen, Demangan, Banjarejo, Pandean, Taman, Mojorejo, Manisrejo, b) Kecamatan Kartoharjo, yang terdiri dari 9 kelurahan, antara lain Kartoharjo, Oro-oro Ombo, Klegen, Kanigoro, Pilangbango, Rejomulyo, Sukosari, Tawangrejo dan Kelun, dan c) Kecamatan Manguharjo, yang terdiri dari 9 kelurahan, antara lain Nambangan Lor, Nambangan Kidul, Manguharjo, Pangongangan, Winongo, Madiun Lor, Patihan, Ngegong dan Sogaten. Sebagian besar masyarakat Kota Madiun bekerja dalam bidang wiraswasta dan pegawai negeri. Kota Madiun merupakan kota karesidenan yang mempunyai wilayah 5 kabupaten, yaitu: kabupaten Madiun, kabupaten Ngawi, kabupaten Magetan, kabupaten Ponorogo dan kabupaten Pacitan. Selain itu sebagai Ibu kota karesidenan, Madiun juga merupakan kota transit, karena Madiun adalah sebagai pintu masuk yang menghubungkan antara propinsi Jawa Timur dan Jawa Tengah, sehingga Kota Madiun tergolong paling ramai di wilayah Jawa Timur bagian barat. Masyarakat Kota Madiun berkembang secara dinamis dengan daya pikir yang maju. 2. Letak Geografis Letak geografis Kota Madiun sangat strategis karena terletak pada simpul jaringan jalan raya regional yang menghubungkan Kota Madiun dengan kota-kota besar lainnya yaitu Surabaya dan Surakarta/Yogyakarta. Kota Madiun juga dilewati jaringan jalan kereta api lintas utama pulau Jawa bagian selatan, yang menghubungkan Surabaya Jakarta lewat Purwokerta dan Surabaya Bandung. Kota Madiun terletak sekitar Lintang Selatan dan Bujur Timur. Batas fisik Kota Madiun adalah: Sebelah Utara : Kecamatan Madiun Sebelah Selatan : Kecamatan Geger Sebelah Timur : Kecamatan Wungu Sebelah Barat : Kecamatan Jiwan 68 SOSIAL, Volume 16 Nomor 1 Maret 2015

10 Kajian Model Penataan Pedagang Kaki Lima (PKL) Di wilayah Kota Madiun memiliki jumlah hari dengan curah hujan 2003 mm/ tahun. Sedangkan posisi wilayah Kota Madiun berada di wilayah bagian barat dari wilayah Propinsi Jawa Timur. Kota Madiun di kelilingi rangkaian pegunungan yakni Gunung Wilis (2.169 m) di sebelah Timur. Sedangkan di sebelah Selatan membujur pegunungan kapur selatan yang mempunyai ketinggian antara 500 m sampai engan m di atas permukaan laut. Di sebelah Barat Kota Madiun terdapat Gunung Lawu (3.285 m) dan di sebelah utara terdapat pegunungan Kendengan dengan ketinggian antara 100 m 500 m membujur arah Timur Barat. Keadaan topografi Kota Madiun, di bagian Selatan sekitar 67 meter di atas permukaan air laut, ke arah Utara menurun sampai sekitar 64 meter, sedangkan di bagian tengah Kota ketinggian berkisar 63 meter. Kota Madiun merupakan suatu daratan dengan ketinggian kurang lebih 63 meter di atas permukaan air laut, terletak pada lembah sungai Madiun sekitar 30 km di sebelah selatan peremuan sungai Madiun dengan Bengawan Solo (BPS, Madiun Dalam Angka, 2015). 3. Kondisi Demografi Jumlah penduduk yang ada di Kota Madiun maka dapat dikatakan bahwa ratarata jumlah penduduk dari tahun ke tahun cenderung mengalami peningkatan sebagaimana tampak pada tabel 4.1. Faktor-faktor yang mempengaruhi besar kecilnya jumlah penduduk ini adalah kelahiran, kematian dan migrasi. Tabel 2 JUMLAH PENDUDUK DAN PROSENTASE KENAIKAN DI KOTA MADIUN TAHUN JUMLAH PENDUDUK PROSENTASE KENAIKAN , , ,93 Sumber data : BPS Kota Madiun, 2015 Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa jumlah penduduk selama empat tahun terakhir antara tahun mengalami kenaikan. Namun demikian kalau dilihat dari prosentase kenaikan tersebut, terjadi fluktuatif dimana pada tahun 2013 sebesar 0,74 % dan pada tahun 2014 sebesar 0,38 sedangkan pada tahun 2015 sebesar 0, Kondisi Sosial Budaya Masyarakat ¾ Pendidikan Pendidikansasarannya keluarga dengan anak anak di bawah usia 15 Tahun, tujuannya agar seluruh anak-anak usia tersebut dapat di sekolahkan dengan baik pada kegiatan PAUD, TK maupun SD dan SMP bahkan sampai ke jenjang SMA sebagai Wajib Belajar, Pendidikan merupakan suatu usaha membimbing individu agar ia tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang dapat memenuhi kebutuhan hidup. Untuk mencapai tujuan tersebut tidak lepas dari adanya fasilitas yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pendidikan yang telah tersedia. Dalam memenuhi fasilitas untuk tingkat SLTP sederajat maka pemerintah Kota Madiun berusaha menambah dan mempermudah letak pembangunannya yang mudah dijangkau. ¾ Kesehatan Dalam usaha meningkatkan kesehatan dan gizi makanan di kota Madiun, Taman gizi dilakukan sebulan sekali meliputi kegiatan Volume 16 Nomor 1 Maret 2015, SOSIAL 69

11 Nur Dewi Setyowati penimbangan balita. Kegiatan posyandu yang dilakukan dengan tambahan makanan bergizi pada balita seperti bubur, telur dan lainnya. Karena generasi ini nantinya yang merupakan generasi penentu akan kemajuan suatu bangsa haruslah dibekali sedini mungkin agar menjadi generasi yang trampil dan ulet serta kreatif. Dari segi kesehatan lingkungan dengan memperhatikan kebersihan lingkungan sehingga dapat memenuhi syarat kesehatan. ¾ Keamanan Stabilitas keamanan merupakan suatu hal yang sangat diharapkan oleh lapisan masyarakat dalam melaksanakan pembangunan yang selaras. Dengan keamanan baik akan tercipta suasana aman, tentram dan tertib. Hal ini karena adanya kerjasama yang baik antara warga dan pemerintah terbukti dengan dibangunnya pos-pos penjagaan yang keseluruhannya berjumlah 853 pos ronda dan pada tahun 2014 Kota madiun mendapatkan peringkat pertama Nasional dibidang gotong royong meliputi administrasi dan manajemen RT, kegiatan ronda dalam menciptakan keamanan dan ketertiban lingkungan. ¾ Agama Penduduk kota Madiun secara keseluruhan beragama Islam (89%) hanya sebagian kecil masyarakat non Islam. Adapun sarana prasarana yang dimiliki 132 Masjid, 241 Mushola dan 9 Pondok Pesantren. 5. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Sarana perekonomian di kota Madiun meliputi toko, KUD, serta badan usaha lain. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 3 KOMPOSISI SARANA PEREKONOMIAN KOTA MADIUN NO. KETERANGAN JUMLAH Pasar Toko KUD Koperasi Simpan Pinjam Badan-Badan Kredit Sumber data : BPS kota Madiun, 2015 Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa sarana perekonomian di Kota Madiun paling besar adalah berupa pertokoan sejumlah 805 buah, selanjutnya diikuti oleh Koperasi Simpan Pinjaman sejumlah 41 buah, Koperasi Unit Desa (KUD) sejumlah 29 buah, Pasar sejumlah 27 buah serta paling sedikit berupa Badan-badan Kredit sejumlah 15buah. Dengan demikian dapat dipahami bahwa penggerak roda perekonomian di Kota Madiun paling besar adalah berupa pertokoan. B. Deskripsi Peadagang Kaki Lima Di Kota Madiun Pedagang Kaki Lima (PKL) di Kota Madiun adalah Pedagang Ekonomi Lemah yang menggunakan bagian dari fasilitas umum sebagai tempat kegiatan usahanya dengan menggunakan peralatan bergerak atau tidak bergerak. Adapun fasilitas umum adalah segala fasilitas yang disediakan oleh Pemerintah Kota Madiun untuk kepentingan umum antara lain jalan, trotoar, jalan hijau, aloon-aloon dan tempat-tempat lainnya. Hasil penelitian yang dilaporkan pada kesempatan ini hanyalah hasil pengamatan atau observasi pada PKL yang beroperasi di alon-alon di kota Madiun, dan belum melakukan pendalaman data terhadap pelaku PKL, maupun pihak-pihak yang terkait dengan aktivitas PKL. Hasil observasi yang telah dilaksanakan dapat diperoleh gambaran bahwa kegiatan PKL mempunyai mobilitas 70 SOSIAL, Volume 16 Nomor 1 Maret 2015

