SIFAT DAN JADWAL PENGERINGAN BEBERAPA JENIS. Pterocarpus indicus, dan Maesopsis eminii) DIAN AGUS NUR IRAWAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "SIFAT DAN JADWAL PENGERINGAN BEBERAPA JENIS. Pterocarpus indicus, dan Maesopsis eminii) DIAN AGUS NUR IRAWAN"

Transkripsi

1 SIFAT DAN JADWAL PENGERINGAN BEBERAPA JENIS KAYU HUTAN RAKYAT (Acacia mangium, Albizia falcataria, Pterocarpus indicus, dan Maesopsis eminii) DIAN AGUS NUR IRAWAN DEPARTEMEN HASIL HUTAN

2 ii FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

3 iii SIFAT DAN JADWAL PENGERINGAN BEBERAPA JENIS KAYU HUTAN RAKYAT (Acacia mangium, Albizia falcataria, Pterocarpus indicus, dan Maesopsis eminii) Karya Tulis / Skripsi sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor Disusun oleh DIAN AGUS NUR IRAWAN

4 iv DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

5 v DIAN AGUS NUR IRAWAN. Sifat dan Jadwal Pengeringan Beberapa Jenis Kayu Hutan Rakyat (Acacia mangium, Albizia falcataria, Pterocarpus indicus, dan Maesopsis eminii). Dibimbing oleh IDING M. PADLINURJAJI dan TRISNA PRIADI. RINGKASAN Kelangkaan bahan baku kayu dari hutan alam maupun hutan produksi telah mendorong kecenderungan peningkatan permintaan bahan baku kayu dari hutan rakyat yang sebagian besar merupakan jenis jenis kayu yang belum cukup dikenal penggunannya dalam industri perkayuan. Upaya upaya penanganan yang tepat perlu diperhatikan untuk menghasilkan mutu dan kualitasnya yang terbaik dan sesuai dengan tujuan penggunaannya sebagai bahan baku dalam industri perkayuan, baik selama proses pengolahan maupun setelah menjadi produk komoditi tertentu. Kegiatan pengeringan kayu yang umumnya dilakukan menggunakan kilang pengering di industri industri perkayuan, merupakan salah satu tahap awal yang paling penting sebelum proses pengolahan selanjutnya dilakukan. Kegiatan pengeringan juga bertujuan untuk menghasilkan kualitas bahan baku kayu yang prima dan lebih mudah untuk diproses lebih lanjut. Jadwal pengeringan merupakan salah satu faktor penting yang menentukan keberhasilan pengeringan kayu dalam kilang pengering. Jadwal pengeringan yang tepat akan mendukung proses pengeringan sehingga dapat berlangsung dalam waktu yang sesingkat mungkin dan mencapai kadar air kayu yang diinginkan dengan cacat yang minimal. Sedangkan untuk menetapkan berapa besar suhu dan kelembaban awal hingga akhir pengeringan dalam waktu yang optimal tanpa merusak kualitas kayu, diperlukan pengetahuan dasar tentang sifat pengeringan kayu (Terazawa 1965). Tujuan dari penelitian ini ialah untuk mengetahui sifat pengeringan dan menentukan jadwal pengeringan dasar yang sesuai untuk digunakan mengeringkan kayu rakyat (akasia, jeunjing, angsana, dan afrika) dengan menggunakan kilang pengering. Sedangkan manfaat yang diharapkan dari penelitian ini ialah untuk dapat meminimumkan biaya dalam proses pengeringan kayu serta untuk meningkatkan kualitas dan mencapai optimasi nilai guna kayu rakyat sebagai bahan baku industri. Berdasarkan penelitian ini, nilai berat jenis kayu terbukti memiliki hubungan dengan tingkat penyusutan volume selama proses pengeringan. Kayu dengan berat jenis yang tinggi akan menghasilkan nilai susut volume yang lebih besar dibanding kayu dengan berat jenis yang lebih rendah dan cenderung berpengaruh pada lama pengeringan. Kayu jeunjing dengan berat jenis terendah yaitu 0,32 memiliki nilai susut volume sebesar 2,68 %, kayu afrika dengan berat jenis 0,42 memiliki nilai susut volume sebesar 2,72 %, kayu angsana dengan berat jenis 0,45 memiliki nilai susut volume sebesar 3,41 %, sedangkan untuk kayu akasia dengan berat jenis 0,56 memiliki nilai susut volume sebesar 7,63 %. Berdasarkan pengujian pendahuluan diketahui bahwa kayu akasia memiliki sifat pengeringan agak buruk untuk cacat pecah permukan, baik untuk cacat pecah dalam dan agak buruk untuk cacat deformasi, sedangkan kayu jeunjing memiliki sifat pengeringan yang buruk untuk cacat pecah permukaan, baik untuk cacat pecah dalam dan sedang untuk cacat pecah deformasi. Sifat pengeringan pada kayu angsana ialah sedang untuk cacat pecah permukaan, agak baik untuk cacat pecah dalam dan agak buruk untuk cacat deformasi, sedangkan untuk kayu afrika memiliki sifat pengeringan yang baik untuk cacat

6 vi pecah permukaan, agak baik untuk cacat pecah dalam serta sangat buruk untuk cacat deformasi. Hasil yang diperoleh dari pengujian tersebut ialah bahwa kayu akasia dengan berat jenis 0,55 dan kayu angsana dengan berat jenis 0,45 termasuk dalam kategori 5 (agak buruk) untuk tingkat cacat deformasi, sehingga dianjurkan untuk dikeringkan menggunakan suhu awal 50 0 C, suhu akhir 77 0 C, kelembaban awal 81 %, dan kelembaban akhir 28 %. Kayu jeunjing dengan berat jenis 0,32 termasuk dalam kategori 6 (buruk) untuk tingkat cacat pecah permukaan, sehingga dianjurkan untuk dikeringkan menggunakan suhu awal 50 0 C, suhu akhir 81 0 C, kelembaban awal 90 %, dan kelembaban akhir 28 %. Kayu afrika dengan berat jenis 0,42 termasuk dalam kategori 7 (sangat buruk) untuk tingkat cacat deformasi, sehingga dianjurkan untuk dikeringkan menggunakan suhu awal 47 0 C, suhu akhir 70 0 C, kelembaban awal 89 %, dan kelembaban akhir 27 %. Data tersebut menunjukan bahwa jadwal pengeringan dasar untuk jenis kayu akasia, angsana dan afrika lebih ditentukan dari tingkat cacat deformasi sebagai cacat yang mengalami kerusakan terparah, sedangkan untuk kayu jeunjing lebih ditentukan oleh tingkat cacat pecah permukaannya. Berdasarkan konversi yang mengacu pada standar Forest Product Laboratory (FPL) Madison (Torgeson 1951 dalam Basri et al. 2000), maka jadwal pengeringan dapat dibagi menjadi dua kelompok, yakni kelompok kayu yang memiliki jadwal pengeringan pada kisaran suhu C (akasia, jeunjjing, angsana) yang dapat dikeringkan bersamaan dan kayu afrika yang memiliki jadwal pengeringan pada kisaran suhu C. Jika jadwal pengeringan kayu akasia, jeunjing dan angsana digunakan untuk mengeringkan kayu afrika maka akan terjadi kerusakan parah pada kayu yang dikeringkan namun jika sebaliknya maka pengeringan pada kayu akasia, jeunjing dan angsana akan membutuhkan waktu lebih lama. Berdasarkan pertimbangan itu, maka pengujian pengeringan pada kilang pengering menggunakan jadwal pengeringan dari kayu afrika. Kata Kunci : Jadwal pengeringan, kilang pengering, sifat pengeringan, cacat pengeringan.

7 vii PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi: Sifat dan Jadwal Pengeringan Beberapa Jenis Kayu Hutan Rakyat (Acacia mangium, Albizia falcataria, Pterocarpus indicus, dan Maesopsis eminii) adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Januari 2009 Dian Agus Nur Irawan NIM : E

8 viii LEMBAR PENGESAHAN Judul Penelitian : Sifat dan Jadwal Pengeringan Beberapa Jenis Kayu Hutan Rakyat (Acacia mangium, Albizia falcataria, Pterocarpus indicus, dan Maesopsis eminii) Nama Mahasiswa : Dian Agus Nur Irawan NIM : E Dept/Program Studi : Hasil Hutan Menyetujui, Komisi Pembimbing Ketua Anggota Prof. Dr. Ir. H. Iding M. Padlinurjaji Ir. Trisna Priadi, M. Eng. Sc NIP NIP Mengetahui, Ketua Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor Dr. Ir. Dede Hermawan, M.Sc NIP : Tanggal pengesahan :

9 ix KATA PENGANTAR Puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan segala karunia, berkah dan ridho Nya serta Rasulullah SAW yang telah memberikan kekuatan pada penulis hingga akhirnya dapat menyelesaikan penyusunan dan penulisan dari skripsi yang berjudul Sifat dan Jadwal Pengeringan Beberapa Jenis Kayu Hutan Rakyat (Acacia mangium, Albizia falcataria, Pterocarpus indicus, dan Maesopsis eminii) ini. Ucapan terima kasih yang sebesar besarnya juga penulis ucapkan kepada semua pihak yang telah turut mendukung secara langsung maupun tidak langsung dalam proses penyusunan dan penulisan skripsi ini hingga akhir. Selain itu, penulis juga sangat berharap bahwa skripsi ini dapat memberikan sumbangsih dan manfaat yang cukup berarti baik bagi penulis sendiri, pembaca maupun semua pihak dalam memberikan informasi yang cukup dibutuhkan. Penulis pun menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan dan masih banyak terdapat kekurangan maupun kesalahan di dalamnya. Oleh karena itu penulis sangat berharap adanya berbagai masukkan dan saran yang cukup membangun baik bagi perbaikan skripsi ini dikemudian hari maupun bagi penulis sendiri. Akhir kata, semoga Allah SWT selalu meridhoi serta memberi kesempatan dalam setiap langkah dan usaha kita untuk mencapai tujuan dan cita cita agar dapat menjadi generasi muda yang bermanfaat bagi Bangsa dan Negara. Amin. Penulis

10 x UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan rasa syukur dan terima kasih yang sebesar besarnya ingin penulis sampaikan pada semua pihak yang telah mendukung, membantu dan memotivasi penulis dalam melaksanakan penelitian dan menyusun laporan skripsi yang berjudul Sifat dan Jadwal Pengeringan Beberapa Jenis Kayu Hutan Rakyat (Acacia mangium, Albizia falcataria, Pterocarpus indicus, dan Maesopsis eminii) ini. Secara khusus penulis ingin menyampaikan rasa syukur dan terima kasihnya kepada : 5 Allah SWT atas segala ridho, karunia dan keberkahannya serta Rasulullah SAW yang memberikan kekuatan pada penulis disetiap saat dan waktu untuk bertahan dalam berupaya meraih semua tujuan dan cita cita penulis. 6 Orang tua dan keluarga penulis atas segala doa, kasih sayang, pengorbanan, pengharapan, dan kepercayaan yang sepenuhnya diberikan pada penulis tanpa pamrih hingga saat ini. 7 Prof. Dr. Ir. H. Iding M. Padlinurjaji sebagai pembimbing pertama dan Ir. Trisna Priadi, M. Eng. Sc. sebagai pembimbing kedua yang telah mengarahkan dan memberikan kesempatan bagi penulis untuk menyelesaikan penelitian, penyusunan hingga penulisan skripsi ini. 8 Lita Nurbaeti dan keluarganya atas segala perhatian, dukungan, dorongan, dan motivasinya selama ini yang memberikan inspirasi bagi penulis. 9 Gendis dan Hendra sebagai rekan sebimbingan, Hady (Ajo), Hans, Edo, Rizka, Kusnan, Andre, Maya, Nining, Mona, Sandhi, Rizky, Adi, Gita, Fath, Siska, Citra, Novi, Adon, Mila, Harzan, Arman, Alfian (Ucok), Arif, Fauzi (Ozo), dll. 10 Seluruh rekan rekan di Institut Pertanian Bogor terutama Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, dan Lab. Bagian Peningkatan Mutu Kayu yang selama ini telah memberikan berbagai dukungan dan motivasi dalam persahabatan. 11 Seluruh Dosen yang telah memberikan berbagai pengetahuan serta Laboran dan Staff yang turut membantu penulis secara langsung maupun tidak langsung hingga mengantarkan penulis hingga sampai pada tahap ini. 12 Seluruh sahabat dan pihak lain yang turut mendorong dan memberikan motivasi kepada penulis hingga saat ini.

11 xi RIWAYAT HIDUP Penulis bernama Dian Agus Nur Irawan, lahir pada tanggal 19 Agustus 1986 di Semarang. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Penulis memulai pendidikan formal pada tahun 1992 di SD YAPIS Bogor dan lulus pada tahun 1998, kemudian melanjutkan ke SLTPN 3 Bogor dan lulus pada tahun Penulis melanjutkan ke SMUN 7 Bogor dan lulus pada tahun Pada tahun yang sama penulis terdaftar sebagai mahasiswa Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur SPMB. Selama menjadi mahasiswa penulis pernah aktif di organisasi Himasiltan IPB serta beberapa kepanitiaan kegiatan. Penulis mengikuti kegiatan Praktek Umum Kehutanan (PUK) di Leuweung Sancang dan Kawah Kamojang, Jawa Barat serta Praktek Umum Pengelolaan Hutan Tanaman Lestari (PUPHTL) di KPH Sukabumi, Jawa Barat. Penulis juga telah melaksanakan Praktek Kerja Lapang (PKL) di PT. Maruki International Indonesia, Makassar, Sulawesi Selatan. Selama masa kuliah, penulis pernah menerima Beasiswa dari PPA dan Tanabe Foundation. Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, penulis melaksanakan kegiatan praktek khusus (skripsi) di bidang peningkatan mutu kayu dengan judul Sifat dan Jadwal Pengeringan Beberapa Jenis Kayu Hutan Rakyat (Acacia mangium, Albizia falcataria, Pterocarpus indicus, dan Maesopsis eminii) di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. H. Iding M. Padlinurjaji dan Ir. Trisna Priadi, M. Eng. Sc.

12 xii DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI...i DAFTAR TABEL...iii DAFTAR GAMBAR...iv DAFTAR LAMPIRAN...v BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tujuan dan Manfaat...3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Hubungan Air dan Kayu Proses Pengeringan Kayu Beberapa Sifat Kayu yang Berhubungan dengan Pengeringan Mekanisme Keringnya Kayu Metode Pengeringan Kayu Cacat pada Pengeringan Kayu Jadwal Pengeringan Kayu Kayu Hutan Rakyat Akasia (Acacia mangium Leguminoceae) Jeunjing (Albizia falcataria Fabaceae) Angsana (Pterocarpus indicus Papilionaceae) Afrika (Maesopsis eminii Rhamnaceae)...24 BAB III METODOLOGI 3.1.Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Prosedur Penelitian...27

13 xiii BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Sifat Fisis dan Mekanis Kayu Jadwal Pengeringan dan Hubungannya dengan Sifat Dasar Kayu Jadwal Pengeringan Empat Jenis Kayu pada Kilang Pengering...44 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Saran saran...49 DAFTAR PUSTAKA...50 LAMPIRAN LAMPIRAN...52

14 xiv DAFTAR TABEL No. Halaman 1. Ukuran contoh uji sifat fisis dan mekanis Ukuran contoh uji pengeringan Data hasil pengujian sifat fisis Data hasil pengujian sifat mekanis Data hasil pengujian sifat dasar pengeringan Data hasil konversi suhu dan kelembaban awal dan akhir pengeringan Jadwal pengeringan kayu akasia Jadwal pengeringan kayu jeunjing Jadwal pengeringan kayu angsana Jadwal pengeringan kayu afrika...45

15 xv DAFTAR GAMBAR No. Halaman 1. Bentuk memuntir pada kayu hasil pengeringan Bentuk membusur pada kayu hasil pengeringan Bentuk diamonding pada kayu hasil pengeringan Sel collapse Kurva hubungan berat jenis dan penyusutan volume kayu...32

16 xvi DAFTAR LAMPIRAN No. Halaman 1. Standar Pengujian yang Digunakan a. Klasifikasi Penentuan Cacat dan Sifat Pengeringan...53 b. Gambar Acuan Klasifikasi Tingkat Cacat...54 c. Penetapan Suhu serta Kelembaban Awal dan Akhir berdasarkan Tingkat Cacat...55 d. Penetapan Perubahan Suhu berdasarkan Penurunan Kadar Air Kurva Penentu Kelembaban Udara Relatif Data Pengujian Sifat Fisis dan Mekanis a. Pengujian Sifat Fisis...58 b. Pengujian Sifat Mekanis Data Pengujian Sifat Dasar Pengeringan (Oven) Suhu Tinggi...66

17 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan dan pengembangan hutan rakyat semakin menjadi prioritas dan alternatif pilihan guna mengatasi permasalahan kelangkaan bahan baku industri perkayuan yang bersumber dari hutan alam. Pengembangan hutan rakyat telah menjadi langkah yang baik untuk menyediakan kayu bahan baku industri secara mantap dan berkesinambungan. Upaya ini pun menjadi suatu solusi yang cukup baik dalam meningkatkan produktifitas lahan masyarakat serta mendayagunakan potensi masyarakat untuk mampu berupaya meningkatkan taraf hidupnya secara ekonomi dengan mandiri khususnya melalui bidang kehutanan. Hutan rakyat adalah suatu lapangan yang berada di luar kawasan hutan negara yang bertumbuhan pohon pohonan sedemikian rupa sehingga secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta lingkungan yang pemilikannya berada pada rakyat (Departemen Kehutanan 1996). Menurut SK Menteri Kehutanan No.49/Kpts II/1997 tentang Pendanaan dan Usaha Hutan Rakyat, diacu dalam Kementerian Negara Lingkungan Hidup 2007, pengertian hutan rakyat adalah hutan yang dimiliki oleh rakyat dengan luas minimal 0,25 ha dengan penutupan tajuk tanaman berkayu dan atau jenis lainnya lebih dari 50 % dan atau tanaman berkayu sebanyak minimal 500 pohon tiap hektar. Kerusakan lahan dan hutan di Indonesia telah mencapai 59,2 juta ha dengan luasan lahan kritis di dalam dan di luar kawasan hutan mencapai 42,1 juta ha. Kebutuhan kayu nasional saat ini sebanyak 57,1 juta m 3 per tahun dengan kemampuan hutan alam dan hutan tanaman untuk menyediakannya sebesar 45,8 juta m 3 per tahun (Kementerian Negara Lingkungan Hidup 2007), sehingga terjadi defisit kebutuhan kayu sebesar 11,3 juta m 3 per tahun. Kondisi tersebut berpotensi mendorong kemungkinan beralihnya permintaan pasokan bahan baku ke jenis jenis kayu non komersil dari produksi hutan rakyat. Pemerintah menargetkan pembangunan hutan rakyat seluas 2 juta ha selama

18 2 periode tahun Berdasarkan data yang diperoleh dari Direktorat Jenderal RLPS (2006), diacu dalam Kementerian Negara Lingkungan Hidup 2007, luas hutan rakyat di Indonesia sampai dengan April 2006 tercatat ,61 ha. Kecenderungan peningkatan permintaan kayu dari hutan rakyat yang sebagian besar belum cukup dikenal dalam industri perkayuan perlu diimbangi dengan keseriusan dalam mencari upaya penanganan yang tepat untuk menghasilkan mutu dan kualitasnya yang terbaik dan sesuai dengan tujuan penggunaannya sebagai bahan baku dalam industri perkayuan, baik selama proses pengolahan maupun setelah menjadi suatu produk komoditi tertentu. Salah satu yang menjadi persyaratan utama kualitas kayu sebagai bahan baku ialah kadar air, agar dimensi kayu tetap stabil selama pemakaian maka kandungan air dalam kayu harus dibuat seimbang dengan kadar air di lingkungannya. Upaya pengeluaran air dari dalam kayu melalui pengeringan menjadi mutlak untuk dilakukan guna mencapai kadar air yang diinginkan, namun seringkali upaya pengeringan kayu diikuti dengan terjadinya cacat pengeringan yang merugikan seperti retak, pecah, perubahan bentuk (deformasi/collapse), pewarnaan permukaan, dan lain sebagainya. Hal tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti struktur anatomi kayu, porsi kayu remaja, dan berat jenis (Basri et al. 2000). Jadwal pengeringan, merupakan salah satu faktor penting yang menentukan keberhasilan pengeringan kayu dalam dapur pengering. Jadwal pengeringan yang lazim digunakan ialah yang perubahan suhu dan kelembaban udaranya diatur berdasarkan kadar air kayu yang sedang dikeringkan (Basri et al. 2000). Tujuan dari pengeringan ialah untuk mengeringkan kayu dalam waktu yang sesingkat mungkin hingga mencapai kadar air yang diinginkan tetapi dengan cacat yang minimal. Dalam menetapkan berapa besar suhu dan kelembaban awal hingga akhir pengeringan dalam waktu yang optimal tanpa merusak kayu, diperlukan pengetahuan dasar tentang sifat pengeringan kayu (Terazawa 1965) serta jadwal pengeringan yang sesuai. Metode pengeringan yang paling sering

19 3 digunakan oleh industri pada umumnya ialah pengeringan menggunakan kilang pengering.

20 4 1.2 Tujuan dan Manfaat Tujuan dari penelitian ini ialah untuk mengetahui sifat pengeringan dan menentukan jadwal pengeringan dasar yang sesuai untuk digunakan mengeringkan kayu rakyat (akasia, jeunjing, angsana, dan afrika) dengan menggunakan kilang pengering. Sedangkan manfaat yang diharapkan dari penelitian ini ialah untuk dapat meminimumkan biaya dalam proses pengeringan kayu serta untuk meningkatkan kualitas dan mencapai optimasi nilai guna kayu rakyat sebagai bahan baku industri.

