BAB V VARIASI FITUR-FITUR SUPRASEGMENTAL DALAM KIDUNG TANTRI NANDAKAHARANA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB V VARIASI FITUR-FITUR SUPRASEGMENTAL DALAM KIDUNG TANTRI NANDAKAHARANA"

Transkripsi

1 135 BAB V VARIASI FITUR-FITUR SUPRASEGMENTAL DALAM KIDUNG TANTRI NANDAKAHARANA Variasi selalu dikaitkan dengan kebebasan oleh penembang dalam berekspresi dan melakukan improvisasi. Tidak selalu demikian jika dikaitkan dengan fitur-fitur dasar yang membentuk KTN. Fitur-fitur dasar memegang peranan penting dalam setiap variasi yang terjadi. Hal terpenting dalam variasi kidung adalah adanya cengkok-wilet dan ngees-nguncab. Cengkok-wilet berpedoman pada nada pokok atau guru ding-dong, kemudian penembang membuat variasi irama dengan cara menaikkan dan menurunkan nada pokok satu tangga atau dua tangga nada sesuai dengan kemampuan olah napas dan olah suara (Suarka, 2007:153). Sementara itu, ngees-nguncab dapat dilakukan dengan cara mengubah ukuran nada secara perlahan-lahan, misalnya dari nada rendah ke nada tinggi, atau sebaliknya, dari nada tinggi ke nada rendah (Suarka, 2007:153). Setiap aturan yang terjadi pada tata cara cengkok-wilet dan ngees-nguncab tidak terlepas dari fitur-fitur suprasegmental dasar yang dimiliki oleh tiap-tiap kidung termasuk juga KTN. Menurut Suarka (2007:154), adapun proses cengkokwilet dan ngees-nguncab dalam penembangan kidung secara umum dapat digambarkan sebagai berikut. Nada Tinggi Nada di bawah nada pokok Nada Pokok Nada di atas nada pokok Nada Rendah Pada gambar di atas, nada pokok dapat berupa nada tinggi atau rendah. Nada pokok tinggi apabila ingin diperpanjang maka nada tinggi naik menjadi nada tinggi sekali kemudian kembali ke nada tinggi lalu turun ke nada menengah dan 135

2 136 terakhir kembali ke nada tinggi, sedangkan nada pokok rendah maka nyanyian diperpanjang dimulai dari nada rendah naik ke nada menengah lalu kembali ke nada rendah dan turun ke nada rendah sekali barulah kembali ke nada rendah. Hal tersebut dapat terjadi berulang-ulang sesuai dengan kemampuan penembang. Demikianlah gambaran secara umum bagaimana variasi terjadi dalam sebuah kidung termasuk juga KTN. Untuk lebih mengkhusus, pembahasan mengenai variasi fitur-fitur suprasegmental yang terjadi dalam KTN diuraikan secara terperinci di bawah ini. Pembahasan ini tidak terlepas dari keterkaitan antara fitur-fitur suprasegmental dasar yang dimiliki oleh KTN yang terdiri atas empat fitur suprasegmental dasar yaitu kawitan (pendek dan panjang) dan pengawak (pemawak dan penawa) (Sugriwa, 1977:11). Berdasarkan konsep yang telah dijabarkan pada Bab III, variasi yang dianalisis dalam Bab V ini adalah variasi tekanan, variasi intonasi, variasi durasi, dan variasi jeda. Variasi-variasi ini dianalisis karena ada kecenderungan perbedaan antara fitur-fitur suprasegmental dasar KTN dan variasinya. Setelah rekaman diolah dengan speech analyser maka hasil data tersebut dijabarkan dalam tabel. 5.1 Variasi Tekanan KTN Menurut Chomsky dan Halle (dalam Selkirk, 1996:4), pada awal asumsinya mengenai NSR (nuclear stress rule) tekanan pada sebuah kata akan memunculkan tekanan utama pada sebuah frasa. Pernyataan ini berguna untuk menentukan adanya fokus dalam kalimat tersebut. Di pihak lain, pernyataan ini tidak memberikan adanya prediksi yang memunculkan tekanan pada sebuah kalimat.

3 137 Berbeda dengan kalimat utuh yang terjadi dalam tuturan langsung, kalimat dalam satu bait metrum KTN memiliki aturan tekanan tersendiri. Tekanan ini muncul karena adanya pengaruh ritme tidak hanya menentukan di mana fokus kalimat tersebut. Penjelasan mengenai tekanan dasar KTN pada Bab IV telah memberikan formula dasar bagaimana dan di mana saja terjadinya tekanan tersebut. Tekanan pada fitur-fitur dasar cenderung mendapat improvisasi pada penembangan dengan variasi. Variasi dapat terjadi pada setiap bagian fonologi (tetapi lebih mengkhusus kepada tekanan bagian ini). Variasi adalah proses perubahan atau juga dapat berupa hasil yang mempertimbangkan pengaruh dari adanya penembangan KTN atau persepsi terhadap tekanan-tekanan yang muncul dalam KTN. Persepsi ini dapat muncul karena adanya pengendapan pengetahuan dalam daya ingat penembang sehingga dalam penembangan KTN juga terjadi beberapa variasi lain selain dari tekanan dasar (Kügler, Frank Caroline Féry & Ruben van de Vijver, 2009:2). Pertama dibahas mengenai variasi tekanan yang terjadi pada kawitan. Metrum kawitan pendek yang memulai pembahasan ini. Data yang digunakan sama dengan data yang dianalisis dalam Bab IV. Berdasarkan hasil dalam speech analyser, variasi tekanan pada metrum kawitan pendek hanya terjadi pada penggalan baris terakhir. Pada tekanan dasar hanya dua silabel yang mendapatkan tekanan, yaitu pada silabel [tʊːr] dan silabel [wɔːn], sedangkan berdasarkan data tabel di bawah ini terjadi tekanan pada empat silabel, yaitu pada silabel [mǝ],

4 138 [tʊːr], [kǝm], dan [wɔːn]. Tiga silabel secara berurutan mendapatkan tekanan, yaitu [mǝ], [tʊːr], dan [kǝm], sedangkan silabel [wɔːn] berada di akhir baris. Kriteria Tekanan prǝsamǝtʊr kǝmbaŋ tawɔn prǝ sa mǝ tʊr kǝm baŋ ta wɔn Tabel 143 Variasi tekanan kawitan pendek KTN baris vi Terjadinya variasi tekanan pada baris terakhir kawitan pendek karena adanya pengaruh penembangan KTN. Penembangan KTN pada data ini memerlukan durasi yang lebih panjang dengan beberapa perubahan. Perubahanperubahan terjadi untuk mengolah suara yang diperlukan selama penembangan berlangsung. Sebagai contoh pada silabel [mǝ] dan [tʊːr] yang saling berdekatan mendapatkan tekanan karena adanya jeda antara silabel ini. Gambar 036 Variasi tekanan kawitan pendek KTN baris vi Gambar di atas menjelaskan bagaimana dua silabel tersebut mendapat tekanan. Pertama silabel [mǝ] dengan intonasi datar dengan durasi yang panjang, yaitu milidetik pada penembangannya mendapat tekanan agar dapat

5 139 mengambil jeda sejenak sebelum melanjutkan ke silabel [tʊːr] yang juga ditembangkan dengan suara yang lebih panjang. Selain pengaruh tersebut, akibat pengaruh pada silabel-silabel sebelumnya yang ditembangkan dengan suara pendek sehingga secara maksimal suara dikeluarkan pada silabel [mǝ]. Silabel [tʊːr] memang mendapatkan tekanan pada tekanan dasar. Variasi lain muncul, yaitu adanya tekanan pada silabel [kǝm]. Silabel ini mendapat variasi karena adanya pengaruh pemendekan suara dan kemudian dilepaskan kepada silabel [baŋ]. Gambar 037 Variasi tekanan kawitan pendek KTN baris vi Pada gambar di atas, silabel [kǝm] memiliki durasi yang pendek dengan suara datar sehingga tekanan lebih besar dititikberatkan pada silabel ini. Selain karena pemendekan suara, tekanan juga bisa terjadi karena pengaruh silabel yang mendapatkan tekanan sebelumnya, yaitu silabel [tʊːr] karena pengaruh tekanan masih terasa pada penembangan silabel berikutnya. Kecenderungan ini dapat

6 140 terjadi karena tekanan muncul bukan pada tuturan biasa, melainkan pada sebuah metrum yang mengharuskan adanya keharmonisan suara dan nada. Selanjutnya dibahas variasi tekanan pada kawitan panjang KTN. Berdasarkan hasil analisis dengan data yang sama dengan Bab IV, variasi tekanan terjadi pada beberapa baris, yaitu sebagai berikut. Kriteria mãkɪndǝ jǝ tǝ rɪŋ bahudandǝ Tekanan Kriteria Tekanan mã kɪn dǝ jǝ tǝ rɪŋ ba u dan dǝ Tabel 144 Variasi tekanan kawitan panjang KTN baris iii sri nãrɛndrǝ sri siŋǝpati sri nã rɛn drǝ sri si ŋǝ pa ti Tabel 145 Variasi tekanan kawitan panjang KTN baris iv Kriteria ri denĩrǝ pancǝ nãnǝ Tekanan Kriteria Tekanan Kriteria Tekanan ri de nĩ rǝ pan cǝ nã nǝ Tabel 146 Variasi tekanan kawitan panjang KTN baris vi bratɛŋ kǝpancǝ s j ǝ bra tɛŋ kǝ pan cǝ s j ǝ Tabel 147 Variasi tekanan kawitan panjang KTN baris vii atur r J aŋ darmǝ nuragɛŋ bʊh a tur r j aŋ dar mǝ nu ra gɛŋ bʊh Tabel 148 Variasi tekanan kawitan panjang KTN baris viii Dalam tabel di atas tampak lima baris mendapatkan variasi tekanan pada kawitan panjang. Pada baris ketiga terjadi penambahan tekanan, yaitu pada silabel

7 141 [dan]. Tekanan ini muncul karena adanya penurunan nada secara tiba-tiba dan cepat. Oleh karena itu, tekanan pun terjadi untuk menahan laju suara agar tidak turun secara drastis. Penurunan nada ini dapat dilihat pada data speech analyser di bawah ini. Gambar 038.Variasi tekanan kawitan panjang KTN baris iii Gambar di atas menunjukkan adanya intonasi lurus kemudian turun perlahan. Selain itu, pada silabel selanjutnya tampak ditembangkan dengan suara datar. Oleh karena itu, silabel [dan] diberikan penekanan khusus untuk mendorong suara tersebut keluar. Penekanan ini terjadi juga karena adanya pemanjangan suara pada tiap-tiap silabel. Pada baris lain, silabel [ŋǝ] diberikan tekanan. Tekanan pada silabel ini tidak muncul pada tekanan dasar KTN. Kecenderungan terjadinya hal ini karena pengaruh dari adanya jeda pada kata {siŋǝpati}. Pengaruh jeda ini tampak pada gambar di bawah ini.

8 142 Gambar 039 Variasi tekanan kawitan panjang KTN baris iv Pada tanda panah di atas, terdapat bagian suara yang tidak ditembangkan dengan kontur datar. Itu menunjukkan adanya tekanan sebelum adanya jeda. Tekanan ini diberikan untuk memberhentikan suara sebelum memasuki silabel selanjutnya karena adanya kontur panjang pada silabel [ŋǝː]. Meskipun demikian, adanya tekanan ini tidak mengubah tekanan yang diberikan pada silabel selanjutnya, yaitu silabel [pa]. Variasi tekanan juga muncul pada silabel [nã] pada baris kelima dari kata {nana}. Pada silabel ini tekanan muncul untuk mendorong silabel terakhir agar ditembangkan dengan sempurna untuk mengakhiri baris ini, seperti tampak pada gambar di bawah ini.

9 143 Gambar 040 Variasi tekanan kawitan panjang KTN baris vi Pada tanda panah di atas, terjadi intonasi naik turun pada akhir penembangan silabel ini. Adanya intonasi ini menyebabkan tekanan diberikan untuk tidak menurunkan nada dan mampu melanjutkan ke silabel selanjutnya. Meskipun intonasi naik-turun tidak terlalu tinggi ataupun rendah, tetap menimbulkan variasi tekanan pada silabel ini. Pada baris keenam terjadi variasi tekanan pada silabel [pan]. Hal ini terjadi karena adanya kontur panjang pada silabel yang berada sebelum dan sesudah silabel [pan]. Oleh karena itu, tekanan itu muncul untuk mengambil jeda sejenak agar olah suara yang ke luar dapat sejalan dan harmonis. Gambar 041 Variasi tekanan kawitan panjang KTN baris vii

10 144 Terdapat dua tanda panah pada gambar di atas, yaitu tanda panah pertama menunjukkan adanya perbedaan kontur. Pertama dimulai dengan kontur rendah kemudian naik menjadi kontur sedang. Selain itu, juga terjadi penurunan di akhir tembang silabel ini. Adanya beberapa kontur dalam sebuah silabel secara bersamaan menyebabkan tekanan sebagai variasi muncul. Baris terakhir juga mendapat variasi pada tekana yang muncul pada silabel [gɛːŋ]. Silabel ini mengalami kontur panjang dan kemudian pada akhir penembangannya terjadi kontur naik. Kontur ini menyebabkan adanya tekanan untuk mendorong silabel terakhir pada bait ini agar dapat mengakhiri baris ini dengan indah dan harmonis. Hal ini tampak terjadi pada gambar di bawah ini. Gambar 042 Variasi tekanan kawitan panjang KTN baris viii Pada gambar di atas terjadi kontur naik secara tidak beraturan. Ketidakteraturan tersebut ditunjukkan oleh tanda panah di atas. Ini menunjukkan tekanan untuk mendorong suara agar keluar secara lepas dan tidak terhalangi. Selain itu, juga berfungsi untuk mengambil napas agar dapat menembangkan silabel selanjutnya.