12 Kajian Model Penataan Pedagang Kaki Lima (PKL) yang sangat tinggi, artinya keberadaannya sering mengalami perubahan, misalnya dalam hal mengambil lokasi, jam kegiatan usahanya maupun kontinyuitasnya usahanya. Sehingga sangat dimungkinkan akan terjadi penghitungan ganda, ataupun penghitungan tidak dapat menjangkau keseluruhan PKL yang ada. Jumlah PKL yang melakukan kegiatan usaha di Alon-Alon Madiun selama observasi dilakukan sekitar 107 orang. Angka-angka tersebut dapat dipastikan akan dapat berubah pada hari yang lain. Mengingat bahwa sebagian data yang tercatat terdapat diantaranya adalah pedagang musiman dengan kendaraan roda empat yang mangkal di tepi trotoar alonalon. Gambaran jenis usaha PKL yang ada di Alon-Alon Kota Madiun selama observasi berlangsung sebagai berikut : Tabel 4 PKL DAN JENIS USAHA DI ALON-ALON KOTA MADIUN TAHUN 2015 JENIS NO USAHA 1 Makanan & minuman JUMLAH PERSENTASE 70 57,37 2 Rokok 6 4,91 3 VCD 11 9,01 4 Bensin 3 2,45 5 Tambal ban 3 2,45 & pompa 6 Mainan 20 16,39 7 Lain-lain 9 7, Sumber : data primer hasil observasi Usaha lain-lain meliputi beberapa kegiatan jasa (ahli kunci, potong rambut, tambal ban, dll), serta menjual barang-barang lain, misalnya koran, jok kendaraan, bunga, dll. Masing masing usaha tersebut jumlahnya relatif kecil dan tersebar di 4 sisi dari Alon- Alon Kota Madiun. Dari Tabel 4 dapat diperoleh gambaran bahwa kegiatan PKL di Alon-Alon Kota Madiun sebagain besar bergerak dalam bidang makanan & minuman. Sedangkan untuk buahbuahan, tercatat sebagian terdiri dari pedagang musiman. Kondisi yang demikian dapat memberikan gambaran bahwa kegiatan usaha PKL yang banyak direspon atau di butuhkan masyarakat Madiun adalah bidang makanan dan minuman. Sedangkan bidang-bidang lain kurang mendapat respon dari masyarakat sehingga tidak berkembang, atau bisa terjadi karena kurang keberanian pihak pelaku usaha PKL untuk menerjuni pada bidang yang lain. Jadi dapat disilmpulkan bahwa kegiatan usaha PKL di Madiun relatif kurang variatif. Keberadaan PKL akan selalu mendekati keramaian atau kerumunan manusia. Oleh sebab itu maka pada kenyataannya lokasi PKL di Kota Madiun memusat pada tempat-tempat atau jalan-jalan tertentu, dan bahkan dapat hanya pada hari-hari atau jam-jam tertentu. Bahwa tempat yang menjadi lokasi strategis untuk kegiatan usaha PKL, adalah Aloon- Aloon. Namun demikian perlu untuk dicermati dari kondisi tersebut, sebab pada kenyatannya ternyata banyaknya PKL tidak selalu identik dengan kesemrawutan, kebersihan atau permasalahan lain. Bahkan lokasi seperti di Depan Kantor Kecamatan Taman, ternyata banyaknya PKL justru menjadi pendukung kegiatan masyarakat atau bahkan dibutuhkan masyarakat. Sebab kegiatan PKL tersebut hanya bersifat temporer dan dapat menjadi obyek wisata. Sehingga tidak menimbulkan masalah kebersihan, kerapian, kemacetan lalu lintas, dll. Volume 16 Nomor 1 Maret 2015, SOSIAL 71

13 Nur Dewi Setyowati Penertiban PKL memerlukan observasi yang cermat dan pendekatan edukatif, agar tercipta suasana yang kondusif untuk pengambangan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), namun tidak mengorbankan ketertiban umum, kebersihan, keindahan dan ketertiban lalu lintas. Dalam observasi ini tempat usaha PKL dikatagorikan menjadi tiga kriteria yaitu permanen, semi permanen dan tidak permanen. Permanen artinya bahwa tempat usaha PKL sulit dibongkar karena terbuat dari tembok atau tidak dapat dipindah-pindah. Semi permanen artinya bahwa tempat usaha PKL mudah dibongkar dan dipindah-pindah. Tidak permanen artinya bahwa tempat usahanya mempunyai mobilitas. Mengacu pada batasan tersebut maka sebagian besar PKL yang ada di Aloon- Aloon kota Madiun bersifat semi pemanen, yang artinya mengalami pasang bongkar setiap akan dan telah melakukan kegiatan usaha. Permasalahan yang muncul adalah ketika bongkaran alat berdagangnya disimpan di tempat sembarangan, sehingga mengesankan ketidak rapian lokasi jalan tempat penyimpanan pada siang hari. Namun demikian untuk kawasan Aloon-Aloon Kota Madiun hampir semua bangunannya semi permanen. Dengan tujuan jika selesai berdagang makan pada pagi harinya Aloon-Aloon Kota Madiun terlihat tertib, bersih dan keindahan. Masalah spesifik lain yang penting juga untuk dicermati terhadap kegiatan usaha PKL di Aloon-Aloon Kota Madiun adalah waktu PKL melakukan kegiatan usahanya. Ada beberapa katagori waktu usaha PKL yang dapat dicatat selama observasi yaitu : 1. Kegiatan usaha selama 15 jam 2. Kegiatan usaha pagi dari pukul WIB sampai pukul WIB sore hari mulai pukul WIB hingga 24.00, misal di daerah Aloon-Aloon Kota Madiun Utara dan Barat 3. Kegiatan sore sampai malammulai pukul WIB hingga 24.00, Misal Aloon- Aloon Kota Madiun Selatan dan Timur 4. Kegiatan PKL yang muncul karena ada kegiatan tertentu, misal ada pertandingan olah raga, pertunjukkan kesenian, pameran-pameran, dll. 5. Kegiatan usaha yang muncul karena musim tertentu, misal pedagang buah rambutan, duku, durian di tepi jalan dengan menggunakan becak atau mobil. Pemahaman tentang waktu-waktu yang biasanya dimanfaatkan pelaku PKL diperlukan untuk dapat melakukan kegiatan preventif terhadap penertiban, maupun ketika Pemerintah Kota akan merencanakan kebijakan sebagai upaya menumbuhkan kegiatan ekonomi rakyat, untuk mendukung perkembangan ekonomi daerah. PENYAJIAN DATA Keberadaan PKL di Kota Madiun telah diatur dalam Peraturan Daerah Kota Madiun Nomor 14 tahun 2012, tentang Penataan Dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima. Bedasarkan ketentuan tersebut Model Penataan Pedagang Kaki Lima (PKL) Berbasis Pengembangan Kota Madiun Menjadi Tujuan Kota Wisatatelah ditetapkan sebanyak 19 jalan diperkenankan untuk melakukan kegiatan usaha pada jam-jam yang telah ditentukan. Dari hasil observasi menunjukkan bahwa PKL di kota Madiun telah berkembang ke beberapa jalan dan tempat, serta pada jam-jam melewati yang telah ditetapkan. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan perekonomian sektor usaha mikro dan kecil telah berkembang, dan 72 SOSIAL, Volume 16 Nomor 1 Maret 2015