21

22 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hubungan Air dan Kayu Kayu berasal dari pohon yang dalam pertumbuhan atau kehidupannya membutuhkan air sebagai sarana transportasi hara dari tanah dan hasil asimilasi dari daun ke seluruh bagian jaringan pohon lainnya. Air di dalam kayu berada di rongga sel yang sangat kecil, sehingga sulit untuk keluar. Secara alami, keluarnya air dari dalam kayu membutuhkan waktu berbulan bulan tergantung dari jenis dan ukuran kayunya. Kayu segar mengandung air yang terdapat di rongga dan di bagian dinding sel. Kadar air kayu segar bervariasi menurut jenis dan tempat tumbuh. Pada bagian ini kadar air kayu segar juga dipengaruhi kandungan air tanah tempat tumbuh karena kayu memiliki sifat higroskopis yang mampu melepas dan mengikat air sesuai dengan kelembaban udara di sekitarnya. Terdapat dua jenis air yang berada di dalam struktur anatomi kayu, yaitu air bebas dan air terikat. Air bebas terdapat pada ruang ruang sel atau pada ruang atau rongga antar sel yang akan lebih dulu keluar pada proses pengeringan. Air bebas umumnya tidak mempengaruhi sifat dan bentuk kayu kecuali berat kayu (Siau 1984). Sedangkan air terikat terdapat di dalam dinding sel dan sangat mempengaruhi hampir seluruh sifat fisis maupun mekanis kayu dan juga lebih sulit dikeluarkan dibanding air bebas. Keadaan dimana air bebas telah semuanya keluar dari kayu tetapi dinding sel masih jenuh dengan air disebut kadar air titik jenuh serat (Tobing 1988). Sedangkan, air terikat merupakan air yang berada dalam dinding sel kayu. Zat cair pada dinding dinding sel inilah yang berpengaruh kepada sifat sifat kayu (Siau 1984). Bila seluruh air bebas di rongga sel dan sebagian air terikat telah keluar, kayu akan susut dan akan berpengaruh negatif terhadap keragaan produk kayu. Oleh karena itu, maka kayu tersebut perlu dikeringkan terlebih dahulu sebelum

23 5 diolah, sehingga dengan demikian dapat dikatakan bahwa tujuan utama dari pengeringan ialah untuk menjaga stabilitas dimensi kayu dalam penggunaannya. Air diserap dari tanah oleh akar dan diangkut melalui batang pohon, oleh karena itu kayu pada batang pohon hidup mengandung banyak air, berkisar antara % dari berat kering tanur kayu. Perbandingan antara berat air yang ada dalam suatu batang kayu dengan berat kering tanur kayu yang bersangkutan disebut sebagai kadar air kayu (Soedarisman & Purwoko 1985). Haygreen dan Bowyer (1982), menambahkan bahwa kadar air kayu merupakan perbandingan antara berat air yang terdapat dalam kayu dengan berat kering tanur kayunya yang telah dikeringkan dengan oven dalam satuan persen. Pada umumnya, kayu yang baru ditebang memiliki kandungan kadar air mencapai lebih dari 100 % dan sangat bervariasi dengan kisaran %, serta akan mengering hingga sesuai dengan kondisi lingkungannya secara alami. Kayu sebagai bahan bangunan maupun mebel, nilai kadar airnya harus berada pada kisaran antara 8 14 % (Desch 1968, diacu dalam Basri & Rahmat 2001). Tobing (1988) menjelaskan, begitu pohon ditebang, kayu akan segera mengalami penurunan kadar air sebagai akibat dari usaha kayu untuk mencapai keseimbangan dengan kelembaban lingkungan. Air bebas keluar pertama kali dan ketika seluruh air bebas habis, maka kayu mencapai kondisi titik jenuh serat. Pada seluruh jenis kayu, titik jenuh serat berkisar pada kadar air 30 %, hal itu memberikan arti bahwa apabila sepotong kayu telah mencapai kadar air 30 %, maka ruang sel maupun ruang antar sel tidak mengandung air lagi. Kadar air titik jenuh serat penting dalam pengeringan, hal itu karena : 1. Dibutuhkan energi panas yang lebih besar untuk menguapkan air terikat. 2. Dinding sel tidak menyusut hingga dicapainya titik jenuh serat. 3. Perubahan besar terhadap sifat fisis dan mekanis kayu mulai terjadi setelah kadar air titik jenuh serat tercapai. Penurunan kadar air akan berjalan terus hingga tiba pada kondisi dimana kayu tidak melepas air atau tidak menyerap air dari lingkungan. Kadar air pada kayu yang sudah seimbang dengan kelembaban lingkungan ini disebut kadar air keseimbangan (Tobing 1988).

24 6

25 7 2.2 Proses Pengeringan Kayu Pengeringan kayu adalah proses penurunan kadar air kayu sampai mencapai kadar air tertentu atau kadar air yang sesuai dengan kondisi tempat kayu tersebut berada yang disebut dengan kadar air keseimbangan (Coto 1996). Alasan dari kegiatan pengeringan kayu antara lain ialah : 1. Menghindari cacat bentuk dan menjaga stabilitas dimensi kayu terutama setelah proses pengolahan dengan cara memastikan penyusutan kayu telah terjadi sebelum kayu digunakan. 2. Untuk memperbaiki permukaan kayu sebelum tahapan proses pengolahan selanjutnya, seperti perekatan dan pewarnaan. 3. Agar lebih tahan dari pelapukkan dan serangan jamur. 4. Memudahkan impregnasi dengan bahan pengawet. 5. Menurunkan berat kayu serta mengurangi biaya angkutan. Faktor faktor yang mempengaruhi pengeringan kayu menurut Tsoumis (1991) adalah sebagai berikut : 1. Panas Molekul air memerlukan panas sebagai energi untuk melepaskan diri dari ikatan antar sesama molekul air pada air bebas yang terdapat dalam rongga sel, dan untuk melepaskan diri dari ikatan tangan hidroksil pada air terikat yang terdapat pada dinding sel. Panas ini harus cukup tersedia untuk menaikkan suhu kayu, sehingga pergerakan air dari dalam kayu menuju ke permukaan akan semakin meningkat. 2. Kelembaban nisbi Kelembaban nisbi digunakan sebagai penentu kapasitas pengeringan. Semakin rendah kelembaban nisbi maka semakin tinggi kapasitas pengeringan. Begitu juga sebaliknya, semakin tinggi kelembaban nisbi maka akan semakin rendah kapasitas pengeringan. 3. Sirkulasi udara Sirkulasi udara berfungsi sebagai pengantar panas ke kayu yang digunakan oleh uap air dalam kayu dan memindahkan uap air dan udara di sekitar kayu dimana ia keluar. Kecepatan yang cukup dan

26 8 keseragaman sirkulasi udara di semua tempat (permukaan kayu yang akan dikeringkan) merupakan faktor penting agar didapatkan waktu pengeringan yang cepat dan merata (Coto 1996). 4. Vakum Proses vakum dapat memperlemah ikatan antara sesama molekul H 2 O atau antara H 2 O dengan tangan OH di dalam zat kayu. Coto (2004) menjelaskan bahwa pada tahap permulaan pengeringan, permukaan kayu yang dikeringkan mengalami tegangan tarik, sedangkan bagian tengah atau dalam mengalami tegangan tekan. Pada akhir pengeringan, bagian permukaan mengalami tegangan tekan, sedangkan bagian dalam mengalami tegangan tarik. Hal tersebut terjadi karena adanya gradien kadar air, yakni pada tahap permulaan pengeringan, bagian permukaan yang kering bergerak menyusut akan tetapi tertahan oleh bagian dalam yang masih basah. Pada akhir pengeringan, bagian dalam menyusut karena kadar airnya telah turun di bawah titik jenuh serat, akan tetapi dihalangi oleh bagian permukaan yang lebih panjang dari semestinya akibat tegangan tarik pada tahap permulaan pengeringan (Coto 2004). Untuk kayu kayu yang akan diolah kembali, proses peniadaan tegangan mutlak dilakukan, agar kayu tersebut tidak rusak bila digergaji atau dibubut. Proses peniadaan tegangan dilakukan dengan tahap preheating diawal pengeringan, tahap pengkondisian (conditioning) dan tahap pemerataan kadar air kayu (equalizing) yang dapat dilaksanakan secara bersamaan di akhir pengeringan. Preheating (pengukusan) dapat dilakukan dengan penggunaan suhu rendah selama beberapa hari atau dengan kelembaban tinggi (suhu 90 0 C dan kelembaban 90 %) selama 4 jam, dimaksudkan untuk membuat kabut uap yang pekat di dalam kilang pengering, sehingga udara menjadi berkelembaban tinggi dan permukaan kayu menjadi basah, menyebabkan tegangan dalam kayu akan mengendur. Tujuan dari preaheating ialah untuk menyamakan KA awal kayu agar dapat diproses dalam tahapan proses yang sama, menghilangkan tegangan tegangan dalam kayu yang terjadi selama proses penimbunan atau pada pengeringan alami (Budianto 1996).

27 9 Tahap conditioning ialah tahap penurunan sedikit persentase kadar air kayu di bawah target yang ditetapkan dengan cara menaikkan temperatur dan mengendalikan kelembaban relatif sedikit kering, sehingga kadar air kayu maksimum ialah kadar air yang ditargetkan dan kayu yang kering akan mempunyai kadar air kayu lebih rendah dari target. Sebagai contoh, jika kadar air akhir kayu setelah pengeringan dikehendaki 10 %, maka proses conditioning dimulai setelah kadar air kayu mencapai 8 % (< 10 %). Proses conditioning dianggap selesai bila kadar air semua kayu naik kembali dari 8 % mencapai < 10 % (Mc Millen 1978, diacu dalam Basri 2000). Tahap ini dilakukan dengan tujuan untuk mencegah perbedaan tegangan terlalu tinggi antara bagian permukaan dan bagian dalam kayu agar dapat menghindari terjadinya cacat case hardening yang dicirikan dengan fenomena melengkungnya kayu setelah dikeringkan (Budianto 1996). Tahap equalizing bertujuan untuk menghilangkan tegangan tegangan dalam kayu yang timbul akibat kurang meratanya kadar air di bagian dalam dan permukaan kayu. Pada akhir proses, kadar air permukaan kayu mencapai 5 6 %, tapi bagian dalamnya masih 8 %. Perbedaan kadar air tersebut dapat ditangani dengan cara pembasahan (water spray) sehingga permukaan kayu juga memiliki kadar air 8 % dan dengan demikian, tegangan dalam kayu akan terbebaskan (Budianto 1996). 2.3 Beberapa Sifat Kayu yang Berhubungan dengan Pengeringan Terdapat beberapa faktor dari sifat dasar kayu yang mempengaruhi efektifitas pengeringan, yaitu : a. Kayu gubal dan kayu teras Kayu gubal merupakan bagian dari pohon yang berfungsi sebagai penyalur cairan yang dihisap oleh akar ke daun serta sebagai gudang bahan makanan cadangan, sehingga lebih basah dan mudah dikeringkan. Sedangkan kayu teras merupakan bagian pohon yang jaringannya telah mati dan banyak mengandung zat zat ekstraktif sehingga menurunkan permeabilitas dari kayu tersebut dan mengakibatkan kayu cenderung

28 10 menjadi lebih sulit untuk dikeringkan dan lebih mudah mengalami cacat pengeringan seperti pecah permukaan dan pecah dalam (Tobing 1988).

29 11 b. Empulur (pith) Menurut Tobing (1988), sifat pengeringan empulur berbeda dengan sifat pengeringan jaringan kayu lainnya karena memiliki ikatan yang sedikit lemah terhadap jaringan kayu di sekelilingnya. Terkadang mudah lepas terutama pada proses pengeringan dengan suhu yang relatif tinggi. Namun porsinya sangat sedikit dalam pohon, sehingga bagian empulur dalam proses pengeringan tidak terlalu mengganggu mutu kayu hasil pengeringan. c. Kayu remaja (juvenile wood) Kayu remaja merupakan bagian kayu yang terbentuk oleh kambium berumur muda, umumnya memiliki banyak serat spiral dan berdinding sel tipis. Bagian kayu ini memiliki potensi mengalami penyusutan yang lebih besar pada bidang radial dibanding pada bagian kayu lain. Pada bagian kayu ini, hal itu seringkali diikuti oleh terjadinya deformasi seperti cacat bungkuk (crook) dan collapse (Tobing 1988). d. Riap tumbuh Satu riap tumbuh terdiri dari dua bagian kayu yaitu kayu awal dan kayu akhir. Kedua bagian kayu ini memiliki berat jenis yang berbeda sehingga sifat pengeringan yang ditimbulkan juga berbeda, terutama pada fenomena terjadinya penyusutan pada bidang radial dan tangensial, yang umumnya diikuti oleh deformasi (Tobing 1988). e. Jari jari kayu Menurut Tobing (1988), jari jari kayu terdiri dari sel kayu yang berdinding tipis dan karena itu relatif lebih lemah terutama pada jari jari yang sempit, sehingga dalam proses pengeringan, bagian ini sering mengalami cacat seperti retak, pecah atau pecah dalam. Selain itu, kayu yang memiliki jari jari dengan lebar berbeda akan menyebabkan penyusutan ke arah radial dan tangensial. Tingkat penyusutan yang terjadi pada jari jari dengan lebar yang berbeda tersebut, umumnya lebih besar dibanding dengan kayu yang memiliki lebar jari jari yang relatif seragam sehingga mendukung timbulnya cacat deformasi (Tobing 1988).

30 12 f. Mata kayu Mata kayu memiliki berat jenis yang lebih tinggi dibandingkan dengan berat jenis pada bagian kayu di sekitarnya. Orientasi seratnya juga berbeda, sehingga sifat pengeringan yang ditimbulkan juga berbeda. Mata kayu lebih rentan mengalami pecah dan lepas (loose knots) sehingga mempengaruhi mutu kayu hasil pengeringan (Tobing 1988). Mata kayu yang terdapat pada batang yang masih dalam pertumbuhan umumnya masih memiliki ikatan yang lebih erat dengan sel kayu lain di sekitarnya. Adapun mata kayu yang terdapat pada batang yang telah lama rebah atau berada pada kondisi panas pengeringan akan mudah mengalami lepas atau pecah dan retak permukaan.

31 13 g. Kayu reaksi Dalam proses pengeringan, kayu reaksi mengalami penyusutan longitudinal yang lebih besar dibandingkan dengan penyusutan normalnya, sehingga dapat berakibat terbentuknya cacat deformasi seperti bungkuk (crook), memuntir (twist) dan sebagainya (Tobing 1988). h. Serat miring Serat miring memiliki gejala yang sama dengan kayu reaksi sewaktu dikeringkan yaitu memiliki penyusutan longitudinal yang lebih besar, sehingga yang ditimbulkan juga berupa cacat deformasi (Tobing 1988). i. Tekstur kayu Menurut Tobing (1988), tekstur yang tidak merata (terdapat tekstur halus hingga kasar pada permukaan papan) berakibat terhadap banyaknya cacat yang dapat terbentuk dalam proses pengeringan, terutama pada cacat pecah dan retak permukaan. j. Sel pembuluh Sel pembuluh yang bebas tanpa memiliki sumbatan tylosis maupun amorf dan memiliki ukuran diameter besar akan memudahkan dan mempercepat mekanisme pengeringan. Sedangkan sel pembuluh yang diameternya kecil akan menghambat proses pengeluaran kandungan air dari dalam kayu, sehingga berpotensi menimbulkan gradien kadar air yang cukup besar antara bagian permukaan dan bagian dalam kayu yang akan mendorong timbulnya berbagai cacat pengeringan (Tobing 1988). Jumlah pori pori yang sedikit dan noktah pada pembuluh yang sempit juga dapat menghambat proses keluarnya air pada proses pengeringan. k. Dinding sel Semakin tebal dinding sel kayu, maka akan semakin banyak jumlah air terikat yang harus dikeluarkan dari dalam kayu dibanding dengan kayu yang memiliki dinding sel lebih tipis, jarak yang harus ditempuh air untuk keluar dari kayu lebih panjang dan massa kayu yang mengalami penyusutan lebih besar. Hal itu mendorong timbulnya cacat deformasi dan cacat pecah atau retak permukaan dan ujung (Tobing 1988).

32 14 l. Parenkim Kayu dengan parenkim berbentuk pita apalagi yang kondisinya rapat beraturan akan sangat memudahkan mekanisme keluarnya air ke arah tebal dan lebar sortimen karena parenkim jenis ini memiliki intensitas jumlah dan penyebaran yang relatif cukup besar sehingga meningkatkan jumlah air yang dapat keluar dari kayu selama proses pengeringan berlangsung dibanding dengan tipe parenkim lainnya (Tobing 1988). Beberapa sifat fisis kayu yang mempengaruhi keberhasilan dari pengeringan antara lain ialah : a. Berat jenis Berat jenis adalah suatu indikator yang dapat digunakan untuk menduga mudah atau tidaknya suatu kayu dikeringkan. Kayu yang memiliki berat jenis lebih tinggi akan mempunyai sifat pengeringan yang lebih lambat serta kemungkinan mengalami cacat yang lebih besar dibanding kayu yang berat jenisnya lebih rendah (Tobing 1988). Berat jenis juga merupakan indikasi tebal dinding sel, semakin tinggi berat jenis zat kayu atau tebal dinding sel maka makin banyak jumlah air absolut di dalam dinding sel serta semakin besar jarak yang harus ditempuh air untuk keluar dari dinding sel sehingga dapat menghambat laju pengeringan. b. Penyusutan (shrinkage) Penyusutan adalah menyusutnya kayu akibat keluarnya air terikat dari dinding sel. Faktor faktor yang berpengaruh terhadap penyusutan kayu antara lain : kadar air, kerapatan, struktur/anatomi kayu, kadar ekstraktif, kandungan/komposisi bahan kimia, dan sifat mekanis kayu tersebut (Tsoumis 1991). Keluarnya air dari dinding sel, akan menyebabkan dimensi kayu berkurang atau susut, yang besarnya tergantung dari jumlah air yang keluar dan berat jenis. Makin tinggi berat jenis suatu kayu makin besar susut yang terjadi dan begitu juga sebaliknya. Penyusutan yang terjadi di setiap arah kayu juga berbeda. Hal ini karena kayu memiliki sifat khas yaitu sifat ortotropis. Besarnya susut pada arah longitudinal pada kayu

33 15 normal sangat kecil dan secara teknis dapat diabaikan. Sedangkan pada arah tangensial lebih besar dari susut pada arah radial, besar susut tangensial dapat mencapai 1,5 sampai 4 kali susut arah radial (T/R = 1,5 4) (Coto 1996). 2.4 Mekanisme Keringnya Kayu Tobing (1988) menjelaskan, air dari dalam kayu bergerak dari zona yang lebih basah ke zona yang lebih kering. Kayu mengering dari luar ke dalam, artinya agar air bagian dalam kayu dapat dikeluarkan maka permukaan kayu harus lebih kering. Pada proses pengeringan, permukaan kayu segera mencapai keseimbangan dengan udara sekelilingnya dan pada saat ini mulai terjadi gradien kadar air dalam kayu. Agar dicapai pengeringan yang cepat, maka kadar air permukaan kayu harus diusahakan serendah mungkin mendekati kadar air keseimbangan lingkungannya, sehingga tidak menimbulkan cacat pengeringan. Coto (2004), menerangkan bahwa keluarnya air dari dalam kayu terjadi secara lambat dan bertahap. Bila kayu basah diletakkan pada suatu ruangan dengan kadar air keseimbangan tertentu, maka pertama kali air akan keluar dari permukaan kayu dan segera setelah keluarnya air dari permukaan kayu terjadi kondisi yang dinamakan gradien kadar air kayu, yaitu keadaan dimana bagian permukaan kayu lebih kering dari bagian dalam, sehingga air dari bagian dalam bergerak keluar. Air di dalam kayu bergerak ke segala arah, pergerakan air yang tercepat terjadi pada arah longitudinal, sedangkan yang paling lambat terjadi pada arah tangensial. Air ini dapat bergerak dalam bentuk cairan (air bebas dan air terikat) maupun dalam bentuk uap. Tobing (1988) menerangkan bahwa terdapat beberapa gaya yang mempengaruhi pergerakkan air secara simultan. Beberapa gaya tersebut antara lain ialah : 1. Gaya kapiler Gaya kapiler menyebabkan air bebas bergerak melalui lumen, ruang noktah dan membran sel. Gaya ini relatif tidak penting, karena gaya ini

34 16 akan segera berhenti apabila permukaan kayunya telah mencapai kadar air di bawah titik jenuh serat. 2. Perbedaan tekanan uap air menyebabkan uap air bergerak melalui lumen, ruang noktah, membran noktah, dan ruang interseluler. Gerakan ini efektif pada temperatur tinggi dan pada kayu dengan berat jenis rendah. 3. Perbedaan kadar air Perbedaan kadar air menyebabkan air bergerak melalui transitory dinding sel. Gerakan ini penting pada pengeringan kayu dengan temperatur rendah. Berbeda dengan gerakan air bebas oleh gaya kapiler, uap air dan air terikat bergerak dengan proses difusi. Dibandingkan dengan gaya kapiler, gerakan melalui gaya difusi lebih lambat. Selain itu, pergerakkan uap air di dalam kayu juga dipicu oleh peningkatan suhu, kecepatan sirkulasi udara dan penurunan kelembaban nisbi udara di sekelilingnya. Budianto (1996) menerangkan, bahwa mekanisme keluarnya air dari dalam kayu dipengaruhi oleh faktor faktor seperti permeabilitas kayu itu sendiri, proses difusi dan penguapan (evaporasi). Tahapan proses evaporasi antara lain ialah : 1. Kayu basah Hampir semua rongga sel dan dinding sel kayu penuh kandungan air dan kadar air dapat mencapai 200 %. 2. Kayu setelah penebangan Setelah pohon ditebang, dinding sel kayu tetap penuh kandungan air, sedangkan rongga sel sebagian berkurang kandungan airnya. Besarnya kandungan air masih di atas 35 %. 3. Titik jenuh serat Air bebas pada rongga sel kayu telah keluar seluruhnya, namun kandungan air dalam dinding sel masih tertahan di dalam dinding sel. Besarnya kandungan air berkisar antara %. 4. Kering udara atau titik keseimbangan kadar air kayu

35 17 Pada kondisi ini, kayu menyesuaikan diri dengan udara sekitarnya, sehingga kandungan air dalam dinding sel yang berlebihan mulai terevaporasi keluar. Bentuk dimensi kayu mulai berubah (menyusut) dengan kadar air sekitar %.