11 145 Pembahasan mengenai variasi tekanan, dilanjutkan pada metrum demung sawit pemawak. Variasi-variasi tekanan yang muncul tidak terlepas dari adanya pengaruh silabel sebelum dan sesudahnya juga adanya pengaruh jeda. Untuk mengetahui lebih jelas mengenai variasi yang terjadi diberikan tabel baris yang mengalami variasi. Kriteria Tekanan Kriteria Tekanan Kriteria Tekanan Criteria Tekanan tuh w atʊt biseka nrǝpati tu h w ǝ tʊt bi sek ka nrǝ pa ti Tabel 149 Variasi tekanan pemawak KTN baris i es w r j ǝ raʤǝ laksmi e s w a r j ǝ ra ʤǝ lak smi Tabel 150 Variasi tekanan pemawak KTN baris iv muk j ǝ sirǝ kr j ǝnǝ patɪh mu k j ǝ si rǝ kr j ǝ nǝ pa tɪh Tabel 151 Variasi tekanan pemawak KTN baris vii saŋ nĩti bandes w ar j ǝ patrǝ rʊm saŋ nĩ ti ban de s w a r j ǝ pa trǝ rʊm Tabel 152 Variasi tekanan pemawak KTN baris viii Baris pertama menunjukkan variasi tekanan pada silabel [se]. Tekanan pada baris ini muncul karena adanya pengaruh silabel setelahnya, yaitu silabel [kaː]. Pengaruh yang diberikan, yaitu silabel [se] dalam penembangannya mendapatkan penambahan fitur [k] menjadi [sek]. Karena tiba-tiba mendapatkan

12 146 penambahan fitur, maka terjadi penekanan secara langsung sebelum memasuki silabel [kaː]. Hal ini terlihat pada gambar di bawah ini: Gambar 043 Variasi tekanan pemawak KTN baris i Pada gambar di atas, frekuensi yang diberikan hampir mencapai 340 Hz dengan magnitude tertinggi -0,2 db dan terendah berada pada -10,3 db. Tekanan ini juga muncul karena penembangannya hanya memerlukan durasi selama milidetik. Hal ini dapat dikatakan sebagai kontur pendek dibandingkan dengan silabel-silabel yang berada di antara silabel [se]. Pada baris lain, terjadi variasi tekanan pada silabel [r j ǝː]. Silabel ini mendapatkan karena adanya pengaruh intonasi yang terjadi pada silabel ini. Silabel ini termasuk salah satu silabel yang mendapatkan kontur panjang. Akibat kontur panjang ini tekanan diberikan untuk mengakhiri penembangan silabel ini.

13 147 Gambar 044 Variasi tekanan pemawak KTN baris iv Tanda panah di atas menunjukkan adanya penekanan di awal penembangan silabel ini. Meskipun penekanan terjadi di awal penembangan, juga memengaruhi silabel ini. Tekanan ini diberikan untuk dapat memperpanjang suara yang dikeluarkan agar silabel ini dapat berakhir dengan harmonis. Variasi tekanan muncul juga pada silabel [paː]. Pada tekanan dasar, silabel ini tidak mendapatkan tekanan. Terjadinya tekanan disebabkan oleh adanya pengaruh silabel [tɪh]. Silabel ini menyebabkan terjadinya penambahan fitur [t] pada silabel [pa] sehingga ditembangkan menjadi [pat]. Karena penembangannya menjadi silabel tertutup, sehingga tekanan muncul. Selain itu, berdasarkan hasil speech analyser tekanan juga mengambil posisi di akhir penembangan silabel ini, yaitu sebagai berikut.

14 148 Gambar 045 Variasi tekanan pemawak KTN baris viii Gambar di atas juga menunjukkan adanya pemendekan suara pada silabel ini. Pemendekan silabel menyebabkan tekanan yang lebih besar untuk menembangkan silabel [tɪh] yang mengalami pemanjangan suara. Silabel ini memiliki frekuensi berkisar antara Hz dengan durasi milidetik. Pada baris terakhir pemawak KTN terdapat beberapa silabel yang mengalami variasi tekanan. Variasi tekanan terjadi pada silabel [saŋ], [nĩ], [s w a], dan [paː]. Selain penambahan tekanan, juga terjadi perpindahan tekanan. Pada tekanan dasar silabel [r j ǝː] mendapatkan tekanan, tetapi pada variasi ini silabel tersebut tidak mendapatkan tekanan dan berpindah ke silabel sebelumnya, yaitu silabel [s w a]. Perpindahan ini disebabkan oleh munculnya tekanan pada silabel [paː] pada variasi ini. Akibat dari pemanjangan silabel tersebut, tekanan dialihkan ke silabel [s w a]. Tekanan yang muncul dalam baris terakhir ini disebabkan oleh adanya kontur panjang dengan disertai intonasi-intonasi yang berliku-liku sehingga dalam penembangannya diperlukan kehati-hatian dalam mengeluarkan suara agar tidak melenceng dari nada yang seharusnya. Sebagai contoh ditunjukkan silabel [saŋ] dalam bentuk speech analyser.

15 149 Gambar 046 Variasi tekanan pemawak KTN baris viii Gambar di atas menunjukkan adanya tekanan pada awal penembangan silabel [saŋ]. Tekanan ini diberikan untuk memudahkan dalam penembangan yang memerlukan kontur panjang. Akibat tekanan pada silabel ini memengaruhi tekanan pada silabel [nĩ]. Metrum demung sawit juga terdiri atas bait penawa (panjang). Bait penawa ini memiliki jumlah baris yang lebih banyak dibandingkan dengan baitbait sebelumnya. Berdasarkan hasil analisis Bab IV, diketahui bahwa bait ini terdiri atas sepuluh baris. Meskipun demikian, banyak atau sedikitnya baris tidak serta merta mengikuti jumlah variasi tekanan yang terjadi dalam setiap baris. Pada bagian penawa ini, variasi tekanan hanya terjadi pada tiga baris. Baris-baris yang mengalami variasi tekanan, yaitu baris baris kelima, baris kedelapan, dan baris kesembilan. Ketiga baris ini memiliki variasi sebagai berikut. Kriteria Tekanan lag j ǝ gugulɪŋãn rɪŋ tamãn la g j ǝ gu gu lɪŋ ŋãn rɪŋ ta Mãn Tabel 153 Variasi tekanan penawa KTN baris v

16 150 Kriteria Tekanan ti nʊm p j a tǝ kinũ kɪr ti nʊm p j a tǝ ki nũ kɪr Tabel 154 Variasi tekanan penawa KTN baris viii Kriteria kǝmalǝ kinãndǝ kandǝ laŋũ Tekanan kǝ ma lǝ ki nãn dǝ kan dǝ la ŋũ Tabel 155 Variasi tekanan penawa KTN baris ix Pertama dibahas variasi tekanan pada baris kelima. Pada baris kelima terjadi variasi tekanan pada silabel [gu]. Silabel ini dalam penembangannya mendapat tekanan karena pengaruh jeda sebelum ditembangkan. Pada penembangan kata {lagia} yang seharusnya langsung beralih ke kata {gugulingan} tanpa adanya jeda, sedangkan pada penembangan ini terjadi jeda sebelum menembangkan silabel selanjutnya. Selain itu, terjadi pula penurunan tingkat suara dari suara menengah ke suara rendah. Dapat dijelaskan bahwa pada penembangan silabel [g j ǝ] diakhiri dengan suara menengah, sedangkan silabel [gu] dimulai dengan suara rendah. Penembangan ini menyebabkan terjadinya perubahan tekanan yang diperlukan. Dari awalnya tidak memerlukan tekanan menjadi memerlukan tekanan untuk menyesuaikan tingkat dan kontur suara pada silabel [gu]. Penembangan dengan suara rendah terjadi seperti yang terekam dalam data di bawah ini.

17 151 Gambar 047 Variasi tekanan penawa KTN baris v Tanda panah di atas menunjukkan adanya tingkat suara rendah pada permulaan silabel [gu]. Permulaan suara yang rendah, tetapi pada akhir silabel sebelumnya diakhiri dengan tingkat suara menengah memberikan peluang untuk tekanan muncul sebagai penyeimbang dari intonasi silabel ini. Berbeda halnya dengan baris kelima, baris kedelapan pada bait penawa terjadi variasi tekanan pada dua silabel sekaligus serta terjadi perpindahan tekanan. Silabel yang mengalami variasi tekanan adalah silabel [ti] dan [nʊm]. Perpindahan tekanan ini terjadi karena adanya pengaruh dari tekanan yang muncul pada silabel [nʊm]. Hal ini menyebabkan silabel [p j a] berada di antara silabelsilabel yang bertekanan sehingga silabel [p j a] menjadi silabel lemah yang tidak bertekanan. Silabel [nʊm] sebagai contoh mendapatkan tekanan karena pengaruh dari kontur suara yang terjadi. Silabel ini memiliki kontur naik pada akhir penembangannya sebelum menuju silabel [p j a]. Adanya kontur naik disertai dengan getaran suara yang mengharuskan adanya tekanan agar tidak terjadi penurunan kontur suara.

18 152 Gambar 048 Variasi tekanan penawa KTN baris viii Pada gambar di atas, silabel [nʊm] ditembangkan dengan suara datar, tetapi terjadi sedikit kontur bergelombang sebagai akibat adanya kontur panjang. Tekanan muncul sebagai antisipasi agar tidak keluar dari tingkat suara yang seharusnya. Selain itu, pada variasi ini juga penembangannya dilakukan dengan lebih panjang dan pelan sehingga tidak sama dengan penembangan pada tekanan dasar sebelumnya. Tekanan pada silabel [ti] berbeda karena silabel ini mengawali baris dan ditembangkan dengan suara yang lebih ke dalam. Suara dalam memerlukan penekanan-penekanan khusus agar dapat mengontrol suara yang ke luar. Demikianlah variasi tekanan yang dapat diberikan dan dapat ditembangkan. Secara umum variasi tekanan pada tiap-tiap bait terjadi secara acak. Variasi tekanan dapat terjadi pada silabel yang berada pada awal baris karena pengaruh dari suara dalam penembangannya. Variasi juga muncul pada silabel yang didahului oleh jeda. Selain itu, terjadi juga karena pengaruh intonasi pada silabel tersebut. Terjadinya variasi ini juga menyebabkan adanya silabel yang kehilangan tekanan apabila berada di antara silabel yang bertekanan. Penyebab terjadinya variasi ini dibahas pada bab selanjutnya.