14 Kajian Model Penataan Pedagang Kaki Lima (PKL) menjadi lapangan kerja tersendiri. Namun demikian kondisi ini perlu dicermati agar tidak menimbulkan masalah yang lain. Semakin luas wilayah usaha PKL dan semakin lama waktu usaha PKL, berarti pula semakin besar potensi terjadi kesemrawutan yang terjadi. Oleh sebab itu untuk meminimalisir Pemerintah Kota Madiun mengantsipasi antara lain dengan aktif memasang rambu-rambu di tempat-tempat yang tidak diperkenankan untuk melakukan kegiatan usaha PKL, melakukan penyuluhanpenyuluhan, aktif menerjunkan petugas untuk melakukan pengawasan dan pembinaan di lapangan.tempat usaha PKL yang menyebabkan kotor, kumuh dan semrawut dan mengganggu lalu lintas harus dilakukan teguran-teguran. Sebab semakin banyak pelaku PKL yang melakukan pelanggaran, maka akan dianggap biasa dan wajar dan dianggap tidak melanggar hukum. Sehingga ketika harus dilakukan penertiban seringkali akan melakukan perlawanan. A. Model Penataan Pedagang Kaki Lima (PKL) Berbasis Pengembangan Kota Madiun Menjadi Tujuan Kota Wisata Beranggapan bahwa kegiatan PKL dapat membuka lapangan kerja, maka Pemerintah Kota Madiun harus benar-benar memperhatikan perkembang dan mendorong pertumbuhan agar dapat memberikan kontribusi terhadap perkembangan ekonomi daerah. Upaya strategis merangsang tumbuhnya PKL yang tertib, menarik, memenuhi kebutuhan masyarakat, mudah dijangkau namun dapat mewujudkan sebaran keramaian yang lebih merata di kota Madiun, sangat memerlukan keterlibatan berbagai pihak. Pemerintah mempersiapkan lahan untuk dapat dimanfaatkan melakukan berbagai kegiatan bersifat rekreatif, sportif, atau kegiatan lain yang dapat mengundang masyarakat. Sedangkan pihak investor dan masyarakat dapat berpartisipasi dengan mengisi kegiatan yang menimbulkan keramaian. Identifikasi potensi Kota Madiun yang dapat dijual untuk tujuan kota wisatamengundang kehadiran masyarakat ke Madiun, atau mengundang keramaian, antara lain : 1. Potensi lokasi yang sudah ada, dapat dikemas menjadi tujuan rekreasi antara lain, Alon-Alon, Stadion, Taman Hiburan Rakyat (THR), Taman Hijau Demangan (THD), lahan parkir terminal lama (Carefur dan Suncity), Jalan H. Agus Salim mulai perempatan jalan Merpati & untuk arena berjalan kaki, Jalan Pahlawan baik hari-hri biasa maupun kegiatan cardfreday pada hari minggu serta Lapangan Gulun. 2. Sedangkan tempat-tempat di Kota Madiun yang menjadi daya tarik masyarakat di luar Madiun untuk berkunjung ke Madiun antara Masjid Besar Kota Madiun, peninggalan sejarah, makammakam kuno, serta beragam departemen store yang sering dikunjungi kerabat dari luar kota. 3. Sedangkan potensi waktu yang dapat mengundang masyarakat untuk berkunjung ke Madiun membuat keramaian untuk dapat memberdayakan PKL adalah hari minggu, masa liburan, Hari Raya Idul Fitri, kehadiran tamu-tamu intastansi dari luar kota. Pengumpulan data yang lebih mendalam terhadap PKL dan stake holdernya diperlukan untuk dapat mengidentifikasi potensi kekuatan, kelemahan-kelemahan PKL di Kota Madiun, untuk selanjutnya dapat Volume 16 Nomor 1 Maret 2015, SOSIAL 73

15 Nur Dewi Setyowati diintegrasikan dengan program-program Pemerintah, maupun keinginan masyarakat untuk bisa mendapatkan barang-barang kebutuhannya yang dapat dipenuhi oleh PKL. Sebab PKL yang ada saat ini sebagian besar bergerak dimakanan dan minuman. Pedagang kaki lima merupakan kegiatan urban yang perkembangannya sangat fenomenal karena keberadaan semakin mendominasi ruang kota. Kegiatan ini dipahami sebagai kegiatan yang belum terwadahi, sehingga ruang publik menjadi satu-satunya tempat untuk melakukan kegiatan tersebut. Penggunaan ruang publik telah menjadi suatu karakteristik yang identik dengan eksistensi pedagang kaki lima. Kesulitan dalam menangani pedagang kaki lima dipengaruhi oleh sangat banyak aspek, yang membuat penataan itu sendiri menjadi suatu masalah yang sangat kompleks. model penataan pedagang kaki lima (PKL) berbasis pengembangan Kota Madiun menjadi tujuan kota wisataadalah bahwa jumlah mereka sangat banyak dan memerlukan ruang yang cukup besar untuk kegiatannya. Ruang yang besar itu harus berada di ruang publik atau tempat keramaian karena tempat itulah yang mendatangkan keuntungan. Tetapi ruang publik juga digunakan oleh kelompok pengguna lain, yang juga memerlukan ruang untuk kegiatan mereka di ruang publik. Penelitian dilakukan untuk mencari model penataan pedagang kaki lima (PKL) berbasis pengembangan Kota Madiun menjadi tujuan kota wisatayang sedemikian besar jumlahnya di ruang publik, melainkan lebihpada mengetahui bagaimana menata antara kelompok pengguna ruang publik dapat dipahami dan diantisipasi, sehingga penggunaan ruang terbuka publik dapat optimal, baik bagi pedagang kaki lima maupun bagi kelompok pengguna yang lain. Hal yang sangat mendasari tujuan ini adalah bahwa kegiatan perdagangan kaki lima sangat berkaitan dengan kegiatan publik dan dengan demikian pedagang kaki lima dapat menjadi salah satu unsur dari desain fisik ruang publik. Pedagang kaki lima tidak mungkin dapat dihilangkan dari kegiatan diruang terbuka publik, terutama di kawasan komersial perdagangan, di mana mereka tidak hanya sebagai pelengkap tetapi juga sebagai unsur teatrikal kehidupan publik kota. Untuk itu dilakukan penelitian mengenai kebutuhan ruang dan karakter masing-masing kegiatan, yaitu pejalan kaki dan pedagang kaki lima. Melalui penelitian dilakukan dari literatur, studi banding mengenai kondisi pedagang kaki lima, dan juga lewat pengumpulan data lapangan, dianalisa bagaimana kedua kegiatan tersebut dengan segala kebutuhannya akan ruang dapat saling berintegrasi di ruang terbuka publik kota. Hasil analisa inilah yang kemudian mendasari konsep model penataan pedagang kaki lima (PKL) berbasis pengembangan Kota Madiun menjadi tujuan kota wisata. Konsep model penataan pedagang kaki lima (PKL) berbasis pengembangan Kota Madiun menjadi tujuan kota wisata yang adalah menempatkan pedagang kaki ] ima di ruang yang berdampingan dengan ruang untuk kegiatan sirkulasi kawasan, yaitu pedestrian dan jalan, dengan alternatif membuat suatu ruang terbuka publik baru di mana semua kegiatan publik berlangsung, termasuk kegiatan perdagangan kaki lima, dengan tetap memprioritaskan optimalisasi ruang terbuka publik bagi sirkulasi pejalan kaki. Konsep ini diwujudkan dalam bentuk penataan yang meliputi penataan perletakan, bentuk kics, dan juga perabot urban (street furniture) yang dapat mendukung kegiatan 74 SOSIAL, Volume 16 Nomor 1 Maret 2015

16 Kajian Model Penataan Pedagang Kaki Lima (PKL) tersebut, terutama dengan adanya pedagang kaki lima sebagai anggota resmi ruang terbuka publik. Konsep model penataan pedagang kaki lima (PKL) berbasis pengembangan Kota Madiun menjadi tujuan kota wisata dimana ruang terbuka publik pada dasarnya tidak akan dapat menampung semua pedagang kaki lima yang ada sekarang. Hal ini merupakan implikasi yang perlu diperhatikan, selain juga aspek legalitas dan perlunya badan koordinasi yang akan mengatur keberadaan pedagang kaki lima di ruang terbuka publik. Konsep penelitian dan pembahasan yang lebih mendetail mengenai aspek-aspek politik, ekonomi, dan sosial mengenai pedagang kaki lima maupun ruang terbuka publik kota. Demikian model penataan pedagang kaki lima (PKL) berbasis pengembangan Kota Madiun menjadi tujuan kota wisataditerapkan, dengan kondisi atau permasalahan yang sama maupun berbeda, diperlukan penelitian pendahuluan mengenai karakter pedagang kaki lima dan ruang terbuka publik di kawasan tersebut sehingga disain yang akan dihasilkan dapat sesuai dengan kondisi kawasan yang akan ditata. Sektor informal menunjukkan kepada cara Pemerintah Kota melakukan sesuatu dengan ciri : a) Mudah memasukinya dalam arti keahlian, modal, dan organisasi; b) Perusahaan milik keluarga; c) Beroperasi pada skala kecil; d) Intentif tenaga kerja dalam produksi dan menggunakan teknologi sederhana; dan e) Pasar yang tidak diatur dan berkompetitif. Karakteristik negatif yang belum ada kebulatan pendapat tentang batasan yang tepat untuk sektor informal di Indonesia. Tetapi ada kesepakatan tidak resmi antara para ilmuwan yang terlihat dalam penelitian masalahmasalah sosial untuk menerima definisi kerja sektor informal di Indonesia sebagai berikut : a) Sektor yang tidak menerima bantuan atau proteksi ekonomi dari pemerintah; b) Sektor yang belum dapat menggunakan (karena tidak punya akses) bantuan, meskipun pemerintah telah menyediakannya; c) Sektor yang telah menerima bantuan pemerintah tetapi bantuan tersebut belum sanggup membuat sektor itu mandiri. Sektor informal di Indonesia, yang meliputi : a) Kegiatan usaha tidak terorganisasi secara baik, karena unit usaha timbul tanpa menggunakan fasilitas atau kelembagaan yang tersedian secara formal; b) Pada umumnya unit usaha tidak memiliki izin usaha; c) Pola kegiatan usaha tidak teratur dengan baik, dalam arti lokasi maupun jam kerja; d) Pada umumnya kebijakan pemerintah untuk membantu golongan ekonomi lemah tidak sampai ke sektor ini; e) Unit usaha bergantiganti dari satu sub-sektor ke sub-sektor lain; f) Teknologi yang digunakan masih tradisional; g) Modal dan perputaran usaha relatif kecil, sehingga skala operasinya juga kecil; h) Untuk menjalankan usaha tidak diperlukan pendidikan formal, sebagian besar hanya diperoleh dari pengalaman sambil bekerja; i) Pada umumnya unit usaha termasuk kelompok one man enterprise, dan kalau ada pekerja, biasanya berasal dari keluarga sendiri; j) Sumber dana modal usaha pada umumnya berasal dari tabungan sendiri, atau dari lembaga keuangan tidak resmi; dan k) Hasil produksi atau jasa terutama dikonsumsi oleh golongan masyarakat kota/desa berpenghasilan rendah atau menengah. Pedagang kaki lima (PKL) merupakan kelompok tenaga kerja yang banyak di sektor informal. Pedagang kaki lima merupakan jawaban terakhir yang berhadapan dengan proses urbanisasi yang berangkai dengan Volume 16 Nomor 1 Maret 2015, SOSIAL 75