36 18 5. Kering tanur Rongga sel dan dinding sel tidak mengandung air lagi. Berat kayu tidak dapat turun lebih lanjut (kadar air kayu 0 %). 2.5 Metode Pengeringan Kayu Budianto (1996) menjelaskan bahwa metode pengeringan kayu secara umum terbagi menjadi dua, antara lain ialah metode pengeringan alami dan metode pengeringan buatan. Pengeringan alami sering juga disebut dengan pengeringan udara, walaupun cara pengeringan ini tradisional dan sederhana namun dapat memberikan hasil yang memuaskan jika dikerjakan dengan semestinya. Pengeringan alami merupakan cara pengeringan kayu dengan menumpuk kayu menurut susunan tertentu dan membiarkan tumpukkan itu beberapa lama di lapangan pada kondisi terbuka ataupun di bawah naungan. Tujuan dari pengeringan alami ialah untuk menjaga stabilitas dimensi (akibat sifat kembang susut kayu) yang seringkali menimbulkan cacat bentuk, mengurangi berat kayu, meningkatkan kekuatan kayu (dengan berkurangnya kadar air di bawah titik jenuh serat), menghindari serangan agen perusak biologis, mempermudah proses pengerjaan selanjutnya, dan mempermudah pemasukkan bahan pengawet dengan cara menyesuaikan kadar air kayu dengan lingkungan sekitar. Namun pengeringan alami memiliki kelemahan, yakni waktu pengeringannya sangat tergantung dengan kondisi cuaca dan lokasi, sulit mencapai kadar air 15 %, perlu pencegahan terhadap berbagai faktor perusak kayu selama proses pengeringan, waktu pengeringan relatif lama dan perlu area yang cukup luas. Oleh karena itu, untuk mengatasi kesulitan dan kendala kendala tersebut, maka dikembangkanlah sistem sistem pengeringan lain guna menjamin kelangsungan proses produksi serta guna mengurangi cacat pengering yang terjadi. Sistem pengeringan tersebut dikenal dengan sistem pengeringan buatan (Coto 2004). Sistem pengeringan buatan tidak tergantung pada kondisi cuaca. Beberapa model pengeringan buatan, antara lain ialah : sistem pengeringan dehumidifier, vakum, fan, dan sistem pengeringan kilang pengering.

37 19 1. Metode pengeringan dehumidifier Prinsipnya ialah pemanasan udara agar kandungan air dalam kayu terevaporasi keluar dengan penurunan kelembaban. Air yang keluar terserap udara di sekitarnya dan udara ini menjadi lembab oleh uap air yang diserap dari kayu. Udara lembab itu dihisap ke dalam mesin untuk disaring melalui proses pendinginan udara. Air kondensasi dibuang keluar dan udara kering disalurkan masuk kembali ke dalam ruang oven melalui elemen pemanas. Udara panas dan kering masuk kembali ke dalam oven untuk menyerap uap air lagi, begitu seterusnya (Budianto 1996). 2. Metode pengeringan vakum Sistem pengering vakum menggunakan dasar hisapan dan penekanan udara untuk mengevaporasikan kandungan air dalam kayu. Sistem ini cukup baik untuk pengawetan dan pemutihan warna kayu (Budianto 1996). 3. Metode pengeringan fan Penyebaran molekul air yang keluar dari kayu ke udara di sekitarnya tergantung dari kecepatan pergerakkan udara. Penggunaan fan sangat efektif pada pengeringan kayu yang tergolong mudah & relatif cepat untuk dikeringkan dan kadar airnya masih tinggi. Pada kayu yang sulit kering dan kadar airnya rendah, pengaruh percepatan sirkulasi udara oleh fan tidak berpengaruh nyata (Coto 2004). 4. Metode pengeringan kilang pengering (konvensional) Coto (2004) menerangkan, oven pengering kayu konvensional paling sering digunakan karena operasinya mudah, efisien dan rendah biaya pengoperasiannya. Prinsipnya ialah udara panas dari sumber panas dikonveksikan (dialirkan melalui uap air) dan diradiasikan (dialirkan melalui udara) oleh plat metal dan bergerak ke atas. Dinding atas dan sekat akan mengarahkan udara ke tumpukkan yang akan digunakan oleh molekul air untuk keluar dari dalam kayu. Udara di sekitar papan pada tumpukkan yang mengandung molekul air yang keluar dari kayu akan

38 20 bergerak ke bawah (turun) karena lebih berat. Karena bagian bawah tumpukkan lebih dingin, sebagian uap air di udara tersebut akan mengembun dan jatuh ke lantai kilang. Adanya sekat, lantai dan dinding mengarahkan pergerakkan udara ke plat metal, menyerap panas, bergerak ke atas dan seterusnya secara berkelanjutan hingga kayu di tumpukkan mengering. Pengeringan dengan metode ini dapat digunakan untuk semua jenis kayu. Selain dari metode pengeringan di atas, Tobing (1988) menjelaskan bahwa teknik penumpukan juga memegang peranan penting dalam menentukan lamanya (waktu) yang dibutuhkan untuk mengeringkan kayu. Pemberian beban yang cukup pada permukaan tumpukkan bagian atas serta pengaturan jarak ganjal yang baik akan menghasilkan kayu kering berkualitas baik. Kayu yang ditumpuk secara berlapis lapis dimana masing masing lapisan dipisahkan oleh ganjal (stick) bertujuan untuk menyingkap seluruh permukaan papan terhadap sirkulasi udara yang terjadi di dalam tumpukkan. Rasmussen (1961), He dan Lin (1989) diacu dalam Martawijaya dan Barly (1995) menyarankan upaya untuk mengatasi permasalahan lamanya waktu pengeringan yakni dengan melakukan kombinasi pengeringan alami dan dalam dapur pengering. Selain itu, penelitian lain juga melaporkan bahwa pemberian uap panas (pengukusan) pada kayu selama 12 hingga 24 jam menjelang akhir pengeringan dapat memulihkan cacat collapse (McMillen 1978, diacu dalam Basri 2000), namun demikian teknik ini pun tidak selalu cocok dengan setiap jenis kayu, terutama kayu muda, selain itu pengaruh suhu pengukusan yang tinggi dalam waktu lama dikhawatirkan dapat menurunkan kekuatan kayu muda tersebut (Basri et al. 2000). 2.6 Cacat pada Pengeringan Kayu Pada penelitian penentuan sifat dasar pengeringan, sebagian besar contoh uji yang didapat merupakan kayu berdiameter kecil (diameter cm). Kayu diameter kecil juga dapat dikategorikan sebagai kayu muda yang menurut Senft (1986) diacu dalam Martawijaya (1990) memiliki kelemahan antara lain ialah

39 21 lebih banyak memiliki arah serat spiral, ratio penyusutan tangensial/radial lebih besar, dinding sel lebih tipis dengan sudut mikrofibril dalam dinding sel lebih besar yang mengakibatkan penyusutan longitudinal besar. Kondisi tersebut menyebabkan sortimen dari kayu diameter kecil cenderung berubah bentuk (warping), dan atau collapse pada waktu dikeringkan. Menurut Walker (1993), terdapat beberapa kerusakan (defects) yang diakibatkan oleh proses pengeringan diantaranya adalah sebagai berikut : 1. Perubahan warna (staining) Serangan jamur pewarna terhadap kayu yang akan dikeringkan dapat ditangani dengan meminimalisasi selang waktu antara penebangan dengan waktu kayu tersebut dipotong atau diolah. Dapat juga dilakukan penumpukkan kayu secepat mungkin agar permukaan papan dapat cepat mengering dan mencapai kadar air di bawah 20 %. Pewarnaan pada kayu hasil pengeringan dapat juga terjadi oleh ganjal yang digunakan, serta bahan bahan dalam ruang pengering yang mengalami kondensasi seperti pada besi yang berkarat. 2. Cacat bentuk (warping) Cacat bentuk ini merupakan akibat dari perbedaan susut arah radial dan tangensial, (Walker 1993). Tsoumis (1991) menambahkan bahwa terjadinya cacat bentuk diakibatkan oleh kesalahan di dalam memilih jadwal pengeringan terhadap kayu yang akan dikeringkan serta proses penumpukan atau penyusunan yang tidak benar. Beberapa fenomena perubahan bentuk yang sering terjadi dapat dilihat pada gambar berikut. Gambar 1 Bentuk memuntir pada kayu hasil pengeringan Gambar 2 Bentuk membusur pada kayu hasil pengeringan Gambar 3 Bentuk diamonding pada kayu hasil pengeringan

40 22

41 23 3. Tegangan sisa di permukaan (case hardening) Case hardening merupakan tegangan sisa yang terjadi pada permukaan kayu. Cacat ini muncul pada waktu pengerjaan kayu dan sangat mengganggu pada kayu yang akan diserut atau dipotong. Untuk mengetahui ada tidaknya case hardening pada kayu dapat dilakukan uji garpu (Walker 1993). 4. Pecah dalam (honeycombing) Pecah dalam disebabkan oleh pecah permukaan yang berkelanjutan atau besarnya tegangan tegak lurus serat melebihi dari kekuatan yang dimiliki oleh kayu tersebut. Untuk menghindari terjadinya pecah dalam pada proses pengeringan diberikan kelembaban udara yang tinggi pada permulaan pengeringan dengan suhu yang tidak terlalu tinggi (Walker 1993). 5. Pecah (checking) Pecah dapat dibagi dua bagian, yaitu pecah permukaan (surface check) dan pecah ujung (end check). Menurut Tsoumis (1991), pecah terjadi akibat perubahan dimensi yang tidak sama antara permukaan dengan bagian dalam dari sepotong kayu. Pecah biasanya terjadi pada sepanjang jari jari karena merupakan bagian terlemah di dalam kayu. 6. Collapse Jika kadar air awal kayu tinggi, sel penuh terisi air dan tidak terdapat gelembung udara pada air, maka apabila terjadi proses pengeringan yang sangat cepat, air bebas akan bergerak dari bagian dalam kayu keluar melalui kapiler yang mengakibatkan tegangan cukup besar pada lumen sehingga collapse pun akan terjadi. Collapse terjadi pada kayu ketika tegangan kapiler pada rongga sel melebihi keteguhan tekan tegak lurus serat (Siau 1984). Sedangkan menurut Tsoumis (1991), collapse adalah penyimpangan sel sel yang sangat parah sehingga menyebabkan permukaan papan tampak berkerutkerut (Gambar 4). Untuk menghindari collapse, kayu kayu tersebut perlu

42 24 mendapat pengeringan pendahuluan (preheating) dengan suhu rendah selama beberapa hari atau ditumpuk dan dibiarkan mengalami pengeringan alami untuk beberapa minggu. Gambar 4 Sel collapse Usaha pencegahan terjadinya sel yang collapse telah dilakukan dalam beberapa penelitian, antara lain ialah : 1. Siau (1984) mengganti air yang berada dalam kayu dengan cairan lain yang mempunyai tegangan permukaan yang lebih dari air, seperti metanol dan etanol, sehingga tegangan cairan yang terbentuk lebih kecil. Memang usaha ini berhasil untuk mencegah collapse, namun masih terlalu mahal untuk diterapkan secara ekonomis. 2. Menurut Hadi (1987), karena suhu yang tinggi dan kondisi pengeringan yang terlalu keras pada awal pengeringan merupakan penyebab utama sel collapse, maka usaha yang paling efektif dan efisien adalah dengan menggunakan kondisi awal pengeringan yang lunak. 2.7 Jadwal Pengeringan Kayu Menurut Coto (2004), jadwal pengeringan ialah pengaturan faktor pengering (temperatur dan kelembaban) pada setiap tahapan pengeringan agar waktu pengeringan dapat dilakukan sesingkat singkatnya dan cacat yang terjadi pada papan yang dikeringkan minimal. Basri (1990), menjelaskan bahwa jadwal pengeringan merupakan salah satu faktor penting yang menentukan pengeringan kayu dalam dapur pengering. Jadwal pengering yang lazim digunakan ialah yang perubahan suhu dan kelembabannya berdasarkan pada kadar air kayu yang dikeringkan. Jadwal pengeringan yang berbasis kadar air merupakan pedoman umum yang memuat langkah langkah perubahan suhu dan kelembaban udara

43 25 berdasarkan tingkat kadar air rerata kayu yang sedang dikeringkan (Rasmussen 1961, diacu dalam Kadir 1975). Selanjutnya Basri dan Rahmat (2001) menerangkan bahwa jadwal pengeringan kayu ditetapkan secara individual atau per jenis kayu secara cobacoba, sehingga memerlukan beberapa kali percobaan pengeringan. Menurut Terazawa (1965), untuk menetapkan suhu dan kelembaban awal hingga akhir pengeringan agar kayu dapat mengering dalam waktu yang optimal tanpa merusak kualitas kayu, diperlukan pengetahuan dasar tentang sifat pengeringan kayu. Pendugaan sifat pengeringan kayu yang lazim didasarkan pada berat jenis kayu, yaitu kayu dengan berat jenis yang kurang lebih sama, diduga akan mempunyai sifat pengeringan yang sama. Menurut Basri (1990), jadwal pengeringan umumnya dibuat dengan melalui pengujian pengeringan pendahuluan (sifat dasar pengeringan) menggunakan suhu tinggi (100 0 C). Pengujian pengeringan pendahuluan dilakukan dengan tujuan untuk menduga sifat pengeringan (kepekaan) kayu dalam dapur pengering. Hasil pengujian pendahuluan ini dapat digunakan untuk merancang jadwal pengeringan dasar melalui evaluasi tingkat cacat yang terjadi pada contoh uji selama pengeringan hingga mencapai berat kering tanur (1 0 %). Kemudian jadwal pengeringan diuji lagi dalam dapur pengering percobaan. Cacat pengeringan yang diamati ialah yang terkait dengan dampak proses pengeringan seperti retak/pecah ujung dan permukaan, retak/pecah dalam serta deformasi (collapse). Basri (1990) menjelaskan kembali bahwa evaluasi pengamatan tingkat cacat dibuat dengan menggunakan sistem skala. Cacat pecah/retak permukaan kayu menggunakan skala 1 8, skala 1 6 untuk retak/pecah bagian dalam dan deformasi. Semakin tinggi skala yang digunakan, maka semakin parah tingkat cacat yang terjadi pada contoh uji kayu. Namun walau dari semua contoh uji yang diamati hanya ditemukan satu yang tingkat cacatnya terparah, penetapan suhu dan kelembaban tetap mengikuti kriteria dari contoh uji yang mengalami cacat terparah tersebut. Meskipun rancangan jadwal pengeringan yang diperoleh dari percobaan pendahuluan dijadikan dasar, tetapi penetapan jadwal pengeringan masih perlu diuji coba.

44 26

45 Kayu Hutan Rakyat Jenis kayu yang digunakan dalam penelitian ini ialah kayu kayu yang umumnya berasal dari hutan rakyat (akasia, jeunjing, angsana, afrika) yang tergolong kayu muda berdiameter antara cm. Beberapa keterangan mengenai jenis jenis kayu tersebut antara lain ialah : Akasia (Acacia mangium Leguminoceae) Penyebaran dan Ciri Umum Penyebaran kayu akasia meliputi hampir seluruh pulau Jawa, Kalimantan, Sumatra, dan Sulawesi. Kayu akasia memiliki warna coklat pucat sampai coklat tua terkadang coklat zaitun hingga coklat kelabu pada kayu terasnya dan memiliki batas yang tegas dengan gubal yang berwarna kuning pucat hingga kuning jerami. Jenis kayu akasia memiliki corak polos/berjalur jalur berwarna gelap dan terang bergantian pada bidang radial. Teksturnya halus hingga kasar dan merata dengan arah serat biasanya lurus dan kadang kadang berpadu, permukaannya mengkilap dengan kesan raba licin dan cenderung agak keras hingga keras. Ciri Anatomi Ciri anatomi kayu akasia antara lain ialah memiliki pori pori baur, soliter, dan berganda radial yang terdiri atas 2 3 pori dan terkadang hingga mencapai 4, diameter agak kecil, umumnya kurang dari 100 mikron, jarang hingga agak jarang dan memiliki bidang perforasi sederhana. Parenkim umumnya bertipe paratrakeal bentuk selubung di sekeliling pembuluh, kadang kadang cenderung bentuk sayap pada pembuluh yang kecil. Sedangkan jari jarinya tergolong sempit, jarang hingga agak jarang, ukurannya agak pendek hingga pendek. Sifat dan Kegunaan Kayu akasia termasuk ke dalam kelas awet III dan kelas kuat II/III dengan berat jenis 0,61 (0,43 0,66). Kayu akasia umumnya digunakan sebagai bahan baku bangunan perumahan, Rangka bangunan, perabot rumah

46 28 tangga, lantai dan dinding papan, papan partikel, papan serat, papan wol, papan semen, furniture, finir, pulp dan kertas, dll (Silitonga 1993) Jeunjing (Albizia falcataria Fabaceae) Penyebaran dan Ciri Umum Penyebaran jeunjing meliputi seluruh Jawa, Maluku dan Irian Jaya. Kayu jeunjing memiliki warna yang hampir sulit dibedakan antara teras dan gubalnya, yakni warna putih keabuan atau putih merah kecoklatan pucat. Teksturnya agak kasar sampai kasar dengan arah serat berpadu, terkadang lurus dan bergelombang besar sehingga bercorak. Permukaannya agak licin terkadang licin dan agak mengkilap dengan kekerasan yang agak lunak dan memiliki berat ringan. Pada kayu yang masih segar akan berbau petai, namun lambat laun akan hilang jika kayunya telah mengering. Ciri Anatomi Ciri anatomi kayu jeunjing antara lain ialah memiliki pori pori berbentuk bulat sampai oval, tersebar, soliter dan gabungan pori yang terdiri dari 2 3 pori, jumlah porinya sedikit antara 4 7 per mm 2, diameter pori dari tangensialnya sedang sampai besar sekitar mikron dengan bidang perforasi sederhana. Parenkimnya umumnya menyinggung pori sepihak sampai selubung, sebagian besar parenkim apotrakeal sebar yang terdiri dari 1 3 sel yang membentuk garis garis tangensial diantara jari jari. Sedangkan jari jarinya umumnya sempit yang tediri dari 1 2 seri dengan jumlah 6 12 per mm 2 pada arah tangensial, selain itu komposisinya seragam (homoseluler) dan hanya terdiri dari sel baring. Sifat dan kegunaan Kayu jeunjing termasuk ke dalam kelas awet IV/V dan kelas kuat IV/V dengan berat jenis 0,33 (0,24 0,49). Kayunya lunak dan mempunyai nilai penyusutan pada arah tangensial dan radial secara berurut ialah 2,5 % dan 5,2 % (basah hingga kering tanur). Kayu jeunjing umumnya digunakan sebagai bahan baku bangunan perumahan, peti, papan partikel, papan serat, papan

47 29 wol, papan semen, furniture, peti, finir, korek api, dan sebagainya (Mandang & Sudardji 2001).