19 Variasi KTN Bentuk dan fungsi intonasi secara umum masih sulit untuk diselesaikan dalam tuturan biasa. Hal ini disebabkan oleh adanya variasi-variasi intonasi yang muncul tidak dapat dikendalikan dalam sebuah interaksi sosial masyarakat secara umum (Bergmann, 2006:379). Berbeda dengan tuturan biasa yang terjadi pada interaksi biasa, bentuk intonasi kidung khususnya KTN dapat dideskripsikan karena terikat dengan ritme. Oleh karena itu, variasi intonasi yang terjadi harus mengikuti aturan ritme dasar yang berlaku pada kidung tersebut (Suarka, 2007: ). Pada bagian ini secara khusus dibahas mengenai variasi intonasi yang terjadi pada tiap-tiap bait KTN. Bait-bait KTN pada bagian ini ditembangkan lebih panjang dan lebih pelan. Hal ini dapat terjadi karena kidung akan lebih indah bila ditembangkan dengan sepenuh hati dan penuh perasaan. Kidung tidak ditembangkan berdasarkan cara yang kaku ataupun dengan cepat dan tergesagesa. Jika kidung ditembangkan dengan kaku serta tergesa-gesa, maka akan menyebabkan perbedaan nada serta suara yang disharmonis. Untuk itu, variasi intonasi yang terjadi pada tiap-tiap bait dapat dibentuk dengan tabel seperti di bawah ini. Pertama bait kawitan pendek yang memulai variasi-variasi yang terjadi yang telah disusun dalam tabel di bawah ini: Kriteria wu wʊ san bu pa ti wu wʊ san bu pa ti \ / Tabel 156 Variasi intonasi kawitan pendek KTN baris i

20 154 Kriteria rɪŋ pa ta li nã gan tʊn rɪŋ pa ta li nã ga tʊn _/ \ \ Tabel 157 Variasi intonasi kawitan pendek KTN baris ii Kriteria su ba gǝ wir jǝ si nĩ wi su ba gǝ wɪr jǝ si nĩ wi _/ _/\ \ Tabel 158 Variasi intonasi kawitan pendek KTN baris iii Kriteria ka ʤrɪ hɪŋ saŋ pa rǝ ra tu ka ʤrɪ hɪng saŋ pa rǝ ra tu \ Tabel 159 Variasi intonasi kawitan pendek KTN baris iv Kriteria sa l w a nɪŋ ʤam bu war sa di sa l w a nɪŋ ʤam bu war sa di _/ _/\_ _/ \ Tabel 160 Variasi intonasi kawitan pendek KTN baris v Kriteria prǝ sa mǝ tʊr kǝm baŋ ta wɔn prǝ sa mǝ tʊr kǝm baŋ ta wɔn _/ \_/\_ / Tabel 161 Variasi intonasi kawitan pendek KTN baris vi pada bait kawitan pendek di atas ditembangkan lebih rumit daripada intonasi dasar kawitan pendek. Baris pertama ditembangkan dengan variasi intonasi naik (/) pada silabel [sa]. Adanya variasi dengan kontur naik ini berguna untuk memperindah tembang bait ini. Terlepas dari keindahan tembang, intonasi ini juga berfungsi untuk memberikan ketepatan jatuhnya nada pada

21 155 silabel [ti] yang ditembangkan dengan suara datar. Variasi pada baris pertama tidak berlanjut kepada baris kedua. Pada baris kedua tidak terjadi variasi pada intonasi tiap-tiap silabel. Variasi intonasi terjadi kembali pada baris ketiga. Pada baris ketiga variasi yang terjadi, yaitu pada silabel [wîːr] dan [sìː]. Pada silabel [wîːr] ditembangkan dengan kontur datar kemudian naik lalu turun perlahan. Hal ini berbeda dengan intonasi dasar yang kembali ke kontur datar pada akhir penembangan silabel ini. Hal ini terjadi karena pemanjangan suara pada silabel yang berada setelah silabel [wîːr] memaksa untuk menghentikan penembangan agar jatuhnya suara tidak melenceng. Berbeda dengan silabel [wîːr], silabel [sìː] mendapat variasi intonasi karena pemanjangan suara. Oleh karena itu, penembangannya mengalami variasi agar tidak terdengar monoton. Berdasarkan hasil speech analyser variasi intonasi yang terjadi seperti terekam di bawah ini: Gambar 049 Variasi intonasi kawitan pendek KTN baris iii Pada gambar di atas, silabel [sìː] dimulai dengan intonasi datar kemudian turun perlahan. Pada saat terjadi kontur turun, penembangan berlanjut pada silabel [nĩ]. Akibat kontur turun ini, maka silabel [nĩ] ditembangkan datar perlahan.

22 156 Variasi intonasi yang lebih rumit terjadi pada baris kelima, sedangkan pada baris keempat tidak terjadi variasi intonasi. Pada baris kelima, terjadi variasi pada silabel [nîːŋ] dan [wàːr]. Silabel [nîːŋ] pada intonasi dasar ditembangkan dengan kontur datar kemudian turun, sedangkan pada variasinya dapat ditembangkan dengan intonasi datar kemudian naik lalu turun dan kembali ke kontur datar. Hal ini dapat terjadi jika mempunyai kemampuan olah vokal yang baik serta pengaturan napas agar tidak terengah-engah saat menembangkannya. Penembangan dengan kontur ini biasa terjadi pada silabel-silabel kuat, yaitu salah satu di antaranya mengandung fitur [ŋ]. Selain silabel [nîːŋ], silabel [wàːr] juga mendapatkan variasi, yaitu dengan intonasi datar kemudian turun. Gambar 050 Variasi intonasi kawitan pendek KTN baris v Pada gambar di atas terjadi kontur datar kemudian turun perlahan pada silabel [wàːr]. Hal ini disebabkan oleh intonasi yang terjadi pada silabel [búː] yang memiliki kontur datar kemudian naik. Untuk menyeimbangkan penembangan dengan suara yang lebih panjang maka dilakukan suatu improvisasi untuk memberikan variasi pada kontur silabel ini.

23 157 Pada baris terakhir, terjadi variasi yang cukup rumit pada silabel [tʊːr]. Silabel tersebut pada intonasi datar hanya ditembangkan dengan intonasi naik lalu turun, tetapi pada bentuk variasi ini silabel [tʊːr] dapat ditembangkan dengan kontur turun kemudian datar lalu naik perlahan dan turun perlahan kemudian berakhir dengan intonasi datar. Hal ini terjadi untuk memperpanjang durasi yang diperlukan untuk menembangkannya. Pemanjangan intonasi ini juga memberikan pengaruh pada seberapa kuat dapat melakukan variasi. Variasi lain muncul pada silabel [wɔːn], yaitu dengan kontur naik kemudian datar. Ini berbeda dengan yang terjadi pada intonasi dasar yang memiliki kontur datar kemudian turun. Pembahasan selanjutnya adalah variasi pada kawitan panjang. Variasivariasi yang terjadi dapat dirangkum dalam tabel di bawah ini. Kriteria wɛt nɪŋ ra ʤǝ wi ba wǝ wɛt nɪŋ ra ʤǝ wi ba wǝ \ / Tabel 162 Variasi intonasi kawitan panjang KTN baris i Kriteria mãs mã nɪʔ pǝ nʊh mãs mã nɪʔ pǝ nʊh \_/\_ Tabel 163 Variasi intonasi kawitan panjang KTN baris ii Kriteria mã kɪn dǝ jǝ tǝ rɪŋ ba hu dan dǝ mã kɪn dǝ jǝ tǝ rɪŋ ba u dan dǝ / \/\_/\_ \ / Tabel 164 Variasi intonasi kawitan panjang KTN baris iii

24 158 Kriteria sri nã rɛn drǝ sri si ŋǝ pa ti sri nã rɛn drǝ sri si ŋǝ pa ti _/ _/ \ \ Tabel 165 Variasi intonasi kawitan panjang KTN baris iv Kriteria u ʤa rɪŋ mpu ba gǝ wan tǝ u ʤa rɪŋ mpu ba gǝ wan tǝ _/ _/\_/\_ / \ Tabel 166 Variasi intonasi kawitan pendek KTN baris v Kriteria ri de nĩ rǝ pan cǝ nã nǝ ri de nĩ rǝ pan cǝ nã nǝ / / \ _/ Tabel 167 Variasi intonasi kawitan panjang KTN baris vi Kriteria bra tɛŋ kǝ pan cǝ s j ǝ bra tɛŋ kǝ pan cǝ s j ǝ _/ \ / \_ Tabel 168 Variasi intonasi kawitan panjang KTN baris vii Kriteria a tur r J aŋ dar mǝ nu ra gɛŋ bʊh a tur r j aŋ dar mǝ nu ra gɛŋ bʊh _/ _/\_/\_ _/ /\ \ Tabel 169 Variasi intonasi kawitan panjang KTN baris viii Berdasarkan tabel di atas, variasi intonasi pada kawitan panjang memiliki kontur yang lebih rumit dibandingkan dengan intonasi pada intonasi dasar kawitan panjang. Variasi intonasi ini terjadi lebih rumit karena adanya pengaruh pemanjangan suara yang dilakukan pada saat penembangan serta variasi ini muncul apabila bait ini dinyanyikan dengan perlahan-lahan. Variasi pada baris

25 159 pertama hanya muncul pada silabel [báː], di mana terjadi kontur datar kemudian naik perlahan. Pada baris kedua, variasi yang terjadi hanya penambahan kontur pada silabel [nʊːh]. Silabel ini ditembangkan lebih sederhana, tetapi terdapat penambahan kontur turun di awal penembangan silabel ini. Pada baris ketiga, variasi intonasi terjadi lebih rumit, yaitu dengan penambahan kontur pada beberapa silabel. Pertama terdapat kontur naik pada silabel [dǝː] dan silabel [úː]. Kedua, terjadi juga kontur turun pada silabel [bà]. Penambahan kontur ini dapat terjadi karena pengaruh dari keseluruhan bentuk kata {makinda}. Silabel [dǝː] berada pada akhir kata sehingga untuk meneruskan ke silabel selanjutnya diperlukan penambahan kontur. Hal ini juga terjadi pada silabel [úː] yang mendapat pengaruh kenaikan ritme sehingga ditembangkan sedikit lebih naik daripada silabel sebelumnya. Pada silabel [tǝ] yang memang mendapatkan kontur yang berbeda pada intonasi dasar, pada penembangan dengan suara yang lebih panjang dan lebih pelan dapat ditembangkan dengan intonasi turun naik datar kemudian naik turun datar. Hal ini seperti yang terekam pada data speech analyser di bawah ini. Gambar 051Variasi intonasi kawitan panjang KTN baris iii

26 160 Pada gambar di atas, terjadi beberapa kali perubahan kontur suara. Perubahan ini dapat terjadi pada silabel yang memiliki intonasi yang rumit pada intonasi dasar. Variasi yang hampir sama juga terjadi pada silabel [mpuː] pada baris kelima dan [r j aːŋ] pada baris kedelapan yang dapat diperpanjang dengan kontur yang sama seperti intonasi dasar berulang-ulang. Pengulangan intonasi yang sama pada silabel dapat dilakukan apabila penembang sudah fasih menembangkan bait ini dan memiliki kemampuan untuk mengolah napas agar suara tidak terputus di pertengahan saat menembangkannya. Variasi lain yang muncul, yaitu pada baris keempat yang memiliki intonasi datar kemudian naik pada silabel [sríː] dan intonasi turun kemudian datar pada silabel [ndrǝː]. Kedua silabel ini memiliki kontur yang berbeda. Perbedaan ini disebabkan oleh adanya perbedaan tempat silabel. Silabel [sríː] berada pada awal baris, sedangkan silabel [ndrǝː] berada pada pertengahan baris yang didahului oleh silabel [rɛːn] yang memiliki kontur datar kemudian naik. Variasi pada baris kelima terjadi pada silabel [wáːn] dan [tǝ]. Kedua silabel ini saling memengaruhi. Akibat kontur naik pada silabel [wáːn] maka silabel [tǝ] harus ditembangkan dengan kontur datar kemudian turun untuk mengakhiri baris ini dengan tingkat suara yang benar. Hal yang sama juga terjadi pada baris kelima, yaitu silabel [cǝː] dan [náː]. Pada silabel [cǝː] terjadi kontur datar kemudian turun lalu kontur datar kemudian naik pada silabel [náː]. Kecenderungan hal seperti ini dapat terjadi untuk mengembalikan tingkat suara pada silabel terakhir. Variasi yang hampir mirip terjadi juga pada silabel [cǝː] dan

27 161 [s j ǝː]. Kedua silabel ini tidak mendapatkan kontur naik ataupun turun pada intonasi dasar, tetapi pada bentuk variasi terjadi kontur naik pada silabel [cǝː] dan kontur datar kemudian turun lalu datar terjadi pada silabel [s j ǝː]. Kedua silabel ini berada pada baris ketujuh. Pada baris kedelapan terjadi variasi pada silabel [tʊːr], [mǝː], dan [gɛːŋ]. Silabel [tʊːr] dan [mǝː] mendapatkan kontur datar di awal penembangannya. Berbeda halnya dengan silabel [gɛːŋ] yang mendapatkan kontur naik dan turun secara bersamaan. Penambahan kontur ini terjadi dengan tidak mengubah tingkat suara pada saat menembangkannya. Pemawak merupakan salah satu bagian dari metrum demung sawit. Jumlah baris pemawak lebih sedikit daripada penawa. Meskipun memiliki jumlah baris yang lebih sedikit, variasi pada intonasi tetap dapat terjadi. Untuk itu, variasivariasi intonasi yang terjadi dapat dijabarkan dalam bentuk tabel di bawah. Kriteria tu h w a tʊt bi se ka nrǝ pa ti tu h w ǝ tʊt bi se ka nrǝ pa ti \ _/ Tabel 170 Variasi intonasi pemawak KTN baris i Kriteria sri ke s w a r j ǝ da lǝ sri ke s w a r j ǝ da lǝ / \ / \ Tabel 171 Variasi intonasi pemawak KTN baris ii