17 Nur Dewi Setyowati migrasi desa ke kota yang besar, pertumbuhan penduduk yang pesat, pertumbuhan kesempatan kerja yang lambat di sektor industri, dan penyerapan teknologi yang padat moral, serta keberadaan tenaga kerja yang berlebihan. PKL termasuk usaha kecil yang berorientasi pada laba (profit) layaknya sebuah kewirausahaan (entrepreneurship). PKL mempunyai cara tersendiri dalam mengelola usahanya agar mendapatkan keuntungan. PKL menjadi manajer tunggal yang menangani usahanya mulai dari perencanaan usaha, menggerakkan usaha sekaligus mengontrol atau mengendalikan usahanya, padahal fungsifungsi manajemen tersebut jarang atau tidak pernah mereka dapatkan dari pendidikan formal. Manajemen usahanya berdasarkan pada pengalaman dan alur pikir mereka yang otomatis terbentuk sendiri berdasarkan arahan ilmu manajemen pengelolaan usaha, hal inilah yang disebut learning by experience (belajar dari pengalaman). Perbedaan persepsi model penataan pedagang kaki lima (PKL) berbasis pengembangan tujuan kota wisata dalam cara menata keindahan dan ketertiban kota antara pemerintah dengan PKL harus dijembatani melalui komunikasi dan kerja sama yang baik. Pemerintah dan PKL harusbekerjasama dan berkomunikasi dengan baik, agar setiap aturan ataupun kebijakan pemerintah yang berhubungan dengan PKL dalam rangka menciptakan keindahan dan ketertiban kota dapat diwujudkan. Setiap kebijakan harus menguntungkan kedua belah pihak. Artinya, tujuan pemerintah untuk menciptakan keindahan dan ketertiban kota dapat terwujud dan bagi PKL kegiatan mereka untuk mencari uang melalui berdagang dapat tetap berlangsung. Disamping itu Pemerintah juga dituntut untuk bisa bersikap tegas terhadap PKL yang tidak mau diatur (melanggar aturan). Model penataan pedagang kaki lima (PKL) berbasis pengembangan Kota Madiun menjadi tujuan kota wisataharus dilakukan dengan memperhatikan aspek keindahan, ketertiban dan kepentingan PKL itu sendiri. Caranya adalah dengan memfasilitasi PKL dengan menyediakan tempat-tempat khusus bagi PKL untuk berdagang. Kepentingan ekonomi PKL perlu dipertimbangkan dengan menyediakan tempat yang tidak menjauhkan PKL dari para konsumennya, sehingga eksistensi mereka tetap bisa dipertahankan tanpa merusak aspek keindahan dan ketertiban kota. Model penataan pedagang kaki lima (PKL) berbasis pengembangan Kota Madiun menjadi tujuan kota wisatadapat dilakukan dengan menyeragamkan alat-alat berdagang para PKL. Sebagian besar para PKL yang menjadi responden memandang perlu menyeragamkan alat-alat berdagang mereka untuk menunjang keindahan dan ketertiban kota. Disamping itu, relokasi bagi PKL yang selama ini menempati tempat-tempat yang diangap mengganggu keindahan dan ketertiban kota juga dapat dilakukan. Sebagian besar para PKL setuju kebijakan relokasi diberlakukan terhadap para PKL yang menempati lokasi yang melanggar perda, karena akan dapat mengatasi persoalan keindahan dan ketertiban kota. Sebagian besar responden berpendapat bahwa kebijakan relokasi dapat mengatasi persoalan ketertiban dan keindahan, sedangkan berpendapat kebijakan relokasi tidak dapat mengatasi persoalan ketertiban dan keindahan. Jenis dagangan pedagang kaki lima ada yang bermacam-macam, mereka tidak selalu menjual dagangan hanya satu jenis saja, sementara tempat khusus yang disediakan 76 SOSIAL, Volume 16 Nomor 1 Maret 2015

PEDAGANG KAKI LIMA MAKALAH. Untuk memenuhi tugas mata kuliah. Ekonomi Sektor Publik. Yang dibina oleh Ibu Martina Purwaning Diah, S.AP, M.

PEDAGANG KAKI LIMA MAKALAH. Untuk memenuhi tugas mata kuliah. Ekonomi Sektor Publik. Yang dibina oleh Ibu Martina Purwaning Diah, S.AP, M. PEDAGANG KAKI LIMA MAKALAH Untuk memenuhi tugas mata kuliah Ekonomi Sektor Publik Yang dibina oleh Ibu Martina Purwaning Diah, S.AP, M.AP OLEH : ERIN DAMAYANTI 135030118113001 UNIVERSITAS BRAWIJAYA FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengenai faktor-faktor yang tidak hanya berasal dari faktor demografi saja

BAB I PENDAHULUAN. mengenai faktor-faktor yang tidak hanya berasal dari faktor demografi saja BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kependudukan adalah studi yang membahas struktur dan proses kependudukan yang terjadi di suatu wilayah yang kemudian dikaitkan dengan aspek-aspek non demografi. Struktur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses perubahan yang berlangsung secara sadar, terencana dan berkelanjutan dengan sasaran utamanya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

Lebih terperinci

KAJIAN KARAKTERISTIK BERLOKASI AKTIVITAS PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) DI KAWASAN PECINAN SEMARANG TUGAS AKHIR

KAJIAN KARAKTERISTIK BERLOKASI AKTIVITAS PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) DI KAWASAN PECINAN SEMARANG TUGAS AKHIR KAJIAN KARAKTERISTIK BERLOKASI AKTIVITAS PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) DI KAWASAN PECINAN SEMARANG TUGAS AKHIR Oleh : RISA NIKEN RATNA TRI HIYASTUTI L2D 002 432 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan suatu hal yang mutlak diperlukan. Seperti diketahui, negara

BAB I PENDAHULUAN. merupakan suatu hal yang mutlak diperlukan. Seperti diketahui, negara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di negara sedang berkembang seperti Indonesia, pembangunan merupakan suatu hal yang mutlak diperlukan. Seperti diketahui, negara Indonesia dalam melakukan pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sadar, terencana dan berkelanjutan dengan sasaran utamanya adalah untuk meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. sadar, terencana dan berkelanjutan dengan sasaran utamanya adalah untuk meningkatkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Pembangunan tidak lain merupakan suatu proses perubahan yang berlangsung secara sadar, terencana dan berkelanjutan dengan sasaran utamanya adalah untuk meningkatkan

Lebih terperinci

ARAHAN PENATAAN PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) DI KAWASAN PENDIDIKAN TEMBALANG TUGAS AKHIR. Oleh: SULISTIANTO L2D

ARAHAN PENATAAN PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) DI KAWASAN PENDIDIKAN TEMBALANG TUGAS AKHIR. Oleh: SULISTIANTO L2D ARAHAN PENATAAN PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) DI KAWASAN PENDIDIKAN TEMBALANG TUGAS AKHIR Oleh: SULISTIANTO L2D 306 023 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2008

Lebih terperinci

STUDI ARAHAN PENATAAN FISIK AKTIVITAS PKL DI KORIDOR JALAN SUDIRMAN KOTA SALATIGA TUGAS AKHIR

STUDI ARAHAN PENATAAN FISIK AKTIVITAS PKL DI KORIDOR JALAN SUDIRMAN KOTA SALATIGA TUGAS AKHIR STUDI ARAHAN PENATAAN FISIK AKTIVITAS PKL DI KORIDOR JALAN SUDIRMAN KOTA SALATIGA TUGAS AKHIR Oleh: HAPSARI NUGRAHESTI L2D 098 433 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan penduduk dapat memberikan pengaruh positif sekaligus negatif bagi suatu daerah. Di negara maju pertumbuhan penduduk mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penduduknya rapat, rumah-rumahnya berkelompok dan mata pencaharian

BAB I PENDAHULUAN. penduduknya rapat, rumah-rumahnya berkelompok dan mata pencaharian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kota dalam pengertian geografis merupakan suatu tempat yang penduduknya rapat, rumah-rumahnya berkelompok dan mata pencaharian penduduknya bukan petani, di

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI KARAKTERISTIK AKTIVITAS PEDAGANG KAKI LIMA DI PASAR YAIK SEMARANG (Studi Kasus : Persepsi Pengunjung Dan Pedagang) TUGAS AKHIR

IDENTIFIKASI KARAKTERISTIK AKTIVITAS PEDAGANG KAKI LIMA DI PASAR YAIK SEMARANG (Studi Kasus : Persepsi Pengunjung Dan Pedagang) TUGAS AKHIR IDENTIFIKASI KARAKTERISTIK AKTIVITAS PEDAGANG KAKI LIMA DI PASAR YAIK SEMARANG (Studi Kasus : Persepsi Pengunjung Dan Pedagang) TUGAS AKHIR O l e h : R.B. HELLYANTO L 2D 399 247 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kerja. Sehingga lebih memilih bekerja di sektor informal.

