BAB II KAJIAN PUSTAKA. Pernyataan ini senada dengan Newmark (1981:7) yang mendefenisikan bahwa

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II KAJIAN PUSTAKA. Pernyataan ini senada dengan Newmark (1981:7) yang mendefenisikan bahwa"

Transkripsi

1 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Konsep Penerjemahan Penerjemahan merupakan proses pengalihan bahasa dalam suatu teks dari bahasa sumber (BSu) ke bahasa sasaran (BSa) yang dilakukan melalui tulisan. Pernyataan ini senada dengan Newmark (1981:7) yang mendefenisikan bahwa penerjemahan adalah suatu upaya mengalihkan pesan yang tertulis dalam bahasa sumber (BSu) ke dalam bahasa Sasaran (BSa) dengan mengutamakan kesepadan makna. Sebuah naskah terjemahan dari BSu ke BSa dapat mencapai kesepadanan makna sangat dipengaruhi oleh kemampuan penerjemah dalam memahami teks sumber (TSu) dan menyampaikan makna yang ada dalam teks sasaran (TSa). Hasil penerjemahan ke TSa sangat ditentukan oleh kemampuan tata bahasa (grammatical skill), keterampilan membaca (reading skill) dan analisa wacana (discourse analysis) yang dimiliki penerjemah. Apabila penerjemah memiliki ketiga kemampuan tersebut maka akan mempengaruhi kualitas terjemahan yang dihasilkan demikian juga sebaliknya apabila penerjemah tidak memiliki ketiga kemampuan tersebut maka akan berpengaruh besar dalam kualitas hasil terjemahan. Secara lebih spesifik, Larson (1984:3) menegaskan bahwa pengalihan tersebut hanya mengubah bentuk bahasa dari BSu ke BSa, sementara makna yang terdapat pada BSu harus dipertahankan. Pernyataan ini menegaskan bahwa dalam penerjemahan, struktur kalimat yang digunakan dalam BSa boleh saja berbeda

2 dengan BSu sepanjang keduanya menyampaikan makna yang sama. Dengan kata lain, seseorang yang membaca suatu teks terjemahan akan sampai kepada pemahaman yang sama ketika membaca teks tersebut baik dalam BSu maupun dalam BSa. Proses pengalihan makna dalam penerjemahan dapat diilustrasikan seperti yang terdapat pada Bagan 1. Bagan 2.1 Proses penerjemahan (Larson, 1984:4) Bagan 2.1 menjelaskan bahwa penerjemahan harus dimulai dari penemuan makna yang terdapat pada BSu. Selanjutnya, makna tersebut diungkapkan kembali dengan menggunakan ungkapan yang berterima dalam BSa. Dengan demikian, ungkapan yang disampaikan dalam BSa inilah yang disebut dengan produk terjemahan. Selanjutnya, pemertahanan makna yang dimaksud dalam penerjemahan dapat disebut juga dengan usaha untuk mempertahankan kesepadanan makna dan fungsi yang terdapat dalam BSu dan BSa (Bell, 1991:19; Munday, 2008:36; Newmark, 1988:28; Venuti 2000:5). Kesepadanan, menurut Venuti (2000:5), dapat dipahami sebagai keakuratan, kecukupan, kebenaran,

3 keterhubungan, dan ketepatan makna yang terdapat dalam BSu dan BSa. Meskipun demikian, dalam penerjemahan tidak ada kesepadanan makna penuh atau utuh yang terdapat dalam BSu dan BSa (Jakobson, 2000:114). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa penerjemahan merupakan proses mencari kesepadanan makna yang terdapat dalam dua bahasa yang berbeda. Berbicara tentang penerjemahan yang melibatkan bahasa tentunya juga tidak terlepas dari unsur budaya; oleh karena itu, pemahaman budaya yang memadai sangat diperlukan dalam penerjemahan. Bahasa dan budaya ibarat dua sisi koin mata uang yang tak terpisahkan: mengganti unsur salah satu sisi koin berarti mengubah nilai mata uang tersebut. Dengan kata lain, menerjemahkan bahasa ke dalam bahasa yang berbeda berarti juga menerjemahkan budaya ke budaya yang berbeda pula. Begitu pentingnya unsur budaya dalam penerjemahan ditegaskan oleh Torop (2002:593) yang menyatakan bahwa penerjemahan tidak dapat terpisahkan dari konsep budaya. Di samping itu, unsur lain yang perlu diperhatikan dalam penerjemahan adalah gaya bahasa. Menurut Nababan (1999:20), gaya bahasa terjemahan merupakan salah satu aspek penting yang butuh pertimbangan pada setiap penerjemahan. Gaya bahasa sangat berpengaruh pada tingkat keterbacaan suatu teks terjemahan sehingga gaya bahasa itu harus disesuaikan dengan ragam bahasa yang terdapat dalam teks BSu. Seorang penerjemah harus dapat menentukan gaya bahasa yang digunakannya dengan mempertimbangkan beberapa hal seperti siapa yang akan mengkonsumsi hasil terjemahannya, bagaimana gaya bahasa yang digunakan dalam teks sumber, dan lain-lain (Duff, 1981:7).

4 Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa penerjemahan merupakan suatu proses pengalihan bahasa yang terdapat dalam teks dari BSu ke BSa dengan mempertahankan kesepadanan makna dalam kedua bahasa tersebut. Dengan demikian, seorang penerjemah harus mampu memilih makna yag sepadan yang dapat mengimbangi bobot makna sebuah kata pada teks sumber ke dalam teks sasaran. Dalam penelitian ini, teori kesepadanan yang diusung oleh Larson (1984) digunakan untuk menganalisis penerjemahan modal, dan secara spesifik, penelitian ini menggunakan kerangka padanan yang diusung oleh Koller (1995). Larson (1984:17) menyatakan bahwa ketika seorang penerjemah ingin menerjemahkan sebuah teks bahasa, maka tujuan utamanya adalah berusaha memadankan makna teks yang terdapat pada BSa ke dalam bentuk yang lebih alami pada BSa. Hal ini menyebabkan penerjemahan memiliki keterkaitan terhadap leksikon, struktur tata bahasa, situasi komunikasi dan konteks budaya teks BSu yang dianalisis guna menemukan makna sepadan. Koller (1995:192) memandang padanan sebagai proses yang dibatasi oleh pengaruh perbedaan bahasa, non-bahasa serta lingkungan/situasi antara BSu dan BSa dan juga peran kondisi sejarah budaya yang menjadi konteks penciptaan teks dan terjemahannya sekaligus kondisi ketika dua teks itu sampai ke pembaca. Relasi-relasi yang sepadan (ekuivalen) bersifat relatif terhadap ikatan ganda,

5 pertama pada teks sumber, dan kedua pada situasi komunikasi bagi pihak penerima. Satuan-satuan teks sumber dilihat dari kerangka-kerangka padanan. Sejalan dengan konsep tersebut, Koller (1995:193) merumuskan kerangka padanan dan menyatakan bahwa padanan terjemahan dapat dicapai melalui salah satu tataran berikut: a. Kata-kata BSu dan BSa memiliki fitur ortografis dan fonologis yang serupa (padanan formal) b. Kata-kata BSu dan BSa mengacu pada entitas atau konsep yang sama (padanan referensial/denotatif) c. Kata-kata BSu dan BSa mengandung asosiasi yang sama atau mirip dalam pikiran para penutur kedua bahasa itu (padanan konotatif). d. Kata-kata BSu dan BSa digunakan dalam konteks yang sama atau serupa pada masing-masing bahasa (padanan tekstual-normatif). e. Kata-kata BSu dan BSa memiliki efek yang sama terhadap masing-masing pembaca dalam kedua bahasa itu (padanan pragmatik/dinamik). 2.2 Pengambilan Keputusan dalam Penerjemahan Penerjemahan berhubungan dengan pengambilan keputusan karena seorang penerjemah harus dapat memutuskan untuk menggunakan diksi tertentu berdasarkan konteks penggunaan penerjemahan. Konteks yang dimaksud di sini

6 dapat dihubungkan dengan siapa yang akan membaca teks terjemahan maupun topik teks yang sedang diterjemahkan. Hal senada disampaikan oleh Levy (2000:148) yang menyatakan bahwa penerjemahan merupakan proses pengambilan keputusan dimana seorang penerjemah harus mampu memilih ungkapan tertentu dari beberapa alternatif. Sementara itu, Pym (2004:27) mengusulkan suatu model yang menerangkan bagaimana bagaimana penerjemah membuat keputusan ketika menerjemahkan. Ide utamanya adalah bahwa pengambilan keputusan merupakan pengambilan risiko; dengan kata lain, penerjemah harus berani mengambil risiko ketika menerjemahkan elemen tekstual yang berbeda. Meskipun memiliki kebebasan yang luas dalam memutuskan ungkapan apa yang akan digunakan, seorang penerjemah tidak boleh mengambil keputusan atas dasar suka-suka, akan tetapi harus berdasarkan pengetahuannya yang meliputi unsur-unsur tata bahasa, linguistik, filosofis, dan lain sebagainya (Levy, 2000:148). Dengan kata lain, seorang penerjemah harus dapat memberikan alasan atas keputusan yang diambilnya dalam terjemahannya. Sehubungan dengan hal ini, Darwish (2008:205) mengatakan bahwa pengambilan keputusan dalam penerjemahan dibatasi oleh beberapa faktor seperti pilihan gaya bahasa yang telah digunakan penulis aslinya dalam teks BSu, tingkatan perbedaan antara BSu dan BSa, tingkatan kepastian tentang konten, konteks, kesengajaan, intertekstualitas (keterkaitan antar teks), dan lain sebagainya.

7 Selanjutnya, Darwish (2008: ) merumuskan lima jenis keputusan yang diambil oleh seorang penerjemah dalam proses penerjemahan: (i) meta-keputusan (meta-decision), (ii) keputusan terencana (programmed decision), (iii) keputusan tak terencana (unprogrammed decision), (iv) keputusan taktis (tactical decision), dan (v) keputusan strategis (strategic decision). Pertama, meta-keputusan adalah keputusan tentang keputusan. Karena penerjemahan itu pada hakikatnya bersifat mengulang sesuatu, maka beberapa keputusan tertentu perlu dipertimbangkan kembali. Meta-keputusan pertama yang biasanya dilakukan oleh seorang penerjemah adalah apakah dia harus menerjemahkan teks dengan segera atau tidak. Kedua, keputusan terencana berhubungan dengan keputusan yang umum dilakukan oleh seorang penerjemah. Ketiga, keputusan tak terencana adalah keputusan yang harus diambil oleh seorang penerjemah ketika terdapat suatu kasus penerjemahan di luar kebiasaan. Keempat, keputusan taktis merupakan keputusan yang diambil di tahap-tahap awal penerjemahan yang bekerja pada level leksikal dan kalimat. Keputusan taktis ini dapat bersifat linear (ketika pola informasi yang terdapat dalam BSu itu sederhana) dan kursif (ketika pola informasi itu kompleks). Kelima, keputusan strategis merupakan keputusan yang di ambil pada tahapan akhir dari penerjemahan yang berkenaan dengan keterwakilan teks BSu dalam teks BSa. Pengambilan keputusan merupakan keahlian yang harus dimiliki oleh setiap penerjemah. Ketidakmampuan dalam mengambil keputusan yang tepat dalam penerjemahan mengindikasikan kegagalan dalam melakukan penerjemahan. Dengan demikian, seorang penerjemah harus cakap dalam menentukan jenis

8 keputusan apa yang harus diambilnya pada keadaan tertentu ketika sedang menerjemahkan. 2.3 Kompetensi Penerjemahan Hasil terjemahan yang berkualitas akan dihasilkan jika dikerjakan oleh penerjemah yang memiliki kompetensi penerjemahan yang baik. Salah satu indikator baik tidaknya kompetensi penerjemahan yang dimiliki seorang penerjemah adalah pengambilan keputusan tentang strategi yang sesuai untuk mengatasi permasalahan yang muncul dalam proses penerjemahan (PACTE, 2009:209). Bell (1991:35) mendefinisikan kompetensi sebagai pengetahuan dan keahlian yang harus dimiliki oleh seorang penerjemah. Sementara itu, Lorshcher (2012:5) menyatakan kompetensi merupakan suatu proses perkembangan keahlian yang tidak ada akhirnya. Hal ini bermakna bahwa kompetensi penerjemahan merupakan suatu pengetahuan dan keahlian dalam penerjemahan yang terus berkembang dari masa ke masa. Neubert (2000:4-5) menyatakan ada tujuh jenis kompetensi dalam penerjemahan: kompleksitas, heterogenitas, prakiraan, berpikiran terbuka, kreatifitas, pemahaman situasi, dan pemahaman sejarah. Kompleksitas berhubungan dengan kemampuan membedakan penerjemahan dari profesi akdemis lainnya. Kompetensi heterogenitas merupakan kemampuan untuk mengkombinasikan beberapa bidang dalam terjemahan. Sehubungan dengan heterogenitas itu, seorang penerjemah juga harus memiliki kecakapan untuk membuat prakiraan dalam suatu terjemahan karena tidak mungkin seorang penerjemah itu mengetahui seluruh bidang yang diterjemahkannya. Selanjutnya,