28 162 Kriteria da lǝ ku su mǝ pa trǝ ŋlʊŋ da lǝ ku su mǝ pa trǝ ŋlʊŋ _/ _/\_ Tabel 172 Variasi intonasi pemawak KTN baris iii Kriteria e s w a r j ǝ ra ʤǝ lak smi e s w a r j ǝ ra ʤǝ lak smi \_ / \/\_ Tabel 173 Variasi intonasi pemawak KTN baris iv Kriteria saŋ ku lǝ m n ɔ hi ra ʤǝ saŋ ku lǝ m n ɔ hi ra ʤǝ _/ _/\_ Tabel 174 Variasi intonasi pemawak KTN baris v Kriteria k wɛ hɪŋ ba lǝ di war gǝ k w ɛh hɪŋ ba lǝ di war gǝ / \_ / _/\_ Tabel 175 Variasi intonasi pemawak KTN baris vi Kriteria mu k j ǝ si rǝ kr j ǝ nǝ pa tɪh mu k j ǝ si rǝ kr j ǝ nǝ pa tɪh / _/\_ Tabel 176 Variasi intonasi pemawak KTN baris vii kriteria saŋ nĩ ti ban de s w a r j ǝ pa trǝ rʊm saŋ nĩ ti ban de s w a r j ǝ pa trǝ rʊm \_ _/\_ _/\_ _/\_ Tabel 177 Variasi intonasi pemawak KTN baris viii

29 163 Pada bagian pemawak variasi-variasi yang terjadi pada intonasi cukup variatif. Pada baris pertama terjadi variasi intonasi pada silabel [pàː] dengan intonasi datar kemudian turun. yang terjadi berbeda dengan intonasi dasar yang dimulai dengan kontur datar kemudian turun. Akibat perubahan intonasi yang terjadi memengaruhi silabel [tíː]. Silabel [tíː] pada awalnya hanya memiliki intonasi dasar karena perubahan pada silabel [pàː] menyebabkan silabel [tí] memiliki kontur datar kemudian naik lalu datar kembali. Variasi pada baris kedua terjadi pada silabel [r j ǝː]. Pada intonasi dasar hanya ditembangkan dengan kontur datar, sedangkan pada variasi lainnya dapat ditembangkan dengan variasi kontur suara datar kemudian turun lalu datar kembali. Variasi yang sederhana juga terjadi pada silabel [trǝ] pada baris ketiga yang hanya memiliki kontur datar naik. Kedua silabel ini tidak banyak mendapatkan variasi intonasi. Baris keempat silabel-silabel yang memiliki kontur suara berbeda mendapatkan perubahan kontur. Silabel [r j ǝː] pada intonasi dasar memiliki kontur datar kemudian naik lalu turun berubah menjadi datar kemudian turun lalu datar kembali. Berbeda halnya dengan silabel [smîː] yang memiliki perubahan intonasi yang lebih rumit,yaitu dari kontur datar kemudian naik lalu turun terus kembali datar menjadi dimulai dengan kontur datar kemudian turun lalu naik kemudian turun kemudian berakhir di kontur datar. Baris keenam terjadi variasi intonasi pada silabel [hîːŋ], [díː], dan [gǝː]. Silabel [hîːŋ] awalnya memiliki intonasi naik, sedangkan pada variasi lain dapat ditembangkan dengan intonasi naik menuju intonasi datar kemudian turun lalu

30 164 datar. Akibat adanya perubahan intonasi ini, terjadi penambahan intonasi pada silabel [díː], yaitu ditembangkan dengan intonasi naik lalu datar. Untuk mengakhiri baris ini, muncul variasi intonasi pada silabel [gǝː], yaitu ditembangkan dengan intonasi datar kemudian naik lalu turun dan datar. Pada baris kelima dan ketujuh tidak terjadi perubahan intonasi. Pada baris terakhir, yaitu baris kedelapan terjadi beberapa variasi. silabel [tìː] yang awalnya ditembangkan dengan kontur turun, dapat ditembangkan dengan kontur datar kemudian turun. Silabel [s w âː], [pâː], dan [rʊːm] ditembangkan dengan kontur yang sama, yaitu datar kemudian naik lalu turun dan kembali datar. Gambar 052 Variasi intonasi pemawak KTN baris viii Pada gambar di atas, terdapat kemiripan intonasi silabel [pâː] dan [rʊːm]. Keduanya sama-sama mengalami perubahan kontur suara secara bersamaan. Hal ini juga disebabkan oleh adanya faktor jeda sebelum memulai kedua silabel tersebut. Bait penawa yang masih merupakan bagian dari metrum demung sawit dibahas selanjutnya. Variasi intonasi yang terjadi pada penawa tidak dapat

31 165 dihindari apabila ditembangkan dengan suara yang lebih pelan dan memerlukan durasi yang lebih lama. Perubahan-perubahan intonasi ini biasanya terjadi pada silabel yang memiliki kontur yang berbeda secara bersamaan pada satu silabel meskipun tidak menutup kemungkinan terjadi perubahan pada silabel yang hanya mendapatkan kontur datar pada intonasi dasar. Untuk lebih memperjelas variasi yang terjadi dapat dijabarkan di bawah ini. Kriteria pi raŋ war sǝ sri nrǝ pa ti s w a r j ǝ da lǝ pi raŋ war sǝ sri nrǝ pa ti s w ar r j ǝ da lǝ _/\ / \_ Tabel 178 Variasi intonasi penawa KTN baris i Kriteria tus tǝ ŋǝ rɪŋ sa nǝ tus tǝ ŋe rɪŋ sa nǝ / \ _/ \_ Tabel 179 Variasi intonasi penawa KTN baris ii Kriteria ka laŋ di wǝ ra ha ju ka laŋ di wǝ ra ha ju _/ _/\_ Tabel 180 Variasi intonasi penawa KTN baris iii Kriteria sri nã rǝ pa ti sri nã rǝ pa ti \ / \_ Tabel 181. Variasi intonasi penawa KTN baris iv

32 166 Kriteria la g j ǝ gu gu lɪ ŋãn rɪŋ ta mãn la g j ǝ gu gu lɪŋ ŋãn rɪŋ ta mãn _/ _/\_ Tabel 182 Variasi intonasi penawa KTN baris v Kriteria rɪŋ ja sǝ ŋʊr dǝ a ŋʊŋ gʊl rɪŋg ja sǝ ŋʊr dǝ a ŋʊŋ gʊl / \_ _/\ Tabel 183 Variasi intonasi penawa KTN baris vi Kriteria ja jǝ mɪs rɛŋ ta waŋ ja jǝ mɪs rɛŋ ta waŋ _/ _/\_ Tabel 184 Variasi intonasi penawa KTN baris vii Kriteria ti nʊm p j a tǝ ki nũ kɪr ti nʊm p j a tǝ ki nũ kɪr \ _/\_ Tabel 183 Variasi intonasi penawa KTN baris viii Kriteria kǝ ma lǝ ki nãn dǝ kan dǝ la ŋũ kǝ ma lǝ ki nãn dǝ kan dǝ la ŋũ _/\_ Tabel 184 Variasi intonasi penawa KTN baris ix Kriteria i nũ pa ca rɛŋ san tʊn i nũ pa ca rɛŋ san tʊn _/\_ Tabel 185 Variasi intonasi penawa KTN baris x

33 167 Baris pertama menunjukkan variasi intonasi pada dua silabel, yaitu silabel [r j ǝː] dan [dáː]. Kedua silabel ini baru mendapatkan kontur suara berliku jika ditembangkan dengan suara perlahan. Silabel [r j ǝː] ditembangkan dengan kontur datar kemudian naik lalu turun dan kembali datar, sedangkan silabel [dáː] ditembangkan dengan kontur datar kemudian naik. Hal ini terekam dalam speech analyser berikut. Gambar 052 Variasi intonasi penawa KTN baris i Gambar di atas menunjukkan perubahan kontur pada silabel [r j ǝː] dan [dáː]. Berdasarkan kerapatan suara ditunjukkan adanya durasi yang diperlukan lebih lama untuk menembangkannya, yaitu milidetik untuk menembangkan silabel [r j ǝː] dan milidetik untuk menembangkan silabel [dáː]. Adanya durasi yang panjang maka diperlukan suatu keahlian khusus untuk mengolah suara agar dapat mengatur jalannya nada-nada yang digunakan. Baris kedua menunjukkan variasi pada empat silabel sekaligus. Variasi yang terjadi, yaitu pada silabel [tǝː], [rìːŋ], [sáː], dan [nǝː]. Silabel [tǝː] ditembangkan dengan kontur naik pada bentuk variasinya. Berbeda dengan silabel [tǝː], silabel

34 168 [rìːŋ] ditembangkan dengan kontur datar kemudian turun. Akibat adanya penurunan kontur suara ini maka terjadi kontur naik kemudian mendatar pada silabel [sáː] untuk memperindah intonasi yang sedang dinyanyikan. Ketiga silabel tersebut sebelumnya pada intonasi dasar ditembangkan dengan kontur datar, sedangkan silabel [nǝː] sebelumnya telah memiliki kontur datar kemudian turun. Penambahan intonasi terjadi pada silabel tersebut, yaitu terjadi kontur datar kemudian menurun dan kembali ditembangkan dengan intonasi datar. Pada baris ketiga tidak terjadi penambahan variasi. Artinya tetap ditembangkan dengan intonasi dasar meskipun dengan suara yang lebih pelan dan lebih panjang. Kemudian variasi baru terjadi pada baris keempat pada tiga silabel terakhir, yaitu silabel [rǝː], [pàː], dan [tiː]. Hanya silabel [rǝ] yang baru mendapatkan kontur suara datar kemudian turun dan kembali ke kontur datar karena pada intonasi dasar silabel ini ditembangkan dengan kontur datar saja. Silabel [pàː] dan [tiː] mendapat variasi kontur datar. Kontur datar di awal silabel [pàː] baru kemudian turun, sedangkan silabel [tiː] mendapatkan variasi kontur datar di akhir penembangan. Pada baris kelima terjadi sedikit perubahan intonasi. Pada baris kelima hanya ada variasi intonasi dengan penambahan kontur datar pada silabel [sǝ]. Awalnya pada intonasi dasar silabel ini memiliki kontur datar kemudian turun. Variasi yang dapat ditoleransi menjadi diawali dengan kontur datar kemudian turun diakhiri dengan kontur datar. Variasi intonasi pada baris selanjutnya tidak terjadi. Hal ini disebabkan oleh intonasi yang diberikan tidak terlalu rumit dan mudah untuk diingat. Apabila daya

35 169 interprestasi tinggi, kecenderungan untuk melakukan perubahan intonasi sangat mungkin terjadi. Variasi intonasi secara keseluruhan dapat terjadi pada silabel, baik yang memiliki kontur datar, kontur naik, kontur turun, maupun gabungan dari beberapa kontur. Sejauh mana pengulangan kontur pada setiap silabel terjadi tergantung kepada kemampuan seseorang untuk menembangkannya dan mengolah suara agar dapat jatuh dan terbagi secara tepat. Selain itu, variasi intonasi dapat terjadi karena pengaruh pemanjangan suara yang terjadi pada tiap-tiap silabel. 5.3 Variasi Durasi KTN Hal menarik yang terdapat pada sebuah kidung telah sekilas dibahas pada Bab IV, yaitu adanya pemanjangan durasi sebuah silabel yang melebihi tuturan biasa. Pemanjangan ini dapat terjadi pada silabel yang memiliki intonasi datar, intonasi naik, intonasi turun, maupun kombinasi antara ketiga intonasi tersebut. Durasi adalah salah satu bagian pendengaran yang dapat ditangkap dengan indra pendengaran. Manusia mampu mendengar perbedaan durasi yang sangat kecil pada sebuah tuturan karena memiliki resolusi pendengaran yang nyaring pada sistem pendengaran manusia (Plack dalam Hamann, 2009: 71). Jadi durasi untuk pemanjangan sebuah silabel sesungguhnya dapat dibedakan melalui pendengaran. Hal tersebut akan memiliki akurasi yang tinggi karena dibantu dengan cara pencitraan, seperti pada speech analyser. Berdasarkan hasil variasi intonasi di atas, pemanjangan durasi pada tiap-tiap silabel penyusun keempat bait tersebut terjadi hampir dua kali durasi dasarnya. Hal ini berlaku untuk semua intonasi baik itu intonasi dasar, intonasi naik,

36 170 intonasi turun, maupun kombinasi ketiga intonasi ini. Salah satu contoh pemanjangan durasi pada silabel kedua pada baris pertama baik kawitan pendek, yaitu [wuː]. Silabel ini pada durasi dasar ditembangkan dengan durasi milidetik, sedangkan pada variasinya dapat ditembangkan dengan durasi milidetik. Hal tersebut dapat dilihat pada gambar di bawah ini. Gambar 053 variasi durasi silabel [wu] kawitan pendek KTN baris i Pada gambar di atas, durasi yang diperlukan mengalami pemanjangan selama tiga kali penembangan dasar. Hal tersebut dapat terjadi meskipun silabel ini hanya ditembangkan dengan intonasi datar. Setiap silabel yang memiliki intonasi datar ditembangkan lebih lama dua kali dari durasi dasar pada tembang yang divariasikan. Pernyataan ini juga didukung oleh data lain yaitu silabel [taː] yang juga ditembangkan dengan durasi yang lebih lama dua kali dari durasi dasar. Pada durasi dasar terjadi penembangan selama milidetik, sedangkan pada durasi kembangannya terjadi penembangan selama milidetik. Pemanjangan durasi hampir selama dua kali durasi awal juga terjadi pada silabel yang memiliki intonasi datar kemudian turun. Pemanjangan ini terjadi pada silabel [nîːŋ]. Pada penembangan dasar silabel tersebut memerlukan durasi selama