BAB I PENDAHULUAN. kerja. Sehingga lebih memilih bekerja di sektor informal. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh Negara yang sedang berkambang dalam rangka meningkatkan kegiatan ekonomi taraf hidup rakatnya yang bertujuan untuk meningkatkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan ketertiban umum serta penegakan peraturan daerah. Pedagang Kaki Lima atau yang biasa disebut PKL adalah istilah untuk

I. PENDAHULUAN. dan ketertiban umum serta penegakan peraturan daerah. Pedagang Kaki Lima atau yang biasa disebut PKL adalah istilah untuk 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam rangka mengantisipasi perkembangan dan dinamika kegiatan masyarakat seirama dengan tuntutan era globalisasi dan otonomi daerah, maka kondisi ketenteraman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Letak Kota Payakumbuh yang strategis menjadikannya sebagai salah satu kota yang memainkan peran penting di Propinsi Sumatera Barat. Kota Payakumbuh merupakan gerbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seli Septiana Pratiwi, 2014 Migran PKl dan dampaknya terhadap ketertiban sosial

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seli Septiana Pratiwi, 2014 Migran PKl dan dampaknya terhadap ketertiban sosial BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam menjalani kehidupan manusia tidak dapat hidup sendiri, oleh sebab itu manusia tersebut menyatu pada struktur masyarakat guna mencapai tujuan yang di cita-citakan.

Lebih terperinci

STRATEGI DINAS PENGELOLAAN PASAR KOTA BANDAR LAMPUNG DALAM PEMBINAAN PEDAGANG KAKI LIMA DI PASAR BAMBU KUNING TRANSKRIP HASIL WAWANCARA

STRATEGI DINAS PENGELOLAAN PASAR KOTA BANDAR LAMPUNG DALAM PEMBINAAN PEDAGANG KAKI LIMA DI PASAR BAMBU KUNING TRANSKRIP HASIL WAWANCARA Lampiran 2 STRATEGI DINAS PENGELOLAAN PASAR KOTA BANDAR LAMPUNG DALAM PEMBINAAN PEDAGANG KAKI LIMA DI PASAR BAMBU KUNING TRANSKRIP HASIL WAWANCARA 1. Bagaimanakah perencanaan oleh Dinas Pengelolaan Pasar

Lebih terperinci

PEMAHAMAN DAN IMPLEMENTASI KETAATAN HUKUM PEDAGANG KAKI LIMA. (Studi Kasus pada PKL di Jalan R. Suprapto. Purwodadi Kabupaten Grobogan)

PEMAHAMAN DAN IMPLEMENTASI KETAATAN HUKUM PEDAGANG KAKI LIMA. (Studi Kasus pada PKL di Jalan R. Suprapto. Purwodadi Kabupaten Grobogan) PEMAHAMAN DAN IMPLEMENTASI KETAATAN HUKUM PEDAGANG KAKI LIMA (Studi Kasus pada PKL di Jalan R. Suprapto Purwodadi Kabupaten Grobogan) NASKAH PUBLIKASI Untuk memenuhi sebagian persyaratan Guna mencapai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah salah satu negara dengan tingkat urbanisasi tertinggi di Asia Timur, dan 32 persen dari orang miskin tinggal di wilayah perkotaan. Sebagian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia dan beberapa daerah perkotaan mempunyai pola. baik di daerah pedesaan dan perkotaan. Dualisme kota dan desa yang terdapat

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia dan beberapa daerah perkotaan mempunyai pola. baik di daerah pedesaan dan perkotaan. Dualisme kota dan desa yang terdapat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia dan beberapa daerah perkotaan mempunyai pola perekonomian yang cenderung memperkuat terjadinya ketimpangan ekonomi dan kesenjangan sosial yang bermuara kepada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perhatian perencanaan pembangunan, terutama di negara sedang berkembang, dan

BAB I PENDAHULUAN. perhatian perencanaan pembangunan, terutama di negara sedang berkembang, dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara berkembang tidak bisa lepas dari sektor informal. Keberadaan sektor informal di Indonesia tidak terlepas dari proses pembangunan yang sedang

Lebih terperinci

BAB III IMPLEMENTASI TENTANG LARANGAN MENGALIHFUNGSIKAN TROTOAR DAN SUNGAI YANG AKTIF UNTUK TEMPAT BERDAGANG PADA PERATURAN DAERAH NOMOR 5 TAHUN 2011

BAB III IMPLEMENTASI TENTANG LARANGAN MENGALIHFUNGSIKAN TROTOAR DAN SUNGAI YANG AKTIF UNTUK TEMPAT BERDAGANG PADA PERATURAN DAERAH NOMOR 5 TAHUN 2011 BAB III IMPLEMENTASI TENTANG LARANGAN MENGALIHFUNGSIKAN TROTOAR DAN SUNGAI YANG AKTIF UNTUK TEMPAT BERDAGANG PADA PERATURAN DAERAH NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG KETERTIBAN UMUM DAN KETENTRAMAN MASYARAKAT

Lebih terperinci

V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1. Keadaan Umum Wilayah Kota Bogor Kota Bogor terletak diantara 16 48 BT dan 6 26 LS serta mempunyai ketinggian minimal rata-rata 19 meter, maksimal 35 meter dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Terselenggaranya pemerintahan yang baik, bersih dan berwibawa menjadi harapan setiap negara. Sejalan dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. otoriter juga dipicu oleh masalah ekonomi dan adanya perubahan sosial dalam

BAB I PENDAHULUAN. otoriter juga dipicu oleh masalah ekonomi dan adanya perubahan sosial dalam 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Arus reformasi telah berhasil menumbangkan pemerintahan Orde Baru yang otoriter. Faktor keruntuhan Orde Baru selain karena kekuasaan yang otoriter juga dipicu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pesat karena kota saat ini, dipandang lebih menjanjikan bagi masyarakat desa

BAB I PENDAHULUAN. pesat karena kota saat ini, dipandang lebih menjanjikan bagi masyarakat desa BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Mobilitas penduduk menuju daerah perkotaan semakin meningkat secara pesat karena kota saat ini, dipandang lebih menjanjikan bagi masyarakat desa kebanyakan, kota bagaikan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Pengertian Judul

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Pengertian Judul BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Pengertian Judul Agar dapat memberikan kejelasan mengenai maksud dari judul yang diangkat, maka tiap-tiap kata dari judul tersebut perlu dijabarkan pengertiannya, yaitu sebagai berikut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkembang pesat dan semakin luas di berbagai kota di Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. berkembang pesat dan semakin luas di berbagai kota di Indonesia. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan masyarakat saat ini menuntut setiap orang untuk berupaya berdayaguna dalam upaya meningkatkan taraf hidupnya kearah yang lebih baik. Baik itu melalui

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI KARAKTERISTIK PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) TERHADAP PENYERAPAN TENAGA KERJA DAN KEBUTUHAN RUANG PKL DI KORIDOR SURYAKENCANA

IDENTIFIKASI KARAKTERISTIK PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) TERHADAP PENYERAPAN TENAGA KERJA DAN KEBUTUHAN RUANG PKL DI KORIDOR SURYAKENCANA IDENTIFIKASI KARAKTERISTIK PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) TERHADAP PENYERAPAN TENAGA KERJA DAN KEBUTUHAN RUANG PKL DI KORIDOR SURYAKENCANA Dhian Krisna Kusuma Umar Mansyur Ni Made Esti Program Studi Perencanaan

Lebih terperinci

BAB V KARAKTERSTIK PKL DAN KONSUMEN

BAB V KARAKTERSTIK PKL DAN KONSUMEN BAB V KARAKTERSTIK PKL DAN KONSUMEN 5.1 Karakteristik PKL Karakteristik pedagang kaki lima (PKL) dapat dilihat dari indikasi dalam hal fungsi kegiatannya, tingkat pendidikan, jenis dagangan, lamanya berprofesi

Lebih terperinci

FENOMENA PASAR KREMPYENG MALAM HARI PETERONGAN KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR TKP 481. Oleh: VERA P.D. BARINGBING L2D

FENOMENA PASAR KREMPYENG MALAM HARI PETERONGAN KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR TKP 481. Oleh: VERA P.D. BARINGBING L2D FENOMENA PASAR KREMPYENG MALAM HARI PETERONGAN KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR TKP 481 Oleh: VERA P.D. BARINGBING L2D 000 461 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Diakses 17 juli Guritno Kusumo Statistik Usaha Kecil dan Menengah.