9 seorang penerjemah harus berpikiran terbuka sehingga selalu mau untuk memperbaharui pengetahuannya. Di samping itu, seorang penerjemah juga harus kreatif yang selalu mempunyai kata-kata untuk menyampaikan sesuatu yang diterjemahkannya. Berikutnya, pemahaman situasi dan sejarah juga memudahkan seorang penerjemah dalam pekerjaannya. Sementara itu, Presas (2000:20) membuat istilah yang dia sebut dengan kompetensi bilingual dan kompetensi penerjemahan. Pernyataan ini bermakna bahwa, di samping memiliki kompetensi dalam penerjemahan, seorang penerjemah harus bilingual, memiliki kompetensi pada dua bahasa yang berbeda. Bilingual tidak hanya mampu menggunakan dua bahasa yang berbeda, akan tetapi juga memiliki pengetahuan tentang tatabahasa kedua bahasa tersebut. Penguasaan terhadap BSu dan BSa (kompetensi kebahasaan) merupakan persyaratan yang harus dipenuhi oleh seseorang agar dia dapat menerjemahkan. Penguasaan yang dimaksud di sini menyangkut penguasaan sistem morfologi, leksikal dan gramatikal kedua bahasa tersebut (Nababan, 2008:12). Masih berkaitan dengan bilingual, Bell (1991:41) mengatakan bahwa kemampuan bilingual dalam menggunakan dua bahasa dengan baik sangat ditentukan oleh kompetensi komunikatif yang dimilikinya, yang mencakup: (i) Kompetensi gramatikal, yaitu pengetahuan kaidah bahasa yang meliputi kosa kata, pembentukan kata, pelafalan dan struktur kalimat. Pengetahuan dan ketrampilan yang seperti ini sangat dibutuhkan dalam memahami dan menghasilkan tuturan; (ii) Kompetensi sosiolinguistik, yaitu pengetahuan dan kemampuan untuk menghasilkan dan memahami tuturan yang sesuai dengan konteks (misalnya, siapa berbicara tentang apa, dimana, kapan); (iii) Kompetensi

10 wacana, yaitu kemampuan untuk menggabungkan bentuk dan makna untuk menghasilkan teks lisan dan tulis yang padu; dan (iv) Kompetensi strategik, yaitu kemampuan dalam menguasai strategi berkomunikasi. Selanjutnya, Nababan (2008:11) menyatakan bahwa menerjemahkan merupakan kegiatan yang kompleks, sulit dan rumit. Agar pengambilan keputusan dapat dilakukan secara efektif, cepat dan tepat dalam setiap proses penerjemahan, penerjemah memerlukan beberapa kompetensi, yang tidak hanya sekadar kompetensi bilingual. Kompetensi merupakan sistem yang mendasari pengetahuan dan keterampilan yang membuat sesorang dapat melakukan hal-hal khusus. Jadi, kompetensi penerjemahan dapat didefinisikan sebagai sistem yang mendasari pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan agar seseorang dapat menerjemahkan (PACTE, 2000:100). Kompetensi yang dipaparkan ini mengimplikasikan bahwa penerjemahan yang dilakukan seorang penerjemah yang tidak memiliki kompetensi seperti tersebut di atas akan menghasilkan terjemahan yang tidak atau kurang berkualitas. Kompetensi terjemahan bersifat mutlak untuk dimiliki setiap penerjemah, sehingga kajian-kajian yang melibatkan produk terjemahan harus mencari tahu siapa orang dibalik produk atau teks terjemahan tersebut. 2.4 Teknik Penerjemahan Karena semakin banyaknya keluhan dari masyarakat yang mengkonsumsi produk terjemahan, maka para penerjemah terus berupaya untuk mengembangkan teknik-teknik mutakhir yang dapat bekerja secara efektif dalam menerjemahkan. Pada dasarnya, keinginan untuk menemukan teknik-teknik tersebut berawal dari

11 pertanyaan-pertanyaan yang timbul setelah mereka melakukan penerjemahan. Bagaimana makna yang terdapat dalam teks BSu terwakili dalam teks BSa?, Metode apa yang tepat untuk menerjemahkan teks ini?, atau Strategi atau teknik apa yang tepat untuk memecahkan masalah penerjemahan pada suatu teks? adalah beberapa pertanyaan yang mungkin timbul dalam rangka upaya menemukan teknik yang tepat dalam penerjemahan. Molina dan Albir (2002:499) memberikan definisi tentang teknik penerjemahan sebagai prosedur untuk menganalisis dan mengelompokkan bagaimana padanan penerjemahan bekerja. Menurut mereka, teknik penerjemahan memiliki lima karakteristik dasar yaitu: (i) berdampak pada hasil terjemahan; (ii) diklasifikasikan oleh perbandingan dengan teks aslinya; (iii) berdampak pada unit mikro dari teks; (iv) bersifat diskursif dan kontekstual; dan (v) bersifat fungsional. Selanjutnya, berdasarkan lima karakteristik teknik penerjemahan tersebut, Molina dan Albir (2002:501) mengklasifikasikan teknik penerjemahan kepada 18 jenis. 1. Adaptasi (Adaptation) Teknik ini mengganti istilah-istilah khas teks BSu dengan istilah lain yang diterima dan dikenal dalam BSa. Sebagai contoh, dalam bahasa Inggris (BSu) kata snow dalam ungkapan as white as snow diterjemahkan menjadi kapas dalam bahasa Indonesia (BSa). 2. Penambahan (Amplification)

12 Teknik ini memperkenalkan/menambahkan detail informasi yang tidak terdapat dalam teks BSu yakni parafrase eksplisit atau eksplisitasi. Sebagai contoh, frasa valentine day dalam BSu diterjemahkan melalui parafrase hari kasih sayang dalam BSa. Demikian juga halnya dengan kalimat Be careful! yang diterjemahkan dengan Hati-hati di jalan ya! 3. Peminjaman (Borrowing) Teknik ini mengambil sebuah kata atau ungkapan secara langsung dari BSu. Peminjaman langsung ini disebut peminjaman murni, sedangkan peminjaman yang menggunakan penyesuaian sistem fonetik dan morfologis BSa adalah peminjaman naturalisasi. Kata blog dalam BSu yang diterjemahkan dengan kata blog dalam BSa merupakan contoh peminjaman murni, sedangkan kata existence yang diterjemahkan dengan kata eksistensi merupakan contoh peminjaman naturalisasi. 4. Kalke (Calque) Teknik penerjemahan ini melibatkan penerjemahan harfiah sebuah kata atau frase BSu secara langsung ke dalam BSa, bisa dalam tataran leksikal atau struktural. Sebagai contoh, kata majemuk Directorate General dalam BSu yang diterjemahkan menjadi Direktorat Jenderal dalam BSa tidak mengubah makna dan letak strukturnya pada BSa. Contoh lainnya adalah kata Assistant Manager dalam BSu yang diterjemahkan menjadi kata Asisten Manejer dalam BSa. 5. Kompensasi (Compensation)

13 Teknik penerjemahan yang memperkenalkan elemen informasi teks BSu atau efek stilistik yang terdapat pada posisi lain dalam teks BSa karena hal tersebut tidak bisa tercermin pada posisi yang sama dalam teks BSu. Sebagai contoh, frasa a pair of scissors diterjemahkan menjadi sebuah gunting dalam BSa. Begitu juga halnya dengan kalimat She stole my heart yang diterjemahkan Dia mencuri hati saya. 6. Deskripsi (Description) Teknik penerjemahan yang diterapkan dengan menggantikan istilah atau ungkapan dengan deskripsi bentuk dan fungsinya. Sebagai contoh, kalimat He ate farinha dalam BSu diterjemahkan Dia memakan farinha, makanan tradisional dari Nigeria yang terbuat dari ubi kayu dalam BSa. Demikian juga halnya dengan kalimat Simon likes panettone yang diterjemahkan Simon menyukai panettone, kue tradisional Italia yang dimakan pada saat Tahun Baru. 7. Kreasi Diskursif (Discursive Creation) Teknik penerjemahan yang digunakan dengan menentukan padanan sementara yang tidak terduga atau di luar konteks. Contohnya, ungkapan The mouse deer dalam BSu diterjemahkan dengan Sang kancil. Demikian juga halnya dengan ungkapan Great Alexandre yang diterjemahkan Aleksander yang Agung. 8. Padanan Lazim (Established Equivalent) Teknik ini menggunakan istilah atau ungkapan yang sudah diakui/lazim (berdasarkan kamus atau penggunaan bahasa sehari-hari). Sebagai contoh,

14 Great Britain diterjemahkan ke dalam BSa menjadi Britania Raya dan You re welcome diterjemahkan dengan ungkapan Sama-sama. 9. Generalisasi (Generalization) Teknik ini menggunakan istilah-istilah yang lebih umum atau netral dalam BSa. Hal tersebut dilakukan karena BSa tidak memiliki padanan yang spesifik. Kata flat dalam bahasa Inggris (BSu) tidak memiliki kesepadanan yang spesifik dalam bahasa Indonesia (BSa) sehingga dapat diterjemahkan dengan kata apartemen. Contoh lainnya adalah 2 pounds yang diterjemahkan dengan 900 gram. 10. Amplipikasi Linguistik (Linguistic Amplification) Teknik penerjemahan yang dilakukan dengan menambah elemen-elemen linguistik. Teknik ini sering digunakan dalam penerjemahan lisan secara konsekutif dan dubbing. Sebagai contoh dapat dilihat pada ungkapan Not at all yang diterjemahkan Tidak, sama sekali tidak, begitu juga halnya dengan ungkapan Speaking dalam menerima telepon yang diterjemahkan Saya sendiri. 11. Kompresi Linguistik (Linguistic Compression) Teknik penerjemahan yang mengumpulkan dan menjadikan satu elemen-elemen linguistik dalam teks. Ungkapan-ungkapan I want you to know yang diterjemahkan Ketahuilah dan Yes, so what? yang diterjemahkan Jadi, kenapa? merupakan contoh penerapan teknik kompresi linguistik. 12. Terjemahan Harfiah (Literal Translation) Teknik terjemahan yang menerjemahkan sebuah kata atau ungkapan kata demi kata. Dalam menggunakan teknik ini, seorang penerjemah tidak mengaitkan terjemahannya dengan konteks. Beberapa contoh penggunaan

15 teknik ini adalah I bought some books yang diterjemahkan dengan Saya membeli beberapa buku dan You are an angel yang diterjemahkan Kamu adalah seorang malaikat. 13. Modulasi (Modulation) Teknik terjemahan ini mengganti sudut pandang, fokus atau kategori kognitif dalam hubungannya dengan teks BSu; bisa dalam tataran leksikal atau struktural. Sebagai contoh, kalimat I left my pen diterjemahkan Pena saya ketinggalan dan No one is smarter than him in this class diterjemahkan Dia yang paling pintar di kelas ini. 14. Partikularisasi (Particularization) Teknik terjemahan ini menggunakan istilah yang lebih kongkret atau khusus. Teknik ini bertolak belakang dengan teknik generalisasi. Frasa air transportation yang diterjemahkan dengan pesawat merupakan bentuk penerapan partikularisasi karena sebenarnya masih ada beberapa kata lain yang termasuk ke dalam kategori ini seperti helikopter dan jet. Begiu juga halnya pada kata jewelry yang diterjemahkan kalung emas. 15. Reduksi (Reduction) Teknik ini menekan/memadatkan fitur informasi teks BSu ke dalam teks BSa. Teknik ini juga dapat disebut sebagai kebalikan dari teknik amplifikasi. Beberapa contoh penerapan teknik ini adalah Jakarta, the capital of Indonesia yang cukup diterjemahkan dengan kata Jakarta dan This house according to some people is full of mistery yang diterjemahkan Rumah ini penuh misteri.