37 milidetik, sedangkan pada tembang variasnya silabel ini memerlukan durasi selama milidetik. Pemanjangan ini dapat terjadi untuk memperindah sebuah kidung yang dinyanyikan. Hal tersebut tampak pada gambar di bawah ini. Gambar 054 variasi durasi silabel [nɪŋ] kawitan panjang KTN baris i Pada gambar di atas terjadi pemanjangan pada intonasi datar dan juga pada saat intonasi turun. Pembagian suara penembang tidak terlalu tajam menurunkan intonasi sehingga memberikan keleluasaan untuk melakukan tambahan durasi. datar naik mendapat perlakuan yang lebih khusus, yaitu penembangannya diperpanjang hampir tiga kali durasi dasar. Salah satu silabel yang memiliki intonasi ini adalah silabel [tʊːr]. Pada durasi dasar silabel tersebut hanya mendapatkan durasi selama milidetik, sedangkan pada durasi kembangannya silabel ini mampu ditembangkan dengan durasi milidetik. Hal tersebut dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

38 172 Gambar 055 variasi jeda kawitan panjang KTN baris vii Pada gambar di atas jelas terlihat durasi yang diperlukan diperpanjang. Bagian yang mendapat pemanjangan adalah bagian intonasi datar. Hal tersebut dapat terjadi karena suara dapat lebih indah dengan intonasi datar yang diperpanjang. Pemanjangan durasi juga terjadi pada silabel yang memiliki intonasi yang lebih rumit pada tembang kembangannya. Hal ini tampak pada silabel [r j âːŋ] yang memiliki intonasi datar pada tembang dasarnya tetapi pada variasinya memiliki intonasi datar lalu naik kemudian turun dan datar lalu naik lagi lalu turun dan baru kembali datar. Perubahan intonasi ini menyebabkan silabel tersebut memerlukan durasi yang lebih panjang. Pada durasi dasar memerlukan durasi milidetik, sedangkan pada tembang variasinya memerlukan pemanjangan hampir tiga kali durasi dasar, yaitu milidetik. Hal tersebut dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

39 173 Gambar 056 variasi silabel [r j âŋ] kawitan panjang KTN baris vii Pada gambar di atas dapat dilihat pemanjangnya dapat dilakukan sebanyak empat kali intonasi yang berbeda dan memerlukan durasi hampir tiga kali dari durasi dasar. Durasi paling lama terjadi pada intonasi datar, sedangan intonasi naik atau turun memerlukan intonasi yang lebih singkat. Hal serupa juga terjadi pada silabel [smîː] pada pemawak baris iv yang mendapat pemanjangan durasi karena perubahan intonasi. Pada durasi dasar silabel ini memerlukan durasi selama milidetik, sedangkan pada durasi kembangannya memerlukan durasi selama milidetik. Hal tersebut dapat dilihat di bawah ini. Gambar 057 variasi durasi silabel [smi] pemawak KTN baris iv

40 174 Pada gambar di atas, tampak terjadi variasi-variasi intonasi. Penembang memberikan durasi yang lebih lama untuk memperindah sebuah tembang yang dinyanyikan. 5.4 Variasi Jeda KTN Jeda berdasarkan konsep dapat diartikan sebagai pemberhentian sejenak dalam sebuah kidung. Adanya jeda ini berguna untuk mengatur napas agar dapat menembangkan sebuah baris kidung dengan baik. Selain itu, adanya jeda juga dapat digunakan untuk menentukan baris-baris yang tersusun dalam sebuah bait. Untuk menentukan baris, jeda pada umumnya dapat terjadi untuk menentukan klausa ataupun frasa. Selain itu, jeda juga dapat terjadi antara dua kata yang berdekatan. Jeda juga dapat terjadi pada silabel atau kata yang diikuti oleh glottal stop atau creaky vocalic (Gabriel, Christoph dan Trudel Meisenburgh, 2009:167). Untuk dua kata yang berdekatan kecenderungan tidak dimasukkan ke sebuah baris. Jeda yang terjadi hanya menunjukkan sebuah variasi agar dapat menembangkan sebuah baris tanpa merusak intonasi yang diperlukan. Berdasarkan data yang didapatkan, beberapa variasi jeda terjadi pada kidung KTN secara umum. Jeda dapat terjadi antara dua kata yang berdekatan. Hal ini terjadi karena adanya keinginan penembang untuk mencoba menghirup napas agar dapat bernyanyi dengan baik. Pada penjelasan variasi intonasi di atas, terjadi beberapa kali pengulangan kontur suara yang sama pada sebuah silabel yang menyebabkan durasi yang diperlukan lebih lama. Kemampuan paru-paru manusia untuk menyimpan udara tidaklah terlalu lama sehingga diperlukan pemberhentian sejenak untuk kembali mengisi rongga paru-paru dengan napas agar dapat

41 175 kembali bernyanyi. Sebagai contoh adanya jeda di antara dua kata yang berdekatan tampak pada kata {wuwusan} dan {bupati}. Gambar 058 Variasi jeda kawitan pendek KTN baris i Gambar di atas menunjukkan adanya jeda yang memerlukan waktu milidetik. Satu kali jeda sama dengan melafalkan sebuah silabel. Sebagaimana terlihat, kedua kata tersebut dinyanyikan dengan durasi yang lebih lama dan lebih pelan.

BAB IV FITUR-FITUR SUPRASEGMENTAL DASAR KIDUNG TANTRI NANDAKAHARANA

BAB IV FITUR-FITUR SUPRASEGMENTAL DASAR KIDUNG TANTRI NANDAKAHARANA 39 BAB IV FITUR-FITUR SUPRASEGMENTAL DASAR KIDUNG TANTRI NANDAKAHARANA KTN sebagai kidung yang menggunakan metrum demung sawit memiliki dua jenis bait, yaitu kawitan dan pengawak (penawa dan pemawak).

Lebih terperinci

BAB VI FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB VARIASI FITUR-FITUR SUPRASEGMENTAL DALAM KIDUNG TANTRI NANDAKAHARANA

BAB VI FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB VARIASI FITUR-FITUR SUPRASEGMENTAL DALAM KIDUNG TANTRI NANDAKAHARANA 176 BAB VI FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB VARIASI FITUR-FITUR SUPRASEGMENTAL DALAM KIDUNG TANTRI NANDAKAHARANA Setiap nyanyian (termasuk kidung) memiliki unsur estetis yang mengindahkan setiap aturan. Aturan pokok

Lebih terperinci

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN 190 BAB VII SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan Berdasarkan hasil analisis dapat ditarik beberapa kesimpulan. Pertama ditemukan pola dasar fitur-fitur suprasegmental yang terdiri atas, enam baris pada bait

Lebih terperinci

PERATURAN WALIKOTA JAMBI NOMOR 37 TAHUN 2014 TENTANG LAGU MARS DAN HYMNE KOTA JAMBI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA JAMBI,

PERATURAN WALIKOTA JAMBI NOMOR 37 TAHUN 2014 TENTANG LAGU MARS DAN HYMNE KOTA JAMBI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA JAMBI, PERATURAN WALIKOTA JAMBI NOMOR 37 TAHUN 2014 TENTANG LAGU MARS DAN HYMNE KOTA JAMBI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : a. bahwa dalam rangka membangkitkan semangat kebersamaan persatuan dan

Lebih terperinci

PDF created with FinePrint pdffactory trial version YUK BELAJAR NIHONGO

PDF created with FinePrint pdffactory trial version  YUK BELAJAR NIHONGO 1 YUK BELAJAR NIHONGO PENGANTAR Saat ini sedang bekerja di sebuah perusahaan Jepang? Atau barangkali sedang kuliah jurusan Bahasa Jepang, atau suatu saat anda ingin pergi ke Jepang baik untuk belajar atau

Lebih terperinci

DAFTAR PENILAIAN PELAKSANAAN PEKERJAAN PEGAWAI NON AKADEMIK UKSW

DAFTAR PENILAIAN PELAKSANAAN PEKERJAAN PEGAWAI NON AKADEMIK UKSW Lampiran 1 : Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan Pegawai Non Akademik - UKSW DAFTAR PENILAIAN PELAKSANAAN PEKERJAAN PEGAWAI NON AKADEMIK UKSW Waktu Penilaian : YANG DINILAI a. Nama b. NIP c. Pangkat,

Lebih terperinci

d. Siswa menunjukan 20 suku kata [(bu-ku), (ca-be), (da-du), (gu-la), (ja-ri),

d. Siswa menunjukan 20 suku kata [(bu-ku), (ca-be), (da-du), (gu-la), (ja-ri), 21 BAB III METODE PENELITIAN A. Variabel Penelitian Variabel yang terdapat pada penelitian ini adalah variabel bebas dan variabel terikat. Variabel bebas dalam penelitian subjek tunggal ini dikenal Treatment

Lebih terperinci

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN Dalam bagian ini, dipaparkan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan metodologi penelitian, dan dapat diuraikan sebagai berikut. Adapun uraiannya meliputi (1) lokasi dan subjek,

Lebih terperinci

Deskripsi karya Komposisi MARS WIJAYA KUSUMA SURABAYA

Deskripsi karya Komposisi MARS WIJAYA KUSUMA SURABAYA Deskripsi karya Komposisi MARS WIJAYA KUSUMA SURABAYA Karya : Heni Kusumawati /heni_kusumawati@uny.ac.id NIP : 19671126 199203 2 001 Latar Belakang Penciptaan Lagu Mars Wijaya Kusuma dibuat karena pada

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 20 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian Metode dapat diartikan sebagai cara atau prosedur yang harus ditempuh untuk menjawab masalah penelitian mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan pengambilan

Lebih terperinci

CIRI-CIRI PROSODI ATAU SUPRASEGMENTAL DALAM BAHASA INDONESIA

CIRI-CIRI PROSODI ATAU SUPRASEGMENTAL DALAM BAHASA INDONESIA TUGAS KELOMPOK CIRI-CIRI PROSODI ATAU SUPRASEGMENTAL DALAM BAHASA INDONESIA MATA KULIAH : FONOLOGI DOSEN : Yuyun Safitri, S.Pd DISUSUN OLEH: ANSHORY ARIFIN ( 511000228 ) FRANSISKA B.B ( 511000092 ) HAPPY

Lebih terperinci

A a B b C c D d E e F f G g H h I i J j K k L l M m N n O o P p Q q R r S s T t U u V v W w X x Y y Z z. A I U E O a i u e o

A a B b C c D d E e F f G g H h I i J j K k L l M m N n O o P p Q q R r S s T t U u V v W w X x Y y Z z. A I U E O a i u e o A a B b C c D d E e F f G g H h I i J j K k L l M m N n O o P p Q q R r S s T t U u V v W w X x Y y Z z A I U E O a i u e o 1 Rumput Ketak Ke tak Tum buh nya di hu tan Ke tak Da un nya se per ti da un

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 59 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Metode Penelitian Penelitian ini berupaya untuk menjabarkan suatu fenomena yang terjadi akibat perbedaan bunyi antara dua bahasa, yaitu perbedaan antara ada bunyi

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

BAB V SIMPULAN DAN SARAN BAB V SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan Ciri akustik penutur asli BK dan penutur asli BI, serta perbedaan ciri akustik pada penutur asli BK dan penutur asli BK adalah sebagai berikut. 1. Nada tertinggi penutur

Lebih terperinci

136 Kerajaan yang Telah Berdiri Datanglah!

136 Kerajaan yang Telah Berdiri Datanglah! 136 Kerajaan yang Telah Berdiri Datanglah! (Penyingkapan 11:15; 12:10) Capo fret 2 G C G A D A Ye - hu - wa, Kau s la - lu a - da Hing - I - blis se - ge - ra bi - na - sa; Di - Ma - lai - kat di sur -

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen yaitu

BAB III METODE PENELITIAN. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen yaitu BAB III METODE PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen yaitu suatu metode yang bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya akibat dari suatu perlakuan (intervensi) yang

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. A. Tinjauan Pustaka. Beberapa studi terdahulu yang relevan dengan penelitian ini adalah

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. A. Tinjauan Pustaka. Beberapa studi terdahulu yang relevan dengan penelitian ini adalah BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR A. Tinjauan Pustaka 1. Penelitian Terdahulu Beberapa studi terdahulu yang relevan dengan penelitian ini adalah penelitian yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti

Lebih terperinci

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN 0 BAB METODOLOGI PENELITIAN. Ancangan Penelitian Ancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ancangan IPO (Instituut voor Perceptie Onderzoek). Ancangan IPO (dalam t Hart et. al. 0:, periksa Rahyono,

Lebih terperinci

Deskripsi karya Komposisi jingle GARDENA DEPT. STORE & SUPERMARKET

Deskripsi karya Komposisi jingle GARDENA DEPT. STORE & SUPERMARKET Deskripsi karya Komposisi jingle GARDENA DEPT. STORE & SUPERMARKET Karya : Heni Kusumawati (heni_kusumawati@uny.ac.id) NIP : 19671126 199203 2 001 Latar Belakang Penciptaan Latar belakang penciptaan jingle