48 Angsana/Sonokembang (Pterocarpus Indicus Papilionaceae) Penyebaran dan Ciri Umum Penyebaran angsana meliputi seluruh Jawa, Sulawesi, Maluku, Bali, NTB, NTT, dan Irian Jaya. Pohon angsana memiliki ciri umum antara lain ialah warna kayu terasnya yang sangat bervariasi dari kuning jerami (kuning coklat terang), coklat karat muda hingga tua, merah muda, salem, merah darah, serta berurat tidak teratur dengan warna gelap atau berwarna merah ungu kecoklatan dengan garis garis berwarna lebih gelap. Sedangkan pada kayu gubal berwarna putih keabuan, jerami muda, kuning, atau coklat muda dan mempunyai batas yang jelas dengan kayu teras dengan tebal 3 8 cm. Selain itu, jenis kayunya ini memiliki corak yang indah karena memiliki riap tumbuh yang jelas akibat adanya garis garis yang berbeda beda warnanya, dimana pada bidang radial nampak gambar berupa pita pita (garisgaris sejajar), sedangkan pada bidang tangensial terdapat corak berbiku biku (kesan gambar parabola) karena susunan pori pada lingkaran tumbuh. Tekstur kayunya hampir/agak halus hingga agak kasar dan arah serat lurus sampai bergelombang dan tidak teratur dengan kekerasan kayunya yang agak keras, berat dan agak berat. Ciri anatomi Kayu angsana memiliki jenis pori pori tata lingkar, sebagian besar soliter, jumlahnya sedikit (3 5 per mm 2 ), diameter tangensial pori pada bagian kayu akhir kecil (rerata 45 mikron) sedangkan pada bagian kayu awalnya cukup besar sekitar 375 mikron. Parenkimnya sebagian besar aliform sampai tersambung dan apotrakeal pita tangensial bersambung sampai terminal. Jari jarinya tergolong sempit 1 2 seri dan pendek yang terdiri dari 2 12 sel dengan jumlah sekitar 6 10 per mm arah tangensial, komposisinya seragam (homoseluler) terdiri hanya dari sel baring dan pada bidang tangensial ada gejala kerinyut. Sifat dan kegunaan Keawetan dan kekuatan jenis kayunya ini sangat bervariasi, dimana masuk pada kategori kelas awet II (I IV) dan kelas kuat II (I IV) dengan

49 31 berat jenis 0,65 (0,39 0,94). Pada umumnya kayunya agak lunak, terkadang keras atau sangat keras dengan nilai penyusutan dalam arah radial dan tangensial secara berurutan adalah 3 % dan 5,9 % (basah hingga kering tanur). Kayu angsana mudah dikerjakan baik dengan alat tangan maupun dengan mesin, dapat dibubut, diberi warna dan dipelitur dengan memuaskan, serta dapat menahan paku dengan baik. Hal itu menjelaskan bahwa jenis kayu ini sangat sesuai digunakan untuk bahan baku mebel, perabot rumah tangga, alat musik, meja billiard, patung, finir indah, bahan interior, bahan bubutan, alat menggambar, tiang dan papan pada bangunan perumahan atau jembatan dan untuk perahu (Dinas Kehutanan Pemda Jakarta 1997) Afrika (Maesopsis eminii Rhamnaceae) Penyebaran dan Ciri Umum Asal kayu ini dari Afrika Barat, dapat hidup dengan baik pada ketinggian 200 hingga 1200 m dpl. di Indonesia, kayu ini banyak didapat di daerah Jawa Barat dan Jawa Timur yang sengaja ditanam oleh lembagalembaga penelitian, dan di perkebunan perkebunan digunakan sebagai tanaman pelindung. Kayu afrika memiliki ciri umum yakni pada kayu gubal berwarna putih, sedangkan kayu terasnya berwarna kuning gelap sampai kecoklatan. Tekstur kayunya sedang sampai kasar, berserat lurus sampai berpadu, terasa pahit dan berbau masam. Ciri Anatomi Kayu afrika memiliki sel pembuluh berbentuk oval, sebagian soliter tapi ada yang bergabung radial 2 4 sel dan sedikit mengandung tylosis. Sel jarijarinya terdiri dari 2 macam, yaitu ada yang lebar dan ada yang sempit (namun kurang menyolok). Tipe sel parenkimnya adalah paratrakeal aliform sampai aliform bersambung (concluent) dan tidak dijumpai adanya saluran damar.

50 32 Sel penyusun kayu didominasi oleh sel serabut (56,70 %) dengan ukuran panjang 1,1 1,7 mm, tebal dinding sel 3,1 3,5 mikron, dan diameter serabut mikron.

51 33 Sifat dan Kegunaans Keawetan dan kekuatan jenis kayu afrika ini sangat bervariasi, dimana masuk pada kategori kelas awet relatif rendah dan kelas kuat III IV dengan berat jenis kering udara 0,43 (0,34 0,46), rerata susut volume total dari kondisi basah ke kondisi kering tanur 4,01 %, dan rerata %ST / %SR ialah 1,57. Kayu afrika memiliki rerata kandungan zat ekstraktif larut air dingin sebesar 1,60 %, kadar zat ekstraktif larut air panas 2,75 % dan rerata kadar abu 0,94 %. Sedangkan rerata selulosa 47,19 % dan rerata kandungan lignin sebesar 20,45 %. Penggunaan kayu afrika memerlukan usaha untuk meningkatkan keawetan kayu dari serangan mikroorganisme perusak, karena keawetan alaminya relatif rendah. Namun jenis kayu ini masih dapat digunakan sebagai komponen bangunan dengan beban maksimal tidak melebihi kemampuan kayunya dengan kelas kuat III, selain itu juga dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan papan partikel, kerajinan ataupun kayu lapis, serta dapat dijadikan bahan baku pembuatan pulp dan kertas, terutama pulp yang tidak mengalami proses pemucatan (unbleached pulp) (Tim jurusan THH 1990).

52

53 BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei hingga Nofember 2008 yang bertempat di Laboratorium Peningkatan Mutu Kayu, Laboratorium Rekayasa dan Desain Bangunan Kayu, Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. 3.2 Bahan dan Alat Bahan dan alat yang digunakan pada penelitian ini terbagi ke dalam beberapa jenis pengujian, antara lain ialah : 1. Pengujian Sifat Fisis dan Mekanis a. Bahan baku yang digunakan pada pengujian sifat fisis dan mekanis ini ialah empat jenis kayu yang berasal dari hutan rakyat, yaitu akasia, jeunjing, angsana, dan afrika. Ukuran contoh uji yang digunakan berdasarkan standar BS : b. Ukuran contoh uji untuk pengujian sifat fisis (kadar air, berat jenis dan susut volume) ialah (2 x 2 x 2) cm, untuk pengujian sifat mekanis tekan sejajar serat ialah (2 x 2 x 6) cm, untuk MOE serta MOR adalah (2 x 2 x 30) cm, dan untuk pengujian kekerasan menggunakan sisa contoh uji dari pengujian MOE dan MOR. Pengulangan untuk masing masing pengujian ialah 6 kali ulangan (sifat fisis) dan 5 kali ulangan untuk (sifat mekanis). c. Peralatan yang digunakan untuk pengujian sifat fisis dan mekanis yaitu : caliper, cutter, amplas, oven, desikator, timbangan elektrik, wadah, silinder vakum tekan, amsler, dan gelas ukur.

54 26 Tabel 1 Ukuran contoh uji sifat fisis dan mekanis Uji Fisis Uji Mekanis Jenis Kayu KA, BJ & Susut MOE, MOR & Tekan sejajar serat Volume kekerasan 2 x 2 x 2 cm 2 x 2 x 6 cm 2 x 2 x 30 cm Akasia 6 contoh uji 5 contoh uji 5 contoh uji Jeunjing 6 contoh uji 5 contoh uji 5 contoh uji Angsana 6 contoh uji 5 contoh uji 5 contoh uji Afrika 6 contoh uji 5 contoh uji 5 contoh uji 2. Pengujian Sifat Dasar Pengeringan a. Bahan baku yang digunakan pada pengujian sifat dasar pengeringan ialah empat jenis kayu yang berasal dari hutan rakyat, antara lain ialah akasia, jeunjing, angsana, dan afrika yang telah memiliki diameter antara cm. Ukuran contoh uji yang digunakan berdasarkan metode yang dikembangkan oleh Terazawa (1965). b. Ukuran contoh uji sifat dasar pengeringan ialah (20 x 10 x 2,5) cm dari papan tangensial kayu teras. Pengulangan untuk masing masing pengujian ialah 9 (dan 8 untuk angsana) kali ulangan untuk tiap jenis kayu. c. Peralatan yang digunakan untuk pengujian sifat dasar pengeringan ialah : caliper, cutter, amplas, oven, alumunium foil, lem aibon, stick kayu, dan moisture meter. Tabel 2 Ukuran contoh uji pengeringan Pengujian Perlakuan /Jenis kayu Berat Jenis Sifat Dasar Pengeringan 20 x 10 x 2,5 cm Akasia 0,61 9 contoh uji Jeunjing 0,33 9 contoh uji Angsana 0,65 8 contoh uji Afrika 0,43 9 contoh uji Jumlah Total 35 contoh uji

55 Prosedur Penelitian Prosedur penelitian yang diterapkan pada penelitian ini, yaitu : 1. Pengujian Sifat Fisis a. Contoh uji berukuran (2 x 2 x 2) cm (berdasarkan standar BS : ) dibersihkan dari serat serat dengan menggunakan amplas dan cutter kemudian ditandai dengan garis tengah pada tiap sisinya menggunakan pensil. b. Contoh uji kemudian ditimbang untuk mengetahui berat basah atau berat awal (Ba). c. Contoh uji diukur panjang, lebar dan tingginya dengan menggunakan caliper pada bagian yang telah ditandai dengan garis tengah untuk mengetahui volume awal (Va). d. Contoh uji kemudian dioven pada suhu C selama 48 jam. Setelah dioven, lalu contoh uji didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang untuk memperoleh berat kering oven/tanur (BKT). e. Contoh uji selanjutnya diukur volumenya dengan mengukur panjang, lebar dan tingginya dengan menggunakan caliper pada bagian yang telah ditandai dengan garis tengah untuk mengetahui volume akhir setelah oven (Vo). f. Selanjutnya ialah menentukan nilai kuantitatif dari sifat fisis menggunakan persamaan di bawah ini dengan menggunakan data yang telah diperoleh dari nilai rerata pengujian keempat jenis kayu contoh uji dengan masing masing 6 kali ulangan. Persamaan yang digunakan yaitu : Kadar Air Ba BKT KA = BKT x 100

56 28 Berat Jenis BJ = BKT Va Density air Density air = 1 gram/cm 3 dengan suhu 4 0 C Susut Volume Va Vo SV = Va x Pengujian Sifat Mekanis a. Contoh uji berukuran (2 x 2 x 6) cm disiapkan untuk pengujian tekan sejajar serat dan (2 x 2 x 30) cm untuk pengujian MOE dan MOR, sedangkan untuk uji kekerasan menggunakan sisa contoh uji dari pengujian MOE dan MOR (berdasarkan standar BS : ), lalu dibersihkan dari serat serat dengan menggunakan amplas dan cutter. b. Setelah contoh uji siap, selanjutnya ialah menentukan nilai kuantitatif dari sifat mekanis menggunakan alat amsler dan persamaan di bawah ini dengan menggunakan data yang telah diperoleh dari nilai rerata pengujian keempat jenis kayu contoh uji dengan masing masing 5 kali ulangan. Persamaan yang digunakan yaitu : Tekan sejajar serat P max σ tkn // = A Keterangan : σ tkn // = keteguhan tekan sejajar serat (kg/cm 3 ) P max = beban maksimum sampai terjadi kerusakan (kg) A = luas penampang contoh uji (Cm 2 ) Kekerasan H = P max A

57 29 Keterangan : H = kekerasan (kg/cm 2 ) P max = beban maksimum sampai terjadi kerusakan (kg) A = luas bidang tekan (1 Cm 2 ) MOE (Modulus of Elasticity) Δ PL 3 MOE = 4Δ Ybd 3 Keterangan : MOE = modulus lentur (kg/cm 2 ) ΔP = selisih beban sebelum batas proporsi (kg) L = jarak sangga (cm) ΔY = selisih lenturan pada beban P pada batas proporsi (cm) b = lebar contoh uji (cm) d = tebal contoh uji (cm) MOR (Modulus of Rupture) MOR = 3PL 2 bd 2 Keterangan : MOR = modulus patah (kg/cm 2 ) P = beban maksimum (kg) L = jarak sangga (cm) b = lebar contoh uji (cm) d = tebal contoh uji (cm) 3. Pengujian Sifat Dasar Pengeringan a. Contoh uji berukuran (20 x 10 x 2,5) cm yang terdiri dari empat jenis kayu yang berbeda dengan 9 (dan 8 untuk angsana) kali ulangan untuk tiap jenis kayu dibersihkan dari serat serat dengan menggunakan amplas dan cutter. b. Kemudian contoh uji disusun bertumpuk dengan menggunakan stick di dalam kilang pengering/oven. c. Contoh uji tersebut dikeringkan dalam oven dengan suhu C dan selama pengeringan hingga kadar air mencapai berat kering tanur (1 0 %), dilakukan pengamatan/pengambilan data jenis cacat yang

58 30 terjadi (retak/pecah ujung dan pecah permukaan) tiap tiga jam sekali hingga kerusakan mencapai batas maksimum. Ketika telah mencapai kering tanur, maka diamati deformasi (perubahan bentuk) dan retak/pecah dalam kayu. Pengujian metode suhu tinggi dan evaluasi cacat yang terjadi disesuaikan dengan modifikasi dari metode yang dikembangkan oleh Terazawa (1965). d. Penilaian sifat pengeringan kayu didasarkan pada tiga jenis cacat tersebut dan tingkat kerusakan masing masing jenis cacat yang menggunakan sistem skala. Semakin tinggi skala yang digunakan, maka semakin parah tingkat cacat yang terjadi pada contoh uji kayu. Namun walau dari kesembilan contoh uji yang diamati hanya ditemukan satu yang tingkat cacatnya terparah, penetapan suhu dan kelembaban tetap mengikuti kriteria dari contoh uji yang mengalami cacat terparah. e. Berdasarkan hasil evaluasi cacat tersebut, maka dapat disusun suatu rancangan jadwal pengeringan untuk setiap jenis kayu tersebut, yaitu berupa suhu awal dan akhir serta kelembaban awal dan akhir dimana kayu tersebut dapat dikeringkan secara optimal. f. Perubahan tingkat suhu dan kelembaban untuk setiap perubahan kadar air dalam jadwal pengeringan yang dibuat dari setiap jenis kayu mengacu pada standar Forest Product Laboratory (FPL) Madison (Torgeson 1951, diacu dalam Basri et al 2000). g. Perubahan kelembaban relatif untuk tiap perubahan kadar air dan suhu pengeringan dicari dengan menggunakan bantuan kurva penentu kelembaban udara relatif.

59 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sifat Fisis dan Mekanis Kayu Keberadaan sifat fisis dan mekanis kayu berdasarkan beberapa penelitian yang pernah dilakukan dianggap memiliki keterkaitan terhadap fenomena mudah atau tidaknya suatu kayu dapat dikeringkan. Seringkali faktor sifat fisis dan mekanis kayu dijadikan indikator utama untuk menggambarkan mudah atau tidaknya suatu kayu dapat dikeringkan. Oey Djoen Seng (1990) menerangkan bahwa pada umumnya kayu kayu yang terberat juga merupakan kayu kayu yang terkuat dan nilai keteguhan, kekerasan serta hampir semua sifat teknis lainnya berbanding lurus dengan nilai berat jenis. Hal itu karena pada umumnya kayu dengan berat jenis tinggi memiliki diameter serat yang cukup besar dan dinding sel yang lebih tebal sehingga kerapatannya relatif cenderung tinggi. Berdasarkan hal itu, maka pada penelitian ini dilakukan pengujian terhadap kedua faktor tersebut yang meliputi penentuan kadar air, berat jenis dan penyusutan volume pada pengujian sifat fisis, serta penentuan nilai kekuatan tekan sejajar serat, kekerasan, MOE (modulus of elasticity), dan MOR (modulus of rupture) pada pengujian sifat mekanis kayu. Melalui pengujian fisis dan mekanis yang telah dilakukan pada bagian teras keempat jenis kayu, maka diperoleh hasil sebagaimana berikut : Pengujian Sifat Fisis Berdasarkan hasil pengujian yang telah dilakukan, maka diperoleh data bahwa nilai rerata kadar air, berat jenis dan susut volume secara berurut pada kelima contoh uji kayu akasia ialah 97,22 % ; 0,55 ; 7,63 %, begitu juga pada kayu jeunjing yakni 105,49 % ; 0,32 ; 2,68 %, pada kayu angsana yakni 115,39 % ; 0,45 ; 3.41 %, dan pada kayu afrika yakni 145,01 % ; 0,42 ; 2,72 % seperti yang tertera pada Tabel 3.

60 32 Tabel 3 Data hasil pengujian sifat fisis Jenis Kayu Kadar Air (%) Berat Jenis Kisaran Umum* Umum* Uji Susut Volume (%) Kelas Kuat (BJ)* Akasia 97,22 0,43 0,66 0,61 0, III 4 Jeunjing 105,49 0,24 0,49 0,33 0, IV 1 Angsana 115,39 0,39 0,94 0,64 0, III 3 Afrika 145,01 0,34 0,46 0,43 0, III 2 * (Sumber : Pengumuman PPPHK No ) Dari data tersebut, diketahui bahwa nilai rerata kadar air dari keempat jenis kayu tersebut masih cukup tinggi dan tergolong ke dalam kayu basah karena memiliki nilai kadar air yang mendekati atau melebihi 100 %. Dapat disimpulkan bahwa keempat jenis kayu tersebut masih banyak mengandung air bebas yang umumnya tidak mempengaruhi sifat dan bentuk kayu kecuali berat kayu (Siau 1984). Data pada Tabel 3 juga menunjukkan bahwa ada variasi antara nilai berat jenis dari hasil pengujian dengan nilai berat jenis yang secara umum diketahui, walaupun nilainya masih berada dalam selang kisaran umum berat jenis. Menurut Oey Djoen Seng (1990), berbagai faktor yang mempengaruhi hal tersebut ialah adanya perbedaan faktor umur, kecepatan tumbuh, tempat pada tinggi yang berbeda beda dari batang, pertumbuhan eksentrik, kayu cabang, teras kayu, ruang tumbuh antar pohon, jenis pohon dengan ukuran maksimum yang kecil, dan jenis pohon dengan ukuran garis tengah yang sangat besar. Variasi yang besar dari berat jenis kayu tidak saja terjadi diantara pohon pohon dari jenis yang sama tapi juga antara bagian bagian pohon yang sama, sehingga dalam industri atau perdagangan permintaan bahan baku kayu lebih dilakukan dengan menggunakan klasifikasi kelas kuatnya (sifat mekanis) dibanding dengan nilai berat jenisnya, Ket. walaupun pada nilai kelas kuat juga memiliki fenomena variasi yang sama.

61 33 Gambar 5 Kurva hubungan berat jenis dan penyusutan volume kayu Pada Gambar 5, terlihat bahwa nilai berat jenis kayu terbukti memiliki hubungan dengan tingkat penyusutan volume selama proses pengeringan, dimana kayu dengan berat jenis yang tinggi akan menghasilkan nilai susut volume yang lebih besar dibanding kayu dengan berat jenis yang lebih rendah dan cenderung waktu yang dibutuhkan dalam proses pengeringannya lebih lama (Bramhall dan Wellwood 1976). Data menunjukkan bahwa kayu jeunjing dengan berat jenis terendah yaitu 0,32 memiliki nilai susut volume sebesar 2,68 %, kayu afrika dengan berat jenis 0,42 memiliki nilai susut volume sebesar 2,72 %, kayu angsana dengan berat jenis 0,45 memiliki nilai susut volume sebesar 3,41 %, sedangkan untuk kayu akasia dengan berat jenis 0,56 memiliki nilai susut volume sebesar 7,63 %. Seperti yang telah dibahas sebelumnya juga bahwa berat jenis memiliki pengaruh atas kekuatan mekanis. Dari pengujian terhadap keempat jenis kayu tersebut, dihasilkan data mengenai kelas kuat dimana klasifikasi nilai kelas kuat untuk kayu akasia, jeunjing, angsana, dan afrika secara berturut turut ialah III (kisaran BJ 0,60 0,40), IV (kisaran BJ 0,40 0,30), III dan III (sedangkan untuk kelas kuat I berada pada BJ > 0,90, kelas kuat II berada pada kisaran BJ 0,90 0,60 dan untuk kelas kuat V berada pada BJ < 0,30) (Pengumuman PPPHK No ). Pengujian Sifat Mekanis Kekerasan kayu ialah suatu ukuran kekuatan kayu dalam menahan gaya yang membuat lekuk padanya. Kekerasan kayu juga dapat diartikan sebagai kemampuan kayu untuk menahan kikisan. Sedangkan keteguhan tekan (tekan sejajar serat) ialah kemampuan suatu jenis kayu untuk menahan muatan jika kayu

62 34 itu dipergunakan dalam posisi longitudinal arah serat untuk tujuan tertentu (Dumanauw 2001). Kekakuan kayu ialah suatu ukuran kekuatan dalam kemampuannya menahan perubahan bentuk atau lengkungan. Kekakuan tersebut dinyatakan dengan istilah Modulus of Elasticity (MOE) yang berasal dari pengujianpengujian keteguhan lentur statik. Keteguhan lentur ialah kekuatan untuk menahan gaya gaya yang berusaha melengkungkan kayu atau untuk menahan beban beban mati maupun hidup. Untuk keteguhan lengkung kayu biasanya dinyatakan dalam istilah Modulus of Rupture (MOR) untuk menentukan beban yang dapat dipikul suatu balok kayu (Dumanauw 2001). Berdasarkan hasil pengujian yang telah dilakukan, maka diperoleh data bahwa nilai rerata kekerasan tangensial dan radial, tekan sejajar serat, MOE, dan MOR secara berurut pada contoh uji kayu akasia ialah 452,20 kg/cm 2 dan 428,4 kg/cm 2 ; 362,42 kg/cm 3 ; 9.624,76 kg/cm 2 ; 945,58 kg/cm 2, pada kayu jeunjing yakni 161,80 kg/cm 2 dan 168,80 kg/cm 2 ; 157,37 kg/cm 3 ; 5.521,30 kg/cm 2 ; 492,46 kg/cm 2, pada kayu angsana yakni 388,80 kg/cm 2 dan 379,20 kg/cm 2 ; 228,13 kg/cm 3 ; 4.676,97 kg/cm 2 ; 551,80 kg/cm 2, dan pada kayu afrika yakni 281,00 kg/cm 2 dan 207,20 kg/cm 2 ; 224,32 kg/cm 3 ; 6.014,17 kg/cm 2 ; 670,27 kg/cm 2 seperti yang tertera pada Tabel 4. Tabel 4 Data hasil pengujian sifat mekanis Jenis Kayu Akasia 0,61 Jeunjing 0,33 Angsana 0,64 Afrika 0,43 Berat Jenis Kekerasan (kg/ cm 2 ) Umum Uji T R 0,5 452,2 428, ,3 161,8 168, , , , ,2 0 Tekan Sejajar Serat (kg/cm 3 ) MOE (kg/cm 2 ) MOR (kg/cm 2 ) Kelas Kuat (MOE&MOR) 362, I/I 157, ,30 492,46 I/II 228, ,97 551,80 I/II 224, ,17 670,27 I/I 4.2 Jadwal Pengeringan dan Hubungannya dengan Sifat Dasar Kayu Basri dan Martawijaya (2005) menerangkan bahwa kualitas pengeringan lebih ditentukan oleh faktor fisis, kimia dan anatomis kayu. Berat jenis kayu yang