16 16. Subtitusi (Subtitution) Teknik penerjemahan ini menggantikan elemen linguistik ke dalam elemen paralinguistik atau sebaliknya. Elemen paralinguistik shaking head dalam bahasa Inggris diterjemahkan dengan elemen linguistik iya dalam bahasa Indonesia. Selanjutnya, thumb up diterjemahkan bagus. 17. Transposisi (Transposition) Teknik terjemahan ini mengganti kategori gramatikal. Teknik ini juga disebut dengan teknik pergeseran kategori, struktur ataupun unit. Contohnya, frasa His success to win the contest diterjemahkan ke dalam bentuk klausa Dia berhasil menjuarai lomba itu. Contoh lainnya adalah perubahan nomina in doubt pada klausa he is in doubt menjadi adjektiva ragu-ragu. 18. Variasi (Variation) Teknik penerjemahan ini mengubah elemen linguistik atau paralinguistik (intonasi, gesture) yang berdampak pada variasi linguistik seperti perubahan tona secara tekstual, gaya bahasa, dialek sosial dan juga dialek geografis. Teknik ini lazim diterapkan dalam menerjemahkan naskah drama. Sebagai contoh, ungkapan hi chick diterjemahkan hai cewek dan ungkapan Stay away from me! diterjemahkan Jauhi aku! Teknik yang dipaparkan oleh Molina dan Albir (2002: 499) inilah yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu untuk menentukan teknik yang dominan digunakan dalam menerjemahkan teks Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS 1982).

17 2.5 Penilaian Kualitas Terjemahan Tujuan setiap penerjemahan tentunya adalah hasil terjemahan yang berkualitas, akan tetapi pengukuran tentang terjemahan yang mana yang berkualitas dan yang tidak berkualitas masih merupakan isu yang terus menerus menjadi perdebatan para ahli di bidang penerjemahan. Nida (1964: 182) menyatakan bahwa penerjemahan harus menghasilkan tanggapan yang sepadan dalam BSa. Berkenaan dengan kesepadanan, Nida dan Taber (1969: 173) mengusulkan tiga kriteria kualitas terjemahan: ketepatan, kemudahan dalam pemahaman, dan keterlibatan ahli yang berpengalaman dalam penerjemahan. Sementara itu, Larson (1984:529) menyatakan bahwa kualitas penerjemahan dapat dilihat dari tiga aspek: keakuratan (accuracy), kejelasan (clarity), dan kealamiahan (naturalness). Keakuratan bermakna bahwa teks terjemahan pada BSa harus mewakili makna keseluruhan yang terdapat pada BSu tidak bertambah dan tidak berkurang. Selanjutnya, kejelasan berhubungan dengan keterbacaan teks terjemahan oleh pembacanya sehingga teks tersebut dapat dipahami dengan mudah. Berikutnya, kealamiahan berhubungan dengan struktur tata bahasa pada BSa. Terkadang suatu teks terjemahan mengandung struktur kalimat yang asing digunakan dalam BSa meskipun memiliki akurasi dan kejelasan yang baik. Kealamiahan ini bertujuan agar pembaca dapat membaca teks terjemahan seperti membaca teks pada bahasa mereka sendiri. Selanjutnya, Larson (1984: ) mengusulkan lima cara untuk mengukur kualitas penerjemahan, yaitu: (1) membandingkan teks sumber (TSu)

18 dengan teks sasaran (TSa); (2) menerjemahkan kembali TSa ke TSu; (3) mengecek pemahaman; (4) menguji kealamiahan dan keterbacaan TSa; dan (5) mengecek konsistensi. Pertama, membandingkan TSu dan TSa untuk mengukur apakah makna yang terdapat dalam TSu telah terwakili dalam TSa. Kedua, meminta orang lain menerjemahkan kembali TSa ke TSu tanpa melihat TSu, selanjutnya, hasil terjemahan tersebut dibandingkan dengan TSu yang sebenarnya. Ketiga, meminta orang lain untuk membaca TSa tanpa memperlihatkan kepadanya TSu untuk mengecek pemahamannya terhadap TSa tersebut. Keempat, menguji kealamiahan dapat dilakukan oleh orang yang memiliki kompetensi BSa yang baik, biasanya orang tersebut disebut dengan pereview. Kompetensi inilah yang dapat mengukur apakah tata bahasa yang digunakan dalam TSa sudah sesuai dengan tata bahasa pada BSa. Kelima, menguji konsistensi dapat melibatkan konsistensi penggunaan kata, istilah, nama, dan lain sebagainya. Secara khusus, penelitian ini menggunakan tiga instrumen penilaian kualitas penerjemahan (Larson, 1984; Machali, 2000; Nagao dkk., 1988): (i) instrumen pengukur keakuratan (accuracy rating instrument), (ii) instrumen pengukur keberterimaan (acceptability rating instrument), dan (iii) instrumen pengukur keterbacaan (readability rating instrument). Selanjutnya, ketiga instrumen tersebut dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan penelitian ini berdasarkan model yang digunakan oleh Machali (2000), Nababan (2004), Silalahi (2009), dan Anshori (2010).

19 2.5.1 Instrumen Pengukur Keakuratan (Accuracy Rating Instrument) Instrumen yang digunakan untuk mengukur tingkat akurasi pada penelitian ini mengacu pada instrumen pengukur keakuratan yang diadapatasi dari Larson (1984), Nagao dkk. (1988), dan Nababan (2004) berdasarkan skala 1 sampai 4 dengan penjelasan sebagai berikut: 1. Pesan dalam kalimat BSu tersampaikan secara akurat ke dalam BSa. Kalimat BSa jelas dan tidak perlu ditulis ulang atau drevisi. 2. Pesan dalam kalimat BSu tersampaikan secara akurat ke dalam BSa. Kalimat BSa dapat dipahami, namun susunan kata perlu ditulis ulang revisi. 3. Pesan dalam kalimat BSu belum tersampaikan secara akurat ke dalam BSa. Terdapat beberapa masalah dengan pilihan kata dan hubungan antar frasa, klausa dan unsur kalimat. 4. Pesan dalam kalimat BSu tidak diterjemahkan sama sekali ke dalam BSa, misalnya, dihilangkan. Lebih lanjut, dalam penelitian ini kriteria penilaian untuk mengukur keakuratan teks BSa telah dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan penelitian ini. Penilaian keakuratan menggunakan skala 1 sampai 3 dengan kriteria seperti yang terdapat pada Lampiran Instrumen Pengukur Keberterimaan (Acceptability Rating Instrument) Merujuk kepada Machali (2000), maka kriteria pengukur keberterimaan teks BSa adalah sebagai berikut:

20 1. Terjemahan hampir sempurna dengan indikator; penyampaian wajar, hampir tidak terasa seperti terjemahan, tidak ada kesalahan ejaan, tidak ada kesalahan/penyimpangan tata bahasa dan tak ada kekeliruan penggunaan istilah, 2. Terjemahan sangat bagus dengan indikator; tidak ada distorsi makna, tidak ada terjemahan harfiah yang kaku, tidak ada kekeliruan penggunaan istilah, ada satu dua kesalahan tata bahasa/ejaan 3. Terjemahan baik dengan indikator; tidak ada distorsi makna, ada terjemahan harfiah yang kaku, tetapi relatif tidak lebih dari 15% dari keseluruhan teks sehingga tidak terlalu terasa seperti terjemahan, kesalahan tata bahasa dan idiom relatif tidak lebih dari 15% dari keseluruhan teks, ada satu dua penggunaan istilah yang tidak baku umum, ada satu dua kesalahan tata bahasa/ejaan 4. Terjemahan cukup dengan indikator; terasa sebagai terjemahan, ada beberapa terjemahan harfiah yang kaku, tetapi relatif tidak lebih dari 25%, ada beberapa kesalahan idiom dan/tata bahasa, tetapi relatif tidak lebih dari 25% dari keseluruhan teks, ada satu dua penggunaan istilah yang tidak baku umum dan/atau kurang jelas. 5. Terjemahan buruk dengan kategori; sangat terasa sebagai terjemahan, terlalu banyak terjemahan harfiah yang kaku (relatif lebih dari 25% dari keseluruhan teks), terjadi distorsi makna dan kekeliruan penggunaan istilah lebih dari 25% dari keseluruhan teks.

21 Mengusung kriteria yang diusulkan oleh Machali (2000), kriteria penilaian untuk mengukur keberterimaan teks BSa telah dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan penelitian ini. Penilaian keakuratan menggunakan skala 1 sampai 3 dengan kriteria seperti yang terdapat pada Lampiran Instrumen Pengukur Keterbacaan (Readibility Rating Instrument) Pengukur keterbacaan berhubungan dengan sulit atau mudahnya teks BSa dibaca oleh seseorang. Pada penelitian ini, penulis menambahkan satu kategori lagi yang berada di antara keduanya, yaitu sedang Dalam hal ini, lima cara pengukur kualitas yang diusung oleh Larson (1984) akan digunakan, yang salah satunya adalah dengan meminta orang lain untuk membaca teks BSa tanpa memperlihatkan teks BSu. Instrumen penilaian keterbacaan juga dimodifikasi dengan membuat skala nilai 1-3 yang disertai indikator untuk masing-masing skala penilaian (Lihat Lampiran 3). 2.6 Pengertian Modal dan Modalitas Makna yang terdapat pada suatu kalimat dapat berupa positif dan negatif; akan tetapi, makna kalimat juga dapat berada di tengah-tengah antara positif dan negatif. Dengan kata lain, makna suatu kalimat tidak sepenuhnya positif, dan tidak sepenuhnya negatif. Makna inilah yang disebut dengan makna modalitas dalam kalimat. Dengan demikian, makna yang terkandung di dalam modalitas mengungkapkan sikap si penulis/pembicara terhadap hal yang dinyatakannya, dan alat yang digunakan untuk menyatakan sikap tersebut disebut dengan modal.

22 Menurut Lyons (1977:747), modal merupakan alat yang digunakan oleh seseorang dalam menggambarkan sikapnya yang dihubungkan dengan isi ungkapannya dengan apa yang disampaikannya. Sementara itu, Chaer (1994:262) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan modalitas adalah keterangan dalam kalimat yang menyatakan sikap pengguna bahasa terhadap hal yang disampaikan, yaitu mengenai perbuatan, keadaan, peristiwa, atau sikap terhadap lawan bicaranya. Sikap ini dapat berupa pernyataan kemungkinan, keinginan, atau keizinan. Dalam bahasa Indonesia, modalitas dinyatakan secara leksikal, yaitu berupa sebuah modal. Selanjutnya, Hasanuddin (2009:772) menjelaskan tiga pengertian modalitas, yaitu: (1) klasifikasi proposisi menurut hal menyuguhkan atau mengingkari kemungkinan atau keharusan; (2) cara pembicara menyatakan sikap terhadap situasi dalam suatu komunikasi antarpribadi; dan (3) makna kemungkinan, keharusan, kenyataan, yang dinyatakan dalam kalimat; dalam bahasa Indonesia modalitas dinyatakan dengan kata-kata seperti barangkali, harus, akan atau dengan adverbial kalimat seperti pada hakikatnya, menurut hemat saya, dan sebagainya. Ada beberapa pandangan mengenai kemiripan pengertian antara modalitas dan modus (mood). Meskipun memiliki kesamaan, akan tetapi pada dasarnya modalitas dan modus itu berbeda khususnya secara struktural dan semantis. Menurut Lyons (1977:748), modus merupakan penggambaran sikap pembicara secara gramatikal yang biasanya terlihat pada pemakaian verba khusus dengan proses morfologis yang terkait pada fleksi. Sedangkan modalitas menggambarkan

23 sikap pembicara yang dihubungkan dengan isi ungkapannya dengan apa yang disampaikannya. Selanjutnya, Alwi (1990) menjelaskan bahwa modus merupakan kategori gramatikal sedangkan modalitas termasuk ke dalam kategori semantis. Selanjutnya dengan mengutip pandangan Blomfield (1933), dia menjelaskan bahwa kategori semantis itu merupakan salah satu fenomena kesemestaan bahasa (language universal). Pandangan ini memberi petunjuk bahwa setiap bahasa memiliki unsur yang dapat digunakan untuk menggambarkan sikap pembicara dalam tuturannya tanpa selalu berbentuk modus (Abdurrahman, 2011:4). Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa modalitas merupakan ungkapan yang digunakan untuk menyatakan sikap seseorang yang menggunakannya. Alat leksikal yang digunakan dalam modalitas disebut dengan modal kata kerja bantu yang memberikan makna modalitas pada kalimat yang dimasukinya. Pembahasn selanjutnya berkenaan dengan jenis-jenis modal atau klasifikasi modal. 2.7 Klasifikasi Modal Modal diklasifikasikan berdasarkan makna modalitas yang dibawanya, dan makna ini sangat bergantung kepada konteks di mana modal tersebut digunakan. Dengan kata lain, modal yang sama dapat membawa makna modalitas yang berbeda ketika terletak dalam konteks yang berbeda. Coates dan Leech (1980:25) mengilustrasikan makna modalitas yang dibawa oleh modal can seperti yang terdapat pada (a) dan (b) berikut ini.