Lebih terperinci

JOURNAL OF RESIDU Issn Online : Print : X

JOURNAL OF RESIDU Issn Online : Print : X VOL, ISSUE 2 January 28 JOURNAL OF RESIDU Issn Online : 298-83 Print : 298-84X Penerapan Graf Berbobot Untuk Memperoleh Lintasan (Path) Dalam Sebuah Nada Lagu Reni Wijaya E-mail : Refnywidia@gmail.com

Lebih terperinci

Pengantar. Aspek Fisiologis Bahasa. Aspek Fisik Bahasa 13/10/2014. Pengantar Linguistik Umum 01 Oktober Aspek Fisiologis Bahasa

Pengantar. Aspek Fisiologis Bahasa. Aspek Fisik Bahasa 13/10/2014. Pengantar Linguistik Umum 01 Oktober Aspek Fisiologis Bahasa Pengantar Aspek Fisiologis Bahasa Pengantar Linguistik Umum 01 Oktober 2014 Aspek Fisiologis Bahasa WUJUD FISIK BAHASA Ciri2 fisik bahasa yg dilisankan Aspek Fisik Bahasa Bgmn bunyi bahasa itu dihasilkan

Lebih terperinci

Deskripsi karya Komposisi MARS PT KERETA API INDONESIA (KAI)

Deskripsi karya Komposisi MARS PT KERETA API INDONESIA (KAI) Deskripsi karya Kmpsisi MARS PT KRTA API INDONSIA (KAI) Karya : Heni Kusumawati (heni_kusumawati@uny.ac.id) NIP : 19671126 199203 2 001 Latar Belakang Penciptaan Memperingati hari ulang tahun ke-66 PT

Lebih terperinci

www.catatanbund4.wordpress.com i Petunjuk Mengajar Petunjuk mengajar ini sangat penting untuk diperhatikan, karena sangat berpengaruh terhadap keberhasilan proses belajar mengajar. 1. Dilarang keras mengeja.

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Penelitian yang dilakukan dengan membanding-bandingkan unsur. segmental BDN dan BI, serta BBK dan BInd sebagai bahasa pendukung, telah

BAB V PENUTUP. Penelitian yang dilakukan dengan membanding-bandingkan unsur. segmental BDN dan BI, serta BBK dan BInd sebagai bahasa pendukung, telah BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Penelitian yang dilakukan dengan membanding-bandingkan unsur segmental BDN dan BI, serta BBK dan BInd sebagai bahasa pendukung, telah membuktikan bahwa adanya persamaan dan

Lebih terperinci

Assalamu alaikum Wr. Kelompok 6 : 1. Novi Yanti Senjaya 2. Noviana Budianty 3. Nurani amalia

Assalamu alaikum Wr. Kelompok 6 : 1. Novi Yanti Senjaya 2. Noviana Budianty 3. Nurani amalia Assalamu alaikum Wr. Wb Kelompok 6 : 1. Novi Yanti Senjaya 2. Noviana Budianty 3. Nurani amalia TATA BAHASA BAKU BAHASA INDONESIA KEDUDUKAN BAHASA INDONESIA Bahasa yang terpenting di kawasan Republik Indonesia

Lebih terperinci

Deskripsi karya Komposisi MARS UNDIKSHA

Deskripsi karya Komposisi MARS UNDIKSHA Deskripsi karya Komposisi MARS UNDIKSHA Karya : Heni Kusumawati (heni_kusumawati@uny.ac.id) NIP : 19671126 199203 2 001 Latar Belakang Penciptaan Universitas Pendidikan Ganesha (UNDIKSHA) merupakan institusi

Lebih terperinci

P r o f i l U s a h. a A s p e k P a s a r P e r m i n t a a n H a r g a...

P r o f i l U s a h. a A s p e k P a s a r P e r m i n t a a n H a r g a... P O L A P E M B I A Y A A N U S A H A K E C I L S Y A R I A H ( P P U K -S Y A R I A H ) I N D U S T R I S O H U N P O L A P E M B I A Y A A N U S A H A K E C I L S Y A R I A H ( P P U K -S Y A R I A H

Lebih terperinci

III.PROSEDUR PENELITIAN. Penelitian ini, peneliti menggunakan metode penelitian deskriptif murni atau sur-vei. Penelitian

III.PROSEDUR PENELITIAN. Penelitian ini, peneliti menggunakan metode penelitian deskriptif murni atau sur-vei. Penelitian III.PROSEDUR PENELITIAN.1 Metode Penelitian Penelitian ini, peneliti menggunakan metode penelitian deskriptif murni atau sur-vei. Penelitian deskriptif murni atau survei merupakan penelitian yang benar-benar

Lebih terperinci

Deskripsi karya Komposisi MARS VISI

Deskripsi karya Komposisi MARS VISI Deskripsi karya Komposisi MARS VISI 75-100 Karya : Heni Kusumawati /heni_kusumawati@uny.ac.id NIP : 19671126 199203 2 001 A. Latar Belakang Penciptaan Salah satu kegiatan sebagai langkah awal dari pencanangan

Lebih terperinci

MENTER!KEUANGAN REPUBLIK JNDONESIA SALIN AN

MENTER!KEUANGAN REPUBLIK JNDONESIA SALIN AN MENTER!KEUANGAN REPUBLIK JNDONESIA SALIN AN PERA TURA N ME N TER! KEUA NGA N REPUBLI K INDO NESIA NOMOR 127 /PMK.010/2016 TE NTA NG PE NGAMPU NA N PAJA K BERDASARKA N UNDA NG -UNDA NG NO MOR 11 TA HU N

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Menentukan metode penelitian merupakan langkah penting dalam suatu

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Menentukan metode penelitian merupakan langkah penting dalam suatu BAB III METODOLOGI PENELITIAN Menentukan metode penelitian merupakan langkah penting dalam suatu penelitian. Sebagaimana dikemukakan Nazir (1985: 51), bahwa: Metode berhubungan erat dengan prosedur, alat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Bahasa yang digunakan terdiri atas bahasa lisan dan bahasa tulis. Oleh karena itu,

BAB 1 PENDAHULUAN. Bahasa yang digunakan terdiri atas bahasa lisan dan bahasa tulis. Oleh karena itu, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Teks sastra adalah teks artistik yang disusun dengan menggunakan bahasa. Bahasa yang digunakan terdiri atas bahasa lisan dan bahasa tulis. Oleh karena itu, ada sastra

Lebih terperinci

MATERI KELAS 1. B. Indonesia

MATERI KELAS 1. B. Indonesia MATERI KELAS 1 TEMA 1 SUB TEMA 1 : Diriku : Aku dan Teman Baru B. Indonesia 1. Mengenal huruf a-z melalui lagu. a. Mengenal dan melafalkan huruf vokal : a, i, u, e, o b. Mengenal dan melafalkan huruf konsonan

Lebih terperinci

PEMBUATAN ANIMASI PEMBENTUKAN BAYANGAN OLEH LUBANG SEBAGAI MEDIA PEMBELAJARAN FISIKA DAN UJICOBA KEBERHASILANNYA DI KELAS

PEMBUATAN ANIMASI PEMBENTUKAN BAYANGAN OLEH LUBANG SEBAGAI MEDIA PEMBELAJARAN FISIKA DAN UJICOBA KEBERHASILANNYA DI KELAS PEMBUATAN ANIMASI PEMBENTUKAN BAYANGAN OLEH LUBANG SEBAGAI MEDIA PEMBELAJARAN FISIKA DAN UJICOBA KEBERHASILANNYA DI KELAS Suwardi 1, Diane Noviandini 1,2, Marmi Sudarmi 1,2 1 Program Studi Pendidikan Fisika,

Lebih terperinci

Pembuka. JAMINAN HIDUP KEKAL do = g 3/4 1/4 =

Pembuka. JAMINAN HIDUP KEKAL do = g 3/4 1/4 = Pembuka JAMINAN HIDUP KEKAL do = g 3/4 1/4 = 5. 6. 6. 1 2. 1 3.. 1. Ya Tu-han yang ma - ha ra - - him Ya Tu-han yang ma - ha ba - - ik Ya Tu-han yang ma - ha mu - - rah 5. 6.. 1. 4. 3 2... 0 de- ngar -

Lebih terperinci

Deskripsi karya Komposisi jingle GRIYA BUSANA MUSLIM ANNISA

Deskripsi karya Komposisi jingle GRIYA BUSANA MUSLIM ANNISA Deskripsi karya Komposisi jingle GRIYA BUSANA MUSLIM ANNISA Karya : Heni Kusumawati (heni_kusumawati@uny.ac.id) NIP : 19671126 199203 2 001 Latar Belakang Penciptaan Latar belakang penciptaan jingle GRIYA

Lebih terperinci

TUGAS PLPG PEMBUATAN MODUL PEMBELAJARAN

TUGAS PLPG PEMBUATAN MODUL PEMBELAJARAN TUGAS PLPG PEMBUATAN MODUL PEMBELAJARAN Disusun oleh : JELLY EKO PURNOMO, S.Pd No Peserta 17046021710161 MODUL SENI BUDAYA 1 Materi Teknik membaca dan bernyanyi solmisasi partitur not angka secara unisono

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MALANG,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MALANG, 1 SALINAN NOMOR 11/2014 PERATURAN DAERAH KOTA MALANG NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA MALANG NOMOR 17 TAHUN 2002 TENTANG PERUSAHAAN DAERAH RUMAH POTONG HEWAN DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

LINGUISTIK UMUM TATARAN LINGUISTIK (2) : MORFOLOGI

LINGUISTIK UMUM TATARAN LINGUISTIK (2) : MORFOLOGI Nama : TITIS AIZAH NIM : 1402408143 LINGUISTIK UMUM TATARAN LINGUISTIK (2) : MORFOLOGI I. MORFEM Morfem adalah bentuk terkecil berulang dan mempunyai makna yang sama. Bahasawan tradisional tidak mengenal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang berbeda, akan tetapi kesemuanya itu memiliki kesamaan fungsi yaitu

BAB I PENDAHULUAN. yang berbeda, akan tetapi kesemuanya itu memiliki kesamaan fungsi yaitu 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Bahasa memiliki kedudukan penting dalam sejarah kehidupan manusia. Disamping sebagai simbol komunikasi, juga sebagai bahasa pemersatu dalam kehidupan bermasyarakat.

Lebih terperinci

INSTRUMEN PENILAIAN AUDIO TERINTEGRASI BUKU TEKS PELAJARAN BAHASA ASING SEKOLAH MENENGAH ATAS (SMA) / MADRASAH ALIYAH (MA)

INSTRUMEN PENILAIAN AUDIO TERINTEGRASI BUKU TEKS PELAJARAN BAHASA ASING SEKOLAH MENENGAH ATAS (SMA) / MADRASAH ALIYAH (MA) INSTRUMEN PENILAIAN AUDIO TERINTEGRASI BUKU TEKS PELAJARAN BAHASA ASING SEKOLAH MENENGAH ATAS (SMA) / MADRASAH ALIYAH (MA) KODE BUKU KOMPONEN A. FUNGSI MENUNJANG PEMBELAJAR AN 1. Menunjang pencapaian kompetensi

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS. Keterampilan berbahasa ( language skill) dalam kurikulum di sekolah. biasanya mencakup empat segi, yaitu:

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS. Keterampilan berbahasa ( language skill) dalam kurikulum di sekolah. biasanya mencakup empat segi, yaitu: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS A. Kajian Pustaka 1. Keterampilan Berbahasa Keterampilan berbahasa ( language skill) dalam kurikulum di sekolah biasanya mencakup empat segi, yaitu: a) Keterampilan

Lebih terperinci

FONOLOGI FONEM SUPRASEGMENTAL / CIRI-CIRI PROSODI. Dosen Pengampu : Prof. Dr. I Nengah Martha, M.Pd. Oleh: Ni Kadek Mega Ratnawati ( ) 1/A

FONOLOGI FONEM SUPRASEGMENTAL / CIRI-CIRI PROSODI. Dosen Pengampu : Prof. Dr. I Nengah Martha, M.Pd. Oleh: Ni Kadek Mega Ratnawati ( ) 1/A FONOLOGI FONEM SUPRASEGMENTAL / CIRI-CIRI PROSODI Dosen Pengampu : Prof. Dr. I Nengah Martha, M.Pd. Oleh: Ni Kadek Mega Ratnawati (1512011041) Anak Agung Ngurah Bagus Janitra Dewanta (1512011034) 1/A JURUSAN

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Informan dan Lokasi Dalam penelitian ini, pengambilan struktur melodik dan struktur temporal bahasa Indonesia yang digunakan oleh penutur asli bahasa Korea dan penutur asli

Lebih terperinci

LAMPIRAN 1 RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP) SIKLUS 1 Satuan Pendidikan : SD Negeri I Kedungrejo