63 35 tinggi memiliki tingkat penyusutan yang lebih besar dari kayu dengan berat jenis rendah, hal itu dikarenakan air terikat yang dikeluarkan dari dinding sel lebih banyak selain itu massa kayu yang menyusut dari jenis kayu yang memiliki berat jenis tinggi cenderung lebih besar, sehingga berpengaruh pada waktu dan besarnya tingkat penyusutan kayu. Namun kayu dengan berat jenis tinggi proses penguapan airnya akan berjalan lancar jika struktur dari kayu mendukung, contohnya ialah kayu yang memiliki arah serat lurus, ukuran pori yang besar dan tidak adanya sumbatan berupa tylosis dan amorf. Berdasarkan pengujian penentuan bagan pengeringan dan sifat dasar pengeringan menggunakan (oven) suhu tinggi yang mengikuti standar yang dikembangkan oleh Terazawa (1965), maka diperoleh hasil sebagaimana terlihat pada Tabel 5 dan 6. Tabel 5 Data hasil pengujian sifat dasar pengeringan JENIS KA BJ Aktual PECAH PERMUKAAN RISALAH CACAT PECAH DALAM DEFO RMASI MAX MIN MAX MIN MAX TINGKAT CACAT DIAMBIL AKASIA 97,22 0, E JEUN JING ANGSA NA SIFAT PENGERI NGAN* Agak Buruk 105,49 0, F Buruk 115,39 0, E AFRIKA 145,01 0, G * terlampir Agak Buruk Sangat Buruk Dari data hasil pengujian yang ditunjukkan pada Tabel 5 tersebut diketahui bahwa kayu akasia memiliki sifat pengeringan agak buruk untuk cacat pecah permukan, baik untuk cacat pecah dalam dan agak buruk untuk cacat deformasi, sedangkan kayu jeunjing memiliki sifat pengeringan yang buruk untuk cacat pecah permukaan, baik untuk cacat pecah dalam dan sedang untuk cacat pecah deformasi. Sifat pengeringan pada kayu angsana ialah sedang untuk cacat pecah permukaan, agak baik untuk cacat pecah dalam dan agak buruk untuk cacat deformasi, sedangkan untuk kayu afrika memiliki sifat pengeringan yang baik

64 36 untuk cacat pecah permukaan, agak baik untuk cacat pecah dalam serta sangat buruk untuk cacat deformasi. Kerusakan yang paling sering dijumpai pada penelitian ini ialah pecah permukaan (dan ujung) serta deformasi. Pecah permukaan terjadi pada awal proses pengeringan saat kadar air kayu masih tinggi, hal itu terjadi karena pada awal proses pengeringan, bagian permukaan kayu mengering dengan cepat atau lebih cepat sementara di bagian dalam masih cukup basah sehingga tidak terjadi keseimbangan antara tegangan tarik di permukaan dan tegangan tekan di bagian dalam yang pada akhirnya menimbulkan pecah/retak. Pecah permukaan dapat terjadi dalam jari jari kayu, saluran resin maupun lapisan mineral. Cacat ini dapat ditekan dengan (preheating) pemberian kelembaban tinggi/perlakuan pengukusan di awal pengeringan (Martawijaya dan Barly 1995). Cacat deformasi biasanya terjadi pada proses pengeringan kayu yang sangat basah dengan permeabilitas sel yang rendah dan atau adanya penyumbatan pada pori (Bramhall dan Wellwood 1976). Selain itu, deformasi terjadi karena adanya perbedaan penyusutan arah radial, tangensial dan longitudinal atau karena adanya kayu reaksi (compression wood), kayu tekan (tension wood), kayu juvenile, dan mata kayu. Pada penelitian ini, cacat deformasi yang paling sering ditemukan ialah collapse, selain dari cacat memuntir (twisting) dan memangkuk (cupping). Normalnya ketika kayu mengering, air akan langsung keluar dari dalam kayu tanpa halangan apapun dan udara dalam sel kayu akan memuai serta memenuhi rongga sel tersebut. Pada kayu yang sangat basah sementara permeabilitas rongga selnya rendah, udara hanya bisa masuk secara difusi. Saat air yang keluar dari sel tersebut lebih cepat dibanding udara yang menggantikannya, maka dinding sel kayu tersebut akan tertarik oleh daya kapiler air. Fenomena ini juga didukung penelitian Kobayashi (1986) yang menyimpulkan collapse pada sel kayu lebih disebabkan oleh tegangan cairan dari dalam kayu sendiri daripada tegangan yang diakibatkan oleh pengeringan. Oleh karena itu, titik aman untuk menaikkan suhu pada proses pengeringan kayu adalah pada keadaan dimana kadar air sudah mencapai titik jenuh serat, yaitu air bebas sudah tidak ada lagi dalam rongga sel. Cacat ini dapat ditekan dengan pengaturan

65 37 penumpukkan, tebal dan jarak ganjal, serta pembebanan pada bagian atas tumpukan (Basri & Nurwati 2004). Pecah bagian dalam kayu merupakan kelanjutan dari pecah permukaan, dimana kayu setelah mencapai kadar air titik jenuh serat, bagian permukaan yang sebelumnya pecah akan menutup kembali sedangkan bagian dalamnya tetap (Bramhall & Wellwood 1976). Pada standar pengujian kayu, cacat tersebut sangat diperhitungkan karena dapat menurunkan kekuatan kayu secara signifikan. Menurut Wang et al. (1994), pecah dalam (internal/honeycombing check) diakibatkan oleh adanya tegangan di dalam kayu (growth stress). Jika tegangan penyusutan melebihi kekuatan kayu yang tegak lurus arah seratnya maka terjadilah pecah. Sedangkan ratio penyusutan antara tangensial dan radial yang normal ialah tidak melebihi 2 mm. Pemakaian suhu rendah atau perlakuan pengukusan di awal proses pada kayu yang sangat basah perlu diperhatikan dengan tujuan untuk melindungi kayu dari cacat collapse dan pecah bagian dalam, lagipula kayu dengan kadar air di atas titik jenuh serat (KA > 30 %) masih mengandung air bebas di dalam rongga sel yang biasanya mudah menguap pada suhu kamar. Tabel 6 Data hasil konversi suhu dan kelembaban awal dan akhir pengeringan JENIS SUHU ( C) & KELEMBABAN TERAZAWA DIAMBIL SUHU ( C) RH (%) AWAL AKHIR AWAL AKHIR HASIL TORGESON KA (%) SUHU ( C) Torgeson AWAL AKHIR KODE AKASIA T 6 30 < T6 E4 JEUNJING T 6 30 < T6 F2 ANGSANA T 6 30 < T6 F4 AFRIKA T 5 30 < T6 F2 Berdasarkan hasil pengujian sifat dasar pengeringan (yang dikembangkan oleh Terazawa 1965) yang ditunjukkan pada Tabel 5 dan 6, diperoleh data hasil bahwa jadwal pengeringan dasar untuk jenis kayu akasia, angsana dan afrika lebih ditentukan dari tingkat cacat deformasi sebagai cacat yang mengalami kerusakan terparah, sedangkan untuk kayu jeunjing lebih ditentukan oleh tingkat cacat permukaannya. Hasil yang diperoleh dari pengujian tersebut ialah bahwa kayu akasia dengan berat jenis 0,55 dan kayu angsana dengan berat jenis 0,45 termasuk

66 38 dalam kategori 5 (agak buruk) untuk tingkat cacat deformasi, sehingga dianjurkan untuk dikeringkan menggunakan suhu awal 50 0 C, suhu akhir 77 0 C, kelembaban awal 81 %, dan kelembaban akhir 28 %. Kayu jeunjing dengan berat jenis 0,32 termasuk dalam kategori 6 (buruk) untuk tingkat cacat pecah permukaan, sehingga dianjurkan untuk dikeringkan menggunakan suhu awal 50 0 C, suhu akhir 81 0 C, kelembaban awal 90 %, dan kelembaban akhir 28 %. Kayu afrika dengan berat jenis 0,42 termasuk dalam kategori 7 (sangat buruk) untuk tingkat cacat deformasi, sehingga dianjurkan untuk dikeringkan menggunakan suhu awal 47 0 C, suhu akhir 70 0 C, kelembaban awal 89 %, dan kelembaban akhir 27 %. Dari data tersebut, terbukti bahwa berat jenis kayu bukan satu satunya faktor yang menentukan. Seperti yang didapatkan bahwa kayu afrika dengan nilai berat jenis yang lebih kecil dari kayu akasia dan angsana ternyata mengalami tingkat cacat yang terparah dan memiliki suhu pengeringan yang lebih lunak, sehingga dapat disimpulkan bahwa kayu afrika lebih sulit dikeringkan dibanding dengan kayu akasia dan angsana. Berdasarkan konversi yang mengacu pada standar Forest Product Laboratory (FPL) Madison (Torgeson 1951 dalam Basri et al. 2000), maka jadwal pengeringan dapat dibagi menjadi dua kelompok, yakni kelompok kayu yang memiliki jadwal pengeringan pada kisaran suhu C (akasia, jeunjjing, angsana) yang dapat dikeringkan bersamaan dan kayu afrika yang memiliki jadwal pengeringan pada kisaran suhu C. Pada penelitian ini, contoh uji yang digunakan dari keempat jenis kayu seluruhnya diambil dari bagian kayu teras yang merupakan bagian pohon yang jaringannya telah mati dan banyak tersusun oleh zat zat ekstraktif, sehingga menurunkan permeabilitas dari kayu tersebut dan mengakibatkan kayu menjadi lebih sulit untuk dikeringkan dan lebih mudah mengalami cacat pengeringan jika dibandingkan dengan bagian kayu gubalnya (Tobing 1988). Selain itu, kadar air yang terkandung dalam contoh uji tergolong cukup tinggi (> 90 %), sehingga akan berpengaruh pada proses penyusutan kayu akibat keluarnya air terikat dari dinding sel (Tsoumis 1991). Hal itu bertujuan untuk mendapatkan jadwal pengeringan hasil pengujian yang teraman untuk masing masing jenis kayu yang diujikan.

67 39 Berikut penjelasan mengenai fenomena terjadinya cacat pengeringan pada pengujian sifat dasar pengeringan (oven) suhu tinggi yang dimulai dari jenis kayu yang tersulit hingga termudah untuk dikeringkan berdasarkan penelitian ini. Kayu Afrika (Maesopsis eminii) Kayu afrika mengalami cacat deformasi sangat buruk. Kadar air kayu afrika yang diteliti cukup tinggi (rerata 145,01 %) dengan berat jenis 0,42. Seperti halnya pada penjelasannya sebelumnya, cacat deformasi (collapse) biasanya terjadi pada proses pengeringan kayu yang sangat basah dengan permeabilitas sel yang rendah dan atau adanya penyumbatan pada pori (Bramhall & Wellwood 1976). Selain itu, deformasi terjadi karena adanya perbedaan penyusutan arah radial, tangensial dan longitudinal atau karena adanya kayu reaksi (compression wood), kayu tekan (tension wood), kayu juvenile, dan mata kayu. Faktor struktur anatomi yang diduga menyebabkan kayu ini cenderung mengalami cacat pengeringan tersebut antara lain ialah bahwa kayu ini memiliki sel jari jari yang terdiri dari 2 macam, ukuran diameter pembuluhnya tergolong kecil, dinding seratnya sangat tebal, dan tipe sel parenkimnya adalah paratrakeal aliform sampai aliform bersambung (concluent). Selain itu, contoh uji yang seluruhnya merupakan bagian teras juga menjadi salah satu faktor pendukung terjadinya kecenderungan cacat kayu selama proses pengeringan. Berdasarkan struktur anatomi dan kecenderungan mengalami cacat deformasi pada waktu pengeringan, maka dapat dikatakan bahwa kayu ini tergolong agak sulit untuk dikeringkan bahkan yang paling sulit dikeringkan dibanding ketiga jenis kayu lainnya. Sehingga suhu dan kelembaban awal dan akhir yang dianjurkan pada proses pengeringannya hanya berada pada kisaran 47 0 C 70 0 C, 89 % 27 % (mengacu pada Terazawa 1965). Kayu Jeunjing (Albizia falcataria)

68 40 Kayu jeunjing mengalami cacat pecah permukaan (dan ujung) yang buruk. Kadar air segar jeunjing yang diteliti cukup tinggi (rerata 105,49 %) dengan berat jenis 0,32. Faktor struktur anatomi yang diduga menyebabkan kayu ini mengalami cacat pengeringan tersebut antara lain ialah bahwa kayu ini memiliki parenkim yang umumnya menyinggung pori sepihak sampai selubung, jari jarinya umumnya sempit yang tediri dari 1 2 seri dengan jumlah 6 12 per mm 2 pada arah tangensial, porinya seragam (homoseluler) dengan jumlah yang sedikit antara 4 7 per mm 2, parenkimnya umumnya menyinggung pori sepihak sampai selubung. Selain itu, contoh uji yang seluruhnya merupakan bagian teras juga menjadi salah satu faktor pendukung terjadinya kecenderungan cacat kayu selama proses pengeringan. Walaupun jumlah pori porinya sedikit antara 4 7 per mm 2 dan memiliki bidang perforasi sederhana, namun sebagian besar sifat anatomi lainnya mendukung terjadinya proses pengeringan kayu ini dengan lebih mudah tanpa mengalami cacat yang berarti dibanding dengan kayu afrika. Selain itu, terjadinya cacat pecah permukaan yang buruk pada kayu ini juga diduga terjadi akibat timbulnya perbedaan tegangan di permukaan dan di dalam kayu yang cukup besar pada awal proses pengeringan ketika kadar air kayu ini masih sangat tinggi. Berdasarkan struktur anatomi dan kecenderungan mengalami cacat pecah permukaan (dan ujung) pada waktu pengeringan, maka dalam penelitian ini untuk menghindari kemungkinan terjadinya cacat tersebut terutama pada bagian kayu teras yang cenderung lebih sulit dikeringkan, suhu dan kelembaban awal dan akhir pada proses pengeringan kayu jeunjing direkomendasikan pada kisaran 50 0 C 81 0 C, 90 % 28 % (mengacu pada Terazawa, 1965). Walaupun pada umumnya jenis kayu ini cenderung dapat lebih mudah untuk dikeringkan dengan penggunaan suhu yang lebih tinggi yaitu C dengan kelembaban % (Basri & Nurwati 2004).

69 41 Mandang & Sudardji (2001) menambahkan bahwa selama dilakukan pengeringan, kayu ini dapat diserang jamur biru dan kapang (mold), terutama apabila peredaran udaranya kurang lancar, dan mudah mengalami pencekungan dan memuntir karena seratnya umumnya tidak lurus. Kayu jeunjing pada pengeringan alami dengan ketebalan papan 2,5 cm dari kadar air sekitar 54 % sampai 20 % memerlukan waktu sekitar 33 hari. Sedangkan pengeringan pada kilang pengering dengan ketebalan papan 2,5 cm dapat dikeringkan sampai kadar air 10 % dalam waktu 4 hari. Kayu Akasia (Acacia mangium) Kayu akasia mengalami cacat pecah permukaan (dan ujung) serta deformasi yang agak buruk pada pemakaian suhu tinggi. Kadar air kayu akasia yang diteliti cukup tinggi (rerata 97,22 %) dengan berat jenis 0,55. Menurut Silitonga (1993), kayu akasia umumnya jarang mengalami pecah ujung dan tidak mudah melengkung, kelemahan yang umum terjadi adalah deformasi (collapse) pada kayu teras yang biasanya terjadi pada awal pengeringan. Faktor struktur anatomi yang diduga menyebabkan kayu ini mengalami cacat pengeringan tersebut antara lain ialah bahwa kayu ini memiliki permeabilitas sel yang rendah karena memiliki noktah yang sangat sempit pada parenkim serta terdapat sumbatan dalam pembuluh kayu sehingga menghambat proses pengeluaran air dari dalam kayu (Basri & Nurwati 2004), jari jarinya tergolong sempit (< 0,05 mm), jarang hingga agak jarang, ukurannya agak pendek hingga pendek, parenkimnya bertipe paratrakeal selubung atau aliform pada pembuluh yang berdiameter kecil. Selain itu, diameter porinya tergolong agak kecil umumnya kurang dari 100 mikron, jarang hingga agak jarang namun bidang perforasinya sederhana. Selain itu, contoh uji yang seluruhnya merupakan bagian teras juga menjadi salah satu faktor pendukung terjadinya kecenderungan cacat kayu selama proses pengeringan.

70 42 Berdasarkan struktur anatomi dan kecenderungan mengalami cacat collapse dan pecah permukaan (dan ujung) pada waktu pengeringan, maka dapat dikatakan bahwa kayu ini tergolong agak sulit untuk dikeringkan. Suhu dan kelembaban awal dan akhir pada proses pengeringan jenis kayu ini dianjurkan berada pada kisaran 50 0 C 77 0 C, 81 % 28 % (mengacu pada Terazawa 1965). Kayu Angsana (Pterocarpus indicus) Kayu angsana mengalami cacat pecah permukaan (dan ujung) yang sedang dan deformasi yang agak buruk pada pemakaian suhu tinggi. Kadar air angsana yang diteliti cukup tinggi (rerata 115,39 %) dengan berat jenis 0,45. Faktor struktur anatomi yang diduga menyebabkan kayu ini mengalami cacat pengeringan tersebut antara lain ialah bahwa kayu ini memiliki jari jari yang tergolong sempit 1 2 seri dan pendek dengan jumlah sekitar 6 10 per mm 2, ditambah lagi pada penelitian ini sebagian besar volume contoh uji merupakan bagian dari kayu teras sehingga menyebabkan kayu ini menjadi agak sulit untuk dikeringkan karena cenderung mengalami cacat deformasi yang agak buruk sama halnya dengan kayu akasia. Selain itu, seringkali ditemukan gejala keriput pada bidang tangensialnya. Sedangkan faktor yang diduga mendukung kayu angsana lebih mudah dikeringkan dibanding dengan jenis kayu lainnya adalah berat jenisnya yang termasuk sedang, memiliki ukuran pori pori agak besar dan parenkimnya termasuk tipe apotrakeal berbentuk pita (Basri & Martawijaya 2005). Berdasarkan struktur anatomi dan kecenderungan mengalami deformasi pada waktu pengeringan, maka suhu dan kelembaban awal dan akhir pada proses pengeringannya dianjurkan berada pada kisaran 50 0 C 77 0 C, 81 % 28 % (mengacu pada Terazawa 1965).

71 43 Penetapan sifat/kualitas dan jadwal pengeringan kayu lebih dipengaruhi oleh faktor fisis dan struktur anatomi. Faktor fisis yaitu berat jenis, berat jenis yang lebih tinggi memiliki tingkat penyusutan lebih besar dari berat jenis yang lebih rendah, hal itu dikarenakan air terikat yang dikeluarkan dari dinding sel lebih banyak dan massa kayunya mengalami penyusutan lebih besar, sehingga berpengaruh pada besarnya waktu dan tingkat penyusutan kayu. Selain itu, dinding selnya cenderung lebih tebal, sehingga memberikan jarak yang lebih besar bagi air untuk keluar dari kayu. Walaupun demikian, berat jenis yang tinggi proses penguapan airnya akan berjalan lancar jika struktur kayunya mendukung, seperti memiliki arah serat yang lurus dan ukuran pori yang besar serta tidak ada sumbatan berupa tylosis dan endapan amorf. Beberapa struktur anatomi pada contoh uji kayu yang berpengaruh pada penelitian ini antara lain ialah kayu teras, kayu remaja (juvenile wood), jari jari kayu, sel pembuluh, dinding sel, dan parenkim. Kayu teras merupakan bagian pohon yang jaringannya telah mati dan banyak mengandung zat zat ekstraktif sehingga menurunkan permeabilitas dari kayu tersebut dan mengakibatkan kayu cenderung menjadi lebih sulit untuk dikeringkan dan lebih mudah mengalami cacat pengeringan seperti pecah permukaan dan pecah dalam (Tobing 1988). Kayu remaja merupakan bagian kayu yang terbentuk oleh kambium berumur muda, umumnya memiliki banyak serat spiral dan berdinding sel tipis. Bagian kayu ini memiliki potensi mengalami penyusutan yang lebih besar pada bidang radial dibanding pada bagian kayu lain. Pada bagian kayu ini, hal itu seringkali diikuti oleh terjadinya deformasi seperti cacat bungkuk (crook) dan collapse (Tobing 1988). Menurut Tobing (1988), jari jari kayu terdiri dari sel kayu yang berdinding tipis dan karena itu relatif lebih lemah terutama pada jari jari yang sempit, sehingga dalam proses pengeringan, bagian ini sering mengalami cacat seperti retak, pecah atau pecah dalam. Selain itu, kayu yang memiliki jari jari dengan lebar berbeda akan menyebabkan penyusutan ke arah radial dan tangensial. Tingkat penyusutan yang terjadi pada jari jari dengan lebar yang berbeda tersebut,

72 44 umumnya lebih besar dibanding dengan kayu yang memiliki lebar jari jari yang relatif seragam sehingga mendukung timbulnya cacat deformasi (Tobing 1988). Sel pembuluh yang bebas tanpa memiliki sumbatan tylosis maupun amorf dan memiliki ukuran diameter besar akan memudahkan dan mempercepat mekanisme pengeringan. Sedangkan sel pembuluh yang diameternya kecil akan menghambat proses pengeluaran kandungan air dari dalam kayu, sehingga berpotensi menimbulkan gradien kadar air yang cukup besar antara bagian permukaan dan bagian dalam kayu yang akan mendorong timbulnya berbagai cacat pengeringan (Tobing 1988). Jumlah pori pori yang sedikit dan noktah pada pembuluh yang sempit juga dapat menghambat proses keluarnya air pada proses pengeringan. Semakin tebal dinding sel kayu, maka akan semakin banyak jumlah air terikat yang harus dikeluarkan dari dalam kayu dibanding dengan kayu yang memiliki dinding sel lebih tipis, jarak yang harus ditempuh air untuk keluar dari kayu lebih panjang dan massa kayu yang mengalami penyusutan lebih besar. Hal itu mendorong timbulnya cacat deformasi dan cacat pecah atau retak permukaan dan ujung (Tobing 1988). Kayu dengan parenkim berbentuk pita apalagi yang kondisinya rapat beraturan akan sangat memudahkan mekanisme keluarnya air ke arah tebal dan lebar sortimen karena parenkim jenis ini memiliki intensitas jumlah dan penyebaran yang relatif cukup besar sehingga meningkatkan jumlah air yang dapat keluar dari kayu selama proses pengeringan berlangsung dibanding dengan tipe parenkim lainnya (Tobing 1988). 4.3 Jadwal Pengeringan Empat Jenis Kayu pada Kilang Pengering Berdasarkan hasil konversi jadwal pengeringan metode yang dikembangkan oleh Terazawa (1965) dalam An easy methods for the Determination of Wood Drying Schedule yang mengacu pada standar Forest Product Laboratory (FPL) Madison (Torgeson 1951, diacu dalam Basri et al. 2000), maka diperoleh jadwal pengeringan yang utuh sebagaimana disajikan pada Tabel 7, 8, 9 dan 10.