24 (a) We can t expect him to leave his customers. Kita tidak dapat mengharapkannya untuk meninggalkan pelanggannya. (b) You can t leave the office before 12. Kamu tidak boleh meninggalkan kantor sebelum jam 12. Kedua kalimat yang terdapat dalam (a) dan (b) sama-sama menggunakan modal yang sama, yaitu can t. Akan tetapi, makna modalitas yang dibawa oleh kedua modal tersebut berbeda; kalimat yang terdapat pada (a) menyatakan makna modalitas kemampuan, sedangkan kalimat yang terdapat pada (b) menyatakan makna kebolehan atau izin. Berkaitan dengan makna modalitas yang dibawa oleh modal, Warnsby (2006:10-21) membagi modalitas kepada dua kelompok yang luas: modalitas epistemik dan modalitas non-epistemik. Selanjutnya, epistemik itu sendiri dibagi lagi menjadi tiga jenis, yaitu modalitas deontik, modalitas dinamik, dan modalitas eksistensial. Dengan demikian, secara umum, modalitas dapat diklasifikasikan ke dalam empat jenis: epistemik, deontik, dinamik, dan eksistensial (Alwi, 1992; Brewer, 1987; Downing and Locke, 1992; Lyons, 1977; Warnsby, 2006). Modalitas epistemik berhubungan dengan istilah pengetahuan. Perkins (1983:6) menyatakan bahwa istilah epistemik diartikan sebagai kekurangtahuan (lack of knowledge), sedangkan Coates (1983:131) mengartikannya sebagai kekurangyakinan (lack of confidence). Selanjutnya, modalitas epistemik mencakup dua makna: kemungkinan dan keperluan (Coates dan Leech, 1980:24) yang dikembangkan menjadi empat jenis kemungkinan, keteramalan, keperluan, dan kepastian oleh Alwi (1992:191).

25 Makna yang terkandung di dalam kemungkinan, keteramalan, keperluan, dan kepastian ini secara berturut-turut menggambarkan gradasi keepistemikan sikap pembicara terhadap kebenaran proposisi. Contoh kalimat-kalimat di bawah ini menggambarkan gradasi keepistemikan modalitas. (a) Dia pasti tidak datang pada acara pernikahanmu. (Kepastian) (b) Dia tidak perlu datang pada acara pernikahanmu. (Keperluan) (c) Rasanya dia tidak datang pada acara pernikahanmu karena kesibukannya. (Keteramalan) (d) Dia mungkin tidak datang pada acara pernikahanmu. (Kemungkinan) Proposisi yang terdapat pada kalimat (a) adalah bahwa kedatangannya merupakan suatu hal yang dipastikan tidak akan terjadi. Selanjutnya pada kalimat (b), kedatangannya diharapkan tidak terjadi, akan tetapi masih memungkinkan untuk terjadi. Berikutnya pada kalimat (c), kedatangannya diramalkan tidak akan terjadi, akan tetapi masih memungkinkan untuk terjadi. Sementara itu, pada kalimat (d), kedatangannya mungkin terjadi, akan tetapi tingkatan kemungkinan itu rendah. Selain kata-kata yang terdapat pada (d), modalitas epistemik kemungkinan dapat dipaparkan melalui kata dan frasa lainnya. Yang berupa kata ialah dapat, bisa, boleh, bisa-bisa, mungkin dan barangkali, sedangkan yang berupa frasa ialah dapat saja, bisa saja, boleh saja, bisa jadi, dan boleh jadi. Pengungkap modalitas untuk modalitas epistemik keteramalan yang berbentuk kata ialah akan, agaknya, rupanya, tampaknya, dan rasanya, dan yang berbentuk frasa proposisi ialah menurut/pada hemat/pendapat saya, kemudian yang berupa klausa ialah kalau saya tidak salah/keliru atau saya kira/rasa/pikir/duga.

26 Sementara itu, kata harus, mesti, wajib, perlu, patut, seharusnya, semestinya, sebaiknya, selayaknya, sepantasnya dan seyogianya serta frasa mau tak mau dibahas sebagai pengungkap modalitas keharusan. Paparan makna kepastian yang dipaparkan dengan bentuk kata ialah pasti, tentu, niscaya, tentunya, sementara yang berbentuk frasa ialah tentu saja, sudah barang tentu, dan tak salah/pelak lagi, serta yang berbentuk klausa ialah saya yakin/percaya atau saya (merasa) pasti (Alwi, 1992:92). Selanjutnya, modalitas deontik berhubungan dengan izin dan keharusan (Coates dan Leech, 1980:23) yang selanjutnya dikembangkan oleh Alwi (1992:20) menjadi izin, perintah, dan larangan. Coates dan Leech (1980:24) mengilustrasikan keterhubungan makna antara modalitas epistemik dan modalitas deontik seperti yang terdapat pada Bagan 2.2 berikut ini. CAN MAY izin Deontik kemungkinan Epistemik kemungkinan MAY MUST HAVE TO keharusan keperluan keperluan MUST (HAVE TO) Bagan 2.2 Makna modalitas deontik dan epistemik (Coates dan Leech, 1980:24) Berikut ini merupakan contoh kalimat yang menggunakan modal may yang berfungsi menyatakan makna modalitas epistemik kemungkinan (Coates dan Leech, 1980:27). I may not get back there today it depends on the work here.

27 Modal may pada contoh di atas menyatakan makna bahwa subjek mungkin saja tidak melakukan aksinya karena ada suatu kondisi yang tidak memungkinkan dia untuk melakukannya. Pada konteks ini, modal may tidak dapat digantikan dengan modal can meskipun can dapat digunakan untuk menyatakan kemungkinan. Akan tetapi, dengan menghilangkan klausa it depends on the work here, maka modal may dapat digantikan dengan modal can seperti pada contoh kalimat berikut ini. I cannot get back there today. Meskipun demikian, penggantian may dengan can pada konteks kalimat ini mengakibatkan pergeseran makna modalitas yang terdapat di dalamnya. Kalimat di atas tidak lagi menyatakan makna modalitas epistemik kemungkinan, melainkan modalitas dinamik kemampuan. Sementara itu, dalam bahasa Indonesia, modalitas deontik izin dapat diungkapkan melalui kata boleh, dapat, bisa, perkenankan, memperkenankan, diperkenankan, izinkan, mengizinkan, diizinkan, perbolehkan, memperbolehkan, dan diperbolehkan. Sementara untuk pengungkap modalitas deontik perintah dapat dipaparkan melalui kata wajib, mesti, harus, haruskan, mengharuskan, diharuskan, perintahkan, memerintahkan, diperintahkan, larang, melarang, dilarang, tidak boleh, dan jangan (Alwi, 1992:251). Kalimat-kalimat di bawah ini merupakan contoh penggunaan modalitas deontik. (a) Para hadirin diperkenankan duduk kembali. (Izin) (b) Anak itu mesti meninggalkan ruangan ini secepatnya. (Keharusan) (c) Dia tidak wajib mengatakan fakta yang sebenarnya. (Larangan)

28 Proposisi yang terdapat pada kalimat (a) adalah bahwa duduk kembali merupakan suatu hal yang diperbolehkan kepada para hadirin untuk melakukannya; dengan kata lain, para hadirin diberi izin untuk duduk. Selanjutnya pada kalimat (b), meninggalkan ruangan ini secepatnya merupakan aksi yang wajib dilakukan anak itu ; dengan kata lain, jika aksi tersebut tidak dilakukan anak itu, maka akan mendapat suatu konsekuensi yang diberikan oleh si pembicara. Berikutnya proposisi pada kalimat (c) memiliki makna yang bertolak belakang dengan proposisi pada kalimat (b), di mana mengatakan fakta yang sebenarnya merupakan larangan yang tidak boleh dilakukan oleh Dia. Berikutnya, Alwi (1992:233) menyatakan bahwa modalitas dinamik sama dengan modalitas deontik yang mempersoalkan sikap pembicara terhadap aktualisasi peristiwa. Modalitas dinamik ini mencakup modalitas kemampuan yang diungkapkan melalui dapat, sanggup, bisa, dan mampu. Pandangan pembicara dalam modalitas dinamik terhadap peristiwa bersifat objektif karena keberlangsungan peristiwa tidak bergantung pada pembicara, tetapi pada subjek yang berperan sebagai pelaku dalam hal ini terlihat pada makna kemampuan (ability) seperti yang disebutkan di atas. Kalimat-kalimat di bawah ini merupakan contoh penggunaan modalitas dinamik. (a) Anak itu dapat menjawab soal ujian dengan benar. (b) Anak itu sanggup memikul satu karung beras. (c) Anak itu bisa berjalan dengan satu kaki. Proposisi yang terdapat pada kalimat (a) (c) adalah kemampuan Anak itu dalam melakukan beberapa aksi: menjawab soal ujian dengan benar yang

29 ditandai dengan penggunaan modalitas dapat seperti yang terdapat pada (a), memikul satu karung beras yang ditandai dengan penggunaan modalitas sanggup pada (b), dan berjalan dengan satu kaki yang ditandai dengan penggunaan modalitas bisa pada (c). Klasifikasi terakhir dari modalitas, yaitu eksistensial atau intensional, mencakup keinginan, harapan, ajakan, pembiaran dan permintaan. Faktor keterlibatan pembicara dalam keberlangsungan atau aktualisasi peristiwa merupakan tolak ukur yang membedakan keinginan dari harapan. Sementara itu, ajakan dan pembiaran dibedakan dari permintaan berdasarkan siapa di antara pembicara dan teman pembicara yang akan menjadi pelaku aktualisasi peristiwa (Alwi, 1992:52-52). Penggunaan modalitas intensional dapat dilihat pada kalimat-kalimat di bawah ini. (a) Saya ingin segera menyelesaikan tugas saya. (b) Saya berharap segera menyelesaikan tugas saya. (c) Ayo kita berlari sekencang-kencangnya. (d) Biarkan dia berlari sekencang-kencangnya. Proposisi pada kalimat (a) dan (b) dibedakan berdasarkan atas keinginan dan harapan. Keinginan sebenarnya juga mengandung makna harapan, akan tetapi, keinginan merupakan perwujudan harapan yang diikuti oleh aksi-aksi yang menunjang untuk mencapai keinginan tersebut. Sementara harapan juga mengandung makna keinginan, tapi perwujudannya tidak dilakukan dengan

30 menunjukkan aksi-aksi yang relevan untuk mencapainya. Sementara proposisi pada kalimat (c) dan (d) adalah ajakan dan pembiaran atas permintaan si pembicara. Lebih jauh lagi, menurut Alwi (1992:54), keinginan terbagi atas dua gradasi yakni keinginan yang kuat dan keinginan yang lemah. Keinginan yang kuat berkadar keinginan, sementara keinginan yang lemah berkadar kemauan, maksud dan keakanan. Pengungkap modalitas menyatakan maksud karena pemfokusan terletak pada kalimat. Akan tetapi, pengungkap modalitas menyatakan kadar kemauan karena pemfokusan terletak pada pengungkap modalitas. Pengungkap modalitas mengandung kadar keakanan karena menyiratkan adanya unsur ramalan. Dalam bahasa Inggris, gradasi ini dapat dilihat pada penggunaan modalitas be going to dan will seperti yang terdapat pada kalimat-kalimat di bawah ini. (a) I am going to take an English course. Saya ingin mengikuti kursus Bahasa Inggris. (b) I will take an English course. Saya akan mengikuti kursus Bahasa Inggris. Proposisi yang terdapat pada kalimat (a) adalah keinginan yang kuat dari si pembicara untuk mengikuti kursus bahasa Inggris. Dengan kata lain, si pembicara sudah berniat ataupun bermaksud untuk melakukan hal tersebut. Sementara pada kalimat (b), si pembicara mengungkapkan keinginan yang lemah untuk mengikuti kursus bahasa Inggris. Dengan kata lain si pembicara hanya menyampaikan keakanannya untuk melakukan hal tersebut, dan berkemungkinan tidak melakukannya.