I PENDAHULUAN. Diakses 17 juli Guritno Kusumo Statistik Usaha Kecil dan Menengah. I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi yang semakin tinggi perlahan-lahan telah mengubah gaya hidup dan pola konsumsi masyarakat Indonesia. Perubahan gaya hidup dan pola konsumsi masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Terselenggaranya pemerintahan yang baik, bersih dan berwibawa menjadi harapan setiap negara. Sejalan dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. Sektor informal merupakan ciri-ciri yang menonjol dalam kota-kota besar di

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. Sektor informal merupakan ciri-ciri yang menonjol dalam kota-kota besar di BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Sektor informal merupakan ciri-ciri yang menonjol dalam kota-kota besar di Indonesia.Munculnya sektor informal dikota tidak terlepas dari latar belakang perekonomian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Transportasi merupakan salah satu elemen yang sangat penting bagi kebutuhan manusia

BAB I PENDAHULUAN. Transportasi merupakan salah satu elemen yang sangat penting bagi kebutuhan manusia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Transportasi merupakan salah satu elemen yang sangat penting bagi kebutuhan manusia untuk menunjang kehidupan perekonomian di masyarakat, baik dalam bentuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Seperti kita ketahui bahwa pada dasarnya negara kita adalah merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Seperti kita ketahui bahwa pada dasarnya negara kita adalah merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seperti kita ketahui bahwa pada dasarnya negara kita adalah merupakan negara makmur, yang sedang merintis pertumbuhan ekonominya. Perekonomian di negara kita

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. permintaan tenaga kerja dan penawaran tenaga kerja di Indonesia. Indonesia

I. PENDAHULUAN. permintaan tenaga kerja dan penawaran tenaga kerja di Indonesia. Indonesia I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan penduduk yang tinggi menyebabkan ketidakseimbangan antara permintaan tenaga kerja dan penawaran tenaga kerja di Indonesia. Indonesia merupakan negara berkembang

Lebih terperinci

ANALISIS KESELAMATAN DAN KENYAMANAN PEMANFAATAN TROTOAR BERDASARKAN PERSEPSI DAN PREFERENSI PEJALAN KAKI DI PENGGAL JALAN M.T. HARYONO KOTA SEMARANG

ANALISIS KESELAMATAN DAN KENYAMANAN PEMANFAATAN TROTOAR BERDASARKAN PERSEPSI DAN PREFERENSI PEJALAN KAKI DI PENGGAL JALAN M.T. HARYONO KOTA SEMARANG ANALISIS KESELAMATAN DAN KENYAMANAN PEMANFAATAN TROTOAR BERDASARKAN PERSEPSI DAN PREFERENSI PEJALAN KAKI DI PENGGAL JALAN M.T. HARYONO KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR Oleh : Arif Rahman Hakim L2D 303 283 JURUSAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tempat hidup setiap warga kota. Oleh karena itu, kelangsungan dan kelestarian kota

I. PENDAHULUAN. tempat hidup setiap warga kota. Oleh karena itu, kelangsungan dan kelestarian kota I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan kota sebagai pusat pemerintahan, perdagangan, pendidikan dan kesehatan berpengaruh terhadap kebutuhan transportasi yang semakin meningkat. Dari fakta

Lebih terperinci

BAB IV PENGAMATAN PERILAKU

BAB IV PENGAMATAN PERILAKU BAB IV PENGAMATAN PERILAKU 3.1 Studi Banding Pola Perilaku Pengguna Ruang Publik Berupa Ruang Terbuka Pengamatan terhadap pola perilaku di ruang publik berupa ruang terbuka yang dianggap berhasil dan mewakili

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak dimiliki secara langsung oleh pasar modern. Lokasi yang strategis, area

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak dimiliki secara langsung oleh pasar modern. Lokasi yang strategis, area BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pasar Tradisional merupakan pasar yang memiliki keunggulan bersaing alamiah yang tidak dimiliki secara langsung oleh pasar modern. Lokasi yang strategis, area penjualan

Lebih terperinci

PERANCANGAN KOTA. Lokasi Alun - Alun BAB III

PERANCANGAN KOTA. Lokasi Alun - Alun BAB III BAB III DATA ALUN-ALUN KABUPATEN WONOGIRI Kabupaten Wonogiri, dengan luas wilayah 182.236,02 Ha secara geografis terletak pada garis lintang 7 0 32' sampai 8 0 15' dan garis bujur 110 0 41' sampai 111

Lebih terperinci

I.PENDAHULUAN. Pedagang Kaki Lima (PKL) menjadi pilihan yang termudah untuk bertahan hidup.

I.PENDAHULUAN. Pedagang Kaki Lima (PKL) menjadi pilihan yang termudah untuk bertahan hidup. I.PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu sektor informal yang menjadi fenomena di perkotaan adalah Pedagang Kaki Lima (PKL). Dengan adanya keterbatasan lapangan kerja di sektor formal, Pedagang Kaki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jumlah penduduk yang pada gilirannya merupakan penawaran tenaga kerja yang

BAB I PENDAHULUAN. jumlah penduduk yang pada gilirannya merupakan penawaran tenaga kerja yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tujuan Pembangunan Nasional adalah mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Pembangunan merupakan suatu proses perubahan yang sedang berlangsung

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI AKTIVITAS PEDAGANG KAKI LIMA DI TAMAN SERIBU LAMPU KOTA CEPU TUGAS AKHIR. Oleh: IKA PRASETYANINGRUM L2D

IDENTIFIKASI AKTIVITAS PEDAGANG KAKI LIMA DI TAMAN SERIBU LAMPU KOTA CEPU TUGAS AKHIR. Oleh: IKA PRASETYANINGRUM L2D IDENTIFIKASI AKTIVITAS PEDAGANG KAKI LIMA DI TAMAN SERIBU LAMPU KOTA CEPU TUGAS AKHIR Oleh: IKA PRASETYANINGRUM L2D 306 010 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 KESIMPULAN Berdasarkan analisis data dan pembahasan pada Bab IV didapatkan temuan-temuan mengenai interaksi antara bentuk spasial dan aktivitas yang membentuk karakter urban

Lebih terperinci

PERAN SATUAN POLISI PAMONG PRAJA DALAM PENATAAN TEMPAT USAHA PEDAGANG KAKI LIMA DI SEKITAR WILAYAH PASAR KEPUTRAN KOTA SURABAYA

PERAN SATUAN POLISI PAMONG PRAJA DALAM PENATAAN TEMPAT USAHA PEDAGANG KAKI LIMA DI SEKITAR WILAYAH PASAR KEPUTRAN KOTA SURABAYA PERAN SATUAN POLISI PAMONG PRAJA DALAM PENATAAN TEMPAT USAHA PEDAGANG KAKI LIMA DI SEKITAR WILAYAH PASAR KEPUTRAN KOTA SURABAYA SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Apalagi untuk kehidupan di kota-kota besar, seperti: Jakarta, Bandung, Semarang,

BAB I PENDAHULUAN. Apalagi untuk kehidupan di kota-kota besar, seperti: Jakarta, Bandung, Semarang, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di era globalisasi seperti sekarang, persaingan dalam hidup semakin berat. Apalagi untuk kehidupan di kota-kota besar, seperti: Jakarta, Bandung, Semarang,

Lebih terperinci

LAMPIRAN KUISIONER DATA UMUM PKL DI KOTA BOGOR

LAMPIRAN KUISIONER DATA UMUM PKL DI KOTA BOGOR 80 LAMPIRAN Lampiran 1 Kuisioner untuk KUISIONER DATA UMUM DI KOTA BOGOR A. IDENTIFIKASI RESPONDEN A.1. Nama Responden : A.2. Alamat : A.3. Jenis Kelamin : 1 Laki-laki 2 Perempuan A.4. Umur Bapak/Ibu :.Tahun

Lebih terperinci

BUPATI MADIUN BUPATI MADIUN,

BUPATI MADIUN BUPATI MADIUN, BUPATI MADIUN SALINAN PERATURAN BUPATI MADIUN NOMOR 17 TAHUN 2012 TENTANG PENATAAN DAN PEMBINAAN PASAR TRADISIONAL, PUSAT PERBELANJAAN DAN TOKO MODERN DI KABUPATEN MADIUN BUPATI MADIUN, Menimbang : a.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. :Pengembangan adalah suatu usaha untuk meningkatkan kemampuan teknis, teoritis, dan konseptual. -pengembangan.