LAMPIRAN 1 RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP) SIKLUS 1 Satuan Pendidikan : SD Negeri I Kedungrejo 32 33 LAMPIRAN 1 RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP) SIKLUS 1 Satuan Pendidikan : SD Negeri I Kedungrejo Mata Pelajaran : Bahasa Indonesia Kelas / Semester : I / I Alokasi Waktu : 6 x 35 menit ( 3 x

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. untuk memperoleh gambaran proses pembelajaran IPA. Menurut guru kelas

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. untuk memperoleh gambaran proses pembelajaran IPA. Menurut guru kelas BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Awal Penelitian Sebelum melaksanakan tindakan, terlebih dahulu dilakukan pengamatan langsung saat pembelajaran IPA dan kegiatan wawancara dengan guru

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PERBENDAHARAAN

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PERBENDAHARAAN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PERBENDAHARAAN Yth. (Daftar terlampir) SURAT EDARAN Nomor SE- X /PB/217 TENTANG BATAS MAKSIMUM PENAIRAN DANA DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. dirumuskan tersebut berdasarkan rumusan masalah yang telah ditetapkan. Variabel

BAB VI PENUTUP. dirumuskan tersebut berdasarkan rumusan masalah yang telah ditetapkan. Variabel BAB VI PENUTUP 6.1 Simpulan Dengan maksud merangkum seluruh uraian yang terdapat pada bagian pembahasan, pada bagian ini dirumuskan berbagai simpulan. Simpulan yang dirumuskan tersebut berdasarkan rumusan

Lebih terperinci

1. Menjelaskan Alat Ucap Manusia Dalam Proses Pembentukan Bunyi a. Komponen subglotal b. Komponen laring c. Komponen supraglotal

1. Menjelaskan Alat Ucap Manusia Dalam Proses Pembentukan Bunyi a. Komponen subglotal b. Komponen laring c. Komponen supraglotal 1. Menjelaskan Alat Ucap Manusia Dalam Proses Pembentukan Bunyi Alat ucap dan alat bicara yang dibicarakan dalam proses memproduksi bunyi bahasa dapat dibagi atas tiga komponen, yaitu : a. Komponen subglotal

Lebih terperinci

BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISA DATA

BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISA DATA BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISA DATA A. Deskripsi Data Data penelitian perbaikan hasil pembelajaran ini, peneliti bertindak sebagai pelaku sedangkan yang sebagai observer dan pengamat adalah guru pamong serta

Lebih terperinci

ali muqoddas, S.Sn, M.Kom

ali muqoddas, S.Sn, M.Kom ali muqoddas, S.Sn, M.Kom ali.dinus@gmail.com 0823 2707 9971 skil presentasi Olah Vocal apa yang membedakan cara berpidato mereka? adalah elemen penting dalam presentasi lebih dari sekedar menyampaikan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Metode penelitian merupakan prosedur dan langkah kerja yang digunakan dalam

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Metode penelitian merupakan prosedur dan langkah kerja yang digunakan dalam BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian Metode penelitian merupakan prosedur dan langkah kerja yang digunakan dalam kegiatan penelitian secara teratur dan sistematis, mulai dari tahap perencanaan,

Lebih terperinci

REKAPITULASI NILAI MEMBACA SISWA KELAS 1 SD NEGERI 1 SUGIHAN PRA SIKLUS. Skor nilai Jumlah Lafal Intonasi Nyaring skor

REKAPITULASI NILAI MEMBACA SISWA KELAS 1 SD NEGERI 1 SUGIHAN PRA SIKLUS. Skor nilai Jumlah Lafal Intonasi Nyaring skor 45 REKAPITULASI NILAI MEMBACA SISWA KELAS 1 SD NEGERI 1 SUGIHAN PRA SIKLUS Lampiran 1 No Nama Siswa Skor nilai Jumlah Lafal Intonasi Nyaring skor Nilai Ket. 1 Siswa 1 1 1 2 4 33 Belum tuntas 2 Siswa 2

Lebih terperinci

PERATURAN WALIKOTA MALANG NOMOR 24 TAHUN TENTANG HARGA SATUAN POKOK KEGIATAN PEMERINTAH KOTA MALANG TAHUN ANGGARAN 201 3

PERATURAN WALIKOTA MALANG NOMOR 24 TAHUN TENTANG HARGA SATUAN POKOK KEGIATAN PEMERINTAH KOTA MALANG TAHUN ANGGARAN 201 3 SALINAN NOMOR 24, 201 2 PERATURAN WALIKOTA MALANG NOMOR 24 TAHUN 201 2 TENTANG HARGA SATUAN POKOK KEGIATAN PEMERINTAH KOTA MALANG TAHUN ANGGARAN 201 3 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MALANG,

Lebih terperinci

(Penggalan frase 1, frase 2 dan frase 3 pada bagian A)

(Penggalan frase 1, frase 2 dan frase 3 pada bagian A) DESKRIPSI CIPTA LAGU AKU SIAP LOMBA VOKAL TUNGGAL TINGKAT SD SE-DIY DALAM RANGKA KEGIATAN WISATA KAMPUS Oleh : F. Xaveria Diah K. NIP : 19791222 200501 2 003 A. Pendahuluan Lagu ini dibuat dalam rangka

Lebih terperinci

TATA IBADAH HARI MINGGU & SYUKUR HUT ke-58 Pelayanan Kategorial Pelayanan Anak

TATA IBADAH HARI MINGGU & SYUKUR HUT ke-58 Pelayanan Kategorial Pelayanan Anak GEREA PROTESTAN di INDONESIA bagian BARAT TATA IBADAH HARI MINGGU & SYUKUR HUT ke-58 Pelayanan Kategorial Pelayanan Anak Tema: Diriku Memuliakan Tuhan Minggu XIV Sesudah Pentakosta 10 September 2017 AM

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA MALANG NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PENYERTAAN MODAL PADA PT. BANK JATIM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MALANG,

PERATURAN DAERAH KOTA MALANG NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PENYERTAAN MODAL PADA PT. BANK JATIM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MALANG, SALINAN NOMOR 3, 2011 PERATURAN DAERAH KOTA MALANG NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PENYERTAAN MODAL PADA PT. BANK JATIM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MALANG, Menimbang : a. ba h wa pen yerta a

Lebih terperinci

Panduan untuk Guru Membaca dan Menulis Permulaan untuk Sekolah Dasar Kelas 1,2,3.

Panduan untuk Guru Membaca dan Menulis Permulaan untuk Sekolah Dasar Kelas 1,2,3. Panduan untuk Guru Membaca dan Menulis Permulaan untuk Sekolah Dasar Kelas 1,2,3 DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL DIREKTORAT JENDERAL MANAJEMEN PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH DIREKTORAT PEMBINAAN TAMAN KANAK-KANAK

Lebih terperinci

Bagian Aksara Batak (dominan Toba)

Bagian Aksara Batak (dominan Toba) Huruf-huruf yang terdapat pada font SamuderaPura.ttf Fitur-fitur dari Tuktuk Editor v.1.1 Pusat Bahasa-bahasa Nirbatas Huruf-huruf yang terdapat pada font SamuderaPura.ttf SamuderaPura.ttf memuat aksara

Lebih terperinci

2. PERSIAPAN DOA Do=C,4/4. 1. TANDA SALIB Do=D/E. 5< < 5< X X Dalam nama Ba pa dan Pu tra dan Roh Ku dus, A min.

2. PERSIAPAN DOA Do=C,4/4. 1. TANDA SALIB Do=D/E. 5< < 5< X X Dalam nama Ba pa dan Pu tra dan Roh Ku dus, A min. 1. TANDA SALIB Do=D/E 5< 3. 3 3 2 1. 1 1 1 2 1 6< 5< X X Dalam nama Ba pa dan Pu tra dan Roh Ku dus, A min.* 5< 6< 6< 7< 1 3 2 2 1 2... 2. 0 i tu lah pe nan da i man ki ta. 5< 3. 3 3 2 1. 1 1 1 1 2 3 4..

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Tempat Tanggal Lahir:Bandung, 21 April : III (Tiga) SDLB Purnama Asih Bandung

BAB III METODE PENELITIAN. Tempat Tanggal Lahir:Bandung, 21 April : III (Tiga) SDLB Purnama Asih Bandung BAB III METODE PENELITIAN A. SUBJEK DAN LOKASI PENELITIAN 1. Subjek Penelitian Subjek yang diteliti merupakan subjek tunggal, sesuai dengan metode penelitian yang digunakan, yaitu penelitian subjek tunggal.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia satu dengan manusia lainnya berbeda-beda intonasi dan nadanya, maka

BAB I PENDAHULUAN. manusia satu dengan manusia lainnya berbeda-beda intonasi dan nadanya, maka BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG MASALAH Suara adalah suatu alat komunikasi paling utama yang dimiliki oleh manusia. Dengan suara, manusia dapat berkomunikasi dengan manusia lainnya. Melalui suara,

Lebih terperinci

BAB III AKSARA SUNDA

BAB III AKSARA SUNDA BAB III AKSARA SUNDA 3.1. Perihal Aksara Sunda Aksara Sunda atau yang disebut huruf Kaganga bukan milik sendiri maksudnya adalah aksara Sunda merupakan aksara hasil modifikasi dari aksara aksara daerah

Lebih terperinci

Deskripsi karya Komposisi MARS BUDI MULIA DUA

Deskripsi karya Komposisi MARS BUDI MULIA DUA Deskripsi karya Komposisi MARS BUDI MULIA DUA Karya : Heni Kusumawati (heni_kusumawati@uny.ac.id) NIP : 19671126 199203 2 001 Latar Belakang Penciptaan Lagu Mars Perguruan Budi Mulia Dua dibuat karena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tanda bahasa tingkat kedua (bahasa sekunder). Kidung dikatakan demikian karena

BAB I PENDAHULUAN. tanda bahasa tingkat kedua (bahasa sekunder). Kidung dikatakan demikian karena 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kidung adalah karya cipta rasa karsa manusia yang menggunakan sistem tanda bahasa tingkat kedua (bahasa sekunder). Kidung dikatakan demikian karena sastra menggunakan

Lebih terperinci

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN Lampiran RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN Nama sekolah Mata pelajaran Kelas/ semester Materi pokok Alokasi waktu : SMPLB BKI Karanganyar : Agama Islam : VII - C / II : Membaca Huruf Hijaiyah : 3x40 menit

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MALANG,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MALANG, SALINAN NOMOR 13/2014 PERATURAN DAERAH KOTA MALANG NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA MALANG NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA SEKRETARIAT DAERAH, SEKRETARIAT

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2005 TENTANG KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2005 TENTANG KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2005 TENTANG KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

Notasi Gamelan Berkahing Gusti Mijil Pelog Nem Mu - ji Gus - ti ing si - ang lan ra - tri

Notasi Gamelan Berkahing Gusti Mijil Pelog Nem Mu - ji Gus - ti ing si - ang lan ra - tri Berkahing Gusti Mijil Pelog Nem 6 6 1 2 2 2 2 21 2 3 Mu - ji Gus - ti ing si - ang lan ra - tri 1 6 1 1 12 2 Kan - thi trus - ing ba - tos 1 2 3 12 6 5 5 5 5 653 Mu - jud - a - ken pa - nu - wun yek -

Lebih terperinci

ANGKA AGREGAT PER KECAMATAN. HASIL SENSUS PENDUDUK 2010 KOTA JAMBI Angka Agregat Per Kecamatan 1

ANGKA AGREGAT PER KECAMATAN. HASIL SENSUS PENDUDUK 2010 KOTA JAMBI Angka Agregat Per Kecamatan 1 ANGKA AGREGAT PER KECAMATAN HASIL SENSUS PENDUDUK 2010 KOTA JAMBI Angka Agregat Per Kecamatan 1 SEKAPUR SIRIH SP2010 merupakan kegiatan besar yang terdiri dari rangkaian tahapan kegiatan yang diawali dengan

Lebih terperinci

PERATURAN WALIKOTA MALANG NOMOR 23 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA KERJA PEMERINTAH DAERAH KOTA MALANG TAHUN 2014 WALIKOTA MALANG,

PERATURAN WALIKOTA MALANG NOMOR 23 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA KERJA PEMERINTAH DAERAH KOTA MALANG TAHUN 2014 WALIKOTA MALANG, SALINAN NOMOR 23, 201 3 PERATURAN WALIKOTA MALANG NOMOR 23 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA KERJA PEMERINTAH DAERAH KOTA MALANG TAHUN 2014 WALIKOTA MALANG, Menimbang : a. ba h wa u n tu k m ela ksan a ka n keten

Lebih terperinci

PROSODI PISUHAN JAMPUT PADA PENUTUR JAWA SURABAYA

PROSODI PISUHAN JAMPUT PADA PENUTUR JAWA SURABAYA PROSODI PISUHAN JAMPUT PADA PENUTUR JAWA SURABAYA Siti Rumaiyah Prodi Sastra Indonesia Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Surabaya ayum1_galz@yahoo.com Agusniar Dian Savitri Agusniar_dian@yahoo.com

Lebih terperinci

GD. JULA-JULI SLENDRO PATHET WOLU. Untuk instrument bonang dalam gending ini mempunyai garap khusus, yaitu pancer 3 (tergantung dengan pathetnya).