31 2.8 Sejarah UNCLOS 1982 United Nations Convention on the Law of the Sea atau yang dikenal dengan UNCLOS, merupakan perjanjian hukum laut yang dihasilkan dari konferensi PBB yang berlangsung dari tahun 1973 sampai dengan tahun UNCLOS sendiri sebelumnya sudah dilaksanakan sejak tahun 1958 yang kemudian dirasa perlu adanya penyempurnaan hingga akhirnya dilaksanakanlah UNCLOS 1982 yang sudah diakui oleh lebih dari 150 negara termasuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. Setahun sebelum diadakan UNCLOS untuk pertama kalinya, sebenarnya Indonesia sudah mulai memperjuangkan hukum laut demi memperkokoh Kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui Deklarasi Djuanda pada tanggal 13 Desember Isi dari Deklarasi Djuanda tersebut antara lain yaitu ditegaskan bahwa demi keutuhan territorial dan melindungi kekayaan Negara Indonesia, semua kepulauan serta laut yang terletak di antaranya harus dianggap sebagai kesatuan yang bulat. Selain itu, dalam deklarasi ini juga disebutkan bahwa penentuan batas territorial yang lebarnya 12 mil, diukur dengan garis-garis yang menghubungkan titik-titik ujung terluar pada pulau-pulau Negara Indonesia. Demikian isi dari Deklarasi Djuanda yang kemudian disisipkan dalam rangka menghadiri UNCLOS pertama yang diadakan di Jenewa pada tahun Namun karena banyaknya kepentingan dari negara-negara peserta UNCLOS, konferensi tersebut akhirnya gagal menentukan lebar laut territorial dan konsepsi Negara kepulauan yang diajukan Indonesia. Kemudian dilanjutkan dengan UNCLOS kedua yang sama-sama mengalami kegagalan dalam penetapan lebar laut territorial dan Negara kepulauan.

32 Namun seiring berjalannya waktu kesadaran masyarakat dunia akan pentingnya mengatur batas-batas perairan, akhirnya pada UNCLOS ketiga yang berlangsung pada tahun 1973 sampai dengan 1982, ditetapkan beberapa kesepakatan diantaranya yaitu ditetapkannya Indonesia sebagai Negara Kepulauan, selain itu dinyatakan bahwa Negara pantai seperti Indonesia berhak atas Laut Teritorial sejauh 12 mil laut, Zona Tambahan sejauh 24 mil laut, Zona Ekonomi Ekslusif sejauh 200 mil laut dan landas kontinen sejauh 350 mil atau lebih yang lebar masing-masing zona tersebut diukur dari referensi yang disebut garis pangkal. Laut territorial sendiri yaitu suatu kedaulatan yang diberikan kepada Negara pantai termasuk ruang udara, dasar laut dan tanah dibawahnya. Sedangkan yang dimaksud Zona Tambahan yaitu zona yang lebarnya tidak melebihi 24 mil yang diukur dari garis pangkal dimana lebar laut territorial diukur. Selain itu yang dimaksud dengan Zona Ekonomi Ekslusif yaitu zona yang luasnya 200 mil dari garis pantai, dimana dalam zona tersebut sebuah negara pantai mempunyai hak atas kekayaan alam di dalamnya, berhak menggunakan kebijakan hukumnya, kebebasan bernavigasi, terbang di atasnya, ataupun melakukan penanaman kabel atau pipa Manfaat UNCLOS 1982 Bagi Bangsa Indonesia Salah satu manfaat yang nyata dari penerapan UNCLOS 1982 ini bagi bangsa Indonesia adalah dirumuskannya United Nations Implementing Agreement (UNIA) pada tahun 1995 (Penjelasan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2009). UNIA merupakan persetujuan multilateral yang mengikat para pihak dalam masalah konservasi dan pengelolaan jenis ikan yang beruaya

33 terbatas dan jenis ikan yang beruaya jauh, sebagai pelaksanaan Pasal 63 dan Pasal 64 UNCLOS 1982 (Penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2009). Yang dimaksud dengan beruaya di sini adalah perpindahan atau migrasi yang dilakukan ikan untuk keperluan berkembangbiak (KBBI, 2002). Sebagian ikan ada yang bermigrasi ke laut yang dekat dengan tempat asalnya (beruaya terbatas), dan ada yang bermigrasi jauh bahkan sampai ribuan kilometer (beruaya jauh) dari tempat asalnya. Adapun manfaat pengesahan UNIA 1995 bagi Indonesia adalah: (1) memantapkan kebijakan Pemerintah Indonesia dalam memberantas penangkapan ikan secara melanggar hukum di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia oleh kapal perikanan asing dan membuka kesempatan bagi kapal Indonesia untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan di Laut Lepas; (2) mendapatkan data dan informasi perikanan yang akurat secara mudah dan tepat waktu melalui mekanisme pertukaran data dan informasi di antara negara pihak; (3) mendapatkan alokasi sumber daya ikan untuk jenis ikan yang beruaya terbatas dan jenis ikan yang beruaya jauh melalui penetapan kuota internasional; (4) mendapatkan hak akses dan kesempatan untuk turut memanfaatkan potensi perikanan di Laut Lepas; (5) memperoleh perlakuan khusus sebagai negara berkembang, antara lain untuk mendapatkan bantuan keuangan, bantuan teknis, bantuan alih teknologi, bantuan penelitian ilmiah, bantuan pengawasan, dan bantuan penegakan hukum; (6) memperoleh bantuan dana untuk penerapan Persetujuan ini, termasuk bantuan dana untuk penyelesaian sengketa yang mungkin terjadi antara negara yang bersangkutan dan negara pihak lain;

34 (7) memperkuat posisi Indonesia dalam forum organisasi perikanan internasional; (8). mempertegas hak berdaulat Indonesia berkaitan dengan pengelolaan sumber daya ikan di ZEE Indonesia; dan (9) memperkuat penerapan persetujuan regional di bidang pengelolaan sumber daya ikan. 2.9 Penelitian Terdahulu yang Relevan Kajian atau penelitian yang melibatkan teknik penerjemahan dan penerjemahan modalitas telah dilakukan oleh para ahli di bidang penerjemahan. Silalahi (2009) melakukan penelitian tentang dampak teknik, metode, dan ideologi penerjemahan pada kualitas terjemahan teks medical-surgical nursing dalam bahasa Indonesia. Berkaitan dengan teknik penerjemahan, hasil temuannya mengungkapkan bahwa dalam menerjemahkan teks medical-surgical nursing, delapan teknik penerjemahan diterapkan yaitu teknik harfiah (literal), peminjaman murni, peminjaman alamiah, calque, transposisi, modulasi, penghilangan, dan penambahan. Selanjutnya, metode penerjemahan yang dipilih penerjemah dalam menerjemahkan teks medical-surgical nursing ini adalah metode penerjemahan literal, setia, dan semantik. Di samping itu, dia jua menemukan bahwa penggunaan teknik penerjemahan dan pemilihan metode penerjemahan lebih dilandasi oleh ideologi foreignisasi dalam menerjemahkan teks medical-surgical nursing. Berkaitan dengan kualitas terjemahan, dari aspek keakuratan, hasil temuannya mengungkapkan bahwa 64,75% isi teks medical-surgical nursing diterjemahkan secara akurat, 26,05% kurang akurat, dan 9,20% tidak akurat. Dari aspek keberterimaan, 75,86% berterima, 17,44% kurang berterima dan

35 6,70% tidak berterima. Sementara itu, dari aspek keterbacaan, 96,29% isi teks mempunyai tingkat keterbacaan tinggi dan 3,71% mempunyai tingkat keterbacaan sedang. Di samping itu, penelitian ini mengadopsi teori menganalisis teknik penerjemahan dan juga parameter penilaian kulitas terjemahan baik dari segi keakuratan, keberterimaan, dan keterbacaan. Al Mukhaini (2008) melakukan penelitian tentang penterjemahan ungkapan-ungkapan modal yang terdapat dalam teks undang-undang dari bahasa Inggris ke bahasa Arab dan sebaliknya. Hasil temuannya mengungkapkan bahwa kedua bahasa itu menjelaskan ungkapan-ungkapan modal dalam bentuk yang berlainan, meskipun demikian, kedua bahasa tersebut dapat juga menjelaskannya melalui sintaksis dan semantik. Penelitian yang dilakukan oleh Al Mukhaini memiliki kemiripan dalam objek penelitian yaitu modalitas dan sumber data yaitu undang-undang akan tetapi, penelitian ini mangambil data dari Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut. Perbedaannya adalah bahwa penelitian yang dilakukan oleh Al Mukhaini memfokuskan analisis pada level sintaksis dan semantis, sementara penelitian ini memfokuskan pada analisis kesepadanan makna dan kualitas terjemahan. Selanjutnya, Susanti (2010) melakukan penelitian tentang penerjemahan unsur modalitas yang terdapat dalam film Memoirs of a Geisha. Dia menemukan 14 tipe modalitas yang terdiri atas 9 tipe simple modal dan 4 tipe periphrastic modal. Tidak setiap unsur modal yang terjadi diartikan secara leksikal oleh penerjemah dan ada pula yang tidak diterjemahkan sama sekali. Meskipun demikian, penonton tetap dapat memahami maksud para tokoh dengan mengikuti alur dialog dan visualisasi adegan pada film tersebut, sehingga fungsi modalitas

TEKNIK PENERJEMAHAN BSu BSa

TEKNIK PENERJEMAHAN BSu BSa TEKNIK PENERJEMAHAN Teknik penerjemahan ialah cara yang digunakan untuk mengalihkan pesan dari ke, diterapkan pada tataran kata, frasa, klausa maupun kalimat. Menurut Molina dan Albir (2002), teknik penerjemahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). PBB sebagai suatu organisasi yang

BAB I PENDAHULUAN. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). PBB sebagai suatu organisasi yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bangsa Indonesia merupakan salah satu bangsa yang merupakan bagian dari komunitas dunia. Salah satu organisasi komunitas dunia tersebut adalah Perserikatan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. A. Bahasa Mandarin

BAB II LANDASAN TEORI. A. Bahasa Mandarin BAB II LANDASAN TEORI A. Bahasa Mandarin 1. Definisi Bahasa Mandarin Bahasa mandarin merupakan salah satu bahasa yang paling sering bei digunakan di dunia ini. Dalam pengertian luas, Mandarin berarti 北

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Konsep Verba Aksi Verba aksi adalah kata kerja yang menyatakan perbuatan atau tindakan, atau yang menyatakan perbuatan, tindakan, gerak, keadaan dan terjadinya sesuatu (Keraf,

Lebih terperinci

Septianingrum Kartika Nugraha Universitas Sebelas Maret Surakarta

Septianingrum Kartika Nugraha Universitas Sebelas Maret Surakarta KAJIAN TERJEMAHAN KALIMAT YANG MEREPRESENTASIKAN TUTURAN PELANGGARAN MAKSIM PADA SUBTITLE FILM THE QUEEN (KAJIAN TERJEMAHAN DENGAN PENDEKATAN PRAGMATIK) Septianingrum Kartika Nugraha Universitas Sebelas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang dirasakannya melalui hasil karya tulisnya kepada para pembacanya. Banyak

BAB I PENDAHULUAN. yang dirasakannya melalui hasil karya tulisnya kepada para pembacanya. Banyak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Komik merupakan salah satu karya sastra. Dengan membaca karya sastra termasuk melakukan proses komunikasi antara pengarang dengan pembaca. Pengarang komik ingin menyampaikan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. sistem modalitas Bahasa Inggris. Modalitas merupakan sistem semantis di mana

BAB V PENUTUP. sistem modalitas Bahasa Inggris. Modalitas merupakan sistem semantis di mana BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Kata kerja bantu modal atau modal memiliki fungsi sebagai pengungkap sistem modalitas Bahasa Inggris. Modalitas merupakan sistem semantis di mana pembicara menyatakan sikapnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penerjemahan bisa mencakup beberapa pengertian. Ahli linguistik telah

BAB I PENDAHULUAN. Penerjemahan bisa mencakup beberapa pengertian. Ahli linguistik telah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Penerjemahan bisa mencakup beberapa pengertian. Ahli linguistik telah memberi banyak definisi tentang penerjemahan, diantaranya: (1) bidang ilmu secara umum,

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

BAB V SIMPULAN DAN SARAN 109 BAB V SIMPULAN DAN SARAN Bab ini akan dipaparkan tentang simpulan dan saran yang didapat setelah melakukan analisis data berupa majas ironi dan sarkasme dalam novel The Return of Sherlock Holmes dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pesan yang disampaikan dapat melalui karya sastra.