BAB I PENDAHULUAN. :Pengembangan adalah suatu usaha untuk meningkatkan kemampuan teknis, teoritis, dan konseptual. -pengembangan. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Pengertian Judul Pengembangan Kawasan Shopping Street Pertokoan Jl. Yos Sudarso :Pengembangan adalah suatu usaha untuk meningkatkan kemampuan teknis, teoritis, dan konseptual. (http://developmentcountry.blogspot.com/2009/12/definisi

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS

BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS IV.1. PERMASALAHAN PEMBANGUNAN Pembangunan daerah agar dapat berhasil sesuai dengan tujuannya harus tanggap terhadap kondisi yang terjadi di masyarakat. Kondisi tersebut

Lebih terperinci

Perluasan Lapangan Kerja

Perluasan Lapangan Kerja VII Perluasan Lapangan Kerja Perluasan lapangan kerja untuk menciptakan lapangan kerja dalam jumlah dan mutu yang makin meningkat, merupakan sebuah keniscayaan untuk menyerap angkatan kerja baru yang terus

Lebih terperinci

PROPOSAL PENGAJUAN DANA ALOKASI KHUSUS (DAK) KHUSUS BIDANG SARANA PERDAGANGAN TAHUN ANGGARAN 2017

PROPOSAL PENGAJUAN DANA ALOKASI KHUSUS (DAK) KHUSUS BIDANG SARANA PERDAGANGAN TAHUN ANGGARAN 2017 PROPOSAL PENGAJUAN DANA ALOKASI KHUSUS (DAK) KHUSUS BIDANG SARANA PERDAGANGAN TAHUN ANGGARAN 2017 Dinas Koperasi, Perindustrian dan Perdagangan Kota Pasuruan Jl. Pahlawan No. 28 A 67155, Pasuruan Telp.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. angka pertumbuhan penduduk kota yang sangat tinggi, utamanya terjadi pada

BAB I PENDAHULUAN. angka pertumbuhan penduduk kota yang sangat tinggi, utamanya terjadi pada 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan penduduk dan proses mobilitas penduduk menuju daerah perkotaan di Indonesia semakin meningkat dengan pesat, ditunjukkan oleh angka pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. laju pertumbuhan penduduk yang pesat sebagai akibat dari faktor-faktor

BAB I PENDAHULUAN. laju pertumbuhan penduduk yang pesat sebagai akibat dari faktor-faktor BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kota-kota besar di negara-negara berkembang umumnya mengalami laju pertumbuhan penduduk yang pesat sebagai akibat dari faktor-faktor alami yaitu kelahiran

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP VI.1. Temuan Studi

BAB VI PENUTUP VI.1. Temuan Studi BAB VI PENUTUP Pada bab terakhir ini dipaparkan beberapa hal sebagai bagian penutup, yakni mengenai temuan studi, kesimpulan, rekomendasi, kelemahan studi serta saran studi lanjutan. VI.1. Temuan Studi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kota Bandung memiliki daya tarik yang luar biasa dalam bidang pariwisata. Sejak jaman penjajahan Belanda, Bandung menjadi daerah tujuan wisata karena keindahan alamnya

Lebih terperinci

KAJIAN KARAKTERISTIK BERLOKASI PEDAGANG KAKI LIMA DI KAWASAN PENDIDIKAN TEMBALANG KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR

KAJIAN KARAKTERISTIK BERLOKASI PEDAGANG KAKI LIMA DI KAWASAN PENDIDIKAN TEMBALANG KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR KAJIAN KARAKTERISTIK BERLOKASI PEDAGANG KAKI LIMA DI KAWASAN PENDIDIKAN TEMBALANG KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR Oleh: DIAN HERYANI L2D 002 393 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. besar-besaran dari perusahaan-perusahaan swasta nasional. Hal ini berujung pada

BAB I PENDAHULUAN. besar-besaran dari perusahaan-perusahaan swasta nasional. Hal ini berujung pada BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Krisis ekonomi dan moneter mengakibatkan terjadinya kelumpuhan ekonomi nasional terutama di sektor riil yang berakibat terjadinya pemutusan hubungan kerja besar-besaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pedagang kaki lima adalah bagian dari aktivitas ekonomi yang merupakan kegiatan pada sektor informal. Kegiatan ini timbul karena tidak terpenuhinya kebutuhan pelayanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah. Sehingga kebijakan tidak bersifat satu arah. Kebijakan bisa dibilang

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah. Sehingga kebijakan tidak bersifat satu arah. Kebijakan bisa dibilang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Kebijakan publik merupakan segala hal yang diputuskan oleh pemerintah. Definisi ini menunjukkan bagaimana pemerintah memiliki otoritas untuk membuat kebijakan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengembangan obyek wisata air bojongsari dengan penekanan filosofi air sebagai sarana mengembangkan kreativitas anak

BAB I PENDAHULUAN. Pengembangan obyek wisata air bojongsari dengan penekanan filosofi air sebagai sarana mengembangkan kreativitas anak Pengembangan obyek wisata air bojongsari dengan penekanan filosofi air sebagai sarana mengembangkan kreativitas anak Iman Priambodo I.0202054 BAB I PENDAHULUAN I.1 Pengertian Judul Arti kata Pengembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kota tersebut. Namun sebagian besar kota-kota di Indonesia tidak dapat memenuhi

BAB I PENDAHULUAN. kota tersebut. Namun sebagian besar kota-kota di Indonesia tidak dapat memenuhi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan suatu daerah tidak terlepas dari kebutuhan akan ruang terbuka yang berfungsi penting bagi ekologis, sosial ekonomi, dan evakuasi. Berdasarkan Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Barat, sekaligus menjadi Ibu Kota Provinsi tersebut. Kota ini terletak 140 km

BAB I PENDAHULUAN. Barat, sekaligus menjadi Ibu Kota Provinsi tersebut. Kota ini terletak 140 km BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kota Bandung merupakan kota metropolitan terbesar di Provinsi Jawa Barat, sekaligus menjadi Ibu Kota Provinsi tersebut. Kota ini terletak 140 km sebelah tenggara

Lebih terperinci

KECENDERUNGAN PASAR JOHAR SEBAGAI OBYEK WISATA BELANJA DI KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR

KECENDERUNGAN PASAR JOHAR SEBAGAI OBYEK WISATA BELANJA DI KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR KECENDERUNGAN PASAR JOHAR SEBAGAI OBYEK WISATA BELANJA DI KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR Oleh: MARTINA PUNGKASARI L2D 304 157 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Proses perkembangan dan pertumbuhan kota-kota besar di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Proses perkembangan dan pertumbuhan kota-kota besar di Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Proses perkembangan dan pertumbuhan kota-kota besar di Indonesia melahirkan sektor informal. Salah satu wujud sektor informal di perkotaan adalah lahirnya pedagang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara berkembang terus membenahi dirinya melalui pembangunan di segala bidang agar dapat menjadi negara yang makmur setara dengan negara-negara maju

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkembang adalah adanya kegiatan ekonomi subsistence, yakni sebagian besar

BAB I PENDAHULUAN. berkembang adalah adanya kegiatan ekonomi subsistence, yakni sebagian besar 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu ciri perekonomian Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang adalah adanya kegiatan ekonomi subsistence, yakni sebagian besar penduduk yang berpenghasilan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang PKL muncul sebagai salah satu bentuk sektor informal perkotaan. Rachbini dan Hamid (1994) menyebutkan bahwa sektor informal secara struktural menyokong sektor formal.

Lebih terperinci

BAB IV PRIORITAS DAN SASARAN PEMBANGUNAN DAERAH

BAB IV PRIORITAS DAN SASARAN PEMBANGUNAN DAERAH BAB IV PRIORITAS DAN SASARAN PEMBANGUNAN DAERAH 4.1. Tujuan dan Sasaran Pembangunan Dengan memperhatikan kondisi, potensi, permasalahan, tantangan, peluang yang ada di Kota Bogor, dan mempertimbangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Di Indonesia, kota-kota besar masih merupakan tujuan bagi mereka yang ingin memperbaiki nasib dan meningkatkan tarap kehidupannya. Dengan asumsi bahwa kota

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Jalan merupakan prasarana transportasi yang sangat penting untuk

BAB I PENDAHULUAN. Jalan merupakan prasarana transportasi yang sangat penting untuk 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Jalan merupakan prasarana transportasi yang sangat penting untuk perkembangan suatu daerah, yaitu untuk mempermudah memindahkan barang dan manusia dari suatu tempat

Lebih terperinci

STRATEGI BISNIS PEDAGANG KAKI LIMA ( Studi pada Pedagang Kaki Lima di FoodCourt Urip Sumaharjo Surabaya) SKRIPSI

STRATEGI BISNIS PEDAGANG KAKI LIMA ( Studi pada Pedagang Kaki Lima di FoodCourt Urip Sumaharjo Surabaya) SKRIPSI i STRATEGI BISNIS PEDAGANG KAKI LIMA ( Studi pada Pedagang Kaki Lima di FoodCourt Urip Sumaharjo Surabaya) SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Administrasi

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya,

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, 130 BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulkan sebagai berikut: 1. Kawasan Cihampelas termasuk

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 9 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Respon Respon dalam kamus Sosiologi Antropologi adalah aktifitas atau tanggapan (reaksi) terhadap suatu kondisi ( situasi stimulus) dimana kondisi itu harus dihadapi (Yacub Al-Barry,

Lebih terperinci

VII KETERKAITAN EKONOMI SEKTORAL DAN SPASIAL DI DKI JAKARTA DAN BODETABEK

VII KETERKAITAN EKONOMI SEKTORAL DAN SPASIAL DI DKI JAKARTA DAN BODETABEK VII KETERKAITAN EKONOMI SEKTORAL DAN SPASIAL DI DKI JAKARTA DAN BODETABEK Ketidakmerataan pembangunan yang ada di Indonesia merupakan masalah pembangunan regional dan perlu mendapat perhatian lebih. Dalam