73 45 Tabel 7 Jadwal pengeringan kayu akasia KA (%) DBT ( 0 C) WBD ( 0 C) RH (%) Preheating (4 jam) , , , // 28 Conditioning (8) < Tabel 8 Jadwal pengeringan kayu jeunjing KA (%) DBT ( 0 C) WBD ( 0 C) RH (%) Preheating (4 jam) // 28 Conditioning (8) <

74 46 Tabel 9 Jadwal pengeringan kayu angsana KA (%) DBT ( 0 C) WBD ( 0 C) RH (%) Preheating (4 jam) , , , , // 28 Conditioning (8) < Tabel 10 Jadwal pengeringan kayu afrika KA (%) DBT ( 0 C) WBD ( 0 C) RH (%) Preheating (4 jam) Conditioning (8) < Pada umumnya kegiatan pengeringan kayu pada industri indusutri perkayuan dilakukan dengan cara mengeringkan beberapa jenis kayu secara bersamaan pada suatu kilang pengering, hal itu bertujuan untuk mengefisienkan waktu dan biaya dari proses pengeringan tersebut. Namun mencampur beberapa jenis kayu dalam suatu muatan pengeringan sebenarnya memang tidak dianjurkan, kecuali apabila diketahui bahwa jenis jenis kayu tersebut mempunyai kecepatan pengeringan dan tendensi cacat yang sama. Selain itu, beberapa jenis kayu yang lebih mudah rusak dibanding yang lain, memerlukan perhatian yang lebih besar. Umumnya beberapa jenis kayu yang dikeringkan secara bersamaan memiliki persamaan, seperti persamaan dalam hal ketebalan papan serta sifat fisis

75 47 yakni berat jenis yang sebenarnya masih dilakukan secara coba coba. Namun tanpa jadwal pengeringan yang sesuai, seringkali kegiatan pengeringan beberapa jenis kayu yang dilakukan secara bersamaan tersebut justru akan menimbulkan masalah pada kayu kayu hasil pengeringannya, seperti cacat cacat, kandungan kadar air akhir ataupun waktu pengeringan yang tidak efisien. Apabila jenis ini dicampur bersamaan dalam suatu muatan, maka kondisi pengeringan harus disesuaikan dengan jenis yang paling sulit dikeringkan. Hal ini berarti terlalu lambat bagi jenis kayu yang lain. Apabila pengeringan dilakukan dengan cepat, maka jenis kayu yang sulit dikeringkan akan mengalami kerusakan berupa cacat cacat pengeringan. Bahkan dalam mengeringkan kayu berjenis sama, operator harus tetap berhati hati karena terdapat perbedaan kecepatan pengeringan antara kayu gubal dan kayu teras, quarter sawn dan flat sawn, dan lainnya (Kadir 1975). Selain itu, papan kayu yang tebal akan mengering lebih lambat daripada yang lebih tipis dan kondisi pengeringannya harus lebih lunak. Oleh karena itu, pencampuran beberapa macam ukuran dalam suatu muatan pengeringan adalah kurang baik. Apabila terpaksa mencampur beberapa macam ukuran bersama sama dalam suatu muatan pengeringan, maka pengeringan harus dilakukan sesuai dengan kondisi kayu yang paling tebal. Kayu yang lebih tipis tidak akan mengalami kerusakan, tetapi memerlukan waktu pengeringan yang lebih lama dibandingkan apabila dikeringkan tersendiri (Kadir 1975). Berdasarkan pertimbangan itu, maka pada pengujian jadwal pengeringan terhadap keempat jenis kayu dari hutan rakyat (akasia, jeunjing, angsana, dan afrika) dalam penelitian ini, digunakan jadwal pengeringan yang teraman yakni jadwal pengeringan yang direkomendasikan untuk jenis kayu afrika seperti yang dapat dilihat pada Tabel 10.

76 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 12.1 Kesimpulan Kesimpulan yang dapat diperoleh dari penelitian ini antara lain ialah : 1. Terbukti bahwa berat jenis kayu memiliki hubungan dengan tingkat penyusutan volume selama proses pengeringan. Kayu dengan berat jenis yang tinggi akan menghasilkan nilai susut volume yang lebih besar dibanding kayu dengan berat jenis yang lebih rendah dan cenderung membutuhkan waktu yang lebih lama untuk proses pengeringannya. Kayu jeunjing dengan berat jenis terendah yaitu 0,32 memiliki nilai susut volume sebesar 2,68 %, kayu afrika dengan berat jenis 0,42 memiliki nilai susut volume sebesar 2,72 %, kayu angsana dengan berat jenis 0,45 memiliki nilai susut volume sebesar 3,41 %, sedangkan untuk kayu akasia dengan berat jenis terbesar yaitu 0,56 memiliki nilai susut volume sebesar 7,63 %. 2. Berdasarkan pengujian sifat dasar pengeringan diketahui bahwa kayu akasia memiliki sifat pengeringan agak buruk (kategori 5) untuk cacat pecah permukan maupun untuk cacat deformasi, dan baik (kategori 2) untuk cacat pecah dalam, sedangkan kayu jeunjing memiliki sifat pengeringan yang buruk (kategori 6) untuk cacat pecah permukaan, baik (kategori 2) untuk cacat pecah dalam dan sedang (kategori 4) untuk cacat pecah deformasi. Sifat pengeringan pada kayu angsana ialah sedang (kategori 4) untuk cacat pecah permukaan, agak baik (kategori 3) untuk cacat pecah dalam dan agak buruk (kategori 5) untuk cacat deformasi, sedangkan untuk kayu afrika memiliki sifat pengeringan yang baik (kategori 2) untuk cacat pecah permukaan, agak baik (kategori 3) untuk pecah dalam serta sangat buruk (kategori 7) untuk cacat deformasi. 3. Selain itu, diketahui bahwa jadwal pengeringan dasar untuk jenis kayu akasia, angsana dan afrika lebih ditentukan oleh tingkat cacat deformasi

77 49 sebagai cacat yang mengalami kerusakan terparah, sedangkan untuk kayu jeunjing lebih ditentukan oleh tingkat cacat permukaannya. 4. Hasil yang diperoleh dari pengujian tersebut ialah bahwa kayu akasia dengan berat jenis 0,55 dan kayu angsana dengan berat jenis 0,45 termasuk dalam kategori 5 (agak buruk) untuk tingkat cacat deformasi, sehingga dianjurkan untuk dikeringkan dengan suhu awal 50 0 C, suhu akhir 77 0 C, kelembaban awal 81 %, dan kelembaban akhir 28 %. Kayu jeunjing dengan berat jenis 0,32 termasuk dalam kategori 6 (buruk) untuk tingkat cacat pecah permukaan, sehingga dianjurkan untuk dikeringkan dengan suhu awal 50 0 C, suhu akhir 81 0 C, kelembaban awal 90 %, dan kelembaban akhir 28 %. Kayu afrika dengan berat jenis 0,42 termasuk dalam kategori 7 (sangat buruk) untuk tingkat cacat deformasi, sehingga dianjurkan untuk dikeringkan dengan suhu awal 47 0 C, suhu akhir 70 0 C, kelembaban awal 89 %, dan kelembaban akhir 27 %. 5. Dari data tersebut, terbukti bahwa berat jenis kayu bukan satu satunya faktor yang menentukan. Seperti yang didapatkan bahwa kayu afrika dengan nilai berat jenis yang lebih kecil dari kayu akasia dan angsana ternyata mengalami tingkat cacat yang terparah dan memiliki suhu pengeringan yang lebih lunak, sehingga dapat disimpulkan bahwa kayu afrika lebih sulit dikeringkan dibanding dengan kayu akasia dan angsana. 6. Berdasarkan konversi yang mengacu pada standar Forest Product Laboratory (FPL) Madison (Torgeson 1951, diacu dalam Basri et al. 2000), maka jadwal pengeringan dapat dibagi menjadi 2 kelompok, yakni kelompok kayu yang dapat dikeringkan dengan jadwal pengeringan pada kisaran suhu C (akasia, jeunjjing, angsana) sehingga dapat dikeringkan bersamaan serta kayu afrika yang dapat dikeringkan dengan jadwal pengeringan pada kisaran suhu C. Jika jadwal pengeringan kelompok pertama digunakan untuk mengeringkan kayu afrika maka akan terjadi kerusakan parah pada kayu afrika yang dikeringkan, namun jika sebaliknya maka pengeringan pada kayu akasia, jeunjing dan angsana akan membutuhkan waktu lebih lama. Berdasarkan hal tersebut maka untuk

78 50 mendapat alternatif teraman dalam mengeringkan keempat jenis kayu tersebut secara bersamaan dalam suatu muatan, jadwal pengeringan yang digunakan menggunakan jadwal pengeringan yang direkomendasikan untuk kayu afrika Saran Saran saran yang dapat disampaikan dari penelitian ini ialah : 1. Perlu dilakukan evaluasi dan pengujian lebih lanjut terhadap jadwal pengeringan yang didapatkan pada kilang pengering dengan skala operasional. 2. Dalam skala operasional modifikasi bagan pengeringan perlu disesuaikan dengan kondisi kayu terutama dalam hal ukuran sortimen, karena dengan ukuran contoh uji yang kecil akan sulit untuk menampakkan cacat bentuk seperti membusur (bowing), memangkuk (cupping) dan menggelinjang (twisting). 3. Mengingat contoh uji penelitian ini terbatas pada ukuran dimensi, maka disarankan dalam pengaplikasian jadwal tersebut pada skala operasional perlu dilakukan modifikasi dengan mempertimbangkan faktor umur dan kualitas fisik kayu. Pemberian perlakuan di awal dan akhir pengeringan juga diperlukan sesuai kebutuhan kayu.

79 DAFTAR PUSTAKA Basri E Bagan Pengeringan Beberapa Jenis Kayu Hutan Tanaman Industri. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 6 (7) : Bogor : Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan. Basri E dan Nurwati Hubungan Sifat Dasar dan Sifat Pengeringan Lima Jenis Kayu Andalan Jawa Barat. Jurnal Penelitian Hasil Hutan Vol. 22 No. 3. Bogor : Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan. Basri E dan Rahmat Pembuatan Kilang Pengeringan Kayu Kombinasi Energi Surya dan Tungku. Petunjuk Teknis Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Hasil Hutan. Bogor. Basri E, K. Hayashi, Hadjib, Roliadi The Qualities and Kiln Drying Schedule of Several Wood Species from Indonesia. Proceeding of The Third International Wood Science Symposium, November 1 2, 2000 in Kyoto Japan. pp Basri E dan Martawijaya Jadwal Pengeringan Dasar 16 Jenis Kayu Indonesia. Jurnal Penelitian Hasil Hutan Vol. 23 No. 1. Bogor : Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan. Bramhall dan Wellwood [Kiln Drying of Western Canadian Lumber.] [dalam bahasa Indonesia]. Canadian Forestry Service. Western Forest Product Laboratory Vancouver, British Columbia. Budianto AD Sistem Pengeringan Kayu. Semarang : Kanisius. Coto Z Outline Mata Kuliah Pengeringan Kayu. Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, IPB. Bogor. Coto Z Pentingnya Pengeringan Kayu. Buletin Teknologi Hasil Hutan Vol. 1 No. 1. Kelompok Peneliti, Praktisi dan Peminat Industri Hasil Hutan. Dinas Kehutanan Pengenalan 30 Jenis Kayu. Jakarta : Pemda Khusus Ibukota Jakarta. Dirjen RRL Departemen Kehutanan Hutan rakyat dan perannya dalam pembangunan daerah. Dalam Majalah Kehutanan Indonesia Edisi No. 06 Tahun 1995/1996. Jakarta : Departemen Kehutanan. Dumanauw Mengenal Kayu. Kanisius : Yogyakarta. Hadi YS Cacat Collapse Pada Pengeringan Kayu. Bogor : Buletin Jurusan Teknologi Hasil Hutan Vol. I No. 2. Haygreen JG dan Bowyer Hasil Hutan dan Ilmu Kayu. Hadikusuma, penerjemah. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Kadir K Jadwal Pengeringan Beberapa Jenis Kayu Indonesia. Laporan No. 57. Bogor : Lembaga Penelitian Hasil Hutan. Kementerian Negara Lingkungan Hidup Status lingkungan hidup Indonesia Jakarta : Kementerian Negara Lingkungan Hidup. Jakarta. Diakses di [13 Agustus 2007].

80 52 Kobayashi Y Cause of Collapse in Western Red Cedar. Mokuzai Gakkaishi 32 (10) : Tokyo : Japanese Wood Researcher Society. Mandang YI dan Sudardji Anatomi dan Kualitas Serat 10 Jenis Kayu Andalan dari Jawa Barat. Info Hasil Hutan 8(1) : Bogor : Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Hasil Hutan. McMillen 1978, diacu dalam Basri Teknik Pengeringan Empat Jenis Kayu Diameter Kecil Asal Hutan Tanaman. Jurnal Penelitian Hasil Hutan Vol. 17 No. 4. Bogor : Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan. Oey Djoen Seng Berat Jenis dari Jenis jenis Kayu Indonesia dan Pengertian Beratnya Kayu untuk Keperluan Praktek. Soewarsono PH, penerjemah; Bogor : Pengumuman No. 13. Bogor : Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Panshin AJ dan de Zeuw C Text Book of Wood Technology, 3 rd. McGraw Hill Book Co., pp New York. Rasmussen (1961), He dan Lin (1989) diacu dalam Martawijaya dan Barly Sifat dan Kegunaan Kayu Gmelina arborea Roxb. Bogor : Ekspose Hasil Hutan Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan dan Sosial Ekonomi Kehutanan. Senft (1986) diacu dalam Martawijaya Sifat Dasar Beberapa Jenis Kayu yang Berasal Dari Hutan Alam dan Hutan Tanaman. Prosiding Diskusi HTI. Jakarta : Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Siau Transport Processes in Wood. New York : Springer Verlag. Silitonga T Kajian Kayu HTI Untuk Pulp Kertas dan Rayon. Prosiding Diskusi Sifat dan Kegunaan Kayu HTI. Jakarta : Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Soedarisman H dan Purwoko H Mengenal Macam dan Cara Pengeringan Kayu Gergajian. Jakarta : Departemen Kehutanan Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan. Terazawa S An Easy Methods for the Determination of Wood Drying Schedule. Wood Industry 20 (5), Wood Technological Association of Japan. Tim Jurusan THH Pengujian Karakteristik Sifat Dasar Kayu Afrika. [Laporan]. Bogor : Fakultas Kehutanan, IPB Tobing TL Sifat Sifat Kayu Sehubungan dengan Pengeringan. Bogor : Departemen Kehutanan, Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Tobing TL Teknik Penumpukkan Kayu. Bogor : Departemen Kehutanan, Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Tsoumis G Science and Technology of wood (Structure, Properties, Utilization). New York : Van Nostrand Reinhold. Walker JCF Primary Wood Processing Principles and Practice. London : Chapman and Hall. Wang Z, Choong ET, Gopu VK Effect of Presteaming in Drying Stresses of Red Oak Using a Coating and Bending Method. Wood and Fiber Science 26 (4) :

81 53

82

83 55 Lampiran 1. Standar Pengujian yang Digunakan Cacat Pecah Permukaan Klasifikasi Penentuan Cacat dan Sifat Pengeringan Nilai cacat pecah permukaan (%) Klasifikasi Sifat pengeringan Sangat baik > Baik > Agak baik > Sedang > Agak buruk > Buruk >70 7 Sangat buruk Cacat Perubahan Bentuk/Deformasi (Collaps) Selisih ukuran tebal pada deformasi (mm) Klasifikasi Sifat pengeringan 0 0,3 1 Sangat baik 0,3 0,6 2 Baik 0,6 1,2 3 Agak baik 1,2 1,8 4 Sedang 1,8 2,5 5 Agak buruk 2,5 3,5 6 Buruk >3,5 7 Sangat buruk Cacat Pecah Dalam Jumlah cacat pecah dalam Klasifikasi Sifat pengeringan O 1 Sangat baik 1 besar / 2 kecil 2 Baik 2 besar / 4 5 kecil 3 Agak baik 4 besar / 7 9 kecil 4 Sedang 6 8 besar / 15 kecil 5 Buruk 17 besar / banyak kecil 6 Sangat buruk

84 56 Lampiran 1. Standar Pengujian yang digunakan (lanjutan ) Gambar Acuan Klasifikasi Tingkat Cacat Tingkat cacat permukaan Tingkat cacat deformasi Tingkat cacat pecah dalam

85 57 Lampiran 1. Standar Pengujian yang Digunakan (lanjutan ) Penetapan Suhu serta Kelembaban Awal dan Akhir berdasarkan Tingkat Cacat Jenis cacat Pecah permukaan (Surface check) Deformasi (Spool like) Pecah dalam (Honeycombing) Suhu ( C) & Klasifikasi cacat (2007, 2005, 2004) Kelembaban (%) Suhu awal Kelembaban awal Suhu akhir Kelembaban akhir Suhu awal Kelembaban awal Suhu akhir Kelembaban akhir Suhu awal Kelembaban awal Suhu akhir Kelembaban akhir

86 58 Lampiran 1. Standar Pengujian yang digunakan (lanjutan ) KA pada tahap awal Penetapan Perubahan Suhu berdasarkan Penurunan Kadar Air Temperatur ( C) Dry Bulb T 1 T 2 T 3 T 4 T 5 T 6 T 7 T 8 T 9 initial < T 1 0 T 1 1 T 1 2 T 1 3 T 14 Initial M.C. & it variation (%) A B C D E F wet bulb depression (*C) ,

87 Lampiran 2. Kurva Penentu Kelembaban Udara Relatif 59

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Kayu merupakan bahan alami yang bersifat higroskopis. Hal ini berarti kayu mempunyai kemampuan untuk menarik atau mengeluarkan air dari udara atau dari dalam tergantung pada

Lebih terperinci

SIFAT DAN JADWAL PENGERINGAN TIGA JENIS KAYU RAKYAT. (Altingia excelca, Quercus spp dan Podocarpus imbricatus)

SIFAT DAN JADWAL PENGERINGAN TIGA JENIS KAYU RAKYAT. (Altingia excelca, Quercus spp dan Podocarpus imbricatus) SIFAT DAN JADWAL PENGERINGAN TIGA JENIS KAYU RAKYAT (Altingia excelca, Quercus spp dan Podocarpus imbricatus) RICKY RAHMAN GINANJAR DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Badan Standardisasi Nasional (2010) papan partikel merupakan

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Badan Standardisasi Nasional (2010) papan partikel merupakan TINJAUAN PUSTAKA Papan Partikel Menurut Badan Standardisasi Nasional (2010) papan partikel merupakan papan yang terbuat dari bahan berlignoselulosa yang dibuat dalam bentuk partikel dengan menggunakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. Kebutuhan kayu yang semakin meningkat membutuhkan kenaikan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. Kebutuhan kayu yang semakin meningkat membutuhkan kenaikan BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Kebutuhan kayu yang semakin meningkat membutuhkan kenaikan pasokan bahan baku, baik dari hutan alam maupun hutan tanaman. Namun, produksi kayu dari hutan alam menurun

Lebih terperinci

PENENTUAN AIR DALAM RONGGA SEL KAYU

PENENTUAN AIR DALAM RONGGA SEL KAYU KARYA TULIS PENENTUAN AIR DALAM RONGGA SEL KAYU Disusun Oleh: Tito Sucipto, S.Hut., M.Si. NIP. 19790221 200312 1 001 DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2009 KATA PENGANTAR

Lebih terperinci

SIFAT FISIS, ANATOMI DAN SIFAT PENGERINGAN TIGA JENIS KAYU KURANG DIKENAL DARI KUPANG DAN PAPUA ELIZA FAUZIAH

SIFAT FISIS, ANATOMI DAN SIFAT PENGERINGAN TIGA JENIS KAYU KURANG DIKENAL DARI KUPANG DAN PAPUA ELIZA FAUZIAH SIFAT FISIS, ANATOMI DAN SIFAT PENGERINGAN TIGA JENIS KAYU KURANG DIKENAL DARI KUPANG DAN PAPUA ELIZA FAUZIAH DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

BAB 10 PERLAKUAN PARIPURNA, TEGANGAN PENGERINGAN DAN CASE HARDENING

BAB 10 PERLAKUAN PARIPURNA, TEGANGAN PENGERINGAN DAN CASE HARDENING BAB 10 PERLAKUAN PARIPURNA, TEGANGAN PENGERINGAN DAN CASE HARDENING Perlakuan paripurna adalah perlakuan yang dilaksanakan di dalam tanur pengering pada akhir proses pengeringan. Perlakuan ini dilaksanakan