BAB I PENDAHULUAN. Pesan yang disampaikan dapat melalui karya sastra. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Bahasa memiliki peranan penting dalam hal berkomunikasi. Fungsi penting dari bahasa adalah menyampaikan pesan dengan baik secara verbal atau tulisan. Pesan yang disampaikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kridalaksana (1983: 107) menjelaskan modalitas memiliki beberapa arti.

BAB I PENDAHULUAN. Kridalaksana (1983: 107) menjelaskan modalitas memiliki beberapa arti. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kridalaksana (1983: 107) menjelaskan modalitas memiliki beberapa arti. Pertama, klasifikasi proposisi menurut hal yang menyungguhkan atau mengingkari kemungkinan atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa adalah sesuatu yang bersifat universal karena tidak memedulikan

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa adalah sesuatu yang bersifat universal karena tidak memedulikan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Bahasa adalah sesuatu yang bersifat universal karena tidak memedulikan warna kulit, ras, agama, bangsa dan negara. Bahasa merupakan perwujudan suatu konsep

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. Bab ini terdiri dari dua bagian, yaitu simpulan dan saran. Simpulan

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. Bab ini terdiri dari dua bagian, yaitu simpulan dan saran. Simpulan 282 BAB V SIMPULAN DAN SARAN Bab ini terdiri dari dua bagian, yaitu simpulan dan saran. Simpulan menyajikan keseluruhan hasil penelitian ini, yakni maksim prinsip kerjasama (cooperative principles) dalam

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

BAB V SIMPULAN DAN SARAN digilib.uns.ac.id BAB V SIMPULAN DAN SARAN Bab ini terdiri atas dua subbab yaitu simpulan dan saran. Bagian simpulan memaparkan tentang keseluruhan hasil penelitian secara garis besar yang meliputi strategi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bentuk-bentuk tulisan yang lebih bebas. Penerjemah harus berhadapan dan

BAB I PENDAHULUAN. bentuk-bentuk tulisan yang lebih bebas. Penerjemah harus berhadapan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Teks terjemahan diciptakan dalam bingkai kondisi yang berlainan dengan bentuk-bentuk tulisan yang lebih bebas. Penerjemah harus berhadapan dan mengatasi sejumlah masalah

Lebih terperinci

BAB 6 PENUTUP. Terjemahan yang baik memiliki tiga kriteria, yakni ketepatan, kejelasan, dan

BAB 6 PENUTUP. Terjemahan yang baik memiliki tiga kriteria, yakni ketepatan, kejelasan, dan 192 BAB 6 PENUTUP Terjemahan yang baik memiliki tiga kriteria, yakni ketepatan, kejelasan, dan kewajaran (Larson, 1989:53). Ketepatan berarti bahwa terjemahan harus menyampaikan pesan sesuai dengan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini menarik minat pemerhati bahasa khususnya di bidang penerjemahan untuk

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini menarik minat pemerhati bahasa khususnya di bidang penerjemahan untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dengan adanya festival film yang memberikan penghargaan untuk kategori film bahasa asing terbaik dapat menambah manfaat pemakaian lebih dari satu bahasa dalam sebuah

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN KERANGKA TEORI. Berdasarkan data-data yang dikumpulkan baik berupa penelitian, jurnal

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN KERANGKA TEORI. Berdasarkan data-data yang dikumpulkan baik berupa penelitian, jurnal BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN KERANGKA TEORI 2.1 Kajian Pustaka Berdasarkan data-data yang dikumpulkan baik berupa penelitian, jurnal maupun hasil penelitian lainnya, ditemukan beberapa penelitian

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kenali adalah surat perjanjian, sertifikat, buku ilmu pengetahuan bidang hukum

BAB 1 PENDAHULUAN. kenali adalah surat perjanjian, sertifikat, buku ilmu pengetahuan bidang hukum BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Teks hukum merupakan jenis teks yang bersifat sangat formal dan sangat terstruktur. Teks hukum ini sangat beragam macamnya, yang paling mudah kita kenali adalah surat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya metafora adalah suatu bentuk kekreatifan makna dalam

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya metafora adalah suatu bentuk kekreatifan makna dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada dasarnya metafora adalah suatu bentuk kekreatifan makna dalam menggunakan bahasa saat berkomunikasi baik bahasa lisan maupun bahasa tulisan. Di dalam berbahasa,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Buku cerita bilingual Kumpulan Cerita Anak Kreatif - Tales for Creative

BAB I PENDAHULUAN. Buku cerita bilingual Kumpulan Cerita Anak Kreatif - Tales for Creative BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Buku cerita bilingual Kumpulan Cerita Anak Kreatif - Tales for Creative Children merupakan buku cerita bilingual yang menggunakan dua bahasa yaitu bahasa Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bahasa merupakan alat komunikasi yang ampuh untuk mengadakan hubungan komunikasi dan melakukan kerja sama. Dalam kehidupan masyarakat, bahasa menjadi kebutuhan pokok

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Berbeda dengan sintaksis yang mempelajari bagaimana satuan bahasa terbentuk,

BAB I PENDAHULUAN. Berbeda dengan sintaksis yang mempelajari bagaimana satuan bahasa terbentuk, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam mempelajari bahasa Inggris terutama yang berkenaan dengan makna yang terkandung dalam setiap unsur suatu bahasa, semantik merupakan ilmu yang menjadi pengukur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam kehidupan manusia. Bahasa adalah satu-satunya milik manusia yang tidak. kegiatan manusia yang tidak disertai oleh bahasa.

BAB I PENDAHULUAN. dalam kehidupan manusia. Bahasa adalah satu-satunya milik manusia yang tidak. kegiatan manusia yang tidak disertai oleh bahasa. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam berkomunikasi antar manusia dibutuhkan bahasa yang disepakati oleh pengguna bahasa itu sendiri. Bahasa mempunyai keterikatan dan keterkaitan dalam kehidupan manusia.

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian penerjemahan yang bersifat deskriptif-kualitatif

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian penerjemahan yang bersifat deskriptif-kualitatif BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian penerjemahan yang bersifat deskriptif-kualitatif dengan studi kasus terpancang. Penelitian ini disebut penelitian kualitatif

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN KERANGKA TEORI. Silalahi (2009) dalam disertasinya yang berjudul Dampak Teknik, Metode

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN KERANGKA TEORI. Silalahi (2009) dalam disertasinya yang berjudul Dampak Teknik, Metode BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN KERANGKA TEORI 2.1 Kajian Pustaka Berdasarkan data yang dikumpulkan baik berupa skripsi dan jurnal penelitian, ditemukan penelitian yang menganalisis mengenai penerjemahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bahasa dari tingkat kata, frasa hingga teks untuk menyampaikan makna teks

BAB I PENDAHULUAN. bahasa dari tingkat kata, frasa hingga teks untuk menyampaikan makna teks BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada era kemajuan teknologi dewasa ini semakin banyak terjemahan bahasa dari tingkat kata, frasa hingga teks untuk menyampaikan makna teks bahasa sumber (TSu) ke dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penelitian, manfaat penelitian, dan kerangka teori yang digunakan.

BAB I PENDAHULUAN. penelitian, manfaat penelitian, dan kerangka teori yang digunakan. BAB I PENDAHULUAN Bab ini menjelaskan latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan kerangka teori yang digunakan. 1.1 Latar Belakang Penelitian Masyarakat yang

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2009 TENTANG PENGESAHAN AGREEMENT FOR THE IMPLEMENTATION OF THE PROVISIONS OF THE UNITED NATIONS CONVENTION ON THE LAW OF THE SEA OF 10 DECEMBER 1982 RELATING

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Dalam kajian pustaka ini bertujuan untuk memberikan gambaran serta batasan tentang teori-teori yang dipakai sebagai landasan teori, yang menjabarkan beberapa hal yang menjadi rujukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Negara Jepang adalah salah satu negara yang kerap dijadikan acuan dalam

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Negara Jepang adalah salah satu negara yang kerap dijadikan acuan dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Negara Jepang adalah salah satu negara yang kerap dijadikan acuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Akan tetapi, dibalik kemajuan teknologinya yang pesat

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PIKIR

BAB II LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PIKIR BAB II LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PIKIR A. Definisi Penerjemahan Sesungguhnya penerjemahan sudah cukup lama dikenal dalam komunikasi antarmanusia. Ada berbagai definisi penerjemahan sebagaimana telah

Lebih terperinci

Hukum Laut Indonesia

Hukum Laut Indonesia Hukum Laut Indonesia Pengertian Hukum Laut Hukum Laut berdasarkan pendapat ahli ahli : Hukum laut menurut dr. Wirjono Prodjodikoro SH adalah meliputi segala peraturan hukum yang ada hubungan dengan laut.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terjadi pergeseran makna pada BT, oleh sebab itu seorang penerjemah harus

BAB I PENDAHULUAN. terjadi pergeseran makna pada BT, oleh sebab itu seorang penerjemah harus BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penerjemahan adalah pengalihan makna dari bahasa sumber (BS) ke bahasa target (BT) dan makna BS harus dapat dipertahankan sehingga tidak terjadi pergeseran makna pada

Lebih terperinci

Bab I PENDAHULUAN. Penerjemahan teks, buku-buku dan informasi lain ke dalam bahasa Inggris

Bab I PENDAHULUAN. Penerjemahan teks, buku-buku dan informasi lain ke dalam bahasa Inggris Bab I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penerjemahan teks, buku-buku dan informasi lain ke dalam bahasa Inggris telah dilakukan oleh praktisi atau pakar-pakar terjemahan untuk penyebaran informasi dari satu

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2009 TENTANG PENGESAHAN AGREEMENT FOR THE IMPLEMENTATION OF THE PROVISIONS OF THE UNITED NATIONS CONVENTION ON THE LAW OF THE SEA OF 10 DECEMBER

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI. pemasalahan yang diteliti, teori yang digunakan dalam menganalisis permasalahan tersebut,

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI. pemasalahan yang diteliti, teori yang digunakan dalam menganalisis permasalahan tersebut, BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI 2.1 Kajian Pustaka Dalam sebuah penelitian, diperlukan sebuah konsep yang terdiri atas latar belakang pemasalahan yang diteliti, teori yang digunakan dalam menganalisis

Lebih terperinci

Contoh: (1) Tsu : A, a kibun onsenyado da ne korya. (CMCJ. Tsa Wah, nikmatnya scpcrti scdang berlibur ke pemandian air paiias saja (CMCI5:42)

Contoh: (1) Tsu : A, a kibun onsenyado da ne korya. (CMCJ. Tsa Wah, nikmatnya scpcrti scdang berlibur ke pemandian air paiias saja (CMCI5:42) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bahasa menurut Koentjaraningrat merapakan salah satu dari tujuh unsur kebudayaan yang bersifat universal. Unsur-unsur yang lainnya adalah sistem pengetahuan,

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. dengan penelitian ini. Kajian teori, meliputi teori tentang teknik penerjemahan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. dengan penelitian ini. Kajian teori, meliputi teori tentang teknik penerjemahan BAB II KAJIAN PUSTAKA Dalam bab ini dikemukakan beberapa kajian teori yang berhubungan dengan penelitian ini. Kajian teori, meliputi teori tentang teknik penerjemahan serta penilaian kualitas terjemahan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Dalam memahami konsep mengenai teori kebahasaan, linguistik

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Dalam memahami konsep mengenai teori kebahasaan, linguistik BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dalam memahami konsep mengenai teori kebahasaan, linguistik sistemik fungsional berperan penting memberikan kontribusi dalam fungsi kebahasaan yang mencakup

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Semarang merupakan pusat pemerintahan dan pusat ekonomi. Semarang telah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Semarang merupakan pusat pemerintahan dan pusat ekonomi. Semarang telah BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengantar Semarang merupakan pusat pemerintahan dan pusat ekonomi. Semarang telah menjadi suatu wilayah yang kompleks masyarakatnya. Keadaan ini terjadi karena sekarang semakin

Lebih terperinci

IDEOLOGI DALAM PENERJEMAHAN (Farida Amalia Universitas Pendidikan Indonesia)

IDEOLOGI DALAM PENERJEMAHAN (Farida Amalia Universitas Pendidikan Indonesia) IDEOLOGI DALAM PENERJEMAHAN (Farida Amalia Universitas Pendidikan Indonesia) A. Pendahuluam Penerjemahan adalah kegiatan mengalihkan secara tertulis pesan dari teks suatu bahasa ke dalam teks bahasa lain

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. alam pikiran sehingga terwujud suatu aktivitas. dalam pikiran pendengar atau pembaca.