GD. JULA-JULI SLENDRO PATHET WOLU. Untuk instrument bonang dalam gending ini mempunyai garap khusus, yaitu pancer 3 (tergantung dengan pathetnya). 1 GD. JULA-JULI SLENDRO PATHET WOLU. Buka : @ / 2.6.5.2.g1 _.p2.n1.p2.n6.p2.n1.p6.g5.6.5.6.2.6.5.2.g1 _ Untuk instrument bonang dalam gending ini mempunyai garap khusus, yaitu pancer 3 (tergantung dengan

Lebih terperinci

BAB 7. INSTRUMENTASI UNTUK PENGUKURAN KEBISINGAN

BAB 7. INSTRUMENTASI UNTUK PENGUKURAN KEBISINGAN BAB 7. INSTRUMENTASI UNTUK PENGUKURAN KEBISINGAN 7.1. TUJUAN PENGUKURAN Ada banyak alasan untuk membuat pengukuran kebisingan. Data kebisingan berisi amplitudo, frekuensi, waktu atau fase informasi, yang

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MALANG,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MALANG, SALINAN NOMOR 34, 2013 PERATURAN WALIKOTA MALANG NOMOR 34 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN WALIKOTA MALANG NOMOR 20 TAHUN 2013 TENTANG TATA CARA PEMBAYARAN, PENYETORAN, TEMPAT PEMBAYARAN,

Lebih terperinci

PERATURAN WALIKOTA MALANG NOMOR 24 TAHUN 2013 TENTANG TARIP ANGKUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MALANG,

PERATURAN WALIKOTA MALANG NOMOR 24 TAHUN 2013 TENTANG TARIP ANGKUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MALANG, SALINAN NOMOR 24, 2013 PERATURAN WALIKOTA MALANG NOMOR 24 TAHUN 2013 TENTANG TARIP ANGKUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MALANG, Menimbang : a. ba h wa den ga n a da n ya kenaikan h a rga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah FERI YANTO, 2015

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah FERI YANTO, 2015 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sekolah dasar merupakan jenjang paling dasar pada pendidikan formal di Indonesia.Pada usia sekolah dasar seluruh aspek perkembangan kecerdasan seperti IQ, EQ,

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 289 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Setelah melakukan penelitian sebagaimana perumusan masalah yang telah diajukan di bagian pendahuluan, maka peneliti menyimpulkan berikut ini. 1. Aspek-aspek

Lebih terperinci

FONOLOGI Aspek Fisiologis Bahasa FONETIK Definisi Fonetik Jenis Fonetik Harimurti Kridalaksana Sheddy N. Tjandra

FONOLOGI Aspek Fisiologis Bahasa FONETIK Definisi Fonetik Jenis Fonetik Harimurti Kridalaksana Sheddy N. Tjandra FONOLOGI Pengantar Linguistik Umum 13 November 2013 Nadya Inda Syartanti PENGANTAR 1 2 Aspek Fisiologis Bahasa Bagaimana bunyi ujaran terjadi; Darimana udara diperoleh; Bagaimana udara digerakkan; Bagaimana

Lebih terperinci

1, 1 PENANGKAPAN IKAN DENGAN PURSE SEINE

1, 1 PENANGKAPAN IKAN DENGAN PURSE SEINE P O L A P E M B I A Y A A N U S A H A K E C I L ( P P U K ) P E N A N G K A P A N I K A N D E N G A N P U R S E S E I N E P O L A P E M B I A Y A A N U S A H A K E C I L ( P P U K ) P E N A N G K A P A

Lebih terperinci

Aplikasi Belajar Menulis Aksara Jawa Menggunakan Android

Aplikasi Belajar Menulis Aksara Jawa Menggunakan Android JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 1, (2013) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) A-94 Aplikasi Belajar Menulis Menggunakan Android As ad Arismadhani, Umi Laili Yuhana, dan Imam Kuswardayan Jurusan Teknik Informatika,

Lebih terperinci

41 A. Menyampaikan Pesan Pendek

41 A. Menyampaikan Pesan Pendek 41 A. Menyampaikan Pesan Pendek Siapa yang belum sarapan? Lho, mengapa belum sarapan? Sebelum berangkat sekolah, kamu harus sarapan! Kebiasaan ini sangat baik. Jika tidak, konsentrasi belajarmu akan terganggu

Lebih terperinci

METODE BERNYANYI KATEGORI LAGU FOLKLORE/ETNIK DALAM PADUAN SUARA. Lamhot Basani Sihombing

METODE BERNYANYI KATEGORI LAGU FOLKLORE/ETNIK DALAM PADUAN SUARA. Lamhot Basani Sihombing METODE BERNYANYI KATEGORI LAGU FOLKLORE/ETNIK DALAM PADUAN SUARA Lamhot Basani Sihombing Abstrak Dalam bernyanyi paduan suara kategori Foklore/Etnik Penggunaan metode demonstrasi sangat efektif digunakan

Lebih terperinci

SUPLEMEN BUKU NOVENA ROH KUDUS 2014 UNTUK DIRIGEN, ORGANIS DAN SOLIS

SUPLEMEN BUKU NOVENA ROH KUDUS 2014 UNTUK DIRIGEN, ORGANIS DAN SOLIS SUPLEMEN BUKU NOVENA ROH KUDUS 2014 UNTUK DIRIGEN, ORGANIS DAN SOLIS Perarakan Masuk: PS 567 Mazmur Tanggapan (Mzm 47:2-3.4-5.6-7; R:8a) Ulangan menurut PS 818 Hari Pertama, Jumat, 30 Mei 2014 SUKACITA

Lebih terperinci

EVALUASI KINERJA TRANSJAKARTA BUSWAY KORIDOR I RUTE (BLOK M-KOTA) Oleh : ANINDITO PERDANA ( )

EVALUASI KINERJA TRANSJAKARTA BUSWAY KORIDOR I RUTE (BLOK M-KOTA) Oleh : ANINDITO PERDANA ( ) EVALUASI KINERJA TRANSJAKARTA BUSWAY KORIDOR I RUTE (BLOK M-KOTA) Oleh : ANINDITO PERDANA (3105.100.056) DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB III METODOLOGI BAB IV DATA DAN PEMBAHASAN

Lebih terperinci

PENGENALAN AKSARA JAWAMENGGUNAKAN LEARNING VECTOR QUANTIZATION (LVQ)

PENGENALAN AKSARA JAWAMENGGUNAKAN LEARNING VECTOR QUANTIZATION (LVQ) PENGENALAN AKSARA JAWAMENGGUNAKAN LEARNING VECTOR QUANTIZATION (LVQ) Alfa Ceria Agustina (1) Sri Suwarno (2) Umi Proboyekti (3) sswn@ukdw.ac.id othie@ukdw.ac.id Abstraksi Saat ini jaringan saraf tiruan

Lebih terperinci

PENGENALAN AKSARA JAWA MENGGUNAKAN OPERATOR PREWITT

PENGENALAN AKSARA JAWA MENGGUNAKAN OPERATOR PREWITT PENGENALAN AKSARA JAWA MENGGUNAKAN OPERATOR PREWITT SKRIPSI Diajukan Untuk Penulisan Skripsi Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelas Sarjana Komputer (S.Kom.) Pada Program Studi Teknik Informatika

Lebih terperinci

Panduan Guru. Unit 1 : Modul Guru

Panduan Guru. Unit 1 : Modul Guru Panduan Guru Guru disaran memperkenalkan asas membaca melalui kaedah bunyi suku kata. Kaedah bunyi suku kata memberi penekanan kepada bunyi suku kata yang mana guru memperkenalkan huruf vokal dan bunyi

Lebih terperinci

NOMOR: SERI: E PERATURAN DAERAH KABUPATEN BEKASI NOMOR 4 TAHUN 2006 TENTANG B A D A N P E R M U S Y A W A R A T A N D E S A

NOMOR: SERI: E PERATURAN DAERAH KABUPATEN BEKASI NOMOR 4 TAHUN 2006 TENTANG B A D A N P E R M U S Y A W A R A T A N D E S A LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BEKASI NOMOR: 3 2006 SERI: E PERATURAN DAERAH KABUPATEN BEKASI NOMOR 4 TAHUN 2006 TENTANG B A D A N P E R M U S Y A W A R A T A N D E S A Mengingat : D EN GA N R AHMAT TUH AN

Lebih terperinci

TUGAS AKHIR PERENCANAAN PERBAIKAN KALI BABON KOTA SEMARANG

TUGAS AKHIR PERENCANAAN PERBAIKAN KALI BABON KOTA SEMARANG PENDAHULUAN 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Semarang dibagi menjadi dua wilayah administratif yaitu wilayah Kota Semarang dan wilayah Kabupaten Semarang. Di Kota Semarang mengalir beberapa sungai

Lebih terperinci

USAHA KONVEKSI PAKAIAN JADI

USAHA KONVEKSI PAKAIAN JADI P O L A P E M B I A Y A A N U S A H A K E C I L S Y A R I A H ( P P U K -S Y A R I A H ) U S A H A K O N V E K S I P A K A I A N J A D I P O L A P E M B I A Y A A N U S A H A K E C I L S Y A R I A H (

Lebih terperinci

0,8 9 0,9 4 1,2 4 7,1 6 %

0,8 9 0,9 4 1,2 4 7,1 6 % P O L A P E M B I A Y A A N U S A H A K E C I L ( P P U K ) E M P I N G M E L I N J O P O L A P E M B I A Y A A N U S A H A K E C I L ( P P U K ) E M P I N G M E L I N J O B A N K I N D O N E S I A K A

Lebih terperinci

PERATURAN WALIKOTA MALANG NOMOR 12 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN WALIKOTA MALANG NOMOR 25 TAHUN 2013 TENTANG TARIP TAKSI ARGOMETER

PERATURAN WALIKOTA MALANG NOMOR 12 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN WALIKOTA MALANG NOMOR 25 TAHUN 2013 TENTANG TARIP TAKSI ARGOMETER SALINAN NOMOR 12, 2014 PERATURAN WALIKOTA MALANG NOMOR 12 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN WALIKOTA MALANG NOMOR 25 TAHUN 2013 TENTANG TARIP TAKSI ARGOMETER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sehari-hari untuk menyampaikan pesan, pendapat, maksud, tujuan dan sebagainya.

BAB I PENDAHULUAN. sehari-hari untuk menyampaikan pesan, pendapat, maksud, tujuan dan sebagainya. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Komunikasi adalah suatu hal yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan sehari-hari untuk menyampaikan pesan, pendapat, maksud, tujuan dan sebagainya. Komunikasi yang

Lebih terperinci

HR PROCESS PELAKSANAAN TES SUARA

HR PROCESS PELAKSANAAN TES SUARA A. Rujukan 1. Klausul 4.2.3 ISO 9001:2008 Pengendalian Dokumen 2. Klausul 4.2.4 ISO 9001:2008 Pengendalian Rekaman 3. Klausul 6.1 ISO 9001:2008 Pengelolaan Sumber Daya 4. Klausul 6.2 ISO 9001:2008 Sumber

Lebih terperinci

levan dengan dokumen Kurikulum Elektronika Komuni-

levan dengan dokumen Kurikulum Elektronika Komuni- BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANNYA A. Kesimpulan Hasil Penelitian Berdasarkan hasil penelitian yang telah peneliti lakukan terhadap Kurikulum Elektronika Komunikasi FPTK IKIP Bandung maupun Kurikulum

Lebih terperinci

ANIS SILVIA

ANIS SILVIA ANIS SILVIA 1402408133 4. TATANAN LINGUISTIK (1) : FONOLOGI Kalau kita nmendengar orang berbicara, entah berpidato atau bercakap-cakap, maka akan kita dengar runtutan bunyi bahasa yang terus menerus, kadang-kadang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jiwa manusia, yang dinyatakan dalam bentuk deretan nada yang diciptakan atau

BAB I PENDAHULUAN. jiwa manusia, yang dinyatakan dalam bentuk deretan nada yang diciptakan atau BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dharma gita atau seni suara adalah suatu pernyataan atau gambaran dari jiwa manusia, yang dinyatakan dalam bentuk deretan nada yang diciptakan atau dicetak maupun yang

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 36 TAHUN 2005 SERI D.22 PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 05 TAHUN 2005 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 36 TAHUN 2005 SERI D.22 PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 05 TAHUN 2005 TENTANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 36 TAHUN 2005 SERI D.22 PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 05 TAHUN 2005 TENTANG TEKNIK PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang

Lebih terperinci

BAB 1 WACANA FONOLOGI SECARA UMUM

BAB 1 WACANA FONOLOGI SECARA UMUM BAB 1 WACANA FONOLOGI SECARA UMUM A. PENGANTAR Fonologi adalah ilmu yang mempelajari bunyi bahasa. Fonologi secara Etimologi berasal dari kata fon, yang artinya bunyi dan logi yang berarti ilmu. Fonologi

Lebih terperinci