Lebih terperinci

KADAR AIR TITIK JENUH SERAT BEBERAPA JENIS KAYU PERDAGANGAN INDONESIA ARIF RAKHMAN HARIJADI

KADAR AIR TITIK JENUH SERAT BEBERAPA JENIS KAYU PERDAGANGAN INDONESIA ARIF RAKHMAN HARIJADI KADAR AIR TITIK JENUH SERAT BEBERAPA JENIS KAYU PERDAGANGAN INDONESIA ARIF RAKHMAN HARIJADI DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 KADAR AIR TITIK JENUH SERAT BEBERAPA

Lebih terperinci

PEMBAHASAN UMUM Perubahan Sifat-sifat Kayu Terdensifikasi secara Parsial

PEMBAHASAN UMUM Perubahan Sifat-sifat Kayu Terdensifikasi secara Parsial PEMBAHASAN UMUM Perubahan Sifat-sifat Kayu Terdensifikasi secara Parsial Densifikasi parsial, baik kompresi maupun impregnasi, terbukti dapat meningkatkan sifat-sifat kayu Agatis maupun Mangium. Dari hasil

Lebih terperinci

Spesifikasi kelas kekuatan kayu bangunan yang dipilah secara masinal

Spesifikasi kelas kekuatan kayu bangunan yang dipilah secara masinal Spesifikasi kelas kekuatan kayu bangunan yang dipilah secara masinal 1 Ruang lingkup Spesifikasi ini memuat ketentuan mengenai jenis, ukuran, persyaratan modulus elastisitas dan keteguhan lentur mutlak

Lebih terperinci

DIKTAT PENGERINGAN KAYU. Oleh: Efrida Basri

DIKTAT PENGERINGAN KAYU. Oleh: Efrida Basri 1 DIKTAT PENGERINGAN KAYU Oleh: Efrida Basri I. Konsep Dasar Pengeringan Kayu Pengeringan kayu adalah suatu proses pengeluaran air dari dalam kayu hingga mencapai kadar air yang seimbang dengan lingkungan

Lebih terperinci

BAB 3 HUBUNGAN ANTARA KAYU DAN AIR: PENYUSUTAN KAYU

BAB 3 HUBUNGAN ANTARA KAYU DAN AIR: PENYUSUTAN KAYU BAB 3 HUBUNGAN ANTARA KAYU DAN AIR: PENYUSUTAN KAYU 3.1.Keterkaitan Antara Kondisi Kebasahan/Kekeringan Kayu dan Kandungan Air serta Kadar Air Dan uraian pada kuliah kedua minggu yang lalu, dipahami tentang

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 24 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sifat Fisis Data hasil pengujian sifat fisis kayu jabon disajikan pada Tabel 4 sementara itu untuk analisis sidik ragam pada selang kepercayaan 95% ditampilkan dalam

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Air dalam Kayu Pengeringan Kayu

TINJAUAN PUSTAKA Air dalam Kayu Pengeringan Kayu 7 TINJAUAN PUSTAKA Air dalam Kayu Kadar air kayu segar atau kadar air pada saat pohon masih berdiri bervariasi antara 30-300%. Variasi ini dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti, jenis kayu, posisi kayu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Industri pengolahan kayu yang semakin berkembang menyebabkan

BAB I PENDAHULUAN. Industri pengolahan kayu yang semakin berkembang menyebabkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Industri pengolahan kayu yang semakin berkembang menyebabkan ketidakseimbangan antara pasokan dan kebutuhan bahan baku kayu. Menurut Kementriaan Kehutanan (2014), data

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. (a) (b) (c) Gambar 10 (a) Bambu tali bagian pangkal, (b) Bambu tali bagian tengah, dan (c) Bambu tali bagian ujung.

BAB IV PEMBAHASAN. (a) (b) (c) Gambar 10 (a) Bambu tali bagian pangkal, (b) Bambu tali bagian tengah, dan (c) Bambu tali bagian ujung. 22 BAB IV PEMBAHASAN 4.1 Sifat Anatomi Bambu 4.1.1 Bentuk Batang Bambu Bambu memiliki bentuk batang yang tidak silindris. Selain itu, bambu juga memiliki buku (node) yang memisahkan antara 2 ruas (internode).

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 19 4.1. Sifat Fisis IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Sifat fisis papan laminasi pada dasarnya dipengaruhi oleh sifat bahan dasar kayu yang digunakan. Sifat fisis yang dibahas dalam penelitian ini diantaranya adalah

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil identifikasi herbarium yang dilakukan mempertegas bahwa ketiga jenis kayu yang diteliti adalah benar burmanii Blume, C. parthenoxylon Meissn., dan C. subavenium Miq. 4.1

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK SIFAT ANATOMI DAN FISIS SMALL DIAMETER LOG SENGON (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) DAN GMELINA (Gmelina arborea Roxb.

KARAKTERISTIK SIFAT ANATOMI DAN FISIS SMALL DIAMETER LOG SENGON (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) DAN GMELINA (Gmelina arborea Roxb. KARAKTERISTIK SIFAT ANATOMI DAN FISIS SMALL DIAMETER LOG SENGON (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) DAN GMELINA (Gmelina arborea Roxb.) FARIKA DIAN NURALEXA DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN

Lebih terperinci

SIFAT FISIS KAYU: Berat Jenis dan Kadar Air Pada Beberapa Jenis Kayu

SIFAT FISIS KAYU: Berat Jenis dan Kadar Air Pada Beberapa Jenis Kayu KARYA TULIS SIFAT FISIS KAYU: Berat Jenis dan Kadar Air Pada Beberapa Jenis Kayu Disusun Oleh: APRI HERI ISWANTO, S.Hut, M.Si NIP. 132 303 844 DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA

Lebih terperinci

BABII TINJAUAN PUSTAKA. Bab ini berisi tentang teori dari beberapa sumber buku seperti buku - buku

BABII TINJAUAN PUSTAKA. Bab ini berisi tentang teori dari beberapa sumber buku seperti buku - buku BABII TINJAUAN PUSTAKA Bab ini berisi tentang teori dari beberapa sumber buku seperti buku - buku laporan tugas akhir dan makalah seminar yang digunakan sebagai inspirasi untuk menyusun konsep penelitian

Lebih terperinci

V HASIL DAN PEMBAHASAN

V HASIL DAN PEMBAHASAN V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kadar Air Kadar air (Ka) adalah banyaknya air yang dikandung pada sepotong kayu yang dinyatakan dengan persentase dari berat kayu kering tanur. Kadar air pohon Jati hasil penelitian

Lebih terperinci

KAJIAN SIFAT FISIS KAYU SENGON (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) PADA BERBAGAI BAGIAN DAN POSISI BATANG

KAJIAN SIFAT FISIS KAYU SENGON (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) PADA BERBAGAI BAGIAN DAN POSISI BATANG KAJIAN SIFAT FISIS KAYU SENGON (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) PADA BERBAGAI BAGIAN DAN POSISI BATANG Oleh Iwan Risnasari, S.Hut, M.Si UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN Iwan Risnasari : Kajian

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengukuran Microfibril Angle (MFA) Contoh uji persegi panjang diambil dari disk dan dipotong menjadi segmen dengan ukuran 5 cm x 1,5 cm x 1 cm dari empulur hingga kulit dan diberi nomor mulai dari empulur

Lebih terperinci

MESIN PENGERING KAYU SEDERHANA UNTUK HOME INDUSTRI. Murni *)

MESIN PENGERING KAYU SEDERHANA UNTUK HOME INDUSTRI. Murni *) MESIN PENGERING KAYU SEDERHANA UNTUK HOME INDUSTRI Murni *) Abstract Dryer machine of wood is made to fulfill need of wood in order to produce raw of drying wood is not depended weather. Making of dryer

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Tampilan Kayu Pemadatan kayu menghasilkan warna yang berbeda dengan warna aslinya, dimana warnanya menjadi sedikit lebih gelap sebagai akibat dari pengaruh suhu pengeringan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sifat Fisis Sifat fisis dari panel CLT yang diuji yaitu, kerapatan (ρ), kadar air (KA), pengembangan volume (KV) dan penyusutan volume (SV). Hasil pengujian sifat fisis

Lebih terperinci

SIFAT FISIS MEKANIS PANEL SANDWICH DARI TIGA JENIS BAMBU FEBRIYANI

SIFAT FISIS MEKANIS PANEL SANDWICH DARI TIGA JENIS BAMBU FEBRIYANI SIFAT FISIS MEKANIS PANEL SANDWICH DARI TIGA JENIS BAMBU FEBRIYANI DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 RINGKASAN Febriyani. E24104030. Sifat Fisis Mekanis Panel Sandwich

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jadikan sumber pendapatan baik bagi negara ataupun masyarakat. Kayu dapat

BAB I PENDAHULUAN. jadikan sumber pendapatan baik bagi negara ataupun masyarakat. Kayu dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kayu merupakan hasil sumber daya yang berasal dari hutan yang dapat di jadikan sumber pendapatan baik bagi negara ataupun masyarakat. Kayu dapat dijadikan bahan baku

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Mutu Kekakuan Lamina BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Penyusunan lamina diawali dengan melakukan penentuan mutu pada tiap ketebalan lamina menggunakan uji non destructive test. Data hasil pengujian NDT

Lebih terperinci

SIFAT FISIS DAN PENGERINGAN KAYU RAMBUTAN, NANGKA, DAN KECAPI SERTA PENGGUNAAN LARUTAN UREA DALAM PENGENDALIAN CACAT PENGERINGANNYA ARI SUHARDIANTO

SIFAT FISIS DAN PENGERINGAN KAYU RAMBUTAN, NANGKA, DAN KECAPI SERTA PENGGUNAAN LARUTAN UREA DALAM PENGENDALIAN CACAT PENGERINGANNYA ARI SUHARDIANTO SIFAT FISIS DAN PENGERINGAN KAYU RAMBUTAN, NANGKA, DAN KECAPI SERTA PENGGUNAAN LARUTAN UREA DALAM PENGENDALIAN CACAT PENGERINGANNYA ARI SUHARDIANTO DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. sesuai dengan SNI no. 03 tahun 2002 untuk masing-masing pengujian. Kayu tersebut diambil

BAB III METODE PENELITIAN. sesuai dengan SNI no. 03 tahun 2002 untuk masing-masing pengujian. Kayu tersebut diambil BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Persiapan Penelitian Jenis kayu yang dipakai dalam penelitian ini adalah kayu rambung dengan ukuran sesuai dengan SNI no. 03 tahun 2002 untuk masing-masing pengujian. Kayu

Lebih terperinci

PENGARUH PERENDAMAN PANAS DAN DINGIN SABUT KELAPA TERHADAP KUALITAS PAPAN PARTIKEL YANG DIHASILKANNYA SISKA AMELIA

PENGARUH PERENDAMAN PANAS DAN DINGIN SABUT KELAPA TERHADAP KUALITAS PAPAN PARTIKEL YANG DIHASILKANNYA SISKA AMELIA i PENGARUH PERENDAMAN PANAS DAN DINGIN SABUT KELAPA TERHADAP KUALITAS PAPAN PARTIKEL YANG DIHASILKANNYA SISKA AMELIA DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 i PENGARUH PERENDAMAN

Lebih terperinci

PENGAWETAN KAYU. Eko Sri Haryanto, M.Sn

PENGAWETAN KAYU. Eko Sri Haryanto, M.Sn PENGAWETAN KAYU Eko Sri Haryanto, M.Sn PENGERTIAN Pengeringan kayu adalah suatu proses pengeluaran air dari dalam kayu hingga mencapai kadar air yang seimbang dengan lingkungan dimana kayu akan digunakan

Lebih terperinci

PENGETAHUAN DASAR KAYU SEBAGAI BAHAN BANGUNAN

PENGETAHUAN DASAR KAYU SEBAGAI BAHAN BANGUNAN PENGETAHUAN DASAR KAYU SEBAGAI BAHAN BANGUNAN Pilihan suatu bahan bangunan tergantung dari sifat-sifat teknis, ekonomis, dan dari keindahan. Perlu suatu bahan diketahui sifat-sifat sepenuhnya. Sifat Utama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan target luas lahan yang ditanam sebesar hektar (Atmosuseno,

BAB I PENDAHULUAN. dengan target luas lahan yang ditanam sebesar hektar (Atmosuseno, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sengon merupakan salah satu tanaman cepat tumbuh yang dipilih dalam program pembangunan hutan tanaman industri (HTI) karena memiliki produktivitas yang tinggi dengan

Lebih terperinci

BIODETERIORASI BEBERAPA JENIS KAYU DI BERBAGAI DAERAH DENGAN SUHU DAN KELEMBABAN YANG BERBEDA HENDRA NOVIANTO E

BIODETERIORASI BEBERAPA JENIS KAYU DI BERBAGAI DAERAH DENGAN SUHU DAN KELEMBABAN YANG BERBEDA HENDRA NOVIANTO E BIODETERIORASI BEBERAPA JENIS KAYU DI BERBAGAI DAERAH DENGAN SUHU DAN KELEMBABAN YANG BERBEDA HENDRA NOVIANTO E 24104068 DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 RINGKASAN

Lebih terperinci

BEBERAPA SIFAT FISIK GUBAL ANGSANA

BEBERAPA SIFAT FISIK GUBAL ANGSANA BEBERAPA SIFAT FISIK GUBAL ANGSANA (Pterocarpus indicus) Some Physical Properties of Angsana (Pterocarpus indicus) Sapwood Belly Ireeuw 1, Reynold P. Kainde 2, Josephus I. Kalangi 2, Johan A. Rombang 2

Lebih terperinci

PENGARUH METODE PENGERINGAN DAN TEBAL KAYU TERHADAP KECEPATAN DAN CACAT PENGERINGAN KAYU TUSAM.

PENGARUH METODE PENGERINGAN DAN TEBAL KAYU TERHADAP KECEPATAN DAN CACAT PENGERINGAN KAYU TUSAM. PENGARUH METODE PENGERINGAN DAN TEBAL KAYU TERHADAP KECEPATAN DAN CACAT PENGERINGAN KAYU TUSAM. Yustinus Suranto, Riris Trideny Situmorang Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Bulaksumur, Yogyakarta.

Lebih terperinci

Pengaruh Variasi Sambungan Satu Ruas dan Dua Ruas Bambu Terhadap Kekuatan Balok Laminasi Bambu Tali MUJAHID

Pengaruh Variasi Sambungan Satu Ruas dan Dua Ruas Bambu Terhadap Kekuatan Balok Laminasi Bambu Tali MUJAHID Pengaruh Variasi Sambungan Satu Ruas dan Dua Ruas Bambu Terhadap Kekuatan Balok Laminasi Bambu Tali MUJAHID DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 Pengaruh Variasi Penyusunan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Fakultas Kehutanan Univesitas Sumatera Utara Medan. mekanis kayu terdiri dari MOE dan MOR, kerapatan, WL (Weight loss) dan RS (

METODE PENELITIAN. Fakultas Kehutanan Univesitas Sumatera Utara Medan. mekanis kayu terdiri dari MOE dan MOR, kerapatan, WL (Weight loss) dan RS ( 12 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2017 - Juni 2017. Penelitian dilakukan di Laboratorium Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan, dan Workshop Fakultas

Lebih terperinci

PENGUJIAN SIFAT MEKANIS PANEL STRUKTURAL DARI KOMBINASI BAMBU TALI (Gigantochloa apus Bl. ex. (Schult. F.) Kurz) DAN KAYU LAPIS PUJA HINDRAWAN

PENGUJIAN SIFAT MEKANIS PANEL STRUKTURAL DARI KOMBINASI BAMBU TALI (Gigantochloa apus Bl. ex. (Schult. F.) Kurz) DAN KAYU LAPIS PUJA HINDRAWAN 1 PENGUJIAN SIFAT MEKANIS PANEL STRUKTURAL DARI KOMBINASI BAMBU TALI (Gigantochloa apus Bl. ex. (Schult. F.) Kurz) DAN KAYU LAPIS PUJA HINDRAWAN DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

PENGARUH LAMA WAKTU PENUMPUKAN KAYU KARET (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) TERHADAP SIFAT - SIFAT PAPAN PARTIKEL TRIDASA A SAFRIKA

PENGARUH LAMA WAKTU PENUMPUKAN KAYU KARET (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) TERHADAP SIFAT - SIFAT PAPAN PARTIKEL TRIDASA A SAFRIKA PENGARUH LAMA WAKTU PENUMPUKAN KAYU KARET (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) TERHADAP SIFAT - SIFAT PAPAN PARTIKEL TRIDASA A SAFRIKA DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Lebih terperinci

PENGANTAR TENTANG KAYU

PENGANTAR TENTANG KAYU Kelompok 9 Anggota Kelompok : 1. Sugi Suryanto 20130110121 2. Badzli Zaki Tamami 20130110123 3. Ega Arief Anggriawan 20130110110 4. M Dede Dimas Wahyu 20130110125 5. Yusli Pandi 20130110112 6. Tanaka Dynasty

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman ekaliptus mempunyai sistematika sebagai berikut: Hutan Tanaman Industri setelah pinus. Ekaliptus merupakan tanaman eksotik

TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman ekaliptus mempunyai sistematika sebagai berikut: Hutan Tanaman Industri setelah pinus. Ekaliptus merupakan tanaman eksotik TINJAUAN PUSTAKA Ekaliptus Tanaman ekaliptus mempunyai sistematika sebagai berikut: Division Sub Divisio Class Ordo Famili Genus : Spermatophyta : Angiospoermae : Dicotyledone : Myrtiflorae : Myrtaceae

Lebih terperinci

BAB 2 HUBUNGAN AIR DAN KAYU: AIR DI DALAM KAYU

BAB 2 HUBUNGAN AIR DAN KAYU: AIR DI DALAM KAYU BAB 2 HUBUNGAN AIR DAN KAYU: AIR DI DALAM KAYU 2.1. Perspektif Hubungan Kayu dan Air Hubungan antara air dan kayu dapat dilihat dari dua perspektif atau dua sudut pandang. Sudut pandang pertama dilakukan

Lebih terperinci

PENGARUH SUHU PEREBUSAN PARTIKEL JERAMI (STRAW) TERHADAP SIFAT-SIFAT PAPAN PARTIKEL RINO FARDIANTO

PENGARUH SUHU PEREBUSAN PARTIKEL JERAMI (STRAW) TERHADAP SIFAT-SIFAT PAPAN PARTIKEL RINO FARDIANTO PENGARUH SUHU PEREBUSAN PARTIKEL JERAMI (STRAW) TERHADAP SIFAT-SIFAT PAPAN PARTIKEL RINO FARDIANTO DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 PENGARUH SUHU PEREBUSAN PARTIKEL

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sifat Fisis 4.1.1 Kadar air BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Rata-rata nilai kadar air (KA) kayu surian kondisi kering udara pada masing-masing bagian (pangkal, tengah dan ujung) disajikan pada Tabel 1.