BAB I PENDAHULUAN. alam pikiran sehingga terwujud suatu aktivitas. dalam pikiran pendengar atau pembaca. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa merupakan alat untuk berkomunikasi sehari-hari oleh para penuturnya. Bahasa merupakan sesuatu yang sangat penting dalam proses berpikir maupun dalam kegiatan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA Pada bab ini ada empat bagian yang akan dijelaskan. Pertama, konsep dasar yang meliputi teori penerjemahan dan bilingual.kedua, landasan teori yang berhubungan dengan teori-teori

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penting guna menyimpan uang serta barang-barang berharga yang dianggap

BAB I PENDAHULUAN. penting guna menyimpan uang serta barang-barang berharga yang dianggap BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam kehidupan sehari-hari dompet merupakan benda yang sangat penting guna menyimpan uang serta barang-barang berharga yang dianggap penting dan dapat diletakkan dalam

Lebih terperinci

ANALISIS TERJEMAHAN EUFEMISME ORGAN DAN AKTIFITAS SEKSUAL DALAM NOVEL FIFTY SHADES OF GREY

ANALISIS TERJEMAHAN EUFEMISME ORGAN DAN AKTIFITAS SEKSUAL DALAM NOVEL FIFTY SHADES OF GREY ANALISIS TERJEMAHAN EUFEMISME ORGAN DAN AKTIFITAS SEKSUAL DALAM NOVEL FIFTY SHADES OF GREY Desi Zauhana Arifin, Djatmika, Tri Wiratno Magister Linguistik Penerjemahan Program PASCASARJANA UNS dezauhana@gmail.com

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif. Bogdan and

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif. Bogdan and BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif. Bogdan and Taylor (1975) menjelaskan definisi metode kualitatif yaitu: qualitative methodologies

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kemiripan makna dalam suatu bentuk kebahasaan dapat menimbulkan

BAB I PENDAHULUAN. Kemiripan makna dalam suatu bentuk kebahasaan dapat menimbulkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemiripan makna dalam suatu bentuk kebahasaan dapat menimbulkan kekacauan pada tindak berbahasa. Salah satu contoh penggunaan bentuk bersinonim yang dewasa ini sulit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Masalah Menulis merupakan salah satu cara manusia untuk mengungkapkan sebuah ide atau gagasan kepada orang lain melalui media bahasa tulis. Bahasa tulis tentu berbeda

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. berdasarkan hasil penelitian dan analisis data yang telah diperoleh pada bab-bab

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. berdasarkan hasil penelitian dan analisis data yang telah diperoleh pada bab-bab BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Pada bab ini, penulis akan memberikan kesimpulan serta saran berdasarkan hasil penelitian dan analisis data yang telah diperoleh pada bab-bab sebelumnya. 5.1 Kesimpulan 5.1.1

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 73, 1996 WILAYAH. KEPULAUAN. PERAIRAN. Wawasan Nusantara (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Linguistik, semantik adalah bidang yang fokus mempelajari tentang makna baik yang berupa text

BAB I PENDAHULUAN. Linguistik, semantik adalah bidang yang fokus mempelajari tentang makna baik yang berupa text BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa adalah alat komunikasi yang digunakan oleh manusia dalam kehidupan seharihari. Ketika berbahasa ada bentuk nyata dari pikiran yang ingin disampaikan kepada mitra

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut sebagai bahasa sumber (BSu), dan mengungkapkan pemahaman

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut sebagai bahasa sumber (BSu), dan mengungkapkan pemahaman BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penerjemahan adalah kegiatan memahami teks dalam satu bahasa, yang lazim disebut sebagai bahasa sumber (BSu), dan mengungkapkan pemahaman tentang bacaan tersebut ke

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA KONSEP DAN KERANGKA TEORI. 1) Roswita Silalahi (2009) dalam disertasinya berjudul Dampak Teknik, Metode

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA KONSEP DAN KERANGKA TEORI. 1) Roswita Silalahi (2009) dalam disertasinya berjudul Dampak Teknik, Metode 13 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA KONSEP DAN KERANGKA TEORI 2.1 Kajian Pustaka 2. 1. 1 Penelitian yang Relevan Penelitian yang relevan mengenai terjemahan yang berkaitan dengan budaya telah dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara dimana wilayah daratnya berbatasan dengan laut. menimbulkan kerenggangan hubungan dan apabila berlarut-larut akan

BAB I PENDAHULUAN. negara dimana wilayah daratnya berbatasan dengan laut. menimbulkan kerenggangan hubungan dan apabila berlarut-larut akan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Wilayah suatu negara yang kita kenal seperti udara dan darat juga lautan. Namun masalah kelautan atau wilayah laut tidak dimiliki oleh setiap negara, hanya negara-negara

Lebih terperinci

ANALISIS UNDANG-UNDANG KELAUTAN DI WILAYAH ZONA EKONOMI EKSKLUSIF

ANALISIS UNDANG-UNDANG KELAUTAN DI WILAYAH ZONA EKONOMI EKSKLUSIF Ardigautama Agusta. Analisis Undang-undang Kelautan di Wilayah Zona Ekonomi Eksklusif 147 ANALISIS UNDANG-UNDANG KELAUTAN DI WILAYAH ZONA EKONOMI EKSKLUSIF Ardigautama Agusta Teknik Geodesi dan Geomatika,

Lebih terperinci

Teori Modalitas sebagai Materi Pembelajaran Bahasa Indonesia

Teori Modalitas sebagai Materi Pembelajaran Bahasa Indonesia Teori Modalitas sebagai Materi Pembelajaran Bahasa Indonesia Abdurahman Abstract: This article aims to explain the modalities in the Indonesian language as a material in language teaching. Modalities are

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan makhluk sosial yang selalu berinteraksi antara satu

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan makhluk sosial yang selalu berinteraksi antara satu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia merupakan makhluk sosial yang selalu berinteraksi antara satu dengan yang lainnya, yang kemudian disebut dengan komunikasi. Bahasa merupakan alat komunikasi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI. 2.1 Tinjauan Pustaka Dewi Lestari adalah salah seorang sastrawan Indonesia yang cukup

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI. 2.1 Tinjauan Pustaka Dewi Lestari adalah salah seorang sastrawan Indonesia yang cukup BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI 2.1 Tinjauan Pustaka Dewi Lestari adalah salah seorang sastrawan Indonesia yang cukup diperhitungkan karya-karyanya dan dianggap sebagai pengarang produktif

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI Tinjauan pustaka bertujuan untuk menggambarkan batasan yang digunakan untuk dijadikan pembahasan. Adapun yang menjadi pembahasan dalam penelitian ini adalah:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa merupakan suatu media terpenting untuk berkomunikasi baik

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa merupakan suatu media terpenting untuk berkomunikasi baik BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bahasa merupakan suatu media terpenting untuk berkomunikasi baik melalui lisan maupun tulisan. Salah satu bahasa yang digunakan adalah bahasa Inggris. Bahasa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan itu sendiri merupakan suatu usaha yang dilakukan dengan sengaja dan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan itu sendiri merupakan suatu usaha yang dilakukan dengan sengaja dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan unsur terpenting dalam usaha mencerdaskan kehidupan bangsa. Negara akan maju dan berkembang apabila diikuti dengan peningkatan pendidikan

Lebih terperinci

IHWAL ASPEKTUALITAS, TEMPORALITAS, DAN MODALITAS DALAM BAHASA INDONESIA (Dra. Nuny Sulistiany Idris, M.Pd./FPBS UPI)

IHWAL ASPEKTUALITAS, TEMPORALITAS, DAN MODALITAS DALAM BAHASA INDONESIA (Dra. Nuny Sulistiany Idris, M.Pd./FPBS UPI) IHWAL ASPEKTUALITAS, TEMPORALITAS, DAN MODALITAS DALAM BAHASA INDONESIA (Dra. Nuny Sulistiany Idris, M.Pd./FPBS UPI) Pada beberapa bahasa aspek, temporalitas, dan modalitas merupakan subbahasan semantik

Lebih terperinci

2 2. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1994 tentang Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 22,

2 2. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1994 tentang Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 22, BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.113, 2014 KEMENSESNEG. Penerjemah. Fungsional. Standar Kompetensi. PERATURAN MENTERI SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG STANDAR KOMPETENSI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. belakang masalah dari penelitian, identifikasi masalah dari latar belakang yang

BAB I PENDAHULUAN. belakang masalah dari penelitian, identifikasi masalah dari latar belakang yang BAB I PENDAHULUAN Pada bab pendahuluan, hal-hal yang dibahas adalah mengenai latar belakang masalah dari penelitian, identifikasi masalah dari latar belakang yang ada, pertanyaan penelitian dan tujuan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN KERANGKA TEORI. penelitian ini adalah Yugasmara (2010) dalam tesisnya yang berjudul Analisis

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN KERANGKA TEORI. penelitian ini adalah Yugasmara (2010) dalam tesisnya yang berjudul Analisis BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN KERANGKA TEORI 2.1 Kajian Pustaka Kajian yang relevan dengan penelitian yang dapat menjadi acuan dalam penelitian ini adalah Yugasmara (2010) dalam tesisnya yang berjudul

Lebih terperinci

KUALITAS HASIL PENERJEMAHAN INDIVIDU DAN PENERJEMAHAN KELOMPOK

KUALITAS HASIL PENERJEMAHAN INDIVIDU DAN PENERJEMAHAN KELOMPOK KUALITAS HASIL PENERJEMAHAN INDIVIDU DAN PENERJEMAHAN KELOMPOK (Studi Kasus Proses dan Hasil Penerjemahan Mahasiswa Pascasarjana Program Studi Linguistik Minat Utama Penerjemahan Universitas Sebelas Maret

Lebih terperinci

Bab 2. Landasan Teori. Pada bab ini Penulis akan menjabarkan tentang teori yang digunakan Penulis

Bab 2. Landasan Teori. Pada bab ini Penulis akan menjabarkan tentang teori yang digunakan Penulis Bab 2 Landasan Teori Pada bab ini Penulis akan menjabarkan tentang teori yang digunakan Penulis dalam menerjemahkan lirik lagu Sepasang Mata Bola karya Ismail Marzuki. Penerjemahan lirik lagu ini membutuhkan

Lebih terperinci

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL TERKAIT DENGAN PENETAPAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA KEPULAUAN. Oleh : Ida Kurnia*

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL TERKAIT DENGAN PENETAPAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA KEPULAUAN. Oleh : Ida Kurnia* PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL TERKAIT DENGAN PENETAPAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA KEPULAUAN Oleh : Ida Kurnia* Abstrak KHL 1982 tentang Hukum Laut yang telah diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-Undang

Lebih terperinci

PROTOKOL CARTAGENA TENTANG KEAMANAN HAYATI ATAS KONVENSI TENTANG KEANEKARAGAMAN HAYATI

PROTOKOL CARTAGENA TENTANG KEAMANAN HAYATI ATAS KONVENSI TENTANG KEANEKARAGAMAN HAYATI PROTOKOL CARTAGENA TENTANG KEAMANAN HAYATI ATAS KONVENSI TENTANG KEANEKARAGAMAN HAYATI Para Pihak pada Protokol ini, Menjadi Para Pihak pada Konvensi Tentang Keanekaragaman Hayati, selanjutnya disebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat Indonesia yang masih belum mempunyai kemampuan untuk. kehidupan sehari-hari baik secara lisan maupun tulisan.