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Penyusunan konsep simbiosis mutualistik untuk penataan PKL Samanhudi erat kaitannya dengan karakter masing-masing pelaku dan konflik kepentingan serta konflik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai pembangun ekonomi masih terus berlangsung, sudut pandang yang

BAB I PENDAHULUAN. sebagai pembangun ekonomi masih terus berlangsung, sudut pandang yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sampai saat ini perdebatan pengaruh sektor informal dalam perannya sebagai pembangun ekonomi masih terus berlangsung, sudut pandang yang mendukung berpendapat bahwa,

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KOTA BEKASI

BERITA DAERAH KOTA BEKASI BERITA DAERAH KOTA BEKASI NOMOR : 13 2012 SERI : E PERATURAN WALIKOTA BEKASI NOMOR 13 TAHUN 2012 TENTANG PENATAAN DAN PEMBINAAN PUSAT PERBELANJAAN DAN TOKO MODERN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Undang-undang nomor 9 tahun 1995 tentang usaha kecil dijelaskan

BAB II LANDASAN TEORI. Undang-undang nomor 9 tahun 1995 tentang usaha kecil dijelaskan BAB II LANDASAN TEORI A. Definisi Usaha Kecil. Undang-undang nomor 9 tahun 1995 tentang usaha kecil dijelaskan bahwa yang dimaksudkan dengan usaha kecil adalah kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Meningkatnya jumlah tenaga kerja yang tidak seimbang dengan sempitnya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Meningkatnya jumlah tenaga kerja yang tidak seimbang dengan sempitnya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Meningkatnya jumlah tenaga kerja yang tidak seimbang dengan sempitnya lapangan pekerjaan formal mengakibatkan bertambah besarnya angka pengangguran. Hal ini menyebabkan

Lebih terperinci

KONSEP SIMBIOSIS MUTUALISTIK SEKTOR FORMAL DAN INFORMAL PERKOTAAN UNTUK PENATAAN PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) DI SEPANJANG KORIDOR JALAN SAMANHUDI JEMBER

KONSEP SIMBIOSIS MUTUALISTIK SEKTOR FORMAL DAN INFORMAL PERKOTAAN UNTUK PENATAAN PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) DI SEPANJANG KORIDOR JALAN SAMANHUDI JEMBER KONSEP SIMBIOSIS MUTUALISTIK SEKTOR FORMAL DAN INFORMAL PERKOTAAN UNTUK PENATAAN PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) DI SEPANJANG KORIDOR JALAN SAMANHUDI JEMBER MARIA KURNIA U Ks HADIE 3207 203 003 Latar belakang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Sektor Usaha Informal Menurut Mulyadi (2008:95) sektor informal diartikan sebagai unit-unit usaha yang tidak atau sedikit sekali menerima proteksi ekonomi secara resmi dari pemerintah.

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Kesimpulan dari penelitian ini adalah hasil analisis dan pembahasan terhadap

BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Kesimpulan dari penelitian ini adalah hasil analisis dan pembahasan terhadap BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 6.1 Kesimpulan Kesimpulan dari penelitian ini adalah hasil analisis dan pembahasan terhadap karakteristik setting fisik dan non fisik (aktivitas) di kawasan penelitian

Lebih terperinci

BAB II DESKRIPSI ORGANISASI

BAB II DESKRIPSI ORGANISASI BAB II DESKRIPSI ORGANISASI 2.1. Sejarah Organisasi Kota Serang terbentuk dan menjadi salah satu Kota di Propinsi Banten berdasarkan Undang-undang Nomor 32 tahun 2007 yang diundangkan pada tanggal 10 bulan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Hampir di setiap daerah di Indonesia memiliki pasar baik pasar tradisional maupun pasar modern. Berbagai jenis pasar di Indonesia diantaranya pasar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan pelayanan mendasar bagi masyarakat kota. Sejalan dengan fungsi ini,

BAB I PENDAHULUAN. merupakan pelayanan mendasar bagi masyarakat kota. Sejalan dengan fungsi ini, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Prasarana kota berfungsi untuk mendistribusikan sumber daya perkotaan dan merupakan pelayanan mendasar bagi masyarakat kota. Sejalan dengan fungsi ini, kualitas dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mempengaruhi tumbuh dan kembangnya pembangunan suatu kota, disamping faktor-faktor lain. Jumlah penduduk yang cenderung hidup di

I. PENDAHULUAN. mempengaruhi tumbuh dan kembangnya pembangunan suatu kota, disamping faktor-faktor lain. Jumlah penduduk yang cenderung hidup di I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan jumlah penduduk merupakan salah satu faktor yang ikut mempengaruhi tumbuh dan kembangnya pembangunan suatu kota, disamping faktor-faktor lain. Jumlah penduduk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adalah tempat terjadinya transaksi jual beli yang dilakukan oleh penjual dan

BAB I PENDAHULUAN. adalah tempat terjadinya transaksi jual beli yang dilakukan oleh penjual dan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pasar merupakan suatu tempat dimana penjual dan pembeli dapat bertemu untuk melakukan transaksi jual beli barang. Penjual menawarkan barang dagangannya dengan harapan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Riset ini dilaksanakan untuk menstudi implikasi perpindahan penduduk yang

BAB I PENDAHULUAN. Riset ini dilaksanakan untuk menstudi implikasi perpindahan penduduk yang 1 BAB I PENDAHULUAN Riset ini dilaksanakan untuk menstudi implikasi perpindahan penduduk yang terjadi dari desa ke kota, terhadap kebutuhan akan tempat bermukim di Kota Bangli. Penelitian ini memfokuskan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan diperkotaan merupakan masalah sosial yang masih belum

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan diperkotaan merupakan masalah sosial yang masih belum BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemiskinan diperkotaan merupakan masalah sosial yang masih belum terselesaikan di Indonesia khususnya Provinsi Sumatera Utara. Sebagai masalah bangsa, kemiskinan perkotaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ketertiban dan kenyamanan kota (tidiness and convenience) merupakan fungsi turunan terpenting dari penataan ruang kota. Tujuan utama penataan ruang kota adalah terciptanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) adalah sebuah daerah otonomi setingkat propinsi di Indonesia dengan ibukota propinsinya adalah Yogyakarta, sebuah kota dengan berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. informal ini menunjukan bukti adanya keterpisahan secara sistemis-empiris antara

BAB I PENDAHULUAN. informal ini menunjukan bukti adanya keterpisahan secara sistemis-empiris antara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Integritas Bangsa Indonesia sedang menghadapi tantangan era globalisasi. Berbagai macam budaya global yang masuk melalui beragam media komunikasi dan informasi. Dengan

Lebih terperinci

- Dasar Hukum Peraturan Daerah ini adalah :

- Dasar Hukum Peraturan Daerah ini adalah : PENATAAN DAN PEMBERDAYAAN PEDAGANG KAKI LIMA 2016 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIDOARJO NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PENATAAN DAN PEMBERDAYAAN PEDAGANG KAKI LIMA 12 HLM, LD Nomor 5 SERI D ABSTRAK : - bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Perkembangan sebuah kota serta peningkatan jumlah penduduk perkotaan tentunya

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Perkembangan sebuah kota serta peningkatan jumlah penduduk perkotaan tentunya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan sebuah kota serta peningkatan jumlah penduduk perkotaan tentunya akan memberikan konsekuensi terhadap kebutuhan ruang. Pertumbuhan penduduk di kota besar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ketentuan tertentu pasti mempunyai tujuan yang sudah dirancang sebelumnya.

BAB I PENDAHULUAN. ketentuan tertentu pasti mempunyai tujuan yang sudah dirancang sebelumnya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap negara yang sudah berdiri dan merdeka dengan syarat dan ketentuan tertentu pasti mempunyai tujuan yang sudah dirancang sebelumnya. Begitu juga dengan negara Indonesia

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. lima jalan Kapten Muslim Kota Medan. Kajian penelitian ini dilatar belakangi

BAB 1 PENDAHULUAN. lima jalan Kapten Muslim Kota Medan. Kajian penelitian ini dilatar belakangi 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Penelitian ini mengkaji dan menganalisis kegiatan usaha pedagang kaki lima dengan metode SWOT. Adapun fokus lokasi penelitian pada pedagang kaki lima jalan Kapten

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat terjadi. Pada umumnya, semua pasar tradisional yang ada di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat terjadi. Pada umumnya, semua pasar tradisional yang ada di Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pasar tradisional di Indonesia masih merupakan wadah utama masyarakat dalam membeli suatu kebutuhan, karena dalam pasar inilah sesungguhnya perputaran ekonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Jalan raya merupakan salah satu sarana transportasi darat yang mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. Jalan raya merupakan salah satu sarana transportasi darat yang mempunyai BAB I PENDAHULUAN 1,1. Latar Belakang Jalan raya merupakan salah satu sarana transportasi darat yang mempunyai pengaruh sangat besar dalam menentukan keberhasilan perkembangan daerah. Kebutuhan akan transportasi

Lebih terperinci