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. Tabel 1 Jenis-jenis pohon sebagai bahan penelitian. Asal Tempat Tumbuh. Nama Daerah Setempat

III. METODOLOGI. Tabel 1 Jenis-jenis pohon sebagai bahan penelitian. Asal Tempat Tumbuh. Nama Daerah Setempat III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini berlangsung dari bulan Pebruari hingga Juni 2009. Identifikasi herbarium dilakukan di Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam Bogor, sementara pengamatan

Lebih terperinci

KAYU JUVENIL (JUVENILE WOOD)

KAYU JUVENIL (JUVENILE WOOD) KARYA TULIS KAYU JUVENIL (JUVENILE WOOD) Disusun oleh : RUDI HARTONO, S.HUT, MSi NIP 132 303 838 JURUSAN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2006 DAFTAR ISI Kata Pengantar... Daftar

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Batang kelapa sawit mempunyai sifat yang berbeda antara bagian pangkal

TINJAUAN PUSTAKA. Batang kelapa sawit mempunyai sifat yang berbeda antara bagian pangkal TINJAUAN PUSTAKA Kelapa Sawit Menurut Hadi (2004), klasifikasi botani kelapa sawit dapat diuraikan sebagai berikut: Kingdom Divisi Kelas Ordo Familia Genus Spesies : Plantae : Magnoliophyta : Liliopsida

Lebih terperinci

BAB 8 CONTOH UJI MUATAN KAYU YANG DIKERINGKAN

BAB 8 CONTOH UJI MUATAN KAYU YANG DIKERINGKAN BAB 8 CONTOH UJI MUATAN KAYU YANG DIKERINGKAN 8.1. Fungsi Contoh Uji Bagan suhu dan kelembapan udara yang diterapkan di dalam tanur pengering berpengaruh terhadap tegangan pengeringan yang dialami oleh

Lebih terperinci

V HASIL DAN PEMBAHASAN

V HASIL DAN PEMBAHASAN V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kadar Air Kadar air merupakan berat air yang dinyatakan dalam persen air terhadap berat kering tanur (BKT). Hasil perhitungan kadar air pohon jati disajikan pada Tabel 6. Tabel

Lebih terperinci

Jakob Kailola, S.Hut Staf Agroforestri Padamara Tobelo

Jakob Kailola, S.Hut Staf Agroforestri Padamara Tobelo SIFAT FISIK BEBERAPA JENIS KAYU UNGGULAN ASAL TOBELO MENURUT KETINGGIAN DAN KEDALAMAN BATANG Staf Agroforestri Padamara Tobelo PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Penggunaan kayu untuk kebutuhan dari waktu

Lebih terperinci

PENYUSUNAN SKEDUL SUHU DAN KELEMBABAN DASAR UNTUK PENGERINGAN KAYU BINUANG BERSORTIMEN 83 X 118 X 5000 MM DALAM TANUR PENGERING KONVENSIONAL

PENYUSUNAN SKEDUL SUHU DAN KELEMBABAN DASAR UNTUK PENGERINGAN KAYU BINUANG BERSORTIMEN 83 X 118 X 5000 MM DALAM TANUR PENGERING KONVENSIONAL PENYUSUNAN SKEDUL SUHU DAN KELEMBABAN DASAR UNTUK PENGERINGAN KAYU BINUANG BERSORTIMEN 83 X 118 X 5000 MM DALAM TANUR PENGERING KONVENSIONAL Yustinus Suranto Jurusan Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan

Lebih terperinci

PENGARUH PENGAWETAN TERHADAP SIFAT MEKANIS TIGA JENIS KAYU RENDY KURNIAWAN RACHMAT

PENGARUH PENGAWETAN TERHADAP SIFAT MEKANIS TIGA JENIS KAYU RENDY KURNIAWAN RACHMAT PENGARUH PENGAWETAN TERHADAP SIFAT MEKANIS TIGA JENIS KAYU RENDY KURNIAWAN RACHMAT DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007 PENGARUH PENGAWETAN TERHADAP SIFAT MEKANIS TIGA

Lebih terperinci

MEMAHAMI ANTIKLINAL DAN PERIKLINAL DALAM PROSES PERTUMBUHAN POHON DAN KUALITAS KAYU MUHDI

MEMAHAMI ANTIKLINAL DAN PERIKLINAL DALAM PROSES PERTUMBUHAN POHON DAN KUALITAS KAYU MUHDI MEMAHAMI ANTIKLINAL DAN PERIKLINAL DALAM PROSES PERTUMBUHAN POHON DAN KUALITAS KAYU MUHDI Program Ilmu Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara I. PENDAHULUAN Antiklinal adalah tahapan pembelahan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. : Cinnamomum burmanii. Panjangnya sekitar 9-12 cm dan lebar 3,4-5,4 cm, tergantung jenisnya. Warna

TINJAUAN PUSTAKA. : Cinnamomum burmanii. Panjangnya sekitar 9-12 cm dan lebar 3,4-5,4 cm, tergantung jenisnya. Warna TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Kayu Manis berikut : Sistematika kayu manis menurut Rismunandar dan Paimin (2001), sebagai Kingdom Divisi Subdivisi Kelas Sub kelas Ordo Family Genus Spesies : Plantae : Gymnospermae

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian kekuatan sambungan tarik double shear balok kayu pelat baja menurut diameter dan jumlah paku pada sesaran tertentu ini dilakukan selama kurang lebih

Lebih terperinci

Universitas Gadjah Mada 1

Universitas Gadjah Mada 1 I. Nama Mata Kuliah : Pengeringan Kayu II. Kode/SKS : KTT 350/ 2,1 III. Prasyarat : Anatomi dan Identifikasi Kayu KTT 210 Fisika Kayu KTT 220 Mekanika Kayu KTT 221 Kimia Kayu KTT 230 IV. Status Matakuliah

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI DAN PENGUKURAN POTENSI LIMBAH PEMANENAN KAYU (STUDI KASUS DI PT. AUSTRAL BYNA, PROPINSI KALIMANTAN TENGAH)

IDENTIFIKASI DAN PENGUKURAN POTENSI LIMBAH PEMANENAN KAYU (STUDI KASUS DI PT. AUSTRAL BYNA, PROPINSI KALIMANTAN TENGAH) IDENTIFIKASI DAN PENGUKURAN POTENSI LIMBAH PEMANENAN KAYU (STUDI KASUS DI PT. AUSTRAL BYNA, PROPINSI KALIMANTAN TENGAH) RIKA MUSTIKA SARI DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

ANALISA EKONOMIS PERBANDINGAN KAPAL KAYU SISTEM LAMINASI DENGAN SISTEM KONVENSIONAL

ANALISA EKONOMIS PERBANDINGAN KAPAL KAYU SISTEM LAMINASI DENGAN SISTEM KONVENSIONAL ANALISA EKONOMIS PERBANDINGAN KAPAL KAYU SISTEM LAMINASI DENGAN SISTEM KONVENSIONAL Syahrizal & Johny Custer Teknik Perkapalan Politeknik Bengkalis Jl. Bathin Alam, Sei-Alam, Bengkalis-Riau djalls@polbeng.ac.id

Lebih terperinci

KUANTIFIKASI KAYU SISA PENEBANGAN JATI PADA AREAL PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS MASYARAKAT TERSERTIFIKASI DI KABUPATEN KONAWE SELATAN, SULAWESI TENGGARA

KUANTIFIKASI KAYU SISA PENEBANGAN JATI PADA AREAL PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS MASYARAKAT TERSERTIFIKASI DI KABUPATEN KONAWE SELATAN, SULAWESI TENGGARA KUANTIFIKASI KAYU SISA PENEBANGAN JATI PADA AREAL PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS MASYARAKAT TERSERTIFIKASI DI KABUPATEN KONAWE SELATAN, SULAWESI TENGGARA PUTRI KOMALASARI DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. perabot rumah tangga, rak, lemari, penyekat dinding, laci, lantai dasar, plafon, dan

TINJAUAN PUSTAKA. perabot rumah tangga, rak, lemari, penyekat dinding, laci, lantai dasar, plafon, dan TINJAUAN PUSTAKA A. Papan Partikel A.1. Definisi papan partikel Kayu komposit merupakan kayu yang biasa digunakan dalam penggunaan perabot rumah tangga, rak, lemari, penyekat dinding, laci, lantai dasar,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN A. Sifat Dasar dan Keawetan Alami Kayu Sentang A.1. Anatomi kayu Struktur anatomi kayu mencirikan macam sel penyusun kayu berikut bentuk dan ukurannya. Sebagaimana jenis kayu daun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kemungkinan akan banyak terjadi peristiwa yang bisa dialami oleh pohon yang

BAB I PENDAHULUAN. kemungkinan akan banyak terjadi peristiwa yang bisa dialami oleh pohon yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam pertumbuhan tumbuhan berkayu/pohon tidak tertutup kemungkinan akan banyak terjadi peristiwa yang bisa dialami oleh pohon yang tumbuh secara normal. Salah satu

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. KARAKTERISTIK PENGERINGAN LAPISAN TIPIS SINGKONG 4.1.1. Perubahan Kadar Air Terhadap Waktu Proses pengeringan lapisan tipis irisan singkong dilakukan mulai dari kisaran kadar

Lebih terperinci

PENGERINGAN KAYU SECARA UMUM

PENGERINGAN KAYU SECARA UMUM KARYA TULIS PENGERINGAN KAYU SECARA UMUM Disusun Oleh: Tito Sucipto, S.Hut., M.Si. NIP. 19790221 200312 1 001 DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2009 KATA PENGANTAR Puji

Lebih terperinci

BAB IV ANALISA. Gambar 4.1. Fenomena case hardening yang terjadi pada sampel.

BAB IV ANALISA. Gambar 4.1. Fenomena case hardening yang terjadi pada sampel. BAB IV ANALISA 4.1 FENOMENA DAN PENYEBAB KERUSAKAN KUALITAS PRODUK 4.1.1 Fenomena dan penyebab terjadinya case hardening Pada proses pengeringan yang dilakukan oleh penulis khususnya pada pengambilan data

Lebih terperinci

Kayu lapis untuk kapal dan perahu

Kayu lapis untuk kapal dan perahu Standar Nasional Indonesia Kayu lapis untuk kapal dan perahu ICS 79.060.10 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi... i Prakata... ii 1 Ruang lingkup... 1 2 Acuan normatif... 1 3 Istilah, definisi,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Djapilus dan Suhaendi (1978) dalam Utomo (2008) E. urophylla

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Djapilus dan Suhaendi (1978) dalam Utomo (2008) E. urophylla TINJAUAN PUSTAKA Kayu Eucalyptus urophylla Menurut Djapilus dan Suhaendi (1978) dalam Utomo (2008) E. urophylla termasuk dalam famili Myrtaceae, terdiri atas 500 jenis dan 138 varietas. Pohon ekaliptus

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sifat Fisis Kayu Sifat fisis kayu akan mempengaruhi kekuatan kayu dalam menerima dan menahan beban yang terjadi pada kayu itu sendiri. Pada umumnya kayu yang memiliki kadar

Lebih terperinci

SIFAT DASAR DAN SIFAT PENGERINGAN TIGA JENIS KAYU KURANG DIKENAL ASAL HUTAN ALAM PAPUA SURYA SALLINA

SIFAT DASAR DAN SIFAT PENGERINGAN TIGA JENIS KAYU KURANG DIKENAL ASAL HUTAN ALAM PAPUA SURYA SALLINA SIFAT DASAR DAN SIFAT PENGERINGAN TIGA JENIS KAYU KURANG DIKENAL ASAL HUTAN ALAM PAPUA SURYA SALLINA DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. struktural seperti papan pelapis dinding (siding), partisi, plafon (celing) dan lis.

TINJAUAN PUSTAKA. struktural seperti papan pelapis dinding (siding), partisi, plafon (celing) dan lis. 4 TINJAUAN PUSTAKA Kayu jabon (Anthocephalus cadamba M.) memiliki berat jenis 0,48 dan tergolong kayu kelas kuat IV. Berdasarkan sifat-sifat yang dimiliki dan informasi penggunaan kayu secara lokal oleh

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 17 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kerentanan Cacat Bentuk dalam Proses Pengeringan Kerentanan cacat bentuk pada kayu berbeda setiap jenisnya. Banyak faktor yang mempengaruhi proses pengeringan kayu, seperti

Lebih terperinci

BAB 9 CACAT KAYU AKIBAT PENGERINGAN DI DALAM TANUR

BAB 9 CACAT KAYU AKIBAT PENGERINGAN DI DALAM TANUR BAB 9 CACAT KAYU AKIBAT PENGERINGAN DI DALAM TANUR 9.1. Penampilan dan Kualitas Kayu Penampilan kayu menjadi indikasi bagi kualitas kayu, sehingga penampilan tersebut berpengaruh terhadap penggunaan kayu,

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA SIFAT AKUSTIK DENGAN SIFAT FISIS DAN MEKANIS LIMA JENIS KAYU HANS BAIHAQI

HUBUNGAN ANTARA SIFAT AKUSTIK DENGAN SIFAT FISIS DAN MEKANIS LIMA JENIS KAYU HANS BAIHAQI i HUBUNGAN ANTARA SIFAT AKUSTIK DENGAN SIFAT FISIS DAN MEKANIS LIMA JENIS KAYU HANS BAIHAQI DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 ii RINGKASAN Hans Baihaqi. Hubungan Sifat

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Adapun taksonomi tanaman kelapa sawit menurut Syakir et al. (2010) Nama Elaeis guineensis diberikan oleh Jacquin pada tahun 1763

TINJAUAN PUSTAKA. Adapun taksonomi tanaman kelapa sawit menurut Syakir et al. (2010) Nama Elaeis guineensis diberikan oleh Jacquin pada tahun 1763 16 TINJAUAN PUSTAKA A. Kelapa sawit Adapun taksonomi tanaman kelapa sawit menurut Syakir et al. (2010) adalah sebagai berikut: Kingdom Divisi Subdivisi Kelas Ordo Famili Sub famili Genus Spesies : Plantae

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. sedangkan diameternya mencapai 1 m. Bunga dan buahnya berupa tandan,

TINJAUAN PUSTAKA. sedangkan diameternya mencapai 1 m. Bunga dan buahnya berupa tandan, [ TINJAUAN PUSTAKA Batang Kelapa Sawit Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) merupakan tumbuhan tropis yang berasal dari Nigeria (Afrika Barat). Tinggi kelapa sawit dapat mencapai 24 m sedangkan diameternya

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Kegiatan penelitian dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Peningkatan Mutu Kayu untuk proses persiapan bahan baku, pembuatan panel CLT, dan pengujian

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. kayu yang harus diketahui dalam penggunaan kayu adalah berat jenis atau

TINJAUAN PUSTAKA. kayu yang harus diketahui dalam penggunaan kayu adalah berat jenis atau TINJAUAN PUSTAKA Sifat Fisis Kayu Sifat fisis kayu perlu diperhatikan untuk pengembangan penggunaan kayu secara optimal, baik dari segi kekuatan maupun keindahan. Beberapa sifat fisis kayu yang harus diketahui

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jati Tectona grandis Linn. f. atau jati merupakan salah satu tumbuhan yang masuk dalam anggota famili Verbenaceae. Di Indonesia dikenal juga dengan nama deleg, dodolan, jate,

Lebih terperinci

24 Media Bina Ilmiah ISSN No

24 Media Bina Ilmiah ISSN No 24 Media Bina Ilmiah ISSN No. 1978-3787 SIFAT FISIKA EMPAT JENIS BAMBU LOKAL DI KABUPATEN SUMBAWA BARAT oleh Febriana Tri Wulandari Prodi Kehutanan Faperta UNRAM Abstrak : Bambu dikenal oleh masyarakat

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 8 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan Januari 2011 sampai Agustus 2011. Pemotongan kayu dilakukan di Work Shop Laboratorium Peningkatan Mutu Kayu,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kolom adalah batang tekan vertikal dari rangka (frame) struktural yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kolom adalah batang tekan vertikal dari rangka (frame) struktural yang BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kolom lentur. Kolom merupakan elemen struktur yang menahan gaya aksial dan momen 2.1.1. Pengertian dan prinsip dasar kolom Kolom adalah batang tekan vertikal dari rangka (frame)

Lebih terperinci

PENGUJIAN KUALITAS KAYU BUNDAR JATI

PENGUJIAN KUALITAS KAYU BUNDAR JATI PENGUJIAN KUALITAS KAYU BUNDAR JATI ( Tectona grandis Linn. f) PADA PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS MASYARAKAT TERSERTIFIKASI DI KABUPATEN KONAWE SELATAN, SULAWESI TENGGARA AHSAN MAULANA DEPARTEMEN HASIL HUTAN

Lebih terperinci

PENGARUH PENGERINGAN ALAMI DAN BUATAN TERHADAP KUALITAS KAYU GALAM UNTUK BAHAN MEBEL

PENGARUH PENGERINGAN ALAMI DAN BUATAN TERHADAP KUALITAS KAYU GALAM UNTUK BAHAN MEBEL Jurnal Riset Industri Hasil Hutan Vol., No., Juni 009 : 7 PENGARUH PENGERINGAN ALAMI DAN BUATAN TERHADAP KUALITAS KAYU GALAM UNTUK BAHAN MEBEL THE INFLUENCE OF NATURAL AND ARTIFICIAL DRYING FOWORD THE

Lebih terperinci

DAFTAR ISI HALAMAN. vii

DAFTAR ISI HALAMAN. vii DAFTAR ISI HALAMAN HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii HALAMAN PERNYATAAN... iii HALAMAN PERSEMBAHAN... iv KATA PENGANTAR... v DAFTAR ISI... vii DAFTAR TABEL... x DAFTAR GAMBAR... xiii DAFTAR LAMPIRAN...

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Teori Dasar Steam merupakan bagian penting dan tidak terpisahkan dari teknologi modern. Tanpa steam, maka industri makanan kita, tekstil, bahan kimia, bahan kedokteran,daya, pemanasan

Lebih terperinci

SIFAT SIFAT DASAR PAPAN COMPLY YANG MENGGUNAKAN PEREKAT POLIURETAN DAN MELAMINE FORMALDEHIDA TRY ANGGRAHINI KARANGAN

SIFAT SIFAT DASAR PAPAN COMPLY YANG MENGGUNAKAN PEREKAT POLIURETAN DAN MELAMINE FORMALDEHIDA TRY ANGGRAHINI KARANGAN SIFAT SIFAT DASAR PAPAN COMPLY YANG MENGGUNAKAN PEREKAT POLIURETAN DAN MELAMINE FORMALDEHIDA TRY ANGGRAHINI KARANGAN DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 SIFAT SIFAT

Lebih terperinci

4 PENGARUH KADAR AIR PARTIKEL DAN KADAR PARAFIN TERHADAP KUALITAS PAPAN KOMPOSIT

4 PENGARUH KADAR AIR PARTIKEL DAN KADAR PARAFIN TERHADAP KUALITAS PAPAN KOMPOSIT 48 4 PENGARUH KADAR AIR PARTIKEL DAN KADAR PARAFIN TERHADAP KUALITAS PAPAN KOMPOSIT 4.1 Pendahuluan Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya, kekuatan papan yang dihasilkan masih rendah utamanya nilai MOR

Lebih terperinci

MENENTUKAN JUMLAH KALOR YANG DIPERLUKAN PADA PROSES PENGERINGAN KACANG TANAH. Oleh S. Wahyu Nugroho Universitas Soerjo Ngawi ABSTRAK

MENENTUKAN JUMLAH KALOR YANG DIPERLUKAN PADA PROSES PENGERINGAN KACANG TANAH. Oleh S. Wahyu Nugroho Universitas Soerjo Ngawi ABSTRAK 112 MENENTUKAN JUMLAH KALOR YANG DIPERLUKAN PADA PROSES PENGERINGAN KACANG TANAH Oleh S. Wahyu Nugroho Universitas Soerjo Ngawi ABSTRAK Dalam bidang pertanian dan perkebunan selain persiapan lahan dan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN B. Tahapan Proses Pembuatan Papan Serat 1. Pembuatan Matras a. Pemotongan serat Serat kenaf memiliki ukuran panjang rata-rata 40-60 cm (Gambar 18), untuk mempermudah proses pembuatan

Lebih terperinci

PENGARUH PENYUSUNAN DAN JUMLAH LAPISAN VINIR TERHADAP STABILITAS DIMENSI KAYU LAPIS (PLYWOOD)

PENGARUH PENYUSUNAN DAN JUMLAH LAPISAN VINIR TERHADAP STABILITAS DIMENSI KAYU LAPIS (PLYWOOD) PENGARUH PENYUSUNAN DAN JUMLAH LAPISAN VINIR ERHADAP SABILIAS DIMENSI KAYU LAPIS (PLYWOOD) Oleh Iwan Risnasari, S.Hut, M.Si UNIVERSIAS SUMAERA UARA MEDAN 2008 DAFAR ISI Halaman Kata Pengantar.. i Daftar

Lebih terperinci

Lampiran 1. Sifat Fisika dan Mekanika Kayu. Lampiran 2. Pengujian Sifat Keawetan terhadap rayap tanah (Captotermes curvignathus Holmgreen.

Lampiran 1. Sifat Fisika dan Mekanika Kayu. Lampiran 2. Pengujian Sifat Keawetan terhadap rayap tanah (Captotermes curvignathus Holmgreen. LAMPIRAN 123 124 Lampiran 1. Sifat Fisika dan Mekanika Kayu Pengujian sifat fisik mengikuti standar ASTM 2007 D 143-94 (Reapproved 2007) mengenai Standard Test Methods for Small Clear Specimens of Timber

Lebih terperinci

BAB II STUDI PUSTAKA

BAB II STUDI PUSTAKA BAB II STUDI PUSTAKA II.1 UMUM Kayu merupakan hasil hutan dari sumber kekayaan alam, merupakan bahan mentah yang mudah diproses dan dibentuk untuk dijadikan barang maupun konstruksi yang sesuai dengan

Lebih terperinci

KADAR AIR KESEIMBANGAN DAN POLA REGANGAN/TEGANGAN PADA BEBERAPA JENIS KAYU YANG DIKERINGKAN KE KADAR AIR TAHAP AKHIR PENGERINGAN (OVER DRY)

KADAR AIR KESEIMBANGAN DAN POLA REGANGAN/TEGANGAN PADA BEBERAPA JENIS KAYU YANG DIKERINGKAN KE KADAR AIR TAHAP AKHIR PENGERINGAN (OVER DRY) KADAR AIR KESEIMBANGAN DAN POLA REGANGAN/TEGANGAN PADA BEBERAPA JENIS KAYU YANG DIKERINGKAN KE KADAR AIR TAHAP AKHIR PENGERINGAN (OVER DRY) YOYO SUHAYA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

PENGARUH PROPORSI CAMPURAN SERBUK KAYU GERGAJIAN DAN AMPAS TEBU TERHADAP KUALITAS PAPAN PARTIKEL YANG DIHASILKANNYA FATHIMA TUZZUHRAH ARSYAD

PENGARUH PROPORSI CAMPURAN SERBUK KAYU GERGAJIAN DAN AMPAS TEBU TERHADAP KUALITAS PAPAN PARTIKEL YANG DIHASILKANNYA FATHIMA TUZZUHRAH ARSYAD i PENGARUH PROPORSI CAMPURAN SERBUK KAYU GERGAJIAN DAN AMPAS TEBU TERHADAP KUALITAS PAPAN PARTIKEL YANG DIHASILKANNYA FATHIMA TUZZUHRAH ARSYAD DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN November 2008

DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN November 2008 KARYA TULIS PENGERINGAN KAYU Oleh : ARIF NURYAWAN, S.Hut, M.Si NIP. 132 303 839 DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN November 2008 Arif Nuryawan : Pengeringan Kayu,

Lebih terperinci

PENGARUH KADAR RESIN PEREKAT UREA FORMALDEHIDA TERHADAP SIFAT-SIFAT PAPAN PARTIKEL DARI AMPAS TEBU AHMAD FIRMAN ALGHIFFARI

PENGARUH KADAR RESIN PEREKAT UREA FORMALDEHIDA TERHADAP SIFAT-SIFAT PAPAN PARTIKEL DARI AMPAS TEBU AHMAD FIRMAN ALGHIFFARI PENGARUH KADAR RESIN PEREKAT UREA FORMALDEHIDA TERHADAP SIFAT-SIFAT PAPAN PARTIKEL DARI AMPAS TEBU AHMAD FIRMAN ALGHIFFARI DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 PENGARUH

Lebih terperinci