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat Indonesia yang masih belum mempunyai kemampuan untuk. kehidupan sehari-hari baik secara lisan maupun tulisan. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagian besar orang menggunakan bahasa Inggris sebagai alat komunikasi dengan Negara lain di seluruh dunia. Oleh karena itu, sangat penting bagi kita untuk mengerti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. alat komunikasi. Penggunaan bahasa oleh manusia merupakan salah satu. serta latar belakang suatu bangsa (Simatupang, 1999 : 8)

BAB I PENDAHULUAN. alat komunikasi. Penggunaan bahasa oleh manusia merupakan salah satu. serta latar belakang suatu bangsa (Simatupang, 1999 : 8) BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang dan Permasalahan 1.1.1 Latar Belakang Bahasa memegang peranan yang sangat penting dalam masyarakat sebagai alat komunikasi. Penggunaan bahasa oleh manusia merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Linguistik, merupakan sebuah ilmu yang mepelajari tentang bahasa secara

BAB I PENDAHULUAN. Linguistik, merupakan sebuah ilmu yang mepelajari tentang bahasa secara 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Linguistik, merupakan sebuah ilmu yang mepelajari tentang bahasa secara verbal. Tentunya ilmu bahasa atau sering disebut linguistik memiliki cabangcabang ilmu bahasa,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di seluruh dunia. Perbedaan bahasa kini sudah tidak menjadi pengahalang lagi

BAB I PENDAHULUAN. di seluruh dunia. Perbedaan bahasa kini sudah tidak menjadi pengahalang lagi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Saat ini semakin banyak cara yang digunakan untuk mengetahui keadaan di seluruh dunia. Perbedaan bahasa kini sudah tidak menjadi pengahalang lagi bagi kita.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sasaran (selanjutnya disingkat Bsa) se-alami mungkin baik secara arti dan secara

BAB I PENDAHULUAN. sasaran (selanjutnya disingkat Bsa) se-alami mungkin baik secara arti dan secara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini, perbedaan bahasa sudah tidak lagi menjadi hambatan untuk mendapatkan informasi dari berbagai belahan dunia. Tuntutan mendapatkan informasi inilah yang memunculkan

Lebih terperinci

PENGANTAR PENGERTIAN IDIOM

PENGANTAR PENGERTIAN IDIOM PENGANTAR Dalam sebuah bahasa pastilah penuturnya mempunyai ungkapan-ungkapan tertentu untuk menunjukkan sebuah hal. Sesuatu tidaklah selalu diungkapkan secara denotatif atau terang-terangan tetapi bisa

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. temuan dan hasil analisis. Subbab kedua membahas mengenai saran-saran dari

BAB V PENUTUP. temuan dan hasil analisis. Subbab kedua membahas mengenai saran-saran dari 128 BAB V PENUTUP Pembahasan terakhir dalam tulisan ini mengenai simpulan dan saran. Bab ini terdiri atas dua subbab. Subbab pertama membahas mengenai simpulan dari temuan dan hasil analisis. Subbab kedua

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. menjawab pertanyaan dalam rumusan-rumusan masalah terdahulu di 1.2. Hasil

BAB V PENUTUP. menjawab pertanyaan dalam rumusan-rumusan masalah terdahulu di 1.2. Hasil 138 BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Penelitian penerjemahan qa>la ke dalam bahasa Inggris ini akhirnya dapat menjawab pertanyaan dalam rumusan-rumusan masalah terdahulu di 1.2. Hasil analisis menunjukkan

Lebih terperinci

PENINGKATAN PROFESIONALISME WIDYAISWARA MELALUI PENGENALAN TEORI PENERJEMAHAN TEKS BAHASA INGGRIS (SEBUAH KAJIAN TEORITIS)

PENINGKATAN PROFESIONALISME WIDYAISWARA MELALUI PENGENALAN TEORI PENERJEMAHAN TEKS BAHASA INGGRIS (SEBUAH KAJIAN TEORITIS) 1 PENINGKATAN PROFESIONALISME WIDYAISWARA MELALUI PENGENALAN TEORI PENERJEMAHAN TEKS BAHASA INGGRIS (SEBUAH KAJIAN TEORITIS) Oleh : Muchamad Latief Fahmi,SS,MSE (Widyaiswara Muda Balai Diklat Industri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. akibatnya pada level yang berbeda-beda. Peristiwa pengeboman Hiroshima pada

BAB I PENDAHULUAN. akibatnya pada level yang berbeda-beda. Peristiwa pengeboman Hiroshima pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Kesalahan dalam pemilihan arti ketika menerjemahkan akan sangat fatal akibatnya pada level yang berbeda-beda. Peristiwa pengeboman Hiroshima pada tanggal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai hubungan pengertian antara yang satu dengan yang lain (Rani dkk,

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai hubungan pengertian antara yang satu dengan yang lain (Rani dkk, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wacana ialah satuan bahasa yang terdiri atas seperangkat kalimat yang mempunyai hubungan pengertian antara yang satu dengan yang lain (Rani dkk, 2006: 49). Menurut

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Buku Hukum The Concept of Law karya H.L.A Hart dan terjemahannya Konsep Hukum merupakan buku teori hukum atau jurisprudence, bukan merupakan hukum secara praktek.

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, KERANGKA TEORI. maupun jurnal-jurnal ilmiah, ditemukan data-data yang memiliki keterkaitan

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, KERANGKA TEORI. maupun jurnal-jurnal ilmiah, ditemukan data-data yang memiliki keterkaitan BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, KERANGKA TEORI 2.1 Kajian Pustaka Berdasarkan data yang berhasil dikumpulkan baik itu berupa skripsi, tesis, maupun jurnal-jurnal ilmiah, ditemukan data-data yang memiliki

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam teks yang sepadan dengan bahasa sasaran. Munday (2001) mendefinisikan

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam teks yang sepadan dengan bahasa sasaran. Munday (2001) mendefinisikan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penerjemahan merupakan upaya untuk mengganti teks bahasa sumber ke dalam teks yang sepadan dengan bahasa sasaran. Munday (2001) mendefinisikan penerjemahan as changing

Lebih terperinci

Bab 5. Ringkasan. Bahasa Jepang merupakan salah satu bahasa asing yang dipelajari di Indonesia.

Bab 5. Ringkasan. Bahasa Jepang merupakan salah satu bahasa asing yang dipelajari di Indonesia. Bab 5 Ringkasan Bahasa Jepang merupakan salah satu bahasa asing yang dipelajari di Indonesia. Tetapi perbedaan struktur kalimat antara bahasa Indonesia dan bahasa Jepang sering menjadi kendala bagi pemelajar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa adalah ciri utama manusia dan merupakan alat komunikasi paling

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa adalah ciri utama manusia dan merupakan alat komunikasi paling 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bahasa adalah ciri utama manusia dan merupakan alat komunikasi paling penting dalam kehidupan manusia. Manusia dapat mengungkapkan buah pikirannya, perasaannya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penerjemahan adalah satu ilmu yang sangat dibutuhkan dewasa ini, kekurangmampuan manusia dalammenguasaibahasa yang ada dunia ini

BAB I PENDAHULUAN. penerjemahan adalah satu ilmu yang sangat dibutuhkan dewasa ini, kekurangmampuan manusia dalammenguasaibahasa yang ada dunia ini BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penerjemahan memegang peranan yang sangat penting hampir diseluruh aspek kehidupan manusia. Dalam kaitan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, penerjemahan adalah

Lebih terperinci

TEKNIK PENERJEMAHAN METAFORA, SIMILE, DAN PERSONIFIKASI DALAM NOVEL THE KITE RUNNER DAN DAMPAKNYA TERHADAP KUALITAS TERJEMAHAN TESIS

TEKNIK PENERJEMAHAN METAFORA, SIMILE, DAN PERSONIFIKASI DALAM NOVEL THE KITE RUNNER DAN DAMPAKNYA TERHADAP KUALITAS TERJEMAHAN TESIS 1 TEKNIK PENERJEMAHAN METAFORA, SIMILE, DAN PERSONIFIKASI DALAM NOVEL THE KITE RUNNER DAN DAMPAKNYA TERHADAP KUALITAS TERJEMAHAN TESIS Disusun untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penerjemahan merupakan suatu kegiatan transformasi bentuk yakni

BAB I PENDAHULUAN. Penerjemahan merupakan suatu kegiatan transformasi bentuk yakni BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penerjemahan merupakan suatu kegiatan transformasi bentuk yakni kegiatan mengubah bentuk bahasa yang satu ke bahasa yang lain. Dalam The Merriam Webster Dictionary

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI BAB 2 LANDASAN TEORI Pada bab ini, penulis akan menjabarkan teori-teori yang digunakan penulis dalam menerjemahkan Komik Indonesia Nusantaranger karya Tim Nusantaranger. Agar dapat menerjemahkan komik

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: 1. bahwa berdasarkan kenyataan sejarah dan cara pandang

Lebih terperinci

TEKNIK PENERJEMAHAN DAN TINGKAT KEWAJARAN BUKU BIOLOGY FOR JUNIOR HIGH SCHOOL BILINGUAL: BAHASA INGGRIS INDONESIA TESIS. Oleh

TEKNIK PENERJEMAHAN DAN TINGKAT KEWAJARAN BUKU BIOLOGY FOR JUNIOR HIGH SCHOOL BILINGUAL: BAHASA INGGRIS INDONESIA TESIS. Oleh TEKNIK PENERJEMAHAN DAN TINGKAT KEWAJARAN BUKU BIOLOGY FOR JUNIOR HIGH SCHOOL BILINGUAL: BAHASA INGGRIS INDONESIA TESIS Oleh NASIR BINTANG 127009030/LNG 117009008/LN TESIS FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Seorang anak yang sudah terbiasa dibacakan ataupun membaca buku cerita

BAB I PENDAHULUAN. Seorang anak yang sudah terbiasa dibacakan ataupun membaca buku cerita BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seorang anak yang sudah terbiasa dibacakan ataupun membaca buku cerita sendiri bisa menjadikannya sebagai sahabat. Buku cerita memberikan informasi kepada anak tentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tinjauan sintak..., Vandra Risky, FIB UI, 2009

BAB I PENDAHULUAN. Tinjauan sintak..., Vandra Risky, FIB UI, 2009 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Pokok Bahasan Bahasa adalah sebuah perangkat yang digunakan oleh manusia untuk berkomunikasi. Adapun definisinya secara umum, adalah sistem tanda bunyi yang disepakati untuk

Lebih terperinci

BAB 5 PENUTUP. Campur code..., Annisa Ramadhani, FIB UI, Universitas Indonesia

BAB 5 PENUTUP. Campur code..., Annisa Ramadhani, FIB UI, Universitas Indonesia BAB 5 PENUTUP 5.1 Simpulan Penelitian jenis proses campur kode menunjukkan hasil yang berbeda-beda antara bahasa yang satu dan bahasa yang lain karena subjek penelitian mereka pun berbeda-beda, baik dari

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN KERANGKA TEORI. Pada kajian pustaka dicantumkan beberapa penelitian terdahulu yang

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN KERANGKA TEORI. Pada kajian pustaka dicantumkan beberapa penelitian terdahulu yang BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN KERANGKA TEORI 2.1 Kajian Pustaka Pada kajian pustaka dicantumkan beberapa penelitian terdahulu yang dijadikan referensi dalam penelitian ini. Penelitian-penelitian tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam berkomunikasi menjadi sangat penting. Hal ini ditunjukkan dengan

BAB I PENDAHULUAN. dalam berkomunikasi menjadi sangat penting. Hal ini ditunjukkan dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini keberadaan talk show atau dialog interaktif sebagai sarana dalam berkomunikasi menjadi sangat penting. Hal ini ditunjukkan dengan semakin beragamnya talk

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. ada di luar bahasa yang digunakan akal budi memahami hal-hal lain (KBBI,

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. ada di luar bahasa yang digunakan akal budi memahami hal-hal lain (KBBI, BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Konsep merupakan gambaran mental dari objek, proses, atau apapun yang ada di luar bahasa yang digunakan akal budi memahami hal-hal lain (KBBI,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pergeseran. Pergeseran makna yang belum begitu jauh memungkinkan penutur

BAB I PENDAHULUAN. pergeseran. Pergeseran makna yang belum begitu jauh memungkinkan penutur BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Luasnya pemakaian bahasa menyebabkan makna sebuah kata mengalami pergeseran. Pergeseran makna yang belum begitu jauh memungkinkan penutur atau peneliti bahasa akan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Membaca buku bermanfaat bagi manusia, mulai dari anak-anak hingga

BAB I PENDAHULUAN. Membaca buku bermanfaat bagi manusia, mulai dari anak-anak hingga BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Membaca buku bermanfaat bagi manusia, mulai dari anak-anak hingga dewasa sekalipun. Manfaat yang dapat diperoleh antara lain sebagai hiburan, penghilang stres, dan

Lebih terperinci